Kamis, 21 Maret 2013

Ratu Kalinyamat

Ratu Kalinyamat = Wanita Pemberani dari Jepara

Berbicara tentang Jepara tentunya pikiran kita tak bisa dialihkan dari kiprah seorang wanita asal kota ini yang amat melegenda dalam sejarah Indonesia. Ya dia adalah Raden Ajeng Kartini yang berkat surat-suratnya menjadi inspirasi dalam memajukan gerakan emansipasi kaum wanita Indonesia. Namun yang kita bicarakan kali ini adalah tokoh wanita lainnya dari Jepara yang kiprahnya tak kalah heroik. Dia adalah Ratu Kalinyamat yang memiliki nama asli Retna Kencana.

Retna Kencana merupakan putri dari Sultan Trenggana, raja Demak yang memerintah sejak 1521-1546. Pada saat ia masih remaja, ayahnya menikahkan Retna Kencana dengan Pangeran Kalinyamat yang oleh masyarakat Jepara dipanggil dengan nama Win-tang. Mengenai hal ihwal Pangeran Kalinyamat ini ada beberapa versi.

Pada versi pertama mengisahkan bahwa Win-tang atau Pangeran Kalinyamat ini merupakan saudagar Tiongkok yang mengalami kecelakaan di laut. Ia kabarnya terdampar di pantai Jepara dan kemudian berguru pada Sunan Kudus. Namun versi lain menyatakan bahwa Win-tang berasal dari Aceh. Nama aslinya adalah Pangeran Toyib, putra Sultan Mughayata Syah, raja Aceh yang memerintah pada 1514-1528. Toyib lalu berkelana ke Tiongkok dan menjadi anak angkat seorang menteri bernama Tjie Hwio Gwan. Nama Win-tang sendiri merupakan ejaan Jawa untuk Tjie Bin Thang, nama baru Toyib. Dalam versi ini dikisahkan Win-tang dan ayah angkatnya lalu pindah ke Jawa dan mendirikan desa Kalinyamat yang saat ini berada di wilayah kota Tegal sehingga ia pun dikenal dengan nama Pangeran Kalinyamat.

Setelah menikahi Retna Kencana, putri raja Demak maka Pangeran Kalinyamat pun menjadi anggota keluarga Kesultanan Demak dan mendapat gelar Pangeran Hadiri. Nama Retna Kencana pun kemudian dikenal sebagai Ratu Kalinyamat. Mereka pun memerintah bersama di Jepara. Sementara Tjie Hwio Gwan, sang ayah angkat dijadikan patih bergelar Sungging Badar Duwung, konon ia pulalah yang telah mengajarkan seni ukir pada penduduk Jepara.

Akibat kematian kakaknya yang merupakan pewaris takhta kerajaan Demak membuat Ratu Kalinyamat terlibat dalam intrik politik di kerajaan Islam pertama di Jawa ini. Setelah kematian Sultan Trenggana, maka Sunan Prawata, kakak Ratu Kalinyamat naik takhta menjadi raja ke-4 Demak. Namun belum lama ia memerintah, pada tahun 1549 ia tewas dibunuh oleh utusan Raya Penangsang, bupati Jipang yang sebenarnya merupakan sepupunya sendiri. Ratu Kalinyamat menemukan keris Kyai Betok milik Sunan Kudus menancap pada mayat kakaknya itu. Hal ini membawa Pangeran dan Ratu Kalinyamat menemui Sunan Kudus untuk meminta penjelasan atas kematian kakaknya.

Namun Sunan Kudus yang pernah menjabat sebagai panglima perang untuk Kesultanan Demak ini memberikan penjelasan yang menyakitkan bagi Ratu Kalinyamat. Seperti yang telah diketahui oleh umum, Sunan Kudus merupakan guru dari Arya Penangsang dan pada masa pemerintahan Sunan Prawoto ia menjadi penasehat Arya Penangsang dan menjadi pendukung Arya Penangsang dalam konflik perebutan takhta sepeninggal Sultan Trenggana pada tahun 1546. Saat Ratu Kalinyamat menuntut keadilan atas kematian kakaknya. Sunan Kudus malah mengatakan bahwa apa yang dialami oleh Sunan Prawoto, kakak Ratu Kalinyamat adalah balasan yang setimpal karena ia semasa mudanya pernah membunuh Pangeran Sekar Seda yang merupakan ayah Arya Penangsang.

Tentu saja pernyataan Sunan Kudus ini menyakitkan hati Ratu Kalinyamat. Ia dan suaminya akhirnya memutuskan kembali ke Jepara. Namun di tengah jalan mereka dikeroyok oleh anak buah Arya Penangsang hingga menyebabkan Pangeran Kalinyamat tewas. Ratu Kalinyamat lalu meneruskan perjalanan sambil membawa jenazah suaminya sampai pada sebuah sungai. Konon menurut cerita darah yang berasal dari jenazah Pangeran Kalinyamat menjadikan air sungai itu berwarna ungu sehingga daerah tersebut pun lalu dikenal dengan nama Kaliwungu.

Ratu Kalinyamat sendiri berhasil meloloskan diri dari serangan anak buah Arya Penangsang namun kematian kakak dan suaminya membuat dendamnya pada Arya Penangsang pun jadi berlipat ganda hingga membuatnya bertapa telanjang di Gunung Danaraja dan bersumpah tidak akan berpakaian sebelum berkeset kepala Arya Penangsang. Namun kabarnya hanya Hadiwijaya atau Jaka Tingkir saja yang memiliki kesaktian yang setara dengan Arya Penangsang. Maka Ratu Kalinyamat pun menggantungkan harapannya pada adik iparnya ini untuk membalaskan dendamnya. Tapi Hadiwijaya yang merupakan bupati Pajang ini merasa segan menghadapi Arya Penangsang secara langsung karena mereka sama-sama anggota keluarga Kesultanan Demak. Ia lalu mengadakan sayembara dan menjanjikan tanah Mataram dan Pati sebagai hadiah bagi siapapun yang berhasil membunuh Arya Penangsang. Sayembara itu dimenangi oleh Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi.

Kisah kematian Arya Penangsang sendiri sangat tragis. Ia tewas di tangan Sutawijaya, putra Ki Ageng Pemanahan berkat siasat cerdik Ki Juru Martani, putra Ki Ageng Saba atau Ki Ageng Madepandan yang merupakan putra dari Sunan Kidul, putra Sunan Giri, anggota walisanga, pendiri Giri Kedaton. Sementara ibu Ki Juru Martani adalah putri Ki Ageng Sela yang masih merupakan keturunan Brawijaya, raja terakhir Majapahit (menurut versi Babad).

Ki Juru Martani sendiri merupakan orang yang sangat cerdik dan pandai dalam mengatur siasat. Ketika Hadiwijaya mengadakan sayembara untuk membunuh Arya Penangsang, ia pun meyakinkan Ki Penjawi dan Ki Ageng Pemanahan untuk mengikuti sayembara itu namun sejak semula ia telah mengatur strategi dengan menempatkan Sutawijaya, putra Ki Ageng Pemanahan untuk membunuh Arya Penangsang. Karena Sutawijaya merupakan anak angkat Hadiwijaya maka ia pun tak tega pada putra angkatnya ini dan memberikan pasukan Pajang untuk mengawal Sutawijaya sementara pasukan Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi yang terdiri atas gabungan orang Pajang dan Sela berangkat dan menunggu di sebelah barat Sungai Bengawan Solo tapi karena sungai tersebut telah dimantrai Sunan Kudus maka Ki Juru Martani melarang mereka menyebrang sungai tersebut. Lalu bagaimana caranya membuat Arya Penangsang keluar menghadapi mereka. Ki Juru Martani pun menjalankan siasat cerdiknya. Ia menangkap tukang kuda Arya Penangsang yang tengah mencari rumput dan memotong telinga orang itu lalu menempelinya dengan surat tantangan atas nama Hadiwijaya karena ia tahu Arya Penangsang hanya mau meladeni tantangan dari Hadiwijaya yang kesaktiannya dinilai setara dengannya.

Benar saja. Demi melihat surat tantangan atas nama Hadiwijaya itu, Arya Penangsang pun langsung keluar menghadapi tantangan itu. Namun karena ia imgat pesan gurunya, Sunan Kudus untuk tak menyebrangi Sungai Bengawan Sore maka ia pun hanya berteriak-teriak memanggil nama Hadiwijaya dari seberang sungai. Ki Juru Martani pun melancarkan siasat cerdiknya yang lain untuk membuat Arya Penangsang menyebrangi sungai maka ia pun memerintahkan Sutawijaya mengendarai kuda betina yang sudah dipotong ekornya akibatnya kuda jantan yang dinaiki oleh Arya Penangsang pun bisa melihat langsung alat vital kuda betina yang ditunggangi Sutawijaya. Kuda jantan Arya Penangsang yang diberi nama Gagak Rimang ini pun menjadi liar dan tidak terkendali sehingga membawa Arya Penangsang menyebrangi sungai mengejar kuda betina milik Sutawijaya.

Ketika Arya Penangsang baru saja mencapai tepi barat, Sutawijaya langsung menusuk perut Arya Penangsang dengan menggunakan tombak pusaka Kyai Plered. Perut Arya Penangsang robek dan ususnya terburai. Namun rupanya ia masih bisa bertahan. Ususnya itu disampirkan pada pangkal keris pusakanya. Arya Penangsang yang sudah terluka parah ini bahkan masih bisa menaklukkan musuhnya. Meski dalam keadaan sedemikian parahnya, namun Arya Penangsang ini masih bisa mencekik Sutawijaya hingga membuatnya tak berdaya. Menyadari Sutawijaya masih bukan merupakan tandingan kesaktian Arya Penangsang maka Ki Juru Martani pun dengan cerdiknya menggiring Arya Penangsang menemui ajalnya akibat kearoganannya.

Melihat Sutawijaya sudah kepayahan dan hampir saja tewas di tangan Arya Penangsang maka Ki Juru Martani pun meneriaki Arya Penangsang agar bertarung secara adil. Karena Sutawijaya menusuk perutnya dengan tombak pusaka maka Ki Juru Martani pun meminta Arya Penangsang membunuh Sutawijaya dengan keris pusakanya. Tanpa pikir panjang Arya Penangsang pun menyetujui usul Ki Juru Martani ini dan langsung mencabut keris pusaka Kyai Setan Kober yang terselip di pinggangnya, tak ingat bahwa ususnya yang terburai tersampir di keris pusaka itu akibatnya saat ia menarik keris pusakanya maka ususnya yang tersampir di pangkal keris pusaka itu terpotong sehingga Arya Penangsang pun menemui ajalnya.

Namun Ki Juru Martani yang cerdik ini lalu menyusun laporan palsu bahwa Arya Penangsang tewas dikeroyok oleh Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi karena apabila Hadiwijaya tahu kalau pembunuh sebenarnya adalah Sutawijaya tentu ia akan lupa memberi hadiah tanah Mataram dan Pati seperti janjinya karena Sutawijaya adalah anak angkat Hadiwijaya.

Setelah Arya Penangsang tewas maka dendam Ratu Kalinyamat atas kematian suami dan kakaknya pun terbalaskan. Namun kisah heroik Ratu Kalinyamat masih berlanjut.

Setelah kematian Arya Penangsang pada tahun 1549 wilayah Demak, Jepara, dan Jipang menjadi bawahan Pajang yang dipimpin Sultan Adiwijaya sebagai raja. Meski begitu Sultan tetap memperlakukan Ratu Kalinyamat sebagai tokoh senior yang dihormati. Ratu Kalinyamat kembali menjadi bupati Jepara namun seperti pendahulunya, Pati Unus yang antipati pada Portugis, Ratu Kalinyamat pun tak menyukai keberadaan bangsa Eropa ini yang menjajah nusantara. Pada tahun 1550 ia mengirim 4000 tentara Jepara dalam 40 buah kapal memenuhi permintaan Sultan Kerajaan Johor untuk membebaskan Malaka dari kekuasaan bangsa Eropa itu.

Pasukan Jepara itu lalu bergabung dengan pasukan Persekutuan Melayu hingga mencapai 200 kapal perang. Pasukan gabungan tersebut menyerang dari utara dan berhasil merebut sebagian Malaka. Namun Portugis berhasil melakukan serangan balik dan memukul mundur Pasukan Melayu sementara Pasukan Jepara masih bertahan. Setelah pemimpinnya gugur barulah pasukan Jepara ditarik mundur.

Pertempuran selanjutnya masih terjadi di pantai dan laut yang menewaskan 2000 prajurit Jepara. Badai datang menerjang sehingga 2 buah kapal Jepara terdampar kembali ke pantai Malaka dan menjadi mangsa bangsa Portugis. Prajurit Jepara yang berhasil kembali ke Jawa tak lebih dari setengah dari yang berhasil meninggalkan Malaka. Meski mengalami kekalahan yang menyesakkan namun hal ini tak membuat Ratu Kalinyamat jera dalam mengusir bangsa Portugis dari bumi nusantara.

Ratu Kalinyamat tetap memenuhi permintaan raja-raja di nusantara untuk membantu mereka menghalau Portugis seperti pada tahun 1565 ia memenuhi permintaan orang-orang Hitu di Ambon untuk menghadapi gangguan Portugis dan kaum Hative. Meski ia telah mengalami kekalahan yang amat parah pada serangan pertamanya melawan Portugis tapi rupanya hal itu tak membuat Ratu Kalinyamat kapok. Ia kembali mengirimkan pasukannya ke Aceh untuk memerangi pasukan Portugis atas permintaan Sultan Ali Riayat Syah dari Kesultanan Aceh. Pada tahun 1564 Sultan Aceh ini meminta bantuan Demak untuk menyerang Portugis di Demak. Namun saat itu Demak dipimpin oleh seorang bupati yang mudah curiga bernama Arya Pangiri, putra Sunan Prawata (keponakan Ratu Kalinyamat yang dibesarkannya). Bukannya memenuhi permintaan Sultan Aceh ini malahan utusan Aceh itu dibunuhnya.

Meski tak mendapat bantuan dari tanah Jawa namun Aceh tetap menyerang Malaka pada tahun 1567. Sayangnya serangan itu gagal. Maka pada tahun 1573 Sultan Aceh meminta bantuan Ratu Kalinyamat untuk menyerang Malaka kembali. Ratu Kalinyamat menyanggupi permintaan Sultan Aceh ini dan mengirimkan 300 kapal berisi 15.000 prajurit Jepara dengan dipimpin Ki Demang Laksamana. Namun pasukan Jepara ini baru tiba di Malaka pada bulan Oktober 1574, saat itu pasukan Aceh sudah dipukul mundur oleh Portugis. Meski begitu pasukan Jepara yang datang terlambat ini langsung menembaki Malaka dari Selat Malaka. Esoknya, mereka mendarat dan membangun pertahanan. Tapi pertahanan itu dapat ditembus pihak Portugis. 30 kapal Jepara terbakar. Pihak Jepara mulai terdesak tapi tetap menolak perundingan damai karena terlalu menguntungkan Portugis. 

Sementara itu sebanyak 6 kapal perbekalan yang dikirim Ratu Kalinyamat direbut Portugis sehingga membuat pihak Jepara semakin lemah dan akhirnya memutuskan pulang. Dari jumlah awal yang dikirimkan Ratu hanya sepertiganya saja yang berhasil kembali ke Jawa.

Walaupun telah dua kali gagal menghadapi serangan Portugis namun Ratu Kalinyamat tetap menunjukkan dirinya sebagai seorang wanita yang gagah berani. Tak heran bila Portugis pun mengapresiasi keberanian bupati Jepara ini dan bahkan mencatatnya sebagai rainha de Japara, senhora poderosa e rica, de Kranige Dame yang artinya "Ratu Jepara, seorang wanita yang kaya dan berkuasa, seorang perempuan pemberani."

Ratu Kalinyamat meninggal sekitar tahun 1579 dan dimakamkan di dekat makam Pangeran Kalinyamat di desa Mantingan. Semasa hidupnya, Ratu Kalinyamat membesarkan tiga orang pemuda. Yang pertama adalah adiknya yaitu Pangeran Timur Rangga Jumena, putra bungsu Sultan Trenggana yang kemudian menjadi bupati Madiun.

Yang kedua adalah keponakannya yaitu Arya Pangiri, putra Sunan Prawata yang kemudian menjadi penguasa Demak. Namun sebelum itu ia sempat menjadi Raja Pajang dengan gelar Sultan Ngawantipura. Saat itu dengan bantuan Panembahan Kudus pada tahun 1583 ia berhasil naik takhta atas kerajaan Pajang menggantikan Sultan Hadiwijaya yang meninggal dunia akibat sakit sepulang dari perang dengan Mataram melawan anak angkatnya sendiri, Sutawijaya. Sepeninggal Hadiwijaya, terjadi perebutan takhta antara Pangeran Benawa yang merupakan putra dari Sultan Hadiwijaya sendiri dengan Arya Pangiri, menantunya yang dimenangkan oleh Arya Pangiri. Namun pemerintahan Arya Pangiri hanya disibukkan dengan usaha balas dendam terhadap Mataram sehingga kehidupan rakyat Pajang terabaikan. Hal ini kemudian membuat Pangeran Benawa yang tersingkir ke Jipang prihatin. Pada 1586 ia lalu bersekutu dengan Sutawijaya menyerbu Pajang. Arya Pangiri kalah. Ia lalu dikembalikan ke negeri asalnya yaitu Demak.

Sedangkan yang ketiga adalah sepupunya yakni Pangeran Arya Jepara, putra Ratu Ayu Kirana (adik Sultan Trenggana). Ayah Pangeran Arya Jepara adalah Maulana Hasanuddin, raja pertama Banten. Ketika Maulana Yusuf, raja ke-2 Banten meninggal pada tahun 1580, putra mahkotanya masih kecil. Pangeran Arya Jepara berniat merebut takhta. Pertempuran pun terjadi di Banten. Namun Pangeran Jepara terpaksa mundur setelah Ki Demang Laksamana, panglimanya gugur di tangan Patih Mangkubumi Kesultanan Banten.

Kiprah Ratu Kalinyamat dalam menghadapi Portugis memberikan pelajaran berarti bagi bangsa ini akan arti persatuan dan kesatuan. Meski saat itu Pancasila belum ditetapkan secara resmi sebagai lambang negara ini dan Bhinneka Tunggal Ika pun belum secara sah menjadi semboyan negara namun Ratu Kalinyamat telah memperlihatkan semangat dan arti sesungguhnya dari semboyan pengikat semua elemen bangsa yang majemuk ini. Walaupun ia seorang wanita namun Ratu Kalinyamat dapat bersikap jauh lebih arif dibanding penguasa Demak yang bukannya memenuhi permintaan Sultan Aceh namun malah membunuh utusannya. Ratu Kalinyamat memberikan contoh kearifan bagi pemimpin di negeri ini. Dua kali ia mengirimkan bantuan untuk memerangi Portugis di Malaka namun dua kali pula ia gagal tapi kegagalan ini tak menyurutkan keberaniannya dalam menghadapi bangsa Eropa ini. Walaupun Aceh terletak jauh dari daerahnya namun Ratu Kalinyamat dengan besar hati mau memberikan bantuan kepada Sultan Aceh memerangi Portugis.

* Gambar dipinjam dari sini.

SEJATINYA GURU SEJATI

SEJATINYA GURU SEJATI

Guru Sejati, dan Sedulur Papat Lima Pancer

HAKEKAT GURU SEJATI
Kembali pada pembahasan Guru Sejati. Melalui 3 langkahnya (Triwikrama) Dewa Wishnu (Yang Hidup), mengarungi empat macam zaman (kertayuga, tirtayuga, kaliyuga, dwaparayuga), lalu lahirlah manusia dengan konstruksi terdiri dari fisik dan metafisik di dunia (zaman mercapada). Fisik berupa jasad atau raga, sedangkan metafisiknya adalah roh beserta unsur-unsur yang lebih rumit lagi. Ilmu Jawa melihat bahwa roh manusia  memiliki pamomong (pembimbing) yang disebut pancer atau guru sejati. Pamomong atau Guru Sejati berdiri sendiri menjadi pendamping dan pembimbing roh atau sukma. Roh atau sukma di siram “air suci” oleh guru sejati, sehingga sukma menjadi sukma sejati. Di sini tampak Guru sejati memiliki fungsi sebagai resources atau sumber “pelita”  kehidupan. Guru Sejati layak dipercaya sebagai “guru” karena ia bersifat teguh dan  memiliki hakekat “sifat-sifat” Tuhan (frekuensi kebaikan) yang abadi konsisten  tidak berubah-ubah (kang langgeng tan owah gingsir). Guru Sejati adalah proyeksi dari rahsa/rasa/sirr yang merupakan rahsa/sirr yang sumbernya adalah kehendak Tuhan; terminologi Jawa menyebutnya sebagai Rasa Sejati. Dengan kata lain rasa sejati sebagai proyeksi atas “rahsaning” Tuhan (sirrullah). Sehingga tak diragukan lagi bila peranan Guru Sejati akan “mewarnai” energi hidup atau roh menjadi energi suci (roh suci/ruhul kuddus). Roh kudus/roh al quds/sukma sejati, telah mendapat “petunjuk” Tuhan –dalam konteks ini hakikat rasa sejati– maka peranan roh tersebut tidak lain sebagai “utusan Tuhan”. Jiwa, hawa atau nafs yang telah diperkuat dengan sukma sejati atau dalam terminologi Arab disebut ruh al quds. Disebut juga sebagai an-nafs an-natiqah, dalam terminologi Arab juga disebut sebagai an-nafs al-muthmainah, adalah sebagai “penasihat spiritual” bagi jiwa/nafs/hawa. Jiwa perlu di dampingi oleh Guru Sejati karena ia dapat dikalahkan oleh nafsu yang berasal dari jasad/raga/organ tubuh  manusia. Jiwa yang ditundukkan oleh nafsu hanya akan merubah karakternya menjadi jahat.
Menurut  ngelmu Kejawen, ilmu seseorang dikatakan sudah mencapai puncaknya apabila sudah bisa menemui wujud Guru Sejati. Guru Sejati benar-benar bisa mewujud dalam bentuk “halus”,  wujudnya mirip dengan diri kita sendiri. Mungkin sebagian pembaca yang budiman ada yang secara sengaja atau tidak pernah menyaksikan,   berdialog, atau sekedar melihat diri sendiri tampak menjelma menjadi dua, seperti melihat cermin. Itulah Guru Sejati anda. Atau bagi yang dapat meraga sukma, maka akan melihat kembarannya yang mirip sukma atau badan halusnya sendiri. Wujud kembaran (berbeda dengan konsep sedulur kembar) itu lah entitas Guru Sejati. Karena Guru Sejati memiliki sifat hakekat Tuhan, maka segala nasehatnya akan tepat dan benar adanya. Tidak akan menyesatkan. Oleh sebab itu bagi yang dapat bertemu Guru Sejati, saran dan nasehatnya layak diikuti. Bagi yang belum bisa bertemu Guru Sejati, anda jangan pesimis, sebab Guru Sejati akan selalu mengirim pesan-pesan berupa sinyal dan getaran melalui Hati Nurani anda. Maka anda dapat mencermati suara hati nurani anda sendiri untuk memperoleh petunjuk penting bagi permasalahan yang anda hadapi.
Namun permasalahannya, jika kita kurang mengasah ketajaman batin, sulit untuk membedakan apakah yang kita rasakan merupakan kehendak hati nurani (kareping rahsa) ataukah kemauan hati atau hawa nafsu (rahsaning karep). Artinya, Guru Sejati menggerakkan suara hati nurani yang diidentifikasi pula sebagai kareping rahsa atau kehendak rasa (petunjuk Tuhan) sedangkan hawa nafsu tidak lain merupakan rahsaning karep atau rasanya keinginan.
Sarat utama kita bertemu dengan Guru Sejati kita adalah dengan laku prihatin; yakni selalu mengolah rahsa, mesu budi, maladihening, mengolah batin dengan cara membersihkan hati dari hawa nafsu, dan  menjaga kesucian jiwa dan raga. Sebab orang yang dapat bertemu langsung dengan Guru Sejati nya sendiri, hanyalah orang-orang yang terpilih dan pinilih.

SEDULUR; PAPAT KEBLAT, LIMA PANCER
Atau Keblat Papat,Lima Pancer, di lain sisi diartikan juga sebagai kesadaran mikrokosmos. Dalam diri manusia (inner world) sedulur papat sebagai perlambang empat unsur badan manusia yang mengiringi seseorang sejak dilahirkan di muka bumi.  Sebelum bayi lahir akan didahului oleh keluarnya air ketuban atau air kawah. Setelah bayi keluar dari rahim ibu, akan segera disusul oleh plasenta atau ari-ari. Sewaktu bayi lahir juga disertai keluarnya darah dan  daging. Maka sedulur papat terdiri dari unsur kawah sebagai kakak, ari-ari sebagai adik, dan darah-daging sebagai dulur kembarnya. Jika ke-empat unsur disatukan maka jadilah jasad, yang kemudian dihidupkan oleh roh sebagai unsur kelima yakni pancer. Konsepsi tersebut kemudian dihubungkan dengan hakekat doa; dalam pandangan Jawa doa merupakan niat atau kebulatan tekad yang harus melibatkan unsur semua unsur raga dan jiwa secara kompak. Maka untuk mengawali suatu pekerjaan disebut dibutuhkan sikap amateg aji (niat ingsun) atau artikulasi kemantaban niat dalam mengawali segala sesuatu kegiatan/rencana/usaha).  Itulah alasan mengapa dalam tradisi Jawa untuk mengawali suatu pekerjaan berat  maupun ringan diawali dengan mengucap; kakang kawah adi ari-ari, kadhangku kang lahir nunggal sedino lan kadhangku kang lahir nunggal sewengi, sedulurku papat kiblat, kelimo pancer…ewang-ewangono aku..saperlu ono gawe ….

MENGOLAH GURU SEJATI
Guru Sejati yakni rahsa sejati; meretas ke dalam sukma sejati, atau sukma suci, kira-kira sepadan dengan makna roh kudus (ruhul kudus/ruh al quds). Kita mendayagunakan Guru Sejati kita dengan cara mengarahkan kekuatan metafisik sedulur papat (dalam lingkup mikrokosmos)  untuk selalu waspada dan jangan sampai tunduk oleh hawa nafsu. Bersamaan menyatukan kekuatan mikrokosmos dengan kekuatan makrokosmos yakni papat keblat alam semesta yang berupa energi alam dari empat arah mata angin, lantas melebur ke dalam kekuatan pancer yang bersifat transenden (Tuhan Yang Mahakuasa). Setiap orang bisa bertemu Guru Sejatinya, dengan syarat kita dapat menguasai hawa nafsu negatif; nafsu lauwamah (nafsu serakah; makan, minum, kebutuhan ragawi), amarah (nafsu angkara murka), supiyah (mengejar kenikmatan duniawi) dan mengapai nafsu positif dalam sukma sejati (al mutmainah). Sehingga jasad dan nafs/hawa nafsu lah yang harus mengikuti kehendak sukma sejati untuk menyamakan frekuensinya dengan gelombang Yang Maha Suci. Sukma menjadi suci tatkala sukma kita sesuai dengan karakter dan sifat hakekat gelombang Dzat Yang Maha Suci, yang telah meretas ke dalam sifat hakekat Guru Sejati. Yakni sifat-sifat Sang Khaliq yang (minimal) meliputi 20 sifat. Peleburan ini dalam terminologi Jawa disebut manunggaling kawula-Gusti.

Tradisi Jawa mengajarkan tatacara membangun sukma sejati dengan cara ‘manunggaling kawula Gusti’ atau penyatuan/penyamaan sifat hakikat makhluk dengan Sang Pencipta (wahdatul wujud). Sebagaimana makna warangka manjing curiga; manusia masuk kedalam diri “Tuhan”, ibarat Arya Sena masuk kedalam tubuh Dewaruci. Atau sebaliknya, Tuhan menitis ke dalam diri manusia; curigo manjing warongko, laksana Dewa Wishnu menitis ke dalam diri Prabu Kreshna.
Sebagai upaya manunggaling kawula gusti, segenap upaya awal dapat dilakukan seperti melalui ritual mesu budi, maladihening, tarak brata, tapa brata, puja brata, bangun di dalam tidur, sembahyang di dalam bekerja. Tujuannya agar supaya mencapai tataran hakekat yakni dengan meninggalkan nafsul lauwamah, amarah, supiyah, dan menggapai nafsul mutmainah. Kejawen mengajarkan bahwa sepanjang hidup manusia hendaknya laksana berada dalam “bulan suci Ramadhan”. Artinya, semangat dan kegigihan melakukan kebaikan, membelenggu setan (hawa nafsu) hendaknya dilakukan sepanjang hidupnya, jangan hanya sebulan dalam setahun. Selesai puasa lantas lepas kendali lagi. Pencapaian hidup manusia pada tataran tarekat dan hakikat secara intensif akan mendapat hadiah berupa kesucian ilmu makrifat. Suatu saat nanti, jika Tuhan telah menetapkan kehendakNya, manusia dapat ‘menyelam’ ke dalam tataran tertinggi yakni makna kodratullah. Yakni substansi dari manunggaling kawula gusti sebagai ajaran paling mendasar dalam ilmu Kejawen khususnya dalam anasir ajaran Syeh Siti Jenar. Manunggling Kawula Gusti = bersatunya Dzat Pencipta ke dalam diri mahluk. Pancaran Dzat telah bersemayan menerangi ke dalam Guru Sejati, sukma sejati.

TANDA PENCAPAIAN SPIRITUALITAS TINGGI
Keberhasilan mengolah Guru Sejati, tatarannya akan dapat dicapai apabila kita sudah benar-benar ‘lepas’ dari basyor atau raga/tubuh. Yakni jiwa yang telah merdeka dari penjajahan jasad. Bukan berarti kita harus meninggalkan segala kegiatan dan aktivitas kehidupan duniawi, itu salah besar !! Sebaliknya, kehidupan duniawi menjadi modal atau bekal utama meraih kemuliaan baik di dunia maupun kelak setelah ajal tiba. Maka seluruh kegiatan dan aktivitas kehidupan duniawi sudah tidak dicemari oleh hawa nafsu. Kebaikan yang dilakukan tidak didasari “pamrih”; sekalipun dengan mengharap-harap iming-iming pahala-surga, atau takut ancaman dosa-neraka. Melainkan kesadaran makrokosmos dan mikrokosmos akan kodrat manusia sebagai makhluk Tuhan, hendaklah memposisikan diri bukan sebagai seteruNya, tetapi sebagai “sekutuNya”, sepadan dan merasuk ke dalam gelombang Ilahiah. Kesadaran spiritual bahwa kemuliaan hidup kita apabila kita dapat bermanfaat untuk kebaikan bagi sesama tanpa membeda-bedakan masalah sara. Orang yang memiliki kesadaran demikian, hakekat kehendaknya merupakan kehendak Tuhan. Apa yang dikatakan menjadi terwujud, setiap doa akan terkabul. Ucapannya diumpamakan “idu geni” (ludah api) yang diucapkan pasti terwujud. Kalimatnya menjadi “Sabda Pendita Ratu”, selalu menjadi kenyataan.
Selain itu, tataran tinggi pencapaian “ilmu batin/spiritual” dapat ditandai apabila kita dapat menjumpai wujud “diri” kita sendiri, yang tidak lain adalah Guru Sejati kita. Lebih dari itu, kita dapat berdialog dengan Guru Sejati untuk mendengarkan nasehat-nasehatnya, petuah dan petunjuknya. Guru sejati berperan sebagai “mursyid” yang tidak akan pernah  bicara omong kosong dan sesat, sebab Guru Sejati sejatinya adalah pancaran dari gelombang Yang Maha Suci. Di sana lah, kita sudah dekat dengan relung ’sastra jendra hayuning rat’ yakni ilmu linuwih, “ibu” dari dari segala macam ilmu,  karena mata (batin) kita akan melihat apa-apa yang menjadi rahasia alam semesta,  sekalipun tertutup oleh pandangan visual manusia maupun teknologi.
Tanda-tanda pencapaian itu antara lain, kadang seseorang diizinkan Tuhan untuk mengetahui apa yang akan terjadi di masa mendatang, melalui vision, mimpi, maupun getaran hati nurani. Semua itu dapat merupakan petunjuk Tuhan. Maka tidak aneh apabila di masa silam nenek moyang kita, para leluhur bumi nusantara yang memperoleh kawaskitan, kemudian menuangkannya dalam berbagai karya sastra kuno berupa; suluk, serat, dan jangka atau ramalan (prediksi). Jangka atau prediksi diterima oleh budaya Jawa sebagai anugerah besar dari Tuhan, terkadang dianggap sebagai peringatan Tuhan, agar supaya manusia dapat mengkoreksi diri, hati-hati, selalu eling-waspadha dan melakukan langkah antisipasi.

PENTINGKAH GURU SEJATI ?
Peran Guru Sejati sudah jelas saya paparkan di awal pembahasan ini. Namun demikian perlu kami kemukakan betapa pentingnya Guru Sejati dalam kehidupan kita yang penuh ranjau ini. Perahu kehidupan kita berlabuh dalam samudra kehidupan yang penuh dengan marabahaya. Kita harus selalu eling dan waspadha, sebab setiap saat kemungkinan terburuk dapat menimpa siapa saja yang lengah. Guru Sejati akan selalu memberi peringatan kepada kita akan marabahaya yang mengancam diri kita. Guru Sejati akan mengarahkan kita agar terhindar dari malapetaka, dan bagaimana jalan keluar harus ditempuh. Karena Guru Sejati merupakan entitas zat atau energi kebaikan dari pancaran cahaya Illahi, maka Guru Sejati memiliki kewaskitaan luarbiasa. Guru Sejati sangat cermat mengidentifikasi masalah, dan memiliki ketepatan tinggi dalam mengambil keputusan dan jalan keluar. Biasanya Guru Sejati “bekerja” secara preventif antisipatif, membimbing kita agar supaya tidak melangkah menuju kepada hal-hal yang akan berujung pada kesengsaraan, malapetaka, atau musibah.

ANASIR ASING
Konsep tentang guru sejati sebagaimana ajaran Jawa, dapat ditelusuri melalui konsep sedulur papat lima pancer, dalam konsep pewayangan yang makna dan hakikatnya dapat dipelajari sebagaimana tokoh dalam Pendawa Lima (lihat dalam tulisan Pusaka Kalimasadha). Namun demikian, dalam perjalanannya mengalami pasang surut dan proses dialektika dengan anasir asing yakni; Hindu, Budha, Arab. Leluhur bangsa kita memiliki karakter selalu positif thinking, toleransi tinggi, andap asor. Sehingga nenek moyang kita, para leluhur yang masih peduli dengan kearifan lokal, secara arif dan bijaksana mereka tampil sebagai penyelaras sekaligus cagar kebudayaan Jawa. Setelah Islam masuk ke Nusantara, ajaran Kejawen mendapat anasir Arab dan terjadi sinkretisme, sedulur papat keblat kemudian diartikan pula sebagai empat macam nafsu manusia yakni nafsu lauwamah (biologis), amarah (angkara murka), supiyah (kenikmatan/birahi/psikologis), dan mutmainah (kemurnian dan kejujuran). Sedangkan ke lima yakni pancer diwujudkan dalam dimensi nafsu mulhimah (sebagai pengendali utama atau tali suh atas keempat nafsu sebelumnya. Konvergensi antara Kejawen dengan tradisi Arab disusunlah klasifikasi sifat-sifat nafsu jasadiah di atas dengan diaplikasikan ke dalam lambang aslinya yakni tokoh wayang; 1. Lauwamah = Dosomuko, 2. Amarah = Kumbokarno, 3. Supiyah = Sarpo Kenoko, 4. Mutma’inah = Gunawan Wibisono.
Tulisan ini saya persembahkan kepada seluruh pembaca yang budiman sebagai penambah referensi dan informasi untuk generasi bangsa. Karena kita sadari sulitnya mendapatkan referensi sehingga seringkali dalam beberapa pembahasan maknanya menjadi salah kaprah. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat bagi siapapun, walau sedikit dan masih banyak kekurangan di sana-sini

Kisah Saridin


Saat era Wali Songo, di suatu daerah di pesisir utara pulau Jawa, tepatnya di daerah Pati, tersebutlah seorang pemuda desa yang lugu dan bersahaja, bernama Saridin.
Nama Saridin mungkin tidak begitu tenar secara nasional, tapi sudah melegenda secara regional. Region itu adalah wilayah Demak Kudus Pati Juwono Rembang, atau yang sering dilafadzkan sebagai Anak Wedus Mati Ketiban Pedang.
Saridin seorang sakti, namun lugunya tidak ketulungan, sehingga (seakan) tidak menyadari kesaktiannya.
Dia pernah membunuh kakak iparnya, karena sang kakak sering mencuri durian miliknya. Saat itu kakaknya menyamar menggunakan pakaian harimau, sehingga Saridin tidak mengenali. Dengan sekali tombak, matilah sang ipar.  Saat ditanya oleh petugas, Saridin mengaku tidak membunuh kakaknya, melainkan membunuh harimau yang mencuri duriannya. Meskipun jika pakaian harimau dibuka, Saridin tau bahwa itu kakak iparnya.
Kalo secara hukum, Saridin tidak bersalah, karena membela miliknya, dan tidak menyadari kalo harimau itu adalah kakaknya.  Namun demikian, Saridin tetap harus dipenjara.
Untuk memasukkan ke penjara bukan hal mudah, karena Saridin ngotot tidak bersalah. Akhirnya Adipati Jayakusuma, pemimpin pengadilan, menggunakan kalimat lain, bahwa Saridin tidak dipenjara, melainkan diberi hadiah sebuah rumah besar, diberi banyak penjaga, makan disediakan, mandi diantarkan. Akhirnya Saridin bersedia.
Sebelum dipenjara, Saridin bertanya apakah boleh pulang kalo kangen anak dan istrinya. Petugas menjawab: “boleh, asal bisa” .  Dan terbukti beberapa kali Saridin bisa pulang, keluar dari penjara di malam hari dan kembali lagi esok harinya.
Karena Adipati jengkel, Saridin dikenai hukuman gantung. Tapi saat digantung para petugas tidak mampu menarik talinya karena terlalu berat. Saridin menawarkan ikut membantu, dijawab oleh Adipati: “boleh, asal bisa”. Dan karena ijin itu Saridin lepas dari talinya, lalu ikut menarik tali gantungan.
Adipati semakin murka, dan menyuruh membunuh Saridin saat itu juga. Sebuah tindakan putus asa seorang penguasa.
Saridin melarikan diri sampai ke Kudus, yang lalu berguru pada Sunan Kudus. Di sini Saridin tidak berhenti menunjukkan kesaktiannya, malah semakin menonjol.
Saat disuruh bersyahadat oleh Sunan Kudus, para santri lain memandang remeh pada Saridin, apa mungkin Saridin bisa mengucapkannya dengan benar.
Tapi yang terjadi sungguh di luar dugaan semua orang. Saridin justru lari, memanjat pohon kelapa yang sangat tinggi, dan tanpa ragu terjun dari atasnya. Sampai di tanah, dia tidak apa-apa. Semua pada heran pada apa yang terjadi.
Sunan Kudus menjelaskan, bahwa Saridin bukan cuma mengucapkan syahadat, tapi seluruh dirinya bersyahadat, menyerahkan seluruh keselamatan dirinya pada kekuasaan tertinggi. Kalo sekedar mengucapkan kalimat syahadat, anak kecil juga bisa.
Namun Saridin masih tetap dilecehkan oleh para santri. Saat ada kegiatan mengisi bak air untuk wudlu, Saridin bukannya diberi ember, malah diberi keranjang. Tapi dengan keranjang itu pula Saridin bisa mengisi penuh bak air.
Saat Saridin mengatakan bahwa semua air ada ikannya, tidak ada yang percaya. Akhirnya dibuktikan, mulai dari comberan, air kendi sampai air kelapa, ketika semua ditunjukkan di depan Saridin, semua ada ikannya.  Akhirnya Saridin diusir oleh Sunan Kudus, harus keluar dari tanah Kudus.
Singkat cerita, Saridin yang ternyata murid dari Sunan Kalijaga ini bertemu lagi dengan gurunya. Saridin diperintahkan untuk bertapa di lautan, dengan hanya dibekali 2 buah kelapa sebagai pelampung. Tidak boleh makan kalo tidak ada makanan yang datang, dan tidak boleh minum kalo tidak ada air yang turun.  Pada akhirnya, Saridin dikenal sebagai Syeh Jangkung, yang tinggal di desa Landoh, Kayen, Pati.
Makam Saridin / Syeh Jangkung
  • Objek Wisata : Makam Saridin atau terkenal dengan nama Syeh Jangkung konon merupakan salah seorang murid Sunan Kalijaga (Wali Songo).
  • Makam tersebut terletak di Desa Landoh, Kecamatan Kayen.
  • Jarak dari kota Pati kira-kira 17 Km kearah selatan menuju Kabupaten Grobogan.
  • Makam ini banyak dikunjungi orang setiap hari Jum’at Kliwon dan Jum’at Legi.
  • Upacara khol dilaksanakan setiap 1 tahun sekali yaitu pada bulan Rajab tanggal 14-15 dalam rangka penggantian kelambu makam.

Syeh Jangkung, Mengungkap Sosok Saridin



Syeh Jangkung ketika Kecil Sangat Nakal
SIAPA sebenarnya Saridin itu? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, warga Pati dan sekitarnya mungkin bisa membaca buku Babad Tanah Jawa yang hidup sekitar awal abad ke-16. Sebab, menurut cerita tutur tinular yang hingga sekarang masih diyakini kebenarannya oleh masyarakat setempat, dia disebut-sebut putra salah seorang Wali Sanga, yaitu Sunan Muria dari istri bernama Dewi Samaran.

Siapa wanita itu dan mengapa seorang bayi laki-laki bernama Saridin harus dilarung ke kali? Konon cerita tutur tinular itulah yang akhirnya menjadi pakem dan diangkat dalam cerita terpopuler grup ketoprak di Pati, Sri Kencono. Cerita babad itu menyebutkan, bayi tersebut memang bukan darah daging Sang Sunan dengan istrinya, Dewi Samaran.
Terlepas sejauh mana kebenaran cerita itu, dalam waktu perjalanan cukup panjang muncul tokoh Branjung di Desa Miyono yang menyelamatkan dan merawat bayi Saridin hingga beranjak dewasa dan mengakuinya sebagai saudaranya. Cerita pun merebak. Ketika masa mudanya, Saridin memang suka hidup mblayang (berpetualang) sampai bertemu dengan Syeh Malaya yang dia akui sebagai guru sejati.
Syeh Malaya itu tak lain adalah Sunan Kalijaga. Kembali ke Miyono, Saridin disebutkan telah menikah dengan seorang wanita yang hingga sekarang masyarakat lebih mengenal sebutan ”Mbokne (ibunya) Momok” dan dari hasil perkawinan tersebut lahir seorang anak laki-laki yang diberi nama Momok.
Sampai pada suatu ketika antara Saridin dan Branjung harus bagi waris atas satu-satunya pohon durian yang tumbuh dan sedang berbuah lebat. Bagi waris tersebut menghasilkan kesepakatan, Saridin berhak mendapatkan buah durian yang jatuh pada malam hari, dan Branjung dapat buah durian yang jatuh pada siang hari.
Kiasan
Semua itu jika dicermati hanyalah sebuah kiasan karena cerita tutur tinular itu pun melebar pada satu muara tentang ketidakjujuran Branjung terhadap ibunya Momok. Sebab, pada suatu malam Saridin memergoki sosok bayangan seekor macan sedang makan durian yang jatuh.
Dengan sigap, sosok bayangan itu berhasil dilumpuhkan menggunakan tombak. Akan tetapi, setelah tubuh binatang buas itu tergolek dalam keadaan tak bernyawa, berubah wujud menjadi sosok tubuh seseorang yang tak lain adalah Branjung.
Untuk menghindari cerita tutur tinular agar tidak vulgar, yang disebut pohon durian satu batang atau duren sauwit yang menjadi nama salah satu desa di Kecamatan Kayen, Durensawit, sebenarnya adalah ibunya Momok, tetapi oleh Branjung justru dijahili.
Terbunuhnya Branjung membuat Saridin berurusan dengan penguasa Kadipaten Pati. Adipati Pati waktu itu adalah Wasis Joyo Kusumo yang harus memberlakukan penegakan hukum dengan keputusan menghukum Saridin karena dinyatakan terbukti bersalah telah membunuh Branjung.
Meskipun dalam pembelaan Saridin berulang kali menegaskan, yang dibunuh bukan seorang manusia tetapi seekor macan, fakta yang terungkap membuktikan bahwa yang meninggal adalah Branjung akibat ditombak Saridin.
Untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, dia harus menjalani hukuman yang telah diputuskan oleh penguasa Pati.
Pulang
Sebagai murid Sunan Kalijaga yang tentu mempunyai kelebihan dan didorong rasa tak bersalah, kepada penguasa Pati dia menyatakan telah punya istri dan anak. Karena itu, dia ingin pulang untuk menengok mereka.

Ulahnya Menjengkelkan Sunan Kalijaga
ONTRAN – ontran Saridin di perguruan Kudus tidak hanya menjengkelkan para santri yang merasa diri senior, tetapi juga merepotkan Sunan Kudus. Sebagai murid baru dalam bidang agama, orang Miyono itu lebih pintar ketimbang para santri lain.

Belum lagi soal kemampuan dalam ilmu kasepuhan. Hal itu membuat dia harus menghadapi persoalan tersendiri di perguruan tersebut. Dan itulah dia tunjukkan ketika beradu argumentasi dengan sang guru soal air dan ikan.
Untuk menguji kewaskitaan Saridin, Sunan Kudus bertanya, “Apakah setiap air pasti ada ikannya?” Saridin dengan ringan menjawab, “Ada, Kanjeng Sunan.”
Mendengar jawaban itu, sang guru memerintah seorang murid memetik buah kelapa dari pohon di halaman. Buah kelapa itu dipecah. Ternyata kebenaran jawaban Saridin terbukti. Dalam buah kelapa itu memang ada sejumlah ikan. Karena itulah Sunan Kudus atau Djafar Sodiq sebagai guru tersenyum simpul.
Akan tetapi murid lain menganggap Saridin lancang dan pamer kepintaran. Karena itu lain hari, ketika bertugas mengisi bak mandi dan tempat wudu, para santri mengerjai dia. Para santri mempergunakan semua ember untuk mengambil air.
Saridin tidak enak hati. Karena ketika para santri yang mendapat giliran mengisi bak air, termasuk dia, sibuk bertugas, dia menganggur karena tak kebagian ember. Dia meminjam ember kepada seorang santri.
Namun apa jawab santri itu? ”Kalau mau bekerja, itu kan ada keranjang.” Dasar Saridin. Keranjang itu dia ambil untuk mengangkut air. Dalam waktu sekejap bak mandi dan tempat wudu itu penuh air. Santri lain pun hanya bengong.
Dalam WC
Cerita soal kejadian itu dalam sekejap sudah diterima Sunan Kudus. Demi menjaga kewibawaan dan keberlangsungan belajar para santri, sang guru menganggap dia salah. Dia pun sepantasnya dihukum.
Sunan Kudus pun meminta Saridin meninggalkan perguruan Kudus dan tak boleh lagi menginjakkan kaki di bumi Kudus. Vonis itu membuat Saridin kembali berulah. Dia unjuk kebolehan.
Tak tanggung-tanggung, dia masuk ke lubang WC dan berdiam diri di atas tumpukan ninja. Pagi-pagi ketika ada seorang wanita di lingkungan perguruan buang hajat, Saridin berulah. Dia memainkan bunga kantil, yang dia bawa masuk ke lubang WC, ke bagian paling pribadi wanita itu.
Karena terkejut, perempuan itu menjerit. Jeritan itu hingga menggegerkan perguruan. Setelah sumber permasalahan dicari, ternyata itu ulah Saridin. Begitu keluar dari lubang WC, dia dikeroyok para santri yang tak menyukainya. Dia berupaya menyelamatkan diri. Namun para santri menguber ke mana pun dia bersembunyi.
Lagi-lagi dia menjadi buronan. Selagi berkeluh kesah, menyesali diri, dia bertemu kembali dengan sang guru sejati, Syekh Malaya.
Sang guru menyatakan Saridin terlalu jumawa dan pamer kelebihan. Untuk menebus kesalahan dan membersihkan diri dari sifat itu, dia harus bertapa mengambang atau mengapung) di Laut Jawa.
Padahal, dia tak bisa berenang. Syekh Malaya pun berlaku bijak. Dua buah kelapa dia ikat sebagai alat bantu untuk menopang tubuh Saridin agar tak tenggelam.
Dalam cerita tutur-tinular disebutkan, setelah berhari-hari bertapa di laut dan hanyut terbawa ombak akhirnya dia terdampar di Palembang. Cerita tidak berhenti di situ. Karena, dalam petualangan berikutnya, Saridin disebut-sebut sampai ke Timur Tengah.

Lulang Kebo Landoh Tak Tembus Senjata
ATAS jasanya menumpas agul-agul siluman Alas Roban, Saridin mendapat hadiah dari penguasa Mataram, Sultan Agung, untuk mempersunting kakak perempuannya, Retno Jinoli.

Akan tetapi, wanita itu menyandang derita sebagai bahu lawean. Maksudnya, lelaki yang menjadikannya sebagai istri setelah berhubungan badan pasti meninggal.
Dia harus berhadapan dengan siluman ular Alas Roban yang merasuk ke dalam diri Retno Jinoli. Wanita trah Keraton Mataram itu resmi menjadi istri sah Saridin dan diboyong ke Miyono berkumpul dengan ibunya, Momok.
Saridin membuka perguruan di Miyono yang dalam waktu relatif singkat tersebar luas sampai di Kudus dan sekitarnya. Kendati demikian, Saridin bersama anak lelakinya, Momok, beserta murid-muridnya, tetap bercocok tanam.
Sebagai tenaga bantu untuk membajak sawah, Momok minta dibelikan seekor kerbau milik seorang warga Dukuh Landoh. Meski kerbau itu boleh dibilang tidak lagi muda umurnya, tenaganya sangat diperlukan sehingga hampir tak pernah berhenti dipekerjakan di sawah.
Mungkin karena terlalu diforsir tenaganya, suatu hari kerbau itu jatuh tersungkur dan orang-orang yang melihatnya menganggap hewan piaraan itu sudah mati. Namun saat dirawat Saridin, kerbau itu bugar kembali seperti sedia kala.
Membagi
Dalam peristiwa tersebut, masalah bangkit dan tegarnya kembali kerbau Landoh yang sudah mati itu konon karena Saridin telah memberikan sebagian umurnya kepada binatang tersebut. Dengan demikian, bila suatu saat Saridin yang bergelar Syeh Jangkung meninggal, kerbau itu juga mati.
Hingga usia Saridin uzur, kerbau itu masih tetap kuat untuk membajak di sawah. Ketika Syeh Jangkung dipanggil menghadap Yang Kuasa, kerbau tersebut harus disembelih. Yang aneh, meski sudah dapat dirobohkan dan pisau tajam digunakan menggorok lehernya, ternyata tidak mempan.
Bahkan, kerbau itu bisa kembali berdiri. Kejadian aneh itu membuat Momok memberikan senjata peninggalan Branjung. Dengan senjata itu, leher kerbau itu bisa dipotong, kemudian dagingnya diberikan kepada para pelayat.
Kebiasan membagi-bagi daging kerbau kepada para pelayat untuk daerah Pati selatan, termasuk Kayen, dan sekitarnya hingga 1970 memang masih terjadi. Lama-kelamaan kebiasaan keluarga orang yang meninggal dengan menyembelih kerbau hilang.
Kembali ke kerbau Landoh yang telah disembelih saat Syeh Jangkung meninggal. Lulang (kulit) binatang itu dibagi-bagikan pula kepada warga. Entah siapa yang mulai meyakini, kulit kerbau itu tidak dimasak tapi disimpan sebagai piandel.
Barangsiapa memiliki lulang kerbau Landoh, konon orang tersebut tidak mempan dibacok senjata tajam. Jika kulit kerbau itu masih lengkap dengan bulunya. Keyakinan itu barangkali timbul bermula ketika kerbau Landoh disembelih, ternyata tidak bisa putus lehernya.

Rabu, 20 Maret 2013

Wawasan Hidup Jawa dalam Tembang Macapat

Oleh Suwardi

A. Pendahuluan

Sekalipun ada yang bergurnam; apalah arti sebuah nama, namun jika berhadapan dengan nama tembang macapat (selanjutnya disingkat TM) kita akan tergoda. Coba saja, jika berhadapan dengan TM: Mijil, mungkinkah ini ditafsirkan ke arah kelahiran manusia, karena mijil berarti 'lahir'. Semula, boleh jadi nama TM itu diciptakan oleh para wali dan atau oleh orang Jawa yang hebat. Orang Jawa yang berkharisma serta memiliki pemikiran mendalam terhadap kehidupan. Maka bukan mustahil jika dibalik nama TM termuat wawasan hidup. Setidaknya wawasan hidup orang Jawa yang didasarkan pengalaman hidup mereka yang panjang.

Perlu diketahui, jika wawasan berarti cara pandang dan atau pandangan (KBBI,1989:1010), maka wawasan hidup Jawa sesungguhnya juga identik dengan pandangan hidup Jawa. Pandangan hidup Jawa mengenal tiga segi, yaitu metafisika, epistemologi, dan aksiologi (Ciptoprawiro, 1986: 22-26). Metafisika adalah wawasan ontologi yang mencoba berpikir mencari 'ada' tentang Tuhan, manusia, alam semesta. Epistemologi, yaitu wawasan tentang bagaimana proses kehidupan. Aksiologi adalah wawasan nilai kehidupan.

Seiring dengan pendapat tersebut Sujamto (1992:55) menjelaskan bahwa wawasan metafisika Jawa, di antaranya dapat ditinjau secara filogenistis (proses evolusi). Wawasan ini terkait dengan hakikat hidup manusia. Hidup itu 'bergerak' dan berevolusi dari 'awal' sampai 'akhir'. Proses ini oleh Sastroamidjojo (1973:69) disebut 'perjalanan hidup'. Persoalannya sekarang, apakah nama TM akan melukiskan wawasan hidup demikian. Terlebih lagi, sekarang telah banyak variasi nama TM, mungkinkah hal ini juga memuat wawasan hidup yang bermakna

B. Aspek Historis, Makna, dan Jenis Tembang Macapat



Secara historis, Sastrosupadmo (1974: 15) menginformasikan bahwa TM telah ada sejak zaman Majapahit. Peryataan ini sebenamya masih perlu dipertajam lagi, karena pada zaman Majapahit ada sebagian cendekiawan yang berpendapat bahwa saat itu yang lebih berkembang adalah kidung. Akan tetapi memang bukan mustahil jika, TM itu ada sejak 1500 SM, ketika masyarakat Jawa masih berpaham animisme dan dinamisme. Bahkan boleh jadi TM merupakan kelanjutan dari bentuk kidung, sehingga pada gilirannya muncul sastra suluk yang bermetrum macapat (Jumiran, 1996: 15).

Sedangkan Poerbatjaraka (Widayati, 1993:1) berpendapat munculnya kidung bersamaan TM. Lebih lanjut Poerbatjaraka (Suharjendra, 1996:1) menyatakan bahwa TM muncul sejak zaman kerajaan Demak, kemudian berkembang ke Pajang, Mataram, Surakarta, dan Yogyakarta. Pujangga terakhir yang menggunakan TM adalah R.Ng Ranggawarsita.

Salam (1960:2) menyatakan bahwa TM Asmaradana dan Pucung adalah ciptaan Sunan Gunung Jati. Sedangkan TM Sinom dan Kinanthi ialah ciptaan Sunan Muria. Hal ini sejalan dengan asumsi Hasyim (1974: 34-35), namun ia menambahkan bahwa TM Mijil diciptakan oleh Sunan Kudus, Dhandhanggula oleh Sunan Kalijaga, Durma oleh Sunan Bonang, Maskumambang oleh Sunan Kudus, Pangkur oleh Drajat, sedangkan Gambuh dan Megatruh tidak dijelaskan. Sedangkan Poedjasoebroto (1978:194-207) menjelaskan Pocung dan Mijil ciptaan Sunan Gunung Jati, Megatruh, Gambuh, clan Kinanthi ciptaan Sunan Giri. Maskumambang ciptaan Sunan Majagung. Persamaannya terletak pada Asmaradana, Durma, dan Dhandhanggula.

Kendatipun ada sedikit perbedaan, kedua pendapat tersebut akan mengarahkan perhatian cendekiawan Jawa untuk berkesimpulan sementara bahwa TM memang ciptaan para Wali yang besar perhatiannya terhadap seni Jawa. Sejak itu para Wali Sanga, mulai berkiprah menyebarkan agama Islam.

Hal demikian memang sulit dipungkiri, sebab makna kata "macapat" semula adalah berkumpul dengan menyuarakan puji-pujian. Makna ini berasal dari jarwa dhosok, macapat, yaitu dari kata ma (menuju) dan capet (maya atau ghaib). Artinya, puji-pujian kepada yang ghaib, yaitu Tuhan.

Makna demikian juga relevan dengan situasi masyarakat Jawa ketika belum masuk agama Islam. Sedangkan pada saat agama Islam telah berkembang, bukan hal yang aneh jika puji-pujian itu diwujudkan pada TM yang berisi rohani, yaitu sastra suluk (Jumiran, 1996: 3). Kendatipun demikian, memang sulit ditentukan, mungkinkah sastra suluk sebagai tonggak kelahiran TM.

Makna macapat memang mengalami pergeseran. Hardjowijono (1994: 3) menafsirkan macapat berkaitan dengan cara membaca (melagukan) empat-empat, yaitu perhentian nafas pada empat suku kata-empat suku kata. Dalam hal ini macapat yang membaca empat-empat itu harus diwaca cepet, ada perubahan kata pat menjadi pet (cepet). Cepat yang dimaksud, seperti diterangkan Suharjendra (1960: 19) yaitu tidak banyak luk. 

Penafsiran demikian juga beralasan karena dalam TM diikat oleh berbagai aturan ketat, seperti guru lagu, guru gatra dan guru wilangan (Prabowo, 1992:66-67). Dengan aturan yang ketat ini justru membuat TM semakin digemari orang Jawa, yakni tingkeban, kelahiran, dan Ultah. 

Pada perkembangan selanjutnya TM tidak saja digunakan untuk mengungkapkan sastra Jawa tradisional (Laginem, 1992: 159), melainkan menurut Darmoatmodjo (1974, Jaya Baya 12 Nopember) juga dipakai lomba, dengan mengutamakan vokal (cara membaca). Kenyataan ini yang mendukung TM memiliki kedudukan tersendiri dalam masyarakat Jawa (Darusuprapto, 1983: 15). Eksistensi demikian dimungkinkan yang membuat TM sampai sekarang masih hidup (Prabowo, 1993: 29).

Menurut Serat Rama hanya dijelaskan sebagian saja dari nama TM, yakni: "doek semana doeroeng ana Midjil, Pangkoer miwah Sinom, Dhandhanggoela Doerma Ian Kalanthe, Gambuh Megatroeh Maesa-langit, doeroeng ana lahir, kabeh tembang kidung" (Jasadipura, XXV: Mijil114).

Jenis TM yang berurat berakar dalam masyarakat Jawa bervariasi. Arintoko (1982:1) dan (1983:1) menyatakan hanya ada 9 jenis yang baku, sedangkan 6 lainnya tidak baku. Pendapat ini disetujui pula oleh Josodipura (DL, 1990:Nop) dan Sujarwi (197: 3). Mungkinkah bilangan 9 itu juga terkait dengan penciptanya, yaitu Wali sanga ? Bagaimana pula dengan pendapat Prawiradisastra (1993:1-23) yang memaparkan 15 jenis TM. Mungkinkah semua jenis itu memuat wawasan hidup Jawa.

C. TM sebagai Wawasan Berdakwah



Nama-nama TM, menurut Poedjasoebroto (1978:194-207) berkaitan dengan wawasan hidup yakni tentang dakwah. Hal ini dapat ditelusur dari arti kata tembang yaitu seperti halnya karangan bunga. Di antara karakteristik bunga adalah berbau harum. Oleh sebab itu para wali menyarankan agar dakwah Islam dilakukakan seperti menaburkan bunga yang harum, yang menyenangkan, menggembirakan dan enak didengar. Sebaiknya dihindarkan dakwah secara polos, kasar, dan disertai memaki-maki, dan menyindir-nyindir sampai melukai hati.

Macapat berasal dari kata "mancapat" = man + ca + pat, ini jarwodhosok (otak-atik) dari kata iman + panca + pathokan. Dari "otakatik" ini tersirat bahwa dalam dakwah permulaan yang harus diperhatikan adalah Rukun Iman, Rukun Islam, yang lima (panca) sebagai pedoman (patokan). Secara rinci, nama-nama TM memberikan wawasan hidup berdakwah sebagai berikut:

Mijll berarti "keluar". Kata "keluar" terkandung faktor-faktor waktu, tempat dan keadaan, maka dalam memberikan dakwah Islam harus mengingat faktor :

(a) waktu yang sesuai, misalnya jangan sampai menerjang pendek atau jangan menggunakan waktu yang sangat diperlukan sendiri oleh yang bersangkutan atau pada waktu ada kejadian yang tidak sesuai atau yang dirasa kurang pada tempatnya,

(b) tempat yang berarti "empan-papan" dimana dakwah itu sedang dilaksanakan perlu memilih tempat yang cukup untuk menampung pendengar dan bebas gangguan,

(c) keadaan orang yang menerima dakwah, umumya, tingkat pengetahuannya, golongannya dan sebagainya. Dalam hal ini bahannya harus sesuai jangan "meloncat jauh" dari pengetahuan mereka.

Konon, Mijll diciptakan oleh Sunan Gunung Jati di Cirebon. Mijil artinya keluar, yang mengandung makna, jika bicara jangan asal "mijil" saja atau asal bicara saja. Orang yang bertugas dakwah harus sanggup, sedia berani keluar dan mengeluarkan apa yang diperlukan.

Pangkur yang berasal dari nyimpang + mungkur, artinya dakwah jangan sekali-kali menyimpang dan meninggalkan isi Qur'an dan Hadits, namun simpangilah serta tinggalkanlah kejahatan. Pangkur diciptakan Sunan Muria yang teguh sekali dalam memegang dan melaksanakan ajaran Islam menurut Qur'an dan Hadits.

Kinanthi yang berasal dari kata kanthi diberi sisipan in, menjadi "kinanthi", artinya dikanthi, digandheng atau disertai/ditemani. Maksudnya, bagi orang-orang yang masih "buta" dari petunjuk Allah harus ditemani untuk dituntun menuju kepada hidup beragama. Dalam dakwah hendaknya berusaha mengadakan teman baru, tidak bermusuhan; dan sebaiknya agar didekati dengan dasar hati. Kinanthi diciptakan oleh Sunan Giri. Ia wali yang sangat terkenal di kalangan Rakyat karena sifat-sifatnya yang sesuai untuk mendekati rakyat yaitu bijaksana, ramah dan berbudi halus.

Dhandhanggula yang berasal dari dhandhang dan gula berarti pengharapan akan yang manis. Dakwah yang diberikan secara enak dan menyenangkan akan membawakan harapan untuk menuju kebahagiaan. Dhandhanggula ciptaan Sunan Kalijaga.

Sinom, berarti daun muda (pupus) pohon asam atau rambut halus di atas dahi wanita, yang mengandung arti bahwa dakwah yang menggembirakan akan meresapkan rasa Agama, yang merupakan hiasan bagi hidup manusia dan menjadikan manusia yang penuh harapan (optimis) dan tampak awet muda, karena bersih lahir batin. Sinom ciptaan Sunan Giri.

Asmaradana berasal dari kata asmara + dana berarti cinta + memberi = senang memberi. Dakwah yang berhasil akan dapat menjadikan manusia yang suka memberi atau suka mengeluarkan infak, derma zakat fitrah, penerangan, suka menolong sesama manusia, karena Allah, ikhlas, tanpa rasa takabur. Asmaradana disusun oleh Sunan Giri.

Megatruh berasal dari kata megat - ruh, berarti memisahkan Rokh atau pemikiran yang tidak baik atau menahan hawa nafsu. Ajaran Islam pada pokoknya membawakan keimanan untuk menjalankan ibadah dengan menjauhkan hawa nafsu, berbuat baik dengan mentaati perintah Allah clan menjauhi kejahatan serta menghindari larangan Allah dan menjauhi Ajaran iblis. Megatruh eiptaan Sunan Giri.

Durma berasal dari kata: dur + ma, artinya mundur dari M-5 yaitu: (a) Madon (berzina), (b) Minum (minuman keras) , (c) Madat (menghisap obat yang memabukkan), (d) Main (berjudi), (e) Maling (Mencuri). Durma ciptaan Sunan Bonang, dari sini bisa ditafsirkan bahwa menjauhi M-5 itu menuju kemenangan (baboning kemenangan =Bonang)

Maskumambang berarti emas yang terapung, maknanya karena ajaran Islam itu indah dan baik-baik betul, sekalipun berat, asal ada jiwa mengabdi kepada Allah (ibadat), maka semua itu menjadi ringan. Maskumambang ciptaan Sunan Maja Agung.

Pocung berarti : mati (dipocong = dibungkus mori putih, luar dan dalam suci), atau puncak (sudah yang tertinggi, sudah habis) atau sempurna. Maknanya ajaran Islam menuju pada kesempurnaan hidup di dunia dan akhirat, kesempurnaan dalam arti kebahagiaan. Pocung karangan Sunan Gunung Jati.

Bertolak dari pembahasan tersebut, dapat diketengahkan bahwa TM menggambarkan wawasan hidup epistemologi, yaitu bagaimana manusia mencari pengetahuan tentang Tuhan. Pengetahuan ini diwujudkan melalui metode dakwah yang mendasarkan pada TM. Proses ini yang dikenal dengan pendekatan diri kepada Tuhan agar manusia menjadi sempurna.

Hal demikian memang dapat dipahami, karena pada awalnya wali sanga dalam menanamkan ajaran justru dapat manjing ajur-ajer dengan masyarakatnya. Mereka berusaha mendalami TM (seni). Kenyataan ini merupakan gambaran pula bahwa TM berkaitan pula dengan falsafah nilai khususnya wawasan estetika.

D. TM Sebagai Wawasan Perjalanan Hidup

Nama-nama TM menurut Supadjar (1996:5) seeara keseluruhan juga menggambarkan tahap-tahap perjalanan hidup manusia. Mijil (keluar/lahir), Sinom (masa muda), Maskumambang (penuh purba diri), Asmaradana (dana asmara), Dhandhanggula (mendendangkan kemanisan iman/hidup "Hamemayu hayuningrat), Durma (mundur, mulai mengundurkan diri), Pangkur (mungkur/ meninggalkan hal-hal keduniawian), Gambuh (faham, tahu benar), Pocung (dipocong), dan yang terpenting Megatruh (memisah ruh/OB "Out of Body"), dan Kinanthi (amalan apa yang akan dibawa).

Penafsiran yang mendasarkan othak-athik mathuk tersebut agak berbeda dengan pendapat Guritno (1995:34), yakni: Mijil(awal kelahiran manusia), Maskumambang (anak kecil biasanya tak berdaya seperti "kemambang" sehingga butuh pertolongan, Kinanthi (anak tadi hanya menurut kehendak ayah-ibu), Sinom (usia muda mulai berkembang iman dan ilmunya), Asmaradana (mulai tertarik kepada lawan jenis), Durma (kemauan keras untuk bersenggama), Dhandhanggula (mulai menanamkan benih kasih), Gambuh (bersetubuh seperti halnya curiga manjing rangka rangka manjing curiga, nikmat betul), Pangkur (mulai menyingkirkan hawa napsu), Megatruh (perpisahan jiwa dan raga, mati), dan Pocung (telah dibungkus kain kafan putih).

Wawasan hidup TM tersebut belum menggambarkan variasi TM yang ada sekarang. Padahal telah ada berbagai variasi jenis TM. ltulah sebabnya, bagian ini akan membicarakan wawasan hidup dalam TM menurut macam-macamnya, yaitu:

Mijil, terdiri atas :

(a) Mijil Kingkin, yaitu awal mula laki-Iaki mulai tergoda, memperhatikan, tertarik, jatuh cinta (kasmaran) pada wanita (atau sebaliknya) kekasihnya,

(b) Mijil Wedharingtyas mengeluarkan/menumpahkan 'isi hati' untuk hidup bersama,

(c) Mijil Raramanglong, wanita yang telah hidup bersama akan menyerahkan segalanya untuk suami,

(d) Mijil Sekarsih, jika telah 'seia-sekata', pasangan suami isteri akan menanamkan benih kasih (memadu kasih) yang pada akhirnya akan melahirkan anak. Inilah awal kelahiran yang dinamakan hidup.

Sinom, yaitu usia anak tadi masih kecil (muda). Muda berarti masih bodoh, sehingga ada :

(a) Sinom Ginonjing, usia anak yang mudah goyah, rasa, karsa dan pikiran belum stabil,

(b) Sinom Kentar, oleh karena mudah goyah, anak dapat kentar (keli) atau mudah terbawa arus. Dan mudah terpengaruh karena masih senang rubuh-rubuh gedhang,  

(c) Sinom Grandhel, kata grandhel berarti bergantung, anak yang mudah terombang ambing tersebut membutuhkan 'gantungan', mereka masih bergantung pada orang tua dan membutuhkan tauladan,

(d) Sinom Pangrawit, rawit artinya halus dan indah, maka saat ini anak mulai berkembang rasanya. Ia mulai berhias/bersolek diri.

Asmaradana, yaitu usia anak remaja. Remaja ini telah memperhatikan lawan jenis, maka ada:

(a) Asmaradana Bawaraga (sedih), ia mulai berkembang hatinya sering susah, karena itu ada

(b) Asmaradana Panglipur, yaitu senang mencari hiburan untuk melampiaskan asmaranya, pada saat ini pula sampai :

(c) Asmaradana Kedhaton, yakni merasakan/berangan-angan ingin hidup yang indah, enak. Itulah sebabnya, masa ini merupakan

(d) Asmaradana Slobog (lubang), pintu awal memasuki/peralihan ke masa dewasa. Masa untuk masuk ke jenjang perkawinan.

Kinanthi, adalah usia seseorang menginjak masa masa dewasa (baliq). Ia telah berkewajiban mencari bekal (amal) yang akan "dikanthi" menuju akherat kelak. Kinanthi juga berarti usia memasuki jenjang perkawinan. Saat yang tepat untuk penentuan jodoh (kekasih yang akan "dikanthi" menuju hidup. Dalam penentuan jodoh, seseorang sampai pada :

(a) Kinanthi Mangu, ragu-ragu atau hati-hati dalam memilih. Jika telah mantap, ia akan mendapatkan

(b) Kinanthi Sekargadhing, artinya bunga kuning (kekasih) yang menjadi dambaan, kekasih tersebut hendaknya seperti

(c) Kinanthi Kaselir, yaitu silir berati seimbang dalan hal cinta, jika hal ini tercapai kedua paduan kekasih bisa memasuki

(d) Kinanthi Pantiasri, yaitu pelaminan dan tempat yang begitu indah dan suci, untuk melaksanakan niat mencapai 'rasa sejati' pun perlu memperhatikan aspek waktu yang menurut konteks Jawa setelah

(e) Kinanthi Sirep Lare yaitu waktu malam.

Dhandanggula, adalah masa jaya-jayanya seseorang. Ia benar-benar (jika berhasil) akan merasakan manisnya (nikmat) hidup. Pada saat telah hidup berumah tangga, pasangan itu akan

(a) Dhandanggula Padhasih, saling memadu kasih untuk mendapatkan keturunan, untuk hal ini diperlukan

(b) Dhandhanggula Banjet (bujukan), yaitu rayuan yang memikat, jika ini berhasil, pasangan itu akan mendapatkan 'ultimate feeling' (rasa sejati) yaitu

(c) Dhandhanggula Kanyut, seperti orang yang hanyut dalam impian indah, ini terlaksana akan mendapat

(d) Dhandhanggula Majasih, yaitu buah dari 'asih' (anak) ia akan segera

(e) Dhandhanggula Turu Lare, dan

(f) Dhandanggula Liksuling yaitu menimang-nimang anak, saat-saat inilah sering timbul

(g) Dhandanggula Rencasih, gangguan 'asih' (hidup), oleh karena itu bukan mustahil jika pasangan tadi sering juga merasa

(h) Dhandanggula Tlutur, sedih, namun situasi ini justru ujian bagi pasangan untuk segera memikirkan

(i) Dhandanggula Baranglaya, mati yaitu bekal yang akan dibawa jika nanti telah sampai

(j) Dhandanggula Pasowanan.

Gambuh, artinya tabu. Masa ini melukiskan perjalanan hidup manusia ketika sudah tua. Dalam istilah Jawa, disebut sudah gambuh salwiring kawruh, artinya sudah banyak makan garam. Oleh sebab itu ada bermacam-macam gambuh, yaitu:

(a) gambuh gagatan, gagat artinya "wiwit" (awal), ia mulai mengawali masa tua yang dikenal dengan istilah mendhita,

(b) Gambuh Wewarah, biasanya tua sering memberi nasehat dan pesan-pesan kepada anak cucu,

(c) Gambuh Panglipur, ia juga senang momong cucu dengan rengeng-rengeng (berdendang) lagu-Iagu yang telah memfolklor,

(d) Gambuh Lala, ia senang menina bobokkan dengan lagu misalnya tak leladhung, hal ini merupakan kebahagiaan tersendiri pada masa tua.

Durma, adalah usia manusia tua biasanya telah undur (menghindar) dari segala keinginan, terlebih lagi hal-hal yang kurang baik. ltulah sebabnya ada Durma:

(a) Durma Guntur, artinya longsor, mulai meninggalkan cita-cita hidup yang tidak mungkin tercapai,

(b) Durma Suminggah, telah menghindar dari perbuatan yang negatif,

(c) Durma Rangsang, ia sudah mulai nggayuh (berusaha) "ke atas" dengan tekun untuk kembali kepada Tuhan.

Maskumambang, sebagai falsafah hidup manusia pada saat sudah "ngambang" (menjelang kematian), mungkin hidupnya tinggal menunggu waktu dan kurang berarti. Maskumambang ada beberapa macam, yaitu:

(a) Maskumambang Layu, ibarat bunga, manusia telah keriput, tinggal menunggu takdir (ajal),

(b) Maskumambang Kembang Tiba, ia telah "pasrah".

Megatruh, artinya perpisahan jiwa dan raga (mati). Pada saat ini ada Megatruh:

(a) Megatruh Lara Nangis, ia sangat sedih karena sudah pisah dengan dengan segala hal,

(b) Megatruh Malatsih, ia mencoba minta kasih Tuhan agar segala arnal perbuatannya diterima,

(c) Megatruh Dudukwuluh dan Megatruh Wuluh Gadhing, saat ini ia melihat wama "wuluh" (ungu tua kekuning-kuningan), pertanda ajal telah datang, akhimya roh pisah dengan jasat, menuju "nduduk" (ke atas).

Pocung, artinya jika orang telah mati akan dipocong atau dibungkus seperti pocongan, maka ada:

(a) Pocung Tunjung Seta, ia diberi "tunjung" (bunga-bungaan) berwama putih dan dibungkus dengan kain putih, harapannya pun akan mendapatkan kesucian, maka ada

(b) Pocung Madusita, sita artinya putih dan madu (kemanisan). Ia berharap dosanya
terhapus dan mendapatkan tempat yang layak.

Pangkur, bagi manusia saat ini telah "mungkur" (pergi) dari dunia. Namun, ia masih ada alam lagi yang akan dilewati, yaitu:

(a) Pangkur Rambangan, artinya yaumul khisab, amal dan perbuatannya akan "dirambang", ditimbang mana yang baik dan buruk,

(b) Pangkur Paripurna, ia telah selesai tugas hidupnya, telah kembali kepada Tuhan.

Ketiga penafsiran TM sebagai falsafah perjalanan hidup tersebut pada prinsipnya sarna, yaitu ke arah bahwa hidup itu "berproses" (bergerak). Hidup manusia itu ada asal dan tujuannya, atau ada sangkan paraning dumadi. Narnun, dalam menafsirkan ada jenis TM yang dimaknakan sama dan ada pula yang berbeda.

TM yang dimaknai sarna, antara lain Mijil (kelahiran), Asmaradana (jatuh cinta), Megatruh (perpisahan jiwa dan raga/mati). Sedangkan TM yang paling menyolok perbedaannya terletak pada penafsiran Kinanthi dan Maskumambang. Baik persamaan maupun perbedaan sebenamya sah-sah saja, sebab semua ada keutuhan makna dan didasarkan atas othak-athik mathuk serta prinsip budaya spiritual Jawa.

E. Simpulan

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa ada dua macam wawasan hidup dalam TM. Pertama, TM menggambarkan wawasan hidup Jawa untuk berdakwah. Kedua, TM menggarnbarkan wawasan perjalanan hidup.

Wawasan hidup pertama menunjukkan bahwa TM merupakan "wahana" (metode) proses penanaman ajaran. Penanaman ajaran religi hendaknya disampaikan secara menyenangkan dan menghindarkan diri dari pemakaian kata yang dapat melukai hati. Dengan cara ini manusia akan tertarik (tanpa paksaan) dan akhimya akan berhasil mendekatkan diri kepada Tuhan.

Jika demikian dapat diketengahkan bahwa TM merupakan gambaran wawasan hidup epistemologi, yaitu bagaimana manusia mencari pengetahuan tentang Tuhan. Hal tersebut dapat dipahami, karena pada awalnya wali sanga dalam menanamkan ajaran justru dapat manjing ajur-ajer dengan masyarakatnya. Mereka berusaha mendalami TM, sebab setidaknya mereka percaya bahwa ada kaitan antara TM dengan falsafah nilai khususnya wawasan estetika

Di samping itu nama-nama TM juga melukiskan wawasan perjalanan hidup manusia. Hidup manusia mengalami proses (bergerak dan berkembang) mulai sebelum lahir sampai setelah mati. Wawasan perjalanan hidup dalam TM ini ada sedikit perbedaan, terutama TM kinanthi. Satu pihak menyatakan bahwa kinanthi terletak pada bagian akhir hidup, yaitu sebuah retoris; apa yang akan dikanti. Di pihak lain, kinanthi terkait dengan masa perkawinan seseorang, yaitu hidup perlu kanthi (teman hidup).

Memang perlu disadari, khususnya penafsiran variasi TM memang tidak semua varian bisa ditafsirkan ke arah wawasan perjalanan hidup. Hal ini mengingat bahwa wawasan hidup itu harus bergerak (berproses) menuju sebuah konsep yang utuh. Sedangkan varian TM yang ada sekarang, mungkin memang sudah "kelahiran" baru, sehingga bukan mustahil jika tidak dimaksudkan agar berhubungan dengan wawasan hidup Jawa.

Puncak Ilmu Kejawen



Ilmu “Sastra Jendra hayuningrat Pangruwating Diyu” adalah puncak Ilmu Kejawen. “Sastra Jendra hayuningrat Pangruwating Diyu” artinya; wejangan berupa mantra sakti untuk keselamatan dari unsur-unsur kejahatan di dunia. Wejangan atau mantra tersebut dapat digunakan untuk membangkitkan gaib “Sedulur Papat” yang kemudian diikuti bangkitnya saudara “Pancer” atau sukma sejati, sehingga orang yang mendapat wejangan itu akan mendapat kesempurnaan.

Secara harfiah arti dari “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” adalah sebagai berikut; Serat = ajaran, Sastrajendra = Ilmu mengenai raja. Hayuningrat = Kedamaian. Pangruwating = Memuliakan atau merubah menjadi baik. Diyu = raksasa atau lambang keburukan. Raja disini bukan harfiah raja melainkan sifat yang harus dimiliki seorang manusia mampu menguasai hawa nafsu dan pancainderanya dari kejahatan. Seorang raja harus mampu menolak atau merubah keburukan menjadi kebaikan. Pengertiannya; bahwa Serat Sastrajendra Hayuningrat adalah ajaran kebijaksanaan dan kebajikan yang harus dimiliki manusia untuk merubah keburukan mencapai kemuliaan dunia akhirat. Ilmu Sastrajendra adalah ilmu makrifat yang menekankan sifat amar ma’ruf nahi munkar, sifat memimpin dengan amanah dan mau berkorban demi kepentingan rakyat.

Asal-usul Sastra Jendra dan Filosofinya

Menurut para ahli sejarah, kalimat “Sastra Jendra” tidak pernah terdapat dalam kepustakaan Jawa Kuno. Tetapi baru terdapat pada abad ke 19 atau tepatnya 1820. Naskah dapat ditemukan dalam tulisan karya Kyai Yasadipura dan Kyai Sindusastra dalam lakon Arjuno Sastra atau Lokapala. Kutipan diambil dari kitab Arjuna Wijaya pupuh Sinom pada halaman 26;

Selain daripada itu, sungguh heran bahwa tidak seperti permintaan anak saya wanita ini, yakni barang siapa dapat memenuhi permintaan menjabarkan “Sastra Jendra hayuningrat” sebagai ilmu rahasia dunia (esoterism) yang dirahasiakan oleh Sang Hyang Jagad Pratingkah. Dimana tidak boleh seorangpun mengucapkannya karena mendapat laknat dari Dewa Agung walaupun para pandita yang sudah bertapa dan menyepi di gunung sekalipun, kecuali kalau pandita mumpuni. Saya akan berterus terang kepada dinda Prabu, apa yang menjadi permintaan putri paduka. Adapun yang disebut Sastra Jendra Yu Ningrat adalah pangruwat segala segala sesuatu, yang dahulu kala disebut sebagai ilmu pengetahuan yang tiada duanya, sudah tercakup ke dalam kitab suci (ilmu luhung = Sastra). Sastra Jendra itu juga sebagai muara atau akhir dari segala pengetahuan. Raksasa dan Diyu, bahkan juga binatang yang berada dihutan belantara sekalipun kalau mengetahui arti Sastra Jendra akan diruwat oleh Batara, matinya nanti akan sempurna, nyawanya akan berkumpul kembali dengan manusia yang “linuwih” (mumpuni), sedang kalau manusia yang mengetahui arti dari Sastra Jendra nyawanya akan berkumpul dengan para Dewa yang mulia…

Ajaran “Sastra Jendra hayuningrat Pangruwating Diyu” mengandung isi yang mistik, angker gaib, kalau salah menggunakan ajaran ini bisa mendapat malapetaka yang besar. Seperti pernah diungkap oleh Ki Dalang Narto Sabdo dalam lakon wayang Lahirnya Dasamuka. Kisah ceritanya sebagai berikut;

Begawan Wisrawa mempunyai seorang anak bernama Prabu Donorejo, yang ingin mengawini seorang istri bernama Dewi Sukesi yang syaratnya sangat berat, yakni;

Bisa mengalahkan paman Dewi Sukesi, yaitu Jambu Mangli, seorang raksasa yang sangat sakti.

Bisa menjabarkan ilmu “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu”

Prabu Donorejo tidak dapat melaksanakan maka minta bantuan ayahandanya, Begawan Wisrawa yang ternyata dapat memenuhi dua syarat tersebut. Maka Dewi Sukesi dapat diboyong Begawan Wisrawa, untuk diserahkan kepada anaknya Prabu Donorejo.

Selama perjalanan membawa pulang Dewi Sukesi, Begawan Wisrawa jatuh hati kepada Dewi Sukesi demikian juga Dewi Sukesi hatinya terpikat kepada Begawan Wisrawa.

“Jroning peteng kang ono mung lali, jroning lali gampang nindakake kridaning priyo wanito,” kisah Ki Dalang.

Begawan Wisrawa telah melanggar ngelmu “Sastra Jendra”, beliau tidak kuat menahan nafsu seks dengan Dewi Sukesi. Akibat dari dosa-dosanya maka lahirlah anak yang bukan manusia tetapi berupa raksasa yang menakutkan, yakni;

Dosomuko
Kumbokarno
Sarpokenoko
Gunawan Wibisono

Setelah anak pertama lahir, Begawan Wisrawa mengakui akan kesalahannya, sebagai penebus dosanya beliau bertapa atau tirakat tidak henti-hentinya siang malam. Berkat gentur tapanya, maka lahir anak kedua, ketiga dan keempat yang semakin sempurna.Laku Begawan Wisrawa yang banyak tirakat serta doa yang tiada hentinya, akhirnya Begawan Wisrawa punya anak-anak yang semakin sempurna ini menjadi simbol bahwa untuk mencapai Tuhan harus melalui empat tahapan yakni; Syariat, Tarikat, Hakekat, Makrifat.

Lakon ini mengingatkan kita bahwa untuk mengenal diri pribadinya, manusia harus melalui tahap atau tataran-tataran yakni;
Syariat; dalam falsafah Jawa syariat memiliki makna sepadan dengan Sembah Rogo.
Tarikat; dalam falsafah Jawa maknanya adalah Sembah Kalbu.
Hakikat; dimaknai sebagai Sembah Jiwa atau ruh (ruhullah).
Makrifat; merupakan tataran tertinggi yakni Sembah Rasa atau sir (sirullah).

Pun diceritakan dalam kisah Dewa Ruci, di mana diceritakan perjalanan Bima (mahluk Tuhan) mencari “air kehidupan” yakni sejatinya hidup. Air kehidupan atau tirta maya, dalam bahasa Arab disebut sajaratul makrifat. Bima harus melalui berbagai rintangan baru kemudian bertemu dengan Dewa Ruci (Dzat Tuhan) untuk mendapatkan “ngelmu”.

Bima yang tidak lain adalah Wrekudara/AryaBima, masuk tubuh Dewa Ruci menerima ajaran tentang Kenyataan “Segeralah kemari Wrekudara, masuklah ke dalam tubuhku”, kata Dewa Ruci. Sambil tertawa Bima bertanya :”Tuan ini bertubuh kecil, saya bertubuh besar, dari mana jalanku masuk, kelingking pun tidak mungkin masuk”. Dewa Ruci tersenyum dan berkata lirih:”besar mana dirimu dengan dunia ini, semua isi dunia, hutan dengan gunung, samudera dengan semua isinya, tak sarat masuk ke dalam tubuhku”.

Atas petunjuk Dewa Ruci, Bima masuk ke dalam tubuhnya melalui telinga kiri.

Dan tampaklah laut luas tanpa tepi, langit luas, tak tahu mana utara dan selatan, tidak tahu timur dan barat, bawah dan atas, depan dan belakang. Kemudian, terang, tampaklah Dewa Ruci, memancarkan sinar, dan diketahui lah arah, lalu matahari, nyaman rasa hati.

Ada empat macam benda yang tampak oleh Bima, yaitu hitam, merah kuning dan putih. Lalu berkatalah Dewa Ruci:”Yang pertama kau lihat cahaya, menyala tidak tahu namanya, Pancamaya itu, sesungguhnya ada di dalam hatimu, yang memimpin dirimu, maksudnya hati, disebut muka sifat, yang menuntun kepada sifat lebih, merupakan hakikat sifat itu sendiri. Lekas pulang jangan berjalan, selidikilah rupa itu jangan ragu, untuk hati tinggal, mata hati itulah, menandai pada hakikatmu, sedangkan yang berwarna merah, hitam, kuning dan putih, itu adalah penghalang hati.

Yang hitam kerjanya marah terhadap segala hal, murka, yang menghalangi dan menutupi tindakan yang baik. Yang merah menunjukkan nafsu yang baik, segala keinginan keluar dari situ, panas hati, menutupi hati yang sadar kepada kewaspadaan. Yang kuning hanya suka merusak. Sedangkan yang putih berarti nyata, hati yang tenang suci tanpa berpikiran ini dan itu, perwira dalam kedamaian. Sehingga hitam, merah dan kuning adalah penghalang pikiran dan kehendak yang abadi, persatuan Suksma Mulia.

Lalu Bima melihat, cahaya memancar berkilat, berpelangi melengkung, bentuk zat yang dicari, apakah gerangan itu ?! Menurut Dewa Ruci, itu bukan yang dicari (air suci), yang dilihat itu yang tampak berkilat cahayanya, memancar bernyala-nyala, yang menguasai segala hal, tanpa bentuk dan tanpa warna, tidak berwujud dan tidak tampak, tanpa tempat tinggal, hanya terdapat pada orang-orang yang awas, hanya berupa firasat di dunia ini, dipegang tidak dapat, adalah Pramana, yang menyatu dengan diri tetapi tidak ikut merasakan gembira dan prihatin, bertempat tinggal di tubuh, tidak ikut makan dan minum, tidak ikut merasakan sakit dan menderita, jika berpisah dari tempatnya, raga yang tinggal, badan tanpa daya. Itulah yang mampu merasakan penderitaannya, dihidupi oleh suksma, ialah yang berhak menikmati hidup, mengakui rahasia zat.

Kehidupan Pramana dihidupi oleh suksma yang menguasai segalanya, Pramana bila mati ikut lesu, namun bila hilang, kehidupan suksma ada. Sirna itulah yang ditemui, kehidupan suksma yang sesungguhnya, Pramana Anresandani.

Jika ingin mempelajari dan sudah didapatkan, jangan punya kegemaran, bersungguh-sungguh dan waspada dalam segala tingkah laku, jangan bicara gaduh, jangan bicarakan hal ini secara sembunyi-sembunyi, tapi lekaslah mengalah jika berselisih, jangan memanjakan diri, jangan lekat dengan nafsu kehidupan tapi kuasailah.

Tentang keinginan untuk mati agar tidak mengantuk dan tidak lapar, tidak mengalami hambatan dan kesulitan, tidak sakit, hanya enak dan bermanfaat, peganglah dalam pemusatan pikiran, disimpan dalam buana, keberadaannya melekat pada diri, menyatu padu dan sudah menjadi kawan akrab.

Sedangkan Suksma Sejati, ada pada diri manusia, tak dapat dipisahkan, tak berbeda dengan kedatangannya waktu dahulu, menyatu dengan kesejahteraan dunia, mendapat anugerah yang benar, persatuan manusia/kawula dan pencipta/Gusti. Manusia bagaikan wayang, Dalang yang memainkan segala gerak gerik dan berkuasa antara perpaduan kehendak, dunia merupakan panggungnya, layar yang digunakan untuk memainkan panggungnya.

Bila seseorang mempelajari “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” berarti harus pula mengenal asal usul manusia dan dunia seisinya, dan haruslah dapat menguraikan tentang sejatining urip (hidup), sejatining Panembah (pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa), sampurnaning pati (kesempurnaan dalam kematian), yang secara gamblang disebut juga innalillahi wainna illaihi rojiuun, kembali ke sisi Tuhan YME dengan tata cara hidup layak untuk mencapai budi suci dan menguasai panca indera serta hawa nafsu untuk mendapatkan tuntunan Sang Guru Sejati.

Uraian tersebut dapat menjelaskan bahwa sasaran utama mengetahui “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” adalah untuk mencapai Kasampurnaning Pati, dalam istilah RNg Ronggowarsito disebut Kasidaning Parasadya atau pati prasida, bukan sekedar pati patitis atau pati pitaka. “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” seolah menjadi jalan tol menuju pati prasida.

Bagi mereka yang mengamalkan “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” dapat memetik manfaatnya berupa Pralampita atau ilham atau wangsit (wahyu) atau berupa “senjata” yang berupa rapal. Dengan rapal atau mantra orang akan memahami isi Endra Loka, yakni pintu gerbang rasa sejati, yang nilainya sama dengan sejatinya Dzat YME dan bersifat gaib. Manusia mempunyai tugas berat dalam mencari Tuhannya kemudian menyatukan diri ke dalam gelombang Dzat Yang Maha Kuasa. Ini diistilahkan sebagai wujud jumbuhing/manunggaling kawula lan Gusti, atau warangka manjing curiga. Tampak dalam kisah Dewa Ruci, pada saat bertemunya Bima dengan Dewa Ruci sebagai lambang Tuhan YME. Saat itu pula Bima menemukan segala sesuatu di dalam dirinya sendiri.

Itulah inti sari dari “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” sebagai Pungkas-pungkasaning Kawruh. Artinya, ujung dari segala ilmu pengetahuan atau tingkat setinggi-tingginya ilmu yang dapat dicapai oleh manusia atau seorang sufi. Karena ilmu yang diperoleh dari makrifat ini lebih tinggi mutunya dari pada ilmu pengetahuan yang dapat dicapai dengan akal.

Dalam dunia pewayangan lakon “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” dimaksudkan untuk lambang membabarkan wejangan sedulur papat lima pancer. Yang menjadi tokoh atau pelaku utama dalam lakon ini adalah sbb;

Begawan Wisrawa menjadi lambang guru yang memberi wejangan ngelmu Sastrajendra kepada Dewi Sukesi. Ramawijaya sebagai penjelmaan Wisnu (Kayun; Yang Hidup), yang memberi pengaruh kebaikan terhadap Gunawan Wibisono (nafsul mutmainah), Keduanya sebagai lambang dari wujud jiwa dan sukma yang disebut Pancer. Karena wejangan yang diberikan oleh Begawan Wisrawa kepada Dewi Sukesi ini bersifat sakral yang tidak semua orang boleh menerima, maka akhirnya mendapat kutukan Dewa kepada anak-anaknya.

Dasamuka (raksasa) yang mempunyai perangai jahat, bengis, angkara murka, sebagai simbol dari nafsu amarah.

Kumbakarna (raksasa) yang mempunyai karakter raksasa yakni bodoh, tetapi setia, namun memiliki sifat pemarah. Karakter kesetiannya membawanya pada watak kesatria yang tidak setuju dengan sifat kakaknya Dasamuka. Kumbakarno menjadi lambang dari nafsu lauwamah.

Sarpokenoko (raksasa setengah manusia) memiliki karakter suka pada segala sesuatu yang enak-enak, rasa benar yang sangat besar, tetapi ia sakti dan suka bertapa. Ia menjadi simbol nafsu supiyah.

Gunawan Wibisono (manusia seutuhnya); sebagai anak bungsu yang mempunyai sifat yang sangat berbeda dengan semua kakaknya. Dia meninggalkan saudara-saudaranya yang dia anggap salah dan mengabdi kepada Romo untuk membela kebenaran. Ia menjadi perlambang dari nafsul mutmainah.

Gambaran ilmu ini adalah mampu merubah raksasa menjadi manusia. Dalam pewayangan, raksasa digambarkan sebagai mahluk yang tidak sesempurna manusia. Misal kisah prabu Salya yang malu karena memiliki ayah mertua seorang raksasa. Raden Sumantri atau dikenal dengan nama Patih Suwanda memiliki adik raksasa bajang bernama Sukrasana. Dewi Arimbi, istri Werkudara harus dirias sedemikian rupa oleh Dewi Kunti agar Werkudara mau menerima menjadi isterinya. Betari Uma disumpah menjadi raksesi oleh Betara Guru saat menolak melakukan perbuatan kurang sopan dengan Dewi Uma pada waktu yang tidak tepat. Anak hasil hubungan Betari Uma dengan Betara Guru lahir sebagai raksasa sakti mandra guna dengan nama “ Betara Kala “ (kala berarti keburukan atau kejahatan). Sedangkan Betari Uma kemudian bergelar Betari Durga menjadi pengayom kejahatan dan kenistaan di muka bumi memiliki tempat tersendiri yang disebut “ Kayangan Setragandamayit “. Wujud Betari Durga adalah raseksi yang memiliki taring dan gemar membantu terwujudnya kejahatan.

Melalui ilmu Sastrajendra maka simbol sifat sifat keburukan raksasa yang masih dimiliki manusia akan menjadi dirubah menjadi sifat sifat manusia yang berbudi luhur. Karena melalui sifat manusia ini kesempurnaan akal budi dan daya keruhanian mahluk ciptaan Tuhan diwujudkan. Dalam kitab suci disebutkan bahwa manusia adalah ciptaan paling sempurna. Bahkan ada disebutkan, Tuhan menciptakan manusia berdasar gambaran dzat-Nya. Filosof Timur Tengah Al Ghazali menyebutkan bahwa manusia seperti Tuhan kecil sehingga Tuhan sendiri memerintahkan para malaikat untuk bersujud. Sekalipun manusia terbuat dari dzat hara berbeda dengan jin atau malaikat yang diciptakan dari unsur api dan cahaya. Namun manusia memiliki sifat sifat yang mampu menjadi “ khalifah “ (wakil Tuhan di dunia).

Namun ilmu ini oleh para dewata hanya dipercayakan kepada Wisrawa seorang satria berwatak wiku yang tergolong kaum cerdik pandai dan sakti mandraguna untuk mendapat anugerah rahasia Serat Sastrajendrahayuningrat Diyu.

Ketekunan, ketulusan dan kesabaran Begawan Wisrawa menarik perhatian dewata sehingga memberikan amanah untuk menyebarkan manfaat ajaran tersebut. Sifat ketekunan Wisrawa, keihlasan, kemampuan membaca makna di balik sesuatu yang lahir dan kegemaran berbagi ilmu. Sebelum “ madeg pandita “ ( menjadi wiku ) Wisrawa telah lengser keprabon menyerahkan tahta kerajaaan kepada sang putra Prabu Danaraja. Sejak itu sang wiku gemar bertapa mengurai kebijaksanaan dan memperbanyak ibadah menahan nafsu duniawi untuk memperoleh kelezatan ukhrawi nantinya. Kebiasaan ini membuat sang wiku tidak saja dicintai sesama namun juga para dewata.

Sifat Manusia Terpilih

Sebelum memutuskan siapa manusia yang berhak menerima anugerah Sastra Jendra, para dewata bertanya pada sang Betara Guru. “ Duh, sang Betara agung, siapa yang akan menerima Sastra Jendra, kalau boleh kami mengetahuinya. “Bethara guru menjawab “ Pilihanku adalah anak kita Wisrawa “. Serentak para dewata bertanya “ Apakah paduka tidak mengetahui akan terjadi bencana bila diserahkan pada manusia yang tidak mampu mengendalikannya. Bukankah sudah banyak kejadian yang bisa menjadi pelajaran bagi kita semua”

Kemudian sebagian dewata berkata “ Kenapa tidak diturunkan kepada kita saja yang lebih mulia dibanding manusia “.

Seolah menegur para dewata sang Betara Guru menjawab “Hee para dewata, akupun mengetahui hal itu, namun sudah menjadi takdir Tuhan Yang Maha Kuasa bahwa ilmu rahasia hidup justru diserahkan pada manusia. Bukankah tertulis dalam kitab suci, bahwa malaikat mempertanyakan pada Tuhan mengapa manusia yang dijadikan khalifah padahal mereka ini suka menumpahkan darah“. Serentak para dewata menunduk malu “ Paduka lebih mengetahui apa yang tidak kami ketahui”. Kemudian, Betara Guru turun ke mayapada didampingi Betara Narada memberikan Serat Sastra Jendra kepada Begawan Wisrawa.

“Duh anak Begawan Wisrawa, ketahuilah bahwa para dewata memutuskan memberi amanah Serat Sastra Jendra kepadamu untuk diajarkan kepada umat manusia”

Mendengar hal itu, menangislah Sang Begawan “ Ampun, sang Betara agung, bagaimana mungkin saya yang hina dan lemah ini mampu menerima anugerah ini “.

Betara Narada mengatakan “ Anak Begawan Wisrawa, sifat ilmu ada 2 (dua). Pertama, harus diamalkan dengan niat tulus. Kedua, ilmu memiliki sifat menjaga dan menjunjung martabat manusia. Ketiga, jangan melihat baik buruk penampilan semata karena terkadang yang baik nampak buruk dan yang buruk kelihatan sebagai sesuatu yang baik. “ Selesai menurunkan ilmu tersebut, kedua dewata kembali ke kayangan.

Setelah menerima anugerah Sastrajendra maka sejak saat itu berbondong bondong seluruh satria, pendeta, cerdik pandai mendatangi beliau untuk minta diberi wejangan ajaran tersebut. Mereka berebut mendatangi pertapaan Begawan Wisrawa melamar menjadi cantrik untuk mendapat sedikit ilmu Sastra Jendra. Tidak sedikit yang pulang dengan kecewa karena tidak mampu memperoleh ajaran yang tidak sembarang orang mampu menerimanya. Para wiku, sarjana, satria harus menerima kenyataan bahwa hanya orang-orang yang siap dan terpilih mampu menerima ajarannya.

Demikian lah pemaparan tentang puncak ilmu kejawen yang adiluhung, tidak bersifat primordial, tetapi bersifat universal, berlaku bagi seluruh umat manusia di muka bumi, manusia sebagai mahluk ciptaan Gusti Kang Maha Wisesa, Tuhan Yang Maha Kuasa. Yang Maha Tunggal. Janganlah terjebak pada simbol-simbol atau istilah yang digunakan dalam tulisan ini. Namun ambilah hikmah, hakikat, nilai yang bersifat metafisis dan universe dari ajaran-ajaran di atas. Semoga bermanfaat.

Semoga para pembaca yang budiman diantara orang-orang yang terpilih dan pinilih untuk meraih ilmu sejatinya hidup.

Salam

Sumber : http://sabdalangit.wordpress.com/2008/10/12/puncak-ilmu-kejawen/