Sabtu, 01 Juli 2017

SAYEMBARA KUNTI

Sayembara Kunti
Kisah ini menceritakan perkawinan Raden Narasoma dengan Dewi Setyawati atau Endang Pujawati, putri Bagawan Bagaspati, yang dilanjutkan dengan kelahiran Raden Karna Basusena, putra Batara Surya yang lahir dari Dewi Kunti. Kisah ditutup dengan kemenangan Raden Pandu memboyong tiga orang putri sekaligus, yaitu Dewi Kunti, Dewi Madrim, dan Dewi Gendari. Mereka bertiga kelak akan melahirkan para Pandawa dan Kurawa.
Kisah ini saya susun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, yang dipadukan dengan sinetron Karmapala karya Imam Tantowi, serta penjelasan dari Ki Manteb Soedharsono dalam acara Sarasehan Budaya.
======================
PRABU MANDRAPATI MENGUSIR RADEN NARASOMA
Prabu Mandrapati Naradenta atau Prabu Artayana di Kerajaan Mandraka sedang memimpin pertemuan, dihadap putra mahkota Raden Narasoma, serta para menteri dan punggawa, antara lain Patih Tuhayana dan Arya Tuhayata. Dalam pertemuan tersebut Prabu Mandrapati mengutarakan niatnya untuk menyerahkan takhta kepada Raden Narasoma. Namun sebelum itu, Raden Narasoma harus menikah lebih dulu, karena sudah menjadi tradisi bahwa seorang raja hendaknya memiliki permaisuri sebagai “tetimbangan”.
Akan tetapi, Raden Narasoma menolak permintaan ayahnya. Ia tidak ingin dijodohkan dengan sembarang perempuan, karena cita-citanya adalah menikah dengan bidadari, atau sekurang-kurangnya putri seorang bidadari. Prabu Mandrapati marah melihat sikap angkuh Raden Narasoma yang berkeinginan muluk-muluk. Ia pun mengusir putra sulungnya itu dan melarangnya pulang apabila tidak dapat mewujudkan keinginannya.
Raden Narasoma bergegas pergi meninggalkan istana Mandraka. Patih Tuhayana berusaha menyabarkan Prabu Mandrapati. Namun, Prabu Mandrapati menjelaskan bahwa dirinya mengusir Raden Narasoma bukan karena benci, tetapi untuk memberikan pelajaran hidup kepada putranya itu. Setelah tiada yang perlu dibicarakan lagi, Prabu Mandrapati pun membubarkan pertemuan.
RADEN NARASOMA BERTEMU RADEN PANDU
Raden Narasoma sudah berjalan jauh meninggalkan istana. Di tengah jalan ia bertemu rombongan Prabu Sudarma dari Kerajaan Trigarta yang berniat pergi ke Kerajaan Mandraka untuk melamar Dewi Madrim. Mendengar itu, Raden Narasoma marah-marah tidak setuju apabila adiknya diperistri Prabu Sudarma. Dasar watak Raden Narasoma yang angkuh membuat Prabu Sudarma tersinggung. Maka, terjadilah pertarungan di antara mereka.
Raden Narasoma lama-lama terdesak karena jumlah musuh jauh lebih banyak. Sungguh beruntung, Raden Pandu dan para panakawan kebetulan lewat di tempat itu. Melihat Raden Narasoma dalam bahaya, Raden Pandu segera membantu. Ia mengerahkan ilmu Angin Garuda, membuat Prabu Sudarma beserta seluruh pasukannya terlempar jauh entah ke mana.
Raden Narasoma dan Raden Pandu sudah saling kenal sejak sama-sama mengunjungi kelahiran Raden Gandamana di Kerajaan Pancala dulu. Raden Narasoma bercerita bahwa perselisihannya dengan Prabu Sudarma adalah karena ia tidak rela jika raja Trigarta tersebut menjadi suami adiknya. Ia lebih suka jika Dewi Madrim menjadi istri Raden Pandu agar hubungan kekerabatan antara sesama keturunan Resi Manumanasa dapat lebih akrab. Raden Pandu mengaku tidak berani karena ia belum mendapatkan perintah dari ayahnya (Prabu Kresna Dwipayana) untuk menikah.
Dalam pertemuan kali ini, Raden Narasoma kagum melihat kesaktian Raden Pandu. Ia pun berniat untuk mencari guru yang bisa mengajarkan ilmu kesaktian tingkat tinggi kepadanya. Sebagai calon raja Mandraka, tentunya ia sangat membutuhkan ilmu andalan demi melindungi negerinya. Raden Pandu mendukung niat Raden Narasoma tersebut. Ia bahkan mempersilakan para panakawan untuk mendampingi Raden Narasoma selama berkelana mencari guru. Ia menjelaskan bahwa Kyai Semar bukan sekadar pengasuh, tetapi merupakan kakak ipar Resi Manumanasa yang memiliki pengalaman luas serta kebijaksanaan luar biasa. Sudah tentu nasihat-nasihatnya akan sangat berguna bagi Raden Narasoma.
Raden Narasoma sangat berterima kasih. Ia pun berpamitan kepada Raden Pandu kemudian berangkat bersama Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong mencari pengalaman hidup.
RADEN NARASOMA BERTEMU RESI BAGASPATI
Dalam perjalanannya itu, Raden Narasoma dan para panakawan berjumpa seorang pendeta raksasa berwajah menyeramkan. Pendeta raksasa itu bernama Resi Bagaspati dari Padepokan Argabelah, yang terlihat sangat gembira begitu mengetahui kalau pemuda yang ditemuinya bernama Raden Narasoma. Ia mengaku memiliki seorang putri yang tadi malam bermimpi menjadi istri pemuda tampan bernama Raden Narasoma. Oleh sebab itu, Resi Bagaspati pun mengajak Raden Narasoma pergi ke padepokannya untuk menikah dengan putrinya tersebut.
Raden Narasoma ngeri melihat wujud Resi Bagaspati sehingga langsung menolak ajakannya. Ia yakin anak perempuan seorang pendeta raksasa pasti berwajah buruk seperti ayahnya. Resi Bagaspati terpaksa menggunakan kekerasan untuk memaksa Raden Narasoma. Maka, terjadilah pertarungan di antara mereka. Dengan mudah, Resi Bagaspati dapat meringkus Raden Narasoma dan membawanya pergi menuju Padepokan Argabelah. Raden Narasoma berteriak-teriak meminta tolong kepada Kyai Semar dan anak-anaknya. Tetapi Kyai Semar justru menyarankan agar Raden Narasoma menurut saja, karena ia mendapat firasat bahwa pendeta raksasa inilah yang akan menjadi sarana baginya untuk mewujudkan cita-cita.
Sesampainya di padepokan, Raden Narasoma sangat terkejut melihat anak perempuan Resi Bagaspati ternyata berparas cantik jelita, bernama Endang Pujawati. Seketika ia pun jatuh cinta kepada gadis tersebut. Namun sayangnya, ia sudah terlanjur bersumpah untuk tidak akan menikah, kecuali dengan bidadari, atau anak seorang bidadari.
RADEN NARASOMA MENIKAH DENGAN ENDANG PUJAWATI
Resi Bagaspati pun bercerita kepada Raden Narasoma. Pada mulanya, ia memiliki istri seorang bidadari bernama Batari Pudyastuti, putri Batara Darmastuti. Adapun Batara Darmastuti adalah kakak tiri Batara Guru (yaitu sama-sama putra Sanghyang Tunggal, tetapi beda ibu. Batara Darmastuti lahir dari Dewi Darmani, sedangkan Batara Guru lahir dari Dewi Rekatawati). Dari perkawinan antara Resi Bagaspati dan Dewi Pudyastuti tersebut lahirlah Dewi Pujawati. Resi Bagaspati juga memiliki kakak bernama Prabu Bagaskara yang menjadi raja di Nusabelah. Prabu Bagaskara ini menikah pula dengan bidadari bernama Batari Satapi, putri Batara Siwah. Dari perkawinan itu lahir seorang putri berparas raksasa, bernama Dewi Tapayati.
Setelah Batari Satapi dan Batari Pudyastuti kembali ke kahyangan, Dewi Tapayati merengek minta dicarikan ibu baru. Prabu Bagaskara lalu bermimpi bertemu Dewi Trilaksmi, istri Prabu Gandabayu raja Pancala. Ia pun berangkat melamar wanita itu sebagai istri barunya. Namun, ketika menyerang Kerajaan Pancala, Prabu Bagaskara tewas di tangan Raden Gandamana putra Prabu Gandabayu, sedangkan Resi Bagaspati dikalahkan sekutu Kerajaan Pancala, yang bernama Prabu Mandrapati raja Mandraka. Resi Bagaspati lalu bertobat dan membangun pertapaan di Padepokan Argabelah. Dewi Pujawati juga ikut serta tinggal di padepokan, dan diganti namanya menjadi Endang Pujawati. Adapun Dewi Tapayati menghilang entah ke mana, sepertinya dibawa lari oleh Patih Kurandayaksa.
Raden Narasoma teringat dirinya memang ikut mengunjungi kelahiran Raden Gandamana di Kerajaan Pancala. Namun, saat itu ia tidak ikut berperang sehingga tidak mengenal Resi Bagaspati yang kini berada di hadapannya.
Setelah mendengar semuanya, Raden Narasoma pun bersedia menikahi Endang Pujawati yang merupakan putri seorang bidadari. Resi Bagaspati sangat senang dan ia segera menggelar upacara pernikahan antara Raden Narasoma dengan Endang Pujawati, dengan disaksikan para panakawan.
RESI BAGASPATI MENINGGAL DUNIA
Beberapa hari kemudian, Resi Bagaspati memanggil Raden Narasoma dan Endang Pujawati untuk menghadap. Resi Bagaspati bertanya apakah Endang Pujawati bersedia mendampingi Raden Narasoma meski harus kehilangan orang tua? Endang Pujawati menjawab dirinya bersedia mendampingi suami, tetapi juga merasa berat jika harus berpisah dengan orang tua. Resi Bagaspati menerima jawaban tersebut, dan menyuruh Endang Pujawati untuk menunggu di luar.
Resi Bagaspati lalu berbicara empat mata dengan Raden Narasoma. Ia meminta agar Raden Narasoma menjaga Endang Pujawati dengan sebaik-baiknya dan jangan pernah menyakiti putrinya itu. Raden Narasoma bersedia dan ia pun bersumpah seumur hidup hanya memiliki seorang istri saja.
Resi Bagaspati lalu bercerita bahwa dirinya memiliki ilmu kesaktian bernama Aji Candabirawa yang akan diwariskan kepada Raden Narasoma. Dengan ilmu ini, Raden Narasoma dapat mengeluarkan seorang raksasa kerdil ganas dari jarinya, yang jika dilukai justru akan bertambah banyak jumlahnya. Raden Narasoma pernah mendapat cerita dari ayahnya tentang kedahsyatan ilmu ini, sehingga ia pun menyatakan bersedia menerimanya.
Resi Bagaspati lalu mengajarkan mantra ilmu tersebut kepada Raden Narasoma. Mereka lalu bersama-sama mengheningkan cipta, dan Aji Candabirawa pun berpindah dari dalam tubuh Resi Bagaspati ke dalam tubuh Raden Narasoma.
Resi Bagaspati merasa lega. Ia menjelaskan bahwa sudah tiba saatnya ia meninggalkan dunia fana karena semua kewajibannya telah terpenuhi. Selama memiliki Aji Candabirawa, Resi Bagaspati tidak akan bisa mati. Ia lalu menyerahkan sebilah keris kepada Raden Narasoma agar digunakan untuk menusuk sikunya. Karena, hanya dengan cara demikian Resi Bagaspati bisa melepaskan nyawanya.
Raden Narasoma menerima keris tersebut namun tidak tega menggunakannya untuk menusuk sang mertua. Resi Bagaspati memaksa Raden Narasoma melakukannya, karena selama dirinya masih hidup, Endang Pujawati tidak akan mau meninggalkan Padepokan Argabelah untuk tinggal di Kerajaan Mandraka. Resi Bagaspati merasa dirinya hanya menjadi penghalang bagi kebahagiaan putrinya. Raden Narasoma tetap tidak tega. Ia justru mengajak sang mertua untuk bersama-sama tinggal di istana Mandraka.
Resi Bagaspati menolak ajakan tersebut. Ia pun menyerang Raden Narasoma untuk memaksa menantunya itu. Raden Narasoma terdesak dan seketika menusukkan keris di tangannya sambil memejakan mata. Keris tersebut tepat menancap di siku Resi Bagaspati. Darah berwarna putih pun memancar keluar, bersamaan dengan robohnya Resi Bagaspati kehilangan nyawa.
Endang Pujawati yang mendengar suara ribut segera masuk ke dalam. Ia sangat terkejut melihat sang ayah telah tewas di tangan suaminya. Raden Narasoma pun menceritakan semua kejadian apa adanya. Tidak lama kemudian, roh Resi Bagaspati menampakkan diri di angkasa. Ia berterima kasih atas kesediaan Raden Narasoma mengantarkannya memasuki gerbang kematian. Ia juga berpesan agar Endang Pujawati selalu patuh kepada sang suami.
Raden Narasoma merasa berduka kehilangan mertua yang sangat ia hormati. Ia berharap kelak saat kematiannya tiba, semoga arwah Resi Bagaspati yang datang menjemputnya. Resi Bagaspati bersedia. Ia berpesan kelak akan ada seorang raja berdarah putih yang menjadi penyebab kematian Raden Narasoma. Saat peristiwa itu terjadi, Resi Bagaspati akan datang menjemput roh sang menantu tercinta. Setelah berkata demikian, arwah Resi Bagaspati pun musnah dari pandangan.
Raden Narasoma lalu bertanya kepada Endang Pujawati apakah masih mau menjadi istrinya setelah peristiwa ini. Endang Pujawati menjawab bersedia mendampingi Raden Narasoma seumur hidup, karena sekarang ia tahu bahwa sang ayah meninggal atas kemauan sendiri, bukan karena dibunuh oleh suaminya. Raden Narasoma senang mendengarnya. Ia merasa bangga atas kesetiaan Endang Pujawati, dan mengganti nama istrinya itu menjadi Dewi Setyawati.
PRABU MANDRAPATI KEMBALI MENGUSIR RADEN NARASOMA
Raden Narasoma dan Dewi Setyawati telah pulang ke Kerajaan Mandraka, sedangkan para panakawan pulang ke Kerajaan Hastina. Prabu Mandrapati menyambut kedatangan putra dan menantunya itu dengan perasaan bahagia. Hubungan antara ayah dan anak tersebut menjadi baik kembali, apalagi Raden Narasoma telah berhasil mewujudkan sumpahnya, yaitu menikah dengan anak seorang bidadari.
Akan tetapi, Prabu Mandrapati sangat marah begitu mengetahui Raden Narasoma telah membunuh Resi Bagaspati, mertuanya sendiri. Prabu Mandrapati menjelaskan bahwa Resi Bagaspati telah menjadi sahabatnya. Raden Narasoma pun dituduh sebagai anak durhaka dan diusir pergi dari istana Mandraka.
Putri bungsu Prabu Mandrapati, yaitu Dewi Madrim masih rindu kepada kakaknya. Begitu Raden Narasoma diusir untuk yang kedua kalinya, ia pun ikut pergi meninggalkan istana. Ketika Dewi Setyawati hendak menyusul mereka, tiba-tiba Prabu Mandrapati jatuh pingsan karena terlalu sedih. Dewi Setyawati pun berhenti dan segera merawat mertuanya itu.
DEWI KUNTI HAMIL SEBELUM NIKAH
Sementara itu di Kerajaan Mandura, Prabu Kuntiboja telah memiliki empat orang anak yang lahir dari istrinya, yaitu Dewi Bandondari (putri mendiang Prabu Santanu raja Hastina). Keempat anak tersebut bernama Raden Basudewa, Dewi Kunti, Raden Rukma, dan Raden Ugrasena. Sang pangeran mahkota Raden Basudewa telah memiliki seorang istri bernama Dewi Mahirah tetapi belum dikaruniai putra, sedangkan Dewi Kunti saat ini telah beranjak dewasa dan ia dilamar oleh banyak raja serta pangeran dari berbagai negeri.
Prabu Kuntiboja memutuskan untuk mengadakan sayembara pilih, yaitu biarlah Dewi Kunti sendiri yang menentukan pilihan dengan cara mengalungkan untaian bunga ke leher si pelamar yang ia kehendaki. Akan tetapi, sudah empat bulan lamanya Dewi Kunti mengurung diri di dalam kaputren dan tidak pernah menghadap ayah atau ibunya. Prabu Kuntiboja merasa curiga jangan-jangan terjadi hal buruk pada putrinya itu. Maka, ia pun mengutus Raden Basudewa untuk menengok dan memastikan keadaan Dewi Kunti di dalam kaputren.
Raden Basudewa segera berangkat memasuki kaputren, di mana Dewi Kunti mengurung diri di dalam kamar. Raden Basudewa meminta izin masuk kamar tetapi ditolak oleh Dewi Kunti dengan alasan dirinya sedang menjalani tapa ngebleng atas perintah gurunya yang bernama Resi Druwasa. Raden Basudewa semakin curiga dan ia pun mendobrak pintu kamar kaputren. Betapa terkejut ia melihat adiknya itu memegangi perut yang tampak mengembang, pertanda Dewi Kunti sedang hamil.
Raden Basudewa marah-marah menuduh Dewi Kunti telah berbuat zina. Ia pun memaksa adiknya itu agar menyebutkan laki-laki mana yang telah menghamilinya. Namun, Dewi Kunti hanya menangis tanpa menjawab sedikit pun. Raden Basudewa menaruh curiga kepada Resi Druwasa, guru Dewi Kunti. Ia pun berniat hendak mencari dan menghukum pendeta tua tersebut.
LAHIRNYA RADEN KARNA BASUSENA
Mendengar gurunya disalahkan, Dewi Kunti menjelaskan bahwa kehamilannya ini bukan disebabkan oleh Resi Druwasa. Untuk lebih jelasnya, Dewi Kunti mengerahkan Aji Pameling untuk mengundang kehadiran Resi Druwasa. Seketika Resi Druwasa pun muncul di dalam kaputren tersebut.
Resi Druwasa ini tidak lain adalah putra Resi Dwapara (keponakan Resi Manumanasa). Meskipun usianya sudah sangat tua, tetapi karena ilmunya tinggi ia masih mampu berkelana menjelajahi banyak negeri. Kini ia singgah di Kerajaan Mandura dan menjadi guru bagi Dewi Kunti.
Resi Druwasa mengaku telah mengajarkan Aji Kunta Wekasing Rasa Cipta Tunggal Tanpa Lawan kepada Dewi Kunti. Kegunaan ajian ini adalah untuk memanggil dewa supaya memberikan pertolongan. Pada suatu pagi saat matahari terbit, Dewi Kunti sedang mandi sambil menghafalkan mantra ajian tersebut dengan menyebut nama Batara Surya. Seketika Batara Surya pun hadir dan bertanya ada keperluan apa dirinya didatangkan. Dewi Kunti merasa malu dan mengaku dirinya hanya mencoba-coba ilmu tersebut tanpa ada keperluan apa pun.
Batara Surya marah merasa dipermainkan. Namun, kemarahannya berubah menjadi nafsu birahi karena melihat lekuk tubuh Dewi Kunti yang hanya tertutup kain basahan. Ia pun mengerahkan Aji Asmaracipta, sehingga dapat bersenggama dengan Dewi Kunti tanpa harus menyentuh tubuhnya. Meskipun tanpa bersentuhan, namun Dewi Kunti tetap saja bisa mengandung putra Batara Surya, hasil dari hubungan tersebut.
Raden Basudewa menanyakan kebenaran cerita itu kepada Dewi Kunti. Dengan sangat malu dan sambil menangis, Dewi Kunti mengiyakan. Kini, ia telah hamil empat bulan padahal sebentar lagi akan diadakan sayembara pilih untuknya. Raden Basudewa merasa peristiwa ini adalah aib besar bagi Kerajaan Mandura. Resi Druwasa pun dimintai tolong untuk mencarikan jalan keluar bagi masalah ini.
Pendeta tua itu segera mengheningkan cipta dan tangannya menyentuh perut Dewi Kunti. Secara berangsur-angsur kandungan Dewi Kunti bertambah besar. Hanya dalam beberapa menit saja, kandungan tersebut menjadi matang dan siap dilahirkan. Tidak lama kemudian Dewi Kunti pun melahirkan seorang bayi laki-laki tanpa merasakan sakit sama sekali. Sungguh ajaib, bayi laki-laki itu keluar dari kandungan dengan memakai anting-anting dan baju zirah bergambar matahari.
Raden Basudewa sangat berterima kasih atas bantuan Resi Druwasa. Demi untuk menyembunyikan aib yang telah dialami adiknya, Raden Basudewa bersedia menjadi ayah angkat bagi bayi tersebut, karena ia telah memiliki seorang istri. Raden Basudewa pun memberi nama bayi itu, Raden Basusena.
Dewi Kunti sebenarnya sangat sayang kepada putranya yang tampan itu. Namun, demi menjaga nama baik Kerajaan Mandura, maka ia pun merelakan bayinya diambil oleh Raden Basudewa. Sebagai kenang-kenangan, Dewi Kunti memberikan nama panggilan untuk bayinya, yaitu Raden Karna, yang bermakna “telinga”. Ini sebagai pengingat bahwa putranya itu sejak dilahirkan sudah memakai anting-anting di kedua telinganya.
RESI DRUWASA MEMBAWA BAYI KARNA BASUSENA
Tiba-tiba Batara Surya turun dari kahyangan dan mendarat di dalam kaputren tersebut. Ia meminta maaf kepada Raden Basudewa karena telah terbawa nafsu birahi dan membuat Dewi Kunti hamil di luar nikah. Dengan kesaktiannya, ia pun meruwat Dewi Kunti sehingga kembali menjadi perawan seperti sediakala.
Mengenai bayi laki-laki hasil hubungan mereka itu, Batara Surya melarang Raden Basudewa untuk mengasuhnya sebagai anak angkat, karena Karna Basusena diramalkan kelak akan menjadi pahlawan besar apabila keluar dari Kerajaan Mandura. Mengenai anting-anting dan baju zirah yang dipakai si bayi adalah pusaka pemberiannya. Anting-anting tersebut bernama Suryakundala, sedangkan baju zirah yang melekat di dada si bayi bernama Suryakawaca. Selama mengenakan kedua pusaka tersebut, tidak ada satu pun senjata yang dapat melukai Karna Basusena.
Raden Basudewa dan Dewi Kunti mematuhi keputusan dewata yang menghendaki agar bayi Karna Basusena keluar dari wilayah Kerajaan Mandura. Dewi Kunti pun menangis berlinang air mata saat Batara Surya memerintahkan Resi Druwasa untuk membawa bayi tersebut. Batara Surya kemudian kembali ke kahyangan, sedangkan Resi Druwasa lenyap dari pandangan, meninggalkan Kerajaan Mandura.
RESI DRUWASA MENYERAHKAN KARNA BASUSENA KEPADA KYAI ADIRATA
Tersebutlah seorang kusir kereta bernama Kyai Adirata yang mengabdi di Kerajaan Hastina. Ia tinggal di Desa Petapralaya bersama istrinya yang bernama Nyai Rada, putri Resi Radi. Mereka sudah puluhan tahun menikah tetapi belum juga dikaruniai anak. Setiap pagi pasangan ini selalu berdoa di tepi Sungai Jamuna namun belum juga membuahkan hasil. Hingga akhirnya, pagi itu Resi Druwasa muncul dengan berjalan di atas sungai sambil menggendong bayi laki-laki menemui mereka berdua.
Resi Druwasa menyerahkan bayi laki-laki itu kepada Kyai Adirata dan Nyai Rada, serta menjelaskan bahwa bayi tersebut adalah putra Batara Surya sebagai jawaban atas doa mereka setiap pagi. Kyai Adirata dan Nyai Rada sangat bahagia dan merasa mendapatkan kehormatan luar biasa karena dipercaya untuk mengasuh putra seorang dewa. Setelah dirasa cukup, Resi Druwasa pun lenyap dari pandangan.
Kyai Adirata dan Nyai Rada sangat bersyukur karena dewata telah mengabulkan doa mereka. Mereka pun berjanji akan selalu menyayangi bayi tersebut seperti anak kandung sendiri. Sungguh ajaib, tiba-tiba payudara Nyai Rada dapat mengeluarkan air susu yang langsung digunakannya untuk menyusui bayi tampan itu. Karena bayi laki-laki ini adalah putra Batara Surya, maka Kyai Adirata pun memberinya nama Suryaputra, atau Suryatmaja. Namun, untuk sehari-harinya bayi tersebut cukup dipanggil Radeya saja, supaya tidak terlalu mencolok. Nyai Rada setuju. Mereka berdua lalu pulang ke rumah dengan perasaan bahagia.
RADEN NARASOMA MEMENANGKAN SAYEMBARA PILIH
Hari itu Prabu Kuntiboja di Kerajaan Mandura mengadakan sayembara pilih untuk Dewi Kunti. Sang putri berdiri di atas panggung sambil memegang kalung untaian bunga, di mana satu per satu pelamar mendatanginya. Apabila Dewi Kunti diam saja, maka pelamar tersebut harus mundur dan digantikan pelamar lain untuk maju ke depan.
Dewi Kunti sendiri pikirannya sedang melayang membayangkan putranya, yaitu Karna Basusena yang kini entah ada di mana. Ia berdoa semoga bisa mendapatkan suami yang berasal dari negeri yang sama dengan tempat di mana putranya itu berada. Satu per satu pelamar maju dan didiamkan olehnya, hingga akhirnya jumlah pelamar yang tersisa tinggal satu orang, yaitu Raden Narasoma.
Dewi Kunti merasa tidak punya pilihan lagi. Meskipun hatinya tidak nyaman melihat sikap Raden Narasoma yang angkuh, namun demi menjaga nama baik Kerajaan Mandura, terpaksa ia pun memilih pangeran tersebut sebagai pemenang sayembara. Dewi Kunti lalu turun dari panggung dan mengalungkan untaian bunga ke leher Raden Narasoma.
Hal ini ternyata mengundang kemarahan para pelamar lainnya yang merasa disepelekan. Raden Narasoma justru merasa mendapatkan kesempatan untuk mencoba ilmu barunya. Ia pun menantang semua raja dan pangeran untuk merebut Dewi Kunti dari tangannya. Para pelamar itu maju menyerang. Raden Narasoma lalu mengerahkan Aji Candabirawa. Dari ujung jarinya keluar sesosok raksasa bertubuh kerdil tapi ganas menyeramkan. Raksasa itu mengamuk menghadapi para penyerang. Para raja dan pangeran pun menusukkan senjata mereka mengenai raksasa itu. Sungguh ajaib, percikan darah si raksasa berubah menjadi sejumlah raksasa baru. Demikianlah seterusnya. Setiap si raksasa mengeluarkan darah, maka darahnya akan langsung berubah menjadi raksasa baru. Jika awalnya, si raksasa Candabirawa hanya berjumlah seorang, maka kini jumlahnya menjadi lebih banyak daripada para raja dan pangeran yang menyerang. Mereka menerjang dan menggigit dengan ganas, membuat para raja dan pangeran itu banyak yang terluka dan melarikan diri.
RADEN PANDU MENGALAHKAN RADEN NARASOMA
Pada saat itulah Raden Pandu dan para panakawan datang ke Kerajaan Mandura karena diutus Prabu Kresna Dwipayana untuk mengikuti sayembara. Mereka terkejut melihat acara sayembara pilih telah berubah menjadi ajang pertempuran. Raden Narasoma pun menantang Raden Pandu jika ingin mengikuti sayembara, maka harus dapat merebut Dewi Kunti secara kesatria.
Raden Pandu menolak dan merelakan Raden Narasoma sebagai pemenang. Ia memutuskan untuk pulang ke Hastina saja. Raden Narasoma merasa disepelekan dan ia pun memerintahkan para raksasa Candabirawa untuk menyerang Raden Pandu.
Raden Pandu dengan lincah menghadapi serangan para raksasa ganas tersebut. Namun demikian, ia merasa terdesak karena para raksasa itu jumlahnya bertambah banyak jika dilukai. Melihat itu, Kyai Semar memberikan nasihat supaya Raden Pandu meletakkan senjata dan mengheningkan cipta, seperti nasihat Prabu Kresna Dwipayana kepada Prabu Mandrapati dulu saat berperang melawan Prabu Bagaskara.
Raden Pandu menurut. Ia lalu membuang senjata dan duduk bersila mengheningkan cipta. Sungguh aneh, dengan cara tidak melawan justru jumlah para raksasa menjadi berkurang satu demi satu hingga akhirnya tinggal seorang saja seperti sediakala yang kemudian masuk kembali ke dalam jari Raden Narasoma. Secepat kilat Raden Pandu melesat dan menangkap tubuh Raden Narasoma, lalu mengerahkan Aji Pangrupak Jagad dan membenamkan tubuh lawannya itu di dalam tanah hingga sebatas dada.
RADEN PANDU MENDAPATKAN DUA ORANG PUTRI
Raden Narasoma mengaku kalah dan menyadari kesalahannya telah berbuat sombong, merasa dirinya paling hebat. Raden Pandu lalu mengangkat tubuhnya kembali ke permukaan. Raden Narasoma pun menyerahkan Dewi Kunti kepada Raden Pandu karena sejak awal dia tahu kalau sang putri memilihnya karena terpaksa, bukan tulus dari hati. Lagipula Raden Narasoma telah memiliki istri bernama Dewi Setyawati dan tidak ingin menduakannya. Ia datang ke Mandura bukan untuk melamar Dewi Kunti, tetapi hanya untuk mencoba keampuhan Aji Candabirawa saja.
Dewi Kunti mendapatkan firasat apabila ia menikah dengan Raden Pandu, maka ini akan menjadi sarana baginya untuk bisa bertemu Karna Basusena. Maka, ia pun memindahkan kalung untaian bunga dari leher Raden Narasoma ke leher Raden Pandu.
Raden Narasoma teringat saat berkunjung ke Pancala dulu, antara Raden Pandu dan Dewi Madrim telah terjalin perasaan saling menyukai. Kebetulan hari itu Dewi Madrim juga ikut menyertainya. Ia pun menyerahkan adiknya itu kepada Raden Pandu supaya dijadikan sebagai istri kedua. Raden Pandu dengan senang hati menerimanya, sekaligus untuk mendekatkan kekeluargaan sesama keturunan Resi Manumanasa.
Tiba-tiba datang Arya Tuhayata dari Kerajaan Mandraka yang ditugasi Prabu Mandrapati untuk menjemput pulang Raden Narasoma. Mendengar ayahnya sudah tidak marah lagi, Raden Narasoma merasa senang dan ia pun mohon pamit kepada Prabu Kuntiboja untuk pulang ke Mandraka.
ROMBONGAN RADEN PANDU DIHADANG RADEN SUMAN
Sementara itu, Prabu Suwala raja Gandaradesa telah meninggal dunia. Takhta kerajaan pun diwarisi putra sulungnya yang bergelar Prabu Gendara. Hari itu Prabu Gendara berangkat ke Kerajaan Mandura untuk mengikuti sayembara pilih bersama adik-adiknya, yaitu Dewi Gendari, Raden Suman, Raden Anggajaksa, dan Raden Sarabasanta.
Dalam perjalanan tersebut, rombongan Prabu Gendara bertemu Raden Pandu yang sedang menuju Kerajaan Hastina bersama Dewi Kunti dan Dewi Madrim. Menyadari dirinya telah terlambat, Prabu Gendara pun berniat pulang ke Gandaradesa, namun Raden Suman menghasutnya supaya merebut Dewi Kunti dari tangan Raden Pandu.
Prabu Gendara termakan hasutan adiknya, dan ia pun menantang Raden Pandu bertarung. Jika dirinya yang menang, maka Dewi Kunti akan diminta untuk diboyong ke Gandaradesa. Sebaliknya, jika Raden Pandu yang menang, maka Prabu Gendara akan menyerahkan adiknya yang bernama Dewi Gendari untuk diboyong ke Kerajaan Hastina. Raden Pandu pun menerima tantangan tersebut.
Pertarungan dimulai. Hanya dalam beberapa serangan, Raden Pandu berhasil menewaskan Prabu Gendara. Sebelum meninggal, Prabu Gendara sempat berpesan kepada adik-adiknya untuk tidak membalas dendam. Ia telah merelakan kematiannya demi untuk menjadi sarana kebahagiaan Dewi Gendari.
Dewi Gendari, Raden Suman, dan yang lain terharu melihat pengorbanan sang kakak. Mereka lalu membagi rombongan menjadi dua. Dewi Gendari dan Raden Suman mengikuti Raden Pandu pergi ke Kerajaan Hastina sesuai perjanjian tadi, sedangkan Raden Anggajaksa dan Raden Sarabasanta membawa pulang jenazah Prabu Gendara.
RADEN DRETARASTRA MEMILIH DEWI GENDARI
Prabu Kresna Dwipayana, Resiwara Bisma, dan segenap keluarga besar Kerajaan Hastina menyambut kedatangan Raden Pandu yang berhasil memboyong tiga orang putri sekaligus. Mereka juga ikut prihatin dan menyampaikan duka cita atas meninggalnya Prabu Gendara.
Raden Pandu berniat menyerahkan dua orang di antara ketiga putri tersebut kepada kedua saudaranya, yaitu Raden Dretarastra dan Raden Yamawidura. Raden Dretarastra bersedia menerima, sedangkan Raden Yamawidura menolak karena ia mengaku telah memiliki seorang kekasih bernama Dewi Padmarini, putri Adipati Dipacandra. Adapun Adipati Dipacandra adalah pemimpin Kadipaten Pagombakan, yaitu sebuah negeri kecil bawahan Kerajaan Hastina. Raden Yamawidura berniat menikahi Dewi Padmarini kelak setelah kedua kakaknya menikah lebih dulu.
Raden Pandu pun mempersilakan Raden Dretarastra yang lebih tua agar mengambil dua orang putri sekaligus. Namun, Raden Dretarastra bersedia mengambil satu saja karena Raden Pandu yang telah bekerja keras memenangkan mereka, sehingga adiknya itu dianggap yang lebih pantas mendapatkan dua orang istri.
Karena menderita tunanetra, Raden Dretarastra pun meminta bantuan sang guru, yaitu Resiwara Bisma untuk memilihkan salah satu putri sebagai istrinya. Resiwara Bisma menyarankan agar Raden Dretarastra mengambil Dewi Gendari saja, karena usianya lebih tua daripada Dewi Kunti dan Dewi Madrim. Raden Dretarastra setuju dan Raden Pandu pun menyerahkan putri dari Gandaradesa tersebut kepada kakaknya.
Dewi Gendari sangat kecewa namun tidak dapat membantah karena menyadari dirinya hanyalah seorang putri boyongan. Raden Suman juga kecewa karena sang kakak menjadi istri seorang tunanetra. Namun, ia berusaha menghibur Dewi Gendari bahwa Raden Dretarastra adalah putra sulung Prabu Kresna Dwipayana. Kelak, jika Prabu Kresna Dwipayana mengundurkan diri dan kembali menjadi Resi Abyasa, maka takhta Kerajaan Hastina akan dipegang oleh Raden Dretarastra sebagai raja yang baru. Itu artinya, Dewi Gendari akan menjabat sebagai permaisuri kerajaan.
Dewi Gendari merasa sedikit terhibur. Ia berharap ucapan adiknya itu dapat menjadi kenyataan. Setelah dirasa cukup, Raden Suman pun mohon pamit kembali ke Kerajaan Gandaradesa untuk menerima warisan takhta dari sang kakak sulung yang telah meninggal (Prabu Gendara). Ia berjanji, meskipun sudah menjadi raja di sana akan tetap sering-sering mengunjungi Dewi Gendari di Kerajaan Hastina.
TANCEB KAYON

PANDU GROGOL


Pandu Grogol
Kisah ini menceritakan Prabu Kresna Dwipayana kembali menjadi Bagawan Abyasa, sedangkan Raden Pandu dilantik menjadi raja Hastina menggantikan dirinya. Kisah dilanjutkan dengan awal mula Raden Suman (yang kelak menjadi Patih Sengkuni) menetap di Hastina, serta kisah Prabu Pandu mendapatkan kutukan setelah memanah dua ekor kijang penjelmaan Resi Kindama dan Rara Dremi.
Kisah ini saya olah berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden Ngabehi Ranggawarsita dan kitab Mahabharata karya Resi Wyasa, dengan sedikit pengembangan.
===================+
RADEN PANDU MENJADI RAJA HASTINA
Prabu Kresna Dwipayana di Kerajaan Hastina dihadap para menteri dan punggawa, antara lain Resiwara Bisma, Patih Jayayatna, Resi Krepa, Arya Banduwangka, Arya Bargawa, dan Arya Bilawa. Hari itu Sang Prabu merasa sudah tiba saatnya untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai raja sementara. Dulu ia bersedia menduduki takhta Hastina adalah karena dipaksa Resiwara Bisma untuk mewakili adiknya yang mati muda, yaitu mendiang Prabu Citrawirya. Selain itu, Prabu Kresna Dwipayana juga menikahi kedua janda adiknya tersebut, yaitu Dewi Ambika dan Dewi Ambalika. Ia menyatakan bersedia menjadi raja, tetapi hanya sementara saja, yaitu sampai putra-putra hasil perkawinan mereka telah dewasa dan dianggap mampu untuk memimpin Kerajaan Hastina.
Kini ketiga putra Prabu Kresna Dwipayana yang lahir dari Dewi Ambika dan Dewi Ambalika telah dewasa, yaitu Raden Dretarastra, Raden Pandu Dewayana, dan Raden Yamawidura. Prabu Kresna Dwipayana lalu memanggil mereka bertiga agar ikut bergabung dalam pertemuan tersebut, untuk menerima keputusan siapa yang berhak menjadi raja.
Ketiga pangeran tersebut telah hadir. Prabu Kresna Dwipayana lalu meminta pendapat Resiwara Bisma selaku ahli waris sah Kerajaan Hastina, tentang siapa di antara mereka yang pantas menjadi raja. Resiwara Bisma menjelaskan bahwa Raden Dretarastra adalah putra sulung Prabu Kresna Dwipayana, namun sayangnya, ia menderita cacat tunanetra sejak lahir. Oleh sebab itu, Resiwara Bisma mengusulkan agar Raden Pandu saja yang dilantik sebagai raja baru di Kerajaan Hastina.
Raden Dretarastra tertunduk kecewa mendengar usulan Resiwara Bisma. Namun, ia menyadari bahwa dirinya memang memiliki kekurangan. Akhirnya, ia pun setuju jika Raden Pandu yang diangkat sebagai raja. Sebaliknya, Raden Pandu merasa tidak enak hati kepada sang kakak. Ia memohon kepada Prabu Kresna Dwipayana dan Resiwara Bisma agar Raden Dretarastra saja yang diangkat sebagai raja.
Raden Yamawidura si bungsu dipersilakan ikut bicara. Ia mencoba bersikap adil dengan menguraikan alasan mengapa Resiwara Bisma tidak setuju jika Raden Dretarastra yang menjadi raja. Menurut Raden Yamawidura, seorang raja yang tunanetra sangat mudah untuk dihasut pihak-pihak yang ingin mencari keuntungan. Bahkan, seorang raja yang memiliki penglihatan sehat saja masih dapat tertipu oleh laporan palsu, apalagi seorang raja yang tidak dapat melihat secara langsung. Memang benar, andaikan Raden Dretarastra menjadi raja, ia akan dilindungi oleh Resiwara Bisma, Patih Jayayatna, Resi Krepa, dan sebagainya. Akan tetapi, tidak mungkin setiap hari setiap malam mereka selalu berada di sisi raja. Yang dikhawatirkan adalah munculnya orang licik yang bisa menyampaikan laporan palsu pada saat raja sedang sendirian.
Setelah mendengar uraian dari Raden Yamawidura tersebut, semua orang kini merasa jelas duduk perkaranya. Raden Dretarastra pun menyatakan rela dan senang jika adiknya yang dilantik. Lagipula kehebatan Raden Pandu sudah terbukti, antara lain pernah menjadi jago dewa menumpas Prabu Nagapaya, kemudian mengamankan Kerajaan Sriwedari dan Singgela, hingga memenangkan sayembara pilih di Kerajaan Mandura.
Karena semua pihak sudah menyatakan setuju, Prabu Kresna Dwipayana pun menetapkan Raden Pandu sebagai raja yang baru di Kerajaan Hastina menggantikan dirinya. Raden Pandu tidak dapat menolak lagi. Ia pun menyatakan bersedia menerima keputusan tersebut.
Maka, pada hari itu pula Raden Pandu Dewayana dilantik menjadi raja, bergelar Prabu Pandu Dewanata. Adapun Prabu Kresna Dwipayana kembali menjadi pendeta di Gunung Saptaarga, bergelar Bagawan Abyasa.
Kini, Prabu Pandu telah resmi menjadi raja. Ia pun memberikan kedudukan kepada sang kakak, yaitu Raden Dretarastra sebagai raja bawahan di kota lama Hastina, yaitu Gajahoya. Raden Dretarastra menerima keputusan tersebut, dan ia pun bergelar Adipati Dretarastra.
DEWI GENDARI MEMINTA BANTUAN ADIKNYA
Pelantikan Prabu Pandu sebagai raja Hastina membuat Dewi Gendari sangat kecewa. Kini ia telah merasakan kekecewaan sebanyak dua kali. Pertama, ia kecewa karena gagal menjadi istri Prabu Pandu dan justru diserahkan kepada Adipati Dretarastra yang buta. Kedua, ia kecewa karena suaminya gagal menjadi raja.
Untuk mengobati kekecewaannya, Dewi Gendari pun mengirimkan surat kepada adiknya, yaitu Raden Suman yang telah menjadi raja di Gandaradesa, bergelar Prabu Trigantalpati. Dalam surat tersebut ia meminta bantuan sang adik agar mengusahakan suaminya, atau mungkin keturunannya kelak supaya bisa menjadi raja Hastina. Jika tidak, maka Dewi Gendari merasa lebih baik mati saja.
Prabu Trigantalpati sejak kecil sangat menyayangi kakaknya itu. Setelah membaca surat tersebut, ia pun mengolah akal bagaimana caranya untuk bisa menetap di Kerajaan Hastina, agar bisa menyingkirkan Prabu Pandu dan keturunannya. Prabu Trigantalpati lalu mengirim surat kepada seorang raja bernama Prabu Suwelaraja di Kerajaan Surasrata. Surat tersebut ditulisnya sendiri, namun seolah-olah ditulis oleh Dewi Kunti.
PRABU SUWELARAJA MENYERANG KERAJAAN HASTINA
Prabu Suwelaraja di Kerajaan Surasrata dulu ikut melamar Dewi Kunti di Kerajaan Mandura, namun ia tidak terpilih dan juga kalah dalam pertarungan melawan Raden Narasoma. Hari itu ketika sedang duduk sendirian, tiba-tiba datang seorang dayang yang mengaku diutus Dewi Kunti dari Kerajaan Hastina untuk menyampaikan surat. Prabu Suwelaraja menerima surat itu dan membaca isinya dengan penasaran. Surat tersebut berisi kekecewaan Dewi Kunti menjadi istri Prabu Pandu di Hastina, padahal sebenarnya ia ingin menjadi istri Prabu Suwelaraja. Dewi Kunti juga menyesal mengapa dulu tidak memilih Prabu Suwelaraja dalam sayembara, sehingga akhirnya kini jatuh ke tangan Prabu Pandu yang tidak disukainya. Surat tersebut ditutup pula dengan permintaan Dewi Kunti agar Prabu Suwelaraja merebutnya dari tangan Prabu Pandu, atau ia memilih bunuh diri saja.
Prabu Suwelaraja tergetar perasaannya setelah membaca surat tersebut. Ia tidak menyadari bahwa surat itu sesungguhnya palsu belaka dan merupakan tulisan Prabu Trigantalpati. Dayang yang membawa surat itu juga bukan orang Hastina, melainkan orang Gandaradesa. Namun, Prabu Suwelaraja terlanjur percaya dan tanpa pikir panjang, ia pun berangkat menyerang Kerajaan Hastina dengan membawa pasukan besar.
PRABU TRIGANTALPATI MENGABDI KE HASTINA
Prabu Pandu di Kerajaan Hastina terkejut karena tiba-tiba negerinya diserang Prabu Suwelaraja dari Kerajaan Surasrata. Pertempuran sengit pun terjadi. Pada saat itulah tiba-tiba datang Prabu Trigantalpati bersama kedua adiknya, yaitu Raden Anggajaksa dan Raden Sarabasanta. Mereka membawa pasukan Gandaradesa yang langsung bergabung dengan pihak Hastina untuk menghancurkan pasukan Surasrata.
Demikianlah, Prabu Trigantalpati berhasil mengadu domba Kerajaan Hastina dengan Surasrata, kemudian ia tampil sebagai pahlawan. Dalam perang tersebut, ia dan kedua adiknya berhasil membunuh Prabu Suwelaraja dan menghadapkan mayatnya kepada Prabu Pandu.
Prabu Pandu berterima kasih atas bantuan pihak Gandaradesa, sehingga keadaan Hastina kini menjadi aman kembali. Ia pun berniat memberikan hadiah kepada Prabu Trigantalpati atas jasa-jasanya tersebut. Namun, Prabu Trigantalpati meminta hadiah yang aneh, yaitu ia ingin diterima mengabdi sebagai punggawa di Kerajaan Hastina. Ia mengaku tidak bisa jauh dari kakaknya, yaitu Dewi Gendari, yang kini menjadi istri Adipati Dretarastra. Sejak kecil mereka dibesarkan bersama dalam suka dan duka, sehingga Prabu Trigantalpati merasa tidak bisa hidup jika tidak melihat Dewi Gendari setiap hari.
Prabu Pandu terkesan melihat kesetiaan Prabu Trigantalpati kepada Dewi Gendari. Sebaliknya, Raden Yamawidura merasa curiga. Sungguh aneh jika Prabu Trigantalpati yang sudah menjadi raja di Gandaradesa tiba-tiba ingin meninggalkan takhta dan memilih menjadi punggawa di Hastina. Raden Yamawidura pun meminta Prabu Pandu agar lebih bijak dalam bersikap dan tidak buru-buru mengabulkan permintaan Prabu Trigantalpati yang aneh tersebut.
Prabu Trigantalpati tidak mau kalah. Ia pun menangis di hadapan Prabu Pandu dan mengatakan bahwa bisa berada di dekat Dewi Gendari adalah kebahagiaan paling besar dalam hidupnya. Baginya, duduk di atas takhta Gandaradesa tidak ada artinya jika hidupnya jauh dari sang kakak.
Adipati Dretarastra yang hadir di tempat itu pun menjelaskan bahwa setiap hari istrinya selalu bercerita tentang Prabu Trigantalpati. Sejak kecil mereka dibesarkan bersama dan saling menyayangi sehingga tidak bisa hidup berjauhan satu sama lain. Maka, Adipati Dretarastra pun berlawanan pendapat dengan Raden Yamawidura. Ia meminta agar Prabu Pandu mengabulkan keinginan Prabu Trigantalpati menjadi punggawa Kerajaan Hastina.
Prabu Pandu akhirnya menerima saran dari kakaknya. Ia pun menerima Prabu Trigantalpati sebagai punggawa di Kerajaan Hastina. Tidak hanya itu, ia juga memberikan sebidang tanah di daerah Plasajenar sebagai tempat tinggal Prabu Trigantalpati. Adapun letak Plasajenar berdekatan dengan kota lama Gajahoya, tempat tinggal Adipati Dretarastra dan Dewi Gendari, sehingga Prabu Trigantalpati bisa setiap saat bertemu dengan kakaknya tersebut.
Prabu Trigantalpati sangat berterima kasih. Ia pun mengangkat kedua adiknya sebagai raja wakil di Gandaradesa, dengan gelar Aryaprabu Anggajaksa dan Aryaprabu Sarabasanta. Prabu Trigantalpati sendiri mulai saat itu tinggal di Plasajenar sebagai punggawa Kerajaan Hastina, dan ia kembali memakai nama lama, yaitu Arya Suman.
Sementara itu, Raden Yamawidura merasa kecewa dalam hati. Namun, karena Prabu Pandu sudah memutuskan demikian, ia tidak kuasa menentang lagi. Dalam hatinya muncul firasat bahwa Arya Suman kelak akan menjadi sumber kekacauan di Kerajaan Hastina.
PRABU PANDU MELINDUNGI PELARIAN DARI MALAKA
Pada suatu hari Prabu Pandu pergi bertamasya bersama Dewi Kunti dan Dewi Madrim mengunjungi hutan wisata Pramuwana yang dulu dibangun oleh Prabu Kresna Dwipayana (Bagawan Abyasa). Yang ikut bersama mereka adalah Arya Banduwangka dengan membawa sedikit prajurit serta para panakawan.
Di tengah jalan, Prabu Pandu bertemu seorang laki-laki berpakaian compang-camping yang mengaku bernama Nakoda Darwa. Laki-laki itu mengaku baru saja mendapatkan musibah bertubi-tubi. Prabu Pandu merasa kasihan dan memberinya makan. Namun, Nakoda Darwa tidak selera karena ia sedang bersedih hati setelah kehilangan anak gadisnya.
Nakoda Darwa bercerita bahwa dirinya berasal dari Kerajaan Malaka di tanah seberang. Pada suatu hari ia memergoki istrinya berselingkuh dengan Raden Sadrasa, putra raja Malaka. Nakoda Darwa pun mengamuk dan berkelahi dengan Raden Sadrasa. Dalam perkelahian itu, Raden Sadrasa tewas, sedangkan istri Nakoda Darwa bunuh diri karena malu.
Prabu Dasarna raja Malaka sangat marah mendengar putranya tewas. Ia pun memerintahkan agar Nakoda Darwa dihukum mati atas dosa-dosanya. Nakoda Darwa ketakutan dan ia pun melarikan diri bersama putrinya yang bernama Rara Dremi ke Tanah Jawa.
Akan tetapi, sesampainya di Tanah Jawa, Nakoda Darwa justru mendapatkan musibah. Anak gadisnya tiba-tiba hilang karena diculik oleh seorang pendeta bernama Resi Kindama. Kini Nakoda Darwa terlunta-lunta seorang diri dengan keadaan memprihatinkan. Di satu sisi ia dikejar-kejar pasukan Malaka, dan di sisi lain ia bingung mencari keberadaan Rara Dremi.
Prabu Pandu sangat kasihan melihat keadaan Nakoda Darwa. Ia pun berjanji akan melindungi laki-laki itu dan siap membantu mencari anak gadisnya sampai ketemu.
NAKODA DARWA MENINGGAL DUNIA
Tidak lama kemudian, datang pula pasukan Malaka yang dipimpin seorang punggawa bernama Arya Wirawangsa. Kedatangan mereka adalah untuk menangkap Nakoda Darwa dan membawanya kembali ke Kerajaan Malaka. Prabu Pandu menjelaskan bahwa Nakoda Darwa kini berada dalam perlindungan Kerajaan Hastina. Lagipula, Nakoda Darwa membunuh pangeran Malaka itu karena istrinya diselingkuhi Raden Sadrasa, bukan karena sengaja ingin membunuh.
Arya Wirawangsa tidak peduli. Ia pun mengancam Prabu Pandu akan merebut Nakoda Darwa secara paksa, dan bila perlu melalui pertempuran. Arya Banduwangka marah mendengarnya dan segera tampil melindungi rajanya. Maka, sekejap kemudian terjadilah pertempuran antara para prajurit Hastina melawan pihak Malaka.
Dalam pertempuran itu, Arya Banduwangka berhasil meringkus Arya Wirawangsa dan menghadapkannya kepada Prabu Pandu. Akan tetapi, Prabu Pandu sendiri sangat terkejut melihat Nakoda Darwa duduk diam di atas batu tanpa bergerak lagi. Ternyata laki-laki itu sudah meninggal dunia. Rupanya selama ini Nakoda Darwa berjuang melawan penderitaan batin karena istrinya berselingkuh dan putrinya hilang diculik orang. Maka, begitu mendengar Prabu Pandu berjanji akan melindunginya dan juga siap membantu mencari Rara Dremi sampai ketemu, seketika Nakoda Darwa merasa lega dan nyawanya pun terlepas dengan tenang.
Karena Nakoda Darwa telah meninggal, Prabu Pandu pun menyuruh Arya Banduwangka membebaskan Arya Wirawangsa. Prabu Pandu lalu menulis surat kepada Prabu Dasarna di Malaka agar peristiwa ini tidak perlu diperpanjang. Ia pun meminta agar Kerajaan Malaka dan Kerajaan Hastina menjalin persahabatan.
Prabu Pandu lalu menitipkan surat tersebut kepada Arya Wirawangsa dan juga memberikan sejumlah uang dan makanan kepadanya sebagai bekal perjalanan pulang ke Malaka. Arya Wirawangsa berterima kasih dan segera mohon pamit meninggalkan tempat itu bersama seluruh pasukannya.
PRABU PANDU MEMANAH DUA EKOR KIJANG
Prabu Pandu dan rombongannya akhirnya sampai di Hutan Pramuwana. Ia lalu pergi berburu bersama Dewi Kunti dan Dewi Madrim, sedangkan Arya Banduwangka dan para panakawan mengawal di belakang. Tidak lama kemudian, mereka melihat ada sepasang kijang sedang berkasih-kasihan di balik semak-semak.
Dewi Kunti menyarankan agar Prabu Pandu mencari sasaran yang lain, karena tidak sebaiknya mengganggu hewan yang sedang kawin. Sebaliknya, Dewi Madrim meminta sang suami agar memanah kedua kijang tersebut karena ini sangat menguntungkan. Dalam sekali panah, Prabu Pandu akan mendapatkan dua kijang sekaligus.
Prabu Pandu sebenarnya tidak tega. Namun, karena Dewi Madrim merengek terus-menerus, Prabu Pandu pun melepaskan panahnya. Seketika panah tersebut melesat dan menembus kedua kijang dalam sekaligus. Sungguh ajaib, kedua kijang itu berubah menjadi sepasang manusia, laki-laki dan perempuan.
Prabu Pandu terkejut gugup dan segera mendatangi pasangan itu yang sekarat terkena panahnya. Yang perempuan akhirnya meninggal lebih dulu. Yang laki-laki merintih kesakitan, mengaku bernama Resi Kindama. Ia merasa ini adalah hukun karma karena dirinya telah menculik Rara Dremi, putri Nakoda Darwa. Pada mulanya Rara Dremi tidak mau mengikuti Resi Kindama. Namun, gadis tersebut akhirnya menurut setelah terkena Aji Pengasihan yang dikerahkan sang pendeta. Karena takut ketahuan Nakoda Darwa, maka Resi Kindama pun mengubah wujudnya menjadi kijang jantan, serta mengubah wujud Rara Dremi menjadi kijang betina. Keduanya lalu berzinah dalam wujud hewan tersebut. Tak disangka, tiba-tiba Prabu Pandu datang dan memanah mereka berdua.
Prabu Pandu menyesal telah berbuat ceroboh. Ia pun meminta maaf dan menawarkan pengobatan untuk luka Resi Kindama. Namun, Resi Kindama menolak tegas. Ia merasa tidak ingin hidup lagi setelah kekasihnya tewas. Pendeta itu pun mengutuk Prabu Pandu kelak akan kehilangan kesaktiannya jika bersetubuh dengan istrinya. Setelah mengutuk demikian, Resi Kindama lalu tewas menyusul Rara Dremi.
Prabu Pandu sangat menyesal. Ia pun menguburkan kedua jasad tersebut, kemudian mengajak rombongan kembali ke Kerajaan Hastina.
PRABU PANDU PERGI BERTAPA DI GUNUNG SAPTAARGA
Sesampainya di istana, Prabu Pandu segera menceritakan peristiwa yang dialaminya kepada Resiwara Bisma, Adipati Dretarastra, dan Raden Yamawidura. Dalam pertemuan itu Prabu Pandu menyampaikan niatnya untuk bertapa menebus dosa dan menyerahkan takhta Kerajaan Hastina kepada Adipati Dretarastra selama kepergiannya.
Resiwara Bisma berusaha menghibur keponakannya itu, bahwa ini semua bukan salah Prabu Pandu. Bagaimanapun juga Resi Kindama telah berdosa karena menculik Rara Dremi putri Nakoda Darwa, sehingga ia mendapatkan karma melalui panah Prabu Pandu. Oleh sebab itu, Prabu Pandu tidak perlu bertapa menebus dosa, karena ia hanyalah menjadi sarana dewata untuk menghukum pendeta jahat tersebut.
Namun, Prabu Pandu tidak setuju. Meskipun Resi Kindama berdosa telah menculik Rara Dremi, namun gadis tersebut juga ikut mati terkena panah. Prabu Pandu tetap merasa bersalah karena ia sendiri telah berjanji kepada mendiang Nakoda Darwa untuk mencari dan menemukan putrinya. Sungguh sayang, Rara Dremi sendiri justru tewas di tangan Prabu Pandu.
Kini, Prabu Pandu telah membulatkan tekadnya untuk hidup menyepi di Gunung Saptaarga. Resiwara Bisma akhirnya mengizinkan, namun ia memberi saran agar pertapaan tersebut dilaksanakan selama tiga tahun saja. Kelak setelah tiga tahun, Prabu Pandu harus kembali untuk memimpin Kerajaan Hastina. Prabu Pandu mematuhi. Ia kemudian menyerahkan takhta Hastina kepada Adipati Dretarastra sebagai raja wakil selama kepergiannya.
Demikianlah, Prabu Pandu pun berangkat menuju Gunung Saptaarga untuk memulai hidup menyepi di sana. Kedua istrinya, yaitu Dewi Kunti dan Dewi Madrim memohon untuk ikut serta. Mereka tidak mau ditinggal di istana karena sebagai istri, mereka merasa wajib untuk mendampingi suami dalam suka maupun duka. Tidak hanya mereka berdua, para panakawan pun ikut pula menemani kepergian Prabu Pandu menuju ke tempat pertapaan.
TANCEB KAYON
*****************

PUNTADEWA LAHIR

PUNTADEWA LAHIR

Kisah ini menceritakan kelahiran putra pertama Prabu Pandu, yaitu Raden Puntadewa yang merupakan sulung dari Pandawa Lima. Kisah diawali dengan Resi Druwasa mengubah Raden Seta, putra Prabu Matsyapati menjadi tiga bayi, yang diberi nama Raden Seta, Raden Utara, dan Raden Wratsangka. Kemudian dilanjutkan dengan pelantikan Prabu Salya sebagai raja Mandraka, serta kisah awal mula negeri Awangga menjadi bawahan Kerajaan Hastina.
Kisah ini saya olah berdasarkan Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden Ngabehi Ranggawarsita dan Serat Pedalangan karya Adipati Mangkunagara VII, dengan sedikit pengembangan.
====================
LAHIRNYA RADEN UTARA DAN RADEN WRATSANGKA
Prabu Matsyapati di Kerajaan Wirata dihadap putra tunggalnya, yaitu Raden Seta, beserta para menteri dan punggawa, antara lain Patih Kincaka, Arya Rupakinca, Arya Rajamala, dan Arya Nirbita. Hadir pula seorang pendeta tua pengelana bernama Resi Druwasa yang merupakan guru Prabu Matsyapati.
Resi Druwasa ini pernah menjadi guru Dewi Kunti saat berkelana ke negeri Mandura dulu. Kali ini ia pun berkelana ke negeri Wirata dan telah beberapa bulan lamanya menjadi guru bagi Prabu Matsyapati dan Dewi Sudaksina.
Hari itu Prabu Matsyapati telah menamatkan pelajarannya dan ia pun berterima kasih kepada Resi Druwasa. Sebelum mereka berpisah, Prabu Matsyapati memohon untuk diberi sarana agar bisa berputra lagi. Prabu Matsyapati mengeluh karena ia hanya memiliki seorang putra, sedangkan kakaknya yaitu mendiang Dewi Durgandini telah memiliki banyak anak dan cucu. Bahkan, dua orang cucunya, yaitu Adipati Dretarastra dan Prabu Pandu juga telah berumah tangga.
Sementara itu, Prabu Matsyapati hanya memiliki seorang putra saja, yaitu Raden Seta yang kini telah berusia empat puluh tahun tetapi belum menikah, apalagi memiliki anak. Sehari-hari ia hanya sibuk belajar dan berlatih meningkatkan kesaktian. Untuk itu, Prabu Matsyapati pun memohon sarana kepada Resi Druwasa agar bisa berputra lagi, sehingga silsilah Kerajaan Wirata dapat berkembang lebih banyak.
Resi Druwasa menyatakan bersedia. Ia lalu meminta agar Prabu Matsyapati memanggil sang permaisuri Dewi Sudaksina. Setelah Dewi Sudaksina hadir di pertemuan, Resi Druwasa pun mengheningkan cipta sejenak, lalu menyampaikan ramalannya. Ramalan tersebut berbunyi, Prabu Matsyapati dan Dewi Sudaksina akan memiliki tambahan dua orang putra lagi dan satu orang putri. Kedua putra tersebut akan tercipta jika Raden Seta bersedia kembali menjadi bayi, sedangkan yang perempuan akan lahir secara normal dari rahim Dewi Sudaksina beberapa puluh tahun lagi.
Prabu Matsyapati dan Dewi Sudaksina lalu bertanya kepada Raden Seta apakah bersedia dikembalikan menjadi bayi agar bisa memiliki adik. Raden Seta menyatakan bersedia namun dengan syarat, ia tidak ingin kehilangan semua ilmu dan kesaktian yang telah ia pelajari selama ini. Resi Druwasa menjelaskan apabila Raden Seta kembali menjadi bayi, maka ia akan kehilangan kesaktiannya hanya untuk sementara saja. Kelak setelah dewasa, hendaknya Raden Seta pergi bertapa ke Gunung Suhrini, maka semua kesaktiannya akan kembali lagi seperti sediakala, bahkan semakin bertambah banyak.
Mendengar penjelasan tersebut, Raden Seta pun menyatakan siap dikembalikan menjadi bayi demi kebahagiaan ayah dan ibunya. Resi Druwasa segera mengadakan sesaji dan membaca mantra. Perlahan-lahan tubuh Raden Seta menyusut semakin kecil dan mengecil, hingga kembali menjadi bayi. Kemudian bayi tersebut berubah menjadi tiga, yang masing-masing berwarna putih, kuning, dan merah. Resi Druwasa lalu menyerahkan ketiga bayi tersebut kepada Prabu Matsyapati dan Dewi Sudaksina.
Prabu Matsyapati dan Dewi Sudaksina bahagia menerima ketiga bayi itu. Mereka berharap dengan lahirnya ketiga bayi laki-laki ini, maka silsilah Kerajaan Wirata dapat berkembang lagi. Bayi yang berkulit putih pun ditetapkan sebagai yang paling tua dan diberi nama Raden Seta. Sementara itu, bayi yang berkulit kuning diberi nama Raden Utara, sedangkan bayi yang berkulit merah diberi nama Raden Wratsangka.
Resi Druwasa kembali mengheningkan cipta sambil mulutnya mengucapkan ramalan. Kelak beberapa puluh tahun lagi Dewi Sudaksina akan mengandung dan melahirkan si anak bungsu. Anak bungsu tersebut berkelamin perempuan dan berkulit hitam manis. Hendaknya Prabu Matsyapati memberinya nama Dewi Utari yang kelak akan menurunkan raja-raja Tanah Jawa.
Prabu Matsyapati penasaran dan bertanya mengapa Dewi Utari harus lahir di masa depan, mengapa tidak saat ini saja? Resi Druwasa pun menjelaskan bahwa Dewi Utari akan lahir ke dunia bersamaan dengan kelahiran laki-laki yang akan menjadi jodohnya, yaitu Raden Abimanyu, cucu Prabu Pandu Dewanata.
ARYA NIRBITA KEMBALI MENJADI BAYI
Tiba-tiba Arya Nirbita memberanikan diri ikut bicara. Sejak bayi ia sudah ditinggal mati ayahnya, yaitu Raden Setatama (saudara Dewi Sudaksina). Tidak lama kemudian ibunya yang bernama Dewi Kandini juga ikut meninggal dunia. Setelah menjadi yatim piatu, Arya Nirbita pun diasuh Prabu Matsyapati dan Dewi Sudaksina untuk dibesarkan bersama-sama dengan Raden Seta.
Sejak kecil Arya Nirbita dan Raden Seta adalah kawan sepermainan. Hubungan mereka sudah seperti saudara kandung. Kini Raden Seta telah kembali menjadi bayi dan berubah menjadi tiga. Hal itu membuat Arya Nirbita merasa sedih dan kehilangan teman. Maka, ia pun memohon kepada Prabu Matsyapati dan Dewi Sudaksina agar dirinya juga diubah menjadi bayi, sehingga bisa menjadi kawan sepermainan Raden Seta dan kedua adiknya tersebut.
Prabu Matsyapati lalu memohon kepada Resi Druwasa agar mengabulkan keinginan keponakannya itu. Resi Druwasa terkesan melihat ketulusan Arya Nirbita. Ia mengheningkan cipta sesaat dan melihat gambaran di masa depan bahwa Raden Seta, Raden Utara, dan Raden Wratsangka akan gugur semua dalam sebuah perang besar di Tegal Kurusetra, sedangkan Arya Nirbita selamat. Bahkan, Arya Nirbita kemudian menjadi ahli waris Kerajaan Wirata menggantikan Prabu Matsyapati. Resi Druwasa lalu membuka mata namun tidak tega menyampaikan ramalan tersebut kepada Prabu Matsyapati dan Dewi Sudaksina.
Tanpa banyak bicara, Resi Druwasa lalu membaca mantra dan mengubah tubuh Arya Nirbita kembali menjadi bayi. Ia kemudian menyerahkan bayi tersebut kepada Prabu Matsyapati dan Dewi Sudaksina untuk diasuh bersama-sama dengan Raden Seta, Raden Utara, dan Raden Wratsangka. Setelah itu, Resi Druwasa mohon pamit kepada mereka berdua. Ia berkata bahwa ini mungkin adalah pertemuan yang terakhir bagi mereka. Setelah berkata demikian, pendeta tua itu pun lenyap dari pandangan, pergi entah ke mana.
PRABU MATSYAPATI MENDAPAT UNDANGAN KE MANDRAKA
Tidak lama kemudian datanglah utusan dari Kerajaan Mandraka, bernama Arya Tuhayata yang menghadap Prabu Matsyapati. Arya Tuhayata menyampaikan berita duka bahwa rajanya, yaitu Prabu Mandrapati telah meninggal dunia. Sang putra mahkota, yaitu Raden Narasoma akan dilantik sebagai raja yang baru, namun menunggu restu dari Prabu Matsyapati selaku sesepuh para raja di Tanah Jawa.
Prabu Matsyapati sangat terkejut dan bersedih mendengar berita duka tersebut. Bagaimanapun juga hubungan antara Kerajaan Wirata dan Mandraka sudah terjalin sekian lama. Bahkan, raja pertama Mandraka, yaitu Prabu Kardana Mandrakusuma adalah mantan punggawa Kerajaan Wirata pada masa pemerintahan Prabu Basukiswara.
Tanpa membuang-buang waktu, Prabu Matsyapati pun berpamitan kepada Dewi Sudaksina. Mengenai pesta syukuran atas lahirnya Raden Seta, Raden Utara, dan Raden Wratsangka dapat ditunda nanti setelah ia kembali dari Kerajaan Mandraka. Selama kepergiannya nanti, urusan Kerajaan Wirata diserahkan kepada Patih Kincaka dan Arya Rajamala. Setelah dirasa cukup, Prabu Matsyapati lalu berangkat dengan dikawal Arya Rupakinca.
KERAJAAN MANDRAKA DISERANG KERAJAAN AWANGGA
Sementara itu, di Kerajaan Mandraka sedang terjadi pertempuran. Awal mulanya ialah seorang raksasa dari Kerajaan Awangga yang bernama Patih Taksana datang untuk melamar Dewi Madrim menjadi permaisuri rajanya yang bernama Prabu Rudraksa. Raden Narasoma selaku tuan rumah menjelaskan bahwa saat ini Kerajaan Mandraka sedang berkabung karena meninggalnya Prabu Mandrapati. Lagipula Dewi Madrim sudah menjadi istri Prabu Pandu, sehingga tidak mungkin diserahkan kepada Prabu Rudraksa.
Patih Taksana mengaku sudah mendapatkan kewenangan penuh dari Prabu Rudraksa. Ia pun meminta Raden Narasoma agar menceraikan Dewi Madrim dengan Prabu Pandu supaya bisa diboyong ke Kerajaan Awangga. Raden Narasoma marah terhadap sikap lancang Patih Taksana. Namun, Patih Tuhayana berusaha menyabarkannya. Sang Patih pun meminta Raden Narasoma untuk tetap menunggui jenazah Prabu Mandrapati, sedangkan dirinya yang maju menghadapi Patih Taksana.
Maka, tidak lama kemudian terjadilah pertempuran antara pasukan Awangga melawan pasukan Mandraka. Dalam pertempuran itu Patih Tuhayana tewas digigit lehernya oleh Patih Taksana.
Raden Narasoma sangat marah dan hampir saja terjun ke medan perang. Namun, tiba-tiba datang pasukan Hastina yang dipimpin Adipati Dretarastra yang langsung membantu pihak Mandraka. Patih Taksana meremehkan Adipati Dretarastra yang tunanetra. Namun, begitu terpegang oleh lawan, tubuh Patih Taksana langsung hancur menjadi abu terkena Aji Leburgeni milik raja wakil dari Hastina tersebut.
RADEN NARASOMA DILANTIK MENJADI PRABU SALYA
Keadaan kini telah aman kembali. Adipati Dretarastra datang bersama Dewi Gendari dan Arya Suman dari Kerajaan Hastina untuk menyampaikan belasungkawa atas meninggalnya Prabu Mandrapati. Ia memohon maaf atas ketidakhadiran Prabu Pandu, Dewi Kunti, dan Dewi Madrim karena mereka bertiga sedang menjalani masa penyepian di Gunung Saptaarga, demi untuk menghilangkan kutukan Resi Kindama.
Raden Narasoma mengaku sudah mendengar peristiwa tersebut. Ia memaklumi jika mereka bertiga tidak bisa hadir di Kerajaan Mandraka. Tidak lama kemudian datang pula rombongan Prabu Matsyapati dari Wirata, rombongan Prabu Gandabayu dari Pancala, serta rombongan Prabu Kuntiboja dari Mandura.
Setelah semua tamu lengkap, Raden Narasoma pun memimpin upacara pemakaman Prabu Mandrapati Naradenta. Upacara tersebut kemudian dilanjutkan dengan pelantikan dirinya sebagai raja yang baru menggantikan sang ayah, dengan bergelar Prabu Salyapati Somadenta. Upacara pelantikan tersebut dipimpin oleh Prabu Matsyapati selaku sesepuh para raja di Tanah Jawa.
Demikianlah, kini Prabu Salya telah resmi menduduki takhta Kerajaan Mandraka. Ia kemudian mengangkat Arya Tuhayata sebagai patih yang baru untuk menggantikan Patih Tuhayana yang telah gugur dalam pertempuran kemarin.
Setelah beberapa hari, Prabu Matsyapati, Prabu Kuntiboja, Prabu Gandabayu, dan Adipati Dretarastra mohon pamit kembali ke negeri masing-masing. Adipati Dretarastra tidak langsung pulang ke Kerajaan Hastina, melainkan berniat singgah terlebih dulu ke Gunung Saptaarga untuk menjenguk ayah dan adiknya di sana.
RESI DRUWASA MENGUNJUNGI GUNUNG SAPTAARGA
Sementara itu, Resi Druwasa yang telah meninggalkan Kerajaan Wirata, kini datang mengunjungi Gunung Saptaarga. Bagawan Abyasa, Prabu Pandu, Dewi Kunti, dan Dewi Madrim pun menyambut kedatangan pendeta tua pengelana tersebut. Lebih-lebih Dewi Kunti sangat menaruh hormat kepada Resi Druwasa yang pernah menjadi gurunya tersebut.
Kyai Semar pun menjelaskan hubungan silsilah Resi Druwasa dengan Bagawan Abyasa. Dahulu kala, pendiri padepokan di Gunung Saptaarga, yaitu Resi Manumanasa memiliki kakak perempuan bernama Dewi Kaniraras yang menikah dengan Empu Kanomayasa di Kerajaan Wirata. Setelah Empu Kanomayasa meninggal karena kecelakaan kerja, Dewi Kaniraras pun menjadi istri Prabu Durapati di Kerajaan Duhyapura. Dari perkawinan itu lahirlah Resi Dwapara.
Resi Dwapara kemudian berguru kepada Resi Manumanasa, namun kemudian ia berkhianat setelah kalah bersaing melawan sepupunya, yaitu Resi Satrukem (putra Resi Manumanasa) dalam memperebutkan Dewi Nilawati. Resi Dwapara kemudian menjadi menantu pamannya yang lain, yaitu Arya Paridarma (adik bungsu Resi Manumanasa) di Desa Gandara (sekarang menjadi Kerajaan Gandaradesa). Dari perkawinan itu lahirlah Resi Druwasa.
Resi Dwapara yang selalu memusuhi Resi Manumanasa dan berusaha ingin membunuhnya, akhirnya tewas sendiri di tangan Resi Satrukem. Sementara itu, putranya yaitu Resi Druwasa bertobat dan menjadi murid Resi Manumanasa. Resi Druwasa pun dikaruniai umur panjang sehingga bisa hidup sampai saat ini dan berkelana mengunjungi berbagai negeri untuk membagi-bagikan ilmunya.
Demikianlah, silsilah Resi Druwasa terhitung sebagai sepupu Batara Sakri (putra Resi Satrukem), sehingga Bagawan Abyasa pun memanggil “eyang” kepadanya. Hari itu, Resi Druwasa datang ke Gunung Saptaarga untuk berpamitan karena sudah tiba saatnya ia meninggalkan dunia fana. Ia selalu teringat masa mudanya yang berwatak jahat karena setiap hari dihasut oleh ayahnya (Resi Dwapara) untuk memusuhi keluarga Resi Manumanasa. Namun, berkat kesabaran Resi Manumanasa dalam mendidiknya, sedikit demi sedikit watak jahat Resi Druwasa luntur dan kini ia pun menjadi pendeta tua yang welas asih dan selalu berusaha membantu siapa saja yang kekurangan.
RESI DRUWASA MEMBERIKAN SARANA BERPUTRA KEPADA PRABU PANDU
Resi Druwasa telah berubah watak dari seorang jahat menjadi welas asih adalah sejak berguru di Gunung Saptaarga. Maka, ia ingin Gunung Saptaarga menjadi tempat baginya untuk melepaskan jiwa dan memasuki alam baka. Namun demikian, ia mendapat perintah dari dewata untuk memberikan sarana kepada Prabu Pandu agar bisa berputra. Rupanya Resi Druwasa telah mendengar tentang peristiwa Prabu Pandu memanah dua ekor kijang penjelmaan Resi Kindama dan Rara Dremi, sehingga mendapat kutukan akan bernasib celaka apabila bersetubuh dengan istrinya. Tentu saja hal ini menyebabkan Prabu Pandu tidak akan bisa memiliki keturunan seumur hidupnya.
Untuk itu, Resi Druwasa pun datang dengan membawa sebutir Mangga Pertanggajiwa, yaitu buah makanan para dewa. Buah mangga tersebut akan dijadikan sebagai sarana agar Prabu Pandu bisa memiliki keturunan. Caranya, Resi Druwasa terlebih dulu mengupas mangga tersebut dan memisahkan dagingnya dari biji. Setelah itu, ia bersamadi mengheningkan cipta untuk menyerap saripati air mani dari dalam tubuh Prabu Pandu. Saripati air mani tersebut keluar dalam wujud cahaya dan ditanam dalam daging Mangga Pertanggajiwa.
Resi Druwasa meramalkan kelak Dewi Kunti akan melahirkan tiga putra, sedangkan Dewi Madrim melahirkan dua putra sebagai penutup. Maka, Resi Druwasa pun membelah daging mangga yang sudah bercampur dengan saripati benih Prabu Pandu itu menjadi lima. Yang tiga potong diserahkan kepada Dewi Kunti, sedangkan yang dua potong diserahkan kepada Dewi Madrim. Kedua permaisuri itu pun menelan semua potongan daging mangga jatah mereka masing-masing sampai habis.
Demikianlah, kelima potong daging Mangga Pertanggajiwa tersebut digunakan untuk menanam benih Prabu Pandu di dalam perut Dewi Kunti dan Dewi Madrim. Dengan demikian, Prabu Pandu dapat memiliki putra tanpa harus menyentuh kedua istrinya. Akan tetapi, benih Prabu Pandu itu baru bisa menjadi janin apabila bertemu dengan benih dalam rahim Dewi Kunti ataupun Dewi Madrim. Mengenai caranya, hanya dewa yang dapat melakukannya. Untuk itu, Resi Druwasa pun menyarankan agar Dewi Kunti mengerahkan Aji Kunta Wekasing Rasa Cipta Tunggal Tanpa Lawan seperti yang pernah ia ajarkan dulu.
Resi Druwasa juga berpesan agar Dewi Kunti menjaga jarak umur kelahiran ketiga putranya. Setelah ketiga putra Dewi Kunti lahir, maka silakan ia mengajarkan ajian tersebut kepada Dewi Madrim. Mereka tidak perlu khawatir karena potongan daging mangga tersebut akan tertanam di dalam perut masing-masing dan tidak ikut keluar bersama kotoran. Prabu Pandu dan kedua istrinya kagum mendengarnya, dan menyatakan patuh terhadap nasihat Resi Druwasa. Resi Druwasa tersenyum lalu tiba-tiba arwahnya keluar meninggalkan raga. Sekejap kemudian, jasad pendeta tua itu ikut musnah, bersatu dengan alam semesta.
Bagawan Abyasa prihatin melihatnya. Ia lalu memimpin upacara penghormatan untuk mengantarkan arwah sepupu kakeknya itu agar memasuki alam baka dengan tenang dan bahagia.
KELAHIRAN RADEN PUNTADEWA
Setelah upacara penghormatan arwah Resi Druwasa selesai, Prabu Pandu mengajak Dewi Kunti memasuki sanggar pemujaan. Di dalam tempat itu, Prabu Pandu meminta Dewi Kunti menggunakan Aji Kunta Wekasing Rasa Cipta Tunggal Tanpa Lawan untuk mengundang datangnya dewa. Dewi Kunti bertanya dewa siapa yang akan diundang datang. Prabu Pandu ingin memiliki putra sulung yang berwatak adil bijaksana agar kelak dapat memimpin kerajaan dengan sebaik-baiknya. Maka, ia pun meminta agar Batara Darma yang diundang hadir.
Dewi Kunti mematuhi dan segera membaca mantra ajian tersebut sambil membayangkan Batara Darma, dewa kebijaksanaan. Tidak lama kemudian Batara Darma pun hadir dan bertanya ada keperluan apa dirinya didatangkan. Dewi Kunti memohon agar benih yang ada dalam rahimnya dapat dipersatukan dengan benih Prabu Pandu yang telah ditanam dalam potongan daging Mangga Pertanggajiwa, agar bisa menjadi janin. Batara Darma menyatakan bersedia. Dengan kekuasaannya, benih Prabu Pandu dapat bersatu dengan benih dalam rahim Dewi Kunti menjadi janin, sehingga Dewi Kunti pun mengandung pada saat itu juga.
Tidak hanya itu, Batara Darma juga mematangkan kandungan Dewi Kunti sehingga bertambah besar dalam waktu sekejap. Hari itu juga, Dewi Kunti pun melahirkan seorang bayi laki-laki tanpa kesakitan sedikit pun. Batara Darma memberikan restu kepada bayi tersebut, kemudian ia lenyap, kembali ke kahyangan.
Prabu Pandu sangat bersyukur atas kelahiran putra pertamanya. Ia pun menggendong bayi laki-laki berwajah tampan itu dan memberinya nama, Raden Puntadewa. Nama ini sebagai pengingat bahwa dirinya dapat berputra berkat bantuan dewata.
DEWI GENDARI MENELAN BIJI MANGGA PERTANGGAJIWA
Tidak lama kemudian, datanglah Adipati Dretarastra, Dewi Gendari, dan Arya Suman mengunjungi Gunung Saptaarga. Mereka mengabarkan perihal kematian Prabu Mandrapati dan juga pelantikan Raden Narasoma sebagai Prabu Salya, raja Mandraka yang baru. Bagawan Abyasa, Prabu Pandu, Dewi Kunti, dan Dewi Madrim terkejut dan prihatin mendengar berita ini. Lebih-lebih Dewi Madrim sangat sedih karena tidak bisa menghadiri pemakaman ayahnya. Karena terlalu berduka, istri kedua Prabu Pandu itu pun jatuh pingsan dan segera dibawa masuk ke dalam oleh Dewi Kunti.
Dewi Gendari dan Arya Suman merasa heran melihat Dewi Kunti menggendong seorang bayi laki-laki. Prabu Pandu pun menjelaskan bahwa dirinya memang telah dikutuk Resi Kindama, namun tetap bisa berputra berkat sarana dari Resi Druwasa. Namun sayangnya, Resi Druwasa baru saja meninggal dunia.
Arya Suman pun berbisik kepada kakaknya untuk meminta sarana pula agar bisa segera berputra. Dewi Gendari pun memohon kepada Bagawan Abyasa agar diberi sarana. Bagawan Abyasa lalu memungut biji Mangga Pertanggajiwa dan memberinya restu agar menjadi obat penyubur kandungan menantunya itu. Dewi Gendari pun menerima biji mangga tersebut dan segera menelannya. Bagawan Abyasa lalu berpesan kepada Adipati Dretarastra agar nanti setelah pulang ke Hastina agar segera melakukan hubungan badan dengan Dewi Gendari yang kini dalam keadaan subur. Adipati Dretarastra tersipu malu dan mematuhi nasihat ayahnya.
KERAJAAN AWANGGA MENJADI BAWAHAN HASTINA
Tidak lama kemudian datanglah Prabu Rudraksa dari Kerajaan Awangga yang berniat merebut Dewi Madrim menjadi istrinya. Prabu Pandu pun maju menghadapi raja raksasa tersebut. Dalam pertempuran itu, Prabu Rudraksa akhirnya tewas terkena panah Mustikajamus yang dilepaskan Prabu Pandu.
Melihat rajanya tewas, para prajurit raksasa merinding ketakutan. Tiba-tiba salah seorang raksasa berpakaian pangeran maju memberi hormat kepada Prabu Pandu. Ia mengaku sebagai putra Prabu Rudraksa yang bernama Raden Kalakarna. Raksasa muda itu memohon ampun atas kesalahan ayahnya dan ia pun bersedia menerima hukuman dari Prabu Pandu.
Prabu Pandu terkesan melihat sikap sopan Raden Kalakarna. Ia pun mengizinkan raksasa muda itu kembali ke negerinya dan menjadi pemimpin di sana. Namun demikian, mulai saat ini Awangga harus menjadi negeri bawahan Kerajaan Hastina. Raden Kalakarna mematuhi dan bersedia melaksanakan keputusan tersebut. Prabu Pandu merasa puas dan mempersilakan Raden Kalakarna beserta pasukannya pulang ke Awangga dengan membawa serta jasad Prabu Rudraksa.
Setelah keadaan kembali tenang, Adipati Dretarastra, Dewi Gendari, dan Arya Suman pun mohon pamit kembali ke Kerajaan Hastina. Di sepanjang jalan, Arya Suman berpikir bagaimana caranya agar dapat menyingkirkan putra Prabu Pandu yang ternyata lahir lebih dulu dibanding putra kakaknya.
TANCEB KAYON
*****************