Selasa, 28 Juli 2015

RAMAPARASU / RAMABARGAWA

RAMAPARASU / RAMABARGAWA

Ramaparasu juga bernama Ramabargawa , karena bersenjatakan Bargawastra. Ia juga bernama Ramawadung, karena bersenjatakan kapak (wadung). Ramaparasu adalah putra bungsu dari Brahmana Jamadagni yang beristrikan Dewi Renuka. Jamadagni semula adalah seorang raja, tetapi kemudian ia mengambil keputusan akan hidup sebagai pertapa. Meraka meninggalkan hidup kemewahaan duniawi dan ingin hidup damai dalam sebuah padepokan. Namun tak lama kemudian datanglah suatu malapetaka yang tidak terduga-duga menimpanya.

Pada suatu hari, datanglah seorang raja Citrarata namanya yang sedang berburu dan kemudian singgah mandi di telaga dekat padepokan. Ia adalah seorang raja yang tampan dan cakap, serta memiliki suara merdu yang mampu menggoncangkan iman tiap gadis yang melihat dan mendengarnya. Pada saat itu Renuka kebetulan sedang memetik sayur-sayuran. Ia mengarahkan pandangan matanya kepada seorang laki-laki cakap yang polos sedang berdendang dalam telaga. Dewi Renuka yang sudah bertahun-tahun tersekap di tengah hutan, gugurlah imannya. Saking “kepencutnya” akhirnya timbul pikiran yang nekat. Lupalah ia akan norma-normal susila yang sudah bertahun-tahun dianutnya. maka dilepaskanlah busananya dengan perlahan-lahan dan dengan polos ia berenang mendekati sang satria menuruti birahinya yang sedang bergolak membentur-bentur dadanya.

Tak perlu diceriterakan lebih lanjut, maka tiba-tiba awan menjadi mendung, matahari berhenti menyinarkan cahaya, dan gelap gulitalah di kanan kiri telaga. Guntur, guruh, geledek gemuruh suaranya membelah angkasa, sedang dua insan yang sedang dimabuk asmara telah tenggelam dalam alunan asmara. Pendek kata “No comment”. Sedang Jamadagni; sebagai seorang yang sudah mencapai tingkat Brahmana, sudah tidak was-was lagi terhadap malapetaka yang menimpa kepada keluarganya.
Namun ia harus dapat menutupi kemarahan hatinya dan tidak boleh menuruti emosi gugatan lahirnya, maka dipanggilnya isterinya. Untuk waktu yang lama ia tidak berbicara sepatahpun. Kemudian berkatalah Jamadagni:

“Adinda Renuka, kini bunga melati yang tumbuh di tengah-tengah pertapaan telah layu. Tunjukkanlah aku, jalan apa untuk menyelamatkan bunga tersebut?”
Dewi Renuka tak dapat menjawab hanya menundukkan kepala dan tiba-tiba badannya menggigil, parasnya pucat sambil mencucurkan air mata. Hampir ia jatuh pingsan karena tak kuasa menahan getaran jiwanya.
Tiba-tiba kelima putra termasuk Ramabargawa, datang menghadap. Brahmana Jamadagni kemudian menceritakan kejadian yang telah menimpa ibunya. Kepada putra-putranya berkatalah Jamadagni:
“Hai putra-putraku, ibumu ini telah tersiksa hatinya, karena itu agar ibumu terlepas dari siksaan, bunuhlah ibumu sekarang juga.”

Bukan main terkejutnya putra-putra Jamadagni mendengera perintah ayahnya yang kejam itu. Satu persatu putranya yang diperintah tiada mau melaksanakannya, maka Jamadagni berkata dengan upatanya:
“Jika engkau sekalian tidak mau melaksanakan perintahku, kalian itu tak ubahnya binatang. Seketika itu juga keempat putranya menjadi binatang. Kini Ramaparasu lah yang mendapat perintah. Kata Jamadagni:
“Hai Ramaparasu, sanggupkah kau melaksanakan perintah ayahmu?”
Ramaparasu hanya menganggukkan kepala. Ia segera berdiri menyembah dihadapan ibunya. Ditariknya tali busur dan terlepaslah anak panah menembus dada ibunya jatuh terkulai ditanah tak bergerak. Darahnya menyembur membasahi seluruh lantai pertapaan. Ramaparasu datang bersembah kepada ayahnya dan sesudah itu Jamadagni berkata:
“Hai Ramaparasu, engkau satu-satunya putraku yang sanggup melaksanakan perintah ayahmu. Karena itu mintalah lima hal kepadaku, Dewa akan mengabulkan.”

“Permintaan hamba, pertama hidupkan kembali ibuku, kedua kembalikan keempat saudaraku seperti semula, ketiga hilangkan dosaku terhadap ibuku, ke empat berilah aku umur panjang, ke lima berilah aku kesaktian yang tiada tanding yang tiada taranya dan hanya dapat mati oleh tangan Dewa Wisnu sendiri”.

Demikian permohonan Ramabargawa kepada ayahnya setelah membunuh ibunya.
Permintaan Ramaparasu dikabulkan. Pendek kata ibu dan keempat saudaranya kembali seperti semula dan hidup rukun tak kurang suatu apa. Namun kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Malapetaka kedua menyusul menimpa keluarganya. Prabu Hehaya telah datang ke pertapaan dan merampas semua lembu, kerbau dan semua harta miliknya bahkan hampir juga akan memperkosa Renuka. Tentu saja Resi Jamadagni ingin mempertahankan apa yang telah dikumpulkan dan apa yang telah dimilikinya. Ada pepatah “senyari bumi sedumuk batuk”. Namun Prabu Hehaya dengan sangat kejam, sadis dan tanpa perikemanusiaan membunuh Jamadagni di depan isterinya. Ratap tangis menjerit membelah angkasa sampai terdengar oleh Ramaparasu yang ketika itu sedang berada di telaga pertapaan. Bukan main sakit hatinya ketika dilihat ayahnya yang sangat dihormati dan dicintainya telah meninggal dengan hina. Maka ia memeluk mayat ayahnya sambil sujud dan menciumi sejadi-jadinya.

Setelah sadar Ramaparasu berdiri tegak sambil berteriak bersumpahlah ia.

“Mulai saat ini aku bersumpah, bahwa demi kesejahteraan dan keselamatan manusia, aku ingin membunuh seluruh manusia yang telah datang membunuh ayahku. Aku membenci dharma satria yang sangat memuliakan perang. Padahal perang adalah jahat. Karena yang membunuh ayahku juga golongan satria, maka aku berjanji dengan senjata kapak, panah, dan Bargawastra ini akan kubunuh semua satria yang bertemu dengan aku”.

Setelah sujud dan memohon diri kepada saudara-saudarana, ia mengambil senjatanya dan menghilang dalam hutan belantara untuk melampiaskan sumpahnya.
Dapatkah Ramabargawa memaklumi sumpahnya? Baiklah kita lihat nanti.
Yang jelas dari lakon ini dapat diambil pelajaran bahwa: Jamadagni membenci kepada kehidupan laku raja dan apa yang disebut duniawi dan laku Satria.
Ceritera tersebut mengandung petuah: hidup janganlah melarikan diri dari sesuatu kesukaran yang dibenci. Karena kemanapun manusia pergi menyembunyikan diri, disitu pulalah akan berjumpa dengan apa yang dibencinya.

Oleh karena itu manusia harus berani menatap hidup dan mampu menjadi saksi bagi dirinya sendiri secara konkrit eksistensiel.

“Jangan menghendaki sesuatu yang melebihi kemampuanmu; mereka yang menginginkan sesuatu diatas kemampuannya sendiri berarti melakukan sesuatu yang mengandung kepalsuan yang penuh dosa.”
Disamping itu dalam cerita ini digambarkan bahwa manusia selalu dihadapkan suatu dilemma atau pilihan.

Jamadagni harus memilih, “membunuh isterinya atau membiarkan istrinya tersiksa”.
Sebaliknya Ramaparasu juga harus memilih “membunuh ibunya atau menentang ayahnya.”
Itulah yang dinamakan hidup. Manusia akan terus menerus dihadapkan kepada suatu pilihan dan harus memilih. Tidak memilihpun sudah berarti memilih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar