Sabtu, 01 Juli 2017

DRUPADA KAWISUDA

DRUPADA KAWISUDA

Kisah ini menceritakan Prabu Pandu meninggalkan Gunung Saptaarga untuk kembali memimpin Kerajaan Hastina, di mana ia bertemu Raden Sucitra dari negeri Atasangin. Selanjutnya Prabu Pandu membantu Raden Sucitra memenangkan sayembara yang diadakan Raden Gandamana di Kerajaan Pancala. Setelah sayembara itu, Raden Gandamana ikut mengabdi di Kerajaan Hastina sebagai patih, sedangkan Raden Sucitra menjadi raja Pancala, bergelar Prabu Drupada.
Kisah ini saya susun dan saya olah sedemikian rupa dengan memadukan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden Ngabehi Ranggawarsita dan buku Kempalan Balungan Pedhalangan karya Ki Suratno Guno Wihardjo.
====================
PATIH JAYAYATNA MENINGGAL DUNIA
Adipati Dretarastra di Kerajaan Hastina sedang dihadap para menteri dan punggawa, yaitu Raden Yamawidura, Resi Krepa, Arya Banduwangka, Arya Bargawa, Arya Bilawa, dan Arya Suman. Hadir pula sesepuh kerajaan, yaitu Resiwara Bisma. Dalam pertemuan itu mereka membahas tentang Patih Jayayatna yang meninggal dunia karena sakit beberapa hari lalu.
Adipati Dretarastra meminta izin kepada Resiwara Bisma untuk mengangkat patih baru di Kerajaan Hastina. Resiwara Bisma menjelaskan bahwa Adipati Dretarastra hanyalah raja wakil sehingga tidak berwenang mengangkat patih, kecuali atas persetujuan raja yang sah, yaitu Prabu Pandu Dewanata. Raden Yamawidura membenarkan pendapat Resiwara Bisma. Dalam hal ini, Adipati Dretarastra hanya bisa mengajukan calon saja, sedangkan yang berhak menyetujui pelantikannya adalah Prabu Pandu.
Arya Suman menyela ikut bicara. Ia bertanya apakah yang boleh diajukan sebagai calon patih haruslah menteri atau punggawa sepuh yang sudah lama mengabdi? Apakah punggawa muda yang baru bergabung juga boleh diajukan sebagai patih jika memang memenuhi syarat? Apabila hanya punggawa lama saja yang boleh diajukan, maka sudah tentu Arya Banduwangka yang memiliki peluang paling besar.
Resiwara Bisma memahami arah pembicaraan Arya Suman yang ingin mengajukan dirinya sendiri sebagai patih Kerajaan Hastina. Maka, daripada berlarut-larut, ia pun menyerahkan keputusan kepada Adipati Dretarastra untuk menentukan nama-nama calon patih, yang nantinya akan disampaikan kepada Prabu Pandu di Gunung Saptaarga untuk mendapatkan persetujuan.
Ternyata Adipati Dretarastra menyetujui usulan Arya Suman, bahwa jabatan patih tidak harus dipegang oleh punggawa lama, tetapi punggawa yang baru pun berhak mendapatkan kesempatan apabila memang memenuhi syarat. Maka, ia lantas memilih dua nama, yaitu Arya Banduwangka dan Arya Suman sebagai calon patih baru yang menggantikan mendiang Patih Jayayatna. Arya Banduwangka adalah senapati angkatan perang Hastina yang memiliki kesaktian paling tinggi dibanding para punggawa lainnya, sedangkan Arya Suman adalah punggawa baru namun memiliki kecerdasan luar biasa di atas rata-rata.
Demikianlah keputusan Adipati Dretarastra. Raden Yamawidura pun diperintahkan untuk menyampaikan hal ini kepada Prabu Pandu di Gunung Saptaarga agar mendapat pengesahan. Raden Yamawidura menerima tugas tersebut lalu mohon pamit berangkat dengan ditemani seorang punggawa muda, putra mendiang Patih Jayayatna yang bernama Arya Jayasemedi.
Setelah dirasa cukup, Adipati Dretarastra pun membubarkan pertemuan. Ia masuk ke dalam kedaton menemui istrinya, yaitu Dewi Gendari yang sedang hamil muda. Dewi Gendari meminta sang suami mengusahakan Arya Suman agar terpilih menjadi patih. Namun, Adipati Dretarastra mengaku hanya bisa memberikan jalan saja, karena keputusan sepenuhnya tetap berada di tangan Prabu Pandu. Dalam hal ini ia merasa prihatin karena sebagai putra sulung Bagawan Abyasa ternyata tidak memiliki wewenang apa-apa. Ia pun berharap kelak putranya bisa lahir dalam keadaan sehat tanpa cacat, sehingga tidak memiliki nasib seperti dirinya.
BATARA NARADA MENEMUI PRABU PANDU DI GUNUNG SAPTAARGA
Prabu Pandu di Gunung Saptaarga sedang bersamadi bersama Bagawan Abyasa. Tiba-tiba dari angkasa turun Batara Narada membangunkan anak dan ayah tersebut. Keduanya pun membuka mata dan segera menyampaikan sembah hormat kepada Batara Narada.
Batara Narada datang ke Gunung Saptaarga bukan untuk membebaskan Prabu Pandu dari kutukan Resi Kindama, tetapi untuk menyampaikan pesan dari Batara Guru. Pesan tersebut berupa pilihan, apakah Prabu Pandu dan kedua istrinya akan selamanya menyepi di Gunung Saptaarga demi menebus dosa atas pembunuhan Resi Kindama dan Rara Dremi, ataukah kembali ke Kerajaan Hastina untuk memimpin negara?
Prabu Pandu menimbang-nimbang sejenak, kemudian menjawab dengan tegas bahwa ia ingin kembali memimpin Kerajaan Hastina meskipun belum terbebas dari kutukan. Batara Narada bertanya apa yang menjadi tujuan Prabu Pandu ingin kembali menjadi raja, apakah agar bisa berkuasa dan memerintah rakyat seperti dulu lagi? Prabu Pandu pun menjawab, bahwa ia sama sekali tidak menganggap takhta sebagai bentuk kekuasaan. Baginya, seorang raja bukanlah majikan rakyat, tetapi justru pelayan rakyat. Ia ingin kembali menjadi raja adalah demi untuk melayani dan membahagiakan seluruh rakyat Hastina, bukan untuk berkuasa atas diri mereka.
Batara Narada lalu bertanya apakah Prabu Pandu sudah tidak takut pada kutukan Resi Kindama, yaitu jika bersetubuh dengan istrinya maka ia akan medapat celaka? Prabu Pandu menjawab hidup dan mati adalah suratan takdir Yang Mahakuasa. Selama ini yang ia takutkan bukanlah kematian, tetapi jangan-jangan seumur hidup tidak memiliki keturunan. Sungguh beruntung, beberapa bulan yang lalu Resi Druwasa datang memberikan sarana berupa Mangga Pertanggajiwa yang bisa digunakan untuk menanam benih Prabu Pandu di dalam rahim kedua istrinya. Dengan cara demikian, Prabu Pandu bisa mendapatkan keturunan tanpa harus menyentuh kedua istrinya. Bahkan, berkat sarana itu, Dewi Kunti telah melahirkan Raden Puntadewa dengan bantuan Batara Darma.
Prabu Pandu kini tidak memiliki rasa khawatir lagi. Soal kutukan Resi Kindama akan ia cegah sekuat tenaga dengan cara puasa senggama. Sedangkan mengenai dosa atas pembunuhan Rara Dremi akan ia tebus dengan cara membantu orang sebanyak-banyaknya dan melayani rakyat sebaik-baiknya.
Batara Narada dan Bagawan Abyasa terkesan mendengar jawaban Prabu Pandu. Batara Narada lalu mengabarkan bahwa Kerajaan Hastina baru saja kehilangan menteri utamanya, yaitu Patih Jayayatna yang meninggal dunia karena sakit. Adipati Dretarastra telah mengutus Raden Yamawidura untuk menyampaikan dua nama, yaitu Arya Banduwangka dan Arya Suman kepada Prabu Pandu untuk dipilih salah satu menjadi patih yang baru. Namun demikian, Batara Narada memberikan petunjuk bahwa calon patih yang pantas untuk menggantikan Patih Jayayatna bukanlah mereka, tetapi Raden Gandamana, pangeran Kerajaan Pancala.
Prabu Pandu heran mengapa Raden Gandamana yang harus menjadi patih Hastina, bukankah dia adalah pangeran mahkota Kerajaan Pancala, putra dari Prabu Gandabayu? Batara Narada pun menjelaskan bahwa pangeran mahkota Kerajaan Pancala yang sesungguhnya bernama Raden Sucitra, yang saat ini sedang bertapa di kaki Gunung Saptaarga. Adapun Raden Gandamana sudah mengetahui sejarah keluarganya dan ia tidak memiliki keinginan menjadi raja Pancala. Oleh sebab itu, Batara Narada pun menugasi Prabu Pandu untuk bisa mempertemukan Raden Sucitra dengan Prabu Gandabayu. Dengan demikian, maka Raden Gandamana akan ikut mengabdi kepada Kerajaan Hastina.
Prabu Pandu mematuhi perintah tersebut. Setelah dirasa cukup, Batara Narada segera undur diri kembali ke kahyangan.
PRABU PANDU BERTEMU RADEN SUCITRA
Prabu Pandu telah membulatkan tekad untuk meninggalkan Gunung Saptaarga dan kembali ke Kerajaan Hastina. Bagawan Abyasa pun memberikan restu semoga putranya itu selalu menjadi raja yang baik, yang bisa membahagiakan rakyatnya, serta semoga Prabu Pandu bisa mengendalikan nafsu birahi agar terhindar dari kutukan Resi Kindama. Prabu Pandu berterima kasih kepada sang ayah, lalu mohon pamit berangkat bersama Dewi Kunti, Dewi Madrim, dan para panakawan. Raden Puntadewa yang masih berusia tiga bulan pun dibawa serta naik kereta.
Begitu sampai di kaki Gunung Saptaarga, rombongan Prabu Pandu bertemu seorang laki-laki yang bertapa di bawah pohon rindang. Laki-laki itu pasti yang bernama Raden Sucitra, sebagaimana petunjuk dari Batara Narada. Prabu Pandu pun membangunkannya, dan ternyata benar, ia mengaku bernama Sucitra dari negeri Atasangin di tanah seberang.
Prabu Pandu lalu bertanya mengapa Raden Sucitra bertapa di kaki Gunung Saptaarga. Raden Sucitra bercerita bahwa dirinya adalah putra mendiang Prabu Drupara dari Kerajaan Duhyapura. Ketika Kerajaan Duhyapura hancur diserang Prabu Bahlika dari Sewandapura, Raden Sucitra masih bayi dan diselamatkan oleh Resi Baradwaja (adik sepupu Prabu Drupara). Resi Baradwaja lalu membesarkan Raden Sucitra bersama dengan putranya yang bernama Bambang Kumbayana di negeri Atasangin.
Setelah dewasa, Raden Sucitra diberi tahu Resi Baradwaja bahwa ketika Kerajaan Duhyapura runtuh diserang musuh, harta pusaka negeri itu diselamatkan oleh Patih Suganda, yang kabarnya kini membangun Kerajaan Pancala di Tanah Jawa. Resi Baradwaja pun memerintahkan Raden Sucitra selaku ahli waris sah Kerajaan Duhyapura untuk meminta haknya kepada Patih Suganda yang kini bergelar Prabu Gandabayu itu.
Maka, berangkatlah Raden Sucitra ke Tanah Jawa. Namun, ia merasa bimbang karena tidak mungkin Prabu Gandabayu menyerahkan takhta begitu saja kepada dirinya. Meskipun Prabu Gandabayu adalah mantan bawahan Prabu Drupara, tapi Kerajaan Pancala adalah hasil keringatnya sendiri, sehingga tidak mungkin diserahkan kepada orang lain semudah itu.
Karena bingung harus meneruskan perjalanan ke Pancala ataukah pulang ke Atasangin, Raden Sucitra akhirnya duduk bersamadi di pinggir jalan. Ia lalu didatangi Batara Narada yang memberikan petunjuk bahwa dirinya akan mendapatkan kembali hak atas takhta apabila mengabdi kepada seorang raja bernama Prabu Pandu Dewanata. Untuk itu, Batara Narada pun memerintahkan Raden Sucitra agar bertapa di kaki Gunung Saptaarga. Kelak, Prabu Pandu sendiri yang akan membangunkannya dari samadi.
Prabu Pandu terkesan mendengar cerita Raden Sucitra. Ia pun menerima pengabdian laki-laki dari tanah seberang itu dan mengajaknya bersama-sama menuju Kerajaan Hastina.
PRABU PANDU BERTEMU RADEN YAMAWIDURA
Dalam perjalanan menuju Hastina, rombongan Prabu Pandu bertemu Raden Yamawidura dan Arya Jayasemedi yang sedang dikeroyok puluhan orang bertopeng. Raden Sucitra segera turun tangan membantu. Orang-orang bertopeng itu dapat ditumpas dan sisanya melarikan diri.
Pada saat itulah muncul Arya Suman yang mengaku hendak membantu Raden Yamawidura menghadapi para musuh bertopeng. Raden Yamawidura curiga dari mana Arya Suman tahu kalau dirinya baru saja dikeroyok orang-orang bertopeng. Apakah sejak tadi Arya Suman mengintip dari kejauhan, ataukah jangan-jangan para penyerang bertopeng tadi adalah orang-orang suruhan Arya Suman sendiri?
Arya Suman terkejut siasatnya diketahui Raden Yamawidura. Sesungguhnya orang-orang bertopeng tadi adalah para prajurit dari Kerajaan Gandaradesa yang menyamar sebagai perampok untuk mengeroyok Raden Yamawidura dan Arya Jayasemedi. Nanti jika keduanya telah terdesak barulah Arya Suman tampil sebagai pahlawan mengusir orang-orang bertopeng itu. Dengan demikian, Raden Yamawidura akan merasa berhutang budi kepadanya dan pasti akan meminta kepada Prabu Pandu agar dirinya saja yang dijadikan sebagai patih, bukan Arya Banduwangka yang tidak punya jasa. Tak disangka, siasat Arya Suman itu gagal total karena tiba-tiba muncul Raden Sucitra bersama rombongan Prabu Pandu yang langsung membantu Raden Yamawidura.
Arya Suman berusaha membela diri, sedangkan Raden Yamawidura mendesaknya agar mengakui kelicikannya. Prabu Pandu pun melerai mereka berdua. Tidak penting siapa sebenarnya para perampok bertopeng tadi, yang penting Raden Yamawidura tidak terluka. Prabu Pandu lalu memperkenalkan Raden Sucitra sebagai saudara angkatnya, lalu mereka pun bersama-sama melanjutkan perjalanan menuju Kerajaan Hastina.
DATANGNYA UNDANGAN SAYEMBARA DARI KERAJAAN PANCALA
Prabu Pandu dan rombongannya telah sampai di Kerajaan Hastina. Mereka disambut bahagia oleh Resiwara Bisma dan Adipati Dretarastra yang mendengar keputusan Prabu Pandu untuk kembali memimpin negara. Adipati Dretarastra pun menyerahkan takhta kepada adiknya itu, sedangkan ia kembali menduduki jabatannya sebagai raja bawahan di kotalama Gajahoya.
Prabu Pandu berterima kasih kepada sang kakak yang telah memimpin Kerajaan Hastina dengan baik selama dirinya menyepi di Gunung Saptaarga. Adipati Dretarastra dan Resiwara Bisma lalu menjelaskan perihal kematian Patih Jayayatna dan menyerahkan kepada Prabu Pandu untuk memilih siapa yang menjadi penggantinya, apakah Arya Banduwangka yang sakti, ataukah Arya Suman yang cerdas.
Prabu Pandu menjawab bahwa dirinya telah mendapatkan petunjuk dari dewata, bahwa bukan mereka yang akan menduduki jabatan patih. Sebentar lagi akan ada orang lain yang sama saktinya dengan Arya Banduwangka, dan juga sama cerdasnya dengan Arya Suman. Orang itulah yang akan dilantik sebagai patih Kerajaan Hastina oleh Prabu Pandu.
Tiba-tiba muncul seorang punggawa yang mengaku berasal dari Kerajaan Pancala. Punggawa itu bernama Arya Drestaketu yang membawa surat undangan dari rajanya, yaitu Prabu Gandabayu. Prabu Pandu menerima surat tersebut dan membaca isinya, bahwa Prabu Gandabayu mengundang para raja dan pangeran dari berbagai negeri untuk mengikuti sayembara tanding melawan Raden Gandamana demi mendapatkan jodoh untuk Dewi Gandawati.
Prabu Pandu merasa ini adalah kesempatan baginya untuk membantu Raden Sucitra mendapatkan haknya, sekaligus menarik Raden Gandamana menjadi menteri utama Kerajaan Hastina. Maka, Prabu Pandu pun menyanggupi undangan tersebut dan mempersilakan Arya Drestaketu kembali ke negeri Pancala untuk melapor kepada rajanya.
Sepeninggal Arya Drestaketu, Prabu Pandu lalu menjelaskan kepada Resiwara Bisma dan Adipati Dretarastra bahwa melalui sayembara di negeri Pancala inilah, Kerajaan Hastina akan mendapatkan seorang patih baru yang bijaksana, sakti, dan cerdas. Resiwara Bisma dan Adipati Dretarastra pun menyetujui rencana Prabu Pandu jika itu memang sudah menjadi kehendak dewata.
Maka, setelah dirasa cukup Prabu Pandu pun mengajak Raden Sucitra berangkat menuju Kerajaan Pancala dengan diiringi para panakawan Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong.
RADEN GANDAMANA MENGALAHKAN PARA PELAMAR
Sementara itu di Kerajaan Pancala, Raden Gandamana bertanding menghadapi para raja dan pangeran yang bermaksud melamar Dewi Gandawati, kakaknya. Satu per satu para pelamar itu kalah di tangan Raden Gandamana, termasuk Prabu Duskarta dari Kerajaan Madenda dan Prabu Adireja dari Kerajaan Tunggulmanik.
Setelah para pelamar habis, Prabu Gandabayu mendekati Raden Gandamana dan memintanya untuk menghentikan sayembara. Di satu sisi Prabu Gandabayu kagum dan bangga melihat kesaktian putranya itu, namun di sisi lain ia takut Dewi Gandawati menjadi perawan tua, karena jangan-jangan di dunia ini tidak ada yang bisa memenangkan sayembara tanding ini.
Raden Gandamana meminta sang ayah untuk tetap tenang dan bersabar, karena ia mendapatkan firasat bahwa sebentar lagi akan datang seorang laki-laki yang tepat untuk menjadi suami bagi kakaknya.
RADEN SUCITRA BERTANDING MELAWAN RADEN GANDAMANA
Rombongan Prabu Pandu akhirnya sampai di Kerajaan Pancala dan mendaftarkan Raden Sucitra sebagai peserta sayembara. Raden Gandamana pun mempersilakan Raden Sucitra naik ke panggung untuk bertanding dengannya. Maka, terjadilah pertarungan sengit di antara mereka. Kali ini Raden Gandamana merasa mendapatkan lawan yang kuat. Ia dapat membandingkan bahwa kesaktian Raden Sucitra selaku murid Resi Baradwaja memang berada di atas rata-rata para pelamar lainnya.
Setelah bertarung cukup lama, tiba-tiba pandangan Raden Sucitra tertuju kepada Dewi Gandawati yang duduk di samping ayah dan ibunya. Ternyata Dewi Gandawati juga memerhatikan Raden Sucitra, sehingga saat mata mereka saling beradu pandang, seketika perasaan Raden Sucitra bagaikan melayang di awang-awang. Akibatnya, Raden Sucitra menjadi lengah dan tubuhnya tertangkap oleh Raden Gandamana. Sekejap kemudian, Raden Gandamana pun melemparkan tubuh Raden Sucitra keluar dari gelanggang.
Prabu Pandu segera mendatangi Raden Sucitra dan memintanya untuk kembali menantang Raden Gandamana. Raden Sucitra mengaku tidak sanggup karena kesaktian Raden Gandamana berada di atas dirinya. Prabu Pandu meminta Raden Sucitra lebih memusatkan perhatian kepada lawan dan jangan melihat ke arah Dewi Gandawati. Prabu Pandu memintanya untuk berusaha dengan sebaik-baiknya, tanpa terlena oleh hadiah apa yang akan didapatkannya nanti.
Raden Sucitra masih ragu-ragu apakah dirinya bisa mengalahkan Raden Gandamana. Prabu Pandu lalu melepas sumping di telinganya dan mengatakan bahwa ini adalah sumping pusaka pemberian dewata. Barangsiapa memakai sumping tersebut maka kekuatannya akan meningkat seratus kali lipat. Raden Sucitra sangat senang menerimanya. Ia pun memakai sumping tersebut di telinga dan berangkat menantang Raden Gandamana dengan penuh percaya diri.
Raden Gandamana senang melihat lawannya bangkit kembali dengan penuh semangat. Keduanya lalu bertarung lagi dan saling mengerahkan kesaktian. Pertarungan kali ini jauh lebih dahsyat. Raden Sucitra seolah tidak takut mati dan dengan sekuat tenaga ia berhasil meringkus Raden Gandamana hingga meringkuk di atas gelanggang.
Raden Gandamana pun mengaku kalah dan menyatakan Raden Sucitra sebagai pemenang sayembara ini. Raden Sucitra mengaku terus terang bahwa kemenangannya adalah berkat sumping pusaka yang dipinjamkan oleh Prabu Pandu.
Prabu Pandu maju dan menjelaskan bahwa itu hanyalah sumping biasa sebagai perhiasan telinga saja, sama sekali bukan sumping pemberian dewa. Kemenangan Raden Sucitra semata-mata hanyalah karena rasa percaya dirinya telah bangkit dan ia pun bertarung dengan lebih terarah. Rasa percaya diri itulah yang membuat Raden Sucitra bersemangat dan mampu mengalahkan Raden Gandamana.
RADEN SUCITRA MENJADI RAJA PANCALA
Prabu Gandabayu dan Dewi Trilaksmi, serta Dewi Gandawati naik ke gelanggang untuk menyambut sang pemenang. Prabu Gandabayu pun mengumumkan kepada segenap hadirin yang menonton bahwa Raden Sucitra adalah menantunya, yaitu calon suami Dewi Gandawati. Tidak hanya itu, Prabu Gandabayu juga berniat turun takhta menjadi pendeta dan mengangkat Raden Gandamana sebagai raja Pancala yang baru.
Akan tetapi, Raden Gandamana menolak kehendak sang ayah. Ia dengan tegas menyatakan bahwa takhta Kerajaan Pancala hendaknya diberikan kepada Raden Sucitra saja. Ia pun menjelaskan bahwa beberapa waktu yang lalu dirinya bertemu sang guru, yaitu Batara Bayu. Dalam pertemuan itu, Batara Bayu menceritakan tentang sejarah Kerajaan Pancala kepada Raden Gandamana. Pada mulanya, ada sebuah kerajaan di tanah seberang bernama Duhyapura yang hancur diserang Prabu Bahlika dari Sewandapura. Prabu Drupara raja Duhyapura tewas dalam serangan itu, namun putranya yang masih bayi, bernama Raden Sucitra diselamatkan Resi Baradwaja. Adapun menteri utama Duhyapura yang bernama Patih Suganda berhasil menyelamatkan harta pusaka negerinya dan pindah ke Tanah Jawa.
Patih Suganda pun diterima Prabu Basukiswara raja Wirata dan mendapatkan hadiah berupa Hutan Pancala sebagai tempat tinggal. Hutan tersebut dibuka menjadi kerajaan yang baru, di mana Patih Suganda menjadi raja di sana, bergelar Prabu Gandabayu. Mendengar cerita tersebut, Raden Gandamana menyimpulkan bahwa Raden Sucitra lebih berhak menjadi raja Pancala dibanding dirinya. Batara Bayu pun memberikan petunjuk agar Raden Gandamana menggelar acara sayembara tanding memperebutkan Dewi Gandawati. Dengan cara demikian, maka Raden Sucitra akan muncul di Kerajaan Pancala dan bisa menjadi menantu Prabu Gandabayu.
Mendengar cerita tersebut, Prabu Gandabayu sangat terkesan. Rupanya dewata telah mengatur pertemuan antara dirinya dengan Raden Sucitra, putra mendiang majikannya dulu. Jika memang Raden Gandamana selaku putra mahkota menolak menjadi raja, maka tiada salahnya jika Raden Sucitra yang menduduki takhta Kerajaan Pancala. Hal ini dianggap wajar karena Raden Sucitra telah resmi menjadi menantu Prabu Gandabayu, dan selain itu, ia juga ahli waris sah dari Prabu Drupara, raja terakhir Duhyapura.
Raden Sucitra terharu mendengar ketulusan Raden Gandamana yang menyerahkan hak atas takhta kepadanya. Meskipun dirinya adalah putra Prabu Drupara, namun baginya, Kerajaan Pancala bukanlah miliknya, tetapi pemberian sang mertua atas keikhlasan Raden Gandamana.
Maka, pada hari yang dianggap baik dilangsungkanlah upacara pernikahan antara Raden Sucitra dan Dewi Gandawati. Beberapa hari kemudian, Prabu Gandabayu turun takhta menjadi pendeta, bergelar Begawan Suganda. Raden Sucitra pun dilantik sebagai raja Pancala yang baru, bergelar Prabu Drupada.
Sementara itu, Patih Jayarana juga mengundurkan diri dari jabatannya untuk mengikuti Begawan Suganda ke pertapaan. Ia mengusulkan agar jabatannya sebagai patih diserahkan kepada Arya Drestaketu saja. Prabu Drupada menerima usulan tersebut dan ia pun melantik Arya Drestaketu sebagai patih yang baru untuk mendampingi dirinya.
RADEN GANDAMANA MENJADI PATIH KERAJAAN HASTINA
Satu bulan lamanya Prabu Pandu tinggal di Kerajaan Pancala. Ia lalu mohon pamit kepada Prabu Drupada dan Dewi Gandawati untuk kembali ke Kerajaan Hastina. Prabu Drupada sangat berterima kasih atas segala bantuan yang diberikan raja Hastina tersebut. Ia berharap semoga kelak keturunannya bisa menjadi satu keluarga dengan keturunan Prabu Pandu.
Prabu Pandu lalu bertanya kepada Raden Gandamana apakah sudi jika mendampinginya sebagai patih di Kerajaan Hastina. Tanpa banyak kata, Raden Gandamana langsung menyatakan bersedia. Dulu pertama kali Raden Gandamana berkenalan dengan Prabu Pandu adalah saat dirinya menjadi jago kahyangan menghadapi amukan Resi Jarwada dari Padepokan Jajarsewu. Sejak saat itu Raden Gandamana mengagumi sifat bijaksana Prabu Pandu dan ingin sekali menjadi pelayannya. Apalagi ditambah peristiwa yang baru terjadi, di mana Prabu Pandu mampu membangkitkan semangat dan rasa percaya diri Prabu Drupada hanya dengan menggunakan sumping biasa, hal ini membuat Raden Gandamana semakin bertambah kagum kepadanya.
Prabu Drupada sebenarnya membutuhkan bantuan Raden Gandamana untuk mendampinginya dalam memimpin Kerajaan Pancala. Namun, Kerajaan Hastina jauh lebih besar dan lebih maju, tentunya lebih membutuhkan menteri sebaik Raden Gandamana. Jika memang Raden Gandamana sudah bertekad demikian, maka Prabu Drupada pun mengizinkan adik iparnya itu mengabdi di Kerajaan Hastina.
Demikianlah, sesampainya di Kerajaan Hastina, Prabu Pandu pun mengumumkan Raden Gandamana sebagai patih yang baru untuk menggantikan mendiang Patih Jayayatna. Resiwara Bisma mendukung keputusan itu karena ia telah mendengar kisah ketulusan Raden Gandamana yang menyerahkan haknya atas takhta Pancala kepada Prabu Drupada. Begitu pula dengan Adipati Dretarastra dan Raden Yamawidura, mereka pun setuju jika Prabu Pandu melantik Raden Gandamana sebagai patih Kerajaan Hastina.
Para menteri dan punggawa, seperti Resi Krepa, Arya Banduwangka, Arya Bargawa, dan Arya Bilawa juga menyatakan dukungan mereka. Hanya Arya Suman seorang diri yang berani menyatakan ketidaksetujuannya. Ia menyebut Raden Gandamana adalah orang Pancala, mana pantas menjadi patih di Kerajaan Hastina? Namun, Raden Yamawidura segera membalas pertanyaan itu, bahwa Arya Suman juga orang Gandaradesa, tapi mengapa berani mencalonkan diri sebagai patih di Hastina?
Arya Suman seketika terdiam tidak bisa menjawab. Ia hanya bisa menyimpan kekesalan dalam hati. Dirinya pun bertekad suatu hari nanti harus bisa menyingkirkan Raden Gandamana dan merebut jabatan patih Kerajaan Hastina.
TANCEB KAYON
*****************



Tidak ada komentar:

Posting Komentar