API di BUKIT MENOREH
Karya S.H Mintardja
Sidanti menganggukkan kepalanya. Tetapi terasa betapa canggungnya menghadapi adiknya. Ia masih saja terpengaruh oleh perbuatannya di rumah Ki Sentol. Kadang-kadang Sidanti merasa malu sendiri, apakah jadinya seandainya orang-orang Menoreh mengetahuinya, apa yang akan dilakukannya di rumah itu. Tetapi dengan menyembunyikan maksudnya yang sebenarnya, maka ia terperosok bersama-sama dengan paman dan gurunya, ke dalam suatu sikap yang tidak pula kalah sulitnya.
Sidanti terperanjat ketika tiba-tiba ia mendengar Pandan Wangi berkata perlahan sekali, “Apakah Kakang marah kepadaku?”
“Oh, tidak, tidak Wangi,” dengan serta merta Sidanti menyahut sambil melangkahi tlundak pintu gandok Kulon, “Kenapa aku marah?”
“Mungkin Kakang menganggap aku tidak sopan. Aku telah berani melawanmu.”
“Tidak, tidak. Sama sekali tidak. Kita tidak saling mengenal waktu itu.”
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Terheran-heran ia memandangi wajah kakaknya. Tetapi justru dengan demikian tidak sepatah kata pun yang diucapkannya.
Sidanti yang melihat keheranan pada sorot mata adiknya tiba-tiba menyadari kesalahannya. Dengan tergesa-gesa ia menyambung, “Maksudku, kau tidak mengenal aku pada waktu itu. Sedang aku memang sengaja mengganggumu.”
“Tetapi apakah Kakang mengetahui, bahwa aku sedikit banyak dapat bermain-main dengan pedang?”
“Tentu Pandan Wangi. Aku mengetahuinya.”
“Dari siapa Kakang tahu atau mendengarnya?”
Sejenak Sidanti terdiam. Betapa ia mengumpat di dalam hatinya. Ia tahu, bahwa Pandan Wangi sama sekali tidak berprasangka apa-apa, tetapi pertanyaannya membuatnya ia pening. Namun tiba-tiba diketemukannya jawabnya, “Bukankah kau berpakaian laki-laki, dan membawa sepasang pedang? Aku semula juga ragu-ragu Wangi, tetapi melihat langkahmu aku yakin, bahwa kau menyimpan ilmu di dalam dirimu. Nah, kemudian timbullah keinginanku untuk melihat, ilmu apakah yang kau simpan itu. Ternyata kau telah mendapat ilmu pedang dari perguruan Menoreh.”
“Ah,” Pandan Wangi menundukkan kepalanya dalam-dalam.
Sidanti yang telah berada di dalam gandok itu pun kemudian bertanya, supaya ia tidak harus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menggelisahkannya, “Di mana Guru harus beristirahat?”
“Di bilik itu juga Kakang.”
Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian diayunkannya kakinya melangkah ke dalam bilik yang telah disediakan. Bilik itu pernah dikenalnya dahulu. Bahkan ia dahulu selalu tidur di dalam bilik itu juga. Tetapi kali ini bilik itu pun tampak sangat asing baginya. Ia telah mengenal hampir setiap benda yang ada di dalam bilik itu. Sebuah pembaringan dari kayu yang lebar. Sebuah geledeg bambu. Sebuah ajug-ajug dari bambu pula dan sebuah peti kayu. Belum berubah seperti beberapa tahun yang lalu. Sebuah tikar yang putih terbentang di atas pembaringan. Mungkin hanya tikar inilah benda yang belum pernah dikenalnya. Meskipun dahulu di atas pembaringan ini terbentang pula sehelai tikar pandan yang putih, tetapi pasti bukan tikar yang kini terbentang itu.
“Bilik itu sudah dibersihkan Kakang. Bilik itu hampir tidak pernah dipergunakan. Hanya kadang-kadang saja Paman Argajaya tidur di tempat itu, apabila ia bermalam di rumah ini.”
Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Tetapi ia masih belum menjawab.
“Bukankah Kakang terlampau lelah?”
Sidanti menarik nafas. Bukan tubuhnyalah yang sebenarnya terlampau lelah. Tetapi perasaannya. Pertanyaan-pertanyaan yang telah membuatnya pening, ternyata benar-benar membuatnya terlampau lelah.
Namun Sidanti itu menganggukkan kepalanya sambil menjawab lirih, “Ya Wangi. Aku memang terlampau lelah setelah melakukan perjalanan yang panjang.”
Tetapi Sidanti tidak menyangka, bahwa jawabnya telah membuka kesempatan bagi Pandan Wangi untuk bertanya, agar suasana pertemuan itu tidak terlampau kaku, “Perjalanan itu tentu menyenangkan sekali bukan, Kakang? Lain kali aku ingin ikut pula di dalam perjalanan-perjalanan seperti itu. Pasti akan sangat banyak yang dapat dilihat. Tanah yang hijau subur. Kota yang bagus dan ramai. Mungkin juga istana-istana yang indah. Ah, kapan Kakang akan melakukannya lagi?”
Sidanti menggigit bibirnya. Tetapi ia terpaksa menjawab, “Aku tidak tahu Wangi. Mungkin setahun, mungkin dua tahun lagi.”
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika kakaknya Sidanti duduk di pembaringannya, maka Pandan Wangi pun duduk pula di ujung yang lain.
“Apakah Kakang juga berjumpa dengan gadis-gadis yang cantik? Ayah tadi mengatakan, bahwa mungkin Kakang akan mendengar pertanyaan serupa itu. Benarkah begitu?”
Dada Sidanti menjadi semakin berdebar-debar. Jantungnya serasa berdetak semakin keras. Apalagi ketika ia mendengar Pandan Wangi meneruskannya, “Aku senang melihat gadis-gadis kota yang cantik. Bukan seperti aku.”
Tiba-tiba hampir tanpa disadarinya Sidanti menyahut, “Beruntunglah kau Pandan Wangi, bahwa kau hidup di daerah yang sederhana ini. Gadis-gadis cantik yang aku kenal, benar-benar menjemukan. Mereka biasanya terlampau menyadari kecantikannya. Dan mereka mempergunakan kecantikan itu untuk memuaskan diri mereka sendiri. Mereka dengan kecantikannya, berusaha menghancurkan orang lain. Bahkan tanpa mempedulikan akibat yang paling parah yang dapat terjadi. Pembunuhan.” Sidanti berhenti sejenak. Tiba-tiba wajahnya menjadi merah dan menegang.
Pandan Wangi yang melihat perubahan sikap kakaknya itu menjadi bingung. Ia tidak mengerti, apakah sebabnya kakaknya menjadi demikian tegang.
“Pandan Wangi,” terdengar suara Sidanti meninggi. “bukan saja gadis-gadis kota yang cantik. Tetapi gadis desa yang kecil, yang tidak berarti sama sekalipun, telah mempergunakan kecantikannya untuk kehancuran. Bukan untuk kebangunan.”
Pandan Wangi menjadi semakin bingung. Ia sama sekali tidak dapat menangkap maksud kata-kata kakaknya. Bahkan gadis itu menjadi gelisah. Apalagi ketika kemudian ia melihat Sidanti berdiri, “Pandan Wangi. Ingat, bahwa kecantikan seseorang bukan merupakan ukuran mutlak bagi seorang gadis. Kau harus mendengar sebuah contoh tentang gadis yang paling memuakkan, yang pernah aku jumpai. Namanya Sekar Mirah.”
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi pandangan matanya yang kosong terpancang ke wajah kakaknya yang tegang.
“Gadis itu telah membuat semuanya menjadi hancur.”
“Semuanya?” Pandan Wangi bertanya, “apakah yang kau maksudkan, Kakang?”
Hampir Sidanti meneriakkan nama Padepokan Tambak Wedi. Hampir ia menyebut namanya sendiri. Untunglah segera ia menyadari dirinya. Dengan sekuat tenaga ditahankannya perasaannya. Dan dicobanya untuk berkata sareh, “Maksudku semuanya, setiap laki-laki yang telah mengenal dan bergaul dengan gadis itu.”
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya, “Apakah yang akan dilakukannya, Kakang?”
“Ia mendekati setiap laki-laki yang baru dikenalnya dan dikaguminya. Gadis itu mengagumi keperkasaan dan keperwiraan. Ia senang melihat seorang laki-laki yang bersikap jantan. Tetapi setiap kali pandangannya selalu berubah-ubah.”
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya pula, “Sifat itu tentu kurang baik bukan, Kakang. Mungkin ia dapat menimbulkan salah paham di antara laki-laki yang mengenalnya itu.”
“Tentu.”
“Dan menimbulkan hal-hal yang tidak dikehendaki.”
“Ya.”
“Aku akan selalu teringat akan nasehat ayah dan almarhum ibu. Sekarang nasehatmu itu juga, Kakang. Untunglah, bahwa aku bukan gadis yang cantik. Setidak-tidaknya akan mengurangi kesempatan bagiku untuk berbuat seperti itu.”
Sidanti mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Tidak Wangi. Kau juga cantik. Tetapi kau tidak perlu berbuat serupa itu.”
Wajah Pandan Wangi menjadi kemerah-merahan mendengar pujian kakaknya. Dahulu kakaknya memang selalu memujinya. Tetapi tangkapannya kini menjadi jauh berbeda, sehingga dengan demikian maka Pandan Wangi itu menundukan kepalanya.
“Pandan Wangi. Kau juga cantik. Tetapi ingatlah, bahwa kecantikanmu harus mendapat tempat yang baik.”
Pandan Wangi mengangguk kecil. Tetapi ia masih menundukkan kepalanya.
“Kecantikan yang tidak pada tempatnya, akan menjadi api yang dapat membakar apa saja yang berada di dekatnya. Seperti Sekar Mirah yang telah membakar kademangannya.”
Pandan Wangi mengangkat wajahnya. Perlahan-lahan ia bertanya, “Apakah yang telah terjadi dengan gadis yang bernama Sekar Mirah itu, Kakang?”
“Karang abang,” sahut Sidanti. Terasa tekanan kata-katanya menjadi berat, seolah-olah ia sedang menumpahkan segala tekanan perasaannya karena gadis yang bernama Sekar Mirah itu, “Laki-laki saling berbunuhan. Gadis itu benar-benar seperti api yang liar.” Tetapi Sidanti tidak mengatakan bahwa ia telah menyiram dirinya sendiri dengan minyak, lalu mendekatkan dirinya itu pada api yang sedang menyala-nyala. Akibatnya, perasaannya terbakar menjadi abu.
Namun tanpa disangka-sangka, Pandan Wangi itu bergumam seperti kepada diri sendiri, “Tetapi salah laki-laki itu sendiri.”
Sidanti mengerutkan keningnya. “Kenapa?” ia bertanya.
“Kalau laki-laki itu tidak memperhatikannya, maka ia akan tidak dapat diperlakukan demikian.”
“Itu adalah kesukaannya. Dirayunya laki-laki itu, kemudian dihempaskannya.”
“Kalau aku menjadi laki-laki,” berkata Pandan Wangi, “aku tidak mau mendekatinya. Aku usir dia, seperti ia mengusir laki-laki yang lain apabila ia mendekati aku. Tetapi aku bukan laki-laki. Dan setiap laki-laki selalu melemparkan kesalahan kepada gadis-gadis, kepada perempuan.”
“He,” Sidanti terhenyak mendengar kata-kata Pandan Wangi.
“Ya, setiap laki-laki selalu melemparkan kesalahan kepada perempuan. Hampir dalam segala hal, laki-laki Sangkal Putung yang saling berbunuhan itu pun melemparkan kesalahan sepenuhnya kepada Sekar Mirah itu. Aku belum mengenal dan melihat Sekar Mirah. Seandainya benar Sekar Mirah itu seorang gadis liar sekalipun, namun laki-laki yang dengan suka rela menyerahkan dirinya menjadi ayam aduan itu pun bersalah pula. Apakah tidak begitu, Kakang?”
Dada Sidanti menjadi berdebar-debar. Tetapi ditahankannya perasaannya. Bahkan kemudian ia sadar, bahwa adiknya Pandan Wangi itu pun seorang gadis pula.
“Kau salah paham, Pandan Wangi.”
Pandan Wangi tidak menjawab.
“Aku sama sekali tidak menyalahkan setiap gadis. Aku khusus menyebut Sekar Mirah. Sekar Mirah-lah yang salah. Bukan karena ia seorang perempuan.”
“Ya,” sahut Pandan Wangi, “maksudku pun mengatakan tentang Sekar Mirah dan peristiwa-peristiwa serupa. Sekar Mirah memang bersalah. Tetapi yang bersalah bukan saja Sekar Mirah, juga laki-laki Sangkal Putung itu. Apalagi yang berbunuh-bunuhan karenanya. Dunia tidak hanya seluas telapak tangan. Kenapa harus mengejar gadis seperti Sekar Mirah?”
Sidanti mengerutkan keningnya. Hampir-hampir ia terdorong oleh perasaannya. Untunglah, bahwa ia segera berusaha mengekang dirinya, betapa dadanya terasa seolah-olah terhimpit oleh batu hitam sebesar kerbau.
Dengan demikian, maka Sidanti terdiam untuk sesaat. Ia tidak menemukan kalimat yang dianggapnya baik untuk diucapkannya. Namun dengan demikian, maka terasa dadanya menjadi semakin pepat.
Untunglah, bahwa dalam saat yang demikian, Argajaya masuk ke dalam bilik itu. Sejenak ia terpaku di muka pintu. Ia merasakan suasana yang kurang baik di dalam bilik itu, sehingga hatinya pun menjadi berdebar-debar. Namun kemudian dipaksakannya bibirnya untuk tersenyum dan berkata, “Ha, apakah kau sedang mendengarkan ceritera perjalanan kakakmu?”
“Ya, Paman,” jawab Pandan Wangi.
“Apakah ceritera itu kurang menarik?”
“Tidak, Paman. Ceritera Kakang Sidanti sangat menarik.”
“Tetapi Pandan Wangi menjadi salah paham, Paman,” sahut Sidanti, “Aku berceritera, bahwa aku menjumpai seorang gadis bernama Sekar Mirah di Sangkal Putung. Gadis itu serupa benar dengan api. Memang gadis itu benar-benar seperti api. Setiap orang yang dekat, dibakarnya dengan wajahnya yang cantik, kemudian dibakarnya pula laki-laki lain, sehingga kadang-kadang dapat menimbulkan keributan, bahkan pernah terjadi pembunuhan karenanya. Tetapi Pandan Wangi salah paham. Ia menganggap bahwa laki-laki itu pun bersalah pula, karena dengan suka rela membiarkan dirinya menjadi ayam aduan. Lebih dari itu, disangkanya aku selalu menyalahkan perempuan saja.”
Argajaya mengerutkan keningnya. Bahwa Sidanti telah berceritera tentang Sekar Mirah, agak menjadikannya cemas. Kalau Sidanti tidak pandai membawa dirinya, maka ia akan terseret ke dalam pembicaraan yang berbahaya.
Tetapi Argajaya itu kemudian tertawa, katanya, “Tidak. Pandan Wangi tidak salah paham. Ia adalah seorang gadis seperti Sekar Mirah. Tetapi sudah tentu Pandan Wangi tidak akan menjadi buas dan liar seperti Sekar Mirah.”
“Apakah paman juga mengenal Sekar Mirah?” bertanya Pandan Wangi.
Argajaya mengangguk, “Ya, aku pun mengenal Sekar Mirah. Gadis itu adalah suatu contoh yang suram bagi kebanyakan gadis-gadis yang manja. Gadis-gadis yang bodoh, yang kurang pengalaman dan picik.”
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Ketika ia berpaling kepada Sidanti, maka dilihatnya wajah kakaknya masih tetap tegang. Tetapi ia sudah tidak bernafsu lagi untuk membantahnya. Sebenarnya ia tidak rela pula apabila ada seorang gadis seperti dirinya sendiri yang berkelakuan seperti gadis yang dikatakan oleh kakaknya Sidanti. Seandainya benar seorang gadis berbuat seperti itu, maka sudah sepantasnya kalau ia justru harus dijauhkan dari pergaulan. Tetapi ia tidak rela juga, apabila dalam setiap persoalan yang tumbuh karena gadis yang demikian, semua kesalahan ditumpahkan kepada gadis itu.
Karena Pandan Wangi tidak menjawab, maka Argajaya berkata selanjutnya, “Sudahlah Pandan Wangi, jangan kau pikirkan gadis itu. Kau cukup mengetahui, bahwa Sekar Mirah adalah sebuah lambang dari kehancuran.”
Pandan Wangi menganggukkan kepalanya.
“Kau dapat memetik pengalaman daripadanya. Kalau umur gadis itu menjadi semakin tua, kalau wajahnya yang cantik telah mulai berkeriput, kalau senyumnya sudah tidak lagi semanis madu, maka barulah ia menyadari betapa ia telah tersisib dari dunia di sekitarnya.”
Sekali lagi Pandan Wangi menganggukkan kepalanya.
“Ia tidak akan dapat hidup lebih dari usia remajanya,” Argajaya meneruskan, “tetapi kau akan menjadi sangat berbeda. Kau telah menemukan saluran yang mapan pada jalan hidupmu. Sampai sisa umurmu yang terakhir, kau akan tetap berguna bagi orang lain dengan ilmu yang kau miliki.”
Wajah Pandan Wangi menjadi kemerah-merahan karenanya.
“Nah, sekarang biarlah kakakmu beristirahat. Ia sangat lelah.”
Pandan Wangi bangkit dari pembaringan. Perlahan-lahan ia melangkah sambil berkata, “Beristirahatlah Kakang. Aku akan pergi ke dapur.”
“Ah, kau pun harus beristirahat, Wangi. Bukankah sudah ada orang lain yang bekerja di dapur?” sahut Argajaya.
“Ada Paman, tetapi sudah menjadi kebiasaanku bekerja di dapur. Bukankah tidak baik, apabila seorang gadis tidak pernah menyentuh alat-alat dapur?” jawab Pandan Wangi.
Argajaya mengangguk sambil tersenyum, “Kau memang seorang gadis yang baik sekali Wangi.”
“Ah,” Pandan Wangi berdesah. Ketika ia sudah sampai di pintu bilik, sekali lagi ia berkata kepada kakaknya, “Beristirahatlah Kakang.”
“Terima kasih. Aku akan mandi saja dahulu.”
“Silahkan. Pakaian Kakang sudah aku sediakan.”
Pandan Wangi pun kemudian meninggalkan biliknya. Ia mengagumi pamannya sebagai seorang yang baik, sangat baik. Seorang yang tahu menghargainya. Di rumah, pamannya pun seorang yang baik, yang sangat memperhatikan anak-anaknya. Tetapi Pandan Wangi tidak tahu, apakah yang sudah dilakukan pamannya di luar rumahnya. Pandan Wangi tidak tahu, apa yang dipikirkan oleh orang yang dianggapnya sangat baik itu. Pandan Wangi tidak tahu, apa yang sebenarnya telah terjadi atas paman dan kakaknya.
Ketika Pandan Wangi telah hilang di balik pintu yang memisahkan gandok dan jalur belakang rumah itu, yang akan tembus ke pringgitan di balik regol dalam, maka Argajaya segera mendekati Sidanti. Wajahnya tampak bersungguh-sungguh. Katanya lirih, “Sidanti, permainan ini harus segera berhenti. Kau harus segera sampai pada persoalanmu yang sebenarnya.”
“Ya, Paman. Aku pun merasakan siksaan yang menyesakkan dadaku karena ceritera khayal yang kita buat bersama-sama. Ceritera itu sama sekali tidak akan dapat menolong. Aku harus segera mengatakan apa yang sebenamya telah terjadi atasku, Paman, dan Guru. Aku harap ayah segera menyiapkan diri bersama pengawal Tanah Perdikan ini. Bukan itu saja, aku telah mengenal tanah ini dengan baik. Hampir setiap laki-laki sini adalah prajurit-prajurit yang baik seperti padepokan Tambak Wedi. Apalagi tanah perdikan ini jauh lebih luas dari padepokan Tambak Wedi.”
Pamannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya, “Sayang, Tambak Wedi telah terlanjur pecah. Kalau belum, maka padepokan itu akan dapat dijadikan pancatan yang baik.”
“Kita akan dapat merebutnya, Paman.”
“Tidak banyak berarti. Kita sama sekali sudah tidak mempunyai kekuatan apa pun di sana.”
“Lalu?”
“Aku tidak tahu, apakah kira-kira yang akan dilakukan oleh ayahmu. Kalau Menoreh ini memberontak dan memutuskan hubungan dengan Pajang, maka Pajang akan mendapat kesulitan. Tidak mudah untuk melakukan serangan menyeberangi hutan Mentaok dan Kali Praga. Kedua tempat itu akan dapat dijadikan tempat yang sangat baik untuk menunggu kedatangan prajurit-prajurit Pajang.”
Sidanti mengerutkan keningnya. Lalu ia pun bertanya, “Apakah yang sudah dikatakan Guru kemudian sepeninggalku?”
“Ah,” desah pamannya, “aku tidak telaten. Ki Tambak Wedi dan Kakang Argapati hanya berbicara mengenai hal-hal yang sama sekali tidak penting. Hal-hal yang sama sekali tidak menyangkut persoalanmu. Ia berbicara tentang kemajuan ilmumu. Tentang terbunuhnya Tohpati dan tentang hal-hal lain, yang tidak berarti apa-apa bagimu.”
Sidanti mengerutkan keningnya. Tetapi apakah yang dapat lakukannya seandainya gurunya memang menghendaki demikian
“Nah, sekarang mandilah. Ki Tambak Wedi pun akan segera datang kemari. Aku akan berbicara dengan gurumu. Mudah-mudahan kita dapat mempengaruhi Kakang Argapati. Kakang Argapati sendiri termasuk orang yang disegani oleh orang-orang Pajang, termasuk Ki Gede Pemanahan.”
“Mudah-mudahan kita berhasil. Ayah akan menjadi panas dan menyatakan perang melawan Pajang selagi Pajang masih belum mampu tegak benar. Prambanan mungkin dapat diperhitungkan. Aku mengenal daerah itu agak banyak.”
Argajaya mengerutkan keningnya. Ia merasa lebih mengenal daerah Prambanan daripada Sidanti. Sidanti memang pernah melewati daerah itu. Tetapi ia pernah singgah di kademangan itu dan bahkan terlibat dalam suatu peristiwa yang memalukan. Karena itu maka Argajaya berkata, “Kau hanya mengenal Prambanan dari jarak yang tidak terlampau dekat. Kau mendengar ceritera tentang daerah itu dari beberapa orang, antara lain dari aku sendiri. Tetapi aku tidak dapat mengharap lagi apa-apa dari kademangan yang menyakitkan hati itu.”
Sidanti mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Belum tentu Paman. Mungkin masih ada satu dua orang yang Paman kenal, yang dapat dipengaruhi dengan cara yang lebih baik. Mungkin satu dua orang dapat dibawa ke tanah perdikan ini dan menunjukkan kepada mereka kekuatan yang besar, yang akan dapat mendukungnya membuat sesuatu gerakan di Prambanan. Paman dapat menjanjikan kedudukan yang baik kepadanya, bahkan mungkin kedudukan demang apabila demang yang lama itu sama sekali sudah tidak dapat lagi diajak berbicara. Satu dua orang itu akan menjadi inti dari gerakan-gerakan seterusnya di Prambanan sehingga akhirnya kita mendapat tempat yang baik untuk pancadan.”
“Hem,” Argajaya menarik nafas dalam-dalam, “kau lalu ingin mengarahkan gerakanmu lewat daerah Selatan. Kenapa kau tidak memperhitungkan jalan lain? Kita dapat melingkari lambung Gunung Merapi di bagian Selatan, langsung menuju ke Jati Anom.”
“Sangat berbahaya,” sahut Sidanti, “sangat berbahaya, karena di sana ada Untara.”
“Pasukan Untara tidak lebih besar dari pasukan Widura.”
“Tetapi Kiai Gringsing berada di kademangan itu.”
“Belum tentu. Mungkin Kiai Gringsing akan tetap tinggal di Sangkal Putung bersama orang yang bernama Sumangkar. Apakah kau sangka bahwa Agung Sedayu akan menetap di Jati Anom? Tidak. Dua orang murid Kiai Gringsing itu berasal dari Jati Anom dan Sangkal Putung. Tetapi karena di Sangkal Putung ada Sekar Mirah, maka kemungkinan yang terbesar, Kiai Gringsing bersama kedua muridnya akan berada di sana.”
Sidanti menekurkan kepalanya. Tetapi segera ia mengangkat wajahnya ketika ia mendengar Argajaya berkata, “Sidanti, kau tidak dapat melepaskan arah perhitunganmu dari Sangkal Putung. Bukankah begitu?”
Sidanti tidak menjawab. Tetapi terasa dadanya berdesir.
“Baru saja kau mengumpati gadis yang bernama Sekar Mirah dari Sangkal Putung. Lupakan gadis itu. Kalau kau berhasil melupakannya, maka kau akan dapat membuat perhitungan-perhitungan yang lebih tepat berdasarkan pertimbangan nalar.”
Sidanti tidak menjawab. Dibiarkannya pamannya berkata terus, “Nah, cobalah kau merenungkan. Kau pernah berada di dalam lingkungan keprajuritan pula.” Argajaya berhenti sejenak, lalu katanya merendah, “Tetapi semuanya sangat tergantung kepada ayahmu, Sidanti. Ayahmu adalah seorang yang mumpuni. Perhitungannya hampir tidak pernah salah.”
Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi dadanya menjadi semakin berdebar-debar, “Ya, semuanya tergantung kepada Ayah,” katanya di dalam hati.
“Sekarang, bukankah kau akan mandi?” bertanya pamannya, “Pergilah mandi. Aku malam ini akan bermalam di sini, supaya aku dapat ikut dalam pembicaraan nanti.”
“Apakah Guru akan berbicara malam ini?”
“Mudah-mudahan. Mudah-mudahan kita tidak selalu digelisahkan oleh ceritera khayal yang menjemukan itu.”
Sidanti tidak menjawab. Segera ia berdiri dan berkata, “Aku akan mandi.”
Argajaya kemudian tinggal seorang diri di dalam bilik itu. Sekali-sekali ia berdiri dan berjalan mondar-mandir dalam kegelisahannya. Ia merasa ikut berkepentingan mengenai anak kakaknya itu. Kemanakannya itu harus dapat membalas sakit hatinya terhadap Untara, dan bahkan terhadap Pajang, karena Untara adalah seorang senapati yang mendapat kekuasaan langsung dari Panglima Wira Tamtama Pajang.
“Aku harus membela anak itu sekuat-kuat tenagaku,” desisnya, “aku adalah pamannya.”
Tetapi jauh di dalam dasar hatinya, Argajaya seolah-olah mendengar sebuah pertanyaan yang lamat-lamat, hampir-hampir tidak dapat menyentuh telinga batinnya, “Apakah benar demikian, he, Argajaya yang gagah berani? Apakah benar, sekedar karena dorongan hasratmu untuk membela kemenakanmu maka kau demikian bernafsu untuk berjuang melawan Pajang.”
Terasa sebuah desir yang tajam menyentuh jantungnya. Pertanyaan itu ternyata telah membuatnya gelisah. Namun justru dengan demikian, maka pertanyaan itu didengarnya lagi, “Apakah benar demikian? Kalau begitu kau adalah seorang yang paling baik di muka bumi. Tetapi apakah kau tidak mempunyai pamrih pribadi.”
“Tidak, tidak,” Argajaya menggeram. Tetapi ia tidak dapat menutup telinganya dari suara hatinya sendiri, “Argajaya, agaknya bukan karena hasratmu untuk membela Sidanti dan membalas sakit hatinya saja, kau bertekad untuk melawan Pajang. Tetapi pamrih pribadimulah yang akan membawa kau dalam kancah peperangan yang besar, yang justru mengancam keselamatan tanah perdikan ini.”
“Tidak, tidak,” sekali lagi Argajaya menggeram. Namun bagaimana ia dapat menipu dirinya sendiri? Bagaimana ia dapat menyembunyikan kata hatinya terhadap dirinya sendiri?
Seperti di hadapkan di muka cermin, Argajaya dapat melihat dengan jelas, apa yang tersembunyi di dalam dirinya. Pamrih yang telah mendorongnya untuk membakar Tanah Perdikan Menoreh dalam kancah peperangan yang dahsyat. Tanah perdikan yang selama ini diliputi oleh ketenangan dan kesibukan kerja melawan kekerasan alam pegunungan.
Argajaya yang keras hati itu terhenyak di atas amben bambu di dalam bilik itu. Dicobanya untuk melawan pertanyaan-pertanyaan yang kemudian terasa semakin mengganggu perasaannya. Tetapi dengan demikian, maka ia menjadi semakin jelas melihat ke dalam dirinya sendiri. Kepada pamrih yang terpahat pada dinding hatinya. Ia adalah adik satu-satunya dari Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang besar. Tetapi ia bukan Kepala Tanah Perdikan itu. Meskipun ia mempunyai kekuasaan yang cukup besar, namun di atasnya adalah kakaknya, Argapati.
“Kalau Kakang Argapati berhasil memecah Pajang. Setidak-tidaknya mampu mempunyai kekuasaan yang sama dengan Pajang, karena Pajang tidak mampu mengalahkannya, maka Argapati pasti akan mengangkat dirinya sejajar dengan pimpinan tertinggi pemerintahan Pajang. Adiwijaya tidak akan selamanya puas dengan kedudukan Adipatinya. Sebentar lagi setelah lawan-lawannya satu demi satu disingkirkan, ia akan menjadi seorang yang paling berkuasa di Pajang dan sepanjang daerah Demak lama. Ia akan dapat berbuat sekehendak hatinya tanpa seorang pun dapat merintanginya. Sehingga dengan demikian, ia akan dengan mudahnya membuka jalan ke singgasana seorang Raja. Sultan Pajang.” Argajaya bergumam di hatinya.
Tiba-tiba Argajaya bangkit berdiri. Dihentikannya kakinya sambil menggeram, “Memang, memang aku mempunyai pamrih pribadi. Hanya orang-orang gila yang berbuat sesuatu tanpa pamrih pribadi. Dan aku bukan orang gila. Kalau Kakang Argapati kelak dapat menjadi seorang yang mempunyai kekuasaan menyamai Adiwijaya, kemudian menyebut dirinya Adipati, maka aku adalah orang yang kedua. Kakang Argapati tidak akan lagi mempunyai waktu untuk tanah perdikan ini. Sidanti, anak laki-lakinya tidak akan lagi mengharap tanah perdikan ini sebagai tanah warisan, karena kedudukan ayahnya. Maka tidak ada orang kedua dan ketiga selain Argajaya.” Argajaya itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian, “Setelah itu, apa yang akan terjadi, entahlah. Apakah Argajaya akan berhenti di tempat itu?”
Tetapi Argajaya tidak berani meneruskan angan-angannya. Terdengar ia berdesis, “Terlampau jauh. Aku harus mendapatkan yang paling dekat dahulu. Kakang Argapati harus melawan Pajang. Harus memisahkan diri dari kekuasaan Adiwijaya. Kalau tidak mampu meremukkan Pajang, setidak-tidaknya melepaskan diri, dan berdiri dalam keadaan yang sama.”
Argajaya yang seolah-olah telah sampai pada puncak angan-angannya itu, kemudian menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia meletakkan dirinya perlahan-lahan duduk lagi di atas amben. Namun ia masih belum melepaskan sama sekali angan-angannya, “Hem, bagaimana dengan para Bupati dan Adipati yang kini telah memihak Pajang?”
Pertanyaan itu dijawabnya sendiri. Mereka sudah bukan pejuang-pejuang yang gigih. Setelah mereka mampu melapisi tiang-tiang rumah mereka dengan emas, setelah mereka mampu mengukir tubuh mereka dengan intan berlian dan memenuhi bilik-bilik mereka dengan isteri-istri muda yang cantik, maka mereka adalah orang-orang yang paling jinak. Apabila Kakang Argapati mampu memecah kota Pajang, maka tidak sampai sepenginang mereka akan tunduk. Bukan karena keyakinan kebenaran mereka atas kemenangan Kakang Argapati, tetapi sekedar untuk menyelamatkan diri mereka, menyelamatkan harta benda mereka dan menyelamatkan isteri-isteri mereka yang muda-muda dan cantik. Sebab itulah yang kemudian sudah menjadi jalan hidup mereka.”
Argajaya menarik nafas sekali lagi. Semakin panjang. Ia menemukan kepuasan di dalam angan-angannya. Seolah-olah ia telah melakukannya. Seolah-olah kini ia telah menggenggam kemenangan. Kedudukan yang tinggi dan kekuasaan yang besar. Namun Argajaya sendiri melupakannya, bahwa arah perjuangannya pun serupa dengan para Bupati dan Adipati itu. Dengan kedudukan yang tinggi dan kekuasaan yang besar, ia akan dapat berbuat jauh lebih banyak dari apa yang dapat dilakukannya sekarang. Ia akan dapat melapisi tiang rumahnya dengan emas, ia akan dapat mengukir dirinya dengan intan berlian, dan kemudian mengisi bilik-bilik rumahnya dengan isteri-isteri yang cantik.
Argajaya yang sedang diselubungi oleh angan-angannya itu, terkejut ketika ia melihat seseorang melangkah masuk ke dalam bilik itu. Ketika ia mengangkat wajahnya terdengar orang itu mengeluh pendek.
“Marilah Kiai,” Argajaya mempersilahkan.
“Terima kasih, Ngger,” sahut orang itu yang ternyata adalah Ki Tambak Wedi, sambil duduk di samping Argajaya.
“Apakah Kiai sudah mengatakannya?” Argajaya seolah-olah tidak sabar lagi menunggu Ki Tambak Wedi meletakkan dirinya.
“Heh,” Ki Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam, “ternyata aku terdorong terlampau jauh ke dalam ceritera khayal itu.”
“Kiai harus menghentikannya,” potong Argajaya.
“Aku menyadari, Ngger. Tetapi aku belum menemukan jalan.”
“Lalu, apakah Kiai akan membiarkan saja semuanya itu berlangsung tanpa ujung dan pangkal.”
“Tidak. Sudah tentu tidak.”
Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi terlintas di kepalanya angan-angannya, “Adalah kebetulan sekali terjadi peristiwa ini atas Sidanti. Peristiwa ini akan dapat menjadi sebab untuk membakar hati Kakang Argapati. Tanpa sebab ini, sudah pasti Kakang Argapati tidak ingin melakukan perlawanan atas Pajang.”
Tetapi yang diucapkannya adalah sebuah pertanyaan, “Lalu apa yang sudah Kiai katakan tentang keadaan Sidanti yang sebenamya?”
Ki Tambak Wedi menggelengkan kepalanya, “Belum, Ngger. Aku belum mengatakan apa-apa.”
“Sama sekali belum? Bahkan dengan pengertian yang miring pun belum sama sekali?”
Sekali lagi Ki Tambak Wedi menggelengkan kepalanya. Sorot matanya menembus daun pintu yang tidak terlalu rapat. Namun wajah yang sudah ditandai oleh umurnya yang semakin tua itu, menjadi tegang.
“Aku belum mendapat kesempatan sama sekali,” desis Ki Tambak Wedi, “justru aku terdorong semakin jauh ke dalam ceritera yang menjemukan itu. Semakin rapat aku berusaha menutupi kebohongan yang sudah terlanjur diucapkan, maka aku pun menjadi semakin dalam terlibat ke dalam kebohongan baru.”
“Karena itu, Kiai harus segera menghentikannya,” potong Argajaya.
“Ya, aku sudah tahu, bahwa aku harus menghentikannya. Tetapi aku tidak dapat. Aku belum menemukan kesempatan itu.”
“Kalau Kiai bersungguh-sungguh, maka kesempatan itu pasti terbuka.”
“Ah, jangan menyalahkan aku saja, Ngger. Kita bersama-sama telah terdorong ke dalam suatu keadaan yang tidak kita ingini. Kita bersama-sama menyesali sikap Sidanti yang telah melibatkan kita ke dalam suatu keadaan yang sangat jelek ini. Dan kita bersama-sama ingin menghentikannya. Ingin memutuskan rantai yang seolah-olah menjadi semakin banyak meliliti tubuh kita. Tetapi aku sendiri belum menemukan kesempatan itu.”
“Kiai harus bersikap tegas. Tanpa menunggu lebih lama lagi, supaya Kiai tidak terperosok semakin dalam. Kiai harus sanggup mengatakan kepada kakang Argapati, bahwa semua itu hanya sekedar ceritera bohong belaka, untuk membohongi Pandan Wangi. Tetapi tidak demikian yang sebenarnya terjadi.”
“Seharusnya, ya seharusnya.”
“Kenapa seharusnya? Kenapa Kiai tidak berani melakukannya? Kesempatan yang baik telah Kiai lampaui, ketika Pandan Wangi meninggalkan pertemuan itu. Kiai dapat memutar haluan pembicaraan dengan serta-merta.”
“Jalan pikiranku tidak secepat itu, Ngger. Tetapi seandainya Angger mampu berpikir secepat itu, kenapa Angger tidak melakukannya atau setidak-tidaknya memberi aku isyarat untuk melakukannya? Bukankah Angger juga tinggal bersama Argapati beberapa lama sepeninggal Pandan Wangi dan bahkan sepeninggal Sidanti.”
Argajaya terdiam. Ia merasakan kebenaran kata-kata Ki Tambak Wedi. Justru pada saat itu ia pun masih ikut serta membuat ceritera-ceritera khayal yang menjemukan sekali.
“Kita sekarang sudah berdiri pada keadaan ini,” berkata Ki Tambak Wedi kemudian. “Kita jangan terpukau oleh keadaan yang baru saja lampau. Dengan keadaan kita sekarang ini, apakah kita masih mempunyai keberanian untuk mengatakannya kepada Argapati apa yang sebenarnya terjadi?”
Argajaya menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian nafsu yang telah membakar jantungnya, telah mendorongnya untuk berkata, “Harus. Harus. Kita harus berani mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Aku yakin, bahwa Kiai mempunyai jiwa yang cukup besar, sebesar nama Kiai. Apalagi Kiai pasti mempunyai pengaruh yang cukup atas Kakang Argapati, ternyata dari kepercayaannya menyerahkan anak laki-laki satu-satunya kepada Kiai.”
“Ah,” orang tua itu mengeluh panjang, “Angger memuji seperti memuji kanak-kanak yang menolak untuk mengantar makanan kepada ayahnya di sawah. Dengan pujian-pujian, maka anak yang manja akan dengan senang melakukannya.”
“Tidak Kiai, tidak,” potong Argajaya dengan serta-merta, “bukan maksudku. Tetapi sebenarnyalah, bahwa Kiai mempunyai pengaruh yang besar atas kakang Argapati. Kalau tidak, Sidanti pasti tidak akan diserahkan kepada Kiai.”
Wajah orang tua itu tiba-tiba terkulai jatuh di lantai. Sekali lagi ia mengeluh panjang. Dan Argajaya menjadi terheran-heran karenanya.
“Kenapa Kiai? Kiai tampaknya telah dibayangi oleh keragu-raguan. Sejak di perjalanan aku melihat keragu-raguan itu. Dan kini menjadi semakin nyata. Itukah yang telah mendorong Kiai untuk terus menerus berbohong kepada Kakang Argapati?”
Tanpa disangka-sangka, tiba-tiba Ki Tambak Wedi itu mengangguk lemah, “Mungkin, Ngger. Mungkin sekali.”
“Kenapa Kiai?”
Ki Tambak Wedi tidak menjawab.
“Apakah Kiai meragukan tanggapan Kakang Argapati atas semua kejadian di Sangkal Putung dan Jati Anom?”
“Mungkin.”
“Mungkin?” Argajaya mengulangi, “jadi Kiai tidak yakin, bahwa itu adalah sebab utama kenapa Kiai menjadi ragu-ragu? Dengan demikian, Kiai pasti memperhitungkan ada sebab lain yang telah membuat Kiai ragu-ragu.”
Ki Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kemudian ia berkata, “Baiklah. Aku akan segera mengatakan kepada Argapati bahwa semua ceritera yang telah didengarnya itu adalah ceritera bohong semata-mata. Ceritera kanak-kanak untuk sekedar membuat Pandan Wangi dan orang-orang dari tanah ini tidak terkejut dan berbuat di luar dugaan.”
Argajaya mengerutkan keningnya. Seakan-akan menahan nafasnya yang berdesah lewat lubang hidungnya ketika ia mendengar Ki Tambak Wedi berkata seterusnya, “Aku harus berani mengatakan apa yang sebenarnya terjadi.”
Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kerut merut di keningnya berangsur hilang. Perlahan-lahan ia berkata, “Demikianlah hendaknya Kiai. Tak ada jalan lain. Sakit hati itu harus dibalas. Bukan sekedar atas Untara dan Widura, apalagi Sutawijaya. Tetapi Pajang harus dipecah.”
“Ya,” Ki Tambak Wedi menganggukkan kepalanya. Tetapi kata-katanya terasa hambar dan tidak meyakinkan. Meskipun demikian Argajaya mengharap, bahwa sebenarnya demikianlah yang akan terjadi. Ia yakin bahwa kakaknya Argapati akan tersinggung sekali dengan peristiwa yang menimpa Sidanti dengan sedikit ramuan yang meyakinkan.
Sejenak mereka berdua dicengkam oleh kediaman. Ki Tambak Wedi duduk sambil meraba-raba kumisnya. Sedang Argajaya tepekur dalam-dalam. Namun angan-angannya membubung tinggi ke udara.
Mereka tersedar dari angan-angan masing-masing, ketika mereka mendengar langkah seseorang mendekati pintu bilik itu. Dan sejenak kemudian sesosok tubuh telah melangkah masuk. Orang itu adalah Sidanti.
“Oh,” Sidanti berdesis ketika ia melihat gurunya duduk di dalam bilik itu pula, “silahkan Guru untuk mandi. Pakaian untuk guru telah disediakan oleh Pandan Wangi.”
“Terima kasih,” jawab Ki Tambak Wedi. Tetapi ia belum beranjak dari tempatnya.
Sidanti tertegun sejenak. Namun kemudian dicobanya untuk tidak terpengaruh oleh sikap gurunya. Perlahan-lahan ia melangkah maju dan duduk di amben itu pula.
“Sidanti,” berkata Ki Tambak Wedi setelah Sidanti duduk, “aku sedang mencoba mengumpulkan keberanian untuk berkata berterus terang kepada ayahmu.”
Sidanti mengerutkan keningnya. Kemudian ia bertanya, “Apakah yang meragukan, Guru?”
“Aku belum dapat menjajagi tanggapan ayahmu terhadap semua peristiwa yang terjadi.”
“Ah,” sahut Sidanti, “kenapa Guru ragu-ragu?”
“Hal itu sebenarnya tidak perlu terjadi Kiai,” sambung Argajaya, “Sidanti adalah putera Kakang Argapati. Seandainya ia tidak berkenan atas kejadian yang berlangsung, seandainya Kakang tidak senang akan sikap Sidanti, namun Sidanti adalah puteranya. Persoalannya telah terlanjur terjadi. Apakah Kakang Argapati dapat berpangku tangan tanpa berbuat sesuatu? Aku, yang bukan ayahnya merasakan hinaan itu atas tanah ini. Atas seluruh Tanah Perdikan Menoreh, karena Sidanti adalah putera Kepala Tanah Perdikan ini.”
Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi matanya sama sekali tidak memancarkan gairah dan nafsu untuk berbuat sesuatu.
Tetapi Ki Tambak Wedi benar-benar telah mengherankan Argajaya dan Sidanti. Mereka tidak pernah melihat mata itu begitu suram. Mereka tidak pernah melihat wajah Ki Tambak Wedi begitu gelap dan dipenuhi oleh keragu-raguan. Yang selalu mereka lihat adalah, meskipun sudah dihiasi dengan kerut merut ketuaan, namun wajah itu selalu menyalakan nafsu yang melonjak-lonjak. Wajah itu selalu memancarkan gejolak di dalam dadanya, dan matanya selalu menyorotkan api yang seolah-olah ingin membakar masa depan.
“Seandainya Guru merasa bersalah,” berkata Sidanti di dalam hatinya, “apakah ia perlu menyesali kesalahannya sampai berlarut-larut? Ia dapat langsung berhadapan dengan Ayah, minta maaf atas kesalahan itu, namun kemudian menekannya untuk berbuat sesuatu.”
Tetapi seperti Argajaya, Sidanti masih tetap yakin, bahwa ayahnya pasti tidak akan tinggal diam saja. Tetapi ayahnya memang memerlukan api yang dapat membakar kemarahannya. Karena itu maka baik gurunya maupun pamannya harus dapat mengatakan apa yang telah terjadi itu dengan cara yang sebaik-baiknya.
Sidanti itu berpaling ketika ia mendengar gurunya berkata, “Tetapi aku memang sudah bertekad untuk mengatakan kepada ayahmu, Sidanti. Apa pun tanggapannya. Mudah-mudahan ia dapat mengerti dan seperti yang kita harapkan, ayahmu bersedia untuk berbuat sesuatu, berbuat untuk menebus sakit hati dan dendam yang menyala di dalam dada ini.”
Sidanti mendengar kata-kata yang panas penuh tekad untuk membalas dendam dan sakit hati, tetapi nada yang membawakan kata-kata itu sama sekali kurang meyakinkannya. Namun Sidanti tidak segera menyahut, dan dibiarkan gurunya berkata terus, “Nanti malam aku akan menemui ayahmu.”
“Baik, Kiai,” sahut Argajaya dengan serta merta, “aku memang mengharap, bahwa malam ini semuanya dapat diselesaikan. Aku telah bermalam satu malam lagi di sini, betapa aku ingin segera bertemu dengan keluargaku. Aku ingin ikut serta meyakinkan Kakang Argapati, bahwa Menoreh harus berbuat sesuatu karena seorang puteranya telah dihinakan oleh orang-orang Pajang, justru putera Kepala Tanah Perdikannya.”
Tampaklah wajah Ki Tambak Wedi menjadi semakin berkerut merut. Dan tanpa disangka-sangka ia berkata, “Maaf, Ngger. Aku ingin bertemu dengan Argapati seorang diri. Aku harus berhadapan dengan kakakmu itu tanpa seorang pun yang hadir. Aku ingin mengatakan semua persoalan yang tidak perlu diketahui oleh orang lain.”
Jawaban itu ternyata telah mengejutkan Argajaya dan Sidanti, sehingga hampir bersamaan mereka bertanya, “Kenapa?”
Ki Tambak Wedi tidak segera menjawab. Tetapi ditatapnya wajah Sidanti seperti belum pernah dilihatnya, sehingga Sidanti terpaksa melontarkan pandangan matanya keluar bilik itu.
“Aku harap kalian dapat mengerti,” berkata Ki Tambak Wedi kemudian, “aku tidak ingin Argapati menjadi salah paham. Karena itu, aku harus berhati-hati. Nanti apabila persoalan ini telah benar-benar dipahami oleh Argapati, maka kalian akan mendapat kesempatan untuk mengatakan perasaan kalian. Tetapi sebelum itu, jangan membuatnya menjadi bingung.”
“Ah,” desah Argajaya, “Kakang Argapati bukan anak-anak yang lekas menjadi bingung. Ia tahu apa yang harus dilakukannya. Ia mampu membuat pertimbangan-pertimbangan yang matang. Aku kira dalam pembicaraan antara orang-orang yang telah cukup dimatangkan oleh pengetahuan dan pengalaman, tidak akan dapat terjadi salah paham.”
“Mudah-mudahan. Mudah-mudahan tidak ada salah paham. Karena itu, biarlah aku saja yang mengatakannya. Dengan demikian, maka seperti yang kau katakan, Angger Argajaya, kami orang-orang tua yang telah kenyang makan pahit masamnya kehidupan, akan dapat berbicara tanpa salah paham.”
Ura-urat yang terbujur di kening Argajaya menjadi tegang. Sepercik warna merah membayang di matanya. Jawaban Ki Tambak Wedi itu benar-benar telah mengguncang perasaannya. Perasaannya sebagai seorang paman dan sebagai seorang yang mempunyai kedudukan yang cukup penting di Tanah Perdikan Menoreh.
Persoalan yang akan dibicarakan adalah persoalan Sidanti. persoalan kemanakannya, anak Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Sedang Argajaya adalah orang kedua di tanah perdikan ini. Kenapa Ki Tambak Wedi berkeras untuk menjauhkannya dari pembicaraan itu.
Ki Tambak Wedi yang mempunyai pengamatan yang cukup tajam, seolah-olah dapat mengerti apa yang sedang bergolak di dalam hati Argajaya itu. Sehingga karena itu, maka ia berkata, “Angger Argajaya jangan salah paham. Persoalan ini memang persoalan Sidanti, persoalan Menoreh dengan Pajang. Tetapi sebelum kita sampai pada persoalan itu, adalah persoalan Argapati dan Ki Tambak Wedi. Persoalan penyerahan Angger Sidanti, putera Argapati itu kepada Ki Tambak Wedi. Argapati sebagai seorang ayah, lepas dari segala macam sangkutan persoalan, dan Ki Tambak Wedi seseorang yang mendapat kepercayaan mengasuh Sidanti. Sebagai seorang yang menyimpan ilmu dari perguruan Tambak Wedi. Seseorang kepada seseorang. Hanya itu. Itulah yang harus aku pertanggung jawabkan lebih dahulu, sebelum aku sampai kepada persoalan lain yang menyangkut kemudian. Persoalan Sidanti dengan orang-orang Pajang. Persoalan Sidanti dengan Sekar Mirah, kemudian persoalan Sidanti dengan Untara. Hancurnya Tambak Wedi dan segala macam persoalan yang lain. Nah, dalam persoalan-persoalan inilah aku memang memerlukan seorang kawan untuk meyakinkan Argapati. Tetapi sebelum itu, persoalannya adalah persoalan Argapati dan Ki Tambak Wedi. Sebagai seorang yang memberikan kepercayaan dan yang menerima kepercayaan untuk mengasuh Sidanti.”
Urat-urat yang seolah-olah menjalar di kening Argajaya masih menegang. Tetapi penjelasan Ki Tambak Wedi itu ternyata agak mengendorkannya. Ia dapat mengerti beberapa bagian dari keterangan itu, meskipun masih ada beberapa masalah yang tidak dapat ditangkapnya. Namun dengan demikian, maka getar di dadanya menjadi semakin turun. Perlahan-lahan ia berpaling, dipandanginya wajah Sidanti dengan tajamnya, seolah-olah ia ingin bertanya, bagaimanakah tanggapan anak muda itu atas keterangan gurunya.
Tetapi Sidanti sama sekali tidak dapat memberikan tanggapan apapun. Justru ia menjadi bingung. Ia dengan tiba-tiba telah dicengkam oleh perasaan kecewa ketika gurunya mengatakan, bahwa tidak ada orang lain yang dapat ikut berbicara, selain Argapati dan Ki Tambak Wedi. Namun keterangan gurunya itu masuk pula di dalam akalnya. Adalah wajar, bahwa persoalan itu semata-mata adalah persoalan Argapati dan Ki Tambak Wedi. Seperti pada saat Argapati menyerahkannya kepada Ki Tambak Wedi, tidak ada seorang pun yang ikut mencampurinya. Tidak ada seorang pun yang membantu salah satu pihak untuk meyakinkan pihak yang lain. Dan lebih dari itu, tidak seorang pun yang tahu, apakah yang sebenarnya telah mereka bicarakan dalam penyerahan itu.
Dan sekarang, ketika Ki Tambak Wedi dihadapkan pada suatu persoalan yang pelik, yang tidak dapat di atasinya sendiri untuk menghadapi masa depan Sidanti, maka Ki Tambak Wedi memerlukan Argapati. Memerlukan ayah Sidanti itu sendiri.
Sebenarnya hal itu adalah hal yang wajar. Sangat wajar. Dan adalah wajar juga, kalau Ki Tambak Wedi ingin berbicara tanpa orang lain, dalam hal Sidanti ini.
Tetapi persoalan yang sekarang di hadapi oleh Ki Tambak Wedi bukan sekedar persoalan Sidanti pribadi. Bukan soal kegagalan Sidanti dalam usahanya menuntut ilmu dari perguruan Tambak Wedi. Bukan sekedar persoalan Sidanti yang malas dan tidak mempunyai ketekunan dalam usahanya menuntut ilmu. Tidak. Justru Sidanti adalah seorang murid yang baik, yang tekun dan dapat dibanggakan oleh gurunya.
Namun kegagalan Sidanti kali ini adalah kegagalannya dalam percaturan pergeseran pimpinan pemerintahan, meskipun hanya dalam satu segi. Persoalan yang menyangkut perselisihan antara Pajang dan Jipang. Antara Jipang dan Tambak Wedi, dan kemudian antara Pajang melawan Jipang dan Tambak Wedi bersama-sama. Persoalannya kemudian pasti akan menyangkut nama Sidanti sebagai seorang putera Menoreh dalam hubungannya keluar. Bukan sekedar masalah pribadinya yang gagal dalam ilmunya. Dan persoalan ini bukanlah sekedar persoalan Ki Tambak Wedi dan Argapati. Tetapi persoalan ini pasti akan menjadi persoalan antara Menoreh dan Pajang dalam keseluruhan.
Meskipun demikian, Argajaya dan Sidanti merasa, bahwa mereka tidak akan dapat memaksa Ki Tambak Wedi untuk membawa mereka dalam pembicaraan, sebelum Ki Tambak Wedi menganggap, bahwa persoalan salah paham telah dapat dilaluinya.
Dengan demikian maka Argajaya dan Sidanti tidak berusaha untuk mendesak orang tua itu. Namun mereka tidak dapat melepaskan keinginan mereka untuk mendengar dan ikut berbicara dalam masalah itu.
“Baiklah aku bersabar,” berkata Argajaya di dalam hatinya. “Apabila persoalannya telah menyangkut masalah Menoreh dan Pajang, maka Kakang Argapati pasti akan memanggil aku.”
Dan Sidanti pun agaknya berpikir demikian pula, “Apabila datang waktunya, Ayah pasti akan memanggil aku, dan aku akan dapat membakarnya untuk menyatakan perang terbuka melawan Pajang yang memang masih kisruh.”
Tetapi Sidanti tidak mengatakannya. Ia mengharap agar gurunya segera menemui ayahnya dan berbicara tentang persoalannya dengan sungguh-sungguh. Tidak lagi sambil bergurau, membuat ceritera khayal yang menjemukan dan menyesakkan nafas.
****
Sejenak mereka bertiga saling berdiam diri. Masing-masing dengan angan-angan sendiri. Namun ketika sekali-sekali Argajaya mencoba memandang wajah Ki Tambak Wedi, maka ia merasakan suatu kegelisahan yang sangat pada orang tua itu.
Baru sesaat kemudian, orang tua itu berdiri sambil berkata, “Aku akan pergi ke sumur sebentar. Nah, temuilah ayahmu itu, Sidanti.”
Sidanti mengerutkan keningnya. Dan ia mendengar gurunya berkata, “Tetapi jangan berkata apa pun tentang dirimu yang sebenarnya.”
“Sudah aku katakan, aku sendirilah yang akan mengatakannya.”
Sidanti menjadi ragu-ragu, sehingga ia bertanya, “Lalu apakah yang akan dapat aku katakan kepada Ayah? Apakah yang telah Guru bicarakan sebelum ini?”
Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Kemudian perlahan-lahan ia mengangguk, “Ya, aku telah berceritera tentang daerah yang belum pernah kau lihat.” Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam, “Mungkin kau akan bingung. Dan mungkin ayahmu pun akan bingung pula.”
“Lalu?”
Ki Tambak Wedi berpikir sejenak, “Sebaiknya kau tidak menemuinya. Akulah yang pertama-tama akan berbicara.”
Sidanti menganggukkan kepalanya. Tetapi terasa kejanggalan yang luar biasa pada pertemuannya dengan ayahnya kali ini. Beberapa tahun yang lalu, ketika ia pulang untuk yang terakhir kalinya, ia dapat berbicara dengan ayahnya seperti seorang anak dan ayah yang telah lama tidak bertemu. Tetapi kali ini ia merasa seperti seseorang yang sedang bersembunyi di dalam rumah ini. Menghindari pertemuan dengan orang-orang lain, bahkan dengan ayahnya sendiri.
“Ayah pasti menunggu aku di pendapa,” desisnya.
“Mungkin. Tetapi sebaiknya kau tetap berada di dalam bilikmu. Kau dapat membuat alasan apa saja tentang dirimu. Mungkin kepalamu lagi pening, atau kau terlampau lelah dan ingin beristirahat sejenak.”
Sidanti mengangguk kosong, sedang Argajaya berjalan hilir mudik di dalam bilik itu.
“Aku akan segera selesai. Dan aku segera menemui ayahmu.”
Sidanti tidak menjawab. Dibiarkannya gurunya melangkah meninggalkannya di dalam bilik itu bersama pamannya.
“Sulit,” desis anak muda itu.
“Hanya sementara. Kenapa kau menjadi sangat terganggu karenanya?” bertanya Argajaya. Tetapi kata-kata itu ditujukan kepada dirinya sendiri pula.
“Ya, tetapi yang sementara ini benar-benar telah menyiksaku,” berkata Sidanti.
“Sebentar lagi Ki Tambak Wedi telah selesai. Ia akan segera menemui ayahmu.”
“Ya, Paman. Tetapi bagaimana dengan aku sekarang? Apakah aku akan tetap berada di dalam bilik yang pepat ini?”
Argajaya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian jawabnya, “Tidak mengapa Sidanti. Hanya sebentar.”
“Dadaku serasa sesak, dan kepalaku benar-benar menjadi pening.”
Dahi Argajaya berkerut, namun kemudian ia tersenyum hambar, “Kau terlampau tergesa-gesa. Bersabarlah sedikit.”
Sidanti kemudian membanting dirinya di pembaringannya. Beberapa kali ia berdesah. Waktu yang pendek itu terasa terlampau panjang baginya. Sedang Argajaya yang duduk di sampingnya pun sebenarnya telah dibakar oleh kegelisahannya pula. Tetapi ia masih mencoba menahan diri.
Sidanti terlonjak ketika ia mendengar pintu bilik itu berderit. Dilihatnya Pandan Wangi telah berada di luar biliknya di depan pintu.
“Kakang,” berkata Pandan Wangi itu, “Ayah menunggu Kakang di pendapa. Kenapa Kakang tidak keluar dari bilik ini dan menghadap Ayah?”
Sidanti menjadi bingung. Dipandanginya wajah pamannya untuk mendapatkan pertimbangan. Tetapi Argajaya pun tidak segera menemukan jawab.
“Aku telah menyediakan minuman hangat untuk Kakang Sidanti, Paman Argajaya, dan Guru Kakang. Ayah menunggu kalian untuk minum-minum bersama setelah sekian lama tidak bertemu. Ayah ingin mendengar ceriteramu, Kakang.”
“Ya, ya Wangi,” Sidanti menjadi tergagap.
“Kami menunggu Ki Tambak Wedi, Wangi,” Argajaya yang sudah menjadi agak tenang berkata, “sebentar lagi kami akan datang. Ki Tambak Wedi baru mandi.”
“O,” Pandan Wangi mengangguk, “baiklah. Akan aku katakan kepada Ayah.”
Pandan Wangi itu pun kemudian meninggalkan Paman dan kakaknya dalam kegelisahan. Demikian Pandan Wangi menjauh, maka berkata Argajaya, “Hem, keadaan kita benar-benar sulit.”
Sidanti tidak menjawab. Sekali lagi dijatuhkannya tubuhnya di atas amben bambu dengan hati yang sangat kesal. Sekali-sekali masih terdengar ia berdesah dan menarik nafas dalam-dalam.
Setelah mereka hampir tidak dapat bersabar lagi, barulah mereka melihat Ki Tambak Wedi masuk kedalam bilik. Sebentar kemudian seseorang menjengukkan kepalanya dan berkata, “Inilah lampu untuk bilik ini.”
“Taruhlah di atas geledeg itu,” sahut Sidanti acuh tidak acuh. Ternyata hari telah berangsur gelap, semakin gelap. Semula mereka sama sekali tidak memperhatikan, bahwa bayangan mereka telah menghitam karena sinar senja yang semakin redup.
Ketika Ki Tambak Wedi telah selesai berkemas, maka terdengar ia bergumam, “Lebih baik kalian tinggal di sini. Sekarang aku akan menemui Argapati untuk minta waktu, berbicara di antara kami berdua.”
Sidanti dan Argajaya saling berpandangan untuk sesaat, tetapi tidak ada pilihan lain daripada menganggukkan kepala mereka dan menjawab, “Baiklah. Kami akan menunggu di sini.”
Ki Tambak Wedi segera meninggalkan bilik itu. Kini tampak betapa ia menjadi tergesa-gesa, sehingga orang tua itu sama sekali tidak berpaling lagi.
Ketika Ki Tambak Wedi telah hilang di balik pintu, Argajaya dan Sidanti seolah-olah tersedar dari sebuah mimpi yang aneh. Hampir tidak masuk di dalam akal mereka, bahwa mereka tidak boleh ikut serta dalam pembicaraan antara Ki Tambak Wedi dan Argapati yang bergelar Ki Gede Menoreh, ayah Sidanti. Namun demikianlah yang dikehendaki oleh Ki Tambak Wedi. Dan mereka hanya dapat menerima keadaan itu. Semuanya demi untuk kebaikan keadaan mereka.
Ki Tambak Wedi yang berjalan dengan tergesa-gesa keluar dari gandok, tiba-tiba tertegun di halaman. Ternyata debar jantungnya menjadi semakin deras, seolah-olah seluruh dadanya ikut berdetak.
“Hem,” orang tua itu menarik nafas dalam-dalam, “aku harus dapat mengendalikan perasaanku. Ternyata aku telah dihantui oleh bayanganku sendiri. Noda-noda hitam yang melekat di tubuhku agaknya telah membuat aku menjadi seorang pengecut.”
Ki Tambak Wedi mencoba menenteramkan hatinya. Dipandanginya pintu pringgitan yang masih terbuka. Sinar lampu yang kemerah-merahan berloncatan jatuh di atas lantai pendapa yang redup, oleh sinar pelita yang remang-remang.
“Di sana Argapati menunggu aku, Sidanti, dan Argajaya,” orang tua itu berdesis.
Tetapi keragu-raguan yang sangat telah mencengkam hatinya. Hampir-hampir ia mengurungkan niatnya untuk bertemu dengan Argapati berdua. Tumbuhlah hasrat di dalam hatinya untuk berbuat licik. Mengajak Sidanti dan Argajaya untuk bersama-sama berbicara dengan Argapati meneruskan ceritera mereka yang menjemukan itu.
“Tidak,” tiba-tiba Ki Tambak Wedi itu menggeretakkan giginya, “dengan demikian persoalan ini tidak akan selesai. Aku harus berkata seperti apa yang terjadi. Aku harus mengatakan kepada Argapati tentang keadaan Sidanti seperti yang benar-benar dialaminya. Apa pun tanggapan Argapati, tetapi aku harus berterus terang.”
Ki Tambak Wedi itu menggeram. Kemudian dibulatkannya hatinya untuk berhadapan dengan Argapati, dan mengatakan tentang keadaan Sidanti, mengatakan tentang dendam yang menyala di dada anak itu, serta sakit hati yang hampir-hampir tidak tertahankan.
“Argapati harus mengerti,” gumam Ki Tambak Wedi, “apa pun yang sudah terjadi atasnya.”
Sesaat Ki Tambak Wedi berdiri tegak sambil mengawasi pintu pringgitan. Ketika keragu-raguannya mengganggunya lagi, maka dihentakkannya kakinya, “Aku tidak boleh ragu-ragu.”
Ki Tambak Wedi itu pun kemudian melangkahkan kakinya naik ke pendapa. Ditindasnya debar jantungnya yang semakin keras. Dicobanya untuk berbuat dengan tenang. Tanpa kesan apa pun di wajah dan sorot matanya.
Ketika ia muncul di pintu pringgitan, dilihatnya Argapati duduk di atas sehelai tikar pandan yang putih. Di sampingnya duduk puteri satu-satunya. Pandan Wangi. Gadis itu sama sekali tidak mengesankan kegarangannya dalam pakaian laki-laki. Pandan Wangi dalam keadaannya itu, benar-benar seorang gadis yang manis.
Sebuah pergolakan kembali melanda dada Ki Tambak Wedi. Tetapi sekali lagi ia mencoba menindasnya.
Namun darahnya serasa semakin cepat mengalir ketika ia mendengar Argapati tertawa dan berkata, “Ha, marilah, silahkan duduk. Aku sudah lelah menunggu kalian. Marilah. Kita dapat berbicara semalam suntuk. Kalian dapat berceritera apa pun juga. Marilah.”
Ki Tambak Wedi melangkah masuk. Dan dilihatnya Argapati itu mengerutkan keningnya, “Di mana Sidanti dan Argajaya. Kenapa ia tidak segera datang kemari? Pandan Wangi sudah memanggilnya, tetapi Argajaya menjawab, bahwa mereka menunggu kau, Ki Tambak Wedi.”
“Sebentar lagi mereka akan datang,” jawab Ki Tambak Wedi.
“Apa lagi yang mereka tunggu? Biarlah kita berbicara apa saja. Aku sudah kangen mendengar Sidanti berceritera. Sebentar lagi biarlah Pandan Wangi menyajikan makan kita, lalu kita berbicara lagi semalam suntuk. Aku kira beberapa orang akan datang pula kemari untuk mendengarkan ceritera Sidanti yang telah lama tidak menginjakkan kakinya di kampung halamannya. Beberapa orang pemimpin tanah perdikan ini pasti akan kagum mendengar Sidanti menceriterakan peperangan yang dialaminya, dan terbunuhnya Tohpati. Sidanti pasti akan memberikan banyak petunjuk dan pengalaman di dalam ceriteranya bagi orang-orang tanah perdikan yang sepi ini.”
“Ya, ya. Argapati. Sebentar lagi ia akan datang.”
“Apa yang dikerjakannya sekarang.”
“Kepalanya terasa agak pening. Perjalanan hari ini terasa agak berat baginya karena terik matahari.”
Argapati mengerutkan keningnya. Tanpa prasangka apa pun ia bertanya, “He, kenapa kepala Sidanti itu begitu cengeng. Bukankah ia telah mengalami perjalanan berhari-hari. Di dalam hujan dan terik matahari.”
Dada Ki Tambak Wedi berdesir. Namun ia berusaha menjawab, “Tentu Argapati. Bukan hari inilah yang menentukan. Yang berhari-hari itu, sedikit demi sedikit telah mempengaruhi kesehatan Sidanti. Tetapi anak itu tidak mau melihat kenyataan, bahwa perjalanan yang berhari-hari itu terlampau berat baginya. Dipaksakannya dirinya untuk berjalan terus, sehingga justru ketika ia telah berada di rumahnya, ia merasakan kepalanya menjadi pening.”
Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi Ki Tambak Wedi mengumpat di dalam hati, “Aku telah mulai lagi dengan ceritera khayal yang memuakkan ini.”
Ketika Argapati terdiam untuk sejenak, maka Ki Tambak Wedi pun seolah-olah menjadi terbungkam. Ia tidak segera dapat mengatakan maksudnya untuk berbicara berdua saja dengan Argapati. Dan hatinya kian berdebar-debar ketika ia mendengar Argapati berkata, “Biarlah ia beristirahat. Tetapi sebentar lagi ia harus bangun dan duduk di sini. Beberapa orang yang mendengar kedatangannya, juga anak-anak muda yang terkemuka pasti ingin menemuinya untuk mendengarkan ceriteranya.”
Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak segera menjawab. Wajahnya menjadi kian menegang, ketika ia berusaha mengumpulkan keberaniannya, untuk mengatakan maksudnya.
Ki Tambak Wedi bukanlah seorang penakut. Bukan seseorang yang selalu ragu-ragu. Bahkan ia termasuk seorang yang kasar, yang berbuat tanpa mempertimbangkan kepentingan orang lain. Namun berhadapan dengan Argapati dalam persoalannya, dadanya serasa dirobek oleh keragu-raguan dan kecemasan.
Meskipun demikian, setelah berjuang sekuat tenaganya, maka Ki Tambak Wedi berhasil berkata, “Argapati, sebenarnya aku memang menahan Sidanti sesaat di biliknya. Kecuali supaya ia beristirahat bersama pamannya, aku sengaja untuk mendapatkan kesempatan untuk berbicara denganmu, berdua saja.”
“He,” Argapati mengerutkan keningnya, “apakah yang perlu kita bicarakan?”
“Sidanti,” jawab Ki Tambak Wedi.
Argapati tidak segera menjawab. Tetapi tampaklah keningnya menjadi berkerut merut.
“Aku tidak mengerti maksudmu, Ki Tambak Wedi.”
Dada Ki Tambak Wedi bergetar sejenak. Namun ia berhasil pula menjawab, “Maksudku sudah jelas, Argapati. Aku ingin berbicara tanpa ada orang lain yang mendengarkannya.”
“Ya, tetapi maksud pembicaraan itu sama sekali tidak aku mengerti. Apakah ada gunanya kita berbicara berdua?” Argapati berhenti sejenak, lalu, “Ki Tambak Wedi, aku kira sudah tidak ada masalah apa pun yang perlu kita bicarakan berdua. Masalah yang ada sekarang adalah masalah kita semua. Masalah yang sampai saat ini masih membebani hidupku adalah masalah anak-anakku. Bukan karena persoalan-persoalan yang menyangkut mereka, tetapi bagaimana anak-anakku itu kelak, Bagaimana aku dapat melihat anak-anakku yang sudah tidak beribu lagi itu, menjadi manusia seperti yang kuimpikan. Manusia yang berguna di dalam hubungannya dengan kemanusiaannya. Manusia yang mengerti akan dirinya, sumbernya dan sesamanya.”
Dada Ki Tambak Wedi menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi ia menjawab, “Itulah yang akan aku bicarakan. Aku ingin mengatakan beberapa hal mengenai Sidanti.”
Argapati menggelengkan kepalanya, “Jangan kau bicarakan lagi.”
“Tidak. Tidak. Tetapi bukankah aku kau percaya untuk mengasuh anakmu? Nah, sekarang ini anggaplah aku akan memberikan laporan tentang itu.”
“Aku akan sangat bersenang hati, tetapi kenapa harus tidak ada orang lain yang boleh mendengarnya? Ki Tambak Wedi, biarlah orang-orang mendengar tentang hasil usahamu mengasuh anakku. Aku akan berbangga. Biarlah Pandan Wangi, Sidanti, dan Argajaya mendengar. Kalau ada yang baik, biarlah kita tekankan untuk seterusnya dilakukan. Bila ada yang buruk, biarlah dihentikan untuk seterusnya pula.”
Ki Tambak Wedi menjadi semakin gelisah. Tetapi sudah tentu tidak mungkin baginya untuk bersikap seperti Argapati. Setelah berpikir sejenak ia berkata, “Argapati. Mungkin ada soal yang orang lain tidak perlu mendengarnya. Kegagalan-kegagalan yang dialami Sidanti, perlu kau ketahui dan kau perhatikan.”
“Aku akan mendengarkannya, Ki Tambak Wedi. Aku akan menaruh perhatian sepenuhnya atas semua persoalan.”
“Tetapi anak itu tidak perlu mendengarnya.”
Argapati menarik nafas dalam-dalam. Sekilas ia berpaling kepada puterinya yang duduk dengan gelisah mendengar pembicaraan ayahnya.
“Hem, apakah Pandan Wangi juga tidak boleh mendengar?”
Pertanyaan itu telah membuat Ki Tambak Wedi semakin sulit. Tetapi ia terpaksa menjawab, “Sebaiknya tidak Argapati.”
Sekali lagi Argapati menarik nafas dalam-dalam. Gumamnya, “Pandan Wangi adalah orang yang paling dekat dengan aku saat ini. Ia tahu apa saja persoalanku. Persoalanku sebagai seorang ayah, dan persoalanku sebagai Kepala Tanah Perdikan ini. Meskipun ia seorang gadis, tetapi ia adalah satu-satunya keluargaku sehari-hari.”
“Tetapi aku terpaksa minta kepadamu, Argapati.”
Argapati terdiam sejenak. Ditatapnya celah-celah pintu pringgitan yang belum terkatup rapat. Terasa silir angin menyentuh tubuhnya, ketika nyala api pelita di dinding pringgitan itu bergerak-gerak.
“Hem,” Argapati berdesah, “Apakah kau akan berbicara tentang Sidanti?”
“Ya, tentang kemajuan dan kegagalannya akhir-akhir ini.”
“Tetapi kau menggelisahkan aku.”
“Untuk kebaikan anakmu itu, Argapati.”
“Menurut pendirianku, tidak ada masalah yang harus dirahasiakan lagi tentang Sidanti. Kemajuan dan kegagalannya adalah hal yang sangat wajar.”
Dalam kegelisahannya Ki Tambak Wedi itu berkata, “Aku ingin mengatakan yang sebenarnya kepadamu, Argapati. Jangan salah paham. Ketahuilah, bahwa Sidanti sebenarnya tidak melakukan perjalanan apa pun selama ini. Aku telah membuat suatu ceritera untuk menyelubungi persoalan yang sebenarnya. Persoalan yang hanya akan aku katakan kepadamu saja.”
Tampaklah wajah Ki Gede Menoreh berkerut. Ia terkejut mendengar pengakuan yang tiba-tiba itu.
Ternyata bukan saja Ki Gede Menoreh, tetapi juga Pandan Wangi terperanjat karenanya, sehingga untuk sesaat ditatapnya wajah Ki Tambak Wedi dengan mulut ternganga.
Ki Tambak Wedi melihat keheranan yang tersirat pada wajah-wajah itu. Wajah Ki Gede Menoreh dan wajah Pandan Wangi. Dengan demikian, maka debar di dadanya menjadi semakin tajam.
“Ki Tambak Wedi,” desis Argapati, sejenak kemudian, “apakah aku tidak salah dengar, bahwa sebenarnya Sidanti sama sekali tidak pernah melakukan perjalanan seperti yang kau katakan?”
Ki Tambak Wedi menganggukkan kepalanya, “Ya, demikianlah.”
Argapati menarik nafas panjang sekali. Wajahnya yang keras menjadi tegang. Namun ia mencoba untuk tidak terpengaruh oleh keadaan itu.
“Ah, aku sungguh tidak mengerti,” katanya kemudian, “agaknya kau masih juga senang bergurau Ki Tambak Wedi. Aku menanggapi ceritera itu dengan bersungguh-sungguh. Ternyata kau hanya sekedar menganggu kami orang-orang Menoreh.”
“Aku terpaksa berkata demikian, Argapati,” sahut Tambak Wedi. “Selanjutnya aku ingin mengatakan yang sebenarnya. Aku minta kerelaanmu, untuk memberi aku kesempatan berbicara.”
Kini bukan saja dada Ki Tambak Wedi yang menjadi berdebar-debar. Tetapi dada Argapati pun menjadi berdebar-debar pula. Bahkan Argapati itu tidak menyembunyikan perasaannya itu. Katanya, “Ki Tambak Wedi. Aku menjadi berdebar-debar karenanya. Bahkan aku menjadi cemas dan gelisah. Apakah kau memang memerlukan sekali kesempatan itu?”
“Ya, aku memerlukannya.”
Tampak kerut merut di wajah Argapati menjadi semakin dalam. Dipandanginya puterinya yang masih saja duduk di tempatnya dengan penuh pertanyaan tersimpan di dalam hatinya.
“Hem,” Argapati berdesah, “kau benar-benar membuat aku gelisah. Bagiku tidak ada lagi persoalan yang perlu dirahasiakan, Ki Tambak Wedi. Kita sebaiknya berbicara dengan terbuka. Apa yang telah terjadi atas Sidanti?”
“Berilah aku kesempatan Argapati. Aku merasa, bahwa tidak ada orang lain yang perlu mendengar keteranganku tentang apa yang telah terjadi atas Sidanti. Apalagi Pandan Wangi.”
Kini Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi ia berpaling kepada puterinya. Dan perlahan-lahan ia berkata, “Wangi. Sebaiknya kau tinggalkan kami berdua. Aku dan Ki Tambak Wedi. Agaknya Ki Tambak Wedi ingin mengatakan sesuatu tentang kakakmu, Sidanti, tetapi tidak seyogyanya kau ikut mendengarkannya.”
Keheranan masih saja memancar dari wajah gadis itu. Tetapi ia tidak membantah. Segera ia beringsut dari tempatnya dan berkata, “Baiklah Ayah. Aku akan pergi ke belakang, menyiapkan makan untuk Ayah dan para tamu.”
“Bagus, Bagus Wangi. Lakukanlah. Kami akan segera makan.”
Pandan Wangi itu segera meninggalkau pringgitan. Tetapi sesuatu yang aneh telah menggelisahkannya. Ia sama sekali tidak mengerti, kenapa Ki Tambak Wedi ingin berbicara berdua saja dengan ayahnya.
Sepeninggal Pandan Wangi, wajah Argapati menjadi semakin tegang. Ditatapnya saja wajah Ki Tambak Wedi tanpa mengucapkan sepatah kata pun juga.
Maka Ki Tambak Wedi-lah yang mulai dengan kata-katanya, “Argapati. Sebelumnya aku minta maaf, bahwa aku telah membuat suatu ceritera tentang Sidanti. Aku terpaksa membuat ceritera itu, sebenarnya khusus untuk Pandan Wangi. Ia aku anggap tidak perlu mengetahui keadaan Sidanti sebenarnya.”
“Kenapa?” sahut Argapati, “kenapa kau tidak berterus terang tentang Sidanti kepada Pandan Wangi? Aku kira Pandan Wangi telah cukup dewasa untuk mengetahui apa pun juga tentang kakaknya, seandainya kegagalan sama sekalipun.” Argapati terdiam sejenak, lalu, “tetapi menurut Pandan Wangi, Sidanti ternyata luar biasa. Pandan Wangi merasakan tekanan yang berat dari kakaknya ketika kakaknya itu mengganggunya. Apalagi seandainya Sidanti benar-benar ingin mengalahkannya, maka Sidanti pasti dengan cepat akan dapat melakukan. Bukankah dengan demikian ternyata bahwa Sidanti tidak gagal?”
“Ya, dari segi kanuragan Sidanti memang tidak gagal.”
Argapati mengerutkan keningnya. Kini ia telah mendapat arah dari pembicaraan ini. Kegagalan Sidanti tidak terletak pada olah kanuragan. Karena itu, maka perlahan-lahan ia bergumam seolah-olah ditujukan kepada diri sendiri, “Jadi kegagalan Sidanti terletak pada persoalan yang lebih dalam dari olah kanuragan itu sendiri?”
“Ya,” jawab Ki Tambak Wedi, “Sidanti telah melibatkan diri dalam persoalan yang besar yang menyangkut hubungannya dengan Pajang.”
Tampaklah kerut merut di kening Argapati menjadi semakin dalam. Terasa detak jantungnya bertambah cepat.
“Maksudmu, Sidanti telah terlibat dalam suatu persoalan dengan Pajang? Persoalan yang mana? Bukankah Sidanti kini seorang prajurit Pajang?” Argapati berhenti sejenak, seolah-olah ia sedang mencari kata-kata yang tepat untuk diucapkan. Baru sejenak kemudian ia melanjutkan, “Sudah tentu Sidanti tidak sedang melakukan perjalanan seperti yang kau katakan. Dan sudah tentu Sidanti meninggalkan Sangkal Putung bukan karena alasan itu pula. Nah, apakah yang telah terjadi dengan Sidanti?”
“Itulah yang akan aku katakan,” Ki Tambak Wedi menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi ia telah mulai dengan persoalan itu, sehingga ia tidak akan dapat surut kembali.
“Apakah Sidanti tidak cukup baik sebagai seorang prajurit, atau Sidanti telah melakukan kesalahan?”
“Sebenarnya Sidanti tidak bersalah,” jawab Tambak Wedi.
“Kenapa sebenarnya? Apakah yang telah terjadi atasnya?”
Ki Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba menenangkan hatinya sebelum mulai dengan persoalan Sidanti yang sesungguhnya.
Sejenak mereka saling berdiam diri. Masing-masing mencoba mempersiapkan perasaan dan nalar mereka masing-masing, untuk menghadapi suatu pembicaraan yang bersungguh-sungguh.
Dalam kesenyapan itu, yang terdengar hanyalah desah angin perlahan-lahan dan suara cengkerik di kejauhan. Di sudut desa kemudian terdengar suara kentongan untuk memanggil para peronda.
Suasana di dalam pringgitan itu semakin lama menjadi semakin tegang. Meskipun Ki Tambak Wedi belum menyatakan sepatah kata pun, namun terasa, bahwa seolah-olah mereka telah berada dalam satu suasana yang menegangkan urat syaraf mereka.
Setelah dengan susah payah mengatur desah nafasnya, maka Ki Tambak Wedi baru dapat mulai dengan kata-katanya, “Sebelumnya aku minta maaf padamu, Argapati.”
Argapati mengangguk kaku. Tetapi ia tidak menyahut.
“Aku telah mencoba berbuat sebaik-baiknya untuk kepentingan Sidanti. Tetapi keadaan di sekitar Sidanti sama sekali tidak menguntungkannya.”
Sekali lagi Argapati menganggukkan kepalanya.
“Sidanti terpaksa meninggalkan lingkungan keprajuritan.”
Kening Argapati tampak berkerut. Ia sudah menyangka, bahwa itulah yang terjadi. Sidanti terpaksa meninggalkan lingkungan keprajuritan.
Argapati itu berdesah. Tetapi ia masih belum menyahut.
“Kau jangan terkejut Argapati, bahwa persoalannya adalah anak-anak muda.” Ki Tambak Wedi berhenti sejenak. Orang tua itu menjadi semakin berdebar-debar ketika ia melihat wajah Argapati menjadi merah.
“Tetapi itu bukan sebab yang terutama, Argapati,” sambung Ki Tambak Wedi kemudian dengan tergesa-gesa, “persoalan itu hanyalah sekedar pendorong dari sebab-sebab yang sebenarnya.”
Argapati masih belum menjawab.
“Iri hati dan dengki telah menyebabkan Sidanti terpaksa meninggalkan kedudukannya yang kian hari kian bertambah baik.”
Kini Argapati menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan ia berdesis, “Iri hati dan dengki adalah hambatan yang paling menjemukan bagi setiap kemajuan. Tetapi kenapa Sidanti harus meninggalkan lapangan yang telah dipilihnya itu?”
“Kalau kedengkian dan iri hati itu datang dari kawan-kawannya seangkatan, maka hal itu pasti akan dapat di atasinya. Hal yang demikian agaknya cukup dibiarkannya saja. Meskipun mungkin akan dapat juga menghambat kemajuannya, tetapi hal yang serupa itu tidak perlu dilayani.” Ki Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam, lalu, “Tetapi kedengkian dan iri hati itu datangnya justru dari pimpinan pasukan Pajang di Sangkal Putung.”
“He?” Argapati terkejut, “Siapakah mereka itu?”
“Widura.”
“Widura?” Argapati mengulangi.
“Dan Untara.”
“He,” Argapati benar-benar terkejut mendengar nama itu disebut, “Untara, Senapati Pajang yang mendapat kepercayaan di daerah Merapi dan sekitarnya?”
Ki Tambak Wedi mengangguk, “Ya.”
Sekali lagi Ki Tambak Wedi melihat wajah Argapati menjadi semburat merah.
“Ki Tambak Wedi,” nada suara Argapati menjadi semakin berat, “apakah yang sudah mereka lakukan? Apakah kedengkian mereka disebabkan karena kemungkinan yang baik dari Sidanti di dalam lapangan keprajuritan, apakah disebabkan karena persoalan anak-anak muda seperti yang kau katakan?”
“Keduanya, Argapati,” sahut Ki Tambak Wedi, “Widura adalah pimpinan pasukan Pajang di Sangkal Putung.”
“Ya, aku telah mendengar.”
“Untara adalah kemanakan Widura itu.”
Argapati mengangguk.
“Tetapi sumber yang paling memuakkan dari benturan di antara mereka adalah seorang anak muda yang bernama Agung Sedayu.”
“Siapakah Agung Sedayu itu?”
“Adik Untara.”
“Jadi juga kemanakan Widura?”
“Ya.”
Terdengar Argapati menggeram. “Mereka adalah anak Ki Sadewa. Aku mengenal ayahnya, meskipun tidak begitu rapat. Tetapi ayahnya bukan seorang yang dengki dan iri hati terhadap kemajuan orang lain. Lalu apakah yang sudah dilakukan oleh mereka atas Sidanti?”
“Agung Sedayu dan Sidanti ternyata mempunyai sangkutan hati yang sama.”
“Oh,” Argapati menarik nafas dalam-dalam. Terbayang di dalam kepalanya apa yang sudah terjadi di antara mereka. Perlahan-lahan ia berkata, “Apakah kau akan mengatakan, bahwa Widura dan Untara ternyata berpihak kepada Agung Sedayu dan bersama-sama berusaha menyingkirkan Sidanti.”
“Begitulah kira-kira yang terjadi Argapati.”
Argapati menggeleng-gelengkan kepalanya. Perlahan-lahan ia berdesah, “Aku sudah berpesan mawantu-wantu. Jangan terlibat dalam persoalan yang pahit itu.”
“Tidak, Argapati. Apa yang terjadi atas Sidanti dalam hubungannya dengan seorang gadis adalah wajar. Tetapi kedatangan Agung Sedayu telah merusakkan hubungan itu. Apalagi ketika Widura dan Untara turut campur.”
“Lalu apakah yang telah dilakukan oleh Sidanti. Menentang kedua pimpinannya itu?”
“Darah mudanya telah meluap.”
“Bodoh. Bodoh sekali. Seharusnya ia tidak berbuat sekasar itu. Kalau hal itu tidak terjadi, maka orang tua-tua ini pasti akan dapat menyelsaikannya, mungkin Ki Tambak Wedi, mungkin pimpinan prajurit Pajang itu sendiri.”
Ki Tambak Wedi terperanjat mendengar kata-kata Argapati. Ternyata Argapati menganggap, bahwa sikap Sidanti itu adalah sikap yang salah. Argapati tidak menjadi kecewa atas Widura dan Untara, bahkan sebaliknya ia menyesali sikap Sidanti.
Karena itu maka sejenak Ki Tambak Wedi terdiam. Ia mencoba mencari alasan yang lebih baik, yang dapat membakar hati Argapati.
“Ki Tambak Wedi,” berkata Argapati itu kemudian, “apakah kau tidak berusaha mencegah kesalahan yang telah dibuat oleh Sidanti?”
“Tentu, Argapati. Sudah tentu aku berusaha mencari jalan yang sebaik-baiknya untuk memecahkan masalah itu. Aku temui satu demi satu kedua orang yang kebetulan mendapat kepercayaan atas para prajurit Pajang di Sangkal Putung itu.”
Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi sejenak ia terdiam. Dibiarkannya Ki Tambak Wedi berkata terus, “Tetapi agaknya masalah bagi mereka yang sebenarnya bukanlah Agung Sedayu. Masalah yang sebenarnya adalah masalah kedengkian mereka.”
Tampak kening Argapati menjadi berkerut. Dan Ki Tambak Wedi berkata selanjutnya, “Persoalan Agung Sedayu ternyata telah mereka pakai untuk melepaskan iri hati dan dengki mereka atas Sidanti.”
“Apa yang telah mereka lakukan atas Sidanti?”
Ki Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam. Ia berusaha untuk mengekang gelora di dadanya. Ia harus berhati-hati supaya ia tidak buat kesalahan.
“Menyesal sekali Argapati,” berkata Tambak Wedi, “bahwa Widura disetujui oleh Untara telah membuat darah kedua anak muda itu menjadi panas.”
Kening Argapati menjadi semakin berkerut merut.
“Meskipun tampaknya sangat baik, namun ternyata Widura telah membakar kedua anak muda itu dan menjerumuskan ke dalam suatu pertentangan yang berbahaya.”
“Apa yang sudah dilakukannya?”
“Widura menyelenggarakan sayembara memanah.”
“Untuk apa?”
“Untuk menentukan siapa yang berhak atas gadis itu.”
“Ah,” wajah Argapati menjadi tegang, “apakah kau berkata sebenarnya Ki Tambak Wedi?”
“Kenapa tidak? Aku berkata untuk kepentingan anakmu, Argapati.”
“Tetapi apakah hak Widura untuk menyelenggarakan sayembara itu? Kalau sayembara itu diadakan untuk memilih senapati yang akan dijadikannya pembantunya melawan Tohpati, itu adalah kuwajiban Widura. Tetapi persoalan gadis itu, bukanlah wewenangnya. Apakah gadis itu sudah tidak berayah dan beribu?”
“Oh, gadis itu bernama Sekar Mirah. Ia adalah puteri Demang Sangkal Putung.”
Argapati menjadi semakin tegang. Ditatapnya wajah Ki Tambak Wedi seolah-olah ia ingin melihat apakah yang tergores di dalam kepala orang tua itu.
Sejenak kemudian terdengar Argapati berdesis, “Kedengarannya aneh sekali Ki Tambak Wedi.”
“Itulah yang tidak dapat aku mengerti. Tetapi aku tidak dapat mencegahnya. Apalagi ketika perlombaan itu telah berlangsung. Widura sudah mengatur orang-orangnya untuk berlaku curang, sehingga di dalam sayembara itu, Sidanti tidak dapat memenangkannya.”
“Lalu apa yang dilakukan oleh Sidanti?”
“Darah mudanya menyala tanpa dapat dikendalikan lagi. Ia terlibat dalam perang tanding. Bukan sekedar sayembara memanah.”
Wajah Argapati menjadi semakin berkerut merut.
“Keduanya adalah anak-anak muda. Agung Sedayu dan Sidanti,” Ki Tambak Wedi meneruskan, “tetapi sekali lagi mereka berbuat curang. Kali ini Untara sendiri yang telah melanggar sikap jantan. Dan sekali lagi Sidanti tidak dapat mengendalikan diri. Ketika Agung Sedayu sudah tidak berdaya melawan Sidanti, maka Sidanti harus berhadapan dengan Untara sendiri.”
“Oh,” Argapati menarik nafas dalam-dalam, lalu katanya, “dan kau tidak dapat mencegahnya?”
“Sulit sekali, Argapati. Kalau kau melihat apa yang terjadi, maka kau tidak akan menyalahkan sikap Sidanti. Aku pun hampir-hampir kehilangan akal dan berbuat di luar nalar.”
Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. “Lalu?”
“Ternyata yang terjadi kemudian sama sekali tidak terduga-duga sebelumnya,” Ki Tambak Wedi berhenti sejenak. Dicobanya untuk menjajagi perasaan Argapati. Tetapi ia tidak menemukan kesan yang meyakinkan.
“Pertentangan itu menjadi berlarut-larut. Meskipun perkelahian yang pertama itu tampaknya berakhir tanpa menyakitkan hati kedua belah pihak, karena kepentingan mereka atas keselamatan Sangkal Putung dari sergapan Tohpati, sehingga mereka masih memerlukan Sidanti. Namun yang terjadi di hari-hari berikutnya adalah, persoalan yang paling menyakitkan hati. Bagi Sidanti, perguruan Tambak Wedi dan bagi Tanah Perdikan Menoreh.”
“Ah,” Argapati berdesah, “kenapa hal itu harus terjadi?”
“Sidanti di sudutkan ke dalam suatu keadaan yang tidak dapat dihindarinya.”
Argapati, yang bergelar Ki Gede Menoreh itu menarik nafas dalam-dalam. Ia adalah seorang yang menyimpan perbendaharaan pengalaman yang seimbang dengan Ki Tambak Wedi. Ia adalah orang yang memiliki ketajaman penilaian atas peristiwa-peristiwa yang terjadi dan keterangan-keterangan yang didengarnya. Meskipun ia keras hati, tetapi ia mempunyai pertimbangan yang kuat. Sebelum meletakkan keputusan dan menentukan sikap, maka ia mempertimbangkan setiap persoalan semasak-masaknya.
Sejenak pringgitan itu dicengkam oleh kesepian. Yang terdengar hanya desah nafas mereka berkejaran lewat lubang-lubang hidung. Namun demikian, debar jantung kedua orang tua-tua itu menjadi semakin deras berdentangan di dalam dada mereka.
Ki Tambak Wedi mengharap, bahwa ia akan berhasil membakar hati Argapati. Ia mengharap bahwa Argapati akan bersedia membantunya menebus segala kekalahan. Lebih daripada itu, apabila ia berhasil menggerakkan Argapati, maka ia akan membawanya ke singgasana Pajang.
Tetapi Ki Tambak Wedi tidak dapat segera menangkap perasaan Argapati. Meskipun wajahnya menegang, namun ia tidak berhasil menangkap perasaan yang tersirat daripadanya.
Sesaat kemudian, terdengar Argapati bergumam, “Ki Tambak Wedi, aku tidak melihat apa yang terjadi. Tetapi aku menyesal bahwa pertentangan itu telah berlangsung. Baik antara Sidanti dan Agung Sedayu, maupun Sidanti dan Widura serta Untara.”
“Keadaan itu datang tanpa dapat dihindari oleh Sidanti.” jawab Ki Tambak Wedi.
“Ah, aku rasa keadaan itu pasti ada permulaannya. Aku tidak tahu siapakah yang bersalah, tetapi bahwa Sidanti dan Agung Sedayu itu bersaing untuk mendapatkan seorang gadis, itu sudah tidak menyenangkan sama sekali. Aku tidak pedulikan Agung Sedayu, sebab ia bukan sanak bukan kadang. Apa pun yang akan dilakukan, seandainya ia berbuat nista seperti orang yang paling hina sekalipun. Tetapi Sidanti adalah anakku. Ia harus mempunyai harga diri. Ia harus menempatkan dirinya sebagai seorang putera Kepala Tanah Perdikan. Ia harus menjadi seorang prajurit yang baik. Seorang prajurit yang harus menjadi tepa-tulada dari prajurit-prajurit yang lain.”
“Ya, ya. Aku mengerti,” sahut Ki Tambak Wedi, “seharusnya memang demikian. Tetapi aku tidak banyak berdaya untuk menghindarkannya.”
“Kalau saja Sidanti tidak terkait gadis Sangkal Putung itu, maka semuanya tidak akan terjadi.”
“Kau salah, Argapati. Soalnya bukan bersumber pada gadis itu. Sudah aku katakan. Soalnya adalah kedengkian dan iri hati. Seandainya tidak ada persoalan gadis itu sekalipun, namun Untara dan Widura pasti akan mencari sebab-sebab lain yang akan dapat dipergunakan untuk menyingkirkan Sidanti.”
Argapati mengerutkan keningnya. Dan ia mendengar Ki Tambak Wedi berkata terus, “Aku sudah mencoba menjajagi perasaan mereka. Di antara sekian banyak sebab dari kedengkian dan iri hati itu, adalah kemajuan Sidanti. Mereka berusaha sekeras-kerasnya untuk menyembunyikan kemampuan Sidanti. Sebab apabila kemampuan Sidanti itu dapat dilihat oleh para pemimpin Wira Tamtama Pajang, maka keadaannya sama sekali tidak akan menguntungkan Untara dan Widura. Karena itu mereka berdua, paman dan kemanakan itu, berusaha untuk menyingkirkannya. Apalagi apabila sampai pada suatu saat Sidanti berhasil membunuh Tohpati, maka kedudukan Widura dan Untara pasti akan terdesak.”
Tetapi Ki Tambak Wedi itu terperanjat ketika ia mendengar Argapati bertanya, “Apakah memang tersirat di kepala Sidanti untuk mendesak kedudukan kedua orang itu?”
Sejenak Ki Tambak Wedi terbungkam. Di keningnya mengembun keringat yang dingin. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa tiba-tiba saja ia di hadapkan pada pertanyaan itu.
“Ki Tambak Wedi,” berkata Argapati seterusnya, “aku pun pernah mengalami menjadi seorang prajurit. Senapati adalah jabatan yang memang diimpikan bagi setiap prajurit. Senapati perang dari segala tingkatan. Seandainya Sidanti ingin menjadi senapati pun, maka hal itu adalah wajar. Sebab tanpa keinginan dan cita-cita itu, maka ia adalah seorang prajurit yang akan membeku saja di tempatnya. Ia akan tetap seorang prajurit sampai pada suatu saat ujung pedang lawannya membelah dadanya, atau sampai suatu saat ia harus mengundurkan diri karena umurnya. Tetapi aku tidak pernah merasakan suatu kecemasan, bahwa seseorang akan mendesak kedudukanku. Seandainya ada prajuritku yang maju, maka sebaiknya diberi kesempatan. Bukan ditanggapi dengan iri dan dengki, apabila prajurit itu berbuat dengan wajar. Tetapi bila seorang prajurit sengaja menjual jasa, dan membanggakan kelebihannya, memang kadang-kadang sikap yang demikian tidak menyenangkan atasannya. Nah, apakah Ki Tambak Wedi sudah melihat, apakah Sidanti tidak terdorong dalam sikap serupa itu, sehingga Widura dan Untara tidak menyenanginya?”
“Oh,” Ki Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam, “kau memang orang yang terlampau baik, Argapati. Kau seorang yang keras hati, sekeras batu-batu padas di pegununganmu. Wajahmu pun tampak begitu keras membatu. Tetapi kau terlampau hati-hati untuk mengambil sikap. Kau selalu berprasangka baik terhadap seseorang. Kau tidak pernah melihat kesalahan orang lain lebih dahulu dari kebaikannya. Namun jangan berbuat demikian terhadap Widura dan Untara. Jangan, Argapati. Kau harus dapat menempatkan dirimu pada pihak yang seharusnya mendapat perlindunganmu.”
Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Wajahnya masih saja didera oleh keragu-raguan dan kebimbangan.
Sejenak kemudian ia berkata, “Nah, seandainya demikian, lalu apakah sebab langsung yang telah mendorong Sidanti meninggalkan Sangkal Putung?”
, “Aku membawanya ke Tambak Wedi.”
“Begitu saja?”
“Aku tidak mau melihat keadaan menjadi semakin parah. Aku tidak mau melihat Sidanti kehilangan segala-galanya. Kehilangan gadis itu, kehilangan kesempatan di dalam tugas-tugas keprajuritan, kehilangan harga diri, dan kehilangan keberanian untuk bersikap. Atau apabila terjadi sebaliknya, Sidanti menjadi mata gelap dan berbuat di luar kendali.”
Sekali lagi Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tampaklah suatu bayangan yang buram di kepalanya. Betapa pun ia mencoba mengerti keterangan Ki Tambak Wedi, namun setiap kali bayangan tentang Sidanti, Widura, dan Untara, seolah-olah seperti asap yang tertiup angin. Pecah bertebaran, dan ia kehilangan gambaran tentang apa yang terjadi.
“Aku tidak dapat mengerti,” desisnya di dalam hati, “bagaimana mungkin seorang senapati seperti Untara, menaruh kedengkian dan iri hati terhadap bawahannya. Terhadap Sidanti.” Tetapi lalu dijawabnya sendiri, “Untara masih muda. Mungkin ia masih kurang bijaksana menanggapi keadaan, sehingga timbullah kedengkian dan iri hati itu.”
Namun bagaimanapun juga Argapati masih dibelit oleh keragu-raguan dan kebimbangan.
“Apakah kau tidak dapat mengerti, Argapati?” bertanya Ki Tambak Wedi.
“Aku sedang mencoba untuk mengerti,” jawab Argapati dengan jujur.
“Kau memang terlampau baik dan jujur, sehingga kau tidak dapat membayangkan kedengkian dan iri hati orang lain. Sebab kau sendiri tidak pernah berbuat demikian atas orang lain.”
“Hem,” Argapati menarik nafas dalam-dalam, “Lalu seandainya kemudian aku meyakini kebenaran keteranganmu, lalu apakah yang sebaiknya aku lakukan menurut pertimbanganmu?”
Detak jantung Ki Tambak Wedi menjadi semakin berdebar-debar. Ia merasa belum dapat meyakinkan Argapati. Namun ia harus berusaha membuat hati orang itu menjadi semakin panas. Ia harus dapat membakar perasaannya.
“Tetapi Argapati bukan Sidanti,” gumam Ki Tambak Wedi di dalam hatinya, “Argapati adalah orang yang matang dalam sikap dan perbuatan. Tetapi aku harus mencoba.”
Maka dengan hati-hati Ki Tambak Wedi berkata, “Argapati. Aku sebenarnya tidak dapat mengatakan apa pun kepadamu tentang sikap yang sebaiknya kau ambil. Kau adalah seorang yang cukup matang menanggapi persoalan. Adalah wewenangmu untuk menentukan, sikap apakah yang sebaiknya kau ambil, tetapi aku percaya, bahwa kau masih Argapati yang aku kenal dahulu. Seorang yang memiliki harga diri dan kejantanan.”
Argapati mengerutkan keningnya. Lalu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Persoalan ini bukan persoalan yang dapat diabaikan. Persoalannya tidak sekedar persoalan. Sidanti dan Untara, tetapi pasti akan menyangkut orang tua-tua ini pula.”
“Tentu Argapati,” Ki Tambak Wedi menyahut, “apalagi kalau Untara sengaja membuat laporan palsu. Maka penilaian orang-orang Pajang pasti akan berkisar kepadamu dan kepadaku.”
Argapati mengangguk-angguk. “Ya,” katanya. “Pasti orang-orang tua inilah yang akan mendapat sorotan tajam dari para pemimpin Wira Tamtama Pajang.”
“Itulah sebabnya, aku segera datang kepadamu.”
Argapati tidak segera menjawab. Tetapi kerut merut di dahinya menjadi semakin dalam.
Dan terdengar Ki Tambak Wedi melanjutkan, “Dan untuk seterusnya, kau harus berbuat sesuatu, Argapati.”
“Ya, aku menyadari. Sebagai orang tua aku harus berbuat sesuatu untuk kepentingan Sidanti.”
Kini Ki Tambak Wedi-lah yang menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat titik-titik terang, bahwa usahanya akan berhasil.
Tetapi alangkah terperanjatnya ketika ia mendengar Argapati itu berkata, “Baiklah, Ki Tambak Wedi. Apabila kau dan Sidanti nanti pada waktunya kembali ke Tambak Wedi, meskipun aku tidak mendesakmu untuk segera pergi dari Menoreh, bahkan apabila mungkin kau akan berada di sini untuk waktu yang cukup lama, namun maksudku, kelak apabila kau kembali, aku akan ikut serta bersama Argajaya. Aku akan menemui Widura dan Untara. Aku ingin mendapat penjelasan akan sikapnya itu.”
“Ah,” dengan serta merta Ki Tambak Wedi memotong, “masihkah kau menganggap bahwa itu akan berguna bagimu dan bagi Sidanti?”
“Kenapa tidak? Aku akan menemuinya, Ki Tambak Wedi. Aku dan Untara berdiri pada tingkat yang sama. Aku tidak akan merendahkan diriku, mohon belas kasihan untuk kepentingan anakku. Tidak Ki Tambak Wedi. Bukankah kau tahu, bahwa ketika kau menganjurkan aku untuk menemui Ki Gede Pemanahan dan menitipkan Sidanti kepadanya, supaya Sidanti segera mendapat kedudukan yang baik, aku menolak. Aku tidak mau berbuat demikian. Sidanti harus menjadi seorang prajurit yang baik. Prajurit yang merayap dari tingkat yang paling rendah untuk mencapai tingkat yang setinggi-tingginya. Bukan karena ia anakku, dan aku telah mengenal Ki Gede Pemanahan, meskipun tidak begitu rapat seperti aku mengenal kau. Kau pun telah mengenal Ki Gede Pemanahan pula. Tetapi hal itu tidak kita lakukan. Aku tidak mau. Meskipun tampaknya demikian akan menguntungkan Sidanti, namun Sidanti akan kehilangan masa-masa yang akan dapat menempa dirinya sendiri. Ia akan kehilangan keprihatinan, karena dengan serta merta ia berada ditingkat yang tinggi. Bukan karena hasil cucuran keringatnya sendiri, tetapi karena pengaruh orang lain, meskipun orang lain itu adalah ayahnya sendiri.”
“Aku tahu, Argapati. Aku tahu betapa kau mencoba mendidik Sidanti untuk percaya kepada diri sendiri tanpa menggantungkan diri kepada orang lain. Tetapi kini masalahnya berbeda. Bukan sekedar harga diri. Bukan pula masalah yang dapat dibicarakan dengan wajar. Tetapi masalahnya adalah kedengkian, dan iri hati. Nah, dapatkah kau mempersoalkan kedengkian dan iri hati? Tidak Argapati. Dengki dan iri hati tidak akan dapat dibicarakan. Tidak dapat dipersoalkan. Apalagi kedengkian dan iri hati itu telah diungkapkannya dalam tindakan yang paling menyakitkan hati. Tindakan yang tidak akan dapat dilupakan oleh Sidanti sepanjang umurnya.”
Argapati tidak segera menjawab. Sejenak ia terdiam, seolah-olah sedang merenungkan kata-kata Ki Tambak Wedi itu. Dicobanya untuk mengerti dan mempercayainya. Tetapi setiap kali ia merasakan sesuatu yang menggelepar di dalam hatinya. Alangkah sulitnya bagi Argapati untuk dapat menelan keterangan itu.
Argapati itu mengangguk, ketika ia mendengar Ki Tambak Wedi bertanya, “Apakah kau ragu-ragu, Argapati?”
“Ya, aku memang ragu-ragu,” jawab Argapati.
“Kau tidak mempercayai aku?”
“Bukan begitu Ki Tambak Wedi,” sahut Argapati, “aku tidak meragukan kau. Tetapi aku meragukan tanggapan Sidanti atas kedua orang atasannya itu. Mungkin sikap Widura dan Untara yang keras, diterimanya dengan salah paham. Ia menyangka, bahwa Widura dan Untara menyimpan kedengkian dan iri hati di dalam hati mereka.”
“Oh,” Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya, “bukan hanya kau yang meragukan hal itu. Semula aku pun meragukannya. Tetapi akhirnya aku yakin, bahwa keduanya memang dengki dan iri hati.”
“Ya,” akhirnya Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya, “jalan yang paling baik bagiku adalah menemui Widura dan Untara. Aku bukan anak-anak lagi seperti Sidanti yang menganggap perkelahian adalah jalan yang paling baik untuk menyelesaikan persoalan. Aku akan mengambil jalan yang paling baik bagi semua.”
“Kalau kau mendengarkan nasehatku, Argapati,” berkata Ki Tambak Wedi, “jangan merendahkan dirimu. Kau hanya akan mendapat penghinaan yang akan menambah parah luka di hati.”
“Apakah mereka sudah gila?” bertanya Argapati dengan serta merta.
“Mungkin istilah itulah yang paling tepat dipergunakan untuk menyebut kedua orang itu, Widura dan Untara.”
“Ah,” Argapati berdesah. Sejenak ia terdiam. Namun kemudian ia bertanya, “Bagaimana yang baik menurut pertimbanganmu?”
“Argapati,” berkata Ki Tambak Wedi dalam nada yang berat, “sebenarnya aku tidak akan sampai hati mengatakan kepadamu. Tetapi setelah aku pertimbangkan baik-baik, maka lebih baik kau mengerti setiap persoalan dengan baik daripada sekedar permukaannya saja. Untuk seterusnya, aku dan Sidanti tidak akan dapat kembali lagi ke padepokan Tambak Wedi.”
“He,” Argapati mengerutkan keningnya. Keterangan itu telah mengejutkannya, “Kenapa?”
“Tambak Wedi telah pecah. Hancur lumat menjadi abu.”
Argapati justru terdiam. Tetapi keningnya menjadi semakin berkerut merut.
“Widura dan Untara ternyata telah menyusul Sidanti ke Tambak Wedi.”
Tampaklah sesuatu memancar dari sepasang mata Argapati yang dalam. Sejenak dipandangnya wajah Ki Tambak Wedi dengan tajamnya. Namun kemudian dilemparkan pandangan matanya itu ke arah nyala pelita di dinding. Begitu tajamnya ia memandang api yang sedang menggapai-gapai itu. Tanpa berkedip.
Dada Ki Tambak Wedi menjadi berdebar-debar. Ia tahu benar kekuatan yang tersimpan di dalam diri orang itu. Di dalam diri Ki Argapati. Seperti kelebihan yang tersimpan di dalam dirinya, yang tidak dimiliki oleh orang kebanyakan, sehingga orang menyebut, bahwa Ki Tambak Wedi mampu menangkap angin. Seperti orang mengatakan, bahwa perguruan Kedung Jati mempunyai rangkapan nyawa di dalam diri setiap muridnya. Maka hampir setiap mulut di Menoreh mengatakan, bahwa dengan sorot matanya, Argapati yang bergelar Ki Gede Menoreh, itu mampu membakar setiap benda yang dikehendakinya, sehingga menjadi abu.
Debar di dada Ki Tambak Wedi itu menjadi semakin keras, ketika tiba-tiba ia melihat api pelita itu terguncang dengan kerasnya, seolah-olah dihembus oleh angin yang bertiup dari arah sepasang mata Ki Gede Menoreh. Tetapi sejenak kemudian nyala pelita itu telah tegak kembali, seolah-olah menari dengan riangnya.
Ki Tambak Wedi tersedar, ketika ia mendengar Ki Gede Menoreh itu menarik nafas dalam-dalam. Seolah-olah sedang menikmati hasil pemusatan pikiran, dengan sengaja mengguncang nyala api pelita itu dengan pandangan matanya.
“Bukan main,” berkata Ki Tambak Wedi di dalam hatinya, “begitu besar perbawa pada dirinya, sehingga aku telah dicemaskan oleh permainannya. Hem,” Ki Tambak Wedi-lah yang kemudian menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia sekali lagi memandang api pelita itu, maka dilihatnya sekali lagi api pelita itu berguncang, meskipun Ki Gede Menoreh tidak sedang memandanginya. Terasa, angin yang lembut mengalir mengusap kening Ki Tambak Wedi yang basah oleh keringat.
“Setan alas,” Ki Tambak Wedi itu mengumpat di dalam hatinya. “Aku tidak dapat membedakan lagi, apakah yang telah mengguncangkan nyala api itu. Tetapi tadi aku tidak merasakan usapan angin yang dapat menggerakkan nyala pelita itu.”
Sejenak kemudian, keduanya masih saling berdiam diri. Ketegangan terasa semakin memuncak. Dan sejenak kemudian, terdengar suara Argapati dalam nada yang berat dan dalam, “Apakah keadaan Sidanti sudah sedemikian parahnya, sehingga kau harus mengorbankan padepokanmu?”
Ki Tambak Wedi menganggukkan kepalanya, “Ya. Aku telah mengorbankannya untuk mencoba mempertahankan Sidanti. Untunglah, bahwa Sidanti berhasil melepaskan dirinya. Kalau tidak, ia pasti akan dijadikan pangewan-ewan. Ia akan dihinakan jauh lebih menyakitkan hati daripada sisa-sisa orang Jipang yang dapat ditangkap oleh Widura dan Untara.”
Sekali lagi Argapati terhenyak dalam kediamannya. Sekali ia merenungkan kata-kata Ki Tambak Wedi. Namun terasa ketegangan di dalam ruangan itu pun semakin bertambah-tambah.
“Argapati,” berkata Ki Tambak Wedi kemudian, “aku telah melakukan segala macam usaha. Usahaku yang terakhir adalah menyelamatkan Sidanti. Seterusnya aku hanya dapat mengadu kepadamu. Anak itu memerlukan perlindungamu.”
Wajah Argapati menjadi semakin tegang. Terbayanglah suatu peristiwa yang sama sekali tidak disangka-sangkanya. Peristiwa yang telah menyeret Sidanti ke dalam suatu persoalan yang sulit. Yang mau tidak mau pasti akan menyangkut namanya, kecuali nama Ki Tambak Wedi.
Namun bagaimanapun juga, Argapati tidak dapat mengusir kebimbangan yang mencengkam jantungnya. Dengan demikian, maka terjadilah suatu pergolakan di dalam dadanya. Sentuhan terhadap Sidanti yang setiap orang menyebutnya putera Kepala Tanah Perdikan Menoreh adalah sentuhan terhadapnya. Tetapi apakah benar hal itu terjadi karena kedengkian dan iri hati? Bukan hanya sekedar karena salah paham yang berlarut-larut?
Argapati menarik nafas dalam-dalam, ketika ia mendengar Ki Tambak Wedi berkata, “Kau harus mengambil sikap, Argapati. Apa pun yang telah terjadi di antara kita, tetapi kini nama Menoreh sedang mendapat perhatian di kalangan Wira Tamtama Pajang. Bukan karena kesalahan kita, bukan pula karena kesalahan Sidanti. Tetapi sayang, bahwa justru orang-orang seperti Widura dan Untara-lah yang mendapat kekuasaan di Sangkal Putung dan daerah di sekitar Gunung Merapi.”
“Hem,” Argapati berdesah, “kenapa persoalan itu telah menjadi sedemikian jauh? Dan baru setelah semuanya tidak dapat dicegah kau datang kepadaku, memberitahukannya? Sekarang aku sudah tersudut ke dalam suatu keadaan yang paling parah.”
“Aku minta maaf, Argapati,” desis Ki Tambak Wedi, “aku pun sama sekali tidak menyangka, bahwa hal itu akan terjadi. Tetapi semuanya telah terlanjur. Yang ada sekarang yang harus diselesaikan, adalah keadaan kita kini.”
“Lalu apakah yang dapat aku lakukan untuk menyelesaikannya?”
“Aku hanya melihat satu jalan.”
“Jalan yang mana?”
“Argapati. Kita sudah terlanjur berada di tengah-tengah penyeberangan tanpa kita kehendaki. Kembali kita sudah terlanjur basah. Karena itu, maka biarlah kita berjalan terus. Apa pun yang terjadi.”
Argapati mengerutkan keningnya, “Maksudmu?”
“Kita tebus dengan darah.”
Kerut merut di kening Argapati menjadi semakin dalam, “Maksudmu kita menggerakkan pasukan. Atau dengan berterus-terang kita memberontak terhadap Pajang.”
Ki Tambak Wedi tidak segera menjawab. Dipandanginya wajah Argapati. Tetapi ia tidak dapat menangkap kesan yang meyakinkan. Karena itu, dengan berhati-hati ia berkata, “Bukan maksud kita. Tetapi kita di sudutkan ke dalam keadaan itu.”
“Ki Tambak Wedi,” berkata Argapati datar, “Pajang kini sedang mencoba berdiri tegak setelah saling memukul di antara keluarga sendiri. Bahkan sampai kini, menurut pendengaranku, masih saja tumbuh keributan di mana-mana. Beberapa orang bupati tidak senang menerima Karebet di atas tahta, meskipun mereka masing-masing menyimpan pamrih pula. Nah, apakah kita juga akan menambah kekisruhan itu?”
Ki Tambak Wedi mengangkat alisnya. Sejenak ia terdiam. Tetapi kemudian ia menjawab, “Aku berpikir sebaliknya, Argapati.”
“Maksudmu?”
“Pajang lah yang selalu membuat keributan di mana-mana. Pajang lah yang terlampau tamak. Kalau kau tahu sedikit saja tentang masa-masa muda anak yang bernama Karebet itu, maka kau akan segera mengerti, apakah yang sebenarnya sedang dilakukannya kini. Ternyata para perwira Wira Tamtama itu pun telah mewarisi sikap dan sifat-sifat itu. Nah, apakah kau dapat mengerti?”
Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Ya, aku mengerti. Bukankah maksudmu mumpung Pajang belum tegak benar, kita mempergunakan kesempatan ini?”
“Begitulah.”
“Ki Tambak Wedi,” berkata Argapati, “persoalan itu adalah persoalan hidup dan mati. Jangan menyeret tanah perdikan ini ke dalam keadaan yang tidak dapat kita yakini. Apabila masalahnya demikian, maka kita memerlukan waktu untuk memikirkannya.”
“Apakah kita harus menunggu sampai pasukan Pajang menyeberangi hutan Tambak Baya, Mentaok, dan Kali Praga.”
“Ah, jangan seperti anak kecil, Ki Tambak Wedi. Kau tahu, bahwa untuk melakukannya, Pajang pun memerlukan waktu. Menyeberang hutan-hutan itu dan Kali Praga dalam gelar perang, bukan mainan kanak-kanak. Kau pun pasti tahu, bahwa orang-orang Pajang tidak sebodoh itu, kecuali mereka akan membunuh diri.”
“Tetapi apakah kau tidak akan berbuat sesuatu?”
“Aku akan memilih jalan yang paling baik. Aku akan menemui langsung Ki Gede Pemanahan. Panglima Wira Tamtama itu. Ia harus menyadari, bahwa di dalam pasukannya ada orang-orang seperti Widura dan Untara.”
“Oh,” Ki Tambak Wedi-lah yang kemudian berdesah, “aku lupa mengatakan. Bahkan Pemanahan telah datang pula ke Sangkal Putung.”
“He,” Argapati terkejut.
“Ya. Ia telah datang ke Sangkal Putung. Dan Panglima yang gila itu membenarkan sikap Widura dan Untara untuk memukul Tambak Wedi.”
Wajah Argapati menjadi semakin tegang mendengar keterangan itu. Tanpa sesadarnya ia berkata, “Jadi apa yang dilakukan Untara dan Widura itu sudah setahu Pemanahan?”
***
“Ya.”
Argapati terdiam sejenak. Tiba-tiba kepalanya menunduk dalam-dalam. Ki Tambak Wedi menyadari, betapa dada orang yang bertubuh tinggi kekar berdada bidang itu sedang dihantam oleh gelora perasaan yang luar biasa. Namun ia mengharap, agar perkembangan persoalan di dalam diri Argapati itu mengarah kepada rencananya. Mudah-mudahan Argapati menjadi marah dan mendendam. Meskipun tanah ini hanya sekedar tanah perdikan, bukan daerah kabupaten atau kadipaten yang besar, namun justru tanah ini tanah perdikan, maka Menoreh menjadi kuat. Menoreh tidak berada di dalam pengawasan yang terlampau ketat dari Pajang seperti daerah-daerah kadipaten dan kabupaten.
Sekali lagi kedua orang tua itu terlontar ke dalam kesepian yang tegang. Argapati masih saja menundukkan kepalanya. Di kepala itu berkecamuk berbagai macam persoalan yang membuatnya menjadi pening. Kalau Ki Gede Pemanahan telah membenarkan sikap Widura dan Untara, maka mau tidak mau masalahnya pasti akan menjadi parah bagi Menoreh. Kalau Ki Gede Pemanahan telah membenarkan sikap Untara, dan bahkan telah datang pula ke Sangkal Putung, itu adalah suatu sikap yang pasti tidak dapat dihindarinya lagi.
“Mungkin benar kata Ki Tambak Wedi,” berkata Argapati di dalam hatinya, “bahwa sebentar lagi pasukan Pajang akan menyeberangi Alas Mentaok dan Kali Praga. Bahwa sebentar lagi sepasukan prajurit segelar sepapan dalam gelar perang yang sempurna akan berbaris memasuki tanah perdikan ini. Apakah aku harus menyambut prajurit Pajang itu juga dalam gelar perang untuk mempertahankan Sidanti dan Ki Tambak Wedi?”
Keragu-raguan yang dahsyat telah berkecamuk di dalam hati Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu. Berbagai pertimbangan dan perhitungan bersimpang-siur di dalam kepalanya. Namun bagaimanapun juga, ia masih belum berhasil mengusir kebimbangannya. Masih ada sepercik anggapan, bahwa yang terjadi adalah semata-mata sebuah salah paham.
Seandainya Untara dan Widura keblinger karena mereka melihat persoalannya itu dari sudut kepentingan mereka, dan kepentingan anak muda yang bernama Agung Sedayu, adik Untara dan kemanakan Widura itu, maka apakah Ki Gede Pemanahan dapat juga dengan mudahnya keblinger? Apakah Ki Gede Pemanahan dan Ki Tambak Wedi sama sekali tidak dapat menemukan titik-titik persamaan sikap untuk menyelesaikan masalah itu? Apakah keduanya kini sudah menjadi pikun dan tidak mampu lagi melihat jalan yang sebaik-baiknya mereka tempuh untuk menyelesaikan peristiwa ini?
Angin malam yang basah bertiup semakin kencang menyusup dari lubang pintu yang tidak terlampau rapat ditutup. Sentuhan di wajah-wajah mereka telah membangunkan mereka dari buaian angan-angan.
Argapati yang kemudian mengangkat wajahnya berdesis, “Ki Tambak Wedi. Apakah dunia sekarang ini sudah demikian gelapnya, sehingga orang-orang seperti Ki Gede Pemanahan, dan Ki Tambak Wedi sudah tidak dapat melihat lagi jalan lain yang dapat ditempuh kecuali kekerasan? Aku tidak dapat mengerti, bahwa untuk persoalan yang kecil itu, maka Menoreh harus di sudutkan ke dalam suatu persiapan untuk menghadapi perang.”
Ki Tambak Wedi menggeleng-gelengkan kepalanya. Jawabnya, “Aku tidak tahu, pertimbangan apakah yang telah mendorong Pemanahan untuk membenarkan sikap Widura dan Untara. Mungkin Panglima itu telah dimakan fitnah, mungkin pula karena nafsu berperang yang berkobar-kobar di dalam dadanya. Setelah Jipang tidak mampu lagi membuat perlawanan yang berarti, maka Pemanahan dengan sengaja telah membuat lawan baru, supaya ia tidak kehilangan kedudukannya sebagai orang yang terpenting di Pajang. Apabila peperangan masih berkecamuk terus, maka Panglima Wira Tamtama-lah yang seolah-olah memegang tampuk pimpinan dalam pemerintahan. Patih Manca Negara hampir-hampir sudah tidak berarti lagi. Kekuasaan Pajang di dalam masa perang, berada seluruhnya di tangan Pemanahan. Sedang apabila perang berakhir, maka Patih Manca Negara pasti akan segera tampil sebagai seorang ahli di dalam bidangnya.”
Keterangan itu memang masuk akal. Tetapi adalah licik sekali apabila perhitungan Ki Tambak Wedi itu benar. Sedang menurut pengenalannya atas Ki Gede Pemanahan, maka hal itu tidak mungkin dilakukannya.
Dalam kebimbangan itu, Argapati menarik nafas dalam-dalam. Tanpa dikehendakinya sendiri, maka terpandanglah olehnya wajah Ki Tambak Wedi yang berkerut merut. Wajah yang telah lama dikenalnya. Hidung yang mirip dengan paruh burung betet, mata yang tajam seolah-olah memancarkan perasaan yang aneh tidak teraba.
Tiba-tiba terasa desir yang tajam tergores di dalam hati Argapati. Ia mengenal Ki Tambak Wedi tidak hanya baru sehari dua hari yang lalu. Ia mengenal Tambak Wedi sejak bertahun-tahun. Jauh lebih lama dari umur Sidanti itu sendiri. Karena itu, maka ia telah banyak sekali mengenal watak dan tabiatnya.
Maka keragu-raguan di dalam hati Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu justru menjadi semakin tebal. Pengenalannya atas Ki Tambak Wedi sama sekali tidak mendorongnya untuk mempercayai keterangannya, tetapi justru sebaliknya.
Karena itu, maka terdengar Ki Gede Menoreh itu bergumam, “Ki Tambak Wedi. Kalau demikian, maka aku harus segera bertindak. Aku harus mencegah keadaan ini menjadi semakin berlarut-larut.”
“Ya, ya,” sahut Ki Tambak Wedi. “Kau memang harus segera berbuat sesuatu, supaya kau tidak dilanda banjir sedang kau tertidur di tengah-tengah sungai.”
Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia masih ingin mendengar keinginan Ki Tambak Wedi selanjutnya. Maka katanya, “Kalau demikian, apakah yang pertama-tama harus aku lakukan?”
“Kau harus menyiapkan dirimu, Argapati.”
“Aku tahu maksudmu. Tetapi pertimbanganmu lebih jauh?”
Ki Tambak Wedi pun menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi kemudian dikatakannya juga, apa yang telah tergores di dalam dadanya, “Argapati. Kau akan dapat menguasai suatu daerah yang luas di sebelah Selatan.”
“Itu aku tahu.”
“Kemudian kau akan dapat memecah Pajang. Kau akan merebut seluruh kekuasaan yang kini berada di tangan Karebet itu.”
“Tak ada orang yang menerima aku di sana. Aku tidak akan mempunyai akar di dalam pemerintahan. Apalagi daerah Pesisir Lor, Bang Wetan, dan Bang Kulon.”
“Kau keliru. Sebagian dari mereka tidak lagi berpegangan pada tujuan hidup yang mendasari pemerintahan mereka atas daerah-daerah itu. Asal mereka masih tetap berkuasa dan dapat menyalah-gunakan kekuasaan mereka, maka mereka tidak akan berbuat apa-apa.”
Argapati mengerutkan alisnya. Agaknya Ki Tambak Wedi sudah membuat pertimbangan-pertimbangan yang jauh. Orang tua itu agaknya telah memperhitungkan setiap kemungkinan yang akan terjadi. Ki Tambak Wedi memang mempunyai wawasan yang tajam. Perhitungannya tentang para Adipati itu memang masuk akal. Ki Gede Menoreh pun telah mendengar pula, bahwa ada di antara mereka, para Adipati sudah tidak berpijak lagi pada kepentingan daerah mereka masing-masing. Para pemimpin pemerintahan dan para Senapati yang bertugas di daerah-daerah pun agaknya telah dijalari oleh penyakit yang serupa. Ada di antara mereka yang lebih senang melihat kepentingan sendiri daripada kepentingan daerah dan tugas masing-masing.
“Hem,” gumam Argapati di dalam hatinya, “mengherankan bagiku. Kenapa Ki Tambak Wedi sudah membuat perhitungan sedemikian jauh sehingga ia yakin, bahwa setiap gerakan pasukan yang dapat memecah Pajang, akan dapat menguasai seluruh daerahnya? Tetapi seandainya demikian, apakah yang dapat aku lakukan?”
Dalam kediamannya, Ki Gede Menoreh mendengar Ki Tambak Wedi berkata, “Apakah kau sependapat, Argapati?”
“Ki Tambak Wedi,” jawab Argapati perlahan-lahan, “seandainya aku berhasil menguasai Pajang, lalu apakah gunanya bagiku? Para adipati hanya mementingkan diri mereka sendiri. Mereka sama sekali tidak berarti apa-apa bagi Pajang. Pajang tidak akan lebih dari sebuah nama yang kosong. Wilayahnya tidak lebih dari kota Pajang itu sendiri.”
“Perlahan-lahan Argapati. Perlahan-lahan, kau akan dapat menguasai mereka.”
“Tidak, Ki Tambak Wedi,” tiba-tiba Argapati menggeleng, “aku tidak akan dapat menguasai mereka. Sebab pasti akan tumbuh orang lain yang mendendamku dan melakukan perbuatan yang sama. Merebut Pajang. Kalau ia mempunyai kekuatan yang lebih besar dari kekuatanku, maka peristiwa yang baru saja terjadi akan terulang. Terulang dan terulang kembali. Mereka yang merasa mempunyai kekuatan akan berbuat serupa. Para adipati dan senapati itu tidak akan berbuat apa-apa selain mengakui setiap orang yang sedang menguasai sekedar kota Pajang. Aku tidak ingin melihat hal yang serupa itu terjadi, Ki Tambak Wedi. Tidak.”
Tampaklah wajah Ki Tambak Wedi menjadi merah. Sebersit goncangan perasaan telah memanjat sampai ke wajahnya. Jawaban Argapati telah menggetarkan jantungnya, sehingga dengan serta merta ia berkata, “Lalu apakah yang akan kau lakukan? Menghadap Ki Gede Pemanahan, Panglima yang tamak itu untuk minta belas kasihan?”
Terasa sesuatu berdesir di dada Argapati. Meskipun ia tidak segera menjawab, tetapi pandangan matanya menyorotkan perasaannya yang berguncang. Berbagai pertimbangan telah bergolak di dalam dirinya. Pertimbangan masa lampau, pengenalannya atas Ki Tambak Wedi, Sidanti, Menoreh, Pemanahan, dan semuanya. Terasa seolah-olah dunia di sekitarnya berputar mengelilinginya dengan segala macam persoalan. Tetapi yang paling parah menggores jantungnya adalah persoalannya sendiri. Persoalan yang dihadapkan kepadanya oleh Ki Tambak Wedi. Dengan melontarkan Sidanti sebagai pokok persoalan, ia di hadapkan pada pilihan yang pahit.
Argapati menarik nafas dalam-dalam. Kemudian terdengar ia bergumam, “Apa pun yang kau katakan Ki Tambak Wedi, tetapi kau akan memilih jalan itu. Aku akan menemui Ki Gede Pemanahan. Kalau aku tidak dapat memecahkan masalahnya, maka apa boleh buat. Mungkin aku menerima pendapatmu. Mungkin aku akan memukul tanda perang dengan tanganku sendiri. Aku lah yang akan berdiri sebagai senapati tertinggi, yang akan berdiri menjadi paruh gelar pasukanku. Mudah-mudahan di dalam peperangan itu pun, aku akan bertemu lagi dengan Ki Gede Pemanahan, atau Adipati Pajang sendiri.”
Debar di dada Ki Tambak Wedi menjadi semakin keras berdentangan memukul dinding jantungnya. Dengan nada yang tinggi ia berkata, “Kalau aku Argapati, maka aku tidak akan mau merendahkan diri seperti itu. Tidak ada lagi pembicaraan yang dapat menolong keadaan. Aku sudah bicara. Bicara sampai bibirku hampir terlepas dari mulutku. Tetapi yang aku terima hanya penghinaan. Penghinaan atas anakmu, Sidanti, dan aku, gurunya, juga kau, ayahnya.” Ki Tambak Wedi berhenti sejenak, lalu, “He, apakah kau tidak memperhitungkan, bahwa kedengkian itu tidak saja datang dari Widura dan Untara saja? Tetapi juga dari Ki Gede Pemanahan sendiri? Bukankah kau pernah mendengar, bahwa Pemanahan bertempur melawan Adipati Jipang bukan karena kesetiaannya kepada Pajang dan kepada Karebet? Tidak. Sama sekali tidak. Anak Sela yang menurut ceritera mampu menangkap petir itu, bertempur karena janji yang diterimanya. Ia akan mendapat Tanah Mentaok yang kini masih berwujud hutan belukar. Ha, apakah kau mempertimbangkannya pula, bahwa Menoreh akan dapat menjadi penghalang berkembangnya hutan itu untuk menjadi tempat yang ramai? Argapati, dengarlah kata-kataku. Semuanya terjadi karena pamrih. Kraton Pajang pun kini sudah menjadi ajang memperebutkan pamrih pribadi. Adipati Adiwijaya, berusaha keras membunuh Arya Penangsang, karena perempuan yang diperlihatkan kepadanya oleh Ratu Kalinyamat yang sedang bertapa tanpa mengenakan pakaian sama sekali itu. Pemanahan dan Penjawi, karena Tanah Mentaok dan Tanah Pati. Nah, apalagi? Apakah yang kau ganduli dengan kesetiaanmu terhadap Pajang? Bukankah kau sampai saat ini belum menyatakan diri dengan resmi, di mana kau berdiri sepeninggal Demak?”
Argapati tidak segera menjawab. Tetapi darahnya serasa semakin cepat mengalir. Dalam pada itu, perputaran waktu di dalam dadanya berjalan semakin cepat. Masa demi masa. Waktu demi waktu, hilir mudik berurutan. Ketika ia sampai pada masa kini, maka ia di hadapkan pada suatu pilihan yang sulit. Ia harus berbuat sesuatu untuk Sidanti. Ya, untuk Sidanti. Menurut Ki Tambak Wedi, tidak ada jalan yang lebih baik dari peperangan. Mempertaruhkan Tanah Perdikan Menoreh yang selama ini dibinanya. Mengorbankan beratus-ratus bahkan beribu-ribu orang untuk Sidanti. Sidanti. Nama itu semakin keras terngiang di telinganya. Namun semakin keras nama itu mendengung, maka semakin deraslah arus darah di pembuluhnya. Dan tiba-tiba saja, Argapati itu berkata lantang, “Tidak. Tidak.”
Kata-kata itu telah benar-benar menghantam dada Ki Tambak Wedi seperti runtuhnya batu-batu di atas bukit Menoreh menimpa dirinya. Sejenak ia mematung, namun sorot matanya seolah-olah menyala memandang Ki Gede Menoreh yang kini menengadahkan dadanya.
Sejenak ketegangan di ruang itu menjadi semakin tajam. Dalam kediaman mereka, terasa bahwa dada masing-masing telah dipepati oleh desakan perasaan yang seolah-olah sudah tidak terbendung lagi.
Di luar, angin malam yang sejuk berhembus mengguncang dedaunan. Suara gemersik sentuhan ranting-ranting yang berderak-derak, seakan-akan bisikan-bisikan yang mendebarkan jantung terdengar dari alam lain. Semakin lama semakin keras. Sedang nyala pelita yang redup di regol halaman dan di pendapa berguncang pula, menggeliat, seperti di hembus hantu.
Beberapa orang Menoreh telah duduk-duduk di regol halaman. Satu dua orang berada di tangga pendapa. Mereka ingin bertemu dengan Sidanti dan Argajaya, yang menurut pendengaran mereka, baru saja melakukan perjalanan yang panjang, jauh, dan penuh dengan bermacam-macam pengalaman. Pengalaman-pengalaman yang aneh, yang mencemaskan, yang mendebarkan tetapi juga yang mentertawakan. Dan mereka itu ingin mendengarnya. Apalagi mereka, terutama anak-anak muda yang sebaya dengan Sidanti, kawan bermain di masa kanak-kanak, setelah sekian lama tidak bertemu, mereka ingin melihat, bagaimanakah keadaan anak muda itu kini. Anak muda kebanggaan Tanah Perdikan Menoreh.
Tetapi kesempatan itu tidak kunjung datang. Mereka melihat bahwa pintu masuk ke dalam pringgitan belum tertutup rapat. Tetapi mereka tidak melihat bahwa di dalam pringgitan itu duduk beberapa orang yang sedang bercakap-cakap, atau pintu pringgitan itu terbuka dan seseorang mempersilahkan mereka masuk.
“Mungkin Sidanti masih terlampau lelah,” desis seseorang yang duduk di atas tangga pendapa.
“Mungkin.”
Tetapi mereka terkejut, ketika mereka mendengar suara yang agak keras meloncat dari pringgitan. Tetapi suara itu tidak begitu jelas bagi mereka.
Sejenak mereka saling berpandangan. Tetapi mereka tidak dapat menerka, apa yang telah terjadi. Mereka tidak dapat menduga sama sekali, bahwa di pringgitan itu sedang berlangsung suatu pembicaraan yang tegang.
Dalam pada itu, Sidanti dan Argajaya pun hampir-hampir tidak sabar menunggu kedatangan Ki Tambak Wedi. Mereka hampir tidak sabar lagi duduk-duduk dengan tegangnya di dalam bilik mereka. Bilik yang terasa terlampau panas dan sesak. Tetapi mereka tidak berani melanggar pesan Ki Tambak Wedi, supaya rencana mereka tidak rusak karenanya. Mereka hanya dapat mengharap, mudah-mudahan Argapati dapat mengerti dan melakukan seperti yang mereka kehendaki.
Di pringgitan, Argapati dan Ki Tambak Wedi, masih saja duduk berdiam diri. Keringat yang dingin mengalir membasahi pakaian mereka. Kedua orang tua-tua yang penuh dengan pengalaman, pengetahuan, dan ketajaman pandangan itu, tiba-tiba seolah-olah membeku. Mereka kehilangan pilihan kata-kata untuk meneruskan pembicaraan yang semakin lama menjadi semakin tegang. Namun justru karena mereka saling berdiam diri itu, maka ketegangan pun menjadi semakin memuncak.
Tiba-tiba dalam keheningan yang panas itu, Ki Tambak Wedi berkata lambat, “Apakah maksudmu sebenarnya Argapati? Apakah kau akan ingkar dari tanggung jawabmu sebagai seorang ayah?”
Argapati mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Tidak. Bukan karena aku akan ingkar. Tetapi justru sebaliknya. Aku harus mengetahui keadaan sebenarnya. Aku harus mengatakan benar bagi yang benar, dan aku harus mengatakan salah bagi yang salah menurut keyakinanku. Aku bukan seorang pengecut yang takut melihat kesalahan melekat di tubuh sendiri. Tetapi aku juga bukan pengecut untuk mempertahankan kebenaran yang aku yakini, meskipun harus aku tebus dengan nyawa sekalipun. Itulah pendirianku. Juga pendirianku atas Sidanti. Kalau Sidanti bersalah, maka ia memang wajib mendapat peringatan, supaya kesalahan itu tidak terulang kembali. Tetapi kalau Sidanti benar seperti katamu, maka Pajang akan menjadi karang abang. Aku tidak takut seandainya ada seratus Pemanahan, seratus Penjawi, seratus Adiwijaya, dan kekuatan apa pun yang ada di belakang mereka.”
“Aku tahu, Argapati,” jawab Ki Tambak Wedi, “jelasnya kau tidak percaya kepadaku.”
“Bukan maksudku.”
“Tetapi kau masih memerlukan mendengar keterangan dari orang lain. Dan orang itu adalah Pemanahan.”
“Ya.”
Terdengar gigi Ki Tambak Wedi gemeretak. Tetapi ia mendengar pula ketika Argapati berkata, “Kalau kau percaya, bukan maksudku untuk tidak mempercayaimu. Tetapi aku menyangka, bahwa telah timbul salah paham. Kalau salah paham itu dapat diperkecil, maka kemungkinan-kemungkinan yang lain pun akan dapat ditemukan.”
“Tidak. Kau hanya sekedar menutupi ketidak-percayaanmu kepadaku, Argapati. Kau mungkin masih terpengaruh oleh pengenalanmu atasku dahulu. Tetapi karena kau sudah mempercayakan Sidanti kepadaku, seharusnya kau bersikap lain.”
“Apakah aku masih harus menjawabnya?”
“Mungkin tidak. Aku semakin yakin, bahwa kau masih terpengaruh oleh keadaan itu. Kalau demikian, maka apakah gunanya persetujuan yang telah kita buat, seakan-akan kita sudah tidak mempunyai persoalan lagi? Tetapi ternyata kau tidak jujur. Kau tidak memenuhi persetujuan itu sebulat hatimu. Kini dalam keadaan yang paling sulit yang dialami Sidanti, kau akan ingkar. Bukankah itu sikap pengecut?”
Wajah Argapati menjadi merah. Dalam cahaya lampu minyak yang kemerah-merahan, wajah itu seakan-akan membara. Dengan suara bergetar ia berkata, “Jangan kau sebut-sebut lagi, Ki Tambak Wedi. Aku sudah mencoba melupakan semuanya yang telah terjadi. Aku menganggap tidak pernah ada persoalan di antara kita.”
Wajah Ki Tambak Wedi menjadi semakin tegang. Ditatapnya mata Argapati seolah-olah ingin melihat langsung ke dalam kepalanya. Tetapi kini Argapati tidak menundukkan kepalanya.
Matanya yang tajam memancar seperti mata seekor harimau di dalam gelap. Kumis kebiru-biruan.
“Setan,” Ki Tambak Wedi mengumpat di dalam hatinya.
Meskipun matanya sendiri setajam mata burung hantu, tetapi ia terpaksa berpaling. Tetapi ia tidak mau menunjukkan kekecilan hatinya. Maka katanya, “Kau benar-benar licik Argapati.”
“Aku tidak bermaksud tidak baik,” sahut Argapati. “Aku bermaksud untuk menempatkan persoalannya di tempat yang sewajarnya. Aku tidak ingin mengajari Sidanti mengambil keputusan yang tergesa-gesa dalam menanggapi persoalan-persoalan yang penting, supaya ia tidak terperosok ke dalam kesalahan yang berbahaya.”
“Ah,” potong Ki Tambak Wedi, “kau dapat saja menyusun seribu macam alasan.”
“Ki Tambak Wedi,” berkata Argapati kemudian, “aku adalah Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Aku bukan sekedar Argapati seorang diri, atau setidak-tidaknya bersama Sidanti. Tetapi setiap keputusan yang aku ambil, adalah keputusan yang mengikat seluruh tanah perdikan ini.”
“Aku sudah tahu. Itulah yang aku kehendaki. Seluruh tanah ini bangkit dari tidur yang terlampau nyenyak. Hari depanmu dan hari depan tanah ini akan bertambah baik.”
“Atau sebaliknya.”
“Kau memang pengecut.”
“Tidak,” tiba-tiba suara Argapati menjadi keras, “aku tidak akan melakukannya tanpa menilai semua persoalan sebaik-baiknya. Aku harus tahu benar, apakah yang sedang aku hadapi. Tidak membabi buta.”
“Katakan, tegasnya kau tidak percaya kepadaku.”
“Ki Tambak Wedi, jangan memaksa aku berkata demikian.”
“Kenapa kau takut berkata demikian. Katakanlah. Kau tidak percaya kepadaku.”
Argapati terdiam. Mulutnya terkatup rapat-rapat.
“Putuskan sekarang. Kau mau menggerakkan pasukanmu untuk memukul Sangkal Putung, dan kemudian Pajang, untuk menangkap atau membunuh sama sekali Widura dan Untara, kemudian merampas Sekar Mirah untuk anakmu, dan yang terakhir membunuh Adiwijaya atau tidak.”
Sebuah gelora yang dahsyat melanda dada Argapati. Kini ia di desak ke dalam pilihan yang pahit. Tetapi sikap Ki Tambak Wedi benar-benar tidak menyenangkannya, sehingga pertimbangannya menjadi kabur. Ia di desak oleh harga diri, sebagai seorang ayah dan sebagai seorang Kepala Tanah Perdikan. Ia adalah Kepala Tanah Perdikan Menoreh, dan ia adalah ayah Sidanti. Karena itu, maka ia Argapati-lah yang berhak menentukan segala keputusan atas pertimbangannya.
Maka setelah terdiam sejenak, terdengarlah jawabnya dan tegas, “Tidak. Aku tidak akan tergesa-gesa mengambil keputusan.”
Terdengar gigi Ki Tambak Wedi gemeretak. Ia sudah tidak melihat lagi kemungkinan untuk dapat membujuk Argapati. Ia kenal tabiat Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu. Karena itu, maka harga dirinya pun segera merentul ke permukaan wajahnya. Dengan kepala tengadah ia berkata, “Baik. Baiklah, Argapati. Kalau kau ingkar akan kewajibannu, biarlah aku akan berusaha melepaskan Sidanti dari himpitan perasaan yang akan membunuhnya perlahan-lahan.”
“Aku tidak akan ingkar. Tetapi aku akan berbuat menurut pertimbanganku.”
“Tidak perlu. Kau tidak perlu berbuat apa-apa. Akulah yang akan berbuat sesuatu.”
Wajah Argapati menjadi berkerut-merut, “Maksudmu?”
“Selama ini Sidanti ada padaku. Ada dalam asuhanku. Akulah yang paling mengetahui apa yang terjadi atasnya dan apakah yang dirasakannya. Sidanti harus mendapat pelepasan. Akulah yang akan melakukannya. Ia tidak perlu berada di rumah ini.”
“Ki Tambak Wedi, apakah kau sudah gila. Biarlah Sidanti di sini. Aku adalah ayahnya. Akulah yang berhak menentukan sikap atasnya dan memberikan petunjuk kepadanya menurut seleraku.”
“Tidak. Akulah yang berhak atasnya. Ia akan aku bawa pergi. Pergi dari tempat pengecut ini.”
“Tidak. Sudah aku katakan. Biarlah aku mengurusnya dan menentukan keputusan.”
“Kau tidak punya hak apa-apa, Argapati. Kau kini sudah tidak lebih dari seorang tua yang sudah mati di dalam hidupmu. Kau sudah tidak mempunyai cita-cita lagi, sudah tidak mempunyai gairah perjuangan, tidak mempunyai harapan yang lebih baik di hari mendatang, meskipun untuk kepentingan anakmu. Tidak, kau sudah mati. Bagaimana Sidanti akan dapat berkembang di tangan orang mati.”
“Tambak Wedi.”
Tetapi Ki Tambak Wedi sudah tidak mempedulikannya. Dengan suara yang dalam, yang seolah-olah bergulung saja di dalam perutnya ia berkata, “Aku akan pergi. Sidanti akan aku bawa. Ia sudah cukup dewasa. Aku tidak perlu lagi menipunya dengan segala macam ceritera cengeng itu.”
“Tambak Wedi. Kau benar-benar sudah gila.”
Ki Tambak Wedi tidak menjawab. Tetapi ia kemudian melangkah meninggalkan Argapati.
Akhirnya Argapati pun berdiri pula. Diikutinya Ki Tambak Wedi keluar dari pringgitan. Tetapi Argapati itu menjadi bimbang. Apakah yang sebaiknya dilakukan. Di halaman itu, dilihatnya beberapa orang duduk sambil berbicara di antara mereka. Ketika mereka melihat Ki Tambak Wedi keluar dengan tergesa-gesa, maka mereka pun menjadi terkejut karenanya.
“Kau tinggal di sini, Tambak Wedi, aku masih akan berbicara,” berkata Argapati.
“Tidak ada yang dibicarakan, Argapati,” desis Ki Tambak Wedi. “Semua sudah jelas bagiku.”
Dada Argapati bergetar mendengar jawaban Ki Tambak Wedi itu. Terdengar ia berdesis lambat. Ditahankannya perasaannya sekuat-kuatnya. Di sekitarnya banyak orang-orang yang melihatnya. Sehingga karena itu ia harus menahan dirinya.
Seandainya, ya, seandainya hal itu terjadi beberapa puluh tahun yang lampau. Maka dengan serta merta Ki Tambak Wedi itu pasti akan diterkamnya. Argapati pasti tidak akan menunggu sekejap pun lagi. Darahnya sudah cukup mendidih, dan hatinya sudah cukup membara.
Tetapi kini ia berdiri sebagai seorang Kepala Tanah Perdikan. Ia berdiri di pendapa, yang di sekitarnya terdapat banyak orang dari tanah perdikannya.
“Apa kata mereka kalau aku tiba-tiba saja bertempur melawan Ki Tambak Wedi di rumah ini.”
Terdengar Argapati menggeram. Dan yang diucapkannya ketika Ki Tambak Wedi semakin jauh, “Tambak Wedi. Apa pun yang terjadi adalah persoalan kita, persoalan orang tua-tua. Jangan kau siksa anak-anak itu dengan ceriteramu yang bodoh.”
Ki Tambak Wedi yang sudah hampir sampai di gandok, terhenti sejenak. Ia memutar tubuhnya dan menghadap kepada Ki Gede Menoreh, “Itu urusanku, Argapati. Kalau kau tidak senang terserah kepadamu.”
“Bukan soalku, senang atau tidak senang. Tetapi justru untuk kepentingan anak itu sendiri.”
“Anak itu sudah cukup dewasa. Aku harus mengajarinya melihat kenyataan.”
“Tetapi kenyataan-kenyataan yang gila itu tidak perlu kau ungkapkan supaya anak itu tidak menjadi gila seperti kau.”
“Itu bukan urusanmu.”
Betapa Argapati mencoba menahan diri, tetapi terdengar juga giginya gemeretak. Diusapnya dadanya dengan tangannya, seakan-akan menahan dada itu supaya tidak meledak.
Beberapa orang yang berada di halaman rumah itu menjadi terheran-heran. Apakah sebenarnya yang sudah terjadi? Mereka saling berpandangan dan saling bertanya lewat sorot mata mereka. Tetapi tidak seorang pun yang berani mengucapkan pertanyaan yang menggelegak di dalam dada mereka.
Ki Tambak Wedi kemudian dengan tergesa-gesa masuk ke dalam gandok. Di muka pintu hampir saja ia membentur Sidanti dan Argajaya yang ingin meloncat keluar, karena mereka mendengar suara Ki Tambak Wedi yang keras dan suara Argapati di pendapa.
“Apa yang terjadi Guru?” bertanya Sidanti dengan serta merta, “Apakah terjadi salah paham itu?”
Ki Tambak Wedi melihat kecemasan membayang di wajah Sidanti dan Argajaya. Sekali ia menarik nafas dalam-dalam, lalu katanya, “Ya. Argapati benar-benar telah menjadi gila.”
“Oh, lalu?” Sidanti menjadi semakin cemas.
“Kita pergi dari rumah terkutuk ini.”
Sidanti menjadi semakin bingung. Sejenak ia terbungkam. Tetapi sorot matanya memancarkan gejolak di dalam dadanya.
“Kita pergi Sidanti. Kita tidak akan tinggal di sini terlampau lama. Ternyata Argapati sekarang adalah seorang pengecut besar yang tidak berani berbuat apa pun di luar halaman rumahnya sendiri.”
“Guru,” potong Sidanti. Bagaimana pun juga, Argapati adalah ayahnya, sehingga kata-kata itu terasa menyentuh perasaannya.
“Jangan kau hiraukan Argapati. Marilah kita pergi.”
“Tetapi,” Sidanti tergagap, “rumah ini adalah rumah ayahku.”
“Ki Tambak Wedi,” berkata Argajaya, “apakah yang dapat kita lakukan tanpa Kakang Argapati?”
“Persetan dengan Argapati,” sahut Ki Tambak Wedi, kemudian suaranya merendah, “Angger Argajaya. Kau sudah terlanjur terlibat dalam persoalan Sidanti. Kau tidak akan dapat menghindar lagi. Siapa pun orangnya yang bernama Argapati itu, tetapi sudah menjadi kewajiban kita untuk menghindarkan diri dari penangkapan orang-orang Pajang, yang justru akan mungkin dilakukan oleh Argapati sendiri. Ternyata setan itu merasa dirinya lebih berkepentingan dari orang-orang Pajang sendiri. Ia merasa dirinya berkepentingan untuk mendapatkan pujian. Seandainya Sidanti bukan anaknya, Argajaya bukan adiknya, dan aku bukan guru anaknya, maka aku kira kita sudah tidak akan dapat keluar lagi dari halaman ini.”
Terasa dada Sidanti bergetar. Wajahnya menjadi merah dan giginya gemeretak. Terdengar suaranya parau, “Lalu, apakah yang akan dilakukan oleh Ayah?”
“Ia tidak mau tersangkut dalam persoalan kita dengan orang-orang Pajang. Ayahmu menjadi ketakutan, sehingga kita tidak mendapat perlindungan apa pun di sini. Karena itu, marilah kita pergi. Ada sesuatu yang penting yang wajib kau ketahui Sidanti. Tetapi aku tidak sempat mengatakannya sekarang.”
Sidanti masih mematung. Ia tidak segera dapat menyesuaikan dirinya dengan keadaan yang dihadapinya. Terasa sesuatu yang sangat membingungkannya berkecamuk di dalam benaknya.
“Angger Argajaya,” berkata Ki Tambak Wedi, “kau sudah tidak dapat menghindar lagi dari setiap pertanggungan jawab dengan orang-orang Pajang, seperti kata kakakmu sendiri. Karena itu, marilah kita berusaha menyelamatkan diri kita sendiri tanpa mempercayakannya kepada orang lain. Sebenarnya aku dapat berbuat apa saja untuk kepentinganku sendiri, tetapi aku tidak sampai hati meninggalkan Sidanti dan kau. Karena itu, apakah kau tidak berkeberatan, apabila malam ini aku dan Sidanti bermalam di rumahmu, sementara itu kita dapat menyusun rencana yang baik untuk melakukan sesuatu.”
Keduanya masih terdiam. Mereka didorong ke dalam suatu persoalan yang tidak terduga-duga sama sekali sebelumnya. Karena itu, maka mereka menjadi bingung, ragu-ragu dan cemas.
“Kita harus segera memutuskan,” berkata Ki Tambak Wedi, “sebelum pintu regol itu ditutup dan Argapati membunyikan tanda bahaya untuk menangkap kita.”
Sidanti dan Argajaya benar-benar kehilangan kesempatan untuk membuat pertimbangan-perimbangan. Mereka di hadapkan pada keadaan yang buram, tanpa mendapatkan penjelasan-penjelasan. Dan mereka mendengar suara Ki Tambak Wedi selanjutnya, “Kalau kalian masih kurang jelas mengenai masalah yang kalian hadapi, nanti aku akan menjelaskannya. Tetapi kita sekarang benar-benar harus segera memutuskan dan keluar dari halaman ini.”
Ki Tambak Wedi masih melihat Sidanti akan bertanya kepadanya. Tetapi ia mendahuluinya, “Jangan bertanya sesuatu. Bawa senjata-senjata kita. Kita akan kehilangan waktu. Marilah kita keluar dahulu sebelum kita menyesal. Ayahmu lebih cinta kepada kedudukannya daripada kepada anaknya.”
Sidanti dan Argajaya benar-benar tidak mendapat kesempatan. Mereka melihat Ki Tambak Wedi itu keluar dari gandok dan berkata pula, “Cepatlah Sidanti dan Angger Argajaya.”
Sidanti seakan-akan telah kehilangan kesadarannya. Kakinya melangkah saja di belakang gurunya. Orang yang selama ini dianggapnya orang yang paling dekat daripadanya. Meskipun ayahnya adalah Argapati, tetapi mereka seakan-akan tidak pernah bertemu, tidak pernah berbincang dan berbicara tentang berbagai hal. Itu sebabnya, maka meskipun dengan hati yang kosong, ia mengikuti juga langkah Ki Tambak Wedi.
Di halaman mereka melihat beberapa orang Menoreh berdiri terheran-heran melihat keadaan yang tidak mereka mengerti sama sekali. Tetapi tidak seorang pun dari mereka yang berani bertanya. Baik kepada Ki Tambak Wedi, maupun kepada Sidanti, atau Argajaya.
Dada Sidanti berdesir, ketika ia melihat Argapati berdiri di pendapa. Sejenak ia menjadi ragu-ragu. Hampir-hampir ia berteriak untuk melepaskan pepat di dadanya, atau berteriak minta penjelasan. Namun yang didengarnya adalah suara ayahnya, “Ki Tambak Wedi. Ingat, aku tidak menghendaki keadaan ini.”
“Maaf Argapati. Kami tidak ingin menjadi korban ketakutanmu kepada Adiwijaya. Kami tetap dalam pendirian kami, bahwa Pajang harus dilawan.”
“Terserah kepadamu, Tambak Wedi. Tetapi kepergianmu membawa Sidanti dan Argajaya sama sekali tidak aku inginkan.”
“Kami tidak mau membiarkan diri kami diterkam oleh pengkhianatan.”
“Tambak Wedi.”
“Jangan cegah kami.”
Darah Argapati serasa mendidih di dalam dadanya. Tetapi ia masih tetap menyadari kedudukannya. Kalau ia kehilangan akal, maka orang-orang Menoreh akan melihat, bahwa Ki Tambak Wedi dengan beraninya telah melawan perintahnya. Tentu hal itu tidak baik baginya dilihat oleh orang-orangnya. Apalagi kalau ia harus bertempur melawan orang itu di halaman. Meskipun demikian, ia tidak dapat menahan diri untuk berkata, “Kau telah memperbaharui persoalan kita, Tambak Wedi.”
Ternyata Ki Tambak Wedi pun tidak dapat mengendalikan kemarahannya lagi. Ketika tanpa disadarinya ia menengadahkan kepalanya, dan dilihatnya seleret bulan yang masih terlampau muda hinggap di kehitaman langit, maka dadanya serasa hendak meledak.
Dengan suara yang gemetar ia berkata, “Terserah kepadamu, Argapati. Tetapi sebaiknya kita menyelesaikan persoalan ini seperti yang pernah kita lakukan. Marilah kita peringati pertemuan kita di bawah Pucang Kembar.”
Mendengar nama Pucang Kembar, maka hati Argapati hampir menjadi gelap disaput oleh perasaannya yang sedang membara. Tetapi orang-orang Menoreh yang berdiri termangu-mangu di halaman telah mencegahnya untuk berbuat langsung pada saat itu. Namun sebagai seorang yang keras hati, Argapati yang bergelar Ki Gede Menoreh itu menjawab, “Baik, Tambak Wedi. Aku akan menunggu bulan purnama naik. Bukankah saat-saat yang demikian, di bawah Pucang Kembar beberapa puluh tahun yang lalu kita pernah membuat suatu perjanjian? Nah, aku bersedia memperingatinya. Nanti pada saat purnama penuh.”
“Bagus,” teriak Ki Tambak Wedi, “aku menunggumu. Sementara ini, aku akan dapat memberikan penjelasan kepada Sidanti tentang semua persoalan.”
“Kau akan membuatnya gila seperti kau?”
“Itu urusanku.”
“Kau sudah kehilangan akal,” Argapati berhenti sejenak.
Terasa tubuhnya gemetar seperti sedang kedinginan. Namun masih terdengar suaranya parau, “Argajaya. Jangan ikut.”
Argajaya menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi ia mendengar Tambak Wedi berkata, “Ia telah terlibat pula dalam persoalan Sidanti dan Pajang. Kalau ia tidak pergi bersamaku, maka ia akan menjadi korbanmu. Korban kelicikanmu. Untuk mendapatkan pujian dan mungkin hadiah seperti yang akan diterima oleh Pemanahan dan Penjawi untuk memperluas tanah perdikanmu, kau akan sampai hati mengorbankan kami, anakmu, adikmu, dan aku yang kau katakan sahabatmu.”
“Kau jangan mengigau, Tambak Wedi. Jangan membuat aku kehilangan akal pula. Kalau kau mau pergi, pergilah. Kita sudah menentukan waktu itu.”
“Baik. Pada saat purnama penuh naik. Aku menunggumu di bawah Pucang Kembar.”
Ki Tambak Wedi tidak menunggu Argapati menyahut. Segera ia melangkah pergi diikuti oleh Sidanti dan Argajaya. Semua mata yang berada di sekitar halaman itu mengikuti mereka dengan debar jantung yang menghentak-hentak dada. Tetapi mereka masih saja tidak berani mengucapkan sepatah pertanyaan pun. Bahkan tubuh mereka ikut menggigil tanpa diketahui sebab-sebabnya.
Ketika ketiga orang yang telah menggetarkan dada setiap orang di halaman itu hilang di balik regol halaman, Ki Gede Menoreh menekan dadanya. Sekali ia menarik nafas dalam-dalam. Ternyata ia telah terlibat ke dalam persoalan yang sama sekali tidak diingininya.
Di luar regol halaman, Ki Tambak Wedi kemudian berjalan dengan tergesa-gesa diikuti oleh Sidanti dan Argajaya. Namun sekali lagi Sidanti dihambat oleh kebimbangan dan keragu-raguan. Kalau ia pergi mengikuti gurunya, ia harus meninggalkan ayahnya, tetapi kalau ia tinggal, maka ia akan terpisah dari gurunya yang selama ini mengasuhnya. Sejak ia meningkat menjelang dewasa, ia sudah tidak berada bersama ayahnya. Ia telah berada di padepokan Tambak Wedi bersama gurunya.
Keragu-raguan itu benar-benar telah mengoyak hatinya. Ia benar-benar ingin berteriak sekuat-kuat tenaganya, supaya dadanya tidak menjadi pecah karenanya. Tetapi ia masih tetap sadar, bahwa apabila ia melakukannya, maka ia akan menyesal. Mungkin gurunya akan marah kepadanya atau orang-orang Menoreh terbangun dari tidurnya dan berlari-lari mencari arah suaranya.
Ketika teringat olehnya kata-kata gurunya dalam perdebatannya dengan ayahnya, maka debar di dada Sidanti menjadi semakin keras. Ia tidak dapat mengerti, kenapa ayahnya tidak membantunya, melepaskanya dari kecemasan terhadap orang-orang Pajang, apalagi membalas sakit hatinya dengan menghancurkan Sangkal Putung dan Jati Anom, lebih-lebih lagi Pajang. Tetapi justru ayahnya telah mengingkari kewajibannya sebagai seorang ayah, bahkan akan menangkapnya dan menyerahkannya kepada Pajang.
Terngiang di telinganya kata-kata gurunya, “Ayahmu lebih cinta kepada kedudukannya daripada kepada anaknya.”
Terdengar Sidanti menggeram. Namun kemudian timbul pula keragu-raguannya. “Apakah benar ayah akan berbuat demikian?”
“Baiklah,” berkata Sidanti kemudian di dalam hatinya. “Biarlah kali ini aku menghindar dulu. Besok atau lusa aku akan dapat minta penjelasan kepada ayah, apabila ada kesempatan. Mungkin aku perlu menghubungi ayah di luar pengetahuan guru, yang agaknya memang sudah mempunyai benih-benih yang kurang baik di antara mereka. Sejak kami berangkat dari Sangkal Putung, guru sudah tampak ragu-ragu dan bimbang. Ternyata yang terjadi benar-benar tidak menyenangkan.”
Sedang Argajaya pun tidak kalah bingungnya. Ia berjalan seperti di dalam mimpi saja. Tanpa kesadaran. Meskipun demikian, ia tidak dapat menahan hati lagi dan bertanya, “Apakah yang sebenarnya telah terjadi, Ki Tambak Wedi. Aku tidak mengerti ujung dan pangkal pembicaraan. Apalagi agaknya Kiai telah terlibat dalam persoalan yang tampaknya bersungguh-sungguh dengan Kakang Argapati.”
Ki Tambak Wedi menggeram. Katanya dengan suara gemetar, “Aku memang sudah meragukannya sejak semula, Ngger, bahwa kakakmu akan tidak berani bertindak untuk nama keluarganya. Ternyata hal itu benar-benar terjadi, meskipun aku sudah berusaha untuk membakar hatinya. Aku sudah mengatakan persoalan Sidanti dengan hati-hati, bahkan dengan memburunya. Aku mengatakan kepadanya, bahwa Widura dan Untara menaruh dengki dan iri kepada Sidanti, apalagi kemudian menyangkut persoalan Sekar Mirah yang berhubungan pula dengan Agung Sedayu, adik Untara. Tetapi agaknya Argapati sama sekali tidak berani berbuat apa pun. Bahkan ia mengancam akan menghukum Sidanti, apabila ia bersalah. Argapati akan pergi ke Pajang dan menghubungi Ki Gede Pemanahan yang pasti sudah mendapat laporan dari Untara.”
“Ah,” tiba-tiba Argajaya memotong, “apakah benar begitu?”
“Bertanyalah kepada Argapati sendiri. Tapi kalau kau masuk ke halaman rumah itu, maka kau tidak akan dapat keluar lagi.”
Argajaya mengerutkan keningnya. Kakinya masih saja melangkah dengan tergesa-gesa mengikuti langkah Ki Tambak Wedi.
“Tetapi Kakang bukan seorang pengecut,” berkata Argajaya.
“Aku tahu,” sahut Ki Tambak Wedi, “Argapati bukan penakut. Tetapi ia termasuk seorang yang gila akan kedudukan. Pahamilah hal ini.” Ki Tambak Wedi berhenti sejenak. Lalu, “Tetapi ada hal yang lebih penting lagi yang dapat aku katakan. Nanti setelah kita berada di rumah Angger Argajaya.”
Argajaya tidak menyahut lagi. Seperti Sidanti ia ingin mendengar dahulu semua persoalannya. Kemudian ia akan dapat mengambil kesimpulan. Kalau perlu, seperti juga yang tersirat di angan-angan Sidanti, ia akan dapat menemui Argapati untuk mendengar penjelasannya.
Sementara itu, Argapati masih saja berdiri membeku di pendapa rumahnya. Terasa dadanya menjadi penat. Bahkan di dalam hatinya ia mengeluh, “Mimpi apakah aku semalam? Tiba-tiba aku di hadapkan pada persoalan ini. Persoalan yang sudah lama aku kuburkan dalam-dalam. Persoalan. yang sudah aku lupakan.” Sekali lagi Argapati menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya orang-orang yang berdiri kebingungan di halaman. Ia merasa perlu untuk memberi ketenteraman kepada mereka. Karena itu maka katanya, “Jangan bingung. Tidak ada apa-apa. Kami memang berselisih paham. Tetapi aku tahu, bahwa persoalan ini akan dapat kita selesaikan dengan baik. Kami masing-masing ingin berbuat untuk kebaikan Sidanti dan tanah ini. Hanya cara kami yang berbeda. Itulah sebabnya, kami akan membicarakan di lain kali. Kami mengharap seseorang dapat menengahi pembicaraan kami. Sekarang pulanglah dan beristirahatlah. Jangan kalian kembangkan persoalan ini seolah-olah sebuah persoalan yang besar.”
Orang-orang di halaman itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi mereka tidak meyakini kata-kata Ki Gede Menoreh. Meskipun demikian, mereka sama sekali tidak bertanya apa pun. Satu-satu mereka meninggalkan regol itu dengan hati yang gelisah, cemas dan kecewa. Mereka hanya melihat Sidanti lewat dan hilang di dalam kegelapan.
Sejenak kemudian, halaman rumah Argapati menjadi sepi. Dua orang peronda berdiri di regol halaman dengan wajah yang tegang dan hati yang bimbang. Tetapi mereka pun tidak bertanya sesuatu.
Argapati masih saja berdiri di pendapa rumahnya. Sebenarnya ia adalah seorang yang keras hati. Kalau saja ia tidak menyadari kedudukannya yang pasti akan dilihat oleh setiap orang di Tanah Perdikan Menoreh, maka ia pasti tidak akan sabar lagi menunggu purnama naik. “Sekarang. Kita selesaikan sekarang.”
Argapati terperanjat ketika ia mendengar suara lirih di belakangnya, “Ayah, apakah yang telah terjadi?”
Ketika Argapati berpaling, dilihatnya Pandan Wangi berdiri di belakangnya. Dalam taburan sinar pelita yang remang-remang. Argapati melihat kecemasan membayang di wajah anaknya itu. Anak gadisnya. Tiba-tiba terasa getaran melanda jantungnya. Sejenak Argapati terbungkam. Ditatapnya saja wajah puterinya itu tanpa berkedip.
Karena ayahnya tidak menjawab, maka diulanginya pertanyannya, “Ayah, apakah yang terjadi?”
Argapati menarik nafas dalam-dalam. Ia masih belum menjawab. Tetapi Pandan Wangi merasa aneh, ketika kemudian tanpa mengucapkan sepatah katapun, ayahnya membimbingnya masuk ke dalam pringgitan.
Pandan Wangi tidak bertanya lagi. Ia berjalan saja di samping ayahnya. Namun terasa hatinya menjadi berdebar-debar dan darahnya menjadi semakin cepat mengalir. Seribu macam pertanyaan bergelut di dadanya. “Apakah yang sebenarnya sudah terjadi?”
Pandan Wangi melihat ayahnya menutup pintu pringgitan itu perlahan-lahan. Kemudian Pandan Wangi itu dibawanya duduk di atas tikar.
Namun untuk sejenak Argapati masih saja berdiam diri. Kadang wajahnya ditundukkannya. Tetapi kadang-kadang ditengadahkannya.
“Wangi,” terdengar kemudian suaranya perlahan-lahan sekali, “tolong, ambilkan ayah minum.”
Pandan Wangi memandang wajah ayahnya dengan penuh keheranan. Tetapi ia tidak juga bertanya. Perlahan-lahan ia berdiri dan berjalan ke belakang untuk mengambil minum.
Tetapi tiba-tiba saja terasa ruang di belakang itu terlampau sunyi. Meskipun ia melihat beberapa orang pembantunya duduk sambil terkantuk-kantuk, tetapi hatinya terasa terlampau sepi. Diedarkannya pandangan matanya berkeliling. Terasa sesuatu yang tidak diketemukannya. Ada yang hilang dari ruang itu.
Dada Pandan Wangi terasa menjadi sesak. Ketika ia sadar apa yang sedang dicarinya, tanpa diketahuinya, setitik air menetes di ujung jari kakinya.
Pada saat-saat yang demikian, apabila ia tidak mengerti apa yang telah terjadi dengan ayahnya, ia selalu lari kepada ibunya. Ibunya yang sering duduk di ruang dalam. Kepada ibunya ia selalu bertanya, “Ibu, kenapa dengan Ayah?”
Dan ibunya selalu menjawab, “Tidak apa-apa, Wangi. Ayahmu tidak apa-apa.”
“Apakah ayah marah kepadaku, Ibu?”
Ibunya menggeleng sambil tersenyum, “Tidak, Wangi. Bukankah ayah tidak pernah marah kepadamu?”
Terasa setitik air jatuh lagi di atas ujung jari kakinya. Kesepian telah mencengkam dadanya. Dan disadarinya kekurangan yang tidak akan lagi dapat diketemukan. Ibunya itu telah tidak ada lagi. Ibunya telah pergi meninggalkannya, untuk selama-lamanya.
Dan kini dilihatnya ayahnya menjadi muram. Kini ia tidak dapat mengetahui, kenapa ayahnya berselisih dengan tamunya. Tetapi ia tidak dapat bertanya kepada siapa pun. Yang ada di dalam ruangan itu hanyalah beberapa orang pelayan.
Pandan Wangi terkejut, ketika ia mendengar seseorang bertanya kepadanya, “Apakah yang kau perlukan?”
Pandan Wangi tergagap, jawabnya, “Minum. Ayah ingin minum.”
Pelayannya itu segera menyediakan minum. Semangkuk air jahe hangat, beberapa potong gula kelapa dan beberapa potong makanan.
“Apakah Ki Argapati tidak menjamu tamu-tamunya sekarang? Kami menunggu perintah itu. Bukankah hari telah cukup malam, bahkan terlalu malam?” bertanya pelayan itu.
Pandan Wangi menggelengkan kepalanya, “Tidak,” jawabnya, “tamunya telah pergi.”
“Pergi?” pelayan itu menjadi terheran-heran.
“Kenapa?” yang lain bertanya.
Sekali lagi Pandan Wangi menggelengkan kepalanya. Sekali lagi terasa dadanya berdesir. Ia pun menyimpan pertanyaan itu. Bukan sekedar pertanyaan, tetapi kecemasan.
Para pelayan itu melihat wajah Pandan Wangi yang suram. Bahkan mereka melihat mata gadis itu menjadi basah. Namun justru itu, mereka tidak bertanya lagi.
Sepeninggal Pandan Wangi, Argapati duduk seorang diri di pringgitan. Hatinya terasa terlampau sakit mengalami peristiwa itu. Peristiwa yang tidak berdiri sendiri. Yang tidak terjadi pada saat itu saja dengan tiba-tiba. Tetapi peristiwa ini adalah peristiwa yang menjelujur dari masa-masa yang silam.
“Tetapi Pandan Wangi sudah cukup dewasa,” katanya di dalam hati, “ia harus tahu apa yang sedang dihadapi oleh ayahnya.”
Namun Argapati masih tetap ragu-ragu.
“Hem,” ia menarik nafas dalam-dalam, “Ki Tambak Wedi yang kehilangan padepokannya itu, benar-benar telah menjadi gila. Ia sudah tidak dapat berpikir bening lagi. Agaknya ia akan menyeret Sidanti ke dalam kegilaan itu, bersama Argajaya pula.”
Argapati itu berdesis perlahan-lahan. Ia di hadapkan pada suatu persoalan yang sangat pahit.
“Apakah Ki Tambak Wedi itu benar-benar melakukan seperti yang dikatakannya?” pertanyaan itu selalu membayang di dalam hatinya. “Apabila demikian, aku harus menjelaskannya pula kepada Pandan Wangi, supaya ia tidak terkejut sekali, apabila pada saatnya ia mendengar. Daripada ia mendengar dari orang lain, maka sebaiknya ia mendengar dari mulutku sendiri.”
Sekali lagi Argapati menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali, “Kasihan anak yang sudah tidak beribu ini. Kasihan Sidanti yang terseret arus kegilaan gurunya.”
Kepala Argapati itu pun kemudian tertunduk, “Apakah kedua kakak beradik itu harus berpisah?” pertanyaan itu benar-benar telah melukai jantungnya.
Hati orang tua itu menjadi berdebar-debar, ketika ia melihat Pandan Wangi datang kepadanya sambil menjinjing minuman. Apalagi ketika ia melihat wajah puterinya yang pucat itu.
Argapati dapat meraba, bahwa Pandan Wangi menjadi gelisah dan cemas. Kalau puterinya itu tidak mendapat penjelasan, maka bayangan-bayangan yang dibuatnya sendiri, pasti akan membuatnya tidak dapat tidur semalam. Dan bayangan-bayangan yang demikian akan dapat berkembang tanpa batas.
“Aku harus berterus terang kepadanya,” katanya di dalam hati, “supaya aku tidak menjerumuskannya ke dalam suatu keadaan yang kelak akan menggoncangkan perasaannya. Kini selagi aku masih ada. Selagi aku masih hidup. Aku dapat menenteramkan hatinya, apabila ia tergetar oleh desakan perasaannya.”
Tetapi keragu-raguan menjalari hatinya, ketika ia melihat Pandan Wangi telah duduk bersimpuh di hadapannya sambil menyodorkan semangkuk air jahe dan beberapa potong gula kelapa.
“Terima kasih, Pandan Wangi,” desis ayahnya.
Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi terasa betapa berat suara ayahnya, seolah-olah dibebani oleh perasaan yang hampir tidak tertanggungkan. Tetapi Pandan Wangi tidak berani bertanya. Ia duduk saja sambil menundukkan kepalanya. Namun sekali lagi dadanya disesakkan oleh kenangannya tentang ibunya yang sudah meninggal.
Dalam saat-saat begini, Pandan Wangi selalu melihat ibunya berbincang dengan ayahnya. Ibunya selalu berusaha untuk menenteramkan hati ayahnya apabila ia sedang dipeningkan oleh persoalan-persoalan yang sangat berat. Tetapi kini, Argapati itu terpaksa membawa beban yang agaknya terlampau berat seorang diri. Ia belum pernah melihat wajah ayahnya semuram wajahnya kini.
“Tetapi aku harus mengatakan,” Argapati berkata di dalam hatinya, “aku harus mempunyai keberanian untuk mengatakannya. Kalau aku tidak berani berterus terang kepada Pandan Wangi, sedang Ki Tambak Wedi mengatakannya kepada Sidanti, apa pun maksudnya, maka apabila pada suatu saat kedua kakak beradik ini bertemu, maka akan sangat terguncanglah perasaan Pandan Wangi, apabila Sidanti tidak dapat mengendalikan dirinya seperti sikap gurunya.”
Argapati menarik nafas dalam-dalam. Ketika Pandan Wangi mendengar desah yang panjang meluncur dari hidung ayahnya, maka gadis itu mengangkat wajahnya. Tetapi wajah itu segera tertunduk kembali ketika matanya membentur pandangan mata ayahnya yang suram.
“Pandan Wangi,” terdengar suara Argapati perlahan-lahan, “kenapa kau menjadi gelisah?”
Pandan Wangi heran mendengar pertanyaan ayahnya. Dan Argapati sendiri heran mendengar pertanyaan yang tiba-tiba saja meloncat dari bibirnya untuk memecahkan kebekuan suasana.
Sekali lagi Argapati menarik nafas. Katanya, “Maksudku, apakah kau menjadi gelisah mendengar dan melihat persoalan yang baru saja terjadi?”
“Ya, Ayah,” jawab Pandan Wangi, “aku menjadi gelisah dan cemas.”
“Apakah yang telah mencemaskan kau dalam persoalan itu? Apakah kau mendengar sesuatu yang pantas kau cemaskan?”
Pandan Wangi menganggukkan kepalanya. Jawabnya, “Pembicaraan Ayah dengan Ki Tambak Wedi tampaknya bersunguh-sungguh.”
Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya, Wangi. Agaknya Ki Tambak Wedi bersungguh-sungguh.”
“Kenapa ayah berselisih dengan Ki Tambak Wedi?” bertanya Pandan Wangi, “dari ruang dalam aku mendengar ayah dan Ki Tambak Wedi berbicara tentang Kakang Sidanti.”
“Ya, Wangi.”
“Tetapi Ayah tidak sependapat dengan Ki Tambak Wedi.”
Argapati mengangguk, “Ya, Wangi, aku memang tidak sependapat dengan Ki Tambak Wedi.”
bersambung ke Jilid 32