API di BUKIT MENOREH
Karya S.H Mintardja
KEMBALI terdengar tepuk tangan yang gemuruh. Orang-orang yang berdiri berkeliling itu tak akan mau dikecewakan. Mereka benar-benar ingin menyaksikan pertandingan yang pasti akan menyenangkan sekali.
Orang-orang itu pun kemudian diam kembali ketika Widura berkata pula, “Nah, aku sangka Sidanti ingin mengulangi permainan panah seperti yang telah dilakukannya, bersama-sama Agung Sedayu”
“Ya kakang” sahut Sidanti.
Kini Widura memandangi wajah Agung Sedayu. Dilihatnya beberapa titik keringat membasahi keningnya. Namun kali ini Widura sengaja ingin memaksa Agung Sedayu agar berbuat sesuatu yang dapat mendorong dirinya untuk lebih percaya kepada kemampuan diri. Karena itu maka katanya, “Agung Sedayu, biarlah kau melakukannya. Tak ada persoalan apapun. Permainan ini hanya sekedar kelanjutan dari keinginan orang-orang Sangkal Putung mengenalmu. Sedangkan Sidanti ingin pula memperkenalkan dirinya lebih banyak lagi. Bukankah dengan kawan bermain yang lebih baik, akan lebih banyak permainan-permainan yang dapat dipertunjukkan? Bukan hanya sekedar menyamai atau melampaui sedikit kemampuan-kemampuan Hudaya atau Citra Gati”
Hudaya dan Citra Gati yang berdiri di belakang Widura pun tersenyum masam. Namun mereka tidak marah. Bahkan mereka menjadi bersenang hati, bahwa Widura memberi kesempatan kepada kemenakannya untuk melakukan pertandingan meskipun hanya memanah saja.
Kata-kata pamannya itu terasa sedikit dapat menyejukkan hati Agung Sedayu. Bukankah dengan demikian, pamannya akan menjaminnya untuk seterusnya, apabila ada akibat dari permainan ini? Seandainya ia melampaui Sidanti, sedang Sidanti itu kemudian marah kepadanya, bukankah itu menjadi tanggung jawab pamannya? karena itu, terdorong pula oleh keadaan yang telah menyudutkannya, maka Agung Sedayu tidak dapat berbuat lain. Dengan ragu-ragu ia menganggukkan kepalanya. Katanya lirih, “Baiklah paman. Kalau paman menghendaki”
Widura tersenyum. Baru kali ini sejak beberapa hari pamannya itu tersenyum kepadanya. Karena itu hati Agung Sedayu itu pun menjadi bertambah besar pula.
“Nah, baiklah kita berikan tempat kepada mereka berdua” berkata Widura.
Maka orang-orang yang melingkari mereka itu pun kemudian berlari-larian menyibak. Sedang Swandaru menjadi bergembira pula. segera ia pun berlari-lari pula berkeliling lapangan untuk memungut panah-panahnya yang berserakan di sekitar orang-orangan yang telah dilepas kepalanya.
Tetapi kemudian Widura menjadi sulit menentukan sasaran. Tidak menarik lagi apabila mereka berdua harus mengenai orang-orangan itu, walau pun diayunkannya sekali. Mereka pasti akan dengan mudah dapat mengenainya. Dalam pada itu tiba-tiba berkatalah Swandaru, “Paman Widura, pertandingan ini baru dapat dimulai, seandainya kakang Sidanti mampu berbuat seperti yang dilakukan oleh anak muda itu. Mengenai sasaran tiga kali berturut-turut di udara”
Widura mengerutkan keningnya. Kata-katanya itu benar juga, tetapi belum seorang pun yang melihat, Agung Sedayu melakukannya selain Swandaru.
Karena itu Widura ingin berbuat adil. Kedua-duanya harus mulai dengan sasaran dan kesempatan yang sama. Maka katanya, “Swandaru, apakah sasaran orang-orangan itu masih ada?”
“Masih paman” jawab Swandaru.
“Nah, ambillah bandulnya. Ikatlah bandul itu dengan tali yang agak panjang”
Swandaru belum tahu benar maksud Widura. meskipun demikian ia berjalan juga mengambil vandul orang-orangan yang masih terletak di ujung lapangan. Kemudian diambilnya sisa-sisa tali yang masih terserak-serak di sana-sini. Dengan tali itu maka bandul itu pun diikatnya.
“Sudahkah bandul itu kau ikat dengan tali?” bertanya Sonya.
Swandaru mangangguk. Jawabnya, “Bagaimanakah maksud paman Widura dengan bandul ini?”
“Peganglah ujung talinya dan putarlah bandul itu di atas kepalamu” Sahut Sonya.
“Ah” jawab Swandaru perlahan-lahan. “Jangan aku. Sidanti itu dapat membidikkan panahnya ke arah perutku”
Sonya tersenyum. Katanya, “Mereka adalah pemanah-pemanah yang baik. Mereka pasti tidak akan mengenaimu”
Swandaru menggeleng. “Peganglah” jawabnya, “Kalau mereka membidik sasaran itu, maka sasaran itulah yang akan dikenainya. Tetapi kalau Sidanti itu membidik perutku?”
“Marilah” jawab Sonya, “Berikanlah bandul itu, biarlah perutku yang dibidiknya”
Maka kini Sonyalah yang memegang sasaran itu. Dipegangnya ujung tali yang lain, dan diputarnya bandul itu di atas kepalanya dalam lingkaran yang berjari-jari sepanjang tali yang lebih dari sedepa panjangnya, mendatar.
Swandaru itu pun kemudian berlari-lari menepi, bahkan kemudian didekatinya Agung Sedayu yang telah memegang busurnya dan beberapa anak panah di dalam endongnya.
“Masing-masing mendapat kesempatan tiga kali” berkata Widura ketika mereka sudah hampir mulai, “Sampai hitungan kelima belas”
Sidanti pun telah mempersiapkan busurnya pula. dengan wajah tegang ia mengikuti bandul yang berputar di atas kepala Sonya. Ketika Widura mulai dengan hitungan pertama, maka Sidanti lah yang lebih dahulu mengangkat busurnya. Sesaat kemudian terbanglah anak panahnya yang pertama, disambut dengan sorak sorai penonton di sekitar lapangan. Anak panah itu tepat mengenai sasarannya langsung ikut berputar pula dengan bandul itu. Dengan sudut matanya Sidanti melihat tangan Agung Sedayu. Dan tangan itu pun telah bergerak pua. Dan meluncurlah anak panah Agung Sedayu. Kali ini pun para penonton bersorak bergemuruh. Anak panah Agung Sedayu pun hinggap pula pada sasarannya.
Sidanti itu pun menarik nafas panjang. Ia mengumpat di dalam hatinya, “Setan itu mampu juga mengenainya”
Tetapi hitungan Widura sudah sampai yang keenam. Karena itu maka Sidanti itu pun sekali lagi mengangkat busurnya, dan sekali lagi anak panahnya meloncat dari busurnya. Kali ini pun anak panah Sidanti itu tepat mengenai sasarannya, dan karena itu maka para penonton pun menjadi semakin riuh, bersorak dan bertepuk tangan. Dan sorak sorai itu menjadi semakin membahana ketika anak panah Agung Sedayu seakan-akan tanpa mereka lihat, demikian saja telah melekat pada sasaran itu pula. agaknya ketika mereka dang asyik dengan anak panah Sidanti, Agung Sedayu pun telah melepaskan anak panahnya yang kedua.
Sekali lagi Sidanti mengumpat pula. Katanya dalam hati, “Aku harus mengenai untuk yang ketiga kalinya. Kalau anak itu mampu pula mengenai tiga kali, maka harus ditempuh cara yang lain untuk menentukan siapakah di antara kita yang akan menjadi pemanah terbaik”
Tetapi Sidanti itu menjadi terkejut. Tiba-tiba meledaklah sorak para penonton seperti akan meruntuhkan langit. Ketika ia mengangkat wajahnya, dilihatnya sebuah anak panah lagi telah ikut serta dalam putaran bandul di atas kepala Sonya. Agaknya dengan cepat Agung Sedayu telah melepaskan anak panahnya yang ketiga.
“Gila” desisnya. Ketika itu ia mendengar Widura sudah mencapai hitungan yang kesebelas.
Dengan hati-hati Sidanti mengangkat busurnya. Kali ini ia harus benar-benar dapat mengenainya dengan tepat. Kalau tidak, maka Sedayu sudah akan menyisihkannya pada babak yang pertama. Namun ternyata Sidanti adalah pembidik yang baik. Panahnya yang terbang secepat kilat itu pun kemudian mengenai sasarannya pula, disambut oleh sorak yang semakin bergelora. Lapangan di muka banjar desa itu benar-benar seperti akan meledak.
Agung Sedayu masih berdiri di tempatnya sambil mengamat-amati sasaran yang kini sudah tidak diputar lagi. Dengan kedua tangannya Sonya mengacung-acungkan bandul itu sambil berteriak, “Enam panah!”
Widura itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Kalian ternyata mempunyai kecakapan yang sama. Karena itu, biarlah kita adakan permainan yang lain. Namun aku belum tahu, apakah sasaran yang lebih baik dapat kita gunakan”
Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya, namun ia pun belum tahu sasaran apakah yang sebaiknya dipergunakan. Sedang Agung Sedayu lagi sibuk mendengarkan orang menyebut-nyebut namanya. Ia menjadi berbangga juga karenanya. Bahkan kemudian timbul juga keinginannya untuk mendapat pujian yang lebih besar dari para penonton itu. Untuk sesaat ia melupakan pula akibat-akibat yang bisa terjadi. Sebab ia telah membebankan seluruh tanggung jawab kepada pamannya.
Terasa sesuatu menjalar di dalam dada Agung Sedayu. Belum pernah ia sepanjang umurnya mendapat pujian semeriah ini. Pada masa-masa kecilnya, ibunya selalu memujinya. Namun bukan karena ia berbuat sesuatu. Ibunya memuji untuk menyenangkannya saja.
Apa pun yang dilakukannya maka ibunya tidak pernah mencelanya. Sedang ayahnya sekali-sekali sering memujinya pula apabila ia berhasil berbuat sesuatu menurut kehendak ayahnya. Tetapi ayahnya lebih sering kecewa terhadapnya dari pada memujinya. Bahkan sering ia harus menangis kalau ayahnya menyuruhnya mengulang dan mengulang suatu perbuatan yang tak dapat dilakukannya. Betapa sulitnya latihan-latihan yang diberikan ayahnya dahulu kepadanya. Memanah, bandil dan bermacam-macam ketangkasan membidik. Namun ayahnya selalu mengatakan kepadanya, “Kau mampu Sedayu, kau pasti mampu melakukannya” Dan akhrinya ternyata, setelah ayahnya memberinya contoh berkali-kali, akhirnya ia mampu juga melakukannya. Berkali-kali ia diajak ayahnya berdiri di pematang dengan busur di tangan. Ia harus mendapatkan tiga ekor burung dengan tiga batang anak panah. Burung yang tidak boleh dikenainya di atas tanah atau dahan-dahan kayu. Burung itu seakan-akan harus dipetiknya dari udara. Namun akhirnya ia berhasil juga. Kalau ia menangis karenanya, ayahnya berkata kepadanya, “Agung Sedayu, apakah kira-kira yang akan dapat kau lakukan? Kau tidak berani memegang tangkai pedang, apakah kau juga tidak mampu memegang busur?”
Kalau ibunya mendengar pertanyaan itu, maka ibunya selalu menjawab, “Apakah dalam hidup ini tidak ada pekerjaan yang lebih baik dari berkelahi?”
Dan ayahnya menjawab, “Tentu, tentu ada. Dan anak-anakku seharusnya tidak berkelahi. Tetapi mereka harus menjadi laki-laki jantan yang mampu menempatkan dirinya dalam segala keadaan. Ia harus menjadi seorang yang dapat melakukan pengabdian dalam segala bentuk. Mereka harus menghindari segala bentuk kekerasan, namun mereka pun harus dapat melenyapkan kekerasan. Kekerasan yang bertentangan dengan rasa pengabdiannya. Karena itu mereka pun harus dibekali pula dengan ilmu yang mungkin akan berguna bagi pengabdian mereka. Melawan kejahatan, bukan untuk sebaliknya”
Apabila demikian, maka ibunya segera memeluknya sambil mengusap air mata. Bisiknya, “Biarlah pekerjaan itu dilakukan orang lain. Tetapi bukan anakku. Kekerasan akan dapat berakibat buruk perkelahian dapat meneteskan darah. Aku tidak mau kehilangan lagi”
Ayahnya tidak membantah lagi. Bahkan ayahnya selalu berkata dengan lembut, “Maafkan aku nyai. Aku masih selalu ingat pada masa-masa mudaku”
Tetapi kalau ia kemudian keluar dari bilik ibunya, Untara, kakaknya berkata kepadanya, “Ibu sekarang berubah. Ibu dahulu ikut berbangga kalau ayah berhasil melenyapkan kejahatan. Melindungi orang-orang lemah dari penindasan. Ibulah yang sering menggosok pedang ayah dengan minyak dan getah-getahan untuk menjadikan pedang ayah mengkilat seperti bersinar. Dan ibu pulalah yang menggosok busur ayah dengan angkup kayu sehingga busur itu menjadi gemerlapan”
Suasana yang demikian itulah yang kemudian membentuknya menjadi seorang yang kerdil. Ibunya yang selalu memanjakannya dan menakut-nakutinya dengan segala macam cara. Menyekapnya dalam pelukannya. Apabila ia bertanya, “Ibu, bukankah ibu dahulu berbangga atas kejantanan ayah?” Maka ibunya akan menjawab, “Sebuah mimpi yang menakutkan anakku. Itu terjadi pada masa-masa ayahmu masih muda. Ternyata kini ayahmu pun menyadarinya. Bahwa tak ada yang dapat dicapainya dengan pedang di tangan. Tak akan ditemui ketentraman dan kedamaian di hati: dan ayahnya pun pernah pula mengatakannya demikian. Namun menurut ayahnya, dunia masih tetap sepeti keadaannya. Parah, karena kejahatan, nafsu, kebencian, dan segala macam bentuk kekerasan, karena itu maka segala itu harus mendapat imbangan. Tetapi harus memiliki landasan yang berlawanan. Dan landasan itu adalah cinta kasih antar sesama. Kalau sekali-sekali harus digenggamnya tangkai pedang, maka haruslah dilandasi pula dengan cinta kasih. Untuk menegakkan sendi-sendi kehidupan manusia dan kemanusiaan berdasarkan cinta kasih itu.
Dan terjadilah benturan-benturan perasaan di dalam dada Agung Sedayu. Ia menjadi seorang penakut karena ibunya, namun angan-angannya kadang-kadang membumbung tinggi dalam sifat-sifat kejantanan dan kesatriaan.
Perasaan-perasaan itulah yang kini sedang saling mendesak. Seorang jantan tidak boleh membiarkan dirinya dihina tanpa sebab. Seorang jantan harus mempertahankan namanya demi kebenaran seperti mempertahankan nyawanya. Kalau nama itu lenyap, maka biarlah lenyap pula nyawanya. Tetapi dilain pihak, betapa tiba-tiba lututnya menjadi gemetar apabila ia dihadapkan pada persoalan-persoalan yang dapat menimbulkan pertentangan.
Agung Sedayu yang kini sedang berdiri diarena itu masih mendengar tepuk tangan yang semakin lama menjadi semakin surut. Dilihatnya pula, pamannya sedang berbicara dengan beberapa orang. Di antaranya Ki Demang Sangkal Putung dan Citra Gati. Agaknya mereka sedang sibuk mencari kemungkinan untuk membua sasaran yang lebih sulit dari sasaran-sasaran yang pernah dibuatnya. Ketika ia berpaling, dilihatnya Sidanti berdiri dengan angkuhnya. Dengan acuh tak acuh anak muda itu melihat Widura yang sedang sibuk itu. Sekali-sekali Sidanti itu memandang berkeliling lapangan dan melambaikan tangannya menyambut lambaian tangan anak-anak muda yang mengaguminya.
Agung Sedayu pun kemudian memandang sekeliling lapangan. Orang-orang berjejal-jejal itu seperti sudah tidak sabar lagi menunggu. Beberapa orang yang sudah berteriak-teriak dan dengan tidak sabar mereka melambai-lambaikan tangan mereka. Ketika dilihatna Sekar Mirah, maka dada Agung Sedayu itu pun berdesir. Gadis itu tersenyum kepadanya. Senyum yang aneh, “Ah” katanya dalam hati. “Baru tadi aku lihat ia tersenyum dan memuji-muji Sidanti”. Namun gadis itu mempunyai kesan yang aneh di dalam hatinya. Tiba-tiba timbullah keinginannya agar Sekar Mirah itu selalu tersenyum kepadanya, tidak kepada Sidanti.
Sorak sorai ditepi lapangan, serta senyum Sekar Mirah itu agaknya berpengaruh juga di hati Agung Sedayu. Ternyata di dalam hatinya yang kerdil itu tumbuh juga keinginannya untuk mempertahankan namanya.
“Sidanti itu pasti tidak akan mendendam” pikirnya, “Ia seharusnya bersikap jujur. Kalah atau menang. Aku pun demikian juga. Namun aku mengharap untuk memenangkan pertandingan ini. Seandainya, ya seandainya Sidanti itu marah kepadaku, biarlah paman Widura menyelesaikannya”
Karena itulah maka kemudian Sedayu berketetapan hati untuk berbuat sebaik-baiknya. Akan ditandinginya apa saja yang akan dilakukan oleh Sidanti. “Tetapi seandainya aku mampu” desanya di dalam hati.
Widura masih sibuk berbicara dengan Ki Demang Sangkal Putung. Agaknya mereka belum menemukan cara yang paling baik untuk mengadakan pertandingan berikutnya.
Sidanti yang berdiri di samping Agung Sedayu itu pun menjadi tidak sabar. Ia ingin segera mengakhiri pertandingan itu. Ia ingin segera mendengar orang-orang di sekitar lapangan itu bertepuk gemuruh untuknya. Dan ia ingin anak-anak muda Sangkal Putung melambaikan tangannya kepadanya dan mengelu-elukannya, mengikutinya di belakang sambil memujinya sampai di kademangan. Dan lebih dari itu, ia ingin Sekar Mirah itu pun berjalan di sampingnya sambil mengumpati Agung Sedayu yag ternyata tidak mampu melampaui kecakapannya.
Karena itu, maka anak muda yang sombong itu tiba-tiba bereriak, “Kakang Widura. marilah kita akhiri pertandingan ini supaya kita tidak berlarut-larut, membidik sasaran yang terlalu baik seperti perlombaan anak-anak saja. Biarlah sekarang aku dapat menganjurkan cara yang baik”
Widura, Ki Demang Sangkal Putung, Swandaru, dan orang-orang yang sedang sibuk berpikir itu pun berpaling kepadanya. Dengan ragu-ragu Widura berkata, “Apakah cara itu?”
Seklai Sidanti berpaling kepada Agung Sedayu, kemudian katanya, “Namun terserah juga, apakah adi Sedayu sanggup melakukannya. Kalau tidak, biarlah aku mempertunjukkan permainan itu sendiri. Dengan demikian pemenang pertandingan ini segera dapat ditentukan”
“Ya” sahut Widura, “Tetapi bagaimanakan cara itu?”
Sidanti tersenyum. jawabnya, “Agak sukar dimengerti. Tetapi aku pasti dapat melakukannya”. Sidanti itu berhenti sebentar. Sengaja ia membiarkan orang-orang yan gmendengar kata-katanya itu menjadi semakin bernafsu untuk mengetahuinya. Baru sesaat kemudian ia berkata, “Cara yang pasti akan menarik perhatian”
“Ya” sahut Citra Gati tidak sabar, “Jangan melingkar-lingkar. Sebutkan cara itu”
“Jangan tergesa-gesa kakang Citra Gati. Kau pasti akan keheranan. Melihat pun kau tak akan dapat mengerti, apalagi melakukannya”
Citra Gati tersinggung karenanya. Maka jawabnya lantang, “Jangan sombong anak muda. Kau masih belum mampu mengalahkan Macan Kepatihan di pertempuran, dan melampaui lawanmu di arena pertandingan ini”
Sidanti mengerutkan keningnya. Tetapi dengan cepat Widura menengahinya, “Nah baiklah. Marilah kita mulai. Aku setuju dengan cara apa pun yang kehendaki, asal masih dalam batas kemungkinan dan tidak berbahaya. Kalau Sedayu tidak sanggup melakukannya, maka ia dapat dianggap kalah”
Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Kembali ia tersenyum dan sekali lagi ia memandang wajah Agung Sedayu. Kini Agung Sedayulah yang menjadi acuh tak acuh. Apa pun cara itu, ia akan menerimanya. Kalau masih mungkin dilakukan oleh Sidanti maka ia pun akan mempunyai kemungkinan yang sama.
Citra Gati masih bersungut-sungut, bahkan katanya dalam hati, “Widura terlalu memanjakannya, sehingga kepentingan kemenakannya sendiri sama sekali tidak diperhatikannya”
Dalam pada itu terdengarlah Sidanti berkata, “kakang Widura, perintahlah salah seorang melepaskan anak panah menyilang lapangan ini melambung ke udara. Nah, biarlah kami mencoba mengenainya”
Widura tertegun mendengar pendapat itu. Apalagi Ki Demang Sangkal Putung. Bahkan sesaat Citra Gati pun terbungkam, namun kemudian bergumam lirih, “Aneh, benar-benar aneh”
Sidanti melihat orang-orang itu menjadi keheranan. Karena itu, maka ia menjadi semakin menengadahkan dadanya. Dengan lantang ia berkata, “Marilah, sebelum senja. Supaya aku masih dapat melihat anak panah yang terbang di udara itu”
Widura tidak dapat berbuat lain dari menyetujuinya. Meskipun demikian sekilas ia menyambar wajah Agung Sedayu dengan pandangan matanya. Namun dilihatnya anak muda itu masih acuh tak acuh saja. Sehingga dengan demikian maka Widura itu pun tidak berkata apa pun kepadanya.
Sidanti yang melihat Agung Sedayu sama sekali tidak terperanjat mendengar usulnya itu, maka ialah yang menjadi heran. Apakah anak itu tidak mendengar, atau anak itu pun akan acuh tak acuh terhadap pertandingan berikutnya. Dan teka-teki itu ternyata telah mendebarkan jantung Sidanti. Meskipun demikian, ia masih dapat berteriak nyaring di dalam hatinya, “Ayolah Agung Sedayu, yang merasa menjadi pemanah terbaik di Sangkal Putung, tandingilah Sidanti.”
Widura itu pun kemudian mengumumkan cara yang akan ditempuh atas usul Sidanti. belum lagi mereka mulai dengan pertandingan itu, maka lapangan itu telah menjadi gempar. Para penonton yang keheran-heranan itu telah menyambut pengumuman Widura dengan tepuk tangan dan sorak sorai yang bergelora.
Hudayalah yang mendapat tugas untuk melepaskan anak panah menyilang garis bidik Sidanti dan Agung Sedayu. Ia sendiri tidak dapat mengerti, bagaimana cara anak-anak muda itu akan membidikkan anak panahnya. Namun Hudaya itu bergumam pula di dalam hatinya, “Bukan siatu hal yang tak mungkin. Sebab laju anak panah itu dapat diperhitungkan”
Tetapi kemudian Swandaru pun menjadi gelisah. Ialah yang pertama-tama berteriak-teriak sepanjang jalan, bahwa bukan Sidanti lah pemanah terbaik di Sangkal Putung. Namun sekarang ia mendengar sendiri usul Sidanti itu. Memanah sebatang anak panah yang melaju di udara, tentu lebih sukar mengenai sasaran kepala orang-orangan itu. Karena itu ia masih belum dapat menebak, apakah Agung Sedayu dapat juga berbuat sebaik Sidanti. Kalau kemudian Agung Sedayu tak mampu menandingi Sidanti, maka ia pun pasti akan mendapat banyak kesulitan. Agung Sedayu pasti akan marah padanya dan Sidanti akan semakin mentertawakannya.
Karena itu, maka Swandaru itu pun mendekati Agung Sedayu yang berdiri tegak di tempatnya. Bisiknya perlahan-lahan, “Bagaimanakah tuan, apakah tuan mungkin juga berbuat demikian?”
Agung Sedayu menggeleng lemah, jawabnya, “Entahlah Swandaru”
Swandaru menjadi semakin gelisah. Dalam pada itu, Hudaya pun telah siap pula. kini Widura sendirilah yang memegang bende untuk memberi tanda kepada Hudaya, kapan ia harus melepaskan anak panahnya.
Ketika kemudian Sidanti telah menganggukkan kepalanya, maka dibunyikahlah bende itu. Dan Hudaya menarik tali busurnya pula. sambil tersenyum ia membidik anak panah yang terbang itu. Orang-orang yang berjejal-jejal ditepi lapangan itu menjadi diam kaku seperti beratus-ratus patting yang berjajar-jajar. Semuanya memandang ke arah anak panah Sidanti. Dan sesaat kemudian anak panah itu meloncat dari busurnya. Cepat, melampaui kecepatan anak panah Hudaya. Semua mata pun kemudian seakan-akan terpancang pada anak panah itu. Wajah-wajah yang tegang dan hati yang tegang pula.
Yang terjadi kemudian, betapa lapangan itu menjadi menggelegar, seakan-akan seribu guntur meledak di langit. Tepuk tangan sorai sorai dan bahkan di antara mereka melonjak-lonjak dan menari-nari. Anak-anak muda saling berteriak-teriak dan orang-orang tua mengangguk-anggukkan kepala mereka. “Luar biasa. Luar biasa” desisnya.
Citra Gati menggigit bibirnya, sedang Hudaya menggaruk-garuk kepalanya. Widura pun sesaat terpaku diam di tempatnya. Semua mata melihat, anak panah Sidanti itu seakan-akan menyongsong anak panah Hudaya dalam garis silang. Dan pada suatu titik yang condong, anak panah Sidanti berhasil mengenai ekor anak panah Hudaya, sehingga kedua anak panah itu pun kemudian terpelanting dan berubah arahnya masing-masing.
Ketika Sidanti berpaling ke arah Sekar Mirah, dilihatnya gadis itu melonjak-lonjak sambil mengacung-acungkan tangannya. “Dahsyat” teriaknya. Sidanti tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian dilambaikannya tangannya kepada orang-orang yang masih saja berteriak-teriak tak jemu-jemunya. Betapa mereka menjadi kagum. Seakan-akan mereka tak percaya, bahwa hal yang demikian dapat terjadi. Dua batang anak panah saling berkejaran di udara.
Tetapi ternyata hal itu telah terjadi di hadapan mata kepala mereka. Dan karena itu, maka mereka pun menjadi takjub.
Gemuruh di lapangan itu pun kemudian mereda, ketika mereka melihat Widura mengangkat tangannya. Kemudian dengan tangannya pula Widura memberi isyarat kepada Hudaya untuk bersiap-siap. Kini pertandingan itu sampai pada penentuan terakhir. Semua orang itu pun kini terpaku memandang Agung Sedayu. Namun semua orang itu pun telah menjadi ragu-ragu pula. Apakah Agung Sedayu juga dapat melakukannya?
Swandaru yang berdiri di belakang Agung Sedayu telah menjadi gemetar karenanya. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Sidanti itu mampu berbuat demikian menakjubkannya. Dalam dada anak muda itu pun kini menjalar kebimbangan yang semakin lama semakin tebal. Karena itu, maka tubuhnya telah menjadi basah oleh keringat dingin yang mengalir tak putus-putusnya.
“Apakah kau sudah siap Sedayu?” terdengar suara Widura perlahan-lahan. Terasa pula pada nada suaranya, keragu-raguan terhadap kemenakannya itu.
Agung Sedayu itu pun mengangguk perlahan. Jawabnya, “Sudah paman”
Widura memandang kemenakannya itu dengan seksama. Seakan-akan ia menyesal juga atas pertandingan yang dilakukan itu. Kalau Agung Sedayu gagal, maka jiwanya yang kerdil itu akan menjadi semakin kerdil. Ia akan menjadi semakin merasa dirinya tak berharga. Sedang Sidanti telah melakukan suatu permainan yang mengagumkan. Meskipun demikian, pertandingan itu harus dilangsungkan. Kalah atau menang. Sedayu harus menghadapinya dengan jujur.
Maka, setelah semuanya siap, dengan ragu-ragu Widura memukul bendenya sebagai pertanda bahwa Hudaya harus melepaskan satu anak panah lagi.
Perlahan-lahan Hudaya mengangkat busurnya. Semua mata seakan-akan melekat pada anak panah itu. Dan sesaat kemudian, anak panah Hudaya yang kedua lepas dari busurnya, melambung ke udara seperti anak panahnya yang pertama.
Kini semua mata dengan cepatnya berpindah ketangan Agung Sedayu. Ternyata Agung Sedayu tidak membidik perlahan-lahan seperti Sidanti. Ia tidak menunggu anak panah Hudaya melampaui titik yang tegak lurus di hadapannya. Dengan tangkasnya ia menarik tali busurnya kuat-kuat, seakan-akan busur itu ingin dipatahkannya. Kemudian, semua orang menjadi tegang karenanya. Kini anak panah itu melontar dengan cepat, secepat petir menyambar di langit. Para penonton tidak mendapat kesempatan yang cukup untuk melihat anak panah itu. Namun yang terjadi kemudian telah memukau mereka. Bahkan karena itu, maka lapangan itu menjadi sunyi senyap. Seandainya sebatang jarum terjatuh, maka suaranya pasti akan mengejutkan seperti suara guruh. Yang terdengar kemudian adalah suatu derak di udara. Kemudian sepi kembali. Sesepi padang yang tak berpenghuni.
Beratus-ratus pasang mata tak sempat berkedip, sedang beratus-ratus mulut menjadi ternganga karenanya.
Seperti orang bermimpi mereka melihat anak panah Agung Sedayu secepat tatit menyambar anak panah Hudaya tepat di tengah-tengah. Demikian kerasnya anak panah Agung Sedayu sehingga anak panah Hudaya menjadi retak di tengah-tengah, dan terlontar ke samping terbawa oleh anak panah Agung Sedayu.
Demikian kedua anak panah itu jatuh di tanah, mak semua orang yang terpukau itu seakan-akan terbangun dari mimpinya. Dengan serta-merta maka meledaklah sorak sorai mereka. Seperti gemuruhnya gunung runtuh menimpa ombak lautan yang dahsyat. Menggelegar beruntun susul menyusul. Tidak saja anak-anak, namun orang-orang dewasa, anak-anak muda Sangkal Putung pun berloncat-loncatan di lapangan itu. Menari-nari dan melemparkan apa saja ke udara. Caping-caping mereka, ikat pinggang selebar telapak tangan, tongkat-tongkat dan bahkan terompah-terompah mereka.
Swandaru yang berdiri di belakang Agung Sedayu melihat pula penturan kedua anak panah itu. Terasa dadanya menjadi bergetar seakan-akan benturan anak panah itu terjadi di dalam rongga dadanya. Ia melihat pula kedua anak panah itu jatuh di tanah. Dan dengan serta-merta, ia berlari sekencang-kencangnya, memungut kedua batang anak panah itu.
Sambil berlari-lari kembali anak yang gemuk itu berteriak-teriak sekeras-kerasnya seperti sedang mabuk tuak. Katanya, “Lihat, lihat. Anak panah paman Hudaya dikenai di tengah-tengah sehingga menjadi retak karenanya”
Widura pun menjadi terpaku di tempatnya. Terasa sesuatu berdesir di dadanya. Bahkan kemudian mulutnya seakan-akan menjadi terbungkam. Dari tempatnya berdiri, ditatapnya wajah Agung Sedayu. Dan seakan-akan terpancar dari wajah itu, bayangan wajah ayahnya. Ki Sadewa, ipar Widura itu. Wajah itu pun tampaknya memancarkan kerendahan hati yang tulus. Karena itu maka timbullah iba hatinya, kalau selama ini anak itu dibiarkannya kecemasan tentang nasibnya.dan tiba-tiba pula terpancarlah janji di dalam hatinya, “Kalau aku mampu, biarlah aku mencoba menjadikannya seorang anak muda yang berhati jantan. Kecakapannya bermain panah, ketrampilannya berolah pedang dan bahkan kekuatan-kekuatan jasmaniah yang tersimpand di dalam tubuhnya, pasti akan memungkinkan anak itu melampaui anak-anak sebayanya, bahkan akan dapat melampaui diriku sendiri”
Jang benar-benar tak dapat menahan perasaannya adalah Sekar Mirah. Gadis itu benar-benar lupa akan dirinya. Seperti kuda yang lepas dari ikatannya ia berlari kencang-kencang ke arah Agung Sedayu yang masih berdiri di tempatnya. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti. Terasa seseorang menangkap tangannya dan menariknya.
“Apakah yang akan kau lakukan?”
Sekar Mirah berpaling. Dilihatnya ayahnya memandangnya dengan tajam. Dan Sekar Mirah pun menundukkan wajahnya. jawabnya, “Tidak apa-apa ayah”
“Ingat Mirah” berkata ayahnya, “Kau adalah seorang gadis”
“Aku tidak akan berbuat apa-apa ayah” sahut Sekar Mirah sekali lagi.
Ki Demang Sangkal Putung melepaskan tangannya sambil berkata, “Jangan menodai namamu sendiri. Bersoraklah kalau kau mau bersorak. Berteriaklah kalau kau mau berteriak. Namun di tempatmu. Tak perlu kau pergi mendekat. Baik Sidanti maupun Agung Sedayu”
Sekar Mirah menggigit bibirnya. Namun dengan demikian ia mulai menyadari dirinya, bahwa ia kini berada di tengah-tengah ratusan orang yang menyaksikan pertunjukan itu. Karena itu, ia harus lebih hati-hati membawa diri. Meskipun demikian ia berkata juga, “Ayah, aku hanya ingin mengucapkan selamat atas kemenangan Agung Sedayu.”
“Siapa bilang ia menang?” semuanya yang mendengar pertanyaan itu menjadi terkejut, sehingga serentak mereka berpaling. Ternyata mereka melihat Sidanti dengan wajah yang merah membara. Dengan tajamnya ia memandang Sekar Mirah yang masih berdiri di samping ayahnya. Agaknya Sidanti telah mendengar Sekar Mirah memuji Agung Sedayu dengan kemenangannya.
Ketika Sekar Mirah melihat wajah Sidanti itu, hatinya menjadi berdebar-debar. Namun ia merasa erhak berbuat apa pun sekehendaknya. Karena itu, maka ia tidak mau dibentak-bentak oleh Sidanti.
Tetapi sebelum ia menjawab, terasa ayahnya menggamitnya sambil berbisik, “Diamkan anak itu”
Sekar Mirah memandangi wajah ayahnya dengan kecewa. Tetapi ia tidak bernai melanggarnya. Namun ternyata terdengar jawab dari arah lain, “Bukankah sudah, ternyata bahwa bidikan Agung Sedayu lebih baik dari bidikanmu”
Warna merah di wajah Sidanti menjadi semakin menyala. Apalagi ketika ia menyadari bahwa suara itu suara Swandaru. demikian marahnya Sidanti sehingga untuk sesaat ia bahkan menjadi terbungkam. Namun tubuh dan dadanya menjadi bergetar.
Agung Sedayu yang melihat wajah Sidanti itu pun tiba-tiba menjadi cemas pula. apakah anak itu akan menjadi marah? Bahkan bukan saja Agung Sedayu, tetapi juga Widura menjadi cemas. Karena itu segera wajah melangkah maju. Diangkatnya kedua tangannya tinggi-tinggi sambil berteriak di antara sorak para penonton yang masih saja menggema, katanya, “Pertandingan sudah selesai. Kedua-duanya berhasil mengenai panah-panah yang masih berada di udara. Karena itu maka kedua-duanya memiliki kecakapan membidik yang sama. Dengan demikian dalam pertandingan ini tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah”
Mendengar keputusan itu, sorak para penonton justru menjadi diam. Mereka merasa aneh atas keputusan itu. Meskipun benar, kedua-duanya dapat mengenai sasarannya, namun terasa bidikan Agung Sedayu lebih tepat dari bidikan Sidanti. Karena itu menurut mereka Agung Sedayu dapat dianggap memenangkan pertandingan ini. Bahkan hampir bersamaan Hudaya, Citra Gati, Sendawa meloncat masuk ke lapangan. Yang mula-mula berkata adalah Citra Gati, “Apakah penilaian ini cukup adil?”
Widura mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan itu. Pertanyaan itu adalah wajar dan bahkan di dalam dirinya sendiri, timbul pula pertanyaan semacam itu.
Namun demikian, tebaran pandangan Widura tidak saja terbatas di tengah-tengah lapangan dan membiarkan perasaannya berbicara. Pandangannya telah jauh melampaui batas-batas yang dapat dilihatnya di tempat yang sempit itu. Dilihatnya disuatu tempat Tohpati telah mulai menyusun kekuatannya, dan di tempat lain Ki Tambak Wedi seakan-akan selalu mengintipnya. Karena itu, ia dengan pertimbangan yang masak ia menjawab, “Kita tidak menentukan, bagian manakah yang harus dikenai oleh pemanah-pemanahnya. Kita hanya melepaskan anak panah ke udara. Nah, salah seorang dari para pemanah itu membidik ekornya, yang lain membidik tepat di tengah-tengah. Dan keduanya mengenai tepat di arah yang dikehendakinya. Bukankah dengan demikian kedua-duanya telah berhasil?”
Hudaya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menjawab, “Kami menjadi saksi. Perasaan kami, aku dan para penonton, mengatakan bahwa Agung Sedayu lebih baik dari Sidanti.”
Widura mengerutkan keningnya. Ia benar-benar berada di tempat yang sulit. Ia tidak mau melepaskan Sidanti. Tetapi Hudaya, Citra Gati, Sendaya dan beberapa orang itu adalah orang-orang yang menpunyai pengaruh yang kuat di antara laskarnya. Sudah tentu ia tidak dapat bekerja berdua saja dengan Sidanti, atau dengan satu dua orang yang lain.
Sementara itu, sementara Widura sedang sibuk berpikir untuk memecahkan persoalan yang sulit itu, terdengar suara Sidanti parau, “Kakang Widura, pertandingan dapat diulangi. Kita harus sampai pada penentuan, siapakah yang menang dan yang kalah. Kita tidak boleh menjadi orang-orang banci”
“Bagus” teriak Hudaya, Citra Gati, Sendawa dan orang-orang lain, “Ulangi” teriak mereka.
Widura benar-benar menjadi pening. Namun ia harus mempunyai sikap. Maka katanya, “Tidak. Pertandingan sudah selesai. Tak ada gunanya kita ulangi. Aku sudah tahu pasti. Hasilnya akan sama saja. Keduanya akan mendapat nilai yang sama”
“Tidak” teriak Sidanti. “Aku menuntut perlakuan yang adil. Tidak ada yang menentukan arah bidikan pada panah yang dilepaskan oleh kakang Hudaya. Tetapi meskipun aku mengenai tempat yang aku kehendaki, namun orang-orang menganggap bidikan Adi Sedayu lebih tepat. Aku ingin menghilangkan kesan itu”
Widura menggeleng. “Sudah aku katakan. Aku akan menyelenggarakannya lain kali”
“Sekarang” teriak Sidanti pula.
Suasana segera meningkat menjadi semakin tegang. Beberapa langkah Sidanti maju mendekati Widura dengan wajah yang merah menyala. Sedang dari arah lain, Citra Gati, Hudaya, Sendawa, Sonya, dan beberapa orang lagi pun maju pula. wajah mereka tidak kalah tegangnya dengan wajah Widura sendiri.
Sesaat Agung Sedayu menjadi bingung melihat perkembangan keadaan. Ia melihat Sidanti menjadi marah, dan dilihatnya pula Hudaya dan kawan-kawannya pun menjadi tegang. Sehingga setiap kemungkinan akan dapat terjadi. Karena itu maka tiba-tiba berkata, “Paman, seandainya pertandingan ini diadakan lagi, maka aku tidak akan dapat mengikutinya”
Kata-kata itu seolah-olah merupakan penggerak yang menggerakkan setiap kepala untuk berpaling ke arahnya. Sidanti pun memandang wajah Agung Sedayu dengan tajamnya. Dan bahkan Citra Gati yang tidak dapat menahan perasaannya berteriak, “Kenapa?”
Sedayu menjadi berdebar-debar. Jawabnya, “Aku tidak dapat melakukan permainan yang lebih baik. Seandainya kakang Sidanti mempunyai cara yang lain, maka pasti aku tudak dapat mengikutinya. Aku sudah sampai pada puncak kecakapan yang ada padaku”
“Bohong” teriak Sidanti dan Hudaya hampir bersamaan, meskipun maksudnya berbeda-beda, sehingga keduanya menjadi terkejut karenanya. Namun yang meneruskan kata-katanya hanyalah Sidanti, “Kau hanya akan mempertahankan keadaan serupa ini. Dimana orang-orang mempunyai kesan bahwa kau adalah pemanah yang lebih baik daripadaku”
Agung Sedayu menjadi bingung. Karena itu ia tidak menjawab. sehingga yang menjawab kemudian adalah Widura, “Sedayu berkata benar. Kalau Sidanti masih mungkin melakukan permainan yang lebih baik lagi, maka Sedayu akan kalah”
“Tidak adil” teriak Citra Gati.
“Tidak adil” teriak Sidanti, “Kesan orang-orang akan menjadi semakin menguntungkannya. Seolah-olah ia sekedar mengalah untuk memberi kesempatan kepadaku. Tidak. Bukan perlakuan jantan bagi Sidanti. Sidanti tidak sekedar ingin mendapat perlakuan yang cengeng Sidanti adalah seorang anak muda yang jantan”
Kata-kata itu benar-benar berkesan bagi Widura. bahkan Hudaya, Citra Gati dan yang lain-lain pun terdiam pula karenanya. Betapapun mereka harus mengakui kelebihan Sidanti daripada mereka, meskipun apabila mereka dihadapkan pada suatu keadaan yang memaksa, mereka tidak takut pula melawan Sidanti.
Lapangan itu tiba-tiba menjadi hening. Dengan hati yang semakin tegang, mereka, para penonton itu melihat keadaan yang semakin tegang pula. Beberapa orang laki-laki telah mendekat mereka. Dan membentuk sebuah gelang memagari mereka yang sedang bertengkar. Yang berkata kemudian adalah Widura tegas, “Tak akan ada pertandingan lagi”
“Ada” sahut Sidanti.
Sekali lagi Widura menjawab lebih keras, “Tidak!”
Tetapi tiba-tiba hati Widura itu berdesir. Di tengah-tengah lingkaran orang-orang yang melihat keributan itu, tiba-tiba terjatuh sebuah benda yang benar-benar mengejutkannya. Sepotong besi yang lengkung hampir berbentuk lingkaran. “Setan” Widura mengumpat di dalam hati. “Ki Tambak Wedi itu ada pula di sini”
Ketika ia memandang wajah Sidanti, dilihatnya anak muda itu tersenyum. senyum yang sangat menyakitkan hati. Sementara itu beberapa orang menjadi heran juga. Namun tak seorang pun di antara mereka yang melihat, siapakah yang telah melemparkan sepotong besi di tengah-tengah mereka. Meskipun demikian, beberapa orang menjadi berdebar-debar. Meskipun mereka idak tahu arti sepotong besi itu selain Widura, namun mereka merasakan sesuatu yang tidak wajar.
Ternyata benda itu sangat berpengaruh bagi Widura. ia tidak tahu pasti maksud Ki Tambak Wedi, namun ia dapat menduga bahwa Ki Tambak Wedi telah memperkuat pendapat muridnya. Dengan demikian maka Widura itu berpikir dan berpikir sehingga kepalanya hampir meledak karenanya. Ditinjaunya segenap segi-segi. Kalai ia mengadakan pertandingan sekali lagi maka persoalannya tidak akan terpecahkan. Apalagi Sidanti merasa bahwa ada semacam perlakuan yang tidak wajar terhadapnya. Menang atau kalah, Sidanti pasti akan kecewa. Kalau ia kalah, maka darahnya pasti akan semakin menyala, tetapi kalau ia kalah, maka ia akan menyangka bahwa Agung Sedayu tidak bersungguh-sungguh. Tetapi ternyata guru Sidanti itu telah ikut campur pula. bagi Widura yang sebaik-baiknya adalah bubar. Pulang ke kademangan. Namun Sidanti menolak dan gurunya memperkuat. Sehingga untuk menjaga ketenangan kademangan, apakah ia harus memenuhi permintaan Sidanti yang juga merupakan permintaraan dari Hudaya, Citra Gati dan yang lain-lain, meskipun dalam perhitungan yang berlawanan?
Widura menarik nafas dalam-dalam. Hampir saja ia hanyut oleh kehendak orang-orang yang sedang kehilangan kejernihan pikiran itu. Hampir ia kehilangan ketetapan hati sebagai seorang pemimpin.
Dalam keadaan yang demikian itu, ketika dada Widura sedang bergetar karena benturan-benturan pertimbangannya, maka sekali lagi orang-orang yang berdiri melingkar itu terkejut. Kali ini mereka melihat sebuah cemeti kuda melenting dan jatuh hampir menimpa Widura. Widura pun terkejut pula karenanya. Tetapi tiba-tiba jantungnya serasa berhenti. Dengan nanar ia memandang berkeliling. Namun yang dilihatnya adalah wajah-wajah yang tegang dan penuh kecemasan. Widura tidak berhasil melihat seseorang yang dicarinya. Ia tidak berhasil menemukan orang yang dapat disangkanya Kiai Gringsing. Namun ia pasti, bahwa orang aneh itu hadir pula di tengah-tengah lapangan. Cemeti kuda itu telah memberitahukan kepadanya, bahwa orang itu ada didekatnya.
Dengan demikian, maka pertimbangan-pertimbangan Widura yang hampir condong dan roboh sama sekali itu itu, seakan-akan menemukan kekuatannya yang baru. Ia tahu benar maksud Kiai Gringsing itu. Dan ia percaya bahwa Kiai Gringsing tidak hanya sekedar mengganggunya seperti biasanya. Dengan cemetinya itu Kiai Gringsing pasti ingin berkata kepadanya, “Jangan hiraukan orang yang bergelang besi itu, biarlah ia menjadi urusanku”
Dan kini sekali lagi Widura mengangkat wajahnya. ia melihat Sidanti keheran-heranan melihat cemeti itu. Juga Hudaya, Citra Gati dan yang lain-lain. Namun ketika ia memandang Agung Sedayu dilihatnya wajah Agung Sedayu tidak lagi sepucat tadi. Agaknya Agung Sedayu pun mengenal cemeti itu pula. dan tanpa disengaja, hatinya menjadi tenang. Kiai Gringsing yang belum dikenalnya baik-baik itu, telah mencengkam kepercayaannya, sehingga seakan-akan orang aneh itu dapat dipakainya sebagai sandaran apabila terjadi sesuatu.
Ketegangan itu kemudian dipecahkan oleh suara Widura tegas dan lantang, “Tidak ada apa-apa lagi. Itulah keputusanku!”
Terdengar gigi Sidanti gemeretak. Betapa dadanya dibakar oleh kemarahan. Dengan demikian, maka setiap orang di Sangkal Putung dan setiap orang yang melihat pertandingan itu, termasuk kawan-kawannya sendiri, akan tetap berkesan bahwa Agung Sedayu telah mengalahkannya.
Karena itu maka sekali lagi ia mencoba memaksakan kehendaknya, katanya, “Kakang Widura, aku minta pertandingan diadakan lagi”
Widura menggeleng, namun sebelum ia menjawab terdengarlah Citra Gati berkata, “Apakah keberatannya kakang. Marilah kita melihat keadaan dengan jujur. Siapa yang kalah biarlah ia kalah dan siapa yang menang biarlah ia menang. Setan atau malaikat. Dengan demikian kita melihat kenyataan dengan pasti”
Widura mengerutkan keningnya. Dengan tajam ia memandang Citra Gati. Jawabnya, “Apakah tujuan kita berada di Sangkal Putung ini? Apakah kita hanya sekedar ingin mengetahui siapakah di antara kita yang paling sakti dan paling cakap? Bahkan apakah cukup apabila kita menemukan siapakah di antara kita yang paling benar dan paling jujur? Sedang tujuan pokok dari perjuangan kita tidak selesai. Ayo, katakan kepadaku, apakah dengan saling ribut di antara kita, Tohpati dapat terselesaikan. Sisa-sisa laskar Jipang akan dapat kita batasi kegiatannya, atau bahkan kita hancurkan. Sekarang katakan padaku, apakah tujuan pertandingan ulangan ini jujur pula, sekedar untuk mendapatkan pemenangnya dengan kukur? Atau karena keinginan kita sekalian untuk menunjuk kelemahan orang lain dan menghinakannya?”
Kata-kata itu benar-benar menusuk jantung Citra Gati. Sehingga orang itu pun kemudian menundukkan wajahnya. demikian juga Hudaya, Sendawa yang bertubuh raksasa dan Sonya yang kecil serta beberapa orang lainnya. Mereka merasakan kebenaran kata-kata Widura itu. Sebenarnyalah bahwa pertandingan ulangan itu pun tidak dilakukan dengan tujuan jujur. Karena itu, maka mereka pun menjadi terdiam karenanya.
Tetapi ternyata kata-katawi itu tanpa disengaja telah menjadikan Sidanti makin marah. Ia merasa bahwa di dalam kata-kata itu tersembunyi pengertian-pengertian yang seakan-akan memastikan bahwa Agung Sedayu akan dapat memenangkannya pula. pebih-lebih menurut anggapan Citra Gati. Karena itu, Sidanti tidak mau diam. Apalagi ketika diingatnya bahwa gurunya ada pula dtempat itu. Katanya, “Kenapa kakang Widura takut melihat kenyataan seandaiknya adi Sedayu itu tak mampu menandingi kecakapanku?”
Sekali lagi dada Widura berdesir. Namun ia harus menahan diri. Ia tidak bileh hanyut dalam arus perasaannya, supaya anak buahnya tidak menjadi berantakan karenanya. Tetapi sebelum ia menjawab tiba-tiba meloncatlah seorang gadis yang telah kehilangan pengamatan diri. Digoncang-goncangnya tubuh Agung Sedayu sambil berteriak, “Kenapa tuan diam saja? Kenapa tuan tidak menyanggupinya dan membuktikannya bahwa tuan dapat memenangkannya?”
Bukan main terkejutnya Widura dan Agung Sedayu sendiri. Tetapi Hudaya, Citra Gati dan Sendawa sama sekali tidak terkejut. Sejak tadi mereka melihat gadis itu menjadi gelisah. Sekali-sekali ia maju, namun kemudian mundur kembali. Mereka melihat gadis itu meremas-remas tangannya sendiri dan bahkan menghentak-hentakkan kakinya. Tetapi yang terkejut sekali adalah Ki Demang Sangkal Putung. Dengan cepatnya ia meloncat dan menarik anaknya itu ketepi. Dengan marahnya ia membentak, “Mirah, apakah kau sudah menjadi gila?”
Sekar Mirah, gadis yang selalu hanyut menurut arus persaannya itu pun terkejut pula. Karena itu ia menyesal, namun hal itu telah terlanjur dilakukannya. Ketika ia mencoba melihat wajah-wajah di sekitarnya, maka seakan-akan mereka itu memandangnya dengan heran, sehingga kemudian Sekar Mirah itu pun menundukkan wajahnya.
Tetapi apa yang dilakukan Sekar Mirah itu ternyata seakan-akan minyak yang ditumpahkan ke dalam api yang menyala di dada Sidanti. Gadis itu benar-benar telah menggelaplan matanya. Gadis yang selalu mengganggu perasaannya itu. Karena itu tiba-tiba ia berteriak, “Aku akan melangsungkan pertandingan. Disetujui atau tidak disetujui. Tidak ada sasaran yang lebih baik yang harus kita kenai. Ayo Sedayu bersiaplah. Sasaran itu adalah kita masing-masing!”
Kata-kata Sidanti itu seperti guruh yang menyambar setiap telinga yang mendengarnya. Kata-kata itu jelas mereka mengerti maksudnya. Bukankah dengan demikian Sidanti telah menjerumuskan dirinya dalam suatu perang tanding dengan senjata panah?
Belum lagi gema kata-kata itu lenyap, terdengar Sidanti itu berkata pula, “Kita tentukan cara-cara menurut kehendak kita sendiri. Jangan hiraukan orang lain kalau kau jantan. Kita berdiri beradu pungung. Kita melangkah maju masing-masing sepuluh langkah. Kemudian siapakah di antara kita yang paling cepat memutar tubuh kita, membidikkan anak panah dan mengenai kepala lawan, itulah yang menang. Kita akan tahu dengan pasti, siapakah yang lebih baik di antara kita. Sebab yang kalah dapat segera ditandai, mati”
Denyut nadi Sedayu terasa berhenti karenanya. Tantangan itu tak disangka-sangkanya. Karena itu betapa tiba-tiba terasa lututnya menjadi gemetar. Mati. Kata-kata itu sangat menakutkannya. Ia tidak pernah berpikir untuk dibunuh atau membunuh. Apalagi dalam keadaan serupa itu.
Swandaru yang berdiri di belakang Agung Sedayu pun jadi tergetar karenanya. Disadarilah kini, betapa jauh akibat yang sudah terjadi akibat kelancangannya. Kalau terjadi sesuatu atas mereka, apakah ia Agung Sedayu atau pun Sidanti, maka itu benar-benar akan merugikan Sangkal Putung. Sidanti telah berhasil menyelamatkan hidupnya pada saat ia melawan Tohpati, dan Sedayu pun selamat pula meskipun ia berpapasan dengan pande besi Sendang Gabus, Alap-alap Jalatunda berempat. Dan sekarang, salah seorang dari mereka harus mati karena tangan keluarga sendiri. Dengan demikian maka Swandaru itu pun menyesal tak habis-habinya. Tetapi ia sama sekali tidak tahu, bagaimana ia harus memperbaiki kesalahannya. Apalagi sekali-sekali ia melihat ayahnya memandanginya dengan penuh penyesalan pula.
Widura masih tegak seperti patung. Kata-kata Sidanti itu, tak disangka-sangkanya. Juga Hudaya, Citra Gati dan kawan-kawannya pun tidak menyangka. Namun Widura memakluminya, bahwa Sekar Mirah lah sebab langsung dari keputusan Sidanti itu.
Ketika Widura itu memandang Agung Sedayu, ia melihat anak itu gemetar. Beberapa orang lain pun melihat pula. namun mereka mempunyai sangkaan lain. Seperti Sidanti yang gemetar karena marah, maka mereka pun menyangka bahwa Agung Sedayu menjadi marah pula. namun kemarahannya itu ditahannya, karena anak muda yang patuh itu takut benar kepada pamannya. Dengan demikian maka semua mata kini memandang kepada Widura, seakan-akan semua menunggu keputusan apakah yang akan diambilnya.
Tetapi kepala Widura itu benar-benar akan pecah karenanya. Ia kini tidak tahu, bagaimana ia akan mengatasinya. Apakah ia sendiri harus mengambil keputusan yang dapat berakibat dirinya sendiri yang harus berkelahi seperti beberapa waktu yang lalu. Dan ternyata pula terdengar Sidanti berkata, “Kali ini aku tidak mau dihalang-halangi. Siapa pun yang mencoba mencegahnya, orang itulah yang akan menjadi lawanku. Sekarang atau kapan pun”
Lapangan itu benar-benar dicengkam oleh ketegangan. Tak seorang pun yang berani berkata sepatah katapun. Mereka melihat wajah-wajah yang kaku. Widura, Hudaya, Citra Gati, Agung Sedayu. Swandaru. Ki Demang Sangkal Putung. Sekar Mirah dan Sidanti sendiri. Bahkan wajah Sidanti itu kini benar-benar telah menjadi merah biru.
Widura yang tahu benar perasaan Agung Sedayu, menjadi semakin bingung. Kalau saja anak itu berani dan menghadapinya dengan tatag, maka ia yakin bahwa Sidanti tak akan dapat mendahuluinya. Widura itu yakin benar, bahwa anak-anak Ki Sadewa telah mewarisi keahliannya dalam berbagai senjata bidik. Tetapi hati Agung Sedayu adalah hati yang kerdil. Meskipun demikian, apabila keadaan memaksa ia harus membesarkan hati anak itu. Ia harus mencoba meyakinkah bahwa ia akan menang. Dan keputusan itu akhirnya menjadi bulat di dada Widura. Ia tidak melihat persoalan lain lagi. Namun ia hanya ingin merubah tata cara pertandingan itu. Tidak sampai mati. Dan yang harus dikenai bukanlah tempat-tempat yang berbahaya. Namun apakah Sidanti yang menjadi seolah-olah gila itu mau menerimanya dan apakah meskipun sudah diperlunak itu Agung Sedayu berani menghadapinya.
Dada Widura menjadi semakin berdebar-debar ketika ia mendengar Sidanti berteriak, “Minggir. Pertandingan akan dimulai”
Ketika semua orang menyibak, maka Agung Sedayu menjadi semakin takut. Dipandangnya wajah pamannya, dan hampir-hampir ia berteriak memanggilnya. Hampir ia kehilangan rasa malunya untuk sedikit saja mepertahankan namanya yang selama ini menjadi semakin dikagumi.
Lingkaran yang mengitari mereka yang sedang dibakar oleh ketegangan itu, semakin lama menjadi semakin luas. Sementara itu Sidanti sudah bergerak setapak maju. Namun Widura dengan wajah yang tegang kaku masih berdiri di tempatnya. Ketika ia memandang wajah Sidanti, dilihatnya wajah itu telah benar-benar menjadi sedemikian liarnya. Dalam pada itu, Widura pun menyadari, bahwa Sidanti benar-benar tak akan dapat diajak berbicara. Kehadiran gurunya agaknya berpengaruh juga kepadanya. Sebab dengan demikian ia menyangka, bahwa apa yang dikehendakinya pasti akan terpenuhi.
Tetapi Widura itu pun memperhitungkan kehadiran Kiai Gringsing. Ia tidak tahu pasti, apakah Kiai Gringsing akan dapat mengimbangi kekuatan Ki Tambak Wedi apabila diperlukan. Namun ia pernah melihat, tangan Kiai Gringsing itu mampu meluruskan kembali sepotong besi yang melengkung karena tangan Ki Tambak Wedi, sehingga untuk sementara, maka ia dapat mengabaikan kehadiran guru Sidanti. Biarlah Kiai Gringsing mengurusnya.
Ketika keadaan semakin meningkat, maka Widura tidak dapat tetap berdiam diri di tempatnya. Ia harus berbuat sesuatu. Kalau mungkin mengurungkannya. Kalau tidak, apa pun yang dapat mengurangi kemungkinan-kemungkinan yang tak diharapkan. Karena itu, maka dengan lantang ia berkata, “Bagus, pertandingan akan segera dimulai. Tetapi kita belum menentukan peraturannya”
“Aku tidak memerlukannya” teriak Sidanti. Aku sudah menetapkan peraturan itu”
“Apakah hakmu?” bertanya Widura.
“Akulah yang berkepentingan” jawab Sidanti.
“Aku yang berkuasa di sini” sahut Widura tidak kalah lantangnya, “Aku akan membuat peraturan”
“Tidak” jawab Sidanti pula, “Apa pun yang akan kau lakukan, aku tetap pada pendirianku. Aku akan membidik jantung Agung Sedayu dan membunuhnya. Meskipun Agung Sedayu tidak melawan”
Dada Widura kini telah bergetar semakin cepat. Sedemikian peningnya kepalanya, sehingga ia hampir muntah karenanya. Kini ternyata Sidanti tak dapat diajaknya berbicara. Karena itu maka ia harus berbuat sesuatu. Adalah tidak adil apabila dibiarkannya Agung Sedayu mati ketakutan.
“Apakah kau sudah tetap pada pendirianmu?” bertanya Widura kepada Sidanti.
“Jangan hiraukan aku” kemudian kepada Agung Sedayu ia berkata, “Aku akan berdiri di belakangmu beradu punggung. Aku mengharap seseorang menghitung sampai hitungan yang kesepuluh. Nah, kemudian kau atau aku yang akan mati”
Widura telah benar-benar kehilangan kesempatan. Maka tak ada yang dapat dilakukan kecuali mencoba menyelamatkan Agung Sedayu. Karena itu dengan langkah yang panjang ia berjalan di samping Agung Sedayu. Widura itu pun berhenti sesaat. Ditatapknya wajah kemenakannya itu dengan penuh iba. Namun dari mulutnya meluncurlah kata-katanya perlahan sekali, “Matilah kau pengecut. Apa pun yang akan kau lakukan, kau pasti akan mati di lapangan ini. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan dirimu adalah melawan. Melawan. Mendahuluinya, membidik dadanya, atau kepalanya atau bahu kanannya. Kalau kau tak sampai hati untuk membunuh, maka yang dapat kau kenai adalah tangannya yang memegang busur itu. Secepatnya, sebelum panahnya menembus otakmu. Kalau kau tak mampu melakukannya, maka otakmulah yang akan dirobeknya dengan anak panahnya, dan jangan mencoba menyebut nama Ki Sadewa. Itu hanya akan menodai nama kakak iparku. Hanya mulut yang jantan sajalah yang pantas menyebut namanya”
Mendengar kata-kata pamannya, dada Agung Sedayu yang sudah gemetar menjadi semakin gemetar. Namun tiba-tiba terasa sesuatu yang aneh dikepalanya. Ia akan mati. Dan sebenarnya ia takut sekali kepada mati itu. Sedang kini, tanpa diduganya ia dihadapkan pada kekuasaan maut. Namun pamannya itu berkata, “Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan dirimu adalah melawan”
Kata-kata itu melingkar-lingkar saja di dalam benaknya. Betapa ia takut menghadapi lawannya, namun betapa ia lebih takut lagi kepada maut. Karena itu maka tiba-tiba ia dahadapkan pada dua pilihan. Mati atau melawan.
Tubuh Agung Sedayu masih bergetar. Namun tiba-tiba ia mengangkat wajahnya. dipandangnya wajah Sidanti yang menyala. Sesaat getar di dadanya menjadi bertambah cepat. Namun ketakutannya kepada maut itu telah semakin mendesaknya. Ia tidak mau mati, apalagi di tengah-tengah lapangan di hadapan beratus-ratus orang, dan di antaranya adalah Sekar Mirah.Terasa sesuatu bergolak di dadanya. Dan karena itulah maka tubuhnya menjadi semakin bergetar. Namun kini ia menemukan suatu sikap untuk menyelamatkan dirinya. Dan jalan satu-satunya adalah melawan. Tak ada jalan lain. Kalau ia masih mungkin melarikan dirinya, maka ia akan lari dan bersembunyi.
Namun ia tahu pasti, demikian ia melangkah, maka anak panah Sidanti pasti akan hinggap dipunggungnya. Karena itu Agung Sedayu tidak berani melarikan diri.
Sedayu pun terkejut ketika terdengar suara Sidanti menggelegar ditelinganya, “Ayo Sedayu. Siapkan busurmu”
Sedayu mengangkat wajahnya. dan tiba-tiba terdengar ia berkata dengan suaranya yang bergetar, “Swandaru, berilah aku anak panah”
Semua yang mendengar kata-kata itu terkejut. Dan ketegangan pun menjadi semakin memuncak. Mereka segera akan menyaksikan suatu perang tanding antara dua anak muda yang mereka angap memiliki kekuatan-kekuatan diluar kekuatan kebanyakan orang, sehingga dengan demikian maka perang tanding ini pasti akan menjadi sangat dahsyatnya.
Widura pun terkejut mendengar jawaban Sedayu. Namun tiba-tiba dadanya pun bergelora. Ia menjadi terharu melihat Agung Sedayu berusaha untuk mempertahankan hidupnya.
Tetapi Sidanti tidak menjadi reda karenanya. Seperti orang gila ia berteriak-teriak, “Jangan halangi aku. Siapa yang menghalangi aku itulah lawanku. Aku bunuh ia tanpa sebab”
Widura mengangkat wajahnya memandang wajah Sidanti yang telah benar-benar menjadi buas. Sekali lagi ia ingin mencoba melunakkannya.
Dengan hati-hati Widura melangkah maju sambil berkata, “Sidanti, sadarilah keadaanmu. Keadaan kita bersama di Sangkal Putung ini. Jangan memandang keadaan dalam suatu lingkungan yang sempit. Tetapi pandanglah seluruh persoalan yang kita hadapi”
Namun agaknya kata-kata Widura itu sia-sia saja. Sidanti telah menjadi seakan-akan wuru. Yang ada di dalam benaknya hanyalah kekerasan, perkelahian, dan membunun atau dibunuh. Karena itu ia menjawab, “Jangan halangi aku”
Untara pun melihat, bahwa sama sekali tak ada kemungkinan untuk dapat mengekang Sidanti. Karena itu maka ia akan berusaha untuk menyingkirkan adiknya. Apabila Agung Sedayu dapat dijauhkannya, dan perkelahian iu dapat ditunda, maka nanti apabila kepala Sidanti telah bertambah dingin, segala sesuatu akan dapat diselesaikannya dengan baik.
Karena itu, betapa kecewanya Agung Sedayu, namun ia tidak dapat berbuat apa pun ketika kakaknya menarik tangannya dan membawanya meninggalkan tempat itu.
Tetapi sebelum Agung Sedayu dan Untara berhasil menerobos lingkaran yang pepat itu terdengar Sidanti berteriak, “Jangan pergi pengecut. Tak ada gunanya. Aku akan mengejarmu sampai ke ujung bukit Merapi itu sekalipun”
Namun Untara tak menghiraukannya. Didorongnya adiknya dan disibakkannya orang-orang yang mengerumuninya. Meskipun demikian Sidanti yang gila itu meloncat maju sambil berteriak lebih keras lagi, “Berhenti pengecut”
Widura lah yang kemudian kehabisan kesabaran. Ia sudah menjadi sedemikian bingungnya mencegah perkelahian itu. Karena itu, tiba-tiba ia pun berteriak nyaring, “Sidanti, berhenti di tempatmu. Aku adalah pimpinan laskar Pajang di Sangkal Putung. Aku mempunyai wewenang untuk melakukan segala kebijaksanaan di sini. Aku perintahkan kau tetap di tempatmu”
Kata-kata itu menggelegar ditelinga Sidanti. Dengan cepatnya ia memutar tubuhnya menghadapi Widura. namun Widura benar-benar telah siap. Dan bahkan tiba-tiba Sidanti itu pun melihat Hudaya, Citra Gati, Sendawa dan bahkan Swandaru meloncat maju. Tanpa berjanji mereka seakan-akan telah mengepung Sidanti yang hampir menjadi gila itu.
Sidanti menggeram. Matanya yang buas menjadi semakin buas. Ditatapnya orang-orang yang berdiri di sekitarnya seolah-olah hendak ditelannya bulat-bulat. Dengan kemarahan yang seakan-akan hendak meledakkan dadanya Sidanti berteriak, “ayo, ayo. Majulah bersama-sama. Inilah Sidanti, murid Ki Tambak Wedi”
Widura menatap wajah Sidanti yang menyala itu dengan mata menyala pula. tiba-tiba saja ia berkata, “Sidanti, apakah kau sedang menunggu bantuan gurumu? Jangan kau harapkan itu, sebab di sini hadir pula orang yang dahulu pernah mencegah gurumu membunuh aku itu. Kau lihat cemeti kuda yang terjatuh di samping tanda yang dilemparkan gurumu itu?”
Kata-kata itu terasa berdentangan di dada Sidanti. Namun tidak hanya Sidanti yang terkejut karenanya. Semua orang menjadi terkejut pula. ternyata lingkaran besi dan cemeti kuda itu adalah permulaan dari pertentangan-pertentangan yang akan menjadi semakin memuncak dari dua orang sakti yang tak mereka ketahui dan belum pernah mereka lihat pula orangnya.
Sesaat Sidanti berdiam diri. Memang ia mengharap gurunya akan membantunya, melawan kelinci-kelinci yang tak berarti itu di hadapan Ki Tambak Wedi. Tetapi kemudian disadarinya, bahwa ternyata di lapangan itu hadir pula, orang lain yang pernah mencegah langkah gurunya di tegalan kemarin malam. Karena itu maka Sidanti itu berbimbang untuk sesaat. Tetapi kemarahannya telah benar-benar menguasai otaknya. Sehingga Betapapun yang akan dihadapinya, namun ia sama sekali tidak dapat memperhitungkannya.
Dengan demikian, maka Sidanti itu sama sekali tidak menjadi surut. Bahkan dengan lantangnya ia menjawab, “Apakah kau sangka Sidanti hanya dapat menggantungkan dirinya kepada orang lain? Ki Tambak Wedi telah menempa Sidanti untuk menjadi seorang laki-laki jantan. Ayo. Siapakah yang pertama-tama. Agung Sedayu atau kakaknya yang bernama Untara itu.”
Untara mencoba untuk tidak menghiraukannya. Tetapi Agung Sedayu tiba-tiba berhenti di tempatnya. Tiba-tiba ia merasa, bahwa sebenarnya ia tidak mau pula dihinakan. Apalagi setelah ia menemukan penilaian yang wajar atas dirinya, justru setelah sebatang anak panah menyobek pundaknya.
“Menyingkirlah Sedayu” desah Untara.
“Ia menghinaku kakang.” Jawab Sedayu.
Tetapi Untara berbisik, “Sidanti adalah seorang anak muda yang tangguh. Sedangkan kau, agaknya baru saja menyadari kelaki-lakianmu. Kau tidak akan dapat melawannya.”
Tetapi ledakan-ledakan yang dasyat di dada Agung Sedayu itu pun telah membakar hatinya pula. Karena itu ia menjawab, “berilah aku kesempatan.”
Untara menjadi jengkel karenanya. Maka dibentaknya adiknya, “Pergi. Biar paman Widura mengurus Sidanti”
Tiba-tiba Untara terkejut ketika ia mendengar Sidanti berteriak, “Untara. Jangan kau sembunyikan adikmu. Atau kau sendiri yang hendak bersembunyi?”
Terasa sesuatu berdesir di dalam dada Untara. Ia dapat mencegah orang lain untuk tidak menghiraukan maki dan cerca, namun ketika kata-kata itu ditujukan kepada dirinya, terasa dadanya itu bergetar. Meskipun demikian, Untara itu tidak berpaling. Yang didengarnya kemudian adalah suara pamannya, Widura, “Sidanti, kalau kau tetap dalam pendirianmu, maka perintah untuk menangkapmu segera akan aku jatuhkan”
Ternyata Sidanti benar-benar telah kehilangan segenap pertimbangannya. Ia seolah-olah tidak mendengar kata-kata Widura. bahkan kemudian ia berkata kepada Untara, “Untara, kalau kau sembunyikan adikmu maka kaulah lawanku”
Kini Untara terpaksa berhenti. Terasa dadanya bergetar semakin cepat. Namun ketika dilihatnyan luka di pundak Sedayu, Untara menarik nafas. Sedayu, Betapapun tinggi ilmunya, namun ia sama sekali belum berpengalaman dalam satu perkelahian yang benar-benar menentukan hidup dan mati. Apalagi kini pundaknya itu telah terluka, dan darah mengalir dari luka itu. Karena itu maka kekuatannya pun pasti berkurang.
Untara terkejut ketika Agung Sedayu mendesaknya, “Kakang, apakah kakang akan membiarkan Sidanti menghina kita?”
“Jangan Sedayu” sahut Untara, “Sadarilah keadaanmu. Pundakmu telah terluka. Mungkin pundak itu tidak terganggu pada saat kau menarik busur, tetapi dalam pertempuran jarak dekat, maka luka itu akan sangat berpengaruh”
Agung Sedayu meraba lukanya. Terasa luka itu memang pedih. Tetapi serasa sama sekali tidak berpengaruh baginya. Namun Untara itu pun dapat memperitungkannya dengan tepat, maka sambungnya, “Kalau kau bergerak, maka darah akan semakin banyak mengalir dari luka itu. Kau akan menjadi lemas, dan lehermu akan dipilin sampat patah oleh iblis itu”
Tetapi seperti bendungan yang baru saja pecah oleh banjir, maka Agung Sedayu benar-benar sedang mencari saluran untuk menumpahkan ledakan-ledakan yang terjadi di dadanya. Namun ia tidak berani melawan kehendak kakaknya. Karena itu hanya dadanya sajalah yang bergelora.
Sementara itu terdengar Sidanti berkata pula, “Untara. Jangan kau sembunyikan anak itu. Atau kau sendiri terpaksa aku bunuh di lapangan ini”
Sekali lagi dada Untara bergetar. Ketika ia berpaling, ia melihat Widura mengangkat tangannya. Hampir saja Widura menjatuhkan perintah untuk menangkap Sidanti. Tetapi segera Untara mencegahnya, “Jangan paman”
Widura tertegun. Tangannya itu pun terkulai kembali. Dengan tegangnya ia memandang wajah Untara. Tetapi untara itu kemudian berkata, “Paman, biarlah Agung Sedayu aku bawa kembali kekademangan. Aku harap Sidanti dapat menenangkan hatinya sehingga kemudian ia mendapat pertimbangan-pertimbangan yang wajar”
Tetapi kata-kata Untara itu justru semakin menyakitkan telinga Sidanti. Hatinya yang marah itu menjadi semakin parah. Dengan serta-merta ia melontarkan dirinya, langsung menyerang Untara yang sekali lagi tidak bersiaga.
Tetapi Untara bukanlah anak-anak yang menangis melihat barongan-ndadi. Ketika ia melihat Sidanti itu dengan satu loncatan panjang menyerangnya, segera ia menarik satu kakinya ke samping dan dengan merendahkan dirinya, Untara berhasil menghindari tangan Sidanti yang menyambar kepalanya.
Agung Sedayu yang berdiri di muka Untara pun terpaksa menghindar pula. tidak kalah tangkasnya, ia pun meloncat surut.
Sementara itu terdengar Widura berteriak nyaring, “Sidanti. Apakah kau telah benar-benar menjadi gila. Hai Citra Gati, bersiaplah”
Citra Gati pun segera meloncat maju diikuti oleh beberapa orang yang lain. Tetapi segera Untara berteriak pula, “Jangan maju bersama-sama”
“Aku berhak menangkapnya” sahut Widura.
“Jangan” berkata Untara.
“Aku adalah senapati Pajang di Sangkal Putung” desak Widura.
“Aku adalah pemegang kuasa dari panglima Wiratamtama, Ki Gede Pemanahan untuk daerah di sekitar gunung Merapi. Mengamati dan mengamankan segala kebijaksanaan panglima, termasuk daerah Sangkal Putung” potong Untara.
“Oh” Widura itu pun terdiam. Kini benar-benar disadarinya akan kedudukan kemenakannya itu. Karena itu, maka kemudian dibiarkannya kemenakannya itu membuat kebijaksanaan sendiri.
Sidanti pun mendengar kata-kata Untara itu. Sesaat kata-kata itu berpengaruh juga di dalam benaknya. Namun sesaat kemudian ia sudah tidak memperdulikannya lagi. Pertimbangan-pertimbangannya sudah tidak dapat mempengaruhi kemarahannya. Di hadapan sekian banyak orang, Sidanti yang merasa dirinya pahlawan yang tak terkalahkan itu, harus menunjukkan bahwa sebenarnyalah ia tak dapat dikalahkan. Karena itu, bahkan Sidanti itu berkata, “Apa yang akan kau lakukan Untara, pemegang kuasa penglima Wiratamtama untuk daerah ini?”
“Sidanti” berkata Untara. “Atas nama kekuasaan yang ada padaku, jangan berbuat hal-hal yang dapat merugikan nama baik Wiratamtama”
“Ini adalah kesempatan bagiku” berkata Sidanti, “Seharusnya akulah yang memegang jabatan itu. Sebenarnya Sidanti lebih tangguh daripada Untara”
“Jangan mengigau Sidanti” potong Untara. Betapapun ia mencoba menyabarkan dirinya, namun darahnya pun adalah darah seorang prajurit muda. Ketika ia melihat Agung Sedayu melangkah maju, didorongnya adiknya itu ke samping sambil berkata pula, “Sadari kedudukanmu. Atau aku harus menempuh kebijaksanaan lain seperti paman Widura”
“Terserah padamu Untara” sahut Sidanti, “Tetapi aku ingin menantangmu kini. Apakah kau benar-benar berhak memakai pangkatmu itu. Atau ternyata akulah yang sebenarnya berhak”
Untara menggigit bibirnya. Sidanti benar-benar keras kepala. Pengaruh kehadiran gurunyalah yang telah memaksanya untuk berbuat gila itu.
Sementara itu, matahari telah temggelam dibawah garis cakrawala. Lapangan itu pun menjadi semakin lama menjadi semakin gelap. Hanya bintang-bintang di langit sajalah yang kemudian gemerlapan, seolah-olah ikut serta berdesak-desakan menyaksikan apa yang akan terjadi di lapangan itu.
Untara masih berdiri sambil menggigit bibirnya. Getar di dalam dadanya terasa menjadi semakin bergelora. Kalau ia bertindak atas nama jabatannya, serta mengerahkan anak buah Widura untuk menangkap Sidanti, maka dendam yang membakar hati anak muda itu masih akan menyala untuk selama-lamanya. Sidanti akan mungkin sekali kelak mencari kesempatan untuk membalas dendam terhadap orang-orang Widura itu satu per satu. Dengan demikian maka keadaan Sangkal Putung akan menjadi bertambah sulit.
Namun tiba-tiba Untara itu pun melangkah maju. Dengan lantang ia berkata, “Aku terima tantangan Sidanti”
“Untara” terdengar Widura memotong kata-kata kemenakannya.
“Paman” sahut Untara. “Persoalan ini biarlah aku jadikan persoalan antara aku dan Sidanti. Persoalan perseorangan yang sama sekali tidak menyangkut kedudukan kami masing-masing. Persoalan perseorangan yang akan kami selesaikan secara perseorangan pula. Bukankah begitu Sidanti?”
Sidanti benar-benar sudah tidak dapat membedakan antara persoalan perseorangan dan peroalannya dalam ikatan kelaskaran. Tiba-tiba saja ia berteriak menjawab, “Ya. Aku tidak perduli persoalan apa pun yang kau pilih. Namun biarlah kita bertakar darah, melihat siapa yang lebih keras tulangnya dan siapakah yang lebih liat kulitnya”
Widura sudah tidak mungkin lagi untuk mencegah perkelahian itu. Kini Sidanti dan Untara telah maju dan orang-orang di sekitarnya dengan sendirinya, berdesakan mundur. Meskipun lapangan itu menjadi semakin gelap, dan sebagian dari mereka sudah tidak dapat lagi melihat apa yang terjadi di tengah-tengah lingkaran manusia itu, namun mereka masih belum mau meninggalkan lapangan itu. Mereka masih hendak menunggu, apakah yang terjadi dengan Untara dan Sidanti.
Ternyata Sidanti benar-benar tak dapat mengekang dirinya. Dengan penuh nafsu ia meloncat menghadapi Untara. Sedang Untara itu pun segera bersiaga pula. Untara itu pun sadar sesadar-sadarnya bahwa lawannya kali ini adalah murid Ki Tambak Wedi. seorang sakti yang namanya telah dikenal oleh setiap orang hampir dari segala penjuru.
Sidanti itu ternyata tak mau banyak bicara lagi. Dengan suatu peringatan pendek ia menggeram, “Untara, aku mulai”
Sebelum Untara sempat menjawab, Sidanti telah meloncat menyerangnya. Sebuah pukulan mendatar mengarah kepelipis lawannya. Namun Untara telah bersiaga sepenuhnya. Betapapun cepatnya gerak Sidanti, namun Untara masih sempat dengan tangkasnya menghindari. Dengan satu gerakan yang cepat, Untara menundukkan kepalanya. Tetapi ia tidak membiarkan tangan Sidanti yang masih terjulur itu. Dengan cepatnya disambarnya tangan itu dengan sebuah ketukan dipergelangan. Tetapi Sidanti cukup cekatan pula. dengan kecepatan yang sama Sidanti berhasil menarik tangannya dan membebaskannya dari ketukan tangan Untara.
Untara menarik nafas dalam-dalam melihat kecepatan Sidanti. Nama Ki Tambak Wedi benar-benar bukan sekedar cerita yang berlebih-lebihan. Kini ternyata Untara mengalami sendiri, betapa cekatannya murid Ki Tambak Wedi.
Ternyata pula, sesaat kemudian Sidanti telah mulai menyerangnya kembali. Dengan garangnya Sidanti melontarkan sebuah serangan dengan kakinya ke arah lambung lawannya. Namun sekali lagi Untara berhasil menarik satu kakinya, dan dengan memiringkan tubuhnya ia telah terhindar dari serangan Sidanti. Tetapi Sidanti tidak mau membiarkan lawannya, dengan sebuah putaran pada satu kakinya, Sidanti melepaskan serangan kaki berganda. Demikian cepatnya, sehingga Untara terpaksa meloncat selangkah mundur.
Ketika Sidanti akan mencoba mengejarnya dengan serangan pula, maka Untaralah yang kini mendahului lawannya. Dengan tangkasnya ia melontar menyambar dada Sidanti yang masih mencoba menyergapnya. Sidanti terkejut melihat serang yang tiba-tiba itu. Dengan cepat ia merendahkan dirinya dan bahkan kemudian ketika tangan Untara yang lain menyambar kepalanya, Sidanti terpaksa melontar ke samping.
Demikianlah maka mereka sesaat kemudian tenggelam dalam satu pertempuran yang sengit. Sidanti yang tangkas dan lincah melawan Untara yang tangguh-tanggon. Betapa ilmu Ki Tambak Wedi terpaksa berbenturan dengan ilmu dari Jati Anom,
Widura, Ki Demang Sangkal Putung, Hudaya, Citra Gati, Swandaru dan bahkan Agung Sedayu yang berdiri di sekitar arena itu, melihat perkelahian itu dengan wajah yang tegang. Mereka mengenal Sidanti sebagai seorang anak muda yang telah berhasil mempertahankan diri, meskipun tidak sepenuhnya, terhadap serangan-serangan Tohpati. Karena itu, maka mereka menjadi berdebar-debar. Seandainya Untara tak berhasil mempertahankan dirinya, maka Sidanti yang gila itu pasti dapat berbuat hal-hal diluar kemungkinan yang wajar. Namun sebenarnya Widura tidak menjadi cemas atas nasib Untara. Ia ahu betul bahwa kemenakannya yang besar itu, setidak-tidaknya pasti akan dapat menyamai Sidanti. Tetapi apakah selama ini lukanya telah benar-benar sembuh, sehingga segenap kekuatannya telah pulih kembali. Namun melihat kecepatannya bergerak Widura menduga untara telah mencapai keadaan dan kemantapan ilmu seperti sediakala. Sehingga dengan demikian, maka perkelahian itu pasti akan berlangsung dahsyat sekali.
Sebenarnyalah pertempuran itu semakin lama menjadi semakin seru. Sidanti yang dengan penuh nafsu bertempur itu, segera mengerahkan segenap kemampuannya. Semakin cepat ia dapat menjatuhkan lawannya, semakin tinggi pula nilai dirinya. Bahkan apabila kelak Agung Sedayu tidak puas melihat kekalahan kakaknya, biarlah ia sendiri mencobanya.
Karena itulah maka serangan-serangan Sidanti menjadi semakin seru seperti angin ribut yang menghantam pepohonan. Berputar-putar dengan dahsyatnya. Namun Untara itu pun tangguh setangguh batu karang pantai. Tegak dengan kokohnya, seakan-akan berakar menghunjam bumi. Tetapi apabila serangannya melanda lawannya, beruntun seperti batu-batu yang berguguran di lereng Merapi.
Dengan demikian maka pertempuran di lapangan di muka banjar desa itu semakin lama menjadi semakin seru. Keduanya adalah anak-anak muda yang sedang berkembang. Mereka meiliki bekal ilmu yang tak dimiliki oleh kebanyakan orang. Maka perkelahian di antara mereka benar-benar menjadi sedemikian sengitnya seperti petir yang sedang bersabung di udara. Sambar menyambar dalam kecepatan yang hampir tak dapat diikuti oleh mata.
Sehingga karena itu, maka mereka berdua kemudian, seakan-akan telah berubah menjadi bayangan-bayangan yang terbang berputaran, bahkan kemudian mereka seakan-akan telah berubah menjadi gumpalan asap hitam dimalam yang gelap.
Tetapi semakin lama menjadi semakin terang bagi Untara. Selah ia bertempur dengan segenap tenaga pada taraf permulaan, akhirnya berhasil menemukan dan mengetahui letak kekuatan dan kelemahan lawannya. Meskipun Sidanti pun mampu pula mengamati kelemahan lawannya, namun ternyata Untara menang seulas dari Sidanti. Untara, yang memegang kekuasaan dari Panglima Wiratamtama di daerah itu, ternyata bukan seorang yang hanya mempunyai nama mengagumkan. Tetapi Untara benar-benar seorang yang dapat dipercaya. Lahir dan batinnya. Dengan demikian, maka kemudian Untara dapat menempatkan dirinya pada keadaan yang tepat.
Tetapi justru karena ia telah dapat melihat nilai dari dirinya sendiri di hadapan lawannya itu, maka ia menjadi semakin tenang. Dengan demikian sambil bertempur ia kini sempat mencari kemungkinan-kemungkinan yang sebaik-baiknya untuk menyelesaikan persoalan yang disebutnya dengan persoalan pribadi.
Namun, ternyata Sidanti masih memeras tenaganya habis-habisan. Ia telah benar-benar waringuten. Otaknya seakan-akan telah berhenti bekerja kecuali mencari kemungkinan-kemungkinan untuk membinasakan lawannya dalam perkelahian itu. Mula-mula memang ia merasakan tekanan Untara menjadi semakin bertambah tajam. Namun kemudian tekanan-tekanan itu seolah-olah menjadi terurai kembali. Dan dalam penilaian Sidanti, keadan mereka menjadi seimbang kembali.
Sebenarnyalah, kini Untara telah menemukan suatu cara untuk menyelesaikan persengketaan ini tanpa menimbulkan dendam. Meskipun kemudian terasa olehnya, bahwa meskipun berat, namun ia akan dapat menguasai lawannya, tetapi Untara tidak mau berbuat demikian. Sebab, apabila ia menekan Sidanti, sehingga anak muda yang keras hati itu dilumpuhkan, maka dendam akan tetap membara di dadanya. Dendam itu akan dapat berbahaya bagi Sangkal Putung. Apabila dendam itu meledak pada saat kedatangan laskar Jipang, maka akibatnya akan mengerikan sekali.
Dengan demikian, terbesitlah kebijaksanaan di dalam diri Senapati muda dari Jati Anom itu. Ia kini tidak benar-benar ingin menundukkan Sidanti. Meskipun ia tetap memberi kesan, bahwa ia bertempur mati-matian, namun sebenarnya Untara kin seakan-akan tinggal melayani segala solah lawannya. Sekali-sekali ia menghindar, dan sekali-sekali ia menyerang pula. Tetapi serangannya tidak benar-benar mengarah ke tempat-tempat yang berbahaya.
Demikian cakapnya Untara membawakan dirinya, serta karena kelebihan ilmunya yang kemudian meyakinkannya, maka Sidanti selama ini masih belum tahu apa yang dilakukan oleh Untara. Itulah sebabnya ia masih berjuang sekuat-kuat tenaganya. Dan memang demikianlah yang dikehendaki oleh Untara. Sekali-sekali ia menekan lawannya, kemudian melepaskannya dalam keadaan yang menguntungkan. Dengan demikian maka nafsu bertempur Sidanti itu menjadi melonjak-lonjak tak terkendali. Sebab sekali-sekali ia menjadi cemas, namun tiba-tiba ia melihat kesempatan terbuka. Sehingga mau tidak mau ia ingin mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya.
Tetapi bagi mereka yang tidak mengalami pertempuran itu, mempunyai kesempatan untuk menilai apa yang sebenarnya telah terjadi. Tetapi tidak semua orang dapat berbuat demikian. Yang pertama-tama melihat permainan Untara itu adalah Widura, dan kemudian Agung Sedayu. Mereka dengan dada yang berdebar-debar menanti, bagaimana akhir dari pertempuran itu. Sebab dengan permainannya maka Untara tidak akan mau melumpuhkan lawannya.
Hudaya, Citra Gati dan beberapa orang laskar Pajang pun melihat sesuatu yang aneh. Tetapi mereka tidak dapat mengerti, apakah sebabnya maka pertempuran itu kadang-kadang menjadi sangat berat sebelah, namun kemudian menjadi seimbang kembali.
Sedang orang-orang lain yang berdiri melingkari arena itu, sama sekali tidak tahu, bagaimana mereka harus menilai perkelahian itu. Bahkan ada di antara mereka yang menjadi pening, dan ada pula yang bahkan tidak melihat sesuatu karena malam yang menjadi semakin kelam.
Dalam pada itu, semakin lama, maka usaha Untara untuk mencapai penyelesaian menurut rencananya, tampaknya akan berhasil. Tenaga Sidanti yang terperas itu semakin lama menjadi semakin susut. Sedang Untara, yangmemiliki bekal serta pengalaman yang lebih banyak, masih tetap pada kesegarannya semula. Tetapi ia tidak mau menunjukkan kelebihannya itu. Ia ingin Sidanti menyelesaikan pertempuran tanpa menjadi kecewa, malu atau dendam. Untara ingin memberi kesan, bahwa perkelahian itu akan berhenti dengan sendirinya tanpa ada yang kalah tanpa ada yang menang.
Meskipun hati kecilnya, kadang-kadang ingin juga menunjukkan kelebihannya, sebagai seorang yang mendapat kekuasaan yang luas, namun ia berpikir lebih jauh dari harga diri itu. Ia melihat Sangkal Putung tidak saja malam ini. Tetapi besok, lusa, beberapa hari dan minggu yang akan datang, bahkan Sangkal Putung untuk masa yang tak terbatas dalam lingkungan pemerintahan Pajang.
Dan ternyata pula kemudian, tandang Sidanti itu pun menjadi semakin susut. Kegarangannya lambat laun menjadi berkurang dan lincahannya pun menjadi surut pula. demikian pula yang dilakukan oleh Untara. Meskipun darahnya masih sesegar pada saat ia datang, namun dikurangi segala ketangkasan dan ketangguhannya.
Tetapi, dalam pada itu, selain Widura dan Agung Sedayu, di antara penonton itu, seseorang memandangi perkelahian itu dengan nafas tertahan-tahan. Betapa matanya menyalakan kemarahan yang tiada taranya, dan betapa hatinya mengumpat tak habis-habisnya.
Orang itu melihat peristiwa di lapangan sejak permulaan sampai saat-saat terakhir. Namun selalu saja ia menjadi kecewa dan marah. Apalagi sejak kehadiran Untara, maka berkali-kali ia menggeretakkan giginya. Tetapi ia masih saja selalu menahan dirinya.
Kini ia melihat permainan yang dilakukan oleh Untara itu. Betapa ia pun menjadi tersinggung karenanya. Ia melihat kesempatan-kesempatan untuk melumpuhkan Sidanti, namun kesempatan itu tak dipergunakan oleh Untara. Tetapi sudah tentu Sidanti sendiri tidak dapat melihat keadaan itu. Sidanti sendiri sedang memusatkan perhatiannya dalam perlawanannya, sehingga kempatan dan jarak yang diperlukan tidak dimilikinya.
Orang itu adalah Ki Tambak Wedi.
Dengan menghentak-hentakkan kakinya, ia menahan segenap perasaan yang bergelora di dalam dadanya. Ia melihat betapa Agung Sedayu berhasil melampaui muridnya itu dalam perlombaan memanah. Namun di dalam hati kecilnya ia bergumam, “Benar-benar anak setan. Kecakapan Sadewa bermain panah tercermin pada anak itu”
Sedang kini anak Ki Sadewa yang besar, Untara, sedang bertempur pula melawan muridnya. Dan ternyata anak Sadewa itu tak dapat dikalahkannya. Bahkan anak Sadewa itu telah memberi beberapa peluang kepada Sidanti. Bukankah itu suatu penghinaan bagi perguruan Tambak Wedi.
Dengan nafas yang tertahan-tahan, ia melihat Sidanti masih bertempur mati-matian. Namun ia melihat juga bahwa sebenarnya Untara dengan segera dapat menghancurkan pertahanan Sidanti.
“Hem” geramnya.
Ki Tambak Wedi itu kemudian memandang berkeliling di antara orang-orang yang melihat perkelahian itu. Dadanya tiba-tiba menjadi berdebar-debar. Ia telah mencoba memaksa Widura untuk memenuhi tuntutan muridnya dan menakut-nekutinya dengan tanda-tanda yang diberikannya. Tetapi Ki Tambak Wedi itu akhirnya mengumpat habis-habisan di dalam hatinya, ketika ia melihat sebuah cemeti yang melenting jatuh di tengah-tengah arena itu pula. Meskipun ia belum tahu, betapa tinggi nilai orang itu, namun itu adalah suatu pertanda bahwa seseorang telah bersedia untuk ikut serta melibatkan diri dalam pertentangan melawannya, apabila ia ikut campur dalam persoalan anak-anak muda di Sangkal Putung itu. Tetapi sampai demikian jauh, Ki Tambak Wedi belum mengetahui, siapakah orangnya yang telah berani meletakkan diri untuk melawan Ki Tambak Wedi, yang berilmu hampir sempurna itu.
Tetapi kini, ia melihat Sidanti berada dalam kesulitan. Karena itu, maka apakah ia akan berdiam diri saja, membiarkan Sidanti menjadi bahan permainan Untara? Tiba-tiba Ki Tambak Wedi itu mendesak maju. Menyusup di antara para penonton dan kemudian berusaha untuk dapat melihat setiap peristiwa dengan semakin jelas.
Pertempuran diarena itu masih saja berlangsung dengan serunya, meskipun semakin lama sudah menjadi semakin kendor. Namun serangan-serangan Sidanti masih cukup berbahaya apabila Untara sedikit kurang berwaspada. Sedangkan Untara sendiri dengan sengaja telah mengurangi tekanan-tekanannya atas Sidanti, sehingga kemudian Sidanti benar-benar mendapat kesan seperti yang diharapkan oleh Untara. Sidanti menganggap kemudian, bahwa perkelahian itu tidak akan dapat berakhir. Kedua-duanya pasti akan berhenti kelelahan. Meskipun Sidanti itu mengumpat-umpat di dalam hatinya, namun hal yang demikian itu pasti akan lebih baik daripada apabila dirinya dilumpuhkan. Dengan keadaannya itu, maka Sidanti masih akan dapat menepuk dada, bahwa Sidanti tidak dapat dikalahkan oleh seeorang yang sekalipun mendapat kepercayaan dari pimpinan tertinggi Wiratamtama.
Maka Sidanti itu pun teringat pula akan perkelahiannya dengan Widura. mereka akhirnya terpaksa menghentikan perkelahian setelah mereka hampir-hampir tak mampu lagi berdiri. Kini peristiwa itu akan terulang kembali.
Dan sebenarnyalah hal itu berlaku baginya.
Ketika malam menjadi semakin dalam, maka tenaga Sidanti itu seakan-akan benar-benar telah habis terperas. Setiap kali, ia sendiri terdorong oleh kekuatan serangan-serangannya yang tak mengenai sasarannya. Beberapa kali ia terjatuh dan bangun kembali. Sedang Untara pun berbuat hal-hal serupa. Kadang-kadang mereka berdua terpaksa jatuh bersama-sama dan kemudian dengan susah payah bangun bersama-sama pula. sedemikian sering hal-hal yang serupa terjadi, sehingga akhirnya Widura dan Agung Sedayu menjadi ragu-ragu, apakah Untara itu sebenarnya kelelahan ataukah ia masih dalam permainannya yang baik. Tetapi yang mereka lihat kemudian, kedua-duanya itu pun menjadi jatuh bangun berkali-kali.
Dalam pada itu, Ki Tambak Wedi sudah tidak sabar lagi melihat peristiwa itu. Ia akan berbuat sesuatu sebelum Sidanti benar-benar menjadi lemas. Ia ingin menunjukkan kepada Widura dan Untara, bahwa kemauannya tak boleh diabaikan. Ia akan tetap pada pendiriannya, sepasar sejak malam kemarin. Widura harus sudah merubah sikapnya terhadap Sidanti. Meskipun rencana itu kemudian pasti akan terpengaruh oleh kehadiran Untara, namun Untara itu sendiri pun harus dapat ditundukkannya pula seperi Widura. Tetapi Ki Tambak Wedi itu pun sadar, bahwa agaknya pendirian Widura sukar untuk dapat ditundukkan. Ia telah bertekad untuk memeluk kewajibannya dengan sebaik-baiknya. Apalagi kini Untara ada di antara mereka, sehingga dengan demikian pekerjaannya akan menjadi semakin sulit.
“Aku akan hadir di antara mereka” pikir Ki Tambak Wedi, “Dan aku akan memberikan beberapa pertunjukan, supaya Untara itu pun meyakini keadaannya, serta keadaan Sangkal Putung. Sedang apabila orang yang melontarkan cemetinya itu benar-benar ingin membuat perhitungan dengan Tambak Wedi, maka kesempatan ini pun akan aku terima pula”
Setelah mendapat ketetapan itu, maka Ki Tambak Wedi itu pun beringsut semakin maju lagi. Sekali lagi matanya beredar berkeliling untuk melihat segala kemungkinan yang ada di sekitar tempat itu.
Ketika kemudian dipandanginya arena di antara lingkaran orang yang pepat, Ki Tambak Wedi masih melihat muridnya berjuang sekuat tenaganya. Namun sekali lagi ia melihat, Sidanti menyerang Untara dengan kakinya. Tetapi serangan itu dapat dihindari oleh lawannya, sehingga karena tubuhnya sudah sedemikian lemahnya Sidanti terbawa oleh kekuatannya sendiri, terhuyung-huyung hanya beberapa langkah di samping Untara. Kalau pada saat itu Untara meloncat ke sampingnya dan menghantam tengkuknya, maka pertempuran itu pun akan berakhir. Tetapi Untara tidak berbuat demikian. Dibiarkannya Sidanti menemukan keseimbangannya kembali. Kemudian baru ia melangkah maju dan mengayunkan tangannya menyerang dada lawannya dengan gerak yang amat lamban. Sudah tentu Sidanti telah sempat menarik dirinya mundur, sehingga serangan Untara itu tidak mengenainya. Bahkan Sidanti itu masih sempat dengan tangan kanannya menghantam pergelangan tangan Untara, meskipun Untara masih cukup cepat menghindarinya.
Tetapi bagi Ki Tambak Wedi, perbuatan Untara itu adalah suatu penghinaan bagi harga dirinya. Ki Tambak Wedi mengumpat tak habis-habisnya atas kekalahan muridnya berturut-turut. Karena itu maka tak ada jalan lain daripada dengan tenaganya, memaksa Untara dan Widura mengakui kelebihan Sidanti dari mereka untuk beberapa persoalan, sehingga kesempatan-kesempatan Sidanti akan menjadi lebih besar lagi dalam lingkungan Wiratamtama.
Itulah sebabnya, maka tekadnya menjadi bulat. Ia harus menampakkan dirinya.
Tetapi ketika sekali lagi ia mendesak maju, didengarnya seseorang mendehem di sampingnya. Mula-mula Ki Tambak Wedi sama sekali tidak menaruh perhatian kepada orang lain, namun setiap ia menyusup, maka orang itu pun selalu berada di sampingnya, dan bahkan selalu saja mendehem tak habis-habisnya.
Ki Tambak Wedi itu pun kemudian berpaling. Dilihatnya di sampingnya seseorang yang sebaya dengan umurnya tersenyum kepadanya.
Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Meskipun malam menjadi semakin gelap. Namun matanya yang tajam dapat melihat beberapa bagian dari wajah orang yang berdiri sambil tersenyum di sampingnya itu.
Namun orang itu sama sekali tak menarik perhatian Ki Tambak Wedi, sehingga ia sama sekali tak mempedulikannya. Tetapi ketika ia melangkah kembali, maka sekali lagi orang itu mengikutinya, bahkan kemudian mendesaknya.
Kini Ki Tambak Wedi tidak dapat mengabaikannya lagi. Orang ini pasti bukan tidak punya maksud dengan perbuatan-perbuatannya itu. Karena itu sebagai seorang yang telah masak, maka segera pikirannya hinggap pada seseorang yang telah melemparkan cemeti kuda ketengah-tengah arena. Dan Ki Tambak Wedi pun tak mau bertanya melingkar-lingkar. Langsung ia bertanya kepada orang di sampingnya itu perlahan-lahan, “Kaukah yang memiliki cemeti kuda itu tadi?”
Ternyata orang yang berdiri di samping Ki Tambak Wedi itu pun tidak mau berputar-putar pula. maka jawabnya lirih, “Ya, aku”
“Hem” Ki Tambak Wedi menggeram. “Apa maumu?”
“Tidak apa-apa” jawab orang itu. “Aku juga ingin menonton seperti kau”
“Hanya menonton?” desak Ki Tambak Wedi.
“Ya” jawab orang itu, “Selama kau juga hanya menonton”
Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Kini ia telah berhadapan dengan orang yang selama ini menimbulkan bermacam-macam teka-teki padanya. Pasti orang ini pulalah yang kemarin malam telah menggagalkan maksudnya membunuh Widura dengan bunyi cambuk yang menghentak-hentak. Karena itu maka katanya perlahan-lahan pula, “He, kaukah yang kemarin malam bermain-main dengan cambuk?”
“Ya” jawab orang itu pendek.
Sekali lagi Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Siapakah kau?”
Orang itu tertawa. Sesaat ia berdiam diri, sedang orang-orang di samping mereka, yang sedang terpukau oleh perkelahian di tengah-tengah arena itu, agaknya sama sekali tak memperhatikan percakapan itu.
Baru sesaat kemudian orang itu menjawab, “Gringsing. Namaku Kiai Gringsing”
“Hem” kembali Ki Tambak Wedi menggeram. Nama yang dapat disebutkan oleh setiap mulut, juga setiap mulut dapat menyebut nama sekehendak hatinya. Ki Tambak Wedi itu pun segera maklum, bahwa kl itu pasti nama yang dibuatnya untuk tujuan-tujuan tertentu. Karena itu sahutnya, “Ternyata kau lebih beruntung daripadaku”
“Kenapa?” bertanya orang itu.
“Kau telah menabung satu kemenangan. Kau mengenal aku, tetapi aku tidak mengenalmu” jawab Ki Tambak Wedi.
“Aku sudah memperkenalkan diri” berkata orang itu.
“Hem. Aku bukan anak-anak” potong Ki Tambak Wedi.
Kemudian untuk sesaat mereka pun berdiam diri. Pertempuran antara Sidanti dan Untara menjadi semakin lambat. Masing-masing hampir tak dapat lagi menguasai dirinhya. Ayunan-ayunan tangan mereka adalah tenaga yang akan membawa mereka sendiri dalam satu tarikan yang kadang-kadang tak dapat mereka cegah, menjerumuskan mereka sehingga terguling di tanah. Tetapi mata-mata yang tajam akan meragukan keadaan Untara. Betapapun ia mencoba berbuat sebaik-baiknya namun kadang-kadang kelincahannya masih tampak juga. Tetapi sedemikian jauh, Sidanti dan orang-orang yang berdiri di sekitarnya pada umumnya tak dapat mengertinya. Bahkan di dalam hati mereka, mereka berkata, “Sidanti benar-benar seorang yang tangguh. Ternyata ia mampu juga melawan orang yang bernama Untara itu. Seorang yang namanya menjadi buah bibir setiap prajurit di daerah selatan dan barat daya. Di sekitar gunung Merapi”.
Tetapi Widura berkali-kali menarik nafas dalam-dalam, sedang Agung Sedayu yang mengetahui keadaan sebenarnya itu pun menggeretakkan giginya. Namun mereka menyadari, betapa Untara telah mementingkan tugasnya daripada sekedar harga dirinya yang berlebih-lebihan.
Gigi Ki Tambak Wedi itu pun beradu pula. seakan-akan ia sedang menahan sesuatu yang bergelora di dalam dadanya. Maka ketika kemudian ia melihat Sidanti dan Untara itu jatuh bangun berganti-ganti, Ki Tambak Wedi itu pun berkata, “Aku akan masuk ke dalam arena”
Kiai Gringsing itu berpaling. Kemudian ia tersenyum kecil. Katanya, “Aku ikut. Boleh?”
“Jangan membuat persoalan dengan aku. Apakah kau guru Untara atau Widura?” bertanya Ki Tambak Wedi.
Kiai Gringsing tertawa pula. “Aneh” jawabnya, “Apakah kau benar-benar tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu. Bukankah guru anak-anak itu telah mati?”
“Hem” Ki Tambak Wedi menggeram. Katanya, “Mungkin kau meneruskan pekerjaan Sadewa?”
Kiai Gringsing menggeleng-gelengkan kepala. Sahutnya, “Kau pun tahu, bahwa unsur-unsur gerak mereka hampir-hampir murni. Kalau mereka memiliki guru lain, maka kau pasti akan mengetahui”
“Hem” sekali lagi Ki Tambak Wedi menggeram, “Persetan. Tetapi jangan ganggu aku. Apa kepentinganmu dengan anak-anak itu?”
“Tidak apa-apa. Aku bukan sanak bukan kadangnya. Tetapi sebaiknya, biarlah anak-anak itu bermain-main sesama mereka. Bukankah Untara telah berlaku bijaksana?”
“Suatu penghinaan bagi perguruan Tambak Wedi” jawab guru Sidanti itu.
“Kau terlalu perasa” berkata Kiai Gringsing, “Jangan terlalu kau manjakan muridmu itu, supaya ia dapat menemukan kebahagiaan hidup kelak”
“Jangan gurui aku. Pergi kemana kau kehendaki. Aku akan mengajar Untara itu menilai pendapat orang lain”
“Aku ikut”
“Jangan gila”
“Biarlah anak-anak bermain-main sesama mereka. Dan biarlah kami orang-orang tua membuat permainan sendiri”
Mata Ki Tambak Wedi kini benar-benar memancarkan kemarahan yang menyala di dalam dadanya. Diamatinya wajah orang yang berdiri di sampingnya itu dengan seksama. Wajah itu sama sekali belum pernah dilihatnya. Tetapi tiba-tiba Ki Tambak Wedi itu menjadi curiga. Meskipun malam menjadi semakin gelap. Namun kemudian Ki Tambak Wedi itu melihat garis-garis yang tidak wajar pada wajah itu.
“Kenapa kau coreng-coreng mukamu?” tiba-tiba ia bertanya.
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Jawabnya, “apakah kau melihat coreng moreng ini?”
“Aku tidak buta” sahut Ki Tambak Wedi.
“Kau benar-benar bermata tajam melampaui mata burung hantu” sahut Kiai Gringsing. Dan katanya kemudian, “Ya. Aku agak sakit mata. Karena itu aku menggoreskan beberapa jenis obat-obatan dahi dan pelipisku”
“Hem” kembali Ki Tambak Wedi menggeram. Betapa kemarahannya melanda-landa dadanya, namun semakin lama menjadi semakin menyadari, bahwa orang yang menamakan diri Kiai Gringsing itu bukanlah seseorang yang membanggakan diri hanya karena kemenangan-kemengangan kecil yang pernah dialaminya.
“Jadi bagaimanakah maksudmu?” bertanya Ki Tambak Wedi
“Biarkan mereka hidup dalam damai. Kalau Sidanti itu tidak terlalu bernafsu untuk hal-hal yang aneh-aneh, dan kau tak mendorong-dorongnya, maka tak akan ada persoalan di antara mereka”
“Itu adalah suatu contoh dari seorang tua yang berotak beku. Ketenangan tidak selamanya baik. Dengan ketenangan itu Sidanti selamanya akan tetap di tempatnya”
“Tetapi tingkat demi tingkat harus dicapainya dengan wajar”
“Diamlah. Jangan ganggu aku”
Ki Tambak Wedi itu kemudian melangkah setapak maju di antara beberapa orang yang berdiri di sekitarnya. Namun Kiai Gringsing itu pun melangkah maju pula.
“Aku peringatkan kau sekali lagi” desah Ki Tambak Wedi.
“Peringatan buatmu sendiri” sahut Kiai Gringsing.
Kini Ki Tambak Wedi sudah tidak dapat menahan dirinya lagi. Tetapi untuk bertempur dengan orang yang menyebut namanya Kiai Gringsing itu pun masih memerlukan berbagai pertimbangan. Sidanti telah benar-benar payah. Sedang agaknya Untara masih cukup segar untuk menundukkan apabila mau. Bahkan untuk membinasakan sekali. Kalau orang yang bernama Kiai Gringsing itu tidak dapat dikalahkannya dengan segera, maka baik Sidanti maupun dirinya sendiri pasti akan menemui kesulitan. Widura, Agung Sedayu dan orang-orang Widura yang lain masih ada dalam keadaan yang segar. Betapapun mereka seorang demi seorang tak akan berarti baginya, namun kalau mereka bergerak bersama-sama dan di antaranya orang yang bernama Kiai Gringsing ini, maka keadaannya akan sangat berbeda. Setidak-tidaknya keadaan Sidanti lah yang akan menjadi sangat berbahaya. Tidak mustahil Untara menjadi bermata gelap dan membinasakannya.
Karena itu, maka Ki Tambak Wedi itu ingin mengetahui sampai dimana kemampuan kekuatan Kiai Gringsing. Meskipun apa yang akan diketahuinya itu tidak tepat seperti keadaan sebenarnya, namun dengan caranya maka Ki Tambak Wedi akan dapat mengira-irakan sampai berapa jauh kemungkinan yang dimiliki oleh Kiai Gringsing itu.
Maka, ketika orang itu telah berdiri di sampingnya, Ki Tambak Wedi itu pun berkata sambil menepuk bahu Kiai Gringsing, “Ki sanak, apakah kau benar-benar tidak menghendaki aku ikut serta dalam permainan itu?”
Tetapi Kiai Gringsing pun bukan anak-anak yang menundukkan wajahnya apabila seseorang membelai pundaknya. Ketika Kiai Gringsing melihat tangan Ki Tambak Wedi bergerak untuk menepuk pundaknya, maka segera orang itu seakan-akan mengerutkan tubuhnya, sehingga ketika pundaknya tersentuh tangan Ki Tambak Wedi, kedua-duanya menjadi kagum akan kekuatan masing-masing. Sentuhan itu seolah-olah beradunya dua batang besi baja yang berlaga.
Ketika Ki Tambak Wedi kemudian berpaling dan memandang wajah Kiai Gringsing, dilihatnya wajah itu tersenyum. katanya, “Kau akan mematahkan pundakku. Tanganmu keras seperti batu”
“Hem” Ki Tambak Wedi menggeram. Orang ini benar-benar bukan orang yang sekedar menyombongkan diri. Ketika ia meraba pundak Kiai Gringsing, seluruh kekuatannya telah dipusatkannya di ujung jari-jarinya. Seandainya Kiai Gringsing tidak memiliki daya tahan yang seimbang, maka pundak itu pasti akan luka di dalam. Bahkan mungkin sebelah tangannya akan lumpuh. Apalagi orang kebanyakan, maka tulang-tulang bahunya pasti akan remuk.
Tetapi orang yang menyebut dirinya Kiai Gringsing itu, ternyata telah memberikan perlawanan yang wajar tanpa menggerakkan badannya selain sekedar berkerut. Agaknya Kiai Gringsing itu telah menyalurkan kekuatan daya tahannya di pundaknya. Sehingga karena itu ketukan tangan Ki Tambak Wedi tak melukainya.
Dengan demikian maka Ki Tambak Wedi benar-benar harus berpikir. Diarena, pertempuran menjadi semakin lambat. Bahkan hampir berhenti sama sekali. Sekali-sekali dilihatnya Sidanti menebarkan pandangan matanya berkeliling. Agaknya anak itu benar-benar mengharapkan kehadiran gurunya. Tetapi kini di samping Ki Tambak Wedi, berdiri seorang yang dapat mengimbangi kekuatannya.
Namun Ki Tambak Wedi agaknya belum puas dengan percobaannya. Ketukan tangannya itu belum meyakinkannya. Ia ingin sekali lagi melihat apakah ia harus mempertimbangkan orang itu benar-benar. Karena itu maka desisnya, “Ki sanak. Aku akan mengucapkan selamat atas kesentausaan ki sanak. Pundak Ki Sanak itu benar-benar sekeras baja. Aku kira aku belum pernah melihat seorang pun dari daerah Gunung Merapi ini yang kuat seperti Ki Sanak. Dan nama Kiai Gringsing pun merupakan nama baru bagiku”
Kiai Gringsing itu pun tiba-tiba tertawa, meskipun ia berusaha untuk menahannya, sehingga satu dua orang berpaling kepadanya. Tetapi karena kemudian suara tertawa itu terputus, maka orang-orang itu pun tidak memperhatikannya lagi.
Kiai Gringsing itu segera menyadai tantangan Ki Tambak Wedi. bahkan di dalam hati ia berkata, “Tantangan yang bijaksana. Kami harus bertempur tanpa seorang pun yang mengetahuinya”
“Bagaimana ki Sanak?” desak Ki Tambak Wedi.
“Terima kasih atas ucapan selamat ini” belum lagi Kiai Gringsing selesai berkata, dilihatnya Ki Tambak Wedi mengulurkan tangannya. Kiai Gringsing pun kemudian menyambut tangan itu. Dan keduanya bersalaman. Namun tak seorang pun yang mengetahui, bahwa sebenarnya mereka itu sedang bertempur. Masing-masing mengerahkan segenap kekuatan lahir dan batinnya ketelapak tangannya, yang sedang bersalaman itu. Masing-masing menekankan jari-jarinya sekuat-kuat tenaga mereka dan berusaha meremukkan tulang-tulang lawannya. Namun ternyata mereka berdua adalah orang-orang yang benar-benar sakti. Kedua tangan itu pun seakan-akan berubah menjadi gumpalan-gumpalan besi baja yang saling himpit menghimpit. Betapa mereka berjuang untuk melumatkan tangan lawannya. Tetapi mereka akhirnya harus mengakui bahwa mereka satu sama lain tak akan dapat saling mengalahkan. Meskipun demikian, keringat mengalir dari seluruh permukaan kulit mereka, melampaui keringat mereka yang sedang bertempur, namun mereka harus menyadari, bahwa kekuatan mereka berimbang.
Sedemikian kuatnya mereka memeras tenaga lahir dan batin mereka, sehingga terasa tubuh-tubuh mereka menjadi panas, dan leher mereka serasa kering. Tetapi genggaman mereka tidak juga menjadi berubah. Keseimbangan itu tetap berlangsung sehingga kemudian terdengar Ki Tambak Wedi menggeram, “Bukan main”
“Apa yang bukan main?” sahut Kiai Gringsing.
Ki Tambak Wedi tidak menjawab. dicobanya unruk menuntaskan tenaganya, namun Kiai Gringsing pun berbuat serupa. Sehingga karenanya maka keadaan itu pun tidak juga berubah.
Akhirnya Ki Tambak Wedi melihat, bahwa tidak ada gunanya pertempuran yang aneh itu diteruskan. Karena itu maka katanya, “Aku sudah menyampaikan ucapan selamat itu”
Kiai Gringsing masih belum melemahkan genggamannya. Jawabnya, “Terima kasih atas ucapan selamat yang cukup hangat ini”
Akhirnya keduanya sedikit demi sedikit mengurangi tekanan-tekanan pada telapak-telapak tangan mereka. Sehingga dengan demikian maka akhirnya tangan mereka itu pun terurai.
“Hem” Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Kemudian sambil tersenyum ia berkata, “Baru sekali ini aku menerima ucapan selamat yang sedemikian hangatnya melampaui hangatnya api neraka”
“Karena itu sebabnya maka kau berani menghalang-halangi maksudku” berkata Ki Tambak Wedi tanpa menjawab kata-kata Kiai Gringsing, “Ternyata orang yang menamakan diri Kiai Gringsing adalah orang yang mampu menyamai kekuatanku. Namun apakah ilmu kanuragan dan tata perkelahianmu dapat menyamai Ki Tambak Wedi?”
Kiai Gringsing menggeleng, “Entahlah, aku belum pernah berkelahi melawan Ki Tambak Wedi. Sebenarnyalah bahwa aku tidak senang berkelahi seperti anak-anak berebut tulang tanpa arti”
“Omong kosong” desak Ki Tambak Wedi.
Kiai Gringsing tidak menjawab. Tetapi kini ia melihat perkelahian diarena. Dan Ki Tambak Wedi pun kemudian melihat ke sana pula.
Sekali-sekali mereka masih mengayunkan serangan-serangan mereka berganti-ganti. Tetapi perkelahian itu sudah tidak merupakan perkelahian lagi. Mereka hanya sekedar berdiri berhadap-hadapan dan kadang-kadang menggerakkan tangan-tangan mereka atau kaki-kaki mereka, untuk kemudian terhuyung-huyung beberapa langkah. Kalau tangan mereka sekali-sekali beradu. Maka mereka kedua-duanya terdorong ke belakang dan jatuh bersama-sama.
Kini Untara dan Sidanti itu berdiri berhadap-hadapan. Hanya mata mereka sajalah yang masih tetap menyala. Sidanti sekali-sekali masih menggeram penuh kemarahan. Namun kemudian terdengar Untara berkata, “Sidanti, apakah hasil dari perkelahian ini?”
Terdengat gigi Sidanti gemeretak. Nyala yang memancar dari matanya itu seakan-akan ingin membakar hangus lawannya. Namun demikian ia menjawab dengan bangganya, “Untara, ternyata namamu hanya sekedar untuk menakut-nakuti lawan-lawanmu. Di sini sekarang orang dapat melihat bahwa kau tidak lebih dari Sidanti”
“Ya” sahut Untara, “Itukah hasil yang memang kau inginkan dari perkelahian ini, sehingga orang dapat menilai keunggulan Sidanti dari setiap orang di Sangkal Putung?”
“Ya, Sidanti ingin membuktikan, bahwa Sidanti berhak untuk menamakan dirinya sejajar dengan Untara”
“Bagus” berkata Untara, “Kalau hanya itu yang kau inginkan, kenapa tidak kau katakan sejak tadi? Dengan demikian kita tidak perlu membuang-buang tenaga. Kau lihat bukan? Tenaga kita terbuang tanpa arti”
“Cukup berarti bagiku”
“Kau menjadi puas karenanya?”
“Belum, aku ingin menundukkanmu”
“Apakah kausangka akan berhasil?”
“Kalau tidak sekarang, pada kesempatan lain”
“Baik, kalau begitu biarlah kita bicarakan pada kesempatan lain itu. Sekarang kau sudah puas?”
Sekali lagi Sidanti menggertakkan giginya. Tetapi ia tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Ya, apakah ia sudah puas? Kalau tidak, apakah yang akan dilakukan?
Sidanti itu terdiam sesaat. Tetapi untuk menutupi kegelisahannya ia bertanya, “Apakah perkelahian ini kita lanjutkan Untara?”
Untara tersenyum pahit. Jawabnya, “Apakah kau memandang bahwa perkelahian seterusnya akan bermanfaat bagimu?”
“Persetan. Aku bertanya kepadamu”
Sekarang Untara terdiam sesaat. Tetapi tiba-tiba kemudian ia berkata, “Persoalan antara aku dan Sidanti telah kami anggap selesai saat ini. Terserahlah apabila pada masa-masa yang akan datang, persoalan itu akan diungkapkan kembali. Sekarang kembali ke kademangan”
“Jangan menganggap soal di antara kita sudah selesai. Soal itu baru selesai apabila Untara telah mengakui keunggulan Sidanti daripadanya” berkata Sidanti dengan sombongnya.
Tetapi Untara seakan-akan tidak mendengar kata-kata itu. Bahkan sekali lagi ia mengangkat wajahnya sambil berkata, “Paman Widura, kembali ke kademangan”
Widura itu pun seakan-akan menjadi tersadar dari mimpinya yang dahsyat. Karena itu dengan tergagap ia menjawab, “Baik, Untara. Kita akan segera kembali”
Kemudian kepada orang-orangnya Widura berkata, “Tinggalkan lapangan ini. Kembali ke kademangan”
Orang-orang Widura pun kemudian mulai bergerak dari tempat mereka, setelah mereka terpaku beberapa lama. Orang-orang lain pun kemudian menghambur pula dari lingkaran itu, pulang ke rumah masing-masing dengan kesan yang aneh di dalam hati mereka. Mereka melihat perkelahian yang tanpa ujung dan pangkal itu. Sebagian dari mereka bertanya-tanya pula di dalam hati mereka, “Apakah Untara benar-benar tak mampu mengalahkan Sidanti?” Sedang orang lain berkata di dalam hatinya, “Sidanti benar-benar seorang anak muda yang luar biasa. Ternyata ia mampu melawan Untara dalam perkelahian yang tidak berakhir”
Tetapi Widura, Agung Sedayu, Ki Tambak Wedi dan Kiai Gringsing melihat apa yang sebenarnya terjadi, bahkan beberapa orang anak buah Widura pun merasakan sesuatu yang aneh dari pertempuran itu. Meskipun demikian, mereka tidak dapat mengerti, apakah yang aneh itu.
Ketika orang-orang di sekitar arena itu sudah siap meninggalkan lapangan, maka terdengar Sidanti itu berkata, “Aku tinggal di sini”
“Kau pun kembali ke kademangan, Sidanti” berkata Untara.
“Tidak” jawab Sidanti.
“Kau dengar perintah ini? Kali ini aku berbicara bukan atas nama pribadiku. Kau dengar?”
Tubuh Sidanti itu menggigil karena marah. Tetapi tubuhnya benar-benar telah lemah. Sedang gurunya masih belum juga menampakkan dirinya. Namun Sidanti itu kemudian menduga bahwa gurunya pasti memperhitungkan juga, hadirnya seseorang yang telah melemparkan cemeti kuda diarena itu.
Karena Sidanti itu masih tegak di tempatnya terdengar Untara mengulangi, “Sidanti, kembali ke kademangan. Jangan melawan perintah”
Sidanti menggeram. Tetapi ia telah menjadi sedikit puas, bahwa orang-orang Sangkal Putung telah melihat, bahwa ia mampu melawan Untara yang perkasa dalam perkelahian yang tak berakhir. Dengan demikian, maka meskipun ia terpaksa menuruti perintahnya, namun itu adalah karena tugasnya sebagai seorang prajurit. Tetapi nilai seorang-seorang, ia adalah sejajar dengan Untara. Dan karena kebanggaannya itulah, maka ia tidak menjadi terlalu berkeras hati. Betapapun segannya, ia berjalan juga meninggalkan lapangan itu menuju kekademangan. Di sepanjang jalan ia masih dapat menengadahkan wajahnya, seakan-akan berkata kepada setiap orang yang dijumpainya, “Inilah Sidanti, yang mampu menyamai keperwiraan Untara, orang yang mendapat kuasa langsung dari pimpinan tertinggi Wiratamtama”
Demikianlah maka satu demi satu orang-orang yang berada di lapangan itu pergi dengan kesan masing-masing. Di belakang Sidanti yang sedang menikmati kebanggaannya, berjalan Untara dan Widura. Di belakang mereka berjalan Agung Sedayu. Namun Agung Sedayu itu kini tidak lagi berjalan menunduk, tetapi wajahnya pun tengadah seperti juga Sidanti. Dan orang-orang pun memandangnya dengan penuh kekaguman. Apabila Sidanti mampu menyamai keperwiraan Untara, maka Agung Sedayu memiliki ketangkasan memanah melampaui Sidanti.
Bahkan ada di antara mereka yang bertanya-tanya di dalam hati mereka, “Apakah Agung Sedayu ini melampaui kakak kandungnya, sehingga ia pun akan sanggup mengalahkan Sidanti?”
Namun perlombaan di lapangan itu telah benar-benar berkesan di hati para penontonnya, orang-orang Sangkal Putung. Mereka itu kini tahu dengan jelas, bahkan hampir pasti, siapakah orang-orangnya yang menjadi tiang kademangannya, Sidanti, Agung Sedayu dan sekarang hadir Untara di samping Widura sendiri. Meskipun mereka ternyata seakan-akan bersaing satu dengan yang lain, namun berkumpulnya tokoh-tokoh itu di Sangkal Putung, agaknya telah memberi sedikit ketenangan kepada penduduk yang menyimpan berbagai macam perbekalan di padukuhan dan kademangan mereka itu.
Sekar Mirah kini tak dapat berlari-lari menyusul Agung Sedayu maupun Sidanti. Ayahnya membimbingnya tanpa melepaskan tangannya, sedang Swandaru berjalan agak jauh di belakang mereka sambil menuntun kudanya. Tetapi wajahnya kini telah menjadi lebih terang. Untunglah bahwa di palagan itu benar-benar tidak jatuh korban. Ia menjadi menyesal juga atas perbuatannya. Namun sebenarnya, di sudut hatinya, terasa juga kekecewaannya atas Untara. Ternyata Untatra itu tidak mampu untuk melumpuhkan Sidanti. Meskipun kadang-kadang ia berpikir juga, ketika ia melihat Untara dan Widura lewat di mukanya, langkah Untara itu masih jauh lebih tegap dari langkah Sidanti yang hampir terhuyung-huyung meskipun dengan wajah tengadah.
Ketika mereka telah meninggalkan lapangan, dan berjalan menyusur jalan-jalan padukuhan, Widura yang berjalan di samping kemenakannya itu tiba-tiba menggamit pundaknya, “Untara”
Untara berpaling. “Ya” katanya.
“Aku belum sempat bertanya kepadamu, kemana kau selama ini, namun aku masih menyimpan pertanyaan lain yang ingin aku katakan lebih dahulu kepadamu. Kenapa kau biarkan Sidanti masih menepuk dadanya?”
Untara tersenyum sambil menarik nafas. Ketika ia menoleh dilihatnya adiknya berjalan di belakangnya. Tiba-tiba terbesitlah sesuatu di dalam dadanya. Adiknya kini benar-benar telah menjadi seorang anak laki-laki. Karena itu, sebelum ia menjawab pertanyaan pamannya ia berkata seakan-akan kepada dirinya sendiri, “Hem, Sedayu agaknya telah menemukan dirinya sendiri”
Agung Sedayu yang berjalan sambil mengangkat wajahnya itu terkejut. Tiba-tiba saja kepalanya itu ditundukkannya. Meskipun demikian, ia menjadi terharu juga mendengar kata-kata kakaknya itu. Namun ia masih berdiam diri saja.
Sesaat kemudian baru Untara itu menjawab pertanyaan Widura, “Sidanti adalah seorang anak perasa dan pendendam. Karena itu ia sebenarnya sangat berbahaya. Biarlah ia menikmati kebanggaan-kebanggaan yang dapat sekedar membujuknya. Kalau anak itu memberontak terhadap perintah-perintah paman bersamaan waktunya dengan kedatangan Tohpati, maka keadaan paman di sini akan menjadi sangat kalut. Biarlah anak itu mendapat sekedar kepuasan dan besok kalau Tohpati itu datang, maka kita akan dapat melawannya dengan kekuatan sepenuhnya”
“Hem” Widura menarik nafas panjang-panjang. Katanya, “Sudah aku usahakan dengan beribu-ribu cara. Aku biarkan ia berbuat sekehendaknya, meskipun kadang-kadang aku memaksanya dengan kekerasan. Namun anak itu memang mempunyai tuntutan pribadi yang berlebih-lebihan. Apalagi agaknya gurunya selalu memberinya harapan-harapan, sehingga karena itu perbuatan-perbuatannya kadang-kadang melampaui batas”
“Mudah-mudahan paman bijaksana” sahut Untara.
“Tetapi” tiba-tiba Agung Sedayu menyela, “Apabila paman telah memanjakannya, maka ia akan bertambah berani menentang kehendak paman”
Widura dan Untara berpaling bersama-sama. Namun kemudian Widura itu tersenyum. Katanya, “Tentu tidak mungkin kalau aku sendiri harus memaksanya dalam suatu persoalan. Anak-anak yang lain pun menganggap demikian. Namun bukankah berkali-kali aku memberi kesempatan kepadamu, Agung Sedayu? Aku mengharap bahwa kaulah, sebelum kedatangan kakakmu, seperti juga harapan anak buahku, akan dapat sedikit memberinya peringatan. Tersnyata agaknya kau selama ini terlalu baik hati, sehingga kau tidak pernah melayaninya, Betapapun Sidanti itu menyakiti hatimu”
Agung Sedayu menggigit bibirnya sambil menundukkan wajahnya. Sedang Untara pun tersenyum pula karenanya. Katanya, “Paman, apakah yang dikerjakan Agung Sedayu selama ini?”
“Ia datang sebagai pahlawan” sehut pamannya. “Namun seterusnya ia lebih senang duduk di pringgitan siang dan malam”
“Ah” desah Agung Sedayu.
Untara tertawa. Kemudian katanya, “Aku dengar, kau telah berhasil mengalahkan genderuwo bermata satu ditikungan randu alas, Sedayu?”
Agung Sedayu masih menundukkan wajahnya. Sudah beberapa lama ia lupa pada genderuwo itu. Dan tiba-tiba ia kini menjadi geli terhadap dirinya sendiri. Betapa ia takut kepada nama-nama yang belum pernah dikenal adanya. Genderuwo bermata satu, macan putih dari Lemah Cengkar, namun ia lebih geli lagi kalau diingatnya, lututnya dua-duanya menjadi gemetar ketika tiba-tiba Sidanti marah kepadanya, pada saat ia sedang bercakap-cakap dengan Sekar Mirah.
“Sekar Mirah. Ya, Sekar Mirah” tiba-tiba hatinya berteriak, “Aku kehilangan setiap kesempatan bertemu dengan gadis itu, bukankah karena aku takut kepada Sidanti? Kini aku tidak takut lagi kepadanya. Dan aku tidak akan menghindari setiap pertemuan dengan gadis itu”
Tetapi yang kemudian didengarnya adalah kata-kata pamannya, “Untara, kedatanganmu aku harap akan membawa angin baru bagi kademangan ini. Dan malam nanti jangan kau harap kau akan dapat tidur. Betapapun letihnya, kau harus bercerita kepada kami di sini, dimana kau selama ini, dan apa yang telah terjadi dengan dirimu. Berhari-hari aku dan Agung Sedayu mencarimu, namun yang kami ketemukan adalah seorang bertopeng yang menyebut dirinya Kiai Gringsing”.
Betapapun dinginnya malam, namun Untara itu pun merasa, bahwa keringatnya tidak juga menjadi kering. Ketika ia sampai di kademangan, maka pertama kali yang dilakukannya adalah mandi. Tetapi demikian ia selesai berpakaian, peluhnya telah mulai mengaliri tubuhnya kembali. Sedang dikepalanya selalu berputar-putar berbagai pertanyaan yang nanti pasti harus dijawabnya. Apakah yang akan dikatakan, seandainya seseorang bertanya kepadanya, kemanakah ia selama ini, dan apa sajakah yang sudah dilakukannya?
Tetapi akhirnya yan dicemaskannya itu pun terjadi. Ketika ia duduk di pringgitan bersama-sama dengan Widura, Agung Sedayu dan Ki Demang Sangkal Putung, maka dari pintu berunculan para pemimpin laskar Pajang yang berada di Sangkal Putung. Satu demi satu, tanpa dipersilahkan. Mereka kemudian duduk melingkar di atas tikar anyaman di tengah-tengah pringgitan itu.
Di pendapa Sidanti duduk di tempatnya sambil menimang-nimang senjatanya yang masih terbalut wrangka di kedua ujungnya, kemudian dengan rapinya senjatanya itu diselubunginya dengan kain putih.
Keitka ia melihat beberapa orang masuk ke pringgitan, ia mencibirkan bibirnya. “Buat apa mengerumuni anak yang sombong itu?” katanya dalam hati. “Aku sangka Untara itu setidak-tidaknya dapat menyamai kesaktian Macan Kepatihan. Tetapi ternyata ia tidak lebih baik dari Widura sendiri”
Dengan mata yang redup ia memandangi setiap orang yang berjalan didekatnya. Bahkan kemudian dengan malasnya ia berbaring sambil menguap keras-keras.
Seorang prajurit yang tidak jauh daripadanya berkata, “Ah, kakang Sidanti, kau mengejutkan aku”
‘Huh” sahut Sidanti, “Kenapa kau tidak ikut masuk ke pringgitan saja?”
“Hanya para pemimpin kelompok yang boleh masuk. Pringgitan itu terlalu sempit” jawab orang itu. “Kenapa kakang tidak ikut masuk dan mendengarkan cerita Untara itu?”
“Buat apa aku mendengarkan bualannya? Ternyata aku kecewa setelah aku menilai sendiri kekuatan orang yang bernama Untara itu. Dahulu aku kagum apabila aku mendengar namanya. Sekarang ternyata aku sama sekali tidak mempunyai harapan apa pun atas kehadirannya. Kalau Macan Kepatihan itu datang kembali, maka nasib kita masih akan sama saja. Apalagi agaknya Macan Kepatihan telah melihat kekuatan yang ada di Sangkal Putung. Ia pasti tidak akan datang dengan kekuatan yang sama dengan pada saat ia datang dahulu”
Prajurit itu tidak menjawab. ia pun mempunyai perasaan yang sama seperti apa yang dikatakan oleh Sidanti. Ada juga rasa kecewa di dadanya, setelah ia melihat Untara dan Sidanti bertempur. Sedang hasilnya, keduanya tak dapat saling mengalahkan. Dengan demikian, maka apa yang diharapkan dari Untara untuk melawan Macan Kepatihan akan tidak terpenuhi.
Apabila kelak Macan Kepatihan itu dtang beserta laskarnya yang lebih kuat, serta apabila Macan Kepatihan berhasil mengumpulkan orang-orang ternama yang tersebar, maka keadaan Sangkal Putung pasti benar-benar ada dalam bahaya.
Tetapi prajurit itu tidak bertanya apapun. Perlahan-lahan ia berjalan kehalaman dan duduk termenung di atas sebuah batu. Dilihatnya beberapa kawannya yang berada di regol halaman, tampak selalu berwaspada, sedang di muka gandok dilihatnya beberapa orang tidur mendengkur sambil memeluk pedang-pedang mereka.
Tetapi sebentar kemudian prajurit itu pun menjadi mengantuk pula, sehingga dengan segannya ia pun berjalan kegandok wetan, dan merebahkan diri di samping kawan-kawannya. Tetapi ia tidak berhasil memejamkan matanya. Berkali-kali ia tersadar karena kegelisahannya.
Di pringgitan, Untara terpaksa mendengarkan berbagai pertanyaan yang bertubi-tubi menghujaninya. Beberapa pertanyaan dapat dijawabnya dengan mudah. Namun yang lain telah membingungkannya.
Pelun dingin mengalir dikening Untara ketika ia mendengar pamannya bertanya, “Untara, aku telah sampai ke rumah Ki Tanu Metir, sehari setelah kau hilang. Aku tidak dapat menemukan jejakmu dan Ki Tanu Metir. Seseorang mengatakan bahwa kau telah diculik oleh gerombolan Alap-alap Jalatunda. Tetapi sekarang, tiba-tiba saja kau muncul dengan segar bugar. Apakah yang sebenarnya telah terjadi di dukuh Pakuwon?”
Untara menarik nafas dalam-dalam. Sesaat ia berpikir, kemudian ia menjawab, “Ya, aku memang dalam kesulitan waktu itu. Tetapi seseorang telah menyelamatkan aku”
“Siapa?” bertanya Widura.
Untara itu kemudian memandang berkeliling. Satu per satu, wajah-wajah yang penuh minat memperhatikannya itu ditatapnya. Kemudian dengan hati-hati ia menjawab, “Aku ditolong oleh seorang yang tak kukenal, karena wajahnya ditutup oleh sebuah topeng”
“Kiai Gringsing?” sela Widura.
“Ya”
Widura tertawa. Agung Sedayu pun tersenyum juga. Tetapi orang lain, yang belum pernah mengenal Kiai Gringsing menjadi terkejut karenanya. Tetapi mereka berdiam diri. Mereka menunggu pertanyaan-pertanyaan Widura selanjutnya.
Tetapi yang berkata kemudian adalah Untara, “Kenapa paman tertawa?”
“Aku pernah bertemu dengan Kiai Gringsing”
“Lalu?”
“Aku pernah melihat jejak-jejak kuda dari kandang Ki Tanu Metir”
“Apa hubungannya dengan Kiai Gringsing?”
“Kiai Gringsing menyangkal bahwa ia pernah datang ke rumah Ki Tanu Metir”
Untara mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia pun tersenyum pula. katanya, “Kiai Gringsing memang orang yang aneh. Karena itu biarlah untuk sementara aku tidak bercerita tentang orang itu”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia memahami jawaban Untara. Kiai Gringsing pasti berpesan kepadanya, untuk merahasiakan dirinya.
“Tetapi” berkata Untara kemudian, “Aku mengharap bahwa waktu itu tidak terlalu lama. Syukurlah kalau Kiai Gringsing sendiri datang kepada kita di sini dan bercerita tentang dirinya”.
“Bukankah Kiai Gringsing hadir juga di lapangan siang tadi?” bertanya Widura.
“Ya” sahut Untara, “Aku melihat ciri-cirinya dilemparkan ke tengah-tengah arena, ketika seseorang melemparkan ciri-cirinya yang lain, yang agaknya Ki Tambak Wedi”
Widura mengerutkan keningnya. Kemudian ia bertanya, “Kau kenal juga ciri Ki Tambak Wedi?”
Untara tidak menjawab. Tetapi ia tersenyum.
Beberapa orang lain yang mendengarkan cerita itu, sebagian besar sama sekali tidak tahu ujung pangkalnya. Karena itu mereka hanya berdiam diri mendengarkan. Swandaru yang kemudian duduk di belakang ayahnya pun sama sekali tidak mengerti apa saja yang sedang dipersoalkan.
Tetapi pertemuan itu tidak berlangsung lebih lama lagi. Beberapa orang menjadi sangat mengantuk dan Untara sendiri menjadi sangat lelah. Karena itu katanya, “Aku minta maaf, karena aku sangat lelah, apakah aku boleh meninggalkan pertemuan ini?”
Widura tersenyum, jawabnya, “Pertemuan tanpa kau tidak akan ada gunanya. Karena itu, biarlah pertemuan ini berakhir. Kita harus beristirahat, meskipun kita hampir sampai ke ujung malam. Sebentar lagi kita harus sudah bangun dan menunaikan kewajiban kita masing-masing.”
Pringgitan itu sesaat kemudian menjadi sepi. Untara tidak mau tidur di pembaringan Widura. Ia lebih senang tidur di atas sehelai tikar bersama adiknya.
Ketika semuanya telah pergi, dan ketika Untara telah membaringkan dirinya di samping adiknya, maka katanya perlahan-lahan, “Apakah yang kau kerjakan selama ini?”
Agung Sedayu menarik nafas. Jawabnya, “Aku hampir mati kecemasan”
Untara tersenyum. Katanya, “Kalau tidak karena terpaksa oleh keadaan, aku kira kau masih saja suka merengek-rengek. Aku turut berbangga dengan keadaanmu sekarang. Mudah-mudahan penyakitmu tidak kambuh lagi setelah aku datang”
“Mudah-mudahan” gumam Agung Sedayu. Dalam pada itu, terasa sesuatu bergolak di dalam dadanya. Ia tiba-tiba saja memiliki perasaan yang asing tentang dirinya. Tentang dunia sekitarnya. Tiba-tiba tanpa disengaja ia meraba luka di pundaknya yang telah dibalut rapi. Luka itu tidak seberapa. Tetapi luka itu seakan-akan telah membangunkannya dari tidur yang nyenyak. Apa yang telah dilakukannya di lapangan, ternyata mampu membangkitkan kebanggaan atas diri sendiri, sehingga karena itu, Agung Sedayu kini melihat kemampuan yang dimilikinya. Karena itulah maka kini ia percaya akan dirinya sendiri.
Di hari berikutnya, hampir seluruh penduduk Sangkal Putung bercerita sesamanya tentang apa yang mereka saksikan di lapangan. Mereka menjadi kagum kepada Agung Sedayu, yang dalam ketangkasan memanah dapat melampaui Sidanti. Mereka menjadi kagum pula, bahwa sebelumnya Agung Sedayu sama sekali tidak berhasrat untuk ikut serta dalam perlombaan itu. “Alangkah rendah hatinya anak muda itu” beberapa orang di antara mereka memujinya.
Namun ada pula yang menjadi semakin kagum kepada Sidanti, atau yang menjadi kecewa terhadap Untara. Meskipun demikian, maka mereka menjadi agak tenang juga dengan kehadiran Untara. Dengan demikian maka kekuatan di Sangkal Putung itu menjadi bertambah.
Tetapi dalam pada itu, penduduk Sangkal Putung menjadi cemas ketika mereka melihat kesiagaan laskar Pajang itu meningkat. Setiap hari mereka melihat, peronda-peronda berkuda hilir mudik di padukuhan mereka. Peronda-peronda berkuda yang menghubungkan satu desa dengan desa yang lain dalam lingkungan kademangan Sangkal Putung. Bahkan kesiap-siagaan anak-anak muda Sangkal Putung pun meningkat pula. gardu-gardu peronda yang dikhususkan bagi mereka pun selalu dipenuhi oleh anak-anak muda itu. Setiap saat mereka berlatih mempergunakan senjata. Sebab mereka merasa, bahwa ilmu tata berkelahi yang ada pada mereka, masih belum mencukupi dibandingkan dengan laskar Pajang, maupun laskar Jipang. Namun tekad merekalah yang agaknya telah memperkuat ketahanan mereka menghadapi setia keadaan.
Sebenarnyalah Widura telah memberikan beberapa peringatan kepada laskarnya, bahwa kemungkinan Macan Kepatihan akan menyergap mereka setiap saat. Karena itulah maka setiap gardu peronda di ujung-ujung desa selalu diperlengkapi dengan alat-alat tanda bahaya yang sebaik-baiknya serta beberapa ekor kuda. Di halaman kademangan pun telah dikumpulkan beberapa ekor kuda yang cukup baik dari segenap penduduk Sangkal Putung. Setiap saat laskar Pajang itu harus bergerak cepat ke tempat-tempat yang dianggap sangat berbahaya.
Sedang pada hari itu pula Untara sedang mengagumi cara adiknya untuk meningkatkan ilmunya. Untara melihat beberapa lembar rontal yang telah dilukis oleh Agung Sedayu. Dengan pengetahuan yang jauh lebih luas, Untara berhasil memberikan beberapa petunjuk kepada adiknya mengenai lukisan-lukisannya. Beberapa unsur gerak ternyata menjadi lebih mantap dan lebih sempurna. Untara mencoba mengurangi kelemahan-kelemahan yang ada di dalam lukisan adiknya. “Nanti malam biarlah aku melihat ketangkasanmu” berkata Untara kepada adiknya, “mudah-mudahan Tohpati tidak menyergap kita hari ini”
Sehari itu dilalui dengan berbagai ketegangan di hati anggota laskar Pajang. Dan bahkan oleh segenap penduduk Sangkal Putung. Pagi-pagi mereka sudah pergi ke warung di ujung desa, kemudian memasak agak lebih banyak dari biasanya. Apabila sewaktu-waktu datang keributan, mereka sudah menyimpan makanan di rumahnya. Bahkan beberapa orang telah mempersiapkan barang-barang yang mereka anggap berharga.
Ketika seorang perempuan sibuk membungkus barang-barangnya, bertanyalah suaminya, “Untuk apa barang-barang itu kau kumpulkan?”
“Apakah kita tidak pergi mengungsi saja kakang?”
“Kemana kita akan mengungsi?”
“Ke kademangan-kademangan sebelah”
“Tak ada gunanya. Di kademangan ini di tempatkan sejumlah laskar Pajang. Di kademangan-kademangan lain sama sekali tidak, selain hanya kadang-kadang saja dilewati oleh para peronda dari kademangan ini juga”
Istrinya termenung sesaat, namun kemudian jawabnya, “Tetapi aku dengar, kademangan ini menjadi tujuan penyerbuan dari laskar Jipang, sebab kademangan inilah yang dianggap menjadi sumber perbekalan. Sedang kademangan lain tidak”
“Sesudah kademangan ini, akan datang gilirannya kademangan- kademangan lain. Dan kita akan mengungsi dari satu kademangan kelain kademangan”
Istrinya tidak berkata-kata lagi. Meloncat dari satu tempat ke tempat lain dengan seluruh anak-anaknya adalah pekerjaan yang tidak menyenangkan. Tetapi tinggal di rumah pun hatinya selalu gelisah. Sehingga kemudian suaminya berkata, “Yang sebaik-baiknya adalah mempertahankan kademangan ini bersama-sama dengan laskar Pajang”
“Sampai berapa tahun laskar Pajang itu akan tinggal di sini? Bukankah dengan demikian akibatnya akan hampir sama?”
“Kenapa?”
“Mereka makan beras kita yang kita pertahankan dari sergapan laskar Jipang”
“Tidak seberapa. Mereka makan hanya sepenuh-penuh perut mereka. Sedang laskar Jipang akan mengambil semuanya, bahkan dengan semua benda-benda berharga dari kademangan ini”
Kembali istrinya berdiam diri. Ketika suaminya kemudian berkata lagi, hatinya berdebar-debar. Katanya, “Nyai, sebaiknya kita pertahankan kademangan ini. Sebaiknya setiap laki-laki ikut serta. Tidak hanya anak-anak muda saja”
“Kau akan pergi juga?”
“Ya” jawab suaminya, “Seperti Ranu dan Harda”
Alangkah cemasnya istrinya mendengar kata-kata itu. Kenapa timbul perselisihan di pusat kerajaan, sehingga daerah-daerah yang jauh pun mengalamai akibatnya? Peperangan benar-benar merupakan sesuatu yang mengerikan sekali. Yang memisahkan suami-suami dari istri-istri mereka, ayah dari anak-anak mereka, dan anak dari ibu-ibu mereka. Peperangan telah mematahkan cinta manusia. Cinta sesama.
Tetapi, laki-laki itu kemudian pergi juga ke banjar desa bersama dengan laki-laki yang lain. Mereka mengganti cangkul, bajak dan garu dengan pedang di genggaman tangannya.
Demikianlah tidak saja anak-anak muda, kemudian orang-orang yang telah meningkat kepertengahan abad pun ikut serta menyerahkan dirinya pada pengabdian bagi tanah kelahirannya, bagi kampung halamannya. Mereka menempatkan diri di bawah pengawasan langsung Demang Sangkal Putung. Dan bagi mereka telah dibagikan tugas, untuk menjaga kademangan dan lumbung-lumbung desa pada saat-saat yang genting. Sedang anak-anak muda diperkenankan ikut dalam perlawanan langsung apabila musuh-musuh mereka benar-benar datang.
Tetapi hari itu telah dilewati dengan aman. Laskar Macan Kepatihan sama sekali tidak menampakkan diri. Tetapi tidak mustahil bahwa mereka akan menyergap dimalam hari.
“Setan itu benar-benar mengganggu kademangan ini” gerutu Widura, ketika malam turun. “Mereka barangkali kini sedang tidur dengan nyenyaknya, sedang kita harus selalu berjaga-jaga menunggu kedatangan mereka”
“Pada suatu ketika, kitalah yang mengambil prakarsa. Bukan mereka. Sebab dengan demikian, keadaan kita merekalah yang menentukan” sahut Untara.
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Seharusnyalah demikian. Apabila datang saatnya, laskar Pajanglah yang harus mencari sisa-sisa laskar Macan Kepatihan untuk dimusnahkan.
Malam itu seperti yang biasa dilakukan oleh Widura, adalah pergi berkeliling gardu-gardu peronda. Kali ini Widura tidak hanya pergi berdua dengan Agung Sedayu, tetapi Untara turut serta bersama mereka.
Satu persatu Widura mengunjungi gardu-gardu besar, dan pusat-pusat penjagaan. Ternyata tak seorang pun dari anak buahnya yang mengabaikan segala perintahnya. Sebab sedikit kelengahan yang mereka lakukan, maka akibatnya dapat mengerikan sekali. Sehingga dengan demikian dengan penuh kesadaran mereka melakukan tugas-tugas mereka dengan penuh tanggung jawab.
Yang terakhir dilakukan oleh Widura adalah pergi ke Gunung Gowok. Untara ingin melihat, bagaimanakah perkembangan adiknya selama ini. Karena itu, maka ketika mereka telah beristirahat sejenak, Untara itu pun berkata, “Nah Agung Sedayu. Aku ingin melihat, apakah kau hanya sekedar pandai melukis di atas rontal-rontal itu, ataukah kau pandai juga melakukannya”
“Anak itu luar biasa” berkata Widura, “Kalau ia memiliki keteguhan hati, maka ia tak akan kalah dengan aku atau Sidanti.”
Untara tersenyum. Katanya kepada adiknya, “Hatimu sekecil hati kelinci. Namun agaknya sekarang kau telah menemukan harga dirimu, sehingga karena itu hatimu akan berkembang. Dengan demikian maka kau akan dapat menjadi seorang laki-laki yang tidak menggantungkan nasibmu kepada orang lain.”
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia ingin menunjukkan kepada kakaknya, apakah yang telah yang dimilikinya selama ini.
..............bersambung ke Jilid 6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar