API di BUKIT MENOREH
Karya S.H Mintardja
“Lari,” jawab Ki Tanu Metir pendek.
“Orang itu benar-benar licin seperti hantu. Ia berhasil menghilang dari kepungan kami, dan kini berhasil meloloskan diri dari tangan Kiai. Bagaimana dengan Sidanti dan yang seorang lagi?”
“Ketiganya dapat melepaskan diri.”
“Sayang,” desis para prajurit Pajang,” mereka akan menjadi bibit persoalan di waktu-waktu mendatang.”
“Ya. Bibit itu akan cepat tumbuh dan berkembang. Mereka mempunyai tanah yang subur bagi pertumbuhan bibit itu.”
“Di mana, Kiai?”
“Menoreh.”
Para prajurit itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Namun segera mereka memalingkan kepala mereka ketika mereka mendengar Swandaru menyela, “Bagaimana dengan Sekar Mirah?”
Swandaru tidak menunggu jawaban. Segera ia melangkah dan keluar dari kerumunan para prajurit itu. Dengan tergesa-gesa ia melangkah menuju ke arah pintu yang masih saja miring.
Agung Sedayu ketika melihat Swandaru pergi, segera menyusulnya di belakang.
Ki Tanu Metir masih belum beranjak dari tempatnya. Dibiarkannya kedua muridnya itu pergi menemui Sekar Mirah, sedang Ki Tanu Metir sendiri kemudian kembali sibuk menjawab pertanyaan para prajurit yang mengerumuninya.
Ketika Swandaru masuk ke dalam rumah bersama Agung Sedayu, maka mereka melihat Sekar Mirah telah berdiri di sudut ruangan. Di atas bale-bale bambu kini terbaring sesosok tubuh. Ia, adalah prajurit yang telah dikenai gelang-gelang-gelang besi oleh Ki Tambak Wedi. Sedang di sudut yang lain kedua orang Tambak Wedi yang terikat masih juga terikat.
Demikian Sekar Mirah melihat Swandaru masuk, maka sekali lagi ia berlari mendapatkannya sambil menangis. Tetapi kini ia sudah tidak menjerit-jerit lagi.
“Kakang, aku takut,” katanya di antara isak tangisnya.
“Jangan takut, Mirah. Kau sekarang sudah bebas,” jawab Swandaru.
Sekar Mirah mengangkat wajahnya. Pandangannya masih mengandung kecemasan, “Apakah aku sekarang sudah bebas?”
“Sudah, Mirah.”
“Tetapi kita masih berada di sini. Kita masih berada di Tambak Wedi.”
“Ya, tetapi semuanya sudah selesai. Padepokan ini sudah dikuasai oleh Kakang Untara.”
“Lalu bagaimana dengan Sidanti dan orang-orang lain yang menakutkan itu?”
“Sidanti telah pergi. Ia telah melarikan diri dari padepokannya bersama guru dan pamannya.”
“Lari?”
“Ya. Sayang kami tidak dapat menangkapnya hidup atau mati. Ia berhasil meloncat dinding lewat sebatang pohon preh.”
Sekar Mirah memandang wajah kakaknya dengan penuh pertanyaan. Katanya, “Apakah kalian tidak dapat mengejarnya lewat pohon preh itu pula?”
Swandaru menggeleng, “Tidak, Mirah. Kami tidak dapat mengejarnya. Ternyata pohon preh itu memang sudah dipersiapkannya menjadi sebuah pintu rahasia.”
Sekar Mirah terdiam. Namun tampaklah bahwa ia menjadi sangat kecewa. Sidanti baginya akan tetap menjadi hantu sebelum terbunuh. Setiap kali ia akan muncul dan menakut-nakutinya.
“Jangan takut,” berkata Swandaru kemudian yang seakan-akan dapat mengerti perasaan adiknya, “kini Sidanti sama sekali sudah tidak berdaya menghadapi Kakang Agung Sedayu. Sidanti bukan lagi menjadi hantu bagi kami. Untuk waktu yang lama aku kira ia tidak akan menampakkan dirinya lagi.”
“Kemanakah orang itu bersembunyi?”
“Mungkin ia akan kembali ke kampung halamannya, Menoreh.”
Sekar Mirah terdiam. Tanpa sesadarnya ia berpaling. Ketika pandangan matanya bertemu dengan sorot mata Agung Sedayu, maka cepat-cepat gadis itu menundukkan kepalanya.
Dada Agung Sedayu pun berdesir. Dilemparkannya pandangan matanya jauh-jauh ke luar rumah lewat lubang pintu. Dilihatnya di luar beberapa orang berdiri mengerumuni Kiai Gringsing.
Sejenak mereka dicengkam oleh keheningan. Sekar Mirah kini sudah tidak menangis lagi. Tetapi ia masih juga selalu dibayangi oleh ketakutan. Jangan-jangan Sidanti dan gurunya akan muncul dengan tiba-tiba.
Namun kehadiran beberapa orang prajurit Pajang telah menambah ketenteraman hatinya. Ia percaya bahwa Untara telah menduduki padepokan Tambak Wedi.
Sejenak kemudian Ki Tanu Metir telah masuk ke dalam rumah itu pula diiringi oleh beberapa orang prajurit. Ketika ia melangkahkan kakinya masuk, maka segera ia berdesis, “Nini Sekar Mirah, sekarang kau tidak perlu takut lagi. Kau akan segera dapat kembali kepada ayah dan ibu di Sangkal Putung. Semuanya sudah selesai di sini.”
Hati Sekar Mirah yang sudah agak tenteram itu pun telah dapat diaturnya, sehingga ia mampu menjawab, “Terima kasih, Kiai. Aku sudah sangat rindu kepada ayah dan ibu.”
“Setiap saat yang kau kehendaki kau akan kami antar ke Sangkal Putung,” sahut Ki Tanu Metir.
Sekali lagi Sekar Mirah menjawab, “Terima kasih, Kiai.”
Ki Tanu Metir itu pun kemudian memandangi prajurit yang terbaring diam. Tampaklah wajahnya berkerut. Perlahan-lahan ia berjalan mendekatinya. Ketika ia meraba tangan prajurit itu maka terdengar ia berdesah, “Hem, aku terlambat. Aku kira aku masih dapat berbuat sesuatu atasnya.”
Kawannya, yang merawatnya pada saat ia terpelanting dari kudanya berdiri di belakang Ki Tanu Metir. Katanya, “Sejak ia pingsan, ia tidak sempat bangun kembali, Kiai.”
Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam, desahnya, “Yang aku kejar pun tidak aku dapat, sedang prajurit ini tidak tertolong lagi.”
Tak seorang pun yang menyahut.
“Ini adalah keharusan di luar kemungkinan tangan manusia,” gumam Ki Tanu Metir pula.
Ketika orang tua itu meraba pundak prajurit yang telah gugur itu, maka terasa olehnya bahwa tulang prajurit itu pecah oleh gelang-gelang Ki Tambak Wedi. Apalagi kemudian ia terpelanting jatuh dari punggung kuda yang berlari kencang.
Namun tiba-tiba Ki Tanu Metir itu mengangkat wajahnya, memandang berkeliling sambil berkata perlahan-lahan seperti kepada diri sendiri, “He, di manakah Angger Wuranta? Sejak aku datang aku belum melihatnya. Bukankah ia tinggal di sini?”
Semua kepala yang ada di dalam rumah itu terangkat. Mereka saling memandang dan bertanya-tanya di dalam hati. Apalagi Agung Sedayu dan Swandaru. Selama ini mereka telah melupakan anak muda itu. Dan tiba-tiba saja mereka tersentak dalam satu ingatan atasnya. Mereka mencoba mencari Wuranta di sekitarnya, di dalam rumah itu. Tetapi mereka tidak melihatnya.
“Bukankah ia berada di rumah ini ketika kita pergi?” desis Swandaru.
Agung Sedayu mengangguk. Tampaklah perasaan aneh membayang di wajahnya. Ia melihat sikap yang tak dimengertinya pada anak muda itu. Pada saat-saat ia mencoba menyelamatkannya, Wuranta menjadi salah paham dan bahkan marah kepadanya. Sekarang anak muda itu pergi tanpa menunggunya.
Dalam kebingungan itu ia mendengar Ki Tanu Metir bertanya kepada prajurit yang merawat kawannya yang terluka, “Apakah kau melihat Angger Wuranta di sini?”
Prajurit itu mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Aku terlampau sibuk sehingga aku tidak begitu memperhatikan keadaan di rumah ini. Aku kira, aku hanya melihat gadis yang menangis itu dan dua orang yang terikat.”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Prajurit ini bukan prajurit yang pernah berada di Sangkal Putung. Prajurit ini adalah prajurit yang baru datang dari Pajang ke Sangkal Putung dekat sebelum berangkat ke Jati Anom, sehingga ia belum begitu mengenal Sekar Mirah, meskipun persoalannya telah pernah didengarnya.
“Gadis itulah yang bernama Sekar Mirah,” berkata Ki Tanu Metir.
“Aku sudah menyangka,” sahut prajurit itu, “tetapi aku belum bertanya sesuatu kepadanya.”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia berpaling kepada Sekar Mirah dan bertanya, “Apakah Angger Wuranta berkata kepadamu, bahwa ia akan pergi?”
Sekar Mirah menggelengkan kepalanya, jawabnya, “Tidak, Kiai. Ia tidak berkata apa-apa.”
“Apakah kau melihat ia pergi, Nini?”
“Aku melihat ia keluar dari rumah ini, Kiai. Hampir bersamaan dengan saat Kiai mengejar Ki Tambak Wedi.”
Ki Tanu Metir mengangguk-angguk pula. Kemudian katanya, “Mungkin berada di luar rumah.”
Agung Sedayu dan Swandaru segera melangkah ke luar. Beberapa orang prajurit pun pergi pula bersamanya. Meskipun mereka tidak begitu mengerti soalnya, namun mereka ingin juga membantu mencarinya.
“Bukankah Wuranta anak Jati Anom itu yang kalian cari,” bertanya salah seorang dari prajurit-prajurit itu.
“Ya,” sahut Agung Sedayu.
Sejenak kemudian di halaman rumah itu berkeliaran beberapa orang yang berusaha untuk menemukan Wuranta. Tetapi agaknya Wuranta sudah tidak berada di halaman itu.
Ketika Agung Sedayu dan Swandaru kemudian masuk ke dalam rumah itu lagi, maka mereka menggelengkan kepala mereka. Terdengar Agung Sedayu berdesis, “Tidak ada, Kiai.”
“Aneh, ke mana Angger Wuranta itu pergi?”
Tak seorang pun yang menjawab. Agung Sedayu dan Swandaru hanya saling berpandangan saja.
Ki Tanu Metir itu pun kemudian menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Kita harus menemukannya. Apakah Angger Untara akan datang ke mari juga?” bertanya orang tua itu kemudian kepada para prajurit Pajang.
Salah seorang dari mereka menggelengkan kepalanya sambil menjawab, “Aku tidak tahu, tetapi aku kira Ki Untara terlampau sibuk. Ia berada di halaman banjar.”
“Apakah tidak ada waktu baginya untuk melihat keadaan ini,” bertanya Agung Sedayu, “di sini baru saja terjadi pertempuran antara Ki Tanu Metir dan Ki Tambak Wedi.”
Sekali lagi prajurit itu menggelengkan kepalanya.
“Dan di sini pula Sekar Mirah diketemukan,” sambung Swandaru.
Prajurit itu masih juga menggelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu,” katanya.
Namun yang menjawab kemudian adalah Ki Tanu Metir. “Persoalan Angger Untara cukup banyak. Ia adalah seorang senapati perang. Perhatiannya terutama ada pada keadaan peperangan seluruhnya. Maaf Angger Swandaru, bahwa soal Angger Sekar Mirah adalah hanya sebagian dari seluruh persoalan yang digarap oleh Angger Untara. Karena itu ia kini berada di pusat pimpinan dari padepokan ini, itu bukan berarti Angger Untara tidak menaruh perhatian atas peristiwa yang terjadi di sini. Bukankah ia telah mengirimkan beberapa orang prajurit ke mari?”
Swandaru mengerutkan keningnya. Tetapi ia sama sekali tidak menjawab. Sedang Agung Sedayu pun hanya menundukkan kepalanya saja. Mereka dapat mengerti alasan yang diberikan oleh Ki Tanu Metir meskipun tidak sepenuhnya.
Namun tangkapan Sekar Mirah agak berbeda. Keterangan itu terasa agak menusuk perasaannya. Ia merasa bahwa persoalannya dianggap kecil saja oleh Untara dan Ki Tanu Metir. Pengaruh keadaannya selama di kademangan, sebagai gadis yang paling dihargai di seluruh Sangkal Putung, Sekar Mirah merasa dirinya cukup penting untuk menjadi pusatpersoalan. Ia merasa bahwa persoalan yang terjadi adalah persoalan tentang dirinya. Tentang hilangnya Sekat Mirah dari Sangkal Pulung. Bukan persoalan antara Pajang dengan Jipang dan padepokan Tambak Wedi. Itulah sebabnya maka perasaan gadis itu tersinggung. Namun demikian Sekar Mirah tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Yang berbicara kemudian adalah Ki Tanu Metir pula, “Marilah kita pergi ke banjar. Kita menemui Angger Untara, sambil mencari Angger Wuranta. Mungkin ia berada di sana pula. Kita harus menemukannya. Apalagi anak muda itu sedang terluka.”
Tetapi Agung Sedayu dan Swandaru tidak menyahut. Mereka masih berdiri saja di tempatnya ketika Ki Tanu Metir melangkahkan kakinya. Dengan demikian, maka Ki Tanu Metir itu pun tertegun sejenak sambil bertanya, “Kenapa kalian masih diam saja?”
Agung Sedayu berpaling ke arah kedua orang yang terikat itu. Katanya, “Bagaimana dengan kedua orang itu?”
“O,” Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kepada salah seorang prajurit ia berkata, “Keduanya adalah orang-orang Tambak Wedi yang bertugas mengawasi Angger Sekar Mirah. Terserahlah kepada kalian. Tetapi keduanya menyerah. Perlakukan mereka sebagai orang-orang yang tidak melakukan perlawanan.”
Prajurit itu mengangguk, jawabnya, “Baik, Kiai.”
“Nah, sekarang marilah kita pergi,” ajak Ki Tanu Metir. Agung Sedayu pun kemudian melangkahkan kakinya pula.
Tetapi sekali lagi mereka tertegun ketika mereka mendengar Swandaru berkata kepada adiknya, “Marilah, Sekar Mirah. Kita pergi ke banjar untuk menemui Kakang Untara.”
“Apakah kita perlu pergi ke banjar?” bertanya Sekar Mirah.
Pertanyaan itu benar-benar mengejutkan. Ki Tanu Metir pun mengerutkan keningnya.
“Tentu,” jawab Swandaru, “kita menemui Kakang Untara.”
“Apakah ada gunanya?” sahut Sekar Mirah. Kata-kata itu ternyata telah menarik perhatian setiap orang yang berada di dalam rumah itu. Beberapa orang prajurit saling berpandangan.
“Tentu,” jawab Swandaru pula.
“Bukankah kita sama sekali tidak penting bagi Kakang Untara, Senapati Pajang yang perkasa itu? Kita adalah anak-anak padesan yang tidak berarti. Apakah gunanya kita menemuinya? Mungkin ia sama sekali tidak sempat menyisihkan waktu buat melihat kedatangan kita.”
“Ah,” potong Agung Sedayu, “jangan begitu, Mirah. Jangan terlampau perasa. Aku tahu apa yang mengganggu perasaanmu. Tetapi sebaiknya kau mencoba memahami apa yang terjadi.”
Sekar Mirah memandang wajah Agung Sedayu dengan sorot mata yang tajam. Dengan tajam pula ia berkata, “Kau adalah adik dari senapati besar itu. Tentu bagimu selalu tersedia waktu. Tetapi bagi kami. Aku dan Kakang Swandaru? Kami adalah anak-anak padukuhan Sangkal Putung yang tidak berarti.”
“Kau salah terima, Nini,” potong Ki Tanu Metir, “aku kira kita masing-masing terlibat dalam persoalan kita sendiri. Marilah kita coba melihat persoalan ini secara keseluruhan, tanpa melihat kepentingan sendiri. Mungkin kata-katakulah yang salah kau artikan. Sebab akulah yang menyatakan alasan-alasan kenapa Angger Untara tidak datang kemari, bukan Angger Untara sendiri. Mungkin Angger Untara mempunyai alasan lain. Bahkan mungkin Angger Untara sendiri yang bertempur melawan Senapati Jipang. Sanakeling?” Ki Tanu Metir berhenti sejenak. Diamatinya wajah Sekar Mirah yang suram. Kemudian dilanjutkannya, “Karena itu, Nini, marilah kita melihat apakah yang sudah terjadi di banjar.”
Sejenak Sekar Mirah tidak menyahut. Ia mencoba mengerti apa yang sebenarnya terjadi di padepoken ini. Namun kembali ia terlempar pada kesimpulan, bahwa peperangan yang terjadi adalah karena Sidanti mengambilnya dari Sangkal Putung. Padepokan ini diduduki oleh sepasukan prajurit, Ki Tanu Metir, Swandaru, dan Agung Sedayu, karena mereka berusaha membebaskan dirinya. Namun ternyata setelah hal itu terjadi, Untara agaknya acuh tak acuh saja terhadapnya. Ia sama sekali tidak meneriakkan kemenangan atas kebebasannya, dan bahkan menjenguk pun ia sama sekali tidak sempat.
Meskipun Sekar Mirah mengetahui, bahwa Pajang dan Jipang memang sedang dalam perselisihan, kemudian Sidanti telah menempatkan diri sebagai lawan Pajang pula, namun semua itu tidak akan terjadi secepat ini, seandainya ia tidak hilang dari Sangkal Putung.
Tetapi bagaimana juga ia kini berhadapan dengan Ki Tanu Metir, orang yang telah langsung menyelamatkannya. Tanpa orang tua itu maka Agung Sedayu dan Swandaru tidak akan berarti apa-apa buat Ki Tambak Wedi, apalagi bersama Sidanti dan Argajaya. Karena itu, maka ia masih juga mempunyai rasa segan kepada orang tua itu.
Ketika Ki Tanu Metir mengajaknya sekali lagi, maka Sekar Mirah tidak dapat menolak.
Maka pergilah kemudian mereka berempat, bersama beberapa orang prajurit ke banjar Padepokan Tambak Wedi. Beberapa orang prajurit yang lain tetap berada di rumah itu mengurus kedua tawanan yang masih terikat.
Di sepanjang jalan mereka berusaha untuk menemukan Wuranta. Anak muda itu terluka di dadanya. Meskipun luka itu telah diobati namun obat itu masih perlu disempurnakan, supaya luka itu lekas menjadi sembuh. Namun di sepanjang jalan mereka sama sekali tidak melihatnya.
Semakin dekat dengan banjar, maka terasa tengkuk Sekar Mirah menjadi semakin meremang. Ketika ia menengadahkan kepalanya, maka dilihatnya beberapa ekor burung gagak terbang melingkar-lingkar. Suaranya menggeletar dalam nada yang berat seperti teriakan hantu yang penuh dendam dan kebencian, bersahut-sahutan.
Agung Sedayu dan Swandaru pun sekali-sekali menengadahkan kepalanya. Burung-burung gagak itu benar-benar mempunyai alat pencium yang tajam. Begitu di padepokan itu darah tertumpah, maka segera mereka berdatangan seperti tamu-tamu dalam perhelatan yang meriah.
Tiba-tiba mereka terkejut ketika mereka mendengar Sekar Mirah memekik tinggi. Dengan serta-merta ia memeluk kakaknya erat-erat sambil berteriak, “Kita kembali, Kakang. Kita kembali. Aku takut. Aku tidak mau berjalan terus ke banjar padepokan ini. Mari, antarkan aku kembali.”
Rombongan kecil itu pun segera terhenti. Ketika mereka memandang ke depan, maka mengertilah mereka, kenapa Sekar Mirah tidak mau maju lagi. Dari tempat itu mereka telah melihat beberapa orang prajurit Pajang sudah mulai mengangkat mayat yang membujur-lintang di jalan di muka banjar.
Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam. Kalau mereka berjalan terus, maka di halaman di sekitar banjar itu pasti juga akan berserakan mayat orang-orang Jipang, orang-orang Tambak Wedi dan para prajurit Pajang.
Dan Ki Tanu Metir itu masih mendengar Sekar Mirah berkata, “Mari, Kakang, kita kembali. Kita jauhi tempat yang mengerikan itu.”
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Ia menjadi ragu-ragu. Karena itu maka anak itu berdiri saja termangu-mangu di tempatnya. Hanya sorot matanya sajalah yang seolah-olah bertanya kepada gurunya, apakah yang sebaiknya dilakukan.
Ki Tanu Metir tanggap akan pertanyaan yang memancar dari mata Swandaru, maka katanya, “Kita sudah dekat sekali, Nini. Beberapa langkah lagi kita akan sampai ke banjar padepokan Tambak Wedi.”
“Tidak, aku tidak mau. Aku takut.”
“Tidak ada yang menakutkan. Mungkin ada beberapa orang terluka yang tergolek di pinggir jalan. Tetapi mereka akan segera mendapat perawatan.”
“Mereka bukan orang-orang yang sekedar terluka. Mereka adalah orang-orang yang terbunuh di dalam peperangan.”
“Memang mungkin sekali hal itu terjadi,” sahut Ki Tanu Metir, “tetapi Angger dapat memejamkan mata apabila Angger lewat di dekat tempat bekas perkelahian itu.”
“Aku tidak mau. Lebih baik aku kembali.”
“Nini,” berkata Ki Tanu Metir pula, “jalan ini adalah jalan satu-satunya. Jalan ini pulalah jalan yang menuju ke satu-satunya regol padepokan ini. Tak ada jalan lain. Nah, Ngger, sebaiknya Nini lewat sekarang daripada menunggu sampai nanti atau besok. Sekarang Nini masih mendapat kawan-kawan yang dapat membayangi Nini dari pemandangan yang mengerikan. Orang-orang yang sibuk di sekitar banjar akan mengurangi kengerian itu.”
“Aku tidak percaya, kalau jalan ini adalah jalan satu-atunya. Dekat di pinggir-pinggir padepokan ini ada jalan pula yang mengelilingi padepokan seperti dinding batu itu. Kita dapat mencari jalan itu Dan kita akan sampai di seberang banjar padepokan.”
Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam. Memang benar seperti yang dikatakan Sekar Mirah. Di sekitar padepokan ini masih di dalam lingkungan dinding batu memang ada jalan yang mengelilingi padepokan ini. Meskipun demikian ia berkata, “Tetapi kita akan mampir ke banjar itu, Nini. Kita akan mencari Angger Wuranta dan menemui Angger Untara.”
“Aku tidak perlu kedua-duanya. Aku tidak memerlukan Wuranta dan Untara.”
“Ah,” Ki Tanu Metir menarik nafas sekali lagi, “Angger, keduanya adalah orang-orang yang paling berjasa dalam usaha melepaskan Angger dari padepokan ini.”
“Tetapi keduanya sama sekali tidak mengacuhkan aku lagi. Keduanya menganggap aku tidak berarti bagi mereka. Mungkin bagi mereka aku hanyalah kebetulan saja berada di sini. Sebab aku hanyalah seorang gadis Sangkal Putung.”
“Angger terlampau perasa.”
“Tidak, Kiai. Ternyata Wuranta pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun kepadaku yang berdiri hanya beberapa langkah daripadanya. Sedang Untara adalah seorang besar yang mempunyai seribu macam persoalan, sehingga tidak ada kesempatan baginya untuk mempersoalkan aku lagi.”
“Nini,” berkata Ki Tanu Metir sareh, “seandainya demikian. Seandainya mereka tidak memerlukan kita lagi, sebab seperti juga Nini Sekar Mirah, aku bukan orang yang penting bagi Angger Untara, maka marilah kita mencoba menemuinya untuk mengucapkan terima kasih kepadanya. Apabila usaha kita untuk menemuinya gagal, maka bukan salah kita apabila kita tidak berkesempatan untuk menyatakan terima kasih kita itu,”
Sekar Mirah terdiam sejenak. Tetapi ia masih menyembunyikan wajahnya di dada kakaknya. Gumamnya, “Kiai, tidak saja karena aku merasa tidak mendapat tempat di hadapan senapati besar yang perkasa itu, tetapi aku takut, Kiai. Aku tidak berani lewat jalan yang penuh dengan genangan darah.”
“Angger adalah seorang gadis yang berani dan tabah. Di Sangkal Putung Angger dengan tanpa perasaan takut telah meringankan para prajurit Pajang dan anak-anak muda Sangkal Putung yang terluka. Nini telah membantu melakukan pengobatan dan melayani mereka makan dan minum.”
“Tetapi tidak seperti itu, Kiai. Di hadapan kita mayat bertimbun-timbun seperti tebangan batang pisang.”
“Tidak, Ngger. Tidak. Angger hanya salah lihat. Tetapi sebaiknya Angger tidak usah melihatnya untuk yang kedua kali, Angger akan berjalan di antara kami dan para prajurit yang berjalan bersama kami. Angger sebaiknya memejamkan mata atau memandang ke udara.”
Sejenak Sekar Mirah tidak menjawab. Dicobanya untuk memandang Agung Sedayu dengan sudut matanya. Dilihatnya anak muda itu berdiri saja termangu-mangu, sedang para prajurit berdiri tegak kaku seperti tiang-tiang di pendapa rumahnya di Sangkal Putung.
“Bagaimana, Mirah?” terdengar kakaknya berdesis. “Sebaiknya kita mengucapkan terima-kasih kepada Kakang Untara dan Kakang Wuranta. Bukankah mereka telah menentukan suatu keadaan di mana kita mungkin dapat keluar dari padepokan ini?”
Sekar Mirah tidak membantah. Dianggukkannya kepalanya perlahan-lahan. Namun ia bergumam, “Tetapi aku takut, Kakang.”
“Jangan melihat keadaan di sekitarmu. Lihatlah burung yang berputaran di udara, atau pejamkan saja matamu supaya kau tidak melihat sesuatu.”
Sekali lagi Sekat Mirah menganggukkan kepalanya. Maka dengan dibimbing oleh Swandaru mereka berjalan lagi menuju ke banjar padepokan. Tetapi Sekar Mirah sama sekali tidak berani melihat keadaan di sekitarnya. Ditengadahkan saja wajahnya melihat burung yang berterbangan di langit, awan yang sehelai-sehelai mengalir dihanyutkan oleh angin yang silir.
Dilihatnya kebiruan langit yang sudah mulai dibayangi oleh warna yang kemerah-merahan. Matahari semakin lama menjadi makin rendah di Barat. Sebentar lagi matahari yang terapung di langit itu sudah akan menyentuh punggung Gunung Merapi.
Ketika mereka memasuki halaman banjar, mereka melihat beberapa orang sedang sibuk membersihkan halaman. Merawat mereka yang terluka atau menyingkirkan mayat yang berserak yang segera akan diselenggarakan pemakamannya. Di pendapa banjar itu juga terbujur beberapa sosok jenazah dari para jurit Pajang yang gugur dalam tugasnya.
Di muka banjar itu Ki Tanu Metir berhenti sejenak. Di lihatnya beberapa orang prajurit sedang berkerumun. Ternyata di antara mereka terdapat bintara dan beberapa orang perwira bawahannya. Ketika Senapati Pajang itu melihat Ki Tanu Metir maka segera ia mendapatkannya sambil berkata, “Silahkan Kiai, silahkanlah masuk dan duduk di pringgitan. Aku mengucapkan terima kasih atas segala bantuan yang Kiai berikan sehingga semuanya dapat berlangsung dengan baik. Marilah, silahkanlah semuanya masuk. Aku masih sibuk dengan beberapa macam pekerjaan, sehingga sayang, aku tidak dapat meninggalkannya.”
“Silahkan, Ngger, silahkan menyelesaikan pekerjaan Angger. Biarlah kami menunggu di pringgtan sampai Angger selesai.”
“Terima kasih. Wah, silahkanlah.” Untara berhenti sejenak. Kemudian dipandanginya Sekar Mirah yang masih berpegangan kakaknya. Untara mengerti bahwa gadis itu tidak berani melihat keadaan di sekitar halaman dan pendapa banjar. Maka katanya, “Silahkan Adi Swandaru segera membawa Sekar Mirah masuk ke pringgitan rumah yang dipergunakan menjadi banjar oleh Ki tambak Wedi ini, supaya tidak melihat hal-hal yang mengerikan bagi seorang gadis.”
“Terima kasih, Kakang Untara,” sahut Swandaru.
Ki Tanu Metir, Swandaru, dan Sekar Mirah pun segera naik ke atas pendapa. Sekar Mirah masih belum berani melihat keadaan di sekitamya. Ketika ia mencoba mengerling, maka segera ia memejamkan matanya, karena terlihat olehnya beberapa sosok mayat tergolek di pendapa banjar itu. Alangkah mengerikan. Rumah ini seolah-olah menjadi rumah hantu penyimpan mayat.
Di pendapa mereka masih mendengar. Agung Sedayu bertanya kepada kakaknya, “Bagaimana dengan Sanakeling, Kakang?”
“Ia sudah terbunuh,” jawab Untara. Tetapi kemudian terdengar senapati itu bertanya, “Di mana kau selama ini? Apakah kau tidak tahu bahwa di halaman ini telah terjadi pertempuran yang sengit?”
Agung Sedayu tidak segera menjawab. Tetapi pandangan matanya hinggap pada gurunya yang tertegun di pendapa.
Untara pun kemudian berpaling. Ia melihat Ki Tanu Metir masih berdiri di pendapa bersama dengan Swandaru dan Sekar Mirah.
“Silahkanlah, Kiai,” katanya.
“Terima kasih ngger,” jawab Ki Tanu Metir, namun dalam dada, orang tua itu telah tumbuh pertanyaan tentang sikap Untara. Namun orang tua yang penuh dengan pengalaman tentang sikap dan perasaan seseorang itu, segera dapat memahami pertanyaan Untara kepada Agung Sedayu.
Tetapi bagi Swandaru dan Sekar Mirah, pertanyaan Untara kepada Agung Sedayu itu telah menumbuhkan berbagai macam tafsiran. Apalagi Sekar Mirah yang sudah menyimpan bibit-bibit kejengkelan atas sikap Untara yang seolah-olah acuh tak acuh kepadanya.
Meskipun demikian Ki Tanu Metir dan kedua kakak beradik itu melanjutkan langkahnya masuk ke dalam pringgitan, dan duduk di atas tikar yang sudah terbentang. Di dalam pringgitan tidak tampak seorang pun. Sepi, sehingga kulit Sekar Mirah menjadi semakin merinding.
“Bakankah benar kataku,” gumam Sekar Mirah. “Kakang Untara tak ada waktu untuk menerima kedatangan kita.”
“Ia terlampau sibuk, Nini,” sahut Ki Tanu Metir. “Tetapi ia akan segera menemui apabila pekerjaannya telah selesai.”
Sekar Mirah tidak menjawab. Namun terasa rumah ini seperti rumah yang penuh menyimpan rahasia. Udara yang lembab terasa menekan dadanya sehingga nafasnya menjadi sesak. Gadis itu tahu benar, bahwa di luar pringgitan ini, di seberang dinding bambu ini, beberapa sosok tubuh terbujur berselimutkan panjang. Sementara itu, di luar, di halaman, Agung Sedayu masih diri di hadapan kakaknya. Ia masih belum menjawab pertanyaan Untara. Ketika Ki Tanu Metir telah hilang di balik pintu, maka pertanyaan itu diulanginya, “Agung Sedayu, kemana kau selama ini?”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ditenangkannya hatinya. Jawabnya, “Aku berada di rumah yang dipergunakan oleh Sidanti untuk menyimpan Sekar Mirah.”
“Aku sudah menyangka,” sahut kakaknya. “Apa kerjamu di sana?”Dada Agung Sedayu menjadi berdebar-debarberdebar-debar. Jawabnya, “Ternyata perhitungan Ki Tanu Metir tepat, Kakang. Ki TambakWedi, Sidanti, dan Argajaya datang ke rumah itu. Seandainya kami tidak ada di sana, maka Sekar Mirah itu pasti akan terbawa, sehingga usaha kita untuk membebaskannya menjadi tambah sulit.”
Untara mengerutkan keningnya. Katanya, “Seharusnya kau berada di bawah perintahku. Kalau aku bertemu kau sebelumnya setelah aku melihat medan, maka perintahku akan berbunyi lain. Kau tetap bersama para prajurit Pajang. Juga Ki Tanu Metir dan Swandaru. Kalau kalian berbuat demikian, maka Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya mesti tertangkap. Aku menyesal bahwa kalian berbuat menurut kehendak kalian sendiri. Dalam setiap peperangan harus ada satu perintah bagi keseluruhan, sehingga setiap tindakan bersumber pada satu perhitungan.”
Mendengar kata-kata kakaknya itu, Agung Sedayu seakan-akan menjadi beku di tempatnya. Darahnya serasa berhenti mengalir. Namun dengan demikian maka mulutnya justru seakan-akan terbungkam. Dan ia mendengar kakaknya berkata seterusnya, “Sekarang kesempatan untuk menangkap mereka bertiga menjadi semakin sulit. Apakah kau tidak merasakan itu?”
Nafas Agung Sedayu menjadi semakin cepat mengalir. Tetapi ia tidak segera dapat menjawab pertanyaan kakaknya.
“Tetapi kau tidak berbuat demikian,” sambung Untara, “kau tidak menemui aku dan menunggu perintahku.”
Baru sejenak kemudian Agung Sedayu dapat mengatur getar di dadanya. Dengan suara bergetar ia menjawab, “Kakang, aku hanya menurut perintah guruku. Bukankah kedatanggan Wuranta ke Jati Anom juga membawa pesan Ki Tanu Metir? Aku sangka, bahwa petunjuk-petunjuk Ki Tanu Metir itu berlaku seluruhnya, sehinggga aku tidak perlu menunggu perintah Kakang Untara. Aku menyangka bahwa Kakang Untara saja bersedia melakukan petunjuknya. Apalagi aku.”
“Bagus,” sahut kakaknya. “Itu adalah petunjuk dalam garis besar yang memang aku perlukan. Aku berterima kasih kepada Kiai Gringsing dan kepada Wuranta, yang telah memungkinkan aku memasuki padepokan ini. Namun seterusnya yang memegang kebijaksanaan atas segala pimpinan di sini adalah aku. Aku yang memperhitungkan setiap kemungkinan.
Dada Agung Sedayu masih merasa pepat karena jawaban-jawaban yang belum sempat diucapkan. Banyak sekali keterangan yang dapat diberikan. Namun ia tidak dapat mengatakannya. Mulutnya serasa tersumbat oleh nafasnya yang terengah-engah.
“Nah, bukankah kini kau lihat,” berkata kakaknya itu, “bahwa Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya dapat melarikan dirinya? Aku tidak menyangka bahwa kalian bertiga mampu bertempur berhadapan dengan Ki Tambak Wedi bertiga pula. Tetapi kalia tidak mempunyai kekuatan untuk menangkap mereka hidup atau mati, sebab kekuatan kalian berimbang.”
“Kakang,” akhirnya terloncat juga jawaban dari mulut Agung Sedayu, “tetapi seandainya kami tidak berada di sana, apakah Sekar Mirah dapat dibebaskan? Mungkin Ki Tambak Wedi kini telah membawanya pergi, sehingga pekerjaan kita pun akan menjadi semakin sulit.”
“Itulah kesalahanmu, Sedayu,” sahut kakaknya. “Pikiranmu hanya terpusat kepada gadis itu. Kau tidak melihat pertempuran dalam keseluruhan.”
Terasa wajah Agung Sedayu menjadi tegang. Sepercik warna merah membayang di wajahnya yang basah oleh keringat.
“Agung Sedayu. Seandainya kau bertempur dalam pasukanku bersama Ki Tanu Metir dan Swandaru, maka Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya tidak akan dapat lolos lagi. Nah, apakah dengan demikian mereka sempat mendatangi gubug Sekar Mirah itu? Seandainya ada satu dua prajurit yang diperintahkannya ke sana, maka aku pun telah mengirimkan beberapa orang prajurit pula untuk membebaskannya. Dapatkah kau mengerti?”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat mengerti keterangan kakaknya. Tetapi bagaimanakah caranya untuk memerintahkan hal itu kepada Ki Tanu Metir, kepada gurunya seandainya ia tahu maksud Untara sebelumnya?
Sambil menundukkan kepalanya Agung Sedalu menjawab, “Aku mengerti Kakang. Tetapi aku tidak dapat menolak petunjuk guruku. Aku mempercayai perhitungannya seperti Kakang juga mempercayainya. Sehingga dengan demikian aku melakukan apa saja yang diberitahukannya kepadaku.”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Kepalanya yang masih diliputi oleh ketegangan peperangan itu terasa masih memberati lehernya.
“Meskipun seandainya kau tidak bersama-sama dengan gurumu berada dalam pasukanku Sedayu, kau akan dapat mengurangi korban yang jatuh di antara kita,” Untara berhenti sejenak. “Tetapi kau tidak dapat bertempur sendiri tanpa guru dan saudara seperguruanmu.”
“Aku tidak berani berbuat lain dari petunjuk guru,” wajah Agung Sedayu semakin tunduk. Terasa betapa sulit berada di bawah dua kekuasaan. Gurunya dan kakaknya, yang kadang-kadang-kadang mempunyai pendirian yang berlainan.
Tetapi Untara yang melihat kepala adiknya tertunduk dalam-dalam itu, tiba-tiba menjadi lilih. Teringatlah masa kanak-kanak yang suram bagi adiknya. Adiknya yang hanya berani bermain-main di belakang selendang ibunya itu, yang kini telah berani bertempur melawan Sidanti, murid Ki Tambak Wedi.
Seharusnya ia mengucapkan terima kasih. Seandainya adiknya tidak menjadi anak yang berani, maka ia masih harus selalu melindunginya. Anak itu akan selalu mengganggu pikirannya apa pun yang sedang dilakukan. Apalagi pada saat-saat Jati Anom diambil oleh Sidanti dan orang-orang Jipang. Maka adiknya pasti akan ketakutan apabila ia tidak berhasil menyingkirkannya. Tetapi sekarang adiknya telah berani menggenggam pedang dan melindunginya sendiri.
“Sudahlah, Sedayu,” desis kakaknya. “Bukan maksudku menyalahkan kau dan gurumu. Aku hanya ingin mengatakan, jika terjadi demikian, keadaan kita akan bertambah baik. Tetapi sudahlah, semuanya telah selesai. Meskipun kita tidak dapat menangkap Ki Tambak Wedi sekarang, tetapi kita tetap mengharap bahwa di waktu-waktu yang pendek, kita akan dapat melakukannya. Sekarang beristirahatlah di dalam bersama gurumu dan Adi Swandaru. Kau tidak usah mempersoalkannya dengan gurumu.” Untara berhenti sejenak. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, ia menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan nada datar ia meneruskan, “Mungkin aku sedang diganggu oleh ketegangan saraf, sehingga aku menegurmu. Tetapi lupakan itu. Mudah-mudahan lain kali kau dapat mengerti apa yang kau lakukan apabila kau berbuat sesuatu bersama aku, bersama pasukanku.”
“Ya, Kakang,” jawab Agung Sedayu dengan nada yang dalam.
“Baik,” sahut kakaknya, “masuklah. Aku masih akan mengatur prajuritku. Bagaimanapun juga Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda harus mendapat perlakuan semestinya bersama mayat-mayat yang lain.”
Agung Sedayu tidak segera menjawab. Ia merasa bahwa kakaknya agak menyesal atas sikapnya yang keras kepadanya. Namun dengan demikian ia menjadi semakin segan dan hormat kepadanya. Ketika Agung Sedayu kemudian menebarkan pandangannya ke sekeliling halaman, maka ia melihat beberapa orang masih juga sibuk menyingkirkan mayat yang terbujur lintang. Di sebelah lain ia melihat sisa-sisa pasukan Jipang dan Tambak Wedi yang menyerah sebelum terbunuh. Ternyata mereka tidak benar-benar bertempur sampai orang yang terakhir. Oleh beberapa prajurit Pajang mereka di tempatkan di beberapa rumah di sekitar banjar, dengan pengawasan yang kuat. Beberapa orang dari mereka yang tidak terlalu berbahaya masih harus membantu para prajurit Pajang, mengangkat mayat-mayat kawan-kawannya dan menyingkirkannya dari halaman.
“Masuklah,” desis Untara.
Agung Sedayu seakan-akan tersadar dari mimpinya yang mengerikan. Tergagap ia menjawab, “Baik, baik Kakang.”
“Gurumu dan kedua kakak beradik dari Sangkal Putung itu menunggumu.”
“Ya, Kakang,” jawab Agung Sedayu.
“Aku masih harus menyelesaikan pekerjaanku. Apabila sudah selesai, maka aku akan datang kepada kalian.”
“Baik, Kakang.”
Untara pun kemudian melangkah meninggalkan Agung Sedayu yang berdiri termangu-mangu di bawah tangga pendapa. Diikutinya langkah kakaknya dengan pandangan matanya, ke arah beberapa orang perwira Pajang yang lain. Agaknya masih ada persoalan yang mereka percakapkan.
Sejenak kemudian Agung Sedayu melihat beberapa orang prajurit mengawal beberapa orang perempuan masuk ke halaman banjar. Perempuan-perempuan yang tinggal di padepokan itu. Maka terdengarlah tangis mereka mengoyak suasana yang lengang. Mereka ternyata adalah ibu, isteri, adik atau kakak perempuan dari korban yang berjatuhan. Anak-anak muda dan laki-laki dari padepokan Tambak Wedi. Seperti orang yang mencari anak-anaknya di antara puluhan anak-anak yang lain, yang tidur berjajar di lantai, mereka mencari keluarga mereka. Bahkan beberapa di antara mereka telah jatuh pingsan sebelum mereka menemukan yang mereka cari.
Seorang gadis yang kematian kekasihnya tiba-tiba berteriak sambil menunjuk seorang prajurit Pajang yang berdiri di dekatnya, “Kau, kau pembunuh yang biadab. Kau bunuh laki-laki yang akan menjadi suamiku.”
Seorang perempuan tua, ibu gadis itu, dengan tergesa-gesa memeluknya dengan tubuh gemetar. Perempuan tua itu menjadi ketakutan. Prajurit Pajang yang berdiri dengan garangnya, dan membawa pedang di lambungnya itu akan dapat berbuat apa saja atas gadis yang mengumpatinya. Apalagi terhadap gadis-gadis, sedangkan laki-laki yang kuat dan bersenjata pun dapat terbunuh.
“Sudahlah, Ngger, sudahlah. Nasib kita yang terlampau jelek. Jangan menyalahkan orang lain.”
“Tidak biyung. Orang-orang itulah orang-orang yang paling biadab yang pernah datang ke padepokan ini. Orang itu telah membunuh setiap laki-laki.”
“Sudahlah, Ngger, sudahlah.”
Tetapi gadis itu meronta-ronta sehingga pelukan ibunya menjadi lepas.
“Kau, kau pembunuh,” teriak gadis itu sambil menuding-nuding wajah prajurit Pajang yang berdiri tegang, bahkan hampir menyentuh hidungnya.
Tetapi prajurit itu sama sekali tidak bergerak. Ia berdiri saja di tempatnya seperti sebatang tonggak. Sepatah kata pun ia tidak menjawab. Dibiarkannya gadis yang kehilangan kekasihnya itu melimpahkan kemarahan, kekecewaan dan kebencian kepadanya. Bagaimanapun juga ia mencoba menjelaskan, maka gadis yang sedang dicengkam oleh kegelapan pikiran itu, pasti tidak akan dapat mendengarnya. Ia tidak akan dapat mendengar seandainya prajurit itu memberitahukan, bahwa sebelum berkobar pertempuran antara orang-orang padepokan Tambak Wedi dan Pajang, maka orang-orang Tambak Wedi telah bertempur lebih dahulu dengan orang-orang Jipang, sehingga kekasih gadis itu belum pasti terbunuh oleh ujung senjata prajurit Pajang.
Tetapi prajurit itu tidak mengatakannya. Ia berdiri saja dengan tegangnya. Bahkan sekali-sekali-sekali ia terpaksa memalingkan wajahnya.
Akhirnya gadis itu lelah sendiri. Suara menjadi semakin parau. Tiba-tiba ia berteriak tinggi, lalu terhuyung-huyung jatuh. Untunglah prajurit yang dituding-tudingnya itu cepat menangkapnya dan meletakkannya di pangkuan ibunya yang menangisinya. Gadis itu menjadi pingsan.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat salah satu sudut yang kecil saja dari akibat peperangan. Alangkah dahsyat akibat seluruhnya dari peperangan. Gadis-gadis kehilangan kekasih, ibu-ibu kehilangan anak-anaknya yang dicintainya, dan isteri-isteri kehilangan suami terkasih.
Meskipun demikian peperangan itu terjadi hampir di segala jaman dan di segala abad. Berbagai-bagai macam nafsu yang mendorong manusia melibatkan diri dalam peperangan. Nafsu yang telah menabiri perasaan cinta kasih di antara sesama, serta perasaan bakti yang utuh kepada Tuhannya. Nafsu untuk berkuasa, nafsu untuk memiliki segala isi dunia, nafsu keinginan, nafsu keangkara-murkaan, nafsu yang semuanya itu berpusar kepada nafsu duniawi. Tetapi yang kemudian telah mendorong pihak lain untuk mempertahankan diri, melindungi sesama atas dasar kewajiban dan belas-kasian, tetapi kadang-kadang juga karena pamrih yang lain. Apabila pertentangan nafsu itu kemudian mencapai puncaknya, maka tidak ada jalan lain daripada kekerasan. Manusia membunuh sesamanya. Kadang-kadang dengan cara yang sama sekali tidak berpijak pada kediriannya, kemanusiaannya. Bahkan melampaui pekerti binatang yang paling buas sekalipun, karena tidak ada binatang yang dengan sengaja menyakiti dan menyiksa korbannya sebelum dibunuhnya.
Ketika seorang prajurit lewat dekat di belakangnya, Agung Sedayu berpaling. Tetapi prajurit itu berjalan terus. Namun demikian Agung Sedayu menjadi tersadar akan keadaannya. Dengan langkah yang berat ia naik ke atas pendapa. Dipandanginya beberapa sosok jenazah yang terbaring di sebelah-menyebelah. Ketika ia sempat memandang ke gandok kiri, ia melihat beberapa orang yang terluka dibawa masuk ke dalamnya.
“Mereka yang terluka dirawat di gandok kiri,” desisnya di dalam hati.
Dengan dada yang berdebar-debar Agung Sedayu melangkah terus, berjalan di antara tubuh-tubuh yang diam membeku. Kadang-kadang Agung Sedayu masih melihat darah yang meleleh dari tubuh-tubuh yang diam itu.
Tiba-tiba terasa bulu-bulu tengkuknya meremang. Ia kini bukan Agung Sedayu yang dahulu, yang menjadi pingsan melihat darah. Tetapi meskipun demikian, ia masih juga menjadi ngeri melihat mayat yang berjajar-jajar.
Demikian ia membuka pintu pendapa, maka dilihatnya Ki Tanu Metir dan Swandaru berpaling, bahkan Sekar Mirah menjadi terkejut karenanya.
“Marilah,” Ki Tanu Metir mempersilahkan.
Selangkah Agung Sedayu memasuki pringgitan. Terasa kesepian seolah-olah mencekiknya sehingga ia menjadi susah untuk bernafas. Dengan sorot mata yang aneh ia memandangi seluruh sudut pringgitan itu. Tetapi yang dilihatnya tidak ada lain kecuali Ki Tanu Metir, Swandaru dan Sekar Mirah.
Hati anak muda itu berdesir ketika ia memandangi dinding di sisisi barat dari pringgitan itu. Warna merah menyala seperti akan membakar rumah itu. Ternyata matahari telah menjadi semakin rendah, dan bahkan telah menyinggung punggung gunung.
Dengan demikian pringgitan itu telah menjadi agak suram. Warna-warna dindingnya yang kelabu menjadi semakin gelap. Sedang di luar pintu mayat berjajar sebelah-menyebelah.
“Duduklah, Ngger,” suara Ki Tanu Metir itu tidak terlampau keras, tetapi Agung Sedayu terperanjat karenanya.
“Ya, ya Kiai,” jawabnya patah-patah.
Agung Sedayu itu pun kemudian duduk pula di antara mereka. Meskipun demikian ia masih saja memandangi berkeliling. Sarang laba-laba melekat di hampir setiap sudut. Debu pada dinding dan lumut yang hijau bertebaran di lantai, menjadi pertanda bahwa banjar ini kurang mendapat perawatan.
“Apakah yang ditanyakan Angger Untara kepadamu?” pertanyaan Ki Tanu Metir itu sekali lagi mengejutkan Agung Sedayu.
“Oh,” anak muda itu berdesah, “tidak apa-apa. Kakang Untara hanya menanyakan kemana aku selama ini.”
“Kau katakan apa yang terjadi?” bertanya gurunya lanjut.
“Ya.”
“Apa katanya?”
“Tidak apa-apa, Kiai,” jawab Agung Sedayu.
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Apakah ia akan menemui kita,” bertanya Swandaru kemudian.
“Ya, setelah pekerjaannya selesai.”
Swandaru terdiam. Kembali ruangan itu menjadi sunyi. Sekali-sekali terdengar beberapa orang lewat di sebelah pringgitan di sisi gandok. Terasa bahwa di halaman banjar itu terjadi bukan yang luar biasa.
“Angger berdua,” berkata Ki Tanu Metir kemudian, “bukankah kita ingin mencari Angger Wuranta di halaman banjar ini? Apabila kita tetap berada di sini, maka kita tidak akan dapat menemukannya.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Sebaiknya kita mencarinya guru, tetapi aku merasa sikap Kakang Wuranta menjadi aneh. Aku tidak mengerti.”
Sekar Mirah yang mendengar kata-kata itu segera menunduk wajahnya. Pada wajah itu terbersit sicercah warna merah. Tetapi tak seorang pun yang dapat melihatnya.
“Marilah kita cari,” berkata Ki Tanu Metir kemudian, “mumpung belum gelap.”
“Marilah,” jawab Agung Sedayu.
Kepada Sekar Mirah Ki Tanu Metir berkata, “Kau tinggal di sini sebentar, Nini. Kami akan mencari Angger Wuranta yang terluka itu.”
Tiba-tiba Sekar Mirah meraih tangan kakaknya sambil berkata, “Kakang Swandaru tetap di sini. Aku takut.”
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Ia ingin ikut serta mencari Wuranta di antara para prajurit Pajang, Tetapi ia tidak sanpai hati meninggalkan Sekar Mirah sendiri dalam ketakutan. Apalagi kemudian pringgitan itu menjadi kian suram.
“Kalau begitu,” desis Ki Tanu Metir, “biarlah kalian tetap di sini mengawani Sekar Mirah. Aku akan mencari sendiri. Mungkin aku akan dapat minta tolong kepada para prajurit Pajang.”
Agung Sedayu menjadi ragu-ragu. Namun Ki Tanu Metir menyambung, “Tinggallah di sini. Mungkin ada sesuatu yang kalian dapat melakukannya. Sebab Nini Sekar Mirah tidak berani tinggal sendiri di tempat yang lembab dan asing ini.”
Perlahan-lahan Agung Sedayu menjawab, “Silahkan, Kiai.”
“Nah tinggallah di sini sampai aku kembali. Jangan pergi ke mana pun juga supaya aku tidak harus bergantian mencari kalian sesudah aku menemukan Angger Wuranta.”
“Baik, Kiai,” jawab mereka hampir bersamaan.
Ki Tanu Metir itu pun kemudian pergi meninggalkan pringgitan itu. Di luar ia bertemu dengan Untara, dan mengatakan maksudnya.
“Wuranta tidak ada di antara kalian?” bertanya anak muda itu.
“Tidak, Ngger,” sahut Ki Tanu Metir.
Mendengar jawaban Ki Tanu Metir Untara mengerutkan keningnya. Ia memang belum melihat Wuranta sejak ia memasuki padepokan ini. Ternyata kini Ki Tanu Metir pun sedang mencarinya. Sekilas terbersit kecemasan di dalam hatinya sehingga senapati itu berdesis, “Apakah Wuranta menemui bencana di dalam perang campuh ini?”
“Aku kira tidak, Ngger. Ia bersamaku pada saat aku harus bertempur melawan Ki Tambak Wedi, tetapi anak muda itu terluka di dadanya.”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Lalu ke manakah ia pergi?”
“Tak kami ketahui. Ia tidak berkata kepada siapa pun juga, kemana dan kenapa ia begitu saja pergi meninggalkan Sekar Mirah di dalam gubug itu, sedang kami, aku, Angger Agung Sedayu, dan Angger Swandaru sedang mengejar Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya.”
“Aneh,” desis Untara, “apakah ada sesuatu yang menarik hatinya sehingga ia terpaksa pergi meninggalkan Kiai?”
“Aku tidak tahu,” jawab Kiai Gringsing. “Karena itu sekarang aku akan mencarinya. Syukurlah apabila tidak terjadi sesuatu. Aku mencemaskannya karena dadanya terluka. Mungkin juga ada hal-hal yang tidak kita kehendaki yang terjadi atasnya. Mungkin ia bertemu dengan prajurit Pajang yang belum mengenalnya dan tiba-tiba mencurigainya.”
“Ia akan dapat memberikan penjelasan.”
“Kalau ia sempat memberikan penjelasan itu. Dalam keadaan yang kisruh, kesalah-pahaman dapat saja terjadi di mana-mana. Kadang-kadang seseorang sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk mengatakan tentang diri sendiri. Bahkan seseorang harus menyatakan dirinya seperti orang lain menghendakinya. Seorang yang belum mengenal Wuranta akan dapat memaksanya dengan kekerasan supaya Wuranta menyatakan dirinya sebagai seorang dari padepokan Tambak Wedi. Kemudian pengakuan yang dipaksakan akan menjadi alasan untuk berbuat lebih jauh lagi.”
“Ah,” Untara berdesis, “prajurit Pajang tidak akan berbuat demikian.”
“Para Senapati dan para perwira yang bertanggung jawab mungkin tidak menghendakinya. Tetapi orang-orang yang sedang terlibat dalam pertentangan dan ketegangan, mungkin dapat berbuat meskipun ia seorang yang cukup matang. Di dalam pertempuran serupa ini, Ngger, salah paham, kecurigaan dan kebencian menguasai setiap hati. Dari prajurit yang paling rendah sampai tingkat yang tertinggi. Mungkin Angger sendiri. Meskipun demikian, masih juga tergantung pada nilai batin seseorang. Bekal rokhaniah di samping bekal jasmaniah, sangat berpengaruh di medan-medan perang.”
“Hem,” Untara menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia mengangguk, “Ya, Kiai benar. Aku tidak akan selak.”
“Ah, jangan begitu, Ngger. Aku tidak bermaksud menuduh. Aku hanya mengatakan keadaan umum yang terjadi di medan perang.”
Untara masih mengangguk-anggukkan kepalanya, “Aku mengerti maksud Kiai. Aku ingin menjaga agar prajurit-prajuritku tidak melakukannya, atau setidak-tidaknya mengurangi kemungkinan itu sejauh-jauhnya.”
“Baiklah, Ngger. Bagiku, sepanjang pengalamanku, prajurit Pajang di bawah pimpinan Angger Untara ternyata mempunyai nilai rokhaniah yang tinggi di samping kenyataan lahiriah yang mengagumkan.”
“Kiai memuji.”
“Tidak, Ngger. Aku berkata sebenarnya meskipun tidak dapat diingkari bahwa prajurit Pajang pun terdiri dari manusia-manusia yang masih dapat berbuat salah. Karena itulah aku akan mencari Angger Wuranta.”
“Baiklah, Kiai.”
“Apakah Angger tidak akan bertemu dengan adikmu itu?”
“Ya, ya Kiai. Nanti sesudah pekerjaanku selesai. Sebentar lagi kami juga akan beristirahat. Kami harus makan. Nah, Kiai jangan terlampau lama, supaya pada saatnya Kiai dapat makan bersama kami di pringgitan.”
“Baik, Ngger, baik,” sahut Ki Tanu Metir sambil menganggukkan kepalanya. “Sekarang perkenankanlah aku pergi.”
“Silahkan, Kiai.”
Maka sejenak kemudian Ki Tanu Metir itu melangkah perlahan-lahan meninggalkan Untara yang segera melanjutkan pekerjaannya.
Sementara itu, Wuranta yang sedang dicari oleh Ki Tanu Metir, berjalan dengan langkah yang lemah di sepanjang pagar halaman. Kadang-kadang dilompatinya pagar yang satu dan dimasuki halaman sebelah. Lalu ditelusurinya pagar yang lain-lain lagi. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Tetapi yang ada di dalam kepalanya adalah meninggalkan rumah tempat tinggal Sekar Mirah itu.
Ia sudah tidak betah lagi melihat semua yang terjadi. Baginya, apa yang dilihatnya itu seolah-olah merupakan cermin yang menunjukkan segala macam kekurangannya, kekerdilannya, dan segala macam kelemahannya, dihadapkan pada keadaan seperti yang sedang terjadi. Keadaan yang dikuasai oleh kekerasan dan senjata. Sedang ia sama sekali tidak mampu berbuat sesuatu. Apalagi apabila ia melihat betapa Agung Sedayu dengan lincahnya mampu berhadapan dengan Sidanti, maka terasa kekecilan diri menjadi semakin tajam.
Maka ketika terpandang olehnya wajah Sekar Mirah yang tunduk, hatinya seakan-akan meledak, pecah berserakan. Itulah sebabnya maka tanpa setahu seorang pun, ia melangkah meninggalkan sumah itu. Meninggalkan Sekar Mirah, meninggalkan Agung Sedayu yang sedang bertempur dan meninggalkan orang-orang lain di rumah itu yang seolah-olah memandangnya dengan penuh penghinaan.
Dan kini ia berjalan tanpa tujuan, asal saja menjauhi rumah yang telah menyiksanya itu.
Tetapi tanpa dikehendakinya sendiri, langkah Wuranta itu pun menjadi semakin dekat dengan banjar padepokan Tambak Wedi. Beberapa halaman lagi ia akan sampai ke daerah yang penuh dengan noda-noda darah.
Ia terhenti ketika ia melihat tidak terlampau jauh lagi, para prajurit Pajang sibuk menyingkirkan mayat-mayat yang bergelimpangan dan mengusung orang-orang yang terluka.
Dada Wuranta menjadi berdebar-debar karenanya. Namun ada sesuatu yang mendorongnya untuk berjalan lebih dekat. Ia tidak mengerti kenapa ia ingin melihat apa yang telah terjadi di halaman di sekitar banjar. Agaknya kesibukan di sekitar banjar itulah yang telah menariknya melangkah semakin dekat.
Ketika beberapa orang prajurit Pajang melihatnya, maka mereka segera mendekatinya. Salah seorang dari mereka segera bertanya kepadanya tentang dirinya. Katanya, “Siapakah kau, dan apakah keperluanmu?”
Dada Wuranta berdesir mendengar pertanyaan itu. Dipandanginya prajurit Pajang itu dengan tajamnya. Luka di dadanya kini seolah-olah sudah tidak terasa lagi, tetapi luka di hatinya masih juga terasa alangkah pedihnya. Pertanyaan itu telah mengungkat kembali perasaan yang baru saja telah menyiksanya. Kekerdilan diri, seolah-olah ia sama sekali tidak mempunyai arti apa pun di hadapan orang-orang Pajang itu. Padahal, ia telah cukup memberikan sumbangan, sehingga kemenangan Untara ini mungkin terjadi.
Karena Wuranta tidak menjawab, maka prajurit itu mengulangi pertanyaannya, “Siapakah kau? Agaknya kau terluka di dadamu. Di lambungmu tergantung wrangka pedang, meskipun tidak dengan pedangnya. Apakah kau orang Tambak Wedi?”
Hati Wuranta menjadi semakin sakit. Karena itu maka tiba-tiba ia ingin melepaskan himpitan perasaannya. Jawabnya, “Apakah kalian belum pernah mengenal aku?”
“Siapa?”
“Aku Wuranta, anak Jati Anom.”
Para prajurit itu mengerutkan keningnya. Tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata, “Kami tidak membawa laskar Jati Anom. Yang datang ke Tambak Wedi adalah seluruhnya pasukan dari Pajang.”
Wuranta kini tidak dapat menahan dirinya lagi. Perasaan yang bergelut di dadanya tiba-tiba saja ingin meledak. Perasaan rendah diri yang mencengkamnya, telah memaksanya untuk berbuat hal-hal yang berlebih-lebihan seperti pada saat ia menyerang Sidanti. Dengan dada tengadah ia berkata, “Apakah kalian belum tahu bahwa akulah yang memungkinkan kalian memasuki padepokan ini? Tanpa aku, kalian telah dihancurkan oleh pasukan Tambak Wedi sebelum kalian sempat mendekati regol padepokan ini.”
Beberapa orang prajurit Pajang itu saling berpandangan. Namun jawaban itu tidak menyenangkan hati mereka. Prajurit tertua di antara mereka segera melangkah maju dan bertanya, “He Wuranta. Bukankah namamu Wuranta, menurut pengakuanmu? Apakah yang telah kau lakukan sehingga kau dapat mengatakan kepada kami bahwa kau telah memungkinkan kami memasuki padepokan ini?”
“Hanya para pemimpinmu yang tahu siapakah Wuranta.”
Sekali lagi para prajurit itu saling berpandangan. Dan prajurit yang tertua itu bertanya sekali lagi, “Siapakah para pemimpin yang kau maksud?”
Sejenak Wuranta terdiam. Ia belum banyak mengenal nama-nama para pemimpin prajurit Pajang. Tetapi satu, justru yang tertinggi telah dikenalnya. Karena itu maka kemudian ia menjawab, “Untara. Untara. Untara mengenal aku dengan baik.”
Dada para prajurit itu berdesir. Tetapi tidaklah mustahil bahwa orang ini langsung berhubungan dengan Untara. Hal itu memang pernah juga dilakukan oleh Untara. Mempergunakan orang-orang dalam tugas-tugas sandi. Dan orang-orang itu yang mengenal hanyalah Untara sendiri.
Tetapi para prajurit Pajang itu tidak akan dapat melepaskan kecurigaannya, sehingga prajurit yang tertua itu berkata, “Baiklah, Ki Sanak. Seandainya kau benar petugas sandi yang hanya dikenal oleh Ki Untara, maka marilah Ki Sanak aku bawa langsung menghadap Ki Untara.”
Hati Wuranta yang sedang melonjak-lonjak karena tekanan-tekanan perasaan itu kini menjadi kian bergolak. Ia merasa sama sekali tidak mendapat kepercayaan para prajurit itu. Dengan wajah tegang ia berkata, “Aku akan dapat menghadapnya sendiri. Apakah ini berarti bahwa kalian akan menangkap aku?”
Prajurit itu menggeleng, “Tidak, Ki Sanak. Tetapi dalam peperangan kita harus berhati-hati.”
“Tidak,” jawab Wuranta, “aku akan menghadap sendiri. Aku orang bebas. Bahkan akulah yang telah memungkinkan kalian memasuki padepokan ini. Sekarang kalian akan menangkap aku.”
“Kami tidak dapat melihat suatu bukti apa pun tentang kata-katamu, Ki Sanak. Karena itu, maka satu-satunya cara yang dapat kami tempuh adalah membawa Ki Sanak menghadap Ki Untara. Nah, Ki Untara akan dapat berkata sesuatu kepada kami tentang Ki Sanak. Sebab seperti yang Ki Sanak katakan, salah seorang dari para pemimpin Pajang yang telah mengenal Ki Sanak dengan baik adalah Ki Untara.”
Wajah Wuranta menjadi merah. Ia merasa alasan-alasannya tidak didengar sama sekali oleh prajurit-prajurit Pajang itu. Karena itu maka katanya, “Biarkanlah aku berbuat menurut kehendakku. Nanti aku akan datang kepadanya, atau Kakang Untara akan mencari aku untuk mengucapkan terima kasih kepadaku. Sekarang kalau kalian tidak percaya kepadaku, nah pergilah, bertanyalah kepada Ki Untara, siapakah anak muda Jati Anom yang bernama Wuranta.”
Prajurit-prajurit itulah yang kini tersinggung mendengar jawaban Wuranta yang aneh itu. Justru dengan demikian maka nafsu mereka untuk membawa Wuranta menjadi semakin besar. Bukan karena kecurigaan mereka, tetapi karena mereka merasa kuwajiban mereka seolah-olah dianggap kurang berarti. Bahkan pemimpin mereka, senapati mereka pun telah diremehkan oleh anak muda yang menyebut dirinya bernama Wuranta itu.
Dengan demikian maka wajah para prajurit itu menjadi semakin tegang. Hati mereka yang panas terbakar oleh pertempuran yang baru saja terjadi masih juga belum padam. Karena itu maka sikap Wuranta agaknya telah menyalakan api yang masih tersimpan di dalam hati mereka.
Maka sejenak kemudian prajurit yang tertua di antara, reka itu berkata, “Kalau demikian Ki Sanak, maka kami akan memaksamu. Kami adalah prajurit-prajurit Pajang yang berada di dalam lingkungan lawan. Karena itu setiap orang yang bukan berasal dari kami harus kami curigai. Termasuk kau.”
Wajah Wuranta yang merah menjadi semakin menyala. Kemarahannya kini telah memuncak. Ia merasa seolah-olah orang Pajang itu sama sekali tidak mengenal terima kasih. Seperti juga Agung Sedayu.
Sebelum semuanya ini terjadi, ia adalah umpan yang pertama kali dilontarkan ke dalam sarang serigala ini. Ia adalah oyang yang pertama kali harus berhadapan dengan Sidanti bahkan Ki Tambak Wedi. Hampir saja lehernya dijerat di tiang gantungan. Tetapi kini, setelah semuanya selesai, maka ia seolah-olah tidak dibutuhkan.
Setelah Sekar Mirah bertemu dengan Agung Sedayu, maka kehadirannya sama sekali tidak dihiraukannya. Bahkan yang pertama-tama dilontarkan kepadanya adalah penghinaan. Kemudian dengan sombongnya Agung Sedayu memamerkan kelebihan-kelebihannya padanya.
Dan kini, prajurit-prajurit Pajang itu juga ingin menangkapnya. Membawanya kepada Untara sebagai seorang tawanan.
Tiba-tiba Wuranta tidak dapat menahan desakan di dalam rongga dadanya. Dengan lantang ia berteriak, “He orang-orang Pajang. Jangan terlampau sombong. Tak seorang pun di antara kalian yang berani memasuki padepokan ini selagi Tambak Wedi, Sidanti, beserta Sanakeling masih mampu menggenggam senjata mereka. Tak seorang pun dari kalian, termasuk Agung Sedayu adik Untara itu, yang berani menghadapi Sidanti dan Sanakeling pada saat-saat mereka masih bersatu tujuan. Kini aku berhasil memisahkan mereka karena permainanku. Dengan mengumpankan Alap-alap Jalatunda aku berhasil mengadu dua kekuatan yang ada di Padepokan ini. Kekuatan Jipang dan kekuatan Tambak Wedi. Baru setelah keduanya hancur kalian berani masuk. Sekarang kalian menyombongkan diri akan menangkap Wuranta. Nah, lakukanlah. Lakukanlah setelah Wuranta menjadi mayat. Apa yang aku lakukan sebelum ini memang sudah harus bertaruh nyawa. Pagi ini seharusnya aku sudah mati di tiang gantungan apabila aku tidak berhasil melarikan diri. Umurku ini adalah umur yang berlebihan. Karena itu, ayo, bunuhlah aku. Aku tidak akan melawan. Tetapi jangan mimpi membawa Wuranta hidup-hidup kepada Untara.”
Darah para prajurit-prajurit Pajang itu segera mendidih. Mereka lidak tahu apa yang telah dilakukan oleh Wuranta. Karena itu maka yang termuda di antara mereka segera melangkah maju. Untunglah bahwa yang tertua masih juga dapat menahan diri. Digamitnya prajurit yang masih muda itu sambil berkata, “Biarlah aku yang menyelesaikannya.”
“Bagus, ayo, selesaikan bersama-sama. Aku tidak akan lari. Aku sudah bersedia untuk mati. Aku sudah hidup lebih lama sesiang ini.”
Ketika prajurit yang tertua itu melangkah maju, ia melihat Wuranta berdiri tegak sambil menengadahkan dada. Tetapi tidak lampak tanda-tanda bahwa anak muda itu akan melawannya.
“Apakah kau memerlukan pedang?” bertanya prajurit tertua itu. “Bukankah kau ingin melawan?”
Wuranta menggeleng. “Aku tidak perlu melawan kalian. Tak ada artinya”
Prajurit-prajurit Pajang mengerutkan kening mereka. Ada di antara mereka yang mengartikan kata-kata Wuranta itu sebagai suat penghinaan, seolah-olah para prajurit Pajang itu tidak berarti buat dilawannya, tetapi ada pula yang melihat keanehan sikap Wuranta itu. Ternyata ia benar-benar tidak bersiap untuk melawan.
Prajurit yang tertua di antara mereka itu menarik nafas dalam-dalam. Akhirnya ia berkata, “Kau membingungkan kami.”
“Bukan maksudku,” jawab Wuranta, “kau sendirilah yang membuat dirimu bingung.”
“Apakah kau termasuk salah seorang prajurit Tambak Wedi yang berusaha membunuh diri dengan cara itu.”
Pertanyaan itu telah menggoncangkan dada Wuranta. kemarahannya yang sudah memuncak seolah-olah kini meluap lewat ubun-ubunnya. Namun dengan demikian maka anak muda itu justru terdiam. Tetapi tubuh dan bibirnya menjadi bergetar secepat getar jantungnya.
Sejenak mereka yang sedang dicengkam oleh ketegangan itu saling berdiam diri, tetapi mata mereka menyorotkan kemarahan yang hampir-hampir tidak terkendali.
Namun tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara seseorang di belakang pagar dinding batu, di antara dedaunan yang rimbun. “Kalian ternyata telah menjadi salah paham.”
Dengan serta-merta maka mereka segera berpaling. Dari antara dedaunan yang rimbun itu, maka meloncatlah seorang tua dengan cekatan. Orang itu adalah Ki Tanu Metir.
“Siapakah Ki Sanak?” bertanya salah seorang dari para prajurit itu. Ternyata prajurit itu juga belum mengenal Ki Tanu Metir.
Ki Tanu Metir tersenyum, tetapi hatinya menjadi cemas juga. Apabila para prajurit itu belum mengenalnya, maka keadaannya tidak akan berbeda. Seperti juga Wuranta, maka para prajurit itu pasti ingin membawanya kepada Umara.
“Apakah kalian belum mengenal aku?” bertanya Ki Tanu Metir itu.
Prajurit yang bertanya kepadanya itu menjawab, “Aku tidak mengenalmu.”
Ki Tamu Metir mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia melangkah maju. Diamatinya prajurit yang menjawab pertanyaannya itu. Seorang prajurit muda yang gagah, bertubuh tinggi dan berdada bidang. Di lambungnya tergantung sehelai pedang yang panjang.
Tetapi Ki Tanu Metir semakin dicemaskan oleh sikap para prajurit itu. Apakah yang harus dilakukan seandainya mereka bersikap keras kepadanya seperti kepada Wuranta.
“Aku tidak boleh melawan,” katanya di dalam hati, “Mereka melakukan kuwajiban. Tetapi bagaimana dengan Angger Wuranta itu seandainya ia pun berkeras hati untuk tidak mau tunduk kepada para prajurit itu?”
Dalam keceraasan itu tiba-tiba ia mendengar salah seorang dari para prajurit itu berkata, “He, bukankah orang tua itu yang tadi berjalan bersama dua orang anak muda dan seorang gadis yang diantar oleh beberapa orang prajurit?”
Kawan-kawannya berpaling ke arahnya. Lalu seorang yang lain berkata, “Ya, aku pernah melihat orang tua itu. Apakah Kiai yang bernama Ki Tanu Mtetir?”
Dada Ki Tanu Metir menjadi lega. Ternyata ada di antara mereka yang sudah mengenalnya. Dengan demikian maka pekerjaannya menjadi bertambah ringan.
“Ya, ya, Ki Sanak, akulah yang bernama Ki Tanu Metir. Dari siapa Angger mengetahuinya?”
“Aku pernah melihat Kiai sekali di Jati Anom, ketika Kiai bersama adik Ki Untara dan anak muda yang gemuk itu, yang tadi juga berjalan bersama Kiai menemui Ki Untara.”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tertawa pendek, “Ya, itulah aku.”
“Kenapa tiba-tiba saja Kiai sudah berada di sini pula?”
“Tidak, Ki Sanak, tidak dengan tiba-tiba. Aku telah datang lebih dahulu dari pasukan Pajang. Aku datang bersama Angger Wuranta ini,” jawab Ki Tanu Metir sambil menunjuk Wuranta yang masih berdiri tegak di tempatnya.
Prajurit itu mengerutkan keningnya. Beberapa orang yang lain saling berpandangan. Akhirnya hampir serempak mereka memandang Wuranta.
“Ya. Angger Wuranta telah datang lebih dahulu bersama aku, Angger Agung Sedayu, adik Ki Untara, dan Angger Swandaru Geni, anak muda yang gemuk itu.”
“Apakah yang telah kalian lakukan?”
Ki Tanu Metir tersenyum, “Tidak terlampau penting Ki Sanak. Hanya sekedar melepaskan anak-anak panah sendaren. Bukankah Angger juga mendengarnya? Pasukan berkudalah yang mendengarnya dengan jelas. Apakah Angger dari pasukan berkuda?”
Prajurit itu menggeleng. Tetapi meskipun mereka bukan anggauta pasukan berkuda, namun mereka tahu benar, bahwa tanda-tanda yang memungkinkan mereka memasuki padepokan ini adalah panah sendaren. Tetapi mereka tidak tahu, siapakah yang telah melepaskan panah itu.
Dalam pada itu Ki Tanu Metir berkata pula, “Nah, itulah, Ki Sanak. Kenapa kami berada di padepokan ini.”
Prajurit yang tertua di antara mereka mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat mempercayai keterangan Ki Tanu Metir, sebab beberapa orang kawan-kawannya telah melihat orang itu menghadap Untara. Karena itu mereka kini mengerti pula bahwa Wuranta memang pernah melakukan seperti apa yang dikatakannya. Tetapi meskipun demikian, sikap anak muda Jati Anom itu telah terlanjur membuatnya kurang senang. Namun prajurit yang tertua itu berusaha menahan dirinya. Sebab kedua orang itu adalah orang-orang kepercayaan Untara.
Tetapi yang aneh bagi mereka, betapa Wuranta berani mengatakan, bahwa Untara-lah yang harus datang kepadanya.
Sejenak para prajurit itu saling berdiam diri. Ki Tanu metir pun berdiri saja sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mengharap bahwa keadaan akan menjadi berangsur baik setelah mereka, para prajurit itu mengetahui dan mengenal Wuranta.
Hati Ki Tanu Metir pun menjadi lega ketika prajurit yang tertua itu berkata, “Baiklah, Kiai, apabila demikian, maka kami tidak akan keberatan membiarkan kalian berada di padepokan ini menurut kehendak kalian. Tetapi ingat, bahwa ada di antara kami yang belum mengenal kalian sama sekali. Karena itu, sebaiknya kalian tidak berada di tempat yang terlampau jauh dari banjar. Setiap saat kalian akan mendapat pertanyaan-pertanyaan yang serupa, dan mungkin ada di antara kami, prajurit-prajurit Pajang yang sama sekali tidak mengenal kalian, sehingga sikapnya pasti tidak akan menyenangkan, seperti sikap kami juga.”
“Oh, tidak apa, Ki Sanak. Kalian sedang melakukan kewajiban. Karena, itu maka sikap kalian dapat kita mengerti.”
Prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya, “Terima kasih atas pengerlian kalian. Sekarang, kami akan meneruskan kewajiban kami. Aku nasehatkan pergilah ke banjar, supaya kalian tidak menjumpai persoalan yang serupa.”
“Terima kasih, Ki Sanak,” jawab Ki Tanu Metir. Para prajurit itu pun kemudian meninggalkan Ki Tanu Metir dan Wuranta berdua. Mereka berjalan menyelusuri jalan-jalan padepokan untuk melakukan pengawasan. Mungkin masih ada laskar Tambak Wedi yang tersembunyi, atau mungkin orang-orang Jipanng. Sepeninggal para prajurit itu, maka berkatalah Ki Tanu Metir kepada Wuranta, “Marilah, Ngger, kita pergi ke banjar padepokan ini. Di sana Agung Sedayu, Swandaru, dan Sekar Mirah sudah menunggumu.”
Wuranta mengerutkan keningnya. Kemudian terdengar suaranya bernada rendah, “Untuk apa mereka menunggu aku?”
Ki Tanu Metir adalah seorang yang telah cukup umur. Pengenalannya atas perangai anak-anak muda cukup tajam. Ia mencoba untuk mengerti, apakah sebabnya maka tiba-tiba Wuranta bersikap aneh. Sejak di dalam gubug Sekar Mirah, kemudian hilang tanpa pesan apa pun.
Namun Ki Tanu Metir tidak segera dapat mengerti dengan pasti, apakah sebabnya. Ia hanya dapat meraba-raba dan menerka. Tetapi dugaan Ki Tanu Metir atas persoalan yang sebenarnya masih sangat kabur.
Sekali lagi Tanu Metir itu mengajak, “Angger Wuranta. Marilah kita pergi ke banjar. Kita harus menunjukkan diri kepada Angger Untara. Agung Sedayu dan Swandaru sudah lama menunggu Angger di sana. Aku sudah mencari Angger di mana-mana. Baru sekarang aku menemukan Angger. Kemana Angger selama ini dan kenapa Angger pergi tanpa pesan apa pun? Dada Angger sedang terluka meskipun untuk sementara telah tidak mengalirkan darah lagi.”
“Hem,” Wuranta menarik nafas dalam-dalam, “tugasku yang berbahaya, yang harus aku pertaruhkan dengan nyawa telah selesai. Buat apa orang-orang Pajang dan Kiai memerlukan aku lagi?”
“Ah, jangan begitu, Ngger. Semua orang menunggu Angger.”
Wuranta menggeleng, “Tidak. Mereka hanya memerlukan aku selagi mereka tidak dapat melakukan sesuatu pekerjaan. Aku bukan seorang prajurit dan bukan murid Kiai. Itulah sebabnya Kiai menunjuk aku untuk masuk ke dalam api di Tambak Wedi ini. Seandainya aku tertangkap dan mati, maka baik Untara maupun Kiai tidak kehilangan. Untara tidak kehilangan prajuritnya dan Kiai tidak kehilangan seorang murid. Bukankah begitu?”
“Jangan beranggapan begitu, Ngger. Sama sekali tidak terlintas di dalam kepalaku perhitungan yang demikian. Secara kebetulan dan tiba-tiba aku menjumpai Angger di Jati Anom. Aku telah mencoba memperhitungkan semua rencana sebaik-baiknya. Aku sama sekali tidak berbuat dengan untung-untungan.”
“Tetapi apa yang terjadi? Apakah Kiai mengetahui aku telah ditahan oleh Ki Tambak Wedi? Bahkan telah disediakan tiang gantungan di regol padepokan ini? Apa yang dapat Kiai lakukan dan apa yang dapat dilakukan oleh orang-orang Pajang?”
“Mereka telah datang, Ngger. Mereka telah masuk ke padepokan ini. Dan Angger ternyata tidak naik ke tiang gantungan itu.”
“Tetapi sama sekali bukan karena orang-orang Pajang dan bukan pula karena Kiai dan murid-murid Kiai. Aku dapat melarikan diriku dari tempat aku ditawan karena kekuatanku sendiri, karena kesempatan yang aku dapatkan, bukan dari kalian. Nah, seandainya aku saat itu tidak dapat melarikan diri, seandainya aku mati, maka tidak ada kemungkinan kalian dapat berbuat sesuatu.”
“Angger Wuranta, sejak malam tadi aku sudah di padepokan ini. Aku akan mengetahuinya seandainya hukuman mati itu dilaksanakan.”
“Apa yang akan dapat Kiai lakukan seorang diri di sini? Apa? Apakah Kiai juga akan membela kematianku dengan membunuh diri, melawan Ki Tambak Wedi? Kiai mampu melawan seorang lawan seorang, tetapi melawan Ki Tambak Wedi dengan seluruh pengikutnya?”
“Ternyata mereka berbentrokan sendiri, Ngger.”
“Kenapa mereka berbentrokan sendiri Kiai? Kenapa? Apakah hal itu dapat terjadi begitu saja tanpa sebab?”
“Hal itu akan mungkin sekali, Ngger. Dua kekuatan yang dasarnya telah berbeda. Berbeda sumbernya dan berbeda tujuannya. Kalau di antara mereka terjadi persetujuan, maka itu hanyalah untuk sementara.”
“Omong kosong!”
Ki Tanu Metir terperanjat mendengar jawaban Wuranta. Kini ia menjadi semakin tidak mengerti, apakah sebenarnya yang telah mengganggu anak muda itu? Dugaannya tentang sebab-sebab dari tindakan-tindakan yang aneh itu justru menjadi kabur.
“Jadi bagaimanakah, Ngger?” bertanya Ki Tanu Metir dengan dada berdebar-debar.
“Pertempuran di antara mereka itu telah dibakar oleh suatu sebab. Sebab yang berhasil aku tumbuhkan. Seandainya Alap-alap Jalatunda tidak menjadi gila, apakah pertempuran itu dapat terjadi?”
Ki Tamu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Aku berhasil menumbuhkan pertentangan itu. Aku mengumpankan Alap-alap Jalatunda yang menjadi gila karena Sekar Mirah. Kegilaannya itulah yang telah membakar padepokan ini. Baru setelah padepokan ini hangus, pasukan Untara itu datang. Itu pun karena aku pula. Karena aku datang ke Jati Anom. Memberitahukan keadaan padepokan ini. Kemudian membawa Agung Sedayu dan Swandaru masuk. Nah, siapakah yang sebenarnya berhasil melakukan tugasnya? Aku, Untara, Agung Sedayu dan Swandaru atau Kiai? Sekarang, setelah semuanya selesai? Tak seorang pun lagi menghiraukan aku. Semuanya tidak memerlukan aku lagi. Mereka memamerkan kepandaian mereka bermain pedang. Kiai, aku memang bukan seorang prajurit. Aku memang tidak secakap Agung Sedayu dan tidak secepat para prajurit Pajang memainkan senjata. Tetapi aku juga mempunyai harga diri, Kiai. Setelah Agung Sedayu dapat bertemu dengan Sekar Mirah, maka keduanya sama sekali tidak menghiraukan aku lagi. Sekar Mirah yang sebelumnya hampir mati ketakutan itu, kemudian sama sekali tidak mau melihat aku, meskipun hanya dengan sebelah matanya. Mereka telah menemukan yang mereka cari. Kedatangan Agung Sedayu telah membuat gadis itu menjadi tamak dan besar kepala, seolah-olah semua orang lain di dunia ini tidak berharga.”
Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya. Ia mencoba menangkap maksud yang sedalam-dalamnya dari kata-kata Wuranta. Dugaannya yang semula menjadi kabur kini menjadi semakin jelas kembali.
“Coba, coba Kiai, sebutkan. Siapakah yang sebenarnya dapat mengalahkan padepokan Tambak Wedi dan membebaskan Sekar Mirah? Siapa?”
Ki Tanu Metir tidak segera menjawab.
“Kini semua orang di padepokan ini menghina Wuranta. Para prajurit itu, Sekar Mirah, Agung Sedayu, dan semuanya.”
Wuranta berhenti sejenak. Nafasnya menjadi terengah-engah dan wajahnya menjadi merah. Terasa betapa dadanya dihentak-hentak oleh dentang jantungnya yang semakin cepat.
Ki Tanu Metir masih berdiam diri. Kini ia dapat meraba, apakah yang telah mendorong Wuranta berbuat demikian. Hampir pasti. Meskipun demikian Ki Tanu Metir masih cukup berhati-hati untuk berbuat dan berkata sesuatu. Ternyata perasaan Wuranta terlampau peka, dan terlampau mudah tersentuh.
Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam ketika ia mendengar Wuranta itu mengulangi pertanyaannya, “Siapa Kiai? Seharusnya Kiai dapat menyebutkan, siapa yang sebenarnya berhasil di dalam tugasnya, sebab Kiai mengetahuinya sejak permulaan. Tidak seperti prajurit-prajurit Pajang itu. Begitu mereka datang, mereka menganggap dirinyalah yang paling berjasa. Seperti juga Agung Sedayu yang merasa, seolah-olah ialah yang telah membebaskan Sekar Mirah. Siapa? Coba sebutkan, apakah Kiai berani menyebutkannya karena Kiai guru Agung Sedayu barangkali?”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya dengan nada yang berat tenang, “Ya, Ngger. Aku mengakui karena penglihatanku sendiri, bahwa Angger Wuranta-lah yang telah membawa kita semuanya di sini kepada kemenangan yang mutlak. Semua rencana dapat berlangsung sebaik-baiknya berkat keberanian dan ketrampilanmu, Ngger. Aku mengakui. Dan mudah-mudahan Untara pun akan mengakui.”
“Tidak. Ia pasti tidak akan mengakui. Ia Senapati besar di sini. Ia merasa bahwa dirinya adalah orang yang paling penting. Dan ia merasa bahwa dirinyalah yang telah menyebabkan kemenangan ini. Apalagi Agung Sedayu adalah adiknya. Pasti ia akan membenarkan sikapnya dan menyalahkan aku.”
“Kenapa? Kenapa Untara akan membenarkan sikap Agung Sedayu dan menyalahkan Angger? Dalam hal apa? Apakah ada sesuatu persoalan di antara kalian berdua?”
Pertanyaan itu mengejutkan sekali bagi Wuranta. Sejenak ia terdiam.
“Angger Wuranta,” berkata Ki Tanu Metir, “seandainya ada sesuatu persoalan yang mengecewakan Angger Wuranta, katakanlah, Ngger. Aku adalah saksi yang akan mengatakan kepada siapa pun juga, yang tidak mengakui Angger sebagai seorang perintis yang telah membawa kita masuk ke padepokan ini! Apakah Agung Sedayu merasa dirinya yang paling berjasa dalam hal ini? Atau Angger Untara sendiri? Katakanlah, Ngger. Aku adalah saksi yang masih hidup, bahwa pahlawan dari kemenangan ini adalah Angger Wuranta. Semua orang harus mendengar dan mengakui, bahwa karena jasa-jasa Angger Wuranta, padepokan Tambak Wedi yang diperkuat oleh orang-orang Jipang di bawah pimpinan Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda ini dapat direbut dengan mudah. Sebab pasukan Pajang datang pada saat-saat orang-orang Tambak Wedi dan orang-orang Jipang sudah tidak kuasa untuk melawannya, setelah mereka bertempur satu dengan yang lain. Bukankah begitu?”
Ki Tanu Metir berhenti sesaat. Dipandanginya wajah Wuranta yang menjadi semakin lama semakin tegang. Mulutnya mengatup rapat-rapat dan giginya menggeretak.
“Angger Wuranta, katakanlah, Ngger. Apakah Agung Sedayu telah berbuat suatu kesalahan? Meskipun ia muridku, tetapi apabila ia berbuat salah, maka aku wajib memberitahukan kesalahan itu kepadanya. Seandainya ia tidak menyadarinya, maka aku akan mencubitnya, supaya ia mengerti akan dirinya.”
Kini Wuranta-lah yang terdiam.
“Katakanlah, Ngger. Tidak ada orang lain yang dapat membanggakan dirinya di sini, selain Angger Wuranta. Tidak ada orang lain yang dapat merasa dirinya berjasa, selain Angger Wuranta. Kalau ada orang lain, maka orang lain itu harus mendapat pengertian, bahwa pahlawan kemenangan ini adalah Wuranta, anak Jati Anom.”
“Cukup, cukup,” Wuranta memotong kata-kata Ki Tanu Metir dan dengan terbata-bata ia meneruskan, “Bukan maksudku. Bukan maksudku.”
Terdengar suara Ki Tanu Metir sareh, “Mungkin Angger tidak bermaksud demikian, tetapi apakah kita semuanya akan mengingkari kenyataan?”
Wuranta menggigit bibirnya. Tiba-tiba dadanya serasa akan meledak mendengar kata-kata Ki Tanu Metir. Seperti terlempar ke dalam suatu kesadaran tentang dirinya, Wuranta merasakan tusukan yang tajam dari kata-kata Ki Tanu Metir itu. Terasa seolah-olah selembar tabir yang hitam pekat di dalam hatinya kini tersingkap. Dan dilihatnya dirinya sendiri dengan jelas. Dirinya sendiri yang kecil, yang kini berada di antara raksasa-raksasa yang mengerikan. Raksasa-raksasa Pajang telah berhasil memecahkan pertahanan padepokan Tambak Wedi. Kembali terbayang di matanya, betapa Agung Sedayu, Swandaru, dan Ki Tanu Metir bergulat melawan hantu lereng Merapi yang mengerikan, Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya. Terbayang betapa Untara berserta pasukannya bertempur menghadapi sisa-sisa pasukan Tambak Wedi yang pada saat-saat terakhir masih sempat bergabung dengan sisa-sisa orang Jipang. Betapa Untara masih harus mengatur orang-orangnya, dan dirinya sendiri yang masih harus berhadapan melawan Sanakeling.
Alangkah malunya. Alangkah malunya seandainya ia berkata tentang dirinya sendiri. Apakah semuanya ini dapat terjadi seandainya Untara tidak berhasil mengalahkan sisa-sisa pasukan Tambak Wedi dan Jipang? Apakah Sekar Mirah dapat bebas seperti yang terjadi seandainya Ki Tanu Metir, Agung Sedayu, dan Swandaru tidak dapat bertahan melawan Ki Tambak Wedi, Sidanti dan Argajaya?
Ketika teringat oleh Wuranta akan kata-katanya sendiri, “Coba. Coba Kiai, sebutkan, siapakah yang sebenarnya dapat mengalahkan padepokan Tambak Wedi dan membebaskan Sekar Mirah. Siapa?” tiba-tiba Wuranta menutup wajahnya dengan kedua telapak taagannya. Alangkah malunya.
Ki Tanu Metir masih berdiri tegak di hadapannya. Dibiarkannya Wuranta menyadari dirinya. Dibiarkannya anak itu dihanyutkan oleh perasaannya yang tiba-tiba saja seolah-olah terbuka.
Sejenak mereka saling berdiam diri. Awan di langit yang kemerah-merahan mengalir ke Utara dihembus oleh angin lereng lembab. Matahari telah menjadi semakin rendah, dan sebentar lagi hilang di balik dedaunan di sebelah Barat. Sinarnya yang membara tersangkut di punggung gunung dan di ujung-ujung awan yang bertebaran di langit.
Di halaman banjar padepokan Tambak Wedi dan sekitarnya para prajurit Pajang dan sebagian orang-orang Tambak Wedi sendiri yang masih hidup dan tidak berbahaya masih sibuk menyingkirkan mereka yang terluka dan mengumpulkan mayat-mayat yang berserakan.
Ki Tanu Metir-lah yang kemudian memecahkan kesenyapan itu. “Angger Wuranta. Marilah kita pergi ke banjar.”
“Tidak. Tidak Kiai. Tidak ada gunanya.”
“Tak akan ada orang yang tidak mengakui hasil jerih payahmu, Ngger.”
“Bukan itu. Bukan itu, Kiai. Justru aku menjadi malu sekali. Ternyata Kiai telah menunjukkan kekeliruanku. Kiai menghadapkan sebuah cermin di muka wajahku. Aku sangka bahwa aku adalah orang yang paling berjasa di peperangan ini. Ternyata aku tidak lebih dari sehelai debu yang tidak berarti, aku sadari sekarang, Kiai.”
“Jangan begitu, Ngger. Aku memang sudah menyangka bahwa kau sedang dihanyutkan oleh sebuah angan-angan yang aku masih belum tahu pasti. Tetapi seharusnya Angger segera menemukan keseimbangan perasaan.”
“Kiai, aku semula merasa sebagai orang yang paling berjasa, tetapi dilupakan karena pekerjaan telah selesai.”
“Tidak, Ngger. Angger sama sekali tidak diabaikan.”
“Ah, jangan menyenangkan hatiku, Kiai,” sahut Wuranto. “Sebenarnyalah aku diabaikan.”
Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya. Ia menjadi heran mendengar jawaban Wuranta yang menurut perasaannya agak bersimpang siur.
“Bagaimanakah sebenarnya menurut tanggapanmu, Ngger. Aku menjadi agak bingung karenanya.”
“Kiai, semula aku merasa sakit hati, bahwa aku diabaikan orang. Padahal aku merasa bahwa akulah yang paling berjasa di antara semua orang di sini. Tetapi ternyata Kiai telah membuka hatiku. Aku sama sekali bukan seorang pahlawan. Karena itu, tidak sewajarnyalah bahwa aku menjadi sakit hati. Aku memang tidak berarti apa-apa di sini. Aku hanya seorang pelaku yang tidak mempunyai bagian sama sekali dalam kemenangan ini. Bukankah begitu Kiai?”
Ki Tanu Metir-lah kini yang meraba dadanya. Ternyata perasaan Wuranta, yang selama ini mencoba menutup-nutupi kekurangannya dan kekecewaan dengan tingkah laku yang aneh-aneh itu terbanting terlampau dalam. Kini tampaklah perasaan yang sebenarnya bergelut di dalam dada anak itu. Rendah diri, di samping segala macam kekecewaan. Apalagi ketika ia melihat kenyataan bahwa Agung Sedayu yang dikenalnya sebagai seorang penakut dan pengecut di masa kanak-kanaknya, kini ternyata terlampau jauh di atas jangkauannya. Maka hatinya menjadi terpecah-pecah tidak keruan. Agung Sedayu bagi Wuranta, menjadi sebab dari segala macam kepahitan yang kini dialaminya.
Ki Tanu Metir kini sudah hampir pasti, bahwa soalnya berkisar di sekitar Sekar Mirah.
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Seorang perempuan memang kadang-kadang dapat menyebabkan lautan menjadi kering, dan gunung menjadi runtuh. Menurut dongeng, Candi Prambanan tercipta dalam satu malam karena seorang gadis, Rara Jonggrang. Bendungan yang melintasi lautan, mencapai Alengka, dibuat karena seorang wanita. Dewi Sinta. Keris Empu Gandring yang bertuah, yang kemudian menghisap darah beberapa orang, bahkan pembuatnya dan kemudian pemesannya sendiri, adalah karena seorang wanita, Ken Dedes yang ingin direnggutkan dari suaminya, Tunggul Ametung, oleh Ken Arok yang memesan keris itu kepada mPu Gandring.
“O, tidak terlampau jauh,” berkata Ki Tinu Metir di dalam hatinya. “Alap-alap Jalatunda mati karena Sekar Mirah, dan bahkan orang-orang Tambak Wedi dan orang-orang Jipang bertempur satu sama lain karena Sekar Mirah ini pula. Dan kini apakah gadis itu masih akan menulis ceritera baru tentang dirinya dan tentang anak-anak muda yang mengenalnya.”
Ketika cahaya yang kemerah-merahan di langit menjadi semakin pudar, maka Ki Tanu Metir pun berkata, “Marilah, Ngger. Jangan terlampau membiarkan diri hanyut dalam arus perasaan, Seharusnya Angger mencoba mempergunakan pikiran untuk membuat keseimbangan. Nalar.”
Wuranta menggeleng, “Sudahlali Kiai. Kiai tidak usah memikirkan aku. Aku akan kembali ke Jati Anom. Aku sudah puas dapat melakukan petunjuk-petunjuk Kiai. Aku sudah puas dengan keadaan sekarang ini.”
Ki Tanu IMietir tidak segera menjawab. Dipandanginya wajah Wuranta dengan tajamnya sehingga anak muda itu melontarkan pandangan matanya jauh-jauh ke punggung Gunung Merapi yang masih diwarnai oleh sisa-sisa sinar Matahari yang kemerah-merahan.
“Ikutlah aku. Angger harus berjiwa besar menghadapi setiap persoalan. Angger bukan anak kecil lagi.”
Wuranta terdiam.
“Angger adalah satu-satunya dari antara anak-anak muda Jati Anom yang telah berhasil mendahului pasukan Pajang ke dalam sarang yang berbahaya ini. Tengadahkan kepalamu. Pandanglah seluruh persoalan dengan dada terbuka. Sebagian anggapan Angger tentang diri Angger benar. Angger adalah orang yang telah ikut berjasa dalam hal ini.”
Tetapi Ki Tanu Metir terpaksa menahan hatinya ketika ia melihat Wuranta menggelengkan kepalanya. Dengan nada yang dalam anak muda itu berkata, “Terima kasih, Kiai. Aku tidak usah pergi ke banjar. Pergilah Kiai sendiri menemui murid-murid dan Kakang Untara. Aku akan kembali ke Jati Anom sekarang.”
“Ah,” Ki Tanu Metir berdesah, “lihat, matahari telah turun ke balik gunung. Sebentar lagi hari akan gelap.”
“Aku kemarin mondar-mandir antara Jati Anom dan Tambak Wedi ini di dalam gelap juga.”
“Tetapi justru kali ini aku menjadi cemas, karena Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya terlepas dari tangan kita.”
“Kiai cemas seandainya aku berjumpa dengan mereka?”
“Ya, Ngger.”
“Kiai tidak perlu cemas. Aku sudah cukup dewasa untuk menjaga diriku sendiri. Tetapi seandainya aku akan mati juga, itu pun sudah menjadi garis hidupku.”
“Jangan, Ngger. Untara menunggumu. Ia ingin bertemu dengan Angger.”
“Kalau ia ingin menemui aku, aku persilahkan datang ke Jati Anom.”
“Hem,” Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam. Wuranta telah kehilangan keseimbangannya lagi.
“Silahkan Kiai kembali ke banjar. Katakanlah kepada Kakang Untara bahwa aku telah kembali ke Jati Anom. Aku tidak berguna apa pun juga di sini.”
“Apakah maksud itu tidak dapat di ubah.”
“Maaf, Kiai.”
Sekali lagi Ki Tanu Metir menarik nafas panjang. Ia tidak, berhasil mengajak Wuranta pergi ke banjar padepokan Tambak Wedi untuk bertemu dengan Untara, Agung Sedayu, dan Swandaru. Tetapi orang tua itu dapat mengerti juga perasaan yang golak di dalam dada Wuranta. Ia tidak ingin lagi bertemu dengan Sekar Mirah dan Agung Sedayu. Ia tidak mau menambah pedih luka di hatinya.
“Jadi bagaimana, Ngger?”
“Silahkan Kiai kembali ke banjar. Aku akan terus ke Jati Anom.”
“Beberapa puluh langkah lagi Angger sampai ke banjar itu.”
“Aku akan berbelok.”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu tiba-tiba ia berkata, “Lukamu, Ngger.”
“Sudah sembuh, Kiai.”
“Belum,” Ki Tanu Metir menggeleng, “besok aku akan memberimu obat lagi di Jati Anom. Obat itu baru sekedar memampat darah. Tetapi daya sembuhnya terlampau sedikit.”
“Terima kasih, Kiai. Mudah-mudahan kita dapat bertemu lagi.”
“Ah, tentu. Kenapa tidak? Aku pun akan segera pergi ke Jati Anom. Aku pun tidak akan terlampau lama di sini.”
“Silahkanlah, Kiai.” Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya. “Sekarang, apakah Kiai masih akan pergi ke banjar?”
“Ya. aku akan pergi ke banjar.”
Dengan menyesal Kiai Gringsing kemudian meninggalkan Wuranta seorang diri. Menurut pertimbangannya, maka biarlah Wuranta menuruti kehendakaya sendiri lebih dahulu, selagi ia belum dapat berpikir dengan tenang. Karena itu, maka Ki Tanu Metir tidak ingin memaksa-maksanya lagi. Ia mengharap bahwa besok atau lusa Wuranta akan benar-benar dapat menemukan keseimbangannya.
Sepeninggal Ki Tanu Metir, Wuranta masih sejenak berdiri di tempatnya. Dilayangkannya pandangan matanya berkeliling. Dalam cahaya yang menjadi semakin merah, ia melihat beberapa orang masih saja sibuk di halaman banjar dan sekitarnya. Mereka masih menyingkirkan mayat dan orang-orang yang terluka. Satu-satu, dikumpulkan menurut keadaannya.
Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya tanpa dikehendakinya. Baru kali ini ia melihat pepati sebanyak itu. Sejenak ia melupakan kepahitan hatinya sendiri.
Perlahan-lahan ia mengayunkan kakinya. Tetapi ia tidak berjalan ke halaman banjar. Ia membelok sepanjang dinding halaman yang agak rendah. Ketika ia meloncati dinding itu, maka ia berada di belakang banjar, berantara dua halaman. Namun di tempat itu ternyata orang pun sibuk pula mengumpulkan orang-orang yang terluka dan mayat yang bergelimpangan.
Ketika seorang prajurit hendak menegurnya maka prajurit yang lain berkata, “Bukankah ia anak Jati Anom?”
“Kau sudah mengenalnya?”
“Aku sudah mengenalnya. Kemarin malam ia berada Kademangan Jati Anom. Bukankah anak itu pula yang membawa kabar tentang keadaan di padepokan ini sehingga Ki Untara dapat membuat perhitungan yang tepat?”
Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya sehingga maksudnya, untuk menegur Wuranta diurungkan. Dibiarkannya anak muda itu berjalan dengan hati yang kosong di antara para prajurit Pajang yang sibuk.
Namun tanpa dikehendakinya pula, kadang-kadang Wuranta itu terhenti di antara orang-orang yang terluka. Ia masih mendengar beberapa orang merintih meskipun tubuhnya telah terbujur diam, tidak berbeda dengan mayat-mayat yang terbujur di sampingnya.
Ketika ia melihat seorang tua yang dengan lemahnya terbaring di bawah sebatang pohon kelor, hati Wuranta berdesir. Tubuh itu masih belum sempat di angkat dibawa ke banjar bersama orang-orang lain yang terluka. Tetapi Wuranta yakin bahwa orang itu masih hidup.
Perlahan-lahan ia mendekatinya. Dalam kesuraman cahaya matahari yang semakin redup ia melihat orang tua itu menyeringai menahan sakit.
Sejenak kemudian Wuranta telah berlutut di sampingnya. Perlahan-lahan ia berdesis, “Kek, Kakek. Kau terluka?”
Orang tua yang terbaring itu lamat-lamat mendengar suara orang memanggilnya. Perlahan-lahan ia membuka matanya. Betapa perasaan sakit menghentak-hentaknya, namun ia masih sempat melihat remang-remang seseorang berjongkok di sampingnya.
Kepala orang tua itu dijalari oleh sebuah perasaan yang aneh. Di dalam keadaan yang demikian, seseorang telah berjongkok di sampingnya sambil menegumya ramah sekali.
“Siapakah engkau?” desis orang tua itu.
“Aku, Kek, Wuranta.”
“O, kau, Ngger?” seleret warna merah membayang di wajah yang pucat itu. “Benarkah kau Angger-Wuranta?”
“Ya, Kek.”
“Oh,” orang tua itu terdiam. Matanya yang terbuka, itu terpejam. Tampak betapa wajah yang tua itu menahan penderitaan yang sangat berat.
Wuranta masih melihat darah yang meleleh dari luka di lambung orang tua itu. Luka yang parah.
“Kau terluka, Kakek?” bertanya Wuranta.
“Hem,” orang tua itu menarik nafas. Tetapi sejenak kemudian wajahnya menyeringai menahankan perasaan sakit. “Ya, Ngger aku terluka. Terlampau parah.”
“Prajurit-prajurit Pajang melukaimu?”
Orang tua itu mencoba menggeleng. “Tidak, Ngger. Aku tidak sempat berkelahi melawan orang-orang Pajang. Aku telah terluka karena ujung pedang orang-orang Jipang.”
“Oh,” Wuranta terhenyak di tempatnya. Alangkah sedihnya. Ujung pedang kawan sendiri yang tinggal bersama-sama di dalam satu lingkungan.
“Aku sudah kehabisan tenaga, Ngger.”
“Sebentar lagi orang-orang Pajang itu akan mencoba menolongmu, Kek.”
“He?” orang tua itu terkejut. “Tidak ngger. Mereka akan datang dan mencekik aku sama sekali. Bukankah sebagian dari kita mati karena ujung senjata orang-orang Pajang?”
“Tetapi aku melihat mereka menolong orang-orang yang terluka dari segala pihak. Termasuk orang-orang dari padepokan Tambak Wedi, bahkan orang-orang Jipang.”
Perlahan-lahan orang tua itu menggeleng. “Mereka tidak menolong, Ngger, mereka sekedar mengumpulkan orang-orang yang terluka dan yang mati. Besok kita bersama-sama akan dimasukkan dalam sebuah lubang yang besar, dan ditimbun dengan sampah dan tanah. Kita yang belum mati sekalipun akan dikubur pula bersama mayat-mayat itu.” Orang tua itu berhenti sejenak. Nafasnya menjadi semakin lambat, “Lebih baik mati bersama mereka, Ngger.”
“Tidak, Kek. Kakek akan sembuh. Dan hal yang demikian, tidak akan dilakukan oleh prajurit Pajang.”
Kakek yang terbaring itu terdiam. Sekali-sekali dibukanya matanya dan dilihatnya Wuranta duduk di sampingnya. “Angger Wuranta, bukankah Angger termasuk pihak Pajang itu pula? Nah, kalau demikian tolong, Ngger, bunuhlah aku sekali supaya aku tidak terkubur hidup-hidup besok apabila malam nanti aku tidak mati.”
“Ah, jangan begitu, Kek. Kakek akan sembuh. Luka Kakek akan mendapat perawatan.”
“Seandainya demikian, apabila aku sudah sembuh, maka aku akan digantung di alun-alun Pajang. Apalagi aku sudah menangkapmu, Ngger. Menangkap seorang petugas sandi dari Pajang.”
Wuranta menggelengkan kepalanya. “Tidak, Kek. Apa yang Kakek lakukan adalah tugas Kakek. Tetapi Kakek telah memberikan tempat tinggal lepas dari tangan Sidanti. Bukankah itu sebuah pertolongan yang paling berarti selagi aku melakukan tugasku? Kek, seandainya aku tidak dapat keluar dari rumah tahanan itu, maka akhir dari peristiwa ini pun akan berbeda.”
“Ah,” orang tua itu mengeluh, “bunuh sajalah aku, Ngger.”
“Tidak, Kek.”
“Tolong, supaya aku tidak terkubur hidup-hidup. Tetapi, sebelum itu, apakah kau mau menolong aku, Ngger?”
“Apa, Kek?”
“Apakah kau mau menyampaikan pesanku kepada nenekmu yang tua dan sakit-sakitan itu?”
“O, tentu, tentu.”
“Bawalah orang tua itu kemari, Ngger. Aku ingin bertemu untuk yang terakhir kalinya. Nenekmu sudah terlalu tua dan sakit-sakitan saja. Kasihan perempuan itu.”
“Jadi, apakah aku harus memanggilnya kemari?”
“Ya,” desis orang tua itu, “tetapi kalau para prajurit Pajang itu mengijinkannya.”
“Aku akan minta ijin itu untuk Kakek.”
“Terima kasih, Ngger,” orang tua itu menyeringai. sekali lagi, “Lukaku parah. Umurku sudah tidak akan mencapai semalam ini. Tolong Ngger, panggillah nenekmu. Dan…” orang tua itu terhenti. Perlaban-lahan ia melanjutkan, “dan tolong, Ngger apabila mungkin, janganlah aku dibiarkan mati di sini lebih dahulu. Apakah aku dapat Angger sisihkan, ke emper rumah sebelah?”
“Tentu, Kek, tentu.”
“Tetapi apabila para prajurit Pajang mengijinkan, Ngger.”
Wuranta tidak menjawab. Dengan sigapnya ia berdiri. Lukanya sendiri sudah benar-benar tidak terasa olehnya. Tergesa-gesa ia mendekati seorang prajurit yang sedang mengawal kawan-kawannya dan orang-orang Tambak Wedi yang sedang sibuk mengangkat orang-orang yang terluka ke rumah di halaman itu, dan sebagian langsung dibawa ke banjar Padepokan.
“Apa Ki Sanak?” bertanya prajurit itu.
“Aku titip kakekku yang terluka itu.”
Prajurit itu mengerutkan keningnya. “Kakekmu?”
“Ya.”
Prajurit itu menjadi heran. Ia mengenal Wuranta sebagai anak Jati Anom, dan orang yang terluka itu adalah seorang dari padepokan Tambak Wedi yang masih belum sempat di sisihkan. Sejenak prajurit itu berdiri kebingungan. Dipandanginya Wuranta dan kakek yang terbaring itu berganti-ganti.
“Benarkah ia kakekmu?” prajurit itu ingin menegaskan.
“Ya ia kakekku. Karena itu, tolong aku titipkan ia padamu. Biarlah kakek aku bawa ke emper rumah itu. Aku akan memanggil nenek sebentar.”
Prajurit itu masih berdiri kebingungan ketika Wuranta kemudian melangkah mengambil kakek tua itu dan mendukungnya ke emper rumah di halaman.
Tanpa minta ijin lagi, Wuranta pun kemudian meninggalkannya untuk menyusul nenek seperti pesan kakek tua yang terluka. Meskipun demikian, ketika ia lewat di muka prajurit itu ia masih berpesan, “Tolong awasilah kakek itu.”
Prajurit itu menarik nafas dalam-dalam. Itu sama sekali bukan pekerjaannya. Meskipun demikian ia terpaksa mengawasinya juga. Ketika ada prajurit yang lain, yang akan membawa kakek tua itu ke dalam rumah, maka prajurit itu berkata, “Biarkan orang tua itu di sana.”
“Kenapa?”
“Wuranta, anak Jati Anom itu berpesan kepadaku, supaya orang tua yang katanya adalah kakeknya itu tetap di sana.”
“Tetapi semua orang yang terluka harus dikumpulkan supaya mereka segera mendapat pertolongan. Luka kakek tua itu agak parah.”
Prajurit yang sedang berjaga-jaga itu ragu-ragu sejenak. Tetapi kemudian ia berkata, “Biarkan ia di situ. Kita tunggu saja Wuranta. Barangkali ia ingin berbuat sesuatu dengan kakeknya itu.”
Maka kakek tua itu pun ditinggalkannya. Beberapa orang yang lain pun kemudian diangkut pula masuk ke dalam rumah, sedang yang telah meninggal dikumpulkan pula menjadi satu di halaman untuk dikuburkan besok pagi.
Langit pun semakin lama menjadi semakin suram. Cahaya kemerah-merahan menjadi semakin redup dan kehitam-hitaman. Perlahan-lahan senja turun ke atas permukaan bumi.
Sesaat kemudian Wuranta itu datang kembali sambil memapah seorang perempuan tua. Hampir setua kakek yang sedang terluka di lambungnya.
“Dimanakah kakekmu itu, Ngger?” desis nenek itu.
“Di sana, Nek, di emper rumah itu.”
Tertatih-tatih di dalam papahan Wuranta nenek itu berjalan mendekati emper tempat kakek tua itu berbaring.
Hati Wuranta menjadi lega ketika ia masih melihat dalam keremangan senja kakek tua ini masih terbaring di emper. Namun kemudian hatinya berdesir ketika ia melihat kakek tua itu sama sekali diam, seolah-olah orang tua itu sudah tidak bernafas lagi.
Ketika mereka menjadi semakin dekat, maka hati Wuranta menjadi semakin berdebar-debar. Perlahan-lahan dipapahnya perempuan tua itu semakin mendekat.
Perempuan tua itu pun kemudian berlutut di samping suaminya. Terdengar ia bergumam, tetapi tidak jelas, apa yang dikatakannya. Namun tiba-tiba terdengar ia memanggil, “Kek, Kakek.”
Laki-laki tua yang terbaring itu ternyata masih hidup. Ia masih mendengar suara isterinya. Betapa lemah tubuhnya, namun ia paksakan dirinya membuka mata. Lambat sekali ia menjawab, “Nenek, kaukah itu?”
“O,” nenek tua itu tidak dapat lagi menahan dirinya. Ditelungkupkannya kepalanya di atas tubuh suaminya yang telah menjadi semakin lemah.
“Lukaku parah, Nenek.”
“Akan aku obati, Kek.”
Perlahan-lahan laki-laki tua itu menggelengkan kepalanya. “Tidak perlu. Tak ada obat yang dapat menyembuhkan lukaku. Darah sudah terlampau banyak mengalir, meskipun aku sendiri sudah mencoba menahan dengan sobekan kainku.”
“Tidak, Kakek, aku akan mengobatinya. Kau harus sembuh.”
Wuranta masih berdiri tegak seperti patung. Tiba-tiba ia teringat obat yang diberikan Ki Tanu Metir kepadanya. Obat itu dapat membantu sementara untuk menghentikan darah yang meleleh dari luka. Dan luka kakek itu masih saja meneteskan darah. Agaknya karena terlampau banyak darah yang keluar itulah maka kakek itu menjadi terlampau lemah. Ia sudah terluka sejak orang-orang Pajang memasuki padepokan ini. Hampir sehari ia terbaring dalam lukanya tanpa pertolongan kecuali atas usahanya sendiri. Meskipun, seandainya luka itu sendiri tidak terlampau parah, namun terlampau banyak darah yang mengalir pun akan dapat menyebabkan kematian. Karena itu, maka segera dicarinya bumbung kecil sisa obat yang dilumurkan luka di dadanya sendiri. Ketika ia menemukan obat itu, maka hatinya melonjak kegirangan.
“Kakek,” katanya terbata-bata, “aku mempunyai obat. Obat yang dapat menolong sementara memampatkan luka.”
Kakek yang terluka itu tidak segera menyahut, tetapi isterinyalah yang menjawab, “Benar, Ngger? Benarkah kau mempunyai obat itu.”
Tetapi alangkah kecewanya Wuranta ketika ternyata obat itu tinggal sedikit. Terlampau sedikit untuk mengobati luka lambung laki-laki tua itu. Meskipun demikian, obat yang sedikit itu dapat mengurangi penderitaannya dan dapat mengurangi darah yang menetes dari lukanya.
“Aku sudah cukup tua, Ngger. Luka-luka di tubuhku Betapapun kecilnya agaknya terlampau sukar untuk diobati. Lukaku kali ini pun terlampau sukar untuk diharapkan akan dapat sembuh.”
“Tidak, Kek, kau akan sembuh,” desis isterinya.
“Adalah suatu kebahagiaan bagiku, bahwa aku masih cukup kuat menahan diri sampai sehari ini. Dengan demikian aku masih dapat bertemu dengan kau, Nek,” katanya semakin lambat.
Nenek tua, isteri laki-laki yang terluka itu merapatkan kepalanya di dada suaminya. Meskipun ia berusaha sekuat-kuat tenaganya, namun terasa air matanya meleleh membasahi dada yang bidang, namun sudah mulai berkeriput karena garis-garis ketuaan yang semakin banyak.
“Jangan menangis, Nek,” desis laki-laki itu.
“Tidak,” jawab isterinya, “aku tidak menangis.”
Sekali lagi keduanya terdiam. Wuranta yang berjongkok di sampingnya setelah mencoba mengobati luka orang tua itu pun terdiam pula. Namun demikian perasaan iba dan haru menyentak-nyentak dadanya. Ia tidak dapat berbuat sesuatu meskipun ia melihat seorang laki-laki tua telah berada di ambang maut, di dalam pelukan isterinya yang telah tua pula.
“Apakah mereka tidak mempunyai anak?” bertanya Wuranta di dalam hatinya.
Wuranta mendekat ketika lamat-lamat ia mendengar, “Angger Wuranta.”
“Ya, Kakek,” jawab Wuranta.
“Apakah Hari memang sudah mulai gelap?”
“Ya, Kek. Senja telah hampir lampau.”
“O,” desisnya, “pandanganku telah menjadi gelap benar. Aku sudah tidak dapat melihat apa pun.”
Dada Wuranta menjadi berdebar-debar.
“Tidak, Kek,” tangis perempuan tua, isterinya, yang sudah tidak terbendung lagi, “kau akan sembuh. Aku tidak berani kau tinggalkan. Aku tidak mau hidup seorang diri.”
“Kau tidak akan hidup seorang diri, Nek,” jawabnya laki-laki itu perlahan sekali. “Angger Wuranta akan menemanimu. Bukankah begitu, Ngger?”
“Ya, ya Kek,” sahut Wuranta dengan serta-merta.
“Hem,” laki-laki tua itu mencoba menghela nafas dallam-dalam. “Ngger,” desisnya lambat sekali.
Wuranta berkisar semakin dekat. Dan dilihatnya lamat-lamat dalam keremangan senja laki-laki itu bergerak sedikit.
“Pagi tadi, Ngger,” katanya justru ketika aku sudah terbaring karena luka, aku dapat mengenali apa yang kau katakan, Ngger. Aku sudah merasakan betapa nikmatnya.”
“Apa, Kek?” bertanya Wuranta tergagap.
“Tadi pagi, ketika aku masih sanggup menahan tubuhku dengan tanganku, aku sudah dapat menikmati betapa cerahnya pagi. Saat-saat yang tidak pernah aku nikmati sebelumnya. Aku melihat betapa cahaya yang kehitam-hitaman berubah menjadi merah, kemudian kekuning-kuningan dan yang terakhir, ketika matahari muncul dari balik dedaunan, memancarlah cahaya yang putih cerah.”
“Ya, ya Kek. Pagi memang cerah.”
“Aku tidak pernah menikmatinya. Aku tidak pernah mendapat kesempatan itu. Tetapi kesempatan itu datang pagi ini. Pada hariku yang terakhir. “
“Bukan yang terakhir,” potong Wuranta.
Dada Wuranta berdesir ketika ia melihat laki-laki tua yang luka parah di lambungnya itu tersenyum. “Jangan menutup mata melihat kenyataan ini, Ngger. Tetapi kini, sejak aku melihat cerahnya pagi, aku merasa terlampau dekat dengan Nafas dari seluruh kehidupan. Aku merasa bahwa aku mendapatkan sesuatu, Ngger. Dan aku merasa menjadi semakin dekat.”
“Ya, Kek. Kau akan menjadi semakin dekat dengan Nafas segala kehidupan. Dan kau akan sembuh.”
“Bagiku sudah tidak ada bedanya, Ngger. Dan aku merasa bahwa hidupku di dunia ini sudah akan berakhir, berakhir hari ini. Tetapi aku sudah tidak perlu takut lagi. Aku sekarang sudah tahu ke mana aku harus pergi.”
Wuranta tidak menjawab. Tetapi hatinya menjadi semakin berdebar-debar. Apakah laki-laki tua itu benar-benar akian mati? Alangkah sedih hati isterinya. Ternyata mereka hanya hidup berdua saja selama ini. Agaknya mereka benar-benar tidak mempunyai seorang anak pun.
Tiba-tiba Wuranta teringat kepada Ki Tanu Metir. Ki Tanu Metir seorang dukun yang baik. Seorang dukun yang berpengalaman mengobati segala macam penderitaan. Karena itu maka tiba-tiba ia berkata, “Kek, tahankanlah sebentar. Aku akan memanggil seorang dukun yang baik, yang akan bersedia menolongmu.”
“Siapa?”
“Ki Tanu Metir.”
“Orang manakah dukun itu?”
“Menurut pendengaran ia berasal dari Dukuh Pakuwon. Ia adalah seorang dukun kepercayaan Kakang Untara.
“Untara Senapati Pajang?”
“Ya, Kek.”
“Tak ada gunanya. Ia tidak akan bersedia mengoba aku.”
“Ia pasti bersedia. Baginya akan terbuka kemungkinan yang sama bagi semua penderita. Ia tidak memperhitungkan siapakah penderita itu. Tetapi setiap penderitaan harus mendapat pertolongan.”
“Sudah aku katakan, Ngger, apabila aku sembuh pun, aku pasti hanya akan naik ke tiang gantungan.”
“Tidak, tidak Kek. Aku akan menjadi tanggungan, sebab kakek telah menolong aku, melepaskan aku dari tangan Sidanti.” Wuranta tidak menunggu jawaban orang tua itu. Segera ia berdiri dan berkata kepada isteri laki-laki yang terluka itu, “Aku akan memanggilnya. Tunggulah di sini, Nek. Berilah kakek harapan supaya ia dapat menahankan diri, sementara aku memanggil Ki Tanu Metir.”
Perempuan tua itu mengangguk lemah. Dari matanya masih saja meleleh butiran-butiran air mata yang bening.
Wuranta itu pun kemudian melangkah dengan tergesa-gesa. Ketika terlihat olehnya prajurit pengawal, maka ia berkata, “Jangan kau ganggu mereka.”
“Mereka harus segera dikumpulkan di antara orang-orang yeng terluka.” jawab prajurit itu.
Wuranta mengerutkan keningnya. Ketika ia berpaling dilihatnya nenek tua itu masih memeluk suaminya sambil menangis. Karena itu maka ia pun kamudian menjawab, “Jangan. Laki-laki itu jangan disentuh.”
“Kami mendapat perintah,” jawab prajurit itu.
“Khusus bagi laki-laki tua itu. Ia adalah kakekku. Aku sendirilah yang akan mengobatinya. Kemudian terserah kepadamu, apakah yang seharusnya kau lakukan terhadapnya.”
Prajurit itu terdiam sejenak. Kawan-kawannya yang mengumpulkan orang-orang yang terluka serta mengumpulkan mayat-mayat telah hampir selesai. Sebagian dari mereka kini sudah mulai memilih, memisahkan mayat-mayat orang Tambak Wedi dan orang-orang Jipang dari prajurit-prajurit Pajang. Mayat prajurit-prajurit Pajang yang gugur mereka kumpulkan semuanya di halaman banjar padepokan Tambak Wedi.
“Nah, tolong,” berkata Wuranta kemudian, “awasi kedua orang tua itu. Jangan diganggu dan jangan dipindahkan dahulu. Aku akan memanggil Ki Tanu Metir.”
Prajurit itu tidak sempat menjawab. Wuranta segera melangkahkan kakinya menuju ke banjar padepokan.
Namun sejenak langkahnya menjadi ragu-ragu. Ia tidak ingin bertemu dengan Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Ia sudah menolak ajakan Ki Tanu Metir untuk pergi ke banjar.
“Hem,” Wuranta menarik nafas dalam-dalam. Kini ia berdiri selangkah dari dinding belakang banjar padepokan. Sekali lagi ia dicengkam oleh keragu-raguan.
“Tidak,” desisnya, “aku tidak akan pergi ke banjar itu. Aku tidak ingin bertemu dengan Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Aku tidak ingin datang kepada Untara. Biarlah ia yang dahulu mencari aku. Tidak.”
Wuranta melangkah selangkah surut. Ketika ia memutar tubuhnya, maka terhalang kembali di ruang matanya, seorang laki-laki tua yang terbaring di emper rumah di halaman sebelah. Terbayang pula seorang perempuan tua yang menangisinya. Perempuan yang tidak sadia bersedih karena suaminya berada di ambang pintu maut, tetapi perempuan itu juga dicengkam oleh ketakutan pada hari-harinya sendiri. Hari-harinya yang mendatang.
Kini Wuranta itu berdiri seperti sebatang tonggak mati. Ia benar-benar berada di dalam keragu-raguan yang sangat. Apakah ia harus menemui Ki Tanu Metir di banjar untuk memintanya mengobati kakek tua yang terluka itu, atau tidak. Kalau tidak, maka laki-laki itu pasti akan mati, tetapi kalau ia melangkah terus ke banjar padepokan, maka hatinya pasti akan menjadi semakin pedih.
Dalam kebimbangan itu tiba-tiba Wuranta mendengar tangis seorang perempuan. Ia terkejut. Namun kemudian disadarinya bahwa tangis itu bukan tangis perempuan tua yang menangisi suaminya. Tangis itu datang dari banjar padepokan. Namun tangis itu telah mempertebal ingatannya tentang perempuan tua yang duduk bersimpuh di samping suaminya yang telah berada di ujung maut.
Dengan demikian maka pergolakan perasaan di dada Wuranta menjadi semakin dahsyat, dibakar oleh kebimbangan. Sekali-sekali ia menggeram. Dan kemudian berdiri lesu dengan kepala tertunduk dalam-dalam.
Senja semakin lama menjadi semakin kelam. Perlahan-lahan angin lereng yang silir bertiup mengusap tubuhnya.
Tiba-tiba Wuranta itu menggeretakkan giginya. Sambil mengepalkan tangannya ia menggeram, “Aku akan menemui Ki Tanu Metir. Persetan dengan Agung Sedayu, Sekar Mirah, dan Untara. Aku akan berusaha menyelesaikan kedua orang tua itu.”
Wuranta itu kemudian telah membulatkan hatinya. Ia berhasil melepaskan tekanan perasaan tentang diri sendiri. Ia tidak dapat mengelakkan perasaannya tentang kedua suami isteri tua yang kini sedang disentuh oleh ketakutan dan kecemasan, apalagi atas tekanan jari-jari maut.
Dengan mengatupkan giginya rapat-rapat, Wuranta meloncati dinding halaman belakang banjar padepokan Tambak Wedi. Kemudian dengan tergesa-gesa ia melangkah menuju ke banjar. Ketika seseorang prajurit menegurnya, Wuranta sama sekali tidak mau berhenti.
“He tunggu,” berkata prajurit itu.
Wuranta mempercepat langkahnya. Sinar pelita dari pendapa banjar telah dilihatnya.
“Berhenti!” tegur prajurit itu.
Wuranta berjalan terus. Beberapa langkah lagi ia akan sampai ke sisi banjar. Tetapi tiba-tiba langkahnya terhenti ketika prajurit yang lain tiba-tiba saja seolah-olah jatuh dari langit, telah berdiri di hadapannya. Dengan pedang telanjang prajurit itu berkata, “Kau tidak menurut perintah prajurit yang sedang berjaga-jaga di halaman belakang. Siapakah kau?”
Sebelum Wuranta menjawab, ia sempat melihat prajurit yang menegumya telah berdiri di sampingnya. Dengan muka merah prajurit itu membentak, “Apakah aku perlu menghentikanmu dengan kekerasan he?”
“Kalau itu yang kau anggap baik, maka lakukanlah,” sahut Wuranta.
Terdengar gigi prajurit itu beradu. “Siapa kau?” bentaknya.
Hati Wuranta yang sedang kalut itu menjadi terbakar kembali oleh perasaannya yang sudah hampir padam. Perasaan kecewa, marah, rendah diri dan bermacam-macam lagi, yang tersalur dalam ujud yang lain. Justru karena itu maka ia menjawab sambil menengadahkan wajahnya, “Bertanyalah kepada Untara, siapakah aku.”
Sejenak kedua prajurit yang menghentikannya itu saling berpandangan. Jawaban itu ternyata telah mempengaruhi perasaan mereka. Namun demikian mereka sedang berada di dalam kewajiban, sehingga salah seorang dari mereka berkata, “Aku bertanya kepadamu. Tidak kepada Ki Untara. Siapakah kau?”
Dada Wuranta menjadi pepat. Serasa dada itu akan meledak. Niroun Ya tidak dapat berbuat lain dari meniebut namanya, “Aku Wuranta, anak Jati Anom, Nah, kau dengar?”
Prajurit-prajurit Pajang itu mengerutkan kening mereka. Sejenak mereka saling berpandangan. Ternyata meskipun mereka termasuk di antara prajurit-prajurit Pajang yang belum pernah melihat Wuranta, namun mereka telah mendengar nama itu. Nama yang saat itu sering disebut-sebut oleh prajurit Pajang. Mereka mengenal Wuranta sebagai seorang anak Jati Anom yang dengan suka-rela membantu mereka, mengetahui keadaan padepokan Tambak Wedi.
Meskipun demikian sikap anak muda itu sama sekali tidak menyenangkan kedua prajurit itu. Bagaimanapun juga pentingnya kedudukan seseorang, namun mereka harus menyatakan diri sejelas-jelasnya kepada setiap petugas. Sehingga sikap Wturanta itu telah menimbulkan kebimbangan para prajurit itu.
“Nah, apakah kalian telah mendengar namaku?” tiba-tiba Wuranta berkata, “Sekarang aku akan bertemu Untara.”
“Ah,” salah seorang prajurit itu hampir-hampir tidak dapat mengendalikan dirinya, dan yang seorang menyambung, “Ki Sanak, siapa pun juga kau, bahkan Ki Untara sendiri, harus berhenti apabila seorang petugas menghentikannya di tempat semacam ini. Bahkan seandainya yang lewat ini Panglima Wira Tamtama sekalipun. Aku yakin bahwa mereka mengerti apa yang sedang kami lakukan dan apa yang harus mereka lakukan. Tetapi jangan menganggap kami tidak berarti. Kami tahu, bahwa kami tidak sepantasnya menyejajarkan diri dengan kau, Ki Sanak. Kami telah mendengar nama Wuranta dari Jati Anom, meskipun baru sekarang kami melihat wajah Ki Sanak. Namun sikap Ki Sanak dapat menumbuhkan kekecewaan di hati kami.”
“Terserahlah kepada kalian. Pandangan kalian terhadap aku sama sekali tidak merubah sikapku, sifatku dan watakku. Inilah Wuranta. Baik atau jelek, inilah keadaannya.”
Kedua prajurit itu sekali lagi saling berpandangan. Seandainya yang berdiri di depan mereka itu bukan Wuranta, anak Jati Anom yang mereka anggap telah membantu mereka menyelesaikan pekerjaan yang berat ini, maka sikap mereka akan lain. Mereka menyesal bahwa mereka telah lebih dahulu mendengar tentang Wuranta. Seandainya belum, maka tindakan yang mereka lakukan atas anak yang mereka anggap sombong itu tidak akan dapat disalahkan oleh siapa pun. Bahkan kedua pradiurit itu mengharap, mudah-mudahan Wuranta bertemu dengan orang-orang yang belum mengenalinya dan belum mendengar namanya.
Kedua prajurit itu sama sekali tidak menegurnya lagi. Bahkan ketika Wuranta berkata kepada mereka, “Aku akan berjalan terus. Tak ada kepentinganku dengan kalian,” kedua pradiurit itu bersikap acuh tak acuh sadia. Mereka memalingkan wajah-wajah mereka dan berjalan menjauhinya tanpa menjawab sepatah kata pun.
Melihat sikap keduanya justru Wuranta-lah yang tertegun sejenak. Tetapi ketika teringat olehnya laki-laki tua dan isterinya yang menunggunya, maka kemarahannya ditahankannya. Namun di dalam hati ia berkata, “Oh, kedua pradiurit itu belum mengenal Wuranta. Tanpa Wuranta mereka tidak berarti apa-apa lagi.”
Kemudian dengan tergesa-gesa Wuranta meninggalkan kedua pradiurit itu dengan wajah bersungut-sungut. “Aku tidak memerlukan kalian. Aku memerlukan Ki Tanu Metir.”
Tetapi ketika hatinya berdesis tentang orang tua itu, tentang dukun yang baik itu, maka kesadarannya kembali merayapi dadanya. Kesadaran tentang diri sendiri dan kesadaran tentang keadaan seluruhnya di dalam padepokan ini.”
“Oh,” desahnya. Tanpa dikehendakinya ia berpaling ke arah kedua prajurit itu. Di dalam dadanya menjalarlah perasaan sesal dan bahkan malu atas sikapnya sendiri. Namun kedua prajurit itu sudah tidak dilihatnya. Mereka telah hilang di dalam gelap.
Wuranta menarik nafas dalam-dalam. Terasa kepedihan yang sangat menyentuh dadanya.
Ketika ia menjadi semakin dekat dengan pendapa banjar padepokan maka hatinya menjadi kian berdebar-debar. Kini ia merasakan sekali lagi pertentangan di dalam dirinya. Apakah ia akan berjalan terus, atau mengurungkan niatnya. Betapa ia mencoba mempergunakan nalarnya, tetapi ia berniat untuk sama sekali tidak ingin bertemu dengan Agung Sedayu dan Sekar Mirah.
“O,” Wuranta mengeluh, “alangkah kacaunya perasaanku. Aku akan dapat menjadi gila karenanya.”
Meskipun demikian ia melangkah maju. Kalau-kalau ia melihat seseorang. Kalau-kalau ia melihat Ki Tanu Metir.
Di muka pendapa banjar itu beberapa orang prajurit dan perwira Pajang masih sibuk dengan tugas masing-masing. Beberapa orang berjalan hilir-mudik. Yang lain berdiri berbicara di antara mereka.
Sedang di muka regol Wuranta melihat prajurit-prajurit yang sedang berjaga-jaga. Kalau mereka melihatanya, maka mereka pasti akan menanyakan kepadanya tentang dirinya seperti prajurit yang lain. “Aku harus bersikap baik,” desisnya. “Prajurit-prajurit itu tidak tahu-menahu tentang aku dan kesulitanku.”
Beberapa saat Wuranta masih berdiri di kegelapan. Ketika ia melihat orang yang sibuk memisahkan orang-orang yang terluka berat dan yang agak ringan digandok sebelah pendapa itu, maka dilihatnya orang tua yang dicarinya. Ternyata Ki Tanu Metir sebagai seorang dukun tidak dapat duduk diam di dalam pringgitan. Sebagai seorang dukun ia terdorong oleh panggilan hatinya untuk ikut serta meringankan penderitaan orang-orang yang terluka.
Demikian melihat Ki Tanu Metir, maka hati Wuranta sudah tidak tertahankan lagi. Dengan serta-merta ia berjalan mendekatinya. Beberapa orang prajurit dan perwira yang melihatnya sejenak tertegun diam. Namun kemudian seorang daripadanya bergerak untuk menyusulnya. Tetapi seorang perwira berkata, “Biarkan. Itu adalah Wuranta, anak Jati Anom.”
Prajurit itu berhenti, dan dibiarkannya Wuranta mendekati Ki Tanu Metir yang sedang sibuk.
Ki Tanu Metir berpaling ketika ia merasa pundaknya digamit oleh seseorang. Ternyata yang berdiri di belakangnya adalah Wuranta, sehingga dengan serta-merta orang tua itu berkata, “He, kaukah itu, Ngger? Aku senang sekali melihat kau merubah pendirianmu. Ternyata kau mau datang ke banjar ini. Marilah, Swandaru dan Agung Sedayu berada di dalam banjar.”
“Maaf, Kiai,” sahut Wuranta, “aku tidak akan menemui siapa pun di sini kecuali Kiai.”
“Aku?”
“Ya.”
Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya. Wajahnya memancarkan pertanyaan yang bergelut di dalam hatinya.
“Aku memerlukan Kiai.”
“O, barangkali Angger ingin mendapatkan obat bagi luka Angger itu? Apakah luka itu berdarah lagi?”
“Lukaku sudah sembuh, Kiai. Aku sudah tidak merasakan sakit sama sekali. Tetapi aku memerlukan Kiai untuk seorang kakek yang terluka.”
“Siapakah orang itu?”
“Seorang laki-laki tua dari Tambak Wedi ini.”
“Kenapa?”
“Orang itu terluka di lambungnya, Kiai. Lukanya cukup berat. Aku ingin minta Kiai mengobatinya.”
Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Aku juga sedang mengobati luka-luka, Ngger. Orang Pajang, orang Jipang, dan orang Tambak Wedi.”
“Luka itu terlampau berat Kiai. Luka itu sangat membabayakan jiwanya. Jiwa orang tua itu.”
“Ya,” Ki Tanu Metir berdesah, “di sini pun orang-orang yang terluka itu segera memerlukan pertolongan. Jiwa mereka juga terancam. Karena itu, Ngger, mari silahkan duduk di dalam. Angger Untara aku kira sudah berada di dalam pula bersama Swandaru dan Agung Sedayu. Nanti sesudah aku menolong orang-orang di sini bersama beberapa orang yang bertugas, aku akan pergi bersama Angger.”
“Tidak, Kiai. Aku harap Kiai pergi sekarang. Di sini telah banyak orang yang merawat orang-orang yang terluka. Apabila Kiai telah meninggalkan obat bagi mereka, maka Kiai akan dapat meninggalkan mereka.”
“Aku belum memberikan obat apa-apa, Ngger. Aku masih belum sempat membuat. Yang ada adalah obat persediaan dari pasukan Pajang sendiri. Yang dibuat oleh para dukun di Pajang itulah yang kami pergunakan sekarang. Di tempat-tempat lain, obat-obat semacam ini pula yang dipergunakan, sehingga laki-laki tua yang Angger maksud itu pasti akan mendapat perawatan yang serupa oleh petugas-petugas di tempat itu, meskipun ia seorang dari Tambak Wedi.”
“Tidak, Kiai. Ia sama sekali belum mendapat perawatan. Lukanya parah. Mungkin orang itu kehabisan darah. Aku telah mencoba mengobati lukanya dengan sisa obat yang Kiai berikan kepadaku. Tetapi obat itu tinggal sedikit, sehingga tidak begitu bermanfaat lagi bagi lukanya.”
“Maaf, Ngger, nanti aku akan datang. Di sini orang-orang yang terluka parah, dan segera harus mendapat pertolongan terlampau, banyak. Aku akan menolong mereka, dan kemudian aku akan pergi kepada laki-laki tua yang Angger maksud.”
“Kiai,” Wuranta mulai menjadi cemas, “kalau Kiai tidak segera datang, laki-laki tua itu pasti akan mati. Laki-laki itu adalah laki-laki yang lelah menolongku. Sebenarnya aku sama sekali tidak ingin menginjakkan kakiku di banjar ini, bertemu dengan para prajurit yang selalu marah-marah dan merendahkan aku. Aku tidak ingin bercermin atas kekerdilanku. Tetapi aku terpaksa, Kiai, karena aku memikirkan orang itu. Aku korbankan perasaan tentang diriku sendiri, karena aku tidak sampai hati melihat orang tua itu menderita. Kiai, apabila laki-laki itu tidak memberi kesempatan aku lari dari tahanan Sidanti, maka akhir dari peperangan ini pun akan berbeda, sebab aku tidak akan sempat memberitahukan kepada Kiai apa yang telah terjadi. Dan aku tidak akan dapat memenuhi perintah Kiai untuk pergi ke Jati Anom. Mungkin aku pernah menceriterakannya kepada Kiai, bahwa seorang kakek yang pernah memberikan tempat kepadaku tinggal di padepokan ini, dan kemudian mendapat perintah untuk menangkap aku, tetapi kemudian memberi jalan kepadaku untuk melarikan diri.”
“Ya, ya Ngger, kau pernah mengatakannya.”
“Nah laki-laki tua itulah yang kini terluka. Bahkan keadaannya telah menjadi terlampau gawat. Aku mencegah ketika beberapa orang akan mengambilnya dan mengumpulkannya dengan orang-orang yang lain, sebab aku berpengharapan bahwa aku akan dapat berusaha untuk setidak-tidaknya membalas budi, memanggil Kiai kepadanya. Sebab aku sendiri memang terlampau dungu untuk berbuat sesuatu.”
Ki Tanu Metir menarik nafas. Alisnya yang telah satu-dua ditumbuhi rambut-rambut yang berwarna putih tampak bergerak-gerak. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia kemudian berkata, “Apakah Angger ingin aku datang kepadanya sekarang?”
“Ya.”
Ki Tanu Melir terdiam sesaat. Ia dapat membayangkan perasaan Wuranta. Anak muda itu sama sekali sudah tidak ingin datang ke banjar ini karena perasaannya yang tidak menemukan keseimbangan. Sikapnya sebagai seorang anak muda yang masih terlampau banyak dipengaruhi oleh darah mudanya. Tetapi perasaan itu telah dikorbankan karena seorang laki-laki tua yang terluka.
Namun orang tua yang terluka itu ternyata telah menolong jiwa Wuranta, dan memungkinkan Wuranta melakukan tugas-tugas terakhirnya menjelang benturan antara orang-orang Jipang dan orang-orang Tambak Wedi.
Karena itu, maka Ki Tanu Metir itu kemudian menjawab, “Baiklah, Ngger, aku pergi bersamamu. Tetapi apakah angger, tidak ingin singgah sebentar di banjar ini untuk bertemu dengan Angger Untara, Swandaru, dan Agung Sedayu? Mungkin ada sesuatu yang ingin mereka katakan kepadamu?”
Tetapi Wuranta itu menggeleng sambil berkata, “Tidak, Kiai. Orang yang luka itu segera memerlukan pertolongan.”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian diselesaikannya pekerjaannya atas seorang yang terluka, yang sudah terlanjur dimulainya. Kemudian kepada salah seorang prajurit Pajang yang bertugas menolong para korban itu Ki Tanu Metir berkata, “Angger, aku akan pergi sebentar. Ada orang terluka yang sangat memerlukan aku.”
Orang itu mengerutkan keningnya. Di sekitarnya terbaring banyak sekali orang-orang yang terluka. Tetapi seseorang yang terluka telah menunggu orang tua itu.
Agaknya Ki Tanu Metir dapat meraba apa yang tersirat di dalam hati prajurit itu. Maka ia menjelaskannya, “Angger, agaknya orang-orang yang terbaring di sini akan segera mendapat perawatan dari para prajurit yang bertugas untuk itu, sedang orang yang dikatakan oleh Angger Wuranta ini adalah seorang yang terbaring di halaman, yang tidak akan segera ditolong oleh para petugas. Maka aku akan mencoba menolongnya apabila mungkin.”
“Kenapa orang itu tidak dibawa kemari, atau dikumpulkan di tempat terdekat? Dengan demikian maka ia pun akan mendapat pertolongan serupa dengan yang lain.”
Sebelum Ki Tanu Metir menjawab, maka Wuranta telah mendahului, “Apa pedulimu? Orang yang terluka itu sama sekali bukan urusanmu. Sedang pekerjaan ini adalah pekerjaanmu, bukan pekerjaan Ki Tanu Metir.”
Prajurit itu mengerutkan keningnya. Tiba-tiba wajahnya menjadi merah. Dengan dada yang bergelora ia berkata, “Siapa kau?”
Sebelum Wuranta menjawab, Ki Tanu Metir telah mendahului, “Angger Wuranta. Namanya Angger Wuranta. Bukankah begitu?”
Ketika Wuranta memandangi wajah Ki Tanu Metir yang dalam namun penuh dengan ketenangan yang serasa menghunjam jantungnya, tiba-tiba Wuranta menundukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia berkata, “Maaf, maaf.”
Prajurit itu mendengar suara Wuranta yang lambat itu. Tumbuhlah keheranan di dadanya. Apakah gerangan yang telah terjadi atas anak muda yang bernama Wuranta itu? Tetapi prajurit yang sehari-hari memang bertugas mengurusi orang-orang yang terluka itu mencoba untuk memahami sikap, sifat, dan keadaan orang-orang di dalam peperangan. Mereka kadang-kadang menjadi seorang yang aneh. Pemarah, kasar, dan kadang-kadang tidak dapat dipahami.
“Nah,” berkata Ki Tanu Metir kemudian, “maaf, Ngger. Aku akan pergi bersama Angger Wuranta sejenak. Aku akan segera kembali dan membantu Angger menolong orang-orang yang terluka. Apabila aku tidak segera datang, maka aku telah melakukannya pula di tempat yang lain. Bagiku sama saja, di sini, di rumah sebelah, di halaman dan di mana saja aku menjumpai orang-orang yang terluka.”
“Baiklah, Kiai,” sahut prajurit itu. Tetapi sekali lagi ia mencoba memandangi wajah Wuranta yang tunduk. Wajah itu membawa seribu macam kesan yang campur-baur. Dan prajurit yang bertugas menolong orang-orang yang terluka itu tidak dapat menebak, apakah yang sedang bergulat di dalam dada Wuranta sebenarnya.
Sesaat kemudian Ki Tanu Metir itu pun telah mengikuti Wuranta turun ke halaman. Para prajurit dan perwira yang masih berada di halaman dan yang berjalan hilir mudik di pendapa, melihat mereka berdua berjalan melintasi halaman banjar. “Mereka sama sekali tidak singgah untuk menemui Untara atau Swandaru atau Agung Sedayu. Bahkan mereka berjalan tergesa-gesa seperti takut kemalaman.”
Wuranta membawa Ki Tanu Metir berjalan lewat jalan yang dilalumya. Melintasi kebun dan halaman-halaman di belakang. Sekali mereka berpapasan dengan prajurit yang menghentikan Wuranta ketika ia pergi kebanjar. Prajurit itu segera memalingkan wajahnya dan berjalan menjauh. Tampaklah dalam sikapnya, betapa ia merasa tersinggung atas kata-kata Wuranta.
Semakin dekat dengan tempat kakek yang terbaring luka, Wuranta menjadi semakin berdebar-debar. Senja kini telah menjadi semakin malam. Di sana-sini tampak sinar obor yang dipasang oleh para prajurit Pajang. Tidak saja di rumah-rumah yang dipergunakan, tetapi juga di halaman-halaman.
Di dalam keremangan cahaya obor, Wuranta tidak dapat segera melihat, apakah laki-laki tua yang ditinggalkannya masih terbaring di tempatnya.
Ketika ditemui prajurit yang berjalan hilir-mudik mengawal halaman itu, terbata-bata Wuranta bertanya, “Apakah kakek masih di tempatnya?”
“Masih. Tetapi tidak seorang pun yang merawatnya, sebab ia tidak berada di tempat yang telah disediakan. Aku mencegah para petugas yang akan mengambil mereka seperti yang kau pesankan.”
“Terima kasih,” desis Wuranta sambil meloncat ke emper tempat laki-laki tua itu terbaring. Ketika ia berdiri beberapa langkah lagi, maka ia masih melihat bayangan kehitam-hitaman di dalam cahaya yang terlampau lemah dari obor di kejauhan.
“Kakek,” Wuranta tidak sabar sampai ia berdiri di dekat orang yang terbaring itu.
“Kakek,” Wuranta mengulang, tetapi tidak ada jawaban.
Akhirnya Wuranta berdua bersama Ki Tanu Metir telah berdiri di samping kedua tubuh itu. Wuranta masih melihat nenek itu memeluk suaminya dan meletakkan kepalanya di dada laki-laki yang terbaring itu.
“Kakek,” panggil Wuranta perlahan-lahan. Tak ada jawaban.
“Nenek,” panggilnya pula. Tidak juga ada jawaban. Hati Wuranta menjadi berdebar-debar. Sejenak ia berpaling kepada Ki Tanu Metir yang berdiri di sampingnya.
“Inilah, Kiai, suami isteri yang aku katakan. Kakek terluka di lambungnya.”
Perlahan-lahan Ki Tanu Metir berjongkok di samping kedua orang itu. Orang yang telah cukup berpengalaman itu sama sekali tidak menyentuhnya. Perlahan-lahan ia menggelengkan kepalanya sambil berdesis dalam sekali, “Kita telah terlambat, Ngger.”
Kata-kata Ki Tanu Metir itu terdengar seperti ledakan petir yang menyambar tengkuk Wuranta. Sejenak ia berdiri mematung, sedang mulutnya terkatup rapat-rapat. Tanpa berkedip ia memandang Ki Tanu Metir dengan sorot mata yang aneh.
Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam. “Keduanya telah meninggal, Ngger.”
“Kiai,” hanya itu yang terlontar dari mulut Wuranta.
“Ya,” Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sejenak Wuranta masih mematung. Namun tiba-tiba ia berjongkok di samping mayat kedua suami isteri itu. Seperti orang yang kehilangan akal Wuranta. Menggoncang-goncangnya dan memanggil-manggilnya, “Kakek, Kakek.”
Tetapi kakek tua itu sama sekali tidak menjawab. Bahkan bergerak pun tidak.
Wuranta masih juga tidak percaya pada penglihatannya. Kini ia menggoncang nenek tua yang seolah-olah sedang menangisi suaminya dengan meletakkan kepalanya di dada laki-laki itu.
“Nenek, Nenek,” panggil Wuranta. Nenek tua itu pun tidak menjawab.
Terasa dada Wurantu seakan-akan menjadi pecah karenanya. Nafasnya terengah-engah dan urat-urat di keningnya menegang.
“Kiai, apakah mereka berdua telah benar-benar meninggal?”
“Ya, Ngger, keduanya telah meninggal.”
“Oh, apakah Kiai tidak dapat berbuat apa-apa. Kenapa Kiai hanya diam saja?”
“Apakah yang harus aku lakukan? Terhadap mereka aku tidak kuasa berbuat apa-apa.”
“Tidak, Kiai. Mereka belum meninggal. Aku meninggalkan mereka di sini belum begitu lama. Mereka berdua masih hidup dan mereka masih bercakap-cakap.”
“Mungkin, Ngger, tetapi sekarang mereka telah meninggal.”
“Berbuatlah sesuatu, Kiai, berbuatlah sesuatu.”
Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada yang berat ia menjawab, “Sayang, tidak ada seorang manusia pun yang mampu berbuat sesuatu atas mereka.”
“Oh, bohong, bohong. Kiai tidak mau menolongnya karena ia bukan prajurit Pajang, bukan orang Sangkal Putung dan bukan pula pembantu Untara. Orang itu adalah orang Tambak Wedi.”
“Anakmas Wuranta,” desis Ki Tanu Metir, “aku tidak pernah membedakan orang mana pun juga dan dalam keadaan apa pun juga. Apabila orang itu terluka, apalagi dalam keadaan parah, maka aku wajib menolongnya. Tetapi aku, dan siapa pun juga, tidak akan dapat berbuat sesuatu atas orang ini. Mereka telah meninggal dunia.”
“Oh,” kata-kata Wuranta terputus. Dan tanpa disangka-sangka oleh Ki Tanu Metir maka Wuranta itu pun terisak. Anak muda itu menangis. Ia merasa kehilangan seorang yang telah menolongnya. Seorang yang baik, yang paling baik yang pernah dikenalnya. Yang tidak merendahkannya, baik dengan kata-kata mau pun dengan perbuatan. Wuranta yang merasa dirinya tidak berharga di mata orang-orang Pajang setelah pertempuran berakhir, sama sekali merasa tidak merapunyai seorang kawan pun di padepokan Tambak Wedi. Kakek tua itu pasti akan menjadi orang yang baik untuk mengawaninya. Terhadap kakek tua dari Tambak Wedi yang telah dikalahkan itu, Wuranta sama sekali tidak merasa dirinya terlampau rendah.
Tetapi kakek tua itu kini telah mati.
Ki Tanu Metir kini berdiri termangu-mangu melihat sikap Wuranta. Ia menangisi laki-laki tua dari Tambak Wedi itu. Ki Tanu Metir pun merasa iba dan terharu melihat suami isteri yang meninggal bersama-sama. Ia dapat menduga, bahwa isterinya menjadi sangat terkejut melihat suaminya meninggal, kemudian karena kejutan perasaan itu, kejutan yang tidak tertahankan oleh jantungnya yang lemah, maka ia pun meninggal juga.
Tetapi bahwa Wuranta sampai menangis, ternyata benar-benar telah menyentuh perasaannya.
“Mungkin Angger Wuranta merasa berhutang budi kepadanya,” berkata Ki Tanu Metir di dalam hatinya. “Laki-laki tua itu adalah orang yang telah menolongnya, membebaskannya dari tangan Sidanti. Mungkin, ya mungkin. Anak mas Wuranta belum sempat membalas budi itu, dan laki-laki itu telah meninggal bersama isterinya.”
Ki Tanu Metir itu terperanjat ketika ia melihat tiba-tiba Wuranta berdiri. Dengan gigi gemeretak ia menggeram, “Kiai, lihat. Inilah salah satu wajah dari tindakan prajurit Pajang atas Tambak Wedi. Suami isteri yang telah lanjut, mati bersama-sama. Alangkah mengerikan.”
Ki Tanu Metir tidak segera menjawab. Hanya keningnya sajalah yang berkerut.
“Apakah Kiai tidak terharu melihatnya? Mungkin Kiai telah terlalu sering melihat kematian. Justru Kiai adalah seorang dukun. Seperti seorang pande besi menghadapi sepotong besi merah saja agaknya. Kiai menghadapi orang-orang sakit. Kalau Kiai berhasil demikianlah yang Kiai kehendaki, seperti pande sedang membuat pedang. Kalau pedang itu gagal, maka Kiai tidak begitu menyesal karenanya. Bagi Kiai kegagalan itu adalah suatu keadaan yang wajar dan terlampau biasa. Tetapi sepotong besi akan dapat dibakar untuk kedua kalinya, meskipun untuk alat-alat yang lain. Sedang kematian adalah jauh berbeda daripadanya. Kiai harus menyesal sekali, Kiai harus terharu dan berduka cita. Apakah hati Kiai telah membeku karena terlampau sering melihat kematian? Dan kegagalan yang demikian adalah suatu peristiwa yang wajar tanpa suatu kesan apa pun di hati Kiai?”
Ki Tanu Metir tidak segera menjawab. Dibiarkannya saja anggapan anak muda itu atas dirinya. Kalau ia membantah, maka hati anak muda itu akan menjadi semakin terbakar. Meskipun demikian ia terpaksa bertanya kepada Wuranta, “Apakah prajurit Pajang yang telah membunuhnya?”
Pertanyaan itu membuat Wuranta terdiam sesaat. Dahinya yang mengkilat oleh keringat tampak berkerut-merut. Ditatapnya wajah Ki Tanu Metir dengan tajamnya. Namun ketika pandangan mata mereka bertemu, cepat-cepat Wuranta berpaling.
Tetapi untuk menutupi kekecilan diri segera ia berkata lantang, “Apakah bedanya? Siapa pun yang telah membunuh kakek tua ini, namun ini adalah akibat dari peperangan.”
“Ya, peperangan memang selalu berakibat buruk. Tetapi siapakah yang telah membunuhnya? Prajurit Pajang?”
Akhirnya Wuranta terpaksa menggeleng lemah, “Tidak, Kiai. Kakek dibunuh oleh orang-orang Jipang dalam perselisihan yang terjadi sebelum prajurit Pajang datang.”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. “Jadi yang membunuh laki-laki tua itu sama sekali bukan prajurit Pajang?”
“Apa bedanya?” tiba-tiba nada suara Wuranta meninggi. “Apa bedanya Kiai? Di halaman ini, di halaman banjar dan sekitarnya, bertebaran mayat orang-orang Tambak Wedi. Mereka sebagian mati karena ujung senjata orang-orang Pajang. Meskipun orang-orang Pajang tidak membunuh kakek tua ini, tetapi orang-orang lain dibunuhnya. Orang-orang lain yang beranak dan beristeri pula. Mereka mati meninggalkan anak dan isterinya dalam penderitaan dan kesedihan.” Wuranta berhenti sejenak. Wajahnya tampak semerah tembaga dalam keremangan cahaya obor di kejauhan. “Kiai, aku menyesali bahwa aku telah melakukan pekerjaan yang Kiai rencanakan. Pekerjaan itu hampir membunuhku. Ketika aku terlepas dari maut maka akibat dari pekerjaaaku adalah ini,” Wuranta menunjuk laki-laki tua itu beserta isterinya. “Bukan saja sepasang suami isteri, tetapi berpuluh-puluh. Sebaiknya aku tidak melakukannya, dan pepati ini pasti akan terhindar. Aku tidak usah turut campur segala macam persoalan di dalam padepokan ini. Seandainya aku diam saja, tidak memberitahukan kepada orang-orang Sidanti, bahwa Alap-alap Jalatunda memasuki rumah tempat Sidanti menyimpan Sekar Mirah, maka orang-orang Jipang tidak akan saling membunuh dengan orang-orang Tambak Wedi.”
Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam, “Lalu Angger akan membiarkan saja tingkah laku Alap-alap Jalatunda itu?”
“Apa peduliku. Korban dari peristiwa itu hanyalah seorang gadis saja. Sekar Mirah. Tetapi sekarang? Korban berjatuhan tidak terbilang.”
“Tidak akan jauh berbeda, Ngger. Sekar Mirah akan mengatakan kepada Sidanti apa yang terjadi. Dan pertempuran antara mereka tidak akan terhindar.”
“Belum pasti. Kalau Alap-alap Jalatunda membunuh Sekar Mirah, maka rahasia itu akan tetap tidak terbuka.”
Dada Ki Tanu Metir berdesir mendengar kata-kata Wuranta, bahkan seluruh bulu-bulunya meremang. Sejenak orang tua itu terdiam. Sesuatu bergelora di dalam hatinya. Dahsyat sekali. Tetapi wajah orang tua itu sama sekali tidak membayangkan perasaannya. Dengan susah payah, Ki Tanu Metir mencoba untuk menyembunyikan getar jantungnya. Apalagi ketika Wuranta berkata, “Kiai, ternyata apa yang telah aku lakukan dengan hampir saja mengorbankan nyawaku, dan sekarang ternyata lelah menelan berpuluh jiwa di dalam peperangan ini hanyalah sekedar menyenangkan hati Agung Sedayu.”
“Ah,” terloncat suatu desah yang serta-merta dari mulut Ki Tanu Metir. Tetapi orang itu kemudian mencoba untuk diam.
“Lalu, apakah yang sebenarnya terjadi?” bertanya Wuranta. “Apakah Kiai dapat mengatakan lain daripada itu?”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya, ya Ngger. Angger benar. Peperangan ini telah membunuh berpuluh-puluh korban dari segala pihak. Terutama orang-orang Jipang dan orang-orang Tambak Wedi. Ya, seandainya Sekar Mirah dikorbankan, maka keadaannya akan lain sekali, Ngger. Orang-orang Jipang dan orang-orang Tambak Wedi tidak akan mengalami nasib sepahit ini.”
“Nah, bukankah Kiai mengakui?”
“Ya, ya Ngger. Aku sependapat,” Ki Tanu Metir terdiam sejenak, lalu ia meneruskan, “Tetapi, bagaimanakah kalau yang menjadi korban itu orang-orang Jati Anom? Apakah kira-kira akan menjadi lebih baik?”
Wuranta terkejut mendengar pertanyaan itu sehingga hampir-hampir ia terlonjak. Dengan sorot mata yang aneh ditatapnya wajah Ki Tanu Metir. Namun sekali lagi Wuranta melontarkan pandangan matanya jauh-jauh ketika pandangan mata mereka beradu.
“Angger Wuranta,” berkata Ki Tanu Metir, “peristiwa seperti yang dialami oleh Sekar Mirah akan dapat saja terjadi atas gadis-gadis Jati Anom. Seandainya benar terjadi demikian, dan gadis itu adalah adik Angger Wuranta, maka Angger pasti akan berpendapat lain. Tetapi adalah kebetulan sekali bahwa Angger Wuranta, anak Jati Anom, dapat membantu kami. Persoalannya tidak hanya sekedar Sekar Mirah, tetapi, bagaimanakah kalau kemudian orang-orang Jipang dan Tambak Wedi menjadi semakin kuat, dan dengan serta-merta sebagian dari mereka menduduki Jati Anom? Selama ini mereka hanya sekedar mendatangi kademangan itu, karena mereka tidak cukup kuat untuk mendudukinya dengan membagi pasukan. Tetapi suatu ketika maka sebagian dari mereka akan mengalir ke Timur, seperti bendungan yang penuh dan melimpah, menggenangi kademangan Jati Anom. Apabila anak-anak muda dan setiap laki-laki Jati Anom kemudian melakukan perlawanan setelah menghimpun diri, maka apa yang kita lihat sekarang adalah gambaran dari apa yang terjadi. Tetapi yang bergelimpangan di halaman, di jalan-jalan dan bahkan kakek-kakek tua dan nenek-nenek tua yang menjadi korban, adalah orang-orang Jati Anom. Orang-orang Tambak Wedi dan orang Jipang akan berada di pendapa kademangan, bertolak pinggang sambil memanggil setiap perempuan dan gadis-gadis cantik untuk memenuhi panggilan nafsu mereka beserta pasukan mereka. Begitu? Semua itu akan dapat terjadi. Dan aku sengaja tidak menyebut-nyebut nama Untara, Senapati Pajang yang mencoba dengan caranya membebaskan Sangkal Pulung dan kini Jati Anom dari bahaya orang-orang Jipang dan orang-orang Tambak Wedi yang tamak.”
Wuranta berdiri tegak seperti patung batu. Setiap kata yang diucapkan oleh Ki Tanu Metir terasa bagaikan jarum yang langsung menusuk jantungnya. Pedih, namun Wuranta tidak dapa menghindarkan diri dari pengakuan atas kebenaran dari kata-kata itu. Bahkan sekali lagi hatinya yang gelap dan kehilangan keseimbangan itu dapat terbuka. Ia melihat di dalam angan-angannya. peristiwa yang mengerikan itu terjadi atas Jati Anom.
Kepala Wuranta itu pun kemudian tertunduk dalam-dalam. Pedih hatinya menjadi semakin pedih. Tetapi ia merasakan kebenaran dari kata-kata itu.
Wuranta melihat betapa besar kesalahan yang telah dilakukan. Namun yang tidak diharapkan oleh Ki Tanu Metir, Wuranta yang kecil itu ternyata merasa semakin kecil.
Dengan kata-kata yang hampir tidak sempat meloncat dari mulutnya Wuranta berkata, “Ya, Kiai. Aku merasakan kebenaran kata-kata Kiai. Kini semakin nyata bagiku, alangkah cupet budiku. Alangkah kerdilnya jiwaku. Aku tidak pantas berada di antara murid-murid Kiai, di antara orang-orang Pajang, bahkan di antara anak-anak muda Jati Anom sendiri. Meskipun baru terbatas pada angan-angan, namun aku telah berkhianat kepada murid-murid Kiai, kepada para prajurit Pajang dan kepada kampung halaman. Karena itu, maka aku tidak pantas lagi berada di antara mereka.”
“Angger Wuranta,” Ki Tanu Metir memotong kata-kata itu, “apakah maksud Angger?”
“Kesalahanku tidak dapat dimaafkan Kiai. Karena itu lebih baik bagiku untuk meninggalkan mereka yang telah aku khianati di dalam angan-angan. Kalau angan-angan itu terwujud dalam tindakan, alangkah mudahnya. Aku dapat segera dihukum mati. Tetapi pengkhianatan yang aku lakukan, baru aku sendirilah yang melihatnya, sehingga aku sajalah yang dapat menghukumnya.”
“Apakah yang akan Angger lakukan?”
“Pergi, Kiai. Kesalahanku telah bertimbun-timbun. Bahkan aku pula yang telah menyebabkan kematian kakek tua ini. Seandainya aku tidak menahannya karena aku ingin memanggil Kiai dan berbuat jasa kepada orang tua itu, maka aku kira pertolongan baginya tidak akan begitu lambat.”
“Ah,” Ki Tanu Metir berdesah, “Angger terlampau perasa. Suatu goncangan telah mengejutkan perasaan Angger, sehingga Angger kehilangan keseimbangan. Dengarlah, Ngger, beberapa kali aku katakan, Angger kehilangan keseimbangan. Dalam keadaan demikian, janganlah Angger mencoba mengambil keputusan mengenai masalah yang penting.”
“Tidak, Kiai, aku tidak kehilangan keseimbangan. Mungkin sebelum aku mendengar keterangan Kiai tentang persoalan yang sedang aku hadapi. Tetapi sekarang aku telah mendapat keyakinan tentang diriku. Supaya aku tidak kehilangan keseimbangan lagi di antara orang-orang Sangkal Putung, para prajurit Pajang dan bahkan orang-orang Jati Anom sendiri, maka sebaiknya aku meninggalkan mereka.”
“Hem,” Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam. Ia menjadi semakin mengenal anak muda yang sedang dihadapinya. Anak muda yang sedang kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri. Anak muda yang sedang mengalami goncangan jiwa yang dahsyat.
“Anakmas Wuranta,” berkata Ki Tanu Metir mencoba untuk menggugah kebanggaan atas diri sendiri, “memang kita harus menghargai setiap sumbangan bagi terbebasnya padepokan ini dari tangan orang-orang Jipang dan Ki Tambak Wedi, Sidanti dan Argajaya. Tetapi dari sekian banyak kebanggaan ini, maka Angger Wuranta-lah yang seharusnya paling berbangga atas segala hasil usaha dan perjuangannya.”
“Kiai mengulangi lagi hal itu? Kiai, hatiku telah berkeriput menjadi semenir. Apakah aku harus berkata dalam kegilaan seperti yang pernah aku ucapkan bahwa tanpa Wuranta padepokan ini tidak akan dapat dilepaskan dari tangan mereka.”
“Tidak, Ngger, juga bukan itu maksudku. Sekarang aku akan berkata wajar, seperti juga Angger sekarang memerlukan kewajaran. Memang Angger bukan satu-satunya pahlawan yang dapat merebut padepokan. Semuanya mempunyai sumbangan yang serupa, dan semuanya telah mempertaruhkan nyawa masing-masing. Bukankah begitu? Tetapi Angger masih mempunyai kebanggaan yang tidak dipunyai oleh orang lain, atau setidak-tidaknya lebih besar dari orang lain. Agung Sedayu mempertaruhkan nyawanya karena ia mempunyai pamrih yang jelas. Ia akan mendapatkan sesuatu setelah padepokan ini bedah. Seperti juga Swandaru berbuat demikian, karena ia ingin membebaskan adiknya. Sedang Angger Untara membawa pasukannya, bahkan para prajurit Pajang, bertempur dan mempertaruhkan nyawa mereka karena kewajiban. Kewajiban seorang satria. Nah, di sinilah kelebihan Angger. Angger dengan sukarela melakukan perjuangan ini. Angger tidak berkepentingan langsung dengan orang-seorang di dalam padepokan ini. Angger tidak mempunyai seorang adik atau saudara yang lain di dalam padepokan ini. Dan Angger bukan seorang prajurit. Inilah kelebihan Angger. Dan Angger harus berbangga karenanya. Angger tidak perlu merasa diri Angger terlampau kecil. Dalam bidang yang Angger lakukan, maka Angger adalah seorang yang besar, seperti Untara di dalam bidangnya. Ternyata tidak seorang pun dari pasukan sandi yang berhasil masuk. Pasukan sandi yang disusun oleh Untara, dan terlatih pula. Mereka hanya berbasil mendekati dan melihat padepokan ini dari luar. Tetapi Angger dapat masuk ke dalamnya, meskipun harus bertaruh nyawa. Nah, Angger harus melihat semuanya ini dengan wajar. Angger tidak boleh berkecil hati. Dan Angger tidak perlu merasa diri Angger terlampau kecil. Apalagi apabila Angger mengambil keputusan untuk meninggalkan Jati Anom.” Ki Tanu Metir berhenti sejenak. Dibiarkannya kata-katanya mengendap di dalam hati anak muda itu.
Karena Wuranta tidak segera menjawab, maka Ki Tanu Metir meneruskan, “Nah, lihatlah ke depan, ke hari depan yang terang bagimu dan bagi Jati Anom.”
Wuranta tidak menjawab. Tetapi terasa sesuatu bergetar di dalam dadanya. Masa depannya dan masa depan Jati Anom memang masih cukup panjang Selama ini ia sudah mulai menginjakkan kakinya bagi pembinaan masa depan itu. Masa depannya dan masa depan Jati Anom. Bahkan sebelum padepokan Tambak Wedi menyatakan dirinya lepas dari kekuasaan Pajang, maka Wuranta telah mencoba untuk membentuk Jati Anom siap menyongsong masa depannya.
Tetapi yang terjadi terlampau cepat. Sebelum Jati Anom sempat berbuat sesuatu mereka telah dihadapkan pada suatu keadaan yang tidak mungkin ditanggulangi. Sidanti, Sanakeling, Alap-alap Jalatunda, bahkan kemudian Argajaya dan Ki Tambak Wedi sendiri, selalu menakut-nakuti kademangan yang belum berhasil menyusun diri itu, sehingga sebagian dari mereka terpaksa menyingkir dan menghimpun kekuatan di luar kademangan mereka. Anak muda Jati Anom yang dapat dibanggakan, Untara, ternyata memikul tugas terlampau berat untuk dapat membagi dirinya. Namun kini Untara itu berada di dalam lingkungannya kembali. Jati Anom dan anak-anak muda kawan bermain semasa kanak-anak. Tetapi kedudukan Untara telah membuat jarak antara anak-anak mada kawannya bermain semasa kanak-anak dengan dirinya. Jarak yang sebenamya tidak dikehendakinya sendiri.
Namun kesadaran, itu telah berhasil mencegah Wuranta semakin dalam terseret arus perasaannya. Terbayang kembali segalanya yang pernah dilakukannya. Terbayang kembali bagaimana Ki Tanu Metir mendorongnya untuk masuk ke dalam padepokan ini.
Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Namun terbersit kata-kata di dalam hatinya, “Melarikan diri ternyata memang bukan suatu penyelesaian. Apakah yang akan aku lakukan di pelarian itu? Tetapi untuk terus-menerus menyiksa diri adalah terlampau sakit.”
Angin malam berhembus menyapu lereng Merapi. Terasa digin mulai menyusup tulang. Di kejauhan terdengar anjing-anjing liar menggonggong bersahut-sahutan. Seolah-olah mereka telah mencium bau darah yang sedang mengalir di padepokan Tambak Wedi.
Lamat-lamat suara burung hantu mengetuk hati. Sayu, seperti rintihan mereka yang sedang terluka.
Dalam kesepian itu Wuranta mampu melihat ke dalam dirinya sendiri. Meskipun ia menjadi ngeri melihat kenyataan itu, tetapi yang tampak padanya adalah terlampau jelas. Adalah terlalu dibuat-buat apabila ia merasa seolah-olah orang-orang Pajang kini mengesampingkannya bahkan merendahkan dan mengabaikannya setelah semuanya rampung dengan baik. Adalah terlalu dicari-cari apabila ia mengatakan bahwa Untara kini merasa dirinya terlampau besar sehingga tidak sempat lagi menemuinya.
Wuranta memejamkan matanya ketika mau tidak mau ia harus menghadapi pengakuan diri, bahwa alasan sebenarnya adalah hatinya yang pecah karena hubungan yang dilihatnya telah terjalin antara Agung Sedayu dan Sekar Mirah, hatinya yang semakin parah ketika ia melihat kenyataan betapa jauhnya jarak antara dirinya dengan Agung Sedayu. Ia tidak akan dapat menyamainya dalam pacuan di segenap bidang. Berpacu merebut hati Sekar Mirah dan berpacu sebagai anak muda Jati Anom dihadapkan pada lawan-lawannya, meskipun ia tidak pernah berhasil melupakan, bahwa di masa kanak-kanak mereka, Agung Sedayu adalah seorang penakut yang cengeng.
Wuranta terkejut ketika tiba-tiba ia mendengar Ki Tanu Metir berkata, “Bagaimana, Ngger? Kenapa Angger diam saja?”
“Oh,” Wuranta kini mengangkat wajahnya. Dalam keremangan cahaya obor yang kemerah-merahan, dilihatnya wajah Ki Tanu Metir yang sareh lunak. Betapa dalam dan lapangnya hati orang tua itu. Kesabarannya hampir tidak terbatas, seperti luasnya lautan tanpa tepi. Justru karena itu, maka kembali wajah Wuranta tertunduk. Tetapi kini ia menjawab, “Aku dapat mengerti, Kiai. Sekali lagi aku merasakan kekerdilan diri.”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia mendengar kata-kata tiu diucapkan dengan wajar. Meskipun kata-kata itu searti, tetapi tidak senada.
“Jadi, apakah Angger tetap pada keputusan Angger itu?”
Wuranta ragu-ragu sejenak. Tetapi kemudian ia menggelengkan kepalanya, “Tidak Kiai. Aku tidak akan melarikan diri dari kepahitan ini.”
“Bagus,” dengan serta-merta Ki Tanu Metir menyahut sambil menepuk bahu anak muda itu. “Ternyata Angger Wuranta benar-benar berhati jantan.”
“Jangan memuji, Kiai. Hatiku telah luluh menjadi debu.”
“Tetapi aku masih melihat bara yang menyala di dalam dada Angger Wuranta, bukan sekedar debu. Nah, karena itu, marilah kita pergi ke banjar padepokan. Di sana Angger akan bertemu dengan Untara, Agung Sedayu, dan Swandaru dalam keadaan yang wajar.”
“Terima kasih, Kiai. Aku tidak akan lari, tetapi aku tidak akan pergi ke banjar.”
Sekali lagi dahi Ki Tanu Metir berkerut-merut. Tetapi ia merasakan perbedaan arti yaag tersirat dalam kalimat itu. Karena itu maka ia segera mengerti, Betapapun juga Wuranta masih belum dapat melepaskan perasaannya. Tetapi itu pun masih dapat dianggapnya wajar.
“Kiai,” berkata Wuranta seterusnya, “aku masih harus menunggu jenazah kedua suami isteri ini.”
“Oh,” sahut KiTanu Metir, “bukankah jenazah ini dapat diserahkan kepada mereka yang berkewajiban.”
Ki Tanu Metir terkejut ketika wajah Wuranta itu tiba-tiba saja menegang. Namun hanya sebentar. Kali ini anak muda itu berhasil menguasai dirinya dan tidak lagi terseret oleh perasaannya tanpa pertimbangan. Katanya, “Kiai, aku tidak dapat menganggap suami isteri ini seperti orang-orang lain di padepokan ini. Pada laki-laki tua ini terdapat kekhususan. Setidak-tidaknya ia tidak dapat dianggap bersalah sebesar orang-orang Tambak Wedi yang lain. Tanpa orang tua ini, maka segalanya akan menjadi berbeda.”
“O, baik, baiklah,” Ki Tanu Metir cepat-cepat memotongnya. “Aku minta maaf atas kealpaan ini. Aku kira Untara pun tidak akan berkeberatan sama sekali.”
Wuranta menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa segala sesuatu yang dilakukan di sini harus mendapat ijin dahulu dari Untara atau orang yang dikuasakannya. Dalam hal laki-laki tua itu pun, ia tidak akan dapat berbuat sekehendak hatinya. Pengkhususan pemakaman orang itu pun harus mendapat ijin dahulu.
Tetapi hatinya pasti tidak akan rela, apabila laki-laki tua itu akan dianggap sama saja dengan orang-orang Tambak Wedi yang lain. Orang tua itu setidak-tidaknya harus mendapat kehormatan seperti para prajurit Pajang yang gugur di peperangan ini.
Karena itu maka Wuranta itu pun kemudian berkata, “Kiai, aku harap Kiai akan menyampaikan kepada Kakang Untara, bahwa aku minta laki-laki tua ini mendapat perhatian khusus, sesuai dengan jasa semasa hidupnya atas Pajang, meskipun seandainya ia tidak sengaja berbuat demikian.”
“Kita dapat pergi bersama, Ngger,” jawab Kiai Gringsing. “Angger Untara akan menjadi lebih banyak memperhatikan pendapat Angger sendiri daripada pendapatku.”
“Terima kasih, Kiai,” sahut Wuranta. “Malam ini aku akan menunggui mayat suami isteri ini di sini.”
“Bukankah sudah ada orang yang berkewajiban.”
“Biarlah, Kiai, aku akan menemaninya.”
Ki Tanu Metir tidak akan dapat memaksanya. Namun terasa bahwa Wuranta telah mulai menemukan kesadaran tentang dirinya, meskipun ia masih tetap merasa rendah diri. Tetapi ia tidak menjadi liar dan meledak-ledak mencari saluran untuk menyembunyikan kekecilannya.
“Jadi Angger akan tetap di sini?”
“Ya, Kiai, aku akan berkata kepada prajurit yang bertugas itu, bahwa aku akan menunggui mayat ini sampai besok. Sampai dikuburkan.”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak mencemaskan Wuranta lagi, kalau-kalau ia akan pergi tanpa pamit. Ia merasa menipunyai kewajiban atas laki-laki tua itu suami isteri. Dan kewajiban itu pasti akan mengikatnya.
“Baiklah, Anakmas,” berkata Ki Tanu Metir kemudian, “aku akan mencoba menyampaikannya kepada Angger Untara. Mudah-mudahan Angger Untara dapat mengerti.”
“Terima kasih, Kiai.”
Ki Tanu Metir itu pun kemudian meninggalkan Wuranta seorang diri menunggui mayat suami isteri itu. Anak muda itu tidak sampai hati untuk mengangkat nenek tua yang masih saja membeku di dada suaminya. Ketika terlihat oleh Wuranta prajurit yang mengawal tempat itu lewat beberapa langkah dari regol halaman, maka Wuranta pun mendekatinya.
“Bagaimana?” bertanya prajurit itu, “Apakah dukun itu dapat mengobatinya?”
“Terlambat. Keduanya sudah meninggal.”
“Keduanya?” prajurit itu terkejut.
“Ya keduanya,” sahut Wuranta.
“Kenapa perempuan itu mati juga?”
“Aku tidak tahu. Mungkin ia terkejut atau terlalu sedih ketika ia melihat suaminya menghembuskan nafasnya yang terakhir. Tetapi perempuan itu memang sudah sakit-sakitan saja. Dadanya sering menjadi berdebar-debar dan tubuhnya seolah-olah menjadi lumpuh. Agaknya kejutan yang dialaminya kali ini tidak tertahankan lagi. Dan ia meninggal pula bersama suaminya.”
Prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia berdesah, “Aku tidak mendekatinya. Kau melarang setiap orang untuk berbuat sesuatu. Seandainya kau biarkan saja kakek tua itu, maka ia pasti sudah mendapat pertolongan sementara. Mungkin ia akan mati juga, tetapi usaha untuk menolongnya sempat dilakukan. Tidak terlambat. Agaknya kau tidak percaya kepada para prajurit yang bertugas untuk itu, atau mungkin kau menyangka bahwa karena laki-laki itu orang dari padepokan Tambak Wedi, maka prajurit Pajang akan mencekiknya.”
Belum lagi Wuranta menjawab, maka datanglah dua orang prajurit yang sedang bertugas berkeliling. Ternyata kedua prajurit itu adalah prajurit yang telah bertengkar dengan Wuranta. Dengan nada yang tinggi salah seorang dari mereka bertanya, “Ada apa dengan anak Jati Anom itu? Apakah kau sedang diperintahkanya memanggil Untara?”
Prajurit yang sedang mengawal tempat itu menjawab, “Tidak. Tetapi ia tidak percaya kepada para prajurit Pajang. Laki-laki yang terluka itu dibiarkannya tanpa pertolongan apa pun sampai ia mati.”
“Kenapa?”
“Anak muda ini ingin memanggil dukun pribadinya.”
Kedua prajurit yang baru datang itu tertawa dengan pandangan yang menyakitkan hati. Mereka menatap wajah Wuranta yang kemerah-merahan oleh sinar obor di kejauhan.
Terasa dada Wuranta itu bergolak. Hampir-hampir saja ia menjadi kambuh dan mengangkat wajahnya sambil menepuk dada, “Inilah pahlawan yang telah memecah pertahanan Tambak Wedi. Tetapi kali ini tidak, Wuranta tidak berteriak menyebut namanya. Namun perlahan-lahan ia berkata, “Maafkan aku Ki Sanak. Aku telah kehilangan keseimbangan. Mungkin aku telah menyakitkan hati kalian. Mungkin ada kata-kataku atau sikapku yang kasar.”
Prajurit-prajurit itu justru terkejut mendengar pengakuan itu. Terasa keikhlasan memancar dalam kata-kata anak muda itu. Terasa bahwa penyesalan itu mendalam sampai ke tulang sungsumnya.
Sejenak para prajurit itu terdiam. Ketika sekali lagi mereka mencoba menatap wajah Wuranta, maka anak muda itu telah menundukkan wajahnya.
Keempat orang itu kemudian berdiri saja seperti patung. Mereka merasakan kebekuan sikap di antara mereka. Tidak seorang pun yang segera dapat mulai berbuat sesuatu.
bersambung ke Jilid 26
Tidak ada komentar:
Posting Komentar