API di BUKIT MENOREH
Karya S.H Mintardja
Ketiganya kemudian dengan hati-hati berjalan menjauhi perapian mereka. Agung Sedayu dan Swandaru telah menarik pedang-pedang mereka dari sarungnya. Kalau seseorang sengaja menarik perhatian mereka dengan sebuah perapian, maka menghadapi mereka harus cukup waspada.
Dengan penuh kewaspadaan mereka kemudian memasuki rimbunnya pepohonan di sekeliling halaman yang sempit dan kotor itu. Dengan senjata siap di tangan, selangkah-selangkah mereka maju. Segera mereka pun mengetahui, dari manakah sumber cahaya yang memancar, membuat bayangan yang kemerah-merahan pada pepohonan dan dedaunan.
“Dari situlah sumber cahaya itu,” desis Swandaru.
“Ya,” sahut Sutawijaya perlahan-lahan, “marilah kita lihat.”
Ketika mereka maju beberapa langkah lagi, maka segera mereka menjadi semakin jelas arah api yang telah mengganggu itu. Dan beberapa langkah lagi, maka langkah mereka pun terhenti. Ternyata kini mereka berdiri beberapa langkah dari sebuah halaman yang lain, halaman serupa dengan halaman tempat mereka beristirahat. Tetapi halaman ini ternyata lebih luas. Dalam cahaya api yang menyala-nyala itu mereka melihat gubug-gubug yang lebih banyak dan di antaranya ada beberapa gubug yang agak lebih besar dari gubug-gubug yang telah mereka lihat lebih dahulu.
“Hem,” bisik Sutawijaya, “bukankah dugaan kita benar, bahwa di sekitar tempat kita berhenti masih ada perkemahan yang lain. Inilah perkemahan itu.”
“Ternyata masih ada penghuninya,” sahut Agung Sedayu perlahan-lahan.
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia berkata, “Orang yang keras kepala. Kenapa ia tidak saja menyerah bersama-sama dengan Sumangkar?”
“Tetapi kenapa ia tidak pergi bersama dengan Sanakeling dan bergabung dengan Ki Tambak Wedi,” sahut Agung Sedayu pula.
Sutawijaya terdiam. Di dalam hatinya pun timbul pula pertanyaan yang serupa, apabila orang itu adalah orang Jipang yang tidak ingin menyerah, kenapa ia tidak bergabung saja dengan Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda? Apakah ada golongan yang berpendirian lain lagi di kalangan orang-orang Jipang itu?
Anak-anak muda itu sejenak berdiam diri. Dari kegelapan mereka melihat perapian yang sedang menyala, yang membakar seonggok kayu, dedaunan dan ilalang yang kering.
“Tetapi apakah maksud mereka membuat perapian itu?” terdengar Sutawijaya berdesis.
“Seperti kita,” sahut Swandaru, “menahan dingin dan mengusir nyamuk.”
“Apakah mereka tidak melihat perapian kita?” bertanya Agung Sedayu.
“Ada dua kemungkinan. Mereka tidak melihat perapian kita, atau mereka sengaja memanggil kita kemari,” sahut Sutawijaya.
“Hem,” Swandaru tiba-tiba menggeram. Ujung pedangnya telah mulai bergetar. “Siapa yang berani mencoba memanggil kita kemari?”
“Itu baru dugaan,” berkata Sutawijaya kemudian.
“Tetapi dugaan itu adalah kemungkinan yang paling dekat,” sahut Swandaru. “Mustahil mereka tidak melihat perapian kita yang tidak kalah besarnya dari perapian mereka. Kita dapat melihat cahaya perapian ini. Tentu mereka pun melihat cahaya perapian kita dari sela-sela pepohonan.”
Kembali mereka terdiam. Namun mereka menjadi semakin berhati-hati.
“Kita berpencar,” Tiba-tiba terdengar suara Sutawijaya, “tetapi jangan terlampau jauh. Kita harus mencapai satu sama lain dalam beberapa loncatan. Kita belum tahu, siapakah yang berada di hadapan kita. Mungkin juga Tambak Wedi sengaja menjebak kita. Sesaat kita tunggu, apakah yang akan terjadi.”
Kedua kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Segera mereka pun memisahkan diri, namun tidak begitu jauh. Masing-masing bersembunyi di dalam bayangan pepohonan yang gelap.
Dengan berdebar-debar mereka menunggu. Tetapi tak seorang pun yang berada di dekat perapian itu. Mula-mula mereka menyangka, bahwa orang-orang di dalam perkemahan itu, atau sisa-sisanya, sedang masuk ke dalam salah satu dari pada kemah-kemah itu, atau pergi untuk sesuatu keperluan. Tetapi setelah agak lama mereka menunggu, maka tidak seorang pun juga yang datang.
Debar di dalam dada ketiga anak-anak muda itu menjadi semakin cepat. Hampir-hampir mereka menjadi kehilangan kesabaran, menunggu di dalam tempat yang gelap, dikerumuni oleh nyamuk-nyamuk liar yang jumlahnya tidak terhitung lagi. Leher, tangan dan kaki-kaki mereka menjadi gatal-gatal karena gigitan nyamuk-nyamuk itu.
Swandaru menjadi gelisah karenanya. Ia mengumpat di dalam hatinya. Bahkan terasa bahwa seseorang atau beberapa orang dengan sengaja mempermainkan mereka.
Darah di dalam tubuh Swandaru itu serasa menjadi mendidih karenanya. Beberapa kali terdengar ia menggeram. Bahkan ujung pedangnya kemudian dihentak-hentakkannya pada sebatang pohon di sampingnya. Namun akhirnya ia tidak dapat menahan diri lagi. Dengan hati-hati ia merayap kembali mendekati Sutawijaya.
Sutawijaja terkejut mendengar gemerisik di sampingnya. Cepat ia bersiaga. Ketika ia melihat sebuah bayangan mendekatinya segera tombaknya ditundukkannya.
“Eh, apakah Tuan tidak mengenal aku lagi?” desis Swandaru.
“O,” Sutawijaya menarik nafas, “kenapa kau kembali? Apakah ada sesuatu?”
Swandaru menggeleng, “Aku tidak sabar lagi. Darahku hampir habis dihisap nyamuk. Maka menurut pertimbanganku, lebih baik kita dekati saja gubug-gubug itu.”
Sutawijaya tidak segera menyahut. Tetapi ia belum menemukan suatu sikap yang baik untuk mengatasi kebingungan mereka. “Panggil Agung Sedayu,” bisik Sutawijaya.
“Aku memanggilnya?” bertanya Swandaru. “Aku datang ke sana atau aku meneriakkan namanya?”
“Jangan berteriak. Tetapi apakah kau tahu tempatnya bersembunyi meskipun tidak terlampau jauh.”
Swandaru menggelengkan kepalanya.
Mereka berdua menjadi kebingungan. Mereka tidak mempunyai cara yang khusus, atau mereka tidak membicarakan tanda-tanda yang perlu apabila mereka saling memerlukan. Cara satu-satunya adalah berteriak memanggil. Tetapi dengan demikian, maka suaranya pasti akan didengar dari dalam gubug-gubug itu.
Dalam kebingungan Swandaru berkata, “Aku akan berteriak saja.”
“Bagaimana kalau orang-orang di dalam gubug itu mendengarnya?” bertanya Sutawijaya.
“Aku tidak berkeberatan. Apakah Tuan berkeberatan? Lebih baik mereka segera tahu kehadiran kita. Kalau mereka memang sengaja memanggil kita, maka kita telah menyatakan diri kita. Sedangkan kalau mereka tidak melihat perapian kita dan tidak tahu bahwa kita di sini, biarlah mereka menjadi tahu.”
Agaknya Sutawijaya pun telah menjadi jemu menunggu. Karena itu maka katanya, “Panggillah.”
Swandaru tidak menunggu lebih lama lagi. Segera ia berteriak memanggil nama Agung Sedayu.
Agung Sedayu terkejut menerima panggilan itu. Ia menyangka bahwa terjadi sesuatu dengan saudara seperguruannya, sehingga dengan serta merta ia meloncat berlari ke arah suara Swandaru. Tetapi ia menjadi heran ketika mereka melihat Swandaru dan Sutawijaya masih saja berdiri bersandar sebatang pohon yang besar.
“Kenapa kau berteriak-teriak adi Swandaru?” bertanya Sedayu.
“Aku telah jemu menunggu,” jawab Swandaru.
Kini mereka bertiga telah berkumpul kembali. Tetapi mereka masih belum tahu apa yang akan mereka lakukan. Mereka sengaja berbicara keras-keras, tetapi mereka belum melihat seorang pun yang keluar dari dalam perkemahan di halaman itu.
Tetapi mereka dengan demikian telah menemukan suatu pengalaman, bahwa apabila mereka sengaja memisahkan diri, mereka harus mempunyai tanda yang dapat mereka pakai untuk menyatakan pikiran mereka. Mungkin mereka harus berkumpul kembali, atau mungkin mereka harus tetap di tempatnya sambil bersembunyi. Dalam pertempuran mereka telah biasa mempergunakan tanda-tanda sandi, tetapi ketika mereka berada dalam keadaan seperti saat itu, di mana mereka harus mengatur diri sendiri, maka mereka telah melupakannya. Sebab di dalam barisan, mereka tinggal mempergunakan tanda-tanda yang telah disiapkan oleh pemimpin mereka.
Yang terdengar kemudian adalah Sutawijaya menggeram. Ia pun telah kehilangan kesabarannya. Desisnya, “Apakah kita yang datang kepada mereka? Kita lihat setiap perkemahan satu demi satu sehingga kita menemukan beberapa orang atau seorang yang mungkin membuat perapian itu?”
Agung Sedayu dan Swandaru tidak segera menjawab. Namun mereka pun telah kehabisan kesabarannya pula.
“Pasti ada beberapa orang atau setidak-tidaknya seorang di dekat tempat ini,” gumam Sutawijaya. “Tidak mungkin kerangka, setan atau apa pun memerlukan membuat perapian.”
“Mereka memang tidak memerlukan, Tuan,” sahut Swandaru, “tetapi mereka hanya ingin mengganggu kita.”
“Apakah kau percaya?”
Sejenak Swandaru berbimbang. Namun kemudian ia pun menggelengkan kepalanya sambil tersenyum, “Tidak.”
“Nah, kalau begitu pasti seseorang telah menyalakan api dan perapian itu.”
“Tetapi siapa?” bertanya Agung Sedayu.
“Kita tidak tahu.”
“Maksudku, siapakah yang telah berani membuat perapian itu? Menurut perhitunganku, orang itu pasti dengan sengaja membuatnya. Mustahil kalau orang ini tidak tahu, bahwa kita telah membuat perapian di sebelah. Dengan demikian maka, kita akan dapat menduga, bahwa orang itu dengan sengaja dan setelah diperhitungkan, ingin melawan kita bertiga.”
“Apakah kita akan menyingkir?” bertanya Swandaru.
“Apakah kita harus berkelahi?” sahut Agung Sedayu.
“Kalian berdua sama-sama benar. Kita tidak harus mencari persoalan, tetapi kita juga tidak boleh lari apabila kita menjumpai persoalan yang melibat kita dalam suatu keharusan mempertahankan diri. Kali ini, kita pun harus mempertahankan diri kita dari tekanan perasaan ini. Kita tidak mau menjadi permainan.” Sutawijaya berhenti sejenak. Dicobanya menembus kepekatan malam di sekitarnya. Tetapi nyala api yang membentur pepohonan tidak mampu mencapai jarak yang terlampau jauh.
Di ujung cahaya api perapian itu, Sutawijaya melihat bayangan nyala api dari perapian yang telah mereka buat bertiga.
Tiba-tiba Sutawijaya itu berkata, “Aku mempunyai pendapat. Kita masuki perkemahan itu. Kalau kita bertemu dengan seseorang, maka orang itu kita tanya, apakah ia ingin berbuat jahat kepada kita atau tidak. Kalau menilik sikap, perbuatan, dan kata-katanya ia orang yang baik, maka kita tidak perlu berkelahi. Tetapi kalau orang itu sengaja mempermainkan kita apalagi berbuat jahat, maka ia harus kita tangkap. Besok orang itu kita bawa ke Sangkal Putung.”
“Kita tidak jadi ke Alas Mentaok?” bertanya Swandaru.
“Kalau kita mendapatkan tawanan, kita harus kembali dahulu ke Benda,” sahut Sutawijaya.
“Akan membuang waktu. Kita ikat saja orang itu di sini. Besok kalau kita kembali, kita bawa ia ke Sangkal Putung.”
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia tertawa, katanya, “Berapa hari kita akan berada di perjalanan? Orang itu pasti akan sudah mati kelaparan dan kehausan. Bukankah dengan demikian kita telah menyiksanya?”
Swandaru terdiam. Tetapi ia tidak senang apabila mereka harus kembali. Namun kemudian ia tertawa ketika Sutawijaya berkata, “Bagaimana kalau kita yang ditangkap, diikat di sini untuk beberapa hari? Kita belum tahu siapa yang kita hadapi. Kita belum tahu, apakah kita yang akan mengikat atau kita yang akan diikat.”
Swandaru dan Agung Sedayu pun kemudian tertawa.
Namun dalam pada itu Agung Sedayu berkata, “Aku sependapat dengan Tuan. Kita melihat setiap perkemahan. Kalau kita temui seseorang, maka kita mempertimbangkan, siapakah orang itu?”
“Baik,” sahut Swandaru, “aku pun sependapat.”
“Kita harus bersedia menghadapi setiap kemungkinan. Mengikat orang itu, membawanya ke Sangkal Putung, atau kitalah yang akan diikat di sini untuk menjadi mangsa binatang buas.”
“Baik, kita terima kemungkinan-kemungkinan itu. Marilah,” berkata Swadaru sambil melangkahkan kakinya. Ia telah benar-benar dibakar oleh kejengkelan dan ketidaksabaran.
Sutawijaya dan Agung Sedayu pun segera mengikutinya di belakang. Dengan penuh kewaspadaan mereka berjalan. Senjata-senjata mereka telah siap untuk menghadapi setiap kemungkinan.
“Kemana kita?” bertanya Swandaru.
“Ke perkemahan itu,” jawab Sutawijaya.
“Perkemahan yang mana?”
“Salah satu dari padanya. Pilihlah.”
Swandaru segera memilih gubug yang paling ujung. Pintu gubug itu menganga lebar. Namun di dalamnya seolah-olah dilapisi sehelai tirai yang hitam pekat.
“Tunggu,” berkata Agung Sedayu, “kita harus berhati-hati. Marilah kita bawa obor.”
Langkah Swandaru tertegun. Pendapat Agung Sedayu memang baik. Bukan berarti mereka ketakutan, namun mereka memang harus berhati-hati.
Agung Sedayu pun segera berlari ke samping gubug itu. Diraihnya atap ilalang segenggam, dan kemudian ia pun pergi ke perapian yang menyala-nyala itu, untuk menyalakan obornya.
“Perapian ini pun masih baru,” desisnya kepada diri sendiri, “orang yang membuat perapian pasti masih ada di sekitar tempat ini.”
Kemudian dengan obor di tangan, ia kembali kepada kedua orang kawannya dan berjalan bersama-sama ke gubug yang paling ujung. Dengan sangat hati-hati mereka mendekati pintu, setapak demi setapak. Namun gubug itu agaknya terlampau sepi. Tak ada suara apapun.
“Kosong,” desis Swandaru.
“Marilah kita lihat ke dalam,” berkata Sutawijaya.
“Mari,” sahut kedua kawannya hampir bersamaan.
“Tetapi hati-hatilah, siapa tahu, seseorang menanti kita dengan pedang terhunus, atau ujung tombak di sisi pintu.”
Sejenak mereka bertiga pun berdiri tegang di muka pintu yang menganga lebar itu. Mereka menjadi ragu-ragu. Namun tiba-tiba Sutawijaya itu pun meloncat surut selangkah, kemudian dengan menghentakkan kakinya ia meloncat maju sambil mengayunkan sebelah kakinya menghantam uger-uger lawang yang terbuat dari sebatang bambu. Maka terdengarlah suara berderak. Uger-uger itu pun menjadi berantakan, bahkan dinding di sisi pintu itu pun roboh pula ke dalam.
Sutawijaya dan kedua kawannya menarik nafas panjang ketika dinding bambu gubug itu telah menganga. Kini mereka dapat melihat leluasa ke dalamnya. Tak ada apa pun di dalam gubug itu selain sebuah amben bambu yang agak lebar, seonggok jerami kering dan sebuah jagrak bambu pula. Di sudut mereka melihat sebuah sosok gendi dan sebuah tlundak lampu.
“Kosong,” desis Sutawijaya, Agung Sedayu, dan Swandaru hampir bersamaan.
“Apakah gubug-gubug yang lain juga kosong?” gumam Swandaru.
“Aku kira semua gubug kosong, kecuali satu, tempat orang yang menyalakan perapian itu bersembunyi. Mungkin di dalam gubug itu bersembunyi lebih dari satu orang. Mungkin hanya satu orang, tetapi orang itu bernama Tambak Wedi.”
Mereka bertiga tertawa. Namun nadanya terlampau hambar.
“Mari kita lihat satu demi satu,” ajak Sutawijaya, “kalau kita raga-ragu memasukinya, kita rusakkan pintunya seperti gubug ini.”
“Marilah,” jawab kedua kawannya serentak.
Kini kembali mereka melangkah ke gubug berikutnya. Dengan cara yang sama, Sutawijaya merusak pintunya, dan tanpa memasukinya, mereka segera dapat melihat bahwa gubug-gubug itu ternyata tidak berisi.
Berkali-kali hal yang serupa dilakukan oleh Sutawijaya. Ketika ia menjadi lelah, maka kini Swandaru-lah yang harus merusaki pintu. Dengan pedangnya ia menghantam setiap uger-uger pintu, kemudian mendorong dindingnya sehingga roboh. Tetapi mereka belum juga menemukan seseorang.
Akhirnya Swandaru pun menjadi jemu pula. Katanya, “Sekarang giliranmu Kakang Agung Sedayu. Kaulah yang harus merusak dinding gubug-gubug berikutnya, biarlah aku yang membawa obor.”
Agung Sedayu pun melangkah beberapa tindak. Sampai di muka sebuah pintu, maka ia tidak segera meloncat menghantam tiang-tiang pintunya, atau dengan pedangnya memukul uger-uger pintu itu. Tetapi dengan tenangnya ia memutuskan tali-tali yang sudah lapuk dengan ujung pedangnya. Ketika beberapa tali telah diputusnya dengan mudah, maka dengan ujung pedangnya ia mendorong dinding bambu itu. Dan dinding yang ringkih itu pun robohlah ke dalam.
Sutawijaya tertawa terbahak-bahak melihat cara Agung Sedayu itu. “Hebat,” teriaknya. Swandaru pun berteriak pula dengan serta merta, “Alangkah malasnya kau, Kakang.”
“Aku dapat mencapai hasil yang sama seperti yang kalian lakukan. Tetapi aku tidak perlu membuang tenaga seperti kalian. Bukankah yang aku kerjakan tidak lebih jelek dari yang kalian lakukan. Waktunya pun tidak jauh lebih lama?”
“Aku tidak telaten,” gumam Swandaru.
“Itu adalah pertanda, bahwa kau memikirkan apa yang akan kau lakukan dengan baik. Itu adalah kebiasaan yang bagus sekali. Membuang tenaga sekecil-kecilnya untuk mencapai hasil yang sebanyak-banyaknya.”
Kembali mereka bertiga tertawa.
“Ayo, kita teruskan kerja kita. Masih ada beberapa gubug lagi,” ajak Swandaru.
Mereka bertiga pun segera melangkahkan kaki-kaki mereka dengan segannya. Kejemuan dan kejengkelan telah melanda dada mereka seperti angin ribut. Namun mereka belum menemukan seseorang. Berkali-kali mereka memandangi perapian itu, dan perapian itu pun masih juga menyala. Beberapa potong kayu telah menjadi bara, namun onggokan kayu itu masih cukup banyak, sehingga apinya pun masih juga menjilat ke udara. Namun semakin lama lidah api itu pun menjadi semakin susut pula.
Akhirnya ketiga anak-anak muda itu pun menyelesaikan pekerjaannya. Seluruh gubug-gubug yang ada telah dimasukinya. Gubug yang paling besar, yang pernah dipergunakan oleh Tohpati pun telah mereka masuki pula. Namun mereka tidak menemukan sesuatu.
“Gila,” Swandaru mengumpat-umpat tak habis-habisnya, “siapakah yang bermain gila-gilaan ini. Kenapa ia bersembunyi?”
“Jangan mengumpat-umpat,” cegah Sutawijaya, “kalau orang yang menyalakan api itu melihat kau mengumpat-umpat ia akan menjadi bergembira sekali.”
Swandaru terdiam. Namun hanya mulutnya. Hatinya masih saja mengumpat-umpat tak henti-hentinya. Ia merasa sedang dipermainkan oleh seseorang.
“Kita cari orang itu sampai ketemu. Kita bongkar hutan ini untuk mencarinya,” teriak Swandaru itu tiba-tiba untuk melepaskan kejengkelannya.
“Kau amat bernafsu, Swandaru,” desis Sutawijaya.
“Aku merasa menjadi permainan kali ini. Aku pun harus mampu membalas, mempermainkannya.”
Sutawijaya tertawa. Agung Sedayu pun tertawa pula sambil berkata, “Jangankan mempermainkan, mencari pun kita tidak mampu.”
Swandaru tidak menjawab, tetapi terdengar ia menggeram.
“Kita coba untuk menemukan,” berkata Sutawijaya kemudian.
“Apakah Tuan juga telah dibakar oleh nafsu mempermainkannya?” bertanya Agung Sedayu.
Sutawijaya tertawa. Ragu-ragu ia menjawab, “Aku pun menjadi jengkel juga, tetapi aku tidak akan membongkar hutan ini.”
Tiba-tiba Swandaru menyela, “Marilah kita cari. Dengan berbicara tak habis-habisnya kita tidak akan dapat menemukannya.”
“Kemana lagi kita akan mencari?”
Swandaru tertegun sejenak. Ia pun tidak tahu kemana harus mencari orang yang telah membuat perapian itu. Gubug-gubug sudah seluruhnya dilihatnya. Kalau orang itu telah masuk ke dalam hutan, alangkah sukarnya untuk menemukannya di antara batang-batang pohon yang besar dan gerumbul-gerumbul yang lebat.
Swandaru yang sedang dibakar oleh perasaan jengkel dan marah itu kemudian bertolak pinggang sambil berteriak keras-keras, “He, siapa yang bersembunyi itu? Siapa? Pengecut, penakut atau orang yang licik, yang akan menyerang dari tempat yang tersembunyi atau menunggu kami menjadi lengah? He, siapa? Siapa…? Siapa di situ…?”
Suara Swandaru menggetarkan udara malam di dalam hutan itu. Suara itu seakan-akan menyelusur setiap dahan dan ranting, menggema ke segenap penjuru. Anak burung-burung liar yang sedang tidur nyenyak di dalam sarangnya, menjadi terkejut dan mengangkat kepala-kepala mereka. Sedang sayap-sayap induknya menjadi semakin lekat menutupi tubuhnya, seakan-akan di kejauhan telah menggelegar guruh yang memberikan pertanda, bahaya sedang mengancam anak-anak mereka.
Alangkah kecewanya Swandaru. Suaranya menggema berulang-ulang. Tetapi kemudian lenyap ditelan gelapnya malam. Sekali dua kali ia mengulangi, tetapi akhirnya ia menjadi lelah sendiri.
Sutawijaya dan Agung Sedayu tertawa berkepanjangan, sehingga tubuh-tubuh mereka berguncang-guncang. Mereka seolah-olah melihat sebuah pertunjukan yang lucu sekali. Swandaru yang gemuk bulat bertolak pinggang sambil berteriak-terik sampai serak.
“Bagaimana?” bertanya Agung Sedayu.
“Suaraku hampir habis,” jawabnya parau.
Kembali kedua kawannya tertawa keras-keras.
“Kau memang aneh,” berkata Sutawijaya. “Kalau orang itu ingin keluar dari persembunyiannya, maka kau tidak perlu berteriak-teriak memanggilnya.”
“Menjengkelkan sekali,” geram Swandaru. “Apakah setan itu Ki Tambak Wedi sendiri?”
“Tak seorang pun tahu,” sahut Sutawijaya. “Jangan terlampau tenggelam dalam kejemuan, kejengkelan dan kemarahan. Marilah kita kembali ke perapian kita sendiri. Kita memang tidak mencari musuh. Tetapi apabila musuh itu datang, kita sambut dengan senang hati.”
“Apakah kita menunggu mereka menerkam kita selagi kita tidur?”
“Salah kita apabila kita tidur bersama-sama. Adalah haknya untuk berbuat demikian.”
Swandaru menarik nafas panjang-panjang. “Marilah,” geramnya.
Kini mereka bertiga melangkahkan kaki mereka kembali ke perapian mereka sendiri. Meskipun demikian, mereka tidak kehilangan kewaspadaan. Tombak Sutawijaya siap untuk mematuk setiap bahaya yang mendatanginya, sedang pedang Agung Sedayu dan Swandaru pun masih juga dalam genggaman.
Mereka kini sudah tidak memerlukan obor lagi. Sejak gubuk yang terakhir mereka tinggalkan obor mereka telah mereka buang. Apalagi kini mereka menyusup di antara semak-semak dan pepohonan. Mereka justru berusaha untuk menghindarkan diri dari setiap mata yang mencoba mengintainya.
Mereka bertiga menemukan perapian yang mereka tinggalkan masih menyala, meskipun lidah apinya tidak lagi menggapai dedaunan di atas perapian itu. Namun api itu masih cukup terang untuk menerangi keadaan di sekelilingnya.
Namun tiba-tiba kembali Sutawijaya dan kedua kawannya terkejut. Ia melihat sesuatu yang tidak ada pada saat mereka meninggalkan tempat itu. Di samping perapian itu mereka ketemukan sebuah lincak bambu kecil.
“Hem,” Swandaru menggeram kembali, “siapa yang bermain-main hantu-hantuan ini?”
“Jangan hiraukan,” berkata Sutawijaya, “kita berterima kasih, bahwa kita mendapat tempat duduk yang baik, bahkan tempat untuk berbaring. Sekarang, marilah kita mulai giliran yang pertama. Siapa yang tidur lebih dahulu? Lincak ini hanya cukup untuk seorang dan yang lain harus duduk sambil berjaga-jaga. Kau Swandaru, yang ingin tidur lebih dahulu?”
“Baik,” sahut Swandaru dengan serta merta, “biarlah kepalaku tidak pecah karena permainan ini.”
“Tidurlah,” sahut Sutawijaya, “biarlah aku dan Agung Sedayu berjaga-jaga. Nanti kau akan kami bangunkan dan salah seorang dari kami akan tidur pula sejenak.”
Swandaru tidak menjawab. Setelah menyarungkan pedangnya dan melepas busur yang menyilang di punggungnya ia segera berbaring.
Angin malam berhembus semakin dingin, seolah-olah menghunjam sampai ke tulang. Tetapi api perapian yang masih juga menyala, meskipun semakin susut, telah menolong ketiga anak-anak muda itu. Namun apabila mereka berdiri dan berjalan agak menjauh, terasalah betapa dinginnya udara malam.
Suara burung hantu melengking-lengking di kejauhan, disahut oleh gonggong anjing-anjing liar berebut makan.
Sutawijaya dan Agung Sedayu yang masih duduk di amben bambu itu terkejut ketika sejenak kemudian mereka telah mendengar Swandaru mendenggkur.
“Bukan main,” desis Sutawijaya, “anak itu sudah tidur.”
Agung Sedayu tersenyum, “Itulah mungkin sebabnya Adi Swandaru dapat menjadi gemuk bulat seperti itu.”
Sutawijaya tersenyum pula. Tetapi ia tidak menjawab.
Mereka berdua merasa, bahwa ada seseorang berada di sekeliling tempat itu. Tetapi mereka tidak dapat menemukannya. Karena itu maka mereka berdua sama sekali tidak melepaskan kewaspadaan. Setiap gerak yang mencurigakan, setiap suara gemerisik dan setiap apa saja, selalu mendapat perhatian mereka dengan saksama.
Sementara itu, pada saat yang bersamaan di Sangkal Putung, di pendapa banjar desa, Ki Gede Pemanahan duduk dihadap oleh Untara, Widura, Ki Demang Sangkal Putung, dan para pemimpin prajurit Pajang dan pemimpin Sangkal Putung. Banyak yang telah mereka dengar, nasehat-nasehat, pendapat-pendapat, dan sindiran-sindiran yang pantas mendapat perhatian dari para pemimpin itu.
Akhirnya Ki Gede Pemanahan itu berkata, “Aku berbangga atas hasil kerja Untara, tetapi terakhir aku kecewa atas ketergesa-gesaannya, sehingga terjadi beberapa peristiwa yang cukup berbahaya bagiku dan bahkan bagi Sangkal Putung sendiri. Tetapi itu bukan salah Untara seluruhnya. Apabila Ki Tambak Wedi tidak turut campur, maka aku kira keadaannya akan sangat berbeda. Sehingga untuk seterusnya, Ki Tambak Wadi harus mendapat perhatian yang cukup banyak. Karena itu Untara, ada dua hal yang akan aku sampaikan kepadamu sekarang. Yang pertama ada persoalan yang telah aku bawa dari Padang, sedang soal yang kedua adalah persoalan yang baru aku temukan setelah aku sampai di Sangkal Putung.”
Untara mengangkat wajahnya. Ditatapnya wajah panglimanya itu, namun kemudian ia pun segera menundukkan wajahnya kembali. Tetapi terasa kini hatinya menjadi berdebar-debar. Mungkin ia telah dinggap berbuat suatu kesalahan yang besar dengan peristiwa yang hampir saja membuat bencana bagi Ki Gede Pemanahan beserta para pengawalnya.
Untara itu pun kemudian menunggu Ki Gede Pemanahan melanjutkan kata-katanya dengan hati yang gelisah. Beberapa titik keringat telah membasahi keningnya.
Sejenak pendapa itu menjadi hening. Semua orang menunggu apakah yang akan dikatakan oleh Ki Gede Pemanahan itu.
Ketika angin menyusup ke dalam pendapa banjar desa itu, maka lampu minyak yang melekat pada tiang-tiang pendapa itu pun bergerak-gerak dengan lemahnya.
“Untara,” berkata Ki Gede Pemanaham itu pula, “sejak dari Pajang aku telah membawa sesuatu untukmu. Sesuatu bukan saja atas kehendakku sendiri, tetapi aku membawanya dari Adipati Pajang sendiri.”
Jantung Untara terasa menjadi semakin cepat berdenyut. Dan ia mendengar Ki Gede Pemanahan berkata seterusnya, “Adipati Pajang merasa berterima kasih kepadamu, karena kau telah bekerja sebaik-baiknya untuk kepentingan Pajang. Seperti juga Adipati Pajang berterima kasih kepada mereka yang dianggap dapat mengalahkan Arya Penangsang dan Patih Mantahun, maka kau yang telah berhasil membunuh Macan Kepatihan pun mendapat perhatian Adipati Pajang sebagai seseorang yang telah memberikan jasa yang sebaik-baiknya kepada Pajang. Meskipun Sangkal Putung adalah sebuah kademangan yang kecil dibandingkan dengan Pajang keseluruhan, namun bahaya yang ditimbulkan Macan Kepatihan sebenarnya bukan saja terbatas di sekitar Sangkal Putung. Macan itu akan dapat berkeliaran di seluruh Kadipaten Pajang, bekas Kadipaten Jipang, bahkan di seluruh bekas wilayah Demak. Itulah sebabnya, maka kemenangan yang kau dapatkan di kademangan ini mendapat perhatian khusus dari Adipati Pajang.”
Kembali Ki Gede Pemanahan berhenti sesaat, Dan kepala Untara yang tunduk pun menjadi semakin tunduk. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa ia akan mendapat perhatian yang sedemikian besarnya dari Adipati Pajang sendiri.
“Untara,” berkata Ki Gede Pemanahan, “aku belum tahu, apa yang akan kau terima sebagai pernyataan terima kasih itu dari Adipati Pajang. Tetapi adalah wajar apabila kemudian setelah semua tugasmu selesai, kau akan mendapat sebuah pangkat yang lebih baik, tumenggung misalnya.”
Untara terkejut mendengar nama pangkat itu. Ia adalah seorang yang sama sekali tidak pernah mengharapkan mendapat pangkat setinggi itu. Kalau ia merayap menurut tingkat yang wajar, maka pangkat itu masih berjarak beberapa lapis lagi daripadanya. Namun dengan membunuh Tohpati ia langsung meloncati beberapa lapis itu. Tumenggung, tumenggung dalam pangkat keprajuritan adalah pangkat yang cukup tinggi. Dengan pangkat itu ia tidak saja akan menjadi senapati kecil seperti yang dijabatnya kini. Ia akan menjadi seorang senapati dengan pasukan segelar sepapan. Tetapi Ki Gede itu mengatakan bahwa Ki Gede sendiri belum tahu pasti apakah yang akan diterimanya dari Adipati Pajang. Pangkat itu barulah dugaan Ki Gede Pemanahan sendiri. Dan pangkat itu baru akan diterimanya kelak. Tetapi dugaan itu adalah dugaan seorang Panglima Wira Tamtama, bukan sekedar dugaannya sendiri, atau dugaan pamannya, Widura. Bahkan kemudian ki Gede Pemanahan itu berkata pula, “Apa yang kau lakukan Untara, adalah lebih sulit dari apa yang harus dilakukan oleh seorang tumenggung.”
Untara tidak dapat menjawab sama sekali. Mulutnya serasa terbungkam dan darahnya beredar semakin cepat.
Yang berkata kemudian adalah Ki Gede Pemanahan kembali, “Untara, seorang Tumenggung Wira Tamtama, mendapat prajurit segelar sepapan, yang telah siap melakukan perintah. Kau di sini hanya mempergunakan sepasukan Wira Tamtama yang dipimpin oleh pamanmu Widura. Kemudian kau dan pamanmulah yang membentuk pasukan segelar sepapan dengan tenaga yang kalian persiapkan sendiri. Anak-anak muda Sangkal Putung. Namun kau telah berhasil melawan Tohpati yang pada saat terakhir telah mengumpulkan sisa-sisa laskarnya yang tersebar.
Untara masih berdiam diri.
“Adalah sepantasnya bahwa kau berhak menerima anugerah itu.”
Untara menggigit bibirnya. Kemudian perlahan-lahan ia berkata, “Ki Gede. Adalah tidak mungkin aku lakukan semua itu apabila aku berdiri sendiri. Apa yang aku lakukan adalah sebagian saja dari apa yang kami lakukan bersama. Prajurit Wira Tamtama Pajang dan hampir setiap laki-laki di Sangkal Putung. Bahkan perempuan-perempuan kademangan ini pun bekerja pula untuk kepentingan bersama. Makanan yang disediakan untuk kami dan banyak lagi keperluan-keperluan kami yang lain. Karena itu, setiap anugerah untukku adalah sepantasnya apabila diserahkan untuk kepentingan kami bersama. Aku, Paman Widura beserta pasukannya yang lebih dahulu telah berjuang melawan Tohpati di Sangkal Putung ini, Ki Demang, dan setiap orang di Sangkal Putung.”
Ki Gede Pemanahan tersenyum mendengar jawaban Untara itu. Katanya kemudian, “Kau benar Untara. Dan hal itu telah diketahuinya pula oleh Adipati Pajang. Seluruh Sangkal Putung akan mendapat kehormatan pula. Mungkin sangkal Putung akan menerima berbagai macam hadiah yang langsung dapat dimanfaatkan oleh kademangan ini. Mungkin alat-alat pertanian, mungkin ternak dan iwen dan mungkin anugerah-anugerah yang lain. Tetapi kau yang menangani kematian Tohpati telah mendapat perhatian khusus dari Adipati Pajang. Meskipun kau sama sekali tidak menginginkan hadiah itu Untara, tetapi hal yang serupa itulah yang telah menggerakkan Sidanti untuk berbuat hal yang aneh-aneh. Semula ia ingin bahwa kematian Tohpati adalah akibat dari senjatanya. Tetapi ia gagal.”
Untara kini terdiam kembali. Ia mencoba untuk mengerti setiap kata yang diucapkan oleh Ki Gede Pemanahan. Dan Ki Gede itu berkata terus, “Kemudian Widura pun akan mendapat bagiannya pula. Aku juga belum tahu apa yang akan kau terima, tetapi pesan itu telah aku bawa pula.” Ki Gede Pemanahan itu terdiam sejenak, lalu sambungnya, “Tetapi sebelum semuanya itu berlangsung, sebelum kalian menerima hadiah yang telah dijanjikan, maka aku ingin menyampaikan persoalan yang kedua yang baru aku temukan setelah aku berada di Sangkal Putung ini.”
Debar di dalam dada Untara pun menjadi semakin cepat kembali. Persoalan ini pun agaknya tidak kalah pentingnya dengan persoalan yang pertama, namun nadanya agaknya amat jauh berbeda. Persoalan yang dikatakan oleh Ki Gede Pemanahan, baru diketemukan di Sangkal Putung.
“Untara,” berkata Ki Gede Pemanahan seterusnya, “aku sependapat dengan laporanmu, bahwa persoalan di Sangkal Putung telah delapan dari sepuluh bagian selesai. Tetapi kemudian tumbuh persoalan baru yang apabila dijumlahkan maka apa yang telah kau selesaikan dengan terbunuhnya Tohpati barulah lima dari sepuluh bagian. Bahkan mungkin kurang daripada itu. Sebab sepeninggal Tohpati tumbuhlah Sidanti dan bahkan gurunya Ki Tambak Wedi di samping sebagian dari laskar Tohpati sendiri. Tetapi ini bukan salahmu. Keadaan berkembang ke arah yang tidak kita kehendaki bersama. Karena itu Untara, maka pekerjaanmu kali ini terpaksa belum dapat diakhiri. Mungkin Widura yang telah lebih lama berada di Sangkal Putung akan dapat beristirahat bersama pasukannya di kademangan ini, sebab pergolakan kemudian harus kau geser ke tempat lain.”
Untara mengangkat wajahnya. Dadanya berdesir mendengar penjelasan itu. Sekilas ia telah berhasil menangkap maksud Ki Gede Pemanahan, namun kemudian Ki Gede itu menjelaskan, “Untara, tegasnya aku akan menjatuhkan perintah kepadamu dan kepada Widura. Widura sementara masih harus tetap berada di Sangkal Putung bersama pasukannya. Mungkin satu dua orang sisa laskar Jipang masih akan merayap kemari. Tetapi sebaliknya aku akan memberikan perintah kepada Untara untuk meninggalkan Sangkal Putung. Kau jangan menunggu ki Tambak Wedi dan Sidanti datang ke tempat ini atau membuat huru hara di tempat lain, di sekitar lereng Gunung Merapi. Karena itu kau harus mendekat. Bukankah kau berasal dari Jati Anom? Nah, kau harus tinggal di sana bersama sepasukan Wira Tamtama yang akan aku kirimkan dari Pajang. Bukan pasukan yang telah berada di Sangkal Putung. Dengan pasukan itu kau tidak harus bertahan, tetapi kau harus berusaha merebut setiap kedudukan ki Tambak Wedi. Aku mengharap dengan pasukan itu kau mampu melakukannya, meskipun di antaranya aku tidak akan memasang seseorang yang mampu mengimbangi ki Tambak Wedi. Aku mengharap kau berhasil menghubungi Kiai Gringsing yang menurut laporanmu, akan dapat setidak-tidaknya memperkecil arti Ki Tambak Wedi, atau kalau tidak, maka kau harus membuat pasangan-pasangan yang mampu menahan setiap perbuatan Hantu Lereng Merapi itu.”
Untara merasa bahwa dadanya bergelora oleh berbagai perasan yang saling berdesak-desakan. Ia merasa bahwa ia telah membuat banyak kesalahan dengan laporan yang telah dikirimnya. Karena itu maka di dalam sudut hatinya ia pun merasa bahwa seolah-olah ia harus melakukan suatu hukuman karena kesalahan itu. Tetapi bertentangan dengan perasaan itu, maka di sudut hatinya yang lain ia merasa mendapat kepercayaan yang tidak terhingga. Ia merasa bahwa karena ia telah berhasil membunuh Tohpati, maka pekerjaan yang berat itu hanya pantas dipercayakan kepadanya.
Karena gelora di dalam dadanya itulah, maka Untara justru terdiam. Keringat yang dingin telah membasahi seluruh punggungnya. Di sampingnya, Widura pun menjadi gelisah pula. Ada juga kebanggaan membersit di hatinya, tetapi seperti juga Untara, ia sama sekali tidak mengharapkan hadiah atau penghargaan apa pun atas perjuangannya.
Ketika malam menjadi semakin malam, maka Ki Gede Pemanahan pun segera akan menutup pertemuan itu. Diulanginya sekali lagi perintahnya, “Untara, ingat, kau mempunyai tugas yang mungkin justru lebih berat. Kita belum tahu, apakah kekuatan yang dihimpun oleh Ki Tambak Wedi bersama Sanakeling tidak justru lebih kuat dari kekuatan Tohpati di sini. Kau harus mulai lagi seperti pamanmu di Sangkal Putung. Menghimpun anak muda Jati Anom untuk memperkuat prajurit Pajang yang akan aku kirimkan kemudian. Dengan kekuatan itu kau harus berhadapan dengan Tambak Wedi. Kau pasti sudah mengenal Jati Anom dengan baik karena daerah itu adalah daerah kelahiranmu.”
Untara tidak menjawab. Tetapi Jati Anom bukan daerah seperti Sangkal Putung. Jati Anom adalah daerah yang tidak mengalami tekanan seberat Sangkal Putung, sehingga anak muda Jati Anom belum tergugah hatinya. Mungkin sekali dua kali daerah itu pernah dilintasi oleh orang-orang Tohpati, Sanakeling, atau Plasa Ireng, atau bekas orang-orang Pande Besi Sendang Gabus, atau yang lain lagi. Tetapi orang-orang itu hanya lewat dan mungkin sekali dua kali melakukan perampokan. Menghadapi orang-orang itu, biasanya anak-anak muda Jati Anom bersikap diam. Mereka tidak mau terlibat dalam perkelahian dengan mereka, sebab anak-anak muda itu tahu, bahwa apabila orang-orang Jipang itu mendendam mereka, maka kademangan Jati Anom akan dapat dihancurkan.
Tetapi apabila kelak ada prajurit Pajang di daerah itu, maka keadaannya pasti akan berbeda, seperti juga daerah Sangkal Putung kini. Jati Anom seterusnya akan menjadi garis pertama untuk menghadapi ki Tambak Wedi yang bertempat di padepokannya, di lereng Gunung Merapi. Justru di atas Kademangan Jati Anom.
“Untara,” berkata Ki Gede Pemanahan itu pula, “aku akan mengirimkan prajurit Wira Tamtama di bawah pimpinan Pidaksa. Aku akan mengirimnya langsung ke mari, supaya kau dapat membawanya ke Jati Anom bersama kau sendiri. Sementara pekerjaanmu untuk mengawasi daerah-daerah lain di sekitar Gunung Merapi dapat kau lepaskan. Pusatkan perhatianmu kepada Tambak Wedi. Kalau keadaan Sangkal Putung benar-benar telah aman, maka aku ijinkan kau minta kepada pamanmu sebagian dari prajuritnya apabila kau perlukan, sesudah kau memberitahukannya kepadaku.”
Untara menganggukkan kepalanya dalam-dalam. Perlahan-lahan ia menjawab, “Terima kasih atas kepercayaan itu Ki Gede. Mudah-mudahan aku dapat melakukannya.”
“Tiga hari setelah aku sampai di Pajang lusa, maka prajurit itu akan berangkat dari Pajang.”
Untara terkejut mendengar perintah itu. Tiga hari setelah Ki Gede Pemanahan sampai di Pajang. Itu berarti lima hari sejak malam ini.
“Hem,” Untara menarik nafas dalam-dalam, “terlampau cepat.”
Agaknya Ki Gede dapat menebak hati Untara. Katanya, “Melawan Tambak Wedi harus dilakukan dengan secepat-cepatnya. Kau harus sudah mulai sebelum Tambak Wedi mampu menghimpun orang-orang yang berada di bawah pengaruhnya. Kau harus lebih dahulu menguasai anak-anak muda di sekitar Jati Anom, Banyu Asri, Sendang Gabus, Tangkil, dan lebih-lebih ke arah Barat. Ingat, pengaruh Ki Tambak Wedi cukup besar di seberang Hutan Bode.”
Untara menganggukkan kepalanya kembali. Katanya, “Ya, Ki Gede, padepokan Ki Tambak Wedi menurut pendengaranku berada di sebelah Barat hutan Bode.”
“Ya. Kau pasti telah mengetahuinya pula. Dan kau pasti pernah pula pergi ke hutan itu.”
“Ya, Ki Gede,” sahut Untara. Dan Untara itu pun segera mengenang kembali pada masa kanak-kanaknya. Ia sering pergi dengan ayahnya berburu ke hutan Bode. Hutan yang mempunyai sebuah batu yang sangat besar, hampir berbentuk seeker kerbau, sehingga orang menamakannya hutan Kebo Gede. Tetapi saat itu, Ki Tambak Wedi belum mencengkamkan pengaruhnya di daerah itu, meskipun orang itu mungkin telah berkeliaran di sekitar lereng Merapi. Apabila ayahnya masih ada, mungkin ayahnya akan dapat berceritera banyak tentang Ki Tambak Wedi itu.
Kemudian setelah sejenak lagi mereka berbincang berkatalah Ki Gede, “Aku kira persoalanku sudah cukup. Aku akan beristirahat. Besok aku menunggu prajurit berkuda dari Pajang dan lusa aku akan kembali. Ingat tiga hari sejak itu, aku akan mengirimkan Pidaksa kemari beserta pasukannya. Dan Widura masih tetap berada di Sangkal Putung. Mungkin kau dapat beristirahat setelah sekian lama kau berjuang melawan Tohpati, tetapi mungkin pula kau harus bekerja keras, apabila sepeninggal Untara, orang-orang Jipang itu kembali. Dalam keadaan yang demikian kau dapat segera menghubungi Untara di Jati Anom.”
Widura itu pun menganggukkan kepalanya pula sambil menjawab, “Ya Ki Gede. Aku akan melakukan sebaik-baiknya pula.”
Sejenak kemudian maka pertemuan itu pun seIesai. Ki Gede segera di tempatkan di ruang dalam banjar desa. Bukan sebuah pembaringan yang bagus, tetapi sebuah pembaringan di depan garis perang. Sebuah amben bambu beralaskan tikar pandan. Tetapi ki Gede Pemanahan adalah prajurit yang namanya dibesarkan di garis-garis perang, bukan di belakang pintu Kadipaten Pajang. Karena itu apa yang ditemuinya kini sama sekali tidak mengejutkannya.
Ketika Ki Gede Pemanahan membaringkan diri, kembali ia terkenang kepada puteranya. Terdengar Ki Gede berdesis perlahan, “Anak bengal. Di mana ia bermalam sekarang.”
Pada saat yang demikian itu Sutawijaya sedang berusaha membangunkan Swandaru yang masih saja tidur dengan nyenyaknya.
Swandaru terkejut dan kemudian meloncat dari pembaringannya. Dengan gugup ia bertanya, “Ada apa?”
Sutawijaya tertawa, katanya, “Ah, seorang anak muda seperti kau pasti seorang anak muda yang tangkas. Kau mampu bangun sekaligus meloncat dari pembaringan dan bersiap untuk berkelahi.”
Swandaru mengusap matanya. Dilihatnya Sutawijaya dan Agung Sedayu duduk di pembaringan itu pula. Perapian mereka kini sudah tidak menyala sebesar semula lagi. Tetapi perapian itu kini nyalanya telah jauh susut.
“Kau tidur terlampau nyenyak Adi,” desis Agung Sedayu.
“Ya,” jawabnya pendek. Tertatih-tatih ia melangkah dan kemudian duduk di pembaringan itu pula.
“Sudah saatnya kau bangun,” berkata Sutawijaya.
“Alangkah nikmatnya tidur di samping perapian,” Gumam Swandaru. “Apakah tidak ada hantu yang mengunjungi kalian?”
“Ada,” sahut Sutawijaya. “Sayang kau tidak melihatnya. Hantu perempuan yang sangat cantik.”
“Sayang,” desah Swandaru sambil menguap. Kemudian katanya, “Sekarang siapakah yang akan tidur?”
“Siapa?” sahut Sutawijaya.
“Silahkan,” jawab Agung Sedayu, “aku tidak kantuk sekarang. Mudah-mudahan nanti.”
“Baik,” berkata Sutawijaya, “akulah yang akan tidur. Tolong bangunkan aku kalau hantu itu nanti datang kembali.”
Agung Sedayu dan Swandaru tersenyum.
Demikianlah maka Sutawijaya kini membaringkan dirinya. Ia pun ternyata cepat tertidur pula, meskipun tidak secepat Swandaru. Sedang Agung Sedayu dan Swandaru kini berjaga-jaga sambil memanasi tubuh mereka di samping perapian. Sekali-sekali Agung Sedayu dan Swandaru mencari potongan-potongan kayu dan sampah ditaburkan di atas perapian yang kini menjadi seolah-olah seonggok bara semerah darah.
Tetapi seperti ujung malam yang telah mereka lampaui, maka keduanya sama sekali tidak melihat dan mendengar apapun, selain suara binatang hutan dan bunyi desir angin di dedaunan. Bahkan ketika kemudian Sutawijaya terbangun dengan sendirinya dan pada saat Agung Sedayu beristirahat, mereka sama sekali tidak mengalami sesuatu.
Ketika kemudian matahari mengembang di kaki bukit di sebelah Timur, maka ketiga anak-anak muda itu pun menarik nafas lega. Mereka seakan-akan telah terlepas dari sebuah ketegangan hampir semalam suntuk.
Dengan nada yang datar Swandaru berkata, “Hem, siapakah yang telah bermain gila-gilaan semalam? Ternyata tak seorang pun yang kami temui di sini. Apakah siang ini kita akan melanjutkan berusaha untuk menemukannya?”
“Tak ada gunanya,” jawab Sutawijaya, “lebih baik kita mempersiapkan diri untuk meneruskan perjalanan. Kecuali apabila kita menjumpainya.”
“Kita harus mendapatkan air,” tiba-tiba terdengar Agung Sedayu memotong.
“Ya kita mencari air,” Sahut Swandaru.
“Pasti ada air di dekat tempat ini. Kalau tidak Macan Kepatihan pasti tidak memilih tempat ini untuk membuat perkemahan,” berkata Sutawijaya.
Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka sependapat dengan Sutawijaya. Karena itu Swandaru segera menjawab, “Mari kita mencari air. Mencuci muka dan minum sepuas-puasnya, sebagai ganti makan pagi.”
Sutawijaya tersenyum. “Jangan takut. Kita akan mencari makan pagi. Hutan ini pasti berbaik hati kepada kita. Nah, Sekarang biarlah kita pegang busur kita. Kita akan mencari binatang buruan.”
“Bagus,” sahut Agung Sedayu, “sudah lama aku tidak pergi berburu.”
“Aku juga. Sudah hampir dua puluh tahun aku tidak pergi berburu,” berkata Swandaru.
“Berapa tahunkah umurmu?” bertanya Sutawijaya.
“Lewat delapan belas,” sahut Swandaru.
“Kenapa sudah hampir duapuluh tahun kau tidak pernah berburu?”
“Bukankah demikian? Sejak bayi aku belum pernah berburu. Bukankah hampir duapuluh tahun?”
Sutawijaya tertawa, ia senang mendengar kelakar itu.
“Marilah,” ajak Sutawijaya kemudian. “Tetapi bagaimana aku menyangkutkan tombakku? Tali tombak ini telah kau minta Swandaru.”
Swandaru mengamat-amati pedangnya. Ia melihat juntai benang yang kekuning-kuningan. Benang yang didapatkannya dari Sutawijaya. Tetapi ia merasa sayang untuk melepas benang itu dari hulu pedangnya.
Tetapi ternyata Sutawijaya tidak minta Swandaru untuk melepasnya. Katanya, “Bukankah kau sudah hampir duapuluh tahun tidak berburu Swandaru? Dengan demikian kau pasti sudah menjadi canggung. Mungkin kau sudah tidak ingat lagi, bagaimana kau harus mengikuti jejak binatang buruanmu, kemudian mengintainya dan melepaskan anak panah. Nah, sebaiknya kau melihat cara kami berburu lebih dahulu. Dan, maaf, tolong bawa tombakku.”
“Uh,” sungut Swandaru. Tetapi ia tidak dapat menolak, diterimanya tombak pendek Sutawijaya. Tetapi sesaat Swandaru seolah-olah menjadi tegang. Terasa sesuatu bergetar di tangannya, seperti ada sesuatu mengalir dari tombak itu. “Hem,” katanya dalam hati. “Tombak yang demikian inilah yang disebut tombak yang baik.”
Tetapi yang didengarnya kemudian adalah suara Sutawijaya mengejutkannya, “Ayo. Senjatamu sudah lengkap. Pedang di lambung, tombak di tangan dan busur di punggung. Siapa yang berani melawanmu sekarang?”
Agung Sedayu tertawa mendengar gurau itu. Sekedar untuk melupakan orang yang semalam mengganggu mereka dengan perapiannya. Tetapi Swandaru sendiri mencibir sambil bersungut-sungut, “Huh. Akulah yang menjadi ganti karena kalian tidak membawa pedati. Ayo siapa lagi yan akan memberi aku muatan?”
Sekarang bukan saja Agung Sedayu tetapi juga Sutawijaya tertawa terbahak-bahak. Di antara derai tertawanya ia berkata, “Jangan marah Swandaru. Nanti aku carikan buruan yang sesuai dengan seleramu. Apakah kira-kira yang kau senangi?”
“Daging kambing,” sahut Swandaru.
“Hem,” gumam Sutawijaya, “mudah-mudahan di dalam hutan ini aku dapat menjumpai gerombolan kambing liar. Tetapi kalau tidak ada kambing nanti aku akan menangkap kelinci. Bukankah kau gemar pula daging kelinci?”
“Daripada makan daging kelinci bagiku lebih baik makan daun mlandingan muda.”
Kembali Sutawijaya dan Agung Sedayu tertawa.
“Marilah. Nanti binatang-binatang buruan habis berlarian mendengar kita ribut saja di sini,” ajak Sutawijaya kemudian.
Ketiganya kemudian terdiam. Dengan busur dan anak panah di tangan, mereka kemudian menyusup ke dalam hutan mencari binatang buruan untuk makan pagi mereka.
Ternyata Sutawijaya cukup tangkas dan Agung Sedayu adalah pembidik yang benar-benar mengagumkan. Ketika mereka menjumpai seekor kijang muda, maka keduanya segera dapat menguasainya dan mengenainya.
Demikianlah mereka kemudian kembali duduk mengelilingi perapian yang masih membara. Bahkan Swandaru telah menambahnya dengan potongan-potongan kayu dan akar-akaran. Dengan lahapnya mereka kemudian menikmati daging panggang yang baru saja mereka tangkap.
Setelah mereka membersihkan diri dan minum sepuas-puasnya pada sebuah belik di dekat perkemahan itu maka, segera mereka mempersiapkan diri mereka untuk meneruskan perjalanan.
Sinar matahari yang sudah menanjak semakin tinggi, satu-satu herhasil menembus rimbunnya dedaunan dan jatuh bertebaran di atas tanah yang lembab. Sekali-sekali mereka harus menyeberangi parit-parit yang mengalir di antara akar-akar kayu-kayuan di dalam hutan itu.
Hutan itu meskipun tidak terlampau tebal, namun cukup luas. Mereka menyusur di bawah pepohonan yang besar dan kadang-kadang harus menyusup di bawah rimbunnya belukar. Tetapi perjalanan itu telah menyenangkan hati ketiga anak-anak muda itu. Agung Sedayu kini telah melupakan kecemasnnya apabila kakaknya akan marah kepadanya. Bahkan kemudian mereka menjadi gembira seperti anak-anak domba yang lepas di lapangan rumput yang hijau.
Ketika matahari telah mulai menurun di belahan Barat, maka mereka telah hampir menembus ujung hutan dan sampai ke padang terbuka. Padang yang ditumbuhi oleh ilalang liar dan gerumbul-gerumbul perdu di samping beberapa jenis pohon yang agak besar lainnya.
Ketika mereka keluar dari hutan itu dan menginjakkan kaki mereka di padang ilalang, maka serentak mereka menengadahkan wajah-wajah mereka.
“Hem, matahari telah turun,” gumam Sutawijaya.
“Kita terlampau siang berangkat,” sahut Agung Sedayu.
“Kau terlalu lama menggenggam tulang paha kijang itu,” sambung Swandaru.
Ketiganya tersenyum.
“Menilik daerah ini, kita akan segera sampai ke daerah persawahan atau pategalan,” berkata Sutawijaya.
“Ya. Kita akan segera sampai ke padesan.”
“Apakah kita akan memasuki padesan itu?” bertanya Swandaru.
“Lebih baik tidak. Kita akan mendapat banyak kesulitan. Mungkin kita dicurigai, atau bahkan mungkin kita tidak boleh meneruskan perjalanan. Mungkin mereka menyangka kita adalah sisa-sisa orang-orang Jipang. Menurut pendengaranku ada beberapa orang prajurit Pajang yang di tempatkan di Kademangan Prambanan. Tetapi tidak banyak. Dan aku belum tahu, manakah yang bernama Prambanan itu.”
“Aku tahu,” sahut Swandaru. “Bukankah di Prambanan ada bangunan yang terkenal. Hampir orang di seluruh pelosok Demak tahu, bahwa di Kademangan Prambanan ada Candi yang bernama Candi Jonggrang.”
“Aku juga pernah mendengar,” sahut Sutawijaya, “apalagi kalian yang asal kalian tidak terlampau jauh dari daerah itu. Tetapi di manakah letak candi itu?”
Swandaru menggelengkan kepalanya. “Aku belum tahu,” jawabnya.
“Mungkin kita akan sampai juga ke candi itu tanpa kita kehendaki, tetapi mungkin pula tidak,” berkata Sutawijaya.
“Tetapi Candi itu cukup tinggi. Dari kejauhan kita akan dapat melihatnya. Kecuali apabila kita berada di sebelah desa yang dapat menutup pandangan mata kita.”
“Kita tidak berkepentingan dengan candi itu. Kita akan berjalan terus. Kita akan mencoba menghindari padesan. Tetapi apabila kita kemalaman di jalan, mungkin kita memerlukan desa terdekat untuk bermalam,” berkata Sutawijaya kemudian.
Kedua kawan-kawannya sependapat. Mereka akan menghindari banyak pertanyaan. Dengan senjata di lambung mereka serta busur di punggung, maka setiap orang yang melihat mereka pasti akan bercuriga. Karena itu mereka telah bersepakat untuk berjalan sejauh-jauhnya dari padesan yang akan mereka jumpai.
“Lewat Prambanan kita akan sampai ke Candi Sari, kemudian Cupu Watu, baru kita akan sampai ke daerah hutan yang lebih lebat dari hutan yang telah kita lewati,” berkata Sutawijaya.
“Apakah kita akan bermalam di hutan itu lagi?” bertanya Swandaru.
Mereka bertiga menatap padang yang terbentang di hadapannya. Sebuah padang ilalang yang cukup luas.
“Kita belum akan sampai ke Hutan Tambak Baya apabila malam turun,” berkata Sutawijaya. “Lihat di hadapan kita masih terbentang padang yang agak luas, kemudian kita akan sampai ke bulak persawahan. Baru kita akan memasuki desa-desa pertama dari Kademangan Prambanan. Belum lagi kita sampai ke ujung kademangan yang lain, maka kita pasti sudah harus mencari tempat untuk bermalam.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Agung Sedayu memandang bukit-bukit yang membujur di sebelah Selatan, seperti seorang raksasa yang sedang tidur dengan nyenyaknya.
“Menurut ceritera,” berkata Sutawijaya, “di bukit itu telah terjadi suatu peristiwa yang dahsyat pada jaman pemerintahan Prabu Baka.”
“Ya,” sahut Agung Sedayu. Teringatlah ia kepada ceritera ibunya yang dahulu selalu memanjakannya, yang lebih senang melihat Agung Sedayu bertekun dengan rontal daripada dengan pedang. “Candi Prambanan adalah akhir dari peristiwa itu.”
“Dan patung Rara Jonggrang adalah patung yang cantik sekali,” sambung Swandaru yang pernah mendengar ceritera itu pula.
“Sekarang,” berkata Sutawijaya, “kita akan menyusur di sebelah bukit itu untuk menghindarkan diri dari kecurigaan seseorang. Apakah kalian sependapat?”
Kedua kawan-kawannya mengangguk. Hampir bersamaan mereka menjawab, “Ya, kami sependapat.”
Mereka pun kemudian berjalan ke arah bukit yang membentang di sebelah Selatan padang ilalang itu. Padang yang menarik perhatian Sutawijaya. Apalagi ketika kemudian mereka melihat tanah pategalan dan persawahan yang hijau subur di sebelah padang ilalang yang semakin lama menjadi semakin tipis.
“Daerah ini adalah daerah yang sangat subur,” gumam Sutawijaya.
“Ya,” sahut Agung Sedayu, “tidak kalah subur dengan daerah Sangkal Putung.”
“Menurut pendengaranku, tanah ini mendapat air dari sungai di sebelah Candi Prambanan, Sungai Opak,” berkata Sutawijaya itu pula.
Kedua kawan-kawannya hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Mereka hanya tertarik pada tanah yang subur, tanaman yang hijau dan rumpun-rum pun yang segar.
Tiba-tiba terdengar Swandaru berdesis, “Kalau tanah ini sesubur Sangkal Putung, kenapa orang-orang Jipang tidak ingin memiliki tanah dan kademangan ini pula?”
“Siapa tahu.” sahut Agung Sedayu. “Mungkin daerah ini pun mendapat tekanan-tekanan yang serupa dengan Sangkal Putung.”
“Tidak,” potong Sutawijaya, “aku kira tidak, sebab Tohpati, Sanakeling, Alap-alap Jalatunda, dan sebelum itu juga Pande Besi Sendang Gabus berada di sekitar Sangkal Putung.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya,” katanya lirih.
Sejenak mereka terdiam. Kaki-kaki mereka melangkah di antara batang-batang ilalang yang sudah semakin tipis. Di hadapan mereka terbentang sebuah padang rumput yang sempit. Di seberang padang rumput itu, maka terbentanglah tanah persawahan dan pategalan yang hijau. Di sana-sini mereka melihat padesan yang segar bermunculan di antara batang-batang padi yang sedang berbunga.
“Ada perbedaan antara Prambanan dan Sangkal Putung,” berkata Sutawijaya kemudian. “Yang mungkin mempengaruhi perhitungan Tohpati adalah letak dari kedua kademangan ini. Yang kedua, Sangkal Putung agak lebih besar dari Prambanan dan lebih padat pula, sehingga yang tersimpan di dalam perut Kademangan Prambanan. Agaknya Prambanan tidak memiliki kekayaan seperti Sangkal Putung. Ternak, iwen, lumbung-lumbung yang padat dan hampir setiap orang di Pajang dan Jipang tahu, bahwa orang-orang Sangkal Putung adalah selain petani yang rajin, juga pedagang yang ulet, sehingga menurut perhitungan Tohpati, di Sangkal Putung, akan banyak dijumpai emas dan permata. Kepentingan Tohpati yang lain, karena Sangkal Putung lebih padat daripada Prambanan, maka Sangkal Putung akan dijadikan panjatan perlawanan atas Pajang. Mungkin Tohpati akan dapat memanfaatkan penduduk Sangkal Putung dengan sebaik-baiknya.”
Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan mereka mendengar Sutawijaya berkata terus, “Tetapi tidak mustahil, bahwa apabila mereka gagal menduduki Sangkal Putung, maka mereka akan memperhatikan tempat-tempat lain. Tempat-tempat yang cukup baik, tetapi yang terlepas dari pengawasan prajurit-prajurit Pajang. Tetapi aku kira Prambanan pun berada di bawah pengawasan langsung dari beberapa orang prajurit.”
Agung Sedayu dan Swandaru masih saja mengangguk-anggukkan kepala mereka. Di dalam hati Swandaru merasa bangga, bahwa kademangannya, kademangan yang dipimpin oleh ayahnya ternyata mempunyai beberapa keistimewaan dari kademangan-kademangan lain. Jati Anom, Prambanan dan beberapa kademangan yang lain, bukanlah kademangan yang dapat dinilai sebesar kademangannya.
Tetapi berbeda dengan angan-angan yang berputar di kepala Sutawijaya. Pandangannya atas kademangan ini ternyata jauh melampaui masa yang dilihatnya kini. Ia adalah putera Ki Gede Pemanahan. Sehingga apabila ayahnya nanti mampu membuka hutan Mentaok, maka adalah menjadi kewajibannya untuk menjadikan daerah itu daerah yang besar. Daerah yang memiliki kedudukan yang kuat dan memiliki sumber kekayaan yang cukup. Prambanan adalah daerah yang cukup subur. Dan daerah ini tidak terlampau jauh dengan alas Mentaok yang dijanjikan olah Adipati Pajang kepada ayahnya.
Namun Sutawijaya menyimpan angan-angan itu di dalam kepalanya. Ia sama sekali tidak menyatakan kepada kedua kawannya. Gambaran-gambaran tentang masa depan itu dibiarkan tumbuh dan berkembang di dalam hatinya sendiri.
Demikianlah mereka berjalan terus ke arah Barat. Dilingkarinya pategalan dan tanah-tanah persawahan. Mereka berjalan di padang alang-alang di sisi-sisi bukit kecil yang menbujur di sebelah Selatan Prambanan.
“Itulah Candi Jonggrang,” berkata Agung Sedayu kemudian.
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Gumamnya, “Hem, itulah candi yang terkenal itu.”
Swandaru mengerutkan wajahnya. Tetapi ia tidak berkata suatu apapun.
Ketika matahari semakin lama menjadi semakin rendah, maka berkatalah Sutawijaya kemudian, “Hampir senja. Apakah kita akan bermalam di padang ilalang, ataukah kita ingin mencari penginapan di desa yang terdekat. Lihat, desa itu adalah desa kecil yang terpencil. Mungkin kita akan dapat mencari sekedar tempat untuk bermalam.”
Agung Sedayu dan Swandaru tidak segera menjawab. Ditatapnya sebuah desa kecil yang terpencil agak di sebelah Barat Candi Prambanan. Desa itu dipisahkan oleh sebuah bulak yang agak panjang, yang ditumbuhi oleh batang-batang padi yang hijau subur. Namun desa kecil itu sendiri dilingkari oleh tanaman yang segar pula. Daun-daun yang hijau menjadi kemerah-merahan karena sinar matahari yang hampir terbenam di ujung Barat.
“Bagaimana?” desak Sutawijaya. “Kalau kita ingin bermalam di desa itu, maka biarlah kita menunggu gelap. Kita memasuki desa itu setelah tidak banyak orang yang akan melihat kita. Kita pilih rumah yang paling ujung. Dan kita minta bermalam apabila pemiliknya tidak keberatan.”
“Dengan segala macam senjata ini?” bertanya Agung Sedayu.
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya, “Tidak. Kita mencari tempat yang agak baik untuk menyembunyikan senjata-senjata ini.”
“Bagaimana kalu senjata-senjata kita dicuri orang?” bertanya Swandaru.
“Tidak kita letakkan di sembarang tempat. Kita sembunyikan di tempat yang kita yakin, bahwa senjata-senjata itu tidak dilihat orang.”
Kedua kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian Agung Sedayu menjawab, “Baiklah. Tanpa senjata di tangan kita tidak akan menakut-nakuti penduduk desa itu. Tetapi apakah jawab kita apabila mereka bertanya siapakah kita dan apakah kepentingan kita di desa mereka?”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya pula, “Ya, apakah keperluan kita?”
Mereka pun kemudian terdiam. Mereka sedang mencari-cari jawab apabila mereka mendapat pertanyaan tentang diri mereka.
“Baiklah kita katakan, bahwa kita adalah orang-orang Mangir. Kita baru saja bepergian ke Sangkal Putung, bagaimana?” berkata Sutawijaya.
“Kita belum pernah melihat daerah itu. Bagaimana kalau orang yang kita temui itu mengenal Mangir dengan baik dan bertanya beberapa hal tentang Mangir?” sahut Agung Sedayu.
Sutawijaya termenung. Matahari di sebelah Barat telah menjadi semakin rendah.
“Kita bermalam di padang ilalang ini saja,” katanya kemudian.
Swandaru mengerutkan keningnya. Katanya, “Dingin. Sudah tentu kita tidak dapat membuat perapian kalau kita tidak ingin menarik perhatian orang-orang Prambanan.”
“Ya, kau benar,” jawab Sutawijaya, “dingin dan banyak sekali nyamuk. Memang lebih senang tidur di dalam rumah.”
“Kita perhitungkan setiap kemungkinan. Manakah yang lebih baik. Kedinginan di ladang ini atau menjawab pertanyaan-pertanyaan yang akan mereka berikan,” berkata Agung Sedayu.
“Oh, aku terbalik menjawab,” berkata Sutawijaya. “Kita adalah anak-anak Sangkal Putung yang akan pergi ke Mangir. Kita akan dapat menjawab segala pertanyaan mengenai Sangkal Putung. Tetapi apabila mereka bertanya tentang Mangir, biarlah kita jawab, bahwa kita belum pernah pergi ke Mangir.”
“Apakah keperluan kita ke Mangir?” bertanya Swandaru.
“Apa saja,” jawab Sutawijaya, “mencari paman kita atau kakak kita?”
“Baik, kita adalah anak-anak Sangkal Putung,” sahut Swandaru kemudian.
“Kita saudara-saudara sepupu,” berkata Sutawijaya, “panggil aku kakang. Agung Sedayu menjadi penengah di antara kita dan Swandaru adalah saudara sepupu yang lahir dari saudara termuda di antara orang tua kita.”
Swandaru tertawa. Katanya, “Kenapa aku yang termuda?”
“Demikianlah sepantasnya,” jawab Sutawijaya.
“Muda dalam urutan saudara sepupu tidaklah mesti yang paling muda umurnya,” sahut Swandaru.
“Apakah kita akan berbantahan mengenai umur untuk kepentingan ini?” bertanya Sutawijaya.
Kedua kawannya tertawa, “Baiklah,” desis Swandaru.
“Marilah, kita dekati desa itu. Kau lihat pohon gayam yang besar itu? Kita sembunyikan senjata kita ke atasnya. Aku sangka tak seorang pun yang akan melihatnya.”
“Ya, apabila senja telah menjadi gelap.”
Mereka bertiga pun kemudian berjalan ke Utara. Merka telah melampaui arah Candi Jonggrang. Mereka menuju sebuah desa kecil di sebelah Barat candi itu, desa yang terpisah oleh sebuah bulak yang agak panjang.
Pada saat yang bersamaan, di Sangkal Putung berderap kaki-kaki kuda prajurit-prajurit Wira Tamtama dari Pajang yang akan menjemput Ki Gede Pemanahan dengan membawa orang-orang Jipang. Besok mereka akan kembali bersama sebagian dari pasukan Widura di Sangkal Putung, sedang sebagian yang lain harus tetap tinggal di Sangkal Putung untuk menjaga setiap kemungkinan. Orang-orang Widura itu akan kembali ke Sangkal Putung bersama pasukan yang dipimpin oleh Pidaksa yang akan di tempatkan di bawah kekuasaan Untara untuk menyelesaikan sisa-sisa orang-orang Jipang itu sama sekali.
Ki Gede Pemanahan yang gelisah karena puteranya pergi tanpa sepengetahuannya, terpaksa tidak dapat berbuat apa pun juga. Ia harus segera kembali ke Pajang yang sedang mengembangkan dirinya. Pada saat ini Kerajaan Demak sedang kosong sepeninggal Sultan Trenggana. Timbulnya berbagai pertentangan di antara putera-putera dan kemenakannya telah memberi peluang kepada beberapa orang yang tidak senang menyaksikan Demak bangkit kembali. Apalagi melihat kebangkitan keturunannya.
Ki Gede itu hanya dapat berpesan kepada Untara dan Widura untuk kelak menyuruh anaknya segera kembali ke Pajang. Bukan saja dirinya sendiri yang menjadi gelisah, tetapi pasti Adipati Adiwijaya pun menjadi gelisah pula.
“Anak itu menggangu pekerjaanku saja,” gumamnya. Tetapi kemudian diteruskan, “Yah, tetapi ia telah berjasa pula kepada Pajang.”
Malam itu Ki Gede Pemanahan telah mempersiapkan dirinya untuk besok pada saat matahari terbit, berangkat dengan pengawalan yang kuat, membawa orang-orang Jipang yang menyadari kekeliruan yang selama ini mereka lakukan.
Dan pada saat itu, ketika matahari telah tenggelam di balik cakrawala, maka Sutawijaya, Agung Sedayu, dan Swandaru telah berada di bawah pohon gayam yang cukup besar. Mereka ingin menyimpan senjata-senjata mereka di atas pohon itu, supaya kehadiran mereka ke desa di ujung Kademangan Prambanan tidak mencurigakan.
“Siapakah yang memanjat?” bertanya Sutawijaya.
“Siapa?” sahut Agung Sedayu.
“Berikan senjata kalian. Aku akan memanjatnya,” desis Swandaru.
Kedua kawannya tertawa. Ketika mereka melihat Swandaru melipat lengan bajunya serta menyingsingkan kain panjangnya, maka kedua kawannya pun segera melepas senjata mereka.
“Apakah kau dapat membawa sekaligus?” bertanya Agung Sedayu.
“Tentu tidak. Aku akan memanjat untuk kepentingan kalian, tetapi tolong, berikan senjata-senjata itu apabila aku sudah berada di atas pohon gayam ini,” jawabnya.
“Uh, kalau begitu sama saja bagiku. Lebih baik kita memanjat bersama-sama. Ayo, biarlah aku membawa sebagian dari senjata-senjata itu,” berkata Agung Sedayu.
Swandaru-lah yang kemudian tertawa. Tetapi ia tidak menjawab. Dengan sebagian dari senjata-senjata mereka ia memanjat. Dibawanya pedangnya sendiri, busur serta endong panahnya, dan tombak Sutawijaya, sedang Agung Sedayu membawa senjata-senjatanya sendiri dengan busur dan endong panah Sutawijaya.
Dengan hati-hati mereka menyangkutkan senjata-senjata itu pada cabang-cabang yang kuat dan rimbun. Mengikatnya dan kemudian mereka pun turun dengan hati-hati supaya gerakan-gerakan mereka tidak menjatuhkan senjata-senjata mereka yang terikat pada cabang-cabang pohon gayam itu.
Sutawijaya yang berdiri di bawah mengawasi keadaan dengan seksama. Kalau-kalau ada seseorang yang mengintai mereka bertiga. Tatapi sampai kedua anak-anak muda itu turun dari pohon gayam itu, tidak seorang pun yang dilihatnya.
“Aku kira tak seorang pun yang melihat kita di sini,” desis Sutawijaya. “Apalagi setelah hari menjadi gelap. Kini marilah kita pergi ke desa itu.”
“Marilah,” sahut keduanya.
Tetapi segera langkah mereka terhenti. Dalam keremangan malam mereka melihat bayangan semakin lama menjadi semakin dekat. Tidak hanya seorang. Tetapi dua dan bahkan tiga orang.
Ketiga anak muda itu menjadi berdebar-debar. Bukan karena mereka takut, namun apabila ada orang yang melihat perbuatan mereka, maka pasti akan menimbulkan berbagai pertanyaan dan persoalan. Apabila mereka harus mengalami perselisihan, senjata-senjata mereka kini telah tersangkut di atas pohon gayam itu.
Bayangan-bayangan itu semakin lama menjadi semakin dekat. Kemudian terdengarlah suara mereka bercakap-cakap. Tidak begitu jelas, tetapi percakapan mereka berjalan lancar.
“Mereka belum melihat kita,” desis Sutawijaya perlahan-lahan.
“Ya, Tuan, mereka belum melihat kita,” sahut Agung Sedayu.
“Jangan panggil aku tuan. Panggil aku kakang.”
“Ya, Kakang,” ulang Agung Sedayu.
Tiba-tiba tiga orang yang berjalan itu pun tertegun. Mereka kini melihat ketiga anak-anak muda yang berdiri di pinggir jalan di bawah pohon gayam. Karena itu salah seorang dari mereka segera bertanya, “Siapakah kalian di situ?”
Ketiga anak-anak muda itu sejenak menjadi ragu-ragu. Tetapi kemudian Sutawijaya menjawab, “Aku, Paman.”
“Aku siapa?”
Kembali Sutawijaya menjadi bingung. Lebih baik baginya untuk tidak mempergunakan namanya sendiri, supaya tidak mengganggunya. Sebab mungkin seseorang telah mendengar nama itu.
“Siapa?” bertanya orang itu pula.
“Aku, Suta Paman.”
“Suta, Suta siapa?”
“Suta, ya Suta. Sutajia.”
“Sutajia,” ulang orang itu, “aku belum pernah mendengar namamu.”
Sutawijaya, Agung Sedayu, dan Swandaru pun menjadi bingung. Meskipun mereka telah merencanakan, apa yang harus mereka katakan, namun menghadapi pertanyaan itu mereka masih harus berpikir sejenak.
Karena mereka bertiga tidak segera menjawab, maka orang itu mensedak, “He, Sutajia, siapakah kau?”
Sutawijaya menjawab terbata-bata, “Memang mungkin, Paman. Mungkin Paman belum pernah mendengar namaku. Aku bukan orang Prambanan.”
Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Pantas. Aku belum pernah mendengar nama itu. Tetapi meskipun kau bukan orang Prambanan, namun namamu itu cukup aneh. Sutajia. Nama yang terasa tidak cukup lengkap.”
Dada Sutawijaya menjadi berdebar-debar. Seakan-akan orang yang berbicara itu mengerti keadaan dirinya sepenuhnya. Namun kemudian ia menjadi berlega hati ketika orang itu bertanya, “Dari manakah kalian datang?”
“Kami datang dari Sangkal Putung, Paman,” sahut Sutawijaya.
“Siapa kedua kawanmu itu?”
“Mereka adalah adik sepupuku. Yang bertubuh sedang bernama Agung Sedayu dan yang gemuk bernama Swandaru Geni.”
Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya kembali. Gumamnya, “Nama itu adalah nama-nama yang bagus, Agung Sedayu dan Swandaru Geni. Nama itu adalah nama lengkap dan berwibawa. Tidak seperti namamu sendiri Sutajia.”
“Demikianlah orang tua kami memberi nama kepada kami masing-masing, Paman.”
Dan orang itu pun bertanya pula, “Kalian datang dari Sangkal Putung menurut katamu? Tetapi ke manakah kalian akan pergi?”
“Ya, Paman. Kami datang dari Sangkal Putung. Sedang kami ingin pergi ke Magir.”
“Mangir, he? Mangir di seberang hutan Mentaok?”
“Ya, Paman.”
“Apakah kalian tidak sedang bermimpi?”
“Tidak, Paman.”
Orang itu mengangguk-anggukan kepalanya pula. Seolah-olah lehernya terlampau lentur.
“Apakah kalian sudah mengetahui jalan yang harus kalian tempuh?”
“Sudah, Paman. Kami akan melewati Candi Sari, Cupu Watu, dan kemudian hutan Tambak Baya.”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Pandangan wajahnya membayangkan keragu-raguan hatinya. Tetapi ia tidak mempunyai kepentingan atas ketiga anak-anak muda itu. Karena itu maka sambil lalu orang itu bertanya, “Apakah malam ini kau akan bermalam di bawah pohon ini?”
Sutawijaya menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi setelah mereka saling berpandangan, berkatalah Sutawijaya, “Tidak, Paman. Terlampau dingin. Tetapi kami tidak mempunyai keluarga di daerah ini.”
“Lalu?” bertanya orang itu pendek.
“Sebenarnya kami ingin pergi ke desa itu. Mungkin ada seseorang yang menaruh belas kepada kami, dan mengijinkan kami bermalam semalam ini, meskipun kami harus tidur di atas kandang.”
Orang itu tertawa. Ia berpaling kepada kedua kawannya. Kemudian katanya, “Kalian bertiga akan pergi ke Mangir di sebelah hutan Mentaok, tetapi kalian takut kedinginan di udara terbuka. Apakah kalian tahu, bahwa hutan Tambak Baya itu menyimpan bahaya yang jauh lebih besar daripada udara yang dingin? Apalagi alas Mentaok?”
Sutawijaya terdiam. Tetapi pertanyaan itu masuk di dalam akalnya.
“Tetapi aku kasihan melihat kalian bertiga,” berkata orang itu. “Untunglah bahwa keadaan telah menjadi baik, sehingga kami tidak ragu-ragu lagi membawa kalian menginap di rumah kami.”
Sutawijaya, Agung Sedayu, dan Swandaru mengerutkan keningnya. Agaknya Prambanan pun pernah mengalami masa yang kurang baik. Tetapi ternyata masa yang kurang baik itu telah lampau.
“Bawa anak-anak ini ke rumah, Bawa,” berkata orang itu. Kemudian kepada Sutawijaya ia berkata, “Keduanya adalah anak-anakku. Yang tua bernama Bawa dan yang muda bernama Supa.”
“Oh,” Sutawijaya menganggukkan kepalanya. Demikian pula Agung Sedayu dan Swandaru.
“Mari, ikut aku,” ajak Bawa. Tetapi nada suaranya agak berbeda dengan nada suara ayahnya. Tetapi Sutawijaya dan kedua kawan-kawannya mula-mula tidak memperhatikannya.
“Pulanglah dahulu,” berkata orang itu kepada kedua anaknya, “Aku masih akan menyusur parit ini. Apakah kalian masih ada waktu?”
“Tidak Ayah. Aku harus segera pulang. Kawan-kawan pasti sudah menanti di halaman banjar desa.”
“Apakah kerja kalian di sana? Bukankah lebih baik bagi kalian pergi ke pategalan sebentar untuk menengok tanaman kalian. Mungkin ada binatang yang merusak mentimun itu.”
“Aku tidak sempat, Ayah.”
“Hem,” orang tua itu menarik nafas, “ada-ada saja kerjamu sekarang ini. Bagaimana kau, Supa?”
“Aku juga tidak dapat Ayah. Aku juga harus pergi ke halaman banjar desa itu.”
“Terlalu. Jadi aku juga yang harus pergi ke sana? Sesudah menyusur air ini, aku masih harus pergi ke ladang mentimun itu?”
“Terserah kepada Ayah. Bagaimana kalau ladang itu tidak usah ditengok? Aku kira hampir tidak ada gunanya. Demikian kita meninggalkannya setelah kita bersusah payah menengoknya, maka babi hutan itu datang merusaknya.”
“Memang sebaiknya ladang itu kita tunggu apabila buahnya telah menjadi besar seperti sekarang. Kalianlah yang harus membantu untuk menunggui ladang itu.”
Kedua anak muda itu bersungut-sungut. Ternyata mereka sama sekali tidak tertarik akan pekerjaan yang disebut oleh ayahnya, menunggui ladang.
Anak muda yang bernama Bawa, yang tertua kemudian manjawab, “Pekerjaan itu sangat menjemukan, Ayah.”
“Aku tidak dapat melakukannya. Anak-anak muda yang lain bergembira di banjar desa, apakah aku harus kedinginan di ladang mentimun?”
Ayahnya tidak menyahut. Terdengar ia menarik nafas dalam-dalam.
“Ayo,” berkata Bawa kemudian. “Kalau kalian mau ikut kami, marilah ikut.”
Bawa tidak menunggu ketiga anak-anak Sangkal Putung itu menjawab. Langsung ia melangkah pergi, meninggalkan ayahnya berdiri termanggu-maggu. Adiknya, Supa, segera mengikuti pula berjalan di belakang kakaknya.
Sutawijaya, Agung Sedayu, dan Swandaru masih belum bergerak dari tempatnya. Sekali-sekali mereka memandang orang tua yang masih berdiri tegak di tempatnya dan sekali-sekali mereka menatap kedua anak-anaknya yang berjalan dengan langkah yang tetap.
Ketiga anak-anak muda itu terkejut ketika orang tua itu berkata, “Ikutlah. Tidurlah di gandok wetan atau di tempat lain yang akan ditunjukkan oleh anak-anakku. Mereka sendiri akan pergi ke banjar desa.”
“Apakah Paman tidak pulang?” tiba-tiba Sutawijaya bertanya.
“Aku akan pergi menyusur parit ini ke Timur. Seperti kalian dengar, aku masih harus pergi ke ladang untuk melihat tanaman. Binatang-binatang liar kadang-kadang merusak tanaman di ladang, meskipun tidak terlampau sering.”
Kembali Sutawijaya menjadi ragu-ragu. Ketika ia memandangi wajah kedua orang temannya, maka wajah-wajah mereka pun memancarkan keragu-raguan pula. Akhirnya Sutawijaya itu pun berkata, “Paman. Kami akan pergi bersama Paman.”
“Uh,” sahut orang itu, “belum tentu tengah malam aku sampai ke rumah.”
“Biarlah. Biarlah kami tengah malam sampai ke rumah Paman. Tetapi bukankah Paman yang mempunyai rumah itu? Lebih baik bagi kami apabila kami datang ke rumah Paman sesudah Paman berada di rumah.”
“Istriku ada di rumah.”
“Tetapi bibi belum mengenal kami dan putera-putera Paman agaknya terlampau tergesa-gesa.”
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian jawabnya, “Terserahlah kalian, kalau kalian ingin kedinginan di sepanjang parit ini.”
“Kami juga anak-anak ladang,” tiba-tiba Swandaru menyela. “Kami pun sering menyusur parit. Karena itu, kami tidak akan canggung lagi berjalan di sepanjang pematang.”
Orang tua itu mengangguk-angguk, katanya, “Kalau demikian terserahlah.”
“Marilah,” akhirnya ia berkata sambil melangkahkan kakinya.
Sutawijaya, Agung Sedayu, dan Swandaru pun berjalan mengikutinya pula. Meskipun Swandaru-lah yang berkata bahwa mereka adalah anak ladang, namun ia pulalah yang bersungut-sungut sambil berbisik, “Tuan, kenapa kita mengikutinya? Kenapa kita tidak pergi bersama kedua anaknya. Kita tidak akan kedinginan di tengah-tengah sawah seperti ini. Mungkin oleh bibi, istri orang ini sudah dijamu dengan air sere hangat.”
Sutawijaya tersenyum. Jawabnya, “Kami adalah anak-anak ladang. Kami pun sering menyusur parit. Karena itu, kami tidak akan canggung lagi berjalan di pematang.”
“Ah,” desah Swandaru.
Agung Sedayu yang mendengar pembicaraan itu pun tertawa tertahan. Tetapi sebenarnya ia pun telah merasa cukup lelah. Karena itu, maka dengan malasnya ia menguap sambil berkata, “Aku bukan anak ladang. Karena itu aku kedinginan.”
“Ssst,” desis Sutawijaya. “Kalian tidak tahu maksudku. Aku ingin mendengar ceritera tentang daerah ini. Bukankah orang itu tadi mengatakan, bahwa keadaan kini telah menjadi baik? Apakah yang telah terjadi sebelumnya?”
“Oh,” kedua kawannya mengangguk-anggukan kepala mereka. Betapa pun dinginnya, namun mereka kini tidak lagi berdesah di dalam hati.
Ketiga anak-anak muda itu mengikuti orang tua berjalan di sepanjang pematang di tepi parit. Alangkah dinginnya apabila kaki-kaki mereka terkena percikan air yang mengalir di sepanjang parit itu. Sehingga akhirnya mereka sampai ke sebuah bendungan kecil yang membagi parit itu menjadi dua buah saluran yang mengalir ke arah yang berbeda.
“Aku akan menutup salah satu daripadanya,” berkata orang tua itu. “Tanah di sebelah ini seharusnya telah kenyang. Karena itu, maka airnya akan dipergunakan untuk belahan yang lain.”
Sutawijaya dan kedua kawannya sama sekali tidak menyahut, tetapi mereka berdiri dekat di belakang orang tua yang terbungkuk-bungkuk mencangkul tanah berpasir untuk menutup salah sebuah dari kedua saluran itu.
Dari bendungan kecil itu, mereka segera ke ladang di sebelah padesan kecil yang semula akan disinggahi oleh Sutawijaya dengan kawan-kawannya. Pategalan mentimun yang subur yang sudah mulai berbuah.
Ketika mereka kemudian duduk-duduk di rerumputan di sebelah tanaman di ladang itu, maka mulailah Sutawijaya bertanya, “Paman, apakah desa ini termasuk Kademanangan Prambanan?”
“Ya, ya,” sahut orang tua itu. “Daerah ini adalah daerah Kademangan Prambanan.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bertanya pula, “Siapa nama, Paman?”
Orang Prambanan itu tersenyum mendengar pertanyaan Sutawijaya. Katanya, “Apakah kalian ingin juga mengetahui namaku?”
“Tentu, Paman, supaya besok aku dapat mengatakan kepada setiap orang di Sangkal Putung, bahwa di Prambanan aku bermalam di rumah Paman.”
Orang itu kini tertawa. Jawabnya, “Namaku Astra.”
“Astra,” ulang Sutawijaya.
“Ya.”
“Hanya itu.”
“Ya, kenapa?”
“Mendengar namaku, Sutajia, Paman menjadi heran. Menurut Paman, nama itu belum lengkap. Tetapi nama Paman bagiku justru terlampau pendek. Bukankah itu lebih pendek dari namaku?”
Orang yang bernama Astra itu tertawa pula. Katanya, “Tetapi namaku meskipun pendek, kedengarannya tidak aneh seperti namamu.”
Sutawijaya tertawa. Yang lain pun ikut tersenyum pula.
Tiba-tiba Sutawijaya bertanya, “Kenapa putera-putera Paman tidak mau membantu Paman ke sawah dan ladang?”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian setelah terdiam sejenak ia menjawab, “Hal ini terjadi belum terlalu lama. Dahulu anak-anakku adalah anak-anak yang rajin. Bahkan aku hampir tidak pernah ke sawah. Merekalah yang menyelesaikan semua pekerjaan. Tetapi sekarang tiba-tiba mereka menjadi malas, setelah di banjar desa sering diadakan permainan tayuban.”
“Tayuban,” Sutawijaya, Agung Sedayu, dan Swandaru mengulang hampir bersamaan.
“Ya, tayuban. Setelah keadaan kademangan ini menjadi baik, maka aneh-anehlah tingkah laku anak-anak muda yang kehilangan kegiatan dan tidak mendapat penyaluran yang sewajarnya.”
“Apa saja yang mereka lakukan?” bertanya Agung Sedayu.
“Macam-macam. Berjalan-jalan berbondong-bondong mengelilingi kademangan di senja hari. Kemudian berteriak-teriak tidak menentu. Kadang-kadang mereka menyembelih kambing, bahkan lembu tanpa sebab. Mereka makan-makan tanpa batas. Gadis-gadis tidak mau ketinggalan. Merekalah yang memasak daging kambing atau lembu atau kerbau. Kemudian sambil berkelakuan aneh-aneh mereka habiskan waktu mereka semalam-malaman.”
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Sekali mereka bertiga saling berpandangan. Kemudian terdengar Swandaru bertanya, “Apakah orang tua tidak berbuat sesuatu?”
“Kau lihat sendiri, bagaimana sikap anak-anakku terhadapku. Apakah aku harus memukulnya? Kalau aku berbuat demikian, mereka pasti akan melawan, dan aku pasti akan mati mereka cekik bersama-sama.”
Sorot mata Swandaru tiba-tiba menjadi aneh. Ia adalah pemimpin anak-anak muda Sangkal Putung. Karena itu ia menaruh minat yang sangat besar mendengar ceritera itu.
“Kenapa terjadi demikian, Paman Astra?” bertanya Swandaru. “Bukankah menurut Paman hal itu baru saja terjadi. Maksudku belum terlampau lama.”
“Ya, memang demikian. Baru saja, sejak keadaan Prambanan menjadi baik kembali.”
“Apakah yang pernah terjadi di Prambanan, Paman?” bertanya Agung Sedayu.
“Aku kira pernah terjadi pula di Sangkal Putung. Apakah tidak demikian? Sisa-sisa laskar Arya Penangsang, beberapa orang dari mereka selalu berkeliaran di sekitar daerah ini. Hal itulah yang menyebabkan beberapa orang prajurit Pajang di tempatkan di kademangan ini.”
Sutawijaya dan kedua kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Tiba-tiba mereka lenyap dari daerah ini seperti ditelan hantu. Beberapa waktu yang lalu mereka masih berkeliaran di sekitar kademangan ini.”
“Sejak kapan mereka tidak menampakkan diri lagi, Paman?”
“Dua tiga bulan, kurang lebih.”
Sutawijaya dan kedua kawannya saling berpandangan. Dua bulan. Persiapan Tohpati yang terakhir berlangsung dalam waktu yang lama dan cukup masak. Mungkin orang-orang Jipang di Prambanan harus berkumpul di Sangkal Putung untuk memperkuat serangan yang terakhir itu. Mungkin pula sejak serangan yang gagal sebelumnya, pada saat Tohpati membawa orang-orangnya datang di malam hari.
Tetapi tak seorang pun dari mereka yang mengatakannya kepada Astra. Mereka masih saja berteka-teki di dalam dada masing-masing.
“Lalu apakah hubungannya dengan perbuatan anak-anak muda di Prambanan ini, Paman.”
“Mereka mendapat tuntunan dari para prajurit Pajang untuk menjaga kademangannya. Prajurit Pajang sendiri tidak dapat mencukupi. Namun sebagian besar dari anak-anak muda itu belum pernah mengalami pertempuran yang sebenarnya. Mereka hanya berkeliling kademangan, meronda sambil membawa segala macam senjata. Kalau ada sesuatu terjadi, mereka segera berlindung di belakang para prajurit Pajang dan kawan-kawannya yang lebih berani. Untunglah, jumlah orang-orang Jipang itu pun tidak seberapa banyak, sehingga bagi Prambanan, mereka belum merupakan bahaya yang benar-benar dapat menggoncangkan ketenteraman kademangan ini.”
Ketiga anak-anak muda yang mendengarkan ceritera itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ini adalah suatu perbedaan antara anak-anak muda Prambanan dan anak-anak muda Sangkal Putung. Anak-anak muda Sangkal Putung hampir seluruhnya telah mengalami pertempuran berkali-kali dengan orang Jipang. Bahkan korban pun telah berjatuhan.
“Tetapi kenapa mereka sekarang berbuat aneh-aneh?” bertanya Agung Sedayu.
“Kini sebagian besar prajurit Pajang pun telah ditarik. Pengawasan atas anak-anak muda itu menjadi jauh berkurang. Anak-anak muda yang dirinya mendapat kekuasaan itu, tiba-tiba menjadi mabuk. Mabuk atas kekuasaan yang ditinggalkan oleh para prajurit Pajang untuk menjaga keamanan kademangan ini. Dengan pedang di lambung, mereka ditakuti. Karena itu, maka mereka kadang-kadang melakukan perbuatan-perbuatan yang aneh-aneh itu.”
Ketiga anak-anak muda itu merasa aneh mendengar ceritera Astra. Hati mereka segera tersentuh, dan perhatian mereka pun menjadi sangat tertarik kepada peristiwa itu.
Dalam pada itu Astra berceritera terus, “Sekarang anak-anak muda itu telah jauh terdorong ke dalam perbuatan-perbuatan yang lebih berbahaya. Di antaranya kedua anakku. Mungkin kalian dapat menyalahkan aku dan orang-orang tua. Tetapi aku yang mengalaminya sendiri merasa, bahwa habislah akalku untuk mengendalikan kedua anak-anakku itu. Apalagi di antara kami orang tua-tua, memang ada yang justru menjadi bangga melihat kelakuan anak-anaknya. Seolah-olah anaknya telah menjadi seorang pahlawan.”
“Aneh,” desis Sutawijaya dengan serta-merta.
“Ya, aneh,” sahut Agung Sedayu dan Swandaru hampir bersamaan. Mereka adalah pemuda-pemuda pula. Tetapi mereka tidak dapat membayangkan apa saja yang telah dilakukan oleh anak-anak sebayanya di Kademangan Prambanan.
“Apakah tidak ada tindakan yang dapat dilakukan?” bertanya Sutawijaya.
Astra menarik nafas dalam-dalam. Sambil menggelengkan kepalanya ia menjawab, “Sulit. Sulit sekali. Mungkin dapat juga dilakukan tindak kekerasan. Tetapi anak-anak muda itu merasa diri mereka pahlawan-pahlawan dan mereka pun pasti akan melawan dengan kekerasan pula. Apakah yang kira-kira akan terjadi di Prambanan? Bencana ini akan jauh lebih dahsyat daripada bencana yang dapat ditimbulkan oleh orang-orang Jipang.”
“Ya, Paman benar,” shut Sutawijaya.
“Kami hampir kehilangan akal untuk mengatasinya,” berkata orang tua itu pula.
“Bagaimana dengan pamong kademangan ini? Bapak Demang misalnya atau Bapak Jagabaya?”
“He,” tiba-tiba orang itu tersentak. Katanya kemudian, “Kenapa kau ributkan kademangan ini? Terserahlah kepada Bapak Demang dan Bapak Jagabaya.”
Sutawijaya dan kedua kawan-kawannya terdiam. Namun timbullah keinginan mereka untuk melihat, apakah yang telah terjadi di Banjar Desa Kademangan Prambanan? Karena itu, tanpa bersetuju lebih dahulu, hampir bersamaan Agung Sedayu dan Sutawijaya berkata, “Apakah kita akan melihat?”
“Apakah yang akan kalian lihat?” bertanya Astra.
“Apa yang terjadi di banjar desa.”
“Apakah kalian akan membawa kebiasaan itu ke Sangkal Putung, supaya para pemudanya mempunyai kebiasaan serupa pula?”
“Tidak,” sahut Swandaru cepat-cepat. “Kami hanya ingin melihatnya.”
Orang tua itu tersenyum. Katanya, “Apalagi kini di kademangan ini sedang kedatangan beberapa orang tamu. Dua atau tiga orang, aku kurang tahu.”
“Tamu?” bertanya ketiga anak-anak muda itu serta merta.
“Ya, tamu dari seberang hutan Mentaok.”
Sutawijaya dan kedua kawannya terkejut mendengar jawaban itu. Dengan terbata-bata Agung Sedayu bertanya, “Seberang hutan Mentaok? Maksud Paman, tamu itu datang dari daerah di seberang hutan Mentaok?”
“Ya, kenapa kau terkejut?”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dicobanya untuk menenangkan debar jantungnya. Kemudian jawabnya, “Tidak apa-apa? Kami terpengaruh oleh tujuan kami sendiri. Kami ingin pergi ke hutan itu, dan kami mendengar nama Mentaok, Paman sebut-sebut.”
“Oh,” Astra mengangguk-anggukan kepalanya. “Mereka adalah utusan dari daerah perdikan Menoreh.”
“Bukit Menoreh maksud Paman?”
Orang itu mengangguk, “Demikian yang aku dengar. Aku tidak tahu kebenarannya.”
Ketiga anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya pula.
“Mereka telah dua malam berada di tempat ini. Dan mungkin kalian akan terkejut mendengarnya, tamu-tamu itu akan pergi ke Sangkal Putung.”
Swandaru menggigit bibirnya, tetapi ia masih tetap berdiam diri. Namun di dalam dada anak-anak muda itu tersimpan bergabai macam pertanyaan. Kalau mereka utusan Kepala Daerah Perdikan Menoreh, maka mereka pasti mempunyai sangkut paut dengan kepala daerah perdikan itu. Daerah perdikan Menoreh adalah tanah kelahiran Sidanti.
“Sangat menarik perhatian,” gumam Agung Sedayu. “Justru kami datang dari daerah Sangkal Putung.”
“Kapan mereka akan berangkat ke Sangkal Putung?” bertanya Sutawijaya.
“Aku tidak tahu. Tetapi tamu-tamu itu agaknya kerasan di sini. Mereka pun masih muda-muda, semuda kalian bertiga. Kalau terpaut umur, maka tidak akan lebih dari tiga empat tahun.”
Alangkah menarik hati ceritera itu bagi ketiga anak-anak muda itu. Keinginan mereka untuk melihat apa yang terjadi di Prambanan semakin mencengkam hati mereka. Namun mereka tidak segera menyatakannya. Bahkan Sutawijaya itu bertanya, “Kalau di kedemangan ini ada tamu, apakah anak-anak mudanya masih juga mengadakan tayub di banjar desa?”
“Tamu-tamu itu pun mempunyai kesukaan serupa.”
“Oh,” Sutawijaya menarik nafasnya dalam-dalam. Lalu tiba-tiba ia bertanya, “Bagaimana dengan para prajurit dari Pajang yang masih tinggal di sini?”
“He,” kembali orang itu tersentak. “Kenapa kalian ributkan kademangan ini? Itu bukan urusan kalian, bukan urusanku dan bukan urusan istriku. Urusanku sebenarnya hanyalah berkisar pada anak-anakku yang menjadi mursal pula.”
“Paman keliru,” sahut Sutawijaya tiba-tiba. “Keadaan kademangan ini adalah tanggung jawab segenap penghuninya. Tanggung jawab Bapak Demang, Bapak Jagabaya, Bapak Kabayan, Bapak Pamong-Pamong yang lain dan tanggung jawab Paman pula.”
Orang itu membelalakkan matanya. Ia sebenarnya sependapat dengan Sutawijaya yang menamakan dirinya Sutajia. Tetapi karena yang mengucapkan itu seorang anak muda yang ingin menumpang tidur kepadanya, dan seorang anak muda yang disangkanya betul-betul anak Sangkal Putung saja, dengan pakaian yang kusut, setelah mereka mengenakannya selama dua hari terakhir siang dan malam, maka Astra menjadi heran.
Dengan penuh selidik ia bertanya, “Darimana kau bisa berbicara seolah-olah kau ini seorang pemimpin pemerintahan?”
“Aku hanya sering mendengarnya, Paman. Bapak Demang Sangkal Putung sering mengatakan demikian.”
“Oh,” Astra mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Apakah Bapak Demang Prambanan tidak pernah berkata demikian?”
“Tentu. Tentu. Bapak Demang adalah seorang demang yang baik. Tetapi apakah ia dapat berbuat banyak di antara para pamong yang berbuat tidak baik? Di antara orang-orang tua yang berbangga melihat anak-anaknya berbuat edan-edanan? Bahkan bukan saja Bapak Demang, ada juga beberapa anak-anak muda yang menangis di dalam hatinya melihat perkembangan keadaan. Tetapi tidak mendapat kesempatan apa-apa.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Agung Sedayu dan Swandaru duduk tepekur, tetapi ia mendengar setiap pembicaraan dengan penuh minat.
“Seperti anak-anakku,” berkata Astra pula. “Aku sudah hampir menjadi gila memikirkannya. Seandainya ada kekuatan yang mampu memperingatkannya, meskipun seandainya anakku harus mengalami pelajaran yang agak berat, aku akan berterima kasih.”
Ketiga anak-anak muda yang datang dari Sangkal Putung itu berdiam sejenak. Dan Astra berkata pula, “Tetapi sayang, anak-anak muda yang masih menyadari keadaan, jumlahnya tidak terlampau banyak, dan mereka tidak mempunyai banyak kelebihan dari anak-anakku yang bengal itu.”
“Tetapi itu adalah pekerjaan kami, Bawa,” potong ayahnya.
Sutawijaya-lah yang kemudian bertanya, “Paman, Paman belum menjawab pertanyaanku. Bagaimana dengan prajurit-prajurit Pajang?”
Orang itu terdiam sejenak. Tiba-tiba ia berkata, “He, aku sudah selesai dengan pekerjaan di sini. Tidak ada binatang-binatang liar yang mengganggu ladangku. Ayo, kita kembali. Bukankah kau bermalam di rumahku?”
Sutawijaya mengangguk-angguk, “Ya Paman,” jawabnya. Tetapi setiap kali ia kecewa. Pertanyaannya belum terjawab. Sebagai seorang putera Panglima yang pernah ikut serta dalam barisan Wira Tamtama justru menghadapi lawan yang terberat, yaitu Arya Penangsang itu sendiri, maka ia terkait akan adanya beberapa orang prajurit di Prambanan.
Tetapi mereka tidak mendapat kesempatan untuk bertanya lagi. Astra segera berdiri, memanggul cangkulnya dan berjalan menyusur pinggiran ladangnya. Katanya, “Kita lewat jurusan ini.”
Sutawijaya, Agung Sedayu, dan Swandaru segera mengikutinya di belakang. Namun agaknya masih belum puas. Di sepanjang jalan ia masih bertanya, “Dan bagaimana dengan tamu-tamu dari Menoreh?”
“Tidak apa-apa. Mereka tidak apa-apa,” jawab Astra pendek.
Sutawijaya menjadi benar-benar kecewa. Tiba-tiba ia berkata, “Paman. Kami ingin pergi ke banjar desa. Di kademangan kami hampir tidak pernah kami lihat keramaian apapun. Apabila di sini kebetulan ada keramaian di banjar desa, maka betapa besar keinginan kami untuk melihatnya.”
“Huh, sebaiknya kalian tidak melihatnya.”
“Kenapa?”
Astra tidak menjawab. Tetapi ia berkata, “Bukankah kalian akan bermalam di rumahku? Jarang aku bertemu dengan anak-anak muda seperti kalian. Aku senang bercakap-cakap dengan anak-anakku sendiri.”
“Tentu Paman. Aku akan mengikuti sampai ke rumah Paman. Kemudian kami akan mohon ijin untuk pergi ke banjar desa. Dengan demikian kami telah mengenal rumah Paman, supaya kami tidak usah mencari-cari apabila kami kembali dari banjar desa.”
Astra mengangguk-anggukan kepalanya, “Baiklah,” gumamnya.
Kemudian mereka saling berdiam diri. Mereka berjalan di sepanjang pategalan. Di sini mereka melihat beberapa orang duduk di ladang semangka, menungguinya pula.
“Dari ladang Kakang?” tegur salah seorang dari mereka.
“Ya,” sahut Astra, “aku tidak dapat menungguinya malam ini. Anak-anak pun tidak. Tolong, apabila kalian melihat binatang atau anak-anak nakal merusak masuk.”
“Baik, Kakang,” jawab orang itu. “Tetapi bukankah Supa dan Bawa telah mau ikut ke sawah bersama Kakang?”
“Mereka hanya mau melewatinya tanpa membasahi kaki-kaki mereka dengan air parit. Mereka tergesa-gesa pergi ke banjar desa. Apakah anak-anak kalian juga pergi ke sana?
“Ah, aku tidak peduli lagi. Mereka telah menjadi gila. Tetapi bukankah Supa dan Bawa yang berjalan bersama Kakang itu.
“Bukan, sama sekali bukan. Anak-anak ini adalah kemenakanku yang baru saja datang dari Sangkal Putung.”
“O,” orang yang duduk-duduk tidak bertanya lagi. Astra dan ketiga anak-anak muda dari Sangkal Putung itu berjalan terus menyusur jalan kecil di tengah-tengah ladang, menyusup di dalam gelapnya malam.
Di pinggir desa kecil di ujung kademangan itulah terletak rumah Astra. Sebuah rumah joglo yang tidak terlampau besar. Tetapi menilik bentuknya dan coraknya, maka Astra bukan termasuk orang yang dapat disebut miskin. Di sisi rumah itu, mereka melihat sebuah pedati lembu di samping sebuah kandang.
“Inilah rumahku,” berkata Astra, “mungkin tidak sebagus rumah-rumah di Sangkal Putung.”
Ketika mereka berempat menginjakkan kaki-kaki mereka di halaman rumah itu, maka Sutawijaya dan kedua kawannya tertegun sejenak. Ketika mereka saling berpandangan, maka tanpa mereka kehendaki mereka mengangguk-anggukan kepala mereka.
“Mari anak-anak,” ajak Astra.
“Paman,” berkata Sutawijaya, “kami sebenarnya ingin untuk melihat banjar desa Prambanan. Kini kami telah mengetahui rumah Paman. Nanti dari banjar desa kami akan datang kemari. Tetapi kami tidak perlu membuat Paman dan Bibi menjadi sibuk. Biarlah kami nanti tidur di pendapa ini saja apabila Paman mengijinkan.”
“He?” Astra mengerutkan keningnya, “pergilah ke banjar desa kalau kalian benar-benar ingin. Tetapi marilah singgah sebentar. Kalian tidak akan terlambat. Keramaian itu baru akan mencapai puncaknya nanti menjelang tengah malam.”
“Terima kasih Paman. Kami ingin melihat sejak keramaian ini baru dimulai.”
Orang tua itu mengangguk-anggukan kepalanya. Kemudian katanya, “Apakah kalian pernah melihat orang berkelahi?”
Ketiga anak-anak muda itu terkejut.
“Kenapa?” bertanya Swandaru.
“Apakah di Sangkal Putung ada juga anak-anak muda sering berkelahi di antara mereka, di antara sesama?”
Swandaru dan kawan-kawannya menjadi ragu-ragu untuk menjawab. Sementara itu Astra berkata, “Kalau kalian belum pernah melihat anak-anak muda berkelahi, sebaiknya kalian tidak usah melihat, daripada kalian menjadi ketakutan.”
“Apakah akan ada pertandingan berkelahi di banjar desa?” bertanya Agung Sedayu.
“Tidak. Tetapi artinya hampir sama. Hampir setiap kali ada keramaian semacam ini, anak-anak muda selalu bikin ribut. Ada-ada saja yang mereka persoalkan. Dan sering terjadi mereka berkelahi di antara mereka karena soal-soal tetek bengek.”
Ketiga anak-anak muda itu justru semakin ingin melihat apa yang sebenarnya terjadi di banjar desa. Karena itu maka Sutawijaya menjawab, “Kalau kami tidak ikut campur dalam setiap perselisihan, maka aku kira kami tidak akan terlibat, Paman.”
“Mudah-mudahan. Kalau kau ngeri melihat mereka berkelahi, maka sebaiknya kalian segera pergi dan kembali kemari.”
“Baik, Paman,” sahut mereka hampir serentak.
Astra itu pun kemudian memberi mereka ancar-ancar ke mana mereka harus pergi. “Kalau kau melihat lampu obor yang terang benderang seperti siang, maka itulah banjar desa.”
“Terima kasih, Paman,” sahut mereka bersamaan pula.
Sejenak kemudian mereka telah meninggalkan halaman rumah Astra dengan pertanyaan yang memenuhi dada. Ceritera Astra sangat menarik perhatian mereka. Mereka pun menyadari mungkin Astra telah membumbui ceriteranya terlampau banyak. Namun sedikit banyak ceritera itu pasti mengandung kebenaran.
Ada beberapa hal yang sangat menarik perhatian ketiga anak-anak muda itu. Tingkah laku sebagian anak-anak muda Prambanan, yang menurut Astra mereka terpaksa menangis di dalam hati melihat sikap kawan-kawannya. Kemudian apakah yang akan dilakukan oleh para pamong kademangan dan lebih-lebih menarik lagi, bagaimanakah sikap beberapa orang prajurit Pajang yang masih ada di Prambanan? Yang tidak kalah menariknya adalah ceritera tentang tamu-tamu dari Menoreh. Tamu-tamu yang mau tidak mau pasti menyangkut nama kepala daerah Perdikan Menoreh. Nama orang tua Sidanti.
Karena itu, maka tiba-tiba mereka tergesa-gesa. Tanpa mereka sengaja langkah mereka pun menjadi semakin cepat. Jarak yang harus mereka tempuh tidak terlampau jauh. Jalan yang harus mereka lalui adalah jalan itu juga, tanpa berbelok. Mereka akan melewati sebuah desa sebelum mereka akan sampai ke bulak yang pendek. Di sebelah bulak yang pendek itulah terletak induk Kademangan Prambanan. Dan di desa itulah terletak banjar desa. Tidak terlampau jauh dari sebuah bangunan yang sangat terkenal, Candi Jonggrang.
Waktu yang mereka perlukan tidak terlalu banyak. Beberapa saat kemudian mereka telah sampai ke ujung lorong memasuki desa yang pertama.
Demikian mereka sampai ke ujung desa, maka Sutawijaya mengamit kedua kawan-kawannya. Agung Sedayu dan Swandaru berpaling. Hampir bersamaan mereka mengangguk ketika mereka mendengar Sutawijaya berbisik, “Kau lihat beberapa orang berdiri di pinggir jalan di bawah lampu gardu itu?”
Melihat sikap mereka, hati ketiga anak-anak muda itu menjadi berdebar-debar. Sikap itu benar-benar bukan sikap yang wajar. Tetapi mereka bertiga tidak mempunyai kepentingan dengan mereka. Karena itu mereka sama sekali tidak memperhatikannya.
Anak-anak muda yang berkerumun di sebelah gardu itu mamandangi mereka bertiga dengan berbagai pertanyaan di dalam hati. Seorang yang duduk di sisi jalan tiba-tiba berdiri dan bertolak pinggang. Tetapi ia tidak bertanya apapun. Kawannya yang berjongkok di atas dinding halaman, meloncat turun sambil bergumam, “He, apakah akan ada tamu lagi?”
“Huh,” sahut yang lain yang berbaring di atas dinding halaman yang sempit di sisi jalan yang lain, “aku kira mereka adalah gembala-gembala dari kademangan lain. Mungkin mereka ingin mendapat sisa-sisa makanan di banjar desa.”
Hampir serentak pemuda-pemuda itu tertawa. Bahkan seorang di antara mereka berjalan ke tengah lorong, sementara Sutawijaya dan kedua kawan-kawannya menjadi semakin dekat.
Dengan tingkah yang dibuat-buat anak muda itu mengawasi Sutawijaya dan kawan-kawannya. Kemudian katanya, “Kalian benar. Bukan anak-anak Prambanan. Mereka adalah anak-anak kelaparan. Wajahnya pucat dan pakainnya kusut kumal.”
“Biarkan mereka lewat. Tak ada kepentingan dengan anak-anak kecingkrangan,” berkata yang lain.
Sutawijaya tidak tahu, bagaimanakah tanggapan anak-anak muda itu sebenarnya atas dirinya dan kedua kawan-kawannya, tetapi terasa untuk memancing perselisihan. Sutawijaya sendiri menyadari bahwa pakaiannya pasti lebih baik dari pakaian seorang anak yang disebut kecingkrangan. Meskipun setelah dipakainya selama ini tanpa dicuci telah dilekati oleh banyak debu dan kotoran serta menjadi kusut. Juga pakaian Agung Sedayu dan Swandaru adalah pakaian yang meskipun sederhana, tetapi cukup baik. Tetapi pakaian itu pun telah menjadi kusut.
Sutawijaya sama sekali tidak menanggapi kata-kata itu. Ia percaya bahwa Agung Sedayu akan bersikap demikian. Tetapi yang agak dicemaskan adalah Swandaru. Agung Sedayu pun mempunyai perasaan yang serupa. Ia mengharap di dalam hatinya agar Swandaru dapat sedikit mengendalikan dirinya.
Namun ternyata Swandaru bersikap acuh tak acuh. Ia berjalan saja tanpa berpaling.
Ketika mereka bertiga melewati anak-anak muda itu, dan beberapa langkah membelakangi mereka, terdengar seolah-olah meledak, suara tertawa mereka tergelak-gelak. Terdengar di antara suara tertawa itu salah seorang berkata, “Apakah mereka anak-anak Temu Agal, atau anak Kepuh?”
“Kami belum pernah melihatnya,” sahut yang lain, “tetapi aku menjadi kasihan melihat sikap mereka, seperti tikus masuk ke dalam sarang kucing.”
Swandaru dan Agung Sedayu masih juga mencemaskan sikap Swandaru. Anak muda itu agak mudah tersinggung. Tetapi ketika mereka berdua berpaling, memandangi wajah Swandaru mereka melihat anak yang gemuk itu tersenyum, katanya perlahan-lahan, “Aku senang melihat sikap anak-anak itu.”
“Apa yang kau senangi?” bertanya Agung Sedayu perlahan-lahan pula.
“Seperti sebuah pertunjukan lelucon. Seperti raksasa-raksasa di dalam hutan melihat Raden Arjuna lewat.”
“He, kau sangka kau seperti Raden Arjuna,” potong Sutawijaya.
“Ya, aku seperti Raden Arjuna bersama-sama dengan punakawannya.”
“Huh,” Agung Sedayu menyahut. “Kaulah yang pantas menjadi Semar.”
Ketiganya tertawa. Tetapi mereka cukup mengerti, bahwa mereka harus menahan suara tertawanya supaya tidak menyinggung perasaan anak-anak muda yang masih belum terlampau jauh.
Namun dengan demikian, mereka mendapat sekedar gambaran tentang anak-anak muda yang dikatakan oleh Astra. Selain kedua putra-putranya sendiri, Supa dan Bawa, maka anak-anak yang berada di tepi jalan itu adalah contoh yang cukup baik.
“Pantaslah apabila sering terjadi perkelahian di sini,” desis Sutawijaya. “Apabila gerombolan itu bertemu dengan gerombolan yang lain, maka kemungkinan timbulnya bentrokan pasti mudah sekali.”
“Tetapi,” potong Swandaru, “apabila kekuatan mereka seimbang, maka mereka pasti ragu-ragu untuk mulai.”
Sutawijaya tersenyum. “Ya,” jawabnya.
Ketika kemudian mereka berpaling, maka anak-anak muda itu telah jauh berada di belakang mereka. Namun satu-satu mereka masih juga bertemu dengan anak-anak muda yang lain, yang agaknya sedang berjalan ke gardu itu berkumpul dengan teman-temannya.
Lepas dari desa itu mereka sampai di sebuah bulak yang pendek. Di seberang bulak itulah terletak induk Kademangan Prambanan.
Ketika mereka sampai di sebuah simpangan di tengah-tengah bulak itu, kembali mereka melihat segerombolan anak-anak muda dari arah yang lain. Anak muda yang bertingkah laku mirip dengan anak-anak yang bergerombol di samping gardu yang telah mereka lampaui.
Tetapi anak-anak muda ini bersikap acuh tak acuh saja terhadap Sutawijaya dan kedua kawan-kawannya, seperti mereka tidak melihatnya.
Beberapa langkah kemudian terdengar Swandaru berbisik, “Sikap mereka terhadap kita agak berbeda.”
“Bukan karena mereka menghormati kita,” sahut Agung Sedayu, “tetapi justru mereka menganggap kita tidak berarti apa-apa bagi mereka.”
Semakin dekat dengan induk Kademangan Prambanan, jalan-jalan menjadi bertambah ramai. Anak-anak muda berjalan bersimpang-siur dalam tingkah laku yang aneh-aneh. Namun ada pula di antara mereka yang bersikap lain. Bersikap wajar, meskipun mereka juga berada dalam gerombolan tersendiri.
“Adalah tidak bijaksana, dalam keadaan seperti ini diadakan keramaian di kademangan ini,” gumam Sutawijaya.
“Ya. Terlalu berat akibat yang dapat terjadi,” sahut Agung Sedayu.
“Mungkin karena mereka menerima beberapa tamu,” desis Swandaru.
Mereka pun kemudian terdiam. Di kejauhan mereka melihat dari celah-celah dedaunan, sinar obor yang terang-benderang seperti siang.
“Itulah banjar desa,” berkata Agung Sedayu. “Ternyata tidak terlalu dalam masuk ke induk kademangan.”
Kedua kawan-kawannya tidak menjawab. Tetapi mereka memperhatikan pula sinar obor yang bertebaran di sebuah halaman yang cukup luas, sebuah lapangan rumput di muka Banjar Desa Prambanan.
Di halaman itu telah banyak berkumpul anak-anak muda dan orang-orang di sekitar banjar desa itu. Bukan saja anak-anak muda, tetapi orang-orang yang setengah baya pun banyak juga yang duduk-duduk di tepi lapangan kecil itu. Bahkan orang berjualan pun banyak bertebaran di sana-sini.
Agung Sedayu dan Swandaru melihat suasana banjar desa itu dengan perasaan yang aneh. Selain di sana-sini dilihatnya beberapa anak-anak muda dengan tingkah laku yang tidak wajar, maka keramaian itu sendiri telah membuat suasana yang berlawanan di dalam dada mereka.
Apa yang selama ini mereka lihat adalah Banjar Desa Sangkal Putung yang selalu ramai pula. Tetapi banjar desa itu diramaikan oleh prajurit-prajurit yang memandi senjata, beserta anak-anak muda Sangkal Putung yang selalu bersiaga menghadapi bahaya. Sedang kali ini, ia melihat suasana sebuah banjar desa yang jauh dengan Banjar Desa Sangkal Putung.
Sutawijaya dan kawan-kawannya kemudian memilih tempat yang agak terlindung oleh bayangan tetumbuhan. Kemudian duduk sambil melihat-lihat berbagai macam sikap dan tingkah laku anak-anak muda di sana-sini.
Di pendapa mereka melihat sederet gamelan dan tikar yang dibentangkan di sisi yang lain, bertentangan dengan letak gamelan. Di situlah nanti para tamu dan orang-orang penting dari Prambanan akan duduk menikmati pertunjukan.
Sutawijaya yang sering melihat keramaian di tempat-tempat yang lebih besar, sama sekali tidak tertarik pada pertunjukan yang akan dihidangkan. Apalagi apabila kemudian akan dilakukan pula tarian tayub yang dapat menjadikan suasana menjadi panas. Tetapi yang menarik perhatiannya adalah keadaan dan suasana pada saat itu. Hampir tidak sabar ia menunggu para tamu, para pemimpin kademangan dan mungkin juga para pemimpin prajurit Pajang yang berada di Prambanan, meskipun hanya satu atau dua orang.
Sejenak kemudian, gamelan telah mulai dibunyikan. Beberapa orang yang berdiri bertebaran mulai merayap maju mendekati pendapa banjar desa.
Sutawijaya dan kedua kawannya belum berkisar dari tempatnya. Mereka masih duduk-duduk sambil melepaskan lelah setelah mereka berjalan hampir sehari penuh melampaui hutan, gerumbul-gerumbul liar dan semak-semak ilalang.
Baru ketika beberapa orang keluar dari pinggiran banjar desa, Sutawijaya mengangkat wajahnya. Katanya berlahan-lahan, “Itulah mereka.”
Tetapi mereka tidak dapat melihat wajah-wajah orang-orang yang keluar dari pringgitan dan duduk di atas tikar pandan yang telah terbentang di pendapa. Tetapi menilik pakaian mereka, segera Sutawijaya dapat mengenal, bahwa di antara mereka ada dua orang prajurit Pajang.
“Itulah mereka,” desisnya. “Dua orang itu pasti prajurit Pajang.”
“Ya,” sahut Agung Sedayu dan Swandaru hampir bersamaan. Pakaian itu mirip dengan pakaian Untara dan Widura apabila mereka mengenakan pakaian resmi mereka. Pakaian kebesaran mereka sebagai Prajurit Wira Tamtama Pajang.
“Mari kita mendekat. Aku ingin melihat wajahnya. Mungkin aku mengenalnya,” ajak Sutawijaya.
Mereka pun kemudian berdiri. Perlahan-lahan mereka maju di antara para penonton yang lain. Mereka selalu berhati-hati supaya tidak menyingung perasaan anak-anak muda yang bertingkah laku kurang pada tempatnya itu.
Ketika mereka menjadi semakin dekat berdiri di sisi pendapa, maka segera dapat melihat siapa yang duduk di atas tikar di pendapa itu. Selain dua orang prajurit itu, masih ada beberapa orang yang tampaknya mendapat kehormatan di antara mereka. Mereka adalah tiga orang anak-anak muda, meskipun agak lebih tua sedikit dari Sutawijaya dan kedua kawan-kawannya.
Segera mereka dapat menebak, bahwa ketiga anak-anak muda itulah yang dimaksud oleh Astra, tamu dari Bukit Menoreh. Utusan pribadi Kepala Daerah Perdikan Menoreh.
Di belakang para tamu itu duduk beberapa orang pemimpin Kademangan Prambanan, di antaranya beberapa orang anak-anak muda yang berpakaian rapi dan baik.
Sutawijaya ingin mendapat beberapa penjelasan tentang orang-orang itu, tetapi tak ada orang tempat bertanya. Ia tidak dapat bertanya kepada siapa orang yang ada di sekitarnya, sebab dengan demikian akan menimbulkan kecurigaan dan mungkin hal-hal yang tidak dikehendakinya. Karena itu, maka Sutawijaya itu pun untuk sejenak berdiam diri sambil mencoba mengamati wajah-wajah mereka lebih seksama.
Kemudian digamitnya kedua kawannya sambil berbisik, “Aku telah mengenal kedua prajurit itu. Mereka adalah Lurah Wira Tamtama. Tetapi mereka bukan orang yang cukup penting, mungkin karena keadaan Prambanan telah cukup baik, sehingga orang-orang itulah yang ditinggalkannya di sini.”
Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan pula Agung Sedayu berkata, “Keadaan Prambanan saat ini justru sangat berbahaya. Bukan karena sisa-sisa laskar Tohpati, tetapi karena keadaan kademangan ini sendiri.”
“Kau benar, tetapi aku kira, pimpinan pemerintahan di Pajang belum mendengar persoalan ini. Banyak persoalan yang tidak segera diketahui oleh atasan atau bawahan, sesuai dengan salurannya. Coba, apa katamu tentang orang-orang Menoreh itu? Apakah menurut dugaanmu mereka telah mendengar keadaan Sidanti?”
Agung Sedayu menggelengkan kepalanya, “Aku kira belum,” jawabnya. “Apabila sudah, ia tidak akan duduk begitu rapat dan ramah dengan kedua prajurit Pajang itu.”
“Kau benar,” sahut Sutawijaya. “Ternyata para prajurit Pajang itu pun pasti belum mendengar pula. Sebab menilik sikap mereka, maka mereka pun sangat rapat dan ramah pula menanggapi tamu-tamu dari Menoreh itu.”
Mereka bertiga pun kemudian mengangguk-anggukkan kepala mereka. Sesaat kemudian mereka pun berpaling ketika mereka mendengar seseorang menyapa beberapa orang kawannya yang berdiri di belakang Sutawijaya. “Mari Kakang, kawan-kawan ada di sebelah gerbang.”
Kawan-kawannya yang berdiri di belakang Sutawijaya berpaling. Di samping mereka berdiri seorang pemuda bertubuh tinggi kekar. Berkumis melintang dan berjambang panjang.
Sutawijaya dan kawan-kawannya melihat perbedaan sikap di antara mereka. Anak-anak muda yang mengajak anak-anak yang berdiri di belakang mereka yang bertubuh tinggi kekar itu, agaknya adalah anak-anak muda yang sedang dijangkiti penyakit aneh-aneh, sedang mereka yang disapanya tampaknya agak lebih tenang dan dewasa.
Sementara itu Sutawijaya mendengar anak-anak muda yang berdiri di belakangnya menjawab, “Kami di sini saja. Kami akan menonton pertunjukan di pendapa.”
Anak muda yang menyapanya tertawa, “Kami pun akan menonton, Kakang.”
“Baik, silahkan.”
Anak muda yang pertama tertawa terbahak-bahak sehingga beberapa orang berpaling kepadanya, tetapi anak muda itu sama sekali tidak memperdulikannya.
“Kalian adalah anak-anak malaikat,” katanya sambil tertawa.
Anak-anak muda yang sejak semula berdiri di belakang Sutawijaya tidak menjawab. Kini perhatian mereka telah mereka arahkan kembali ke pendapa banjar desa.
“Kami akan mendapat kesempatan bertemu dengan tamu-tamu dari Menoreh, Kakang,” berkata anak muda berkumis melintang dan berjambang panjang itu.
“Silahkan. Silahkan,” sahut yang berdiri yang berdiri di belakang Sutawijaya..
Kembali anak muda itu tertawa. Kemudian katanya, “Kami telah berusaha untuk menyenangkan hati tamu-tamu kita. Aku telah menghubungi beberapa orang gadis yang akan menemani kita nanti menemui tamu-tamu kita. Dan gadis-gadis itu pun menjadi bergembira pula.”
Sutawijaya melihat beberapa orang pemuda itu terkejut. Tetapi sesat kemudian salah seorang dari mereka menjawab, “Silahkan, Adi.”
“Kakang tidak ikut bergembira bersama kami? Anak-anak muda dari Sembojan kali ini mendapat kesempatan terbaik dibanding dengan anak-anak muda dari pedesaan yang lain, di samping anak-anak induk kademangan ini sendiri.”
“Bagus, tetapi kami tidak ikut dengan kalian.”
Kembali anak muda itu tertawa terbahak-bahak. Kembali beberapa orang berpaling memandangnya. Tetapi anak muda itu sama sekali tidak mempedulikannya. Bahkan ketika ia melangkah pergi pun suara tertawanya masih terdengar mengumandang.
Ketika anak muda itu telah pergi, maka Sutawijaya mendengar anak-anak yang berdiri di belakannya bergumam, “Anak itu sangat menyedihkan tetua padesaan kami.”
“Memalukan dan pasti akan menimbulkan persoalan dengan anak-anak muda dari padesan yang lain.”
Belum lagi mereka berhenti berbicara, maka mereka telah melihat dua orang pemuda yang lain dengan tingkah laku yang memuakkan menyuruk di antara penonton. Salah seorang dari mereka berkata, “Di mana?”
“Aku mendengar suara tertawanya. Di sini.”
“Siapa?”
“Anak Sembojan.”
“Anak itu pasti benar. Anak yang tinggi berkumis melintang. Hem. Kalau anak itu belum dihajar, ia pasti masih saja merasa pahlawan di antara kawan-kawannya. Anak-anak Sembojan harus menyadari bahwa anak-anak Telaga Kembar mampu mengatasi mereka.”
Sutawijaya dan kawan-kawannya menjadi berdebar-debar. Mereka tahu betul, bahwa di belakannya masih berdiri anak-anak Sembojan yang menolak diajak oleh anak muda yang tinggi kekar itu. Kalu anak-anak itu menjadi marah mendengar tantangan itu, maka akibanya memang tidak baik. Tetapi ternyata anak-anak muda di belakang Sutawijaya itu seakan-akan tidak mendengar kata-kata yang diucapkan oleh anak-anak muda Telaga Kembar itu.
Ketika anak-anak muda itu pergi, Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Tidak mereka sengaja mereka bertiga bersama-sama berdesah.
“Lucu,” bisik Sutawijaya. “Apakah Sembojan dan Telaga Kembar itu keduanya termasuk Kademangan Prambanan? Kalau demikian, Prambanan memang sedang mengalami bencana. Lalu apakah kerja prajurit-prajurit Pajang itu di sini ?
Agung Sedayu dan Swandaru tidak menyahut. Pertanyaan itu berputar pula di dalam kepalanya. Alangkah jauh bedanya dengan anak-anak muda Sangkal Putung. Dari ujung Kademangan yang satu sampai ujung kademangan yang lain, semuanya dapat dikendalikannya dalam satu perjuangan menahan arus laskar Tohpati.
“Tetapi,” berkata Swandaru di dalam hatinya, “Apabila bahaya itu telah berlalu, apakah anak-anak muda Sangkal Putung akan mengalami nasib seperti Prambanan?”
“Beruntunglah aku melihat kejadian ini,” gumamnya pula dalam hatinya. “Aku mendapat pelajaran yang sangat berharga sehingga aku akan dapat memperhitungkannya kelak. Mudah-mudahan aku akan dapat mencegahnya keadaan serupa ini.”
Dalam pada tiu terdengar Agung Sedayu berkata perlahan-lahan, “Tetapi di antara mereka masih ada juga yang menyadari keadaan. Anak-anak muda di belakang kita itu agaknya bersikap lain dengan kawan-kawannya.”
Sutawijaya dan Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Terdengar Sutawijaya berkata, “Kita menunggu kesempatan. Aku ingin bertanya beberapa hal kepada mereka.”
“Tetapi hati-hatilah,” sahut Swandaru.
“Tentu. Jangan-jangan kita disangkanya anak-anak muda dari kademangan lain yang akan mengganggu mereka pula.”
Ketiganya kemudian terdiam. Suara gamelan di pendapa telah mulai memenuhi udara. Di atas tikar pandan, merekam melihat para tamu bergurau dan bergembira.
Sutawijaya dan kedua kawannya masih tetap berdiri di tempatnya. Sekali-kali mereka berpaling dan anak-anak muda Sembojan itu pun masih juga berdiri tenang-tenang.
Sedikit demi sedikit Sutawijaya dan kawan-kawannya kemudian beringsut surut mendekati anak-anak Sembojan itu tanpa menimbulkan perhatian sama sekali. Ketika mereka sudah berdiri di samping anak-anak Sembojan maka kembali mereka berdiam diri. Tetapi meskipun mereka memandangi orang-orang yang berada di atas pendapa, para tamu, prajurit-prajurit Pajang, para pemimpin kademangan, dan para penabuh gamelan, namun perhatian mereka sama sekali tidak tertuju ke sana.
Sejenak kemudian pertunjukan pun dimulai. Sebuah tarian tunggal, petikan dari cerita Panji dan Kirana pada masa kerajaan-kerajaan Jenggala.
Terdengar para penonton bersorak. Tetapi suara mereka tenggelam dalam suara hiruk-pikuk anak-anak muda yang berteriak tidak menentu.
Sutawijaya dan kedua kawannya heran mendengar suara hiruk-pikuk itu. Namun suara itu pun kemudian mereda dan akhirnya lenyap pula. Yang terdengar kemudian adalah suara gamelan yang memenuhi halaman.
“Kenapa mereka berteriak-teriak?” berbisik Sutawijaya tanpa sesadarnya.
“Entahlah,” sahut Agung Sedayu dan Swandaru hampir bersamaan.
Mereka kemudian terdiam ketika mereka meyadari bahwa pemuda-pemuda Sembojan yang berdiri di samping mereka itu memperhatikannya. Bahkan terdengar salah seorang dari mereka berkata, “Apakah kalian heran mendengar hiruk-pikuk itu?”
Ketiga anak muda itu terdiam sesaat. Mereka menjadi ragu untuk menjawab. Namun karena mereka tidak segera menjawab terdengar kembali pertanyaan itu, “Apakah kalian heran?”
Agung Sedayu dan Swandaru tidak ingin menjawab pertanyaan itu. Mereka mengharap Sutawijaya yang mereka anggap tertua di antara mereka untuk menjawabnya.
Sutawijaya pun sebenarnya masih dicengkam oleh keragu-raguan. Tetapi ia tidak dapat berdiam diri saja. Sehingga akhirnya terpaksa ia menjawab, “Ya, Kisanak. Aku menjadi heran mendengar suara-suara itu.”
Anak Sembojan itu tidak segera menyahut. Bahkan salah seorang dari mereka melangkah mendekat sambil mengamat-amati wajah Sutawijaya. Ia bertanya, “Dari manakah kalian?”
Agaknya anak muda dari Sembojan itu agak disilaukan oleh sinar obor yang memancar dari pendapa, sedang Sutawijaya agak terlindung oleh bayangan orang-orang yang berdiri di mukanya.
Kembali Sutawijaya menjadi ragu-ragu. Tetapi kembali ia terdesak dalam suatu keadaan, bahwa ia harus menjawab pertanyaan itu. Maka katanya, “Kami datang dari Sangkal Putung.”
“Sangkal Putung,” anak muda itu mengulangi, “Aku pernah mendengar nama padesan itu. Apakah Sangkal Putung juga sebuah kademangan?”
“Ya,” jawab Sutawijaya. “Sangkal Putung adalah sebuah kademangan di seberang hutan di sebelah Timur Prambanan.”
“Oh. Kalian datang dari jauh. Di manakah kalian bermalam di sini?”
“Di rumah Paman Astra,” Sahut Sutawijaya.
“Oh,” Anak-anak Sembojan itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Maksudmu Astra yang mempunyai dua orang putra bernama Supa dan Bawa?”
“Ya,” jawab Sutawijaya pula.
Anak-anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Salah seorang dari mereka bertanya kembali, “Kenapa kalian tidak pergi bersama Supa dan Bawa?”
Pertanyaan itu memang sulit untuk dijawab. Karena itu kembali Sutawijaya menjadi ragu-ragu.
“Bukankah Supa dan Bawa hadir juga di halaman ini?”
“Ya,” sahut Sutawijaya. “Tetapi kami tidak dapat datang bersama mereka.”
Anak-anak muda Sembojan itu mengerutkan keningnya. Tetapi mereka tidak bertanya lagi. Kini mereka mencoba mengikuti setiap gerak penari di pendapa banjar desa. Tetapi kemudian Sutawijaya-lah yang bertanya, “Kisanak, apakah pertunjukan semacam ini sering dilakukan di Prambanan?”
Salah seorang dari anak-anak Sembojan itu menjawab, “Tidak terlalu sering. Tetapi sekali-kali diadakan juga. Kali ini kademangan kami mendapat tamu dari Bukit Menoreh, yang seterusnya akan pergi ke Lereng Gunung Merapi, menemui putera Kepala Daerah Perdikan Menoreh yang berguru pada seorang guru yang sakti tiada taranya, yang bernama Sidanti.”
“Apakah keramaian ini diselenggarakan untuk menghormatinya?”
“Ya, sebagian.”
“Orang-orang kami sendiri memang senang sekali mengadakan keramaian.”
Sutawijaya terdiam sejenak. Keinginannya untuk mengetahui beberapa hal mengenai Kademangan ini semakin mendesaknya. Tetapi ia masih mencoba untuk menahan diri menunggu kesempatan yang sebaik-baiknya.
Pertunjukan itu pun berjalan terus. Penari di atas pendapa banjar desa masih menari dengan baiknya. Menarikan tari tunggal.
Dalam pada itu terdengar Sutawijaya bertanya kepada anak muda Sembojan yang berdiri di sampingnya, “Apakah keramaian semacam ini tidak menimbulkan kecemasan pada para pemimpin kademangan ini?”
Anak muda Sembojan itu berpaling. Kini anak muda itulah yang menjadi ragu-ragu untuk menjawab. Tetapi ketika beberapa saat ia masih berdiam diri, terdengar seorang yang agak lebih tua dari padanya berkata, “Apakah kau menjadi cemas? Apakah yang kau cemaskan?”
Sutawijaya heran mendengar pertanyaan itu. Ia yakin bahwa anak-anak muda Sembojan itu tahu benar yang dimaksudkannya. Tetapi mereka masih bertanya, apakah yang dicemaskan. Namun akhirnya terasa oleh Sutawijaya, bahwa pertanyaan itu adalah sekedar pelepasan perasaan yang menekan anak-anak muda Sembojan itu. Maka jawab Sutawijaya, “Banyak yang dapat aku cemaskan Kisanak. Terutama anak-anak muda yang berada di halaman ini.”
Anak-anak muda Sembojan itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Agaknya mereka tertarik benar kepada Sutawijaya dan kedua kawannya sehingga salah seorang dari mereka bertanya, “Siapakah nama-nama kalian?”
“Namaku Sutajia,” jawab Sutawijaya. “Kedua ini adalah adik sepupuku. Yang ini Agung Sedayu dan yang gemuk bernama Swandaru.
Anak-anak Sembojan itu menganguk-anggukkan kepalanya. Mereka tertegun ketika mendengar Sutawijaya bertanya, “Dan siapakah nama-nama kalian?”
Anak muda yang nampaknya tertua di antara mereka menjawab, “Namaku Haspada.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Ia tidak menanyakan nama anak-anak muda yang lain. Satu di antara mereka telah cukup baginya, meskipun mungkin ia masih memerlukan nama yang lain.
“Apakah kakang Haspada berasal dari Sembojan?” bertanya Sutawijaya kemudian.
Anak muda yang bernama Haspada itu memandangnya sejenak, kemudian dijawabnya, “Ya, kenapa?”
“Bukankah anak muda yang mengajak Kakang tadi juga berasal dari Sembojan?”
Haspada mengerutkan keningnya. Katanya, “Ya, ya. Anak muda yang tinggi berkumis?”
“Ya.”
“Ya. Ia anak Sembojan pula. Namanya Bunar. Kenapa?”
“Kenapa Kakang tidak ikut bersama kawan-kawan anak-anak Sembojan yang lain?”
Haspada mengerutkan keningnya pula. Ditatapnya wajah Sutawijaya lebih tajam lagi. Kemudian dijawabnya, “Kau mendengar percakapan kami?”
“Ya, kami mendengar percakapan kalian. Kami juga mendengar percakapan anak-anak Telaga Kembar.”
“Pantas kalian menjadi cemas. Memang kami pun menjadi cemas seperti kalian. Sebenarnyalah setiap kali ada keramaian maka setiap kali kami menjadi cemas.”
“Kenapa keramaian ini diadakan juga?”
“Keramaian adalah kegemaran anak-anak muda dan orang-orang tua di kademangan ini meskipun bagi kami sangat mencemaskan. Tetapi mereka menganggap bahwa keramaian semacam ini akan memberi gairah kerja kepada mereka. Keramaian ini dapat memberikan kegembiraan dan pertanda bahwa kademagan kami adalah kademangan yang hidup.”
“Hidup dalam kecemasan adalah tidak menyenangkan,” sahut Sutwijaya.
“Memang demikian buat sebagian orang. Tetapi sebagian orang yang lain menyenangi cara hidup yang demikian itu.”
“Aku kira Kakang tidak senang dengan cara itu?”
Haspada terkejut. Dengan serta-merta ia bertanya, “Kenapa? Kenapa kau tahu aku tidak menyenanginya?”
“Kakang tidak berada di antara mereka. Di antara anak-anak muda semacam Bunar.”
Haspada mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mulai tertarik pada anak muda Sangkal Putung itu. Meskipun kedua kawan-kawannya yang lain tidak ikut dalam pembicaraan itu, namun wajah-wajah mereka menunjukkan, bahwa hati mereka tersentuh oleh kata-katanya.
Tiba-tiba mereka terkejut ketika mendengar suara riuh di antara para penonton. Kembali terdengar anak-anak muda berteriak-teriak tak menentu. Ketika mereka mengangkat wajah-wajah mereka, maka penari di pendapa banjar desa telah tidak lagi menari. Penari itu sedang mengangguk-anggukkan kepalanya kepada para tamu. Sejenak kemudian penari itu pun meninggalkan pendapa masuk ke dalam.
Suara yang gemuruh terdengar dari segenap sudut halaman. Suara itu sama sekali bukan bernada kekaguman atau kebanggaan atas penari yang baru saja menari. Tetapi suara itu asal saja melontar berebut keras. Bahkan kadang-kadang terdengar ucapan-ucapan yang kurang menyenangkan dari antara mereka.
Demikianlah kemudian berlangsung pertunjukkan demi pertunjukkan. Dan demikian pula suara sorak gemuruh yang menyertainya sahut-menyahut, semakin lama semakin memekakkan telinga, dan bahkan semakin lama semakin menggelitik perasaan. Dan malam pun semakin lama semakin dalam.
“Bukan main,” gumam Sutawijaya. “Aku tidak tahu, apakah yang sebenarnya terjadi di halaman ini.”
“Aku menjadi ngeri,” sahut Agung Sedayu, “seperti berdiri di tengah-tengah sungai yang sebentar lagi akan banjir.”
Swandaru tersenyum. Katanya, “Kenapa kau tidak menepi?”
Kedua kawannya pun tersenyum pula. Sutawijaya-lah yang menjawab, “Di arus air banjir kita akan banyak mendapat ikan. Bukankah begitu?”
Keduanya terdiam ketika Haspada bertanya, “Apakah kalian senang melihat suasana ini?”
“Lucu sekali,” sahut Sutawijaya, “aku tidak pernah menjumpai suasana ini di Sangkal Putung.”
“Aku anak Sembojan sejak lahir pun merasakan keganjilan itu. Apalagi kalian. Mudah-mudahan suasana ini tidak meningkat. Tetapi adalah kesalahan orang-orang tua juga apabila mereka nanti menutup acara dengan tayuban. Suasana segera akan meningkat menjadi panas. Dalam keadaan yang demikian itu akan dapat banyak terjadi hal-hal yang lebih ganjil lagi. Mudah-mudahan orang-orang tua menyadarinya, sehingga mereka tidak menyelenggarakan tayuban. Tetapi harapan itu sangat tipis. Orang-orang tua kita sebagian telah mabuk pula.” Suara anak muda itu terputus ketika tiba-tiba suara gamelan seolah-olah memekik tinggi dan meluncurlah irama yang mulai menjadi hangat.
Tanpa disengaja Sutawijaya, Agung Sedayu, dan Swandaru serentak berpaling ke arah Haspada, yang wajahnya tiba-tiba berkerut-merut.
“Gila,” geramnya, “kalau anak-anak muda di Prambanan ini menjadi liar, sebagian adalah kesalahan orang-orang tua pula.”
“Apakah yang akan datang?” bertanya Agung Sedayu. “Irama terlampau panas.”
“Tayub. Tayub. Kalian akan melihat beberapa orang perempuan penari naik ke atas pendapa itu. Mereka akan menari semakin lama semakin panas. Satu-persatu para tamu akan berdiri dan ikut menari. Tetapi apabila mereka telah dicengkam oleh mabuk tuak, maka mereka tidak akan sabar menunggu giliran mereka. Mereka akan berebut dahulu dan kadang-kadang mereka tidak lagi memperdulikan orang lain. Dengan demikian kalian akan melihat pertunjukan yang gila di atas pendapa itu. Sedang kegilaan yang serupa akan terjadi pula di halaman ini,” berkata Haspada dengan nada yang aneh, terasa getaran dadanya terlontar pada kata-katanya. Betapa muaknya ia melihat peristiwa itu.
“Lebih baik kalian meninggalkan halaman ini,” katanya kepada Sutawijaya dan kedua kawannya.
“Apakah kalian juga akan pergi?” bertanya Sutawijaya.
“Aku tidak sampai hati meninggalkan mereka dalam keadaan yang gila ini. Meskipun hatiku sakit, tetapi aku merasa wajib untuk tetap berada di sini. Mungkin aku dapat melihat sesuatu yang perlu dicegah. Aku tidak peduli seandainya anka-anak muda itu saling mencekik di antara mereka. Bahkan di antara mereka para tamu dan prajurit-prajurit Pajang itu. Tetapi aku ingin mencegah korban yang tidak pada tempatnya.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba ia mengajukan pertanyaan yang ditanyakan kepada Paman Astra tetapi belum mendapat jawaban, “Apakah prajurit-prajurit Pajang itu tidak akan berbuat sesuatu seandainya timbul hal-hal yang tidak diinginkan?”
“Jumlah mereka terlampau sedikit.”
“Berapa?”
“Tidak lebih dari sepuluh orang.”
“Jumlah itu sudah cukup,” tiba-tiba Sutawijaya memotong kata-kata Haspada sehingga anak Sembojan itu menjadi heran.
“Oh,” Sutawijaya menyadari dirinya, bahwa kini ia adalah anak Sangkal Putung, sehingga cepat-cepat ia memperbaiki kata-katanya .
“Maksudku, apakah sepuluh orang prajurit itu tidak mampu mencegah kerusuhan yang dapat terjadi?”
“Mereka tidak sempat melakukannya.”
“Kenapa?”
“Lihatlah,” berkata Haspada sambil menunjuk ke atas pendapa.
Dada Sutawijaya berdesir ketika ia melihat kedua orang prajurit yang duduk di pendapa mewakili kawan-kawannya itu dengan tertawa-tawa sedang menghirup tuak. Kemudian mengisi mangkuknya kembali dan sekali lagi mangkuk itu dikosongkannya.
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sudah dapat membayangkan, apakah yang sebenarnya terjadi di Kademangan ini. Ternyata beberapa orang prajurit Pajang yang ditinggalkan di daerah ini sama sekali tidak mampu melaksanakan tugasnya. Bahkan mereka telah terseret oleh arus yang melanda anak-anak muda di Kademangan Prambanan. Tuak, mabuk dan kemudian tayub.
Dan mereka tidak perlu menunggu terlampau lama. Sejenak kemudian maka para tamu, para pemimpin Kademangan Prambanan, dan para prajurit itu pun telah menjadi mabuk. Satu demi satu mereka berdiri dan menari-nari tanpa ujung pangkal. Sekali-sekali orang berikutnya tidak sabar lagi menunggu dan dengan serta-merta menarik sampur yang masih dipergunakan oleh orang lain. Sehingga akhirnya, mereka tidak lagi saling menunggu. Berebutan mereka berdiri dan berebutan mereka menari.
Alangkah memuakkan. Ternyata rombongan penari-penari itu pun telah biasa melayani keadaan serupa itu. Ketika para tamu tidak lagi dapat menunggu gilirannya menerima sampur, maka bermunculan beberapa orang penari naik ke pendapa itu pula. Penari-penari perempuan dengan solahnya masing-masing. Dan lagu yang megiringinya pun menjadi semakin panas, semakin panas. Gendang yang memimpin irama gamelan menjadi semakin keras dan cepat, sehingga pendapa itu kini benar-benar telah menjadi hiruk-pikuk, tanpa dapat dikendalikan.
“Apakah kalian tidak meninggalkan halaman ini saja, Kisanak,” bertanya Haspada kepada Sutawijaya.
“Kenapa?”
“Kalian belum dikenal di sini. Mungkin hal-hal yang tidak menyenangkan dapat terjadi. Kami, meskipun tidak berada di dalam lingkungan anak-anak Sembojan, tetapi setiap anak muda, hampir telah mengenal, sehingga kemungkinan untuk diperlakukan kurang wajar adalah tipis sekali. Mereka tahu, siapakah Haspada selama Prambanan dalam bahaya karena orang-orang Jipang beberapa saat berselang. Dan mereka tidak melupakannya sampai kini.”
“Terima kasih atas peringatan itu,” sahut Sutawijaya. “Tetapi kami ingin melihat apa yang terjadi. Mungkin kami dapat bersembunyi di belakang kalian.”
“Selama aku dapat berbuat sesuatu, akan berbuat. Tetapi dalam keadaan yang ribut, mungkin aku tidak lagi sempat berbuat sesuatu.”
“Terima kasih. Tetapi maaf, kami ingin melihat keadaan ini sampai selesai. Mungkin kami dapat bersembunyi di dalam semak-semak di sebelah.”
“Bersembunyilah.”
Sutawijaya, Agung Sedayu, dan Swandaru kemudian beringsut dari tempatnya. Tetapi mereka sama sekali tidak bersembunyi. Mereka hanya berlindung di tempat yang cukup gelap sambil melihat apa yang akan terjadi. Namun mereka menjadi heran ketika mereka sudah tidak melihat lagi orang-orang yang tadi berjualan memenuhi halaman. Agaknya mereka sudah terlalu biasa melihat keadaan serupa, sehingga mereka telah dapat memperhitungkan keadaan dengan baik.
Dari tempat mereka, Sutawijaya dan kawan-kawannya dapat melihat sebagian besar dari halaman dan pendapa banjar desa. Mereka dapat melihat orang-orang di pendapa menari-nari seperti mereka sudah tidak sadar lagi akan diri mereka, di antara para penari tayub. Dan ledek-ledek itu pun menari lebih hangat lagi meskipun malam menjadi semakin dingin.
“Hem,” gumam Sutawijaya, “inilah puncak dari keramaian yang hebat ini.”
Agung Sedayu dan Swandaru belum pernah melihat keramaian yang berakhir seperti ini. Sehingga sejenak mereka berdiri seolah-olah membeku.
“Apakah kalian menjadi heran?” bertanya Sutawijaya.
“Bukan main,” gumam Agung Sedayu. “Apakah orang-orang yang berada di pendapa itu tidak malu?”
“Kepada siapa mereka harus malu?” bertanya Sutawijaya.
“Kepada para penonton di halaman itu.”
“Para penonton yang mana ?”
Ketika Agung Sedayu dan Swandaru memperhatikan setiap orang di halaman itu, maka dadanya menjadi semakin berdebar-debar. Hampir tak seorang pun lagi memperhatikan orang-orang yang berada di pendapa itu. Irama yang panas dari suara gamelan di pendapa telah membawa para penonton di halaman menjadi panas pula. Mereka pun menari-nari di antara mereka, dan yang mendirikan bulu roma ketiga anak-anak muda dari Sangkal Putung itu adalah, bahwa di antara mereka yang berada di halaman terdapat gadis-gadis.
“Gila,” desis Swandaru. “Kalau gadis-gadis itu adik-adikku, aku cekik lehernya sampai mampus.”
“Aneh,” sahut Agung Sedayu.
Kemudian sejenak mereka terpesona oleh hiruk-pikuk yang aneh itu. Halaman banjar desa itu benar-benar seperti sebuah danau yang dilanda angin pusaran. Bergejolak tidak menentu.
Anak-anak muda di halaman itu pun mengalir ke segenap arah, berpapasan satu sama lain sambil menari-nari. Bergandeng-gandengan tangan dan dorong-mendorong.
Tiba-tiba Sutawijaya dan kedua kawannya terkejut ketika mereka mendengar suara yang kacau di sudut halaman. Kemudian terdengar teriakan tinggi.
“Apa itu?” desis Swandaru.
Ketiganya mengangkat wajah-wajah mereka. Tetapi mereka tidak melihat halaman itu menjadi rebut karena teriakan itu. Mereka yang sedang gila masih juga gila menari-nari. Dan agak di kegelapan Sutawijaya masih juga melihat Haspada berdiri saja di tempatnya bersama empat orang temannya.
Terdengar Sutawijaya berkata, “Mereka sama sekali tidak memperdulikannya,” bisik Sutawijaya.
“Agaknya perkelahian semacam itu sudah terlampau biasa dalam keadaan serupa ini. Sehingga bukan merupakan hal yang menarik perhatian lagi,” sahut Agung Sedayu.
Sutawijaya dan Swandaru mengangguk-anggukkan kepala mereka. Sejenak kemudian maka perkelahian itu pun mereda dengan sendirinya.
Tetapi sejenak kemudian mereka dikejutkan oleh suara langkah orang berlari-lari. Sejenak kemudian mereka melihat beberapa anak-anak muda berlari lewat di hadapan mereka. Namun karena mereka amat tergesa-gesa sehingga mereka tidak memperhatikan ketiga anak-anak muda yang berlindung di dalam gelap itu. Namun dari mereka yang berlari-lari itu Sutawijaya dengan kawan-kawannya mendengar mereka berkata perlahan-lahan, “Hus, gila. Beberapa orang prajurit Pajang memihak mereka.”
“Ya. Kalau saja anak-anak Sembojan itu dibiarkan, maka mereka akan dapat kami tundukkan malam ini,” sahut yang lain.
Ketika anak-anak itu merasa bahwa tak seorang pun mengejar-ngejar mereka, maka mereka berhenti hanya beberapa langkah daripada ketiga anak-anak muda yang datang dari Sangkal Putung itu. Tetapi yang segera mereka lihat, bukanlah Sutawijaya dan kawan-kawannya namun yang pertama-tama menarik perhatian mereka adalah kelima anak-anak muda yang berdiri tidak jauh dari tempat itu.
“He, apakah mereka anak-anak Sembojan?” terdengar salah seorang dari mereka berdesis.
“Ya.”
“Kenapa tidak berada di dalam lingkungan kawan-kawannya?”
“Entahlah.”
“Mereka terlampau sombong. Marilah kita ambil kelima anka-anak itu.”
“Untuk apa?”
“Kita akan melepaskan kalau anak-anak Sembojan mengakui kemenangan kita.”
Terdengar beberapa orang dari mereka tertawa. Kemudian salah seorang berkata lagi. “Satu orang pergi kepada mereka. Pancing mereka kemari.”
“Sulit,” sahut yang lain. “Kita datang bersama-sama selagi kawan-kawan mereka berada di sisi yang lain dari pendapa ini.”
“Di sebelah itu adalah anak-anak dari induk kademangan.”
“Mereka tidak akan turut campur, kecuali kalau kita berbuat sesuatu atas anak induk kademangan.”
“Kalau mereka melibatkan diri, kita harus lari meninggalkan halaman ini. Di manakah sebagian kawan-kawan kita yang lain.”
“Di belakang banjar desa. Apabila perlu kita akan memberi mereka tanda.”
“Marilah,” terdengar keputusan jatuh. Sutawijaya dan kedua kawan-kawannya menjadi berdebar-debar. Apakah yang akan mereka lakukan atas Haspada dan keempat kawan-kawannya.
Dengan cemas Sutawijaya melihat anak-anak itu perlahan-lahan mendekati Haspada. Beberapa langkah daripadanya beberapa anak-anak muda itu berhenti.
Sutawijaya yang ingin melihat apa yang terjadi, segera beringsut mendekati, diikuti oleh Agung Sedayu dan Swandaru.
Haspada yang berdiri diam di tempatnya, hampir-hampir tidak menyangka sama sekali, bahwa anak-anak Tlaga Kembar sedang mendekatinya. Mereka masih berdiri memperhatikan orang-orang yang berada di pendapa banjar desa, yang kini telah menjadi seperti sebuah pertunjukkan liar. Bahkan satu dua orang telah tidak ada lagi di pendapa itu. Merayap-rayap ke tempat-tempat yang lain.
Haspada dan kawan-kawannya itu terkejut ketika tiba-tiba mereka melihat anak-anak Tlaga Kembar itu mengepungnya. Terdengar salah seorang anak muda Tlaga Kembar itu berkata, “Jangan ribut. Kalian ikut kami ke Tlaga Kembar.”
Kelima anak-anak muda Sembojan itu terdiam sejenak. Namun kemudian terdengar Haspada menjawab, “Apakah kepentinganmu dengan aku, Dadi?”
Anak muda Tlaga Kembar yang bernama Dadi tiba-tiba terkejut. Diamatinya wajah Haspada dengan seksama, lalu katanya, “Kau. Haspada?”
“Ya. Aku. Kenapa? Apakah kau sedang mencari anak-anak Sembojan?”
“Ya. Ya,” sahut Dadi tergagap.
“Aku juga anak Sembojan.”
“Tetapi bukan kau, Haspada.”
“Kenapa?”
“Kenapa kau berada di tempat ini?” bertanya Dadi, anak Tlaga Kembar itu.
“Pertanyaanmu aneh. Bukankah kau juga berada di tempat ini?”
Dadi menjadi bingung. Ketika ia memandang berkeliling, ia pun melihat kawan-kawannya menjadi bingung pula. Haspada-lah yang berkata, “Apa kepentinganmu dengan anak-anak Sembojan?”
Dadi tidak menjawab lain daripada mengatakan sebenarnya, “Kami berkelahi.”
“Bagus. Aku sudah menyangka bahwa kalian akan berkelahi. Apakah kalian dikalahkan? dan kalian akan mencari korban anak-anak Sembojan yang lain meskipun tidak ikut berkelahi?”
“Tidak Haspada, kami tidak akan berbuat apa-apa denganmu.”
“Kebetulan yang berdiri di sini adalah aku. Seandainya keempat kawan-kawanku ini tanpa aku?”
Dadi terdiam. Namun salah seorang yang lain menjawab terputus-putus, “Anak-anak Sembojan yang lain tidak jujur, Haspada.”
“Kenapa?”
“Mereka mencari bantuan pada prajurit-prajurit Pajang.”
“Aku tidak mau tahu. Uruslah perkara itu sendiri. Berkelahilah kalau kalian ingin berkelahi. Aku pun tidak akan memihak anak-anak Sembojan yang gila itu, seperti kalian telah menjadi gila pula. Coba katakan kepada kami, apa yang akan dilakukan oleh Trapsila atas kalian, apabila ia melihat anak-anak muda Tlaga Kembar berbuat serusuh itu. Trapsila pasti akan bersikap seperti aku menghadapi anak-anak Sembojan. Meskipun Trapsila adalah anak Tlaga Kembar, tetapi ia pasti akan muak melihat kalian berbuat seperti ini.”
Anak-anak Tlaga Kembar itu terdiam. Trapsila bagi mereka adalah anak muda yang disegani, seperti Haspada bagi anak-anak Sembojan. Bukan saja bagi anak-anak sedesanya, tetapi bagi anak-anak muda Prambanan pada umumya. Namun jumlah anak-anak yang demikian itu sangat sedikit. Mereka adalah anak-anak muda yang berani, yang dengan gigih telah berjuang melawan orang-orang yang memihak Arya Penangsang, bersama beberapa orang prajurit Pajang. Tetapi yang kini seolah-olah mereka sama sekali tidak mendapat tempat lagi di Kademangan Prambanan. Prajurit-prajurit kawan-kawan mereka telah sebagian besar ditarik kembali ke Pajang. Yang tinggal adalah prajurit-prajurit yang ternyata dapat dimabukkan oleh tayub dan tuak.
Tiba-tiba anak-anak Tlaga Kembar itu menjadi gelisah ketika mereka mendengar suara rebut di halaman itu. Ketika mereka berpaling, mereka melihat beberapa anak-anak muda berjalan tergesa-gesa ke arah mereka. Anak-anak itu adalah anak-anak Sembojan.
“Mereka mengejar kita,” desis Dadi.
“Marilah kita lari,” ajak kawannya yang lain.
“Tinggallah di sini,” berkata Haspada.
“Kita harus berkelahi lagi. Mereka datang terlampau banyak, dan di antara mereka ada tiga empat orang prajurit Pajang.”
“Tinggallah di sini. Aku tidak senang apabila Trapsila mendapat kesan yang jelek atas anak-anak Sembojan, apalagi aku berada di tempat ini pula. Trapsila adalah sahabatku. Sembojan dan Tlaga Kembar adalah sama-sama wilayah Kademangan Prambanan.”
Anak-anak Tlaga Kembar itu tidak menyahut. Meskipun demikian mereka berkisar berdiri di belakang Haspada dan keempat kawan-kawannya.
Yang datang itu adalah benar-benar anak-anak Sembojan. Paling depan berdiri Bunar, anak muda yang tinggi kekar, berkumis melintang. Namun tiba-tiba ia berhenti ketika ia melihat Haspada berdiri di antara anak-anak Tlaga Kembar.
“Kakang, kau berada di antara mereka?” bertanya Bunar. “Atau mereka berusaha menangkap Kakang.”
“Kedua-duanya tidak benar,” sahut Haspada. “Aku menonton keramaian di halaman ini, mereka menonton pula.”
“Tetapi kami berkepentingan dengan mereka, Kakang,” berkata Bunar pula.
Haspada memandang Bunar dengan wajah yang tegang. Jawabnya, “Tinggalkan mereka Bunar. Jangan ada persoalan-persoalan yang gila di antara anak-anak muda. Kalian telah membuat ribut. Lihat ada berapa kelompok pemuda di halaman ini. Mereka pun akan berbuat gila pula seperti kalian. Dan halaman ini akan kacau. Mungkin ada satu dua orang yang terluka. Yang luka itu akan menimbulkan dendam di antara kalian.”
“Tetapi mereka mendahului, Kakang.”
“Tinggalkan mereka. Berbuatlah gila sesama kalian, tetapi jangan berkelahi.”
Bunar terdiam. Ia tidak berani membantah lagi. Tetapi dari antara anka-anak Sembojan itu tampil seorang yang bertubuh raksasa dan berpakaian seorang prajurit. Ia adalah prajurit Pajang.
Haspada menjadi semakin tegang. Ia menyesal bahwa prajurit-prajurit itu telah berpihak, meskipun berpihak pada anak-anak muda sepadukuhan dengan dirinya sendiri.
“Haspada,” geram prajurit itu, “jangan banyak mulut. Biarlah kami menyelesaikan urusan kami dengan anak-anak Tlaga Kembar itu.”
“Apakah anak-anak Tlaga Kembar mempunyai urusan dengan kau, Paman?” bertanya Haspada.
Prajurit itu terdiam sejenak. Tetapi selangkah ia terhuyung ke samping.
“Gila,” desis Haspada di dalam hatinya, “Prajurit itu telah menjadi mabuk. Matanya telah meredup dan bibirnya bergetaran. Sulitlah berbicara dengan orang mabuk.”
Namun kecuali prajurit yang mabuk itu, tampil seorang lagi yang lebih kecil. Orang itu sama sekali tidak mabuk karena tuak. Dengan tajamnya ia berkata, “Haspada, jangan kau banggakan perjuanganmu yang tidak berarti itu. Kau sama sekali belum seorang pahlawan. Karena itu, kau sebaiknya menyingkir saja sebelum kami kehilangan kesabaran. Bukankah kau berasal dari Sembojan pula? Kenapa justeru kau berpihak kepada anak-anak Tlaga Kembar?”
“Apakah aku berpihak?” Haspada menjawab. “Kalianlah yang berpihak. Apakah bagi Pajang Sembojan dan Tlaga Kembar itu mempunyai kedudukan yang berbeda? Bagiku tidak, Paman. Tidak. Aku berdiri di mana saja. Tlaga Kembar, Sembojan, Prambanan. Bahkan kademangan yang lain pun sama pula bagiku. Semuanya wilayah Pajang.”
Prajurit-prajurit Pajang itu menjadi semkain marah. Mereka tidak dapat mengingkari kata-kata Haspada, tetapi mereka juga tidak mau ditundukkan. Haspada hanyalah anak padukuhan Sembojan. Sedang mereka adalah prajurit-prajurit Pajang. Karena itu, maka prajurit yang kecil itu membentak, “Jangan banyak mulut! Aku tidak peduli siapakah Haspada.”
Wajah Haspada pun menjadi merah membara. Namun dadanya menjadi seolah-olah sesak. Ia mencoba mencegah perkelahian yang timbul di halaman itu, tetapi apakah ia sendiri harus berkelahi?
Dalam keragu-raguan itu terdengar prajurit itu berkata lagi, “Ayo. Pergilah Haspada!”
Belum lagi Haspada menjawab, dari antara para penonton itu telah timbul banyak perhatian, karena di antara mereka terlibat beberapa orang prajurit. Anak-anak muda berlari-larian mengerumuninya. Anak-anak muda induk Kademangan Prambanan pun telah berada di tempat itu pula. Salah seorang dari mereka bertanya, “Apakah yang kalian persoalkan?”
Tak seorang pun yang menjawab. Anak Sembojan tidak dan anak-anak Tlaga Kembar pun tidak.
“Ya,” tiba-tiba Haspada seperti tersadar dari mimpinya, “apakah yang sebenarnya kalian persoalkan?”
Juga tak ada jawaban. Anak-anak Sembojan dan anak-anak Tlaga Kembar masih saja terbungkam. Bahkan prajurit-prajurit Pajang yang marah itu terdiam pula.
Tiba-tiba sekali lagi mereka digoncangkan oleh kedatangan dua orang yang belum mereka kenal sebaik-baiknya. Namun beberapa orang segera menyibak. Beberapa orang di antara mereka telah mengetahuinya, bahwa kedua orang itu adalah tamu-tamu dari Menoreh.
“Apa yang terjadi?” salah seorang bertanya.
Juga tak seorang pun menjawab.
“Aku tidak berkepentingan dengan keributan ini,” katanya pula, “tetapi, manakah janjimu itu?” bertanya tamu itu kepada Bunar.
Wajah Bunar menjadi merah. Sejenak ia tidak menjawab seperti juga anak-anak muda yang lain terbungkam.
“Mana, he?”
“Itulah,” jawab Bunar kemudian, “kami belum dapat mengambilnya dari tangan anak-anak Tlaga Kembar.”
“He,” wajah tamu-tamu itu menjadi tegang. Sekali mereka berpaling ke pendapa. Dilihatnya seorang kawannya berdiri di tangga sambil mengawasi mereka.
“Maksudmu?” berkata salah seorang dari mereka itu pula.
“Anak-anak yang kami janjikan ternyata dibawa oleh anak-anak muda Tlaga Kembar.”
Kini wajah kedua tamu itu menjadi merah. Terdengar gigi mereka gemeretak dan berkata tajam. “Kalian tidak dapat menghormati tamu-tamu kalian. Apakah kalian sengaja membuat kami kecewa? Buat apa kalian membawa kami melihat anak-anak itu di rumahnya sore tadi. Ketika kami sudah menjadi mabuk oleh wajahnya, kalian sengaja menyembunyikannya.”
“Bukan maksud kami,” jawab Bunar. “Kami sedang berusaha untuk mengambilnya. Inilah mereka anak-anak Tlaga Kembar. Beberapa orang prajurit Pajang bersedia membantu kami.”
Mata tamu-tamu dari Bukit Menoreh itu kini seakan-akan menyala memandangi anak-anak Tlaga Kembar. Salah seorang dari mereka terdengar menggeram. “Hem. Ternyata kalian sengaja membuat onar ya.”
“Bukan hanya mereka,” Haspada-lah yang menjawab. “Anak-anak Sembojan itu pun sengaja membuat onar pula.”
Tamu dari Bukit Menoreh itu tertegun sejenak. Mereka menjadi heran melihat Haspada. Anak ini mempunyai perbawa yang agak berbeda dengan kawan-kawannya.
Tetapi Haspada itu pun terkejut ketika dari antara anka-anak muda yang berkerumun terdengar suara, “Biarkanlah, Kakang. Biarkanlah anak-anak Tlaga Kembar. Sekali-sekali mereka memang perlu mendapat sedikit pelajaran.”
Semua kepala berpaling ke arah suara itu. Dan mereka pun segera melihat seorang yang bertubuh agak kecil. Namun dari matanya memancar kebesaran hatinya.
“Adi Trapsila,” desis Haspada.
“Ya. Aku sudah melihat sejak semula apa yang terjadi,” katanya.
Terdengar suara bergeremang di antara anak-anak muda itu. Anak-anak Tlaga Kembar saling berbisik di antara mereka, dan anak-anak Sembojan menjadi cemas. Apabila Trapsila dan Haspada bersama-sama berada di pihak Tlaga Kembar, maka anak-anak induk kademangan pasti akan terpengaruh. Mereka semuanya telah mengenal siap Haspada dan siapa Trapsila.
“Tetapi, Adi, apakah kita akan membiarkan perkelahian ini terjadi?” bertanya Haspada kemudian.
Trapsila melangkah maju. Beberapa orang menyingkir, seakan-akan memberi jalan kepada anak muda Tlaga Kembar yang bernama Trapsila itu.
Trapsila itu pun kemudian berdiri di antara anak-anak muda yang berkerumun. Antara anak-anak muda Sembojan dan anka-anak muda Tlaga Kembar. Berhadap-hadapan dengan Haspada. Ketika ia berpaling dipandanginya prajurit Pajang yang bertubuh raksasa dan kawannya yang lebih kecil. Di belakang prajurit itu masih dilihatnya prajurit Pajang yang lain.
Tiba-tiba hiruk-pikuk si sekeliling tempat itu menjadi terdiam. Seolah-olah semuanya ingin mendengarkan Trapsila itu berkata seterusnya. Hanya hiruk-pikuk di atas pendapa masih juga berlangsung. Mereka sama sekali tidak memperdulikan apa yang terjadi di halaman, seakan-akan halaman itu sama sekali tidak mempunyai hubungan apa pun dengan pendapa banjar desa. Persoalan di halaman adalah persoalan anak-anak muda atau orang-orang kecil di sekitar banjar desa. Para pemimpin itu sama sekali tidak mau mengotori tangannya dengan soal-soal yang remeh. Bagi mereka lebih baik meneruskan menikmati tayub yang semakin menggila daripada soal-soal yang bagi mereka sama sekali tidak berarti itu.
Bahkan mereka sudah tidak melihat lagi, bahwa tamu-tamu mereka dari Menoreh sudah tidak ada di antara mereka. Yang tinggal di pendapa itu hanya seorang saja yang sudah berdiri di tangga. Dan yang seorang itu pun hampir-hampir tidak sabar lagi menunggu kedua kawan-kawannya yang sedang mencari anak-anak Sembojan yang sudah terlanjur membuat janji dengan mereka.
Haspada pun berdiam diri. Kemudian anak muda Sembojan itu mengangguk-anggukkan kepalanya, sambil bergumam, “Kau benar, Adi. Persoalan ini adalah persoalan yang memalukan.”
“Persetan!” desis tamu dari Menoreh. “Kalau kalian tidak akan turut campur menepilah. He, siapa anak-anak yang merasa dirinya seperti panglima bagi anak-anak Sembojan dan anak-anak Tlaga Kembar ini?” bertanya kedua tamu itu kemudian kepada prajurit Pajang yang bertubuh agak kecil.
Dan prajurit itu menjawab, “Namanya Haspada dan Trapsila.”
“Ya, aku sudah mendengar. Tetapi apakah kedudukannya?”
“Tidak ada kedudukan apa pun yang dipangkunya.”
“Kenapa ia agaknya disegani?”
Prajurit itu terdiam. Ia tidak ingin mengatakan bahwa keduanya pernah berjuang dengan gigih melawan sisa-sisa laskar Arya Jipang bersama beberapa anak-anak muda Sembojan, Tlaga Kembar, anak-anak muda induk Kademangan Prambanan, dan beberapa lagi dari desa-desa yang lain, namun jumlahnya tidak lebih dari sepuluh orang. Kalau ada yang lain, maka mereka tidak segigih mereka itu.
Ternyata tamu-tamu dari Menoreh itu merasa tersinggung atas anggapan bahwa persoalan yang mereka hadapi adalah persoalan yang memalukan, sehingga dengan kasar mereka berkata, “Sekarang selesaikan persoalan ini. Kalau kedua anak-anak muda ini ingin mengenal kami, biarlah mereka sekali lagi mengatakan bahwa persoalan yang kami hadapi adalah persoalan yang memalukan.”
“Merekalah yang memalukan,” sahut prajurit yang bertubuh raksasa itu sambil berdiri terhuyung-huyung. “Mereka memang harus dihajar lebih dahulu sebelum anak-anak Tlaga Kembar yang lain.”
Haspada dan Trapsila memang tidak ingin terjadinya perselisihan, apalagi dalam soal yang mereka anggap memalukan. Karena itu, maka terdengar Trapsila berkata, “Selesaikanlah urusan kalian. Kami tidak akan turut campur.”
Anak-anak Tlaga Kembar yang medengar kata-kata itu menjadi berdebar-debar. Mereka tidak akan dapat melawan anak-anak Sembojan yang dibantu oleh beberapa orang prajurit dan kini bertambah lagi dengan tamu-tamu dari Menoreh itu. Karena itu, maka mereka pun bersiap untuk menghilang di antara mereka yang sedang berkerumun. Mereka harus mencoba melarikan diri, supaya tubuh mereka tidak babak-belur, dan muka mereka tidak menjadi bengkak-bengkak.
Namun dalam keadaan yang demikian itu terdengar salah seorang anak mdua dari induk kademangan berkata, “Tidak adil. Jangan ada prajurit yang ikut campur.”
“Setan!” desis prajurit yang bertubuh raksasa. “Siapa kau berani mencoba melawan prajurit Pajang.”
Anak muda itu tidak segera menjawab. Tetapi ia berpaling mencari seseorang. Dan dari antara mereka tampak sesorang mendesak maju sambil berkata lantang, “Aku. Aku yang berani.”
“Siapa. Siapa, he?” prajurit yang kecil itu pun menjadi marah sekali. Tetapi kemudian matanya terbelalak ketika dari antara anak-anak muda induk kademangan itu muncul seseorang yang masih berteriak lantang, “Akulah orangnya.”
........bersambung ke Jilid 18
Tidak ada komentar:
Posting Komentar