API di BUKIT MENOREH
Karya S.H Mintardja
“Tidak perlu, Kakang. Kita tamu di sini. Kita tidak perlu mencari orang untuk mempersilahkan kita. Kalau kita tetap di sini dan tetap tidak seorang pun yang mempersilahkan kita, maka lebih baik kita kembali hari ini ke Sangkal Putung. Ayahku pun seorang demang seperti pemimpin tertinggi kademangan ini.”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya perlahan-lahan dan hati-hati, “Angger Sekar Mirah. Jangan merajuk. Suasana peperangan adalah seperti ini. Kedatangan Angger Agung Sedayu di Sangkal Putung juga disambut dengan perang tanding. Hal-hal serupa ini memang sering terjadi. Dan kitalah yang harus menyesuaikan diri. “
“Tetapi sama sekali bukan permintaan kita untuk datang minta perlindungan ke Jati Anom. Kehadiran kita di sini sama sekali bukan atas kehendak kita sendiri.”
“Ya, Ngger, Angger benar. Tetapi sebaiknya kita juga dapat Mengerti,” Ki Tanu Metir itu berhenti sejenak. “Dan bukankah Angger Agung Sedayu di sini sama sekali bukan tamu? Ia adalah salah seorang dari tuan rumah. Angger Agung Sedayu dapat mempersilahkan kita, setidak-tidaknya singgah sebentar di rumahnya.”
“Oh,” Agung Sedayu seolah-olah tersadar dari angan-angannya, “baiklah. Marilah, aku persilahkan Kiai dan adi Swandaru serta Sekar Mirah untuk singgah di rumah.”
Swandaru berdiri saja seperti patung. Hatinya memang dibingungkan oleh keadaan di sekitarnya. Ia dapat mengerti keterangan Ki Tanu Metir, tetapi ia merasa seperti yang dirasakan oleh adiknya.
Sesaat mereka menjadi termangu-mangu. Sekar Mirah sama sekali tidak beringsut dari tempatnya, di samping pagar halaman kademangan, di bawah sebatang pohon nyiur.
“Marilah,” Agung Sedayu mempersilahkan sekali lagi, “rumahku tidak begitu jauh.”
Tak ada jawaban. Sekar Mirah sama sekali tidak berkisar. Bahkan berpaling pun tidak. Sedang Swandaru masih juga berdiri termangu-mangu.
Agung Sedayu kemudian menjadi gelisah. Setiap kali dipandanginya wajah gurunya yang berkerut-merut. Tetapi agaknya Ki Tanu Metir pun belum menemukan sikap yang sebaik-baiknya menghadapi keadaan.
Dalam ketegangan itu tiba-tiba terdengar seseorang menyapa, “He, Agung Sedayu. Kenapa kau berdiri saja di situ?”
Agung Sedayu berpaling. Dilihatnya seorang anak muda berjalan menemuinya.
“Untara berada di gandok Wetan,” berkata anak muda itu.
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Aku datang bersama tamu-tamu ini.”
Anak muda itu memandangi mereka satu demi satu. Swandaru dan Ki Tanu Metir serasa pernah dilihatnya. Tetapi gadis ini sama sekali belum.
“Kenapa tidak kau persilahkan mereka masuk?” berkata anak muda itu.
“Kalianlah yang harus mempersilahkannya.”
Pemuda itu menjadi ragu-ragu sejenak. Lalu katanya, “Marilah ke gandok Wetan. Di sana akan kalian temui Untara dan anak-anak muda yang lain.”
“Apakah mereka sedang berunding, atau membicarakan hal yang penting?”
“Tidak, kami, anak-anak muda Jati Anom sedang menjamunya sebagai pernyataan terima kasih kami. Marilah.”
Agung Sedayu menjadi ragu-ragu sejenak. Dipandanginya wajah Sekar Mirah yang menjadi kemerah-merahan karena panas matahari yang serasa membakar halaman itu.
Tetapi Agung Sedayu tidak segera mengajaknya memenuhi pemintaan anak muda Jati Anom yang mempersilahkan mereka. Ia masih ragu-ragu melihat wajah Sekar Mirah yang seakan-akan acuh tidak acuh.
Ki Tanu Metir melihat keragu-raguan itu. Orang tua itu mengangguk-angguk kecil. Di sini ia melihat berbagai perangai anak-anak muda yang berbeda-beda. Yang di antaranya tanpa sengaja telah menyinggung perasaan masing-masing.
Orang tua itu melihat watak Untara sebagai seorang senapati muda. Seakan-akan anak itu memang dilahirkan untuk menjadi seorang senapati yang keras dan mengikat diri dalam kuwajibannya. Setiap soal dikaitkannya dengan pendiriannya sebagai seorang senapati.
Adiknya, meskipun perkembangan sifatnya telah membentuk menjadi seorang Agung Sedayu yang sekarang, tetapi ia masih selalu dibayangi oleh keragu-raguan. Anak itu belum dapat meyakini dirinya dalam suatu pendirian. Ia masih selalu memerlukan orang lain untuk memperkuat pendapatnya. Ia masih memerlukan orang lain untuk memperbincangkan setiap pikirannya. Pengaruh kakaknya sebagai seorang anak laki-laki yang jantan.
Sedang muridnya yang lain, Swandaru adalah seorang yang hampir tidak mengacuhkan apa pun kecuali kesenangannya sendiri. Meskipun demikian, anak muda itu kadang-kadang berhasil juga melihat suasana dalam menentukan langkahnya. Namun setiap kali sifat-sifatnya itu lepas juga dalam peledakan-peledakan yang sering terlampau aneh, terlampau berpusar pada kepentingan dan selera sendiri.
Sedang Sekar Mirah adalah seorang gadis yang tinggi hati. Kehidupannya sebagai seorang putri demang yang kaya di daerah yang kaya telah membuatnya terlampau manja. Meskipun gadis itu bukan gadis yang hanya duduk menghias diri, bahkan gadis itu tidak segan-segan pula melakukan pekerjaan-pekerjaan yang cukup berat di rumahnya, tetapi semuanya itu didorong oleh kehendak untuk memimpin gadis-gadis dan perempuan-perempuan di dalam kademangan itu. Ia ingin memberikan contoh yang baik bagi mereka, apakah yang harus mereka lakukan. Namun setiap sentuhan perasaan telah membuatnya merajuk dan murung.
“Hem,” Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam. Setiap kali ia harus menilai keseimbangan sifat-sifat itu. Setiap kali ia harus melihat dan melengkapi pengamatannya atas anak-anak muda itu. Lebih-lebih Agung Sedayu dan Swandaru. Keduanya adalah murid- muridnya. Atas keduanya ia harus melihat dengan jelas. Sifat, watak, kebiasaan dan kesenangan masing-masing.
“Sekian lama aku berada di antara mereka,” berkata orang tua itu di dalam hatinya, “tetapi aku belum menemukan pribadi-pribadi mereka selengkapnya.”
Dalam pada itu, sekali lagi mereka mendengar anak muda Jati Anom mempersilahkan. “He, Agung Sedayu, kenapa kau justru termenung. Marilah. Ajak tamu-tamumu masuk ke gandok Wetan. Untara dan Wuranta berada di sana pula.”
Sekali lagi Agung Sedayu berpaling memandangi wajah Sekar Mirah. Ia ragu-ragu untuk mengucapkan kata-kata, karena Sekar Mirah masih juga bersikap acuh tak acuh.
Ketika Agung Sedayu memandangi wajah Swandaru, dilihatnya keragu-raguan memancar pula pada sorot matanya. Tetapi anak yang gemuk itu tidak terlampau membingungkannya seperti Sekar Mirah.
“Untara dan Wuranta menunggumu,” berkata anak muda Jati Anom itu pula.
Nama Wuranta telah menggetarkan dada Agung Sedayu. Tetapi ia lebih terpengaruh oleh keadaan Sekar Mirah kini.
Ki Tanu Metir melihat kegelisahan di dalam dada Agung Sedayu kemudian mencoba untuk menolongnya. Katanya, “Marilah Ngger. Kita sudah dipersilahkan. Adalah lebih baik bagi kita untuk menerimanya. Kita adalah tamu-tamu yang baik.”
“Anak muda itu tidak mempersilahkan kita Kiai,” bisik Sekar Mirah, yang berdiri tepat di samping Ki Tanu Metir.
“Kenapa?”
“Ia hanya mengatakan bahwa Untara mencari adiknya. Itu saja. Adalah kebetulan sekali kalau kita berdiri di sini bersama-sama dengan Kakang Agung Sedayu. Adalah sekedar sopan-santun saja ia mempersilahkan kita pula.”
“Tidak, Ngger. Tentu tidak. Angger Untara tahu pasti bahwa kita berada di antara mereka. Kita bersama-sama dengan Angger Agung Sedayu. Mungkin anak muda itu belum mengenal kita. Yang dikenalnya baru nama Agung Sedayu.”
Anak muda Jati Anom itu berdiri saja dengan mulut ternganga. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang dipercakapkan oleh gadis dan orang tua tamu-tamu Agung Sedayu itu. Satu-dua ia mendengar desis gadis itu, tetapi ia tidak jelas mendengar seluruh kalimatnya.
Tanpa prasangka apa pun anak muda itu bertanya, “Bagaimana, Kiai?”
“Oh,” Ki Tanu Metir mengangkat wajahnya yang berkerut–merut, “Tidak apa-apa, Anakmas. Kita akan berterima kasih. Kita akan segera pergi ke gandok Wetan.”
“Terima kasih. Mereka akan bergembira melihat kalian.”
“Marilah, marilah kita ke gandok Wetan,” berkata Ki Tanu Metir itu kemudian sambil melangkahkan kakinya.
“Silahkan, silahkan,” berkata anak muda Jati Anom itu. Tetapi agaknya ia akan pergi ke arah yang lain. Cepat Ki Tanu Metir melangkah ke sampingnya sambil menggandengnya. Katanya, “Bukankah Angger akan menunjukkan kepada kami, di manakah letak gandok Wetan itu.”
Anak muda Jati Anom itu tidak dapat berbuat lain daripada mengayunkan kakinya ke gandok Wetan. Sementara itu Agung Sedayu yang ragu-ragu, memandangi Sekar Mirah dan Swandaru berganti-ganti. Perlahan-lahan ia berkata, “Marilah Adi Swandaru, marilah Mirah.”
Ternyata Swandaru dapat merasakan kegelisahan dan kebingungan Agung Sedayu. Meskipun sebersit perasaan sesal meloncat pula di dalam hatinya atas perlakuan terhadap mereka, namun ia berkata pula kepada adiknya, “Marilah Mirah. Kita harus menjadi tamu yang baik di kademangan ini. Supaya hubungan antara kademangan ini dan kademangan kita kelak akan bertambah baik.”
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Dan Swandaru mendesaknya lagi, “Penilaian orang-orang Jati Anom atas kita adalah penilaian mereka terhadap Sangkal Putung.”
“Karena itu kita harus mempunyai harga diri.”
“Tetapi kita harus mencerminkan keramahan kademangan kita.”
Sekar Mirah tidak dapat menolak lagi. Dengan langkah yang berat ia berjalan di belakang Agung Sedayu, bersama-sama dengan kakaknya. Beberapa langkah di hadapan mereka adalah Ki Tanu Metir yang berjalan bersama anak muda Jati Anom yang mempersilahkan mereka kemudian masuk ke gandok.
Anak-anak muda, Untara dan Wuranta yang berada di gandok itu, ternyata sedang menikmati makanan yang dihidangkan kepada mereka. Sekali-sekali terdengar gelak tertawa mereka. Agaknya mereka sedang benar-benar bergembira. Mereka berkelakar dan bertanya tentang banyak masalah kepada Untara dan Wuranta.
Dalam keadaan yang demikian, Wuranta dapat sejenak melupakan perasaannya sendiri. Ia kini tengah berada di antara kawan-kawannya bermain dan bekerja. Itulah sebabnya, maka ia dapat berceritera dengan lancar. Bahkan kadang-kadang menggelikan, sehingga kawan-kawannya menjadi tertawa tergelak-gelak.
Tetapi suara tertawa itu terputus ketika mereka mendengar langkah ke pintu. Sejenak kemudian mereka melihat seorang anak muda masuk sambil mempersilahkan tamu-tamu mereka.
“Siapa?” bertanya salah seorang yang sudah duduk di dalam.
“Agung Sedayu,” jawab anak muda yang baru masuk itu.
“He,” yang bertanya itu terkejut, “Agung Sedayu? Marilah. Marilah. Kita hampir lupa kepadamu. Sedayu, di sini kami sedang mendengarkan cerita Wuranta tentang padepokan Tambak Wedi.”
Agung Sedayu yang kemudian menjulurkan kepalanya mengerutkan keningnya. Diedarkannya pandangan matanya berkeliling, dilihatnya kawan-kawannya tengah berkumpul di gandok itu bersama kakaknya dan Wuranta.
Namun, tiba-tiba dadanya berdesir. Kini ia melihat Wuranta dengan sudut pandangan yang berbeda. Persoalan antara mereka berdua telah menjauhkan mereka. Seolah-olah masing-masing menjadi segan dan malas untuk saling bertemu. Meskipun ia telah mendengar dari Kiai Gringsing, betapa Wuranta telah menyadari dirinya, tetapi masih juga terasa sesuatu yang berdesir di dalam dadanya.
Agung Sedayu itu terperanjat ketika tiba-tiba seseorang menariknya masuk ke dalam sambil berkata, “Ha, inilah anak itu. Kau telah menggemparkan Jati Anom, Sedayu. Kita mengenal kau sejak anak-anak. Tiba-tiba kita melihat kau kini menjadi seorang raksasa yang perkasa. Bukankah begitu?”
“Ah.”
“Cerita tentang kau telah tersebar. Aku tidak tahu, siapakah sumber cerita itu. Kau kini benar-benar seorang laki-laki melampaui kami.”
Sebelum Agung Sedayu menyahut, terdengar orang berkata, “Ya, kami telah mendengar tentang kau, Sedayu. Kalau begitu maka sambutan kali ini kami tujukan kepadamu juga. Marilah, kenapa baru sekarang kau datang kemari? Untunglah kami masih mempunyai ingkung ayam yang masih utuh. Marilah.”
Tetapi, Agung Sedayu tidak sendiri. Ketika Untara melihatnya, maka dahinya pun berkerut. Baru saat itu ia ingat kepada adiknya.
“Kemana selama ini kau Sedayu?” bertanya Untara.
“Di halaman, Kakang,” jawab Agung Sedayu seadanya.
Untara mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak memperhatikan jawaban itu lagi. Tak ada tempat di dalam hatinya untuk mengerti bahwa seseorang sedang merajuk.
“Masuklah,” katanya kemudian, “di mana yang lain?”
“Inilah, Kakang.”
Untara kemudian terpaksa berdiri dan melangkah ke pintu. Di luar pintu dilihatnya Ki Tanu Metir, Swandaru, dan Sekar Mirah,
“Marilah, Kiai,” katanya mempersilahkan, “marilah, Adi Swandaru dan Sekar Mirah.”
Ketiganya menganggukkan kepala mereka.
“Aku takut kehilangan kau, Ngger,” berkata Ki Tanu Metir sambil tersenyum.
Sekali lagi Untara mengerutkan keningnya. Kini ia menjawab dengan jujur. “Maaf. Aku lupa kepada kalian. Begitu aku masuk ke halaman ini, maka aku telah diseret oleh anak-anak muda ini ke gandok Wetan. Sekarang marilah. Kami masih menyediakan makan untuk kalian.”
Mereka pun kemudian masuk ke gandok itu. Mereka ikut duduk di antara anak-anak muda Jati Anom, Untara, dan Wuranta.
Sejenak kemudian, maka kembali anak-anak muda Jati Anom itu ribut dengan berbagai pertanyaan. Kini pusat perhatian mereka adalah Agung Sedayu. Mereka telah mendengar sedikit tentang anak muda yang mereka kenal sebagai penakut itu, kini tiba-tiba telah menggenggam keberanian yang menakjubkan.
Namun terasa bahwa suasana di gandok itu menjadi semakin kaku. Wuranta sudah tidak banyak lagi berbicara, dan Agung Sedayu pun hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan itu seperlunya. Sekali-sekali ia tersenyum, namun kemudian ia pun terdiam pula. Untunglah bahwa Ki Tanu Metir telah berhasil menengahi keadaan. Ia mencoba untuk mengisi kekosongan itu dengan berbagai macam cerita, yang justru lucu-lucu sehingga gelak tertawa mulai menggetarkan gandok itu pula.
Namun dalam suasana yang demikian itu, keringat dingin mengalir di punggung Wuranta. Terasa ruangan itu terlampau menyiksanya. Wajah Sekar Mirah itu serasa sebagai duri yang menusuk-nusuk hatinya. Sejenak dikenangnya masa-masa ia pertama sekali bertemu dengan gadis itu. Gadis itu tersenyum kepadanya dan Alap-alap Jalatunda, serta berkata-kata dengan ramahnya. Kemudian pada saat ia menerima pesan Alap-alap Jalatunda untuk disampaikan kepada gadis itu, maka senyum gadis itu seakan-akan telah meremas jantungnya. Hampir tidak masuk di akalnya, bahwa pada saat itu Sekar Mirah berkata kepadanya tentang Alap-alap Jalatunda, “Aku menunggunya.”
“Ternyata gadis itu pun mampu berpura-pura,” desisnya di dalam hati. “Agaknya ia telah menyusun rencana sebaik-baiknya, menjebak Alap-alap Jalatunda untuk melarikannya dari padepokan itu, dan menjerumuskannya ke dalam Kademangan Sangkal Putung. Tetapi Betapapun juga gadis itu telah membuat aku hampir kehilangan akal dan keseimbangan.”
Tetapi ternyata wajah itu kini sama sekali tidak membayangkan senyum. Bahkan wajah Sekar Mirah tampak berkerut-merut. Agaknya ada sesuatu yang tidak menyenangkan hatinya.
“Apakah ia tidak senang melihat kehadiranku di sini,” pertanyaan itu sekilas menyambar hati Wuranta. Tetapi ia tidak mendapat jawabnya.
Gandok itu sejenak kemudian menjadi sunyi. Anak-anak muda Jati Anom, Untara, dan yang lain-lain lagi sedang melanjutkan menyuapi mulut-mulut mereka. Sedang Agung Sedayu, Swandaru, Sekar Mirah, dan Kiai Gringsing dipersilahkan pula oleh mereka untuk makan. Namun dengan kehadiran beberapa orang tamu itu, mereka kini tidak lagi makan sambil berkelakar.
Hari itu terasa oleh Sekar Mirah menjadi terlampau panjang. Ketika kemudian malam datang perlahan-lahan seolah-olah turun dari ujung Gunung Merapi, maka Agung Sedayu mendapat ijin dari kakaknya untuk membawa tamu-tamunya bermalam di rumahnya.
“Kita masih menunggu sehari dan semalam besok,” gumam Sekar Mirah, “aku tidak sabar lagi. Hari-hari terakhir ini terasa sangat menyiksa. Aku ingin segera pulang.”
“Beberapa hari kita menunggu untuk malam besok, Ngger,” sahut Ki Tanu Metir, “dan kini tinggal sehari dan semalam. Kita sebaiknya menunggunya.”
Sekar Mirah tidak menjawab. Tetapi tampaklah wajahnya menjadi semakin suram. Namun Ki Tanu Metir pun dapat mengerti pula. Betapa perasaan rindu mengamuk di dalam dada gadis itu kepada ibu dan ayahnya.
Betapa lambatnya, tetapi akhirnya malam itu terlampaui juga.
Malam yang mendatang, Jati Anom disegarkan dengan berbagai macam kata-kata sanjungan terhadap mereka yang dianggap telah berhasil menumpas lawan-lawan mereka yang bersarang di Padepokan Tambak Wedi.
Ternyata malam itu benar-benar telah melepaskan segenap ketegangan bagi para prajurit Pajang. Mereka tertawa gembira dalam kelakar mereka dengan kawan-kawan mereka. Mereka menjadi terpesona melihat gerak tari anak-anak gadis Jati Anom meskipun tidak sebaik-baik penari-penari Pajang. Mereka bersorak-sorak dan berteriak-teriak seperti anak-anak kecil. Sejenak mereka melupakan keadaan diri mereka masing-masing.
Tetapi, malam yang riuh itu sama sekali tidak memikat hati Sekar Mirah. Namun, ditahannya perasaannya itu di dalam hati. Kali ini ia duduk menonton tidak bersama-sama kakaknya, Agung Sedayu, dan Ki Tanu Metir, tetapi ia duduk bersama-sama dengan perempuan-perempuan kademangan. Isteri pemimpin-pemimpin kademangan.
Lebih menjemukan lagi bagi Sekar Mirah, bahwa setiap kali ia harus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh perempuan-perempuan itu. Beraneka macam. Dari yang paling mudah hingga yang paling sulit untuk dijawab.
Ketika pertunjukan itu hampir selesai di tengah malam, serta mereka telah menyelesaikan pula acara makan bersama, maka malam yang menyenangkan itu mendekati pada akhirnya.
Sementara itu, para penjaga di gardu-gardu masih tetap pada tugas masing-masing meskipun mereka mengumpat-umpat. Suara gamelan yang menggelitik telinga mereka, membuat mereka ingin meloncat meninggalkan gardunya dan berlari ke kademangan. Tetapi mereka diikat oleh kuwajiban.
Namun kejengkelan mereka terhibur ketika beberapa orang gadis datang ke gardu-gardu itu sambil membawa ancak berisi makanan. Dengan ramah gadis itu memberikan ancak-ancak itu kepada para penjaga.
“He, Nduk, apakah kalian pergi tanpa pengantar?”
“Apakah yang kami takutkan?” jawab gadis-gadis itu.
“Bagaimana kalau hantu-hantu lereng Merapi itu menyusup ke dalam kademangan ini dan menyergap kalian di dalam gelap.”
“Kami akan berteriak.”
“Kalau mulut kalian disumbat?”
“Salah seorang dari kami pasti sempat berteriak. Dengan demikian kalian akan berlari-lari menolong kami.”
“Tidak mau, aku dan kawan-kawanku tidak akan menolong kalian.”
“Kenapa?”
“Apa upahnya?” bertanya seorang prajurit muda.
“Apa saja yang kau ingini,” jawab gadis yang gemuk.
“Oh,” prajurit muda itu menarik nafas dalam-dalam, “aku tidak ingin apa-apa, supaya aku tidak menjadi pingsan memikirkannya.”
Kawan-kawannya tertawa. Meskipun ditahankannya, tetapi gadis-gadis itu tertawa pula.
Akhirnya malam yang gembira itu berakhir pula. Namun malam itu sama sekali tidak berkesan apa-apa bagi Sekar Mirah, sebab ia selalu dicengkam oleh kerinduannya kepada ayah dan ibu di Sangkal Putung.
Bahkan malam itu terasa jauh lebih panjang dari malam-malam yang dirasanya sudah terlampau panjang.
Ketika semuanya sudah selesai, maka Sekar Mirah dengan tergesa-gesa kembali ke rumah Agung Sedayu bersama dengan Ki Tanu Metir, Swandaru, dan Agung Sedayu. Seolah-olah ia ingin mempercepat agar malam ini pun lekas berakhir. Besok jika fajar menyingsing, maka akan berangkat dari Kademangan Jati Anom kembali pulang kepada ayah bunda di Sangkal Putung.
Demikianlah, ketika fajar telah mengembang, maka cepat-cepat Sekar Mirah pergi ke perigi. Tetapi Swandaru berkata kepadanya, “Mirah, semalam suntuk kau tidak dapat memejamkan mata. Bahkan malam-malam sebelum ini pun kau selalu kurang tidur. Karena itu kau jangan mandi.”
Sekar Mirah mengangguk. Tetapi ia pergi juga ke perigi untuk mandi.
Sementara itu Agung Sedayu telah pergi ke kademangan. Ia ingin menyampaikan kepada kakaknya, bahwa nanti Ki Tanu Metir, Swandaru, dan Sekar Mirah akan datang untuk minta diri.
“Mereka akan pergi ke Sangkal Putung hari ini,” berkata Agung Sedayu.
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba saja terasa sesuatu tergetar di dadanya. Terasa bahwa pada saat-saat terakhir Ki Tanu Metir banyak tidak menyetujui sikapnya tentang berbagai hal. Sebenarnya Untara sama sekali tidak ingin untuk menyakiti hati orang tua itu, atau setidak-tidaknya membuatnya kurang senang.
Tetapi Untara pun tidak ingin melepaskan beberapa pendiriannya. Bahkan masalah Agung Sedayu itu pun sebenarnya tidak diterimanya sepenuh hati.
“Baiklah,” berkata Untara itu kemudian, “aku akan menerimanya. Aku akan menyiapkan pengawalan bagi Sekar Mirah.”
“Kami akan mengantarkan Sekar Mirah bertiga, Kakang.”
“Aku tahu,” sahut Untara, “aku tahu bahwa kau pun akan pergi juga ke Sangkal Putung seperti katamu dan Ki Tanu Metir. Tetapi aku tidak mau menanggung akibat yang pahit bagi kalian dan Sekar Mirah. Aku tidak yakin bahwa Ki Tambak Wedi telah meninggalkan daerah ini, dan aku tidak yakin bahwa tidak ada satu dua orang yang masih mengikutinya. Karena itu, maka aku akan menyediakan sejumlah prajurit untuk mengikuti kalian sampai ke Sangkal Putung.”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tetapi, sebelum ia menjawab kakaknya sudah berkata pula, “Jangan terlampau sombong. Aku tahu, bahwa prajurit-prajurit itu akan memperkecil arti perjuanganmu membebaskan Sekar Mirah. Dengan demikian kau tidak datang menyerahkan Sekar Mirah dengan tanganmu sediri, tetapi seolah-olah kau telah mendapat bantuan dari prajurit-prajurit itu, sehingga bukan kau seorang sajalah pahlawan yang mengagumkan di mata Ki Demang Sangkal Putung.”
Terasa dada Agung Sedayu berdentangan. Ia menyadari bahwa kakaknya kini benar-benar tidak dapat menerima hubungan yang terjadi antara dirinya dengan Sekar Mirah. Alasan-alasan yang semula hanya sekedar dikemukakan untuk melerai keadaan yang kurang baik antara dirinya dan Wuranta, ternyata kemudian telah diyakini kebenarannya oleh kakaknya. Agaknya ia dapat menerima pendapat Ki Tanu Metir tidak sebulat hatinya. Tetapi ia tidak dapat membantah.
Perlahan-lahan ia menjawab, “Baiklah, Kakang. Akan aku minta pertimbangan Ki Tanu Metir.”
“Kau beritahukan saja keputusan ini kepada Ki Tanu Metir.”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Baik, Kakang.”
Agung Sedayu pun kemudian kembali ke rumahnya untuk menjemput Swandaru, Sekar Mirah dan Ki Tanu Metir. Ternyata gadis itu hampir-hampir tidak sabar menunggunya.
“Kenapa kita masih harus singgah di kademangan?” bertanya Sekar Mirah.
“Kita minta diri kepada Kakang Untara,” jawab Agung Sedayu.
Sekar Mirah tidak menjawab. Tetapi alisnya menjadi berkerut. Hal itu bagi Sekar Mirah hanya akan membuang waktu saja.
“Kakang Untara akan menyediakan pengawalan,” berkata Agung Sedayu pula.
Ki Tanu Metir berpaling kepadanya, “Apakah pengawalan itu perlu sekali?” desisnya.
“Menurut Kakang Untara hal itu perlu dilakukan, karena Kakang Untara masih mempertimbangkan kemungkinan, bahwa ada orang-orang Jipang dan Tambak Wedi yang masih berkeliaran dan bergabung dengan Ki Tambak Wedi.
Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah, kita akan berterima kasih.”
Mereka berempat pun kemudian pergi ke kademangan. Mereka menemui Untara, Ki Demang Jati Anom, dan para pemimpin prajurit Pajang dan kademangan itu yang lain.
Ki Tanu Metir pun kemudian minta diri kepada mereka, dan dengan berat orang-orang di kademangan itu terpaksa melepasnya. Mereka menyadari bahwa orang tua yang selalu tersenyum-senyum itu adalah satu-satunya orang di antara mereka yang hanya seorang diri dapat mengimbangi Ki Tambak Wedi. Tetapi kesan kepergian Swandaru, Sekar Mirah, dan Agung Sedayu hampir tidak menyentuh perasaan mereka. Hal yang demikian adalah hal yang wajar dan tidak menumbuhkan banyak persoalan di antara mereka.
Namun ada di antara mereka, orang-orang yang berada di kademangan itu merasa hatinya seolah-olah terpecah belah. Meskipun ia tidak mengucapkan sepatah katapun, namun tampak pada bintik-bintik keringat di keningnya, bahwa ia sedang menahan hati. Bahkan sebelum pertemuan itu selesai, sebelum Ki Tanu Metir yang minta diri itu meninggalkan ruangan, maka anak muda itu, Wuranta, telah berdiri dan melangkah ke luar lewat tangga samping.
Melihat kepergian Wuranta, Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Terasa sesuatu bergerak di dalam dadanya. Debar jantungnya menjadi bertambah cepat.
Tetapi ia tidak berbuat sesuatu. Dicobanya untuk menenteramkan hatinya. Meskipun demikian terasa keringatnya menjadi semakin deras membasahi bajunya.
Ki Tanu Metir ternyata tertarik juga melihat sikap Wuranta. Tetapi seperti Agung Sedayu, ia pun sama sekali tidak bertanya tentang anak muda itu.
Ketika Ki Tanu Metir, Swandaru, dan Sekar Mirah sudah selesai dengan kata-katanya, minta diri kepada setiap orang di ruangan itu, dan kemudian Agung Sedayu dengan kata-kata yang lambat tertahan dan bernada datar, maka mereka pun meninggalkan ruangan itu, diantar oleh Untara sampai ke halaman. Ternyata di halaman itu telah bersiap beberapa orang prajurit untuk mengantar mereka yang akan kembali ke Sangkal Putung.
Sejenak kemudian maka rombongan itu pun berangkat dengan ucapan selamat jalan dari Untara dan para pemimpin yang lain. Meskipun Sekar Mirah tidak biasa berkuda, namun kali ini ia memberanikan diri, naik seekor kuda yang paling jinak. Di sampingnya kakaknya Swandaru menjaganya agar ia tidak menjadi cemas apabila kudanya berjalan terlampau cepat.
“Dalam waktu yang dekat, aku pun akan pergi ke Sangkal Putung,” berkata Untara.
“Kami menunggu kalian, Ngger,” sahut Ki Tanu Metir.
“Aku ingin bertemu dengan Paman Widura. Tetapi sebelum itu, sampaikan salamku dalam jabatanku kepada Paman Widura. Paman harus tetap berhati-hati menghadapi keadaan yang tampaknya sudah menjadi bertambah baik. Dan sampaikan baktiku sebagai kemanakannya kepada paman,” berkata Untara kepada Agung Sedayu.
“Baik, Kakang,” jawab Agung Sedayu.
“Jaga dirimu baik-baik,” berkata Untara, “hari depanmu masih sangat panjang. Kalau kau sia-siakan hari-harimu kini, maka kau pasti akan menyesal di hari tuamu.”
“Baik, Kakang,” sahut Agung Sedayu pula.
“Aku akan selalu mengawasimu.”
Agung Sedayu menganggukkan kepalanya.
Kepada Ki Tanu Metir Untara kemudian berkata, “Aku titipkan adikku yang keras kepala itu, Kiai. Mudah-mudahan Kiai akan dapat berhasil, membawanya ke jalan yang lurus menjelang hari depannya.”
“Mudah-mudahan, Ngger. Aku akan berusaha sebaik-baiknya.”
Dan kepada Swandaru Untara berkata, “Sampaikan salamku kepada Ki Demang Sangkal Putung. Pajang sangat berterima kasih kepadanya. Sangkal Putung ternyata telah berjasa sekali bagi keutuhan wilayah Pajang di daerah Selatan ini.”
“Ya, Kakang. Akan aku sampaikan kepada ayah,” jawab Swandaru.
Ketika pesan-pesan Untara sudah selesai, maka rombongan itu pun bergerak meninggalkan halaman Kademangan Jati Anom.
Demikian mereka keluar dari halaman kademangan itu, mereka merasakan betapa cerahnya sinar matahari. Apalagi Sekar Mirah. Ia merasa bahwa ia benar-benar telah terlepas dari suatu lingkungan yang mengerikan. Kini ia berada dalam perjalanan kembali kepada ayah dan ibunya.
Ketika iring-iringan itu hampir sampai ke mulut lorong kademangan, maka tiba-tiba Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Di ujung lorong itu dilihatnya Wuranta berdiri tegak seperti sebatang tonggak.
Tanpa disengaja Agung Sedayu berpaling memandangi Ki Tanu Metir yang justru dalam saat yang bersamaan, Ki Tanu Metir pun sedang berpaling kepadanya.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sorot matanya seolah-olah minta pertimbangan kepada gurunya, apa yang harus dilakukannya. Tetapi ia tidak menangkap kesan apa pun pada wajah orang tua.
Ketika iring-iringan itu sampai beberapa langkah di hadapan Wuranta, maka Ki Tanu Metir yang berkuda di paling depan, memperlambat langkah kudanya. Dengan sebuah senyum ia menganggukkan kepalanya, “Kau di sini Angger Wuranta?” bertanya orang tua itu.
“Ya, Kiai,” sahut Wuranta dengan nada yang dalam, “aku ingin bertemu dengan Adi Agung Sedayu.”
Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya. Ketika ia memandangi wajah Agung Sedayu, anak muda itu sedang memandangnya pula.
Agung Sedayu melihat gurunya itu mengangguk kecil. Karena itu maka didorongnya kudanya beberapa langkah maju mendekati Wuranta.
“Maaf, Kiai,” berkata Wuranta, “aku hanya ingin bertemu dengan Agung Sedayu.”
Sekali lagi Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya. Tetapi sekali lagi ia mengangguk kecil. Tetapi tampak jelas di wajahnya pertanyaan yang membersit dari dadanya. Agung Sedayu menangkap percikan isyarat, supaya ia berhati-hati.
“Baiklah,” berkata orang tua itu kemudian, “kami akan berjalan mendahului.”
Swandaru menjadi agak ragu-ragu karenanya. Maka katanya, “Apakah aku akan menemani Kakang Agung Sedayu di sini, Kiai.”
Kiai Gringsing menggeleng, “Tinggalkan ia sendiri.”
Dengan bimbang akhirnya Swandaru pun berlalu. Namun ia masih sempat mengucapkan selamat tinggal kepada Wuranta dan pernyataan terima kasih. Hampir-hampir Wuranta tidak dapat menjawab ketika Sekar Mirah pun kemudian mengucapkan pernyataan terima kasihnya pula kepadanya.
“Aku mengharap suatu ketika kau akan dapat berkunjung ke Sangkal Putung, Kakang Wuranta,” berkata Sekar Mirah yang sudah menemukan kegembiraannya kembali setelah ia mulai dengan perjalanan pulang itu.
“Ya, ya,” Wuranta menjadi tergagap, “aku akan datang.”
“Tetapi tidak dengan Alap-alap Jalatunda,” sambung Sekar Mirah tanpa prasangka apa pun.
Wajah Wuranta tiba-tiba menjadi merah. Tetapi hanya sejenak. Dengan sekuat tenaganya ia mencoba menguasai perasaannya yang mudah sekali tersentuh.
Dipaksakannya bibirnya bergerak dan menjawab, “Mudah-mudahan aku tidak akan bertemu lagi dengan anak itu.”
“Bagaimana kalau hantu jadi-jadiannya mendatangimu?” Sekar Mirah mencoba bergurau.
Namun Wuranta tidak segera dapat menanggapinya. Bahkan terasa dadanya menjadi semakin pedih. Betapa sulitnya, ia menjawab, “Mudah-mudahan tidak.”
“Nah,” berkata Sekar Marah kemudian, “aku minta diri. Aku berterima kasih sekali kepadamu, Kakang Wuranta. Maaf, bahwa aku pernah menyangka kau benar-benar seorang sahabat yang baik dari Alap-alap Jalatunda. Datanglah ke Kademangan Sangkal Putung. Aku akan memperkenalkan kau kepada ayah.”
Wuranta mengangguk kaku. Tetapi kening Agung Sedayu menjadi berkerut.
“Terima kasih. Mudah-mudahan aku dapat memenuhinya,” sahut Wuranta sendat.
Dalam pada itu, Kiai Gringsing seorang yang telah berusia cukup untuk melihat gelagat wajah seseorang, segera berkata, “Marilah. Mumpung masih pagi.”
Iring-iringan itu kemudian bergerak pula, hanya Agung Sedayu sajalah yang kemudian tinggal bersama Wuranta.
Ketika iring-iringan itu menjadi semakin jauh, maka Agung Sedayu pun segera meloncat turun. Meskipun ia tampaknya bersikap wajar, namun ia berada dalam kesiagaan penuh. Ia tidak akan dapat ditipu dengan gerak jasmaniah seandainya Wuranta ingin berbuat sesuatu karena jarak ilmu mereka terlampau jauh. Tetapi Agung Sedayu harus tetap berwaspada seandainya Wuranta mempunyai cara-cara yang lain.
Sejenak mereka saling berdiam diri. Namun tampak betapa wajah-wajah mereka menjadi tegang.
Baru sesaat kemudian, setelah menelan ludahnya beberapa kali Wuranta baru berhasil berkata, “Agung Sedayu. Aku menemuimu hanya untuk minta maaf. Mudah-mudahan kau melupakannya.”
Masih banyak sekali kata-kata yang tersimpan di dalam hatinya. Masih bertumpuk-tumpuk kalimat-kalimat yang ingin diucapkannya. Tetapi tiba-tiba mulut Wuranta seolah-olah tersumbat terlampau rapat. Meskipun bibirnya bergerak-gerak namun tidak sepatah kata pun yang dapat dilontarkannya.
Dada Agung Sedayu berdesir. Kalimat itu terlampau pendek. Tetapi langsung menyentuh perasaan anak muda itu. Meskipun ia tidak mendengar kata-kata lebih banyak lagi yang diucapkan oleh Wuranta, namun dari sorot matanya ia dapat membaca apa saja yang tersirat di dalam hatinya.
Sejenak Agung Sedayu pun menjadi terdiam. Ia tidak segera menemukan kata-kata untuk menjawabnya. Sehingga seperti juga Wuranta, maka Agung Sedayu pun sulit untuk mengucapkan kalimat-kalimat yang seakan-akan berdesakan di dalam dadanya.
Akhirnya, terpatah-patah ia menjawab, “Marilah kita lupakan, Kakang.”
Hanya itulah yang dapat diucapkan oleh Agung Sedayu. Namun meskipun demikian, meskipun tidak banyak kalimat-kalimat yang mereka ucapkan, tetapi di dalam tekanan kata-kata mereka seakan-akan telah tercurah seluruh perasaan mereka.
Kini sekali lagi mereka berdiri berhadapan sambil berdiam diri. Terasa dada mereka menjadi tegang dan bahkan serasa penuh dengan desakan-desakan yang ingin meloncat ke luar. Tetapi tidak sepatah kata pun yang mereka ucapkan. Hanya lewat sorot mata mereka sajalah mereka dapat merasakan perasaan masing-masing.
Baru sejenak kemudian terloncat kata-kata dari mulut Wuranta untuk melepaskan ketegangan di dadanya, “Selamat jalan, Agung Sedayu. Mudah-mudahan kita masing-masing mendapat perlindungan dari Tuhan.”
“Terima kasih, Kakang,” suara Agung Sedayu terlampau dalam.
Perlahan-lahan Agung Sedayu melangkah ke kudanya. Perlahan-lahan pula ia meloncat ke punggungnya.
Sekali lagi ia berkata, “Terima kasih, Kakang. Aku akan meneruskan perjalanan.”
Wuranta tidak menjawab, tetapi kepalanya terangguk perlahan-lahan.
Sejenak kemudian kuda Agung Sedayu itu pun bergerak perlahan-lahan. Tetapi semakin lama semakin cepat. Kemudian dengan sebuah sentuhan pada perut kuda itu, maka kuda itu pun meloncat dengan cepatnya menyusul iring-iringan yang sudah agak jauh di hadapan mereka. Tetapi bagi Agung Sedayu, bukan iring-iringan itulah yang telah memaksanya untuk berpacu. Ia ingin secepatnya menjauhi Jati Anom. Tempat ia dilahirkan, tetapi yang memberinya persoalan yang cukup berat dalam usianya yang masih terlampau muda.
Wuranta memandangi kuda itu berlari semakin kencang. Matanya hampir tidak berkedip meskipun terasa pedih karena debu yang putih yang dilemparkan dari kaki-kaki kuda Agung Sedayu. Sekali ia menarik nafas dalam-dalam. Kemudian terdengar ia bergumam lirih, “Anak itu luar biasa. Meskipun ia seorang penakut di masa kanak-anak, tetapi ia kini menjadi seorang laki-laki yang perkasa. Hampir aku merusak harapan bagi masa depannya karena kebodohanku.”
Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi terasa dadanya berdesir. Ia belum dapat melupakan wajah Sekar Mirah yang segar. Apalagi senyumnya yang seolah-olah langsung menyentuh hati. Tetapi kini ia sudah dapat mengimbangi perasaannya itu dengan nalarnya.
Sementara itu iring-iringan itu berjalan dengan kecepatan sedang meluncur mendekati Sangka Putung. Sekali-sekali Ki Tanu Metir, Swandaru, dan Sekar Mirah berpaling, untuk melihat apakah Agung Sedayu sudah menyusul mereka.
Ternyata ada kekhawatiran juga di hati mereka tentang Agung Sedayu. Terutama Ki Tanu Metir. Orang tua itu tidak mencemaskan nasib Agung Sedayu sendiri, tetapi justru apabila Agung Sedayu terdorong oleh perasaannya, berbuat hal-hal yang tidak menguntungkannya.
Tetapi sejenak kemudian mereka melihat debu yang putih mengepul ke atas di belakang mereka. Seekor kuda berlari kencang menyusul iring-iringan itu. Di atas punggung kuda itu adalah Agung Sedayu.
Ketika Agung Sedayu menjadi semakin dekat, dan kemudian telah berada di antara mereka, maka dengan serta-merta Swandaru bertanya, “Apakah yang dikatakannya, Kakang?”
Agung Sedayu menjadi bingung. Sesaat ia tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Bahkan seperti seorang anak-anak yang ingin mendapat pertolongan dipandanginya gurunya.
“Apakah Angger Wuranta mengucapkan selamat jalan kepada Anakmas?” bertanya Ki Tanu Metir itu kemudian.
“Ya, Kiai,” sahut Agung Sedayu asal saja menjawab.
“Ya, aku sudah menyangka,” berkata Ki Tanu Metir, “ia pasti merasa kehilangan seorang kawan yang dapat mengerti tentang dirinya. Kita dianggapnya sebagai kawan-kawan yang berbuat sejak permulaan bersamanya.”
“Tetapi sikapnya mengherankan. Aku melihat sesuatu yang tidak wajar padanya,” berkata Sekar Mirah.
“Anak itu seorang pemalu,” jawab Ki Tanu Metir.
“Tidak. Ia bukan seorang pemalu,” jawab Sekar Mirah.
Mendengar jawaban itu Agung Sedayu mengerutkan keningnya. “Darimana kau tahu Mirah?” Agung Sedayu bertanya.
Dan Sekar Mirah menjawab, “Di Padepokan Tambak Wedi ia bersikap bukan sebagai seorang pemalu. Wuranta-lah yang pertama-tama menegurku sebelum Alap-alap Jalatunda, meskipun ia orang baru di padepokan itu. Ia menjadi penghubung yang baik antara aku dan Alap-alap Jalatunda yang hampir saja menerkam aku apabila Sidanti tidak segera datang.”
Mereka yang mendengar kata-kata Sekar Mirah itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka telah mendengar pula dari Wuranta. Dan soal itu pulalah yang telah membakar padepokan Tambak Wedi menjadi karang abang. Bentrokan antara orang-orang Jipang dan Tambak Wedi yang tidak dapat dihindarkan lagi.
Sejenak kemudian mereka menjadi saling berdiam diri. Mereka terbenam di dalam angan-angan masing-masing. Sekali-sekali Sekar Mirah mengerutkan lehernya apabila diingatnya apa yang telah terjadi di padepokan Tambak Wedi.
Seandainya, ya seandainya Alap-alap Jalatunda tidak dapat dicegah lagi, maka ia kini tidak lagi dapat berkuda bersama-sama dengan Swandaru dan Agung Sedayu. Mungkin ia telah membunuh dirinya dan tubuhnya telah hancur menjadi debu.
Tiba-tiba Sekar Mirah itu menundukkan kepalanya. Kebesaran Yang Maha Kasih telah menyelamatkannya dengan cara yang hampir tidak dapat dimengertinya.
Tetapi dalam pada itu terbersit pula pikiran di kepalanya, “Seandainya aku tidak selemah ini.”
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Ia bertanya pula di dalam hatinya, “Apakah aku hanya dapat menjadi tanggungan orang lain sepanjang hidupku?”
Gadis itu kemudian membayangkan tentang dirinya sendiri. Seandainya ia mampu berbuat sesuatu. Seandainya ia tidak hanya seorang gadis yang lemah dan tidak dapat berbuat apa pun.
Terbayanglah di dalam ingatannya cerita-cerita tentang masa-masa lampau. Dongeng-dongeng yang pernah didengarnya tentang beberapa orang puteri. Di dalam ceritera wayang yang terkenal, pernah juga didengarnya tentang seorang Srikandi dan Larasati. Keduanya adalah puteri-puteri prajurit yang pilih tanding. Bahkan di dalam perang besar Baratayuda, Srikandi pernah menjadi senapati perang dan dalam masa jabatannya itulah Senapati Besar Astina yang dikagumi terbunuh. Bisma. Meskipun kematiannya itu ditangisi oleh kedua pihak yang berperang. Kurawa dan Pendawa.
“Apakah pada jaman ini tidak mungkin seorang wanita memegang busur dan anak panah seperti Srikandi?” pertanyaan itu menggetarkan hatinya.
“Tentu mungkin,” pertanyaan itu dijawabnya sendiri, “dan aku akan berusaha untuk dapat menjadi seorang wanita yang demikian. Aku harus dapat menjaga diriku sendiri. Kalau suatu ketika Sidanti kembali ke Sangkal Putung, aku tidak akan menjadi barang rebutan antara Sidanti dan orang-orang Sangkal Putung, Kakang Swandaru dan mungkin Kakang Agung Sedayu.”
Sekar Mirah itu menengadahkan kepalanya, seolah-olah ia sudah mendapat keputusan untuk memulai dengan langkahnya. Menjadi seorang gadis yang mampu menjaga diri sendiri.
“Tetapi kepada siapa aku harus berguru supaya aku mendapat tuntunan olah kanuragan?” pertanyaan itu mengusik hatinya.
Tanpa disengaja ia memandangi Ki Tanu Metir yang berkuda beberapa langkah di mukanya. Dipandanginya punggung orang tua itu yang berselimutkan kain gringsing. Kain ciri yang selalu dipakainya meskipun sudah mulai tampak keputih-putihan.
Tiba-tiba Sekar Mirah menggelengkan kepalanya. “Orang tua itu sedang sibuk dengan Kakang Swandaru dan Kakang Agung Sedayu. Aku tidak yakin kalau ia mau menerimaku pula di dalam lingkungannya. Aku sama sekali belum mengenal ilmu apa pun dalam olah kanuragan. Aku harus mulai dari permulaan. Lalu ditambahkannya keterangan di dalam hatinya itu ‘tetapi seandainya ayah dan ibu mengijinkannya’.”
Dan dicobanya untuk meyakinkan Dirinya, “Ayah dan ibu pasti tidak akan berkeberatan. Setiap saat aku terancam bahaya, karena aku kira Sidanti tidak akan berhenti sekian. Mungkin ia akan kembali di saat-saat orang Sangkal Putung sudah hampir melupakannya. Seandainya aku tidak mampu menjaga diriku, maka akan terulanglah peristiwa itu. Dan Sidanti tentu tidak akan sesabar beberapa saat yang lampau.”
Sementara itu matahari di langit merayap semakin lama semakin tinggi. Sinarnya yang cerah telah mulai menggatalkan kulit. Angin yang berhembus dari Selatan menghalau debu-debu yang dihamburkan oleh kaki-kaki kuda yang berjalan dalam iring-iringan itu. Beberapa prajurit yang ikut serta di dalamnya hampir tidak mengucapkan kata-kata sama sekali. Satu dua di antara mereka bercakap-cakap, tetapi kemudian terdiam. Memang tidak banyak yang mereka perbincangkan.
Ketika mereka melampaui sebuah tikungan yang tajam di antara gerumbul-gerumbul yang liar terdengar Agung Sedayu berdesis, “Bukankah menerobos jalan kecil ini kita akan sampai ke Dukuh Pakuwon Kiai?”
Ki Tanu Metir tersenyum. Dipandanginya jalan simpang yang sempit itu. Katanya, “Sebenarnya aku telah merindukan rumahku yang hampir roboh itu. Tetapi aku agaknya masih belum sempat. Lain kali, aku akan menengok, apakah pohon kates yang aku tanam sudah mulai berbuah.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kenangannya mulai menjelajahi kembali masa-masa yang pernah dilampauinya. Ia hampir pingsan ketakutan ketika ia bertemu dengan Alap-alap Jalatunda di daerah ini. Apalagi ketika kemudian kakaknya menyuruhnya berangkat sendiri ke Sangkal Putung untuk menemui pamannya. Seandainya kakaknya tidak mengancam untuk membunuhnya, maka ia pun pasti tidak akan berani berangkat.
Agung Sedayu itu tersadar ketika ia mendengar Ki Tanu Metir bertanya, “Kita akan menempuh jalan yang mana, Ngger? Apakah kita akan lewat Kali Asat dan melalui tikungan Randu Alas? Barangkali Angger masih ingin bertemu dengan sahabat Angger di sana, Gendruwo bermata Satu?”
“Ah,” Agung Sedayu berdesah.
Swandaru yang tidak tahu maksud Kiai Gringsing tiba-tiba menyahut, “Terlampau jauh, Kiai. Kita tidak akan melalui Kali Asat.”
Perjalanan itu pun semakin lama menjadi semakin dekat dengan Sangkal Putung. Jarak, antara kedua kademangan itu memang tidak terlampau jauh. Tetapi kekalutan yang timbul di daerah itu, orang-orang Jipang yang berkeliaran, apalagi kemudian setelah Tohpati mengambil tempat di hutan-hutan yang tidak terlampau lebat di sebelah Barat Sangkal Putung, maka kedua kademangan itu seakan-akan telah dipisahkan oleh lautan. Perjalanan dari kademangan yang satu ke kademangan yang lain terasa terlampau menakutkan. Padukuhan-padukuhan kecil yang berada di antara kedua kademangan itu pun menjadi semakin kecil. Bahkan penduduknya kadang-kadang merasa tidak mendapat perlindungan sama sekali, sehingga pada saat-saat itu mereka tidak akan dapat menolak apabila orang-orang Jipang, seperti Alap-alap Jalatunda, Pande Besi Sendang Gabus yang terbunuh oleh Untara, Plasa Ireng yang kemudian dibunuh oleh Sidanti, dan Sanakeling yang sudah terbunuh pula beserta anak buah mereka, datang untuk mengambil persediaan makanan mereka yang memang sudah terlampau tipis. Orang-orang Jipang itu mengambil apa saja yang dapat mereka ambil, sebelum mereka berhasil merebut pusat lumbung makanan dan kekayaan di daerah Selatan, Sangkal Putung.
Tetapi, dalam keadaan kini maka jarak antara kedua kademangan itu terasa terlampau dekat. Belum lagi matahari melampaui puncak langit, maka mereka sudah menjadi semakin dekat dengan Sangkal Putung.
Sekar Mirah hampir-hampir tidak sabar lagi menunggu jarak yang sudah kian pendek itu. Seandainya ia mampu ia pasti akan meloncat langsung ke halaman rumahnya berlari mendapatkan ayahnya dan memeluk ibunya.
Tetapi ia masih harus tetap berada di punggung kudanya.
Beberapa saat kemudian mereka telah masuk ke daerah Kademangan Sangkal Putung. Mereka telah berada di tengah-tengah bulak persawahan. Bulak yang beberapa saat yang lampau jarang-jarang sekali disentuh tangan karena keadaan, tetapi kini sawah-sawah itu telah mulai tampak dibasahi oleh air. Sebentar lagi sawah-sawah itu pasti akan menjadi hijau kembali, apabila orang-orang Sangkal Putung telah yakin, bahwa tidak akan ada gangguan lagi yang bakal datang ke kademangan mereka. Agaknya beberapa orang telah mulai memperbaiki parit-parit dan mengalirkan air ke sawah-sawah yang selama ini tidak sempat ditanaminya.
Semakin dekat dengan induk kademangan, maka sawah-sawah telah menjadi hijau. Sawah-sawah itu masih tetap selalu digarap meskipun dalam keadaan yang kalut, karena sawah-sawah itu terletak tidak terlampau jauh dari induk kademangan.
Melihat induk kademangan yang terbentang di hadapannya, dada Sekar Mirah menjadi berdebar-debar. Beberapa lama ia tidak melihat wajah kampung halamannya, terasa seakan-akan sudah bertahun-tahun. Apalagi apabila diingatnya, bahwa hampir saja ia terjerumus ke dalam jurang yang terlampau dalam. Dan ia yakin bahwa ia pasti tidak akan bangkit kembali.”
Kademangan Sangkal Putung yang terbentang itu, seolah-olah seperti seorang raksasa yang baru berbaring diam. Warnanya yang hijau segar langsung terasa menyentuh hati.
Ketika Sekar Mirah melihat ujung daun nyiur yang bergerak-gerak disentuh angin, seolah-o1ah melambai menyambut kedatangannya, terasa kerongkongannya menjadi pepat. Ada sesuatu ingin meledak di dadanya. Mata gadis itu pun kemudian menjadi pedih. Bukan oleh debu yang menyentuhnya, tetapi kenangan yang ngeri dan harapan bagi masa mendatang, bercampur baur di dalam hatinya
Ki Tanu Metir yang berkuda di depan bersama Agung Sedayu pun merasakan, seolah-olah kademangan itu benar-benar telah siap menyambut kedatangan mereka
Tetapi dahi orang tua itu pun kemudian berkerut ketika dilihatnya debu mengepul di kejauhan.
Ternyata tidak hanya Ki Tanu Metir sajalah yang tertarik melihat debu yang keputih-putihan itu. Agung Sedayu, Swandaru, dan prajurit pun memperhatikannya dengan penuh perhatian.
“Orang-orang berkuda, Kiai,” desis Agung Sedayu. Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku kira mereka adalah para peronda dari Sangkal Putung.”
“Tetapi agaknya tidak hanya dua tiga orang. Mereka kira-kira terdiri dari lima enam orang, Kiai?”
Ki Tanu Metir tidak segera menjawab. Beberapa saat kemudian orang-orang berkuda itu menjadi semakin jelas. Ketika mereka muncul dari balik tanaman yang rimbun, tampaklah bahwa mereka berjumlah lima orang.
“Mereka memang peronda dari Sangkal Putung,” berkata Ki Tanu Metir kemudian.
“Mungkin,” sahut Agung Sedayu. Tetapi matanya hampir tidak berkedip melekat pada bintik-bintik yang berpacu menyongsong mereka.
Sejenak kemudian mereka melihat kelima orang itu berhenti sejenak. Kemudian tiga di antara mereka meneruskan perjalanan ke arah Ki Tanu Metir dan iring-iringanya.
“Kenapa sebagian dari mereka berhenti Kiai?” bertanya Agung Sedayu.
“Suatu sikap hati-hati. Ketiga orang itu harus melihat siapa yang datang. Kalau yang datang ini berbahaya bagi mereka, maka kedua orang yang berhenti itu sempat memberikan laporan atau tanda-tanda sandi kepada induk pasukannya, sementara yang lain sedang menghadapi bahaya itu”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi ia bertanya, “Apakah mereka mencurigai kita? Maksudku, mereka mencurigai iring-iringan yang belum mereka ketahui ini?”
“Mungkin.”
“Kalau demikian maka ada sesuatu yang penting terjadi di sini,” berkata Agung Sedayu.
“Sangkal Putung belum mendengar secara pasti bahwa Tambak Wedi sudah jatuh.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi karena Jati Anom dan Sangkal Putung sebenarnya tidak terlampau jauh, maka adalah suatu kemungkinan bahwa Widura telah mendengar berita tentang Tambak Wedi.
“Apakah Kakang Untara tidak segera mengirimkan utusan ke Sangkal Putung untuk memberitahukan keadaan Tambak Wedi?” bertanya Agung Sedayu.
“Aku kira belum. Kita adalah utusan-utusan itu. Dan kitalah yang akan memberitahukan kepada pamanmu Widura, bahwa Tambak Wedi telah jatuh. Seandainya Angger Untara mengirimkan utusan, maka Angger Untara pasti tidak yakin bahwa utusannya akan segera sampai. Apabila mereka bertemu dengan Ki Tambak Wedi, maka utusan itu pasti akan menjadi korban. Mungkin Angger Untara mempunyai perhitungan lain pula, supaya Sangkal Putung tetap berada dalam kewaspadaan dan tidak menjadi lengah. Sebab masih banyak sekali kemungkinan yang dapat terjadi. Mungkin masih ada satu dua orang Sanakeling yang terlepas dari kehancuran justru karena mereka berkeliaran di daerah ini pada saat Tambak Wedi jatuh. Atau mungkin hal-hal lain menurut pertimbangan Angger Untara.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia memandang lurus-lurus ke depan kepada tiga orang prajurit yang sudah menjadi semakin dekat.
Demikian para prajurit itu mengenali Ki Tanu Metir, Agung Sedayu, Swandaru, dan Sekar Mirah, serta prajurit-prajurit Pajang yang mengantarkan mereka, maka terdengar salah seorang dari mereka berteriak gembira, “He, kaukah itu, Kiai?”
“Ya, inilah aku,” sahut Ki Tanu Metir.
“Dengan Adi Sekar Mirah?”
“Ya,” jawab Ki Tanu Metir pula.
“Syukurlah. Ibunya selalu menangis.”
Mendengar kata-kata prajurit itu, Sekar Mirah yang berkuda di samping kakaknya tiba-tiba memotong, “Apakah ibuku selalu menangis saja?”
Prajurit itu menjadi ragu-ragu sejenak. Kemudian jawabnya, “Ya, tetapi setiap orang di Sangkal Putung yakin, bahwa kau akan dapat dibebaskan.”
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Ia semakin ingin cepat-cepat sampai. Tetapi ia tidak cukup pandai untuk berpacu. Karena itu maka ia menjadi gelisah. Serasa ingin ia meloncati jarak yang sudah menjadi semakin pendek.
Yang bertanya kemudian adalah Ki Tanu Metir, “Kalian agaknya terlampau hati-hati menghadapi keadaan. Kalian tinggalkan kedua kawan kalian. Bukankah dengan demikian kalian memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang berbahaya.”
Salah seorang dari ketiga prajurit itu mengangguk, “Ya. Kami memang sedang gelisah.”
“Kenapa?”
Prajurit itu tidak segera menjawab. Mereka bertiga menganggukkan kepala mereka kepada prajurit-prajurit Pajang yang datang dari Jati Anom.
Perwira yang memimpin rombongan kecil itu pun maju mendekati prajurit Sangkal Putung itu sambil bertanya, “Apakah yang telah menggelisahkan kalian di Sangkal Putung?”
Prajurit-prajurit itu menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi kemudian berkata, “Marilah. Kami antar kalian untuk menemui Ki Widura.”
“Kami akan menemuinya,” sahut perwira itu, “tetapi apa yang menggelisahkan itu?”
Prajurit itu berpaling kepada kawan-kawannya. Tetapi kawan-kawannya tidak dapat memberikan kesan apa pun kepadanya.
“Berkatalah,” perintah perwira itu.
“Baiklah,” sahut prajurit yang datang dari Sangkal Putung. “Kami telah kehilangan beberapa orang peronda.”
“He,” perwira itu terkejut. Ki Tanu Metir pun mengerutkan keningnya, sedang wajah Agung Sedayu dan Swandaru menjadi tegang karenanya.
Para prajurit yang datang dari Jati Anom pun segera mengerumuni ketiga orang prajurit itu sambil bertanya-tanya di dalam hati, apakah yang sudah terjadi di Sangkal Putung.
Dalam pada itu salah seorang prajurit yang datang dari Sangkal Putung itu berkata, “Marilah, aku ceriterakan sambil berjalan ke Sangkal Putung. Kedua kawan-kawanku yang menunggu itu supaya tidak menjadi salah paham, dan dengan serta-merta meluncurkan panah sendaren.”
Perwira Pajang itu mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, “Baiklah, marilah kita teruskan perjalanan ini.” Kepada Ki Tanu Metir ia berkata pula, “Marilah, Kiai.”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya pula sambil menyahut, “Marilah.”
Iring-iringan itu kemudian meneruskan perjalanan mereka ke Sangkal Putung bersama ketiga prajurit Pajang yang sedang meronda itu.
Perwira yang datang dari Jati Anom itu kemudian bertanya, “Kesiap-siagaan kalian ternyata cukup tinggi, sehingga kedua kawan-kawanmu itu perlu mempergunakan panah sendaren.”
“Ya, bahaya yang mengancam kami pun cukup berat.”
“Katakan, apa yang telah terjadi.”
Prajurit-prajurit itu menjadi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian salah seorang dari mereka berkata, “Sejak empat lima hari ini kami menjadi gelisah. Beberapa orang peronda kami hilang di luar induk kademangan.”
“Bagaimana mereka dapat hilang?”
“Itu yang tidak dapat kami ketahui. Beberapa dari mereka dapat kami ketemukan mayatnya. Tetapi ada juga yang belum.”
Perwira itu mengerutkan keningnya. Sekali ia berpaling memandangi wajah Ki Tanu Metir yang kini berkuda di belakangnya.
“Bagaimana pendapat, Kiai?” bertanya perwira itu. “Apakah ini ada hubungannya dengan jatuhnya Tambak Wedi dan lenyapnya para pemimpinnya?”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, “Tidak dapat disangsikan lagi, Ngger.”
“Memang Kakang Widura masih belum tahu tentang peristiwa di Tambak Wedi,” gumam perwira itu. Lalu kepada Ki Tanu Metir ia berkata pula, “Kiai, selain mengantarkan Kiai dan anak-anak muda ini, aku pun mendapat tugas khusus dari Kakang Untara.”
“Tugas apa itu, Ngger?”
“Menyampaikan pesan Kakang Untara tentang Tambak Wedi.”
“Aku memang sudah menyangka, tetapi aku tidak bertanya kepadamu. Apabila nanti Angger Widura telah mendengar laporanmu, maka ia pasti akan mampu memperhitungkan keadaan. Kita pun telah dapat menduga, siapa yang melakukan hal itu.”
Tiba-tiba Swandaru memotong, “Tambak Wedi. Pasti Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya.”
Hampir semua orang berpaling kepadanya. Dan hampir semua orang menganggukkan kepalanya. Hanya para prajurit dari Sangkal Putung sajalah yang saling berpandangan. Mereka tidak tahu alasan dari dugaan Swandaru yang tampaknya disetujui oleh semua orang dalam iring-iringan itu.
“Kenapa Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya?” bertanya salah seorang prajurit itu.
“Tak ada orang lain. Hal ini pula yang harus aku sampaikan kepada Ki Widura nanti,” sahut perwira itu. Lalu ia bertanya pula, “Berapa orang yang telah hilang dan terbunuh?”
“Delapan orang,” sahut salah seorang dari mereka.
“Delapan orang?” perwira itu mengulangi hampir bersamaan dengan Swandaru dan Agung Sedayu. Berkata perwira itu lebih lanjut, “Sudah terlampau banyak. Jumlah itu harus dihentikan.”
“Itulah sebabnya kami kini meronda dengan cara ini supaya korban tidak bertambah-tambah.”
“Lima orang prajurit tidak akan dapat melawan Ki Tambak Wedi bertiga,” berkata perwira yang datang dari Jati Anom itu.
“Itulah sebabnya kami harus memberitahukan kepada pasukan peronda induk di mulut kademangan itu, dengan panah sendaren. Peronda berkuda pasti akan segera datang.”
“Berapa orang?” bertanya perwira itu.
“Sepuluh orang. Kalau perlu dapat ditambah lagi.”
“Sepuluh orang itu pun hanya akan menambah jumlah kematian. Duapuluh lima orang, barulah memadai buat ketiga iblis yang sedang putus asa itu,” geram perwira itu pula.
Prajurit-prajurit dari Sangkal Putung itu tidak menyahut. Mereka masih belum tahu pasti apa yang sudah terjadi.
Sementara itu kedua kawannya yang menunggu di kejauhan menjadi termangu-mangu. Ketika mereka melihat ketiga kawannya dikerumuni oleh orang-orang yang ditemui, maka hati mereka menjadi berdebar-debar. Mereka telah menyiapkan busur-busur mereka untuk setiap saat dapat melepaskan panah-panah sendaren sebelum mereka datang membantu ketiga kawan-kawannya itu.
Tetapi kemudian mereka melihat iring-iringan itu meneruskan perjalanan dan tidak ada sesuatu yang terjadi. Meskipun demikian mereka masih tetap ragu-ragu. Busur mereka masih tetap berada di tangan, bahkan kemudian anak panah sendaren mereka telah mereka pasang pula, siap untuk meluncur di udara.
Baru ketika mereka dapat melihat dengan jelas, siapa yang datang bersama dengan ketiga kawan-kawannya itulah, maka mereka menjadi berlega hati. Hampir bersamaan mereka menarik nafas dalam-dalam untuk melepaskan ketegangan yang baru saja mencengkam mereka.
“Ki Tanu Metir,” desis yang seorang.
“Ya,” sahut yang lain. “Bukankah gadis itu Sekar Mirah?”
Prajurit yang lain mengerutkan dahinya, “Ya, itulah Sekar Mirah yang hilang itu. Tetapi justru ia menjadi bertambah cantik.”
Kawannya mengerutkan dahinya, tetapi ia tidak segera menyahut. Diamatinya iring-iringan yang semakin dekat itu. Dan dilihatnya iring-iringan yang semakin dekat itu. Dan dilihatnya pula kemudian Agung Sedayu, Swandaru, dan beberapa orang prajurit Pajang di bawah pimpinan seorang perwiranya.
“Hem, mereka cukup hati-hati,” desis salah seorang dari kedua prajurit itu. “Agaknya mereka mengetahui keadaan di sini sehingga iring-iringan itu cukup kuat apabila mereka menghadapi bahaya di sepanjang perjalanan.”
Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi yang dikatakannya, “Memang gadis itu agak kurus meskipun hanya beberapa hari saja ia meninggalkan rumahnya.”
“Hus,” desis yang lain, “apakah kau sudah bersedia berperang tanding dengan Sidanti? Bukankah gadis itu hilang diambil Sidanti?”
“Kenapa aku harus perang tanding?”
“Bukankah Sidanti menginginkan Sekar Mirah itu pula.”
“Biar sajalah Sidanti menginginkannya. Tetapi aku tidak.”
“Kenapa kau selalu memujinya?”
“Aku hanya memuji. Aku senang melihat sesuatu yang baik, yang cantik, yang tampan. Apakah kau tidak?”
Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ya, aku juga tertarik kepada semua yang baik.”
“Nah, bukankah kalau kau melihat sesuatu yang indah kau akan memujinya? Melihat Gunung Merapi yang biru kemerah-merahan di ujungnya itu, atau melihat air terjun yang tinggi, atau melihat padi yang menguning menggelombang dibuai angin yang silir, atau taman bunga yang sedang berkembang, atau ……..”
“Cukup. Contoh yang kau ucapkan sudah terlampau panjang.”
“Belum. Masih kurang satu, seorang gadis yang secantik Sekar Mirah?”
“Ya.”
“Apakah kau lebih senang melihat titah yang gemuk bulat dan selalu memberengut itu?”
“Tentu tidak.”
“Nah, itulah sebabnya aku memujinya. Gadis itu memang cantik.”
“Kau memang cukup cakap.”
“Untuk menjadi seorang pemimpin yang baik.”
Prajurit yang seorang mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia pun tersenyum. Ia sebenarnya masih ingin berbicara banyak, tetapi iring-iringan itu sudah terlampau dekat. Karena itu mereka pun menepi untuk memberi kesempatan mereka lewat.
Ketika iring-iringan itu berjalan di depan kedua prajurit itu, mereka pun menganggukkan kepala mereka, memberi hormat kepada mereka yang lewat, terutama kepada perwira prajurit Pajang yang ada di dalam iring-iringan itu pula.
Ketika iring-iringan in. sudah melampaui mereka, maka mereka pun menempatkan diri mereka di ujung belakang. Sejenak mereka terdiam diri, tetapi yang seorang segera mulai berbicara lagi. Katanya, “Nah, apakah kau masih juga tidak percaya bahwa gadis itu memang cantik. Lihatlah punggungnya, lehernya, rambutnya yang meskipun agak kusut.”
Kawannya berpaling. Alisnya tampak berkerut. Katanya sambil mengangkat panah sendarennya, “Lihat, mulutmu ternyata tidak berbeda dengan sendaren ini. Kalau sudah mulai mengiang, maka ia tidak akan berhenti sebelum jatuh di tanah.”
Sekali lagi prajurit yang satu itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun tersenyum pula.
“Ah,” katanya, “sebaiknya panah dan busur-busur ini disingkirkan saja. Bukankah sudah pasti tidak akan terpakai lagi.”
“Apakah akan kau buang saja.”
Yang lain menggelengkan kepalanya. Tetapi ia tidak menyahut.
Meskipun demikian, mulut lorong Kademangan Sangkal Putung sudah menjadi semakin jelas, seperti mulut goa yang selalu menganga. Namun dengan demikian hati Sekar Mirah menjadi semakin berdebar-debar. Terasa seolah-olah kudanya berjalan semakin lambat. Tetapi ia tidak berani mempercepat, karena ia belum terlampau biasa berkuda.
Kini iring-iringan itu pun akhimya memasuki mulut lorong itu pula. Satu-satu berurutan seperti ditelan oleh mulut seekor ular raksasa. Sejenak kemudian maka mereka itu pun telah hilang ke dalam induk Kademangan Sangkal Putung.
Sekar Mirah yang gelisah menjadi hampir tidak sabar menunggu kudanya memasuki halaman rumahnya. Setiap kali ia lihat orang-orang berlari-larian ke luar dari rumahnya sambil menyebut namanya. Gadis-gadis kawannya bermain berteriak-teriak memanggil namanya, sedang anak-anak muda saling berbisik di antara mereka, “Itu Sekar Mirah. Ternyata adik Untara telah berhasil membebaskannya.”
Sekar Mirah sendiri hampir tidak dapat menahan perasaan harunya. Tetapi ia tidak mau berhenti di antara kawan-kawan gadisnya. Ia ingin segera pulang. Ia ingin segera menyatakan diri kepada ibunya, bahwa ia masih Sekar Mirah yang dulu. Sekar Mirah seperti saat meninggalkan Sangkal Putung.
Kabar tentang Sekar Mirah itu segera sampai ke kademangan mendahului Sekar Mirah sendiri. Beberapa orang berlari-larian meloncat pagar-pagar batu menyampaikan kabar kedatangan Sekar itu kepada ayah ibunya.
Sesaat kademangan itu dicengkam oleh perasaan haru dan tegang. Widura yang berada di kademangan itu menjadi berdebar-debar pula.
Namun tiba-tiba mereka terpaksa menyusul ibu Sekar Mirah yang tidak dapat menahan hati, berlari-larian turun tangga pendapa menyongsong anak gadisnya yang kembali pulang.
Meskipun Ki Demang memanggilnya untuk menunggu saja di halaman, namun Nyai Demang sama sekali sudah tidak menghiraukannya. Dengan mata yang basah dan rambut terurai Nyai Demang berlari melintasi halaman. Beberapa orang prajurit yang melihatnya berdiri saja termangu-mangu, tanpa dapat berbuat apa pun, meskipun mereka tahu, bahwa Ki Demang sedang memanggil-manggil isterinya itu.
Tetapi ternyata Nyai Demang tidak perlu berlari-larian terlampau jauh. Tiba-tiba, ia melihat iring-iringan muncul di regol halaman.
Ketika dilihatnya Sekar Mirah yang kemudian berada di paling depan bersama kakaknya Swandaru, maka tiba-tiba perempuan itu pun menjerit tinggi menyebut nama anaknya yang pernah hilang itu
Sekar Mirah pun segera melihat ibunya berlari-larian menyongsongnya. Ia kini tidak lagi dapat menahan hatinya. Dengan serta-merta ia meloncat turun dari kudanya. Tetapi karena terlampau tergesa-gesa dan kurang dapat membawakan diri, maka gadis itu terjatuh di tanah.
“Mirah,” Swandaru mencoba mencegahnya. Tetapi terlambat. Gadis itu telah jatuh menelungkup.
Hampir bersamaan Swandaru dan Agung Sedayu meloncat dari punggung kudanya pula, disusul oleh Ki Tanu Metir dan para prajurit. Dengan cekatan Swandaru menolong adiknya, mengangkat dan memapahnya berdiri.
“Mirah,” sekali lagi terdengar pekik ibunya.
Ternyata Sekar Mirah tidak dapat merasakan sakit pada tubuhnya sendiri. Tiba-tiba ia pun meronta dan melepaskan diri dari tangan kakaknya, langsung berlari kepada ibunya.
Keduanya pun kemudian berpelukan. Keduanya melepaskan tekanan-tekanan perasaan yang berdesakan di dalam dada masing-masing, sehingga meledaklah tangis yang mengharukan.
Swandaru, Agung Sedayu, Ki Tanu Metir, Widura, dan Ki Demang sendiri dan orang-orang lain yang menyaksikan, berdiri saja termangu-mangu. Dibiarkannya kedua perempuan ibu dan anak itu melepaskan perasaannya.
Sejenak halaman kademangan itu seolah-olah dicengkam oleh suasana yang tegang. Yang terdengar hanyalah suara tangis Nyai Demang Sangkal Putung dan anaknya Sekar Mirah.
Sesaat kemudian, ketika tangis mereka sudah menurun, maka berkatalah Ki Demang Sangkal Putung dengan nada yang dalam, “Nyai, bawalah anakmu itu masuk.”
Keduanya tidak menyahut. Keduanya tidak mengucapkan kata-kata sepatah kata pun, kecuali tangis mereka. Tetapi titik-titik air mata mereka telah menyatakan perasaan mereka sampai tuntas. Melampaui kata-kata yang beribu-ribu jumlahnya.
“Nyai,” sekali lagi terdengar suara Ki Demang Sangkal Putung, “bawalah anakmu masuk. Mungkin ia lelah, dan mungkin ia lapar.”
Nyai Demang menganggukkan kepalanya. Kemudian dibimbingnya Sekar Mirah masuk ke dalam rumah, melintasi pendapa, kemudian pringgitan dan langsung dibawanya ke ruang dalam.
Ketika Sekar Mirah telah dibimbing masuk, maka barulah orang-orang yang berada di halaman itu mulai bergerak. Mereka mulai berbisik-bisik dan bercakap-cakap di antara mereka. Beberapa orang prajurit sedang mempercakapkan kawan-kawan mereka yang datang dari Jati Anom bersama dengan Ki Tanu Metir, Agung Sedayu, dan Swandaru dipimpin oleh seorang perwira.
Ki Tanu Metir, Agung Sedayu, dan Swandaru mulai mengangkat kepala mereka, memandang berkeliling. Dipandanginya wajah-wajah yang sudah lama ditinggalkannya. Beberapa orang yang akrab dengan mereka segera mendekatinya dan bercakap-cakap dengan asyiknya. Hudaya, Sonya, dan beberapa orang lain. Jagabaya Sangkal Putung dan anak-anak muda yang lain.
Tetapi Ki Tanu Metir, Agung. Sedayu, dan Swandaru itu pun terkejut ketika kemudian seorang laki-laki berdiri di hadapan mereka sambil tersenyum. Rambutnya yang telah mulai memutih serta kerut-merut di dahinya menyatakan bahwa sudah melampaui setengah abad ia menghuni dunia ini.
“Kau, Adi,” desis Ki Tanu Metir itu.
“Ya, Kakang Tanu Metir. Aku. sekarang berada di kademangan ini.”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan sejenak kemudian ia berkata, “Syukurlah. Apakah kau sudah dibebaskan dari setiap persoalan?”
“Aku tidak tahu, Kakang. Tetapi aku mendapat kesempatan dan kepercayaan membantu Angger Widura di sini.”
Ki Tanu Metir masih mengangguk-anggukan kepalanya, Ketika ia berpaling dan memandangi wajah Widura, maka Widura itu pun menganggukkan kepalanya pula.
“Sudah berapa lama kau berada di tempat ini?” bertanya Ki Tanu Metir.
Tetapi sebelum ia menjawab, maka berkatalah Widura, “Marilah. Aku persilahkan Kiai masuk.”
“Marilah,” sambung Ki Demang. “Ah, maafkan. Aku hampir kehilangan akal ketika aku melihat gadisku kembali.”
Mereka pun segera masuk ke pringgitan. Ki Tanu Metir dengan kawannya berbicara, Agung Sedayu, Swandaru. Ki Demang Sangkal Putung, Widura, dan perwira yang datang dari Jati Anom, beserta beberapa orang lain.
Ketika mereka duduk di dalam pringgitan itu, mereka masih mendengar isak Nyai Demang dan Sekar Mirah. Mereka mendengar pula beberapa perempuan bertanya-tanya tidak henti-hentinya, seperti berpuluh-puluh burung sedang berkicau bersama-sama.
Setelah saling menanyakan keselamatan masing-masing, maka Ki Demang pun kemudian berkata, “Tidak ada kesenangan melampaui kesenanganku hari ini, Ngger. Ternyata anakku itu dapat aku ketemukan kembali.”
Tak ada yang menyahut, tetapi hampir semuanya menganggukkan kepala mereka.
“Aku harus mengadakan keramaian untuk menyambut anakku itu,” berkata Ki Demang kemudian. Tetapi Widura yang duduk di sampingnya agaknya mempunyai pendapat lain.
Sebagai seorang perwira yang memimpin prajurit-prajurit Pajang di Sangkal Putung ia mempunyai pertimbangan-pertimbangan tentang keamanan dan keselamatan daerahnya. Keramaian dalam keadaan ini agaknya masih belum dapat disetujui oleh Widura.
Meskipun demikian Widura tidak segera memotong kata-kata Ki Demang yang dilanjutkannya, “Aku akan memotong kerbau dan sapi berapa saja diperlukan untuk menjamu seluruh penduduk Kademangan Sangkal Putung dan para prajurit yang berada di sini. Kegembiraan ini bukan saja kegembiraan buat keluargaku, tetapi juga kegembiraan seluruh rakyat Sangkal Putung. Meskipun kita tidak dapat menangani pembebasan Sekar Mirah itu sendiri, tetapi dengan demikian Sangkal Putung telah terlepas dari aib yang akan dapat menodai sepanjang umur kita, bahkan akan selalu dikenang oleh anak cucu kita bahwa kita pernah kehilangan seorang gadis tanpa berbuat sesuatu. Tetapi sekarang, atas bantuan beberapa pihak, Sekar Mirah telah terbebaskan. Aku harus menyatakan kegembiraan itu. Sebagai pernyataan terima kasihku, terutama kepada Yang Maha Kuasa, yang telah memperkenankan semuanya itu terjadi.”
Dibiarkannya Ki Demang melimpahkan segala perasaannya. Widura mengerti, bahwa perasaan yang demikian itu tidak akan dapat ditahan-tahankannya. Apabila pelepasan perasaannya itu terdapat dikendalikan.
Tetapi agaknya Ki Demang telah merasa puas melepaskan kata-kata yang menyesak di dadanya. Orang tua itu pun kemudian terdiam.
Sejenak ruangan itu menjadi sepi, seperti sedang dijamah hantu. Masing-masing duduk sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Sedang di ruang dalam masih terdengar isak tangis Nyai Demang dan Sekar Mirah. Bahkan beberapa perempuan yang lain dan pelayan Sekar Mirah yang gemuk itu pun menangis pula. Lebih keras dari Sekar Mirah sendiri.
“Untung, bukan aku yang diambilnya,” tangis pelayan yang gemuk itu. “Seandainya aku maka aku pasti telah mati membeku.”
“Siapa yang mengambilmu itu?” bertanya suara yang lain.
“Seandainya, ya, seandainya saja yang diambil Sidanti itu aku, maka aku pasti akan mati di tengah jalan, selama aku dibawa ke sarang hantu itu.”
“Buat apa Sidanti mengambilmu?” terdengar suara lain pula.
Tiba-tiba perempuan yang gemuk itu. Menyadari dirinya. Sekar Mirah diambil karena kecantikannya. Karena itu maka jawabnya, “Tidak. Sidanti tidak akan mengambil aku. Tetapi seandainya orang lain pun yang mengambil, aku akan mati pula.”
“Tidak ada orang yang berpikir begitu gila untuk mengambilmu,” teriak Swandaru jengkel dari pringgitan. “Orang itu harus membawa gerobak untuk mengangkutmu.”
Pelayan yang gemuk itu terkejut. Ia tidak menyangka bahwa suaranya itu didengar oleh orang-orang yang duduk di pringgitan. Dengan demikian maka mulutnya pun segera terkatup. Bukan saja ia tidak berani berbicara lagi, tetapi tangisnya pun tiba-tiba terdiam pula.
Dan sejenak kemudian barulah Widura berkata, “Ki Demang. Aku akan senang sekali ikut menyelenggarakan keramaian itu. Para prajurit pun pasti akan senang sekali menerima rangsum yang jauh lebih baik dari rangsumnya sehari-hari. Apalagi apabila Ki Demang menyelenggarakan wayang beber semalam suntuk. Alangkah senangnya. Tetapi Ki Demang, aku kira kita harus mempertimbangkan waktu. Kapan saja keramaian itu dapat diadakan, sesudah kita pasti bahwa keramaian itu tidak akan terganggu.”
Wajah Ki Demang tiba-tiba menjadi berkerut-merut, Perlahan-lahan ia bergumam, “Ya, ya. Benar. Aku melupakan keadaan terakhir di kademangan ini. Setelah beberapa saat kami bebas dari ketakutan dan kegelisahan, tiba-tiba suasana yang demikian itu kini dimulai lagi.
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya, “Ya. Itu harus dipertimbangkan. Tamu-tamu kita ini pun harus tahu keadaan kita di sini.”
“Aku sudah mendengar,” sahut perwira yang datang dari Jati Anom.
“Dari siapa kau mendengarnya?”
“Dari para peronda yang aku temui di luar induk kademangan.”
“Begitulah keadaan kami di sini,” berkata Widura. “Aku sudah berusaha untuk mencari sebab dari kematian dan hilangnya beberapa orang peronda. Tetapi aku belum menemukannya.”
“Kau akan segera mengerti,” sahut perwira itu. “Aku ingin mendapat kesempatan untuk menyampaikan pesan Ki Untara kepadamu, Kakang Widura.”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Tidak ada orang lain di sini. Katakanlah.”
Perwira itu menebarkan pandangan matanya berkeliling. Seolah-olah ingin mengenal setiap orang yang ada di dalam pringgitan itu. Kemudian dipandanginya pintu yang terbuka, yang menghubungkan ruangan itu dengan ruangan dalam.
“Apakah perempuan-perempuan itu tidak boleh mendengarnya?” bertanya Ki Demang Sangkal Putung.
Perwira itu mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Sebenarnya tidak ada keberatannya, tetapi apakah berita ini dapat membuat mereka gelisah dan orang-orang di seluruh kademangan ini menjadi gelisah, itulah soalnya.”
“Tutuplah pintu itu, Swandaru,” berkata Ki Demang. “Kalau Angger berbicara tidak terlampau keras mereka tidak akan mendengar.”
Perwira itu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Sama sekali bukan rahasia,” katanya. Tetapi ia terdiam lagi. Memandanginya seorang yang rambutnya sudah memutih yang duduk di samping Ki Tanu Metir.
Rasa-rasanya ia pernah melihat orang itu, tetapi perwira itu tidak dapat lagi mengingatnya, kapan dan di mana. Sejak ia datang ke Sangkal Putung untuk menggabungkan diri pada Untara, maka ia tidak melihat orang itu.
“Apakah ia orang kademangan ini yang pada saat aku singgah di sini sebelum aku berangkat ke Jati Anom kebetulan tidak ikut menemui prajurit-prajurit Pajang di sini?” pertanyaan itu timbul di dalam hatinya. Tetapi kemudian dibantahnya sendiri, “Bukan, pasti bukan. Ia bukan sekedar orang kademangan. ini. Sorot matanya adalah sorot mata yang terlampau tajam dan dalam.”
Agaknya Widura melihat keragu-raguan perwira itu, sehingga dengan demikian maka ia perlu bertanya kepada perwira itu, “Apakah kau belum pernah melihatnya?”
Perwira itu mengerutkan keningnya. Dan dijawabnya dengan jujur, “Aku merasa pernah mengenalnya, tetapi di mana dan kapan aku tidak ingat lagi.”
“Aku kira kau memang pernah melihatnya. Di Jipang barangkali?”
Perwira itu mencoba mengingat-ingat. Sebelum pecah perang yang sama-sama tidak dikehendaki itu, antara Pajang dan Jipang, ia memang pernah pergi ke Kadipaten Jipang, menjadi salah seorang pengawal Ki Gede Pemanahan.
“Apakah orang ini orang Jipang, dan kenapa ia berada di sini?” pertanyaan itu tumbuh pula di dalam hatinya. “Sayang aku tidak sempat melihat orang-orang Jipang yang menyerah sebelum aku bertugas di sini itu. Mungkin orang ini salah seorang daripadanya.”
Orang tua yang sedang dipercakapkan itu sendiri hanya tersenyum-senyum saja. Sekali ia menengadahkan wajahnya dan sekali-sekali kepalanya ditundukkannya.
“Kau masih. belum ingat?” bertanya Widura.
Perwira itu menggelengkan kepalanya, “Belum.”
“Nah, Kiai. Cobalah memperkenalkan dirimu kepada utusan Untara ini. Sebab kelak Untara-lah yang akan menerima Kiai di sini secara resmi.”
Orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya dalam nada yang datar, “Ya, Ngger. Aku memang termasuk salah seorang dari Kadipaten Jipang. Mungkin Angger memang pernah melihat aku.”
Perwira itu mengangguk-angguk pula.
“Seperti barangkali Angger pernah juga melihat Ki Tambak Wedi di Kepatihan Jipang, karena Ki Tambak Wedi pun termasuk salah seorang kawan dari Ki Patih Manahan.”
Perwira itu mengerutkan keningnya. Dari keterangan itu ia dapat mengambil kesimpulan bahwa orang tua ini pun adalah salah seorang kawan Ki Patih Mantahun. Patih yang hampir-hampir tidak ada lawannya itu. Untunglah bahwa Pajang juga memiliki orang-orang yang mampu mengimbangi kekuatan dan kesaktian ki Patih Mantahun.
Dengan demikian maka orang ini pun pasti seorang yang memiliki kekuatan ilmu seperti Ki Patih Mantahun dan Ki Tambak Wedi.
“Tetapi apa kerjanya di sini?” ia bertanya pula kepada dirinya sendiri.
Orang tua itu melihat berbagai pertanyaan bergelut di dalam pandangan mata perwira yang selalu memandanginya dengan saksama. Maka katanya kemudian, “Angger pasti tidak akan terkejut mendengar namaku. Bahkan mungkin belum pernah mendengarnya sama sekali, karena aku hanya seorang abdi saja di Kepatihan Jipang. Namaku adalah Sumangkar.”
“He,” perwira itu terperanjat. Nama itu telah pernah didengarnya dan bahkan cukup menggetarkan jantungnya.
“Sumangkar,” ia mengulanginya.
“Ya, Ngger, aku adalah Sumangkar. Seorang abdi Kepatihan Jipang, yang hanya karena kebetulan saja aku menjadi saudara seperguruan Ki Patih Mantahun.”
Perwira itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ditatapnya wajah Widura, seolah-olah ia ingin mendapat keterangan, kenapa Sumangkar itu berada di Sangkal Putung.
Pertanyaan itu sebenarnya tidak saja bergolak di dalam dada perwira itu saja, tetapi di dalam dada Swandaru, Agung Sedayu, dan bahkan Ki Tanu Metir.
Widura dapat menangkap siratan sorot mata perwira itu dan mereka yaag baru saja datang dari Jati Anom. Karena itu maka ia pun berkata, “Mungkin kehadiran Paman Sumangkar di sini dapat menumbuhkan berbagai macam pertanyaan. Pertanyaan yang sebenamya tumbuh pula di dalam dadaku. Tetapi aku kira Paman Sumangkar dapat pula menjelaskannya.”
Orang tua yang rambutnya telah menjadi keputih-putihan itu berkata, “Ya. Jangankan pada diri Angger sekalian, dan pada Kakang Tanu Metir yang sering menyebut dirinya Kiai Gringsing ini. Aku sendiri pun semula terkejut menerima keputusan Ki Gede Pemanahan, bahwa aku harus pergi ke Sangkal Putung.”
“Apa katanya?” potong Ki Tanu Metir.
“Aku diperbantukan kepada Angger Untara dan Angger Widura. Menurut perhitungan Ki Gede Pemanahan, Ki Tambak Wedi pasti akan menumbuhkan bahaya yang akan dapat lebih besar dari bahaya yang pernah ditimbulkan oleh Tohpati di daerah ini. Ki Gede Pemanahan menilai Tohpati masih lebih baik dari Ki Tambak Wedi. Tohpati, meskipun masih cukup muda, tetapi ia memiliki kematangan sikap. Ia bukan seorang yang membiarkan dirinya diombang-ambingkan oleh nafsu saja. Tohpati telah memilih sasaran yang dianggapnya perlu, dan ia tidak akan berbuat lain daripada menuju kepada sasaran yang telah ditentukannya, meskipun ada juga satu dua orang bawahannya yang sering berbuat lain. Tetapi, Tambak Wedi adalah seorang yang licik. Seorang yang jauh lebih berbahaya dari Tohpati. Justru karena ilmunya yang tinggi dan kelicikannya itulah.”
Ki Tanu Metir dan orang-orang lain yang mendengar keterangan Sumangkar itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka dapat mengerti alasan Ki Gede Pemanahan untuk mengirimkan seseorang yang cukup kuat menghadapi Ki Tambak Wedi. Tetapi kenapa yang dikirim justru Sumangkar?
Meskipun pertanyaan itu tidak terucapkan, namun agaknya orang tua itu dapat menangkap dari sorot mata, beberapa orang yang duduk di pendapa itu. Maka katanya, “Aku tidak tahu kenapa pilihan itu jatuh kepadaku. Aku tidak tahu kenapa Ki Gede Pemanahan tidak menunjuk orang lain. Tetapi dengan demikian aku mengucapkan diperbanyak terima kasih atas kesempatan ini. Mungkin aku dianggap tidak berbahaya lagi bagi Pajang, atau barangkali dosaku tidak dianggap terlampau besar sehingga cukup alasan untuk menggantung aku di alun-alun. Aku tidak tahu.”
Ki Tanu Metir masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Dosamu memang tidak terlampau besar. Di saat-saat terakhir kau menunjukkan sikap yang dapat menolong dirimu sendiri.”
“Penyerahan itu?” bertanya Sumangkar.
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya. Penyerahan itu. Kita dapat membedakan sikap yang didasari oleh alasan yang berbeda untuk menyerah. Dan kau ternyata menyerah karena di dalam dirimu telah tumbuh kesadaran, bahwa perlawananmu tidak akan berguna. Bukan karena keringkihan pasukanmu, tetapi secara lahir maupun batin, perbuatan maupun tujuan, kau menganggap bahwa perlawanan itu tidak akan ada gunanya buat kepentingan apa pun.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Mungkin alasan itu pulalah yang dipakai oleh Ki Gede Pemanahan atas persetujuan Adiwijaya.
“Satu-satunya yang dapat dimengerti adalah alasan itu.”
“Ternyata bukan aku saja yang mendapat pengampunan. Setelah dipertimbangkan, maka sebagian kecil dari para prajurit Jipang telah dipekerjakan pula oleh Ki Gede Pemanahan untuk membantu pasukan-pasukan Pajang yang sedang bertugas. Selebihnya masih dalam pengawasan.”
“Ya, perlakuan atasmu dan orang-orangmu yang menyerah akan berbeda sekali dengan orang-orang Jipang yang menyerah di Tambak Wedi,” sahut Ki Tanu Metir.
“Bagaimana dengan mereka?” bertanya Sumangkar. Ki Tanu Metir tidak menjawab. Dipandanginya perwira yang memimpin serombongan kecil prajurit yang datang bersamanya. Agaknya prajurit itu mengerti maksud Kiai Gringsing, bahwa kuwajibannyalah untuk menyampaikan persoalan prajurit-prajurit Pajang yang telah menduduki Tambak Wedi.
Perwira itu menarik nafas da1am-dalam. Kemudian katanya, “Inilah yang akan aku sampaikan kepada Kakang Widura. Dengan demikian Kakang Widura akan mendapat gambaran yang lengkap tentang keadaan di Jati Anom dan di padepokan Tambak Wedi.”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Ya, aku memerlukan keterangan itu selengkap-lengkapnya supaya aku dapat memperhitungkan keadaanku di sini.”
Sekali lagi perwira itu memandangi Sumangkar yang duduk di samping Kiai Gringsing. Orang itu adalah orang yang penting bagi Jipang. Namanya telah dikenalnya dengan baik tetapi orangnya baru sekali dua kali dilihatnya, sehingga ketika ia melihat kali ini untuk pertama kali, ia sama sekali tidak menyangka bahwa orang itulah yang bernama Sumangkar.
Tetapi Ki Gede Pemanahan telah mengirimkannya kepada Widura pasti dengan bukti-bukti yang dapat meyakinkan Widura, sehingga Widura dapat menerimanya dengan tanpa ragu-ragu.
Widura yang segera ingin mendengar keterangan perwira itu tentang Tambak Wedi, melihat bahwa perwira itu masih disaput oleh keragu-raguan Betapapun tipisnya. Karena itu, maka ia berkata, “Kedatangan Ki Sumangkar kemari disertai oleh dua prajurit yang membawa penjelasan dari Ki Gede Pemanahan di atas rontal.”
Perwira itu mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia pun tersenyum, seperti juga Sumangkar yang tersenyum pula mendengar penjelasan Widura itu.
“Baiklah,” berkata perwira itu, “aku akan bercerita tentang Tambak Wedi kecuali pesan-pesan yang khusus hanya dapat aku sampaikan kepada Kakang Widura di sini.”
“Ya,” sahut Widura.
Maka perwira itu pun kemudian menceritakan apa yang telah terjadi di Padepokan Tambak Wedi. Semuanya. Tidak ada yang dilampauinya. Sejak Ki Tanu Metir sampai di Jati Anom dan berhubungan dengan anak muda yang bernama Wuranta. Kemudian permainan Wuranta yang berbahaya. Hubungan Wuranta dengan Alap-alap Jalatunda dan kemudian keretakan hubungan antara Alap-alap Jalatunda dan Sidanti.
Orang-orang yang berada di ruangan itu mendengarkan keterangan perwira itu dengan saksama. Swandaru, Agung Sedayu, dan Ki Tanu Metir yang mengalami peristiwa-peristiwa itu sendiri pun, mendengarkannya dengan penuh minat. Kadang-kadang terasa betapa berbahaya permainan yang telah mereka lakukan dan dilakukan oleh Wuranta. Tetapi pada saat-saat mereka melakukannya, maka bahaya itu seolah-olah tidak mereka lihat.
Urung-urung di Padepokan Tambak Wedi itu pun telah direnanginya. Swandaru masih teringat, bahwa kepalanya telah membentur langit-langit urung-urung itu. Seandainya benturan itu terjadi cukup keras, dan ia pingsan selagi masih berada di bawah urung-urung itu, maka ia pasti tidak akan, dapat menyelesaikan tugasnya dan bertemu kembali dengan adiknya. Tetapi Betapapun berbahayanya, namun usaha harus dilakukan.
Widura seolah-olah terpaku mendengar ceritera itu. Terbayang peristiwa-peristiwa itu terjadi di depan matanya. Ternyata menghadapi Tambak Wedi tidak lebih ringan dari menghadapi Tohpati.
Hanya karena keadaan yang khusus sajalah, maka Untara dapat menyelesaikan tugasnya dengan cepat. Keadaan yang memberinya kesempatan. Ternyata Sekar Mirah yang diambil oleh Sidanti dari Sangkal Putung hanya mempercepat keruntuhan Tambak Wedi itu saja.
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya Widura itu berkata, “Jadi kini Padepokan Tambak Wedi itu telah pecah?”
“Ya,” jawab perwira yang ditugaskan oleh Untara itu.
“Dan Ki Tambak Wedi sendiri beserta Sidanti dan Argajaya mampu melepaskan diri?”
“Ya.”
“Dengan demikian kita dapat menilai keadaan,” gumam Widura seolah-olah kepada diri sendiri. “Kehilangan yang kami alami di sini pasti ada sangkut pautnya yang erat dengan ketiga orang yang berhasil lolos itu.”
“Itu sudah pasti.”
Widura menarik nafas panjang. Tanpa dikehendakinya maka ia berpaling kepada Ki Sumangkar. Katanya, “Agaknya perhitungan Ki Gede Pemanahan cukup tajam. Meskipun tidak tepat benar, tetapi kelicikan Ki Tambak Wedi benar-benar telah dibuktikannya tanpa malu-malu. Aku di sini telah kehilangan beberapa orang peronda. Agaknya orang-orang itu ingin melepaskan dendamnya.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Jawabnya, “Ya, orang tua itu benar-benar tidak tahu diri.”
“Kemudian adalah kewajibanmu, Adi,” sahut Ki Tanu Metir. “Kau, harus menyelesaikan Tambak Wedi bersama kedua orang yang mengikutinya itu.”
Sumangkar tersenyum. Ditatapnya wajah Ki Tanu Metir. Kemudian katanya, “Perhitungan Ki Gede Pemanahan yang lain juga cukup mengenai sasaran. Menurut Ki Gede Pemanahan, meskipun di Sangkal Putung ada seorang yang bernama Kiai Gringsing, tetapi orang itu tidak dapat diikat oleh suatu kuwajiban, karena ia bukan seorang prajurit. Begitu?”
“Ah,” Ki Tanu Metir berdesah.
“Ki Gede Pemanahan belum dapat mengerti dengan tepat, siapakah Ki Tanu Metir itu. Ia hanya menduga dari keterangan yang didengarnya. Dari puteranda Mas Ngabehi Loring Pasar, dan dari orang-orang yang pernah bergaul rapat dengan Kakang. Akhirnya Ki Gede Pemanahan berkata, “Orang itu adalah orang yang mempunyai perhitungan-perhitungan tersendiri. Karena itu, maka harus ada orang lain yang pasti dapat dihadapkan kepada Ki Tambak Wedi yang dapat saja berbuat aneh.” Dan orang itu adalah aku.”
Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya. Kemudian bertanya, “Apa kata Ki Gede tentang aku?”
Sumangkar Tersenyum. “Tidak apa-apa. Hanya begitulah. Ki Gede hanya dapat menduga-duga, siapakah Ki Tanu Metir itu.”
“Kenapa harus menduga-duga. Bukankah setiap orang di sini tahu, bahwa orang inilah, dukun inilah yang bernama Ki Tanu Metir.”
“Salahmu sendiri,” sahut Sumangkar.
“Kenapa pula salahku?”
“Kakang Tanu Metir tidak pernah berdiri berhadapan langsung dengan Ki Gede Pemanahan agaknya. Kalau Kiai Gringsing tidak selalu menghindar ketika Ki Gede datang kemari, maka Ki Gede akan dapat berkata dengan tegas. O, Ki Tanu Metir itu adalah orang ini, dukun yang aneh dari Dukuh Pakuwon.”
“Ki Gede Pemanahan memang belum pernah mengenal aku.”
“Ya, memang belum pernah mengenal Ki Tanu Metir atau Kiai Gringsing. Tetapi dalam bentuk-bentuknya yang lain?”
“Ah, sudahlah. Kau dan Ki Gede Pemanahan bersama-sama sedang memimpikan hal-hal yang tidak pernah ada,” potong Kiai Gringsing. Kemudian kepada Widura ia berkata, “Maaf Angger, agaknya percakapan ini agak berkisar kepada persoalan yang tidak bermanfaat bagi Angger di sini.”
Tetapi Kiai Gringsing justru melihat Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku menemukan Kiai Gringsing dalam keadaan yang khusus. Kemudian aku menyangka bahwa aku adalah orang yang akhirnya dapat mengenalnya setelah Kiai tidak lagi bermain-main dengan topeng. Ternyata topeng Kiai berangkap tujuh.”
“Ah, ada-ada saja. Kalian sudah dijalari penyakit mimpi. Sudahlah. Sekarang bagaimana dengan Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya? Kalian hanya membuat anak-anakku menjadi semakin bingung. Untunglah Angger Agung Sedayu pernah mendatangi aku di rumahku, sehingga baginya tidak ada lagi persoalan tentang Ki Tanu Metir.”
Agung Sedayu tidak menyahut. Tetapi sebenarnya pertanyaan yang demikian itu sudah lama pula bersarang di dalam dirinya. Pertama sekali ia melihat orang tua itu sebagai seorang dukun. Hanya seorang dukun yang selalu mencoba mengobati orang-orang yang sakit dengan berbagai macam dedaunan. Hanya itu, tidak lebih. Namun adalah mengejutkan sekali bahwa Ki Tanu Metir itu mampu melindungi kakaknya. Bahkan kemudian mengambil peranan yang pasti di dalam penyelesaian masalah orang-orang Jipang dan kemudian di Padepokan Tambak Wedi.
Tetapi beberapa orang lain di dalam ruangan itu benar-benar duduk terpaku tanpa dapat mengerti arah pembicaraan itu. Meskipun demikian mereka membiarkan saja persoalan itu berlangsung. Tetapi ternyata Ki Tanu Metir sendirilah yang mengakhirinya, dan menggeser pembicaraan itu kembali kepada persoalan Ki Tambak Wedi.
“Ternyata Ki Gede Pemanahan telah berbuat tepat, bahkan seandainya Tambak Wedi belum pecah,” berkata Ki Tanu Metir kemudian. “Kedatangan adi pasti akan sangat berarti.”
“Mudah-mudahan,” sahut Sumangkar.
“Lalu bagaimana menurut pertimbanganmu, Angger Widura,” bertanya Ki Tanu Metir itu kemudian.
Widura tidak segera menjawab. Perlahan-lahan ia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil mempertimbangkan segala pembicaraan itu di dalam hatinya. Ia kini mendapat gambaran yang semakin jelas tentang peronda-perondanya yang hilang. Tidak ada orang lain yang melakukan pembunuhan terhadap prajurit-prajurit itu selain Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya untuk sekedar memuaskan hatinya. Mereka sudah pasti tidak akan dapat lagi mengharap untuk merebut Sangkal Putung hanya bertiga saja atau mungkin satu dua orang yang dapat mereka temui di perjalanan mereka karena kebetulan mereka tidak berada di Padepokan Tambak Wedi pada saat padepokan itu pecah. Betapapun saktinya hantu lereng Merapi itu, tetapi mereka tidak akan dapat menghadapi pasukan Widura dan anak-anak muda Sangkal Putung segelar-sepapan.
Karena itu, maka yang dapat mereka lakukan adalah membuat kegelisahan dan kecemasan dengan cara yang sangat licik dan kejam.
Tetapi, persoalan itu kini sudah jelas bagi Widura. Ia sudah dapat membayangkan apa yang terjadi, sehingga dengan demikian ia akan dapat menghadapinya. Tidak cukup dengan menambah jumlah para peronda menjadi lima orang. Tetapi harus dilipatkan.
Sejenak kemudian barulah ia menjawab pertanyaan Ki Tanu Metir. “Kita harus lebih hati-hati Kiai. Iblis itu seo1ah-olah dapat berada di segala tempat pada setiap saat dan kemudian dapat melenyapkan diri dengan tiba-tiba.”
Tetapi Ki Tanu Metir menggeleng, “Tidak terlampau sulit, Ngger. Setiap kali mereka bertemu dengan para peronda, maka peronda-peronda itu lalu mereka bunuh. Mereka tidak perlu dengan tergesa-gesa pergi. Bukankah sebelum peristiwa-peristiwa ini terjadi, setiap peronda tidak lebih dari dua orang bersama-sama.”
Widura menganggukkan kepalanya. “Ya Kiai.”
“Nah, sekarang Angger harus berbuat lain.”
“Ya.”
“Tetapi di Sangkal Putung kini telah tinggal seorang yang dapat dihadapkan langsung kepada Ki Tambak Wedi, Adi Sumangkar ini,” berkata Ki Tanu Metir kemudian.
“Dan Kiai Gringsing,” sambung Sumangkar.
Keduanya tersenyum. Namun tampaklah bahwa masih ada persoalan yang membayang pada Ki Tanu Metir. Meskipun ia masih juga tersenyum, namun tampaklah ia mengangguk-angguk perlahan.
“Adi,” berkata Ki Tanu Metir itu kemudian, keningnya tampak berkerut. “Ada daerah lain yang dapat mengalami nasib seperti daerah ini. Bahkan lebih parah, karena di sana tidak ada kekuatan seperti di Sangkal Putung.”
Sumangkar mengerutkan keningnya dan bahkan Widura segera bertanya, “Jati Anom?”
Ki Tanu Metir menggelengkan kepalanya. “Di Jati Anom ada Angger Untara dan pasukannya yang cukup kuat. Apalagi hanya menghadapi tiga orang itu.”
Widura mengerutkan keningnya. Dan Sumangkar bertanya, “Lalu manakah yang Kiai cemaskan?”
“Argajaya pernah mempunyai persoalan dengan prajurit-prajurit Pajang di Prambanan. Ia pernah dikalahkan dalam perang tanding oleh Angger Sutawijaya di ujung Gunung Baka. Mungkin dendamnya yang semakin bertimbun-timbun itu akan dapat menumbuhkan keinginan yang tidak terkekang seperti apa yang pernah dilakukan di daerah ini.”
Tanpa berjanji maka mereka yang mendengarkan penjelasan Ki Tanu Metir itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka pernah mendengar serba sedikit apa yang pernah terjadi di Prambanan.
Dalam pada itu, terdengar Swandaru berkata, “Kiai pada saat itu bukankah orang-orang Prambanan, terutama beberapa orang prajurit berpihak kepadanya?”
“Tetapi ia tahu dengan pasti, siapakah yang tidak menyenanginya. Apalagi apabila ia sengaja singgah di tempat itu, dan ditemuinya tanggapan yang berbeda dengan tanggapan yang pernah didapatinya sebelum ia pergi ke Tambak Wedi. Kekecewaan yang bertimbun-timbun ditambah dengan sifat-sifatnya yang keras dan sifat-sifat Sidanti akan sangat berbahaya bagi Kademangan itu.”
“Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat mengerti apa yang terjadi dan kira-kira dapat terjadi di waktu yang akan datang.
“Ya, kademangan itu memerlukan perlindungan,” desisnya.
“Apakah tidak ada perlindungan dari prajurit-prajurit Pajang yang berada di sana seperti terhadap Sangkal Putung dan Jati Anom,” bertanya Ki Demang Sangkal Putung.
“Daerah itu dianggap oleh pimpinan prajurit Pajang, sebagai daerah yang tidak berbahaya karena sisa-sisa prajurit Jipang hampir tidak tertarik sama sekali kepada daerah itu, karena mereka terikat kepada keinginan mereka untuk menduduki lumbung di daerah ini. Tetapi pimpinan Wira Tamtama tidak akan segera melihat kepentingan yang lain dari Argajaya, seorang tamu dari seberang hutan Mentaok, dan keadaan di Prambanan sendiri, karena sikap para prajurit yang berada di sana. Kehadiran Angger Sutawijaya agaknya mempunyai akibat yang baik, tetapi juga mencemaskan apabila Argajaya datang kembali ke daerah itu, apalagi bersama dengan Ki Tambak Wedi dan Sidanti.” Ki Tanu Metir berhenti sejenak, lalu, “Hanya ada beberapa saja prajurit yang di tempatkan di Prambanan. Semuanya itu akan tidak berarti sama sekali bagi Ki Tambak Wedi, seandainya mereka yang sakit hati, akan dengan mudahnya jatuh dalam pengaruh Argajaya yang keras kepala itu.”
Yang mendengarkan kata-kata Kiai Gringsing itu dapat membayangkan bahwa Prambanan memang berada dalam keadaan yang mencemaskan apabila ketiga orang itu benar-benar akan singgah di sana.
Apalagi mereka yang telah berada di Prambanan dan melihat dari dekat apa yang telah terjadi sebelumnya. Agung Sedayu dan Swandaru pun kemudian menjadi sangat cemas pula. Anak-anak muda Prambanan yang berdiri berseberangan, akan dapat menjadi kambuh kembali. Keadaan yang demikian akan sangat mudah dimanfaatkan oleh Argajaya, Sidanti, dan Ki Tambak Wedi untuk membuat kekisruhan, meskipun sudah pasti bahwa Ki Tambak Wedi tidak akan dapat membuat Prambanan menjadi pancadan untuk melakukan perlawanan terhadap Pajang, karena Prambanan tidak memiliki syarat-syarat yang cukup untuk itu.
Dengan demikian yang dapat mereka lakukan hanyalah perbuatan-perbuatan yang dapat menimbulkan kesan bahwa sejak Pajang berdiri telah tumbuh keributan di mana-mana. Masalah pesisir Utara masih belum selesai seluruhnya, Sangkal Putung masih belum aman benar, kemudian Tambak Wedi di lereng Merapi. Sebelum daerah itu bersih sama sekali maka kembali Sangkal Putung dan kemudian ditimbulkan pula di Prambanan. Belum terhitung keributan-keributan kecil, perampokan oleh orang-orang yang putus asa, kejadian-kejadian yang lain di seluruh wilayah Pajang.
Tetapi, yang mencemaskan Ki Tanu Metir sebenarnya, bukanlah Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya di dalam perjalanan mereka pulang ke Menoreh, tetapi bagaimana sesudah itu. Bagaimanakah sikap Ki Argapati setelah ia melihat dan mendengar, Sidanti pulang dengan luka di hati.
Meskipun demikian, bukan berarti bahwa Prambanan harus dibiarkan saja. Bukan berarti bahwa Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya akan mendapat kesempatan untuk melakukan apa saja sekehendak hati mereka.
Tetapi Prambanan dalam keadaannya seperti pada saat mereka tinggalkan, pasti tidak akan dapat berbuat apa-apa, selain membiarkan ketiga orang itu berbuat apa saja yang mereka kehendaki.
Dalam pada itu terdengar Widura bergumam, “Lalu apa yang sebaiknya dilakukan untuk Prambanan?”
Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam, jawabnya, “Angger dapat menyampaikan laporan ini kepada Angger Untara. Mungkin Angger Untara dapat berbuat sesuatu. Bukankah Prambanan masih termasuk di dalam lingkungan kekuasaannya?”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya,” desisnya di dalam hati, “atasanku adalah Untara.”
Hadirnya seorang perwira dari Jati Anom merupakan kesempatan yang baik bagi Widura. Pesan itu langsung diserahkannya kepada perwira yang besok pagi akan segera kembali ke Jati Anom.
“Daerah itu perlu segera mendapat perhatian.” berkata Widura. “Kedudukan prajurit-prajurit Pajang di sana sangat lemah, sedangkan mereka tidak dapat berbuat banyak atas anak-anak mudanya karena kesalahan-kesalahan yang mereka lakukan sendiri.”
Perwira itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sendiri dapat mengerti, bahwa seharusnya Untara tidak berdiam diri atas persoalan itu. Meskipun tidak dikatakannya, tetapi perwira itu dapat menghubungkan dengan rencana Untara untuk mengirim beberapa orang langsung ke daerah-daerah terpencil, yang setiap saat harus menyampaikan laporan kepadanya. Untara memang akan segera mengirimkan pengawasan ke daerah Prambanan, dan beberapa daerah yang mungkin dilalui oleh Sidanti apabila karena hatinya yang panas benar-benar akan datang dengan membawa pasukan dari Menoreh. Meskipun daerah Menoreh itu agak terpisah, tetapi keadaan alamnya ternyata telah membuat orang-orangnya menjadi kuat dan keras hati, seperti Sidanti dan Argajaya.
Tetapi, baik Untara, Ki Tanu Metir, maupun Widura sebenarnya masih mempunyai harapan, bahwa Argapati tidak segera terbakar mendengar laporan anak dan adiknya. Argapati meskipun seorang yang keras hati pula, tetapi ia mampu membuat pertimbangan-pertimbangan yang masak menghadapi setiap persoalan. Namun Argapati bagi orang-orang Pajang, bukanlah nama yang seharusnya sangat dicurigai. Tetapi bagaimana dan sampai seberapa jauh pengaruh Ki Tambak Wedi atasnya, itulah yang tidak dimengerti.
Pertemuan itu pun kemudian diakhiri setelah beberapa orang pelayan menghidangkan makan bagi mereka. Betapa sederhananya, namun terasa bahwa makanan yang mereka suapkan ke dalam mulut mereka adalah makanan yang selezat-lezatnya.
Setelah mereka selesai, maka Ki Demang pun segera meninggalkan ruangan itu. Ia ingin bertemu dengan puterinya yang telah sekian lama terpisah. Swandaru dan Agung Sedayu beserta beberapa orang yang lain meninggalkan ruangan itu pula.
“Silahkan kau beristirahat, Adi,” berkata Widura kepada perwira yang datang dari Jati Anom.
“Baik, Kakang, tetapi aku memerlukan kesempatan untuk berbicara. Aku ingin menyampaikan pesan Ki Untara, yang harus langsung aku sampaikan kepadamu.”
Widura mengerutkan keningnya. “Baiklah,” katanya, “apakah soalnya?”
“Pesan pribadi,” sahut perwira itu.
Kening Widura masih berkerut. Tetapi kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baiklah. Kau akan mendapat cukup kesempatan. Sekarang, silahkanlah beristirahat.”
Perwira itu pun kemudian meninggalkan ruangan itu pula. Di pendapa ia melihat orang-orangnya sedang makan pula. Sambil tersenyum ia berkata, “Makanlah, aku sudah cukup kenyang.”
Kemudian ditemuinya beberapa orang kawan-kawannya yang berada di Sangkal Putung bersama dengan Widura. Mereka saling berceritera tentang diri masing-masing.”
Dalam pada itu, Ki Tanu Metir dan Sumangkar masih tinggal bersama-sama dengan Widura. Ketika di dalam ruangan itu sudah tidak ada orang lain, maka Ki Tanu Metir pun berkata, “Aku pun membawa pesan pribadi untukmu, Ngger.”
Widura mengerutkan keningnya. Dipandanginya Ki Tanu Metir dan Sumangkar berganti-ganti, seolah-olah ia ingin bertanya, apakah pesan itu dapat didengar oleh Sumangkar.
Tetapi sebelum ia bertanya, Ki Tanu Metir berkata, “Pesan pribadi Angger Untara agaknya berhubungan dengan pesan yang dibawa oleh perwira bawahannya itu pula.”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian bertanya, “Apakah Untara berpesan kepadanya dan kepada Kiai bersama-sama?”
“Tidak,” sahut Ki Tanu Metir. “Pesan yang aku bawa agak berbeda segi pandangannya dengan pesan yang dibawa oleh perwira itu.”
Kening Widura menjadi semakin berkerut-merut. “Bagaimana dapat terjadi demikian?”
Ki Tanu Metir tersenyum. Ketika ia melihat Widura sekali lagi memandang Sumangkar, maka berkatalah Ki Tanu Metir, “Tidak apa-apa. Biarlah Adi Sumangkar mendengarnya.”
Widura menarik nafas dalam-dalam.
“Pesan itu menyangkut kemanakan Angger, Agung Sedayu,” berkata Ki Tanu Metir kemudian. “Pendapat Angger Untara ternyata agak berbeda dengan pendapatku. Agaknya Angger Untara tidak begitu senang dengan keinginanku untuk membawa Angger Agung Sedayu menempuh jalan yang diingininya.” Kemudian dengan agak berbisik Ki Tanu Metir berkata, “Ada sangkut pautnya dengan Angger Sekar Mirah. Agaknya Angger Untara ingin melihat adiknya tumbuh tanpa terganggu, apalagi oleh seorang wanita.”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia bergumam, “Aku mempercayainya, Kiai. Demikianlah agaknya sifat Untara, seorang anak muda yang berada dalam jabatannya sekarang. Semua segi pandangan hidupnya terlampau dipengaruhi oleh tugasnya itu.”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Lalu diceriterakan sikap sebenarnya dari Untara terhadap adiknya. Dikatakannya pula bagaimana ia mencari penyelesaian yang sebaik-baiknya dengan tidak terlampau menyinggung perasaan keduanya, apalagi membenturkan sikap kakak beradik itu.
“Aku sependapat dengan Kiai,” berkata Widura kemudian. “Memang Untara bersikap terlampau keras apabila demikian. Ia seorang senapati yang menganggap semua persoalan dapat di atasinya dengan sikap seorang senapati perang. Aku akan mencobanya sebagai seorang paman, bukan sebagai seorang perwira bawahannya.”
“Mudah-mudahan,” desis Ki Tanu Metir. “Tetapi untuk sementara aku telah mendapat jalan. Membawa Angger Agung Sedayu pergi. Kemana saja untuk mendapatkan pengalaman yang akan berguna bagi masa depannya.”
“Kemana?” bertanya Widura.
Ki Tanu Metir mengerutkan dahinya yang telah dilukisi oleh garis-garis usianya yang semakin tua.
“Angger Widura,” Berkata orang tua itu, “seperti yang telah aku katakan, jalan ke Menoreh kini berada dalam bahaya. Apabila Ki Tambak Wedi membiarkan Sidanti dan Argajaya melepaskan dendamnya di sepanjang jalan, maka Keadaan daerah-daerah yang dilaluinya cukup mencemaskan, apalagi Prambanan.”
“Lalu?” wajah Widura menjadi menegang.
“Kami, maksudku aku, Agung Sedayu, dan Swandaru akan menyusur jalan itu pula.”
“Oh,” Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bergumam, “Apakah Kiai beranggapan bahwa Sidanti telah mulai dengan perjalanan itu sekarang?”
“Belum,” sahut Ki Tanu Metir, “tetapi apabila Ki Tambak Wedi mengetahui bahwa aku dan Adi Sumangkar berada di sini, ia pasti segera akan pergi.”
“Baru kemarin dulu aku masih kehilangan dua orang peronda dekat sekali dari induk kademangan.”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Ketika ia berpaling ke arah Ki Sumangkar, maka orang itu segera berkata, “Aku belum dapat berbuat apa-apa. Aku belum mulai, dan wilayah Sangkal Putung terlampau luas. Ki Tambak Wedi dapat berada di segala arah. Itulah yang masih harus aku usahakan, agar aku dapat menjumpainya.”
“Ya, ya aku tahu,” sahut Ki Tanu Metir. Kemudian kepada Widura ia berkata, “Kita harus mencoba bertemu dengan orang-orang itu. Sebelum aku pergi, aku akan berusaha bersama Adi Sumangkar. Tetapi apabila usaha itu tidak membawa hasil apa pun, aku akan segera pergi ke Prambanan. Ada dua keuntungan. Bagi Prambanan dan bagi murid-muridku. Agaknya kami tidak akan berhenti di Prambanan untuk seterusnya, tetapi kami akan langsung menuju ke barat, melintasi Hutan Mentaok, dan memasuki daerah Menoreh.”
Wajah Widura menjadi semakin menegang.
“Kami ingin tahu langsung, apakah yang akan dilakukan oleh Sidanti di daerahnya sendiri. Apakah ia akan menyusun kekuatan dan dibawanya ke Sangkal Putung atau Tambak Wedi, atau bahkan langsung menusuk jantung Pajang, atau rencana-rencana yang lain yang mungkin akan lebih berbahaya.”
“Kiai,” berkata Widura kemudian, “apakah hal itu tidak akan sangat berbahaya bagi Kiai dan kedua anak-anak itu?”
“Mereka memerlukan pengalaman, Ngger. Sebelum aku berangkat, aku masih akan membuat kedua anak-anak itu semakin banyak mempunyai bekal di dalam diri masing-masing. Setiap malam kami berada di Gunung Gowok. Apakah Angger akan ikut serta? Menyenangkan sekali apabila tiba-tiba Ki Tambak Wedi muncul pula untuk ikut berlatih. Dengan demikian aku tidak perlu lagi menempuh jalan yang terlampau panjang. Tidak perlu lagi melintas Hutan Mentaok mendaki Pegunungan Menoreh.”
Widura menarik nafas dalam-dalam. Perjalanan itu adalah perjalanan yang cukup berbahaya. Memang Agung Sedayu dan Swandaru memerlukan pengalaman buat hari depannya, tetapi untuk langsung masuk ke daerah Menoreh akan mengandung kemungkinan yang sangat pahit.
Meskipun demikian, maka ia harus mempercayai Ki Tanu Metir yang memiliki ilmu dan pengalaman jauh lebih banyak daripada Widura itu sendiri.
“Angger Widura,” berkata Ki Tanu Metir, “sekarang perkenankan aku beristirahat pula. Nanti Angger akan mendengar pesan Angger Untara lewat perwira utusannya itu, yang aku kira juga berkisar pada Angger Agung Sedayu. Mungkin Angger Widura harus mengawasinya atau bahkan Angger Untara akan menitipkannya kepada Angger di sini.”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, “Mudah-mudahan aku dapat memenuhi keinginan Untara tanpa menyinggung perasaan Agung Sedayu. Bukankah Untara telah memperkendor keinginan-keinginannya tentang Agung Sedayu?”
“Ya. Beberapa hal telah dilepaskannya. Tetapi akulah yang harus mempertanggung-jawabkannya.”
Widura masih mengangguk-angguk. Sahutnya, “Aku mengharap semuanya dapat teratasi.”
“Baiklah,” berkata Ki Tanu Metir sambil mengangkat dadanya dan menarik nafas dalam-dalam, “aku minta diri.” Kemudian kepada Sumangkar ia berkata, “Kita masih mempunyai banyak kesempatan untuk bercerita. Marilah sekarang kita beristirahat. Aku ingin tidur.”
“Silahkan, Kakang. Aku agaknya terlampau banyak tidur semalam, sehingga aku tidak juga berhasil menemukan Ki Tambak Wedi.”
Kiai Gringsing tersenyum. Kemudian ditinggalkannya ruangan itu. Untuknya telah disediakan tempat di gandok kulon di kademangan, sehingga orang tua itu tidak usah pergi ke banjar kademangan.
Ternyata pada malam harinya Widura benar-benar mendapat pesan yang berkisar pada Agung Sedayu dari perwira utusan Untara. Sebenarnya bahwa Untara minta tolong kepada Widura untuk mengawasi adiknya yang dianggapnya kurang dapat menyesuaikan diri pada masa perkembangannya.
Sementara itu, Swandaru, Agung Sedayu, dan Ki Tanu Metir telah berada di Gunung Gowok. Orang tua itu berusaha mempergunakan setiap waktu yang terluang untuk menambah ilmu kedua murid-muridnya.
“Sebentar lagi kita akan mulai dengan sebuah perjalanan yang barangkali kurang menyenangkan. Karena itu, berbuatlah sejauh mungkin dapat kita lakukan di sini. Berlatihlah sebaik-baiknya. Aku akan memberikan beberapa petunjuk-petunjuk baru.”
Kedua anak-anak muda itu pun dengan patuh melakukannya. Kiai Gringsing ingin memberikan ciri perguruannya lebih banyak lagi kepada kedua muridnya. Itulah sebabnya untuk seterusnya, maka keduanya di samping memperdalam ilmu pedang, mereka juga mulai memperdalam ilmu senjata lemas dan lentur. Kadang-kadang mereka mempergunakan cambuk, namun di lain kesempatan mereka mempergunakan cemeti yang lentur. Bahkan kadang-kadang mereka belajar mempergunakan pasangan daripadanya. Pedang dan cambuk di tangan kiri, atau sebaliknya.
Sepeninggal rombongan kecil prajurit dari Jati Anom di hari berikutnya, maka Sangkal Putung semakin memperketat setiap pengawasan. Ketika Widura melepaskan para prajurit dari Jati Anom untuk kembali ke induk pasukannya, terasa juga kecemasan merambati hatinya. Bagaimanakah seandainya pasukan yang kecil itu bertemu dengan Ki Tambak Wedi di perjalanan.
“Kami sudah siap untuk menghadapinya, Kakang,” berkata perwira itu. “Yang mengawani aku kali ini adalah prajurit-prajurit pilihan. Aku kira kita bersama-sama akan berhasil, setidak-tidaknya menyelamatkan diri kami dari tangan iblis-iblis itu.”
“Mudah-mudahan,” sahut Widura. Tetapi tawarannya untuk memberikan beberapa orang prajurit pilihan telah pula ditolak oleh perwira itu.
“Kalau aku terpaksa diantar kembali ke Jati Anom, maka besok Ki Untara memerintahkan untuk mengantar prajurit-prajurit dari Sangkal Putung dan demikian pula sebaliknya, maka jalan antara Sangkal Putung dan Jati Anom akan menjadi sangat licin.”
Keduanya tersenyum. Ki Tanu Metir, Sumangkar, dan beberapa orang lain yang mendengar jawaban itu pun tersenyum pula.
Ternyata di hari-hari berikutnya, tidak terjadi persoalan-persoalan yang dapat menambah kegelisahan orang-orang Sangkal Putung. Para peronda yang diperkuat, selalu kembali ke gardu masing-masing dengan selamat.
“Mungkin orang-orang itu telah pergi,” gumam salah seorang prajurit.
“Belum pasti,” tiba-tiba terdengar jawaban di belakangnya. Ternyata Sumangkar-lah yang berdiri di situ sambil tersenyum. Katanya seterusnya, “Jangan lengah. Setiap saat bahaya dapat menerkam kalian.”
Prajurit-prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka menyadari betapa liciknya Ki Tambak Wedi dan Sidanti.
Ketika malam turun perlahan-lahan di atas Kademangan Sangkal Putung, maka tiga buah bayangan telah mulai berloncat-loncatan di pinggir Gunung Gowok. Tak ada waktu terluang bagi Agung Sedayu dan Swandaru. Kali ini bukan saja mereka bertiga yang berada di gumuk kecil itu, tetapi seseorang yang lain duduk dengan tenangnya melihat anak-anak muda yang sedang berlatih itu. Orang itu adalah Sumangkar.
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia menyaksikan kemajuan yang pesat dari murid-murid Kiai Gringsing. Mau tidak mau maka orang tua itu harus mengaguminya. Kelincahan Agung Sedayu, kecepatannya bergerak dan betapa tenaga Swandaru yang luar biasa kuatnya.
Namun tiba-tiba orang tua yang duduk di atas sebuah puntuk itu memiringkan kepalanya. Lalu diangkatnya wajahnya. Perlahan-lahan ia berdesis, “Aku mendengar suara panah sendaren.”
Dan belum lagi ia sempat mengulangi kata-katanya, maka terdengarlah desing panah sendaren untuk yang kedua kalinya.
“Aku harus pergi,” orang tua itu berkata lantang. Sebelum Kiai Gringsing menjawab, maka Sumangkar telah meloncat ke atas punggung kudanya dan hilang ditelan gelapnya malam.
Latihan yang berat itu pun terpaksa terhenti. Kiai Gringsing yang juga telah mendengar suara panah sendaren itu bergumam, “Agaknya para peronda bertemu dengan iblis dari lereng Merapi itu.”
Swandaru dan Agung Sedayu pun kemudian sempat mendengar suara panah sendaren itu pula. Bahkan kemudian sekali lagi lamat-lamat terdengar suara desing panah sendaren yang ketiga.
“Guru,” berkata Swandaru, “apakah kita akan pergi juga ke sana?”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. “Kami tidak membawa kuda.”
“Kita dapat berlari.”
Sejenak Kiai Gringsing berpikir. Tetapi tentu ia tidak dapat berdiam diri seandainya yang datang itu benar-benar Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya,
“Marilah, Kita melihat apa yang terjadi. Mudah-mudahan kita tidak terlambat.”
Mereka bertiga pun segera pergi meninggalkan gunung Gowok. Tetapi mereka tidak berada dalam kesiagaan sepenuh Ki Sumangkar yang merasa mempunyai tanggung jawab sepenuhnya atas Ki Tambak Wedi, sehingga setiap saat ia seakan-akan tidak pernah terpisah dari kudanya.
Dengan tergesa-gesa mereka menuju langsung ke induk kademangan untuk mencari arah suara panah sendaren itu. Menurut pengamatan Ki Tanu Metir, maka suara itu bersumber dari sebelah Utara, tidak terlampau jauh dari induk kademangan.
“Mereka memang berani,” gumamnya di dalam hati. “Mereka berani melakukan perbuatannya itu dekat sekali dengan induk kademangan. Mungkin mereka sengaja memancing beberapa orang peronda dan kemudian membunuhnya. Tetapi mereka tidak tahu bahwa di sini telah hadir Adi Sumangkar yang akan dapat mengimbangi ketangguhan Ki Tambak Wedi.”
Ketika mereka kemudian memasuki induk kademangan, maka mereka melihat prajurit-prajurit Pajang dan anak-anak muda Sangkal Putung telah berada di gardu masing-masing, serta yang lain telah menuntun, kuda-kuda mereka. Setiap saat mereka akan dapat melakukan apa saja, untuk kepentingan kademangan itu.
“Di manakah Angger Widura?” bertanya Ki Tanu Metir kepada salah seorang prajurit pengawal kademangan.
“Ki Widura sudah berangkat, Kiai. Berkuda bersama beberapa orang prajurit. Kami telah mendapat perintah untuk bersiap. Setiap saat para prajurit berkuda itu harus berangkat membantunya apabila diperlukan.”
“Kita mengambil kuda-kuda kita,” berkata Swandaru kemudian sambil berlari ke belakang rumahnya, ke kandang kuda.
Agung Sedayu dan Ki Tanu Metir pun kemudian menyusulnya. Secepat-cepatnya mereka mempersiapkan kuda-kuda yang masih berada di kandang. Kuda Ki Demang Sangkal Putung. Tetapi kuda itu hanya dua ekor, sehingga Swandaru sendiri akhirnya mencari seekor kuda yang lain. Ketika di halaman kademangan ia melihat segerombol anak-anak muda Sangkal Putung, dan ada satu dua di antaranya yang menuntun kuda-kuda mereka, maka segera kuda itu dipinjamnya.
“Aku sangat memerlukan segera,” katanya.
Swandaru itu terkejut ketika ia mendengar seseorang bertanya, “Kau akan pergi ke mana Swandaru?”
Suara itu adalah suara ayahnya, Ki Demang Sangkal Putung.
“Aku harus pergi juga ayah. Mungkin aku dapat bertemu dengan Sidanti.”
“Sendiri?”
“Tidak, bersama Kakang Agung Sedayu dan Kiai Gringsing.”
Ki Demang Sangkal Putung memandang ke arah yang ditunjuk oleh Swandaru di sisi regol kademangan. Remang-remang dilihatnya dua orang yang memegangi kendali dua ekor kuda telah siap menanti.
“Kuda-kuda itu kuda kita?” bertanya ayahnya.
“Ya, tetapi hanya ada dua ekor. Aku sendiri terpaksa meminjam kuda ini.”
“Hati-hatilah,” berkata ayahnya, “kau belum mengenal tabiat kuda ini. Tetapi yang lebih berbahaya lagi adalah Ki Tambak Wedi dan kedua orang kawannya itu.”
“Aku bersama guru,” sahut Swandaru. Ki Demang Sangkal Putung mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia melangkah di belakang Swandaru ketika Swandaru pergi mendapatkan gurunya.
“Ki Sumangkar belum ada di sini,” berkata Ki Demang itu. “Angger Widura berangkat tanpa orang tua itu. Hanya beberapa orang prajurit pilihan yang memang telah disiapkannya saja yang pergi bersamanya.
“Adi Sumangkar telah pergi langsung mendapatkan tamunya,” sahut Kiai Gringsing.
“Oh, syukurlah,” gumam Ki Demang itu seakan-akan kepada diri sendiri.
“Baiklah, kami segera minta diri,” berkata Kiai Gringsing kemudian.
Maka mereka bertiga itu pun segera meninggalkan halaman kademangan. Ketika mereka telah berada di jalan yang membelah induk Kademangan Sangkal Putung, maka segera mereka memacu kuda-kuda mereka. Semakin lama semakin cepat.
“Kita kemana guru?” bertanya Swandaru. “Apakah kita menyusur jalan ini lalu berbelok ke Utara?”
“Ya. Kita telusuri jalan ini. Sebelum kita sampai ke ujung kademangan, kita berbelok ke utara. Mungkin Angger Widura mengambil jalan lain. Tetapi itu tidak penting. Setelah kita berada di bulak, maka kita akan segera mengetahui, di mana terjadi perkelahian itu.”
Swandaru tidak menjawab. Dan kuda-kuda mereka pun berpacu semakin cepat.
Angin malam yang sejuk mengusap wajah-wajah yang tegang itu. Semakin cepat kuda-kuda mereka berpacu, maka dingin malam semakin tajam, maka dingin malam semakin menyengat kulit. Tetapi karena ketegangan hati yang semakin tajam, maka dingin itu pun tidak begitu terasa lagi.
Dalam berpacu kuda terdengar Kiai Gringsing berkata, “Aku tidak mendengar tanda-tanda berikutnya.”
“Ya,” sahut Agung Sedayu, “mungkin Paman Widura atau Ki Sumangkar telah berada di antara mereka. Atau bahkan keduanya.”
“Mudah-mudahan tidak demikian,” berkata Kiai Gringsing. “Sumangkar cukup cepat bertindak. Agaknya Angger Widura pun tidak akan terlambat pula.”
Kedua anak-anak muda itu pun kemudian terdiam. Mereka berusaha memacu kuda mereka semakin cepat.
Sementara itu Sumangkar pun sedang memacu kudanya, lewat jalan sempit di antara tanaman-tanaman pategalan yang sedang menghijau. Ia tahu tepat dari manakah arah suara panah sendaren itu. Karena itu, maka ia langsung dapat menuju ke tempat itu. Di bulak yang tidak terlampau luas, di samping sebuah tegalan yang agak rimbun.
“Setan-setan itu pandai memilih tempat untuk mencegat para peronda,” desis Sumangkar di dalam hatinya. “Mereka pasti bersembunyi di pategalan itu, lalu dengan tiba-tiba menyergap para peronda. Untunglah bahwa salah seorang di antara mereka masih sempat memberikan tanda sampai tiga kali berturut-turut.”
Orang tua itu sama sekali tidak menghiraukan lagi titik-titik embun di dedaunan yang tersentuh bajunya. Betapa dingin malam itu, namun baju Sumangkar menjadi basah. Basah oleh keringat dan basah oleh embun.
Ternyata perhitungan Sumangkar sama sekali tidak salah. Di ujung pategalan yang rimbun di seberang bulak, lima orang peronda telah bertemu dengan Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya yang masih saja berkeliaran membawa dendam yang membara di hatinya, seperti hantu yang setiap kali bangkit dari kuburnya untuk menghisap darah orang-orang yang masih hidup.
Pertemuan itu begitu tiba-tiba, sehingga hampir-hampir para peronda tidak sempat memberikan tanda-tanda itu. Untunglah bahwa salah seorang dari padanya dengan cepat mampu menjauhkan dirinya di atas punggung kudanya. Dengan kemungkinan yang ada ia sempat melepaskan tiga buah anak panah sendaren. Selebihnya, ia harus berkelahi dengan pedangnya.
Tetapi lawan mereka sama sekali tidak seimbang. Sidanti dan Argajaya. Meskipun demikian, kuda-kuda mereka sekedar dapat membantu mereka. Kecepatan kaki-kaki kuda mereka sajalah yang mampu menyelamatkan mereka dari tangan Sidanti dan Argajaya. Agaknya Ki Tambak Wedi masih terlampau malas untuk berbuat sesuatu.
Bahkan sambil berdiri bersandar sebatang pohon nangka ia berkata lantang, “Sidanti, jangan segera kau bunuh kelinci-kelinci itu. Biarlah kita pergunakan mereka sebagai umpan. Aku ingin kawan-kawan mereka segera datang membunuh dirinya di sini. Aku mengharap Widura sendirilah yang datang. Aku ingin melihat bagaimana Untara menangisi mayat pamannya itu. Ia pasti akan diberitahu seandainya pamannya itu benar-benar terbunuh.”
Sidanti dan Argajaya tidak menjawab. Tetapi mereka senang mendengar rencana Ki Tambak Wedi. Bahkan orang yang melepaskan panah sendaren itu pun seolah-olah diberinya kesempatan sebelum ia melibatkan diri dalam perkelahian itu pula.
Ki Tambak Wedi melihat Sidanti berkelahi melawan tiga orang lawannya, sedang Argajaya melawan dua orang. Betapa kelima prajurit itu mengerahkan segenap kecakapan dan kemampuan yang ada padanya, namun mereka sama sekali tidak mampu berbuat sesuatu. Meskipun kuda-kuda mereka menyambar berganti-ganti, tetapi mereka masih mendengar Sidanti tertawa dan berkata, “He, hati-hati. Kudamu dapat terperosok ke dalam parit.”
Prajurit-prajurit itu menggeram, tetapi mereka menyadari, dengan siapa mereka sedang berkelahi, dan mereka masih juga mendengar Sidanti berteriak, “Jangan mati dulu karena pokalmu sendiri. Kami ingin menjadikan kalian umpan untuk mengundang kawan-kawanmu yang kami ingini.”
Sama sekali tidak terdengar jawaban. Prajurit-prajurit itu berkelahi semakin sengit. Tetapi lawan mereka terlampau lincah. Bahkan apa yang dikatakan Sidanti benar-benar terjadi, Salah seekor dari kuda-kuda itu terperosok ke dalam parit, sehingga penunggangnya pun terpelanting jatuh.
“He, apakah kau sudah berputus asa dan mencoba membunuh dirimu?” bertanya Sidanti.
Prajurit itu tidak menjawab. Tetapi ia menyeringai menahan sakit di punggungnya.
Ki Tambak Wedi masih berdiri saja bersandar pohon nangka. Ia mengharap Widura datang sendiri ke arena perkelahian itu, sehingga ia akan dapat membunuhnya.
“Aku sudah jemu membunuh kelinci-kelinci yang tidak berarti itu,” gumamnya. “Aku ingin membunuh orang-orang yang dianggap penting di Sangkal Putung, Widura dan Demang itu pula.”
Ki Tambak Wedi berhenti sejenak. Diangkatnya kepalanya. Katanya kemudian, “Nah, aku mendengar derap beberapa ekor kuda, Mudah-mudahan Widura ada di antara mereka.”
Dalam keremangan malam, akhirnya Ki Tambak Wedi lihat iring-iringan kuda mendekatinya. “Hem,” desisnya, “mereka terlampau sombong. Mereka datang dalam jumlah yang terlampau kecil. Tidak sampai sepuluh orang.”
Sidanti dan Argajaya pun sempat melihat kuda-kuda yang menjadi semakin dekat. Memang yang datang itu tidak sampai berjumlah sepuluh orang.
“Mereka memang terlampau sombong,” sahut Sidanti.
“Ada kemungkinan bahwa mereka tidak tahu, bahwa kitalah yang berada di sini,” berkata Argajaya.
“Mungkin. Mungkin mereka menyangka bahwa yang di sekitar Sangkal Putung hanyalah beberapa orang perampok atau pencuri ayam,” sahut Ki Tambak Wedi kemudian.
Orang tua itu pun kemudian melangkah maju. Dilihatnya Sidanti dan Argajaya yang masih saja berkelahi melawan prajurit peronda itu.
“Guru,” bertanya Sidanti, “apakah aku harus mengakhiri perkelahian. Bukankah mereka telah melihat dan mengetahui bahwa kawan-kawannya berada di sini?”
Ki Tambak Wedi merenung sejenak. Kuda-kuda yang mendatangi itu menjadi semakin dekat.
Ki Tambak Wedi berpaling ketika ia mendengar seekor lagi jatuh terperosok. Dan seorang prajurit lagi terpelanting jatuh di seberang parit dan terlempar ke dalam pategalan yang ditumbuhi oleh bermacam-macam tanaman itu. Tetapi belum lagi orang itu sempat berdiri, maka kuda yang ketiga telah jatuh pula. Kali ini tidak tergelincir ke dalam parit, tetapi kaki depannya ternyata telah disentuh oleh tombak Argajaya.
Tiba-tiba terdengar suara Ki Tambak Wedi lantang, “Selesaikan mereka.”
Sementara itu kuda-kuda yang lain telah menjadi terlampau dekat. Ki Tambak Wedi membiarkan kuda-kuda itu memencar. Sebagian meloncati parit dan berada di tengah-tengah sawah yang becek. Yang lain berputar dari arah seberang menyeberang.
Ki Tambak Wedi berdiri tegak, di tengah-tengah jalan di ujung pategalan yang rimbun. Dalam keremangan malam, ia melihat seseorang yang memimpin prajurit-prajurit Pajang itu. Orang itu adalah Widura.
“Kau, Widura,” desis Ki Tambak Wedi.
Widura mengerutkan keningnya. Katanya lantang, “Menyerahlah Tambak Wedi. Lepaskan perkelahian antara muridmu dengan prajurit-prajuritku itu.”
“Jangan mimpi. Sidanti harus membunuhnya segera.”
“Tidak terlampau mudah. Mereka adalah prajurit pilihan.”
“Oh, itukah prajurit-prajurit Pajang pilihan? Tiga ekor kuda mereka telah tidak dapat dipergunakan lagi. Yang dua jatuh di parit, agaknya kaki-kakinya terkilir. Meskipun kuda-kuda itu sempat bangun, tetapi kuda-kuda itu tidak akan dapat dipergunakan lagi. Yang seekor sebentar lagi akan mati di tengah jalan itu.”
Widura tidak segera menjawab. Tetapi ia mencoba melihat keadaan. Namun malam yang gelap tidak memberinya kesempatan untuk memperhatikan perkelahian itu dengan seksama. Apalagi ia harus selalu waspada, bahwa setiap saat Ki Tambak Wedi dapat saja melepaskan gelang-gelangnya. Mungkin ke arahnya, tetapi mungkin juga ke arah prajurit-prajuritnya.
Widura mengangkat dahinya ketika ia mendengar Ki Tambak Wedi berkata, “Mungkin kau tidak dapat melihat perkelahian itu dengan jelas Widura, sebab kami berada di tempat yang agak gelap. Tetapi kami dapat melihat kau dan orang-orangmu lebih jelas karena kau berada di tempat yang terbuka.”
Widura menggeram, dan sekali lagi ia berkata lantang, “Hentikan perkelahian dan menyerahlah.”
“Jangan sombong,” sahut Ki Tambak Wedi. Sebentar lagi orang-orangmu akan mati, kau pun akan mati pula. Aku ingin melihat Untara yang perkasa itu menangisi mayatmu. Dan aku ingin melihat apa yang akan dilakukan oleh Kiai Gringsing apabila ia datang pula kemari bersama Untara dari Jati Anom.”
Widura terdiam sejenak. Ternyata berita kedatangan Kiai Gringsing masih belum didengar oleh Ki Tambak Wedi yang berada di dalam persembunyiannya.
“Ayo Widura,” berkata Ki Tambak Wedi itu kemudian. “Kenapa kau masih diam saja. Sudah aku katakan, aku tidak akan menyerah. Aku ingin membunuhmu dan menggantungmu di ujung Kademangan Sangkal Putung. Aku ingin memperlihatkan bahwa inilah seorang yang diserahi pimpinan tertinggi prajurit Pajang di Sangkal Putung.”
Widura masih berdiam diri. Tetapi ia menjadi heran. Panah sendaren yang berdesing tiga kali berturut-turut dirasanya cukup dapat didengar dari seluruh induk kademangan. Tetapi ia masih belum melihat Ki Sumangkar hadir di tempat itu. Menurut perhitungannya, dimana pun Sumangkar berada, maka ia pasti sudah sampai di tempat itu dan berbuat sesuatu. Karena itu ia hanya membawa sepuluh orang prajurit pilihan.
Sejenak timbul kecurigaannya kepada orang tua, adik perguruan Patih Mantahun dari Jipang itu. Apakah sebenarnya ia dapat dipercaya? Apakah sengaja ia memperlambat kedatangannya dengan perhitungan-perhitungan tertentu? Kalau ia telah hadir, maka pasti sudah melibatkan dirinya melawan Ki Tambak Wedi, tetapi ternyata Ki Tambak Wedi masih berdiri bebas.
Namun bagaimanapun juga ia harus bertindak. Ia tidak boleh membiarkan orang-orang itu berbuat sekehendak hatinya. Apalagi ia masih melihat orang-orangnya yang terdahulu melakukan perlawanan yang gigih. Bahkan terlampau gigih meskipun Widura tidak dapat melihat dengan jelas. Dua di antara mereka masih berada di atas punggung kuda, sedang yang lain berkelahi di atas tanah.
“Aku tidak boleh menunggu mereka binasa,” pikir Widura, karena itu maka hadir atau tidak hadirnya Sumangkar, ia harus bertindak. Namun ia harus memberi isyarat kepada prajurit penghubungnya untuk melepaskan tanda setiap saat, apabila Sumangkar benar-benar tidak hadir. Bahkan Widura itu mengharap, Kiai Gringsing, Swandaru, dan Agung Sedayu dapat menangkap isyarat panah sendaren itu pula, sehingga apabila demikian, maka kemungkinan terbesar iblis-iblis itu tidak akan dapat lolos lagi.
Tetapi ia memerlukan waktu untuk itu. Sekarang, pada saat-saat yang genting itu, ia harus sudah dapat mengambil sikap untuk menghadapi Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya.
Sesaat Widura memandang ke arah prajurit-prajuritnya yang bertebaran di segala arah. Ia harus segera memberikan aba-aba, dan prajurit-prajuritnya segera akan berbuat sesuatu, sementara itu salah seorang dari mereka harus melepaskan panah-panah sendaren.
Ketika Widura hampir meneriakkan aba-aba, tiba-tiba ia mendengar Ki Tambak Wedi berkata, “He, Sidanti. Kenapa kau tidak segera menyelesaikan yang lima orang itu bersama Angger Argajaya. Di sini telah hadir permainan-permainan yang baru, yang akan lebih mengasyikkan dari yang lima itu.”
Tetapi Sidanti tidak segera menjawab. Bahkan nafasnyalah yang mengalir semakin cepat dari lubang-lubang hidungnya.
“Sidanti,” teriak Ki Tambak Wedi kemudian, “bunuh saja mereka itu.”
Masih belum terdengar jawaban. Dalam kegelapan mereka masih saja bertempur berputaran. Bahkan sekali-sekali mereka menyusup ke dalam pategalan yang rimbun, kemudian terjadi perkelahian di antara tanaman-tanaman yang berjajar sebagai pagar pategalan itu.
Sejenak kemudian mereka muncul lagi. Dua orang prajurit yang masih berada di punggung kudanya bahkan merasa canggung. Kuda-kuda mereka selalu terhalang oleh pepohonan.
“Setan benar kedua orang itu,” berkata mereka di dalam hati. “Mereka berusaha menyeret perkelahian ke dalam pategalan, sehingga kuda-kuda ini tidak bisa bergerak lagi.”
Karena itu, maka tanpa berjanji mereka pun segera berloncatan dari kuda-kuda mereka, dan langsung melibatkan diri dalam perkelahian yang berputar-putar itu.
“Sidanti,” terdengar Ki Tambak Wedi berkata, “apa kau sudah menjadi gila, he?”
Tetapi Sidanti tidak menjawab. Bahkan kemudian Ki Tambak Wedi melihat Sidanti itu terdesak beberapa langkah surut. Namun sesaat kemudian Argajaya-lah yang terpaksa meloncat-loncat.
“Kenapa kau, he?” berteriak Ki Tambak Wedi pula.
“Guru,” sahut Sidanti, “ada yang tidak wajar di sini.
Ki Tambak Wedi tidak menunggu lebih lama lagi. Segera ia meloncat mendekati Sidanti yang hampir-hampir saja kehilangan kesempatan untuk melawan serangan lawannya. Dan inilah yang tidak masuk ke dalam akalnya. Lawannya tiba-tiba menjadi sangat garang. Salah seorang dari mereka mampu berloncatan seperti burung sikatan. Sekali-kali menyerangnya, dan tiba-tiba saja orang itu telah menyelamatkan prajurit-prajurit yang hampir mati karena tombak Argajaya. Bahkan seandainya orang itu berkelahi seorang diri, mungkin Sidanti dan Argajaya justru tidak dapat melawannya lagi. Karena orang itu masih berhasrat ingin menyelamatkan kawan-kawannya, maka Sidanti dan Argajaya masih sempat memberikan perlawanan serba sedikit. Namun mereka benar-benar berada di dalam kesulitan. Dan kesulitan itu kemudian dapat dilihat oleh Ki Tambak Wedi.
Tambak Wedi yang mempunyai pengamatan yang jauh lebih tajam dari murid-muridnya dan Argajaya segera melihat ketidak wajaran itu. Meskipun di dalam gelap karena bayangan rimbunnya dedaunan, namun ia segera dapat melihat, siapakah yang berdiri di hadapannya dengan ikat kepala yang menutup sampai di kening. Karena itu maka segera ia berteriak lantang, “Minggir Sidanti, apakah kau sudah buta. Untung kau belum mati. Biar aku selesaikan orang ini. Bunuh saja yang lain secepat kau mampu melakukan.”
Namun pada saat itu, Widura ternyata mencoba mengambil kesempatan. Ia tidak mau terlambat. Karena itu maka segera kudanya melangkah maju. Tetapi sulitlah baginya untuk berkelahi di antara pagar pategalan itu dengan kudanya. Karena itu maka segera ia pun meloncat turun diikuti oleh beberapa prajuritnya.
“Sidanti,” panggil Widura, “kau masih ingin melakukan perang tanding?”
Sidanti menggeram. Tetapi ia terdiam ketika ia mendengar gurunya berkata, “Apa kerjamu he bunglon busuk?”
Yang terdengar adalah suara tertawa yang bernada tinggi.
“Tutup mulutmu!” teriak Ki Tambak Wedi. Tetapi suara tertawa itu masih terdengar, dan di antara suara itu terdengar kata-kata, “Aku di sini, Angger Widura.”
“Oh,” Widura menarik nafas dalam-dalam. Suara itu adalah suara Sumangkar.
“Aku juga baru saja tiba di tempat ini,” terdengar suara itu pula. Aku mencoba mengambil kesempatan ketika aku melihat salah seorang prajurit Pajang terbaring di pategalan ini. Agaknya ia pingsan ketika ia terlempar dari kudanya.”
“Apakah Kiai tidak berkuda?” Widura sempat bertanya. Dalam pada itu, ia melihat Ki Tambak Wedi telah menyerang Sumangkar dengan garangnya. Di dalam kegelapan ia melihat bayangan orang-orang tua itu berloncatan dengan cepatnya.
Dan Sumangkar masih memerlukan menjawab, “Aku tinggalkan kudaku di sebelah pategalan ini. Aku ingin mengintai lebih dahulu. Tetapi ternyata aku hampir terlambat.”
Widura tidak bertanya lagi. Bukan waktunya untuk bercakap-cakap. Kini ia melihat Sidanti berdiri tegak dan telah bersiap untuk melawannya. Sedang Argajaya masih terlampau sibuk berkelahi. Tetapi, kini lawannya justru bertambah ringan, meskipun jumlahnya bertambah banyak. Karena seorang di antaranya, yang telah menumbuhkan keheranannya, kini sudah mendapat lawan sendiri. Sumangkar yang sudah harus bertempur melawan Ki Tambak Wedi. Karena itulah, maka kini ia mampu menghadapi lawan-lawannya sendiri dan lawan-lawan Sidanti sekaligus. Empat orang. Sedang Sidanti harus berhadapan dengan Widura. Tetapi ternyata Widura itu tidak sendiri. Ia datang bersama beberapa orang prajurit, justru prajurit-prajurit pilihan.
Namun, Widura masih saja berdiri dengan tegangnya di tepi jalan di ujung pategalan itu. Dalam keremangan malam dilihatnya Sidanti sudah siap untuk menghadapinya. Meskipun demikian Widura berusaha apabila mungkin untuk menangkap mereka tanpa perkelahian dan korban meskipun harapan itu sangat tipis baginya.
Karena itu, maka sekali lagi ia berkata lantang, “Kau tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi. Gurumu sudah terikat oleh sebuah perkelahian yang seimbang dengan Ki Sumangkar. Kawanmu yang seorang itu, yang menurut pendengaranku adalah pamanmu, Argajaya, harus berkelahi mati-matian pula melawan keempat orang prajurit itu. Sekarang kau harus berhadapan dengan aku. Tetapi aku datang bersama sepuluh orang prajurit pilihan. Apakah kau tidak lebih baik menyerah saja sebelum kami mendapat kesan yang lebih buruk lagi tentang kau dan guru serta pamanmu? Dengan demikian tanggung jawabmu atas segala perbuatanmu itu akan menjadi lebih ringan.”
Yang terdengar kemudian adalah anak muda itu menggeram. Dengan darah yang mendidih sampai ke ubun-ubunnya ia menjawab kasar, “Jangan banyak berbicara saja. Ayo Widura, berbuatlah sesuatu. Kalau kau ingin menangkap Sidanti dengan cara yang licik itu, segera lakukanlah. Aku sudah menyangka bahwa kau tidak akan berani berbuat secara jantan. Kau tidak dapat mengalahkan aku dalam perang tanding. Sekarang kau datang beramai-ramai dengan pengawalmu itu. Tetapi aku tidak akan dapat kau takut-takuti seperti perempuan cengeng.”
“Kau terlalu diburu oleh nafsu yang tidak terkendali Sidanti.”
“Jangan banyak bicara. Ayo, aku sudah siap.”
Widura mengerutkan keningnya. Ia sudah mengira bahwa anak itu benar-benar keras kepala seperti gurunya.
“Kau keras kepala.”
“Majulah bersama. Jangan hanya sepuluh orang. Seluruh kekuatan yang ada di Sangkal Putung, prajurit-prajurit Pajang dan anak-anak mudanya yang bengal. Aku tidak akan gentar.”
“Apakah itu sudah menjadi keputusanmu?”
“Ya. Aku bukan Widura yang licik dan pengecut. Aku ingin berbuat jantan. Kalau kau hanya berani berkelahi dengan cara itu, ayo lekas lakukanlah.”
Widura mengerutkan keningnya. Wajahnya menjadi kian tegang. Ia merasa kata-kata Sidanti sengaja diucapkan untuk memanaskan hatinya sehingga ia mendapat kesempatan untuk melawannya seorang lawan seorang. Tetapi kali ini Widura tidak ingin terbakar oleh kata-kata lawannya. Maka jawabnya, “Aku adalah seorang pemimpin prajurit dalam suatu kesatuan yang bulat. Tugasku adalah tugas anak buahku dan sebaliknya. Maka tugas kami bersama-sama pulalah untuk menyelesaikan pengkhianatanmu. Masalah ini bukan masalah pribadi yang harus diselesaikan secara pribadi.”
“Setan!” geram Sidanti. “Kenapa kau hanya berbicara saja? Aku menjadi muak mendengarnya. Apakah perwira Wira Tamtama Pajang hanya mampu berbicara dan berkelahi beramai-ramai?”
“Baiklah Sidanti,” jawab Widura dalam nada yang berat. Dugaannya sama sekali tidak salah, bahwa Sidanti tidak akan dapat dijinakkannya.
Dengan demikian, maka Widura itu pun melangkah maju semakin dekat. Dengan tangannya maka diberinya prajurit-prajuritnya isyarat. Sebagai prajurit-prajurit pilihan, di bawah pimpinan Widura langsung, maka mereka hanya memerlukan waktu yang sangat pendek untuk segera menebar dan menutup kemungkinan perlawanan yang berarti bagi Sidanti.
Sidanti yang melihat kilatan ujung senjata dari segala pihak segera menempatkan dirinya dalam kewaspadaan tertinggi. Ia mengharap bahwa pepohonan dan pagar pategalan itu dapat membantunya. Ketika ia memandang dengan sudut matanya, maka dilihatnya Argajaya telah berhasil mendesak keempat lawannya sehingga keempatnya harus berjuang sekuat tenaga mereka untuk bertahan dan menghindari sambaran ujung tombak pendek orang kedua dari Menoreh itu. Sedang di tempat lain, gurunya bertempur mati-matian melawan Sumangkar. Namun, dalam sekilas, Sidanti tidak dapat melihat, siapakah yang berada dalam keadaan lebih baik dari mereka berdua itu.
“Kau tidak akan mendapat bantuan dari siapa pun,” geram Widura.
“Persetan!” teriak Sidanti.
“Aku memberi kesempatan terakhir.”
Sidanti tidak menjawab. Tetapi matanya seolah-olah menyala karena kemarahannya.
Widura yang melihat keempat prajuritnya terdesak melawan ketangkasan Argajaya, maka segera dilepaskannya dua orangnya untuk membantu keempat kawannya. Sedang sisanya segera bergerak mendekati Sidanti dari arah yang berbeda-beda.
Tetapi, bagi Sidanti tidak ada seleret pikiran pun untuk menyerahkan diri. Kalau Widura berhasil menangkapnya, maka ia hanya akan menangkap mayatnya. Dengan demikian, maka Sidanti itu pun menjadi seolah-olah wuru. Tidak ada pertimbangan lain soal itu kecuali mati.
Tetapi, agaknya gurunya, Ki Tambak Wedi mempunyai perhitungan tersendiri. Sambil bertempur ia melihat apa yang telah dihadapi oleh Argajaya dan Sidanti. Ia melihat bahwa keadaan Argajaya tidak begitu membahayakan. Meskipun demikian dua orang baru yang di tempatkan Widura untuk melawan orang itu, agaknya akan segera mengganggu keseimbangan. Tetapi yang membuat ia cemas adalah Sidanti. Orang tua itu menyadari, bahwa untuk melawan Widura seorang diri, Sidanti belum pasti akan dapat memenangkannya meskipun ilmu Sidanti bertambah maju. Apalagi kini ia harus menghadapi Widura itu bersama delapan orang prajurit pilihan. Suatu kekuatan jauh di luar kemampuan Sidanti untuk mengimbanginya.
Sedang Ki Tambak Wedi sendiri telah terikat dalam pertempuran melawan Sumangkar, yang sama sekali tidak diduga-duganya akan berada di Sangkal Putung.
Itulah sebabnya, maka Ki Tambak Wedi berusaha untuk memecahkan persoalan yang dihadapinya dengan secepat-cepatnya. Sambil berkelahi ia masih sempat melihat apa yang dilakukan. oleh Argajaya dan Sidanti. Ia melihat Widura telah siap untuk berbuat sesuatu atas Sidanti. Meskipun tampaknya Sidanti tidak ingin mundur karena kekerasan hatinya, tetapi bagi Ki Tambak Wedi perbuatan itu sama sekali tidak akan berarti apa-apa. Seandainya Sidanti terbunuh, maka kematiannya benar-benar kematian yang sia-sia.
Karena itu, sebelum Sidanti terlibat dalam perkelahian yang sangat berbahaya baginya, Ki Tambak Wedi harus mengambil suatu sikap.
Dan sikap itu ternyata kemudian, ketika di pategalan itu terdengar suitan nyaring. Itu adalah aba-aba yang diberikan oleh Ki Tambak Wedi.
Sidanti sendiri terkejut mendengar aba-aba itu. Terasa untuk sejenak jantungnya meronta. Sebagai seorang laki-laki yang keras hati, tanda-tanda itu telah memperkecil arti kejantanannya. Namun sejenak kemudian terasa suatu sikap baru di dalam dirinya. Sikap yang hampir-hampir tidak dipikirkan sebelumnya. Yaitu menghindar untuk sementara.
“Menghindar bukan berarti mengaku kalah,” kata Sidanti di dalam hatinya.
Ketika sekali lagi ia mendengar suara gurunya bersuit nyaring, maka ia telah memutuskan untuk menerima keadaan itu, betapa pedih terasa di dadanya. Tetapi anak muda itu bertekad untuk suatu saat dapat berbuat sesuatu. Ia ingin menebus segala kegagalan yang pernah dialaminya dalam petualangannya di sekitar Gunung Merapi ini.
Tetapi Widura ternyata dapat menangkap isyarat yang diberikan oleh Ki Tambak Wedi. Widura mengerti bahwa Ki Tambak Wedi ingin melepaskan dirinya. Karena itulah maka ketika terdengar suitan Ki Tambak Wedi untuk kedua kalinya, maka suitan itu seolah-olah aba-aba yang diberikannya kepada Widura untuk mulai menyerang Sidanti.
Sidanti yang sudah siap untuk menyingkir, masih sempat melihat para prajurit Pajang berloncatan dari beberapa arah. Tetapi untunglah bahwa Sidanti telah memperhitungkan keadaan pategalan itu sejak lama, Karena itu, maka segera ia menyelinap di antara pepohonan dan rimbunnya daun-daun perdu di dalam pategalan itu. Anak muda itu menyelinap di antara gerumbul-gerumbul salak yang tumbuh liar, di samping batang-batang melandingan dan pohon buah-buahan.
Melihat sikap itu, Widura mengumpat di dalam hatinya. Tetapi dengan prajurit-prajuritnya ia berusaha untuk mengejarnya. Bukan saja Sidanti, tetapi juga Argajaya dan Ki Tambak Wedi sendiri. Namun mengejar orang-orang yang cukup berilmu itu di dalam pategalan yang rimbun dan cukup pepat oleh tumbuh-tumbuhan perdu dan pohon buah-buahan, di malam yang gelap adalah pekerjaan yang cukup sulit. Itulah sebabnya, maka baik Widura sendiri, Sumangkar, maupun para prajurit Pajang terpaksa mengumpat di dalam hati masing-masing. Setelah sekian lama mereka berkejaran, namun mereka tidak berhasil menangkap ketiga orang ini.
Sesaat kemudian, mereka masih mendengar suara suitan Ki Tambak Wedi di kejauhan. Widura, Sumangkar, dan para prajurit dapat mengerti, bahwa suitan itu adalah tanda-tanda yang diberikan oleh Ki Tambak Wedi. Namun demikian tanda-tanda itu tidak segera dapat dipecahkan oleh Widura maupun oleh Sumangkar. Mereka hanya dapat mengerti maksudnya, tetapi mereka tidak dapat mengerti arti yang sebenarnya.
Akhirnya, Widura terpaksa menghentikan pengejarannya. Widura menyadari bahaya yang dapat timbul, apabila pengejaran itu dilakukan terus. Widura mencemaskan para prajuritnya, apabila tiba-tiba saja satu demi satu mereka akan ditemui oleh Ki Tambak Wedi. Dalam kejar-mengejar hal yang demikian itu akan mungkin terjadi. Apalagi Ki Tambak Wedi mampu membunuh orang dari kejauhan dengan gelang-gelang besinya. Seandainya kali ini pun Ki Tambak Wedi membawa banyak gelang-gelang besi itu, maka akibatnya akan sangat berbahaya. Seandainya ia kehabisan gelang-gelang besinya, maka kecakapannya membidik itu akan dapat juga dipergunakan dengan benda yang ditemuinya di sembarang tempat. Batu-batu misalnya atau apa saja.
Sejenak kemudian Sumangkar, Widura, dan para prajuritnya telah berkumpul kembali. Meskipun tidak ada yang terbunuh, namun peronda yang pingsan karena terlempar dari punggung kudanya, ternyata mengalami luka yang cukup parah. Punggungnya terantuk segumpal padas yang tajam. Seorang lainnya yang bertempur melawan Argajaya terluka di pelipis dan yang seorang lagi di lengannya. Untunglah bahwa luka-luka itu bukan luka yang parah. Meskipun demikian, mereka harus segera mendapat perawatan. Sumangkar segera memberi mereka obat yang dapat menawarkan mereka dari gigitan warangan yang mungkin diberikan pada ujung tombak Argajaya.
“Tubuhku terasa panas sekali,” prajurit-prajurit yang terluka itu mengeluh.
Sumangkar mengerutkan keningnya. Katanya kemudian, “Nah, aku memang menyangka, bahwa ada racun warangan Betapapun lemahnya di ujung tombak Argajaya. Untunglah bahwa racun itu belum mencengkeram jantungmu, sehingga berhenti berdenyut.”
Prajurit-prajurit yang terluka itu tidak menyahut. Dengan susah payah mereka diangkat oleh kawan-kawan mereka untuk dibawa ke kademangan.
“Selama ini kita tidak melihat Kiai Gringsing,” gumam Widura di sepanjang jalan menuju ke halaman Kademangan Sangkal Putung.
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebenarnya ia pun mengharap Ki Tanu Metir untuk segera datang sebelum mereka kehilangan ketiga orang buruan itu. Tetapi agaknya Ki Tanu Metir memerlukan waktu untuk menyusulnya.
“Aku sebenarnya mengharapkannya,” berkata Widura kemudian.
“Aku juga,” sahut Sumangkar. “Apabila Kiai Gringsing hadir dalam pertempuran ini, maka aku kira Ki Tambak Wedi akan dapat ditangkap, mati atau hidup.”
“Ya, itulah sebabnya aku mengharapkannya. Tetapi ternyata ia tidak datang. Kehadirannya bersama Swandaru dan Agung Sedayu akan sangat berarti dalam pertempuran ini.”
“Ya,” Sumangkar menyahut, “aku kira ketiganya akan datang juga. Tetapi mereka memerlukan waktu.”
“Waktu telah cukup panjang.”
“Belum cukup bagi mereka,” Sumangkar berhenti sejenak, lalu katanya kemudian, “Aku bersama mereka di Gunung Gowok ketika para peronda melemparkan panah sendaren.”
“Oh.”
“Aku segera meninggalkan mereka dengan kudaku. Tetapi mereka tidak membawa seekor kuda pun.”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya, “Apakah kalau mereka berjalan cepat-cepat, masih juga belum sampai di tempat perkelahian itu?”
“Belum Ngger. Mereka masih harus melintasi bulak dan pategalan. Jarak antara Gunung Gowok sampai ke ujung pategalan tempat perkelahian itu cukup panjang.”
“Mungkin mereka dapat singgah di kademangan untuk mengambil beberapa ekor kuda.”
“Itu pun memerlukan waktu. Mereka harus menyiapkan kuda-kuda mereka, kemudian menyusul kita kemari.”
“Apabila demikian kita harus bertemu mereka di jalan kembali ini.”
“Juga belum pasti. Kiai Gringsing dapat mengambil jalan yang lain karena mereka tidak tahu, jalan manakah yang kita lalui.”
Widura terdiam. Memang hal-hal yang serupa itu dapat terjadi. Ia menyesali bahwa ia tidak berhasil menahan ketiga orang itu agak lama untuk memberi kesempatan Kiai Gringsing hadir di tempat itu. Dengan demikian maka kemungkinan yang terbesar adalah Ki Tambak Wedi akan dapat ditangkap, hidup atau mati. Tetapi, kini mereka telah berhasil melepaskan dirinya. Dan semua perbuatan-perbuatannya masih akan dapat diulangi. Dengan merucutnya Ki Tambak Wedi, maka bahaya masih saja setiap saat menerkam kademangan ini dan seperti yang dikatakan oleh Ki Tambak Wedi, kademangan-kademangan lainnya akan dapat menjadi pelepasan kesal dan dendam orang-orang yang licik itu. Terutama yang telah membuat hubungan kurang baik dengan salah seorang dari mereka adalah Prambanan.
Dalam pada itu, Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya berdiri di pategalan itu di ujung yang lain. Dengan wajah yang seolah-olah menyalakan kemarahannya, setiap kali terdengar Ki Tambak Wedi menggeram.
“Kenapa kita tidak tahu bahwa Sumangkar, bunglon gila itu berada di sini?” desis Ki Tambak Wedi.
Sidanti dan Argajaya tidak menjawab. Seharusnya merekalah yang melontarkan pertanyaan itu kepada Ki Tambak Wedi. Namun bagi keduanya, hal itu sudah bukan merupakan pertanyaan lagi. Setiap hari mereka hanya berusaha menyembunyikan diri saja. Mereka tidak ingin dikenal sebagai Ki Tambak Wedi, Sidanti dan Argajaya. Sebab apabila demikian, maka Sangkal Putung akan meningkatkan kewaspadaan mereka semakin tinggi. Para peronda akan memperlengkapi diri dengan syarat-syarat perlawanan yang cukup bagi mereka. Itulah sebabnya, maka hubungan mereka hampir terputus sama sekali dengan orang-orang di sekitar tempat mereka bersembunyi. Hanya sekali-sekali mereka mendatangi satu dua rumah dengan menutup muka mereka agar tidak seorang pun yang dapat mengenal. Mereka hanya memerlukan makan dan sekedar bekal untuk segera menghilang lagi ke dalam hutan-hutan yang tidak terlampau lebat di sekitar Kademangan Sangkal Putung, untuk setiap saat muncul dan mencegat para peronda. Dengan tidak segan-segan mereka membunuh prajurit-prajurit yang tentu tidak akan mampu melawan mereka bertiga, meskipun seandainya jumlah prajurit itu berlipat tiga dari jumlah mereka. Apalagi hanya dua sampai lima orang.
“Sekali lagi tercoreng arang di wajah kita,” gumam Ki Tambak Wedi dengan nada yang terlampau dalam. “Sumangkar telah turut serta menghalang-halangi kesenangan kita.”
“Ya,” sahut Sidanti. “Apakah kita akan tinggal diam untuk seterusnya.”
Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya.
“Kita harus menebus semua kekalahan ini,” geram Sidanti.
“Sidanti,” berkata Argajaya kemudian, “kau masih memiliki kemungkinan itu. Bukankah kau putera Kakang Argapati. Kepala Tanah Perdikan Menoreh?”
“Ya, aku adalah putera dari Menoreh,” sahut Sidanti. “Bukankah begitu guru?”
Ki Tambak Wedi menganggukkan kepalanya. Tetapi tampaklah ia agak ragu.
“Bukankah guru sendiri sering mengatakan demikian?”
“Ya,” sahut Ki Tambak Wedi.
“Kita harus menebus segala kekalahan,” sekali lagi Sidanti menggeram.
Tetapi Ki Tambak Wedi tidak segera menanggapi angan-angan Sidanti tentang tanah perdikannya. Tampaklah orang tua itu kini dicengkeram kebimbangan.
“Apakah kita akan membiarkan diri kita dihinakan begini jauh guru?”
Ki Tambak Wedi masih berdiam diri. Matanya memandang jauh menembus gelapnya malam, seolah-olah ia ingin melihat apakah yang tersimpan di balik layar yang hitam pekat.
“Bagaimana guru?” bertanya Sidanti. “Bagaimanakah pertimbangan guru tentang hal ini?”
Ki Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam. Dihirupnya udara malam yang dingin sebanyak-banyaknya, seakan-akan orang tua itu ingin mendinginkan dadanya yang sedang membara.
“Ya, Kiai,” terdengar Argajaya menyambung. “Sidanti adalah putera Kakang Argapati. Aku pun tidak rela melihat putera Kakang Argapati itu dihinakan orang di lereng Merapi ini.”
Perlahan-lahan Sidanti dan Argajaya melihat Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ternyata jawabannya masih melontarkan keragu-raguannya, “Mungkin demikian, Ngger.”
“Kenapa Kiai ragu-ragu,” bertanya Argajaya. “Apakah Kiai ingin berbuat lain, atau mempunyai perhitungan lain?”
Ki Tambak Wedi belum menjawab.
“Kiai,” berkata Argajaya, “Sidanti adalah putera seorang yang bukan saja mempunyai wewenang tertinggi di daerahnya, tetapi ayah Sidanti adalah seorang yang pilih tanding. Aku tidak tahu, siapakah yang lebih tua di dalam umur dan ilmu dengan Ki Tambak Wedi sendiri, tetapi setidak-tidaknya Kakang Argapati akan menjadi seorang yang dapat dihadapkan baik melawan Sumangkar maupun Ki Tanu Metir seandainya mereka bersama-sama berada di daerah ini. Jati Anom atau Sangkal Putung. Kakang Argapati akan dapat bersama-sama dengan Kiai, berhadapan dengan siapa pun di sekitar lereng Merapi ini.”
Ki Tambak Wedi sekali lagi mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Bukankah begitu?” bertanya Argajaya.
“Ya, Ngger,” jawab Ki Tambak Wedi pendek.
“Tetapi kenapa Kiai menjadi ragu-ragu?”
“Sebenarnyalah bahwa aku ragu-ragu,” desis Ki Tambak Wedi.
“Kenapa?”
“Apakah Argapati dapat mengerti, apa yang sebenarnya terjadi atas puteranya?”
“Kenapa tidak?” sahut Argajaya. “Aku akan menjadi saksi. Aku melihat sendiri, betapa perlakuan orang-orang Pajang sangat menyakitkan hati.”
........bersambung ke Jilid 29
Tidak ada komentar:
Posting Komentar