API di BUKIT MENOREH
Karya S.H Mintardja
“GILA!” Sorohpati menggeram. Kemudian katanya di dalam hati, “Sesudah Kangjeng Kiai Pleret, kini Kangjeng Kiai Mendung. Apakah artinya ini semua? Apakah sebenarnya Kangjeng Sultan di Pajang sudah mengetahui bahwa kekuasaan Pajang akan berpindah ke Mataram?”
Sejenak Sorohpati berdiam diri. Kemudian seperti orang terbangun dari mimpinya, ia melihat dua orang lewat beberapa langkah di hadapannya.
“Pergilah!” tiba-tiba Sorohpati menggeram. “Sebentar lagi fajar akan menyingsing. Kau harus segera bersiap meninggalkan Mataram. Katakan kepada Ki Rambatan, bahwa pesannya sudah sampai padaku.”
“Baiklah, Ki Sorohpati.”
“Ingat, jangan membunuh diri dengan kebodohan dan kesalahan yang tidak perlu.”
Orang itu menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi ia pun kemudian sadar, bahwa ia sudah berada di dalam lingkungan yang kelam.
Semisal orang yang menyeberangi sungai, ia sudah terlanjur basah. Karena itu, ia tidak akan dapat ingkar lagi.
Prajurit itu menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba ia berkata kepada diri sendiri, “Aku adalah seorang prajurit. Sejak aku memasuki lingkungan ini, aku sudah mengerti, bahwa aku akan bermain-main dengan nyawaku. Jika permainanku kali ini dapat mendatangkan kesenangan, kenapa aku harus menepi dan bahkan lari ?”
Dengan demikian, prajurit itu tidak lagi menjadi gelisah. Ia sudah berdiri ditempatnya dengan tenang, bahkan kemudian dengan sepenuh hati.
Sejenak kemudian ia sudah meninggalkan Ki Sorohpati. Ia tidak menampakkan dirinya di daerah persinggahan prajurit-prajurit Pajang yang mengawal beberapa orang pemimpin, dan Senapati yang sedang melayat. Karena itu, ia dengan diam-diam berhasil meninggalkan halaman rumah Ki Gede Pemanahan dan berhasil meninggalkan Mataram apabila matahari telah naik.
Sementara itu, di halaman rumah Ki Gede Pemanahan nampak kesibukan mulai meningkat. Hari itu juga, jenazah Ki Gede akan dikebumikan dengar upacara, karena sebenarnyalah bahwa Ki Gede adalah orang yang cikal bakal tanah Mataram yang dibuka dengan menetas hutan yang lebat dan berbahaya, Alas Mentaok.
Karena itulah, maka seluruh tanah Mataram yang sedang dibuka itu pun diliputi perasaan duka cita. Mereka tidak menyangka, bahwa secepat itu Ki Gede Pemanahan harus meninggalkan mereka. Meninggalkan Alas Mentaok yang sudah mulai terbuka dan dikenal oleh Pajang dan daerah yang tersebar dari ujung Barat sampai ke ujung Timur.
Bukan saja dari Mataram dan Pajang. Tetapi ternyata berita meninggalnya Ki Gede pemanahan cepat tersebar. Sahabatnya dari padukuhan-padukuhan terpencil pun memerlukan datang menghormat jenazahnya.
Ketika matahari mulai merambat naik di atas cakrawala, maka Mataram benar-benar menjadi sibuk. Hampir setiap orang telah keluar dari rumahnya memenuhi jalan-jalan. Sebagian dari mereka berduyun-duyun mendekati rumah Ki Gede Pemanahan, yang lain menunggu di jalan-jalan yang akan dilalui oleh jenazah pemimpin Tanah Mataram itu.
Para pedagang dan perantau yang kebetulan berada di Mataram pun telah terhenti untuk ikut memberikan penghormatan terakhir. Mereka menunda perjalanan mereka barang setengah hari sambil menunggu jenazah diberangkatkan ke makam. Dan mereka lah yang kemudian telah menyebarkan berita tentang kematian Ki Gede Pemanahan ke segala penjuru.
Ketika saatnya telah tiba, maka jenazah pun telah disiapkan dalam keranda di pendapa. Para senapati dan pemimpin dari Pajang serta para keluarganya duduk melingkari keranda itu, sementara semua persiapan diselenggarakan.
Sejenak kemudian, maka para senapati dan pemimpin pemerintahan dari Pajang, para pemimpin di Mataram dan keluarga Ki Gede yang ada di Mataram dan yang datang dari Sela pun turun ke halaman. Para pengawal Tanah Mataram segera mengangkat keranda itu dan membawanya ke halaman pula.
Orang-orang yang ada di halaman itu pun menundukkan kepala, ketika mereka mendengar doa mengumandang di sela-sela isak tangis keluarga Ki Gede. Bau yang harum mengambar menusuk setiap hidung yang sedang menunduk. Namun bau yang harum itu telah menambah hati menjadi semakin sendu.
Dalam pada itu, seorang pengawal berdiri dengan kepala tunduk. Tanpa disadarinya, terasa titik air yang menghangat di pipinya.
Dengan lengan bajunya, pengawal itu mengusap matanya. Sementara itu, tangannya yang lain dengan gemetar menggenggam sebuah songsong berwarna kuning bergaris hijau.
Orang itu adalah Ki Lurah Branjangan. Ia merasa seperti kehilangan saudara tua sendiri. Bahkan Ki Gede Pemanahan bukan saja seperti kakak kandungnya, tetapi sekaligus gurunya. Meninggalnya Ki Gede telah benar-benar menggetarkan jantung Ki Lurah Branjangan, yang mulai melihat Mataram menjadi berkembang.
Di belakangnya, seorang anak muda berdiri tegak seperti patung. Dengan wajah yang beku ia memandang orang-orang yang sibuk mengatur persiapan keberangkatan jenazah itu. Tetapi rasa-rasanya anak muda, yang tidak lain adalah Sutawijaya itu, tidak dapat lagi menahan gejolak perasaannya. Ada semacam perasaan bersalah bergejolak di dadanya. Ia pada saat terakhir tetap tidak mau menurut perintah ayahandanya, sampai ayahandanya menghadap kembali kepada Tuhannya. Ia tetap tidak mau pergi ke Pajang menghadap Kangjeng Sultan Hadiwijaya.
Sutawijaya menggigit bibirnya ketika terasa matanya menjadi panas. Tetapi rasa-rasanya air matanya tidak dapat terbendung lagi.
Namun Sutawijaya tidak mau menunjukkan kelemahan hatinya. Karena itu, mumpung masih ada kesempatan, ia pun segera berlari masuk ke dalam untuk menghapus air mata, yang sudah mulai mengembun di matanya.
Tetapi ketika ia akan kembali ke halaman depan, ia tertegun. Lamat-lamat ia masih mendengar doa yang menggema di halaman, serasa menyusup sampai ke tulang. Namun ia tidak mengerti kenapa tiba-tiba saja ia ingin masuk ke sentong tengah yang ditutup dengan sebuah tirai yang menggantung rapat.
Ia adalah penghuni rumah itu. Bahkan ia adalah pewaris rumah itu. Bukan saja rumah itu, tetapi Mataram dengan isinya. Namun rasa-rasanya saat itu bulunya meremang, ketika tangannya meraba tirai yang tergantung di muka pintu.
Perlahan-lahan ia membuka tirai itu. Dan dadanya pun bergejolak ketika terlihat olehnya, sebuah payung yang ditutup dengan selongsong putih,
“Payung inilah yang kemarin dibawa oleh Ki Juru Martani,” berkata Sutawijaya kepada diri sendiri.
Tiba-tiba saja Sutawijaya tidak dapat menahan nafasnya. Perlahan-lahan ia mendekati payung itu dengan dada yang berdebar-debar. Namun, ketika ia meraba selongsong payung itu, rasa-rasanya darahnya berhenti mengalir dan nafasnya menjadi sesak. Tangannya terasa gemetar dan menjadi lemah.
Perlahan-lahan Sutawijaya melangkah surut. Sesuatu terasa telah mengusik hati. Tetapi ia berkata di dalam hatinya, “Tentu tidak apa-apa. Keragu-raguan dan kecemasanku sendirilah yang telah menghentikan jantungku berdetak, sehingga rasa-rasanya aku kehilangan segenap kekuatan.”
Meskipun demikian, Sutawijaya ingin mempengaruhi perasaan sendiri agar kegelisahan dan debar dadanya tidak berulang. Perlahan-lahan ia maju lagi dan mengangkat tangannya, menyembah songsong yang masih tertutup itu.
Baru kemudian ia mendekat lagi. Kali ini ia berhasil menyentuh, bahkan menarik selongsong payung itu. Payung yang berwarna kuning seutuhnya.
“Kuning emas,” desisnya, “tentu songsong ini lebih bagus dari songsong yang dipakai untuk mengiringi jenazah ayahanda itu.”
Sejenak, Sutawijaya berdiri mematung. Tiba-tiba saja tumbuh keinginannya untuk mempergunakan payung itu. Payung yang menurut pendapatnya lebih bagus dari payung yang dipergunakan untuk memayungi jenazah ayahandanya.
Karena itu, Sutawjaya pun kemudian tidak berpikir panjang. Diambilnya payung itu dan dibawanya berlari keluar.
Pada saat itu, upacara pemberangkatan jenazah sudah selesai. Ki Juru Martani yang memimpin upacara itu pun kemudian mempersilahkan keluarga Ki Gede untuk melakukan upacara sumurup. Putera dan seluruh keluarganya berturut-turut menyusup di bawah jenazah, sebelum jenazah itu berangkat ke makam.
“Dimana Angger Sutawijaya?” bertanya KI Juru.
“Ya, dimana?”
Ki Lurah Branjangan berpaling. Raden Sutawijaya semula berdiri di belakangnya. Tetapi anak muda, itu sudah tidak ada.
“Panggil Jebeng Sutawijaya,” berkata Ki Juru, “ia pun harus ikut dalam upacara sumurup ini.”
Tetapi sebelum orang yang disuruhnya mencari beranjak dari tempatnya, semua orang yang ada di halaman itu pun terkejut ketika mereka melihat Sutawijaya berlari-lari sambil membawa sebuah payung bertangkai panjang. Payung yang berwarna kuning emas seluruhnya.
Yang paling terkejut di antara mereka adalah Ki Juru Martani. Payung itu adalah payung yang dibawanya dari Pajang, yang diletakkannya di sentong tengah. Payung itu masih belum diserahkannya dengan resmi kepada Sutawijaya, dan ia pun masih belum mengatakan pesan dan perintah yang dikatakan oleh Kangjeng Sultan Pajang bagi anak muda itu.
Tetapi kini Sutawijaya membawa payung itu berlari-lari ke halaman. Payung yang mempunyai arti tersendiri, bukan sekedar payung yang mempunyai warna yang menarik.
“Angger Sutawijaya,” Ki Juru Martani menghentikannya.
Tetapi Sutawijaya seolah-olah tidak mendengarnya. Dengan serta merta payung berwarna kuning emas dan bertangkai panjang itu pun dibukanya.
Demikian payung itu terbuka, maka setiap Senapati dan prajurit serta para pemimpin Pajang, terkejut bukan buatan. Bahkan Ki Juru Martani pun rasa-rasanya membeku di tempatnya. Ternyata yang ada di tangan Raden Sutawijaya itu adalah benar-benar songsong kebesaran Demak, yang telah di bawa ke Pajang, Kiai Mendung.
Ki Juru Martani menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Payung itu telah terbuka.
Ketika ia membawa payung itu dari Pajang, ia sama sekali tidak mengerti, bahwa payung itu adalah Kiai Mendung. Baru kini setelah payung itu terbuka, dan nampak pada jari-jarinya gemerlapnya permata, yang didapatkannya dari pecahan batu yang jatuh dari langit yang terselut emas, serta rumbai-rumbai yang justru berwarna hitam, tidak pada tepi payung tetapi pada pangkal jari-jarinya.
Dalam pada itu, Kiai Gringsing yang melihat pula payung itu pun menjadi berdebar-debar. Hampir di luar sadarnya ia menekan dadanya. Payung itu adalah payung kebesaran. Bagi Kiai Gringsing payung itu sudah dikenalnya sejak lama, seperti juga para pemimpin Pajang yang lain. Juga Ki Sumangkar sudah mengenal payung itu. Bahkan Ki Waskita yang belum pernah melihat Kiai Mendung seutuhnya, langsung dapat menyebut, bahwa payung itu adalah Kai Mendung.
Suasana di halaman rumah Ki Gede Pemanahan itu menjadi tegang. Setiap mata memandang payung yang telah terbuka itu, dan yang dengan langkah yang pasti dibawa oleh Sutawijaya mendekati jenazah ayahandanya.
“Guru,” bisik Agung Sedayu yang berdiri di samping Kiai Gringsing, “payung apakah itu?”
“Itu adalah songsong yang bernama, Kangjeng Kiai Mendung,” desis Kiai Gringsing.
Agung Sedayu tidak bertanya lebih lanjut. Ia mengerti bahwa payung itu tentu mempunyai arti tersendiri, sehingga setiap orang bagaikan mematung memperhatikannya.
Ki Juru Martani pun kemudian perlahan-lahan mendekati Sutawijaya yang berdiri termangu-mangu. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Ki Juru menepuk bahu Raden Sutawijaya. Rasa-rasanya mulutnya terlampau sulit untuk mengatakan sesuatu.
Sutawijaya pun termangu-mangu sejenak. Ia tidak mengerti apakah sebenarnya yang telah terjadi. Sebagai seorang anak yang masih sangat muda, ia kurang mengerti arti dari payung yang berwarna kuning emas dan bernama Kangjeng Kiai Mendung itu. Ia memang pernah melihat songsong itu dimandikan pada bulan pertama disetiap tahun. Tetapi ia tidak terlampau banyak mengerti makna dari payung itu. Ayahandanya pun belum pernah menceriterakan serba sedikit tentang payung itu kepadanya.
“Pamanda Ki Juru Martani,” berkata Raden Sutawijaya, “bukankah songsong yang pamanda bawa dari Pajang ini jauh lebih baik dari songsong yang dipergunakan untuk memayungi jenazah ayahanda itu? Dan bukankah Jenazah ayahanda pantas mendapat penghormatan yang tertinggi pada hari ini? Jika Pamanda membawa songsong yang apabila tidak salah bernama Kangjeng Kiai Mendung ini dari Pajang, tentu Kangjeng Sultan sudah mengijinkannya apabila payung ini dipergunakan di Mataram.”
Perlahan-lahan Ki Juru Martani mengangguk. Baru setelah ia berusaha mengatur nafasnya, ia dapat menjawab, “Ya, ya, Sutawijaya. Ayahandamu memang berhak mempergunakan payung itu.”
Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat membaca, gejolak hati Ki Juru yang berkata kepada dirinya sendiri, “Agaknya memang sudah pasti, bahwa Ki Gede Pemanahan akan menurunkan seorang yang akan menjadi seorang raja yang besar di tanah ini.”
Dengan demikian, maka Ki Lurah Branjangan pun kemudian menguncupkan songsong yang dibawanya. Kemudian menerima songsong yang dibawa oleh Sutawijaya setelah ia menyembahnya.
“Hati-hati, Ki Lurah,” berkata Ki Juru Martani, “kau pernah menjadi seorang prajurit di Pajang. Prajurit-prajurit sebayamu tentu lebih banyak mengetahui tentang Kangjeng Kiai Mendung daripada anak-anak muda.”
“Ya, Ki Juru,” berkata Lurah Branjangan.
“Kangjeng Kiai Mendung mempunyai arti tersendiri di dalam perkembangan kerajaan Pajang, sejak dipindahkannya pusat pemerintahan dari Demak.”
“Ya, Ki Juru.”
“Nah, hormatilah songsong itu. Dan lebih daripada itu, jagalah baik-baik. Kau dapat memerintahkan sejumlah pengawal untuk mengawal songsong itu.”
Demikianlah, maka empat orang pengawal terpilih telah berada di belakang Ki Lurah Branjangan, dengan senjata di lambung, untuk mengawal songsong Kangjeng Kiai Mendung yang pada saat pemakaman Ki Gede Pemanahan itu dipergunakan.
Adalah di luar kemampuan nalar untuk memperhitungkannya, bahwa tiba-tiba langit menjadi buram. Selapis awan telah menebar di langit, sehingga sengatan terik matahari tidak terasa lagi menggigit kulit.
Setiap orang yang ada di halaman itu mencoba menghubungkan awan yang menebar di langit itu dengan songsong Ki Gede Pemanahan. Songsong Kangjeng Kiai Mendung adalah sebuah payung yang mempunyai kekuatan yang ajaib, sehingga awan pun terpengaruh olehnya apabila songsong itu dibuka. Betapa cerahnya langit, dan betapa panasnya cahaya matahari, maka apabila payung yang berwarna kuning emas dengan batu permata yang jatuh dari langit di jari-jarinya dan rumbai-rumbai hitam di pangkal jari-jari dibuka, maka awan pun akan segera menebar. Seolah-olah begitu saja tumbuh di udara.
Di antara mereka yang menyaksikan payung yang berwarna kuning emas itu adalah Sorohpati. Dengan dada yang berdebar-debar, ia berkata kepada diri sendiri, “Sebenarnyalah payung itu adalah Kangjeng Kiai Mendung.”
Sorohpati menarik nafas dalam-dalam. Kecemasan yang sangat telah merayap di hatinya, seolah-olah ia dihadapkan pada suatu kepastian, bahwa pimpinan pemerintahan akan berpindah dari Pajang ke Mataram.
“Apakah Kakang Panji tidak akan berhasil?” Ia bertanya kepada diri sendiri. “Guru Kakang Panji adalah keturunan langsung dari Prabu Brawijaya di Majapahit. Ia berhak memiliki tahta kerajaan yang temurun dari Majapahit ke Demak, kemudian ke Pajang itu daripada Sutawijaya, anak Ki Gede Pemanahan itu.”
Tetapi kemudian katanya, “Mula-mula Kanjeng Kiai Pleret, kemudian Kangjeng Kiai Mendung. Apakah kemudian Kangjeng Kiai Crubuk juga akan diberikan kepada Raden Sutawijaya, bahkan Kangjeng Kiai Sangkelat dan Kangjeng Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten? Jika demikian, maka kekuasaan Pajang akan benar-benar kering dari kekuatan genggaman wahyu, sehingga kekuasaan itu benar-benar akan bergeser ke Mataram.”
Namun Sorohpati pun kemudian menggeram sambil bergumam di dalam hati, “Tetapi jika benar-benar demikian, maka harus ada sarana yang dilakukan sehingga wahyu itu jengkar dari Mataram. Benda-benda yang keramat itu merupakan tempat hinggapnya wahyu, seperti sarang bagi seekor burung yang terbang di langit. Jika benda-benda itu dapat di kuasai oleh Kakang Panji, maka ia tentu akan menjadi sarang bagi wahyu kerajaan, apalagi gurunya adalah memang berdarah Majapahit. Darah Maharaja yang pernah menguasai seluruh kepulauan di sekitar pulau Jawa.”
Selain angan-sangan yang membubung, Sorohpati pun mencoba untuk menilai kekuatan yang ada di Mataram. Menjelang jenazah Ki Gede Pemanahan diberangkatkan, maka Sorohpati dapat melihat, pimpinan pengawal dan pimpinan pemerintahan di Mataram. Ia melihat senapati-senapati yang masih muda dengan wajah yang tegang dan keras. Wajah yang dibentuk di dalam kerasnya perjuangan melawan kelebatan Alas Mentaok, binatang buas dan orang-orang yang menentang dengan kekerasan usaha membuka hutan yang lebat dan buas itu.
“Mereka tentu anak-anak muda yang berhati dan bertubuh sekeras baja,” berkata Sorohpati kepada diri sendiri, “tetapi mereka tentu anak-anak muda yang bodoh dan dungu. Yang mereka kenal tidak lebih dari alat-alat untuk menebang hutan. Barangkali mereka berlatih mempergunakan pedang. Tetapi mereka akan mempergunakan pedang seperti mereka menebas batang-batang raksasa di Alas Mentaok. Mereka tidak akan dapat memperhitungkan, bahwa dalam olah kanuragan mereka akan bertemu dengan batang-batang yang dapat bergerak dan melawan, bukan batang-batang mati seperti pohon tal yang tegak tinggi tetapi mati.”
Dengan cermat Sorohpati mencoba menilai mereka. Sepeninggal Ki Gede Pemanahan, yang ada hanyalah Ki Juru Martani.
“Jika Ki Juru Martani tidak ada, Sutawijaya akan menjadi seorang diri. Ia tidak akan mampu memecahkan persoalan-persoalan yang pelik dan rumit.”
Ketika terpandang olehnya orang-orang tua yang ada di halaman itu, maka Sorohpati pun tersenyum, “Orang-orang tua itu pun hanyalah karena terlampau banyak menyimpan umur. Mereka tentu berkepala kosong dan dungu.”
Namun Sorohpati menjadi berdebar-debar ketika teringat olehnya, bahwa pada suatu saat, Panembahan Agung telah berhasil dimusnahkan oleh Sutawijaya dan orang-orang yaug berpihak kepadanya.
“Gila!” Sorohpati menggeram di dalam hati.
Namun Sorohpati tidak dapat ingkar dari kenyataan itu. Ia pernah mendengar ceritera tentang orang-orang bercambuk yang membantu orang-orang Mataram. Bahkan sejak Ki Gede Pemanahan masih menjadi Panglima di Pajang, dengan menahan laskar yang dipimpin oleh Tohpati di Sangkal Putung.
“Aku tidak yakin bahwa mereka benar-benar orang yang tidak terkalahkan seperti ceritera yang aku dengar. Panembahan Agung memang orang yang pilih tanding. Tetapi ia tetap seorang manusia yang mempunyai kelemahan. Dan orang-orang bercambuk itu pun adalah manusia yang mempunyai kelemahan,” berkata Sorohpati di dalam dirinya.
Sorohpati menarik nafas dalam-dalam. Agaknya semua upacara sudah selesai. Dan sejenak kemudian, jenazah Ki Gede Pemanahan pun dilepaskan meninggalkan halaman rumahnya.
Tangis yang tertahan-tahan terdengar mengiringi jenazah itu sampai ke regol halaman. Kemudian jerit yang melengking memecah ketegangan. Putri-putri Ki Gede tidak dapat menahan perasaannya, melepaskan ayahandanya pergi untuk selamanya.
Sutawijaya hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia berjalan terus mengikuti jenazah itu. Sudah ada orang- orang tua yang akan menyabarkan hati adik-adiknya yang ditinggalkannya di halaman. Orang-orang tua yang datang dari Sela, padukuhan asal orang tuanya.
Sejenak kemudian, maka sebuah iring-iringan yang panjang berjalan melalui jalan-jalan yang membelah kota Mataram. Jalan-jalan yang sudah nampak rata dan teratur dengan baik.
Perjalanan ke makam merupakan perjalanan yang cukup panjang. Namun seakan-akan memberi kesempatan kepada tamu-tamu yang datang dari luar Mataram untuk mengenal kota Mataram, yang sudah nampak menjadi besar dan ramai.
Sorohpati yang ada di antara para senapati dari Mataram itu pun menjadi heran. Sutawijaya kenar-benar seorang yang memiliki kemampuan yang tinggi. Dalam waktu yang terhitung pendek, ia dapat merubah Alas Mentaok menjadi sebuah kota yang menarik.
“Tetapi Ki Gede sekarang sudah tidak ada. Semuanya tentu atas petunjuk dan bimbingan Ki Gede Pemanahan,” berkata Sorohpati di dalam hati.
Namun ia dihadapkan pada kenyataan pula, bahwa Mataram memang sudah menjadi besar.
Pada saat Ki Gede Pemanahan meninggalkan Pajang untuk mulai dengan kerjanya, membuka Alas Mentaok, tidak banyak orang yang percaya bahwa ia akan berhasil. Bahkan beberapa orang senapati muda saat itu mentertawakan Raden Sutawijaya, yang dengan penuh kesungguhan mengatakan bahwa Alas Mentaok akan menjadi sebuah kota yang ramai.
“Itu tidak mungkin,” desis seorang senapati pada waktu itu, yang ternyata dapat didengar oleh Raden Sutawijaya.
Betapa telinga Raden Sutawijaya menjadi panas bagaikan tersentuh api. Dengan lantang anak muda itu pun kemudian berkata sambil berdiri di atas tangga paseban di Pajang, “Aku tidak akan menginjakkan kakiku di atas tangga ini sebelum Mentaok menjadi kota yang ramai.”
Dan kini apa yang dikatakan oleh Raden Sutawijaya itu sebagian sudah terwujud. Kota Mataram di atas Alas Mentaok yang sudah menjadi ramai, meskipun Raden Sutawijaya sendiri masih belum puas.
“Apalagi di Mataram kini tersimpan tombak Kangjeng Kiai Pleret, Songsong Kangjeng Kiai Mendung.”
Sorohpati menarik nafas dalam-dalam. Mataram ternyata telah maju dengan pesatnya.
Yang kemudian menjadi pertimbangan Sorohpati terutama ditujukan pada pusaka-pusaka yang ada di Mataram. Bagaimana pusaka-pusaka itu dapat dikuasainya.
“Tanpa Kangjeng Kiai Pleret, tanpa Songsong Kangjeng Kiai Mendung, maka Sutawijaya tidak akan dapat mempertahankan wahyu kerajaan.” Sorohpati termenung sejenak. Namun kemudian ia menggeram sambil berkata di dalam hati, “Tidak! Desas-desus itu adalah desas-desus ngayawara. Tentu dengan sengaja disebarkan oleh Ki Gede Pemanahan bahwa ia mendapatkan sebuah kelapa muda di paga di dalam dapur rumah Kiai Ageng Giring. Dengan sengaja, Ki Gede membuat ceritera seolah-olah kelapa muda itu mempunyai kekuatan yang ajaib bagi siapa yang dapat meneguk airnya sampai habis.” Sorohpati mengigit bibirnya. Ia masih berjalan dalam iring-iringan para senapati dan pemimpin dari Pajang, mengikuti jenazah Ki Gede Pemanahan, dalam iring-iringan yang semakin lama menjadi semakin panjang.
“Begitu mudahnya untuk menurunkan raja-raja di pulau Jawa,” berkata Sorohpati di dalam hatinya pula, “hanya dengan minum air kelapa muda sampai habis.”
Tetapi Sorohpati masih tetap sadar, bahwa ia berada di antara para senapati, sehingga ia tetap menyembunyikan gejolak perasaan di dalam dadanya itu.
Sementara iring-iringan yang semakin panjang itu pun merayap terus. Hampir seluruh penghuni kota telah berdiri berderet-deret di tepi jalan yang akan dilalui jenazah Ki Gede Pemanahan, untuk memberikan penghormatan yang terakhir. Mereka menyadari bahwa Mataram yang telah di bentuk dari ujudnya yang lama, sebuah hutan yang lebat dan penuh dengan bermacam-macam bahaya yang mengerikan, menjadi sebuah kota yang ramai, adalah karena tekad yang semula menyala hanya di dalam hati Ki Gede Pemanahan dan puteranya, Raden Sutawijaya. Baru kemudian api itu menjalar, dan seolah-olah telah membakar Alas Mentaok, dan menjelmakannya menjadi kota yang sekarang.
Karena itulah, maka meninggalnya Ki Gede Pemanahan bagi rakyat Mataram tidak kurang daripada meninggalnya seorang ayah yang sangat mereka cintai.
Dan pada hari itu, mereka melepas ayah mereka yang mereka cintai itu untuk dimakamkan dengan upacara kebesaran.
Mataram benar-benar sedang berkabung. Langit nampak suram dilapisi oleh mendung yang tipis. Tetapi awan yang kelabu itu nampaknya bukan awan yang cukup basah untuk menjatuhkan hujan.
Seperti para senapati dan pemimpin dari Pajang dan sebagian besar orang-orang yang mengiringi jenazah itu, maka rakyat Mataram pun menghubungkan awan yang merata di langit itu dengan wafatnya Ki Gede Pemanahan dan songsong yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Kuning keemasan, dengan permata di jari-jarinya dan rumbai-rumbai yang berwarna hitam, yang letaknya agak lain dengan songsong yang pernah mereka lihat.
Demikianlah, maka Ki Gede Pemanahan dimakamkan pada hari itu dengan upacara yang mengesan. Pada saat terakhir nampak betapa Ki Gede Pemanahan benar-benar seorang yang besar, yang dihormati oleh kawan-kawannya dan disegani oleh lawan-lawannya. Meskipun Ki Gede Pemanahan sendiri selalu menghindarkan diri dari pertentangan, tetapi di dalam hidupnya ia tidak sepi dari kesalahan dan tidak luput pula dari pertentangan, yang dapat saja timbul karena seribu satu macam sebab.
Beberapa orang yang tidak dapat menahan perasaannya, dengan gelisah mengusap mata mereka yang basah. Bahkan bukan saja perempuan, tetapi ada juga beberapa orang laki-laki yang tidak dapat menahan hatinya menyaksikn upacara pemakaman Ki Gede Pemanahan itu.
Sementara itu, Sorohpati dapat menyaksikan bahwa sebenarnya Mataram sudah mulai menjadi kuat. Tetapi Mataram masih belum merupakan bahaya yang sebenarnya bagi Pajang, jika Kangjeng Sultan bertindak tegas. Tetapi sebaliknya, Kangjeng Sultan malahan memberi ciri-ciri kebesarannya kepada Sutawijaya, seakan-akan Kangjeng Sultan Pajang lah yang dengan sengaja ingin memindahkan pusat pemerintahan ke Mataram.
“Tetapi Kangjeng Sultan harus ingat, bahwa ia juga berputera seorang laki-laki. Pangeran Benawa-lah yang seharusnya menggantikan kedudukannya, karena Pangeran Benawa adalah puteranya yang sebenarnya. Sedang Raden Sutawijaya adalah sekedar anak angkatnya. Persetan dengan desas-desus bahwa Sultan telah mengadakan hubungan dengan Nyai Gede Pemanahan, sehingga melahirkan Sutawijaya itu,” namun tiba-tiba Sorohpati tersenyum, “Ceritera yang menarik untuk menjatuhkan martabat Sutawijaya sendiri. Bahkan mungkin dapat mengurangi kewibawaan Sultan Pajang.”
Sorohpati yang berada di antara para senapati itu tiba-tiba mengangguk-angguk di luar sadarnya, sehingga senapati yang duduk di sebelahnya menggamitnya sambil berbisik, “Kenapa kau, Kakang Sorohpati?”
“O,” Sorohpati tergagap. Juga tanpa disadarinya ia mengusap matanya. Namun kemudian dengan sengaja ia berkata, “Mengharukan sekali. Mataram baru nampak mulai berkembang, Ki Gede sudah mendahului meninggalkan usaha yang mulai nampak hasilnya, dan meninggalkan Raden Sutawijaya berjuang sendiri meneruskan usaha yang besar itu.”
Senapati yang ada di sebelahnya mengangguk-angguk. Tetapi senapati itu berkata, “Raden Sutawijaya tidak sendiri.”
“Siapa? Ki Juru Martani? Mungkin ia dapat membantu, tetapi Ki Juru Martani adalah orang yang lebih senang hidup menyendiri dan mempelajari olah kajiwan, daripada melihat kenyataan hidup dan berjuang untuk mengembangkannya.”
“Tetapi tentu ia dapat memberikan banyak petunjuk,” Jawab senapati itu, “selebihnya, tentu Kangjeng Sultan sendiri tidak akan membiarkannya.”
Terasa dada Sorohpati tergetar. Bahkan kemudian ia mengumpat di dalam hati, “O, senapati yang dungu. Sebentar lagi Pajang tentu akan digilas oleh ketamakan Sutawijaya.”
Namun kemudian Sorohpati itu pun berkata pula di dalam hati, “Memang keduanya harus dimusnahkan. Mataram, kemudian Pajang. Jika Kakang Panji dan gurunya berhasil membenturkan Pajang dan Mataram, maka separo dari tugas kami sudah selesai. Sedangkan Pangeran Benawa bagi kami tidak akan ada artinya apa-apa. Meskipun secara pribadi dan dalam olah kanuragan ia memiliki kelebihan seperti ayahandanya, tetapi jiwanya sangat lemah dan seolah-olah hidup baginya hanyalah sebuah perjalanan yang tanpa tujuan selain menuju ke lubang kubur. Dan itu sebagian terbesar adalah kesalahan Karebet, yang mabuk kamukten. Ia menghabiskan kesenangan dan kepuasan hidup bagi dirinya sendiri, sehingga anak laki-lakinya menjadi sangat prihatin menyaksikan cara hidupnya. Akhirnya Pangeran Benawa menjadi seorang pendiam yang sama sekali tidak bercita-cita.”
Namun dengan demikian, kedatangan Sorohpati ke Mataram ternyata mendapatkan banyak sekali bahan-bahan yang dapat diperbincangkan dengan orang yang disebutnya Kakang Panji. Ia tidak menghiraukan lagi tawanan yang tertangkap oleh Ki Juru Martani dan yang masih ditahan di Mataram.
“Persetan dengan orang itu,” gumamnya di dalam hati. “Ki Legawa sudah mati meskipun harus disertai oleh Ki Sanggabumi. Sayang, Ki Sanggabumi adalah seorang yang baik. Tetapi adalah tidak disangka-sangka bahwa ia harus mati sampyuh dengan Ki Legawa.”
Namun Ki Sorohpati tidak dapat menutup kenyataan bahwa hal itu sudah terjadi. Dan Ki Legawa bagi prajurit Pajang memang merupakan seorang perwira yang disegani, meskipun ia masih belum mencapai jenjang pangkat yang memadai.
“Mudah-mudahan Dadap Wereng tidak mati pula. Dan aku sempat berbuat sesuatu di hari mendatang. Keturunan Majapahit yang sebenarnya harus mendapatkan kembali kedudukannya,” namun kemudian, “Tetapi tidak hanya ada seorang keturunan Majapahit. Ada dua, tiga, dan bahkan mungkin berpuluh-puluh, yang tersebar di pulau Jawa dan Bali. Tetapi persetan.”
Sorohpati memang mengharap bahwa orang yang disebutnya Kakang Panji akan mendapatkan kemukten. Akan mendapatkan kedudukani yang tinggi, jika gurunya dapat menemukan kembali tahta Majapahit yang lenyap sejak berdirinya Demak.
“Memang nama Kakang Panji tidak akan dapat mengimbangi kebesaran nama Ki Gede Pemanahan dan putera angkat Sultan Pajang. Tetapi gurunya, keturunan langsung dari Majapahit,” berkata Sorohpati di dalam hatinya. Dan berkali-kali ia menyebut di dalam hatinya itu, bahwa keturunan Majapahit akan mendapatkan tempatnya kembali.
Demikianlah, maka jenazah Ki Gede pun telah dimakamkan dengan penghormatan yang besar, sesuai dengan perbuatan dan tindak-tanduknya semasa hidupnya. Meskipun ada pihak-pihak yang tidak senang melihat tumbuhnya Mataram, namun ternyata bahwa sahabat-sahabat Ki Gede masih tetap menghormatinya.
Setelah semua upacara pemakaman selesai seluruhnya, maka lautan manusia yang seolah-olah menenggelamkan seluruh makam itu pun mulai surut. Seperti saluran yang dibuka, maka mengalirlah orang-orang yang melayat itu ke segenap penjuru, meninggalkan makam Ki Gede Pemanahan. Makam yang ditandai dengan seonggok tanah merah dan dua buah kayu maejan. Setumpuk taburan bunga serta asap kemenyan, menumbuhkan bau yang semerbak namun mengharukan.
Beberapa orang tua, keluarga dan anak-anak muda yang dekat dengan Ki Gede Pemanahan, masih berdiri di sekitar makam yang baru itu. Ki Juru Martani memandang taburan bunga di seputar makam itu dengan wajah yang suram. Di sebelahnya, Raden Sutawijaya menggeretakkan giginya untuk menahan gejolak di dalam dadanya.
Di belakang mereka adalah Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, Ki Demang Sangkal Putung, Ki waskita dan Agung Sedayu serta Swandaru. Mereka sama sekali tidak mengucapkan sepatah kata pun. Hanya sekali-kali kedua anak-anak muda itu mengerling kepada songsong yang berwarna kuning emas, yang masih tetap terbuka di tangan Ki Lurah Branjangan.
“Marilah kita kembali,” berkata Ki Juru kemudian.
Raden Sutawijaya tidak menjawab. Sekilas ditatapnya wajah beberapa orang pengawal dan pengiring yang masih ada di sekitar makam itu. Kemudian di luar sadarnya, maka kepalanya pun menunduk dalam-dalam. Perlahan-lahan ia menggerakkan kakinya meninggalkan seonggok tanah yang masih merah dan ditaburi dengan setumpuk bunga itu.
Ki Juru Martani pun kemudian, menggamit Ki Lurah Branjangan yang tunduk. Matanya menjadi merah, dan kerongkongannya terasa panas.
“Payung itu harus ditutup,” berkata Ki Juru, “Pemakaman ini sudah selesai.”
Ki Lurah Branjangan tergagap. Kemudian perlahan-lahan ia menengadahkan wajahnya memandang jari-jari payung yang di bawanya. Jari-jari payung yang dihiasi dengan batu permata yang diketemukan jatuh dari langit.
Perlahan-lahan, terloncat kata-kata dari bibirnya, “Kangjeng Kiai Mendung. Ki Juru, apakah artinya bahwa Kangjeng Kiai Mendung berada di Mataram?”
Ki Juru menggelengkan kepalanya. Katanya, “Kita tidak dapat berbicara di sini. Marilah kita kembali. Aku akan mengatakan sesuatu kepadamu.”
Demikianlah, maka Ki Lurah Branjangan pun menutup songsong yang berwarna kuning emas itu. Kemudian dipandunya songsong itu seperti memandu sebatang tombak pusaka.
Hampir di luar sadar, beberapa orang bersama-sama menengadahkan wajahnya ke langit. Tepat pada saat upacara selesai, mendung bagaikan mengalir ke Utara. Langit menjadi jernih dan matahari mulai memancarkan panasnya serasa membakar kulit.
“Angin mulai bertiup,” desis seseorang, “dan mendung pun hanyut ke Utara.”
Kawannya mengangguk-angguk. Tetapi matanya mengerling kepada payung yang sudah tertutup. Payung yang disebut Kangjeng Kiai Mendung.
Agaknya kawannya yang mula-mula berbicara, melihat tatapan mata kawannya itu. Maka katanya, “Apakah kau menganggap bahwa karena Kangjeng Kiai Mendung ditutup, maka langit pun menjadi cerah dan mendung ini hanyut ke Utara?”
Kawannya ragu-ragu. Tetapi akhirnya ia mengangguk kecil.
“Aku tidak menolak, tetapi juga tidak mempercayai sepenuhnya,” desis kawannya.
Yang diajak berbicara sama sekali tidak berani menjawab. Ia bahkan berjalan semakin cepat, menjauhi kawannya yang mempersoalkan songsong yang berwarna kuning keemasan itu.
Namun ternyata bukan saja orang-orang itu yang membicarakannya. Bahkan Swandaru pun bertanya seperti orang itu, “Apakah ada pengaruhnya? Setelah payung itu ditutup, maka langit menjadi cerah.”
Agung Sedayu tidak menjawab. Namun terdengar Ki Waskita berbisik, “Angger Swandaru. Apakah kau merasakan silirnya angin?”
Swandaru mengangguk.
“Angin inilah yang telah menyingkirkan mendung di langit. Mendung yang tipis, sehingga dengan mudahnya hanyut oleh angin yang semilir.”
“Dan songsong itu.”
Ki Waskita tersenyum. Katanya, “Lihatlah. Di Utara mendung itu bagaikan tertimbun di lereng Gunung Merapi. Itu adalah mendung yang sebenarnya, karena dengan sedikit permainan aku dapat membuat mendung semu. Namun meskipun kita berada di bawah mendung yang tebal menggantung di langit, sengatan matahari tentu masih akan terasa menggigit tubuh kita.”
Swandaru mengerutkan keningnya. Ia tidak begitu mengerti maksud Ki Waskita. Karena itu, maka ia pun tidak memberikan tanggapan apa pun juga.
Agaknya Ki Waskita menyadari bahwa keterangannya tidak begitu dapat dipahami oleh Swandaru. Maka katanya, “Swandaru. Kadang-kadang kita memang dihadapkan pada suatu peristiwa yang sulit kita mengerti. Permainan yang terjadi di luar nalar. Tetapi jika yang seakan-akan terjadi itu bukannya yang seharusnya terjadi, maka kita tidak dapat menganggap bahwa hal itu telah terjadi. Seperti permainan semuku itu pun bukannya sesuatu yang dapat dianggap ada, karena memang sebenarnya tidak ada.”
Swandaru masih belum mengerti. Tetapi ia tidak dapat bertanya karena rasa-rasanya malu juga untuk terlampau berterus terang atas kemampuan berpikirnya yang masih belum masak.
Namun sebelum Ki Waskita menjelaskan, Kiai Gringsing sudah mendahuluinya, “Swandaru, yang dikatakan oleh Ki Waskita adalah tanggapan perasaan kita. Memang perasaan kita kadang-kadang dapat melihat yang tidak nampak, bahkan tidak ada. Kita dapat menganggap ada meskipun tidak ada. Dan pengaruhnya pun hampir tidak ada bedanya dengan ada yang sebenarnya. Seperti bentuk-bentuk semu yang tidak ada, tetapi serasa ada itu. Bahkan bukan saja pengaruh getaran yang menyentuh pusat-pusat syaraf kita dari luar diri kita, tetapi kita sendiri kadang-kadang melihat ke dalam ketiadaan. Jika kita tidak mampu lagi mengendalikan perasaan yang demikian, maka kita tidak lagi dapat disebut sadar.”
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Samar-samar ia dapat mengerti maksud gurunya. Dan di luar sadarnya ia berpaling kepada Agung Sedayu. Agaknya Agung Sedayu pun memperhatikan pula keterangan Ki Waskita dan gurunya, sehingga dahinya masih nampak berkerut-merut.
Swandaru tidak bertanya lagi. Sekali lagi ia menengadahkan wajahnya. Langit memang sudah menjadi cerah. Dan sebuah pertanyaan timbul di dalam dirinya, “Apakah pada saat songsong Kiai Mendung dibuka aku tidak melihat awan yang sebenarnya di langit? Atau aku memang melihat awan yang kebetulan saja menebar dan perlahan-lahan, ditiup angin ke Utara?”
Seperti Swandaru, Agung Sedayu ternyata tertarik juga pada pembicaraan itu. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata di dalam hatinya, “Sudah tiga empat hari awan yang tipis berarak dan kemudian berkumpul di lereng Merapi seperti sekarang ini. Hampir bersamaan waktunya di setiap hari. Kemarin tanpa songsong Kiai Mendung, awan juga menebar tipis di langit seperti dua dan tiga hari yang lalu.”
Namun demikian, baik Agung Sedayu maupun Swandaru tidak dapat menghindarkan diri dari perasaan yang aneh terhadap songsong Kangjeng Kiai Mendung itu. Seolah-olah songsong itu memang memiliki pengaruh yang luas atas keadaan di seputarnya.
Meskipun demikian, keduanya tidak membicarakannya lagi. Mereka berjalan saja di dalam iring-iringan yang sudah menjadi semakin pendek. Beberapa langkah di hadapan mereka, Ki Lurah Branjangan berjalan bersama Raden Sutawijaya. Sedang Ki Juru Martani berjalan justru di belakangnya, seorang diri sambil menundukkan kepalanya. Seolah-olah ia memang sedang tidak ingin diganggu, karena angan-angannya yang sedang mengembara ke dunia yang asing.
Iring-iringan itu berjalan perlahan-lahan meninggalkan makam Ki Gede Pemanahan. Seakan-akan masing-masing berjalan menuruti langkah kakinya sambil menundukkan kepala. Seakan-akan yang satu tidak menghiraukan yang lain.
Beberapa langkah lagi di belakang Kiai Gringsing dan sekelompok kawan-kawannya dari Sangkal Putung dan Ki Waskita, beberapa orang pemimpin dan senapati dari Pajang berjalan pula dengan kepala tunduk. Mereka masing-masing seolah-olah sedang dihanyutkan oleh angan-angan mereka seperti juga Ki Juru Martani.
Namun tiba-tiba Ki Juru mengangkat wajahnya. Dipandanginya Raden Sutawijaya yang berjalan di hadapannya, diiringi oleh Ki Lurah Branjangan.
“Mumpung para senapati dan pemimpin dari Pajang ada di sini,” katanya kepada diri sendiri, “apa salahnya jika aku menyampaikan kepada mereka keputusan Kangjeng Sultan Hadiwijaya di Pajang. Mungkin satu dua orang pemimpin itu sudah tahu, bahkan sudah diajak memperbincangkan kemungkinan-kemungkinannya. Jika belum, biarlah mereka mengetahui keputusan Kangjeng Sultan bahwa Raden Sutawijaya telah diangkat menjadi Senapati Ing Ngalaga yang berkedudukan di Mataram.”
Ki Juru mengangguk-angguk. Ia sudah mendapat kepastian bahwa ia akan melakukannya. Tentu hal itu akan menimbulkan berbagai tanggapan. Tetapi lambat atau cepat, pengangkatan itu memang harus diumumkan.
Karena itulah maka Ki Juru tidak lagi berjalan dengan kepala tunduk. Ketika ia berpaling dan melihat Kiai Gringsing berjalan di belakangnya, maka ia pun memperlambat langkahnya.
“Kiai,” berkata Ki Juru ketika Kiai Gringsing sudah berjalan di sisinya, “Aku mempunyai pertimbangan khusus mengenai songsong Kangjeng Kiai Mendung dan pesan Kangjeng Sultan tentang Raden Sutawijaya.”
“Maksud, Ki Juru?”
“Aku akan memanfaatkan kehadiran para pemimpin dan senapati Pajang atas wisuda yang diberikan kepada Raden Sutawijaya, atas perkenan Kangjeng Sultan Pajang.”
“Wisuda yang manakah yang Ki Juru maksudkan?”
Ki Juru menarik nafas dalam-dalam. Beberapa kali ia berpaling. Agaknya hanya sekelompok kecil dari Sangkal Putung dan Ki Waskita sajalah, yang berjalan bersamanya. Maka katanya, “Tentu Ki Waskita sudah mengatakan tentang wisuda bagi Raden Sutawijaya.”
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ia memang sudah mendengar serba sedikit. Tetapi persoalannya tentu masih belum cukup jelas. Karena itu maka katanya, “Sebagian kecil dari persoalan itu memang sudah aku dengar.”
“Begini, Kiai,” berkata Ki Juru, “ternyata bahwa Kangjeng Sultan benar-benar mengasihi Raden Sutawijaya.”
Kiai Gringsing mengangguk-angguk.
Sementara itu, Ki Juru Martani menjelaskan rencananya kepada Kiai Gringsing, “Bukankah sudah pernah aku ceriterakan meskipun serba sedikit tentang Wisuda yang barangkali sudah dilengkapi oleh Ki Waskita? Songsong kuning yang ternyata Kangjeng Kiai Mendung itu, tentu mempunyai arti tersendiri.”
“Memang Ki Waskita pernah menceriterakan tentang wisuda yang tidak dihadiri oleh Raden Sutawijaya, menjadi Senapati Ing Ngalaga. Ki Waskita juga menceriterakan betapa tulus pengangkatan yang dikurniakan kepada Raden Sutawijaya itu, menilik sikap dan tekanan kata-kata Kangjeng Sultan pada waktu itu.”
“Ya,” sahut Ki Juru, “apalagi setelah ternyata bahwa songsong berwarna kuning itu adalah Kangjeng Kiai Mendung. Maka sudah pastilah kedudukan Raden Sutawijaya itu.”
“Jadi?”
“Aku akan mengumumkan di hadapan para senapati dan pimpinan pemerintahan Pajang yang hadir di sini.”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia mengangguk-angguk sambil berkata, “Aku kira memang ada baiknya, Ki Juru. Tetapi apakah Ki Juru Martani sudah mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi? Tentu ada orang yang tidak senang mendengar keputusan itu.”
“Tetapi keputusan itu tentu akan diumumkan juga di Pajang, bahwa Raden Sutawijaya telah diangkat menjadi Senapati ing Ngalaga. Dan lebih daripada itu, Kangjeng Sultan telah menghadiahkan songsong Kangjeng Kiai Mendung kepada Raden Sutawijaya.”
Kiai Gringsing berpaling kepada Sumangkar. Sumangkar adalah seorang yang mempunyai kedudukan yang baik dimasa pemerintahan Adipati Arya Panangsang di Jipang.
“Kau mempunyai pendapat, adi?”
Sumangkar menarik nafas dalam dalam. Lalu, “Jika itu keputusan Kangjeng Sultan, maka tidak akan ada orang yang dapat menyanggah. Apalagi Raden Sutawiijaya adalah putera angkat Kangjeng Sultan itu sendiri. “
Kiai Gringsing mengangguk-angguk pula. Katanya, “Demikianlah. Jika itu sudah keputusan Kangjeng Sultan, maka tidak akan ada orang yang mengganggu gugat. Senang atau tidak senang. Karena itu, maka aku kira tidak ada jeleknya hal itu dilakukan.”
Ki Juru memandang Kiai Gringsing sejenak. Kemudian memandang Raden Sutawijaya yang berjalan di depan dengan kepala tunduk.
“Baiklah. Aku akan melakukannya. Malam nanti tamu-tamu dari Pajang masih akan bermalam di Mataram. Aku akan mempergunakan kesempatan itu. Sekaligus mengumumkan kepada rakyat Mataram. Namun hal itu tentu akan mempengaruhi juga kedewasaan berpikir Raden Sutawijaya. Dengan demikian, ia merasa menjadi seorang yang benar-benar sudah dewasa dan bertanggung jawab atas suatu keadaan yang tidak dapat dianggap sambilan saja. Apalagi Raden Sutawijaya tidak lama lagi akan menjadi seorang ayah, karena puteri dari Kalinyamat itu sudah saatnya melahirkan.”
Kiai Gringsing masih saja mengangguk-angguk. Memang tidak ada sikap lain yang lebih baik dari mengiakan rencana Ki Juru Martani itu.
Demikianlah, maka agaknya Ki Juru sudah berniat bulat untuk mempergunakan kesempatan itu. Karena itu, maka pembicaraan yang dilakukan di sepanjang jalan itu, ternyata iustru telah melahirkan sikap yang penting bagi Mataram dan bagi Raden Sutawijaya pribadi, setelah ia ditinggalkan oleh ayahandanya, Ki Gede Pemanahan.
Ternyata Ki Juru Martani benar-benar melaksanakan maksudnya. Malam itu para tamu dari Pajang masih bermalam satu malam lagi di Mataram. Mereka masih ingin memberikan sedikit hiburan bagi keluarga Ki Gede yang ditinggalkan. Jika mereka langsung meninggalkan Mataram, maka rumah Ki Gede tentu akan terasa menjadi sangat sepi.
“Kiai Gringsing,” berkata Ki Juru kepada Kiai Gringsing yang berada di gandok bersama Ki Sumangkar, Ki Waskita, Ki Demang Sangkal Putung dan Agung Sedayu serta Swandaru. “Aku persilahkan Kiai naik ke pendapa bersama para sesepuh ini. Aku akan mengumumkan wisuda itu sekarang.”
“Ki Juru, silahkanlah. Sebaiknya aku tidak menemui para pemimpin Pajang itu pada saat yang demikian. Aku akan berada di halaman, di bawah bayang-bayang yang suram, untuk mengetahui akibat dari pengumuman Ki Juru.”
“Ah, itu tidak perlu. Kiai adalah orang yang kami anggap telah ikut mengasuh Mataram sejak lahirnya.”
“Terima kasih, Ki Juru. Silahkan. Aku tidak tahu, kenapa aku ingin berbuat demikian.”
Ki Juru menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti bahwa Kiai Gringsing adalah orang yang tidak suka menampakkan diri. Bahkan ia lebih senang tidak dikenal sama sekali. Dan karena itulah maka, ia lebih senang tinggal di Dukuh Pakuwon daripada menyebut dirinya seorang yang berdarah Majapahit.
Karena itu, Ki Juru tidak memaksanya.
Dalam pada itu di pendapa, para tamu dari Pajang sedang duduk sambil berbicara di antara mereka. Berbicara tentang bermacam-macam hal, menurut perhatian mereka masing-masing.
Namun sebagian dari mereka telah membicarakan perkembangan Mataram yang sangat pesat menurut penilaian mereka.
“Aku belum pernah menginjakkan kakiku ke pusat Alas Mentaok setelah Ki Gede Pemanahan mulai membukanya,” berkata seorang senapati, “Ternyata kini yang aku jumpai adalah sebuah kota yang sedang tumbuh. Meskipun Mataram sekarang masih belum terlampau ramai, namun sebentar lagi tanah ini akan menjadi tanah harapan.”
Yang lain mengangguk-angguk. Meskipun ada di antara mereka yang diselipi oleh perasaan iri dan dengki. Namun pada umumnya mereka tidak ingkar dari kenyataan, bahwa Mataram berkembang dengan pesatnya.
Di antara para senapati itu terdapat Sorohpati. Setiap kali ia mengangguk-angguk. Bahkan kadang-kadang ia menyambung pembicaraan itu dan ikut memuji kemampuan Ki Gede Pemanahan dan Raden Sutawijaya. Namun ia berkata di dalam hati, “Mataram yang sekarang harus dilenyapkan. Demikian juga Pajang yang hanya mengagungkan kemukten itu. Harus tumbuh seorang Raja yang Maha Bijaksana dan Maha Adil,” namun kemudian, “Dan aku adalah seorang Panglima tertinggi di negara yang akan lahir itu.”
Dalam pada itu, selagi para pemimpin dan Senapati berbincang di antara mereka, Ki Juru Martani yang sudah naik ke atas pendapa pun kemudian berkata, “Maaf saudara-saudaraku. Para pemimpin pemerintahan, para senapati dan prajurit dari Pajang. Para pemimpin dan pengawal di Tanah Mataram. Aku ingin menyela di antara pembicaraan kalian sejenak.”
Pendapa itu menjadi hening. Setiap orang memandang Ki Juru dengan tajamnya. Namun sebagian dari mereka menyangka, bahwa Ki Juru Martani hanya akan sekedar menyampaikan ucapan terima kasih, bahwa mereka telah datang memberikan penghormatan terakhir.
Tetapi, ternyata bukan sekedar ucapan terima kasih. Ki Juru memang menyatakan terima kasihnya kepada para pemimpin dan senapati. Namun setelah ucapan terima kasih atas kehadiran mereka, maka Ki Juru berkata, “Selain pernyataan terima kasih yang tidak terhingga dari seluruh keluarga Ki Gede Pemanahan, maka ada sesuatu yang penting yang akan aku beritahukan kepada saudara-saudara yang hadir di pendapa ini.”
Semua orang terdiam karenanya.
“Seperti yang kalian lihat, bahwa songsong yang dipergunakan oleh Sutawijaya untuk memayungi jenazah ayahandanya adalah songsong kerajaan yang bernama, Kiai Mendung. Songsong itu memang sudah dikurniakan oleh Kangjeng Sultan kepada puteranya yang kini berada di Mataram. Bahkan sebagai pertanda wisuda bagi Raden Sutawijaya.”
Semua wajah menjadi tegang. Sorohpati bagaikan membeku di tempatnya.
Di dalam bayangan kegelapan, Kiai Gringsing berdiri berdua dengan Ki Waskita di halaman. Beberapa langkah daripadanya, di belakang sebatang pohon sawo, Ki Sumangkar berdiri pula berdua dengan Ki Demang Sangkal Putung. Sedang Agung Sedayu dan Swandaru berdiri agak jauh dari mereka.
Tetapi mereka sama sekali tidak menarik perhatian, karena di halaman itu memang berdiri beberapa orang pengawal dan orang-orang Mataram yang ikut mendengarkan penjelasan Ki Juru Martani. Bahkan ada pula di antara mereka yang duduk di tangga pendapa.
“Ki Sanak semuanya,” berkata Ki Juru pula, “adalah tidak salah jika pada saat ini aku menyatakan keputusan yang sangat bijaksana bagi Raden Sutawijaya. Sebagai putera Kangjeng Sultan Hadiwijaya yang bertahta di Pajang, maka Raden Sutawijaya mendapat wisuda sebagai Senapati Ing Ngalaga di Mataram.”
Keterangan itu memang mengejutkan sekali. Bahkan Sutawijaya sendiri terkejut, meskipun Ki Juru Martani sudah mengatakan serba sedikit tentang pesan Kangjeng Sultan. Tetapi keterangan yang dinyatakan terbuka di hadapan para pemimpin dan senapati itu, telah membuat dadanya menjadi berdebar-debar.
Kiai Gringsing dan kawan-kawannya melihat, berbagai tanggapan nampak pada wajah para senapati dan pemimpin pemerintahan yang hadir di pendapa. Terutama mereka yang datang dari Pajang.
Pemimpin dari Mataram, terutama Ki Lurah Branjangan, tidak dapat menyembunyikan kegembiraan hati atas pengakuan itu. Dalam sekejap semua prasangka dan keragu-raguan atas Kangjeng Sultan Hadiwijaya di Pajang pun lenyap.
Namun bagi pemimpin-pemimpin dari Pajang, pernyataan itu telah mendapat penilaian khusus. Mereka tidak tergesa-gesa menanggapi dengan sikap dan pekataan. Tetapi dari sorot mata mereka dan perubahan wajah, nampak bahwa ada di antara mereka yang menyambut dengan besar hati, tetapi ada yang kecewa dan berhati-hati.
Tetapi tanggapan yang bermacam-macam itu memang sudah diduga oleh Ki Juru Martani. Karena itu ia tidak terkejut lagi. Bahkan ia berbicara seterusnya, “Ki Sanak. Sudah barang tentu kurnia derajat dan pangkat itu merupakan beban yang tidak ringan bagi Raden Sutawijaya. Namun sebagai putera Kangjeng Sultan, maka sudah sepantasnya ia menerima dengan penuh rasa tanggung jawab. Bukan sekedar sudi menerima derajatnya saja, tetapi juga harus menerima beban yang ada akibat derajat itu. Tegasnya, harus menerima hak dan sekaligus kuwajiban yang timbul karenanya.”
Para pemimpin dan senapati Pajang yang ada di pendapa itu mengangguk-angguk. Tetapi mereka masih berhati-hati sekali menanggapi pernyataan Ki Juru Martani. Bukan karena mereka tidak percaya, karena pada umumnya mereka sudah mengenal Ki Juru Martani dengan baik, sebagai seorang yang pernah menjadi saudara seperguruan dengan Ki Gede Pemanahan, tetapi juga dengan Kangjeng Sultan di Pajang dan Ki Penjawi.
Serohpati yang mendengarkan pernyataan Ki Juru Martani itu dengan saksama, menjadi berdebar-debar pula. Dengan demikian berarti bahwa kedudukan Raden Sutawijaya telah diakui dan dinyatakan dengan resmi. Senapati Ing Ngalaga di Mataram.
“Agaknya Kangjeng Sultan menyadari sepenuhnya, bahwa ada orang yang dengan sengaja ingin membenturkan Pajang dan Mataram,” berkata Sorohpati di dalam hatinya, “Dan pengangkatan ini adalah jawaban langsung dari usaha tersebut.”
Mau tidak mau, Sorohpati harus mengakui ketajaman sikap Kanjeng Sultan menghadapi orang-orang yang menentang tumbuhnya Mataram. Bahkan Sorohpati berkata di dalam hati, “Apakah Kangjeng Sultan sudah mengetahui pula usaha Kakang Panji, bukan saja menghapus Mataram yang sedang tumbuh, tetapi juga Pajang?”
Tetapi Sorohpati tidak mau mengambil kesimpulan sendiri. Ia masih mempunyai beberapa orang kawan. Orang yang disebutnya Kakang Panji dan Dadap Wereng. Mereka lah yang harus menentukan sikap terakhir menghadapi perkembangan Mataram.
Pernyataan Ki Juru Martani itu tidak diperpanjang lagi. Ia mengakhiri keterangannya dengan ucapan terima kasih sekali lagi. Dan dengan rendah hati ia berkata, “Tentu Raden Sutawijaya akan memerlukan bantuan dari Ki Sanak sekalian. Baik yang ada di Mataram, maupun yang berada di luar Mataram.”
Kiai Gringsing dan kawan-kawannya yang ada di luar pendapa, mencoba untuk menangkap kesan dari para pemimpin di Pajang. Tetapi mereka tidak mendapatkan jawaban yang pasti. Wajah-wajah yang ada di pendapa tidak menunjukkan sikap tertentu, sehingga yang membayang adalah keterkejutan mereka saja. Selebihnya adalah sikap yang kabur.
Ketika malam telah lampau, dan para senapati serta pemimpin dari Pajang yang bermalam di Mataram sudah berada kembali di dalam bilik masing-masing, maka mereka masih saja memperbincangkan wisuda yang diterima oleh Raden Sutawijaya tanpa menghadap Kangjeng Sultan ke Pajang. Suatu peristiwa yang sepanjang pengetahuan mereka belum pernah terjadi di Pajang, bahkan Demak.
“Tetapi Raden Sutawijaya adalah putera terkasih,” berkata beberapa orang senapati di dalam hati.
Sutawijaya menanggapi pengangkatannya dengan hati yang buram. Sebagian dari perasaannya masih tercengkam oleh meninggalnya Ki Gede Pemanahan. Sebagian lagi oleh kebingungan. Justru karena Kangjeng Sultan telah mengurniakan pangkat yang cukup tinggi baginya.
“Apakah artinya semua ini?” desisnya. Tetapi yang pasti bagi senapati adalah keharusan senapati untuk mempertanggung- jawabkan jabatannya itu kepada Kangjeng Sultan pada saat-saat tertentu.
Dalam cengkaman kebimbangan. Raden Sutawijaya duduk di sudut gandok seorang diri. Dipandanginya malam yang gelap, yang menyelubungi seluruh wajah tanah Mataram yang sedang berkembang itu.
Raden Sutawijaya berpaling, ketika didengarnya langkah mendekat. Dilihatnya Ki Lurah Branjangan perlahan-lahan mendekatinya dengan kepala tunduk.
“Marilah, Paman,” berkata Sutawijaya sambil bergeser. Ki Lurah Branjangan duduk di sebelahnya. Sekali ia menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Keterangan Ki Juru Martani membuat aku dan orang-orang lain yang mendengarnya sangat terkejut.”
“Ya,” jawab Sutawijaya.
“Aku tidak tahu, apakah maksud Ki Juru mengumumkannya di hadapan pemimpin-pemimpi di Pajang sendiri, dan justru pada saat kita baru saja memakamkan Ki Gede Pemanahan,” berkata Lurah Branjangan.
“Aku juga tidak tahu, Paman. Tetapi barangkali Ki Juru hanya mengambil kesempatan, mumpung mereka berada di Mataram menghadiri pemakaman ayahanda.”
“Tetapi bukankah wisuda itu akan diumumkan di Pajang oleh Kangjeng Sultan sendiri? Dan bukankah wisuda itu tidak cukup dengan sebuah pernyataan seperti yang dikatkan oleh Ki Juru?”
Sutawijaya mengangguk-angguk.
“Raden. Pada saatnya Raden tentu akan hadir di pendapa agung istana Pajang. Raden akan duduk di sebelah kiri ayahanda Kangjeng Sultan dengan pakaian kebesaran, karena Angger adalah Senapati Ing Ngalaga di Mataram. Meskipun jabatan itu adalah jabatan keprajuritan, namun menurut pertimbangan Kangjeng Sultan, Mataram yang sedang tumbuh ini memang perlu mendapat penanganan yang khusus, dibanding dengan daerah-daerah yang lain.”
Raden Sutawijaya tidak menyahut.
“Raden,” berkata Ki Lurah selanjutnya, “Jika aku tidak mengingat bahwa di pendapa banyak tamu, aku sudah menangis mendengar kurnia Sultan di Pajang. Hanya aku tidak mengerti kenapa begitu saja wisdua itu sudah terjadi.”
Ia berhenti sejenak. Lalu, “Tetapi aku mempunyai dugaan bahwa Ki Juru baru mendengar rencana wisuda itu. Pelaksanaanya tentu akan dilakukan di Pajang.”
Tetapi Raden Sutawijaya menggelengkan kepalanya, “Tidak, Paman. Ayahanda Sultan tahu pasti, bahwa aku tidak akan datang ke Pajang. Aku tidak akan naik ke pendapa agung, sebelum usahaku menjadikan Mataram sebuah negeri yang ramai ini berhasil.”
“Tetapi Raden ….”
“Aku sudah berketetapan hati.”
Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Namun di dalam hati ia bergumam, “Alangkah kerasnya hati anak muda ini.”
Dengan demikian, maka untuk beberapa saat lamanya keduanya hanya saling berdiam diri, Raden Sutawijaya memang sudah tidak dapat dilunakkan lagi hatinya. Ia tidak akan pergi ke Pajang sebelum Mataram menjadi ramai. Tetapi Ki Lurah Branjangan kemudian bertanya kepada diri sendiri, “Apakah batasan dari negeri yang ramai itu? Mataram sekarang sudah menjadi ramai dan besar di bandingkan dengan tempat-tempat yang lebih kecil. Tetapi memang masih kecil dan sepi dibandingkan dengan Pajang. Tetapi jika Raden Sutawijaya menunggu Mataram menjadi ramai seperti Pajang, maka untuk menghadap ayahanda angkatnya ia memerlukan waktu dua puluh atau dua puluh lima tahun lagi.”
Ki Lurah Branjangan terperanjat ketika ia mendengar Raden Sutawijaya berkata, “Paman. Aku menerima wisuda itu dengan sangat hati-hati.”
“Apakah Raden masih saja dibayangi kecurigaan?”
“Bukan kecurigaan. Tetapi sikap hati-hati.”
Ki Lurah menarik nafas dalam dalam. Tetapi kepalanya terangguk-angguk lemah.
Untuk beberapa saat lamanya, mereka berdua masih duduk di tempatnya. Namun kemudian Ki Lurah Branjangan pun mempersilahkan Raden Sutawijaya untuk beristirahat, “Raden. Malam menjadi semakin larut.”
Raden Sutawijaya mengangguk.
“Tidurlah, Raden. Sebaiknya Raden bersikap wajar, agar keluarga Raden yang baru saja mengalami kesusahan tidak terpengaruh. Agaknya mereka kini menggantungkan diri kepada Raden Sutawijaya.”
Raden Sutawijaya mengangguk lagi, “Malam sudah larut,”
Raden Sutawijaya pun kemudian berdiri dan melangkah masuk ke ruang dalam. Dilihatnya beberapa orang keluarganya sudah tidur di dalam bilik masing-masing. Tetapi ada di antara mereka yang masih terbangun.
“Sebenarnyalah mereka sekarang memandang aku sebagai tiang induk. Jika aku lemah dan apalagi miring, maka hati mereka pun menjadi semakin kecut menghadapi gelombang kehidupan yang rumit ini.”
Sutawijaya pun kemudian duduk di antara adik-adiknya dan mencoba berbicara dengan mereka tentang persoalan-persoalan yang dapat membelokkan perhatian mereka terhadap kepedihan hati yang baru saja mereka alami.
Ketika matahari di esok paginya sudah hampir muncul di ujung pagi, barulah Sutawijaya itu lelap sejenak. Hanya sejenak, karena ia pun harus segera bangun. Tamu-tamunya yang datang dari Pajang telah berkemas untuk minta diri dan kembali ke Pajang.
Sutawijaya yang hanya sempat mencuci muka dan membenahi pakaiannya pun segera naik ke pendapa.
Ki Juru Martani dan orang-orang tua di Mataram tengah mengucapkan berbagai macam pernyataan terima kasihnya. Mereka mengharap agar para pemimpin dan Senapati di Pajang membantu agar suasana tetap selalu jernih.
“Kami tidak dapat menutup mata bahwa ada usaha untuk mengeruhkan suasana. Ternyata dengan peristiwa yang dialami oleh adi Pemanahan,” berkata Ki Juru.
“Kami berduka cita karenanya,” sahut seorang senapati yang dianggap tertua, “kami berjanji akan membantu usaha Mataram yang sedang berkembang. Lebih dari itu, membersihkan Pajang dari usaha-usaha yang dapat merugikan kedua belah pihak.”
“Terima kasih. Kini Ki Gede Pemanahan tidak ada lagi. Yang ada hanyalah seorang anak muda yang masih jauh dari kemampuan yang diperlukan untuk memimpin Mataram, yang sedang berkembang. Karena itu, Raden Sutawijaya memerlukan bantuan sejauh-jauhnya.”
“Hanya orang-orang yang dengki dan iri hati sajalah yang sampai saat ini berusaha untuk menggagalkan usaha Ki Gede Pemanahan,” berkata Sorohpati, “Apalagi ketika aku sudah melihat dengan mata kepala sendiri perkembangan Mataram sampai saat ini.”
“Terima kasih,” sahut Ki Juru, “kesediaan Ki Sanak sekalian membuat hati kami menjadi teguh dan tidak gentar menghadapi apapun juga.”
Demikianlah, maka sejenak kemudian para pemimpin dan senapati dari Pajang itu pun minta diri kepada Ki Juru, Raden Sutawijaya dan orang-orang tua di Mataram.
Kiai Gringsing dan kawan-kawannya sengaja tidak menampakkan dirinya di antara para orang-orang tua di Mataram. Apalagi Sumangkar, yang sudah banyak dikenal oleh senapati Pajang. Ia hanya hadir sejenak ketika para senapati itu justru sudah bergerak meninggalkan halaman rumah Raden Sutawijaya.
Namun demikian, kehadiran Sumangkar di Mataram, memang menjadi bahan pembicaraan juga oleh para senapati dan pemimpin dari pajang itu.
“Ia memang sepantasnya datang untuk memberikan penghormatan terakhir kepada Ki Gede Pemanahan,” berkata salah seorang senapati di perjalanan mereka kembali ke Pajang, “Ki Gede Pemanahan-lah yang telah mengampuni kesalahannya di saat pasukan Tohpati dapat digulung oleh Untara dan Widura.”
“Jika demikian, kehadirannya tidak menjadi soal. Tetapi jika ia masih mendendam atas kekalahan Jipang dari Pajang, maka ia akan dapat menghasut Raden Sutawijaya, agar Raden Sutawijaya dapat dijadikan alat untuk melepaskan dendamnya kepada Pajang.”
“Tetapi di Mataram kini ada Ki Juru Martani. Kita tahu orang tua itu adalah orang yang sangat cerdik.”
Senapati yang mempunyai sedikit prasangka terhadap Sumangkar itu mengangguk-angguk. Memang di Mataram ada Ki Juru yang akan menjaga agar Raden Sutawijaya tidak jatuh di bawah pengaruh Sumangkar.
“Tetapi berapa lama Ki Juru berada di Mataram?” bertanya Senapati itu tiba-tiba, hampir ditujukan kepada diri sendiri.
Kawannya berbicara, yang mendengar pertanyaan itu berkata, “Sumangkar pun tidak akan lama berada di Mataram.”
Pembicaraan itu pun kemudian terhenti. Sekilas nampak di hadapan mereka debu yang menghambur tinggi.
“Kuda yang sedang berpacu,” desis salah seorang senapati.
“Ya,” sahut yang lain.
Tetapi kuda itu berpacu menjauh. Semakin lama justru menjadi semakin jauh.
“Mungkin aku terlampau berprasangka. Tetapi kenapa kuda itu berpacu menjauh? Meskipun aku tidak melihat dengan jelas, namun aku mempunyai dugaan bahwa penunggangnya adalah orang yang tidak ingin berpapasan dengan kita. Bahkan aku mempunyai dugaan tidak baik terhadap orang itu,” berkata seorang Senapati.
“Apa kira-kira yang akan dilakukan terhadap sekian banyak orang?” bertanya yang lain.
“Tentu ia tidak akan berbuat apa-apa. Tetapi seakan-akan orang itu sengaja mengawasi kita. Ketika ia melihat kita, maka ia pun segera memacu kudanya.”
Yang lain mengangguk-angguk. Tetapi ia berkata, “Sebaiknya kita tdak menghiraukannya lagi.”
Kawannya memandang ke arah kuda yang telah menghilang itu. Namun ia pun tidak menjawab apa-apa.
Demikianlah, iring-ringan itu berjalan terus. Semakin lama semakin jauh dari Mataram.
Sorohpati yang juga melihat orang berkuda di kejauhan itu pun menjadi berdebar-debar pula. Ia mempunyai dugaan bahwa orang itu tentu petugas yang dipasang oleh Dadap Wereng, atau justru oleh orang yang disebutnya Kakang Panji itu sendiri, untuk melihat apakah para senapati dan pemimpin Pajang yang berada di Mataram sudah kembali.
Tetapi ketika orang itu kemudian ternyata telah menghilang, maka hatinya pun menjadi tenang.
Demikianlah, maka iring-iringan itu pun kemudian berjalan dengan tanpa gangguan sesuatu apa. Apalagi gangguan-gangguan kecil di perjalanan oleh orang-orang yang sekedar berniat ingin merampok harta kekayaan. Agaknya setiap orang dengan cepat mengetahui bahwa iring-iringan itu adalah iring-iringan senapati-senapati perang dari Pajang dan pemimpin-pemimpin pemerintahan, apalagi dengan sekedar pengawalan. Jika ada seseorang atau sekelompok penjahat yang berani menghentikan mereka, apalagi merampok, maka orang itu tentu akan segera menjadi makanan cacing tanah.
Di sepanjang sisa perjalanan mereka kembali ke Pajang, tidak banyak lagi yang mereka percakapkan. Selain matahari merayap menjadi semakin panas, maka rasa-rasanya mereka pun menjadi semakin malas bercakap-cakap yang satu dengan yang lain.
Ternyata di sepanjang pembicaraan mereka yang kembali ke Pajang, tidak banyak di antara mereka yang tertarik kepada kehadiran Kiai Gringsing. Banyak di antara mereka yang tidak mengenalnya. Apalagi Ki Waskita dan Ki Demang Sangkal Putung. Jika satu dua orang mengenalnya sebagai orang yang pernah berjasa kepada Mataram, maka pengenalan itu pun sangat terbatas sekali.
Dan memang itulah yang diharapkan oleh Kiai Gringsing. Ia sama sekali tidak ingin menjadi perhatian, apalagi bahan pembicaraan orang-orang yang datang dari Pajang. Dan agaknya demikian pulalah sikap Ki Waskita. Mereka merasa diri mereka lebih tenang tanpa pengenalan dari orang-orang yang berkedudukan penting di Pajang itu.
Dalam pada itu, sebenarnyalah sepeninggal para senapati dan pemimpin dari Pajang, Raden Sutawijaya merasa rumahnya menjadi sangat sepi. Meskipun di rumah itu masih ada Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, Ki Waskita, Ki Demang Sangkal Putung dan kedua anak-anak muda murid Kiai Gringsing itu.
Hilangnya seorang saja dari penghuni rumah itu, serasa sebagian hidupnya telah hilang pula, karena yang seorang itu adalah ayahandanya, Ki Gede Pemanahan.
Tetapi bahwa Ki Juru Martani akan tinggal untuk sementara di Mataram, membuat hatinya agak terhibur sedikit. Ki Juru adalah saudara seperguruan dengan ayahandanya. Namun hubungannya bagaikan saudara sekandung sendiri. Tidak ada lagi masalah yang membatasi antara keduanya. Seolah-olah persoalan Ki Gede Pemanahan adalah persoalan pula bagi Ki Juru Martani, dan demikian pula sebaliknya. Kekalahan Jipang dari Pajang, sebagian juga karena pertimbangan-pertimbangan dan perhitungan-perhitungan yang diberikan oleh Ki Juru Martani itu.
Namun sudah barang tentu bahwa waktu-waktu berikutnya tidak akan dapat menahan Kiai Gringsing dan kawan- kawannya lebih lama lagi. Mereka masih dapat menahan diri barang satu dua hari di Mataram. Namun mereka pun mempunyai kepentingan mereka sendiri. Apalagi apabila mereka mengingat, bahwa perjalanan mereka adalah perjalanan yang khusus. Mereka pergi dari Sangkal Putung untuk melamar seorang gadis dari Tanah Perdikan Menoreh.
Dan perjalanan mereka agaknya telah tertunda-tunda oleh beberapa sebab. Karena itu, maka datang pula saatnya mereka harus meninggalkan Mataram. Terlebih-lebih lagi Ki Demang Sangkal Putung yang gelisah. Ia sudah terlampau lama meninggalkan kademangannya, isteri dan anak gadisnya. Perjalanan yang demikian itu belum pernah dilakukannya sebelumnya. Bahkan ia masih saja merasa ngeri mengenang apa yang terjadi di mulut padepokan Panembahan Agung.
Jika saat itu ia dan Swandaru ikut tertimbun di bawah reruntuhan kekayuan dan batu-batu padas sebesar kerbau, maka apakah yang akan terjadi dengan Sangkal Putung dan Sekar Mirah? Apalagi jika Agung Sedayu ikut serta tertimbun di bawahnya?
Ki Demang Sangkal Putung menarik nafas panjang sambil bersyukur jika ia menyadari bahwa ia masih selamat segar bugar. Demikian juga anak laki-lakinya Swandaru dan Agung Sedayu, anak muda yang mempunyai hubungan batin dengan anak gadisnya itu.
Dengan demikian, maka Ki Demang Sangkal Putung pun kemudian minta kepada Kiai Gringsing, agar mereka melanjutkan perjalanan kembali ke Sangkal Putung, karena agaknya Sutawijaya telah berhasil mengatur perasaannya.
Tetapi sebelum mereka minta diri, Mataram dikejutkan oleh kehadiran seorang senapati muda yang memacu kudanya menyusur jalan-jalan kota yang terasa sepi, diiringi oleh beberapa orang pengawal.
Para penjaga pintu gerbang seakan-akan terpesona melihat kehadirannya yang tiba-tiba dan tergesa-gesa, sehingga mereka seakan-akan tidak sempat menyapanya. Apalagi para penjaga itu pun sebagian sudah mengenal bahwa yang datang itu adalah senapati yang bertanggung jawab atas daerah Pajang di bagian Selatan.
Sebenarnyalah yang datang adalah Untara. Dengan tanpa menghiraukan orang-orang yang memandanginya dengan heran, ia langsung menuju ke pusat kota, ke rumah Raden Sutawijaya.
Kedatangan Untara benar-benar mengejutkan. Para penjaga regol di rumah Raden Sutawijaya terperanjat pula. Namun sebelum mereka sempat berbuat sesuatu, kuda Untara dan pengawalnya telah memasuki halaman.
Raden Sutawijaya yang mendengar derap kaki kuda berpacu memasuki halaman rumahnya itu pun segera turun ke halaman. Ketika dilihatnya Untara meloncat dari punggung kudanya, ia pun terkejut pula. Sekilas telah tumbuh berbagai macam tanggapan atas kehadiran senapati muda itu. Ia tidak nampak di antara para senapati Pajang yang datang melayat saat ayahandanya meninggal. Tetapi kini Untara itu datang tanpa memberikan kabar terlebih dahulu.
Sebelum Sutawijaya menyadari apa yang dihadapinya, ia bagaikan tercengkam melihat sikap Untara. Tiba-tiba saja Untara itu berlari ke arahnya dan dengan serta-merta memeluknya, seperti memeluk anak-anak.
“Raden,” suaranya bagaikan sesak, “sebenarnyalah aku tidak mengerti bahwa Ki Gede Pemanahan telah wafat. Aku tidak tahu, apakah ada kesengajaan dari para senapati dan pemimpin di Pajang untuk tidak memberitahukan hal itu kepadaku. Aku mendengar setelah terlambat. Dan mula-mula aku memang tidak mempercayainya. Aku masih harus memerintahkan seseorang untuk mengetahui kebenaran berita itu, karena saat ini kita kadang-kadang dikisruhkan dengan kabar-kabar yang tidak menentu.”
Sejenak Sutawijaya tidak dapat menyahut. Terasa jantungnya bagaikan berhenti mengalir. Semula Raden Sutawijaya, betapa kecilnya, masih dipengaruhi oleh prasangka terhadap Untara. Namun kini ia merasa, bahwa Untara mengucapkan kata-katanya dengan jujur dan setulus hatinya.
Kiai Gringsing yang kemudian juga turun ke halaman mendekatinya dan berkata, “Kau datang terlambat, Angger.”
Untara melepaskan pelukannya. Dianggukkannya kepalanya sambil berkata, “Aku tidak tahu sebelumnya, Kiai.” Apalagi ketika Untara melihat Ki Juru Martani, maka ia pun berlari mendekatinya. Sambil membungkuk dalam-dalam ia berkata, “Maafkan aku, Ki Juru Martani. Memang hampir tidak masuk akal jika aku tidak mendengar, bahwa Ki Gede Pemanahan telah wafat. Tetapi sebenarnyalah demikian. Ketika kemudian aku mendengar, aku diliputi oleh keragu-raguan. Akhirnya aku yakin setelah terlambat beberapa saat.”
“Marilah, Angger,” berkata Ki Juru, “silahkan naik ke pendapa. Bukan kau saja yang harus minta maaf. Tetapi kami pun harus minta maaf, bahwa kami tidak mengirimkan seorang penghubung yang khusus. Saat itu nalar kami bagaikan buntu.”
“Aku mengerti, Ki Juru. Dalam keadaan yang demikian, tentu tidak akan ada orang yang dapat menyalahkan. Banyak sekali yang harus dilakukan oleh Ki Juru, sehingga banyak pula yang terlupakan dan terlampaui. Tetapi itu adalah wajar sekali.”
Demikianlah, maka Untara dan beberapa orang pengawalnya pun diajak naik ke pendapa. Setelah Ki Juru dan Raden Sutawijaya menanyakan keselamatan mereka, maka mulailah mereka mempercakapkan saat-saat wafatnya Ki Gede Pemanahan.
“Seharusnya aku dapat mencegahnya,” desis Untara, “tetapi kebodohankulah yang menyebabkan kelambatan itu.”
“Jangan menyalahkan diri sendiri, Ngger,” berkata Ki Juru. “Luka Ki Gede tidak membahayakan jiwanya. Apalagi di sini ada Kiai Gringsing yang akan sanggup mengobatinya, jika luka itu sekedar luka senjata.”
“Jadi?”
Ki Juru Martani menarik nafas dalam-dalam. Sebelum ia mengatakan sesuatu, dilihatnya Raden Sutawijaya menundukkan kepalanya dalam-dalam, seolah-olah ia menyadari bahwa Ki Juru akan mengatakan bahwa karena sikap Sutawijaya yang keras itulah, yang telah mempercepat wafatnya Ki Gede Pemanahan.
Tetapi Ki Juru cukup bijaksana. Katanya, “Angger Untara. Sebenarnyalah bahwa kita adalah sekedar singgah untuk minum. Dan itu pun kita tidak dapat menentukan sendiri, kapan kita datang dan kapan kita harus pergi. Tetapi semuanya sudah ditentukan oleh batas yang tidak dapat bergeser lagi. Dan batas itu telah dilalui oleh Ki Gede Pemanahan tanpa dapat ingkar lagi, karena sebenarnyalah Maha Kekuasaan atas dirinya telah berlaku.”
Untara menarik nafas dalam-dalam. Demikianlah agaknya jika perjalanan sudah sampai ke batas.
Tiba-tiba saja Untara telah terlempar ke dalam dunia angan-angannya. Sebuah pertanyaan telah tersembul di dalam hatinya, “Apakah yang sudah aku lakukan sebelum batas itu sampai?”
Untara merenungi dirinya sejenak. Terbayang di dalam angan-angannya peperangan yang seolah-olah tiada akhir. Pertentangan dan pergulatan di antara sesama. Dan ia sendiri selalu ada di dalamnya.
Hampir di luar sadarnya, Untara memandang jari-jarinya. Dan pertanyaan itu tumbuh lagi, “Berapa orang yang sudah kau bunuh? Dan apakah kau dapat berbangga kelak di dunia langgeng menyebut jumlah itu?”
Untara menarik nafas dalam-dalam. Bahkan seakan-akan melihat apa yang akan terjadi atas dirinya kelak, apabila janji itu telah sampai.
Untara terkejut ketika ia mendengar suara Ki Juru, “Baiklah kita menyerahkan yang seharusnya berlaku kepada perjalanan yang harus ditempuh. Angger Untara tidak usah mempersoalkannya apakah sebabnya dan menyesali apa yang telah terjadi, karena tidak ada kekuasaan yang dapat mencegahnya.”
Untara mengangguk-angguk. Katanya seolah-olah sekedar bergumam, “Ya, Ki Juru. Semuanya memang harus berlaku.”
“Sekarang Ki Gede Pemanahan. Besok mungkin orang lain. Dan pada suatu saat, tentu akan sampai kepada giliran kita masing-masing.”
Sekali lagi Untara mengangguk.
“Nah, karena itu, sebaiknya kita berbicara tentang hal yang lain. Tentang perjalanan Angger dari Jati Anom sampai ke Mataram. Perjalanan itu sebenarnya tidak terlampau jauh, tetapi barangkali banyak yang Angger lihat di perjalanan.”
Untara mengerutkan, keningnya. Tetapi ia menyadari bahwa Ki Juru memang sengaja mengalihkan pembicaraan.
Apalagi ketika kemudian ikut pula berbicara Swandaru dan Agung Sedayu, yang sudah lama tidak bertemu dengan kakaknya itu.
“Tidak ada perkembangan yang menarik di Jati Anom,” berkata Untara. “Semuanya berjalan seperti biasanya, yang justru seakan-akan telah berhenti. Setiap hari yang kita jumpai serupa saja dengan yang kita jumpai kemarin. Petani-petani yang bangun tidur, membersihkan halaman. Kemudian pergi ke sawah. Menjelang matahari sampai ke puncak langit, gadis-gadis membawa makan ke sawah dan anak-anak mulai berjalan sepanjang pematang sambil menjinjing keranjang untuk menyabit rumput, setelah mereka mengikat kambing-kambing mereka di dalam kandang.”
“Di kejauhan terdengar suara pandai besi menempa di depan perapian, dengan keringat yang bercucuran,” Swandaru melanjutkan, “dibarengi dengan tangis anak-anak yang haus minta disusui ibunya, yang masih menumbuk padi di depan kandang.”
Ki Juru Martani tersenyum. Katanya, “Kita Jarang menjumpainya di kota. Apalagi kota Pajang yang ramai, yang penuh dengan rumah-rumah yang besar, dilingkari dinding batu yang tinggi. Rumah-rumah pegawai istana dan pemimpin pemerintahan serta senapati perang.”
“Itulah yang sering menumbuhkan kerinduan,” berkata Kiai Gringsing, “Suasana padesan yang terasa sejuk dan damai. Suasana yang bening seperti air yang baru memancar dari mata airnya. Tetapi setelah melalui perjalanan yang panjang, melalui tanah yang gembur dan kotor, maka air itu menjadi keruh, sekeruh suasana di dalam kota. Apalagi kota-kota yang besar dan ramai.”
“Jika demikian, apakah kita tidak perlu membangun kota seperti Pajang, Jipang, Pati, dan kemudian Mataram yang sedang berkembang ini?” bertanya Ki Sumangkar.
Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Tentu bukan begitu. Tetapi kita harus mempunyai saringan rangkap, agar suasana di kota dapat disaring sebaik-baiknya. Karena kota bagaikan waduk raksasa yang mengatur arus air yang mengalir dari sumbernya itu.”
Untara mengerutkan keningnya. Ia mendengarkan pembicaraan itu dengan saksama, pembicaraan yang baginya memang cukup menarik.
Demikianlah, maka pembicaraan itu pun kemudian bergeser dari satu masalah ke masalah yang lain. Namun kemudian, sebagian besar dari pembicaraan itu pun berkisar kepada perkembangan Mataram, yang nampaknya akan menjadi besar.
Untara sendiri tidak mempunyai sikap apa pun terhadap Mataram. Ia memandangnya dari segi kedudukannya sebagai seorang prajurit. Selama atasannya menganggap bahwa perkembangan Mataram harus ditanggapi dengan sewajarnya, ia tidak menentukan sikap apa pun selain berhati-hati dan waspada. Meskipun demikian, Untara tidak ingkar, bahwa beberapa orang prajurit, bahkan perwira-perwira di lingkungannya, ada yang bersikap tajam menghadapi perkembangan Mataram.
Namun demikian, ketika pembicaraan mereka sampai kepada kurnia yang tiada taranya dari Kanjeng Sultan Hadiwijaya terhadap Raden Sutawijaya, justru saat meninggalnya Ki Gede Pemanahan, berupa pangkat Senapati Ing Ngalaga di Mataram dan songsong berwarna kuning, dan yang bernama Kiai Mendung, Untara terkejut karenanya. Untuk beberapa saat ia terdiam memandang Raden Sutawijaya dengan tegang. Namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Aku mengucapkan selamat, Raden. Keluhuran yang Raden terima adalah seimbang dengan kedudukan Raden sebagai putera Kanjeng Sultan di Pajang, yang dengan keringat sendiri telah membuka Alas Mentaok, yang kini menjadi sebuah negeri bernama Mataram.”
Raden Sutawijaya termenung sejenak. Ia melihat perubahan wajah Untara yang meskipun hanya sejenak. Tetapi ia tidak dapat membaca arti perubahan itu dengan pasti.
Namun dalam pada itu, setelah Untara mendengar wisuda dan songsong Kiai Mendung berada di Mataram, sikapnya menjadi agak lain. Ia menjadi semakin hormat terhadap Raden Sutawijaya, yang bergelar Senapati Ing Ngalaga.
“Raden,” bertanya Untara kemudian, “apakah masih akan ada wisuda resmi di hadapan Kanjeng Sultan di Pajang atas pengangkatan Raden itu?”
Raden Sutawijaya tidak segera dapat menjawab. Sekilas ia memandang Ki Juru Martani. Agaknya Ki Juru mengerti bahwa Raden Sutawijaya agak kebingungan. Maka jawabnya, “Angger Untara. Menurut dugaanku, Kanjeng Sultan tidak menghendaki wisuda itu dilakukan resmi di pendapa agung Istana Pajang. Jika demikian tentu songsong Kanjeng Kiai Mendung itu tidak akan dikirimkan ke Mataram langsung.”
Untara mengangguk-angguk. Katanya, “Sebenarnyalah Raden pantas menerima jabatan itu. Raden adalah putera yang sebenarnya dari seorang panglima yang besar di Pajang. Apalagi putera angkat Kanjeng Sultan sendiri. Aku yakin bahwa sebentar lagi Mataram akan menjadi besar. Kebesaran Mataram adalah benar-benar berkat kebesaran jiwa Raden dan ayahanda Raden yang baru saja meninggal.”
Sutawijaya hanya dapat mengangguk-angguk sambil menundukkan kepalanya saja. Namun dengan demikian kecurigaannya kepada Untara justru menjadi berkurang. Namun ia masih juga berkata kepada diri sendiri, “Tetapi Untara adalah seorang prajurit yang sangat baik. Yang dilakukan adalah sikap dan keputusan Pajang. Meskipun ia tidak mempunyai prasangka apa pun terhadap Mataram, tetapi jika Kanjeng Sultan atau panglima perang yang ada sekarang, memerintahkannya untuk menggilas negeri yang baru tumbuh itu, maka betapapun berat hatinya, perintah itu tentu akan dilakukannya, jika itu memang sikap Pajang.”
Untuk beberapa saat, Untara masih sempat bercakap-cakap. Minum dan makan beberapa potong makanan. Namun agaknya Untara memang tidak akan terlalu lama berada di Mataram. Karena itu, maka ia pun segera mohon diri.
Ki Juru terkejut mendengarnya. Katanya, “Aku kira, kau akan bermalam di sini, Untara?”
“Terima kasih, Ki Juru. Kami harus segera kembali. Meskipun tidak ada peristiwa yang gawat, tetapi sebaiknya aku berada di antara anak buahku.”
“Tentu tidak,” Swandaru-lah yang menyahut. “Bukan karena anak buah Kakang Untara.”
Untara mengerutkan keningnya. Dan ia pun bertanya, “Jika tidak, karena apa?”
“Coba Kakang Untara masih saja seperti Kakang Agung Sedayu. Kakang tentu tidak akan tergesa-gesa.”
Untara tersenyum. Ia pun dapat menanggapi gurau Swandaru. Jawabnya, “Sebentar lagi, Adi Swandaru pun tentu tidak akan betah pergi barang semalam.”
Semua yang mendengar gurau itu tertawa. Sutawijaya pun tertawa. Namun nampak pada wajahnya ada sesuatu yang tersembunyi di balik tertawanya itu. Dan Untara pun mengerti, bahwa Raden Sutawijaya tidak dapat bergurau seperti dirinya dan Swandaru, karena puteri dari Kalinyamat itu tidak dibawanya sebagai seorang istri yang sewajarnya. Meskipun Sutawijaya tidak ingkar, dan menyelesaikan persoalannya sebaik-baiknya, namun puteri itu sampai saat terakhir tidak berada di Mataram. Bahkan sampai saatnya anaknya akan lahir.
Demikianlah, maka sejenak kemudian Untara benar-benar minta diri. Ia tidak dapat terlampau lama meninggalkan anak buahnya, meskipun tidak ada peristiwa-peristiwa yang gawat.
“Sebenarnya aku ingin pergi bersama Angger Untara,” desis Ki Demang Sangkal Putung.
Kiai Gringsing tersenyum. Ia mengerti bahwa Ki Demang pun sebenarnya telah sangat merindukan keluarganya. Namun ia masih berkata, “Besok pagi kita akan kembali bersama-sama Ki Demang. Sangkal Putung kini tidak jauh lagi dari Mataram, setelah jalan menjadi baik dan aman.”
“Kenapa kita tidak pergi bersama Angger Untara?” bertanya Ki Demang.
Kiai Gringsing tertawa. Katanya, “Tidak apa-apa. Kita hanya tidak ingin menghambat perjalanan Angger Untara.”
Ki Demang tidak dapat memaksakan niatnya. Ia terpaksa menunggu Kiai Gringsing dan kawan-kawannya besok.
Untara pun minta diri pula kepada orang-orang tua yang ada di Mataram, dan berpesan kepada Agung Sedayu, supaya sekali-sekali ia datang ke Jati Anom.
“Agung Sedayu,” Untara berbisik ketika ia turun dari pendapa, “kau pada suatu saat akan menjadi seorang kepala keluarga. Apakah kau akan tetap saja dengan petualanganmu? Sudah pernah aku peringatkan, bahwa kedudukanmu lain dengan kedudukan Adi Swandaru. Setiap saat Adi Swandaru dapat menempatkan dirinya sebagai demang di Sangkal Putung, karena ia adalah satu-satunya anak laki-laki Ki Demang yang sekarang. Tetapi kau? Kau harus mempunyai pegangan, Agung Sedayu. Apalagi menurut pengamatanku, Sekar Mirah adalah seorang gadis yang memiliki selera dan gegayuhan yang tinggi. Jika kau benar-benar ingin mengambilnya sebagai seorang isteri, kau harus dapat menyesuaikan dirimu.”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia pun menjawab dengan berbisik, “Aku akan memikirkannya, Kakang.”
“Sejak dahulu kau hanya akan memikirkannya saja, Agung Sedayu. Kau harus mengambil keputusan. Bukan hanya mempertimbangkan terus-menerus. Kau agaknya masih saja dipengaruhi sifat-sifatmu semasa kanak-kanak. Ragu-ragu, bimbang, dan pertimbangan-pertimbangan yang berkepanjangan. Pada suatu saat, kau harus cepat mengambil sikap. Apalagi saat-saat semacam yang kau hadapi sekarang.” Untara berhenti sejenak, lalu, “Nah, pikirkanlah. Kemudian kau katakan kepadaku kapan aku harus menghadap Ki Demang.”
Agung Sedayu menundukkan kepalanya. Ia berjalan saja di samping Untara tanpa dapat mengucapkan sepatah kata pun. Dan Untara masih melanjutkan, “Tetapi sebelum aku berbicara dengan Ki Demang tentang Sekar Mirah, kau harus bukan lagi seorang petualang. Kau sudah harus mempunyai pegangan hidup yang mantap.”
Agung Sedayu masih tetap berdiam diri. Kepalanya masih saja tunduk, seolah-olah sedang menghitung ujung jari kakinya.
Sejenak kemudian, maka Untara pun telah berada di antara pengawalnya. Seorang dari pengawal-pengawalnya itu memberikan kudanya dan sambil memegang kendali kudanya, Untara sekali lagi minta diri kepada orang-orang yang hadir di halaman itu.
Sutawijaya kemudian mendekatinya sambil berkata, “Terima kasih atas kunjunganmu. Mudah-mudahan perjalananmu kembali tidak menjumpai apa pun juga.”
“Aku minta agar Raden sekali-sekali berkunjung ke Jati Anom. Bukan saja mengunjungi aku, tetapi barangkali ada baiknya Raden menghibur diri, menyelusuri lereng-lereng gunung melihat-lihat lembah yang hijau.”
Sutawijaya tersenyum. Katanya, “Baiklah. Pada suatu saat, aku tentu akan sampai ke Jati Anom. Kau tentu akan segera memanggil orang-orang tua di Jati Anom, jika saatnya membicarakan persoalan adikmu itu. Kini Swandaru telah selesai dibicarakan oleh orang-orang tua. Tentu sebentar lagi Agung Sedayu.”
“Ah,” Agung Sedayu berdesah, sedang Untara tersenyum. “Aku akan segera mengundang Raden dan para sesepuh di Mataram.”
Sutawijaya dan orang-orang yang mendengar jawaban itu tertawa. Hanya Agung Sedayu sajalah yang menundukkan kepalanya dalam-dalam.
Demikianlah, maka Untara pun kemudian meninggalkan rumah Raden Sutawijaya, kembali ke Jati Anom. Ternyata yang dijumpainya di Mataram bukan saja Raden Sutawijaya yang berwajah sedih dan muram, tetapi juga Raden Sutawijaya yang kini telah memiliki songsong Kiai Mendung di samping pusaka yang pernah diterima lebih dahulu, Kanjeng Kiai Pleret.
Tetapi setiap kali Untara berusaha untuk melenyapkan pikiran-pikiran yang tumbuh selain daripada tugasnya sebagai seorang prajurit. Ia tidak boleh berpendirian sendiri. Terutama menghadapi berkembangnya Mataram.
“Tetapi pasti akan dapat menumbuhkan tanggapan-tanggapan yang bermacam-macam di antara para perwira di Jati Anom, apalagi di Pajang,” berkata Untara di dalam hatinya.
Sepeninggal Untara, para tamu yang masih ada di Mataram pun mulai berkemas. Mereka hanya tinggal akan bermalam satu malam saja lagi. Besok pagi-pagi benar, mereka akan meninggalkan Mataram menuju ke Sangkal Putung.
Sebenarnya para pemimpin di Mataram masih berusaha menahan mereka barang sepekan. Tetapi agaknya Ki Demang sudah tidak tahan lagi melawan kerinduannya, kepada kademangannya dan keluarganya.
“Apa kata orang jika aku terlampau lama pergi untuk keperluan keluargaku? Seolah-olah aku terlampau mementingkan diriku sendiri daripada Kademangan Sangkal Putung,” berkata Ki Demang ketika mereka bercakap-cakap di gandok dengan Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Waskita.
“Tetapi Ki Demang tidak mementingkan diri sendiri. Di Tanah Perdikan Menoreh dan di sini, Ki Demang menjumpai persoalan yang harus mendapat bantuan pemecahan. Dan Ki Demang bersama-sama kami telah mencoba membantu sesuai dengan kemampuan kami masing-masing,” sahut Ki Sumangkar.
“Tetapi rakyat Sangkal Putung tidak mengetahuinya. Yang mereka ketahui, aku adalah pemimpin mereka. Dan aku pergi untuk waktu yang sangat lama menurut perhitungan mereka.”
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah, Ki Demang. Besok kita akan kembali ke Sangkal Putung.”
Seperti yang mereka rencanakan, maka mereka pun minta diri kepada Ki Juru Martani, bahwa besok pagi-pagi mereka benar-benar akan kembali ke Sangkal Putung.
Semula Ki Juru mencoba menahannya, tetapi agaknya, usahanya itu tidak akan berhasil. Karena itu maka katanya, “Ki Demang Sangkal Patung, Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, serta Ki Waskita, jika kami tidak dapat menahan lagi barang satu dua hari, maka yang dapat kami lakukan hanyalah mengucapkan terima kasih atas segalanya yang pernah terjadi di depan padepokan Panembahan Agung dan di Mataram. Kami tidak akan pernah dapat melupakannya. Apa lagi setelah kami mengetahui serba sedikit tentang dukun tua dari Dukuh Pakuwon.”
“Ah,” Kiai Gringsing berdesah. Sekilas ia melihat pertanyaan yang meloncat pada sorot mata Raden Sutawijaya, Agung Sedayu, dan Swandaru. Namun seakan-akan Kiai Gringsing tidak menghiraukannya, dan bahkan tidak mengetahuinya.
“Tetapi tentu malam ini bukan malam terakhir Kiai berada di Mataram,” berkata Ki Juru Martani, “demikian juga Ki Sumangkar, Ki Waskita, Ki Demang, dan kedua anak-anak muda itu. Pada suatu saat kami akan tetap menunggu salah seorang dari kalian atau bersama-sama mengunjungi kami.”
“Tentu,” sahut Kiai Gringsing, “kami adalah petualang yang akan selalu berjalan mengelilingi padesan, menjelajahi padukuhan dari pintu ke pintu. Dan kami akan singgah di Mataram pada suatu saat yang baik.”
Demikianlah, maka pada malam terakhir itu, mereka berbicara seakan-akan tidak akan berhenti. Seakan-akan mereka akan menghabiskan semua masalah yang ada di dalam hati dalam waktu semalam.
Baru setelah lewat tengah malam, maka para tamu itu pun masuk ke dalam biliknya untuk beristirahat barang sejenak. Besok mereka akan kembali ke Sangkal Putung, setelah sekian lamanya mereka melakukan perjalanan.
Namun demikian, di dalam gandok, para tamu itu masih berbicara beberapa saat sebelum mereka kemudian membaringkan dirinya di atas amben bambu yang besar. Sedangkan Agung Sedayu dan Swandaru tidur di bilik tersendiri, yang dibatasi oleh dinding bambu.
Meskipun demikian, tetapi agaknya Kiai Gringsing tidak segera tertidur. Ada sesuatu yang seolah-olah mengganggunya. Bukan karena persoalan-persoalan yang sedang di hadapinya, karena masalahnya justru sudah menjadi terang. Baik persoalan yang menyangkut Raden Sutawijaya, maupun yang akan menyangkut Swandaru dan Agung Sedayu. Kedua anak-anak muda itu harus segera mendapat perhatian bagi kesejahteraan hidupnya, karena keduanya memang sudah sepantasnya untuk segera kawin.
Malam itu rasa-rasanya terlampau sepi bagi Kiai Gringsing. Ada sesuatu yang lain daripada malam-malam sebelumnya. Angin malam yang lembut berdesir di atas atap gandok rumah Raden Sutawijaya itu. Terdengar dedaunan yang bergoyang saling bersentuhan.
Suasana malam itu terasa lain.
Perlahan-lahain Kiai Gringsing bergeser dan duduk di bibir amben. Sekilas ia melihat orang-orang lain yang telah tertidur di ujung amben, Ki Demang Sangkal Putung tidur dengan nyenyaknya. Di sebelahnya, Ki Sumangkar berbaring menelentang dengan mata terpejam. Di sisi yang lain, Ki Waskita terbujur miring.
Namun sejenak kemudian, Kiai Gringsing sadar, bahwa sebenarnya baik Ki Sumangkar maupun Ki Waskita agaknya masih belum tidur. Hanya Ki Demang Sangkal Putung-lah, yang benar-benar telah tertidur dengan nyenyak.
Tetapi Kiai Gringsing tidak menyapa kedua orang yang berbaring itu. Ia memusatkan perhatiannya kepada suasana di luar gandok. Diperhatikannya silirnya angin malam dan sekali-sekali di kejauhan suara burung malam yang bagaikan desah yang lesu.
“Ada suatu yang terasa aneh,” Kiai Gringsing berkata kepada diri sendiri.
Tetapi Kiai Gringsing tidak mengerti, apakah yang sedang bergolak di dalam hati kedua orang yang meskipun matanya terpejam tetapi tidak tertidur itu.
Tidak ada di antara mereka yang berada di dalam gandok itu mulai berbuat sesuatu atau berkata apa pun juga. Mereka agaknya menunggu, apa yang akan terjadi di rumah Raden Sutawijaya itu.
Tetapi ternyata tidak ada sesuatu yang terjadi. Tidak ada peristiwa yang mengikuti gejala yang aneh di malam yang sepi itu.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia masih saja duduk untuk beberapa lamanya. Bahkan sampai menjelang fajar, Kiai Gringsing belum membaringkan diri kembali di pembaringan.
Perlahan-lahan Kiai Gringsing merasakan suasana mulai berubah. Angin malam masih berdesir dengan lembut. Dedaunan masih terdengar saling bersentuhan. Tetapi ada sesuatu yang lain.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Seolah-olah yang mencemaskannya telah pergi, meskipun Kiai Gringsing tidak tahu pasti, apakah yang sebenarnya sedang dihadapi.
Yang bergejolak di dalam hatinya bukan isyarat seperti yang sengaja dilontarkan oleh Ki Waskita, saat ia berusaha menemuinya di tanah Mataram ini. Tetapi yang dirasanya memang suatu isyarat yang lain, yang belum diketahuinya dengan pasti.
Ketika udara rasa-rasanya telah bersih menurut tangkapan perasaan Kiai Gringsing, meskipun sebentar lagi fajar akan segera menyingsing, Kiai Gringsing pun membaringkan dirinya di sebelah Ki Waskita. Tetapi ia pun tersenyum ketika Ki Waskita itu kemudian berbisik, “Adakah sesuatu yang dapat Kiai tangkap dari isyarat itu?”
Kiai Gringsing menggeleng. Jawabnya, “Aku tidak dapat mengerti, apa yang sedang terjadi. Mungkin hanya perasaanku saja.”
“Perasaan kita bersama-sama telah terganggu oleh sesuatu yang tidak kita ketahui,” terdengar suara yang lain.
Kiai Gringsing dan Ki Waskita berpaling. Keduanya tersenyum ketika keduanya melihat Ki Sumangkar masih saja berbaring menelentang sambil memejamkan matanya. Tetapi hanya bibirnya sajalah yang bergerak.
“Ki Sumangkar seperti sedang menakuti anak-anak,” desis Ki Waskita.
Ki Surnangkar pun tersenyum sambil membuka matanya. Katanya, “Ternyata kita sama-sama diganggu oleh perasaan aneh. Apakah kita memang sudah tidak betah tinggal di Mataram?”
“Bukan itu. Justru Ki Demang tidur dengan nyenyaknya. Selain tubuhnya yang lelah, ia memang ingin bermimpi tentang anak laki-lakinya yang gemuk itu,” desis Kiai Gringsing.
“Nah, apakah menurut perhitungan Kiai?” bertanya Ki Waskita.
Kiai Gringsing menggeleng. Katanya, “Aku kurang mengerti. Namun agaknya memang mendebarkan jantung. Besok sepeninggal kita, apakah Mataram akan mengalami sesuatu yang dapat menggoncangkan kedudukan Raden Sutawijaya. Atau yang kita tangkap samar-samar itu akan mengikuti kita sampai ke Sangkal Putung?”
“Kita memang tidak tahu,” berkata Ki Sumangkar, “tangkapan perasaan kita ini ditujukan kepada kita atau kepada Mataram.”
“Di sini ada Ki Juru Martani. Mudah-mudahan tidak ada peristiwa apa pun yang akan mengganggu tanah yang sedang tumbuh ini, dan mengganggu rencana keberangkatan kita. Kasihan Ki Demang, dan Swandaru. Mereka telah terlalu lama pergi.”
Orang-orang tua itu pun kemudian terdiam ketika mereka mendengar derit amben di sebelah dinding. Agaknya kedua anak-anak muda, yang tidur di tempat itu, sudah terbangun pula.
“Kita akan menghubungi Ki Juru Martani, apakah ia merasakan hal yang serupa pula?” bisik Kiai Gringsing kemudian.
Yang lain hanya mengangguk-angguk saja, karena sebenarnyalah bahwa Agung Sedayu dan Swandaru memang sudah terbangun. Mereka pun kemudian turun dari pembaringannya dan keluar dari dalam bilik.
Sementara itu, Ki Demang pun telah menggeliat. Perlahan-lahan ia membuka matanya, dan dilihatnya Kiai Gringsing telah duduk di bibir amben. Ki Waskita dan Ki Sumangkar pun telah bangkit pula dan bergeser menepi.
Ki Demang kemudian duduk pula sambil menggosok matanya. Katanya, “Aku dapat tidur nyenyak sekali malam ini. Bahkan aku bermimpi seolah-olah aku sudah berada di Sangkal Putung.”
“Sebenarnya bukan jarak yang jauh, Ki Demang,” sahut Kiai Gringsing.
“Betapapun dekatnya jarak itu, tetapi jika tidak kita jalani, maka kita tidak akan sampai juga.”
Yang mendengar jawaban itu tertawa. Bahkan Agung Sedayu dan Swandaru pun tersenyum pula.
Demikianlah, maka tamu-tamu Raden Sutawijaya dari Sangkal Putung itu pun kemudian bersiap-siap untuk menempuh perjalanan kembali. Mereka merasa betapa rindunya kepada Kademangan Sangkal Patung itu. Terutama Ki Demang dan Swandaru. Mereka sudah terlampau lama meninggalkan sawah dan ladang yang hijau. Sungai yang jernih, dan parit-parit yang menyelusuri pematang dan pinggir-pinggir jalan. Di pagi hari, gunung Merapi nampak megah kebiru-biruan, dengan puncak yang bagaikan membara dibakar oleh cahaya matahari yang baru terbit.
“Kita akan segera kembali,” desis Swandaru di dalam hatinya. Ia pun sebenarnya sudah rindu kepada ibunya dan kepada adiknya Sekar Mirah, meskipun jika mereka berkumpul, hampir setiap hari mereka selalu bertengkar,
Setelah semuanya bersiap, maka mereka pun kemudian menemui Ki Juru Martani dan Raden Sutawijaya, yang disertai beberapa orang tetua dan pemimpin dari Tanah Mataram yang sedang berkembang itu.
“Jadi kalian semuanya benar-benar akan meninggalkan Mataram?” bertanya Ki Juru Martani.
“Apa boleh buat, Ki Juru,” jawab Ki Demang, “kami harus kembali cepat atau lambat. Dan agaknya kami sudah terlampau lambat pulang. Orang-orang di Sangkal Putung tentu sudah gelisah dan cemas, karena aku tidak segera berada di antara mereka.”
Ki Juru mengangguk-angguk. Katanya, “Tidak ada yang dapat aku katakan selain ucapan terima kasih. Telah banyak sekali yang kalian lakukan bagi Tanah Mataram yang sedang tumbuh ini. Karena itu, maka apabila Ki Demang memerlukan kami, jika kami dapat melakukan, kami akan melakukannya dengan senang hati. Termasuk saat-saat Angger Swandaru menempuh jenjang kehidupan baru.”
“Terima kasih, Ki Juru. Terima kasih. Sudah tentu pada saatnya kami akan memberitahukan apakah yang ingin kami minta dari Tanah Mataram yang sedang berkembang ini,” sahut Ki Demang.
Demikianlah, maka Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, Ki Demang Sangkal Putung, dan kedua anak-anak muda seperguruan itu minta diri. Sementara itu, agaknya Ki Waskita pun telah bersepakat untuk ikut pergi mengawani perjalanan itu ke sangkal Putung.
Ki Juru Martani, Raden Sutawijaya dan para pemimpin Mataram tidak dapat menahan mereka lagi, sehingga mereka pun kemudian mengantarkan tamu-tamu mereka, yang akan meninggalkan Mataram sampai ke pintu gerbang halaman.
“Selamat jalan,” desis Ki Juru dari Raden Sutawijaya hampir bersamaan.
Ketika iring-iringan kecil berkuda itu mulai bergerak, maka terasa kesunyian seolah-olah semakin mencengkam hati Raden Sutawijaya, Agung Sedayu dan Swandaru yang hampir sebaya dengannya itu merupakan kawan berbicara yang rasa-rasanya paling sesuai. Tetapi ia tidak dapat menahannya lebih lama lagi.
Dalam pada itu, Ki Juru Martani pun bagaikan membeku memandang iring-iringan berkuda itu. Bukan saja karena hatinya merasa sepi seperti Sutawijaya karena kehilangan kawan berbicara dan berbincang, namun ia mendapat bisikan dari Kiai Gringsing sesaat sebelum pergi, “Apakah kau merasakan sesuatu semalam, Ki Juru?”
Ki Juru tidak menyahut. Saat itu ia hanya mengangguk kecil. Namun dengan demikian Ki Juru itu menjadi yakin, bahwa ia tidak sekadar diganggu oleh perasaannya saja ketika semalam terasa angin yang lembut berdesir di atas atap rumah itu.
“Memang ada sesuatu yang tidak sewajarnya,” berkata Ki Juru di dalam hatinya. Tetapi seperti juga Kiai Gringsing dan tamu-tamunya yang lain, Ki Juru juga tidak dapat menebak, apakah sebenarnya yang telah terjadi di Mataram. Namun bahwa Mataram harus berhati-hati, tidak lagi dapat dielakkan lagi.
Seperti juga tamu-tamunya yang baru saja meninggalkan Mataram, Ki Juru pun dapat menduga, bahwa sesuatu yang memiliki kelebihan telah mulai menyentuh Tanah yang sedang berkembang itu.
Tetapi Ki Juru Martani bukan anak kemarin sore. Ia adalah seseorang yang telah kenyang makan garamnya kehidupan yang serba rumit dan pelik.
Karena itu, sebelum semuanya terjadi, Ki Juru pun harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Mungkin ada sesuatu yang dengan sengaja ingin mengganggu Mataram, seperti yang selalu terjadi sampai saat terakhir. Pada saat ia datang menghadap Sultan Pajang untuk memberitahukan bahwa Ki Gede Pemanahan telah wafat, ada juga orang-orang yang telah mencegatnya.
Dengan demikian, maka segala kemungkinan yang kurang baik masih dapat terjadi atas Mataram yang sedang tumbuh.
“Tetapi mungkin juga perasaan kami yang masih saja dipengaruhi oleh prasangka-prasangka buruk,” berkata Ki Juru di dalam hatinya.
Meskipun demikian, Ki Juru menyadari bahwa di Mataram ada dua buah pusaka yang memiliki nilai yang tinggi bagi pemegang pimpinan atas tanah ini. Kiai Pleret dan Kiai Mendung. Kedua pusaka itu akan membuat orang-orang yang tidak senang kepada Mataram semakin bernafsu untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang tercela.
Tetapi Ki Juru Martani tidak tergesa-gesa memberitahukan hal itu kepada orang lain. Ia masih harus meyakinkan, apakah perasaannya itu tidak hanya sekedar diganggu oleh angin pancaroba dalam pergantian musim. Bahkan kepada Sutawijaya pun ia tidak mengutarakannya, karena ternyata Sutawijaya belum menangkap isyarat apa pun juga.
“Mungkin ia masih terlampau muda untuk dapat menyentuh getaran yang sangat halus itu,” berkata Ki Juru di dalam hatinya. Namun kemudian dilanjutkannya, “Atau aku memang sudah terlampau tua, untuk tidak berprasangka buruk terhadap persoalan yang sebenarnya tidak akan berakibat apa pun juga.”
Dengan demikan, maka Ki Juru masih ingin meyakinkan, apakah yang sebenarnya telah terjadi.
Sementara itu, Kiai Gringsing dan iring-iringannya menjadi semakin jauh dari Mataram. Ki Demang Sangkal Putung yang berada di paling depan, memacu kudanya semakin cepat, seakan-akan ia sudah tidak sabar lagi berada di perjalanan yang terasa menjemukan sekali. Ia ingin segera bertemu dengan keluarganya, dengan bebahu kademangannya dan dengan tetangga-tetangga yang baik di Sangkal Putung.
Kiai Gringsing sama sekali tidak menahannya. Bahkan, ia pun mengikuti kecepatan lari kuda Ki Demang, bersama kawan-kawannya yang lain.
Di paling belakang dari iring-iringan itu adalah Agung Sedayu dan Swandaru. Mereka hampir tidak bercakap-cakap sama sekali. Swandaru yang banyak berbicara itu pun agaknya lebih banyak berbicara di dalam angan-angannya tentang dirinya sendiri, tentang masa depan yang sudah menerawang di angan-angan.
Agung Sedayu pun ternyata telah diganggu pula oleh perasaannya sendiri. Masih terngiang kata-kata Untara di tangga pendapa rumah Raden Sutawijaya di Mataram.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Pertanyaan yang serupa itu telah menyentuh hatinya dan bahkan tumbuh pula dari dirinya sendiri, “Apakah aku akan tetap menjadi seorang petualang sampai hari tuaku? Jika pada suatu saat aku ingin hidup seperti lazimnya hidup berkeluarga, aku memang tidak akan dapat setiap hari hanya menyelusuri jalan-jalan dan padesan.”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Di luar sadarnya ia memperhatikan gurunya yang ada di depannya. Sebuah pertanyaan yang lain telah tumbuh pula, “Apakah guru memang hidup seorang diri sejak muda, tanpa pernah mengalami hidup kekeluargaan sebagaimana lazimnya?”
Di luar sadarnya, Agung Sedayu menggelengkan kepalanya. Ia tidak mau menambah kepalanya menjadi pening memikirkan keadaan gurunya.
Bahkan kemudian di luar kehendaknya, Agung Sedayu mulai menilai keadaan Swandaru. Seperti yang dikatakan oleh Untara, Swandaru telah mempunyai pegangan hidup yang kuat, pegangan hidup lahiriah. Ia adalah satu-satunya anak laki-laki Ki Demang Sangkal Putung. Ia dengan sendirinya akan mewarisi pangkat Demang itu, dan ia akan menjadi Ki Demang setiap saat ayahnya menyerahkan jabatan itu kepadanya, apabila ia menjadi semakin tua dan merasa tidak mampu lagi bekerja.
“Dan bakal isteri Swandaru adalah satu-satunya anak Ki Argapati, Kepala Tanah Perdikan Menoreh,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya. “Ia adalah satu-satunya orang yang berhak mewarisi Tanah Perdikan Menoreh. Dengan demikian maka baik Swandaru maupun Pandan Wangi akan menjadi pewaris-pewaris dari daerah yang luas dan subur, sehingga mereka tidak akan lagi dicemaskan oleh perjuangan hidup lahiriah,” sekali lagi Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Lalu, “Sebaliknya, apakah yang aku punyai di Jati Anom? Secuwil sawah yang harus dibagi dua dengan Kakang Untara. Rumah peninggalan ayah yang meskipun cukup besar dan baik, tetapi kini oleh Kakang Untara seakan-akan telah diserahkan bagi kepentingan prajurit Pajang, karena Kakang Untara sendiri adalah seorang perwira. Meskipun Kakang Untara kemudian tinggal di rumah itu bersama isterinya, namun rumah itu masih tetap menjadi ajang kegiatan keprajuritan.”
Di luar sadarnya, Agung Sedayu berpaling memandang wajah Swandaru. Wajah yang bulat itu nampak cerah dipanasnya matahari pagi.
Sepercik perasaan iri menyentuh hati Agung Sedayu. Perasaan yang melonjak dari dasar hati. Namun Agung Sedayu adalah seorang anak muda yang sudah lama belajar mengendalikan perasaan. Bahkan kadang-kadang terlampau kuat, sehingga ia mampu mendesak perasaan yang tumbuh dengan wajar itu dari hatinya.
Dengan penuh kesadaran ia menilai perasaannya itu. Dengan penuh kesadaran ia mencoba mengatasi perasaan iri di hatinya.
“Aku tidak boleh merasa iri hati atas keberuntungan Swandaru,” katanya di dalam hati, “Perasaan iri adalah pertanda desah dan ketidak-relaan menerima kasih yang sudah dilimpahkan oleh Yang Maha Pencipta, seolah-olah suatu tuntutan ketidak-adilan atas nasib yang disandangnya.”
Namun kemudian, “Tetapi yang Maha Pengasih pun tidak akan merubah nasib seseorang, jika orang itu sendiri tidak berbuat apa-apa. Dan berbuat apa-apa itu adalah suatu pertanda bahwa seseorang telah berusaha sebagai kenyataan permohonan yang dipanjatkan kehadapan-Nya.”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sebuah pertanyaan pun kemudian melonjak di hatinya, “Dan apakah yang sudah aku lakukan menjelang hari depan?”
Sekali-sekali masih juga terngiang kata-kata kakaknya, bahwa sebaiknya ia menjadi seorang prajurit seperti kakaknya.
“Kau memiliki bekal yang cukup,” berkata Untara. Tetapi Agung Sedayu selalu ragu-ragu. Dan bahkan ia berkata di dalam hati, “Aku bukan seorang prajurit yang baik. Setiap kali tanganku menjadi gemetar, jika aku mengayunkan senjata di peperangan. Apalagi jika sepercik darah telah menyembur dari luka akibat tanganku. Dan itu bukan sifat seorang prajurit yang baik.”
Meskipun demikian, Agung Sedayu tidak dapat ingkar, bahwa tangannya bukan saja sekedar mencabut sebuah nyawa, tetapi telah beberapa kali ia membunuh di peperangan.
Tanpa disengaja, Agung Sedayu memandang tangannya, jari-jarinya dan telapak tangannya.
Sekali lagi ia menarik nafas dalam-dalam.
Sementara itu kudanya berlari terus, meskipun tidak terlalu kencang. Beberapa kali mereka harus memperlambat derap kaki-kaki kuda, karena jalan yang masih belum sempurna sama sekali. Namun kemudian kudanya dapat berlari lagi semakin cepat.
Ki Demang Sangkal Putung masih tetap berada di paling depan. Rasa-rasanya ia tidak sabar lagi mengikuti derap kaki kudanya yang malas dan lamban.
Tidak ada peristiwa apa pun yang terjadi di sepanjang jalan. Tidak ada orang yang mencoba mencegat perjalanan mereka. Penjahat tidak, dan orang-orang yang mempunyai kepentingan yang lain pun tidak. Mereka dapat menempuh perjalanan dengan aman dan lancar. Sekali-sekali mereka berhenti sejenak, memberi kesempatan kuda mereka minum air di parit yang mengalir di tepi jalan. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan mereka menyusuri jalan yang semakin lama terasa semakin baik.
Iring-iringan itu melintasi alas Tambak Baya yang sudah tidak dihantui lagi oleh para penjahat, meskipun kadang-kadang masih ada perampok-perampok kecil yang mencoba bermain-main dengan nasib.
Meskipun sebenarnya jarak antara Mataram dan Sangkal Putung tidak terlampau jauh, namun rasa-rasanya perjalanan mereka terlampau lama.
Di saat-saat matahari condong ke Barat, mereka berhenti sejenak oleh terik matahari yang rasa-rasanya membakar punggung. Kuda mereka pun menjadi haus. Iring-iringan kecil itu pun kemudian berhenti di sebuah sungai yang menyilang jalan dan membiarkan kuda mereka minum dan makan rerumputan di tepian. Sementara itu, penunggang-penunggangnya pun duduk sebentar melepaskan lelah dan berlindung dari teriknya matahari.
“Alangkah sejuknya mandi,” desis Swandaru.
“Kita tentu tidak terlalu lama berhenti. Kecuali jika kau ingin ditinggalkan sendiri di sini,” sahut Agung Sedayu.
“Di sebelah ada pedesan. Kita sudah tidak terlampau jauh lagi dari Sangkal Putung,” berkata Swandaru. “He, bukankah daerah ini termasuk daerah jelajah pasukan Tohpati? Kau ingat hutan rindang di sebelah itu?”
“Ya,”
Swandaru akan berbicara lagi. Tetapi ia menggelengkan kepalanya.
“Kenapa?” bertanya Agung Sedayu.
“Tidak apa-apa.”
“Kau akan mengatakan sesuatu, tetapi kau urungkan.”
“Ya. Hampir saja aku mengatakan, bahwa aku ingin melihat daerah itu. Gubug-gubug liar dan barangkali masih ada satu dua orang yang tertinggal.”
“Kau memang sedang bermimpi.”
“He, siapa tahu di hutan yang tidak terlampau lebat itu terdapat sesuatu,” Swandaru tiba-tiba berbisik.
“Sesuatu apa?”
“Mungkin Tohpati pernah menyembunyikan harta benda atau apa pun yang dibawanya dari Jipang, dari Kepatihan.”
Agung Sedayu tersenyum sambil memandang Sumangkar yang duduk sambil merenung, bersandar sebuah batu besar. “Ada orang tua itu, jika Tohpati menyimpan harta karun di sana, Ki Sumangkar tentu mengetahuinya.”
“Mungkin ia mengetahui, tetapi ia tidak berkata kepada siapa pun.”
“Sudahlah. Mimpimu berbahaya.”
Swandaru pun tertawa kecil. Namun tiba-tiba ia berdesah, “Ayah memang aneh. Nampaknya ia tergesa-gesa. Tetapi setelah Sangkal Putung menjadi semakin dekat, justru kita harus berhenti dan beristirahat.”
“Bukan kita yang lelah. Tetapi kuda-kuda kita,” Jawab Agung Sedayu. “Selebihnya, Ki Demarg sedang mengatur perasaannya, mengarang jawaban yang tentu akan tertumpah dari Nyai Demang. Perjalanan dari Tanah Perdikan Menoreh yang dapat ditempuh dalam waktu sepekan itu, ternyata telah menjadi panjang sekali.”
Swandaru mengangguk-angguk. Namun kemudian sambil tersenyum ia menjawab, “Aku dapat membantu ayah memberikan jawaban.”
Agung Sedayu tidak menjawab lagi. Ia pun kemudian duduk bersandar sebatang pohon di pinggir sungai, sambil memandangi kuda-kuda yang sedang makan rerumputan segar.
Demikianlah, setelah mereka beristirahat beberapa saat, maka mereka pun segera melanjutkan perjalanan. Tidak terlampau jauh lagi di hadapan mereka berdiri sebuah tiang, sebagai pertanda bahwa mereka akan segera memasuki daerah Kademangan Sangkal Putung.
Ketika mereka melampaui tiang kayu itu, maka Ki Demang merasa seolah-olah telah sampai di rumah. Udara rasa-rasanya bertambah segar dan angin semakin sejuk. Sambil menarik nafas dalam-dalam, ia berkata, “Akhirnya aku sampai juga di Sangkal Putung.”
Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Apakah selama ini Ki Demang cemas, bahwa ada kemungkinan Ki Demang tidak akan sampai di rumah?”
“Mula-mula tidak, Kiai. Tetapi jika terkenang batang-batang kayu dan batu-batu besar yang runtuh di tebing, di hadapan mulut padepokan Panembahan Agung, rasa-rasanya bulu-bulu tengkuk ini tegak berdiri.”
Yang mendengar jawaban itu tertawa. Ki Waskita-lah yang kemudian menyahut, “Menurut pendengaranku, di tlatah Sangkal Putung pernah juga terjadi pertempuran yang gawat. Benturan antara pasukan Jipang yang telah terpecah-pecah, dengan prajurit-prajurit Pajang di bantu oleh anak-anak muda Sangkal Putung. Apakah saat itu Ki Demang tidak cemas mendengar nama Macan Kepatihan atau lebih-lebih lagi paman gurunya, yang mempunyai juga tongkat yang berkepala tengkorak berwarna kuning, dan bergelar Ki Sumangkar?”
Ki Demang pun tertawa. Jawabnya, “Tidak. Aku tidak cemas sama sekali. Di Kademangan Sangkal Putung ada seorang dukun yang bernama Ki Tanu Metir. Tentu Ki Tanu Metir dapat mamasang guna-guna, agar Ki Sumangkar menjadi jinak.”
Ki Sumangkar pun tertawa pula. Meskipun terkilas perasaan perih di hatinya. Kenangan itu ingin dilupakannya sama sekali. Tetapi agaknya ia masih harus mendengarkannya, gurau Ki Demang tentang kehancuran laskar Jipang, yang terakhir di bawah pimpinan Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan.
Sekilas terbayang orang-orang yang saat itu menjadi kebanggaan Jipang. Pande Besi dari Sendang Gabus. Alap-Alap Jalatunda, seorang anak muda yang sebenarnya menyimpan harapan di masa depannya, Plasa Ireng, dan masih banyak lagi yang harus mengorbankan nyawanya untuk tujuan yang sebenarnya sudah sangat kabur. Bahkan kemudian masih disusul peristiwa yang pahit. Sidanti yang lepas dari pengaruh Widura dan bahkan kemudian bergabung dengan sisa-sisa pasukan Tohpati, sepeninggal Tohpati itu sendiri.
Api yang menyala di padepokan Tambak Wedi di lereng Gunung Merapi itulah yang kemudian merembet sampai ke Tanah Perdikan Menoreh. Sidanti, salah seorang anak muda yang dilahirkan di Tanah Perdikan Menoreh, dengan persoalan yang sudah dibawanya sejak lahir bukan atas kehendaknya sendiri.
Ki Waskita pun pernah mendengar ceritera itu selama ia bergaul dengan orang-orang dari Sangkal Putung itu. Di saat-saat mereka duduk sambil minum minuman panas, mereka pun kadang-kadang berbincang tentang api yang pernah membakar Tanah Perdikan Menoreh. Perang di antara saudara sendiri, dan bahkan Sidanti yang terbunuh di luar sadar oleh Pandan Wangi, adiknya sendiri.
Tidak seorang pun yang membayangkan, bahwa api akan berkobar lagi di atas Tanah Perdikan Menoreh itu. Peristiwa Panembahan Agung bukannya persoalan Tanah Perdikan itu sendiri meskipun terjadi di atas pebukitan, di tlatah Menoreh.
Namun kadang-kadang di dalam saat-saat merenung, Ki Waskita di kejutkan oleh isyarat-isyarat yang mencemaskan, yang dapat terjadi di atas Tanah Perdikan Menoreh.
Bahkan kadang-kadang Ki Waskita bertanya di dalam hati, “Apakah isyarat ini ada hubungannya dengan isyarat yang buram dari perkawinan yang bakal terjadi antara Swandaru dan Pandan Wangi, anak satu-satunya Kepala Tanah Perdikan Menoreh?”
Ki Waskita setiap kali hanya menggelengkan kepalanya saja, seolah-olah ia ingin mengusir isyarat yang dilihatnya dengan mata batinnya yang tajam itu. Bahkan kadang-kadang ia ingin mengingkari tangkapan isyarat itu dan mencoba mencari jawaban yang lain dari tanggapan yang sebenarnya harus diberikan.
“Tidak. Api itu sudah padam. Tidak akan ada nyala api lagi di atas Tanah Perdikan Menoreh,” katanya kepada diri sendiri.
Tetapi kebohongan yang betapa pun besarnya, tidak akan dapat membohongi dirinya sendiri. Ia sudah melihat isyarat itu. Dan ia tidak akan dapat menghapuskannya. Yang dapat dilakukan adalah ingkar, hanya itu. Tetapi yang telah dilihatnya itu adalah suatu isyarat yang sudah nampak. Dan Ki Waskita tidak kuasa menghapusnya lagi.
Ki Waskita terkejut ketika tiba-tiba saja Ki Sumangkar menggamitnya dan bertanya, “Ki Waskita. Kenapa diam saja? Apakah Ki Waskita juga sudah mulai merindukan kampung halaman dan anak istri?”
Ki Waskita tersenyum. Katanya, “Sudah tentu, Ki Sumangkar. Apalagi Rudita yang sudah mulai mengenal dirinya sendiri. Perkembangannya benar-benar menakjubkan. Dan apakah sebaiknya aku membatalkan niatku untuk pergi ke Sangkal Putung?”
Ki Demang tertawa. Katanya, “Ki Waskita sudah menginjak tanah Kademangan Sangkal Putung. Sebaiknya Ki Waskita mencicipi hasil tanahnya. Airnya tentu lebih segar, dan buah-buahan akan terasa lebih manis dari daerah lain.”
Ki Waskita tertawa, katanya di antara suara tertawanya yang tertahan, “Baru sekarang Ki Demang sempat tertawa. Sebenarnya tertawa, bukan sekedar tertawa kecut. Setelah Ki Demang berada di daerah Sangkal Putung, dan setelah ternyata padi mulai menguning di bentangan sawah yang luas. Tentu Ki Demang merasa betapa sejuknya angin yang membelai butir-butir padi yang sudah merunduk.”
Ki Demang masih saja tertawa. Tetapi ia tidak menjawab. Kepalanya yang terangkat memandang jauh ke depan, mendahului derap kaki kudanya yang terasa terlampau lamban.
Ketika seorang petani yang duduk di tanggul parit di pinggir jalan melihatnya, tiba-tiba saja ia berdiri ternganga. Ada sesuatu yang akan dikatakannya, tetapi kerongkongannya seolah-olah tersumbat.
“He, kau, Kerta,” Justru Ki Demang-lah yang menyapanya lebih dahulu, sambil memperlambat kudanya.
“Ki Demang, Ki Demang,” suara Kerta tergagap.
“Ya,” sahut Ki Demang sambil tersenyum.
Orang yang kemudian berdiri itu masih termangu-mangu, ketika kuda Ki Demang menjadi semakin jauh. Baru kemudian ia menyadari sepenuhnya, bahwa Ki Demang yang sudah beberapa saat tidak ada di kademangannya itu pulang, bersama anak laki-lakinya yang gemuk dan beberapa orang tamu yang sudah dikenalnya, Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan saudara seperguruan Swandaru. Tetapi yang satu masih belum pernah dilihatnya.
Karena itulah, maka petani itu pun dengan tergesa-gesa mendatangi kawan-kawannya yang sedang bekerja di sawah sambil berkata, “Ki Demang sudah pulang.”
“Dari mana kau tahu?”
“Aku melihat iring-iringan di tengah bulak. Bersama dukun tua dan saudara seperguruan Swandaru, Ki Sumangkar, dan seorang lagi.”
“Dan, Swandaru?”
“Ya. Bersama Swandaru.”
“Berita kedatangan Ki Demang itu pun kemudian segera tersebar di seluruh kademangan. Setiap orang tahu, bahwa Ki Demang pergi ke Tanah Perdikan Menoreh untuk melamar seorang gadis yang akan dijadikan isteri Swandaru yang gemuk itu. Karena itu, mereka pun ingin juga segera mengetahui hasil perjalanan yang menurut ukuran mereka justru terlampau lama itu.
“Wajah-wajah mereka nampak cerah,” berkata Kerta bersungguh-sungguh.
“Jika demikian, mereka tentu berhasil.”
“Tentu,” sahut yang lain, “yang membuka pembicaraan adalah justru anak-anak itu sendiri. Orang-orang tua hanya sekedar dengan resmi membicarakan penyelesaiannya saja.”
Seorang berambut putih menarik nafas. Katanya, “Itulah sekarang kerja orang-orang tua. Kita tidak lagi dapat berbuat banyak atas anak-anak muda. Tetapi anak-anak muda kadang-kadang tidak menanggung akibatnya. Jika mereka kawin atas kehendak sendiri, mereka tidak mau membiayai diri sendiri. Mereka masih memaksa orang tua mengeluarkan uang buat membiayai perhelatan perkawinan mereka.”
“Ah, bukankah itu sudah menjadi kuwajiban orang tua?” sahut yang lain.
Yang mendengarkan percakapan itu tertawa. Orang berambut putih itu pun tertawa pula. Katanya, “Mestinya tidak begitu, jika mereka menyerahkan jodoh mereka kepada orang-orang tua, maka orang-orang tualah yang harus rnembiayai perhelatan perkawinan itu. Tetapi jika mereka memilih jodoh mereka sendiri, maka biarlah mereka membiayai perhelatan mereka.”
“Dan kau akan cuci tangan?”
Orang berambut putih itu tertawa semakin keras. Katanya di sela-sela derai tertawanya, “Tidak, tentu bukan begitu.”
Sementara itu, perjalanan Ki Demang sudah semakin mendekati padukuhan Induk di Kademangan Sangkal Putung. Semakin dekat mereka dengan rumah kademangan, hati Ki Demang pun menjadi semakin berdebar-debar. Demikian juga Swandaru dan bahkan Agung Sedayu. Karena di rumah itu tinggal seorang gadis cantik yang bernama Sekar Mirah. Meskipun agak keras hati, namun gadis itu memiliki tatapan mata yang bagaikan mengikat.
Terngiang sekilas di telinga Agung Sedayu kata-kata Untara, “Nah, kapan aku harus datang ke Sangkal Putung?” kemudian, “Tetapi kau harus mempunyai pegangan lebih dahulu.”
Agung Sedayu menarik nafas. Sekali lagi terbayang kemungkinan yang dapat terjadi atasnya dan atas Swandaru.
Swandaru tentu akan mempunyai pegangan yang mapan. Sedang apakah yang akan dapat diberikan kepada Sekar Mirah? Padahal menurut sikap lahiriahnya, Sekar Mirah bukan seorang gadis yang dengan rela menerima kesederhanaan tata cara hidup, seperti juga Swandaru.
“Ia mempunyai harga diri yang kadang-kadang agak berlebih-lebihan,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya. Teringat olehnya bagaimana Sekar Mirah menjadi kurang senang pada saat mereka mengunjungi perhelatan perkawin Untara, hanya karena tempat duduk dan tegur sapa yang kurang berkenan di hatinya.
Tetapi bagaimanapun juga, gadis itu telah memikat hatinya di dalam keseluruhan. Ia tidak akan dapat memisahkan sifat-sifat baiknya dari sifat-sifat yang kurang baik. Dan ia tidak akan dapat menerima Sekar Mirah dari segi yang baik saja dan menolak segi yang lain. Jika ia menerima gadis itu, maka itulah Sekar Mirah seutuhnya.
Dengan demikian, maka justru Agung Sedayu-lah yang kemudian menjadi sangat gelisah. Bukan sekedar menghadapi kehadiran mereka di rumah Ki Demang Sangkal Putung dan berbagai pertanyaan yang bakal tertumpah, tetapi justru menghadapi masa depannya. Masa depan yang panjang.
Setiap kali terngiang kata-kata Untara di telinganya. Namun setiap kali ia selalu bertanya pula kepada diri sendiri, “Jika aku menghentikan petualangan ini, apakah yang akan aku kerjakan? Aku tidak pantas menjadi seorang prajurit. Tetapi aku tidak dapat pula mendapatkan pekerjaan lain. Untuk menjadi petani biasa, maka semuanya akan menjadi serba kekurangan bagi Sekar Mirah, karena sawah peninggalan ayah yang tidak begitu luas masih harus dibagi dengan Kakang Untara.”
Kadang-kadang terbayang hutan yang lebat dan luas di Mataram. Jika ia ikut membuka hutan itu dengan sebenarnya, bukan sekedar mengejar hantu-hantuan atau orang-orang lain yang dengan sengaja menghalangi pembukaan hutan itu, maka ia akan mendapatkan tanah yang cukup luas. Mungkin ia akan mendapat hak khusus untuk membuka dua atau tiga bagian tanah lebih banyak dari orang-orang lain. Tetapi membuka hutan membutuhkan waktu dan perkembangan. Apalagi sampai saat itu Agung Sedayu masih belum mulai sama sekali.
Tiba-tiba angan-angan Agung Sedayu pun pecah, ketika ia mendengar beberapa orang anak-anak muda berteriak, “Ki Demang, Ki Demang sudah datang.”
Agung Sedayu mengangkat wajahnya. Dilihatnya beberapa orang anak muda berdiri di sudut desa. Mereka berlari-larian menyongsong demangnya yang datang dari bepergian jauh, dan untuk waktu yang cukup lama.
Namun ternyata, ketika iring-iringan Ki Demang menjadi semakin dekat, yang menjadi pusat perhatian mereka adalah Swandaru. Seorang anak muda dengan melambaikan tangannya berkata, “Kami sudah membuat tandu untuk pengantinmu, Swandaru.”
Anak-anak muda itu tertawa. Swandaru pun tertawa pula. Katanya, “Terima kasih. Tetapi kau harus membuat bambu usungannya rangkap. Aku menjadi semakin gemuk sekarang. Karena itu, kalian harus hati-hati menyediakan tandu buatku.”
“Tidak untukmu,” sahut yang lain, “tetapi untuk pengantinmu. Seperti seorang kesatria di dalam dongeng, isterinya naik tandu dan suaminya naik kuda, diiring dengan sebuah pengawal pasukan berkuda.”
Swandaru tertawa. Tetapi ia masih mendengar seorang kawannya berkata, “Kuda lumping. Tepat sekali bagi Swandaru. Pengantinnya pun harus naik kuda lumping pula.”
Anak-anak muda itu tertawa. Swandaru pun tertawa pula. Bahkan Ki Demang pun tertawa seperti anak-anak muda itu juga.
Ki Waskita yang baru pertama kalinya datang ke Sangkal Putung, melihat betapa akrabnya hubungan anak-anak muda di Sangkal Putung. Agaknya hal itu terbentuk sejak saat mereka bersama-sama menghadapi bahaya yang mengancam kademangan mereka, ketika Tohpati ada di depan hidung Kademangan Sangkal Putung, dengan tongkat berkepala tengkorak kuningnya.
Tetapi Swandaru tidak berhenti dan iring-iringan itu pun tidak berhenti pula. Anak-anak muda itu menyambut dengan caranya sendiri di pojok desa.
Sejenak kemudian, maka iring-iringan itu pun telah memasuki induk kademangan. Mereka menyusuri jalan yang langsung menuju ke rumah Ki Demang Sangkal Putung.
Kabar tentang kedatangan Ki Demang itu pun segera tersebar ke seluruh kademangan. Dan mereka pun segera mencari arti dari senyum dan gurau Swandaru.
“Agaknya lamaran mereka tidak menjumpai kesulitan apa pun,” berkata orang-orang Sangkal Putung. Dan mereka pun ikut bergembira, karena dengan demikian, maka sebentar lagi Sangkal Putung akan segera merayakan hari perkawinan Swandaru. Swandaru Geni, anak laki-laki satu-satunya dari Ki Demang, dan yang kelak, pada suatu saat akan menggantikan kedudukan ayahnya, apabila ayahnya sudah tidak dapat menjalankan tugasnya lagi.
Demikianlah, ketika iring-iringan itu mendekati regol kademangan, beberapa orang yang kebetulan berada di depan regol segera memberitahukan kehadiran Ki Demang itu kepada seisi rumah.
Nyai Demang dan Sekar Mirah memang sudah lama sekali menanti Ki Demang. Karena itu, mereka pun segera berlari-larian turun ke halaman, menyongsong kedatangan iring-iringan itu.
Kedatangan Ki Demang dan Swandaru bersama segenap orang dalam iring-iringan itu, telah membuat halaman kademangan menjadi riuh. Swandaru pun dengan serta-merta mendapatkan ibunya. Dan seperti terhadap Swandaru di saat masih kanak-kanak, ibunya pun memeluknya sambil berkata, “Kau selamat, anakku. Bukankah perjalananmu tidak menjumpai kesulitan? Kalian, pergi terlampau lama sehingga hatiku menjadi sangat cemas.”
“Tidak apa-apa, Ibu. Aku selamat seperti yang Ibu lihat sekarang.”
Dalam pada itu, Sekar Mirah pun mulai memuntahkan pertanyaan-pertanyaannya kepada ayahnya. Kenapa mereka terlalu lama pergi, kenapa tidak segera kembali, apakah ada sesuatu di perjalanan, atau hambatan apa pun yang dijumpainya.
“Nantilah, Sekar Mirah,” berkata ibunya. “Marilah, marilah. Silahkan naik ke pendapa.”
Ki Demang dan kawan-kawannya seperjalanan itu pun segera mencuci kakinya dengan air di jembangan, di bawah sebatang pohon kemuning di halaman. Kemudian mereka pun segera naik ke pendapa, duduk melingkar di atas sehelai tikar pandan yang putih.
Hanya Ki Demang sajalah yang langsung masuk ke dalam rumah diikuti oleh isterinya dan Sekar Mirah.
“Nanti aku akan menceriterakan kisah perjalananku yang sangat menarik,” berkata Ki Demang, “sekarang aku sudah selamat sampai di rumah ini kembali.”
“Tetapi Ayah terlalu lama. Aku sudah memutuskan, jika dalam pekan ini Ayah tidak pulang, aku akan menyusul,” berkata Sekar Mirah.
Ki Demang tertawa. Ditepuknya bahu anak gadisnya yang manja itu.
Tetapi Sekar Mirah berkata, “Ayah dapat tertawa. Tetapi kami di sini tidak. Mungkin selama ini Ayah dan Kakang Swandaru selalu tertawa di perjalanan. Tetapi selama ini kami di sini selalu berdebar-debar menunggu Ayah pulang.”
“Jangan kau sangka perjalananku menyenangkan seluruhnya, Sekar Mirah. Kami sudah terlibat dalam persoalan Mataram tanpa kami sadari.”
“Apakah Ayah singgah di Mataram?”
“Untuk beberapa hari.”
“Apalagi untuk beberapa hari. Mataram hanya berada sejengkal dari Sangkal Putung. Kenapa Ayah tidak pulang dahulu, dan apabila persoalannya memang belum selesai, Ayah dapat kembali ke Mataram setiap saat. Begitu Ayah bangun tidur dan menggeliat, Ayah sudah sampai di Mataram.”
“Nanti sajalah, Sekar Mirah,” cegah ibunya. “Biarlah ayahmu beristirahat saja dahulu.”
“Nah, begitulah,” berkata Ki Demang.
Dan Nyai Demang menyahut pula, “Silahkan, Kakang Demang. Mungkin Kakang Demang akan berganti pakaian atau akan menyimpan pusaka dan senjata, setelah pergi untuk waktu yang lama, tanpa mengirimkan kabar.”
“Aku tidak menduga bahwa perjalanan ini akan terlalu lama.”
“Tetapi selama di Tanah Perdikan Menoreh atau di Mataram, Ki Demang dapat mengirimkan seorang atau dua orang yang memberikan kabar keselamatan Ki Demang dan Swandaru.”
“Siapa orang-orang itu?”
“Bukankah di Mataram atau Tanah Perdikan Menoreh banyak orang yang dapat diutus kemari?”
Sekar Mirah-lah yang kemudian memotong pembicaraan itu, “Nanti sajalah, Ibu. Biarlah ayah beristirahat saja dahulu.”
“He,” ibunya termangu-mangu. Namun ia pun kemudian tersenyum.
Ki Demang pun kemudian masuk ke dalam biliknya untuk menyimpan pusakanya. Tetapi ia tidak berganti pakaian karena ia pun segera pergi ke pendapa menemui tamu-tamunya.
Sejenak kemudian, maka dapurlah yang menjadi sibuk. Nyai Demang dan pembantu-pembantunya dengan tergesa-gesa menyiapkan minum dan makanan bagi mereka yang baru saja datang dari perjalanan yang terasa sangat lama itu.
Ketika kemudian minuman hangat dan makanan telah dihidangkan, maka Nyai Demang dan Sekar Mirah pun ikut pula duduk di pendapa kademangan. Beberapa orang bebahu kademangan pun telah datang pula, setelah mereka mendengar bahwa Ki Demang telah datang.
Dari mereka, Ki Demang mendengar bahwa selama ini Kademangan Sangkal Putung tidak diganggu oleh kerusuhan-kerusuhan macam apa pun. Sekali-sekali masih juga ada kejahatan-kejahatan kecil. Tetapi tidak berpengaruh sama sekali atas keseluruhan keseimbangan keamanan di Sangkal Putung.
Akhirnya datang giliran Ki Demang harus berceritera tentang perjalanan mereka. Kenapa mereka harus begitu lama baru kembali.
Sekar Mirah-lah yang selalu mendesak, seolah-olah ia tidak sabar lagi mendengar alasan ayahnya, kenapa ayahnya pergi terlampau lama.
“Tentu bukan ayah, yang sebenarnya kau tunggu dengan gelisah,” berkata Swandaru.
“Jadi siapa?” bertanya Sekar Mirah dengan lantang. “Kau kira aku menunggu kau dengan gelisah? Tentu tidak. Buat apa kau tergesa-gesa pulang? Tempatmu di Tanah Perdikan Menoreh.”
“Tentu juga bukan aku. Kau lebih senang jika aku tidak segera pulang, supaya jika ibu menyembelih ayam, kau mendapat berutunya.”
“Jadi siapa?”
Swandaru tidak menjawab. Tetapi dengan sebuah senyum yang dibuat-buat, ia menunjuk Agung Sedayu dengan ujung ibu jarinya.
“Bohong, bohong,” Sekar Mirah sudah bergeser dari tempatnya. Tetapi Swandaru pun dengan cepatnya merangkak dan berpindah di belakang Agung Sedayu, sehingga Sekar Mirah tidak mengejarnya lagi, justru karena Swandaru berada di belakang Agung Sedayu itu.
Tetapi dengan wajah kemerah-merahan gadis itu berkata, “Awas kau, Kakang. Jika aku sempat menangkapmu, aku pilin kupingmu,”
“He. Tidak boleh. Bukankah aku saudara tuamu?”
“Tetapi kau nakal sekali.”
“Sudahlah, Mirah,” potong ibunya, “kita semua menunggu ceritera ayahmu. Dan barangkali juga Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar.”
“Juga tamu kita yang satu itu,” berkata Ki Demang yang sudah memperkenalkan Ki Waskita kepada keluarganya dan kepada para bebahu di Sangkal Putung.
Ki Waskita hanya tersenyum saja seperti juga Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar.
Sejenak kemudian, Ki Demang pun mulai berceritera. Diceriterakannya apa yang terjadi sepanjang perjalanannya dengan singkat. Tetapi Ki Demang belum menceriterakan peristiwa-peristiwa yang terjadi di perjalanannya sampai bagian yang sekecil-kecilnya. Ia masih belum menceriterakan bahwa Ki Waskita memiliki ilmu yang aneh. Juga belum diceriterakannya mengenai perkembangan Mataram yang terakhir. Tetapi ia sudah mengatakan bahwa Ki Gede Pemanahan telah wafat.
“Berita itu sudah sampai di kademangan ini,” berkata seorang bebahu, “dan kami sudah mengira, bahwa Ki Demang tentu berada di Mataram saat itu.”
Ki Demang Sangkal Putung pun menganguk-angguk. Berita tentang wafatnya Ki Gede Pemanahan tentu sudah tersebar di seluruh Pajang, karena Ki Gede pernah menjabat pangkat tertinggi di kalangan keprajuritan Pajang.
Namun dalam pada itu, Sekar Mirah menyela, “Nah, apakah sulitnya Ayah pulang sebentar pada saat menjelang pemakaman Ki Gede Pemanahan? Bukankah Ki Juru Martani sempat juga pergi ke Pajang? Padahal jalan ke Pajang lewat di sebelah Kademangan ini.”
“Tentu tidak mungkin, Mirah,” jawab ayahnya. “Aku tidak akan dapat pergi selagi Mataram sibuk menyelenggarakan jenazah Ki Gede Pemanahan.”
“Tetapi Ki Juru Martani pergi juga.”
“Itu pun termasuk dalam rangkaian penyelenggaraan jenazah Ki Gede. Saat itu Ki Juru pergi menghadap Kanjeng Sultan Pajang.”
“Tetapi sebenarnya Ayah dapat berpesan kepada Ki Juru untuk singgah sebentar di Sangkal Putung dan memberitahukan kepada kami, bahwa Ayah masih berada di Mataram. Dengan demikian, kami tidak terlampau gelisah menunggui Ayah pulang.”
“Ah, tentu tidak mungkin, Mirah. Ki Juru adalah seorang tua yang dihormati oleh seluruh rakyat Mataram, dan bahkan Pajang. Adalah tidak sopan, jika aku mohon agar Ki Juru bersedia singgah sebentar di Sangkal Putung.”
Sekar Mirah memandang ayahnya dengan heran. Kemudian katanya, “Apakah orang-orang terhormat tidak bersedia menolong orang lain?”
“Bukan begitu. Tetapi waktu itu, Ki Juru pun sangat tergesa-gesa.”
Sambil menarik nafas dalam-dalam, Sekar Mirah berkata, “Nah, alasan yang kedua ini agak lebih baik kedengarannya.”
Agung Sedayu yang mendengarkan saja pembicaraan itu menjadi berdebar-debar. Ia menjadi heran mendengar tanggapan Sekar Mirah atas orang-orang yang dianggap terhormat. Kenapa ia bersikap demikian datar terhadap Ki Juru Martani dan bahkan sama sekali tidak mau mengerti, kenapa Ki Demang tidak berani berpesan kepadanya agar singgah di Sangkal Putung.
“Mungkin Sekar Mirah yang sepanjang hidupnya berada di kademangan yang cukup jauh dari kota tidak mengerti, bagaimana ia harus bersikap terhadap orang-orang yang dianggap penting di Pajang, atau barangkali sikap tinggi hatinyalah yang justru mendorongnya dengan sengaja menunjukkan sikap yang demikian, seolah-olah derajatnya tidak harus lebih rendah dari orang yang bernama Ki Juru Martani itu,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.
Namun demikian, Agung Sedayu masih juga mencoba mencari jalan keluar dari sifat-sifat Sekar Mirah itu. “Kelak aku akan dapat menuntunnya, meskipun barangkali akan terasa sulit sekali.”
Demikianlah, setelah pembicaraan itu berjalan beberapa lamanya, maka makan pun telah siap. Ki Demang dan tamu- tamunya segera membenahi dirinya dan mandi di pakiwan sementara nasi dihidangkan di pendapa.
Ketika kemudian Sangkal Putung menjadi gelap, dan para bebahu kademangan sudah meninggalkan pendapa untuk memberi kesempatan Ki Demang dan tamu-tamunya beristirahat, setelah menempuh perjalanan meskipun tidak begitu jauh, maka mulailah Ki Demang berbicara dengan isterinya. Agaknya Nyai Demang tidak sabar menunggu sampai besok pagi atau saat-saat yang lain.
Sementara itu, tamu-tamu Ki Demang sudah dipersilahkan beristirahat di gandok. Agaknya mereka sudah terlampau biasa berada di rumah itu, selain Ki Waskita. Kiai Gringsing sudah berada di rumah itu untuk beberapa lamanya, apalagi Ki Sumangkar yang telah menempa Sekar Mirah menjadi seorang gadis yang lain dari gadis-gadis sebayanya.
Di ruang dalam, Ki Demang duduk berdua dengan isterinya. Mereka sibuk membicarakan masalah Swandaru yang memang sudah sepantasnya untuk kawin.
Nyai Demang merasa gembira sekali bahwa tidak ada kesulitan apa pun di dalam pembicaraan mengenai anak laki-lakinya. Apalagi setelah ia mendapat gambaran serba sedikit tentang keadaan Tanah Perdikan Menoreh.
“Tanah itu subur sekali, terutama di bagian Timur,” berkata Ki Demang.
“Tetapi, bukankah Menoreh merupakan sebuah pebukitan batu padas yang keras dan tandus?” bertanya isterinya.
“Tentu saja Tanah Perdikan Menoreh bukan sekedar gunung berbatu-batu. Tetapi lembahnya hijau, terbentang dari kaki bukit sampai ke pinggir Kali Praga.”
“Begitu luasnya?”
“Ya, begitu luasnya,” tetapi Ki Demang pun kemudian bertanya, “Apakah kau dapat menduga, berapa luasnya Tanah Perdikan itu?”
Nyai Demang menggelengkan kepalanya. Katanya, “Tidak.”
“Jauh lebih luas dari kademangan ini. Tetapi ada sesuatu yang membuat aku lebih berbangga terhadap kademangan ini daripada Tanah Perdikan Menoreh.”
“Apa?”
“Sela-sela bukit batu itu merupakan tempat persembunyian beberapa orang penjahat. Memang tempatnya memungkinkan sekali. Dan seperti yang kau duga, sebagian dari tanah yang luas itu adalah bukit-bukit tandus. Meskipun demikian, Tanah Perdikan Menoreh mempunyai cukup tanah persawahan, untuk memberikan makan kepada seluruh rakyatnya.”
Nyai Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mencoba membayangkan betapa cantiknya Tanah Perdikan Menoreh.
................bersambung ke Jilid 85
Tidak ada komentar:
Posting Komentar