API di BUKIT MENOREH
Karya S.H Mintardja
KIAI KALASA SAWIT memperhatikan kuda-kuda yang berderap meninggalkan halaman rumah yang kotor itu. Demikian kuda-kuda itu lenyap di balik regol, maka ia pun segera memanggil orang-orang yang paling dekat dengan dirinya sambil menghentakkan kakinya, “Gila. Siapakah yang membawa prajurit-prajurit itu kemari?”
Seorang yang bertubuh kurus sambil menyandang sebuah canggah bertangkai pendek di bahunya menyahut, “Bukankah kau sendiri yang mempersilahkan mereka memasuki padepokan ini?”
“Ya, setelah mereka berada di mulut padepokan ini.”
“Dan kenapa kau biarkan prajurit-prajurit itu pergi? Jika kita menangkapnya, dan mengubur mereka hidup-hidup di sini, maka tidak akan ada persoalan apa pun juga.”
“Kau memang bodoh!” geram Kiai Kalasa Sawit. “Jika pada saat yang ditentukan, prajurit-prajurit itu tidak kembali ke Jati Anom, maka Untara akan mengerahkan prajuritnya mendaki Gunung Merapi dan menghancurkan padepokan ini.”
“Kita tidak peduli. Bukankah kita akan segera meninggalkan padepokan ini?”
“Tetapi bukan hari ini. Kita masih harus menunggu penghubung yang akan datang itu.”
“Tetapi sekarang kita mendapat pekerjaan gila itu. Jika kita tidak mengerjakannya, akibatnya juga tidak menyenangkan bagi kita,” orang bertubuh kurus dan membawa sebuah canggah itu berhenti sejenak. Lalu, “Apakah kekuatan prajurit Pajang di Jati Anom perlu dicemaskan? Saat ini, sepasukan sedang berada di padepokan ini dalam perjalanannya ke Timur. Bukankah dengan demikian, kita memiliki kekuatan yang cukup untuk melawan pasukan Pajang itu?”
“Kita belum akan bertempur melawan prajurit-prajurit Pajang pada saat ini, sesuai dengan pertimbangan yang menentukan. Karena itu, biarlah orang-orang kita yang akan keluar hari ini ikut mencari anak bernama Rudita itu. He, bukankah namanya Rudita?”
“Daerah ini benar-benar daerah kering. Di sini tinggal beberapa kelompok penjahat kecil yang tidak tahu aturan sama sekali.”
“Kita tidak akan tergantung pada daerah ini. Bukankah yang kalian lakukan hanyalah untuk sementara, agar kita tidak kelaparan? Tentu kalian tidak akan berbuat seperti penjahat-penjahat kecil itu. Kalian tidak akan merampas beberapa keping uang yang ada pada seseorang dan merupakan seluruh miliknya. Kalian tidak akan mencari seekor ayam, betapapun besarnya. Tetapi kalian akan mengambil dua atau tiga ekor lembu.”
“Baiklah. Aku akan berpesan kepada mereka yang akan keluar dalam sepuluh hari ini. He, apakah kita masih akan tetap tinggal di sini dalam sepuluh hari?”
Kiai Kalasa Sawit menggeleng. Katanya, “Tentu tidak sampai sepuluh hari. Tetapi, baiklah kita pergunakan hari-hari yang ada untuk membantu prajurit-prajurit Pajang. Jika kita berhasil menemukan anak itu, kita akan mendapat kepercayaan, betapapun kecilnya.”
“Tetapi prajurit-prajurit Pajang itu menganggap kita sebagai budaknya. Ia mengucapkan perintah seperti kepada bawahannya saja.”
“Itu tidak akan lama lagi berlangsung. Pada suatu saat yang pendek, yang terjadi akan sebaliknya.”
Orang bertubuh kurus itu mengangguk-angguk, ia pun kemudian meninggalkan Kiai Kalasa Sawit yang masih berdiri termangu-mangu.
Sebenarnyalah bahwa hati Kiai Kalasa Sawit sendiri pun bagaikan disentuh bara api melihat sikap prajurit-prajurit Pajang. Tetapi ia masih mampu mengendalikan dirinya, sehingga sikapnya tidak merugikannya. Karena dengan demikian, prajurit-prajurit Pajang itu tidak mengambil sikap atau perhatian yang khusus terhadap orang-orangnya, yang untuk sementara singgah di padepokan yang sepi itu.
Sekelompok prajurit Pajang yang datang ke Tambak Wedi itu, sama sekali tidak menghiraukan orang-orang yang berjaga-jaga, di sebelah-menyebelah jalan, dengan senjata telanjang. Namun demikian, mereka pun tidak lewat begitu saja. Dalam ketidak acuhan itu, mereka masih juga menangkap kesan dengan pandangan seorang prajurit.
Demikianlah, mereka melampaui penjaga terakhir dicelah-celah batu-batu padas, maka pemimpin prajurit itu pun bergumam, “Kelompok ini mempunyai kelainan dengan kelompok-kelompok penjahat yang lain.”
“Ki Lurah,” salah seorang prajurit berkata, “mereka bukan kelompok kecil yang sekedar menggantungkan diri kepada pencuri ayam atau kambing.”
“Ya. Yang tinggal di Tambak Wedi sekarang adalah sepasukan penjahat yang kuat. Tetapi agaknya mereka belum melakukan kegiatan apa pun di daerah ini.”
“Meskipun demikian, kita harus berhati-hati. Ada untungnya juga kita menuruti permintaan Kiai Raga Tunggal untuk datang ke Padepokan Tambak Wedi itu. Dengan demikian kita mendapat gambaran tentang kesiagaan mereka.”
Pemimpin prajurit itu meng-angguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya, “Tambak Wedi pernah juga menjadi sebuah padepokan yang kuat, yang bahkan kemudian menjadi pusat pemberontakan yang dipimpin oleh Ki Tambak Wedi Apakah Kiai Kalasa Sawit akan mencoba mengulanginya?” ia berhenti sejenak. Lalu, “Tetapi, ia harus belajar dari peristiwa yang pernah terjadi. Pemberontakan yang demikian tidak akan membawa hasil apa pun juga selain kehancuran, kematian, dan pelanggaran atas nilai-nilai kemanusiaan. Pemberontak-pemberontak kecil harus menyakiti dirinya. Dan mereka yang akan mencobanya harus dapat membayangkan, bahwa Pajang adalah suatu negara besar, yang terdiri dari pusat pemerintahan di Pajang, dan kekuatan yang terbesar di bawah pimpinan para Adipati. Dengan demikian, orang-orang yang sekedar didorong oleh kebanggaan pribadi seperti Ki Tambak Wedi, tidak akan dapat menghasilkan apa-apa.”
Prajurit-prajurit yang lain pun mengangguk-angguk pula. Yang pernah terjadi memang mengajarkan, bahwa sikap seperti yang dilakukan oleh Ki Tambak Wedi, apa pun alasannya, tidak akan menghasilkan apa-apa.
Kelompok prajurit itu pun kemudian dengan cepat menuruni lereng Gunung Merapi. Mereka menyusuri jalan yang mereka lalui buat mereka naik.
Ketika mereka melampaui pedukuhan sarang sekelompok orang yang mendapat pengawasan dari prajurit-prajurit Pajang, dan yang dipimpin oleh Kiai Raga Tunggal, maka iring-iringan kecil itu pun berhenti, karena mereka melihat Kiai Raga Tunggal berdiri di pinggir jalan, seolah-olah dengan sengaja sedang menunggu mereka.
“Apakah kalian sudah bertemu dengan Kiai Kalasa Sawit?” bertanya Kiai Raga Tunggal sambil tersenyum.
“Ya. Kami telah diterima di pendapa padepokan Tambak Wedi, yang sudah semakin rusak.”
Kiai Raga Tunggal mengerutkan dahinya. Lalu, “Apa kata kalian tentang Kiai Kalasa Sawit?”
“Kenapa?” bertanya pemimpin prajurit itu. “Tidak ada apa-apa dengan Kiai Kalasa Sawit. Menilik orang-orang yang ada di padepokan itu, maka Kiai Kalasa Sawit tidak lebih dari kau di sini. Kenapa?”
Kiai Raga Tunggal termangu-mangu sejenak. Lalu, “Apakah kalian sudah melihat seluruh kekuatannya?”
“Aku tidak tahu, apakah mereka sudah memperlihatkannya kepada kami. Tetapi yang ada hanyalah beberapa tikus kecil. Tidak lebih.”
Kiai Raga Tunggal akhirnya tertawa. Katanya, “Jika demikian, kalian telah dikelabuhinya.”
“Tentang apa?”
“Tentang kekuatannya. Di padepokan itu terdapat pasukan segelar sepapan.”
“Persetan.”
“Jika kalian tidak percaya, pada suatu saat kalian akan terjebak.”
Pemimpin prajurit itu tidak menghiraukannya. Ia pun kemudian memberikan isyarat kepada anak buahnya untuk melanjutkan perjalanan.
Namun di sepanjang jalan di dalam padukuhan itu, ia pun melihat kesiagaan yang meningkat. Beberapa orang anak buah Kiai Raga Tunggal nampak berjaga-jaga. Tetapi kesiagaan itu tidak nampak terlampau menyolok dibanding dengan padepokan Tambak Wedi.
Ketika iring-iringan prajurit Pajang dari Jati Anom itu sudah berada di luar padukuhan itu, maka pemimpin prajurit itu pun berkata, “Kiai Raga Tunggal bukan lawan Kiai Kalasa Sawit, jika mereka terlibat dalam persaingan yang kasar.”
“Kita tidak dapat mengatakan demikian secara pribadi. Mungkin Kiai Raga Tunggal memiliki kelebihan dari Kiai Kalasa Sawit. Tetapi secara keseluruhan, Kiai Raga Tunggal tidak akan banyak berarti.”
Pemimpin prajurit itu pun mengangguk-angguk. Namun ia tidak banyak memberikan tanggapan atas kedua daerah itu. Katanya kemudian, “Jika kawan-kawan kita yang pergi ke padukuhan-padukuhan lain dan sarang-sarang penjahat yang ada di sekitar daerah ini telah berkumpul, kita akan dapat memperbandingkannya.”
Demikianlah, maka sekelompok kecil prajurit-prajurit itu pun langsung kembali ke Jati Anom. Di hari berikutnya, mereka akan mulai dengan pencarian langsung di sekitar Jati Anom dan terutama di lereng Selatan Gunung Merapi.
Ketika kelompok-kelompok prajurit itu sudah berada kembali di Jati Anom, maka satu demi satu mereka menyampaikan laporan kepada Untara, tentang perjalanan masing-masing. Mereka telah memerintahkan setiap kelompok orang-orang yang mendapat pengawasan dari prajurit-prajurit Pajang, untuk ikut mencari seorang anak muda yang bernama Rudita. Namun sampai saat itu, tidak ada sekelompok pun yang sudah pernah bertemu atau mendengar tentang seorang anak muda yang bernama Rudita itu.
Agaknya di antara mereka, laporan yang paling menarik adalah tentang Kiai Kalasa Sawit di padepokan Tambak Wedi. Bahkan Untara minta laporan terperinci tentang orang-orang yang ada di padepokan itu.
“Mereka tidak akan lama berada di padepokan itu,” berkata Untara.
“Darimana Ki Untara mengetahuinya?” bertanya pemimpin prajurit yang telah datang langsung ke padepokan itu.
“Kau tidak menceriterakan usaha mereka memperbaiki padepokan yang rusak itu. Pintu gerbang, pendapa dan apalagi beberapa rumah yang lain.”
“Ya. Memang tidak ada usaha untuk memperbaikinya. Bahkan membersihkan pun tidak.”
“Dengan demikian, kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa mereka hanya singgah saja untuk beberapa saat. Mungkin sekelompok kecil akan tetap berada di tempat itu. Tetapi menurut perhitunganku, sesuai dengan laporanmu, mereka tidak akan tinggal lama. Tetapi yang sebentar itu agaknya mempunyai arti yang penting, ternyata mereka menempatkan penjagaan yang sangat kuat.”
“Ya. Agaknya memang demikian.”
Untara menarik nafas dalam-dalam. Lalu, “Kita akan mengadakan pengamatan khusus di daerah itu. Kita tidak boleh lengah, sehingga akan dapat merugikan kita sendiri, Jika ada pertimbangan lain, mereka tiba-tiba menyergap kita di situ, kita harus bersiaga menanggulanginya.”
“Tetapi apa alasan mereka?”
Untara menggelengkan kepalanya. Sejenak ia termenung. Namun kemudian ia berkata, “Aku tidak dapat mengatakannya. Tetapi kemungkinan serupa itu dapat saja terjadi. Kita pun tidak dapat mengetahui, alasan apakah yang membuat mereka bersiaga dengan kekuatan yang besar di padepokan terpencil itu.”
Pemimpin prajurit yang datang ke Padepokan Tambak Wedi itu pun mengangguk. Katanya, “Memang kita tidak mengetahuinya.”
“Baiklah,” berkata Untara, “dalam usaha kita membantu Kiai Gringsing mencari anak muda yang bernama Rudita itu, kita pun ternyata mendapat gambaran tentang keadaan kita sekarang. Jika kita tidak sedang mencari Rudita, mungkin kita tidak akan tersesat sampai ke Tambak Wedi,” ia berhenti sejenak. Lalu, “Sekarang kalian dapat beristirahat. Besok kalian akan mulai dengan pencarian yang sesungguhnya. Kalian akan mengelilingi lereng Gunung Merapi sebelah Selatan dan Timur. Namun selain itu, aku akan menempatkan pengawasan yang tertib, di jalur jalan khusus menuju ke daerah yang gawat itu.”
“Pengawas kita yang pertama adalah Kiai Raga Tunggal,” berkata pemimpin prajurit itu.
Untara mengangguk-angguk. Bahkan kemudian ia pun berkata, “Apakah kesiagaan Kiai Kalasa Sawit itu ada hubungannya dengan persaingan di antara mereka? Mungkin Kalasa Sawit yang merasa orang baru dibayangi oleh kecurigaan, bahwa ia akan diserang, bahkan dimusnahkan oleh kelompok-kelompok yang telah ada lebih dahulu di daerah Gunung Merapi ini.”
“Mungkin demikian. Tetapi memang ada kemungkinan yang lain.”
“Karena itu, kita memang harus berhati-hati. Aturlah orang-orangmu sebaik-baiknya, baik dalam usaha pencarian itu, maupun dalam kesiagaan.”
Demikianlah, maka para kelompok prajurit itu pun segera beristirahat, meskipun di antara mereka masih saja terdengar pembicaraan mengenai daerah-daerah yang baru saja mereka jalani.
Di pagi harinya, kelompok-kelompok itu pun sudah siap untuk mulai dengan pencarian di lereng Gunung Merapi. Para pemimpinnya pun segera menghadap Ki Untara untuk mendapat perintah dan petunjuk-petunjuk.
“Kita tidak tahu, dimanakah Kiai Gringsing dan kawan-kawannya bermalam. Kita pun tidak tahu, apakah mereka sudah menemukan jejak anak muda yang mereka cari. Tetapi, selama kita belum menerima laporan, maka kita menganggap bahwa kita masih harus melakukan tugas perikemanusiaan ini.”
“Agaknya mereka bertiga belum berada di tempat yang jauh,” berkata salah seorang pemimpin kelompok, “Agaknya mereka mencoba mencari dengan teliti. Setiap orang yang mereka jumpai, mereka tanya tentang anak muda itu.”
Ki Untara mengangguk-angguk. Katanya, “Orang-orang tua memang bekerja dengan teliti, meskipun kadang lamban.”
Namun demikian, Untara sendiri tidak yakin akan kata-katanya. Dalam beberapa hal, justru Kiai Gringsing dapat bertindak lebih cepat dari para senapati muda.
Setelah mendapat pesan secukupnya, maka Ki Untara pun segera melepaskan beberapa kelompok untuk membantu Kiai Gringsing, Ki Sumangkar dan Ki Waskita, mencari anak muda yang bernama Rudita itu.
Meskipun demikian, ada sedikit pertanyaan yang menyangkut di hati senapati muda itu. Jika yang dicari adalah Rudita yang sudah dewasa, apalagi yang dengan sengaja pergi meninggalkan rumahnya, apakah dapat dilakukan hanya oleh tiga orang yang pergi bersama-sama. Seandainya prajurit-prajurit Pajang tidak menawarkan diri ikut serta mencarinya, apakah anak muda yang bernama Rudita itu akan dapat diketemukan dalam waktu sebulan bahkan tiga atau empat bulan?
Tetapi Untara tidak menanyakan kepada Kiai Gringsing atau Ki Sumangkar dan apalagi Ki Waskita. Di samping pertanyaan yang terselip di hatinya itu, ia menduga bahwa ketiga orang-orang tua itu tentu mempunyai caranya sendiri, yang tidak diketahui oleh orang lain.
Namun sebenarnyalah, bahwa Kiai Gringsing, Ki Sumangkar dan Ki Waskita, bukan saja sekedar mencari Rudita, tetapi sekaligus mereka mencari kemungkinan untuk dapat mendengar, terlebih-lebih menemukan jejak kedua pusaka yang telah hilang. Jika yang sebuah telah dapat diketahui arahnya, maka mereka ingin menemukan jejak pusaka yang sebuah lagi, yaitu berujud tombak.
Ketika para prajurit Pajang berangkat dari Jati Anom di pagi-pagi hari, maka Kiai Gringsing, Ki Sumangkar dan Ki Waskita telah bersiap-siap pula untuk melanjutkan perjalanan. Mereka telah bermalam di ujung sebuah hutan yang rindang. Agaknya ketiganya tidak mengalami kesulitan dan gangguan apa pun, selagi mereka bermalam di tempat terbuka. Sebagai orang-orang tua yang memiliki pengalaman masing-masing, yang serba beraneka ragam, maka tidur di tempat terbuka, di ujung hutan, sama sekali tidak merupakan persoalan bagi mereka. Juga seandainya ada seekor, bahkan tiga ekor harimau sekaligus datang mendekati atau menyerang mereka bertiga, maka hal itu tidak banyak membuat kesulitan apa pun.
“Apakah Ki Waskita dapat membuat hubungan atau melihat isyarat tentang anak itu?” bertanya Kiai Gringsing.
Ki Waskita menganggukkan kepalanya. Katanya, “Sudah bergeser dari yang aku lihat kemarin sore. Agaknya malam ini Rudita melanjutkan perjalanannya. Tidak terlampau jauh. Tetapi kita agaknya sudah berada di arah yang mendekati. Mungkin ia bergeser lagi, tetapi tidak akan begitu jauh.”
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Jika demikian, maka kita akan segera mengikutinya. Mungkin kita akan segera dapat menemukannya. Besok atau lusa.”
“Mudah-mudahan,” berkata Ki Waskita, “semakin cepat kita selesai, semakin baik. Ki Demang di Sangkal Putung tidak selalu dibayangi oleh kegelisahan menjelang hari perkawinan anaknya. Agung Sedayu pun tidak akan terlalu lama merasa kesepian.”
“Apalagi jika kakaknya datang ke Sangkal Putung,” berkata Kiai Gringsing.
“Tetapi sikap Untara dapat dimengerti,” berkata Ki Sumangkar, “Agung Sedayu adalah adiknya. Dan ia ingin melihat adiknya menjadi seorang yang terpandang. Di Sangkal Putung, Agung Sedayu seolah-olah hanya orang menumpang hidup.”
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Aku pun dapat mengerti. Aku juga merasa prihatin akan hal itu. Aku tidak akan dapat membawa Agung Sedayu dalam keadaannya seperti sekarang,” Kiai Gringsing berhenti sejenak. Lalu, “Tetapi aku pun belum melihat jalan keluar bagi Angger Untara, kedudukan yang baik bagi adiknya adalah kedudukan yang mapan dalam pemerintahan. Angger Untara tidak dapat membayangkan, bahwa pada kedudukan yang lain pun, Agung Sedayu akan dapat menemukan tempat yang sesuai dengan dirinya, wataknya dan sifat-sifatnya. Tidak usah menjadi seorang dukun seperti aku.”
“Mungkin sebuah padepokan kecil, yang dikelilingi oleh sawah yang hijau,” sahut Ki Sumangkar, “Apakah kau membayangkan bahwa Agung Sedayu harus membuka hutan seperti angger Sutawijaya? Tetapi dalam bentuk yang lebih kecil?”
“Kenapa tidak dapat terjadi? Agung Sedayu dapat menjadi cikal bakal sebuah padepokan. Ia akan dapat memohon kepada Kangjeng Sultan, lewat angger Untara, sudut kecil dari Alas Tambak Baya. Atau Hutan yang manapun juga.”
“Apakah hal itu akan sesuai dengan Agung Sedayu?”
“Ia seorang yang pada masa kanak-kanaknya hidup dalam lingkungan keluarga yang mengerjakan tanah garapan.”
“Ki Sadewa?” Ki Sumangkar menjadi heran.
“Ya. Di Jati Anom Ki Sadewa adalah seorang yang tekun mengerjakan sawahnya.”
“Apakah ada kejanggalan, Ki Sumangkar?” bertanya Ki Waskita.
“Tidak,” Ki Sumangkar menggelengkan kepalanya. “Tetapi Ki Sadewa mempunyai banyak persoalan di dalam dirinya.”
Ki Waskita tidak bertanya lebih jauh. Ia mengerti, bahwa Kiai Gringsing pun telah digelisahkan oleh muridnya yang satu itu, dalam hubungan masa depannya. Apalagi jika sekali-sekali Kiai Gringsing menyebut-nyebut tentang Sekar Mirah, yang mempunyai harapan yang terlampau banyak. Dan Sumangkar, guru Sekar Mirah itu pun mengetahuinya dengan pasti. Ia sudah berusaha untuk mengendapkannya. Tetapi usaha itu tidak terlalu banyak membawa hasil.
Demikianlah, sambil berbicara tentang murid-murid mereka, maka ketiga orang itu pun telah bersiap untuk meneruskan perjalanan. Mereka mulai dengan tuntunan isyarat yang ada pada Ki Waskita.
Ternyata yang mereka lewati bukanlah jalan yang licin dan rata, tetapi mereka menempuh jalan-jalan sempit dan kecil, yang agaknya jarang dilalui orang. Meskipun demikian, jika pada suatu saat mereka sampai di padukuhan-padukuhan kecil, mereka pun selalu bertanya, apakah di padukuhan itu pernah lewat seorang anak muda, bernama Rudita.
Hampir setiap orang yang ditanyainya menggelengkan kepalanya. Ada yang justru menjadi curiga, dan sama sekali tidak mau memberikan keterangan apa pun juga.
“Memang sulit,” berkata Ki Waskita, “mungkin mereka menganggap kita adalah sebagian dari orang-orang yang sering datang mengganggu mereka.”
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Jawabnya, “Jumlah prajurit Pajang yang terbatas, sulit untuk menguasai seluruh daerah yang luas, dan apalagi daerah-daerah terpencil seperti ini. Tetapi nampaknya daerah ini pun telah mendapat perhatian Untara. Kita melihat beberapa orang anak muda yang berkumpul di gardu-gardu. Apakah anak-anak muda itu sudah pernah mendapat setidak-tidaknya petunjuk dari prajurit-prajurit Pajang?”
“Mungkin, Kiai, memang mungkin sekali. Sikap mereka pun agaknya sudah lain dari daerah yang nampaknya sama sekali belum pernah mendapat sentuhan dari prajurit-prajurit Pajang itu.”
Tetapi ketiga orang tua itu sama sekali tidak berbuat apa pun juga, yang dapat menumbuhkan kecurigaan yang tajam. Orang-orang tua itu hanya lewat, dan sekali-sekali bertanya tentang seorang anak muda yang disebutnya telah hilang.
Namun dalam pada itu, di padukuhan yang lain, beberapa ekor kuda telah berderap dengan garangnya. Beberapa orang prajurit kadang-kadang berloncatan turun dan bertanya kepada orang-orang di padukuhan itu, apakah mereka menjumpai seorang anak muda yang bernama Rudita.
Pada umumnya kedatangan prajurit Pajang mendatangkan ketenangan di hati penduduknya. Karena itu, maka dengan senang hati mereka pun memberikan semua keterangan yang diminta.
Tetapi mereka pun menggelengkan kepalanya, ketika prajurit-prajurit itu bertanya tentang seorang anak muda, yang bernama Rudita.
“Baru saja tiga orang tua telah lewat di padukuhan ini, dan bertanya pula tentang anak muda yang bernama Rudita,” berkata salah seorang dari penghuni padukuhan itu.
“O,” pemimpin prajurit itu mengangguk-angguk, “salah seorang dari ketiganya adalah ayah dari anak yang hilang itu.”
Penghuni padukuhan itu mengangguk-anggukkan kepala. Ada di antara mereka yang menyesal, bahwa mereka tidak berusaha memberikan keterangan sebanyak-banyaknya yang dapat diberikannya. Bahkan rasa-rasanya ada keseganan untuk mengatakan sesuatu.
“Ke arah manakah ketiga orang itu pergi?” bertanya pemimpin prajurit itu.
“Kesana. Mereka pergi ke Selatan.”
“Terima kasih,” sahut pemimpin prajurit itu, yang kemudian segera minta diri kepada orang-orang yang telah menerima mereka dengan baik.
Demikian mereka meninggalkan padukuhan itu, maka pemimpin prajurit itu pun berkata, “Kita susul mereka.”
“Apakah ada sesuatu yang akan kita bicarakan?”
“Tidak. Tetapi rasa-rasanya aku ingin melihat mereka, dan sekedar mempertunjukkan diri, bahwa kita pun sudah membantu mereka mencari anak yang hilang itu. Dengan demikian, maka mereka akan menjadi agak lebih tenang dan mantap.”
Prajurit-prajurit yang lain hanya mengangguk-angguk saja. Memang tidak ada keberatan apa punb agi mereka untuk menyusul perjalanan Kiai Gringsing dan kedua kawannya, karena mereka pun sedang menempuh perjalanan tanpa tujuan.
Setelah mereka melalui beberapa padukuhan yang bertanya kepada beberapa orang yang mereka temui, bukan saja tentang anak muda yang bernama Rudita, tetapi juga arah perjalanan Kiai Gringsing dan kawannya, maka akhirnya mereka pun berhasil menyusul ketiga orang tua itu.
“O,” Kiai Gringsing mengerutkan keningnya, ketika ia berpaling oleh suara derap kaki kuda. “ada sekelompok prajurit yang menyusul kita.”
“Apakah mereka sudah menemukan Rudita?” desis Ki Waskita yang gelisah.
“Mungkin mereka pun sedang dalam perjalanan pencarian,” sahut Sumangkar.
Ketiganya pun terdiam. Mereka menunggu sekelompok prajurit itu lewat.
Ketika prajurit-prajurit itu sampai ke hadapan ketiga orang-orang tua itu, maka pemimpinnya pun segera memberikan isyarat, sehingga sekelompok prajurit itu pun segera berhenti dan meloncat turun.
“Selamat siang, Kiai,” sapa pemimpin prajurit itu. Kiai Gringsing dan kedua kawannya pun tersenyum. Sambil membungkukkan kepalanya, Kiai Gringsing menyahut, “Selamat siang, Ki Sanak. Eh, apakah prajurit-prajurit Pajang yang dengan senang hati telah menolong kami, sudah dapat menemukan Rudita?”
“Maaf, Kiai. Kami belum menemukannya. Perjalanan kami sekarang ini pun adalah dalam rangka pencarian itu.”
Ki Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Dugaannya ternyata tepat sekali.
Kiai Gringsing pun mengangguk-angguk pula. Katanya kemudian, “Kita akan berusaha bersama. Tetapi agaknya kalian dapat menempuh perjalanan yang lebih panjang, karena kalian berkuda. Tetapi kami dapat menempuh jalan yang lebih rumit. Lorong-lorong kecil dan bahkan goa-goa di lereng-lereng yang terjal.”
“Ya, mudah-mudahan dengan demikian kita dapat menemukannya. Ada beberapa kelompok yang hari ini menyebar di daerah Selatan dan Timur Gunung Merapi. Kemarin aku mendapat tugas untuk menjumpai dua kelompok yang berpengaruh di daerah Sebelah Timur Gunung Merapi.”
Ketiga orang tua itu mengangguk-angguk.
“Kelompok yang satu sudah banyak kami kenal, dan bahkan sudah kami pahami dengan baik. Tetapi kelompok yang lain merupakan kelompok yang baru kita kenal. Mereka berada di padepokan Tambak Wedi.”
“O,” Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar mengangguk-angguk semakin dalam.
“Siapakah yang berada di padepokan itu?” bertanya Kiai Gringsing.
Pemimpin prajurit itu pun kemudian menceriterakan serba sedikit tentang orang yang menyebut dirinya Kiai Kalasa Sawit, di padepokan Tambak Wedi.
Kiai Gringsing dan kedua kawannya hanya mengangguk-angguk saja mendengar ceritera itu. Meskipun kesiagaan yang berlebih-lebihan itu juga menarik perhatiannya, tetapi sebagian besar dari persoalan yang dapat tumbuh, tentu akan dapat diatasi dengan baik oleh Untara dengan pasukannya yang kuat di Jati Anom.
Tetapi justru bagian yang tidak penting, yang dikatakan oleh pemimpin prajurit itu sambil lalu saja, sangat menarik perhatian ketiga orang-orang tua itu.
“Kiai Kalasa Sawit nampaknya memang memiliki kelebihan dari kebanyakan orang. Ujud lahiriahnya saja sudah memberikan kesan, bahwa ia adalah orang yang sangat kuat. Dengan lukisan seekor kelelawar di dadanya, ia nampaknya menjadi lebih garang lagi.”
“Kelelawar?” hampir bersamaan ketiga orang tua itu mengulang.
“Ya, kelelawar. Mengapa?”
Wajah-wajah itu menjadi tegang sejenak. Namun ketiganya pun segera dapat menghapus kesan itu dari wajah mereka. Tanpa menimbulkan kecurigaan, Ki Sumangkar bertanya, “Kelelawar atau binatang yang lain? Ada beberapa ekor binatang yang hampir bersamaan. Kelelawar, Codot, Kalong.”
Pemimpin prajurit itu tertawa. Katanya, “Aku tidak dapat membedakan ketiga-tiganya di dalam lukisan. Bukankah bedanya hanyalah besar dan kecil saja. Mungkin warnanya yang satu agak coklat, sedang yang lain kehitam-hitaman.
Betapapun hambarnya, namun Kiai Gringsing dan kawan-kawannya pun tertawa juga. Ki Sumangkar pun berkata disela-sela tertawanya, “Kalian benar. Memang hampir tidak ada bedanya. Apalagi dalam lukisan yang terpahat di tubuh seseorang,” ia berhenti sejenak. Lalu, “Tetapi, apakah semua orang di dalam kelompok itu memakai ciri gambar kelelawar atau hanya terdapat pada Kiai Kalasa Sawit saja?”
Prajurit itu mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya, “Yang aku ketahui adalah pada Kiai Kalasa Sawit,” ia mengingat-ingat sejenak. Lalu, “Tetapi agaknya tidak pada setiap orang. Aku dan barangkali kawan-kawanku tidak melihat pada orang lain.”
Ki Sumangkar mengangguk-angguk. Tetapi ia agak terkejut ketika pemimpin prajurit itu bertanya, “Apakah lukisan itu menarik perhatian kalian?”
“O, tidak. Tidak,” sahut Ki Sumangkar, “yang menarik adalah justru Kiai Kalasa Sawit, yang sekarang tinggal di padepokan Tambak Wedi itu.”
“Ya. Memang menarik sekali. Tetapi Ki Untara sudah mengambil langkah-langkah tertentu untuk mengatasinya, jika ada maksud tertentu dari penghuni padepokan yang nampaknya cukup kuat itu.”
“Syukurlah,” desis Kiai Gringsing, “dan agaknya kami percaya bahwa Ki Untara akan dapat mengatasi setiap persoalan yang timbul.”
“Mudah-mudahan,” jawab pemimpin kelompok itu. Lalu, “Nah, baiklah, Kiai. Biarlah kami meneruskan usaha kami untuk hari ini. Agaknya Rudita tidak tersesat ke daerah para penjahat, karena menurut pertimbangan kami, semua sarang orang-orang yang pantas dicurigai, sudah didatangi. Tetapi tidak ada di antara mereka yang mengetahui tentang anak muda yang bernama Rudita itu. Karena itu, di hari kedua ini, kami harus mencari di sepanjang padukuhan.”
“Terima kasih. Terima kasih. Silahkan berjalan dahulu. Kami akan mencari di tempat-tempat yang terpencil.”
Prajurit-prajurit itu pun kemudian meloncat ke punggung kudanya, dan sejenak kemudian mereka pun telah meninggalkan ketiga orang-orang tua yang termangu-mangu di tempatnya, sambil meninggalkan pesan, “Kami telah memerintahkan semua orang yang kami curigai, untuk mencari Rudita. Mungkin pada suatu saat, Kiai akan bertemu dengan kelompok-kelompok mereka. Jika demikian, maka sebaiknya Kiai berterus terang, siapakah Kiai bertiga itu. Salah seorang dari kalian bertiga adalah ayah dari anak yang hilang itu.”
Kiai Gringsing tidak sempat menjawab. Sejenak kemudian kuda-kuda itu pun menjadi semakin menjauh, meninggalkan hamburan debu putih yang segera hanyut ditiup oleh angin di lereng pegunungan.
“Jadi orang-orang yang disebutkannya sebagai orang-orang yang dicurigai itu siapa?” bertanya Ki Waskita.
“Agaknya kelompok-kelompok penjahat-penjahat kecil yang ada di lereng Gunung Merapi,” jawab Kiai Gringsing.
“Penjahat-penjahat kecil saja?” potong Ki Sumangkar, “Apakah orang yang disebut Kiai Raga Tunggal, Kiai Kalasa Sawit dan sebagainya itu juga penjahat kecil?”
“Secara pribadi, aku tidak dapat mengatakan dengan pasti. Mungkin Kiai Raga Tunggal, Kiai Kalasa Sawit adalah orang-orang yang memeliki kelebihan. Tetapi apa yang mereka lakukan di daerah ini tidak banyak menumbuhkan persoalan pada Untara. Sudah tentu, angger Untara pun tidak dapat mengetahui apa yang dilakukan oleh mereka itu di tempat-tempat yang jauh.”
Kedua kawan-kawannya pun mengangguk-angguk. Mereka memang sependapat, bahwa di daerah lereng Gunung Merapi, orang-orang itu tidak akan berbuat banyak.
“Apalagi kini, anak-anak muda di padukuhan-padukuhan di lereng Gunung Merapi ini sudah mulai bangun. Angger Untara telah mengirimkan beberapa orang prajurit khusus untuk melatih anak-anak muda di padukuhan-padukuhan, untuk kemudian menjaga padukuhan masing-masing dari gangguan penjahat-penjahat kecil itu.”
“Apakah anak-anak muda itu mampu melakukannya?”
“Mereka berada di bawah perlindungan prajurit Pajang. Sudah barang tentu, jika terjadi sesuatu atas mereka, maka prajurit-prajurit Pajang pun akan bertindak.”
“Apakah dengan demikian berarti, bahwa kejahatan yang kemudian terjadi adalah kejahatan-kejahatan kecil yang dilakukan di luar pengawasan? Maksudku, pencurian di malam hari atau di saat-saat tidak diketahui oleh siapapun.”
“Hampir serupa itu. Sedang di beberapa waktu yang lalu, kadang-kadang masih juga terdapat perampokan kecil-kecilan. Namun setiap kali mereka harus menghapuskan jejak, dari kelompok manakah mereka yang telah melakukan hal itu, agar Untara tidak dapat langsung menangkap mereka atau pemimpin kelompoknya.”
Yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tiba-tiba saja Ki Sumangkar berdesis, seolah-olah kepada dirinya sendiri, “Tetapi bagaimana dengan orang yang di tubuhnya terlukis tanda yang sangat menarik perhatian itu?”
“Memang hal itu perlu mendapat perhatian khusus,” berkata Kiai Gringsing, “Setelah kita menemukan Rudita, maka kita akan menyelidiki padepokan yang kini telah dipergunakan lagi oleh sekelompok orang-orang yang belum banyak diketahui kegiatannya. Tetapi mempergunakan ciri yang sangat menarik.”
Ki Waskita mengerutkan keningnya. Dengan suara yang ragu-ragu ia berkata, “Kiai. Persoalan itu agaknya cukup penting bagi kita dan terutama bagi Mataram. Menurut pertimbanganku, Rudita berada di tempat yang aman. Ia masih dapat bergeser dari satu tempat ke tempat yang lain. Apalagi menurut keterangan para prajurit, ia tidak ada di tangan penjahat yang ada di sekitar tempat ini.”
Kiai Gringsing merenungi kata-kata itu sejenak. Ketika ia memandang Ki Sumangkar, nampaknya Ki Sumangkar pun sedang memikirkannya.
Namun kemudian Kiai Gringsing itu pun berkata, “Ki Waskita. Memang ada dua pilihan yang dapat kita pertimbangkan. Tetapi menurut pendapatku, aku masih condong kepada menemukan angger Rudita lebih dahulu. Peristiwa yang dapat terjadi atasnya sama sekali tidak dapat diperhitungkan. Justru di daerah yang asing dan tidak berketentuan ini.”
Sebelum Ki Waskita menjawab, Ki Sumangkar pun telah menyambung, “Kita berusaha untuk secepatnya menemukan angger Rudita. Kemudian kita akan melihat, apakah kelelawar itu serupa dengan kelelawar yang kita lihat pada perak hitam yang ditinggalkan oleh orang-orang yang mencuri pusaka itu.”
Ki Waskita mengangguk-angguk sambil berkata, “Terima kasih, Kiai. Dengan demikian aku merasa, bahwa Kiai berdua adalah orang yang sangat baik kepadaku dan anakku. Aku tidak akan dapat membalas kebaikan itu dengan cara apa pun juga. Karena itu, yang dapat aku lakukan adalah memohon kepada Tuhan, agar kebaikan Kiai berdua mendapat imbalan sepantasnya.”
Kiai Gringsing dan Ki Sumangkai tersenyum.
“Ki Waskita,” berkata Kiai Gringsing, “Ki Waskita memang seorang yang rendah hati. Tetapi baiklah, memang semuanya yang terjadi harus kita kembalikan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Namun marilah kita berusaha, karena usaha adalah merupakan suatu kuwajiban bagi kita.”
Dan Ki Sumangkar pun menyambung, “Dengan demikian, maka Ki Waskita pun harus berusaha membalas kebaikan budi kami berdua.”
“Ah,” Ki Waskita tertawa. Dan kedua orang kawannya pun tertawa pula.
Namun tiba-tiba saja suara tertawa mereka terhenti. Telinga mereka yang tajam telah menangkap derap kaki kuda di kejauhan, namun agaknya sedang menuju ke tempat mereka.
“Mungkin mereka adalah kelompok orang-orang yang menurut istilah prajurit-prajurit Pajang, sedang dicurigai atau dalam pengawasan itu,” desis Ki Waskita.
“Jika demikian, kita harus mengaku, bahwa kita pun sedang mencari Rudita,” sahut Kiai Gringsing.
“Aku malas bertemu dengan mereka,” berkata Ki Sumangkar, “pertanyaan mereka tentu akan berkepanjangan. Bahkan mungkin menyakiti hati, meskipun mereka tidak akan berani mengganggu kita, karena kita berada di dalam perlindungan para prajurit.”
“Jadi?”
“Kita bersembunyi saja.”
Kiai Gringsing dan Ki Waskita pun berpandangan sejenak. Namun mereka berdua hampir bersamaan menganggukkan kepalanya.
Karena derap kaki kuda itu terdengar semakin dekat, maka mereka pun kemudian dengan tergesa-gesa berloncatan ke balik gerumbul di pinggir jalan yang mereka lalui. Masing-masing berusaha untuk menguncupkan tubuhnya, agar orang-orang berkuda yang akan lewat, tidak dapat melihat mereka.
Sejenak kemudian, beberapa ekor kuda muncul dari balik tikungan. Menilik pakaian penunggangnya, maka mereka memang termasuk orang-orang yang berada di dalam pengawasan prajurit Pajang. Namun Kiai Gringsing dan kawan-kawannya pun sadar, bahwa pakaian dan bentuk yang nampak pada wujud lahiriah, belum merupakan kepastian.
Beberapa ekor kuda itu berlari perlahan-lahan saja di jalan yang berdebu. Seseorang yang agaknya menjadi pemimpin di antara mereka, berkuda di paling depan sambil membawa sebuah senjata yang mendebarkan. Sebuah bindi, tetapi seolah-olah bergerigi. Di belakangnya, seorang yang sudah melampaui pertengahan abad. Rambut yang berjuntai di bawah ikat kepalanya sudah nampak keputih-putihan. Tetapi wajahnya masih nampak keras dan garang. Di tangannya tergenggam sebuah canggah bertangkai pendek. Di belakangnya, berurutan beberapa orang dengan senjata masing-masing.
“Tugas kita kali ini adalah tugas yang paling gila,” desis orang yang berada di paling depan.
“Kita kembali saja ke padepokan,” sahut orang yang berada di belakangnya.
Yang berkuda di paling depan tidak menyahut. Tetapi seorang yang berada di belakang berkata lantang, “Prajurit-prajurit Pajang memang sudah gila. Jika kita menemukan anak yang mengguncangkan seluruh lereng Merapi itu, kita cekik saja sampai mati. Kemudian kita lemparkan saja ke dalam jurang. Tidak ada orang yang akan mengetahuinya.”
“Kita diberi waktu sepuluh hari. Jika yang sepuluh hari itu lewat, dan anak itu tidak diketemukan, mungkin akan terjadi sesuatu di lereng gunung ini. Karena itu, kita tidak akan dapat berbuat seperti yang kau katakan,” jawab orang yang berkuda di paling depan.
“Untara tidak akan berbuat seperti yang dikatakan oleh prajurit-prajurit itu. Mereka sekedar menakut-nakuti kita, agar kita mau ikut serta mencarinya.”
“Lebih baik kita tidak mencari persoalan. Kehadiran iblis di padepokan Tambak Wedi itu sudah merupakan persoalan bagi kita. Karena itu, lebih baik kita menjauhi kesulitan yang dapat timbul dengan prajurit-prajurit Pajang di Jati Anom.”
Tidak seorang pun yang menjawab. Dan pemimpin kelompok itu berkata terus, “Kita sedang mencari hubungan dengan kelompok yang lain untuk menghadapi iblis-iblis di Tambak Wedi.”
Agaknya mereka masih meneruskan percakapan itu, tetapi kata-kata mereka sudah tidak begitu jelas lagi.
Ketiga orang yang bersembunyi di balik gerumbul itu pun kemudian merangkak keluar. Sambi mengangguk-anggukkan kepalanya, Kiai Gringsing berkata, “Kita telah mendengar serba sedikit apa yang akan terjadi di lereng Gunung Merapi.”
Ki Waskita memandang arah sekelompok orang berkuda itu menghilang. Katanya, “Kita tidak tahu siapakah mereka itu. Tetapi yang pasti, ada pertentangan di antara kelompok-kelompok itu di lereng Merapi. Yang agaknya harus berdiri sendiri menghadapi beberapa kelompok yang akan bergabung, adalah Kiai Kalasa Sawit, yang dikatakan mempunyai ciri seekor kelelawar yang terlukis di dadanya.”
Yang lain mengangguk-angguk. Namun Kiai Gringsing berkata, “Kita belum tahu, siapakah Kiai Kalasa Sawit itu. Tetapi jika terjadi sesuatu atasnya, maka kita akan kehilangan salah satu kemungkinan untuk menemukan jejak sekelompok orang yang mempunyai ciri seekor kelelawar. Meskipun mungkin juga kelelawar di dada Kiai Kalasa Sawit itu, tidak ada hubungannya sama sekali dengan pahatan kelelawar pada kepingan perak bakar itu.”
“Tetapi aku rasa, hal itu masih perlu diyakini. Kita sebaiknya memerlukan sekedar waktu untuk melihat kemungkinan itu,” berkata Ki Sumangkar, “Namun kita pun mengetahuinya, bahwa tugas itu adalah tugas yang sangat berbahaya.”
Ki Waskita mengangguk-angguk kecil. Lalu katanya, “Aku ingin menawarkan sekali lagi. Apakah kita akan mencari Rudita, atau melihat kemungkinan yang ada di padepokan Tambak Wedi?”
“Ah, aku tetap pada pendirianku, Ki Waskita. Kita berusaha menemukan Rudita lebih dahulu.”
Ki Waskita mengangguk-angguk sambil bergumam, “Terima kasih atas kesempatan pertama itu.”
“Marilah, kita meneruskan perjalanan ini. Kita akan berusaha secepatnya menemukan anak itu.”
Demikianlah, ketiga orang itu pun meneruskan perjalanan mereka. Tetapi mereka tidak menyusuri jalan itu lagi. Mereka memotong lewat jalan-jalan kecil dan sempit. Bahkan jalan-jalan terjal dan sulit.
“Kita akan menempuh arah ini seterusnya,” berkata Ki Waskita, “aku mempunyai isyarat yang kuat, bahwa kita akan segera menemukan.”
Namun wajah Ki Waskita tiba-tiba menjadi tegang. Lalu katanya, “Ada sesuatu yang agaknya terjadi.”
“Apa maksud Ki Waskita?” bertanya Ki Sumangkar.
Ki Waskita termangu-mangu sejenak. Tanpa disadarinya ia meraba dadanya yang agaknya sedang bergejolak. “Ada sesuatu yang terjadi dengan Rudita, Kiai.”
Kiai Gringsing pun mengerutkan keningnya sambil berkata, “Kita akan mempercepat perjalanan ini. Marilah. Bukankah kita masih dapat berlari-lari di lereng bukit ini.”
Ki Waskita dan Ki Sumangkar menggangguk-angguk. Sejenak mereka memandang jalan sempit di hadapan mereka.
“Marilah,” berkata Ki Waskita, “kita menempuh jalan ini.”
Demikianlah, ketiga orang itu pun berjalan semakin cepat. Bahkan kadang-kadang mereka berlari-lari kecil mengikuti Ki Waskita yang berada di paling depan.
“Kita sudah tidak terlalu jauh lagi,” berkata Ki Waskita, “Mudah-mudahan hari ini kita dapat menemukannya.”
Dalam pada itu, Rudita yang sedang dicari oleh ayahnya bersama Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar itu, memang benar-benar ingin pergi ke Sangkal Putung. Tetapi ia lebih senang berjalan di sepanjang lereng Gunung sambil memperdalam ilmunya. Di tempat-tempat yang sepi, ia berhenti untuk satu dua hari, sehingga perjalanannya memang menjadi terlalu lama.
Namun dengan demikian, maka wujud lahiriahnya pun menjadi semakin lama semakin kusut. Jika semula Rudita adalah seorang anak muda yang bersih dan rapi, kini ia tidak lebih dari seorang yang berpakaian kumal dan sobek di sana-sini.
Kadang-kadang Rudita sendiri menjadi ragu-ragu. Apakah ia akan dapat dikenal oleh Swandaru dan Agung Sedayu. Tetapi ia yakin, bahwa kedua anak-anak muda itu tidak akan melupakannya. Keduanya bukan anak-anak muda yang sombong, yang hanya mau berkenalan dengan orang-orang tertentu saja.
“Meskipun aku berpakaian compang-camping seperti pengemis, jika keduanya benar-benar tidak lupa kepadaku, aku tentu akan diterimanya dengan baik.”
Tetapi akibat lain yang terjadi atas Rudita, semula sama sekali tidak diduganya. Jika sekali-sekali ia berpapasan dengan beberapa Orang yang berwajah garang, maka orang-orang itu sama sekali tidak menghiraukannya. Tetapi ketika ia memasuki sebuah padukuhan yang nampak agak berbeda dengan padukuhan-padukuhan yang lain, maka terjadilah malapetaka itu.
Padukuhan Cangkring yang dilaluinya itu, nampaknya sudah jauh lebih baik dari padukuhan-padukuhan lain. Jalan-jalan yang membelah padukuhan yang meskipun tidak begitu besar itu, nampak bersih dan rapi. Di beberapa sudut terdapat beberapa buah gardu peronda. Dan di sepanjang sisi jalan, terdapat pagar batu yang tersusun serasi.
Semula Rudita merasa aman memasuki padukuhan itu, karena ia melihat anak-anak mudanya yang nampak selalu bersiaga. Bahkan mereka yang berada di sawahpun nampaknya siap untuk melakukan apa saja bagi kepentingan padukuhannya, karena ternyata di samping alat-alat persawahan, mereka pun membawa senjata.
Tetapi Rudita mulai berdebar-debar ketika dua orang anak muda menghampirinya sambil bertanya garang, “Siapa kau, he?”
Rudita membungkukkan badannya dalam-dalam. Jawabnya, “Aku Rudita, Ki Sanak.”
Kedua anak-anak muda itu memandanginya dengan tatapan mata yang hampir tidak berkedip. Keduanya memandang setiap bagian tubuhnya, dari ujung rambutnya sampai ke ujung kakinya.
“Apakah kau pengemis?” bertanya salah seorang dari kedua anak muda itu.
Rudita menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Bukan, Ki Sanak. Aku bukan pengemis.”
Tetapi agaknya kedua anak-anak muda itu benar-benar mencurigainya. Maka yang seorang, yang bertubuh tinggi tegap, mendekatinya sambil bertanya, “Apakah yang kau bawa?”
“Ini adalah bekal yang aku bawa dari rumah. Aku akan pergi ke Sangkal Putung. Aku mempunyai dua orang sahabat yang tinggal di sana.”
“Dimana rumahmu?”
“Di seberang Kali Praga.”
Keduanya nampak menjadi tegang. Yang seorang, yang lebih kecil bertanya, “Kenapa kau mengambil jalan ini? Kenapa kau tidak melalui daerah baru yang sudah menjadi semakin baik di Alas Mentaok? Jalan di daerah itu jauh lebih mudah dilalui daripada daerah lereng Gunung ini.”
“Aku sengaja ingin melihat-lihat lereng Gunung Merapi,” jawab Rudita.
Tetapi anak yang bertubuh tinggi itu pun berkata, “Kau menimbulkan kecurigaan pada kami. Jika kau menyebut dirimu seorang pengemis, mungkin masih akan dapat aku mengerti, dan sejauh-jauhnya kau hanya akan kami usir dari padukuhan kami, karena pengemis hanya akan membuat daerah ini menjadi kotor.”
“Aku bukan pengemis, Ki Sanak. Tetapi aku adalah seorang perantau. Aku berjalan dari satu tempat ke tempat yang lain. Aku ingin melihat segi-segi kehidupan yang ternyata mempunyai ragam warnanya tersendiri.”
Kedua anak muda itu mengerutkan keningnya. Yang seorang kemudian berkata, “Kata-katamu membuat kami semakin tidak mengerti. Apakah sebenarnya keuntunganmu dengan melihat apa yang kau sebut segi-segi kehidupan itu? Apakah kau, di rumahmu, tidak mempunyai pekerjaan apa pun? Di sawah, misalnya?”
Rudita menggeleng. Katanya, “Semua pekerjaan di rumahku sudah ada yang mengerjakannya. Aku bebas untuk melakukan apa pun yang aku senangi, termasuk merantau.”
“Kau membuat kami semakin curiga. Nah, apakah yang kau bawa di dalam kampilmu itu?”
“O, kantong ini tidak berisi apa pun yang pantas untuk dipersoalkan. Aku membawa beberapa keping uang untuk bekal perjalananku, dan seikat rontal yang kadang-kadang aku pergunakan untuk mengisi waktu di perjalanan. Jika aku lelah dan beristirahat di bawah sebatang pohon yang rindang di siang hari, aku membaca rontal itu.”
“Uang?” bertanya anak muda yang bertubuh tinggi.
“Ya.”
“Darimana kau dapatkan uang itu?”
“Dari rumah. Aku membawa bekal uang dari rumah.”
Kedua anak-anak muda itu menjadi semakin curiga. Yang seorang, yang bertubuh lebih kecil itu pun kemudian berkata, “Perlihatkan kampilmu itu.”
“Apakah ada gunanya?”
“Perlihatkan.”
Rudita menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia pun mengambil kantongnya, yang selalu tergantung diikat pinggangnya. Diambilnya rontalnya dari kampil itu, dan kemudian diperlihatkannya kampilnya kepada anak muda itu.
“Kau membawa uang,” desisnya.
“Ya. Semula uang dan beberapa lembar pakaian. Tetapi pakaianku rusak selembar demi selembar. Ada yang tertinggal saat gunung ini berguncang. Dan ada yang aku berikan kepada orang yang memerlukan di sepanjang jalan.”
“O, kau mengigau. Pakaianmu sendiri compang-camping, kau dapat bersombong diri,” anak muda yang bertubuh tinggi itu memotong, “tetapi uang yang ada di dalam kantongmu memang menarik perhatian. Darimana kau dapat?”
“Sudah aku katakan, aku membawa dari rumah.”
Kedua anak muda itu berpandangan sejenak. Lalu, “Aku tidak dapat mengerti keteranganmu yang simpang siur itu. Aku terpaksa membawamu. Daerah ini adalah daerah yang sangat peka terhadap kejahatan. Kami sedang bangkit melawan setiap usaha mengacaukan keamanan di padukuhan kami. Dan kau agaknya sangat mencurigakan.”
“Maksudmu?”
“Mungkin kau salah seorang dari para penjahat yang sedang berusaha menjajagi padukuhan kami.”
“Tidak, Ki Sanak. Aku bukan orang yang berniat buruk. Aku sama sekali tidak menyangka, bahwa akhirnya aku akan dituduh berbuat demikian jahatnya.”
“Jangan membantah. Di sini ada orang-orang yang bertugas menentukan apakah kau bersalah atau tidak.”
“Ki Jagabaya?”
“Tidak perlu. Di sini ada anak-anak muda, yang sudah menerima beberapa petunjuk dari para prajurit, bagaimana mengatasi kesulitan yang tumbuh.”
“Jadi, apa yang akan kalian lakukan?”
“Ikut kami ke banjar padukuhan ini.”
Rudita menjadi termangu-mangu. Ketika ia memandang berkeliling, ternyata di sekitarnya sudah mulai berdatangan beberapa anak muda yang lain. Bahkan seorang di antaranya adalah seorang yang bukan anak muda lagi, berkumis lebat dan bermata tajam, mendekatinya.
“Siapakah anak ini?” bertanya orang itu.
“Ia mengaku bernama Rudita,” jawab salah seorang dari kedua anak muda itu.
Orang berkumis itu memandang Rudita seperti memandang hantu di siang hari. Perlahan-lahan ia mendekat sambil berkata, “Kau datang dari kelompok yang mana? Atau barangkali kau salah seorang anggauta kelompok yang baru saja datang di Tambak Wedi?”
Rudita menjadi bingung. Dan ia berkata sejujur-jujurnya, “Aku tidak mengerti. Aku datang dari seberang Kali Praga.”
Rudita terkejut ketika tiba-tiba orang berkumis itu mencengkam bajunya sambil membentak, “Jangan mencoba menipu kami. Jawab pertanyaanku. Kau datang dari kelompok yang mana? Atau kau seorang penjahat kecil yang sering mencuri ayam di siang hari?”
“Jangan berprasangka buruk,” Rudita masih sareh, “aku tidak bermaksud jahat. Aku hanya sekedar lewat saja di padukuhan ini, seperti aku lewat di padukuhan-padukuhan lain. Di padukuhan lain aku tidak pernah mengalami perlakuan seperti ini.”
Orang berkumis itu mengguncang baju Rudita sambil membentak pula, “Jangan mengajari kami. Padukuhan kami adalah padukuhan terbaik di seluruh daerah kaki Gunung Merapi. Ki Untara sendiri pernah datang dan memberikan pujian. Karena itu, mungkin kau dapat lolos di padukuhan yang lain. Tetapi tidak di sini.”
Rudita menjadi semakin berdebar-debar. Dan tiba-tiba saja orang itu mendorongnya sambil melepaskan bajunya. Katanya, “Bawa anak Ini ke banjar. Kita harus memeriksanya dengan teliti, ia tentu datang dari salah satu kelompok penjahat. Atau ia sendiri adalah seorang pencuri ayam,” Orang itu menggeram, “Sayang. Kau masih semuda itu sudah menjadi seorang pencuri.”
Rudita tidak menjawab. Ia tahu, bahwa tidak ada gunanya menjawab kata-kata itu.
Karena itu, ketika seseorang mendorongnya, maka ia pun berjalan saja seperti yang diperintahkan kepadanya. Sekali-sekali ia mengerling kepada kantongnya yang masih berisi beberapa keping uang. Namun rontalnya telah ada padanya dan disimpannya di dalam kantong bajunya di bagian dalam.
Setiap kali Rudita merasa bahwa punggungnya telah didorong oleh anak-anak muda yang mengikutinya, semakin lama semakin banyak.
Tetapi Rudita yang sekarang sudah bukan Rudita yang dahulu. Ia tidak lagi menggigil ketakutan. Kini ia berjalan dengan tenang, tanpa menunjukkan kegelisahan. Ia menyadari, bahwa jika terjadi salah paham, maka akibatnya akan menyulitkannya. Namun sejak ia berangkat dari rumahnya, ia sudah pasrah. Ia merasa bahwa ia selalu berada di dalam perlindungan Yang Menciptakannya. Jika harus terjadi sesuatu, maka itu memang sudah seharusnya terjadi, dan ia tidak akan dapat mengingkari lagi. Tetapi di dalam kesulitan itu, Rudita tidak akan pernah merasa sendiri.
Dengan demikian, Rudita yang sudah menemukan dirinya di dalam hubungannya dengan Sumbernya, adalah Rudita yang lain dari Rudita yang selalu dibayangi oleh ketakutan dan kecemasan beberapa waktu yang lalu.
Sementara itu, iring-iringan yang semakin panjang itu pun akhirnya sampai juga di Banjar padukuhan. Beberapa orang anak muda segera memerintahkan orang-orang yang tidak berkepentingan meninggalkan banjar.
“Kalian hanya membuat ribut saja di sini. Sudahlah. Tinggalkan banjar ini.”
Beberapa kali perintah itu diteriakkan. Tetapi orang-orang yang berkerumun, terutama anak-anak yang masih terlampau muda, tidak segera meninggalkan banjar itu. Bahkan seorang anak yang sedang meningkat menjadi remaja berteriak, “Serahkan kepada kami!”
Anak-anak muda yang berteriak-teriak menyuruh orang-orang yang tidak berkepentingan pergi itu pun akhirnya menjadi jemu. Dan mereka tidak lagi berbuat apa-apa, ketika orang-orang itu justru mendesak maju.
“Serahkan kepada kami!” anak-anak yang merasa dirinya sudah menjadi seorang anak muda, berteriak-teriak semakin keras.
Tetapi Rudita pun kemudian justru di bawa masuk ke dalam banjar, ia didorong ke dalam ruang dalam, agar selanjutnya tidak terganggu oleh teriakan-teriakan anak-anak remaja yang meningkat dewasa.
Sekali lagi Rudita harus menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka yang serupa saja. Tetapi karena jawab Rudita masih juga serupa, maka pertanyaan-pertanyaan itu pun diucapkan semakin lama menjadi semakin keras.
“Kau tahu, di luar ada banyak sekali anak-anak remaja?”
“Ya, aku tahu,” jawab Rudita dengan tatag.
“Kau tahu akibatnya, jika kau aku lemparkan kepada mereka itu?”
“Ya, aku tahu.”
“Nah, sekarang jawab pertanyaanku. Dari kelompok atau gerombolan mana kau datang? Kau tentu tengah mengamat-amati padukuhan ini. Dan kau merasa dirimu aman karena kawan-kawanmu akan mencoba melindungimu,” orang berkumis yang membawa Rudita ke banjar itu masih juga mendesaknya, “tetapi gerombolan-gerombolan semacam itu tidak berarti apa-apa bagi kami di sini. Kami sudah siap menjaga ketenangan padukuhan kami. Dan sekarang kau datang untuk mengacau.”
Rudita menarik nafas. Jawabnya, “Aku tidak dapat mengatakan apa-apa, karena aku tidak tahu sama bekali tentang gerombolan-gerombolan itu.”
Orang berkumis lebat itu agaknya sudah kehilangan kesabaran. Namun ia masih belum mempunyai alasan yang kuat untuk memaksa Rudita berbicara dengan kekerasan.
Selagi orang-orang yang ada dibangsal itu termangu-mangu, maka datanglah seorang anak muda sambil berlari-lari ke banjar padukuhan itu.
Semua orang yang ada di luar dan di dalam banjar berpaling ke arahnya. Beberapa orang yang berdiri di tangga pun segera menyibak dan memberi jalan kepadanya.
“Ki Rena,” berkata anak muda itu dengan nafas terengah-engah, kepada orang berkumis lebat yang sedang mencoba mendengar keterangan Rudita. “ada beberapa orang dalam gerombolan, lewat di pinggir padukuhan.”
“He?” wajah Ki Rena menjadi tegang. “Apa yang mereka lakukan? Apakah mereka akan merampok?”
“Agaknya kali ini tidak. Pemimpinnya mengangkat tangan kanannya sambil bertanya tentang seorang anak muda bernama Rudita.”
“Rudita?” Ki Rena berpaling kepada Rudita, “siapa namamu, he?”
“Rudita. Memang namaku Rudita.”
“Ha, sekarang ternyata bahwa kau memang berasal dari salah sebuah gerombolan itu,” Ki Rena berpaling kepada anak muda yang datang berlari-lari itu. “Dari gerombolan manakah yang datang, menurut pengamatanmu?”
“Kali ini agak lain dari yang pernah kita kenal di sini.”
“Lain? Kau belum pernah mengenal ciri-cirinya?”
“Belum. Belum pernah. Nampaknya mengerikan sekali. Tetapi pemimpinnya bersikap baik dan tidak menunjukkan tanda-tanda untuk melakukan kejahatan.”
“Tentu, karena ia ingin melepaskan anak buahnya ini. He, siapakah pemimpinnya?”
“Aku tidak tahu. Tetapi ia mempergunakan selembar kulit untuk menutup bahunya.”
“Kulit?” Ki Rena menjadi semakin tegang.
“Ya, kulit harimau.”
“Bagaimana bentuk tubuh orang itu?”
“Agaknya tinggi, tegap dan kekar.”
Ki Rena menjadi semakin gelisah. Katanya kemudian seakan-akan kepada diri sendiri, “Apakah orang itu yang bernama Kiai Kalasa Sawit? Aku pernah mendengar serba sedikit tentang ciri-ciri orang itu.”
“Ya. ya. Aku ingat sekarang. Ia menyebut dirinya bernama Kalasa Sawit.”
“Gila,” tiba-tiba saja wajahnya menjadi merah. Dipandanginya Rudita dengan sorot mata yang tajam. Katanya, “Jadi kau dari gerombolan yang akhir-akhir ini berada di Tambak Wedi? Jadi, kau adalah anak buah Kiai Kalasa Sawit?” Ki Rena berhenti sejenak. Lalu dengan suara gemetar ia bertanya, kepada anak muda yang memberikan laporan tentang Kiai Kalasa Sawit, “Lalu apa jawabmu?”
“Aku mengatakan, bahwa tidak ada seorang anak muda asing yang berada di padukuhan ini.”
“Bagus, bagus. Lalu apa katanya?”
“Orang itu nampaknya tidak begitu menaruh perhatian. Kiai Kalasa Sawit itu mengangguk dalam-dalam, sambil tertawa kecil. Dan ia pun segera minta diri dengan sopan, untuk melanjutkan perjalanan mencari anak muda yang bernama Rudita itu.”
Ki Rena termangu-mangu sejenak. Dan anak muda itu masih berkata, “Ki Rena. Nampaknya gerombolan ini agak lain dengan gerombolan yang dahulu sering datang kemari, sebelum kita dapat mengamankan padukuhan ini atas bimbingan prajurit-prajurit Pajang. Orang yang memakai kulit harimau itu memang mengerikan, tetapi agaknya ia ramah sekali. Kami tidak dapat menentukan apakah ia seorang penjahat atau benar-benar seorang yang sedang mencari keluarganya yang hilang.”
“Kau bodoh sekali. Kiai Kalasa Sawit adalah orang baru di daerah ini. Tentu ia tidak akan menakut-nakuti kita.”
“Tetapi orang-orang lain justru berusaha agar kita menjadi ketakutan dan memenuhi semua tuntutannya.”
“Ia tahu, kita siap untuk mempertahankan ketenteraman padukuhan kita.” Ki Rena berpaling kepada Rudita, “Nah, sekarang kau sendiri. Orang yang mencari kau itu, dengan mudah dapat kita kelabui. Kau tidak akan mendapat perlindungan dari siapa pun lagi.”
Rudita menggelengkan kepalanya. Katanya, “Aku tidak tahu, siapakah orang yang mencari aku dan menyebut dirinya bernama Kiai Kalasa Sawit.”
“Tentu kau mengingkari,” jawab Ki Rena. Lalu katanya kepada anak-anak muda yang ada di banjar itu, “Siapkan dua ekor kuda. Dua orang di antara kalian akan pergi ke Jati Anom melaporkan apa yang terjadi di sini. Jika benar-benar Kiai Kalasa Sawit telah menjamah padukuhan ini, maka kita masih harus mohon perlindungan kepada prajurit-prajurit Pajang di Jati Anom.”
Anak muda yang diperintah itu pun mengangguk sambil menjawab, “Baiklah, Ki Rena. Kami akan segera melakukannya. Tetapi bagaimana jika kami bertemu dengan orang-orang dari Tambak Wedi itu? Kami tidak akan diganggu lagi oleh kelompok-kelompok lain yang sudah kita kenal. Tetapi kelompok yang satu itu masih merupakan teka-teki bagi kita.”
“Jangan menunjukkan sikap yang mencurigakan. Katakan saja bahwa kau akan mengunjungi saudaramu yang berada di Banyu Asri atau Sendang Gabus.”
“Baiklah. Kami akan segera berangkat.”
“Sementara itu, kami di sini akan menyelesaikan persoalan dengan anak muda yang bernama Rudita dan yang menyamar sebagai pengemis ini. Katakan bahwa seorang dari Tambak Wedi telah dapat kami tangkap.”
“Aku bukan orang Tambak Wedi,” potong Rudita. Tetapi kata-katanya terputus ketika tangan Ki Rena menampar pipi Rudita sambil membentak, “Diam! Diam, kau.”
Rudita terkejut bukan buatan mengalami perlakuan itu. Tetapi ia tidak berbuat apa-apa sambil menunggu apa yang akan terjadi atasnya.
Ternyata kemarahan Ki Rena sudah tidak tertahankan lagi. Wajahnya menjadi merah dan dadanya bagaikan terguncang oleh detak jantungnya yang menjadi semakin cepat.
“Cepat, pergilah sekarang,” berkata Ki Rena kepada anak muda yang akan pergi ke Jati Anom, “pasukan Pajang di Jati Anom itu harus segera datang. Mungkin orang-orang Tambak Wedi itu akan kembali lagi kemari, dengan kekuatan yang lebih besar lagi.”
Anak muda yang mendapat perintah untuk pergi ke Jati Anom itu pun segera meninggalkan banjar.
Dalam pada itu, Rudita menjadi semakin berdebar-debar. Kini Ki Rena berdiri menghadap kepadanya. Wajahnya masih tegang dan kemerah-merahan oleh kemarahan yang memuncak di dalam dadanya.
“Apakah kau masih akan ingkar?” bertanya Ki Rena kepada Rudita.
Rudita menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku bukan ingkar. Tetapi aku berkata sebenarnya.”
“Cukup!” Ki Rena membentak. Sedang anak-anak muda yang ada di banjar itu pun mendesak maju. Seorang anak muda yang bertubuh tegap dan kokoh, menyibak kawan-kawannya dan berdiri di belakang Ki Rena. Katanya, “Ki Rena, kali ini Ki Rena nampaknya sabar sekali.”
“Cucurut ini memang pandai membuat dirinya seolah-olah perlu dikasihani,” jawab Ki Rena, “Tetapi aku justru menjadi sangat muak kepadanya.”
“Ki Sanak,” berkata Rudita kemudian, “kenapa tiba-tiba telah terjadi salah paham seperti ini? Aku bukan orang jahat yang akan berbuat buruk di padukuhan ini. Sebenarnyalah aku seorang perantau yang lewat. Jika salah paham seperti ini sering terjadi, maka alangkah malangnya nasib orang yang lewat di daerah padukuhan Cangkring yang cantik ini.”
“Gila!” teriak Ki Rena yang marah sekali. “Kau masih dapat mengigau, he? Sekali lagi aku peringatkan, jika kau masih berputar-putar, kau akan aku serahkan kepada anak-anak remaja di luar banjar. Anak-anak muda di dalam banjar ini sudah mampu berpikir lebih baik, dan mempunyai belas kasihan. Tetapi anak-anak yang sedang meningkat dewasa di luar, akan menyobek tubuhmu menjadi sayatan-sayatan daging.”
Rudita menarik nafas dalam-dalam. Tetapi yang terlontar dari mulutnya adalah sebuah desah, “Kasihan anak-anak itu.”
“He?” mata anak muda yang bertubuh tegap dan kokoh itu tiba-tiba terbelalak, “Siapa yang kau sebut kasihan itu?”
“Anak-anak di luar. Mereka akan kehilangan rasa kasih sayang kepada sesama. Setiap kali mereka dihadapkan pada sifat dan sikap yang keras seperti ini. Tidakkah ada cara yang lebih baik untuk mendidik mereka, agar menjadi anak-anak muda yang bertanggung jawab, tetapi tidak berbuat sewenang-wenang seperti yang kalian katakan itu?”
Sesuatu telah menyentuh hati orang-orang yang mendengarkan kata-kata Rudita itu. Tetapi ternyata bahwa Ki Rena tidak memberi kesempatan kepada setiap orang untuk mencernakannya, seperti Ki Rena berusaha untuk mengingkari pengaruh kata-kata Rudita itu di dalam hatinya. Dengan suara lantang ia pun kemudian berkata, “Kau memang penjahat yang paling licik. Kenapa kau tidak berusaha melepaskan dirimu dengan kekerasan? Kenapa kau berusaha menyelamatkan dirimu dengan sikap pengecut?”
“Aku tidak mengenal kekerasan seperti itu, Ki Sanak. Aku tidak mengerti, bagaimana aku harus berbuat kasar dan keras? Sejak kecil aku adalah seorang anak pupuk bawang saja di dalam pergaulan. Apalagi sekarang.”
“Tetapi kata-katamu mengandung bisa, melampaui bisa ular yang paling ganas.”
“Ki Sanak,” berkata Rudita, “sebenarnyalah bahwa aku merasa kasihan terhadap anak-anak remaja di luar dan anak-anak muda di dalam banjar ini. Aku mengerti, bahwa selama ini mereka dicengkam oleh ketakutan dan kecemasan. Pada suatu saat, maka jiwa yang tertekan itu tiba-tiba meledak. Dan ini adalah wujud dari peledakan itu. Tetapi tidak selalu harus seperti yang terjadi di sini. Aku mempunyai seorang sahabat yang baik. Jiwanya tertekan dan pada suatu saat memang juga meledak. Namun ia tidak kehilangan kepribadiannya. Ia masih tetap berada di dalam jangkauan kasih antara sesama.”
“Diam, diam!” anak muda yang bertubuh kokoh kuat itulah yang kemudian tidak bersabar pula. Tangannya lah yang kemudian terayun menghantam pipi Rudita, sehingga Rudita berpaling sambil menahan gejolak di hatinya.
“Lidahmu memang sangat berbisa,” berkata anak muda itu, “kau telah menghina kami. Bukan saja suatu cara yang licik untuk melepaskan diri dari tanggung jawab, tetapi yang kau lakukan adalah penghinaan dan fitnahan yang keji. Semula kami memang akan mempertimbangkan sikap yang lebih baik padamu, anak gila. Tetapi sikapmu sangat menyakiti hati kami. Karena itu, maka kau akan benar-benar kami lemparkan kepada anak-anak muda itu sampai kau mengaku, dari kelompok yang manakah sebenarnya kau ini.”
“Aku tidak mempunyai jawaban lain,” berkata Rudita, “aku bukan dari kelompok yang manapun, karena aku datang dari seberang Kali Praga.”
“Persetan,” anak muda itu melangkah maju. “Maaf, Ki Rena. Apakah aku dapat menyelesaikan pekerjaan ini?”
Ki Rena yang masih marah itu pun kemudian berkata, “Salahmu sendiri, anak muda. Kau telah kehilangan semua kesempatan, kecuali jika kau mengaku.”
“Jadi kalian menganggap bahwa dengan kekerasan seperti itu, kalian dapat menyelamatkan padukuhan kalian dari kekerasan yang lain? Bukankah dengan demikian akan sangat sulit dicari bedanya, antara kalian dan kelompok-kelompok penjahat itu?” bertanya Rudita.
Pertanyaan Rudita yang terakhir itu telah membingungkan anak-anak muda Cangkring untuk beberapa saat. Namun kemudian Ki Renalah yang menjawab, “Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang bodoh sekali. Kami melakukannya untuk mempertahankan hak kami, justru dari kejahatan yang mereka lakukan? Apakah kau masih belum melihat bedanya?”
“Aku melihat perbedaan arah, sikap dan tindakan kalian,” jawab Rudita, “Tetapi, apakah yang kemudian kalian lakukan untuk melaksanakan tindakan itu berbeda? Jika penjahat-penjahat itu melakukan kekerasan dan kadang-kadang di luar perikemanusiaan, kemudian kalian pun melakukan tindakan serupa untuk memperoleh pengakuan, apakah hal itu dapat dibenarkan oleh hati nurani kalian masing-masing?”
Wajah Ki Rena menjadi merah padam. Tetapi ternyata anak muda yang bertubuh kokoh kuat itulah yang lebih dahulu bertindak. Sekali lagi sebuah pukulan yang keras mengenai kening Rudita. Demikian kerasnya, sehingga anak muda yang bertubuh kokoh kuat itu sendiri menyeringai, karena tangannya terasa menjadi nyeri.
Rudita melangkah mundur selangkah. Dengan wajah yang tegang ia memandangi orang-orang yang ada di sekitarnya. Masih ada sesuatu yang akan dikatakannya, tetapi tiba-tiba saja, anak muda yang memukulnya itu menangkap tangannya sambil berkata lantang, “Tidak ada kebaikan hati yang dapat kami berikan kepadamu, kepada orang yang mulutnya menyebarkan bisa dan racun. Sebelum kau mengaku, darimanakah kau datang, maka kau akan menjadi sasaran kemarahan anak-anak tanggung di padukuhan ini.”
Ketika anak muda itu menyeret Rudita, ia mencoba bertahan. Namun kemudian Ki Rena pun ikut menyeretnya pula. Bahkan beberapa anak muda yang lain.
Rudita masih mencoba bertahan. Karena itu, ia masih belum bergeser sejengkal pun dari tempatnya. Namun akhirnya, ia pun tidak lagi berusaha untuk melawan. Ia mengikut saja, kemana ia akan dibawa.
Ternyata Rudita tidak dibawa kemana pun juga. Ia didorong oleh anak-anak muda itu dengan sekuat tenaga, menuruni tangga banjar. Di bawah tangga itu, anak-anak yang sedang meningkat dewasa telah menunggunya dengan wajah yang tegang.
Demikian Rudita turun di antara mereka, maka tangan-tangan yang gatal itu pun segera menghujani tubuhnya tanpa pertimbangan apa-pun lagi.
“Mengakulah!” teriak Ki Rena “sebelum kau menjadi bubur.”
Anak-anak muda di halaman banjar itu sama sekali tidak sempat mendengar pertanyaan itu. Mereka sama sekali tidak memberi kesempatan Rudita untuk berbicara.
Selagi anak-anak muda itu dengan tanpa perhitungan memukuli Rudita beramai-ramai, maka seorang anak muda yang agak lebih tenang dan pendiam, bergeser mendekati Ki Rena sambil bertanya, “Ki Rena. Kita sudah terlanjur mengirimkan dua orang untuk melaporkan kehadiran anak muda yang bernama Rudita itu kepada prajurit-prajurit di Jati Anom. Jika mereka kemudian datang kemari, dan kita tidak lagi dapat menunjukkan anak itu, karena telah menjadi mayat, apakah itu bukan berarti suatu kesulitan?”
Ki Rena mengerutkan keningnya. Lalu, “Kita akan melaporkan kepada Ki Demang.”
“Ki Demang sama sekali tidak tahu menahu tentang hal ini,” jawab anak muda itu, “bukankah kita sama sekali tidak melaporkannya? Ki Jagabaya pun tentu akan marah, jika ia mengetahui apa yang sudah kita lakukan di sini.”
“Tidak. Mereka tidak akan marah. Sebentar lagi mereka tentu akan mendengar dan datang ke banjar?
“Tetapi sementara itu, Rudita lelah hancur.”
“Persetan! Akulah yang akan bertanggung jawab. Aku akan mengatakan kepada Ki Demang dan Ki Jagabaya jika mereka marah kepada kita. Anak itu berusaha melarikan diri dan melawan. Nah, apa lagi yang kita cemaskan?”
“Tetapi, Ki Rena, bukankah semuanya belum pasti?”
“O, kau memang selalu ragu-ragu. Aku tahu pasti. Anak ini sengaja membuat dirinya bodoh, dungu dan sedikit gila. Tetapi ia justru orang penting bagi para penjahat.”
Anak muda itu tidak menjawab lagi. Ketika ia memandang ke halaman, ia menarik nafas dalam-dalam. Bahkan ia pun kemudian memalingkan wajahnya. Rudita telah jauh bergeser dari tempatnya. Sambil berteriak-teriak penuh kemarahan, anak-anak yang meningkat dewasa itu pun memukulinya tanpa menghiraukan apa pun juga. Bahkan ada di antara mereka yang tiba-tiba saja telah mengambil sepotong kayu dari pinggir halaman dan dengan berteriak-teriak mendesak maju di antara kawan-kawannya, “Minggir, minggir. Aku akan memecahkan kepalanya.”
Dalam pada itu, selagi anak-anak itu sibuk dengan cara mereka untuk memeras keterangan Rudita, maka dua orang anak muda yang lain telah berlari-lari pula dari ujung padesan. Dengan nafas terengah-engah ia berkata, “Ada sekelompok penjahat lagi yang lewat. Tentu dari Randu Pitu. Kami sudah mengenal mereka. Setidak-tidaknya, seorang dari mereka.”
“Dari Randu Pitu?” desis Ki Rena, “Gila. Kelompok yang sangat licik, selicik anak buah Ki Raga Tunggal. He, apakah yang mereka lakukan?”
“Mereka juga mencari seorang anak muda yang bernama Rudita.”
“Ha,” sahut Ki Rena, “Sekarang kau tahu. Anak itu memang seorang penjahat yang pantas dijadikan abu di sini.”
Ki Rena ternyata menjadi semakin mantap. Orang-orang Randu Pitu yang mencari seorang anak muda yang bernama Rudita, seolah-olah membuatnya jantungnya semakin menyala.
Namun dalam pada itu, anak muda pendiam yang dapat berpikir lebih tenang itu pun bertanya, “Ki Rena. Jika demikian menurut dugaan Ki Rena, Rudita itu datang darimana? Dari Tambak Wedi, Randu Pitu atau dari kelompok penjahat yang mana? Dan apakah sebabnya maka beberapa kelompok penjahat sekaligus mencari seseorang yang menurut dugaan Ki Rena adalah salah seorang dari kelompok mereka?”
Ki Rena menjadi termangu-mangu. Kerut di keningnya nampak menjadi semakin dalam.
Tetapi ternyata Ki Rena tidak mau berpikir lebih jauh. Sambil menggelengkan kepalanya ia berkata, “Aku tidak peduli dari gerombolan yang manakah anak muda yang bernama Rudita itu. Tetapi ia pantas mendapat sedikit pengalaman, bahwa ingkar tidak membawa keuntungan apa-apa.”
“Memang kita tidak peduli dari kelompok yang manakah anak itu. Tetapi kita harus peduli, seandainya anak itu benar bukan dari kelompok yang manapun.”
Sekali lagi, wajah Ki Rena menjadi berkerut-merut. Tetapi sekali lagi ia menggeleng sambil berkata lantang, “Aku tidak peduli. Itu salahnya sendiri, kenapa ia tidak berkata berterus terang dan jujur.”
“Jika ia berkata jujur?”
“Maksudmu?”
“Sebenarnya, seperti yang dikatakan?”
Ki Rena termangu-mangu sejenak. Namun kemudian, “Tidak mungkin. Ia tentu seorang penjahat. Jika tidak, kenapa penjahat-penjahat itu mencarinya? Mungkin memang untuk dibunuh, karena ia berasal dari kelompok yang bersaing, atau diketahui dari kelompok yang tidak dikenal di sini, sehingga ia memasuki wilayah dan jangkauan penjahat-penjahat yang tidak selingkungan. Tetapi dengan demikian, ia adalah seorang penjahat. Dan seorang penjahat tidak akan mendapat tempat di daerah Cangkring, yang merupakan daerah yang paling terpuji di seluruh lereng Gunung Merapi, selain Jati Anom sendiri.”
Anak muda pendiam yang dapat berpikir lebih tenang itu, menarik nafas dalam-dalam. Sekali lagi ia mencoba memandang gejolak anak-anak remaja yang sedang memeras pengakuan Rudita, seperti wajah sebuah kolam yang bergejolak karena perkelahian antara seekor hiu melawan seekor buaya yang ganas sekali.
Dan sekali lagi anak muda itu memalingkan wajahnya. Bahkan ia pun kemudian melangkah menepi, dan berdiri di belakang punggung kawan-kawannya yang termangu-mangu.
Dalam pada itu, selagi anak-anak yang sedang meningkat dewasa di padukuhan itu sedang memaksa Rudita untuk menyebut nama sebuah kelompok, yang sebenarnya tidak diketahuinya sama sekali, maka Ki Waskita dan kedua orang kawannya berjalan dengan tergesa-gesa menurut isyarat yang ditangkapnya. Dengan wajah yang tegang, Ki Waskita berkata kepada kedua kawannya, “Aku tidak akan salah lagi. Ia berada di padukuhan di seberang bulak itu.”
Kiai Gringsing mengangguk-angguk sambil bertanya, “Apakah ada sesuatu yang agaknya terjadi atasnya?”
“Aku tidak tahu pasti. Tetapi agaknya memang demikian.”
Kiai Gringsing menjadi tegang. Sedang Ki Sumangkar mengerutkan keningnya sambil berdesis, “Daerah ini nampaknya bukan daerah yang membahayakan bagi seseorang. Tetapi memang siapa tahu, bahwa telah terjadi salah paham.”
Ki Waskita hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi langkahnya menjadi semakin cepat.
Mereka tertegun ketika mereka mendengar derap beberapa ekor kuda. Dengan tergesa-gesa Ki Waskita berkata, “Kita bersembunyi saja lagi, agar tidak menimbulkan persoalan yang dapat menghambat perjalanan kita.”
“Ya, aku sependapat,” sahut Ki Sumangkar.
Tetapi mereka tidak sempat melakukannya, karena di kejauhan mereka telah melihat beberapa orang berkuda muncul dengan cepat.
“Terlambat,” desis Kiai Gringsing.
“Baiklah,” berkata Ki Waskita, “kita akan menjawab tiap-tiap pertanyaan seperti yang dipesankan oleh para prajurit itu. Jika karena sesuatu hal terjadi persoalan dan salah paham, maka kita sesatkan saja mereka dengan bentuk-bentuk semu, agar kita segera dapat meneruskan perjalanan.”
Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar mengangguk-angguk, sementara sekelompok kecil orang berkuda itu menjadi semakin dekat.
Meskipun Ki Waskita, Ki Sumangkar dan Kiai Gringsing sudah menepi, namun seperti yang mereka duga, orang-orang berkuda itu pun berhenti pula. Dipandanginya ketiga orang tua-tua itu dengan tajamnya.
Pemimpinnya, yang bertubuh gemuk namun agaknya tidak begitu tinggi, menunjuk Ki Waskita dan kawan-kawannya dengan jarinya yang pendek, sambil bertanya, “He, siapakah kalian?”
Ternyata suaranya agak mengejutkan ketiga orang yang mendengarnya. Orang gemuk di atas punggung kuda itu, suaranya melengking tinggi hampir seperti suara seorang perempuan.
“Ki Sanak,” jawab Ki Waskita, “aku dan kedua saudaraku ini sedang mencari anakku yang hilang.”
“He, siapakah nama anakmu?”
“Rudita. Dan aku sudah melaporkannya kepada Angger Untara.”
“Gila!” geram orang gemuk itu, “Jadi kaulah orangnya yang telah mengguncang lereng Gunung Merapi ini, sehingga semua orang harus ikut menjadi sibuk?”
Ki Waskita terkejut mendengar jawaban itu. Dengan demikian ia harus berhati-hati. Jika orang-orang itu menganggap bahwa hilangnya Rudita akan menjadi beban yang menjengkelkan bagi mereka, maka kejengkelan itu akan dapat dibebankan kepadanya.
“Siapa namamu?” bertanya orang gemuk di atas punggung kuda itu.
“Waskita,” jawab Ki Waskita ragu-ragu.
“Kenapa anakmu itu hilang, he? Apakah ia minggat?”
“Begitulah kira-kira, Ki Sanak.”
“Kau memang bodoh. Kau tidak dapat memelihara hubungan baik antara orang tua dan anak. Kenapa anakmu minggat jika bukan karena kebodohan orangtuanya? Jika kau berhasil mendidik anakmu dengan baik-baik, ia tidak akan berbuat seperti itu. Ia akan menurut kepada orang tuanya dan bahkan ia merupakan kurnia dari Tuhan yang tiada taranya. Kenapa kau sia-siakan kurnia yang akan dapat menyambung namamu itu, he? Bagaimana jika anak itu tidak kau ketemukan? Gila, bodoh, dungu. Kau tentu punya isteri muda sehingga anakmu marah dan pergi. Atau kau dan isterimu terlalu mementingkan dirimu sendiri, tanpa memberikan apa pun juga kepada anakmu. Sekarang kau tentu menganggap bahwa anakmu yang bodoh dan tidak tahu adat. Atau barangkali kau menyesal dan mencarinya dengan harapan-harapan baik, serta berjanji kepada diri sendiri akan memperlakukan anak itu dengan baik. Dalam keadaan seperti sekarang, kau tidak dapat membebankan kesalahan atas hubungan yang buruk itu kepada anakmu. Mengerti?”
Ki Waskita dan kedua kawannya berdiri terheran-heran. Menilik sikap kasar dan senjatanya, serta beberapa orang pengikutnya, orang ini tentu termasuk salah satu kelompok dari kelompok kecil orang-orang yang mendapat pengawasan Ki Untara, setelah daerah ini menjadi semakin tertib. Tetapi dari mulut orang itu telah meloncat nasehat-nasehat yang sebenarnya cukup baik untuk didengar.
Karena itulah, untuk beberapa saat Ki Waskita, Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar menjadi termangu-mangu.
Mereka mengangkat kepala mereka memandang orang yang gemuk itu, ketika ia berkata lantang, “Pergilah, carilah anakmu sampai ketemu. Kemudian bawa ia kembali dan jaga dengan baik. Kau harus mengerti perasaannya. Kami sekarang pun sedang mencari anak itu atas perintah Ki Untara. He, kau siapa sebenarnya? Apakah ada hubungan keluarga dengan Untara?”
Ki Waskita masih bimbang. Tetapi untuk memberikan kesan yang mantap dan menghindari persoalan-persoalan yang lain yang dapat timbul, maka ia menjawab, “Ya, Ki Sanak, meskipun kami adalah keluarga yang sudah jauh.”
Orang gemuk itu mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Aku tidak menemukan anak itu di sepanjang perjalananku. Aku mencarinya di tepi jurang Sruni. Sebulan yang lalu diketemukan sesosok mayat yang tergantung di bawah sebatang pohon cangkring. Seorang anak muda yang barangkali bunuh diri dengan menggantungkan diri pada pohon cangkring itu. Mayatnya diketemukan setelah beberapa hari, sehingga sudah tidak berbentuk lagi meskipun masih tergantung.”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak bertanya. Yang dikatakan itu terjadi sebulan yang lalu, di daerah yang diduga menjadi daerah perjalanan Rudita. Tetapi sampai saat terakhir, ayah Rudita masih mempunyai sentuhan isyarat dengan anaknya.
Orang gemuk itu agaknya melihat ketiga orang-orang tua itu termangu-mangu. Maka katanya, “Sudah tentu anak muda yang menggantung atau digantung itu bukan anakmu, itu sudah lama terjadi.”
Ki Waskita mengangguk. Katanya, “Ya. Yang terjadi itu sudah lama.”
“Nah, sekarang kita berpisah. Kau menuju ke arah yang berlawanan dengan aku. Tetapi jika kau mengikuti jalan yang baru saja aku lalui, maka kau tidak akan menemui siapapun juga kecuali anak-anak padukuhan yang merasa dirinya sudah menjadi pahlawan. Dengan belajar sedikit memegang pedang dan tombak, mereka merasa dirinya berilmu melampaui prajurit Pajang, yang mengajari mereka bermain-main dengan senjata.”
“Terima kasih, Ki Sanak,” jawab Ki Waskita, “aku akan mencari ke tempat yang barangkali tidak dilalui orang. Di tempat yang rumit dan terasing. Mungkin anakku berada di tempat-tempat seperti itu.”
“Cari sajalah. Tetapi lereng Gunung ini tidak hanya selebar daun beringin. Meskipun demikian cari sajalah. Jika pada suatu saat anak itu diketemukan, perlakukan ia dengan baik. Anak adalah harapan bagi masa mendatang.”
Orang yang gemuk itu pun kemudian meninggalkan Ki Waskita, Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar yang termangu-mangu.
“Aneh,” berkata Ki Waskita.
“Memang aneh,” desis Ki Sumangkar, “kadang-kadang kita tidak mengerti sifat dan sikap seseorang. Ternyata orang-orang yang kita anggap tidak mengetahui baik dan buruk, mempunyai sikap pula terhadap sesuatu. Sikap yang baik dan terpuji. Apakah kita dapat menduga, bahwa orang yang bentuknya, pakaiannya dan sifat-sifat lahiriahnya demikian kasar dan barangkali kejam, dapat mengucapkan nasehat yang baik itu?”
“Sebenarnya orang itu bukan tidak mengerti baik dan buruk,” berkata Kiai Gringsing, “tetapi ia tidak mampu lagi memilih apa yang harus dilakukannya. Ada orang yang memang tidak tahu, yang manakah yang baik dan yang buruk. Ada yang sama sekali tidak menghiraukan lagi yang manakah yang baik dan yang manakah yang buruk. Tetapi ada yang mengetahui dengan pasti, tetapi ia tidak mampu melakukan pilihan.”
Ki Waskita dan Ki Sumangkar mengangguk-angguk. Mereka mengerti apa yang dimaksud oleh Kiai Gringsing, sehingga Ki Sumangkar pun menanggapinya, “Ya. Demikianlah agaknya. Seperti yang kita lihat pada beberapa orang yang dengan sengaja memilih jalan sesat. Tentu bukan karena ia tidak mengerti baik dan buruk. Juga Raden Sutawijaya mengerti, bahwa hubungannya dengan gadis Kalinyamat itu bukan pekerjaan yang baik. Tentu beberapa orang pemimpin Pajang mengerti, bahwa hidup melimpah-limpah dalam suasana prihatin bukan pilihan yang tepat. Apalagi dengan memeras, memaksa dan tindakan-akan lain yang tercela. Mereka mengerti bahwa hal itu buruk, ternyata mereka menganjurkan kepada orang lain agar tidak melakukannya. Tetapi ia sendiri berbuat demikian. Nah, agaknya pada sisi yang inilah orang yang gemuk itu berdiri. Betapapun juga, ia mengharap bahwa ia masih dapat, meskipun hanya sekedar menyebut, sesuatu yang dianggapnya baik.”
Kiai Gringsing dan Ki Waskita lah yang kemudian mengangguk-anggukkan kepala mereka. Namun sejenak kemudian, perhatian mereka telah tertarik pada jalur jalan panjang di bawah kaki mereka.
“Nah, kita akan berjalan terus,” berkata Ki Waskita, “Aku yakin, bahwa jalan ini adalah jalan yang benar. Aku tidak tahu kenapa orang-orang itu tidak menemukan Rudita di sepanjang perjalanannya.”
Ketiga orang itu pun kemudian melanjutkan perjalanan mereka dengan tergesa-gesa. Ki Waskita yang berada di paling depan, telah menyingsingkan wiru kain panjangnya dan menyelipkannya pada ikat pinggangnya.
Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar berjalan di belakangnya dengan cepat pula. Sekali-sekali mereka mengerinyitkan alis mereka jika semakin lama semakin cepat, dan bahkan hampir berlari-lari.
“Kiai,” bisik Sumangkar, “kita sekarang benar berlomba berjalan cepat. Aku masih ingat. Di sebelah Sangkal Putung, menjelang hari-hari terakhir angger Macan Kepatihan, Kiai mengajak aku berlomba lari. Agaknya baru sekarang kita benar-benar mencobanya, meskipun sekedar berjalan cepat.”
Kiai Gringsing tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab. Bahkan ia pun kemudian mempercepat langkahnya mendekati Ki Waskita yang berjalan semakin cepat pula.
“Kita akan memasuki padukuhan di muka kita. Rasa-rasanya Rudita sudah semakin dekat. Tetapi bayangan itu nampak kabur dan gelap. Apakah yang sebenarnya terjadi atas anak itu?”
Kiai Gringsing tidak menyahut, ia maju semakin dekat di belakang Ki Waskita bersama Ki Sumangkar.
Semakin lama, mereka bertiga itu pun menjadi semakin dekat dengan padukuhan di seberang bulak, di hadapan mereka. Sebuah tikungan yang tajam, di balik gerumbul-gerumbul perdu, seolah-olah telah mematahkan jalan lurus menuju ke padukuhan di hadapan mereka.
Semakin dekat mereka dengan padukuhan itu, maka rasa-rasanya Ki Waskita menjadi semakin yakin, bahwa anaknya memang berada di padukuhan itu.
“Tetapi kenapa orang-orang berkuda itu tidak dapat menemukannya?” bertanya Ki Waskita di dalam hatinya.
Ternyata pertanyaan yang serupa bukan saja hinggap di dada Ki Waskita. Bahkan Ki Sumangkar pun kemudian bertanya kepada Ki Waskita, “Ki Waskita, apakah Ki Waskita masih tetap merasa berada di arah yang benar?”
“Ya. Aku merasa demikian.”
“Tetapi orang-orang berkuda itu tidak menemukannya.”
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya kemudian, “Aku berharap bahwa Rudita memang telah disembunyikan oleh orang-orang padukuhan yang mencoba melindunginya. Jika Rudita jatuh ke tangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab, maka ia akan mengalami akibat yang kurang baik.”
Ki Sumangkar mengangguk-angguk. Ia sependapat dengan Ki Waskita. Katanya, “Mungkin orang-orang yang tinggal di padukuhan itu adalah mereka yang pernah mendapat sedikit tuntunan dari para prajurit di Pajang, seperti yang dikatakan oleh orang-orang berkuda itu. Agaknya anak-anak muda di padukuhan itu pulalah yang disebut oleh orang-orang berkuda itu seolah-olah dirinya pahlawan.”
“Kita akan mengucapkan terima kasih yang tiada taranya kepada mereka,” desis Kiai Gringsing, “menyembunyikan Rudita memerlukan keberanian. Apalagi anak-anak muda itu tentu belum mengerti bahwa Rudita telah mendapat perlindungan dari para prajurit Pajang di Jati Anom dan memerintahkan orang-orang yang berada di dalam pengawasan para prajurit itu, untuk membantu mencarinya.”
“Tentu, Kiai,” berkata Ki Waskita, “kita akan mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.”
Dengan demikian maka ketiga orang itu pun segera mempercepat langkah mereka. Agaknya mereka sudah pasti, bahwa Rudita berada di dalam perlindungan anak-anak muda di padukuhan di seberang bulak itu.
Di regol padukuhan Cangkring, beberapa orang anak muda masih selalu berjaga-jaga. Mereka bersiaga sepenuhnya menghadapi semua kemungkinan yang dapat terjadi. Apalagi karena di dalam padukuhan itu, telah ditangkap seorang anak muda yang diduga menjadi petugas sandi untuk mencari kemungkinan baru bagi para penjahat yang ruang jelajahnya menjadi semakin sempit.
Anak-anak muda yang berjaga-jaga di regol itu melihat kedatangan tiga orang yang berjalan dengan tergesa-gesa itu, dengan penuh kecurigaan pula.
“Siapa pula mereka itu?” bertanya salah seorang anak muda yang berdiri di bibir regol.
Sejenak tidak terdengar jawaban. Namun kemudian seorang yang bertubuh pendek berdesis, “Kita akan menghentikannya.”
Ki Waskita, Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar sama sekali tidak membayangkan apa yang telah terjadi sebenarnya dengan Rudita. Karena itu, maka mereka pun sama sekali tidak bercuriga. Bah kan dengan tergesa-gesa mereka mendekati beberapa orang anak muda yang berada di regol padukuhan, yang menurut dugaan ketiga orang tua itu, justru telah melindungi Rudita.
Ketiga orang itu pun kemudian menjadi semakin dekat dengan regol itu, ketika seorang di antara anak-anak muda menyongsong mereka dengan wajah yang tegang.
Anak muda yang bertubuh pendek itu pun kemudian berdiri bertolak pinggang di tengah jalan, sambil menatap ketiga orang yang mendekat itu dengan tajamnya.
Ki Waskita, Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar pun menyadari, bahwa anak-anak muda padukuhan di hadapan mereka itu tentu menerimanya dengan curiga. Tetapi jika mereka sudah mengetahui bahwa salah seorang dari ketiganya adalah ayah dari Rudita, maka tanggapan mereka tentu akan berubah.
Ki Waskita-lah yang oleh kegelisahan yang menekan, berjalan di paling depan menemui anak muda yang bertolak pinggang di tengah jalan itu.
Anak muda itu maju selangkah. Ketika Ki Waskita menganggukkan kepalanya, ia pun mengangguk pula, meskipun hanya sekedar bergerak.
“Siapakah kalian?” bertanya anak muda itu.
“Ki Sanak,” berkata Ki Waskita, “kami, adalah tiga orang tua yang sedang digelisahkan oleh anak kami. Kami datang ke padukuhan ini untuk mencari anak kami yang hilang.”
Anak muda itu mengerutkan keningnya. Kemudian dengan nada yang penuh kecurigaan ia bertanya, “Siapakah anakmu itu, he?”
“Namanya Rudita. Apakah, Ki Sanak menemukan seorang anak muda yang bernama Rudita?”
Pertanyaan itu telah mengejutkan bukan saja anak muda yang bertolak pinggang itu. Tetapi juga anak-anak muda yang lain sehingga mereka pun segera bergeser maju.
“Siapakah kalian?” bertanya anak yang bertubuh pendek itu.
“Aku adalah ayah anak yang hilang itu.”
“Sudah kau katakan. Tetapi siapakah kau sebenarnya? Apakah kau datang dengan segerombolan pengacau untuk merusakkan suasana tenang di padukuhanku?”
“Aku tidak mengerti.”
“Tentu kau berpura-pura tidak mengerti. Tetapi kami tidak tahu menahu tentang anak yang kau sebut bernama Rudita itu. Dua kelompok penjahat telah datang, dan menanyakan seorang anak muda yang bernama Rudita. Sekarang, kelompok yang ketiga agaknya telah menyamar dirinya, seolah-olah kalian adalah orang baik-baik. Tetapi kami tidak akan dapat kalian kelabui. Kau bertiga tentu termasuk dalam kelompok-kelompok penjahat yang hampir kehilangan ladang di daerah ini. Sekarang kalian mempergunakan cara yang lain untuk mencari sesuap nasi.”
Ki Waskita terkejut mendengar jawaban itu. Dengan penuh kebimbangan ia berpaling memandang Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar berganti-ganti.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia pun maju selangkah sambil berkata, “Anakmas. Mungkin kita telah salah paham. Aku dapat mengerti, bahwa anak-anak muda padukuhan ini selalu menaruh kecurigaan terhadap siapa pun juga, sehingga kalian memandang perlu untuk melindungi anak muda yang bernama Rudita itu. Tetapi kami adalah orang tuanya. Jika anak itu memang berada di sini, kalian dapat mempertemukan kami dan menanyakan kebenaran keterangan kami kepadanya.”
“Siapa yang kau sangka melindungi anak muda yang sedang kau cari itu?” bentak salah seorang anak muda yang berada di regol itu.
Kiai Gringsing memandang anak itu dengan tatapan mata yang penuh dengan berbagai macam pertanyaan. Namun sebelum ia sempat mengucapkannya, maka anak muda yang bertubuh pendek itu pun berkata, “Pergilah. Jangan mencoba mengganggu ketenangan kami. Meskipun kalian tidak berkuda, dan berpakaian rapi seperti itu, tetapi kalian adalah orang-orang yang akan membuat onar di sini. Kami tahu bahwa anak muda yang kalian cari adalah bagian dari kelompok-kelompok penjahat seperti kalian.”
“Ki Sanak,” Ki Waskita pun memotong keterangan itu dengan serta merta, “jadi anak itu memang berada di sini, apa pun menurut tanggapanmu?”
Anak muda itu menggeleng. “Tidak ada anak muda yang manapun juga, selain anak-anak muda Cangkringan.”
Ki Waskita termenung sejenak. Namun ia pun merasakan sentuhan isyarat yang pasti. Rudita ada di padukuhan itu.
Karena itu, maka ia pun mendesak pula, “Ki Sanak. Bagaimanakah caranya, agar aku dapat meyakinkan Ki Sanak, bahwa aku adalah ayah anak itu? Jika benar anak itu mendapat perlindungan di sini, aku tentu akan mengucapkan beribu-ribu terima kasih.”
“Sudah aku katakan, pergilah. Jika kau memaksa, maka aku akan memaksamu pergi pula.”
“Jangan begitu, Ki Sanak,” berkata Ki Waskita, “kami datang dengan perasaan prihatin karena anak kami yang hilang itu. Tetapi kami kecewa bahwa kami tidak dapat meyakinkan kalian dengan cara kami ini. Meskipun demikian, kami mohon agar Ki Sanak mempercayai kami.”
“Persetan. Sudah aku katakan, tidak ada siapapun di sini. Pergilah. Jangan membuat anak-anak Cangkringan menjadi marah. Sampai saat ini, kami telah berhasil mengamankan padukuhan kami. Dengan halus atau dengan kasar. Jika kalian tidak dapat di ajak berbicara dengan mulut, maka kami akan mengambil jalan lain.”
Ki Waskita termangu-mangu sejenak. Tetapi agaknya tidak ada kesempatan lagi baginya untuk memasuki padukuhan itu, karena nampaknya anak-anak muda Cangkringan itu sedang diliputi oleh kecurigaan.
Sejenak ketiga orang tua itu berdiri termangu-mangu. Ada niat mereka untuk mencoba sekali lagi memberikan penjelasan. Tetapi anak-anak muda itu nampaknya tidak akan memberi kesempatan lagi. Bahkan anak muda yang bertubuh pendek itu berkata, “Pergilah. Jangan menunda sampai kalian kehilangan kesempatan.”
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Baiklah anak muda. Jika kami memang tidak boleh memasuki padukuhan ini, biarlah kami meninggalkan Cangkringan dengan teka-teki yang tidak terjawab.”
“Tidak ada teka-teki atau semacam itu. Tidak ada anak muda yang bernama Rudita di sini. Kami sudah mengusir dua kelompok penjahat yang juga mencari Rudita. Tentu kalian adalah kelompok yang ketiga.”
Sebelum Ki Waskita menjawab, anak muda itu meneruskan, “Kalian tidak usah menerangkan lagi, tidak ada gunanya. Kami tahu bahwa setiap kata kalian adalah bohong semata-mata.”
Ki Waskita tidak aaaaan itu.
“Jadi kita tidak sempat membuktikan, apakah Rudita benar-benar berada di padukuhan itu?” bertanya Ki Sumangkar.
“Aku yakin ia berada dipadukuhan itu,” jawab Ki Waskita.
“Lalu, apakah yang akan kita lakukan?” bertanya Kiai Gringsing.
“Kita masuk lewat jalan lain. Tentu tidak semua tempat mendapat pengawasan. Kita dapat meloncat pagar batu di tempat yang agak sepi.”
“Tetapi jika kita melakukannya, maka tentu akan ada akibat yang dapat menumbuhkan geseran pendapat dan bahkan mungkin kekerasan.”
“Tetapi kami berniat baik. Kami tidak akan melakukan apapun juga selain menemui Rudita. Jika terpaksa terjadi sesuatu, maka kami akan melakukan sesuatu sekedar untuk menyelamatkan diri.”
Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar pun mengangguk-angguk. Mereka memang berdiri di jalan simpang yang sulit. Mereka tentu tidak akan sampai hati membiarkan Rudita untuk waktu yang terlalu lama dalam keadaan yang bagaimanapun juga. Apalagi setelah mereka bertemu dengan anak-anak muda dari Cangkringan. Maka tanggapan mereka mengenai Rudita menjadi ragu-ragu.
“Kecurigaan mereka agak berlebih-lebihan,” desis Ki Waskita, “apakah itu bukan berarti kesulitan bagi Rudita? Memang aku menangkap isyarat yang agak buram. Agaknya ada sesuatu yang kurang mapan atau suatu kesalah-pahaman.”
“Hatiku pun menjadi berdebar-debar. Meskipun tidak ada isyarat yang dapat aku tangkap, tetapi aku mendapat firasat, bahwa memang sesuatu terjadi atas angger Rudita,” sahut Kiai Gringsing kemudian.
Ketiganya pun kemudian berjalan semakin cepat menjauhi regol padukuhan. Tetapi, ketika mereka sampai pada sebuah jalan simpang, mereka pun segera berbelok.
Tetapi karena mereka berjalan di bulak yang terbuka, maka mereka memerlukan waktu yang lama untuk melingkari padukuhan itu dan mendekati dari arah yang lain. Mereka memintas lewat pematang, menyusup di antara batang-batang jagung yang tumbuh subur.
Dengan hati-hati mereka mendekati padukuhan, justru dari arah yang tidak biasa dilalui orang. Mereka sudah memutuskan untuk tidak memasuki padukuhan itu lewat lorong yang sempit sekalipun, karena menurut perhitungan mereka, setiap lorong tentu mendapat pengawasan yang ketat dari anak-anak muda Cangkringan yang sedang dibakar oleh kecurigaan itu.
Beberapa saat lamanya mereka berdiri di tepi pagar batu. Setelah mereka yakin bahwa tidak ada seorang pun yang melihat, maka mereka pun segera meloncat masuk.
“Kita berada di kebun seseorang,” desis Kiai Gringsing ketika mereka sudah berada di dalam pagar.
“Apaboleh buat,” desis Ki Waskita, “kita harus berusaha untuk sampai ke pusat padukuhan.”
“Sulit,” desis Ki Sumangkar, “kecuali jika kita tidak menolak semua akibat yang dapat terjadi.”
Ki Waskita termangu-mangu sejenak. Lalu, “Kita akan bergeser sepanjang kebun salak yang rimbun itu. Kemudian kita akan mencari sebuah lorong. Jika kita sudah berada di lorong itu, maka kita akan dapat berjalan lebih aman, meskipun ada kecurigaan dari setiap orang yang melihat kita.”
Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya.
Demikianlah, maka mereka bertiga dengan hati-hati bergeser selangkah demi selangkah di balik gerumbul salak yang berduri tajam. Namun mereka sama sekali tidak menghiraukannya. Yang menjadi pusat perhatian mereka adalah Rudita, yang pasti berada di padukuhan itu.
Dengan susah payah, akhirnya mereka bertiga dapat mencapai sebuah lorong kecil. Dengan hati-hati sekali, ketiganya pun kemudian meloncat melalui pagar batu yang rendah, memasuki lorong itu.
“Kita pergi ke kanan,” desis Ki Waskita, “Rudita ada di arah itu.”
Ketiganya pun kemudian berjalan menyusuri jalan kecil itu. Dengan hati yang berdebar-debar, mereka memandangi setiap pintu rumah di tepi lorong yang mereka lalui.
“Padukuhan ini sepi sekali,” desis Ki Sumangkar.
“Hanya satu dua, kami lihat perempuan di dalam rumahnya. Tetapi mereka sama sekali tidak menghiraukan apa-apa, termasuk kita.”
Kiai Gringsing dan kedua kawannya berjalan terus dengan hati yang bertanya-tanya, “Apakah yang sudah terjadi di padukuhan ini?” Mereka hampir tidak melihat anak muda atau seorang laki-laki di rumahnya.
“Mereka berada di sekitar padukuhan ini,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “mereka harus berjaga-jaga oleh kecurigaan yang telah mencengkam padukuhan ini. Semua anak-anak muda dan semua laki-laki.”
Ki Waskita dan Ki Sumangkar mengangguk-angguk. Sedangkan kaki mereka menjadi semakin cepat melangkah, seolah-olah mereka semakin yakin bahwa sesuatu memang telah terjadi.
Namun tiba-tiba langkah mereka tertegun. Di hadapan mereka, di mulut lorong yang turun ke jalan yang lebih besar, nampak beberapa orang laki-laki berdiri di simpang tiga itu.
“Itulah mereka,” berkata Ki Waskita dengan gelisah, “agaknya mereka berkumpul di gardu-gardu, meskipun di siang hari. Tentu ada sesuatu yang telah memaksa mereka berbuat demikian.”
“Ya. Mungkin karena beberapa kelompok penjahat telah lewat di padukuhan ini mencari Rudita, maka anak-anak muda Cangkring pun merasa bahwa mereka wajib bersiap-siap menghadapi setiap kemungkinan yang terjadi.”
“Lalu bagaimana dengan kita?” bertanya Ki Sumangkar.
“Kita berjalan terus. Kita akan minta kepada mereka, agar kita diperkenankan mencari anak itu di dalam padukuhan ini,” sahut Ki Waskita.
Ki Sumangkar mengangguk-angguk. Memang tidak ada jalan lain yang dapat mereka tempuh.
Namun sebelum mereka mendekat orang-orang yang berkerumun di simpang tiga, di sekitar gardu perondan, orang-orang di simpang liga itu pun telah melihat kedatangan ketiga orang tua itu. Karena itu, maka mereka pun segera mempersiapkan diri ketika seseorang berkata lantang, “He, lihatlah. Siapakah yang datang itu?”
Setiap orang pun kemudian berdiri berjejalan di mulut lorong. Mereka memandang Ki Waskita dan kedua kawannya dengan herannya.
“Bagaimana mungkin tiba-tiba saja mereka berada di lorong itu?” desis salah seorang dari mereka.
Seorang laki-laki yang sudah separo baya pun kemudian mendekati Ki Waskita dengan kedua kawannya itu. Dengan wajah yang tegang ia pun bertanya, “Ki Sanak. Siapakah Ki Sanak ini? Dan bagaimana caranya, maka Ki Sanak tiba-tiba saja telah berada di situ?”
“Kami masuk padukuhan ini lewat pintu gerbang seperti biasa,” jawab Ki Waskita.
“Itu tidak mungkin. Setiap pintu gerbang sudah dijaga.”
“Memang. Tetapi kami mendapat ijin untuk masuk.”
“Siapakah kalian?”
“Aku adalah Ki Waskita,” jawab Ki Waskita, “kedua orang ini adalah saudara-saudaraku.”
“Apa kerjamu di sini?”
“Aku sudah mengatakan kepada anak-anak muda yang bertugas di regol, bahwa aku sedang mencari anakku yang bernama Rudita.”
“Rudita?” seorang anak muda mendesak maju di antara laki-laki yang berdiri di mulut lorong, “apakah anak muda yang bernama Rudita itu anakmu?”
“Ya, anakku.”
“Jika demikian, maka kau tentu salah seorang dari sekelompok penjahat yang mondar-mandir di sekitar padukuhan ini.”
“Kenapa kau mengambil kesimpulan demikian?”
“Beberapa kelompok penjahat sedang mencari anak yang disebutnya bernama Rudita. Menurut pertimbangan kami, Rudita itu adalah salah seorang dari mereka.”
“Atau sebaliknya,” berkata Ki Waskita, “yang benar adalah, bahwa Rudita memang sedang dikejar-kejar oleh beberapa kelompok penjahat.”
Anak muda itu mengerutkan keningnya.
“Mereka menyangka bahwa Rudita membawa beberapa keping uang dan barangkali emas. Mereka tentu mengira bahwa menilik pakaian dan tingkah lakunya, Rudita adalah seorang yang kaya.”
“Itulah yang gila,” berkata anak muda itu. Ia tahu betul bahwa Rudita adalah seorang anak muda yang berpakaian kusut dan sobek di sana-sini. Sama sekali tidak membawa harta benda berupa apa pun.
Tetapi sebelum anak muda itu berkata sesuatu. Kiai Gringsing melanjutkan, “Tetapi ternyata bahwa Rudita telah berada di bawah perlindungan prajurit Pajang di Jati Anom, sehingga penjahat-penjahat itu tidak dapat berbuat apa-apa kepadanya.”
Beberapa orang laki-laki itu saling berpandangan. Namun salah seorang dari mereka berkata, “Kata-katamu membingungkan, Ki Sanak. Dengan demikian, kami mengambil kesimpulan, bahwa kalian pun wajib aku curigai.”
“Kenapa kalian mencurigai aku?” berkata Kiai Gringsing.
“Kalian harus kami tangkap, dan kami bawa ke banjar,” Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia bertanya, “dimanakah letak banjar itu?”
“Di pusat padukuhan ini.”
Ia memandang Ki Waskita sejenak. Lalu, “Baiklah, kita tidak akan melawan. Bukankah begitu?”
Ki Waskita dan Ki Sumangkar pun segera menangkap maksudnya. Karena itu mereka pun segera mengangguk pula.
“Sudah tentu kita tidak akan melawan,” berkata Ki Sumangkar, “tetapi siapakah yang berada dibanjar itu, Ki Demang, atau siapa?”
“Kita tidak memerlukan Ki Demang. Ayo berjalan. Jangan terlalu banyak bertanya lagi.”
Ki Waskita, Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar pun kemudian digiring oleh beberapa orang laki-laki menuju ke banjar padukuhan itu.
Tidak banyak yang dipercakapkan di perjalanan. Namun dari pembicaraan beberapa orang yang mengawalnya. Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Ki Sumangkar, menjadi semakin yakin, bahwa Rudita memang berada di padukuhan itu.
Dalam pada itu, di halaman banjar padukuhan, anak-anak yang sedang menjelang dewasa merasa dirinya sedang melakukan tugas yang besar. Mereka dengan sepenuh tekad sedang berusaha memaksa Rudita untuk mengaku, dari kelompok manakah ia datang untuk mengamati padukuhan Cangkring.
Tidak ada seorang pun yang dapat menahan gejolak kemarahan anak-anak yang masih sedang tumbuh itu. Rudita yang jatuh ke tangan mereka, seolah-olah tidak dianggapnya sebagai sesama mereka lagi. Setiap orang ingin menunjukkan kejantanan mereka dengan tindakan yang paling dan keras.
Rudita yang berada di tengah-engah mereka, bagaikan permainan yang terdorong ke sana kemari. Sekali ia bergeser ke depan. Kemudian terlempar lagi ke belakang.
Halaman Banjar itu menjadi semakin riuh ketika beberapa anak muda berlari-lari sambil berteriak, “Kita menangkap tiga orang lagi. Tiga orang-orang tua.”
Teriakan itu benar-benar mengejutkan orang-orang yang ada di banjar. Orang-orang yang sudah separo baya dan anak-anak muda, yang sedang menyaksikan kawan-kawan mereka mencoba memaksa Rudita untuk berbicara. Bahkan beberapa orang dengan serta-merta telah berlari-lari mendapatkan kawan-kawannya, yang membawa tiga orang tua menuju ke halaman banjar.
Dalam pada itu, Ki Waskita yang berjalan di paling depan, dapat melihat keributan yang terjadi di halaman banjar lewat pintu gerbang yang terbuka. Hampir di luar sadarnya ia pun bertanya kepada anak muda yang mengawalnya, “Apakah yang telah terjadi di halaman banjar itu?”
Anak muda itu memandangnya dengan tatapan mata yang kecut. Bahkan kemudian dengan suara yang penuh ejekan menjawab, “Kau masih juga bertanya? itulah akibat kebodohannya. Dan kau akan mengalami nasib yang serupa, jika kau tidak mau menyebut dirimu dengan sebenarnya.”
Jawaban itu telah menggetarkan dada Ki Waskita dan kedua orang kawannya. Bahkan langkahnya pun tertegun sejenak. Matanya menjadi gelisah dan memancarkan kecurigaan yang tajam.
“Apa maksudmu, Ki Sanak?” bertanya Ki Waskita.
“Jangan ribut. Berjalanlah. Kau akan tahu apa yang terjadi. Ki Waskita termangu-mangu. Namun Kiai Gringsing kemudian berbisik, “Kita berjalan terus. Kita akan melihat apa yang terjadi.”
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Dengan ragu-ragu ia melangkah menuju ke regol banjar.
“He, siapakah mereka itu?” tiba-tiba seorang laki-laki berkumis lebat keluar dari regol halaman banjar sambil berteriak.
Anak-anak muda yang membawa Ki Waskita bersama kedua orang kawannya itu pun hampir berbareng menjawab, “Mereka orang yang tidak dikenal.”
Orang berkumis itu mendekati Ki Waskita sambil mengerutkan keningnya. Lalu membentaknya, “Darimana kau .memasuki padukuhan ini?”
“Dari gerbang, Ki Sanak.”
“Tidak mungkin,” orang itu semakin marah, “semua regol telah ditutup untuk orang-orang yang tidak dikenal. Hanya mereka yang dapat meyakinkan para penjaga sajalah yang dapat lewat jalan ini.”
“Aku telah dapat meyakinkan mereka,” jawab Ki Waskita.
“Bohong,” tiba-tiba seorang anak muda mendesak maju. “He, bukankah orang-orang ini telah kita tolak, ketika mereka akan memasuki padukuhan? Kenapa tiba-tiba saja mereka sudah berada di dalam padukuhan?”
Orang berkumis lebat itu pun memandang Ki Waskita dengan wajah yang merah oleh kemarahan yang memuncak. Tiba-tiba saja ia telah menggeram, “Jadi ketiga orang inikah, yang telah kau laporkan mencari anak bernama Rudita?”
“Ya, Ki Rena,” jawab anak muda itu.
“Jika demikian, maka nasibmu akan menjadi seperti anak yang kau cari itu. Ia telah membohongi kami, dan tidak mau mengaku tentang dirinya sendiri.”
Kata-kata itu benar-benar telah mengejutkan hati ketiga orang tua itu. Bahkan Ki Waskita telah bergeser maju. Jawaban itu langsung menimbulkan pertimbangan yang buram, seperti yang dilihatnya telah terjadi di halaman banjar itu.
“Ki Sanak,” suara Ki Waskita mulai gemetar, “apa yang telah terjadi dengan Rudita?”
“Ia harus menebus kepalsuannya.”
“Apa yang terjadi?” tiba-tiba Ki Waskita kehilangan kesabarannya. Ia dapat menahan diri terhadap caci-maki dan bahkan hinaan terhadap dirinya sendiri. Tetapi Rudita adalah satu-satunya anaknya. Hidup ibu Rudita itu seakan-akan tergantung pula pada anak itu sehingga apabila terjadi sesuatu, maka hidupnya tentu akan diguncang oleh malapetaka yang tidak akan teratasi.
“Apa pedulimu dengan Rudita?” bertanya orang berkumis lebat itu.
“Aku adalah ayahnya,” geram Ki Waskita.
“Jika kau ayahnya, kau mau apa, he?”
“Aku menuntut anakku. Sekarang dimanakah anak itu dan kenapa?”
“Salahnya sendiri. Lihatlah apa yang terjadi atasnya. Jika kau berkeras kepala, maka nasibmu akan serupa.”
Ki Waskita benar-benar telah kehilangan kesabaran. Ia pun kemudian berlari-lari mendekati pintu gerbang halaman banjar yang di jaga oleh beberapa orang anak muda.
“Biarkan ia melihat apa yang terjadi,” desis Ki Rena. Beberapa orang yang telah melangkah untuk menahan Ki Waskita itu pun melangkah surut. Mereka membiarkan Ki Waskita mendekati regol, tetapi mereka tetap menjaga agar Ki Waskita tidak memasuki halaman banjar itu.
Dari regol, Ki Waskita melihat apa yang telah terjadi. Ia melihat beberapa anak yang menjelang usia dewasa, sedang berusaha untuk memaksa seseorang berbicara. Tangan mereka pun terayun-ayun menyambar tubuh Rudita yang terdorong kesana-kemari.
Sekilas Ki Waskita justru kehilangan akal. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa hal itu telah terjadi dengan anaknya satu-satunya. Anak-anak yang masih sangat muda itu memperlakukan Rudita seperti mereka sedang memperlakukan seorang penjahat yang tertangkap. Mereka menghukum tanpa mengadilinya terlebih dahulu.
Ki Waskita melihat anaknya itu menundukkan kepalanya. Kedua tangannya berusaha untuk menutup wajahnya dari ayunan tangan anak-anak yang masih sangat muda itu. Namun dengan demikian bertubi-tubi, pukulan yang mengenai tengkuk dan punggungnya.
Ki Waskita adalah seorang tua yang seakan-akan telah menguasai dirinya sebaik-baiknya, seakan-akan ia tidak dapat lagi didorong, sekedar oleh perasaannya saja tanpa pertimbangan akal. Ia adalah seorang yang telah masak dan mengendap menghadapi segala sesuatu persoalan.
Tetapi, melihat anaknya diperlakukan demikian, maka dada Ki Waskita bagaikan pecah. Anak itu adalah anak satu-satunya. Anak yang sangat dikasihinya. Apalagi oleh ibunya. Kepada anak itulah tergantung semua harapan bagi masa mendatang.
Betapa ia mencoba menguasai dirinya, namun rasa-rasanya Ki Waskita telah terlepas dari segala ikatan. Seolah-olah ia telah dilepaskan di tengah-engah rimba yang paling lebat. Rimba yang tidak lagi mempunyai ketentuan yang dapat melindungi anaknya dari malapetaka, kecuali kekerasan.
Itulah agaknya, maka darah Ki Waskita benar-benar telah mendidih. Jika dirinya sendiri yang diperlakukan demikian, mungkin ia masih mempunyai beberapa pertimbangan. Tetapi yang diperlakukan demikian adalah anaknya, Rudita, dengan pakaian yang telah menjadi compang-camping tidak menentu.
Tiba-tiba saja Ki Waskita itu meloncat maju. Tetapi beberapa anak muda telah berdiri menahannya. Bahkan seorang anak muda yang bertubuh tegap telah mendorongnya mundur sambil menggeram, “Kau hanya boleh melihat, bahwa anakmu harus menebus kedunguannya. Ia akan mengalami parlakuan demikian, sampai ia mengaku. Tetapi karena kalian datang menyusul, maka kalian pun akan mendapat giliran diperlakukan demikian.”
Dalam keadaan yang biasa, mungkin Ki Waskita akan segera melangkah surut. Namun dalam keadaan yang seolah-olah dibayangi oleh sikap dan perasaan di luar sadarnya, tiba-tiba saja ia menarik tangan anak itu dan mengibaskannya.
Akibatnya sungguh di luar dugaan. Anak muda itu terpelanting menimpa beberapa orang kawannya. Demikian kerasnya ayunan tubuh anak muda itu, sehingga beberapa orang anak muda sekaligus telah terbanting jatuh berguling-guling di atas tanah.
Perlakuan Ki Waskita itu benar-benar telah menimbulkan kemarahan beberapa anak muda yang berada di pintu regol itu. Dengan serta merta mereka pun segera menyerang bersama-sama. Bukan saja anak-anak yang menjelang dewasa, tetapi mereka adalah anak-anak muda pengawal padukuhan itu, bersama beberapa orang yang lebih tua dari mereka.
Yang mereka serang ternyata bukan saja Ki Waskita. Tetapi Ki Rena pun kemudian berteriak, “Tangkap mereka. Dan perlakukan mereka seperti anak itu, sehingga mereka menyebut salah satu kelompok penjahat yang ada di sekitar padukuhan kita.”
Kiai Gringsing terkejut melihat perkembangan keadaan. Tetapi yang terjadi itu demikian cepatnya, sehingga ia tidak sempat berbuat apa-apa. Apalagi Kiai Gringsing mengerti sepenuhnya, betapa perasaan Ki Waskita tersayat melihat perlakuan yang tidak diduganya sama sekali telah terjadi dengan anaknya. Dari jarak yang lebih jauh, Kiai Gringsing melihat perlakuan yang memang langsung menyentuh perasaan keadilan. Apalagi Kiai Gringsing tahu pasti, bahwa Rudita tentu tidak akan berbuat sesuatu yang dapat menyeret dirinya ke dalam keadaan yang memang seharusnya diperlakukan demikian. Bahkan seandainya Rudita telah berbuat salah sekalipun, namun apakah sudah sewajarnya ia diperlakukan demikian, di halaman banjar padukuhan itu?
“Sebentar lagi anak itu akan menjadi tontonan yang mengerikan,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya, “tubuhnya tentu akan merah biru dan wajahnya akan kehilangan bentuk. Bahkan mungkin bagian tubuhnya akan dapat rusak oleh pukulan yang tiada terhitung jumlahnya itu.”
Tetapi Kiai Gringsing tidak dapat berangan-angan lebih lama. Sejenak kemudian, beberapa orang anak muda telah menyerangnya dengan garangnya.
Agak berbeda dengan Ki Waskita, Kiai Gringsing masih dapat mengekang dirinya. Ia tahu, bahwa telah terjadi salah paham, bahkan salah paham yang parah. Karena itu, maka ketika serangan itu datang dari segenap penjuru, ia sekedar berusaha mengelakkannya dan sekali-sekali saja menangkis serangan-serangan itu. Demikian pula agaknya yang dilakukan oleh Ki Sumangkar, meskipun keduanya sadar bahwa pada suatu saat mereka tidak akan dapat berbuat demikian itu terus-menerus.
Tetapi sementara itu, Ki Waskita telah berbuat lain. Dengan kemarahan dan kecemasan yang bercampur-baur, maka ia pun mulai memberikan perlawanan. Bahkan sekali-sekali tangannya terjulur memukul orang-orang yang menyerangnya beramai-ramai.
Dan ternyata, pukulan Ki Waskita itu akibatnya adalah parah sekali.
Meskipun Ki Waskita tidak bermaksud menciderai seseorang, karena yang dilakukannya hampir di luar sadarnya, namun tangan Ki Waskita benar-benar telah menyebabkan beberapa orang menjadi pingsan.
Sebenarnya yang dilakukan Ki Waskita hanyalah sekedar menyibakkan orang-orang yang menghalanginya. Tetapi setiap kali seseorang jatuh olehnya, sengaja atau tidak sengaja, maka kemarahan orang-orang Cangkring menjadi semakin meluap-luap.
“Kita benar-benar harus bertempur melawan penjahat-penjahat ini,” teriak Ki Rena, “jangan ragu-ragu lagi. Pergunakan senjata kalian.”
Perintah itu benar-benar telah mengejutkan Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar. Jika orang-orang Cangkring benar-benar mempergunakan senjata, sedang Ki Waskita masih tetap tidak dapat menguasai perasaannya karena dorongan kemarahan dan kecemasannya, maka akibatnya akan sangat parah bagi kedua belah pihak. Korban tentu akan jatuh. Dan setiap korban yang jatuh akan membuat orang-orang Cangkring menjadi semakin kalap. Betapapun juga, Ki Waskita tidak akan dapat melawan orang sepadukuhan, karena kemampuan seseorang tentu akan ada batasnya. Sedangkan jika orang-orang Cangkring menyerangnya tanpa kekangan, maka akibatnya akan mengerikan sekali.
Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar menjadi berdebar-debar melihat orang-orang Cangkring mulai bergerak dengan senjata di tangan. Bukan saja mengepung Ki Waskita, tetapi juga Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar itu.
“Mungkin dengan mengorbankan beberapa orang, Ki Waskita dapat mengusir orang-orang Cangkring,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya, “Jika dengan tangannya ia membunuh orang yang berdiri di paling depan, maka ada kemungkinan orang-orang di lapisan berikutnya akan ketakutan. Tetapi dengan demikian, Ki Waskita harus mempertanggung-jawabkannya kepada prajurit Pajang di Jati Anom.”
Dalam kebimbangan itu, Kiai Gringsing melihat orang-orang yang mengepungnya menjadi semakin dekat. Bahkan beberapa buah senjata telah mulai teracu.
Sekilas ia melihat Ki Waskita berdiri dengan garangnya. Namun hati Kiai Gringsing bagaikan meledak ketika ia melihat Ki Waskita tiba-tiba saja telah melepaskan ikat kepalanya dan membebatkannya pada tangan kirinya.
Kiai Gringsing pernah mendengar apa yang dapat dilakukan oleh Ki Waskita dengan cara yang demikian. Senjata Panembahan Agung, yang seolah-olah dapat merobohkan gunung itu, tidak mampu menembus bebatan ikat kepala di tangan Ki Waskita. Apalagi senjata anak-anak ingusan dari Cangkring itu.
“Ki Waskita telah benar-benar kehilangan kesadarannya,” berkata Kiai Gringsing yang termangu-mangu.
“Tidak ada cara lain,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “aku harus menarik perhatian setiap orang yang ada di tempat ini. Aku berharap bahwa ceritera tentang cambukku telah mereka dengar.”
Kiai Gringsing tidak sempat mempertimbangkan cara lain, karena orang-orang yang mengepungnya telah menjadi semakin dekat. Karena itu, maka ia pun segera mengurai cambuk yang membelit lambung di bawah bajunya.
Ki Sumangkar yang tidak mengetahui maksud Kiai Gringsing pun terkejut. Bahkan ia bertanya kepada dirinya sendiri, “He, apakah Kiai Gringsing juga sudah kehilangan akal?”
Tetapi senjata yang teracu-acu di seputarnya memang membuat orang tua itu berdebar-debar, ia tentu tidak akan dapat melawan senjata itu hanya dengan tangannya. Karena itu, tangan Ki Sumangkarpun telah mulai meraba trisula kecilnya. Katanya kepada diri sendiri, “Setidak-tidaknya aku harus menangkis setiap serangan, agar aku tidak terbunuh di sini.”
Namun sekejap kemudian, selagi orang-orang Cangkring yang bersenjata itu mempersempit kepungannya atas Ki Waskita, Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar dalam lingkaran yang terpisah-pisah, maka setiap hati telah terguncang ketika di luar regol halaman banjar itu telah meledak dengan dahsyatnya suara cambuk Kiai Gringsing. Tidak hanya sekali, tetapi berkali-kali.
Suara cambuk itu benar-benar telah mencengkam setiap jantung. Orang-orang Cangkring pada umumnya telah pernah mendengar ceritera tentang orang bercambuk. Ceritera yang menjalar sejak beberapa waktu yang lampau, sejak di Tambak Wedi masih tinggal seseorang yang sangat ditakuti oleh setiap orang di lereng Merapi.
Dan kini, tiba-tiba suara cambuk itu meledak di halaman mereka.
Sementara orang itu termangu-mangu, maka Kiai Gringsing pun tiba-tiba telah berteriak, “He orang-orang dari padukuhan ini. Apakah kalian pernah mendengar suara cambuk yang lain meledak seperti petir di langit? Jika kalian pernah mendengarnya sekali saja di dalam hidupmu, maka aku akan melepaskan cambukku untuk selama-lamanya, karena hanya akulah orang yang dapat mempergunakan cambuk untuk membunuh dua ratus orang dengan sekali ayun.”
Suara Kiai Gringsing yang menggelegar itu benar-benar telah mencengkam jantung orang-orang Cangkring. Suara cambuk itu sudah membuat mereka gemetar. Apalagi kata-kata Kiai Gringsing itu, karena mereka sadar bahwa yang berdiri di hadapannya sudah tentu orang bercambuk yang namanya sudah mereka dengar sebelumnya.
Agaknya suara cambuk Kiai Cringing benar-benar berhasil merampas suasana. Setiap orang telah mematung di tempatnya, juga mereka yang berada di halaman banjar pun rasa-rasanya bagaikan membeku di tempatnya pula.
Ternyata bukan saja mereka yang sedang beramai-ramai memeras keterangan Rudita-lah yang terkejut dan membeku. Rudita pun menjadi terkejut pula karenanya. Ketika tidak terasa lagi pukulan yang menghunjam di tubuhnya, perlahan-lahan ia mencoba mengangkat wajahnya untuk melihat apakah yang sebenarnya telah terjadi di sekitarnya.
Sejenak ia termangu-mangu. Yang dilihatnya adalah wajah-wajah anak yang masih terlampau muda yang tegang membeku.
Kiai Gringsing melihat perubahan suasana yang tiba-tiba itu. Ki Sumangkar pun kemudian menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat menangkap maksud Kiai Gringsing dengan sikapnya, karena biasanya Kiai Gringsing tidak pernah menyombongkan dirinya.
Tetapi agaknya saat itu Kiai Gringsing telah memaksa dirinya untuk bersombong. Ia berusaha menakut-nakuti orang-orang Cangkring, sehingga dengan demikian tindakan kekerasan berikutnya akan dapat dicegahnya.
Ki Sumangkar pun kemudian melihat, perlahan-lahan beberapa orang bergeser surut. Mereka dengan cemas memandang cambuk Kiai Gringsing yang masih terayun-ayun di tangannya.
Namun dalam pada itu, selagi setiap orang mulai menyadari dengan siapa mereka berhadapan, Rudita tersentak dari kediamannya. Di sela-sela anak-anak muda Cangkring yang kecemasan, ia melihat seseorang yang berdiri tegak bagaikan patung besi. Di tangan kirinya membelit ikat kepalanya.
Jantung Rudita rasa-rasanya telah berhenti berdegup. Orang itu adalah ayahnya. Dan ia tahu benar, sikap apakah yang telah dilakukan oleh ayahnya itu.
Karena itu, maka dengan serta merta ia berlari mendapatkan ayahnya, langsung memeluknya sambil berkata, “Ayah, apakah yang akan ayah lakukan terhadap anak-anak ini?”
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Dibelainya kepala anaknya sambil berdesis, “Apakah aku tidak terlambat, Rudita?”
“Tidak. Tentu tidak. Kenapa?”
Ayahnya menjadi heran. Didorongnya Rudita perlahan-lahan. Kemudian dengan tangannya Ki Waskita mengangkat wajah anaknya. Meskipun dengan ragu-ragu, ia pun berusaha dapat melihat, bagaimana bentuk wajah anaknya itu.
Tetapi yang dilihatnya adalah mengejutkan sekali. Bahkan juga Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar, yang sudah mendekati anak muda itu tanpa menghiraukan orang-orang Cangkring yang masih membeku.
“Kau tidak apa-apa, Rudita?” bertanya ayahnya dengan heran, ia memang melihat noda-noda biru di wajah anak itu. Tetapi wajah itu tetap tidak berubah. Tidak ada bagian yang membengkak, apalagi berdarah.
Rudita tersenyum. Katanya, “Aku tidak apa-apa, Ayah.”
“Tetapi, bukankah kau telah ditangkap dan diperlakukan tidak adil, seperti seorang penjahat yang tertangkap saat melakukan kejahatan? Dan bukankah kau tidak melakukan kejahatan apa pun juga?”
“Aku tidak berbuat apa-apa, Ayah.”
“Tetapi, kenapa kau diperlakukan seperti itu? Berpuluh-puluh anak-anak muda telah mengeroyokmu tanpa belas kasihan.”
“Tetapi bukankah aku tidak apa-apa?”
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Dan sebelum ia berkata sesuatu, Rudita telah mendahuluinya, “Ternyata Ayah telah kehilangan kesabaran.”
Ki Waskita masih berdiri termangu-mangu. Sementara Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar mendekati anak muda itu. Dengan jari-jarinya yang memiliki pengenalan atas tubuh seseorang, Kiai Gringsing meraba punggung, pundak dan lengan anak itu sambil berkata, “Kau benar-benar tidak mengalami sesuatu, Rudita?”
“Tidak, Kiai, sebagaimana Kiai melihatnya.”
“Tetapi perlakuan anak-anak muda itu sangat mencemaskan ayahmu.”
Rudita tersenyum. Dipandanginya wajah Ki Rena yang tegang.
“Kiai,” berkata Rudita kemudian, “aku tahu, jika ayah sudah bersikap demikian, maka ayah benar-benar telah kehilangan kesabaran. Dan apakah kira-kira yang akan terjadi, jika ayah yang kehilangan kesabaran itu mengamuk di tengah-engah anak-anak yang tidak tahu apa-apa ini?”
“Tetapi mereka telah memperlakukan kau dengan tidak adil, Rudita,” berkata Kiai Gringsing, “Dan itulah yang telah mempengaruhi perasaan dan pertimbangan nalar ayahmu.”
Rudita memandang ayahnya sejenak. Lalu katanya, “Ayah harus memaafkan mereka. Anak-anak itu tidak tahu menahu apa yang mereka lakukan.”
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Kepalanya pun kemudian tertunduk lesu.
“Kiai berdua,” berkata Ki Waskita dengan suara yang datar, “ternyata aku masih harus belajar kepada anakku. Baru sekarang aku menyadari, apa yang telah terjadi sebenarnya. Rudita telah mengutip sebagian dari isi rontalku. Dan yang sebagian itu kini telah nampak hasilnya, ia masih tetap utuh dan sehat dalam keadaan yang demikian, meskipun ada juga bekas-bekasnya pada tubuhnya. Tetapi tidak berakibat sangat buruk.”
Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar mengangguk-angguk.
“Itulah sebabnya, Ayah. Aku hanya mempelajari sebagian saja dari ilmu yang tertulis di dalam rontal Ayah. Aku hanya mempelajari bagian-bagian yang dapat melindungi diriku tanpa mencederai orang lain. Jika aku mempelajari ilmu itu seluruhnya, dan aku menjadi seperti Ayah, atau setidak-tidaknya memiliki sebagian kecil dari ilmu Ayah, mungkin aku akan berbuat lain dalam keadaan seperti ini. Mungkin aku tidak dapat melihat, bahwa anak-anak muda di padukuhan ini sama sekali tidak mengerti apa yang mereka lakukan. Mungkin aku akan menjadi panas, dan melawan mereka seperti yang hampir saja Ayah lakukan.”
Ki Waskita mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ayah. Bukankah dengan demikian, persoalannya justru akan berkepanjangan? Anak-anak muda Cangkring adalah anak-anak muda yang mendapat perlindungan, dan bimbingan langsung dari prajurit-prajurit Pajang di Jati Anom. Jika terjadi sesuatu atas mereka, maka prajurit-prajurit Pajang di Jati Anom tentu tidak akan tinggal diam.”
Ki Waskita menundukkan kepalanya. Rasa-rasanya ia sedang dihadapkan pada noda di wajahnya. Ia tidak dapat mengingkari ketelanjurannya. Hampir saja ia kehilangan akal dan melakukan sesuatu, yang akan dapat menimbulkan akibat yang berkepanjangan. Jika selagi ia kehilangan pengamatan diri itu, ia bertindak sesuatu, maka akibatnya akan mengerikan sekali. Setiap ayunan tangannya dalam puncak ilmunya, Ki Waskita akan dapat memecahkan kepala anak-anak muda Cangkring, yang baru mulai belajar tata bela diri yang paling sederhana itu.
Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar yang berdiri di samping Ki Waskita merasa, bahwa mereka pun telah melakukan perbuatan kekerasan, meskipun masih dalam pengendalian nalar.
“Ayah,” berkata Rudita kemudian, “sekarang, sebaiknya Ayah minta maaf kepada mereka. Di sini orang yang agaknya paling berpengaruh adalah orang itu.”
Ki Waskita, Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar berpaling. Mereka memandang Ki Rena yang berdiri termangu-mangu. Bahkan kakinya kemudian terasa menjadi gemetar.
“Apakah Ki Demang dari Cangkring tidak ada di sini?” bertanya Ki Waskita.
Rudita mengerutkan keningnya. Katanya “Sependengaranku, Ki Demang tidak ada di sini.”
Ki Waskita termangu-mangu sejenak. Sambil memandang kepada Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar berganti-ganti, ia pun bertanya, “Bagaimana, Kiai?”
Kiai Gringsing menarik nafas dalam sekali, katanya, “Kita memang harus minta maaf kepada mereka, Ki Waskita.” Lalu sambil menunjuk kepada beberapa anak muda yang mulai sadar dari pingsannya, ia berkata, “Ki Waskita sudah membuat lebih dari tiga orang menjadi pingsan.”
Ki Waskita mengangguk-angguk.
“Selebihnya, Ki Waskita harus mengucap syukur, bahwa angger Rudita telah mencegah Ki Waskita berbuat lebih jauh lagi.”
Ki Waskita memandang anaknya dengan tatapan mata yang sayu. “Kiai Gringsing benar. Ternyata kau memiliki kesabaran yang jauh lebih besar daripada aku. Meskipun umurmu masih muda, ternyata kau telah berhasil menguasai perasaan dengan sikap damai itu.”
“Aku memang sedang mencoba, Ayah, apakah aku dapat mengatasi nafsu di dalam diriku. Aku sudah berhasil menguasai wujud jasmaniah dengan segala macam sikap dan tindak tanduk. Aku dapat mengesampingkan perasaan sakit, lelah dan letih. Namun yang kini sedang aku matangkan, adalah sikap rohaniahku. Apakah aku juga mampu menguasai nafsu dan keinginan yang dapat mempunyai seribu macam bentuk dan wujud.”
“Bersyukurlah, Rudita.”
“Tetapi meskipun demikian, Ayah, aku pun masih seorang manusia yang lemah dan dicengkam oleh ketidak percayaan. Ternyata bahwa aku berusaha untuk mempelajari ilmu yang tertulis di dalam rontal Ayah, meskipun hanya sebagian. Aku masih harus mempelajari ilmu untuk melindungi tubuhku, seolah-olah aku tidak mempercayai perlindungan yang paling rapat. Bukankah aku dapat mempercayakan diriku kepada Tuhan Yang Maha pengasih dan Penyayang? Ayah, aku masih seorang manusia yang kadang-kadang kehilangan penyerahan diri dan pasrah. Namun, mudah-mudahan, aku tidak terlampau jauh meninggalkan-Nya, karena yang aku dapatkan sekarang, meskipun berdasarkan atas tindak dan laku seperti yang tertulis di dalam rontal, tetapi semuanya itu aku mohonkan kepada Yang Maha Kuasa itu pula.”
Kata-kata Rudita itu benar-benar telah menyentuh hati ayahnya. Bahkan juga Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar. Seolah-olah Rudita memberitahukan kepada mereka, alangkah lemahnya hati ketiga orang tua itu. Jika mereka yakin dan percaya mutlak kepada penciptanya, maka mereka tentu tidak akan pernah mempelajari ilmu kanuragan jenis yang manapun juga, karena bagi mereka yang yakin dan percaya, maka perlindungan yang paling utama adalah perlindungan Yang Maha Kuasa itu jualah. Bukan perlindungan yang dibuat oleh seseorang dengan kekuatannya sendiri.
Namun kelemahan seseorang yang didorong oleh naluri untuk mempertahankan hidup dan jenisnyalah, maka manusia kadang-kadang mencari jalan untuk memiliki perisai yang dapat menyelamatkan dirinya dengan cara badaniah. Tetapi selama dengan kekuatan yang didapatkannya itu, ia masih tetap berusaha berjalan di jalan lurus, maka ia masih akan dapat mencapai jalan menuju kepada-Nya.
Tetapi kadang-kadang manusia telah didorong oleh nafsu badani, sehingga mereka melupakan sumber hakiki dari keseluruhan wujud dan bentuk, bahkan yang kasat mata, yang tidak kasat mata, dan yang tanpa bentuk.
Kecenderungan untuk mendapatkan kekuatan atas usaha sendiri dan melupakan Sumber dari semuanya yang ada itulah, kadang-kadang telah menuntun seseorang sampai ke daerah-daerah hitam yang kelam. Mereka menyangka bahwa di daerah yang hitam itu, mereka akan menemukan yang dicarinya. Tetapi agaknya mereka telah tersesat. Pada wujud-wujud wadag yang justru menyeret mereka semakin jauh dari titik akhir yang abadi, dalam kedamaian yang bening.
Tetapi ketiga orang-orang tua itu tidak sempat untuk merenunginya terlampau lama. Rudita yang berpakaian compang-camping itu mendorong ayahnya sekali lagi, “Ayah. mintalah maaf kepada Ki Rena. Orang yang paling berpengaruh yang ada di banjar ini. Kemudian Ayah akan dapat pergi kepada Ki Demang dan Ki Jagabaya yang sekarang belum juga hadir di sini. Mudah-mudahan tidak akan ada salah paham lagi yang terjadi antara Ayah dan Ki Rena, apalagi dengan Ki Demang dan Ki Jagabaya nanti.”
Ki Waskita masih termangu-mangu di tempatnya. Setiap kali ia memandang Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar berganti-ganti.
Kiai Gringsing pun kemudian bergeser semakin dekat pada Ki Waskita. Sekilas dilihatnya keadaan Rudita. Bahkan karena noda-noda yang kemerah-merahan di tubuhnya, karena ternyata tubuhnya masih tetap segar, tetapi karena pakaiannya yang menjadi compang-camping oleh perlakuan yang kasar dari orang-orang Cangkring.
Dalam pada itu, orang-orang Cangkring berdiri mematung di tempatnya. Mereka sama sekali tidak mengerti apakah yang sebenarnya sedang mereka hadapi. Apalagi ketika mereka melihat keadaan Rudita. Ketika mereka beramai-ramai memukulinya, mereka belum melihat akibat dari perbuatan mereka. Tetapi kemudian ternyata, bahwa anak muda yang satu ini lain sekali dengan yang memang pernah terjadi. Jika orang-orang Cangkring sedang marah, karena kejahatan-kejahatan kecil, mereka kadang-kadang tidak dapat mengendalikan diri dan memperlakukan orang-orang yang dapat mereka tangkap itu dengan semena-mena, seperti yang mereka lakukan atas Rudita.
Tetapi biasanya, orang yang diperlakukan demikian, akan menjadi bengkak-bengkak dan berdarah dari mulut dan hidungnya. Mereka akan menjadi pingsan dan kadang-kadang sampai berhari-hari, bahkan berpekan-pekan harus berbaring di pembaringan.
Tetapi Rudita itu nampaknya masih tetap segar. Seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu atasnya, selain pakaiannya yang kemudian menjadi compang-camping.
“Apakah anak itu anak iblis?” orang-orang Cangkring itu mulai bertanya-tanya.
Satu dua orang di antara mereka mulai menghubung-hubungkan Rudita dengan orang bercambuk itu. Dengan dada yang berdebar-debar seorang anak muda berkata, “Apakah ia murid orang bercambuk itu? Jika demikian, kita akan celaka.”
Kawannya yang berdiri di sampingnya tidak menyahut. Tetapi hatinya pun menjadi sangat kecut.
“Kita tidak akan menjadi cemas seperti sekarang ini, seandainya kita benar-benar berhadapan dengan sekelompok penjahat yang berkeliaran itu,” berkata anak-anak muda itu di dalam hatinya. Apalagi mereka merasa yakin akan perlindungan prajurit-prajurit Pajang di Jati Anom, sehingga para penjahat itu tidak akan pernah berani mengganggu mereka.
Tetapi kali ini yang datang untuk mengambil seseorang, yang telah mengalami perlakuan yang sangat buruk itu, adalah orang bercambuk itu. Bahkan anak muda yang diperlakukan buruk sekali itu pun ternyata adalah anak muda yang sangat membingungkan. Bahkan seorang anak muda berkata, “Anak itu agaknya memiliki ilmu kebal. Ia tidak dapat disakiti dan dilukai. Lihat, ia sama sekali tidak apa-apa.”
“Ya,” desis yang lain, “kita tidak menyadari apa yang terjadi, selama kita sibuk memukulinya. Baru sekarang kita sadar, bahwa jika anak itu marah, akan terjadi malapetaka ya tiada taranya bagi Cangkring.”
Yang lain mengangguk-angguk. Berbagai perasaan telah menyentuh hati anak-anak muda yang berada di sekitar banjar itu. Apalagi mereka yang mendengar percakapan antara Rudita dan ayahnya.
Ki Rena masih berdiri termangu-mangu. Ia tidak mengerti apa yang harus dilakukannya. Ia merasa bahwa ia telah mendorong anak-anak muda itu untuk berlaku kasar. Hampir setiap kali ialah yang memimpin anak-anak itu berbuat demikian terhadap orang-orang yang mereka curigai, dan apalagi mereka yang tertangkap selagi melakukan kejahatan-kejahatan kecil, seolah-olah mereka adalah pahlawan-pahlawan yang sedang berjuang di medan perang.
Ki Rena tiba-tiba menjadi gemetar, ketika ia melihat Ki Waskita, Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar bersama Rudita mendekatinya. Ia pun menyadari bahwa ternyata anak muda yang bernama Rudita itu, adalah anak yang seolah-olah tidak mempan oleh pukulan-pukulan yang menghujaninya. Orang-orang lain yang diperlakukan demikian, tentu sudah menjadi bengkak-bengkak dan berdarah hidung dan mulutnya, bahkan tentu sudah pingsan. Tetapi Rudita sama sekali tidak mengalami cidera apa pun karenanya.
“Apakah sebenarnya yang dikehendaki oleh anak ini,” Ki Rena bertanya-tanya kepada diri sendiri dengan penuh kebimbangan. “Ia tentu bukan saja kebal, tetapi juga memiliki kekuatan yang luar biasa. Apalagi ketiga orang tua-tua itu, yang seorang di antaranya adalah orang bercambuk, yang namanya sudah dikenal hampir di seluruh Pajang.” hatinya menjadi semakin berdebar-debar, dan ia pun dengan penyesalan yang mendalam berkata di dalam hati, “Celakalah padukuhan Cangkring sekarang ini. Tidak oleh penjahat-penjahat yang bersarang di sekitar padukuhan ini, tetapi justru oleh orang-orang yang selama ini disegani, bukan saja oleh para penjahat, tetapi juga oleh prajurit Pajang.”
Meskipun Ki Rena juga melihat sikap Rudita yang tidak bermusuhan, namun Ki Waskita dan Kiai Gringsing masih tetap mendebarkan jantung. Ki Waskita yang merasa anaknya diperlakukan tidak adil, dan Kiai Gringsing yang masih menggenggam cambuknya.
Setiap langkah Ki Waskita, Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar terasa bagaikan hentakan di dalam dada.
Tubuhnya terasa menjadi semakin gemetar ketika ia mendengar suara Ki Waskita, “Ki Rena, apakah kau yang bernama Ki Rena?”
“Ya, Ayah,” Rudita-lah yang menyahut, “aku mendengar orang lain memanggilnya demikian.”
“Ya, Ki Sanak,” jawab Ki Rena dengan suara yang bergetar pula.
“Kau agaknya orang yang paling berpengaruh sekarang ini, sebelum kita bertemu dengan Ki Demang atau Ki Jagabaya.”
“Bukan. Bukan aku, Ki Sanak. Kami sama-sama melakukan semua tindakan ini. Aku tidak mempunyai kedudukan apa pun di padukuhan ini.”
Ki Waskita memandang orang itu dengan tajamnya. Namun hatinya yang sudah mengendap itu, kemudian menjadi sangat kecewa karena sikap orang yang bernama Ki Rena itu.
“Ki Rena,” berkata Ki Waskita, “tidak ada persoalan yang akan dapat mengeruhkan keadaan lagi. Aku hanya ingin berbicara dengan orang yang barangkali paling berpengaruh di sini.”
“Tidak. Tidak ada orang yang paling berpengaruh.”
“Tetapi, bukankah Ki Rena mempunyai pengaruh atas anak-anak muda itu?” berkata Rudita, “Bukankah Ki Rena dapat memerintahkan mereka untuk berbuat sesuatu. Maksudku, bukan karena aku ingin menuntut pertanggungan jawab. Tetapi tentu saja ayah tidak akan dapat berbicara dengan semua orang ini sekaligus, tetapi sebaiknya ada seorang atau dua orang yang mewakili mereka.”
“Tetapi jangan aku. Aku tidak berbuat apa-apa.”
“Ki Rena,” tiba-tiba seorang anak muda mendesak maju, “Bukankah Ki Rena dapat mengambil tanggung jawab itu? Ki Rena-lah yang mendorong kami untuk melakukan perbuatan ini.”
“Tidak. Bukan aku. Aku tidak apa-apa.”
“Bukan hanya sekali dua kali,” berkata anak muda itu, “Setiap kali, Ki Rena telah memerintahkan kepada kami untuk melakukan hal yang serupa.”
“Tidak. Aku tidak berhak memerintah kalian.”
“Tetapi itu telah kau lakukan,” potong anak muda yang lain.
Ki Rena masih akan menjawab, tetapi Rudita menengahi, “Baiklah. Jika di antara kalian tidak ada yang berani bertanggung jawab atas peristiwa yang baru saja terjadi. Aku memang tidak akan menuntut apa pun juga. Ayahku pun tidak. Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar juga tidak. Ayah hanya akan mengucapkan sepatah dua patah kata penyesalan. Tidak lebih.”
Anak-anak muda Cangkring itu menjadi heran. Kenapa justru penyesalan. Namun sebagian dari mereka mengira, bahwa Ki Waskita itu akan menyesali perbuatan anak-anak Cangkring yang lancang dan tidak berperhitungan itu.
“Anak-anak muda dari padukuhan Cangkring,” berkata Ki Waskita, “karena tidak ada yang dapat aku ajak berbicara, biarlah aku berkata langsung kepada kalian,” Ki Waskita berhenti sejenak sambil memandang berkeliling. Kemudian, “Aku akan minta maaf kepada kalian, bahwa hampir saja aku kehilangan pengamatan diri dan bertindak di luar sadar. Jika demikian maka akibatnya akan buruk sekali bagi kita semuanya.”
Anak-anak muda Cangkring itu saling berpandangan. Mereka tidak mengerti, kenapa orang itu justru minta maaf. Seharusnya merekalah yang minta maaf kepadanya.
“Mungkin anakku telah menimbulkan persoalan di padukuhan ini,” berkata Ki Waskita lebih lanjut, “Untunglah bahwa kesulitan yang lebih parah lagi dapat dihindari,” ia berhenti sejenak. Lalu, “namun demikian, aku mempunyai permintaan kepada kalian, bahwa untuk selanjutnya, kalian sebaiknya bertindak lebih hati-hati. Jika terjadi korban yang tidak bersalah, maka hal itu tentu akan sangat menyedihkan kita semuanya. Katakanlah seorang anak muda yang sebaya dengan anakku. Apalagi jika ia adalah satu-satunya anak yang menjadi gantungan harapan masa depan.”
Anak-anak muda Cangkring itu menundukkan kepalanya.
“Tindakan kalian dapat menimbulkan bencana. Bahkan kematian. Seandainya anakku bersalah sekalipun, kalian tidak berwenang untuk memperlakukannya demikian.”
Nampak beberapa orang di antara anak-anak muda Cangkring itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kami mengetahui,” berkata Ki Waskita lebih lanjut, “bahwa dalam waktu yang lama kalian telah dicengkam oleh kecemasan, kegelisahan dan kemarahan, karena gangguan-gangguan yang sering terjadi. Namun setelah kalian mendapat sedikit bimbingan dari prajurit-prajurit Pajang, maka terjadilah ledakan itu. Ledakan yang seharusnya dapat penyaluran yang sewajarnya.”
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Ada banyak persoalan yang terasa berdesakan untuk meloncat dari bibirnya. Tetapi ia tidak ingin menyakiti hati orang-orang Cangkring itu.
Karena itu, maka katanya kemudian, “Karena itulah, maka sebaiknya kita berhati-hati untuk seterusnya. Marilah hal ini kita anggap tidak pernah terjadi. Dan mudah-mudahan benar-benar tidak akan pernah terjadi lagi. Sekali lagi aku minta maaf. Kami berempat akan segera minta diri. Kami akan kembali ke Jati Anom, karena sebenarnyalah kami sudah mendapat ijin dari Senapati Untara untuk melakukan pencarian ini. Dengan demikian kami pun masih akan minta diri kepadanya.”
Tidak ada seorang pun yang menyahut. Semuanya bagaikan mematung di tempatnya.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba terdengar hiruk pikuk di luar lingkaran anak-anak muda Cangkring. Di antara keributan itu terdengar suara seseorang yang agak serak-serak, “He, siapakah yang telah membuat keributan ini?”
Anak-anak muda Cangkring itu pun menyibak. Yang datang ternyata adalah Ki Demang diiringi oleh Ki Jagabaya.
“Siapakah orang itu,” bertanya Ki Demang lantang, “hanya akulah yang berhak berbicara langsung kepada rakyatku. Apakah orang itu telah mempengaruhi kalian? Dan apakah orang itu yang dikatakan datang dari salah sebuah gerombolan panjahat yang bersarang di sekitar tempat ini?”
Ki Waskita menjadi berdebar-debar. Dipandanginya wajah Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar berganti-ganti.
“Mudah-mudahan ia dapat diajak berbicara,” berkata Kiai Gringsing perlahan-lahan.
Dalam pada itu Ki Demang pun telah memasuki lingkaran anak-anak muda Cangkring. Sekilas ia melihat Ki Rena yang berdiri termangu-mangu.
Tiba-tiba Ki Demang tertegun sejenak. Bahkan kemudian ia mendekati Ki Rena dengan wajah yang buram.
“Apakah kau lagi yang membuat gaduh di sini, Ki Rena?” bertanya Ki Demang.
Ki Rena termangu-mangu sejenak. Tetapi kemudian ia berpaling kepada Ki Waskita dan kedua kawan-kawannya.
“Apakah mereka itu?” bertanya Ki Demang pula. Tidak ada jawaban. Ki Rena masih berdiri termangu-mangu.
Ki Demang pun kemudian melangkah ke depan. Dipandanginya wajah-wajah yang tegang di sekitarnya.
Tiba-tiba saja dari antara anak-anak muda itu muncul seseorang, yang agaknya memiliki ketenangan yang agak lebih dalam dari kawan-kawannya. Ia lah yang sudah mencoba memperingatkan Ki Rena, tetapi sama sekali tidak dihiraukannya.
“Ki Demang,” berkata anak muda itu, “semuanya telah terjadi seperti yang pernah terjadi. Ki Rena menangkap seorang yang dicurigainya dan di sini kami beramai-ramai mencoba untuk memeras keterangannya.”
“Apakah kalian berhasil?”
“Tidak,” jawab anak muda itu, “tangkapan Ki Rena itu sama sekali tidak mau menyebut kelompok-kelompok yang manapun juga, seperti yang dikehendaki oleh Ki Rena.”
“Jadi, anak itu tidak mau mengaku? Tetapi apakah ia bersalah?” bertanya Ki Demang, “Aku tidak ingin melihat korban yang tidak bersalah lagi.”
Anak muda itu menggeleng. Katanya, “Ia memang tidak bersalah, Ki Demang.”
“Jadi bagaimana? Ia luka parah? Inilah kegilaan yang selalu berulang. Aku bangga kalian memiliki ilmu kanuragan. Tetapi sudah barang tentu tidak dipergunakan di sembarang keadaan. Bahkan dipergunakan untuk memaksakan kehendak atas orang lain,” Ki Demang berhenti sejenak. Lalu, “He, dimana korban kalian kali ini.”
Anak muda itu termangu-mangu. Namun kemudian ia menunjuk kepada Rudita sambil berkata, “Kali ini kami menjumpai seorang anak muda yang lain. Betapapun juga anak-anak Cangkring memukulinya, namun ia sama sekali tidak terluka. Bahkan hampir-hampir tidak terpengaruh, seolah-olah ia tidak tersentuh sama sekali oleh perasaan sakit.”
“Kebal, jadi anak itu kebal?”
“Agaknya memang demikian, Ki Demang.”
Ki Demang termangu-mangu sejenak, ditatapnya tubuh Rudita yang tetap segar. Selangkah ia maju dengan tatapan mata yang tegang. Lalu katanya, “Jadi kau kebal ya?”
Rudita ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia menggeleng, “Tidak, Ki Demang. Aku sama sekali tidak kebal. Kulitku akan sobek jika tergoresi oleh duri yang lemah sekalipun.”
“Tetapi kau nampaknya tidak apa-apa?”
“Tentu tidak apa-apa. Anak-anak muda Cangkring pun tidak berbuat dengan bersungguh-sungguh. Mereka hanya sekedar mencoba menakut-nakuti aku. Memang ada di antara mereka yang berpura-pura memukuli aku. Tetapi sudah tentu tidak sampai menimbulkan akibat yang gawat.”
Ki Demang menjadi bingung. Bahkan anak-anak muda yang mendengar jawaban Rudita itu pun menjadi bingung pula.
“Sudahlah, Ki Demang,” berkata Ki Waskita kemudian, “Marilah kita lupakan saja peristiwa yang baru saja terjadi.”
“Siapa kau?”
“Aku adalah ayah anak ini. Ketika aku sampai di sini, memang sedang terjadi sedikit keributan. Tetapi tidak membawa akibat apa pun juga.”
Ki Demang termangu-mangu sejenak. Kemudian ia berpaling kepada Ki Jagabaya, seolah-olah ingin mendengar pendapatnya.
“Ki Demang,” berkata Ki Jagabaya, “aku menjadi bingung juga mendengar keterangan yang bersimpang siur. Sebaiknya marilah kita bawa keempat orang itu ke Kademangan, bersama Ki Rena.”
“Aku tidak apa-apa, aku tidak apa-apa,” desis Ki Rena.
Ki Demang menjadi heran. Biasanya Ki Rena tidak mempedulikan sama sekali peringatan yang pernah diberikan. Bahkan seolah-olah anak-anak muda Cangkring itu lebih banyak terpengaruh oleh Ki Rena, daripada Ki Demang dan Ki Jagabaya. Mereka hanya tunduk kepada Ki Demang dan Ki Jagabaya di hadapannya saja. Tetapi jika kedua orang itu tidak ada, dan perabot-perabot padukuhan yang lain tidak melihat, mereka dapat saja melakukan tindakan-akan yang aneh-aneh, di bawah pengaruh Ki Rena. Ki Rena sendiri yang memiliki sekedar ilmu kanuragan merasa, bahwa ia adalah orang yang paling kuat di padukuhan Cangkring.
Namun ternyata di hadapan orang bercambuk itu, semua keberanian, kesombongan dan ketamakannya, bagaikan lenyap ditiup angin.
“Ki Demang,” berkata Ki Waskita, “baiklah. Aku berterima kasih jika aku diperkenankan singgah di rumah Ki Demang untuk menjelaskan persoalan ini.”
Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Marilah, kita dapat berbicara lebih lelulasa.”
Demikianlah, maka Ki Waskita, Kiai Gringsing, Ki Sumangkar dan Rudita pun diajak oleh Ki Demang pergi ke rumahnya, untuk didengar penjelasannya.
Namun dalam pada itu, ternyata kehadiran orang bercambuk itu telah sangat menarik perhatian. Berita kehadirannya itu tidak hanya akan tersebar di kalangan rakyat Cangkring, tetapi juga sampai ke sarang-sarang penjahat di sekitarnya.
Agaknya hal itu baru disadari oleh Kiai Gringsing ketika ia berjalan sambil menundukkan kepalanya, menuju ke rumah Ki Demang Cangkring.
“Aku sama sekali tidak sempat memikirkan hal itu,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya. Lalu, “tetapi apaboleh buat. Semuanya sudah terjadi, sehingga aku tidak akan dapat menarik kembali.”
Meskipun demikian, Kiai Gringsing tidak dapat mengesampingkan kecemasannya tentang murid-muridnya, yang ditinggalkannya di Sangkal Putung. Jika terjadi sesuatu atas mereka, maka itu adalah akibat dari kecerobohannya.
“Tetapi angger Rudita sudah dapat di ketemukan. Hari ini juga, aku dapat kembali ke Sangkal Putung,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya.
Tetapi agaknya langit akan segera menjadi suram. Jika ia cepat-cepat meninggalkan tempat itu, maka baru malam hari ia akan sampai di Jati Anom. Sudah tentu bahwa ia masih harus menunggu sampai matahari terbit esok pagi.
Di rumah Ki Demang Cangkring, ternyata tidak banyak yang mereka bicarakan. Ketika Ki Demang mengetahui semua persoalan yang terjadi, maka tidak henti-hentinya ia minta maaf kepada Ki Waskita, Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar. Terutama kepada Rudita.
“Jika aku boleh berterus terang,” berkata Ki Demang, “hal seperti ini bukan terjadi untuk yang pertama kalinya. Meskipun yang pernah terjadi, pada umumnya karena anak-anak itu benar melihat kejahatan terjadi, meskipun betapa kecilnya, namun hal seperti itu sangat mencemaskan.”
“Mereka memerlukan penyaluran, Ki Demang,” berkata Ki Waskita.
“Ya, Agaknya memang demikian. Setiap kali aku memperingatkan mereka, mereka nampaknya juga mendengarkannya. Tetapi di lain kesempatan, mereka telah mengulanginya lagi. Bahkan nampaknya ada di antara mereka yang sangat kecewa terhadap sikapku. Di antara mereka adalah Ki Rena. Ia memang mempunyai pengaruh terhadap anak-anak, terutama yang menjelang usia dewasa.”
“Nampaknya memang demikian,” desis Rudita.
“Angger,” berkata Ki Demang, “seharusnya anak-anak itu memang mendapat pelajaran. Kenapa angger tidak melawannya, sehingga mereka menjadi jera? Menilik keadaan angger, setelah angger mengalami perlakuan kasar itu, angger adalah seorang anak muda yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Bahkan mungkin angger benar-benar seorang anak muda yang kebal.”
“Ah tidak, Ki Demang. Sudah berulang kali aku katakan, aku sana sekali tidak kebal.”
“Meskipun tidak,” berkata Ki Demang, “tetapi Angger sudah menunjukkan sesuatu yang luar biasa. Dan angger tentu dapat mempergunakannya untuk membuat anak-anak itu menjadi jera.”
Tetapi Rudita menggeleng. Katanya, “Ki Demang, jika aku melawan, maka keadaan tentu akan menjadi semakin buruk. Tentu anak-anak muda itu menjadi semakin marah, dan bahkan mungkin mereka akan mempergunakan senjata. Jika demikian, maka akibatnya tentu tidak kita harapkan,” Rudita berhenti sejenak. Lalu, “Lebih daripada itu, Ki Demang, sebenarnyalah bahwa aku tidak akan mampu untuk berkelahi.”
“Ah,” Ki Demang mengerutkan keningnya, “kau bergurau. Dan itulah yang sangat mengagumkan. Angger yang memiliki ilmu katakanlah sejenis ilmu kebal, sama sekali tidak berbuat apa-apa dalam keadaan yang sangat buruk itu.”
“Benar, Ki Demang. Aku tidak dapat dan sama sekali tidak memiliki ilmu untuk bertempur.”
Ki Demang justru tertawa. Tetapi Kiai Gringsing yang kemudian berkata, “Sebenarnya demikian Ki Demang. Sebenarnya aku pun iri atas sikap damai anak itu. Rudita telah memilih jalan hidup yang jauh lebih mulia dari yang barangkali kita pilih bersama, ia mempelajari ilmu yang disadapnya dari seseorang yang sakti tiada taranya. Sebenarnya ia leluasa mengambil seluruh ilmu yang tersedia di dalam rontal. Tetapi anak itu memilih pada bagian yang seperti kita lihat sekarang. Ia memilih sekedar untuk melindungi diri dalam sikap damainya, tanpa mempergunakan kekerasaan. Itu pun dengan penyesalan, bahwa dengan demikian telah mengurangi hubungan kepercayaan yang seharusnya mutlak dengan Penciptanya.”
Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Luar biasa. Tetapi benar-benar tidak dapat dimengerti. Di jaman seperti sekarang ini, ada juga seorang anak muda yang hidup dalam alam cita-cita hakiki dari setiap manusia. Namun yang sampai saat ini jarang sekali, jika tidak dapat dikatakan tidak ada, orang yang berani mencobanya.”
“Ah,” potong Rudita, “Ki Demang jangan memuji. Jika aku berbuat demikian, itu adalah karena aku mempunyai latar belakang sikap dan jiwa yang tidak sama pula dengan anak-anak muda sebayaku. Aku adalah seorang penakut yang manja.”
“Tidak, tentu tidak. Sudah aku katakan, tidak ada orang yang memiliki keberanian seperti Angger.”
Rudita tidak menjawab lagi. Ketika ia memandang wajah Kiai Gringsing nampak wajahnya yang lesu menunduk dalam-dalam.
Ternyata Kiai Gringsing sedang memperbandingkan Rudita dengan Agung Sedayu yang memiliki sifat yang hampir bersamaan di masa kanak-anaknya. Tetapi ternyata perkembangan selanjutnya adalah sangat berbeda.
“Akulah yang tidak mempunyai keberanian untuk melakukannya,” berkata Kiai Gringsing di dalam hati, lalu, “karena aku adalah orang yang hidup di dalam kebimbangan dan ketidakpastian. Aku ingin berbuat tanpa kekerasan, tetapi aku mempelajari ilmu kekerasan dengan sebaik-baiknya.”
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun demikian, ia masih mencoba untuk melapangkan dadanya, “Tetapi bagaimanapun juga, aku harus berusaha bahwa yang aku lakukan adalah untuk suatu tujuan yang baik, yang sesuai dengan kehendak-Nya. Di dalam jaman yang keras ini, memang tidak dapat diingkari, bahwa kadang-kadang diperlukan juga kemampuan dalam olah kanuragan untuk melindungi sesuatu. Sesuatu yang dapat dianggap baik, dari keruntuhan karena perbuatan yang salah.”
Kiai Gringsing seakan-akan terbangun dari angan-angannya, ketika tiba-tiba saja Ki Demang berkata, “Ki Sanak sekalian. Apakah yang selanjutnya dapat aku lakukan untuk menyatakan penyesalan yang sedalam-dalamnya dari seluruh penghuni padukuhan ini, bahwa yang terjadi adalah suatu kesalahan yang besar.”
Ki Waskita-lah yang menjawab, “Tidak ada, Ki Demang. Tidak ada yang wajib Ki Demang lakukan untuk kami. Tetapi barangkali ada yang harus Ki Demang lakukan untuk rakyat padukuhan ini.”
Ki Demang mengerutkan keningnya.
“Ki Demang. Mungkin ada sesuatu yang perlu mendapat perhatian. Usaha prajurit Pajang di Jati Anom untuk menempa anak-anak muda di padukuhan Cangkring adalah benar. Tetapi selain bimbingan kanuragan, anak-anak muda Cangkring harus mendapat bimbingan kejiwaan, sehingga dengan demikian, maka perkembangan anak-anak muda Cangkring akan menjadi seimbang. Jika mereka untuk selanjutnya hanya mendapat tempaan jasmaniah saja, maka akibatnya akan dapat menjadi salah langkah. Anak-anak muda itu akan berkembang dengan pesatnya, namun hanya di belahan luar. Tidak di belahan dalam diri mereka.”
................bersambung ke Jilid 89
Tidak ada komentar:
Posting Komentar