API di BUKIT MENOREH
Karya S.H Mintardja
TERBAYANG sebuah ngarai yang luas berbatasan gunung-gunung padas yang ditumbuhi batang-batang perdu. Di kaki pegunungan itu terbentang sebuah hutan yag besar, panjang dan lebat.
Tetapi Nyai Demang menggelengkan kepalanya. Katanya kepada diri sendiri, “Tentu gambaranku keliru. Bukit-bukit itu panjang membujur ke Utara. Ah entahlah.”
Sekilas terbayang gunung Merapi yang megah, berjajar dengan gunung Merbabu, bagaikan sepasang penganten abadi yang berdiri di belakang Kademangan Jati Anom.
“Tetapi yang lebih penting dari semuanya,” berkata Ki Demang Sangkal Putung seterusnya, “aku sudah melihat sendiri bakal menantumu, Nyai. Seorang gadis yang cantik dan luruh. Jika kita melihat sepintas, kita tidak akan menduga, bahwa gadis itu pantas menyandang sepasang pedang di lambungnya.” Ki Demang berhenti sejenak, lalu, “Tetapi sebenarnyalah ia gadis yang mengagumkan. Di rumah ia bagaikan seorang ibu yang memelihara dengan lembut seluruh isi rumahnya. Perabot-perabot rumahnya dibersihkannya setiap hari dengan tangannya. Ia memasak sendiri di dapur, sementara pelayan-pelayannya hanya membantunya saja.” Sekali lagi Ki Demang berhenti, lalu, “Tetapi jika keadaan memaksa, ia tampil di peperangan dengan sepasang pedang di lambung, ia bertempur melawan penjahat-penjahat yang menakutkan tanpa gentar.”
“Ah,” Nyai Demang tiba-tiba berdesah.
“Kenapa?”
“Aku justru menjadi ngeri.”
“Kenapa ngeri?”
“Jika suatu kali, seperti lazimnya suami isteri mengalami pertengkaran, apa jadinya nanti. Swandaru adalah seorang anak laki-laki yang manja, agak kasar, dan kurang berhati-hati menyatakan pendapatnya kepada orang lain, apalagi kepada isterinya. Sedang isterinya adalah seorang yang memiliki ilmu kanuragan seperti suaminya.”
“Tetapi mereka tentu saja selalu mengekang diri masing-masing, Nyai. Seperti yang juga kita harapkan atas Sekar Mirah dan Angger Agung Sedayu.”
“Kenapa Sekar Mirah dan Angger Agung Sedayu.”
Ki Demang termangu-mangu sebentar. Namun kemudian ia menggeleng, “Tidak apa-apa.”
“Ya, tidak apa-apa. Sampai sekarang, tidak ada persoalan apa-apa yang pernah kita terima, baik dari Angger Agung Sedayu sendiri, maupun dari keluarganya.”
“Tetapi Kiai Gringsing secara tidak langsung pernah mengatakan serba sedikit tentang hubungan antara Agung Sedayu dan Sekar Mirah,”
“Tetapi kita tidak dapat berpegangan kata-katanya. Ia orang lain, baik bagi Agung Sedayu maupun bagi kita.”
“Tidak. Ia bukan orang lain. Ia adalah guru Agung Sedayu. Seorang guru tidak ubahnya dengan orang tua sendiri.”
“Dalam olah kanuragan. Tetapi di dalam hubungan seperti Swandaru dan putera Kepala Tanah Pendikan Menoreh, bukankah Ki Demang sendiri yang harus datang melamarnya? Bukan sekedar Kiai Gringsing yang juga guru Swandaru itu.”
Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan kepalanya terangguk-angguk. Dan ia pun berkata, “Kau benar, Nyai. Harus ada pernyataan yang mapan dari keluarganya. Karena Angger Agung Sedayu sudah tidak berkeluarga, maka Angger Untara-lah yang pantas mewakilinya dengan resmi.”
“Nah, begitulah. Dalam persoalan Sekar Mirah, kita adalah orang tua dari seorang gadis. Kita harus lebih berhati-hati. Sudah barang tentu persoalannya berbeda dengan Swandaru. Secara kasar dapat kita katakan, seandainya tanpa sepengetahuan kita, perkawinan Swandaru tidak akan menimbulkan banyak persoalan. Ia adalah anak laki-laki. Jika ia tidak senang, ia dapat menceraikan isterinya dan kawin lagi dengan perempuan yang dipilihnya kemudian.”
“Ah, apakah begitu, Nyai?”
“Tentu saja. Karena itulah kita harus menjaga Sekar Mirah sebaik-baiknya agar Sekar Mirah tidak mengalami nasib buruk seperti itu. Kita harus mengikat pembicaraan dengan orang tua Angger Agung Sedayu, seperti orang tua Pandan Wangi mengharap kedatanganmu sendiri betapa pun jauhnya.”
“Sebagian aku sependapat, Nyai. Tetapi sebaiknya kau tidak terlampau mencemaskan nasib anak gadismu seperti yang kau katakan. Sudah tentu persoalan kawin dan cerai bukannya persoalan pinjam-pakai atau katakanlah seperti memilih pakaian saja. Swandaru tentu tidak boleh bersikap demikian terhadap isterinya, meskipun seandainya isterimya itu bukan anak gadis Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Demikian juga anak gadis kita tidak boleh diperlakukan seperti itu. Laki-laki yang demikian adalah laki-laki yang buruk.”
“Tetapi itu sudah sifat laki-laki. Ia ingin memperisteri setiap perempuan yang mana pun juga. Dan itu adalah haknya. Sedang perempuan harus menyerahkan diri sebulatnya kepada hubungan perkawinan yang telah diterimanya.”
Ki Demang tertawa. Katanya, “Aku mengerti. Nampaknya kau mengatakan hubungan yang sering kita temui di dalam tata kehidupan masyarakat kita. Tetapi sebenarnya hatimu menjerit menolak kepincangan itu. Bukankah begitu? Justru karena kita mempunyai seorang anak gadis?”
Nyai Demang tidak menjawab.
“Percayalah, bahwa dugaanmu keliru. Tidak setiap laki-laki berbuat demikian. Gambaran yang salah itu dapat menimbulkan persoalan di hati gadis-gadis sebelum persoalan yang sebenarnya dihadapinya. Dan gambaran-gambaran yang salah itu akan menyuramkan rumah tangganya tanpa sebab, selain ketakutan yang tumbuh di dalam dirinya sendiri. Selebihnya, perasaan cemburu.”
Nyai Demang tidak segera menjawab. Tetapi nampak bahwa ada sesuatu yang belum terpecahkan di dalam hatinya.
“Tentu kau tidak akan segera dapat meyakini,” berkata Ki Demang, “tetapi lambat laun kau akan mengerti. Atau barangkali kau mempunyai pendapat bahwa Agung Sedayu mempunyai ciri-ciri seperti yang kau cemaskan itu?”
Nyai Demang menggeleng. Katanya, “Sampai sekarang tidak. Tetapi siapa tahu. Mungkin memang ada laki-laki yang baik seperti yang kau katakan, tetapi perbandingannya terlampau kecil dengan sifat-sifat umum yang kita lihat.”
“Tetapi menurut penglihatanku, Angger Agung Sedayu termasuk yang sedikit itu.”
Nyai Demang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sebenarnya aku juga tidak berkeberatan. Tetapi orang tuanya atau yang mewakilinya, mungkin Angger Untara atau mungkin Adi Widura atau siapa pun, dengan adat yang lazim datang kepada kita.”
“Tentu, pada suatu saat mereka akan datang.”
“Ki Demang,” suara Nyai Demang merendah, “sebenarnya bukan saja aku khawatir terhadap Angger Agung Sedayu tetapi juga kepada Sekar Mirah. Jika pada suatu saat terjadi keretakan, maka Sekar Mirah yang sifatnya menjadi semakin keras karena ilmu kanuragan yang dimilikinya itu akan berbuat terlampau jauh. Jika pada suatu saat, sifat laki-laki pada umumnya itu hinggap pada Agung Sedayu, tanpa ada pertanggungan jawab dari keluarga dan orang tuanya sama sekali, maka Sekar Mirah akan melepaskan sakit hatinya dengan tindakan serupa.”
“Ah, kau dibayangi oleh ketakutanmu sendiri. Jangan kau katakan hal yang serupa ini kepada anak-anakmu,” potong Ki Demang. “Kau boleh berprasangka terhadap Angger Agung Sedayu, dan kau dapat menuntut agar orang tuanya atau yang mewakilinya ikut bertanggung jawab, tetapi kau jangan berprasangka demikian terhadap Sekar Mirah. Sejauh tuntutan keadilan di hatinya ia tidak akan membalas dengan tindakan serupa itu. Ataukah tindakan serupa itu yang disebut berbuat adil atas laki-laki dan perempuan?”
“Aku tidak mengatakan demikian Ki Demang.”
Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Bahkan ia menjadi curiga, apakah Sekar Mirah sendiri pernah mengatakan dalam suatu pembicaraan dengan ibunya, bahwa apabila seorang laki-laki yang menjadi suaminya kelak berbuat sisip, ia akan mengimbanginya dengan tindakan yang sama? Dan apakah tindakan serupa itu yang dituntutnya sebagai tindakan yang adil?
Ki Demang justru menjadi cemas. Jika benar demikian, maka Sekar Mirah memerlukan penjelasan yang dapat menjernihkan tanggapan batinnya terhadap hidup kekeluargaan.
Namun Ki Demang itu pun tiba-tiba menyadari bahwa pembicaraan mereka telah bergeser. Karena itu, maka katanya sambil tertawa, “Nyai. Bukankah yang kita bicarakan sekarang adalah Swandaru, bukan Sekar Mirah.”
“Ya, Ki Demang. Meskipun masing-masing tidak akan dapat dibicarakan tersendiri, namun barangkali memang ada baiknya kita berbicara sekarang tentang Swandaru. Namun demikian, aku masih akan bertanya serba sedikit, apakah sebenarnya Ki Demang mengetahui, gambaran masa depan bagi Angger Agung Sedayu? Kakaknya, Angger Untara sudah jelas bagi kita. Ia adalah seorang prajurit. Bahkan seorang Senapati. Tetapi apakah Angger Agung Sedayu sudah menentukan sikap menghadapi masa depannya. Sepengetahuanku, sampai saat ini ia tidak lebih adalah seorang petualang seperti Swandaru. Tetapi Swandaru mempunyai kedudukan yang jelas.”
“Sudahlah, Nyai. Marilah kita berbicara tentang Swandaru. Pada saatnya kita memang akan berbicara tentang Angger Agung Sedayu.”
“Baiklah, Kakang. Barangkali Ki Demang dapat memberikan banyak keterangan tentang perjalanan Kakang.”
Ki Demang menarik nafas. Katanya, “Nah, barangkali akan lebih baik demikian.”
Nyai Demang pun mengangguk-angguk.
Sementara itu Ki Demang melanjutkan ceriteranya tentang perjalanannya. Terutama semua pembicaraan yang sudah dilakukan dengan Ki Gede Menoreh. Dan agaknya semuanya sudah mapan.
“Kita tinggal menentukan hari. Mempersiapkan sebuah kelengkapan, bukan saja pakaian dan benda-benda upacara yang lain, tetapi juga sebuah pasukan yang kuat.”
“Kenapa pasukan?”
“Perjalanan ke Tanah Perdikan Menoreh adalah perjalanan yang jauh, sedang di sekitar Tanah Perdikan itu, agaknya masih tersembunyi kelompok-kelompok yang setiap saat dapat mengganggu perjalanan. Tetapi jangan kau pikirkan. Yang penting persoalan Swandaru sudah sebagian besar rampung.”
Nyai Demang mendengarkan semua ceritera dan penjelasan yang diberikan oleh Ki Demang dengan penuh harapan. Namun sejalan dengan itu, kegelisahannya mengenai Sekar Mirah dan Agung Sedayu pun semakin berkembang di dalam hatinya. Tetapi seperti kata-kata Ki Demang, ia lebih senang membicarakan persoalan Swandaru daripada persoalan Sekar Mirah.
Meskipun demikian, Nyai Demang tidak dapat menyembunyikan kegelisahannya sehingga Ki Demang berkata, “Sudahlah. Kita akan berbicara lagi besok. Sekarang, aku terlampau lelah.”
“Baiklah, Ki Demang. Sebaiknya Kakang beristirahat. Besok kita dapat berbicara lebih banyak tentang anak-anak kita. Keduanya.”
Ki Demang itu pun kemudian pergi ke biliknya. Ketika ia lewat di depan bilik Sekar Mirah, dilihatnya anak gadisnya telah tertidur lebih dahulu.
Sambil berbaring di pembaringan, Ki Demang masih saja diliputi oleh berbagai macam bayangan. Swandaru, Pandan Wangi, Sekar Mirah, Agung Sedayu, dan persoalan-persoalan yang menyangkut mereka itu.
Malam semakin lama menjadi semakin dalam. Angin yang dingin berhembus semakin kencang. Terasa udara yang basah menyusup dari sela-sela dinding kayu mengusap nyala lampu yang kemerah-merahan.
Sepi malam membuat hati Ki Demang semakin ngelangut. Yang kemudian selalu mengambang di angan-angannya adalah justru persoalan anak gadisnya.
Agung Sedayu adalah seorang anak muda yang memiliki kemampuan olah kanuragan yang mumpuni. Tetapi seperti yang dikatakan oleh isterinya apakah untuk seterusnya Agung Sedayu akan tetap menjadi seorang petualang? Apakah ia akan mengikuti jejak gurunya, pergi dari satu tempat ke tempat yang lain dengan mempergunakan seribu nama dan penyamaran? Apakah Agung Sedayu tidak akan dapat menjadi seorang ayah yang baik, yang bekerja dengan tekun untuk menghidupi seluruh keluarganya dalam segala seginya. Bukan hanya sekedar menyusupi kebutuhan lahiriah, tetapi juga batiniah?
“Ah,” desis Ki Demang, “kenapa aku justru dibingungkan oleh persoalan yang tidak menentu? Siapa tahu Agung Sedayu mempunyai simpanan yang cukup untuk mulai dengan suatu kehidupan baru, atau apa pun yang dapat dilakukan.”
Namun Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Ia pernah mendengar bahwa Agung Sedayu sama sekali tidak tertarik kepada tawaran kakaknya untuk menjadi seorang prajurit di Pajang.
Angan-angan itulah yang membuat Ki Demang tidak segera dapat tertidur seperti juga isterinya.
Dalam pada itu, Agung Sedayu sendiri pun telah dihinggapi oleh kerisauan yang sama. Tetapi ia tidak ingin menunjukkannya kepada orang lain.
Yang juga diganggu oleh kerisauan hati, tetapi dalam persoalan yang lain adalah Kiai Gringsing, Ki Waskita, dan Ki Sumangkar. Mereka seolah-olah digelitik oleh perasaan yang sama tanpa saling membicarakannya terlebih dahulu.
Desir angin di atap terdengar gemerisik. Kadang-kadang keras, kemudian menjadi semakin lembut.
Meskipun mereka mengerti, bahwa yang mereka dengar adalah benar-benar suara angin, namun ingatan mereka segera melayang kembali ke Tanah Mataram. Di malam terakhir mereka merasa, seolah-olah desah angin itu mengandung ancaman yang dapat membahayakan.
Dengan segenap ketajaman indera, orang-orang tua itu pun mencoba menangkap kesan yang timbul dari desah angin malam yang dingin itu. Namun mereka tidak merasakan sesuatu yang dapat menumbuhkan kecurigaan apa pun.
“Agaknya ada sesuatu yang tidak sewajarnya di Tanah Mataram,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya, seperti juga Ki Waskita dan Ki Sumangkar.
Namun mereka pun menjadi agak tenang, karena di Mataram masih ada Ki Juru Martani yang tentu memiliki ketajaman indera yang cukup baik untuk melindungi Tanah Mataram dari kemungkinan-kemungkinan yang buruk.
Karena itulah maka mereka pun kemudian mencoba menyingkirkan kecemasan hati mereka. Apalagi ketika kemudian gerimis turun perlahan-lahan. Gerimis yang gemericik di sela-sela desah angin malam yang dingin.
Terasa sejuknya udara telah membuat mereka semakin tenggelam dalam perasaan kantuk sehingga mereka pun kemudian segera tertidur dengan nyenyaknya. Bahkan Ki Demang Sangkal Putung, Nyai Demang, Agung Sedayu, dan mereka yang gelisah pun telah melupakan kegelisahan mereka barang sejenak.
Waktu-waktu berikutnya berjalan selangkah demi selangkah. Di hari-hari berikutnya, Ki Demang Sangkal Putung nampak sibuk berbicara dengan orang-orang tua dari kademangannya dan tamu-tamunya. Mereka mulai menghitung-hitung hari dan saat yang paling baik untuk menentukan hari perkawinan Swandaru.
“Ki Argapati juga akan menghitung hari dan saat yang paling tepat. Kita akan membicarakannya kelak apabila ada dua atau tiga saat yang baik dipergunakan,” berkata Ki Demang kepada orang-orang tua dari Sangkal Putung dan tamu-tamunya yang masih berada di kademangan.
“Tetapi, bukankah Kiai Gringsing adalah seorang dukun yang pandai?” bertanya salah seorang yang berjanggut putih kepada Ki Demang.
“Ya,” jawab Ki Demang, “Kiai Gringsing adalah seorang dukun yang jarang ada duanya.”
“Wah, bukankah Kiai Gringsing dapat memilih hari yang paling baik buat saat perkawinan Angger Swandaru, apalagi Angger Swandaru adalah muridnya?”
Ki Demang memandang Kiai Gringsing yang tersenyum. Berkata dukun tua itu, “Maaf, Ki Sanak. Aku adalah seorang dukun yang hanya dapat mengingat beberapa jenis dedaunan yang dapat dipergunakan untuk mengobati luka-luka kecil. Tetapi sudah barang tentu bukan untuk menentukan hari dan waktu seperti itu.”
“Ah, Kiai selalu merendahkan diri. Tetapi Kiai adalah orang yang paling tepat,” berkata seorang yang usianya sudah lanjut meskipun nampaknya masih segar.
Kiai Gringsing bergeser sejenak lalu, “Maaf, seribu maaf. Bagiku hari-hari tidak ada bedanya. Itu justru karena kebodohanku.”
Orang-orang Sangkal Putung saling berpandangan sejenak. Namun seorang tua yang lain tersenyum sambil berkata, “Aku sudah menduga bahwa Kiai akan berkata begitu. Tetapi aku pun tahu bahwa Kiai adalah seorang yang memiliki pengetahuan yang luar biasa.”
Kiai Gringsing menjadi semakin bingung. Karena itu ia berkata, “Bukan maksudku untuk berpura-pura. Tetapi aku benar-benar tidak mengerti perbedaan hari yang satu dengan yang lain.”
Ki Demang yang mengerti serba sedikit tentang Kiai Gringsing pun kemudian berkata, “Baiklah, Kiai. Agaknya Kiai terlampau yakin akan diri sendiri, sehingga untuk berbuat sesuatu yang penting sekali pun Kiai tidak memerlukan waktu yang khusus.”
Kiai Gringsing tertawa, katanya, “Tentu bukan begitu. Yang benar, aku adalah orang yang terlampau bodoh untuk mengerti kelainan waktu.”
“Nah,” berkata Ki Demang kemudian, “kita akan kembali kepada orang-orang tua dari Sangkal Putung. Kalianlah yang harus menentukan hari-hari yang paling baik itu.”
Orang-orang tua di Sangkal Putung itu pun terdiam. Sekilas mereka memandang Ki Sumangkar dan Ki Waskita. Bagi mereka, tamu-tamu Ki Demang adalah orang-orang yang terhormat, dan sudah barang tentu mereka menganggap tamu-tamu itu adalah orang-orang yang cukup pandai. Mereka telah pernah mendengar, bahwa tamu-tamu Ki Demang adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang tiada taranya.
Tetapi mereka pun sudah menduga, bahwa seperti Kiai Gringsing, tamu-tamu itu tentu akan merendahkan dirinya dan menolak untuk mengatakan saat-saat yang paling baik bagi perkawinan Swandaru.
Yang paling gelisah di antara tamu-tamu Ki Demang adalah justru Ki Waskita. Ia mengerti, bahwa Ki Demang Sangkal Putung itu serba sedikit telah mengenalnya. Ki Demang mengetahui bahwa kadang-kadang ia dapat melihat isyarat apa yang akan terjadi di masa depan. Jika Ki Demang bertanya kepadanya tentang Swandaru, maka ia tentu akan mendapat kesulitan untuk menjawab. Selama ini ia sendiri telah digelisahkan oleh penglihatannya atas isyarat tentang masa depan Swandaru. Bahkan kadang-kadang ia memaksa dirinya untuk mengingkari penglihatannya sendiri.
“Swandaru anak baik,” katanya dalam hati.
Ketika Ki Demang memandangnya, maka Ki Waskita pun segera menundukkan kepalanya. Ia berharap bahwa Ki Demang tidak akan bertanya kepadanya tentang Swandaru.
Ternyata Ki Demang tidak bertanya kepadanya. Ia pun kemudian menyerahkan kepada orang-orang tua di Sangkal Putung untuk menentukan hari yang paling baik bagi saat perkawinan Swandaru itu.
Tetapi Ki Demang memang tidak terlampau tergesa-gesa. Ia tidak ingin mendengar keputusan hari pada saat itu juga.
“Masih banyak yang akan kita bicarakan,” berkata Ki Demang, “kita memerlukan beberapa orang patah, paling sedikit dua orang gadis kecil dan dua orang anak muda. Kita memerlukan barang-barang yang akan kita siapkan dan akan kita bawa. Kita akan memerlukan orang-orang yang mengerti tentang jenis dan jumlah sesaji bukan saja di sekitar rumah, halaman dan Kademangan ini, tetapi juga di sepanjang jalan yang akan dilalui oleh Swandaru. Kita harus tahu pasti, upacara apa yang harus dilakukan di sepanjang jalan. Misalnya, melemparkan telur ke sungai yang akan kita lalui, mengelilingi Istana Kiai Sempok, sebatang randu Alas di ujung bulak Kali Asat. Dan yang lain lagi, yang masih banyak harus kita pelajari. Karena itu, juga tentang hari akan kita tentukan di saat lain. Kalian masih mempunyai waktu untuk menghitungnya.”
Orang-orang tua dari Sangkal Patung itu mengangguk- angguk. Salah seorang dari mereka berkata, “Melempar telur, mengelilingi Istana Randu Aras Kiai Sempok dan yang lain hanya harus dilakukan jika kelak kita akan ngunduh pengantin. Jelasnya apabila dalam iring-iringan pengantin terdapat pengantin laki-laki dan perempuan.”
Ki Demang mengangguk-angguk. Katanya, “Ya, kelak jika Swandaru membawa isterinya pulang ke Sangkal Putung.”
“Ya.”
Ki Demang mengangguk-angguk. Tetapi timbul pertanyaan di dalam hatinya, “Lalu bagaimana dengan Tanah Perdikan Menoreh? Ki Argapati hanya mempunyai seorang anak. Anak itu adalah Pandan Wangi. Jika Pandan Wangi harus meninggalkan tanah Perdikan Menoreh, lalu siapakah yang akan memimpin Tanah Perdikan itu?”
Sekilas teringat oleh Ki Demang, seorang laki-laki yang pernah ikut membakar Tanah Perdikan Menoreh. Orang itu adalah orang kedua di Tanah Perdikan Menoreh. Jika tidak ada Ki Argapati, maka orang yang bernama KI Argajaya itulah yang berhak atas Tanan Perdikan Menoreh. Bahkan ia pernah berusaha bersama Sidanti, anak-laki-laki Ki Argapati itu sendiri, untuk menyingkirkan Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang sebenarnya.”
“Ah, itu persoalan yang dapat dibicarakan nanti,” berkata Ki Demang di dalam hatinya.
Dengan demikian, maka orang-orang tua itu pun kemudian minta diri. Mereka masih harus datang lagi lain kali dan tidak hanya sekali, tetapi dua kali, tiga kali dan berulang-ulang kali untuk melanjutkan pembicaraan yang penting bagi keluarga Ki Demang Sangkal Patung itu, dan sudah barang tentu dengan hidangan yang mbanyu-mili.
Dengan demikian, maka setiap kali Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Ki Sumangkar pun selalu ikut serta mendengarkan setiap pembicaraan yang merambat dengan lamban itu. Namun mereka benar-benar menginginkan saat dan keadaan yang paling baik.
Sehingga akhirnya, semua rencana pun telah tersusun. Ki Demang Sangkal Putung telah menentukan hari yang paling baik yang akan disampaikan kepada Ki Argapati. Dan Ki Demang pun telah mendapatkan dua orang gadis kecil sebagai Patah dan dua anak muda yang cukup tampan, dan yang kebetulan adalah dua orang saudara kembar.
“Kita akan segera mengirimkan utusan ke Tanah Perdikan Menoreh. Jika semuanya sudah mendapat persetujuan, maka dalam waktu singkat kita akan mempunyai kesibukan,” berkata Ki Demang kepada isterinya pada suatu saat.
“Jadi, kita akan mengantarkan Swandaru lebih dahulu?” bertanya isterinya.
“Kenapa kau bertanya begitu? Bukankah Swandaru memang lebih tua dari Sekar Mirah.”
“Tetapi di dalam perguruannya, Agung Sedayu dianggapnya sebagai saudara tua.”
“Ah, biarlah. Yang penting bagi kita adalah urutan anak-anak kita. Meskipun tidak ada salahnya seorang gadis mendahului kakaknya, tetapi lebih baik jika kakaknya lebih dahulu baru adiknya, sehingga kita tidak perlu menyediakan kelengkapan untuk melakukan upacara nglangkahi.”
Nyai Demang hanya mengangguk-angguk saja.
“Nah Nyai, kita harus sudah mulai bersiap. Perkawinan ini tentu merupakan perkawinan yang meriah. Pandan Wangi adalah satu-satunya anak Ki Gede Menoreh.”
“Dan dalam upacara ngunduh penganten, kita tidak boleh kalah. Peralatan disini harus seimbang dengan peralatan yang diselenggarakan di Tanah Perdikan Menoreh, meskipun barangkali Ki Gede Menoreh lebih berada daripada kita.”
“Maksudnya bukan begitu. Kita tidak perlu saling bersaing di dalam upacara itu. Tetapi setidak-tidaknya kita harus menghormati bakal mertua Swandaru.”
Sekali lagi Nyai Demang mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab lagi.
Demikianlah Kademangan Sangkal Putung mulai bersiap-siap. Nyai Demang mulai menyisihkan padi yang paling baik, ketan yang putih dan beberapa ekor ayam dan kambing yang paling gemuk. Bahkan Ki Demang kemudian telah memilih seekor lembu muda yang putih mulus.
Dalam pada itu, Kiai Gringsing, Ki Sumangkar dan Ki Waskita justru bagaikan terikat untuk tetap tinggal di Sangkal Putung. Bahkan Ki Demang meskipun, belum resmi sudah mulai menyinggung kemungkinan sekelompok utusan yang akan dimintanya pergi untuk membuat keputusan terakhir ke Tanah Perdikan Menoreh.
“Aku sendiri tidak dapat pergi meninggalkan persiapan yang sedang kita lakukan,” berkata Ki Demang.
“Agaknya memang demikian,” sahut Kiai Gringsing yang sudah merasa bahwa sebentar lagi ia akan menempuh perjalanan sekali lagi ke Menoreh. Tentu bersama Ki Sumangkar dan Ki Waskita.
“Tetapi perjalanan itu tentu akan merupakan perjalanan pulang bagi Ki Waskita.” Berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya, “dan aku bersama Ki Sumangkar akan kembali berdua saja ke Sangkal Putung.”
Karena itu, maka Kiai Gringsing, Ki Sumangkar dan Ki Waskita tinggal menunggu saja, kapan mereka harus berangkat.
Sementara itu, selagi mereka menunggu saat yang akan ditentukan oleh Ki Demang, mereka telah dikejutkan oleh kedatangan sekelompok utusan dari Mataram yang dipimpin oleh Ki Lurah Branjangan.
Ketika sekelompok pengawal dari Mataram itu memasuki padukuhan induk, beberapa orang anak muda sudah mendahului menghadap Ki Demang, dan melaporkan bahwa beberapa orang dengan ciri-ciri yang mereka kenal sebagai pengawal-pengawal dari Mataram telah datang.
“Apakah mereka hanya sekedar singgah sejenak, atau ada kepentingan yang lain?”
“Kami tidak tahu Ki Demang. Kami baru melihat mereka dari kejauhan.”
Karena itulah maka dengan berdebar-debar Ki Demang bersama Kiai Gríngsing, Ki Waskita dan Ki Sumangkar serta para bebahu yang kebetulan sedang berada diinduk Kademangan segera menyongsong mereka keregol halaman
Sebenamyalah bahwa sejenak kemudian iring-iringan itu pun telah mendekati regol. Yang paling depan dari sekelompok pengawal itu adalah. Ki Lurah Branjangan.
Dengan berbagai pertanyaan yang bergejolak di dalam hati, maka orang-orang Sangkal Putung itu pun menyambut tamunya dan mempersilahkan mereka naik ke pendapa.
Meskipun Ki Lurah Branjangan berusaha untuk tersenyum, namun nampak bahwa ada kegelisahan yang memancar di wajahnya.
Betapa pun keinginan mendesak disetiap dada mereka yang menyambut pengawal-pengawal itu, namun mereka tidak dapat dengan serta merta menanyakan, apakah keperluan kedatangan sekelompok kecil pengawal-pengawal itu.
Yang mula-mula mereka tanyakan, seperti kebiasaan yang berlaku adalah keselamatan tamu-tamu itu disepanjang perjalanan.
“Tidak ada kesulitan apa pun juga diperjalanan, Ki Demang,” jawab Ki Lurah Branjangan, “bagaimana dengan Ki Demang sekeluarga, Kiai Gríngsíng dan kedua murid-muridnya, Ki Sumangkar dan Ki Waskita?”
“Semuanya selamat. Seperti yang Ki Lurah lihat, mereka sehat-sehat saja.”
“Syukurlah. Agaknya Ki Demang sudah mempersiapkan segala sesuatu bagi peralatan perkawinan Angger Swandaru.”
Ki Demang tersenyum sambil memandang Swandaru yang duduk disisi pendapa itu bersama Agung Sedayu. Sambil menarik nafas ia menyahut, “Begitulah Ki Lurah. Tetapi darimana Ki Lurah mengetahuinya?”
“Setumpuk kayu di halaman samping yang sudah dibelah-belah menjadi kayu bakar. Dinding-dinding yang mulai dibersihkan. Halaman dan kebun yang menjadi semakin asri. Dan kesibukan yang sudah nampak di Kademangan ini.”
“Tetapi waktunya masih cukup lama Ki Lurah.”
“Berapa hari lagi perkawinan itu akan berlangsung?”
“Menurut rencana kami tetapi masih harus disampaikan lebih dahulu kepada Ki Argapati, kira-kira selapan hari lebih sedikit.”
“O, sudah terlampau dekat bagi sebuah peralatan perkawinan yang besar.”
“Bukan peralatan yang besar,” sahut Ki Demang, “hanya sekedar syarat agar tetangga di sebelah menyebelah menjadi saksi perkawinan Swandaru kelak.”
Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Tetapi agaknya ia tidak akan membicarakan masalah perkawinan Swandaru untuk seterusnya. Wajahnya yang sudah berkesan kegelisahan semakin nampak, bahwa memang ada sesuatu yang akan di katakannya.
“Ki Demang,” berkata Ki Lurah kemudian, “sebenarnyalah bahwa kedatangan kami membawa suatu kabar yang barangkali penting bagi Ki Demang, dan tamu-tamu Ki Demang.”
Ki Demang mengerutkan keningnya. Lalu ia pun bertanya, “Apakah ada sangkut pautnya dengan Kademangan Sangkal Putung Ki Lurah?”
Ki Lurah menggeleng. Katanya, “Tidak ada hubungan langsung dengan Kademangan Sangkal Putung. Tetapi meskipun demikian, Ki Juru Martani menganggap perlu untuk memberitahukan persoalan ini kepada Ki Demang dan tamu-tamu Ki Demang.”
Ki Demang termangu-mangu sejenak ketika ia memandang wajah Kiai Gringsing, nampak wajah itu pun menjadi tegang.
“Nampaknya penting sekrali Ki Lurah, sehingga Ki Lurah tidak sempat menunggu minuman dan makanan dihidangkan,” berkata Kiai Gringsing.
“Terima kasih. Tentu kami akan menunggu sampai minuman dan makanan dihidangkan, bahkan seandainya Ki Demang menangkap beberapa ekor ayam dan disembelih. Tetapi rasa-rasanya aku ingin mencampaikan pesan yang seolah-olah menyumbat dadaku agar kemudian aku dapat duduk tenang dengan dada yang lapang.”
Kiai Gringsing pun menjadi semakin ingin mengetahui, persoalan apakah yang sedang dibawa oleh Ki Lurah Branjangan.
“Ki Demang,” berkata Ki Lurah kemudian, “agaknya kedatangan kami dengan sekelompok pengawal yang bersenjata lengkap seperti pergi kemedan perang, telah mengejutkan Sangkal Putung.”
Ki Demang mengangguk sambil menjawab, “Ya Ki Lurah. Bukan karena pengawal yang bersenjata lengkap, karena hal itu wajar sekali dilakukan dalam keadaan yang belum mantap benar seperti sekarang ini bagi Mataram. Tetapi justru kedatangan Ki Lurahlah yang telah mengejutkan kami.”
Ki Lurah Branjangan tersenyum, meskipun nampak senyumnya agak dipaksakannya karena kegelisahan.
Ki Demang yang sebenarnya juga ingin segera mengetahui persoalanya yang dibawa oleh Ki Lurah itu pun kemudian bertanya, “Apakah sebenarnya persoalan itu, Ki Lurah?”
Ki Lurah Branjangan menarik nafas. Wajahnya yang gelisah menjadi semakin bersugguh-sungguh. Dan diluar sadarnya ia memandang Kiai Gringsing sambil berkata, “Kiai, berita ini akan terasa sangat penting bagi Kiai.”
“Aku?” bertanya Kiai Gringsing.
“Ya. Baru beberapa hari Kiai meninggalkan Mataram. Tetapi telah terjadi sesuatu yang sangat gawat. Justru dalam keadaan seperti sekarang.”
Kiai Gringsing tidak menyahut. Tetapi wajahnya yang sudah berkerut oleh umurnya menjadi semakin berkerut.
“Kiai, sepeninggal Kiai, Mataram telah mengalami bencana, sebenarnya bencana.”
Kiai Gringsing yang bertanya-tanya di dalam hati itu pun masih juga terperanjat mendengar keterangan itu. Tetapi ia masih menahan diri dan membiarkan Ki Lurah Branjangan berkata seterusnya.
Tetapi Ki Lurah pun kemudian berkata, “Maaf Ki Demang, agaknya berita yang aku bawa hanya boleh didengar oleh orang tua-tua yang berkepentingan.”
Kata-kata Ki Lurah itu menjadi semakin menggelisahkan hati. Karena itu, maka Ki Demang pun kemudian berkata kepada bebahunya yang ada di pendapa itu, “Maaf, tinggalkan pendapa ini. Agaknya memang ada sesuatu yang penting. Tetapi jangan pergi terlampau jauh.”
Bebahu Sangkal Putung yang ada dipendapa itu saling berpandangan sejenak. Namun mereka harus tunduk kepada Ki Demang yang minta mereka meninggalkan pendapa itu. Mereka pun menyadari, bahwa jika tidak dikehendaki, mereka tidak sewajarnya ikut membicarakan persoalan-persoalan penting yang barangkali langsung menyangkut perkembangan Mataram. Persoalan yang terlampau tinggi untuk mereka ketahui dan apalagi ikut memikirkannya.
Swandaru dan Agung Sedayu menjadi ragu-ragu sesaat. Apakah ia boleh ikut mendengarkan atau tidak. Karena itu, mereka masih duduk saja ditempatnya ketika bebahu Sangkal Putung sudah mulai bergeser dari pendapa.
Tetapi agaknya Ki Luran Branjangan tidak berkeberatan. Ketika Ki Lurah mengangguk kedua anak muda itu justru mendekatinya.
Sejenak Ki Lurah Branjangan memandang berkeliling seakan-akan ingin meyakinkan, bahwa tidak ada lagi orang yang dapat mendengar kata-katanya.
“Silahkan Ki Lurah,” berkata Kiai Gringsing yang agaknya didesak oleh keinginannya untuk mengetahui persoalan yang dibawa oleh Ki Lurah itu.
Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Mataram telah kehilangan barang yang paling berharga bagi Raden Sutawijaya.”
“Apakah yang hilang?”
“Kanjeng Kiai Mendung.”
“Kanjeng Kiai Mendung,” hampir bersamaan orang-orang yang mendengar itu mengulang dengan wajah yang tegang.
Ki Lurah Branjangan mengangguk. Sekali lagi ia memandang berkeliling, seakan-akan ia masih belum yakin bahwa tidak ada orang lain yang mendengarnya, “Bahkan lebih dari itu,” desisnya kemudian.
“Apalagi?” bertanya Kiai Gringsing.
“Kanjeng Kiai Pleret.”
Setiap dada terguncang mendencar jawaban itu, sehingga justru sesaat mereka diam membeku.
“Keduanya hilang dalam satu saat.”
“Kapan?” bertanya Kiai Gringsing dengan nada yang dalam.
“Semalam. Baru semalam.”
“Apakah Ki Juru Martani tidak ada di Mataram?” bertanya Ki Waskita.
“Ada. Tetapi ia tidak kuasa mencegahnya.”
“Bagaimana mungkin,” potong Ki Sumangkar, “di Mataram ada Ki Juru Martani, Raden Sutawjaya, K Lurah dan pengawal-pengawal yang sudah memiliki kemampuan dan tata gerak seperti prajurit yang sebenarnya, karena sebagian dari mereka pun pernah menjadi prajurit.”
Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Semua terjadi diluar dugaan kami. Agaknya sekelompok orang-orang jahat telah dengan cermat mengamati keadaan sejak sebelum Ki Gede Pemanahan wafat.”
Terdengar Kiai Gringsing berdesis. Namun ia tidak berkata apa pun juga. Meskipun demikian nampak wajahnya menjadi semakin tegang.
“Kiai,” berkata Ki Lurah selanjutnya, “tetapi dalam-hal ini Ki Juru berpesan, agar kehilangan itu dirahasiakan.Mataram akan kehilangan arti perkembangannya tanpa kedua pusaka itu. Selebihnya, Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani menjadi sangat takut, jika Kanjeng Sultan di Pajang menjadi sangat marah dan mengambil langkah-langkah yang dapat mematahkan sama sekali pertumbuhan Mataram.”
“Hampir tidak dapat dimengerti,” desis Ki Sumangkar.
“Memang hampir tidak dapat dimengerti,” gumam Ki Waskita.
“Apakah tidak ada isyarat atau tanda-tanda apa pun yang. pernah nampak oleh Ki Waskita,” tiba-tiba saja Ki Lurah Branjangan bertanya, “hilangnya kedua pusaka Mataram adalah suatu peristiwa yang besar. Karena itu, barangkali meskipun hanya seleret pernah nampak isyarat itu.”
Ki Waskita menggeleng lemah, katanya, “Aku tidak pernah menyangka bahwa hal serupa itu dapat terjadi, sehingga karena itu, maka seandainya ada isyarat, namun tentu berada diluar pengamatanku.”
“Meskipun demikian, barangkali tanda-tanda itu ada.”
“Inilah ciri kepicikan kemampuan seseorang Ki Lurah,” berkata Ki Waskita, “meskipun kadang-kadang aku dapat melihat isyarat itu, tetapi aku adalah seorang yang dibatasi oleh banyak sekali kekurangan.”
Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Semula kami hanya pernah mendengar bahwa keris Kanjeng Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten pernah hilang. Bahkan langsung dari gedung perbendaharaan istana Demak. Dan kini Mataram mengalami peristiwa yang hampir serupa.”
“Bagaimana hal itu terjadi?” bertanya Kiai Gringsing. Sekilas terkenang olehnya udara yang mencurigakan pada saat-saat terakhir ia berada di Mataram.
“Tentu ada hubungannya dengan hilangnya pusaka-pusaka itu,” berkata Kiai Gringsing di dalam harinya.
Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sesuatu telah terjadi semalam. Udara di Mataram bagaikan ditaburi dengan racun. Semua orang yang bertugas telah kehilangan kesadaran diri. Mereka tertidur ditempat tugas mereka masing-masing.”
“Sirep,” desis Ki Sumangkar, “masih juga ada orang yang mempergunakannya saat ini. Dan masih juga ada orang yang terpengaruh oleh kekuatannya.”
“Mungkin tidak akan dapat mempengaruhi kesadaran Ki Sumangkar, Kiai Gringsing dan Ki Waskita. Juga Ki Juru Martani. Tetapi mereka yang tidak memiliki ilmu yang cukup kuat akan segera terpengaruh. Aku tidak tahu, kenapa saat itu aku pun hampir kehilangar kesadaran. Juga Raden Sutawijaya. Hanya dengan berjuang sekuat-kuatnya kami dapat tetap sadar. Beberapa orang pemimpin di Mataram pun harus memusatkan segenap kemampuannya agar mereka tidak tertidur.”
“Jadi, bagaimana mungkin pusaka-pusaka itu hilang jika Ki Juru, Raden Sutawijaya, Ki Lurah sendiri dan beberapa orang pemimpin masih tetap menyadari dirinya. Dan apakah dalam keadaan yang demikian, Ki Juru dan para pemimpin di Mataram tidak segera menyadari bahwa pusat perhatian orang lain terhadap Mataram, sepeninggal Ki Gede adalah kedua pusaka itu?”
Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia merenung, seolah-olah ingin mengingat seluruh peristiwa itu kembali.
“Kiai,” berkata Ki Lurah Branjangan, “seakan-akan memang tidak mungkin terjadi. Sekelompok orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi telah menyerang Mataram pada malam itu. Dan kami yang tetap mampu menyadari diri betapa pun pengaruh sirep itu menusuk kedalam jantung kami telah bertempur dengan segenap kemampuan yang ada.”
“Agaknya Ki Juru telah terpancing keluar rumah malam itu,”geram Kiai Gringsing.
“Memang sulit mengatakannya. Tetapi agaknya memang demikian. Ki Juru memang tidak mau meninggalkan bilik penyimpanan pusaka itu. Ia hanya bertempur di depan pintu karena seorang yang memiliki kelebilhan ilmu dari para penyerang yang lain telah mencoba masuk kedalam bilik itu. Namun ketika orang itu berhasil diusirnya, bahkan Ki Juru sudah menahan diri tanpa mengejarnya, ternyata pusaka-pusaka itu sudah tidak ada di dalam bilik.”
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jika demikian sekurang-kurangnya, di antara kelompok penyerang itu ada dua orang yang memiliki ilmu setingkat dengan Ki Juru. Yang pertama adalah yang bertempur di depan pintu, sedang yang lain yang berhasil mengambil pusaka itu dari dalam bilik.”
“Demikianlah agaknya. Orang yang mengambil pusaka itu ternyata telah memecahkan dinding kayu dan justru masuk dari ruang dalam.”
Mereka yang mendengar keterangan itu menjadi semakin tegang. Agung Sedayu dan Swandaru tanpa menyadarinya telah bergeser semakin dekat. Dengan suara bergetar Swandaru menyela, “Berapa orang yang datang malam itu Ki Lurah.”
“Tidak kurang dari tujuh atau delapan orang. Meskipun jumlah kami yang mampu melepaskan diri dari sirep yang kuat itu lebih dari sepuluh orang dan yang dengan sikap naluriah telah berkumpul dipendapa rumah Raden Sutawijaya, namun kami. tidak mampu menahan mereka karena sebagian dari kami memang sudah dipengaruhi oleh gangguan kekuatan sirep itu. Sebagian dari kami harus berjuang melawan kekuatan sirep dan bertempur sekaligus melawan orang-orang yang memiliki kemàmpuan yang cukup tinggi.”
Ki Sumangkar yang tegang itu pun tiba-tiba menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jarang sekali orang yang dapat melontarkan kekuatan sirep yang sebenarnya. Jika orang-orang Mataram itu kemudian tertidur ditempat tugasnya, maka sirep itu tentu dilontarkan oleh seseorang yang memang memiliki ilmu yang tinggi.”
“Mungkin. Tetapi gerombolan itu mungkin memiliki dua atau tiga orang yang bersama-sama mempergunakan ilmunya, sehingga kekuatan sirep itu menjadi berlipat,” desis Ki Waskita.
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Terasa sesuatu mencengkam jantungnya. Hilangnya kedua pusaka itu tentu akan mempunyai arti yang jauh bagi Mataram.
Karena itu, Kiai Gringsing sependapat, bahwa hilangnya kedua pusaka itu memang harus dirahasiakan. Bahkan orang-orang Mataram sendiri pun harus tidak mengetahuinya, selain beberapa orang pemimpin yang sangat terbatas.
“Kiai,” berkata Ki Lurah kemudian, “sebagian dari kami percaya, bahwa kedua pusaka itu adalah kelengkapan yang menentukan dari seseorang yang akan menjadi pemimpin. Bahkan ada di antara kami dan barangkali juga beberapa pihak yang percaya bahwa siapa yang dapat memiliki Kanjeng Kiai Pleret dan Kanjeng Kiai Mendung akan dapat menjadi raja yang besar, meskipun masih harus dilengkapi dengan pusaka-pusaka yang lain, terutama Kanjeng Kiai Sangkelat.”
“Bagaimana dengan Kanjeng Kiai Nagasasra dan Kanjeng Kiai Sabuk Inten?”
Ki Lurah Branjangan mengerutkan keningnya. Katanya, “Pusaka-pusaka itu memang harus dipersatukan jika seseorang ingin memiliki kedudukan yang kuat. Tetapi tidak mustahil bahwa gerombolan yang mengambil Kanjeng Kiai Pleret dan Kanjeng Kiai Mendung akan berusaha untuk memiliki pusaka-pusaka yang lain, karena dengan memiliki sebagian dari pusaka-pusaka itu, masih belum berhasil dapat memegang pimpinan pemerintahan. Sekelompok kekuatan yang pernah menyimpan Kanjeng Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten untuk beberapa lamanya ketika kedua pusaka itu hilang, ternyata sama sekali tidak berhasil merebut pemerintahan yang saat itu berada ditangan Sultan Trenggana di Demak. Bahkan kedua pusaka itu telah menyeret mereka kedalam malapetaka dan kemusnahan.”
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Sebenarnyalah bahwa pusaka-pusaka itu mempunyai pengaruh pada seseorang yang memilikinya. Tetapi hubungan timbal balik antara kekuatan-kekuatan yang ada pada diri seseorang dan kemampuannya menyesuaikan diri dengan pengaruh yang ada pada pusaka-pusaka itulah sebenarnya yang dapat menentukan sifat-sifat yang terpancar dari pusaka-pusaka itulah yang harus di dalami dan luluh di dalam diri seseorang. Barulah pusaka itu mempunyai arti.”
Ki Lurah Branjangan mengerutkan keningnya. Lalu, “Kegelisahan yang besarlah yang kini tengah mencengkam Mataram.”
“Sudah tentu. Terlebih-lebih adalah Ki Juru Martani,” desis Ki Waskita.
“Ya,” sahut Ki Lurah, lalu tiba-tiba saja berkata kepada Ki Waskita, “Ki Waskita, sebagian harapan kami ada pada Ki Waskita. Tentu Ki Waskita dapat mengetahui siapakah yang telah mengambil pusaka-pusaka itu.”
Ki Waskita mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Aku mengerti maksud Ki Lurah. Tetapi Ki Lurah memerlukan penjelasan.”
Ki Lurah Branjangan memandang Ki Waskita dengan tatapan mata yang mengandung harapan. Meskipun demikian ada sesuatu yang agaknya harus diterimanya sebagai suatu kenyataan.
“Ki Lurah,” berkata Ki Waskita, “sebenarnyalah bahwa aku mendapat anugerah dapat melihat isyarat dari berbagai peristiwa dimasa mendatang. Tetapi sudah barang tentu amat sulit untuk mengetahui dimanakah kedua pusaka itu berada. Aku tidak dapat mengatakan dengan pasti, apa yang sebenarnya akan terjadi selain sebuah uraian tentang isyarat. Sedangkan pusaka-pusaka yang ada di Mataram itu telah hilang. Dan aku tidak dapat melihat, siapakah yang mengambilnya.”
“Tetapi setidak-tidaknya Ki Waskita dapat menunjukkan, apakah yang harus kami lakukan? Ki Waskita dapat mencari anak Ki Waskita yang hilang itu dengan arah yang tepat. Sudah barang tentu sekarang Ki Waskita dapat juga menunjukkan kepada kami, dimanakah pusaka itu berada. Di Barat, di Timur, di Selatan atau di Utara, atau dimana saja.”
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Ia memang belum mencoba untuk menangkap isyarat dari pusaka yang hilang itu. Tetapi seandainya ia berusaha sekalipun, belum tentu ia dapat menangkapnya. Hubungan antara dirinya dan pusaka itu tidak sedekat hubungan antara dirinya dengan anaknya, sehingga getaran yang paling halus pun mampu menyentuh mata hatinya. Apalagi jarak jangkau kemampuannya pun terbatas, sehingga tidak semua masalah dapat dicapainya dengan ketajaman penglihatan batinnya.
“Jika aku melihat seisi bumi peristiwa yang sudah dan yang akan terjadi, maka aku adalah Yang Maha Melihat. Dan jika aku berani menyangka diriku demikian, maka itu adalah alamat keruntuhanku sendiri,” berkata Ki Waskita kepada dirinya sendiri.
“Ki Lurah,” katanya kemudian, “keterbatasan pengetahuan manusia tidak dapat diingkari. Karena itu jangan terlampau banyak mengharap. Barangkali aku dapat berusaha melihat sesuatu yang dapat nampak, dalam hubungannya dengan pusaka-pusaka itu. Tetapi itu pun tentu terbatas sekali.”
“Cobalah Ki Waskita,” sahut Ki Lurah Branjangan, “Raden Sutawijaya mengharap bantuan Ki Waskita.”
“Tetapi sudah barang tentu Ki Lurah tidak tergesa-gesa. Ki Lurah akan beristirahat sebentar di Sangkal Putung. Atau barangkali bermalam satu atau dua malam.”
“Tentu tidak. Aku harus segera kembali. Bahkan jika mungkin, Kiai Gringsing, Ki Sumangkar dan Ki Waskita diharap pergi bersamaku ke Mataram.”
Undangan itu membuat hati Ki Demang menjadi berdebar-debar. Belum lagi ia dapat melaksanakan keinginannya untuk segera mengawinkan anaknya, tiba-tiba datang lagi persoalan yang mungkin dapat menunda saat-saat yang sudah lama ditunggunya itu.
Tetapi untuk memotong pembicaraan itu rasa-rasanya Ki Demang agak segan juga, karena ia mengerti bahwa masalahnya adalah masalah yang sangat penting bagi Mataram.
Tetapi agaknya Kiai Gringsing dapat menangkap kegelisahan itu sehingga katanya, “Ki Lurah. Sudah barang tentu kami tidak akan berkeberatan. Tetapi kami mohon waktu sedikit. Dengan demikian kami mohon maaf bahwa kami tidak dapat pergi bersama Ki Lurah hari ini. Kami akan segera menyusul, mungkin besok, mungkin lusa.”
Ki Lurah Branjangan merasa menjadi sangat kecewa. Tetapi ia pun dapat mengerti, agaknya Kademangan Sangkal Putung sudah disibukkan oleh persiapan saat-saat perkawinan Swandaru.
Kiai Gringsing pun dapat membaca kekecewaan yang tersirat di wajah Ki Lurah itu. Katanya, “Ki Lurah. Agaknya aku sudah dipastikan oleh Ki Demang untuk sekali lagi pergi ke Tanah Perdikan Menoreh untuk menyampaikan keputusan terakhir dari pembicaraan yang berkepanjangan tentang Angger Swandaru. Aku akan datang ke Tanah Perdikan Menoreh dengan kepastian waktu, saat dan upacara yang akan sama-sama dilakukan, baik di Tanah Perdikan Menoreh, maupun di Sangkal Putung.”
“Dalam perjalanan itu Kiai akan singgah di Mataram?” bertanya Ki Lurah.
“Ya,” sahut Kiai Gringsing, “mungkin aku dapat melakukan tugas yang dibebankan oleh Ki Demang, sekaligus menghadap Ki Juru Martani. Aku ingin lebih banyak mengetahui persoalan yang sedang menggelisahkan Mataram.”
Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Namun kemudian ia bergeser maju. Sekali lagi ia memandang berkeliling. Dilihatnya diregol halaman, beberapa orang bebahu dan pengawal sedang bercakap-cakap.
“Kiai,” berkata Ki Lurah Branjangan, “ada sesuatu yang harus aku tunjukkan kepada Kiai. Kecuali isyarat yang kami harapkan dapat dilihat oleh Ki Waskita, maka barangkali pertanda yang kami ketemukan setelah terjadi pertempuran dipintu bilik pusaka itu dapat memberikan sedikit petunjuk.”
Kiai Gringsing menjadi semakin tegang. Bahkan ia pun bergeser setapak sambil bertanya, “Pertanda apa yang dapat kau lihat?”
“Bukan saja aku lihat, tetapi diketemukan oleh Ki Juru. Sekarang tanda itu ada padaku dan atas perintah Ki Juru, tanda itu supaya aku tunjukkan kepada Kiai.”
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Aku ingin sekali melihat tanda itu.”
Ki Lurah Branjangan pun kemudian mengambil sebuah kampil kecil dari kantung ikat pinggang kulitnya yang lebar. Kemudian kampil kecil itu pun diberikannya kepada Kiai Gringsing sambil berkata, “Kampil itulah yang diketemukan oleh Ki Juru Martani. Silahkan melihat isinya. Barangkali Kiai dapat memberikan tanggapan atas benda itu.”
Dengan dada yang berdebar-debar Kiai Gringsing menerima kampil kecil itu dari tangan Ki Lurah Branjangan. Sebuah kampil dari kain berwarna putih, meskipun agaknya sudah cukup tua sehingga menjadi kekuning-kuningan.
Pada saat Kiai Gringsing menerima kampil itu sudah terasa ditangannya sebuah benda yang pipih di dalamnya. Sebuah benda yang membuat jantungnya semakin cepat berdetak.
“Ternyata kedua pusaka itu benar-benar telah mengundang kesulitan bagi Mataram,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya, “namun kedua benda itu memang dapat memberikan pengaruh bagi mereka yang memilkinya. Kanjeng Kiai Pleret adalah pusaka yang tidak ada duanya. Sentuhan ujung tombak itu, dan goresan setebal rambut terbagi tujuh, telah dapat melepaskan nyawa orang yang paling sakti sekalipun, bahkan yang memiliki ilmu kebal rangkap lima. Ilmu Lembu Sekilan, ilmu Tameng Waja dan segala macam ilmu keteguhan jasmaniah yang lain yang terpancar dari tenaga cadangan di dalam diri seseorang. Sedangkan Kanjeng Kiai Mendung adalah perlambang kekuasaan yang dilimpahkan oleh Kanjeng Sultan Pajang bagi putera angkatnya, seolah-olah memang demikianlah yang dikehendakinya, bahwa Pajang akan mengalirkan kekuasaannya ke Mataram. Dan kini kedua pusaka itu telah hilang.”
Tanpa disadarinya, dengan dada yang berdebar-debar Kiai Grinsing mencoba untuk mengetahui isi kampil kecil itu dengan jari-jarinya. Ada sesuatu yang membuat jantungnya berdentangan. Rasa-rasanya benda di dalam kampil itu akan sangat mengejutkannya.
Tetapi Kiai Gringsing tidak dapat menduga, apakah yang akan ditemukannya di dalam kampil itu. Sehingga karena itu, ia pun kemudian dengan tangan yang gemetar membuka ikatannya perlahan-lahan.
Bukan saja Kiai Gringsing yang menjadi tegang. Tetapi mereka yang menunggu tangan Kiai Gringsing mengambil benda yang berada di dalam kampil itu pun menjadi tegang pula. Ki Sumangkar, Ki Waskita, Agung Sedayu, Swandaru, Ki Demang Sangkal Putung seolah-olah tidak sabar lagi menunggu, apakah yang akan dilihatnya.
Ki Lurah Branjangan dan beberapa orang pengawal terpercaya dari Mataram, yang merupakan orang-orang tertentu yang boleh mengetahui rahasia hilangnya kedua pusaka itu, menjadi tegang pula meskipun mereka sudah melihat benda yang berada di dalam kampil itu.
Sesaat kemudian maka Kiai Gringsing pun menarik benda yang berada di dalam kampil itu. Sebuah benda yang pipih kehitam-hitaman, yang ternyata adalah kepingan perak hitam yang dipahat dengan sebuah lukisan.
Sejenak Kiai Gringsing mengamat-amati lukisan itu. Semakin lama nampak ia menjadi semakin tegang dan gelisah. Keningnya yang memang sudah berkerut-merut menjadi semakin berkerut lagi.
Pendapa itu bagaikan dicengkam oleh kesenyapan yang tegang. Tidak seorang pun yang bergerak, apalagi berdesah. Bahkan mereka seolah-olah menahan nafas masing-masing.
Dengan tanpa berkedip mereka memandang benda yang dipegang oleh Kiai Gringsing itu.
Meskipun tidak terucapkan, namun seolah-olah setiap sorot mata yang menatap benda itu memancarkan pertanyaan yang menyesak di dalam hati. Benda yang rasa-rasanya mempunyai arti yang besar bagi hilangnya kedua pusaka itu dari Mataram.
Tiba-tiba dalam keheningan yang menyesak itu, terdengar suara Kiai Gringsing, “Benda ini mempunyai arti tersendiri. Tetapi apakah benda ini terjatuh selagi pemiliknya bertempur melawan Ki Juru Martani, atau dengan sengaja dijatuhkannya untuk memberikan tekanan atas tindakannya mengambil kedua puasaka itu?”
“Kiai,” berkata Ki Lurah Branjangan, “di dalam kampil itu masih ada secabik kain yang bertuliskan beberapa kata yang tentu akan sangat menarik.”
Kiai Gringsing rasa-rasanya tidak sabar lagi. Dengan tergesa-gesa tangannya meraih sesobek kain yang memang terdapat di dalam kampil itu.
Mereka yang menyaksikan sesobek kain itu pun sekali lagi terperanjat. Kain itu ditulisi dengan huruf-huruf berwarna merah.
“Darah,” desis Ki Sumangkar.
“Ya. Agaknya kain ini ditulisi dengan darah,” sahut Kiai Gringsing.
Ki Lurah Branjangan mengangguk-anggukkan kepalanya. Kata-nya, “Ki Juru juga berkata demikian.”
“Cobalah membaca Kiai?”
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Memang ada kesengajaan. Benda itu dengan sengaja di jatuhkannya.”
“Apakah bunyi surat berwarna darah itu Kiai?” bertanya Ki Demang.
Kiai Gringsing mengamat-amati sesobek kain itu. Kemudian membacanya, “Kamilah yang berhak atas pusaka-pusaka itu, karena hanya kamilah yang berhak mewarisi kejayaan tahta Majapahit.”
“Kiai,” desis Ki Waskita.
Kiai Gringsing menarik nafas. Katanya, “Agaknya pertanda ini adalah pertanda dari sebuah perguruan yang semula tidak pernah berkembang. Tetapi pimpinan dari perguruan itu langsung merupakan keturunan dari Majapahit.”
“Kiai,” Ki Waskita bergeser, “yang dikenal oleh Ki Juru Martani keturunan langsung dari Majapahit adalah Kiai Gringsing.”
Kiai Gringsing memandang Ki Waskita dengan tegang. Ia mengerti maksud Ki Waskita, sehingga karena itu maka ia pun menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Tetapi Ki Juru tentu tidak akan dengan tergesa-gesa menyangka, bahwa akulah yang telah datang mengambil pusaka-pusaka itu.”
Ki Lurah Branjangan nampak menjadi semakin gelisah.
Kemudian katanya, “Memang tidak Kiai. Meskipun semula Ki Juru terganggu juga untuk menyebut nama Kiai Gringsing, tetapi benda itu memberikan petunjuk kepada Ki Juru bahwa bukan perguruan Empu Windujati lah yang telah mengambil pusaka-pusaka itu.”
Kiai Gringsing terkejut. Katanya, “Apakah kau mengetahui beberapa hal tentang Empu Windujati.”
“Dalam keadaan yang tegang, Ki Juru Martanl mengucapkannya. Seperti juga baru saja diucapkan oleh Ki Waskita tanpa sadar bahwa Kiai adalah keturunan langsung dari Majapahit.”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Tanpa sesadarnya ia memandang kedua muridnya yang terheran-heran. Tetapi Kiai Gringsing masih sempat berkata, “Hampir setiap orang dapat menyebut dirinya keturunan Majapahit. Aku pun dapat menganggap diriku demikian. Tetapi, jarak antara Majapahit dan aku sudah terlampau jauh.”
“Kiai,” berkata Ki Lurah Branjangan, “pengawal-pengawalku adalah orang-orang yang terpercaya dan terikat sumpah akan ke-setiaannya. Mereka tidak akan berbuat sesuatu diluar kehendak kami bersama.”
Kiai Gringsing tidak menyahut. Tetapi ia pun kemudian berkata, “Lihatlah Ki Lurah Branjangan. Benda perak hitam ini menunjukkan ciri-ciri khusus. Lihatlah bentuk perisai yang aneh itu. Bulat tetapi bergerigi. Kemudian di tengah-tengahnya terdapat perlambang yang aneh pula. Bukan binatang yang garang dan mempunyai lambang kekuatan. Tetapi seekor kelelawar. Perlambang dari salah satu bentuk kehidupan malam yang hitam.”
Ki Lurah Branjangan mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali-sekali ia memandang wajah Kiai Gringsing dan kawan-kawannya yang masih saja diliputi oleh ketegangan. Terlebih-lebih Ki Waskita yang bukan saja karena benda dan surat yang masih dipegang oleh Kiai Gringsing, tetapi juga keterlanjurannya menyebut hubungan antara Kiai Gringsing dengan Majapahit.
“Tetapi pada suatu saat kedua muridnya itu pun harus mengetahuinya pula. Apalagi peristiwa hilangnya kedua pusaka itu akan memaksa Kiat Gringsing berbuat sesuatu atas nama perguruan Empu Windujati meskipun dalam lingkungan yang sangat terbatas. Tetapi karena seseorang telah menyebut dirinya keturunan Majapahit yang merasa berhak atas warisan tahta dan kejayaan Majapahit, maka pada suatu saat tidak ada jalan lain bagi Kiai Gringsing untuk menyebut dirinya keturunan Majapahit pula dalam menghadapi orang yang mempunyai perlambang yang aneh itu.”
Dalam pada itu, Kiai Gringsing pun kemudian berkata, “Ki Lurah Branjangan, menurut pengamatanku, bahwa orang-orang yang mempergunakan ciri binatang dalam kehidupan kelam itu memang mungkin keturunan Majapahit. Tetapi aku masih harus mencari hubungan dengan nama-nama yang masih aku kenal. Seperti yang kita ketahui, orang yang menyebut dirinya keturunan Majapahit terlampau banyak. Bahkan siapa pun dapat menyebut dirinya keturunan raja-raja Majapahit, karena terlampau sulit untuk membuktikannya apakah pengakuannya itu benar atau tidak.”
“Tetapi yang meninggalkan benda ini?” bertanya Ki Lurah Branjangan.
“Menurut dugaanku, orang yang meninggalkan benda ini benar-benar orang yang merasa dirinya berhak mewarisi kerajaan Majapahit.”
“Apakah ada tanda yang Kiai kenal?”
“Aku masih harus menyelidikinya. Tetapi rasa-rasanya aku mendapat firasat, bahwa masih ada keturunan yang sebenarnya, yang merindukan kejayaan Majapahit. Tetapi bukan kejayaan Majapahit sebagi suatu negeri, namun yang diimpikannya adalah semata-mata kamukten yang akan didapatkannya apabila benar-benar wahyu keraton dapat dimilikinya dengan menyimpan pusaka-pusaka yang memiliki pengaruh yang kuat terhadap tegaknya sebuah kerajaan.”
Ki Lurah mengangguk-angguk. Lalu, “Kiai, sebaiknya Kiai bertemu dengan Ki Juru Martani. Mungkin Kiai dan Ki Juru akan dapat memecahkan teka-teki yang terdapat pada benda yang aneh dan menyimpan rahasia itu.”
“Baiklah Ki Lurah. Besok atau lusa aku tentu akan singgah di Mataram.”
“Jangan terlampau lama Kiai. Pusaka itu tentu sudah menjadi terlampau jauh, sehingga kemungkinan untuk segera diketemukan menjadi semakin kecil.”
“Tentu, segera,” jawab Kiai Gringsing, “sebenarnyalah bahwa aku pun berkepentingan dengan diketemukannya pusaka-pusaka itu. Bukan karena kepentingan pribadi, tetapi jika pusaka-pusaka itu masih berada ditangan orang-orang yang merasa dapat mewarisi kedudukan tahta Majapahit dengan mengumpulkan pusaka-pusaka serupa itu, maka ketenteraman tidak akan dapat terwujud. Orang-orang itu tentu akan berusaha untuk mendapatkan pusaka-pusaka yang lain dan yang lain, sehingga keributan akan terjadi dimana-mana.”
“Terima kasih Kiai. Mudah-mudahan Kiai akan segera berada di Mataram.”
“Lalu, bagaimana dengan benda ini? Jika tidak berkeberatan, apakah benda ini dapat aku pinjam sejenak. Pada saat aku singgah di Mataram, benda ini akan aku kembalikan kepada Ki Juru Martani.”
Ki Lurah Branjangan mengerutkan keningnya. Beberapa saat ia menimbang-nimbang. Tetapi agaknya Ki Juru Martani tidak akan marah karena benda itu berada ditangan orang yang dapat dipercaya.
“Tentu orang yang mengambil pusaka-pusaka itu tidak ada hubungannya dengan Kiai Gringsing. Ciri Kiai Gringsing berbeda sekali dengan ciri yang terpahat pada benda pipih dari perak hitam itu,” berkata Ki Lurah Branjangan di dalam hatinya.
Dengan demikian maka akhirnya ia mengangguk sambil berkata, “Aku percayakan benda itu kepada Kiai. Dan tentu Kiai akan membawanya dan mengembalikannya kepada Ki Juru dalam waktu yang singkat. Apalagi agaknya Ki Juru ingin segera berbicara dengan Kiai dalam persoalan ini.”
Kiai Gringsing mengangguk. Jawabnya, “Aku mengerti. Dan aku benar-benar akan segera datang.”
“Jika demikian, maka agaknya keperluanku untuk datang ke Sangkal Putung sudah selesai. Karena itu, maka kami akan segera mohon diri.”
“Ah,” potong Ki Demang, “demikian tergesa-gesa.”
“Mataram baru dalam keadaan yang gawat.”
“Tetapi nanti dulu. Bagaimana pun juga aku belum dapat melepaskan Ki Lurah dan para pengawal meninggalkan pendapa ini, karena jika demikian, maka perempuan-perempuan yang sedang dengan tergesa-gesa menyiapkan hidangan makan akan menjadi sangat kecewa. Sebentar lagi, dan kita akan makan bersama-sama.”
Ki Lurah tidak dapat memaksa, karena dengan demikian Ki Demang akan benar-benar menjadi kecewa. Karena itu maka mereka pun terpaksa menunggu sejenak.
Sementara itu Ki Lurah masih sempat berkata, “Bahwa semuanya yang terjadi, tetap merupakan rahasia bagi rakyat Mataram. Selain, orang-orang yang sangat terbatas, tidak ada yang mengetahui bahwa kedua pusaka itu hilang. Rakyat Mataram sama sekali tidak akan pernah membicarakan kedua pusaka itu, karena mereka sama sekali tidak menge-tahui bahwa sesuatu telah terjadi.”
“Baiklah,” jawab Kiat Gringsing, “kami pun akan membatasi diri. Tidak akan ada orang lain yang mengetahui bahwa pusaka-pusaka itu telah hilang, dan tidak ada orang lain yang akan mengatakan bahwa langsung atau tidak langsung Kiai Gringsing mempunyai hubungan dengan darah keturunan Majapahit.”
Ki Lurah mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun tersenyum, “Baik Kiai. Kami akan memegang semua rahasia itu sebaik-bailknya. Jika rahasia itu terlontar dari antara kita dan didengar oleh banyak orang, maka kegelisahan akan segera timbul dan mengganggu perkembangan Mataram selanjutnya.”
“Kita akan berbuat sebaik-baiknya. Kami di sini pun akan dapat berbuat dengan sikap dewasa.”
Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Ia memang percaya sepenuhnya kepada orang-orang yang kini berada di Kademangan Sangkal Putung itu, bahwa mereka adalah orang-orang yang matang di dalam sikap dan perbuatan. Bahkan Ki Demang Sangkal Putung pun tentu akan berbuat serupa pula.
Demikianlah maka mereka pun segera mengakhiri pembicaraan yang mereka anggap rahasia itu. Karena itu maka para bebahu dan orang-orang lain yang berada diluar pendapa, segera dipersilahkannya naik lagi ketika kemudian hidangan mulai mengalir dari dapur.
Sejenak kemudian maka mulailah Ki Demang menjamu tamu-tamunya. Beberapa orang bebahu tidak ikut makan bersama karena mereka baru saja makan di rumah masing-masing. Meskipun demikian mereka ikut pula dipendapa melingkari hidangan yang masih panas.
Sambil menyuapi mulut masing-masing, mereka yang berada dipendapa Kademangan Sangkal Putung itu pun berbicara tentang berbagai macam persoalan. Tetapi sebagian besar pembicaraan mereka berkisar kepada saat-saat mendekati perkawinan Swandaru.
Namun Swandaru sendiri tidak terlampau banyak ikut campur dalam pembicaraan itu. Hanya sekali-sekali saja ia tertawa dan menyahut menurut tanggapannya yang kadang-kadang memang dapat menumbuhkan gelak tertawa.
Tetapi sebenarnya Swandaru sendiri sedang diganggu oleh persoalan yang dihadapi oleh Mataram, ditambah lagi persoalan yang samar-samar tentang gurunya.
“Apakah hubungannya pusaka-pusaka yang hilang itu dengan keturunan darah Majapahit. Dan apakah hubungannya gurunya dengan darah Majapahit itu pula,” bertanya Swandaru di dalam hatinya.
Namun demikian ia harus menyimpan pertanyaan itu dalam hati karena yang selalu terdengar di antara mereka justru persoalan Swandaru itu sendiri.
Kecuali Swandaru, Agung Sedaya pun selalu diganggu oleh pertanyaan yang serupa. Namun ia berusaha menyisihkan persoalan itu untuk beberapa saat, karena ia tidak akan dapat merenunginya sebaik-baiknya di dalam pertemuan itu, justru karena mereka yang ada di pendapa itu dengan sengaja berusaha untuk mengesampingkannya pula.
Setelah mereka selesai dengan jamuan makan, dan setelah beristirahat sejenak, Ki Lurah Branjangan tidak dapat ditahan lebih lama lagi. Ia pun segera mohon diri kepada Ki Demang Sangkal Putung sambil berkata, “Ki Demang, lain kali kami akan datang lagi. Bukankah Ki Demang akan segera menyelenggarakan peralatan perkawinan Angger Swandaru, dan yang akan segera disusul pula dengan adiknya? Ki Demang, agaknya beruntung pula Angger Agung Sedayu, karena ternyata Sekar Mirah pandai pula memasak. Aku kira hidangan yang baru saja kita nikmati adalah hasil tangan Sekar Mirah.”
Ki Demang hanya tersenyum saja. Agung Sedayu bahkan menundukkan kepalanya dengan wajah yang kemerah-merahan.
Demikianlah maka Ki Lurah Branjangan, bersama para pengawalnya pun segera bergeser dari tempatnya. Mereka benar-benar akan meninggalkan Sangkal Putung untuk segera kembali ke Mataram.
Ki Demang Sangkal Putung tidak dapat menahan mereka lagi. Ia mengerti, persoalan yang sedang dihadapi oleh Mataram adalah persoalan yang memang gawat. Karena itu, maka dilepaskannya tamunya meninggalkan Kademangannya.
Setelah sekali lagi minta diri, maka Ki Lurah Branjangan pun segera menuntun kudanya keregol halaman. Ia masih sempat minta diri pula kepada Sekar Mirah yang ikut mengantar tamu-tamunya sampai kepintu halaman.
“Aku menunggu undangan yang akan diberikan oleh Ki Demang,” berkata Ki Lurah kepada Sekar Mirah, “setelah kakakmu, tentu segera kau akan menyusul.”
“Ah,” desah Sekar Mirah. Tetapi ia tidak melanjutkannya. Ki Lurah Branjangan adalah seorang yang belum terlampau dikenalnya, meskipun ia mengertinya bahwa Ki Lurah itu adalah salah seorang pemimpin dari Mataram yang sedang tumbuh dan berkembang.
Sepeninggal tamu-tamunya dari Mataram, dan setelah orang-orang lain meninggalkan pendapa, maka mulailah Kiai Gringsing, Ki Waskita, Ki Sumangkar dan Ki Demang berbincang tentang hilangnya pusaka-pusaka yang dirahasiakan itu.
“Kiai Gringsing,” berkata Ki Waskita, “apakah Kiai sama sekali tidak mengerti, ciri-ciri yang nampak pada benda yang agaknya dengan sengaja ditinggalkan itu, sesuai dengan bunyi kalimat yang ditulis pada sesobek kain dengan warna darah itu.”
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Banyak orang yang merasa dirinya keturunan Majapahit. Seperti yang Ki Waskita ketahui, saat Majapahit pecah, banyaklah para penghuni Istana, yang berpencaran mengungsi. Bahkan sebelum itu pun sudah banyak keturunan Majapahit yang bertebaran karena sudah barang tentu tidak semuanya akan selalu berada dalam lingkungan yang sama. Dan mereka serta keturunan mereka pun berhak menyebut diri mereka keturunan langsung dari Majapahit.”
Ki Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Arya Penangsang pun dapat menyebut dirinya keturunan Majapahit. Karena itulah maka ia merasa dirinya lebih dekat dengan tahta Demak daripada Mas Karebet, anak dari Pengging itu.”
“Ya,” sahut Kiai Gringsing.
“Mas Karebet hanyalah seorang menantu dari Sultan Trenggana. Tetapi Arya Penangsang adalah putera dari Pangeran Sekar Seda Lepen.”
“Apakah sekarang akan tumbuh lagi orang-orang yang merasa dirinya berhak atas tahta dan berbuat seperti Arya Penangsang itu?” bertanya Kiai Gringsing.
Ki Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak dapat menjawab, Justru karena ia merasa salah seorang yang pernah berada di dalam lingkungan Arya Penangsang. Ia adalah adik seperguruan Patih Jipang yang pernah dianggap mempunyai nyawa rangkap.
“Korban telah cukup banyak,” berkata Ki Sumangkar kemudian, “memang tidak seharusnya terjadi lagi pertentangan yang apalagi melahirkan peperangan seperti yang pernah terjadi antara Jipang dan Pajang.”
“Bukan hanya Jipang dan Pajang,” desis Kiai Gringsing.
“Ya. Kematian yang disebar oleh Arya Penangsang mencengkam daerah yang sangat luas. Prawata, Kalinyamat, dan Pajang. Memang seperti yang aku katakan, sudah cukup banyak. Karena itu, bukanlah berita yang menggembirakan jika masih ada orang yang beralaskan keturunan darah Majapahit kemudian dengan sengaja menumbuhkan pertentangan.”
Kiai Gringsing tidak menyahut. Tetapi nampak betapa pahitnya kenyataan yang harus dihadapinya. Benda yang masih ada ditangannya itu di timangnya, kemudian setelah diamat-amatinya beberapa saat, dimasukkannya kembali ke dalam kampil kecil dan disimpannya di dalam kantung ikat pinggangnya yang lebar. Namun setiap kali dengan kerut merut dikening, benda itu diambilnya, diamat-amati sejenak, dan disimpannya lagi.
“Kiai,” berkata Ki Waskita kemudian, “persoalan yang dihadapi oleh Mataram kali ini adalah persoalan yang gawat sekali. Beberapa kali ada usaha untuk membenturkan Mataram dengan Pajang. Tetapi usaha itu tidak pernah berhasil. Kini ternyata ada tindakan lain yang dilakukan. Langsung memasuki rumah Raden Sutawijaya. Bukankah cara yang ditempuhnya semakin mendekati kekerasan langsung terhadap Mataram.”
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Mereka tentu mengharap hilangnya kedua pusaka itu, setidak-tidaknya akan mematahkan gairah perjuangan Raden Sutawijaya. Seandainya kedua pusaka itu tidak cukup mempunyai pengaruh yang menentukan dalam memperebutkan wahyu keraton, maka jika benar Raden Sutawijaya menjadi kehilangan cita-citanya, maka selangkah mereka telah maju sebelum mereka akan mengambil pusaka-pusaka yang lain yang mereka anggap akan dapat menentukan kedudukan mereka dari Istana Pajang, tanpa lagi perlu menghiraukan Mataram, karena Mataram telah menjadi buram dan akhirnya akan padam dengan sendirinya.”
Yang mendengar pendapat itu hanya dapat mengangguk-anggukkan kepala. Gambaran-gambaran yang buram memang telah mencengkam hati. Namun mereka adalah orang-orang tua yang cukup dewasa menilai keadaan dengan bijaksana dan berhati-hati.
Namun dalam pada itu, Ki Demang Sangkal Putung, selain menjadi ikut berprihatin atas hilangnya kedua pusaka dari Mataram itu, ia pun dibebani pula oleh perasaan gelisah, bahwa perkawinan anaknya akan terganggu. Meskipun demikian untuk menjaga perasaan tamu-tamunya, Ki Demang sama sekali tidak mengatakannya.
Tetapi agaknya Kiai Gringsing dapat menangkap perasaan yang tersirat pada tatapan mata yang gelisah itu, sehingga katanya, “Ki Demang, agaknya Ki Demang tidak usah ikut melibatkan diri kedalam kericuhan yang terjadi. Seperti rakyat Mataram pada umumnya, mereka tidak akan terpengaruh sama sekali oleh hilangnya kedua pusaka itu, karena mereka memang tidak mengetahuinya. Sebaiknya Ki Demang tetap melanjutkan semua pembicaraan dan rencana yang telah tersusun.”
Ki Demang mengangguk-angguk. Tetapi ia bergumam, “Jalan ke Menoreh melintasi daerah yang gawat jika terjadi sesuatu dengan Mataram. Kekisruhan yang mungkin tumbuh didaerah itu akan dapat menghambat perjalanan Swandaru dan pengiringnya.”
Tetapi Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya. Katanya, “Tentu tidak. Tentu tidak akan timbul pergolakan apa pun juga dalam satu dua pekan mendatang. Bahkan mungkin sebulan lagi karena Mataram sedang mengumpulkan keterangan-keterangan yang akan dapat dipakainya sebagai pancadan untuk mencari pusaka-pusaka yang hilang. Seandainya terjadi benturan-benturan kekuatan dalam waktu dekat, tentu tidak akan terjadi di sekitar Mataram.”
Ki Demang mengangguk-angguk.
“Ki Demang, sebaiknya Ki Demang tidak terpengaruh oleh berita yang dibawa oleh Ki Lurah Branjangan. Kapan Ki Demang memerlukan, kami akan segera pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Kami akan mengatakan semua pesan Ki Demang. Semua keputusan yang sudah diambil dan semua persiapan yang harus dilakukan oleh pihak Pandan Wangi.”
“Terima kasih Kiai. Tetapi rasa-rasanya memang sukar untuk melepaskan diri sama sekali dari pengaruh berita yang dibawa oleh Ki Lurah Branjangan.”
“Kami mengerti. Tetapi kami harus dapat membagi perhatian kami. Memang mungkin kami akan melakukan dua tugas sekaligus jika kami pada saatnya pergi ke Tanah Perdikan Menoreh.”
Ki Demang mengangguk-angguk sekali lagi. Katanya, “Semuanya sudah tersusun. Terserah kepada Kiai, kapan Kiai akan berangkat ke Tanah Perdikan Menoreh. Keputusan kami sekeluarga, berdasarkan keputusan pembicaraan orang-orang tua di Sangkal Putung.”
“Tetapi keputusan itu harus dimatangkan, dan suatu kepastian harus diambil agar kelak tidak akan dapat menumbuhkan persoalan lagi.”
“Baiklah. Aku akan mengundang orang-orang tua sekali lagi. Lalu semuanya akan pasti. Dan Kiai akan segera berangkat ke Tanah Perdikan Menoreh.”
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Memang ia pun ingin segera pergi, sekaligus menemui Ki Juru Martani di Mataram yang tentu sedang dicengkam oleh kegelisahan dan kekhawatiran atas hilangnya kedua pusaka itu.
“Mudah-mudahan hilangnya dua pusaka itu akan tetap merupakan rahasia yang tidak akan pecah dan mengalir ke luar dinding rumah Raden Sutawijaya,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya.
Demikianlah maka persoalan-persoalan yang susul menyusul tumbuh dihati Ki Demang di Sangkal Putung dan tamu-tamunya. Betapa mereka berusaha untuk memisahkan persoalan yang satu dengan yang lain, namun di dalam diri mereka, keduanya saling berdesakkan berebut tempat.
Di dalam biliknya, Kiai Gringsing masih selalu mengamati benda yang berlukiskan ciri-ciri yang belum dapat dikenalnya itu. Bahkan Kiai Gringsing pun kemudian mengambil kesimpulan, bahwa ciri-ciri yang terpahat pada benda pipih yang terbuat dari perak bakar yang berwarna kehitam-hitaman itu tentu ciri-ciri yang baru saja dibuat oleh sebuah perguruan yang menyebut dirinya keturunan langsung dari Majapahit. Ciri-ciri itu tentu bukan seperti ciri-ciri yang terdapat dipergelangan tangannya, karena hampir setiap perguruan mengenal perguruan yang dipimpin oleh Empu Windujati. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam.
Ia pun teringat betapa orang-orang dari goa yang disebut Susuhing Angin mencoba mencampuri persoalan yang saat itu membakar Demak oleh api pertentangan antara Pajang dan Jipang. Dalam keadaan yang mendesak sekali, ia pun mulai melepaskan ciri-ciri perguruan Windujati, Dan ternyata ciri-ciri itu membawa pengaruh atas orang-orang dari goa yang disebut Susuhing Angin itu. Mereka dengan diam-diam menarik diri dari persoalan yang sedang membakar Pajang dan Jipang, karena mereka tidak bersedia berhadapan dengan orang-orang dari perguruan Windujati.
“Apakah orang-orang yang mengambil pusaka-pusaka itu dan menyatakan dirinya keturunan darah Majapahit itu akan dapat dipengaruhi dengan ciri-ciri perguruan Windujati?” bertanya Kiai Gringsing kepada diri sendiri.
“Semuanya masih samar-samar,” ia menjawab sendiri, “mungkin mereka justru memancing timbulnya orang-orang yang menganggap diri mereka keturunan Majapahit pula,” berkata Kiai Gringsing kemudian di dalam hatinya, “karena itu, agaknya lebih baik bagiku untuk menunggu. Jika datang saatnya, maka perkembangan keadaan akan dapat menentukan, apakah yang sebaiknya aku lakukan.”
Dengan demikian, maka akhirnya Kiai Gringsing tidak berusaha untuk mengambil sikap apa pun juga sebelum ia dapat bertemu dengan Ki Juru. Yang dapat dilakukannya segera adalah pergi ke Tanah Perdikan Menoreh membawa pesan Ki Demang dan ikut membantu penyelenggaraan peralatan perkawinan itu.
Namun demikian, sekali-sekali Kiai Gringsing tanpa disadarinya, memandang lukisan yang ada di pergelangan tangannya. Seakan-akan ia ingin meyakinkan dirinya, bahwa ciri-ciri itu masih akan tetap mempunyai pengaruh terhadap me reka yang mengaku keturunan darah Majapahit.
Tetapi Kiai Gringsing tidak berbuat apa-apa. Ia benar-benar menunggu sampai saatnya ia akan pergi ke Mataram.
Selain Kiai Gringsing sebenarnyalah bahwa Ki Sumangkar dan Ki Waskita pun selalu dipengaruhi oleh berita hilangnya kedua pusaka yang diambil oleh orang-orang yang dengan sengaja menyebut dirinya keturunan Majapahit itu. Tetapi agaknya mereka mengerti, bahwa Kiai Gringsing masih belum ingin membicarakannya, sampai saatnya mereka berada di Mataram.
Karena itu, maka mereka pun tanpa berjanji tidak menanyakan lebih lanjut tentang kedua pusaka yang hilang dan tentang ciri yang sengaja ditinggalkan oleh orang-orang yang mengambil pusaka-pusaka itu. Seolah-olah mereka pun telah bersepakat untuk membicarakannya kelak apabila di antara mereka terdapat Ki Juru Martani..
Yang menjadi persoalan seterusnya adalah hari-hari perkawinan Swandaru. Ki Demang memanggil orang-orang tua di Kademangannya untuk sekali lagi mematangkan pembicaraan. Seterusnya, mereka bersama telah sependapat, bahwa Kiai Gringsing, Ki Sumangkar dan Ki Waskitalah yang akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh untuk menyampaikan keputusan yang terakhir itu.
Kiai Gringsing tanpa mempertimbangkannya lagi langsung menerima tugas itu. Semula ia berniat untuk mengantarkan saja satu atau dua orang tua dari Sangkal Putung yang akan dengan resmi mewakili Ki Demang. Tetapi karena keadaan yang berkembang tanpa dikehendakinya, maka ia mengurungkan niatnya, dan langsung mengambil tugas itu diatas pundaknya.
“Jika ada orang lain di antara kami, maka ia justru hanya akan mengganggu tugas kami dan terlebih-lebih lagi semua pembicaraan dengan Ki Juru,” berkata Kiai Gringsing di dalam hati, lalu, “adalah kebetulan sekali aku adalah guru Swandaru yang dapat mewakili orang tuanya sepenuhnya, seperti orang-orang tua dari Sangka1 Putung.”
“Perkawinan akan berlangsung kira-kira empat puluh hari lagi,” berkata Ki Demang kepada Kiai Gringsing, “masih ada waktu untuk memberitahukan kepada Ki Gede Menoreh. Jika Ki Gede mempunyai pertimbangan lain, masih ada waktu pula untuk merubah saat itu. Mudah-mudahat perjalanan Kiai tidak terganggu oleh peristiwa apa pun sehingga Kiai baru dapat kembali ke Sangkal Putung setelah lewat empat puluh hari.”
Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Kami akan secepatnya kembali. Jika ada persoalan yang menghambat perjalanan kami, maka salah seorang dari kami akan mendahului dan memberitahukan hasil perjalanan kami.”
Ternyata yang kemudian menjadi tergesa-gesa adalah Kiai Gringsing. Sebelum Ki Demang menentukan saat keberangkatan mereka, Kiai Gringsing sudah berkata, “Besok pagi-pagi aku akan berangkat.”
Hampir saja Ki Demang menebak maksud Kiai Gringsing, bahwa ia akan segera menemui Ki Juru untuk membicarakan masalah pusaka-pusaka yang hilang. Untunglah ia pun segera menyadari bahwa hilangnya kedua-pusaka itu merupakan rahasia yang harus disimpan rapat-rapat.
Namun oleh karena Ki Demang mengerti kepentingan yang sebenarnya mendorong Kiai Gringsinn untuk pergi dengan segera, maka ia pun menjawab, “Baiklah Kiai. Bagi kami semakin cepat semakin baik. Juga bagi Ki Gede Menoreh. Kira-kira selapan hari adalah waktu yang sangat pendek bagi persiapan peralatan perkawinan. Apalagi bagi seorang anak perempuan Kepala Tanah Perdikan. Meskipun sebelumnya Ki Argapati tentu sudah membuat beberapa persiapan, namun kepastian hari baru akan didengarnya setelah Kiai sampai ke Tanah Perdikan Menoreh.”
“Kami menyadari,” sahut Kiai Gringsing, “karena itu kami akan segera pergi.”
Ternyata bahwa waktu keberangkatan itu telah menjadi keputusan. Kiai Gringsing dan kedua kawannya akan berangkat pada pagi-pagi dihari berikutnya.
Di malam hari menjelang keberangkatan Kiai Gringsing, maka dipanggilnyalah kedua murid-muridnya. Kepada Swandaru ia berkata, “Kau akan menempuh suatu masa yang paling penting di dalam kehidupanmu. Karena itu, sebaiknya untuk sementara kau tinggal di rumah. Tidak baik kau ikut dalam perjalanan yang mungkin akan dapat membahayakan dirimu.”
Swandaru menganggukkan kepalanya. Ia mengerti bahwa. calon pengantin tidak dibenarkan untuk menempuh perjalanan yang jauh apalagi berbahaya.
Kemudian Kiai Gringsing berpaling kepada Agung Sedayu, “Kau pun tidak perlu mengikuti perjalanan kami kali ini. Kau kawani Swandaru di rumah. Lebih daripada itu, kalian harus mengerti, bahwa kemungkinan-kemungkinan yang gawat dapat terjadi pula atas Sangkal Putung. Karena itu, tenagamu mungkin sangat diperlukan disini. Kau, Swandaru dan Sekar Mirah, di samping pengawal-pengawal Kademangan, akan merupakan kekuatan yang cukup untuk melindungi Kademangan ini. Hilangnya pusaka-pusaka itu dari Mataram memerlukan pengamatan yang bersungguh-sungguh dari setiap pihak. Apalagi apabila ada di antara orang-orang itu yang mengerti bahwa di Kademangan ini sering singgah orang-orang yang bersenjata cambuk.”
Agung Sedayu menganggukkan kepalanya. Sebenarnya ia sangat kecewa, bahwa ia tidak dapat ikut pergi bersama gurunya. Namun ia mengerti, bahwa memang sebaiknya ia mengawani Swandaru di rumahnya.
Meskipun demikian, Agung Sedayu masih juga bertanya kepada gurunya, “Kapankah kira-kira2 Kiai akan kembali?”
“Aku tidak dapat mengatakan,” jawab Kiai Gringsing, “tetapi sudah barang tentu aku tidak dapat mengabaikan saat-saat perkawinan Swandaru. Dengan demikian kami harus segera kembali. Jika ada sesuatu yang penting sehingga aku sendiri tertahan di perjalanan, maka salah seorang dari kami akan mendahului. Dalam keadaan seperti ini aku berharap agar Ki Waskita tidak sekedar minta diantar pulang.”
Ki Waskita tersenyum. Katanya, “Baiklah. Aku akan singgah saja sebentar agar keluargaku tidak selalu dibayangi oleh kecemasan. Aku kemudian akan minta diri untuk mengantar Kiai Gringsing yang sedang membicarakan masalah perkawinan. Dengan demikian keluargaku mendapat gambaran yang selalu baik terhadap perjalananku yang kemudian.”
“Terima kasih,” sahut Kiai Gringsing, lalu katanya kepada kedua muridnya, “Hati-hatilah kalian di rumah. Kita tidak tahu perkembangan apa saja yang akan terjadi di Mataram dan juga di Pajang. Kademangan ini berada dijalur lurus antara Pajang dan Mataram.”
Agung Sedayu dan Swandaru menjadi termangu-mangu.
“Aku tidak membayangkan yang bukan-bukan,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “tetapi agaknya ada orang-orang yang tidak sabar lagi melihat perkembangan Mataram. Dan orang-orang itu adalah orang-orang Pajang. Kau tentu tidak akan dapat melupakan Ki Gede Pemanahan dan kemudian Ki Juru Martani sendiri harus melihat kenyataan yang pahit itu.”
Kedua murid Kiai Gringsing itu menarik nafas. Namun pada Agung Sedayu terasa tekanan yang sangat berat. Jika benar-benar terjadi sesuatu, yang paling mencemaskannya bukannya, garis lurus antara Pajang dan Mataram. Jika datang pasukan segelar sepapan dari Pajang yang dipimpin oleh orang-orang yang sekedar dibakar perasaan iri, maka ia tidak akan gentar meskipun tidak dapat dikatakan dengan pasti, bahwa Sangkal Putung akan dapat melindungi dirinya sendiri.
Tetapi yang paling pahit baginya, apabila ia harus berhadapan dengan pasukan yang justru tidak datang langsung dari Pajang. Bagaimana jika pada suatu saat Untara dapat di pengaruhi oleh orang-orang yang menentang berdirinya Mataram dan membawa pasukannya turun dari Jati Anom?
Agung Sedayu menjadi sangat gelisah. Tetapi ia tidak mengatakannya kepada siapa pun. ia tetap menyimpan perasaan-perasaan itu, dan menghibur dirinya sendiri, “Agaknya aku di gelisahkan oleh angan-angan yang sama sekali belum nampak kemungkinannya akan terjadi.”’
Dalam pada itu, Kiai Gringsing masih memberikan beberapa pesan kepada murid-muridnya. Ia tidak lupa memperingatkan bahwa yang mereka ketahui tentang pusaka-pusaka yang hilang itu adalah rahasia yang paling besar bagi Mataram disaat pertumbuhannya.
“Apakah Sekar Mirah boleh mengetahuinya?” bertanya Ki Sumangkar.
“Jika Ki Sumangkar yakin bahwa Sekar Mirah pun dapat memegang rahasia seperti Agung Sedayu dan Swandaru, maka tidak ada keberatannya ia mengetahuinya. Tetapi aku kira tidak dengan Nyai Demang. Dan aku berharap bahwa Ki Demang tidak mengatakannya pula kepada Nyai Demang.”
“Tentu Ki Demang tidak akan mengatakannya kepada Nyai Demang,” sahut Ki Waskita, “Ki Demang dapat membedak-bedakan manakah yang dapat dan manakah yang tidak dapat dikatakannya.”
Kiai Gringsing memandang Ki Waskita sejenak. Namun ia pun kemudian mengangguk-angguk.
“Malam sudah larut,” berkata Kiai Gringsing, “kami yang esok akan pergi, perlu beristirahat barang sejenak. Namun demikian, aku masih perlu memberitahukan kepada Agung Sedayu dan Swandaru bahwa kau harus berusaha untuk mengatasi setiap kesulitan yang dapat terjadi sebelum kesulitan yang sebenarnya. Maksudku, seperti Mataram, sebe-lum kedua pusaka itu hilang, rumah Ki Gede Pemanahan telah diliputi oleh suasana yang tidak wajar karena kekuatan sirep. Aku telah memberikan petunjuk kepada kalian berdua, bagaimana melawan kekuatan sirep itu. Jika kalian merasakan ketidak wajaran menyelimuti suasana Kademangan ini, maka kalian harus dengan cepat berusaha memusatkan semua daya tahan yang ada di dalam diri kalian untuk melawannya. Pemusatan pikiran dan getaran diri akan dapat membebaskan kalian sebelum kalian dapat membebaskan orang lain yang memiliki kekuatan betapa pun kecilnya, dan yang masih belum terlanjur dicengkam oleh pengaruh itu.”
Kedua murid Kiai Gringsing itu mengangguk-angguk. Sejak terasa suasana yang tidak wajar selagi mereka akan meninggalkan Mataram, Kiai Gringsing sudah memperdalam ilmu yang ada di dalam diri murid-muridnya untuk melawan kekuatan-kekuatan yang tidak kasat mata seperti ilmu sirep.
Demikianlah maka mereka pun kemudian pergi ke pembaringan masing-masing. Untuk beberapa saat mereka masih tetap berangan-angan. Tetapi kemudian mereka pun segera tertidur dengan nyenyaknya. Hanya Swandaru sajalah yang menjadi gelisah. Bukan saja karena pusaka-pusaka yang hilang, tetapi ia selalu dibayangi oleh berbagai macam kecemasan tentang hari-hari perkawinannya.
Namun akhirnya Swandaru pun tertidur pula menjelang; dini hari.
Ketika cahaya merah mulai membayang, maka Kiai Gringsing telah bangkit dari pembaringannya, diikuti oleh Ki Waskita dan Sumangkar. Mereka pun segera pergi kepakiwan. untuk mandi dan kemudian berbenah, karena mereka ingin berangkat pagi-pagi benar agar mereka tidak kepanasan disepanjang perjalanan, sementara Agung Sedayu telah mengisi jambangan di pakiwan itu.
Seluruh keluarga Kademangan Sangkal Putung mengantar Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Ki Sumangkar sampai ke pintu gerbang halaman ketika mereka berangkat. Sambil menepuk pundak Swandaru, Kiai Gringsing yang sudah memegangi kendali kudanya berkata, “Hati-hatilah. Kau harus banyak berprihatin menghadapi hari-hari yang sangat penting di dalam hidupmu,” ia berhenti sejenak, lalu, “dan yang penting, agar kau menjadi bertambah langsing.”
Yang mendengar pesan itu tertawa. Swandaru pun tertawa pula sambil menjawab, “Baik Guru. Aku akan mengurangi makan dan tidur. Sehari tidak lebih dari tiga kali makan dan tidak lebih banyak lagi dari batas kekenyangan.”
Sekar Mirah mencubit lengan kakaknya sambil berdesis, “Pantas. Dihari perkawinan itu kau akan benar-benar menjadi bulat seperti jeruk bali.”
Demikianlah sejenak kemudian Kiai Gringsing dan kedua kawannya pun segera meloncat ke punggung kudanya. Sambil, tersenyum Ki Sumangkar berkata, “Kini kami yang tua-tualah yang akan bertamasya.”
“Selamat jalan,” berkata Ki Demang, “salamku kepada semuanya. Ki Gede Menoreh, Ki Juru, Raden Sutawijaya dan siapa saja.”
Agung Sedayu yang berdiri di sebelah Swandaru memandang ketiga orang yang segera berangkat itu dengan wajah yang tegang. Seolah-olah ia tidak melihat perjalanan itu sebagai sebuah perjalanan utusan yang akan membicarakan masalah perkawinan. Tetapi yang menempuh perjalanan itu adalah orang-orang yang memiliki Ilmu yang tinggi yang sedang digelisahkan oleh hilangnya dua buah pusaka dari Tanah Mataram. Pusaka-pusaka yang sangat penting artinya bagi gairah perjuangan Raden Sutawijaya. Apalagi di tangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab, pusaka-pusaka itu akan menjadi pendorong untuk melakuKan tindakan-tindakan yang lebih jauh lagi.
Sekali-sekali Kiai Gringsing masih juga berpaling. Ada sesuatu yang terasa melonjak didatam hati. Kepergiannya bertiga memang akan menjadi sebuah perjalanan yang penting. Tetapi jika orang-orang yang mengambil pusaka itu mempunyai tujuan yang lain pula, apalagi apabila mereka mengenal bahwa orang-orang bercambuk yang ada di Sangkal Putung adalah orang-orang yang mempunyai sentuhan ilmu dengan perguruan Windujati yang sudah lama tidak terdengar lagi, maka murid-muridnya akan dapat mengalami kemungkinan yang pahit.
“Mudah-mudahan tidak demikian,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya, “mudah-mudahan perhatian mereka terpusat kepada pusaka-pusaka yang ada di Mataram itu saja.”
Namun demikian Kiai Gringsing tidak mengatakannya kepada kedua kawannya di perjalanan. Kecemasannya itu disimpannya saja di dalam hatinya.
Namun, meskipun Kiai Gringsing tidak mengatakannya, agaknya kedua kawan seperjalanannya pun merasakannya juga kecemasan yang serupa.. Bahkan Ki Sumangkar berkata di dalam hatinya, “Jika orang-orang yang mengambil pusaka itu sengaja menunggu kami meninggalkan Mataram karena mengetahui bahwa di antara kami terdapat seseorang keturunan Empu Windujati, maka kesulitan yang dialami oleh Mataram itu akan dapat menjalar ke Sangkal Putung, justru karena Agung Sedayu dan Swandaru tidak pergi bersama kami.” Tetapi kemudian, “mudah-mudahan tidak.”
Berbeda dengan Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar, maka Ki Waskita mencoba melihat sesuatu yang barangkali akan dapat menjadi isyarat apa pun yang dapat memberinya sekedar petunjuk, apakah yang bakal terjadi kemudian di Sangkal Putung. Namun ia tidak melihat sesuatu. Dan Ki Waskita mengambil kesimpulan, bahwa untuk waktu yang pendek, Sangkal Putung tidak akan .mengalami kesulitan. Tetapi waktu yang pendek itu merupakan sebuah teka-teki pula baginya.
“Persoalan yang terlampau banyak mengandung segi-segi kemungkinan, memang sulit untuk dilihat,” berkata Ki Waskita di dalam hatinya. Namun kemudian, “Memang penglihatan seseorang betapa pun sempurnanya, tentu akan menjadi sangat terbatas untuk mengetahui seluruh rahasia dari alam ini.”
Dengan demikian, maka di perjalanan ke Mataram, tidak banyak yang dipercakapkan oleh ketiga orang tua-tua itu. Mereka lebih banyak berbicara dengan angan-angan mereka masing-masing.
Dalam pada itu, yang mereka tinggalkan di Sangkal Putung pun menjadi sibuk pula dengan kerja masing-masing. Kademangan Sangkal Putung mendapat perbaikan yang cukup banyak. Sudah lama rumah itu tidak mendapat perbaikan apalagi perubahan.
Maka menjelang saat-saat perkawinan anak laki-laki satu-satunya dari Ki Demang Sangkal Putung, rumahnya pun mendapat perhatian sepenuhnya.
Dalam pada itu, meskipun masih juga ada ingatan Swandaru atas pusaka-pusaka yang hilang, namun perhatiannya semakin lama semakin condong kepada kepentingannya sendiri yang sudah dekat. Rasa-rasanya ia tidak sabar lagi menunggu saat yang sudah ditentukan oleh ayahnya dan orang-orang tua di Sangkal Putung itu. Apalagi apabila Ki Gede Me-noreh kemudian justru menunda saat-saat perkawinan itu dengan berbagai macam alasan.
Berbeda dengan Swandaru, perhatian Agung Sedayu masih lebih banyak tertumpah kepada perjalanan Kiai Gringsing dan kedua orang kawannya itu. Rasa-rasanya ada hubungan yang rapat antara hilangnya kedua pusaka itu dengan kehadiran gurunya yang juga disebut sebagai keturunan dari Majapahit, meskipun ia tidak tahu lebih banyak lagi tentang gurunya selain sekedar seorang yang memiliki darah keturunan Majapahit seperti yang didengarnya.
Meskipun demikian Agung Sedayu ikut pula sibuk membantu keluarga Ki Demang di Sangkal Putung. Pada dasarnya Agung Sedayu memang seorang anak muda yang rajin dan ringan tangan. Namun di Sangkal Putung, ia medapat tanggapan yang lain. Seorang anak muda Sangkal Putung sambil tersenyum menggamit kawannya dan berbisik, “Lihat calon menantu Ki Demang itu. Betapa rajinnya.”
Yang lain tertawa tertahan. Jawabnya, “Tetapi aku tidak iri hati.”
“Ah, macam kau. Pantasnya kau menjadi pekatiknya.”
Keduanya pun tertawa. Tetapi mereka berusaha untuk menyembunyikan wajahnya, agar Agung Sedayu tidak merasa bahwa mereka sedang memperhatikannya.
Tetapi Agung Sedayu tidak memperhatikan apa pun juga. Perhatiannya benar-benar tertambat kepada gurunya. Ia dapat merasa betapa Kiai Gringsing ikut merasa bertanggung jawab akan hilangnya Kanjeng Kiai Pleret dan Kanjeng Kiai Mendung dari Mataram. Jika ternyata ada darah keturunan Majapahit yang berbuat berdasarkan nafsu semata-mata, maka mereka tentu akan mencemarkan seluruh keturunan Majapahit. Betapa besarnya Majapahit yang pernah hadir di persada Tanah Kelahiran yang terbentang meliputi beribu-ribu pulau sebagai ujud hasrat persatuan rakyatnya, namun jika keturunannya adalah orang-orang yang sekedar dikuasai oleh nafsu justru setelah Majapahit surut, maka kesan yang tumbuh adalah, bahwa sebenarnya Majapahit adalah sekedar perbendaharaan nafsu semata-mata. Kekuasaan yang dilandasi olen kekuatan dan kemampuan mempertahankan kekuasaan itu.
Kesan yang demikian itulah yang tentu sangat mengganggu Kiai Gringsing. Seorang keturunan Majapahit yang sama sekali tidak pernah memikirkan kekuasaan dan mempergunakan kekuatannya untuk membangunkan kekuasaan.
Sementara itu, Kiai Gringsing dan kedua kawan-kawannya berpacu semakin cepat. Perjalanan ke Mataram bukan perjalanan yang sulit lagi. Meskipun belum sempurna, tetapi jalur-jalur jalan sudah dapat dilalui dengan mudah. Di antara lebatnya hutan Tambak Baya, seleret jalan setapak bagaikan segores garis yang sangat tebal yang menyobek rimbun-nya pepohonan.
Ternyata jalan itu sudah menjadi semakin ramai dan semakin banyak dilalui orang, karena keamanan memang menjadi semakin baik. Tidak banyak lagi gangguan-gangguan yang dijumpai oleh para pedagang. Tidak ada lagi perampok-perampok yang kuat mencegat perjalanan mereka. Apalagi pasukan pengawal Mataram bagaikan hilir mudik melalui jalan yang membelah hutan itu.
Di sepanjang jalan Kiai Gringsing dan kedua kawannya bertemu juga dengan serombongan pedagang. Mereka masih tetap merasa lebih aman melintas dalam kelompok yang agak besar karena kadang-kadang masih saja mereka ingat tentang perampokan yang pernah terjadi di hutan yang lebat itu. Namun ada juga dua tiga orang yang lewat dengan tenang, karena mereka yakin bahwa perjalanan mereka tidak akan terganggu lagi, atau karena mereka percaya kepada diri sendiri bahwa mereka akan dapat mengatasi kesulitan-kesulitan kecil yang mungkin terjadi disepanjang perjalanan.
Meskipun nampaknya Kiai Gringsing hampir tidak menghiraukan sama sekali orang-orang yang lewat itu, namun kadang-kadang terpercik juga pertanyaan di dalam hatinya, “Apakah orang-orang ini tidak mempunyai sangkut paut sama sekali dengan hilangnya kedua pusaka itu?”
Tetapi Kanjeng Kiai Pleret dan Kanjeng Kiai Mendung adalah pusaka-pusaka yang bertangkai panjang. Dengan demikian maka untuk membawanya tentu agak lebih sulit dari pusaka-pusaka yang pendek, seperti Kanjeng Kiai Naga Sasra dan Kanjeng Kiai Sabuk Inten, atau Kanjeng Kiai Sangkelat.
Dalam pada itu, perjalanan mereka tidak menemui kesulitan apa pun juga. Sekali-sekali mereka harus berhenti memberi kesempatan kuda-kuda mereka minum barang seteguk dan beristirahat sejenak. Kemudian mereka pun segera meneruskan perjalanan ke Mataram.
Demikian mereka melintasi sisa-sisa Alas Mentaok, maka mereka pun menjadi semakin berdebar-debar. Dihadapan mereka terbentang padukuhun-padukuhan kecil yang sedang tumbuh, ditembus oleh jalan yang semakin baik dan lebar. Rumah-rumah yang bertebaran di antara pepohonan yang masih muda. Hanya disana-sini beberapa batang pohon-pohon besar sengaja ditinggalkan sebagai perindang bagi padukuhan-padukuhan yang masih muda itu.
Namun demikian, diatas sawah yang terbentang, tumbuh batang-batang padi yang hijau rimbun. Dalam silirnya angin, wajah batang-batang padi itu, bagaikan gelombang dipermukaan telaga yang hijau kebiruan, seolah-olah mengalir dari tepi ketepi yang lain, jauh sampai batas tatapan mata.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia berpaling kearah kedua kawan seperjalanannya, agaknya mereka pun sedang merenungi suburnya telah yang baru dibuka itu.
“Mataram memang akan dapat menjadi sebuah negeri yang ramai,” berkata Ki Waskita di dalam hatinya. Bukan saja karena ia melihat sawah yang luas, batang-batang padi yang hijau, subur, pedukuhan yang tumbuh dengan cepatnya, tetapi ia juga melihat isyarat yang cerah yang dapat memercikkan arti kecerahan bagi masa mendatang.
Demikianlah, hampir tanpa pembicaraan yang berarti, akhirnya mereka memasuki gerbang kota. Para penjaga yang; memang sudah mengenal Kiai Gringsing dan kedua kawannya, segera mempersilahkan mereka meneruskan perjalanan menyusuri jalan kota, langsung menuju ke rumah Raden Sutawijaya. Mereka bertiga sudah bersepakat untuk singgah barang sehari di Mataram sebelum mereka melanjutkan perjalanan ke Menoreh.
Kedatangan ketiga orang itu di Mataram, disambut dengan gembira oleh Ki Juru Martani, Raden sutawijaya, dan Ki Lurah Branjangan. Bagi Ki Juru, Kiai Gringsing dan kawan-kawannya adalah orang-orang tua yang akan dapat diajaknya berbicara agak jauh mengenai hilangnya kedua pusaka yang ada di Mataram meskipun keduanya dapat disebut orang lain bagi Mataram. Namun menilik apa yang pernah dilakukan oleh ketiga orang itu, maka Ki Juru berpengharapan bahwa mereka pun akan dapat dibawa berbicara sebaik-baiknya.
Seperti biasanya, maka ketiganya pun kemudian disambut dengan berbagai macam pertanyaan tentang keselamatan mereka diperjalanan, dan orang-orang yang mereka tinggalkan. Mereka tidak langsung dibawa kedalam pembicaraan pokok atas hilangnya pusaka-pusaka dari Mataram. Apalagi hilangnya kedua pusaka itu merupakan puncak rahasia bagi orang-orang Mataram sendiri, selain beberapa orang tertentu saja.
“Kami hanya singgah sejenak,” berkata Kiai Gringsing kemudian kepada Ki Juru, “besok kami akan meneruskan perjalanan ke Tanah Perdikan Menoreh.”
Ki Juru mengangguk-angguk. Katanya, “Kami sudah mendengar. Bukankah Kiai akan memberikan keputusan terakhir tentang saat perkawinan Angger Swandaru dengan Angger Pandan Wangi?”
“Ya Ki Juru.”
“Kami akan ikut bersenang hati. Karena itu, kami tidak akan menahan Kiai untuk singgah disini lebih dari satu hari satu malam.”
“Sejauh-jauhnya satu hari satu malam,” jawab Kiai Gringsing.
Ki Juru Martani tertawa. Katanya, “Ya. Sejauh-jauhnya satu hari satu malam.”
“Karena kami akan berangkat besok pagi-pagi benar, bukankah kehadiran kami disini tidak cukup satu hari satu malam?”
Ki Juru tertawa, meskipun nada suara tertawanya agak sumbang karena perasaannya yang tertekan.
Untuk beberapa lama mereka yang ada di pendapa Mataram itu berbicara tentang berbagai macam persoalan yang justru tidak menyangkut masalah pusaka-pusaka itu.
Dengan demikian, maka bagi kebanyakan pemimpin Mataram, menganggap bahwa kehadiran Kiai Gringsing adalah sekedar singgah dalam perjalanannya ke Menoreh. Mereka tidak tahu sama sekali, bahwa kedatangan Kiai Gringsing ke Mataram saat itu mempunyai arti yang jauh lebih penting dari sekedar singgah saja.
Baru ketika matahari tenggelam di sisi langit sebelah Barat, dan kegelapan mulai menyelubungi Tanah Mataram, Ki Juru Martani membawa tamu-tamunya masuk ke ruang dalam. Tanpa orang lain yang tidak mengetahui persoalan pusaka-pusaka yang hilang itu, Ki Juru ingin mengadakan pembicaraan dengan tamu-tamunya.
Sutawijaya dan Ki Luran Branjangan yang memang sudah mengerti serba sedikit mengenai Kiai Gringsing dan hilangnya kedua pusaka dari Mataram itu pun diperkenankan untuk ikut serta dalam pembicaraan dengan ketiga tamu-tamu Ki Juru Martani.
“Aku bawa kepingan perak bakar yang berwarna hitam itu,” berkata Kiai Gringsing setelah mereka terdiam sejenak.
Ki Juru mengangguk-angguk. Katanya, “Sebenarnya memang sebuah tantangan yang langsung ditujukan kepada Mataram. Seolah-olah orang-orang yang mewarisi Mataram dari Ki Gede Pemanahan itu tidak berhak untuk memimpin pemerintahan bagaimana pun juga bentuknya.”
“Ya Ki Juru. Seolah-olah hanya mereka yang mempunyai darah keturunan Majapahit langsung sajalah yang berhak untuk memegang pimpinan.”
Ki Juru mengangguk-angguk. Kemudian ia pun bertanya, “Bagaimana pendapat Kiai?”
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Dari kantong ikat pinggangnya ia mengambil sebuah kampil kecil yang berisi sekeping perak yang dipahatkan lukisan yang sangat menarik bagi orang-orang tua itu dan secarik kain yang ditulisi dengan darah.
“Kiai,” berkata Ki Juru Martani, “pusaka adalah lambang kekuasaan, pangkat dan derajad. Meskipun pangkat dan derajad bukan kebutuhan mutlak dari seseorang, tetapi pangkat dan derajad adalah pakaian seseorang di dalam riuhnya pergaulan hidup. Memang tidak dapat dibenarkan seseorang menghambakan diri pada derajad dan pangkat. Tetapi bahwa derajad dan pangkat mempunyai akibat yang luas pada diri seseorang tidak akan dapat diingkari lagi. Karena itulah, maka kadang-kadang seseorang mempunyai tanggapan yang salah sehingga dengan segala jalan dan cara ia mempertahankan dan mengejar derajad dan pangkat yang setinggi-tingginya,”
Kiai Gringsing dan kedua kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Ki Juru berkata seterusnya. “Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Ki Sumangkar. Jika aku dan Angger Raden Sutawijaya menjadi sangat berprihatin atas hilangnya pusaka-pusaka itu dari Mataram, sebenarnyalah bahwa kami mempunyai tanggapan dan penilaian yang tinggi terhadap sih yang diberikan oleh Kanjeng Sultan di Pajang kepada kami, khususnya Raden Sutawijaya. Kemudian atas penilaian kami dalam hubungannya dengan derajad dan pangkat, cobalah Kiai bertanya langsung kepada Angger Sutawijaya karena ialah sebenarnya yang mendapat anugerah dari Kanjeng Sultan di Pajang.
Kiai Gringsing menarik natas dalam-dalam. Kemudian dipandanginya Raden Sutawijaya sejenak. Dari sorot matanya memancar sepercik pertanyaan yang menusuk langsung ke pusat jantung Raden Sutawijaya, seolah-olah ia ingin melihat, apakah yang sebenarnya terpahat didinding jantung itu.
Raden Sutawijaya justru menundukkan kepalanya, ia mengerti, bahwa Kiat Gringsing dan kedua kawannya ingin mengerti tanggapannya dengan jujur atas kedua pusaka lambang derajad dan pangkat itu.
“Raden,” berkata Kiai Gringsing, “cobalah Raden menyatakan sesuai dengan hati nurani, apakah yang sebenarnya Raden kehendaki dengan Mataram.”
“Kiai,” jawab Raden Sutawijaya, “Mataram adalah tanah yang tumbuh atas jerih payah kami bersama-sama yang kini menjadi penghuninya, tanpa melupakan jasa Kiai, Ki Waskita, Ki Sumangkar dan anak-anak muda murid Kiai, serta jasa siapa pun juga yang telah membantu kami. Tanpa melupakan anugerah dari Ayahanda Sultan Pajang yang dengan hati terbuka memberikan kesempatan kepada Mataram untuk berkembang. Bahkan di Mataram telah ada dua buah pusaka yang memiliki arti yang besar bagi seseorang yaug memilikinya. Kanjeng Kiai Pleret dan Kanjeng Kiai Mendung. Bahkan ada beberapa orang yang percaya bahwa hadirnya Kiai Pleret dan Kiai Mendung di Mataram adalah pertanda bahwa Kanjeng Sultan di Pajang telah menyerahkan kekuasaan meskipun perlahan-lahan kepada Mataram. Dan ada orang yang percaya, bahwa kedua pusaka yang berada di Mataram itu adalah kelengkapan dari beberapa pusaka yang lain untuk mendapatkan wahyu keraton, sehingga ada orang-orang yang dengan segala cara berusaha untuk memilikinya. Tetapi ternyata kedua pusaka itu kini hilang dari Mataram.” Raden Sutatwijaya berhenti sejenak, lalu, “Kiai, tanggapanku atas derajad dan pangkat, tidak dapat aku jelaskan dengan beberapa kalimat saja. Tetapi dalam garis besarnya, bagiku yang terpenting adalah cita-cita atas bentuk kekuasaan di Mataram dan bahkan di Pajang. Kiai, sebenarnya aku tidak ingin untuk memiliki derajad dan pangkat itu sendiri. Yang ada padaku adalah cita-cita bagaimana derajad dan pangkat itu dipergunakan dalam bentuk kekuasaan. Siapa pun yang memiliki derajad dan pangkat, dan dalam bentuknya sebagai kekuasaan dipergunakan sebaik-baiknya seperti yang aku cita-citakan bagi kepentingan Mataram seisinya dan bahkan Pajang, maka aku tidak akan berkeberatan. Apakah yang memegang kekuasaan itu seorang yang bernama Raden Sutawijaya, seorang yang bergelar Sultan Hadiwijaya, Adimas Benawa atau keturunan-keturunan langsung dari Majapahit, bagiku bukannya soal yang pokok. Tetapi jika tidak ada orang lain yang dapat membawakan derajad dan pangkatnya dalam bentuk kekuasaan seperti yang aku cita-citakan, maka barulah aku memikirkan, kenapa bukan aku sajalah yang memegang kekuasaan itu.”
Kiai Gringsing dan kedua kawannya memperhatikan penjelasan Raden Sutawijaya itu dengan saksama. Ketika Raden Sutawijaya berhenti sejenak, Ki Waskita pun menyela, “Bagaimanakah menurut Raden, bentuk dari kekuasaan sebagal ujud dari derajad dan pangkat itu.”
Raden Sutatwijaya memandang Ki Juru sejenak. Kemudian barulah ia menjawab, “Ki Waskita. Bagiku kekuasaan adalah tanggung jawab. Kekuasaan bukanlah sekedar kesempatan untuk dapat memaksakan kehendak atas orang lain. Kekuasaan bukan minat untuk dihormati dan disegani.” Raden Sutawijaya berhenti sejenak, lalu, “seandainya demikian halnya, maka kekuasaan adalah nafsu semata-mata.”
“Jadi bagaimanakah sebenarnya yang Raden kehendaki,” sela Ki Sumangkar pula.
“Jika derajad dan pangkat sekedar pamrih dari pribadi seseorang, maka itu adalah nafsu ketamakan. Bagiku, derajad dan pangkat harus berarti bagi keseluruhan. Sebenarnyalah kekuasaan adalah semata-mata kesempatan pelayanan. Kekuasaan yang ada di dalam diri seseorang harus bermanfaat bagi semuanya di dalam lingkungannya. Karena itulah maka kekuasaan yang bertanggung jawab harus dilandasi oleh kesediaan pengabdian. Bukan sebaliknya.”
“Jelasnya?” bertanya Kiai Gringsing.
“Kekuasaan, yang menjadi ujud dari derajad dan pangkat, adalah suatu alat. Jika kita memegang suatu alat, maka terserahlah kepada kita bagaimana kita mempergunakannya. Kita dapat menentukan pilihan seperti yang kita kehendaki. Pilihan itulah yang penting untuk dinilai. Apakah pilihan itu berlandaskan cita-cita yang bertanggung jawab, atau sekedar dilandasi oleh nafsu pribadi. Kita masing-masinglah yang harus menentukan pilihan, dan orang akan menilai kita masing-masing atas dasar pilihan itu. Apakah kita manusia yang berarti bagi sesama atau justru sebaliknya.”
Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Ki Sumangkar mengangguk-angguk. Namun diluar sadar mereka mengerling kepada Ki Juru Martani meskipun tidak sepatah kata pun yang mereka katakan kepada orang tua itu.
Namun diluar dugaan, maka Raden Sutawijaya lah yang kemudian dengan jujur berkata, “Kiai, sebenarnyalah yang aku katakan itu adalah dasar dari pendirianku. Tetapi bukanlah semata-mata lahir karena kemampuanku untuk menyatakannya dengan lesan,” Raden Sutawijaya berhenti sejenak, ia pun kemudaan berpaling kepada Ki Juru Martani sambil berkata, “Uwa Juru Martani lah yang mengajari aku.”
Ketiga tamu Raden Sutawijaya itu pun tersenyum. Mereka memang sudah menduga, bahwa Ki Juru akan dapat menuntun Raden Sutawijaya sebaik-baiknya tanpa mematahkan perjuangan anak muda itu. Tetapi agaknya Ki Juru telah berhasil memberikan pengarahan yang sangat berarti bagi Raden Sutawijaya sebagai landasan jalan hidupnya menda-tang. Dengan landasan itu pulalah agaknya Raden Sutawijaya bertekad untuk menemukan kembali pusaka-pusakanya yang hilang yang akan dapat menjadi kelengkapan derajad dan pangkatnya, dalam arti pertanggungan jawab dan pengabdian.
Bagi Kiai Gringsing, maka tekad Raden Sutawijaya itu merupakan suatu pilihan yang harus dipertimbangkan sebaik-baiknya. Meskipun ia bukan orang yang wajib menentukan, siapakah yang sebaiknya memegang kekuasaan pemerintahan setelah Sultan Hadiwijaya, namun ia merasa bahwa ia akan dapat ikut memikirkannya.
“Aku akan dapat berbuat sesuatu,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya. “Dalam keadaan yang memang mendesak, barangkali aku dapat mempergunakan pengaruh perguruan Windujati.”
Tetapi Kiai Gringsing masih harus menemukan, siapakah orang yang dengan sengaja meninggalkan ciri-ciri yang baginya masih asing, dan yang dengan sengaja meninggalkan isyarat tantangan buat Mataram. Orang itu tentu mengetahui bahwa di Mataram ada seorang yang pantas disegani, Ki Juru Martani. Namun agaknya orang yang menyebut dirinya keturunan langsung dari Majapahit itu sudah bertekad untuk melawan dan mengalahkan orang yang bernama Ki Juru Martani itu.
“Tetapi bagaimanakah halnya, jika orang yang mengambil pusaka itu menurut penilaianku akan dapat menjadi lebih baik dari Sutawijaya? Apakah aku akan terkait kepada nama Sutawijaya yang sudah aku kenal baik-baik, atau aku akan dapat menjatuhkan pilihan dengan jujur?” pertanyaan itu tumbuh pula di dalam hati Kiai Gringsing .
Tetapi Kiai Gringsing masih belum akan memikirkannya. Ia akan melihat lebih dahulu perkembangan Mataram dan Raden Sutawijaya itu sendiri.
“Keinginan Raden Sutawijaya untuk menemukan kembali kedua pusaka itu agaknya memang tidak semata-mata dilandasi oleh nafsu ketamakan untuk berkuasa semata-mata. Tetapi seperti ayahandanya, Raden Sutawijaya tentu bercita-cita bagi Mataram seisinya,” kesimpulan itulah yang untuk sementara telah diambil oleh Kiai Gringsing.
Dalam pada itu, sambil meletakkan kepingan perak yang berwarna kehitam-hitaman itu Kiai Gringsing berkata, “Nah Ki Juru, sekarang, apakah yang dapat kita perbincangkan mengenai lukisan yang terpahat pada kepingan perak itu?”
Ki Juru menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Ki Waskita dan Ki Sumangkar berganti-ganti seolah-olah ingm mendapatkan bahan pembicaraan dari mereka. Tetapi baik Ki Waskita maupun Ki Sumangkar masih tetap berdiam diri sambil memandang benda yang kehitam-hitaman itu.
“Lukisan yang terpahat itu memang sangat menarik,” berkata Kiai Gringsing, ‘seakan-akan memberikan kesan, bahwa pemiliknya adalah orang-orang yang hatinya kelam, seperti kelamnya malam.”
“Ya, golongan yang kadang-kadang disebut golongan hitam,” sahut Ki Juru Martani.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk pula. Sedangkan Ki Juru berkata selanjutnya, “karena itulah kita berhadapan dengan lawan yang memiliki banyak kelebihan. Dan lebih dari itu, mereka akan. mempergunakan segala macam cara untuk mencapai tujuan.”
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia pun mulai membayangkan, siapakah yang sedang mereka hadapi. Namun sedemikian jauh, ia sama sekali masih belum dapat menghubungkan ciri-ciri yang ada itu dengan segolongan orang yang pernah dikenalnya, juga mereka yang tergolong keturunan langsung dari Majapahit.
“Ki Juru,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “sebenarnyalah bahwa semuanya masih gelap bagi kita. Karena itu, apakah Ki Juru tidak berkeberatan, apabila ciri-ciri yang terpahat pada kepingan perak itu diperbanyak?”
“Maksud Kiai?”
“Kita masing-masing akan membawa satu. Selama kami menempuh perjalanan kembali dari Tanah Perdikan Menoreh, kami dapat selalu mempelajari, apakah arti dari ciri-ciri yang terpahat pada kepingan perak itu, sementara aslinya masih tetap ada pada Ki Juru, yang mungkin memerlukan untuk mencari maknanya pula.”
Ki Juru merenung sejenak. Namun kemudian kepalanya terangguk-angguk kecil. Katanya, “Aku tidak berkeberatan Kiai. Tetapi aku akan memilih seorang ahli yang dapat aku percaya sehingga ia tidak membuat lebih dari yang kita perlukan. Mungkin ia tidak mengerti makna dari yang dibuatnya, sehingga kelebihan itu akan mengakibatkan kesulitan baginya kelak.”
“Baiklah Ki Juru. Pada saatnya kami kembali dari Menoreh, kami akan singgah pula. Kami akan mengambil tiruan dari ciri yang sengaja ditinggalkan oleh orang-orang yang telah mengambil pusaka-pusaka itu. Mungkin kami memerlukan satu dua hari, tetapi mungkin satu dua pekan atau bulan untuk dapat mencari jalan memecahkan persoalan yang sangat rumit itu.”
“Kami akan mencoba menyediakannya Kiai. Berapa hari menurut rencana Kiai akan berada di Tanah Perdikan Menoreh?”
“Tidak terlampau lama. Apalagi menghadapi persoalan yang pelik ini. Mungkin aku hanya akan bermalam satu atau dua malam saja. Jika persoalan yang kami bawa sudah selesai, maka kami pun akan segera kembali.”
Ki Juru Martani mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Mudah-mudahan kita bersama akan segera dapat memecahkan persoalan itu. Tetapi kami di Mataram, tidak ingin selalu mengganggu niat Ki Demang untuk mengawinkan anak laki-lakinya. Jika Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Ki Sumangkar terlibat terlampau jauh di dalam masalah hilangnya kedua pusaka itu dari Mataram, maka kedatangan kalian akan terlambat di Sangkal Putung. Dan itu berani mengundurkan rencana perkawinan Angger Swandaru.”
“Kami akan mencoba minum sambil mandi,” jawab Kiai Gringsing.
Ki Juru Martani tersenyum. Meskipun ia belum terlampau lama bergaul dengan Kiai Gringsing, tetapi ia sudah mengerti sifat-sifatnya. Istilah yang nampaknya sekedar merupakan pelepasan dan bahkan terasa tidak lebih dari sebuah sendau gurau, namun memiliki arti yang dalam dan bersungguh-sungguh.
Demikianlah maka Ki Juru Martani pun kemudian memanggil seorang yang pandai membuat barang-barang perhiasan dari perak. Selebihnya orang itu sudah dikenalnya baik-baik dan dapat dipercaya. Kepadanyalah tugas itu diserahkan.
“Buatlah lima tiruan dari benda ini,” berkata Ki Juru Martani, “hanya lima. Tidak lebih.”
Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Diamatinya kepingan perak bakar yang kehitam-hitaman itu. Pada kepingan perak itu terpahat lukisan sebuah perisai yang bulat bergerigi dan di tengahnya seekor kelelawar dengan sayapnya yang mengembang.
Sambil masih mengangguk -anggukan kepalanya ia menyahut, “Aku akan membuatnya, sejauh-jauhnya mendekati pahatan perak itu. Tetapi, apakah gunanya benda-benda serupa itu?”
“Itulah yang akan aku beritahukan,” berkata Ki Juru, lalu, “benda ini adalah benda keramat. Kau tidak akan dapat membuat lebih dari lima keping tiruan. Jika kau melanggar, aku takut bahwa kau akan mendapat kesulitan.”
Wajah orang itu menjadi tegang.
“Tetapi jangan takut,” dengan cepat Ki Juru menyambung, “asal kau tidak melanggar pantangan, maka tidak akan terjadi apa-apa. Kami sudah mengadakan selamatan sebelum kami memanggilmu. Tetapi ingat, benda ini jangan sampai berada dibawah pusarmu.”
“O,” orang itu bertambah tegang.
“Lakukanlah.”
“Jadi aku harus menaruhnya dimana?”
“Selipkan pada ikat kepalamu.”
Orang itu termangu-mangu sejenak, lalu, “Ah, sebaiknya aku tidak bermain-main dengan benda-benda keramat seperti itu.”
Ki Juru tersenyum. Katanya, “Tidak apa-apa. Semua persoalan yang dapat timbul menjadi tanggung jawabku. Tetapi ingat pesanku, jangan membuat lebih dari lima, dan jangan mengatakan kepada siapa pun juga bahwa kau membuat benda-benda tiruan itu. Kepada anak isterimu pun jangan. Apalagi kepada pembantu-pembantumu di rumah, atau anak-anak muda yang belajar membuat barang-barang perak di rumahmu.”
Orang itu menjadi semakin ragu-ragu.
“Kerjakanlah. Jika kau memenuhi semua syarat, maka kau akan mendapat rejeki.”
Orang itu tidak menyahut, sedang Kiai Gringsing melanjutkan, “Setidak-tidaknya kau akan mendapat upah yang baik dari kerjamu itu.”
Ketika orang itu kemudian minta diri, setelah menyelipkan kampil berisi sekeping perak bakar itu di ikat kepalanya. Ki Waskita dani Ki Sumangkar tersenyum. Ki Sumangkar bahkan kemudian tertawa kecil sambil berkata, “Apakah orang itu masih perlu ditakut-takuti?”
Ki Juru pun tersenyum pula. Jawabnya, “Ia orang yang baik dan dapat dipercaya. Tetapi kadang-kadang seseorang diluar sadarnya melakukan kesalahan. Aku ingin bahwa dengan demikian ia menjadi lebih berhati-hati.”
“Tetapi Ki Juru memberikan kampil itu seluruhnya. Bukankah di dalam kampil itu terdapat secarik kain yang. bertulisan darah?” bertanya Ki Waskita.
Ki Juru tersenyum. Katanya, “Aku sudah menyimpannya.”
Kiai Gringsing yang hampir saja menanyakan hal itu pula, mengangguk-angguk sambil berkata, “Jika ia melihat tulisan itu, ia akan menjadi semakin ketakutan. Barangkali ia akan mengembalikannya, dan tidak mau mengerjakannya lagi.”
Demikianlah untuk beberapa saat mereka masih saja memperbincangkan kepingan perak bakar itu. Namun mereka masih belum dapat mengambil kesimpulan yang agak meyakinkan. Mereka masih bertanya-tanya di dalam hati, “Perguruan manakah yang kemudian mempergunakan tanda-tanda yang aneh itu?”
Namun seperti pendapat Kiai Gringsing, perguruan itu tentu perguruan yang semula tidak pernah berkembang.
“Atau justru sebuah kelompok yang baru sama sekali,” gumam Ki Juru Martani.
Demikianlah, seperti yang, direncanakan, maka Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Ki Sumangkar benar-benar hanya bermalam semalam saja di Mataram. Ketika kemudian pagi mulai pecah dihari berikutnya, ketiganya pun segera mohon diri untuk melanjutkan perjalanan. Ketiga orang-orang tua itu sengaja menampakkan diri sebagai pedagang keliling yang menempuh perjalanan dari satu tempat ketempat yang lain, meskipun mereka tidak membawa barang-barang apa pun selain beberapa lembar pakaian yang terbungkus rapi dan diikat pada pelana kuda masing-masing.
“Ki Waskita dan Ki Sumangkar,” berkata Kiai Gringsing ketika mereka sudah berada diluar kota Mataram yang sedang berkembang itu, “jika kita menghadap Ki Argapati, apakah kita sebaiknya mengatakan tentang hilangnya kedua pusaka itu atau tidak?”
Keduanya mengerutkan keningnya. Sejenak mereka merenung. Kemudian Ki Sumangkar pun menjawab, “Menurut pertimbanganku, tidak ada salahnya kita mengatakannya. Ki Argapati adalah seorang yang cukup masak menanggapi setiap keadaan, seperti pada saat Raden Sutawijaya berusaha menghancurkan Panembahan Agung yang berada di ujung kekuasaan Ki Argapati.”
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Sedang Ki Waskita pun berkata, “Kita wajib mempercayainya. Apalagi tidak ada kesulitan hubungan antaraMatamm dan Menoreh.”
Kiai Gringsing masih mengangguk-angguk. Jawaban-jawaban itu agaknya memang sesuai dengan sikapnya. Baginya, Ki Argapati adalah orang yang dapat menyesuaikan diri dengan keadaan yang sedang dihadapi. Ia bukan orang yang hanya mementingkan diri sendiri saja, tetapi ia juga memikirkan kepentingan-kepentingan orang lain.
Karena itu maka Kiai Gringsing pun kemudian berkata, “Aku sependapat. Memang Ki Argapati adalah orang yang cukup matang, dan memang tidak ada persoalan apa pun juga antara Menoreh dan Mataram.”
“Mudah-mudahan Mataram tidak mempunyai persoalan pula dengan tetangga-tetangganya yang lain,” desis Ki Sumangkar.
Kiai Gringsing tidak menyahut. Tetapi seperti Ki Waskita maka Kiai Gringsing pun segera melontarkan angan-angannya ke laladan Mangir. Daerah yang sudah mulai nama pula, di sebelah Selatan Alas Mentaok. Beberapa Kademangan yang merasa wajib membuat semacaam ikatan yang dipimpin oleh Ki Ageng Mangir, berkembang pula disamping Mataram. Tetapi agaknya Mataram maju jauh lebih pesat dari Mangir meskipun sebenarnya Mangir lebih tua dari Mataram yang tumbuh diatas tanah Alas Mentaok.
Demikianlah sambil berbicara tentang berbagai kemungkinan maka mereka pun semakin lama semakin mendekati Kali Praga. Untuk mencapai daerah Menoreh mereka harus menyeberangi sungai yang cukup lebar itu. Dalam musim basah, maka mereka harus menyeberang dengan mempergunakan getek, karena arus airnya menjadi agak deras dan dalam.
Ketika mereka kemudian melewati sebuah padang ilalang, dan kemudian sampai ke daerah yang sudah berpasir mendekati tepian, mereka menjadi berdebar-debar. Biasanya di tempat itu banyak getek yang siap untuk menyeberang dengan upah sekedarnya, Tetapi saat itu, tepian itu pun menjadi sepi, meskipun masih nampak beberapa buah getek yang tertambat pada patok-patok bambu yang kuat.
Kiai Gringsing memandang air yang berwarna lumpur itu dengan dada yang berdebar-debar. Sedang Ki Waskita dan Ki Sumangkar menebarkan pandangan matanya berkeliling.
“Aneh,” desis Kiai Gringsing.
“Ya, aneh,” Ki Waskita dan Ki Sumangkar pun menyahut hampir bersamaan.
“Tidak seorang pun yang nampak. Biasanya disaat begini, ada beberapa buah getek yang hilr mudik.”
“Marilah kita mendekat,” berkata Ki Sumangkar kemudian.
Mereka bertiga pun kemudian bergerak mendekati getek-getek yang tertambat. Sejenak mereka termangu-mangu. Namun kemudian mereka melihat beberapa orang yang agaknya akan menyeberang pula.
“Marilah kita mendekati mereka,” ajak Kiai Gringsing.
Ketiganya pun kemudian mendekati orang-orang yang berjalan dengan ragu-ragu. Agaknya mereka pun menjadi heran, bahwa tidak sebuah pun dari getek-getek itu yang menyeberangi sungai.
“Ki Sanak,” berkata Kiai Gringsing sambil meloncat turun dari kudanya ketika ia sudah berada didekat orang yang termangu-mangu, “apakah Ki Sanak akan menyeberang?”
“Ya. Kami akan menyeberang,” jawab salah seorang; dari mereka, “tetapi aneh, Agaknya telah terjadi sesuatu sehingga sungai itu menjadi sangat sepi.”
“Apakah kira-kira baru saja ada getek yang hanyut atau terbalik di tengah sungai sehingga yang lain menjadi ketakutan?” bertanya Ki Sumangkar yang telah turun pula bersama Ki Waskita.
“Tentu tidak,” jawab orang itu, “meskipun ada di antara mereka yang terbenam sekali pun yang lain tidak akan menjadi ketakutan. Apalagi air tidak begitu deras. Tetapi tentu kami tidak akan dapat menyeberanginya.”
“Kami juga akan menyeberang,” berkata Ki Waskita, “kami mempunyai sedikit keperluan di seberang sungai,”
Orang-orang itu mengangguk-angguk. Salah seorang dari mereka berkata, “Aku mempunyai kenalan baik di antara para tukang perahu. Mungkin aku dapat bertanya kepadanya, apa yang sudah terjadi sehingga mereka tidak turun ke sungai hari ini.”
“Bertanyalah. Dan jika ia tidak berkeberatan., bawa ia kemari khusus untuk menyeberangkan kita. Bukankah mereka tidak akan menolak ajakanmu jika kau sudah kenal dengan baik.”
“Aku akan mencoba.”
Salah seorang dari mereka pula segera pergi meninggalkan kawan-kawannya melintasi pasir tepian menuju kepadukuhan yang berada tidak begitu jauh dari Kali Praga itu.
Sambil menunggu orang yang menjemput tukang perahu yang sudah dikenalnya baik-baik itu, maka Kiai Gringsing dan kawan-kawannya pun berbicara tentang berbagai hal dengan orang-orang yang akan menyeberang itu pula. Ternyata mereka adadah pedagang-pedagang yang akan pergi ke tlatah Menoreh untuk mengambil berbagai jenis rempah-rempah yang kemudian akan mereka bawa ke daerah Pajang.
“Kita tidak pernah mengalami hal seperti ini akhir-akhir ini,” berkata salah seorang dari mereka, “beberapa saat yang lalu, ketika jalan yang melintas dari Timur ke Barat sering terganggu, memang kadang-kadang tidak seorang pun yang mau menyeberangkan kami. Tetapi kemudian keadaan menjadi bertambah baik, dan jalan kami pun menjadi aman.”
“Mengherankan,” berkata yang lain.
Dalam pada itu, tiba-tiba saja salah seorang dari mereka bertanya, “Siapakah Ki Sanak bertiga ini?”
“Kami adalah orang-orang Sangkal Putung,” jawab Kiai Gringsing, “kami mempunyai keperluan untuk menengok sanak kami yang ada di Menoreh.”
Orang-orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Salah seorang berkata, “Kami kira kalian adalah pedagang mas dari Pajang, atau blantik lembu dan kerbau yang akan mencari dagangan ke tlatah Menoreh.”
Ki Waskita dan Ki Sumangkar menahan senyum yang hampir saja menggerakkan dibibir mereka. Agaknya orang-orang itu tidak mengenal mereka sebagai petualang yang datang dan pergi dari satu daerah ke daerah yang lain.
“Kami memang mengharapkan dugaan yang demikian,” berkata Ki Waskita dan Ki Sumangkar di dalam hatinya. Karena dengan demikian tidak akan banyak orang yang memperhatikan perjalanan mereka.
Namun dalam pada itu, Kiai Gringsing menjawab, “Dugaan Ki Sanak tidak banyak meleset. Meskipun kami akan mengunjungi saudara kami di Tanah Perdikan Menoreh, tetapi kami memang tidak semata-mata pergi tanpa keperluan yang lain. Kami adalah perantara jual dan beli besi-besi aji.”
“Maksud Ki Sanak, pusaka-pusaka?”
Kiai Gringsing mengangguk.
“Yang Ki Sanak pentingkan, wilahan-wilahan besi keramat atau pakaian dari pusaka-pusaka itu. Maksudku, pendok mas tretes berlian, ukiran dengan batu-batu permata dan serupa itu.”
“Keduanya. Jika ternyata ada yang jodoh, maka kami dapat mencarikan pusaka-pusaka yang mempunyai kasiat bagi pemiliknya. Tetapi kami juga berdagang barang-barang mas dan permata, termasuk pendok keris.”
“Dan akik,” sambung Ki Waskita.
Kiai Gringsing berpaling. Tetapi tidak ada kesan apa pun yang nampak pada wajahnya.
“Ya,” jawab orang yang bertanya tentang barang-barang mas dan permata itu, “biasa pedagang wesi aji juga membawa batu-batu bertuah. Akik, ujung tanduk menjangan mati ngurak yang ujudnya sudah membatu, watu ireng belah putih dan sebagainya. Nah, apakah Ki Sanak membawa batu akik? Aku pernah mendengar ada batu akik yang dapat memberikan pengaruh baik dan buruk pada pemiliknya.”
“Memang,” jawab Kiai Gringsing, “tetapi sayang, bahwa kami sekarang tidak membawa apa pun juga. Kami sebenarnya sedang dalam perjalanan mengambil beberapa pusaka dari saudara kami yang ada di Tanah Perdikan Menoreh.”
Orang itu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu tentang pusaka-pusaka yang dikenalnya.
Sementara itu, kawannya yang pergi menjemput beberapa orang tukang satang telah datang bersama dengan empat orang yang barangkali bersedia menyeberangkan orang yang sudah dikenalnya dengan baik itu.
“Sebenarnya kami tidak ingin turun ke sungai hari ini,” berkata salah seorang dari mereka, “tetapi kawan yang sudah kami kenal ini memaksa kami.”
“Kami minta pertolongan Ki Sanak,” berkata salah seorang dari mereka yang datang dalam kelompok kecil itu.
Beberapa orang tukang perahu itu termangu-mangu. Mereka memandang orang-orang itu satu demi satu. Kemudian tatapan mata mereka hinggap pada Kiai Gringsing dan kedua kawannya.
Meskipun tidak ada kata-kata yang mereka ucapkan, tetapi nampak kecurigaan memancar diwajah mereka, sehingga karena itu maka Kiai Gringsing pun berkata, “Aku juga termasuk dalam rombongan yang akan menyeberang Sungai Praga. Aku tidak membawa apa-apa selain pakaian beberapa lembar.”
Orang-orang itu tidak segera menjawab. Tetapi mereka agaknya masih tetap bercuriga.
“Ki Sanak,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “mungkin kalian melihat kelainan pada kami bertiga. Bukan karena pakaian dan kuda-kuda kami, tetapi barangkali dalam sikap dan kata-kata kami. Tetapi kelainan itu wajar sekali, karena pekerjaan kami yang berbeda dan daerah tempat tinggal kami.”
Orang-orang itu masih memandang dengan penuh curiga. Bahkan salah seorang dari mereka berkata, “Sebenarnya kami tidak pernah memilih siapa saja yang akan kami seberangkan. Tetapi peristiwa kemarin malam, membuat kami agak ketakutan.”
“Apakah yang sudah terjadi?” bertanya Kiai Gringsing, “dan apakah karena kejadian itu maka kalian tidak turun ke sungai hari ini.”
Orang-orang itu mengangguk-angguk.
“Mengerikan sekali,” berkata salah seorang dari mereka.
“Apa?”
“Menjelang dini hari, beberapa orang akan menyeberangi sungai ini. Adalah kebetulan sekali aku tidur diatas perahu yang tertambat ditepian. Dengan demikian aku melihat apa yang telah terjadi.”
“Apa yang terjadi?”
“Beberapa orang yang menyeberangi sungai ini telah membangunkan tiga orang kawanku yang tidur ditepian, di atas sehelai ketepe. Agaknya mereka tidak melihat aku sehingga mereka tidak menghiraukan sama sekali, karena perahuku memang tertambat agak jauh.”
“Mereka akan menyeberang?”
“Ya. Aku tidak mendengar apa yang mereka bicarakan. Tetapi agaknya mereka sedang tawar menawar. Menyeberang dimalam hari kadang-kadang merupakan penghasilan khusus yang agak baik bagi kami. Mereka tentu orang-orang yang tergesa-gesa sehingga tidak sempat menunggu pagi. Dan kadang-kadang kami juga berbuat salah dengan memanfaatkan kesulitan orang lain dengan memaksakan upah yang lebih tinggi,” orang itu berhenti sejenak, lalu, “yang aku ketahui mereka pun kemudian menyeberang. Tetapi sungguh diluar dugaan. Ketika mereka sudah mencapai tepi sebelah Barat, maka mereka sama sekali tidak memberikan upah. Tetapi ketiga orang kawan-kawanku itu pun dibunuhnya dengan tanpa belas kasihan.”
“Dibunuh?” Ki Waskita mengulang.
“Ya. Mereka dibunuh hanya karena orang-orang yang menyeberang itu tidak mau membayar upah, sedangkan tukang-tukang perahu itu menuntutnya.”
Ki Waskita dan kawan-kawannya terkejut mendengar jawaban itu. Demikian juga sekelompok orang yang akan menyeberang Sungai Praga itu pula.
“Kami tidak mau mengulangi peristiwa yang mengerikan itu lagi,” berkata tukang perahu itu.
“Tetapi kalian sudah mengenal aku,” berkata salah seorang dari sekelompok orang yang ingin menyeberang itu.
“Kami sudah mengenal kau, tetapi…..” orang itu tidak meneruskan.
Meskipun demikian, orang yang sudah di kenal oleh tukang perahu itu mengerti dan menyahut dengan serta-merta, “Mereka adalah kawan-kawanku. Aku akan bertanggung jawab bahwa mereka tidak akan berbuat seperti orang-orang2 yang kejam itu. Kami adalah pedagang yang setiap kali memerlukan bantuan kalian. Jika kami berbuat salah, maka jalan kami akan tertutup, dan itu berarti kesulitan bagi kehidupan kami.”
Tukang-tukang perahu itu saling berpandangan sejenak. Namun hampir diluar sadar, mereka bersama-sama memandang Kiai Gringsing dan kawan-kawannya.
“Aku mengerti bahwa kalian pun mencurigai aku,” berkata Kiai Gringsing, “tetapi aku berharap bahwa kalian dapat mengerti dan mempercayai kami. Kami sudah sering menyeberang sungai ini pula meskipun barangkali orang-orang lain yang menolong kami. Tetapi kami pun tidak mau kehilangan kesempatan dengan berbuat demikian tidak berperikemanusiaan. Berapa sebenarnya upah yang harus dibayar? Seandainya lipat lima sekali pun dari yang seharusnya? Sedangkan nyawa orang mempunyai nilai yang tidak dapat disebutkan dengan nilai uang. Selebihnya, kami akan berdosa dengan melakukan kejahatan serupa itu.”
Sejenak tukang perahu itu ragu-ragu. Agaknya mereka sedang mempertimbangkannya.
“Sudah barang tentu kami tidak dapat berbuat apa-apa dihadapan sekian banyak orang,” berkata Ki Sumangkar, “seandainya ada niat dihati kami untuk melakukan kejahatan yang sangat merugikan itu, kami tentu tidak akan melakukannya dihadapan orang lain.”
Seorang yang bertubuh tinggi kekar, yang agaknya orang tertua di antara tukang perahu itu menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Baiklah. Aku percaya kepada kalian, karena ada di antara kalian yang sudah aku kenal baik.”
Demikianlah maka sekelompok orang itu, termasuk Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Ki Sumangkar beserta kuda mereka pun segera naik keatas sebuah getek yang besar. Perlahan getek itu mulai bergerak. Mula-mula menyusur tepian menurut arus air, kemudian perlahan lahan semakin ke tengah, dan memotong Kali Praga.
Tidak banyak yang meresa percakapkan di tengah-tengah Kali Praga. Namun ada yang penting yang didengar oleh Kiai Gringsing dan kawan-kawannya.
Salah seorang dari sekelompok pedagang yang menyeberang itu bertanya, “Apakah kau dapat mengenal ciri-ciri dari orang-orang yang berbuat kejam itu?”
“Tentu tidak. Malam cukup gelap, dan jarak kami pun menjadi teramat jauh karena mereka sudah sampai diseberang.”
“Apa yang kau ketahui tentang mereka?”
“Tidak ada. Kami hanya mendengar pertengkaran sejenak. Kemudian jerit ngeri dari tiga orang kawan kami. Di pagi hari berikutnya, kami menemukan mayat-mayat itu. Perutnya sobek dan darah memerah dibibir perahu. Bahkan sudah menjadi hitam pula.”
“Tanpa mengenal ciri-ciri mereka, kita tidak akan dapat mencarinya, atau berhati-hati terhadap orang yang demikian disaat yang lain.”
“Aku tidak menyangka bahwa hal itu terjadi,” ia berhenti sejenak, lalu, “tetapi yang pasti menurut penglihatanku, salah seorang dari mereka membawa sebatang benda yang panjang.”
“Benda panjang,” diluar sadarnya Kiai Gringsing bertanya.
Orang itu berpaling sambil mengangguk, “Ya. Mungkin sebuah payung.”
“Payung?”
“Payung itu dibungkus rapi dengan sehelai kain putih.”
Dada Kiai Gringsing serasa semakin cepat berdetak. Demikian juga agaknya Ki Waskita dan Ki Sumangkar.
“Hanya satu?” bertanya Kiai Gringsing sambil menahan perasaannya yang bergejolak.
“Ya. Menurut penglihatanku hanya satu.”
K’ai Gringsing tidak bertanya lagi. Ia menahan semua desakan di dalam hatinya. Demikian juga agaknya kedua kawannya.
Namun keterangan itu memberikan banyak bahan bagi Kiai Gringsing dan kedua kawannya. Agaknya orang-orang yang mengambil pusaka dari Mataram itulah yang telah menyeberangi Kali Praga. Tetapi mereka tidak membawa kedua pusaka itu bersama-sama.
“Mereka berusaha untuk memisahkannya,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya, dan agaknya demikian juga Ki Waskita dan Ki Sumangkar. Tanpa membicarakannya lebih dahulu ketiganya dapat mengambil kesimpulan bahwa untuk mengamankan pusaka yang tidak ada duanya itu, maka mereka membawa ke arah yang berbeda. Yang satu dibawa menyeberang Kali Praga, sedang yang lain dibawa ke arah lain pula.
“Tetapi mungkin juga mereka membagi pusaka-pusaka itu agar mereka untuk sementara terikat di dalam satu kelompok yang tidak akan saling mengkhianati,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya.
Tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut. Ia sadar, bahwa ia tidak akan mendapatkan bahan lebih banyak dari itu. Bahkan kemudian ia berpura-pura tidak menghiraukannya lagi, ketika justru orang-orang lainlah yang bertanya tentang payung itu.
Seorang yang bertubuh.kurus agaknya tertarik juga pada ceritera payung itu sehingga ia pun kemudian bertanya, “Payung itu memiliki kelebihan apa sehingga diselongsong dengan kain putih?”
“Tentu aku tidak tahu. Aku hanya melihat dari kejauhan, Aku pernah melihat sebuah payung bertangkai panjang seperti yang dibawa orang itu, ketika aku masih kecil.”
“Dimana?” bertanya yang lain.
“Ketika aku ikut Biyung mengunjungi sanak keluarga kami yang berada di Pajang. Ia menghambakan diri kepada seorang bangsawan. Dan aku melihat di rumah itu ada payung bertangkai panjang.”
“Seperti songsong orang mati?”
“Ya,” tukang perahu itu berhenti sejenak ketika perahunya menjadi sedikit oleng. Kemudian, “payung di rumah bangsawan itu pun diselongsongi pula dengan kain putih.”
Dan tiba-tiba saja diluar dugaan Kiai Gringsing dan kawan-kawannya salah seorang dari pedagang yang bersama menyeberang itu berkata, “Agaknya yang membawa payung itu pencuri. Mereka mencuri payung dan dibawanya lari di malam hari.”
Tetapi tukang perahu itu menjawab, “Apakah seseorang mempertaruhkan dirinya sekedar untuk mendapat sebuah payung yang dibuat dari kayu dan sesobek kain itu?”
“O, bodoh kau. Yang kau lihat adalah payung itu. Tetapi apakah kau mengetahui bahwa mereka membawa sebungkus emas dan permata?”
“Ah. Aku tidak tahu.”
Demikianlah maka mereka pun kemudian terdiam. Perahu itu perlahan-lahan maju memotong arus sungai yang tidak begitu deras, meskipun masih terlalu berbahaya untuk diseberangi tanpa perahu.
Setelah mereka sampai di seberang, maka sambil mengucapkan terima kasih, maka Kiai Gringsing dan kedua kawannya pun segera membayar upah yang harus mereka berikan. Demikian juga pedagang-pedagang yang akan mengambil rempah di tlatah Menoreh itu.
“Bagaimana aku menyeberang kembali besok,” bertanya salah seorang pedagang itu, “jika masih belum ada orang yang berani melintas sungai ini? Dari arah Timur aku dapat memanggil kau kerumah. Tetapi dari arah Barat, aku belum mempunyai kenalan yang rapat.”
“Kapan kau akan kembali?”
“Mungkin besok, selambat-lambatnya lusa.”
“Menjelang tengah hari aku ada diseberang meskipun tidak ditempat penyeberangan karena kami masih ketakutan. Jika kau berdiri ditepian dan bersuit dua kali sambil melambaikan tangan, aku akan menjemputmu jika masin belum ada orang lain. Tetapi jika ada, maka rejeki itu adalah hak kawan-kawan dari seberang Barat. Aku tidak dapat merampas dari mereka.”
“Jika mereka tidak ada.”
“Kecuali. Seperti aku katakan, beri aku tanda. Aku ada ditepian meskipun barangkali aku bersembunyi.”
Demikianlah maka mereka yang telah menyeberang itu pun meninggalkan tepian. Kiai Gringsing dan kedua kawannya minta diri untuk mendahului pergi ke Tanah Perdikan Menoreh.
Ketika kuda-kuda mereka telah berlari meskipun, tidak begitu cepat, melintasi bulak persawahan memasuki tlatah Menoreh, maka Kiai Gringsing dan kedua kawannya mulai menilai keterangan tukang perahu yang telah melihat sekelompok orang yang membawa payung bertangkai panjang dan berselongsong putih itu.
“Aku hampir memastikan,” berkata Kiai Gringsing, “bahwa payung yang mereka bawa itu adalah songsong yang hilang dari Mataram.”
“Ya,” sahut Ki Waskita, “jika payung itu bukan payung yang bernilai melampaui nilai orang-orang yang membawa itu sendiri menurut dugaan mereka, maka mereka tidak akan membunuh tukang perahu yang tidak berdosa itu.”
“Mereka berusaha menghilangkan jejak agar tidak seorang pun yang mengetahui arah kepergian mereka,” sambung Ki Sumangkar.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ia sependapat dengan kedua kawannya bahwa payung itu adalah Kanjeng Kiai Mendung.
“Tetapi kemana Kanjeng Kiai Pleret mereka bawa?” desis Ki Waskita.
“Dengan memisahkan kedua pusaka itu, maka mereka akan merasa semakin aman. Aman dari segi penelitian orang-orang Mataram, dan aman bagi mereka sendiri. Jika salah satu pihak dari mereka membawa keduanya, maka wahyu itu akan berada pada pihak yang membawa kedua pusaka itu,” desis Kiai Gringsing.
“Menurut dugaan Kiai, apakah ada semacam pertentangan yang meskipun tersembunyi di antara mereka yang mengambil pusaka itu?” bertanya Ki Waskita.
“Aku belum dapat mengambil kesimpulan. Mungkin saja hal itu terjadi, tetapi mungkin sekedar untuk pengamanan.”
“Tetapi pada suatu saat, kedua pusaka itu akan berkumpul,” berkata Ki Sumangkar selanjutnya, “mungkin setelah mereka berhasil mengambil pusaka-pusaka yang lain dari Pajang.”
“Ya. Agaknya harus demikian.”
Ketiganya mengangguk-angguk. Sejenak mereka saling berdiam diri. Meskipun tatapan mata mereka manyapu kehijauan dedaunan ditlatah Tanah Perdikan Menoreh, namun pikiran mereka masih tetap dicengkam oleh ceritera tukang perahu itu.
Namun seperti terbangun dari mimpi, mereka pun kemudian mulai mempersiapkan diri ketika mereka mulai berpapasan dengan beberapa orang petani yang lewat ditanggul parit ditepi jalan. Beberapa orang dari mereka menganggukkan kepalanya, karena agaknya mereka pernah melihat orang yang bernama Kiai Gringsing dan kawan-kawannya itu.
Demikianlah maka Kiai Gringsing dan kedua kawannya pun segera mengatur diri, membenahi rambut yang berjuntai ditiup angin selama perjalanan dan mengatur kata-kata yang nanti akan disampaikan kepada Ki Gede Menoreh, sesuai dengan pesan Ki Demang Sangkal Putung.
Tidak seperti saat-saat yang lampau, mereka selalu berpapasan dengan kelompok-kelompok peronda, maka kini agaknya Tanah Perdikan Menoreh telah benar-benar menjadi tenang. Meskipun agaknya Tanah Perdikan Menoreh tidak lengah sama sekali, namun mereka tidak diganggu oleh kegelisahan persiapan bersenjata di sepanjang jalan. Hanya sekali-sekali saja mereka melihat dua orang pengawal berkuda melintas dan apabila mereka berpapasan, pengawal-pengawal itu pun mengangguk hormat, karena mereka pun telah mengenal Kiai Gringsing dan kedua kawannya itu.
Sejenak kemudian, Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Ki Sumangkar pun telah memasuki padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Namun kedatangan mereka bertiga, sama sekali tidak mengejutkan orang-orang di Menoreh. Terlebih-lebih Ki Gede Menoreh sendiri yang sebenarnya memang sedang menunggu kedatangan tamu-tamu dari Sangkal Putung. Dan bahkan Ki Gede sudah memastikan, bahwa yang akan datang adalah Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar. Tetapi ternyata di antara mereka terdapat pula Ki Waskita.
Sebelum mereka memasuki halaman rumah Ki Argapati, maka sekali lagi mereka menyesuaikan pendapat mereka, bahwa sebaiknya Ki Argapati mendapat sedikit keterangan tentang hilangnya kedua pusaka dari Mataram itu dan menyampaikan pula keterangan tukang perahu yang melihat, bahwa satu di antara kedua pusaka yang hilang telah menye-berang Kali Praga.
“Mereka membunuh tukang-tukang perahu itu untuk menghapuskan jejak mereka bahwa Kiai Mendung telah melintasi Kali Praga,” berkata Kiai Gringsing.
Kawan-kawannya pun mengangguk-angguk. Mereka sependapat sepenuhnya dengan Kiai Gringsing itu, karena Ki Argapati pun agaknya akan terlibat pula seperti saat-saat Mataram berusaha menemukan sarang Panembahan Agung, Apalagi ketika mereka yakin bahwa Tanah Perdikan Menoreh setidak-tidaknya menjadi tempat atau jalur jalan orang orang yang membawa salah satu dari pusaka yang hilang itu.
Sejenak kemudian, maka Kiai Gringsing dan kedua kawan-kawannya pun telah memasuki regol halaman rumah Ki Argapati. Ki Argapati sendiri telah turun dari tangga rumahnya dan menyongsong tamu-tamunya yang memang sudah ditunggunya.
Kedatangan Kiai Gringsing dan kedua kawannya disambut oleh keluarga Ki Argapati dengan wajah-wajah yang cerah. Mereka sudah tahu persoalan apa yang dibawa oleh Kiai Gringsing dan kawan-kawannya. Namun berita yang sekarang dibawa itu adalah berita kepastian tentang saat-saat yang sudah lama dinantikan itu.
Demikianlah mereka pun kemudian duduk melingkar di atas sehelai tikar pandan dipendapa. Seperti kebiasaan yang berlaku, maka mereka pun segera saling menanyakan keselamatan dan berita tentang keluarga masing-masing. Keluarga Tanah Perdikan Menoreh dan keluarga di Sangkal Putung.
................bersambung ke Jilid 86
Tidak ada komentar:
Posting Komentar