API di BUKIT MENOREH
Karya S.H Mintardja
PEMBICARAAN mereka pun kemudian dengan lancar merambat kepada berbagai macam persoalan. Kiai Grirgsing sengaja tidak dengan tergesa-gesa menyampaikan pesan-pesan dari Ki Demang Sangkal Putung. Agaknya Ki Argapati tentu akan mengumpulkan beberapa orang tua-tua di Tanah Perdikan Menoreh dan membicarakannya sama sekali. Karena itu, maka Kiai Gringsing pun menunggu apabila saatnya telah datang.
Seperti yang diduga, maka Ki Argapati kemudian telah siap menyuruh memanggil orang-orang tua yang biasa dibawanya berbincang. Dan kepada Kiai Gringsing ia berkata, “Kiai. Jika sekiranya perlu, aku akan memanggil orang-orang tua di Tanah Perdikan Menoreh. Jika aku tidak salah tanggapan, Kiai kali ini datang atas nama Ki Demang Sangkal putung.”
“Sebenarnyalah demikian, Ki Gede. Dan aku beserta kedua kawanku seperjalanan dengan senang hati akan menyampaikan semua pesan-pesan Ki Demang Sangkal Putung, kapan saja yang sebaiknya bagi Ki Argapati.”
“Baiklah. Malam nanti kita akan berkumpul di pendapa. Apakah Kiai sudah tidak terulampau letih?”
“Tentu tidak.”
“Kami pun ingin segera mendengarnya.”
Kiai Gringsing mengangguk-angguk sambil tersenyum. Katanya, “Memang semakin cepat semakin baik. Seakan-akan aku telah meletakkan beban yang tersangkut di dalam dada ini.”
Ki Argapati tertawa. Tetapi ia tidak menduga sama sekali bahwa beban yang tersangkut di hati Kiai Gringsing dan kawan-kawannya adalah beban ganda. Jika mereka telah menyampaikan pesan Ki Demang Sangkal Putung, maka akan datang gilirannya, mereka menyampaikan pesan tentang kedua pusaka yang hilang itu, meskipun hanya kepada Ki Argapati seorang diri.
Sebelum malam turun di atas Tanah Perdikan Menoreh, maka tamu-tamu Tanah Perdikan Menoreh itu pun dipersilahkan beristirahat di gandok sebelah kiri. Mereka segera mendapat jamuan makan setelah mereka membersihkan diri di pakiwan.
Beberapa lamanya mereka menunggu di gandok sambil berbicara di antara mereka. Tetapi mereka tidak lagi membicarakan pesan Ki Demang di Sangkal Putung, tetapi mereka membicarakan persoalan pusaka-pusaka yang hilang itu.
“Besok,” berkata Ki Waskita tiba-tiba, “aku akan minta waktu barang satu malam untuk singgah sebentar ke rumah. Aku harus memberitahukan bahwa aku akan memperpanjang waktu kepergianku dengan hilangnya pusaka-pusaka itu.”
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi, lusa kami sudah akan kembali.”
“Ya. Besok pagi-pagi aku pergi, di pagi berikutnya aku tentu sudah berada di sini kembali.”
Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar saling berpandangan sejenak. Namun keduanya pun kemudian mengangguk.
“Kami tidak berkeberatan,” berkata Kiai Gringsing, “tetapi di pagi hari berikutnya, Ki Waskita kami harap sudah berada di antara kami, karena kita bersama-sama akan segera pergi ke Mataram. Persoalannya akan segera beralih kepada persoalan yang barangkali tidak kalah pentingnya dengan hari-hari perkawinan Swandaru. Justru dalam lingkungan yang lebih luas. Tetapi kita pun tidak akan dapat mengabaikan hari-hari yang sudah ditunggu oleh Ki Demang Sangkal Putung sekeluarga.”
“Baiklah, Kiai. Mudah-mudahan tidak ada persoalan apa pun yang menghambat perjalananku. Namun demikian, jika pada saatnya aku tidak datang, tentu ada sesuatu yang menahan aku. Mungkin di rumah, mungkin di perjalanan..”
“Apakah kami harus menyusul?” bertanya Ki Sumangkar.
Ki Waskita termangu-mangu. Namun kemudian ia menggeleng, “Aku kira tidak perlu. Dengan demikian aku justru akan memperlambat perjalanan kalian dalam tugas ganda yang berat itu.”
“Tetapi Ki Waskita adalah kawan yang terpercaya bagi kami berdua,” sahut Kiai Gringsing.
Ki Waskita tersenyum. Sambil menggeleng ia berkata, “Tentu tidak. Aku adalah pupuk bawang saja di dalam persoalan ini. Baik persoalan Ki Demang Sangkal Putung maupun persoalan hilangnya kedua pusaka dari Mataram itu.”
“Jika Ki Waskita pupuk bawang, lalu apakah kedudukanku?” bertanya Ki Sumangkar.
Keduanya tersenyum. Tetapi Ki Waskita tidak menjawab pertanyaan Ki Sumangkar.
Ketika kemudian malam turun perlahan-lahan menyelubungi perbukitan Menoreh, maka beberapa orang-orang tua di Menoreh mulai berdatangan di pendapa Ki Gede. Mereka adalah orang-orang yang dipanggil oleh Ki Argapati untuk ikut membicarakan persoalan Pandan Wangi. Sementara Pandan Wangi sendiri seolah-olah tidak mau keluar dari ruang dalam. Hanya sekali-sekali saja ia pergi ke dapur. Tetapi jika beberapa orang gadis yang membantu menyediakan jamuan buat para tamu mulai mengganggunya, maka ia pun berlari masuk lagi ke ruang dalam.
Setelah orang-orang tua yang diundang oleh Ki Argapati berkumpul di pendapa, dan Kiai Gringsing, Ki Waskita, dan Ki Sumangkar telah duduk pula bersama mereka, maka mulailah Ki Argapati membuka pertemuan itu dan mempersilahkan Kiai Gringsing menyampaikan kepentingan yang dipesankan oleh Ki Demang Sangkal Putung kepada orang-orang tua di Tanah Perdikan Menoreh.
“Aku menyerahkan keputusan persoalan ini kepada orang-orang tua di Tanah Perdikan ini,” berkata Ki Argapati. “Karena itu, kami ingin mempertemukan orang-orang tua di Menoreh langsung dengan utusan Ki Demang di Sangkal Putung.”
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia harus menyisihkan persoalan pusaka-pusaka yang hilang untuk sesaat, dan memusatkan pembicaraannya kepada pesan Ki Demang Sangkal Putung.
“Nah,” berkata Ki Gede Menoreh kemudian, “aku persilahkan Kiai untuk memulainya.”
Kiai Gringsing beringsut sedikit. Kemudian ia pun memandang berkeliling. Sambil mengangguk-angguk kecil ia pun kemudian berkata, “Sebenarnyalah bahwa aku membawa pesan Ki Demang Sangkal Putung. Aku akan menyampaikan pesan itu kepada Ki Argapati di hadapan Ki Sanak semuanya.”
Orang yang hadir di pendapa itu pun mengangguk-angguk. Dan Ki Argapati pun menyahut, “Kami sudah siap, Kiai.”
Kiai Gringsing tersenyum. Agaknya Ki Argapati sendiri ingin segera mendengar pesan itu.
“Ki Gede,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “yang penting yang harus kami sampaikan tinggallah masalah waktu. Sudah barang tentu kami tidak akan mengulangi semua basa-basi seperti pada saat kami mengantarkan Ki Demang melamar Angger Pandan Wangi. Pembicaraan sudah berkembang lebih jauh daripada itu.” Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu, “Untuk menyampaikan persoalan waktu itulah maka kami datang kemari.”
Kiai Gringsing pun kemudian menyampaikan hasil pembicaraan orang-orang tua di Sangkal Putung, sebagai pihak bakal pengantin laki-laki. Namun karena ajang perkawinan yang pokok adalah pada pihak pengantin perempuan, maka semuanya terserah kepada keluarga dan orang-orang tua di Tanah Perdikan Menoreh.
“Jadi, menurut perhitungan Ki Demang, perkawinan itu akan berlangsung kira-kira empat puluh hari lagi?” bertanya seorang yang rambut dan janggutnya sudah putih.
“Ya, Ki Sanak,” jawab Kiai Gringsing. “Itu adalah permohonan waktu yang diberikan oleh Ki Demang atas perhitungan orang-orang tua di Sangkal Putung.”
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia masih belum mengambil kesimpulan. Namun rasa-rasanya ia tidak mempunyai keberatan apa pun tentang hari yang ditetapkan itu, kecuali apabila menurut orang-orang tua hal itu merupakan hari pantangan.
“Empat puluh hari bagi persiapan sebuah perkawinan adalah waktu yang pendek,” berkata salah seorang dari orang-orang tua di Tanah Perdikan Menoreh.
“Hari itu sendiri tidak mengandung keberatan apa pun. Tetapi persoalannya adalah waktu yang pendek itu,” berkata orang lain, “sehingga dengan demikian persoalannya tergantung sekali kepada Ki Gede Menoreh.”
Semua orang memandang ke arah Ki Gede Menoreh yang terangguk-angguk. Keningnya nampak berkerut. Agaknya ia sedang mempertimbangkan berbagai kemungkinan tentang saat yang diminta oleh K i Demang Sangkal Putung itu.
Untuk beberapa saat pendapa kademangan itu menjadi sepi. Agaknya masing-masing sedang membuat pertimbangan-pertimbangan di dalam hati.
Ki Gede Menoreh agaknya menyadari bahwa persoalannya banyak tergantung kepadanya. Jika ia tidak berkeberatan melaksanakan perkawinan anaknya dalam waktu singkat itu, muka semuanya akan dapat menerimanya, karena tidak ada seorang pun yang mengajukan keberatan sesuai dengan waktu yang disebutkan oleh Kiai Gringsing.
“Rabo Manis,” desis Ki Gede Menoreh di dalam hatinya, “hari itu adalah hari lahir Swandaru. Waktunya tepat saat matahari terbenam.”
Bagi Ki Argapati sendiri, hari bukannya ketentuan yang paling penting. Baginya tidak ada hari yang mempunyai kelebihan dari hari-hari yang lain. Jika ia memerlukan memanggil orang-orang tua untuk memperhitungkan saat, maka hal itu semata-mata untuk memberikan kesan, bahwa ia tidak meninggalkan perhitungan dan pertimbangan dari orang-orang tua. Jika terjadi sesuatu kelak, orang-orang tua dan tetangga di seputarnya tidak akan menyalahkannya.
Baginya kini yang terpenting adalah pertimbangan jarak waktu. Kira-kira empat puluh hari lagi.
“Untunglah bahwa selama ini aku sudah membuat beberapa persiapan. Perempuan-perempuan tua sudah mulai menyediakan beberapa macam keperluan yang dapat disimpan. Kayu bakar telah tertimbun di belakang kandang. Padi yang paling baik sudah disisihkan dan dikeringkan. Setiap saat padi itu dapat ditumbuk dan menjadi beras yang putih.”
Sementara Ki Argapati membuat pertimbangan di dalam hatinya, maka orang-orang tua di Menoreh pun seakan-akan menunggunya untuk memberikan jawaban.
“Kiai,” berkata Ki Argapati kemudian, “agaknya aku tidak mendengar pendapat yang tidak menyetujui saat perkawinan yang diusulkan oleh Ki Demang Sangkal Putung. Bahkan sebagian dari orang-orang tua di Tanah Perdikan Menoreh agaknya menyerahkan persoalan itu kepadaku. Bukan atas perhitungan hari, karena agaknya hari yang diusulkan oleh Ki Demang itu tidak merupakan saat pantangan, tetapi tekanannya kepada waktu yang sempit.”
Kiai Gringsing mengangguk-angguk sambil menjawab, “Demikilanlah agaknya Ki Gede. Namun segala sesuatunya terserah kepada Ki Gede Menoreh.”
“Kiai,” berkata Ki Gede, “sebenarnyalah bahwa hari-hari itu memang sudah kita tunggu. Sedikit atau banyak, kami di sini sebenarnya telah membuat beberapa persiapan yang mungkin. Karena itu, agaknya aku pun tidak berkeberatan atas jarak waktu yang dipesankan oleh Ki Demang Sangkal Putung itu.”
“Jadi tegasnya?” bertanya Kiai Gringsing.
“Aku dapat menerima dengan baik hari itu, kecuali jika ada pertimbangan lain dari orang-orang tua.”
Seorang tua menggelengkan kepalanya sambil berkata, “Seperti yang sudah dikatakan. Hari itu bukan hari pantangan. Apabila Ki Gede mempertimbangkan pelaksanaannya dapat dilakukan pada hari itu, maka agaknya tidak ada persoalan lagi. Rabo Manis, selapan hari lebih sedikit, karena besok, hari Rabo itu pun hari Rabo Manis pula.”
“Ya, kira-kira empat puluh hari lagi,” sahut Ki Gede Menoreh.
“Semuanya terserah kepada Ki Gede,” berkata seorang tua yang lain. “Hari itu memang bukan hari pantangan, apa lagi hari itu merupakan hari lahir Angger Swandaru.”
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya, “Baiklah. Semuanya merupakan pertimbangan yang menentukan bagiku. Biarlah aku berpikir semalam. Besok aku akan memberikan jawaban kepada Kiai Gringsing sebagai wakil dari Ki Demang di Sangkal Putung.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Yang penting bagiku, bahwa tidak ada keberatan apa pun juga dengan hari yang sudah ditentukan oleh Ki Demang itu.”
Dengan demikian maka pertemuan itu pun sudah mencapai pokok persoalannya. Pertemuan seterusnya tinggallah membicarakan tentang rangkaian dari upacara itu. Pakaian yang akan dikenakan. Berapa hari pengantin laki-laki harus berada di rumah pengantin perempuan sebelum saat perkawinan dan kelengkapan upacara yang lain sambil menikmati hidangan yang satu persatu disuguhkan.
Tetapi pembicaraan itu sudah tidak begitu penting lagi. Meskipun demikian satu demi satu Kiai Gringsing dan kedua kawannya harus ingat benar apa saja yang sudah dibicarakan, supaya pada saatnya tidak terjadi kesalahan dan kekisruhan.
Akhirnya pembicaraan itu pun berakhir. Meskipun Ki Gede masih akan memberi keterangan besok, tetapi rasa-rasanya semuanya sudah pasti.
Demikianlah maka orang-orang tua di Tanah Perdikan Menoreh itu pun minta diri ketika malam menjadi semakin larut. Udara menjadi bertambah dingin dan angin yang basah bertiup menyusup masuk ke pendapa yang terbuka, mengguncang nyala pelita yang berwarna kemerahan.
Sepeninggal orang-orang tua itu, maka Ki Gede pun segera mempersilahkan Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Waskita untuk beristirahat. Ki Argapati mengerti, bahwa mereka tentu merasa letih karena perjalanan mereka dan pembicaraan yang melelahkan pula.
Tetapi Kiai Gringsing pun berkata, “Ki Gede. Kami minta maaf, bahwa kami masih minta waktu sedikit. Kami masih ingin berbicara dengan Ki Gede seorang diri tanpa orang lain.”
Wajah Ki Argapati menjadi tegang. Dipandangnya ketiga tamunya itu berganti-ganti. Namun ia tidak segera dapat menangkap kesan yang tersirat pada wajah-wajah itu. Wajah-wajah yang rasa-rasanya tetap tenang dan tidak melontarkan kesan kegelisahan sama sekali.
“Apakah masih ada yang kurang dari pembicaraan kita?” bertanya Ki Argapai.
Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Ditatapnya wajah Ki Argapati yang tegang.
“Ki Gede,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “memang masih ada yang kurang. Agaknya yang kurang itu tidak kalah pentingnya dari yang sudah kita bicarakan.”
Ki Argapati menjadi semakin tegang. Sejengkal ia bergeser maju mendekat.
“Tetapi Ki Gede,” berkata Kiai Gringsing, “aku mempunyai permintaan. Persoalan yang akan kami sampaikan nanti, hendaknya jangan sampai mengganggu persoalan yang tengah dihadapi oleh Ki Gede dan seluruh warga Tanah Perdikan Menoreh.”
“Aku tidak mengerti,” desis Ki Argapati.
“Persoalan yang akan kami kemukakan sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan rencana Ki Gede untuk menyelenggarakan perelatan perkawinan Angger Pandan Wangi dan Swandaru. Meskipun demikian, sebaiknya Ki Gede mengetahuinya agar dapat membuat persiapan-persiapan yang masak menghadapi masa-masa perkawinan itu.”
“Baiklah Kiai. Meskipun aku tidak mengerti apa yang akan Kiai katakan, tetapi aku sudah lebih dahulu mempersiapkan diri melakukan semua pesan Kiai.”
“Ki Gede,” Kiai Gringsing pun bergeser mendekat, “menjelang perkawinan Angger Pandan Wangi, ternyata Tanah Perdikan Menoreh telah disusupi lagi dengan sebuah masalah yang dapat menimbulkan kesulitan.”
Ki Gede Menoreh hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Sebenarnya ia ingin segera mendengar persoalan apa yang akan dikatakan oleh Kiai Gringsing itu, tetapi ia masih tetap menahan diri.
“Ki Gede,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “yang mula-mula perlu kami sampaikan adalah sebuah berita yang agak menggetarkan hati.”
“Tentang wafatnya Ki Gede Pemanahan?”
“Bukan. Aku yakin bahwa berita itu telah tersebar sampai ke ujung Barat dan Timur dari Tanah Pajang.”
“Jadi?”
“Sepeninggal Ki Gede Pemanahan, Mataram telah di guncang oleh hilangnya dua buah pusaka. Pusaka yang merupakan kekuatan batiniah bagi tegaknya Mataram. Bahkan beberapa orang percaya bahwa pusaka-pusaka itu dapat menuntun wahyu keraton.”
“Maksud Kiai?”
“Kanjeng Kiai Pleret dan Kanjeng Kiai Mendung telah jengkar dari ruang pusaka di Mataram.”
“He,” Ki Argapati terkejut bukan kepalang. Wajahnya yang tegang menjadi bertambah tegang.
“Kedua pusaka itu hilang diambil oleh beberapa orang yang berhasil memasuki ruang pusaka di Mataram.”
“Jadi Mataram telah dimasuki pencuri-pencuri ulung?”
“Bukan saja pencuri, tetapi perampok.”
Ki Argapati mengerutkan keningnya. Keheranan yang sangat telah terpancar di wajahnya.
“Apakah Mataram saat itu sedang kosong sama sekali?”
“Ki Juru Martani dan Raden Sutawijaya ada di Mataram.”
“Ki Juru Martani ada? Bagaimana mungkin hal itu dapat terjadi?”
Kiai Gringsing pun kemudian menceriterakan serba sedikit dari beberapa hal yang diketahuinya tentang hilangnya kedua pusaka dari Mataram itu
Ki Gede Menoreh menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya ceritera Kiai Gringsing itu sulit untuk dipercayai. Namun dalam persoalan yang penting ini, Kiai Gringsing tidak sedang bergurau.
“Peristiwa itu memang aneh,” berkata Kiai Gringsing
“Tentu ada sekelompok orang-orang sakti. Bukan hanya satu atau dua orang.”
“Ya. Agaknya memang demikian. Dan agaknya orang-orang itu dengan sengaja telah meninggalkan tanda-tanda tertentu.”
“Tanda-tanda?”
Kiai Gringsing pun kemudian menceriterakan pula mengenai tanda-tanda yang dengan sengaja ditinggalkan oleh orang-orang yang mengambil pusaka-pusaka itu.
“Tanda-tanda yang aneh. Aku belum pernah melihat ciri-ciri yang demikian. Mungkin suatu perguruan yang kurang terkenal. Mungkin suatu perguruan yang baru sekali meskipun pimpinannya mengaku mempunyai tetesan darah Majapahit.”
“Mungkin sekali.”
“Tetapi apakah Ki Sumangkar dan Ki Waskita juga belum pernah melihatnya?”
Keduanya menggelengkan kepalanya
“Selagi Ki Sumangkar berada di Jipang, apakah ada tanda-tanda yang mirip dengan tanda-tanda itu?”
“Aku belum pernah melihat ciri-ciri seperti itu,” sahut Sumangkar kemudian. “Beberapa buah perguruan kecil yang pada waktu itu membantu Adipati Jipang tidak ada yang memiliki ciri-ciri yang mirip, atau mempunyai arti serupa dengan ciri-ciri yang ditinggalkan itu.”
“Jika demikian, orang itu sengaja menimbulkan kebingungan. Mereka menanggalkan tantangan yang tidak bertanggung jawab, karena siapa pun dapat membuat ciri-ciri yang aneh-aneh sekalipun,” berkata Ki Gede Menoreh.
“Mungkin memang demikian,” sahut Kiai Gringsing. “Besok jika aku kembal ke Sangkal Putung, aku akan mengambil tiruan dari ciri-ciri itu. Mudah-mudahan dapat aku pergunakan untuk menemukan kelompok yang mengaku keturunan Majapahit itu.”
“Mudah-mudahan Kiai. Aku akan menunggu pemberitahuan berikutnya. Mungkin persoalan ini akan merambat sampai ke tlatah Menoreh seperti persoalan Panembahan Agung beberapa saat lampau.”
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Sekilas ia memandang wajah Ki Waskita dan Ki Sumangkar berganti-ganti. Kemudian katanya, “Ki Gede. Masih ada yang ingin aku sampaikan.”
Ki Gede tidak menyahut.
“Adalah kebetulan sekali, pada saat kami menyeberang Kali Praga, dengan tidak kami sengaja kami mendapat sedikit petunjuk arah kepergian salah satu dari kedua pusaka yang hilang itu.”
Ki Argapati menjadi tegang. Bahkan ia pun bergeser setapak sambil bertanya, “Ke mana arah itu, Kiai?”
Kiai Gringsing pun kemudian menceriterakan pendengarannya pada saat itu menyeberang Kali Praga. Tentang sekelompok orang yang membawa sebuah songsong dan yang kemudian membunuh para tukang perahu.
Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Aku sudah menduga, bahwa mau tidak mau aku pasti akan terlibat lagi. Jadi salah satu dari pusaka yang hilang itu di bawa menyeberang Kali Praga dan pergi ke tlatah Menoreh?”
“Begitulah kira-kira Ki Gede.”
Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih, Kiai. Memang seharusnya Kiai memberitahukan kepadaku. Dengan demikian aku dapat berjaga-jaga.”
“Tetapi semuanya ini adalah rahasia, Ki Gede. Bukan saja untuk ketenangan tlatah Menoreh yang akan melaksanakan perelatan, tetapi bagi Mataram, kehilangan kedua pusaka itu pun merupakan rahasia pula. Rakyat Mataram tidak boleh mengetahui bahwa kedua pusaka itu telah hilang. Sebab jika demikian, maka seluruh rakyat Mataram akan menjadi gelisah, dan barangkali akan mempengaruhi kepercayaan mereka kepada pemimpinnya.”
Ki Argapati masih mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Aku mengerti, Kiai. Aku akan merahasiakannya, demi kepentinganku sendiri dan kepentingan Mataram yang baru tumbuh itu.”
“Terima kasih, Ki Gede. Kelak, jika tiruan ciri-ciri itu sudah siap, aku akan membawa sekeping buat Ki Gede. Mungkin akan berguna bagi Ki Gede dan bagi Mataram. Namun sebelum keperluan Ki Gede sendiri selesai, maka sebaiknya Ki Gede tidak perlu merisaukannya. Karena sebenarnyalah bahwa keperluan Ki Gede sendiri adalah keperluan yang penting bagi masa depan anak perempuan Ki Gede itu.”
“Terima kasih, Kiai. Tetapi justru dalam kesibukan itu aku harus berwaspada. Sudah barang tentu, ada satu atau dua orang kepercayaanku yang akan aku beritahu hal itu. Tetapi dengan jaminan bahwa mereka akan dapat memegang rahasia.”
Kai Gringsing tidak menyahut. Tetapi kepalanya terangguk-angguk.
“Kepada mereka itulah aku akan menyerahkan pengamanan Menoreh selama perelatan itu nanti berlangsung.”
“Ya, Ki Gede. Memang agaknya tidak akan dapat diabaikan kemungkinan yang sama sekali tidak kita harapkan. Mungkin mereka akan mempergunakan kelengahan masa-masa perelatan itu untuk kepentingan mereka.”
“Memang tidak mustahil. Untunglah bahwa Kiai kebetulan mendengar bahwa salah satu dari kedua pusaka itu berada di tlatah Menoreh. Setidak-tidaknya lewat tlatah Menoreh. Bahkan mungkin kedua-duanya, meskipun tidak bersama-sama atau mengambil jalan penyeberangan yang lain.”
“Mungkin sekali, Ki Gede.”
“Baiklah, Kiai. Aku akan mencoba mencari keterangan lewat orang-orangku yang paling aku percaya. Aku akan mencoba mencari berita, apakah ada orang atau sekelompok orang-orang yang membawa sejenis pusaka yang menyeberang di tempat-tempat penyeberangan yang lain.”
“Keterangan yang demikian akan berguna sekali, Ki Gede.”
“Agaknya persoalan yang menghambat tumbuhnya Mataram masih saja timbul.”
“Usaha itu akan dilakukan terus-menerus dalam usaha sekelompok orang untuk menggagalkan Mataram. Bahkan lebih jauh lagi, hancurnya Pajang sama sekali. Dan mereka adalah sekelompok orang yang berada di bawah pengaruh orang yang menyebut dirinya mempunyai keturunan darah Majapahit.”
“Aku semula menyangka bahwa setelah Panembahan Agung dapat diselesaikan, maka tekanan pada Mataram akan menjadi semakin ringan. Tetapi ternyata justru sebaliknya.”
“Karena itulah maka kita tidak akan dapat tinggal diam, Ki Gede.”
“Apakah selama ini Kiai hanya tinggal diam?”
Kiai Gringsing tersenyum. Sekilas dipandanginya Ki Waskita dan Ki Sumangkar berganti-ganti. Kemudian katanya, “Seharusnya aku berkata lain. Kita selama ini memang tidak tinggal diam. Juga Ki Argapati.”
Yang lain pun tersenyum pula. Betapa pahitnya peristiwa yang terjadi atas Mataram, namun orang-orang tua itu masih juga sempat berkelakar.
Demikianlah, maka akhirnya pembicaraan mereka pun berakhir. Ki Argapati mengerti sepenuhnya, apa yang harus dilakukan, seperti yang diduga oleh Kiai Gringsing dan kedua kawan-kawannya. Bahkan, ia merasa bersyukur, bahwa dengan demikian ia dapat mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan, dan tidak tenggelam dalam kesibukan hari-hari perelatan.
“Orang-orang itu mungkin akan menyalakan pertentangan seperti yang mereka lakukan atas Mataram dan Pajang. Kehadiran pusaka itu di Menoreh akan dapat menumbuhkan salah paham, apabila belum saling dimengerti,” berkata Ki Argapati kemudian. “Karena itu, kami mengharap agar Kiai menyampaikan persoalan pusaka yang menyeberang ke Menoreh itu kepada Ki Juru Martani.”
“Tentu. Dengan demikian kami akan mendapat keterangan yang lengkap, dan untuk selanjutnya saling melengkapi.”
Ternyata keterangan itu sangat penting artinya bagi Ki Argapati. Meskipun mungkin pusaka itu hanya dibawa lewat saja tlatah Menoreh, namun hal itu akan dapat menumbuhkan berbagai macam masalah apabila Ki Argapati tidak mendapat keterangan lebih dahulu tentang pusaka itu.
Ketika malam menjadi semakin larut, maka Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Waskita pun segera kembali ke dalam bilik yang disediakan bagi mereka.
Beberapa saat mereka masih membicarakan masalah pusaka-pusaka itu. Namun kemudian mereka pun segera pergi ke pembaringan dan tidur dengani nyenyaknya.
Pagi-pagi benar mereka telah terbangun. Ki Waskita tetap pada rencananya untuk mengunjungi keluarganya semalam agar mereka tidak terlampau gelisah karena kepergiannya yang berlarut-larut.
“Aku menunggu sampai besok,” berkata Kiai Gringsing.
“Ya. Dan perjalanan Kiai jangan sampai tertunda karena aku. Jika aku tidak datang besok, aku harap Kiai melanjutkan perjalanan seperti rencana. Jika ada kesempatan, aku akan menyusul sampai ke Sangkal Putung.”
Ki Waskita pun kemudian minta diri pula kepada Ki Argapati untuk mengunjungi keluarganya barang satu malam.
“Jadi, aku hanya dapat menyampaikan jawaban resmiku kepada Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar malam nanti?” bertanya Ki Argapati.
Sambil tersenyum Ki Waskita menjawab, “Jawaban Ki Argapati sudah aku ketahui dengan pasti meskipun baru malam nanti diucapkan dengan resmi.”
“O. Aku lupa bahwa aku berbicara dengan seorang Ki Waskita yang benar-benar waskita.”
“Ah. Tidak. Bukan berdasarkan atas ilmu apa pun. Sekedar pertimbangan lahiriah saja. Bukan saja aku, tetapi agaknya Ki Demang Sangkal Putung yang tidak ikut serta datang ke Menoreh pun sudah mengetahui jawaban Ki Gede yang akan diucapkan nanti.”
“Ah. Ki Waskita tidak boleh mengurangi ketegangan kami,” berkata Ki Sumangkar, “biar saja kami menunggu jawaban itu dengan tegang.”
Mereka pun tertawa. Ki Sumangkar meneruskan, “Bukankah, kadang-kadang kita senang mengalami ketegangan oleh sebuah teka-teki? Seperti kanak-kanak senang melakukannya?”
Ketika matahari kemudian memanjat semakin tinggi, maka Ki Waskita pun kemudian berangkat meninggalkan Menoreh, kembali ke rumahnya untuk sekedar mengurangi ketegangan keluarganya yang telah menunggunya beberapa lama.
Dengan demikian, maka di malam hari berikutnya, Kiai Gringsing hanya berdua saja dengan Ki Sumangkar, duduk di antara orang-orang tua di Menoreh untuk mendengarkan jawaban Ki Argapati. Jawaban yang sebenarnya sudah diketahui sebelumnya
Dengan demikian maka pertemuan itu pun berjalan dengan cepat Tidak ada persoalan lagi di antara Ki Argapati dan Kiai Gringsing sebagai wakil Ki Demang Sangkal Putung.
Karena itu, maka pertemuan itu pun kemudian sebagian hanya sekedar pembicaraan yang tidak penting dari acara-acara perkawinan yang bakal diadakan itu.
Namun sementara itu, Ki Waskita yang telah berada di rumahnya, dirisaukan oleh persoalan yang tidak dsangkanya. Ternyata Rudita tidak ada di rumah. Ia minta diri kepada ibunya untuk pergi beberapa hari. Meskipun ibunya tidak mengijinkannya, tetapi ia memaksanya juga.
“Aku sudah dewasa, Ibu. Dan aku bukan sekedar sebuah golek yang hanya pantas diemban dengan cinde. Aku pun ingin mengenal dunia ini dengan segala macam isinya. Yang halus, yang kasar, dan segala bentuknya,” berkata Rudita.
Bagaimana pun juga ibunya menahannya, bahkan dengan air mata, namun Rudita tetap juga pergi meninggalkan rumahnya.
“Aku akan mencarinya,” berkata Ki Waskita.
“Kau harus menemukannya,” berkata ibunya, “bukankah Kakang dapat mengetahui di mana Rudita sekarang berada?”
“Aku dapat menduga arahnya,” berkata Ki Waskita, “tetapi aku tidak tahu tepat, di mana ia sekarang.”
“Ia tidak pernah pergi ke mana pun juga selama ini. Apalagi sepeninggalmu, Kakang. Ia berada saja di dalam biliknya. Siang dan malam. Hanya kadang-kadang saja ia berjalan-jalan di halaman. Bergurau dengan pelayan-pelayan. Tetapi sejenak kemudian ia sudah berada di dalam biliknya lagi.”
“Apa saja yang dilakukannya di dalam biliknya?”
“Membaca rontal.”
“Rontal?”
“Ya. Rontal yang diambilnya dari atas belandar, di dalam sebuah peti kecil.”
Dada Ki Waskita menjadi berdebar-debar. Ia pun kemudian pergi ke tempat ia menyimpan rontal. Tetapi peti itu masih ada di tempatnya.
“Rontal itu dikembalikannya ketika ia berangkat.”
“Ia membacanya dengan tekun?”
“Ya. Hampir tidak pernah berhenti. Seperti yang aku katakan, kadang-kadang saja ia keluar dari biliknya, menghirup udara dan berkelakar sejenak, kemudian kembali lagi ke dalam bilik itu.”
Ki Waskita pun kemudan mengambil peti kecil di atas belandar di dalam biliknya. Ketika ia membuka peti itu, sebuah rontal yang disimpan di dalamnya masih utuh. Dengan hati yang berdebar-debar diambilnya rontal itu dan diamat-amatinya. Ia melihat beberapa goresan tanda yang tentu dibuat oleh Rudita.
“Ia telah mempelajari ilmu itu tanpa tuntunanku,” katanya di dalam hati, “sungguh mendebarkan, jika ia mengambil arah yang salah, maka semuanya akan rusak.”
Tetapi hati Ki Waskita pun menjadi agak terhibur. Tidak cukup waktu bagi Rudita untuk mempelajari ilmu itu sebaik-baiknya, sehingga seandainya ia dapat menguasai beberapa bagian dan terbenam dalam tujuan yang dikendalikan oleh nafsu, maka ia bukan seorang yang sangat berbahaya.
Meskipun demikian Ki Waskita masih juga cemas, jika Rudita ternyata mengembara di daerah yang sederhana dan tenang, daerah yang hampir tidak pernah terjadi keributan apa pun juga, maka ia akan dapat menjadi hantu yang paling menakutkan.
Tetapi Ki Waskita tidak mengatakan kepada isterinya, bahwa Rudita telah menyadap ilmu di dalam rontal itu, karena ia pun masih belum yakin bahwa Rudita berbuat demikian.
“Mungkin ia hanya sekedar membaca dan ingin mengetahui serba sedikit tentang isinya Kemudian mengembalikannya lagi,” katanya di dalam hati.
Namun ternyata ketika Ki Waskita merenungi bilik anaknya, ia menemukan sehelai rontal di bawah tikar di pembaringannya. Dengan dada yang bergetar ia mengamati rontal itu. Rontal yang berisi goresan-goresan huruf-huruf dan gambar.
“Rudita telah mengutipnya,” ia bergumam di dalam hati.
Kegelisahan Ki Waskita pun melonjak di dalam dadanya. Rasa-rasanya ia ingin segera berlari menemukan anaknya. Tetapi ia tidak mau membuat isterinya bertambah gelisah, sehingga karena itu, maka ia telah menekan segala perasaan itu di dalam dirinya sendiri.
Selama di rumahnya, Ki Waskita mencoba untuk bersikap wajar. Tanpa menumbuhkan berbagai prasangka dan pertanyaan pada isterinya. Ia sempat menceriterakan, bahwa ia telah terlibat daham pembicaraan mengenai saat-saat perkawinan Swardaru dengan Pandan Wangi.
“Aku tidak dapat mengelak,” katanya, “justru karena Rudita penah dengan berterus terang menunjukkan sikap yang tidak sewajarnya terhadap Pandan Wangi.”
“Tetapi Rudita adalah anak yang sangat baik. Ia sama sekali tidak menjadi kecewa dan berkecil hati karena keangkuhan Swandaru,” jawab isterinya.
“Anak itu sama sekali tidak angkuh.”
“Ia merasa dirinya menang. Apalagi Ki Argapati agaknya berpihak kepadanya.”
“Kau salah sangka. Sama sekali tidak ada perasaan yang demikian. Anggapanmu bahwa Rudita adalah anak yang baik itu sudah benar. Ia menarik diri tanpa tekanan dari siapa pun juga sehingga tidak seorang pun merasa menang atasnya.”
“Tetapi ternyata, ada semacam endapan di dalam hatinya. Semakin lama semakin padat, sehingga akhirnya meledak. Jika tidak demikian, maka ia tidak akan meninggalkan rumah ini dan pergi tanpa arah. Bukankah itu semacam ledakan yang tidak tertahankan?”
Ki Waskita mengerutkan keningnya. Katanya, “Aku kira bukan, ia pergi karena desakan jiwa petualangannya yang tumbuh setelah beberapa lamanya ia terkungkung dalam sifat-sifat kemanjaannya.”
“Tentu tidak. Aku tidak pernah mengajarinya menjadi seorang petualang. Aku mengerti, betapa jauh bedanya kehidupan seorang petualang dengan kehidupan orang-orang kebanyakan. Aku pernah mengalami hidup menjadi isteri seorang petualang. Sehingga karena itu, aku ingin anakku tidak menjadi petualang seperti ayahnya.”
Ki Waskita justru tersenyum mendengarnya. Katanya, “Aku sudah berhenti menjadi petualang. Dan aku sudah hidup seperti orang kebanyakan. Jika pada suatu saat, aku pergi agak terlalu lama, bukanlah karena aku bertualang dari satu tempat ke tempat yang lain seperti waktu aku masih muda. Sudah aku katakan, bahwa aku terlibat dalam pembicaraan tentang hari perkawinan Angger Swandaru. Dan karena itu pula maka aku masih harus kembali ke Menoreh dan bersama-sama Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar pergi ke Sangkal Putung.”
“Dan kau biarkan saja anakmu tidak pulang?”
“Tentu tidak. Aku mempunyai dugaan atas isyarat yang aku tangkap, Rudita pergi ke daerah Sangkal Putung. Mungkin ia memang sengaja mencari Agung Sedayu dan Swandaru di sana. Jika demikian, maka adalah kebetulan sekali, karena Agung Sedayu dan Swandaru tidak ikut bersama kami ke Menoreh. Jika ia benar pergi ke sana, maka ia akan dapat menemui Agung Sedayu dan Swandaru.”
“Sejak kapan kau meninggalkan Sangkal Putung? Jika sekiranya Rudita pergi ke sana, maka ia pasti sudah sampai di Sangkal Putung sebelum kau pergi.”
Ki Waskita mengangguk-angguk. Tetapi katanya kemudian, “Baiklah. Aku akan mencarinya. Aku baru meninggalkan Sangkal Putung lewat dua malam.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Tetapi aku berkuda, dan Rudita berjalan. Apalagi ia belum melihat jalan yang langsung menuju ke Sangkal Putung itu.”
“Terserahlah kepadamu,” berkata isterinya, “tetapi aku minta pertanggungan jawabmu untuk mengembalikan anakku itu kepadaku.”
Dengan demikian, maka yang semalam suntuk itu adalah malam yang menggelisahkan bagi Ki Waskita meskipun ia sama sekali tidak menunjukkan kesan yang demikian. Di dalam bilik Rudita ia menemukan bukti-bukti yang lain, bahwa Rudita memang telah mengutip beberapa bagian dari isi rontalnya.
Oleh selembar rontal yang tertinggal karena terdapat beberapa kesalahan, dan yang agaknya sudah diganti dengan yang baru, Ki Waskita mempunyai dugaan bagian-bagian yang manakah yang telah menarik hati Rudita.
“Agaknya ia ingin mempelajari ilmu ketahanan diri,” berkata Ki Waskita di dalam hatinya.
Dalam kegelisahan itu Ki Waskita mencoba menghibur dirinya sendiri. Sifat-sifat Rudita pada saat terakhir ia meninggalkan rumahnya mengarah kepada sifat-sifat yang baik. Sifat damai dan rendah hati.
“Memang segalanya dapat berubah. Tetapi aku masih berpengharapan, bahwa Rudita tidak ditelan oleh nafsu yang ganas seperti Panembahan Agung dan orang-orang yang mengaku dirinya keturunan Majapahit itu,” berkata Ki Waskita di dalam hatinya.
Kepergian Rudita juga dapat dipakai alasan oleh Ki Waskita uutuk segera meninggalkan rumahnya. Bahkan isterinya bagaikan tidak sabar lagi menunggu fajar, agar suaminya segera berangkat mencari anaknya.
“Aku harap kau masih lebih mementingkan anakmu dari pada hari-hari perkawinan Angger Swandaru. Seandainya kita dapat melupakan semua persoalan yang timbul antara Swandaru dan Rudita sekalipun, kau masih harus mementingkan Rudita. Sangkal Putung tentu sudah diurus oleh banyak orang karena mereka akan mengadakan perelatan. Mereka menunggu hari-hari gembira. Sebaliknya dengan Rudita. Ia sedang diintai oleh bahaya di setiap saat.”
“Tetapi keadaannya tentu tidak segawat yang kau bayangkan. Keadaan sekarang sudah jauh lebih baik, setelah Panembahan Agung tidak ada lagi. Padukuhan-padukuhan menjadi tenang dan damai. Pada dasarnya kebanyakan orang akan tetap menghormati perantau yang singgah di padukuhan masing-masing. Mereka biasanya, memberikan tempat dan kesempatan, meskipun masih ada kecurigaan di antara mereka, karena keadaan memang masih suram. Tetapi, jika sikap Rudita baik, maka ia akan mendapat sambutan dan sikap yang baik di mana-mana.”
“Tetapi itu bukan berarti bahwa Rudita tidak akan menjumpai kesulitan di perjalanan.”
“Mudah-mudahan tidak. Aku akan selalu berusaha mendapat hubungan dengan anak itu meskipun samar-samar. Sampai saat ini, aku tidak melihat isyarat maupun firasat yang mencemaskan keadaan anak itu.”
“Jika kau tenggelam kedalam persoalan Swandaru, maka kau tidak akan sempat mencari anakmu. Bahkan hubungan isyarat itu pun tidak dapat kau lakukan.”
“Ah, sudah barang tentu aku tidak akan berbuat demikian. Rudita adalah anakku. Bukan saja aku merasa bertanggung jawab. Tetapi aku memerlukannya sebagai penyambung namaku. Bukankah karena Rudita aku memberanikan diri masuk ke dalam sarang Panembahan Agung itu?”
Isterinya tidak menjawab lagi. Namun nampak kemurungan yang mencengkam di wajahnya.
Meskipun demikian, menjelang keberangkatan Ki Waskita di dini hari, isterinya masih juga tidak melupakan kuwajibannya. Menyediakan beberapa lembar pakaian yang dibungkus dengan kain berwarna gelap.
Seperti biasanya Ki Waskita tidak pernah memerlukan bekal yang lain. Juga tidak sepotong dua potong makanan. Tetapi karena Ki Waskita termasuk orang yang berkecukupan, maka ia pun membawa bekal uang secukupnya.
“Sampaikan permintaan maafku kepada mereka yang datang kemari, tetapi tidak dapat aku temui karena kepergianku,” berkata Ki Waskita.
“Pada saatnya tidak akan ada orang yang mencarimu lagi, karena kau tidak pernah ada di rumah.”
Ki Waskita tersenyum. Katanya, “Sayang sekali bagi mereka yang benar-benar memerlukan pertolongan.”
Demikianlah, maka Ki Waskita pun telah meninggalkan rumahnya lagi sebelum ia sempat melihat sawahnya yang luas dan ternak di kandang. Namun ia masih sempat memberikan pesan kepada beberapa orang pembantunya di rumah, agar mereka bekerja sebaik-baiknya, sehingga tanaman di sawah akan tetap hijau, dan ternaknya pun tetap gemuk dan terpelihara.
Sebelum matahari terbit, Ki Waskita sudah berpacu kembali di atas punggung kudanya menuju ke rumah Ki Argapati.
“Mudah-mudahan Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar menunggu aku barang sejenak, karena aku tidak dapat datang tepat pada waktunya.”
Sebenarnyalah, Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar sudah siap pula untuk berangkat. Tetapi agaknya Ki Argapati-lah yang menahan mereka barang setengah hari, menunggu kedatangan Ki Waskita.
“Tentu agak berbeda dengan Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar,” berkata Ki Argapati, “Ki Waskita harus menyesuaikan diri dengan sikap isteri dan anaknya.”
Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar tersenyum. Sambil mengangguk-angguk Kiai Gringsing berkata, “Baiklah, aku akan menunggu sampai lewat tengah hari.”
Dalam pada itu, di sepanjang jalan Ki Waskita digelisahkan oleh berbagai masalah yang baginya cukup penting. Seperti kata isterinya, masalah Swandaru adalah masalah yang tidak banyak memerlukan perhatiannya, karena persoalannya adalah persoalan yang menggembirakan. Namun apabila setiap kali ia melihat bayangan yang suram pada jalur jalan yang akan ditempuh oleh Swandaru dan Pandan Wangi, maka ada juga sepercik kegelisahan di hatinya.
“Kenapa aku melihat bayangan yang buram itu?” berkata Ki Waskita di dalam hatinya. Tetapi ia tidak dapat menutup mata hatinya, bahwa ia sudah melihatnya.
Selebihnya adalah pusaka-pusaka yang hilang itu, dan akhirnya kepergian Rudita setelah mengutip beberapa bagian dari rontal yang disimpannya dengan baik.
Dalam pada itu, sementara Ki Waskita berpacu dengan gelisah, Rudita sedang berada di kaki Gunung Merapi. Badannya nampak menjadi kurus, dan pakaian yang melekat di badannya menjadi kumal.
Namun demikian wajahnya nampak tetap cerah, meskipun ia tidak dapat menyembunyikan keletihan yang mencengkam.
Sudah beberapa hari Rudita berada di lereng Gunung Merapi di tepi sebuah sungai kecil yang memercik di antara pepohonan liar. Suatu tempat yang hampir tidak pernah disentuh kaki manusia.
Di sebuah lekuk batu padas Rudita duduk sambil mempelajari rontal yang dibawanya. Seperti dugaan ayahnya, Rudita memang telah mengutip beberapa bagian yang dianggapnya penting.
Dengan tekun rontal itu dipelajarinya. Dimengerti dan beberapa petunjuk dilakukannya dengan tekun.
Setiap hari ia mengikuti petunjuk yang tertulis di dalam rontal itu. Melakukan latihan jasmaniah. Berlari-lari dan meloncat-loncat. Kemudian merangkak seperti seekor harimau. Memanjat seperti seekor kera. Dan di antara gerakan-gerakan yang penting, maka ia melakukan pula latihan-latihan ketahanan dan penguasaan tubuh.
Setiap hari ia melakukan latihan-latihan lain yang agak asing bagi orang lain. Berjalan dengan kedua belah tangannya. Berdiri tegak dengan alas kepalanya dan kedua kakinya di atas. Duduk bersila sambil merentangkan tangannya lurus ke samping. Bahkan melenting seperti ulat dan melingkar seperti luwing.
Perlahan-lahan Rudita berhasil menguasai dirinya sendiri. Menguasai setiap gerak atas kehendak, meskipun tidak mutlak. Bahkan akhirnya ia dapat menguasai perasaan sakit dan lelah.
Meskipun demikian Rudita tetap menyadari, bahwa ia adalah seorang manusia biasa. Karena itu ia tetap menyadari betapa keterbatasan kemampuan yang ada padanya.
Dengan demikian, maka setiap latihan Rudita telah memadukannya dengan permohonan yang tekun kepada Penciptanya, agar ia diperkenankan mempergunakan segala kurnia yang ada padanya di dalam ketahanan dan penguasaan tubuhnya.
Tetapi landasan utama dari segala latihan Rudita, bukannya penguasaan tubuh itu saja, tetapi juga penguasaan nafsu. Segala macam nafsu. Yang baik dan yang buruk.
Seperti yang ditulis di dalam rontal itu pula, Rudita pun menyesuaikan makanan yang dimakannya sehari-hari. Meskipun ia membawa bekal uang, tetapi ia tidak memanjakan lidahnya dengan makanan yang enak setelah letih berlatih. Tetapi ia makan apa yang ada. Bekal yang dibelinya berhari-hari yang lewat, ketika memutuskan untuk tinggal beberapa lama di tempat terpencil itu.
Selain jenis akar, Rudita makan juga beberapa jenis dedaunan. Tetapi tidak segala jenis buah. Karena itu, maka Rudita tidak pernah menyentuh nasi beras maupun jagung, meskipun seandainya ia ingin, ia dapat membelinya, berapa saja yang dikehendaki.
Selain jenis ubi, Rudita juga makan setiap hari jenis empon-empon. Kunir, lempuyang, temu ireng dan beberapa jenis yang lain.
Dalam pada itu, Rudita menyadari sepenuhnya, bahwa latihan-latihan itu tidak akan dapat diselesaikan dalam waktu beberapa hari, bahkan beberapa pekan. Tetapi ia harus tetap menekuninya untuk beberapa tahun. Namun yang beberapa pekan itu akan sangat berarti baginya. Ia akan dapat menguasai persoalan-persoalan pokok dari ilmu yang disadapnya dari rontal yang disimpan oleh ayahnya. Rontal yang bukan saja berisikan huruf-huruf tetapi juga gambar-gambar.
Tetapi agaknya perhatian Rudita agak berbeda dengan ayahnya, sehingga bagian-bagian yang ditekuni pun agak berbeda pula dari ayahnya, meskipun secara umum ia sudah membaca seluruh isi rontal itu.
Meskipun demikian, setiap kali Rudita masih juga bertanya di dalam dirinya. Apakah ia akan dapat berhasil menguasai bagian dari ilmu itu tanpa seorang guru.
“Isi rontal itu baru sebagian kecil dari ilmu yang dimiliki oleh ayah seluruhnya. Bahkan sebagian besar ilmu ayah disadap dari gurunya, bukan dari rontal itu,” berkata Rudita kepada diri sendiri. “Namun jika aku berhasil menguasai sebagian saja dari isi rontal itu, agaknya sudah cukup baik bagiku.”
Dan sebenarnyalah Rudita dengan tekun mempelajarinya sejauh-jauh dapat dilakukan.
Ternyata usahanya dari hari ke hari itu pun mendapat kemajuan, ia mulai merasa jasmaninya bagian mutlak dari penguasaan kehendak. Ia mulai menguasai dengan pasti setiap gerakan. Ia dapat menguasai gerak-gerak naluriahnya dengan sebaik-baiknya, mempergunakan segenap tubuhnya seperti yang dikehendakinya. Penguasaan perasaan sakit dan lelah.
Tetapi seperti yang disadarinya sepenuhnya, ia adalah seorang manusia wantah. Yang tidak akan dapat melampaui batas kemampuan manusia yang memang lemah.
Namun Rudita menjadi seorang manusia yang pada ujud lahirahnya mempunyai banyak kelebihan dari sesamanya.
Tubuhnya mempunyai daya tahan yang luar biasa. Meskipin ia tetap menyadari sentuhan saraf dan peraba, tetapi ia seolah-olah dapat mengesampingkan perasaan sakit, lelah dan sejenisnya.
Meskipun demikian, Rudita tetap berusaha seperti yang dilakukan atas jasmaninya, juga atas rohaninya. Ia menjaga agar tetap merasa dirinya sejemput debu di bawah kaki Yang Maha Kuasa, sehingga dengan demikian, ia tidak akan melakukan perbuatan yang menyimpang dari kehendak-Nya.
“Tak ada yang dapat aku lakukan berdasarkan atas kemampuanku sendiri,” katanya di dalam hati, “semuanya adalah karena kurnia-Nya, dan terlebih-lebih kurnia penggunaan-Nya.”
Dengan demikian, maka Rudita adalah tetap Rudita seperti pada saat ia ditinggalkan oleh ayahnya. Ia tetap seorang yang menyadari dirinya sepenuhnya. Tanpa dikuasai oleh nafsu dan ketamakan. Bahkan sebaliknya, dengan latihan-latihan yang berat itu ia berhasil menguasai bukan saja jasmaninya, tetapi juga nafsunya.
Seperti biasanya di setiap pagi Rudita turun ke sungai kecil di sebelah lekuk batu tempatnya berteduh di hujan dan panas. Mengambil air dengan upih dan membawanya naik setelah mandi. Air yang disediakan untuk minum dan membersihkan tangan dan kakinya.
Tetapi baru saja Rudita menyuruk masuk ke dalam lekuk batu karang di lereng, tiba-tiba ia merasa tanah tempatnya berpijak tergetar. Air ditangannya bagaikan direnggut dengan kasar dan tertumpah di tanah.
Segera Rudita sadar, bahwa lereng Gunung Merapi telah diguncang oleh gempa. Karena itu ia pun segera melangkah surut, karena lekuk batu padas itu akan dapat runtuh dan menimbunnya sekaligus.
Di luar sadarnya, bahwa lereng Gunung Merapi yang di guncang itu telah longsor. Suaranya gemuruh memekakkan telinga. Beberapa butir batu bergulung-gulung di lereng yang terjal.
Rudita termangu-mangu sejenak. Ia menyadari bahaya yang dapat melumatkannya. Karena itu, maka ia pun segera berusaha menyelamatkan dirinya, menghindar dari timbunan batu-batu di lereng Gunung Merapi itu.
Dengan sekuat tenaganya meloncat menjauh. Di hadapannya adalah sebuah sungai kecil tempat ia mandi setiap pagi.
Karena itu, maka ia pun harus terjun ke dalamnya dan meloncat naik ke seberang.
Adalah di luar dugaan Rudita sendiri, bahwa tubuhnya menjadi terasa jauh lebih ringan. Dalam pengerahan tenaga, ia mempergunakan kemampuan yang telah dipelajarinya selama itu. Agaknya ada juga pengaruhnya. Ia telah mampu mempergunakan tenaga cadangan yang ada di dalam dirinya sebaik-baiknya. Ia tidak saja mampu meloncat jauh lebih panjang apabila ia dikejar oleh ketakutan di masa kanak-kanak. Tetapi kini ia menguasai tenaga yang ada pada masa lampaunya hanya dapat terungkap justru di luar sadar.
Itulah sebabnya, Rudita mampu meloncat dengan sigap turun ke sungai kecil itu, kemudian dengan sekali loncat pula, ia telah berada di seberang.
Namun lemparan batu-batu yang tergelincir itu ternyata mampu mengejarnya. Beberapa buah batu sebesar kepalan tangan telah berguguran seperti hujan, terlempar agak jauh dari lereng itu, meloncati sungai kecil itu pula.
Rudita terkejut bukan buatan ketika ia sempat menengadahkan kepalanya. Tetapi ia tidak sempat lagi menghindari batu-batu yang meluncur ke arahnya.
Meskipun demikian, Rudita tidak menjadi putus asa. Ia pun segera berusaha meloncat sejauh-jauh dapat dilakukan dengan segenap tenaga yang dapat dipergunakannya.
Dengan demikian, Rudita bagaikan dilontarkan oleh kekuatan yang luar biasa besarnya, beberapa kali lipat kekuatan yang dapat dilakukan sebelumnya.
Namun batu-batu yang runtuh itu telah terlampau rendah, sehingga betapa pun ia meloncat dengan cepat dan jauh, tetapi ia masih tetap merasakan sentuhan-sentuhan pada tubuhnya. Beberapa buah batu sebesar kepalan tangan yang bagaikan dilontarkan dari puncak gunung itu telah memukulnya pada beberapa bagian tubuhnya. Pada pundaknya, punggungnya, kaki dan lengannya.
Bagaimana pun juga, hati Rudita telah dicengkam oleh kecemasan. Kulit dan dagingnya akan menjadi sobek dan tersayat. Bahkan mungkin ia akan jatuh terbanting di tanah dan tertimbun oleh bebatuan itu.
Tetapi ternyata yang terjadi adalah berbeda dengan dugaan Rudita sendiri. Loncatannya telah berhasil menjauhkannya dari guguran lereng gunung itu. Dan bahkan Rudita sendiri menjadi heran. Tubuhnya sama sekali tidak terluka oleh sentuhan-sentuhan batu yang berguguran.
Ketika ia sudah berdiri agak jauh dari reruntuhan yang semakin lama menjadi semakin mereda itu, ia sempat menilai dirinya sendiri. Ternyata ia masih tetap dirangsang oleh sentuhan pada tubuhnya. Namun ada sesuatu yang dapat dikembangkannya sebaik-baiknya. Ia tidak terluka dan dapat menguasai perasaan sakit yang menyengat meskipun sentuhan batu-batu itu membekas kebiru-biruan. Meskipun perasaan sakit itu ada, namun ia berhasil mengatasinya dan mengendapkannya.
Sejenak Rudita berdiri termangu-mangu. Ketika guguran batu-batu itu berhenti, ia pun mulai menyadari, bahwa sebenarnya ia telah berhasil menguasai dasar dari ilmu yang dipelajarinya.
Pada saat yang bersamaan, ketika Gunung Merapi mengguncang bukan saja lerengnya sendiri, Ki Waskita yang sudah berada di tlatah Menoreh merasakan guncangan itu pula. Bukan saja guncangan lahirlah, tetapi rasa-rasanya getaran yang dahsyat telah menggetarkan jantungnya. Sekilas terpercik isyarat tentang anaknya. Rasa-rasanya sesuatu telah terjadi dengan Rudita.
Namun ia pun kemudian menjadi tenang kembali setelah gempa berhenti. Ia masih tetap dapat berhubungan dengan getar yang seolah-olah memancar dari pusat dasar jantung anaknya. Bahkan seolah-olah menjadi semakin jelas.
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat meraba isyarat yang diterimanya. Rudita tentu telah mengalami sesuatu. Tetapi ia tentu masih tetap selamat dan keadaannya tetap baik.
Karena itu, maka Ki Waskita pun melanjutkan perjalanannya yang tinggal beberapa puluh tonggak saja, langsung menuju ke rumah Ki Gede Menoreh dengan harapan, bahwa ia masih akan bertemu dengan Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar di sana.
Di Menoreh, Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar sudah menjadi gelisah. Apalagi ketika mereka merasakan goncangan yang keras seolah-olah telah mengayunkan lampu-lampu minyak yang bergantungan.
“Gempa,” desis Kiai Gringsing.
Ki Sumangkar mengangguk lemah. Beberapa orang nampak berlari-larian membawa anak-anak mereka ke halaman. Mereka menjadi ketakutan karena rumah mereka bagaikan akan roboh.
Tetapi gempa itu tidak terlalu lama. Hanya beberapa saat saja. Dan ketika gempa berhenti maka semuanya menjadi tenang kembali.
Namun, beberapa orang mulai mencari-cari arti daripada gempa itu. Mereka menghubungkan dengan persoalan-persoalan penting di dalam keluarga masing-masing. Orang-orang tua di Menoreh mencoba mencari kelemahan-kelemahan pada pembicaraan mereka tentang akan dilangsungkannya perkawinan Swandaru dengan Pandan Wangi. Tetapi beberapa orang Mataram, termasuk Ki Lurah Branjangan yang mengetahui hilangnya kedua pusaka dari Mataram, mencoba mencari hubungan dengan hilangnya pusaka-pusaka itu. Sedang di Pajang, beberapa Senapati yang berprihatin melihat perkembangan Pajang menjadi semakin muram. Apakah Pajang benar-benar akan semakin susut?
Namun dalam pada itu, orang yang menyebut dirinya keturunan langsung dari Majapahit, dan yang telah berhasil mengambil kedua pusaka dari Mataram, tertawa gembira. Mereka menganggap bahwa gempa itu adalah isyarat akan runtuhnya Pajang dan Mataram sekaligus.
Tetapi sementara itu, Rudita yang berada di kaki Gunung Merapi merasakan, bahwa Gunung itulah yang bergetar. Segumpal awan yang putih seakan-akan merambat menuruni lereng. Awan yang mengandung nafas maut, karena awan itu panasnya melampaui panasnya bara.
Untunglah bahwa awan itu meluncur ke arah yang lain, sehingga Rudita tidak harus melarikan diri dari tempatnya.
Dengan demikian, Rudita tidak menghubungkan gempa itu dengan persoalan-persoalan yang dihadapinya atau persoalan-persoalan yang dihadapi oleh orang lain. Baginya, Gunung Merapi-lah yang agaknya terganggu, sehingga terjadi sesuatu di puncaknya. Mungkin guguran-guguran batu-batu padas sebesar kerbau. Mungkin guguran awan panas, dan mungkin karena lubangnya tersumbat, atau sebab-sebab yang lain. Tetapi yang penting bagi Rudita kemudian adalah pergi menjauhi gunung itu. Karena gunung itulah yang telah mengguncang hampir seluruh daerah Pajang. Bukan karena sebab-sebab yang dapat dicari pada persoalan di daerah yang telah diguncangnya, tetapi persoalannya harus dicari pada perut gunung itu sendiri.
“Aku dapat melanjutkan latihan-latihan sambil berjalan,” berkata Rudita kepada diri sendiri, “aku harus mulai dengan perjalanan yang sebenarnya. Merantau melihat luasnya pulau ini.”
Di luar sadarnya, Rudita meraba kantong yang selalu tergantung di ikat pinggangnya. Kantong kecil yang berisi rontal dan beberapa keping uang. Rontal itu sangat penting artinya, sehingga hampir tidak pernah terpisah dari padanya.
Rudita menarik nafas dalam-dalam. Bekal itulah yang akan dibawanya untuk menempuh petualangan yang lain dengan petualangan yang pernah dijalani oleh ayahnya. Ketika ayahnya merasa dirinya orang yang tidak terkalahkan di masa mudanya, maka ia pun telah pergi bertualang pula, sebelum akhirnya jiwanya mengendap dan menemukan bentuk kehidupan yang jauh lebih manis dari melumuri jari-jari tangannya dengan darah.
Namun dalam pada itu, Rudita yang merasa bahwa ilmu yang dipelajari itu baru pada dasarnya saja, dan tidak lebih dari sebutir batu kerikil dibanding dengan ilmu yang dimiliki oleh ayahnya yang jauh berlipat dari ilmu yang tercantum di dalam rontal itu, mulai dengan petualangan yang berbeda dengan yang pernah dilakukan oleh ayahnya itu.
Sementara itu, Ki Waskita menjadi semakin dekat dengan pedukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Ia masih mengharap akan dapat pergi bersama dengan Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar. Selain ia mempunyai kawan di perjalanan, ia akan mendapat tempat untuk mengurangi beban perasaannya, atas kepergian anaknya.
Pada saat anaknya hilang, Ki Sumangkar telah ikut serta menyusuri bahaya, langsung ke tempat anak tersebut disembunyikan oleh orang-orang Panembahan Agung. Dan kini tentu Ki Sumangkar, setidak-tidaknya akan merasa tersentuh perasaannya karena Rudita telah pergi dengan selapis ilmu yang dipilihnya dari keseluruhan isi rontalnya.
Dengan dada yang berdebar-debar Ki Waskita mendekati regol halaman Ki Argapati. Tiba-tiba saja jantungnya serasa disiram dengan air embun ketika ia masih melihat Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar duduk di pendapa dengan gelisah.
“Ah,” berkata Kiai Gringsing dengan serta-merta, “hampir saja kami berangkat. Ki Waskita sudah terlambat beberapa lama. Sudah barang tentu jaman sudah berbalik jika seseorang seperti Ki Waskita masih harus terlambat.”
Ki Waskita menambatkan kudanya. Sambil tersenyum ia berjalan menuju ke tangga pendapa, sementara Ki Argapati dan beberapa orang bebahunya berdiri menyongsongnya. Demikian juga Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar.
Setelah mereka duduk di pendapa, dan Ki Argapati sempat menanyakan keselamatan keluarga Ki Waskita, maka rasa-rasanya Ki Waskita tidak sabar lagi untuk menceriterakan kepergian anaknya, meskipun ia masih belum mengatakan apa pun juga tentang rontalnya.
“Jadi Angger Rudita pergi? Atas kehendak sendiri, atau hilang seperti yang pernah terjadi?” bertanya Ki Argapati.
“Atas kehendak sendiri, Ki Gede,” berkata Ki Waskita, “ia minta diri kepada ibunya, dan tidak dapat ditahan lagi.”
Ki Argapati, Kiai Gringsing, dan Ki Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka sudah melihat arah perkembangan jiwa Rudita pada saat terakhir. Agaknya Rudita yang kemudian menyadari akan dirinya sebagai seorang laki-laki telah memilih jalannya sendiri.
Dalam pada itu, hampir di luar sadarnya Ki Argapati berkata, “Angger Rudita telah berubah. Tetapi apakah jalan yang ditempuhnya tidak terlampau berbahaya baginya?”
“Aku kira sangat berbahaya,” sahut Ki Sumangkar.
Ki Waskita menggangguk-angguk. Katanya, “Ya. Jalan yang dipilihnya ternyata jalan yang berbahaya. Tetapi ibunya sama sekali tidak berdaya untuk mencegahnya. Dengan menangis ibunya minta agar ia menunggu kedatanganku. Kemudian terserah kepadaku, apakah aku mengijinkan atau tidak. Tetapi Rudita tidak mau mendengarnya. Dengan demikian, maka rasa-rasanya ibunya telah kehilangan anaknya. Rudita adalah seorang anak laki-laki yang lebih dekat dengan ibunya daripada ayahnya. Tetapi tiba-tiba ibunya merasa seolah-olah anak itu telah memberontak terhadapnya dan pergi meninggalkannya.”
“Apakah Ki Waskita tidak dapat mengetahui, kira-kira atau menurut isyarat, ke manakah perginya Angger Rudita itu?” bertanya Kiai Gringsing.
“Aku dapat menduga arah kepergiannya, Kiai,” jawab Ki Waskita, “tetapi tentu tidak pasti, karena Rudita sendiri selalu bergerak. Berbeda dengan saat ia berada di tangan Panembahan Agung. Anak itu seolah-olah berhenti pada suatu titik tertentu sehingga arahnya tidak begitu sulit aku ketemukan.”
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Tetapi di wajahnya tergurat kecemasan tentang keselamatan anak yang masih terlampau hijau itu.
“Ki Waskita,” berkata Kiai Gringsing, “Angger Rudita seolah-olah baru terbangun dari sebuah mimpi buruk. Tiba-tiba saja ia sudah melangkah menempuh perjalanan yang berbahaya tanpa bekal apa pun.”
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Kemudian serba sedikit dikatakannya tentang rontalnya.
“Rudita agaknya telah mengutip beberapa bagian dari rontal itu. Meskipun aku tidak tahu pasti, pada bagian-bagian yang mana, tetapi setidak-tidaknya ia telah memilih beberapa bagian yang menyangkut ilmu ketahanan tubuh.”
“Dan Angger Rudita berusaha untuk menguasai ilmu itu tanpa tuntunan seorang guru, atau petunjuk dari siapa pun juga?”
“Itulah yang mencemaskan. Mungkin ia dapat menguasai ilmunya, tetapi kegunaannya? Aku cemas, bahwa Rudita akan menjadi kambuh pada sifat-sifat pemanjaannya. Dengan bekal ilmu yang separo masak itu, ia dapat memanjakan dirinya dan memaksa orang lain untuk memanjakannya pula.”
Kiai Gringsing termenung sejenak. Ia melihat keseluruhan dari peristiwa yang terjadi beruntun. Sebelum Swandaru sempat duduk bersanding, maka persoalan yang terjadi di sekitarnya telah berkembang demikian cepat, dan yang mencemaskan adalah perkembangan yang memburuk.
Hilangnya pusaka-pusaka yang penting dari Mataram, kemudian hilangnya Rudita. Betapa pun juga, ia tidak akan dapat seolah-olah tidak mendengar dan tidak melihat persoalan-persoalan itu.
Dalam pada itu, agaknya Ki Waskita pun melihat gejolak perasaan Kiai Gringsing, sehingga karena itu maka katanya, “Kiai, jika Ki Juru Martani dapat mengatakan, bahwa hilangnya kedua pusaka dari Mataram itu hendaknya jangan mempengaruhi persoalan yang sedang Kiai bawa dari Sangkal Putung ke Menoreh, maka sudah barang tentu aku pun akan berkata demikian. Kepada Kiai Gringsing, dan kepada Ki Argapati. Hilangnya Rudita bukan merupakan persoalan yang harus merenggut segala rencana dan persiapan yang sudah masak. Bahkan aku akan tetap membantu menyelenggarakannya. Bukankah persoalannya dapat diselesaikan bersama-sama? Perjalanan hilir-mudik antara Tanah Perdikan Menoreh, lewat Mataram ke Sangkal Putung dan sekaligus mencari Rudita di sepanjang jalan.”
“Apakah Rudita itu ada di arah perjalanan itu?”
“Bahkan aku menduga Rudita akan pergi ke Sangkal Putung. Ada isyarat yang menunjukkan arahnya meskipun tidak tepat. Tetapi agaknya karena Rudita belum mengetahui jalan ke kademangan itu, sehingga ia tersesat dan sedang berusaha untuk menemukan jalan yang benar. Agaknya ia ingin bertemu lagi dengan Angger Agung Sedayu dan Swandaru.” Ki Waskita berhenti sejenak, lalu, “Setelah arah perkembangan jiwanya berubah, maka agaknya Rudita mengagumi Angger Agung Sedayu dan Swandaru. Ternyata beberapa kali ia menanyakan kepadaku tentang kedua anak-anak muda itu.”
“Memang mungkin sekali. Tetapi apakah menurut dugaan Ki Waskita, Angger Rudita akan segera dapat menemukan jalan ke Sangkal Putung?”
“Kita akan segera ke Sangkal Putung, lewat Mataram. Jika kedatangan kita lebih cepat dari anak itu, maka aku akan mencarinya. Mungkin dapat aku pergunakan untuk mencari kesibukan sambil menunggu empat puluh hari lagi.”
“Ah,” Ki Argapati berdesah, “aku harus mengucapkan terima kasih, bahwa kalian telah menempatkan kepentinganku pada urutan yang pertama, meskipun sebenarnya dibandingkan dengan kepentingan yang lain jauh kurang berarti. Namun dengan demikian maka itu akan berarti bahwa aku tidak boleh tenggelam dalam kesibukanku sendiri. Seperti Ki Waskita yang masih juga memperhatikan hari perkawinan anakku, maka aku akan ikut serta mencari Angger Rudita, setidak-tidaknya di tlatah Menoreh.”
“Terima kasih, Ki Gede. Mudah-mudahan kita semuanya akan berhasil. Perkawinan Angger Swandaru dan Angger Pandan Wangi dapat berlangsung seperti yang direncanakan, anakku dapat segera aku ketemukan, dan terlebih-lebih lagi kedua pusaka yang hilang itu.”
Ki Argapati mengangguk-angguk, ia melihat kebesaran jiwa Ki Waskita. Karena itu, maka di dalam hati Ki Argapati pun berjanji untuk sejauh-jauh dapat dilakukan, membantu mencari anak yang hilang itu, dan selebihnya, ia pun merasa berkewajiban untuk ikut mencari pusaka-pusaka yang tercuri dari Mataram meskipun dengan cara yang sangat terbatas, karena kerahasiaan kehilangan itu sendiri.
Demikianlah maka setelah Ki Waskita beristirahat sejenak, dan kemudian menikmati hidangan, ketiga orang tua itu pun segera mohon diri. Mereka akan mulai dengan perjalanan kembali ke Sangkal Putung. Namun seperti yang sudah mereka rencanakan, mereka akan singgah lebih dahulu ke Mataram. Karena mereka berangkat setelah tengah hari, maka ketiganya akan bermalam di Mataram semalam, baru esok pagi mereka akan meneruskan perjalanan ke Sangkal Putung.
Dengan beberapa persoalan yang menyangkut di hati, Ki Argapati pun kemudian melepaskan ketiga tamunya meninggalkan regol halaman. Pandan Wangi ikut mengantarkan mereka sampai ke tepi jalan yang membelah padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.
“Kau harus banyak berprihatin,” desis Kiai Gringsing.
Pandan Wangi menundukkan kepalanya sambil tersenyum. Namun wajah itu menjadi semburat merah.
Ki Argapati yang mendengar pesan itu tertawa. Sementara Ki Waskita meneruskan, “Kau akan menjadi bertambah langsing. Cahaya sorot matamu akan mengandung pengaruh yang dalam, terlebih-lebih bagi bakal suamimu.”
“Ah,” desah Pandan Wangi, dengan kepala yang menjadi semakin tunduk.
“Jangan kau hiraukan,” sahut Ki Sumangkar kemudian, “kau malahan harus berbuat sebaliknya agar dalam upacara timbangan kelak jika saat perkawinan itu tiba, dan kau duduk di pangkuan ayahmu sebelah-menyebelah dengan pengantin laki-laki, kalian akan menjadi benar-benar seimbang.”
Pandan Wangi tidak dapat menahan suara tertawanya meskipun ia berusaha menutup mulutnya dengan tangannya. Dengan wajah yang masih tertunduk ia bergeser dan berdiri berlindung di belakang ayahnya.
“He, kenapa kau tidak menjawab,” ayahnya justru bertanya kepadanya.
Hampir di luar sadarnya Pandan Wangi pun mendorong ayahnya sambil berdesah. Kemudian ia pun berdiri menghadap dinding halaman di sisi regol.
Sejenak kemudian, maka Kiai Gringsing, Ki Waskita, dan Ki Sumangkar pun sekali lagi minta diri. Di wajah mereka yang telah dibayangi oleh garis-garis umur yang semakin dalam itu, sama sekali tidak membayang kegelisahan hati. Baik karena hilangnya pusaka-pusaka dari Mataram maupun karena kepergian Rudita, sehingga mereka yang tidak berkepentingan, sama sekali tidak mengerti bahwa orang-orang tua itu sebenarnya telah dibebani oleh ketegangan yang berat.
Ki Argapati dan Pandan Wangi berdiri termangu-mangu ketika ketiganya kemudian meninggalkan halaman rumahnya. Beberapa orang bebahu Tanah Perdikan Menoreh pun ikut melepas mereka di regol halaman.
Sesaat kemudian, maka tiga ekor kuda yang berlari menjauhi regol itu pun telah hilang di balik tikungan, meningalkan segumpal debu yang kelabu, seperti secercah noda yang melekat di udara terbuka.
Namun selain debu, Kiai Gringsing dan kedua kawannya pun meninggalkan pula sejemput kegelisahan di hati Ki Argapati. Meskipun seperti juga ketiga tamu-tamunya, kegelisahan itu sama sekali tidak membayang di wajahnya.
Ki Argapati harus berhati-hati menghadapi setiap kemungkinan yang dapat terjadi. Ia harus benar-benar memilih orang yang dapat diajak berbicara, terutama atas hilangnya kedua pusaka dari Mataram. Orang-orang itu harus orang-orang yang memiliki kemampuan cukup sebagai bekal dan orang yang sepenuhnya dapat dipercaya untuk tetap menyimpan rahasia itu bagi dirinya sendiri. Jika rahasia itu merembes kepada orang lain yang tidak mengetahui betapa gawatnya keadaan, maka dalam waktu sekejap, berita semacam itu akan segera menebar jauh lebih cepat dari tebaran mendung di langit. Setiap telinga akan segera mendengarnya dan setiap mulut akan memperkatakannya. Dengan demikian, maka rakyat Mataram akan segera dilanda oleh kegelisahan yang luar biasa.
“Hilangnya Angger Rudita akan dapat aku bicarakan dengan Pandan Wangi,” berkata Ki Argapati di dalam hati, “tetapi hilangnya pusaka itu dapat juga didengarnya, tetapi tanpa mempengaruhi ketenangannya.”
Agaknya hal itulah yang sulit bagi Ki Argapati.
Namun sebagai seorang yang memiliki pandangan yang tajam dan pengalaman, yang luas, maka Ki Argapati akan berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya.
Sementara itu, Kiai Gringsing dan kedua kawannya berpacu meninggalkan padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Rasa-rasanya kehidupan di atas Tanah Perdikan itu menjadi semakin tenang dalam kesibukan yang meningkat. Rasa-rasanya sawahnya menjadi semakin luas. Jalur-jalur jalan menjadi semakin panjang dan lebar. Di lewat tengah hari masih terdengar suara pande besi di kejauhan menempa alat-alat pertanian. Beberapa buah pedati, nampak merangkak di bulak-bulak yang panjang penuh berisi muatan.
Hampir di luar sadarnya, Kiai Gringsing berkata, “Sebaiknya mereka memang tidak mengetahui bahwa pusaka-pusaka itu hilang, dan apalagi satu di antara kedua pusaka yang hilang itu telah melintasi Kali Praga. Jika demikian, kedamaian yang hidup ini akan segera menjadi terganggu karenanya.”
Demikianlah, maka ketiganya pun berpacu semakin cepat menuju ke Mataram. Di tempat penyeberangan Kali Praga, mereka terhenti sejenak. Agaknya masih belum ada orang-orang yang mulai dengan kerja mereka, menyeberangkan orang-orang lewat dengan perahu-perahu dan getek.
Untuk beberapa lama mereka berdiri termangu-mangu. Dengan tajamnya mereka mencoba mengamati seberang kali Praga. Jika kebetulan orang-orang yang membawa mereka menyeberang dari Mataram ke Menoreh nampak di tepian sebelah Timur sungai, mereka akan memberikan isyarat.
Tetapi mereka tidak melihat sesuatu.
“Apakah kita harus menyeberangi sungai ini tanpa perahu?” bertanya Kiai Gringsing.
“Jika terpaksa, kita akan mencobanya. Jika tidak ada hujan di ujung, maka airnya tidak begitu besar dan dalam. Mungkin kita akan dapat menyeberanginya,” sahut Ki Sumangkar.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun berpaling kearah Ki Waskita, seolah-olah menunggu pertimbangannya.
Namun sebelum Ki Waskita mengatakan sesuatu, seseorang muncul dari balik gerumbul agak jauh dari mereka. Dengan ragu-ragu orang itu berjalan mendekati ketiga orang yang datang dari Menoreh itu.
“Bukankah Kiai bertiga termasuk orang-orang yang menyeberang dua hari yang lalu?” berkata orang itu.
“Darimana kau tahu?” bertanya Kiai Gringsing.
“Aku melihatnya. Tetapi aku masih belum berani turun ke sungai waktu itu. Tetapi agaknya di antara kalian telah ada yang dikenal baik oleh kawanku di seberang, dan karena itulah ia bersedia membawa kalian menyeberang.”
“Begitulah.”
“Apakah kalian sekarang akan menyeberang ke Timur?”
“Ya,” jawab Kiai Gringsing.
“Aku dan dua orang kawanku bersedia membawa kalian menyeberang. Tetapi, karena keadaan yang lain dari kebiasaan ini, kami minta imbalan dua kali lipat yang seharusnya.”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Tetapi Ki Waskita mengangguk sambil berkata, “Aku tidak berkeberatan.”
Dengan demikian, maka mereka pun kemudian naik ke atas sebuah getek bersama dengan kuda-kuda mereka, dan perlahan-lahan bergeser menyeberangi Kali Praga, dengan imbalan dua kali lipat dari imbalan yang biasa mereka berikan.
Tetapi yang dua kali lipat itu bukan merupakan masalah bagi Ki Waskita, yang kebetulan membawa bekal cukup.
Namun, ketika mereka mulai bergerak, dengan didorong oleh tiga orang tukang satang, terasa bahwa ada sesuatu yang kurang wajar. Ketiga tukang satang itu nampaknya agak lain dengan tukang satang yang membawa mereka menyeberang ke Barat.
Tetapi ketiga orang yang sedang menyeberang itu mencoba untuk menenangkan hati mereka sendiri.
“Mungkin memang ada perbedaan antara orang-orang di seberang Timur dan di seberang Barat Kali Praga,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya. Demikian pula agaknya Ki Sumangkar dan Ki Waskita.
Namun agaknya, kecurigaan mereka menjadi semakin meningkat. Ketiga orang tukang perahu itu tidak dapat menggerakkan satang mereka sebaik-baiknya. Bahkan kadang-kadang mereka harus berusaha untuk meluruskan jalan perahu mereka apabila sebuah gelombang kecil menyentuh sisi perahu mereka.
Ketiga orang penumpang perahu itu pun saling berpandangan. Agaknya mereka memang sedang disentuh oleh perasaan curiga meskipun mereka tidak saling mengatakannya.
Kecurigaan itu pun memuncak ketika mereka berada di tengah-tengah sungai. Tiba-tiba saja perahu itu menuju ke sebuah onggokan pasir dan batu padas yang menjulang di atas air. Tanpa berkata sepatah kata pun, maka perahu itu akhirnya tersangkut kandas pada pasir yang menyembul ke atas air itu.
“Kenapa kita berhenti di sini?” bertanya Kiai Gringsing.
Salah seorang dari tukang perahu itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan suara yang berat, orang itu berkata, “Sayang Ki Sanak, kalian termasuk orang-orang yang malang, karena kalian telah mendengar ceritera tentang songsong yang menyeberangi sungai ini.”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Katanya, “Songsong yang manakah yang saudara maksud?”
“Bukankah di tengah-tengah sungai ini pula kalian mendengar tukang satang di seberang Timur itu menceritakan, bahwa serombongan orang-orang yang menyeberang ke Barat beberapa hari yang telah lalu, membawa sebuah benda bertangkai panjang dan diselubungi dengan selongsong putih?”
“Ya,” jawab Kiai Gringsing yang merasa tidak perlu lagi untuk mengelak.
“Akhirnya ceritera itu sampai kepada kami. Dan kami merasa bertanggung jawab untuk melenyapkan semua orang yang mengetahui bahwa songsong itu memang sudah menyeberang.”
“Jadi kalian bukan tukang-tukang perahu yang sebenarnya?”
“Bukan. Aku menunggu orang-orang yang menyeberang itu lewat. Tetapi agaknya mereka terlambat pulang. Baru kalian bertiga sajalah yang datang. Aku harus bertindak tegas terhadap setiap kemungkinan yang dapat merembeskan rahasia kepergian pusaka-pusaka yang dapat kami ambil dari Mataram itu.”
Kiai Gringsing memandang kedua kawan-kawannya sejenak. Namun kedua kawannya tidak memberikan kesan apa pun kepadanya. Karena itu maka Kiai Gringsing berkata selanjutnya, “Apakah kalian juga akan melenyapkan pedagang-pedagang yang menyeberang bersama kami itu?”
“Sudah tentu Ki Sanak. Kami akan menunggu sampai saatnya mereka lewat.”
Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Dilihatnya Ki Sumangkar dan Ki Waskita masih berdiri di tempatnya sambil memegang kendali kudanya.
Tetapi Kiai Gringsing mengetahui bahwa kedua kawannya itu sedang menilai keadaan seluruhnya. Mereka memandang air yang mengalir di bawah perahu itu. Kemudian onggokan padas dan pasir yang bermunculan di permukaan air pada saat air Kali Praga tidak sedang banjir.
“Tempat itu tentu tidak begitu dalam,” berkata Ki Sumangkar di dalam hatinya. Lalu, “Jika terpaksa kami turun ke air, agaknya kami akan dapat menyeberang tanpa perahu sekalipun, karena daerah yang paling dalam telah lalu.”
Tanpa berkata sepatah pun Ki Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Sekilas ia memandang wajah Ki Waskita yang gelisah. Tetapi Ki Sumangkar tidak mengetahui, apakah sebenarnya Ki Waskita sedang gelisah.
“Jangan menyesali nasib, Ki Sanak,” berkata tukang perahu yang palsu itu, “kalian akan kami bunuh. Mayat kalian akan kami hanyutkan, sedang kuda kalian akan menjadi milik kami. Jika ada orang yang melihat dari kejauhan, di luar pengetahuan kami maka orang-orang itu akan menganggap bahwa tukang-tukang perahu di daerah penyeberangan ini sedang membalas dendam, karena beberapa hari yang lalu, kawan-kawannya telah mati terbunuh. Kemudian mereka pun telah membunuh orang-orang yang sedang menyeberang, yang diduga telah membunuh kawan-kawannya itu.”
Kiai Gringsing memandang orang-orang itu dengan tegang. Kemudian ia berkata, “Kenapa kalian mulai dari kami bertiga? Apakah tukang perahu yang pernah menceriterakan tentang payung itu juga sudah kau bunuh?”
“Mereka adalah orang-orang yang bodoh. Tentu lebih bodoh dari kalian. Kami tidak terlampau cemas terhadap mereka. Kapan saja kami kehendaki, kami akan dapat membunuh mereka dengan mudah. Tetapi tidak dengan kalian. Kalian adalah pedagang-pedagang keliling yang dapat membawa berita itu sampai ke daerah yang jauh. Ke Mataram dan Pajang.”
“Bagaimana jika kami berjanji untuk menutup mulut?”
“Ah, apakah kami dapat mempercayai kalian?”
“Kenapa tidak?”
Orang itu tersenyum. Katanya, “Maaf, Ki Sanak. Agaknya akan lebih aman bagi kami, jika kami membunuh saja kalian bertiga.”
Kiai Gringsing memandang orang-orang yang mengaku tukang perahu itu berganti-ganti. Kemudian katanya, “Jadi, ada di antara para pedagang yang lewat itu kaki tanganmu?”
“Kaki tangan kami berada di mana-mana. Di Mataram, di Pajang, di Menoreh bahkan di daerah pasisir Utara sekalipun, karena orang-orang kami tersebar di seluruh wilayah Majapahit. Dan kami akan segera membangunkan kerajaaan yang jaya seperti pada masa kejayaan Majapahit itu dahulu.”
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Agaknya sulit baginya untuk mencari jalan lain keluar dari perahu itu tanpa mempergunakan kekerasan. Namun demikian Kiai Gringsing pun tidak dapat melupakan, bahwa orang-orang yang menyebut dirinya keturunan Majapahit itu memiliki kelebihan dari orang-orang kebanyakan. Jika tidak, maka mereka tidak akan dapat membawa kedua pusaka yang ada di depan hidung Ki Juru Martani itu dari Mataram.
“Nah Ki Sanak,” berkata orang yang mengaku tukang perahu itu, “apakah kau akan meninggalkan pesan? Mungkin aku akan dapat menolong kalian menyampaikan pesan itu kelak, kepada keluargamu, atau kepada sahabat-sahabatmu.”
Kai Gringsing menggelengkan kepalanya. Katanya, “Kami tidak mempunyai pesan bagi apa pun. Tetapi kami ingin bertanya sekali lagi kepada kalian, apakah kalian tidak dapat merubah cara kalian menyelamatkan diri dari kejaran orang-orang Mataram selain membunuh kami dan pedagang-pedagang yang masih akan lewat, kemudian tukang perahu yang menyeberangkan kami dari Timur itu?”
“Tidak. Dan agaknya pembicaraan ini sudah terlalu panjang dan menjemukan. Jika pada saat ini pedagang-pedagang itu lewat, dan melihat pembunuhan yang kami lakukan, mereka akan segera melarikan diri.”
“Mereka belum datang,” tiba-tiba saja Ki Sumangkar menyahut, “kau masih mempunyai waktu.”
Orang-orang yang menyebut dirinya tukang perahu itu serentak berpaling. Mereka melihat Ki Sumangkar menambatkan tali kudanya pada bambu yang menyilang di perahu geteknya. Bahkan kemudian Ki Waskita pun melakukan perbuatan serupa.
“Kau masih dapat memikirkan kuda-kuda kalian?” bertanya orang yang menyamar sebagai tukang perahu itu. “Biarlah kami mengurusnya. Sekarang, kami akan membunuh kalian. Kami mempunyai senjata-senjata yang khusus. Pisau-pisau kecil yang panjang, yang langsung dapat menyentuh jantung.”
“Ah,” desah Kiai Gringsing, “jangan begitu. Jangan dengan mudah mempermainkan nyawa orang lain. Kawan-kawanmu telah membunuh tukang-tukang perahu itu, sekarang kau akan membunuh kami. Akibatnya bukan saja kami akan mati, tetapi juga penyeberangan ini akan mati, dan berpuluh-puluh orang akan kehilangan nafkah karenanya.”
“Gila. Kau mencoba untuk memperlunak sikapku? He, apakah kalian tidak menganggap bahwa aku benar-benar akan membunuh kalian sekarang? Kenapa kalian masih menganggap aku bermain-main.”
“Bukan begitu, Ki Sanak. Tetapi sudah barang tentu kami tidak akan dengan suka rela menyerahkan jantung kami. Bukankah jumlah kami sama dengan jumlah kalian? Dan bukankah kami berhak untuk membela diri?” berkata Ki Waskita yang sudah selesai menambatkan kudanya.
Tukang perahu itu tertawa. Katanya, “Jangan main-main. Agaknya kalian memang orang-orang yang suka berkelakar.”
Ki Sumangkar yang sudah selesai pula menambatkan kudanya berkata, “Bagaimana kami dapat berkelakar dalam keadaan seperti ini. Jantung kami menjadi tegang, dan darah kami serasa membeku. Tetapi sebenarnyalah kami ingin bertanya, apakah kalian bersungguh-sungguh akan membunuh kami meskipun kami tidak bersalah? Hanya karena kebetulan kami mendengar ceritera tentang songsong yang dibawa menyeberang itu sajalah, maka kami harus menyerahkan nyawa kami?”
“Ya. Hanya karena kebetulan kalian mendengarnya. Karena itu sudah aku katakan bahwa nasib kalianlah yang terlampau jelek.”
“Ki Sanak,” bertanya Ki Sumangkar, “jika kalian akan membunuh kami, maka sudah menjadi hak kami untuk mempertahankan diri. Ada atau tidak ada gunanya, tetapi itu adalah kuwajiban kami. Tetapi sebelumnya, apakah Ki Sanak mau mengatakan kepada kami, mungkin untuk yang terakhir kalinya kami mendengar suara kalian, darimana kalian mendapatkan songsong itu dan akan kalian bawa ke mana?”
“Tidak ada gunanya kalian mengetahuinya.”
“Mungkin dapat memberikan sedikit ketenangan di hati kami di saat-saat yang paling gawat seperti sekarang ini.”
“Tidak. Kami tidak akan mengatakan kepada siapa pun. Juga sepada orang-orang yang akan mati. Karena dengan demikian, maka jika ada orang-orang yang mempunyai ilmu memanggil roh orang mati, maka rohmu akan dapat menceriterakan kepada orang itu, di mana pusaka itu dibawa.”
“Bagus,” tiba-tiba Ki Sumangkar berkata lantang, “jika demikian, sebaiknya kami memaksa kalian berbicara dengan cara lain. Sekarang kalian tidak mau berbicara. Tetapi, bagaimana jika kalian kami bunuh, dan roh kalianlah yang kami paksa untuk berbicara.”
Kata-kata Ki Sumangkar yang seakan-akan diucapkan asal saja meloncat dari bibirnya itu ternyata telah mengejutkan orang-orang yang menyebut dirinya tukang-tkang perahu itu. Sejenak mereka seolah-olah membeku, sambil memandang Ki Sumangkar dengan tajamnya.
Kiai Gringsing dan Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Mereka pun sebenarnya sudah jemu berbicara berkepanjangan tanpa ujung pangkal. Agaknya Ki Sumangkar akan mengambil jalan yang lebih pendek. Meskipun dengan demikian akan dapat menimbulkan akibat yang gawat, karena mereka bertiga sama sekali belum dapat menjajagi sampai di mana kemampuan ketiga orang yang menyamar menjadi tukang perahu itu.
Sejenak kemudian, agaknya setelah gejolak jantungnya menjadi reda, orang yang agaknya paling tua di antara ketiga tukang perahu itu berkata, “Ternyata kalian sudah mulai kehilangan akal. Memang, orang-orang yang ketakutan sekali, bagaimana pun juga ia mencoba menyembunyikannya, dapat membuatnya menjadi gila. Dan agaknya salah seorang dari kalian bertiga sudah menjadi gila.”
“Siapa?” Kiai Gringsing masih juga bertanya.
“Kawanmu sudah mengigau,” berkata orang yang menyebut dirinya tukang perahu itu sambil menunjuk Ki Sumangkar.
Ki Sumangkar hampir tidak menghiraukannya sama sekali. Bahkan ia sempat memberikan isyarat untuk mempercepat saja persoalan yang menjemukan sekali itu.
Kiai Gringsing agaknya mengerti maksudnya. Karena itu, maka katanya kemudian, “Ki Sanak. Jika tidak ada pilihan lain bagi kami, maka apa boleh buat. Kami akan mempertahankan diri kami, sejauh-jauh dapat kami lakukan. Karena sebenarnyalah jiwa kami sangat berharga bagi kami. Jauh lebih berharga dari benda apa pun juga. Apalagi yang tidak kami ketahui ujung pangkal persoalannya itu.”
“Bagus,” berkata orang yang bertubuh raksasa di antara ketiga orang yamg menyebut dirinya tukang perahu itu, “aku biasanya membunuh dengan tanganku. Aku pilin kepala korbanku sehingga tulang lehernya patah. Aku akan melepaskannya setelah nafasnya terputus sama sekali.”
“Kau bunuh tukang perahu itu dengan cara itu pula.”
“Ya. Aku membunuh salah seorang dari mereka. Yang lain, kawan-kawankulah yang menyobek perutnya. Tentu orang lain menyangka bahwa perut itu sobek oleh senjata tajam. Tetapi salah. Jari merekalah yang dipergunakannya. Karena jari-jari mereka melampaui tajamnya ujung senjata yang mana pun juga.”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Ketika ia memandang Ki Waskita dan Ki Sumangkar, maka mereka pun menjadi tegang.
Namun dalam pada itu, Ki Waskita telah menilai lawan-lawannya dengan saksama. Mereka benar-benar orang berbahaya. Orang yang dapat membunuh lawannya sambil tersenyum dingin. Orang yang membunuh tanpa penyesalan sama sekali.
Dengan demikian, maka mereka bertiga memang harus berhati-hati. Apalagi mereka masih berada di tengah-tengah sungai. Pada sebuah pulau kecil yang terdiri dari seonggok batu padas dan pasir. Mereka belum mengenal medan sebaik-baiknya sehingga mungkin kedalaman sungai itu pun akan dapat mempengaruhi perkelahian yang pasti akan timbul.
Ternyata bahwa orang-orang yang mengaku sebagai tukang perahu itu pun sudah jemu pula berbicara. Mereka pun segera bergeser seolah-olah ingin mengepung ketiga orang yang menumpang perahunya. Salah seorang berkata, “Jika memang kalian laki-laki, matilah dengan jantan. Kalian memang harus bertempur.”
“Kami akan bertempur,” berkata Kiai Gringsing, “meskipun kami sudah terlalu tua untuk berkelahi, tetapi kami yang sudah biasa menempuh perjalanan jauh, tentu tidak akan gentar meskipun kami harus berkubur di tengah-tengah sungai ini.”
“Bagus,” teriak salah seorang dari ketiga tukang satang itu, “kau yang harus mati pertama kali.”
Kiai Gringsing mendengar terakan itu, dan ia sadar sepenuhnya bahwa yang dikatakan harus mati pertama kali adalah dirinya. Karena itu, maka ia pun segera mempersiapkan diri menghadapi setiap kemungkinan. Apalagi getek itu tidak terlampau luas, sehingga kesempatan untuk menghindar terlampau sempit.
Tetapi ternyata orang yang menyebut dirinya tukang satang itu tidak langsung menyerangnya. Bahkan ia pun kemudian berkata, “Kau benar-benar akan mempertahankan dirimu. Menilik sikapmu kau memang mampu untuk berkelahi. Barangkali agak lebih baik dari tukang-tukang perahu yang pernah kami bunuh dengan merobek tubuhnya dengan jari. Karena itu, marilah kita turun ke pulau padas kecil itu. Agaknya tempat itu cukup untuk berkelahi kita semuanya. Aku akan menjadi lebih puas melihat caramu mati daripada di atas perahu. Di sini kau akan segera terdorong jatuh ke dalam air, dan aku tidak sempat melihat kau menahan sakit di saat kematianmu tiba. Dan kau tentu menjadi heran dan kagum melihat kemampuanku menyobek lambungmu, atau melubangi lehermu hanya dengan jari-jariku.”
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ketenangan orang itu membuatnya sangat berhati-hati. Orang itu tidak langsung menyerangnya saat-saat ia menjadi marah. Tetapi ia masih sempat mempergunakan otaknya.
“Cepat sedikit Ki Sanak,” berkata orang itu.
Kiai Gringsing pun kemudian mengangguk sambil menyahut, “Baiklah. Biarlah kudaku tertambat di sini. Kita akan berkelahi di atas onggokan padas dan pasir itu. Aku tidak peduli siapakah yang akan menang dan siapakah yang akan kalah. Tetapi aku sudah bersikap seperti seorang laki-laki yang selalu bertualang.”
Orang yang menantang Kiai Gringsing itu mengerutkan keningnya. Ia pun dijalari oleh keheranan di dalam hati. Orang tua itu nampaknya sama sekali tidak menjadi gentar dan ketakutan. Bahkan dengan tenang ia melayani tantangannya.
Sesaat kemudian orang yang menyebut dirinya tukang perahu itu pun segera bersiap untuk meloncat turun ke atas pasir. Sekali lagi ia berpaling, namun kemudian ia pun segera meninggalkan perahu yang kandas itu.
Kiai Gringsing memandang langkah orang itu sejenak. Sebagai seorang yang memiliki pengalaman yang luas, maka ia pun segera mengetahui, bahwa orang itu tentu memiliki kemampuan yang tinggi.
Sejenak kemudian Kiai Gringsing segera menyusulnya. Ia pun kemudian melangkah turun.
Dua orang yang menyamar sebagai tukang satang, dan kawan-kawan Kiai Gringsing masih berada di atas perahu. Salah seorang dari orang-orang yang menyebut dirinya tukang satang itu adalah orang yang bertubuh raksasa.
“Nah, bagaimana dengan kita?” geram raksasa itu. “Apakah kita akan menunggu sampai kalian selesai, atau aku akan menyelesaikan yang lain bersamaan dengan kau?”
“Kita harus bertindak lebih cepat. Selesaikan kawan-kawannya itu. Bukankah seolah-olah sudah diatur, bahwa kita masing-masing harus mencekik seekor kelinci.”
Orang bertubuh raksasa itu tertawa. Katanya, “Jadi kita akan berkelahi pada saat yang bersamaan?”
“Ya.”
“Baiklah. Aku pun akan membawa korbanku turun.”
“Cepat, lakukanlah.”
Orang bertubuh raksasa itu memandang kepada Ki Waskita dan Ki Sumangkar berganti-ganti. Kemudian kepada kawannya ia berkata sambil menunjuk Ki Waskita, “Aku akan membunuh yang ini saja. Bunuhlah orang tua yang malas itu.”
Kawannya mengangguk. Ia pun agaknya seorang pemalas. Dengan nada datar ia berkata, “Baiklah. Orang ini agaknya akan terlampau cepat mati.”
Namun agaknya ia pun tidak senang terlalu banyak berbicara. Demikian mulutnya terkatup, maka ia pun segera meloncat menyenang Ki Sumangkar, yang berdiri di bibir perahu.
Serangan itu benar-benar tidak terduga. Orang itu maju selangkah. Kemudian lutut kakinya yang berada di depan ditekuknya bersamaan dengan sambaran tangannya dengan jari-jari lurus merapat.
Ki Sumangkar terkejut oleh serangan itu. Ia sadar, bahwa jari-jari orang itu tentu sudah terlatih sebaik-baiknya. Dengan kekuatan jari-jarinya ia memang dapat menyobek lambung. Bahkan jari-jari yang demikian, akan dapat dipergunakan untuk menusuk seperti ujung tombak yang pipih.
Karena Sumangkar berdiri di bibir perahu, maka ia tidak dapat meloncat surut jika ia tidak mau masuk ke dalam arus Kali Praga. Karena itu, maka dengan cepat ia meloncat ke samping searah dengan ayunan tangan lawannya.
Sumangkar masih sempat menghindari jari-jari yang berbahaya itu. Namun ia sadar bahwa akan datang serangan berikutnya. Karena itu, ia pun segera mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan.
Dugaan Sumangkar benar-benar terjadi. Orang yang menyerang itu pun terkejut bahwa lawannya sempat menghindar. Karena itu, ia meloncat sekali lagi maju mendekat. Dan sekali lagi tangannya bergerak mendatar.
Sumangkar tidak sempat meloncat lagi. Ia benar-benar sudah tersudut. Namun ia menyadari keadaannya dan ia pun telah bersiap menghadapi kemungkinan yang demikian.
Karena itu, sebelum tangan orang itu terayun, Sumangkar justru meloncat maju. Dengan gerakan yang cepat sekali ia menyerang dengan kakinya, tepat pada siku tangan lawannya yang sudah mulai bergerak.
Yang terjadi kemudian, adalah sebuah benturan yang dahsyat. Benturan antara siku lawannya dan tumit Sumangkar.
Akibat dari benturan itu ternyata sama sekali tidak diduga oleh orang-orang yang mengaku sebagai tukang satang itu. Benturan dengan kaki Sumangkar itu rasa-rasanya seperti benturan dengan sebuah dinding besi. Bahkan oleh kekuatan ayunan tangannya sendiri dan daya dorong kaki Sumangkar, maka orang itu pun seakan-akan terdorong surut.
Untunglah bahwa ia tidak terlempar ke dalam air. Meskipun ia masih akan dapat mengatasi, namun ia pasti berada dalam kedudukan yang lemah sekali.
Meskipun demikian, namun orang itu terjatuh juga karena kakinya terperosok di sela-sela bambu yang melintang di atas perahunya.
Tetapi ternyata kawannya dapat bertindak cepat. Sekali loncat ia sudah berada di hadapan Sumangkar, siap melindungi kawannya yang terjatuh.
Sumangkar berdiri termangu-mangu. Nampaknya Ki Waskita masih belum berbuat sesuatu. Ia masih saja berdiri di tempatnya sambil mengamati kedua orang yang mengaku tukang perahu itu berganti-ganti.
Sejenak kemudian orang yang terjatuh itu pun telah berdiri. Terasa siku tangannya menjadi sakit karena benturan dengan tumit Sumangkar.
Tetapi lebih dari perasaan sakit itu, ia pun menjadi heran. Ternyata orang yang dianggapnya pemalas itu memiliki kekuatan yang luar biasa. Orang-orang kebanyakan akan tersobek kulit dagingnya, tersentuh jari-jari tangannya. Tetapi orang ini bergerak terlampau cepat. Dan ternyata kekuatannya mampu menahan ayunan tangannya, dan bahkan melontarkannya beberapa langkah surut.
Dengan demikian maka orang itu pun menjadi sangat marah. Sambil menggeram ia melangkah maju, sementara perahunya masih terguncang.
“Bagaimana” bertanya kawannya yang bertubuh raksasa, “apakah kau memilih orang yang dungu itu? Biarlah pemalas yang ternyata memiliki kekuatan yang dapat dibanggakannya itu aku remukkan tulang-tulang lengannya.”
“Serahkan ia kepadaku,” geram orang yang terjatuh itu, “aku terlampau lengah dan menganggapnya seperti tukang perahu yang mati itu.”
“Kau kurang memperhatikan keadaan,” berkata orang yang bertubuh raksasa itu, “seharusnya kau sudah mengetahui, bahwa pemalas itu mempunyai sedikit kekuatam.”
“Aku akan mencincangnya dengan jari-jariku. Aku akan membiarkan mayatnya tergolek di atas pasir. Dan biarlah orang-orang lain melihat, siapa yang berani menentang aku, akan mengalami nasib yang serupa.”
“Terserahlah kepadamu. Yang seorang itu akan segera aku selesaikan pula.”
Lawan Sumangkar itu pun kemudian melangkah maju. Katanya, “Kita pun akan bertempur di atas pasir, supaya kita menjadi lebih puas.”
Sumangkar mengerutkan keningnya. Katanya, “Baiklah. Turunlah. Aku akan menyusul.”
Lawannya termangu-mangu sejenak. Namun ia pun segera meloncat turun dari perahunya dan menunggu Sumangkar di atas pasir di tengah Kali Praga.
Sementara itu, Kiai Gringsing yang memperhatikan perkelahian Ki Sumangkar dengan saksama, segera tersenyum di dalam hati. Ia mendapat kesimpulan bahwa Ki Sumangkar akan dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik. Namun ia masih belum tahu, apakah Ki Waskita dan dirinya sendiri dapat mengatasi lawannya.
“Jika orang bertubuh raksasa itu tidak mempunyai penglihatan batin yang tajam, Ki Waskita tentu akan dapat mengelabuinya. Tetapi jika ia gagal, maka ia harus bertempur mati-matian. Agaknya orang itu mempunyai kekuatan yang luar biasa.”
Namun dalam pada itu, Kiai Gringsing pun kemudian mendengar lawannya bertanya, “He, apakah kita akan mulai? Kau tentu memiliki sedikit ilmu pula seperti kawanmu. Agaknya kami memang salah hitung. Kami menganggap kalian tidak lebih dari tukang-tukang satang itu. Seharusnya kami memperhitungkan kemungkinan seperti ini, karena biasanya perantau dan petualang seperti kalian ini memang memiliki sekedar bekal ilmu untuk melindungi diri dan kadang-kadang sekedar untuk bersombong.”
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita tidak akan menghiraukan orang lain. Kita sudah mempunyai lawan kita masing-masing. Biarlah kawanmu itu akan berkubur di dasar Kali Praga.”
“Persetan.”
“Bukankah kau melihat benturan itu?”
“Kawanku kurang berhati-hati.”
Kiai Gringsing tidak menyahut. Justru Ki Sumangkar dan lawannya sudah mulai bertempur lagi. Kali ini di atas pasir yang mencuat seperti sebuah pulau di tengah-tengah Kali Praga yang kebetulan tidak sedang banjir.
Sejenak Kiai Gringsing melihat perkelahian itu. Namun sejenak kemudian, ia pun harus bersiap menghadapi lawannya yang mulai mengembangkan tangannya.
“Kekuatannya ada pada jari-jari tangannya,” berkata Kiai Gringsing di dalam hati. Karena itu maka pusat perhatiannya atas lawannya itu adalah jari-jarinya.
Sesaat kemudian lawannya itu pun melangkah semakin dekat. Wajahnya menjadi tegang oleh pemusatan kekuatan. Sorot matanya memancarkan nafsu membunuh yang tidak terkendalikan lagi.
Dalam pada itu, di atas perahu, Ki Waskita berdiri termangu. Ditatapnya wajah lawannya yang bertubuh raksasa itu. Sejenak ia dicengkam oleh keragu-raguan. Apakah ia harus mempergunakan tenaganya, atau sekedar ilmu tipuannya.
Namun akhirnya Ki Waskita mengambil kesimpulan bahwa ia akan mempergunakan tenaganya terlebih dahulu, karena jika ia mencobakan ilmu semunya, dan ternyata ia gagal, maka hal itu agaknya mempengaruhi pertempuran yang terjadi kemudian.
“Jika aku tidak dapat mengatasi kekuatan tenaga dan ilmunya, barangkali aku memang harus bersembunyi di balik bayangan-bayangan semu. Tetapi jika ia dapat menembus bayangan-bayangan itu dengan penglihatan matanya yang tajam, maka untuk selanjutnya aku akan menemui kesulitan,” berkata Ki Waskita di dalam hatinya.
Karena itulah maka Ki Waskita pun mempersiapkan dirinya sebaik-baiknya. Dipandanginya lawannya yang bertubuh raksasa itu kemudian mendekati selangkah demi selangkah.
“Gila,” pikir Ki Waskita.
Raksasa itu berjalan saja seenaknya. Seakan-akan membiarkan dirinya di serang di mana pun juga yang dikehendaki oleh lawannya.
“Apakah ia memiliki ilmu kebal?” bertanya Ki Waskita kepada diri sendiri.
Ia menjadi berdebar-debar ketika ia melihat raksasa itu menjulurkan tangannya sambil berkata, “Aku akan mencekik lehermu. Jika kau meronta, mungkin lehermu akan terputus sama sekali.”
Ki Waskita menjadi heran melihat sikapnya. Namun ia masih juga menjawab, “Apakah kau dapat memutuskan leherku hanya dengan tanganmu.”
“Tentu. Tanganku mempunyai kekuatan yang tentu tidak kau duga. Aku dapat meremas batu padas itu sampai lumat.”
“Batu padas yang mana. Apakah aku boleh melihatnya? Jika kau benar dapat memutuskan leherku dengan remasan tanganmu, maka apakah kau dapat menunjukkan kepadaku, sebelum leherku patah oleh kekuatan tanganmu itu?”
Raksasa itu termangu-mangu. Katanya kemudian, “Apakah yang harus aku remas?”
“Batu itu.”
“Batu yang mana?”
“Di atas batu-batu padas itu. Kau lihat batu sebesar kepalamu.”
Orang itu termangu-mangu sejenak. Ia melihat sebuah batu hitam tergolek di atas batu padas di sebelah kawan-kawannya yang sudah mulai bertempur.
“Kawan-kawanmu mempunyai ilmu serba sedikit. Tetapi itu hanya memperpanjang waktu saja. Perut mereka akan sobek oleh jari-jari kawanku.”
“Ya. Tetapi bagaimana dengan batu itu.”
Orang itu ragu-ragu. Katanya, “Lehermu tidak sekeras batu. Mungkin aku tidak dapat meremas batu hitam itu. Tetapi batu padas aku dapat meremukkannya dan sudah barang tentu kepalamu.”
“Aku minta waktu sedikit,” berkata Ki Waskita, “sebelum kau memecahkan kepalaku, apakah kau dapat bermain-main dengan batu itu,” tiba-tiba saja Ki Waskita ingin menjajagi kemampuan lawannya sebelum ia bertempur. Raksasa itu tentu memiliki kekuatan yang besar. Tetapi apakah kekuatannya itu dilambari oleh ilmu yang dapat memancarkan tenaga cadangan yang ada di dalam dirinya, atau sekedar kekuatan jasmaniah wantahnya saja.
“Apakah yang akan kau lakukan?”
“Kita turun juga dari perahu ini. Agaknya tidak menyenangkan bertempur di atas perahu yang setiap kali terguncang-guncang oleh gerakan kita. Selebihnya, kita bermain-main dengan batu itu lebih dahulu sebelum kau bermain-main dengan kepalaku.”
Ki Waskita tidak menunggu jawaban. Ia pun kemudian melangkah ke bibir perahu dan meloncat turun. Sejenak ia memandang kedua kawannya yang telah berkelahi, dengan sengitnya. Seperti Kiai Gringsing ia melihat, bahwa Ki Sumangkar akan dapat melindungi dirinya sendiri. Tetapi agaknya Kiai Gringsing sendiri harus bertempur dengan hati-hati, karena lawannya adalah orang yang cukup trengginas, dan sudah tentu tidak sia-sia jika ia mengatakan bahwa jari-jarinya mampu menyobek lambung.
Ketika orang bertubuh raksasa itu turun pula ke atas batu padas yang membujur seperti sebuah pulau itu, maka Ki Waskita pun sudah berjalan mendekati sebuah batu hitam yang tergolek di atas pasir.
“Batu ini hampir sebesar kepalaku,” berkata Ki Waskita, “cobalah meremasnya sampai menjadi debu sebelum kau meremas leherku.”
“Persetan,” orang itu menggeram, “aku lebih senang meremas lehermu. Sudah aku katakan bahwa lehermu tidak sekeras batu itu.”
Ki Waskita menjadi termangu-mangu. Agaknya kemampuan orang itu semata-mata karena tenaga wantahnya yang luar biasa. Mungkin oleh bentuk tubuhnya dan mungkin oleh latihan-latihan yang keras.
Namun Ki Waskita memiliki kemampuan lain. Ia melatih diri bukan hanya sekedar mempergunakan tenaga lahiriahnya saja. Tetapi ia melatih diri melepaskan tenaga cadangan yang ada di dalam dirinya dan membentuk dirinya menurut ilmu yang dipelajarinya. Karena itu, maka ia memiliki arus kekuatan yang lain dari kekuatan wantahnya saja.
Dalam pada itu, agaknya orang bertubuh raksasa itu berkeberatan untuk mencoba memecahkan batu hitam itu. Karena itu maka Ki Waskita pun berkata, “Kenapa kau tidak mau mencoba untuk menakut-nakuti aku, atau untuk meyakinkan aku agar aku dengan suka rela menyerahkan leherku? Jika aku sudah tidak mungkin lagi berbuat sesuatu untuk menyelamatkan diri, maka aku akan membiarkan kau mencekik leherku sampai putus.”
“Gila. Aku tidak perlu berbuat apa pun juga untuk meyakinkan kau. Aku akan langsung meremas lehermu dan meremukkan tulang-tulangnya. Kepalamu akan segera terpisah dari tubuhmu.”
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Meskipun ia belum mulai bertempur melawan orang bertubuh raksasa itu, namun agaknya ia sudah dapat menjajagi kekuatan lawannya.
“Kekuatan tenaganya tidak terlampau mengecilkan hati,” berkata Ki Waskita, “tetapi mungkin ia memiliki ilmu lain yang dapat menjadikannya seorang yang tangguh tanggon.”
Ternyata Ki Waskita tidak dapat bermain-main lebih lama lagi. Agaknya orang bertubuh raksasa itu tidak sabar lagi membiarkan lawannya berbicara tentang batu hitam itu.
Sekali lagi Ki Waskita melihat orang itu berjalan langsung ke arahnya tanpa mencoba melindungi dirinya apabila ia menyerang. Agaknya ia terlampau yakin akan kekuatan dan ketahanan tubuhnya. Dengan langkah yang panjang ia mendekat sambil menjulurkan tangannya, siap menangkap leher Ki Waskita.
Ki Waskita melangkah surut, ia melihat lawannya dengan heran. Seolah-olah lawannya tidak memiliki ilmu tata bela diri yang cukup.
“Tentu bukan begitu,” berkata Ki Waskita kepada dirinya sendiri sambil melangkah menjahui orang yang bertubuh raksasa itu.
“Kau tidak dapat lari,” berkata orang yang masih saja menjulurkan tangannya, “aku tentu akan dapat menangkapmu. Aku juga memiliki kemampuan berlari melampaui orang lain.”
“Gila,” desis Ki Waskita di dalam hatinya sambil memandang orang itu dengan ragu. “Jika aku menyerang dadanya, maka apakah ia akan dapat bertahan tanpa berbuat apa pun juga.”
Namun Ki Waskita benar-benar menjadi bimbang. Jika ia tidak mempergunakan segenap tenaganya, mungkin ia akan terpental oleh kekuatannya sendiri. Tetapi jika ia memusatkan segenap kemampuannya dan memusatkan kekuatan itu pada serangan pertamanya membentur lawan yang sama sekali tidak berusaha menahannya, apakah ia tidak akan melumatkan dada itu dan membunuh lawannya dengan cara yang sangat mengerikan.
Dalam keragu-raguan itu, akhirnya Ki Waskita menemukan suatu cara yang mungkin dapat dilakukan, perlahan-lahan ia bergeser terus diikuti oleh raksasa yang sedang menjulurkan tangannya untuk menangkap lehernya itu.
Namun tiba-tiba saja Ki Waskita meloncat, mengambil batu yang tergolek di atas padas. Sejenak ia sempat memusatkan kekuatannya. Dipeganginya batu hampir sebesar kepalanya itu dengan tangan kirinya. Kemudian tangan kanannya terangkat perlahan-lahan. Sejenak kemudian dengan derasnya tangannya terayun, dan sisi telapak tangannya menghantam batu yang berada di tangan kirinya itu.
Akibat dari pukulan itu ternyata dahsyat sekali. Batu hitam hampir sebesar kepalanya itu pun pecah berkeping-keping.
Orang bertubuh raksasa itu terkejut bukan buatan. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa lawannya itu mampu berbuat demikian, sehingga karena itu, maka untuk beberapa saat ia justru berdiri mematung.
Kedua kawannya pun ternyata sempat melihat apa yang terjadi. Mereka pun menjadi heran, bahwa tiba-tiba saja mereka seolah-olah telah terperosok ke dalam kandang serigala lapar.
Tetapi mereka sudah terlanjur berhadapan dengan orang-orang yang semula disangkanya seperti pedagang-pedagang yang lain, yang dengan mudah akan dapat dibinasakannya. Namun ternyata salah seorang dari mereka telah memperagakan suatu kekuatan yang tiada taranya.
“Pantas aku tidak dapat segera membunuh orang malas ini,” berkata lawan Ki Sumangkar di dalam hati, sementara lawan Kiai Gringsing pun sudah mulai berkeringat di seluruh tubuhnya.
Namun keduanya masih berpengharapan untuk dapat menguasai lawannya dengan kekuatan jari-jari mereka. Jika lawan-lawan mereka itu lengah, maka mereka tentu akan dapat menyobek lambungnya dengan ujung jarinya.
Selagi kedua kawannya bertempur semakin sengit dengan mengerahkan segenap kemampuannya, maka orang bertubuh raksasa itu menjadi termangu-mangu. Kini ia tidak lagi berjalan sambil menjulurkan tangannya dan membiarkan lawannya menyerang di mana pun dikehendaki.
Tetapi ia pun menjadi heran, kenapa lawannya yang mampu memecahkan batu hitam itu tidak langsung menyerang dadanya yang seakan-akan dengan sengaja dibiarkannya terbuka. Jika tangan yang mampu memecahkan batu itu menghantam dadanya, maka tulang-tulang iganya tentu akan rontok sama sekali.
Dalam kebimbangan itu, ia melihat Ki Waskita berdiri tegak di hadapannya. Tiba-tiba saja Ki Waskita itu sama sekali telah berubah di dalam pandangannya. Orang itu bukannya orang yang ketakutan dan menjadi pucat. Melangkah surut sambil mengerutkan lehernya. Tetapi Ki Waskita itu kemudian seolah-olah telah berubah menjadi seorang yang lain sama sekali. Seorang yang sorot matanya mampu memecahkan dadanya, dan yang senyumnya bagaikan senyuman hantu yang akan menghisap darah dari ubun-ubunnya.
Untuk beberapa saat lamanya, orang yang bertubuh raksasa itu berdiri termangu-mangu. Ia tidak tahu, apa yang akan dilakukannya. Sudah barang tentu ia tidak akan dapat mendekati orang yang mampu memecah batu hitam dengan tangannya itu, sekedar dengan menjulurkan tangannya saja. Agaknya tangan yang mampu memecah batu hitam itu jauh berbahaya dari tangan kawannya yang dapat menyobek perut.
Ki Waskita yang telah menunjukkan kekuatan tangannya itu pun masih berdiri tegak. Ia sedang mengamati akibat apakah yang timbul pada lawannya. Pada orang yang bertubuh raksasa itu. Jika ia sama sekali tidak mengacuhkan permainannya, maka ia adalah orang yang sangat berbahaya, sehingga ia harus menjadi hangat berhati-hati.
Tetapi ternyata ia melihat dengan jelas, perubahan sikap dan tatapan mata orang bertubuh raksasa itu. Untuk beberapa saat nampaknya ia berdiri saja bagaikan membeku, namun kemudian wajah itu menjadi pucat dan bahkan tubuhnya gemetar.
Ternyata bahwa ketabahan hati orang bertubuh raksasa itu tidak seimbang dengan bentuk lahiriahnya. Tubuhnya yang gagah tinggi dan besar. Dadanya bidang ditumbuhi oleh rambut yang lebat. Raut wajahnya menunjukkan betapa ia telah ditempa oleh alam yang keras. Kumis dan jambang yang lebat terawat sebaik-baiknya.
Namun hatinya tidak lebih besar dari biji otek terbagi seribu. Sikapnya yang kasar dan sombong, adalah selubung yang rapat bagi kekerdilan jiwanya.
Karena itulah, ketika ia melihat tangan Ki Waskita memecahkan batu hitam yang hampir sebesar kepalanya itu, hatinya segera menjadi kuncup. Ia sadar, bahwa ia berhadapan dengan orang yang memiliki kekuatan luar biasa. Jauh di atas kekuatannya sendiri. Meskipun tangannya mampu mematahkan leher orang lain, namun ia tidak akan dapat memecahkan batu dengan sisi telapak tangannya itu. Bahkan agaknya kawan-kawannya yang mampu menyobek perut lawan dengan jari-jari itu pun tidak akan mampu memecahkan batu hitam itu.
Ketakutan yang melanda dadanya ternyata tidak dapat dilawannya lagi. Dengan demikian, maka ia tidak mempunyai pilihan lain daripada menghindar dari arena perkelahian itu.
Orang bertubuh raksasa itu tidak sempat berpikir. Ia pun kemudian meloncat berlari naik ke atas perahu. Tidak ada pikiran lain padanya, kecuali menjauhi orang yang dapat memecahkan batu sebesar kepalanya itu.
Ki Waskita benar-benar terkejut melihat orang itu berlari. Yang melintas di angan-angannya adalah, bahwa orang itu adalah orang yang sangat berbahaya. Ia akan membunuh siapa pun yang dianggapnya dapat mengganggu dirinya dan kelompoknya. Ia bahkan telah siap untuk membunuh para pedagang dan tukang-tukang perahu yang pernah menyebut arah larinya pusaka yang hilang dari Mataram.
Karena itulah maka hampir di luar sadarnya, Ki Waskita pun berteriak, “Berhenti, he, berhenti kau raksasa yang dungu.”
Tetapi orang bertubuh raksasa itu tidak menghiraukannya lagi. Demikian ia meloncat naik ke atas perahu, maka ia pun segera mengambil satang bambu tanpa menghiraukan kedua kawannya yang sedang bertempur.
Ki Waskita tidak dapat berbuat lain daripada menghentikannya. Karena jarak yang ada antara dirinya dan raksasa yang sudah berada di atas perahu itu, maka Ki Waskita harus bertindak cepat.
Itulah sebabnya, maka Ki Waskita pun segera memungut pecahan batu hitam yang telah terbelah oleh tangannya. Dengan sekuat tenaga ia melontarkan batu itu kearah lawannya yang sedang berusaha melarikan diri sebelum bertempur yang sebenarnya itu.
Ternyata akibatnya adalah mengerikan sekali. Batu hitam itu tepat mengenai tengkuk orang bertubuh raksasa itu.
Terdengar sebuah teriakan nyaring. Kemudian disusul tubuh raksasa itu menggeliat dan terjatuh ke dalam air Kali Praga yang berwarna lumpur.
Ki Waskita melihat dengan jelas, bahwa orang itu masih sempat menggelepar, karena lontaran batu itu tidak membunuhnya. Tetapi dalam pada itu, orang bertubuh raksasa itu agaknya telah kehilangan sebagian dari kesadarannya, sehingga ia tidak mampu lagi melepaskan dirinya dari tarikan, air yang sebenarnya tidak begitu deras
Ki Waskita berlari-lari mendekati perahu itu. Dengan serta-merta ia pun meloncat naik mendekati raksasa yang terlempar ke dalam air itu.
Namun agaknya oleh kekuatan yang tersisa pada orang bertubuh raksasa itu, yang menggelepar kesaktian dan kehilangan kesadarannya, ia pun telah terdorong ke tengah dan hanyut dibawa oleh arus Kali Praga yang cukup kuat menyeretnya ke Lautan Selatan.
Ki Waskita pun kemudian berdiri termangu-mangu di atas perahu yang masih terguncang itu. Ia melihat tubuh itu diseret oleh air yang keruh. Namun semakin lama semakin jauh, semakin jauh. Sekali-sekali Ki Waskita masih melihat raksasa itu menggelepar di dalam setengah sadar. Tetapi agaknya ia telah sampai pada batas hidupnya, sehingga tidak seorang pun akan dapat menyelamatkannya lagi.
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Untuk beberapa saat ia masih berdiri di atas perahu. Namun kemudian ia pun seolah-olah tersadar, bahwa kedua kawannya masih bertempur dengan sengitnya.
Ki Waskita pun kemudian berpaling. Ia melihat perkelahian di atas pasir itu masih berjalan dengan sengitnya. Ki Sumangkar sekal-sekali masih harus meloncat surut menghindari serangan jari-jari lawannya. Sedang Kiai Gringsing pun masih harus bertempur dengan sepenuh tenaga.
Perlahan-lahan Ki Waskita mendekati arena. Ia berusaha untuk sedikit menarik perhatian lawan-lawan Ki Sumangkar dan Kiai Gringsing. Sekilas kedua orang itu sempat melihatnya. Namun mereka pun kemudian bertempur lagi dengan gĂgihnya.
Tetapi yang sekejap itu sudah cukup bagi Ki Waskita, karena dengan demikian, keduanya telah menyadari kehadiran Ki Waskita di arena itu.
Untuk beberapa saat lamanya, perkelahian itu nampaknya justru semakin seru. Namun mereka mulai terganggu oleh mendung yang tiba-tiba saja hanyut dari atas samodra mengalir ke Utara. Mendung yang semakin lama menjadi semakin pekat.
Setiap kali mereka yang bertempur mencoba untuk melihat wajah langit yang menjadi suram. Namun mereka tidak sempat memperhatikan awan yang hitam itu terlalu lama karena mereka masing-masing harus mempertahankan hidup mereka.
Perkelahian itu ternyata berlangsung lama. Kedua belah pihak mencoba untuk menguasai lawan-lawannya dengan mengerahkan segenap kemampuannya. Tetapi dengan demikian, maka mereka justru terlibat dalam perkelahian yang semakin sengit.
Agaknya mereka adalah orang-orang yang pilih tanding. Yang mampu bertempur dengan kekuatan yang tiada bandingnya sehingga Ki Waskita pun menjadi sadar, bahwa orang yang bertubuh raksasa itu adalah orang yang paling kuat, tetapi orang yang paling lemah di dalam pendalaman ilmu kanuragan. Kekuatannya semata-mata terletak pada kekuatan badaniahnya yang wantah.
Tetapi Ki Waskita tidak mercoba untuk terjun ke dalam pertempuran itu. Ia masih saja berdiri di tempatnya sambil memperhatikan perkelahian yang seru itu.
Sementara itu, langit pun menjadi semakin gelap. Bukan saja gelapnya mendung di langit. Tetapi Matahari memang sudah menjadi semakin rendah di sisi langit sebelah Barat
Apalagi mendung memang menjadi semakin tebal dan di beberapa bagian hujan pun mulai turun dengan derasnya. Bahkan di bagian ujung sungai, di lereng pegunungan, hujan nampaknya turun dengan lebatnya.
Meskipun mereka dicengkam oleh pemusatan perhatian terhadap lawan masing-masing, namun orang-orang yang sedang bertempur itu sempat juga sekali-sekali melihat hujan yang turun dengan derasnya di ujung Utara. Sekilas mereka mulai memperhitungkan kemungkinan yang dapat terjadi atas Kali Praga. Jika air tidak tertampung lagi, maka Kali Praga akan segera menjadi banjir. Dan setiap orang mengetahui, banjir Kali Praga adalah banjir yang sangat dahsyat dan mengerikan.
Tetapi mereka masing-masing tidak segera dapat mengakhiri perkelahian itu. Ki Sumangkar yang nampak memiliki beberapa kelebihan, masih harus bertempur dengan mengerahkan segenap tenaga yang ada padanya. Setiap kali ia masih harus menghindari sambaran jari-jari tangan lawannya yang mengerikan itu.
Dalam pada itu, selagi perkelahian itu masih berlangsung dengan seru, terasa bahwa riak-riak air yang berbuih mulai merambat ke atas pasir di tengah-tengah Kali Praga itu.
Bahkan kemudian perlahan-lahan air itu merambat semakin tinggi sehingga akhirnya air itu mulai menyentuh kaki mereka yang sedang bertempur.
Ki Waskita masih berdiri termangu-mangu. Ia ingin melihat akibat yang dapat timbul karena air yang semakin tinggi itu.
Ternyata bahwa sentuhan air dikaki mereka yang sedang bertempur itu dapat menarik perhatian untuk beberapa saat. Mereka seolah-olah saling mencari kesempatan untuk memperhatikan keadaan.
Dalam kesempatan itu, maka Ki Waskita pun berkata, “Nah, sebentar lagi, arus Kali Praga akan menjadi semakin deras Kita bersama-sama akan terbenam jika kita tidak segera menyingkir dari tempat ini, sedang kalian masih saja bertempur seolah-olah tidak berkesudahan.” Ki Waskita berhenti sejenak, lalu, “Karena itu, setelah kawan kalian berkurang satu, sebaiknya kalian menyerah saja. Kalian akan kami perlakukan dengan baik. Kami tidak akan berbuat apa-apa atas kalian.”
“Persetan,” lawan Kiai Gringsing itu pun menggeram.
“Barangkali itu lebih baik daripada kita bersama-sama terbenam.”
“Itu lebih baik. Kita akan mati bersama-sama,” berkata orang itu.
Kiai Gringsing yang kemudian surut selangkah mengerutkan keningnya memandang air yang semakin tinggi. Namun kemudian ia pun menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Jika kau menyerah, kau tidak akan mati. Tetapi jika kita bertempur terus, kau akan mati seperti kawanmu itu, karena kami akan bertempur bertiga, dan kalian hanya berdua saja. Apalagi kami adalah orang-orang yang sudah terbiasa berkelahi di dalam air.”
Lawan Kiai Gringsing itu menjadi tegang sejenak. Sesaat ia berpaling memandang kawannya yang juga berdiri tegak dengan wajah tengadah.
Namun lawan Kiai Gringsing itu pun berkata, “Biarlah kita bersama-sama tenggelam di dalam arus banjir Kali Praga.”
Ki Sumangkar menggigit bibirnya. Kemudian katanya, “Air Kali Praga akan menelan orang-orang yang bersalah. Bukan orang-orang yang benar.”
Lawan Ki Sumangkar itu menjadi semakin tegang. Dan dengan sorot mata yang aneh ia memandang kawannya yang berdiri termangu-mangu.
Namun tiba-tiba saja lawan Kiai Gringsing itu berteriak, “Gila. Kalian mencoba membohongi aku dengan tipuan-tipuan yang licik itu he? Kau sangka kami tidak dapat menembus batas bentuk semumu dengan penglihatan batin. He, orang-orang dungu. Kalian jangan memperbodoh kami seperti memperbodoh anak-anak yang baru pandai berjalan.”
Dada Ki Waskita berdesir. Ternyata kedua orang itu benar-benar orang pilihan. Mereka mampu melihat keadaan yang sebenarnya dan mengesampingkan bentuk semunya
Sejenak kemudian, maka air yang sudah mulai merambat sampai ke mata kaki itu pun seolah-olah menjadi surut dengan tiba-tiba. Awan yang hitam kelam di langit pun bagaikan pecah ditiup prahara, sedang hujan yang turun dengan lebatnya segera disapu pula oleh penglihatan mata hati dari orang-orang yang menyebut diri mereka tukang satang itu.
“Luar biasa,” desis Kiai Gringsing, “kalian benar-benar memiliki ilmu yang mengagumkan. Tidak sia-sia kalian mendapat tugas untuk melenyapkan semua orang yang dapat menunjukkan jejak kepergian pusaka-pusaka dari Mataram itu.”
Lawan Kiai Gringsing sama sekali tidak menyahut. Agaknya kemarahan yang melonjak di dadanya tidak dapat dibendungnya lagi, sehingga tiba-tiba saja ia pun sudah meloncat menyerang dengan garangnya.
Tetapi Kiai Gringsing pun sudah bersiap sepenuhnya. Ia sempat mengelak. Bahkan kemudian ia pun segera membalas dengan serangan pula. Sebuan loncatan yang panjang dengan kaki terjulur lurus menyamping.
Lawannya tidak membiarkan dirinya lumpuh oleh serangan itu. Dengan tangkasnya ia meloncat ke samping. Kemudian tangannya pun segera terayun memukul pergelangan kaki Kiai Gringsing.
Kiai Gringsing sadar, bahwa tangan itu bagaikan senjata yang sangat tajam. Jika jari-jari tangan lawannya itu menyentuh pergelangan kakinya, maka telapak kakinya tentu akan terlepas dan itu akan berarti bahwa perlawanannya pun akan terhenti.
Dengan kecepatan yang sama, Kiai Gringsing menarik kakinya yang terjulur, dan melingkar di belakang kakinya yang lain. Sekejap kemudian kaki yang lain itulah yang terangkat menyambar lambung lawannya.
Lawannya tidak sempat memutar tubuhnya dan menghantam kaki Kiai Gringsing dengan jari-jarinya. Yang dapat dilakukannya adalah melindungi lambungnya dengan siku.
Tetapi ternyata bahwa kekuatan Kiai Gringsing masih mampu mendorongnya beberapa langkah surut, meskipun lawannya telah mengerahkan tenaganya pula. Sekilas nampak wajah itu semakin menegang menahan sakit. Agaknya benturan yang terjadi itu terasa terlampau keras baginya.
Lawan Kiai Gringsing itu pun kemudian sadar sepenuhnya, bahwa ia telah berhadapan dengan seorang yang luar biasa. Seorang yang tidak akan dapat ditundukkannya begitu saja. Apalagi ketika sekilas ia melihat kawannya yang sudah mulai bertempur pula melawan Ki Sumangkar. Maka sudah terasa baginya, bahwa apabila ia bertempur dengan cara itu, dengan membanggakan kekuatan jari-jarinya, maka ia tidak akan dapat memenangkannya.
Betapa pun juga tajamnya kekuatan jari-jarinya, namun ternyata bahwa orang itu masih merasa perlu untuk mempergunakan senjata.
Karena itulah, maka sejenak kemudian ia pun melangkah surut menjauhi Kiai Gringsing untuk mendapat kesempatan melepaskan senjata-senjatanya.
Ki Waskita masih berdiri dengan tegang. Ia menjadi ragu-ragu, apakah pantas baginya untuk ikut bertempur pula di antara kedua kawannya. Namun ketika ia menjadi yakin bahwa kedua orang yang menyamar menjadi tukang perahu itu tidak akan dapat mengimbangi kedua kawannya, ia pun menjadi semakin tenang.
Tetapi sikap terakhir lawan Kiai Gringsing sangat menarik perhatiannya. Ia hampir berteriak ketika ia melihat tangan orang itu dengan kecepatan yang hampir tidak kasat mata meraba tengkuknya.
Namun Kiai Gringsing pun sudah berwaspada. Ketika tangan itu kemudian terayun, Kiai Gringsing dengan tangkasnya meloncat ke samping sambil memiringkan tubuhnya.
Sebuah pisau belati yang kecil dengan kecepatan seperti angin yang kencang telah menyambarnya.
Untunglah bahwa kecepatan bergerak Kiai Gringsing berhasil melampaui kecepatan sambaran pisau belati kecil itu sehingga pisau itu tidak menyambar dadanya dan menghunjam tembus ke jantungnya.
Namun agaknya, orang itu tidak hanya membawa sebuah pisau saja di punggungnya. Ternyata kemudian sebuah lagi meluncur seperti tatit di langit.
Sekali lagi Kiai Gringsing terpaksa meloncat menghindar, agar pisau itu tidak menyobek tubuhnya.
Tetapi ternyata orang itu membawa beberapa pisau yang kecuali terselip di punggungnya, juga di ikat pinggangnya. Beberapa buah pisau belati nampak berderet melingkar di seluruh bagian ikat pinggang itu.
Sudah barang tentu Kiai Gringsing akan menghadapi kesulitan apabila setiap kali ia harus berloncatan menghindari serangan pisau itu. Karena itu, ia harus mengambil sikap lain. Ia tidak boleh sekedar menunggu dan berloncatan. Tetapi ia pun harus menyerang dan apabila mungkin segera menyelesaikan pertempuran itu.
Karena itulah, maka ketika ia harus sekali lagi meloncat maka tangannya pun segera mengurai senjatanya yang melingkar di lambungnya, sehingga ketika lawannya sekali lagi mencabut sebuah pisau di ikat pinggangnya, ia telah dikejutkan oleh ledakan cambuk Kiai Gringsing yang seolah-olah memecahkan selaput telinga.
“Gila,” orang itu tiba-tiba berteriak, “jadi kaukah yang disebut orang bercambuk itu.”
Kiai Gringsing tidak menyahut. Ia lah yang kemudian menyerang dengan ujung cambuknya yang berkarah besi baja.
Meskipun demikian lawannya tidak segera menyerah. Ia masih juga sempat melontarkan pisau belatinya. Tetapi kecepatan gerak ujung cambuk Kiai Gringsing berhasil menyentuh pisau itu, sehingga pisau itu pun seolah-olah terpelanting masuk ke dalam arus sungai.
Sementara itu, selagi Kiai Gringsing dan lawannya bertempur semakin seru, tiba-tiba saja terdengar sebuah keluhan tertahan. Kemudian disusul pula dengan keluhan berikutnya.
Kiai Gringsing dan lawannya sempat berpaling. Dan mereka pun melihat darah menyembur dari dada lawan Ki Sumangkar. Agaknya ia pun tidak mempunyai pilihan lain daripada mengakhiri pertempuran itu dengan memaksa lawannyamenyerahkan nyawanya.
Ki Sumangkar pun kemudian berdiri termangu-mangu. Ia memang tidak mempunyai pilihan lain dalam keadaan serupa itu.
Perlahan-lahan Ki Sumangkar mendekati mayat yang masih mengalirkan darah yang mewarnai pasir. Namun perlahan-lahan darah itu pun mulai membeku.
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat lawan Kiai Gringsing menjadi gelisah. Tetapi agaknya ia justru menjadi putus asa dan dengan membabi buta menyerang Kiai Gringsing dengan pisau-pisau belatinya.
Dengan ragu-ragu Ki Waskita pun mendekati Ki Sumangkar. Tiga buah lubang dari ketiga ujung trisula kecil Ki Sumangkar telah menganga di dada lawannya.
“Aku tidak dapat berbuat lain,” desis Ki Sumangkar. Ki Waskita mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Memang kita dihadapkan pada satu-satunya kemungkinan. Jika orang-orang itu tidak mati terbunuh, maka beberapa orang justru akan dibunuhnya.”
“Masih ada seorang,” desis Ki Sumangkar, “jika kita berhasil menangkapnya hidup-hidup, maka kita akan dapat mencari jawab tentang pusaka yang hilang itu.”
“Aku kira kita tidak akan mendapatkannya,” berkata Ki Waskita, “ia adalah orang yang yakin akan segala perbuatannya. Ia akan menutup mulutnya, betapa pun kita mencoba memerasnya.”
“Mungkin kita justru akan dapat membujuknya dengan jalan yang paling baik. Bukan dengan kekerasan.”
“Kemungkinan yang sangat kecil. Tetapi kita akan dapat mencobanya.”
Ki Sumangkar memalingkan wajahnya dari mayat yang terkapar di pasir itu. Dipandanginya perkelahian yang masih berkobar dengan sengitnya.
“Orang itu agaknya pemimpin dari kelompok kecil yang dipasang di tempat penyeberangan ini,” berkata Ki Sumangkar.
“Ya. Dan orang yang sudah mati ini pun memiliki kemampuan yang tinggi. Tetapi orang yang bertubuh raksasa itu agaknya sekedar membanggakan kekuatan wantahnya.”
Ki Sumangkar mengangguk-angguk kecil. Namun kemudian katanya, “Marilah kita coba. Kita berdiri di tiga arah dan minta kepadanya untuk menyerah. Ia tidak mempunyai kemungkinan apa pun lagi.”
“Baiklah kita memang dapat mencobanya. Tetapi aku meragukan, apakah kita akan dapat berhasil.”
Ki Sumangkar dan Ki Waskita pun kemudian mulai berpencar. Mereka mengambil tempatnya masing-masing, sehingga seolah-olah lawan Kiai Gringsing itu sudah terkepung rapat-rapat, dan tidak mempunyai kesempatan untuk melepaskan dirinya.
“Kiai,” berkata Ki Sumangkar kemudian, “apakah Kiai tidak dapat minta kepada lawan Kiai itu untuk berbicara saja dengan baik?”
Kiai Gringsing meloncat surut. Ia mencoba untuk melepaskan diri dari lawannya. Tetapi lawannya sama sekali tidak memberi kesempatan kepadanya untuk berbicara.
Tetapi akhirnya pisau-pisau kecil lawan Kiai Gringsing itu pun telah terlemparkan semuanya tanpa satu pun yang dapat menyentuh lawannya. Karena itu, maka ia pun menjadi semakin marah dan berkelahi semakin kasar.
“Ki Sanak,” akhirnya Kiai Gringsing mendapat juga kesempatan ketika pisau-pisau belati itu sudah habis, “sebaiknya kita menghentikan perkelahian yang tidak berarti lagi ini.”
“Persetan,” orang itu menggeram. Namun serangannya justru menjadi semakin dahsyat meskipun sudah mulai nampak ia kehilangan keseimbangan nalar.
“Marilah kita berbicara,” berkata Ki Sumangkar.
Sama sekali tidak ada jawaban.
“Kita dapat berbuat lain daripada sekedar memanjakan kekasaran dan nalar yang buram,” desis Ki Waskita.
“Aku tidak peduli,” teriak orang itu sambil menyerang Kiai Gringsing, “kalian harus mati.”
“Kau tidak mau melihat kenyataan. Kedua kawanmu sudah mati, meskipun sama-sama tidak kita kehendaki. Tetapi agaknya memang tidak ada pilihan lain.”
“Memang tidak ada pilihan lain bagi kalian kecuali mati,” teriak orang itu pula.
Ki Sumangkar dan Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam, sedang Kiai Gringsing masih harus bertempur dengan serunya. Agaknya orang itu benar-benar telah berputus asa.
Namun agaknya orang itu mempunyai pertimbangan lain. Ia memang sudah berputus asa, dan merasa tidak akan dapat memenangkan perkelahian itu. Tetapi ia masih mempunyai satu harapan untuk dapat melarikan diri. Ia dapat mencebur ke dalam air dan mencoba berenang menyeberangi Kali Praga. Beberapa saat ia akan mengikuti aliran air yang menuju ke Lautan Selatan, kemudian ia dapat berenang ke tepian sebelah Timur atau sebelah Barat.
Sambil bertempur orang itu mencoba mencari jalan untuk keluar dari kepungan. Ia tidak memikirkan lagi nilai-nilai kejantanan dan sifat satria. Licik pun akan dilakukannya untuk melepaskan diri dari tangan orang bercambuk dan kawan-kawannya itu, karena ia sadar, bahwa keterangan yang diperlukan oleh orang-orang itu dari dirinya akan membuatnya mengalami kesulitan yang tidak berkesudahan.
Tetapi ia pun sadar sepenuhnya, bahwa ternyata ia sudah berhadapan dengan orang-orang yang jauh lebih kuat dari yang diduganya semula. Apalagi di antara mereka terdapat orang bercambuk, dan salah seorang dari mereka pasti seorang yang memiliki ilmu yang dapat membingungkan orang lain dengan bentuk-bentuk semu. Untunglah bahwa ia mampu mengatasi gangguan bentuk semu itu. Namun untuk berhadapan dengan ketiga orang itu sekaligus, memang suatu hal yang tidak mungkin dapat dilakukan.
Orang yang bertempur melawan Kiai Gringsing itu masih beruntung, karena Ki Sumangkar dan Ki Waskita tidak segera turun ke gelanggang dan mengeroyoknya beramai-ramai. Kesempatan yang masih itu harus dipergunakannya sebaik-baiknya untuk mencari jalan keluar dari kepungan mereka.
Sejenak kemudian orang itu masih mendengar Ki Sumangkar berkata, “Kenapa kau tidak menghentikan perlawananmu.”
“Persetan,” orang itu berteriak.
“Menyerahlah,” desis Ki Waskita.
“Jangan banyak bicara,” teriak orang itu.
“Kau tidak mempunyai pilihan,” berkata Kiai Gringsing.
“Diam, diam. Aku bunuh kau,” orang itu berteriak semakin keras.
Seperti berjanji maka Ki Sumangkar, Ki Waskita, dan Kiai Gringsing berganti-ganti mengucapkan kata-kata yang membuat orang itu semakin marah, tetapi juga semakin bingung.
Namun ia masih juga tidak mau menyerah. Bahkan dengan tiba-tiba ia berusaha untuk meloncat melarikan diri dari gelanggang.
Tetapi Ki Sumangkar meloncat cepat. Karena itu, maka lawan Kiai Gringsing itu pun terhenti beberapa langkah di hadapan Ki Sumangkar.
“Kau tidak akan dapat melarikan diri,” desis Ki Sumangkar.
Orang itu tidak menjawab. Dengan serta-merta ia menyerang Ki Sumangkar dengan sambaran jari-jari mautnya.
Tetapi Ki Sumangkar sempat mengelak. Ia sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Karena itu maka sejenak kemudian Ki Sumangkar-lah yang harus bertempur dengan seorang lawannya yang tersisa itu.
Sesaat kemudaan, pertempuran itu pun telah beralih. Ki Sumangkar-lah yang harus bertempur dengan sepenuh kemampuannya untuk melawan orang yang sudah kehilangan harapan itu.
Sementara keduanya bertempur, maka Ki Waskita dan Kiai Gringsing selalu mencoba mengganggunya dengan kata-kata yang semakin membingungkannya.
Ternyata bahwa orang itu tidak berhasil menembus Ki Sumangkar. Orang itu pun kemudian memalingkan usahanya kepada Ki Waskita. Ketika Ki Sumangkar menghindari serangannya, maka ia dengan kecepatan yang mampu dilakukan meloncat berlari meninggalkan lawannya dan berusaha untuk menembus kepungan yang rapat itu di sisi yang lain.
Tetapi di sisi yang lain, Ki Waskita pun segera berdiri di hadapannya. Sekali lagi orang itu harus bertempur. Kali ini dengan Ki Waskita.
Sekali lagi orang itu harus mengakui, bahwa ia tidak akan mampu menembus pertahanan Ki Waskita, yang bukan saja mampu menciptakan bentuk-bentuk semu, tetapi seorang yang memiliki kemampuan bertempur melampaui orang kebanyakan.
Dalam kebingungan itulah, maka dengan tidak terduga-duga orang itu telah berbuat licik sekali. Dengan serta-merta ia meraih segenggam pasir, dan ditebarkannya ke wajah Ki Waskita.
Ki Waskita sama sekali tidak menduga, bahwa lawannya akan berbuat demikian sehingga karena itu, maka tiba-tiba rasa-rasanya matanya telah disengat oleh kepedihan.
Di luar sadarnya, dengan gerak naluriah, Ki Waskta segera memejamkan matanya sambil merunduk. Ia tidak mampu berbuat apa pun juga menghadapi lawannya yang licik itu.
Kesempatan itu rupa-rupanya akan dipergunakan sebaik-baiknya oleh lawannya. Dengan jari-jari mautnya ia mencoba menyerang tengkuk Ki Waskita yang sedang menutup matanya dengan tangannya.
Kecurangan itu telah mengejutkan Ki Sumangkar dan Kiai Gringsing. Mereka melihat akibat kecurangan itu telah membahayakan jiwa Ki Waskita. Karena itu, mereka tidak dapat membiarkan kecurangan itu tanpa berusaha berbuat apa pun juga.
Karena itulah, selagi tangan orang itu terayun, maka hampir bersamaan Kiai Gringsing mengayunkan cambuknya pula. Sedang Ki Sumangkar berbuat hampir di luar sadarnya pula. Sebelum jari-jari maut itu menyentuh tengkuk Ki Waskta, maka dengan ledakan yang memekakkan telinga, ujung cambuk Kiai Gringsing telah berhasil membelit pergelangan tangan itu dan dengan sekuat tenaga, tangan itu dihentakkannya.
Orang itu tidak dapat menahan dirinya sehingga ia pun bagaikan diguncang oleh kekuatan raksasa. Jari-jarinya tidak lagi dapat menyentuh tubuh Ki Waskita.
Tetapi bukan itu saja. Ki Sumangkar yang bergerak dengan cepat pula, telah melemparkan trisulanya, tepat mengenai punggung orang itu.
Sejenak kemudian terdengar jerit ngeri. Orang itu masih sempat melonjak dan menggeliat. Namun kemudian ia pun terhuyung-huyung sambil membelalakkan matanya, memandang ketiga lawannya berganti-ganti.
“Setan yang licik,” geramnya, “kalian berkelahi seperti perempuan. Kalian hanya berani menghadapi lawan dengan bertempur berpasangan tiga orang sekaligus.”
Kai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Waskta yang sudah berhasil menguasai dirinya sama sekali tidak menjawab.
“Kalian akan mampus oleh tangan-tangan perkasa dari darah Majapahit,” ia masih menggeram.
“Siapakah darah Majapahit itu?” bertanya Kiai Gringsing.
Orang itu menjadi semakin lemah. Dan tiba-tiba saja ia terjatuh di pasir. Tetapi ia masih berdesis, “Pembalasannya akan segera datang.”
“Siapa? Siapakah yang kau maksud itu?”
Orang itu menggeliat. Dipandanginya ketiga orang lawannya berganti-ganti dengan sorot mata penuh kebencian.
Kiai Gringsing berjongkok di sampingnya. Perlahan-lahan ia berdesis, “Siapakah yang kau maksud dengan darah keturunan Majapahit itu?”
Nampak bibir orang itu bergerak. Agaknya ia memang menyebut sebuah nama dengan penuh kebanggaan. Tetapi Kiai Gringsing sama sekali tidak dapat mendengarnya.
Ketika Kiai Gringsing mencoba mendekatkan telinganya ke mulut orang itu, maka orang itu pun telah menghembuskan nafas yang terakhir.
“Ia telah mati,” desis Ki Sumangkar.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tanpa disadarinya ia pun berpaling memandang lawan Ki Sumangkar yang telah mati terlebih dahulu, kemudian mayat yang terkapar di hadapannya.
“Kitalah yang telah menjadi pembunuh kali ini,” desis Kiai Gringsing.
“Ya. Jika kita tidak membunuh tiga orang, maka beberapa orang yang lain akan terbunuh pula di tengah-tengah Kali Praga. Bahkan kemudian setelah mereka membunuh orang-orang yang mereka anggap melihat dan mendengar berita bahwa songsong yang mereka ambil telah dibawa menyeberang ke sebelah Barat Kali Praga, mereka pasti masih akan membunuh orang-orang lain lagi,” berkata Sumangkar.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki Waskita masih mengusap matanya yang sudah mulai dapat melihat lagi setelah ia mencuci mukanya di air kali yang keruh.
“Ya,” berkata Ki Waskita kemudian, “meskipun bukan maksudnya kita menghitung untung rugi dalam pembunuhan ini, namun agaknya orang-orang ini pantas untuk disingkirkan selama-lamanya. Kita tidak akan dapat mengharapkan bahwa jiwa mereka dapat berubah, sehingga masih ada kemungkinan di masa datang mereka merubah sikap dan sifat-sifatnya.”
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Tetapi ia pun kemudian ber-kata, “Namun, jika salah seorang dari mereka masih hidup, kita akan dapat mendengar keterangan lebih banyak lagi tentang pusaka yang hilang itu.”
“Itu pun tentu sukar diharapkan dari orang seperti orang-orang ini. Mungkin orang bertubuh raksasa itu dapat diperas keterangannya. Sayang, ialah orang yang pertama menjerumuskan diri ke dalam Kali Praga ini. Tetapi agaknya kedua kawan-kawannya yang lain tentu akan menutup mulutnya meskipun seandainya kita memperlakukannya dengan kasar,” berkata Ki Sumangkar.
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya.
“Agaknya memang demikian,” berkata Ki Waskita, “atau katakanlah, meskipun ia akan dihukum picis.”
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Jadi kesimpulan kalian, tidak ada pilihan apa pun juga selain ketiga orang itu memang harus mati.”
Ki Sumangkar dan Ki Waskita mengangguk-angguk.
“Memang tidak ada pilihan lain,” desis Ki Sumangkar.
Sejenak Kiai Gringsing terdiam sambil mengamat-amati mayat itu. Kemudian katanya, “Apa yang akan kita lakukan seterusnya?”
“Kita akan menguburkannya di tepian,” desis Ki Waskita.
Ki Sumangkar dan Kiai Gringsing pun sependapat. Adalah menjadi kuwajiban mereka untuk menguburkan mayat-mayat itu, siapa pun mereka itu.
“Kita bawa mereka menyeberang,” berkata Kiai Gringsing, “bukankah kita dapat menjadi tukang satang pula?”
“Ya. Kita akan mencobanya.”
Demikianlah maka kedua mayat itu pun segera dinaikkan keatas perahu. Meskipun belum pernah mengalami, maka ketiga orang itu pun mencoba untuk memegang satang, dan membawa perahu getek mereka menyeberang ke tepain di sebelah Timur.
Ketiga orang itu sama sekali tidak menghubungi siapa pun juga, karena mereka tidak ingin membawa siapa pun ke dalam kesulitan. Jika ada seorang atau beberapa orang yang ikut membantu mereka menguburkan mayat-mayat itu, maka di saat yang lain mungkin orang-orang yang tidak mengetahui apa pun juga itu akan menjadi sumber keterangan yang bersimpang siur dan dapat membuat mereka sendiri kesulitan.
Dengan alat yang dapat mereka ketemukan, mereka menggali tanah berpasir dan menguburkah kedua orang itu di tepian yang cukup jauh dan arus air.
“Mudah-mudahan tidak ada orang lain yang melihat hal ini terjadi,” berkata Ki Sumangkar.
“Ya, jika ada orang yang melihat dan yang kemudian membicarakannya, ceritera ini mungkin akan sampai ke telinga orang-orang yang mereka sebut keturunan Majapahit itu. Sudah barang tentu mereka akan segera mencari orang-orang yang mereka sangka telah membunuh kawan-kawannya,” berkata Ki Waskita. Lalu, “Terutama adalah seorang tua yang disebut orang bercambuk.”
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki Waskita meneruskan, “Ciri itu adalah ciri yang paling mudah di kenal di daerah ini. Semakin lama orang bercambuk itu menjadi semakin banyak dibicarakan orang.”
“Mungkin demikian,” berkata Kiai Gringsing, “jika mereka langsung bertemu dengan kita, maka kita akan mempertanggung-jawabkannya. Tetapi jika mereka menyangka bahwa hal itu dilakukan oleh Agung Sedayu atau Swandaru yang juga dapat disebut orang-orang bercambuk?”
“Mudah-mudahan tidak,” Ki Sumangkar-lah yang kemudian menyahut, “masih dapat dibedakan, orang bercambuk yang sudah ubanan dan orang-orang bercambuk yang masih muda.”
“Tetapi di antara keduanya tentu ada hubungan yang rapat,” gumam Kiai Gringsing, “karena itu agaknya kita tidak dapat melepaskan anak-anak itu terlampau lama.”
Kedua kawannya mengangguk-angguk. Mereka sadar sepenuhnya, bahwa mereka sudah terlibat langsung dengan hilangnya kedua pusaka dari Mataram itu. Cepat atau lambat, maka kawan-kawan orang yang terbunuh itu tentu akan menyebut orang bercambuk dan kawannya yang mencoba untuk menghambat usaha mereka. Suara cambuk Kiai Gringsing tentu didengar oleh satu dua orang yang meskipun tidak dengan sengaja, menyaksikan pertempuran itu.
“Apa boleh buat,” desis Kiai Gringsing yang seolah-olah melihat gejolak perasaan kedua kawannya, karena perasaan semacam itu juga bergetar di dalam dadanya sendiri, “kita memang harus melibatkan diri.”
Ki Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah pernah terlibat dalam perebutan kekuasaan secara langsung antara Jipang dan Pajang. Ia melihat betapa peperangan telah memeras terlampau banyak korban. Ia melihat bahwa di dalam perang, seseorang akan terlampau sulit untuk mengendalikan diri sendiri, apalagi apabila tangan mereka telah dibasahi dengan darah. Karena itulah maka seolah-olah ia telah tersisih dari peperangan itu dan terlempar ke dapur sebagai seorang juru masak di dalam pasukan Macan Kepatihan yang menjadi semakin lama semakin liar dan buas karena kehilangan arah dan tuntunan.
“Seharusnya perang yang demikian itu sudah berhenti,” berkata Ki Sumangkar di dalam hatinya.
Tetapi Ki Sumangkar pun sadar, bahwa kekerdilan jiwa manusia telah menyeret manusia ke dalam tindakan-tindakan yang sebenanya bertentangan dengan nurani mereka yang murni. Ketamakan, kedengkian, dan bibit kebencian dan dendam yang tiada berkeputusan, telah melibatkan manusia ke dalam benturan di antara mereka.
Namun, manusia yang lain, mencoba mengetrapkan susunan kehidupan yang terpahat di dalam cita-citanya dengan cara yang serupa. Tanpa menghiraukan jeritan nuraninya sendiri, gambaran cita-cita kehidupan yang dianggapnya lebih baik telah mendorongnya untuk memaksakan pendapatnya itu terhadap orang lain. Dan perang telah terjadi untuk tujuan-tujuan yang disebutnya bagi kemanusiaan sejagat. Namun di dalam perang, kemanusiaan itu sendiri telah dikorbankannya. Dan menarilah cita-cita yang disebutnya luhur itu di atas cara-cara yang paling pahit, karena bagi mereka cara apa pun dapat dipergunakannya tanpa menghiraukan pertimbangan-pertimbangan lain, apalagi pertimbangan hidup di seberang kehidupan yang wantah. Kehidupan abadi di sisi Sumber dari segala hidup itu sendiri.
Seperti Ki Sumangkar, Kiai Gringsing pun merasa berdiri di simpang jalan. Ia harus memilih. Menghindarkan diri dari tindakan-akan kekerasan, atau harus terlibat ke dalamnya.
Namun seperti Ki Sumangkar, maka Kiai Gringsing maupun Ki Waskita, masih harus berdiri di tempatnya berpijak. Bahwa mereka masih harus melindungi bukan saja dirinya sendiri, tetapi setiap sasaran dan akibat dari ketamakan, kedengkian, dan bibit-bibit kebencian dan dendam. Juga melindungi sasaran korban-korban tanpa arti yang dijadikan pancadan membangun dunia menurut selera segolongan manusia yang telah kehilangan pedoman hidup abadi, karena bagi mereka hidup adalah yang dapat mereka hayati dengan badan wadag mereka. Bukan kehidupan yang lembut dan tanpa akhir. Karena mereka sama sekali tidak menghiraukan lagi suara agung yang mengumandang di setiap hati, bahwa akhirnya setiap manusia harus pasrah kepada kekuasaan Yang Maha Kuasa. Di hadapan-Nya-lah akan terjadi tangis dan geretak gigi yang tiada berkeputusan, tetapi juga senyum jernih yang abadi.
Ketiga orang yang berdiri termangu-mangu di dekat kuburan kedua orang yang terbunuh itu bagaikan terbangun dari mimpi. Ketika mereka mendengar jerit seekor burung gagak yang hitam pekat yang berterbangan di langit. Hampir bersamaan mereka menengadahkan wajah. Mereka melihat burung itu membentangkan sayapnya, seperti mengapung di atas desir angin yang lembut.
“Marilah kita melanjutkan perjalanan,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “rasa-rasanya aku ingin cepat sampai bukan saja di Mataram, tetapi di Sangkal Putung.”
“Ya,” Ki Waskita mengangguk, “mudah-mudahan anakku sudah berada di sana, meskipun kadang-kadang aku masih diganggu oleh sentuhan getaran pribadi anakku di arah yang berbeda.”
Demikianlah maka ketiganya pun kemudian melanjutkan perjalanan. Kuda-kuda mereka berderap di atas tanah berbatu-batu dan mengandung pasir. Tidak ada seorang pun yang mereka jumpai di sekitar Kali Praga. Agakya tukang-tukang satang masih belum berani turun ke sungai. Apalagi tukang-tukang satang di sebelah Barat Kali Praga. Sehingga dengan demikian jalan itu menjadi sunyi.
“Jika ada yang melihat meskipun dari kejauhan, maka peristiwa yang baru saja terjadi akan membuat jalur jalan ini menjadi semakin sepi untuk waktu yang agak lama,” berkata Ki Sumangkar.
“Ya. Dan tukang-tukang perahu akan kehilangan sebagian dari penghasilan mereka. Tanah di sekitar tempat ini bukannya tanah yang terlampau subur, sehingga hasil sawah yang mereka kerjakan tidak akan memberikan hasil yang mencukupi,” sahut Ki Waskita.
Kiai Gringsing hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Tetapi terbayang bahwa sebuah perjuangan yang cukup panjang harus dilakukan oleh Mataram, baik untuk mendapatkan kembali pusaka-pusaka yang hilang itu maupun untuk menjadikan Mataram pusat kekuatan di banyak bidang. Kekuatan perdagangan, kebudayaan, dan pertumbuhannya sendiri di samping Pajang yang rasa-rasanya memang sudah berhenti. Seolah-olah Pajang telah sampai ke puncak kemungkinannya tanpa dapat berkembang lebih jauh lagi.
................bersambung ke Jilid 87
Tidak ada komentar:
Posting Komentar