API di BUKIT MENOREH
Karya S.H Mintardja
BERBAGAI DUGAAN telah timbul di antara mereka yang berpapasan dengan iring-iringan yang cukup panjang dan terbagi dalam kelompok-kelompok yang satu dengan lainnya terpisah meskipun hanya beberapa langkah, tetapi di bagian belakang, jarak antara kelompok yang satu dengan yang lain sama sekali tidak teratur. Ada yang panjang, tetapi ada yang hampir bergabung. Tetapi, kelompok kecil itu bukannya kelompok yang terpisah-pisah, yang secara kebetulan saja menempuh perjalanan di satu arah.
Ada di antara orang-orang yang melihat iring-iringan itu menduga, bahwa yang lewat adalah sekelompok prajurit dalam tugas sandi, karena pakaian mereka sama sekali tidak menunjukkan ciri seorang prajurit. Namun ada juga yang menaruh curiga, bahwa yang lewat adalah sekelompok penjahat yang besar sedang berpindah dari satu sarang ke sarang yang lain.
Namun ada juga satu dua orang yang sempat memperhatikan wajah-waiah yang cerah dari anak-anak muda yang mengiringi Swandaru dan Pandan Wangi itu berkata di dalam hatinya, “Nampaknya mereka sedang mengiring pengantin. Tetapi yang manakah pengantinnya?”
Demikianlah iring-iringan itu berjalan terus meskipun tidak terlalu cepat karena Agung Sedayu yang di paling depan memang tidak ingin memacu kudanya. Apalagi ia sadar, bahwa perjalanan itu bukan perjalanan yang tergesa-gesa.
Karena itulah, maka perjalanan itu nampaknya tidak dikekang oleh ikatan yang terlalu rapat dari kelompok yang satu dengan kelompok yang lainnya.
Agung Sedayu yang berada di depan ternyata berhasil memusatkan perhatiannya kepada jalan yang dilaluinya ketika ia mulai merasakan lembabnya udara hutan. Angin terasa bertiup perlahan-lahan. Debu yang terlempar dari kaki-kaki kuda, nampaknya bagaikan melayang perlahan-lahan menyingkir dari iring-iringan yang maju tidak terlampau cepat itu.
Ternyata bahwa mereka sama sekali tidak mengalami gangguan apa pun di Alas Mentaok yang sebagian besar sudah terbuka itu. Namun demikian mereka tidak boleh menjadi lengah, karena di hadapan mereka masih terdapat Alas Tambak Baya. Jika terjadi kerusuhan di hutan itu, maka para penjahat akan dengan mudah melenyapkan dirinya di antara pepohonan hutan yang lebat. Mereka seolah-olah sudah terbiasa dengan jalan-jalan sempit dan tempat-tempat persembunyian yang lain jika mereka merasa terdesak, atau jika mereka sudah menguasai sebagian besar dari milik orang-orang yang telah mereka rampok itu.
Agung Sedayu pun tidak lagi tenggelam dalam dunia angan-angannya. Ia memandang pohon-pohon besar di sebelah-menyebelah jalan dengan sadar. Tetapi sebagai seorang perantau, rasa-rasaya ia mempunyai firasat terhadap jalan yang akan dilaluinya.
Karena itu, ketika ia melihat kera-kera yang berloncatan di dahan-dahan, burung-burung yang bersiul, serta binatang-bmateng kecil yang kadang-kadang berlari silang-menyilang menyeberangi jalan, maka Agung Sedayu mempunyai perhitungan yang meskipun belum meyakinkan, tetapi mempunyai kemungkinan terbesar, bahwa jalan yang dilaluinya di tengah-tengah Alas Tambak Baya itu pun tidak akan terganggu sama sekali.
Meskipun demikian perjalanan itu rasa-rasanya menjadi tegang juga. Hampir setiap orang tidak lagi sempat berbicara. Apalagi mereka yang memang belum pernah melihat Alas Tambak Baya yang meskipun tidak terlalu besar dan luas, tetapi cukup padat dan lebat.
Namun demikian, mereka pun melihat, bahwa jalan itu tidak terlalu sepi. Sekali-sekali mereka berpapasan dengan sekelompok kecil para pedagang yang membawa barang-barangnya dengan beberapa ekor kuda. Tetapi mereka pun berjumpa pula dengan dua atau tiga orang saja yang bepergian melintasi hutan itu.
“Hutan ini sudah tidak menakutkan lagi,” berkata Ki Demang kepada orang-orang tua dari Tanah Perdikan Menoreh.
Orang-orang tua itu mengangguk-angguk. Salah seorang dari mereka berkata, “Tetapi bekas-bekasnya masih nampak, bahwa hutan ini adalah hutan yang wingit. Tentu setelah Mentaok menjadi tanah yang ramai, maka hutan ini menjadi tidak terlalu sepi dan asing.”
“Dibukanya jalur jalan inilah yang membuat Tambak Baya menjadi daerah yang banyak dilalui orang.”
“Kenapa orang-orang Mataram memilih tempat ini untuk membuka jalan?” bertanya salah seorang dari Tanah Perdikan Menoreh. “Kenapa tidak melalui tepi hutan ini di ujung Selatan. Meskipun jalan menjadi agak jauh, tetapi usaha membuka hutan ini tentu tidak akan seberat yang dilakukannya?”
Ki Demang menggelengkan kepala. Jawabnya, “Aku tidak mengetahui dengan pasti. Tetapi sebelum jalan ini menjadi lebar dan rata seperti sekarang, di tempat ini pun telah ada seleret jalan tempuh yang menghubungkan daerah-daerah di sebelah Timur Alas Tambak Baya dengan daerah-daerah yang berseberangan. Daerah Wiridan, lebih jauh lagi ke tlatah Kademangan Mangir, dan juga ke Tanah Perdikan Menoreh, bahkan kadang-kadang orang di daerah yang lebih jauh lagi juga, melalui jalan ini meskipun pada saat itu jalan ini sangat berbahaya.”
Orang-orang dari Tanah Perdikan Menoreh itu mengangguk-angguk. Mereka pun pernah mendengar, bahwa di Alas Mentaok dan Alas Tambak Baya pada saat-saat Mataram belum berdiri, merupakan daerah gelap yang ditakuti orang.
Tetapi kali ini pun mereka tidak boleh lengah.
Prastawa yang berada di antara para pengiring dari Menoreh justru menjadi sangat berhati-hati. Hutan itu nampaknya masih terlalu berbahaya meskipun ia pernah mendengar pula bahwa jalan sudah menjadi aman. Namun setiap saat, apalagi dalam keadaan seperti itu, maka penjahat-penjahat dapat saja memilih tempat yang justru tidak lagi dianggap gawat.
Namun perjalanan mereka sama sekali tidak terganggu. Beberapa saat lagi mereka akan sampai di ujung jalan yang membelah Alas Mentaok dan Alas Tambak Baya itu. Sudah barang tentu semakin dekat mereka dengan daerah terbuka, maka perjalanan mereka akan menjadi semakin aman. Di seberang Alas Tambak Baya terbentang daerah yang subur dan tenang seperti daerah-daerah lain yang jauh dari hutan.
Para pengiring pengantin itu menarik nafas dalam-dalam, ketika mereka kemudian muncul dari jalan yang menyusup di antara pepohonan hutan di Alas Mentaok dan Alas Tambak Baya itu. Rasa-rasanya bagaikan terlepas dari kepepatan yang menghimpit dada mereka, karena ketegangan.
Sambil menengadahkan wajah mereka, maka mereka pun tersenyum melihat bentangan langit yang luas karena tatapan mata mereka tidak terhalang lagi oleh dedaunan yang rimbunnya hutan.
Agung Sedayu pun menarik nafas dalam-dalam pula. Dengan wajah yang tenang ditatapnya daerah yang terbuka, terbentang di hadapannya. Ia merasa seperti yang dirasakan oleh kebanyakan orang di dalam iring-iringan itu. Karena itulah maka keterbukaan langit yang luas itu bagaikan keterbukaan hatinya yang tegang selama perjalanan di dalam hutan itu.
“Tugas kita sudah selesai,” desis salah seorang pengawal dari Sangkal Putung.
Agung Sedayu mengangguk kecil. Tetapi ia kemudian menyahut, “Belum seluruhnya. Masih ada jarak yang harus kita lampaui sekarang ini.”
“Tetapi daerah-daerah yang paling berbahaya sudah lampau. Dan kita sekarang adalah sekelompok orang yang sedang pulang tamasya.”
Agung Sedayu mengangguk. Ketika ia berpaling dilihatnya di sebuah warung beberapa orang sedang berhenti. Agaknya mereka sedang menunggu beberapa orang kawan lagi untuk menyeberang meskipun sebenarnya jalan telah aman.
Orang-orang di dalam warung itu menjadi heran melihat iring-iringan yang panjang yang terpisah-pisah, tetapi rasa-rasanya tidak ada putus-putusnya.
Di kelompok kedua, Prastawa pun menganggap bahwa tugas sebenarnya telah selesai. Tidak ada lagi persoalan di sisa perjalanan mereka, karena mereka akan melalui jalan-jalan yang tidak pernah disentuh oleh kerusuhan.
“Dari mana kau mengetahuinya, Prastawa?” bertanya kawannya.
“Sekar Mirah mengatakannya kepadaku. Dan aku percaya kepadanya, karena jalan ini adalah jalan yang seolah-olah setiap saat dilaluinya.”
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Dan mereka pun percaya pula seperti yang dikatakan oleh Prastawa.
Swandaru pun merasa lega setelah Alas Mentaok dan Alas Tambak Baya dilalui dengan selamat. Bahkan kemudian ia berbisik kepada Pandan Wangi yang berkuda di sampingnya, “Kecemasan orang-orang tua ternyata sama sekali tidak beralasan. Sebenarnya aku menolak dikawal sekian banyak orang. Tetapi ayah memaksa. Demikian juga Guru dan Ki Sumangkar.”
“Mereka mencoba untuk bertindak dengan hati-hati,” sahut Pandan Wangi.
“Aku mengerti. Dan orang-orang tua nampaknya terlalu berhati-hati sehingga sulit untuk dibedakan lagi dengan bentuk ketakutan.”
Pandan Wangi tidak menyahut. Hanya kepalanya sajalah yang terangguk-angguk kecil.
Demikianlah maka iring-iringan itu pun maju terus. Kelompok-kelompok kecil itu sudah tidak lagi membatasi diri dalam jarak-jarak tertentu. Bahkan beberapa kelompok telah berbaur dan bertukar orang. Hanya agar tidak mengganggu, orang-orang yang berpapasan sajalah maka di bagian belakang dari iring-iringan itu masih membatasi diri untuk tidak berkuda berbareng memenuhi jalan.
Namun dalam pada itu, dua orang berkuda yang mengikuti iring-iringan itu dari kejauhan tersenyum di dalam hati. Dengan tegang mereka mengikuti perkembangan sikap orang-orang Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh itu.
“Gandu Demung memang pandai memilih tempat,” desis salah seorang dari keduanya, “nampaknya orang-orang Sangkal Putung dan orang-orang Menoreh itu tidak menyangka sama sekali, bahwa sekelompok penyamun yang kuat akan menghancurkan mereka di tempat yang tidak mereka sangka sama sekali.”
Kawannya mengangguk-angguk. Katanya, “Aku jadi kasihan kepada sepasang pengantin muda itu. Nampaknya perkawinan mereka hanya akan berlangsung sepasar. Gandu Demung bukannya orang yang baik hati yang dengan belas kasihan melepaskan sepasang pengantin itu untuk meneruskan perjalanan.”
“Mungkin ia akan membawa pegantin perempuan itu ke sarangnya.”
Keduanya tersenyum. Lalu, “Bagaimana jika kita melakukan tugas kita sebaik-baiknya.”
“Maksudmu?”
“Membunuh Gabdu Demung, menang atau kalah. Tertangkap, atau tidak.”
Kawannya tertawa. Katanya, “Kau sudah gila. Kau kira kau dapat melakukannya?”
Yang lain pun tertawa, karena ia sendiri menyadari, bahwa yang diucapkannya itu adalah sekedar kelakar yang pahit melihat keberhasilan kawannya yang sudah berada di depan hidung.
“Aku menjadi iri,” katanya, “kenapa bukan aku sajalah yang melakukannya.”
“Jika kau yang melakukan, tentu kau akan mengambil sikap lain. Kau tentu memilih tempat yang kau anggap baik, tetapi yang sudah diperhitungkan oleh iring-iringan itu. Aku berani bertaruh, jika kau mempunyai pengikut dua puluh kali tiga, kau tentu akan menunggu mereka di Alas Tambak Baya.”
Kawannya tersenyum sambil mengangguk.
“Nah, itulah kelebihan Gandu Demung. Ia melakukannya di tempat yang tidak terduga sama sekali. Di hutan kecil yang jarang, dan justru di ujung Kademangan Sangkal Putung. Tetapi hutan yang kecil itu cukup memberikan perlindungan selagi mereka menunggu iring-iringan itu lewat, karena setiap orang akan berdiri di balik sebatang pohon dan berpencar dari ujung sampai ujung sepanjang iring-iringan itu.”
“Itulah kelebihannya. Dan aku kagum akan kemampuan otaknya. Meskipun ia nampaknya seorang yang pendek saja, namun ia memiliki kelebihan dari kawan-kawannya.”
Keduanya mengangguk-angguk. Pada saat terakhir mereka melihat, bahwa nampaknya Gandu Demung mempunyai kesempatan yang luas. Dua puluh orang dari setiap kelompok itu akan merupakan kekuatan yang meyakinkan menghadapi iring-iringan yang sudah menjadi lengah.
Sebenarnya bahwa iring-iringan pengantin itu benar-benar sudah merasa aman. Jika mereka melintasi padukuhan-padukuhan di sepanjang perjalanan, mereka melambaikan tangan mereka terhadap orang-orang yang berdiri berjajar di sepanjang jalan.
Kadang-kadang, jika para pengiring itu melihat wajah-wajah yang heran melihat iring-iringan itu, memerlukan memberikan penjelasan, “Kami mengiringkan sepasang pengantin dari Sangkal Putung.”
“Dari Sangkal Putung?” seseorang bertanya.
“Ya. Pengantin laki-laki dari Sangkal Putung, sedang pengantin perempuan dari Tanah Perdikan Menoreh.”
Orang-orang yang mendengar keterangan itu mengangguk-angguk. Mereka tahu maksudnya, bahwa sepasang pengantin sedang dalam perjalanan dan Tanah Perdikan Menoreh, menuju ke Sangkal Putung.
Tetapi mereka menjadi heran ketika mereka seakan-seakan tidak melihat pengantin perempuan di antara iring-iringan itu. Apalagi jika Pandan Wangi dan Sekar Mirah sudah lewat. Dari belakang, keduanya sulit dibedakan dengan laki-laki yang mengiringinya.
Ketika sepasang pengantin itu melintasi Kali Opak, maka seperti ketika mereka melintasi Kali Praga, sepasang pengantin itu masing-masing melemparkan sebutir telur ke dalam arus sungai sebagai syarat.
Tetapi ternyata bahwa Kali Opak tidak seluas dan sedalam Kali Praga meskipun terhitung sungai yang besar di daerah sebelah Timur Alas Tambak Baya. Iring-iringan itu tidak perlu menyeberang dengan getek meskipun harus berhati-hati.
Setelah mereka melewati Kali Opak, maka hati mereka pun menjadi semakin tenang. Namun dengan demikian, maka mereka menjadi semakin lengah. Mereka sudah merasa berada di rumah sendiri, sehingga mereka tidak lagi membayangkan gangguan yang bakal mereka dapat di sisa perjalanan itu.
Dengan demikian maka iring-iringan itu menjadi semakin tidak terikat lagi oleh kelompok-kelompok yang disusun pada saat mereka berangkat. Bahkan ada satu dua kelompok yang agak tertinggal di belakang karena para pengawal sedang sibuk bergurau di antara mereka sendiri.
Dalam pada itu, di ujung sebuah hutan yang sudah semakin tipis dan jarang di ujung Kademangan Sangkal Putung, Gandu Demung menunggu dengan tegang. Menurut perhitungan dan pendengaran mereka dari orang-orang Sangkal Putung di saat-saat satu dua orang dengan sandi pergi ke pasar, sepasang pengantin dari Tanah Perdikan Menoreh itu akan datang pada hari itu.
“Mereka berangkat dari Mataram pagi ini,” desis Gandu Demung.
“Mereka tentu merayap seperti siput.”
“Kita harus telaten menunggu. Jika tidak, maka kita akan gagal. Setiap orang harus tetap berada di tempat masing-masing. Mereka harus mencari perlindungan sebaik-baiknya di dalam hutan yang sama sekali tidak lebat ini.”
Orang-orang yang menunggu itu hampir menjadi jemu. Mereka harus berdiri atau duduk di balik sebatang kayu. Bahkan ada di antara mereka yang tertidur sambil bersandar.
Tetapi di ujung hutan itu, dua orang yang bertugas mengawasi bulak panjang di hadapan mereka tidak boleh lengah sama sekali. Jika mereka melihat iring-iringan yang muncul di bulak panjang itu, mereka harus memberikan isyarat. Isyarat yang cepat menjalar, tetapi tidak menimbulkan bunyi yang keras, yang dapat didengar oleh iring-iringan yang bakal datang itu.
Salah seorang dari kedua pengawas itu memegang dua batang kayu di tangan. Jika mereka melihat debu mengepul, maka ia harus membenturkan kedua potong kayu itu berulang kali.
Orang yang berdiri di paling dekat akan mendengarnya. Dan mereka harus melakukan hal yang sama. Mungkin memukul tangkai tombaknya berkali-kali dalam irama yang telah mereka sepakati, atau mungkin memukul perisai dengan punggung pedang. Bunyi itu akan menjalar dan tidak terlalu keras dari ujung hutan sampai ke ujung lainnya, karena orang-orang yang berjumlah enam puluh itu pun memencar dari ujung sampai ke ujung hutan kecil di pinggir jalan itu. Hutan yang biasanya dipergunakan oleh anak-anak muda untuk berlatih ketrampilan berburu, karena di hutan kecil itu masih ada beberapa jenis binatang kecil. Bahkan dalam jumlah yang tidak banyak, kadang-kadang dapat dijumpai harimau harimau dari jenis yang kecil.
Ketika matahari memanjat semakin tinggi, kejemuan telah mencengkam setiap orang yang berada di hutan itu. Rasa-rasanya mereka sudah menunggu terlalu lama. Setelah mereka bermalam di hutan itu mereka harus duduk diam bagaikan membeku.
“Gandu Demung memang gila,” desis salah seorang anak buah Ki Bajang Garing, “kita telah dibiarkan membeku di sini. Mungkin orang-orang Sangkal Putung itu tidak akan kembali hari ini. Dan kita akan duduk di sini tanpa melakukan sesuatu.”
“Aku lebih senang di rumah bermain-main dengan anakku,” sahut yang lain. “Di sini dibiarkan aku membeku. Namun tiba-tiba saja leherku telah disentuh pedang jika aku lengah.”
“Uh, sejak kapan kau menjadi seorang pengecut.”
“Bukan pengecut. Tetapi aku benar jemu. Apalagi aku kurang yakin akan keterangan yang didengar oleh Gandu Demung bahwa hari ini pengantin itu akan lewat.”
Kejemuan telah mencengkam lebih dalam lagi ketika Matahari telah mendekati puncak langit dan perlahan-lahan bergeser ke Barat.
“Apakah mereka berangkat tengah hari?” geram seorang yang bertubuh kasar dan berwajah keras.
“Mungkin. Tetapi mungkin juga pengantin itu berhenti dan tidur di pinggir jalan, karena mereka tidak sempat tidur semalam.”
Kawannya tersenyum pahit. Tetapi ia tidak menjawab.
Ternyata bahwa kejemuan benar-benar telah merayapi hati. Bahkan orang-orang yang bertebaran di hutan itu mulai ragu-ragu, apakah yang akan mereka dapatkan dari iring-iringan itu memadai. Mereka menyadari bahwa jumlah mereka adalah terlalu besar. Enam puluh orang.
“Yang kita dapatkan tidak akan rata dibagi di antara kita yang melakukan tugas ini,” desis seseorang.
Namun agaknya kawannya masih sempat membuat perhitungan, “Tentu berlebihan. Kau tahu, bahwa harga sebuah pendok emas akan sama dengan penghasilan seorang petani yang bekerja keras dua atau tiga bulan.”
“Belum tentu ada yang membawa pendok emas.”
“Aku yakin, semuanya akan membawa pedok emas. Terlebih-lebih lagi perhiasan intan berlian. Kalung, gelang, timang, dan lain-lainnya yang harganya lebih banyak dari pendok-pendok emas itu.”
Kawannya terdiam. Tetapi wajahnya benar-benar menunjukkan kejemuan.
Ketika matahari bergeser makin ke Barat, kedua orang yang bertugas mengawasi di ujung hutan menjadi semakin jemu. Salah seorang dari mereka bangkit dan menggeliat. Dengan suara yang datar ia berkata, “Aku akan pergi sebentar.”
“Kemana?”
“Ke parit itu untuk mencuci muka. Aku kantuk sekali.”
“Jangan. Kehadiranmu dapat menimbulkan kecurigaan jika ada satu dua orang di sawah yang melihatmu.”
“Aku tidak dapat bertahan lagi. Jika aku tidak mencuci muka, barangkali aku akan segera tertidur. Silirnya angin membuat badanku seperti dibuai.”
“Tetapi itu berbahaya sekali.”
Orang yang berdiri itu mengerutkan keningnya. Di luar sadarnya ia memandang ujung jalan di seberang bulak.
Namun tiba-tiba saja wajahnya menjadi tegang. Ia melihat debu yang mengepul. Kemudian lamat-lamat ia melihat sesuatu yang bergerak.
“Mereka datang,” tiba tiba saja suaranya tersentak.
“He,” kawannya meloncat berdiri. Katanya kemudian, “Ya. Mereka telah datang. Itu adalah suatu iring-iringan yang panjang.”
“Mereka akan segera melintasi bulak panjang ini.”
“Berilah tanda.”
Salah seorang dari mereka pun segera mengambil dua potong kayu dan dengan irama yang sudah disepakati, ia pun kemudian memukul kayunya untuk memberikan isyarat bahwa yang mereka tunggu telah datang.
Suara isyarat itu tidak terlalu keras. Tetapi cukup didengar oleh kawannya yang tidak terlalu jauh daripadanya.
Sejenak kemudian isyarat itu pun segera menjalar dari seorang yang lain, sehingga dalam waktu yang dekat, setiap orang yang ada di hutan itu pun telah mendengarnya.
“Bersiaplah di tempat masing-masing,” desis Gandu Demung.
Para pemimpin kelompok yang ada di hutan itu segera menempatkan diri di antara anak buahnya. Di ujung sebelah-menyebelah telah disiapkan batang-batang pohon yang sudah dikerat. Jika pasukan yang mengiringi sepasang pengantin itu telah memasuki jalan di pinggir hutan itu, maka beberapa orang bertugas untuk dengan segera merobohkan batang-batang yang sudah dikerat dan diikat dengan tambang-tambang yang besar, agar mereka tidak sempat melarikan diri di atas punggung kuda, sementara yang lain harus langsung menyerang setiap orang dalam iring-iringan itu.
Beberapa orang yang bertugas merobohkan batang-batang pohon itu pun segera bersiap pula. Beberapa orang telah memanjat, sedang yang lain siap dengan kapak-kapak yang besar. Batang-batang yang sudah dikerat itu hanya memerlukan waktu yang singkat untuk merobohkannya.
Iring-iringan yang tampak di ujung bulak panjang itu rasa-rasanya merayap lambat sekali. Agung Sedayu memang tidak tergesa-gesa. Karena ia berada di ujung, maka yang lain pun mengikutinya pula, meskipun beberapa orang pengiring rasa-rasanya ingin mendahului untuk segera sampai di rumah.
Dalam pada itu, orang-orang tua yang berada di belakang kelompok pengantin masih sempat bercakap-cakap dengan tenangnya. Ki Waskita yang gelisah karena isyarat yang buram bagi hari depan Swandaru, rasa-rasanya masih saja mempengaruhinya meskipun ia sudah berusaha untuk meletakkan persoalannya kepada kekuasaan Yang Maha Tinggi.
Namun selagi ia merenungi persoalan yang menyangkut sepasang pengantin bagi hari depan mereka itu, rasa-rasanya ada satu sentuhan yang lain di hatinya. Sentuhan isyarat yang semakin lama terasa semakin kuat.
“Apalagi yang akan nampak?” ia bertanya kepada diri sendiri.
Tetapi karena Ki Waskita pun menjadi gelisah karena perjalanan yang nampaknya tidak akan terganggu oleh apa pun itu, tidak segbera dapat melihat apa yang akan dihadapinya di sepanjang jalan yang tinggal pendek itu.
Yang menyangkut di dalam hatinya adalah kesuraman masa depan sepasang pengantin yang sedang diiringinya. Bukan saat-saat yang pendek yang sudah berada di hadapan hidungnya.
Namun dalam pada itu, Agung Sedayu yang berkuda di paling depan, melihat sesuatu yang kurang sewajarnya. Ia melihat sebatang pohon bergetar. Meskipun pohon itu tidak begitu besar, namun getar daunnya yang berbeda dengan pepohonan di sekitarnya membuatnya curiga.
“Tidak pernah seseorang yang mencari kayu memotong dahan-dahan di ujung hutan,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya. Dan hatinya yang sedang ngelangut itu rasa-rasanya terlampau mudah disentuh sesuatu yang nampaknya mencurigakan.
“Apakah yang sebenarnya terjadi?” bisik Agung Sedayu.
Sebenarnya Agung Sedayu pun sama sekali tidak menduga bahwa di hutan kecil itu telah siap enam puluh orang bersenjata yang akan menyerang iring-iringan itu. Jika ia menjadi curiga, justru karena persoalan yang berbeda.
“Jika benar-benar ada seseorang yang memotong dahan kayu di atas jalan itu, aku harus memberitahukan kepadanya, agar mereka menunggu iring-iringan ini lewat,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.
Karena itulah, maka Agung Sedayu pun agak mempercepat kudanya.
Yang terbesit di dalam hatinya adalah jika orang yang tidak nalar menebang pohon tepat pada saat iring-iringan itu lewat. Karena itu maka ia harus mencegah. Jika sekiranya pohon itu memang sudah akan roboh, maka biarlah iring-iringan ini menunggu.
“Tetapi jika pohon itu sudah terlanjur roboh melintang jalan, maka iring-iringan ini akan terhenti untuk beberapa lama karena mereka harus menyingkirkan batang pohon itu lebih dahulu,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya. Namun ia pun kemudian sambil bersungut-sungut bergumam, “Tentu anak-anak yang sekedar ingin merusak. Sepantasnya mereka mendapat peringatan.”
Agung Sedayu pun kemudian mendahului iring-iringannya. Ketika seseorang bertanya, maka ia pun menjawab, “Di pinggir hutan itu nampaknya ada seseorang yang menebang pohon kayu. Aku ingin memberitahukan kepada mereka bahwa iring-iringan ini akan lewat. Jika belum terlambat, biarlah mereka menunggu.”
Kawannya mengangguk-angguk. Tetapi salah seorang dari anak-anak muda di dalam kelompoknya mengikutinya, mendahului kawan-kawannya.
Prastawa yang melihat Agung Sedayu mendahului, menyuruh seseorang bertanya kepada kelompok di hadapannya. Namun jawab para pengawal sama sekali tidak menarik perhatiannya, karena Prastawa pun mengira bahwa sebenarnyalah seseorang atau sekelompok orang sedang menebang pohon.
“Bodoh sekali,” gumam Prastawa, “jika ia ingin menebang kayu, seharusnya ia tidak menebang yang berada tepat di pinggir jalan.”
“Tetapi mungkin kayu yang tidak banyak terdapat,” jawab yang lain, “mungkin kayu berlian atau kayu wregu putih atau kayu apa pun yang tidak ada duanya.”
“Jika demikian, maka ia harus mendapatkan ijin dari Ki Demang di Sangkal Putung, karena hutan kecil itu berada di ujung kademangannya.”
“Ah, entahlah,” kawannya yang malas berpikir tidak menyahut.
Demikianlah Agung Sedayu dan seorang kawannya menjadi semakin dekat. Tetapi yang membuatnya heran, ternyata batang kayu itu sudah tidak bergetar lagi.
“Mungkin mereka menjadi ketakutan,” desis kawannya.
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi kepalanya terangguk-angguk kecil. Orang yang menebang pohon itu tentu sudah melihatnya mendekat.
Beberapa langkah sebelum sampai ke ujung hutan itu Agung Sedayu berhenti. Ia menjadi cemas, jika tiba-tiba saja pohon itu roboh dan kudanya yang ketakutan akan melonjak dan tidak terkendali.
Karena itu, maka ia pun segera meloncat turun dan mengikat kudanya pada sebatang pohon yang tumbuh di pinggir jalan diikuti oleh kawannya.
Keduanya pun kemudian melangkah mendekati ujung hutan. Namun mereka sudah tidak melihat pohon yang bergerak-gerak itu lagi.
“Yang manakah yang kau lihat bergerak-gerak dan bergetar?” bertanya pengawal itu.
“Aku pasti, bahwa pohon cangkring itulah yang bergetar-getar. Tetapi kini agaknya sudah tidak lagi.”
“Tentu hanya karena angin.”
“Jika karena angin, tentu tidak hanya sebatang. Tetapi beberapa batang dan bahkan semuanya.”
Kawannya mengangguk-angguk. Katanya, “Mungkin ada orang yang memerlukan batang cangkring itu.”
Ketika mereka sampai di ujung hutan, maka mereka pun menjadi termangu-mangu. Ternyata mereka tidak melihat seorang pun yang berada di bawah pohon cangkring itu.
“Tidak ada seseorang. Mungkin anak-anak yang bermain-main dan bekejaran di dahan-dahan,” berkata kawan Agung Sedayu.
“Berbahaya sekali. Apalagi batang dan dahan cangkring ditumbuhi duri yang tajam,” jawab Agung Sedayu.
Namun tiba-tiba Agung Sedayu melangkah mendekat. Dilihatnya pada pangkal batang cangkring itu keratan yang dalam sehingga dengan sedikit sentuhan dari keratan pada batang itu, maka pohon cangkring itu pun tentu roboh.
“Benar dugaanmu,” berkata Agung Sedayu, “tentu seseorang memerlukan batang cangkring itu. Tetapi ia menjadi takut dan pergi.”
“Untuk apa. Jarang sekali orang yang memerlukan kayu cangkring yang tidak cukup keras.”
“Tetapi bertuah. Kau tahu,” berkata Agung Sedayu kemudian, “bahwa pusaka Ken Arok menurut ceritera yang aku dengar dari mulut ke mulut, hulunya dibuat dari kayu cangkring? Saat ia mengambil dari Empu Gandring yang membuat keris itu, keris itu belum siap seluruhnya.”
“Nanti menjadi terlampau cepat senja jika kau berceritera,” potong kawannya yang tersenyum karenanya.
Untuk beberapa saat, Agung Sedayu berdiri di bawah batang cangkring yang sudah hampir roboh itu.
“Marilah, kita harus memberitahukan kepada iring-iringan itu, bahwa mereka harus berhati-hati. Jika iring-iringan itu lewat, dan batang ini roboh, maka durinya akan dapat melukai banyak orang.”
“Aku akan menungguinya di sini. Jika batang ini bergerak menjelang roboh, aku dapat memberi isyarat yang berada di bawah batang ini supaya segera berlalu, sedang yang belum terlanjur, biarlah berhenti.”
Agung Sedayu menarik nafas. Di luar sadarnya ia menengadahkan wajahnya ketika ia mulai melangkah pergi.
Tetapi langkahnya tertegun, ia memandang tajam-tajam ke dahan cangkring yang cukup lebat itu sementara iring-iringannya menjadi semakin dekat. Bahkan ujungnya sudah hampir sampai ke ujung hutan itu.
“He, kau lihat?” bertanya Agung Sedayu.
Kawannya menengadahkan kepalanya, lalu, “Tali. Benar-benar sekelompok kecil orang-orang yang ingin menebang pohon itu.”
“Tetapi tidak lazim mereka mengikat dahan-dahannya dengan batang-batang kayu yang lain.”
“Tentu demikian agar batang itu tidak roboh tanpa dapat dikendalikan.”
Agung Sedayu justru melangkah kembali mendekati batang cangkring itu. Dengan saksama ia memandang tali-tali yang merentang ke sebelah-menyebelah.
“Apakah kau pernah melihat orang menebang kayu di hutan dengan cara seperti sekarang ini?” bertanya Agung Sedayu.
“Tentu, aku pernah melihatnya.”
“Dan kau lihat tali yang bersilang seperti itu?”
Kawan Agung Sedayu termangu-mangu. Namun kemudian ia menggelengkan kepalanya sambil menjawab, “Sepengetahuanku, tali-temali itu tidak sebanyak tali yang mengikat batang cangkring ini.”
“Biasanya diikat pada batang pohon di sebelahnya, atau bahkan tidak sama sekali.”
Sejenak keduanya termangu-mangu. Namun Agung Sedayu harus mengambil keputusan tentang penglihatannya. Dan Agung Sedayu menganggap bahwa yang dilihatnya itu mencurigakan.
Karena ini, pada saat iring-iringan sampai ke ujung hutan, ia meloncat ke tengah jalan sambil mengangkat tangannya, sehingga iring-iringan itu berhenti.
“Ha, itulah Agung Sedayu,” desis salah seorang kawannya, “kau tinggalkan kudamu di pinggir parit itu. Kami menjadi bertanya-tanya, kenapa kau tidak segera muncul kembali.”
“Jangan maju,” berkata Agung Sedayu, “aku melihat hal yang aneh. Tetapi mungkin hanya karena aku terlampau berhati-hati. Mungkin orang-orang yang tidak berpengalaman ingin menebang pohon cangkring itu.”
“Apa yang terjadi?” bertanya seorang kawannya.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak segera menjawab. Ia menunggu, mudah-mudahan salah seorang dari orang-orang tua yang berada di belakang sepasang pengantin datang mendekatinya.
Ternyata bahwa bukan hanya salah seorang. Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, Ki Waskita, dan bahkan juga Ki Demang datang mendekati Agung Sedayu sambil bertanya. “Apa yang kau lihat?”
“Pohon cangkring itu. Ada sesuatu yang tidak dapat aku mengerti. Mudah-mudahan tidak ada apa-apa.”
Orang-orang tua diiringi oleh beberapa orang pengawal segera mengikuti Agung Sedayu mendekati pohon cangkring yang sudah dikerat hampir putus itu. Hanya karena tali-tali yang sangkut-menyangkut pada dahan-dahannya kemudian diikat pada dahan batahg yang lain, di antara rimbunnya dedaunan sajalah maka pohon cangkring itu masih belum roboh melintang jalan.
“Kiai,” desis Ki Sumangkar, “apakah Kiai sependapat, bahwa ada usaha untuk melindungi bekas keratan itu?”
Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Dilihatnya beberapa batang perdu yang disandarkan pada batang yang sudah dikerat itu, seolah-olah memang merupakan suatu usaha untuk menutupi keratan itu agar tidak mendapat perhatian dari orang-orang yang lewat.
“Aku kira memang demikian Adi. Tetapi apakah pamrih mereka yang telah melakukannya?”
Ki Sumangkar mengangkat pundaknya. Dengan nada yang datar ia menjawab, “Aku tidak tahu. Tetapi tentu sesuatu yang kurang wajar.”
“Mungkin seseorang yang tidak senang melihat Swandaru kawin,” berkata salah seorang pengawal. “Ia dengan sengaja mengerat pohon itu dan membiarkannya roboh jika Swandaru lewat tepat di bawahnya.”
Ki Waskita memandang pengawal itu sejenak, lalu katanya, “Memang mungkin sekali. Tetapi bagaimanakah caranya sehingga pohon yang diikat dengan tali temali ini akan roboh tepat pada saat Swandaru lewat.”
“Mungkin ada satu dua orang yang seharusnya menunggui pohon ini pada saat iring-iringan itu lewat.”
Agung Sedayu yang mendengar pembicaraan itu pun kemudian memotong, “Mungkin sekali. Nampaknya memang ada seseorang atau lebih yang berada di pohon ini saat aku melihat daun yang bergerak-gerak. Mungkin orang-orang itu baru mempersiapkan tali-tali yang manakah yang harus diputus saat pengantin lewat tepat di bawahnya.”
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Sambil memandang berkeliling ia bergumam, “Tentu mereka masih berada di hutan ini.”
Namun dalam pada itu, Ki Waskita menggamit Kiai Gringsing sambil berkata, “Aku melihat sesuatu yang bergerak-gerak. Tidak hanya satu atau dua, tetapi beberapa dan bahkan banyak.”
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Tetapi ia sama sekali tidak memperlihatkan kesan apa pun juga. Demikian juga Ki Sumangkar yang mendengar pembicaraan itu.
“Marilah,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “kita kembali ke dalam iring-iringan. Mungkin kita sekedar berangan-angan tentang batang cangkring ini. Mungkin benar bahwa seseorang yang belum berpengalaman sedang mencoba menebang pohon ini.”
Agung Sedayu masih termangu-mangu. Namun sekali lagi Kiai Gringsing memberi isyarat, “Cepatlah. Kita harus segera sampai ke Sangkal Putung.”
Para pengawal itu pun kemudian meninggalkan tempat itu menuju ke kuda masing-masing. Tetapi Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Waskita berjalan lebih lambat sambil mempersilahkan Ki Demang, “Silahkan kembali kepada sepasang pengantin itu, Ki Demang.”
Ki Demang termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian melangkah kembali ke dalam kelompoknya meskipun ada sesuatu yang terasa tergetar di dalam hati.
“Agaknya kita telah lengah. Kita sudah terlanjur berkumpul di ujung hutan. Iring-iringan kita sudah rusak dan tidak seperti yang kita rencanakan,” desis Ki Waskita.
“Tetapi kita masih utuh. Iring-iringan ini hanya kehilangan jarak. Tetapi nampaknya masih ada kelompok-kelompok yang dapat didorong untuk memencar jika perlu,” jawab Kiai Gringsing.
“Aku melihat sesuatu yang mencurigakan.”
“Ya. Ternyata aku pun melihat,” sahut Kiai Gringsing.
Sedangkan Ki Sumangkar pun menyambung, “Aku juga melihat, dan aku memuji kecerdasan mereka, bahwa mereka telah mencegat kita di sini.”
Ketiga orang-orang tua itu mengangguk-angguk. Dengan pandangan mata mereka yang tajam, mereka melihat orang-orang yang berlindung di balik gerumbul perdu dan pepohonan sedang merayap semakin mendekat.
Sebenarnyalah bahwa Gandu Demung menjadi marah bukan buatan ketika ia melihat rencananya tidak dapat dilaksanakan seperti yang dikehendakinya. Iring-iringan itu telah berhenti, karena ketajaman mata seseorang dari antara para pengawal dari Sangkal Putung.
Namun demikian, rencananya belum gagal sama sekali. Iring-iringan itu berhenti di ujung hutan, sehingga orang-orangnya akan dapat mencapainya dengan cepat.
Karena itulah maka ia pun segera berbicara sejenak dengan para pemimpin dari ketiga kelompok yang dibawanya. Kemudian diperintahkannya untuk membawa orang-orang mereka masing-masing, mendekati iring-iringan yang berhenti itu.
“Jika aku membunyikan isyarat, kalian harus menyerang dengan tiba-tiba. Langsung ke jantung iring-iringan yang sudah tidak teratur lagi. Mereka tentu sudah lengah dan tidak menduga sama sekali, kecuali beberapa orang yang mencurigai batang cangkring itu.”
“Tetapi kecurigaan itu akan segera tersebar,” jawab yang lain.
“Mereka masih ragu-ragu. Mungkin mereka mempunyai dugaan lain.”
Karena itulah ketika mereka melihat dari celah-celah dedaunan yang rimbun, para pengawal kembali ke kuda masing-masing dengan langkah yang seolah-olah tidak terpengaruh sama sekali oleh keadaan yang tersembunyi di hutan itu, Gandu Demung berkata, “Mereka tidak mengira bahwa sebentar lagi mereka akan disergap. Karena itu kita berhati-hati. Kita harus berusaha berlindung di balik gerumbul dan pohon-pohon besar di hutan ini.”
Pada saat Gandu Demung dan para pengikutnya merayap semakin dekat, maka seolah-olah tidak ada sesuatu yang terjadi. Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Waskita melangkah kembali ke kelompoknya. Dengan demikian, maka sikapnya sama sekali tidak mempengaruhi usaha lawannya untuk merayap ke tepi hutan sebelum menyerang dengan tiba-tiba.
Namun ketika Kiai Gringsing berjalan di samping Agung Sedayu, ia berbisik, “Bersiaplah. Hati-hati dengan hutan itu. Setiap gerak adalah bahaya yang dapat menerkam kalian. Apalagi kalian berada di daerah yang paling dekat dengan hutan itu.”
Agung Sedayu menarik nafas. Tetapi ketenangannya sama sekali tidak memberikan kesan apa pun juga. Dengan demikian maka orang-orang yang bersembunyi di dalam hutan yang berhasil mencapai pohon yang paling tepi tanpa diketahui oleh para pengawal sempat melihat, seolah-olah Agung Sedayu masih belum mengetahuinya.
Dalam pada itu Agung Sedayu pun berbisik kepada kawan-kawannya, “Bersiaplah. Tetapi jangan membuat kesan yang dapat mempercepat serangan orang-orang yang bersembunyi di dalam hutan itu, agar kawan-kawan kita yang lain sempat bersiap.”
“Apakah mereka sudah bersiap untuk menyerang?”
“Agaknya demikian, Guru sudah memperingatkan.”
Belum lagi kata-kata Agung Sedayu lenyap dihembus angin yang lamban, matanya sudah mulai menangkap gerak-gerak yang mencurigakan di pinggiran hutan yang ditumbuhi oleh batang-batang perdu.
“Mereka sudah bersiap. Kita berada di paling ujung sehingga kita akan mengalaminya yang pertama. Tetapi jangan tunjukkan sikap bahwa kalian sedang bersiap.”
“Jadi bagaimana.”
“Bersiap sajalah.”
Dalam pada itu, Ki Waskita pun telah berada di dekat Prastawa. Seperti yang dilakukan Kiai Gringsing kepada Agung Sedayu, maka Ki Waskita pun membisikkan di telinga anak muda itu.
“Tetapi jangan berubah sikap. Bersiaga sajalah, agar aku sempat sampai ke kelompok sepasang pengantin itu.”
Prastawa termenung sejenak. Namun ia pun berkata kepada para pengawal yang dibawanya dari Menoreh, “Bersiagalah. Ternyata perjalanan kita bukan perjalanan tanpa rintangan. Orang-orang jahat itu memilih tempat yang sama sekali tidak kita duga.”
Para pengawal pun telah bersiaga. Jika seorang saja nampak meloncat dari dalam hutan, maka pedang mereka sudah berada di genggaman.
Ketika Kiai Gringsing berdiri didekat Ki Demang yang sudah berada di antara sepasang pengantin, ia pun berkata, “Ternyata kita akan menjumpai kesulitan di sini, Ki Demang. Justru di ujung Kademangan Sangkal Putung sendiri.”
“Kenapa? Pohon cangkring itu?”
“Ya. Ternyata di hutan itu telah penuh dengan orang-orang yang akan merampok kita,” jawab Kiai Gringsing. Sambil memandang sepasang pengantin yang menjadi tegang. Kiai Gringsing berkata, “Berhati-hatilah. Mungkin kalian berdua akan menjadi sasaran. Tetapi aku percaya kepada kalian berdua.”
Swandaru menggeram. Sementara itu Ki Sumangkar dan Ki Waskita telah mendahului ke kelompok berikutnya. Sementara Kiai Gringsing berkata, “Aku berada di sini. Tetapi sebaiknya kalian tetap berhati-hati. Kita tidak tahu, berapa orang yang berada di hutan itu. Mereka sekarang baru berkumpul menepi sebelum mereka akan meloncat ke luar dan menyerang kita dengan tiba-tiba.”
Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Katanya dengan nada penyesalan, “Kita sudah lengah. Ketika kita merasa bahwa perjalanan selanjutnya sudah aman, kita mulai melupakan tuntunan Tuhan, sehingga ternyata kita sudah dihadapkan pada suatu cobaan justru di serambi rumah sendiri.”
“Bersiaplah. Aku sudah melihat mereka berada ditepi hutan itu.”
Ki Demang dan orang-orang di dalam iring-iringan itu pun kemudian telah melihat pula dedaunan yang bergerak-gerak. Namun dalam pada itu, Sumangkar yang telah sampai ke kudanya, segera meloncat naik dan bergerak dengan cepat ke kelompok berikutnya sambil berteriak, “Memencarlah. Bersiaplah. Kita akan bertempur. Cepat, jangan menjadi bingung.”
Para pengawal mula-mula menjadi bingung. Namun sejenak kemudian mereka telah dapat menguasai perasaannya dengan mapan.
Tetapi dengan demikian, teriakan Ki Sumangkar bagaikan perintah kepada Gandu Demung untuk menggerakkan pasukannya. Karena dengan demikian orang-orang yang bersembunyi itu sadar, bahwa iring-iringan itu sudah dapat melihat mereka, betapapun mereka berusaha bersembunyi.
Karena itulah maka sejenak kemudian terdengar pula teriakan di pinggir hutan itu. Ternyata Gandu Demung pun telah menjatuhkan perintah untuk menyerang orang-orang yang termangu-mangu di pinggir hutan itu.
Sementara orang-orang dari dalam hutan itu berloncatan ke luar tanpa kuda masing-masing, maka Ki Sumangkar pun meneriakkan aba-aba pula, “Memencarlah. Jangan korbankan kuda-kuda kalian.”
Para penggawal menyadari. Kuda-kuda mereka akan dapat menjadi korban ujung tombak orang-orang yang berlari-larian dari dalam hutan itu. Karena itulah maka mereka pun segera berloncatan turun dan berlari-larian, menyongsong lawan mereka di tengah-tengah padang perdu di tepi hutan itu. Mereka dengan sengaja melepaskan kuda-kuda mereka begitu saja, karena mereka yakin, bahwa kuda-kuda mereka akan kembali ke Sangkal Putung. Bahkan kuda-kuda itu akan dapat menjadi isyarat bahwa sesuatu telah terjadi dengan penunggang-penunggannya.
Agung Sedayu yang berada di ujung termangu-mangu sejenak. Dengan dada yang berdebar-debar ia melihat para pengawal yang memencar di padang perdu yang tidak terlalu luas di pinggir hutan kecil itu.
“Kita pun akan bertempur tanpa kuda,” desisnya kemudian sambil mengawasi sekelompok lawan yang berlari-lari mendapatkannya.
Agung Sedayu dan kawan-kawannya pun segera meloncat turun. Setelah meluruskan arah kudanya, maka kuda itu pun dilecutnya agar berlari mendahului ke induk kademangan.
Demikianlah kuda-kuda itu pun berlari-larian di sepanjang jalan mendahului penunggang-penunggangnya. Hanya kuda mereka yang datang dari Tanah Perdikan Menoreh sajalah yang tidak dilepaskan begitu saja. Mereka yang datang dari Tanah Perdikan Menoreh, masih sempat mengikat kuda-kuda mereka pada batang-batang pohon perdu di seberang tanggul di pinggir jalan.
Swandaru yang berdiri di samping Pandan Wangi menggeram. Sekilas dipandanginya wajah ayahnya yang tegang, di samping adiknya, Sekar Mirah yang mengatupkan giginya rapat-rapat.
“Maaf Pandan Wangi,” terdengar suara Swandaru, “justru di Kademangan Sangkal Putung sendiri hal ini terjadi.”
Pandan Wangi memandang Swandaru sekilas. Namun kemudian matanya kembali memandang orang-orang yang berlari-larian dengan senjata teracung-acung dan bahkan dengan teriakan-teriakan nyaring.
“Kita tidak dapat menyalahkah diri sendiri,” jawabnya, “tetapi kita harus mencoba untuk berbuat sesuatu bagi keselamatan kita.”
Swandaru menarik nafas. Ia merasa beruntung bahwa isterinya adalah seorang yang memiliki kemampuan menjaga dirinya. Jika isterinya itu adalah perempuan kebanyakan, maka ia tentu sudah pingsan dan kehilangan akal, sehingga justru mempersulit keadaan. Demikian juga adik perempuannya yang nampaknya tidak menjadi gentar melihat orang-orang yang berlari-larian menyerang.
Tidak ada kesempatan untuk banyak berpikir. Sejenak kemudian tentu akan terjadi pertempuran yang seru. Namun agaknya jumlahnya sama sekali tidak seimbang, karena yang berloncatan keluar dari hutan ternyata sebanyak dua kali lipat.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tidak seorang pun akan menduga bahwa ada segerombolan perampok yang dapat mengerahkan orang sebanyak itu. Tetapi yang dihadapi itu bukannya sekedar bayangan kecemasan. Tetapi benar-benar sejumlah orang yang banyaknya dua kali lipat.
Dalam pada itu, para pengawal dari Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh telah memencar dalam kelompok masing-masing. Tetapi mereka tidak mengambil jarak terlalu jauh, sehingga jika diperlukan, maka kelompok-kelompok itu akan dapat saling membantu.
Agung Sedayu yang berada di ujung telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Ia tidak mau mengambil jalan yang jauh untuk menghadapi lawannya yang jumlahnya terlampau banyak. Apalagi yang saat itu ada di dalam iring-iringan adalah sepasang pengantin. Sehingga dengan demikian, maka ia pun langsung mengurai senjatanya yang terpercaya. Cambuk yang berjuntai panjang dengan karah-karah besi baja bagaikan cincin yang berjajar-jajar di juntai cambuknya itu.
Swandaru ternyata berpikir seperti kakak seperguruannya. Meskipun Pandan Wangi mampu menjaga dirinya sendiri, tetapi ia tidak mau terkena akibat dari kelengahan yang sedikit saja di antara pasukannya. Seperti Agung Sedayu, ia pun segera mengurai cambuknya. Sementara Pandan Wangi telah siap dengan senjata yang di masa-masa lampaunya selalu berada di lambungnya. Sepasang pedang tipis.
Sementara itu Sekar Mirah yang berdiri di sisi ayahnya pun telah bersiap pula. Bahkan beberapa orang terpaksa mengerutkan keningnya. Apalagi yang sama sekali belum mengenal Sekar Mirah sebaik-baiknya. Orang-orang tua dari Tanah Perdikan Menoreh menggeleng-gelengkan kepalanya saat mereka melihat Sekar Mirah telah mengambil senjata dari pelana kudanya yang juga dilepaskannya. Sebatang tongkat baja dengan kepala tengkorak yang berwarna kekuning-kuningan. Senjata yang menjadi perlambang puncak kemampuannya yang diterimanya dari gurunya Ki Sumangkar.
Ternyata para pengawal dari Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh telah langsung berada di puncak kemampuan masing-masing. Hanya orang-orang tua sajalah yang masih melihat-lihat keadaan yang bakal terjadi. Ki Sumangkar ternyata telah memilih tempat-tempat di ujung belakang dan ikut memencar di padang perdu yang tidak terlalu luas. Ki Waskita berdiri di kelompoknya, sedangkan Kiai Gringsing berada di dekat sepasang pengantin yang telah bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.
Gandu Demung yang memimpin orang-orangnya telah berlari-larian pula. Meskipun tidak dalam pakaian pengantin, tetapi Gandu Demung langsung dapat memperhitungkan, bahwa salah seorang dari kedua perempuan yang ada dalam iring-iringan itu adalah pengantin perempan.
Sebelum pasukannya membentur para pengawal, maka Gandu Demung sempat berteriak, “Menyerah sajalah. Kami hanya memerlukan perhiasan kalian. Jika mungkin tanpa seorang korban pun yang akan jatuh.”
Sama sekali tidak terdengar jawaban. Yang dilihat oleh Gandu Demung kemudian adalah senjata yang teracu. Bahkan kemudian para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh dan dari Kademangan Sangkal Putung telah bergerak maju.
“He,” Gandu Demung berteriak pula, “kalian tidak mendengarkan aku? Jumlah kami jauh lebih banyak. Di antara kami terdapat orang-orang yang tidak terkalahkan selama kami menjelajahi pulau ini.”
Masih tetap tidak terdengar jawaban.
Namun sementara itu, orang-orang tua pun menjadi cemas. Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Waskita mulai membayangkan orang-orang seperti Panembahan Alit, Panembahan Agung, orang yang mengganggu saat Mataram mulai membuka hutan, dan orang-orang yang berada di penyeberangan Kali Praga. Jika di antara lawan-lawannya terdapat orang-orang semacam itu, dan diikuti oleh jumlah yang berlipat ganda, maka para pengawal akan mengalami kesulitan.
Karena itulah, maka ketiganya nampaknya sedang menunggu. Mereka harus berada di antara para pengawal dan menghadapi orang yang dapat menumbuhkan kesulitan di antara mereka.
Sejenak kemudian, maka kedua pasukan itu pun sudah mulai berbenturan. Masih terdengar suara Gandu Demung, “Kalian orang-orang bodoh yang tidak mau mendengar peringatanku. Terserah kepada kalian, bahwa kalian akan mati dengan sia-sia, sedangkan harta benda yang kalian pertahankan akhirnya akan jatuh ke tangan kami juga.”
Tidak seorang pun dari para pengawal dari Kademangan Sangkal Putung maupun dari Tanah Perdikan Menoreh yang menjawab. Tetapi sesaat kemudian dengan wajah yang tegang mereka telah melibatkan diri ke dalam pertempuran yang sengit.
Pada benturan pertama, para pengawal sudah mulai terdesak karena jumlah lawan yang terlalu banyak. Mereka masih belum mapan, karena mereka masih harus menghadapi siapa saja yang berada di sekitarnya.
Agung Sedayu yang berada di ujung pasukan, tidak mau membiarkan kesulitan langsung menerkam pasukannya. Itulah sebabnya, maka tiba-tiba saja cambuknya telah meledak dengan dahsyatnya.
Gandu Demung terkejut mendengar suara cambuk itu. Ia sudah mendengar serba sedikit tentang orang bercambuk. Dan ternyata kini ia mendengar ledakan itu.
“Gila,” geramnya, “orang bercambuk itu berada di dalam iring-iringan ini pula.” Namun kemudian, “Tetapi ia tidak akan dapat melawan beberapa orang sekaligus. Aku sendiri akan menghadapinya.”
Gandu Demung termangu-mangu sejenak. Ia mencoba melihat pertempuran itu dalam keseluruhan. Tetapi suara cambuk di ujung pasukan itu benar-benar telah menggelisahkan.
Selagi ia termangu-mangu, maka di ujung yang lain dari suara cambuk itu, Ki Sumangkar telah mulai menggerakkan trisulanya. Beberapa orang datang menyerangnya bersama-sama. Dan ia pun melihat bahwa hampir setiap pengawal harus melawan dua orang yang bertempur berpasangan.
“Mereka akan mengalami kesulitan,” berkata Ki Sumangkar di dalam hatinya. Karena Ki Sumangkar menganggap bahwa orang-orang yang mencegat itu adalah perampok-perampok yang berpengalaman. Bahkan melihat jumlah yang besar itu, Ki Sumangkar menghubungkan dengan kemungkinan yang serupa dengan kekuatan yang ada di Padepokan Tambak Wedi.
Karena itulah, maka ia pun segera turun pula di medan dengan senjatanya yang berputaran, sehingga dalam waktu yang singkat telah menarik banyak perhatian lawan.
“Orang ini aneh,” berkata seorang yang bertubuh pendek, “agaknya ia mempunyai kelebihan dari kawan-kawannya.
Ki Sumangkar pun kemudian melihat seorang yang bertubuh pendek itu menyibak lawan-lawannya dan dengan sengaja telah mendapatkannya.
“Orang ini tentu pemimpinnya,” berkata Ki Sumangkar di dalam hati.
Ternyata bahwa orang bertubuh pendek itu langsung menempatkan diri di hadapannya. Namun sambil menggerakkan senjatanya ia masih sempat bertanya, “Kaukah pemimpin para pengawal dari Sangkal Putung?”
Ki Sumangkar menghindar sambil menjawab. “Bukan. Aku sekedar seorang pengikut. Pemimpinku berada di dekat sepasang pengantin itu. He, siapakah kau?”
“Orang memanggilku Ki Bajang Garing.”
“Bajang Garing?” Ki Sumangkar tertawa.
Ki Bajang Garing mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Kenapa kau tertawa?”
“Namamu menarik sekali.”
Ki Bajang Garing tidak menyahut. Tetapi serangannya pun menjadi semakin deras.
Namun lawannya ternyata mampu menghidarinya. Tidak seujung rambut pun yang dapat disentuhnya meskipun Bajang Garing telah mengerahkan kemampuannya.
Sejenak Ki Bajang Garing terheran-heran. Ia termasuk orang yang disegani di sekitar Gunung Tidar. Namun kini ia menemukan seorang lawan yang aneh. Seorang lawan yang memiliki ilmu tiada taranya, sehingga ia mampu menghindari setiap serangannya.
“Gila,” geramnya di dalam dadanya, “tetapi aku harus dapat membunuhnya. Mungkin aku terlalu didorong oleh nafsu, sehingga aku kurang membuat perhitungan-perhitungan yang menguntungkan.”
Karena itulah maka Ki Bajang Garing justru meloncat surut. Ia mulai menilai lawannya dengan pertimbangan-pertimbangan yang lebih berhati-hati. Bukan sekedar menyerang tanpa perhitungan.
“Aku salah menilai. Dan aku harus memperbaikinya sebelum terlambat.”
Bajang Garing pun kemudian mengerahkan segenap ilmunya dan mempersiapkan serangan yang akan dapat melumpuhkan lawannya.
“Aku tidak boleh menganggapnya tidak berarti meskipun nampaknya ia sudah tua. Senjatanya yang aneh itu menunjukkan, bahwa ia memiliki kemampuan yang tentu melampaui kawan-kayannya.”
Ki Sumangkar terdesak surut sesaat. Tetapi bukan karena ilmu Bajang Garing yang tidak terlawan. Ia hanya sekedar ingin mendapatkan waktu untuk melihat, apa yang terjadi di sekitarnya.
Ki Sumangkar mengerutkan keningnya, ketika ia melihat sepasang anak-anak muda yang memiliki ketangkasan dan kecepatan bergerak yang luar biasa. Dengan berpasangan, mereka seolah-olah telah menguasai suatu arena yang luas. Tata geraknya kadang-kadang mengejutkan, dan agak membingungkan lawannya.
“Ternyata para perampok ini juga memiliki kemampuan yang dapat dibanggakan. Untunglah mereka bertemu dengan para pengawal yang berpengalaman meskipun agak lengah sedikit pada saat-saat yang justru gawat,” berkata Ki Sumangkar di dalam hatinya.
Dengan demikian, maka ia pun tidak lagi sekedar termangu-mangu. Pertempuran ini adalah sebenarnya pertempuran yang dapat berbahaya bagi orang-orang Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh yang mengawal sepasang pengantin itu. Sehingga karena itulah maka ia pun segera mempersiapkan diri untuk menghadapi pertarungan ilmu yang akan menjadi semakin dahsyat. Meskipun seorang melawan seorang Ki Sumangkar yakin tidak akan mendapat kesulitan sama sekali, tetapi sebagai seorang prajurit yang berpengalaman, maka ia harus memandang kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi di medan. Orang-orang terkuat di antara lawannya yang jumlahnya berlipat itu akan dapat bergabung dan melawannya bersama-sama.
Karena itulah, maka Ki Sumangkar pun harus bertindak cepat. Sebelum lawannya menyadari seluruh keadaan, ia harus sudah dapat menguasai mereka dengan suatu hentakan yang mengejutkan.
Sejenak kemudian, maka Sumangkar-lah yang meloncat menyerang Ki Bajang Garing dengan senjatanya yang menggetarkan. Trisulanya berputaran pada janget pengikatnya yang tidak terlampau panjang di tangan kanan. Sedangkan di tangan kirinya, Ki Sumangkar mempermainkan trisulanya yang lain, yang digenggamnya langsung pada hulunya.
Bajang Garing menjadi berdebar-debar. Ia belum pernah menemukan lawan dengan sepasang senjata yang aneh dan dengan cara yang aneh pula. Karena itulah, maka ia harus berusaha untuk menyesuaikan diri dalam perlawanannya atas sepasang trisula yang dipergunakan dengan cara yang berbeda itu.
Hanya sesaat kemudian, ternyata Bajang Garing sudah merasakan kesulitan yang hampir tidak teratasi. Itulah sebabnya, maka ia pun segera memberikan isyarat kepada kedua orang yang digelari nama Sepasang Srigunting dari pesisir Utara. Sepasang anak muda kakak-beradik yang memiliki kemampuan yang luar biasa.
“Orang tua ini agaknya telah kepanjingan setan,” geram Bajang Garing.
Sepasang Serigunting itu merasa heran mendengarnya. Ki Bajang Garing adalah orang yang tidak ada duanya di dalam gerombolannya. Tetapi menghadapi orang bersenjata aneh itu, ia memerlukan orang lain untuk membantunya.
Tetapi karena jumlahnya memang cukup banyak, maka sepasang Srigunting itu pun tidak berpikir lebih lama lagi. Mereka pun segera meloncat mendekati Ki Sumangkar yang sedang bertempur melawan Ki Bajang Garing.
Meskipun Sumangkar sadar, bahwa ia harus mengerahkan ilmunya untuk menghadapi ketiga orang lawannya yang luar biasa itu, namun dengan demikian ia sudah menyerap orang-orang yang dianggapnya sangat berbahaya bagi para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh dan Kademangan Sangkal Putung.
Dengan demikian, maka Ki Sumangkar pun segera terlibat dalam perkelahian yang sengit. Tiga orang lawannya ternyata segera berhasil mengurungnya. Namun demikian, ternyata senjata Sumangkar berhasil melindungi dirinya seperti sebuah perisai yang mengelilinginya. Putaran trisulanya menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Bukan saja sekedar menjauhkan lawannya pada jarak putaran, tetapi sekali-sekali trisulanya itu telah mematuk dengan dahsyatnya, melampaui ujung lidah seekor ular yang paling berbisa.
Ki Bajang Garing menjadi heran. Berpasangan dengan sepasang Srigunting yang dibanggakannya, ia tidak segera mampu menguasai lawannya yang tua itu. Bahkan kadang-kadang, putaran trisula itu telah berhasil mendesaknya tanpa dapat berbuat sesuatu.
“Gila. Iblis manakah yang telah merasuk ke dalam tubuh orang tua itu?” bertanya Ki Bajang Garing kepada diri sendiri. Bahkan kemudian, “Apakah ia juga termasuk orang Sangkal Putung atau orang dari Tanah Perdikan Menoreh? Orang terkuat di Tanah Perdikan Menoreh adalah Ki Argapati dan kemudian Ki Argajaya yang seolah-olah telah menjadi lumpuh hatinya. Dan orang ini sama sekali bukan keduanya.”
Namun Ki Bajang Garing masih harus mengerahkan segenap ilmunya untuk mengatasi lawannya yang memiliki ilmu tidak teratasi itu.
Dalam pada itu, ternyata seorang lagi yang termangu-mangu memandang perkelahian antara Ki Sumangkar dengan ketiga orang lawannya. Seorang yang berwajah sekasar batu padas yang di sana-sini terdapat goresan-goresan bekas luka. Dengar kerut-merut di kening ia menyaksikan perkelahian yang semakin dahsyat ilu.
“Gila,” geramnya, “Ki Bajang Garing dan kedua Srigunting itu tidak segera dapat membunuh orang tua itu. Tentu ia orang luar biasa.”
Dan orang itu pun tiba-tiba telah meloncat mendekat pula sambil berkata lantang, “Aku akan ikut serta Ki Bajang Garing, agar perjalanan yang menjemukan ini cepat selesai. Ternyata kerja kita masih cukup banyak.”
Ki Bajang Garing tidak menjawab. Tetapi ia pun tidak melarang orang berwajah sekasar batu padas itu untuk ikut serta.
Ternyata dendam yang terpendam di dalam jantungnya, merupakan modal yang besar bagi keganasannya. Di antara keempat orang lawannya, Ki Sumangkar segera melihat, bahwa orang berwajah kasar itu adalah orang yang paling liar. Tandangnya bagaikan seekor harimau kelaparan berebut daging. Ia sama sekali tidak mengenal unggah-ungguh perkelahian sekalipun.
Betapapun juga kemampuan dan pengalaman yang ada pada Ki Sumangkar, namun melawan empat orang terkuat dari pasukan Ki Bajang Garing itu ia merasa berat juga. Serangan yang datang dari empat penjuru, kadang-kadang memaksanya untuk berloncatan surut.
Sementara itu, para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh dan Kademangan Sangkal Putung telah bertempur dengan segenap kemampuan yang ada pada mereka. Lawan mereka ternyata terlampau banyak, sehingga hampir setiap orang dari pada pengawal itu harus bertempur melawan lebih dari seorang lawan.
Prastawa yang masih muda ternyata memiliki kecepatan bergerak yang mengagumkan. Didorong oleh kemarahan yang meluap-luap, ia bertempur dengan sepenuh kemampuan yang ada padanya tanpa ragu-ragu. Sementara di ujung, Agung Sedayu pun telah mendesak lawannya dengan ujung cambuknya. Setiap kali ledakan ujung cambuknya telah membuat lawannya terdesak surut.
Gandu Demung yang memimpin pencegatan itu langsung berlari-lari kepada sepasang pengantin yang sudah bersiap pula. Beberapa orang pengiringnya pun telah mempersiapkan senjata masing-masing untuk menghadapi para pengawal yang berada di sekitar sepasang pengantin itu.
Namun Gandu Demung masih mencoba memaksa lawannya untuk menyerah tanpa perkelahian, katanya, “Lebih baik kalian menyerah. Jumlah kalian tidak memadai sama sekali untuk melawan kami. Apalagi seorang demi seorang, kemampuan kami tidak terkalahkan oleh apa pun juga di dalam lingkungan kalian.”
Tetapi Gandu Demung tidak sempat melanjutkan. Tiba-tiba saja ia terus meloncat surut ketika Swandaru langsung menyerangnya dengan sebuah ledakan cambuk pula.
“Gila,” teriak Gandu Demung, “kau juga bersenjata cambuk?”
Swandaru mendesak terus sambil berkata, “Aku adalah pengantin laki-laki yang kau cari. Jika kau dapat mengalahkan aku, maka kau akan berhasil merampas harta kekayaan kami semuanya.”
Gandu Demung mengerutkan keningnya. Ternyata ia berhadapan dengan seorang dari orang-orang bercambuk yang memang pernah didengarnya. Namun demikian, ia pun seorang yang merasa dirinya memiliki kemampuan dan ilmu yang dapat dibanggakan, sehingga karena itu ia pun segera mempersiapkan diri menghadapi ujung cambuk yang dapat mengelupas kulitnya itu.
Sementara Gandu Demung menghadapi Swandaru yang dibakar oleh kemarahan, kedua orang saudaranya berusaha untuk menusuk langsung pada tempat yang paling lemah. Mereka melihat dua orang perempuan di antara lawannya. Itulah sebabnya, maka mereka segera membagi diri dan menyerang keduanya.
Tetapi ternyata kedua perempuan itu bukannya perempuan yang menggigil melihat ujung senjata. Pandan Wangi yang telah bersiap dengan sepasang pedang tipisnya, segera menyongsong salah seorang dari mereka. Sedangkan saudara Gandu Demung yang lain terperanjat melihat senjata Sekar Mirah. Sebatang tongkat baja putih dengan tengkorak kecil yang berwarna kekuning-kuningan.
“Aku pernah mendengar jenis senjata seperti senjata ini,” katanya di dalam hati. Tetapi ia tidak segera berhasil mengingat, senjata siapakah yang ujudnya telah mendebarkan jantung itu.
Apalagi dalam benturan pertama, saudara Gandu Demung itu telah merasa, bahwa perempuan yang membawa senjata aneh itu memiliki kekuatan yang tidak kalah dari kekuatan seorang laki-laki. Bukan saja seorang laki-laki kebanyakan, tetapi seorang laki-laki yang berilmu sekalipun.
“Aneh,” desisnya kemudian, “kau memiliki senjata yang mendebarkan. Dan ternyata kau mampu mempergunakan sebaik-baiknya. Apakah kau pengantin perempuan dari Tanah Perdikan Menoreh yang menurut pendengaranku memiliki kemampuan bertempur seperti seorang laki-laki?”
Sekar Mirah tidak mau lengah dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Ia masih tetap bertempur dengan sengit. Namun ia memerlukan menjawab, “Aku anak Demang Sangkal Putung.”
“Kau saudara perempuan pengantin laki-laki?”
“Ya.”
Saudara Gandu Demung menggeram. Sekilas ia melihat saudaranya yang lain bertempur dengan seorang perempuan yang bersenjata sepasang pedang tipis. Namun dalam kecepatan gerak tangannya sepasang senjata itu bagaikan berubah menjadi puluhan senjata yang mengitari lawannya.
Sekar Mirah yang melihat bahwa lawannya sekilas memandang Pandan Wangi, berdesis, “Ia adalah pengantin perempuan dari Tanah Perdikan Menoreh yang kau tanyakan.”
Lawannya menarik nafas dalam-dalam. Namun seolah-olah ia tidak lagi dapat menahan teka-teki di dalam hatinya, maka ia pun bertanya, “Senjatamu bukan senjata kebanyakan. Aku pernah mendengar ceritera tentang senjata serupa itu, tetapi aku tidak ingat, siapakah yang pernah memilikinya.”
“Macan Kepatihan,” desis Sekar Mirah, “seorang senapati dari Jipang.”
“Ya,” tiba-tiba saja saudara Gandu Demung itu teringat kepada seorang yang pernah bergelar Macan Kepatihan di masa lampau, tetapi yang ternyata telah terbunuh di daerah Selatan Gunung Merapi.
“Jadi siapakah kau sebenarnya?”
“Aku mempunyai jalur perguruan yang sama dengan Macan Kepatihan. Karena itu, dengan mudah aku akan dapat membunuhmu.”
Nampak wajah saudara Gandu Demung itu menegang. Namun kemudian sambil menyerang ia berteriak, “Persetan. Kau jangan mimpi, Iblis Betina. Kau baru akan sadar dengan siapa kau berhadapan, jika dadamu telah tembus oleh ujung pedang.”
Sekar Mirah tidak menjawab. Tetapi ia dengan tangkasnya mengelakkan serangan lawannya. Bahkan sambil melangkah surut, ia masih sempat menjulurkan ujung tongkatnya.
Lawannya terkejut melihat ketrampilan gadis itu. Namun ia masih dapat menggeliat untuk menghindarkan sentuhan ujung tongkat baja yang mendebarkan itu.
Tetapi dengan demikian saudara Gandu Demung itu menyadari, bahwa gadis itu tidak sekedar membual tentang jalur perguruannya, apalagi ketika kemudian ternyata bahwa Sekar Mirah benar-benar menguasai senjata yang dipegangnya.
Kepala tengkorak yang kekuning-kuningan itu ternyata berputar semakin cepat, seperti mengelilingi seluruh tubuh lawannya. Tengkorak itu mematuk dari segala penjuru mengarah ke tempat-tempat yang paling berbahaya.
“Gila,” desis saudara Gandu Demung ini, “ternyata perempuan ini benar-benar memiliki ilmu iblis.”
Seperti saudaranya, maka saudara Gandu Demung yang lain yang bertempur melawan Pandan Wangi pun ternyata menjadi heran melihat ketangkasan lawannya mempergunakan sepasang pedang tipis.
“Kaukah anak Ki Argapati?” saudara Gandu Demang itu bertanya.
Pandan. Wangi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian sambil menjulurkan pedang di tangan kanannya ia menyahut, “Ya. Aku anak Ki Argapati.”
“O, jadi kaukah pengantin yang sedang diarak sekarang ini?”
Di luar dugaan lawannya, Pandan Wangi menyahut, “Ya. Akulah pengantin perempuan itu? Apakah kau menaruh perhatian.”
Sejenak saudara Gandu Demung termangu-mangu. Namun ia pun kemudian tertawa. Jawabnya, “Ya. Aku menaruh perhatian. Kau cantik sekali.”
“Aku percaya. Tetapi kau tentu sekedar menaruh perhatian terhadap perhiasan yang aku bawa. Barangkali kau sudah melihat saat aku dipertemukan di Tanah Perdikan Menoreh. Kau melihat aku memakai kalung berlian, subang yang besar, cincin, gelang, dan tusuk konde yang semuanya juga bermata berlian. Nah, apa lagi yang dapat mendorongmu untuk melakukan kejahatan seperti ini?”
Kata-kata itu benar-benar telah membakar jantung orang itu. Ia adalah seorang yang hidup dalam lingkungan kejahatan sejak kanak-kanak. Itulah sebabnya maka kemarahannya pun bagaikan menjilat langit.
Dengan garangnya, ia pun segera mempercepat serangannya. Senjatanya berputaran bagaikan baling-baling. Namun setiap ayunan senjata itu, rasa-rasanya telah menyentuh perisai yang mendorong arah senjatanya ke samping dan kehilangan sasaran.
“Perempuan ini ternyata benar-benar menguasai ilmunya,” desis saudara Gandu Demang. “Ia sadar, bahwa kekuatannya berbeda dalam kodratnya dengan kekuatan seorang laki-laki, sehingga ia mempunyai cara tersendiri untuk mengelakkan setiap serangan.”
Namun dengan demikian, saudara Gandu Demung yang menyangka bahwa kekuatan Pandan Wangi tidak dapat mengimbangi kekuatannya sehingga setiap kali Pandan Wangi hanya sekedar menyesatkan arah serangannya, menjadi semakin berani mendesaknya. Serangan-serangannya menjadi semakin dahsyat langsung dalam ayunan yang kuat. Bahkan kemudian saudara Gandu Demung yang melihat kelemahan lawannya, berusaha untuk menyerang dengan perhitungan yang matang, bahwa serangannya tidak akan dapat ditangkis degan cara yang selalu dilakukan oleh Pandan Wangi.
Ketika saudara Gandu Demung itu berhasil memaksa Pandan Wangi bergeser sambil memukul senjata lawannya ke samping, maka saudara Gandu Demung itu meloncat mendekat sambil mengangkat tangannya. Ia tidak lagi mencoba memikirkan, bahwa yang dihadapinya adalah seorang perempuan, apalagi seseorang yang sedang berada di dalam hari-hari yang paling bahagia.
Dengan serta-merta ia mengangkat senjatanya tinggi-tinggi. Kemudian mengayunkan sekuat tenaganya mengarah langsung ke ubun-ubun Pandan Wangi dengan kekuatan sepenuhnya.
Jika Pandan Wangi memukul serangan itu ke samping, maka perubahan arahnya tentu tidak akan banyak berpengaruh, karena senjata itu terayun dalam pelepasan kekuatannya sepenuhnya. Kekuatannya sebagai seorang laki-laki yang memiliki kelebihan dari kebanyakan laki-laki yang mempunyai tenaga raksasa sekalipun.
Tetapi saudara Gandu Demung itu telah dikejutkan oleh kenyataannya yang dihadapinya. Ia masih melihat Pandan Wangi mengarahkan sepasang pedangnya dan menyilangkannya di atas kepalanya. Bahkan ia masih dapat bersorak di dalam hatinya, bahwa ia akan berhasil mematahkan kedua pedang tipis itu dan menghancurkan kekuatan pertahanan Pandan Wangi, karena Pandan Wangi ternyata memilih menangkis seranganannya dan bukan berusaha menghindarinya.
Namun ketika senjata saudara Gandu Demung itu membentur pertahanan Pandan Wangi, betapa ia telah dikejutkan oleh getaran yang tidak disangkanya. Ia merasa seolah-olah senjatanya membentur dinding baja yang tidak dapat digoyahkannya. Bahkan kemudian ia menyadari bahwa Pandan Wangi masih sempat mengatupkan senjatanya yang menyilang dan memutarnya dengan sekuat tenaga.
Ternyata kekuatan Pandan Wangi bukannya kekuatan kodrati seorang perempuan betapa pun ia melakukan latihan jasmaniah. Perempuan itu telah berhasil membangunkan kekuatan cadangan di dalam dirinya, sehingga kekuatannya seolah-olah menjadi berlipat ganda.
Hanya karena pengalamannya, maka dengan gerak naluriah, saudara Gandu Demung itu meloncat searah dengan putaran pedang tipis Pandan Wangi yang berputar, sehingga ia berhasil menyelamatkan senjatanya. Dengan serta-merta, betapa pun pedihnya jari-jarinya, ia berhasil merenggut senjatanya dari putaran sepasang pedang Pandan Wangi sehingga tidak terlepas karenanya.
Namun dengan demikian, saudara Gandu Demung itu pun telah meloncat surut sejauh-jauhnya. Ia dengan susah payah menahan pedih di tangannya yang bahkan kemudian terasa bagaikan menjadi nyeri.
“Ilmu iblis manakah yang telah membekali perempuan ini,” geram saudara Gandu Demung itu.
Tetapi ia pun kemudian menggeretakkan giginya ketika ia sadar, bahwa perempuan itu adalah anak Ki Gede Menoreh yang memiliki ilmu tiada taranya.
“Tetapi seorang perempuan,” geram saudara Gandu Demung itu, “aku harus menemukan kelemahannya dan kemudian membinasakan tanpa belas kasihan meskipun ia sedang diarak sebagai seorang pengantin.”
Saudara Gandu Demung itu pun kemudian mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya untuk segera mengatasi lawangnya yang menurut ujud lahiriahnya hanyalah seorang perempuan. Namun ternyata bahwa usahanya itu tidak segera dapat berhasil. Bahkan terasa semakin lama tekanan Pandan Wangi menjadi semakin berat.
Dalam pada itu, seorang yang bertubuh raksasa dan berwajah sekeras batu padas, memperhatikan perkelahian antara saudara-saudara Gandu Demung yang kedua-duanya masing-masing melawan perempuan, yang seorang dari Tanah Perdikan Menoreh dan yang seorang dari Kademangan Sangkal Putung.
Sejenak ia menjadi heran bahwa keduanya tidak segera dapat mengatasi lawannya, sehingga karena itulah maka ia pun kemudian menggeram di luar sadarnya. Kemarahan dan dendam yang menyala di dalam dadanya serasa mendapat tempat yang paling menyenangkan untuk melimpahkannya.
“Biarlah aku membunuh kedua perempuan itu dengan caraku yang paling menarik. Senang sekali jika aku diperbolehkan mengambil alih perlawanan keduanya meskipun barangkali harus seorang demi seorang,” gumam orang berwajah sekeras batu padas itu.
Sejenak kemudian, maka raksasa itu pun mendekati saudara Gandu Demung yang sedang bertempur melawan Pandan Wangi. Dengan suara yang dalam ia berkata, “Ki Lurah. Serahkan perempuan itu kepadaku. Aku ingin memperlakukan sesuai dengan keinginan yang membakar dadaku, karena dendam yang tidak tertahankan. Aku ingin membunuh dengan cara yang paling menarik yang belum pernah aku lakukan.”
Saudara Gandu Demung itu termangu-mangu sejenak. Ia mengetahui bahwa orang bertubuh raksasa itu memang mempunyai kekuatan raksasa. Tetapi apakah ia dapat mengimbangi kecepatan bergerak Pandan Wangi.
Namun dalam pada itu, saudara Gandu Demung yang justru merasa terdesak itu kemudian merasa gembira juga bahwa ia akan mendapat seorang kawan tanpa dimintanya.
“Lakukanlah jika kau menghendaki. Tetapi aku akan tetap mengawasimu, karena perempuan ini mempunyai ilmu iblis.”
“Terserahlah, karena jumlah kami memang jauh lebih banyak dari jumlah lawan.”
Orang bertubuh raksasa itu pun kemudian mendekati Pandan Wangi yang sudah bersiap. Sejenak nampak wajahnya yang digoresi bekas luka-luka silang-menyilang itu berkerut. Namun kemudian bibirnya yang tebal nampak tersenyum. Terlihat seleret giginya yang kehitam-hitaman dan patah-patah.
“Kau perempuan manis,” desisnya.
Saudara Gandu Demung pun menyambung, “Perempuan ini adalah pengantin yang sekarang diarak ke Sangkal Putung.”
“O,” suara orang bertubuh raksasa itu meninggi, “kebetulan sekali. Aku memang memerlukan seorang pengantin perempuan untuk mematangkan ilmuku. Dan sekarang aku sudah mendapatkannya. Pengantin perempuan yang berusia sepasar dan dalam arak-arakan ke rumah pengantin laki-laki.”
Pandan Wangi sama sekali tidak menyahut. Ia sudah mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Ia pun sadar bahwa jumlah pengiringnya jauh lebih sedikit dari jumlah lawan, sehingga ia tidak boleh mengharapkan bantuan dari siapa pun juga karena hampir setiap orang di dalam iring-iringannya sudah harus berhadapanan dengan lawan yang berpasangan.
Sejenak kemudian orang bertubuh raksasa itu pun telah mempersiapkan senjatanya. Selangkah demi selangkah ia maju mendekat, sementara saudara Gandu Demang justru mencoba menghindarkan diri dari lawannya.
“Aku beri kau kesempatan,” berkata saudara Gandu Demung.
Orang bertubuh raksasa itu tertawa. Suara tertawanya seolah-olah menggetarkan arena pertempuran itu, sehingga beberapa orang telah berpaling ke arahnya.
Swandaru yang bertempur dengan cambuknya melawan Gandu Demung pun melihat, bagaimana seorang yang bertubuh raksasa siap menghadapi isterinya, sehingga karena itulah maka hatinya pun telah disentuh oleh kecemasan. Apalagi, ketika ia mendengar suara tertawa orang bertubuh raksasa itu, maka rasa-rasanya ia pun ingin segera meloncat menerkamnya. Tetapi Swandaru tidak dapat berbuat demikian karena ia masih terikat dalam pertempuran dengan Gandu Demung yang ternyata memiliki ilmu yang sulit untuk dilawan tanpa mengerahkan dan memusatkan segenap kemampuan yang ada.
“Jangan menyesal bahwa isterimu akan jatuh ke tangan raksasa itu,” desis Gandu Demung.
Swandaru tidak menjawab. Tetapi terdengar ia menggeretakkan giginya menahan marah yang meluap-luap sampai ke ujung ubun-ubun.
“Orang bertubuh raksasa itu mempunyai kebiasaan yang aneh,” Gandu Demung meneruskan sambil bertempur, “ia pernah mengalami siksaan yang luar biasa sehingga dadanya bagaikan hangus dibakar oleh dendam dan kebencian. Bukan saja kepada orang-orang yang menyiksanya, tetapi kepada setiap orang. Dan yang aneh, ia mempunyai dendam yang tiada taranya kepada perempuan. Tidak ada seorang pun yang mengetahuinya kenapa demikian. Mungkin ia mengalami siksaan justru karena persoalan perempuan, sehingga ia selalu ingin melepaskan dendamnya kepada perempuan. Jangan menyesal bahwa isterimu akan menjadi sasaran.”
“Gila,” teriak Swandaru.
Gandu Demung tertawa. Sementara itu suara tertawa orang bertubuh raksasa itu masih mengumandang.
Pandan Wangi memusatkan segenap perhatiannya kepada orang bertubuh raksasa itu. Wajahnya yang menyeramkan membuat hatinya bergetar. Bukan karena ia menjadi kecut melihat kemungkinan yang menakjubkan pada ilmu orang bertubuh raksasa itu. Tetapi justru pada sikap dan wajahnya yang keras seperti batu padas, dan pada tawanya yang aneh dan penuh dengan kebencian itu.
“Lihatlah wajah raksasa itu. Bagaima ia memandang isterimu. Di dalam hatinya tentu berkobar berbagai macam perasaan. Nafsu, dendam, dan kebencian bercampur baur. Dan ia akan melakukannya sekaligus depgan tanpa kendali,” desis Gandu Demung pula.
Swandaru tidak dapat berbuat apa-apa, selain menggeram sambil menggeretakkan giginya. Ia tidak dapat meloncat menerkam laki-laki bertubuh raksasa itu. Ia tidak dapat membagi perhatiannya, karena ternyata serangan Gandu Demung kemudian justru membadai.
“Gila,” ia menggeram
Gandu Demung tertawa. Katanya, “Sebentar lagi semuanya akan terjadi.”
Di antara suara tertawa Gandu Demung yang tidak begitu keras, terdengar suara tertawa orang bertubuh raksasa itu.
Swandaru benar-benar telah terpengaruh oleh suara tertawa itu. Karena itulah maka pemusatan perlawanannya menjadi terganggu pula. Beberapa kali ia terpaksa meloncar mundur dan bahkan kadang-kadang dengan serta-merta ia meledakkan cambuknya sekedar untuk membebaskan diri dari tekanan serangan Gandu Demung.
Dalam pada itu, Pandan Wangi pun menjadi semakin berdebar-debar. Lawannya yang semula seolah-olah dengan senang hati menyerahkannya kepada orang bertubuh raksasa yang mempunyai sikap yang aneh dan mendebarkan jantung itu.
Kecemasan Pandan Wangi-lah yang kemudian mendorongnya untuk berbuat sesuatu. Dengan diam-diam ia memusatkan segenap kemampuan yang ada padanya. Dikerahkannya segala kemampuan dan ilmunya, agar ia terhindar dari kemungkinan yang mengerikan, yang mulai membayang di wajahnya.
Itulah sebabnya, Pandan Wangi seolah-olah sedang dikejar oleh perasaannya. Tidak ada jalan lain kecuali melenyapkan sumber kecemasan itu sendiri.
Dalam pada itu, orang bertubuh raksasa yang terlampau yakin akan kekuatan tubuhnya itu masih tertawa. Setapak demi setapak ia maju mendekati Pandan Wangi. Suara tertawanya benar-benar telah menggetarkan segenap rambut perempuan yang baru saja menginjak masa yang baru di dalam hidupnya itu.
Sementara itu, Swandaru tidak dapat menghindarkan diri dari pengaruh kehadiran orang bertubuh raksasa itu di arena perkelahian, justru melawan Pandan Wangi. Sementara itu, seorang lagi masih berdiri sambil tertawa-tawa pula menyaksikan Pandan Wangi yang diancam oleh keganasan orang bertubuh raksasa itu, sementara dirinya sendiri tidak dapat berbuat apa-apa.
“Apakah tidak ada seorang pun yang sempat membantunya?” bertanya Swandaru di dalam hatinya. “Mungkin Kiai Gringsing, Ki Waskita atau Ki Sumangkar?”
Tetapi ternyata Pandan Wangi tetap berdiri seorang diri.
Namun dalam pada itu, ketika Swandaru sedang sibuk menghindarkan diri dari serangan Gandu Demung, tiba-tiba saja suara tertawa orang bertubuh raksasa itu terhenti dengan serta-merta. Sejenak terloncat kecemasan yang sangat di hatinya, sehingga karena itu maka Swandaru pun segera meloncat menjauh.
Ketika ia mendapatkan kesempatan meskipun hanya sekejap, ia melihat apa yang telah terjadi.
Bahkan dalam pada itu, Gandu Demung bagaikan disentakkan oleh peristiwa yang sama sekali tidak masuk di akalnya. Peristiwa yang baginya tidak mungkin terjadi.
Oleh desakan kengerian di dalam hatinya, ternyata Pandan Wangi telah mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya. Kecepatannya, kekuatannya, bahkan dengan tenaga cadangan yang telah berhasil dikuasainya.
Ketika orag bertubuh raksasa yang terlalu yakin akan kekuatannya itu melangkah selangkah lagi semakin mendekatinya, Pandan Wangi tidak dapat menahan dirinya lagi. Tiba-tiba saja, di luar dugaan dan perhitungan lawannya, ia meloncat langsung dengan pedang terjulur di tangan kanan.
Orang bertubuh raksasa itu terkejut melihat kecepatan bergerak Pandan Wangi. Tetapi ia tidak sempat berbuat sesuatu, selain mencoba menghindari serangan itu. Namun ketika ia memiringkan tubuhnya dan melepaskan diri dari arah tusukan ujung pedang yang terjulur itu, di luar dugaannya, tangan Pandan Wangi yang lain dengan kecepatan lidah api yang meloncat di langit, telah menyambar lambungnya tanpa ampun.
Yang terdengar kemudian adalah sebuah keluhan tertahan. Orang bertubuh raksasa itu memang mempunyai kekuatan raksasa, sehingga ia berhasil memutar Gandu Demung dan hampir saja membenturkan kepala Gandu Demung itu ke tebing padas. Tetapi ia tidak cukup mempunyai kecepatan bergerak mengimbangi kelincahan tangan dan kaki Pandan Wangi.
Sejenak orang yang bertubuh raksasa itu terhuyung-huyung, matanya yang menyorotkan dendam yang tiada taranya, rasa-rasanya bagaikan menyala. Dendam itu benar-benar telah membara di dalam dadanya. Apalagi ketika ia kemudian sadar, bahwa ternyata ia telah dilumpuhkan oleh seorang perempuan pada serangan yang pertama.
Pandan Wangi yang benar-benar telah dicengkam oleh kengerian, seolah-olah telah kehilangan pengamatan diri. Ia tidak dapat mengamati dengan saksama keadaan lawannya, karena kejaran perasaannya. Sehingga karena itulah, maka ketika orang bertubuh raksasa itu sambil menyeringai menahan luka di lambungnya dengan tangannya, sekali lagi sebuan patukan pedang menembus dadanya langsung menghunjam jantung.
Raksasa itu hanya dapat memandang Pandan Wangi dengan penuh kebencian dan dendam. Namun kemudian ia pun segera jatuh menelungkup dengan luka di lambung dan dadanya.
Tidak ada kesempatan untuk membantunya. Saudara Gandu Demung menyaksikan peristiwa yang terjadi hanya beberapa kejap itu dengan mulut ternganga.
Ia sadar, ketika kemudian ia melihat Pandan Wangi berdiri gemetar dengan sepasang pedangnya yang merah oleh darah orang bertubuh raksasa itu.
Yang terjadi benar-benar di luar dugaan setiap orang yang menyaksikannya. Bahkan orang-orang Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh sendiri. Mereka mengenal kemampuan ilmu Pandan Wangi. Namun karena nampaknya lawannya memiliki kemampuan yang sukar dinilai, maka yang terjadi itu benar-benar diluar dugaan mereka.
Saudara Gandu Demung yang semula memberi kesempatan kepada orang bertubuh raksasa dan berwajah sekasar batu padas itu menggeram. Kini ia sadar sepenuhnya, bahwa kekuatan orang bertubuh raksasa itu tidak mampu mengimbangi kecepatan bergerak Pandan Wangi.
Dengan demikian, maka saudara Gandu Demung itu pun menjadi sangat berhati-hati menghadapi segala kemungkinan, karena setelah orang bertubuh raksasa itu terbunuh, maka ia akan menghadapi perempuan itu sekali lagi.
“Perempuan iblis,” desis saudara Gandu Demung itu. “Tetapi aku tidak akan dapat kau perlakukan seperti raksasa yang dungu yang tidak dapat memperbandingkan kekuatan raksasanya dengan ketajaman ujung pedang selagi tubuhnya tidak dilapisi dengan ilmu kebal.”
Pandan Wangi masih berdiri di tempatnya. Rasa-rasanya segenap rubuhnya masih bergetar.
Namun ia pun kemudian menyadari bahwa kematian orang bertubuh raksasa itu belum merupakan pertanda akhir dari pertempuran itu. Ternyata jumlah lawan masih terlampau banyak, sehingga ia pun harus terbangun dari mimpi buruknya dan membantu para pengiringnya yang mengalami kesulitan.
Dengan demikian, maka ia pun tidak lagi termenung sambil gemetar. Dengan wajah yang tegang, diamatinya lawannya yang berdiri di hadapannya. Kemudian ditebarkannya pandangannya yang tajam ke segenap arena yang meluas ke pinggir hutan. Bahkan ia mulai melihat beberapa orang pengiring yang terdesak oleh dua orang lawan dan berusaha mempergunakan pohon-pohon yang besar sebagai perisai. Sambil berloncatan dari sebatang pohon ke pohon yang lain, mereka memberikan perlawanan sejauh-jauh dapat mereka lakukan.
“Mereka mengalami kesulitan,” desis Pandan Wangi di dalam hatinya. Namun setiap kali terdengar ledakan cambuk di ujung, rasa-rasanya hatinya menjadi tenang.
Di samping Pandan Wangi terdengar juga suara cambuk yang meledak-ledak. Swandaru yang marah telah bertempur dengan sekuat tenaganya. Namun karena lawannya juga memiliki kemampuan yang cukup, maka ia benar-benar harus berjuang untuk memenangkan perkelahian itu.
Di bagian lain dari pertempuran itu, Ki Waskita sedang dipengaruhi oleh perasaannya sendiri. Hanya karena ilmunya yang sulit dijangkau oleh lawan-lawannya, maka ia dapat pertempur sambil berangan-angan. Bahkan kadang-kadang ia tersentak karena serangan lawannya yang hampir saja menyentuh tubuhnya.
Dengan tidak mengalami banyak kesulitan Ki Waskita bertempur melawan dua orang yang menganggapnya sebagai orang-orang tua yang lain, yang tidak memiliki kelebihan apa-apa. Ternyata bahwa sebagian dari perlawanannya ditandai dongan loncatan surut sehingga lawan-lawannya benar-benar menganggapnya terlampau mudah untuk dibinasakan.
Tetapi ternyata bahwa Ki Waskita masih tetap bertahan terus. Di luar sadarnya, ia telah mencoba melihat, apakah yang terjadi inilah yang dilihatnya sebagai masa-masa yang buram setelah perkawinan Swandaru dengan Pandan Wangi.
Namun bagaimanapun juga perhatiannya sebagian harus diberikan kepada kedua ujung senjata lawannya. Yang seorang bersenjata sebilah tombak pendek, sedang yang lain membawa sebilah pedang yang besar dan panjang. Sehingga dengan demikian, maka Ki Waskita tidak berhasil melihat sesuatu di dalam hiruk-pikuk pertempuran itu.
Ia seolah-olah sadar dari angan-angannya yang melambung tinggi ketika terdengar olehnya sebuah ledakan. Bukan ledakan cambuk Agung Sedayu dan Swandaru yang sudah didengarnya berkali-kali. Tetapi suara itu adalah ungkapan kemarahan hati seorang tua, betapa pun ia menahan diri.
Dengan wajah yang tegang Ki Waskita mencoba mencari arah suara itu. Tidak terlampau jauh, ia melihat Kiai Gringsing bertempur melawan empat orang sekaligus.
“Keempat orang itu telah menggelitik Kiai Gringsing sehingga ledakkan cambuknya terdengar lain dari ledakan-ledakan wajarnya,” berkata Ki Waskita di dalam hati.
Namun ternyata bahwa bukan karena keempat orang itulah Kiai Gringsing menjadi marah. Tetapi ketika pandangan Ki Waskita menebar semakin jauh, dilihatnya satu dua orang pengiring Swandaru telah terluka.
“Gila,” geram Ki Waskita, “justru mungkin telah ada yang benar-benar menjadi korban.”
Tiba-tiba saja Ki Waskita menyadari keadaan seluruh keadaan medan. Ia sadar bahwa jumlah lawan terlalu banyak. Ia sadar bahwa sebagian dari para pengiring Swandaru itu harus bertempur lebih dari satu orang.
Sekilas Ki Waskita melihat Ki Demang Sangkal Putung bertempur dengan kemarahan yang membakar jantung. Untunglah bahwa ia hanya berhadapan dengan seorang lawan. Nampaknya Ki Demang sudah kehilangan kesabaran dan dengan demikian maka ia telah bertempur dengan garangnya, bahkan agak kurang mempergunakan perhitungan.
Ki Waskita pun kemudian merubah tata geraknya. Agaknya ia ingin menyerap lawan sebanyak-banyaknya seperti Kiai Gringsing, sehingga dengan demikian jumlah lawan seolah-olah akan menjadi berkurang bagi kawan-kawannya yang lain.
Ki Waskita pun kemudian bertempur semakin cepat. Sambil mengerutkan dahi ia melihat korban tusukan pedang Pandan Wangi. Namun kemudian terasa bahwa ia harus berbuat lebih banyak lagi dari yang sudah dilakukannya.
Ki Waskita masih selalu dapat mengendalikan diri. Namun ia pun kemudian membuka ikat kepalanya. Bukan didesak oleh kemarahan yang membabi buta. Tapi dengan perhitungan-perhitungan yang menentukan.
Perubahan pada tata gerak Ki Waskita membuat lawannya menjadi terkejut. Rasa-rasanya Ki Waskita telah mendapat kekuatan baru. Bahkan, rasa-rasanya kemampuannya pun menjadi berlipat.
Dengan demikian maka kedua lawannya pun segera terdesak surut. Bahkan kemudian mereka merasa bahwa mereka tidak mampu lagi melawan kecepatan gerak lawannya. Apalagi ketika melihat, bahwa ikat kepala yang membelit di tangan orang itu mampu menahan serangan tajam senjata mereka.
“Apakah orang ini mempunyai ilmu iblis?” bertanya salah seorang lawannya di dalam hatinya.
Karena desakan yang tidak tertahankan itulah, maka terdengar sebuah isyarat dari mulut salah seorang dari mereka. Agaknya orang itu sedang memanggil kawannya untuk membantunya menghadapi orang yang aneh itu.
Ternyata kemudian bahwa beberapa orang telah berloncatan, mendekati lingkaran perkelahian itu. Tiga orang sekaligus, sehingga di sekeliling Ki Waskita kemudian berdiri lima orang yang bersenjata telanjang.
Ki Waskita mengerutkan keningnya. Namun kemudian terdengar salah seorang dari kelima orang itu berkata, “Aku akan mencari lawan yang lain. Bunuhlah tikus tua itu. Di sini sudah ada empat orang.”
Orang itu tidak menunggu jawaban. Ia pun segera menghambur lagi meninggalkan Ki Waskita untuk mencari lawan yang lain.
Meskipun demikian. Ki Waskita masih tetap berhati-hati. Keempat orang itu adalah orang-orang yang berpengalaman dan bahkan mungkin kasar, sehingga untuk menghadapi mereka perlu ketahanan nalar agar tidak terseret ke dalam arus perasaan.
Namun, ketika mereka sudah bertempur beberapa saat, ternyata bahwa keempat orang itu tidak melampaui kemampuan Ki Waskita, meskipun ia harus bekerja lebih keras karena jumlah lawannya bertambah.
Dalam pada itu, pertempuran di seluruh arena pun menjadi bertambah seru. Beberapa orang harus bertempur melawan lawan yang bertempur berpasangan, sementara yang lain bertempur seorang melawan seorang. Sekar Mirah masih bertempur melawan saudara Gandu Demung, sementara Pandan Wangi pun telah bertempur dengan saudara Gandu Demung yang lain.
Di ujung arena, Agung Sedayu semakin dipanasi oleh kemarahan, karena satu dua orang kawannya telah terluka.
Karena itulah maka ia pun kemudian mulai mengerahkan ilmunya, sehingga karena itu. maka suara ledakan cambuknya pun terdengar semakin keras. Seperti Swandaru, maka hentakan tenaganya dilambari kemarahan yang semakin menyala di dada, membuat lawan-lawannya mulai menghidar untuk menyelamatkan diri. Namun yang kemudian menyusun kelompok-kelompok kecil yang melingkari Agung Sedayu dari segala penjuru.
Dengan demikian, maka beberapa orang yang memiliki ilmu yang melampaui yang lain, telah menyerap lawan lebih banyak, sehingga para pengiring yang lain tidak harus melawan lawan yang berpasangan, meskipun karena jumlah lawan yang jauh lebih banyak, ada juga yang terpaksa melakukannya.
Menyadari akan keadaan yang tidak seimbang itu, maka orang-orang merasa dirinya mempunyai bekal yang cukup, telah berusaha untuk mengurangi jumlah lawannya secepat-cepat dapat dilakukan, meskipun mereka telah menempuh cara yang berbeda.
Sekilas terbersit pula niat Ki Waskita untuk mengurangi jumlah korban dengan ilmunya, membuat bentuk-bentuk semu yang dapat mengusir lawan-lawannya. Tetapi karena orang-orang Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh tidak bersiap untuk menghadapinya, maka akibatnya dapat berlainan dengan maksudnya. Mungkin orang-orang Sangkal Putung dan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh sendiri yang akan menjadi bingung dan melakukan tindakan-tindakan yang tidak dikehendaki.
Karena itulah, maka niatnya pun diurungkannya. Namun untuk mengimbangi jumlah lawannya yang banyak, Ki Waskita pun telah mempergunakan kelincahannya untuk menyerap lawan sebanyak-banyaknya. Ia pun kemudian tidak mengikatkan diri dengan lawan yang mana pun juga, tetapi rasa-rasanya ia telah menjelajahi suatu lingkungan yang luas dan menyerang setiap lawan yang ditemuinya, meskipun kadang-kadang membuat orang-orang Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh sendiri menjadi bingung.
Di bagian lain, seorang anak muda telah bertempur bagaikan seekor harimau lapar. Dengan garangnya ia menyerang setiap orang yang berada di dekatnya. Namun nampaknya serangan-serangannya benar-benar tidak terkendali. Darahnya yang masih muda seolah-olah telah mendidih dan menggelegak di dadanya.
Sekar Mirah yang bertempur dengan tongkat bajanya, sekilas melihat anak muda itu memburu lawannya. Langkah kakinya ringan seperti tidak menyentuh tanah. Tanpa ragu-ragu ia mengayunkan senjatanya, dan pada suatu saat, tanpa memalingkan wajahnya ia menghunjamkan ujung senjatanya ke dada lawannya. Bahkan sambil tersenyum ia memandang darah yang memancar dari luka.
“Ia mempunyai darah seorang pemberani,” berkata Sekar Mirah di dalam hatinya. Ia sedang melihat anak muda yang bertempur tanpa ragu-ragu. Hampir mirip dengan kakaknya, Swandaru.
“Prastawa akan dapat menjadi seorang yang besar,” berkata Sekar Mirah di dalam hatinya.
Rasa-rasanya ia menemukan yang selama ini dicarinya, dan tidak diketemukan pada Agung Sedayu. Anak muda yang memiliki ilmu yang mapan, dan menguasai senjatanya hampir sempurna itu, nampaknya selalu dibayangi oleh keragu-raguan dan kebimbangan. Untuk menentukan sikap, maka Agung Sedayu harus berpikir dua tiga kali. Di arena pertempuran ia selalu mencoba melumpuhkan lawannya tanpa membunuhnya, sehingga dengan demikian ia telah mempersulit dirinya sendiri. Bahkan sebagai seorang laki-laki, ia bukanlah seorang yang pantas memangku kedudukan dalam jabatan keprajuritan, karena nampaknya Agung Sedayu selalu menghidarkan pandangan matanya atas darah yang memancar dari luka meskipun akibat tusukan senjatanya sendiri.
Dalam pada itu pertempuran itu pun berjalan semakin sengit. Semakin lama, maka para perampok itu pun berhasil menempatkan diri pada kelompok-kelompok yang memang diperlukan. Mereka bertempur seorang lawan seorang pada tingkat ilmu yang rasa-rasanya tidak terpaut banyak. Dan mereka pun berkelompok antara dua, tiga sampai lima orang menghadapi orang-orang yang rasa-rasanya tidak dapat diimbangi dengan cara lain.
Ki Sumangkar, Kiai Gringsing, dan Ki Waskita ternyata telah dihadapi oleh kelompok-kelompok yang berhasil mengukur kekuatannya, sehingga mereka tidak lagi sekedar mempertahankan diri. Sedangkan Agung Sedayu dan Prastawa pun harus menghadapi lawan-lawannya. Sementara Pandan Wangi, Sekar Mirah, dan Swandaru, masing-masing mendapat lawan yang tangguh. Gandu Demung dengan kedua saudara-saudaranya.
Karena itulah, maka kemudian orang-orang yang memiliki kekuatan yang melampaui kawan-kawannya, berusaha untuk menemukan lawan yang seimbang meskipun harus mendapat dua atau tiga orang kawan yang lain.
Sementara itu, di arena yang rasa-rasanya menjadi semakin luas itu, telah terjadi lingkaran-lingkaran pertempuran yang sengit. Tidak ada garis gelar yang memisahkan kedua pasukan, karena mereka telah bercampur baur. Namun agaknya orang-orang Sangkal Putung berusaha untuk saling menjauh, agar mereka tidak terlibat dalam jebakan yang licik oleh lawannya yang jumlahnya memang terlalu banyak.
Kiai Gringsitlg, Ki Waskita, dan Ki Sumangkar semakin lama menjadi semakin cemas. Karena itulah, maka mereka pun semakin lama menjadi semakin panas pula. Cambuk Kiai Gringsing meledak semakin keras, sedangkan trisula di tangan Ki Sumangkar berputaran semakin cepat. Ki Waskita pun bergerak semakin cepat pula dengan ikat kepalanya yang sudah membelit tangan kirinya. Setiap serangan, seakan-akan telah membentur perisai baja yang kuat dan tidak tergoyahkan.
Tetapi mereka ternyata telah dihadapi oleh kelompok-kelompok kecil orang-orang yang memiliki kelebihan pada setiap gerombolan yang ada di bawah pimpinan Gandu Demung itu telah menempatkan dirinya melawan orang-orang yang mereka anggap paling berbahaya, sehingga karena itu maka orang-orang tua yang memiliki ilmu melampaui orang kebanyakan itu pun terpaksa bertempur dengan sungguh-sungguh untuk membebaskan serangan-serangan lawannya.
Karena itulah, maka pertempuran itu merupakan pertempuran yang berat bagi orang-orang Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh. Lawan mereka benar-benar terlampau banyak. Bahkan beberapa orang lawan benar-benar telah bertempur dengan licik.
“Tidak ada jalan yang lebih baik daripada mengurangi lawan sebanyak-banyaknya,” berkata Ki Sumangkar di dalam hatinya, “semakin lama ternyata bahwa para pengiring menjadi semakin terdesak.”
Karena itulah, maka Ki Sumangkar pun kemudian terpaksa benar-benar memberikan tekanan sepenuh tenaganya. Ia tidak ingin membiarkan korban berjatuhan semakin banyak.
Namun dalam pada itu, lawannya pun tidak membiarkannya pula. Mereka bertempur semakin sengit dalam kelompok yang kuat di seputarnya.
Demikian pula yang terjadi atas Kiai Gringsing dan Ki Waskita. Agaknya para perampok itu telah melepaskan lawan-lawan mereka untuk bertempur seorang lawan seorang, sementara yang lain telah membentuk kelompok-kelompok yang mengepung orang-orang terkuat pada iring-iringan pengantin itu.
“Jumlah mereka terlampau banyak,” desis Sumangkar.
Agung Sedayu akhirnya merasa dikelilingi oleh beberapa orang lawan yang kuat. Mereka menyerang berturutan dari segenap penjuru. Hanya karena ketangkasannya mengayunkan cambuknya sajalah maka lawannya tidak pernah berhasil menyentuh tubuhnya dengan ujung senjata.
Swandaru pun hanya dapat menggeram dan menahan kemarahan karena ia tidak dapat membebaskan dirinya dari Gandu Demung. Lawannya yang meskipun hanya seorang, namun ternyata bahwa yang seorang itu memiliki kemampuan yang dapat mengimbangi getaran ujung cambuknya.
Kiai Gringsing, Ki Waskita, dan Ki Sumangkar menjadi cemas, mereka bertiga tidak dapat begitu saja melepaskan diri dari putaran lawannya. Bahkan dengan mengerahkan segenap kemampuan mereka sekalipun. Karena lawan bagaikan berada di segala tempat. Sementara itu, para pengiring yang lain rasa-rasanya menjadi semakin terdesak juga.
Satu-satu korban berjatuhan, bahkan rasa-rasanya semakin mencemaskan.
Dalam pada itu, Prastawa telah bertempur dengan gigihnya. Setiap kali terdengar sebuah teriakan nyaring. Pedangnya berputaran dan mematuk dengan dahsyatnya.
Tetapi itu tidak berarti bahwa akhir perkelahian itu mulai membayang. Kiai Gringsing dan orang-orang terkuat di antara para pengiring menyadari bahwa jika perkelahian ini berlangsung lebih lama lagi, meskipun mereka akan dapat menjatuhkan korban demi korban, tetapi agaknya korban dari para pengiring yang jatuh terjadi lebih cepat, sehingga dengan demikian, maka para pengiring dari Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh itu akan susut dengan cepat sementara para perampok itu akan berkurang dengan perlahan-lahan, betapapun orang-orang terkuat di antara mereka mengerahkan segenap kemampuannya.
Ki Demang yang bertempur dengan kemarahan yang menghentak-hentak dada mulai menyadari kelengahannya dan para pengiringnya. Mereka telah dipengaruhi oleh ketenangan di sepanjang jalan sehingga justru di depan hidung padukuhannya sendiri, mereka telah dihadapkan pada kesulitan yang sukar untuk diatasi.
Tetapi sudah tentu bahwa mereka tidak dapat membiarkan diri mereka dibantai oleh lawan. Mereka pun telah bertempur sekuat-kuat tenaga dan kemampuan.
Satu-satu Ki Sumangkar, Kiai Gringsing, dan Ki Waskita berhasil mengurangi jumlah lawannya. Tetapi setiap kali, orang lain telah hadir pula di lingkaran pertempurannya, karena di bagian lain, seorang pengiring telah jatuh pula terbaring di tanah dengan luka yang parah.
“Alangkah mahalnya beaya perkawinan Swandaru,” desis Agung Sedayu.
Namun dalam pada itu, hati Swandaru saat itu bagaikan dibakar oleh api kemarahannya. Seolah-olah ia ingin menepuk dada sambil berteriak bahwa dirinya adalah orang yang paling berkuasa di kademangan itu selain ayahnya.
“Aku dapat mengerahkan semua kekuatan yang ada di Sangkal Putung dan Menoreh,” katanya di dalam hati, “dan aku akan memusnahkan mereka seperti aku dapat membakar batang ilalang kering di padang ini.”
Tetapi yang terjadi bukannya seperti yang diangan-angankan. Orang-orang itu sedang berusaha membinasakan para pengiringnya. Dan dalam saat seperti itu, ia tidak dapat berbuat apa-apa, selain mempergunakan kekuatan yang sudah ada.
Kenyataan itu benar-benar sangat mendebarkan jantung. Betapapun kemarahan memuncak di hatinya, tetapi ia harus menghadapi kenyataan, juga tentang lawannya. Meskipun Swandaru sudah mengerahkan kemampuannya, tetapi ia tidak segera dapat mengalahkan Gandu Demung.
Betapa pahitnya kenyataan itu bagi Swandaru. Selagi ia merasa dirinya seorang yang memiliki kekuasaan di dua daerah yang luas dan kuat, namun ia tidak berdaya untuk berbuat sesuatu karena lawannya yang tidak segera dapat dikalahkan.
Para pemimpin dari Sangkal Putung dah Tanah Perdikan Menoreh semakin menjadi cemas. Prastawa yang semula bertempur dengan garangnya telah menjadi berdebar-debar. Setiap kali ia melihat kawannya terluka, maka hatinya bertambah kecut. Meskipun ia tidak diganggu oleh ketakutan tentang dirinya sendiri, tetapi ia segera dipengaruhi oleh keadaan kawan-kawannya yang terdesak.
Namun Sekar Mirah tidak sempat memperhatikan keadaan anak muda itu karena ia harus bertempur dengan sekuat tenaganya. Saudara Gandu Demung yang tidak dapat segera mengalahkannya itu ternyata telah memanggil seorang kawan untuk melawan gadis dari Sangkal Putung itu.
Dalam pada itu, maka jumlah yang besar dari para perampok itu agaknya ikut menentukan. Perlahan-lahan mereka berhasil mendesak lawan mereka. Bahkan oleh pengalaman yang luas, mereka seakan-akan telah melingkari para pengiring dari Sangkal Putung dan Tanah Pcrdikan Menoreh. Mereka tidak mendesak para pengiring itu untuk memasuki hutan kecil, namun mereka seolah-olah telah berhasil mengepung dan mendesak mereka ke lingkaran yang semakin sempit.
“Gila,” desis Ki Demang Sangkal Putung.
Sementara itu Agung Sedayu telah bertempur dengan sekuat tenaganya.
Tetapi bagaimana pun juga, para pengiring itu telah terdesak. Mereka semakin merapat dalam lingkaran yang menyempit.
Ki Waskita setiap kali menarik nafas melihat kemungkinan yang pahit itu, sehingga kadang-kadang ia pun telah disentuh oleh kecemasan bahwa korban akan menjadi semakin banyak.
Sambil memandang empat orang lawannya, ia mendesak maju. Direncanakannya tangannya ketika sebilah tombak pendek menusuknya. Kemudian dengan tangannya yang lain, ia berhasil menangkap ujung tangkainya. Sebuah hentakkan yang kuat telah menyeret seorang ke dalam lingkaran perkelahian dan jatuh terjerembab.
“Salahmu,” ia menggeram. Tetapi ketika kakinya hampir saja memecahkan kepala orang itu, ia menahan kekuatannya sehingga yang terdengar kemudian adalah keluhan tertahan. Namun dengan tangkas orang itu berhasil meloncat bangkit meskipun kepalanya menjadi pening.
Ki Waskita tidak dapat mengerahkan tenaga cadangannya untuk melakukan pembunuhan dengan semena-mena. Tetapi jika ia masih tetap dihinggapi oleh perasaan itu, maka justru korban akan berjatuhan dari pihaknya.
“Aku tidak peduli,” Kiai Gringsing menggeram pula ketika cambuknya merobek paha seorang lawannya sehingga lawannya itu terbanting jatuh. Namun ujung cambuk itu seolah-olah telah dihentakkan sehingga tidak menyentuh wajah orang yang sudah tidak berdaya itu.
“Kenapa aku tidak membunuhnya,” desis Kiai Gringsing.
Sejenak kemudian terdengar cambuknya meledak dahsyat sekali. Kemarahannya kadang-kadang tertahan-tahan, tetapi kadang-kadang meledak-ledak hanya di ujung cambuk, karena kematian masih mungkin dihindari.
Ki Sumangkar-lah yang kemudian tidak lagi mengendalikan dirinya karena ia seolah-olah berada di sisi yang lain dari perkelahian itu. Lawannya mendesaknya tanpa ampun, sehingga ia pun tidak lagi dapat mempertimbangkan untuk mengampuni. Itulah sebabnya maka di sisi itu rasa-rasanya orang-orang Sangkal Putung mendapat kesempatan untuk mengadakan perlawanan sebaik-baiknya.
Lawan-lawan mereka tidak berhasil mendesak terus. Bahkan Ki Sumangkar seakan-akan selalu berhasil memecahkan kepungan yang menghimpitnya.
“Jika aku tidak membunuh lawan sebanyak banyaknya maka kawan-kawankulah yang terbunuh. Bahkan mungkin muridku.”
Meskipun beberapa orang dari antara mereka yang dikepung oleh para perampok itu ternyata berhasil menggoncangkan lawan-lawannya, tetapi keadaan keseluruhan medan memang agak mengkhawatirkan.
Kiai Gringsing, Ki Waskita, dan Sumangkar yakin bahwa jika pertempuran itu dibiarkannya demikian seterusnya, mereka akan dapat mengakhiri sampai orang terakhir. Tetapi sementara itu, mungkin orang-orang terpenting di pihaknya sempat menjadi korban.
“Ada sesuatu yang harus dilakukan,” desis Kiai Gringsing, “Ki Demang harus bertindak cepat. Beberapa puluh tonggak lagi adalah padukuhan yang dihuni oleh beberapa orang anak-anak muda yang di antara mereka adalah pengawal-pengawal Sangkal Putung.”
Karena itulah, maka Kiai Gringsing kemudian berusaha untuk mendekati Ki Demang Sangkal Putung. Baginya tidak terlalu sulit untuk bergeser di arena itu, meskipun ia dikepung oleh beberapa orang sekaligus.
Dalam pada itu, Ki Demang benar-benar telah menjadi cemas. Betapapun akhir dari perkelahian itu, bahkan seandainya orang-orang terkuat di pihaknya akan dapat menumpas lawan sampai habis sekalipun, namun jika anaknya sempat menjadi korban, maka perjalanan mereka, bahkan hidupnya pun menjadi sia-sia.
Karena itulah, maka Ki Demang pun kemudian berkelahi dengan membabi buta, bahkan hampir putus asa.
Dalam keadaan yang mengkhawatirkan itulah Gandu Demung dan anak buahnya sempat berteriak-teriak dengan kasarnya untuk mempengaruhi pertempuran. Suara mereka yang kasar dan keras, seolah-olah membuat hati lawannya menjadi semakin gemetar.
Kesulitan demi kesulitan terasa di antara para pengiring dari Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh. Mereka terdesak dalam kepungan yang semakin sempit, sehingga sebagian dari mereka telah merasa, bahwa mereka benar-benar akan mengalami kegagalan yang pahit.
Dalam pada itu, selagi keadaan yang parah itu menekan orang orang Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh, dibumbui oleh harapan-harapan yang semakin menyala di hati para perampok, meskipun sebagian dari mereka merasa bahwa perjuangan mereka ternyata berat dan sangat perlahan-lahan dibanding dengan jumlah mereka yang jauh lebih banyak dari lawannya, maka saat itu orang-orang di Sangkal Putung sibuk mempersiapkan penyambutan atas kedatangan sepasang pengantin yang menurut rencana akan datang pada hari itu.
Beberapa orang pengawal telah siap menjemput mereka di regol padukuhan yang pertama. Kemudian di sepanjang jalan, beberapa orang sudah menunggu, karena mereka ingin melihat, sepansang pengantin yang akan diterima di Kademangan Sangkal Putung dengan upacara yang besar dan meriah.
“Mereka tentu maju perlahan-lahan sekali,” berkata salah seorang pengawai kepada kawan-kawannya.
“Bukankah menurut rencana, mereka semalam bermalam di Mataram? desis yang lain.
“Ya.”
“Tetapi kapan mereka berangkat dari Mataram? Tentunya tidak terlampau siang, apalagi sore hari.”
“Tentu tidak.”
Yang lain terdiam. Tetapi rasa-rasanya mereka sudah menunggu terlampau lama.
Para perampok pun merasa telah bertempur terlampau lama. Beberapa orang pemimpin mereka menjadi tidak sabar lagi. Tetapi mereka tidak dapat memaksakan kemenangan yang lebih cepat meskipun sudah terasa. Rasa-rasanya beberapa orang di antara orang orang Sangkal Putung dan Tanah perdikan Menoreh telah menghambat kemenangan mereka, sehingga kemarahan mereka menjadi semakin memuncak.
Sementara anak-anak muda yang menunggu kehadiran sepasang pengantin itu mengisi waktunya dengan berbagai permainan. Macanan atau mul-mulan. Berpasangan mereka duduk di sebelah gardu di regol padukuhan. Setiap kali mereka mengangkat kepala mereka sambil memandang ke kejauhan. Jika selembar debu mengepul, mereka pun segera meloncat berdiri. Namun jika debu itu lenyap tanpa meninggalkan bayangan apa pun, mereka menjadi kecewa dan duduk lagi di belakang permainan mereka.
Tetapi akhirnya mereka pun jemu bermain-main. Mereka mulai berkelakar sambil saling mengganggu. Suara tertawa meledak-ledak tidak henti-hentinya.
“Tentu Swandaru terlambat bangun, dan tidak ada yang berani mengganggunya,” desis salah seorang anak muda.
Yang lain menyahut sambil tertawa, “Pengantin itu tentu lebih senang bermalam semalam lagi di Mataram. Mereka tidak akan diganggu oleh upacara yang tentu terasa sangat menjemukan.”
Suara tertawa pun meledak di antara mereka.
Namun tiba-tiba saja mereka terkejut ketika salah seorang ber-teriak, “Lihat mereka datang.”
Anak-anak muda itu pun segera berloncatan. Berdesak-desakan mereka berdiri di luar regol. Bahkan ada di antara mereka yang meloncat ke atas dinding.
Tetapi mereka pun termangu-mangu. Dan bahkan salah seorang dari mereka bertanya di antara kawan-kawannya, “Kuda. Kau lihat seekor kuda berlari-lari tanpa penunggang?”
“Dua. O, tiga. Aku melihat tiga ekor kuda,” teriak yang berdiri di atas dinding batu.
Tiba-tiba saja suasana telah berubah sama sekali. Mereka yang bergurau dengan gelak tertawa, tiba-tiba saja telah dicengkam oleh suatu teka-teki yang aneh.
“Tangkaplah kuda-kuda itu. Kita akan dapat menduga, siapakah penunggang-penunggangnya. Apakah mereka orang-orang yang kebetulan sedang turun dari kuda-kuda mereka, tetapi karena suatu kejutan kuda-kuda itu berlari, atau mungkin karena sesuatu hal penunggang-penunggangnya telah terjatuh atau sebab-sebab lain.”
Beberapa orang anak muda pun melangkah maju. Mereka telah bersiap-siap untuk menghentikan kuda-kuda yang sedang berlari itu.
Agaknya kuda-kuda itu pun tidak berlari-larian terus. Ketika kuda-kuda itu melihat beberapa orang yang berdiri di jalan yang akan dilalui, nampaknya kuda-kuda itu pun telah berlari semakin lambat, sehingga dengan demikian, maka usaha untuk menangkapnya tidak terlampau sulit.
“Lihat, apakah yang ada di dalam bungkusan di pelana kuda itu,” berkata salah seorang dari mereka.
Beberapa orang anak muda pun kemudian melihat sebuah bungkusan yang tergantung di pelana kuda itu. Beberapa lembar pakaian.
“He, bukankah ini pakaian Damar? He, ini pakaian Damar. Aku tahu benar. Dan ini?” desis seorang sambil mengamati kuda itu.
Anak-anak muda itu menjadi tegang. Mereka pun kemudian mengerumuni kawannya yang sedang merentangkan sebuah baju lurik berwarna merah soga.
“Apakah kau yakin?” bertanya salah seorang dari mereka.
“Aku yakin. Aku juga mempunyai baju seperti ini, karena kami berdua membeli lurik bersama-sama dan membuat bersama-sama pula.”
“Jadi, kuda ini adalah kuda yang dipergunakan oleh Damar?”
“Aku kira begitu.”
Anak-anak muda itu terdiam sejenak. Tanpa mereka sadari, mereka pun kemudian mengambil bungkusan-bungkusan kecil yang perada di pelana kuda yang lain pula.
Meskipun mereka tidak segera dapat mengenal, namun mereka yakin bahwa pakaian kawan-kawan mereka dan kuda-kuda para pengawal Sangkal Putung.
“Apakah yang sudah terjadi?” desis seorang anak muda yang bertubuh tinggi.
Sejenak mereka termangu-mangu. Namun ketika mereka melihat seekor kuda lagi berlari-lari mendekati regol, tiba-tiba saja salah seorang berteriak, “Itu kuda Swandaru.”
“Ya. Itu kuda Swandaru.”
Dada anak-anak muda itu rasa-rasanya berdentang terlampau cepat. Tiba-tiba saja anak muda bertubuh tinggi itu berteriak, “Siapa ikut aku?”
Dan tanpa berpikir panjang lagi ia pun segera meloncat naik ke atas punggung kuda dan berpacu menyusur jalan dari arah kuda-kuda itu datang.
Demikian pula tiga orang kawannya yang tidak mau ketinggalan, mempergunakan kuda-kuda yang ada dan menyusul kawannya yang bertubuh tinggi itu.
“Tunggu,” teriak yang lain. Tetapi keempat orang itu sudah menjadi semakin jauh.
“Agaknya sesuatu telah terjadi dengan rombongan pengantin. Tidak mungkin bahwa mereka membiarkan kuda-kuda mereka berlari mendahului dan iring-iringan itu melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki,” desis salah seorang dari anak-anak muda yang masih berdiri di regol.
“Kita mencari kuda. Cepat,” teriak salah seorang dari mereka.
Kata-katanya itu ternyata telah menggerakkan anak-anak muda itu. Mereka pun kemudian berlari-larian ke rumah-rumah yang terdekat, yang diperkirakan mempunyai kuda tunggangan. Tegar atau tidak tegar.
Dalam keadaan yang tergesa-gesa itu akhirnya mereka berhasil mengumpulkan tujuh ekor kuda sehingga tujuh orang dari antara mereka pun segera berpacu menyusul keempat kawan-kawannya yang sudah mendahului mereka. Bahkan mereka masih sempat mempersiapkan senjata yang apabila perlu dapat dipergunakan setiap saat.
Ternyata bahwa keempat orang yang terdahulu itu masih menjumpai beberapa ekor kuda yang termangu-mangu. Ada beberapa ekor di antaranya berhenti dengan tenangnya makan rumput di pinggir parit.
“Lecut kuda-kuda itu,” desis salah seorang dari keempat orang yang terdahulu, “biarlah kuda-kuda itu kembali ke padukuhan dan dipergunakan oleh kawan-kawan kita yang lain.”
Dengan sentuhan-sentuhan kecil maka kuda-kuda itu pun kemudian berlari menuju ke padukuhan seperti kuda-kuda yang terdahulu. Di sepanjang jalan, anak-anak muda yang menyusul kemudian memperlakukan kuda-kuda itu seperti kawan-kawan mereka yang berada di depan.
Dalam pada itu, keempat orang yang berkuda di paling depan melecut kuda mereka semakin cepat. Dugaan mereka kuat sekali, bahwa agaknya memang telah terjadi sesuatu dengan iring-iringan pengantin itu.
“Tentu tidak terlalu jauh,” desis orang yang bertubuh tinggi itu kepada diri sendiri, “jika peristiwa yang terjadi itu masih cukup jauh, kuda-kuda itu tentu tidak dengan mudah menemukan jalan kembali ke kandang mereka.”
Karena itulah maka ia pun berpacu semakin cepat. Dan dugaan yang paling kuat adalah hutan di ujung kademangan.
Sementara itu pertempuran di pinggir hutan itu masih berlangsung. Meskipun para perampok itu berhasil mendesak lawan-lawannya, tetapi mereka nampaknya merasa pekerjaan mereka terlalu lamban. Mereka ingin segera menguasai keadaan seluruhnya dan memaksa sisa lawannya untuk menyerahkan semua miliknya dan merampas milik orang-orang yang terluka dan barangkali terbunuh di arena. Apalagi ketika mereka menyadari bahwa korban di antara mereka pun masih berjatuhan terus, terutama di sekitar orang-orang yang mempergunakan senjata-senjata yang aneh. Cambuk, trisula, ikat kepala, dan beberapa orang lain yang memiliki kelebihan dari kawan-kawannya.
Namun pada umumnya, para pengawal itu benar-benar telah terdesak, semakin menyempit karena jumlah yang tidak seimbang.
Dalam pada itu, Ki Demang Sangkal Putung seolah-olah benar-benar telah kehilangan akal. Ia melihat desakan yang seolah-olah tidak tertahankan, kepungan yang semakin sempit dan satu-satu korban masih saja jatuh di tanah. Meskipun ia melihat juga, bagaimana Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Waskita berhasil mengurangi jumlah lawan, tetapi rasa-rasanya kecemasan masih saja mencengkamnya, bahkan semakin dalam.
Ki Waskita yang bertempur melawan beberapa orang itu masih saja dibayangi oleh keragu-raguan. Setiap kali timbul keinginann untuk menampilkan bentuk-bentuk semu yang dapat mengganggu pertempuran itu. Tetapi setiap kali ia justru menjadi ragu-ragu, bahwa orang-orang Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh pun akan menjadi bingung karenanya, apalagi Ki Waskita masih belum menemukan, bentuk apakah yang paling baik ditampilkan dalam pertempuran itu.
Namun dalam pada itu, selagi Ki Demang dicengkam oleh kecemasan yang semakin dalam, seperti juga beberapa orang yang lain, maka terdengarlah derap kaki kuda yang menjadi semakin dekat. Beberapa orang yang bertempur di sepanjang jalan dapat melihat empat ekor kuda berlari kencang menuju ke arena, sehingga debu yang putih bergulung-gulung terlempar dari kaki kuda-kuda itu.
“Tentu bukan sekedar bentuk semu,” berkata Ki Waskita di dalam hatinya.
Kedatangan empat orang penunggang kuda itu benar-benar menarik perhatian. Apalagi karena nampaknya mereka langsung menuju ke arena dengan senjata yang sudah telanjang.
Ki Demang pun kemudian melihat keempat orang itu. Seperti juga orang-orang Sangkal Putung, mereka langsung mengenal, bahwa keempat orang itu adalah pengawal-pengawal kademangan.
Untuk sesaat Prastawa justru menjadi cemas, karena ia semula mengira bahwa keempat orang itu justru adalah kawan-kawan para penjahat. Namun ketika tiba-tiba saja terdengar sorak orang-orang Sangkal Putung yang merasa seolah-olah tidak lagi dapat melepaskan diri dari tekanan lawannya, segera mengetahui bahwa orang-orang adalah orang-orang Sangkal Putung.
“Cepatlah,” berteriak salah seorang pengiring dari Sangkal Putung.
Kuda-kuda itu langsung menyerbu ke arena. Baru ketika mereka tinggal beberapa langkah lagi, maka penunggang-penunggangnya pun memperlambat lari kudanya dan meloncat turun.
Meskipun yang datang itu hanya empat orang, tetapi rasa-rasanya pengaruhnya segera terasa. Keempat orang itu telah berhasil menarik perhatian hampir semua orang yang berada di arena itu.
“Gila,” teriak Gandu Demung yang masih bertempur melawan Swandaru, “musnakan mereka segera. Kita tidak boleh bekerja terlalu lamban seperti ini.”
Tidak ada jawaban. Tetapi Bajang Garing mengumpat di dalam hati, “Kau sendiri tidak segera berhasil mengalahkan lawanmu.”
Agung Sedayu yang bertempur di ujung menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah berusaha untuk menghilangkan perasaan segannya, dan cambuknya sudah benar-benar menyambar lawannya beberapa kali. Namun ia tidak dapat menembus beberapa orang lawan yang seolah-olah menyerangnya berganti-ganti.
Empat orang yang baru datang itu telah berhasil mengurangi jumlah lawan yang menekan dalam kepungan. Dengan garangnya keempat orang yang masih segar itu menyerbu dengan senjatanya yang berputar seperti baling-baling. Kemarahan yang tiba-tiba saja meledak di dadanya, telah membuat mereka menjadi kehilangan pengekangan diri.
Tetapi mereka pun segera tertahan ketika empat orang dari gerombolan penjahat itu menyongsong mereka, sehingga perkelahian yang sengit pun segera terjadi.
Tetapi kejutan yang mengguncangkan arena itu masih berkelanjutan. Sejenak kemudian, selagi arena itu masih dibakar oleh pertempuran yang seru, terdengar lagi derap kaki kuda. Lebih banyak dari yang terdahulu.
Yang datang ternyata berjumlah tujuh orang. Seperti keempat orang pengawal yang telah datang terlebih dahulu, maka ketujuh orang itu pun langsung menyerbu ke arena perkelahian. Mereka meloncat turun dan langsung menarik senjata mereka dari sarungnya dan menyerbu dengan penuh luapan kemarahan.
Swandaru yang bertempur melawan Gandu Demung menarik nafas dalam-dalam. Kedatangan kawan-kawannya membuatnya jadi lebih tenang. Sekilas dilihatnya Pandan Wangi yang masih bertempur dengan gigihnya setelah ia berhasil membunuh orang bertubuh raksasa yang dungu itu.
Dalam pada itu. Sekar Mirah pun mulai tersenyum pula. Kehadiran ketujuh orang yang menyusul kemudian itu benar-benar telah mempengaruhi keadaan, sehingga terasa kepungan itu pun menjadi makin kendor.
“Terima kasih,” tiba-tiba saja Ki Demang berkata lantang. Ia tidak dapat menahan gejolak yang menggeletar di dalam hatinya. Namun kemudian keinginannya pun telah mendesaknya, “Dari mana kau mengetahui keadaan ini, sehingga kau telah datang kemari?”
“Beberapa ekor kuda telah datang ke padukuhan tanpa penunggang,” jawab salah seorang dari mereka.
Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Semakin lama semakin terasa bahwa kepungan lawan menjadi semakin longgar.
Gandu Demung yang mengetahui keadaan itu pun menggeram. Rasa-rasanya jantungnya telah terbakar oleh kemarahan yang meledak. Sebelum kedatangan para pengawal, ia sudah memastikan, bahwa usahanya akan berhasil. Tentu orang-orang yang baru datang dari Tanah Perdikan Menoreh itu membawa banyak sekali barang-barang berharga. Namun nampaknya harapan itu kini menjadi semakin kabur.
Apalagi ketika salah seorang dari para pengawal Sangkal Putung itu berkata nyaring, “Masih ada beberapa ekor kuda yang berlari ke padukuhan. Sebentar lagi tentu akan datang lagi beberapa orang pengawal menyusul kami.”
“Bohong,” tiba-tiba saja Gandu Demung berteriak, “kau hanya ingin sekedar menakut-nakuti kami. Tetapi kami bukan pengecut.”
“Jawabmu sudah membayangkan ketakutan yang mencengkam jantungmu,” desis Swandaru, “hati-hatilah. Cambukku akan segera mengakhiri perlawananmu. Aku tidak lagi diganggu oleh kecemasan tentang kawan-kawanku yang mendapat tekanan yang berat dari orang-orangmu yang gila itu.”
“Kawan-kawanku pun akan segera datang membantuku,” teriak Gandu Demung.
“Tidak ada lagi orangmu yang tersisa. Tetapi jika mereka masih ada dan ingin memasuki arena ini, itu adalah kebetulan sekali, karena mereka pun akan segera terbujur menjadi mayat.”
Gandu Demung menjadi semakin marah. Tetapi kemarahannya sama sekali tidak berhasil merubah kenyataan yang harus dihadapinya. Perlahan kawan-kawannya pun menjadi semakin mengendor, karena korban pun berjatuhan. Sebelas orang pengawal yang datang kemudian itu benar-benar telah ikut menentukan akhir dari perkelahian yang semula jumlahnya tidak seimbang sama sekali. Meskipun di saat terakhir jumlah mereka masih tetap lebih banyak, tetapi selisih yang tidak terlampau jauh itu sama sekali tidak banyak berpengaruh, karena sebagian dari mereka telah diserap di seputar orang-orang yang mempunyai kelebihan dari kebanyakan.
Dalam pada itu, di kejauhan, dua orang mengamati perkelahian itu dengan saksama. Mereka pun menjadi cemas bahwa kedatangan beberapa orang berkuda itu dapat merubah keseimbangan. Apalagi ketika kemudian ternyata bahwa hal itu benar-benar telah terjadi.
Kehadiran sebelas orang di arena itu, telah mengaburkan harapan kedua orang yang mengawasi pertempuran dari kejauhan itu. Mereka sebenarnya ingin melihat Gandu Demung mendapatkan kemenangan. Kemudian di saat-saat terakhir datang kepadanya dan minta satu dua butir perhiasan dari para korbannya.
Namun ternyata bahwa para pengiring yang mendapat bantuan dari anak-anak muda yang datang kemudian itu, berhasil mengendorkan kepungan yang sudah menjadi semakin rapat.
“Gila,” desis salah seorang dari mereka.
“Yang lebih parah adalah jika Gandu Demung tertangkap hidup,” desis yang lain, “kita kehilangan beberapa butir berlian, ditambah lagi dengan tugas yang paling gila. Tugas yang paling aku benci selama aku berada di lingkungan ini.”
Kawannya hanya menarik nafas. Namun kemudian dahinya berkerut semakin dalam ketika ia melihat dua ekor kuda sedang mendatang.
“Ditambah dengan dua orang lagi,” desisnya kemudian.
“Seorang lagi di belakangnya.”
“Gila. Tetapi kenapa mereka datang seorang demi seorang? Bukan sepasukan yang lengkap sekaligus?”
“Mereka tentu tidak bersiap menghadapi peristiwa yang tidak terduga-duga itu. Karena itu, siapa yang telah mendapatkan kuda ialah yang berangkat lebih dahulu.”
“Tiga orang ini akan sangat penting artinya bagi pertempuran yang sudah mulai kacau. Kepungan Gandu Demung sebentar lagi akan pecah dan usahanya yang sudah hampir berhasil itu ternyata sia-sia. Korban yang berjatuhan tidak memberikan apa-apa kepadanya dan kepada kelompoknya yang berjumlah sekian banyak orang itu.”
“Kasihan,” tiba-tiba kawannya menarik nafas dalam-dalam, seolah-olah sebuah keluhan yang panjang telah terlontar dari mulutnya.
Sebenarnyalah bahwa pasukan Gandu Demung semakin lama menjadi semakin terdesak. Jumlah orang yang masih lebih banyak, ternyata tidak mampu menguasai arena. Satu-satu mereka terdesak dan bahkan jatuh di tanah dengan luka di tubuhnya atau bahkan terbunuh sama sekali.
Gandu Demung melihat keadaan yang berubah itu dengan kemarahan yang memuncak. Ia sadar bahwa setiap orang akan meletakkan tangung jawab dari kegagalan ini di atas pundaknya, terutama orang-orang dari lingkungan yang berada. Anak buah Bajang Garing dan gerombolan dari Alas Pengarang.
Karena itulah, maka kegelisahan yang sangat telah mencengkam dadanya. Perhitungan yang sudah dibuatnya sebaik-baiknya telah gagal karena orang-orang Sangkal Putung dengan sengaja telah melepaskan kuda-kuda mereka.
“Suatu kelengahan,” geram Gandu Demung, “kuda-kuda itu seharusnya dibinasakan sehingga tidak dapat mencapai padukuhan.”
Tetapi semuanya sudah terjadi. Bahkan ia menduga, tentu masih ada lagi anak-anak muda yang akan berdatangan meskipun hanya satu atau dua orang, sehingga keseimbangan perkelahian ini benar-benar akan berubah sama sekali.
Ternyata bahwa dugaan Gandu Demung itu benar. Sejenak ke-mudian telah muncul lagi dua ekor kuda yang berpacu seperti angin, langsung menyerbu ke arena perkelahian.
Dalam pada itu, Gandu Demung benar-benar menjadi bimbang. Apakah ia akan bertahan terus sampai orang yang terakhir. Atau ia harus mengambil sikap lain.
Sebagai seorang yang telah mendapat kepercayaan dari Empu Pinang Aring untuk berada di dalam satu lingkaran pembicaraan, maka Gandu Demung adalah orang yang memiliki harapan yang baik di hari depan. Namun tiba-tiba saja ia telah terjebak dalam kelengahan, sehingga seolah-olah ia telah terperosok ke dalarn satu kesulitan.
Untuk beberapa saat Gandu Demung hanya dapat bertahan sambil memikirkan kemungkinan yang paling baik dapat dilakukan.
Sementara itu, para pemimpin dari gerombolan yang lain benar-benar menjadi gelisah. Mereka tidak tahu apa yang akan dilakukan dan sikap apakah yang akan diambil oleh Gandu Demung. Namun untuk bertahan seterusnya, mereka tentu tidak akan mampu lagi.
“Gila,” desis salah seorang dari gerombolan Alas Pengarang, “apakah kita akan dibiarkan terbakar sampai hangus di sini?”
“Tidak ada gunanya lagi kita bertempur terus,” desis yang lain.
Sekilas mereka memandang hutan yang meskipun tidak terlalu lebat tetapi akan dapat dipergunakan sebagai tempat untuk menarik diri dari arena perkelahian. Hutan itu merupakan arena yang baik untuk menghindar dan kemudian menghilang dari peperangan yang sudah dapat diduga akhirnya.
Tetapi setiap orang masih menunggu. Pemimpin-pemimpin mereka yang masih hidup masih bertempur terus. Gandu Demung pun masih berusaha bertahan dari amukan cambuk Swandaru yang meledak semakin dahsyat.
Tetapi akhirnya Gandu Demung tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Ketika dua orang berkuda datang pula ke arena, yakinlah ia bahwa perkelahian itu harus diakhiri, meskipun harus mengorbankan harga diri. Namuh itu agaknya lebih baik daripada semua orang di dalam gerombolan itu harus tumpas habis.
Sejenak kemudian, maka terdengarlah dari mulut Gandu Demung suatu isyarat. Isyarat yang tidak pernah dibicarakannya lebih dahulu, karena setiap orang di dalam gerombolan itu yakin, bahwa mereka akan berhasil memusnahkan lawan mereka dan merampas barang-barangnya.
Meskipun demikian, karena di setiap hati telah terbersit keinginan yang serupa, maka ketika isyarat itu terdengar di arena pertempuran, maka mereka pun segera mendapatkan terjemahan yang sama.
Lari dari arena pertempuran.
Sejenak kemudian, maka telah terjadi hiruk-pikuk yang membingungkan. Gandu Demung telah membawa orang-orangnya berlari meninggalkan arena, namun dengan membuat kesan yang kalut, sehingga lawannya agak menemukan kesulitan untuk mengejar mereka seorang demi seorang. Apalagi setelah setiap gerombolan melakukan hal yang serupa sambil berlari memasuki hutan yang tidak terlampau lebat, namun cukup padat untuk menarik diri dan menghilang di antara pepohonan.
Beberapa orang pengiring benar-benar telah kehilangan lawannya. Mereka tidak sempat mengejar karena keadaan yang membingungkan. Para perampok itu lari silang melintang, kemudian menyusup di balik pepohonan.
Tetapi dalam pada itu, Swandaru benar-benar tidak mau melepaskan lawannya. Dengan kemarahan yang membara ia berhasil mengurung Gandu Demung dalam satu perkelahian, sehingga Gandu Demung itu sendiri tidak segera dapat melarikan diri.
“Gila,” geram Gandu Demung.
Tetapi bagaimana pun juga, Swandaru berhasil menahannya. Demikian juga beberapa orang yang lain, yang tidak sempat menghindar dari kejaran para pengiring dari Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh.
Karena itulah, maka Swandaru masih tetap bertempur terus melawan Gandu Demung ketika para pengiringnya sudah mulai berdatangan setelah kehilangan lawannya, sementara yang lain memaksa lawan-lawannya yang tidak berdaya lagi untuk menyerah.
“Letakkan senjata kalian,” terdengar suara Agung Sedayu di ujung hutan.
Beberapa orang yang tidak berhasil lolos dengan cemas meletakkan senjata mereka dan digiring ke dalam satu tempat yang dilingkari oleh beberapa orang pengiring yang bersenjata telanjang. Mereka sama sekali tidak lagi merupakan pengiring-pengiring pengantin yang berwajah cerah karena kegembiraan, tetapi mereka adalah pengawal-pengawal dengan dahi yang berkerut tegang sambil menggenggam senjata.
Namun dalam pada itu, di bagian lain dari arena, Swandaru masih tetap bertempur melawan Gandu Demung. Suara cambuknya masih saja meledak-ledak memekakkan telinga.
Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, Ki Waskita, Ki Demang dan beberapa orang tua telah mendekat dan memagari pertempuran itu dengan sebuah lingkaran, meskipun mereka tidak sengaja mengepungnya.
“Menyerahlah,” desis Kiai Gringsing, “tidak ada seorang pun yang masih melakukan perlawanan kecuali kau.”
Tetapi Gandu Demung menggeretakkan giginya sambil meng-geram, “Aku bukan pengecut.”
“Aku tahu,” sahut Kiai Gringsing, “tetapi tidak ada gunanya lagi perkelahian yang berlarut-larut. Kami dapat beramai-ramai menangkapmu dan memperlakukan kau tidak seperti yang kau harapkan.”
“Persetan,” Gandu Demung masih tetap berkeras kepala.
“Tidak ada kesempatan lagi,” berkata Ki Sumangkar.
Gandu Demung tidak menjawab. Sekilas dipandanginya orang-orang yang berdiri mengerumuninya. Dilihatnya dua orang perempuan dengan senjatanya masing-masing tegang di pinggir arena.
“Apakah kedua saudaraku berhasil melarikan diri atau mati oleh iblis-iblis betina itu,” pertanyaan itu melonjak di dalam hatinya.
“Menyerahlah,” desis Ki Demang Sangkal Putung.
Namun yang menjawab adalah Swandaru, “Beri kesempatan orang ini menunjukkan kemampuannya. Keberaniannya mencegat iring-iringan ini telah menimbulkan kekaguman di dalam hatinya, apalagi setelah aku bertempur beberapa saat lamanya tanpa dapat mengalahkannya.”
“Tidak ada gunanya, Swandaru,” berkata Kiai Gringsing, “kita dapat minta kepadanya agar meletakkan senjatanya. Kita dapat menyelesaikan sisa persoalan yang ada dengan cara yang lebih baik.”
Gandu Demung termangu-mangu sejenak. Namun ia tidak menjawab. Bahkan sikap Kiai Gringsing telah menumbuhkan harapan di dadanya untuk berbuat sesuatu.
“Aku harus berpura-pura,” berkata Gandu Demung, “jika mereka lengah, aku dapat meloncat masuk ke dalam hutan itu.”
Dalam pada itu, maka Kiai Gringsing pun meneruskan, “Berilah ia kesempatan, Swandaru.”
Wajah Swandaru masih tetap tegang. Serangannya sama sekati tidak mengendur, sehingga pertempuran itu masih tetap merupakan pertempuran yang seru.
“Biarlah orang itu menyerah, Swandaru,” Ki Sumangkar pun mencoba untuk menenangkan hati anak yang gemuk itu.
Namun Swandaru kemudian menggeram, “Orang ini tentu pemimpin dari gerombolan yang telah mencoba merampok kita. Karena itu, aku ingin membuktikan bahwa sebenarnya ia tidak berdaya apa-apa melawan orang-orang Sangkal Putung.”
“Maksudmu?” bertanya Ki Demang.
“Jangan ganggu. Perkelahian ini akan dilanjutkan dengan perang tanding sampai selesai, sampai terbukti, apakah Swandaru dapat dikalahkannya atau mengalahkannya. Dengan demikian akan ternyata bahwa Swandaru mempunyai kemampuan yang dapat diperbandingkan dengan seorang pemimpin gerombolan yang cukup besar di daerah ini.”
Ki Demang memandang wajah Kiai Gringsing sejenak. Namun tidak sepatah kata pun yang keluar dari sela-sela bibirnya.
Kiai Gringsing agaknya dapat mengerti kecemasan di hati Ki Demang itu, sehingga ia pun kemudian berkata, “Swandaru, cobalah berpikir dengan tenang. Jangan terburu nafsu. Orang itu adalah satu-satunya orang yang masih memegang senjata. Jika kita dapat mengendalikan diri, aku berharap bahwa masalahnya dapat diselesaikan dengan cara lain, bukan dengan perang tanding.”
“Tidak,” Swandaru menggeram, “aku telah memutuskan untuk memberikan kesempatan kepadanya.”
“Berbahaya sekali Swandaru. Apalagi kau sedang dalam keadaan yang khusus sekarang ini.”
“Aku akan membuktikan, bahwa Swandaru memiliki kemampuan yang cukup untuk menindas gerombolan semacam ini. Agar pada saatnya mereka menyadari, bahwa mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa di Sangkal Putung dan di Tanah Perdikan Menoreh, karena aku berada di kedua daerah itu.”
Jawaban itu membuat hati setiap orang menjadi berdebar-debar. Namun orang-orang tua menganggap, bahwa Swandaru baru dicengkam oleh kemarahan yang tidak tertahankan.
Karena itulah, maka sikapnya telah mengejutkan orang-orang yang mengerumuninya. Seolah-olah mereka melihat seorang anak muda yang tidak lagi dapat mengendalikan dirinya, atau bahkan telah disentuh oleh kesombongan yang disadari atau tidak telah terlontar pada sikapnya itu. Apalagi ketika Swandaru kemudian melepaskan lawannya sesaat sambil menengadahkan wajahnya.
Sementara itu, Gandu Demung berdiri tegak seperti batang. Ia benar-benar tersinggung melihat sikap Swandaru. Tetapi ia masih tetap sadar, bahwa yang paling baik dalam keadaan seperti itu adalah melarikan diri.
“Kau dapat memilih,” berkata Swandaru dengan lantang, “bertempur dalam perang tanding sampai selesai, maksudku, salah seorang dari kita harus mati atau melarikan diri. Jika kau memang ingin melarikan diri, aku tidak berkeberatan. Pergilah. Aku menjamin bahwa kau akan selamat.”
Hinaan itu benar-benar telah membakar hati Gandu Demung. Bagaimana pun juga, ia masih mempunyai harga diri. Apalagi sebagai seorang yang telah merasa dirinya memiliki kemampuan yang cukup dan mendapat kepercayaan duduk pada sebuah pembicaraan yang penting dengan Empu Pinang Aring.
“Cepat,” teriak Swandaru, “kau harus segera menentukan sikap. Perang tanding atau melarikan diri.”
Gandu Demung menggeram. Jawabnya, “Sebenarnya aku akan melarikan diri. Tetapi tidak karena belas kasihan seperti itu. Aku akan melarikan diri dalam usahaku untuk sementara mengurungkan niatku menghancurkan Sangkal Putung. Melarikan diri sesuai dengan kekalahan yang aku alami. Tetapi tidak karena kau memberi kesempatan kepadaku untuk melepaskan diri dengan cara yang paling hina itu.”
“Jika demikian, tentukan sikapmu.”
“Kau terlampau sombong, anak yang gemuk. Kau bukan orang yang memiliki kelebihan tanpa tanding. Ketika aku melihat cambukmu, sebenarnya aku sudah ketakutan. Tetapi ternyata bukan kaulah yang disebut orang bercambuk itu. Aku tidak tahu apakah ia sekarang berada di sini. Tetapi yang terang, orang bercambuk itu mampu membunuh orang-orang penting di dalam lingkungan yang selama ini dianggap memusuhi Pajang dan Mataram sekaligus.”
“Kau tentu dari lingkungan mereka juga.”
“Tidak. Aku adalah perampok. Tidak lebih dan tidak kurang. Dan sekarang aku gagal merampok kalian. Tetapi pada saat yang lain, seluruh Sangkal Putung akan menjadi ajang perjuangan kami untuk mendapatkan seluruh kekayaan yang tersimpan di dalamnya.”
“Jika demikian, larilah. Aku menunggu kedatanganmu di Sangkal Putung.”
“Tidak,” teriak Gandu Demung, “kita akan berperang tanding, jika kau merasa kecut, ajaklah dua atau tiga orang kawanmu atau bahkan berapa yang kau kehendaki.”
Dada Swandaru benar-benar telah terbakar karenanya. Dengan suara gemetar ia berteriak, “Beri kami tempat. Kami akan bertempur.”
Orang-orang yang mengerumuninya saling berpandangan sejenak. Terlebih-lebih lagi mereka dicengkam oleh kecemasan ketika Swandaru melanjutkan, “Akan terjadi perang tanding sampai mati.”
Kegelisahan yang sangat telah membayang di wajah Pandan Wangi. Sepasang pedangnya yang masih di dalam genggaman nampak gemetar. Seolah-olah ia ingin meloncat langsung memasuki lingkaran yang menebar.
Swandaru berdiri tegak dengan cambuk di tangannya. Wajahnya yang tegang bagaikan membara oleh kemarahan yang meluap-luap.
“Marilah,” berkata Swandaru, “aku tidak mau mulai dengan kelemahan. Atau lebih baik tidak sama sekali. Jika aku membiarkan hal seperti ini terjadi, maka setiap orang akan menghina perkembangan Sangkal Putung dan Menoreh sekaligus. Karena itu, maka aku yang pada suatu saat akan memegang kekuasaan di kedua daerah itu harus dapat menunjukkan, bahwa aku memiliki kemampuan untuk melakukannya.”
Kata-kata itu benar-benar telah menggetarkan jantung Agung Sedayu. Ketika ia melihat wajah Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Waskita berganti-ganti, nampak sesuatu terbersit pada kerut merut di kening.
Tetapi Agung Sedayu tidak dapat mengambil kesimpulan, apakah yang sedang dipikirkan oleh ketiga orang tua itu.
................bersambung ke Jilid 98
Tidak ada komentar:
Posting Komentar