API di BUKIT MENOREH
Karya S.H Mintardja
DADA kedua laki-laki itu berdesis tajam. Sejenak mereka merasa terjebak dalam suatu keputusan yang tidak mereka kehendaki sehingga hati mereka melonjak. Tetapi ketika terpandang oleh mereka tubuh Rara Wulan yang terbujur di tanah itu, maka mereka, menjadi ragu-ragu. Karena itu mereka masih berdiri saja tanpa bergeser setapak pun.
Perempuan tua itu terdiam sejenak. Namun tiba-tiba ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia berkata, “Terima kasih. Terima kasih, bahwa kalian berdua telah mengambil keputusan yang bijaksana. Ternyata betapa kerasnya hati kalian, namun kalian adalah manusia yang berperasaan. Kalian masih mempunyai kesadaran diri dalam kemanusiaan kalian yang utuh. Ternyata kalian benar-benar telah mengambil keputusan, bahwa persoalan kalian telah selesai sampai di sini.”
Sesuatu menggelepar di dalam dada kedua laki-laki itu. Tetapi tidak sesuatu yang mereka lakukan. Mereka kemudian mendengar perempuan itu berkata, “Kalian adalah laki-laki jantan, yang menghadapi maut dengan dada tengadah, apabila kalian telah mengucapkannya dengan lidah kalian, bahwa kalian bertekad untuk saling membunuh. Tetapi keputusan kalian kini adalah jauh lebih berharga. Kalian tidak mengucapkannya dengan lidah kalian, tetapi kalian mengucapkannya di dalam hati. Janji di dalam diri bagi laki-laki tidak akan berubah lagi, seperti janji di dalam hati kalian saat ini. Menurut pendapatku kalian tidak perlu merasa tersinggung kejantanan kalian, karena ternyata kalian telah berbuat kejantanan yang jauh lebih berharga bagi kemanusiaan dari pada saling berbunuh-bunuhan tanpa arti.”
Kedua laki-laki itu seolah-olah telah terikat oleh suatu pesona tanpa dapat mereka atasi. Mereka seolah-olah tidak mampu melawan kata-kata perempuan tua yang berdiri di sisi tubuh Rara Wulan yang terkapar di atas tanah.
“Baiklah. Aku menghargai keputusan kalian. Semua persoalan telah selesai. Semua persoalan yang telah terjadi harus dilupakan. Aku tahu, bahwa persoalan itu sendiri memang tidak dapat berhenti, sebab anak di dalam kandungan itu akan menjadi besar dan akan lahir. Kelahiran anak itu adalah kelanjutan dan persoalan yang telah terjadi. Tetapi aku mengharap bahwa kalian terikat oleh putusan jantan kalian yang baru saja kalian ucapkan di dalam hati, bahwa kalian menganggap semua persoalan telah selesai. Kalian harus mempunyai jiwa besar menghadapi kenyataan ini. Kenyataan yang tidak akan terhapus, meskipun disiram dengan darah dan dipertaruhkan dengan tiga buah nyawa.”
Bibi Arya Teja berhenti sejenak. Dipandanginya kedua laki-laki yang berdiri tegak itu berganti-ganti. Dibiarkannya kedua laki-laki itu sejenak memandang ke dalam hati masing-masing.
Sekali lagi suasana di bawah Pucang Kembar itu dicengkam oleh kesenyapan. Tetapi wajah-wajah yang tegang itu masih juga tegang. Senjata-senjata di dalam genggaman itu masih juga tercengkam kuat-kuat.
Namun hati mereka, kedua laki-laki yang menggenggam senjata itu, ternyata sudah tidak sekeras batu akik. Terasa sesuatu menjalari urat nadi mereka. Semakin lama semakin tebal tergores di dinding hati.
Penyesalan.
Mereka tidak tahu benar, apakah yang mereka sesalkan sebenarnya. Tetapi mereka kini melihat, bahwa sebaiknya apa yang terjadi itu tidak pernah mereka lakukan. Paguhan yang keras hati dan keras kepala, lambat-laun melihat, bahwa akibat dari perbuatannya sama sekali tidak diduga-duganya. Apalagi apabila dilihatnya tubuh Rara Wulan terbaring diam di atas rerumputan.
“Aku dapat tidak mempedulikan apa yang terjadi atas diriku karena aku memang tidak pernah memperhitungkannya, tetapi ternyata Rara Wulan mengalami goncangan perasaan terlampau berat,” desis Paguhan di dalam hatinya.
Sedang Arya Teja pun menyesal pula. Setelah ia mengikat gadis itu dalam pembicaraan, maka gadis itu ditinggalkannya terlampau lama sehingga hal yang sama sekali tidak diinginkannya itu terjadi. Seandainya ia tidak mengikat gadis itu dalam pembicaraan seperti yang telah dibicarakan oleh orang-orang tua mereka, maka tidak akan ada persoalan bagi Rara Wulan. Gadis itu dapat segera kawin dengan Paguhan. Tetapi semua itu telah terlanjur. Setitik noda telah melekat di tubuh Rara Wulan. Noda yang tidak akan terhapuskan sepanjang hidupnya.
“Apakah aku cukup kuat untuk dapat melupakannya?” pertanyaan itu membersit di dalam dada Arya Teja.
Kedua laki-laki itu terkejut ketika mereka mendengar perempuan tua yang berdiri di samping Rara Wulan itu berkata, “Kenapa kalian diam saja seperti sedang kehilangan akal?”
Sesaat Paguhan dan Arya Teja saling berpandangan. Tetapi sorot mata mereka sudah tidak lagi memancarkan api yang menyala di dalam dada mereka. Namun mereka masih tetap terbungkam.
“Apakah kalian tidak dapat berbicara sepatah kata pun?”
Masih tidak ada jawaban.
“Jika demikian, maka biarlah aku yang berbicara. Kalau kalian menolak, maka kalian harus segera menyatakannya.” perempuan itu diam sebentar, lalu, “Persoalan kalian telah selesai. Rara Wulan adalah isteri Arya Teja. Anak di dalam kandungan ini anak Arya Teja.”
Terasa dada kedua laki-laki itu berguncang. Tetapi mereka tidak tahu apa yang sebaiknya mereka lakukan. Mereka benar-benar seperti sedang dicengkam oleh sebuah pesona yang tidak dapat mereka atasi. Mereka masih berdiri diam ternganga-nganga ketika mereka mendengar perempuan tua itu berkata, “Semua persoalan yang pernah terjadi dianggap tidak pernah ada. Tetapi persoalan yang akan datang pun tidak boleh ada. Arya Teja harus menerima keputusan ini dengan jiwa besar, dan Angger Paguhan harus melepaskan semua kepentingan dengan Rara Wulan dengan jiwa yang besar pula.”
Kedua laki-laki itu berdiri saja tegak di tempatnya bagaikan patung batu. Diam. Hanya senjata-senjata mereka sajalah yang kemudian tertunduk lesu. Seperti hati-hati mereka yang menjadi lesu pula. Mereka seakan-akan tidak lagi mempunyai gairah apa pun untuk ikut serta menentukan hari depan mereka sendiri.
Dan kedua laki-laki itu menggerakkan kepalanya ketika mereka mendengar bibi Arya Teja itu berkata, “Nah, Arya Teja dan Angger Paguhan. Kalian tidak menyanggah sepatah kata pun. Berarti kalian telah berjanji bahwa kata-kataku itu seakan-akan telah anger ucapkan berdua sebagai janji di dalam hati. Janji jantan yang tidak akan dapat diganggu gugat lagi.”
Kedua laki-laki itu masih membatu.
“Nah, kalau demikian, maka marilah kita kembali ke dalam persoalan yang wajar.” Perempuan tua itu berhenti sebentar, lalu, “Arya Teja. Kini kau harus menyadari, bahwa isterimu sedang pingsan di sini. Kau tidak boleh membiarkannya, supaya nyawanya dapat tertolong bersama nyawa yang sedang dikandungnya.”
Terasa perasaan Arya Teja tersentak. Sebersit penolakan menyentuh hatinya. Tetapi ia tidak pernah dapat mengucapkan penolakan itu.
“Kenapa kau diam saja?” bertanya bibinya. “Bawalah isterimu pulang. Tidak ada seorang pun yang tahu akan persoalan kalian. Pelayan-pelayan di rumahmu pun tidak mengetahuinya. Kalian berdua harus merahasiakan persoalan ini, untuk kepentingan anak yang masih berada di dalam kandungan itu, sebagai pemenuhan janji kalian.”
Sesaat mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Kedua laki-laki itu seakan-akan membeku di tempatnya.”
“He, kenapa kalian diam saja? Arya Teja, berbuatlah sesuatu supaya isterimu selamat.”
Sebuah keragu-raguan yang tajam telah menggores dinding hati Arya Teja. Ia tahu, bahwa keadaan Rara Wulan dapat membahayakannya. Tetapi terasa kakinya menjadi seberat timah untuk digerakkan.
“Arya Teja,” suara bibinya menjadi semakin keras, “kemarilah. Berbuatlah sesuatu, jangan mimpi.”
Sebuah pergolakan terjadi di dalam hati Arya Teja. Ia masih saja dicengkam oleh keraguan. Meskipun hatinya sudah mulai cair, namun ia masih belum dapat melepaskan diri dari kungkungan perasaannya. Ia tahu benar, bahwa perempuan itu telah bernoda. Ia tahu, dan ia tidak dapat menghapus pengetahuannya tentang itu.
Tetapi tiba-tiba dadanya tergetar ketika ia mendengar suara Paguhan lemah, tanpa diduga-duganya. “Arya Teja, apakah aku kau ijinkan melakukannya untukmu. Aku tidak ingin melihat Rara Wulan membeku di sini.”
Terasa sebuah singgungan yang tajam menyentuh jantung Arya Teja. Tiba-tiba ia menggeram. “Aku dapat melakukannya sendiri, Paguhan.”
“Maaf, bukan maksudku menyinggung perasaanmu. Aku ingin berbuat sesuatu. Aku menyesal bahwa hal yang serupa ini telah terjadi pada Rara Wulan.”
Sekali lagi dada Arya Teja tergetar. Tetapi ia mendapat kesan yang lain dari kata-kata Paguhan itu. Ia merasakan penyesalan yang jujur terpancar dari padanya. Sehingga justru karena itu sejenak ia mematung tanpa dapat menjawab kata-kata itu.
Namun segera ia seakan-akan terbangun dari mimpinya ketika ia mendengar kata-kata Paguhan, “Apakah kau mengijinkan Arya Teja? Mudah-mudahan Rara Wulan dapat di selamatkan.”
Arya Teja menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia adalah orang yang paling kecewa atas persoalan itu. Kecewa bahwa ia dihadapkan pada peristiwa yang tanpa pilihan. Maju tahu (takut?), mundur hancur.
Tetapi ia harus berbuat sesuatu. Ia harus menelan segala kepahitan yang dihadapinya. Kepahitan yang tidak akan dapat dihapuskannya. Yang dapat dilakukan adalah melupakannya. Melupakan sesuatu yang telah terjadi. Sebenarnya telah terjadi.
Perlahan-lahan Arya Teja melangkahkan kakinya, betapa ia harus menekan perasaanya. Ia harus menyentuh perempuan itu. Perempuan yang sudah bernoda.
Ketika ia berpaling, dilihatnya Paguhan masih berdiri tegak di tempatnya. Sorot matanya benar-benar membayangkan penyesalan. Tetapi Paguhan tidak mengalami akibat apa pun yang langsung menyertai hidupnya kemudian. Tidak setiap hari ia dihadapkan pada kekecewaan yang harus dilupakan. Ia cukup menyesali perbuatannya. Apabila penyesalan itu jujur, ia tidak akan mengulanginya. Tetapi bagaimana dengan noda yang telah melekat pada keluarganya? Pada isterinya yang setiap hari akan selalu membayanginya?
Terdengar Arya Teja menarik nafas. Dalam sekali, sedalam kepedihan yang menghunjam di hatinya.
Tetapi kali ini Arya Teja tidak dapat berbuat lain. Rara Wulan tidak akan dapat dibiarkannya begitu saja. Meskipun jauh di dasar hatinya kadang-kadang terbersit keinginan untuk membiarkan saja Rara Wulan itu mati, namun kemanusiaan yang melapisi pandangan hidupnya tidak membenarkannya. Karena itu betapa hatinya serasa seperti digores ujung senjata yang paling tajam, diangkatnya juga Rara Wulan itu dan dipapahnya pulang ke rumah. Meskipun demikian, di sepanjang jalan kadang-kadang timbul juga pertanyaan di dalam hatinya, “Kenapa aku harus mengalami peristiwa ini? Dosa apakah yang pernah aku lakukan atau dilakukan oleh keluargaku?”
Sebagai manusia maka peristiwa itu benar-benar telah mengguncangkan keseimbangannya. Pada saat-saat permulaan ia melangkahkan kakinya pada dunianya yang baru, setelah ditinggalkannya dunianya yang lama, ia harus mewarnai dunia kekeluargaannya itu dengan noda yang paling kotor. Dan ia tidak dapat melepaskannya.
Hari-hari berikutnya adalah hari-hari yang penuh dengan penderitaan. Rara Wulan tidak dapat melepaskan dirinya dari perasaan bersalah. Kadang-kadang masih meledak ungkapan-ungkapan penyesalannya yang tidak terkendali, sehingga hampir-hampir ia berhasil membunuh dirinya. Tetapi bibi Arya Teja dengan sabar selalu menasehatinya. Selalu memberinya petunjuk-petunjuk.
“Tetapi aku tidak akan dapat menahan penderitaan ini, Bibi,” berkata Rara Wulan pada suatu saat. “Kandunganku selalu memberikan bayangan yang mengerikan. Kandungan yang selalu berada bersamaku ini, selalu mengatakan kepadaku, bahwa aku adalah manusia yang paling rendah di dunia. Aku mengharap, bahwa Kakang Arya Teja memberi aku hukuman yang paling berat. Membunuh aku atau apa pun yang diinginkannya. Tetapi dengan caranya, maka aku tidak akan dapat menanggungkannya. Hukuman ini jauh lebih berat dari hukuman apa pun juga. Tidak sepantasnya aku dimaafkannya. Dan maafnya adalah siksaan yang tidak tertanggungkan.”
Bibi Arya Teja mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya sareh, “Wulan, apakah kau benar-benar merasa bersalah.”
“Ya, Bibi, dan aku bersedia menerima hukumannya.”
“Kenapa kau masih juga merasa berkeberatan, Wulan. Hukumanmu telah ditentukan. Kau dimaafkan. Memang hukuman itu adalah hukuman yang paling berat bagimu. Tetapi kau rela menanggungkannya. Tidak sepantasnya kau mencari jalan yang paling dekat untuk menghindarinya. Mati. Tidak sepantasnya hukuman itu menyangkut bayi di dalam kandunganmu yang tidak ikut bersalah.”
“Tetapi kelahirannya yang tidak dikehendaki itu, buatnya tersiksa pula di sepanjang hidupnya kelak.”
Bibi Arya Teja menggelengkan kepalanya. “Tidak Wulan. Kalau kau menerima semuanya ini dengan ikhlas, Arya Teja pun melakukannya dengan ikhlas dan jujur, dan Paguhan menyesali perbuatannya sepenuh hati, maka tidak akan ada persoalan lagi di antara kalian. Kalian harus bersikap wajar, sehingga tidak menimbulkan pertanyaan pada orang-orang lain yang tidak tahu persoalannya.”
Rara Wulan setiap kali hanya dapat menganggukkan kepalanya sambil menangis. Tetapi ia selalu bertanya-tanya, sampai di mana kesediaan Arya Teja untuk memaafkannya?
Hari-hari merayap melintasi pekan dan bulan. Saat-saat yang mendebarkan menjadi semakin dekat. Kelahiran bayi di dalam kandungan Rara Wulan.
Meskipun Arya Teja dan Rara Wulan, atas nasehat dan petunjuk yang terus-menerus dengan kesabaran hampir tanpa batas dari bibinya, berusaha berlaku dan berbuat wajar, namun mereka masih belum dapat menghapuskan tirai yang seakan-akan masih terbentang di antara mereka. Tirai yang harus mereka lupakan. Tetapi mereka menyadari, bahwa tirai itu pernah terbentang di antara mereka.
Ketika saat itu tiba, maka hampir-hampir perasaan Arya Teja meledak tanpa dapat dikendalikan. Tetapi setiap kali bibinya selalu membujuknya, menekan dan mengendalikannya dengan segala macam cara, agar Arya Teja dapat menerima kenyataan itu, meskipun perempuan tua itu sadar, betapa pahit hati Arya Teja yang masih muda itu. Sehingga akhirnya, Arya Teja tidak dapat menghindarkan diri. Menerima kelahiran anak Rara Wulan itu sebagai anaknya sendiri. Seorang anak laki-laki, yang diberinya nama Sidanti.
Kelahiran Sidanti mendapat sambutan yang hangat dari setiap orang di Menoreh. Mereka merasa ikut bergembira, bahwa Arya Teja telah mendapatkan, seorang putera. Mereka sama sekali tidak tahu, apakah yang sebenarnya tersimpan di dalam hati Arya Teja dan Rara Wulan. Hati yang sebenarnya telah retak dan sulit untuk dipertautkan kembali.
Meskipun demikian, betapa pahit perasaan mereka, mereka mencoba menerima segala cara tetangga-tetangga memberi selamat kepada mereka. Setiap malam pendapa rumahnya selalu dipenuhi oleh para tetangga yang baik, yang ingin ikut serta menyatakan kegembiraan hati.
Perempuan-perempuan sibuk membantu di dapur, menyelenggarakan jamuan untuk setiap malam. Sebagian yang lain menunggu bayi laki-laki itu berganti-ganti. Di pendapa terdengar setiap malam kidung kegembiraan dilagukan oleh setiap tamu berganti-ganti. Kidung kegembiraan menyambut kedatangan anak laki-laki Arya Teja. Kidung yang berisi doa agar bayi itu selamat untuk seterusnya, dijauhkan dari bahaya.
Namun ada juga tamu-tamu perempuan yang berbisik di antara mereka, “Bayi ini lahir sebelum waktunya. Lihat tubuhnya tampak lemah sekali. Tetapi suara tangisnya terlampau kuat.”
Perempuan yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya, “Ya, ibunya sakit-sakitan saja. Selama mengandung anak ini, hampir tidak pernah ia sempat melihat sinar matahari di luar bilik. Bahkan anak ini hampir-hampir membawa nyawa ibunya.”
“Ya,” desis yang lain. “Arya Teja belum genap sepuluh bulan kawin.”
Dan perempuan-perempuan itu bersepakat, bahwa kelahiran Sidanti agak terlampau cepat. Apalagi Sidanti tampak terlampau lemah pada saat lahirnya, karena selama ia di dalam kandungan, ibunya selalu dikejar oleh siksaan batin.
Namun di dalam pertumbuhannya, Sidanti menjadi anak laki-laki yang cukup kuat dan tangkas. Nakalnya bukan main. Kesehatannya berangsur menjadi baik. Bahkan anak itu seolah-olah tida pernah disinggahi penyakit.
Tetapi bagaimanapun juga, bayangan wajah Paguhan tercetak juga di wajah anak laki-laki itu. Bagaimanapun juga Arya Teja ingin melupakannya, tetapi setiap kali ia melihat Sidanti maka setiap kali ia selalu teringat, bahwa anak laki-laki itu mencerminkan darah yang menitik di dalam urat nadinya. Sehingga Betapapun juga apa yang telah terjadi itu selalu membayangi siang dan malam.
Bibi Arya Teja yang menjadi semakin tua melihat kepedihan itu. Perempuan tua itu pun melihat, bahwa Sidanti benar-benar telah dilahirkan dalam ujud yang hampir serupa dengan Paguhan. Dan perempuan tua itu menyadari, betapa anak itu dapat menjadi pagar yang membatasi Arya Teja dan Rara Wulan sebagai suami isteri.
Karena itu maka perempuan tua itu mencoba untuk mencari jalan yang baik tanpa menimbulkan banyak persoalan. Maka diambilnya anak itu, dan dibawanya ke rumahnya.
“Anak itu sepantasnya berada di rumahku,” berkata orang tua Arya Teja. “Biarlah kami setiap hari dapat mendukung cucu kami.”
“Ah,” jawab bibi Arya Teja, “kalian tidak merasa kesepian di rumah. Kalian masih mempunyai kawan untuk bercakap. Tetapi aku tinggal seorang diri. Biarlah Sidanti tinggal bersamaku untuk beberapa tari.”
Tetapi yang dikatakan beberapa hari itu ternyata terlampau panjang. Hanya kadang-kadang saja Sidanti tinggal bersama ibunya, tetapi kemudian kembali ke rumah neneknya ke rumah bibi Arya Teja.
Namun ternyata dengan demikian Sidanti menjadi manja. Bibi Arya Teja yang tahu benar tentang keadaan anak itu, terlampau menaruh belas kasihan, sehingga anak itu hampir tidak pernah dikecewakannya. Semua kehendaknya selalu diberinya, dan semua keinginannya selalu dipenuhinya.
Pengangkatan. Arya Teja menjadi Kepala Perdikan Menoreh, seperti yang telah dijanjikan, setelah ayahnya merasa terlampau lelah untuk memerintah, mempengaruhi kehidupan Sidanti pula. Ia merasa, bahwa ia adalah putera Kepala Tanah Perdikan yang besar. Ayahnya ternyata mempunyai kedudukan yang lebih besar dari kakek yang digantikannya. Kakeknya bukan seorang Kepala Tanah Perdikan, tetapi ayahnya selain mendapat wisuda menggantikan kakeknya, juga mendapat anugerah khusus.
Demikianlah anak laki-laki itu tumbuh menjadi anak yang semakin besar. Padanya tampak semakin jelas, kelebihan-kelebihannya dari anak-anak sebayanya. Keberaniannya, kecerdasannya dan kecepatannya untuk menerima petunjuk-petunjuk tentang berbagai macam hal. Namun, kemanjaannya pun tumbuh sejalan dengan pertumbuhan badannya.
Anak itulah yang bernama Sidanti. Sidanti anak Rara Wulan, dari keturunan seorang laki-laki yang bernama Paguhan, yang kemudian bergelar Ki Tambak Wedi.
Malam yang gelap menjadi semakin kelam. Angin yang silir bertiup menggoyangkan dedaunan. Lamat-lamat terdengar burung kedasih seolah-olah meneriakkan kepedihan hati.
Seleret bulan muda bertengger di langit yang hitam di antara bintang gemintang yang cerah. Desau angin malam menyapu wajah Tanah Perdikan Menoreh yang lelap dalam tidurnya.
Tetapi bergolaklah sepasang dada, yang telah mendengar ceritera tentang Arya Teja dan Paguhan. Sepasang dada anak muda yang merasa dirinya bersaudara seayah dan seibu. Namun ternyata hanya seibu saja, tetapi tidak seayah.
Sidanti sendiri mendengarkan ceritera itu dengan hati yang tegang. Melampaui ketegangan hatinya pada saat-saat ia menghadapi lawan di medan perang, atau menghadapi lawan bertanding di dalam perang tanding seorang lawan seorang. Sejenak hatinya terasa gelap. Namun kemudian terungkatlah perasaan yang meledak di dalam dadanya. Tiba-tiba ia meloncat berdiri. Dengan mata yang merah menyala ia menunjuk wajah gurunya dan sekaligus ayahnya. Dengan suara lantang ia berkata terputus-putus oleh gelora di dalam dadanya, “Kau, kau, kau menodai nama baik ibuku. Kau telah membuat aku menjadi orang yang paling terkutuk.” Bibir Sidanti masih bergetar, tetapi kerongkongannya serasa telah tersumbat.
Selangkah daripadanya Argajaya duduk mematung. Sejenak ta tidak dapat berbuat apa pun juga selain berdesah. Dadanya terasa berdeburan seakan-akan ingin meledak, Arya Teja adalah kakaknya yang kemudian bernama Argapati bergelar Ki Gede Menoreh. Ternyata laki-laki yang bernama Paguhan dan kemudian bergelar Ki Tambak Wedi adalah seorang yang telah merusak perasaan kakaknya dan iparnya. Ia telah menaburkan benih yang akan tumbuh menjadi rerungkudan yang penuh dengan duri-duri yang tajam.
Tetapi Argajaya tidak dapat segera berbuat sesuatu. Diawasinya saja Sidanti yang berdiri beberapa langkah di hadapan gurunya dengan tubuh gemetar.
Ki Tambak Wedi masih duduk dengan tenang ditempatinya. Namun wajahnya tampak menjadi suram, sesuram hatinya. Dipandanginya wajah Sidanti yang menegang. Bibirnya yang bergerak, tetapi tidak sepatah kata pun yang dapat dikatakannya lagi.
“Duduklah, Sidanti,” berkata Ki Tambak Wedi.
Sidanti masih berdiri. Matanya masih menyala. Dan bahkan ia berkata terbata-bata, “Itu, itulah sebabnya.” Tetapi kata-katanya terputus.
“Apakah yang disebabkan dan apakah yang menyebabkan,” bertanya gurunya.
“Sekar Mirah,” terlompat dari sela-sela bibir Sidanti.
Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia masih saja duduk di tempatnya. Katanya, “Aku mengerti maksudmu Sidanti. Kau ingin mengatakan, bahwa segala macam kegagalanmu itu adalah akibat dari dosa-dosa yang pernah aku lakukan bersama ibumu.” Ki Tambak Wedi berhenti sejenak, lalu, “Mungkin kau benar. Tetapi itu tidak mutlak. Sebenarnya aku menyesali apa yang telah terjadi. Penyesalan itu tidak sekedar terucapkan di antara bibirku. Tetapi penyesalan itu langsung menghunjam ke pusat jantung.” Sekali lagi Ki Tambak Wedi berhenti. Ditariknya nafas dalam-dalam. Dalam sekali. Lalu dilanjutkannya, “Kau tahu Sidanti, bahwa untuk seterusnya aku tidak pernah dapat terpikat oleh perempuan. Perempuan yang bagaimanapun juga. Setiap kali aku teringat akan dosa dan noda yang pernah aku lekatkan di tubuh ibumu. Dan setiap kali aku dikejar oleh penyesalan. Aku mencoba melupakannya dengan cara apa pun. Dengan cara yang paling kotor sekalipun. Aku mencoba menganggap bahwa aku tidak pernah berdosa. Aku datangi perempuan-perempuan yang dengan sukarela menyerahkan dirinya. Tetapi setiap kali aku selalu melarikan diriku daripadanya karena perasaan bersalah itu tidak pernah dapat aku lupakan. Dan akhimya aku terdampar di padepokan Tambak Wedi. Aku mencoba menenteramkan diriku dengan cara yang lain. Aku menyibukkan diri dengan ilmuku, dengan segala macam kerja yang semula tidak berarti. Aku menjadi semakin gairah, ketika aku mendapat kesempatan menuntunmu karena bibi Arya Teja yang kemudian bernama Argapati itu menjadi semakin tua dan tidak lagi mampu berbuat apa-apa. Ia menyarankan agar anak itu, tidak menimbulkan persoalan apa pun kelak. Tetapi agaknya keluarga Argapati tidak dapat menerimamu. Aku tahu bahwa Argapati berusaha untuk dapat menjadi seorang ayah yang baik. Tetapi perasaannya setiap kali terungkat. Akhirnya kami bersama-sama menemukan suatu cara. Kau tetap dianggap sebagai anak Argapati yang bergelar Ki Gede Menoreh dengan segala macam hak dan kuwajiban. Tetapi kau diserahkan kepadaku di padepokan Tambak Wedi sebagai seorang murid. Kami masing-masing berjanji bahwa tidak ada orang lain yang tahu kecuali kami berempat. Aku, ibumu, Argapati dan bibinya. Kini dua di antara mereka telah meninggal. Bibi Argapati dan ibumu.”
Wajah Sidanti masih membara semerah soga. Matanya memancarkan perasaan yang bergolak di dalam dirinya. Tubuhnya yang gemetar masih belum beranjak dari tempatnya.
“Duduklah, Sidanti.”
Sidanti masih tetap berdiri.
“Duduklah.”
Wajah Sidanti masih membara.
“Kita sudah terlibat dalam persoalan itu,” berkata gurunya. “Argapati ingkar janji menurut penilaianku. Bagaimana penilaianmu, Sidanti?”
Sidanti tidak menjawab. Tanpa sesadarnya ia berpaling kepada pamannya yang masih duduk dengan tegangnya.
Sidanti merasakannya betapa dadanya menjadi pepat dan pikirannya menjadi gelap.
“Jangan menyalahkan aku lagi, Sidanti,” berkata Ki Tambak Wedi masih dalam keadaannya. Tenang walau pun suram. “Aku sudah cukup tersiksa oleh kesalahanku itu. Seandainya ibumu masih ada, maka aku akan pasrah, apa pun yang akan kau lakukan seandainya kau merasa aku menjadi sumber bencana yang menimpa dirimu. Tetapi kini keadaannya sudah lain. Ibumu sudah tidak ada. Tidak ada lagi orang yang memberati perasaanku. Aku menjadi seakan-akan terbebas dari sebuah belenggu yang selama ini mengikatnya.
Sidanti masih membeku. Tetapi wajah Argajaya menjadi semakin tegang. Ia kini tahu benar persoalannya. Persoalan itu berpusar pada persoalan antara kakaknya Argapati dan Ki Tambak Wedi. Ia tidak dapat menyalahkan kakaknya Argapati apabila tidak segera menerima tawaran Ki Tambak Wedi untuk membantu Sidanti, madeg kraman melawan pemerintahan Pajang. Sedang Sidanti itu sama sekali tidak ada sentuhan darah dengan kakaknya itu.
Meskipun demikian Argapati tidak segera berbuat sesuatu. Ia tahu benar, siapakah Ki Tambak Wedi itu. Dan ia belum tahu, apakah yang akan terjadi dengan Sidanti.
Argajaya yang licik itu sengaja tidak segera menyatakan sikapnya, meskipun sikap itu telah ada di dalam dadanya. Ia menunggu apakah yang akan terjadi. Peristiwa apakah yang akan berkembang kemudian. Dengan demikian maka Argajaya masih juga tetap diam di tempatnya. Ditahankannya perasaannya, agar tidak meluap ke luar sehingga menimbulkan akibat yang tidak dikehendakinya.
Sidanti sendiri masih saja membeku di tempatnya. Seakan-akan anak muda itu telah kehilangan akalnya. Ia tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukan. Darahnya yang meluap-luap tiba-tiba serasa berhenti mengalir. Yang berada di hadapannya itu adalah bukan sekedar gurunya, tetapi ia adalah ayahnya, meskipun karena perbuatannya ibunya menjadi tersiksa sepanjang hidupnya.
Dengan ceritera itu, maka barulah ia kini mengetahui sebabnya, kenapa kelakuan ibunya selama ini terasa terlampau berlebih-lebihan. Kesetiaannya, kesediaannya untuk melakukan apa saja sesuai dengan keinginan suaminya dan, betapa ia menghormati Argapati, meskipun Argapati sendiri sama sekali tidak menunjukkan keinginannya untuk berbuat sewenang-wenang. Ternyata kesediaan itu tidak tumbuh dari dasar hatinya, tetapi semuanya itu terdorong oleh suatu keinginan untuk menebus dosa dan hutang budi
Sejenak Sidanti mencoba membayangkan apa yang telah terjadi di dalam lingkungan keluarga Argapati. Namun bayangan itu semakin lama menjadi semakin kabur.
Lamat-lamat ia mencoba mengenali kembali Argapati, ibunya dan adiknya Pandan Wangi. Tetapi dalam gejolak perasaannya, ia tidak berhasil untuk meneropong sebaik-baiknya keadaan keluarga itu. Termasuk dirinya sendiri.
Sidanti terperanjat ketika ia mendengar Ki Tambak Wedi berkata, “Duduklah, Sidanti.”
Sidanti masih mematung.
“Apakah kau masih tetap berpendapat bahwa aku telah berkhianat terhadap ibumu?”
Tidak ada jawaban.
“Seandainya benar demikian, apakah yang dapat kau lakukan sekarang? Argapati sudah menyatakan sikapnya. Ia tidak dapat melindungimu dari telunjuk orang-orang Pajang. Dan itu adalah wajar sekali, karena sejak semula Argapati tidak ikhlas menerima kau sebagai anaknya. Ia hanya menginginkan ibumu. Bukan kau.”
Terasa sebuah desir yang tajam tergores di dalam dadanya. Seandainya saat itu Argapati ada di ruangan itu, maka ia pasti akan menunjuk kedua-duanya, Argapati dan Ki Tambak Wedi, sambil berteriak, “Kalian adalah pengkhianat-pengkhianat yang paling jahat.”
Tetapi yang didengarnya adalah suara Ki Tambak Wedi, “Duduklah, Sidanti. Buatlah pertimbangan-pertimbangan yang baik.”
Sidanti sama sekali tidak beranjak dari tempatnya. Otaknya serasa menjadi pepat, dan ia tidak menyadari apa yang sebenarnya sedang dilakukan dan apa yang sebaiknya harus dilakukan.
Ternyata Ki Tambak Wedi membiarkannya saja dalam sikapnya itu. Perlahan-lahan ia berpaling kepada Argajaya sambil berkata, “Itulah yang sebenarnya telah terjadi atas diriku dan kakakmu Argapati. Sekarang terserah kepadamu, di mana kau akan berdiri. Tetapi kau harus ingat, bahwa kau bersama-sama kami telah terlibat dalam persoalan yang serupa. Melawan orang-orang Pajang. Sedang kakakmu Argapati sama sekali tidak ingin berbuat apa-apa. Baginya kedudukan ternyata jauh lebih penting dari apa pun juga. Dari adiknya sendiri dan dari seseorang yang telah diakuinya sebagai anaknya.”
Argajaya pun tidak segera menjawab. Ia masih berdiam diri sambil menunggu perkembangan dari keadaan Sidanti.
“Bagaimanakah pendapatmu?” bertanya Ki Tambak Wedi kemudian.
Argajaya masih juga berdiam diri, meskipun hatinya bergelora. Bagaimanapun juga Argapati adalah kakaknya. Meskipun dalam banyak persoalan ia tidak sependapat dengan kakaknya, bahwa di dalam saat yang paling genting sekalipun kakaknya tidak bersedia melindunginya, tetapi Argapati adalah kakaknya.
Apabila di dalam persoalan ini ia harus memilih, maka ia harus membuat pertimbangan semasak-masaknya. Ternyata Sidanti sama sekali tidak ada persambungan darah dengan dirinya. Sidanti bukan putera Argapati.
Karena Argajaya juga tidak segera menjawab, maka Ki Tambak Wedi itu bergumam, “Memang keadaan, ini sama sekali pasti tidak pernah kalian duga-duga sebelumnya. Tetapi bagi kalian, terutama Sidanti, yang masih cukup muda, cobalah memandang ke hari depan. Jangan terpukau kepada masa lampau, Betapapun indahnya, atau Betapapun buruknya. Yang penting, bagaimanakah yang akan datang. Nah, apakah kau sudah mulai membuat pertimbangan-pertimbangan bagi masa datang?”
Tak ada jawaban.
“Sidanti,” berkata Tambak Wedi itu pula, “aku telah berbuat apa saja buat hari depan itu. Hari depanmu. Karena aku akan merasa ikut menikmati, apa yang akan kau dapatkan. Justru karena kau anakku. Aku mengharap bahwa Argapati pun akan berbuat demikian. Aku mengharap ia jujur menerima kau sebagai anaknya. Tetapi ternyata aku keliru. Argapati sama sekali tidak bersungguh-sungguh. Ia memberikan kau kepadaku bukan sekedar pemecahan masalah tetapi benar-benar ingin menyingkirkan kau dari Menoreh. Nah, apakah kau tidak merasakannya?” Ki Tambak Wedi itu berhenti sejenak, lalu, “Sekarang, kau sudah cukup dewasa. Pertimbangkan olehmu, mana yang baik dan mana yang tidak baik.”
Ketika Ki Tambak Wedi terdiam, maka ruangan itu menjadi terlampau sepi. Kesepian yang mencengkam sampai ke pusat jantung.
Namun di dalam dada Sidanti terjadilah pergolakan yang terlampau dahsyat. Benturan-benturan perasaan yang sangat membingungkannya. Keluarga yang memeluknya sejak kanak-kanak, tanpa diduga-duganya kini pecah berserakan seperti belanga yang jatuh menghantam batu. Sejak kecil ia merasakan bahwa ia berada di dalam satu lingkungan yang baik, di dalam satu keluarga yang menyenangkan. Baginya Argapati adalah ayahnya. Ia tidak pernah merasakan, bahkan segelugut kolang-kaling terbelah tujuh ia tidak akan menyangka, bahwa Argapati itu bukan ayah kandungnya.
Tetapi tiba-tiba kini ia dibenturkan pada suatu kenyataan. Meskipun kadang-kadang ia menjadi ragu-ragu. Namun menurut pertimbangannya, hal yang demikian itu, sudah pasti bukan hanya sekedar dongengan. Seandainya Ki Tambak Wedi berbohong, maka ia adalah pembohong yang paling besar pada jamannya.
Dengan demikian maka Sidanti tidak segera dapat menemukan sikap. Dalam keragu-raguan, dipandanginya pamannya Argajaya yang masih juga berdiam diri.
Tetapi ketika terpandang olehnya wajah Argajaya, sekali lagi dada Sidanti berdesir. Orang itu ternyata sama sekali bukan pamannya. Bahkan bukan sanak bukan kadangnya. Argajaya adalah adik Argapati yang telah dikecewakan oleh gurunya, oleh ayahnya. Apakah dengan demikian ia dapat mengharapkan Argajaya itu berada di pihaknya, seandainya ia memilih berdiri di sebelah Ki Tambak Wedi.
Gelora di dalam dada Sidanti itu menjadi kian bergemuruh. Di dalam angan-angannya berloncatanlah berbagai kenangan masa harapannya. Ia mencoba melihat kembali apakah yang pernah dilakukan oleh Argapati untuknya dan apa yang telah dilakukan oleh Ki Tambak Wedi. Dua wajah yang membayang di pelupuk matanya. Ia kini harus memilih satu di antara dua. Dan kenyataan ini terasa benar-benar pahit.
Namun ia harus menentukan sikap. Ia tidak dapat selalu bergantungan di dunia angan-angannya tanpa berjejak di atas kenyataan. Dan ia tidak dapat mengingkari kenyataan itu.
Betapa Argapati baginya adalah seorang ayah yang baik, yang sabar dan ramah, tetapi kenyataan telah memisahkannya. Argapati sama sekali bukan seorang yang sabar dan ramah. Justru karena Argapati tidak dapat menghapus kenangannya atas peristiwa kelahiran Sidanti, maka dipaksakannya dirinya berbuat sebaik-baiknya.
Sekali lagi Sidanti terperanjat ketika ia mendengar Ki Tambak Wedi berkata, “Duduklah. Pikirkanlah dengan baik. Kau harus membuat pertimbangan-pertimbangan yang matang.”
Kali ini Sidanti benar-benar terhisap oleh pengaruh yang tidak dikenalnya. Perlahan-lahan ia meletakkan dirinya, duduk di sebelah gurunya.
“Kau harus bersikap dewasa. Jangan seperti kanak-kanak yang bingung karena kehilangan barang mainan,” berkata gurunya.
Sidanti masih berdiam diri. Dua wajah yang sama-sama dikenalnya dengan baik masih terbayang. Tetapi bagi mata hati Sidanti, wajah Argapati semakin lama menjadi semakin kabur.
“Sikap Argapati selama ini bukanlah sikap yang jujur,” berkata Ki Tambak Wedi. “Ia ingin dianggap dirinya seorang yang baik, yang berjiwa besar dan yang dengan lapang dada memaafkan orang lain. Tetapi ia telah merendam dendam dan kebencian di dalam dadanya, yang setiap saat akan meledak dengan dahsyatnya. Ia berbuat begitu baik kepadamu sama sekali bukan untuk kepentinganmu, tetapi ia berbuat untuk kepentingannya sendiri.”
Sidanti mengerutkan keningnya. Bayangan wajah Argapati semakin lama menjadi semakin suram.
Seperti yang dialaminya selama ia berada di Tambak Wedi, gurunya yang ternyata juga ayahnya itu telah berbuat apa saja untuknya. Ia telah mendorongnya untuk berusaha naik ke tangga yang lebih tinggi di dalam tata keprajuritan. Meskipun usaha itu tidak berhasil, tetapi ia telah terlampau banyak berbuat untuknya. Apa saja. Sehingga yang terakhir dikorbankannya padepokannya, Tambak Wedi.
Neraca di dalam hati Sidanti semakin lama menjadi semak miring. Apalagi yang kini berada di sisinya adalah Ki Tambak Wedi itu sendiri sehingga dengan demikian, maka pengaruh kehadirannya, ternyata ikut menentukan pilihan yang harus dijatuhkannya. Tetapi tiba-tiba terbersit sebuah pertanyaan di dalam hatinya. Seandainya ia berpihak kepada, Ki Tambak Wedi, apakah yang kemudian dapat dilakukan olehnya? Kepala Tanah Perdikan Menoreh adalah Argapati. Argapati dapat memerintahkan apa saja yang dikehendakinya atas orang-orang Menoreh. Argapati dapat memerintahkan untuk menangkapnya bersama-sama Ki Tambak Wedi.
Namun pertanyaan itu tidak diucapkannya. Di tempat itu hadir pula Argajaya, adik Argapati, sehingga pembicaraan mengenai hal itu tidak akan dapat dilakukannya dengan baik.
Tetapi agaknya Ki Tambak Wedi dapat menduga-duga hatinya. Keragu-raguan yang membayang di wajahnya. Karena itu maka Ki Tambak Wedi itu berkata berterus-terang, “Bagiku tidak ada pilihan lain daripada memenuhi perjanjian itu di bawah Pucang Kembar, pada saat purnama naik seperti yang pernah terjadi dahulu. Aku mengharap bahwa kali ini aku dapat membunuhnya.” Ki Tambak Wedi berhenti sejenak, diperhatikannya wajah Argajaya yang menjadi semakin tegang. Dan ia berkata seterusnya, “Seandainya tidak, maka aku pun tidak akan bersedia mati tanpa arti. Kalau aku tidak dapat membuat penyelesaian macam itu, maka aku harus berbuat banyak. Aku harus melakukan perlawanan atas kekuasaan Argapati di bukit Menoreh ini, sebelum aku dapat mempergunakan seluruh kekuatan yang ada di sini. Kau adalah pewaris yang syah meskipun kau bukan anaknya. Setiap hidung tahu, bahwa kau kelak akan mewarisi tanah ini. Itulah sebabnya agaknya Argapati menjerumuskan kau ke dalam bencana.” Ki Tambak Wedi sekali lagi berhenti berbicara. Sekali lagi diperhatikannya wajah Argajaya. Lalu, “Kau tidak usah mencemaskan apa yang terjadi seandainya Argapati terbunuh olehku kelak. Tidak ada orang yang tahu, persoalan apa yang terjadi. Apabila seseorang mendengar perjanjian ini di halaman rumah Argapati, mereka pun tidak akan jelas menangkap maksudnya. Sepeninggal Argapati, maka kaulah yang akan menjadi kepala Tanah Perdikan Menoreh.”
Wajah Argajaya tiba-tiba menjadi merah menyala. Ia kini tidak dapat mengendalikan diri lagi, sehingga meloncat kata-katanya, “Itu adalah cara yang licik. Kiai, aku adalah adik Argapati. Setelah aku tahu, bahwa Argapati tidak berputerakan Sidanti, maka akulah yang lebih berhak atas tanah ini seandainya Kakang Argapati tidak ada lagi.”
Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia menggelengkan lemah. “Tidak, Ngger. Kalau Sidanti di sisihkan dari urutan pewaris tanah ini, maka di dalam rumah Argapati masih ada lagi seorang gadis yang cukup garang, Pandan Wangi. Apabila Sidanti disingkirkan, maka Pandan Wangi adalah satu-satunya pewaris tanah ini. Suaminyalah yang kelak akan dapat menyebut dirinya. Ki Gede Menoreh.”
Sekali lagi warna merah membersit di wajah Argajaya. Kata-kata Ki Tambak Wedi itu tepat mengenai sasarannya. Demikianlah agaknya apabila Sidanti tidak lagi dapat menduduki jabatan Argapati, maka Pandan Wangi-lah yang kelak akan berhak atas kedudukan itu.
Dengan demikian, maka Argajaya itu pun tidak segera dapat berkata sesuatu, meskipun terasa dadanya menjadi terlampau pepat.
Ruangan itu sejenak menjadi sunyi. Mereka mencoba untuk melihat dari seginya masing-masing, apakah yang sebenarnya sedang mereka hadapi. Tetapi putaran dari segi pandangan mereka, terutama adalah kepentingan mereka sendiri. Kepentingan diri pribadi. Sidanti yang kecewa mendengar kenyataan tentang dirinya, mencoba untuk menemukan imbangan dari kekecewaannya itu. Justru ia ingin menjadi seorang yang jauh lebih besar dari kenyataan yang dihadapinya. Menurut Ki Tambak Wedi, Sidanti ternyata bukan putera Argapati, Kepala Tanah Perdikan Menoreh, meskipun hak atas tanah ini kelak akan diwarisinya. Namun itu bukan karena ia sebenarnya berhak, tetapi hal itu dapat terjadi sekedar karena belas kasihan Argapati kepadanya, kepada ibunya. (BERSAMBUNG)
“Tidak!” tiba-tiba ia menghentak di dalam hatinya. “Aku tidak mau sekedar menerima belas kasihan orang. Aku harus dapat menentukan nasibku sendiri. Apa pun yang harus aku tempuh.”
Sekilas dipandangnya Argajaya yang masih terdiam merenungi persoalannya.
“Bagaimana, Sidanti?” bertanya gurunya. “Apakah kau sudah menemukan keputusan yang paling baik buat kau lakukan? Aku tidak ingin memaksamu untuk segera mengambil sikap. Kau masih mempunyai waktu, supaya keputusanmu tidak kau ambil dengan tergesa-gesa.”
Sidanti masih belum dapat menjawab. Tetapi dari sorot matanya, Ki Tambak Wedi yang telah dipenuhi oleh pengalaman hidup, oleh pahit manisnya kehidupan itu, dapat meraba, bahwa Sidanti telah hampir dapat dikuasainya sepenuhnya. Sidanti, yang selama ini digadangnya untuk menjadi seseorang yang berkedudukan baik. Jauh lebih baik dari keadaannya sekarang. Namun justru karena itu, maka sikap Sidanti menjadi sombong, tergesa-gesa, dan manja seperti kemanjaannya masa kanak-kanak.
“Sidanti,” berkata Ki Tambak Wedi, “kita sudah tidak dapat mundur lagi. Kita sudah berdiri berhadapan dengan kekuasaan Pajang. Sedang di sini, Argapati sama sekali tidak dapat kita harapkan. Karena itu kita harus mendapatkan kekuatan itu sendiri tanpa bersandar kepada Argapati.”
Sidanti mengerutkan keningnya, sedang wajah Argajaya menjadi semakin menegang.
“Apa pun yang kita kemukakan kepada orang-orang Pajang, pasti tidak akan didengar oleh mereka. Kita sudah dianggap memberontak. Untuk itu maka kita memerlukan kekuatan.”
Sidanti masih diam. Sedang Ki Tambak Wedi meneruskannya sambil melihat wajah Argajaya dengan sudut matanya. “Tidak ada di antara kita yang dapat melepaskan diri. Besok atau lusa, atau sebulan dua bulan lagi, kita akan selalu dikejar-kejar oleh petugas-petugas sandi dari Pajang apabila kita tetap dalam keadaan itu. Tetapi keadaan akan sangat berbeda apabila kita berdiri tegak bersama sepasukan prajurit dengan panji-panji di atas kepala kita.
Tidak seorang pun yang menyahut, dan Ki Tambak Wedi berkata terus, “Kesimpulannya adalah, menyusun kekuatan. Siapa yang menghalangi, harus dimusnahkan. Bukankah begitu, Sidanti?”
Sidanti tidak menyahut. Tetapi Ki Tambak Wedi melihat bahwa kata-katanya telah menyusup ke pusat jantungnya. Yang menjadi pusat perhatiannya kini adalah Argajaya. Ia mengharap orang itu tidak melepaskan diri daripadanya. Argajaya sudah terlanjur terlibat dalam perlawanan atas Pajang. Ia harus memberikan kesan, bahwa tidak ada jalan lain baginya untuk bersama-sama melawan Pajang.
Tetapi Argajaya itu masih tetap membeku. Meskipun demikian di dalam dadanya, bergelora pertimbangan-pertimbangan yang saling berbenturan. Perasaannya sebagai seorang adik, benar-benar tersinggung. Tetapi ia merasakan kebenaran kata-kata Ki Tambak Wedi, bahwa orang-orang Pajang pasti menganggapnya sebagai seorang buruan. Padahal, kakaknya, Argapati, tidak bersedia untuk berdiri melawan Pajang. Dan bahkan benar juga agaknya kata-kata Ki Tambak Wedi bahwa kakaknya pasti tidak akan melindunginya, untuk tidak diikut-sertakan dalam kesalahan yang pernah dilakukan atas Pajang, sehingga dapat membahayakan kedudukannya sebagai seorang Kepala Tanah Perdikan. Jabatan itu akan dapat dicabut dan diserahkan kepada orang lain, atau kedudukan Tanah Menoreh sebagai Tanah Perdikan dapat dibatalkan.
Baik Sidanti maupun Argajaya sudah dapat membayangkan jalan apakah yang akan ditempuh oleh Ki Tambak Wedi. Mereka sadar, bahwa Ki Tambak Wedi akan mengambil kesempatan untuk mengumpulkan orang-orang Menoreh sendiri yang bersedia melawan Argapati. Mungkin Sidanti sebagai seorang yang selama ini dikagumi oleh anak-anak muda Menoreh dapat dimanfaatkan untuk menarik kekuatan anak-anak muda di pihaknya.
Gelora di dalam dada Argajaya menjadi semakin bergemuruh. Ia berdiri di simpang jalan yang sulit.
Dalam pada itu terdengar Ki Tambak Wedi berkata, “Semuanya telah jelas bagi kita. Aku menunggu keputusanmu Sidanti, meskipun aku sudah dapat menduga, apakah yang sebenarnya tersimpan di dalam dadamu. Agaknya kau telah memilih jalan yang benar. Bagimu hanya ada satu cara untuk melangkah maju. Melawan Pajang. Setiap tindakan yang kau lakukan harus beralaskan pendirian itu. Sebab apabila tidak demikian, maka kau akan dibinasakan oleh orang-orang Pajang tanpa dapat berbuat apa-apa. Bahkan mungkin Pajang tidak perlu mengirimkan pasukannya kemari, tetapi mereka dapat mempergunakan tangan Argapati.” Ki Tambak Wedi itu berhenti sejenak perlahan-lahan ia berpaling kepada Argajaya. “Angger,” katanya kemudian, “aku tahu bahwa kau berada dalam kesulitan. Tetapi kau harus bijaksana. Kau tidak dapat bergantung kepada kakakmu itu. Kita harus menentukan sikap. Tetapi bagiku dan bagi Sidanti, agaknya jauh lebih mudah melakukannya karena Argapati tidak bersangkut paut apa pun dengan aku dan Sidanti sepeninggal Rara Wulan. Tetapi kau adalah adiknya.”
Argajaya tidak segera dapat menjawab. Tetapi hatinya bertanya, “Apakah yang kelak akan terjadi atas aku dan keluargaku seandainya Sidanti berhasil? Sidanti akan menjadi Kepala Tanah Perdikan, berdasarkan atas kemenangannya dan berdasarkan atas hak yang diakui oleh orang-orang Menoreh. Lalu, bagaimana dengan aku?” Kebimbangan dan keragu-raguan telah melanda dinding jantung Argajaya sehingga terasa dadanya menjadi berdentangan semakin keras.
Dengan demikian, maka justru ia menjadi semakin diam. Dicobanya untuk memecahkan persoalan itu supaya ia tidak terombang-ambing oleh keadaan yang tidak menentu.
Agaknya Ki Tambak Wedi sengaja membiarkannya berpikir. Sejenak orang tua itu berdiam diri sambil memandangi nyala lampu minyak di atas ajuk-ajuk.
Di dalam angan-angan, Argajaya telah dapat melihat, bahwa Tambak Wedi akan menuntun Sidanti untuk melakukan perebutan kekuasaan di Menoreh sebelum ia melangkah semakin jauh. Sidanti, akan mempercepat mengambil hak yang sudah dijanjikan atasnya dengan kekerasan.
Argajaya mengerutkan keningnya, ketika ia mendengar Tambak Wedi berkata, “Kau harus mempergunakan nalar pikiranmu, Ngger, bukan perasaanmu. Dalam hubungan keluar kau adalah adik Argapati. Tetapi di dalam persoalan ini, kau sama sekali tidak mendapat tempat di dalam kedudukannya sebagai Kepala Tanah Perdikan Menoreh ini.” Ki Tambak Wedi berhenti sejenak, kemudian, “Demikian juga seharusnya penilaian atas Sidanti. Ternyata ia bukan kemanakanmu. Tetapi kau dapat bekerja bersamanya untuk menegakkan kejantanan di atas tanah perdikan ini. Kau jangan menyangka, bahwa Sidanti akan berhenti sampai kedudukan tertinggi di tanah ini. Tanah ini hanya sekedar pancadan baginya. Sebab ia sudah terlanjur berdiri bertentangan dengan Pajang. Sikap itu harus dilanjutkan. Pajang kini masih belum mantap benar. Karena itu, kita bekerja lebih cepat. Kita masih mempunyai waktu beberapa hari sampai saatnya purnama naik. Kita masih dapat menentukan sikap yang harus kita lakukan. Kalau dalam saat yang pendek ini Sidanti dapat berhubungan dengan anak-anak muda Sangkal Putung dan apabila Angger Argajaya bersedia menghubungi pihak-pihak lain, maka aku benar-benar akan membunuh Argapati. Dengan demikian maka Sidanti akan segera mendapat kesempatan itu. Menjadi Kepala Tanah Perdikan ini. Tetapi itu hanya untuk sementara, Ngger. Sebab, seterusnya Sidanti harus mendapat tempat yang baik. Dan kedudukan tertinggi di daerah ini akan segera ditinggalkannya. Sudah tentu Sidanti tidak akan menyerahkannya kepada orang lain. Kepada suami Pandan Wangi pun tidak, karena Angger Argajaya yang telah banyak membantunya.
Dada Argajaya menjadi berdebar-debar. Janji itu menyenangkan sekali. Tetapi Argajaya bukan anak-anak. Ia masih dapat merasakan, berdasarkan atas pengalamannya, dan firasatnya, bahwa Tambak Wedi tidak akan berbuat sebaik itu kepadanya.
Tetapi wajahnya menjadi merah padam ketika ia mendengar Ki Tambak Wedi berkata, “Tetapi kalau Angger Argajaya tidak bersedia bekerja bersama dengan kami, maka akibat yang paling parah akan terjadi padamu. Besok atau lusa, kau akan dihadapkan ke tiang gantungan di alun-alun Pajang tanpa pembelaan. Aku tidak dapat berbuat apa-apa. Juga seandainya besok atau lusa Argapati sendiri yang akan menangkapmu, atau orang-orang lain yang kau kecewakan.”
Argajaya tahu benar ancaman ini. Meskipun yang diucapkan oleh Ki Tambak Wedi adalah nama-nama Pajang dan Argapati, tetapi Argajaya menyadari, bahwa apabila ia tidak bersedia ikut serta, maka Ki Tambak Wedi pasti tidak akan segan-segan berbuat sesuatu atasnya.
Tetapi Argajaya bukanlah seorang yang bodoh, ia pun memiliki akal yang tidak kalah liciknya dari Ki Tambak Wedi. Karena itu, maka setelah ia berpikir dengan memperhitungkan segenap kemungkinan, ia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, “Ya, Kiai, aku dapat mengerti. Aku memang harus mengesampingkan hubungan keluarga dan kepentingan-kepentingan pribadi dari kepentingan-kepentingan yang lebih jauh.”
Ki Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia bergumam , “Terima kasih, Ngger. Agaknya kau tahu, apakah yang sebaiknya kau lakukan.” Ki Tambak Wedi itu berhenti sejenak, lalu, “Nah, kita harus mempergunakan setiap kesempatan sebaik-baiknya. Kita harus segera menyusun rencana. Kita manfaatkan ketidakpuasan yang ada di Tanah Perdikan ini. Kita harus dapat meniupnya dan membakar Tanah ini dengan ketidakpuasan itu, sehingga tanah ini akan menjadi karang abang. Di atas reruntuhan itu kita akan membangunkan sesuatu kekuatan yang tidak dapat terpatahkan. Kita akan madeg kraman, melawan kekuasaan Adiwijaya. Kita harus dapat menguasai Alas Mentaok sebelum hutan itu dikuasai oleh Pemanahan.” Sekali lagi Ki Tambak Wedi berhenti. Ditariknya nafas dalam-dalam seakan-akan ingin mengendapkan perasaannya yang sedang meluap. Kemudian katanya, “Ah, aku sudah meloncat terlampau jauh. Sekarang, apakah yang sebaiknya kita lakukan di atas Tanah ini untuk melepaskan kekuasaan Argapati yang ternyata terlampau mementingkan dirinya sendiri dari pada kejantanan, harga diri, dan cita-cita itu?”
Argajaya mengerutkan keningnya. Kemudian diangguk-anggukkannya kepalanya. Katanya, “Terserahlah kepada Kiai. Aku sama sekali belum sempat memikirkannya. Persoalan ini baru saja aku ketahui, dan keputusanku pun baru saja, aku ketemukan.”
Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi sama sekali tidak dilihatnya, bahwa Argajaya itu tersenyum di dalam hati. Di dalam dasar hatinya, ia berkata, “Biarlah Sidanti mengusir Kakang Argapati. Tetapi pada saatnya, akulah yang akan duduk di atas tempat tertinggi di Menoreh itu. Kakang Argapati memang sebaiknya disingkirkan. Selagi ia masih ada, maka aku dan keturunanku tidak akan mendapat kesempatan itu. Tetapi apabila Kakang Argapati sudah tidak ada, maka kemungkinan itu akan datang. Sidanti sama sekali tidak berhak atas kedudukan itu. Sepatah kata yang membukakan rahasia itu, maka setiap orang di Menoreh akan berpihak kepadaku. Darah trah kepemimpinan di Menoreh sepenuhnya mengalir di dalam tubuhnya. Tetapi jalan lain tidak aku lihat saat ini kecuali bergabung dengan Ki Tambak Wedi dan Sidanti. Memperbanyak jumlah pengikutnya dan menyalakan api ketidak-puasan di atas Bukit ini. Tetapi api itu kelak harus membakar hangus dua orang ayah beranak yang telah menghancurkan segala sendi-sendi peradaban atas isteri Kakang Argapati, dan sekarang berkeinginan untuk membinasakannya Kakang itu sendiri.”
Sekali lagi Argajaya tersenyum di dalam hati. Ketika kemudian Ki Tambak Wedi sibuk berbicara tentang rencananya, maka Argajaya pun sibuk membuat perhitungan-perhitungan di dalam hatinya. Menangkap segala rencana Ki Tambak Wedi itu dan menyesuaikan dengan rencana yang disusunnya sendiri.
Ternyata rencana Argajaya tidak kalah besar dan jauh dari rencana Tambak Wedi. Ia dapat memanfaatkan usaha-usaha yang akan dapat memberinya keuntungan. Dan ia akan dapat meminjam tangan Ki Tambak Wedi untuk kepentingannya, meskipun menilik tata lahir Ki Tambak Wedi-lah yang akan memanfaatkan apa.
“Tetapi aku harus melihat perkembangan dari setiap rencana mereka,” kata Argajaya di dalam hatinya. “Sehingga untuk itu aku harus mendapat kesempatan untuk selalu berada di antara mereka.”
Sekali lagi Argajaya tersenyum di dalam hatinya. Ia harus menjadi orang penting. Ia harus, menunjukkan kesetiaannya kepada Ki Tambak Wedi dan Sidanti supaya ia mendapat kepercayaan, sehingga pada saatnya ia dapat bertindak sesuai dengan rencananya sendiri.
“Tetapi untuk menghadapi Ki Tambak Wedi, aku tidak akan dapat berbuat sendiri,” berkata Argajaya di dalam hatinya. “Aku harus menghubungi orang-orang yang pernah aku kenal dan aku, percaya.”
Terbayang di kepala Argajaya seorang tua yang dikenalnya dengan baik. Meskipun ia belum yakin bahwa orang tua itu bersedia membantunya, tetapi ia akan mencobanya.
“Hubungan orang tua itu dengan Kakang Argapati agak kurang baik,” desahnya di dalam dadanya. “Mudah-mudahan aku berhasil membujuknya dan membawanya di dalam rencanaku. Kalau Kakang Argapati telah tersisihkan, apalagi terbunuh, maka orang tua itu akan dapat menyingkirkan Ki Tambak Wedi. Sidanti bukan soal yang sulit bagiku. Apalagi rahasianya telah berada di tanganku.”
Argajaya itu mengangkat kepalanya ketika ia mendengar Ki Tambak Wedi bertanya, “Apakah kau ragu-ragu, Ngger?”
“Memang ada keragu-raguan itu, Kiai. Aku adalah adik Kakang Argapati. Tetapi aku sedang mencoba mempergunakan pikiranku. Bukan perasaanku.”
“Aku percaya bahwa Angger akan dapat mengatasi perasaan itu. Dengan demikian, aku tidak akan terlampau banyak bekerja menjelang pertemuan di bawah Pucang Kembar itu. Bukankah begitu? Aku percaya bahwa pengaruhmu di sini cukup kuat, sehingga bersama-sama dengan Sidanti, kalian segera akan berhasil membelah Menoreh menjadi dua kekuatan. Sidanti dan Angger Argajaya di satu pihak dan Argapati di lain pihak.” Ki Tambak Wedi berhenti sejenak, lalu, “Dapatkah aku membuat perhitungan demikian?”
Argajaya mengerutkan keningnya. Tanpa dikehendakinya sendiri ia berpaling kepada Sidanti. Kemudian katanya perlahan-lahan, “Bagaimana pendapatmu, Sidanti?”
Sejenak Sidanti berpikir. Ia mencoba untuk menjajagi keadaan di Tanah Perdikan Menoreh. Namun ia berkata, “Aku terlampau lama berada di luar Tanah Perdikan ini, sehingga aku tidak segera dapat mengatakannya. Paman-lah yang setiap saat berada di Tanah ini. Melihat watak dan sifat orang-orangnya. Mendengar dan mengerti kemauan dan kesenangannya.”
Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia berdesis, “Ada pihak yang tidak senang kepada Kakang Argapati, justru karena ia ingin menjadikan Tanah ini terlampau baik. Kakang Argapati mencoba mencegah perjudian sabung ayam dan kesenangan lain yang telah mendarah daging bagi orang-orang Menoreh. Sejak ia menjadi Kepala Tanah Perdikan, ia sudah mulai mencoba. Tetapi setiap kali ia merasa gagal. Setiap kali ia dihadapkan pada kenyataan, bahwa hal-hal yang tidak dikehendaki itu ternyata masih tersebar luas di Tanah Perdikan ini. Seakan-akan semakin lama bahkan menjadi semakin meluas. Tetapi Kakang Argapati pun agaknya tidak jemu-jemu pula berusaha. Cara yang dianggapnya baik selalu dicobanya. Setiap kali ia gagal, setiap kali pula ia menemukan cara yang lain. Terlebih-lebih lagi pada saat paceklik yang jarang sekali menerkam Tanah Perdikan ini. Beberapa tahun yang lampau Tanah ini mengalami paceklik panjang. Dalam saat yang demikian itulah agaknya Kakang Argapati hampir kehabisan kesabaran, sehingga cara yang ditempuhnya menjadi tampak terlampau keras dan kasar. Beberapa pihak menjadi tidak senang atas sikap itu.” Argajaya berhenti sejenak untuk menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba mengingat apakah yang pernah terjadi di Tanah Perdikan ini, dan apakah yang sebaiknya dikatakannya pada saat itu. Sejenak kemudian disambungnya, “Bukan saja mereka yang telah dicengkam oleh judi, sabung ayam, sabung gemak, dan bahkan jirak dan dakon dengan taruhan, beradu kemiri dan yang lain-lain, tetapi juga orang-orang kaya menjadi kecewa. Pada saat yang paling sulit, Kakang Argapati telah meminjam padi dan beras dari orang-orang kaya untuk orang-orang miskin. Pada saat yang paling sulit itu pun Kakang Argapati agaknya hampir kehilangan kesabaran karena kecemasannya melihat rakyatnya diserang oleh kelaparan. Pada saat itulah Kakang Argapati mengambil beras dan padi orang-orang kaya itu, meskipun menurut perjanjian yang dibuat, Kakang Argapati akan mengembalikan. Tetapi orang-orang kaya merasa haknya dirampas dengan paksa oleh Kakang Argapati. Mereka merasa bahwa Kakang Argapati telah menyalahgunakan kekuasaannya sebagai Kepala Tanah Perdikan, untuk memeras orang-orang kaya di Tanah ini.”
Ki Tambak Wedi memperhatikan keterangan Argajaya itu dengan dahi yang berkerut-merut. Namun sejenak kemudian ia tersenyum. Katanya, “Apakah Angger Argajaya mengenal orang-orang yang menjadi sakit hati itu?”
“Aku mengenal sebagian terbesar dari mereka.”
“Apakah mereka tidak terikat oleh kesetiaan dan kebanggaan atas keturunan Argapati.”
“Ya. Itulah yang menahan mereka untuk berbuat sesuatu. Mereka merasa bahwa trah Argapati tidak dapat diganggu gugat memegang pimpinan di Tanah ini.”
Wajah Ki Tambak Wedi menjadi suram. Ia menyadari, kesetiaan yang sudah tertanam sejak nenek moyang itu memang sulit untuk di atasi. Tidak ada orang lain yang lebih baik daripada jalur keturunan Argapati. Tidak ada orang lain yang pantas untuk menyebut dirinya Ki Gede Menoreh, selain Argapati turun-tumurun. Karena itu maka gumamnya, “Itu merupakan penghalang yang besar. Kita tidak akan dapat memutuskan ikatan itu dengan mudah.”
Tetapi segera Argajaya menyahut, “Kita tidak usah mencemaskannya. Kita harus meyakinkan kepada mereka, bahwa Sidanti adalah jalur yang sah. Kita hanya sekedar mempercepat persoalan, karena menurut wawasan kita Kakang Argapati sudah tidak dapat memenuhi kuwajibannya.”
Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar keterangan Argajaya itu. Bahkan kemudian ia tersenyum. Memang masuk akal, bahwa dengan demikian, orang-orang yang tidak puas dengan Argapati akan mendapat saluran untuk menentukan sikap, mencari orang baru yang dapat diharapkan memenuhi keinginan mereka. Dan orang baru itu adalah jalur yang tidak menyimpang dari lajer induk.
“Sidanti akan bernama Argapati dan bergelar Ki Gede Menoreh,” desis Ki Tambak Wedi di dalam hati. “Apabila demikian, maka Argajaya pada saatnya tidak akan berguna lagi. Ia adalah duri di dalam daging yang setiap saat dapat menumbuhkan luka yang berbahaya. Ia akan dapat berkhianat dan menyingkirkan Sidanti, apalagi setelah diketahuinya bahwa Sidanti sama sekali bukan putera Argapati.” Ki Tambak Wedi itu tersenyum di dalam hati.
“Tetapi aku memerlukannya sekarang untuk memecah kekuatan Menoreh.”
Namun pada saat itu Argajaya tersenyum juga di dalam hatinya. “Aku sudah memegang rahasia itu. Pada saatnya kau akan tersingkirkan dari Menoreh, setelah orang-orang Menoreh mengetahui, bahwa kau bukan trah Argapati, Sidanti.”
Pada saat yang bersamaan, Argapati sendiri sedang sibuk dengan puterinya Pandan Wangi. Pada saat gadis itu menyadari kenyataan yang dihadapinya, tiba-tiba wajahnya menjadi pucat. Tidak sepatah kata pun yang dapat diucapkannya. Tubuhnya menjadi gemetar, dan keringat dingin mengalir dari segenap tubuhnya.
Argapati terkejut ketika ia mendengar Pandan Wangi memekik kecil. Tetapi sejenak kemudian gadis itu jatuh terkulai lemas. Pingsan.
Bukan saja Argapati yang menjadi cemas, tetapi pelayan-pelayan yang dipanggilnya pun menjadi bingung pula. Mereka kemudian menggelusut tubuh Pandan Wangi dengan berambang, jahe, dan minyak kelapa. Beberapa orang menggosok keningnya dengan jeruk dan air hangat. Sedang beberapa orang yang lain berkumat-kumit tanpa mengetahui apa yang sedang diucapkannya sendiri.
“Kenapa Pandan Wangi menjadi pingsan?” bertanya salah seorang sambil berbisik.
Kawannya menggelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu.”
Argapati sendiri kemudian menekan dadanya sambil menarik nafas dalam-dalam. Agaknya Pandan Wangi mengalami kejutan yang sangat, sehingga ia tidak dapat mempertahankan kesadarannya. Karena itu setelah usaha yang wajar tidak dapat membangunkan Pandan Wangi, maka berkatalah Argapati, “Bawalah Pandan Wangi ke dalam biliknya. Hati-hati. Aku sendiri akan mencoba menyadarkannya.”
Perlahan-lahan tubuh Pandan Wangi dipapah oleh beberapa orang, dibawa ke dalam biliknya. Setelah gadis itu dibaringkan di pembaringannya, maka Argapati pun berkata, “Tinggalkan gadis ini seorang diri.”
Para pelayan menjadi semakin bingung. Mereka bertanya-tanya di dalam hati, apakah yang akan dilakukan oleh Ki Gede Menoreh?
Tetapi para pelayan itu dengan penuh pertanyaan di dalam hati, satu-satu melangkah meninggalkan bilik itu. Namun meskipun bilik itu kemudian ditutup oleh Argapati, mereka sama sekali tidak beranjak dari samping pintu. Mereka ingin mengetahui, apakah yang akan terjadi atas Pandan Wangi. Bagi para pelayan, Pandan Wangi adalah seorang gadis kesayangan. Para pelayan tahu, bahwa gadis itu telah ditinggalkan oleh ibunya. Apalagi Pandan Wangi adalah gadis yang ramah dan baik, sehingga para pelayan senang kepadanya.
Di dalam bilik itu, Argapati duduk di samping puterinya. Tubuh gadis itu telah dibasahi oleh minyak kelapa, berambang, air jeruk dan bermacam-macam ramuan untuk mencoba menyadarkannya. Tetapi Pandan Wangi masih tetap pingsan.
Argapati tidak dapat membiarkannya dalam keadaan yang demikian Maka dirabanya dahi anak itu. Dipusatkannya segenap kekuatan batinnya, memanjat langsung kepada Tuhan Maha Pencipta.
Terasa tangan Argapati itu menjadi gemetar. Kepalanya semakin lama menjadi semakin menunduk. Dengan dada yang semakin lama menjadi semakin bergetar. Argapati berusaha sekuat-kuat tenaga batinnya untuk memohon agar anaknya segera menjadi sadar.
Setitik air seakan-akan menetes ke atas bara api di bawah kakinya ketika ia merasakan gerak yang lemah sekali pada anaknya itu. Agaknya saluran kekuatan hati dan kemantapannya memohon telah bergetar pula di dalam dada anak itu.
Argapati yang telah mencurahkan segenap kemungkinan yang ada di dalam dirinya itu kemudian menarik nafas dalam-dalam. Wajah puterinya menjadi berangsur merah. Meskipun Pandan Wangi masih belum sadar, namun tampaklah bahwa gelombang dadanya menjadi semakin keras.
Perlahan-lahan Argapati kemudian bangkit. Diambilnya air dingin di dalam kendi yang terletak di geledeg di sudut bilik itu. Dengan hati-hati dititikkan air dari dalamnya. Perlahan-lahan sekali, dengan sangat hati-hati. Setitik demi setitik.
Argapati hampir berteriak kegirangan ketika ia melihat puterinya itu membukakan matanya. Yang pertama-tama dipandangnya adalah pelita yang terletak di atas ajuk-ajuk, yang melekat pada tiang bilik itu. Kemudian perlahan-lahan kepalanya bergerak, beredar ke seluruh ruangan. Ketika terpandang olehnya, Argapati, ayahnya, maka dengan serta-merta Pandan Wangi itu berusaha bangkit. Tetapi tubuhnya menjadi terlampau lemah, sehingga ia terjatuh lagi di pembaringannya.
“Jangan bergerak, Wangi,” desis ayahnya perlahan-lahan.
Pandan Wangi tidak berusaha bangkit lagi dari pembaringannya. Ditatapnya saja wajah ayahnya dengan mata yang basah. Ketika kemudian Argapati itu duduk lagi di sampingnya setelah meletakkan kendi di tempatnya, maka dengan serta-merta diraihnya tangan ayahnya, diletakkannya di atas wajahnya.
Maka meledaklah tangis Pandan Wangi, seperti bendungan yang pecah oleh banjir bandang.
Argapati menarik nafas dalam-dalam. Betapa hatinya serasa diiris dengan ujung senjata yang paling tajam. Namun sedikit kelegaan menyusup di dalam relung hatinya. Pandan Wangi telah dapat menangis. Telah dapat meluapkan perasaan yang tertahan. Semoga dengan demikian dadanya menjadi agak lapang.
Sejenak Argapati duduk saja berdiam diri di samping puterinya yang sedang menangis. Dibiarkannya saja Pandan Wangi menumpahkan sesak di dadanya, meskipun dadanya sendiri serasa akan retak. Setiap isak tangis puterinya seolah-olah seujung tombak yang menyentuh jantungnya.
Baru ketika tangis Pandan Wangi telah sedikit mereda, Argapati mencoba menghiburnya. Katanya, “Pandan Wangi. Aku sudah menyangka bahwa kau akan terkejut mendengar ceritera itu. Tetapi aku mengharap bahwa kau dapat menanggapinya secara dewasa. Jangan kau tangkap ceritera itu dengan sikap kekanak-kanakan.”
Dada Pandan Wangi masih terasa terlampau sesak. Meskipun demikian terlontar juga kata-katanya di sela-sela isak tangisnya, “Ayah, kenapa aku dilahirkan?”
Argapati mengerutkan keningnya. Pertanyaan itu tidak diduga-duganya. Pandan Wangi tidak bertanya tentang Sidanti, tetapi ia bertanya tentang diri sendiri. Karena itu maka Argapati pun bertanya pula, “Apakah yang kau maksudkan Sidanti?
Pandan Wangi menggeleng lemah. Katanya, “Bukan, Ayah. Bukan Kakang Sidanti. Tetapi aku, ya kenapa aku dilahirkan dalam keadaan ini.”
Argapati menjadi semakin tidak mengerti. “Kenapa Wangi? Tidak ada persoalan apa-apa padamu. Persoalan kakakmu, Sidanti, pun sebenarnya telah selesai. Aku tidak akan mengusiknya. Bagaimana pahit perasaanku, tetapi aku sudah menerimanya sebagai anakku. Aku mengharap bahwa Ki Tambak Wedi akan bersikap jujur. Ia mengangkat Sidanti sebagai muridnya, tidak sebagai anaknya yang dimanjakannya dengan berlebih-lebihan. Kini Sidanti terperosok ke dalam kesulitan, dan kesulitan itu akan dibebankan kepadaku, kepada Tanah Perdikan Menoreh. Sebenarnya aku pun tidak akan ingkar. Aku memang wajib menyelesaikan karena Sidanti adalah anakku. Tetapi tidak dengan cara yang ditempuh oleh Ki Tambak Wedi. Aku memilih cara yang lain, ya lebih sesuai dengan sikap dan kedudukanku. Tetapi Ki Tam Wedi salah paham. Dan ia menganggapku berkhianat.”
“Aku mengerti, Ayah,” sahut Pandan Wangi sambil terisak. “Aku mengerti. Tetapi justru Kakang Sidanti telah mendapat tempat yang wajar seandainya kini ia tidak berbuat kesalahan, seandainya ia kini menurut kehendak Ayah.”
“Ya, lalu kenapa dengan kau?”
“Bagaimanapun juga kelahiran Kakang Sidanti didasari atas kehendak bersama dari ayahnya dan ibunya, meskipun akhirnya disesali. Tetapi pada saat-saat itu, ada sentuhan kehendak bersama di antara keduanya.”
“Tetapi itu tidak ada hubungan apa-apa dengan kau, Wangi.”
“Tidak, Ayah,” sahut Pandan Wangi. “Aku dilahirkan tanpa kesediaan yang jujur dari ayah dan ibu. Ayah dan ibu ternyata tidak saling mencintai lagi. Setelah peristiwa itu terjadi, maka hubungan Ayah dan ibu hanyalah sekedar hubungan yang diikat ketentuan lahiriah. Tetapi di antara Ayah dan ibu sama sekali sudah tidak ada ikatan batin, ikatan jiwa secara murni. Dalam keadaan yang demikian itulah aku dilahirkan.”
“Wangi, apakah yang kau katakan itu?”
“Hubungan antara Ayah dan ibu adalah hubungan yang diatur oleh keharusan duniawi. Ayah dan ibu seolah-olah hanya ingin memenuhi kuwajiban masing-masing sebagai suami isteri. Tetapi kelahiran yang demikian adalah kelahiran tanpa arti. Kelahiran yang hanya dipaksakan oleh ikatan duniawi semata-mata tanpa hakekat yang sebenarnya dari hubungan antara suami dan isteri.”
“Wangi, dari mana kau dapat berkata begitu?”
“Bukankah aku sudah dewasa ayah?”
Argapati menarik nafas dalam-dalam. Hatinya menjadi kian pedih ketika tangis Pandan Wangi menjadi semakin meledak-ledak.
“Wangi,” berkata Argapati, “tanggapanmu atas Sidanti dan dirimu sendiri terlampau dipengaruhi oleh kedirianmu. Kau terlampau kecewa melihat kenyataan itu. Tetapi sebenarnya tidak tepat seperti apa yang kau katakan. Coba Wangi, apakah kau masih juga menganggap bahwa kelahiran Sidanti diciptakan oleh hakekat hubungan antara seorang ayah dan seorang ibu? Kau telah membuat pertentangan yang tajam dari peristiwa-peristiwa itu. Kau memandang pada puncak-puncak peristiwa tanpa memperhatikan perkembangan jiwa yang terjadi kemudian padaku dan pada ibumu. Wangi, kau dapat membayangkan bahwa dapat terjadi kelahiran Sidanti, betapa kemudian ibumu menyesalinya. Sedang kelahiranmu memberikan kebahagiaan kepadanya dan kepadaku. Kami mengharapkan bahwa dengan kelahiranmu keretakan yang pernah ada itu akan dapat terhapuskan, setidak-tidaknya dikurangi. Bukankah dengan demikian kelahiranmu itu merupakan karunia atas kami berdua tanpa menilik perasaan kami masing-masing pada saat-saat sebelumnya?”
“Tetapi perasaan bahagia itu adalah sekedar pelarian dari kekecewaan yang pernah mencengkam hati Ayah dan ibu,” tangis Pandan Wangi menjadi semakin mengeras.
“Wangi, jangan terlampau dilanda oleh perasaan.”
“Ayah,” terdengar suara Pandan Wangi di antara isaknya, “aku tidak menyalahkan Ayah apabila Ayah selain diliputi oleh kekecewaan di dalam lingkungan keluarga. Betapa ayah mengasihi aku dan ibu dan bahkan Kakang Sidanti, tetapi sejak aku meningkat dewasa, aku merasakan sesuatu yang aneh tersimpan di hati ayah. Ayah sering menyendiri. Ayah sering melakukan pekerjaan ayah jauh melampaui batas waktu yang sewajarnya. Ayah sering pergi berburu dan bahkan Ayah mengajarku berburu pula. Bukan sekedar berburu, tetapi Ayah mendidik aku seperti Ayah mendidik seorang anak laki-laki dalam olah kanuragan.” Pandan Wangi terhenti sejenak. Isaknya serasa menyumbat kerongkongan. Sejenak kemudian terdengar ia berkata sendat, “Apakah sebenarnya maksud ayah mengajariku ilmu itu? Ilmu cabang perguruan Menoreh menurut istilah Ayah? Kenapa tidak kepada Kakang Sidanti yang justru dibawa oleh ayahnya yang sebenarnya ke Tambak Wedi?” Sekali lagi Pandan Wangi berhenti, tetapi ketika ayahnya ingin menjawab, dipotongnya, “Aku kini dapat meraba perasaan Ayah waktu itu. Waktu Ayah memutuskan untuk memberi aku ilmu perguruan Menoreh meskipun aku tidak dapat memenuhi keinginan Ayah maju dengan cepat seperti seorang anak laki-laki.”
Argapati tidak segera menjawab. Ia merasakan kehalusan perasaan Pandan Wangi. Perasaan seorang gadis yang kecewa.
Rara Wulan bagi Pandan Wangi adalah seorang perempuan yang putih bersih tanpa cacat. Ibu bagi seorang putri adalah gambaran dari kesucian yang mulus. Namun tiba-tiba anggapan itu telah berbenturan dengan kenyataan yang dihadapkan kepadanya.
Sebersit penyesalan mengorek hati Argapati. Tetapi kemudian ia merasa bersyukur, bahwa ia cukup mempunyai kekuatan untuk mengatakan kenyataan itu. Pandan Wangi mendengar langsung dari mulutnya sendiri, dari mulut ayahnya, bukan dari orang lain, meskipun kejutan perasaan itu akan terlampau parah baginya.
“Ayah,” terdengar suara Pandan Wangi lemah, “bukankah Ayah ingin mendapatkan imbangan dari kekecewaan Ayah terhadap kelahiran Kakang Sidanti? Ayah ingin seorang anak laki-laki yang dapat memberi kebanggaan bagi Ayah. Tetapi Kakang Sidanti tidak dapat Ayah terima dengan sepenuh hati. Karena itulah maki Ayah mencoba membuat aku menjadi seorang anak laki-laki meskipun dalam hidupku sehari-hari aku tetap seorang gadis.”
Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Betapa tajamnya perasaanmu, Wangi. Sebagian terbesar kau telah benar menebak perasaanku. Tetapi kau kurang tepat menilai hakekat dari persoalannya. Seperti bibi pernah menganggapku sebagai seorang pemimpi, maka aku pun pernah mengutuk kenyataan itu. Tetapi itu sudah terjadi, Wangi. Dan aku mencoba untuk pasrah diri pada keharusan itu. Jangan berpijak pada ledakan kenyataan itu sendiri. Tetapi kau harus mencoba menyelusur perkembangan jiwaku dan ibumu. Kau lahir dalam pengharapan.”
“Itulah yang Ayah lakukan. Ayah terlampau sadar dalam keutuhan nalar, bahwa harus lahir seorang anak yang akan menjadi adik Sidanti, karena Sidanti tidak sepenuhnya menjadi isi dari keluarga ini. Bukan didorong oleh tambatan batin di antara Ayah dan ibu. Kesadaran atas suatu keharusan mendapatkan anak itulah yang telah mengurangi nilai daripada kelahiran anak itu sendiri. Kesadaran itu telah mendorong Ayah dan ibu dalam suatu kuwajiban yang harus dilakukan. Hanya sekedar kuwajiban.”
“Kau membedakan antara kuwajiban dan harapan di dalam persoalan ini, Wangi. Di dalam persoalan kelahiranmu, jangan terlampau tajam menarik garis antaranya. Cobalah kau menenangkan hatimu, supaya kau dapat berpikir lebih bening. Bahwa aku melakukan kuwajiban memang selalu didasari oleh pengharapan. Jangan kau samakan antara pengharapan atas sesuatu dengan pamrih untuk diri sendiri, meskipun keduanya saling mengait.”
Isak Pandan Wangi masih terdengar satu-satu. Kelembutan suara ayahnya memberinya sedikit ketenteraman. Tetapi setiap kali teringat olehnya, apa yang telah terjadi atas ibunya, maka hatinya serasa ditusuk dengan sembilu.
“Kau harus menilai hal ini sebagai suatu kenyataan yang sudah tidak dapat diingkari lagi, Wangi. Kau harus menerimanya, meskipun aku tahu, betapa sakit luka yang tergores di hatimu. Aku tahu, bagaimana hatimu hancur melihat kenyataan tentang ibumu. Tetapi seperti aku pada saat itu, yang hampir-hampir kehilangan pegangan dan kehilangan akal, sehingga aku hampir-hampir berbuat sesuatu di luar sadarku, maka kau pun akhirnya harus menerimanya. Mau tidak mau. Kenyataan itu tidak akan terhapuskan meskipun seandainya kau ingin menolaknya, sebab kenyataan itu telah terjadi. Seperti aku pada saat itu mendengar kata-kata tentang keadaanku, Wangi, bahwa sebaiknya aku tidak terpukau pada peristiwa yang sudah terjadi. Tetapi, bagaimana dengan hari-hari mendatang. Demikian juga hendaknya kau. Jangan terpukau oleh peristiwa yang sudah lama lalu. Tetapi apakah yang akan segera terjadi?”
“Apakah hal itu mungkin, Ayah?”
“Dalam batas kemungkinan, Wangi. Tetapi kita harus berusaha.”
“Aku tidak dapat melepaskan diri dari hari kemarin, Ayah. Seperti Ayah katakan, bahwa yang terjadi kemarin adalah kenyataan yang tidak dapat aku ingkari. Kenyataan tentang diriku, tentang ibuku dan tentang Kakang Sidanti. Apakah sekarang aku dapat melepaskan diri dari kenyataan itu, sehingga aku, Pandan Wangi yang sekarang bukan Pandan Wangi yang lahir karena Ayah menjadi suami ibu, dalam ikatan lahiriah? Apakah Kakang Sidanti dapat melepaskan diri dari kenyataan bahwa ia adalah anak Paguhan yang bergelar Ki Tambak Wedi? Apakah ibu dapat menghapus noda yang telah tercoreng di keningnya, sebagai seorang gadis yang menyerahkan kehormatannya karena nafsu yang menyala di dalam dadanya? Apakah ibu dapat mencuci dirinya dan membersihkan namanya meskipun ia menjadi isteri Kepala Tanah Perdikan Menoreh? Tidak, Ayah. Tidak. Ibu telah berbuat sesuatu yang paling keji, yang paling kotor. Dan aku, aku adalah anaknya.”
Tiba-tiba tangis Pandan Wangi itu menjadi semakin keras kembali setelah agak mereda. Dihentak-hentakkannya tangannya pada dadanya yang terasa terlampau sesak. (BERSAMBUNG)
Pelayan-pelayannya yang berdiri di luar pintu menjadi heran. Mereka mendengar Pandan Wangi menangis. Mereka mendengar seakan-akan Pandan Wangi itu berbantah dengan ayahnya. Tetapi mereka tidak mendengarnya dengan jelas. Mereka tidak mengerti apakah sebenarnya yang dipersoalkan.
Karena itu, maka mereka menjadi semakin lama semakin cemas. Namun mereka sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka tidak berani mengetuk pintu dan bertanya, apakah sebenarnya yang telah terjadi.
“Wangi,” Argapati kemudian berbisik perlahan-lahan, “tenanglah. Jangan menyesali diri dan kehadiran dirimu. Ingat, bahwa segala sesuatu tergantung sekali kepada kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Kelahiranmu adalah karena kuasanya. Jangan mempersoalkan lantaran kelahiranmu. Tetapi kau adalah hamba-Nya, seperti orang-orang lain adalah hamba-Nya terkasih pula. Terimalah segalanya dengan ikhlas. Kalau kau ikhlas Wangi, tidak ada lagi persoalan bagimu. Persoalan masa lalu itu akan selesai. Marilah kita mulai berbicara dengan masa depan. Masa depanmu dan masa depanku, masa depan Tanah Perdikan Menoreh.” Argapati berhenti sejenak, lalu, “Sekarang tidak ada lagi yang dapat aku bawa berbicara Wangi, kecuali kau, meskipun kau seorang gadis.”
Pandan Wangi masih juga menangis. Tetapi tangisnya kini telah mereda. Namun masih terasa luka di hatinya terlampau pedih. Ternyata kebahagiaan keluarganya selama ini adalah kebahagiaan yang semu. Kebahagiaan yang dibuat-buat bahkan dipaksakan oleh ayah dan ibunya.
Meskipun demikian kata-kata ayahnya berhasil juga sedikit memberinya harapan. Masa depan, dan menerima semuanya dengan ikhlas. Masih terngiang suara ayahnya, “Kau adalah hamba-Nyi terkasih, seperti orang-orang lain adalah hamba-Nya terkasih pula.”
Pandan Wangi mencoba menghibur hatinya sendiri untuk mengurangi sesak nafasnya. Bahwa Tuhan adalah Maha Kasih Kepada-Nya-lah setiap orang harus menyandarkan dirinya.
Ketika tangis Pandan Wangi kemudian mereda kembali, berkatalah Argapati, “Beristirahatlah, Wangi. Nanti aku ingin berbicara denganmu. Mudah-mudahan kau mendapat ketenteraman hati. Tetapi kita nanti akan berbicara dengan nalar. Sejauh dapat kita pergunakan dan sejauh kita dapat menyeimbangkan perasaan.”
Pandan Wangi tidak menjawab, tetapi ia mengangguk kecil.
“Kau menebak hampir tepat, kenapa aku menyerahkan ilmu kepadamu dan mendidikmu seperti seorang anak laki-laki dalam olah kanuragan. Kenapa tidak kepada Sidanti.” Argapati diam sejenak, lalu, “Kini kau mendapat jawabnya. Perasaan itu seolah-olah menjadi firasat bagiku, bahwa aku harus berbuat demikian.”
Sekali lagi Pandan Wangi menganggukkan kepalanya.
“Kalau kau dapat tidur, tidurlah, Wangi. Kita besok melihat hari yang bakal datang dengan hati yang dipenuhi oleh gairah akan masa mendatang. Kita berdiri di tempat yang berbeda dengan hari-hari yang lampau. Yang kita hadapi kini jauh lebih berat daripada mengatur Tanah Perdikan ini, daripada berusaha melenyapkan segala macam kemaksiatan dari Tanah tercinta ini.”
Terdengar Pandan Wangi berdesis meskipun tidak jelas. Tetapi Argapati dapat menangkap maksudnya, bahwa Pandan Wangi akan mencoba melakukan pesannya. Beristirahat.
Argapati pun kemudian meninggalkan Pandan Wangi seorang diri. Para pelayan yang masih ada di muka pintu segera menyibak. Mereka, melihat betapa wajah Argapati diliputi oleh kecemasan dan kemuraman. Tetapi tidak seorang pun yang berani bertanya. Mereka hanya berani mengintip bilik Pandan Wangi yang luas itu dari sela-sela pintu yang tidak tertutup rapat. Ketika mereka melihat Pandan Wangi masih berbaring diam, maka mereka pun tidak berani masuk ke dalamnya.
“Biarlah ia tidur,” desis salah seorang pelayan.
“Ya, biarlah ia tidur. Marilah kita pergi ke belakang.”
“Bagaimanakah kalau ia memerlukan sesuatu?”
“Salah seorang dari kita bergantian menjaganya di sini. Di muka pintu, supaya tidak mengganggunya.”
Para pelayan itu pun kemudian satu-satu pergi meninggalkan bilik itu. Salah seorang dari mereka menungguinya sambil duduk bersandar uger-uger. Sekali-sekali diintipnya Pandan Wangi yang masih saja berbaring. Tetapi pelayan itu tidak berani berbuat apa pun selain duduk terkantuk-kantuk.
Namun dalam pada itu dada Pandan Wangi masih bergolak dengan dahsyat. Betapa ia mencoba berdiri tegak, melepaskan diri dari persoalan-persoalan itu, selalu saja ia terdampar kembali ke dalamnya. Ia tidak dapat melepaskan diri dari kenyataan yang pahit itu. Tetapi seperti kata ayahnya, ia tidak boleh terbenam pula di dalamnya dan tidak mampu lagi untuk bangkit menghadapi masa depannya yang panjang.
Kini ia sadar, bahwa tanpa dirinya, ayahnya akan benar-benar berdiri seorang diri. Sidanti dan bahkan pamannya sendiri, adik ayahnya itu, Argajaya, telah meninggalkannya, meninggalkan ayahnya.
Maka perlahan-lahan tumbuhlah perasaan ibanya kepada ayahnya. Kepada ayah yang dikasihinya, seperti ia mengasihi ibunya. Tetapi ternyata bahwa peristiwa yang baru saja didengarnya itu telah menodai pula kasihnya kepada ibunya itu.
“Ayah seorang diri akan berhadapan dengan Ki Tambak Wedi, Paman Argajaya, dan Kakang Sidanti,” desisnya.
Namun sekali lagi ia dilemparkan pada kesulitan perasaan. Sidanti adalah kakaknya. Sejak kecil ia menganggap Sidanti itu kakaknya. Memang sebenarnyalah Sidanti itu kakaknya seibu meskipun kemudian ternyata tidak seayah. Tetapi karena tidak ada orang lain, maka hubungan mereka benar-benar diikat oleh kasih seorang kakak-beradik. Apakah yang akan dilakukannya seandainya kakaknya Sidanti itu kini memusuhi ayahnya.
“Ayah memerlukan seorang yang berada di pihaknya. Ayah memerlukan kawan untuk berbincang. Dan tidak ada orang lain, selain aku,” desis Pandan Wangi. “Tetapi apakah aku dapat berbuat sesuatu atas Kakang Sidanti dan Paman Argajaya?”
Tiba-tiba sekilas teringatlah ia apa yang baru terjadi kemarin, ketika ia harus berkelahi melawan Sidanti yang menutup wajahnya dengan ikat kepalanya. Ternyata ia masih belum dapat menyamai ilmu Sidanti, meskipun tidak terpaut terlampau banyak
“Apakah aku harus berangan-angan bahwa suatu ketika aku akan berhadapan dengan Kakang Sidanti sendiri?”
Terasa segores luka menyentuh hati Pandan Wangi. Air matanya yang masih belum kering benar, meleleh semakin deras di pipinya. Dibayangkannya apa yang mungkin dapat terjadi, dan dibayangkannya masa kanak-kanaknya. Sidanti selalu mendukungnya apabila mereka bermain-main bersama-sama. Kadang-kadang ia merengek untuk diantar ke neneknya, ke bibi Arya Teja, di mana tinggal Sidanti. Atau Sidanti-lah yang pergi ke rumahnya untuk sehari penuh. Mereka bermain berkejar-kejaran, menangkap kupu-kupu dan bilalang. Memetik bunga dan bermain air di pinggir sumur.
“Ah,” Pandan Wangi berdesah. Namun apabila kemudian terbayang wajah ibunya, wajah Ki Tambak Wedi yang memang mempunyai beberapa persamaan dengan wajah Sidanti, tiba-tiba gadis itu menggeretakkan giginya. Sekejap seolah-olah lenyaplah sifat kegadisannya. Namun yang tidak dapat ditinggalkannya, adalah air mata yang meleleh di pipinya itu, Betapapun ia bersikap garang.
Pandan Wangi memiringkan kepalanya ketika terdengar ayam jantan berkokok bersahutan. Ternyata sebentar lagi fajar akan menyingsing sebelum ia sempat memejamkan matanya barang sekejap.
Sementara itu Argapati duduk di pringgitan seorang diri, merenungi mangkuk yang masih berisi air jahe yang masih belum diminumnya. Tetapi air itu sudah menjadi dingin, sedingin sisa-sisa malam yang sebentar lagi akan dihalaukan oleh sinar fajar.
Argapati menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan ia berdiri, dan pergi ke belakang untuk membersihkan diri. Ketika ia membuka pintu pringgitan, maka dilihatnya pendapa rumahnya yang remang-remang oleh cahaya pelita yang redup. Pendapa itu terasa terlampau sepi baginya kini. Rumah itu seakan-akan menjadi hambar. Tidak ada lagi yang memberinya isi. Tetapi ketika diingatnya Pandan Wangi di dalam biliknya, maka Argapati itu berdesis, “Semuanya kini tinggal untuknya. Untuk Pandan Wangi. Apabila Sidanti tidak mau kembali, dan Ki Tambak Wedi tetap pada pendiriannya, maka Tanah ini akan menjadi milik Pandan Wangi, bukan Sidanti, meskipun aku masih belum menutup pintu baginya. Tetapi untuk seterusnya, Sidanti pasti hanya akan dibayangi oleh gurunya dan didorongnya untuk masuk kedalam jurang yang paling dalam seperti saat ini. Menentang Pajang bukanlah mainan anak-anak.”
Argapati menarik nafas dalam-dalam. Terasa kesegaran pagi menyusup kedalam lubang-lubang hidungnya. Ketika ia kemudian melangkahkan kakinya menyentuh halaman, maka di langit telah membayang warna-warna merah yang menjadi semakin rata.
Ketika matahari terbit di ujung timur, dan ketika perempuan laki-laki berjalan berurutan di sepanjang jalan pedukuhan dan di sepanjang pematang-pematang, menuju ke pasar, terdengarlah percakapan yang meloncat dari mulut ke mulut tentang datangnya kembali Sidanti, putera Kepala Tanah Perdikan mereka. Agaknya ada perselisihan antara Sidanti dan gurunya dengan Argapati. Bahkan secepat sinar pagi menebar di atas Tanah Perdikan Menoreh, secepat itu pula berita tentang Pandan Wangi yang menangis semalam suntuk tersebar di seluruh sudut Tanah itu. Betapa panjang jalan, masih juga lebih panjang tenggorokan, demikianlah ceritera itu mendapatkan tanggapan yang luar biasa. Setiap mulut yang menyampaikan ke mulut yang lain, terdapat beberapa tambahan sesuai dengan selera masing-masing, sehingga ceritera itu pun menjadi bersimpang siur tanpa ujung dan pangkal.
“Argapati ingkar akan kuwajibannya,” desis seorang laki-laki bertubuh besar tinggi dan berkumis jarang.
“He,” kawannya terperanjat, “janji apakah yang diingkarinya?”
“Agaknya Argapati membedakan kedua anaknya. Emban cinde, emban siladan.”
“Aku tidak mengerti.”
“Sidanti mutung. Ia tidak mau tinggal bersama ayahnya yang menganggapnya tidak menurut kehendak orang tua itu.”
“He, darimana kau tahu?”
“Tadi pagi aku mendengar sendiri dari mulut adiknya.”
“Adik siapa?”
“Adik Ki Gede Menoreh yang garang itu, Ki Argajaya. Ketika aku bertemu di dekat rumahnya.”
Kawannya berbicara itu seolah-olah menjadi pening mendengar keterangan orang yang bertubuh besar tinggi dan berkumis. Maka ia pun bertanya pula, “Kau mendengar dari Ki Argajaya?”
“Ya. Tadi pagi.”
“Tadi pagi, kapan?”
“Ya tadi pagi, ketika aku berangkat ke pasar ini.”
“He,” sahut kawannya, “apakah kau bermimpi? Kapan kau bertemu dengan. Ki Argajaya? Bukankah kita berangkat bersama-sama dari rumahmu?”
Orang yang bertubuh tinggi besar itu mengerutkan keningnya. “Oh, ya kita berangkat bersama-sama.”
“Jadi kapan kau bertemu dengan Argajaya?”
“Bukan, bukan. Maksudku si Patra yang bertemu dengan Ki Argajaya sendiri. Si Patra-lah yang berkata kepadaku. Tetapi ia bertemu sendiri dengan Argajaya dan mendengar langsung dari mulutnya.”
“Kapan kau bertemu dengan si Patra?”
“Sebelum fajar. Bukankah ia sering mengambil gula kelapa dari padaku? Pagi tadi ia mengambil setenggok gula kelapa. Ia bertemu dengan Ki Argajaya langsung.”
“Bohong. Si Patra sebelum fajar datang pula ke rumahku mengambil gula kelapa pula. Ia tidak berkata-kata apa-apa. Kalau ia telah bertemu dengan Argajaya, ia pasti akan berkata pula kepadaku. Dari rumahku ia berkata, akan segera menemuimu, karena ia takut kalau gulamu jatuh ke tangan orang lain.”
Orang yang tinggi besar itu mengerutkan dahinya. Dan tiba-tiba ia berkata, “O, ya begitulah. Dari rumahmu ia memang langsung pergi ke rumahku. Di jalan itulah ia mendengarnya.”
“Tidak mungkin. Apakah kerja Ki Argajaya di sepanjang jalan di antara rumahku dan rumahmu yang tidak lebih dari limapuluh langkah itu.”
“Aku tidak tahu,” jawab orang bertubuh tinggi, lalu, “tetapi aku kira ia berkata bahwa ia mendengar dari Busik. Ya, aku lupa. Ia mendengar dari Busik, bahwa Sidanti menjadi mutung. Dan Busik-lah yang langsung mendengarnya dari Ki Argajaya.”
“He, darimanakah sebenarnya sumber kabar itu?”
“Aku mendengar, dari Patra, tetapi pasti bahwa sumber kabar itu dari Argajaya.”
Kawannya mengerutkan keningnya, lalu katanya, “Tetapi apa kepentingan kita atas hal itu?”
“Aku tidak tahu pasti. Tetapi menurut pendengaranku, demikianlah yang terjadi.”
“Tetapi agaknya kau menyambut kabar itu dengan penuh gairah.”
“Aku tidak mengharapkan yang tidak baik dari persoalan ini. Tetapi aku berkepentingan untuk mendapatkan kebebasan.”
“Kebebasan apakah yang kau maksud?”
“Aku tidak ingin selalu terganggu. Aku tidak mempunyai banyak kesenangan selain sedikit bersabung ayam. Dan Ki Argapati setiap saat mencari jalan untuk mencegahnya. Apalagi jirak kemiri dan beradu gemak. Tetapi, coba, apakah hal itu mereda? Bukankah semakin hari semakin ngambra-ambra.”
Kawannya terdiam sejenak. Ia tidak segera mengetahui maksudnya. Hubungan antara Sidanti dan bebotohan itu tidak begitu jelas baginya.
Karena itu maka ia bertanya, “Apakah yang akan dilakukan Argapati setelah Sidanti mutung? Apakah dengan demikian ia akan membiarkan saja segala macam bentuk perjudian itu, atau Sidanti mutung karena Sidanti sendiri menghendaki hal itu dibiarkan saja, sedang ayahnya menghendaki lain.”
“Demikianlah di antaranya,” jawab orang yang bertubuh besar tinggi dan berkumis jarang itu. “Sidanti memang tidak sependapat dengan ayahnya dalam banyak hal. Sedang Argajaya menganggap bahwa Sidanti berada di pihak yang benar. Demikianlah Sidanti meninggalkan rumahnya bersama gurunya. Tetapi ia tidak kembali ke perguruannya karena ia ingin mengabdikan diri kepada Tanah Perdikan ini.”
“Aku menjadi semakin tidak mengerti.”
“O, kau memang terlampau bodoh. Kau hanya dapat memanjat pohon kelapa dan nderes, kemudian membuatnya menjadi gula kelapa. Selebihnya tidak.”
“Mungkin kan benar. Tetapi aku ingin tahu, apakah yang sebenarnya akan terjadi di sini?”
“Sidanti adalah putera Ki Gede Menoreh yang berhak atas Tanah ini. Bukankah begitu?”
“Ya.”
“Dan ia sudah tidak dapat sesuai lagi dengan pendirian ayahnya.”
“Ya.”
“Tidak ada orang lain yang berhak untuk memegang pimpinan di sini, di atas Tanah Menoreh selain trah Argapati. Bukankah begitu?”
“Ya.”
“Nah, seharusnya kau sudah tahu. Kita tidak senang dengan cara Argapati memerintah. Kini telah ada di Tanah ini Sidanti, yang mempunyai hak pula atas Tanah ini. Jelas.”
“O,” wajah orang itu menjadi merah. Katanya dengan nada yang tinggi, “Jadi kau membayangkan bahwa akan terjadi benturan antara ayah dan anak? Kau membayangkan bahwa Sidanti akan nggege mangsa, mempercepat hak itu turun kepadanya, kalau perlu dengan kekerasan?”
“Bukan begitu,” jawab kawannya, “tetapi apabila terpaksa begitu, ya, apa boleh buat.”
“Tidak, tidak mungkin,” tiba-tiba kawannya hampir berteriak sehingga keduanya terhenti, “itu tidak mungkin. Argapati adalah lambang keteguhan Tanah Perdikan ini. Ia berdiri tegak di dalam keyakinannya seperti bukit-bukit karang itu. Tidak akan goyah oleh apa pun. Tidak seorang pun yang berhak mendorongnya ke samping. Puteranya laki-laki itu pun tidak.”
Orang yang bertubuh besar dan tinggi itu terkejut. Kemudian katanya, “Kenapakah kau ini? Aku hanya sekedar mengatakan bahwa aku mengharapkan pembaharuan di dalam pemerintahan di Tanah Perdikan ini. Aku mengharap bahwa aku tidak merasa dikejar-kejar lagi apa pun yang akan aku lakukan. Kau kira bahwa aku berpendirian demikian itu hanya seorang diri?”
“Katakan, katakan, siapa yang lain.”
“Patra, Busik, dan masih banyak lagi.”
Kawannya berbicara itu mengerutkan dahinya. Kabar ini adalah kabar yang aneh baginya. Dan kabar yang demikian, itu pasti sudah tersebar di seluruh Tanah Perdikan Menoreh. Tanah yang selama ini hampir tidak pernah dilanda oleh persoalan-persoalan yang mencemaskan selain kerja keras untuk kepentingan bersama. Hanya kadang-kadang terjadi benturan-benturan perasaan, apabila Argapati terpaksa, sedikit berbuat kekerasan untuk mencegah akibat buruk dari segala macam taruhan dan perjudian. Sabung ayam, gemak, jirak kemiri dan sebangsanya, yang kadang-kadang dapat menjerumuskan seseorang kedalam neraka yang paling dalam.
Tetapi tiba-tiba tanpa ada mendung dan hujan, meledaklah petir di langit. Sekelompok orang-orang yang kecewa menghendaki pembaharuan. Pembaharuan yang tidak dilandasi atas ketentuan yang berlaku.
Orang itu bukanlah orang yang mempunyai pengetahuan cukup untuk memikirkannya. Ia hanya dibayangi oleh kecemasan bahwa akan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan. Ia hanya tahu bahwa Argapati adalah seorang yang baik, karena ia bukan seorang yang sering mempertaruhkan nasibnya dengan segala macam cara. Yang ditempuhnya untuk mendapatkan perbaikan adalah dengan kerja. Kerja.
Tetapi ia mendengar kawannya yang bertubuh tinggi besar itu berkata, “Marilah, kita masih belum sampai ke pasar. Bukankah kita akan pergi ke pasar? Lupakan saja kabar itu. Kalau kau sependapat, sambutlah, kalau tidak jangan risaukan lagi. Aku kira tidak akan terjadi apa-apa.”
Kawannya tidak menyahut. Mereka melangkahkan kaki mereka, meneruskan perjalanan. Tetapi mereka kemudian saling berdiam diri di sepanjang jalan. Masing-masing dibayangi oleh angan-angan sendiri.
Namun kabar yang demikian itu sebenarnya memang terlampau cepat menjalar. Hampir setiap mulut segera mengucapkannya. Sidanti mutung, meninggalkan ayahnya dan tinggal di rumah pamannya bersama gurunya, karena tidak sependapat dengan cara ayahnya memerintah Tanah Perdikan Menoreh.
Beberapa orang penting, akhirnya, sebelum matahari terbenam di ujung Barat, pada hari itu juga, mendengar pula kabar itu. Tetapi mereka menganggap bahwa kabar itu agaknya terlampau dibesar-besarkan. Memang mungkin sekali terjadi perselisihan pendapat antara ayah dan puteranya yang sudah dewasa. Tetapi perselisihan itu pasti hanya akan berlangsung sementara.
“Aku mendengar, bahwa pertentangan yang paling tajam justru terjadi antara Ki Argapati dan Ki Tambak Wedi,” desis seseorang. “Bahkan mereka berjanji untuk menyelesaikannya di bawah Pucang Kembar.”
“Ah, jangan mengigau,” sahut yang lain,” itu hanya sekedar mimpi yang buruk.”
Yang mula-mula berbicara mengangguk-anggukkan kepalanya. “Mudah-mudahan itu hanya sekedar mimpi yang buruk, atau pendengaran orang yang membuat kabar ini salah dengar. Tetapi keduanya menyebut-nyebut Pucang Kembar dan saat purnama naik.”
Ternyata kabar-kabar yang bersimpang siur, telah menggetarkan seluruh Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan seakan-akan Bukit Menoreh yang membujur membeku itu pun ikut bergetar pula.
Namun dalam pada itu, hati Sidanti selalu dicemaskan oleh rahasia tentang dirinya. Bagaimanakah jadinya seandainya Argapati sendiri yang menyebarluaskan rahasia itu?
“Itu tidak akan terjadi,” berkata Ki Tambak Wedi. “Argapati tidak akan mencoreng arang di kening sendiri. Ia tidak akan mau membukakan rahasia itu kepada siapa pun, sebab dengan demikian hanya akan membuat dirinya sendiri terpercik noda dan malu.”
Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya, meskipun dadanya masih diamuk oleh keragu-raguan.
Tetapi dugaan Ki Tambak Wedi itu ternyata tidak salah. Argapati berusaha menutup rahasia itu serapat-rapatnya. Dipesankannya kepada Pandan Wangi untuk menyimpan rahasia itu di dalam hatinya. Rahasia keluarga mereka yang telah dipendamnya bertahun-tahun.
“Bagaimana kalau Ki Tambak Wedi sendiri yang membuka rahasia ini?” bertanya Pandan Wangi.
“Aku kira tidak Wangi, setidak-tidaknya untuk sementara ini. Aku mempunyai dugaan yang kuat, bahwa Sidanti dan Ki Tambak Wedi masih tetap berkepentingan, apabila orang-orang Menoreh menganggap ia sebagai anakku, yang akan berhak sepenuhnya atas Tanah ini.”
“Tetapi bukankah semua orang menganggap bahwa yang kelak akan mewarisi Tanah ini adalah Sidanti?”
“Ya, apabila ia menurut jalan yang aku gariskan. Kalau jika menyimpang dari jalan itu, apalagi membenturkan Tanah ini dengan kekuatan Pajang, aku tidak dapat menerimanya. Hak itu dapat aku cabut dan aku serahkan kepada orang lain.”
Pandan Wangi tidak menjawab. Ditundukkan kepalanya dalam-dalam. Ia sudah dapat menduga, bahwa dirinya pasti akan tersangkut di dalamnya. Putera Argapati sebenarnya ternyata hanya satu. Dirinya sendiri.
Dan sejenak kemudian ia mendengar ayahnya berkata, “Wangi, apabila Sidanti hanya menurut kehendaknya sendiri, atau menurut kehendak gurunya yang melonjak-lonjak itu, aku tidak akan dapat mengikutinya. Terpaksa aku melepaskan mereka bertindak sendiri.”
Pandan Wangi masih belum menjawab.
“Karena itu aku memerlukan kau, Wangi. Aku mengharap supaya kau dapat melepaskan dirimu dari himpitan perasaan. Aku mengharap kau dapat mempergunakan nalar sejauh-jauh mungkin, meskipun kau seorang gadis. Tidak ada lain yang dapat membantu aku dalam setiap keadaan kecuali kau.”
Pandan Wangi semakin menundukkan kepalanya. Dan ayahnya berkata seterusnya, “Aku tahu, bahwa kau akan mendapat beban yang terlampau berat bagi seorang gadis. Tetapi aku minta keikhlasanmu untuk melakukannya. Karena aku tidak melibat orang lain.”
Terasa dada gadis itu berdesir. Ia mencoba sekuat-kuat tenaganya untuk bertahan supaya perasaan kegadisannya tidak mendorongnya untuk menitikkan air mata. Namun dengan demikian, terasa tenggorokannya menjadi pepat, dan matanya menjadi pedih.
Dan ia mendengar ayahnya berkata seterusnya, “Tidak ada jalan lain bagi kita Wangi. Demi keselamatan Tanah ini, Tanah nenek moyang yang kemudian telah dikuatkan dengan kekancingan, bahwa Tanah ini telah menjadi Tanah Perdikan.”
Pandan Wangi mengusap wajahnya dengan tangannya. Keringat dingin terasa membasahi punggungnya.
“Kalau kau sudah bersuami, Wangi, maka keadaannya akan berbeda. Tetapi hal itu belum terjadi, sehingga semuanya masih tergantung kepadamu.”
Tanpa disengaja, Pandan Wangi menganggukkan kepalanya. Tiba-tiba terasa hatinya dirayapi oleh getaran yang semula tidak begitu dikenalnya. Tetapi lambat laun menjadi semakin jelas baginya, bahwa getaran itu adalah getaran tekadnya untuk berbuat seperti yang dikatakan oleh ayahnya. Tidak ada kesempatan lagi untuk merajuk dan bermanja-manja. Di hadapannya terbentang tanah garapan yang hampir menjadi kering.
Memang sekilas-sekilas melintas wajah ibunya yang sejuk dan dalam. Sorot mata yang suram dan senyum yang terlampau lembut. Tetapi kini diketahuinya, bahwa di balik sorot mata yang suram dan senyum yang terlampau lembut itu tersembunyi penyesalan tiada taranya. Penyesalan yang menjerat hidupnya.
Perlahan-lahan Pandan Wangi mengangkat wajahnya. Dan ayahnya berkata seterusnya, “Tetapi aku masih mempunyai banyak harapan, Wangi, bahwa segalanya akan dapat diselesaikan dengan baik.”
“Tetapi,” suara Pandan Wangi terlampau dalam, “bagaimana dengan janji Ayah dan Ki Tambak Wedi bahwa pada saat purnama naik akan bertemu di bawah Pucang Kembar itu lagi.”
“Hem,” ayahnya berdesah, “kenangan yang paling pahit. Tetapi aku mengharap Tambak Wedi akan berbuat jujur seperti pada masa mudanya. Kita menyelesaikan persoalan pribadi dengan cara jantan.”
“Tetapi ….,” suara Pandan Wangi terputus.
“Aku tahu, Wangi. Kau ingin tahu apakah yang seharusnya kau lakukan dalam keadaan dan kemungkinan yang paling parah.”
Pandan Wangi tidak menyahut.
“Karena itu kau harus dapat berdiri di atas kedua belah kakimu, meskipun kau seorang gadis. Kita masih mempunyai waktu beberapa hari Wangi. Yang beberapa hari ini harus kau pergunakan sebaik-baiknya, supaya kau memiliki bekal yang cukup untuk membentuk diri kelak, meskipun tanpa tuntunan seorang guru pun.”
“Ayah,” Pandan Wangi memotong.
“Aku hanya mengatakan, apabila kemungkinan itu harus terjadi. Sebab semuanya tergantung kepada Yang Maha Kuasa. Kita wajib berusaha, namun ketentuan terakhir berada di tangan-Nya.
Sekali lagi Pandan Wangi terdiam.
“Kau sudah mempunyai pengetahuan serba sedikit untuk itu. Karena itu, maka kita harus mempergunakan waktu sebaik-baiknya.”
Pandan Wangi tidak menjawab.
Argapati pun kemudian sejenak berdiam diri. Dicarinya kemungkinan yang paling baik yang dapat dilakukannya bersama satu-satunya puterinya. Pandan Wangi.
Pandan Wangi tidak segera menjawab. Ia masih belum dapat meredakan pergolakan yang bergulat di dalam dadanya. Benturan-benturan perasaan dan nalar, benturan-benturan tanggapan dan bayangan tentang masa-masa depan selalu mengganggunya, sehingga sulitlah baginya untuk dapat mengerti, apakah sebenarnya yang dikehendakinya sendiri.
Kadang-kadang hatinya terbakar oleh perasaan bencinya terhadap keadaan yang telah membuat keluarganya retak sejak dibentuk oleh ayah dan ibunya. Kadang ia ingin melepaskan kebencian dan kemarahannya. Tetapi kadang-kadang tumbuhlah sifat-sifat kegadisannya. Ia ingin merajuk dan bahkan kemudian menjauhkan diri dari setiap persoalan. Ia ingin lari. Lari saja entah ke mana.
Tetapi setiap kali dipandanginya wajah ayahnya yang suram, maka tumbuhlah getaran yang panas di dalam dirinya. Ayahnya kini tinggal berdiri sendiri. Apabila ia pergi pula meninggalkannya, maka ayahnya, satu-satunya orang yang masih ada di dekatnya itu, akan ditelan oleh Ki Tambak Wedi.
Pandan Wangi tidak dapat mengerti, dorongan apakah yang telah membawa pamannya ikut di dalamnya. Pandan Wangi tidak dapat mengerti, kenapa adik ayahnya itu memusuhi ayahnya pula Seharusnya Argajaya ikut pula mendendam, bahwa Ki Tambak Wedi telah menodai kemulusan keluarga kakaknya. Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya.
Argapati telah mendengar pula apa yang bergolak di dalam daerahnya dalam waktu yang terlampau singkat. Argapati yang mempunyai tanggapan yang tajam itu segera dapat mengerti, bahwa Ki Tambak Wedi telah mempergunakan Argajaya dan Sidat untuk memecah Padang, dan dimulainya dari Tanah Perdikan Menoreh.
“Aku dapat menghubungi Adipati Pajang,” berkata Argapati di dalam hatinya, “tetapi harga diriku akan terkorbankan, seolah-olah aku tidak dapat mengatasi persoalan yang tumbuh di dalam daerahku, daerah yang sudah diberi wewenang untuk menjadi Tanah Perdikan. Aku sudah dibebaskan dari sebagian besar kuwajiban-kuwajiban yang mengikat, sehingga seharusnya aku tidak membuat Pajang menjadi sulit dan terpaksa menitikkan keringat dan apalagi darah prajurit-prajuritnya.”
Itulah sebabnya maka Argapati berpendirian untuk menyelesaikan masalah Tanah Perdikannya tanpa campur tangan orang luar.
Pandan Wangi mengangkat wajahnya ketika ia mendengar ayahnya kemudian berkata, “Bagaimana, Wangi, apakah kau dapat mengerti maksudku?”
Sejenak Pandan Wangi terbungkam. Namun kemudian kepalanya mengangguk kecil.
“Bagus, Wangi,” berkata ayahnya, “Harapanku satu-satunya kini adalah kau. Tidak ada orang lain yang dapat aku percaya sepenuhnya. Apalagi setelah Argajaya dan Sidanti menyebarkan segala macam desas-desus yang telah merusak sendi kehidupan di Tanah Perdikan ini, menumbuhkan kegelisahan dan kecurigaan di antara kita dan menyalakan api ketidak-puasan yang sama sekali tidak beralasan. Tetapi aku tahu, Wangi, bahwa di antara orang-orang yang tidak puas adalah orang-orang kaya. Dengan uangnya mereka berusaha untuk menyebarkan pendiriannya. Dan kita ternyata masih belum siap untuk melawannya,”
“Dan ayah masih belum bertindak apa-apa?” bertanya Pandan Wangi.
Pertanyaan itu telah menyentuh hati Argapati, sehingga wajahnya yang suram itu tiba-tiba seolah-olah menjadi cerah. Dengan nada yang dalam ia berkata, “Pertanyaanmu telah menumbuhkan gairah di dalam hatiku, Wangi. Aku memang belum berbuat apa-apa. Aku menunggumu. Aku ingin mendengar ketetapan hatimu. Karena kau seorang gadis, Wangi. Aku ingin tahu, di mana kau hendak berdiri. Apakah kau akan berdiri di samping ayahmu sebagai seorang Kepala Tanah Perdikan yang kini sedang diguncang-guncang oleh orang lain, ataukah kau akan berdiri sebagai seorang gadis yang sedang kecewa menghadapi masalah dirinya, dan masalah keluarganya. Ketidak jujuran dan noda-noda yang kotor telah melekat di wajah kita, karena persoalan yang mengejutkan hati itu.”
Getaran yang panas, yang seolah-olah menyala di dalam dada Pandan Wangi menjadi semakin berkobar. Tiba-tiba air matanya serasa kering. Jari-jarinya yang halus itu tergenggam seperti sedang menggenggam hulu pedang. Katanya, “Ayah. Aku adalah satu-satunya keturunan Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Apa pun yang telah terjadi atas diriku, atas keluargaku, tetapi aku bertanggung jawab atas kelangsungan hidup Tanah ini. Karena itu, aku akan berdiri di samping Ayah sebagai seorang putera satu-satunya Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Akulah trah Argapati yang berhak atas Tanah ini.”
Dada Argapati menjadi berdebar-debar karenanya. Dan ia mendengar anak gadisnya itu berkata seterusnya, “Aku sama sekali tidak diburu oleh nafsu untuk merampas hak atas Tanah ini dari Kakang Sidanti. Tetapi aku dihadapkan pada keadaan yang meskipun tidak aku kehendaki. Kakang Sidanti telah melawan Ayah sebagai Kepala Tanah Perdikan Menoreh bersama Paman Argajaya dan Ki Tambak Wedi.”
Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Terima kasih, Pandan Wangi. Memang tidak ada orang lain yang dapat berbuat demikian selain kau. Aku sudah berkeputusan, apabila kau berdiri tegak dengan dada tengadah, maka aku akan berbuat apa saja buatmu, Wangi. Meskipun aku sudah lama meletakkan tombak pendekku, tetapi untuk mempertahankan Tanah ini, untuk menempatkan kau di tempat yang seharusnya, aku akan menariknya dari wrangka dan selongsongnya. Aku akan dapat mempergunakan lagi seperti aku pernah mempergunakannya dahulu. Tetapi apabila kau berdiri di atas kegadisanmu, merajuk dan berputus asa, maka kau hanya akan menemukan mayatku besok sesudah purnama naik di bawah Pucang Kembar.”
“Ayah.”
“Tidak, Wangi,” potong ayahnya, “Sekarang aku berpendirian lain, justru kau telah menyatakan tekadmu. Aku masih ingin melihat betapa cerahnya matahari pagi sesudah purnama yang cerah itu.” Ayahnya berhenti sejenak, lalu, “Karena itu pula aku harus cepat bertindak. Hari ini aku akan mengumpulkan tetua Tanah Perdikan. Aku tidak dapat memberi kesempatan terlalu lama kepada orang-orang yang sengaja membuat kegelisahan itu. Aku harus memberi batasan waktu kepada mereka untuk menghentikan kegiatan mereka. Kalau mereka tidak, bersedia, apa boleh buat. Aku akan bertindak sesuai dengan kuwajibanku, Kepala Tanah Perdikan Menoreh.”
Dan Ki Argapati itu benar-benar bertindak cepat. Saat itu juga ia memanggil beberapa orang tetua Tanah Perdikannya. Tetapi, meskipun demikian Argapati tidak ingin membuat kesan yang dapat menambah kegelisahan rakyatnya. Karena itu maka ia pun berbuat dengan sangat berhati-hati.
Pembicaraan-pembicaraan di antara mereka segera dilakukan. Argapati ingin mendapatkan laporan dan pendapat beberapa orang tetua Tanah Perdikannya. Tetapi. Argapati sebagai seorang laki-laki jantan, sama sekali tidak menyinggung-nyinggung janjinya dengan Ki Tambak Wedi di bawah Pucang Kembar nanti pada saat purnama naik.
Yang dibicarakan di antara mereka adalah desas-desus yang makin tersebar luas. Yang dapat menumbuhkan tanggapan yang berbeda-beda di antara rakyat Tanah Perdikan Menoreh. Ada yang dengan sepenuh hati menyambut Argajaya bersama Sidanti untuk menumbuhkan suasana baru di Menoreh. Tetapi ada pula di antaranya yang berkata, “Kami tidak ingin terjerumus kedalam neraka yang paling jahanam. Seandainya benar kata orang bahwa Sidanti telah kembali bersama gurunya, untuk memberikan nafas baru di daerah ini, maka kami harus menentangnya. Argapati adalah seorang pemimpin yang terbaik yang pernah kami kenal. Apabila Sidanti ingin menjadi seorang pemimpin yang baik, ia harus belajar dari ayahnya Jangan sebaliknya justru memusuhinya.”
Dan yang lain berkata, “Huh, anak durhaka. Apakah ia tidak sabar menunggu sampai saatnya ia menerima waris itu dengan sah menurut ketentuan yang seharusnya?”
Namun di antara sekian banyak orang-orang yang menganggap bahwa Sidanti telah berbuat kesalahan, ada juga yang dengan acuh tak acuh, menunggu apa yang akan terjadi di Tanah Perdikan Menoreh. Di antara mereka berkata, “Itu adalah urusan mereka. Bagiku lebih baik menunggu saja apa yang akan terjadi, sambil melihat arah angin yang sedang bertiup.”
Demikianlah, maka suasana Tanah Perdikan itu benar-benar telah diguncangkan oleh kabar-kabar itu, meskipun tampaknya di permukaan masih juga tenang dan seperti biasa. Tetapi di antara orang-orang yang merasa tidak senang terhadap perlakuan Argapati, segera mengadakan pertemuan-pertemuan rahasia. Berbicara berbisik-bisik.
“Mudah-mudahan trah Argapati yang masih muda itu memenuhi harapan kita,” berkata salah seorang dari mereka.
“Apakah kita hanya cukup berharap?”
“Tidak. Kita harus berbuat sesuatu.”
“Banyak yang setia kepada Argapati yang sekarang.”
Yang lain tertawa. Katanya, “Biarlah Argapati membuat rumahnya berbenteng baja. Kita sebarkan emas di halaman, maka benteng baja itu pasti akan pecah oleh rakyat yang justru sebelumnya setia kepadanya.”
Beberapa orang yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya. Berkata salah seorang dari mereka, “Kalau begitu kita temui Sidanti. Kita taruhkan harapan kita kepadanya, supaya kita tidak selalu dihantui oleh sikap Argapati yang memuakkan itu.”
Tetapi ternyata semua bisik-bisik itu sampai juga ke telinga Argapati. Dan bisik-bisik yang demikian itulah yang dibicarakan oleh. Argapati dengan beberapa orang tetua, pemimpin, dan agul-agul di Tanah Perdikan Menoreh.
“Apa yang harus aku lakukan?” bertanya salah seorang pemimpin pengawal Tanah Perdikan itu.
“Kita tidak boleh tergesa-gesa. Kita harus melihat setiap perkembangan dengan saksama,” jawab Argapati. Lalu, “Jangan membuat rakyat semakin gelisah. Semua gerakan harus dibuat sandi.”
Pemimpin pengawal itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Tetapi Ki Argajaya agaknya sudah jauh bertindak. Beberapa kelompok pengawal telah berada di pihaknya. Dan beberapa kelompok anak-anak muda telah dipengaruhi pula oleh Sidanti.”
Argapati mengerutkan keningnya. Ia memang sudah menyangka bahwa akibatnya akan sampai sekian jauh. Tetapi ia masih juga berkata, “Aku tahu, tetapi aku masih ingin mencoba untuk menyelesaikan masalah ini dengan baik. Sekian lama kita bekerja keras untuk membangun Tanah ini. Apakah sekarang kita akan membiarkan Tanah ini terbelah? Apakah kita akan membiarkan rakyat kita hancur oleh kita sendiri?”
“Tidak,” sahut pemimpin pengawal yang sudah setengah umur itu, yang selama ini, sebelum peristiwa ini terjadi, selalu mendampingi Argajaya. “Kami tidak menghendaki. Tetapi kalau kami tidak bertindak cepat, maka keadaan pasti akan menjadi semakin parah. Kalau kita tidak memberi mereka kesempatan, maka kita pasti akan segera dapat mengatasinya.”
“Tunggulah,” jawab Argapati, “aku akan membuat perhitungan.”
“Hem,” pemimpin pengawal itu menggeram.
Namun dada Argapati pun digetarkan pula oleh geram di dalam pusat jantungnya. Tetapi nalarnya masih cukup kuat untuk membuat pertimbangan yang bagi pemimpin pengawal itu dianggapnya terlampau lamban.
“Yang harus kau lakukan adalah membuat perhitungan yang tepat,” berkata Argapati. “Apabila ada di antara kalian yang menyeberang, maka kau harus mengetahui imbangan kekuatan itu. Tugasmu yang lain adalah mempersiapkan diri. Setiap saat kalian harus dapat bergerak cepat.”
Pemimpin pengawal Tanah Perdikan itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Aku akan segera memberikan petunjuk-petunjuk baru. Tetapi kau harus menyampaikan laporan-laporan setiap saat.”
Sekali lagi pemimpin pengawal itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Selebihnya Argapati telah memberikan petunjuk-laporan bagi para pemimpin Tanah Perdikan itu, bagaimana mereka harus menghadapi kabar yang semakin merata. Kabar yang sebenarnya. telah benar-benar menggelisahkan Argapati sendiri.
Tetapi Argapati itu terikat oleh janjinya. Pada saat purnama naik, di bawah Pucang Kembar. Pada saat ia mengucapkan janji itu, ia sama sekali tidak mempertimbangkan, bahwa ia sekarang bukan lagi Arya Teja yang dahulu. Tetapi ia adalah Kepala Tanah Perdikan yang mempunyai tanggung jawab yang besar atas kuwajibannya.
Dengan demikian maka setiap persoalan pribadinya, mau tidak mau pasti akan menyangkut persoalannya sebagai seorang Kepala Tanah Perdikan. Persoalannya dengan Ki Tambak Wedi yang tampaknya sebagai persoalan pribadi itu pun ternyata tidak dapat terlepas dari kaitan persoalannya dengan Sidanti.
Argapati menyadari persoalannya setelah ia terlibat dalam kesulitan. Ternyata perkembangan keadaan tidak menjadi semakin baik. Kabar yang tersiar semakin lama menjadi semakin menggelisahkan, sehingga Argapati terpaksa mengirimkan beberapa orang untuk langsung menemui Ki Tambak Wedi membawa pesan pribadinya.
“Tidak, aku tidak akan berbicara apa pun,” berkata Ki Tambak Wedi setelah ia mendengar pesan dari utusan Argapati.
“Ki Argapati minta jawaban,” jawab utusan itu.
“Tidak, kau dengar. Aku tidak akan memberikan jawaban apa pun.”
“Baik. Kalau demikian, berarti kedatanganku tidak berarti. Bagi Ki Argapati ini adalah keputusan yang akan jatuh,” berkata utusan itu. “Aku hanya sekedar utusan. Tetapi keputusan yang diberikan oleh Ki Argapati akan mengikat seluruh Tanah Perdikan Menoreh.”
Mendengar jawaban itu Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Ia tahu benar, bahwa Argapati tidak ingin melihat pertumpahan darah. Ia pasti, akan berusaha sekuat-kuat tenaganya untuk menyelesaikannya dengan cara yang sebaik-baiknya. Maka berkata Ki Tambak Wedi yang licik itu, “Baiklah. Aku akan menjawab. Katakan kepada Ki Argapati, bahwa aku tetap pada pendirianku. Kalau Ki Argapati bersedia menempatkan dirinya bersama aku dan puteranya yang digadangnya untuk menduduki tempatnya kelak, maka semuanya akan menjadi baik. Tidak ada pertentangan yang dalam. Kami hanya ingin mendapat perlindungan pertanggungan jawab. Terutama puteranya yang kini terancam bahaya. Sebaiknya Argapati mempertimbangkan keputusannya.”
“Bukan itu yang ditanyakannya,” jawab utusan itu, “tetapi Ki Argapati ingini tahu, apakah kalian bersedia menghentikan segala macam kegiatan yang bertentangan dengan ketentuan yang berlaku di Tanah Perdikan ini.”
“Diam!” bentak Ki Tambak Wedi yang hampir kehilangan kesabaran, “Katakan saja kepada Ki Argapati. Aku tidak mau berbicara dengan cecurut-cecurut macam kau.”
“Ki Tambak Wedi,” wajah orang itu menjadi merah padam, “aku tahu bahwa sepuluh orang seperti aku, bahkan seratus orang mungkin tidak dapat menyamaimu. Tetapi bahwa aku sekarang sedang mengemban tugas dari Ki Gede Menoreh, kedudukanku adalah kedudukan seorang utusan dari seorang yang paling berkuasa di sini. Karena itu jawablah pertanyaan Ki Gede Menoreh. Apakah kau bersedia menghentikan segala kegiatan atau tidak. Hanya itu, dan jawabnya pun hanya ada satu diantara dua, ‘ya, atau tidak’.”
“Gila!” yang berteriak kemudian adalah Sidanti. Hampir saja ia meloncat menerkam utusan itu. Tetapi Ki Tambak Wedi telah menahannya.
“Tunggu dulu Sidanti.”
“Apa lagi yang ditunggu? Orang ini ternyata bermulut besar. Betapa ia menjadi sombong hanya karena ia menjadi orang utusan. Sudah sepantasnya ia dicincang di halaman.”
“Ia hanya sekedar seorang utusan,” berkata Ki Tambak Wedi. “Tanganmu terlampau bernilai untuk melakukannya. Orang ini tidak sepantasnya mendapat pelayanan dari kau apalagi aku.”
“Lalu apakah yang akan Guru lakukan atasnya?”
“Biarkan saja ia pergi dan menghadap Argapati. Aku sudah memberi penjelasan.”
“Bukan itulah soalnya,” utusan itu masih saja memotong.
Sidanti menggeram. Bahkan darah Ki Tambak Wedi sendiri terasa telah mendidih. Tetapi ia adalah seorang yang licik. Sehingga ia pun berkata, “Biarkan saja ia Sidanti. Meskipun bukan itu yang ditanyakan, tetapi ia akan berceritera juga di hadapan Ki Argapati. Ia akan berceritera tentang sikapku dan semua yang didengarnya.”
Kini utusan itulah yang menggeram. Tetapi ia berkata, “Aku akan berceritera. Tetapi apakah kau yakin bahwa ceriteraku tidak akan membakar hati Ki Argapati dan memaksanya untuk bertindak hari ini juga? Aku tahu benar, bahwa kalian masih belum siap seandainya Argapati mengambil tindakan hari ini.”
“Bodoh sekali,” sahut Sidanti. “Apakah kau tidak mempertimbangkan bahwa dengan demikian aku dapat membunuhmu.”
“Kematianku tidak akan berarti apa-apa. Baik bagi Menoreh, maupun bagi Ki Argapati. Aku hanyalah seorang pengawal Tanah Perdikan dari antara sekian banyak orang. Tetapi arti kematianku akan sangat penting bagi kalian. Sebab kematianku adalah jawaban yang tegas dari pertanyaan Ki Argapati. Ya atau tidak.”
“Setan!” sahut Ki Tambak Wedi. “Pergi, cepat pergi! Terserahlah apa yang akan kau katakan kepada Ki Argapati. Aku sudah mengemukakan pendirianku. Aku tahu bahwa Argapati masih berusaha mencari jalan yang baik untuk menemukan penyelesaian. Aku pun berpendirian demikian. Kalau kau sebagai seorang utusan telah memotong hasrat yang bersamaan yang menyala dari dalam dada Argapati dan puteranya bersama-sama, maka kutuk yang paling jahat akan jatuh kepadamu. Seandainya kelak berkobar persoalan yang sama-sama tidak kita kehendaki, maka kaulah sumber dari segala macam sebab. Karena seandainya kau tidak membakar hati Argapati, maka semuanya itu tidak akan terjadi.”
Utusan itu mengerutkan keningnya. Ia dapat mengerti kata-kata Ki Tambak Wedi. Tetapi ia pun curiga pula atas segala macam kemauan baik yang diucapkannya. Karena itu maka akhirnya ia berkata, “Aku hanya sekedar utusan. Aku akan menghadap Ki Argapati, apabila aku tidak kau bunuh di sini. Sebab untuk membunuhku kalian tidak akan mengalami kesulitan meskipun aku pasti akan melawan dengan segenap hati.”
“Pergi! Pergi!” teriak Sidanti. “Kau terlampau memuakkan bagiku. Katakan kepada ayah Argapati semuanya yang pernah kau dengar di sini.”
Pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang menjadi utusan Ki Argapati untuk menemui Ki Tambak Wedi dan Sidanti itu pun kemudian meninggalkan rumah Argajaya yang seolah-olah telah menjadi pusat dari segala kegiatan dan gerakan yang dilakukan oleh ketiga orang itu. Mereka telah membuat rumah itu sebagai pancadan untuk menggenggam seluruh kekuasaan tidak saja di Menoreh, tetapi kekuasaan Pajang seluruhnya, apabila saatnya telah datang.
Argapati mendengar keterangan utusannya dengan hati yang pedih. Terbayang di dalam rongga matanya bahwa sesuatu yang tidak diharapkan benar-benar akan terjadi. Sudah tentu ia tidak akan dapat membiarkan hal itu. Tidak dapat membiarkan Sidanti merebut kekuasaannya alas Tanah Perdikan ini, meskipun memang pernah dijanjikannya. Tetapi cara yang ditempuh oleh Sidanti adalah cara yang sangat menyakitkan hati.
“Soalnya bukan karena aku tidak mau menyerahkan kekuasaan itu kepada anakku,” berkata Argapati kepada pembantu-pembantunya, “tetapi yang lebih penting lagi bagiku, adalah cara yang mereka pilih. Dan terlebih-lebih lagi, apakah yang akan terjadi sesudah itu. Aku tidak berani membayangkan, apakah yang akan dilakukan oleh Sidanti dengan orang-orang yang kini mendukungnya. Orang-orang yang kecewa, orang-orang yang ingin berbuat sekehendak sendiri, tanpa dikendalikan lagi, orang-orang yang kaya tanpa mempertimbangkan dari mana ia mendapat kekayaan itu, orang-orang yang ingin berkuasa, dan orang-orang yang mendapat keuntungan dari segala macam benturan-benturan yang terjadi. Bahkan orang-orang yang sekedar mendapat janji untuk kepentingan pribadi. Orang-orang yang terlampau miskin dengan harapan-harapan yang dibayangkan akan dapat berlaku kelak. Kepentingan-kepentingan yang berbeda, tetapi mempunyai satu titik tumpuan, yaitu perubahan atas pimpinan Tanah Perdikan ini akan sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup Menoreh. Berbahaya bagi keturunan kita kelak.”
Pembantu-pembantu dan tetua-tetua Tanah Perdikan Menoreh menyadari, betapa keadaan telah meluncur dengan cepatnya ke dalam suatu kesulitan yang hampir tidak dapat dicegah lagi.
Para pemimpin Pengawal Tanah Perdikan itu hampir-hampir sudah tidak dapat bersabar lagi. Membiarkan hal itu berlarut-larut berarti membiarkan dirinya diintai oleh seekor harimau lapar. Setiap saat dalam kelengahan yang sekejap saja, pasti segera akan menerkam dengan garangnya.
Tetapi Ki Argapati selalu mencoba menunggu sampai saat purnama naik. Ia ingin menyelesaikan janjinya. Janji jantan yang tidak dapat diingkarinya.
Memang kadang-kadang tumbuh pertentangan di dalam dirinya. Apakah ia akan membiarkan Menoreh ditelan oleh kesulitan yang lebih parah, dengan taruhan yang lebih mahal sekedar memenuhi harga diri pribadinya?
“Tidak. Saat purnama akan segera datang. Hanya tinggal beberapa hari lagi. Selain itu, aku pun akan sudah siap untuk bertindak serentak. Sekali pukul, Ki Tambak Wedi harus hancur. Kalau tidak, maka keadaan akan menjadi lebih parah lagi,” kata Argapati di dalam hati
Maka yang dilakukan oleh Argapati kemudian adalah mempersiapkan pasukan pengawal sejauh-jauhnya. Kepada para pemimpin
Tanah Perdikan, Argapati memerintahkan untuk melakukan perlawanan atas kabar yang tersiar. Mereka harus tegas-tegas mengatakan, bahwa pada saatnya apabila orang-orang yang sesat itu tidak segera kembali ke jalan yang lurus, Argapati akan melakukan tindakan yang keras kepada mereka.
Para pengawal Tanah Perdikan Menoreh harus menarik garis yang jelas, di manakah orang-orang yang melakukan perlawanan itu menempatkan dirinya. Sejak saat itu, peronda-peronda harus di tempatkan di tempat-tempat tertentu. Para pengawal harus berada dalam kesiap-siagaan penuh setiap saat. Gardu peronda harus segera dilengkapi dengan alat-alat untuk tengara setiap gerakan yang mencurigakan.
“Kita tidak dapat melakukannya dengan bersembunyi-sembunyi lagi,” berkata Argapati. “Kita terpaksa melakukannya dengan terbuka justru untuk menenteramkan hati rakyat, bahwa kita pun telah bersiap untuk menghadapi setiap kemungkinan yang tidak kita kehendaki. Sementara itu setiap cara untuk menempuh jalan lain, masih harus kita usahakan, agar Menoreh tidak terjerumus ke dalam api yang dapat membakar seluruh bukit ini, menjadi karang abang tanpa arti.
Ternyata setiap pemimpin Tanah Perdikan Menoreh dan setiap pengawal yang masih setia kepada Argapati telah melakukan perintah itu dengan baik. Di tempat-tempat tertentu telah di tempatkan satuan-satuan pengawal yang dapat bertindak setiap saat. Tetapi para pemimpin itu pun tidak dapat menutup mata dari kenyataan bahwa sebagian dari mereka pun telah terpengaruh oleh berbagai macam janji dan harapan yang diberikan oleh Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya. Mereka tidak segan-segan untuk melontarkan segala macam fitnah yang paling keji sekalipun, untuk membangkitkan kebencian rakyat kepada Ki Gede Menoreh.
“Aku tidak menyangka, bahwa hal ini dapat terjadi,” berkata Ki Argapati kepada Pandan Wangi ketika mereka duduk berdua di pringgitan rumahnya. “Ternyata, benih yang ditaburkan, oleh Ki Tambak Wedi itu telah tumbuh menjadi sebatang pohon berduri yang meracuni Tanah ini.”
Pandan Wangi tidak menyahut. Tetapi tekadnya telah bulat, untuk berbuat apa saja di samping ayahnya sebagai Kepala Tanah Perdikan.
“Pandan Wangi,” berkata ayahnya, “ilmumu ternyata telah menjadi jauh sekali maju. Kau tidak boleh berhenti. Setiap malam kau masih harus melakukannya tanpa dilihat orang lain, supaya tempat latihan kita itu tidak menjadi sasaran tindakan licik Ki Tambak Wedi dan pengikut-pengikutnya.”
Pandan Wangi mengangguk.
“Malam nanti aku akan sampai kepada puncak unsur-unsur gerak yang menjiwai seluruh perguruan Menoreh. Kau sudah saatnya untuk menerimanya. Aku mempunyai perhitungan, dengan demikian, kau akan berada lebih tinggi di dalam tataran ilmumu dari Sidanti yang saat ini pasti tidak sempat melakukan latihan-latihan yang berarti. Tetapi aku telah menyisihkan waktu untuk itu. Untuk kepentinganmu. Seandainya terpaksa terjadi sesuatu atas Tanah Perdikan ini, maka kau akan mampu melindungi dirimu sendiri dari bencana.”
Pandan Wangi tidak menyahut. Tetapi ternyata bahwa ayahnya telah sampai pada suatu kemungkinan baginya untuk melakukan perlawanan atas Sidanti, kakaknya. Meskipun Sidanti bukan putera Ki Gede Menoreh, tetapi Sidanti itu telah dilahirkan pula oleh Rara Wulan, ibunya.
Terasa desir yang tajam tergores di dinding hatinya. Tetapi Pandan. Wangi mencoba menggeretakkan giginya untuk mengusir perasaan yang mengganggu dirinya itu. Ia ingin berdiri di tempat yang telah dipilihnya menurut nalarnya. Ia tidak mau terombang-ambing oleh perasaannya yang kadang-kadang kehilangan keseimbangan.
Tetapi Betapapun juga ia berusaha, namun setiap kali terngiang di telinganya, “Sidanti adalah kakakmu seibu. Kakak yang dengan sayang membawamu bermain-main di masa kanak-kanak.”
“Kami bukan anak-anak lagi,” Pandan Wangi mencoba menahan gelora perasaannya. Namun ia tidak dapat menahan ketika setitik-setitik air membasahi pelupuk matanya.
Ayahnya menyadari betapa beratnya bagi Pandan Wangi untuk memilih sikap. Tetapi adalah kewajibannya untuk mencoba menunjukkan arah. Seperti seseorang yang berdiri di simpang jalan, yang sama-sama menuju ke dalam kesulitan, maka Pandan Wangi harus memilih salah satu di antaranya. Salah satu yang paling baik betapa, pun sulitnya.
Ketika kemudian malam tiba, yang semakin lama menjadi semakin dalam, maka Ki Argapati dan Pandan Wangi telah berada di sebuah tanah lapang sempit yang sepi. Tempat yang mereka pilih untuk menempa satu-satunya anak yang akan dapat meneruskan hadirnya Tanah Perdikan Menoreh apabila Sidanti sama sekali sudah tidak menghiraukan lagi peringatan-peringatan yang diberikan oleh Ki Argapati.
Angin yang silir telah mengusap tubuh-tubuh yang basah oleh keringat. Pandan Wangi telah mencoba untuk mencurahkan segenap kemampuan yang ada padanya supaya ia tidak mengecewakan ayahnya yang sedang dikalutkan oleh kakak seibunya.
Ternyata harapan Ki Argapati yang ditumpahkan kepada puterinya itu tidak sia-sia. Pandan Wangi kini sedang berada di dalam latihan yang paling sulit. Keringatnya telah membasahi seluruh wajah kulitnya, dari ujung kakinya sampai ke ujung rambutnya. Terasa getaran-getaran yang semakin cepat mengalir di segenap otot bebayu, bahkan terasa seolah-olah bergetar di seluruh bagian tubuhnya menyelusuri segenap tulang sungsumnya.
Getaran-getaran itulah sumber pancaran ilmu yang harus dipelajarinya, diluluhkan dengan getar di dalam dirinya, dan kemudian akan terpancar dalam satu bentuk yang dahsyat. Dengan getaran-getaran yang harus dikenali bentuk dan wataknya, Pandan Wangi akan mampu membangunkan segenap tenaga cadangan di dalam dirinya seperti yang dikehendakinya, yang kadang-kadang di dalam ujudnya, hampir-hampir tidak dapat digapai oleh akal. Tetapi sebenarnyalah bahwa sumber kekuatan itu telah ada di dalam diri, lahir bersama-sama dengan kelahiran dirinya dari Sumber Yang Esa. Kekuatan itu sama sekali bukanlah hasil buatan manusia, bukan karena kepandaian dan kemampuan manusia menciptakan kekuatan dan kelebihan di dalam dirinya dari orang-orang lain, tetapi manusia hanya dapat mengenali dan mempergunakannya, yang sebelumnya memang telah ada di dalam diri. Sesuai dengan sumbernya, maka tidak ada lain, bahwa tenaga cadangan dan setiap pancaran kekuatan, hendaknya dipergunakan menurut arah yang telah ditentukan. Untuk kepentingan kasih sesama, dan untuk kepentingan Sumber itu sendiri, dalam segala macam tuntutannya.
Tetapi ternyata bahwa di dalam diri manusia terdapat pengenalan yang kadang-kadang sesat dari arah pancaran Sumbernya. Sesat dan tidak ingin menemukan jalan kembali. Dibangkitkannya kekuatan di dalam diri manusia dengan landasan yang samar, dan bahkan dengan landasan yang kelam dan hitam. Untuk tujuan yang kelam dan hitam pula, sehingga manusia yang demikian semakin lama akan menjadi semakin jauh tersesat.
Ternyata Pandan Wangi benar-benar tidak mengecewakan ayahnya. Ketika keringatnya seolah-olah telah terperas habis dari dalam tubuhnya, maka sampailah ia pada puncak ilmu yang diturunkan ayahnya kepadanya. Unsur gerak yang merampas segenap kekuatan lahir dari batinnya. Memukaunya dalam pengaruh yang semula kurang dikenalnya. Tetapi kemudian dimengertinya, bahwa yang kurang dikenalnya itu adalah dirinya sendiri dalam bentuknya yang paling wajar. Tanpa pulasan lahiriah dan bahkan seakan-akan tidak mengenal wadagnya sendiri. Hakekat dari kekuatan manusiawi yang tersimpan di dalam diri, dalam pancaran pribadi yang lengkap.
Ketika getaran itu terasa mencengkam seluruh tubuhnya, maka Pandan Wangi merasakan betapa sulitnya ia melawan kehendak di dalam diri. Seolah-olah suatu kekuatan yang dahsyat telah menyeretnya ke dalam suatu keadaan yang tidak dimengertinya. Tetapi Pandan Wangi tetap bertahan, ia mencoba untuk tetap sadar dan mendengar kata-kata petunjuk ayahnya. Ia mendengar kata demi kata meskipun seolah-olah semakin lama menjadi semakin jauh. Dipusatkannya inderanya untuk tetap mendengar suara itu.
Kini Pandan Wangi justru tidak bergerak sama sekali, ia berdiri tegak dengan kaki rapat. Tangannya disilangkannya di dadanya, sedang senjatanya, sepasang pedang, mencuat di depan pundaknya. Didengarnya petunjuk-petunjuk ayahnya, untuk melakukan unsur-unsur gerak yang paling sulit dari ilmunya. Tetapi Pandan Wangi sudah tidak bergerak dengan wadagnya. Dipusatkan inderanya, didengarkannya petunjuk-petunjuk ayahnya meskipun ia sudah tidak dapat melihat lagi, di mana ayahnya berdiri karena matanya sedang terpejam, dan ia tidak tahu lagi dari mana arah suara itu menyentuh lubang telinganya.
Namun meskipun demikian, Pandan Wangi merasakan, bahwa ia telah melakukan gerak itu. Gerak yang justru paling sempurna. Gerak yang telah memeras segenap kemampuan batinnya.
Semakin lama suara ayahnya itu pun menjadi semakin samar, Ia tinggal harus melakukan satu unsur gerak. Yang terakhir. Terasa dadanya berguncang dahsyat sekali ketika ia merasa membenturkan kekuatannya itu dengan kekuatan ayahnya. Dilontarkannya kekuatan terakhirnya dalam unsur gerak terakhir.
Pandan Wangi hanya merasakan dunia ini kemudian menjadi gelap. Terlampau gelap, sehingga kemudian ia tidak melihat dan mendengar apa pun lagi. Pingsan.
Argapati menarik nafas dalam-dalam. Diusapnya keringat yang, mengalir dikeningnya. Kemudian didekatinya puterinya yang terbaring diam di atas rerumputan yang basah oleh embun. Perlahan-lahan ia berjongkok di sampingnya. Dirabanya kening Pandan Wangi, kemudian tangannya dan dadanya. Nafasnya dan darahnya terasa terlampau cepat mengalir.
“Agak terlampau berat baginya,” desis ayahnya,” tetapi ia mampu menyelesaikannya sampai unsur yang terakhir dari ilmu perguruan Menoreh.”
Ketika angin silir mengusap dahinya, Ki Gede Menoreh menengadahkan wajahnya. Di langit bintang gemintang berkeredipan memenuhi layar yang biru kehitam-hitaman. Bulan yang belum bulat telah bertengger di punggung bukit di sebelah Barat.
Sejenak dibiarkannya Pandan Wangi terbaring. Argapati yakin bahwa puterinya itu tidak mengalami cidera apa pun kecuali kelelahan dari pemusatan indera yang berlebih-lebihan. Sesudah itu ia pasti akan menyadari dirinya sebagai seorang gadis yang telah memiliki bekal yang cukup untuk menempuh kehidupan yang Betapapun sulitnya.
Argapati mengerutkan keningnya ketika ia melihat Pandan Wangi menarik nafas perlahan-lahan. Kemudian dibukanya matanya perlahan-lahan pula. Yang pertama-tama diucapkannya adalah, “Ayah.”
“Bangunlah, Wangi. Kau telah berhasil.”
Perlahan-lahan sekali Pandan Wangi mencoba menggerakkan tangannya, kemudian kakinya. Berkali-kali ia menarik nafas dalam-dalam. Terasa tubuhnya masih nyeri dan sendi-sendi tulangnya terlampau lemah.
“Kekuatanmu akan segera pulih kembali, bahkan dengan kemungkinan yang jauh lebih baik dari keadaanmu sebelumnya.”
Perlahan-lahan Pandan Wangi mengingat kembali apa yang telah terjadi padanya sebelum ia jatuh pingsan. Latihan yang terlampau berat dan yang terakhir, pemusatan indera untuk menangkap unsur gerak yang paling sulit dari ilmunya. Meskipun ia kemudian pingsan, tetapi ia sudah menyelesaikan apa yang seharusnya dilakukannya. Ia mendengar petunjuk-petunjuk ayahnya sampai kalimat yang terakhir.
Tetapi ia adalah seorang gadis. Secara alami ia mempunyai perbedaan dengan seorang anak laki-laki muda. Itulah sebabnya, maka baginya latihan itu menjadi terlampau berat, meskipun ia kemudian berhasil menyelesaikannya.
Pandan Wangi itu pun kemudian bangkit dan duduk di depan ayahnya. Nafasnya masih terasa berkejaran dan darahnya masih terlampau cepat mengalir. Jantungnya seakan-akan berdetak lebih cepat dari biasanya.
“Berdirilah, Wangi,” berkata ayahnya.
Perlahan-lahan Pandan Wangi mencoba berdiri, betapa lemahnya sendi tulangnya, namun ia kemudian tegak di atas kedua kakinya.
“Ambillah pedangmu.”
Pandan Wangi menyadari bahwa kedua senjatanya itu ternyata telah terlepas dari tangannya. Perlahan-lahan ia membungkukkan badannya. Punggungnya masih terasa terlampau penat. Diraihnya kedua pedangnya dan kemudian disarungkannya di lambungnya.
“Kau telah selesai, Wangi,” berkata ayahnya yang kemudian berdiri di sampingnya. “Tetapi sama sekali bukan berarti bahwa kau telah menjadi sempurna. Kau baru dapat menyelesaikan latihan-latihan untuk menguasai unsur-unsur gerak itu sendiri. Tetapi kau masih harus mengembangkannya dalam waktu-waktu yang akan datang. Kau harus dapat mempergunakan, memilih dan menggabungkan unsur yang telah kau kuasai itu, untuk menanggapi keadaan yang berbeda-beda. Nah, untuk itu kau memerlukan pengalaman. Tetapi dasar pengetahuanmu kini sama sekali pasti tidak akan kalah lagi dari Sidanti, meskipun kau sudah pasti kalah dalam pengalaman.”
Pandan Wangi masih berdiri tegak sambil berdiam diri. Berbagai macam perasaan bergelut di dalam dirinya. Sekali lagi ia merasakan desir yang tajam menggores hatinya. Sidanti itu adalah kakaknya. Memang tidak ada pertalian apa pun antara ayahnya dan Sidanti meskipun selama ini Sidanti benar-benar di tempatkan pada tempat yang baik di dalam keluarganya. Tidak seorang pun yang merasakan sikap yang kurang baik dari ayahnya terhadap anak muda itu. Namun ternyata ayahnya tidak dapat melupakannya sama sekali apa yang telah terjadi itu. Ternyata, ketika ayahnya dihadapkan pada suatu persoalan, maka perasaan itu meledak tanpa dapat ditahan-tahankan lagi. Bahkan dengan serta-merta ayahnya telah menempatkannya langsung berhadapan dengan kakaknya.
Tetapi baginya, Sidanti adalah saudara yang dilahirkan dari ibu yang sama. Dan Betapapun juga, samar-samar terbayang di wajah Sidanti garis-garis wajah ibunya, meskipun kakaknya itu jauh lebih serupa dengan Ki Tambak Wedi.
Pandan Wangi itu mengangkat wajahnya ketika ia mendengar ayahnya berkata, “Marilah kita pulang, Wangi. Hari telah terlampau jauh malam. Bahkan mungkin sebentar lagi fajar akan memancar di Timur. Kau perlu beristirahat.”
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya dengan lemahnya. Ketika ia memandang ke Barat, maka bulan sudah tidak dilihatnya lagi. Bulan yang masih belum bulat.
Tetapi dada Pandan Wangi berdesir karenanya. Sekilas teringat olehnya, janji ayahnya dengan Ki Tambak Wedi. Pada saat purnama naik. Dan purnama itu semakin lama menjadi semakin dekat. Beberapa hari lagi. Dan beberapa hari lagi itu adalah hari yang sangat menegangkan baginya, bagi keluarga Tanah Perdikan Menoreh. Hari itu akan mempunyai banyak sekali kemungkinan. Di antaranya adalah, perubahan yang mendadak di atas Tanah Perdikan ini. Bahkan Tanah ini akan dapat dibakar, oleh api yang dahsyat, dan memusnahkan segala macam bentuk dan peradaban.
Dapat terjadi saling membunuh di antara tetangga-tetangga dan di antara sanak-kadang. Dapat pula terjadi pembantaian besar-besaran di antara mereka yang berbeda pendirian.
Bulu-bulu kuduk Pandan Wangi terasa meremang. Mengerikan sekali. Ternyata kedatangan Sidanti dan Tambak Wedi di atas Bukit Menoreh sama sekali tidak membawa kesentausaan. Tetapi yang dibawanya adalah bencana. Apakah bencana itu harus terjadi?
Dan sekali lagi Pandan Wangi mendengar ayahnya berkata, “Marilah kita pulang, Wangi. Kau perlu beristirahat. Kemudian kita perlu segera mempertimbangkan perkembangan-perkembangan terakhir yang terlampau cepat terjadi.”
Pandan Wangi, yang kelelahan itu pun kemudian melangkah perlahan-lahan bersama ayahnya, meninggalkan lapangan sempit itu, pulang ke rumahnya. Ketika mereka memasuki jalan padukuhan induk dari Tanah Perdikan Menoreh, terdengar suara ayam jantan berkokok bersahut-sahutan merambat dari kandang ke kandang, menyongsong cahaya yang kemerah-merahan di langit sebelah Timur.
“Fajar,” desis Argapati.
Pandan Wangi mengangkat wajahuya. Dipandanginya fajar yang mulai memancar. Sebentar lagi matahari akan naik di hari yang baru.
“Kita masih sempat beristirahat meskipun hanya sekejap,” berkata Argapati. “Aku akan pergi ke belakang, membersihkan diri.”
Pandan Wangi mengangguk. Tetapi ia berkata, “Aku akan
kesiangan bangun apabila aku jatuh tertidur, Ayah.”
“Meskipun kau tidak tidur, tetapi beristirahatlah.”
“Baik, Ayah,” sahut Pandan Wangi.
“Hari-hari mendatang, pekerjaan kita akan bertambah banyak. Jauh lebih banyak dari yang kita duga semula.”
Pandan Wangi tidak menjawab, tetapi dianggukkannya kepalanya.
Ketika mereka memasuki regol halaman rumahnya, para peronda memandangi mereka dengan penuh keheranan. Tetapi tidak seorang pun yang bertanya, dari manakah ayah dan anak itu semalam-malaman.
Argapati dan Pandan Wangi pun sama sekali sudah tidak bernafsu lagi untuk terlampau banyak berbicara. Mereka hanya menganggukkan kepala mereka kepada para peronda yang masih ada di dalam gardunya sambil bergumam, “Apakah kalian baik-baik?”
“Ya, Ki Gede. Tidak ada apa-apa semalaman di rumah ini.”
“Terima kasih.”
Ki Gede Menoreh itu pun sama sekali tidak berhenti. Langkahnya yang lemah membawanya langsung ke belakang, ke perigi. Sedang Pandan Wangi langsung masuk ke dalam biliknya, menyiapkan pakaian-pakaian untuk mengganti pakaiannya yang kotor sesudah mandi.
Ketika fajar menyingsing, pada saat sinarnya yang kekuning-kuningan menyentuh ujung pepohonan, seorang pemimpin pengawal Tanah Perdikan itu dengan tergesa-gesa datang menemui Ki Argapati yang baru saja selesai, dan duduk-duduk di pringgitan seorang diri menghadapi minuman hangat.
“Maaf, Ki Gede, aku datang terlampau pagi.”
Ki Argapati mengerutkan keningnya. Terlintas di dalam hatinya, sesuatu yang kurang wajar pasti telah terjadi, sehingga salah seorang pemimpin pengawal ini dengan tergesa-gesa menemuinya.
“Duduklah,” Argapati mempersilahkan.
Dengan nafas terengah-engah pemimpin pengawal itu duduk di hadapan Ki Argapati. Belum lagi debar jantungnya mereda, ia sudah mulai berbicara, “Ki Gede. Kita benar-benar berada di dalam kesulitan.”
Argapati mengerutkan keningnya. Dengan sareh ia bertanya, “Apakah yang sudah terjadi?”
“Sidanti dan Ki Argajaya benar-benar telah tersesat,” berkata orang itu pula. “Mereka telah kehilangan sama sekali kecintaan mereka kepada Tanah Kelahiran ini.”
“Apakah yang telah mereka lakukan?” bertanya Ki Gede Menoreh seterusnya.
Pemimpin pengawal itu menggeser setapak maju. Katanya, “Beberapa orang pengawal dan bahkan beberapa pemimpin pengawal melihat beberapa orang tidak dikenal di dalam lingkungan Tanah Perdikan ini. Mereka telah membuat hubungan dengan Ki Argajaya dan Sidanti.”
Sepercik warna mereka menjalar di wajah Argapati. Ia sama sekali tidak menduga, bahwa tindakan adiknya dan anak muda yang telah diakunya sebagai anaknya itu akan menjadi sedemikian jauh. Namun kemudian Argapati itu teringat, bahwa di dalam lingkungan mereka terdapat Ki Tambak Wedi. Meskipun Ki Tambak Wedi pernah tinggal di atas Tanah ini, tetapi sudah terlampau lama ia meninggalkannya, dan menjadikan dirinya seorang yang paling berkuasa di padepokannya, padepokan Tambak Wedi. Dengan demikian, maka kecintaannya kepada Tanah ini pun pasti tidak dapat dipertanggung jawabkan. Betapapun juga, Argajaya dan Sidanti pasti masih mempunyai kesadaran, bahwa di sinilah mereka dilahirkan, dibesarkan dan di sini pulalah mereka telah meneguk air di saat haus dan menelan makanan di saat lapar. Tanah inilah yang telah memberikan segala-galanya kepada mereka. Apakah dengan demikian mereka akan sampai hati menghubungi orang-orang yang tidak dikenal untuk ikut serta merusak Tanah ini? Untuk ikut serta menitikkan darah orang-orang Menoreh yang kini sedang diamuk oleh perpecahan yang semakin meruncing?
Sejenak Argapati terdiam. Ia tidak segera dapat mengucapkan kata-kata. Pringgitan itu pun menjadi sunyi untuk sesaat. Kemudian terdengar Argapati menarik nafas dalam-dalam sambil berdesah, “Bencana benar-benar akan menimpa Tanah ini. Apakah orang-orang yang tidak dikenal itu telah dapat dipastikan, akan ikut campur di dalam persoalan antara aku dan Sidanti yang telah dinyalakan oleh Ki Tambak Wedi?”
“Kami mempunyai penilaian yang demikian Ki Gede. Dua orang dari orang-orang itu telah berada di rumah Ki Argajaya pula.”
“Apakah kau kenal mereka, atau setidak-tidaknya dapat menduga dari manakah mereka datang atau dari lingkungan apa?”
“Ki Gede, menurut perhitunganku dan beberapa kawan, mereka ternyata dapat digolongkan orang-orang yang kurang mendapat tempat di dalam lingkungan orang yang baik-baik. Mereka datang di antar oleh Ki Prastawa.”
“Oh,” Ki Argapati tiba-tiba menjadi tegang. “Orang itu telah melibatkan dirinya pula.”
“Bagaimanakah penilaian Ki Gede tentang orang itu?”
“Ia adalah seorang yang paling senang melihat benturan-benturan yang dapat terjadi di Tanah ini. Ia adalah seorang penjudi yang tidak saja melakukan kegiataanya di Tanah ini, tetapi ia telah mendatangi tempat-tempat judi, sabung ayam, dan tempat lain semacamnya sampai ke tempat-tempat yang jauh. Orang-orang itu pasti dibawanya dari lingkungannya. Bahkan tidak mustahil bahwa orang-orang jahat untuk membuat Tanah ini menjadi karang abang.”
Pemimpin pengawal itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Penilaian itu tepat seperti penilaiannya. Orang itu bukannya orang yang bermaksud baik, tetapi ia akan mempergunakan kesempatan yang jelek ini untuk kepentingannya sendiri.
Karena itu maka ia bertanya, “Ki Gede, sudah tentu Ki Prastawa akan mengambil keuntungan dari persoalan ini. Tetapi keuntungan apakah yang diinginkannya? Apakah yang didapatnya dari kekisruhan yang dapat timbul di Tanah Perdikan ini?”
Ki Gede Menoreh mengerutkan dahinya. Tampaklah betapa ia menahan gelora hatinya. Jawabnya perlahan-lahan, “Orang-orang semacam itu kadang-kadang tidak mempunyai landasan berpikir tertentu. Ia hanya ingin terjadi sesuatu. Mungkin perubahan pimpinan atas Tanah Perdikan ini yang diharapkannya dapat, memberikan keleluasaan bergerak baginya dan bagi lingkungannya. Tetapi seandainya yang dibawanya itu adalah orang-orang yang diangkatnya dari dunia yang hitam, maka akibat daripadanya adalah parah sekali. Setiap kesempatan dapat dipergunakan oleh mereka untuk menumbuhkan malapetaka. Mungkin, perampokan, perampasan, dan sebagainya.”
“Hem,” pemimpin pengawal itu menggeram. “Ki Gede mumpung masih belum berlarut-larut. Aku kira Ki Gede harus berbuat sesuatu.”
Ki Gede Menoreh tidak segera menyahut. Perhitungannya memang berkata demikian. Tetapi apakah ia akan dapat melihat pertumpahan darah terjadi di atas Tanah Perdikan ini? Tanah yang dibinanya sejak bertahun-tahun? Hampir sepanjang umurnya diberikannya untuk membuat Tanah ini menjadi Tanah Perdikan yang baik.
Tetapi kini ia dihadapkan kepada pilihan yang sulit. Bahkan, ia terdorong kepada suatu pikiran di kepalanya, “Bagaimanakah apabila aku serahkan saja pimpinan atas Tanah ini kepada Sidanti. Betapapun juga jeleknya, ia adalah orang yang dilahirkan di Tanah ini. Ia adalah seorang yang merasa dirinya mampu dan berhak pula. Dengan demikian akan terhindarlah segala macam pertumpahan darah dan keributan di atas Tanah ini.
Namun kemudian ia menggeretakkan giginya. Desisnya di dalam hati, “Aku akan berkhianat atas Tanah ini apabila aku biarkan Sidanti merebut pimpinan. Ia akan dikendalikan oleh Tambak Wedi dan orang-orang yang kelak akan mempengaruhinya dengan kekuatan masing-masing. Orang-orang yang memiliki kekuatan, karena kekayaannya, orang-orang yang dapat memberinya kepuasan lahiriah, dan mungkin juga orang-orang yang merasa hidupnya terlampau sulit dan mengharapkan perubahan keadaan, bagi Tanah ini dan bagi diri mereka. Campur baur dari kepentingan yang berbeda-beda, namun menempatkan harapan pada keadaan yang sama itulah yang akan membakar Tanah ini menjadi abu.”
“Bagaimana, Ki Gede?” bertanya pemimpin pengawal itu.
Wajah Ki Gede Menoreh tampak ragu-ragu. Ia masih dikuasai oleh perasaannya yang kadang-kadang belum sejalan dengan pikirannya. Kejantanan yang mengikatnya dalam janji dengan Ki Tambak Wedi mempengaruhinya pula.
“Tunggulah,” desis Ki Gede Menoreh.
Wajah orang itu menjadi kecewa. Perlahan-lahan ia berkata, “Ki Gede, apakah kita menunggu banjir bandang yang akan memecah Tanah Perdikan ini menjadi berkeping-keping?”
Ki Argapati terdiam sejenak. Ia dapat memahami pendapat pengawal yang setia itu. Tetapi ia kemudian menjawab, “Aku perhatikan pendapatmu. Tunggulah, hari ini aku akan mengambil sikap. Aku akan memanggil kalian untuk menentukan setiap tindakan yang akan kita ambil.”
Pemimpin pengawal itu menundukkan kepalanya. Ki Argapati dikenalnya sebagai seorang yang keras hati. Tetapi ketika ia di hadapkan pada kekisruhan yang terjadi di Tanah sendiri, maka terasa ia selalu diselubungi oleh keragu-raguan.
“Lakukanlah tugasmu baik-baik. Aku sendiri akan melihat keadaan dengan saksama.”
Pemimpin pengawal itu mengangguk lemah. “Baiklah Ki Gede. Aku menunggu perintah.”
Sepeninggal orang itu Ki Gede Menoreh menarik nafas dalam-dalam. Keningnya tampak berkerut-kerut. Di dalam dadanya terjadi suatu pergolakan yang dahsyat, yang mendorongnya ke dalam suatu keadaan yang tidak menentu.
Namun tiba-tiba Ki Argapati itu teringat kepada puterinya, Pandan Wangi. Satu-satunya keluarga yang dapat diajaknya berbincang. Pandan Wangi lah yang kelak diharapkan akan dapat menegakkan Tanah Perdikan ini menjadi Tanah Perdikan yang jauh lebih baik dari keadaannya kini.
Karena itu, maka Ki Argapati itu segera berdiri. Perlahan-lahan ia berjalan ke bilik Pandan Wangi. Perlahan-lahan pula ia mengetuk pintunya yang masih tertutup sambil memanggil namanya, “Pandan Wangi.”
Tidak ada jawaban. Ki Argapati menyangka bahwa Pandan Wangi masih terlampau lelah. Mungkin ia tertidur setelah menyiapkan minuman paginya.
“Wangi,” ia mengulangi.
Masih belum ada jawaban.
Ki Gede Menoreh menarik nafas dalam-dalam. “Ia terlampau lelah,” desisnya.
Kini Ki Gede Menoreh tidak memanggilnya lagi. Perlahan-lahan didorongnya daun pintu leregan itu ke samping. Perlahan-lahan sekali supaya puterinya tidak terkejut.
Tetapi Ki Gede-lah yang kemudian terkejut. Ternyata bilik itu telah kosong.
“Kemanakah anak ini?” desisnya.
Ki Argapati itu pun kemudian pergi ke belakang. Ditanyakannya kepada pelayan-pelayannya, apakah mereka melihat Pandan Wangi.
Tetapi pelayan-pelayan itu menggeleng sambil menjawab, “Tidak Ki Gede, kami tidak melihatnya.”
Sepercik kecemasan merambat di hati Argapati. Karena itu maka kemudian disusurinya halaman rumahnya. Kalau-kalau Pandan Wangi sedang berada di halaman, atau sedang berada di kebun belakang.
“Apakah Ki Gede sedang mencari Pandan Wangi bertanya seorang pelayan tua.”
“Ya,” sahut Ki Gede.
“Ia mengenakan pakaian berburunya. Mungkin ia pergi.”
Jantung Ki Argapati berdesir mendengarnya. Terkilas di dalam angan-angan Argapati, bahwa sudah pasti Pandan Wangi tidak akan pergi berburu. Tetapi Ki Argapati tidak segera dapat menentukan, kemanakah puterinya itu pergi. Karena itu maka sejenak kemudian ia bertanya, “Apakah kau tahu kemana ia pergi?”
“Sudah tentu ia akan pergi berburu,” jawab pelayan tua
Itu.
“Apakah ia membawa busur dan anak panah?”
Pelayan tua itu mengerutkan keningnya. Kemudian ia menjawab agak ragu-ragu, “Tidak. Aku kira ia tidak membawa busur dan anak panah.”
Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Ia tidak akan pergi berburu.”
“Lalu kemanakah ia akan pergi?”
Argapati tidak segera menjawab, tetapi tampak keningnya menjadi berkerut-merut.
“Apakah Pandan Wangi pergi berkuda?” ia bertanya.
“Ya, ia pergi berkuda.”
“Mungkin para penjaga di regol depan mengetahuinya,” gumam Ki Argapati.
“Tidak Ki Gede, Pandan Wangi tidak lewat regol depan tetapi ia membuka pintu butulan. Akulah yang disuruhnya menutup.”
Argapati mengerutkan keningnya. Meskipun, ia terkejut mendengar keterangan itu, tetapi ia mencoba untuk tidak memberikan kesan apa pun. Perlahan-lahan ia mengangguk-angguk, kemudian ia bertanya, “Kemanakah ia pergi. Ke Utara atau ke Selatan?”
Pelayan tua itu mengingat-ingat sebentar. Kemudian katanya, “Mungkin ia pergi ke Selatan. Aku tidak begitu menaruh perhatian. Begitu ia keluar dari regol, aku segera menutupnya.”
“Anak nakal,” desis Argapati.
“Apakah Pandan Wangi tidak minta ijin lebih dahulu kepada Ki Gede?”
Ki Gede Menoreh itu tidak menyahut.
“Bukankah biasanya Pandan Wangi mendapat ijin dari Ki Gede untuk pergi berburu.”
Ki Gede hanya mengangguk saja. Tetapi di dalam hati ia berkata, “Aku tidak pernah melepaskannya seorang diri meskipun ia hanya pergi berburu. Apalagi dalam keadaan serupa ini.”
“Hem,” Ki Argapati itu berdesah, sedang pelayan tua itu memandanginya dengan heran. Ia melihat kegelisahan pada wajah Argapati Betapapun ia mencoba menyembunyikannya. Tetapi pelayan tua itu tidak tahu apakah yang sebenarnya digelisahkannya. Bukankah Pandan Wangi itu pergi di siang hari? Pelayan tua itu sama sekali tidak tahu, betapa ketegangan yang kemelut menyelubungi udara Tanah Perdikan Menoreh. Apabila Argapati tidak berhasil mengatasinya dengan cara yang diinginkannya maka api akan segera menyala.
Dalam keadaan demikian Pandan Wangi pergi seorang diri. Berbagai macam persoalan telah menggelegak di dalam dadanya. Bahkan kemudian keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya ketika terlintas di dalam hatinya, “Apakah Pandan Wangi memilih kakaknya daripada ayahnya?”
“Tidak,” Argapati mencoba membantahnya di dalam hati. “Mustahil hal itu dilakukannya.”
Tetapi Argapati tidak mengucapkan sepatah kata pun. Dengan kepala tunduk ia melangkah masuk ke dalam rumah. Sedang pelayan tua itu masih berdiri termangu-mangu di tempatnya. Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya ia bergumam, “Hem, apakah Pandan Wangi pergi tanpa pamit setelah ayahnya melarangnya?”
Dengan hati yang gelisah Argapati duduk kembali di pringgitan. Dicobanya menenangkan hatinya dengan meneguk minuman paginya yang telah menjadi dingin. Tetapi debar di jantungnya justru menjadi semakin tajam.
“Anak itu pasti pergi ke rumah pamannya,” desis Argapati seorang diri. Arah yang diambilnya adalah arah yang menuju ke rumah Argajaya. “Aku tidak tahu, apakah maksudnya Dalam keadaan yang panas ini, perjalanan yang pendek itu dapat berbahaya baginya.”
Tetapi Argapati tidak dapat segera pergi menyusulnya. Ia merasa segan untuk datang ke rumah itu, seolah-olah ia memerlukan menemui orang-orang yang selama ini telah membuat kekisruhan di dalam wilayahnya. Dengan demikian, maka bagi mereka yang melihat kehadirannya ke rumah itu akan dapat memberikan tanggapan yang bermacam-macam, seolah-olah ia telah merendahkan dirinya, memohon kepada Sidanti untuk melepaskan tuntutannya.
“Tetapi bagaimana dengan Pandan Wangi?” desisnya. Tiba-tiba Argapati itu meloncat berdiri. Dengan tergesa-gesa ia pergi ke pendapa dan memanggil seorang penjaga regol halamannya.
“Panggil pemimpin pengawal,” ia menggeram.
Perintah itu tidak perlu diulanginya. Segera penjaga regol itu pergi memenuhinya, memanggil pemimpin pengawal.
Kepadanya, Argapati memberitahukan bahwa Pandan Wangi telah pergi. Menurut pertimbangannya ia pergi ke rumah Argajaya.
“Apakah kepentingannya?” bertanya pemimpin pengawal itu.
“Aku tidak tahu. Tetapi aku yakin bahwa Pandan Wangi ingin membantuku memecahkan kesulitan ini. Mungkin ia ingin menemui kakaknya dan mencoba mempengaruhinya. Namun aku mengkhawatirkannya. Aku tidak yakin bahwa ia berhasil, meskipun seandainya demikian aku akan sangat berterima kasih kepadanya. Tetapi seandainya Sidanti mengambil sikap-sikap yang tidak mencerminkan persaudaraannya, misalnya menahannya dan tidak diberikan kesempatan kepadanya untuk kembali ke rumah ini dengan kekerasan, maka kita harus bertindak. Aku menunggu sampai tengah hari. Apabila tengah hari Pandan Wangi tidak kembali, kau harus menyusulnya. Kau minta Pandan Wangi. Kalau tidak diberikannya, aku tidak tahu akibat apa yang dapat terjadi. Pasukanmu harus bersiap menghadapi setiap kemungkinan.”
Wajah pemimpin pengawal itu menjadi tegang. Tetapi kemudian matanya memancarkan api yang seolah-olah telah membakar jantungnya. Dengan tegas ia berkata, “Aku akan melakukannya. Aku dan pasukan pengawal Tanah Perdikan ini sudah siap melakukan apa saja. Aku kira memang tidak ada jalan lain selain perang. Kalau Pandan Wangi mengusahakan jalan lain, itu pasti hanya akan sia-sia saja, meskipun aku ikut mengharap, mudah-mudahan ada juga pengaruhnya.”
Argapati melihat pancaran perasaan pemimpin pengawal itu. Agaknya ia sudah menjadi jemu melihat perkembangan keadaan yang seakan-akan tidak menentu. Tetapi kegelisahan dan kecemasan telah merayapi hampir setiap hati di dalam dada orang-orang Menoreh. Sehingga bentuk kehidupan sehari-hari telah berubah sama sekali. Pasar-pasar menjadi semakin sepi, dan sawah-sawah tidak lagi terpelihara sewajarnya. Sebagian dari setiap laki-laki di Menoreh telah mengelompokkan diri mereka dengan orang-orang yang mempunyai persamaan sikap dan pandangan.
Menoreh telah terpecah dari dalam.
Ketika pemimpin pengawal itu kemudian meninggalkan rumah Ki Gede Menoreh, maka Ki Gede itu berpesan, “Datanglah sebelum tengah hari kemari, setelah kau selesai dengan segala bentuk persiapanmu. Kau akan mendapat kepastian, apakah Pandan Wangi telah kembali atau belum. Jangan kau bunyikan tengara untuk mempersiapkan pasukanmu, supaya orang-orang yang tidak mengerti masalahnya menjadi bingung dan ketakutan.”
“Baik,” sahut pengawal itu meskipun ia tidak sependapat sepenuhnya. Sebenarnya ia ingin langsung membunyikan tengara, memanggil mereka yang masih cukup kuat untuk mengangkat senjata, kemudian langsung menghancurkan Sidanti dan Argajaya.
Tetapi pengawal itu menyadari, bahwa dengan demikian akan terjadi pergolakan yang dahsyat dan mengerikan. Campur baur antara lawan dan kawan akan membuat Tanah Perdikan ini merah oleh darah sesama.
Sepeninggal pengawal itu, Argapati masih saja selalu diliputi oleh kegelisahan. Tanpa disengajanya ia memasuki bilik Pandan Wangi. Hatinya berdesir ketika ia tidak melihat sepasang pedang puterinya itu tergantung di tempatnya.
“Anak itu bersenjata,” desisnya. Dan Argapati semakin yakin bahwa Pandan Wangi pergi ke rumah pamannya karena ia masih melihat busur dan anak panahnya berada di atas pembaringannya, tergantung di dinding.
Dalam kegelisahannya, Argapati itu merasa bahwa hari merangkak terlampau lamban. Matahari seolah-olah terpancang saja di tempatnya, tanpa bergerak sama sekali. Bayangan-bayangan matahari yang lolos dari lubang-lubang dinding masih tampak terlampau condong.
“Hem,” Ki Gede Menoreh itu berdesah. Dan sekali lagi tanpa disadarinya ia pergi ke biliknya sendiri. Perlahan-lahan ia pergi ke geledeg di sudut biliknya. Beberapa saat ia berdiri termangu-mangu. Namun kemudian tangannya itu bergerak meraih sebuah selongsong kain putih.
Argapati menarik nafas dalam-dalam.
Perlahan-lahan dengan tangan gemetar dibukanya selongsong itu. Perlahan-lahan ditariknya sebatang tombak pendek dari dalamnya. Tombak pendek yang disimpannya beberapa lama, namun tiba-tiba kini begitu menarik perhatiannya, dan seolah-olah telah menghisapnya untuk membukanya.
Ki Argapati mengerutkan keningnya. Ia melihat sesuatu yang agak lain pada tombaknya. Maka dengan serta-merta tangannya meraih wrangkanya. Dan ketika wrangkanya telah terbuka, dadanya berdesir tajam sekali. Tombak itu bukan tombaknya sendiri.
Argapati menggeretakkan giginya. Wrangka itu adalah wrangka tombaknya. Selongsong itu adalah selongsong tombaknya. Tangkai itu pun memang tidak banyak berbeda dengan tangkai tombaknya. Seandainya ia tidak merabanya, maka ia tidak akan segera dapat melihat perbedaannya. Tetapi jelas tombak itu bukan miliknya. Tombak itu agaknya adalah tombak Argajaya.
“Hem,” Ki Gede Menoreh menggeram. Ternyata adiknya benar-benar tidak tahu diri. Tombak itu telah dipertukarkannya. Tombaknya yang selama ini menjadi kawan di dalam segala keadaan, sebagai seorang prajurit, kemudian sebagai seorang Kepala Tanah Perdikan. Tiba-tiba tombak itu kini lenyap. Hilang.
Tetapi Argapati dapat menduga, siapakah yang telah mengambilnya. Adiknya sendiri, Argajaya, dan menukarnya dengan tombaknya sendiri.
“Kapankah ia masuk ke dalam bilik ini?” Argapati menggeram. Tetapi hal itu mungkin sekali terjadi. Rumah itu seolah-olah sudah menjadi rumah Argajaya sendiri. Ia berada di dalam rumah itu seperti ia berada di dalam rumahnya. Argapati sama sekali tidak berprasangka apa pun terhadap adiknya, sebelum peristiwa yang memilukan terjadi atas Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan seandainya benar Argajaya yang telah melakukannya, tetapi tidak terjadi hal seperti ini, maka hatinya pun tidak akan menjadi terlampau marah.
Tetapi ternyata tombaknya telah ditukarnya.
Dengan kesal Argapati menyarungkan tombak itu kembali. Dimasukkannya pula ke dalam selongsong dan meletakkannya di atas geledegnya.
“Argajaya benar-benar telah menempatkan dirinya di seberang,” desisnya. “Apakah aku masih harus merasa terikat oleh kasih sayang seorang saudara tua di saat-saat begini? Aku sudah tua, Argajaya pun telah menambat ke usia tuanya. Harapan di masa datang kini tergantung kepada anakku. Kepada Pandan Wangi. Pandan Wangi-lah yang harus di selamatkan dari bencana. Bukan Argajaya, dan bahkan bukan diriku sendiri. Apalagi Sidanti.”
Wajah Argapati tiba-tiba menegang. Argajaya agaknya telah menukar tombak itu tidak baru kemarin. Tetapi sudah agak lama terjadi. Sekilas teringat olehnya perjanjian yang dibuatnya dengan Ki Tambak Wedi. Sepercik ingatan tentang peristiwa yang jarang terjadi di bawah Pucang Kembar beberapa puluh tahun yang lalu telah menyala pula di hatinya.
Tetapi tombak itu sudah tidak ada lagi di tangannya. Tombak yang masih akan dipergunakan sekali lagi untuk melawan senjata Tambak Wedi yang mengerikan itu. Sepasang nenggala yang masing-masing mempunyai mata tajam rangkap. Tetapi Argapati tidak mengerti, bahwa sepasang nenggala itu pun sudah tidak utuh lagi. Satu dari padanya ternyata telah tertinggal di Sangkal Putung.
Sementara itu, Pandan Wangi sedang berpacu di atas kudanya menuju ke rumah pamannya seperti yang diduga oleh ayahnya. Ia sendiri tidak tahu, dorongan apakah yang memaksanya untuk pergi menemui kakaknya. Ia menyadari, bahwa ayahnya pasti tidak akan mengijinkannya. Karena itu, maka ia pergi tanpa minta ijin dahulu kepadanya. Keinginannya untuk bertemu dan berbicara dengan Sidanti tidak dapat ditahan-tahankannya lagi. Berbicara kepada seorang kakak, meskipun kini ia tahu bahwa Sidanti bukanlah kakaknya seayah.
Tetapi bukan saja karena ia ingin berbicara dengan kakaknya, bukan saja karena ada sesuatu yang telah mengikatnya dengan Sidanti Betapapun keadaan anak itu, karena mereka seibu, namun lebih dari pada itu. Pandan Wangi telah dilanda oleh kecemasan melihat nasib tanah kelahirannya. Tanah Perdikan Menoreh yang diancam oleh bahaya yang justru meledak dari dalam.
“Aku harus menemui Kakang Sidanti dan paman Argajaya,” katanya di dalam hati. “Aku harus berbicara dan mencoba mengurungkan niat mereka. Seandainya Kakang Sidanti tahu, bahwa ayah bukan ayahnya pula, namun seharusnya ia tidak mengorbankan tanah ini untuk kepentingannya sendiri.”
Sekali-sekali Pandan Wangi menggeretakkan giginya melihat keadaan yang menyedihkan. Jalan-jalan menjadi sepi dan pintu-pintu rumah tertutup rapat-rapat. Tanah ini seolah-olah sedang dilanda oleh bahaya yang akan menelan seluruh isinya menjadi abu.
Dengan demikian maka hasratnya untuk berbicara dengan kakak dan pamannya menjadi semakin kuat di dalam hatinya.
Di perjalanan kadang-kadang Pandan Wangi bertemu juga orang berjalan dengan tergesa-gesa. Satu-satu membawa beberapa macam barang yang akan dipertukarkan dengan kebutuhan-kebutuhan lain, karena pasar menjadi sepi. Ketika orang-orang itu mendengar derap kudanya, maka dengan tergesa-gesa mereka menyusup masuk ke regol halaman yang terdekat dan bersembunyi di balik dinding halaman.
“Tanah ini menjadi sepi sesepi pekuburan,” desis Pandan Wangi.
Tetapi derap kuda Pandan Wangi seolah-olah telah menggetarkan seluruh Tanah Perdikan yang sedang dihantui oleh perpecahan yang semakin lama semakin tajam.
Semakin dekat dengan rumah pamannya, hati Pandan Wangi menjadi semakin berdebar-debar. Seolah-olah ia tidak sabar lagi untuk segera meloncat dan menemui mereka. Bahkan sekali-kali ia berpaling. Seandainya ayahnya atau orang-orang yang diperintahkan olehnya menyusul perjalanannya dan membawanya kembali sebelum ia bertemu dengan Sidanti dan pamannya Argajaya, maka ia akan berkeberatan.
Tetapi tiba-tiba dada Pandan Wangi itu berdesir. Di tikungan di hadapannya, dilihatnya beberapa orang sedang berdiri bertebaran. Mereka agaknya sedang asyik bercakap-cakap, berkelakar atau apa saja.
“Siapakah mereka itu?” pertanyaan itu tumbuh di dada Pandan Wangi.
Ternyata bahwa derap kaki-kaki kudanya telah menarik perhatian orang-orang itu. Serentak mereka berloncatan justru ke tengah jalan. Beberapa orang bertolak pinggang dan yang lain meraba hulu pedangnya.
“Enam atau tujuh orang,” desis Pandan Wangi, “Mungkin mereka para pengawal Tanah Perdikan yang sudah dipengaruhi oleh kakang Sidanti.”
Tetapi Pandan Wangi tidak menghentikan langkah kudanya. Ia akan memberi penjelasan, bahwa ia hanya sekedar ingin bertemu saja dengan Sidanti dan Ki Argajaya.
“Mudah-mudahan mereka dapat mengerti,” gumamnya sambil memacu kudanya.
Tetapi dada Pandan Wangi itu berdesir semakin tajam. Semakin dekat, maka semakin jelas baginya, bahwa agaknya orang-orang itu bukan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh.
“Siapakah mereka itu?” pertanyaan itu sekali lagi menyentuh dadanya. “Apakah mereka orang-orang yang tidak kami kenal yang berusaha ikut serta membuat keadaan semakin kisruh, supaya mereka mendapat kesempatan untuk mengail di air keruh?”
Tanpa disengaja, Pandan Wangi menarik kendali kudanya, sehingga derap larinya menjadi susut. Dengan hati-hati Pandan Wangi mencoba untuk menilai keadaan. Tetapi bagaimanapun juga ia tidak ingin kembali sebelum bertemu dengan kakaknya. Dengan demikian maka tekadnya menjadi bulat, untuk meneruskan perjalanannya. Rumah pamannya sudah tidak begitu jauh lagi dari tikungan itu. Meskipun demikian, Pandan Wangi harus berwaspada. Segala macam peristiwa dapat saja terjadi dalam keadaan yang kisruh ini.
Orang-orang yang berada di tikungan masih berdiri di tengah jalan. Mereka sengaja menghadang kuda Pandan Wangi. Dengan berbagai macam sikap yang mengancam, mereka kini melangkah perlahan-lahan menyongsong kuda yang semakin dekat itu.
Tiba-tiba salah seorang dari mereka melangkah ke paling depan. Sambil mengangkat tangannya ia berseru, “Berhenti!”
Pandan Wangi terpaksa menghentikan kudanya. Kini perlahan-lahan ia maju.
“Siapa kau?” bertanya orang itu. Dan orang itu sama sekali belum pernah dilihatnya. Orang itu terasa asing dan mendebarkan hati.
Tetapi supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, maka Pandan Wangi menjawab, “Aku, Pandan Wangi.”
Orang itu mengerutkan keningnya. Kemudian ia berpaling memandangi kawan-kawannya yang berdiri di belakangnya. Tiba-tiba tanpa diketahui sebabnya orang itu tertawa terbahak-bahak.
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Sikap itu benar-benar sikap yang tidak menyenangkan. Meskipun demikian ia masih mencoba menahan hati dan duduk diam di atas punggung kudanya.
“Aku sudah menduga,” berkata orang itu, “bahwa kau adalah seorang perempuan sejak aku melihatmu dari kejauhan. Tetapi aku tidak menduga bahwa kau sedemikian cantiknya.”
“Benar-benar memuakkan,” desis Pandan Wangi di dalam hatinya. Tetapi ia masih berdiam diri.
“Kenapa kau pergi seorang diri dalam keadaan begini? Apakah kau tidak pernah mendengar berita, bahwa di Tanah Perdikan ini akan menyala api yang dapat membakar hangus seluruh isi dan penghuninya?”
........bersambung ke Jilid 34
Tidak ada komentar:
Posting Komentar