API di BUKIT MENOREH
Karya S.H Mintardja
“SILAHKAN. Semua serba darurat.”
“Demikianlah agaknya, Ki Gede. Di peperangan semuanya harus menyesuaikan diri.”
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Ini adalah anakku. Karena itu, aku tidak menyuruhnya pergi. Dalam keadaan serupa ini, lebih banyak yang diketahuinya, akan lebih baik baginya dan bagi Tanah ini.”
Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Aku kira, ia perlu mengetahui pula tentang Kiai yang yang sampai saat ini masih menjadi teka-teki bagi segala pihak.”
Gembala tua itu mengerutkan keningnya. “Kenapa menjadi teka-teki, Ki Gede? Aku adalah seperti ini. Apalagi yang harus ditebak?”
“Kiai,” berkata Ki Argapati, “aku memang sudah tidak dapat mengenali lagi, apakah Kiai adalah orang yang pernah aku lihat di masa muda. Benar-benar terasa asing bagiku. Terhadap Paguhan, aku tidak akan dapat lupa meskipun seandainya beberapa puluh tahun aku tidak bertemu. Tetapi terhadap Kiai, aku benar-benar tidak dapat mengatakan, apakah aku pernah bertemu atau tidak.”
Gembala tua itu mengerutkan keningnya. Terkilas sesuatu di dalam tatapan matanya. Namun kemudian ia tersenyum, “Aku kira kita memang belum pernah bertemu, Ki Gede.”
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba mengenali ciri-ciri yang dapat mengingatkannya kepada seorang anak muda yang pernah dikenalnya dahulu, meskipun tidak begitu rapat. Namun Ki Gede itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Tidak ada ciri yang khusus, dan perkenalan itu pun hanya sepintas lalu saja. Yang dihadapinya kini bahkan seolah-olah seorang tua yang sejak pada masa mudanya juga sudah setua itu. Tetapi mustahil.
“Kiai,” berkata Ki Argapati, “tetapi Betapapun juga, aku masih mempunyai jembatan yang mungkin akan dapat mencapai suatu seberang yang jauh telah kita tinggalkan. Aku mengenal seseorang yang luar biasa. Seorang yang bersenjata cambuk, dan yang senang sekali berteka-teki tentang dirinya. Tetapi sudah tentu bukan kau, karena pada saat itu pun umurnya sudah setua kita sekarang.”
Gembala tua itu tidak segera menjawab.
“Apakah kau kenal seseorang yang bernama Empu Windujati, seorang sakti yang selalu membawa sehelai cambuk ke mana pun ia pergi? Atau mungkin kau mengenal namanya yang lain, Pangeran Windukusuma?” Ki Argapati berhenti sejenak, kemudian, “Dan mungkin kau lebih mengenal muridnya, seorang anak muda, yang bernama Jaka Warih?”
Gembala tua itu sejenak terdiam. Keningnya yang telah berkerut menjadi semakin berkerut-merut. Ditatapnya wajah Ki Argapati sejenak. Namun sejenak kemudian ia menggelengkan kepalanya sambil berkata, “Sayang. Aku tidak mengenal mereka semuanya. Bahkan baru pertama kali aku mendengar nama Pangeran Windukusuma. Aku banyak mengenal nama pangeran-pangeran dari kawan-kawanku yang sering pergi ke Demak dan Pajang. Bahkan sisa-sisa terakhir dari keturunan raja Majapahit. Namun aku tidak pernah menjumpai nama itu. Apalagi muridnya yang bernama Jaka Warih.”
Argapati menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak berhasil menangkap kesan pada wajah gembala tua itu.
“Baiklah, kalau Kiai tidak mengenal mereka,” suara Ki Argapati menurun. “Apalagi Kiai, sedangkan seandainya aku bertemu dengan Empu Windujati saat ini, pasti ia juga mengatakan, bahwa ia tidak mengenal seseorang yang bernama Empu Windujati, atau yang pernah bergelar Pangeran Windukusuma.”
Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan sekali lagi Argapati tidak berhasil menangkap kesan apa pun pada wajah itu.
“Tetapi,” berkata Argapati kemudian, “semuanya itu tidak penting bagiku. Yang penting, bahwa Kiai bersedia menolongku.”
“Tentu, Ki Gede, dan bukankah obat yang aku kirimkan kemarin masih dapat dipergunakan?”
“Obat Kiai-lah yang membuat aku masih dapat bertahan sampai saat ini. Namun setelah orangnya hadir di sini, maka aku kira, aku akan mendapat pengobatan yang lebih baik, sehingga apabila Ki Tambak Wedi datang di setiap saat, malam nanti barangkali, aku sudah dapat menyambutnya.”
“Ah, tidak mungkin, Ki Gede. Apabila benar Ki Tambak Wedi datang malam nanti, maka Ki Gede pasti belum akan dapat turun ke medan.”
“Apakah aku harus membiarkan Ki Tambak Wedi membuat padukuhan tempat pertahanan kami terakhir ini menjadi karang abang?”
Gembala tua itu tidak dapat segera menjawab, sehingga karena itu, ia berdiam diri sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah, Kiai,” berkata Ki Argapati, “kalau Kiai sudah beristirahat, aku ingin mempersilahkan Kiai berbuat sesuatu atas lukaku ini. Mungkin setelah Kiai melihat, maka Kiai akan menemukan obat yang jauh lebih baik dari obat yang telah aku terima itu.”
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya gembala itu berdesis, “Baiklah. Aku akan mencoba mengobatinya dengan baik, sejauh-jauh kemampuanku. Namun segalanya terserah atas kemurahan Tuhan Yang Maha Asih.” Kemudian kepada Pandan Wangi, ia berkata, “Aku memerlukan air hangat, Ngger.”
“O,” Pandan Wangi seakan-akan terbangun dari tidurnya. Dengan serta-merta ia pun segera melangkah meninggalkan ruangan itu untuk mengambil air hangat di belakang.
Sejenak kemudian, gembala tua itu mengamat-amati luka Ki Argapati. Kemudian desisnya, “Obatku ternyata tepat untuk mengobati luka ini. Tetapi barangkali aku dapat mempercepat usaha penyembuhannya. Tetapi maaf, Ki Gede, bahwa untuk sesaat luka itu akan terasa sangat sakit.”
“Apa pun,” jawab Ki Argapati, “aku ingin segera sembuh, bukankah obat yang Kiai berikan kemarin pun mula-mula terasa sakit sekali, baru kemudian obat itu mulai bekerja?”
“Tetapi yang baru ini terlebih-lebih lagi.”
“Biarlah,” jawab Ki Argapati.
Sebentar kemudian, gembala tua itu telah mulai membersihkan luka itu sebelum dicuci dengan air hangat, perlahan-lahan sekali, dengan kain pembalutnya.
Sementara itu Ki Argapati sama sekali tidak memperhatikan lukanya lagi. Yang menarik perhatiannya adalah tangan gembala tua itu. Dan tiba-tiba saja gembala itu terkejut, ketika tangannya serasa dicengkam oleh Ki Argapati.
“Kiai,” bertanya Ki Argapati, “apakah artinya gambar yang Kiai pahatkan di pergelangan tangan ini?”
Sesaat wajah orang tua itu menjadi tegang. Namun kemudian ia tersenyum sambil menjawab, “Apakah Ki Gede tertarik pada gambar itu?”
“Ya.”
“Aku menusuknya dengan duri ikan. Kemudian menggosoknya dengan langes dan minyak, selagi lukanya masih berdarah. Dicampur dengan sedikit reramuan, supaya bekasnya tidak segera hilang.” Orang tua itu berhenti sejenak. “Tetapi,” katanya kemudian, “itu adalah kesenangan anak-anak muda. Aku sekarang menyesal. Tetapi untuk menghapusnya, aku harus melukainya lagi. Dan aku sekarang sama sekali tidak berani melihat tanganku sendiri berdarah.”
“Bukan itu, Kiai,” jawab Ki Argapati, “bukan cara membuatnya. Tetapi arti daripada gambar itu. Bukankah Kiai melukiskan sehelai cambuk di pergelangan tangan itu, dan di ujung cambuk itu terdapat sebuah cakra kecil yang bergerigi sembilan?”
Sekali lagi wajah orang tua itu menegang. Namun kemudian sekali lagi ia tersenyum. “Ya. Sebuah cambuk dan sebuah cakra bergerigi sembilan. Ki Gede terlampau teliti, sehingga dapat menghitung gerigi pada gambar yang sedemikian kecilnya.”
“Aku tidak menghitung gerigi pada gambar di tanganmu, Kiai.”
“Lalu darimana Ki Gede tahu, bahwa cakra itu bergerigi sembilan?”
“Ya, cakra itu bergerigi sembilan. Sepuluh dengan tangkai yang terikat pada ujung cambuk. Bukankah begitu? Meskipun di ujung cambuk kalian sama sekali tidak pernah terikat sebuah cakra serupa itu.”
Orang tua itu tidak segera menjawab.
“Kiai,” berkata Ki Argapati kemudian sambil melepaskan tangan orang tua itu, “gambar itu adalah ciri dari perguruan Empu Windujati. Aku pernah melihat gambar serupa itu, tetapi agak lebih besar, pada secarik panji-panji yang aku ketemukan di dalam lingkungan perguruan Empu Windujati. Aku mengenal dua orang muridnya, meskipun hanya sekilas. Hanya muridnya yang terpercaya sajalah yang diperkenankan membuat gambar itu di pergelangan tangannya. Dan gambar itu mempergunakan pola tertentu, bukan sekedar dicocok dengan duri ikan.”
Gembala tua itu tidak segera menjawab. Sejenak ia menatap Ki Argapati dengan tajamnya. Namun sejenak kemudian ia menggelengkan kepalanya.
Dan sekali lagi orang tua itu tersenyum. “Aku tidak mengerti, Ki Gede. Aku sama sekali tidak mengerti tentang panji-panji itu dan tentang perguruan Empu Windujati.”
“Mungkin,” berkata Ki Argapati, “tetapi apakah bekas di tangan Kiai itu benar-benar bekas duri ikan?” Ki Argapati menggelengkan kepalanya sambil berkata, “Bukan, Kiai. Itu sama sekali bukan bekas cocokan duri ikan, tetapi gambar itu adalah bekas luka bakar. Bukankah demikian?”
Namun gembala itu masih tetap menggeleng sambil tersenyum, “Ki Gede ternyata salah menilai.”
“Baiklah, baiklah,” desis Ki Gede kemudian. “Sekarang, bagaimana dengan lukaku?”
“Aku akan membersihkannya, aku menunggu air hangat.”
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. tetapi ia sudah tidak bertanya lagi tentang diri gembala tua itu.
Sesaat kemudian, Pandan Wangi memasuki ruangan itu dengan membawa air hangat dalam sebuah mangkuk yang besar.
“Terima kasih, Ngger,” berkata gembala tua itu, lalu. “Seterusnya apakah Angger akan menunggui ayah atau tidak? Kalau sekira Angger tahan melihat luka yang akan aku obati ini, maka tidak ada keberatannya Angger menungguinya. Tetapi aku kira lebih baik Angger berada di luar.”
Sejenak Pandan Wangi terdiam. Namun kemudian ia menggelengkan kepalanya, “Aku akan menunggui ayah, Kiai.”
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Baiklah. Apabila Angger memang berkeinginan demikian.”
Gembala tua itu pun segera membersihkan luka Ki Argapati yang menjadi kambuh kembali, setelah semalam ia memaksa dirinya menemui Ki Tambak Wedi.
Dengan kemampuan yang ada padanya, gembala tua itu kemudian mencoba mengobati luka itu dengan obat yang lebih tajam lagi. Ia berani mempergunakan obat itu, karena ia sendirilah yang menungguinya, sehingga akibat yang tidak dikehendaki akan segera dapat di atasinya dengan ramuan-ramuan penawar yang lain.
“Ki Gede,” berkata gembala itu, “untuk mengurangi rasa sakit, maka aku persilahkan Ki Gede minum butiran reramuan ini. Dengan demikian Ki Gede akan kehilangan sebagian dari kesadaran Ki Gede.”
“Aku percaya kepadamu, Kiai. Apa pun yang kau lakukan, aku akan menurut.”
Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian diserahkannya sebutir reramuan obat yang terbungkus dengan asam untuk ditelannya.
Setelah menelan obat itu, maka terasa seakan-akan ia diserang oleh perasaan kantuk yang luar biasa. Bahkan kesadarannya pun semakin lama seakan-akan menjadi semakin kabur, meskipun ia masih tetap melihat gembala tua itu kini berdiri di samping pembaringannya, dan Pandan Wangi yang memperhatikannya dengan cemas.
Luka di dada Ki Gede Menoreh adalah luka yang sangat berbahaya, karena luka itu ditimbulkan oleh ujung senjata Ki Tambak Wedi. Itulah sebabnya, maka gembala tua itu harus bekerja dengan sungguh-sungguh untuk mengobatinya.
Meskipun Ki Argapati telah kehilangan sebagian dari kesadarannya, namun ketika lukanya itu tersentuh, ia masih menggeliat sambil menyeringai. Apalagi setelah luka itu menjadi bersih dan sentuhan pertama obatnya yang baru.
Perasaan sakit yang luar biasa telah menyengat dada itu. Seterusnya dada Ki Argapati itu serasa dibakar oleh api yang kemudian menjilat seluruh tubuhnya.
Pandan Wangi yang melihat ayahnya berjuang melawan rasa sakit itu pun ternyata tidak dapat bertahan lebih lama. Tiba-tiba ia berlari ke sudut ruangan, menutup wajahnya dengan kedua tangannya yang basah oleh air matanya.
Tetapi gadis yang membawa pedang rangkap itu berusaha untuk tidak terisak.
Sementara itu, Ki Tambak Wedi sedang berbincang dengan para pemimpin pasukannya. Ki Peda Sura, yang telah menjadi semakin baik, karena rawatan yang tekun oleh Ki Wasi dan Ki Muni, telah ikut pula di dalam pertemuan itu.
“Apakah kita akan menunggu, sehingga pasukan Argapati siap menyambut kita?” bertanya Peda Sura.
“Tentu tidak,” jawab Ki Tambak Wedi, “tetapi kita juga tidak dapat bergerak hari ini. Pasukan Argapati pasti masih dalam kesiagaan penuh.”
“Besok,” potong Sidanti. “Mereka pasti menyangka, bahwa kita akan datang di hari yang sudah kita tentukan, setelah di hari pertama kita lewatkan tanpa berbuat sesuatu.”
“Ya. Begitulah,” sahut Argajaya.
“Besok kita bakar padukuhan itu seluruhnya,” geram Ki Muni.
Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya, tetapi ia tidak menyahut. Yang kemudian bertanya adalah Sidanti, “Kita akan bergerak di siang hari atau di malam hari, Guru?”
“Di siang hari, orang-orang yang bertengger di belakang pring ori itu akan mendapat kesempatan terlampau banyak untuk membidik kita dengan pelempar lembing. Tetapi di malam hari, semua akan menjadi kabur, sehingga mereka akan melemparkan lembing-lembing mereka tanpa arah yang diperhitungkan. Kita akan berlindung di balik perisai-perisai yang berwarna gelap.”
Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Baginya, malam hari pasti akan lebih baik, sehingga ia tidak akan dapat melihat wajah-wajah yang sebagian terbesar pasti sudah dikenalnya, apalagi wajah adiknya, Pandan Wangi. Bagaimanapun juga, Pandan Wangi adalah seseorang yang paling dekat dengannya di masa kanak-kanak, dan gadis itu telah dilahirkan pula oleh ibu yang sama dengan dirinya sendiri.
Maka keputusan pun kemudian jatuh. Pasukan seluruhnya harus siap untuk merebut kedudukan terakhir dari Ki Argapati. Kalau kedudukan itu dapat mereka rebut, meskipun orang-orang terpenting Menoreh masih dapat melepaskan diri, namun perlawanan mereka sudah tidak akan berarti apa-apa lagi.
Dengan keputusan itu, maka seluruh pasukan Ki Tambak Wedi menjadi sibuk mempersiapkan diri. Mereka benar-benar berhasrat untuk memasuki pertahanan terakhir itu. Karena itu, mereka pun harus menyesuaikan perlengkapan mereka dengan rencana itu. Mereka akan menerobos masuk regol yang dibuat dengan tergesa-gesa oleh orang-orang Menoreh dalam hujan panah dan lembing. Bahkan batu-batu.
“Sesudah perang ini selesai, Menoreh akan mengalami babak baru,” desis salah seorang anak muda yang berpihak kepada Sidanti. “Kita akan lebih banyak mendapat perhatian, sesuai dengan kepentingan kita. Sidanti sudah tentu tidak akan berbuat sekaku ayahnya, yang melarang apa saja yang kami senangi.”
Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Menoreh harus menjadi jauh lebih baik. Orang-orang yang selama ini hanya dapat berbicara tanpa berbuat sesuatu harus disingkirkan.”
“Dan kita akan segera melakukannya.”
Demikianlah, maka setiap orang di dalam pasukan itu menjadi sibuk. Mereka mempersiapkan senjata-senjata mereka, dan terlebih-lebih lagi mempersiapkan hati mereka.
Dalam pada itu, Ki Gede Menoreh masih berjuang mengatasi perasaan sakit yang membakar dadanya. Meskipun kesadarannya sudah disusut, namun perasaan sakit itu hampir tidak tertahankan. Meskipun demikian, Ki Argapati tidak mengeluh. Yang terdengar hanyalah desis dan desah-desah yang pendek. Sambil mengatupkan giginya rapat-rapat, Ki Argapati memejamkan matanya. Tetapi ia percaya, bahwa orang tua itu benar-benar akan berhasil menyembuhkan luka-lukanya, meskipun tidak seketika.
Ketika rasa sakit itu telah sampai ke puncaknya, maka terasa seakan-akan seluruh tubuh Ki Argapati menjadi hangus. Dari ujung jari kaki sampai ke-ubun-ubunnya. Namun setelah itu, maka perasaan sakit itu dengan cepatnya menurun. Serasa arus yang sejuk mengalir di sepanjang pembuluh darahnya. Semakin lama semakin sejuk, meskipun pada suatu saat ia masih harus tetap menahankan rasa sakit, tetapi sama sekali sudah jauh berkurang.
Gembala tua itu pun mengamati perkembangan keadaan Ki Argapati dengan teliti. Setiap perubahan diikutinya dengan seksama, sehingga akhirnya, ia menarik nafas dalam-dalam. Sambil menganggukkan kepalanya, ia menaburkan sejenis bubuk obat-obatan yang lain ke atas luka itu. Tetapi sama sekali sudah tidak berpengaruh lagi atas rasa sakit pada luka itu.
Namun yang terasa kemudian adalah perasaan lelah yang bukan buatan. Bahkan kemudian seakan-akan kesadarannya menjadi semakin kabur, sehingga pada suatu saat, Ki Argapati itu memejamkan matanya. Nafasnya berjalan semakin teratur, sedang peluhnya seolah-olah terperas dari seluruh tubuhnya.
“Angger Pandan Wangi,” berkata orang tua itu, “Ki Gede kini telah teratur, setelah ia berjuang sekuat-kuat tenaganya menahankan rasa sakit. Tetapi keadaannya kian menjadi baik. Aku harap, ia akan segera dapat bangkit dari pembaringannya, tanpa membuat lukanya kambuh kembali. Nanti pada saatnya, Ki Argapati akan muntah-muntah. Tetapi itu tidak berbahaya. Justru dengan demikian, racun yang ada di dalam dirinya hanyut keluar. Baik racun yang ditimbulkan oleh luka-lukanya yang tersentuh ujung senjata Ki Tambak Wedi, maupun racun yang timbul karena obat-obatku.”
Pandan Wangi yang masih berdiri di sudut kamar memandang orang tua itu dengan cemasnya. Katanya, “Tetapi bukankah Kiai tidak akan meninggalkan kami?”
“O, tidak. Tidak Ngger. Aku akan tinggal di padukuhan ini. Aku telah menyatakan diri untuk membantu Ki Argapati menurut bidangku.”
“Baiklah, Kiai. Aku akan menunggui ayah di sini.”
“Silahkan, Ngger. Aku akan berada di pendapa.”
Setelah membersihkan tangannya, maka orang tua itu pun keluar dari bilik Ki Argapati, pergi ke pendapa, dan duduk bersama kedua muridnya dan Ki Samekta.
Ki Argapati membuka matanya ketika matahari telah menjadi sangat rendah. Seperti kata gembala tua, Ki Argapati itu pun kemudian muntah-muntah seakan-akan isi perutnya terkuras keluar. Namun Pandan Wangi yang selalu menungguinya memberitahukan kepadanya, bahwa demikianlah yang seharusnya terjadi menurut pesan orang tua yang mengobatinya.
“Di manakah mereka sekarang?” bertanya Ki Argapati.
“Mereka berada di luar, Ayah. Di pendapa. Tetapi mungkin kini mereka sedang mandi, atau berjalan-jalan bersama Paman Samekta, atau apa pun. Karena mereka agaknya sudah menjadi jemu duduk saja tanpa berbuat sesuatu.”
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Panggil Samekta. Aku akan berbicara dengannya.”
Sejenak kemudian, Pandan Wangi pun segera pergi keluar. Kepada seorang pengawal diperintahkannya untuk mencari Ki Samekta, karena Ki Argapati memerlukannya.
Sejenak kemudian, Samekta telah menghadap. Bahkan kali ini bersama Wrahasta.
“Bagaimana keadaan Ki Gede?” bertanya Samekta.
“Sudah menjadi lebih baik,” jawab Ki Argapati, “tetapi bagaimana dengan pertahananmu?”
“Tidak mengecewakan, Ki Gede. Kami sudah mempersiapkan semua peralatan. Seandainya Ki Tambak Wedi akan datang malam nanti, maka kami sudah siap menyambutnya.”
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Tidak ada yang perlu dicemaskan, Ki Gede,” sambung Wrahasta pula.
“Bagaimana dengan ketiga orang-orang itu?” tiba-tiba Ki Argapati bertanya.
“Mereka berada di dalam pondok yang telah aku sediakan, Ki Gede. Setiap saat mereka dapat dipanggil, apabila Ki Gede memerlukannya.”
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia berdesis, “Perlakukan mereka dengan baik. Seandainya mereka benar-benar seorang gembala tua dengan kedua anaknya, maka mereka bukan gembala kebanyakan.”
Ki Samekta dan Wrahasta saling berpandangan sejenak. Kemudian dengan terbata-bata Samekta bertanya, “Siapakah sebenarnya mereka, Ki Gede? Agaknya mereka memang menyimpan suatu teka-teki tentang diri mereka sendiri.”
Ki Argapati menggelengkan kepalanya. Ia sendiri ingin memecahkan teka-teki itu. Tetapi ia belum menemukan suatu keyakinan. Ketika ia melihat gambar di pergelangan tangan orang tua itu, ia mengharap, bahwa ia tidak akan dapat mengelak lagi. Tetapi ternyata orang tua itu masih tetap menggelengkan kepalanya. Namun meskipun demikian, ia condong pada anggapan sebenarnyalah laki-laki tua itu adalah salah seorang murid Empu Windujati, yang pernah ditemuinya di masa mudanya. Tetapi sudah terlampau lama, dan pertemuan itu benar-benar hanya sekilas saja. Ia hanya berkunjung ke perguruan Windujati, tidak lebih dari panjangnya senja untuk menyampaikan pesan gurunya kepada Empu Windujati, yang sebenarnya bernama Pangeran Windukusuma.
“Apakah Ki Gede dapat mengatakannya kepada kami?” bertanya Samekta itu kemudian, sehingga Ki Gede seolah-olah terbangun karenanya.
“Sayang, Samekta,” jawab Ki Argapati, “aku sudah mencoba. Aku menyingkirkan orang-orang di dalam bilikku, termasuk anak-anak gembala tua itu sendiri untuk mendengar pengakuannya, bahkan pada saat Pandan Wangi keluar dari bilik itu pula, namun orang tua itu tidak mengatakan apa-apa tentang dirinya.”
“Lalu apakah kesimpulan Ki Gede tentang mereka?”
“Diakui atau tidak diakui, mereka adalah orang-orang yang mempunyai ilmu yang cukup matang, terutama gembala tua itu menurut pengamatanku. Aku mengharap, ia tidak sekedar mengobati lukaku, tetapi ia bersedia untuk bertempur di pihak kita.”
Wrahasta mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak mengucapkan sepatah kata pun.
“Apakah Ki Gede sudah mengatakannya?”
Ki Gede menggelengkan kepalanya, “Belum. Aku belum mengatakannya dengan tegas. Tetapi aku kira mereka telah menangkap maksudku.”
Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan ia mendengar Ki Gede berkata, “Panggil mereka sebelum senja menjadi gelap. Kita tidak dapat memastikan, apa yang akan terjadi malam ini. Aku kira Ki Tambak Wedi tidak akan terlampau bodoh untuk menunggu sampai waktu yang dikatakannya. Tetapi aku kira juga belum malam ini. Meskipun demikian, semua persiapan harus dimatangkan. Supaya kita tidak terjebak oleh perhitungan kita sendiri yang salah.”
“Baik, Ki Gede.”
“Aku sendiri telah merasa jauh lebih baik. Dalam keadaan yang memaksa, aku sudah dapat menghadapi Ki Tambak Wedi setelah aku mendapat pengobatan khusus.”
“Tetapi jangan, Ki Gede. Masih terlampau berbahaya.”
“Ya, mungkin begitu. Dan sekarang, panggil orang-orang itu kemari.”
Samekta dan Wrahasta pun kemudian meninggalkan bilik itu dan memanggil gembala tua itu bersama kedua anak-anaknya.
Kepada mereka bertiga, Ki Argapati berkata terus terang, bahwa ia menginginkan bantuan mereka di peperangan.
“Aku tahu, kalian tidak berkepentingan langsung dengan peperangan ini, tetapi aku tahu juga, bahwa kalian telah menempatkan diri kalian dalam suatu pendirian,” berkata Ki Argapati.
Gembala tua itu tidak segera menjawab.
“Persoalan kalian mungkin adalah persoalan pribadi dengan Ki Tambak Wedi, atau mungkin persoalan dengan Sidanti, yang apabila tidak tumbuh api yang membakar tanah ini, dan membuat aku sendiri berdiri berhadapan dengan Sidanti dan Argajaya, mungkin kalian pun akan menghadapi aku,” Ki Argapati berhenti sejenak. “Tetapi ternyata keadaan itu telah menjadi seperti ini.”
Laki-laki tua itu menarik nafas. Sejenak dipandanginya wajah kedua muridnya. Kemudian jawabnya, “Kami tidak berkeberatan, Ki Gede, tetapi apakah kemampuan yang dapat kami berikan?”
“Jangan memperkecil nilai diri sendiri. Anakmu, yang bernama Gupita, mampu melukai Ki Peda Sura.”
“Yang melukai adalah Angger Pandan Wangi.”
“Tetapi betapa pun bodohnya Pandan Wangi, namun ia dapat menilai betapa kemampuan Gupita itu.”
Gembala itu tidak dapat membantah lagi.
“Nah, apabila nanti Ki Tambak Wedi akan datang, sebelum aku mampu melawannya, aku akan mcnyerahkan tombakku kepadamu, Kiai. Tombak lambang kekuasaan Tanah Perdikan Menoreh.”
“Ki Gede.”
“Nanti dulu. Aku tidak akan menyerahkan pimpinan peperangan ini kepada Kiai. Tidak. Maksudku, aku mengharap bantuan Kiai untuk menahan Ki Tambak Wedi untuk kepentingan Tanah ini. Untuk kepentinganku. Karena sebenarnya itu adalah tanggung jawabku, betapa pun keadaanku sekarang.”
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian jawabnya, “Kalau hari ini Ki Tambak Wedi datang, apa boleh buat. Hantu itu tidak boleh menyebarkan maut tanpa dapat dikekang. Kami bertiga akan mencoba mencegahnya, apabila kami mampu. Tetapi kalau hantu itu datang lain kali, maka aku harap Ki Gede tampil di peperangan. Tetapi ingat, Ki Gede tidak boleh bertempur seorang melawan seorang. Ki Gede harus bersikap sebagai seorang pemimpin pasukan yang berada di dalam lingkungan pasukannya, sehingga peperangan akan melibat semua pihak. Ki Gede dapat mengumpulkan semua orang yang cukup kuat bersama Ki Gede. Di pihak lain, serahkanlah kepada kami.”
Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Memang seandainya Ki Tambak Wedi tidak datang malam ini, maka malam berikutnya lukanya pasti sudah menjadi lebih baik, apabila laki-laki tua itu mengobatinya dengan cara yang telah dilakukannya. Selain obat-obat penyembuh luka, orang tua itu memberikan pula obat-obat yang dapat memulihkan tenaganya.
“Baiklah,” berkata Ki Argapati, “hanya selama aku belum mampu sama sekali turun ke peperangan.”
“Aku bersedia, Ki Gede,” orang tua itu berhenti sejenak, “bahkan, apabila Ki Gede tidak berkeberatan, apakah kami dapat ikut dalam pasukan berkuda itu, seandainya Tambak Wedi tidak menyerang malam ini?”
Ki Argapati mengerutkan keningnya, “Apakah maksud Kiai?”
“Seperti biasanya bukankah Ki Gede melepaskan sepasukan berkuda itu?”
Ki Argapati tidak menjawab. Tetapi diamatinya saja gembala tua itu untuk sejenak. Ki Argapati tidak segera dapat mengerti arah pembicaraan orang tua itu.
Ki Argapati mengerutkan keningnya. Kemudian ia bertanya, “Apakah Kiai sudah akan mulai malam ini?”
“Kita harus memberikan kejutan-kejutan yang akan dapat mempengaruhi perhitungan Ki Tambak Wedi. Bukankah demikian juga tujuan pasukan berkuda itu?”
“Ya, tetapi sejak Ki Tambak Wedi sendiri berusaha menjumpai pasukan itu, usaha itu telah dihentikan.”
“Marilah kita mulai lagi permainan itu. Permainan kejar-kejaran yang menyenangkan.”
“Tetapi, bagaimana kalau selama kalian pergi, Ki Tambak Wedi menyerang pertahanan ini?”
“Berilah kami tanda dengan panah berapi, kami akan segera kembali.”
“Apakah Kiai tidak akan pergi terlampau jauh?”
“Apabila kami belum yakin, bahwa pasukan Ki Tambak Wedi tidak bersiap untuk menyerang, kami tidak akan pergi terlampau jauh.”
“Baiklah.”
“Malam ini, kita akan mulai.”
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian dipanggilnya Samekta dan Wrahasta. Keduanya harus segera menyiapkan pasukan berkuda itu untuk mulai lagi dengan tugasnya bersama ketiga orang-orang itu.
Wrahasta mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba saja ia bertanya, “Bagaimana kalau pasukan itu bertemu lagi dengan Ki Tambak Wedi?”
“Serahkan kepada orang tua itu,” jawab Ki Argapati.
Wrahasta termenung sejenak. Demikian juga Samekta.
Apakah Ki Gede sedang bermain-main, atau menyindir orang tua itu, atau apa pun maksudnya, namun kata-kata itu telah membuat mereka menjadi keheranan.
“Sebelum malam menjadi semakin dalam. Siapkanlah pasukan itu.”
Samekta dan Wrahasta segera meninggalkan bilik itu dengan teka-teki di dalam kepala masing-masing. Ia percaya, bahwa ketiga orang itu bukan gembala kebanyakan, tetapi apakah mereka dapat bertanggung jawab, apabila mereka bertemu dengan Ki Tambak Wedi? Tetapi hal itu pun tidak mustahil. Semua dapat terjadi pada orang yang penuh dengan rahasia itu. Bahkan penilaian Wrahasta atas kedua anak-anak muda itu pun harus dipertimbangkannya lagi. Namun dengan demikian, perasaan cemburunya semakin lama justru semakin tajam menusuk jantungnya. Apalagi agaknya tanggapan Ki Argapati atas ketiga orang itu terlampau baik.
Meskipun demikian, Wrahasta masih menahan semua perasaannya di dalam dadanya. Ia masih harus berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan, apalagi pada saat ketegangan menjadi semakin memuncak. Perkembangan keadaan akan dapat naik dengan cepatnya.
Sejenak kemudian maka bergemeretakanlah telapak kaki-kaki kuda yang berlari keluar dari regol padukuhan yang telah selesai meskipun tidak sebaik regol yang lama.
“Ke manakah kita akan pergi, Kiai?” bertanya pemimpin pasukan berkuda, yang menurut pesan Samekta harus selalu berhubungan dengan gembala tua itu.
“Kita melintasi penjagaan Sidanti. Kita masuki beberapa padesan, dan kita berbuat sesuatu, untuk membuktikan bahwa kita cukup kuat.”
“Kemana kita mula-mula akan singgah?”
“Ke induk padukuhan tanah perdikan ini.”
“He?” pemimpin pasukan itu terkejut, bahkan semua yang mendengar penjelasan itu pun terkejut pula.
“Kenapa kalian terkejut?”
Pemimpin pasukan itu tidak segera dapat menjawab. Dan orang tua itu berkata seterusnya, “Kita melakukan dua pekerjaan sekaligus. Yang pertama, kita melihat, apakah Ki Tambak Wedi akan menyerang kedudukan kita. Kalau tidak, kita akan mengejutkan mereka.”
“Tetapi itu pasti sangat berbahaya, Kiai.”
“Bukankah kita berkuda? Kita hanya lewat. Mungkin ada sedikit pekerjaan, namun kemudian kita berpacu lagi meninggalkan mereka, untuk mengganggu tempat-tempat yang lain.”
“Tetapi,” pemimpin pasukan itu ragu-ragu, “tetapi, kalau kita gagal meninggalkan padukuhan induk tanah perdikan ini, atau apabila korban terlampau banyak jatuh, akulah yang harus bertanggung jawab. Bukan Kiai. Karena akulah pemimpin pasukan ini.”
“Kau benar, Ngger. Tetapi bagaimana kalau kita coba? Aku dapat mengambil alih tanggung jawab itu.”
Sejenak pemimpin pasukan itu menyahut. Namun tumbuh sepercik kecurigaan di dalam dirinya. Apakah orang tua ini benar-benar dapat dipercaya? Ataukah seperti dugaan Wrahasta semula, bahwa gembala yang bernama Gupita, dan tentu saja ketiganya, adalah orang-orang Sidanti dalam tugas sandinya? Kini mereka akan membawa pasukannya ke dalam suatu jebakan yang berbahaya.
“Tetapi seandainya demikian,” katanya di dalam hati, “kenapa ia tidak membunuh Ki Argapati? Dan kenapa Ki Argapati sangat mempercayainya?”
“Bagaimana, Ngger?” desak orang tua itu. “Kita harus segera menentukan arah sebelum kita sampai ke tikungan itu.”
Pemimpin pasukan itu tidak segera dapat mengambil keputusan.
“Apakah Angger berprasangka?” tiba-tiba orang tua itu bertanya.
Pemimpin pasukan itu tergagap. Namun jawabnya, “Bukan berprasangka, Kiai, tetapi aku harus menimbang pertanggungan jawabku atas pasukanku.”
“Angger benar,” sahut orang tua itu, “tetapi sudah aku katakan, aku mau mengambil alih tanggung jawab kali ini.”
“Hanya Ki Argapati atau yang diserahi pimpinan atas seluruh pasukan pengawal yang dapat menyerahkan tanggung jawab atau memindahkannya.”
Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kata-kata pemimpin pasukan itu memang benar. Bagaimanapun juga, ialah yang harus bertanggung jawab atas semua peristiwa yang terjadi atas pasukan ini.
Karena itu, maka sejenak kemudian ia berkata, “Kau benar, Ngger. Kau tidak dapat menyerahkan tanggung jawab itu kepada orang lain. Namun demikian, aku ingin menyarankan, agar perjalanan kita ini dapat menimbulkan pengaruh pada pasukan Ki Tambak Wedi. Bukan pengaruh jasmaniah, karena kita memang tidak akan membantai para peronda yang kita temui. Tetapi seperti apa yang dilakukan oleh Tambak Wedi hampir setiap hari. Dengan mengepung pusat pertahanan kita, Ki Tambak Wedi tidak akan mendapat keuntungan apa pun yang langsung kasat mata. Tetapi ia dapat mempengaruhi ketahanan hati kita. Ia dapat membuat para pengawal menjadi gelisah dan berdebar-debar setiap malam, seolah-olah mereka tidak akan mempunyai kesempatan untuk keluar dari pedukuhan itu.”
Pemimpin pasukan itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Setiap kali ia menjadi bimbang. Namun setiap kali timbul pertanyaan di dalam kepalanya, “Kenapa Ki Gede begitu mempercayainya? Pasti bukan tidak beralasan, bahwa orang-orang itu diperkenankan ikut dalam pasukan ini.”
“Sebentar lagi kita akan sampai di tikungan,” desis gembala tua itu.
Setelah menahan nafas sejenak, pemimpin pasukan berkuda itu berkata, “Baiklah, Kiai, kita akan lewat induk tanah perdikan yang telah direbut Sidanti. Tetapi kita akan melalui jantung padukuhan induk itu.”
“Baiklah, Ngger,” jawab orang tua itu, “nanti kita akan melihat perkembangan dari perjalanan kita ini.”
Pemimpin pasukan berkuda itu terdiam sejenak. Teringat olehnya seseorang, yang tiba-tiba saja menghentikan perjalanan pasukannya ketika Ki Tambak Wedi mencegatnya. Dan tiba-tiba saja ia telah menghubungkan orang yang menghentikannya itu dengan orang tua yang kini berada di dalam pasukannya.
“Ya, orang itu pasti orang tua ini. Meskipun saat itu aku tidak dapat melihatnya dengan jelas, apalagi dalam keadaan yang sangat gawat, namun menurut tanggapan perasaanku, orang itu pasti orang tua ini. Karena itu, agaknya ia sama sekali tidak takut terhadap orang yang bernama Ki Tambak Wedi itu,” katanya di dalam hatinya. Dengan demikian, maka hatinya pun menjadi semakin tebal. Keragu-raguannya menjadi sangat berkurang, meskipun tidak dapat lenyap sama sekali.
Pasukan berkuda itu pun kemudian berpacu semakin cepat. Di simpang jalan, maka pasukan itu segera memilih jalan yang menuju ke padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh yang telah diduduki oleh Sidanti.
Sebelum mereka sampai ke padukuhan induk, maka mereka berusaha menghindari setiap penjagaan, agar para peronda dan para penjaga itu tidak sempat mengirimkan tanda-tanda atau isyarat sandi. Mereka menempuh jalan di tengah-tengah bulak. Kalau sekali dua kali mereka harus melewati perondan, maka mereka harus membuat orang-orang yang sedang bertugas itu tidak berdaya sama sekali. Dengan tiba-tiba saja mereka menyergap, mengikat mereka, kemudian menyumbat mulut mereka dengan ikat kepala masing-masing.
Kepercayaan anggauta-anggauta pasukan berkuda kepada orang tua itu dan kedua anak-anaknya semakin lama menjadi semakin tebal. Tidak seorang pun yang mampu melawan mereka. Setiap kali mereka bertemu dengan beberapa petugas di gardu-gardu, maka dalam sekejap para petugas itu sudah tidak berdaya lagi. Mereka terpaksa membiarkan diri mereka diikat pada batang-batang pohon di pinggir jalan dan membiarkan mulut-mulut mereka itu pun disumbat.
“Mereka tidak akan dapat mengirimkan berita sandi,” desis orang tua itu.
Sejenak kemudaan, mereka pun telah menghadap sebuah padukuhan yang besar. Itulah padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Sebuah desa kecil berada di depan padukuhan induk itu, seolah-olah pintu gerbang yang harus mereka bukakan lebih dahulu.
“Ada sepasukan yang kuat di desa itu, Kiai,” berkata pemimpin pasukan.
“Kita perlambat perjalanan kita,” desis orang tua itu. Kemudian katanya, “Tetapi yang pasti, kita tidak bertemu dengan pasukan Ki Tambak Wedi. Aku kira malam ini mereka akan beristirahat, menyusun kekuatan untuk pada saatnya menyerang pertahanan kita dan berusaha merebutnya.”
Pemimpin pasukan berkuda itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kita tidak dapat mencari jalan lain. Kita harus menerobos desa itu. Mungkin kita harus bertempur, tetapi ingat, kita tidak akan melayani mereka. Kita hanya akan lewat. Selanjutnya kita terus menuju ke padukuhan induk. Kalau kita nanti kembali ke pusat pertahanan kita, kita tidak akan lewat desa ini lagi.”
“Orang-orang di desa itu akan dapat mengirimkan tanda-tanda ke padukuhan induk.”
“Karena itu, jangan layani mereka. Kita lewat dan berusaha melindungi diri kita. Jarak antara desa itu dan padukuhan induk sudah dekat. Tanda-tanda sandi itu pasti, belum sempat dicernakan, apalagi bersiap menyambut kedatangan kita.”
Pemimpin pasukan berkuda itu mengerutkan keningnya. Kemudian diteriakkannya pringatan bagi segenap pasukannya untuk bersiap.
“Kita tidak akan melayani mereka. Kita hanya sekedar lewat,” katanya. “Tetapi sudah tentu kita harus melindungi diri kita, apabila mereka menyerang dan mencegat perjalanan ini.”
Maka semua orang di dalam pasukan itu pun segera mencabut senjata-senjata mereka. Beberapa orang masih juga membawa cambuk seperti yang biasa mereka lakukan. Namun mereka kini menjadi tercengang-cengang, ketika mereka melihat kedua anak-anak muda yang menyebut dirinya anak gembala itu membawa cambuk pula.
“Wrahasta tidak dapat mengalahkan anak muda yang bernama Gupita itu,” desis salah seorang dari mereka.
“Wrahasta tidak biasa bersenjatakan cambuk. Seperti kita, maka kita pun merasa amat canggung dengan cambuk-cambuk itu di tangan,” jawab yang lain.
Kawannya tidak menyahut. Tetapi ia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Sementara kuda-kuda mereka menjadi semakin mendekati desa kecil di hadapan mereka.
Setiap orang di dalam pasukan itu pun menjadi semakin tegang. Senjata-senjata mereka telah tergenggam erat-erat di dalam tangan mereka. Sedang mereka yang bersenjatakan cambuk, telah memindahkan cambuk-cambuk mereka dari tangannya, dan diselipkannya pada ikat pinggang. Untuk menghadapi bahaya yang sebenarnya, mereka lebih mantap bersenjatakan pedang.
Yang memegang cambuk kemudian tinggallah Gupala dan Gupita. Cambuk bagi mereka adalah senjata-senjata yang paling terpercaya. Sedang akibat bagi lawannya pun tidak selalu berarti maut.
“Hati-hatilah dengan cambukmu,” berkata gembala tua itu kepada dua orang muridnya. “Ingat, yang bercambuk di dalam pasukan ini adalah para pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu, caramu mempergunakan cambuk pun harus kau sesuaikan, kecuali apabila kau dalam keadaan terpaksa.”
Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kita harus berada di depan, supaya kita dapat menilai keadaan sebaik-baiknya,” berkata orang tua itu pula.
Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kepada pemimpin pasukan, gembala tua itu minta ijinnya untuk berada beberapa langkah di depan pasukan, supaya mereka dapat merintis jalan yang akan mereka lalui. Sebab, apabila penjagaan di desa itu benar-benar kuat, dan di antaranya terdapat orang-orang yang penting, maka jalan harus dibuka lebih dahulu supaya pasukan berkuda itu dapat lewat tanpa banyak gangguan.
Demikianlah, maka gembala tua itu memacu kudanya cepat-cepat. Kemudian di kedua sisinya masing-masing Gupala dan Gupita. Mereka harus melindungi pasukan yang akan lewat di sebelah menyebelah jalan, sedang guru mereka akan berpacu terus menuntun seluruh pasukan.
Ternyata para penjaga di dalam padesan kecil itu menjadi heran. Dalam keremangan malam mereka melihat sepasukan kecil orang-orang berkuda menuju ke desa mereka.
“Siapakah mereka?” bertanya salah seorang dari para penjaga itu.
Kawannya menggeleng-gelengkan kepalanya. “Entahlah. Mungkin pasukan inilah pasukan berkuda yang dibuat oleh Argapati.”
“Tetapi kenapa mereka langsung menuju kemari?” Sekali lagi kawannya menggelengkan kepalanya.
Namun mereka kemudian tidak sempat untuk berbicara lagi. Sejenak kemudian, mereka mendengar pimpinan mereka memberikan aba-aba, agar seluruh pasukan yang berada di dalam desa itu bersiap.
Sejenak kemudian. perintah itu telah menjalar ke segenap sudut. Namun di antara mereka ada yang dengan acuh tidak acuh berkata, “Berapa orang yang ada di dalam pasukan itu? Biarlah orang-orang yang ada di dalam gardu peronda itu menyelesaikannya. Untuk menghadapi beberapa orang berkuda saja, seluruh pasukan harus bersiap.”
Kawannya yang mendengar kata-katanya mengerutkan keningnya. Bahkan ia menyahut, “Mereka menjadi sakit hati melihat kita sempat tidur malam ini.”
Keduanya tertawa. Dengan malasnya mereka duduk bersandar sebatang pohon di pinggir jalan. Sekali-sekali mereka mengumpat, bahwa tidur mereka terpaksa terganggu.
Pasukan berkuda itu telah berada di depan hidung para penjaga di regol desa. Beberapa orang di antara mereka, berdiri di tengah jalan sambil mengacungkan tombak, telempak, pedang, dan bermacam-macam senjata yang lain.
Gembala tua yang berkuda di paling depan memperlambat lari kudanya. Kini ia pun telah membawa cambuk di tangannya. Ketika ia menjadi semakin dekat, maka ia pun berteriak, “He, menepilah supaya kalian tidak terinjak kaki-kaki kuda kami.”
“Siapakah kalian?”
“Pengawal Tanah Perdikan Menoreh seperti kalian. He, apakah kalian tidak mengenal kami lagi?”
Pemimpin pasukan yang ada di desa itu mengerutkan keningnya.
“Kami sedang meronda daerah kami, tanah perdikan ini. Bukankah kalian sedang bertugas di desa itu? Baik-baiklah dalam tugas kalian. Jangan sampai ada orang-orang yang tidak dikenal menjamah tanah yang selama ini kita pertahankan mati-matian.”
Sejenak pemimpin pasukan di desa itu menjadi termangu-mangu. Namun sejenak kemudian ia berteriak, “He, di pihak manakah kalian berdiri sekarang?”
Pasukan berkuda itu berhenti beberapa puluh langkah dari mulut lorong. Dan gembala tua itu menjawab lagi, “Kenapa kau bertanya di pihak mana kita berdiri? Ada berapa kekuasaan sekarang ini di atas tanah kita yang selama ini kita bina? Tidak ada orang lain yang kita akui sebagai Kepala Tanah Perdikan, selain Ki Gede Menoreh. Bukankah begitu? Berapa puluh tahun ia mengabdikan seluruh hidupnya untuk tanah ini, bahkan nyawanya sekalipun apabila perlu? Berapa puluh tahun ia berjuang untuk membuat tanah ini seperti, yang kita lihat sekarang? Kenapa kalian masih bertanya, di pihak mana kita berdiri?”
Kata-kata itu ternyata telah menyentuh setiap dada dari orang-orang Menoreh yang ada di desa itu. Beberapa orang dari mereka telah terlempar dalam satu kenangan tentang tanah ini sebelum terjadi kekisruhan.
“Apakah kalian tidak ingat lagi, bagaimana keadaan tanah ini sebelum hadirnya Ki Tambak Wedi?” berkata orang tua itu. “Kemudian kalian melihat sendiri, apakah yang terjadi sesudahnya? Ternyata tanah ini telah terbakar oleh api ketamakannya. Bahkan Sidanti telah tenggelam di dalam pengaruhnya.”
Pemimpin pasukan di desa itu tidak segera menjawab. Sementara itu, gembala tua itu berbisik kepada pemimpin pasukan berkuda yang ada di belakangnya, “Sekarang. Selagi mereka merenung. Ikuti aku. Biarlah Gupala dan Gupita mencegah mereka.”
Pemimpin pasukan itu mengangguk. Dengan tangannya ia memberikan isyarat supaya orang-orangnya bersiap.
Sejenak kemudian, selagi orang-orang yang berdiri di mulut desa di depan regol itu masih termangu-mangu, para pengawal itu telah melecutkan kuda-kuda mereka.
Serentak kuda-kuda itu seakan-akan meloncat menerkam mereka yang masih berdiri di tengah jalan. Kejutan itu telah menggerakkan mereka secara naluriah untuk berloncatan menepi.
Ketika mereka menyadari keadaan, maka kuda-kuda itu telah benar-benar berada di hadapan mereka.
“Tahan mereka,” teriak pemimpin pasukan yang berada di desa itu.
Para pengawal desa itu seakan-akan terbangun dari tidur mereka. Serentak pula mereka menggerakkan senjata mereka untuk menahan orang-orang berkuda itu. Tetapi tiba-tiba mereka dikejutkan oleh ledakan cambuk di tangan Gupala dan Gupita.
Beberapa orang yang berdiri di paling depan terkejut. Ketika mereka menyadari diri mereka, senjata-senjata mereka telah terlepas dari tangan.
Namun para penjaga yang ada di belakang mereka, segera mendesak maju dengan pedang yang teracu. Tetapi para pengawal berkuda itu pun telah siap menyambut mereka. Mereka pun telah menggenggam senjata-senjata di tangan. Tetapi seperti pesan yang mereka terima, mereka tidak akan bertempur. Mereka hanya akan sekedar lewat, sambil melindungi diri mereka.
Tetapi mereka sudah pasti tidak akan dapat menghindarkan korban betapa kecilnya. Gupala dan Gupita yang telah mendapat pesan gurunya mawanti-wanti, tidak juga dapat menghindarinya. Ujung cambuknya ternyata tidak dapat menahan diri.
Ketika para penjaga itu semakin banyak menghalangi jalan mereka, maka Gupala dan Gupita yang harus merambas jalan, terpaksa menyingkirkan mereka. Cambuknya meledak semakin cepat dan keras.
Bagaimanapun juga, pertempuran tidak dapat dihindari. Namun para pengawal ternyata berada dalam kedudukan yang lebih baik. Mereka berada di atas punggung kuda, dan kuda-kuda mereka tidak mereka tahan lagi. Kuda-kuda itu berlari terus. Para penjaga yang tidak juga mau menepi kadang-kadang terlanggar dan terpelanting jatuh sebelum mereka dapat mempergunakan senjata-senjata mereka.
“Jangan biarkan mereka lolos!” teriak pemimpin pasukan di desa itu.
Tetapi untuk menahan mereka bukan pekerjaan yang mudah. Apalagi mereka berada di jalan yang tidak terlampau lebar, sehingga mereka itu pun menjadi berdesak-desakan.
Tidak banyak gunanya, di depan pasukan berkuda itu, karena di ujung pasukan itu berada seorang gembala tua dengan cambuk di tangan. Setiap kali cambuk itu berhasil melilit senjata lawannya dan kemudian melontarkannya ke udara.
Meskipun agak lambat, namun kuda-kuda itu maju. Gupala dan Gupita berada di sisi pasukan yang lewat itu sambil membantu para pengawal menahan serangan yang datang bertubi-tubi. Kadang-kadang ada di antara mereka yang melontarkan tombak mereka. Tetapi setiap kali tombak-tombak itu terpelanting oleh sentuhan cambuk.
Sejenak kemudian, kuda-kuda itu pun telah berhasil melampaui penjagaan di ujung lorong menyusup masuk ke dalam regol. Mereka kemudian tanpa menghiraukan para penjaga itu lagi, memacu kuda-kuda mereka secepat-cepatnya.
“Jangan biarkan mereka lolos, jangan biarkan mereka lolos!” teriak pemimpin pasukan di desa itu. Tetapi arus dari pasukan itu sudah tidak tertahankan lagi. Mereka memang tidak bernafsu untuk melayani dalam suatu lingkaran pertempuran. Karena mereka hanya akan sekedar lewat.
“Tutup regol di ujung lain!” teriak pemimpin penjaga.
Tetapi tidak seorang pun yang sempat berlari mendahului kuda itu. Setiap usaha dari para pengawal di desa itu untuk menahan kuda-kuda itu, mereka terpaksa harus berloncatan minggir. Para pengawal yang berlari-lari keluar dari halaman, tidak banyak dapat berbuat apa-apa. Mereka hanya dapat melontarkan senjata-senjata mereka, tetapi para pengawal berkuda itu pun berusaha menangkisnya. Apalagi orang-orang yang bersenjatakan cambuk.
Akhirnya, setelah mereka melampaui sedikit rintangan di ujung lorong yang lain, mereka telah berhasil keluar dari desa kecil itu, dengan meninggalkan kesan yang menggetarkan jantung. Para penjaga di desa itu memang pernah mendengar, bahwa kadang-kadang Argapati melepaskan sepasukan berkuda dengan orang-orang bercambuk. Tetapi mereka tidak menyangka, bahwa tiba-tiba saja mereka telah berhadapan dengan pasukan itu. Mereka tidak menyangka, bahwa orang-orang yang bersenjatakan cambuk itu seakan-akan dapat mempergunakan senjatanya dalam segala kemungkinan. Membelit senjata lawan, memungutnya, dan melemparkan ke udara. Kemudian menyentuh tubuh-tubuh lawan-lawan mereka dengan meninggalkan bekas jalur-jalur merah yang pedih. Bahkan kadang-kadang ujung cambuk itu mampu menyobek tubuh-tubuh lawannya, dan mengucurkan darah.
“Bukan main,” desis salah seorang yang tersobek pundaknya, “aku tidak tahu, bagaimana mungkin hal ini dapat terjadi. Aku hanya mengejapkan mataku. Ternyata yang sekejap itu berakibat begitu mengerikan. Aku tidak tahu, apakah akibatnya apabila aku harus melayaninya bertempur seorang lawan seorang. Mungkin tubuhku telah menjadi hancur tidak berbekas.”
Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Di bawah lampu minyak ia menyaksikan luka di pundak kawannya itu.
Mereka itu tiba-tiba terkejut, ketika pemimpin mereka berteriak, “Kirimkan tanda ke induk pasukan!”
“Apakah kuda-kuda itu akan pergi ke padukuhan induk?” bertanya salah seorang.
“Tentu, mereka menuju ke sana. Tidak ada jalan lain kecuali sampai ke padukuhan induk itu.”
“Mereka akan membunuh diri.”
“Karena itu berikan tanda itu.”
Beberapa orang kemudian segera memukul kentongan di gardu, dan yang lain melemparkan panah berapi.
Sementara itu, pasukan berkuda itu pun berpacu semakin mendekati padukuhan induk. Mereka semakin mempercepat kuda-kuda mereka, agar mereka segera sampai sebelum orang-orang di padukuhan induk itu sempat mencernakan tanda-tanda sandi yang telah dikirim oleh orang-orang di desa kecil yang baru saja mereka tinggalkan.
Namun sementara itu, sambil berpacu, pemimpin pasukan berkuda itu sempat menghitung orang-orangnya yang ternyata ada yang terluka. Tiga orang terluka agak parah, meskipun mereka masih mampu berpegangan kendali kudanya, dan dua orang yang lain tergores ujung-ujung pedang di kakinya.
“Pakailah obat ini,” berkata gembala tua itu sambil memperlambat derap kudanya. Diserahkannya beberapa butir obat kepada pemimpin pasukan, “Remaslah butiran-butiran reramuan itu, dan gosokkanlah pada luka-luka itu. Mudah-mudahan dapat menolong untuk sementara.”
Sambil berpacu, pemimpin pasukan itu membagikan obat-obat itu, meskipun dengan demikian, iring-iringan itu menjadi agak lambat. Mereka yang terluka itu pun segera mcncoba menggosok luka-luka mereka dengan obat yang diberikan oleh gembala tua itu.
Ternyata obat itu dapat menolong untuk sementara. Darah mereka tidak lagi terlampau banyak mengalir. Bahkan seakan-akan telah menjadi pepat.
“Biarlah yang terluka mendapat perlindungan dari kawan-kawannya,” berkata orang tua itu. Lalu, “Padukuhan induk telah berada di depan kita. Kita akan menyusuri jalan di dalam padukuhan itu. Cepat tanpa berhenti. Yang kita perlukan adalah kesan, bahwa kita bukan pengecut yang hanya berani mengeram di balik dinding-dinding ori itu.”
Pemimpin pasukan itu menganggukkan kepalanya, kepercayaannya kepada ketiga orang yang bersenjata cambuk itu menjadi semakin tebal.
Ketika mereka telah mendekati mulut lorong, mereka pun telah menyiapkan diri mereka. Meskipun lorong ini bukan lorong yang membelah alun-alun kecil di depan rumah Kepala Tanah Perdikan, namun lorong ini termasuk lorong yang penting. Karena itu, maka di depan regol yang memasuki lorong itu pun pasti dijaga cukup kuat.
Dalam pada itu, tanda-tanda yang dikirim oleh orang-orang yang bertugas di desa kecil yang telah dilewati oleh pasukan berkuda itu pun menggema semakin keras. Suara kentongan, dan panah-panah api yang melontar ke udara telah menimbulkan berbagai pertanyaan di hati para penjaga. Namun mereka menyadari, bahwa desa kecil itu sedang dilanda oleh bahaya.
“Kalian pun harus bersiap,” perintah pemimpin peronda di regol padukuhan.
“He, pasukan berkuda,” teriak yang lain.
Pemimpin pasukan peronda itu tidak menyahut. Ia berdiri termangu-mangu. Betapa keheranan mencekam dadanya. Ia tidak akan menyangka, bahwa orang-orang Argapati telah menjadi gila, dan berani mendekati padukuhan induk.
Namun dengan demikian, ia menjadi ragu-ragu. Bahkan terdengar ia berdesis, “Apakah mereka akan berpihak kepada kita, dan mereka akan menyerahkan diri?”
Tetapi tiba-tiba disadarinya, bunyi kentongan dan panah-panah api itu.
“Gila,” ia menggeram, “apakah yang dapat dilakukan oleh pasukan itu?”
Namun para peronda itu tidak mendapat terlampau banyak kesempatan untuk menduga-duga. Pasukan berkuda itu tiba-tiba saja telah berada beberapa langkah saja di hadapan mereka, tanpa mengurangi kecepatan lajunya.
Tetapi pemimpin peronda itu sempat berteriak, “Hancurkan mereka!”
Maka terulanglah perkelahian seperti yang terjadi pada saat mereka memasuki desa kecil di depan padukuhan induk ini. Sekali lagi gembala tua itu menuntun seluruh pasukan untuk maju terus, dan sekali lagi, Gupala dan Gupita berusaha melindungi pasukan itu masing-masing di sebelah sisi, bersama-sama dengan setiap orang di dalam pasukan itu yang berusaha melindungi diri mereka sendiri.
“Kita berjalan terus,” teriak gembala tua yang berada di ujung pasukan dengan cambuk di tangan.
Setiap kali ujung cambuknya berhasil melemparkan senjata-senjata lawan, dan bahkan kadang-kadang ujung-ujung cambuk itu telah melemparkan beberapa orang sekaligus. Sengatan yang pedih membuat lawan-lawan mereka menjadi sangat berhati-hati.
Pertempuran itu pun tidak berlangsung lama. Kuda-kuda itu kemudian berderap memasuki padukuhan induk. Berderap di atas jalan berbatu-batu sambil melontarkan debu di belakang kaki-kaki kuda itu.
“Pada suatu ketika, padukuhan ini harus kita rebut kembali,” desis gembala tua itu. Dan tanpa disangka-sangkanya, pemimpin pasukan itu berteriak tanpa kendali, “Kita akan merebut tanah ini.”
“Ya, kita akan segera kembali,” sahut yang lain. Maka sejenak kemudian pasukan berkuda yang berderap di lorong-lorong di dalam padukuhan induk itu pun berteriak-teriak nyaring, “Kita akan kembali. Kita akan kembali.”
“Ya, Ki Argapati akan segera kembali. He, siapa yang mendengar suaraku,” teriak pemimpin pasukan, “Ki Argapati akan segera kembali.”
Suara teriakan-teriakan itu telah mengejutkan beberapa orang yang masih tinggal di rumah masing-masing. Teriakan-teriakan itu telah menggetarkan dada mereka. Apalagi mereka yang merasa, bahwa selama ini berpihak kepada Sidanti dan Argajaya.
“Apakah pasukan Argapati telah memasuki padukuhan ini?” pertanyaan itu melonjak di dalam dada mereka, “Mustahil, mustahil.”
Dan suara teriakan-teriakan itu sudah menjauh.
Kehadiran pasukan berkuda di padukuhan induk itu benar-benar telah menggemparkan. Semua orang terpukau untuk sesaat mendengar suara tengara di gardu-gardu. Mereka tidak percaya, bahwa padukuhan ini telah dilanda oleh bahaya. Tetapi mereka harus melihat suatu kenyataan. Sepasukan pengawal berkuda telah memasuki padukuhan induk, berpacu di lorong-lorongnya. Setiap kali mereka bertemu dengan sepasukan peronda, maka para peronda itu sama sekali tidak berdaya.
Tengara itu pun kemudian terdengar oleh para pemimpin pasukan di pihak Sidanti. Ki Tambak Wedi sendiri, Sidanti, Argajaya, dan yang lain, menjadi heran mendengar kentongan di gardu-gardu. Sementara mereka menunggu laporan.
Akhirnya datanglah seorang peronda, menyampaikan apa yang mereka lihat, dan apa yang mereka alami.
Ki Tambak Wedi, Sidanti, Argajaya, Ki Wasi, Ki Muni, dan Ki Peda Sura beserta beberapa orang yang lain mendengarkan laporan itu dengan darah yang bergolak. Mereka seakan-akan mendengarkan sebuah dongeng ngayawara yang tidak masuk di akal.
“Apakah semua penjaga tertidur?” bentak Sidanti yang tidak dapat menahan hati.
“Kami sudah berusaha untuk menahan mereka.”
“Bohong! Kalian pasti sedang lengah. Kalau tidak, hanya orang-orang gila sajalah yang percaya, bahwa sepasukan kecil orang-orang berkuda itu mampu memasuki regol.”
“Sebenarnyalah demikian. Beberapa kawan-kawan kami terluka.”
“Bohong, bohong!” Sidanti berteriak. “Kalian pasti tertidur di gardu-gardu, sehingga kalian terlambat memberikan isyarat. Kalau kalian tidak terlambat, maka kalian pasti sempat memanggil pasukan pengawal yang bertugas di sana.”
“Kami sudah memanggil mereka. Mereka pun telah mencoba mencegah pasukan berkuda itu. Tetapi mereka pun gagal pula.”
“Gila, gila! Kau mau main gila ya?” kemarahan Sidanti sama sekali tidak dapat ditahankannya lagi. Hampir saja ia meloncat menerkam peronda yang malang itu. Untunglah, bahwa Ki Tambak Wedi sempat mencegahnya.
“Katakan sekali lagi, apakah yang sebenarnya terjadi.”
Peronda itu menjadi gemetar. Kemudian diulanginya, menceriterakan apa yang sebenarnya telah terjadi.
“Di antara mereka terdapat beberapa orang bersenjata cambuk,” suara peronda itu pun menjadi terputus-putus.
“Sejak pasukan itu keluar untuk pertama kalinya, di dalamnya sudah terdapat beberapa orang yang bersenjata cambuk. Tetapi di tempat-tempat yang lain, tidak ada peronda sebodoh kalian. Benar-benar tidak masuk akal, bahwa pasukan kecil itu dapat memasuki padukuhan induk ini.”
Peronda itu tidak menyahut lagi. Tetapi kepalanya menjadi semakin tunduk dalam-dalam.
“Guru,” berkata Sidanti kemudian, “aku akan mencari mereka.”
Ki Tambak Wedi menggelengkan kepalanya. “Tidak ada gunanya. Mereka sudah menjadi semakin jauh. Kalau hal itu benar-benar terjadi, maka mereka pasti hanya akan sekedar lewat, membuat keributan dan mencoba membesarkan hati mereka sendiri. Sesudah itu mereka akan segera keluar lagi dari padukuhan induk.”
“Lalu, apakah kita akan membiarkan mereka berbuat sesuka hati?”
“Tentu tidak. Tetapi mereka pun tidak akan sempat berbuat sesuka hati. Mereka hanya sekedar memanfaatkan saat yang sekejap, selagi para penjaga terkejut dan termangu-mangu.”
“Hanya orang-orang gila saja yang berani berbuat demikian. Bahayanya terlampau besar, dan hasilnya sama sekali tidak banyak berarti.”
“Ternyata mereka adalah orang-orang gila itu.”
Sidanti menggeram. Kemarahannya benar-benar telah membakar ubun-ubunnya. Namun ia tidak sempat berbuat sesuatu. Pasukan berkuda itu pasti sudah menjauh. Yang dapat dilakukannya hanyalah menggeretakkan gigi sambil menghentakkan tinjunya.
Wajah yang lain pun menjadi tegang pula mendengar laporan itu. Mereka tidak dapat membayangkan, keberanian dari manakah yang telah mendorong mereka melakukan pekerjaan yang terlampau berbahaya itu?
Namun ternyata, ada di antara mereka yang terpengaruh oleh peristiwa yang terjadi itu. Seperti beberapa orang pengawal yang melihat sendiri pasukan itu lewat, dan mendengar teriakan-teriakan mereka, maka beberapa orang pemimpin mulai dipengaruhi oleh perasaan cemas. Dengan kehadiran pasukan itu, maka ternyata bahwa kekuatan Argapati tidak menjadi lumpuh sama sekali seperti yang mereka sangka. Pasukan Argapati tidak menjadi berkecil hati, dan selalu saja berlindung di belakang pagar pring ori. Namun ternyata mereka tetap memiliki keberanian. Bahkan keberanian yang luar biasa.
Ki Wasi dan Ki Muni ternyata tidak dapat menghindari pula sentuhan di dalam dada mereka. Seolah-olah mereka melihat Argapati sendiri sedang nganglang mengitari tanah perdikannya bersama sepasukan pengawal berkuda, seperti yang sering dilakukannya sebelum tanah perdikan ini dibakar oleh api ketamakan dan kedengkian.
Ki Tambak Wedi yang mempunyai penglihatan cukup tajam itu segera menyadari, bahwa pengaruh kedatangan pasukan berkuda itu amat dalam pada pasukannya dan bahkan beberapa orang pemimpinnya.
Karena itu, maka tiba-tiba ia berteriak, “Siapkan seluruh pasukan besok pagi-pagi. Kita mengadakan persiapan. Besok sore kita hancurkan benteng pring ori itu, dan kita bakar seluruh padukuhan itu. Sekarang, seluruh pasukan tidak boleh kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri. Kita harus berbagi, untuk mendatangi setiap pasukan, dan membesarkan hati mereka. Kita harus memberitahukan kepada mereka, bahwa pasukan berkuda itu hanya suatu perbuatan gila-gilaan yang tidak akan mempunyai akibat apa pun juga.”
Setiap orang di dalam pertemuan itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Namun ada juga di antara mereka yang menjadi ragu-ragu di dalam hati, meskipun keragu-raguan itu sama sekali tidak mereka ucapkan.
Sejenak kemudian, maka pertemuan itu pun segera berakhir. Mereka membagi diri dan menyebar ke segenap sudut, menemui pasukan-pasukan mereka yang tersebar di berbagai tempat.
Meskipun para pemimpin itu mencoba untuk mempertahankan gairah dan keberanian anak buahnya, namun ketika sebagian dari mereka mendengar langsung dari kelompok-kelompok pasukan yang mengalami sendiri, justru merekalah yang menjadi ragu-ragu.
Tetapi betapa kebimbangan bergetar di dalam dada mereka, namun mulut-mulut mereka pun berkata, “Jangan hiraukan apa yang baru saja terjadi. Mereka sama sekali bukan pengawal-pengawal yang berani. Justru dengan demikian, kita dapat menilai, betapa liciknya pasukan Argapati itu. Mereka sekedar memanfaatkan saat-saat kita terkejut dan keheranan. Namun apabila kita sudah menyadari keadaan, mereka pun segera lari.”
Para pengawal mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun di dalam hatinya mereka berceritera tentang apa yang telah mereka lihat. Orang-orang yang bersenjata cambuk di dalam pasukan berkuda itu, benar-benar orang-orang yang luar biasa.
Sementara itu, pasukan berkuda yang menjelajahi padukuhan induk itu pun telah sampai ke ujung lorong yang akan membawa mereka keluar. Pengalaman mereka kali ini benar-benar telah menyalakan kembali tekad mereka yang selama ini telah menjadi buram. Bahkan dada mereka serasa tidak lagi dapat menampung kebanggaan mereka, bahwa mereka telah melakukan sesuatu yang hampir-hampir tidak dapat dipercaya. Dengan pasukan yang kecil, menyusup di tengah-tengah sarang lawan yang telah bersiap untuk bertempur.
Bahkan ketika mereka telah hampir sampai ke regol yang akan mereka lalui, salah seorang dari mereka berkata, “Kita berbelok. Kita masih belum mengitari seluruh padukuhan induk.”
Pemimpin pasukan itu mengerutkan keningnya. Keinginan itu sama seperti keinginan yang menyala di dalam hatinya. Tetapi ia menyadari, bahwa mereka kini berada di sarang serigala yang sedang tidur. Apabila serigala itu terbangun, maka keadaan mereka akan sangat menjadi gawat. Bahkan tengara dan tanda-tanda sandi telah bergema memenuhi seluruh padukuhan induk itu. Para peronda di depan mereka itu pun telah bersiap pula menyambut kedatangan mereka.
“Bagaimana, Kiai?” meskipun demikian ia masih juga bertanya.
“Jangan menuruti perasaan saja. Kita harus memperhitungkan setiap kemungkinan. Kita sudah tidak mendapat kesempatan lagi. Kini setiap kelompok pasukan pasti sudah siap menunggu kita lewat di depan barak-barak mereka masing-masing.”
“Ya,” sahut pemimpin pasukan.
“Juga di gardu di depan kita.”
Dan tiba-tiba Gupita yang berada di paling depan berdesis, “Pintu regol telah ditutup.”
“He,” gurunya mengerutkan keningnya, “ya, pekerjaan kita menjadi agak berat.” Kemudian kepada pemimpin pasukan ia berkata, “Lindungilah diri masing-masing dan kawan-kawan kalian yang terluka. Mungkin kita akan berhenti sejenak di depan regol itu. Biarlah anak-anakku yang membukanya, Mudah-mudahan tidak ada pasukan yang lebih kuat yang menyusul di belakang kita.”
Pemimpin pasukan itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka kini akan menghadapi pertempuran, karena itu mereka harus berhenti sejenak, sementara Gupita dan Gupala harus membuka pintu gerbang itu, menerobos para penjaganya.
Tetapi para pengawal berkuda dan gembala tua beserta kedua anak-anaknya itu terkejut, ketika tiba-tiba mereka mendengar kuda berderap di halaman sebelah, kemudian menjauh menyusur halaman, menyusup dari regol yang satu ke regol yang lain.
“Apakah itu?” bertanya pemimpin pasukan.
“Seorang penghubung. Ia pasti akan memberikan laporan bahwa kita berada di sini. Karena itu, cepat buka pintu itu,” sahut gembala tua.
Gupita dan Gupala yang mengerti akan tugasnya, segera meloncat turun dari kudanya, sementara yang lain pun segera mendesak maju. Agaknya para peronda di gardu itu pun telah siap menyambut kedatangan mereka.
“Tolong, pegang kendali kuda-kuda kami,” desis Gupita kepada salah seorang pengawal yang segera menangkap kendali kuda Gupita, dan seorang yang lain memegangi kendali kuda Gupala.
“Hati-hatilah,” pesan gembala tua itu, “aku akan melindungi kalian.”
Gupita dan Gupala mengangguk-anggukkan kepada mereka. Dan sejenak kemudian, dengan cambuk di tangan masing-masing, mereka pun melangkah maju setapak demi setapak. Sementara itu, para penjaga regol itu pun telah menebar dan mengepung mereka. Ternyata yang telah siap menyambut mereka bukan sekedar para peronda, tetapi sekelompok pengawal yang memang di tempatkan dekat dengan gardu-gardu.
Sejenak kemudian, terdengar sebuah teriakan nyaring. Agaknya pemimpin pasukan yang bertugas di gardu itu telah meneriakkan aba-aba untuk segera menyerbu. Sejenak kemudian, maka mereka pun segera mendesak maju. Tetapi lawan mereka adalah pasukan pengawal yang terlatih baik. Mereka telah mempelajari khusus cara-cara bertempur di atas punggung kuda. Dengan demikian, maka mereka pun segera menyambut lawan-lawan mereka.
Sejenak kemudian, kuda-kuda itu pun telah berderap hilir mudik menyambar-nyambar di sepanjang jalan, sehingga para penjaga menjadi agak kebingungan. Kuda-kuda itu seakan-akan berubah menjadi semakin banyak berkeliaran tanpa putus-putusnya, sedang penunggang-penunggangnya memutar pedang-pedang mereka tak henti-hentinya.
Sementara itu, Gupala dan Gupita melangkah maju mendekati regol yang tertutup. Mereka tidak akan dapat dengan mudahnya mendekati, karena beberapa orang sudah siap menunggu kedatangannya.
“Apakah kita tidak boleh melukai mereka?” desis Gupala.
Gupita tidak menyahut. Ia tahu benar arti pertanyaan Gupala. Gupala sama sekali tidak ingin mendengar jawabannya. Tetapi sebenarnya ia ingin mengatakan, “Aku terpaksa melakukannya.”
Gupita menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak akan dapat mencegah Gupala. Bahkan mungkin ia sendiri akan melakukan hal yang serupa, apabila keadaan benar-benar memaksa. Dan agaknya keadaan akan benar-benar memaksanya.
Sejenak kemudian, maka Gupita dan Gupala itu pun harus mempersiapkan diri. Beberapa orang maju bersama-sama, dan kemudian berpencaran.
Sekali Gupita berpaling. Ia masih melihat gurunya bertempur melindungi beberapa orang yang agak terdesak oleh lawan yang lebih banyak.
Tetapi agaknya Gupala sudah tidak sempat memperhatikan apa pun lagi. Sudah terlampau lama ia menahan ketegangan hati. Karena itu, maka tiba-tiba ia pun segera meloncat menyerang orang-orang yang bertebaran di sekitarnya.
Sekali lagi Gupita menarik nafas dalam-dalam. Kini ia harus menyesuaikan diri, karena perkelahian sudah dimulai.
Mereka berdua pun kemudian segera menempatkan diri. Mereka harus berkelahi sambil bergeser mendekati regol, sehingga pada suatu ketika mereka harus membuka pintu regol itu.
Maka sesaat kemudian, kedua cambuk di tangan anak-anak muda itu pun segera meledak-ledak. Mereka menyadari, bahwa mereka harus melakukannya secepat-cepatnya, sebelum penghubung yang pergi berkuda itu kembali dengan pasukan yang lebih besar.
Apalagi apabila bersama-sama pasukan itu akan datang juga para pemimpin pasukan itu, termasuk Ki Tambak Wedi sendiri, Sidanti, Argajaya, dan siapa lagi.
Dengan demikian, kedua anak-anak muda itu terpaksa berkelahi bersungguh-sungguh. Apalagi Gupala. Setiap ledakan cambuknya selalu menumbuhkan desah dan keluhan pada salah seorang lawannya. Sehingga dengan demikian, maka para pengawal regol itu menjadi semakin hati-hati. Mereka pun kemudian bersama-sama menyerang dengan senjata masing-masing, dan bahkan ada di antara mereka yang melontarkan tombak-tombak mereka. Namun ternyata anak-anak muda yang memegang cambuk itu terlampau tangkas.
Apalagi sesaat kemudian, seekor kuda datang menyambar-nyambar seperti seekor burung elang. Penunggangnya pun membawa cambuk seperti kedua anak-anak muda itu. Dan cambuk itu pun setiap kali melecut-lecut menyambar-nyambar.
Bagaimanapun juga para pengawal itu bertempur mati-matian, namun mereka tidak dapat menahan kedua anak muda itu yang semakin lama semakin maju mendekati regol yang tertutup itu.
“Jangan biarkan mereka membuka regol itu,” teriak pemimpin peronda.
Tidak seorang pun yang menjawab. Tetapi mereka tetap terdesak oleh ledakan cambuk-cambuk yang ujungnya seolah-olah bermata itu. Meskipun hanya ada tiga buah cambuk di dalam perkelahian itu, namun rasa-rasanya cambuk itu telah menyentuh setiap orang yang mencoba menahan kedua anak-anak muda itu. Ujung-ujung cambuk itu seakan-akan telah berubah menjadi segumpal kumpulan lebah yang terbang mengitari para pengawal regol itu, dan menyengat mereka di segala tempat. Punggung, leher, bahkan kening. Apalagi setiap sengatan pasti meninggalkan bekas yang pedih. Jalur-jalur merah, atau luka-luka yang menitikkan darah.
Terlebih-lebih lagi adalah ujung cambuk Gupala. Kadang-kadang ia menghentakkan cambuknya sekuat-kuat tenaganya. Apabila ujung cambuk itu menyentuh tubuh lawamnya, maka kepingan-kepingan baja yang melingkar pada juntai cambuk itu seakan-akan telah menyobek kulit.
Dengan demikian, meskipun hanya setapak demi setapak Gupala dan Gupita berhasil maju menyibak lawan-lawannya. Dengan sekuat tenaga mereka berusaha secepat-cepatnya mencapai regol itu. Namun dengan demikian, mereka terlampau sulit untuk mengendalikan diri. Tetapi apa boleh buat. Dan Gupala pun selalu bergumam, “Apa boleh buat. Apa boleh buat.”
Pertempuran di sudut jalan yang lain pun menjadi semakin ribut. Para pengawal berkuda agaknya berhasil mendesak lawan-lawannya, sehingga beberapa orang di antara mereka terpaksa berloncatan ke atas dinding halaman. Dan apabila kuda-kuda itu masih juga menyambar mereka, maka mereka terpaksa pula meloncat masuk ke dalam halaman.
Namun sementara, itu penghubung berkuda yang meninggalkan regol jalan menuju ke induk pasukannya, telah memasuki regol halaman. Dengan nafas terengah-engah ia segera meloncat turun ketika ia melihat pemimpin pasukan induknya berdiri di halaman.
Pemimpin pasukan itu mengerutkan keningnya. Ia telah mendengar tanda-tanda yang bergema di seluruh padukuhan induk. Karena itu, maka kedatangan penghubung itu telah membuat hatinya berdebar-debar.
“Apa yang telah terjadi di tempat tugasmu?” bertanya pemimpin pasukan itu.
“Sepasukan berkuda,” jawab penghubung itu.
“Kenapa dengan pasukan berkuda itu?”
“Mereka akan keluar lewat regol tempat kami bertugas. Tetapi kami telah berhasil menutup regol itu, sehingga mereka terpaksa berhenti. Kini telah terjadi pertempuran di antara kami dan mereka.”
“Bagus. Kami sudah siap.”
“Kami memerlukan bantuan, supaya mereka tidak dapat lolos.”
“Kami akan mengirimkan sekelompok dari pasukan kami.” Pemimpin pengawal di induk pasukan itu pun segera mempersiapkan sekelompok pengawal untuk segera pergi ke tempat pertempuran. Sedang seorang penghubung yang lain telah di perintahkannya menyampaikan laporan itu ke rumah Kepala Tanah Perdikan. Ke tempat Ki Tambak Wedi dan para pemimpin yang lain sedang berbincang.
Kedatangan penghubung itu ternyata telah membuat darah Sidanti semakin bergolak. Dengan lantang ia berkata, “Nah, apa kataku. Kalau sejak tadi aku diijinkan untuk mencari mereka, maka keadaan pasti tidak akan berlarut-larut.”
Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Katanya, “Aneh, bahwa mereka masih ada di padukuhan induk ini.”
“Mereka sebenarnya sudah akan meninggalkan padukuhan ini, Kiai,” jawab penghubung itu. “Tetapi seluruh pintu regol telah tertutup, sehingga mereka telah tertahan.”
“Bagus,” sahut Ki Tambak Wedi. Kemudian kepada Sidanti ia berkata, “Pergilah. Lihatlah, siapa yang ada di antara mereka. Kalau mungkin tangkaplah pemimpinnya dan orang-orang yang dikabarkan bercambuk itu hidup-hidup.”
Sidanti tidak menunggu lebih lama lagi. Segera ia berlari keluar dan meloncat ke atas punggung kudanya yang selalu siap di halaman.
“He. Apakah kau akan pergi seorang diri?” bertanya Argajaya.
“Sepasukan pengawal telah dikirim lebih dahulu,” jawab Sidanti sambil melarikan kudanya.
Argajaya yang masih berdiri di tangga pendapa menjadi berdebar-debar. Ia tidak sampai hati melepaskan Sidanti sendiri. Karena itu, maka ia pun segera meloncat ke punggung kudanya pula, dan lari menyusul anak muda itu.
Sementara itu, perkelahian di mulut jalan itu pun menjadi semakin seru. Gupala dan Gupita semakin mendesak maju mendekati pintu regol. Beberapa langkah lagi ia akan mencapai selarak daun pintu yang melintang. Betapa pun juga, para penjaga itu mencoba mencegahnya, namun mereka sama sekali tidak berhasil. Mereka selalu harus menyibak, apabila serangan kedua anak-anak muda itu menjadi semakin cepat dan garang.
Akhirnya Gupala menghentakkan cambuknya sekuat-kuat tenaganya. Beberapa orang yang tersentuh ujung cambuk itu terpelanting jatuh. Dengan demikian, maka kini terbuka kesempatan untuk meloncat mencapai pintu regol itu.
Pemimpin penjaga yang melihat hal itu menjadi sangat marah. Dilepaskannya lawannya, seorang pengawal berkuda, dan dengan serta-merta ia meloncat untuk mencegah pintu itu dibuka.
Demikian Gupala mencapai selarak pintu itu, maka ujung pedang pemimpin penjaga itu meluncur ke punggungnya.
Tetapi ujung pedang itu tidak pernah dapat menyentuh tubuh Gupala. Gupita yang terperanjat melihat serangan yang tiba-tiba itu, hampir di luar sadarnya, dengan gerak naluriah, telah melecutkan cambuknya. Ketika ujung cambuk itu melilit leher pemimpin penjaga itu, Gupita menghentakkannya kuat-kuat, sehingga tubuh itu terputar seperti gasing. Kemudian pemimpin penjaga itu terpelanting jatuh di tanah.
Yang terdengar kemudian adalah erang kesakitan. Sementara Gupala telah berhasil membuka selarak pintu. Gupita yang kemudian berdiri di belakangnya, melindunginya dari setiap serangan yang mencoba menggagalkan usaha itu.
Namun sejenak kemudian dari kejauhan terdengar teriakan-teriakan lantang. Sekelompok pengawal berlari-lari mendekati regol yang kini telah terbuka itu.
“Jangan lepaskan, jangan lepaskan!” teriak mereka.
Gupala dan Gupita menjadi berdebar-debar. Sementara itu gembala tua itu pun mengerutkan keningnya. Ternyata sekelompok pengawal dari pasukan induk itu telah datang.
“Cepat. Semua keluar regol,” desis gembala tua itu. “Kalau kita terlambat, kita akan menemui kesulitan.”
Maka pemimpin pengawal berkuda itu pun segera memerintahkan para pengawal untuk segera keluar regol. Betapa para penjaga menghalangi namun kuda-kuda itu pun berhasil mendesak mereka menyibak. Sebab di punggung kuda itu terayun-ayun senjata-senjata para pengawal, apalagi lecutan-lecutan cambuk yang memekakkan telinga.
“Bawa kuda kami keluar!” teriak Gupala yang masih berdiri di pintu regol sambil mencegah para penjaga yang ingin menghalangi pasukan berkuda itu keluar.
Satu-satu kuda-kuda itu pun kemudian menyusup keluar regol. Beberapa orang pengawal yang lain telah dengan sengaja menyimpan pedang mereka, dan mempergunakan cambuk-cambuk mereka menirukan gembala tua itu beserta kedua anak-anaknya.
Sehingga dengan demikian, maka seolah-olah di dalam pasukan pengawal berkuda itu terdapat beberapa orang yang bersenjatakan cambuk. Dalam perkelahian yang ribut, para penjaga sulit untuk menemukan perbedaan kemampuan mereka mempergunakan senjata-senjata itu.
Sementara itu sekelompok pengawal dari pasukan induk berlari-lari semakin kencang. Di antara mereka masih saja berteriak, “Tahankan sebentar! Jangan biarkan mereka lepas!”
Tetapi kuda-kuda itu sudah semakin banyak berada di luar regol. Meskipun demikian, pasukan itu datang sebelum ekor dari pasukan berkuda itu berhasil keluar dari regol.
Beberapa orang yang berada di paling belakang, terpaksa memutar kuda-kuda mereka menghadapi sekelompok pasukan itu. Ternyata pengawal yang baru datang itu cukup banyak, sehingga penunggang-penunggang kuda itu agak mengalami kesulitan. Apalagi sebagian besar dari kawan-kawan mereka telah berada di luar regol.
Tetapi dalam keadaan yang demikian, maka seekor kuda telah menyusup di dalam perkelahian itu dengan membawa gembala tua itu di punggungnya. Sambil memutar cambuknya ia berkata, “Keluarlah. Kita harus segera keluar.”
Beberapa orang penunggang kuda itu menjadi ragu-ragu. Namun sekali lagi orang itu berkata, “Cepat. Keluarlah.”
Kuda-kuda itu pun menjadi semakin surut. Sedang di sisi pintu, Gupala dan Gupita masih juga berkelahi untuk menahan para penjaga yang ingin menutup pintu itu kembali.
Sejenak kemudian, maka kuda yang terakhir selain gembala tua itu, telah keluar dari regol. Sementara itu, Gupala dan Gupita pun telah meloncat keluar pula, sementara kuda gembala itu mundur perlahan-lahan. Namun akhirnya kuda itu pun berhasil keluar dari pintu. Beberapa orang yang akan mengejarnya, terpaksa terhenti di depan pintu, karena selangkah di luar mulut regol itu, sepasang cambuk meledak-ledak tidak henti-hentinya.
“Cepat. Ambil kuda kalian,” desis gembala tua itu, “seorang demi seorang. Yang seorang lagi membantu aku menutup regol itu, supaya mereka tidak dapat keluar.”
“Cepatlah, Gupala,” berkata Gupita, “kemudian kau membantu guru, sementara aku mengambil kudaku.”
Gupala pun kemudian segera meloncat berlari. Pengawal yang memegang kudanya masih menunggunya. Dengan serta-merta ia pun segera meloncat ke punggung kuda itu, dan membawa kudanya kembali ke mulut regol untuk melindungi Gupita yang masih akan mengambil kudanya.
Begitu Gupita meloncat ke punggung kudanya, maka ternyata mereka sudah tidak dapat membendung arus pengawal yang berdesakan di muka pintu itu. Bahkan ada di antara mereka yang memanjat dinding-dinding batu sebelah-menyebelah regol dan berloncatan keluar. Dengan senjata teracu-acu mereka pun segera menyerang para pengawal berkuda yang masih berkumpul di depan regol.
“Tinggalkan tempat ini,” gumam gembala tua itu, sementara pemimpin pasukan segera meneriakkan aba-aba.
Kuda-kuda itu berderap tepat pada saat pasukan pengawal itu menyerang mereka. Namun yang tertinggal hanya sekedar debu yang menghambur dari kaki-kaki kuda itu.
Tetapi tepat pada saat itu, seekor kuda berlari seperti angin. Dengan lantangnya Sidanti, penunggang kuda itu, berteriak, “Minggir, aku akan mengejar mereka.”
Beberapa orang berloncatan menepi. Ketika kuda itu lewat, setiap orang hanya dapat mengangakan mulut-mulut mereka tanpa dapat berbuat sesuatu.
Belum lagi mereka sempat menarik nafas, sekali lagi seekor kuda yang membawa Argajaya menyusulnya.
Tetapi sementara itu, pasukan berkuda itu sudah menjadi semakin jauh. Sidanti sudah tidak dapat melihat orang yang terakhir dari pasukan berkuda itu dengan jelas. Bahkan semakin lama menjadi semakin kabur oleh debu yang terhambur.
Tetapi Sidanti tidak menghentikan kudanya. Ia berpacu terus mengikuti pasukan pengawal berkuda itu. Sementara Argajaya dengan cemas mencoba mengejarnya. Bagaimana pun juga kelebihan yang ada pada anak muda itu, namun akan sangat berbahaya sekali apabila ia harus bertempur melawan sekian banyak orang di dalam pasukan yang sedang di kejarnya.
Karena Argajaya tidak segera dapat mencapai Sidanti, karena kuda-kuda mereka berpacu hampir sama kencangnya, maka terpaksa Argajaya itu pun berteriak memanggil.
“Sidanti. Sidanti.”
Tetapi Sidanti sama sekali tidak menghiraukannya. Ia masih saja berpacu dengan kencangnya.
“Sidanti!” teriak Argajaya kemudian, “Aku membawa pesan.”
Sidanti mengerutkan keningnya. Sekali ia berpaling, dan ketika sekali lagi ia mendengar Argajaya berteriak, ia mengurangi kecepatan kudanya sedikit.
Dengan demikian, maka jarak mereka menjadi semakin pendek. Dan sejenak kemudian Argajaya telah berpacu di samping kuda Sidanti.
“Pesan dari siapa, Paman?”
“Aku hanya ingin memperingatkan kau Sidanti. Apakah kau akan mengejar pasukan itu? Kau seorang diri, bagaimanapun juga kau akan mengalami kesulitan, meskipun berdua dengan aku pun. Kita belum tahu, siapakah yeng ada di dalam pasukan itu. Bagaimana kalau justru Kakang Argapati sendiri, meskipun ia belum sembuh benar? Bukankah ia sudah nampak cukup kuat untuk berpacu di atas punggung kuda, karena ia kemarin telah turun pula ke medan?”
“Jadi apakah Paman menyangka aku gila?”
“Kenapa?”
“Bagaimana pun juga aku mempunyai perhitungan, Paman,” desis Sidanti. “Sudah tentu aku tidak akan bertempur seorang diri melawan mereka. Aku akan mengikuti mereka sampai padesan di depan kita. Mereka pasti akan tertahan oleh para pengawal di desa kecil itu. Nah, baru aku akan ikut serta.”
Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata anak muda itu benar-benar cerdik. Karena itu maka katanya, “Kalau begitu, aku ikut bersamamu.” Argajaya berhenti sejenak, lalu tiba-tiba ia bertanya, “Tetapi bagaimana kalau ia tidak mengikuti jalan ini?”
“Hanya ada satu sidatan. Itu pun jalan kecil di tengah sawah. Aku kira mereka memilih jalan besar ini. Jalan yang cukup baik bagi kuda-kuda mereka.”
Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tiba-tiba Sidanti mengumpat habis-habisan. Ternyata pasukan berkuda yang dikejarnya itu, tidak memilih jalur jalan yang lapang ini. Ternyata mereka berbelok di jalan sidatan, meskipun jalan itu jauh lebih kecil dari jalan yang sedang dilaluinya.
“Kenapa kita mengambil jalan ini, Kiai?” bertanya pemimpin pasukan pengawal berkuda itu kepada gembala tua itu, yang menasehatkan kepadanya untuk mengambil jalan ini.
“Tanda-tanda bahaya itu pasti sudah di dengar oleh pengawal di desa di depan kita itu. Mereka pasti sudah bersiap. Dan kita pasti akan mengalami hambatan seperti pada saat kita melalui desa kecil di sebelah lain pada saat kita memasuki padukuhan induk ini. Kalau kita terpaksa berkelahi dan tertahan, maka kita tidak dapat membayangkan kemungkinan yang bakal terjadi atas pasukan ini. Beberapa orang kita telah terluka, bahkan ada yang agak parah. Dan kita tidak tahu pasti, siapakah yang berkuda mengejar kita itu. Kalau mereka berdua itu Ki Tambak Wedi dan Sidanti, maka pekerjaan kita akan menjadi terlampau berat.”
Pemimpin pasukan pengawal itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan ketika mereka berdua berpaling, orang tua itu berkata, “Nah, agaknya kedua orang yang mengejar kita itu sudah berhenti di tikungan.”
Sebenarnya bahwa Sidanti dan Argajaya itu pun berhenti di jalan sidatan. Sambil mengumpat-umpat tidak habis-habisnya, Sidanti menghentak-hentakkan tangannya di pahanya.
“Kalau guru tidak melarang, aku pasti dapat menangkap mereka, meskipun hanya satu dua orang. Kita akan mendapat keterangan lebih banyak tentang pasukan yang bersembunyi di balik benteng pring ori itu.”
Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia berkata, “Pasukan itu benar-benar luar biasa. Keberaniannya hampir tidak masuk akal. Kita memang tidak akan menyangka, bahwa mereka akan langsung masuk ke padukuhan induk. Sehingga menurut dugaanku, pasukan itu dipimpin oleh Kakang Argapati sendiri. Bukan sekedar anak-anak ingusan seperti yang biasa mereka lakukan. Menakut-nakuti para peronda di gardu-gardu dengan cambuk-cambuk kuda yang sama sekali tidak berarti.”
Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia berkata, “Marilah kita lihat di bekas-bekas pertempuran itu, Paman.”
Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan mereka berdua pun kemudian berpacu kembali ke padukuhan induk.
Mereka berdua berhenti ketika mereka memasuki regol. Sidanti dan Argajaya pun segera turun dari kuda mereka dan menemui pemimpin penjaga regol itu. Namun ternyata pemimpin penjaga itu terluka parah di lehernya.
“Kenapa?” bertanya Sidanti.
“Cambuk,” jawabnya terengah-engah, “cambuk itu melilit leherku.”
Sidanti membelalakkan matanya. Luka itu bukan sekedar selingkar jalur merah. Tetapi leher itu seakan-akan tersobek.
“Panggil Ki Wasi atau Ki Muni. Tugasnya cukup banyak di sini,” perintah Sidanti.
Ketika seorang penghubung pergi memanggil dukun itu, maka Sidanti dan Argajaya dengan hati yang bertanya-tanya menyaksikan bekas pertempuran yang agaknya cukup seru. Beberapa orang telah terluka, dan bahkan ada yang cukup parah.
Hampir tidak masuk akal, bahwa sepasukan kecil orang-orang berkuda itu mampu membuat keributan sedemikian dahsyatnya di gardu-gardu dan di regol-regol di ujung jalan.
Ketika Sidanti melihat pemimpin kelompok yang baru datang untuk memberikan bantuan ia bertanya, “Apakah kalian selama ini tidur saja dan membiarkan orang-orang berkuda itu membantai kalian?”
“Mereka tidak terlampau dahsyat seperti yang kita duga,” berkata pemimpin pengawal. “Benar juga, bahwa mereka hanya sekedar mempergunakan kesempatan selagi kita terkejut dan terheran-heran. Dan itulah kesalahan kita yang terbesar, yaitu menjadi heran dan ternganga-ganga melihat kegilaan orang-orang berkuda itu. Tetapi sebenarnyalah bahwa kami dari pasukan induk sama sekali belum mendapat kesempatan untuk bertempur. Kami belum tahu, apakah mereka benar-benar orang yang dapat dibanggakan di medan-medan peperangan yang sebenarnya.”
“Jadi kalian datang terlambat?” bertanya Argajaya.
“Ya. Agak terlambat.”
“Apakah kalian belum siap waktu penghubung dari regol penjagaan ini memberitahukan kedatangan orang-rang berkuda itu. Bukankah sebelumnya tanda-tanda dan tengara sudah bergema di seluruh padukuhan induk ini?”
“Kami sudah siap. Demikian kami mendengar berita kedatangan pasukan berkuda itu, kami segera berangkat.”
“Menurut laporan yang kami dengar, pintu regol ini telah berhasil di tutup.”
“Ya, mereka berhasil membuka pintu.”
Sidanti dan Argajaya saling berpandangan. Pasukan kecil ini ternyata adalah pasukan yang kuat dan terpercaya. Dalam waktu yang singkat, mereka berhasil menguasai selarak pintu dan membukakannya. Pada saat datang bantuan dari pasukan induk, mereka segera berhasil melarikan diri.
Dan tiba-tiba saja Sidanti dan Argajaya menjadi curiga. Di dalam pasukan yang kecil itu pasti ada kekuatan-kekuatan yang luar biasa, yang membuat pasukan kecil itu seakan-akan menjadi terlampau kuat.
Tanpa sesadarnya, maka tiba-tiba Sidanti bertanya, “Apakah benar-benar ada orang-orang bercambuk di antara mereka?”
“Sebagian terbesar yang menumbuhkan luka-luka pada kami adalah ujung-ujung cambuk itu,” jawab pemimpin penjaga yang masih terengah-engah.
“Ada berapa orang bercambuk di antara mereka?”
“Lima atau enam orang.”
Sidanti dan Argajaya mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba Sidanti mengumpat, “Persetan! Benar juga kata guru. Mereka adalah orang-orang licik yang ingin mempergunakan cara-cara yang kasar untuk mempengaruhi keberanian kita. Mereka sengaja agar kita menyangka, bahwa orang-orang bercambuk itu berada di antara mereka. Tetapi yang paling mungkin, di antara mereka itu terdapat Argapati sendiri. Sehingga pasukan yang kecil itu dapat menimbulkan kesan yang mengerikan.” Sidanti berhenti sejenak. Lalu, “Tetapi kita di sini bukan anak-anak yang dapat dikelabuhinya. Kita dapat membuat perhitungan-perhitungan. Sehingga kita tidak dapat diperbodohnya seperti kerbau yang paling dungu.”
Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sependapat dengan Sidanti. Karena itu maka katanya kemudian, “Tidak ada alasan untuk berkecil hati. Kita sampaikan semuanya ini kepada Ki Tambak Wedi, apakah Ki Tambak Wedi itu sependapat dengan kita.”
Sidanti pun mengangguk-anggukkan kepalanya pula. “Baiklah,” katanya.
Mereka berdua pun segera meninggalkan tempat itu, kembali menemui Ki Tambak Wedi untuk melaporkan apa yang telah mereka saksikan. Dan ternyata Ki Tambak Wedi pun sependapat pula dengan mereka.
“Kita memang tidak boleh menunda terlampau lama. Kita harus segera menghancurkan mereka. Meskipun Ki Argapati telah kuat untuk berpacu di atas punggung kuda, namun ia pasti masih belum akan mampu bertempur terlampau lama. Aku akan mencoba memancingnya dalam perkelahian yang lama, sehingga lukanya itu terasa mengganggunya,” berkata Ki Tambak Wedi. “Karena itu semua persiapan harus segera diselesaikan. Kita harus siap melawan lontaran-lontaran lembing dan anak panah. Karena itu, kita harus menyiapkan perisai-perisai itu sebaik-baiknya. Setiap kelengahan akan sangat merugikan kita. Kalau kita benar-benar menyiapkan diri, maka kita akan dapat memastikan, benteng pring ori itu akan menjadi karang abang. Kita akan memasukinya dan kita akan menghancurkan semuanya. Kita jangan memberi kesempatan mereka mundur dan menemukan tempat-tempat baru untuk bertahan.”
Para pemimpin pasukan Ki Tambak Wedi itu pun mengangguk-anggukkan kepala mereka. Dan sejenak kemudian mereka telah menyebar lagi ke pasukan masing-masing.
“Beristirahatlah, Sidanti,” berkata Ki Tambak Wedi, “tugasmu masih banyak.” Lalu kepada Argajaya, “Dan apakah kau akan tinggal di sini atau kembali ke pasukan yang berada di rumahmu itu?”
“Ya aku akan kembali. Pasukan itu diperlukan besok, karena itu aku akan membawa pasukan yang ada di padukuhan itu kemari.”
“Bagus,” sahut Ki Tambak Wedi, “aku pun akan minta demikian. Kita dapat memanggil beberapa perjagaan di daerah-daerah yang tersebar. Supaya kita mempunyai kekuatan yang cukup untuk menghancurkan pertahanan Argapati itu.”
“Aku akan meninggalkan beberapa orang secukupnya saja di padukuhan itu. Kalau kita besok menyerang, maka Argapati pun pasti akan memusatkan segenap kekuatannya. Pasukannya pasti tidak akan ada yang berkeliaran keluar.”
“Baiklah. Ambillah pasukan yang ada di padukuhanmu. Pasukan di padukuhan-padukuhan kecil yang lain pun harus ditarik besok siang. Kita himpun semua kekuatan yang ada, supaya kita tidak perlu mengulangi serangan itu. Kita harus menyelesaikan persoalan kita sendiri di atas Tanah ini lebih dahulu, sebelum pada suatu saat Pajang mendengarnya dan ikut mencampuri persoalan di dalam lingkungan kita ini.”
“Nah, aku minta diri,” berkata Argajaya, “aku harus menyiapkan segala sesuatunya.”
Argajaya pun kemudian meninggalkan padukuhan induk itu bersama sepuluh orang pengawalnya, kembali ke padukuhannya. Besok ia harus membawa seluruh pasukan yang ada di padukuhan itu, untuk bersama-sama dengan seluruh kekuatan yang ada berusaha menghancurkan pertahanan Ki Argapati.
Dalam pada itu pasukan berkuda yang baru saja memasuki padukuhan induk itu semakin lama menjadi semakin jauh. Ketika mereka yakin bahwa tidak ada lagi seorang pun, apalagi sepasukan lawan yang mengejar, maka mereka pun mulai memperlambat kuda-kuda mereka. Pemimpin pasukan itu mulai memperhatikan setiap orang yang terluka di dalam pasukannya, dan bagi mereka yang memerlukan, gembala tua itu memberikan obat yang dapat menolong untuk sementara.
“Tiga orang yang terluka parah, Kiai,” berkata pemimpin pasukan, “sehingga mereka tidak lagi dapat berkuda sendiri. Meskipun ada juga yang lain yang cukup parah, namun mereka masih sanggup untuk bertahan. Apalagi yang hanya sekedar luka-luka karena goresan senjata di bagian anggota badan.”
“Lalu bagaimana yang tiga orang itu?”
“Aku sudah memerintahkan orang lain untuk melayaninya.”
Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya, “Nanti aku akan mencoba mengobatinya. Mudah-mudahan mereka masih dapat bertahan sampai di padukuhan kita,”
“Mudah-mudahan.”
Maka mereka pun kemudian berusaha mempercepat kuda-kuda mereka. Kini bukan karena mereka harus menghindari lawan yang jauh lebih kuat, tetapi mereka ingin segera sampai ke pusat pertahanan mereka, agar yang terluka dapat segera diobati.
Namun ketika mereka sampai di sebuah bulak yang panjang, tiba-tiba gembala tua itu berkata kepada pemimpin pasukan, “Dahululah bersama seluruh pasukan. Aku dan kedua anak-anakku akan singgah sebentar ke rumah untuk mengambil sesuatu.”
Pemimpin pasukan itu menjadi ragu-ragu sejenak. Namun gembala tua itu tersenyum sambil berkata, “Jangan cemas. Jalan di depan kita cukup rata. Dan aku pun akan segera menyusul.”
Pemimpin pasukan itu menganggukkan kepalanya, “Tetapi jangan terlampau lama, Kiai. Bukan karena kami ketakutan apabila kami bertemu dengan lawan, tetapi kawan-kawan kami yang luka itu segera memerlukan pengobatan.”
“Ya. Aku akan segera menyusul.”
Gembala tua itu pun kemudian membawa kedua anaknya berbelok di satu tikungan. Mereka ingin kembali sebentar menjenguk rumah mereka.
“Apa yang akan kita ambil?” bertanya Gupala.
“Aku ingin bertemu dengan Angger Sutawijaya,” desis orang tua itu. “Aku mendapat suatu pikiran baru. Aku mengharap, menurut perhitunganku, Argapati akan tetap memegang pimpinan atas tanah perdikan ini. Karena itu, sebaiknya Angger Sutawijaya sejak sekarang telah menunjukkan atau memberikan jasanya, sehingga dengan demikian maka Argapati akan merasa dirinya lebih dekat dengan Angger Sutawijaya daripada dengan Sultan Pajang.”
Gupala mengangguk-anggukkan kepalanya, sedang Gupita bertanya, “Tetapi apakah mungkin akan ada pertentangan antara Pajang dengan Raden Ngabehi Loring Pasar itu?”
Gurunya menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan kepalanya di geleng-gelengkannya. Namun agaknya ia tidak yakin atas apa yang akan terjadi. “Banyak sekali kemungkinan-kemungkinan itu,” desisnya. “Mudah-mudahan tidak terjadi benturan-benturan lahir yang hanya akan menambah korban.”
Gupala dan Gupita kemudian tidak bertanya-tanya lagi. Mereka berpacu ke gubug mereka untuk menemui Sutawijaya dengan kedua pengiringnya.
Sutawijaya yang sedang berbaring di dalam gubug gembala tua itu terkejut ketika didengarnya derap kuda mendekat. Segera ia meloncat bangkit sambil menyambar tombak yang disandarkannya pada dinding. Ketika ia berdiri di depan pintu, dilihatnya kedua pembantunya pun telah bersiap pula menunggu perkembangan keadaan.
Mereka menjadi semakin berdebar-debar ketika ternyata derap kaki-kaki kuda itu menjadi semakin dekat. Namun mereka kemudian menjadi tenang ketika mereka mendengar ledakan cambuk yang memecah sepinya malam.
Sejenak kemudian, maka gembala tua beserta kedua anak-anaknya itu pun telah turun dari kuda-kuda mereka. Sambil mengikatkan kuda-kuda itu pada sebatang pepohonan, gembala itu berkata, “Aku sengaja memberikan tanda, agar Angger tidak terkejut atas kedatangan kami, karena kami kali ini berkuda.”
“Dada kami telah menjadi berdebar-debar,” berkata Sutawijaya. “Aku sangka Ki Tambak Wedi telah mencium jejak kami dan bersama-sama dengan Argajaya dan Sidanti berusaha menangkap kami.”
Orang tua itu tersenyum. “Ternyata dugaan itu meleset.” Katanya, “Tetapi, apabila Angger tidak berkeberatan, aku ingin menyampaikan suatu pendapat yang barangkali baik bagi Angger.”
Sutawijaya mengerutkan keningnya.
“Aku hanya sebentar, Ngger. Mungkin Angger dapat segera memutuskan persoalan ini.”
Sorot mata Sutawijaya memancarkan berbagai macam pertanyaan.
Maka dengan singkat disampaikannya maksud gembala tua itu. Diberikannya beberapa macam pertimbangan yang cukup meyakinkan, setidak-tidaknya agar Argapati kelak tidak merintangi perkembangan Alas Mentaok.
Sutawijaya mendengarkannya dengan penuh minat. Namun tampaklah bahwa ia masih saja dicengkam oleh ke ragu-raguan.
“Argapati adalah seorang yang keras hati menurut pendengaranku, Kiai,” berkata Sutawijaya.
“Ya, ia memang keras hati. Tetapi bukan berarti bahwa ia tidak berjantung. Kalau ia merasa, bahwa Angger telah ikut menolongnya, maka ia pasti mempunyai pertimbangan-pertimbangan lain.”
“Apakah Argapati dapat diharapkan menjual kesetiaannya dengan cara itu?”
Gembala tua itu menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya, “Memang mungkin Argapati berpendirian demikian, Ngger. Tetapi apakah sampai saat ini kita mengetahui sikap dan tanggapan Kepala Tanah Perdikan yang besar itu terhadap Sultan Pajang? Memang, ia tidak mau menentang Pajang dan melindungi anak serta adiknya, karena tingkah laku keduanya. Argapati pasti mempertimbangkan juga, peranan Ki Tambak Wedi yang lebih banyak dikuasai oleh nafsu daripada cita-cita.”
Sutawijaya tidak segera menyahut. Tampaklah kepalanya terangguk-angguk kecil. Meskipun demikian ia masih merenungi kata-kata gembala tua itu.
“Angger Sutawijaya,” berkata orang tua itu seterusnya, “pertimbangan selanjutnya terserah kepada Angger. Tetapi menurut pertimbanganku, apakah salahnya Angger memperkenalkan diri kepada Ki Argapati?”
Sutawijaya masih belum menjawab. Meskipun tidak terucapkan ia mempunyai pertimbangan tersendiri. Apabila kini ia bersusah payah menyerahkan tenaganya, membantu dengan harapan agar Argapati kelak tidak mengganggu pertumbuhan Mentaok untuk menjadi sebuah kota, tetapi ternyata harapannya itu meleset, maka ia akan merasa tersinggung sekali.
Tetapi untuk sama sekali tidak berbuat sesuatu dalam keadaan serupa itu, akan dapat menimbulkan jarak pula antara dirinya dengan Ki Argapati meskipun mereka belum saling bertemu. Kalau Ki Argapati kelak mengetahui, bahwa pada saat tanahnya sedang kemelut dibakar oleh api perpecahan, dan ia pada saat itu berada di Menoreh dan sama sekali tidak berbuat apa-apa, maka Argapati pun pasti akan mengambil sikap pula.
“Apakah Ayahanda Sultan Pajang akan berbuat sesuatu apabila Ayahanda mengetahui bahwa di atas tanah ini terjadi benturan di antara mereka?” ia bertanya di dalam hatinya. “Apabila tiba-tiba saja Sultan Pajang mengirimkan bantuan kepada Argapati, maka kedudukanku pasti akan terdesak. Terdesak dari dua arah. Dari Timur dan dari seberang Kali Progo.”
Dalam kebimbangan itu terdengar gembala tua itu berkata, “Waktuku hanya sebentar. Sedang pertentangan ini berkembang terlampau cepat. Mungkin bahkan malam ini Ki Tambak Wedi akan menyusul kami menyerang pemusatan pasukan Argapati. Tetapi mungkin juga besok pagi. Apakah Angger Sutawijaya sudah dapat mengambil keputusan?”
Sutawidiyaya menarik nafas dalam-dalam. Ia masih saja dicengkam oleh kebimbangan. Sejenak ditatapnya wajah gembala tua itu, kedua anak-anaknya dan kemudian kedua pengawalnya.
“Aku memerlukan kedua anak-anak muda itu kelak,” desisnya di dalam hati. “Kalau mereka bersedia membantu aku, maka aku langsung akan menguasai daerah Sangkal Putung dan pasti juga Jati Anom. Jalur antara Mentaok, Alas Tambak Baya, Prambanan, Benda, Sangkal Putung, Macanan langsung ke Jati Anom akan aku kuasai.”
Akhirnya Sutawijaya itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Kiai, baiklah. Aku akan membantu Argapati. Tetapi bukan berarti bahwa aku sendirilah yang harus melakukannya. Biarlah kedua kawan-kawanku itu pergi bersama Kiai.”
Gembala tua itu mengerutkan keningnya. Sejenak dipandanginya kedua pengawal Sutawijaya itu. Sepercik keragu-raguan memencar di dalam sorot matanya.
“Kiai,” berkata Sutawijaya sambil tersenyum, “keduanya adalah orang-orang kepercayaan Ayah Ki Gede Pemanahan. Mereka berdua adalah kawan-kawanku bermain-main. Jika ada perbedaan antara keduanya dan aku sendiri jarak itu tidak akan terlampau jauh. Meskipun keduanya masih juga belum dapat menyamai kedua gembala-gembala muda itu. Tetapi aku percaya kepada keduanya.”
“Ah,” salah seorang dari kedua pengawal itu berdesah, “terima kasih atas pujian itu. Tetapi aku harap bahwa Kiai tidak akan kecewa apabila ternyata aku hanya dapat meloncat-loncat.”
Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mencoba mengerti alasan Sutawijaya. Kenapa ia tidak mau langsung terjun ke medan pertentangan itu sendiri.
Namun orang tua itu kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Terima kasih. Hal ini pasti sudah akan membuat hubungan antara Mentaok kelak dengan Menoreh menjadi lebih baik. Meskipun kali ini Angger Sutawijaya sendiri belum langsung menanganinya, namun bantuan Angger ini pasti akan sangat berarti.”
Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. “Maaf, Kiai,” jawabnya, “aku sendiri masih ingin beristirahat. Entahlah apabila nanti aku berubah pendirian. Tetapi kedua orang kawan-kawanku itu pasti akan sama artinya dengan aku sendiri.”
“Ya, demikianlah.”
“Nah,” berkata Sutawijaya kemudian kepada kedua kawannya, “pergilah kalian mewakili aku.” Lalu kepada orang tua itu, “Paman Hanggapati dan paman Dipasanga akan menempatkan dirinya di bawah perintah, Kiai. Tetapi ingat, Kiai, keduanya aku serahkan kepada Kiai, tidak kepada orang lain, sehingga tanggung jawab atas keduanya ada pada Kiai.”
Gembala tua itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Baiklah, Ngger. Tetapi kehadiran keduanya akan menjadi suatu kenyataan, bahwa Angger telah berusaha mendekatkan diri. Bahkan Angger telah mulai menjalin hubungan yang baik antara Mentaok yang akan lahir dan Menoreh.”
“Mudah-mudahan, Kiai. Selanjutnya aku akan tetap berada di sini. Aku akan menunggui gubug ini, ketela pohon yang sudah mulai dapat diambil hasilnya, kambing-kambing, dan api.”
“Kenapa api?”
“Kambing-kambing itu memerlukan api.”
“Ah,” gembala tua itu tersenyum. “Baiklah. Sekarang aku minta diri. Mudah-mudahan hubungan yang telah dirintis ini kelak akan berguna. Berguna bagi Angger Sutawijaya dan berguna bagi Argapati.”
“Mudah-mudahan, Kiai. Mudah-mudahan.”
“Baiklah. Kini aku minta diri. Waktuku terlampau sempit. Orang-orang yang terluka itu memerlukan bantuanku.”
“Silahkanlah, Kiai. Agaknya Kiai baru saja membawa sepasukan pengawal berkeliling daerah ini.”
“Ya, di antara mereka ada yang terluka parah.”
Gembala tua itu pun kemudian meninggalkan Sutawijaya seorang diri karena kedua kawannya ikut bersamanya. Mereka terpaksa mempergunakan setiap ekor kuda untuk dua orang. Hanggapati bersama Gupala dan Dipasanga bersama Gupita.
Dengan demikian maka laju kuda-kuda mereka tidak dapat terlampau cepat. Namun meskipun demikian akhirya mereka sampai juga ke mulut regol padukuhan yang dilingkari pring ori itu.
Ternyata kedatangan mereka telah mengejutkan para penjaga. Bahkan Samekta yang ada di depan regol pun terkejut pula melihat gembala tua itu datang bersama orang baru lagi. “Siapakah mereka?” bertanya Samekta.
“Kalian akan berterima kasih atas kedatangannya. Tetapi marilah kita bersama-sama menghadap Ki Argapati. Aku mempunyai sebuah ceritera tentang kedua kawan baruku ini.”
Samekta mengerutkan keningnya. Sebagai seorang yang bertanggung jawab atas pusat pertahanan ini, Samekta tidak segera menerima ajakan itu.
“Apakah Ki Samekta berkeberatan?” bertanya gembala tua itu.
“Bukan begitu, Kiai. Tetapi aku masih belum mengerti, apakah kepentingan Ki Sanak berdua ini untuk bertemu dengan Ki Argapati.”
“Itulah yang akan dikatakannya nanti. Aku kira Ki Argapati pun belum mengenal keduanya. Tetapi aku akan menjadi tanggungan, bahwa keduanya tidak akan berbuat sesuatu yang merugikan kita bersama.”
Samekta masih ragu-ragu. Bahkan sepercik pertanyaan membersit di dadanya, “Apakah orang-orang ini tidak mungkin sengaja diselundupkan oleh Sidanti?”
Karena Ki Samekta masih ragu-ragu, maka gembala tua itu mencoba menjelaskannya, “Kami akan memberikan beberapa keterangan. Kalau Ki Argapati tidak menghendaki, biarlah kedua kawan-kawanku ini meninggalkan padukuhan ini.”
Ki Samekta menarik nafas dalam-dalam. Sekali ia berpaling. Tetapi ia tidak melihat Wrahasta untuk dimintai pertimbangannya. Agaknya Wrahasta sedang beristirahat, atau bahkan mungkin sedang tidur karena ialah yang sedang bertugas malam ini.
Baru setelah ia berpikir sejenak, maka berkatalah Samekta, “Baiklah, marilah aku antarkan kalian menghadap Ki Argapati.”
Mereka pun kemudian pergi ke pemondokan Ki Argapati. Meskipun malam semakin mendekati akhirnya, namun Samekta mencoba juga untuk masuk ke rumah dan menengok bilik Ki Argapati.
Derit pintu bilik itu, agaknya telah membangunkan Ki Argapati. Perlahan-lahan ia menyapa, “Siapa di luar?”
“Aku, Ki Gede. Samekta.”
“O, masuklah.”
Samekta pun kemudian melangkah masuk ke dalam bilik Ki Argapati. Dikatakannya semuanya tentang gembala tua itu beserta kedua kawan-kawannya yang baru.
Sejenak Ki Argapati berpikir. Namun kemudian ia berkata, “Aku percaya kepada gembala tua itu. Biarlah ia datang kemari.”
Kemudian gembala tua itu pun segera dipersilahkannya masuk bersama kedua pengawal Sutawijaya. Sedang Gupala dan Gupita menunggu mereka di serambi depan.
“Marilah, Kiai,” berkata Ki Argapati, “aku sudah mendengar laporan tentang pasukan berkuda itu. Aku sangat berterima kasih kepadamu. Sebab perjalanan ini ternyata telah memberikan dorongan yang luar biasa atas tekad dan gairah perjuangan anak-anak Menoreh. Bukan saja mereka yang ikut di dalam pasukan berkuda itu, tetapi ceritera mereka tentang perjalanan mereka ternyata mempunyai akibat yang sangat baik.”
“Terima kasih, Ki Gede. Tetapi sayang, bahwa di antara mereka ada yang terluka parah.”
“Ya, memang terlampau sulit untuk menghindarinya. Dalam permainan senjata kadang-kadang kita memang akan terdorong karenanya. Itu adalah akibat yang sangat wajar.”
“Dan aku pun akan segera mengobati mereka.” berkata gembala tua itu. Kemudian, “Namun sebelumnya aku ingin memperkenalkan kedua kawan-kawanku ini.”
Ki Argapati mengerutkan keningnya. “Siapakah mereka itu?”
Gembala itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Apakah Ki Argapati pernah mengenal anak muda yang bernama Sutawijaya bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar?”
Ki Argapati menganggukkan kepalanya. “Ya. Aku pernah mendengar meskipun aku belum pernah mengenalnya dari dekat. Bukankah anak muda itu Putera angkat Sultan Hadiwijaya?”
“Tepat. Dan kedua orang ini adalah orang-orang kepercayaannya. Yang seorang bernama Hanggapati dan yang lain Dipasanga.”
“O,” Ki Argapati yang kemudian duduk di pinggir pembaringannya mengangguk-kan kepalanya. “Maaf. Aku belum tahu sebelumnya.”
Kedua orang itu pun mengangguk pula. Hanggapati menjawab, “Kami pun minta maaf, bahwa kami telah mengganggu Ki Gede.”
“Tidak,” gembala tua itulah yang memotongnya, “kalian berdua sama sekali tidak menggangu.” Lalu kepada Ki Gede ia menceriterakan maksud kedatangan kedua orang itu. Meskipun ia sama sekali tidak mengatakan bahwa saat itu, Sutawijaya pun sedang berada di Menoreh.
“Keduanya diutus untuk melihat keadaan di Tanah Perdikan ini,” berkata gembala tua itu. “Namun dalam keadaan yang kalut serupa ini, keduanya diberi wewenang untuk mengambil sikap. Sidanti dan Argajaya adalah orang-orang yang pernah secara langsung dan pribadi mempunyai persoalan dengan Angger Sutawijaya.”
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian jawabnya, “Aku akan sangat berterima kasih sekali atas perhatian itu. Lalu, apakah yang akan kalian lakukan selanjutnya?”
Hanggapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, “Aku akan menyerahkan tenagaku yang tidak berarti ini. Apakah yang akan dapat aku lakukan, dan sudah tentu demikian juga Adi Dipasanga, pasti akan kami lakukan.”
“Terima kasih. Aku akan sangat berterima kasih.” Kemudian Ki Gede berpaling kepada Samekta, “Inilah pimpinan yang aku serahi tanggung jawab atas pasukan Menoreh. Nah, bantuan kalian berdua akan diterimanya dengan kedua belah tangan.”
Samekta pun kemudian menganggukkan kepalanya. Katanya, “Di dalam pergolakan seperti ini, maka setiap kekuatan akan sangat berarti bagi kami. Dan kami akan mengucapkan terima kasih.”
Kedua orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun demikian, mereka mencoba untuk mengerti dan menyesuaikan dirinya. Sebenarnya keduanya tidak terlampau banyak mengerti, persoalan-persoalan apa yang telah terjadi di Tanah Perdikan Menoreh, dan persoalan-persoalan apa yang pernah timbul antara mereka, para penghuni Tanah Perdikan ini dengan Sutawijaya. Tetapi karena perintah anak muda itulah, maka ia berada di tengah-tengah pergolakan yang sedang membakar Tanah Perdikan ini.
“Untuk seterusnya,” berkata Hanggapati kemudian, “kami memerlukan petunjuk-petunjuk dan perintah-perintah, apakah yang harus kami lakukan, karena kami belum banyak mengerti tentang persoalan yang sedang di hadapi oleh Ki Gede Menoreh.”
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Tentu kami akan berusaha untuk menunjukkan arah perjuangan kami untuk menegakkan kesatuan kembali setelah beberapa saat Tanah ini dipecah oleh nafsu yang tidak terkendalikan dari seorang yang menyebut dirinya Ki Tambak Wedi. Tetapi, bukan maksud kami untuk memberikan perintah kepada Ki Sanak berdua, namun kami ingin menempatkan Ki Sanak berdua bersama dengan Kiai Dukun atau gembala tua itu, atau apa pun namanya, dalam satu pertukaran pikiran menghadapi keadaan yang semakin memuncak.”
Gembala tua itu tersenyum. Katanya, “Kenapa Ki Gede kebingungan menyebut jabatanku?”
Ki Gede pun tersenyum pula. Katanya kemudian, “Nah, sekarang kalian kami persilahkan untuk beristirahat sejenak. Pasukan berkuda itu pasti membuat Ki Tambak Wedi menjadi marah. Sehingga dengan demikian perkembangan keadaan akan dapat dipercepat.”
“Ya, kemungkinan itu memang ada,” jawab gembala tua itu.
“Karena itu, aku akan minta kalian nanti, apabila kalian telah beristirahat meskipun sejenak, untuk membicarakan masalah yang menjadi semakin memuncak ini.”
“Baiklah,” jawab gembala tua itu, “sekarang aku minta diri. Orang-orang yang terluka memerlukan segera mendapat pertolongan. Pertolongan darurat itu hanya dapat menolong dalam waktu yang sangat terbatas.”
“Silahkan, Kiai.”
Sejenak kemudian gembala tua beserta kedua orang kepercayaan Sutawijaya itu pun meninggalkan ruangan itu. Bersama dengan Gupala dan Gupita mereka diantar ke tempat yang telah disediakan untuk mereka. Tetapi gembala tua itu kemudian meninggalkan kedua orang kepercayaan Sutawijaya itu beserta Gupala dan Gupita. Ia sendiri pergi untuk mengobati orang-orang yang terluka pada saat mereka memasuki padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Sedang Samekta, setelah berbicara beberapa lama dengan Ki Argapati, kemudian pergi ke regol padukuhan untuk memimpin langsung pengawasan terhadap setiap kemungkinan.
Wrahasta yang kemudian mendengar dari Samekta, bahwa telah datang dua orang kepercayaan Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar, menjadi ragu-ragu pula. Katanya, “Apakah kau yakin tentang kedua orang itu?”
“Meskipun mereka berpakaian sederhana seperti kita, tetapi menilik sikapnya, mereka adalah prajurit-prajurit dari istana Pajang. Atau setidak-tidaknya mereka adalah orang-orang istana,” jawab Samekta.
Wrahasta mengerutkan keningnya. Gumamnya, “Mudah-mudahan.”
Dalam pada itu, Samekta pun telah meningkatkan kewaspadaannya pula. Mereka menyadari bahwa akibat pasukan berkuda yang menyusup ke padukuhan induk itu, pasti akan mempercepat tindakan Ki Tambak Wedi. Karena itu, maka setiap jengkal tanah kini tidak terlepas dari pengawasan dan pertahanan.
Ketika matahari kemudian mendaki langit di ujung Timur, maka Ki Argapati pun telah memanggil beberapa orang yang pantas untuk dibawa membicarakan masalah yang dihadapi oleh Tanah Perdikan Menoreh. Di antara mereka adalah Samekta, Wrahasta, gembala tua yang cakap mengobati itu, dan kedua orang kepercayaan Sutawijaya, Hanggapati dan Dipasanga. Sedang Gupala dan Gupita harus tinggal saja di luar sambil menunggu perkembangan pembicaraan itu.
Sementara itu, ketika keduanya sedang duduk di halaman sambil berbicara tentang apa saja, tentang juntai yang berwarna kekuning-kuningan yang kini dililitkan di leher baju Gupala, sampai kepada kambing-kambing yang mereka tinggalkan, dari balik daun pintu samping sepasang mata sedang mengawasi mereka. Sepasang mata seorang gadis yang membawa pedang rangkap di kedua belah lambungnya.
Gadis itu, Pandan Wangi melihat kedua anak-anak muda itu dengan kesan yang aneh. Gupita adalah seorang anak muda yang mengagumkan. Tenang dan memiliki kemampuan yang tinggi. Tingkah lakunya kadang-kadang menimbulkan berbagai macam pertanyaan. Ada beberapa pertentangan sifat yang dilihatnya pada anak muda itu. Anak muda itu kadang-kadang bersikap acuh tak acuh dan bahkan kekanak-kanakan. Namun kadang-kadang menjadi bersungguh-sungguh dan seakan-akan seorang perasa.
Sedang yang seorang lagi yang diakuinya sebagai saudaranya adalah seorang anak muda yang gemuk, yang memiliki kekhususan pula. Wajahnya terlampau cerah, dan bibirnya selalu dihiasi dengan senyum dan tawa. Anak muda yang gemuk itu seakan-akan tidak pernah menyimpan persoalan yang bersungguh-sungguh di dalam hatinya. Wajahnya yang bersih dan bulat itu menimbulkan kesan tersendiri di hati Pandan Wangi.
Pandan Wangi terkejut ketika ia mendengar suara perempuan tua penghuni rumah itu memanggilnya. Dengan tergesa-gesa ia pergi mendapatkannya, “Ada apa, Bibi?”
“Air panas itu telah tersedia bersama beberapa potong makanan.”
“Oh,” Pandan Wangi yang meskipun membawa sepasang pedang rangkap itu pun segera mengetahui tugasnya. Dicarinya sebuah nampan kayu untuk membawa minuman dan makanan itu ke dalam bilik Ayahnya, tempat orang-orang terpenting sedang berbicara tentang nasib Tanah Perdikan ini.
Ketika Pandan Wangi masuk ke dalam bilik ayahnya, agaknya pembicaraan telah menjadi terlampau jauh, sehingga apa yang didengarnya tidak dapat dimengertinya. Ia hanya mendengar kata-kata ayahnya, bahwa lukanya telah jauh berkurang. “Aku telah mampu turun ke medan apabila setiap saat Ki Tambak Wedi menghendaki.”
Pandan Wangi tertegun sejenak. Ia menjadi berdebar-debar. Apakah ayahnya benar-benar akan langsung memimpin peperangan dalam keadaannya itu. Ketika ia berpaling memandangi wajah ayahnya, ia melihat ayahnya itu tersenyum kepadanya. “Aku benar-benar sudah menjadi baik, Pandan Wangi. Mungkin aku belum pulih kembali seperti sediakala. Tetapi tenagaku agaknya sudah cukup memadai.”
“Tetapi,” Pandan Wangi menjadi ragu.
“Kau meragukan?”
“Ya, Ayah.”
“Itu adalah wajar sekali, Wangi. Tetapi ternyata obat yang diberikannya kepadaku akhir-akhir ini adalah obat yang tiada taranya. Lukaku telah hampir menjadi sembuh sama sekali.”
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Disambarnya sekilas dengan sudut matanya, Samekta, Wrahasta, kemudian dua orang yang baru saja hadir di padukuhan itu. Namun Pandan Wangi tidak berkata apa-apa lagi. Perlahan-lahan ia melangkah keluar sambil menjinjing nampan kayu.
Sepeninggal Pandan Wangi, maka mereka pun melanjutkan pembicaraan mereka sehingga akhirnya mereka menemukan suatu kesimpulan.
“Nah, begitulah,” berkata Ki Argapati, “aku tidak dapat berbuat lain daripada menerima saran itu.”
“Tetapi itu berbahaya sekali, Ki Gede,” berkata Wrahasta.
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. “Memang cara ini dapat menimbukan akibat yang besar bagi pertahanan kita. Tetapi apabila berhasil, maka jalan selanjutnya pasti sudah terbuka.”
Wrahasta mengerutkan keningnya. Bahkan kemudian ia menggeram, “Sejak semula aku ingin menyandarkan segala persoalan atas kekuatan dan perhitungan imbangan kekuataan di antara kita sendiri. Kita akan meyakini segala persoalan tanpa ragu-ragu.”
“Aku sependapat dengan kau, Wrahasta,” berkata Ki Argapati, “tetapi kita tidak dapat mengingkari kenyataan yang kita hadapi. Dan apakah keberatan kita atas segala kebaikan hati dari mereka yang memang mempunyai persoalan dengan Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya?”
Wrahasta tidak segera menyahut.
“Aku dapat meyakinkan kau, Wrahasta, bahwa tidak ada pamrih apa pun pada mereka. Apalagi kedua orang kepercayaan putera Sultan Pajang. Adalah hak mereka untuk berbuat sesuatu terhadap orang-orang yang mempunyai persoalan dengan mereka. Dan adalah kebetulan sekali bahwa kita bersama-sama mempunyai persoalan yang dapat di ambil arah sejalan. Tetapi jangan takut, bahwa aku telah mengorbankan kepentingan tanah perdikan ini. Bahwa aku telah menjual beberapa kepentingan karena aku ingin mempertahankan kedudukanku sebagai kepala tanah perdikan.”
Ki Argapati terdiam sejenak. Lalu, “Bukankah kau mendengarkan pembicaraan ini dari mula sampai akhir, sehingga kau tidak menemukan bentuk-bentuk perjanjian atau imbalan apa pun atas mereka itu? Kita secara kebetulan mempunyai kepentingan yang sama, yang dapat saling membantu. Itulah masalah yang sedang kita hadapi sekarang. Jadi, bentuk kerja sama ini agak berbeda dari Ki Peda Sura dan orang-orangnya, bahkan orang-orang lain lagi yang datang atas permintaan Ki Tambak Wedi, Argajaya, dan Sidanti. Kepada setiap bantuan yang aku terima sama sekali bukan karena aku menawarkan apa pun juga sebagai imbalannya.”
Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya perlahan-lahan.
“Nah, apakah kau dapat mengerti?”
“Aku mengerti, Ki Gede,” jawabnya. “Tetapi tidak semua orang tidak berpamrih seperti mereka yang ada di dalam ruangan ini. Meskipun mereka tidak menginginkan imbalan yang berupa harta benda atau kedudukan, tetapi masih mungkin ada pamrih-pamrih lain yang mendorong mereka untuk berkorban apa saja.”
Ki Argapati mengerutkan keningnya. “Apakah kau dapat menyebutkan, Wrahasta?”
Wrahasta menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak mengucapkannya, meskipun serasa menyesak di dalam dadanya.
“Katakanlah, Wrahasta,” desak Ki Argapati. “Jangan ragu-ragu. Semua ini untuk kebaikan kita bersama?”
Tetapi Wrahasta menggelengkan kepalanya. “Tidak, Ki Gede. Aku hanya sekedar berprasangka.”
Ki Argapati memandang wajah Wrahasta dengan tajamnya. Tetapi wajah anak muda yang bertubuh raksasa itu menunduk.
Namun Ki Argapati itu kemudian berkata, “Baiklah. Kita akan melihat perkembangan keadaan. Memang kita masing-masing pasti mempunyai pamrih. Tetapi tidak sekedar pamrih pribadi.”
Hampir saja Wrahasta menyahut. Justru pamrih pribadilah yang mendorong anak gembala itu menyediakan dirinya, bahkan dengan seluruh keluarganya untuk membantu Ki Argapati. Tetapi untunglah bahwa ia masih mampu menahan perasaannya itu. Sehingga apa yang telah hampir terucapkan itu seolah-olah ditelannya kembali.
Dengan demikian, maka ruangan itu di sambut oleh kesepian sejenak. Kemudian terdengar Ki Argapati berkata, “Apakah masih ada persoalan yang akan kita bicarakan?”
Tidak seorang pun yang menjawab.
“Baiklah. Kalau tidak, aku akan mengambil keputusan. Semua dilaksanakan seperti rencana tersebut. Apabila terdapat kesulitan, kita akan melihat perkembangan suasana.” Kemudian kepada Samekta ia berkata, “Aturlah semua persiapan, Samekta. Sampaikan semua keputusan ini kepada pemimpin-pemimpin yang terpercaya. Kerti dapat kau panggil dan kau tempatkan di pedukuhan ini pula.”
“Ya, Ki Gede.”
“Jagalah baik-baik, bahwa masalah-masalah terpenting hanya boleh kita ketahui bersama.”
“Ya, Ki Gede,” jawab Samekta sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Sekarang, mulailah dengan segala macam persiapan. Aku akan mencoba memantapkan diriku sendiri, sehingga apabila setiap saat aku harus turun ke medan perang, seperti yang direncanakan, aku tidak akan mengecewakan.”
“Silahkan, Ki Gede. Kami minta diri.”
“Aku sangat berterima kasih kepada kesediaan kalian, baik dari keluarga Tanah ini maupun yang menaruh perhatian terhadap keadaannya. Mudah-mudahan kita berhasil.”
Orang-orang yang berada di dalam bilik Ki Gede itu pun kemudian bersama-sama meninggalkannya. Masing-masing pergi ke tempatnya. Gembala tua dan kedua orang kepercayaan Sutawijaya itu kemudian kembali ke tempat yang sudah disediakan untuk mereka bersama-sama dengan Gupala dan Gupita. Seperti orang-orang Menoreh, mereka pun harus mempersiapkan diri mereka apabila setiap saat mereka harus turun ke medan.
Gupala dan Gupita pun kemudian mendapat petunjuk-petunjuk dari gurunya. Apa yang harus mereka kerjakan apabila waktunya telah datang.
“Apakah Ki Argapati tahu dengan pasti, kapan Ki Tambak Wedi akan menyerang?” bertanya Gupita.
Gurunya menggelengkan kepalanya, “Belum. Namun kita harus memperhitungkan bahwa setiap saat hal itu dapat terjadi, sehingga kita harus dapat melakukannya setiap saat pula.
Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian Gupala bertanya, “Tetapi apakah Pandan Wangi dapat dipercaya untuk melakukan tugasnya itu?”
“Menurut Ki Argapati, ia percaya bahwa Pandan Wangi akan dapat melakukannya.”
“Pekerjaan itu memang terlalu berat untuknya. Tetapi mudah-mudahan ia berhasil,” gumam Gupita.
Gurunya tidak menyahut. Tetapi tatapan matanya jauh menembus cahaya matahari yang bermain di halaman, hinggap pada bayangan dedaunan yang bergerak-gerak dihembus angin yang lemah.
Ruangan itu pun kemudian sejenak disambar oleh kesenyapan. Namun kemudian Gupala dan Gupita minta diri untuk berada di halaman, karena udara yang terlampau panas.
Dengan dada yang berdebar-debar mereka menyaksikan kesibukan para pengawal. Persiapan-persiapan yang semakin memuncak karena perkembangan keadaan yang memuncak pula.
Apalagi setelah beberapa orang petugas sandi sempat melaporkan, bahwa mereka pun melihat persiapan yang matang pada pasukan Ki Tambak Wedi.
“Tidak akan lebih dari malam nanti,” desis Gupita.
“Ya. Aku kira malam nanti Ki Tambak Wedi akan datang,” jawab Gupala. “Namun cara yang akan kita pergunakan cukup menarik.”
“Tetapi juga sangat berbahaya bagi Ki Argapati dan Pandan Wangi itu sendiri,” gumam Gupita. “Tetapi kita tidak dapat berbuat banyak.”
“Kalau aku diperkenankan, aku akan bertempur bersamanya,” desis Gupala.
Gupita mengerutkan keningnya. Ketika ia berpaling ke arah anak muda yang gemuk itu, tiba-tiba Gupala tertawa sambil berdiri.
Namun ia masih juga berkata, “Mudah-mudahan aku mendapat kesempatan.”
“Dalam hiruk-pikuk serupa ini, kau masih sempat juga mimpi.”
“Mimpi yang paling mengasyikkan justru apabila kita tidak sedang tidur nyenyak. Bukankah begitu? Dalam hiruk-pikuk yang beginilah kadang-kadang kita menemukan suatu perkembangan jalan hidup kita tanpa kita duga-duga. Bukankah dalam hiruk-pikuk juga kau bertemu dengan seorang gadis, justru pada suatu saat yang menentukan buat Sangkal Putung?”
“Ah,” Gupita berdesah. Dan Gupala masih juga tertawa berkepanjangan sambil meninggalkan Gupita yang masih duduk di tempatnya seorang diri.
Sejenak bayangan seorang gadis yang manja dan keras hati melintas di dalam kepalanya. Kemudian disusul oleh sebuah bayangan yang lain. Seorang gadis yang dalam keadaan terakhir selalu membawa sepasang pedang rangkap di lambungnya.
Gupita kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berdesis, “Ah, lebih baik aku membuat pertimbangan-pertimbangan tentang setiap kemungkinan yang dapat terjadi di padukuhan ini.”
Namun tiba-tiba ia berpaling ketika ia melihat seseorang mendatanginya. Seorang anak muda yang bertubuh raksasa.
Dada Gupita menjadi berdebar-debar melihat wajah Wrahasta yang tampak bersungguh-sungguh. Beberapa langkah daripadanya Wrahasta berhenti. Diedarkannya pandangan matanya ke seluruh halaman, tetapi ketika tidak ada seorang pun yang dilihatnya, maka ia pun segera melangkah beberapa langkah lagi.
“Gupita,” suaranya bernada berat, “aku masih tetap pada pendirianku. Aku tidak menghendaki kau hadir di sini. Tetapi agaknya ayahmu mendapat tempat di hati Ki Argapati. Karena itu, aku perlu memperingatkan kau sekali lagi, bahwa kau tidak disukai di padukuhan ini.”
Gupita menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak senang selalu mendapat pringatan semacam itu. Meskipun demikian ia masih harus tetap menjaga dirinya. Namun meskipun demikian ia menjawab, “Wrahasta. Aku tidak akan bersitegang untuk tinggal di padukuhanmu. Pada suatu ketika apabila pekerjaanku sudah selesai, maka aku pun akan segera pergi. Disukai atau tidak disukai, namun aku harus melakukan tugas yang dibebankan kepadaku. Baik oleh ayah maupun oleh Ki Argapati.”
“Aku mengharap kau memegang janjimu. Kalau tidak, maka setelah semua persoalan di atas tanah perdikan ini selesai, kau akan menyesal. Kalau kau tidak menepatinya, maka kita harus membuat perhitungan tersendiri.”
Dada Gupita berdesir. Tetapi ia tidak menjawab. Dibiarkannya Wrahasta berbalik dan melangkah meninggalkannya. Hampir tanpa berkedip Gupita memandang langkah itu. Langkah yang tegap penuh keyakinan pada diri sendiri. Tetapi kemudian Gupita menjadi kecewa, bahkan menaruh belas kasihan kepada raksasa itu.
Meskipun demikian. Gupita masih selalu berusaha untuk menguasai diri. Apalagi keadaan sudah menjadi sedemikian panasnya. Keadaan yang tidak dikehendaki akan segera dapat meletus setiap saat. Mungkin sebentar lagi. Mungkin di saat senja mulai turun, atau mungkin pada saat matahari tepat meluncur ke balik perbukitan. Tetapi mungkin juga setelah malam menjadi kelam atau mungkin juga tidak sama sekali di hari-hari yang dekat ini. Meskipun demikian, Gupita menyadari bahwa kekuatan seutuhnya sedang diperlukan untuk menanggapi keadaan yang telah memuncak ini.
Matahari pun semakin lama menjadi semakin tergeser ke Barat. Di saat-saat cahayanya menjadi kemerah-merahan, maka para pengawal menjadi kian sibuk. Hari itu ternyata telah mereka lampaui tanpa ada sesuatu peristiwa apa pun. Namun dengan demikian, maka mereka menjadi semakin berhati-hati. Mereka mempunyai dugaan kuat, bahwa Ki Tambak Wedi akan mengambil kesempatan di malam hari.
Karena itu, maka segala macam persiapan pun dilakukan. Alat-alat pelontar dan berbagai macam senjata jarak jauh. Senjata yang paling sederhana, pelontar batu, sampai pada panah-panah yang hampir tidak terhitung jumlahnya.
Pada saat yang demikian, Gupala, Gupita, dan gurunya telah siap pula untuk melakukan rencana yang telah disetujui bersama. Bersama sepasukan pengawal mereka harus meninggalkan padukuhan itu. Mereka harus bersiap dan berada di luar, seandainya padukuhan itu akan dikepung rapat-rapat. Mereka harus memperhitungkan pula suatu kemungkinan, bahwa Ki Tambak Wedi akan mengambil suatu cara, untuk menutup padukuhan itu sama sekali dalam waktu yang tidak terbatas, sehingga mereka akan kehilangan kemungkinan berhubungan dengan daerah-daerah dan perdukuhan-perdukuhan lain. Terutama dalam soal persediaan makan.
Sejenak kemudian, sebelum regol pedukuhan itu tertutup oleh ujung senjata pasukan Ki Tambak Wedi, gembala tua bersama kedua anak-anaknya telah meninggalkan padukuhan itu untuk bersembunyi di pategalan yang tidak terlampau jauh. Mereka mendapat tugas yang khusus, tugas yang tidak dapat dilakukan oleh pasukan yang berada di dalam padukuhan. Mereka harus dapat bergerak cepat ke segenap penjuru. Juga apabila ada kemungkinan Ki Tambak Wedi tidak menyerang lewat gerbang induk.
Argapati yang sudah menjadi semakin baik, melepas mereka sampai ke pintu gerbang. Kemudian sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia bergumam, “Aku percaya kepada mereka.”
Pandan Wangi yang berdiri di sampingnya berpaling. Tanpa sesadarnya ia bertanya, “Apa, Ayah?”
Ki Argapati terkejut. Namun kemudian sambil tersenyum ia berkata, “Aku percaya kepada mereka. Dan aku percaya bahwa aku pernah mengenal orang tua itu sebelum ini. Bepapa pun ia mengingkari dirinya sendiri. Aku tidak tahu, apakah alasannya, sehingga ia lebih senang bermain-main dengan segala macam nama dan keadaan.”
“Siapakah sebenarnya orang-orang itu, Ayah?” bertanya Pandan Wangi dengan serta-merta.
Tetapi ayahnya masih saja tersenyum dan menjawab, “Entahlah.”
“Tetapi Ayah sudah menyebutnya?”
Ki Argapati menggelengkan kepalanya. “Aku hanya menduga-duga. Tetapi lebih baik aku tidak mengatakan apa pun tentang mereka daripada aku akan keliru.”
Pandan Wangi tidak bertanya lagi. Ia pun kini memandangi pasukan yang menjadi semakin jauh. Bahkan kadang-kadang seolah-olah hilang ditelan oleh rumput-rumput liar dan batang-batang ilalang yang menjadi semakin tinggi.
Namun masih juga terbayang di angan-angan gadis itu, dua orang anak-anak muda yang seakan-akan dibayangi oleh kabut rahasia yang tidak tertembus oleh penglihatannya.
Pandan Wangi itu tersedar ketika ia mendengar ayahnya berkata, “Marilah kita beristirahat sambil menunggu, apa yang akan terjadi malam ini.”
“O,” Pandan Wangi tergagap, “mari, Ayah.”
“Kita tidak akan kembali ke pondok kita. Kita akan tinggal di pusat pimpinan pasukan Menoreh bersama dengan Wrahasta, Samekta, dan Kerti. Setiap saat kita pasti akan diperlukan.”
Pandan Wangi menganggukkan kepalanya.
Kemudian diiringi oleh para pemimpin pasukan pengawal, Ki Argapati pun pergi ke rumah yang dipergunakan sebagai pusat pimpinan pasukan. Di situlah Samekta, Wrahasta dan kadang-kadang Kerti selalu membicarakan dan merencanakan segala sesuatu. Kini jumlah mereka pun bertambah lagi dengan dua orang dari Pajang. Hanggapati dan Dipasanga.
Meskipun mereka duduk dalam satu tingkatan, di atas sehelai tikar pandan, namun hampir tidak seorang pun dari mereka yang berbicara. Mereka sedang sibuk dengan angan-angan masing-masing. Bayangan-bayangan dan gambaran tentang apa saja yang akan terjadi di atas tanah perdikan ini.
Sementara itu, Ki Tambak Wedi pun sedang sibuk mengatur barisannya. Ia tidak ingin menunda lagi sampai besok dan apalagi lusa. Ia sudah berketetapan hati, seperti tekad yang menyala di dalam dada Sidanti, Argajaya, dan para pemimpin yang lain. Malam ini pertahanan Argapati harus dipecah. Benteng pring ori itu harus menjadi karang abang. Dan pasukan pengawal Menoreh harus di hancur-lumatkan supaya mereka tidak membuat persoalan-persoalan baru di hari-hari mendatang.
“Tidak seorang pun akan mendapat perlakuan khusus!” teriak Ki Tambak Wedi.
Sidanti dan Argajaya mengangkat senjata masing-masing sambil menyambut ucapan-ucapan itu. “Semua harus dimusnahkan.”
Namun ketika setiap mulut meneriakkan semangat yang serupa, Sidanti menundukkan wajahnya. Terbayang di dalam angan-angannya, seorang gadis kecil yang berlari-lari sambil menangis. Kemudian memeluknya dan membasahi dadanya dengan air mata.
“Kakang, Kakang, anak itu nakal, Kakang,” tangis gadis kecil itu.
Setiap kaii ia menjadi marah. Dan setiap kali ia berkata, “Ayo, jangan hanya berani dengan anak perempuan. Lawan aku.”
Dada Sidanti menjadi berdebar-debar. Ia tidak pernah berhasil melupakan masa kecil yang baginya kini tinggal gambaran-gambaran dari sebuah mimpi yang menyenangkan. Sama sekali tidak pernah terbayang, bahwa kini, ia dan Pandan Wangi, akan berdiri berseberangan sebagai lawan. Dan ia sendiri telah meneriakkan, “Semua harus dimusnahkan!”
“Apakah yang akan terjadi atas Pandan Wangi nanti?” pertanyaan itu tidak pernah dapat terhapus dari hatinya. Hati seorang kakak, meskipun suatu kenyataan telah dihadapkan kepadanya, bahwa mereka ternyata tidak seayah.
Tetapi apakah yang dapat dilakukan selagi kedua belah pihak sudah berhadapan dengan menggenggam senjata-senjata telanjang di tangan? Apakah Pandan Wangi juga selalu dibimbangkan oleh hubungan keluarga di antara mereka.
“Persetan!” Sidanti mencoba untuk memperteguh hatinya apabila ia nanti berangkat ke peperangan. “Kalau aku dapat menghindar, aku akan menghindar. Aku akan mencari korban-korban lain. Terserahlah kepada keadaan, apakah Pandan Wangi dapat menyelamatkan dirinya atau tidak. Tetapi kalau aku harus berhadapan?” Sidanti menarik nafas dalam-dalam.
Sidanti terkejut ketika ia mendengar Argajaya bertanya dengan ragu-ragu, “Apakah yang kau renungkan?”
Sidanti menggelengkan kepalanya, “Tidak. Aku tidak sedang merenungkan apa-apa.”
Namun temyata Ki Tambak Wedi pun melihat keragu-raguan yang mewarnai wajah Sidanti. Sehingga orang tua itu langsung menebaknya, “Kau mengenangkan adikmu perempuan itu?”
Sidanti tidak menyahut.
“Sudah aku katakan. Semuanya harus dimusnahkan. Juga Pandan Wangi. Kalau ia dibiarkan hidup, ia akan menjadi benih yang baik untuk tumbuh kelak menjadi sebuah pohon berduri.”
Sidanti tidak mengucapkan sepatah kata pun.
“Bagimu, Sidanti, adik perempuanmu itu akan menjadi tawur, menjadi rabuk yang akan membuat Tanahmu ini menjadi tanah yang subur seperti yang kau harapkan.”
Sidanti masih tetap berdiam diri. Bahkan terbayang di rongga matanya perlakuan orang-orang liar yang ada di dalam pasukannya. Hampir saja Pandan Wangi menjadi korban mereka, seandainya Pandan Wangi bukan seorang yang memang cukup mampu membela dirinya.
Namun kenangan itu tiba-tiba telah mendorong Sidanti untuk berteriak, “Ya, Pandan Wangi juga harus dimusnahkan.”
Ki Tambak Wedi dan Argajaya tertegun sejenak melihat Sidanti tiba-tiba saja meneriakkan kata-kata itu. Terasa bahwa anak muda itu telah berjuang sekuat tenaga, sehingga ia terpaksa meledakkan dadanya yang serasa pepat.
Tetapi sebenarnya Sidanti telah benar-benar berkeputusan demikian. Agaknya hal itu akan menjadi lebih baik bagi adiknya. Kalau ia tertangkap hidup-hidup, maka kemungkinan yang paling pahit akan dapat terjadi. Apabila Pandan Wangi jatuh ke tangan-tangan serigala yang kelaparan itu, maka sudah terbayang di dalam kepalanya, bahwa ia harus bertindak. Mungkin ia terpaksa melakukan kekerasan, sehingga perkelahian tidak akan dapat dihindarinya lagi.
Sejenak kemudian pasukan Tambak Wedi itu pun telah siap untuk melakukan tugasnya. Untuk melawan lontaran-lontaran senjata jarak jauh, sebagian dari pasukan Ki Tambak Wedi itu diperlengkapi dengan perisai. Karena perisai-perisai yang terbuat dari kepingan baja tidak mencukupi, maka sebagian telah membuat perisai-perisai dari kayu. Tetapi perisai-perisai yang demikian, tidak kalah manfaatnya dari perisai-perisai besi. Bukan baja untuk melawan senjata-senjata jarak jauh, tetapi dalam perang beradu dada, perisai yang demikian pun dapat sangat berguna. Ujung senjata lawan yang tertancap pada perisai-perisai kayu, apabila perisai itu disentakkan, maka senjata lawan tersebut akan dapat terenggut.
Demikinlah, pada saatnya, ketika matahari telah tenggelam di balik perbukitan, serta malam telah mulai turun menyelubungi Tanah Perdikan Menoreh, maka mulailah pasukan Ki Tambak Wedi itu merayap ke luar dari padukuhan induk untuk menuju ke padukuhan Karang Sari, tempat pertahanan yang di susun dengan tergesa-gesa oleh pasukan pengawal Menoreh pada saat mereka meninggalkan padukuhan induk. Namun adalah suatu keuntungan, bahwa padukuhan itu dilingkari oleh rumpun-rum pun pring ori yang rapat, sehingga merupakan benteng yang sangat bermanfaat bagi pertahanan mereka.
Ki Tambak Wedi yang memegang langsung pimpinan pasukan itu, berjalan di paling depan bersama Sidanti dan Argajaya. Kemudian di belakang mereka berjalan Ki Peda Sura yang telah sembuh dari luka-lukanya, bersama Ki Wasi dan Ki Muni.
Setiap dada dari mereka yang berada dalam barisan itu serasa bergejolak semakin keras. Namun hampir setiap orang memastikan, bahwa mereka akan dapat memecah pertahanan Ki Argapati. Menurut perhitungan mereka, kekuatan Ki Argapati sangat terbatas. Meskipun mungkin mereka mempunyai jumlah orang yang seimbang, namun tidak ada orang lain yang dapat di percaya oleh Ki Argapati selain Pandan Wangi seorang diri. Apalagi Ki Argapati pasti belum sembuh benar dari luka-lukanya.
Meskipun perhitungan Ki Muni meleset, dan ternyata Ki Argapati tidak mati, tetapi dalam keadaannya, maka Ki Argapati tidak akan dapat lagi berada dalam puncak kemampuannya. Sehingga bagaimana pun juga, maka untuk melawan Ki Tambak Wedi, agaknya tidak mungkin lagi dapat dilakukan. Kalau ia dapat bertahan untuk beberapa lama, namun pada saatnya ia pasti akan kehabisan tenaga. Dan saat terakhir dari Kepala Tanah Perdikan itu pun akan segera datang.
Di perjalanan Ki Tambak Wedi masih sempat memberikan beberapa petunjuk kepada Sidanti dan Argajaya. Bahkan juga kepada Ki Peda Sura, Ki Wasi dan Ki Muni. Menurut penilaian Ki Tambak Wedi, maka para pengawal tanah perdikan akan mengambil cara seperti yang pernah dilakukannya. Mereka akan membentuk kelompok-kelompok kecil dari mereka yang terpilih untuk melawan para pemimpin pasukan lawan. Kalau mereka tidak mempunyai orang-orang yang mampu dihadapkan seorang lawan seorang, maka kelompok-kelompok itulah yang akan mereka pasang, untuk melawan pimpinan lawan. Untuk menghadapi kelompok-kelompok itulah maka setiap pemimpin pasukannya pun harus membuat kelompok-kelompok yang serupa. Sehingga pada saatnya orang-orang yang diperlukan dapat berdiri bebas dan dapat melakukan apa saja yang penting bagi mereka. Dalam hal ini, mencari korban sebanyak-banyaknya, karena mereka telah bertekad untuk menghancurkan dan memusnahkan lawan mereka tanpa seorang pun yang akan mendapat perlakuan khusus.
Mereka yang mendapat petunjuk itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Terbayang di kepala mereka, apa yang dapat mereka lakukan. Sebentar lagi senjata-senjata mereka akan menari-nari dalam bujana yang menggairahkan. Dan mereka telah mulai menghitung-hitung korban yang akan dapat mereka binasakan.
Semakin dekat iring-iringan itu menjadi semakin bernafsu. Bahkan ada di antara mereka yang seolah-olah tidak dapat menahan diri lagi. Sambil meraba-raba hulu senjatanya seseorang berdesis, “Kenapa kita berjalan terlampau lamban.”
Kawan yang berjalan di sampingnya berpaling. Tetapi ia tidak menjawab.
“Kenapa?” orang yang pertama mendesak. Tetapi orang yang kedua masih tetap berdiam diri.
“Aku sudah tidak sabar lagi untuk menumpas orang-orang bodoh yang tidak tahu diri itu,” geram orang yang pertama.
Orang yang kedua menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan nada yang dalam ia berkata, “Apakah kau mau menolongku?”
“Kenapa? Apakah kau dalam kesulitan?”
“Tidak. Tetapi aku ingin minta kau diam. Hanya itu.”
Orang yang pertama mengerutkan keningnya. Wajahnya menjadi merah sesaat. Namun kemudian ia bergeramang tidak menentu.
Keduanya kemudian diam. Tetapi sebenarnyalah bahwa orang yang kedua sedang dirisaukan oleh keadaan yang bakal dihadapinya. Seperti Sidanti, ia mempunyai seorang saudara, bahkan seayah dan seibu yang berada di dalam lingkungan pasukan pengawal tanah perdikan yang setia kepada Argapati.
“Kakang memang orang bodoh,” ia berdesis di dalam hatinya, “ia tidak mau mendengar nasehatku. Sekarang ia menghadapi kehancuran. Hem,” orang itu menggigit bibirnya. “Sepeninggal ayah, aku seolah-olah telah menjadi bebannya. Ia mengurus aku lebih dari ayah semasa hidupnya. Sekarang aku akan berdiri berhadapan.”
Orang itu menundukkan kepalanya. Tetapi bukan hanya orang itu saja. Bukan hanya Sidanti, Argajaya yang akan berhadapan dengan kakak kandungnya sendiri, tetapi banyak di antara mereka yang akan mengalami keadaan serupa. Namun sebanyak-banyak jumlah orang, ada di antara yang justru menjadi bangga. Dengan menepuk dada ia berkata, “Aku akan menghunjamkan pedangku ini di dada ayahku sendiri karena ayah telah mengkhianati cita-cita rakyat Tanah Perdikan Menoreh. Sidanti sendiri telah berperang melawan ayahnya. Kenapa aku tidak sanggup?” Kemudian ia tertawa sambil memilin janggutnya. Kalau sekilas hati nuraninya tersentuh oleh bayangan ibunya, keluarganya, saudara-saudaranya, maka ia berusaha untuk menindasnya dengan kejam. Ternyata dirinya sendirilah yang pertama-pertama mengalami perlakuan yang paling kejam daripadanya. Ditumpasnya setiap percikan perasaan yang kembang dari hati nurani itu. Tanpa belas kasian.
Semakin lama maka iring-iringan itu menjadi semakin dekat dan semakin dekat. Iring-iringan yang dinafasi oleh kebencian. Kalau setiap orang menunduk dengan haru di dalam iring-iringan pengantar mayat ke kubur, maka setiap orang di dalam iring-iringan ini justru menengadahkan wajah-wajah mereka sambil menggeretakkan gigi, mencari mayat-mayat yang akan mereka bawa ke kubur.
Berbeda dengan hari-hari yang lewat, pasukan Ki Tambak Wedi kali ini justru tidak membawa sebuah obor pun. Mereka berjalan di dalam gelapnya malam, menyusur jalan yang berdebu menuju ke pertahanan pasukan Argapati.
Sementara itu para pengawal di pusat pertahanan pasukan Argapati pun telah siap menyambut kedatangan lawan mereka. Apalagi ketika mereka melihat di kejauhan beberapa pucuk panah api melontar ke udara. Ternyata para petugas sandi yang telah di tempatkan dan bersembunyi di beberapa tempat telah melihat kedatangan pasukan Ki Tambak Wedi.
Pertahanan Argapati pun menjadi sibuk. Samekta telah mengatur setiap kelompok pasukan di tempat yang sebaik-baiknya. Mereka harus dapat menanggapi keadaan yang bagaimana pun juga.
Argapati sendiri masih duduk bersama puterinya. Ia masih memberi beberapa petunjuk kepada gadis itu. Dalam tingkat ilmunya, sebenarnya Pandan Wangi sudah berada pada tataran tertinggi. Namun ia masih memerlukan pengalaman dan penghayatan yang cukup, agar ilmunya dapat dicernakannya di dalam dirinya, kemudian mengalir seperti air dari sumbernya.
“Seperti yang telah kita setujui bersama, Pandan Wangi,” berkata Ayahnya, “kali ini kau harus membantu aku menghadapi Ki Tambak Wedi. Sebenarnya aku sendiri sudah bersiap untuk melawannya meskipun lukaku belum sembuh benar. Tetapi keadaanku telah cukup baik. Obat yang diberikannya kepadaku itu benar-benar bekerja di luar dugaan. Namun keadaanku masih meragukan. Beberapa orang menasehatkan agar aku tidak menghadapinya sendiri. Maka kaulah yang aku pilih untuk bertempur bersamaku.”
Pandan Wangi tidak menyahut. Tetapi kepalanya tertunduk dalam-dalam.
“Ilmumu adalah ilmu yang kau terima daripadaku. Kau akan melihat pancaran ilmu itu dan mudah-mudahan kau segera dapat menyesuaikan dirimu. Namun hati-hatilah. Yang kita lawan bersama-sama adalah Ki Tambak Wedi. Iblis yang tiada taranya di dunia ini.”
Pandan Wangi menganggukkan kepalanya.
“Baiklah. Persiapkan dirimu lahir dan batin. Agaknya kita akan segera mulai.”
Dalam pada itu, Samekta pun telah melaporkan, bahwa para petugas telah melihat kedatangan pasukan, Ki Tambak Wedi. Tanda-tanda telah mereka berikan.
“Apakah kau yakin bahwa mereka akan benar-benar menyerang, atau hanya sekedar menakut-nakuti seperti biasanya?” bertanya Ki Argapati.
Samekta menggelengkan kepalanya, “Kami di sini belum tahu, Ki Gede. Tetapi kami sudah siap menghadapi segala kemungkinan.”
“Baiklah. Kau harus memberikan laporan setiap ada perkembangan baru.”
“Ya, Ki Gede. Wrahasta selalu berada di atas pelanggrangan di samping regol.”
“Kerti?”
“Ia berada di antara para pengawal regol itu. Sepasukan kecil di tempat pengungsian kali ini dipimpin oleh orang lain.”
“Tempatkan diri masing-masing dalam keadaan yang baik, di tempat-tempat seperti yang telah kita bicarakan.”
“Baik, Ki Gede.”
Sepeninggal Samekta, Ki Gede pun segera membenahi pakaiannya. Sebuah bayangan yang kelam melintas di kepalanya. Hari depan Tanah ini.
Tanpa sesadarnya Ki Gede berdesah. “Kenapa tanah perdikan yang dibinanya ini harus mengalami benturan di antara kadang sendiri, sehingga mengguncang seluruh tata kehidupan yang ada di dalamnya?”
“Aku tidak dapat selalu menyalahkan orang lain,” berkata Ki Gede itu di dalam hatinya, “kalau aku mampu mengikat setiap hati dari rakyat Menoreh, betapa pun mereka dibujuk dan dihasut, mereka tidak akan berpihak kepada orang lain. Tetapi ternyata bahwa sebagian dari rakyat Menoreh tidak dapat bertahan di tempatnya. Mereka telah berpaling kepada janji-janji yang diberikan oleh orang lain. Dan itu pertanda, bahwa perbawa dan pengaruhku sebagai pengikat Tanah ini masih jauh daripada sempurna.”
Sekilas Pandan Wangi menatap wajah ayahnya yang suram, ia tahu bahwa ayahnya sedang diliputi oleh kabut penyesalan. Karena itu, Pandan Wangi tidak mengganggunya. Bahkan ia sendiri dengan bersusah payah, sedang berusaha mengatasi gejolak di dalam dadanya. “Apakah pada suatu saat aku akan berhadapan dengan Kakang Sidanti? Atau dengan Paman Argajaya?”
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi menurut ketentuan, yang telah disetujui bersama, ia tidak akan berhadapan dengan keduanya. Ia harus mendampingi ayahnya melawan Ki Tambak Wedi.
Dada Pandan Wangi menjadi berdebar-debar. Ia mengerti benar, siapakah Ki Tambak Wedi. Dan sebentar lagi ia harus bertempur melawannya, meskipun di samping ayahnya.
Sekali-kali dipandanginya kedua orang yang duduk diam sambil menimang cambuk. Yang seorang kadang-kadang tersenyum-senyum sendiri, sedang yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya. Agaknya mereka sedang merenungi jenis senjata yang berada di tangan mereka.
“Apakah Ki Hanggapati dan Ki Dipasanga dapat memenuhi harapan kita bersama?” pertanyaan itu selalu mengganggu perasaan Pandan Wangi. “Tetapi keduanya adalah prajurit-prajurit Pajang. Mudah-mudahan mereka dapat menempatkan dirinya. Tetapi lawan yang dihadapinya kali ini adalah orang-orang yang tangguh.”
Dalam pada itu, di pategalan tidak terlampau jauh dari padukuhan itu, sepasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang lain sedang menunggu pula perkembangan keadaan. Mereka pun telah melihat tanda yang melontar di udara. Dan mereka pun hampir menjadi yakin, bahwa malam ini mereka harus bertempur mati-matian.
Di antara mereka, gembala tua dan kedua anak-anaknya duduk sambil berbicara tentang berbagai kemungkinan bersama para pemimpin kelompok pasukan Menoreh. Namun mereka menjadi tercengang-cengang ketika gembala tua itu mengambil sesuatu dari kantongnya kemudian melekatkannya di bawah hidungnya.
“He. Apakah itu, Kiai?” bertanya seseorang. “Apakah kumis Kiai sendiri tidak dapat tumbuh?”
Gembala itu tersenyum. Jawabnya, “Aku mengharap dengan kumis setebal ini, aku menjadi lebih garang, sehingga apabila aku bertemu dengan lawanku nanti, sebelum aku mulai bertempur mereka telah lari terbirit-birit.
Betapa dada mereka dicengkam oleh ketegangan, namun beberapa di antara mereka sempat juga tertawa berkepanjangan. Salah seorang dari mereka berkata, “Begitu mudahnya, Kiai? Bagaimana kalau kita semua memakai kumis palsu sebesar itu? Apakah musuh kita nanti akan segera menarik diri sebelum bertempur?”
Kawan-kawannya serentak tertawa pula. Gembala tua itu pun tertawa.
“Apakah akan kita coba?” bertanya gembala itu. Mereka pun tertawa semakin keras, sementara orang tua itu telah melekatkan kumisnya dengan perekat yang dibawanya di dalam kantong ikat pinggangnya.
“Apakah kumis itu nanti tidak akan rontok?” bertanya yang lain. “Kalau terjadi demikian, maka musuh yang telah lari itu akan segera datang kembali.”
Gembala tua itu masih saja tertawa. Jawabnya, “Perekatku adalah sebangsa getah yang sangat baik. Kalau tidak dihapus dengan minyak aku kira sampai tiga hari masih akan melekat juga.” Orang tua itu berhenti sejenak. Lalu, “Siapakah yang akan mencoba?”
“Ah, lebih baik tidak,” jawab yang lain lagi. “Kalau kawan-kawanku tidak mengenal aku lagi, maka jangan-angan leherku akan dicekiknya sendiri.”
Gembala tua itu tertawa. Kemudian diberikannya sepasang jambang kepada Gupala, “Kau pakai jambang ini. Wajahmu terlampau kekanak-kanakan. Dengan jambang ini, kau bertambah dewasa dan mempunyai kesan seorang pengawal.”
Gupala tidak menyahut. Diterimanya saja sepasang jambang itu. Kemudian dilekatkannya di kedua pipinya.
“Kau mirip seorang pemimpin perompak,” desis Gupita.
Gupala mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia pun tertawa. Katanya, “Apakah yang harus dipakai oleh Kakang Gupita, supaya wajahnya tidak sesayu itu.”
“Janggut. Kau pakai janggut bercabang ini. Kesannya akan sangat menakutkan?”
Gupita mengangguk-angguk. Meskipun ia tidak begitu senang, tetapi dipakainya juga janggut itu. Ia mengerti benar maksud gurunya. Kenapa mereka harus memakai bermacam-macam samaran itu. Dalam hiruk-pikuk pertempuran, maka samaran yang sepintas sudah akan mengaburkan bentuknya yang sebenarnya.
Orang-orang yang melihat mereka bertiga itu pun tidak dapat menahan tertawa mereka. Bahkan salah seorang berkata, “Apakah kalian tidak yakin kepada kemampuan kalian sendiri, sehingga kalian memerlukan segala macam permainan itu? Kenapa kalian tidak memakai topeng raksasa atau topeng jin sama sekali?”
Ketiganya tersenyum. Tetapi mereka tidak menyahut. Mereka asyik membetulkan letak samaran di wajah-wajah mereka.
“Nah,” berkata gembala tua itu, “sekarang aku adalah seorang yang pasti akan menggetarkan lawan-lawanku.” Lalu kepada kedua anak-anaknya ia berkata, “Kalian pun kini menjadi semakin meyakinkan untuk turun di medan peperangan.”
Gupala dan Gupita tersenyum, betapa kecut senyumnya.
Mereka harus menyesuaikan dari dengan sifat gurunya, sehingga karena itu, maka mereka pun tidak dapat berbuat lain daripada mengotori wajah-wajah mereka dengan sebangsa ijuk yang lembut itu, dan membiarkan orang yang melihatnya tertawa berkepanjangan.
Namun suara tertawa mereka itu pun segera terputus ketika pengawas yang ada di luar pategalan berkata lantang, “He. Lihat. Panah api tiga kali berturut-turut. Pengawas terakhir di depan pertahanan kita telah melihat pasukan lawan. Agaknya pasukan Ki Tambak Wedi sudah dekat.”
Gembala tua itu segera berdiri dan berjalan ke luar pategalan. Tetapi ia sudah tidak melihat panah api tiga kali berturut-turut itu.
“Kali ini agaknya Ki Tambak Wedi mempergunakan gelar yang lain dari yang dipakainya sehari-hari,” gumam gembala tua itu. “Kali ini mereka sama sekali tidak membawa obor.”
Gupita dan Gupala yang berdiri di sampingnya mengangguk-anggukkan kepala mereka. “Ya,” hampir bersamaan keduanya menyahut.
“Kalau begitu kita harus segera bersiap. Mungkin kita harus segera berbuat sesuatu.”
Pemimpin pasukan kecil itu pun segera mempersiapkan diri mereka. Agaknya pasukan Ki Tambak Wedi telah menjadi semakin dekat. Setiap saat akan dilihatnya tanda-tanda dari padukuhan itu, bahwa mereka harus mulai bergerak.
Gupala dan Gupita pun telah mempersiapkan diri mereka. Tetapi kali ini mereka tidak bersenjata cambuk, meskipun cambuknya tidak lepas dari lambungnya. Namun di peperangan nanti mereka harus bersenjata pedang.
“Sudah agak lama aku tidak berpedang lagi,” desis Gupala sambil menimang-nimang pedangnya. “Apalagi pedang ini terlampau kecil.”
“Tidak, bukan pedang itu yang terlampau kecil. Tetapi pedangmu yang bertangkai gading itulah yang bukan pedang biasa.”
Gupala mengerutkan keningnya. Ia lalu menarik pedangnya, dan mempermainkan sejenak. Diputar-putarnya pedang di tangannya sambil berdesis, “Mudah-mudahan aku masih mampu menggerakkan pedang.” Tetapi kemudian ia pun tersenyum ketika ia melihat gurunya mengawasinya.
“Tanganku menjadi kaku,” desisnya.
“Hanya sebentar. Nanti akan segera biasa kembali setelah kau menggerakkannya beberapa lama,” jawab gurunya.
“Asal saat yang sebentar itu bukan berarti kesempatan bagi lawan untuk membelah dada ini,” desis Gupala.
Gurunya mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Tanpa senjata pun kau harus siap maju ke medan perang.”
Gupala menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menyahut lagi. Dilontarkannya pandangan matanya ke dalam gelapnya malam. Sambil menyarungkan pedangnya ia berdesis, “Di sana nanti akan meloncat panah-panah api yang akan memberikan tanda-tanda kepada kita.”
Gurunya pun kemudian memandang ke dalam kegelapan itu pula. Namun sejenak kemudian ia melangkah masuk lagi ke dalam pategalan. “Aku akan menunggu sambil duduk. Waktu yang kita nantikan tidak terbatas. Mungkin sampai tengah malam Ki Tambak Wedi baru mulai bergerak, bahkan mungkin tidak sama sekali.”
Gupita dan Gupala pun mengikutinya pula. Sejenak Gupita masih menggerakkan pedangnya, namun sejenak kemudian pedang itu disarungkannya pula.
Tanda yang terakhir itu ternyata telah dilihat pula oleh Wrahasta di atas pelanggerangan di samping regol darurat. Karena itu, maka setiap orang di dalam lingkungan pertahanannya harus segera mempersiapkan dirinya. Semua peralatan telah diperiksa, dan semua dada telah menjadi berdebar-debar.
Ki Argapati yang telah mendengar laporan tentang tanda itu pun menjadi berdebar-debar pula. Sekali-sekali dipandanginya wajah puterinya yang menunduk, kemudian wajah-wajah pemimpin-pemimpin pasukannya. Akhirnya, ditatapnya kedua wajah orang-orang baru yang tenang dan meyakinkan. Hanggapati dan Dipasanga. Meskipun kemampuan orang-orang itu masih belum dapat dipercaya sepenuhnya, namun kehadirannya telah memperingan tugasnya. Dan ia berterima kasih kepada Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar, yang telah mengirimnya kemari.
Samekta pun kemudian telah berada di depan regol pula. Dipandanginya kegelapan malam yang terhampar di hadapannya. Tetapi ia tidak melihat sesuatu. Ternyata Ki Tambak Wedi benar-benar ingin merayap mendekati pertahanan itu tanpa diketahui oleh lawan-lawannya. Karena itu, maka Samekta pun segera memerintahkan untuk memadamkan semua obor dan lampu di sekitar regol. Dengan demikian, maka keadaan akan menjadi seimbang. Ki Tambak Wedi juga tidak akan segera dapat melihat pertahanannya dengan jelas, bahkan mereka pun harus memperhatikan arah dengan baik untuk dapat mencapai pintu regol dengan tepat.
Namun betapa pun gelapnya, mata yang tajam masih juga dapat melihat bayangan-bayangan yang bergerak di tempat terbuka. Tetapi jarak jangkaunya menjadi sangat terbatas. Demikian juga Samekta, Wrahasta dan juga Ki Tambak Wedi sendiri. Tetapi sebagai seorang yang memiliki banyak kelebihan dari orang lain, meskipun lampu-lampu di regol padukuhan itu dipadamkan, namun Ki Tambak Wedi tidak kehilangan arah.
“Kita langsung pergi ke depan regol itu,” perintahnya. Pasukannya pun merayap semakin dekat. Meskipun mereka tidak kehilangan arah, namun Ki Tambak Wedi mengumpat pula, “Licik. Mereka sama sekali tidak memasang lampu sehingga kami tidak mempunyai ancar-ancar sama sekali.”
Argajaya yang dekat di sampingnya, tidak menjawab. Tetapi ia berkata di dalam hatinya, “Mereka pun mengharap kita membawa obor sebanyak-banyaknya, supaya mereka dapat membidik setiap dahi dengan tepat.”
Pasukan Ki Tambak Wedi itu semakin lama menjadi semakin dekat. Namun betapa pun juga mereka merayap dengan hati-hati, tetapi akhirnya batang ilalang yang bergerak-gerak itu dapat juga dilihat oleh Wrahasta dan Samekta.
Samekta terkejut, ketika tiba-tiba saja pasukan Tambak Wedi itu telah berada beberapa puluh langkah daripadanya. Karena itu, maka dengan tergesa-gesa ia segera masuk ke dalam regol dan menutupnya kuat-kuat.
Sejenak kemudian telah tersebar kepada setiap pemimpin kelompok Pasukan Pengawal Tanah Perdikan Menoreh bahwa musuh telah berada di depan hidung mereka. Karena itu, maka semua orang telah bersiap di tempatnya masing-masing dengan kelengkapan masing-masing pula.
“Awasi mereka Wrahasta,” berkata Samekta kepada Wrahasta yang masih berada di tempatnya. “Aku akan menemui Ki Gede.”
“Baik,” jawab Wrahasta, “aku akan memberitahukan apabila ada perkembangan yang cepat.”
Samekta kemudian pergi sendiri menemui Ki Gede Menoreh, dan melaporkan apa yang dilihatnya. Meskipun tidak begitu jelas, tetapi agaknya Ki Tambak Wedi telah benar-benar mengerahkan segala kekuatan yang ada padanya. Pasukan segelar sepapan kini telah berada di hadapan regol induk.
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini benar akan terjadi benturan di antara mereka. Siapa pun yang akan menang, maka artinya tidak akan jauh berbeda. Kekuatan Menoreh akan jauh menjadi susut. Meskipun demikian Ki Argapati tidak dapat melepaskan kekuasaannya begitu saja, justru untuk kepentingan hari depan Tanah Perdikan ini.
“Apakah akan jadinya apabila Tanah ini dikemudikan oleh orang-orang seperti Ki Tambak Wedi itu?” katanya di dalam hati. Dan justru karena itulah maka ia bertahan mati-matian. Bukan untuk kepentingan pribadinya, tetapi untuk tanah perdikan ini sendiri.
Ki Argapati pun kemudian mempersiapkan dirinya. Diperiksanya sekali lagi kain pembalut lukanya yang dipasang oleh gembala tua itu. Kemudian obat yang diberikannya, untuk mengatasi keadaan yang parah meskipun hanya berlaku untuk sementara.
“Rasa-rasanya aku sudah sembuh benar-benar,” desisnya.
“Tetapi Ayah masih belum sembuh dan belum pulih seperti sediakala,” Pandan Wangi memperingatkan.
“Karena itulah aku masih mempergunakan pembalut ini, dan aku masih selalu membawa obat yang diberikan orang tua itu. Tetapi aku merasa bahwa aku sudah siap mengatasi segala keadaan.” Kemudian kepada Samekta ia berkata, “Marilah, aku akan melihat pasukan Tambak Wedi.”
Ki Argapati pun kemudian mempersilahkan Ki Hanggapati dan Ki Dipasanga, bersama mereka ke regol padukuhan itu untuk menyongsong lawan yang sebentar lagi akan datang.
Hanggapati dan Dipasanga pun kemudian mengikutinya. Namun di halaman Hanggapati berbisik, “Aneh-aneh saja orang tua yang menyebut dirinya gembala itu. Kenapa aku harus bertempur dengan senjata semacam ini? Aku tidak biasa mempergunakan senjata lentur, meskipun aku diwajibkan dapat mempergunakan segala macam senjata.”
Dipasanga tersenyum. Sambil menimang cambuknya ia berkata, “Apabila terpaksa, apa boleh buat. Cambuk ini akan aku letakkan, dan aku akan bertempur dengan pedangku ini.”
Hanggapati pun tersenyum pula. “Ya, itu adalah cara yang paling baik. Bukankah maksud gembala tua itu hanya sekedar menarik perhatian, bahwa ternyata yang memegang cambuk kali ini orang lain? Karena gembala tua itu sendiri justru bersenjata bentuk lain.”
Dipasanga mengangguk-anggukkan kepalanya. “Orang tua itu memang orang yang aneh. Seperti kata Angger Sutawijaya, ia senang mempergunakan seribu nama dan seribu keadaan.”
Hanggapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak berbicara lagi. Mereka kini telah berada beberapa langkah dari regol induk. Ternyata pasukan pengawal Menoreh telah benar-benar siap menghadapi setiap kemungkinan.
Mereka bukan saja menyediakan segala macam senjata, tetapi mereka juga menyediakan air dan pasir. Tidak mustahil bahwa orang-orang Ki Tambak Wedi akan mempergunakan panah-panah api untuk berusaha membakar pertahanan pasukan pengawal.
Namun Pasukan Pengawal Menoreh itu pun telah menyediakan panah-panah api pula yang akan mereka sebarkan ke barisan lawan, apabila mereka telah sampai pada batas yang telah ditentukan. Ternyata di hadapan regol, pasukan Menoreh telah menebarkan jerami-jerami kering dan bumbung-bumbung minyak yang akan segera tumpah apabila disentuh kaki.
.........bersambung ke Jilid 43
Tidak ada komentar:
Posting Komentar