API di BUKIT MENOREH
Karya S.H Mintardja
KIAI GRINGSING termenung sejenak. Namun kemudian ia menjawab, “Terima kasih, Tuan.”
Maka Kiai Gringsing yang dikenal bernama Truna Podang itu pun meninggalkan gardu pengawas itu bersama kedua muridnya. Ketika mereka sudah berada beberapa langkah dari gardu, Kiai Gringsing pun bergumam, “Sayang. Ketika hantu-hantu itu lewat kita berada di dalam gardu pengawas.”
“Sebenarnya aku masih sempat meloncat,” sahut Swandaru.
“Berbahaya.”
“Tetapi, apakah Guru percaya bahwa hantu-hantu itu dapat mengalahkan manusia.”
“Bukan. Bukan hantu-hantu itu yang aku maksudkan, meskipun barangkali mereka berbahaya juga. Tetapi yang aku maksudkan adalah para pengawas itu. Mereka akan menganggap kita sombong dan ………. Sehingga mereka tidak akan senang lagi kepada kita. Bahkan mungkin kita akan mereka usir dari daerah ini. Apalagi seandainya terjadi bencana oleh sebab apa pun. Mereka pasti akan segera menuduh kita, bahwa kita telah membuat hantu-hantu itu menjadi marah.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mengerti maksud gurunya. Para petugas itu tidak kalah berbahaya bagi mereka, apabila mereka tidak mau tunduk pada perintahnya.
“Lalu sekarang?” tiba-tiba Agung Sedayu bertanya.
Kiai Gringsing termenung sejenak. Dan Swandaru menyahut, “Apakah maksud Guru, kita mencoba mencari hantu-hantu itu.”
“Mereka telah pergi.”
“Kita kehilangan kesempatan.”
“Tetapi kesempatan yang bakal datang masih cukup banyak.”
“Apakah hantu-hantu itu setiap malam datang kemari?” bertanya Agung Sedayu.
“Menurut pembicaraan orang-orang yang terdahulu tinggal di sini tidak setiap malam. Hanya kadang-kadang saja.”
“Pada suatu saat Raden Sutawijaya pasti akan datang kemari.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya, “Kalau laporan itu kelak sampai pada Mas Ngabehi Loring Pasar, ia pasti akan datang kemari. Ia ingin sekali pada suatu saat bertemu dengan hantu-hantu itu. Ia selalu membawa pusakanya, tombak Kiai Pasir Sawukir. Bahkan mungkin ia membawa pula keris Kiai Naga Kemala.”
Kedua murid-muridnya menganggukkan kepalanya. Dan tiba-tiba Swandaru bertanya, “Sekarang kita ke mana?”
“Kembali ke barak itu dan tidur.”
Swandaru dan Agung Sedayu tidak bertanya apa-apa lagi. Keduanya berjalan mengiringi gurunya sambil menundukkan kepalanya. Masih terngiang suara gemerincing di sela-sela derap kaki kuda.
Ketika Agung Sedayu teringat sesuatu, tiba-tiba ia bertanya, “Guru, kenapa kita dapat mendengar derap kaki-kaki kuda itu?”
“Kenapa?”
“Bukankah menurut ceritera orang, hantu-hantu itu tidak menyentuh tanah? Kalau kuda-kuda itu kuda hantu, maka kaki-kaki kuda itu pun tidak akan menyentuh tanah. Apalagi ada yang mengatakan, bahwa kuda yang dipakai oleh hantu-hantu itu adalah kuda semberani.”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Seperti bergumam kepada diri sendiri ia berkata, “Aku tidak tahu, manakah yang benar. Tetapi memang sebaiknya kita melihat, apakah hantu-hantu itu menyentuh tanah atau tidak.”
Agung Sedayu tidak bertanya lagi. Di hadapan mereka lampu minyak di serambi barak masih menyala. Di serambi itu nampak orang-orang yang tidur melingkar berkerudung kain menyelubungi seluruh tubuh mereka.
“Mereka agaknya ketakutan mendengar bunyi gemerincing itu,” desis Swandaru.
“Ya. Biarlah mereka menyembunyikan diri di balik selimut mereka. Mereka sangka, seandainya hantu-hantu itu ingin berbuat sesuatu, maka mereka yang berkerudung selimut itu tidak dapat terlihat lagi oleh hantu-hantu itu,” desis Agung Sedayu.
Kiai Gringsing tidak menyahut. Hanya kepalanya sajalah yang terangguk lemah.
Ketika mereka kemudian menginjakkan kakinya di lantai serambi barak yang panjang itu, Kiai Gringsing dan kedua murid-muridnya mendengar nafas mereka yang sedang berkerudung selimut itu tersengal-sengal. Bahkan ada di antara mereka yang menjadi gemetar dan tidur berhimpit-himpitan.
Kiai Gringsing tidak mau mengganggu mereka atau bahkan mengejutkan mereka. Dengan hati-hati ia berjalan di antara orang-orang yang sedang menyembunyikan diri di bawah selimutnya, diikuti oleh kedua orang murid-muridnya.
Supaya orang-orang itu tidak menjadi bertambah ketakutan, maka Kiai Gringsing pun berkata kepada muridnya, “Tidurlah. Kalian pasti sudah mengantuk.”
Beberapa orang yang bersembunyi di bawah selimutnya itu pun mendengar pula suaranya. Sebagian dari mereka mengenal bahwa suara itu suara Truna Podang. Karena itu dengan herannya mereka mencoba mengintip orang tua itu dari sela-sela kerudungnya. Sebenarnyalah bahwa mereka melihat Truna Podang yang sejak malam mulai gelap, meninggalkan barak mereka
Salah seorang dari mereka memberanikan diri membuka kerudung di kepalanya. Perlahan-lahan ia menyapa, “Truna Podang?”
Kiai Gringsing berpaling. Dilihatnya seseorang mengangkat kepalanya memandanginya.
“Ya, aku Truna Podang.”
“Dari mana kalian?”
“Dari gardu pengawas.”
“He, apakah kalian pergi ke sana?”
“Ya.”
“Tetapi, apakah kalian tidak mendengar?”
“Mendengar apa?”
“Mendengar …., mendengar …,” orang itu tidak meneruskan kata-katanya.
“O,” Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya, “suara gemerincing dan derap kaki kuda itu?”
“Sst, jangan ribut.”
“Ya, kami mendengarnya ketika kami berada di gardu pengawas. Para pengawas pun mendengar pula.”
“Dan kalian tidak takut pulang kemari?”
“Suara itu sudah tidak terdengar lagi. Dan kuda-kuda yang gemerincing itu sudah pergi.” Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu, “Apakah kalian di sini juga mendengar?”
“Sudahlah, sudahlah,” tiba-tiba seseorang memotong dari balik selimutnya, “jangan bicarakan itu lagi. Kalau kalian mau tidur, tidurlah. Hari sudah larut malam. Besok kita akan bangun pagi-pagi dan segera bekerja kembali.”
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Kemudian bersama, kedua muridnya mereka pun melangkah ke sudut, tempat yang sudah disediakan untuk mereka bertiga, meskipun sebenarnya terlampau sempit.
“Hem, untuk aku sendiri saja tidak cukup,” gumam Swandaru.
“Perutmu terlampau besar. Tetapi apa-boleh buat. Tempat yang disediakan untuk kami hanyalah sejengkal ini.”
Tetapi Swandaru tidak menghiraukannya. Ia pun segera merebahkan dirinya.
Agung Sedayu dan gurunya memandang anak muda yang gemuk itu sejenak. Namun mereka pun tersenyum. Tempat itu benar-benar telah menjadi penuh.
“Kami berdua tidak mendapat tempat lagi,” gumam Agung Sedayu.
Swandaru pura-pura tidak mendengarnya. Bahkan ia pun kemudian memejamkan matanya.
Tetapi Agung Sedayu tidak mau duduk saja sambil menunggui Swandaru. Ia pun kemudian mendesak anak yang gemuk itu ambil berkata, “Minggir. Kalau tidak perutmu akan tergilas.”
“He, nanti dulu. Nanti dulu,” desis Swandaru.
“Nah, ingat. Jangan kau letakkan perutmu di sembarang tempat. Bagaimana kalau kau taruh saja perutmu di luar.”
“Uh, uh,” Swandaru bergeser dengan susah payah.
“Tetapi bagaimana dengan guru,” tiba-tiba Agung Sedayu bangkit dan bertanya kepada Kiai Gringsing.
Kiai Gringsing tersenyum, “Aku sudah biasa tidur sambil duduk. Apalagi aku mendapat sandaran tiang, sedangkan tanpa sandaran sama sekali, aku dapat juga tidur nyenyak.”
“Kalau Guru ingin berbaring, silahkanlah. Biarlah aku duduk bergantian, dengan Adi Swandaru.”
Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya, “Tidurlah. Aku juga akan tidur.”
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Dan gurunya mengulanginya, “Tidurlah.”
Akhirnya Agung Sedayu pun berbaring pula di samping Swandaru yang sudah tidur mendengkur.
Di hari berikutnya, pagi-pagi benar seisi barak itu pun sudah bangun. Sambil berbisik-bisik mereka mempercakapkan, apa yang mereka dengar semalam. Suara gemerincing dan derap kaki-kaki kuda.
“Ternyata mereka benar-benar ketakutan,” desis Swandaru.
“Ya. Suara itu memang aneh,” sahut Agung Sedayu. “Aku jadi benar-benar ingin melihat.”
“Tetapi kita harus berusaha menyingkir dari orang-orang yang ketakutan itu, supaya mereka tidak menyalahkan kita kalau terjadi sesuatu.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya, “Kita harus mencari akal.”
Mereka berhenti berbicara ketika orang yang tinggi kekar mendatanginya bersama orang yang kurus. Belum lagi mereka mengucapkan apa-apa, orang yang kekar itu sudah mendahului berkata sambil menegangkan lehernya, “Nah, sekarang kalian sudah mengalami sendiri. Bukankah semalam kalian mendengar suara itu? Coba sebutkan suara apakah itu.”
“Suara genta kecil-kecil yang banyak jumlahnya,” jawab Kiai Gringsing.
“Mirip suara genta, tetapi sama sekali bukan suara genta,” sahut orang itu. “Itulah yang telah menyebar ketakutan di antara kami di sini.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Beberapa orang lain pun kemudian ikut pula berkerumun dan berbicara mengenai suara yang mereka dengar itu.
“Apakah belum ada seorang pun yang melihat dengan pasti, bagaimana bentuk hantu-hantu itu?” bertanya Swandaru tiba-tiba.
“Ah, kau anak bengal,” orang yang kekar itu menjawab. “Mungkin kau perlu tahu, apa yang pernah dialami oleh Darpa Kancil. Hampir saja ia mati karena ia mencoba melihat hantu itu.”
Orang yang kurus, yang ternyata bernama Darpa Kancil itu menggeleng-gelengkan kepalanya. “Aku tidak berani menyebut-nyebutnya lagi.”
“Tetapi orang-orang baru ini perlu mengerti. Kasihan apabila mereka terdorong oleh kesombongannya, akhirnya akan menjadi korban seperti kau. Jangan ingkar, bahwa kau juga terlampau sombong waktu kau datang kemari.”
“Terserahlah kepadamu kalau kau mau menceriterakan. Tetapi aku tidak,” orang yang kurus itu telah benar-benar ketakutan.
Orang yang kekar itu berpikir sejenak. Dengan wajah yang tegang ia memandang berkeliling, seolah-olah ingin melihat apakah hantu-hantu itu ada di sekitarnya.
“Waktu itu,” ia berbisik, “suara itu datang. Ini, orang ini dengan sombongnya berkata, bahwa ia tidak takut kepada hantu-hantu. Dengan beraninya ia turun dari barak dan mengejar suara itu. Tetapi katanya, dan orangnya sekarang ada di sini, bahwa ia tidak dapat menemukan suara itu. Kadang-kadang suara itu ada di depan, tetapi kemudian suara itu seakan-akan mengikutinya di belakang. Tetapi orang yang kurus ini agaknya orang yang memang berani, sehingga ia masih juga berusaha mencari terus. Namun ia tidak menemukannya.” Orang yang kekar itu berhenti sejenak, lalu, “Tetapi apa yang terjadi di pagi harinya telah membuat barak itu gempar. Ia tiba-tiba saja kesurupan dan mengigau. Tubuhnya menjadi panas sekali seperti bara. Agaknya hantu yang dicarinya semalam itulah yang merasuk di dalam dirinya, ia mengancam semua orang yang sombong seperti orang yang kurus kering ini. Bahkan akan membunuhnya.” Sekali lagi ia berhenti. Kemudian suaranya menjadi semakin lirih, “Kami mencoba untuk mencegah kalian.”
“Ya. Hindarilah bencana itu. Kau orang baru di sini. Seperti beberapa orang yang terdahulu. Tetapi orang-orang yang merasa dirinya berani itulah yang akhirnya paling awal pergi.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya, “Terima kasih. Terima kasih atas nasehat kalian.”
“Ini orangnya masih hidup. Aku tidak berbohong. Maksudku bukan menakut-nakuti, tetapi sekedar menghindarkan kalian dari bencana, karena aku menganggap semua orang yang datang di tempat ini adalah saudara-saudara senasib.”
“Ya, ya. Aku mengerti maksudmu. Para petugas pun pernah mengatakannya. Tetapi kini aku bertemu langsung dengan orang yang mengalaminya.”
“Aku sudah minta maaf dengan syarat seperti yang dinasehatkan seorang dukun. Ayam putih mulus, nasi kuning, dan tuntut pisang,” berkata orang yang kurus kemudian.
Kiai Gringsing sekali lagi mengangguk-anggukkan kepalanya. Orang-orang di barak itu memang merasa selalu dibayangi oleh ketakutan. Sedang kedua muridnya mengerutkan keningnya sambil mempertimbangkan semua peristiwa yang didengarnya.
Tetapi belum lagi mereka meninggalkan tempat itu dan pergi ke kerja masing-masing sambil mengambil bekal rangsum mereka di gardu pengawas, mereka dikejutkan oleh seorang perempuan yang datang berlari-lari.
“Kakang, Kakang,” perempuan itu berteriak dengan cemasnya, dan langsung menemui orang yang kurus itu, “anak kita, anak kita.”
“Kenapa dengan anak kita?”
“Ia tiba-tiba saja jatuh pingsan.”
“Pingsan?” orang yang kurus itu menjadi gelisah.
“Ya. Pingsan tanpa sebab.”
“Apakah sekarang masih juga pingsan?”
Perempuan itu menggeleng, “Beberapa orang perempuan menolong kami. Anak itu, kini sudah sadar.”
“O, tetapi, tetapi, anak itu tidak apa-apa?”
“Aku tidak tahu, apa yang akan terjadi nanti.” Perempuan itu berhenti sejenak, lalu, “di dalam pingsannya anak itu mengigau.”
“He, mengigau? Apa katanya?”
“Ia hanya berbisik-bisik. Katanya ‘jangan ulangi, jangan ulangi’.”
“O,” orang yang kurus itu menarik nafas dalam-dalam, “mereka masih mengancam. Sekali aku bersalah, maka setiap kali aku selalu mendapat peringatan.”
“Tetapi, tengoklah anak itu sebelum kau berangkat kerja.”
Laki-laki kurus itu mengangguk-anggukkan kepalanya, “Baiklah. Aku akan menengoknya sebentar.”
Kedua suami isteri itu pun kemudian pergi meninggalkan mereka yang sedang berbincang. Kiai Gringsing dan kedua muridnya berdiri termangu-mangu. Sedang orang yang bertubuh kekar itu berkata, “Nah ini adalah suatu bukti. Ia terlampau sombong pada saat ia baru saja datang kemari.”
Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak, dan orang yang tinggi kekar itu berkata, “Marilah, kita mempersiapkan diri dengan alat-alat kita. Sebentar lagi kita akan berangkat.”
“Tetapi di manakah anak yang sakit itu?”
“Ia berada di barak khusus untuk perempuan dan anak-anak yang masih terlampau kecil. Perempuan yang tidak mempunyai anak-anak kecil menyediakan makan kita sehari-hari. Bukankah kau lihat mereda sedang memasak?”
“Maksudku anak-anak kecil itu. Aku ingin melihatnya,” sahut Kiai Gringsing. Sebagai seorang dukun timbullah niatnya untuk melihat jenis-jenis penyakit yang aneh itu.
“Tidak perlu. Anak itu sudah baik. Jangan menambah persoalan lagi. Hantu-hantu yang merasuk ke dalam tubuhnya telah pergi setelah mereka sekedar memberikan peringatan.”
Kiai Gringsing tidak dapat memaksa orang itu untuk mengantarkannya. Sebab dengan demikian, mungkin akan dapat timbul salah paham yang semakin dalam.
Sejenak kemudian maka orang-orang yang bersiap-siap untuk pergi ke daerah garapan masing-masing pun sudah siap. Mereka berjalan beriringan sambil menerima bekal rangsum mereka yang akan mereka bawa ke tempat kerja mereka. Menjelang tengah hari mereka akan berhenti bekerja dan makan rangsum itu.
Peristiwa-peristiwa yang terjadi berurutan itu memang telah mempengaruhi sikap Kiai Gringsing dan kedua muridnya. Bahkan Swandaru mulai berpikir, apakah hantu-hantu itu memang ada.
“Bagaimana pendapat Guru?”
Gurunya menggeleng-gelengkan kepalanya, “Aku belum dapat menemukan jawaban. Tetapi hantu-hantu itu memang telah mengganggu.”
“Tetapi menurut orang yang kurus itu, dengan ayam putih mulus dan kelengkapannya, persoalan hantu-hantu itu dapat segera diselesaikan. Bukankah Guru juga seorang dukun? Agaknya Guru dapat juga mencari jalan untuk berhubungan, dengan hantu-hantu itu dengan cara yang lain daripada hubungan wadag.”
Kiai Gringsing tersenyum. Jawabnya, “Aku memang seorang dukun, tetapi bukan dukun hantu-hantu. Aku dukun yang hanya dapat berusaha mengobati penyakit. Itu pun terbatas sekali, karena setiap persoalan, keputusan terakhir ada di tangan Yang Maha Kuasa.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Sedang Agung Sedayu bertanya, “Apakah masalah hantu itu pada suatu saat dapat menggoncang rencana Ki Gede Pemanahan?”
“Tentu. Kalau hantu-hantu itu telah tersebar di segala penjuru dari daerah yang baru dan sedang mengembangkan diri ini, dan setiap orang akhirnya dicengkam oleh ketakutan, maka akhirnya daerah ini akan menjadi sepi kembali. Tanah garapan yang sudah dibuka itu akan menjadi rimbun kembali oleh batang-batang ilalang yang liar, karena tidak lagi disentuh tangan.”
Kedua murid Kiai Gringsing itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Tanpa terasa mereka telah sampai ke tanah garapan mereka yang agak terpencil.
“Aku memerlukan busur,” desis Swandaru.
“Buat apa?”
“Aku sudah ketagihan daging rusa.”
“Ah kau,” desis Agung Sedayu sambil menyiapkan alat-alat mereka.
Sejenak kemudian mereka pun telah tenggelam di dalam kerja. Seperti di hari pertama mereka tidak menjumpai masalah-masalah yang aneh bagi mereka, selain suara burung kedasih yang tidak ada putus-putusnya.
“He, burung-burung itu agaknya tidak mau pergi dari tempat ini,” desis Swandaru.
“Begitulah suara burung kedasih. Ia tidak dapat berbunyi dengan nada yang lain. Tidak seperti kau. Kau dapat menyebut jenang alot, jadah ketan ireng, atau pondoh nasi gaga,” sahut Agung Sedayu.
Suara tertawa Swandaru meledak tanpa dapat dikendalikan. Namun tiba-tiba suara tertawanya itu pun terputus. Perlahan-lahan ia berdesis, “He, suara kedasih itu pun berhenti pula.”
Agung Sedayu dan gurunya pun kemudian memasang telinganya. Suara burung kedasih itu telah berhenti pula. Sehingga dengan demikian, hutan itu pun menjadi serasa sunyi sekali.
“Bukankah suara burung itu terhenti pula?” bertanya Swandaru.
Agung Sedayu menganggukkan kepalanya.
“Aneh.”
“Tidak aneh,” berkata Kiai Gringsing, “burung itu pun terkejut mendengar suara tertawamu.”
“Bukan karena burung itu berhenti berbunyi,” jawab Swandaru.
“Lalu, apakah yang aneh?”
“Burung kedasih biasanya berbunyi di malam hari. Tetapi hari ini, hampir sehari penuh, suara burung itu tidak henti-hentinya.
“Ya. Tetapi tidak selalu malam hari. Kadang-kadang di siang hari pun burung kedasih berbunyi pula seperti burung kedasih itu.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi masih nampak keheranan membayang di wajahnya, karena suara burung kedasih itu.
Demikianlah maka ketika menjelang senja hari, Kiai Gringsing dan kedua muridnya itu pun menyudahi kerjanya. Setelah mereka menyimpan alat-alat mereka di tempat yang kemarin, di bawah sebatang kayu yang besar, yang telah dirobohkan oleh orang-orang yang bekerja di tempat itu sebelum mereka, maka ketiganya pun kemudian meninggalkan tanah garapan itu.
Beberapa orang segera mendapatkannya dan bertanya, apakah yang dilihatnya dan dialaminya.
“Tidak ada apa-apa,” jawab Kiai Gringsing.
Tetapi Swandaru menambahkannya, “Hanya suara burung kedasih yang terus-menerus. Menjengkelkan sekali.”
“Hus, jangan berkata begitu.”
“Kenapa?” bertanya Swandaru.
“Jangan. Jangan berkata kurang sopan terhadap peristiwa-peristiwa yang aneh-aneh yang terjadi di sekitarmu,” desis seorang yang telah beruban di keningnya.
Swandaru menjadi heran. Tetapi kemudian ia pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Orang-orang di tempat itu percaya bahwa kadang-kadang hal-hal yang aneh itu dapat mendatangkan bencana.
Ketika kemudian malam tiba, Kiai Gringsing dan kedua muridnya tidak lagi pergi ke gardu pengawas. Disana mereka tidak akan mendapat kesempatan untuk melihat apabila mereka mendengar gemerincing genta dan suara derap kaki kuda.
“Kemana kita?” bertanya Agung Sedayu.
“Asal kita keluar,” jawab gurunya.
Ketika malam menjadi semakin malam, dan datang saatnya seperti kemarin malam ketika suara gemerincing itu mengitari barak. Kiai Gringsing itu berdesah, “Uh perutku sakit.”
Seseorang yang sudah berbaring di sampingnya bertanya, “Kenapa perutmu?”
“Sakit, aku akan pergi ke sungai.”
“He,” orang itu terkejut, “malam-malam begini?”
“Ya, perutku sakit tidak tertahankan lagi.”
“Kau berani pergi ke sungai?”
“Tidak. Tetapi biarlah kedua anak-anakku itu mengantarkan aku.”
“Bodoh sekali. Kau bodoh sekali. Kemarin malam. Di saat-saat seperti ini….. O, ngeri sekali,” orang itu tidak berani menyebutkan apa yang telah terjadi kemarin malam.
Tetapi Kiai Gringsing dan muridnya mengerti, bahwa yang dimaksudkan itu adalah suara gemerincing genta itu.
“Tetapi, bagaimana dengan perutku ini.”
Orang itu tiba-tiba mengerutkan keningnya, “Apakah kau mengalami sesuatu siang tadi?”
Kiai Gringsing menggeleng.
“Anakmu yang telah mengumpati burung kedasih itu. Burung itu memang sering terdengar berbunyi di siang hari.”
“O, tetapi kenapa perutku yang sakit? Aku tentu tidak akan dapat mengganggu kalian di sini dengan bau yang tidak sedap. Karena itu biarlah aku pergi ke sungai.”
“Jangan pergi.”
“Terpaksa sekali. Sebentar saja.”
Kiai Gringsing pun kemudian mengajak kedua anak-anaknya pergi. Beberapa orang telah berusaha mencegahnya.
Orang yang kurus itu bahkan menahan tangannya sambil berkata, “O, jangan kau lakukan. Jangan membuat dirimu menjadi korban kebodohanmu sendiri.”
“Tetapi bagaimana dengan isi perutku ini.”
Dan orang yang tinggi kekar berkata, “Kau bukan sanak dan bukan kadangku. Seharusnya aku pun tidak merasa kehilangan kalau kalian tidak akan dapat kembali lagi ke barak ini. Tetapi aku masih mencoba berbuat baik terhadapmu.”
“Terima kasih. Tetapi apakah kau dapat memberi jalan lain untuk menyelesaikan perutku ini.”
Orang yang tinggi kekar itu mengerutkan keningnya.
“O, aku sudah tidak kuat lagi. Apakah aku sudah dikutuknya? Sakit perutku tidak tertahankan lagi. Aduh….,” Kiai Gringsing menyeringai sambil memegangi perutnya, sedang orang-orang yang kemudian mengerumuninya menjadi saling berpandangan.
“Apa boleh buat,” berkata salah seorang dari mereka, “kita sudah berusaha mencegahnya. Tetapi ia tetap akan pergi.”
“Bukan maksudku untuk tidak mendengarkan nasehat kalian. Aku pun sebenarnya takut sekali pergi ke sungai itu. Tetapi apakah memang ada jalan lain?” Kiai Gringsing menghentak-hentakkan kakinya sambil berdesis.
“Apa boleh buat,” dan yang lain menyahut, “apa boleh buat.”
Kiai Gringsing kemudian diantar oleh Agung Sedayu dan Swandaru melangkah pergi. Orang tua itu masih sempat bertanya, “Siapakah yang mau menolong kami, mengawani kami pergi ke sungai?”
Tidak ada seorang pun yang menganggukkan kepalanya. Bahkan orang yang kurus itu berkata, “Kami tidak mau mati ketakutan.”
Beberapa orang melihat ketiga orang yang menghilang ke dalam gelap itu dengan hati yang berdebar-debar. Beberapa dari antara mereka menarik nafas sambil berdesah, “Mereka adalah orang-orang yang berani.”
Tetapi orang yang tinggi kekar berkata, “Mereka terlampau sombong. Kalau mereka sudah mengalami peristiwa seperti si kurus itu barulah mereka akan percaya.”
Kiai Gringsing dan kedua muridnya, setelah menghilang ke dalam gelap, segera berhenti. Dari balik pepohonan mereka masih dapat melihat lamat-lamat cahaya lampu-lampu minyak di serambi barak yang panjang.
“Kemana kita, Guru?” bertanya Agung Sedayu.
“Menunggu. Menunggu kuda semberani yang bergemerincing itu lewat.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi Swandaru-lah yang bertanya kemudian, “Kita menunggu di sini?”
“Ya,” jawab Kiai Gringsing.
“Kalau begitu aku harus mendapatkan sandaran duduk.”
“Kenapa?” bertanya Agung Sedayu.
“Aku akan tidur.”
“Ah, kau,” desah Agung Sedayu. Tetapi Swandaru tidak menghiraukannya. Beberapa langkah ia beringsut, kemudian bersandar pada sebatang pohon lamtara yang hanya sebesar lengan. Kiai Gringsing dan Agung Sedayu pun kemudian duduk pula. Mereka menunggu suara gemerincing dan telapak kaki kuda itu lewat. Dengan dada yang berdebar-debar mereka duduk tanpa berbicara apa pun lagi.
Tetapi suara gemerincing itu tidak kunjung datang. Waktu yang mereka pergunakan untuk menunggu sudah jauh lebih panjang dari waktu yang wajar bagi orang yang pergi ke sungai. Namun kuda itu tidak lewat juga.
Swandaru menjadi tidak sabar lagi. Sambil terkantuk-kantuk ia bergumam, “Lebih baik kita yang mencari.”
“Kemana?” bertanya Agung Sedayu.
Swandaru tidak menjawab. Tetapi ia sibuk menggaruk-garuk kakinya yang digigit nyamuk.
“Marilah kita kembali,” desis Kiai Gringsing, “kita tidak berhasil lagi malam ini.”
“Apakah hantu-hantu itu mengetahui bahwa kita sedang menunggu mereka di sini?” bertanya Swandaru kemudian.
Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya, “Aku tidak tahu.”
Ketiganya pun kemudian kembali ke barak mereka. Ketika Kiai Gringsing mendehem, hampir bersamaan beberapa orang menarik selimut yang mereka selubungkan ke kepala.
“Kau Truna?” bertanya seseorang.
“Uh, kau pergi terlampau lama. Kami sudah cemas, jangan-jangan kau tidak akan kembali lagi kemari.”
“Jalan ke sungai itu gelap sekali,” jawab Kiai Gringsing.
Orang-orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tidak seorang pun yang menanyakan kepadanya, apakah Truna Podang itu tidak bertemu dengan hantu. Sedang Kiai Gringsing pun sadar, bahwa mereka harus menyimpan pertanyaan itu sampai besok, karena mereka tidak berani mengucapkannya saat itu.
Sebenarnyalah di pagi hari berikutnya, Truna Podang sudah dikerumuni oleh beberapa orang yang bertanya kepadanya, “Apakah kau melihat sesuatu?”
Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya.
“Tidak,” jawabnya, “aku tidak melihat apa pun.”
Beberapa orang mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi beberapa orang yang lain berkata di antara mereka, “Belum saja mereka mengalami. Apabila pada suatu saat mereka benar-benar bertemu dengan hantu itu, barulah mereka menjadi jera.”
“Kalau hanya sekedar bertemu dengan hantu, tentu tidak akan menyedihkan. Tetapi kalau hantu-hantu itu benar-benar marah dan mencabut nyawa mereka?”
Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Seseorang berdesis, “Kasihan. Mereka terlampau keras kepala.”
Ketika matahari menjadi semakin terang, maka orang-orang itu pun segera meninggalkan tempat itu pergi ke tanah garapan masing-masing, setelah mereka mengambil bekal mereka dari gardu pengawas.
Kiai Gringsing dan kedua muridnya pun pergi pula ke tempat kerja mereka.
“Apakah burung kedasih itu masih berbunyi lagi di sepanjang hari?” tiba-tiba saja Swandaru berdesis.
“Bukankah kita sudah mendapatkan cara untuk menghentikannya?” sahut Agung Sedayu.
“Bagaimana?” bertanya Swandaru.
“Kau berteriak keras-keras. Burung itu akan ketakutan.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menyahut.
Demikianlah, maka mereka bertiga bekerja dengan tekunnya. Suara burung kedasih itu sudah tidak mengganggu lagi. Namun terik matahari yang semakin tinggi serasa telah membakar tubuh mereka.
Ketika mereka sedang sibuk menebasi batang-batang pepohonan yang sudah rebah, maka mereka pun kehilangan perhatian mereka kepada keadaan di sekitar tanah yang sunyi itu. Yang menjadi pusat perhatian mereka adalah kapak-kapak mereka yang terayun-ayun dengan kerasnya, melontarkan bunyi yang membelah sepinya suasana hutan.
Namun tiba-tiba mereka bertiga terkejut ketika mereka mendengar pekik memanjang. Gemanya terpantul dari segala arah, sehingga pekik itu terdengar seakan-akan terulang-ulang.
Swandaru, Agung Sedayu, dan gurunya segera berhenti bekerja. Meskipun kapak mereka masih ada di dalam genggaman namun mereka kini berdiri tegak bagaikan patung yang beku.
Sekali lagi suara itu terdengar meninggi dan berkepanjangan.
Tiba-tiba saja Swandaru melemparkan kapaknya dan meloncat berlari. Namun langkahnya tertahan karena gurunya segera menangkap lengannya.
“Tunggu, Swandaru,” desis Kiai Gringsing, “kita berada di tempat yang asing. Jangan tergesa-gesa berbuat sesuatu kalau kau tidak ingin terjebak.”
Sejenak Swandaru berdiri termangu-mangu. Namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam. Kini ditatapnya hutan yang lebat di sebelah tanah yang sedang digarap. Dan, ia memang tidak mengetahui, apakah yang tersimpan di dalam lebatnya hutan itu, di balik pohon-pohon raksasa dan di dalam gerumbul-gerumbul perdu yang liar.
Agung Sedayu telah meletakkan kapaknya pula. Tanpa disadarinya tangannya telah meraba tangkai cambuknya yang melilit di lambung.
Dalam keragu-raguan itu Kiai Gringsing dan kedua muridnya mendengar lengking yang tinggi itu sekali lagi. Dan kini berada agak lebih-dekat.
“Hati-hatilah,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “kita berhadapan dengan sesuatu yang masih belum dapat kita jajagi.”
Kedua muridnya menganggukkan kepalanya. Setapak Agung Sedayu bergeser maju, sedang Kiai Gringsing berdiri tegak sambil menengadahkan kepalanya.
“Seseorang mendekat kemari,” bisiknya.
Kedua muridnya pun mencoba untuk mendengar sesuatu. Namun baru sejenak kemudian mereka mendengar langkah orang berlari-lari.
“Ya, seseorang telah datang kemari,” ulang Agung Sedayu.
Ternyata dugaan mereka benar. Sejenak kemudian seseorang muncul dari balik gerumbul-gerumbul perdu yang lebat. Masih terdengar betapa ia merintih kesakitan. Ditekankannya kedua telapak tangannya di dadanya yang ternyata menghamburkan darah yang merah.
“Tolong, tolong Ki Sanak,” suaranya gemetar, sedang langkahnya menjadi terhuyung-huyung.
Kiai Gringsing selangkah demi selangkah maju mendekatinya.
“Kenapa kau Ki Sanak?” bertanya orang tua itu.
“O, hantu, hantu itu.”
Dada ketiga orang itu berdesir.
“Kenapa?”
“Mereka telah menerkam aku. Aku digigitnya dengan taring.”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Beberapa langkah ia maju mendekat, sedang Swandaru langsung menghampirinya sambil bertanya, “Apakah kau bertemu dengan hantu itu?”
Orang itu terdiam sejenak. Dipandanginya Swandaru dengan mata yang merah. Tiba-tiba ia berpaling. Dengan penuh ketakutan ia berteriak, “He, ia mengejar aku. Tolong, tolong Ki Sanak.”
Semua orang berpaling ke arah tatapan mata orang yang terluka itu. Tetapi mereka tidak melihat sesuatu.
“Itu. Itu.”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Tetapi ia sama sekali tidak melihat apa pun, selain daun yang bergerak-gerak disentuh angin.
Tiba-tiba saja orang itu berada di puncak ketakutannya. Sekali lagi ia berteriak, “Ampun, Ampun. Tolong Ki Sanak, tolong.”
Tanpa menghiraukan apa pun lagi, dengan serta-merta ia meloncat mendekap Swandaru yang berdiri di dekatnya. Dengan suara gemetar ia masih saja berteriak-teriak, “Tolong Ki Sanak, tolong.”
Swandaru terperanjat ketika tiba-tiba saja nafasnya serasa menjadi sesak. Orang itu mendekapnya terlampau kuat dan bahkan mengguncang-guncangnya sehingga hampir saja Swandaru itu pun terjatuh karenanya.
“He, jangan berbuat seperti anak kecil,” teriak Swandaru.
Tetapi orang itu tidak menghiraukannya.
“Itu, lihat. Hantu itu mengejar aku.”
“Tenanglah Ki Sanak,” desis Kiai Gringsing, “tenanglah dan berbicaralah supaya kami mengerti apa yang telah terjadi atasmu.”
“Aku dikejar hantu. Hantu jerangkong bermata bara, membawa sebatang tongkat panjang. Oh, dadaku terluka dan tengkukku telah digigitnya.”
“Kenapa dadamu terluka?”
“Tongkat itu. Tongkat itu,” dan sejenak kemudian sambil mendekap Swandaru semakin erat, ia melonjak-lonjak. “Tolong, tolong. Aduh. Ia akan menerkam aku.”
Kiai Gringsing kemudian mendekatinya. Tetapi sebelum ia sempat meraba orang itu, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara sebuah benda yang berat terjatuh.
Kiai Gringsing tidak menunggu lebih lama lagi. Tiba-tiba saja ia meloncat ke arah suara itu, meskipun ia cukup berhati-hati. Dengan indera pendengarannya yang tajam ia mengenali apa yang ada di sekitarnya.
Agung Sedayu pun mengikutnya pula, sedang Swandaru tiba-tiba saja telah mendorong orang yang mendekapnya sambil berkata, “Tunggu di sini. Aku akan melihat.”
Orang itu terdorong beberapa langkah sebelum ia terjatuh di tanah, tetapi Swandaru tidak menghiraukannya lagi. Ia pun segera berlari menyusul gurunya.
Ketika Kiai Gringsing sudah memasuki hutan, maka langkahnya pun segera diperlambatnya. Dicobanya untuk mendengar setiap desah yang mencurigakan. Tetapi yang didengarnya hanyalah desir angin di dedaunan.
“Hati-hatilah,” ia berdesis kepada murid-muridnya.
Agung Sedayu dan Swandaru yang sudah ada di sampingnya pun mengangguk pula.
Tetapi sampai beberapa, langkah kemudian, mereka tidak menjumpai apa pun juga. Apalagi hantu, seekor kelinci pun tidak.
Namun tiba-tiba Kiai Gringsing itu mengerutkan keningnya. Dilihatnya sebuah batu yang besar tergolek di tanah.
“Batu ini,” desis Kiai Gringsing.
“Kenapa dengan batu ini?” bertanya Swandaru.
“Suara itu adalah suara batu ini terjatuh.”
“Dari mana?” bertanya Agung Sedayu.
Ketiganya pun serentak menengadahkan wajah mereka. Tetapi mereka tidak melihat sesuatu, selain sebatang pohon yang tinggi dan lebat. Dengan teliti Kiai Gringsing mencoba mengamat-amati pohon itu. Tetapi ia memang tidak melihat atau mendengar sesuatu.
Perhatiannya kemudian dialihkan kepada batu besar yang tergolek di dekat ujung kakinya. Batu itu adalah batu hitam yang berat.
“Apakah Guru memastikan bahwa suara itu adalah suara batu ini?” bertanya Swandaru.
“Ya, “ jawab gurunya, “lihatlah, rerumputan di sekitarnya. Ranting-ranting perdu yang berpatahan. Bekas itu adalah bekas-bekas batu sehingga batu ini pasti baru saja jatuh dari atas.”
Swandaru mengerutkan keningnya. Sedang Agung Sedayu memandangi daun pohon yang rimbun itu sekali lagi. Ia hampir tidak dapat mempercayainya bahwa batu itu jatuh begitu saja dari atas sebatang pohon yang demikian tinggi.
“Aneh,” tanpa sesadarnya ia berdesis.
Kiai Gringsing pun mengangguk-anggukkan kepalanya meskipun ia belum dapat menebak teka-teki yang sulit itu. Sebagai seseorang yang banyak melakukan pengembaraan sejak masa mudanya, Kiai Gringsing sudah banyak sekali mengalami masalah-masalah yang aneh dan berbahaya. Tetapi kali ini ia tidak segera menemukan jawaban dari peristiwa yang membingungkannya itu.
“Sudahlah,” berkata Kiai Gringsing, “jangan hiraukan lagi batu itu. Biarlah ia tetap di situ. Sekarang, marilah kita lihat orang yang luka itu.” Lalu ia berpaling kepada Swandaru, “Orang itu kau tinggalkan di dalam ketakutan.”
Swandaru tidak segera menyahut.
“Sebaiknya kau tunggui orang itu,” sambung gurunya, “mungkin ia akan mati ketakutan.”
“Aku ingin juga melihat apa yang terjadi di sini,” jawab Swandaru tanpa memandang wajah gurunya.
“Sudahlah. Marilah kita lihat,” sahut Kiai Gringsing kemudian.
Ketiganya pun berjalan dengan tergesa-gesa kembali ke tanah garapan mereka. Mereka ingin segera melihat, apakah yang sudah terjadi dengan orang yang terluka dan ketakutan itu.
Ketika mereka muncul dari balik pepohonan yang rimbun, mereka melihat tanah garapan mereka itu masih tetap sepi. Namun mereka tidak segera melihat orang yang sedang dicengkam oleh ketakutan itu. Karena itu, maka langkah mereka pun menjadi semakin cepat, meloncati pepohonan yang sudah dirobohkan, tetapi masih saja malang melintang.
“Di mana orang itu?” desis Swandaru.
“Di mana kau tinggalkan tadi?” bertanya Agung Sedayu.
“Aku mendorongnya sehingga ia jatuh tertelentang.”
“O, mungkin ia pingsan. Marilah kita lihat.”
Ketiganya berjalan semakin cepat. Bahkan kemudian mereka pun seolah-olah berlari sambil meloncat-loncat, melangkahi kayu-kayu yang roboh dan gerumbul-gerumbul perdu.
Namun darah mereka serasa berhenti mengalir, ketika mereka tidak melihat orang yang ketakutan itu di tempatnya. Yang mereka lihat adalah percikan-percikan darah di sekitarnya. Bahkan sesobek dari pakaian orang yang terluka itu.
“Guru, apakah yang kira-kira sudah terjadi?” Swandaru terpekik.
Kiai Gringsing pun dengan serta merta berjongkok di tempat itu untuk melihat apa-apa yang kiranya sudah terjadi.
“Mungkinkah ada binatang buas?” bertanya Agung Sedayu.
Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya, “Tentu bukan binatang buas,” katanya, “tidak ada bekas binatang buas sama sekali.”
Ketiganya sejenak saling berdiam diri. Dengan cermat mereka melihat bekas-bekas yang dapat mereka pergunakan sebagai bahan untuk mengenali peristiwa yang aneh itu.
“Darah itu menodai rerumputan di sekitar tempat ini, Guru,” desis Agung Sedayu kemudian.
“Apakah telah terjadi pergulatan yang sengit?”
Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya, “Mungkin bukan pergulatan. Tetapi orang yang ketakutan itu telah meronta-ronta sehingga darahnya memercik ke segala arah.”
“Lihat,” tiba-tiba Swandaru berteriak.
Kiai Gringsing dan Agung Sedayu pun segera berdiri dan mendekatinya.
“Darah itu menitik menuju kemari.”
“Terus,” sambung Agung Sedayu, “di sini pun terdapat bekas-bekasnya memanjang.”
“Tentu orang itu sudah dibawa masuk ke dalam hutan itu.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya. Orang itu sudah dibawa masuk kembali ke dalam hutan. Tetapi agaknya bukan binatang buas.”
“Atau ada binatang jenis lain yang belum kita kenal, Guru?”
Kiai Gringsing menggeleng-gelengkan kepalanya, “Hampir semua jenis binatang di hutan ini sudah aku kenal. Memang mungkin ada satu dua yang belum pernah aku lihat. Tetapi bekas-bekasnya pasti ada di sekitar tempat ini. Bekas-bekas kaki atau kuku atau apa pun.”
“Apakah mungkin dongeng tentang burung garuda raksasa itu benar-benar ada, Guru?”
“Garuda raksasa itu pun pasti akan meninggalkan bekas. Sentuhan sayapnya atau kuku-kuku kakinya. Tetapi kita tidak melihat bekas apa pun selain percikan-percikan darah.”
Swandaru dan Agung Sedayu hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Tetapi mereka sudah mulai dirayapi oleh kebimbangan menghadapi masalah yang bagi mereka sangat membingungkan ini.
Gurunya pun segera melihat kebimbangan yang melonjak di dada murid-muridnya. Usia mereka dan pengalaman mereka yang masih terlampau sedikit, memang masih memungkinkan keteguhan hati mereka tergoyahkan.
Karena itu, maka katanya, “Jangan kau ributkan lagi masalah ini. Mungkin kita belum menemukan pemecahannya saja. Tetapi hampir tidak ada rahasia lahiriah yang tidak terpecahkan.”
“Tetapi orang-orang yang sudah lama di tempat ini pun masih belum dapat menduga apa yang sebenarnya telah terjadi, selain anggapan mereka bahwa semuanya ini disebabkan oleh hantu-hantu.”
“Itu adalah satu dari banyak kemungkinan, tetapi bukan satu-satunya.”
Kedua murid Kiai Gringsing itu pun kemudian tidak bertanya lagi. Tetapi mereka masih saja memandangi percikan darah yang berserakan. Berbagai macam dugaan telah merayapi dada mereka. Bahkan betapapun kecilnya, tetapi tumbuh juga pertanyaan, “Apakah daerah ini benar-benar telah dijelajahi oleh hantu-hantu?”
Ketika kemudian Kiai Gringsing kembali mengambil kapaknya, maka kedua muridnya itu pun kembali pula kepada kerja mereka, meskipun dengan hati yang bimbang.
Orang yang ketakutan itu telah menumbuhkan pertanyaan yang masih belum terjawab. Apalagi orang itu tiba-tiba saja telah hilang tanpa bekas.
“Inikah sebabnya, maka tanah ini ditinggalkan oleh penggarap-penggarapnya yang terdahulu?” bertanya Swandaru sambil berbisik kepada Agung Sedayu.
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya, “Mungkin juga. Tetapi kita tidak akan dapat meyakinkan hal itu.”
“Ya. Memang benar juga kata guru bahwa mencari jawabnya pada hantu-hantu adalah salah satu saja dari sekian banyak jawaban-jawaban yang lain.”
“Ya. Dan itu termasuk rencana kita untuk memecahkan teka-teki ini. Seandainya kita benar-benar berhadapan dengan hantu-hantu, maka kita pun pasti, hantu yang mana yang mengganggu kerja yang besar dari Ki Gede Pemanahan ini.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi ia sudah tidak bertanya lagi. Perlahan-lahan ia mulai mengangkat kapaknya, kemudian terayun pada batang-batang pohon yang besar, yang harus mereka singkirkan.
“Badanku terasa lungkrah,” desis Swandaru, “tenagaku tidak seperti biasanya.”
“Kau terpengaruh oleh peristiwa yang baru saja terjadi,” sahut Agung Sedayu.
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya, “Memang, hal itu mungkin sekali,” jawabnya. “Aku tidak dapat melepaskan pikiran itu. Orang itu telah dibawa oleh seseorang atau katakan sesuatu yang sangat ditakutinya. Hal itu tentu merupakan suatu peristiwa yang mengerikan sekali baginya. Mungkin juga tidak akan menjadi sangat ketakutan seperti itu seandainya ia dihukum mati sama sekali.”
“Ya,” jawab Agung Sedayu. “Dan tidak seorang pun yang mengetahui, apa yang telah terjadi atasnya kini. Apakah tubuhnya telah menjadi santapan harimau lapar, atau oleh serigala liar, atau memang diperlukan oleh hantu-hantu itu.”
Swandaru tidak menyahut. Kepalanya terangguk-angguk kecil. Dicobanya untuk melupakan apa yang telah terjadi.
“Aku bukan apa-apanya. Orang itu bukan keluarga atau sahabatku,” ia mencoba berkata di dalam dirinya untuk mengurangi perasaan ibanya yang menghentak-hentak.
Namun Swandaru tidak berhasil. Seperti juga Agung Sedayu, Swandaru selalu diganggu oleh perasaan iba dan belas kasihan.
Tetapi yang sama sekali tidak dimengerti oleh Swandaru, badannya sendiri serasa menjadi tidak enak. Nafasnya serasa semakin sesak, dan wajahnya menjadi panas.
Dengan susah payah ia mencoba untuk bertahan agar ia tidak mengganggu gurunya yang sedang asyik bekerja. meskipun Kiai Gringsing sudah agak lanjut usia, tetapi tenaganya masih melampaui tenaga anak-anak muda. Kapaknya terayun-ayun deras sekali.
“Kakang,” desis Swandaru kemudian, “badanku benar-benar terasa tidak enak.”
“Tenanglah,” jawab Agung Sedayu, “kau sudah terpengaruh oleh perasaanmu sendiri. Aku memang menaruh belas kasihan kepada orang itu. Aku juga membayangkan apa yang kira-kira terjadi atasnya. Tetapi jangan terlampau merasuk ke dalam hati.” Agung Sedayu berhenti sejenak, “Kita memang kadang-kadang merasa seolah-olah kita diterkam oleh perasaan tidak enak. Bukan karena tubuh kita memang disentuh oleh penyakit, tetapi semata-mata karena perasaan kita.”
“Tetapi sudah tentu tidak sekuat ini, Kakang. Aku merasa seakan-akan tubuhku menjadi panas seperti terbakar.”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tetapi ketika ia memandang wajah adik seperguruannya dengan saksama, maka ia pun terkejut. Wajah itu menjadi pucat sekali.
“Apakah kau merasa panas?”
Swandaru mengangguk.
Disentuhnya kening Swandaru dengan punggung telapak tangannya. Dan Agung Sedayu menjadi semakin terkejut karenanya, “Dingin sekali.”
“Ya, tetapi di dalam dadaku, serasa darahku telah mendidih.”
“Kita berkata kepada guru.”
“Jangan. Aku hanya akan mengganggu saja. Guru pasti akan berkata seperti yang kau katakan. Aku terlampau dipengaruhi oleh perasaanku.”
“Aku kira kau benar Swandaru, bahwa kau tidak sekedar dipengaruhi oleh perasaanmu.”
“Tetapi, jangan kau katakan kepada guru,” Swandaru berhenti sejenak. “Jangan-jangan kita akan ditertawakannya.”
“Kenapa?”
“Kita sudah menjadi ketakutan kepada hantu-hantu itu.”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya, “Tetapi keadaanmu agaknya memerlukan perhatiannya.”
Swandaru tidak menyahut. Tetapi kini tubuhnya serasa menggigil kedinginan meskipun di dalam dadanya masih terasa panas sekali.
Dengan kekuatan yang masih ada padanya masih mencoba untuk bekerja, karena ia tidak mau disebut oleh gurunya sebagai anak yang cengeng dan manja. Diangkatnya kapaknya tinggi-tinggi, kemudian diayunkannya deras sekali. Tetapi untuk mengangkat kapak itu kembali, nafasnya telah menjadi terengah-engah
“Jangan kau paksa,” desis Agung Sedayu, “beristirahatlah. Keringatmu menjadi semakin banyak.”
Swandaru menjadi semakin termangu-mangu. Tetapi tubuhnya memang menjadi lemah sekali, sehingga mau tidak mau ia pun kemudian duduk di atas sebatang pohon yang rebah sambil memijit-mijit keningnya yang sakit.
Gurunya pun kemudian melihatnya pula. Tetapi sana sekali tidak menyangka bahwa muridnya telah terserang oleh sesuatu penyakit begitu cepatnya.
“Aku harus mengatakannya kepada guru,” berkata Agung Sedayu kemudian. “Kau menjadi semakin pucat.”
“Jangan dulu,” suara Swandaru menjadi dalam, “biarlah aku mencoba mengatasi perasaanku.”
“Jangan menunggu sampai terlambat,” berkata Agung Sedayu. “Aku kira kau tidak sekedar sedang dipengaruhi oleh perasaanmu saja.”
“Kakang,” berkata Swandaru dengan nafas yang terengah-engah, “aku pernah melihat orang yang terserang penyakit karena perasaannya seperti yang kau katakan. Meskipun Guru hanya memberikan air biasa, yang diambilnya dari sumur, dan disuruhnya ia minum, maka orang itu merasa badannya segera sembuh.”
“Tetapi tentu tidak sekuat ini. Gejala-gejala yang tampak pada tubuhmu bukan sekedar karena kau tidak dapat melupakan orang yang luka parah itu saja.”
Swandaru tidak menyahut lagi. Kepalanya ditundukkannya dalam-dalam.
“Duduklah,” desisnya.
Swandaru tidak mencegahnya lagi. Dengan mata yang suram dipandanginya kakak seperguruannya yang melangkah mendekati gurunya yang sedang bekerja keras.
“Apakah kalian sudah lelah?” bertanya Kiai Gringsing. “Sebentar lagi matahari sudah menjadi semakin rendah. Kita akan segera beristirahat.”
“Guru,” berkata Agung Sedayu dengan bersungguh-sungguh, “Adi Swandaru tiba-tiba saja menjadi sakit.”
Gurunya mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tersenyum, “Swandaru sangat dipengaruhi oleh peristiwa yang baru saja terjadi. Mungkin ia merasa bersalah, karena ia sudah meninggalkan orang yang terluka itu seorang diri, sehingga orang itu kemudian hilang tidak berbekas. Perasaan itulah yang agaknya membuat ia menjadi seolah-olah sakit.”
“Guru,” berkata Agung Sedayu, “tubuhnya dingin meskipun ia merasa panas.”
“Itulah gejalanya.”
“Keringatnya seakan-akan terperas dan wajahnya menjadi sangat pucat.”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. “Cobalah aku melihatnya.”
Kiai Gringsing pun kemudian meletakkan alat-alat kerjanya, dan dengan tergesa-gesa mendapatkan muridnya yang duduk tepekur.
“Kenapa kau Swandaru?” bertanya Kiai Gringsing.
Swandaru mengangkat wajahnya sambil menjawab, “Tubuhku rasa-rasanya menjadi sangat lemah Guru. Panas di dalam, tetapi aku menggigil seperti orang kedinginan.”
Kiai Gringsing terkejut melihat keadaan muridnya. Apalagi ketika ia menyentuh tubuhnya.
“Bagaimana, Guru?” bertanya Agung Sedayu.
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya, “Anak ini memang benar-benar sakit. Bukan sekedar dipengaruhi oleh perasaannya.”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Sakit yang tiba-tiba itu telah menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak segera dapat terjawab.
“Apakah kau makan sesuatu Swandaru?” bertanya gurunya.
Swandaru menggelengkan kepalanya, “Tidak, Guru.”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Dipijit-pijitnya tengkuk muridnya. Katanya kemudian, “Berdirilah.”
Tetapi tubuh Swandaru menjadi sangat lemah. meskipun demikian dipaksanya juga untuk berdiri dibantu oleh Agung Sedayu.
Dengan teliti Kiai Gringsing memeriksa tubuh Swandaru. Setiap bagian dilihatnya dengan saksama, kalau-kalau ada sesuatu yang dapat dipakainya sebagai pancadan untuk mengenai penyakitnya.
Tetapi Kiai Gringsing tidak menemukan sesuatu.
“Bibirnya menjadi biru sekali, Guru,” desis Agung Sedayu.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. “Duduklah,” katanya kemudian. Dan di antara terdengar dan tidak, orang tua itu bergumam, “Menurut tanda-tanda di badanmu, kau telah keracunan.”
“Keracunan?” desis Swandaru, “tetapi, aku tidak makan apa-apa.”
“Keracunan tidak hanya terjadi karena makanan.” Kiai Gringsing mengerutkan keningnya, “Mungkin kau digigit serangga atau binatang-binatang berbisa lainnya.”
“Aku tidak merasa, Guru.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba ia berkata, “Tundukkan kepalamu.”
Swandaru tidak mengerti maksud gurunya, sehingga dengan termangu-mangu ia memandanginya
“Tundukkan kepalamu,” sekali lagi gurunya berkata.
Dengan ragu-ragu Swandaru menundukkan kepalanya, ia terperanjat ketika gurunya kemudian mencekam tengkuknya. Semakin lama semakin keras, sehingga hampir saja ia tercekik karenanya.
Sejenak kemudian perutnya merasa mual sekali. Seakan-akan ada sesuatu yang bergejolak di dalam perut itu. Semakin lama semakin mual, sehingga pada suatu saat ia tidak dapat bertahan lagi. Dengan serta-merta, maka anak muda yang gemuk itu pun muntah-muntah.
Tetapi sekali lagi ia terperanjat, seperti juga Agung Sedayu. Dari mulut Swandaru selain keluar isi perutnya, di antaranya meloncat pula gumpalan-gumpalan darah yang sudah menjadi kehitam-hitaman.
“Darah, Guru, darah,” suara Agung Sedayu gemetar.
Kiai Gringsing pun menjadi tegang pula. Karenanya, “Ternyata Swandaru telah benar terserang oleh racun yang membahayakan jiwanya.”
Karena itu, maka Kiai Gringsing itu pun memijit lebih keras lagi. Sebagai seorang dukun yang berpengalaman, Kiai Gringsing dapat menyentuh urat-urat leher Swandaru, yang kemudian dapat membuatnya muntah.
“Muntahlah Swandaru,” berkata gurunya, “jangan kau tahan-tahan lagi. Semakin banyak kau dapat mengeluarkan isi perutmu, akibatnya akan menjadi lebih baik.
Swandaru mengangguk lemah. Terasa sesuatu berputar lagi di perutnya, dan sejenak kemudian gumpalan-gumpalan darah yang sudah menjadi kehitam-hitaman meloncat keluar, disusul oleh darah yang merah segar.
“Kau benar-benar keracunan,” desis gurunya, “racun yang termasuk kuat.”
Swandaru menjadi semakin lemah. Keringatnya telah membasahi seluruh tubuhnya.
“Berbaringlah di atas pohon besar ini,” berkata gurunya. Swandaru pun kemudian dipapah oleh Agung Sedayu dan dibaringkannya di atas sebatang pohon besar yang telah roboh.
“Aturlah pernafasanmu,” berkata gurunya kemudian. “Racun ini harus dilawan lebih dahulu, agar kau tidak menjadi semakin tidak berdaya menghadapinya.”
Swandaru tidak menjawab. Hanya matanya sajalah yang bergerak-gerak.
Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Tanpa disadarinya, angan-angannya terbang ke dunia yang lain. Anak itu sedang mempersiapkan dirinya untuk melamar seorang gadis yang ditinggalkannya di Tanah Perdikan Menoreh. Kemudian ia akan menggantikan ayahnya seorang Demang di Sangkal Putung, atau mungkin ia akan memilih memerintah Tanah Perdikan Menoreh?
Sekilas justru terbayang Pandan Wangi yang menanti keluarga Swandaru datang kepada keluarganya di Menoreh. Pandan Wangi yang duduk bertopang dagu di tangga pendapa rumahnya.
Bukan saja Pandan Wangi, tetapi juga ayah dan ibunya. Kalau Sekar Mirah telah sampai di rumahnya, maka ia pasti akan segera berceritera tentang kakaknya yang gemuk itu.
“Kini ayah dan ibunya bahkan juga Sekar Mirah dan Sumangkar, pasti sedang menunggu kita di sana,” ia berkata di dalam hatinya.
Agung Sedayu itu tersentak ketika ia mendengar Swandaru berdesah. Wajahnya yang pucat menjadi semakin putih, sedang bibirnya tampak menjadi semakin biru.
“Bagaimana, Guru?” tiba-tiba ia bertanya.
Gurunya masih merenungi muridnya yang keracunan itu sejenak.
“Apakah …..,” kata Agung Sedayu tidak dilanjutkannya.
“Tidak,” desis gurunya, “kau akan menghubungkan hal ini dengan hantu-hantu?”
Agung Sedayu tidak menyahut.
“Sama sekali tidak ada hubungannya dengan hantu-hantu. Anak ini benar-benar telah keracunan. Aku akan menunggu sesaat. Kemudian aku akan memberikan obat kepadanya, setelah gejolak di dalam perutnya mereda.”
Agung Sedayu masih tetap berdiam diri. Dengan cemasnya ia memandang wajah adik seperguruannya yang semakin pucat, sedang nafasnya serasa menjadi semakin sesak.
“Kenapa Guru belum memberinya obat,” ia bertanya di dalam hatinya, tetapi ia tidak berani mengucapkannya, “Guru pasti jauh-jauh lebih tahu daripada aku.”
Sejenak kemudian, Kiai Gringsing itu pun memijit-mijit perut Swandaru. Ditelusurnya bagian-bagian di sekitar pusarnya. Kemudian katanya, “Belum terlambat. Untung kalian segera mengatakannya kepadaku. Racun ini termasuk racun yang kuat.”
Agung Sedayu mengangguk. Tetapi ia hampir tidak tahan lagi. Gurunya merasa bersyukur bahwa keadaan Swandaru masih belum terlambat, tetapi kenapa ia berdiam diri saja? Apakah Kiai Gringsing itu memang sedang menunggu agar terlambat?
Tetapi sekali lagi Agung Sedayu menjawab sendiri di dalam hatinya, “Guru pasti lebih tahu daripadaku.”
Ternyata bahwa sejenak kemudian Kiai Gringsing itu pun mengambil sesuatu dari tlekeman di ikat pinggangnya. Sebuah bumbung kecil yang disumbatnya dengan cempol kelapa.
Dari dalam bumbung kecil itu, Kiai Gringsing mengeluarkan dua butir obat yang telah dikeringkan menjadi butiran-butiran yang kecil.
“Swandaru,” ia berdesis.
Swandaru menggerakkan kepalanya, tetapi ia tidak menjawab. Penyakit yang tiba-tiba mencekamnya itu rasa-rasanya seperti penyakit yang sudah bertahun-tahun hinggap di tubuhnya.
“Apakah perutmu sudah tenang?”
Swandaru mengangguk kecil.
“Sekarang makanlah obat ini, agar daya tahan tubuhmu bertambah kuat.”
Swandaru membuka mulutnya perlahan-lahan. Kemudian Kiai Gringsing melontarkan dua butir obat itu ke dalam mulut Swandaru.
Sejenak Swandaru tidak bergerak. Namun kemudian ia menggeliat sambil berdesah.
“Guru,” dengan serta merta Agung Sedayu bergeser maju.
“Tenanglah Sedayu, benturan antara dua macam kekuatan telah terjadi di dalam tubuh Swandaru. Itulah sebabnya, badannya akan menjadi panas sekali. Tetapi setelah itu, mudah-mudahan ia akan berangsur baik. meskipun untuk beberapa hari ia harus beristirahat.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun seakan-akan di luar sadarnya ia berkata, “Apakah yang akan dikatakan orang tentang Swandaru?”
“Tentu, mereka akan menghubung-hubungkannya dengan hantu. Apalagi kalau mereka melihat atau mendengar tentang orang yang terluka dan kemudian hilang itu.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun betapa pun juga, ia sendiri pun telah terpengaruh pula oleh peristiwa-peristiwa yang baru saja terjadi.
“Untunglah bahwa Guru seorang ahli obat-obatan. Kalau tidak, entahlah, apa yang akan terjadi atas Swandaru. Mungkin keadaannya akan menjadi semakin jelek dan berbahaya,” berkata Agung Sedayu dalam hatinya.
Dalam pada itu Swandaru tampaknya menjadi semakin gelisah. Meskipun matanya terpejam, tetapi tubuhnya selalu bergerak dan menggeliat. Agaknya perasaan sakit yang sangat telah mengganggunya.
Agung Sedayu berdiri termangu-mangu di samping adik seperguruannya. Wajahnya membayangkan kecemasan yang sangat. Tetapi ia tidak berani bertanya lagi, karena gurunya pun menjadi tegang pula karenanya.
Ketika Kiai Gringsing menyentuh kening Swandaru, terasa betapa tubuh anak itu menjadi panas. Sekali-sekali terdengar ia menahan desah di mulutnya.
Agung Sedayu menengadahkan wajahnya ketika ia mendengar suara burung kedasih di kejauhan. Terasa desir yang lembut menyentuh dadanya. Biasanya burung kedasih berbunyi di malam hari. Tetapi kini, seperti kemarin, burung itu berbunyi tiada hentinya.
“Kalau Swandaru tidak sedang sakit, ia pasti berteriak keras-keras untuk mengejutkan burung itu,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.
Ketika Agung Sedayu berpaling, memandang wajah adik seperguruannya itu pula, maka dilihatnya Swandaru sudah menjadi agak tenang, meskipun wajahnya masih tampak pucat.
“Bagaimana, Guru?” tanpa sesadarnya ia bertanya.
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku harap keadaannya akan menjadi bertambah baik.”
Agung Sedayu pun tidak bertanya lagi. Dengan penuh pengharapan ia menunggui adik seperguruannya yang tampak menjadi bertambah baik. Nafasnya sudah menjadi teratur, dan wajahnya pun tidak begitu pucat lagi.
“Bagaimana Swandaru bisa keracunan, Guru,” Agung Sedayu bertanya sekenanya saja.
Gurunya menggeleng, “Aku tidak tahu. Ia tidak merasa digigit atau disengat apa pun.”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia bergeser maju sambil bertanya, “Guru, apakah ada kemungkinan orang yang terluka parah itu juga keracunan?”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Aku tidak tahu. Tetapi menilik lukanya, ia benar-benar telah terkena senjata seperti yang dikatakannya.”
“Bukankah ia mengatakan bahwa hantu itu menggigit tengkuknya? Dan apa yang disebutnya hantu itu sesuatu yang mengandung racun?”
Kiai Gringsing tidak menjawab. Keningnya menjadi berkerut-merut. Sejengkal ia bergeser maju. Kemudian diamatinya Swandaru dengan saksama.
Tiba-tiba Kiai Gringsing itu tersentak. Disambarnya tangan Swandaru. Dilihatnya tangan itu dengan tajamnya. Pergelangan, kemudian punggung telapak tangan.
“Kenapa, Guru?” Agung Sedayu bertanya dengan herannya.
Kiai Gringsing tidak segera menjawab. Kini dilihatnya bagian-bagian tubuh Swandaru yang lain.
Ketika Kiai Gringsing melihat sesuatu di leher Swandaru, ia pun mengerutkan keningnya. Sebuah luka yang hampir tidak nampak melekat di leher anak yang gemuk itu.
“Luka yang kecil ini pasti cukup dalam,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya.
“Apakah Guru menemukan sesuatu?” bertanya Agung Sedayu.
“Mudah-mudahan,” jawab Kiai Gringsing. Tetapi ia belum mengatakan apa yang dilihatnya.
Agung Sedayu kemudian dengan tegangnya memandang gurunya yang sedang merenungi sebuah bintik yang kehitam-hitaman di leher Swandaru itu. Kemudian dengan hati-hati Kiai Gringsing memijit-mijit bagian leher Swandaru di sekitar bintik yang kehitam-hitaman itu.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tanpa sesadarnya kepalanya terangguk-angguk kecil. Katanya, “Luka inilah sumber keracunan yang telan menjalar di seluruh tubuh Swandaru.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bertanya, “Darimana ia mendapatkan luka itu, Guru?”
“Itulah yang masih harus diselidiki,” jawab gurunya. Setelah merenung sejenak, maka ia melanjutkannya, “Aku mempunyai beberapa macam dugaan. Mungkin di hutan itu ada sejenis pepohonan yang beracun. Tanpa disadarinya Swandaru telah tersentuh oleh durinya yang dapat memberikan racun ke dalam tubuhnya. Mungkin juga sejenis binatang kecil yang tampaknya tidak berbahaya sama sekali, tapi ternyata lewat ludah atau giginya, binatang itu telah meracuninya, atau ……,” Kiai Gringsing tidak melanjutkannya.
“Atau apa, Guru?”
Kiai Gringsing terdiam sejenak. Tampak keragu-raguan membayang di wajahnya.
“Agung Sedayu,” katanya kemudian, “mudah-mudahan aku berhasil melenyapkan racun dari tubuh adik seperguruanmu. Tampaknya ia berangsur baik. Nafasnya sudah mulai teratur dan darahnya sudah mulai beredar dengan wajar.”
“Ya, Guru.”
“Aku memang mempunyai dugaan yang barangkali kurang dapat dipercaya. Seperti katamu, orang yang luka parah itu memang mungkin mengandung racun.”
“Jadi?”
“Bukankah orang itu telah dicengkam oleh ketakutan yang luar biasa sehingga ia telah mendekap Swandaru? Nah, dalam keadaan yang tidak terkendali, di dalam puncak ketakutannya, ia telah melukai leher Swandaru. Di pergelangan tangannya aku melihat juga goresan-goresan yang kehitam-hitaman, tetapi tidak cukup dalam untuk menyalurkan racun ke dalam darah. Sedang luka di leher yang kecil namun dalam inilah agaknya pintu yang telah dilalui racun itu.”
“Jadi, apakah maksud Guru orang itu juga keracunan?”
“Mungkin. Mungkin seperti yang dikatakan, lehernya digigit hantu, meskipun kenyataannya tidak setepat seperti yang dikatakan. Dalam puncak ketakutannya, ia tidak dapat membedakan apa saja yang telah melukainya itu.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya meskipun ia masih belum begitu jelas, apakah yang sebenarnya telah terjadi. Namun agaknya keadaan Swandaru yang semakin baik, telah membuatnya menjadi agak tenteram.
Meskipun demikian ia masih bertanya kepada gurunya, “Guru, tetapi apakah orang yang keracunan itu dapat meracuni Swandaru dengan luka yang dibuatnya tanpa sengaja itu?”
“Hal itu memang mungkin meskipun masih harus dibuktikan kebenarannya,” jawab gurunya.
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi ia tidak bertanya lagi.
Sejenak mereka saling berdiam diri. Swandaru yang sakit itu telah berangsur menjadi baik, meskipun tubuhnya masih terasa lemah sekali.
Dalam keheningan itulah tiba-tiba mereka mendengar suara tertawa yang seakan-akan membelah Alas Mentaok. Tidak begitu keras, namun gemanya yang memantul dari segenap arah, membuat seakan-akan orang yang mendengarnya telah terlibat di dalam suatu kepungan suara hantu yang dahsyat.
Agung Sedayu kemudian berdiri tegak dengan wajah yang tegang. Untuk sementara ia mengalami kesulitan, dari manakah sebenarnya sumber suara itu. Namun kemudian ia berdesis, “Tidak terlampau dekat, Guru.”
Kiai Gringsing yang telah berdiri pula, mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, “Ya, tidak terlampau dekat.”
“Suara apakah itu, Guru?”
“Suara tertawa seseorang. Apakah kau ragu-ragu?”
Agung Sedayu tidak menjawab. Dan Kiai Gringsing berkata seterusnya, “Kau sudah mulai ragu-ragu. Apakah kau sangka suara itu suara hantu?”
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi memang tumbuh pengakuan di dalam dirinya, bahwa ia memang mulai memikirkan, apakah mereka memang benar-benar sedang dilingkari oleh hantu-hantu.
Suara tertawa itu pun kemudian hilang dengan sendirinya, sehingga hutan itu pun telah menjadi sepi kembali. Desah angin yang lembut sajalah yang terdengar mengusik dedaunan.
Sementara itu langit pun telah menjadi semakin buram, karena matahari yang telah mengarungi hampir seluruh jalannya itu telah hampir sampai di batas cakrawala.
“Kita harus segera kembali,” berkata Kiai Gringsing, “kalau keadaan menjadi semakin gelap, sukarlah kita membawa Swandaru melalui jalan-jalan yang masih sulit ini.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebenarnya ia memang ingin segera menyingkirkan Swandaru. Bukan karena ketakutan yang mencekam, tetapi apabila anak yang sakit itu sudah tidak berada di tempat terbuka yang aneh ini, maka mereka akan leluasa untuk berbuat apa pun, apalagi apabila keadaan memaksa.
Demikianlah maka Kiai Gringsing pun berkata kepada Swandaru, “Swandaru, apakah keadaanmu sudah bertambah baik?”
Swandaru menganggukkan kepalanya.
“Baiklah. Marilah, kau akan kami papah pulang ke perkemahan. Tetapi ingat, kalau seseorang bertanya kepadamu, maka jawablah bahwa kau telah digigit oleh seekor ular Pudakgrama. Ular yang mempunyai racun yang cukup keras, tetapi masih terlawan.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya pula, sedang Agung Sedayu bertanya, “Kenapa digigit ular, Guru?”
“Jangan membuat orang-orang di perkemahan dan sekitarnya itu menjadi semakin ketakutan. Kalau kalian menceriterakan apa adanya, maka mereka akan langsung menanggapi keadaan ini dengan menghubungkannya langsung kepada hantu-hantu itu.”
“Tetapi apakah mereka tidak akan mendapat gambaran yang salah sehingga mereka tidak dapat mempersiapkan diri untuk menghadapi keadaan yang sama?”
Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya. Katanya, “Hanya daerah inilah yang selalu ditinggalkan oleh para pekerja yang sedang membuka hutan itu. Karena daerah ini adalah daerah yang paling ganas bagi mereka. Daerah yang mereka anggap paling banyak diraba oleh tangan-tangan hantu yang sangat mereka takuti itu.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Ia dapat mengerti maksud gurunya, meskipun di sudut hatinya yang paling dalam, memercik pula keragu-raguan dan kecemasan.
Sejenak kemudian maka Kiai Gringsing dan Agung Sedayu pun segera memapah Swandaru yang sudah menjadi berangsur baik itu kembali ke perkemahan. Karena jalan yang harus mereka lewati adalah jalan-jalan yang sulit, maka mereka pun maju dengan lambannya. Sekali-sekali mereka masih harus melangkahi pohon-pohon yang membujur di tengah-tengah jalan, kemudian menyusup di bawah rimbunnya perdu yang liar, dan bahkan kadang-kadang berduri.
“Hati-hatilah,” desis Kiai Gringsing, “ada kesengajaan untuk membuat kita menjadi takut.”
“Bagaimana Guru mengetahui?”
“Suara burung kedasih dan suara tertawa itu. Mungkin juga bukan kita bertigalah yang dimaksud, tetapi orang yang ketakutan dan hilang itu bersama dengan beberapa orang kawan-kawannya. Tetapi mungkin juga, memang kitalah sasaran mereka kali ini.”
“Sasaran hantu-hantu itu?”
“Untuk sementara, baiklah kita sebut demikian.”
“Kenapa untuk sementara Guru?”
Kiai Gringsing tidak menjawab. Tetapi ia mengangguk-angguk. Demikianlah maka mereka pun perlahan-lahan semakin dekat dengan perkemahan. Namun sebelum mereka sampai ke ujung hutan, maka orang-orang yang bekerja di tempat-tempat yang sudah semakin bersih segera melihat mereka. Karena itu, berlari-larilah orang-orang itu menyongsongnya sambil bertanya berebut dahulu, “Kenapa dengan anakmu itu, Truna Podang?”
Kiai Gringsing berhenti sejenak. Dipandanginya orang-orang yang sudah mulai berkemas dan yang kini mengerumuninya itu sejenak.
“Kenapa he, kenapa?”
Kiai Gringsing tidak segera menjawab. Ditatapnya setiap wajah yang menjadi tegang. Dari sorot mata mereka Kiai Gringsing menangkap siratan perasaan mereka. Ketakutan.
Swandaru yang lemah masih tergantung pada guru dan kakak seperguruannya. Suara orang yang mengerumuninya terdengar semakin ribut. Dan mereka terdiam ketika Kiai Gringsing menjawab, “Anakku telah digigit ular.”
“Digigit ular?” hampir serentak orang-orang itu mengulang.
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Sesaat ia menunggu. Kemudian didengarnya nafas yang berdesah dari hidung mereka yang mengerumuninya. Bahkan ada seseorang yang berkata tanpa disadarinya, “Syukurlah.”
“He, kenapa kau berkata begitu?” bertanya Kiai Gringsing.
“Maksudku itu lebih baik daripada digigit hantu. Digigit ular masih mungkin diobati. Tetapi digigit hantu?” orang itu mengangkat bahunya.
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya wajah murid-muridnya sejenak, kemudian katanya, “Ya. Syukurlah bahwa yang menggigit anakku adalah ular. Bukan hantu.”
Orang-orang yang mengerumuninya mengangguk-angguk. Tetapi sejenak kemudian salah seorang bertanya, “Tetapi, meskipun anakmu hanya digigit ular, bagaimana keadaannya? Apakah ia sudah berangsur baik atau masih perlu mendapat pertolongan? Di perkemahan ada seorang dukun yang pandai, yang mungkin dapat mengobati bisa ular. Tetapi kalau sakitnya disebabkan oleh hantu-hantu, kau harus berhubungan dengan dukun yang lain.”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Jawabnya kemudian, “Sementara anakku sudah tertolong. Tetapi baiklah aku akan menghubungi dukun yang pandai itu.”
“Baiklah. Baiklah. Marilah kita pulang. Kami pun telah mulai berkemas-kemas pula.”
Maka Kiai Gringsing pun kemudian meneruskan langkahnya sambil memapah Swandaru bersama-sama dengan orang-orang yang memang telah selesai bekerja untuk hari itu.
“Itulah rumahnya. Ia sudah berhasil membuat rumah sendiri meskipun kecil,” berkata orang yang mengenal dukun yang pandai itu. “Datanglah kepadanya.”
“O, ia tidak tinggal di perkemahan?”
“Beberapa orang yang tinggal dekat dengan perkemahan, menempati rumah mereka masing-masing. Tetapi setiap rumah masih dihuni oleh dua atau tiga keluarga untuk mengurangi ketakutan di malam hari. Sedang rumah-rumah yang meskipun sudah siap ditempati, tetapi terletak agak jauh, ternyata sampai saat ini masih tetap kosong.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Terima kasih,” katanya, “aku akan singgah ke rumah itu.”
Kiai Gringsing pun kemudian membawa Swandaru singgah ke rumah yang ditunjukkan kepadanya. Perlahan-lahan ia mengetuk pintu rumah itu yang masih sedikit terbuka.
Seorang yang berjanggut dan berambut putih menjengukkan kepalanya dari lubang pintunya. Sambil mengerutkan keningnya ia bertanya, “He, siapa kau?”
“Kiai,” berkata Kiai Gringsing, “anakku telah keracunan. Apakah Kiai sudi mengobatinya?”
“He, anakmu?”
“Ya, anakku, Sangkan.”
Tetapi jawab yang didengarnya telah membuat hati Kiai Gringsing dan kedua muridnya kecewa, “Tunggu. Bukankah kau lihat bahwa aku baru saja datang dari kerja seperti kalian? Aku masih belum mandi.”
Kiai Gringsing menjadi heran. Seorang dukun seharusnya lebih mementingkan orang-orang yang sakit daripada membersihkan diri betapa pun kotor tubuhnya. Apalagi keracunan.
Karena itu ia mencoba menjelaskan, “Kiai, anakku telah keracunan. Aku sudah berhasil menahannya untuk sementara. Tetapi aku memerlukan seorang dukun untuk meyakinkan kerja racun yang ada di dalam tubuh anakku.”
“Tunggu. Tunggu!” orang itu membentak. “Lihat, aku belum meletakkan parang pemotong kayu ini. Ikat kepalaku pun masih tersangkut di leher. Kalau kau tidak sempat menunggu, pergilah.”
Kiai Gringsing benar-benar menjadi kecewa. Niatnya untuk mencoba bersama-sama mempelajari kemungkinan-kemungkinan yang terjadi atas Swandaru telah lenyap. Dengan seorang kawan yang mengerti tentang berbagai macam racun ia mengharap dapat mencari jawab atas apa yang telah terjadi itu. Tetapi agaknya orang ini tidak dapat diajak berbicara dengan baik.
Meskipun demikian sekali lagi Kiai Gringsing masih mencoba, “Kiai anakku memerlukan pertolongan segera.”
“O, begitu,” jawabnya. “Carilah orang lain yang bersedia memberikan pertolongan segera.”
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Terdengar Agung Sedayu berdesis, “Kita pergi saja, Guru.”
Kiai Gringsing menjadi ragu-ragu. Tetapi ia terpaksa mengusap dadanya ketika orang yang berjanggut dan berambut putih itu lenyap masuk ke dalam tanpa mempersilahkan mereka duduk.
“Sedayu,” bisiknya, “memang perlakuan ini cukup menyakitkan hati, tetapi kalau benar-benar ia seorang yang menguasai masalah ini, mungkin aku akan mendapatkan petunjuk lebih banyak tentang keanehan-keanehan yang telah terjadi. Orang ini telah cukup lama tinggal di sini. Mungkin ia mempunyai banyak bahan yang dapat memberikan jalan atau setidak-tidaknya petunjuk.”
“Tetapi sikapnya, Guru. Apakah orang itu dapat diajak berbicara?”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Di samping orang yang kekurus-kurusan, kemudian orang yang bertubuh tinggi dan kekar, sekarang ia menemukan satu orang lagi yang telah menarik perhatiannya.
Namun dengan demikian keinginan Kiai Gringsing kini justru beralih untuk mengenal orang itu lebih dekat.
Karena itu maka ia pun menjadi termangu-mangu sejenak. Di satu pihak, Agung Sedayu yang merasa tersinggung ingin segera meninggalkan tempat itu, namun di lain pihak, ia akan mendapat kesempatan untuk mengenal dukun yang pandai itu.
“Bagaimana, Guru?” bertanya Agung Sedayu. “Kasihan Adi Swandaru, ia harus segera berbaring dan beristirahat. Tubuhnya masih terlampau lemah.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih berdiri saja di tempatnya.
Agung Sedayu pun akhirnya menjadi termangu-mangu juga. Ia tidak mengerti maksud gurunya yang sebenarnya.
“Sedayu,” berkata gurunya, “ambil ketepe belarak itu. Kita baringkan Swandaru sebentar sambil menunggu.”
“Jadi, jadi Guru ingin juga bertemu dengan orang itu?”
Kiai Gringsing menganggukkan kepalanya. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak berkata sesuatu.
“Duduklah sebentar, Swandaru,” berkata gurunya, “aku layani kau sejenak, sementara Agung Sedayu mengambil ketepe belarak itu. Meskipun sudah agak kering, tetapi kau dapat berbaring sambil menunggu. Orang ini sangat menarik perhatianku.”
Swandaru menganggukkan kepalanya, sedang Agung Sedayu tidak dapat berbuat lain daripada meletakkan Swandaru duduk di tanah, dilayani oleh gurunya. Kemudian ia sendiri berjalan dengan penuh keragu-raguan mengambil ketepe di sudut rumah itu.
Sejenak Swandaru terbaring diam. Sementara Kiai Gringsing berbisik kepada Agung Sedayu, “Orang inilah yang sekarang menarik perhatianku. Aku tidak mau dibayangi oleh teka-teki dan rahasia yang semakin lama menjadi semakin banyak dan kisruh.”
Agung Sedayu pun kemudian dapat mengerti maksud gurunya. Karena itu, betapa ia merasa tersinggung, namun ditahankannya juga hatinya untuk duduk menunggu dukun yang sedang membersihkan dirinya itu.
“Begitu lama, Guru. Hari sudah menjadi semakin gelap.”
“Kebetulan, sekali,” jawab gurunya, “bukankah kita memang ingin melihat gelap?”
“Tetapi Swandaru?”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Namun katanya kemudian. “Keadaannya tidak mengkhawatirkan.”
Agung Sedayu tidak dapat membantah lagi. Gurunya pasti sudah mengetahui apa yang sebaiknya dilakukan untuk kepentingan Swandaru yang sedang sakit itu.
“Tetapi pesanku kepada kau berdua,” berkata gurunya kemudian, “jangan terpengaruh oleh ceritera hantu itu. Aku tidak mengatakan bahwa kita harus menolak kepercayaan bahwa hantu itu memang ada. Tetapi kita harus berdiri di atas suatu kepercayaan, bahwa kita selalu menyerahkan nasib kita kepada Sumbernya. Sumber Yang Tunggal. Pusat dari segala kekuasaan. Mungkin hantu-hantu itu memang mempunyai kekuasaan untuk melakukan sesuatu, tetapi kekuasaannya sama sekali tidak berarti dibandingkan dengan kekuasaan Yang Maha Kuasa. Karena itu, apabila kita percaya sepenuhnya, tanpa ragu-ragu, maka kita akan mendapat perlindungan-Nya . Itulah sebabnya aku sama sekali tidak terpengaruh oleh berita tentang hantu-hantu itu, meskipun aku tidak menolak kemungkinan itu.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sedang Swandaru yang berbaring itu pun mengangguk-angguk pula. Keduanya merasa, seakan-akan gurunya itu melihat getar jantungnya. Keragu-raguan yang menyusup di dalam dada mereka. Bahkan hampir menjadi suatu kepercayaan, bahwa mereka memang harus menarik diri dari kerja yang sedang mereka lakukan, karena hantu-hantu itu tidak membenarkannya.
Dalam pada itu, sejenak kemudian laki-laki yang berkumis dan berambut putih itu pun muncul dari balik pintu. Kini pakaiannya telah diaturnya dengan rapi. Ikat kepalanya sudah dikenakannya, menutupi rambutnya yang sudah hampir seluruhnya menjadi uban.
“Ternyata kalian masih menunggu,” desisnya.
“Ya, Kiai, kami masih menunggu karena kami memerlukan perawatan.”
“Anakmukah yang keracunan?”
“Ya, Kiai.”
“Kenapa?”
“Mungkin digigit ular. Mungkin oleh sebab-sebab yang lain.”
“Gila. Kenapa kau tidak dapat mengatakan dengan pasti?”
“Kami memang tidak pasti. Tiba-tiba saja anakku, Sangkan ini, menjadi muntah-muntah.”
“Darah?”
“Ya, Kiai.”
“Di tempat kerjamu yang terpencil itu?”
“Ya.”
Tiba-tiba orang itu menjadi tegang. Lalu katanya, “Kenapa kau datang kemari? Itu sama sekali bukan urusanku. Aku tidak mau terlibat di dalam persoalan dengan kekuasaan yang tidak kasat mata itu.”
“Kekuasaan apa yang Kiai maksudkan?”
“Kekuasaan hantu-hantu.”
“Tidak, Kiai. Ini sama sekali tidak ada sangkut pautnya. Anakku keracunan seperti tanda-tanda keracunan yang pernah aku dengar. Untunglah bahwa aku masih mempunyai sebutir obat pemunah racun yang aku bawa dari padukuhanku dahulu.”
“Tetapi kenapa kau dapat mengatakan bahwa anakmu digigit ular? Apakah anakmu merasakan gigitan itu?”
“Tidak, Kiai. Memang tidak. Ular adalah salah satu dari kemungkinan masuknya racun. Mungkin serangga-serangga berbisa atau mungkin semacam duri-durian. Atau apa pun.”
“Hantu. Aku sudah pasti.”
“Kalau sakitnya disebabkan oleh hantu-hantu, maka obat pemunah racun yang tinggal sebutir itu pasti tidak akan berdaya. Tetapi nyatanya ia berangsur baik.”
“Kalau anakmu sudah berangsur baik, kenapa ia kau bawa kemari.”
“Sudah aku katakan, aku ingin meyakinkannya, Kiai.”
Orang tua yang berkumis dan berambut putih itu memandang Swandaru yang terbaring di tanah beralaskan ketepe belarak yang sudah kering. Sedang langit pun telah menjadi semakin buram. Satu-satu bintang muncul seakan-akan dari ketiadaan.
“Sebentar lagi, malam yang kelam akan turun. Bagaimana kalian akan kembali?”
“Apakah kami dapat bermalam di pondok ini Kiai. Di mana pun kami dapat tidur nyenyak.”
“Gila kau,” bentak orang itu, “rumah ini sudah dihuni oleh tiga keluarga. Aku sendiri tidak mempunyai sanak dan kadang.”
“Kalau begitu, baiklah kami akan segera kembali ke barak, apabila kami sudah mendapat keyakinan bahwa anakku akan menjadi baik.”
“Kalian memang orang-orang yang sombong. Kalian berpura-pura menjadi pemberani. Tetapi sebenarnya kalian adalah penakut yang paling licik.”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya, “Kami memang bukan pemberani,” jawabnya, “itulah sebabnya aku mohon diperkenankan bermalam di sini. Kalau tidak, sudah tentu kami harus kembali ke barak.”
“Persetan,” geramnya sambil mendekati Swandaru. Perlahan-lahan ia pun berjongkok di samping anak yang gemuk itu. Dirabanya, kemudian perut dan tangannya.
Menilik sentuhan tangannya, Kiai Gringsing segera mengetahui bahwa sebenarnya orang itu memang memahami ilmu obat-obatan. Namun sampai berapa jauh ia menguasai masalahnya itulah yang ingin diketahuinya.
“Obatmu cukup baik,” berkata orang itu, “tetapi kenapa sebenarnya anakmu ini?”
Kiai Gringsing menggeleng, “Aku tidak tahu pasti, Kiai.”
“Jadi tidak digigit ular?”
“Seperti yang aku katakan, ular hanyalah salah satu kemungkinan.”
Namun tiba-tiba wajah orang tua itu menjadi tegang. Katanya, “Kau dengar suara dari jantungnya?”
Kiai Gringsing menjadi heran.
“Ia tidak digigit ular. Memang tidak.”
“Lalu?”
“Benar ia keracunan,” lalu orang itu menunjuk noda darah di pakaian Swandaru yang sudah kering dan tidak jelas lagi karena warnanya telah menjadi kehitam-hitaman, “darah apa ini?”
Kiai Gringsing menjadi ragu-ragu sejenak. Namun, kemudian ia berkata, “Darahnya sendiri. Tetapi itu tidak ada hubungan apa-apa dengan sakitnya. Ketika ia kemarin terkena parang, maka tanpa disadarinya, diusapkannya tangannya ke bajunya.”
“Kemarin?”
“Ya,” jawab Kiai Gringsing.
“Kenapa sekarang baju yang bernoda darah ini masih dipakainya saja?”
“Anak ini tidak mempunyai pakaian yang lain.”
“Jangan bohongi aku. Darah ini bukan darah kemarin. Aku adalah dukun yang baik.”
Kiai Gringsing menjadi berdebar-debar. Seandainya tidak digelapnya malam yang sedang turun, tampak betapa wajahnya menjadi merah. Mungkin orang lain tidak dapat membedakan apakah yang melekat di baju Swandaru itu darah atau getah pepohonan atau kotoran dan noda apa pun juga karena telah menjadi kering. Tetapi seorang dukun akan dapat membedakannya, bahwa darah itu sudah lama melekat atau baru beberapa saat. Dan ia khilaf bahwa yang dibawanya berbicara kali ini adalah seorang dukun.
“Berbicaralah terus terang,” desak dukun itu.
Tetapi Kiai Gringsing sudah terlanjur mengatakannya, sehingga untuk menutup kekeliruannya ia bertahan, “Benar, Kiai, darah ini adalah darah yang kemarin.”
“Jangan, bohong,” dukun itu membentak, “atau bawa saja anakmu pergi. Aku tidak akan bersedia mengobatinya.”
“Kiai,” berkata Kiai Gringsing, “tolonglah anakku. Dan darah itu benar-benar darah kemarin.”
Dukun itu mengerutkan keningnya. Katanya Kemudian, “Baiklah kalau kau tetap akan berbohong. Tetapi aku tetap berpendapat, bahwa darah ini adalah darah yang baru. Maksudku, hari ini.”
Kiai Gringsing tidak menjawab. Dipandanginya saja dukun yang kemudian meraba tubuh Swandaru itu kembali. Dipijit-pijitnya bagian perutnya dan kemudian menjalar naik sampai ke lehernya. Namun semuanya itu tidak lepas dari pengamatan mata Kiai Gringsing yang tajam.
Semakin lama semakin yakinlah Kiai Gringsing, bahwa orang itu memang orang yang mengenal dengan baik ilmu pengobatan. Karena itu maka Kiai Gringsing sama sekali tidak boleh lengah.
Namun tiba-tiba orang itu bergeser surut dan berkata, “Anakmu sama sekali tidak digigit seperti yang aku katakan. Racun yang ada di dalam tubuhnya bukanlah racun yang membunuh.” Ia berhenti sejenak, “Kenapa kau beri anakmu obat yang kau bawa dari pedukuhanmu itu?”
“Aku hanya mengikuti petunjuk dari seorang dukun yang baik di padukuhanku. Ia tahu aku akan menebas hutan. Karena itu ia berikan obat itu dengan pesan, setiap saat salah seorang dari kami keracunan, kami harus menelannya.”
“Tetapi kali ini obatmu tidak akan dapat menyembuhkannya. Racun yang ada di dalam tubuhnya bukanlah racun biasa. Aku belum pernah mengenal jenis racun seperti ini.”
“Lalu?” Kiai Gringsing mengerutkan keningnya.
“Sudah aku katakan. Racun ini datangnya sama sekali bukan dari ular, serangga atau pepohonan yang beracun. Tetapi racun ini datangnya begitu saja tanpa sebab. Kau tahu maksudku?”
“Hantu? Begitu?”
“Bertanyalah kepada dukun yang mengenal ilmu gaib. Tidak kepadaku. Aku tidak berani menanggung kemarahan hantu-hantu itu kalau aku mencoba mengobatinya.”
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia yakin kalau dukun itu tidak berkata sebenarnya seperti yang ia ketahui. Racun yang ada di dalam tubuh Swandaru memang bukan racun ular, tetapi bukan berarti tidak dapat diobati. Tanda-tanda pada tubuh Swandaru menunjukkan bahwa ia keracunan. Tidak ada tanda-tanda yang menyimpang, Padahal ia menduga bahwa dukun itu memiliki pengetahuan pengobatan yang cukup.
“Apakah ada kesengajaan ia tidak mau mengobati Swandaru ataukah maksud-maksud yang lain?” orang itu bertanya di dalam hati.
“Pergilah,” berkata dukun itu. “Kalau kau tidak segera mendapat pengobatan yang seharusnya, aku tidak tahu akibat apa yang bakal terjadi atas anakmu ini.”
“Tetapi apakah benar-benar Kiai tidak dapat berbuat apa-apa.”
“Kalau ia keracunan biasa, digigit ular atau binatang-binatang lain, aku sanggup mengobatinya. Tetapi kali ini tidak.”
“Jadi bagaimanakah dengan anakku ini?”
“Bawalah kepada dukun yang seharusnya mengobatinya.”
“Di manakah rumahnya.”
“Datanglah ke barak. Hampir setiap orang mengenal dukun itu.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Orang itu benar-benar tidak bersedia mengobati luka-luka Swandaru. Karena itu maka katanya, “Baiklah. Aku akan pergi ke dukun yang mengenal ilmu gaib itu.”
“Nah, sebaiknya kau memang pergi. Tetapi kau harus berkata berterus terang. Katakan pula bahwa kau telah datang ke rumah ini dan bertemu dengan aku.”
“Baiklah, Kiai, aku minta diri.”
“Tunggu,” berkata orang itu, “aku mempunyai sesuatu.”
Orang itu pun kemudian masuk ke rumahnya. Sejenak kemudian ia keluar pula sambil membawa sebungkus obat-obatan. Katanya, “Kalau kau bersedia datang ke dukun itu, bawalah obatku ini. Tunjukkan kepadanya dan mintalah syarat. Kau dapat juga bertanya kepadanya tentang bermacam-macam hal tentang penyakit anakmu dan kemungkinan-kemungkinan yang bakal datang.”
“Jadi, jadi Kiai memberinya obat juga?”
“Bukan aku. Aku hanya memberikan bahan. Tanggung jawabnya akan diambil alih oleh dukun ilmu gaib itu. Kau mengerti? Kalau ia menolak obat ini, itu adalah haknya.”
“Baiklah. Baiklah.”
Kiai Gringsing pun kemudian minta diri bersama kedua anaknya.
“Hati-hatilah. Kau harus segera menemui dukun itu.”
“Malam ini?”
“Ya, malam ini.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya, “Baiklah. Terima kasih atas segala petunjuk Kiai.”
Ketiganya pun kemudian meninggalkan rumah itu. Hari sudah menjadi semakin gelap. Di kejauhan tampak lampu obor di gardu pengawas dan di sudut-sudut dan serambi barak. Beberapa buah rumah yang bertebaran telah menutup pintunya rapat-rapat.
Ketika mereka telah keluar dari halaman rumah dukun itu, Agung Sedayu yang hampir tidak tahan lagi segera bertanya, “Apakah Guru mempercayainya?”
“Tidak seluruhnya,” jawab Kiai Gringsing.
“Dan Guru akan pergi juga ke rumah dukun ilmu gaib itu?”
“Aku akan pergi ke sana.”
“Untuk mendapatkan kesembuhan Swandaru?”
“Aku ingin melihat apa yang dikerjakannya.”
Agung Sedayu tidak bertanya lagi. Kali ini pun ia mengerti maksud gurunya.
Dengan hati-hati Agung Sedayu bersama gurunya berjalan memapah Swandaru yang masih lemah. Tetapi ternyata keadaan Swandaru menjadi berangsur baik. Agaknya obat yang didapatkannya dari gurunya benar-benar mampu melawan racun yang ada di dalam tubuhnya. Sehingga sebenarnya, tidak ada lagi gunanya untuk pergi ke dukun yang lain untuk mendapatkan pengobatan.
“Guru,” Swandaru itu pun kemudian berdesis, “apakah Guru masih menganggap perlu, berhubungan dengan orang lain? Bukankah dengan demikian justru akan timbul kemungkinan, obat yang aku dapatkan daripadanya tidak sebaik obat Guru sendiri.”
“Memang mungkin, Swandaru,” jawab gurunya, “tetapi kami tidak akan mempergunakan obat-obat itu.”
“Jadi?”
“Semata-mata untuk mengetahui, apakah yang mereka lakukan.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya pula.
Ketika mereka sampai di depan gardu pengawas, maka para petugas pun segera mengerumuninya dan bertanya tentang keadaannya.
“Aku dengar kau singgah di rumah dukun itu.”
“Ya, kami telah singgah di rumahnya. Anakku telah mendapat pengobatan seperlunya. Ia sudah berangsur baik,” jawab Kiai Gringsing.
“Syukurlah,” berkata salah seorang dari mereka. “apakah kata dukun itu tentang penyakit anakmu.”
“Keracunan. Seperti yang sudah aku katakan. Anak ini memang digigit ular. Tetapi bukan ular yang bisanya tajam. Meskipun demikian, kalau terlambat, akibatnya tidak kita harapkan.”
“Syukurlah. Bawalah anakmu beristirahat.”
Kiai Gringsing pun kemudian membawa Swandaru berjalan terus. Di barak pun mereka telah dikerumuni oleh para penghuninya. Jawab Kiai Gringsing pun tidak berubah seperti yang selalu dikatakannya, “Digigit ular. Namun dukun yang baik itu mengharap aku menemui dukun ilmu gaib. Di manakah tempatnya?”
“He,” beberapa orang mengerutkan keningnya, “jadi anakmu tidak digigit ular biasa.”
“Ular biasa. Namun supaya semuanya yakin, aku diharap membawa anakku yang sakit ini.”
“Sekarang?”
“Ya. sekarang.”
“O, jangan sekarang. Jalan ke rumahnya sangat mengerikan.”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Tetapi ia ingin memenuhi pesan dukun yang menyuruhnya pergi ke rumah orang yang menguasai ilmu gaib itu. Bukan karena ia mempercayainya sepenuhnya, tetapi Kiai Gringsing lebih condong untuk mengetahui, apakah sebenarnya yang terjadi di daerah penebasan hutan ini di dalam keseluruhan.
“Di manakah rumahnya?” Kiai Gringsing kemudian bertanya.
Orang-orang yang mengerumuninya saling berpandangan. Sejenak mereka tidak ada yang menjawab. Dan orang yang semakin lama semakin banyak itu telah dibayangi oleh keragu-raguan.
Dalam pada itu orang yang kekurus-kurusan mendesak di antara mereka yang mengerumuni Kiai Gringsing sambil bertanya, “Apa yang telah terjadi?”
Sebelum Kiai Gringsing menjawab, orang itu telah berkata pula, “Nah lihat. Akibat dari keberanian kalian yang kurang perhitungan.”
“Bukan keberanian, tetapi kesombongan,” berkata orang yang bertubuh kekar.
Kiai Gringsing memandang kedua orang itu berganti-ganti, lalu, “Anakku digigit ular.”
“Apa pun sebabnya, tetapi itu adalah akibat kemarahan hantu-hantu itu. Sekarang anakmu digigit ular, tetapi lain kali kau akan ditelan harimau. Atau kalian akan sakit tanpa sebab.”
Kiai Gringsing tidak menyahut. Namun tampak wajah-wajah yang ketakutan mengitarinya.
“Kalau hanya kalian bertiga saja yang menjadi korban oleh kesombonganmu, itu tidak berarti apa-apa bagi kami. Tetapi kalau mereka marah, dan kami pula harus menanggung akibatnya, maka itu adalah kecelakaan yang pahit. Dan sebab daripadanya adalah kau.”
Agung Sedayu bergeser setapak. Namun gurunya menggamitnya sambil mengedipkan matanya.
“Jadi, apakah yang sebaiknya aku lakukan?”
“Batalkan niatmu menebas hutan di bagian yang paling wingit itu.”
“Itu bukan maksudku. Bukan akulah yang memilihnya.”
“Tetapi kau dapat minta kepada para petugas, agar kau ditempatkan bersama dengan kami.”
“Baiklah. Aku akan membicarakannya dengan para petugas,” sahut Kiai Gringsing, “tetapi di mana rumah dukun ilmu gaib itu?”
“Tunggulah sampai besok.”
“Aku tidak berani menanggung akibatnya. Menurut petunjuk, aku harus pergi sekarang juga.”
“Gila. Kalian memang orang-orang yang tidak mempunyai perhitungan,” geram orang yang kurus, “tetapi baiklah. Niatmu pergi ke rumah dukun itu baik. Mengobati anakmu dan agaknya kau akan bertobat dan menurut segala petunjuknya, nasehatnya, dan sudah tentu cara-cara pengobatannya.”
“Ya.”
“Kalau begitu, kau dapat pergi kepadanya.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya, “Tetapi bagaimana kalau niatku tidak demikian?”
“He, kau jangan berbuat gila.”
“Maksudku, kalau ada orang yang berbuat demikian.”
“Ia tidak akan sampai ke rumah dukun ilmu gaib itu.”
“Dan kenapa dukun ilmu gaib itu sendiri berani tinggal di tempat yang mengerikan.”
“Kau orang sombong yang bodoh,” berkata orang yang kekar. “Ia memiliki segala macam ilmu lahir dan batin. Ia dapat bergaul dengan baik dengan hantu-hantu itu.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Kemudian katanya, “Kalau begitu, aku akan mendahului para petugas. Mohon kepadanya agar ia bersedia berada di antara kita, supaya kita tidak selalu diganggu oleh hantu-hantu itu. Kalau dukun itu bersedia mengawani kita di sini, bukankah kita akan aman.”
“Gila kau. Itu pikiran gila. Aku nasehatkan kepadamu, jangan berpikir yang bukan-bukan supaya kau tidak dicekik di perjalanan.”
“Baiklah,” jawab Kiai Gringsing, “sebaiknya aku segera berangkat.”
“Tetapi kau belum makan,” berkata seseorang yang lain, “rangsummu masih ada di tempatnya.”
“O, baiklah. Kami akan makan lebih dahulu. Tetapi kami belum mendapat petunjuk di mana rumah itu.”
Orang yang kurus itu pun kemudian berkata, “Kau ikut jalan di muka barak ini terus ke Timur. Kemudian di sebelah pohon yang besar, di sebelah selokan yang baru dibuat itu, kau berbelok ke kanan.”
“Apakah di sana ada jalan?”
“Jalan setapak.”
“Jauh? “
“Tidak begitu jauh. Kau akan sampai ke sebuah sungai.”
“Yang curam itu?”
“Ya. Kau naik ke seberang, kemudian masuk ke daerah yang masih belum banyak diambah orang.”
“Apakah ia tinggal di dalam hutan?”
“Ya. Tetapi hutan itu tidak selebat yang kita kerjakan di sini. Justru karena hutan itu tidak begitu buas, maka daerah itu masih dibiarkan. Tetapi lebih daripada itu, daerah itu sangat wingit. Jauh lebih wingit dari yang kau kerjakan sekarang.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ia tinggal di antara batu-batu besar yang berserakan, di bawah sebatang pohon preh yang tua sekali. Ia membangun pondoknya di situ. Jarang sekali orang yang berani mengunjunginya apabila tidak didorong oleh keperluan yang sangat mendesak seperti kau ini”
“Ya, ya aku tahu. Tetapi jarak itu adalah jarak yang panjang. Lewat daerah yang belum cukup aku kenal dan tentu sangat gelap dan rimbun.”
“Tetapi sekali lagi, kalau niatmu naik, kau tidak akan menemui halangan apa pun.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sadar, bahwa jalan ke tempat orang yang dicarinya itu adalah jalan yang memang rumit. Namun Kiai Gringsing adalah seorang perantau yang telah menempuh jalan yang bagaimanapun juga. Jangankan jalan yang pernah diambah oleh seseorang, sedangkan jalan yang belum pernah disentuh oleh seseorang pun pernah dilewatinya.
Namun sebelum Kiai Gringsing memutuskan untuk pergi, mereka, Kiai Gringsing bersama kedua muridnya, lebih dahulu pergi ke sudut barak, untuk mengambil rangsum mereka.
“Kita makan lebih dahulu,” berkata Kiai Gringsing. Lalu kepada Agung Sedayu ia berkata, “Ambillah semangkuk air untuk mencuci tangan.”
Agung Sedayu pun kemudian mengambil semangkuk air untuk mencuci tangan. Tetapi ketika Kiai Gringsing melihat air itu ia berkata, “Lihat. Aku memerlukan air itu.”
Agung Sedayu tidak mengerti maksud gurunya. Tetapi diberikannya air di dalam mangkuk itu, yang ternyata tidak dipakainya untuk mencuci tangannya.
“Makanlah,” berkata Kiai Gringsing, “tetapi air ini aku perlukan untuk keperluan yang lain.”
Agung Sedayu tidak segera berani bertanya. Maka dibukanya bungkusan makanannya dan kemudian dimakannya dengan lahapnya, seperti juga gurunya. Hanya Swandaru sajalah, yang dengan susah payah berusaha untuk menelan makannya sesuap demi sesuap.
“Makanlah, supaya kau cepat menjadi baik,” berkata gurunya. Dan Swandaru pun telah memaksa dirinya untuk makan sebanyak-banyaknya meskipun ia tidak berhasil menghabiskan rangsumnya seperti biasanya.
Setelah mereka selesai makan, maka berkata Kiai Gringsing, “Kemarilah Swandaru. Aku memerlukan kau.”
Swandaru mengerutkan keningnya, dan selangkah ia bergeser mendekati gurunya.
“Bagaimana keadaanmu sekarang?”
“Semakin baik, Guru.”
“Bagus,” sahut gurunya, “kemarilah. Aku memerlukan noda-noda di bajumu itu.”
Swandaru masih belum mengerti maksud gurunya. Karena itu, ia mendekat lagi.
“Bukalah bajumu. Gantilah dengan bajumu yang sebuah lagi.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Dibukanya dan ia mengenakan bajunya yang lain.
Kiai Gringsing menerima baju Swandaru yang telah kotor itu. Baju yang memang sudah kumal dan lusuh, yang selalu dipakainya sehari-hari apabila ia pergi bekerja.
“Untunglah kau tidak berbuka baju saat itu,” berkata Kiai Gringsing. “Bukankah kau biasanya membuka bajumu kalau bekerja?”
“Ya, Guru.”
Kiai Gringsing menganggukkan kepalanya. Perlahan-lahan Kiai Gringsing membasahi noda darah di baju Swandaru sambil berdesis, “Lihat, apakah ada orang yang mengamati kita?”
Agung Sedayu menebarkan pandangan matanya berkeliling. Dilihatnya orang-orang lain sibuk dengan kepentingannya sendiri. Sedang orang yang kekurus-kurusan berdiri di pintu barak memandang ke luar. Di luar, di serambi barak, beberapa orang telah berbaring di tempat masing-masing.
“Awasilah, jangan ada orang yang melihat apa yang aku lakukan.”
“Baiklah, Guru.”
Kiai Gringsing sendiri berpaling sejenak. Kemudian ia duduk menghadap ke dinding. Dicelupkannya ujung baju Swandaru yang terpercik darah orang yang tiba-tiba saja telah memeluk Swandaru dalam keadaan luka parah.
Sejenak Swandaru menatap wajah gurunya yang tegang. Dengan teliti Kiai Gringsing mengamati titik air yang kemudian menjadi kemerah-merahan.
Wajah orang tua itu semakin lama menjadi semakin tegang memandangi air di dalam mangkuk itu, sehingga akhirnya ia menarik nafas dalam-dalam.
“Kenapa, Guru?” bertanya Swandaru.
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Ada sesuatu tersimpan di hatinya. Namun ia hanya berkata, “Aku masih harus meyakinkan banyak hal di sini.” Ia merenung sejenak, lalu, “Swandaru, kau tidak usah ikut aku ke tempat dukun itu. Biarlah Agung Sedayu menunggui kau di sini. Aku akan pergi sendiri.”
“Apakah artinya, Guru?”
“Jangan terlampau keras,” potong Kiai Gringsing cepat-cepat. “Biarlah sementara aku tidak mengatakannya sebabnya. Tetapi untuk menempuh jalan yang sulit itu. Swandaru masih terlampau lemah.”
“Tidak, Guru. Aku sudah menjadi semakin baik.”
“Tetapi jalan itu sangat sulit.”
Swandaru mengerutkan keningnya. Ketika ia memandang wajah Agung Sedayu, ia melihat pertanyaan yang tersirat pula di sorot matanya.
“Jangan ributkan hal ini,” berkata gurunya, “aku akan pergi sendiri. Swandaru masih harus berbaring dengan tenang untuk mendapatkan tenaganya kembali seperti sediakala.” Katanya kepada Agung Sedayu, “Tungguilah adikmu. Ingat, pada orang-orang yang aneh itu. Kepada orang yang kurus dan orang yang bertubuh kekar itu. Biar saja apa yang mereka katakan dan mereka nasehatkan. Dengar saja dan anggukkan kepalamu kalau kau segan mengiakannya.”
Agung Sedayu tidak segera menyahut. Tetapi keragu-raguannya menjadi semakin membayang di wajahnya.
“Untuk sementara kau pasti akan berteka-teki. Tetapi pada saatnya kau akan mengetahui, apa yang sebenarnya aku lakukan.”
Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan kepala mereka.
“Tetapi, bukankah Guru akan segera kembali?”
“Aku akan berusaha untuk segera kembali. Kalau lewat tengah malam aku belum juga kembali, aku menemui kesulitan.”
Dada Agung Sedayu berdesir. Dengan demikian ia sadar, bahwa gurunya pun merasa bahwa masalah yang dihadapinya bukan sebuah permainan yang mengasikkan. Tetapi gurunya menganggap bahwa masalah adik seperguruannya itu adalah masalah yang bersungguh-sungguh.
Dengan demikian hampir di luar sadarnya ia berkata, “Kalau Guru tidak kembali setelah tengah malam, apakah aku harus mencarinya?”
“Terima kasih. Tetapi jangan diburu oleh nafsu dan perasaan,” jawab gurunya. “Kalau aku tidak dapat menghindarkan diri dari kesulitan itu, maka kau pasti hanya akan menambah jumlah korban.”
“O,” Agung Sedayu menundukkan kepalanya, “jadi bagaimana?”
“Agung Sedayu dan Swandaru,” Kiai Gringsing semakin bersungguh-sungguh, “kalau aku tidak kembali, jangan coba-coba untuk mencari sendiri.”
“Lalu?”
“Kau berdua harus menghadap Raden Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar.”
Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ceriterakan apa yang telah terjadi,” sambung gurunya, lalu, “tetapi aku agaknya berpikir terlampau jauh. Agaknya tidak akan ada apa-apa di sepanjang jalan.”
“Mudah-mudahan, Guru.”
“Tetapi ingat, hati-hatilah kalian di sini. Jangan berbuat sesuatu yang dapat menambah kesulitan.”
Kedua muridnya menganggukkan kepalanya.
“Aku akan membawa obat pemberian dukun itu. Mudah-mudahan aku menemukan sesuatu.”
Kiai Gringsing pun kemudian minta diri kepada kedua muridnya, dan kemudian beberapa orang yang masih duduk-duduk di dalam barak yang diterangi oleh lampu minyak itu.
“He, kau tidak jadi membawa anakmu yang sakit itu?”
“Aku berubah pendapat,” katanya, “aku pikir jalan sangat sulit untuk orang yang sedang sakit. Aku akan pergi sendiri.”
Tiba-tiba saja orang yaag kurus itu pun mendekatinya, “Jadi kau pergi sendiri?”
“Aku kasihan kepada anakku. Ia masih terlampau lemah dan barangkali justru akan mempersulit perjalanan.”
“Lalu, bagaimana dukun sakti itu dapat mengobati anakmu kalau ia tidak melihat keadaannya.”
“Aku yakin bahwa dukun sakti itu mengerti apa yang dihadapinya tanpa melihat orangnya.”
Orang yang kurus itu tidak menyahut lagi. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia memandang Kiai Gringsing melangkah keluar pintu barak. Di luar malam telah menjadi semakin kelam, dan orang-orang yang hanya berada di serambi barak itu telah berbaring di tempat masing-masing.
“Kau terlampau berani,” seseorang berdesis.
Kiai Gringsing berpaling. Katanya kemudian, “Inilah kuwajiban seorang ayah. Betapa pun aku dicengkam oleh ketakutan tetapi aku harus berangkat. Anakku memerlukannya.”
Orang itu memandanginya dengan penuh iba. Terdengar ia berdesis, “Truna Podang, meskipun tampangmu seperti seorang badut kecil, tetapi kau adalah seorang ayah yang baik. Seandainya aku yang menanggung peristiwa semacam itu, aku tidak akan berani berbuat seperti kau. Aku pasti akan mati beku di sepanjang jalan menuju ke rumah dukun sakti yang dikerumuni …………….,” orang itu tidak berani meneruskan kata-katanya.
Seorang kawannya yang berbaring di sampingnya telah menyentuhnya.
“Dikerumuni apa?” bertanya Kiai Gringsing meskipun sebenarnya ia tahu, kata-kata apakah yang tidak terlontar dari mulut orang itu.
Orang itu hanya menggelengkan kepalanya saja, sedang Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam.
Di luar Kiai Gringsing masih melihat orang yang kekar itu berjalan sambil menjinjing sebuah mangkuk berisi air. Ketika orang itu melihat pula Kiai Gringsing, ia bertanya, “Kau jadi akan pergi?”
“Ya.”
“Mana anak-anakmu?” bertanya orang yang kekar itu.
“Aku berubah pendirian. Aku tidak membawa anak-anakku. Yang sakit itu masih terlampau lemah, sedang jalan menuju ke tempat dukun ilmu gaib itu terlampau sulit.”
Orang yang bertubuh kekar itu mengerutkan keningnya Lalu katanya, “Apakah sebenarnya maksudmu?”
“Aku tidak mengerti pertanyaanmu.”
“Kenapa anakmu tidak kau bawa?”
“Ia masih terlampau lelah.”
“Bukankah anakmu yang sakit, yang kau katakan digigit ular itu?”
“Ya.”
“Terserahlah kepadamu. Aku tidak tahu, apakah yang seharusnya kau lakukan, supaya kau selamat. Kau adalah orang yang keras kepala. Orang yang keras kepala seperti kau itulah yang biasanya akan menjumpai banyak kesulitan.”
“Mudah-mudahan aku tidak,” sahut Truna Podang, “aku sudah terlampau bingung karena anakku sakit. Aku tidak dapat berbuat lain. Aku tidak sempat memikirkan diriku sendiri.”
“Sama sekali tidak. Kau sama sekali tidak memikirkan keselamatan anak-anakmu. Kau terlampau mementingkan dirimu sendiri.”
“Kenapa?”
“Kalau kau mau mundur setapak, maka anak-anakmu akan selamat. Tanah itu adalah tanah yang wingit. Berapa orang terpaksa mengurungkan niatnya. Kau sudah mendengar, sekarang kau mengalaminya sendiri. Tetapi kau masih tetap berkeras kepala.”
Kiai Gringsing tidak menjawab. Meskipun kepalanya terangguk-angguk namun sama sekali tidak terbersit niat di hatinya untuk menarik diri dari kerja yang sudah dimulainya. Bukan karena ia ingin sebidang tanah garapan, tetapi ia justru semakin ingin mengetahui apakah yang sebenarnya tengah berlangsung di antara kesibukan Ki Gede Pemanahan dan puteranya yang lagi membuka hutan ini.
Orang yang kekar itu masih berdiri sejenak memandanginya, seakan-akan ia ingin meyakinkan, apakah Kiai Gringsing yang dikenalnya bernama Truna Podang itu benar-benar mengerti maksudnya.
Karena Truna Podang itu tidak menjawab, maka orang itu berkata pula, “Pikirkan kata-kataku sebelum terlanjur. Sekarang, kalau kau mau pergi ke rumah dukun sakti itu, pergilah. Sekali lagi aku pesan, hati-hati di jalan dan jangan berniat untuk berbuat aneh-aneh supaya kau sempat pulang kembali menemui anak-anakmu.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya, “Terima kasih.”
Ketika orang itu meninggalkannya, Kiai Gringsing pun kemudian berjalan tertatih-tatih meninggalkan barak yang menjadi semakin sepi. Seseorang memandanginya dengan perasaan kasihan. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa.
Sejenak kemudian orang yang bertubuh kekar itu pun masuk pula ke dalam barak sambil bergumam, “Orang yang bodoh dan tamak. Dikorbankannya anak-anaknya untuk kepuasan pribadinya. Kalau ia mendapatkan tanah itu, tetapi kehilangan anak-anaknya, buat apakah sebenarnya tanah itu baginya yang sudah begitu tua?”
“Ada apa?” tanya seseorang.
“Truna Podang,” jawab orang itu, “ia sampai hati mengorbankan anak-anaknya untuk mendapatkan harta lahiriah.”
Tidak ada orang yang menyahut. Namun mereka memang sering mendengar hal-hal serupa itu. Orang tua yang sampai hati mengorbankan anak-anaknya untuk mendapatkan kepuasan diri.
“Tetapi Truna Podang justru terlampau cinta kepada anak-anaknya,” berkata seseorang di dalam hati. Tetapi ia tidak mau berbantah lagi. Apalagi malam menjadi semakin dalam, dan ketakutan telah mulai merayapi setiap hati. Terlebih-lebih mereka yang berada di serambi karena ruang di dalam barak telah terlampau penuh.
Dalam pada itu Kiai Gringsing telah menjadi semakin jauh dari barak. Ia masih melihat sinar lampu yang berkeredipan di gardu pengawas yang sepi dan sinar-sinar yang meloncat ke luar dari gubug-gubug yang berserakan. Namun setiap pintu dari gubug-gubug itu telah tertutup rapat. Tergambar di dalam angan-angan Kiai Gringsing, orang-orang yang berjejal-jejal di dalam gubug-gubug itu, dibayangi oleh ketakutan dan kecemasan.
Ketika Kiai Gringsing sudah menjadi semakin jauh dari barak, maka ia pun segera menyingsingkan kain panjangnya. Sekali ia menengadahkan kepalanya, memandang langit yang ditaburi oleh bintang.
Dan orang tua ternyata telah memanjatkan doa di dalam hati. Baginya tidak ada kekuasaan yang melampaui kekuasaan Yang Maha Kuasa. Seribu jin, seribu setan, dan hantu-hantu tidak akan dapat mengatasi kuasa-Nya dan kehendak-Nya. Selagi ia masih di dalam perlindungan-Nya, maka apa saja yang dihadapi tidak akan dapat menggetarkan sehelai bulunya pun.
“Mudah-mudahan aku tidak dilepaskan-Nya karena aku sudah terlampau banyak berbuat dosa,” desisnya.
Kiai Gringsing itu pun kemudian mempercepat langkahnya menembus gelapnya malam. Ia kini bukan lagi Truna Podang yang berjalan terbungkuk-bungkuk. Tetapi kini ia adalah Kiai Gringsing yang cekatan dan trengginas. Diloncatinya lubang-lubang yang berserakan di tengah-tengah jalan yang semakin lama menjadi semakin jelek.
Kiai Gringsing mengangkat kepalanya ketika tiba-tiba saja ia mendengar suara yang berdesing berputar-putar. Semakin lama semakin jelas, sehingga langkahnya pun terganggu karenanya. Suara itu seolah-olah berputaran di udara tidak henti-hentinya.
Sementara itu, di barak yang ditinggalkan oleh Kiai Gringsing, semakin lama suasana menjadi semakin sepi. Hanya desah nafas yang semakin teratur sajalah yang seakan-akan saling sahut menyahut.
Namun beberapa orang yang belum tertidur tiba-tiba terkejut ketika mendengar seseorang meloncat masuk dengan nafas terengah-engah. Mereka yang tanpa sadar, berpaling ke arah pintu melihat orang yang kekurus-kurusan itu berdiri dengan tubuh gemetar.
“Kenapa?” bertanya seseorang.
Orang yang kurus itu menggelengkan kepalanya, “Tidak ada apa-apa.”
“Tetapi kenapa kau menjadi ketakutan?” desak orang lain.
Orang yang kurus itu berpaling sejenak. Dipandanginya pintu yang memang tidak pernah tertutup itu.
“Kenapa?” desak yang lain lagi
“Aku kira tidak ada apa-apa. Tetapi aku sajalah yang terlampau ketakutan.”
“Ya, tetapi kau kenapa?”
“Aku melihat sesuatu. Tetapi aku kira hanya mataku sajalah yang salah.”
“Kau melihat apa?”
“Hanya sebuah bayang-bayang di bawah pohon belimbing.”
“He, kenapa kau sampai ke bawah pohon belimbing malam-malam begini?” tiba-tiba orang yang bertubuh kekar bertanya.
“Maksudku, mumpung belum terlampau malam. Aku memang ingin mengurangi kemungkinan untuk keluar di malam hari.”
“Kenapa tidak di pakiwan he?”
“Aku takut ke pakiwan.”
“Bodoh kau. Justru di bawah pohon belimbing itu yang seharusnya kau takuti. Kau tidak hanya membayangkan atau matamu sajalah yang salah lihat. Aku yakin kau pasti melihat sesuatu,” berkata orang yang bertubuh kekar itu.
Orang yang kekurus-kurusan itu tidak menjawab lagi. Dengar tubuh yang masih gemetar ia melangkah ke tempatnya. Punggungnya yang tidak tertutup oleh sehelai baju tampak berkeringat seperti seseorang yang baru saja melakukan pekerjaan yang terlampau berat.
Tetapi orang itu ternyata tidak segera pergi tempatnya. Dengan ragu-ragu ia langsung pergi ke sudut ruangan, di mana Swandaru sedang berbaring ditunggui oleh Agung Sedayu.
“Bagaimana dengan keadaanmu?” ia bertanya.
Swandaru hanya mengedipkan matanya saja perlahan-lahan. Sedang Agung Sedayu lah yang menjawab, “Mudah-mudahan ayah mendapat obatnya.”
Orang yang kekurus-kurusan itu mengangguk-angguk. Sekali-sekali dirabanya dahi Swandaru. Tetapi anak itu sudah tidak panas lagi. Bahkan perlahan-lahan keringatnya pula tampak mengembun di keningnya. Keringatnya yang wajar.
Orang yang kekurus-kurusan itu menjadi heran. Sebelum Swandaru diobati, ia sudah menjadi agak baik, meskipun tampaknya ia masih sangat lemah.
“Tetapi aku tidak mengetahui keadaan yang sebenarnya. Mungkin ia sudah berangsur baik karena racun yang menyusup ke dalam tubuhnya bukannya racun yang keras,” berkata orang yang kekurus-kurusan itu di dalam hatinya.
Namun pertanyaan yang diucapkan kemudian adalah, “Bagaimana rasanya badanmu sekarang?”
Ternyata kedua anak-anak murid Kiai Gringsing itu sudah kejangkitan kebiasaan gurunya. Meskipun tidak berjanji hampir bersamaan mereka menjawab, “Parah.”
“He?” orang itu menjadi heran, “Kau tidak begitu pucat, dan tubuhmu menjadi hangat seperti orang yang sehat.”
Swandaru menggelengkan kepalanya dan Agung Sedayu berkata, “Memang mungkin tampaknya demikian. Tetapi keadaannya mengkhawatirkan, menurut ayah dan dukun di rumah sebelah barak ini.”
“Tetapi bagaimana dengan Sangkan itu sendiri?” potong orang itu, “Bagaimana dengan kau? Kau merasakan dan yang paling mengerti tentang dirimu sendiri.”
Swandaru menggeleng lemah. Suaranya hampir tidak terdengar, “Aku tidak kuat lagi.”
Agung Sedayu dan Swandaru menjadi heran ketika mereka melihat kepuasan tersirat di wajah orang yang kekurus-kurusan itu. Katanya, “Pelajaran yang mahal bagimu. Peristiwa ini harus selalu menjadi pertimbanganmu di setiap langkah. Aku menganjurkan agar kau berdua mengajak ayahmu mengurungkan niatnya menebas hutan di daerah yang werit itu. Beberapa orang telah menarik diri. Bahkan di daerah ini pun semakin lama menjadi semakin sepi. Satu-satu orang-orang yang semula telah bertekad untuk membersihkan daerah ini menjadi mundur dan meninggalkan tempat yang mengerikan ini.”
Kedua anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Apakah kau mengerti maksudku?”
Seperti yang dipesankan gurunya Agung Sedayu mengangguk pula, meskipun ia ragu-ragu.
“Jangan menunggu sampai terlambat.”
Agung Sedayu mengangguk lagi.
“He, apakah kau mendengar kata-kataku?” orang itu tiba-tiba membentaknya. “Aku benar-benar berniat baik.”
“Ya, aku mendengar. Dan aku sudah mengangguk. Tetapi semuanya itu tergantung kepada ayah. Mungkin ia mendapatkan keputusannya setelah ia menghadap dukun sakti itu.”
“Kaulah yang harus ikut memaksanya untuk kepentingan adikmu dan kau sendiri.”
Agung Sedayu tidak menjawab, tetapi ia mengangguk saja.
“He, kenapa kau hanya mengangguk-angguk saja seperti nini towok? Apakah kau tidak senang mendengarkan nasehatku, he?” orang itu menjadi jengkel.
“O, bukan maksudku. Aku mendengarkannya dan, memang menjadi kebiasaanku untuk mengangguk-anggukkan kepala apabila aku mendengarkan nasehat seseorang,” jawab Agung Sedayu.
“Tetapi kau membuat aku menjadi sakit hati,” berkata orang yang kekurus-kurusan itu. “Dengar. Sekarang di dekat barak ini, di bawah pohon belimbing, telah muncul sesosok hantu. Mungkin kaulah yang menyebabkannya. Selama ini aku tidak pernah diganggunya meskipun seandainya memang sudah ada di situ sejak lama.”
Agung Sedayu mengangguk lagi. Tetapi ketika ia sadar, segera ia menjawab, “Mudah-mudahan bukan kamilah yang menyebabkannya.”
“Kau jangan mencuci tangan. Sebelum kau ada di sini semuanya berjalan baik. Gangguan semakin lama semakin terbatas. Sekarang agaknya kau telah mengungkat kemarahan hantu-hantu itu.”
“Bukankah kau katakan bahwa selama ini orang-orang menjadi ketakutan? Dan sebelum kami datang, satu demi satu mereka telah meninggalkan tempat ini? Kenapa justru kami yang menjadi paran tutuhan. Menjadi seolah-olah tempat sampah untuk melemparkan kesalahan,” Agung Sedayu menjadi semakin kehilangan kesabaran.
Jawaban Agung Sedayu itu ternyata telah menyinggung perasaan orang kekurus-kurusan itu sehingga ia berkata, “He, kau berani membantah? Aku peringatkan kau, jangan berbuat gila di sini.”
Dan sebelum Agung Sedayu menjawab, agaknya orang yang kekar yang mendengarkan pembicaraan itu menjadi jengkel pula, sehingga dari tempatnya ia berkata lantang sehingga mengejutkan orang-orang yang sedang tidur, “Jangan ulangi jawaban itu anak-anak bengal. Sekali-sekali aku ingin memukul mulutmu.”
Terasa darah Agung Sedayu melonjak. Namun, ia masih tetap menguasai dirinya seperti pesan ayahnya. Ketika sekilas ia melihat wajah Swandaru yang terbaring diam itu, tampaklah seleret warna merah membayang di wajah yang gemuk itu.
“Maaf,” berkata Agung Sedayu kemudian, “aku tidak bermaksud menyinggung perasaan kalian.”
“Tutup mulutmu, “ bentak orang yang kekar itu. “Sayang ayahmu tidak ada. Kalau ada, aku paksa ia menghajarmu. Kalau tidak, kamilah yang akan menghajar kau dan membungkam mulutmu.”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia mengangguk berkali-kali.
“He, kau dengar?”
Sekali lagi Agung Sedayu mengangguk.
“Kau dengar he? Kau tidak mau menjawab?”
“O, jadi aku harus menjawab? Aku tidak berani membuka mulutku.”
Tiba-tiba orang yang kekar itu meloncat bangkit. Untunglah bahwa berbareng dengan itu, beberapa orang telah terbangun pula. Mereka segera berusaha menahan orang yang bertubuh kekar itu.
“Jangan. Adiknya baru sakit dan ayahnya tidak ada.”
Orang yang bertubuh kekar itu menggeram. Tangannya dihentak-hentakkannya sambil mengumpat-umpat. Seandainya orang-orang di dalam barak itu tidak mengerumuninya dan meredakan marahnya, maka ia pasti sudah tidak mengekang dirinya lagi.
“Anak gila,” ia masih mengumpat-umpat, “di seluruh daerah ini tidak seorang pun yang berani melawan Sura Gempal. Kau anak ingusan saja sudah berani membantah dan bahkan menghina. Sayang saat ini aku terhalang oleh sekian banyak orang. Kalau tidak, mulutmu benar-benar akan berdarah. Ingat, tidak ada orang yang berani melawan Sura Gempal. Bahkan para petugas dan pengawas pun tidak.”
Agung Sedayu sama sekali tidak menyahut. Ia masih berada di tempatnya, namun supaya tidak menumbuhkan berbagai pertanyaan di antara orang-orang yang berada di barak itu, ia pun telah berdiri dengan tubuh gemetar.
Tetapi ia tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Beberapa orang kemudian membimbing orang yang bertubuh kekar, yang menyebut dirinya bernama Sura Gempal itu kembali ke tempatnya. Salah seorang dari orang-orang itu berkata, “Jangan hiraukan. Bukankah mereka hanya anak-anak.”
“Tetapi itu akan menjadi kebiasaan yang kurang baik. Kalau aku membiarkan anak itu menghinaku, maka lain kali orang lain pun akan menghinaku pula.”
“Anak itu sudah minta maaf. Ia menjadi ketakutan sekali.”
Orang yang menyebut dirinya bernama Sura Gempal itu berpaling. Ketika dilihatnya Agung Sedayu berdiri gemetar, hatinya menjadi sedikit terhibur.
“Kali ini aku maafkan kau,” katanya, “tetapi lain kali, aku sobek mulutmu.”
Agung Sedayu tidak menjawab.
Ketika orang itu telah duduk kembali di tempatnya, maka orang lain pun kembali ke tempat masing-masing. Seseorang yang sudah agak lanjut usia mendekati Agung Sedayu. “Sudahlah. Hati-hatilah untuk lain kali. Jangan menyakiti hati orang.”
Mulut Swandaru-lah yang sudah mulai bergerak. Tetapi ia terdiam ketika kaki Agung Sedayu menyentuh lututnya.
“Sudahlah. Tidurlah. Ayahmu akan segera pulang.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya, ya. Aku akan tidur.”
Agung Sedayu pun kemudian duduk di samping Swandaru. Orang yang kurus itu sudah tidak ada di dekat mereka, dan orang yang kekar dan menyebut dirinya bernama Sura Gempal itu pun sudah berbaring pula di tempatnya.
Sejenak kemudian Agung Sedayu pun berbaring pula di samping Swandaru. Sebelum ia mapan Swandaru sudah berdesis perlahan-lahan, “Kenapa kau biarkan orang itu membuka mulutnya terlampau lebar?”
“Kenapa?” bertanya Agung Sedayu.
“Akulah yang tidak tahan. Hampir saja aku meloncat bangun.”
“Hus. Bukankah guru sudah berpesan, agar kita tidak menambah kesulitan di sini.”
“Dan membiarkan diri kita diumpat-umpat tanpa salah?”
Agung Sedayu tersenyum, “Guru sudah memberikan contoh, bahwa kadang-kadang kita harus berbuat demikian.”
Swandaru mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun tersenyum pula. Bahkan katanya, “Memang kadang-kadang terasa, kenikmatan tersendiri untuk membiarkan diri kita dihinakan oleh orang-orang yang tidak tahu dari itu.”
Agung Sedayu mengangguk-angguk sambil berkata, “Itu adalah suatu bentuk kesombongan tersendiri.”
“He, kenapa? Bukankah itu suatu sikap rendah hati.”
“Ya, tetapi bukankah di dalam hati kita, justru kita merasa bahwa dengan demikian kita sudah merendahkannya?”
“Ah, kau terlampau berbelit-belit.”
“Ya. Tetapi bukankah kadang-kadang kita menepuk dada sambil berkata ‘Inilah, akulah orang yang baik, rendah hati, yang tidak pernah menyombongkan diri’. Tetapi bukankah itu suatu bentuk kesombongan yang terbesar?”
Swandaru merenung sejenak. Namun kemudian ia tersenyum pula, “Ternyata kau sempat memikirkannya.”
“Bukankah kita sedang tidak mempunyai kerja saat ini.”
“Sudahlah. Orang-orang lain sudah tidur. Apakah kita tidak akan tidur?”
“Tidurlah. Kau memang perlu beristirahat cukup. Aku akan menunggu sampai lewat tengah malam. Apakah guru segera kembali atau tidak.”
Swandaru mengangguk-angguk kecil. Namun kemudian ia berkata, “Apakah aku akan dapat tidur sebelum guru datang?”
“Tidurlah. Aku akan menunggunya.”
Keduanya pun kemudian terdiam. Ruangan itu memang sudah terlampau sepi sehingga keduanya pun tidak ada minat lagi untuk bercakap-cakap. Swandaru yang belum pulih benar itu pun berusaha untuk dapat tidur meskipun hanya sejenak. Tetapi ingatannya kepada gurunya, maka ia hanya dapat memejamkan matanya saja, tetapi sama sekali tidak tertidur.
Apalagi Agung Sedayu yang berbaring di sampingnya melekat dinding. Tubuhnya seakan-akan terhimpit oleh tubuh Swandaru yang gemuk itu. Ia bahkan sama sekali tidak berhasil untuk sekedar memejamkan matanya. Ditatapnya saja atap barak yang terbuat dari anyaman rerumputan dan ilalang, sedang angan-angannya jauh bersama angin malam yang berhembus lambat.
Dalam pada itu, Kiai Gringsing masih ada di perjalanan. Suara berdesing di udara itu seolah-olah selalu mengikutinya ke mana ia pergi.
Sekali ia menarik nafas dalam-dalam. Akhirnya ia memutuskan untuk mengetahui, suara apakah yang selalu mengganggunya itu.
Orang tua itu pun kemudian duduk di atas sebuah batu di pinggir jalan sambil sekali-sekali menengadahkan kepalanya. Tetapi malam begitu gelap sehingga ia tidak dapat melihat sesuatu.
“Gila,” desisnya, “suara itu sangat mengganggu.”
Namun ketika teringat olehnya pesannya kepada murid-muridnya, bahwa tengah malam ia harus kembali, maka ia pun segera melanjutkan perjalanannya.
Tetapi suara yang berdesing itu seolah-olah mengikutinya kemana ia pergi. Melingkar-lingkar. Sejenak menghilang kemudian mendekat lagi.
Namun akhirnya Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Bahkan kemudian ia pun tersenyum sambil berkata kepada diri sendiri, “Aku puji cara mereka. Hampir saja aku dijangkiti penyakit ketakutan itu pula.”
Kini Kiai Gringsing tidak menghiraukan lagi suara yang melingkar-lingkar itu. Langkahnya semakin dipercepat. Diloncatinya parit-parit kecil yang menyilang jalan setapak yang sedang dilaluinya.
Ketika ia sampai di sebuah parit yang sedang dibuat, di sebelah sebatang pohon yang besar, Kiai Gringsing berhenti sejenak. Ia harus berbelok ke kanan, menuruti jalan yang sempit sampai sebuah sungai kecil yang curam.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Jalan yang ditempuh memang sebuah jalan yang mengerikan. Dedaunan yang rimbun bergantungan di atas jalan sempit itu. Sulur-sulur yang liar bergayutan sebelah menyebelah.
Tetapi Kai Gringsing tidak akan mundur. Ia berjalan terus betapa gelapnya. Namun sebagai seorang perantau yang berpengalaman, Kiai Gringsing segera dapat mengenal jalan yang akan dilaluinya itu.
Langkah Kiai Gringsing tertegun ketika ia melihat sesuatu bergerak-gerak di kejauhan. Di dalam gelapnya malam, mata Kiai Gringsing yang tajam melihat sesuatu yang menghilang di balik rerumputan, kemudian suara gemerisik batang-batang ilalang yang- tersibak. Namun kemudian sepi kembali.
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat menduga bahwa bayangan yang bergerak-gerak itu adalah bayangan seorang. Namun orang itu pasti bukan orang kebanyakan, karena tiba-tiba saja ia telah hilang seperti ditelan bumi, meskipun Kiai Gringsing mengetahui bahwa orang itu pasti bersembunyi di balik pepohonan. Tetapi geraknya yang cepat itu menandakan, bahwa orang itu adalah orang yang memiliki kemampuan cukup.
Begitu besar keinginan Kiai Gringsing untuk mengetahui, siapakah orang itu, hampir saja ia meloncat menyusulnya. Untunglah bahwa ia masih dapat mengekang dirinya. Yang berjalan menuju ke rumah dukun sakti itu kini adalah Truna Podang.
Karena itu, ketika ia menjadi semakin dekat dengan bayangan yang bersembunyi itu, langkah Kiai Gringsing menjadi semakin lambat, bahkan kemudian tertatih-tatih seperti orang yang kelelahan.
Meskipun Kiai Gringsing tidak melihat, tetapi ketajaman inderanya merasakan, bahwa ada sepasang mata yang sedang mengintip langkahnya.
“Ini pasti salah seorang pembantu dukun sakti itu,” katanya di dalam hati, “ia harus mengamati tamu-tamunya.”
Karena itu, Kiai Gringsing harus melakukan perannya dengan baik. Sebagai seorang petani yang sedang digelisahkan oleh anaknya yang sedang sakit. Betapa pun ketakutan dan kecemasan membakar dada, tetapi petani yang takut kehilangan anaknya itu berjalan tertatih-tatih di dalam gelapnya malam.
Namun tidak sesuatu yang terjadi. Ketika ia sampai di sungai kecil yang curam, maka Kiai Gringsing pun merayap turun. Air sungai yang hanya sedalam mata kaki itu terasa betapa dinginnya.
Tetapi ketika ia mulai merangkak naik, tiba-tiba Kiai Gringsing itu dikejutkan oleh suara tertawa yang aneh. Suara tertawa yang halus, tetapi menegangkan.
Kiai Gringsing berhenti sejenak. Segera ia mengetahui darimana arah suara itu. Tetapi ia sama sekali tidak berhasrat untuk menemukannya. Karena itu, ia merangkak terus naik tebing yang cukup curam.
Akhirnya Kiai Gringsing sampai juga di seberang, di atas tebing.
Dengan penuh kewaspadaan ia melangkah terus. Kini ia merasa bahwa tidak hanya seorang sajalah yang sedang mengawasi. Seakan-akan di setiap langkahnya ia bertemu dengan tatapan mata yang tajam.
Namun Kiai Gringsing tetap tabah. Ia berjalan terus, sehingga akhirnya ia sampai ke suatu tempat yang ditebari oleh batu-batu yang besar.
“Di sinilah rumah dukun sakti itu,” desis Kiai Gringsing.
Kiai Gringsing melangkah terus. Ia harus mencari rumah dukun sakti itu, di antara batu-batu besar yang berserak-serakan.
Tetapi sebelum ia menemukan rumah itu, Kiai Gringsing sekali lagi tertegun. Ia mendengar derap kaki-kaki kuda mendekati daerah berbatu-batu itu. Sejenak Kiai Gringsing terpaku di tempatnya. Ia menduga bahwa ada kira-kira lima atau enam ekor kuda. Semakin lama menjadi semakin dekat.
“Apakah kuda-kuda ini sejenis kuda-kuda hantu yang menakut-nakuti daerah yang sedang dibuka itu?” ia bertanya kepada diri sendiri.
Tetapi Kiai Gringsing memutuskan untuk segera menemukan rumah dukun sakti itu supaya ia dapat mengambil suatu kesimpulan dari pertemuan itu untuk melakukan tindakan selanjutnya.
Ia tidak mempedulikan lagi suara derap kaki-kaki kuda itu. Ia tidak menghiraukan pula, apakah kuda-kuda itu kuda-kuda hantu atau kuda-kuda yang lain.
Sejenak kemudian dada Kiai Gringsing menjadi berdebar-debar. Ia mendengar desir langkah seseorang yang tergesa-gesa. Karena itu segera ia mengendapkan diri di balik sebuah batu. Di dalam keremangan malam ia melihat sesosok bayangan yang berjalan cepat menjauhi segerumbul perdu di balik sebongkah batu yang besar.
Ketika orang itu hilang di balik bebatuan, maka Kiai Gringsing pun merayap mendekatinya. Dadanya berdesir ketika ia melihat di balik gerumbul itu, berdiri sebuah gubug yang kecil, dilindungi oleh beberapa gumpal batu yang besar dan gerumbul-gerumbul yang rimbun.
“Inikah rumahnya?” ia bertanya kepada diri sendiri pula. Namun dalam pada itu suara derap kaki-kaki kuda itu pun menjadi semakin dekat. Tetapi agaknya kuda-kuda itu pun tidak dapat maju dengan cepat, karena daerah yang terlampau sulit dilalui.
“Apakah derap itu derap kaki-kaki kuda hantu yang mengikuti aku?” Kiai Gringsing bertanya pula di dalam hatinya.
Tetapi Kiai Gringsing memang ingin mengetahui bentuk dan wajah hantu-hantu yang telah menakut-nakuti setiap orang yang sedang berusaha membuka hutan dan menjadikannya suatu negeri di bawah pimpinan Ki Gede Pemanahan dan puteranya Raden Sutawijaya bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar.
Sejenak Kiai Gringsing termangu-mangu di tempatnya. Manakah yang lebih dahulu akan dilakukannya. Masuk menemui dukun sakti itu, atau menunggu hantu-hantu itu lewat. Tetapi kalau ia menunggu hantu-hantu itu lewat, mungkin tanggapan dukun sakti itu kepadanya sudah akan menjadi berlainan.
Selagi Kiai Gringsing dibayangi oleh keragu-raguannya, maka derap kaki-kaki kuda itu menjadi semakin dekat. Dengan demikian Kiai Gringsing tidak mendapat kesempatan lagi. Karena itu yang mula-mula dikerjakan adalah mencari tempat untuk berlindung.
“Apakah aku dapat berlindung dari mata hantu-hantu,” katanya di dalam hati. “Apa boleh buat. Apabila hantu-hantu itu melihat aku, aku tidak akan menghindar.”
Kiai Gringsing adalah orang yang cukup berpengalaman dan memiliki ilmu yang hampir sempurna di dalam olah kanuragan. Apalagi adalah seorang yang mempunyai kepercayaan yang mantap kepada Yang Maha Kuasa. Dengan demikian, maka ia pun segera dapat menguasai diri dan dengan tenang menghadapi setiap kemungkinan. Namun demikian, tanpa sesadarnya ia telah meraba tangkai cambuknya yang membelit di lambung.
Kiai Gringsing menjadi semakin berdebar-debar ketika ia mendengar derap itu semakin dekat. Kemudian berhenti di sebelah gubug yang tersembunyi itu.
Tetapi Kiai Gringsing terkejut ketika ia mendengar salah seorang dari mereka yang berkuda itu bertanya, “Inikah rumahnya?”
“Ya. inilah rumahnya,” sahut yang lain, “Marilah, kita temui dukun itu.”
Dada Kiai Gringsing menjadi berdebar-debar. Keinginannya untuk mengetahui menjadi semakin mendesak dadanya. Karena itu, maka sambil merangkak-rangkak ia bergeser maju. Dengan pendengarannya yang tajam ia yakin bahwa tidak ada orang lain di sekitarnya. Agaknya orang-orang yang mengawasinya di sepanjang jalan, tidak mendekat ke gubug ini.
Sejenak kemudian Kiai Gringsing mendengar pintu gubug itu diketok orang.
“Kiai, bukakan pintu.”
Sejenak tidak terdengar jawaban.
“Kiai.”
Baru kemudian perlahan-lahan terdengar jawaban dalam nada yang berat, “Siapa di luar?”
“Kami adalah peronda dari Tanah Mataram.”
Kiai Gringsing ternyata telah terkejut pula mendengar jawaban itu. Mereka adalah orang-orang Ki Gede Pemanahan yang dengan resmi sudah mempergunakan nama Tanah Mataram.
Sejenak tidak terdengar suara apa pun. Namun kemudian terdengar suara dari dalam gubug itu, “Apakah maksud kalian datang kemari di malam begini?”
“Kami mau bertemu dengan Kiai.”
Kembali suasana menjadi sepi. Yang terdengar hanyalah suara-suara malam yang mendirikan bulu. Suara burung hantu dikejauhan yang kadang-kadang disahut oleh suara binatang-binatang buas yang lamat-lamat.
“Kiai,” suara peronda itu terdengar lagi.
“Tunggu,” jawab dari dalam.
Sejenak kemudian terdengar suara pintu gubug itu berderit. Dan suara yang berat mempersilahkan para peronda itu, “Marilah. Silahkan masuk. Tetapi agaknya gubug ini terlampau sempit.”
“Terima kasih,” jawab salah seorang peronda itu, “kami tidak akan masuk berbareng.”
Dua orang di antara para peronda itu pun kemudian memasuki gubug yang sempit itu, sedangkan yang lain berada di luar.
Kiai Gringsing menjadi berdebar-debar. Kalau mereka yang ada di luar gubug itu kemudian melangkah hilir-mudik dan ada di antara mereka yang mengelilingi gubug ini, maka ia harus segera bergeser menjauh.
Namun agaknya para peronda itu tidak berkisar dari depan gubug itu. Beberapa orang di antara mereka bercakap-cakap perlahan-lahan. Sedang yang lain sama sekali tidak berbicara apa pun.
Dari dalam gubug Kiai Gringsing mendengar salah seorang dari kedua peronda yang masuk itu berkata, “Kiai, kami mendengar bahwa Kiai-lah dukun sakti yang bernama Kiai Damar.”
“Ya,” jawab suara yang berat, “akulah yang bernama Kiai Damar.”
“Bagus,” desis peronda itu, “kami telah datang kepada orang yang tepat.”
“Apakah sebenarnya maksud kalian?” bertanya Kiai Damar.
“Kami telah diutus oleh Raden Sutawijaya.”
“Maksudmu Putera Ki Gede Pemanahan?”
“Ya.”
“Apakah maksudnya?”
“Kiai,” berkata peronda itu kemudian, “Kiai adalah seseorang yang menurut kepercayaan orang-orang di sekitar tempat ini, bahkan sampai ke daerah-daerah yang jauh, mampu mengobati segala macam penyakit. Di antaranya penyakit yang termasuk aneh-aneh yang menurut keterangan beberapa orang disebabkan oleh hantu-hantu.”
“Tidak hanya keterangan beberapa orang,” potong Kiai Damar, “memang demikianlah keadaannya. Maksudku, bukan tentang aku, tetapi tentang hantu-hantu itu. Sebenarnyalah bahwa banyak sekali orang yang sakit karena kesiku. Dan aku adalah salah seorang dari mereka yang berusaha untuk memohonkan maaf bagi orang-orang yang kesiku itu. Jadi sama sekali bukan mengobati seperti yang kau katakan.”
“Begitulah. Tetapi akibatnya hampir sama. Orang yang sakit itu menjadi sembuh karenanya.”
“Tidak. Tetapi mereka kemudian dimaafkannya.”
“Ya. Begitulah,” peronda itu berhenti sejenak. “Dengan demikian, maka hubungan Kiai dengan hantu-hantu itu menjadi akrab.”
Dukun sakti yang bernama Kiai Damar itu tidak segera menjawab. Sejenak ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi agaknya ia sudah dapat menduga, ke manakah arah pembicaraan para peronda itu.
Karena Kiai Damar tidak menjawab maka peronda itu meneruskan, “Kiai. Sebagaimana Kiai Damar tahu, kini kami sedang sibuk membuka hutan untuk menjadikannya sebuah negeri. Namun akhir-akhir ini kami merasa terganggu. Ketenteraman bekerja para penebang telah diusik oleh desas-desus adanya hantu-hantu yang berkeliaran dan mengganggu. Bukan saja para pendatang yang akan membuka hutan, tetapi para petugas sendiri menjadi ngeri. Hal itu terjadi di segala bagian dari penebangan hutan ini. Di bagian Selatan, tengah, dan Utara. Bahkan ada di antara mereka yang sudah meletakkan alat-alat mereka dan kembali ke tempat asal mereka.”
Kiai Damar itu, merenung sejenak. Lalu, “Aku mengerti maksud kalian. Kalian ingin hantu-hantu itu tidak mengganggu kerja para pendatang yang menebas hutan itu bukan?”
“Tepat, Kiai. Seperti yang kami minta kepada seorang dukun sakti, yang menyebut dirinya bernama Kiai Telapak Jalak yang tinggal di ujung Selatan dari daerah penebangan hutan ini. Juga menyendiri seperti Kiai Damar.”
Kiai Damar mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi kemudian ia menjawab, “Permintaan ini wajar sekali. Tetapi aku merasa bahwa aku sekarang berdiri di tengah-tengah sungai yang banjir. Terus aku pasti akan basah, kembali pasti basah juga.”
“Kenapa Kiai?”
“Aku mengerti jalan pikiran kalian. Itulah sulitnya. Tetapi aku juga mengerti kenapa hal itu terjadi. Aku, mungkin juga orang yang kau sebut bernama Telapak Jalak itu, memang bergaul dengan hantu-hantu. Apa yang dapat aku tangkap dari siratan jalan pikiran mereka pun dapat aku mengerti.”
“Apakah kata mereka?”
“Ki Sanak,” Kiai Damar menarik nafas dalam-dalam, “dengan mata wadag kita memang tidak dapat melihat bahwa sebenarnya kita berhadapan dengan suatu negeri. Lengkap dengan istana dan prajuritnya. Kau tahu maksudku? Hutan yang kini sedang ditebang itu adalah suatu negeri. Anehnya, namanya juga Mataram seperti yang kalian pergunakan sekarang? Tetapi sebenarnya hal itu juga tidak aneh, karena raja-raja yang sekarang memerintah adalah keturunan raja-raja dari kerajaan Mataram lama.”
Para peronda itu mengerutkan keningnya.
“Coba, pikirkan. Bagaimana aku harus bersikap, apabila aku tahu, mereka menjadi sakit hati karena istananya kalian rusak. Pohon raksasa yang mereka anggap bangsal-bangsal di dalam istana mereka, di dalam rumah-rumah para Adipati dan Tumenggung menurut tata kepangkatan kita, kalian tebang dengan semena-mena.”
Para peronda itu tidak menjawab.
“Apakah yang akan dilakukan oleh Ki Gede Pemanahan selagi ia masih berada di Pajang, dan yang akan dilakukan oleh puteranya, apabila tiba-tiba raja Arya Penangsang datang menghancurkan istana Pajang dan bangunan di Lor Pasar?”
Para peronda itu masih diam saja.
“Nah, itulah kira-kira alasan yang mereka pergunakan, kenapa mereka berusaha untuk mencegah kealpaan Ki Gede Pemanahan, agar tidak menjadi berlarut-larut.” Kiai Damar berhenti sejenak lalu, “Ki Sanak. Sebenarnya hantu-hantu itu memang mempunyai kekuasaan yang lebih besar dari manusia wadag. Kemenangan mereka yang paling cepat kita kenal, bahwa mereka dapat melihat kita, tetapi kita sukar sekali untuk melihat mereka tanpa mereka kehendaki sendiri. Karena itu, mereka menjadi lebih mudah mengganggu kita dan kita tidak akan dapat mengganggu mereka.”
Peronda itu masih mengangguk. Namun kemudian salah seorang dari mereka berkata, “Tetapi bukankah hutan ini masih sangat luas Kiai. Apakah mereka tidak dapat diajak berbicara, agar mereka berpindah saja ke bagian-bagian hutan yang lain.”
Kiai Damar tertawa pendek. “Kalian memang aneh. Itu adalah sikap yang tidak adil. Yang mementingkan diri sendiri. Kalian datang kemudian, tetapi kalian ingin mengusir yang sudah ada di tempat itu sejak berabad-abad, bahkan jauh sebelum keturunan Mataram lama memasuki lingkungan ini dengan peradaban yang lebih baik.”
“Peradaban apakah yang Kiai maksud?”
“Peradaban di dalam tata kehidupan mereka. Jangan kau kira bahwa di dalam kehidupan mereka tidak ada peradaban seperti yang kita miliki. Mereka mempunyai susunan pemerintahan dan peraturan-peraturan yang harus mereka taati.”
“Jadi, bagaimanakah kesimpulan Kiai? Apakah tidak dapat tidak perlu mengadakan semacam perang?”
“Tunggu,” Kiai Damar memotong, “jangan terlampau sombong sehingga kata-katamu terdorong terlampau jauh. Aku mengenal mereka dan aku mengenal kalian. Kalau perang itu benar-benar akan berlangsung, maka yang akan terjadi adalah perampasan sepihak semata-mata, yang akan terjadi adalah penumpasan sepihak semata-mata. Apakah yang dapat kau lakukan? Apa?”
“Kita mempunyai orang-orang seperti Kiai Telapak Jalak dan Kiai Damar sendiri.”
Sekali lagi Kiai Damar tertawa, “Aneh sekali,” katanya. “Apakah kalian menyangka bahwa aku mampu berbuat sesuatu atas mereka? Aku hanya mengenal mereka, dan sejauh-jauh dapat aku lakukan adalah berlutut sambil mohon maaf atas kekhilafan manusia yang sombong dan tamak ini.”
“Jadi, tegasnya?”
“Aku tidak dapat berbuat apa-apa. Bahkan aku berpesan, jangan menunggu hantu-hantu itu kehilangan kesabaran. Raja mereka adalah Raja yang bijaksana yang sampai saat ini masih berusaha untuk mengatasi persoalan ini. Tetapi pada suatu saat, dengan sepatah kata mantra kalian akan diterkam oleh penyakit yang maha dahsyat, dan tumpaslah kalian bersama dengan keluarga kalian.”
“Kiai,” berkata peronda itu, “aku dapat mengerti. Keterangan yang Kiai berikan mirip benar dengan keterangan Kiai Telapak Jalak. Bahkan pada dasarnya bersamaan maksudnya.”
Kiai Gringsing, yang bersembunyi di belakang gubug itu menahan nafas. Dari peronda-peronda itu ia mengetahui bahwa di samping Kiai Damar, masih ada orang lain yang dianggap sebagai seorang dukun yang sakti dan bernama Kiai Telapak Jalak.
Selanjutnya Kiai Gringsing mendengar Kiai Damar berkata, “Apakah orang yang bernama Telapak Jalak itu juga pernah memberikan keterangan seperti yang aku katakan?”
“Ya, Kiai.”
“Kalau demikian aku percaya, bahwa ia pun benar-benar dapat bergaul dengan hantu-hantu di hutan Mentaok. Tetapi apabila ada keterangan lain, maka orang itu pasti berbohong, karena aku yakin bahwa aku benar.”
“Ya, Kiai. Tetapi bagaimana menurut pendapat Kiai, apakah yang sebaiknya kami lakukan.”
Kiai Damar menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Pertanyaan inilah yang membuat aku menjadi pening. Aku merasa bahwa jawaban yang dapat aku berikan, pasti suatu jawaban yang tidak akan memberi kepuasan bagi kalian dan terutama bagi Ki Gede Pemanahan beserta puteranya.”
“Apakah jawaban itu?”
“Ki Sanak,” berkata Kiai Damar, “aku tidak berani mengatakannya. Namun seandainya aku masih mendapat kemungkinan, aku akan berusaha agar pada suatu saat kita menemukan jalan yang sebaik-baiknya, agar kita mendapat kesempatan untuk membuka hutan ini. Tetapi sudah tentu dengan berbagai macam syarat.”
“Apakah Kiai dapat menyebutkan syaratnya?”
“Tentu belum sekarang. Pada suatu saat aku akan menghadap Raja dari Kerajaan Mataram. Bukan Mataram yang didirikan oleh Ki Gede Pemanahan, tetapi Mataram Kajiman. Aku ingin mendapat penjelasan langsung dari Raja Mataram, yang tidak dapat dilihat dengan mata wadag ini, bagaimanakah sebaiknya agar kita tidak mendapatkan kutuk daripadanya, sedang kita mendapatkan bagian dari Tanah Mentaok seperti yang kita harapkan.”
“Kapan hal itu akan Kiai lakukan?”
“Segera. Namun sementara ini, usaha perluasan daerah penebangan agar dibatasi atau dihentikan sama sekali. Orang-orang biar kembali ke tempat masing-masing. Sedang yang sudah terlanjur dibuka ini pun pasti akan mengalami berbagai macam syarat yang harus dipenuhi.”
Para peronda itu terdiam sejenak. Namun kemudian salah seorang dari keduanya berkata, “Baiklah. Aku mengharap Kiai secepatnya dapat menghubungi Raja Kajiman itu, sehingga kami akan segera dapat menyesuaikan diri dengan pembicaraan Kiai.”
“Baiklah. Tetapi ingat, sementara ini pembukaan daerah baru harus dicegah.”
“Aku akan melaporkannya kepada Ki Gede Pemanahan.” Peronda itu berhenti sejenak, lalu, “Sekarang kami akan minta diri. Kami dikirim khusus untuk menemui Kiai Damar.”
“Siapakah yang telah memerintahkan kalian menghubungi aku. Ki Gede Pemanahan atau Sutawijaya?”
“Ki Gede Pemanahan,” jawab peronda itu.
“Nah, sampaikan semuanya yang aku katakan kepada Ki Gede Pemanahan.”
Sejenak kemudian maka kedua peronda itu pun keluar dari gubug Kiai Damar. Sejenak mereka berbicara dengan kawan-kawannya yang menunggu di luar. Dan sejenak kemudian mereka pun telah berada di atas punggung kuda masing-masing, meninggalkan gubug itu.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Kini ia mengetahui, bagaimanakah pendapat dukun sakti itu tentang usaha pembukaan hutan dan yang menurut katanya Kerajaan Mataram Kajiman.
Namun tiba-tiba Kiai Gringsing ingin mengetahui, apakah yang akan dikatakan oleh para peronda itu, sehingga ia pun segera merayap meninggalkan tempatnya.
Dengan segenap kemampuan yang ada padanya Kiai Gringsing pun segera menyusul orang-orang yang berkuda perlahan-lahan di dalam gelapnya malam. Derap kaki-kaki kuda yang lamat-lamat telah memungkinkan Kiai Gringsing untuk segera menemukan arah. Beberapa langkah ia mendahului kuda-kuda yang berjalan dengan malasnya menyusup hutan yang semakin lama menjadi semakin gelap.
Ketika ia sudah berada di depan, maka segera dicarinya segumpal tanah padas. Dilemparkannya segumpal tanah itu ke atas, tepat di atas jalan yang akan dilalui kuda-kuda itu. Kemudian ia pun segera bersembunyi di balik sebuah gerumbul tepat di pinggir jalan setapak itu.
........bersambung ke Jilid 53
Tidak ada komentar:
Posting Komentar