API di BUKIT MENOREH
Karya S.H Mintardja
PASUKAN kecil itu pun segera menghilang dari pengawasan Pasukan Sidanti. Mundur dengan tergesa-gesa, merangkak di antara batang-batang jagung muda, supaya mereka dapat bergabung dengan pasukan cadangan yang agak besar, yang menunggu di padukuhan kecil di belakang mereka. Mereka mencoba menghilangkan segala macam jejak, agar Sidanti tidak mengetahui dengan pasti, bahwa mereka telah ditunggu di padukuhan kecil itu. Sedang para pengawal berkuda, menyingkir ke arah yang lain agak jauh. Namun mereka telah mempersiapkan diri untuk dengan tiba-tiba terjun di peperangan.
Ketika Sidanti menyadari, bahwa lawannya yang kecil telah menghilang, maka segera ia bercuriga. Mereka pasti akan menyerang lagi dengan tiba-tiba. Dan Sidanti telah mempersiapkan dirinya. Beberapa orang berperisai berada di depan pasukannya, agar perisai itu dapat melindungi mereka dari anak-anak panah yang dilontarkan oleh lawan-lawan mereka
Tetapi naluri Sidanti sebagai seorang prajurit, telah memperingatkannya, bahwa di depan pasukannya di dalam padukuhan kecil itu, bahaya yang lebih besar sedang menunggunya. Dan Sidanti agaknya mempercayai sentuhan nalurinya itu, sehingga dengan demikian, ia telah mempersiapkan pasukannya sebaik-baiknya.
Karena itu, ketika Sidanti memasuki padukuhan kecil itu, mereka sama sekali tidak terkejut ketika tiba-tiba saja pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh menyergap mereka. Yang sejenak kemudian disusul oleh pasukan berkuda yang tidak terlampau banyak jumlahnya. Dengan menggeretakkan giginya, Sidanti dan Argajaya telah menyambut lawan-lawannya dengan penuh nafsu. Senjata-senjata mereka segera berputaran seperti angin ribut, menyerang setiap orang yang berada di sekitarnya.
Perang yang terjadi di medan ini pun adalah perang brubuh. Dengan kekuatan yang lebih kecil, pasukan pengawal Menoreh mencoba bertahan dari arus yang melanda seperti banjir bandang. Apalagi di antara mereka terdapat Sidanti dan Argajaya.
Pada saat benturan itu mulai, sudah terasa oleh para pengawal Tanah Perdikan Menoreh, bahwa arus itu ternyata terlampau kuat. Sehingga menurut perhitungan mereka, mereka pasti tidak akan dapat menahannya dalam keadaan serupa itu. Karena itu, maka mereka harus memanggil kawan-kawan sebanyak-banyaknya, untuk bertahan, agar Tanah Perdikan Menoreh tidak digulung oleh Sidanti, Argajaya. dan orang-orang yang telah berpihak kepadanya.
“Kita tidak punya kesempatan,” geram pemimpin pasukan Menoreh, “para penghubung akan memerlukan waktu untuk menghubungi orang-orang yang bersedia dengan suka rela bertempur saat ini.”
“Hampir semua laki-laki dan anak-anak muda telah berada di barisan.”
“Siapa pun juga. Panggil mereka dengan tanda.”
“Kentongan.”
“Ya, titir.”
“Apakah tidak akan menimbulkan kecemasan dan kebingungan?”
“Terpaksa kita lakukan. Keadaan sangat gawat di sini.”
Penghubung itu tidak membantah. Ia mencari kesempatan untuk melepaskan diri dari perang brubuh. Kemudian dengan berlari secepat-cepat mungkin dapat dilakukan, ia menuju ke gardu terdekat. Dan sejenak kemudian, menggemalah suara kentongan dalam irama titir yang panjang mengumandang membelah sepinya malam.
Ternyata suara itu telah menggemparkan setiap gardu-gardu perondan. Gardu-gardu yang biasanya ditunggui oleh lima atau enam orang, kini tinggal diisi oleh dua orang, karena yang lain sudah ditarik di medan-medan peperangan. Dan suara titir itu telah memanggil mereka pula untuk membantu langsung ke medan-medan. Tetapi sebelum mereka meninggalkan gardu mereka, maka lebih dahulu mereka telah menyambung suara titir itu merambat dari gardu ke gardu, sehingga akhirnya, seolah-olah seluruh Tanah Perdikan Menoreh telah meneriakkan irama kecemasan oleh pertentangan di antara mereka sendiri.
“Titir,” desis seseorang di sebuah gardu”iramanya rata diseling oleb pukulan dua dua.”
“Ya, pertanda bahwa bahaya datang dari Timur.”
Setetah menyambung suara titir itu sejenak, maka kedua orang di gardu itu pun segera berlari-lari menuju ke padukuhan kecil di sebelah Timur padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.
Namun, meskipun pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang masih mungkin meninggalkan tugasnya mengalir satu-satu ke medan di sebelah Timur, namun ternyata kekuatan Sidanti bagaikan badai yang dahsyat melanda daun alang-alang yang ringkuh. Sehingga sejenak kemudian, maka korban pun segera berjatuhan membujur lintang di atas tanah kelahiran yang dipertahankan dengan mempertaruhkan nyawa.
Sementara itu, di medan sebelah Barat, pasukan Samekta telah hampir berhasil menguasai lawannya, meskipun pasukan sayap kirinya masih belum dipergunakannya. Namun akhirnya Samekta tidak ingin berkelahi lebih lama lagi. Ia berhasrat untuk segera memanggil sisa pasukannya, agar pertempuran itu semakin cepat berakhir, dan korban pun tidak bertambah-tambah lagi.
Tetapi dalam pada itu hatinya berguncang, ketika lamat-lamat ia mendengar suara kentongan, merayap semakin lama semakin dekat. Kemudian suara itu seolah-olah telah melingkar bergema di segenap sudut Tanah Perdikan Menoreh. Berkumandang memukul lereng pebukitan, kemudian memantul kembali sahut menyahut.
Dada Samekta yang berguncang itu terasa semakin menggelapar, ketika ia mendengar suara Peda Sura datar, “Kau dengar suara kentongan itu?”
Samekta menggeram.
“Pasukan Sidanti yang kuat telah datang dari arah Timur.”
Samekta tidak menjawab. Tetapi terdengar giginya gemeretak. Suara titir itu telah langsung memberitahukan kepadanya, bahwa pasukan cadangan tidak cukup kuat untuk menahan arus lawan yang baru itu. Bahkan keadaan mereka pasti sangat berbahaya.
Tiba-tiba terbersit ingatan di kepalanya, “Pasukan sayap kiri.”
Belum lagi Samekta berbuat sesuatu, seorang penghububung dengan susah payah, setelah menerobos perang brubuh itu berhasil mendekatinya. Dan sebelum orang itu mengucapkan sepatah kata pun, Samekta mendahuluinya, “Kau memerlukan bantuan?”
Orang itu mengangguk, “Ya.”
“Di padukuhan sebelah, sayap kiri dari pasukan ini masih belum melibatkan diri dalam peperangan.”
Orang itu menganggukkan kepalanya. Tanpa menunggu perintah berikutnya, ia bergeser untuk dengan cepat menghubungi pasukan yang masih belum melibatkan diri dalam peperangan itu. Namun langkahnya terhenti ketika Samekta memanggilnya, “Tunggu!”
Pengawal itu tertegun sejenak. Tetapi dilihatnya Samekta menjadi ragu-ragu. Sejenak Samekta telah melepaskan diri dari perkelahian melawan Peda Sura, dan membiarkan Pandan Wangi dan beberapa orang lain yang membantunya bertempur terus.
“Apakah keadaan sangat parah?”
Orang itu ragu-ragu sejenak, namun kemudian ia menggangguk.
Sekali lagi Samekta tertegun-tegun dalam keragu-raguan. Sejenak dipandanginya Pandan Wangi yang sedang bertempur itu. Ternyata kemampuan gadis itu jauh berada di atas kemampuannya sendiri, tetapi masih belum dapat mengimbangi kemampuan Peda Sura yang ganas, garang, dan bahkan kadang-kadang di luar perhitungan.
Betapapun banyaknya bekal yang dibawa Pandan Wangi dalam olah kanuragan dan keprigelan, tetapi di dalam peperangan apalagi perang brubuh melawan orang-orang yang sama sekali tidak mengenal unggah-ungguh, tanggung jawab terhadap keperwiraan dan kesatriaan dan bahkan tata kesopanan olah peperangan, Pandan Wangi adalah orang baru sama sekali. Ia harus mendapat banyak tuntunan dan petunjuk untuk menerapkan bekalnya yang cukup banyak itu.
“Ia dapat tersesat,” berkata Samekta di dalam hatinya, “ia dapat menjadi ngeri dan kehilangan kemampuan untuk tetap bertahan setelah melihat darah dan kebiadaban ini berlangsung di depan matanya. Tetapi apabila ia cukup tabah, maka ia dapat nenjadi salah mengerti. Disangkanya, bahwa memang demikianlah isi dari peperangan. Orang dapat melepaskan segala sifat-sifat kemanusiaan dan peradaban sehingga seseorang di dalam peperangan dapat berbuat apa saja tanpa bertanggung jawab.”
Pandan Wangi, meskipun ia orang baru di medan peperangan, ternyata tanggapan terhadap keadaan demikian tajamnya, sehingga seolah-olah ia mengerti apa yang terpikir di dalam kepala Samekta. Namun meskipun demikian, di dalam kepalanya sendiri terjadi juga keragu-raguan dan kebimbangan. Ada hasratnya untuk meninggalkan medan ini dan pergi ke medan yang sedang parah, itu terdorong oleh tanggung jawabnya sebagai seorang puteri kepala tanah perdikan. Tetapi ia ragu-ragu, apakah ia dapat menghadapi Sidanti, kakaknya sendiri, sebagai lawan di peperangan, meskipun ia yakin, bahwa kini seorang lawan seorang, ia tidak berada di bawah kemampuan kakaknya itu
Namun tiba-tiba ia berkata, “Paman, tinggalkanlah aku di sini. Aku akan mencoba menyelesaikan tugas pengawal-pengawal Menoreh di sini. Silahkanlah Paman pergi ke medan di sebelah Timur yang memerlukan bantuan itu, sambil membawa pasukan sayap kiri yang masih utuh di padukuhan sebelah.”
Samekta mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Ia masih diombang-ambingkan oleh keragu-raguan. Terasa dadanya berdesir ketika ia mendengar Pandan Wangi berkata seterusnya, sambil memutar pedangnya, melawan serangan-serangan Peda Sura yang membadai, “Pergilah Paman. Sekejap dalam keadaan ini akan sangat bermanfaat. Jangan buang-buang waktu dengan terus menerus dicengkam kebimbangan.”
“Hem,” Samekta menggeram di dalam hatinya, “justru Pandan Wangi yang memberi petunjuk kepadaku. Tetapi aku kira memang tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan tanah ini.”
Karena itu, maka Samekta itu pun menyahut, “Ya Ngger. Aku akan pergi. Tinggallah di sini bersama pasukan ini.” Lalu kepada orang tertua di dalam kelompok kecil yang sedang melawan Peda Sura itu, ia berpesan, “Kau mempunyai pengalaman jauh lebih banyak dari Angger Pandan Wangi. Kau dapat memberinya banyak petunjuk. Tetapi kekuasaan ada di tangannya sepeninggalku.”
Orang itu mengangguk, “Ya, aku akan mencoba.”
Samekta masih juga ragu-ragu. Tetapi ia tidak banyak mempunyai waktu. Ia harus segera berbuat sesuatu. Dan ia pun segera mengambil keputusan. Kepergiannya tidak akan banyak berpengaruh di medan ini, tetapi mungkin akan berguna di medan yang lain.
Sejenak Samekta masih berdiri di tempatnya. Agaknya ia masih mencoba meyakinkan dirinya, apakah Pandan Wangi dapat ditinggalkannya. Dan sekali lagi ia melihat, betapa gadis itu dengan lingahnya meloncat-loncat melayani lawannya, dibantu oleh beberapa orang terpilih dari para pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
“Hati-hatilah Ngger,” desis Samekta kemudian. Sejenak ia menunggu dan didengarnya Pandan Wangi menyahut di sela-sela dentang senjatanya, “Baik Paman.”
Samekta segera meninggalkan arena itu. Disumbatnya segenap keragu-raguan dengan menggeretakkan giginya. Ia mencoba melepaskan segala macam kebimbangan, dan ia pun segera menerobos perang brubuh yang kisruh, menuju ke padepokan di sebelah
Tanah Perdikan Menoreh memang sedang memerlukan tenaganya. Ia harus memimpin pasukan yang tersisa itu. Namun demikian, hatinya terasa terlampau gelisah. Ia telah salah memperhitungkan cara yang akan ditempuh oleh Sidanti. Ternyata Sidanti benar-benar seorang prajurit yang baik. Ia memancing para pengawal dengan pasukan yang tidak terlampau kuat. Namun kemudian induk pasukannya justru menyerang dari arah lain.
“Kami telah kehilangan kesempatan,” gumam Samekta di dalam hatinya, “kalau kami berhadapan bersama-sama, maka kekuatan Menoreh pasti lebih besar dari kekuatan Sidanti. Seandainya kami bertempur dalam gelar, maka dapat dipastikan bahwa pasukan Sidanti akan pecah. Tetapi dengan cara ini, pasukan Menoreh banyak kehilangan. Sidanti berhasil membinasakan pasukan Menoreh sedikit demi sedikit. Waktu yang dipergunakan oleh Sidanti, untuk mengurangi sebanyak-banyaknya kemampuan perlawanan pasukan Menoreh.”
Tiba-tiba Samekta menggeram. Ia adalah orang yang telah cukup makan pahit asamnya peperangan. Namun kali ini ia tidak berhasil menanggulangi siasat Sidanti.
“Mudah-mudahan aku tidak terlambat sekali.”
Samekta kemudian dengan tergesa-gesa masuk ke padukuhan sebelah, menemui pemimpin sayap kirinya. Dengan singkat, pasukan itu mendapat penjelasan apa yang harus dilakukan.
Dengan tergesa-gesa Samekta segera membawa pasukan kecil itu menuju ke medan di sebelah Timur. Dengan berlari-lari kecil ditelusurinya pematang, diloncatinya parit dan ladang-ladang terpaksa di sasaknya tanaman-tanaman di pategalan-pategalan untuk menempuh jalan yang memintas. Jalan yang paling pendek untuk mencapai medan sebelah Timur, hampir mencapai padukuhan induk.
Kedatangan pasukan Samekta, beserta Samekta sendiri, memberikan gairah baru bagi pasukan Menoreh yang sebenarnya telah terlampau parah. Korban telah banyak berjatuhan dan daya perlawanan mereka pun telah hampir punah. Tetapi pasukan yang segar ini telah membawa udara baru. Dengan cara seperti yang telah ditempuhnya membuat kelompok-kelompok kecil, para pengawal menghadapi Sidanti dan Argajaya. Mereka harus berusaha untuk mengurung kedua orang itu pada tempat tertentu, supaya kedahsyatan ujung senjata mereka tidak menjalar di seluruh medan.
Sejenak desakan pasukan Sidanti agak tertahan. Tetapi sejenak kemudian Samekta pun segera merasakan, bahwa tekanan pasukan lawan itu benar-benar tidak dapat dibendung lagi. Pasukannya datang ketika pasukan yang terdahulu sudah hampir tidak berdaya sama sekali, sehingga seakan-akan pasukan yang baru itu sajalah yang kini harus bertempur melawan seluruh kekuatan Sidanti.
Samekta itu menggeram, ketika ia mendengar jerit seseorang di dekatnya. Sebatang tombak telah menembus dadanya, menyusup di antara tulang-tulang rusuknya meraba jantung.
“Perlawanan ini tidak dapat dipertahankan,” berkata Samekta di dalam hatinya, “kami akan ditumpasnya seperti batang ilalang yang disapu angin pusaran yang dahsyat.”
Tiba-tiba Samekta mengambil sesuatu keputusan yang berbahaya, tetapi yang paling mungkin dilakukan. Selagi pasukannya masih cukup segar, maka diperintahkannya seseorang untuk segera menghubungi Wrahasta, “Sampaikan kepadanya, pasukan akan mundur sampai ke induk Padukuhan Menoreh. Ungsikan sedapat mungkin semua penghuninya. Kami akan bertahan bergabung dengan pasukan Wrahasta. Itu yang paling mungkin kami lakukan, karena Wrahasta tidak akan dapat meninggalkan halaman menurut perintah Ki Gede. Setidak-tidaknya, kami akan bertempur di padukuhan induk. Dengan demikian kami akan mendapat banyak bantuan daripadanya.”
Penghubung itu pun segera meninggalkan medan, langsung menemui Wrahasta di halaman rumah Ki Argapati. Wajah Wrahasta segera menjadi tegang dan menyala. Katanya, “Jadi pasukan Menoreh tidak mampu menahan arus kekuatan Sidanti?”
Penghubung itu menggeleng.
Wrahasta berdiri tegang di tempatnya. Ia dapat mengerti cara berpikir Samekta meskipun itu suatu permainan yang sangat berbahaya. Namun seandainya tidak demikian, dan pasukan Samekta itu tertumpas habis, maka Sidanti pun pasti akan berhasil merebut rumah Ki Argapati ini. Karena itu, memang tidak ada jalan lain daripada menarik pasukan itu dan bergabung dengan pengawal rumah Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Mereka tidak akan menunggu pasukan Sidanti memasuki halaman, tetapi mereka akan menyongsong mereka di ujung pedukuhan.
Maka Wrahasta pun kemudian menggeram, “Sampaikan kepada Paman Samekta, pasukanku akan menunggu di ujung pedukuhan.”
Penghubung itu tidak menunggu apa pun lagi. Segera ia meloncat berlari kembali ke medan. sementara Wrahasta berusaha untuk menyingkirkan perempuan dan anak-anak meninggalkan pedukuhan induk, ke padukuhan yang dianggapnya aman. Dengan Samekta dan pasukan-pasukan yang lain telah dibuat kesepakatan, bahwa apabila terpaksa, mereka memang harus menempatkan keluarga mereka di padukuhan tersebut. Bahkan dalam keadaan serupa itu, kemungkinan yang paling pahit pun harus dipikirkan. Apalagi pasukan mereka terpaksa mundur, maka mereka akan menempatkan diri di padukuhan di hadapan padukuhan pengungsian itu. Dan Wrahasta pun harus menyiapkan penghubung-penghubung untuk keperluan tersebut. Sebab ia tidak akan dapat menghindarkan diri dari kenyataan, sesuai dengan laporan penghubung yang datang dari medan di sebelah Timur.
Dengan susah payah penghubung yang telah berhasil menemui Wrahasta itu dapat melaporkan hasilnya kepada Samekta, meskipun ia harus menembus perang yang semakin sengit berkobar di medan itu. Dan Samekta pun tidak menunggu lebih lama lagi. Ia tidak dapat membiarkan orang-orangnya menjadi semakin parah. Karena itulah, maka segera ia memerintahkan penghubung-penghubungnya menyampaikan perintahnya ke segenap kelompok dan bahkan ke segenap orang, supaya di antara mereka tidak ada yang tertinggal, untuk menarik diri sampai ke ujung padukuhan induk.
Ternyata pasukannya yang telah menjadi semakin parah itu pun agaknya tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Di saat-saat terakhir mereka telah mencurahkan segenap sisa kemampuan mereka untuk bertahan terus. Seandainya Samekta tidak mengeluarkan perintah itu, maka pasukan Menoreh justru akan terpecah tanpa dapat dikendalikan lagi.
Kini sambil mempertahankan hidup masing-masing, para pengawal itu menarik diri. Mereka belum tahu pasti apakah yang akan terjadi setelah mereka sampai di padukuhan induk. Sudah tentu Samekta tidak dapat meneriakkan rencananya itu di medan perang.
Namun meskipun demikian, beberapa orang pemimpin kelompok dapat segera memahami maksud Samekta, karena mereka tahu benar, bahwa di padukuhan induk masih tersisa beberapa bagian dari kekuatan pasukan pengawal Menoreh.
Demikianlah, seperti didorong oleh banjir bandang, maka dengan cepatnya peperangan itu bergeser. Menyeberangi sebuah bulak kecil menuju ke padukuhan induk.
Sidanti dan Argajaya memang memperhitungkan juga, bahwa di padukuhan induk itu pasti masih ada kekuatan yang akan dapat membantu pasukan Menoreh. Tetapi mereka yakin, bahwa kekuatannya sudah tidak akan dapat dibendung lagi. Kekuatan Menoreh yang telah dihancurkannya sedikit demi sedikit, kerena siasatnya yang berhasil, tidak akan mampu menghimpun diri dalam waktu yang terlampau pendek. Dengan demikian, mereka sudah memastikan, bahwa malam ini rumah Kepala Tanah Perdikan Menoreh akan jatuh ketangan mereka.
“Kita tinggal mengatur, bagaimana kita harus mempertahankan padukuhan induk itu untuk seterusnya,” berkata Sidanti di dalam hatinya.
Sementara itu, medan yang bergeser itu pun semakin lama menjadi semakin dekat dengan padukuhan induk. Dentang senjata, pekik sorak, dan keluhan yang tertahan, mewarnai malam yang semakin dalam. Di kejauhan masih juga terdengar satu-satu suara kentongan. Namun telah kehilangan gairah dan bahkan seakan-akan menjadi ngelangut, seperti nada-nada tembang dalam keputus-asaan.
Dan ternyata bahwa suara titir yang ngelangut itu telah mempengaruhi medan di sebelah Barat. Sepeninggal Samekta, pasukan Menoreh telah dilanda oleh kegelisahan yang dahsyat. Kalau semula mereka hampir berhasil menguasai keadaan, maka semakin lama harapan itu pun menjadi semakin tipis. Pengaruh suara tetir yang seolah-olah meneriakkan pedih yang menyengat jantung Tanah Perdikan Menoreh, agaknya membuat para pengawal itu kini menjadi cemas. Mereka justru mencemaskan nasib kawan-kawan mereka di medan sebelah Timur daripada memikirkan nasib mereka sendiri.
Meskipun demikian, para pengawal Tanah Perdikan Menoreh masih tetap dalam keadaan yang cukup baik. Orang-orang Peda Sura masih belum mampu untuk merubah keadaan terlampau banyak. Meskipun kini mereka tidak terlampau tertekan, namun mereka masih juga belum dapat bernafas leluasa.
Namun sementara itu, suara titir yang bergema menggetarkan seluruh Tanah Perdikan Menoreh itu, terdengar pula dari Pucang Kembar. Ki Argapati yang sedang bertempur antara hidup dan mati, melawan Ki Tambak Wedi, mendengar juga suara dan irama titir itu. Karena itu, maka sejenak ia terpengaruh. Beberapa kali ia terpaksa meloncat surut.
“Ha,” berkata Ki Tambak Wedi sambil menyerangnya, “kau dengar suara titir yang memekik-mekik itu? Dengarlah. Bukankah suaranya seperti tangis bayi yang memanggil-manggil ibunya, karena ketakutan melihat seekor harimau yang mendekatinya sambil memperlihatkan taringnya serta kuku-kukunya yang tajam?”
Argapati tidak menjawab. Tetapi terdengar ia menggeram sambil memutar tombaknya.
“Jangan berpura pura Argapati. Kau harus tahu, bahwa pasukan pengawalmu saat ini sedang dilanda oleh arus pasukan Sidanti. Kalau kau masih selamat Argapati, kau akan melihat bangkai bertimbun-timbun.”
Argapati masih tetap membisu. Tetapi senjatanya masih tetap mematuk-matuk dengan dahsyatnya.
“Huh,” Ki Tambak Wedi melanjutkan, “agaknya kau terlampau mementingkan dirimu sendiri. Kau sama sekali tidak berpikir tentang orang-orangmu yang sedang sekarat.” Ki Tambak Wedi berhenti sejenak. Ia terpaksa menghindar jauh-jauh karena ujung tombak Argapati menyambar lambungnya. Hampir saja lambungnya itu tersobek oleh senjata lawannya.
“Alangkah garangnya kau,” ia melanjutkan, “tetapi bayangkan, apakah kau yakin, bahwa Pandan Wangi mampu menyelamatkan dirinya, meskipun ia seorang gadis yang garang? Kali ini jangan diharapkan Sidanti akan menolongnya lagi seperti pada saat ia hampir dibantai oleh orang-orang liar yang berdiri di pihak kami. Ha, kau harus tahu, bahwa sudah ada kesepakatan, bahwa Sidanti tidak akan menghalang-halangi lagi siapa pun yang dapat menangkap puterimu yang cantik itu untuk diperlakukan sekehendak hati.”
Tiba-tiba Argapati menggeram dahsyat sekali, seolah-olah udara malam tergetar karenanya. Kata-kata Ki Tambak Wedi, yang sengaja dilontarkan untuk mempengaruhi perasaan Argapati, benar-benar mencapai sasarannya. Tetapi akibatnya justru sebaliknya. Argapati tidak menjadi bingung dan kehilangan akal. Namun tiba-tiba Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu seolah-olah berubah menjadi seperti banteng yang sedang terluka. Dan luka itu justru menambahnya menjadi lebih berbahaya.
Ki Tambak Wedi terkejut melihat perubahan itu. Ia mengharap Ki Argapati menjadi lengah dalam kebingungannya. Namun agaknya Argapati adalah seorang yang benar-benar telah matang. Meskipun ia marah bukan buatan, tetapi dalam kesadarannya ia tidak menjadi mata gelap dan kehilangan pegangan. Dengan sepenuh kesadaran ia berkata di dalam dirinya, “Aku harus berbuat sebaik-baiknya, supaya aku dapat keluar dari perkelahian ini.”
Kemarahan yang didasari sepenuh kesadaran, membuat Ki Argapati menjadi semakin garan
g. Tombaknya menyambar-nyambar dari segenap arah dan mematuk dengan tiba-tiba, seperti seekor ular yang bersayap.
“Setan alas,” Ki Tambak Wedi mengumpat di dalam hatinya, “orang ini justru menjadi semakin gila. Apakah suara titir itu tidak didengarnya?”
Tetapi Ki Tambak Wedi tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa tekanan Argapati justru semakin sengit. Beberapa kali Ki Tambak Wedi harus menghindar sambil melangkah surut, sebelum ia mapan untuk melawan. Agaknya senjata Ki Tambak Wedi yang sudah tidak genap sepasang itu mempengaruhinya pula, karena senjata Ki Argapati agak lebih panjang dari senjatanya, meskipun berujung rangkap.
“He, apakah kau tuli, Argapati,” berteriak Tambak Wedi itu pula, “apa kau tidak mendengar suara titir itu? Mungkin anakmu kini telah terbunuh. O, itu lebih baik baginya, tetapi bagaimana kalau Pandan Wangi itu dapat ditangkap oleh orang-orang liar yang kemarin mencegatnya?”
Argapati masih tetap berdiam diri. Namun serangannya menjadi semakin dahsyat. Putaran tombaknya menimbulkan goncangan pada pepohonan dan ranting-ranting di sekitarnya, seolah-olah sedang dilanda angin pusaran.
“Hem,” Tambak Wedi berdesah, “tak ada pilihan lain. Semakin lama orang ini menjadi semakin gila. Aku harus segera membinasakannya, supaya aku sempat melihat Sidanti memasuki rumah Kepala Tanah Perdikan Menoreh.”
Karena itu, maka Ki Tambak Wedi segera mempertimbangkan untuk memanggil orang-orangnya yang bersembunyi. Ia kini ingin segera selesai. Ia sudah menjadi muak melihat tingkah laku Argapati. Tidak, bukan karena muak. Sebenarnyalah bahwa ia justru mengaguminya. Tetapi kegarangan Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu membuatnya terlampau marah dan cemas. Sehingga orang itu memang segera harus dibinasakan.
Ki Tambak Wedi yang masih selalu harus menghindari serangan-serangan Argapati yang membadai itu tiba-tiba meloncat jauh-jauh. Tiba-tiba dari mulutnya terdengar sebuah suitan nyaring. Nyaring sekali membelah sepinya malam di bawah sepasang Pucang Kembar.
Argapati terkejut mendengar suitan itu. Meskipun ia sudah meragukan kejantanan Ki Tambak Wedi kini, namun tanda sandi itu telah menggetarkan jantungnya. Sehingga tiba-tiba ia pun tertegun tegak di tempatnya seperti sebatang tonggak yang membeku.
Baru sejenak kemudian terdengar ia menggeram, “Aku memang sudah menduga Tambak Wedi, bahwa akan datang saatnya, kau kehilangan watakmu sebagai Paguhan yang perkasa.”
“Terserahlah penilaianmu, Argapati. Sebentar lagi kau akan binasa. Tak ada jalan lagi bagimu untuk keluar dari daerah ini.”
“Aku menyadarinya Tambak Wedi. Setitik air akan dapat merubah keseimbangan yang mantap ini. Kau dan aku masih juga dalam keadaan yang serupa dengan beberapa puluh tahun lampau. Apabila sekarang kau memanggil seseorang yang paling lemah sekalipun, maka keseimbangan yang mantap ini pun akan segera menjadi goyah.”
“Hem,” Tambak Wedi berdesah, lalu, “kalau begitu, kenapa kau tidak menyerah saja?”
“Ah, jangan begitu Tambak Wedi. Meskipun aku tahu, bahwa aku akan binasa, tetapi lebih baik bagiku mati sambil menggenggam tombak ini daripada mati di dalam bantaian.”
“Baiklah. Untuk kepuasanmu, Argapati, aku akan memenuhinya.”
Argapati menggeram mendengar kata-kata terakhir Tambak Wedi itu. Apalagi ketika ia melihat dua orang yang segera berloncatan dari balik gerumbul. Keduanya kemudian berjalan berurutan mendekati arena perkelahian.
“Itukah kawan-kawanmu, Tambak Wedi?” bertanya Argapati.
Tambak Wedi mengangguk. Namun Betapapun juga terasa segores luka yang pedih di hatinya. Seorang yang bergelar Ki Tambak Wedi telah melakukan kecurangan di dalam perang tanding. Bukan saja kecurangan ini yang dilakukannya, tetapi kecurangan-kecurangan yang lain, dan bahkan kecurangan yang paling memalukan. Kecuali dua orang itu, ia masih bersedia sekelompok orang-orang yang telah menyiapkan dirinya pula untuk membinasakan Argapati apabila ia berhasil lolos dari Ki Tambak Wedi dan kedua temannya.
Sepercik warna merah menjalar di wajah Ki Tambak Wedi. Hampir saja ia berteriak mengusir kedua orang itu, dan kembali berkelahi seorang lawan seorang. Namun kemudian ia menggeretakkan giginya dan mengusir perasaan itu. Yang dipahatkan di hatinya adalah, “Orang ini harus segera binasa bersama rahasia tentang dirinya dan Sidanti.”
Argapati masih berdiri tegak. Tangannya menggenggam tombaknya erat-erat. Sedang kakinya yang renggang seakan-akan menghunjam ke dalam bumi. Sejenak dipandanginya kedua orang yang berjalan dengan langkah yang tetap mendekatinya, dan sejenak kemudian dipandanginya Ki Tambak Wedi.
Terasa sesuatu bergetar di dalam dadanya. Menurut pengamatannya kedua orang itu pun bukan orang kebanyakan, meskipun tidak terlampau berbahaya. Tetapi bertiga bersama Ki Tambak Wedi, maka seolah-olah keputusan telah jatuh, bahwa Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu harus binasa di bawah Pucang Kembar itu.
Tanpa disadarinya, Argapati menengadahkan wajahnya. Dilihatnya bulan yang bulat seakan-akan tergantung di langit, disaput oleh awan yang tipis, mengalir lambat dihembus angin dari selatan.
Argapati menarik nafas dalam-dalam. Ditatapnya bulan yang bulat kekuning-kuningan itu tajam-tajam, seolah-olah untuk yang terakhir kalinya.
Setelah puas Argapati memandangi bulan yang bulat di langit maka sambil menggeram dipandanginya Ki Tambak Wedi dengan tegangnya. Dalam keremangan cahaya bulan, dilihatnya wajah orang tua itu seperti wajah burung pemakan daging yang paling buas dengan paruhnya yang lengkung dan matanya yang tajam dan liar.
Dan sejenak kemudian Ki Argapati itu berkata di dalam, hatinya, “Apa pun yang terjadi, Argapati bukan pengecut yang takut melihat beberapa ujung senjata bersama-sama mengarah ke tubuhnya.”
Karena itu, maka Argapati pun berdiri semakin mantap. Tombak di dalam genggamannya tampak bergetar, dan ujungnya menunduk setinggi dada.
“Marilah Tambak Wedi,” terdengar suaranya dalam nada yang datar, “kalau kau menganggap perlu membawa orangmu itu bermain-main bersama. Aku berterima kasih atas kehormatan ini. Bahwa seorang yang bernama Paguhan dan bergelar Tambak Wedi, memerlukan dua orang kawan untuk melayani Argapati.”
Ki Tambak Wedi menggeram. Kata-kata itu menggores jantungnya terlampau dalam. Betapa pedihnya. Namun ia tidak mau melangkah surut. Ia mencoba untuk memaksa dirinya menjadi seorang pengecut yang paling licik. Bahkan dengan menggeretakkan giginya, mengusir segala macam perasaan malu dan segan ia berkata lantang, “Tidak hanya mereka berdua Argapati. Kalau kami bertiga ini gagal, maka aku masih menyediakan sebuah pasukan kecil untuk membinasakan kau. Maaf, bahwa aku berbuat curang dan licik. Mungkin melampaui demit. Tetapi keputusan kami telah jatuh. Argapati harus binasa.”
“Kenapa kau tunggu sekian lama, baru sekarang orangmu ini kau panggil?”
“Biarlah aku berterus terang kepada seseorang yang sudah akan dikubur. Aku memang mencoba untuk berkelahi seorang lawan seorang. Mungkin perkembangan yang terjadi antara kau dan aku agak berbeda, sehingga seorang diri aku dapat membinasakan kau. Dengan demkian, aku masih dapat menepuk dada, dan bangga atas harga diriku sendiri. Tetapi ternyata aku tidak berhasil. Karena aku sudah menyangka demikian sebelumnya, maka biarlah aku kini berbuat curang. Tetapi kecurangan ini aku lakukan untuk suatu tujuan yang penting. Penting sekali Argapati.”
“Penting bagi kau dan Sidanti. Tetapi sama sekali tidak berarti bagi aku dan rakyat Menoreh.”
“Ha, kau membuat tafsiran menurut kepentinganmu. Sudah tentu aku membuat tafsiran sesuai dengan kepentinganku pula dan kepentingan anak itu. Kau mengerti?”
Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku mengerti Tambak Wedi. Memang apa yang baik untukmu tidak terlalu baik bagi orang lain. Aku tahu pula, bahwa kau sekarang dapat berpikir, bahwa apa yang baik buatmu dan anak itu, meskipun harus mengorbankan orang lain, namun tetap kau lakukan juga. Kau ingin menempatkan anak itu pada kedudukan yang baik, meskipun beralaskan bangkaiku. Sahabatmu dan orang yang pernah dipanggil ayahnya.”
Tambak Wedi menggeretakkan giginya. Ternyata dadanya bergetar dahsyat sekali mendengar kata-kata itu. Sejenak ia berdiri tegak dengan wajah yang tegang, sedang kedua orang yaug di panggilnya telah berdiri di sampingnya.
Tetapi Tambak Wedi masih tegak seperti patung. Dan ia mendengar Argapati berkata pula, “Tetapi tidak mengapa Tambak Wedi. Lakukanlah. Aku sudah sedia untuk bertempur melawan kalian bertiga, apa pun yang akan terjadi atas diriku.”
Tambak Wedi masih tegak di tempatnya. Terjadilah pergolakan yang menggoncangkan perasaannya. Keragu-raguan yang tajam telah mencengkam jantungnya.
Sementara itu, di balik gerumbul yang rimbun, tidak terlampau jauh dari Pucang Kembar, tiga pasang mata memandang apa yang terjadi itu dengan dada yang berdebar-debar. Sama sekali tidak terlintas di hati mereka, bahwa orang yang bernama Ki Tambak Wedi itu telah menyiapkan sebuah perangkap yang keji buat Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu, maka hati mereka pun serasa terbakar. Meskipun mawantu-wantu Ki Gede Menoreh berpesan, tidak boleh ada seorang pun yang melihat perkelahian itu, namun mereka sama sekai tidak akan membiarkan sesuatu terjadi atas kepala tanah perdikannya.
Kerti, yang tertua dari ketiga orang itu menggeram. Perlahan-lahan ia berdesis, “Apakah kita dapat melihat kecurangan itu terjadi.”
“Tidak,” sahut kawannya yang kecil. Ternyata tangannya telah meraba tangkai pisau-pisaunya, “Kita harus berbuat sesuata. Aku dapat membunuh mereka dari jarak yang cukup.”
“Jangan berkesimpulan demikian. Kau memang pandai membidik. Kau dapat mengenai seekor burung yang terbang di langit. Tetapi belum tentu kau mampu mengenai salah seorang dari mereka. Mereka memiliki kelebihan dari seekor burung di langit. Mereka mempunyai ketrampilan yang luar biasa untuk mengelak.”
Kawannya yang kecil mengangguk-anggukkan kepalanya, ”Lalu apakah yang akan kita lakukan?”
“Kalau benar mereka berkelahi bersama-sama, apa salahnya kita pun terjun di dalam arena it,” sahut kawannya yang lain.
Kerti menjadi ragu-ragu. Apakah hal itu tidak akan membuat Ki Argapati menjadi marah.
Tetapi seandainya dengan demikian, Argapati terselamatkan, maka ia akan bersedia menanggung segala macam akibatnya. Ia akan bersedia menjalani hukuman apa pun yang akan diberikan oleh Argapati atasnya.
Kerti itu berpaling ketika kawannya yang kecil menggamitnya. Dan ketika ia melihat telunjuk kawannya itu mengarah kebawah Pucang Kembar, maka Kerti pun memandang ke sana pula.
Yang dilihatnya kedua orang kawan Ki Tambak Wedi telah mempersiapkan senjatanya, dan mereka melihat ketiga orang lawan Argapati itu telah mendekat. Tetapi mereka tidak mendengar apa yang dikatakan oleh hantu dari lereng Gunung Merapi itu.
Ternyata Ki Tambak Wedi telah berhasil menekan perasaannya. Menekan kejantanan yang menuntut di dalam hatinya. Dan ia sudah berkeputusan untuk beramai-ramai membunuh Argapati beserta kedua kawannya.
Karena itu, maka sesaat kemudian ia menggeram dahsyat sekali untuk menekankan keputusan itu di dalam hatinya. Untuk mengusir sama sekali sisa-sisa harga diri yang masih membayang di dalam dadanya. Sejenak kemudian, dikerahkannya segenap tenaganya untuk melontarkan perintah lewat mulutnya, “Jangan berdiri saja mematung. Kita sudah sampai pada saat yang kita tunggu. Lenyapkan orang yang benama Argapati ini.”
Serentak kedua orang itu berloncatan ke arah yang berbeda. Mereka akan menghadapi Argapati dari sisi seberang menyeberang, sedangkan Ki Tambak Wedi akan melawannya dari depan, berhadapan.
“Bagus,” desis Argapati, “kita sudah siap. Marilah, kita tentukan akhir dari permainan ini dengan cara yang kau pilih, Tambak Wedi.”
Ki Tambak Wedi tidak menjawab. Dikatupkannya bibirnya rapat-rapat. Namun sejenak kemudian, selangkah ia maju. Senjatanya telah bergetar di tangannya.
Sesaat ia memandangi wajah kepala tanah perdikan itu. Wajah yang memancarkan kemarahan dan kebencian tiada taranya. Wajah itu seakan-akan wajah Arya Teja beberapa puluh tahun yang lalu. Dari sepasang matanya memancar perasaan sakit hati yang tidak terhingga.
Sesaat keempat orang itu berdiri tegak seperti patung. Masing-masing telah mempersiapkan senjatanya. Tidak seorang pun yang sempat berkedip, karena mereka yakin, bahwa setiap saat waktu yang sekejap itu akan dapat menentukan hidup dan mati.
Bulan di langit masih memancarkan cahayanya yang kuning keemasan. Sepotong awan yang putih telah terhembus, menyingkir dari wajah bulan yang bulat, oleh sepercik angin yang semilir.
Sejenak keempat orang itu masih tetap berdiri diam di atas kedua kaki masing-masing yang merenggang. Lutut mereka agak merendah dan tangan-tangan mereka telah bergetar.
Namun sekejap kemudian, terdengarlah geram yang dahsyat, seperti dengus seekor banteng jantan. Hampir tidak dapat dipercaya, bahwa seseorang mampu bergerak secepat itu. Ternyata Argapati yang dibakar oleh kemarahan yang meluap-luap telah mulai dengan serangannya. Kali ini serangannya tidak tertuju kepada Ki Tambak Wedi, tetapi kepada kawannya yang berdiri di sisinya sebelah kanan. Serangan ini benar-benar mengejutkan. Orang yang berdiri di sebelah kanannya, meskipun sudah siap benar, namun tidak menyangka sama sekali, bahwa serangan yang pertama itu datang sedemikian cepatnya. Seperti tatit ia melihat tombak Argapati menyambar dadanya, sehingga karena itu, ia sama sekali tidak sempat untuk dapat mengelakkan dirinya. Yang dapat dilakukannya adalah berusaha menangkis serangan itu.
Terjadilah sebuah benturan yang dahsyat. Serangan Argapati ternyata mempunyai kekuatan yang luar biasa. Meskipun lawannya berhasil menangkis ujung tombaknya, namun kekuatan mereka tidak seimbang, sehingga senjata orang itu pun terlepas dan terlempar dari tangannya yang seolah-olah tersayat. Bukan hanya itu. Tombak itu hampir tidak terpengaruh, meskipun arahnya berubah sedikit. Namun agaknya yang sedikit itu telah menyelamatkan nyawanya. Meskipun demikian, orang itu memekik pendek. Sebuah luka segera menganga di pundaknya.
Demikian derasnya sentuhan tombak Argapati itu, sehingga lawannya terdorong beberapa langkah surut, dan bahkan terbanting jatuh di tanah.
Agaknya kesempatan itu tidak diluangkan oleh Argapati. Ia sudah siap untuk menyelesaikan satu dari ketiga lawannya.
Karena itu, maka segera ia mempersiapkan dirinya untuk segera menghujamkan tombaknya pada tubuh yang sedang roboh itu.
Tetapi ternyata bahwa di antara ketiga lawannya itu terdapat Ki Tambak Wedi yang mampu berbuat seperti yang dilakukannya itu. Orang tua itu ternyata tidak membiarkan seorang kawannya terbunuh pada serangan yang pertama. Dengan demikian, maka ia pun berteriak nyaring sambil melontarkan sebuah serangan yang tidak kalah dahsyatnya. Senjatanya yang mengerikan itu diputarnya seperti baling-baling, kemudian meluncur dengan cepatnya, melanda Argapati yang sudah siap untuk membinasakan lawannya.
Dengan demikian, maka serangan Argapati itu menjadi urung. Ia terpaksa menyiapkan dirinya untuk menghadapi Ki Tambak Wedi. Ia tahu benar, bahwa Ki Tambak Wedi adalah orang yang jauh lebih berbahaya dari orang yang sudah terluka itu. Sehingga dengan demikian, maka ia segera melontarkan dirinya, menyiapkan senjatanya untuk menyambut senjata lawannya yang berbahaya itu.
Sekali lagi terjadi sebuah benturan yang kali ini jauh lebih dahsyat lagi dari yang telah terjadi. Keduanya adalah orang-orang yang mumpuni, yang memiliki kekuatan raksasa. Namun karena kekuatan mereka seimbang, maka kedua senjata itu masih tetap di dalam genggaman masing-masing. Namun sepercik bunga api telah meloncat di udara, seperti ribuan kunang-kunang yang berloncatan berusaha menghindarkan diri dari pengaruh benturan-benturan yang sedang terjadi itu.
Kedua orang yang sama-sama memiliki kelebihan dari orang-orang kebanyakan itu, masing-masing terdorong beberapa langkah surut. Keduanya sedang menahan nafas masing-masing, dan mencoba menyalurkan segenap kemampuan dan ketahanan mereka, mengatasi getar yang terjadi di dalam dirinya karena benturan yang terjadi itu. Namun, belum lagi Argapati berhasil menguasai diri sepenuhnya, sebuah serangan yang lain telah meluncur dari samping. Ternyata kawan Tambak Wedi yang lain tidak membiarkan lawannya itu beristirahat dan memperbaiki keadaannya. Meskipun serangannya tidak berbahaya seperti serangan Ki Tambak Wedi, namun Argapati sadar, bahwa ujung senjata itu akan mampu merobek kulitnya apabila berhasil mengenainya. Karena itu, maka sekali lagi ia harus menghindar. Dan sekaligus Argapati berhasil memukul senjata lawannya itu dengan kerasnya, meskipun tidak sepenuh tenaga.
Terasa tangan orang itu seakan-akan menggenggam bara yang sedang menyala. Seperti kawannya yang terluka, maka ia pun tidak mampu mempertahankan senjatanya di dalam genggaman, sehingga senjata itu pun meloncat beberapa langkah daripadanya.
Namun sementara itu, Ki Tambak Wedi telah siap pula. Ia telah berhasil menguasai diri sepenuhnya dan bersiap untuk segera meluncurkan serangan-serangan berikutnya. Ia harus berusaha menarik segenap perhatian Argapati untuk memberi kesempatan kedua kawannya menguasai senjatanya kembali.
Dan Argapati pun telah menyadarinya. Sebelum mereka mulai bertempur bersama-sama, memang Argapati telah memperhitungkannya. Kekuatan yang Betapapun kecilnya, pasti akan segera merubah keseimbangan di dalam pertempuran itu.
Namun Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu sama sekali tidak ngedap. Ia tidak segera berputus asa dan membiarkan dirinya dirobek oleh ujung-ujung senjata lawan. Betapapun juga kematangan sikapnya, telah membuatnya tetap tenang. Dalam keadaan yang demikian, betapa dadanya dibakar oleh kemarahan yang menyala, namun ia tetap sadar, bahwa ia harus tetap mempergunakan otaknya.
Sejenak kemudian, maka Ki Tambak Wedi pun telah mulai menyerang dengan dahsyatnya. Senjatanya berputaran seperti baling-baling. Mematuk dengan sebelah tajamnya, kemudian ditariknya sambil menyambar dengan tajamnya yang lain, seperti tandang seekor ular berkepala dua di ujung dan pangkalnya.
Sementara Ki Argapati melayani serangan-serangan itu, maka usaha Ki Tambak Wedi untuk memberi kesempatan kedua kawannya itu pun berhasil, yang seorang dengan sigapnya meloncat memanggul senjatanya, meskipun tangannya masih terasa pedih. Sedang yang lain dengan nafas terengah-engah bangkit berdiri. Tetapi ia tidak segera memungut senjata yang terlempar jatuh. Tetapi dirabanya lengannya yang luka. Darah yang mengalir dari luka itu kini telah berubah menjadi kehitam-hitaman.
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Ia menyadari, betapa berbahayanya senjata Ki Argapati itu. Kalau ia tidak segera berhasil menahan arus darahnya yang mengental, maka nyawanya pasti tidak akan tertolong lagi.
Karena itu, maka segera diambil sebungkus obat yang disimpannya di dalam bumbung kecil pada kantong ikat pinggangnya. Diambilnya obat itu sebutir, kemudian diremasnya dan ditaburkannya pada luka dan sekitarnya.
Terasa luka itu menjadi sangat pedih, seperti ditusuk-tusuk dengan duri. Tetapi kemudian tampaklah sepercik darah yang segar. Sejenak kemudian, maka arus darah itu pun menjadi semakin lambat dan akhirnya berhenti.
“Setan,” geramnya. Kini ia berdiri tegak sambil bertolak pinggang. Hampir saja ia berteriak sambil menepuk dada. Namun tiba-tiba maksudnya itu diurungkannya, ketika ia melihat Ki Argapati dan Ki Tambak Wedi yang sedang berkelahi. Ternyata keduanya adalah orang-orang yang sukar dicari bandingannya. Dengan demikian, maka terdengar ia berkata lirih kepada dirinya sendiri, “Lalu apakah gunanya aku hadir di sini. Semula aku sudah ragu-ragu, apakah kehadiranku berdua akan berpengaruh.”
Namun kemudian sekali lagi ia menggeretakkan giginya. Katanya, “Kalau aku berkelahi melawan Argapati, mungkin aku tidak akan berani. Tetapi kali Argapati baru berkelahi melawan Ki Tambak Wedi, yang mempunyai kemampuan seimbang. Maka tugasku adalah membantunya, mengganggu dan menyerang dengan cara yang licik dan paling curang.”
Maka kemudian. diambilnya senjatanya. Dilihatnya dalam cahaya bulan yang kuning, kawannya pun telah siap benar, meskipun agaknya masih sedang menunggu kesempatan untuk menyerang dengan cara yang telah dipilihnya, curang.
Namun, mereka berdua itu tidak menunggu lebih lama lagi. Ketika Ki Argapati sedang sibuk melayani Ki Tambak Wedi, maka mulailah mereka melakukan perlawanan, langsung bersama-sama maju dari arah yang berlawanan, langsung bersama-sama dengan Ki Tambak Wedi mereka melibatkan diri dalam perkelahian. Tetapi mereka berdua tidak berkelahi beradu dada. Mereka meloncat maju menyerang, namun kemudian menjauh beberapa langkah, sementara kawannya yang lain menyerang dari arah yang lain, kecuali serangan-serangan Ki Tambak Wedi sendiri.
Mengalami serangan-serangan itu, Ki Argapati menggeram. Dalam keadaan yang demikian, ia tidak sedang melayani orang-orang yang lemah bersama-sama mengeroyoknya. Namun di antara mereka ada Ki Tambak Wedi. Itulah kesulitan yang harus dihadapinya. Sedikit saja perhatiannya tertarik oleh kedua lawannya itu, maka Ki Tambak Wedi pasti akan dapat mempergunakan kesempatan itu untuk membinasakannya.
Karena itu, terasa oleh Ki Argapati, bahwa ia mulai menemukan kesulitan dalam pertempuran itu. Meskipun demikian, dengan mengerahkan tenaga yang ada padanya, ia masih mampu mencoba menyelamatkan dirinya. Namun yang terjadi Ki Argapati hanya mampu menghidar, dan menangkis serangan-serangan yang datang bertubi-tubi, tetapi kesempatannya menyerang menjadi semakin tipis.
Dalam keadaan yang demikian, Kerti menahan nafasnya yang terengah-engah. Terasa dadanya seolah-olah akan meledak melihat sikap yang licik dan curang itu, sehingga sejenak kemudian ia menggeram, “Ternyata aku pun tidak dapat berdiam diri saja di sini melihat peristiwa itu. Aku harus berbuat sesuatu.”
“Ya, kita harus berbuat sesuatu,” sahut kawannya.
“Apa pun yang akan terjadi atas kita, termasuk kemarahan Ki Argapati yang akan ditimpakan kepada kita,” sambung yang lain.
Namun mereka masih tetap belum beranjak dari tempat masing-masing. Mereka masih dicengkam keragu-raguan yang belum dapat mereka ke sampingkan.
Kerti, yang tertua di antara mereka pun masih tetap di tempatnya, tanpa berkedip mereka melihat betapa ketiga orang lawan Argapati menyerangnya berganti-ganti dipimpin oleh Ki Tambak Wedi, yang seolah-olah mengikat Argapati supaya ia tidak sempat menghindari serangan-serangan dari kedua orang kawannya.
Darah Kerti serasa berhenti mengalir, ketika ia melihat Ki Argapati terdorong beberapa langkah surut. Hampir saja ia terjatuh ketika kakinya terantuk segumpal batu padas. Untunglah, bahwa ia berhasil memperbaiki keseimbangannya dan tegak di atas kedua kakinya. Namun sebelum ia mampu berbuat sesuatu, serangan Tambak Wedi telah melandanya, sehingga sekali lagi ia terpaksa meloncat surut. Sedang kedua kawan Ki Tambak Wedi pun memburunya sambil berteriak nyaring.
“Pengecut,” Kerti menggeram. Ia sudah tidak mampu menahan diri lagi. Kini ia melihat, bahwa Argapati telah benar-benar terdesak oleh ketiga lawannya yang licik dan curang, yang berkelahi tanpa tata kesopanan dalam olah kanuragan.
Tetapi kawan Kerti yang kecil, yang mempunyai beberapa bilah pisau pada ikat pinggangnya, agaknya lebih tidak dapat menahan dirinya lagi. Tiba-tiba saja ia telah meloncat berdiri dan menarik pedangnya dengan tangan kanannya, sedang di tangan kirinya telah tergenggam sebilah pisau yang siap untuk dilemparkannya.
“He,” Kerti menggamitnya, “tunggu. Kita menanti kesempatan yang sebaik-baiknya.”
“Tidak ada waktu lagi. Apakah kita harus menunggu Ki Gede Menoreh mendapat cidera. Mereka terlampau licik,” jawab orang yang bertubuh kecil itu.
Ternyata pembicaraan itu telah menggoncangkan dada Ki Argapati dan Ki Tambak Wedi beserta kedua kawannya. Meskipun tidak begitu jelas, namun telinga-telinga mereka yang tajam telah mendengar pembicaraan seseorang. Sehingga tanpa mereka sengaja, maka mereka pun mencari kesempatan untuk berpaling, dan melihat seseorang berdiri tegak beberapa puluh langkah dari mereka. Kemudian disusul seorang lagi, dan seorang lagi. Tiga orang.
Dada Argapati berguncang ketika ia mengenal ketiga orang, yang melangkah perlahan-lahan mendekatinya. Orang-orang itu adalah orang-orangnya. Sehingga dengan serta merta ia berteriak, “He, siapakah yang menyuruh kalian datang kemari?”
Kerti tidak segera menjawab. Tetapi ia sudah bertekad, apa pun yang akan terjadi atasnya dan hukuman apa yang akan diterimanya dari Ki Gede Menoreh, namun ia tidak membiarkan kepala tanah perdikan itu mengalami nasib yang mengerikan, justru karena sikap yang curang dan licik.
Perkelahian itu pun tiba-tiba terhenti untuk sejenak. Tampaklah dahi Ki Tambak Wedi berkerut-merut. Dan tiba-tiba saja terloncat dari mulutnya, “Ha, ternyata bukan aku saja yang licik seperti demit, Argapati. Agaknya kau pun telah berlaku curang. Kau telah menyiapkan perangkap yang serupa dengan perangkapku. Nah, apa kataku sekarang tentang diriku.”
Terasa seolah-olah darah telah mendidih di dalam tubuh Ki Argapati. Ia sama sekali tidak menyangka, apalagi mengharapkan orang-orangnya datang menolongnya. Karena itu, maka terdengar giginya gemeretak sambil bertanya, “Siapa yang menyuruh kalian datang kemarin, he! Kerti yang gila?”
Kerti menggelengkan kepalanya, jawabnya, “Tidak ada, Ki Gede. Aku secara kebetulan saja datang ke tempat ini.”
Kata-kata itu terpotong oleh meledaknya suara tertawa Ki Tambak Wedi. Di sela-sela suara tertawanya ia berkata, “O, alangkah pandainya kau mengajari orang-orangmu untuk berbohong.”
Argapati menggeram. Dengan suara bergetar ia mengulangi pertanyaannya, “Siapa yang menyuruh kalian kemari? Aku sudah berpesan kepada kalian, tidak seorang pun boleh melihat apa yang terjadi di sini, apa pun alasannya. Dan bukankah kau mendapat tugas khusus untuk mengawasi Pandan Wangi?”
“Maaf, Ki Gede,” sahut Kerti, “aku memang sudah melanggar pesan Ki Gede, untuk tidak mengganggu perang tanding ini. Dan aku memang mendapat tugas untuk selalu mengawasi Pandan Wangi. Nah, karena tugas itu pulalah, maka aku sampai ke tempat ini.”
Dada Argapati berdesir mendengar jawaban itu. Dengan berdebar-debar ia bertanya, “Kenapa dengan Pandan Wangi?”
“Aku akan berterus terang, supaya Ki Gede mendapat gambaran yang sebenarnya, kenapa aku sampai ke tempat ini.” Kerti berhenti sejenak, lalu, “Pandan Wangi telah hilang dari halaman rumah. Aku menyangka bahwa ia akan datang kemari menyusul Ki Gede, karena sebelumnya ia selalu memperkatakan peperangan di bawah Pucang Kembar. Tetapi agaknya ia tidak datang kemari.”
Ki Gege mengerutkan keningnya. Berita tentang puterinya membuatnya menjadi cemas. Tanpa dikehendakinya ia bertanya, “Setelah kau tahu bahwa Pandan Wangi tidak ada di sini, ke mana kira-kira ia pergi?”
Kerti menggeleng, “Aku tidak tahu. Tetapi yang dipercakapkannya selain Pucang Kembar adalah Samekta. Mungkin ia pergi kepada Samekta. Ada persoalan yang ingin dibicarakannya dengan Samekta, tetapi ia tidak dapat meninggalkan halaman rumahnya.”
Ki Argapati termenung sejenak. Kepergian Pandan Wangi menumbuhkan persoalan baru di dalam dirinya. Karena itu, maka sejenak ia berdiri tegak dengan tegangnya.
Ternyata, bahwa saat-saat yang demikian itu tidak luput dari pengamatan Ki Tambak Wedi. Kehadiran ketiga orang Menoreh itu telah membuatnya gelisah. Dengan hadirnya ketiga orang itu, maka usahanya untuk membinasakan Argapati menjadi terganggu. Ketiga orang ini akan dapat menghadapi kedua orang kawannya, dan ia harus bertempur lagi seorang lawan seorang dengan Ki Gede Menoreh, sehingga untuk waktu yang lama pasti tidak akan mendapat penyelesaian. Apalagi apabila ketiga orang-orang Menoreh itu mempunyai beberapa kelebihan dari kedua kawannya maka keadaan yang demikian akan sangat mengganggunya.
Karena itu, maka Ki Tambak Wedi yang licik itu segera mencari akal. Apakah yang dapat dilakukannya untuk membinasakan Kepala Tanah Perdikan Menoreh.
“Kalau perlu aku akan segera memanggil orang-orangku yang lain. Pasukan kecil yang telah aku persiapkan itu,” katanya di dalam hati. Namun sementara itu, ia masih membiarkan Argapati berbicara kepada Kerti, “Apakah tidak seorang pun yang tahu, kemanakah perginya anak itu? Apakah Wrahasta dan orang-orangnya yang berjaga-jaga di halaman juga tidak melihatnya?”
Kerti menggelengkan kepalanya, “Tidak seorang pun yang melihatnya.”
Ki Argapati menggeram. Terloncat dari mulutnya sebuah desis, “Anak itu memang keras kepala. Untuk kedua kalinya ia lari. Hem.”
Kerti tidak menyahut. Namun ia dapat mengerti, betapa dada Ki Argapati menjadi cemas karenanya. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain. Lebih baik ia berterus terang daripada mendengar tuduhan Tambak Wedi, bahwa Argapati telah berbuat curang pula dengan menyiapkan orang-orangnya.
Tiba-tiba saja, tanpa disangka-sangak, Tambak Wedi merasa menemukan kesempatan sebelum ia memanggil orang-orangnya. Pada saat Ki Argapati lengah, ia dapat berbuat sesuatu. Meskipun dengan demikian, ia berbuat curang, namun apakah artinya kecurangan itu di sela-sela seribu macam kecurangan-kecurangan yang lain, yang telah dilakukannya.
Demikanlah, pada saat jatung Ki Argapati dicengkam oleh kecemasan tentang puterinya, dan kegelisahan karena kehadiran orang-orangnya yang tentu disangka oleh lawannya, bahwa ia pun berbuat curang seperti Ki Tambak Wedi, maka saat yang demikian itulah yang akan dimanfaatkan oleh lawannya.
Dengan serta merta, tanpa tanda-tanda apa pun juga. Tambak Wedi meloncat sambil berteriak nyaring, langsung menyerang Ki Argapati yang sama sekali tidak menyangka, bahwa hal itu akan terjadi.
Karena itu, betapa ia terkejut mengalami serangan yang bergitu tiba-tiba. Serangan yang langsung mengarah ke pusat-pusat tubuhnya.
Betapapun kemampuan yang tersimpan di dalam dirinya, dan Betapapun ketangkasan yang dimilikinya, namun serangan yang demikian adalah di luar kemampuannya untuk menghindarinya. Apalagi serangan itu dilancarkan oleh seseorang yang bernama Tambak Wedi.
Namun Argapati tidak membiarkan ujung senjata lawannya itu menghunjam di dadanya dan memecahkan jantungnya. Dalam keadaan yang Betapapun sulitnya, Argapati masih berusaha untuk menangkisnya.
Sambil menggeram ia bergeser setapak, dan mencoba memukul senjata lawannya dengan tangkai tombaknya. Namun ayunan serangan Ki Tambak Wedi ternyata terlampau kuat. Meskipun dalam keadaan yang sama kekuatan mereka seimbang, tetapi dalam keadaan yang tidak terduga-duga itu, Argapati masih belum sempat menghimpun segala kemampuan yang ada di dalam dirinya.
Itulah sebabnya, maka Ki Argapati kali ini tidak dapat melepaskan dirinya sama sekali dari senjata lawannya. Meskipun ujung senjata Ki Tambak Wedi itu tidak mengenai langsung kesasarannya, tetapi sebuah goresan yang panjang telah membekas di dada Ki Argapati. Sebuah goresan yang segera menjadi merah oleh darah.
Sejenak Kerti dan kedua kawannya terpaku di tempatnya dengan mulut ternganga. Mereka sama sekali tidak menyangka, bahwa seseorang yang bergelar Ki Tambak Wedi akan melakukan kecurangan serupa itu. Puncak dari segala macam kecurangan.
Tetapi sejenak mereka seolah-olah tersentak dari sebuah mimpi yang paling buruk. Mereka kini melihat Ki Argapati terhuyung-huyung beberapa langkah surut. Sedang Ki Tambak Wedi telah bersiap melakukan serangan berikutnya. Serangan yang bernafas maut, karena Ki Argapati masih belum sempat memperbaiki kedudukannya oleh serangan yang tiba-tiba itu, tetapi yang terutama justru karena ia terkejut bukan buatan.
Sesaat kemudian terdengar Ki Tambak Wedi itu berteriak nyaring. Kakinya telah bergeser dan sekejap kemudian serangannya yang mematikan pasti akan menghunjam di tubuh lawannya yang sedang berusaha untuk memperbaiki keseimbangannya.
Tetapi tanpa diduga-duga, Ki Tambak Wedi itu meloncat surut. Terdengar mulutnya mengumpat keras-keras. Matanya yang buas menjadi semakin liar. Ia dengan demikian telah kehilangan kesempatan yang menentukan itu. Karena dalam sekejap itu, Argapati telah menemukan keseimbangannya kembali. Tombaknya telah mantap di dalam gengamannya dan kakinya telah tegak di atas tanah. Meskipun dadanya terluka, namun luka itu belum mengganggunya. Ketahanan tubuhnya benar-benar sangat mengagumkannya.
“Setan alas,” Ki Tambak Wedi mengumpat tidak habis-habisnya. Kemudian katanya kepada Argapati yang telah siap menunggu serangannya, “Kau telah membawa setan kecil ini pula Argapati. Bersujudlah kepadanya, karena ia telah menyelematkan nyawamu kali ini.”
Argapati menggeretakkan giginya. Jawabnya, “Kehadirannya tidak aku kehendaki. Tetapi ia telah berbuat tepat. Lemparan pisaunya hanya sekedar menghindarkan dirimu dari kecurangan yang lebih jahat. Ia menempatkan keadaan seperti yang sebaiknya terjadi.”
“Bagus,” teriak Tambak Wedi, “Sekarang baiklah, kita bertempur dalam lingkaran yang besar. Kita masing-masing telah dihinggapi oleh rencana yang curang.”
“Tidak,” sahut Argapati, “aku tetap dalam pendirianku. Aku akan bertempur seorang diri, apa pun yang akan kau lakukan.”
“Jangan,” tiba-tiba Kerti menyahut, “itu tidak adil. Meskipun Ki Gede sama sekali tidak menghendaki kami hadir di sini, namun yang terjadi adalah demikian. Karena itu, kami harus meletakkan keadaan pada keharusan yang lajim. Perang tanding adalah perang antara seorang dengan seorang. Kami tidak akan mengganggu perang tanding itu yang akan kami lakukan adalah menahan orang-orang yang licik ini untuk ikut campur di dalam perang tanding. Apa pun yang akan terjadi atas Ki Gede dalam perang tanding, kami tidak akan mencampuri, meskipun seandainya Ki Gede terdesak dan bahkan terancam oleh maut.”
“Omong kosong,” teriak Ki Tambak Wedi, “seorang kawanmu telah melontarkan pisaunya ketika aku siap untuk membunuh Argapati.”
“Dengan caramu yang licik dan curang,” jawab Kerti, lalu, “Sudah tentu maksud perang tanding bukanlah demikian. Seseorang yang bergelar Tambak Wedi seharusnya jauh lebih mengerti daripada aku.”
“Diam,” bentak Ki Tambak Wedi, “ternyata kau pun harus dibunuh dengan cara apapun.”
“Aku sudah siap,” Kerti menjawab dengan beraninya, “tetapi lakukanlah dahulu perang tanding itu.”
“Tidak Kerti,” Ki Argapati-lah yang berbicara, “pergilah. Tinggalkan aku di sini dalam keputusanku.”
“Aku memang akan pergi Ki Gede, tetapi kedua orang kawan Ki Tambak Wedi ini akan aku bawa serta.”
“Persetan,” geram salah seorang dari kawan Ki Tambak Wedi, “jangan banyak berbicara saja. Ayo, Ki Tambak Wedi. Sebaiknya mereka kita hancurkan segera. Aku sudah muak mendengar perdebatan yang tidak berujung pangkal ini.”
Tambak Wedi memang tidak melihat cara lain. Karena itu, maka dengan serta merta ia meloncat maju sambil memutar senjatanya. Katanya, “Aku selesaikan Argapati yang telah terluka itu. Adalah tugas kalian berdua untuk membinasakan kelinci-kelinci yang tidak tahu diri itu.”
Kedua kawan Ki Tambak Wedi tidak menunggu lebih lama lagi. Segera mereka menyerang Kerti dan kedua kawannya, sedang Ki Tambak Wedi pun telah menyerang Argapati pula.
Terulanglah perkelahian yang sengit yang terjadi di bawah Pucang Kembar itu. Namun perkelahian yang demikian akan segera berubah bentuknya, karena Ki Tambak Wedi telah memutuskan untuk memanggil orang-orangnya yang lain, yang jumlahnya cukup banyak untuk membinasakan lawan-lawan mereka.
Namun sementara itu, sementara Ki Tambak Wedi masih belum memberikan tanda-tanda untuk memanggil orang-orangnya, Kerti dan kedua kawannya masih mendapat kesempatan untuk mendesak kedua lawannya. Meskipun mereka masing-masing memiliki kemampuan yang lebih besar dari orang-orang Menoreh itu, tetapi yang seorang dari mereka telah terluka. Ternyata luka itu sangat mengganggunya. Sebagian besar dari tenaganya seolah-olah telah terhisap oleh ujung senjata lawan yang telah menggoreskan luka di tubuhnya itu.
Ki Tambak Wedi melihat keadaan kedua kawannya. Sedang Argapati yang sudah terluka itu justru menjadi semakin garang, meskipun darahnya masih saja meleleh dari lukanya.
Ki Tambak Wedi mengerti dan yakin, kalau ia bertahan saja untuk waktu yang cukup lama, maka Argapati pasti aka kehabisan tenaga karena darah yang menitik dari lukanya itu. Tetapi ia tidak dapat mengerti, kapan saat yang demikian itu akan datang. Ia tahu benar, betapa besarnya daya tahan tubuh Argapati. Sehingga kemampuannya untuk bertempur terus dalam keadaan serupa itupun, pasti masih panjang. Sedang kedua kawannya yang harus berkelahi melayani Kerti dan kawan-kawannya, sudah selalu terdesak terus, karena yang seorang dari mereka telah terluka. Sehingga seolah-olah hanya seorang saja dari mereka yang bertempur melawan ketiga pengawal-pengawal pilihan dari Menoreh itu.
Karena itu, maka Ki Tambak Wedi tidak dapat menunggu lebih lama lagi. Sejenak kemudian terdengar suitan Ki Tambak Wedi itu sekali lagi. Kali ini panjang sekali.
Malam yang hening seakan-akan telah bergetar karena suara suitan itu. Terlebih-lebih lagi dada Argapati yang telah terluka itu dan ketiga pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Segera mereka menangkap isyarat itu, bahwa Ki Tambak Wedi ternyata telah benar-benar menyiapkan sebuah perangkap yang mengerikan.
Sikap hantu dari Tambak Wedi itu benar-benar mengecewakan Argapati. Bukan karena ia menjadi ketakutan dan kecemasan menghadapi bahaya apa pun juga, tetapi ia menjadi kecewa, karena Ki Tambak Wedi telah menodai janji mereka untuk mengadakan perang tanding sebagai pelepasan persoalan yang telah bertahun-tahun mereka simpan di dalam dada masing-masing.
Kini Argapati dipaksa untuk menghadapi cara yang sama sekali tidak jujur. Cara yang licik dan curang. Seandainya dalam keadaan serupa ini terjadi sesuatu atas dirinya, dan bahkan kemudian atas ketiga orang-orangnya, maka itu akan berarti bahwa mereka telah terperosok ke dalam suatu perangkap yang keji. Seolah-olah kematian yang demikian adalah kematian yang terlampan bodoh.
“Tidak,” Argapati menggeram di dalam dadanya, “aku akan mati sebagai Kepala Tanah Perdikan Menoreh, meskipun aku datang ke bawah Pucang Kembar ini karena persoalan pribadi. Tetapi keadaan yang berkembang adalah persoalan Menoreh. Persoalan antara aku dan Sidanti yang telah berkembang tanpa terkendalikan lagi. Peperangan ini akan menjadi bagian dari seluruh peperangan yang telah membakar tanah perdikan ini.”
Dengan demikian, maka Argapati menjadi semakin mantap menggenggam senjatanya. Ia menggeram beberapa kali, dan tandangnya pun menjadi semakin lama semakin garang.
Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu tidak dapat mengerti, apakah yang telah terjadi di padukuhan-padukuhan di seluruh tanah perdikannya, terutama di padukuhan induk. Memang terbayang di dalam kepalanya, bahwa pasukan Sidanti yang kuat merayap semakin lama semakin dekat. Namun ia mengharap, bahwa Samekta akan dapat mengatasi kesulitan.
Tetapi bagaimanapun juga, sepercik kecemasan mewarnai jantungnya. Ia sadar, bahwa pasukan yang telah melawannya itu, dipimpin oleh seorang Sidanti dan seorang Argajaya. Sedang pasukannya sekedar di bawah pimpinan Samekta, Wrahasta, dan mungkin Pandan Wangi sendiri. Tetapi kenapa Kerti mencari Pandan Wangi sampai ke bawah Pucang Kembar ini?
Sejenak kemudian, Argapati menggeretakkan giginya. Ia tidak mau hanyut di dalam angan-angannya itu. Ia harus menghadapi apa yang ada kini. Ki Tambak Wedi dan sebentar lagi sekelompok kecil orang-orang yang telah dipersiapkan oleh Tambak Wedi untuk mengeroyok dan kemudian membunuhnya. Mungkin ia akan dicincang atau dibunuh dengan cara yang sudah dipersiapkan oleh Tambak Wedi. Tetapi dengan demikian, ia akan mati dengan senjata di dalam genggaman. Mati sebagai seorang laki-laki, sebagai Kepala Tanah Perdikan Menoreh.
Namun sampai sejenak kemudian, orang-orang yang dikatakan oleh Ki Tambak Wedi telah dipersiapkan untuk membunuh Argapati itu masih juga belum tampak seorang pun juga. Perkelahian yang terjadi semakin lama menjadi semakin tegang. Bukan saja karena ujung-ujung senjata yang saling beradu, tetapi juga ditegangkan oleh kemungkinan yang mendatang. Munculnya beberapa orang dari balik gerumbul-gerumbul liar di sekitar sepasang Pucang itu.
Ternyata Ki Tambak Wedi pun menjadi gelisah pula. Sekali lagi ia bersuit panjang. Lebih keras. Namun ia masih harus menunggu.
“Aku telah mendengar suara burung kedasih itu di kejauhan,” berkata Tambak Wedi di dalam hatinya, “Tetapi agaknya mereka menunggu terlampau jauh, sehingga mereka tidak segera mendengar suara suitanku.”
Sekali lagi Ki Tambak Wedi bersuit. Panjang dan lebih keras. Suaranya menggelepar di dalam sepinya malam, menelusuri dedaunan dan ranting-ranting pepohonan.
Namun suara suitan itu pun seolah-olah hilang lenyap tanpa bekas, seperti hilangnya gema yang terpantul dari pegunungan. Tidak berbekas. Karena tidak seorang pun yang dengan tergesa-gesa sambil menggenggam senjata muncul dari balik dedaunan.
“Di manakah setan-setan itu?” Ki Tambak Wedi menggeram di dalam hatinya, “Apakah mereka sengaja berkhianat? Tidak. Aku tidak mempergunakan orang-orang Menoreh, yang setiap saat dapat berubah pendiriannya, apalagi setelah ia melihat Argapati. Orang-orang itu adalah orang-orang yang tidak mengenal Argapati sama sekali, sehingga kemungkinan untuk berkhianat itu pun terlampau kecil. Tetapi kenapa mereka tidak segera datang setelah aku memberikan tanda beberapa kali?”
Semakin lama kegelisahan Ki Tambak Wedi pun menjadi semakin memuncak. Seharusnya sejak ia memberikan tanda untuk yang pertama kali, orang-orangnya tidak menunggu tanda berikutnya. Mereka harus segera datang dan melakukan tugasnya.
“Apakah mereka terasa terlampau lama menunggu dan kemudian merasa tidak diperlukannya lagi? Tetapi itu tidak mungkin. Aku sudah berpesan supaya mereka menunggu sampai selesai. Diperlukan atau tidak diperlukan,” desah Ki Tambak Wedi di dalam hatinya.
Dengan dada yang terguncang, maka sekali lagi terdengar ia bersuit semakin keras dan semakin panjang.
“Ha,” berkata Argapati, “bukankah suara suitanmu itulah yang terdengar seperti tangis bayi yang ketakutan?”
“Persetan,” geram Ki Tambak Wedi, “untuk memanggil mereka, aku harus bersuit tiga kali. Sebelum itu, mereka baru sekedar mempersiapkan diri. Apabila kemudian ada perubahan sikapmu, mungkin kau menyerah, atau kami sudah berhasil membunuhmu, maka aku tidak perlu bersuit untuk yang ketiga kalinya.”
“Kau sudah terlampau pikun,” desis Argapati, “kau sudah memekik lebih dari tiga kali.”
Dada Tambak Wedi berdesir. Tetapi kemudian ia menggeram keras sekali sambil menyerang sejadi-jadinya. Namun meskipun dada Argapati telah terluka, tetapi ia masih cukup segar untuk melawannya.
Di lingkaran yang lain, kawan Tambak Wedi semakin terdesak oleh ketiga pemimpin pengawal Menoreh yang dipimpin oleh Kerti. Seorang yang telah terluka, menjadi semakin lama semakin lemah. Ia tidak memiliki ketahanan tubuh seperti Ki Argapati, sehingga luka ditubuhnya itu terasa sangat mengganggunya.
Dalam pada itu, Pandan Wangi yang bertempur di medan sebelah Barat padukuhan induk, terpaksa bekerja sekuat-kuat tenaganya. Ternyata lawannya adalah orang yang luar biasa. Ganas, kasar dan garang. Dengan liarnya ia berkelahi, bahkan mirip dengan seekor binatang yang paling buas. Sekali-sekali ia berhasil mengenai lawannya dengan senjatanya. Kemudian dengan sengaja dipertunjukkannyalah kebuasannya di hadapan Pandan Wangi.
Betapapun tabahnya hati Pandan Wangi, namun melihat keganasan itu terasa juga hatinya menjadi ngeri. Terasa kulitnya merinding seperti diraba hantu.
Tetapi ia tidak mau dadanya sendiri yang terluka kemudian darahnya dihisap oleh hantu yang bernama Ki Peda Sura itu. Dengan sepenuh kemampuannya, ia tetap bertempur bersama beberapa orang di dalam sebuah kelompok kecil.
Ternyata yang berkelahi sebuas dan seliar itu bukan hanya seorang yang bernama Ki Peda Sura itu. Sebagian terbesar dari mereka, mempergunakan cara yang bersamaan. Dengan sengaja mereka mempertunjukkan cara-cara yang paling mengerikan.
Cara itu ternyata benar-benar dapat mempengaruhi daya perlawanan para pengawal Menoreh. Mereka menjadi ngeri dan muak. Beberapa orang yang cukup dapat bertahan, segera bertempur dengan garangnya. Bahkan beberapa orang yang memiliki tabiat yang pada dasarnya kasar, segera dijalari oleh cara-cara lawannya. Mereka pun segera tanpa sesadarnya, berbuat dengan kasar dan buas. Senjata mereka tidak tanggung-tanggung membelah dada, kemudian menggores punggung silang-menyilang. Mereka berusaha untuk melenyapkan kengerian di hati masing-masing dengan cara itu. Dengan berbuat seperti lawan-lawan mereka.
Tetapi bukanlah kebiasaan mereka berbuat seperti itu. Pergaulan mereka di dalam kehidupan yang beradab, telah membentuk mereka menjadi manusia yang dipengaruhi oleh adat tata kehidupan yang beradab pula. Mereka telah terbiasa menghargai manusia dan perikemanusiaan. Karena itu, betapa mereka berusaha, tetapi mereka tidak cukup kuat untuk berkelahi dalam keadaan yang liar dan buas serupa itu, sehingga daya tahan mereka pun terpengaruh pula. Apalagi suara titir yang melengking-lengking di kejauhan seperti jerit tangis kanak-kanak yang kehilangan ayah di medan peperangan.
Hati para pengawal Tanah Perdikan Menoreh terpengaruh karenanya. Benar-benar terpengaruh. Dengan demikian, daya perlawanan mereka pun menjadi semakin lama semakin susut.
Pandan Wangi yang ngeri melihat darah dan mayat bergelimpangan, mencoba memaksa dirinya untuk tetap dapat melawan. Kalau ia lengah, maka dirinya pasti akan menjadi korban. Kalau senjata lawannya itu memecahkan dadanya, dan membunuhnya sekaligus, maka ia tidak akan tahu apa yang terjadi seterusnya atas dirinya. Tetapi kalau orang-orang yang buas dan liar itu berusaha untuk menangkapnya hidup-hidup, atau melukainya sehingga ia tidak mampu lagi untuk melawan dan kehilangan kesempatan untuk membunuh diri, maka ia pasti akan terjerumus ke dalam neraka yang paling jahanam.
Karena itulah, maka Betapapun juga ia harus bertempur terus sebaik-baiknya. Ia harus memeras segenap kemampuan yang ada padanya untuk tetap bertahan.
Namun tiba-tiba Pandan Wangi dikejutkan oleh kehadiran seorang penghubung yang mendekatinya dengan nafas terengah-engah. Pundaknya telah terluka, dan dari luka itu mengalir darah yang merah segar.
“Pandan Wangi,” orang itu berbisik sambil terengah-engah, “aku menyampaikan pesan kepadamu.”
“Dari?” bertanya Pandan Wangi sambil bertempur.
“Lepaskan lawanmu sejenak.”
Pandan Wangi segera memerintahkan orang-orangnya untuk bertempur. Ia memerlukan menemui penghubung itu. “Cepat katakan, sebelum orang-orang itu dihabiskan oleh Peda Sura.”
“Samekta dan Wrahasta bersama-sama memberikan pesan. Pasukan ini sebaiknya ditarik ke padukuhan yang telah ditentukan, apabila keadaan memaksa. Pasukan Samekta dan Wrahasta bersama-sama telah terdesak mundur.”
Berita itu menyambar telinga Pandan Wangi seperti petir yang meledak di langit. Sejenak ia berdiri termangu-mangu. Seolah-olah ia tidak percaya kepada telinganya. Namun pesan itu telah mengiang dan melingkar di telinganya, “Pasukan ini supaya ditarik. Pasukan ini supaya ditarik.”
Pertempuran yang terjadi di sekitar Pandan Wangi itu pun menjadi semakin hiruk pikuk. Teriakan yang menghentak dan pekik kesakitan sahut menyahut dengan geram dan gemeretak gigi. Semakin lama tandang mereka yang sedang bertempur itu pun menjadi semakin kasar, liar dan buas, seolah-olah mereka telah kehilangan diri mereka masing-masing. Mereka seolah-olah telah melupakan pribadi masing-masing sebagai mahluk yang berbudi. Di dalam perang brubuh yang demikian, sukarlah untuk dibedakan, antara manusia yang biadab dan beradab. Karena untuk bertahan diri dari kebiadaban, mereka telah melakukan hal-hal yang serupa pula.
Dalam kediamannya, Pandan Wangi melihat penghubung yang datang kepadanya, dalam keremangan cahaya purnama di langit, menyeringai menahan sakit lukanya
Dan orang itu berdesis perlahan, “Apakah kau dapat menyetujuinya?”
Pandan Wangi menahan nafasnya. Dengan dada yang berdebar-debar ia bertanya, “Apakah yang terjadi di padukuhan induk?”
“Pasukan Sidanti dan Argajaya telah masuk. Samekta yang mundur ke pasukan induk dan bergabung dengan Wrahasta, masih juga tidak dapat menahan arus lawan yang kuat yang datang dari arah Timur.”
Pandan Wangi adalah seorang gadis yang lembut. Seorang gadis yang kadang-kadang masih juga dapat meruntuhkan air mata. Tetapi ketika ia mendengar berita tentang jatuhnya padukuhan induk, wajahnya menjadi tegang dan merah padam. Yang terlukis di wajahnya yang cantik itu, seakan-akan wajah seorang iblis betina yang sedang marah. Terdengar giginya gemeretak dan nafasnya terengah-engah.
“Aku akan pergi ke padukuhan induk,” ia menggeram.
“Aku mendapat pesan untukmu mawanti-wanti,” potong penghubung yang sudah terluka itu, “Samekta dan Wrahasta telah menduga, bahwa kau akan berpendirian demikian. Tetapi kau harus menyesuaikan siasat peperangan ini dengan seluruh pasukan. Kau tidak dapat berbuat demikian.”
“Kenapa tidak? Aku akan membawa pasukan ini ke padukuhan induk. Aku akan mengusir mereka dari halaman rumahku dan dari seluruh tanah ini.”
“Kau tidak dapat melakukannya sendiri. Menurut perhitungan Samekta dan Wrahasta, Sidanti akan segera mengirimkan orang-orangnya sebagian kemari. Kau akan segera mendapat kesulitan, dan korban pun akan semakin banyak berjatuhan.”
“Tetapi aku tidak dapat membiarkan mereka berada di halaman rumahku dan di atas tanah ini.”
“Aku pun telah mendapat pesan, bahwa di dalam keadaan serupa ini, kita tidak dapat membiarkan perasaan kita berbicara. Tetapi kita harus menemukan keseimbangan dan berbicara dengan nalar. Kita masih mempunyai banyak sekali tugas dan kewajiban. Kita masih harus merebut kembali tanah ini. Dengan demikian, kita tidak boleh kehilangan akal yang akan menyebabkan kematian yang semakin parah. Kalau kemudian korban berjatuhan lagi, itu berarti bahwa kitalah yang bersalah. Kitalah yang telah membunuh mereka tanpa arti sama sekali, karena akhirnya kita akan terusir juga dari medan yang sekarang. Tetapi perang ini tidak akan berakhir sehari atau semalam ini. Kita masih akan menghadapi hari-hari yang semakin sulit dan berat. Dan kita harus tidak kehilangan akal.”
“Pengecut,” tiba-tiba Pandan Wangi menggeram, “kalian ingin memaksa aku lari dari peperangan ini? Tidak. Aku harus mengusir mereka. Mereka harus pergi dari tanah ini.”
“Ya, mereka harus pergi. Tetapi tidak dengan cara yang salah. Kita tidak akan berhasil mengusir mereka, namun justru kitalah yang akan dibantai oleh mereka, Dan kita akan kehilangan segala-galanya.”
“Pengecut.”
“Bukan, Pandan Wangi. Ini adalah suatu siasat. Kita mundur untuk kemudian meloncat maju. Sekarang keadaan kita terlampau sulit. Tetapi kalau kita berhimpun, dan kita mendapat kesempatan menghimpun pula semua kekuatan yang tersebar, kita mungkin akan berhasil.”
“Itukah alasanmu? Setiap kali kau berkata, bahwa itu sekedar siasat. Siasat. Kalau kau tidak berani berbuat sesuatu, kau pakai alasan itu. Alasan seorang pengecut, Tidak. Aku tidak akan mundur setapak pun, meskipun aku harus mati.”
“Ya,” jawab penghubung yang mulai kebingungan itu. Namun dengan demikian ia tidak merasakan lagi luka yang mengalirkan darah semakin deras di pundaknya. “Samekta dan Wrahasta menduga kalau kau akan bersikap demikian. Tetapi peperangan ini di dalam keseluruhan memerlukan cara. Cara untuk memenangkannya. Cara yang serasi dari para pemimpin. Pandan Wangi, kalau kita membuat perhitungan, jangan dianggap bahwa kita adalah pengecut-pengecut, tetapi kita harus menghadapi lawan dengan sepenuh kesadaran dan perhitungan. Kau selama ini selalu dicengkam oleh perasaanmu. Tetapi lihatlah. Sebentar lagi pasukan Sidanti akan datang, meskipun hanya sebagian. Pasukanmu akan tergulung habis. Mati, meskipun sebenarnya kau dapat menghindari. Mungkin kau bukan seorang pengecut dan seluruh pengawal di dalam pasukan ini pun bukan pengecut. Tetapi apa kata orang setelah peperangan ini selesai dan kita ditumpas habis? Mereka akan menyalahkan para pemimpinnya. Mereka menganggap, bahwa kita terlampau bodoh untuk membunuh diri di medan peperangan. Kita mati dan tanah ini tidak akan dapat kita ambil kembali. Kecuali apabila kita memang sudah tidak berpengharapan sama sekali untuk dapat berbuat demikian, untuk merebutnya lagi. Maka aku pun sependapat, bahwa kita akan bersama berkubur di atas tanah yang kita cintai ini.”
Pandan Wangi tidak segera menjawab. Terasa sebuah sentuhan di hatinya. Sejenak ia mematung dan sejenak kemudian dilihatnya penghubung itu menyeringai lagi. Agaknya terasa lukanya menjadi terlampau sakit, sedang darah masih saja mengalir semakin banyak.
“Pandan Wangi,” tiba-tiba suara penghubung itu merendah, “aku terluka ketika aku mencari hubungan dengan kau di dalam perang brubuh yang buas ini. Aku tidak akan kembali atau berhenti sebelum aku bertemu dengan kau, meskipun aku telah terluka, karena aku bukan seorang pengecut. Luka itu agaknya kini menjadi semakin parah, karena darah yang semakin banyak mengalir.” Ia berhenti sejenak. Nafasnya menjadi semakin terengah-engah. “Aku minta kepadamu, Pandan Wangi, jangan kau biarkan perasaanmu berkata. Hargailah nyawa orang-orangmu. Mereka masih mempunyai tugas terlampau banyak. Mereka masih harus merebut tanah ini kembali.”
Pandan Wangi masih berdiri tegak seperti patung. Kedua tangannya menggenggam sepasang pedangnya erat-erat. Sekali-sekali terdengar ia menggeram, namun kemudian sebuah tarikan nafas yang panjang.
Ketika ia memandang penghubung yang terluka itu dengan saksama, ia melihat orang itu menjadi semakin pucat dan gemetar. Dan tiba-tiba saja orang itu terhuyung-huyung.
“Pandan Wangi,” katanya, “aku sudah tidak mampu lagi untuk berdiri.”
Sebelum Pandan Wangi menjawab, maka orang itu pun telah terduduk di tanah. Sekali terdengar ia berdesah. Kemudian lambat sekali ia berkata, “Kau mau mendengar kata-kataku, Pandan Wangi. Itu bukan nasehatku sendiri. Aku adalah seorang penghubung yang menyampaikan pesan itu kepadamu.”
Tanpa sesadarnya Pandan Wangi berjongkok di sampingnya. Dengan dada yang berdebaran ia berkata, “Kuatkan hatimu. Aku akan memerintahkan beberapa orang untuk membawamu kepada Paman Samekta, agar luka-lukamu itu terawat.”
Orang itu menggelengkan kepalanya. Katanya, “Bukan luka ini yang sebenarnya akan membunuh aku. Tetapi aku telah kehabisan darah. Darah semakin banyak mengalir, dan aku menjadi terlampau lemah karenanya.”
“Kita harus berusaha.”
“Usaha yang terpenting bagimu, Pandan Wangi, usahakan agar orang-orangmu kali ini terselamatkan, untuk besok, atau lusa melakukan tugasnya yang lebih penting lagi.”
Sekali lagi Pandan Wangi menggeretakkan giginya. Ia merasa betapa berat pesan itu. Ketika ia mengangkat wajahnya, ia melihat pertempuran menjadi semakin buas. Beberapa orang berusaha untuk melindunginya dari perang yang gila itu, sedang beberapa orang yang lain sedang bertempur melawan Peda Sura. Sekali-sekali Pandan Wangi mendengar pekik kesakitan dan teriakan kemenangan yang terlampau buas, seperti raung seekor harimau yang berhasil menerkam dan membunuh lawannya.
“Dengarlah kata-kataku, Pandan Wangi,” penghubung yang terluka itu berkata lirih, “dengan demikian, matiku akan menpunyai arti. Jangan lagi menyebut aku sebagai pengecut yang hanya mempergunakan siasat sebagai alasan. Tidak. Aku mati karena aku ingin menyampaikan pesan itu kepadamu, pesan tentang siasat yang kau anggap hanya sekedar sebagai alasan. Aku menjadi korban untuk mengurangi korban-korban yang lain. Tetapi kalau kau tetap menganggap aku sebagai pengecut, Samekta dan Wrahasta juga pengecut, maka sia-sialah kematianku.”
“Tidak. Tidak, kau tidak akan mati.”
“Itu pun terlampau sulit. Perasaan kita jangan kita biarkan menguasai keadaan tanpa perhitungan yang matang. Nah, berkatalah, bahwa kau bersedia menarik mundur pasukanmu. Kita besok akan kembali dan merebut tanah ini.
Pandan Wangi menjadi ragu-ragu. Tetapi ia menyadari kebenaran kata-kata penghubung itu, bahwa ia sama sekali bukan seorang pengecut. Ia telah membelah perang brubuh ini untuk mencari dan menghubunginya. Ia tidak lari, meskipun ia telah terluka. Ia bersedia mati untuk hidup orang lain.
Terasa hentakan yang sangat di dalam dada gadis itu. Penghubung yang terluka itu semakin lama menjadi semakin lemah. Suaranya pun menjadi semakin lirih, “Pandan Wangi, aku ingin mendengar keputusanmu.”
Pandan Wangi tidak dapat berbuat lain. Di hadapan penghubung yang sudah terlampau letih, ia menganggukkan kepalanya. Namun ia masih bertanya, “Kenapa Paman Samekta dan Wrahasta tidak membawa pasukannya kemari, dan bersama-sama melawan, apabila pasukan Sidanti itu datang kemari pula.”
“Ada banyak pertimbangan, Pandan Wangi. Yang pertama-tama, keteguhan hati kita telah terpukul oleh kekalahan-kekalahan yang berturut-turut. Mungkin hal itu tidak begitu terasa di sini. Tetapi di medan yang lain, hati kita sudah menjadi sekecil menir. Kita perlu menemukan keseimbangan baru untuk memulainya.” Penghubung yang menjadi semakin lemah itu berhenti sejenak, lalu, “aku sudah tidak punya waktu.”
Pandan Wangi menjadi semakin berdebar-debar. Dan tiba-tiba ia berdiri sambil berdesis, “Akan aku penuhi permintaan Paman Samekta. Tetapi bukan karena kami di sini telah kehilangan keberanian dan berkecil hati. Aku akan mencoba mempergunakan cara yang akan ditempuh oleh Paman Samekta, untuk besok, atau lusa kembali merebut tanah ini kembali.”
“Oh,” penghubung itu menarik nafas panjang sekali. “Pandan Wangi,” katanya, “mengundurkan diri bukanlah pekerjaan yang terlampau mudah. Kau harus bijaksana. Kau harus didampingi oleh seorang yang telah berpengalaman menyampaikan perintah-perintah pengunduran diri itu.”
Pandan Wangi mengangguk. Tiba-tiba ia meloncat masuk ke dalam hiruk pikuk perang brubuh sambil memberikan pesan kepada pengawal yang melindunginya, “Lindungi orang yang terluka itu. Bawa ia keluar dari perang yang gila ini. Kami akan menarik diri.”
Penghubung itu masih akan berbicara, tetapi Pandan Wangi telah hilang di dalam hiruk pikuknya perang brubuh yang buas itu. Yang datang kepadanya kemudian adalah beberapa orang pengawal.
“Hampir tak ada gunanya kalian menyelamatkan aku,” berkata pengawal itu, “darahku sudah terlampau banyak mengalir. Lakukanlah tugasmu yang lain, yang barangkali lebih penting.”
Tetapi para pengawal itu tidak menghiraukannya. Beberapa dari mereka telah mencoba melindunginya dan berusaha menemukan jalan keluar dari peperangan.
Sementara itu, Pandan Wangi telah berhasil menemui tetua kelompok kecilnya, yang oleh Samekta diperbantukan kepadanya. Kepada orang itu Pandan Wangi menyerahkan pimpinan pengunduran diri.
“Marilah,” berkata orang tua itu, “kau lebih dahulu, Pandan Wangi. Kami akan melindungimu.”
“Bodoh sekali. Tariklah pasukan ini. Aku harus melindungi mereka. Terutama Peda Sura yang gila ini.”
Pengawal tua itu merasa aneh. Tetapi Pandan Wangi mendesaknya, “Cepat, sebelum Sidanti datang membawa pasukan yang lebih besar lagi. Kita harus pergi sekarang.”
Orang tua itu masih ragu-ragu. Tetapi Pandan Wangi telah terlibat dalam pertempuran kembali. Langsung melawan Peda Sura yang menjadi semakin gila.
Perkelahian pun semakin lama menjadi semakin menggila pula. Masing-masing seolah-olah telah kehilangan diri mereka sendiri. Yang ada di arena itu adalah sekumpulan binatang yang paling buas dan paling berbahaya sedang berkelahi berebut mangsa.
Pandan Wangi pun tandangnya menjadi semakin garang pula. Sepasang senjatanya berputaran dan menyambar-nyambar, berkilat-kilat di bawah cahaya bulan bulat di langit.
Sementara itu, pengawal tua yang mendapat perintah dari Pandan Wangi untuk menarik pasukannya, masih berdiri termangu-mangu. Ia mengerti apa yang harus dilakukannya. Ia mengerti ke mana pasukan itu harus dibawa, karena ia telah mendengar semua rencana itu. Tetapi ia tidak dapat membiarkan Pandan Wangi bertempur terus selama ia menarik pasukan itu.
“He, kenapa kau diam membeku,” teriak Pandan Wangi. Suaranya bergeletar di antara dentang senjata, sehingga pengawal tua itu terkejut.
“He,” jawabnya, “lakukanlah lebih dahulu.”
“Pergi, pergilah secepatnya.”
Orang tua itu menjadi semakin bingung. Ia tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukan, meskipun ia mengerti maksud Pandan Wangi. Gadis itu memerintahkan kepadanya untuk mengundurkan diri, selama itu ia mencoba untuk melindungi pasukannya dari orang yang paling berbahaya, Peda Sura. Tetapi apakah ia sampai hati untuk berbuat demikian.
Dalam keragu-raguan itu, ia melihat Peda Sura berkelahi seperti seekor harimau lapar. Senjatanya menerkam ke segenap arah dengan garangnya. Meskipun Pandan Wangi tidak bertempur sendiri, tetapi lingkaran kecil di seputar Peda Sura itu tidak terlampau banyak dapat menahannya. Setiap kali Peda Sura dapat melepaskan diri, dan menyerang orang-orang di sekitarnya. Baru sejenak kemudian, ia menempatkan dirinya untuk melawan serangan-serangan Pandan Wangi yang berbahaya.
“Apakah yang sebaiknya aku lakukan?” pertanyaan itu selalu menghentak-hentak di dalam dada pengawal tua itu. Dan sekali lagi ia mendengar Pandan Wangi berteriak, “Cepat, cepat. Jangan berbuat terlampau bodoh.”
Tak ada yang dapat dilakukan, selain memenuhi perintah itu. Tetapi sudah tentu ia sendiri tidak dapat membiarkan Pandan Wangi dalam keadaannya. Karena itu, maka diperintahkannya isyarat pengunduran diri itu kepada seorang penghubung. Maka sejenak kemudian, isyarat itu telah sampai kepada hampir setiap telinga di dalam pertempuran itu. Tetapi bukan saja telinga para pengawal Tanah Perdikan Menoreh, namun juga telinga lawan-lawan mereka, sehingga sesaat kemudian terdengar mereka berteriak-teriak, “Jangan lepaskan kelinci-kelinci itu untuk melarikan diri.”
Tetapi kekuatan mereka sebenarnya tetap seimbang. Sebenarnya pasukan Menoreh tidak berada dalam keadaan yang terlampau sulit. Namun apabila sebentar lagi pasukan Sidanti datang, maka keadaan pasti akan segera berubah.
Karena itu, sesaat kemudian medan pertempuran itu pun segera bergeser. Orang-orang Menoreh mencoba menarik diri mereka ke dalam kedudukan mereka yang baru. Setiap kali mereka mundur beberapa langkah, mereka harus berhenti untuk meneruskan perang brubuh yang dahsyat itu. Setiap kali mereka masih juga harus membalas setiap serangan yang ganas dengan perlawanan dan serangan-serangan yang kasar pula.
Pandan Wangi sendiri mencoba mengikat Peda Sura dalam perkelahian, supaya orang itu tidak berkeliaran. Selama pasukannya mengundurkan diri, Peda Sura akan dapat menjadi seorang pembantai yang mengerikan, apabila tidak seorang pun yang mengikatnya dalam pertempuran yang tersendiri. Setiap kali ia memang berusaha untuk menahan arus para pengawal Menoreh yang menempatkan diri mereka pada keadaan yang mapan.
Tetapi Betapapun Pandan Wangi berusaha, namun Peda Sura pada dasarnya memang mempunyai beberapa kelebihan daripadanya, sehingga setiap kali Pandan Wangi selalu terdesak. Untunglah, bahwa kelompok kecil yang dibuatnya masih tetap tidak terpecahkan, meskipun beberapa orang daripadanya telah terluka dan bahkan menjadi korban. Namun mereka masih tetap mampu untuk melawan Peda Sura bersama-sama.
Namun Peda Sura bukanlah seorang yang begitu saja membiarkan dirinya berada dalam suatu keadaan yang tidak diinginkannya sendiri. Ketika arena itu telah bergeser semakin jauh, maka tiba-tiba ia meloncat sambil memekik, menyerang Pandan Wangi dengan kecepatan yang tidak terduga-duga. Pandan Wangi yang terkejut mengalami serangan itu, dengan serta merta meloncat jauh-jauh untuk menghindarkan dirinya. Namun kesempatan berikutnya telah dipergunakan oleh Peda Sura. Tiba-tiba ia meloncat ke arah yang lain, memecah kepungan kecil yang memagarinya langsung masuk ke dalam perang brubuh yang hiruk pikuk.
Pandan Wangi terkejut melihat sikap itu. Sudah tentu ia tidak akan dapat membiarkannya. Orang itu terlampau berbahaya. Dengan ilmunya, ia akan dapat membuat korban yang tidak terhitung di antara orang-orang Menoreh, seolah-olah tidak seorang pun yang akan dapat menahannya. Karena itu, maka Pandan Wangi pun segera mengejarnya, masuk ke dalam peperangan yang semakin menggila itu. Tetapi dengan demikian, Pandan Wangi telah meninggalkan kelompoknya. Ia seakan-akan telah menyerahkan dirinya untuk bertempur seorang melawan seorang dengan Ki Peda Sura.
Dan itulah yang memang diharapkan oleh pemimpin pasukan Sidanti yang buas itu. Dengan demikian, ia akan mendapat kesempatan untuk menjatuhkan Pandan Wangi dan membinasakannya.
“Tidak,” berkata Peda Sura itu di dalam hatinya, “sayang kalau anak manis itu terbunuh. Aku harus memancingnya dan melumpuhkannya. Aku ingin menangkapnya hidup-hidup.”
Ternyata bahwa Pandan Wangi telah benar-benar lupa diri. Ia ingin pasukannya segera terbebaskan dari perang brubuh ini dan berhasil menghindarkan diri. Menurut pengamatannya, pasukan lawan yang telah kelelahan ini pun pasti tidak akan mengejarnya terus. Apa lagi kekuatan mereka masih tetap seimbang. Asal Ki Peda Sura dapat ditahan untuk tidak mengacaukan penarikan pasukan Menoreh, maka kemungkinan untuk melepaskan diri dari peperangan ini cukup besar.
Tetapi pada suatu saat, Pandan Wangi itu harus menyadari, bahwa tiba-tiba saja ia telah berhadapan dengan Ki Peda Sura seorang diri. Di sekitarnya orang-orang Menoreh sedang sibuk menghadapi lawan masing-masing.
Ki Peda Sura yang telah berhasil memisahkan Pandan Wangi dari kelompoknya itu, kini berdiri tegak sambil tertawa. Suara tertawanya benar-benar sangat menyakitkan hati. Sepasang matanya yang liar kemerah-merahan seakan-akan memancarkan api yang aneh dari dalam hatinya.
“Nah, ternyata kau selalu mencariku, ke mana aku pergi,” desis orang itu.
Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi ia harus mengatur dirinya, supaya ia tidak tenggelam dalam perasaan ngeri menghadapi orang yang terlampau buas ini. Sedang kekasaran dan kekerasan yang telah terjadi di sekitarnya, masih berlangsung terus.
“Menyerahlah anak manis,” terdengar suara Peda Sura di antara suara tertawanya.
Terasa bulu-bulu di tengkuk Pandan Wangi meremang. Ia sebenarnya tidak takut menghadapi senjata Peda Sura yang mengerikan itu. Sampai mati pun ia tidak akan ingkar, karena ia memang merasa bertanggung jawab. Sebagai seorang anak kepala tanab perdikan, maka adalah tugasnya untuk ikut serta mempertahankan tanah ini. Tetapi melihat sikap Peda Sura itu, Pandan Wangi benar-benar dijalari oleh perasaan ngeri yang dahsyat.
Karena itu, maka ketika suara tertawa Peda Sura meninggi, tiba-tiba saja Pandan Wangi meloncat dan menyerangnya, seperti angin prahara.
Peda Sura terkejut mengalami serangan itu. Serangan Pandan Wangi benar-benar berbahaya. Jauh lebih berbahaya dari tiga empat orang pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang lain. Sehingga karena itu, maka suara tertawanya terputus dengan tiba-tiba. Dengan dada yang berdebar-debar ia meloncat menghindarkan dirinya. Namun agaknya Pandan Wangi tidak memberinya banyak kesempatan. Serangan berikutnya telah melandanya, bertubi-tubi susul menyusul.
Tetapi Ki Peda Sura adalah orang yang jauh lebih banyak menyimpan pengalaman di dalam dirinya. Itulah sebabnya, akhirnya ia mampu pula untuk mengelakkan serangan-serangan Pandan Wangi, dan menemukan kesempatan untuk menghadapinya. Sehingga sejenak kemudian, mereka telah terlibat di dalam perang yang sengit, seakan-akan mereka tengah berjanji untuk melakukan perang tanding di tengah-tengah hiruk pikuknya perang brubuh itu.
Namun sekali lagi Pandan Wangi harus mengakui, bahwa kemampuan Ki Peda Sura memang berada di atas kemampuannya, meskipun tidak terlampau jauh. Dengan demikian, maka sejenak kemudian Pandan Wangi sudah harus memeras segenap kemampuan yang ada padanya, untuk bertahan dari serangan-serangan Peda Sura yang melandanya seperti banjir bandang. Apalagi sikap Peda sura benar-benar memuakkannya, sehingga sebagai seorang gadis, maka mau tidak mau perasaannya ikut serta menentukan akhir dari perkelahian itu.
“Kau memang garang anak manis,” suara Peda Sura terasa menggores hati setajam ujung tombak, “menyerahlah. Aku tidak akan membunuhmu. Kau akan mendapat banyak kesempatan untuk hidup dan menikmati kehidupan.”
Pandan Wangi menggeram. Ia mencoba mengerahkan segenap kemampuannya. Ilmu yang telah diterimanya dari ayahnya, telah dituangkannya dalam perkelahian itu, tetapi ternyata bahwa ia masih terlampau hijau. Ia masih mempergunakan setiap unsur gerak dari perguruan Menoreh dengan las-lasan. Ia masih belum menemukan kemantapan dalam hubungan setiap unsur yang ada, sehingga orang-orang yang telah dipenuhi oleh berbagai macam pengalaman di medan-medan perang, dalam benturan seorang melawan seorang, seperti Ki Peda Sura itu, segera saja dapat menemukan segi-segi kelemahannya.
Dengan demikian, maka semakin lama menjadi semakin jelas, bahwa Pandan Wangi tidak akan dapat lagi melepaskan dirinya dari malapetaka. Ia tidak dapat mengharapkan bantuan dari siapa pun. Orang-orang di dalam kelompok kecilnya, yang telah disusun untuk melawan Peda Sura, tidak segera dapat menemukannya di dalam perang brubuh itu, karena setiap saat mereka akan menemukan lawan-lawannya sendiri.
Namun dalam pada itu, rencana pasukan Menoreh untuk mengundurkan diri itu pun agaknya semakin lama menjadi semakin lancar. Usaha-usaha mereka untuk melepaskan setiap hambatan agaknya akan segera berhasil. Di saat-saat terakhir mereka harus menarik diri masuk ke dalam padukuhan kecil yang semula mereka pergunakan untuk menunggu pasukan Peda Sura. Mereka rnengharap, bahwa mereka akan segera mendapat kesempatan berikutnya, meninggalkan padukuhan kecil itu, dan bergabung dengan pasukan yang lain yang telah lebih dahulu mengundurkan diri.
Ki Peda Sura yang melihat arena semakin bergeser menjauh, menjadi ragu-ragu. Apakah ia harus mengejarnya terus atau membiarkan mereka meninggalkan arena. Semula timbul niatnya untuk mencari korban sebanyak-banyaknya di saat-saat orang-orang Menoreh menarik dirinya. Tetapi dengan demikian, maka Pandan Wangi pun akan mampu berbuat serupa di antara anak buahnya. Karena itu, maka akhirnya ia memutuskan untuk membiarkan saja lawannya mengundurkan diri. Pasukannya sendiri sudah terlampau lelah pula. Sehingga kemudian katanya di dalam hatinya, “Aku hanya bertugas menarik perhatian pasukan Menoreh. Kini agaknya Sidanti telah berhasil menduduki padukuhan induk, meskipun ia tidak melakukan pengejaran. Karena itu, maka tugasku kali ini sudah selesai, biar sajalah orang-orang itu melarikan diri. Dengan mengejar mereka, maka korban pun akan menjadi semakin banyak jatuh di pihakku, bagiku agaknya lebih baik menangkap anak rajawali ini saja untuk mainan.”
Dengan demikian, maka Peda Sura itu sama sekali tidak peduli lagi kepada pasukan Menoreh yang semakin lama semakin surut. Namun dengan demikian, maka Pandan Wangi itu pun terpisah semakin jauh dari orang-orangnya.
Beberapa orang yang merasa ikut bertanggung jawab atas pasukan Menoreh telah bekerja mati-matian untuk menyelamatkan pasukannya. Tetapi beberapa orang yang lain, dengan hati berdebar-debar mencoba untuk menemukan Pandan Wangi yang lagi bertempur melawan Ki Peda Sura. Tetapi usaha yang demikian bukanlah usaha yang mudah.
Sementara itu, Pandan Wangi sendiri sudah terlampau sulit untuk mencoba melepaskan diri dan mundur bersama-sama pasukannya. Peda Sura agaknya benar-benar berusaha untuk menahannya, supaya ia terpisah dari seluruh anak buahnya. Dengan demikian, maka Pandan Wangi itu akan segera dapat ditangkapnya. Karena itu, justru Peda Sura mengharap agar orang-orang Menoreh yang masih ada di sekitarnya segera meninggalkan arena.
Sebenarnyalah keadaan Pandan Wangi semakin lama menjadi semakin sulit. Semakin lancar usaha pasukan Menoreh mengundurkan diri, maka keadannya pun menjadi semakin berbahaya. Ia sadar sepenuhnya, apa yang akan terjadi atas dirinya, apabila ia tertangkap hidup-hidup. Ia sadar bahwa mati akan lebih baik baginya, daripada ia dapat ditangkap oleh Ki Peda Sura.
Perang brubuh itu pun semakin lama semakin jauh bergeser. Tetapi Peda Sura tetap berusaha menahan Pandan Wangi.
“Gadis ini akan kelelahan,” desis Peda Sura di dalam hati.
Dan usaha itu agaknya tidak sia-sia. Semakin lama tenaga Pandan Wangi yang belum menemukan saluran sewajarnya itu menjadi kian surut. Perlawanannya pun menjadi semakin lemah. Tetapi ia sudah bertekad untuk mengakhiri perkelahian itu dengan melepaskan nyawanya.
Sejenak kemudian terdengar Peda Sura tertawa. Suaranya meringkik seperti suara hantu di pekuburan. Mengerikan sekali.
Namun tiba-tiba suara tertawanya itu terputus. Sesaat udara malam digetarkan oleh suara seruling yang melengking. Pendek. Namun pengaruhnya terlampau dalam menggores di dinding hati Pandan Wangi. Ia tidak tahu, kenapa di luar sadarnya tumbuhlah suatu pengharapan. Pengharapan yang tidak dapat dimengertinya. Sekilas angan-angannya segera hinggap pada seorang gembala yang selalu bermain-main dengan serulingnya.
Tetapi sesaat kemudian dadanya yang berdebar-debar menjadi semakin berdebar-debar. Diingatnya kembali apa yang baru saja di lakukan oleh gembala itu. Sebelum terjadi peperangan ini, maka gembala itu telah berkeliaran di daerah-daerah terlarang. Sehingga tidak mustahil, bahwa gembala itu adalah salah seorang petugas sandi dari orang-orang liar yang tidak dikenal ini.
“Sikapnya sama sekali berbeda dengan orang-orang ini,” ia mencoba membedakan sifat-sifat pada gembala itu. Namun kemudian dijawabnya sendiri, “Seorang petugas sandi harus mampu berbuat apa saja. Mencala putra, mencala putri.”
Dengan demikian, maka Pandan Wangi yakin, bahwa gembala itu datang untuk membantu Peda Sura menangkapnya.
“Aku akan mati di peperangan ini,” berkata Pandan Wangi di dalam hatinya, “itu akan jauh lebih baik daripada tertangkap hidup-hidup.”
Tetapi ia heran melihat sikap Peda Sura. Ternyata orang itu pun menjadi heran mendengar suara seruling yang melengking pendek, sehingga karena itu, maka pertempuran itu pun terhenti karenanya.
Sejenak kemudian, di bawah cahaya bulan bulat di langit, seseorang meloncat dari balik pematang langsung berlari-lari kecil menuju ke arena pertempuran antara Pandan Wangi dan Peda Sura. Di tangan kirinya ia menjinjing sebatang seruling kecil, seruling yang hampir tidak pernah terpisah daripadanya.
“Perkelahian yang dahsyat,” desisnya ketika orang itu sudah berada beberapa langkah saja dari Peda Sura dan Pandan Wangi. Kemudian ia pun berhenti dan berdiri tegak seperti patung.
“Siapakah kau?” terdengar Peda Sura menggeram. Pandan Wangi yang hampir saja bertanya tentang gembala yang menggenggam seruling itu telah mengurungkan niatnya. Semula ia ingin langsung menuduhnya, sebagai petugas sandi Sidanti. Tetapi menilik pertanyaan Peda Sura, maka ada kemungkinan lain yang tidak dimengertinya. Karena itu, maka ia pun berdiam diri sambil menunggu jawaban orang berseruling itu.
Karena orang itu tidak segera menjawab, maka Peda Sura mengulanginya, “Siapa kau he?”
“Gupita, seorang penggembala,” jawab orang itu.
“Apa maksudmu datang kemari, dan menghentikan perkelahian ini?”
“Aku ingin memberitahukan kepada Pandan Wangi, agar ia segera meninggalkan arena ini. Lihat, sebentar lagi pasukannya akan segera hilang di dalam padukuhan itu. Kalau ia masih saja bertempur, maka sebentar lagi ia akan terjebak. Orang-orangmu pasti tidak akan terus menerus mengejar orang-orang Menoreh. Pada suatu ketika mereka akan kembali kemari dan bersamamu beramai-ramai menangkap Pandan Wangi. Bukankah begitu?”
“Persetan,” Ki Peda Sura menggeram, “apa pedulimu?”
“Tidak sepantasnya Pandan Wangi jatuh ke tangan orang-orang gila semacam kau, Ki Peda Sura.”
“Lalu, apa maumu?”
“Aku ingin menasehatkan, agar Pandan Wangi meninggalkan arena ini.”
Dada Ki Peda Sura bergetar mendengar jawaban itu, sehingga dengan serta merta ia berkata, “Begitu mudahnya?”
“Apakah kesulitannya? Pandan Wangi dapat menelusur pematang ini, dan di ujung parit yang menyilang jalan, ia berbelok lewat jalan sempit di pinggir parit di seberang jalan. Nah, bukankah ia akan sampai di sisi padukuhan kecil itu dan dengan loncatan-loncatan kecil ia dapat masuk ke dalam padukuhan, kemudian bergabung dengan pasukannya yang sedang mundur?”
“Apa kau kira aku akan tertidur di sini dan membiarkannya lari?”
Gupita tertawa. Jawabnya, “Kau akan bermain-main dengan kami berdua. Kalau kami tidak dapat mengalahkanmu, maka Pandan Wangi akan lari, sedang kau tinggal di sini bersamaku. Tetapi kalau kami mampu, maka kau akan menyesal, bahwa kau telah terpisah dari anak buahmu.”
Jawaban itu benar-benar telah membuat telinga Ki Peda Sura menjadi merah. Terdengar giginya gemeretak dan senjatanya terayun-ayun di tangannya.
“He Gupita, apakah kau sudah menjadi gila?” suaranya berat dalam nada yang datar, “Apakah kau belum pernah mendengar nama Ki Peda Sura?”
“Sudah. Aku sudah pernah mendengar. Tetapi ternyata namamu jauh lebih besar dari kemampuanmu. Aku memang tidak akan dapat melawanmu. Tetapi selama aku melihat kau bertempur melawan Pandan Wangi, maka kelebihan yang kau miliki ternyata tidak seberapa. Dengan demikian, maka tenagaku yang lemah, akan segera merubah keseimbangan. Kau akan mengalami kesulitan dan mungkin kau harus mengalami nasib yang menyedihkan.”
Sekali lagi Peda Sura menggeram. Matanya yang buas menjadi semakin buas. Sementara itu Pandan Wangi berdiri termangu-mangu. Kata-kata gembala yang menamakan dirinya Gupita itu, seakan-akan meluncur begitu saja seperti air terjun. Seolah-olah ia menganggap persoalan yang sedang di hadapi itu sebagai persoalan yang dapat diselesaikan sambil tertawa dan bergurau saja. Sedang yang berdiri di hadapannya itu adalah seorang iblis yang bernama Ki Peda Sura.
Dalam kebimbangan itu, Pandan Wangi mendengar Gupita berkata kepadanya, “Marilah, kita selesaikan saja persoalan ini sampai di sini. Kami harus menyadari keadaanmu. Kau harus segera meninggalkan tempat ini.”
Tiba-tiba terdengar jawaban Pandan Wangi gemetar, “Aku bukan pengecut.”
“Memang bukan,” sahut Gupita, “tetapi kau harus mempunyai penilaian yang tepat atas keadaan yang kau hadapi. Kau tidak perlu mengorbankan dirimu. Pasukanmu sudah menemukan jalan yang lapang untuk membebaskan dirinya kali ini. Itu pun bukan suatu sifat pengecut. Tetapi kau harus mempunyai perhitungan jangka jauh untuk memenangkan pertempuran ini. Kalah atau menang dalam suatu peperangan tidak ditentukan oleh medan-medan kecil serupa ini. Tetapi bagaimana akhir dari semuanya.”
Pandan Wangi menjadi ragu-ragu. Ia tidak tahu, siapakah sebenarnya gembala yang menyebut dirinya bernama Gupita itu. Tetapi tiba-tiba saja telah tumbuh kepercayaan kepada gembala itu di dalam hatinya. Sehingga karena itu, maka semua kata-katanya itu dipertimbangkannya.
Sementara itu, hati di dada Ki Peda Sura rasa-rasanya telah terbakar. Ia sudah tidak mampu lagi untuk menahan geram yang mencengkam jantungnya. Gembala itu terlampau meremehkannya. Karena itu, maka ia tidak mau membiarkan keadaan menjadi berlarut-larut.
Sebelum Pandan Wangi sempat menjawab, maka tiba-tiba Peda Sura sudah meloncat menyerang. Kali ini sasarannya adalah gembala yang menyebut dirinya bernama Gupita itu.
Sebenarnya Gupita terkejut juga melihat serangan yang tiba-tiba dan datang terlampau cepat. Untunglah bahwa ia sudah mempersiapkan dirinya untuk menghadapi serangan yang demikian. Karena itu, maka segera ia meloncat menghindar sambil berkata, “Pandan Wangi. Permainan ini sudah dimulai. Cepat, hindarkan dirimu sebelum orang-orang yang liar dan buas itu datang, setelah mereka berhasil mendesak pasukanmu. Kau harus tetap selamat. Kau tahu, bahaya yang paling parah dapat kau alami apabila kau tertangkap.”
Dada Pandan Wangi menjadi berdebar-debar. Di tangannya masih tergenggam sepasang senjatanya. Dengan penuh kebimbangan, ia melihai pertempuran yang segera terjadi antara Ki Peda Sura melawan Gupita.
Tiba-tiba tanpa sesadarnya, Pandan Wangi bertanya, “Apakah kau tidak bersenjata? Marilah, pakailah satu pedangku.”
“Terima kasih,” sahut Gupita, “aku sudah membawa senjata. Aku baru saja menyimpan kambing-kambingku di kandang. Cambukku masih aku bawa sampai saat ini. Kalau perlu aku dapat mempergunakannya untuk melawan senjata Ki Peda Sura yang mengerikan ini.”
Telinga Peda Sura serasa terbakar mendengar jawaban Gupita itu. Anak itu benar-benar menghinanya, sehingga dengan demikian, maka serangannya menjadi semakin garang.
Namun Gupita memang mengharap Ki Peda Sura menjadi marah kepadanya. Dengan demikian, maka perhatiannya terhadap Pandan Wangi akan berkurang. Kecuali itu, kalau ia berhasil membakar hatinya, maka Ki Peda Sura akan dikuasai oleh kemarahannya, sehingga akalnya menjadi tersaput oleh perasaannya. Dengan demikian ia mengharap, bahwa di dalam olah senjata pun Peda Sura akan menjadi terlampau terburu oleh nafsunya.
Tetapi ternyata Peda Sura tidak berbuat demikian. Meskipun ia dibakar oleh kemarahan yang hampir tidak tertahankan, namun ia tidak mau kehilangan akal. Ia masih tetap dalam keadaannya. Senjatanya masih tetap berbahaya. Menyambar-nyambar seperti sepasang burung elang di udara.
“Pergilah,” desis Gupita, “cepat. Sebentar lagi pasukan Sidanti juga akan datang.”
Tetapi Pandan Wangi masih berdiri di tempatnya. Ia tidak sampai hati untuk meninggalkan Gupita bertempur seorang diri. Apalagi gembala itu masih belum mempergunakan senjata apapun. Ia masih saja berloncat-loncatan menghindari serangan Peda Sura yang semakin lama menjadi semakin dahsyat.
Akhirnya Gupita pun harus mengakui, bahwa Ki Peda Sura adalah salah seorang yang tidak dapat diremehkan. Ilmunya cukup tinggi, ditambah dengan pengalamannya yang cukup tersimpan di perbendaharaan hatinya. Dengan tajamnya ia mengamati kelemahan-kelemahan Gupita yang masih saja mencoba menghindari serangan-serangan yang semakin lama menjadi sedahsyat badai mangsa kesanga.
Namun tiba-tiba Gupita mengambil sesuatu dari bawah bajunya. Seolah-olah ia sedang mengurai ikat pinggangnya. Tetapi kemudian ternyata bahwa ia sedang mengurai senjatanya. Sebuah cambuk yang berjuntai panjang dan bertangkai pendek.
“Hem,” Peda Sura menggeram, “itukah senjatamu?”
“Ya. Sudah aku katakan. Aku baru saja menggembalakan kambingku.”
Serangan Peda Sura semakin lama menjadi semakin dahsyat Namun kini di antara suara teriakannya yang melengking-lengking, terdengar ledakan cambuk Gupita. Ternyata bahwa cambuk itu mampu melawannya dengan dahsyatnya pula, sedahsyat senjatanya yang mengerikan.
“Setan,” Peda Sura mengumpat. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa di medan pertempuran ini akan muncul seorang gembala yang memiliki kemampuan sedemikian tingginya. Meskipun Peda Sura masih mempercayai dirinya sendiri, bahwa Gupita tidak akan dapat mengalahkannya, namun untuk memenangkannya pun bukan suatu pekerjaan yang dapat segera diselesaikan. Bahkan dengan ragu-ragu ia bertanya kepada diri sendiri, “Setan manakah yang dengan tiba-tiba saja mengganggu rencanaku ini? Dan apakah aku akan dapat menguasainya dalam waktu yang singkat?”
Yang terjadi kemudian memang membuat Ki Peda Sura semakin cemas. Ternyata bahwa gembala itu semakin lama menjadi semakin tangkas. Cambuknya meledak-ledak memekakkan telinga, dan bahkan ujungnya sekali-sekali telah menyentuh pakaiannya.
Tanpa disengaja, Peda Sura mencoba memandangi orang-orang yang sedang bertempur di kejauhan. Semakin lama semakin kabur. Bahkan sebagian dari mereka telah menghilang masuk ke dalam padukuhan kecil yang kehitam-hitaman.
Serangan Gupita semakin lama menjadi semakin sengit. Tenaganya yang masih segar telah membantunya. Ki Peda Sura yang baru saja bertempur di dalam perang brubuh, kemudian berkelahi seorang lawan seorang dengan Pandan Wangi, telah memeras sebagian dari tenaganya. Ia merasa terlampau tegang, karena ia ingin mengalahkan Pandan Wangi tanpa melukainya. Dan kini ketegangan itu memuncak, karena tiba-tiba ia telah di hadapkan kepada seorang lawan yang tidak disangka-sangka.
Tetapi pengalamannya segera menempatkannya ke dalam keadaan yang semakin baik. Lambat laun ia dapat melihat cara lawannya bertempur. Lambat laun ia berhasil mengerti, di manakah kelemahan-kelamahan Gupita yang garang itu, sehingga dengan demikian, maka ia masih tetap mampu menguasai keseimbangan.
Gupita pun akhirnya menyadari, bahwa ia tidak akan dapat menguasai lawannya Betapapun ia berusaha. Yang dapat dilakukan adalah mempergunakan kesegarannya untuk memeras tenaga orang tua itu. Tetapi sementara itu, Pandan Wangi harus di selamatkan.
Maka sekali lagi berteriak, “Pandan Wangi. Kenapa kau berdiri saja mematung. Kau harus segera meninggalkan tempat ini. Lihat, kedua pasukan itu telah menghilang di balik dedaunan di padesan sebelah. Sebentar lagi pasukan Menoreh akan lolos, dan orang-orang yang liar itu akan kembali kemari. Kau akan kehilangan kesempatan lagi untuk kedua kalinya.”
Pandan Wangi seolah-olah tersadar dari sebuah mimpi yang buruk. Tanpa sengaja ia berpaling memandang ke arah pasukan Menoreh yang menyelinap ke dalam padesan.
Dan sebenarnyalah, bahwa mereka sudah tidak tampak lagi. Dalam keremangan cahaya bulan bulat di langit, Pandan Wangi masih sempat melihat beberapa buah bayangan yang lamat-lamat menghilang ke dalam hijaunya dedaunan padesan, yang di malam hari tampak menjadi kehitam-hitaman.
“Nah, cepat. Lakukanlah,” teriak Gupita.
Pandan Wangi masih tetap ragu-ragu. Tetapi ia menyadari kini, betapa bahaya akan mengancamnya lagi, apabila orang-orang itu nanti kembali. Namun apakah ia akan meninggalkan Gupita itu bertempur seorang diri? Padahal Pandan Wangi yang sudah memiliki ketajaman penglihatan untuk menilai perkelahian itu, menganggap bahwa Gupita tidak berada di atas kemampuan Ki Peda Sura?
Dengan demikian Pandan Wangi masih juga ragu-ragu. Dan ia mendengar suara Gupita, “Cepat Pandan Wangi. Cepatlah sedikit.”
Yang terdengar adalah geram dan gemeretak gigi Peda Sura, ia tidak dapat menganggap lawannya kali ini sebagai kawan berkejar-kejaran. Serangan cambuk Gupita ternyata terlampau berbahaya, meskipun tidak berhasil menguasainya.
Pandan Wangi masih juga ragu-ragu. Ia sadar, bahwa ia harus pergi. Tetapi ia mengetahui, bahwa Gupita tidak akan dapat memenangkan perkelahian itu. Karena itu, maka ia tidak segera dapat mengambil keputusan.
Dalam pada itu Ki Peda Sura yang sedang dibakar oleh kemarahan yang semakin memuncak, segera mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya. Ia tidak ragu-ragu seperti pada saat ia bertempur melawan Pandan Wangi. Kali ini ia tidak sayang sama sekali, apabila kulit Gupita tersentuh senjata dan tulang-tulangnya dipecahkannya. Dengan demikian maka serangan-serangannya pun semakin lama menjadi semakin garang. Untunglah, bahwa Gupita masih cukup segar untuk melayaninya. Tenaganya masih utuh, sehingga kelincahannya masih mampu mengimbangi serangan-serangan lawannya yang dahsyat, sedahsyat banjir bandang.
Namun dalam pada itu, semakin nyata bagi Pandan Wangi, bahwa Gupita pun tidak akan mampu mengalahkan orang tua itu.
Dengan demikian tiba-tiba Pandan Wangi mengambil suatu keputusan lain. Tiba-tiba ia melangkah kembali mendekati lingkaran pertempuran. Pedangnya kemudian disilangkannya di dadanya. Sambil melangkah semakin dekat ia berkata, “Aku berkelahi di pihakmu Gupita.”
“Jangan,” sahut Gupita, “tinggalkan saja tempat ini.”
“Kau dalam kesulitan. Aku tahu, dan kau jangan mengorbankan dirimu.”
“Persetan,” yang terdengai adalah suara Ki Peda Sura, “kalian adalah anak-anak yang paling bodoh.”
Pandan Wangi tidak menyahut. Tiba-tiba pedangnya bergetar. Kedua ujungnya kini telah merunduk setinggi dada, meskipun masih tetap bersilang.
Ki Peda Sura melihat sikap itu dengan hati yang berdebar-debar. Ia tahu benar, bahwa seorang-seorang, anak-anak itu tidak akan dapat mengalahkannya. Tetapi kalau mereka berkelahi bersama-sama, maka akibatnya akan berbeda.
Gupita yang melihat sikap itu pun menjadi cemas. Terbata-bata ia bertanya, “Pandan Wangi, apa yang akan kau kerjakan?”
Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi ia menarik sebelah kakinya sambil merendahkan lututnya. Kini satu tangannya terentang dan yang lain bersilang di dadanya, menggenggam pedangnya tegak lurus di muka wajahnya.
Dada Gupita menjadi berdebar-debar. Sikap itu benar-benar meyakinkan, dan dengan demikian maka Gupita pun menjadi semakin mengaguminya. Gadis ini memang luar biasa. Kalau kelak ia menemukan kematangan bagi ilmunya itu, maka ia akan menjadi seorang gadis yang pilih tanding. Seorang gadis yang tidak memerlukannya lagi untuk membantu melawan Ki Peda Sura.
Peda Sura yang melihat sikap itu pun menjadi semakin berdebar-debar. Namun dengan demikian, kemarahannya menjadi semakin mencengkam kepalanya. Serangan-serangannya menjadi semakin dahsyat dan buas. Sebuas harimau kelaparan melihat mangsanya.
Sejenak kemudian terdengar desis tajam. Bersamaan dengan itu, pedang Pandan Wangi pun bergetar. Dengan lincahnya ia meloncat semakin dekat, dan langsung menyerang Ki Peda Sura dengan sepasang pedangnya.
Segera Ki Peda Sura merasakan kesulitan untuk melawan keduanya. Karena Pandan Wangi benar-benar tidak bersedia meninggalkan perkelahian itu, dan bahkan sudah memulainya, maka Gupita harus segera menyesuaikan diri. Perkelahian itu harus segera selesai, supaya Pandan Wangi mendapat kesempatan untuk menyingkir.
Agaknya Pandan Wangi pun mempunyai perhitungan yang serupa. Karena itulah, maka serangan kedua anak-anak muda itu segera membadai. Sepasang pedang Pandan Wangi menari-nari mengitari tubuh Ki Peda Sura dari segala arah, mematuk-matuk seperti sepasang paruh garuda. Sedang cambuk Gupita menyambar-nyambar seperti petir di langit. Meledak-ledak memekakkan telinga.
Ki Peda Sura segera merasakan, bahwa tenaganya yang telah mulai lelah itu tidak akan mampu melawan keduanya dalam gabungan kekuatan. Gupita sendiri pun tidak segera dapat dikalahkan, sedang Pandan Wangi seorang diri cukup berbahaya baginya. Apalagi kini mereka bergabung menjadi suatu kekuatan yang melandanya seperti ombak di lautan didorong badai yang dahsyat.
Segera Ki Peda Sura terdesak mundur. Beberapa kali ia terpaksa meloncat menjauh. Namun setiap kali kedua anak-anak muda itu memburunya tanpa memberinya kesempatan.
Dalam keadaan yang demikian, maka Ki Peda Sura merasa perlu untuk membuat keseimbangan. Tidak terlampau jauh dari arena itu, orang-orangnya sedang mengejar orang-orang Menoreh, sehingga satu dua orang di antara mereka pasti akan segera dapat ditarik untuk membantunya menghadapi kedua anak-anak muda yang mengagumkan ini.
Sejenak kemudian, maka Ki Peda Sura tidak merasa segan lagi untuk berbuat demikian. Segera terdengarlah suitan nyaring yang keras sekali memanjang membelah sepinya malam. Itu adalah pertanda, bahwa Ki Peda Sura yang tua dan garang itu memerlukan bantuan untuk keselamatannya.
Ternyata suitan itu telah menggetarkan dada Gupita dan Pandan Wangi. Mereka segera menyadari arti dari panggilan itu bagi diri mereka.
Tetapi mereka tidak lagi dapat surut. Perkelahian itu sudah berlangsung dengan sengitnya. Baik Pandan Wangi maupun Gupita telah bertekad untuk menyelesaikan pertempuran itu. Namun bagaimanakah nasib mereka, apabila orang-orang Ki Peda Sura itu kemudian berlari-larian datang membantunya?
Yang terpikir oleh Gupita kemudian adalah menyelesaikan pertempuran itu secepat-cepatnya, lalu secepat-cepatnya pula menyingkir.
Karena itu, maka begitu suitan Peda Sura lenyap dari udara, serangannya pun kian menggila. Cambuknya meledak tidak putus-putusnya. Diperasnya segenap kemampuan yang ada padanya. Kelincahan, ketangkasan dan terutama kesegaran tenaganya. Ia ingin berkelahi untuk waktu yang singkat sehingga ia tidak perlu lagi menghemat tenaganya.
Agaknya Pandan Wangi pun memaklumi sikap itu. Maka dilimpahkannya semua sisa tenaganya dengan mempercepat setiap gerakan. Kedua ujung pedangnya menjadi semakin cepat meluncur mematuk dari segala arah.
Serangan-serangan yang demikian agaknya kurang diperhitungkan oleh Ki Peda Sura. Ia tidak bersiap untuk menerima pengerahan segenap kemampuan kedua anak-anak muda itu bersama-sama. Ledakan-ledakan cambuk yang menjadi semakin dahsyat dan gerakan kedua ujung pedang itu membuatnya agak gugup.
Kesempatan itulah yang ditunggu-tunggu oleh Gupita. Sebelum Ki Peda Sura yang menyimpan berbagai pengalaman di dalam dirinya itu menyadari keadaannya dan mencoba memperbaiki kedudukannya, maka Gupita telah memperketat serangannya dengan memeras kemungkinan yang ada padanya. Ujung cambuknya tiba-tiba berhasil menyambar pundak orang tua itu, sehingga terdengar sebuah keluhan tertahan. Ternyata ujung cambuk itu bukan sekedar ujung dari janget rangkap tiga berganda. Tetapi ujung cambuk itu ternyata dilingkar oleh kepingan-kepingan baja yang tipis, sehingga sentuhan itu benar-benar telah mengelupas kulit Ki Peda Sura.
“Anak setan,” ia mengumpat. Kalau sentuhan-sentuhan yang terdahulu hanya menyentuh pakaiannya. dan tidak menumbuhkan persoalan apapun, maka kini terasa pundaknya sangat pedih.
Dengan demikian, maka kemarahan Ki Peda Sura menjadi semakin menyala di dalam dadanya. Tetapi ternyata ia tidak kehilangan akal. Ia masih tetap berkelahi dengan hati-hati. Dan ia masih tetap sadar, bahwa ia berada dalam bahaya. Dengan demikian, maka sekali lagi terdengar mulutnya bersuit keras sekali memanjang, menyelusur dinginnya malam yang terasa bagi mereka terlampau panas.
Gupita menggeretakkan giginya. Ia pun menyadari keadaannya dan keadaan Pandan Wangi. Arti suitan itu bagi mereka, adalah serupa dengan tanda bahaya yang untuk kedua kalinya memberi peringatan kepada mereka.
Dengan demikian, Gupita menjadi semakin cepat bergerak. Ia mencoba mengisi kekosongan pada setiap serangan Pandan Wangi. Ketika Peda Sura sedang menghindari ujung pedang yang menyentuh lengannya, maka sekali lagi ia terpekik. Kali ini lebih keras. Ternyata ujung cambuk Gupita sekali lagi mengenainya. Justru kali ini menyentuh keningnya.
Sebuah goresan yang merah telah menyobek kulit di kening orang itu. Darah yang merah segera meleleh di pipinya, yang telah basah oleh keringat.
Sekali lagi orang itu mengumpat lebih kasar lagi. Dengan tergesa-gesa ia meloncat jauh-jauh surut. Dengan lengan bajunya ia mengusap darah yang menitik di wajahnya itu sambil sekali lagi bersuit nyaring.
Namun kali ini kecepatan bergerak Pandan Wangi tidak mampu lagi dihindarinya. Dalam keadaan yang sulit itu, terasa sesuatu menyengat lengannya. Ketika sekali lagi ia meloncat jauh-jauh, maka dari lengannya itu pun mengalir darah. Agaknya Pandan Wangi telah berhasil menyobek kulitnya dengan ujung pedangnya.
Ki Peda Sura menjadi kian sulit karenanya. Gerakan kedua lawannya yang masih muda-muda itu ternyata terlampau berat untuk diimbangi. Namun sampai begitu jauh, ia masih tidak kehilangan akal. Ia masih dapat membuat pertimbangan-pertimbangan yang mampu menyelamatkannya.
Ternyata Ki Peda Sura kemudian tidak berusaha untuk melawan kedua anak muda itu lagi. Tetapi segera ia meloncat meninggalkan mereka dan berusaha bergeser ke arah orang-orangnya yang sedang mengejar pasukan Menoreh.
Semula Pandan Wangi dan Gupita masih ingin mengejarnya. Tetapi tiba-tiba mata Gupita yang tajam melihat di dalam cerahnya cahaya bulan, beberapa buah bayangan bergerak-gerak dari padesan di hadapan mereka. Segera ia menyadari keadaan yang menjadi semakin gawat. Yang datang itu pastilah orang-orang Ki Peda Sura yang mendengar suitan sampai merambah tiga kali.
“Berhentilah Pandan Wangi,” desis Gupita kemudian, “lihat, beberapa orang mendatangi. Kita harus segera pergi.”
Pandan Wangi pun akhirnya melihat mereka pula. Karena itu, maka dadanya menjadi berdebar-debar. Tanpa sesadarnya ia bertanya, “Lalu apakah yang harus kita kerjakan?”
“Lari,” jawab Gupita.
Jawaban itu terdengar aneh ditelinga Pandan Wangi. Lalu apakah ia harus lari dari arena? Namun yang diucapkannya adalah suatu pertanyaan, “Apakah kita biarkan Peda Sura menyelamatkan dirinya?”
“Kita tidak perlu membunuh. Kalau kita dicengkam oleh nafsu membunuh, maka kita akan kehilangan perhitungan. Kita sudah melumpuhkannya. Itulah yang penting. Bukan membunuh. Sekarang kita harus lari, eh, kalau kau tidak mau mempergunakan istilah itu, kita harus menyingkir. Cepat.”
Karena Pandan Wangi masih ragu-ragu, tiba-tiba tangan Gupita menyambar pergelangan tangannya yang masih menggenggam pedang dan menariknya berlari meninggalkan arena itu.
“Cepat, mereka telah melihat kita.”
Pandan Wangi tidak dapat berbuat lain. Ia pun kemudian berlari kencang-kencang sedapat dilakukan, ditarik oleh Gupita sambil berkata, “Kita harus menghindar.”
“Ya,” jawab Pandan Wangi tanpa sesadarnya. Tetapi ia masih berusaha berpaling melihat apa yang terjadi kemudian dengan Ki Peda Sura.
Dan apa yang dilihatnya benar telah mendebarkan jantungnya sehingga langkahnya pun menjadi agak tertahan. Bahkan tanpa sesadarnya ia menarik tangannya sambil berkata, “Lihat.”
Gupita kemudian berpaling. Tetapi tangan Pandan Wangi tidak dilepaskannya.
Seperti Pandan Wangi, jantungnya pun berdebar-debar pula ketika ia melihat Ki Peda Sura terhuyung-huyung. Kemudian orang tua itu terjatuh di tanah. Orang-orang yang berlari-larian dari padesan di sebelah, segera mengerumuninya. Beberapa orang di antara mereka akan berusaha untuk berlari terus mengejar Gupita dan Pandan Wangi. Namun dengan keheran-heranan Pandan Wangi dan Gupita melihat mereka terhenti dan kembali mengitari Ki Peda Sura yang terbaring.
Pandan Wangi dan Gupita tidak mendengar apa yang mereka percakapkan, sehingga karena itu, maka sejenak kemudian mereka pun dengan tergesa-gesa meneruskan langkah mereka.
“Marilah, sebelum terlambat,” ajak Gupita sambil menarik tangan Pandan Wangi.
Pandan Wangi tidak menolak. Tertatih-tatih ia berlari di atas sawah yang becek. Berkali-kali mereka meloncati pematang dan parit yang mengalirkan air yang jernih bening.
“Mereka tidak mengejar kita lagi,” desis Pandan Wangi.
“Belum tentu. Mungkin mereka sedang menerima pesan-pesan dari Ki Peda Sura. Kita harus menjauh sejauh-jauhnya. Kau harus segera sampai kepada pasukanmu, supaya kau dapat berlindung kepada mereka.”
“Akulah yang harus melindungi mereka,” jawab Pandan Wangi sambil terengah-engah.
“Timbal balik. Jangan kau ulangi sikapmu yang berbahaya. Kau tidak perlu berbuat demikian. Kau dapat mundur bersama-sama dengan pasukanmu tanpa mengorbankan dirimu.”
“Tidak mungkin. Kau tidak melihat medan waktu itu, sehingga kau dapat berkata begitu.”
Gupita tidak menjawab, tetapi ia masih saja menarik tangan Pandan Wangi, “Cepatlah sedikit.”
Pandan Wangi berusaha untuk mempercepat langkahnya. Ketika ia berpaling, maka bayangan orang-orang yang mengerumuni Ki Peda Sura sudah tidak begitu jelas lagi.
“Kita sudah jauh,” berkata Pandan Wangi.
“Kita masih berada di daerah berbahaya. Kita harus menyelusur parit di depan kita, kemudian menyilang jalan. Kita masih harus melintasi bulak kecil itu lagi untuk mencapai padesan.”
“Kita justru menjauhi padesan itu,” sahut Pandan Wangi.
“Kita berjalan melingkar, supaya arah kita tidak segera terpotong.”
“Orang-orang itu mungkin akan memotong arah kita.”
“Karena itu kita harus cepat.”
Mereka mencoba mempercepat langkah mereka. Tetapi Pandan Wangi agaknya sudah mulai lelah setelah ia bertempur memeras tenaganya melawan Ki Peda Sura. Karena itu, maka langkahnya pun menjadi semakin lambat, “Aku lelah sekali,” desisnya.
“Jangan,” sahut Gupita, “kau bagi Tanah Perdikan Menoreh adalah seorang prajurit. Kini kau berada di medan kewajibanmu. Atasilah perasaan lelahmu. Kau harus melatih mengatur pernafasan dan melepaskan tenagamu sesuai dengas kebutuhan.”
“Aku tahu. Tetapi tenagaku terbatas. Suatu saat kita akan sampai ke puncak kemampuan. Dan aku sudah lelah.”
Gupita tidak dapat memaksa Pandan Wangi berlari terus. Kini mereka memperlambat langkah mereka. Meskipun demikian, mereka masih juga berloncat-loncatan di atas pematang.
Namun hati mereka menjadi agak tenang, ketika sekali lagi mereka berpaling dan tidak seorang pun yang mengejar.
Sebenarnya, bahwa orang-orang yang akan mencoba mengejar kedua anak-anak muda itu telah ditahan oleh Ki Peda Sura yang terbaring di tanah karena luka-lukanya yang ternyata cukup parah. Perlawanan yang demikian sama sekali tidak disangka-sangkanya. Kedua anak-anak muda itu ternyata memiliki kemampuan yang luar biasa.
“Kalau mereka kelak berhasil menguasai ilmu mereka dengan baik, maka mereka akan menjadi orang-orang yang luar biasa. Mereka akan mampu menyamai Ki Argapati dan Ki Tambak Wedi,” berkata Ki Peda Sura kepada orang-orangnya, “karena itu, jangan kau kejar mereka, kalau jumlah kalian tidak mencapai sepuluh orang.”
“Kami tidak tahu kalau kami harus berhadapan dengan orang-orang semacam mereka. Sebaiknya kita panggil beberapa kawan lagi. Pertempuran di padesan itu sudah hampir selesai. Orang-orang Menoreh terus menerus menarik dirinya, dan mungkin mereka akan melarikan diri keluar padesan itu bergabung dengan kawan-kawan mereka yang lain.”
“Jangan dikejar juga mereka. Kalian akan terjebak.”
“Ya. Kami sudah menyadari. Kami tidak akan mengejar mereka keluar padukuhan kecil itu.”
“Kita selesai sampai di sini.”
“Lalu, bagaimana dengan Kiai?” bertanya salah seorang anak buahnya.
“Anak-anak setan itu berhasil melukaiku. Aku terlampau letih oleh darah yang keluar dari tubuhku. Bawalah aku menyingkir. Di kantong ikat pinggangku ada semacam obat yang dapat menahan arus darah. Taburkan itu di lukaku. Mudah-mudahan dapat mengurangi keparahan luka itu.”
Beberapa orang berusaha untuk menolong Ki Peda Sura. Yang lain mengambil obat di kantong ikat pinggangnya dan menaburkan di atas luka yang masih mengalirkan darah. Namun agaknya obat itu pun bermanfaat pula. Arus darah dari luka itu pun berangsur berkurang.
“Kalau Sidanti sudah selesai, ia pasti akan mengirimkan beberapa orang kemari. Tetapi di sini pun kita sudah selesai,” gumam Peda Sura kemudian.
“Bagaimana dengan kedua orang yang melarikan diri itu?”
“Mereka kita lepaskan kali ini. Kini mereka pasti sudah terlampau jauh.”
Saat itu, Pandan Wangi dan Gupita memang sudah agak jauh dari mereka. Tetapi keduanya masih belum bergabung dengan pasukan Menoreh yang sedang menarik diri.
Pandan Wangi yang kelelahan, agaknya benar-benar sudah segan untuk berlari. Satu-satu ia melangkah dengan nafas terengah-engah. Apalagi ketika ia menyadari, bahwa tidak seorang pun lagi yang mengejarnya. Bahkan Ki Peda Sura agaknya sudah tidak berdaya lagi.
“Aku tidak dapat berlari lagi,” desisnya.
“Tetapi kau belum berada di tengah-tengah pasukanmu,” sahut Gupita.
“Bahaya sudah tidak terlampau besar lagi kini.”
“Memang bagi kita. Tetapi bagaimana dengan pasukanmu?”
Pertanyaan itu menyentuh dada Pandan Wangi. Pasukan Menoreh itu berada di bawah tanggung jawabnya. Karena itu, maka tiba-tiba ia menggeram, “Ya, aku harus segera berada di antara mereka. Bukan untuk berlindung, tetapi aku harus bertanggung jawab atas semua persoalan yang terjadi.”
Gupita tidak menjawab. Tetapi ia melihat nafas Pandan Wangi seakan-akan hampir putus di kerongkongannya. Maka tanpa sesadarnya ia berkata, “Tetapi kalau kau memang terlampau lelah, beristirahatlah sejenak.”
Pandan Wangi mengangguk.
“Pasukanmu pasti dapat menyelamatkan diri. Orang-orang Peda Sura sudah tidak bernafsu lagi untuk mengejar, sebab mereka pun pasti akan ragu-ragu, bahwa suatu ketika mereka akan terjebak ke dalam perangkap yang dapat menghancurkan mereka.”
Pandan Wangi mengangguk.
“Nah, duduklah. Dan sarungkan pedangmu.”
Seperti digerakkan oleh tenaga yang ajaib, Pandan Wangi menyarungkan sepasang pedangnya. Kemudian duduk beristirahat di atas pematang yang ditumbuhi rumput liar.
“Kau dapat sekedar melepaskan lelahmu. Kita memang sudah terlepas dari bahaya yang mengerikan. Tetapi belum berarti bahwa kita boleh berlengah-lengah di sini.”
“Aku menyadari,” jawab Pandan Wangi, “aku hanya akan sekedar menenangkan diri supaya nafasku tidak terputus di tengah jalan.”
Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya. Tanpa dikehendakinya sendiri ia duduk di samping Pandan Wangi, bersandar pada sepasang tangannya. Serulingnya terselip pada ikat pinggangnya dan cambuknya melingkar di lehernya.
Angin malam yang segar telah berhembus mengusap tubuh mereka. Terasa seolah-olah nafas mereka dijalari oleh getaran-getaran yang sejuk. Perlahan-lahan dada mereka menjadi tenang, dan nafas mereka tidak lagi berkejaran lewat lubang hidung mereka. Terutama Pandan Wangi yang kelelahan itu.
Kedua anak muda itu sejenak saling berdiam diri. Mereka masing-masing terbenam di dalam angan-angan sendiri. Bayangan yang bermacam-macam bentuk dan corak telah hilir mudik di rongga mata mereka. Pertempuran yang baru saja terjadi dan kemungkinan-kemungkinan yang dapat menyeret mereka ke dalam keadaan yang tidak terduga-duga.
Terasa bulu-bulu tengkuk Pandan Wangi meremang, jika dibayangkannya apa yang dapat terjadi atas dirinya, apabila ia tertangkap oleh Ki Peda Sura dan orang-orangnya yang buas dan liar itu.
Ketika perasaan lelahnya sudah berkurang, tiba-tiba Pandan Wangi menyadari, bahwa sebenarnya anak muda yang duduk di sampingnya itu masih terlampau asing baginya, sehingga tiba-tiba saja ia bertanya, “Siapakah sebenarnya kau?”
Gupita terkejut mendengar pertanyaan itu. Kini ia duduk tegak sambil memandangi Pandan Wangi dengan sorot mata yang keheran-heranan, “Kenapa kau bertanya demikian? Bukankah kau sudah mengenal aku, bahwa aku adalah seorang gembala yang bernama Gupita?”
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia menyahut, “Aku merasa aneh, bahwa di Menoreh ada seorang gembala yang bernama Gupita, dan mampu mengimbangi seorang yang bernama Ki Peda Sura.”
“Apa salahnya? Bukankah lebih aneh lagi, bahwa ada seorang gadis yang membawa pedang rangkap di lambungnya?”
“Tetapi aku tidak menyembunyikan diriku dengan segala macam rahasia dan teka-teki. Aku adalah Pandan Wangi, puteri Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Dalam keadaan apapun, aku adalah Pandan Wangi.”
“Lalu apa sangkamu tentang aku?” bertanya Gupita, “aku adalah seorang gembala. Dalam segala keadaan. Tetapi sudah tentu di dalam peperangan aku tidak menggembalakan kambing-kambingku. Namaku Gupita, juga dalam segala keadaan. Kalau kau tidak percaya, marilah datang ke rumahku. Kau akan berkenalan dengan ayah dan adikku. Adikku juga seorang gembala. Kau akan tertawa melihatnya. Tubuhnya gemuk bulat. Namun ia seorang periang yang paling banyak tertawa di dunia ini.”
Pandan Wangi ragu-ragu mendengar pengakuan Gupita itu. Dengan penuh pertanyaan dipandanginya wajah Gupita. Wajah yang memiliki daya yang aneh terpancar dari sepasang matanya. Dalam keremangan cahaya bulan, Pandan Wangi melihat sesuatu yang lain di wajah itu. Jauh berbeda dari wajah seorang gembala.
Tetapi tiba-tiba Pandan Wangi menyadari dirinya, ia adalah seorang gadis. Meskipun kini ia membawa sepasang pedang di lambungnya, tetapi ia tetap seorang gadis dan anak muda yang ada di sampingnya itu adalah orang yang belum terlampau banyak diketahuinya. Karena itu, maka ketika anak muda itu pun memandanginya, dan pandangan mereka berbenturan, terasa seolah-olah jantungnya terbanting di atas batu pualam. Pecah berkeping-keping.
Pandan Wangi segera menundukkan kepalanya. Keringat yang dingin mengalir memenuhi pakaiannya yang memang sudah basah oleh keringat. Terasa tangannya menjadi dingin dan wajahnya dirambati oleh arus darahnya yang hangat.
Untuk beberapa saat, Pandan Wangi tertunduk diam. Dengan jari-jarinya yang lentik, ia bermain-main ujung rerumputan yang telah basah oleh embun yang turun dari langit.
Gupita melihat perubahan sikap Pandan Wangi. Justru karena itu, maka tumbuhlah sifat dan watak yang sudah terpateri di dalam dirinya. Tiba-tiba saja ia pun menjadi bingung dan tidak mengerti apa yang harus dilakukannya. Seolah-olah ia terlempar ke dalam dunianya sendiri. Bukan lagi seorang gembala yang bernama Gupita. Muncullah watak dan kediriannya, seorang anak muda pemalu dan dibayangi oleh keragu-raguan.
Beberapa saat sebelumnya ia telah membuat dirinya menjadi seorang gembala periang, yang agak sombong. Seorang yang menganggap setiap persoalan itu bukan masalah yang harus ditekuni. Ia telah mencoba belajar dan melakukannya seperti yang dilihatnya pada adik seperguruannya. Terhadap Ki Peda Sura, Pandan Wangi sebagai seorang anak Kepala Tanah Perdikan, kepada Samekta dan orang-orang yang baru itu, agaknya ia berhasil menirukan sikap dan tabiat adik seperguruannya, tetapi ketika tiba-tiba ia di hadapkan pada Pandan Wangi sebagai seorang gadis, maka tiba-tiba jantungnya serasa membeku.
Dengan demikian, maka sejenak mereka saling berdiam diri. Desir angin malam seolah-olah berbisik di telinga mereka. Tetapi gejolak di dalam diri mereka telah menenggelamkan segala perhatian terhadap keadaan di sekeliling mereka.
Namun tiba-tiba, Gupita yang ingin mengurangi ketegangan di dalam dadanya itu, mengangkat wajahnya. Serasa darahnya berhenti mengalir, ketika ia melihat iring-iringan yang berjalan ke arah mereka.
“Tidak ada kesempatan untuk lari lagi,” desisnya.
Pandan Wangi yang mendengar desis itu pun segera mengangkat wajahnya meraba hutu pedangnya.
“Mereka pergi kemari.”
Tetapi Gupita menggeleng, “Tidak. Mereka tidak menuju kemari. Mereka adalah pasukan Ki Peda Sura yang ingin mengundurkan dirinya masuk kepadukuhan induk setelah mereka melepaskan pasukanmu.”
Pandan Wangi tidak menyahut. Tetapi ia membenarkan kata-kata Gupita itu, karena beberapa puluh langkah di samping iring-iringan itu, terdapat iring-iringan yang lain pula. Agaknya mereka terbagi menjadi dua kelompok untuk menghindarkan diri dari kemungkinan-kemungkinan yang berbahaya bagi mereka.
Tetapi sekelempok di antara mereka berjalan ke arah kedua anak-anak muda yang sedang duduk di pematang itu. Semakin lama semakin dekat, sehingga mereka tidak akan dapat tinggal diam duduk di pematang itu.
“Apa yang harus kita lakukan?” bertanya Pandan Wangi.
“Bersembunyi.”
“Kenapa bersembunyi?”
“Lalu, kau mau apa?”
“Kita melawan sambil menghindar.”
Gupita tidak menjawab lagi. Iring-iringan itu semakin dekat. Kalau mereka masih saja berbantah, maka salah seorang dari mereka pasti akan segera melihat. Karena itu maka tiba-tiba saja ia mendorong tubuh Pandan Wangi sehingga gadis itu terguling di atas tanah yang becek.
“Jangan berbicara lagi,” bisik Gupita, “kita bersembunyi di sela-sela tanaman di sawah ini. Kau harus diam dan mencoba menguasai pernafasanmu.”
Pandan Wangi masih akan menjawab, tetapi Gupita yang telah berguling di sampingnya segera mendorongnya, “Masuk lebih dalam lagi.”
Pandan Wangi tidak membantah lagi. Ia pun kemudian merangkak masuk ke dalam rimbunnya tanaman di sawah yang becek. Di belakangnya Gupita pun merangkak dengan hati-hati sambil sekali-sekali mengangkat kepalanya untuk melihat iring-iringan yang semakin lama menjadi semakin dekat.
Tetapi ternyata mereka tidak tepat mengambil arah tempat kedua anak-anak muda itu bersembunyi. Mereka akan lewat beberapa langkah daripadanya. Dalam keremangan cahaya bulan, Gupita dapat melihat, bahwa beberapa orang di antara mereka sedang mengangkat sesosok tubuh di atas pundak mereka.
“Ki Peda Sura,” gumam Gupita perlahan-lahan.
Pandan Wangi yang mendengarnya, dari sela-sela ujung daun-daun yang rimbun. Ia pun melihat pula, bahwa agaknya Ki Peda Sura tidak mampu untuk berjalan sendiri, sehingga harus diangkat oleh orang-orangnya.
Tetapi belum lagi debar di dalam dada kedua anak-anak muda itu reda, mereka melihat iring-iringan dari arah yang lain. Dengan dada yang berdebar-debar mereka melihat kedua iring-iringan dari arah yang berlawanan itu semakin mendekat. Namun agaknya mereka telah memiliki tanda-tanda yang khusus, sehingga mereka segera mengetahui, bahwa yang mereka jumpai sama sekali bukan lawan mereka.
Gupita dan Pandan Wangi terpaksa menahan nafas mereka, supaya desahnya tidak terdengar. Tidak terlampau jauh dari kedua anak-anak muda itu, kedua pasukan yang datang dari arah yang berlawanan itu bertemu.
“Kenapa kalian tidak menunggu kami?” bertanya pemimpin pasukan yang baru datang.
“Pekerjaan kami telah selesai,” jawab salah seorang dari pasukan Ki Peda Sura.
“Apakah kalian berhasil membinasakan orang-orang Menoreh yang bodoh itu?”
“Sebagian, yang lain melarikan diri.”
Pimpinan pasukan yang baru datang itu berdiam diri sejenak. Namun dari antara mereka, seorang anak yang masih terlampau muda, mendesak maju sambil bertanya, “Bagaimana dengan Kakak Pandan Wangi?”
Sejenak tidak terdengar jawaban. Namun kemudian terdengar desis yang lambat, “Pandan Wangi adalah seorang gadis yang perkasa. Ia selamat.”
Semua orang berpaling ke arah suara itu. Pemimpin pasukan yang baru datang itu pun bertanya, “Siapa yang terluka itu?”
“Ki Peda Sura.”
“He. Ki Peda Sura terluka?”
“Ya.”
“Siapa yang melukainya?”
Yang terdengar adalah suara Ki Peda Sura lambat, hampir tidak terdengar, apalagi dari tempat Gupita dan Pandan Wangi bersembunyi, “Pandan Wangi. Pandan Wangi-lah yang telah melukai aku.”
“Terkutuklah anak itu,” terdengar pemimpin pasukan yang baru datang itu menggeram. Tetapi tanpa disangka-sangka, anak muda yang berada di antara mereka menyahut, “Adalah wajar sekali, bahwa di dalam pertempuran seorang melukai orang yang lain, yang berada di pihak yang berlawanan.”
“Persetan,” pemimpin pasukan itu menggeram, “tetapi Pandan Wangi telah berbuat kesalahan besar. Ia terlampau menyombongkan dirinya, sehingga ia berani melukai Ki Peda Sura.”
Pandan Wangi dan Gupita mendengarkan percakapan itu dengan hati yang berdebar-debar. Kalau pemimpin pasukan yang baru itu tidak dapat mengendalikan dirinya, dan beberapa orang dan pasukan Ki Peda Sura menunjukkan arah larinya, maka tidak mustahil mereka akan mencoba mencarinya.
Tetapi tidak terduga-duga, anak muda yang berada di dalam pasukan itu menyahut, “Itu bukan suatu kesombongan, tetapi suatu kebanggaan. Apakah kau juga menyombongkan dirimu setiap kali membunuh atau melukai lawan?”
“Tetapi tidak seorang yang memiliki ilmu setinggi Ki Peda Sura.”
“Itu adalah salah Ki Peda Sura, kenapa ia memberi kesempatan kepada lawannya sehingga melukainya. Kalau ia memang berilmu tinggi, dan mempunyai kelebihan dari lawannya, namun ia dapat juga dilukai oleh lawannya yang sekedar menyombongkan dirinya, itu adalah salahnya.”
Agaknya pemimpin pasukan itu menjadi marah. Dengan garang ia berkata, “Aku akan mencari Pandan Wangi sampai ketemu. Aku sendiri akan membunuhnya.”
“Huh,” anak yang masih terlampau muda itu memotong, “kaulah yang terlampau sombong. Kakak Pandan Wangi dapat melukai Ki Peda Sura. Apalagi kau. Kepalamulah yang lebih dahulu dipenggalnya.”
“Persetan,” kemarahannya tiba-tiba memuncak, “kau mencoba mencegah aku, he?”
“Aku tidak mencegahmu, tetapi aku mengatakan kemungkinan yang paling dekat padamu.”
“Gila! Ternyata kau merupakan duri di dalam pasukan ini. Apakah kau yang lebih dahulu harus dibungkam.”
“Apa kau bilang!” tiba-tiba anak yang masih terlampau muda itu meloncat sambil menarik pedang di lambungnya, “ayo, lakukanlah!”
Dalam ketegangan itu tiba-tiba terdengar suara Ki Peda Sura, “Anak itu benar. Jangan mencoba mencari Pandan Wangi. Ia terlampau perkasa. Biarlah ia pergi ke pasukannya. Mungkin akan datang suatu kesempatan bagimu, lusa atau kapan saja untuk menemuinya dan mencoba ketajaman sepasang pedangnya.”
Pemimpin pasukan itu menggeram sekali lagi. Dihentakkannya kakinya ke tanah. Katanya, “Lalu, apa yang akan kita lakukan?”
“Kembali ke induk pasukan,” desis Ki Peda Sura. “Beberapa orang pengawas dapat kalian tinggalkan di sini. Pengawas yang kuat dan cukup banyak. Seperti Argapati, kalian harus melengkapi pengawas-pengawas itu dengan tanda-tanda sandi dan beberapa ekor kuda.”
“Aku kecewa, bahwa aku tidak dapat bertemu dengan Pandan Wangi,” pemimpin pasukan yang baru itu masih saja bergumam.
“Tidak perlu sekarang,” suara Ki Peda Sura lambat, “sekarang kita kembali ke induk pasukan. Bukankah Sidanti telah berhasil menduduki padukuhan induk?”
Pemimpin pasukan itu terdiam sejenak. Dengan sudut matanya dipandanginya ujung pedang di tangan anak muda yang berdiri beberapa langkah di hadapannya. Kemudian katanya, “Baik. Kita akan kembali ke induk pasukan. Aku akan meninggalkan satu kelompok orang-orangku di sini.”
“Bagus,” desis Ki Peda Sura, “marilah, kita pergi.”
Pemimpin pasukan itu terdiam sejenak. Namun kemudian sambil menunjuk pedang anak muda di hadapannya ia berkata, “Kau jangan main-main dengan pedang anak manis. Kalau ayahmu mendengar perbuatanmu, kau akan dijantur di atas pohon sawo di halaman rumahmu.”
“Ayah akan membenarkan sikapku. Kalau kita tidak sependapat, maka pasti Ayah-lah yang bersalah dalam hal ini.”
Pemimpin pasukan itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian, “Ayo, kita kembali. Jangan hiraukan anak gila itu.”
Pemimpin pasukan itu segera memerintahkan orang-orangnya kembali. Namun di antara mereka, sekelompok besar ditinggalkannya di padukuhan di hadapan mereka untuk mengawasi keadaan. Mereka telah meyakini, bahwa pasukan Menoreh telah mundur jauh-jauh, sehingga untuk waktu yang pendek tidak mungkin lagi akan kembali.
Sejenak kemudian pasukan-pasukan itu pun telah bergerak meninggalkan tempat itu kembali ke padukuhan induk yang ternyata telah diduduki oleh Sidanti dan pasukannya.
Ketika mereka telah menjadi semakin jauh, maka Gupita pun menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan mereka berdiri sambil menggeliat.
“Hem, keadaan telah menjadi semakin parah,” gumam Gupita, “tetapi siapakah anak muda itu. Anak muda yang mencarimu, dan membelamu di hadapan pemimpinnya?”
“Namanya Prastawa,” jawab Pandan Wangi, “ia adik sepupuku. Salah seorang putera Paman Argajaya.”
“Oh,” Gupita mengangguk-angguk, “sifat ayahnya yang keras kepala tampak pula padanya.”
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia bertanya, “Apakah kau sudah mengenal Paman Argajaya secara pribadi?”
Pertanyaan itu telah membuat dada Gupita berdesir. Tetapi segera ia menemukan jawabnya, “Siapakah orang Menoreh yang tidak mengenai Ki Argajaya, meskipun tidak secara pribadi. Siapakah yang tidak mengenal tabiat, sifat, dan wataknya? Apalagi kini, setelah dengan jelas ia berpihak kepada Sidanti.”
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Di antara sadar dan tidak ia bergumam, “ia berpihak kepada orang lain daripada saudara sendiri.”
Kini Gupita-lah yang bertanya dengan serta merta, “Siapakah yang kau maksud dengan orang lain?”
“Oh,” Pandan Wangi tergagap, “maksudku, maksudku, Paman telah berpihak kepada Ki Tambak Wedi. Bukankah Ki Tambak Wedi itu orang lain bagi Paman.”
“Tetapi Sidanti adalah kemenakannya.”
Dengan perasaan yang aneh Pandan Wangi mengangguk, “ya, Kakang Sidanti adalah kemenakan Paman Argajaya.”
Namun dalam pada itu, sebuah goresan yang tajam telah menggorek luka di hati gadis itu. Terasa betapa pahitnya persoalan yang kini terjadi di Menoreh. Teringat olehnya ceritera ayahnya, bahwa ibunya pada saat mengandung Sidanti, berkata kepada ayahnya, “Kalau tidak kau bunuh kami, maka anak di dalam kandungan ini, akan membawa persoalan sepanjang hidupnya.”
Tiba-tiba kepala Pandan Wangi seolah-olah terkulai, menunduk dalam-dalam. Beberapa titik air matanya membasah di pelupuknya. Peristiwa itu ternyata benar-benar tidak terhenti sejak perang tanding antara Arya Teja dan Puguhan selesai. Tidak juga setelah ayahnya mengambil perempuan yang telah mengandung itu menjadi istrinya untuk seterusnya. Bahkan tidak juga selesai setelah ia lahir.
“Betapa anehnya, bahwa aku sempat juga lahir,” katanya di dalam hati, “ayah dan ibu menyimpan persoalan yang berakar di dalam hati mereka. Dengan demikian, maka kedamaian yang aku dapati di rumah itu, adalah kedamaian yang lamis. Cinta ayah dan ibu kemudian kelahiranku inipun, sebenarnya adalah akibat sikap berpura-pura dari mereka berdua.”
Hampir saja Pandan Wangi meledakkan tangisnya. Tetapi tanpa disengajanya, tangannya menyentuh hulu pedangnya. Dengan demikian, maka segera ia teringat, bahwa ia kini sedang berada di medan perang.
Apalagi ketika terdengar suara Gupitia, “Pandan Wangi, apakah yang sedang kau renungkan? Kita harus segera berbuat sesuatu, sebab masih banyak sekali kemungkinan yang akan terjadi. Daerah ini masih akan mengalami seribu satu macam perubahan. Dan perubahan-perubahan itu dapat terjadi dengan cepatnya.”
Pandan Wangi mengusap matanya dengan ujung bajunya. Namun ia masih tertunduk, untuk menyembunyikan wajahnya dari cahaya bulan yang kuning.
“Baiklah,” katanya kemudian dalam nada yang datar, “apakah sebaiknya yang harus kita lakukan?”
“Kembalilah kepasukanmu.”
“Baiklah,” Pandan Wangi tidak mempersoalkannya lagi. Tiba-tiba saja ia melangkahkan kakinya sambil menunduk.
“He, ke mana kau akan pergi?” bertanya Gupita.
“Bukankah aku harus pergi kepasukanku?”
Gupita merasakan sesuatu yang aneh pada gadis itu. Pandan Wangi seakan-akan kehilangan gairah untuk memikirkan peperangan ini. Bahkan sikapnya agaknya menjadi acuh tidak acuh saja.
“Pandan Wangi,” berkata Gupita kemudian, “di sekitar kita masih mungkin bersembunyi berbagai macam bahaya yang tidak kita kenal. Itulah sebabnya kau harus berhati-hati. Jangan berjalan begitu saja seperti kau pergi ke sendang. Kau tidak tahu, apakah yang bersembunyi di balik sehelai ilalang di hadapanmu.”
Terasa dada gadis itu berdesir. Seolah-olah ia kini baru tersadar dari tidurnya yang dicengkam oleh mimpi yang mengerikan. Tanpa sesadarnya, maka kedua tangannya telah meraba hulu sepasang pedangnya. Kemudian ditariknya nafas dalam-dalam. Diedarkannya pandangan matanya ke sekelilingnya. Tanaman di sawah. Padesan dan pepohonan pategalan di arah lain. Warna kuning yang terpencar dari bulan bulat di langit, terpercik di setiap wajah dedaunan.
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia berdesis, “Ya, aku memang harus berhati-hati.”
“Nah, jangan merenung. Kau tidak mempunyai kesempatan untuk melakukannya di medan perang. Kalau kau hati-hati dan berhasil mencapai pasukannya, maka kau akan mempunyai banyak kesempatan untuk merenung.”
“Ah,” Pandan Wangi berdesah, tetapi ia tidak menjawab.
“Kau harus menghindari padesan itu agak jauh.”
Pandan Wangi mengangguk kosong, “Baikah,” jawabnya, “aku akan berangkat sekarang.” Dan tanpa sesadarnya ia bertanya, “Apakah kau akan pergi ke sana juga?”
Gupita menggelengkan kepalanya. Tetapi tiba-tiba ia menjadi ragu-ragu untuk menjawab. Meskipun demikian, ia berkata juga, “Tidak.”
Tampaklah di wajahnya gadis itu menjadi kecewa. Sejenak in berdiri mematung. Namun kemudian terdengar suaranya dalam, “Kalau begitu, kita berpisah sampai di sini. Mudah-mudahan aku selamat sampai kepasukanku.”
Kini Gupita-lah yang menjadi ragu-ragu. Dengan dada yang berdebar-debar ia melihat Pandan Wangi bergeser. Kemudian memutar tubuhnya dan melangkah lambat meninggalkannya. Tetapi beberapa langkah kemudian gadis itu berhenti sambil berpaling.
Gupita masih berdiri di tempatnya. Ketika mata gadis itu membentur tatapan matanya yang tajam, maka dengan tergesa-gesa Pandan Wangi melemparkan pandangannya jauh menembus cerahnya sinar bulan purnama. Sedang debar jantung di dadanya terasa menjadi semakin cepat menghentak-hentak. Sehingga untuk sesaat ia berdiri saja kebingungan.
Baru kemudian ketika getar diarus darahnya telah mereda, ia meneruskan langkahnya dengan kaki gemetar.
Tetapi langkahnya kemudian tertegun. Ia mendengar suara lunak memanggilnya.
“Tunggu Pandan Wangi.”
Sekali lagi Pandan Wangi berpaling. Dilihatnya Gupita melangkah mendekatinya sambil berkata, “Marilah, aku antarkan kau sampai ke pasukanmu.”
Secercah kegembiraan meloncat ke wajah Pandan. Wangi. Hampir saja ia berteriak kegirangan seperti anak-anak mendapat mainan. Namun dengan sepenuh kesadarannya sebagai seorang gadis, ditahankannya perasaannya. Bahkan kemudian tumbuhlah kesenangan di dalam hatinya, bercampur baur dengan harga diri dan rasa malu. Dalam kebingungan, maka meloncatlah hiruk pikuk di dalam hatinya itu. Lewat bibirnya, “Aku tidak perlu pengantar. Aku cukup mengenal daerah ini, karena aku dilahirkan di tanah ini.”
Gupita terkejut mendengar jawaban yang tidak terduga-duga itu sehingga sejenak ia terbungkam. Sebagai seorang anak muda yang selalu dibayangi oleh keragu-raguan dan kebimbangan, Betapapun ia berusaha memulas dirinya menjadi seorang gembala yang membiarkan perasaannya meloncat-loncat, namun ia tidak dapat melepaskan diri dari kediriannya. Karena itu, maka wajahnya menjadi semburat merah oleh hentakan yang tiba-tiba itu. Untunglah bahwa bayangan wajahnya sendiri telah menyaput perasaannya yang terpancar di wajah itu.
Dengan susah payah Gupita mencoba menguasai dirinya dicobanya menempatkan dirinya pada keadaannya kini. Seorang gembala yang seolah-olah hidup bebas tanpa kekangan apapun. Katanya, “Ha, jangan dikuasai oleh peraaan saja. Meskipun kau seorang gadis, tetapi kau telah berada di medan perang. Karena itu, maka kau harus mempergunakan perhitungan seorang prajurit, bukan perasaan seorang gadis.”
Kata-kata itu memang dapat menyentuh perasaan Pandan Wangi. Tetapi ia tidak segera dapat melepaskan perasaannya. Karena itu, maka dengan serta merta ia menjawab, “Itulah sebabnya. Karena aku adalah seseorang yang telah menerjunkan diri di dalam peperangan, maka aku tidak ingin diperlakukan sebagai seorang gadis cengeng, yang hanya berani pulang apabila diantar oleh seseorang yang dianggapnya akan dapat melindunginya. Tetapi sepasang pedangku ini adalah pelindungku yang sebaik-baiknya.”
“Tetapi perhitungan itu tidak tepat. Perhitungan itu bukan perhitungan seorang prajurit. Itu adalah perhitungan seorang gadis yang mempunyai harga diri dan membawa sepasang pedang di lambung. Tetapi perhitungan seorang prajurit adalah lain. Seandainya kau bukan seorang gadis sekalipun, maka kau memerlukan kawan dalam keadaan yang gawat serupa ini. Bukan karena takut, tetapi setiap kemungkinan dapat terjadi. Mungkin kau akan bertemu dengan sekelompok peronda, atau bertemu dengan seorang yang memiliki kemampuan yang melampaui kemampuanmu.”
Gupita melihat Pandan Wangi akan memotongnya, tetap segera ia berkata, “Nanti dulu, jangan memotong kata-kataku. Maksudku, bukan karena kau tidak berkemampuan untuk mempertahankan diri. Tetapi kita tidak boleh terlepas dari kenyataan bahwa kita bukan seorang yang paling mumpuni di atas bumi. Nah, dalam keadaan yang demikian itulah, kau memerlukan seorang kawan. Mungkin untuk melawan bersama-sama, mungkin untuk kepentingan yang lain. Untuk menjadi saksi pada setiap keadaan, sampai keadaan yang paling parah sekalipun. Seorang kawan akan dapat memberitahukan kepada orang lain, apakah yang sudah terjadi atas diri kita masing-masing.”
Pandan Wangi terdiam sejenak. Ia dapat menangkap kebenaran kata-kata Gupita. Tetapi sulitlah baginya untuk melepaskan diri dari perasaannya sebagai seorang gadis yang dengan sadar berdiri di atas kegadisannya yang berhadapan dengan seorang anak muda yang belum terlampau dikenalnya di tengah-tengah medan.
Tetapi tiba-tiba terloncatlah perkataan dari mulutnya yang gemetar, “Gupita. Itu adalah tanggapan seorang gembala yang panik. Tetapi tidak bagi seorang prajurit. Aku akan melangkahi setiap jarak di atas tanah ini dengan dada tengadah. Ini adalah tanahku. Apa pun yang akan terjadi atasku.”
Dada Gupita berdesir mendengar jawaban itu. Sekali lagi melonjaklah kediriannya. Tiba-tiba saja Gupita dicengkam oleh kepribadiannya sendiri, tanpa dapat mengelakkannya. Dengan nada rendah ia berkata, “Baiklah Pandan Wangi. Aku memang sekedar seorang gembala yang kecil. Maafkan aku. Kau adalah seorang puteri Kepala Tanah Perdikan yang besar. Kau benar, bahwa tanggapanku adalah tanggapan seorang gembala. Bukan tanggapan seorang prajurit. Karena itu, sekali lagi aku minta maaf kepadamu.”
Jawaban itu benar-benar tidak diduga-duga oleh Pandan Wangi. Ia tidak menyangka, bahwa gembala yang lepas bebas, yang setiap langkahnya diwarnai oleh kebebasan jiwanya, seperti suara serulingnya yang lepas di udara yang jernih itu, tiba-tiba merajuk seperti seorang gadis cengeng yang hatinya tersinggung oleh kata-kata kekasihnya. Karena itu, justru sejenak Pandan Wangi berdiri tegak seperti patung yang membeku.
Namun sejenak kemudian disadarinya, bahwa agaknya kata-katanya benar-benar telah menyinggung perasaan gembala itu. Sehingga lambat sekali dipaksakannya mulutnya berkata, “Maafkan aku Gupita. Aku tidak ingin menghinamu. Mungkin kata-kataku terdorong oleh perasaanku yang melonjak-lonjak.”
Gupita ternyata terperanjat mendengar permintaan maaf itu. Segera disadarinya, bahwa hampir-hampir saja ia hanyut di dalam kediriannya. Hampir-hampir ia lupa akan peranannya dalam permainan itu. Karena itu, tiba-tiba ia tertawa, meskipun betapa hambarnya, “Tidak Pandan Wangi. Aku sama sekali tidak bermaksud demikian. Aku hanya sekedar bergurau. Sekarang terserah kepadamu, apakah kau akan berkenan untuk menerima aku sebagai kawan perjalananmu.”
Sekali lagi Pandan Wangi terperanjat melihat perubahan sikap itu. Ia benar-benar tidak mengerti, dengan siapa sebenarnya ia berhadapan. Dalam keadaan yang serba membingungkan itu, terdengar ia berkata sambil menganggukkan kepalanya, “Baiklah. Marilah.”
“Nah,” berkata Gupita sambil tertawa pendek. Tiba-tiba saja kakinya telah meloncat berlari sambil berkata, “Marilah.”
Namun sebenarnya Gupita sedang menghentakkan segenap kekuatannya untuk melawan perasaan sendiri. Hampir saja ia mutung dan meninggalkan Pandan Wangi di tengah-tengah sawah itu. Untunglah, bahwa segera ia menyadari dirinya, bahwa bukan demikianlah peran yang harus dibawakannya.
Tetapi justru dalam keadaan yang terlampau sulit itulah, maka sikapnya menjadi berlebih-lebihan. Usahanya untuk mengatasi kekecilan hatinya, melonjak tanpa dapat dibatasinya.
Dengan lincahnya, Gupita melangkahkan kakinya. Kemudian disambarnya tangan Pandan Wangi sambil berkata, “Marilah kita berpacu.”
Pandan Wangi terkejut dalam keadaan yang khusus, ia sama sekali tidak menyadari, bahwa Gupita telah menuntunnya berlari-lari dan bahkan telah mendorongnya sehingga ia terguling-guling di atas tanah yang becek di tengah-tengah sawah ini. Namun kini tiba-tiba nak muda itu menyambar tangannya dan menariknya berlari. Hampir saja Pandan Wangi menolaknya, tetapi ia mengurungkan niatnya. Teringatlah ia. bahwa ia masih berada di tengah-tengah daerah berbahaya.
Maka sejenak kemudian, di dalam bayangan cahaya bulan yang bulat, sepasang anak muda itu berlari-larian meloncati pematang dan menyelusur parit seperti sepasang kijang yang sedang berkejaran.
“Kita harus segera sampai ke induk pasukanmu Pandan Wangi,” berkata Gupita, “mereka pasti sudah berkumpul di tempat yang telah ditentukan. Pasukanmu pun pasti telah berada di sana pula.”
Pandan Wangi tidak menyahut. Tetapi pegangan tangan gembala itu serasa mengalirkan getaran-getaran yang tidak dikenalnya. Itulah sebabnya, maka ia tidak segera menjawab. Yang terasa olehnya adalah debar jantungnya yang semakin cepat.
Sementara itu, ketika perkembangan pertempuran pasukan Pandan Wangi menjadi semakin nyata, bahwa mereka akan menarik diri dari peperangan, maka di bawah Pucang Kembar, Ki Tambak Wedi telah dicengkam oleh kegelisahan yang semakin memuncak. Ternyata orang-orang yang diharapkan untuk membantunya membunuh Argapati, masih juga belum datang meskipun ia sudah memberikan tanda beberapa kali. Sedang Argapati sendiri, meskipun dadanya telah terluka, namun tandangnya masih saja seperti banteng ketaton.
“Apakah mereka mampus dicekik hantu?” geram Ki Tambak Wedi di dalam hatinya.
Meskipun ia yakin, bahwa tanpa bantuan seorang pun pada kedua belah pihak, ia pasti akan memenangkan perkelahian itu, kerena Argapati telah terluka, namun ia tidak dapat menduga, berapa lama ia memerlukan waktu. Sedang kawan-kawannya benar-benar telah terdesak. Yang masih dapat melawan ketiga pengawal Menoreh sebaik-baiknya adalah seorang saja dari antara keduanya, karena seorang yang terluka menjadi semakin lama semakin bertambah lemah.
Dengan hati yang dipenuhi oleh kecemasan dan teka-teki, sekali lagi dari mulut Ki Tambak Wedi terdengar suitan nyaring. Namun suitan ini pun menggeletar tanpa arti. Tidak sehelai daun pun yang tergetar karenanya. Apalagi tubuh-tubuh yang berloncatan dengan pedang di tangan.
“Suaramu benar-benar mirip tangis seekor kelinci,” berkata Argapati dalam nada yang berat, “atau makian hantu yang kehilangan kubur.”
“Persetan,” Ki Tambak Wedi menggeram. Tandangnya menjadi semakin sengit. Senjata melingkar-lingkar di seputar tubuh lawannya.
Namun disadarinya, bahwa apabila keadaan berlangsung demikian, maka kedua kawannya akan segera binasa, dan ketiga orang pengawal dari Menoreh itu akan bersama-sama dengan Argapati menyerangnya. Lemparan pisau salah seorang daripadanya cukup berbahaya, sedang kedua orang yang lain akan dapat mengganggunya, sementara Argapati menghunjamkan tombaknya di dadanya.
“Setan alas,” ia mengumpat di dalam hatinya. Namun orang-orangnya yang sudah dipersiapkan masih juga belum datang.
Dalam kegelapan hati, maka Ki Tambak Wedi pun semakin memeras tenaganya. Tetapi ia tidak kehilangan akal, sehingga perlawanannya justru menjadi semakin seru dan berbahaya.
Dalam keadaan yang demikian itulah, maka telah terjadi sesuatu yang menggetarkan dada setiap orang yang berada di bawah Pucang Kembar. Tiba-tiba dari dalam kegelapan bayangan dedaunan muncullah sesosok tubuh yang tertatih-tatih. Bukan sesosok tubuh yang tegap meloncat dengan senjata di genggaman.
Yang paling terkejut di antara mereka adalah Ki Tambak Wedi. Orang yang ternyata terluka itu berusaha untuk mendekatinya. Perlahan-lahan dari mulutnya terdengar sebuah desis yaug lambat. Tetapi tidak seorang pun dapat mengerti apa yang dikatakan.
“He, kenapa kau?” teriak Ki Tambak Wedi.
Orang itu memang ingin menjawab. Namun sejenak kemudian jatuh tersungkur. Yang terdengar hanyalah sebuah keluhan pendek. Seterusnya diam.
“Siapakah orang itu Paguhan?” terdengar suara Argapati berat.
“Persetan dengan orang itu,” jawabnya. Namun terasa nada kecemasan mewarnai kata-katanya.
Sebenarnyalah, bahwa Paguhan yang bergelar Ki Tambak Wedi itu telah dicengkam oleh kecemasan yang sangat. Orang itu adalah salah seorang dari pasukan kecilnya yang harus datang pada saat ia bersuit memanggilnya. Orang-orang itulah yang harus membantunya, membunuh Argapati. Tetapi ternyata yang datang di antara mereka hanya seorang. Itu pun hanya sekedar menyatakan dirinya, bahwa ia telah terluka parah.
Berbagai pertanyaan telah menggelepar di dalam dada Ki Tambak Wedi. Yang terjadi itu benar-benar di luar dugaannya. Pasukannya adalah sepasukan kecil yang cukup kuat. Untuk melawan seorang yang mumpuni seperti Ki Argapati. Namun agaknya pasukan kecil itu telah menjadi terpecah belah. Bahkan mungkin orang yang datang itu adalah satu-satunya orang yang sempat keluar dari suatu keadaan yang tidak dapat dibayangkannya.
“Apakah yang telah terjadi dengan mereka?” pertanyaan itu telah mengejarnya di setiap langkahnya.
Sementara itu, kedua kawannya menjadi semakin terdesak. Mereka bergeser semakin jauh. Meskipun kedua orang itu adalah orang-orang terpilih, namun menghadapi tiga orang pengawal terpilih pula, mereka terdesak tanpa dapat dapat berbuat terlalu banyak. Apalagi yang seorang daripadanya telah terluka.
“Apakah ada seseorang yang dengan rahasia telah membantu Argapati?” pertanyaan itu pun telah mengganggunya pula.
Maka sejenak sambil bertempur, Ki Tambak Wedi membuat pertimbangan-pertimbangan. Kalau ia terlampau lama berkelahi melawan Argapati, maka kemungkinan yang paling buruk dapat terjadi atasnya. Mungkin memang seseorang telah berusaha membantu Argapati dengan rahasia. Apabila orang itu berhasil membinasakan pasukan kecilnya, kemudian membantu Argapati pula dalam perang tanding ini, keadaannya akan sangat berbahaya. Seandainya bukan seseorang, tetapi juga sepasukan pengawal Menoreh yang kuat, itu pun akan berakibat serupa baginya.
“Pekerjaanku belum selesai,” ia bergumam di dalam dirinya, “aku masih harus berbuat terlampau banyak untuk kepentingan Sidanti. Selagi Sidanti belum mapan benar, aku tidak akan dapat melepaskannya seorang diri. Apalagi aku masih belum percaya sepenuhnya kepada Argajaya. Mungkin ia akan mempergunakan setiap kesempatan untuk kepentingan sendiri.”
Namun dalam pada itu, nafsunya untuk membunuh Argapati semakin berkobar di dalam dadanya. Tetapi adalah suatu kenyataan, bahwa ia telah kehilangan kesempatan yang sudah dipersiapkan.
“Satu-satunya cara adalah, membuat Argapati semakin memeras tenaganya, supaya darahnya menjadi semakin banyak mengalir. Ia tidak akan dapat bertahan sampai bulan bulat itu tenggelam di balik bukit. Sebelum fajar, ia pasti sudah kehabisan tenaga, dan jatuh tersungkur di bawah ujung kakiku.
........bersambung ke Jilid 38
Tidak ada komentar:
Posting Komentar