API di BUKIT MENOREH
Karya S.H Mintardja
NAMUN SUARA cambuk itu masih juga terdengar. Sekali lagi dan sekali lagi.
“Persetan,” desis Ki Peda Sura. “Mungkin akulah yang nanti akan menghentikannya. Tetapi kini lebih baik menyelesaikan kelinci-kelinci bodoh ini. Begitu menyenangkan, seperti menebas batang ilalang.”
Ki Peda Sura tersenyum. Sepasang senjatanya pun kemudian berputar menyambar-nyambar.
Senjata Ki Peda Sura benar-benar telah menimbulkan kengerian pada para pengawal yang bertempur di sekitarnya. Setiap sepasang senjata itu menyentuh lawan, maka senjata lawan itu hampir dapat dipastikan, terlempar dari tangan. Nasibnya kemudian sudah dapat dibayangkan. Tanpa senjata di medan perang yang riuh.
Meskipun demikian para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang telah bertekad untuk merebut tanahnya kembali, sama sekali tidak menghindar. Mereka sadar, bahwa kematian adalah akibat yang mungkin akan terjadi. Tetapi harga tanahnya tidak ada ubahnya dengan harga nyawanya.
Demikianlah, maka mereka telah mencoba untuk mengurung Ki Peda Sura dalam sebuah arena yang sempit. Sedang para pengawal yang lain mencoba menarik batas dengan keributan pertempuran di sekitarnya. Namun usaha itu tidak pernah dapat berhasil, karena anak buah Ki Peda Sura menyadari apa yang akan terjadi atas pemimpinnya itu. Karena itu, setiap kali lingkaran itu selalu dapat dipecahkan. Bahkan semakin lama Ki Peda Sura dan orang-orangnya semakin mendesak maju masuk ke dalam garis benturan antara kedua pasukan itu.
“Orang-orang Menoreh berhasil menahan gerak maju Ki Tambak Wedi,” berkata Ki Peda Sura di dalam hatinya, “tetapi tidak bagi Ki Peda Sura. Tidak ada kekuatan yang dapat melawan Ki Peda Sura.”
Dan Ki Peda Sura pun menjadi semakin ganas bersama beberapa orang anak buahnya yang terpercaya.
Dengan demikian maka arena di seputarnya pun menjadi sangat menarik perhatian, sehingga kedua gembala muda yang bernama Gupita dan Gupala pun akhirnya berhasil menemukannya.
“Di situ,” desis Gupala, “lihat, bukankah yang berputaran itu sepasang senjatanya?”
Gupita mengerutkan keningnya. Mereka pun segera berlompatan mendekat ketika mereka melihat seorang pengawal terlempar sambil berlumuran darah.
“Cepat!” geram Gupala. “Kebuasan itu harus segera dihentikan. Beberapa orang korban akan berjatuhan lagi tanpa ampun.”
Gupita tidak menjawab. Tetapi matanyalah yang memancarkan kemarahan yang menyala di dadanya. Ia tidak dapat membiarkan para pengawal itu jatuh tersungkur, kemudian yang lain terlempar untuk tidak pernah bangun kembali. Apalagi tindakan-tindakan anak buah Ki Peda Sura yang melampaui sikap wajar di peperangan.
“Mereka sengaja berbuat demikian untuk menakut-nakuti lawan,” berkata Gupita di dalam hatinya. “Kesan-kesan yang mengerikan itu akan membuat setiap hati menjadi kecut.”
Dengan demikian maka keduanya pun segera bergeser semakin mendekat.
Gupala yang agaknya tidak dapat menahan diri lagi, segera meloncat di hadapan orang tua itu sambil berteriak, “Cukup! Kau jangan berbuat gila. Aku sudah menjadi muak.”
Ki Peda Sura mengerutkan keningnya. Kemudian dengan kasar ia bertanya, “Siapa kau? Apakah kau akan melawan aku atau akan membunuh diri.”
“Aku memang akan membunuh. Tetapi bukan diriku sendiri. Aku akan membunuhmu.”
Ki Peda Sura mengerutkan keningnya. Namun kemudian terdengar suara tertawanya, “Jangan mimpi anak muda. Kau lihat, berapa banyak korban yang telah jatuh di sekitarku,”
“Aku percaya, aku telah melihatnya,” jawab Gupala, “tetapi korban berikutnya adalah kau sendiri.”
“Persetan!” Ki Peda Sura menjadi semakin marah. Ia tidak menjawab lagi. Sepasang senjatanya segera berputar menyerang Gupala dengan sangat tiba-tiba.
Gupala terkejut mengalami serangan yang begitu cepatnya mengarah ke kepalanya. Dengan demikian maka ia pun segera meloncat surut. Tetapi arena tidak begitu luas. Di sekitarnya telah terjadi pertempuran yang seru pula, sehingga ia tidak leluasa mengambil jarak dari lawannya.
Namun dalam kesulitan itu, sebuah ledakan cambuk telah memekakkan telinga. Hampir saja ujung juntai cambuk yang panjang itu melingkar di leher Ki Peda Sura. Namun ketangkasannya telah melepaskannya dari sambaran ujung cambuk itu.
“Setan!” orang tua itu mengumpat. Kini dilihatnya Gupala telah siap menyerangnya pula dengan cambuknya. Sekias Ki Peda Sura melihat kilatan yang melingkar di beberapa bagian dari juntai cambuk itu. Semacam karah yang tajam, yang akan mampu mengelupas kulitnya apabila ujung cambuk itu berhasil menyentuh.
Selain Gupala yang gemuk itu, seorang anak muda yang lain, yang pertama-tama menyerangnya dengan cambuknya, telah pula siap melontarkan serangan-serangan berikutnya.
Dan anak itu ternyata telah pernah dikenalnya.
Ki Peda Sura menggeram. Dipandanginya kedua anak-anak muda itu berganti-ganti. Kemantapan tatapan mata keduanya telah membuat hati Ki Peda Sura menjadi berdebar-debar.
Tetapi ia tidak akan dapat tinggal diam. Keduanya itu harus dilawannya dan dibinasakannya.
Karena itu, maka sejenak kemudian Ki Peda Sura segera melibat keduanya dalam pertempuran. Ki Peda Sura ternyata tidak menunggu kedua anak-anak muda itu menyerangnya lebih dahulu. Tetapi dengan tangkasnya ia meloncat sambil memutar sepasang senjatanya.
Tetapi baik Gupita maupun Gupala telah siap pula menghadapi segala kemungkinan, sehingga karena itu, maka mereka pun segera dapat menanggapi serangan-serangan Ki Peda Sura yang datang sedahsyat angin prahara.
Demikianlah, medan pertempuran itu semakin lama menjadi semakin ribut. Masing-masing telah menemukan lawannya. Tidak saja para pemimpin, tetapi setiap orang di dalam masing-masing pasukan yang bertempur itu sedang memeras tenaganya.
Sidanti yang bertempur melawan Hanggapati harus memeras segenap kemampuannya apabila ia ingin menundukkan lawannya. Tetapi lawannya pun telah berusaha sekuat-kuat tenaganya pula untuk mempertahankan dirinya, bahkan Hanggapati pun berusaha untuk dapat mengalahkan Sidanti pula.
Demikian pula Argajaya dengan tombak pendeknya. Agaknya ia sama sekali tidak berpengharapan untuk dapat mengalahkan Dipasanga. Tetapi ia yakin bahwa ia akan dapat bertahan untuk waktu yang lama. Bahkan ia berpengharapan, bahwa ia akan dapat menyimpan tenaga lebih lama dari lawannya.
Tetapi Argajaya adalah seorang yang keras hati. Bagaimana pun juga dihadapinya lawannya dengan dada tengadah. Apabila ia sudah mulai menggerakkan senjatanya, maka ia tidak akan memperhitungkan lagi kemungkinan apa pun yang dapat terjadi atas dirinya. Meskipun demikian ia tidak segera kehilangan akal menghadapi kesulitan.
Dalam hiruk-pikuk pertempuran itu, Wrahasta agaknya masih belum dapat melupakan kawan-kawannya yang telah terbunuh di dalam tugasnya, selagi mereka mendahului pasukan induk membungkam gardu-gardu. Apalagi ketika ternyata korban itu tidak menghasilkan penyelesaian tugas seperti yang diharapkan, karena ternyata bahwa Ki Tambak Wedi masih sempat mengetahui kedatangan pasukan Menoreh, meskipun dengan tergesa-gesa mereka harus menyiapkan diri.
“Setiap orang harus mendapat ganti sepuluh nyawa,” geramnya tidak henti-hentinya. Dan raksasa itu pun kemudian mengamuk sejadi-jadinya.
Tetapi sudah barang tentu bahwa lawannya tidak akan tinggal diam dan membiarkan diri mereka terbunuh. Betapapun juga mereka pasti akan mengadakan perlawanan sekuat-kuat tenaga.
Apalagi Wrahasta tidak terlalu banyak memiliki kelebihan dari lawan-lawannya. Orang-orang Ki Peda Sura yang buas, yang menjadi marah melihat sikapnya, segera berusaha menghancurkannya pula.
Tetapi Wrahasta tidak mempedulikannya. Diayunkannya scnjatanya ke segenap penjuru. Ia kehilangan pengamatan yang mantap atas lawan-lawannya karena kemarahan yang meluap-luap di dalam dadanya. Dengan demikian ia tidak dengan pasti melawan seorang demi seorang. Dilawannya siapa pun yang dilihatnya. Dan perlawanan yang demikian justru berbahaya bagi diri Wrahasta sendiri.
Hanggapati sempat melihat sekilas cara bertempur raksasa yang sedang dipenuhi oleh berbagai macam kekecewaan, kemarahan, dan bermacam-macam perasaan bercampur-baur di dalam hatinya. Tetapi ia tidak sempat berbuat apa pun karena tekanan Sidanti yang tidak dapat dielakkannya. Sidanti yang marah itu pun menyerang lawannya tanpa memberinya kesempatan untuk memperhatikan keadaan di sekitarnya.
Namun demikian Hanggapati sempat pula menjadi cemas melihat sikap Wrahasta.
Di sayap lain Kerti bertempur dengan cermatnya. Sambil membimbing pasukannya, ia berusaha setapak demi setapak untuk mendesak maju. Bukan sekedar dirinya sendiri, tetapi seluruh sayap yang dipimpinnya.
Tetapi itu bukan pekerjaan yang mudah dapat dilakukan. Meskipun pasukan Ki Tambak Wedi dipersiapkan dengan tergesa-gesa, namun pada dasarnya pasukan itu cukup kuat. Apalagi karena masih saja ada kelompok-kelompok kecil yang mengalir dan menggabungkan diri ke dalam hiruk-pikuknya peperangan.
Dipasanga masih saja berkelahi dengan gigihnya. Ia mencoba untuk tetap dapat memberikan tekanan-tekanan kepada lawannya, meskipun ada saat-saat terjadi sebaliknya.
Satu demi satu korban berjatuhan di kedua belah pihak. Di antara dentang senjata beradu, terdengarlah pekik kesakitan dan rintih yang memelas. Tetapi tidak banyak di antara mereka yang sempat mendapat pertolongan, karena setiap orang sibuk dengan persoalannya masing-masing. Justru persoalan hidup dan mati. Bukan sekedar hidup dan mati bagi diri sendiri, tetapi hidup dan mati bagi seluruh pasukan.
Namun tusukan pertama yang langsung menghunjam ke jantung pertahanan Ki Tambak Wedi itu ada juga hasilnya. Pada benturan yang pertama, pasukan Menoreh telah mampu mengurangi jumlah lawan di gardu-gardu dan dengan anak-anak panah. Hal itu telah memberikan kejutan yang berpengaruh pada seluruh pasukan Ki Tambak Wedi.
Mereka yang pada dasarnya bukan bekas pengawal yang memalingkan wajahnya, bukan pula orang-orang Ki Peda Sura dan orang-orang yang bertualang lainnya, kejadian itu sangat membekas di dalam diri mereka.
Orang-orang yang selama ini adalah petani-petani yang tekun, pedagang-pedagang dan mungkin juga bekas-bekas pengawal, tetapi yang sudah lama meletakkan senjata-senjata mereka, yang karena keadaan telah dikerahkan oleh Argajaya dan Sidanti, kali ini tidak dapat menunjukkan perlawanan seperti yang diharapkan.
Dengan demikian, maka Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya kali ini tidak lagi dapat menepuk dada kekuatan mereka. Tanpa mereka duga, ternyata pasukan Ki Argapati memiliki tekad yang memang mendekati sikap putus asa. Karena mereka berjanji di dalam diri, merebut padukuhan induk, atau tidak kembali sama sekali. Itulah agaknya yang telah mendorong mereka untuk berbuat dan mengorbankan apa saja yang ada. Akibat daripada itu, perlawanan mereka pun benar-benar ngedab-edabi.
Para pengawal itu merasa, bahwa mereka telah terlalu lama terusir dari padukuhan induk. Kalau mereka tidak berhasil sekarang, maka masa depan mereka tidak akan dapat mereka bayangkan.
Beberapa lama pertempuran itu sudah berlangsung dengan serunya. Namun nampaknya kedua pasukan itu mempunyai kekuatan yang seimbang. Kemenangan-kemenangan kecil di garis pertempuran itu terjadi silih berganti. Orang-orang Ki Peda Sura dan petualang-petualang yang lain kadang-kadang tidak dapat menahan hati mereka yang liar. Kemenangan-kemenangan kecil telah membuat mereka berteriak-teriak dan bersorak-sorak. Bukan saja mereka, tetapi keliaran itu agaknya merambat ke segenap pasukan, bahkan pasukan lawan.
Dengan demikian maka berganti-ganti kedua belah pihak bersorak-sorak seperti hendak memecahkan langit. Semakin lama menjadi semakin keras. Dan tandang mereka pun menjadi semakin kasar. Mereka sama sekali tidak lagi menghiraukan pekik kesakitan dan rintihan mereka yang terluka. Bahkan sambil tertawa seperti orang yang kehilangan ingatan, orang-orang yang bertualang di atas Tanah Perdikan Menoreh, dan melibatkan diri dalam api peperangan itu, telah berbuat hal-hal yang mendirikan bulu roma. Selagi lawannya mengaduh sambil memegangi lukanya, dengan tanpa ragu-ragu, orang-orang itu menghunjamkan senjata-senjata mereka. Bahkan kadang-kadang dengan perlahan-lahan.
Ki Tambak Wedi yang bertempur sepenuh tenaga, kadang-kadang sempat juga melihat hal itu terjadi. Tetapi ia sama sekali tidak berkeberatan. Orang-orang Menoreh harus ditakut-takuti dengan perlakuan yang kasar dan buas.
Tetapi harapan mereka, bahwa dengan demikian para pengawal akan gentar, ternyata meleset. Para pengawal justru menjadi marah, dan mereka yang berdarah panas, segera ditumbuhi nafsu untuk melakukan pembalasan.
Gupita yang berkelahi berpasangan dengan Gupala melawan Ki Peda Sura, hampir saja terpekik ketika tiba-tiba sebuah kepala berguling di hadapannya. Sejenak ia terpukau diam. Ia tidak dapat segera mengatasi gejolak yang melanda dinding jantungnya.
“Oh, ternyata di dalam peperangan manusia-manusia ini telah kehilangan sifat-sifatnya,” desisnya di dalam hati.
Saat itu hampir saja dapat dimanfaatkan oleh Ki Peda Sura. Hampir saja kepalanya sendiri pun akan pecah karena pukulan senjata lawannya. Untunglah bahwa Gupala tidak begitu terpengaruh oleh kengerian itu, sehingga ia masih sempat dengan tangkasnya meledakkan cambuknya mengarah ke wajah Ki Peda Sura yang tegang.
Orang tua itu mengumpat-umpat tidak habis-habisnya. Ia terpaksa mengurungkan serangannya dan menghindari ujung cambuk Gupala. Namun yaug sesaat itu, telah memberi kesempatan kepada Gupita untuk menyadari keadannya.
Anak muda itu menggeram sambil menggeretakkan giginya. Kini ia tidak mempunyai pilihan lain. Pertempuran ini telah berubah menjadi ajang pembantaian. Peluapan nafsu yang paling rendah, nafsu yang buas dan mengerikan.
Sejenak kemudian Gupita telah mempersiapkan dirinya. Sekilas terpandang olehnya hirup-pikuk pertempuran di sekitarnya. Kebuasan orang-orang yang mencari keuntungan dari perselisihan yang terjadi di atas tanah perdikan ini.
Terasa darahnya menjadi semakin panas. Kini ditatapnya lawannya yang kasar itu tajam-tajam. Kemudian ia menarik nafas dalam-dalam. Kini ia telah mendapatkan suatu kepastian di dalam dadanya. Ia telah berhasil mengatasi keragu-raguan. Ia harus membinasakan lawannya.
Sejenak kemudian maka Gupita itu memutar juntai cambuknya di atas kepalanya sambil memusatkan segenap kemampuan dan kegairahan tekadnya. Sesaat kemudian cambuknya itu pun meledak seakan-akan memecahkan selaput telinga.
Ki Peda Sura mengerutkan keningnya. Ia melihat sorot mata Gupita yang telah berubah. Kemudian dipandangnya Gupala yang tertawa-tawa kecil sambil menyerangnya dengan ujung cambuknya.
Orang tua itu melihat perbedaan pada kedua anak-anak muda yang melawannya. Tetapi ia yakin bahwa keduanya bersumber dari perguruan yang sama.
Demikianlah maka pertempuran itu pun segera meningkat semakin seru. Serangan-serangan Gupita menjadi semakin garang, sedang Gupala selalu menempatkan dirinya, dan mengisi setiap kelemahan kakak seperguruannya, meskipun kadang-kadang ia sempat juga tertawa apabila ujung cambuknya mengena.
Ki Peda Sura, yang sekali-sekali tersentuh oleh kedua ujung cambuk itu semakin lama menjadi semakin buas juga. Matanya menjadi semakin merah, dan sekali-sekali terdengar mulutnya mengumpat dengan kata-kata kasar.
Seluruh medan perang menjadi semakin kalut. Semua pihak menjadi semakin kasar, dan dalam keadaan yang demikian nyawa seakan-akan tidak berharga lagi.
Di ujung pertempuran kedua belah pihak saling mendesak, sedang di pusat pertempuran, dua orang tua-tua masih saja berkelahi dengan dahsyatnya.
Ki Tambak Wedi semakin lama menjadi semakin gelisah. Ia yakin bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan orang bercambuk itu. Sedangkan ia tidak dapat mengira-irakan apa yang terjadi di seluruh medan. Tetapi ia kini tidak lagi mempunyai perhitungan bahwa kekuatannya jauh melampaui kekuatan lawannya. Apalagi dengan kehadiran orang bercambuk itu. Kemungkinan terbesar orang bercambuk itu pasti telah membawa kedua murid-muridnya pula.
Tiba-tiba di samping Ki Tambak Wedi telah digemparkan oleh sorak yang memekakkan telinga. Sejenak Ki Tambak Wedi berusaha untuk mengetahui apa yang telah terjadi. Tetapi demikian garangnya serangan cambuk lawannya sehingga ia tidak berhasil. Karena itu, sambil bertempur terus ia berteriak kepada seorang penghubungnya, “Lihat, apa yang telah terjadi.”
Orang itu pun segera menyusup di daerah pertempuran untuk melihat apakah yang telah terjadi di samping pusat pertempuran itu.
Sorak yang riuh itu adalah sorak para pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Mereka tidak dapat menahan perasaan mereka yang sedang meluap-luap.
Sementara itu, pertempuran masih tetap berlangsung dengan sengitnya. Sedang sorak-sorai para pengawal semakin lama menjadi semakin riuh.
Dengan jantung yang mengembang, para pengawal Tanah Perdikan Menoreh bersama-sama rakyat yang setia kepada pemimpinnya, bertempur semakin mantap. Dengan sepenuh harapan mereka menyaksikan bagaimana kedua anak-anak gembala itu berhasil menguasai lawannya, meskipun lawan itu bernama Ki Peda Sura.
Sebenarnyalah bahwa Ki Peda Sura berada dalam kesulitan. Setiap kali ia selalu terdesak. Betapa pun ia berusaha untuk bertahan, tetapi kedua lawannya yang masih muda itu terlampau cepat bergerak di arah yang berbeda-beda. Keduanya demikian baik menyusun serangan yang kadang-kadang dapat membingungkan orang tua yang sudah cukup banyak makan garam peperangan.
Ki Peda Sura adalah seorang yang hampir sepanjang hidupnya berada dalam pertempuran, peperangan, dan perkelahian. Kekerasan, kekasaran, dan kelicikan adalah kelengkapannya sehari-hari. Namun ketika ia harus melawan dua kakak-beradik seperguruan itu, terasa bahwa ia mengalami kesulitan.
Gupita dan Gupala yang telah menemukan kemenangan-kemenangan kecil, segera berusaha untuk memperbanyak kemenangan-kemenangannya. Mereka berusaha agar Ki Peda Sura tidak berhasil memperbaiki kedudukannya. Dengan demikian maka kedua ujung cambuk anak-anak muda itu tanpa henti-hentinya menyerang dari segala arah, sehingga kadang-kadang Ki Peda Sura tidak lagi berhasil menghindarinya.
Ketika terdengar keluhan Ki Peda Sura yang tertahan, serta seleret warna merah membekas di pipinya, maka Gupala telah mendesaknya semakin ketat. Sekali cambuknya berputar. Tetapi ia kali ini tidak menyerang dengan ujung cambuk kali itu. Kali ini ia berusaha membelit kaki lawannya, kemudian dengan suatu hentakan ia menariknya.
Serangan itu sama sekali tidak terduga-duga. Selagi Ki Peda Sura menghindari serangan Gupita, maka begitu kakinya menginjak tanah, kaki itu telah terbelit ujung cambuk Gupala. Dengan demikian maka Ki Peda Sura sama sekali tidak dapat menghindarinya lagi ketika sebelah kakinya terseret oleh ujung cambuk itu.
Sambil menggeletakkan giginya Ki Peda Sura berusaha menarik kakinya. Tetapi keseimbangannya sudah tidak begitu mantap lagi. Dengan demikian, maka Ki Peda Sura justru menjatuhkan dirinya, dan berguling beberapa kali. Sebuah tarikan yang mengejutkan hampir saja melepaskan pegangan Gupala pada pangkal cambuknya. Namun segera ia menyadarinya, sehingga dengan sekuat-kuat tenaganya ia menahan genggamannya.
Sejenak kemudian, belitan itu pun terlepas. Dengan sigapnya Ki Peda Sura meloncat berdiri sambil menggeram. Jantungnya serasa telah terbakar oleh kemarahannya yang meluap-luap. Sementara para pengawal yang menyaksikannya masih saja bersorak-sorak dengan riuhnya, karena serangan-serangan berikutnya yang dilancarkan oleh Gupita telah membuat Ki Peda Sura menjadi agak bingung.
Kesempatan yang demikian itu tidak disia-siakan oleh Gupala dan Gupita. Serangan mereka pun menjadi semakin cepat. Ujung cambuk Gupala berputaran menyambar-nyambar, sedang Gupita yang merendahkan diri pada lututnya, menyerang mendatar dengan dahsyatnya.
Ternyata bahwa gabungan kekuatan Gupita dan Gupala masih berada di atas kemampuan Ki Peda Sura yang bersenjata sepasang bindi. Semakin lama ujung cambuk itu semakin sering menyentuh tubuhnya, meskipun tidak berbahaya. Tetapi perasaan pedih telah mulai merayapi kulitnya ketika keringatnya menjadi semakin banyak mengalir.
Orang tua itu menggeretakkan giginya. Kini ia mencoba untuk berbuat lain. Ia melihat kelemahan pada anak muda yang gemuk itu. Ternyata ia tidak selincah Gupita. Karena itu, timbul niatnya untuk mengalahkan lawannya seorang demi seorang.
Dalam perkelahian berikutnya, tiba-tiba saja tanpa menghiraukan serangan-serangan cambuk Gupita, Ki Peda Sura langsung menerkam Gupala. Kedua bindinya berputaran melindungi dirinya.
Gupala terkejut menerima serangan yang tiba-tiba itu. Dengan tangkasnya ia mencoba menghindar ke samping.
Meskipun ia berhasil menghindari serangan yang pertama, namun Ki Peda Sura agaknya telah benar-benar menjadi wuru. Ia melenting pula seperti seekor bilalang, menyerang Gupala dengan segenap kemampuannya.
Tetapi Gupita tidak tinggal diam. Dengan, sigapnya ia melangkah maju, melecutkan cambuknya langsung mengarah kekening lawan. Namun Ki Peda Sura benar-benar tidak menghiraukannya lagi. Bahkan ia sama sekali tidak menghiraukan ketika ujung cambuk itu meledak di keningnya, dan menyobek kulitnya. Ia sama sekali tidak menghiraukan darah yang menetes dari lukanya. Tetapi, serangannya atas Gupala menjadi semakin dahsyat.
Gupala menjadi agak bingung mendapat serangan yang membabi buta itu. Yang dapat dilakukan adalah melindungi dirinya dengan putaran juntai cambuknya. Bahkan dengan ayunan bersilang, ia masih mencoba menyerang lawannya.
Ki Peda Sura menyeringai menahan sakit ketika juntai cambuk Gupala mengenai pundaknya. Tetapi ia sudah mengayunkan bindinya mengarah ke dahi Gupala yang berada dalam kesulitan. Gupala tidak dapat merundukkan kepalanya, kalau ia tidak ingin ubun-ubunnya yang pecah, sementara ia tidak sempat meloncat lagi karena hiruk-pikuknya pertempuran. Yang dapat dilakukannya adalah melawan ayunan bindi itu. Tetapi senjatanya adalah senjata lentur yang tidak akan mampu membentur langsung bindi lawan. Meskipun demikian, Gupala tidak berputus asa. Ia mencoba bergeser dan memiringkan tubuhnya, sementara dengan cambuknya berusaha membelit lengan lawannya untuk mencoba merubah arah ayunan bindinya.
Bersamaan dengan itu, Gupita yang melihat bahaya yang hampir menerkam Gupala itu pun segera bertindak cepat. Ujung cambuknya segera membelit pergelangan tangan Ki Peda Sura hampir bersamaan ujung cambuk Gupala sendiri yang membelit lengan. Hampir bersamaan pula keduanya menghentakkan ujung-ujung cambuk itu.
Tetapi ayunan tangan Ki Peda Sura yang dilambari oleh sepenuh kekuatan itu benar-benar mengerikan.
Kedua ujung cambuk itu tidak berhasil menahan ayunan tangan orang tua yang perkasa itu. Karena itu, bindi Ki Peda Sura dengan derasnya menukik turun.
Namun demikian usaha kedua anak-anak muda itu tidak sia-sia belaka. Hentakan ujung-ujung cambuk itu ternyata telah berhasil mempengaruhi arah ayunan bindi Ki Peda Sura. Karena itu maka bindi itu kemudian tidak lagi membentur dahi Gupala, tetapi bindi itu kemudian menyentuh pundak.
Terdengar anak muda yang gemuk itu berdesis pendek. Setapak ia melangkah surut. Terasa pundak kirinya menjadi sakit bukan buatan, dan bahkan seluruh tangannya hampir-hampir tidak lagi dapat digerakkan. Karena itu, maka sejenak kemudian ia menggeram. Matanya menjadi semerah darah yang memerahi kulitnya yang terkelupas
Dalam pada itu, Gupita sama sekali tidak membiarkan Ki Peda Sura mendapat kesempatan berikutnya. Dengan garangnya cambuknya pun kemudian terayun deras sekali mengarah keleher lawannya.
Ki Peda Sura yang sudah terluka di beberapa tempat itu menyadari bahaya yang dapat mencekiknya. Karena itu, maka ia telah mencoba bergeser, namun di luar dugaannya Gupala yang terluka pundaknya menyerangnya dengan dahsyatnya. Sebuah ayunan mendatar langsung mengenai lambungnya.
Sesaat Ki Peda Sura menyeringai menahan pedih. Pedih di lambungnya, di keningnya, di pundaknya dan di beberapa bagian lagi. Kakinya pun telah terkelupas pula pada saat cambuk Gupala membelitnya.
Namun serangan-serangan berikutnya datang beruntun seperti banjir bandang.
Sekali-sekali Ki Peda Sura berloncatan menghindar. Namun di suatu saat ia masih juga mencoba menyerang. Sepasang bindinya terayun-ayun mengerikan.
Tetapi ia menyadari, bahwa agaknya ia telah memeras tenaganya hampir melampaui kemampuan yang ada padanya. Sehingga karena itu maka nafasnya pun menjadi kian terengah-engah, dan bahkan seakan-akan ujungnya telah tersangkut di lubang hidung. Sedang kedua lawannya yang cukup terlatih itu masih berusaha menahan diri agar pada saatnya mereka dapat melakukan tekanan terakhir atas lawannya.
Ki Peda Sura menyadari kesalahannya. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain. Ia memang harus memeras tenaganya, karena ia menyadari bahaya yang dapat menyentuhnya. Ia mengharap bahwa dengan mencurahkan segenap kekuatan dan kemampuan ia akan segera mengakhiri perkelahian, setidak-tidaknya ia dapat mengurangi satu dari kedua lawannya. Tetapi rencana itu tidak dapat dilaksanakannya.
Gupita dan Gupala justru menjadi semakin garang. Serangan-serangan mereka menjadi kian cepat. Apalagi Gupala yang terluka pundaknya. Nafsunya serasa telah dibakar oleh titik darahnya yang merah. Tandangnya menjadi kian cepat dan bahkan kadang-kadang menjadi kasar.
Akhirnya, Ki Peda Sura tidak dapat mengelak lagi. Memang timbul niatnya untuk melarikan diri, tetapi kedua anak muda itu mengurungnya dengan ketat. Karena itu, maka tidak ada pilihan lain kecuali bertempur terus. Sedang anak buahnya masih juga sibuk melayani para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang semakin mendesak.
Namun terasa betapa tenaganya menjadi semakin lama semakin lemah. Kedua bindinya sudah tidak lagi sebuas semula. Ayunannya tidak lagi berdesing-desing seperti prahara.
Gupala yang sedang dibakar oleh kemarahannya itu mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Ketika Ki Peda Sura sedang sibuk melayani serangan Gupita, maka Gupala tidak dapat bersabar lagi. Tiba-tiba saja ia menggenggam cambuknya di tangan kirinya yang lemah karena luka di pundaknya. Selagi Ki Peda Sura kehilangan keseimbangan, maka anak yang wuru itu melompat yang memekik tinggi. Pedangnya terjulur lurus ke depan.
Sejenak kemudian terdengar Ki Peda Sura mengeluh tertahan. Terasa ia terdorong ke samping, kemudian perasaan sakit yang amat sangat telah menyengat lambungnya. Ia sadar, bahwa yang menyentuhnya kini bukanlah sekedar ujung cambuk yang meskipun berkarah rapat. Tetapi yang menghunjam di lambungnya kini adalah ujung pedang. Pedang Gupala.
Ki Peda Sura memandang wajah Gupala yang geram. Tetapi anak muda itu tidak segera mencabut pedangnya, justru dengan segenap kekuatannya ia menghentakkan tangannya, membenamkan pedang itu semakin dalam.
Ki Peda Sura menggeliat. Tetapi kemudian terhuyung-huyung sejenak.
Sorak-sorai para pengawal meledak seperti hendak meruntuhkan langit. Ujung-ujung senjata terangkat tinggi-tinggi, sementara yang lain masih sibuk berkelahi di garis batas benturan kedua pasukan itu.
Orang tua itu pun kemudian jatuh terjerembab. Ia masih sempat menatap wajah kedua anak-anak muda yang berdiri berdampingan. Tanpa sesadarnya Ki Peda Sura itu berdesis, “Kalian memang luar biasa. Kalian memang anak-anak muda yang tangguh.”
Ki Peda Sura tidak dapat melanjutkan kata-katanya. Sesaat ia masih memandangi wajah-wajah yang tegang di atasnya. Namun kemudian semuanya menjadi kabur.
Ki Peda Sura menghembuskan nafas yang penghabisan sebelum ia dapat merajai seluruh Tanah Perdikan. Sebelum ia berhasil memasuki rumah demi rumah dengan leluasa. Yang baru dapat dilakukan adalah merampas satu-dua rumah yang tidak mendapat perlindungan, di setiap kerusuhan. Tetapi belum begitu banyak, dan ia mati terjebak oleh nafsunya itu.
Sejenak Gupita dan Gupala saling berpandangan. Kini mereka telah kehilangan lawan. Sementara perang masih berkecamuk.
“Pundakku harus ditukar dengan seratus pundak,” geram Gupala.
“Kau sudah kejangkitan penyakit Wrahasta itu,” sahut Gupita.
Gupala tidak segera menjawab. Dipandanginya mayat Ki Peda Sura yang terbujur diam.
“Lalu apa kerja kita sekarang? Membunuh sebanyak-banyaknya?” bertanya Gupala.
Gupita merenung sejenak Namun kemudian ia menjawab, “Gupala, aku kira sekarang Guru sedang bertempur mati-matian melawan Ki Tambak Wedi. Kalau mereka dibiarkan berkelahi seorang melawan seorang, aku kira, sepuluh hari perkelahian yang demikian itu tidak akan dapat selesai.”
Gupala mengerutkan keningnya. Sejenak ia terdiam di dalam hiruk-pikuknya perkelahian yang masih berkecamuk di sekitarnya. Sejenak ia mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Jadi maksudmu, kita membantu Guru?” desis Gupala.
Gupita menganggukkan kepalanya, “Begitulah.”
Gupala menjadi ragu-ragu sejenak. Dilihat seorang lawan dengan sangat bernafsu menyerang seorang pengawal yang sedang dalam kesulitan. Tiba-tiba saja Gupala meloncat sambil menjulurkan pedangnya.
Ia tidak perlu mengulanginya. Orang yang tersentuh ujung pedangnya itu terpelanting jatuh di tanah. Mati.
Gupita menggeleng-gelengkan kepalanya. Tetapi ia tidak dapat menyalahkan adik seperguruannya. Kalau anak muda yang gemuk itu tidak bertindak cepat, maka seorang pengawal pasti telah terbunuh.
Gupala kemudian mengamat-amati pedangnya yang berlumuran darah. Disarungkannya pedangnya itu sambil berkata, “Mari, kita melihat bagaimana Guru berkelahi.”
Keduanya pun kemudian meninggalkan medan. Mereka tidak begitu cemas lagi akan nasib para pengawal, karena Ki Peda Sura sudah tidak ada lagi.
Namun demikian, Gupala masih juga menyeringai karena pundaknya yang pedih, sehingga tangan kirinya terasa seakan-akan menjadi lumpuh.
Kematian Ki Peda Sura segera sampai ke telinga Ki Tambak Wedi. Wajah orang tua itu sejenak menjadi tegang. Kematian Ki Peda Sura akan dapat berakibat dua kemungkinan. Anak buahnya menjadi ketakutan dan sedikit demi sedikit meninggalkan arena, yang pasti akan diikuti oleh orang-orang yang mereka bawa atau mereka akan menjadi gila dan mengamuk sejadi-jadinya.
Tetapi kemungkinan yang terakhir itu pun tidak akan banyak bermanfaat. Para pengawal Tanah Perdikan Menoreh pasti menjadi berbesar hati sepeninggal Ki Peda Sura, sehingga mereka akan menjadi bertambah berani.
Ki Tambak Wedi tidak dapat lagi menyembunyikan kegelisahannya. Orang-orang yang berhasil membunuh Ki Peda Sura itu sudah kehilangan lawan-lawannya. Lalu apakah yang akan mereka kerjakan?
Dugaan Ki Tambak Wedi sama sekali tidak meleset ketika tiba-tiba saja muncul dua orang anak-anak muda di arenanya. Kedua anak-anak muda yang juga bersenjata cambuk.
Dengan isyarat Ki Tambak Wedi kemudian memanggil orang-orangnya yang terpercaya. Mereka harus membantunya, apabila kedua anak-anak muda bercambuk itu akan berkelahi bersama dengan gurunya.
Sejenak Gupita dan Gupala memperhatikan pertempuran itu. Pertempuran antara dua orang yang berilmu jauh lebih tinggi dari ilmu mereka. Keduanya memiliki kemampuan, dan pengalaman yang seimbang, sehingga karena itu, maka pertempuran semakin lama menjadi kian seru. Tidak ada tanda-tanda bahwa salah seorang dari mereka akan terdesak, apalagi dikalahkan. Meskipun senjata Ki Tambak Wedi jauh lebih pendek dari juntai cambuk lawannya, namun kelincahannya telah banyak menolongnya membebaskannya dari ujung cambuk itu, sementara senjatanya yang berujung rangkap itu berputar mengerikan.
Gupita dan Gupala merasa, bahwa apabila mereka berdua harus melawan Ki Tambak Wedi seperti mereka melawasi Ki Peda Sura, mereka pasti akan mengalami banyak kesulitan. Tetapi di sini ada gurunya. Keseimbangan itu pasti akan segera bergeser, apabila keduanya ikut serta pula di dalam pertempuran itu.
Gupita dan Gupala masih tetap termangu-mangu di tempatnya. Mereka berusaha untuk mengerti, kesan gurunya tentang kehadirannya.
Ternyata gurunya pun tidak berkeberatan. Sesaat, pada waktu pandangan gurunya menyambar mata Gupita, orang tua itu menganggukkan kepalanya.
“Kita sudah mendapat ijin,” desis Gupita.
“Ya, aku juga melihat Guru mengangguk,” sahut Gupala.
Keduanya pun kemudian mendekat. Dengan cambuk di tangan, mereka siap untuk menerjunkan diri di dalam peperangan yang dahsyat itu.
Tetapi belum lagi mereka berhasil masuk ke dalam arena itu, tiba-tiba beberapa orang pengawal kepercayaan Ki Tambak Wedi telah menyergap mereka, setelah mereka menggeser lawan-lawan mereka. Dengan berbagai macam senjata mereka mencoba membatasi keduanya, agar mereka tidak dapat mempengaruhi perkelahian antara dua orang tua-tua itu.
Gupala yang memang sedang meluap karena pundaknya yang terluka, tidak dapat menahan diri lagi. Segera ia berloncatan sambil memutar cambuknya. Sejenak kemudian cambuk itu pun telah meledak-ledak di udara, kemudian menyambar satu dua orang yang berdiri di paling dekat.
Gupita pun tidak dapat tetap tinggal diam. Ia memang harus membuka jalan sebelum bersama adiknya ia akan ikut di dalam pertempuran melawan Ki Tambak Wedi.
Sementara itu di bagian lain dari pertempuran, masih saja berlangsung dengan sengitnya. Ternyata kelompok-kelompok kecil masih saja mengalir dari padukuhan induk. Empat orang, lima orang bahkan kadang-kadang delapan orang sekaligus. Dengan tergesa-gesa mereka segera menggabungkan diri dalam riuhnya peperangan.
Meskipun demikian, ternyata jumlah yang kecil itu semakin lama menjadi jumlah yang semakin besar, sehingga akhirnya terasa juga pengaruhnya. Sidanti dan Argajaya agaknya berhasil memikat orang-orang di berbagai padukuhan di sekitar padukuhan induk, dan bahkan di padukuhan-padukuhan terpencil di lereng-lereng bukit, selain orang-orang yang tidak dikenal di tlatah Menoreh.
Dengan demikian terasa, bahwa kekuatan pasukan Ki Tambak Wedi yang bertambah-tambah itu menjadi semakin kuat, sedang jumlah para pengawal menjadi kian susut karena korban yang berjatuhan di peperangan.
Sidanti yang bertempur melawan Ki Hanggapati, mencoba mengerahkan segenap kemampuannya. Kemarahan dan nafsu yang menyala di dadanya seakan-akan telah menambah kemampuannya, sehingga Ki Hanggapati terpaksa beberapa kali melangkah surut.
Serangan-serangan Sidanti bagaikan badai yang tiada taranya menghantam bibir hutan yang lebat.
Namun Hanggapati bukan pula anak ingusan di peperangan. Itulah sebabnya maka ia masih tetap bertahan meskipun ia kadang-kadang harus menghindar dan menghindar.
Di sayap yang lain, Dipasanga harus mengerahkan segenap kemampuannya pula. Adik Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang telah terlanjur memusuhi kakaknya itu, sama sekali tidak lagi dapat melangkah surut. Karena itu, tidak ada jalan lain baginya, kecuali meneruskan peperangan ini.
Sementara itu, Gupita dan Gupala perlahan-lahan berhasil menguasai lawan-lawannya. Satu demi satu mereka terlempar dari lingkaran. Sehingga akhirnya Gupita dan Gupala berhasil mendekati arena pertempuran gurunya.
Sejenak mereka tertegun. Mereka masih harus berusaha menyesuaikau diri. Di mana mereka hadir, dan bagaimana sebaiknya mereka mempengaruhi peperangan itu.
Gupala mengerutkan keningnya sambil mengangguk-anggukkan. Melawan Ki Tambak Wedi baginya lebih baik mempergunakan senjata panjang, meskipun lentur. Adalah sangat berbahaya apabila ia mempergunakan pedangnya.
Perlahan-lahan keduanya menjadi semakin dekat. Kemudian mereka berpencar, mengambil arah masing-masing. Sedang cambuk mereka telah tergenggam erat-erat. Sekali-sekali mereka terpaksa menjauh, dan bahkan sekali-sekali mereka masih juga harus melayani para pengawal Ki Tambak Wedi. Namun kemudian para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang lain telah berhasil menempatkan diri mereka melawan orang-orang Ki Tambak Wedi untuk memberi kesempatan kepada Gupita dan Gupala membantu ayahnya melawan Ki Tambak Wedi.
Melihat gelagat yang tidak menguntungkan itu, Ki Tambak Wedi menjadi semakin marah. Tetapi sepercik kecemasan memang telah meraba hatinya. Betapa pun tidak berarti, tetapi kedua anak-anak muda itu pasti akan dapat mempengaruhi keseimbangan peperangan.
“Keduamya pula yang telah membunuh Ki Peda Sura,” geram Ki Tambak Wedi di dalam hatinya. Namun yang terlontar dari mulutnya adalah sebuah teriakan nyaring, “Ayo, majulah bersama-sama, supaya pekerjaanku segera selesai.”
Gembala tua itu tidak menjawab. Dipandanginya kedua murid-muridnya sejenak. Setelah mereka mendapat tempatnya masing-masing, maka gembala tua itu pun segera mendesak lawannya.
Ki Tambak Wedi kini harus berpikir sebaik-baiknya. Bagaimana ia harus melawan ketiga orang yang bersenjata cambuk itu. Lawan yang sama sekali tidak diperhitungkannya, namun yang agaknya justru ikut menentukan akhir dari peperangan ini.
Sejenak kemudian maka Ki Tambak Wedi harus mengumpat-umpat di dalam hati. Tiga ujung cambuk meledak-ledak di sekitarnya. Beruntun tanpa kendat. Yang satu disahut yang lain, kemudian yang lain lagi meledak pula di sebelah telinganya.
“Gila, gila!” Ki Tambak Wedi tiba-tiba berteriak. Suara cambuk yang memekakkan telinga itu sungguh-sungguh memuakkan.
Namun demikian Ki Tambak Wedi berusaha untuk mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya. Tetapi untuk melawan ketiganya, Ki Tambak Wedi akan segera mengalami kesulitan, karena satu dari yang tiga itu, memiliki kemampuan yang seimbang dengan kemampuannya sendiri.
Namun yang paling membakar jantungnya adalah ledakan-ledakan cambuk yang seakan-akan berputaran di telinganya. Ledakan-ledakan yang kadang-kadang membingungkannya.
“Setan alas!” ia mengumpat. Dicobanya untuk menilai kekuatan kedua anak-anak muda itu, “Aku harus menerkam mereka satu demi satu, sehingga kemudian aku tidak akan terganggu lagi oleh suara-suara bising yang memuakkan.”
Ki Tambak Wedi menegangkan keningnya. Kini arah serangannya justru dipusatkan kepada kedua anak-anak muda itu. Tetapi sudah tentu bahwa gurunya tidak akan membiarkannya. Setiap kali Ki Tambak Wedi melakukan tekanan, maka setiap kali gembala tua itu pun telah mendesaknya pula.
Iblis tua dari lereng Gunung Merapi itu mengumpat-umpat tidak habis-habisnya. Bagaimana pun juga, kehadiran kedua anak-anak muda itu telah berpengaruh atas perkelahian antara kedua orang-orang tua yang pilih tanding itu.
Sementara itu, Ki Argapati mengikuti pertempuran itu dari jarak yang tidak terlampau jauh. Dengan tegang ia menyaksikan garis peperangan yang tidak rata, kadang-kadang ia melihat gelombang-gelombang pasang dan surut dari keduanya. Sekali-sekali pasukannya di satu sayap terdesak, tetapi di sayap lain maju beberapa langkah, dan kemudian terjadi sebaliknya. Namun dengan cemas ia menyaksikan pula kelompok-kelompok kecil yang masih saja mengalir, meskipun peperangan sudah berlangsung sekian lamanya, bahkan menurut perhitungannya, sebentar lagi matahari pasti akan segera menyingsing di ujung Timur.
Setiap kali Ki Argapati menghentakkan tangannya. Ia tidak dapat melihat seorang demi seorang. Yang diketahuinya hanyalah sebuah deretan hitam yang bergerak-gerak dan sorak-sorai yang memekakkan telinga.
Namun demikian seorang penghubung telah memberitahukan kepadanya, bahwa Ki Peda Sura telah terbunuh di peperangan oleh kedua gembala-gembala muda yang bernama Gupita dan Gupala.
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia berbangga atas kemenangan kecil itu, seperti juga Pandan Wangi menjadi berdebar-debar mendengarnya. Bukan kematian Ki Peda Sura yang membuat jantungnya semakin cepat berdetak, tetapi kedua pembunuhnya.
Tetapi dalam pada itu, Ki Argapati sama sekali tidak menduga, bahwa timbul suatu niat yang licik di hati Ki Tambak Wedi. Karena ia merasa tidak akan dapat memenangkan pertempuran melawan ketiga guru dan murid itu, maka kini ia mencoba memperhitungkan kemungkinan yang lain.
“Sebaiknya aku menyerang Argapati dengan tiba-tiba, selagi ia tidak berdaya. Aku yakin bahwa yang di belakang garis perang itu adalah Argapati yang terluka parah. Kematiannya akan sangat berpengaruh, meskipun kemudian aku harus berlari-lari menghindari ketiga demit-demit kecil ini,” berkata Ki Tambak Wedi di dalam hatinya.
Demikianlah maka kini perhatian Ki Tambak Wedi sebagian terbesar justru tertuju kepada seseorang yang berada di belakang garis perang dan dikawal oleh beberapa orang termasuk Pandan Wangi. Namun meskipun demikian Ki Tambak Wedi tidak berani melengahkan lawan-lawannya yang bersenjata cambuk itu.
“Aku akan mencari kesempatan itu,” desisnya di dalam dadanya. “Aku harus mencapai kuda itu secepat-cepatnya. Kemudian meloncat dan sekaligus membunuhnya,” Ki Tambak Wedi mulai berangan-angan.
Namun tiba-tiba karena itu ia terlonjak ketika ujung cambuk gembala tua menyentuh punggungnya.
Terdengar giginya gemeretak menahan marah. Sentuhan yang pedih itu telah mendorongnya untuk lebih cepat bertindak. Membunuh Ki Argapati yang pasti tidak akan menyangka, mendapat serangan yang tiba-tiba.
Kini Ki Tambak Wedi hanya sekedar menunggu kesempatan. Ia tidak lagi bernafsu untuk menerkam gembala-gembala muda itu, atau bahkan gurunya sama sekali. Kini ia sedang mencari akal, bagaimana ia dapat melepaskan diri dari pertempuran itu dengan tiba-tiba, dan dalam waktu yang singkat, sebelum orang-orang yang mengejarnya kemudian dapat menyusulnya, ia sudah berhasil membunuh Argapati. Setelah itu, ia harus berusaha melarikan dirinya dan kembali ke tengah-engah medan ini sambil meneriakkan kematian Argapati.
“Kematiannya akan merontokkan setiap jantung di dada orang-orang Menoreh,” katanya di dalam hati, “dan pertempuran ini pun akan segera berakhir. Mereka pasti tidak akan mempunyai nafsu lagi untuk bertempur. Betapa saktinya orang-orang bercambuk itu, namun melawan sekian banyak orang, mereka pasti tidak akan berdaya.”
Maka Ki Tambak Wedi pun kemudian mengambil keputusan untuk segera melakukannya. Ketika ia mendapat kesempatan, maka tiba-tiba serangannya datang membadai. Begitu dahsyatnya dan seakan-akan menghentak dengan tiba-tiba, sehingga gembala tua itu terpaksa mundur beberapa langkah untuk menghindarinya.
Tetapi yang terjadi kemudian sangat mengejutkannya. Ki Tambak Wedi sama sekali tidak memburunya. Bahkan dengan tanpa disangka-sangka ia meloncat berlari meninggalkan arena, menerobos hiruk-pikuknya peperangan.
Gembala tua dan kedua muridnya untuk sejenak justru mematung, seakan-akan terpukau oleh peristiwa yang tidak terduga-duga itu. Namun sekejap kemudian, gembala tua itu menyadari apa yang akan dilakukan oleh Ki Tambak Wedi. Karena itu, maka ia pun segera meloncat pula mengejarnya.
Tetapi Ki Tambak Wedi mendapat kesempatan beberapa saat di muka. Dengan garangnya ia mengayunkan senjatanya untuk merambas jalan. Tidak seorang pun yang dapat menahan langkahnya, sehingga akhirnya ia berhasil muncul di belakang garis perang para pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
Gembala tua beserta kedua anaknya pun mencoba berlari menyusulnya. Mereka kini menyadari sepenuhnya, apa yang akan dilakukan oleh Ki Tambak Wedi.
Tetapi langkah Ki Tambak Wedi yang sedang dilanda oleh nafsunya untuk membinasakan Argapati itu seakan-akan menjadi semakin cepat. Kakinya seolah-olah tidak lagi berjejak di atas tanah.
Ki Argapati melihat juga seseorang berlari dari peperangan menuju ke arahnya. Tetapi ia tidak segera mengenal siapakah orang itu. Karena itu maka ia bertanya kepada Pandan Wangi, “Siapakah orang itu Pandan Wangi?”
Pandan Wangi menggelengkan kepalanya. “Entahlah, Ayah.”
“Apakah ada sesuatu yang penting sekali sehingga ia terpaksa berlari-lari demikian cepatnya?”
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Tiba-tiba saja ia mendapat firasat, bahwa orang yang berlari-lari itu bukanlah orang Menoreh.
“Aku mencurigainya, Ayah,” desis Pandan Wangi.
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya. Aku juga tidak dapat mengerti sikapnya.”
Kedua ayah beranak itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan tiba-tiba saja pedang Pandan Wangi telah bergetar di tangannya. Perlahan-lahan ia melangkah maju sambil berkata kepada para pengawal yang lain, “Berhati-hatilah.”
Apalagi ketika kemudian mereka melihat orang-orang lain berlari-lari pula di belakang orang itu. Tiga orang.
Tetapi langkah Ki Tambak Wedi terlampau cepat untuk dapat disusul oleh gembala tua bersama kedua anaknya. Meskipun mereka telah mengerahkan semua tenaga, tetapi jarak antara mereka itu tidak menjadi semakin pendek.
Karena itu, maka untuk menghindarkan bencana yang bakal datang, maka gembala tua itu pun berteriak, “Hati-hatilah, hati-hatilah dengan Ki Tambak Wedi yang menjadi gila.”
“Ki Tambak Wedi,” desis Ki Argapati dan Pandan Wangi hampir bersamaan.
Dengan demikian, maka dada gadis itu pun bergetar dengan dahsyat. Dan tiba-tiba saja ia maju semakin jauh dari ayahnya sambil menggeram, “Biarlah aku yang menyongsongnya.”
“Pandan Wangi,” panggil ayahnya, “jangan kau. Kemarilah.”
Tetapi Pandan Wangi seakan-akan tidak mau mendengar panggilan ayahnya. Ia harus menahan orang tua yang mengerikan itu agar tidak berhasil mendekati ayahnya.
Beberapa orang pengawal yang lain mengikutinya sambil menggenggam senjata mereka erat-erat.
Tetapi ternyata Pandan Wangi telah berbuat kesalahan seperti yang diperhitungkan oleh Ki Argapati. Beberapa kali ia masih berusaha memanggil puterinya.
“Pandan Wangi. Pandan Wangi. Jangan kehilangan akal. Kembalilah kemari.”
Tetapi Pandan Wangi yang hanya memikirkan nasib ayahnya itu, tidak menghentikan langkanya, apalagi kembali seperti yang diperintahkan ayahnya itu, meskipun ia masih mendengar ayahnya memanggil-manggilnya, sementara Ki Tambak Wedi semakin lama menjadi semakin dekat.
Semua orang memandang gadis itu dengan mata yang tidak berkedip. Apalagi Ki Argapati sendiri. Bahkan serasa ia telah melepaskan anaknya itu untuk tidak kembali lagi kepadanya.
Argapati yang sangat mencintai anaknya itu pun tiba-tiba telah lupa diri. Lukanya serasa tiba-tiba saja telah sembuh, dan sama sekali tidak mengganggunya. Itulah sebabnya, maka dihentakkannya kudanya, sehingga kuda itu terloncat maju, menyusul Pandan Wangi.
Sebagian para pengawal yang tidak mengikuti Pandan Wangi menjadi terkejut karenanya. Tetapi mereka tidak dapat terbuat apa-apa. Kuda Ki Argapati itu tiba-tiba saja telah berlari maju. Yang dapat mereka lakukan, adalah menyusul kuda itu. Terloncat-loncat mereka berlari sekuat-kuat tenaga mereka.
Tetapi Ki Tambak Wedi sudah begitu dekat dengan Pandan Wangi. Ki Argapati hampir kehilangan akal ketika ia melihat Pandan Wangi meloncat menghalang langkah Ki Tambak Wedi sambil menyilangkan sepasang pedangnya di muka dada.
Bukan saja Ki Argapati, tetapi Ki Tambak Wedi pun sama sekali tidak akan menduga, bahwa gadis itu seakan-akan menjadi kehilangan akal dan berbuat karena putus asa.
“Pergi, pergi kau,” teriak Ki Tambak Wedi.
Tetapi Pandan Wangi sama sekali tidak beranjak dari tempatnya. Bahkan pedangnya itu pun kemudian bergetar siap untuk menyerang Ki Tambak Wedi.
“Kubunuh kau,” teriak Ki Tambak Wedi.
Pandan Wangi sama sekali tidak menghiraukannya
Tetapi Ki Tambak Wedi memang tidak dapat membuat pertimbangan-pertimbangan lain. Ia sadar bahwa di belakangnya guru dan dua orang muridnya yang bersenjata cambuk itu sedang mengejarnya.
Karena itu, maka ketika Pandan Wangi tidak juga mau menepi, Ki Tambak Wedi meloncat sambil menggeram. Senjatanya berputar dengan dahsyatnya.
Sejenak kemudian terjadilah sebuah benturan yang dahsyat. Kedua belah pedang Pandan Wangi telah membentur putaran senjata Ki Tambak Wedi. Begitu kerasnya, sehingga Pandan Wangi sama sekali tidak mampu mempertahankannya. Kedua pedangnya itu terlempar beberapa langkah daripadanya.
Kini terbuka kesempatan bagi Ki Tambak Wedi untuk menusuk dada gadis yang sama sekali sudah tidak berdaya itu. Meskipun tatapan matanya sama sekali tidak tergeser. Dengan tabah Pandan Wangi yang segera dapat menguasai keseimbangannya kembali itu, berdiri tegak di tempatnya sambil menengadahkan dadanya.
Namun dalam saat yang sekejap itu, terbayang di rongga mata iblis tua itu seorang perempuan yang menatapnya dengan tajam sambil menengadahkan dadanya dan berkata, “Di sini, di sini kau menusukkan senjatamu. Ayo, siapakah di antara kalian yang jantan, Paguhan atau Arya Teja.”
Bayangan itu telah menghambat tangan Ki Tambak Wedi. Wajah Pandan Wangi memang hampir tidak ubahnya wajah ibunya, Rara Wulan.
Tetapi Ki Tambak Wedi tidak dapat menghentikan loncatannnya yang tergesa-gesa. Ia diburu oleh waktu dan oleh ketiga orang bercambuk itu.
Karena itu, maka Ki Tambak Wedi kemudian menjulurkan tangan kirinya dan mendorong Pandan Wangi ke samping sementara ia berlari terus menyongsong kuda Ki Argapati yang sudah menjadi begitu dekatnya.
Dorongan itu telah melemparkan Pandan Wangi beberapa langkah, kemudian jatuh terbanting di tanah. Terasa tulang-tulangnya seakan-akan berpatahan sehingga sejenak matanya serasa menjadi gelap dan berputaran. Hanya karena tekadnya yang luar biasa ia berhasil mengangkat kepalanya untuk menyaksikan apa yang akan dilakukan oleh Ki Tambak Wedi atas ayahnya.
Adalah di luar dugaan Ki Tambak Wedi, bahwa Ki Argapati yang takut kehilangan anaknya itu telah melupakan semua rasa sakitnya sendiri. Luka-lukanya dan bahkan pembalut-pembalutnya sama sekali tidak dapat menahannya. Apalagi ketika ia melihat Pandan Wangi terlempar kemudian terbanting jatuh. Ia tidak tahu akibat apa yang akan menerkam Pandan Wangi. Mungkin gadis itu akan mati atau cacat atau apa pun. Karena itu maka kemarahannya sama sekali tidak tertahankan lagi.
Sejenak kemudian maka kedua orang yang selama bertahun-tahun telah merendam dendam dan permusuhan di dalam dada masing-masing itu kini telah bertemu lagi.
Ki Tambak Wedi tidak mau membuang waktu terlampau banyak. Dengan garangnya ia langsung menerkam Ki Argapati yang duduk di atas punggung kudanya. Ia sama sekali tidak memperhitungkan kemungkinan bahwa Ki Argapati telah siap dengan tombak pendeknya, menyongsong serangannya yang dahsyat itu.
Menurut perhitungan Ki Tambak Wedi, Argapati sama sekali tidak akan berdaya melawan atau menangkis serangannya. Kalau ia masih mampu berbuat demikian, menilik watak dan tanggung jawabnya, ia tidak akan berada di belakang garis peperangan.
Ternyata perhitungan Ki Tambak Wedi keliru untuk kesekian kalinya, seperti kekeliruannya memperhitungkan kekuatan pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
Tetapi ternyata bahwa Ki Argapati itu kini mampu mengatasi segala perasaan sakit dan gangguan-gangguan yang ada di dalam dirinya, justru karena Pandan Wangi, satu-satunya anaknya yang diharapkannya akan dapat melanjutkan tidak saja jabatannya tetapi juga garis keturunan Menoreh, garis keturunan Argapati.
Dalam pada itu, maka benturan dari kedua orang yang pilih tanding itu tidak dapat dihindarkan lagi. Kedua-duanya memang tidak berusaha untuk menghindari sama sekali. Ki Tambak Wedi yang diburu oleh waktu itu langsung meloncat menerkam orang yang berada di atas punggung kuda yang berlari ke arahnya. Senjatanya yang mengerikan itu sudah terangkat tinggi-tinggi. Terdengar orang tua dari Tambak Wedi itu berteriak nyaring, dan sejenak kemudian terjadilah benturan yang dahsyat itu.
Beruntunglah bahwa senjata Ki Argapati agak lebih panjang dari senjata lawannya, sehingga ia berhasil mengungkit ujung senjata Ki Tambak Wedi yang mengerikan itu, kemudian dengan menumpahkan segenap kemampuan yang ada padanya memutar mata tombaknya langsung menusuk tubuh yang dengan dahsyatnya telah menimpanya.
Ki Tambak Wedi benar-benar tidak menyangka bahwa Ki Argapati masih mampu berbuat demikian. Ketika ujung senjatanya terungkit, dadanya berdesir tajam, Tetapi ia sudah tidak sempat memperbaiki keadaannya, Yang dapat dilakukan kemudian adalah memutar senjata itu. Dengan ujung yang lain ia masih berusaha untuk menyerang Ki Argapati.
Tetapi Ki Tambak Wedi menahan sengatan di dadanya. Oleh dorongan kekuatannya sendiri, maka ujung tombak Ki Argapati membenam di dadanya. Namun sementara itu, ujung senjatanya berhasil mengenai pundak lawannya.
Sejenak kemudian keduanya terlempar dari punggung kuda oleh dorongan loncatan Ki Tambak Wedi. Demikian kerasnya sehingga mereka terpelanting dan terguling beberapa kali.
Beberapa langkah dari mereka, Pandan Wangi berusaha untuk bangkit. Tertatih-tatih ia berdiri, namun kemudian terdengar ia menjerit nyaring. Ayahnya terbaring darinya tiga empat langkah dari Ki Tambak Wedi yang tergolek pula di tanah.
Ketika Pandan Wangi kemudian tersuruk-suruk berlari ke ayahnya, maka pada saat yang bersamaan gembala tua beserta kedua anaknya telah berdiri pula di sampingnya.
Sejenak mereka menatap kedua orang itu berganti-ganti. Mereka melihat Ki Tambak Wedi menggeliat sambil memegangi tangkai tumbak Ki Argapati yang masih menancap di dadanya.
“Gila!” terdengar suaranya parau. “Gila kau Arya Teja.” Dan ketika ia melihat Pandan Wangi tiba-tiba suaranya meninggi, “Wulan, Wulan, kemarilah Wulan.”
Tidak seorang pun yang menyahut.
“Wulan. Wulan,” Ki Tambak Wedi berusaha untuk bergeser. Dengan tangan yang gemetar seakan-akan ia ingin meraih Pandan Wangi yang berjongkok di samping ayahnya.
“Wulan, apakah kau tidak mendengar?” suara Ki Tambak Wedi menjadi parau dan lambat. “Anakmu, anakmu itu.” Suaranya seolah-olah tertelan, “Anakmu laki-laki itu kini menjadi burung rajawali yang perkasa. Anak itu tidak akan mendapat perlindungan dari Arya Teja. Akulah yang harus berbuat sesuatu untuknya, karena anak itu adalah anakku.”
“O,” Pandan Wangi menutup wajahnya dengan kedua belah telapak tangannya. Sementara gembala tua beserta kedua muridnya saling berpandangan sesaat.
Bulu-bulu mereka meremang ketika mereka mendengar Ki Tambak Wedi itu tertawa. Dan suara tertawanya seakan-akan bergulung-gulung di dalam perutnya, seperti suara iblis diliang pekuburan, “Wulan, anakku dan anakmu itulah yang akan melepaskan dendamku. Ialah yang akan membunuh Arya Teja.”
Pandan Wangi yang menjadi semakin ngeri membenamkan kepalanya semakin dalam di antara kedua belah tangannya. Hampir saja ia melonjak dan berlari ketika ia melihat dari sela-sela jari-jarinya, Ki Tambak Wedi merangkak mendekatinya.
Tetapi tenaga orang tua itu sama sekali sudah tidak mampu membawanya maju. Sejenak kemudian ia jatuh terjerembab. Sekali lagi ia berusaha mengangkat wajahnya memandang Pandan Wangi. Terdengar suaranya terlampau lemah, “Sidanti.”
Suara itu lepas dari tenggorokannya bersama tarikan nafasnya yang terakhir. Ki Tambak Wedi, iblis yang selama ini menghantui Tanah Perdikan Menoreh, tiba-tiba terkulai di tanah, mati. Darahnya telah menyiram Tanah yang hampir saja ditelannya.
Gembala tua bersama kedua muridnya menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan mereka berjongkok di sampingnya, menarik tombak Ki Argapati dan menyilangkan tangannya di dadanya. Sedang senjatanya masih tetap berada di dalam genggamannya
Ketiganya tersadar ketika mereka mendengar isak Pandan Wangi yaug merenungi Ki Argapati yang masih terbaring diam. Agaknya Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu pun mengalami cidera pada tubuhnya.
Dengan hati-hati gembala tua itu pun kemudian mengamatinya dengan seksama. Ternyata selain lukanya yang lama yang telah mengalirkan darah kembali, di pundaknya terdapat sebuah luka yang baru. Sehingga karena itulah, maka Ki Argapati telah terpelanting dan menjadi pingsan setelah memaksa dirinya mengerahkan segenap sisa-sisa kemampuannya.
“Bagaimana Kiai?” terdengar suara Pandan Wangi di sela-sela tangisnya yang ditahankannya sekuat-kuat tenaganya, justru karena ia menyadari bahwa kini ia berada di peperangan.
Gembala tua itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak sampai hati untuk mengatakan, bahwa luka Ki Argapati justru menjadi semakin parah. Selain luka-lukanya yang lama, maka luka di pundaknya itu pun cukup dalam dan berbahaya.
“Aku akan mencoba menolongnya untuk sementara,” desis gembala tua itu sambil mengeluarkan sebuah bumbung dari kantong ikat pinggangnya. Dari dalam bumbung itu diambilnya serbuk yang halus, yang kemudian ditaburkannya di atas luka-luka Ki Argapati.
“Aku mencoba memampatkan darahnya. Setelah perang ini nanti berakhir, aku akan mencoba mengobatinya lebih saksama lagi,” desis gembala tua itu.
“Tetapi, tetapi, apakah luka ayah berbahaya?” Pandan Wangi menjadi semakin cemas.
Gembala tua itu menjadi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia menjawab, “Kita harus mencoba. Tetapi kita pun harus berdoa kepada Sumber dari semua kehidupan.”
Jawaban itu serasa menghentakkan dada Pandan Wangi. Hampir saja ia tidak dapat menahan dirinya, dan berteriak keras-keras untuk melepaskan pepat di dadanya.
“Tetapi kita tidak boleh berputus asa,” berkata gembala tua itu, “dan demikian pulalah hendaknya dengan Ki Argapati ini. Aku masih berpengharapan, bahwa ia akan tertolong.”
Dengan sekuat tenaga Pandan Wangi berusaha menahan diri agar ia tidak menjerit dan menelungkup memekik ayahnya yang terbaring diam itu. Namun dengan demikian terasa dadanya seakan-akan menjadi retak di dalam.
Sejenak kemudian gembala tua itu berkata, “Marilah. Kita baringkan Ki Argapati di tempat yang mapan, aku mengharap bahwa peperangan akan dapat segera selesai. Pasukan lawan telah kehilangan dua orang senapati mereka yang tertinggi, Ki Peda Sura dan kini Ki Tambak Wedi. Kalau kita segera dapat mengakhiri peperangan, maka kita akan segera membawa Ki Argapati. ke Padukuhan induk dan membawanya memasuki rumahnya yang sudah beberapa lama ditinggalkannya.”
Pandan Wangi tidak menjawab. Hanya kepalanya saja yang terangguk kecil.
Sementara beberapa orang berusaha mengangkat Ki Argapati menepi, maka Gupala dengan hormatnya menganggukkan kepalanya di hadapan Pandan Wangi sambil berkata, “Ini pedangmu.”
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Ditatapnya anak muda yang gemuk itu sejenak. Namun kemudian diterimanya sepasang pedangnya dengan wajah yang tunduk.
Terasa tangan gadis itu bergetar ketika ia menerima pedang itu. Sedang Gupala sekali lagi menunduk sambil melangkah surut.
“Tungguilah ayahmu Pandan Wangi,” desis gembala tua itu. “Aku dan kedua anak-anakku akan melanjutkan pcrtempuran. Kita bersama-sama mengharap agar pertempuran ini segera dapat diakhiri. Meskipun lawan telah kehilangan, senapati-senapatinya, tetapi agaknya jumlah mereka agak lebih banyak dari pasukan Menoreh, sehingga dengan demikian kita memerlukan pengerahan semua tenaga yang ada.”
Sekali lagi Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Jagalah ayahmu baik-baik.”
Pandan Wangi masih tetap diam. Tetapi sekali lagi kepalanya terangguk-angguk.
Gembala tua bersama kedua anak-anaknya itu pun kemudian melangkah meninggalkan Ki Argapati yang masih terbaring diam, ditunggui oleh puterinya dan beberapa orang pengawal yang terpercaya.
Namun langkah mereka segera terhenti ketika mereka melihat seseorang yang dipapah oleh dua orang dan dikawal oleh dua orang lainnya mendekati mereka.
“Siapa yang terluka?” desis gembala tua itu.
Tetapi kedua murid-muridnya tidak menjawab. Mereka menunggu dengan berdebar-debar rombongan kecil itu mendekat.
“Siapa?” bertanya Gupala tidak sabar.
Mereka yang memapah orang yang terluka itu tidak segera menjawab. Tetapi mereka berjalan semakin dekat, sehingga akhirnya mereka dapat mengenal orang yang sedang dipapah oleh kawan-kawannya itu.
“Wrahasta,” desis Gupita.
Dengan tergesa-gesa gembala tua itu mendekatinya.
“Baringkan ia di sini, di atas jerami ini,” desisnya.
Maka Wrahasta yang terluka itu pun kemudian perlahan-lahan dan berhati-hati dibaringkan di atas setumpuk jerami.
Sementara itu gembala tua itu pun segera berjongkok di sampingnya dan memeriksa luka-lukanya.
Tanpa sesadarnya ia menarik nafas dalam-dalam. Namun tidak terucapkan kata-kata di dalam hatinya, “Lukanya terlampau parah.”
Meskipun demikian masih terdengar Wrahasta itu berdesis, “Aku telah menunaikan kuwajibanku.”
“Ya, ya, Ngger. Kau sudah menunaikan kewajibanmu dengan baik.”
“Ya,” ia melanjutkan dengan suara patah-patah, “sejak aku masih kanak-kanak aku bercita-cita untuk mengabdikan diriku kepada Tanah ini.”
“Ya, Ngger.”
Nafas Wrahasta semakin berkejaran di rongga dadanya. Dan tiba-tiba saja ia membuka matanya, “Siapa kau?”
“Aku, Ngger, gembala tua.”
“O, kau dukun yang pandai mengobati itu?”
“Begitulah, Ngger, dan aku akan mencoba mengobati luka-lukamu.”
Perlahan-lahan Wrahasta mencoba mengangkat kepalanya. Tetapi kepala itu terkulai lagi dengan lemahnya.
“Jangan bergerak,” berkata gembala itu, “darahmu akan semakin banyak mengalir.”
Wrahasta terdiam. Dibiarkannya gembala tua itu menaburkan serbuk obat di atas luka-lukanya. Tetapi gembala tua itu sendiri menjadi semakin cemas. Darah Wrahasta terlampau banyak mengalir dari luka di dadanya, di lambungnya dan di bahu kanannya, selain luka di pahanya.
Semua orang yang berjongkok mengelilinginya berpaling ketika mereka mendengar desah lembut, “Wrahasta, kaukah itu?”
Wrahasta membuka matanya. Dilihatnya sebuah bayangan yang kabur berjongkok di antara bayangan-bayangan hitam yang tidak dapat dilihatnya lagi dengan jelas. Meskipun demikian telinganya masih dapat menangkap suara itu, suara Pandan Wangi.
“Wangi,” suara Wrahasta kian lambat. Di luar dugaan semua orang yang mengitarinya Wrahasta berkata lambat sekali, “kau belum menjawab pertanyaanku.”
Terasa dada Pandan Wangi bergetar dahsyat sekali. Ia tidak menyangka sama sekali, bahwa dalam keadaan seperti itu, Wrahasta masih berusaha bertanya kepadanya tentang persoalan pribadi mereka.
“Pandan Wangi,” suara Wrahasta terputus, “aku ingin mendengar. Bukankah aku telah mengabdikan diriku hampir sepanjang umurku? Jawablah Wangi.”
Air mata Pandan Wangi yang memang belum kering, kini menitik semakin deras. Pergolakan yang dahsyat telah membentur dinding jantungnya. Namun ketika ia melihat keadaan Wrahasta, ia tidak sampai hati untuk menyakiti hatinya, selagi tubuhnya pasti sedang sakit tiada taranya.
Dan tiba-tiba kepala gadis itu terangguk kecil. Terdengar jawabnya ragu-ragu, “Baiklah, Wrahasta. Aku menerimamu.”
“Wangi,” tiba-tiba saja Wrahasta berusaha bangkit. Tetapi ia sama sekali sudah tidak mampu. Meskipun demikian tampak bibirnya tersenyum. Senyum untuk yang terakhir kalinya. Karena sesaat kemudian anak muda yang bertubuh raksasa itu telah menarik nafasnya yang penghabisan.
Pandan Wangi yang berjongkok di sampingnya menjadi semakin tunduk. Namun sesaat kemudian ia pun berdiri dan berjalan perlahan-lahan meninggalkan anak muda bertubuh raksasa yang sudah terbaring diam itu.
Dengan kepala yang masih menunduk dalam-dalam Pandan Wangi berjalan mendekati ayahnya yang masih juga terbaring diam.
Ketika ia kemudian berjongkok lagi di antara para pengawal ayahnya, maka ia sudah tidak dapat bertahan lagi. Tangisnya seakan-akan meledak dari dalam dadanya yang bengkak. Tangis seorang gadis yang dilanda gejolak perasaan tiada tertahankan lagi.
Sejenak gembala tua dan kedua murid-muridnya saling berpandangan. Namun kemudian orang tua itu berdiri dan berjalan mendekati Pandan Wangi. Setelah duduk bersimpuh di belakangnya, orang tua itu berdesis, “Sudahlah, Ngger. Agaknya demikianlah yang dikehendaki oleh Tuhan Yang Maha Adil. Tetapi pasti hal yang terjadi ini bukan tanpa maksud. Marilah kita belajar untuk mengerti, apakah sebenarnya yang terjadi ini. Kepada-Nya kita mohon ketenteraman hati. Sebenarnyalah bahwa semua isi dan gerak alam ini berada di tangan-Nya. Tetapi tangan itu adalah tangan Yang Maha Pengasih.”
Pandan Wangi masih terisak.
“Tidak ada kekuasaan yang lebih mapan, bahkan yang sekedar mendekati kekuasaan Yang Maha Kuasa itu. Kekuasaan yang tidak pernah sisip. Kekuasaan yang tidak ditrapkan untuk sesuatu pamrih yang tidak adil dan benar. Tetapi apa yang terjadi adalah mutlak ada dan benar,” gembala tua ini berhenti sejenak lalu. “Angger, kita dapat menentang kekuasaan duniawi, kekuasaan seseorang, karena kekuasaan itu kadang-kadang justru menumbuhkan ketidak-adilan, didorong oleh pamrih. Tetapi kepada kekuasaan-Nya, kekuasaan Yang Maha Kuasa kita harus pasrah dengan ikhlas.”
Perlahan-lahan kepala gadis itu terangguk-angguk. Namun tanpa sesadarnya terpandanglah wajah ayahnya yang terbaring diam itu tiba-tiba bergerak. Perlahan-lahan matanya terbuka meskipun yang tampak oleh Ki Argapati yang pertama-tama adalah kehitaman malam.
“Ayah,” Pandan Wangi terpekik.
Gembala tua itu pun kemudian melihat Ki Argapati membuka matanya. Perlahan-lahan ia berdesis, “Aku memang sudah menyangka, bahwa ia akan segera sadar.” Kemudian kepada salah seorang yang ada di sampingnya ia berkata, “Kalau mungkin carilah air yang bersih. Air dari sumur.”
Pengawal itu memandangnya sejenak. Dan gembala tua itu berkata kepada Pandan Wangi, “Berikanlah titik air di bibirnya. Ingat setitik saja. Kalau terlampau banyak meskipun diminta, itu akan berbahaya bagi ayahmu. Mungkin justru pernafasannya akan tersumbat oleh air yang tidak dapat mengalir dengan lancar di tenggorokannya.”
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya, dan pengawal itu pun kemudian menggamit seorang kawannya untuk pergi mencari air berdua. Di peperangan segala sesuatu memang dapat terjadi meskipun sama sekali bukan karena ketakutan.
Sepeninggal kedua pengawal itu, gembala tua itu pun berkata kepada Pandan Wangi, “Sudahlah, Ngger, yang penting cobalah kau melayani ayahmu yang sudah mulai menyadari keadaannya. Tetapi ingat, jagalah supaya ia tetap terbaring diam. Bagaimana pun juga terasa haus, namun kau hanya dapat memberikan air itu setitik demi setitik. Jangan terlampau banyak.”
Sambil mengangguk-angguk Pandan Wangi menjawab, “Baik, Kiai.”
“Aku tidak dapat menungguinya sekarang. Peperangan yang masih berkecamuk itu harus segera selesai, supaya korban tidak berjatuhan tanpa arti. Aku akan segera kembali dan membawa Ki Argapati memasuki rumah yang sudah ditinggalkannya itu.”
“Baiklah, Kiai.”
Maka setelah meraba-raba tangan Ki Argapati dan mendengarkan detak jantung di dadanya, gembala tua itu pun kemudian berdiri dan dengan tergesa-gesa meninggalkan Ki Argapati yang dengan perlahan-lahan mulai menyadari dirinya ditunggui oleh puterinya beserta beberapa orang pengawal.
Bersama kedua murid-muridnya, gembala tua itu pun kemudian menuju ke medan peperangan yang masih berlangsung dengan serunya. Desak mendesak silih berganti.
Sorak-sorai dari kedua belah pihak telah jauh menurun, karena kini mereka lebih mementingkan memusatkan perhatian atas lawan-lawan mereka karena setelah seluruh tubuh masing-masing dibasahi oleh keringat, nafsu yang menyala di dada pun seakan-akan menjadi semakin panas.
Meskipun kekosongan senapati terasa pula oleh setiap orang di dalam induk pasukan, tetapi karena tidak ada kekuatan yang melampaui kekuatan mereka masing-masing, maka pertempuran berlangsung terus dengan sengitnya.
Namun pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh masih mempunyai seorang yang dapat mengikat mereka dalam suatu tata pertempuran yang lebih teratur. Samekta. Meskipun ia tidak jauh lebih baik dari setiap orang yang sedang bertempur, namun ia telah berhasil mengikat induk pasukannya dalam gelar yang baik dan terarah.
Sejenak kemudian gembala tua bersama kedua anak-anaknya itu pun sudah menjadi semakin dekat dengan hiruk-pikuknya peperangan. Sejenak gembala tua itu berhenti. Kemudian katanya, “Kita membagi pekerjaan agar cepat selesai. Kita harus melumpuhkan senapati-senapatinya lebih dahulu, agar lawan kehilangan pegangan.”
“Bagus,” sahut Gupala serta-merta.
“Kau keliru,” potong gurunya, “aku tahu maksudmu. Kau akan membinasakan setiap senapati termasuk Sidanti dan Argajaya.”
“Bukankah itu yang harus kita lakukan?”
Gembala tua itu menggelengkan kepalanya. “Tidak. Kalian harus menangkap mereka hidup-hidup. Aku akan membantu Angger Hanggapati menangkap Sidanti dan kau berdua harus berusaha menangkap Argajaya hidup-hidup.”
Gupala menarik nafas dalam-dalam. Tampak kekecewaan membersit di wajahnya. Namun sambil mengngguk-anggukkan kepalanya Gupita menjawab, “Baik, Guru. Kami akan berusaha menangkap mereka hidup-hidup.”
“Mustahil,” tiba-tiba Gupala bergumam seakan-akan kepada diri sendiri.
Gupita mengerutkan keningnya mendengar gumam Gupala itu, sedang gurunya sejenak menjadi termangu-mangu. Ditatapnya wajah muridnya yang gemuk itu. Kemudian terlontar pertanyaannya,”Kenapa mustahil?”
“Bukankah Kakang Gupita dan Guru pernah melihat, bagaimana Argajaya berkelahi melawan Raden Sutawijaya di pinggir kali opak itu?”
Gupita mengingat-ingat sejenak. Namun kemudian tanpa sesadarnya ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Terbayang di rongga matanya, betapa keras hati adik Kepada Tanah Perdikan Menoreh itu. Meskipun ujung senjata Sutawijaya telah melekat di dadanya, namun Argajaya sama sekali tidak ingin menundukkan kepalanya. Baginya lebih baik mati daripada harus mengakui kemenangan lawannya yang masih sangat muda itu. Apalagi kini ia berada di atas Tanah Perdikan ini, dan dengan sengaja telah melawan kakaknya sendiri.
“Ia memang keras kepala,” desis gurunya.
“Jadi, bagaimana pertimbangan Guru?” bertanya Gupala.
“Aku tetap berpendapat, bahwa sebaiknya ia tertangkap hidup-hidup. Biarlah Ki Argapati yang mengambil keputusan, hukuman apa yang harus diterimanya.”
“Ia tidak akan menyerah. Ia akan melawan sampai mati.”
“Jangan terlalu bodoh. Kalian dapat berbuat sesuatu, sehingga Argajaya akan kehilangan tenaga untuk melawan,” sahut gurunya, “karena aku yakin, Sidanti pun akan berbuat demikian.”
Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya, “Baik, Guru, aku akan mencobanya.”
“Apakah kami harus membuatnya tidak mampu membunuh diri sekalipun?”
Gurunya menganggukkan kepalanya, “Ya. Begitulah.”
“Itulah yang sulit. Batas antara kemungkinan itu dan selangkah lagi, mati, adalah sulit sekali. Dalam perkelahian kita kadang-kadang sulit untuk mengekang diri.”
“Yang sulit itulah yang harus kau coba,” desis gurunya.
Gurunya menarik nafas dalam-dalam.
“Nah, jangan terlampau lama. Kita harus cepat melakukannya.”
Gupala dan Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian mereka pun berpisah dengan gurunya. Gembala tua itu mencari Sidanti sedang kedua murid-muridnya mencari Argajaya. Adalah suatu kesengajaan bahwa bukan kedua murid-muridnyalah yang harus melawan Sidanti. Dendam yang tersimpan di dada kedua belah pihak tidak akan dapat reda untuk sepanjang umur mereka. Karena itu, apabila mereka bertemu di peperangan, maka kedua belah pihak tidak akan dapat mengekang diri masing-masing. Meskipun Argajaya pun merupakan lawan yang tangguh, didahului oleh pertentangan yang telah lama tergores di dalam hati masing-masing tetapi sebenarnya mereka tidak mempunyai persoalan yang langsung seperti persoalan mereka dengan Sidanti.
Maka masing-masing pun kemudian memasuki kembali hiruk-pikuknya peperangan. Gembala tua itu masih sempat menemui Samekta dan mengatakan apa yang telah terjadi. Ki Tambak Wedi telah mati. Dan tiba-tiba saja, tanpa dapat ditahan-tahan lagi, meledaklah sorak yang selama ini sudah mereda. Kematian Ki Tambak Wedi telah menggelorakan kembali dada para pengawal Tanah Perdikan Menoreh, sehingga mereka pun kemudian meneriakkan kematian itu sambil memutar senjata-senjata mereka lebih cepat lagi.
“Ki Tambak Wedi telah mati! Ki Tambak Wedi telah mati!”
Sorak-sorai yang gemuruh, yang seolah-olah hendak memecahkan langit itu, telah menggoncangkan setiap dada anak buah iblis yang sudah terbunuh itu. Kematian Ki Peda Sura telah membuat mereka berdebar-debar. Dan kini orang yang paling mereka bangga-banggakan telah mati pula.
Tetapi sebagian dari mereka sama sekali tidak percaya sehingga mereka pun berteriak-teriak tidak kalah kerasnya, “Bohong! Akal licik! Ki Tambak Wedi tidak akan dapat mati oleh siapa pun.”
Dan yang lain berteriak pula, “Jangan percaya! Jangan percaya!”
Sorak yang membahana itu pun akhimya dapat didengar oleh Sidanti dan Argajaya. Dada mereka serasa dihentakkan oleh suatu tenaga yang kemudian menyelusur ke segenap urat nadi. Hampir saja mereka kehilangan akal, dan tidak tahu apa yang harus mereka lakukan.
Tetapi lamat-lamat mereka pun mendengar teriakan, “Bohong! Akal licik!”
Darah Sidanti dan Argajaya yang rasa-rasanya hampir berhenti mengalir itu pun segera bergejolak kembali. Bahkan api yang menyala di dalam dada serasa tersiram minyak oleh berita yang hampir saja melumpuhkan mereka.
“Akal licik,” Sidanti menggeram. “Aku tidak percaya bahwa Guru terbunuh. Tidak ada orang yang akan dapat membunuhnya.”
Dengan demikian maka Sidanti pun kemudian justru menjadi semakin bernafsu. Senjatanya menggelepar menyambar-nyambar dengan dahsyatnya, sehingga setiap kali Hanggapati masih tetap harus menghindari sambil melangkah surut berputar-putar. Apalagi ketika Sidanti menjadi seakan-akan terbius oleh kemarahan mendengar berita yang dianggapnya licik.
“Orang-orangmu sudah mulai berputus asa,” ia menggeram, “sehingga mereka terpaksa mengarang ceritera yang sangat licik dan memalukan itu.”
“Apakah kau yakin bahwa berita itu tidak benar?” berkata Hanggapati sambil melawan sekuat-kuat tenaganya.
“Aku yakin. Ki Tambak Wedi tidak akan dapat terbunuh oleh siapa pun di dalam peperangan serupa ini. Argapati pun tidak akan mampu menyentuhnya.”
Namun sebelum Hanggapati menjawab, terdengarlah suara seseorang yang seakan-akan meledakkan jantung Sidanti. Dalam kisruhnya peperangan, muncullah gembala tua itu sambil berkata, “Sebenarnyalah bahwa Ki Tambak Wedi telah terbunuh. Tombak Ki Argapati-lah yang telah menembus dadanya, sebagai akibat dari ketamakannya. Apa boleh buat. Kematiannya akan mengakhiri semuanya. Api yang membakar Tanah Perdikan ini pun pasti akan segera padam.”
Kehadiran orang tua yang tidak disangka-sangka itu serasa membuat darah Sidanti membeku. Mungkin ia dapat mengelabuhi dirinya sendiri dengan tidak mempercayai teriakan-teriakan yang bergema di peperangan tentang Ki Tambak Wedi. Tetapi keterangan orang tua itu serasa jatuhnya suatu kepastian, bahwa Ki Tambak Wedi memang sudah terbunuh.
Dengan demikian, sejenak Sidanti seakan-akan membeku di tempatnya. Ditatapnya gembala tua itu dan Ki Hanggapati yang tegak di tempatnya, berganti-ganti.
“Sidanti,” berkata orang tua itu, “tidak ada kesempatan untuk menyesal bagi Ki Tambak Wedi. Akhir hidupnya adalah keputusan yang tidak dapat diganggu gugat. Apa yang telah dilakukan semasa hidupmya telah mendapatkan penilaian terakhir. Dengan demikian ia tinggal menjalani akibat perbuatan-perbuatan yang dilakukan semasa hidupnya.”
Sidanti memandang wajah gembala tua itu dengan tajamnya. Sejenak ia mencoba mencernakan kata-kata itu.
“Tetapi kau belum Sidanti,” berkata gembala tua itu selanjutnya, “kau masih tetap hidup. Kau masih mempunyai kesempatan untuk mengakhiri petualangan yang tidak akan bermanfaat bagi siapa pun juga itu. Apalagi bagi dirimu sendiri. Semasa hidupmu dan juga di masa langgeng.”
Sidanti masih berdiri tegak. Pedangnya masih tergenggam erat di tangannya.
Namun tiba-tiba hiruk-pikuk peperangan telah membangunkannya. Dentang senjata telah mencairkan kembali darahnya yang serasa membeku. Ketika ia mendengar pekik kesakitan disusul oleh keluhan yang terputus, anak muda itu berteriak, “Aku bukan pengecut. Ayo, kalau kalian memang mampu, bunuh Sidanti.”
Gembala tua itu memang sudah memperhitungkan, bahwa demikianlah sikap Sidanti. Ia pasti tidak akan menyerah hidup-hidup. Ia pasti akan berusaha melawan sampai mati.
“Tetapi kalau ia sudah terlepas dari peperangan, mungkin ia akan bersikap lain,” berkata gembala tua itu di dalam hatinya. “Di sini ia dikitari oleh kekerasan dan ujung senjata. Maka hatinya pun akan seruncing ujung pedangnya. Tetapi kalau ia tidak lagi melihat kilatan pedang dan mendengar rintih kesakitan, mungkin hatinya akan luluh juga.”
Dengan demikian gembala tua itu masih mencoba berkata, “Sidanti, apakah kau tidak juga mau melihat kenyataan? Mungkin di saat-saat seperti ini kau tidak dapat melihat dengan terang karena peperangan ini. Tetapi apabila kau mempunyai kesempatan, melihat ke dalam dirimu sendiri dan membuat kesimpulan dari apa yang telah terjadi ini dengan hati yang bening, maka aku kira kau akan menarik suatu kesimpulan yang lain.”
“Diam!” tiba-tiba saja Sidanti berteriak. “Jangan kau sangka hatiku miyur seperti daun ilalang. Aku akan tetap tegak kemana pun angin bertiup. Aku adalah batu karang yang tidak goyah oleh prahara yang betapa pun dahsyatnya. Dan kematian guruku pun tidak akan dapat merubah pendirianku. Tanah Perdikan Menoreh harus jatuh ke tanganku. Apa pun yang akan terjadi.”
“Bukankah sudah seharusnya demikian?” bertanya gembala tua yang tiba-tiba saja teringat kepada sikap Ki Tambak Wedi sesaat sebelum ia menghembuskan nafasnya yang penghabisan.
“Omong kosong,” sahut Sidanti.
“Bukankah sudah seharusnya, bahwa jabatan Ki Argapati sebagai Kepala Tanah Perdikan akan temurun kepada anaknya, apalagi anak laki-laki?”
Ternyata dalam keadaan itu, Sidanti sudah tidak sempat lagi membuat pertimbangan yang wajar. Karena itu, seolah-olah tanpa disadarinya ia berteriak, “Aku bukan anak Argapati.”
Gembala tua itu menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak segera dapat mengambil kesimpulan, siapakah sebenamya Sidanti itu. Namun yang lebih dahulu dilakukan adalah menangkapnya, dan apabila Ki Argapati nanti dapat disembuhkannya, anak ini harus dihadapkannya. Kalau Sidanti putera Ki Argapati maka orang tua itu pasti akan dapat mengambil kebijaksanaan, seperti terhadap adiknya juga.
“Nafsu yang menyala-nyala di dalam dadanya telah mendorongnya untuk membenci ayahnya sedemikian jauh,” berkata gembala tua itu di dalam hatinya. “Atau mungkin Ki Tambak Wedi telah meracuninya dengan pengertian yang lain?”
Tetapi gembala tua itu tidak dapat menemukan jawabnya. Kini yang harus dilakukan adalah berbuat sesuatu sehingga ia dapat melumpuhkan Sidanti dan menangkapnya hidup-hidup.
Sementara itu Gupita dan Gupala telah menemukan pula lingkaran pertempuran Argajaya melawan Dipasanga. Ternyata bahwa kemampuan mereka hampir tidak berselisih. Desak mendesak. Kadang-kadang Argajaya terpaksa beringsut surut beberapa langkah, namun kemudian ia berhasil mendesak lawannya beberapa langkah maju. Senjata-senjata mereka menyambar-nyambar tidak henti-hentinya. Tombak pendek Argajaya berputar dan mematuk dari segenap penjuru, mengitari tubuh lawannya. Namun agaknya Dipasanga pun tidak segera bingung menghadapinya, meskipun kadang-kadang ia harus meloncat beberapa langkah untuk mengambil jarak.
Namun agaknya sorak-sorai tentang matinya Ki Tambak Wedi, justru agak lebih berpengaruh pada Argajaya. Tanpa Tambak Wedi perjuangan mereka tidak akan berhasil. Apabila benar Ki Tambak Wedi terbunuh, maka api peperangan yang sudah terlanjur berkobar di atas Tanah Perdikan ini tidak akan ada artinya apa-apa, selain pembunuhan dan kekerasan yang bengis.
Tetapi seperti Sidanti, Argajaya pun berusaha untuk tidak mempercayainya. Setiap kali ia berkata di dalam hati, “Ki Tambak Wedi adalah seorang tua yang pilih tanding. Melawan Kakang Argapati selagi ia saras sekalipun, Ki Tambak Wedi tidak akan dapat dikalahkannya, dan apalagi terbunuh. Justru kini Kakang Argapati sedang terluka parah. Maka yang paling mungkin terjadi adalah sebaliknya. Justru Ki Tambak Wedi-lah yang membunuh Ki Argapati apabila ia terjun ke peperangan.”
Dengan demikian maka Ki Argajaya pun mencoba untuk mengerahkan sisa-sisa tenaganya. Ia ingin dapat menguasai lawannya segera. Apabila Dipasanga dapat dilumpuhkannya, maka sayap ini akan sepera dikuasai. Kerti dan bahkan Samekta tidak akan banyak berarti.
“Mudah-mudahan Sidanti pun dapat membunuh lawannya pula,” katanya di dalam hati.
Namun, belum lagi Argajaya berhasil mendesak Dipasanga, tiba-tiba ia dikejutkan oleh kehadiran dua orang anak-anak muda di arena peperangan.
Sejenak Argajaya terpaku diam di tempatnya memandangi Gupita dan Gupala yang muncul hampir berbareng dengan cambuk di tangan masing-masing.
“Jadi ………,” Argajaya berdesis, “orang bercambuk yang selama ini dibayangkan ternyata adalah kalian. Bukan orang-orang yang kau pergunakan untuk sekedar mengelabui kami.”
“Ya. kami memang berada di peperangan selama ini,” jawab Gupala.
“Persetan! Kenapa kalian selalu bersembunyi, dan baru sekarang menampakkan diri?”
“Kami tidak pernah bersembunyi.”
“Tetapi kalian tidak pernah menyatakan diri kalian dengan jujur. Kalian selalu curang dan licik.”
“Apakah kami tidak jujur? Aku tidak tahu maksudmu. Aku bertempur di peperangan ini. Dan aku bersama kakakku telah berhasil membunuh Ki Peda Sura, sementara Guru telah mengantarkan Ki Tambak Wedi ke ujung tombak Ki Argapati. Kenapa kami tidak jujur? Mungkin karena kami baru sekarang bertemu dengan kau. Dan itu bukan berarti bahwa kami bersembunyi. Di peperangan lawan tersebar dari ujung sampai ke ujung gelar. Kami tidak perlu memilih. Tidak ada keharusan pada kami untuk bertempur melawan Ki Argajaya, bukan yang lain.”
Argajaya menggeram. Ditatapnya wajah kedua anak-anak muda itu berganti-ganti. Kemudian berpindah kepada Dipasanga yang berdiri tegak dengan wajah yang tegang.
Dalam pada itu terdengar Gupala berkata kepada Dipasanga, “Ki Dipasanga, kami mendapat perintah untuk menangkap Ki Argajaya hidup-hidup.”
“Persetan!” teriak Argajaya. “Tidak seorang pun dapat menyentuh kulitku selagi aku masih bernafas.”
Gupala mengerutkan keningnya, sedang Gupita menarik nafas dalam-dalam. Adiknya memang selalu menuruti perasaannya saja. Pernyataannya itu sudah tentu telah membakar hati Argajaya yang memang sudah sekeras batu-batu padas di perbukitan.
Dipasanga pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi sesaat ia tidak menjawab.
Karena tidak seorang pun yang menyahut, maka Gupala berkata seterusnya. Kali ini kepada Argajaya, “Nah, bukankah kau bersedia membantu kami? Bukan untuk kepentingan kami, tetapi untuk kepentingan Tanah Perdikan Menoreh. Tanah Perdikan yang kini sedang kisruh oleh pokal Ki Tambak Wedi. Sekarang Ki Tambak Wedi sudah mati.”
Tubuh Argajaya telah menjadi gemetar menahan kemarahan yang menyesak dadanya, sehingga jawabnya kasar, “Bunuh aku, baru aku akan menyerah.”
“Bukan begitu,” sahut Gupita. “Maksud kami, apakah kau tidak mempertimbangkan kemungkanan lain daripada menghancurkan Tanah Perdikan ini. Kalau peperangan ini berlangsung terus, maka korban akan menjadi semakin banyak. Hal itu tidak akan menguntungkan kedua belah pihak. Sedang kedua belah pihak yang kini berhadapan adalah dari pecahan keluarga sendiri selain Ki Tambak Wedi. Dan Ki Tambak Wedi yang menurut dugaanku telah menyalakan api peperangan ini, sekarang telah terbunuh.”
“Tidak. Aku bukan kepompong yang paling bodoh,” Argajaya berteriak. “Apakah kau sangka bahwa aku tidak mempunyai otak untuk berpikir dan bersikap, sehingga kau menganggap aku sekedar sebagai peraga yang digerakkan oleh Ki Tambak Wedi? Tidak. Aku mempunyai kepentingan dengan peperangan ini. Aku mempunyai suatu cita-cita. Tanah ini tidak boleh menjadi Tanah yang banci, yang tidak mempunyai jangka sama sekali. Tanah yang sekedar harus menundukkan kepala kepada Kakang Argapati apa pun yang diinginkannya.”
Gupala tiba-tiba memotong, “He, bukankah kau adik Ki Argapati itu? Kalau ada kekurangan di dalam pemerintahannya, kau dapat menyampaikannya langsung kepadanya. Kenapa kau harus menempuh jalan ini? Apakah kau sendiri sebenarnya ingin menjadi Kepala Tanah Perdikan? Tetapi dengan demikian kau harus berkelahi melawan Sidanti.”
“Diam!” terak Argajaya yang menjadi semakin marah. Anak muda yang gemuk itu berbicara sekehendaknya sendiri tanpa menghiraukan apa pun juga. “Apa pun yang akan aku lakukan. Aku tidak akan menyerah sebelum aku mati. Nah, bunuhlah aku sekarang. Itu akan lebih baik. Kenapa kau tidak membawa kawanmu yang seorang itu, anak Pemanahan yang sombong.”
“Apakah kau akan bertemu? Ia ada di sini pula sekarang.”
Wajah Argajaya menjadi semakin membara. Sejenak ditatapnya wajah Gupala yang tersenyum-senyum. Bahkan ia melanjutkan, “Kalau kau mau ikut aku, mari, aku bawa kau kepadanya.”
“Persetan!” dada Argajaya serasa akan meledak karenanya.
Dan anak yang gemuk itu masih saja tersenyum. Bahkan kemudian ia berkata kepada Ki Dipasanga, “Ki Dipasanga, marilah aku dan Kakang Gupita mendapat perintah untuk membantu Ki Dipasanga menangkap Ki Argajaya. Hidup-hidup. Sebab ia adalah adik Kepala Tanah Perdikan Menoreh.”
Tetapi Argajaya telah tidak dapat lagi menahan dirinya. Dengan garangnya ia meloncat sambil berteriak, “Kubunuh kau lebih dahulu.”
Tetapi Gupala pun telah menyiapkan dirinya. Segera ia bergeser menghindari serangan Argajaya yang sekedar didorong oleh kemarahan yang meluap-luap sehingga sasarannya tidak dapat dicapainya.
Dengan demikian, maka pertempuran pun segera dimulai kembali. Bukan saja Gupala, tetapi Gupita dan Dipasanga pun harus ikut pula.
Menangkap Argajaya hidup-hidup bukanlah pekerjaan yang mudah meskipun mereka adalah Gupita, Gupala dan Dipasanga yang masing-masing memiliki kemampuan yang seimbang dengan Argajaya, bahkan mungkin melampauinya meskipun hanya selapis.
Argajaya yang merasa dirinya terkepung, sama sekali tidak berpikir lagi untuk mempertahankan hidupnya, karena ia tahu bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan ketiga lawannya yang sudah dikenalnya. Argajaya dapat mengerti, betapa ketiganya mempunyai ilmu yang memungkinkan untuk menangkapnya. Namun untuk mati tidaklah terlampau sukar daripada bertahan untuk hidup. Karena itu, dibayangi oleh perasaan putus asa ia mengamuk sejadi-jadinya. Tombaknya menyambar-nyambar tidak henti-hentinya ke segenap arah untuk melindungi dirinya. Bukan karena ia tidak mau mati oleh senjata lawannya, tetapi ia ingin membawa salah seorang dari mereka atau lebih, untuk mati bersama-sama.
Gupala sekali-sekali menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengumpat ia berbisik kepada Gupita, “Kenapa kita harus menangkapnya hidup-hidup. Apakah salahnya kalau ia terbunuh di peperangan?”
“Hus, jangan kehilangan akal. Kita harus berusaha menangkapnya hidup-hidup. Betapa sulitnya.”
Gupala mengecutkan dahinya. Tangannya seakan-akan menjadi gatal. Membunuh Argajaya dalam keadaan itu sebenarnya tidak terlampau sulit. Tetapi membujuknya untuk menyerah adalah pekerjaan yang justru terlampau sulit.
“Kita harus merebut senjatanya,” desis Gupita.
“Aku sudah terluka,” geram Gupala, “kalau kita tidak berhasil maka lukaku akan bertambah, dan barangkali aku akan mati untuk menangkap Argajaya hidup. Aku dan barangkali juga kau dan Ki Dipasanga, sementara Argajaya tidak akan tertangkap.”
“Kita akan mencoba.”
Gupala mengangguk-anggukkan kepalanya. Betapa pun dadanya serasa akan bengkah. Tetapi ia harus tunduk seperti yang dipesankan oleh gurunya.
Dengan demikian maka sekali lagi mereka mencoba, menangkap Argajaya yang mengamuk seperti serigala lapar. Ia sama sekali sudah kehilangan tujuan perkelahiannya, selain mati bersama lawan sebanyak-banyaknya dapat dilakukan.
Tetapi Gupita sama sekali tidak kehilangan akal. Meskipun Dipasanga kadang-kadang mengalami kesulitan dengan sikap Argajaya itu, namun ternyata ia cukup dewasa menghadapi lawannya. Ki Dipasanga lebih baik meloncat surut menghindari benturan-benturan yang berbahaya daripada kemungkinan senjatanya menembus dada lawannya yang putus asa itu.
Gupala lah yang berkelahi tidak dengan sepenuh kemauan. Kadang-kadang saja ia menyerang, kemudian bertolak pinggang sambil memegangi tangkai cambuknya sementara Gupita dan Dipasanga bertempur terus. Bahkan Gupala masih juga sempat melepaskan ketegangan di dadanya dengan menyerang orang-orang Sidanti yang bertempur di sekitarnya dengan ujung cambuknya.
Gupita yang kadang-kadang melihat tingkah laku Gupala itu hanya dapat menarik nafas. Ia tahu, betapa anak muda yang gemuk itu menahan diri sekuat-kuatnya agar tangannya tidak terlanjur menyerang lawannya di tempat-tempat yang berbahaya.
Sementara itu Gupita sendiri berusaha sekuat-kuat tenaganya untuk melumpuhkan Argajaya. Kalau ia mampu melepaskan senjatanya, maka kemungkinan untuk menangkapnya akan menjadi semakin luas.
“Buat apa membiarkannya hidup-hidup?” Gupala masih saja bertanya.
Gupita mengerutkan keningnya. Jawabnya hampir berbisik, “Kita hanya sekedar melakukan perintah Guru.”
Gupala tidak bertanya lagi. Dipandanginya Argajaya dengan tajamnya. Namun tiba-tiba ia berbalik dan menyerang seorang dari pasukan lawan dengan cambuknya. Ketika cambuk itu menggeletar, terdengarlah pekik kesakitan. Hanya sejenak, kemudian seseorang jatuh tersungkur.
“Jangan gila,” desis Gupita. Tetapi Gupala sama sekali tidak mengacuhkannya.
Dengan susah payah Gupita dan Dipasanga berhasil memeras tenaga Argajaya yang terbatas. Perlahan-lahan namun pasti, tenaga Argajaya menjadi semakin susut. Keringatnya seakan-akan terperas dari segenap permukaan kulitnya, dan bahkan nafasnya pun menjadi semakin dalam di rongga dadanya.
Tetapi Argajaya benar-benar berhati batu. Ia sama sekali tidak berpikir dan tidak mempertimbangkan, untuk merubah pendiriannya. Apa pun yang terjadi, ia akan berkelahi terus sampai mati.
“Lihat,” bisik Gupita, “tenaganya sudah jauh susut.”
“Tidak ada gunanya. Ia akan mati dengan sendirinya. Nafasnya akan terputus oleh kelelahan. Kita hanya akan kehilangan waktu. Kalau sejak sekarang kita bunuh saja orang itu, kita sendiri tidak akan kehabisan nafas.”
“Aku tidak berani melanggar perintah Guru. Bahkan Ki Dipasanga sama sekali tidak berhasrat melanggarnya.”
Gupala menarik dahinya tinggi-tinggi, sehingga kerut-merut yang dalam tergores dari ujung sampai ke ujung.
Ternyata Gupala pun kemudian melihat betapa Argajaya hampir kehilangan seluruh kekuatannya. Kini ia berdiri terhuyung-huyung, meskipun senjatanya masih tetap tergenggam erat-erat. Bahkan oleh dorongan nafsu yang melonjak-lonjak di dalam dadanya, ia masih mampu menyerang dengan dahsyatnya, meskipun kemudian ia hampir-hampir kehilangan keseimbangan.
Kini Gupita sampai pada rencananya yang terakhir. Ia harus merebut tombak pendek itu. Kemudian melumpuhkan lawannya dan menangkapnya. Kalau perlu membuatnya kehilangan tenaga untuk berbuat apa pun.
Dengan isyarat kedipan mata, Gupita mengajak Ki Dipasanga untuk mencoba mengakhiri perkelahian itu. Kemudian ia berbisik kepada Gupala, “Kesempatan sudah terbuka Gupala, bantulah melakukan perintah Guru. Menangkap Argajaya hidup-hidup. Bagaimana pun juga ia adalah adik Ki Argapati. Agaknya Guru tidak mau membuat Ki Argapati merasa kehilangan.”
Gupala mengerutkan keningnya. Sejenak ia memandang Argajaya yang benar-benar sudah kehabisan nafas. Sebenarnya membunuh orang itu sama mudahnya dengan memijat ujung dahi sendiri. Orang yang sudah tidak mampu berdiri tegak itu, berdiri terhuyung-huyung bertelekan tangkai tombaknya. Namun demikian Argajaya masih berkata lantang di sela-sela desah nafasnya yaug memburu, “Ayo, siapakah di antara kalian yang jantan? Apakah kalian pengecut yang tidak berani melihat darah. Ini dadaku. Ayo, bunuh aku dengan segala macam senjata yang ada padamu.”
Gupita menarik nafas dalam-dalam. Terbayang olehnya, Argajaya itu berdiri tegak di atas pasir tepian Kali Opak. Meskipun waktu itu senjatanya sudah terlepas dari tangannya, namun ia masih menengadahkan dadanya sambil berkata, “Ayo, kalau kau jantan bunuh aku.”
Dan kini sikap itu diulanginya. Apalagi senjatanya kini masih tetap di dalam genggaman.
“Jangan menunggu terlampau lama, Gupala,” desis Gupita.
Gupala pun kemudian melangkah maju. Mereka bertiga mengambil arah yang berbeda-beda. Sementara Argajaya masih menggeram. Tatapan matanya menjadi liar, dan wajahnya seakan-akan menyala.
Sementara itu Gupala berdesis, “Tidak mungkin menangkapnya tanpa melukainya. Kalau luka itu kemudian membunuhnya, itu sama sekali bukan salah mereka yang melukainya.”
Namun Gupala terkejut ketika ia mendengar suara cambuk meledak. Agaknya Gupita sudah mulai dengan usahanya melepaskan senjata Argajaya dari tangannya.
Ledakan itu telah mendorong Argajaya beberapa langkah. Terhuyung-huyung ia mencoba menghindar. Meskipun Gupita sama sekali tidak ingin melukainya, tetapi cambuk itu meledak beberapa cengkang saja di depan wajahnya.
“Ayo anak iblis, kaulah yang akan mati pertama-tama,” desis Argajaya di sela-sela desah nafasnya.
Gupita tidak menjawab. Tetapi ia melangkah maju, sehingga Argajaya terpaksa mundur setapak. Tetapi Argajaya itu terlonjak ketika tiba-tiba saja kakinya serasa disengat oleh panasnya bara api, disertai sebuah ledakan yang memekakkan telinga. Ternyata bahwa Gupala telah menyerang mata kaki Argajaya dengan ujung cambuknya.
Gupita menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat mencegah adik seperguruannya, agar anak yang gemuk itu tidak justru menjadi semakin nekat untuk melepaskan sesak di dadanya.
Tetapi Dipasanga pun ternyata mengambil kesempatan itu. Senjatanya segera terjulur mengarah ke dada Argajaya. Dengan susah payah Argajaya menangkis senjata Dipasanga. Namun dengan cepatnya Dipasanga menarik senjatanya dan mengurungkan serangannya.
Argajaya yang semakin lemah itu justru terhuyung-huyung oleh tarikan tenaganya sendiri. Beberapa langkah ia terseret ke samping. Dengan susah payah ia bertahan sehingga ia tidak terjatuh.
Tetapi Gupala benar-benar tidak dapat menahan diri. Dalam keadaan yang demikian sekali lagi cambuknya meledak. Dan sekali lagi Argajaya terloncat karena ujung cambuk Gupala mematuk kakinya.
Tetapi keadaan sama sekali tidak menguntungkan. Keseimbangannya benar-benar tidak dapat dikuasainya lagi, sehingga tanpa dapat ditolong lagi. Argajaya terhuyung-huyung jatuh tertelentang. Ia masih mencoba bertahan pada sebelah tangannya. Tetapi ketika sekali lagi cambuk Gupita menyambar tangan itu, maka Argajaya benar-benar terguling di tanah yang berdebu.
Sejenak Gupita terpaku di tempatnya. Tetapi tiba-tiba ia melihat sebuah kesempatan. Selagi Argajaya mencoba berguling menjauh, maka kali ini ujung cambuk Gupita-lah yang mengejarnya. Sebuah sengatan telah mengenai pergelangan tangan kanannya yang masih menggenggam tombaknya erat-erat. Terdengar sebuah keluhan tertahan, namun tombak itu tidak terlepas dari tangannya.
Gupita mengerutkan keningnya. Orang ini benar-benar bukan saja berhati batu, tetapi berhati baja.
Karena itu, sekali lagi Gupita melecutkan cambuknya. Kali ini ujung cambuknya membelit tangkai tombak Argajaya. Dengan sepenuh tenaga Gupita menghentakkan cambuknya untuk memaksa tombak Argajaya terlepas dari tangannya.
Gupala yang melihat usaha itu segera membantu dengan caranya. Selagi Argajaya bertahan, agar tombaknya tidak, terlepas maka Gupala segera menyambar tangan Argajaya dengan cambuknya. Bertubi-tubi, sehingga karah-karah besi pada juntai cambuknya itu seakan-akan telah mengelupaskan seluruh kulit di pergelangan tangan Argajaya.
Betapa sakitnya tangan Argajaya yang telah melelehkan darah itu. Tetapi ia sama sekali tidak membuka genggaman tangannya. Bahkan kemudian sambil berbaring di tanah kedua tangannya menggenggam senjatanya itu erat-erat.
Gupala hampir saja menjadi waringuten. Hampir saja ia kehilangan kesabaran dengan menyerang Argajaya di bagian yang berbahaya. Untunglah bahwa Dipasanga berbuat lebih cepat. Dilepaskannya senjatanya, kemudian dengan tangkasnya ia meloncat menimpa Argajaya yang sudah kelelahan itu. Dengan sekuat tenaganya ia mencoba mendekap tangan Argajaya dari belakang. Sejenak keduanya berguling-guling. Tetapi kemudian Gupita dan Gupala pun ikut serta membantu. Dengan demikian maka Argajaya telah dipaksa untuk melepaskan tombaknya, karena Gupita dengan sekuat tenaganya merebut tombak itu dari tangannya, sedang Dipasanga memeganginya dari belakang.
Tetapi usaha itu ternyata tidak segera berhasil. Sejenak mereka tarik menarik, seperti kanak-kanak berebut barang mainan.
Sekali lagi Gupala kehilangan kesebaran. Tiba-tiba saja tangannya yang berat itu terayun. Sebuah pukulan sisi telapak tangan telah menyentuh tengkuk Argajaya, sehingga dengan tiba-tiba seluruh kekuatannya seakan-akan lenyap dari tubuhnya. Perlawanannya pun tiba-tiba berhenti, sehingga justru Gupita yang menarik tombaknya terdorong beberapa langkah sehingga hampir saja jatuh tertelentang.
Ketika Gupita kemudian berhasil menguasai keseimbangannya dan berdiri tegak dengan kaki renggang, maka dilihatnya Argajaya telah terkulai dengan lemahnya, menelungkup di tanah. Sejenak Gupita terpaku diam. Ditatapnya wajah Gupala yang tegang dengan tajamnya.
“Aku hanya menyentuhnya,” desis Gupala.
“Mudah-mudahan kau tidak membunuhnya,” suara Gupita tertahan-tahan.
Dipasanga-lah yang kemudian berjongkok di sampingnya. Perlahan-lahan ia mengangkat tubuh Argajaya yang lemah itu. Namun dengan serta-merta ia berkata, “Ia masih tetap hidup.”
Kemudian tubuh itu pun dibaringkannya di tanah. Dengan pengetahuan yang ada, Gupita mencoba memijit-mijit bagian di bawah telinganya. Kemudian menggerakkan tangannya perlahan-lahan.
Nafas Ki Argajaya perlahan-lahan mulai mengalir lewat lubang-lubang hidungnya. Satu-satu, namun kemudian semakin lama menjadi semakin lancar.
“Kelelahan,” berkata Dipasanga. “Sentuhan tangan Gupala tidak menentukan.”
“Nah, bukankah kau hanya mendorongnya? Meskipun seandainya aku tidak memukul tengkuknya betapa pun lambatnya, ia akan pingsan karena nafasnya yang hampir terputus.”
Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya. Ia terlampau banyak mencurahkan tenaganya.”
“Tentu. Ia tidak mau tertangkap hidup-hidup. Kalau ia sadar, maka ia akan melakukan perlawanan lagi.”
Kita harus membawanya ke belakang garis peperangan.”
Gupita pun kemudian memanggil beberapa orang pengawal untuk menggantikan tempatnya, maka Dipasanga dan Gupala-lah yang mendapat kesempatan.
“Tetapi kau sedang berhadapan dengan manusia-manusia meskipun ia lawanmu,” berkata Gupita.
“Tentu. Justru aku berhadapan dengan manusia-manusialah aku benar-benar harus mempertahankan hidupku. Karena mereka sedang berusaha untuk membunuhku.”
“Kau dapat mempertahankan hidupmu. Tetapi perlakuanmu terhadap lawan-lawanmu adalah perlakuan seorang prajurit jantan, dengan mengindahkan segala sopan-santun peperangan.”
“Maksud Kakang?”
“Jangan bertindak berlebih-lebihan. Banyak contoh telah kau lihat, bahwa kelakuan yang demikian tidak memberikan apa-apa kepada kita.”
Gupala mengangguk. Tetapi ia mengumpat di dalam hati, “Persetan. Bagaimana aku dapat berbuat sopan terhadap manusia-manusia yang buas dan liar itu?” Meskipun kemudian terdengar suara di dasar hatinya, seolah-olah suara gurunya, “Apakah kau juga harus menjadi buas dan liar?”
Gupala menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat Dipasanga telah mulai melibatkan diri di peperangan, sedang para pengawal telah mengangkat tubuh Argajaya dan membawanya ke belakang garis perang bersama Gupita.
Tetapi untuk sejenak Gupala masih tetap berdiri tegak di tempatnya. Ia memandangi saja bagaimana Dipasanga mengayunkan senjatanya. Meskipun orang itu bertempur di antara orang-orang yang kasar, namun ia tetap dapat menguasai dirinya, meskipun ia tidak kurang tangkas dan cepat.
Sekilas terbayang di rongga matanya, prajurit Pajang yang berada di Sangkal Putung, selagi mereka bertempur melawan pasukan Tohpati dan Ki Tambak Wedi di padukuhan Tambak Wedi.
Tanpa mengurangi nilai-nilai peperangan dan ketahanan mempertahankan diri, Gupala dapat melihat perbedaan cara yang dipergunakan oleh orang-orang Ki Tambak Wedi yang bercampur-baur dengan orang-orang Ki Peda Sura, dengan cara yang dipergunakan oleh Ki Dipasanga.
Gupala menarik nafas dalam-dalam. Namun keningnya menjadi berkerut-merut apabila ia melihat bahwa para pengawal Tanah Perdikan Menoreh pun sebagian terbesar sama sekali tidak mampu menahan diri, sehingga mereka berkelahi tidak ubahnya seperti cara-cara yang dipergunakan oleh lawan-lawan mereka.
Tiba-tiba Gupala menggeleng, “Aku tidak boleh mempergunakan cara itu.” Dan tanpa sesadarnya ia berkata kepada diri sendiri, “Benar juga pesan Kakang Gupita.”
Dan sesaat kemudian Gupala pun telah menerjunkan dirinya di dalam peperangan dengan cambuknya yang panjang. Sekali-sekali terdengar sebuah teriakan nyaring, kemudian pekik kesakitan. Tetapi Gupala selalu mencoba mengekang dirinya untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang tercela di peperangan. Ia menghindari perlakuan yang dapat menumbuhkan kesan kekejaman tanpa batas, meskipun kadang-kadang cambuknya tanpa dikekendakinya sendiri, telah mengelupas kulit-kulit wajah lawannya.
Ternyata bahwa garis peperangan telah bergeser semakin mendekati padukuhan induk. Pasukan Sidanti sudah tidak lagi dapat dibimbing oleh pemimpin-pemimpin kelompoknya. Bahkan pemimpin-pemimpin kelompok yang ada pun sama sekali sudah tidak berpengharapan lagi. Berita tentang Argajaya pun segera merayap dari ujung ke ujung pasukan.
Bahkan orang-orang yang tidak dapat melihat dengan pasti, apakah yang telah terjadi dengan Argajaya segera meneriakkan kematiannya. Sehingga dengan demikian maka gairah perlawanan orang-orang Sidanti itu sama sekali telah lenyap. Bahkan beberapa orang anak buah Ki Peda Sura yang sama sekali sudah tidak dapat mengharapkan apa-apa lagi karena kekalahan yang tidak disangka-sangka itu, telah mulai bimbang.
“Buat apa kita bertempur?” desis seseorang kepada kawannya.
Kawannya menggeleng, “Kami masih mengharap dapat bertahan. Meskipun besok kita harus lari, tetapi kita masih mendapat kesempatan untuk mencari sesuatu di induk Tanah Perdikan ini sendiri. Tetapi agaknya keadaan berkembang lain.”
“Apakah kita menunggu leher kita terputus di atas Tanah yang ternyata sangat gersang ini.”
“Sepeninggal Ki Peda Sura, kita memang sudah tidak berpengharapan lagi.”
Demikianlah sikap itu menjalar dari seorang keorang yang lain. Bahkan orang-orang yang datang ke Tanah Perdikan itu dengan maksud serupa, yang bukan anak buah Ki Peda Sura pun telah dijangkiti oleh pendirian itu. Mereka sama sekali tidak dapat mengharap apa-apa lagi dari peperangan ini.
Bahkan satu dua di antara mereka telah meninggalkan peperangan itu dengan diam-diam.
Dengan demikian maka pasukan yang tampaknya masih tetap berada di dalam gelar itu sama sekali sudah tidak mempunyai kekuatan lagi. Senapati yang tinggal satu-satunya adalah Sidanti.
Namun ternyata bahwa Sidanti tidak mampu berbuat banyak. Ia tidak dapat menguasai seluruh medan, karena ia sendiri sedang sibuk bertempur melawan Hanggapati.
Apalagi disadarinya, bahwa sepasang mata selalu mengawasinya, dari antara para pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
“Anak itu memang luar biasa,” desis orang yang masih memandanginya hampir tanpa berkedip. “Tenaga dan kemampuannya ngedab-edabi. Sayang ia jatuh ketangan yang salah, sehingga ia pun telah tersesat jalan.”
Namun kesesatan itu tidak mengurangi kekaguman gembala tua yang sedang menunggui pertempuran yang masih saja berlangsung dengan sengitnya.
Gembala tua itu mengerutkan keningnya ketika ia melibat warna-warna semburat merah membayang di langit. Tanpa sesadarnya ia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil bergumam, “Semalam kami telah bertempur. Mudah-mudahan setelah matahari terbit pagi nanti, semuanya akan dapat diselesaikan. Masalah-masalah yang selama ini seakan-akan mencengkam Tanah Perdikan ini, mudah-mudahan dapat diuraikan. Dan api yang selama ini berkobar akan dapat dipadamkan.”
Dan tiba-tiba orang tua itu menyadari, bahwa kini ia masih menghadapi seorang anak muda yang berhati baja. Kalau anak ini sudah dapat dikuasainya, maka pasukan lawan sama sekali sudah tidak mempunyai seorang pimpinan pun. Pasukan itu pasti akan segera terpecah.
Karena itu, maka gembala tua itu melangkah semakin dekat. Tetapi ia masih tertarik melihat cara Sidaniti mempergunakan senjatanya. Dengan demikian ia masih termenung sejenak memandangi pertempuran itu.
Orang tua menarik nafas dalam-dalam ketika ia mendengar beberapa meneriakkan kematian Argajaya. Seakan-akan berita itu sudah sedemikian meyakinkan, bahwa Argajaya telah mati terbunuh.
Sidanti yang mendengar berita itu dari teriakan-teriakan yang seakan menjalar itu mengangkat wajahnya sejenak. Ia ingin meyakinkan pendengarannya. Dan suara yang merambat itu masih saja menggema, “Argajaya mati! Argajaya mati!”
“Persetan!” Sidanti menggeram. “Aku tidak memerlukan siapa pun lagi. Ayo, siapa lagi yang akan maju ke medan ini? Kau orang tua bangka? Kenapa kau diam saja? Apakah kau takut melawan aku, he?”
Gembala tua itu menarik nafas dalam-dalam. Ketika dipandangnya Hanggapati sejenak orang itu menarik nafas dalam-dalam. Hanggapati yang kebetulan juga memandanginya, seolah-olah bertanya kepadanya seperti Sidanti, “Kenapa kau diam saja?”
Dan pertanyaan itulah yang telah mendorongnya untuk maju lagi. Tetapi ia masih berkata, “Kenapa kau mengeraskan niatmu serupa itu Sidanti?”
“Jangan banyak bicara. Bunuh aku atau aku membunuhmu.”
“Kau menjadi putus asa, seolah-olah hari-hari mendatang adalah hari-hari yang sangat gelap bagimu. Seharusnya kau percaya bahwa Ki Argapati akan bersikap adil. Kau adalah anaknya. Dan demikianlah seorang bapa. Betapa pun ia bersakit hati, tetapi apabila anak itu telah kembali ke pangkuannya dengan penuh penyesalan, maka ia akan dimaafkan.”
“Bohong. Kau mencoba menjebak aku. Argapati bukan ayahku.”
Sekali lagi gembala tua itu menarik nafas dalam-dalam. Bahkan tidak sesadarnya ia mengusap dada dengan sebelah tangannya, “Kau benar-benar keras hati, Ngger.”
“Diam! Diam!”
Dan Sidanti tidak menunggu lagi. Sekali lagi ia menyerang Hanggapati yang untuk sejenak masih sempat memandang gembala tua itu dengan penuh pertanyaan di wajahnya, “Kiai mau apa sebenarnya?”
Orang tua itu menangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya peperangan yang masih berlangsung untuk sejenak. Kemudian dipandanginya arena yang kecil tempat Hanggapati berkelahi melawan Sidanti yang menjadi wuru.
Ternyata bahwa dalam keadaan yang seakan-akan tidak terkuasai lagi. Sidanti menjadi sangat berbahaya. Beberapa kali Hanggapati meloncat surut. Namun dengan demikian, perhatian Sidanti sebagian terbesar tertuju kepada lawannya, hampir tidak terbagi, selama laki-laki tua itu belum berbuat apa-apa.
Namun kemudian hal itu terjadi. Darah Sidanti seakan-akan jadi membeku dengan tiba-tiba ketika ia merasa sebuah tangkapan yang tidak dapat dilawannya, pada tengkuknya. Sebuah tangan yang kuat, telah mencengkamnya, seakan-akan sebuah jepitan besi telah menghimpit lehernya. Perlahan-lahan namun tidak dapat dilawannya, tubuhnya serasa menjadi semakin lemah. Akhirnya Sidanti merasa, bahwa tangannya sama sekali tidak mampu lagi untuk digerakkannya. Pandangan matanya menjadi kabur dan nafasnya menjadi kian sesak.
“Tidurlah anak manis,” terdengar sebuah desis ditelinganya. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Bahkan kemudian matanya pun menjadi semakin kabur.
Hanggapati memandanginya dengan penuh keheranan. Ia berdiri tegak di tempatnya sambil memandang Sidanti yang pingsan terbaring di tanah, sedang laki-laki tua itu telah berjongkok di sisi tubuh Sidanti yang terbaring itu.
“Aku memerlukannnya hidup-hidup,” berkata orang tua itu kepada Hanggapati.
Hanggapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak segera menjawab.
Ditatapnya Sidanti yang sama sekali sudah tidak berdaya lagi. Agaknya orang tua itu telah berhasil menekan simpul syaraf Sidanti yang langsung mempengaruhi pusat syarafnya.
“Aku akan membawanya ke belakang garis peperangan ini,” berkata laki-laki tua itu. “Mudah-mudahan api yang membakar Tanah Perdikan ini segera akan padam.”
“Lalu, bagaimana dengan pasukan lawan?” bertanya Hanggapati.
“Usirlah mereka bersama-sama dengan Kerti, Samekta, dan para pengawal yang lain.”
“Tetapi,” orang tua itu mengerutkan keningnya, “aku harus bertemu dengan Samekta. Ia harus menyediakan sepasukan pengawal yang segera dapat digerakkan menguasai seluruh daerah peperangan, terutama padukuhan induk.”
Hanggapati mengerutkan keningnya.
“Orang-orang yang datang dari luar Tanah Perdikan ini dan yang kemudian akan melarikan diri, pasti akan mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya selagi padukuhan-padukuhan ini kosong.”
Hanggapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Sudahlah. Bantulah Kerti menyelesaikan tugasnya di sini.”
“Baik, Kiai.”
Orang tua itu pun kemudian memapah Sidanti di pundaknya dan membawanya mundur ke belakang garis peperangan. Namun ia masih sempat menemui Samekta setelah seorang penghubung memanggilnya.
“Jangan terlambat,” berkata orang tua itu mengakhiri pesannya. “Agaknya satu dua orang telah meninggalkan peperangan ini dengan diam-diam. Jalan lari itulah mereka akan mempergunakan kesempatan.”
“Baik, Kiai,” jawab Samekta kemudian.
Maka sepeninggal gembala tua itu, Samekta menjadi semakin sibuk. Untunglah bahwa gairah perlawanan pasukan Sidanti yang telah kehilangan pemimpin-pemimpinnya itu telah menurun jauh sekali, sehingga pasukan itu terus didorong mundur oleh pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh bersama rakyat yang setia kepada pemimpinnya.
Dengan cepat Samekta menunjuk beberapa orang yang dipercayanya. Mereka harus menebar ke segenap sudut padukuhan induk yang mungkin akan dilalui oleh pendatang yang dibawa Ki Peda Sura atau kawan-kawan mereka. Memang tidak mustahil bahwa sambil melarikan diri mereka akan mencari kesempatan dalam kekosongan untuk merampok dan merampas kekayaan yang tersisa.
Seperti juga para pemimpin pasukan pengawal yang lain, Samekta memperhitungkan, bahwa perlawanan pasukan lawan tidak akan dapat bertahan sampai fajar. Karena itu, maka sepasukan pengawal yang telah dipilihnya segera diperintahkannya untuk mendahului. Mereka mendapat tugas untuk mengamankan padukuhan induk, sebelum pasukan pengawal seluruhnya memasuki daerah itu.
Pertempuran itu kini benar-benar telah menjadi berat sebelah. Pasukan yang semula dipimpin oleh Ki Tambak Wedi, Sidanti, Argajaya, dan Ki Peda Sura itu sudah mulai pecah.
Mereka menyadari bahwa tidak ada lagi yang dapat mengikat mereka di dalam kesatuan karena pemimpin-pemimpin mereka telah habis. Itulah sebabnya, maka pasukan itu sama sekali tidak lagi dapat menyesuaikan diri.
Hanya beberapa orang yang menjadi berputus asa sajalah yang masih bertempur dengan gigih, karena mereka merasa bahwa mereka tidak akan mendapat tempat lagi di hari-hari mendatang di atas Tanah Perdikan ini. Tetapi mereka sudah tidak mendapat kesempatan untuk berpikir lagi. Mereka merasa bahwa tidak akan ada gunanya menyesal, sehingga karena itu, maka lebih baik bagi mereka untuk binasa sama sekali. Sebab apabila Tanah Perdikan ini kembali dikuasai oleh Ki Argapati dan orang-orang yang setia kepadanya, maka mereka yang selama ini berpihak kepada Sidanti dan Argajaya pasti akan dianggap sebagai pengkhianat. Itulah sebabnya, maka kematian adalah jalan yang sebaik-baiknya.
Tetapi ada juga yang memilih jalan lain. Lari. Ke mana pun.
Demikianlah maka seperti awan yang dihembus oleh angin, perlahan-lahan pasukan yang telah kehilangan pimpinan itu terpecah, kemudian berserakan tanpa arah. Yang mati, matilah di peperangan. Sedang yang masih hidup berlari-larian tidak menentu.
Sementara itu, seperti yang diperhitungkan oleh gembala tua, beberapa orang anak buah Ki Peda Sura dan kawan-kawan mereka memang mencoba mempergunakan kesempatan dalam kekisruhan itu. Tetapi pasukan khusus yang dikirim oleh Samekta, telah memasuki padukuhan induk itu lebih dahulu. Mereka segera memencar ke segenap sudut, sehingga mereka dapat langsung mengawasi orang-orang yang melarikan diri dan mencoba memasuki rumah-rumah yang masih berpenghuni.
Perkelahian-perkelahian kecil segera terjadi antara orang-orang liar itu melawan para pengawal. Tetapi hal itu tidak terjadi terlalu lama. Mereka yang telah menjadi gelisah dan bingung itu, segera meninggalkan padukuhan itu, berlari mencari selamat.
Sambil mengumpat-umpat tidak habis-habisnya, mereka berusaha menemukan jalan untuk kembali ke sarang-sarang mereka, meskipun salah seorang pemimpin mereka yang mereka segani, Ki Peda Sura sudah terbunuh.
Namun sebagian dari mereka tidak berhasil keluar dari padukuhan induk itu, karena tindakan yang cepat dari para pengawal. Korban di antara mereka masih juga berjatuhan satu-satu.
Pasukan pengawal yang marah merasa mendapat kesempatan untuk melepaskan dendam yang membara di hati mereka setelah beberapa lama mereka terusir dari padukuhan induk, dari padukuhan-padukuhan lain di sekitarnya. Bahkan ada di antara mereka yang terpaksa meninggalkan halaman dan milik mereka yang mereka kumpulkan, sedikit demi sedikit. Sehingga dengan demikian, maka dengan, nafsu yang menyala-nyala pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh, berusaha mengejar lawan-lawan mereka.
Tetapi sejenak kemudian beberapa penghubung telah menyebarkan perintah Samekta. Para pengawal tidak diperkenankan berlaku kasar dan menuruti perasaan masing-masing. Yang penting mereka harus memasuki padukuhan induk tanpa menghiraukan lawan yang melarikan diri terpecah belah.
“Kita harus segera menyusun diri. Menguasai seisi Tanah Perdikan ini sebaik-baiknya,” perintah Samekta.
Beberapa kelompok pengawal menjadi ragu-ragu atas perintah itu. Sekian lama mereka menahan kemarahan yang seolah-olah akan meledak di dada masing-masing. Kini mereka mendapat kesempatan itu. Apalagi di dalam pertempuran yang baru saja terjadi, apakah mereka harus melepaskan lawan itu begitu saja?
Namun dalam keragu-raguan itu, mereka merasa bahwa mereka tidak dapat berbuat sekehendak hati. Mereka mempunyai pemimpin, perintahnya harus didengar. Sehingga dengan demikian maka mereka harus patuh dan melakukan perintah itu.
Meskipun demikian ada juga beberapa kelompok pengawal yang tidak segera mematuhinya. Mereka masih mempergunakan kesempatan terakhir untuk melepaskan dendamnya terhadap pengikut Tambak Wedi yang menjadi sumber penderitaan seluruh rakyat Menoreh.
“Kita harus melepaskan mereka,” berkata seorang penghubung kepada seorang pemimpin kelompok yang sedang kalap.
“Persetan!” geramnya. “Aku harus membunuh orang itu.”
Tanpa menghiraukan apa pun lagi, ia mengejar seorang yang sudah tidak terlalu jauh di hadapannya. Agaknya orang itu sudah begitu lelah, sehingga langkah kakinya sudah tidak begitu cekatan.
“Tunggu, aku bunuh kau,” teriak pemimpin kelompok itu.
Orang yang sedang berlari itu berusaha untuk mempercepat langkahnya. Tetapi tenaganya tidak memungkinkannya lagi. Bahkan ketika terantuk sebuah batu, maka ia pun terbanting jatuh di tanah.
Betapapun penghubung itu mencoba mencegah, tetapi pemimpin kelompok itu sama sekali sudah tidak menghiraukannya lagi. Ketika orang yang terjatuh itu berusaha untuk bangkit, maka ujung pedang pemimpin kelompok itu segera membenam di punggungnya.
Tidak ada keluhan sama sekali yang terdengar. Orang itu terlempar dan jatuh tertelungkup, sementara langit menjadi semakin cerah.
Beberapa langkah di belakang mereka, beberapa orang pengawal di dalam kelompok itu pun berdatangan. Salah seorang anak muda yang tidak dapat menahan diri segera berteriak, “Cincang saja. Pengkhianat.”
Yang lain menyahut, “Ya, cincang pengkhianat itu.”
Pemimpin kelompok yang tidak dapat menahan hati itu pun kemudian dengan geramnya mendorong orang yang sudah terbunuh itu dengan kakinya, sehingga tubuh itu pun kemudian menelentang.
Tetapi demikian pemimpin kelompok itu melihat wajah orang yang dibunuhnya, tiba-tiba ia membeku. Tangannya. Menjadi gemetar dan bibirnya bergerak-gerak. Terdengar suaranya sendat, “Kakang. Kakang. Kaukah itu.”
Semua orang tiba-tiba saja mematung di tempatnya. Ternyata orang yang terbunuh itu adalah kakak pemimpin kelompok yang dengan tangannya sendiri telah membunuhnya.
“Kakang,” suaranya semakin lirih, “kenapa kau berpihak kepada Sidanti? Aku menjadi gila karena aku menyangka bahwa kau justru telah terbunuh oleh mereka,” suaranya tiba-tiba merendah. “Sejak kita terusir dari padukuhan induk, kita tidak pernah bertemu lagi. Ternyata kau terpikat oleh janji-janji mereka.”
Namun pemimpin pengawal itu tidak dapat menahan diri ketika hatinya serasa seakan-akan terpecah. Perlahan-lahan ia berjongkok di samping tubuh kakaknya yang telah membeku. Katanya perlahan-lahan sambil menyilangkan pedang di dadanya. “Maafkan aku, Kakang. Aku sama sekali tidak menyangka, bahwa kaulah yang telah aku bunuh. Bukan maksudku sama sekali meskipun seandainya aku tahu kau berpihak kepada lawan.”
Dan kepalanya pun menjadi semakin tertunduk ketika terbayang wajah ayah dan ibunya. Ayah dan ibunya yang meninggal beberapa tahun yang lalu. Hampir berturut-turut. Tiga tahun ia kehilangan kedua orang tuanya. Selama itu kakaknya itulah yang mengasuhnya. Memberinya tempat tinggal dan makan. Tetapi, kini ia telah membunuhnya.
Ketika pemimpin kelompok itu berpaling, dilihatnya penghubung yang selama itu mencoba mencegahnya. Dengan penuh sesal ia berkata, “Aku bersalah. Aku tidak mentaati perintah Ki Samekta. Dan aku harus menebus kesalahan itu dengan taruhan yang terlampau mahal.”
Penghubung itu tidak menyahut. Ternyata peperangan memang begitu kejam, sehingga memaksa seorang adik membunuh kakaknya sendiri walau pun tanpa disadarinya.
“Sudahlah,” akhirnya penghubung itu berkata. “Ki Samekta memerlukan kalian di padukuhan induk. Berkumpullah. Kalian akan mendapat petunjuk. Hal-hal serupa ini agaknya memang telah diperhitungkannya. Bukan saja pembunuhan adik atas kakaknya, tetapi juga pelepasan dendam yang berlebih-lebihan di antara kita sendiri.”
Pemimpin kelompok itu berdiri perlahan-lahan. Kepalanya masih tertunduk. Tetapi kepala yang tertunduk itu mengangguk.
“Kita akan menyelesaikan sisa-sisa persoalan ini dengan cara yang lain,” berkata penghubung itu. “Dan Ki Samekta sudah mempertimbangkan cara yang sebaik-baiknya.”
“Ya. Aku telah terjebak oleh nafsuku sendiri,” desis pemimpin kelompok yang kalap itu.
Sejenak kemudian maka dengan kepala tunduk seluruh kelompok itu pun segera meninggalkan tempat itu. Namun pemimpin kelompok itu masih berdesis, “Besok aku akan minta ijin khusus untuk menguburkan mayat Kakang.”
Tidak seorang pun yang menjawab. Sesal yang sangat telah melepaskan segala macam dendam di dalam dada pemimpin kelompok itu.
Sementara itu, di bagian lain dari medan peperangan, masih terjadi beberapa keributan kecil. Tetapi semuanya segera dapat di atasinya. Beberapa kelompok pasukan pengawal telah berada di padukuhan induk. Mereka segera mengambil tempat-tempat yang penting untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Terutama dari orang-orang pendatang yang jelas akan mempergunakan setiap kemungkinan yang terbuka dalam keadaan apa pun.
Dalam pada itu, Ki Argapati yang ditunggui oleh Pandan Wangi telah semakin menyadari keadaannya. Titik air di bibirnya membuatnya sedikit segar.
Dan ketika perang itu berakhir, Ki Argapati telah dapat mengerti, apa yang telah terjadi di sekitarnya. Tetapi ia pun menyadari bahwa keadaannya menjadi semakin lemah, karena luka-lukanya bertambah parah.
Tetapi hatinya seakan-akan rontok ketika usungan yang membawanya memasuki pintu gerbang padukuhan induk yang telah sekian lama ditinggalkannya.
Dengan suara yang lemah ia berdesis, “Wangi, apakah aku tidak bermimpi.”
“Tidak, Ayah,” jawab Pandan Wangi. “Ayah sedang memasuki padukuhan induk.”
Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia menatap langit yang terbentang, maka cahaya fajar telah menjadi semakin terang.
“Ternyata Tuhan masih memperkenankan aku memasuki padukuhan ini kembali.”
“Bukankah kita memohonnya,” sahut anaknya, “dan permohonan kita sama sekali tidak berlebih-lebihan. Permohonan yang ternyata diperkenankan oleh Tuhan.”
“Ya. Kita wajib berterima kasih,” suara Argapati merendah di antara desah nafasnya. “Kau tidak boleh melupakan apa yang telah terjadi hari ini, Wangi.”
Pandan Wangi menganggukkan kepalanya.
“Ternyata kita tidak berjuang sendiri. Tuhan telah mengirimkan kepada kita beberapa orang yang ternyata memegang peranan di dalam perjuangan ini.”
Pandan Wangi menundukkan kepalanya. Sekilas ia melihat pagar-pagar batu di sebelah-menyebelah jalan. Masih seperti pada saat ditinggalkannya.
Kemudian terbayang sekilas di dalam ingatannya, dua orang anak-anak muda yang mengaku bernama Gupala dan Gupita. Anak-anak muda yang serasa dibayangi oleh kabut rahasia yang tak terpecahkan. Sejak permulaan peristiwa yang membakar Tanah Perdikan ini, kedua anak muda itu telah menunjukkan dirinya.
Tengkuk Pandan Wangi meremang kalau terkenang olehnya, beberapa laki-laki yang kasar telah mencegatnya. Kemudian di jalan pulang bersama Samekta, ia bertemu dengan seorang gembala yang bernama Gupita. Gembala yang cakap bermain seruling.
Namun sejalan dengan itu, terbayang juga di dalam kenangannya, betapa Sidanti telah berusaha melindunginya sebagai seorang kakak, ketika ia hampir-hampir menjadi berputus asa. Sidanti telah melepaskannya dari tangan orang-orang liar itu.
Tanpa disadarinya Pandan Wangi menundukkan kepalanya. Kini kakaknya itu menjadi seorang tawanan, yang menurut penilaian orang-orang Menoreh adalah seorang pengkhianat bersama pamannya, Argajaya. Pamannya yang sangat baik kepadanya sejak ia masih kanak-kanak. Yang pernah mendukungnya pula bergantian dengan bibinya. Apalagi apabila ia sedang menangis karena dimarahi oleh ayah dan ibunya, jika ia nakal.
“Cup, cup Wangi,” pamannya selalu mencoba menghiburnya. “Ibu nakal. Ayah nakal. Mari bermain dengan paman saja. Cup.” Dan ia pun kemudian didukung ke kebun di belakang rumah, di bawah pepohonan yang rimbun, sehingga kadang-kadang ia tertidur di dalam dukungan.
Dan sekarang, seperti kakaknya, pamannya adalah seorang tawanan.
Wajah Pandan Wangi menjadi semakin menunduk. Dalam waktu sekian tahun itu ternyata telah terjadi banyak sekali perubahan. Ada yang pergi dari hatinya, tetapi ada yang datang pula.
Yang sebelumnya belum pernah dikenalnya, kini mereka bersama-sama justru berhadapan dengan orang-orang yang ada di sekitarnya di masa kanak-kanak.
Argajaya dan Sidanti telah tersisih dari lingkaran hidupnya, dan kini hadir gembala-gembala itu dengan ayahnya yang tua.
Pandan Wangi terkejut ketika ia mendengar ayahnya yang berada di usungan di sisinya bertanya lirih, “Kita telah sampai di mana sekarang ini, Wangi?”
“Kita hampir sampai ke rumah, Ayah.”
Terdengar sebuah desah pendek. Tetapi Ki Argapati tidak bertanya lebih lanjut.
Sebenarnyalah bahwa mereka telah hampir sampai di rumah Ki Argapati di padukuhan induk. Sebentar kemudian mereka telah berada di sebuah lapangan rumput di muka sebuah rumah yang berhalaman luas.
“Hem,” Argapati menarik nafas dalam-dalam.
Iring-iringan itu pun kemudian menjadi semakin mendekati regol halaman. Sejenak mereka berhenti ketika dua orang pengawal mendahului untuk melihat keadaan.
Ternyata Samekta telah berada di halaman itu bersama Kerti. Dengan tergesa-gesa mereka menyongsong Ki Argapati yang masih berada di dalam usungan.
“Marilah, Ki Gede,” berkata Samekta. “Semuanya sudah dipersiapkan meskipun dengan tergesa-gesa. Halaman ini telah bersih dari kemungkinan-kemungkinan yang kurang menyenangkan. Para pengawal telah menebar di segala sudut. Di halaman depan, samping dan di kebun belakang. Isi rumah ini pun telah kami periksa dengan teliti. Dan Ki Gede kemudian dapat beristirahat dengan tenang.”
Ki Gede mengerutkan keningnya. Terasa luka-lukanya menjadi kian perih. Namun ia berdesis, “Terima kasih, Samekta.”
Ki Gede pun kemudian diusung memasuki regol halaman. Pandan Wangi hampir-hampir tidak dapat menahan harunya, sehingga sepasang matanya pun menjadi basah. Tetapi ia bertahan untuk tidak menitikkan air mata. Dicobanya berjalan dengan tegap di samping usungan ayahnya. Dicobanya menengadahkan wajahnya menatap tangga-tangga pendapa rumahnya.
Namun ketika tampak olehnya tanaman-tanaman bunga yang dipeliharanya dengan hati-hati, pepohonan dan seluruh halaman rumahnya menjadi sangat kotor seperti hutan perdu, maka terasa kerongkongannya seakan-akan tersumbat.
Rumah itu seolah-olah sudah berubah menjadi rumah hantu. Di sana-sini sarang labah-labah bergayutan. Putih kehitam-hitaman.
Agaknya selama rumah ini ditinggalkannya, sama sekali tidak pernah dibersihkan. Ki Tambak Wedi, Sidanti dan orang-orangnya yang tinggal di rumah ini sama sekali tidak sempat memperhatikan sarang labah-labah dan tumbuh-tumbuhan liar di halaman.
Tetapi saat itu Pandan Wangi pun tidak sempat memperhatikannya terlalu lama. Ia selalu berada di samping ayahnya ketika usungan itu dibawa masuk ke ruang dalam.
Sebuah lampu minyak yang buram masih menyala di atas ajuk-ajuk meskipun hari sudah menjadi semakin terang. Tetapi sinarnya sama sekali sudah tidak berarti. Bahkan semakin lama menjadi semakin redup karena minyak di dalamnya sudah habis sama sekali.
“Apakah bilik ayah sudah dibersihkan,” bertanya Pandan Wangi kepada Samekta.
Samekta tergagap sejenak. Ia sama sekali tidak berpikir sampai begitu jauh. Ketika ia melihat bilik itu dan menurut pendapatnya sama sekali sudah tidak ada bahaya yang tersembunyi, maka ia merasa bahwa bilik itu sudah siap dipergunakan. Tetapi tidak terkilas sama sekali di kepalanya, bahwa bilik itu memang harus dibersihkan.
Hanya karena Pandan Wangi adalah seorang gadis meskipun berpedang di lambungnya sajalah, maka selain pengamatan atas bahaya yang tersembunyi, maka kebersihannya pun mendapat perhatiannya.
“Aku kira belum bukan, Paman?”
Samekta menganggukkan kepalanya, “Memang belum. Aku tidak berpikir sampai ke sana.”
“Tungguilah ayah di sini. Aku akan membersihkannya sebentar.”
Samekta menganggukkan kepalanya, sedang Pandan Wangi segera berlari ke belakang mencari sapu serabut.
Dengan tergesa-gesa bilik yang kotor itu pun dibersihkannya. Kemudian dicarinya tikar yang lebih bersih dari tikar yang terbentang di atas pembaringan. Pembaringan yang dahulu juga, tetapi alangkah kotornya.
Setelah semuanya dianggapnya selesai untuk sementara, maka dibaringkannya Ki Argapati di pembaringan. Pembaringan yang sudah sekian lama ditinggalkannya. Sementara Samekta dan Kerti segera mengatur para pengawal dan menyebarkannya di tempat-tempat yang dianggap perlu.
Namun sementara itu, yang sama sekali kurang mendapat perhatian para pengawal adalah justru padukuhan yang baru saja mereka tinggalkan. Lebih daripada itu adalah padukuhan di sebelah, tempat orang-orang Menoreh menampung para pengungsi.
Padukuhan itu hanya sekedar ditunggui oleh beberapa pengawal dan laki-laki yang menurut pertimbangan badaniah sudah tidak mampu lagi bertempur di medan yang berat. Karena itu maka kekuatan di kedua padukuhan itu hampir tidak berarti sama sekali.
Adalah di luar dugaan bahwa beberapa orang liar yang datang membantu Sidanti teringat akan hal itu. Dan bahkan memusatkan perhatian mereka kepada para pengungsi itu.
“Kita singgah sebentar ke padukuhan itu,” desis salah seorang dari mereka.
“Untuk apa?” bertanya yang lain.
“Menoreh pasti telah mengerahkan semua manusia yang ada. Karena itu, maka kedua padukuhan itu pasti kosong.”
“Kenapa kita singgah di sana?”
“Kau memang bodoh. Sebagian besar isi padukuhan induk telah mengungsi ke sana. Yang dapat mereka bawa pasti barang-barang berharga saja. Karena itu, apabila kita dapat memasuki padukuhan pengungsian itu, kita tinggal mengambil saja sesuka hati kita. Apa saja pasti sudah tersedia.”
“Apakah sama sekali tidak ada seorang penjaga pun?”
“Tentu ada, tetapi pasti bukan orang-orang yang terpilih untuk ikut ke peperangan.”
Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Salah seorang yang lain berkata, “Aku sependapat. Mari, sebelum sebagian dari mereka kembali.”
Segerombolan kecil orang liar itu pun segera mempercepat langkah mereka. Mereka tidak mau didahului oleh sebagian dari para pengawal yang pasti akan segera dikirim oleh pimpinan pasukan Menoreh.
“Apa pun yang kita dapatkan, dapatlah sekedar menawarkan hati yang panas ini.”
Mereka mengangguk-anggukkan kepala sambil melangkah semakin cepat.
Kehadiran mereka di tempat-tempat pengungsian benar-benar membuat suasana yang tenang itu menjadi kisruh. Beberapa orang pengawal yang bertugas segera mempersiapkan diri. Bahkan laki-laki yang sudah berusia lanjut pun segera menyambar senjata-senjata yang ada di dinding. Dan anak-anak tanggung yang berdarah panas pun tidak mau ketinggalan.
“He,” pemimpin dari para pengawal itu berkata lantang di hadapan segerombolan orang yang akan memasuki padukuhan itu, ”Siapakah kalian, dan apakah maksud kalian?”
“Kami hanya sekedar akan lewat. Bukankah jalan yang melintas di tengah-tengah padukuhan ini jalan untuk umum.”
Pemimpin pengawal itu menggelengkan kepalanya, “Tidak. Dalam keadaan serupa ini jalan ini tertutup bagi siapa pun.”
“Tetapi kami akan lewat,” teriak yang berkumis panjang.
“Minggir,” teriak yang berkepala botak.
Tetapi pemimpin pengawal itu pun berteriak, “Jangan memaksa. Kalian harus mencari jalan lain.”
Tiba-tiba terdengar suara tertawa berkepanjangan. Seorang yang bertubuh tinggi kekar dan berjambang lebat maju ke depan sambil mengacung-acungkan kelewangnya. “Minggir anak-anak marmot. Jangan berbuat bodoh.”
Pemimpin pengawal itu menjadi ragu-ragu sejenak. Dipandanginya orang yang tampaknya buas dan liar itu. Namun dengan demikian ia dapat meraba, apakah yang sebenarnya akan mereka lakukan.
“Apa pun yang akan terjadi, tetapi kalian tidak boleh lewat,” jawab pengawal itu.
Hampir serentak orang yang liar itu mendesak maju.
Tetapi para pengawal yang berdiri di mulut lorong pun tidak menepi. Meskipun mereka menyadari, bahwa mereka akan berhadapan dengan orang-orang yang liar dan buas. Bahkan mereka pun menyadari bahwa mereka tidak mampunyai cukup kekuatan untuk mempertahankan diri terhadap segerombolan orang-orang liar itu.
Namun demikian mereka tidak akan dapat pula membiarkan orang-orang itu memasuki padukuhan dan merampok segala isinya. Apa pun yang terjadi, mereka harus bertahan sejauh-jauh dapat mereka lakukan.
“He, orang-orang yang tidak tahu diri,” berteriak seseorang yang berdada bidang dan berbulu lebat, “apakah kalian tidak mengenal kami?”
“Siapa pun kalian, kami tetap dalam pendirian kami.”
Orang-orang liar itu pun kemudian tidak dapat tersabar lagi. Segera mereka pun memencar sambil mengacung-acungkan senjata mereka. Salah seorang dari mereka berteriak, “Kalian tidak akan berdaya apa pun juga menghadapi kami. Jangan keras kepala.”
Para pengawal itu pun segera mempersiapkan diri. Mereka masih juga mempunyai harapan, karena jumah mereka lebih banyak. Tetapi yang banyak itu adalah sekedar orang tua-tua dan anak-anak tanggung. Meskipun demikian di antara yang tua-tua itu terdapat bekas-bekas pengawal yang pernah mengenal bagaimana mempergunakan pedang dan tombak yang ada di tangan mereka.
“Kami harus melindungi perempuan dan anak-anak,” desis seorang tua yang sudah ubanan seluruh kepalanya. Sambil membelai janggutnya yang sudah putih pula ia meneruskan, “Kami masih cukup kuat untuk bertempur melawan berandal yang mana pun juga.”
Tetapi segerombolan orang yang datang itu benar-benar orang-orang yang buas. Mereka sama sekali tidak menghiraukan apa pun juga, selain membayangkan bahwa di dalam padukuhan itu terdapat harta-benda yang dapat sedikit melepaskan tekanan yang menghimpit dada oleh kekalahan demi kekalahan yang pernah mereka alami selama mereka masih berada di atas Tanah Perdikan ini.
Dengan demikian, maka orang-orang itu pun kemudian mendesak semakin maju. Beberapa langkah di hadapan mereka, para pengawal pun segera menebar. Mereka pun telah siap menghadapi segala kemungkinan.
Seperti pesan pemimpin mereka, maka para pengawal itu bersiap menghadapi lawan-lawan mereka dalam pasangan-pasangan yang terdiri dari dua atau tiga orang. Setiap pengawal didampingi oleh orang-orang tua atau anak-anak tanggung. Dalam pasangan-pasangan itulah mereka akan berkelahi melawan orang liar yang menurut perhitungan para pengawal memiliki kemampuan yang lebih tnggi. Karena itu, para pengawal berusaha untuk memanfaatkan jumlah mereka yang lebih banyak itu sebaik-baiknya.
Sesaat kemudian maka kedua pasukan kecil itu pun segera berbenturan. Dengan teriakan-teriakan tinggi berandal-berandal itu menggempur lawan-lawannya tanpa pengekangan diri. Dengan kasar mereka mengayunkan senjata-senjata mereka dibarengi oleh umpatan-umpatan kasar pula yang dapat membakar telinga.
Adalah di luar dugaan berandal-berandal itu bahwa pengawal yang berjumlah kecil bersama orang-orang tua dan anak-anak itu ternyata telah berjuang dengan gigihnya. Mereka sama sekali tidak mengenal takut menghadapi akibat yang bagaimana pun juga beratnya.
Sejenak kemudian, maka mulailah darah menitik dari luka-luka. Seorang yang telah tidak bergigi lagi ternyata tersentuh ujung pedang, tertatih-tatih ia terdorong surut, kemudian jatuh berguling di tanah. Dengan nafas terengah-engah ia mencoba bangkit. Namun lukanya terasa menjadi kian pedih.
“Minggirlah!” teriak seorang pengawal. “Mundurlah dan bersihkan luka itu.”
Belum lagi ia beranjak dari tempatnya, seorang anak muda berumur enam belas tahun terlempar dari pertempuran. Sebuah goresan biru telah menyilang punggungnya. Agaknya sebuah bindi telah mengenainya, meskipun tidak sepenuh kekuatan lawan, sehingga ia masih mampu meloncat berdiri. Tetapi karena senjatanya terlempar dari tangannya, maka ia pun segera meloncat mengambil senjata orang tua yang terluka, “Pinjam senjatamu, Kek.”
Namun bagaimana pun juga, sejenak kemudian segera terasa bahwa pasukan para pengawal itu segera terdesak. Hanya karena jumlah dan tekad mereka sajalah, mereka mampu bertahan. Pemimpin pengawal itu memang masih mengharap sesuatu akan terjadi. Mungkin sepasukan pengawal kembali, atau mungkin pasukan pengawal di padukuhan sebelah mengetahui keadaan ini.
Pasukannya yang lengah, ternyata tidak mempersiapkan alat-alat apa pun yang dapat dipergunakannya untuk memberikan isyarat kepada para pengawal di padukuhan sebelah selain kentongan. Tetapi pengawal itu pun jumlahnya sama sekali tidak memadai.
Namun demikian, pemimpin pengawal itu tidak berputus asa. Ketika pasukannya benar-benar terdesak, maka diperintahkan-nya memukul titir. Kentongan. Satu-satunya alat yang masih dimilikinya
Sejenak kemudian terdengar suara titir menggema dari padukuhan kecil itu. Beberapa buah kentongan berbunyi bersama-sama, sahut-menyahut. Namun di sela-sela suara kentongan itu terdengar orang yang berbulu lebat di dadanya berkata, “Darimana kau akan mendapatkan bantuan? Dari padukuhan sebelah yang dilingkari oleh pring ori itu? Kasihan. Mereka tidak akan mampu membantu kalian, karena jumlah mereka pun tidak akan berarti apa-apa bagi kami.”
Pemimpin pengawal tidak menghiraukannya. Ia sendiri berkelahi seperti harimau lapar. Sedang beberapa orang pengawal terlatih yang lain pun mengikuti jejaknya pula.
Ternyata bahwa suara kentongan itu tertangkap dari padukuhan di sebelah. Karena itu maka pemimpin pengawal yang tinggal di padukuhan itu pun segera mengumpulkan pasukan kecilnya.
“Apakah yang telah terjadi?” ia bertanya.
Tetapi tidak seorang pun yang mengetahuinya.
“Biarlah beberapa orang pergi ke sana melihat keadaan. Yang lain tetap berada di padukuhan ini,” perintah penimpin pengawal itu.
Beberapa orang pun segera pergi meninggalkan lingkungan pring ori menuju ke padukuhan sebelah. Dengan tergesa-gesa mereka meloncat-loncat sambil menduga-duga. Apakah yamg sebenarnya telah terjadi?
Akhirnya mereka pun melihat, di pinggir desa itu telah terjadi pertempuran. Agaknya para pengawal yang ada di padukuhan itu terdesak, sehingga mereka terpaksa membunyikan tanda.
Para pengawal itu pun berlari semakin cepat. Ketika mereka sampai di arena, mereka pun segera melibatkan diri di dalam pertempuran itu.
Namun jumlah mereka tidak terlampau banyak, sehingga pengaruhnya tidak begitu terasa. Meskipun pada saat-saat permulaan, para pengawal yang mendapat tenaga baru itu berhasil menahan desakan berandal yang kehausan, tetapi sejenak kemudian mereka pun telah terdesak kembali betapa pun lambatnya.
“Menyerahlah,” teriak salah seorang beranda1 yang berambut panjang.
Tetapi para pengawal sudah bertekad untuk bertahan. Apalagi setelah mereka mendapat bantuan meskipun hanya beberapa orang. Namun ketahanan mereka sudah menjadi bertambah. Jumlah mereka yang lebih banyak pun dapat membantu untuk memperpanjang waktu pertahanan mereka.
Beberapa orang pengawal telah mencoba untuk memecah perhatian orang-orang yang liar itu. Mereka menyerang dari samping. Sedang jumlah yang besar meskipun sebagian dari mereka adalah orang tua-tua dan anak-anak tanggung. tetap menghadapi mereka dari depan.
Tetapi bagaimana pun juga para pengawal tidak akan dapat menguasai lawan-lawan mereka yang ganas.
Dalam pada itu, sepasang mata yang tajam mengikuti pertempuran yang sedang berlangsung dengan sengitnya. Pengetahuannya yang tajam tentang pertempuran dan perkelahian segera menangkap bahwa keadaan para pengawal semakin lama menjadi semakin sulit. Meskipun hanya setapak demi setapak, namun mereka terdesak terus. Apalagi tenaga orang-orang tua itu pasti akan segera susut. Mereka akan segera menjadi lelah, dan kehilangan kemampuan untuk melakukan perlawanan. Sedang orang-orang liar itu menjadi semakin liar. Apabila mereka merasa terganggu, maka mereka dapat melakukan tindakan-tindakan di luar batas peri kemanusiaan.
Orang yang mengawasi pertempuran itu menarik nafas dalam-dalam. Sejenak kemudian ia berdesis, “Untunglah, bahwa aku tidak langsung pergi ke padukuhan induk. Agaknya pasukan pengawal Tanah Perdikan ini seluruhnya telah dikerahkan untuk menyerang kekuatan Ki Tambak Wedi.”
Orang itu pun mencoba mendekati medan. Di balik dedaunan dan gerumbul-gerumbul ia melindungi dirinya sambil selangkah demi selangkah maju.
“Sebentar lagi pertahanan para pengawal itu pasti akan pecah,” desis orang itu. “Lalu bagamana dengan pertempuran di padukuhan induk? Kalau mereka tidak dapat menerobos masuk, maka para pengawal akan mengalami kekalahan mutlak di semua medan.”
Orang itu menarik nafas. Kemudian ia berdesis, “Apakah aku akan membiarkan semua ini terjadi, sedang dua orang-orangku sudah mendahului aku berpihak kepada Ki Argapati?”
Sejenak ia termenung. Namun kemudian ia berdesis, “Aku harus menolongnya. Seandainya tidak ada hubungan apa pun dengan pertempuran di medan yang lain, namun kali ini persoalannya adalah persoalan perikemanusiaan. Kalau pertahanan itu pecah, maka berandal-berandal itu pasti akan mengaduk seisi padukuhan, terutama pengungsi-pengungsi. Pengungsi-pengungsi yang selalu dalam kecemasan karena bermacam-macam hal itu, masih harus mengalami bencana lagi di pengungsian.”
Karena itu, maka orang itu pun tidak menunggu lebih lama lagi. Kini ia tidak bersembunyi. Ia pun kemudian melangkah, melangkahi sawah yang kering dan rerumputan liar menuju ke medan pertempuran.
Semula tidak seorang pun yang melihat kehadirannya. Tetapi kemudian satu dua orang melihatnya. Seorang anak muda yang berjalan dengan tegapnya, menjinjing sebatang tombak pendek.
“He, siapakah orang itu?” desis seorang pengawal sambil bertempur terus.
Kawannya yang melihat kehadiran anak muda itu pula menggelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu.”
“Apakah orang itu salah seorang dari berandal-berandal itu?”
Kawannya menggelengkan kepalanya. Tetapi ia tidak sempat menjawab, karena ia harus menghindari serangan lawannya. Seorang yang berkumis lebat.
Orang yang menjinjing tombak itu berjalan saja seenaknya, semakin lama semakin dekat. Seperti seorang anak muda yang pergi ke perhelatan perkawinan seorang sahabat karibnya. Sama sekali tidak ada kesan ketegangan di wajahnya, meskipun di hadapannya berlangsung pertempuran yang seru.
Akhirnya kedua belah pihak yang bertempur pun melihat kehadirannya. Dengan tenang ia berhenti beberapa langkah dari peperangan itu. Kemudian berteriak nyaring, “He, aku akan ikut di dalam peperangan itu. Aku akan berpihak pada para pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Apakah kalian mendengar suaraku.”
Mereka yang sedang bertempur menjadi heran. Tiba-tiba saja orang itu menyatakan diri berpihak. Sedangkan kedua belah pihak sama sekali masih belum mengenalnya. Hampir berbareng pemimpin pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang bertugas di padukuhan itu, dan seorang dari berandal-berandal yang menyerangnya berteriak, “Siapakah kau?”
“Itu tidak penting. Tetapi aku muak melihat berandal-berandal yang berkeliaran di manapun. Juga di atas Tanah Perdikan ini. Selagi Tanah ini sedang kisruh, berandal-berandal itu mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Aku tidak tahu, apakah kalian memang dikirim oleh Ki Tambak Wedi, atau karena maksud kalian sendiri, namun perbuatan kalian memang harus dicegah.”
“Persetan!” teriak salah seorang dari orang-orang liar itu. “Apakah pengaruhmu seorang diri. Mari, ikutlah mati bersama para pengawal.”
“Tetapi aku tidak seorang diri. Aku akan bertempur bersama para pengawal.”
Tidak seorang pun yang segera menyahut. Tetapi kehadirannya benar-benar menarik perhatian, meskipun ia hanya seorang diri. Meskipun demikian, orang-orang yang telah dicengkam oleh nafsu untuk memiliki harta dan benda itu sama sekali tidak berhasrat untuk mengurungkan niatnya. Sejenak kemudian salah seorang dari mereka berteriak, “He, kedatangan segerombolan pengawal dari padukuhan sebelah sama sekali tidak berarti bagi kami. Apalagi kau hanya seorang diri, meskipun kau akan bertempur bersama-sama para pengawal.”
Orang yang baru datang itu mengerutkan keningnya, kemudian jawabnya, “Memang, kedatangan segerombolan pengawal itu baru membuat keadaan menjadi seimbang. Nah, meskipun kemudian aku datang seorang diri, tetapi aku akan dapat merubah keseimbangan itu.”
“Omong kosong!” teriak seorang yang bertubuh tinggi, berdada bidang dan berbulu lebat. Ia adalah orang yang sama sekali tidak dapat menahan diri. Karena itu, maka katanya kemudian, “Aku akan mencekik kelinci kecil itu. Teruskan pekerjaan kalian sampai tikus-tikus Menoreh ini menyadari kebodohannya. Aku hanya memerlukan waktu sekejap, kemudian aku akan kembali bersama-sama dengan kalian.”
Orang yang tinggi besar itu segera keluar dari pertempuran. Dengan langkah yang berat ia maju mendekati anak muda yang bersenjata tombak itu.
“Siapa kau. Aku ingin tahu namamu sebelum kau mati.”
“Sudah aku katakan, itu tidak penting.”
“Setan alas!” orang itu mengumpat. Kemudian diputarnya senjatanya. Sebuah canggah bertangkai pendek.
Anak muda yang bersenjata tombak itu masih tetap berdiri di tempatnya. Tetapi ia telah menyiapkan diri menghadapi segala kemungkinan.
Tanpa berjanji maka peperangan yang seru itu pun mengendor. Hampir setiap orang di dalam peperangan itu ingin melihat, apa yang akan terjadi atas anak muda itu. Sehingga dengan demikian maka benturan dari kedua pasukan kecil itu seakan-akan terhenti untuk sesaat, hanya karena seorang anak muda yang datang mendekati arena.
“Lihatlah untuk yang terakhir kalinya,” berkata orang yang tinggi besar itu, “tengadahkan wajahmu ke langit, kemudian tundukkan kebumi. Kau sudah tidak akan melihatnya lagi.”
“Jangan menipu aku. Kau akan menusuk lambungku selagi aku menengadah,” jawab anak muda itu.
“Sombong! Kau kira aku tidak dapat membunuhmu tanpa berbuat licik seperti itu.”
“Yakini kata-katamu sendiri. Kau tidak dapat mengalahkan aku tanpa perbuatan licik.”
“Persetan!” orang itu menjadi sangat marah. Ia merasa benar-benar terhina, sehingga dengan serta-merta ia meloncat menyerang dengan canggahnya. Ujung yang bercabang itu langsung mengarah ke leher anak muda yang bersenjata tombak itu.
Tetapi semua mata yang melihat serangan itu terbelalak karenanya.
Semula mereka menyangka bahwa serangan yang demikian cepatnya itu akan segera mengakhiri perkelahian yang baru dimulai itu. Namun ternyata mereka salah sangka. Meskipun perkelahian itu benar-benar segera berakhir, tetapi bukan canggah orang bertubuh tinggi itulah yang menyobek leher anak muda yang bersenjata tombak.
Yang terjadi adalah justru sebaliknya. Dengan sigapnya anak muda itu mengelak, dan dengan sigapnya pula ia mengangkat ujung tombaknya. Anak itu tidak perlu mempergunakan kekuatan apa pun untuk membenamkan tombaknya di dada lawannya, karena lawannya telah melontarkan dirinya sendiri.
Adalah benar-benar di luar dugaan. Anak muda itu pun kemudian mengkibaskan wiron kainnya. Kemudian disangkutkannya wiron itu diikat pinggangnya di bagian belakang, di bawah punggung.
“Lihat,” katanya, “aku terpaksa mulai.”
Tidak seorang pun yang menyahut. Mereka melihat orang yang bertubuh tinggi gagah itu terhuyung-huyung. Dan ketika anak muda itu menarik ujung tombaknya, maka tubuh itu pun kemudian terbanting jatuh di tanah.
“Aku tidak sengaja membunuhnya,” berkata anak muda itu, “tetapi ia telah membunuh dirinya sendiri.”
Sejenak peperangan itu menjadi sepi. Bahkan berhenti untuk sesaat. Semua mata terbelalak melihat apa yang baru saja terjadi. Orang-orang liar yang sudah terlampau biasa melihat kematian itu pun menjadi heran, apalagi para pengawal.
“Hampir seperti Ki Gede Menoreh sendiri,” desis seseorang kepada diri sendiri.
Sementara itu anak muda itu pun berkata, “Nah. Sekarang aku akan ikut bertempur. Ayo, jangan berdiri termangu-mangu.”
Selangkah demi selangkah ia maju. Tombaknya dijinjingnya dengan sebelah tangannya.
“Itu hanya suatu kebetulan,” beberapa orang berandal berkata di dalam hati masing-masing untuk menenteramkan diri sendiri. “Nafsu yang meluap-luap memang dapat menjerumuskan diri sendiri ke dalam bencana. Karena itu, aku harus berhati-hati menghadapi anak itu.”
Sejenak kemudian maka pertempuran pun segera berkobar kembali. Semakin lama semakin dahsyat. Dentang senjata berkumandang di udara, dan bunga api pun memercik dari benturan senjata yang beradu.
Dalam pada itu, setiap orang di dalam peperangan itu pun segera melihat, apakah yang dapat dilakukan oleh anak muda yang bersenjata tombak pendek itu. Meskipun ia seorang diri, namun pengaruhnya jauh lebih besar dari beberapa orang yang datang dari padukuhan sebelah.
Dengan demikian maka keseimbangan pertempuran itu pun segera berubah. Para pengawal tidak lagi terdesak. Bahkan karena setiap kali anak mada itu dapat mengurangi jumlah lawannya, maka perlahan-lahan para pengawal itu pun dapat menguasai keadaan.
Sehingga sejenak kemudian, meskipun korban jatuh di kedua belah pihak, namun para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang sedang bertugas di padukuhan kecil itu meyakini bahwa mereka akan berhasil mempertahankan daerah pengungsian itu atas bantuan seorang anak muda yang bersenjata tombak pendek. Tetapi anak muda yang bersenjata tombak pendek itu meskipun hanya seorang diri, mempunyai kemampuan bertempur yang luar biasa. Seolah-olah para pengawal itu sedang bertempur bersama-sama Ki Argapati sendiri.
Orang-orang yang semula mengharapkan dapat merampas kekayaan yang tersembunyi di padukuhan kecil bersama para pengungsi itu pun akhirnya harus mengumpat-umpat. Beberapa orang dari mereka telah terbunuh atau terluka. Sedang sisanya sama sekali sudah tidak mempunyai harapan lagi untuk memenangkan perkelahian itu.
Dengan demikian, maka setelah mereka saling berbisik, terdengarlah salah seorang dari mereka bersuit nyaring.
Sejenak kemudian orang-orang itu pun segera berloncatan, melarikan diri salang-tunjang tanpa tujuan, Mereka berlari ke mana pun untuk menjauhi para pengawal yang masih mengejar mereka beberapa puluh langkah. Namun para pengawal itu pun segera menghentikan pengejaran, karena mereka menyadari, bahwa kekuatan mereka tanpa anak muda itu pun tidak akan lebih dari kekuatan lawannya.
Demikianlah maka pertempuran antara dua pasukan kecil itu pun segera berakhir. Meskipun demikian sekali lagi Menoreh harus menyerahkan korban-korbannya sebagai pupuk tanah kelahiran mereka.
Ketika para pengawal itu sudah mulai menjadi tenang, maka pemimpin pengawal itu pun segera bertanya sekali lagi kepada anak muda itu, “Siapakah kau sebenarnya?”
Anak muda itu tersenyum. Ia tidak menjawab pertanyaan itu, bahkan ia bertanya pula, “Apakah pasukan Menoreh seluruhnya berangkat ke padukuhan induk?”
“Ya,” jawab pemimpin pengawal.
“Kelengahan yang berbahaya. Kalian melihat akibatnya.” Anak muda itu berhenti sejenak, lalu, “Apakah kalian sudah mendengar kabar penyerangan itu?”
“Belum. Kami sedang menunggu.”
Anak muda itu mengerutkan keningnya. Ia menjadi ragu-ragu sejenak. Apakah ia akan pergi juga ke padukuhan induk, atau menunggu saja di tempat itu.
“Apakah di sini ada seekor kuda.”
“Ada,” jawab pemimpin pengawal, “apakah kau akan meminjamnya?”
Sekali lagi anak muda itu termangu-mangu.
........bersambung ke Jilid 47
Tidak ada komentar:
Posting Komentar