API di BUKIT MENOREH
Karya S.H Mintardja
KARENA itu, maka timbullah niatnya untuk berkata langsung saja berterus terang. Ia harus mengatakan, bahwa ia mendapat tugas untuk menemui Ki Argapati. Bahkan ia menyesal, bahwa ia menunda-nunda untuk mengatakannya, sehingga keadaan menjadi semakin memburuk.
“Cepat,” bentak Wrahasta sambil menekankan pedangnya, “ayo berjalanlah!”
“Aku akan mengatakannya,” berkata Gupita. “Aku akan mengatakan keperluanku sebenarnya.”
“Aku tidak bertanya kepadamu sekarang. Berjalanlah.”
Gupita menarik nafas. Tidak ada yang dapat dilakukan kecuali menurut perintah itu. Perlahan-lahan ia melangkahkan kakinya menuju ke mulut desa. Sedang Wrahasta kemudian berjalan di belakangnya sambil menekankan ujung pedangnya.
Kerti menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia memandang Pandan Wangi, maka dilihatnya tubuh gadis itu gemetar. Betapa dahsyatnya pergolakan yang terjadi di dada gadis itu. Ia merasa berada dalam simpang jalan yang kedua-duanya akan membawanya ke dalam kesulitan. Kalau ia membiarkan Wrahasta berbuat sesuka hatinya, maka ia merasa bersalah terhadap gembala yang telah menyelamatkannya itu. Tetapi setiap sikap yang seolah-olah berpihak kepadanya, akan mendorong Wrahasta menjadi semakin kehilangan nalarnya.
“Angger Pandan Wangi,” bisik Kerti, “cara yang sebaik-baiknya adalah menyampaikannya kepada Ki Argapati. Ki Argapati akan bersikap. Kau dapat meminta ayahmu untuk memanggil gembala itu langsung.”
Pandan Wangi menganggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia berdesis, “Itu adalah jalan yang paling baik Paman. Tetapi aku tidak tahu, apakah ayah akan mendengarkan kata-kataku.”
“Ayahmu telah mengenal Gupala yang memberikan obat kepadanya. Ia pasti akan mempertimbangkannya dengan baik apabila kau katakan bahwa Gupita adalah kakaknya.”
Pandan Wangi mengangguk-angguk, “Baik, Paman, aku akan menghadap ayah.”
Pandan Wangi, Kerti, dan dua orang pengawal yang datang bersamanya segera melangkah kembali ke regol halaman. Di muka mereka, Wrahasta mendorong-dorong punggung Gupita dengan ujung pedangnya diikuti oleh kedua pengawalnya.
“Cepat, jangan berbuat sesuatu yang dapat memaksa aku menghunjamkan ujung pedang ini ke punggungmu.”
Gupita tidak menyahut. Tetapi ia memang tidak berhasrat untuk melawan. Ia masih berpengharapan untuk mendapat kesempatan bertemu dengan Ki Argapati. Kalau ia tidak membuat para pengawal itu semakin marah maka para pengawal itu pun pasti tidak akan berlaku berlebih-lebihan.
Namun Gupita itu memang sama sekali tidak tahu, apakah yang telah mendorong Wrahasta berlaku sedemikian kasarnya terhadapnya.
Para pengawal yang berada di regol desa, kini telah berdiri berdesak-desakan. Beberapa orang yang tidak bertugas sekalipun ingin melihat, apa yang sedang terjadi. Mereka saling bertanya dan berbisik-bisik ketika mereka melihat Wrahasta membawa seseorang menuju ke arah mereka.
“Siapakah orang itu?” desis seseorang.
“Orang itulah yang membunyikan seruling di balik gerumbul-gerumbul itu.”
“Memang mencurigakan.”
Beberapa orang mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka menjadi semakin tegang ketika mereka melihat Wrahasta mendorong orang itu dengan pedang terhunus. Sementara para pengawalnya, Pandan Wangi, dan Kerti berjalan di belakang.
Ketika Wrahasta menjadi semakin dekat, maka para pengawal di muka regol itu pun bersibak, untuk memberi jalan kepada pemimpin pengawal yang bertubuh raksasa itu.
Di hadapan para pengawal itu Wrahasta berhenti sesaat sambil berkata, “Orang ini adalah petugas sandi yang dikirim oleh Sidanti untuk mengamat-amati pertahanan kita di siang hari. Nanti malam mereka akan datang lagi. Pada suatu saat, apabila mereka sudah tahu pasti tentang keadaan kita, maka mereka tidak akan sekedar menakut-nakuti kita dengan obor-obor mereka. Mereka pasti akan benar-benar menusuk pertahanan ini dengan perhitungan yang telah matang.”
“Kau keliru,” sahut Gupita, “aku akan menjelaskan.”
“Diam!” bentak Wrahasta. “Aku tidak memerlukan segala macam dongengan khayal itu. Aku ingin tahu keadaanmu sebenarnya. Dan kau harus mengatakan, siapakah sebenarnya kau.”
“Aku akan mengatakan, tetapi aku sama sekali bukan orang Sidanti,” jawab Gupita.
“Bohong!” teriak Wrahasta, yang tiba-tiba telah mengacukan pedangnya di hadapan hidung Gupita.
Gupita tidak menyahut lagi. Ia harus menahan hati, untuk menemukan kesempatan yang baik. Ia percaya bahwa orang-orang Menoreh adalah orang-orang yang memiliki harga diri yang tinggi, dan mereka bukan termasuk orang-orang yang menyukai kekerasan. Karena itu, Gupita masih mempunyai harapan, bahwa ia akan dapat mengatakan yang sebenarnya kepada para pengawal itu.
Namun hatinya menjadi berdebar-debar ketika ia melihat Pandan Wangi berjalan dengan tergesa-gesa masuk ke dalam regol tanpa berpaling lagi kepadanya. Hampir saja ia berteriak memanggil, namun niatnya itu segera diurungkannya, supaya ia tidak menambah persoalan lagi. Agaknya memang orang yang bertubuh raksasa inilah yang kini mendapat kekuasaan untuk berbuat apa saja yang dianggapnya perlu untuk melindungi Tanah ini.
Tanpa disadarinya, tangan Gupita itu meraba-raba kantong bajunya. Di dalamnya terdapat sebungkus obat obatan yang harus diserahkannya kepada Ki Argapati.
“Hem,” ia menarik nafas dalam-dalam, “aku mempunyai sekedar bukti. Mudah-mudahan mereka dapat mempercayainya.”
Gupita itu sama sekali tidak melawan ketika ia didorong masuk ke dalam regol dan dibawa oleh Wrahasta dengan beberapa orang pengawal menuju ke sebuah halaman rumah yang agak luas. Rumah yang selama ini dipergunakan oleh para pemimpin pengawal sebagai pusat pimpinan mereka.
Samekta yang berada di rumah itu terkejut melihat Wrahasta membawa seseorang masuk ke halaman. Apalagi ketika ia melihat, orang yang dibawa itu adalah gembala yang pernah dikenalnya, Gupita.
Dengan tergesa-gesa Samekta turun dari pendapa menemui Wrahasta di halaman sambil bertanya, “Dari mana kau bawa anak muda itu?”
“Aku menemukannya di muka regol. Aku yakin sekarang, bahwa orang ini memang seorang petugas sandi yang sengaja dikirim oleh Sidanti.”
Samekta menarik keningnya. Ketika ia memandang berkeliling, dilihatnya Kerti berjalan memasuki regol itu pula. Ia mendapat pesan dari Pandan Wangi, supaya ia berusaha melindungi Gupita sebelum ia dapat bertemu dengan ayahnya Ki Argapati.
“Aku mendapatkannya di depan regol,” berkata Kerti sambil melangkah mendekat.
Samekta menjadi bingung. Keduanya mengatakan kepadanya, bahwa mereka masing-masinglah yang mendapatkan Gupita itu.
“Tetapi Paman Kerti tidak berbuat apa-apa. Seperti orang yang kena tenung ia berdiri saja seperti patung. Akulah yang menangkapnya.”
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya Samekta memandangi wajah Kerti, tetapi Kerti tidak menyahut. Karena itu maka Samekta pun kemudian bertanya kepada Wrahasta, “Apakah yang dilakukannya?”
Pertanyaan itu telah membingungkan Wrahasta, sehingga sejenak ia tidak menyahut. Yang terdengar adalah suara Kerti, “Bersenandung dengan serulingnya itu.”
Samekta mengerutkan keningnya, Dan Kerti berbicara terus, “Aku dan Angger Pandan Wangi tertarik akan suara seruling itu. Ketika aku melihatnya, maka aku dapati Angger Gupita. Sebelum kami sempat berbuat sesuatu, maka datanglah Angger Wrahasta.”
“Adalah mencurigakan sekali bahwa seseorang datang ke tempat ini sekedar untuk bersenandung,” sahut Wrahasta kemudian. “Ia pasti mempunyai tugas yang jauh lebih penting daripada bermain seruling di tempat yang berbahaya itu. Hanya orang-orang gila sajalah yang tidak tahu, bahwa daerah ini adalah daerah garis perang.”
Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang tidak akan masuk di akal, apabila Gupita datang tanpa maksud. Tetapi maksud kedatangannya itulah yang harus diketahuinya.
Sebelum Samekta berbuat sesuatu, tiba-tiba terdengar suara Wrahasta lantang, “Periksa, apakah ia menyembunyikan senjata.”
Perintah itu telah mengejutkan. Bukan saja Gupita, tetapi juga Samekta, apalagi Kerti, sehingga dengan serta-merta ia berkata, “Tunggu. Kita belum bertanya sesuatu kepadanya.”
“Kita akan bertanya,” potong Wrahasta, “tetapi kita harus yakin bahwa ia tidak akan berbahaya lagi. Karena itu, orang ini harus dilihat, apakah ia membawa senjata yang tersembunyi.”
Kerti masih akan menjawab, tetapi niatnya diurungkan ketika ia merasa seseorang menggamitnya. Ternyata orang itu adalah Samekta sendiri. Ketika Kerti sedang memandangi wajahnya, maka Samekta itu pun mengedipkan matanya, seolah-olah ia memberikan isyarat, “Biarlah apa saja yang akan dilakukannya.”
Kerti menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia berbisik, “Aku terpaksa berterus-terang kepadamu. Aku mendapat perintah dari Pandan Wangi untuk melindungi anak muda itu.”
“Di mana Pandan Wangi sekarang?” bertanya Samekta perlahan-lahan.
“Ia pergi ke ayahnya. Ia tidak dapat mencegah Wrahasta menangkap laki-laki muda itu. Agaknya perasaan cemburunya jauh lebih besar dari kecurigaannya sebagai seorang pemimpin pengawal.”
Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia melihat kini Wrahasta berdiri bertolak pinggang di hadapan Gupita. Beberapa orang pengawal telah mengerumuninya untuk mulai melihat apakah ia tidak bersenjata.
“Hem,” Samekta berdesah, “anak muda yang bertubuh raksasa itu telah menimbulkan kesulitan baru pada kita yang sedang terdesak ini. Melihat sikap dan tingkah lakunya, aku yakin, anak itu bukan berpihak kepada Sidanti.”
“Aku juga berpendirian begitu, meskipun kita masih harus tetap mencurigainya,” sahut Kerti. “Namun tingkah laku Wrahasta sudah agak berlebih-lebihan.”
“Biarkanlah, apa yang akan dilakukannya, asal ia tidak bernafsu untuk membunuhnya.”
Sementara itu, beberapa orang pengawal telah mulai melakukan tugasnya. Sementara terdengar suara Wrahasta lantang, “Buka bajunya.”
Gupita mengerutkan dahinya. Ia terpaksa berkata, “Tuan, di dalam baju ini tersimpan sesuatu yang sangat berharga. Berharga bagi aku dan berharga bagi kalian.”
“Omong kosong. Justru usahamu untuk menipu kami itulah yang memaksa kami semakin bernafsu untuk melihatnya.” Kemudian kepada para pengawal ia berteriak, “Cepat, buka bajunya!”
Ketika para pengawal mulai meraba tubuhnya, tiba-tiba Gupita itu melangkah surut sambil berkata, “Aku dapat membuka bajuku sendiri. Aku akan membukanya dan menunjukkannya kepada kalian, apakah yang aku bawa.”
Para pengawal yang telah mulai mengulurkan tangannya itu, terpesona sesaat, sehingga mereka berdiri saja mematung. Mereka tidak berbuat sesuatu ketika Gupita mengambil bungkusan dari kantong bajunya.
“Lihat,” katanya, “inilah sesuatu yang aku katakan itu. Ini adalah obat untuk Ki Argapati seperti obat yang pernah diterimanya dahulu. Di antara para pengawalnya pasti tahu, bahwa seorang anak muda yang bertubuh gemuk dan bernama Gupala telah memberi obat kepadanya ketika ia terluka di Pucang Kembar. Bertanyalah kepada Ki Gede apakah kata-kataku itu mengandung kebenaran.” Gupita berhenti sejenak, lalu, “Nah, siapakah di antara kalian yang melihat, apa yang terjadi di Pucang Kembar itu?”
Tanpa sesadarnya Kerti melangkah maju sambil berkata, “Akulah saksinya. Aku melihat apa yang telah terjadi itu, dan aku membenarkannya.”
Sepercik warna merah telah membakar wajah Wrahasta. Namun kemudian ia berkata, “Kenapa bukan anak yang gemuk itulah yang saat ini datang kemari? Kenapa kau? Ki Argapati memang pernah berkata bahwa seseorang, anak yang gemuk itu telah datang kepadanya di Pucang Kembar. Tetapi bukan kau. Dan kau dapat membuat ceritera tentang anak muda yang bernama Gupala, kemudian kau menyebut dirimu dengan nama yang mirip nama anak yang gemuk itu. Tetapi apa buktimu bahwa kau mengenal apalagi saudara anak yang gemuk itu. Obat itu sama sekali bukan jaminan. Justru aku bercuriga, apakah obat itu bukan racun yang dapat membakar luka Ki Argapati dan membuatnya cidera.”
Dada Gupita bergolak karenanya. Obatnya tidak dapat menolongnya, dan bahkan keterangan Kerti itu pun sama sekali tidak dihiraukannya. Karena itu, maka sejenak Gupita menjadi bimbang. Apakah ia harus mempertahankan dirinya dengan kekerasan. Mungkin ia dapat melepaskan dirinya dan lari lewat regol padesan. Apabila ia sudah berada di luar, maka ia akan bebas.
Tetapi sekali lagi niat itu diurungkannya. Dengan demikian ia akan membuat jarak menjadi semakin jauh. Dan ia tidak yakin, apakah ia dapat melarikan diri, menyusup sekian banyak pengawal di padesan ini.
Perlahan-lahan Gupita menarik nafas. Ia masih mencoba memandang ke sekelilingnya, apakah ia dapat menemukan Pandan Wangi. Tetapi ia sekali lagi menjadi kecewa. Pandan Wangi tidak ada di antara orang Menoreh yang mengerumuninya. Meskipun demikian, ia masih mempunyai harapan, bahwa orang tua yang bernama Kerti itu pada saatnya akan memberinya jalan mengghadap Ki Argapati.
Sementara itu, Pandan Wangi melangkah. Cepat-cepat dan bahkan hampir berlari-lari ke tempat peristirahatan ayahnya. Ia harus segera menyampaikan apa yang telah terjadi, supaya ayahnya dapat menolong gembala yang telah menyelamatkannya dari tangan Peda Sura itu.
Tetapi alangkah kecewa gadis itu. Ketika ia menengok bilik ayahnya, ternyata ayahnya sedang tidur dengan nyenyaknya.
“Kau, Nini,” desis seseorang. Ternyata Pandan Wangi terkejut sehingga hampir saja ia meloncat.
“Oh,” ia menarik nafas. Ternyata suara itu adalah suara perempuan tua pemilik rumah.
“Ki Argapati baru saja dapat tidur. Tubuhnya agak menjadi panas lagi. Menurut keterangannya, obat pada lukanya sudah hampir menjadi tawar. Kalau ia tidak segera mendapat obat yang baru, maka keadaannya akan dapat menjadi berbahaya, Ngger.”
Wajah Pandan Wangi menegang. Tetapi sebelum ia berkata sesuatu perempuan tua yang membantu melayani ayahnya itu berkata, “Biarlah ayah beristirahat. Bukankah kau juga akan beristirahat. Kalau ayah terkejut dan terbangun, maka badannya akan menjadi semakin terasa sakit.”
Sejenak Pandan Wangi terpukau di tempatnya dalam kebingungannya. Tetapi kemudian ia menganggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ditinggalkannya pintu bilik ayahnya menuju ke dalam biliknya sendiri. Dengan dada yang berdebar-debar ia masuk, kemudian meletakkan dirinya di pembaringannya.
Tetapi dengan demikian ia menjadi semakin gelisah. Apakah yang kira-kira kini dilakukan oleh Wrahasta atas gembala yang bernama Gupita itu?
Dalam kegelisahannya itu, Pandan Wangi berbaring sejenak, kemudian bangkit berdiri. Melangkah hilir-mudik sambil meremas-remas jari-jari tangannya sendiri. Sekali-kali dirabanya hulu pedangnya. Tetapi Pandan Wangi tidak dapat mengambil kesimpulan sesuatu.
Di halaman pusat pimpinan pasukan pengawal Menoreh, Gupita dilingkari oleh beberapa pengawal yang bersenjata. Di tangannya masih tergenggam sebungkus obat dari gurunya yang harus diserahkan kepada Ki Argapati. Tetapi ternyata pemimpin pengawal yang bertubuh raksasa itu tidak mau mempercayainya, sehingga dengan demikian Gupita merasa, bahwa ia benar-benar berada di ambang pintu kesulitan.
“Kenapa Pandan Wangi sama sekali tidak berpengaruh atas anak buah ayahnya?” pertanyaan itu melonjak di dalam dada Gupita. Ia sama sekali tidak dapat mengerti, bahwa Pandan Wangi sama sekali tidak dapat berbuat sesuatu, dan bahkan meninggalkannya.
Gupita terkejut ketika Wrahasta kemudian berkata, “Buka bajunya. Kenapa kalian berdiri saja mematung.”
Para pengawal yang berdiri di seputar Gupita itu pun terkejut pula. Serentak mereka bergerak. Tetapi sekali lagi mereka tertegun ketika Gupita berkata, “Sudah aku katakan. Aku akan membuka bajuku sendiri. Tetapi ingat, aku sudah mengatakan yang sebenarnya, bahwa bungkusan ini adalah obat untuk kepala tanah perdikanmu yang terluka itu. Kalau ia terlambat menerimanya, dan akibat dari kelambatan ini telah membahayakan jiwanya, itu sama sekali bukan salahku.”
Wrahasta mengerutkan keningnya. Sejenak ia terpengaruh oleh kata-kata Gupita itu.
Lebih-lebih lagi Kerti. Hampir saja ia melangkah maju. Tetapi sekali lagi Samekta menggamitnya dan berkata lirih, “Kalau kita berusaha mencegahnya, anak muda itu akan marah. Dengan demikian pasti akan timbul persoalan di antara kita. Kita tunggu saja apa yang akan dilakukan, asal tidak membahayakan jiwa anak muda itu.”
“Tetapi siapakah yang akan menanggung akibatnya, apabila obat itu terlambat, apalagi rusak.”
Samekta termenung sejenak. Lalu katanya, “Kita awasi saja, apa yang akan dilakukan oleh Wrahasta.”
“Kau yang mendapat wewenang memimpin seluruh pasukan pengawal. Kau bertanggung jawab atas semuanya ini.”
Dada Samekta berdesir. Kerti yang tua, yang senang bergurau itu tidak pernah berkata demikian bersungguh-sungguh kepadanya. Agaknya ia memang sedang dibingungkan oleh keadaan yang dihadapinya. Namun demikian Samekta itu mengangguk dan menjawab, “Baiklah. Aku akan berusaha untuk menjaga, agar tidak terjadi sesuatu atas anak muda itu dan obatnya sekali. Bukankah saat ini Pandan Wangi sedang menghadap ayahnya? Kalau Ki Argapati mempercayainya, maka gadis itu akan segera datang atas nama Ki Argapati, dan berbuat atas namanya pula. Tetapi kalau tidak, itu berarti bahwa Ki Argapati pun meragukan gembala itu, sehingga kita memang perlu berhati-hati.”
Debar di dada Kerti terasa menjadi semakin cepat. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Ia mengerti kesulitan yang dihadapi Samekta pula. Pemimpin tertinggi pasukan Pengawal itu tidak ingin mengecewakan Wrahasta, yang tenaganya kini sangat diperlukan. Tetapi apakah dengan demikian, anak muda yang membawa obat untuk Ki Argapati itu akan dikorbankan?
Yang diharapkannya segera datang kini adalah Pandan Wangi. Ia akan dapat menolong Gupita atas nama ayahnya, dan menyelamatkan obat itu pula.
Tetapi Kerti terkejut ketika ia mendengar Wrahasta berbicara, “Nah, kalau kau berkata sebenarnya, bahwa obat itu benar-benar akan dapat menyembuhkan Ki Argapati, cobalah, cicipi barang sedikit.”
“Tidak mumgkin,” jawab Gupita, “Obat ini adalah obat untuk luka Ki Argapati. Obat yang harus ditaburkan atas luka itu. Sama sekali bukan obat untuk diminum atau dimakan, karena obat ini mengandung racun.”
“Nah,” tiba-tiba Wrahasta berteriak, “kau sekarang sudah mengaku, bahwa obat yang kau katakan itu adalah racun. Dengan demikian jelas, bahwa kau benar-benar orang Sidanti yang akan mencoba membunuh Ki Argapati dengan cara yang sangat licik setelah kau berhasil mempengaruhi Pandan Wangi.”
Wajah Gupita menjadi merah. Hampir-hampir ia kehilangan akal. Namun dengan sekuat tenaga ia masih berusaha menahan dirinya. Ia masih mengharap perubahan yang dapat terjadi pada para pengawal yang mengerumuninya. Terutama Kerti.
Sementara itu Kerti sendiri menjadi sangat gelisah. Pandan Wangi masih belum nampak datang. Setiap kali ia memandang ke arah regol halaman menunggu kedatangan gadis itu. Namun setiap kali yang dilihatnya adalah pengawal-pengawal yang berdatangan untuk melihat apa yang telah terjadi di halaman itu.
“Nah,” berkata Wrahasta kemudian, “sekarang kalau kau tidak senang orang lain membuka bajumu. Bukalah. Apakah kau membawa senjata yang kau sembunyikan dengan licik pula?”
Gupita menjadi ragu-ragu. Tetapi ia tidak dapat menolak. Karena itu, maka dengan hati-hati disimpannya lagi bungkusan obat itu di dalam kantong bajunya yang kemudian perlahan-lahan dibukanya.
“Aku akan membuka bajuku. Tetapi aku tidak mau menanggung akibatnya apabila obat itu rusak. Percaya atau tidak percaya, aku ingin menyerahkan obat itu langsung kepada Ki Argapati,” berkata Gupita.
“Itu tergantung dari keputusanku,” sahut Wrahasta, “karena itu aku ingin melihat apakah kau mampu membuktikan bahwa dirimu bukan petugas sandi dari Sidanti dan gurunya yang gila itu.”
Sesaat kemudian semua mata terpusat kepada Gupita yang berada di tengah lingkaran manusia. Semua mata mengikuti gerak tangannya yang dengan enggan telah membuka bajunya sendiri
Tiba-tiba hampir setiap mulut berdesis ketika mereka dengan terperanjat melihat sesuatu yang melilit pada tubuh Gupita, di luar ikat pinggangnya. “Cambuk.”
“Anak muda itu membawa cambuk,” gumam seorang pengawal yang gemuk.
“Ya. Ia membawa cambuk,” sahut yang lain.
Meskipun Samekta sudah pernah melihat Gupita membawa cambuk, tetapi ia mengerutkan keningnya. Cambuk yang dibawanya kini bukan sekedar cambuk seperti yang pernah dilihatnya. Cambuk seorang gembala. Tetapi cambuk yang dilihatnya kini, benar-benar sehelai cambuk yang mendebarkan jantung.
Kerti yang tua mengangguk-anggukkan kepalanya, Tanpa sesadarnya ia bergumam, “Ya, cambuk semacam itulah yang pernah aku lihat di Pucang Kembar. Anak muda yang gemuk dan bernama Gupala membawa cambuk serupa itu pula.”
Yang kemudian berdiri mematung adalah Wrahasta. Sejenak ia terpukau oleh cambuk yang dibawa oleh Gupita. Meskipun cambuk itu belum terurai, namun terasa bahwa cambuk itu bukanlah cambuk kebanyakan.
Tetapi lebih dari pada itu, ia telah dibebani oleh berbagai perasaan yang berbenturan. Sebagai seorang pengawal ia berdebar-debar karena ia melihat seorang anak muda yang membawa cambuk. Selama ini ia membuat tiruan dengan mempersenjatai beberapa orang pengawal berkuda, menjadi bayangan dari orang-orang yang bersenjatakan cambuk. Seperti ceritera Ki Gede, seseorang telah ditemuinya di bawah Pucang Kembar dengan cambuknya, dan yang diceriterakan oleh Pandan Wangi bahwa seorang anak muda yang bersenjata cambuk telah menyelamatkannya.
Namun di dalam dadanya itu pula bergolak perasaan cemburu seorang anak muda yang menggelegak tidak terkendalikan. Agaknya anak muda inilah yang telah mendapat pujian dan dikagumi oleh Pandan Wangi justru karena cambuknya itu.
Tiba-tiba kejantanan Wrahasta mendidih di dalam dada yang serasa telah terbakar itu. Berbagai perasaan yang saling berbenturan telah menjadikannya semakin bingung, sehingga sikapnya pun menjadi kabur. Namun harga dirinya sebagai seorang laki-laki telah meledak dengan dahsyatnya.
Maka sejenak kemudian Wrahasta itu pun maju selangkah, masuk kedalam lingkaran para pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Dengan bertolak pinggang ia berkata lantang, “He Gupita. Aku pernah mendengar betapa dahsyatnya cambukmu itu. Aku pernah mendengar seseorang yang lain, yang bersenjatakan cambuk, telah menarik kepercayaan Ki Argapati pula. Bahkan kami semuanya di sini yang mabuk akan ceritera-ceritera kepahlawanan manusia-manusia bersenjata cambuk itu, telah membuat bayangannya, dengan mempersenjatai beberapa orang dengan cambuk pula. Maksud kami adalah cukup jelas. Kami ingin menakut-nakuti Sidanti dengan cambuk itu. Tetapi kami di sini sama sekali belum mengetahui siapakah sebenarnya manusia-manusia yang penuh dengan rahasia itu. Apakah kami tidak justru ditertawakan oleh Sidanti dan gurunya, karena manusia-manusia bercambuk itu sebenarnya adalah orang-orang mereka.”
“Kalau juga Gupala yang kau maksud,” potong Gupita, “maka Ki Argapati pasti sudah tidak akan dapat kembali lagi. Dengan racun yang memperkuat bisa warangan senjata Ki Tambak Wedi Betapapun lemahnya, maka Ki Argapati akan segera meninggal. Tetapi seperti yang kalian lihat, Ki Argapati masih tetap hidup sampai saat ini. Apakah dengan demikian kalian masih meragukan kami? Bahkan sekarang aku datang untuk memperbaharui obat yang pasti telah tidak mempunyai daya penyembuh lagi.”
Wrahasta tidak segera menyahut. Kata-kata itu memang mengandung kebenaran. Tetapi api kecemburuannya agaknya telah membuat akalnya menjadi hangus sehingga ia berkata, “Kenapa bukan Gupala itu yang datang kemari, sehingga salah seorang dari kami akan segera mengenalnya? Kenapa orang lain yang bernama Gupita? Mungkin aku dapat mempercayainya apabila Gupala sendiri datang kemari. Tetapi aku masih belum mempercayai kau. Kini aku ingin membuktikan apakah kau benar-benar mampu menolong Pandan Wangi, melepaskannya dari tangan Ki Peda Sura. Apakah itu bukan sekedar permainan yang licik untuk menjerat kepercayaan Pandan Wangi terhadap kau. Dan kau sebenarnya tidak mempunyai sangkut paut apa pun dengan Gupala. Kalau kau menyebut ciri yang sama, cambuk itu, maka setiap orang dapat membuat cambuk serupa itu.”
Gupita menarik nafas dalam-dalam. Ia menjadi ragu-ragu menghadapi keadaan itu. Segala macam pertimbangan telah melingkar-lingkar di kepalanya seperti sifat-sifatnya yang dibawanya sejak kanak-kanak. Ia mencoba mencari jalan yang paling baik yang dapat ditempuhnya untuk menghadapi keadaan ini. Keadaan yang tidak diduga-duganya sama sekali.
Tanpa sesadarnya matanya hinggap pada wajah Kerti yang tegang. Kemudian dipandanginya Samekta dan para pemimpin yang lain. Tetapi para pemimpin itu pun telah dicengkam oleh kebingungan. Mereka tidak dapat mencegah Wrahasta, agar Wrahasta tidak marah dan menimbulkan kesulitan di antara para pemimpin itu sendiri. Samekta yang merasa bertanggung jawab oleh semua peristiwa di dalam lingkungan pagar pering ori itu pun menjadi semakin bingung. Seperti Kerti maka harapannya kemudian adalah keputusan Ki Argapati sendiri.
“Cepat!” tiba-tiba Wrahasta berteriak.
Gupita yang masih kebingungan itu pun bertanya, “Apakah maksudmu sebenarnya?”
“Aku ingin melihat, apakah kau benar-benar dapat membebaskan Pandan Wangi dari tangan Ki Peda Sura.” Dan Wrahasta itu pun kemudian berteriak kepada para pengawal, “Beri aku sehelai cambuk yang sering dibawa oleh para pengawal berkuda. Aku ingin melihat, apakah orang bercambuk ini benar harus dikagumi. Dan bahwa tidak ada orang lain yang dapat mempergunakan cambuk sebaik anak ini.”
Melihat sikap Wrahasta yang seolah-olah telah kehilangan kendali itu Kerti dan Samekta menjadi semakin cemas. Untuk membiarkannya berkelahi melawan anak muda yang bersenjata cambuk itu pun Samekta harus membuat pertimbangan yang menegangkan syarafnya. Seandainya Wrahasta dapat dikalahkan, maka ia akan menjadi semakin bermata-gelap dan akan mempergunakan kewenangannya untuk menghancurkan orang itu. Tetapi apabila ia menang, maka ia pun akan dapat berbuat di luar dugaan. Wrahasta pasti akan menjadi semakin tidak percaya lagi kepada Gupita, atau justru mempergunakam kesempatan itu untuk memuaskan hatinya yang sedang dibakar oleh kecemburuan.
Karena itu, maka Samekta segera melangkah maju sambil berkata, “Sudahlah Wrahasta. Aku kira kau tidak perlu menitikkan keringatmu untuk masalah-masalah yang tidak berarti. Biarlah aku menyelesaikan anak ini. Bukan aku sendiri, tetapi biarlah kita bersama-sama mencari penyelesaian yang semudah-mudahnya tanpa menyulitkan diri sendiri.”
“Tidak,” potong Wrahasta tanpa menunggu Samekta selesai berbicara. “Aku bukan pengecut.”
“Memang bukan,” jawab Samekta. “Aku sependapat, bahwa anak muda itu adalah tawanan kita. Kita berhak mendapat keterangan daripadanya tanpa cara yang begitu sulit. Tidak sewajarnya bahwa kita, atau salah seorang dari kita harus melayaninya berkelahi dengan tujuan apa pun.”
Wrahasta mengerutkan keningnya. Kata-kata Samekta itu telah menyentuh hatinya. Tiba-tiba saja ia merasa dihadapkan ke muka cermin untuk melihat wajahnya sendiri. Dan tiba-tiba ia merasa bahwa perkelahian itu sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan sikapnya sebagai pengawal tanah perdikan yang berhadapan dengan seorang tawanan. Tetapi sikapnya adalah sikap seorang laki-laki muda yang sedang dibakar oleh perasaan cemburu.
Sejenak Wrahasta tidak menjawab. Ia mencoba menemukan keseimbangan dalam dirinya. Namun ternyata harga dirinya sebagai seorang laki-laki, apalagi laki-laki muda yang dialasi oleh perasaan cemburu, sama sekali tidak dapat dikendalikannya.
Karena itu, maka Wrahasta itu menjawab, “Tidak. Aku tidak ingin dibayangi oleh gambaran-gambaran yang tidak benar. Seolah-olah tidak ada laki-laki di atas tanah perdikan ini, sehingga untuk menyelamatkan Pandan Wangi diperlukan orang lain yang sama sekali tidak dikenal. Apalagi bayangan orang-orang bercambuk yang setiap saat ikut serta dalam pasukan berkuda itu agaknya telah membuat gambaran yang suram dari kepercayaan atas diri sendiri di atas tanah ini. Apakah kita terlampau menggantungkan diri kepada orang lain yang tidak kita kenal, sehingga kita harus mengorbankan harga diri kita? Tidak. Marilah kita lihat, apakah manfaatnya kita mengagumi orang-orang bercambuk.”
Samekta menarik nafas dalam-dalam. Didekatinya Wrahasta yang berdiri tegang.
“Sebaiknya kau tenangkan dirimu.”
“Aku tidak sedang kehilangan akal,” jawabnya lantang. “Aku masih tetap menyadari apa yang aku lakukan. Karena itu, jangan ganggu aku.”
Samekta menarik nafas dalam-dalam. Tanpa sesadarnya ia berpaling, memandangi wajah Kerti yang kecemasan. Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu. Ia tidak akan dapat mencegah Wrahasta dengan perintah sebagai pimpinan tertinggi pasukan Menoreh di hadapan sekian banyak pengawal dan bahkan seorang yang datang dari luar lingkungan mereka. Perintah yang demikian pasti akan menyiggung perasaan Wrahasta. Mungkin ia akan mematuhi perintah itu sebagai seorang bawahan, tetapi ia pasti akan menyimpan sesuatu yang dapat meledak setiap saat, justru Tanah ini sedang dalam bahaya. Tetapi apabila Wrahasta tidak mau mendengar perintahnya, maka ia pasti akan tersinggung pula. Dan mungkin ia sendiri akan melakukan tindakan-tindakan yang dapat lebih mempertajam persoalan ini.
Karena itu, maka Samekta tidak dapat melarang Wrahasta melakukan rencana. Namun ia berpesan, “Ingat Wrahasta. Di atas kita masih ada Ki Argapati. Mungkin ia mempunyai sikap sendiri.”
“Aku menunggu setiap perintahnya,” desis Wrahasta. “Tetapi sebelum ada perintah dari Ki Argapati, aku akan berbuat menurut kebijaksanaanku.”
Gupita masih saja berdiri mematung. Namun dadanya menjadi berdebar-debar. Apalagi setelah Wrahasta memegang sehelai cambuk yang mirip dengan cambuknya sendiri. Berjuntai panjang dan bertangkai pendek.
“Cepat, uraikan cambukmu itu,” berkata Wrahasta lantang.
Gupita masih tetap termangu-mangu. Diedarkannya pandangan matanya ke sekitamya. Yang dilihatnya adalah sorot-sorot mata yang tegang dari para pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Sementara itu, Kerti dan Samekta berdiri dengan penuh kebimbangan. Mereka sekali-sekali berpaling ke arah regol halaman, sambil mengharap kehadiran Pandan Wangi yang akan bertindak atas nama ayahnya untuk mencegah perkelahian yang tidak akan banyak berarti apa-apa dari segi pengamanan Tanah Perdikan Menoreh, bahkan mungkin sebaliknya.
“Cepat!” Wrahasta berteriak. “Kalau kau tidak berusaha untuk membela diri, jangan menyalahkan aku, kalau kulitmu akan terkelupas.”
Gupita mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia berkata, “Bukan maksudku untuk berkelahi di sini. Aku datang untuk menyampaikan obat kepada Ki Argapati. Tetapi aku di sudutkan kepada suatu keharusan untuk berkelahi. Meskipun demikian, aku ingin berpesan kepada kalian yang melingkari arena ini. Seandainya aku tidak dapat lagi menyampaikan obat itu, aku minta tolong kepada kalian yang bersedia, semata-mata untuk kepentingan tanah perdikan kalian, agar obat itu, sampai kepada Ki Argapati. Apakah kemudian akan dipergunakan atau akan dibuangnya, itu terserah kepada Ki Gede sendiri.” Gupita berhenti sejenak, kemudian ditatapnya wajah anak muda yang bertubuh raksasa, jauh lebih besar dari tubuhnya sendiri. Kemudian perlahan-lahan ia mengurai cambuknya setelah meletakkan bajunya di tepi arena sambil berkata dalam nada yang datar, “Marilah, aku sudah bersedia.”
Wajah Wrahasta yang merah menjadi semakin merah. Meskipun demikian terpercik secercah keheranan di dalam hatinya. Meskipun Gupita itu berada di dalam lingkaran para pengawal Tanah Perdikan Menoreh, namun wajahnya sama sekali tidak membayangkan ketakutan dan kecemasan. Yang dilihatnya pada wajah itu hanyalah sekedar keragu-raguan. Justru karena itu maka Wrahasta yang bertubuh raksasa itu menjadi berdebar-debar. Namun demikian, Wrahasta terlampau percaya kepada dirinya, kepada kekuatan raksasanya. Sedang anak muda yang berdiri di hadapannya adalah anak muda yang terlampau biasa. Tingginya tidak lebih dari pundaknya.
“Bagus,” geram Wrahasta kemudian. “Kau memang seorang anak muda yang berani. Tetapi kau harus menyesal, bahwa kau telah terperosok ke dalam lingkaran para pengawal Tanah Perdikan Menoreh.”
“Aku sama sekali tidak terperosok ke dalam lingkungan pering ori ini,” sahut Gupita. “Aku sengaja masuk ke dalamnya.”
“Persetan!” potong Wrahasta yang perlahan-lahan melangkah mendekat. Cambuknya telah mulai berputar, dan sejenak kemudian cambuk itu pun meledak memekakkan telinga.
Tetapi ternyata bahwa suara cambuk itu adalah ledakan yang wajar dari hentakan juntainya yang panjang. Sama sekali tidak menumbuhkan getar apa pun di dalam dada orang-orang yang berkerumun itu, kecuali sentuhan langsung pada selaput telinga mereka.
Gupita menarik nafas dalam-dalam. Dari ledakan suara cambuk itu ia dapat menduga, bahwa sebenamya Wrahasta hanya mengandalkan kekuatan tubuhnya saja. Tetapi agaknya anak muda itu tidak berlatih untuk membangkitkan tenaga cadangan yang memang telah tersedia di dalam dirinya. Apabila ia berhasil memecahkan teka-teki tentang kekuatan cadangan yang memang kurang dikenal oleh hampir setiap pribadi yang tidak mesu diri dalam olah kanuragan, maka Wrahasta akan mampu menumbangkan gunung anakan.
Meskipun demikian Gupita tidak kehilangan kewaspadaan. Mungkin Wrahasta belum benar-benar mulai. Mungkin ia pun sedang berusaha untuk menilai lawannya pula. Karena itu, maka Gupita pun tetap bersiaga untuk menghadapi segala kemungkinan.
Namun dalam pada itu, para pengawal yang memutari arena itu menjadi kian berdebar-debar. Mereka melihat wajah Wrahasta yang merah tegang. Agaknya pemimpin pengawal yang bertubuh raksasa itu akan ber-sungguh-sungguh. Para pengawal Tanah Perdikan Menoreh pada umumnya telah mengenal, betapa anak muda itu memiliki kekuatan yang seimbang dengan bentuk tubuhnya. Sehingga dengan demikian, maka apabila ujung cambuknya mengenai lawannya, maka kulitnya pasti akan terkelupas.
Sesaat kemudian cambuk Wrahasta itu pun telah meledak lagi. Sekali lagi dan sekali lagi. Ia semakin maju mendekati Gupita yang masih berdiri tegak di tempatnya.
Sejenak Gupita mencoba memandang wajah Kerti dari Samekta berganti-ganti. Terbayang di wajah orang tua-tua itu kecemasan yang mencengkam jantung mereka.
Tanpa sesadarnya Gupita menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa terdorong ke dalam suatu kesulitan. Apakah ia harus melawan bersungguh-sungguh, yang bagaimanapun juga akan dapat menumbuhkan perasaan tidak senang pada para pengawal itu apabila ia mengalahkan Wrahasta. Tetapi apabila ia harus membiarkan dirinya dirajang oleh cambuk Wrahasta, agaknya ia berkeberatan juga.
Gupita tidak sempat berpikir lebih panjang lagi. Wrahasta telah menjadi semakin dekat, dan setiap kali cambuknya selalu meledak-ledak tidak henti-hentinya.
Maka Gupita tidak dapat berbuat lain kecuali menghadapinya. Karena itu maka kemudian ia bergeser setapak ke samping. Dengan gerak naluriah, maka ujung cambuknya pun mulai terayun-ayun, kemudian melingkar beberapa kali. Sejenak kemudian, maka terdengar cambuk itu meledak pula. Tetapi Gupita sama sekali tidak ingin menimbulkan berbagai macam kesan pada orang-orang Menoreh dan terutama kepada gurunya. Kalau ia meledakkan cambuknya dengan segenap kemampuan yang ada padanya, dalam pemusatan kekuatan di dalam dirinya, maka hal itu akan dapat menumbuhkan pertanyaan pada guru dan saudara seperguruannya. Mungkin mereka akan menyangka, bahwa ia berada dalam bahaya yang sulit di atasi.
“Tetapi apabila terpaksa, aku tidak dapat ingkar lagi,” desisnya di dalam hati.
Maka sejenak kemudian Wrahasta lah yang telah memulai dengan serangannya. Ujung cambuknya mematuk deras sekali, seperti seekor burung sikatan mematuk bilalang. Untunglah bahwa Gupita tidak kehilangan kesiagaan, sehingga dengan tangkasnya la meloncat. menghindari sambaran cambuk lawannya
Namun ternyata, loncatan Gupita yang melampaui kecepatan sambaran cambuk Wrahasta itu benar-benar telah menarik perhatian. Kerti dan Samekta hampir bersamaan berdesis. Bahkan terdengar Kerti bergumam, “Terlampau cepat.”
Samekta berpaling. Sambil mengangguk ia berkata, “Memang terlampau cepat bagi Wrahasta.”
Perkelahian di arena itu pun kemudian menjadi semakin cepat. Cambuk Wrahasta menyambar-nyambar tidak henti-hentinya, seolah-olah ia sama sekali tidak memberi kesempatan lawannya unluk membalas. Namun lawannya pun terlampau lincah, sehingga serangan-serangannya hampir tidak menyentuh sasarannya. Sekali-sekali memang ujung cambuk Wrahasta dapat mengenai lawannya sehingga menumbuhkan jalur-jalur merah, tetapi sama sekali tidak seimbang dengan tenaga yang telah diperas dari tangan anak muda yang bertubuh raksasa itu.
“Gembala itu tidak sempat membalas,” desis beberapa orang yang mengelilingi arena itu. Sedang yang lain mengangguk anggukkan kepalanya.
“Tetapi ia terlampau lincah,” bisik salah seorang dari mereka.
“Melampaui kecepatan ujung cambuk Ki Wrahasta,” yang lain mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka terpukau melihat ketangkasan Gupita menghindari sambaran senjata Wrahasta. Sedang cambuknya sendiri seakan-akan masih belum dipergunakan. Ia hanya sekedar menahan arus serangan Wrahasta dengan sekali-kali menyentuhnya dengan ujung senjatanya itu.
Namun dengan demikian hati Wrahasta menjadi semakin panas karenanya. Sentuhan-sentuhan ujung cambuk Gupita serasa minyak yang tumpah ke dalam api.
Karena itu, maka tandang Wrahasta menjadi semakin lama semakin garang. Cambuknya menjadi semakin cepat berputaran dan semakin sering meledak-ledak. Namun Gupita masih juga mampu menghindarinya, sambil sekali-sekali melepaskan serangan yang tidak berbahaya. Karena Gupita masih saja dicengkam oleh keragu-raguan, apakah yang sebaiknya dilakukan.
Sementara itu Pandan Wangi masih mondar-mandir dengan gelisahnya di dalam biliknya. Sekali-sekali ia melangkah ke luar dan melihat ke dalam bilik ayahnya lewat celah-celah pintu yang dibukanya sedikit. Tetapi ternyata ayahnya masih tidur dengan nyenyaknya. Sehingga dengan demikian hatinya menjadi semakin gelisah. Terbayang di rongga matanya apa saja yang dapat dilakukan oleh Wrahasta atas Gupita. Wrahasta akan dapat mempergunakan kekuasaannnya dengan mengerahkan para pengawal. Apabila terjadi demikian, maka jarak antara orang-orang Menoreh dengan orang-orang bercambuk itu, khususnya Gupita akan menjadi semakin jauh.
Dalam kegelisahan itu Pandan Wangi melakukan apa saja untuk mengisi waktu. Berjalan kian kemari, minum dari kendi yang ada di dalam ruang dalam rumah itu, kemudian kembali ke dalam biliknya berbaring, tetapi sejenak kemudian ia telah bangkit lagi dan berjalan hilir-mudik.
Akhirnya Pandan Wangi itu tidak dapat bersabar lagi. Perlahan-lahan ia membuka pintu bilik ayahnya dan berjalan dengan hati-hati masuk. Tetapi ketika ia telah berada di sisi pembaringan ayahnya ia tidak berani membangunkannya. Karena itu maka gadis itu pun melangkah perlahan-lahan dan duduk di pembaringan ayahnya.
Tetapi ternyata perasaan Ki Argapati demikian tajamnya, sahingga Betapapun Pandan Wangi berhati-hati meletakkan dirinya, namun gerak pembaringannya yang sangat lambat itu telah membangunkan Ki Gede Menoreh. Perlahan-lahan ia membuka matanya dan perlahan-lahan pula ia berdesis, “Kau, Wangi.”
Ternyata Pandan Wangi-lah yang terkejut sehingga ia terlonjak berdiri. Ia tdak menyangka bahwa sentuhan tubuhnya pada pembaringan ayahnya itu telah membangunkannya.
“Maaf, Ayah, apakah aku mengejutkan, Ayah?”
Ki Argapati menggelengkan kepalanya, “Tidak, Pandan Wangi. Aku tidak terkejut.”
“Tetapi Ayah terbangun karenanya.”
“Aku sudah cukup lama tertidur. Seharusnya aku memang sudah bangun.”
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia ingin segera dapat mengatakan keperluannya. Tetapi justru tertahan di dalam dadanya, sehingga ia menjadi terlampau gelisah. Keringat dingin telah mengalir membasahi punggung dan keningnya.
Ki Argapati itu pun kemudian melihat kegelisahan yang terbayang di dalam sikap puterinya, sehingga karena itu, maka ia pun bertanya, “Pandan Wangi. Aku melihat sesuatu yang menarik perhatianku padamu. Mungkin kau dibayangi oleh kegelisahan dan kecemasan.”
Dada Pandan Wangi berdesir. Adalah kebetulan sekali bahwa ayahnya bertanya kepadanya. Karena itu, maka ia pun tidak membuang waktu lagi. Jawabnya, “Ya, Ayah, aku memang sedang gelisah. Aku menunggu Ayah terbangun. Tetapi meskipun demikian aku sama sekali tidak sengaja membangunkan Ayah.”
“Ya, ya. Aku tidak menuntut kau kenapa kau membuat aku terbangun. Tetapi kenapa kau menjadi demikian gelisah?”
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba ia bertanya, “Apakah tubuh Ayah menjadi panas lagi?”
Ki Argapati tdak segera menjawab. Ditatapnya wajah Pandan Wangi yang basah oleh keringat. Baru sejenak kemudian sambil mengangguk ia berdesis, “Sedikit Pandan Wangi. Hanya sedikit. Dan kau tidak perlu menjadi gelisah karenanya.”
Pandan Wangi mengangguk-angguk. Kalimat-kalimat yang telah tersusun kini berdesakan di dalam dadanya, sehingga justru karena itu ia menjadi tergagap. “Tidak, Ayah. Aku tidak gelisah.”
Dipandanginya wajah puterinya itu tajam-tajam. Dengan demikian Ki Argapati menjadi semakin yakin, bahwa gadisnya sedang diganggu oleh kegelisahan atau kecemasan.
“Tenanglah, Pandan Wangi. Kau dapat berceritera perlahan-lahan, apakah yang telah membayangi perasaanmu kini.”
Sekali lagi Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Dicobanya, mengatur perasaannya agar ia dapat mengucapkan kata katanya dengan baik. Sejenak kemudian maka barulah ia dapat memulainya, meskipun masih bersimpang siur, “Ayah. Orang bercambuk itu telah datang.”
Ki Argapati mengerutkan dahinya. “Siapakah yang kau maksud?”
“Orang bercambuk yang pernah aku katakan, Ayah. Ia membawa obat untuk Ayah.”
“Tenanglah Pandan Wangi. Apakah kau bermaksud mengatakan bahwa ada seseorang datang mencari aku dan membawa obat untukku?”
“Ya, Ayah, gembala itu. Tetapi bukan yang gemuk.”
Ki Argapati perlahan-lahan bangkit dan duduk di pembaringannya. Dengan sareh ia berkata, “Cobalah, endapkan perasaanmu. Jangan tergesa-gesa supaya kata-katamu tidak tumpang-suh.”
Pandan Wangi menundukkan kepalanya. Kini ia berusaha dengan sungguh-sungguh agar ia dapat berkata sebaik-baiknya. Semakin kisruh kalimatnya, maka semakin panjang waktu yang terbuang. Maka setelah sejenak ia berdiam diri, maka barulah ia dapat mengatakan dengan teratur, apa yang dilihatnya di depan regol desa, apa yang dilakukan oleh Wrahasta terhadap Gupita. Tetapi Pandan Wangi masih belum berani mengatakan latar belakang dari sikap anak muda yang bertubuh raksasa itu.
Ki Argapati mendengarkan ceritera Pandan Wangi sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan dada yang berdebar-debar tumbuhlah harapannya untuk dapat mengobati luka-lukanya dengan baik. Tetapi agaknya sikap Wrahasta tidak dapat dimengertinya.
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, Ki Argapati mempertimbangkan ceritera Pandan Wangi itu dengan cermatnya. Dicobanya untuk menilai segala segi sebaik-baiknya. Sudah tentu, bahwa Wrahasta berbuat demikian sesuai dengan penilaiannya sendiri. Dan ia tidak akan segera dapat menganggapnya bersalah.
“Ayah,” berkata Pandan Wangi, “ungkin Wrahasta akan menjatuhkan hukuman kepada anak itu. Seharusnya Ayah mencoba mencegahnya.”
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia berkata, “Sudah tentu Wrahasta mempunyai alasan yang kuat untuk melakukan tindakannya. Aku mengenaliya sebagai seorang pengawal yang cermat dan tegas. Tanpa pertimbangan tertentu, ia tidak akan berbuat tergesa-gesa.”
“Tetapi, tetapi…,” sahut Pandan Wangi. Namun Pandan Wangi tidak dapat mengatakan bahwa Wrahasta telah dibakar oleh perasaan cemburu.
“Percayalah Wangi, bahwa Wrahasta tidak akan berbuat tanpa alasan tertentu. Seandainya Wrahasta salah menilai gembala itu, maka Samekta dan Kerti dapat memberinya pertimbangan.”
“Kerti sudah mencoba Ayah, tetapi Wrahasta sama sekali tidak mendengarkannya.”
Ki Argapati mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Tenanglah, Wangi. Setelah para pengawal yakin bahwa anak itu dapat dipercayanya, maka gembala itu pasti akan mereka bawa kemari.”
“Tidak, Ayah,” Pandan Wangi menjadi semakin cemas, “Wrahasta menjadi seakan-akan gila. Ia tidak mau mendengar nasehat Paman Kerti dan pendapatku.”
Namun di luar dugaan Pandan Wangi, Ki Argapati justru tersenyum sambil berkata sareh, “Tenanglah. Tenanglah. Aku percaya kepada para pemimpin pengawal itu. Mereka tidak akan berbuat tanpa pertimbangan yang masak. Mereka pun bukan orang-orang yang suka kepada kekerasan. Gembala itu bagi mereka adalah orang lain, sehingga untuk meyakinkan dirinya, Wrahasta telah berbuat demikian. Tetapi tidak akan terjadi sesuatu atas anak muda itu. Aku pun sangat mengharapkannya untuk mendapat obat yang baik bagi luka-lukaku.”
Pandan Wangi terbungkam karenanya. Namun kegelisahannya seolah-olah telah membakar seluruh isi dadanya.
Sebenamya Ki Argapati sendiri menjadi gelisah. Tidak menjadi kebiasaan Wrahasta berbuat demikian kasar terhadap seseorang. Namun setiap kali ia mencoba memahami sikap itu. Apa yang dikatakannya kepada Pandan Wangi itu pun ditujukannya kepada diri sendiri, supaya ia tidak menjadi semakin berdebar-debar menghadapi keadaan dan menghadapi lukanya sendiri. Namun demikian, perasaannya pun ternyata terganggu juga.
“Tetapi sebaiknya aku menunggu,” katanya kemudian dengan tiba-tiba.
Pandan Wangi terkejut. Gadis itu kemudian meloncat dan berjongkok di samping pembaringan ayahnya. “Jangan, Ayah. Ayah jangan menunggu saja. Semuanya akan terjadi tidak seperti yang kita kehendaki. Wrahasta akan menjadi mata gelap, dan menghukum anak yang tidak bersalah itu.”
Ki Argapati termenung sejenak. Sudah tentu bahwa kecemasan Pandan Wangi itu pun pasti bukan tidak beralasan. Tetapi bukanlah kebiasaan Ki Argapati untuk tidak mempercayai para pemimpin pengawal. Apalagi dalam keadaan seperti ini, sehingga kemudian ia berkata, “Tidak akan terjadi tindakan yang berlebih-lebihan. Sebaiknya kita menunggu. Wrahasta sendiri pasti akan datang kepadaku menyampaikan masalah itu. Ia tidak pernah berbuat sesuatu yang penting tanpa setahuku.”
“Tetapi kali ini lain, Ayah, kali ini ia tidak berbuat sebagai pemimpin pengawal Tanah ini.”
Ki Argapati mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Lalu apakah yang dilakukannya?”
Pandan Wangi tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Tetapi sikapnya semakin gelisah.
“Sebaiknya Ayah memanggil Wrahasta untuk mendengarkan keterangan daripadanya sekarang.”
“Ia akan datang sendiri, Wangi.”
“Tetapi,” kata-kata Pandan Wangi terpotong. Kini kegelisahannya sudah memuncak sampai ke ubun-ubunnya. Namun ayahnya seolah-olah acuh tidak acuh saja mendengar keterangannya.
“Beristirahatlah,” berkata ayah kemudian, “Kau terlampau lelah, sehingga kau mudah sekali menjadi bingung. Tidak ada yang perlu diragukan lagi pada para pengawal yang kini berada di daerah bambu ori ini. Mereka yang tidak setia pada umumnya telah lari lebih dahulu. Mereka yang ketakutan pun sudah menyingkir. Sebaiknya kita tidak menyakiti hati mereka yang kini berada di sini.”
“Oh,” Pandan Wangi berdesah. Perlahan-lahan ia berkata, “Yang menggelisahkan aku adalah obat yang dibawa oleh anak muda itu, Ayah. Kalau obat itu tidak sampai kepada Ayah, maka semua harapan akan menjadi sia-sia.”
“Aku rasa tidak akan ada seorang pun yang tidak menghendaki demikian, Wangi. Sekali lagi aku menyatakan kepercayaanku kepada para pemimpin pengawal. Kepada Samekta, Kerti, Wrahasta, dan yang lain-lain. Mereka pasti akan berbuat sebaik-baiknya untuk kepentingan kita bersama.”
Pandan Wangi menjadi pening mendengar jawaban ayahnya. Seolah-olah ia menjadi putus-asa. Terbayang di rongga matanya, Wrahasta yang bertubuh raksasa itu berbuat tanpa dapat dihalangi lagi untuk melepaskan perasaan cemburunya terhadap Gupita. Namun Pandan Wangi pun mencemaskan nasib ayahnya, dan nasib Tanah ini. Kalau Gupita terpaksa melawan, maka keadaan akan menjadi semakin kalut, karena Pandan Wangi tahu benar, kekuatan yang tersimpan di dalam diri gembala bercambuk itu.
Dalam pada itu, di arena, Wrahasta semakin lama menjadi semakin marah. Ia sudah hampir menjadi lupa diri karena ia tidak segera dapat mengalahkan lawannya. Bahkan semakin lama Gupita itu rasa-rasanya menjadi semakin lincah. Cambuk Wrahasta yang semakin cepat bergetar, semakin sering meledak-ledak, tidak juga dapat melukai lawannya. Dengan demikian maka harga diri raksasa itu telah tersinggung karenanya, apalagi di hadapan para pengawal bawahannya.
Para pemimpin pasukan pengawal yang berada di luar arena, menjadi semakin cemas melihat perkelahian itu. Apalagi Kerti dan Samekta. Mereka melihat Wrahasta semakin lama menjadi semakin kehilangan pengamatan diri. Dan Wrahasta bukanlah anak yang baru semalam pandai memegang senjata. Karena itu, apabila ia mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya, maka lawannya pun harus berusaha mengimbanginya pula. Kalau benar kata Pandan Wangi, bahwa Gupita itu mampu bersama-sama dengan gadis itu melawan Ki Peda Sura dan bahkan melukainya, maka perkelahian ini pasti akan menjadi sebab timbulnya persoalan-persoalan baru pada Tanah Perdikan Menoreh.
“Gupita tidak berdiri sendiri,” gumam Samekta.
Kerti mengangguk-anggukkan kepala. Hampir di luar sadarnya ia berkata, “Apakah baru sekarang kau sadari persoalan itu?”
Samekta menarik nafas dalam-dalam. Tetapi di arena itu sudah terlanjur terjadi perkelahian yang seru. Agaknya Samekta kini telah terlambat untuk menarik Wrahasta dari arena. Anak muda yang bertubuh raksasa itu telah benar-benar dibakar oleh kemarahannya, sehingga nalarnya sudah tidak akan dapat dipergunakannya lagi dengan lurus.
Gupita pun semakin lama menjadi semakin bingung pula. Sudah tentu ia tidak akan mungkin untuk sekedar menghindari serangan-serangan Wrahasta terus-menerus tanpa berbuat sesuatu. Betapapun tinggi ilmunya dan Betapapun jauh jaraknya, tetapi ternyata dibanding cambuk anak muda yang bertubuh dan bertenaga raksasa itu telah mulai menyentuh kulitnya.
Sekali-sekali Gupita itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan penuh keragu-raguan ia menghadapi lawannya di arena yang asing baginya.
Namun tiba-tiba terkenang olehnya, bagaimana seorang senapati muda dari Pajang, Untara, dahulu menghadapi Sidanti setelah selesai perlombaan memanah. Sidanti yang pada waktu itu sedang dibakar oleh kemarahannya pula. Adalah mustahil bagi Untara yang dapat mengalahkan Tohpati itu, apabila ia tidak dapat mengalahkan Sidanti pula. Tetapi Untara tidak mau menyakiti hati Sidanti dengan mengalahkannya di muka orang-orang Sangkal Putung dan di hadapan para prajurit Pajang.
“Cara itu adalah cara yang baik untuk menghentikan perkelahian,” desisnya. Namun kemudian timbul pertanyaan, “Tetapi bagaimana kemudian kalau Wrahasta mempergunakan orang-orangnya untuk mencampuri perkelahian ini?”
Sekali lagi Gupita dicengkam oleh keragu-raguan. Namun di cobanya untuk mengambil sikap, “Entahlah. Tetapi sekarang aku akan berbuat seperti yang terjadi atas Sidanti itu.”
Dengan demikian maka kini Gupita telah dapat menempatkan dirinya. Sekali-sekali ia harus melawan serangan dengan serangan. Sentuhan ujung cambuk dengan sentuhan pula. Namun harus dijaga, supaya lawannya itu tidak semata-mata dikalahkannya di hadapan pasukannya sendiri.
Maka sejenak kemudian perkelahian itu pun berlangsung semakin cepat. Kini Gupita tidak terlampau banyak lagi menghindar. Tidak lagi melonjak-lonjak dikejar oleh senjata lawannya. Bahkan sekali-sekali ia mulai menyerang, meskipun tidak langsung ke pusat-pusat tubuh Wrahasta yang berbahaya.
Wrahasta merasakan perubahan sikap Gupita. Ia kini melihat bahwa Gupita sama sekali belum melayaninya sewajarnya. Karena itu Wrahasta justru merasa direndahkan oleh gembala yang telah membakar hatinya.
Raksasa muda itu kemudian menggeretakkan giginya, ia telah benar-benar kehilangan pertimbangan. Ia ingin berkelahi, sebenarnya berkelahi. Karena itu, maka ia pun segera mengerahkan segenap kemampuan dan kekuatan yang ada padanya.
Ternyata Wrahasta benar-benar berkekuatan raksasa seperti tubuhnya. Cambuknya meledak-ledak semakin keras memekakkan telinga. Namun bagi Gupita, ledakan cambuk Wrahasta itu tidak lebih dari ledakan cambuk seorang gembala yang bertubuh dan berkekuatan raksasa. Itu saja, tanpa menumbuhkan getaran yang dapat menusuk ke pusat jantung karena disalurkan oleh kekuatan yang tersimpan di dalam diri.
Pada saat-saat ketegangan di arena menjadi semakin memuncak, kegelisahan di dada Pandan Wangi pun memuncak pula. Karena ayahnya masih belum memutuskan untuk memanggil Wrahasta atau Gupita, atau kedua-duanya, maka sekali lagi ia mendesaknya, “Ayah, berbuatlah sesuatu. Jangan Ayah membiarkan keduanya dibakar oleh perasaan mereka. Gupita tidak hanya seorang diri di tlatah Menoreh ini. Ayah jangan membiarkan timbul persoalan-persoalan baru, yang dengan demikian akan mengurungkan maksud baik orang-orang bercambuk itu. Obat itu Ayah, obat itu harus di selamatkan.”
Ki Gede Menoreh mengerutkan keningnya. Sebuah pertanyaan menjadi semakin tajam tergores di dinding hatinya, “Apakah yang telah terjadi sebenarnya?”
Kegelisahan Pandan Wangi itu telah menggelisahkan hati Ki Argapati pula. Namun ia masih juga mempertimbangkan perasaan para pemimpin pasukannya dalam keadaan serupa ini.
“Ayah, hentikan semuanya itu, Ayah.”
“Pandan Wangi,” berkata ayahnya, “Aku masih belum dapat meninggalkan pembaringan ini.”
“Aku akan pergi atas nama Ayah.”
Argapati tidak segera menyahut.
“Kalau Ayah mencemaskan Wrahasta, bahwa ia akan tersinggung karenanya, maka sebaiknya Ayah memanggil keduanya. Wrahasta dan Gupita bersama Paman Kerti dan Paman Samekta.”
Argapati masih dicengkam oleh keragu-raguan. Tetapi ia tidak dapat membiarkan keadaan menjadi semakin tegang karena kegelisahan Pandan Wangi yang memuncak. Karena itu, maka perlahan-lahan ia menganggukkan kepalanya. Katanya, “Tetapi hati-hatilah. Jangan menyakitkan hati orang lain.”
“Terima kasih, Ayah,” Pandan Wangi terlonjak. Kemudian diraihnya tombak pendek ayahnya sambil berkata, “Atas nama Ki Gede Menoreh.”
Tanpa menunggu jawaban apa pun Pandan Wangi berlari ke luar dari bilik ayahnya dan menghambur ke halaman sambil menjinjing tombak pendek ayahnya, sebagai pertanda bahwa ia berbuat atas nama Ki Argapati sendiri.
Tanpa menghiraukan para penjaga dan orang-orang yang memandanginya di sepanjang jalan, Pandan Wangi berlari-lari ke pusat pimpinan para pengawal. Kali ini tidak saja dengan sepasang pedang di lambungnya tetapi juga sebatang tombak pendek, meskipun masih di dalam selongsongnya.
Sementara itu, perkelahian antara Wrahasta dan Gupita menjadi semakin sengit. Gupita semakin lama semakin banyak melakukan serangan-serangan yang membuat Wrahasta harus bekerja lebih keras. Meskipun demikian serangan-serangan Gupita nampaknya tidak terlampau berbahaya, dan selalu dapat dielakkan oleh Wrahasta. Namun dengan demikian Wrahasta harus memeras tenaganya untuk selalu menghindari ujung cambuk Gupita yang seolah-olah mempunyai mata melampaui ketajaman matanya. Sehingga karena itu, maka Wrahasta harus memeras segenap tenaga dan kemampuannya, agar ujung cambuk Gupita tidak terlampau sering menyentuhnya.
Meskipun demikian Gupita tidak mendesaknya terus. Sekali-sekali diberinya kesempatan Wrahasta menyerangnya, bahkan menyentuh kulitnya, namun sejenak kemudian keadaan berganti pula.
Dalam perkelahian yang demikian, maka anak muda yang bertubuh raksasa itu benar-benar telah memeras segenap kemampuan dan tenaganya. Nafasnya pun semakin lama menjadi semakin deras mengalir seperti keringatnya yang semakin terperas membasahi pakaiannya. Tenaganya pun menjadi semakin kendor, sehingga senjatanya tidak lagi terlampau sering meledak-ledak.
Wrahasta adalah seorang yang memiliki kekuatan dan ketahanan tubuh yang luar biasa. Namun agaknya Gupita telah berhasil memancingnya untuk mencurahkan segenap kamampuannya sehinngga tenaganya pun segera menjadi susut.
Anak muda yang bertubuh raksasa, yang terlibat langsung dalam perkelahian itu sendiri tidak begitu menyadari keadaannya. Tetapi orang-orang tua yang mempunyai pandangan yang agak baik atas perkelahian itu, misalnya Kerti dan Samekta, dapat melihat, bahwa sebenarnya Wrahasta telah mencoba berkelahi di luar kemampuannya.
“Aku percaya kepada keterangan Pandan Wangi,” desis Kerti tiba-tiba.
“Tentang siapa?” bertanya Samekta.
“Bahwa anak itu benar-benar mampu bertahan bersama-sama dengan Angger Pandan Wangi sendiri terhadap Ki Peda Sura.”
Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Ya, aku pun percaya.”
Kerti mengangguk-angguk pula. Lalu katanya, “Kalau begitu dalih Wrahasta bahwa ia telah bersekutu dengan Ki Peda Sura itu sama sekali tidak dapat dipertahankan.”
“Ya. Memang tidak. Sejak semula aku sudah meragukan dalih itu. Dan kita sudah mengetahui dalih yang sebenarnya, yang telah membuat Wrahasta menjadi mata gelap.”
“Dan kau pemimpin tertinggi di sini, tidak berbuat apa-apa. Biar pun kau sudah mengetahuinya.”
Samekta mengerutkan alisnya. Jawabnya, “Kau tidak membantu kesulitan perasaanku. Kau justru membuat aku menjadi semakin bingung.”
“Berbuatlah tegas. Tegas sebagai seorang pemimpin tertinggi.”
“Tetapi itu tidak berarti bahwa kita boleh melepaskan kebijaksanaan. Coba katakan, apa yang harus aku lakukan kalau Wrahasta menolak perintahku? Apakah aku harus memaksanya di hadapan para pengawal, sementara Sidanti siap menerkam kita di luar pagar pring ori ini.”
Kerti menarik nafas dalam-dalam. “Maaf,” katanya, lalu, “tetapi lihatlah.”
Samekta memandang perkelahian di tengah-tengah arena dengan wajah yang tegang. Dilihatnya keduanya menjadi semakin lemah. Bahkan sekali-sekali Wrahasta menjadi terhuyung-huyung karena dorongan kekuatannya sendiri. Setiap ia melecutkan cambuknya, maka hampir-hampir ia pun ikut terjerembab. Sedangkan cambuk itu sudah hampir tidak berbunyi sama sekali.
Di pihak lain, Gupita pun telah menjadi terlampau letih. Samekta dan Kerti melihat gembala itu tertatih-tatih mempertahankan keseimbangannya. Namun mata kedua orang tua-tua itu cukup tajam. Mereka melihat bahwa keadaan Gupita sebenarnya tidak separah itu.
“Anak itu ternyata cukup bijaksana,” desis Samekta tiba-tiba. Wajahnya yang tegang menjadi agak mengendor. Dari sorot matanya tampaklah, bahwa tekanan perasaanya telah berkurang. “Mudah-mudahan perkelahian itu akan selesai dengan baik.”
Kerti pun tiba-tiba tersenyum, “Anak muda yang dewasa menghadapi persoalannya. Pantaslah bahwa ia mampu menyelamatkan Pandan Wangi dari tangan Ki Peda Sura.”
Namun tiba-tiba kedua orang tua itu dikejutkan oleh suara Wrahasta yang gemetar dan terputus-putus karena nafasnya yang memburu,” He, ternyata dugaanku benar.” Ia berhenti sejenak, lalu, “orang semacam kau mustahil dapat melepaskan Pandan Wangi dari tangan Ki Peda Sura. Kalau kau tidak bersekutu dengan orang itu, maka kau pasti sudah terbunuh olehnya. Kau sama sekali tidak mampu mengalahkan aku, apalagi Ki Peda Sura.”
Dada Gupita berdesir mendengar tuduhan itu. Agaknya Wrahasta mencari arti yang lain dari perkelahian yang diharapkannya dapat selesai tanpa menyakitkan hatinya. Karena itu, maka sejenak ia berdiri mematung.
Dalam kebingungan itu ia mendengar Wrahasta berkata terus sambil terengah-engah, “Karena itu, meskipun aku tidak juga dapat mengalahkan kau, namun aku sudah menemukan bukti bahwa kau adalah termasuk orang-orang yang tidak dikenal di Tanah ini. Yang bekerja bersama Ki Peda Sura dan Ki Tambak Wedi untuk melihat keadaan dan rahasia kami setelah kau berhasil mempengaruhi perasaan Pandan Wangi, seorang gadis yang masih terlampau hijau dan jujur menghadapi dunia yang penuh dengan noda-noda hitam. Nah, sekarang kau tidak akan dapat ingkar lagi. Kau harus mempertanggungjawabkannya sebagai seorang laki-laki.”
Gupita masih terpaku di tempatnya. Sedang Kerti dan Samekta sejenak saling memandang. Ternyata harapan mereka, bahwa perkelahian itu akan berakhir tanpa membuat Wrahasta menjadi sakit hati, agaknya tidak terpenuhi. Wrahasta benar-benar telah kehilangan keseimbangan berpikir sehingga sikapnya menjadi kasar dan berbahaya.
“Kau tidak dapat tinggal diam,” desis Kerti kepada Samekta. “Meskipun kau harus bijaksana, tetapi kau harus mencegah hal-hal yang dapat membahayakan anak muda yang membawa obat untuk Ki Argapati itu.”
Samekta menjadi tegang sesaat. Dan sebelum ia berbuat sesuatu maka Wrahasta telah berteriak kepada para pengawal, “Nah, kalian telah menyaksikan sendiri. Sekarang, kepunglah anak gila ini. Jangan sampai ia melepaskan dirinya.”
Para pengawal Tanah Perdikan Menoreh adalah orang-orang yang cukup terlatih, sehingga tiba-tiba mereka pun bergerak dalam suatu lingkaran yang menjadi rapat. Dalam sekejap maka di tangan mereka telah tergenggam senjata masing-masing.
“Nah, kau akan lari ke mana lagi gembala yang licik?” desis Wrahasta.
Dada Gupita menjadi semakin berdebar-debar. Keadaan berkembang semakin memburuk. Tanpa sesadarnya, ia menggenggam cambuknya erat-erat.
“Aku tidak mau mati seperti kerbau dibantai di pembantaian,” katanya di dalam hati. Meskipun segala macam pertimbangan dan keragu-raguan menjalari kepalanya, namun yang pertama-tama harus dikerjakan adalah mempertahankan diri.
Tetapi sebelum para pengawal berbuat sesuatu, maka Samekta telah berada di tengah-tengah arena. Dipandangnya Gupita sesaat, kemudian diedarkannya pandangan matanya ke setiap wajah di sekelilingnya.
“Terima kasih,” desisnya, “kalian telah berbuat sebaik-baiknya untuk tanah ini. Anak muda ini memang tidak boleh lari dengan membawa berita apa pun dari lingkungan kita. Karena itu, maka aku sendiri akan menangkapnya. Kalau ia berusaha melawan, aku akan menyelesaikannya. Aku harus membawanya menghadap Ki Argapati.”
Sejenak arena itu menjadi sepi. Kata-kata Samekta telah menghunjam ke dalam setiap hati. Dan mereka sama sekali tidak melihat keberatan apa pun. Ki Samekta sendiri akan menangkapnya. Menyerah atau melawan, sehingga mereka tidak perlu bertindak beramai-ramai. Sedang Gupita sendiri agaknya dapat menangkap maksud yang tersirat di dalam sikap Samekta itu, sehingga ia sama sekali tidak bersikap untuk melawan.
“Nah,” berkata Samekta, “apakah kau akan melawan atau lebih baik menyerah dan menghadap Ki Argapati?”
Gupita menundukkan kepalanya dalam-dalam. Katanya, “Aku menyerah, Kiai. Aku tidak ingin melakukan perlawanan apa pun sebenarnya.”
Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun sekali lagi ia terkejut oleh suara Wrahasta, “Buat apa ia dibawa menghadap Ki Argapati? Kalau sudah jelas, siapakah orang ini, maka kita dapat memutuskan sendiri, apa yang sebaiknya kita lakukan. Ki Argapati sedang terluka parah. Ia harus beristirahat. Kita tidak dapat mengganggunya dengan persoalan-persoalan yang sama sekali tidak berarti. Karena itu, serahkan saja anak ini kepada para pengawal. Kepadaku dan kepada para pemimpin pengawal yang lain.”
Samekta mengerutkan keningnya. Ia memang sudah menduga bahwa Wrahasta akan mencegahnya membawa Gupita menghadap Ki Argapati. Tetapi sudah tentu ia tidak dapat menyerahkannya kepada Wrahasta dan para pemimpin pengawal yang lain, yang tidak mengerti masalah yang sebenarnya.
Karena itu maka katanya, “Kita tidak akan dapat bertindak sendiri. Persoalan ini bukan sekedar persoalan kecil. Masalah anak muda ini menyangkut berbagai macam soal. Obat itu, hubungannya dengan anak muda yang gemuk yang memberikan obat kepada Ki Argapati di Pucang Kembar, hubungannya dengan Ki Peda Sura, dengan Sidanti dan Ki Tambak Wedi. Orang ini memang kita perlukan. Justru karena itu maka kita harus membawanya langsung kepada Ki Argapati.”
“Tidak!” potong Wrahasta dengan wajah yang merah. Sikap itu tidak pernah dilakukan sebelumnya. Ia selalu menghormati orang-orang tua yang mempunyai kedudukan lebih tinggi daripadanya. Tetapi kali ini ia bersikap lain. Dan sikap ini memang sudah diperhitungkan oleh Samekta. Karena itu maka Samekta pun berkata pula, “Kita tidak boleh mendahului keputusan Ki Argapati, Wrahasta. Ki Argapati telah berpesan, bahwa setiap persoalan harus dibicarakan lebih dahulu. Aku kira, termasuk persoalan anak muda ini.”
“Tidak! Tidak! Aku akan memaksanya berbicara lebih dahulu. Ia belum mengucapkan pengakuan apa pun meskipun aku telah menemukan bukti yang tidak akan dapat dipungkiri. Karena itu, aku akan memaksanya berbicara.” Kemudian kepada para pengawal ia berteriak, “Ayo, ikat orang ini!”
Tetapi para pengawal menjadi bingung. Tatapan mata Samekta terlampau tajam beredar ke setiap wajah, sehingga para pengawal itu pun justru menundukkan kepala mereka.
“Ayo cepat!” teriak Wrahasta seperti orang gila. “Kenapa kalian diam saja, he?”
“Jangan tergesa-gesa,” potong Samekta. Kata-katanya tidak dilontarkan terlampau keras, tetapi pengaruhnya telah menahan semua pengawal untuk berbuat sesuatu.
Wrahasta yang marah menjadi semakin marah. Ia benar-benar telah lupa akan kedudukannya. Tiba-tiba cambuk di tangannya dilemparkannya dan dalam sekejap ia telah menggenggam pedang di tangannya. Dengan garangnya ia menggeram, “Aku tidak biasa mempergunakan senjata macam itu. Aku akan mempergunakan pedangku. Dada anak itu akan aku sobek silang empat kalau ia tidak mau berbicara.”
Bagaimana pun juga Samekta masih menjadi bingung. Dipandanginya wajah Kerti untuk mendapat pertimbangan. Adalah tidak pada tempatnya apabila ia harus bertindak dengan kekerasan pula. Tetapi wajah Kerti yang tegang itu pun tidak memberinya petunjuk apa pun juga.
Sementara itu Pandan Wangi masih berlari sekencang-kencangnya sambil menjinjing tombak ayahnya. Ia tidak mau terlambat dan tinggal melihat bekas-bekasnya saja yang akan dapat merontokkan jantungnya.
Puteri Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu sama sekali tidak mempedulikan lagi, bahwa beberapa orang peronda di gardu-gardu memperhatikannya dengan heran. Bahkan satu dua orang berusaha untuk mengikutinya sambil bergumam di antara mereka.
“Apakah yang telah terjadi dengan Pandan Wangi.”
“Mungkin ia akan melihat tawanan itu pula,” jawab yang lain.
“Tetapi tombak itu?”
Yang lain menggelengkan kepalanya. “Entahlah.”
Di arena keadaan menjadi semakin tegang, Wrahasta telah benar-benar kehilangan segala pertimbangan. Ia sama sekali tidak mempedulikan lagi Samekta dan kemudian Kerti yang masuk ke dalam arena pula.
“Minggir kalian!” tiba-tiba Wrahasta membentak orang-orang tua itu. “Aku akan mengurus persoalan ini sampai selesai.”
“Wrahasta, sadarlah keadaanmu,” desis Kerti perlahan-lahan. “Kau telah melanggar keharusan seorang pengawal. Samekta adalah pemimpin tertinggi di daerah ini sekarang, sebagaimana ditunjuk oleh Ki Argapati.”
Sejenak Wrahasta tertegun. Namun ketika dilihatnya wajah gembala yang ragu-ragu itu, maka tiba-tiba ia berteriak, “Aku menangkapnya pada saat ia melakukan pengkhianatan atas Tanah ini. Sebelum ia berbicara tentang dirinya sebenar-benarnya, aku tidak akan melepaskannya dan menyerahkannya kepada atasanku. Sekarang, minggirlah. Aku akan memaksanya berbicara, dan kemudian terserah kepada kalian. Itu adalah hakku.” Lalu kepada para pengawal ia berteriak, “Cepat, ikat anak ini pada batang sawo itu. Ia harus berbicara tentang dirinya.”
“Wrahasta,” berkata Samekta, “jangan kau paksa anak ini mengaku akan sesuatu yang tidak pernah dilakukannya. Apalagi apabila dengan dasar pengakuan yang kau paksakan itu, kemudian kau menjatuhkan hukuman atasnya. Itu bukan sifat seorang yang berpijak pada kebenaran.”
Wajah Wrahasta menjadi semakin tegang. Sekali lagi ia berteriak, “Aku mempunyai bukti. Aku mempunyai bukti yang cukup.” Dan sekali lagi ia berkata kepada para pengawal itu pula, “Ayo cepat, kenapa kalian seperti orang mimpi?”
Samekta menjadi semakin bingung. Sedang Kerti berusaha menahan dirinya supaya ia pun tidak kehilangan keseimbangan melihat tingkah laku Wrahasta yang benar-benar seperti orang gila itu.
Karena Samekta dan Kerti kemudian tidak berbuat apa pun lagi oleh kebimbangan dan kebingungan, maka para pengawal kini memusatkan perhatiannya kepada Wrahasta. Meskipun mereka masih diliputi oleh keragu-raguaan pula, namun tanpa sesadar mereka, para pengawal itu telah bergerak maju.
“Cepat!” teriak Wrahasta. Kepada Gupita ia berkata, “Jangan mencoba melawan. Kalau kau berbuat gila, maka kau akan dicincang sewalang-walang.”
Ancaman itu membuat Samekta dan Kerti menjadi semakin bimbang. Sehingga Samekta terpaksa berkata di dalam hatinya, “Apa boleh buat. Aku harus menjatuhkan perintah atas dasar keyakinanku bahwa anak muda itu tidak bersalah. Entahlah, apa yang akan terjadi serta segala akibatnya. Tetapi obat itu sangat diperlukan oleh Ki Argapati.”
Dalam ketegangan yang semakin memuncak itu, para pengawal mulai melangkah maju, mempersempit kepungan mereka dengan senjata di tangan masing-masing.
Samekta tidak dapat menunggu lebih lama lagi. Tiba-tiba ia meugangkat kepalanya, memandang para pengawal yang telah mulai bergerak.
Tetapi sebelum ia mengucapkan sepatah kata pun, tiba-tiba terdengar suara melengking dalam nada yang tinggi, “Tunggu, tunggu.”
Semua orang berpaling ke arah suara itu. Dada mereka menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat seorang gadis dengan sepasang pedang di lambung, berjalan tergesa-gesa ke arah arena yang sedang ber-gerak-gerak.
Semua orang kemudian terpaku di tempatnya. Langkah Pandan Wangi menjadi semakin cepat. Beberapa orang segera menyibak untuk memberinya jalan, masuk ke dalam lingkaran arena.
Samekta, Kerti, dan Wrahasta berdiri dengan tegangnya. Mata mereka tertarik kepada tombak pendek yang masih berada di dalam selongsong itu.
Sejenak kemudian terdengar suara Wrahasta berat, “Apakah maksudmu datang kemari, Pandan Wangi?”
“Aku berbuat atas nama Kepala Tanah Perdikan Menoreh,” jawab gadis itu sambil mengangkat tombak yang masih berada di dalam selongsongnya. “Aku harus memanggil Paman Samekta untuk menghadap.”
Samekta mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia bertanya, “Aku?”
“Ya. Paman Samekta dan paman Kerti beserta Kakang Wrahasta, dengan membawa tawanan kalian itu.”
Hampir bersamaan Samekta dan Kerti menarik nafas dalam-dalam. Tetapi tiba-tiba wajah Wrahasta yang tegang menjadi semakin tegang, seolah-olah hendak meledak. Katanya, “Tidak. Itu tidak perlu. Aku akan menyelesaikannya lebih dahulu. Ia harus berbicara tentang dirinya. Baru kemudian ia dihadapkan kepada Ki Argapati. Sebelum ia mengaku, adalah hakku untuk memeriksanya.”
Pandan Wangi menggelengkan kepalanya, “Aku tidak tahu, Kakang Wrahasta. Aku hanya melakukannya. Supaya tidak timbul persoalan, maka Ayah memerintahkan kepadaku untuk membawa tombak ini, pertanda bahwa apa yang aku lakukan adalah atas nama pimpinan tertinggi Tanah Perdikan Menoreh. Kalau tindakan ini kau anggap kurang bijaksana, bertanyalah nanti kepada ayah. Aku hanya sekedar melakukan perintahnya.”
“Aku tidak akan memberikan,” teriak Wrahasta.
Pandan Wangi terdiam sejenak. Tanpa sesadarnya diedarkannya pandangan matanya berkeliling. Dilihatnya wajah-wajah yang ragu-ragu, bimbang dan bahkan kebingungan.
Tetapi agaknya Pandan Wangi cukup kuat mempertahankan sikapnya. Perlahan-lahan ia berkata, “Perintah Kepala Tanah Perdikan Mlenoreh, Paman Samekta, Paman Kerti, dan kakang Wrahasta harus segera membawa gembala itu menghadap ayah.”
“Tidak mungkin,” potong Wrahasta.
“Atas nama Kepala Tanah Perdikan ini, kalian harus berangkat sekarang. Sekarang.”
Wrahasta berdiri dengan kaki gemetar memandangi wajah Pandan Wangi. Tetapi wajah gadis itu di dalam tangkapan matanya kini, seolah-olah bukan wajah Pandan Wangi yang biasa dilihatnya sehari-hari. Bukan wajah lembut yang ramah, bukan pula wajah seorang gadis yang sayu dan murung. Tetapi wajah itu seolah-olah wajah seorang senapati perang yang berada di medan, dalam sikap dan ucapan.
Sejenak arena itu menjadi sepi. Semua mata memandang wajah Pandan Wangi yang berdiri tegak dengan tombak pendek di tangannya.
Sejenak kemudian kesepian itu dipecahkan oleh suara Wrahasta, “Baiklah, Pandan Wangi. Aku akan tunduk kepada setiap perintah Ki Gede Menoreh atau atas namanya.”
Dada Pandan Wangi berdesir mendengar kata-kata Wrahasta itu. Justru dengan demikian sejenak ia terbungkam. Namun sekilas dipandanginya Kerti dan Samekta yang sedang saling berpandangan.
Gupita pun menarik nafas dalam-dalam. Terasa ia terlepas dari suatu ikatan yang membelitnya. Bukan karena ia merasa terlepas dari bahaya yang mungkin dapat mengancam jiwanya, tetapi ia merasa terlepas dari suatu keadaan yang membuatnya cemas dan ragu-ragu.
Yang kemudian terdengar adalah suara Samekta, “Kami akan segera menghadap, Pandan Wangi.”
“Baiklah, Paman. Kita akan pergi bersama-sama.”
Samekta menganggukkan kepalanya Kemudian ia berkata kepada Gupita, “Simpanlah senjatamu dan pakailah bajumu.”
“Baik, Kiai,” jawab Gupita sambil membungkukkan kepalanya. Kemudian diambilnya bajunya, dan dikenakannya. Ketika teraba olehnya bungkusan obat di kantong bajunya, terasa hatinya menjadi dingin. Obat itu baginya adalah barang yang terpenting yang harus disampaikan kepada alamat yang ditunjuk oleh gurunya.
Sejenak kemudian, maka Pandan Wangi, Samekta, Kerti, dan Wrahasta segera membawa Gupita menghadap Ki Argapati.
Sementara itu Ki Argapati berbaring dengan gelisah menunggu kedatangan puterinya. Ia kadang-kadang menjadi cemas kalau Wrahasta menjadi salah paham. Bagaimanakah kira-kira sikap Pandan Wangi apabila Wrahasta tidak mau mematuhi perintah itu.
Ia bangkit ketika terdengar langkah memasuki ruangan dalam mendekati biliknya. Sejenak kemudian dari balik pintu muncullah Pandan Wangi dengan tombak pendek di tangannya.
“Bagaimana, Wangi?” bertanya ayahnya.
“Mereka telah datang, Ayah.”
“Di mana mereka sekarang?”
“Di luar bilik ini, Ayah.”
Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Bawa mereka masuk. Tetapi letakkan dulu tombak itu.”
Pandan Wangi mengangguk. Diletakkannya tombak pendek ayahnya di samping pembaringan, dan kemudian ia pun melangkah.
Sejenak kemudian maka Pandan Wangi bersama para pemimpin pengawal itu pun masuk ke dalam bilik Argapati sambil membawa Gupita bersama mereka.
Dengan kepala tunduk mereka berdiri berjajar di muka pintu. Di paling ujung adalah Gupita yang berdiri di samping Samekta.
Ki Argapati memandangi mereka satu demi satu. Dilihatnya keringat yang membasahi wajah dan pakaian Wrahasta. Agaknya ia telah berbuat sesuatu dengan mengerahkan tenaganya.
Perlahan-lahan Ki Argapati berkata, “Anak muda inikah yang bernama Gupita?”
Gupita mengangkat wajahnya. Perlahan-lahan pula ia menjawab sambil mengangguk dalam-dalam, “Ya, Ki Gede. Aku bernama Gupita, seorang gembala.”
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebagai seorang yang memiliki pengetahuan yang hampir mumpuni, segera ia melihat, bahwa apa yang dikatakan Pandan Wangi tentang anak muda yang telah membantu meloloskan diri dari tangan Ki Peda Sura itu, sama sekali tidak berlebih-lebihan.
“Aku telah mendengar tentang kau,” berkata Ki Argapati kemudian. “Tetapi aku ingin mendengar dari kau sendiri, siapakah sebenarnya kau, dan apakah maksudmu datang kemari.”
Gupita menarik nafas dalam-dalam. Tanpa sesadarnya dipandanginya orang-orang yang berada di dalam bilik itu satu demi satu. Namun tidak segera berkata apa pun.
Yang bertanya kemudian adalah Ki Argapati kembali, tetapi kepada Samekta, “Apakah kau sudah bertanya sesuatu kepadanya?”
Samekta ragu-ragu sejenak, kemudian jawabnya, “Belum, Ki Gede.”
Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia memandangi Wrahasta yang masih tunduk. Kepada anak muda yang bertubuh raksasa ini pun Ki Gede bertanya, “Apakah kau juga belum bertanya kepadanya?”
Wrahasta mengangguk, jawabnya, “Aku sedang berusaha bertanya kepadanya, Ki Gede. Tetapi agaknya Gupita tidak ingin menjawab.”
Ki Argapati masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya kemudian Kerti dan Samekta berganti-ganti. Tetapi keduanya pun masih menundukkan kepala mereka. Agaknya tidak seorang pun dari keduanya yang ingin memberi penjelasan.
Gupita sendiri memang tidak ingin membuat persoalan. Karena itu maka ia pun tidak berbicara sama sekali tentang apa yang telah terjadi. Ketika Ki Gede kemudian bertanya lagi kepadanya tentang dirinya, maka anak muda itu menjawab, “Ki Gede, yang terpenting kedatanganku adalah untuk menyerahkan obat kepada Ki Gede. Menurut perhitungan ayah, obat yang dahulu diberikannya lewat adikku pasti sudah tidak mempunyai daya penyembuh lagi. Itulah sebabnya maka aku harus menghadap Ki Gede untuk menyampaikan obat itu sekarang.”
“Ya, aku sudah mendengar pula,” Ki Gede diam sejenak, lalu, “Apakah ada salah paham di antara para pengawal terhadapmu?”
Gupita ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia menjawab, “Tidak, Ki Gede. Tidak ada salah paham yang berarti. Semuanya adalah terbatas pada tindakan pengamanan sebagaimana seharusnya dilakukan oleh para petugas dan para pengawal.”
Yang mendengar jawaban itu mengerutkan kening mereka. Jawaban itu sama sekali bukan jawaban seorang gembala kambing.
Tetapi yang paling memperhatikan sikap itu adalah Ki Gede sendiri. Kini ia menjadi semakin yakin, bahwa ia telah berhubungan dengan seseorang yang memang pernah dikenalnya, meskipun sejak itu sudah diselimuti oleh rahasia yang tidak mudah ditebak. Namun orang yang berada di belakang anak-anak muda ini, pasti orang bercambuk yang aneh itu.
Tetapi tiba-tiba Ki Argapati mengerutkan keningnya. Dan tanpa sesadarnya ia bertanya, “Jadi ayahmu menyuruhmu memberikan obat lagi kepadaku?”
Pertanyaan itu telah mengejutkan Gupita, sehingga tergagap ia menjawab, “Ya, Ki Gede. Ayah menyuruhku memberikan obat ini, karena obat yang diberikannya lewat adikku sudah terlampau lama.”
“Gupita,” desis Ki Gede seolah-olah ia sedang mengingat sesuatu, “Berapa umur ayahmu?”
Kini Gupita menjadi bingung. Pertanyaan itu pun. sama sekali tidak disangka-sangkanya. Namun ia meajawab, “Umur ayah sudah lewat setengah abad, Ki Gede?”
“Ya, maksudku apakah ia sudah terlampau tua atau masih seumurku ini?”
“Ya, umur ayah kira-kira seumur dengan Ki Gede.”
Tampak sesuatu melintas di wajah Ki Gede yang tenang. Namun tidak seorang pun yang dapat menangkap, bahwa sesuatu sudah bergetar di dadamya. Orang tua itu berkata di hatinya, “Orang bercambuk itu sudah melampaui setengah abad sejak aku melihatnya beberapa puluh tahun yang lampau, ketika aku masih terlalu muda. Apakah umurnya tidak bertambah-tambah juga?” Namun ketegangan merayapi hatinya ketika teringat olehnya seseorang yang mirip dengan anak muda yang berdiri di depannya, “Aku seolah-olah melihat anak muda itu kembali. Anak muda yang cakap dan sopan seperti anak muda ini. Tetapi saat itu umurku pun masih terlampau muda.” Kata-kata itu melingkar-lingkar di dalam dada Ki Argapati. Tetapi ia tidak segera dapat meagambil kesimpulan apa pun.
Baru sejenak kemudian ia berkata, “Manakah obat itu? Dan apakah ada pesan khusus dari ayahmu?”
Gupita mengambil sebungkus obat dari kantong bajunya. Per1ahan-lahan ia melangkah maju. Kemudian diserahkannya sebungkus obat itu kepada Ki Gede yang menerimanya dengan tangan gemetar. Agaknya tubuhnya telah dijalari oleh rasa sakit yang bersumber pada lukanya. Ki Gede itu tampak agak menggigil, meskipun tubuhnya menjadi panas.
“Apakah obat ini harus ditaburkan di atas lukaku?” bertanya Ki Gede.
Gupita mengangguk, “Ya Ki Gede. Obat itu sebagian harus ditaburkan di atas luka. Tetapi tidak sekaligus. Ki Gede dapat mempergunakannya untuk tiga empat kali. Sedang bungkusan kecil yang ada di dalam bungkusan itu juga, hendaknya dicairkan dengan air secukupnya. Obat itu harus diminum Ki Gede.”
Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Tanpa sesadarnya dipandanginya wajah-wajah para pemimpin pengawal yang berdiri tegang di hadapannya.
Ki Gede melihat keragu-raguan yang membayang di wajah-wajah itu, bahkan di wajah Pandan Wangi.
Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Disadarinya bahwa orang-orang itu meragukan obat yang diberikan oleh Gupita dan sekaligus mencemaskan nasibnya. Karena itu maka katanya, “Gupita, apakah ayahmu yakin bahwa obat ini akan dapat menyembuhkan luka-lukaku?”
Gupita menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan hati-hati ia menjawab, “Ki Gede, ayah tidak pernah merasa dirinya sendiri mampu berbuat demikian, apalagi meyakini. Sebaiknya kita berusaha bersama-sama. Sambil memohon kepada Yang Maha Murah, tetapi ayah yakin bahwa sebenarnya Tuhan Maha Murah. Karena itu ayah tidak pernah berputus asa untuk berusaha dalam ilmu pengobatan ini.”
Sekali lagi, orang-orang yang mendengar jawaban itu mengerutkan keningnya. Jawaban itu pun sama sekali bukan sekedar jawaban seorang gembala.
Ki Argapati sendiri mengangguk-anggukkan kepalanya. Bahkan ia tersenyum sambil berkata, “Baiklah. Marilah kita berusaha. Tetapi sebelum itu aku ingin mengetahui tentang kau lebih banyak lagi, apalagi tentang ayahmu. Apakah kau tidak berkeberatan? Kau belum menjawab pertanyaanku, apakah ada pesan khusus dari ayahmu?”
Dengan ragu-ragu Gupita menganggukkan kepalanya. Tetapi tatapan matanya beredar ke seluruh ruangan. Disambarnya wajah-wajah yang kaku tegang dari para pengawal yang berada di dalam bilik itu juga.
Agaknya Ki Gede mengerti maksud anak muda itu. Ia ingin berbicara tanpa ada orang lain yang mendengarnya. Karena itu, maka setelah dipertimbangkannya sejenak ia berkata kepada para pengawalnya, “Maaf Samekta, aku akan berbicara dengan anak ini tanpa didengar oleh orang lain. Aku persilahkan kalian keluar sebentar. Nanti kalian akan mengerti, apa yang sebaiknya kita lakukan.”
Samekta menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia menjadi ragu-ragu. Tetapi yang pertama-tama berkata di antara mereka adalah Wrahasta, “Apakah Ki Gede mempercayainya bahwa ia tidak akan berbuat sesuatu di dalam bilik ini, pada saat Ki Gede sedang sakit?”
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Terima kasih atas peringatanmu Wrahasta. Aku tahu, bahwa kau dan para pengawal yang lain merasa bertanggung jawab atas keselamatanku. Aku hargai sikap kalian. Tetapi kali ini aku minta kalian mempercayainya. Aku akan berbuat sebaik-baiknya.”
Sejenak para pengawal itu saling berpandangan. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa pun ketika sekali lagi Ki Gede berkata, “Biarlah anak ini mendapat kesempatan. Keluarlah kalian sebentar bersama Pandan Wangi.”
Ternyata Pandan Wangi pun menjadi ragu-ragu. Namun ketika akan membuka mulutnya, ayahnya mendahuluinya, “Keluarlah sebentar, Pandan Wangi. Aku perlu berbicara dengan Gupita sejenak. Semuanya semata-mata untuk kepentingan Tanah ini, tentu saja untuk kepentinganku pula. Kalau aku segera sembuh, maka aku akan segera dapat berbuat sejauh-jauh mungkin dapat aku lakukan bagi Tanah ini. Apakah kalian mengerti?”
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Sejenak dipandanginya Kerti, dan sejenak kemudian ayahnya. Namun ketika ia memandang wajah Gupita, dan anak muda itu sedang memandanginya pula, maka sepercik warna merah membayang di pipinya. Sambil menundukkan kepalanya ia menjawab, “Baik, Ayah. Aku akan keluar bersama para pemimpin pengawal.”
“Terima kasih. Aku mengharap kalian dapat mengerti.”
Maka Pandan Wangi pun segera melangkah keluar. Meskipun tampak keragu-raguan membayang di matanya, tetapi ia mematuhi perintah ayahnya. Demikian pula para pemimrpin pengawal. Mereka mencoba untuk menyerahkan semua tanggung jawab kepada Ki Argapati sendiri. Dan mereka mencoba untuk percaya, bahwa pandangan Ki Argapati pasti jauh lebih tajam dari mereka.
Tetapi Wrahasta mempunyai persoalan yang lain. Ia tidak sekedar dirisaukan oleh kecurigaannya apakah anak muda itu tidak akan berkhianat. Meskipun Pandan Wangi ikut meninggalkan bilik itu bersamanya dan kedua pemimpin pengawal yang lain, namun perasaan cemburu yang tergores di dadanya tidak juga menjadi susut. Apalagi sampai saat itu Pandan Wangi belum pernah menjawab pertanyaannya dengan memuaskan. Itulah sebabnya, maka persoalannya dengan anak muda yang bernama Gupita itu jauh lebih banyak dari orang-orang lain. Bahkan Wrahasta menjadi cemas, apabila benar-benar anak muda itu berhasil menolong Ki Argapati, dan karena itu, ia akan dapat menarik perhatiannya, apalagi Pandan Wangi sendiri telah terjerat pula olehnya, maka semua mimpinya akan pecah bertebaran.
Namun untuk sementara ia tidak akan dapat berbuat sesuatu, ia harus tunduk kepada perintah Ki Argapati.
Sementara itu, Gupita masih berdiri di depan pintu. Ki Gede yang mencoba duduk di tepi pembaringannya tampak gemetar karena lukanya yang terasa menjadi pedih dan tubuhnya menjadi panas.
“Silahkan berbaring, Ki Gede,” berkata Gupita. Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Maaf anak muda, aku memang harus berbaring.”
“Ya, Ki Gede masih belum boleh terlampau banyak bergerak. Silahkan membuka baju Ki Gede, aku akan membantu menaburkan obat itu.”
Ki Gede tidak segera menyahut. Bagaimanapun juga, anak muda yang belum pernah dikenalnya ini kadang-kadang memang menumbuhkan kebimbangan di hatinya. Tetapi Ki Gede tidak segera menyahut. Dengan tangan yang bergetar dibukanya bungkusan obat yang diterimanya dari anak muda itu.
Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Obat ini memang mirip sekali dengan obat yang pernah diterimanya dahulu. Tetapi ia tidak dapat menyebutnya dengan jelas, apakah warnanya juga serupa, karena saat anak muda yang gemuk itu memberikan obat kepadanya, ia tidak dapat melihat dengan jelas, apalagi di dalam keremangan malam di bawah Pucang Kembar.
Gupita yang melihat keragu-raguan membayang di wajah Ki Gede berkata, “Obatnya memang agak berbeda dengan yang pernah Ki Gede pergunakan dahulu. Obat yang dahulu adalah obat untuk luka baru. Tetapi obat ini adalah obat untuk mengobati luka Ki Gede yang telah selang beberapa hari itu.”
Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia pun tidak menolak ketika Gupita mendekatinya dan kemudian dengan hati-hati menaburkan obat di atas luka Ki Gede.
“Setiap dua atau tiga hari, obat ini harus diperbaharui,” berkata Gupita kemudian. “Mudah-mudahan Ki Gede akan sembuh dan segera dapat memimpin pasukan kembali.”
Ki Argapati mengangguk-angguk pula. Perlahan-lahan ia berdesis, “Ya, mudah-mudahan. Tetapi agaknya Ki Tambak Wedi tidak menunggu aku sampai sembuh. Mereka telah memperketat kepungan mereka dan mempertajam tekanan mereka, tidak saja atas padesan ini, tetapi juga dan bahkan terutama adalah sumber persediaan makan kami.”
Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya. Agaknya Ki Argapati sudah mulai mempercayainya benar-benar. Sehingga akan sampai saatnya ia menyampaikan pesan gurunya kepadanya.
“Tetapi gerakan yang dilakukan oleh Ki Gede telah berhasil membuat Ki Tambak Wedi kebingungan,” berkata Gupita kemudian.
Ki Argapati mengerutkan keningnya, “Apakah yang kau maksudkan?”
“Pasukan berkuda dan orang-orang bercambuk di antara mereka.”
“Oh,” Ki Gede tersenyum. Katanya, “Maafkan kami. Sampaikan kepada ayahmu, bahwa kami tidak sengaja untuk menyeretnya ke dalam persoalan ini.”
“Tidak, Ki Gede,” sahut Gupita cepat-cepat. “Tidak hanya kamilah yang berhak mempergunakan senjata semacam itu. Setiap orang memang berhak pula. Juga pengawal Tanah Perdikan Menoreh.”
Ki Gede masih juga tersenyum. Katanya, “Apakah kau dan ayahmu tersinggung karenanya? Baiklah aku berterus terang, dan aku harap kau sampaikan kepada ayahmu, bahwa aku memang ingin membangunkannya dari tidurnya yang terlampau nyenyak.”
Gupita pun tersenyum pula. Ia merasa bahwa pintu telah terbuka baginya untuk menyampaikan pesan gurunya. Karena itu maka katanya kemudian dengan hati-hati, “Ki Gede, sebenarnyalah aku mendapat pesan dari ayahku selain obat untuk luka Ki Gede itu.”
Ki Gede mengerutkan keningnya. Namun sejenak kemudian ia menyeringai menahan sakit yang menghentak di lukanya.
“Apakah luka itu terasa pedih, Ki Gede?” bertanya Gupita ketika ia melihat kesan di wajah Ki Argapati.
“Ya. Pedih sekali.”
“Itu pertanda bahwa obat itu mulai bekerja. Jangan cemas, Ki Gede. Beberapa saat perasaan pedih itu serasa menyengat-nyengat. Tetapi kemudian akan hilang dengan sendirinya. Begitulah menurut ayah.”
“Ya, Mudah-mudahan kata-kata ayahmu itu benar.”
“Menurut pengalaman ayah, demikianlah. Kemudian luka itu tidak perlu ditutup. Namun sebaiknya luka itu tidak tergores oleh baju Ki Gede.”
“Ya, ya,” sahut Ki Gede, namun kemudian ia berkata, “sekarang, coba katakan, apakah pesan ayahmu itu? Aku harap bahwa ayahmu dapat memberi beberapa petunjuk untuk memecahkan kesulitan di atas Tanah ini.”
Gupita menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Ki Gede memang telah mempunyai kepercayaan kepada gurunya, meskipun agaknya Ki Gede belum yakin siapakah sebenarnya orang yang telah memberinya obat itu.
Dengan demikian maka agaknya semuanya akan dapat berjalan dengan lancar, tanpa salah paham yang lebih dalam lagi.
“Ki Gede,” berkata Gupita, “sebenarnyalah ayah tidak akan dapat tinggal diam di dalam tidurnya yang nyenyak.”
Ki Argapati mengerutkan keningnya, namun kemudian ia pun tersenyum.
“Pada saatnya ayah pasti akan melibatkan diri di dalam persoalan ini.”
“Aku sudah menyangka,” sahut Argapati.
“Untuk itu ayah minta maaf. Bukan maksud ayah untuk mencampuri persoalan Ki Gede.”
Ki Gede tidak menyahut.
“Tetapi,” Gupita meneruskan, “Ayah melihat bahaya yang akan mengancam bukan saja Tanah ini, apabila Sidanti berhasil menguasai pimpinan bersama gurunya Ki Tambak Wedi.” Gupita berhenti sejenak, lalu, “Maaf Ki Gede, mungkin putera Ki Gede sendiri tidak akan tersesat apabila ia tidak kebetulan berada di dalam lingkungan padepokan Tambak Wedi. Kami tidak tahu, apakah alasan yang telah mendorong Ki Gede menyerahkannya kepada seorang yang terlampau bernafsu untuk menjadi seorang yang sangat berkuasa.”
Ki Gede Menoreh mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi wajahnya kemudian menunduk.
“Maaf, Ki Gede. Bukan maksudku untuk menyentuh perasaan Ki Gede,” cepat-cepat Gupita menyambung kata-katanya.
Ki Argapati menggelengkan kepalanya, “Tidak apa, Anak Muda. Aku memang sudah merasa, bahwa sebagian dari kesalahan itu memang ada padaku. Pada yang tua-tua di Tanah ini, dan guru anak itu. Nah, teruskan pesan ayahmu. Katakan apa yang ingin kau katakan. Aku tidak akan menyalahkan kau. Tanggapanmu atau tanggapan ayahmu memang tepat. Teruskan.”
“Tidak, Ki Gede,” sahut Gupita kemudian. “Bukan itulah pesan ayahku yang terpenting. Tetapi yang harus aku sampaikan kepada Ki Gede adalah keinginan ayah untuk menghadap Ki Gede. Sadah tentu ayah tidak akan dapat begitu saja memasuki daerah ini. Itulah sebabnya aku yang disuruhnya untuk merambah jalan. Itu pun telah menimbulkan sedikit salah paham. Tetapi salah paham yang tidak berarti.”
“Ayahmu akan datang kemari?”
“Itu kalau Ki Gede berkenan di hati.”
“Tentu. Tentu. Kenapa tidak saja langsung menemui para penjaga dan berkata bahwa ia akan bertemu dengan aku?”
“Dalam keadaan serupa ini mudah sekali timbul persoalan-persoalan yang tidak terduga-duga. Aku pun sudah mengatakan demikian, bahkan dengan menunjukkan obat itu. Tetapi wajar sekali kalau para pengawal tidak segera mempercayainya. Memang kehadiran seorang gembala tua seperti ayah, akan merupakan sesuatu yang tampaknya tidak wajar dalam keadaan serupa ini.”
Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia berkata, “Ayahmu memang membuat dirinya menjadi tidak wajar. Aku tidak tahu, kenapa ia harus menyebut dirinya sebagai seorang gembala tua? Dan kau menyebut dirimu sebagai anaknya?”
Dada Gupita berdesir mendengar pertanyaan itu. Tetapi kemudian ia menyadari keadaannya. Sudah tentu orang seperti Ki Argapati tidak akan dengan mudah mempercayai ceritera tentang dua orang gembala dengan seorang ayahnya yang tua.
“Gupita,” berkata Ki Argapati kemudian, “aku memanggilmu Gupita, karena kau menyebut dirimu bernama demikian. Aku kira aku pernah berkenalan dengan orang yang kau sebut ayahmu. Aku memang mengenal orang yang bersenjata cambuk itu, meskipun sejak itu orang yang bersenjata cambuk itu selalu membuat dirinya menjadi kabur. Tetapi aku tidak tahu, apakah naksudnya dan apakah alasannya. Seperti aku sekarang juga tidak tahu, kenapa ayahmu itu pun tidak menyatakan dirinya dalam keadaan sewajarnya. Tetapi itu tidak penting bagiku. Teka-teki itu memang tidak akan aku cari. Yang penting sekarang adalah kehadirannya itu. Aku menunggunya dengan senang hati.”
Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba ia pun melihat keanehan pada dirinya sendiri. Agaknya penyakit gurunya untuk membuat dirinya berwajah dan bernama seribu telah menular kepada dirinya tanpa disadarinya. Kenapa namanya harus berganti, dan kenapa ia menyebut dirinya seorang gembala?”
Gupita menarik nafas. “Aku berada di daerah asing yang sedang disaput oleh kemelutnya api peperangan,” desisnya di dalam hati. Dan alasan itu sudah agak memberinya kepuasan, apalagi apabila disebutnya juga, agar Sidanti tidak segera tahu kehadirannya bersama guru dan saudara seperguruannya.
Tetapi semuanya itu pasti akan segera berakhir. Apabila gurunya pada suatu saat bertemu dengan Ki Argapati, maka semuanya akan babar. Dan ia tidak perlu mengingat-ingat nama yang kadang-kadang membuatnya bingung sendiri.
Karena itu, maka kemudian ia berkata, “Ki Gede, ayah pasti akan mengucapkan beribu terima kasih atas kesempatan itu. Selebihnya, ayah akan mengatakannya sendiri, apakah sebabnya ia berada di Tanah ini dan apakah sebabnya ia tidak menyatakan dirinya sewajarnya, apabila benar seperti yang Ki Gede sebutkan.”
Ki Argapati mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tersenyum, “Aku menunggu. Setiap saat pintu regol akan terbuka bagi orang yang kau sebut ayahmu itu. Aku mempercayainya. Obatnya agaknya akan dapat menolongku.” Ki Argapati berhenti sejenak, lalu, “Perasaan pedih itu sudah berangsur hilang.”
“Berbaringlah dan beristirahatlah Ki Gede. Mudah-mudahan Ki Gede akan segera sembuh,” sahut Gupita, yang kemudian minta diri. “Sebaiknya aku segera mengatakannya kepada ayah. Aku harus segera menemuinya. Agaknya suhu api di atas bukit ini cepat sekali meningkat.”
“Kau benar. Semakin cepat, semakin baik sebelum Ki Tambak Wedi mengetahui, bahwa orang-orang berkuda itu bukan orang yang berhak mempergunakan sebutan orang-orang bercambuk.”
Gupita menganggukkan kepalanya. Tetapi terbersit kecemasan di dalam hatinya. Mungkin Ki Gede benar-benar mengharap kehadiran gurunya, tetapi bagaimana dengan para pengawal? Kedatangannya telah menumbuhkan salah paham, dan hampir-hampir saja menyeretnya ke dalam suatu keadaan yang sulit.
Karena itu, maka dengan agak ragu-ragu ia bertanya, “Ki Gede, apakah tanda yang harus kami berikan kepada para pengawal, supaya kami dapat masuk ke daerah ini dengan tidak menimbulkan salah paham?”
“Ah,” desah Ki Gede, “bukankah sebagian dari para pengawal telah mengenalmu? Meskipun demikian baiklah, aku akan mengatakannya kepada para pengawal, bahwa kalian akan mendapat kesempatan untuk masuk. Terutama kepada para pemimpin.”
“Terima kasih, Ki Gede,” sahut Gupita.
“Panggillah mereka yang berada di luar pintu itu.”
“Baik Ki Gede,” sahut Gupita yang kemudian melangkah ke luar ruangan. Ketika ia membuka pintu, dilihatnya ketiga pemimpin pengawal masih berdiri di ruangan itu. Mereka duduk di atas sehelai tikar di muka pintu yang menghadap ke pringgitan, dan langsung dapat melihat ke luar, lewat pintu pendapa.
“Tuan-tuan dipersilahkan masuk,” berkata Gupita sambil membungkukkan kepalanya.
Sejenak ketiga pemimpin pengawal itu saling berpandangan. Namun sejenak kemudian Kerti segera berdiri disusul oleh Samekta dan kemudian Wrahasta.
“Apakah Ki Gede memanggil kami?” bertanya Kerti.
“Kenapa kita bertanya kepadanya?” sahut Wrahasta. “Ia orang asing di sini. Marilah kita bertanya langsung kepada Ki Gede.”
Gupita mengerutkan keningnya. Pemimpin pengawal yang seorang ini yang bertubuh raksasa, agaknya terlampau membencinya tanpa diketahui sebab-sebabnya. Meskipun demikian, ia mencoba untuk menenteramkan hatinya. Mungkin karena anak muda yang bertubuh raksasa itu sudah terlanjur bersikap keras terhadapnya, sehingga ia tidak akan dapat merubah sikap itu dengan tiba-tiba.
Ketiga pemimpin pengawal itu pun segera melangkah masuk. Mereka berdiri berjajar di dekat pembaringan Ki Argapati. sedang Gupita kemudian berdiri beberapa langkah di belakang mereka.
“Pandan Wangi tidak ada di antara mereka,” pertanyaan itu telah mengusik hati Gupita. Tetapi ia tidak berani bertanya.
Ternyata Ki Gede-lah yang kemudian bertanya, “Di manakah Pandan Wangi?”
Sebelum salah seorang dari mereka menjawab. terdengar suara Pandan Wangi, “Aku di sini, Ayah.” Maka sejenak kemudian gadis itu menjengukkan kepalanya. Tangannya menjinjing beberapa mangkuk berisi air sere yang hangat. Beberapa potong gula kelapa dan seonggok jenang alot.”
“Oh,” Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Sepercik kebanggaan telah memulasi hatinya yang sedang prihatin. Meskipun putrinya itu membawa sepasang pedang di lambungnya, namun ia tidak melupakan kuwajibannya sebagai seorang gadis.
Ketika Pandan Wangi kemudian hilang di balik pintu, maka Ki Gede berkata, “Pandan Wangi telah menyediakan minum kalian. Tetapi baiklah aku ingin memberikan beberapa pesan. Pada saatnya, Gupita akan pergi dan kembali lagi ke padukuhan ini bersama saudaranya yang gemuk dan ayahnya. Aku mengharap kalian dapat menerima mereka dengan baik, karena mereka adalah tamu-tamuku. Aku memerlukan mereka terutama karena obat yang ternyata sangat bermanfaat bagiku. Selainnya akan kita lihat, hubungan apa lagi yang dapat kita buat dengan mereka untuk selanjutnya.”
Samekta, Kerti, dan Wrahasta tidak segera menjawab. Bagi Samekta dan Kerti, persoalan itu tidak banyak menimbulkan masalah di dalam diri mereka. Mereka percaya bahwa Ki Gede berbuat dengan cukup berhati-hati. Dan kewajibannya adalah mengamankan daerah ini dari segala kemungkinan seandainya ketiganya benar-benar akan datang. Mereka harus diawasi sebaik-baiknya. Selebihnya, Ki Gede pasti akan memberi petunjuk-petunjuk.
Tetapi persoalan bagi Wrahasta bertambah lagi dengan masalah pribadinya. Namun sudah tentu ia tidak dapat mengatakannya. Disimpannya saja perasaan kecewanya itu di dalam hatinya. Meskipun demikian, betapa dalam ia mencoba menanam perasaan itu di hadapan Ki Argapati, namun dari sikapnya, Samekta dan Kerti masih sempat membacanya.
Para pemimpin itu kemudian mengangkat wajah-wajah mereka ketika mereka mendengar Ki Gede melanjutkan, “Sementara ini baru itulah yang dapat aku katakan. Selebihnya akan kalian ketahui nanti setelah ayah Gupita ini berada di dalam lingkungan kita. Setidak-tidaknya kita akan mendapat seorang yang mengerti tentang obat-obatan, yang akan memberi banyak pertolongan bagi kita yang terluka.”
“Kita akan menyambutnya dengan senang hati, Ki Gede,” jawab Samekta. “Ternyata sampai saat ini kita tidak mempunyai seorang pun yang dengan sungguh-sungguh dapat memberikan pengobatan. Yang kita lakukan hanyalah sekedar memperingan penderitaan para korban. Di pihak Sidanti paling sedikit ada dua orang yang mampu melakukannya. Ki Wasi dan Ki Muni.”
“Tetapi,” tiba-tiba Wrahasta memotong, “Betapapun tanggapan kita terhadap kedua orang itu, namun bagi Sidanti, keduanya cukup meyakinkan. Keduanya benar-benar dapat dipercaya. Apakah kita dapat meyakini pula, bahwa gembala tua itu dapat kita percaya?”
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Kau adalah seorang pengawal yang baik, Wrahasta. Kau menanggapi setiap persoalan dengan penuh tanggung jawab. Aku berterima kasih kepadamu. Adalah wajar sekali, bahwa kita tidak akan segera mempercayai seseorang. Juga gembala tua itu. Namun biarlah ia datang, aku akan melihat apakah kita bersama akan mempercayakan diri kita kepadanya di dalam masalah pengobatan, atau kita akan berbuat lain.”
Wrahasta menarik nafas dalam-dalam. Sambil meng-angguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Ya, Ki Gede.”
“Nah, sekarang minumlah. Kemudian Gupita akan segera pergi untuk memanggil ayahnya. Hari ini atau besok ia akan kembali.”
Sekali lagi Wrahasta menganggukkan kepalanya. Samekta, Kerti, dan Gupita pun mengangguk pula. Sejenak kemudian maka mereka pun telah berada di luar ruangan, duduk di atas sehelai tikar pandan yang putih sambil minum air sere dengan gula kelapa.
Tetapi Gupita tidak dapat menikmatinya terlampau lama. Segera ia minta diri untuk kembali ke rumahnya dan membawa ayahnya menghadap Ki Argapati.
“Besok aku baru akan menghadap bersama ayah,” berkata Gupita kepada para pemimpin pengawal itu.
“Kami mengharap kedatangan kalian,” sahut Samekta. “Mudah-mudahan dengan demikian, kalian dapat memperingan pekerjaan kami.”
“Kami akan berusaha,” jawab Gupita.
Maka Gupita pun segera minta diri kepada Pandan Wangi, untuk menjemput gembala tua yang disebutnya ayahnya.
Samekta, Kerti, dan Wrahasta mengantarkannya sampai ke regol padesan. Ketika mereka telah berada di luar regol, maka Samekta berkata, “Selamat jalan. Di hadapan kita terbentang sebuah lapangan yang menyimpan seribu macam rahasia dan teka-teki. Kita tidak tahu apa saja yang tersimpan di dalamnya sekarang. Mungkin di depan kita ini bersembunyi orang-orang Sidanti, tetapi juga mungkin petugas-petugas sandi kita sendiri. Atau kedua-duanya. Dengan demikian maka segala macam peristiwa dapat saja terjadi atasmu.”
“Terima kasih,” jawab Gupita, “aku akan berhati-hati. Mudah-mudahan aku tidak menemui kesulitan, Apabila aku menjumpai bahaya yang tidak dapat aku atasi, aku akan lari kembali masuk ke padukuhan ini.”
“Baiklah,” jawab Kerti, “Kami menunggu kedatanganmu bersama ayahmu.”
Gupita pun kemudian menganggukkan kepalanya dalam-dalam. Sambil tersenyum ia berkata, “Aku akan segera kembali.”
Maka sejenak kemudian Gupita itu pun segera melangkah meninggalkan regol padukuhan itu. Tetapi hatinya berdesir ketika ia mendengar Wrahasta berkata, “Tunggu. Aku perlu mengatakan sesuatu kepadamu.”
Gupita menghentikan langkah. Namun Wrahasta berkata, “Berjalanlah terus. Aku akan menemani kau.”
Debar jantung Gupita menjadi semakin cepat. Ia tidak mengerti apakah maksud Wrahasta. Bahkan Kerti pun bertanya, “Kemanakah kau akan pergi, Wrahasta?”
“Ke tengah-tengah bulak itu,” jawab anak muda yang bertubuh raksasa itu.
“Kenapa?” bertanya Samekta pula.
“Jangan takut aku akan dijebak oleh Sidanti,” jawab Wrahasta. “Aku sudah cukup dewasa untuk menjaga diri sendiri. Aku pun tidak akan pergi terlampau jauh dan terlalu lama. Dan aku pun tidak akan berbuat apa-apa atas anak ini.”
Samekta menarik nafas dalam-dalam. Sejenak dipandanginya wajah Kerti yang menjadi semakin tegang. Tetapi mereka tidak dapat menahan Wrahasta. Bahkan di dalam hati Samekta berkata, “Wrahasta tidak akan mampu berbuat apa pun atas anak itu. Dan anak itu pun cukup dewasa menghadapi persoalannya, sehingga tidak akan berbuat sesuatu yang dapat menggagalkan pembicaraan yang telah dibuatnya dengan Ki Argapati.”
Sementara itu Gupita dan Wrahasta telah melangkah semakin jauh. Dengan dada yang berdebar-debar Kerti dan Samekla memandang mereka yang berjalan tanpa berpaling lagi.
Apalagi Gupita yang semakin tidak mengerti atas sikap Wrahasta. Dadanya pun menjadi kian berdebar-debar. Bukan karena Wrahasta seorang anak muda yang pilih tanding, tetapi justru karena tanggapannya yang berbeda dengan para pemimpin yang lain.
“Gupita,” tiba-tiba terdengar suara Wrahasta datar, “apakah kau besok benar-benar akan kembali?”
Gupita menjadi semakin heran. Namun ia menjawab, “Sudah tentu, Tuan. Sudah tentu aku akan kembali.”
“Bagaimana dengan adikmu yang gemuk itu?”
“Mungkin ia pun akan ikut pula bersama kami.”
Wrahasta berhenti sejenak. Kemudian, katanya, “Sebaiknya hanya ayah dan adikmu itu saja besok yang datang kembali. Tanpa kau.”
“Kenapa?” dengan serta-merta Gupita bertanya.
“Aku tidak senang melihat kehadiranmu di padukuhan ini.”
Gupita tidak segera menyahut. Langkahnya menjadi semakin lambat. Dicobanya untuk memandang wajah raksasa yang berjalan menunduk di sampingnya. Tetapi teka-teki itu tidak terjawab.
“Kedatanganmu telah mengganggu ketenteraman hatiku,” berkata Wrahasta selanjutnya. “Karena itu, aku terpaksa melarangmu datang sekali lagi.”
“Tetapi, tetapi aku telah berjanji kepada Ki Argapati, bahwa aku akan membawa ayah dan adikku.”
“Suruh saja adikmu mengantar ayahmu itu.”
“Terlampau berbahaya. Kemelut di Tanah ini dapat menimbulkan kemungkinan apa pun terhadap ayahku yang telah tua, dan adikku yang masih terlampau kanak-kanak.”
“Itu bukan urusanku. Yang penting harus kau ingat, kau tidak boleh memasuki padukuhan ini sekali lagi.”
“Itu tidak mungkin,” jawab Gupita, “aku sudah ber-janji bahwa aku akan membawa ayah besok datang menghadap Ki Argapati. Aku tidak tahu pasti apakah Gupala dapat ikut bersama kami, apalagi mengantar ayah tanpa aku.”
“Terserah kepada keputusanmu,” geram Wrahasta kemudian. “Tetapi kalau kau datang sekali lagi, maka kita untuk seterusnya tidak akan dapat menjadi kawan yang baik. Mungkin kau belum merasakan pada hari-hari pertama. Tetapi selanjutnya, kalau bukan aku, maka kaulah yang akan mengambil sikap demikian. Bermusuhan.”
“Aku tidak mengerti. Apakah sebabnya maka kita harus membuat garis pemisah. Kalau hal itu hanya sekedar karena keterlanjuran Tuan dalam salah paham yang baru saja terjadi, maka itu bukanlah sikap yang matang. Itu masih berada di dalam daerah pemikiran anak-anak.”
Wrahasta tidak segera menjawab. Ia menjadi ragu-ragu, apakah sebaiknya yang dikatakan. Apakah ia akan berterus terang, bahwa ia tidak senang melihat hubungan antara anak yang menyebut dirinya bernama Gupita itu dengan Pandan Wangi?
“Tidak,” berkata Wrahasta di dalam hatinya. “Aku tidak perlu mengatakan alasan itu. Aku mempunyai wewenang yang cukup di lingkungan para pengawal Tanah Perdikan. Aku tidak perlu merendahkan diri, memohon kepadanya agar gembala ini memberi aku kesempatan.”
Karena itu, maka Wrahasta itu pun kemudian menjawab, “Aku tidak perlu mengatakan apakah sebabnya. Tetapi kau tidak disenangi di daerah kami, karena sikapmu yang sombong. Mungkin adikmu mempunyai watak yang berbeda, sehingga orang-orang Menoreh dapat menerimanya dengan senang hati bersama ayahmu.”
“Tetapi sudah aku katakan,” sahut Gupita, “aku masih harus mengantar ayah kemari.”
“Terserah kepadamu. Aku sudah memberi kau peringatan. Kalau kau tidak mengindahkannya, maka lambat atau cepat, kau akan menyesal.”
Gupita masih akan menyahut, tetapi ia tidak mendapat kesempatan, karena Wrahasta menghentikan langkahnya sambil berkata, “Berjalanlah terus. Renungkan kata-kataku. Aku sudah mencoba memperingatkan kau.”
“Maaf,” sahut Gupita, “tetapi aku akan mencoba merenungkannya. Namun besok aku harus datang kembali bersama ayah dan adikku. Itu tidak dapat aku ingkari, sebab sudah aku katakan kepada Ki Gede, ketika aku berbicara dengan Ki Gede sendiri. Tak ada perintah dari siapa pun yang dapat membatalkan pembicaraanku dengan Ki Gede, karena menurut pengertianku, Ki Gede adalah orang tertinggi di tlatah ini.”
Terasa suatu hentakan telah memukul dada Wrahasta. Hampir saja ia kehilangan pertimbangan lagi. Untunglah bahwa Gupita kemudian meneruskan langkahnya sambil berkata, “Selamat tinggal. Aku akan pulang. Semua persoalan bagi keluargaku hanya berkisar pada pengobatan bagi Ki Gede. Tidak ada yang lain.”
Wrahasta menggeram. Tetapi ia tidak menyahut. Dipandanginya saja langkah Gupita yang semakin menjauh tanpa berpaling lagi, menyusup ke dalam gerumbul-gerumbul liar dan ilalang yang tumbuh di atas tanah persawahan yang tidak digarap, karena saluran airnya yang tidak dapat mengalir. Tidak seorang pun yang berani mencoba menelusur ujung dari saluran yang berada di tempat yang paling berbahaya, di hidung pasukan Sidanti.
Wrahasta memandang Gupita sampai hilang di balik dedaunan. Sekali lagi ia menggeram. Katanya, “Anak itu keras kepala. Kalau ia benar-benar tidak mau menurut perintahku, aku akan berbuat sesuatu. Hubungannya dengan Pandan Wangi harus diputuskan.”
Dengan langkah yang berat, Wrahasta berjalan kembali ke mulut desa. Di muka regol Samekta dan Kerti masih berdiri dengan tegang mengawasinya. Ketika kedua anak-anak muda itu telah berpisah, maka Samekta menarik nafas dalam. Katanya, “Agaknya Wrahasta mencoba menjelaskan persoalannya.”
Kerti tidak segera menjawab. Namun tanpa sesadarnya kepalanya terangguk-angguk.
“Mudah-mudahan tidak menjadi bibit persoalan di masa datang,” gumam Samekta kemudian, “selagi kita menghadapi masalah yang terlampau berat. Sawah-sawah yang kering, dan persediaan makanan yang menipis.”
Kerti masih mengangguk-angguk. Baru kemudian ia menjawab, “Kita harus segera berbuat sesuatu.”
“Harus, tetapi apakah yang dapat kita lakukan selama ini adalah kemungkinan yang paling tinggi. Kita tidak akan dapat merebut daerah yang mana pun sebelum Ki Gede sembuh. Terlampau berat bagi kita untuk menghadapi Ki Tambak Wedi, Sidanti, Ki Argajaya, dan Ki Peda Sura. Agaknya Ki Wasi dan Ki Muni pun akan ikut pula secara langsung. Bahkan mungkin Ki Peda Sura akan membawa dendamnya pula atas Pandan Wangi.”
Kerti pun kemudian terdiam. Kata-kata Samekta itu tidak dapat diingkarinya. Tidak ada seorang pun yang akan mampu memimpin pasukan Menoreh menghadapi Ki Tambak Wedi, Sidanti, Argajaya, dan Ki Peda Sura, ditambah lagi dengan Ki Wasi dan Ki Muni. “Gembala yang mampu membuat obat itu harus segera datang. Kalau ia mengobati secara langsung, maka kesembuhan Ki Gede akan menjadi lebih cepat.”
Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya, “Mudah-mudahan Ki Tambak Wedi tidak segera mengambil kesempatan.”
Kerti tidak menyahut lagi. Sementara itu Wrahasta sudah menjadi semakin dekat.
“Kenapa dengan anak itu?” bertanya Kerti kemudian.
Wrahasta mengangkat bahunya yang bidang sambil menggeram, “Anak setan, ia terlampau keras kepala.”
“Apa yang dikatakannya.”
“Ia merasa dirinya terlampau berjasa. Ia merasa bahwa kesembuhan Ki Gede disebabkan karena keluarganya, sehingga dengan demikian, maka merekalah yang merasa telah membebaskan Tanah Menoreh apabila kelak Ki Argapati dapat merebut kembali daerah demi daerah.”
Sejenak Samekta dan Kerti saling berpandangan. Bagi mereka, kata-kata Wrahasta itu agak terlampau aneh menilik sifat dan watak gembala yang menyebut dirinya Gupita itu. Namun mereka tak menyahut sepatah kata pun.
Ternyata Wrahasta pun tidak berhenti meskipun Samekta dan Kerti masih berdiri di tempatnya. Wrahasta itu berjalan langsung menuju ke regol dan hilang di balik pintu. Yang kemudian masih tetap berdiri di tempatnya adalah para pengawal dan para petugas di regol desa itu.
Samekta dan Kerti menarik nafas dalam-dalam. Kemudian mereka pun melangkah perlahan-lahan. Sampai di depan regol Samekta berkata kepada para pengawal, “Hati-hatilah. Di mana pemimpin kelompokmu?”
Dengan tergopoh-gopoh seorang anak muda maju ke depan sambil menjawab, “Akulah yang bertanggung jawab kini, Kiai.”
“Sampaikan kepada setiap pengganti, bahwa pada saatnya gembala itu akan kembali lagi bersama dengan adik dan ayahnya. Mereka telah mendapat ijin langsung dari Ki Gede. Kalau kalian ragu-ragu, hubungilah aku.”
Pemimpin kelompok itu tidak segera menjawab. Tetapi ia berpaling ke arah Gupita hilang di balik gerumbul di tengah-tengah sawah yang telah menjadi liar. Namun kemudian dipandanginya pintu regol, seolah-olah ingin melihat ke manakah Wrahasta pergi sekarang.
Samekta menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti apa yang tertera di dalam dada pemimpin kelompok itu. Ia tahu benar bahwa baru saja terjadi persoalan yang se-akan-akan belum terselesaikan antara Wrahasta dan gembala itu. Belum ada pernyataan, bahwa gembala itu tidak bersalah, dan tuduhan Wrahasta terhadapnya ternyata tidak benar. Bahkan sampai saat terakhir ia masih melihat sikap Wrahasta yang tegang terhadap gembala yang baru saja meninggalkan pedukuhan mereka.
“Anak itu sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan Sidanti,” berkata Samekta kemudian. “Tetapi adalah sewajarnya bahwa Wrahasta harus bersikap hati-hati. Kita semua pun harus bersikap hati-hati. Namun agaknya Ki Gede sendiri melihat, bahwa ketiga ayah beranak itu sama sekali tidak berbahaya bagi kita, dan bahkan mereka akan dapat membantu pengobatan Ki Gede yang sedang parah.”
Pemimpin kelompok itu menganggukkan kepalanya. “Baik. Kami akan menerima mereka dengan hati-hati.”
“Bagus,” sahut Samekta. “Pesan ini berlaku bagi setiap pengganti di gardu ini.”
Sekali lagi pemimpin kelompok itu mengangguk, “Baik.”
Samekta dan Kerti pun segera melangkah masuk ke dalam regol. Namun terasa dada mereka telah dibebani oleh sesuatu yang seolah-olah menyangkut pada tangkai jantung. Sikap Wrahasta agaknya berpengaruh pula pada para pengawal.
Sementara itu, Gupita berjalan semakin lama semakin cepat. Dicarinya tempat-tempat yang dapat memberinya perlindungan dari sudut-sudut pandangan kedua belah pihak. Ia tidak ingin diikuti, maupun di amat-amati, baik oleh orang-orang Samekta sendiri, apalagi orang-orang Sidanti. Itulah sebabnya kemudian ia menyusup masuk ke dalam pategalan yang bera, berjalan di antara rimbunnya gerumbul perdu yang liar.
Ketika Gupita telah sampai di gubugnya yang kecil, maka segera diceriterakannya perjalanannya kepada gurunya yang disebutnya sebagai ayahnya. Adik seperguruannya, mendengarkannya dengan dada yang berdebar-debar.
Tiba-tiba saja ia memotong, “Kenapa tidak kau putar saja leher anak yang bertubuh raksasa itu? Bukankah dengan demikian setiap mata menjadi terbuka, bahwa kami tidak sedang merunduk-runduk minta sesuap nasi kepada mereka?”
“Ah,” gurunya menyahut, “itu kurang bijaksana. Apa yang dilakukan Gupita telah mendekati sikap yang paling baik. Agaknya dugaan kita benar, bahwa telah terjadi semacam pertandingan cambuk.”
“Apakah Guru mengetahui?”
“Aku mendengar lecutan-lecutan cambuk dari pategalan yang kering di sebelah padukuhan itu. Tetapi karena kau tidak memperdengarkan ledakan yang dapat kami anggap bersungguh-sungguh, maka kami pun tidak mengambil sikap sesuatu. Tetapi betapa pun juga, aku menganggap bahwa perjalanan pendahuluanmu telah berhasil. Kau telah bertemu dengan Ki Argapati dan menyampaikan pesanku kepadanya. Besok kita harus benar-benar datang dan membantu kesulitan yang sedang dihadapi oleh Kepala Tanah Perdikan yang sedang prihatin itu.”
“Baik, Guru,” sahut Gupita.
“Nanti malam kita akan melihat dari dekat, apakah yang telah dilakukan, baik oleh orang-orang Argapati maupun oleh orang-orang Tambak Wedi.”
“Kepungan yang dilakukan itu telah menjadi semakin rapat dan menyempit, Guru.”
“Kesan itu memang sengaja ditimbulkan oleh Ki Tambak Wedi. Tetapi Tambak Wedi sendiri masih tetap dalam keragu-raguan. Usaha Ki Argapati untuk membuat kesan yang merata, hampir di seluruh daerah Menoreh, tentang orang-orang bercambuk itu agaknya juga cukup berhasil.”
“Tetapi apakah Ki Tambak Wedi tidak akan dengan tiba-tiba saja menyergap?”
“Dapat juga terjadi. Tetapi agaknya Ki Tambak Wedi sedang berusaha untuk meyakinkan dirinya, apakah orang-orang bercambuk itu benar-benar kalian. Setelah ia yakin, pasti ia akan segera bertindak. Keyakinan itu perlu baginya untuk memperhitungkan keseimbangan dari kedua pasukan. Sampai saat ini selisih kekuatan di antara keduanya tidak begitu tampak, meskipun Ki Argapati menjadi semakin terjepit. Ki Tambak Wedi menyadari, bahwa Ki Argapati, meskipun ia tidak sedang terluka, tidak akan berani melawan pasukannya di tempat terbuka. Ki Tambak Wedi tahu pasti, bahwa kekuatan Argapati hanya akan dapat mengimbanginya dengan bantuan perlindungan seperti yang terjadi sekarang. Karena itu, Ki Tambak Wedi dapat lebih leluasa bergerak, karena pasukannya agak lebih baik dan lincah. Terutama orang-orang yang bukan berasal dari daerah ini sendiri.”
Gupita dan Gupala mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tiba-tiba saja Gupala bertanya, “Lalu apakah yang dapat kita lakukan bertiga?”
Gurunya mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya sambil tersenyum, “Unsur pimpinan memegang peranan yang penting. Dalam perang seperti yang pernah terjadi di Sangkal Putung, maka apabila pimpinannya telah tidak berdaya, maka pengaruhnya akan tajam sekali terhadap anak buahnya. Karena itu, kita akan membantu, berdiri pada setiap pasukan untuk menghadapi orang orang seperti Ki Tambak Wedi sendiri, Sidanti, Argajaya, Ki Peda Sura, Ki Wasi, Ki Muni, dan beberapa orang yang lain. Sedang di pihak Ki Argapati selama ini hanya ada dua orang yang terpercaya. Ki Argapati sendiri yang kebetulan sedang terluka dan Pandan Wangi. Pemimpin-pemimpinnya yang lain masih agak jauh ketinggalan dari orang-orang Tambak Wedi.”
Gupala mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba saja wajahnya menjadi cerah. Sambil tersenyum ia berkata, “Sudah terlampau lama kita diperam di dalam gubug yang sempit ini. Kita akan bangun dan menggeliat untuk mengendorkan urat-urat kita yang hampir membeku.”
Mendengar kata-kata Gupala, maka gurunya menarik nafas dalm-dalam. Muridnya yang muda ini memang agak lain dari kakak seperguruannya. Namun orang tua itu tidak berkata apa pun. Bahkan kemudian ia bangkit dan berkata, “Beristirahatlah. Nanti malam kita berjalan-jalan.”
Kedua muridnya mengangguk. Dan Gupita menjawab, “Baik, Guru.”
Orang tua itu pun kemudian melangkah ke luar ruangan gubug kecil itu, pergi ke belakang, ke kandang kambing. Dilontarkannya beberapa gumpal rumput segar sambil bergumam, “Akan sampai saatnya kita berpisah. Ternyata aku bukanlah seorang gembala yang baik.”
Sementara itu Gupita dan Gupala masih duduk di dalam. Sejenak mereka berdiam diri, tenggelam dalam angan-angan masing-masing. Gupita masih mencoba mencari sebab, kenapa Wrahasta sangat membencinya, bahkan mengancamnya supaya tidak datang ke padukuhan itu sekali lagi.
“Aku baru bertemu untuk pertama kali,” berkata Gupita di dalam hatinya, “tetapi sikapnya sangat menyakitkan hati.”
Namun Gupita itu terkejut ketika terasa adik seperguruannya yang gemuk itu menggamitnya sambil bertanya, “Kapan kita pergi kepada Ki Gede Menoreh itu?”
“Besok, setelah nanti malam kita melihat keadaan,” jawab Gupita.
“He,” desis Gupala perlahan-lahan sambil bergeser mendekat. Gupita mengerutkan keningnya. Agaknya adiknya yang gemuk itu mempunyai persoalan yang penting dan rahasia. Karena itu dengan sungguh-sungguh ia mendengarkannya ketika Gupala bertanya, “Kau sudah bertemu dengan Ki Argapati, bukan?”
“Ya,” Gupita mengangguk.
“Tetapi kau belum berceritera kepadaku lebih banyak tentang gadis berpedang rangkap itu.”
Gupita menjadi heran, “Kenapa? Apakah yang harus aku ceritakan tentang gadis berpedang rangkap itu?”
Tiba-tiba Gupala tersenyum. Senyum yang aneh mengambang di bibirnya, sehingga pipinya yang gembung itu bergerak-gerak, “Maksudku, apakah gadis itu cantik?”
“Oh,” Gupita menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Aku sangka kau ingin mengetahui, apakah gadis berpedang rangkap itu mampu mengalahkan Sidanti.”
“Bukankah ia adiknya?”
“Ya, tetapi menilik ketangkasannya dan kemampuannya berkelahi melawan Ki Peda Sura, ia akan mampu mengimbangi Sidanti, meskipun aku tidak mengatakan bahwa ia dapat mengalahkan kakaknya itu. Kalau mereka bertemu dan terlibat dalam perkelahian, maka akan terulanglah benturan kekuatan dari perguruan Tambak Wedi dan perguruan Menoreh.”
“Ya, ya,” potong Gupala, “tetapi kau belum menjawab pertanyaanku. Apakah gadis itu cantik.”
“Ah,” Gupita berdesah, “apakah kepentingan kita dengan gadis itu? Cantik atau tidak cantik, tidak ada bedanya bagi peperangan ini.”
Kini Gupala-lah yang mengerutkan dahinya. Sambil menggerutu ia berdiri, “Kenapa kau berahasia? Bukankah kau sudah bertemu beberapa kali dengan gadis itu.”
“Tetapi aku lebih memperhatikan pedangnya daripada wajahnya.”
Tiba-tiba Gupala berhenti. Sambil mengacungkan jarinya ia berkata, “Awas kalau kau tidak mau memperkenalkan aku dengan puteri Kepala Tanah Perdikan itu. Nanti adikku akan aku minta kembali dari padamu. Setuju?”
“Ah,” potong Gupita dengan serta-merta, “ada-ada saja kau ini.”
Gupala tidak menyahut. Terus saja ia melangkah ke luar. Namun ketika ia sudah berada di luar, terdengar suara tertawanya berkepanjangan.
Gupita yang masih duduk di tempatnya menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba saja membayang di rongga matanya wajah-wajah gadis yang pernah dikenalnya. Seorang gadis yang manja, dan yang seorang adalah seorang gadis yang merasa wajib berdiri sendiri karena ia telah kehilangan ibunya. Tetapi keduanya adalah gadis-gadis yang keras hati.
Gupita menghentakkan dirinya, sambil meloncat berdiri. Dalam keadaan serupa itu, tidak sewajarnya ia berpikir tentang gadis-gadis. Karena itu maka ia pun segera melangkah ke luar menyusul adiknya. Pergi mencari kayu bakar di kebun belakang.
Sementara itu Gupala telah duduk pada sebuah cabang pohon rambutan yang sedang berbuah. Sambil mengunyah ia melempari Gupita dengan kulitnya. Ketika Gupita menengadahkan wajahnya Gupala berkata, “Aku tidak sabar menunggu saat itu datang. Bahkan matahari itu kini serasa menjadi terlampau malas.”
“Sebentar lagi senja akan datang. Kita akan segera bersiap untuk pergi.”
Gupala segera meloncat turun sambil berkata lantang, “Aku akan mandi dulu.”
“Kenapa mandi?” bertanya Gupita. “Meskipun kau harus juga mandi, tetapi kenapa kau tidak berkata, bahwa kau akan mempersiapkan senjatamu.”
“Senjata itu tidak pernah terpisah daripadaku. Tetapi aku memang perlu mandi. Siapa tahu, nanti malam aku bertemu dengan puteri Kepala Tanah Perdikan Menoreh dengan sepasang pedang di lambungnya.”
Gupita menggeleng-gelengkan kepalanya. Sebelum ia menjawab, Gupala telah berlari menyusup ke gerumbul di belakang halaman rumahnya menuju ke sungai untuk mandi. Yang terdengar hanyalah derai tertawanya yang renyah.
Demikianlah, maka ketika matahari telah tenggelam di balik pebukitan, maka Gupita bersama guru dan adik seperguruannya telah siap untuk berangkat. Karena banyak sekali kemungkinan yang dapat terjadi maka ketiganya benar-benar berada dalam kesiagaan sepenuhnya. Mereka akan melihat dua kekuatan yang setiap kali berhadapan, namun mereka masing-masing masih ragu-ragu untuk memulainya.
“Hati-hatilah Gupala,” pesan gurunya sebelum mereka berangkat, “Kita tidak akan pergi melamar puteri Ki Argapati. Kita akan melihat ujung-ujung senjata yang telah merunduk.”
“He,” Gupala mengerutkan keningnya, namun ia pun kemudian tertawa dan berkata, “apakah salahnya kalau sekaligus kita pergi melamar.”
“Kau akan kecewa kalau kau sudah melihatnya,” potong Gupita. “Gadis itu meskipun tangkas tetapi berparas sama sekali tidak menarik.”
Gupala tidak menjawab. Tetapi ia tertawa saja berkepanjangan. Suaranya itu terputus ketika gurunya berkata, “Marilah kita berangkat supaya kita tidak terlambat. Kita akan melihat bagaimana Ki Tambak Wedi membawa pasukannya setiap kali untuk menakut-nakuti lawannya.”
Sejenak Gupita memandangi adik seperguruannya. Kemudian keduanya tersenyum. Namun Gupala tidak berkata sepatah kata pun lagi. Tangannyalah yang kemudian meraba-raba senjatanya yang melingkar di bawah bajunya.
Ketiganya pun kemudian meninggalkan halaman gubug mereka, setelah Gupita dan Gupala menyediakan rumput yang cukup bagi kambing-kambing mereka.
“Mudah-mudahan mereka datang lagi malam ini,” berkata gembala tua itu kepada kedua muridnya.
“Mudah-mudahan,” desis Gupala.
“Tetapi kita tidak dapat mengabaikan usaha Ki Tambak Wedi untuk menemukan orang-orang berkuda. Agaknya sampai malam ini ia masih berusaha terus.”
Gupita dan Gupala tidak menyahut. Tetapi mereka masih mengangguk-anggukkan kepala mereka. Sementara itu kaki-kaki mereka masih terus melangkah mendekati pusat pertahanan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
“Kita harus memilih jalan yang paling aman,” berkata orang tua itu. “Kita tidak akan melalui jalan ini. Kita akan menyusup ke pategalan yang tidak ditanami itu, supaya kita lepas dari setiap pengawasan.”
Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Ketika kemudian gurunya berbelok masuk ke dalam pategalan, maka keduanya mengikutinya pula.
Sementara gelap malam mulai menjamah Tanah Perdikan Menoreh. Semakin lama menjadi semakin gelap. Namun ketiga orang itu masih saja berjalan dengan hati-hati, menyusup gerumbul-gerumbul perdu.
Tiba-tiba langkah mereka terhenti ketika gembala tua itu berhenti sambil mengangkat tangan kanannya.
“Ada apa, Guru?” bertanya Gupala.
“Sst,” desis gurunya, “Kau dengar suara gemeremang itu.”
Kedua muridnya mencoba memasang telinganya. Sebenarnyalah mereka mendengar suara beberapa orang bercakap-cakap.
“Hati-hati,” desis gembala tua itu, “Tunggulah di sini. Tahanlah suara pernafasanmu. Kita belum tahu siapakah mereka ini. Biarlah aku saja yang mendekat. Mungkin Ki Tambak Wedi di antara mereka.”
Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepala mereka sambil berjongkok di belakang segerumbul perdu. Sementara itu guru mereka telah mulai merayap mendekati sumber suara itu.
“Apakah mereka akan lewat di sini?” terdengar seseorang berbicara.
“Ya. Mereka akan mengambil jalan ini. Setiap kali mereka keluar dari sarang mereka, mereka memilih jalan ini, kemudian setelah sarang mereka terkepung, mereka mulai berkeliaran hampir ke segenap sudut Tanah Perdikan Menoreh.”
Gembala tua yang menjadi semakin dekat, menjadi berdebar-debar mendengar suara itu. Suara itu adalah suara Ki Tambak Wedi. Sejenak kemudian, suara itu terdengar lagi, “Mereka tidak dapat aku temui di tempat lain, karena setiap kali mereka merubah arah. Aku sudah mencari mereka dengan menyilang Tanah ini. Tetapi aku tidak pernah menemui mereka di perjalanan. Kali ini aku tidak sabar lagi. Kita tunggu saja mereka di depan hidung pusat pertahanan mereka. Kita menghadapi dua kemungkinan. Mereka lari masuk kembali ke dalam sarang atau para pengawal yang lain keluar setelah mereka mendapat isyarat dari orang-orang berkuda.”
“Mereka sombong. Mereka adalah pengawal-pengawal terpilih. Mereka sama sekali tidak gentar menghadapi apa pun juga, sehingga mereka tidak akan mudah menjadi bingung.”
“Tetapi jumlah mereka tidak seberapa. Bukankah Kiai sudah mempersiapkan pasukan yang akan menjebak, apabila pengawal itu nanti keluar dari daerah pertahanan mereka untuk menolong orang-orang berkuda ini, jika mereka sempat memberikan isyarat?”
“Ya, tetapi dengan cara ini aku tidak yakin, apakah aku akan dapat mengetahui, apalagi menangkap orang-orang bercambuk itu. Apakah aku dapat mengetahui, bahwa mereka sebenarnya orang-orang yang dapat disebut orang-orang bercambuk, bukan sekedar permainan yang licik dari Argapati.”
“Kita dapat melihatnya, bahkan lebih baik kalau kita dapat menangkapnya.”
“Itulah yang aku ragukan. Sedang untuk seterusnya kita tidak akan mendapat kesempatan, karena mereka pasti tidak akan meninggalkan sarang mereka itu lagi.”
“Kita harus bekerja sebaik-baiknya. Kita kepung mereka, supaya tidak seorang pun yang dapat lolos. Kita serahkan para pengawal yang akan datang membantu kepada pasukan yang lain, yang bertugas untuk menjebak mereka.”
“Ya, aku memang telah mengatur sebelumnya,” terdengar suara Ki Tambak Wedi berat. “Mereka harus datang dalam dua rombongan. Yang pertama mendahului yang lain, dan bersiap menjebak orang-orang Menoreh. Mereka harus bersembunyi di tempat yang sebaik-baiknya. Sedang yang lain akan datang menurut gelar yang biasa kita pergunakan. Dengan demikian orang-orang Menoreh tidak akan melihat gelar sandi kita untuk menjebak beberapa bagian dari orang-orang mereka. Seandainya kita gagal mengetahui siapakah orang-orang yang bersenjata cambuk itu, namun setidak-tidaknya kita sudah akan dapat mengurangi sebagian dari kekuatan mereka.”
“Ya, ya. Apa pun yang akan terjadi, kita akan mendapat keuntungan daripadanya. Bukankah begitu, Kiai?”
“Ya,” jawab Ki Tambak Wedi, lalu, “bersiaplah. Menurut beberapa petugas sandi, saat-saat beginilah mereka itu lewat. Sebetar lagi, seperti biasa, pasukan kita akan mengepung padukuhan itu. Aku harap mereka yang akan menjebak orang-orang Menoreh telah bersiap pula.”
Dada gembala tua itu menjadi berdebar-debar. Ternyata Ki Tambak Wedi yang tidak berhasil menemukan orang-orang berkuda itu, kini bertekad untuk mencegat mereka di depan sarangnya.
“Mereka harus diberi tahu rencana ini,” gumam orang tua itu di dalam hatinya. “Kalau tidak, maka benturan ini akan dapat menjadi pepucuk dari peraug yang sebenarnya. Sedang agaknya Ki Argapati masih belum siap menghadapi keadaan yang demikian. Apalagi apabila pasukannya terpancing keluar. Maka mereka pasti akan mengalami bencana.”
Orang tua itu pun segera beringsut surut. Ditemuinya kedua muridnya dan dengan singkat diberitahukannya, apa yang didengarnya dari Ki Tambak Wedi langsung.
“Sampaikan persoalan ini kepada pimpinan pengawal,” desisnya perlahan-lahan kepada Gupita.
Gupita menjadi ragu-ragu sejenak. Kemudian jawabnya, “Kalau aku kembali seorang diri ke padukuhan itu mungkin aku akan mengalami akibat yang kurang baik, Guru. Wrahasta sangat membenciku tanpa aku ketahui sebab-sebabnya.”
“Tetapi tidak ada orang lain yang dapat menghubunginya,” jawab gurunya.
“Aku, Guru. Aku dapat pergi juga ke padukuhan itu menemui Ki Argapati atau pemimpin pengawal yang lain,” sahut Gupala.
“Ah,” desah gurunya, “kita belum tahu, apakah sebabnya Wrahasta membenci Gupita. Mungkin ia akan memperlakukan hal serupa itu, dan kau lebih tidak dapat mengendalikan dirimu lagi.”
“Aku akan berusaha, Guru,” jawab Gupala.
Gurunya tidak segera menjawab. Sambil menundukkan kepalanya ia berkata lambat, seolah-olah kepada diri sendiri, “Pasukan berkuda itu akan dicegat tidak saja oleh Ki Tambak Wedi, tetapi oleh sepasukan pengikut Ki Tambak Wedi itu. Kemudian telah disediakan pasukan yang akan menjebak seandainya para pengawal mengirimkan bantuan apabila orang-orang berkuda yang terlibat dalam perkelahian itu memintanya. Sementara itu pasukan Tambak Wedi yang lain telah merayap mendekati padukuhan ini dengan diam-diam, sebelum mereka muncul seperti apa yang biasa mereka lakukan.” Kemudian dengan tegang ia berkata, “Pasukan itu pasti akan hancur, Gupita. Mereka hanya akan mendapat kesempatan untuk mundur masuk ke dalam padukuhan. Sepanjang perjalanan mundur itu, korban pasti akan berjatuhan. Sementara pasukan berkuda itu pun tidak akan dapat tertolong lagi. Apalagi apabila induk pasukan mereka terpancing keluar tanpa seorang pemimpin yang pantas untuk melawan Ki Tambak Wedi, Ki Peda Sura, Sidanti, Argajaya, dan yang lain-lain. Maka pasukan Argapati akan tamat sampai malam ini.”
“Kenapa aku tidak pernah mendapat kesempatan, guru?” desak Gupala.
“Bukan begitu, Gupala. Kecuali keberanian, tugas ini memerlukan kesabaran. Nah, kesabaran itulah yang kadang-kadang tidak dapat kau kuasai. Kau, seperti ketika aku muda, mempunyai darah yang agak panas. Kau masih sering tergerak oleh perasaan sebelum kau pertimbangkan masak-masak, sehingga kadang-kadang kau akan terjerumus ke dalam suatu persoalan yang tidak kita kehendaki.”
“Tetapi aku akan selalu ingat, Guru, bahwa aku akan bersabar.”
Gurunya yang tua itu menjadi ragu-ragu sejenak. Karena itu, ia tidak segera mengambil keputusan. Namun waktu yang sejenak itu agaknya telah merubah segala-galanya, karena tiba-tiba orang tua mengangkat wajahnya.
“Terlambat,” desisnya, “Aku mendengar derap kuda di kejauhan.”
“Oh,” hampir saja kedua muridnya itu meloncat bersama seandainya gurunya tidak menahannya.
“Sst, hati-hatilah. Ki Tambak Wedi berada di depan kita.”
“Lalu apakah yang akan kita kerjakan?” bertanya kedua muridnya hampir bersamaan.
“Tak ada jalan lain untuk menyelamatkan mereka. Aku akan menahan orang-orang berkuda itu, dan menyuruh mereka kembali apabila mereka bersedia. Sudah tentu Ki Tambak Wedi melihat aku meskipun aku mengharap, ia tidak segera dapat mengenal. Dengan demikian aku akan memancingnya. Kau coba mengusir orang-orangnya yang tertinggal sampai aku memanggil kalian dengan isyarat. Kalian harus segera meninggalkan mereka dan menghilang, kemudian kembali pulang. Aku akan membayangi Ki Tambak Wedi. Tetapi ingat, jangan memakai cambuk.”
Gupita dan Gupala ternyata tidak sempat bertanya lagi. Sejenak kemudian gurunya telah meloncat dan menghilang di dalam kegelapan tanpa menimbulkan gemerisik pada dedaunan.
“Bagaimana dengan kita?” bertanya Gupala.
“Hati-hati,” jawab Gupita, “di depan kita ada Ki Tambak Wedi. Kita tidak akan dapat mendekatinya seperti Guru.”
Tiba-tiba keduanya diam ketika mereka mendengar suara seseorang dengan lantang, “He, aku dengar derap kuda itu.”
“Kenapa orang itu berteriak-teriak?” bertanya Gupala.
“Mereka tidak menyangka ada seorang pun yang mendengarnya.”
“Semua bersiap,” terdengar suara yang lain. Kemudian beberapa patah kata yang tidak dapat ditangkap dengan jelas.
“Marilah kita mendekat. Perhatian mereka pasti sudah tercurah kepada derap kuda itu. Tetapi kita harus berhati-hati.”
Keduanya kemudian merangkak dengan sangat hati-hati mendekat ke tepi jalan. Namun kemudian terdengar seseorang berdesis, “Sst, jangan berteriak-teriak lagi. Mereka sudah mendekat. Kalau mereka mendengar atau mengetahui kehadiran kita, mereka akan kembali masuk ke dalam sarang mereka.” Suara itu berhenti, kemudian, “Nah, kita harus yakin bahwa keterangan petugas-petugas sandi kita benar. Orang-orang berkuda itu adalah mereka. Soalnya, apakah benar di antara mereka ada orang-orang yang bersenjata cambuk. Bukan sembarang cambuk.”
Dada Gupita dan Gupala berdesir. Namun seluruh perhatian orang-orang itu benar-benar telah tercurah kepada derap kuda yang sudah menjadi semakin lama semakin dekat.
“Aku akan menghentikan mereka,” berkata Tambak Wedi. “Kalian tahu apa yang kalian lakukan. Kepung. Aku ingin menangkap orang bercambuk itu dan meyakinkan apakah aku tidak tertipu selama ini.”
Suasana menjadi hening sejenak. Suara derap kaki-kaki kuda itu pun menjadi semakin lama semakin jelas dan semakin dekat. Gupita dan Gupala tanpa sesadarnya beringsut semakin dekat. Agaknya perhatian orang-orang yang diintainya benar-benar telah terikat oleh derap kuda yang mendatang itu.
Ternyata bahwa Gupita dan Gupala pun menjadi kehilangan pertimbangan. Mereka merayap semakin dekat lagi, sehingga pada suatu saat ia dapat melihat bayangan orang-orang yang menunggu pasukan berkuda itu. Mereka telah bersiap di balik dedaunan di pinggir jalan, sedang Ki Tambak Wedi sendiri berdiri bertolak pinggang.
Gupala yang semakin bernafsu untuk dapat melihat lebih jelas, terdorong semakin maju, dan bahkan tiba-tiba kakinya menginjak sepotong kayu kering, sehingga menimbulkan suara gemerisik di sela-sela derap kaki-kaki kuda yang semakin dekat.
Gupita cepat-cepat menggamitnya dan memberinya isyarat. Namun agaknya sudah terlambat. Tiba-tiba orang yang bertolak pinggang di pinggir jalan itu berpaling dan bergumam, “Ada orang lain di belakang kita.”
Dada kedua anak-anak muda itu berdesir. Mereka segera mengerti, bahwa mereka berdualah yang dimaksud.
Sejenak mereka saling berpandangan, Namun mata Gupala yang berkilat-kilat seolah-olah berkata, “Apa boleh buat. Kalau tidak ada pilihan lain, kita akan berkelahi.”
Sementara itu seseorang dari orang-orang Ki Tambak Wedi itu bertanya, “Siapa yang Kiai maksud?”
“Di belakang kita ada orang yang sengaja mengintai kita. Kita tunggu sampai orang-orang berkuda itu datang. Satu atau dua orang bertugas menangkap orang yang bersembunyi itu.”
“Kenapa tidak sekarang.”
“Jangan bikin ribut, supaya orang-orang berkuda itu tidak mengetahui kehadiran kita. Orang-orang itu lebih penting bagiku dari pada petugas-petugas sandi yang mengintai kita itu.”
“Bagaimana kalau ia lari?”
“Aku akan menangkap sendiri.”
Gupita dan Gupala menjadi berdebar-debar. Memang tidak baik untuk melarikan diri. Gelang-gelang besi Ki Tambak Wedi itu akan dapat memecahkan tengkuk mereka. Karena itu, maka yang paling baik adalah mencari tempat yang terlindung oleh pepohonan.
“Untuk melawan iblis itu, aku terpaksa mempergunakan cambukku,” berkata Gupala di dalam hatinya. “Terpaksa. Dan bahkan mungkin akan dapat memanggil guru untuk datang.”
Tetapi untuk sesaat Ki Tambak Wedi masih berdiri tegak di tempatnya. Ia tidak mau merusak rencananya, menangkap orang-orang berkuda yang semakin mendekat.
Tiba-tiba iblis tua itu berdesis, “Bersiaplah kalian.”
Orang-oranguya telah menggenggam senjata di tangan masing-masing. Mereka telah siap untuk meloncat dan mengepung orang-orang berkuda itu. Beberapa orang merayap melebar. Sementara Ki Tambak Wedi bergumam, “Kalau aku menghentikan mereka dan yang lain mengepungnya. Jangan lupa tikus di belakang kita. Dua orang harus menangkapnya.”
Sementara itu, pasukan berkuda yang keluar dari padukuhan yang menjadi pusat pertahanan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh sama sekali tidak menyangka, bahwa di hadapannya telah menunggu seorang iblis yang menggetarkan setiap orang yang mendengar namanya. Karena itu, tanpa prasangka apa pun mereka berpacu untuk melakukan tugas mereka seperti biasanya. Mereka akan mengelilingi beberapa tempat di Tanah Perdikan Menoreh. Membuat kesan seolah-olah orang-orang bercambuk telah ikut campur dalam persoalan Tanah Perdikan ini dan berdiri di pihak Ki Argapati.
Namun tiba-tiba pemimpin mereka, yang berpacu di paling depan terkejut ketika tiba-tiba ia melihat seseorang meloncat di hadapannya sambil mengangkat tangannya.
“Berhenti,” teriak orang itu.
Orang itu benar-benar telah mengejutkan setiap orang di dalam pasukan berkuda itu, sehingga dengan serta-merta mereka menarik kekang kuda mereka, sehingga kuda-kuda itu meringkik berkepanjangan.
“Siapa kau?” bertanya pemimpin pasukan berkuda itu.
“Kalian tidak perlu tahu siapa aku,” jawab orang yang berdiri di tengah jalan itu. “Kalau kalian ingin selamat dari bencana yang paling mengerikan yang akan terjadi atas pasukan kalian dan seluruh pasukan Menoreh, kembalilah.”
“Apa maksudmu?”
“Besok kau akan tahu, sekarang cepat pergi. Cepat sebelum orang pertama menjadi korban.”
Pemimpin pasukan berkuda itu ragu-ragu. Mereka bukan penakut yang mudah menjadi gemetar karena bertemu dengan lawan yang bagaimana pun juga. Karena itu, maka mereka bahkan mendesak maju. Seorang anak muda yang berkumis kecil berkata, “Minggir, atau kau akan terinjak kaki-kaki kuda kami.”
“Aku berkata sebenarnya. Cepat. Waktu terlampau sempit.”
“Jangan mencoba menakut-nakuti kami.”
“Aku tidak menakut-nakuti kalian.”
“Minggir,” sekali lagi pemimpin pasukan itu berkata lantang.
Namun orang yang berdiri di tengah jalan itu tak sempat menjawab. Terdengar beberapa puluh langkah di belakangnya seseorang bertanya, “He, siapa berdiri di situ?”
“Itulah suara iblis itu,” desis orang yang menghentikan pasukan berkuda itu.
Pemimpin pasukan berkuda itu menjadi semakin ragu-ragu. Dan ia mendengar suara itu pula, “He siapa yang berada di situ?”
“Cepat,” desis orang yang berdiri di tengah jalan, “sebentar lagi kalian akan terkepung. Pasukan Sidanti telah bersiap. Jangan terlambat.”
“Kami bukan pengecut,” jawab pemimpin pasukan itu.
“Benar kalian bukan pengecut, tetapi juga bukan pemimpin pasukan yang bodoh. Kau tidak sekedar bertanggung jawab atas jiwamu sendiri, tetapi jiwa seluruh pasukanmu. Kalau mereka mati dengan menggenggam arti bagi perjuangan kalian, kalian adalah pahlawan. Tetapi bukan orang-orang bodoh yang membunuh dirinya tanpa guna.”
Pemimpin pasukan berkuda itu masih saja dicengkam oleh keragu-raguan. Karena itu ia tidak segera dapat mengambil sikap. Bahkan ia tidak mengerti, apakah ia dapat mempercayai kata-kata orang yang belum dikenalnya itu atau tidak.
Sementara itu, Ki Tambak Wedi pun terkejut bukan kepalang ketika tiba-tiba saja ada orang yang meloncat ke tengah jalan dan merusakkan rencananya.
Karena itu maka ia pun tanpa sesadarnya berteriak-teriak bertanya siapakah orang yang telah berbuat gila itu. Namun orang itu sama sekali tidak menjawab.
Dengan demikian, maka dada Ki Tambak Wedi serasa telah terbakar oleh kemarahan yang memuncak. Dengan lantang ia memberikan perintah kepada orang-orangnya, “Bersiaplah kalian. Kita tidak akan menunggu lagi. Kita akan segera mengepung mereka, selagi mereka belum sempat lari.”
Tetapi Ki Tambak Wedi itu mendengar orang yang berdiri di tengah jalan itu berkata, “Cepat, pergilah. Kau dengar perintah itu? Perintah untuk mengepung kalian.”
Namun pemimpin pengawal itu sekali lagi berteriak, “Kami bukan pengecut.”
“Kau dapat membuat pertimbangan nanti, apakah tindakan itu suatu tindakan pengecut.”
Yang tidak dapat menahan hatinya adalah Ki Tambak Wedi. Tiba-tiba tangannya bergetar, dan sebuah gelang-gelang besi telah meluncur menyambar bayangan yang berdiri di tengah jalan menghentikan orang-orang berkuda itu.
Tetapi sekali lagi Ki Tambak Wedi terkejut. Ternyata orang yang berdiri di tengah jalan itu mampu meloncat secepat sambaran gelang-gelang besinya. Dengan satu langkah yang cepat gelang-gelang besi Ki Tambak Wedi meluncur secengkang di muka dadanya.
Namun malanglah. Tiba-tiba seekor kuda melengking tinggi. Kemudian terjatuh karena kaki depannya tersentuh gelang-gelang besi Ki Tambak Wedi.
Penunggangnya pun terlempar dan terguling di tanah. Sementara orang yang menghentikan mereka berkata, “Lihat, iblis itu sudah mulai. Setiap gelang besi akan mampu membunuh seorang dari kalian, belum lagi pasukannya yang bersembunyi di balik semak-semak. Karena itu, cepat, sebelum terlambat.”
Peristiwa yang terjadi itu agaknya dapat memberikan suatu keyakinan kepada pemimpin pasukan berkuda itu, bahwa sebenarnyalah mereka akan berhadapan dengan Ki Tambak Wedi. Karena itu, maka desakan orang yang menghentikannya itu menjadi pertimbangannya.
Ki Tambak Wedi, yang gagal mengenai orang yang membuatnya terlampau marah itu, menjadi heran. Di atas Tanah Perdikan ini, selain Argapati yang terluka, masih juga ada orang yang mampu menghindari serangannya. Sayang, bahwa keremangan malam tidak memberinya kesempatan melihat wajah orang itu dengan jelas dalam jarak yang belum terlampau dekat.
“Mungkin sesuatu kebetulan ia berhasil menghindar,” ia menggeram. Dan berbareng dengan itu, sekali lagi tangannya bergetar. Ia ingin meyakinkan, apakah orang itu benar-benar mampu menghindari serangannya.
“Iblis manakah yang telah mencampuri persoalanku,” Ki Tampak Wedi mengumpat. Sekali lagi ia melihat orang itu meloncat dengan lincahnya menghindari gelang-gelang besinya. Ki Tambak Wedi sama sekali tidak menaruh perhatian ketika seseorang berteriak dan jatuh dari punggung kudanya. Sekali ia menggeliat, kemudian ia tidak bernafas lagi,
“Jangan kau biarkan korban berjatuhan. Cepat, pergi.”
Sementara itu Ki Tambak Wedi berteriak, “Ayo, kepung mereka sekarang!”
Dalam keragu-raguan pemimpin pasukan berkuda itu terkejut ketika tiba-tiba saja kudanya melonjak karena terkejut. Ternyata orang yang berdiri di tengah jalan itu telah melemparnya dengan kerikil. Dengan demikian maka pemimpin pengawal itu tidak dapat berbuat lain, kecuali menarik kekang kudanya dan berputar kembali ke arah pemusatan pasukannya.
“Kita kembali,” perintahnya.
Beberapa orang masih juga ragu-ragu. Tetapi mereka pun segera memutar kuda masing-masing dan berpacu kembali. Seorang pengawal yang telah kehilangan kudanya meloncat ke punggung kuda seorang kawannya.
Tepat pada saatnya, beberapa orang berlari-lari meloncat parit di pinggir jalan. Diam-diam mereka merayap di dalam pategalan mendekati orang-orang berkuda itu. Tetapi pada saat yang bersamaan, pada saat mereka berada pada jarak yang diperlukan, pasukan berkuda itu telah berputar arah.
Satu dua orang masih sempat menghadang di tengah jalan. Tetapi mereka terpaksa berloncatan menepi ketika kaki-kaki kuda berderap ke arah mereka. Sekali-sekali terdengar ledakan cambuk dari antara orang-orang berkuda itu.
“Setan!” teriak Ki Tambak Wedi. “Kejar mereka!”
Tetapi tidak seorang pun yang dapat berlari secepat langkah kaki-kaki kuda. Sementara itu orang yang telah menghentikan orang-orang berkuda itu pun segera meloncati parit yang kering di pinggir jalan dan berlari sekencang-kencangnya menyusup ke dalam pategalan di sisi jalan itu, justru tempat yang baru saja ditinggalkan oleh orang-orang Ki Tambak Wedi yang berloncatan ke tengah jalan.
“Tangkap orang itu,” teriak Ki Tambak Wedi.
Tetapi tidak seorang pun yang mampu melakukannya. Gerakannya terlampau cepat dan tidak diduga-duga.
Ki Tambak Wedi tidak dapat menaham hatinya lagi. Segera ia pun meloncat dan berusaha mengejar orang yang telah merusakkan rencananya itu. Namun orang yang dikejarnya mendapat kesempatan lebih banyak untuk menghilang. Karena itu, maka dengan mengumpat-umpat tidak habis-habisnya Ki Tambak Wedi berputar di dalam pategalan yang kering itu untuk mencari orang yang telah membuat darahnya mendidih.
“Tidak masuk akal,” berteriak-teriak untuk melepaskan kemarahan yang menyesakkan dadanya. Lalu, “Ayo, bantu aku mencarinya. Kepung tempat ini rapat-rapat. Jangan sampai ada seekor bilalang yang dapat keluar.”
Ternyata perhatian Ki Tambak Wedi telah tertumpah sepenuhnya kepada orang yang telah merusak rencananya itu. Ia tidak memperhatikan lagi orang-orang berkuda yang menjadi semakin jauh. Ia tidak berusaha untuk melepaskan gelang-gelang besi sebanyak-banyaknya, menyerang orang-orang berkuda yang sedang menarik diri, mundur masuk ke dalam pusat pertahanannya.
Sementara itu, dua orang dari pasukan kecil Ki Tambak Wedi itu, seperti yang diperintahkan, berusaha menangkap orang-orang yang mengintai mereka. Dengan pedang terhunus mereka meloncat menyerang, ketika mereka melihat bayangan hitam tersembul di balik pepohonan. Bayangan itu adalah Gupala yang dengan sengaja menampakkan diri, ketika ia mengetahui, bahwa hanya dua orang yang tinggal untuk menangkapnya bersama kakak seperguruannya.
Tetapi salah seorang di antaranya terperanjat bukan kepalang. Ia tidak menyangka bahwa orang yang diserangnya itu justru meloncat maju dan langsung menerkam pinggangnya di bawah ayunan senjatanya.
Ternyata dorongan terkaman Gupala telah membuat keduanya jatuh berguling-guling. Namun dalam pada itu, sejenak kemudian hanya Gupala sajalah yang bangkit dan berdiri di samping lawannya yang diam terbaring di tanah.
“He, kau apakan orang itu?” desis Gupita.
“Aku tidak sengaja. Tetapi ia terlampau lemah. Mudah-mudahan ia tidak mati.”
Kawannya yang seorang lagi berdiri dengan mulut ternganga. Ia tidak mengerti, bagaimana hal itu dapat terjadi. Sehingga karena itu, untuk sesaat ia berdiri saja dengan pedang di tangan tanpa berbuat sesuatu.
Ketika ia menyadari dirinya, maka segera ia merasa, bahwa ia pun tidak akan dapat berbuat apa-apa melawan kedua bayangan hitam yang telah menegakkan bulu-bulunya.
“Apakah aku telah bertemu dengan bayangan iblis yang paling laknat di bumi Menoreh?” pertanyaan itu telah membuat orang itu menjadi gemetar.
“Lari,” demikianlah keputusan yang diambilnya, “Biarlah Ki Tambak Wedi menyelesaikan persoalannya dengan iblis-iblis ini.”
Tetapi ketika ia mulai melangkahkan kakinya, tiba-tiba ia telah membentur sesuatu. Ketika ia sempat memandangnya, ternyata yang dibenturnya adalah salah seorang dari kedua bayangan hitam yang menakutkan itu.
“Jangan lari,” bayangan itu berdesis.
Orang itu menjadi semakin menggigil. Dengan membabi buta diayunkannya pedangnya. Tetapi ayunan itu sama sekali tidak menyentuh sesuatu.
“Pergi, pergi kau iblis,” geram orang itu,
“Kita tidak akan pergi. Aku tidak, kau pun tidak,” desis Gupala.
Sekali lagi orang itu mengayunkan pedangnya. Namun sekali lagi pedangnya menyambar angin.
“Jangan menjadi gila,” desis Gupala pula. “Aku tidak apa-apa. Aku bukan sejenis hantu peminum darah.”
Tetapi orang itu justru menjadi semakin takut. Keringat dinginnya telah mengalir membasahi seluruh tubuhnya.
Sementara itu Gupita menyaksikan semuanya itu dengan dada yang berdebar-debar. Kemudian kepalanya tergeleng lemah sambil berdesis di dalam hatinya, “Anak bengal itu sukar untuk mengendalikan diri.”
Tetapi Gupita tidak dapat mencegahnya supaya tidak membuat anak itu semakin bernafsu.
Ternyata orang yang menggenggam pedang itu semakin lama menjadi semakin takut karena Gupala belum juga berbuat sesuatu kecuali selalu berdiri di mukanya. Kalau orang itu berusaha beringsut ke samping, Gupala ikut beringsut pula. Apabila orang itu berusaha melangkah ke arah lain Gupala meloncat dan berdiri di depannya sambil menyeringai. Setiap kali orang itu menebaskan pedangnya, Gupala meloncat selangkah surut, namun kemudian ia meloncat kembali ke tempatnya.
Orang itu benar-benar menjadi ketakutan, dan bahkan hampir menjadi kehilangan akal. Matanya nanar memandang keadaan di sekitarnya. Setiap kali ia melihat bayangan yang masih saja berdiri di depannya dengan gemetar. Apalagi kalau ia melihat bayangan yang lain, yang berdiri saja seolah-olah membeku di antara dedaunan.
“Pergi, pergi,” orang itu berdesis.
“He, jangan berteriak,” gumam Gupala seperti kepada anak-anak yang takut melihat ular merambat di kakinya, “Tenang-tenang sajalah. Aku tidak apa-apa.”
“Pergi, pergi,” suara orang itu menjadi semakin keras.
“Kalau kau berteriak, maka aku akan membungkammu untuk selama-lamanya,” desis Gupala.
Orang itu terdiam sejenak. Tetapi ia selalu bergeser surut apabila Gupala melangkah maju.
Yang tidak sabar kemudian justru Gupita. Ketika Gupala masih saja bermain-main, maka ia pun berkata, “Marilah, kita akan kehabisan waktu.”
“Kita sudah tidak mempunyai kerja lagi bukan?” jawab Gupala. “Aku tidak mau kehilangan permainan ini.”
Tetapi tiba-tiba Gupala meloncat menyentuh mulut orang itu, sehingga terdengar sebuah keluhan tertahan. Ternyata orang itu terpaksa mengurungkan niatnya untuk berteriak. Yang dikerjakan adalah mengayun-ayunkan pedangnya seperti orang yang telah benar-benar menjadi gila. Tetapi pedangnya justru menyentuh pepohonan perdu dan mematahkan ranting-rantingnya.
“Iblis,” ia mengumpat. Dan Gupala pun tertawa, “Dengar,” berkata Gupala, “yang sebenarnya iblis adalah Ki Tambak Wedi. Kau tahu. Karena kau termasuk salah seorang pengikutnya, maka kau pun termasuk setan atau gendruwo kecil-kecilan.”
Orang itu tidak segera menjawab karena jantungnya menjadi semakin berdentangan. Yang terdengar kemudian adalah kata-kata Gupita, “Marilah. Aku sudah jemu.”
“Jadi, aku apakan sebaiknya orang ini, Kakang.”
Gupita tidak segera menjawab. Dipandangimya Gupala dan orang itu berganti-ganti. Gupala yang berdiri dengan garangnya, dan orang yang ketakutan itu meskipun ia berpedang.
Tiba-tiba Gupita menggelengkan kepalanya. Tumbuhlah ibanya kepada orang itu. Ketakutan adalah perasaan yang sangat mengerikan. Ia pernah merasakan, betapa seseorang dikejar-kejar oleh rasa takut. Seorang prajurit akan memilih kematian yang langsung daripada ia harus mengalami ketakutan. Demikian juga agaknya orang itu. Seandainya lehernya langsung dipatahkan, maka itu akan lebih baik baginya.
Tetapi kematian itu pun tidak perlu bagi prajurit Tambak Wedi itu. Karena itu maka katanya”Gupala, serahkan yang seorang ini kepadaku.”
“He, aku memerlukannya.”
“Kau sudah menyelesaikan yang seorang. Mudah-mudahan ia tidak mati.”
“Akan kau apakan orang yang satu ini.”
“Serahkanlah kepadaku.”
Orang yang memegang pedang itu berdiri termangu-mangu. Dadanya menjadi semakin berdentangan. Apalagi ketika sejenak kemudian ia melihat bayangan yang seorang lagi maju mendekatinya.
“Terserahlah kepadamu,” desis Gupala kemudian.
Gupita tidak menjawab. Ia langsung maju mendekati orang itu sehingga orang itu pun melangkah surut. Seperti ketika Gupala mengganggunya, maka dengan gila ia memutar pedangnya.
Namun sejenak kemudian, di belakang ayunan pedang orang itu, Gupita meloncat dengan kecepatan yang tidak dimengerti oleh lawannya. Tangan kanannya menangkap pergelangan tangan, sedang tangan kirinya mencengkam tengkuk.
Semuanya itu hanya berlangsung beberapa kejapan mata. Kemudian perlahan-lahan Gupita meletakkan orang itu berbaring di tanah dan merampas pedangnya.
“Biarlah ia tidur sampai Ki Tambak Wedi membangunkan-nya.”
Gupala menarik nafas dalam-dalam. Tanpa sesadarnya ia melangkah mendekati yang seorang lagi. Sambil meraba-raba dadanya ia berdesis, “Orang ini pun belum mati.”
“Marilah kita tinggalkan mereka. Kita segera pulang sebelum kita bertemu dengan Ki Tambak Wedi. Bawalah senjata orang itu. Kita masing-masing mempunyai sebuah pedang.”
“Untuk apa?” bertanya Gupala.
“Mungkin kita memerlukannya. Kalau tidak, kita memerlukan untuk mencari kayu.”
Gupala tidak menjawab. Diambilnya senjata orang yang masih terkapar di tanah itu. Dan sejenak kemudian maka mereka pun meninggalkan lawan-lawan mereka yang sudah tidak berdaya.
bersambung ke Jilid 41
Tidak ada komentar:
Posting Komentar