Jumat, 05 Januari 2018

API di BUKIT MENOREH Jilid 41

API di BUKIT MENOREH

Karya S.H Mintardja


SEMENTARA itu, Ki Tambak Wedi masih saja sibuk mencari orang yang telah mengganggunya. Tetapi seperti hantu, orang itu menghilang tanpa meninggalkan bekas apa pun.

“Pasti bukan orang kebanyakan,” desisnya. Dan tiba-tiba saja diingatnya orang yang telah mengintainya, ketika ia menunggu orang-orang berkuda itu.

“Kalau orang ini yang mengintai itu, maka apakah yang dapat dilakukan oleh kedua orang-orangku yang akan mencoba menangkapnya?” gumam Tambak Wedi itu pula.

“Aku akan melihatnya,” orang itu tiba-tiba menggeram. Tanpa berkata apa pun juga kepada orang-orangnya, maka ia pun segera meloncat kembali ke tempatnya menunggu orang-orang berkuda itu. Beberapa pengikutnya yang melihatnya, segera berlari-lari mengikutinya, dengan berbagai macam pertanyaan di dalam hati.

Ki Tambak Wedi itu hampir saja menginjak salah seorang yang sedang terbaring diam. Dengan serta-merta iblis tua itu berjongkok dan meraba dada orang yang terbaring itu.

“Ia masih hidup,” desisnya.

“Siapakah itu Kiai?” bertanya salah seorang pengikutnya.

“Buka matamu, siapa orang ini.”

Orang yang bertanya itu mengerutkan keningnya. Kemudian digeretakkannya giginya ketika ia mengetahui bahwa yang terbaring itu adalah kawannya.

“Yang seorang ada di sini!” tiba-tiba seorang yang lain berteriak.

Ki Tambak Wedi-lah yang kemudian menggeretakkan giginya pula. “Bawa kemari,” katanya.

Kemudian keduanya pun dibaringkan berjajar di atas rerumputan yang kering. Dengan teliti Ki Tambak Wedi mencoba melihat, kenapa keduanya menjadi pingsan.

Dengan pengetahuan yang ada padanya, Ki Tambak Wedi memijit-mijit di bagian-bagian yang dianggapnya penting. Di punggung, kemudian ditelusurnya sampai ke bagian lehernya. Ketika Ki Tambak Wedi menyentuh di bawah ketiak salah seorang dari keduanya, maka orang itu menggeliat.

Perlahan-lahan orang itu membuka matanya. Sejenak ia masih belum dapat bangkit karena dunia ini rasanya seperti berputar.

“He, bangkitlah. Katakan apa yang telah terjadi dengan kau dan kawanmu itu.”

“Kepalaku seperti berputar,” desisnya perlahan-lahan.

Ki Tambak Wedi menggeram. Sekali lagi ditelusurinya punggung orang itu. Ketika tersentuh simpul keseimbangannya, maka orang itu pun terlonjak.

“Bagaimana?” bertanya Ki Tambak Wedi.

“Ya, sudah jauh berkurang. Tetapi perutku menjadi mual.”

“Persetan dengan perutmu!” bentak Ki Tambak Wedi. “Katakan, siapa yang telah membuatmu pingsan.”

“Aku tidak tahu. Aku hanya melihat dua sosok bayangan hitam.”

“Dua?”

“Ya. Yang seorang telah membuat kawanku itu pingsan tanpa aku ketahui sebabnya. Bayangan itu langsung menerkam dan membantingnya jatuh. Keduanya berguling sejenak. Tetapi yang bangkit kemudian hanyalah bayangan yang kehitam-hitaman itu.”

“Gila kau. Dalam gelap semuanya tampak hitam. Tetapi bagaimana dengan kau.”

“Bayangan yang satu lagi, telah membuat aku pingsan pula. Ia menyusup di bawah ayunan pedangku. Kemudian terasa tanganku seperti terlepas dan tengkukku serasa tebal. Aku kemudian tidak tahu apa-apa lagi.”

Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Ceritera orang itu sangat menarik perhatiannya. Ternyata selain orang yang mencegat pasukan berkuda itu, masih juga ada orang lain yang bukan orang kebanyakan.

Namun tiba-tiba Ki Tambak Wedi itu bertanya, “Dua orang kau bilang?”

“Ya Kiai, dua orang.”

“Katakan, bagaimana bentuk kedua orang itu.”

Orang itu mencoba mengingat-ingat. Tetapi kemudian ia berkata, “Aku tidak dapat mengatakannya Kiai. Terlampau gelap untuk mengenal wajah-wajah mereka.”

“Aku tidak bertanya tentang wajahnya. Katakan, apakah mereka masih muda, tinggi atau pendek, atau kurus, gemuk dan apa lagi yang dapat kau sebutkan.”

Sekali lagi orang itu merenung. Kemudian menggeleng, “Aku tidak dapat menyebutkan Kiai. Aku tidak melihatnya dengan jelas.”

“Gila. Kau sudah menjadi gila. Apakah kau juga tidak dapat menyebutkan jenis senjata yang mereka pakai.”

“Mereka sama sekali tidak bersenjata.”

“O, kau memang sudah gila. Kau memang sudah gila.” Ki Tambak Wedi menjadi semakin marah. Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu. Sambil menggeretakkan giginya ia menghentakkan kakinya.

Orang-orangnya sama sekali tidak ada yang berani mengucapkan sepatah kata pun. Semuanya menundukkan kepalanya. Tidak seorang pun yang bergerak, meskipun sekedar ujung jari kakinya.

“Kita menggabungkan diri dengan pasukan Sidanti,” geram Ki Tambak Wedi. “Aku akan berbicara dengan anak itu.”

Ki Tambak Wedi tidak menunggu jawaban apa pun. Diayunkannya langkahnya ke luar dari rimbunnya dedaunan. Sambil berjalan ia berkata, “Bawa orang yang pingsan itu kedua-duanya kembali. Mereka hanya akan mengganggu saja.”

“Baik Kiai,” jawab salah seorang dari mereka.

Maka beberapa orang kemudian mendapat tugas mengantar kedua orang itu kembali ke induk kademangan yang telah diduduki Sidanti. Meskipun yang seorang telah dapat berjalan sendiri, tetapi ia masih memerlukan bantuan dua orang kawan-kawannya.

Sementara itu, malam pun menjadi kian gelap pula. Ki Tambak Wedi menarik nafas ketika ia melihat beberapa buah obor telah berada di depan mulut regol desa, tempat pemusatan pasukan Argapati, meskipun tidak terlampau dekat. Seperti biasanya, pasukan Ki Tambak Wedi itu memperlihatkan dirinya. Ternyata usaha itu sedikit demi sedikit berpengaruh pula. Beberapa orang yang berada di dalam lingkungan pering ori itu sudah mulai bertanya-tanya, “Apakah sampai akhir hidupku, aku tidak akan sempat keluar dari tempat ini? Siang malam kami selalu diburu oleh kecemasan. Mungkin pada suatu saat pasukan itu tidak hanya akan sekedar mengepung kami. Suatu ketika pasukan itu akan menerkam pertahanan ini dengan dahsyatnya. Mungkin pada suatu saat pasukan itu tidak hanya akan sekedar mengepung kami. Suatu ketika pasukan itu akan menerkam pertahanan ini dengan dahsyatnya. Mungkin mereka akan berusaha membakar pering-pering ori ini dan menghanguskan segala isinya.”

Dan yang lain bergumam dalam hati, “Apakah sebenarnya yang harus kami pertahankan ini? Ternyata sama sekali bukan Menoreh, tetapi Ki Argapati. Dan karena itu, maka setiap malam kita harus berhadapan dengan kecemasan dan ketakutan. Sedangkan kita tidak tahu pasti, apakah perbedaan yang akan kita lihat, apabila kita berada di bawah kekuasaan Ki Argapati dan kekuasaan Sidanti. Bahkan mungkin anak muda itu dapat memberikan suasana yang baru bagi tanah ini.”

Agaknya pikiran-pikiran itu tidak hanya menghinggapi satu dua orang. Tetapi mereka masih tetap menyimpan di dalam hatinya, meskipun dari hari ke hari, mereka mengalami suasana yang penuh ketegangan, kecemasan, dan kemudian kejemuan.

Tampaknya permusuhan ini tidak akan segera berakhir, meskipun persediaan makan mereka menjadi semakin tipis.

Namun sebagian lagi berpendirian lain, meskipun berpijak pada kejemuan pula. Beberapa pengawal muda berkata satu sama lain, “Apakah untungnya kita menunggu. Lebih baik kita keluar dari penjara ini. Apa pun yang akan terjadi. Kita serang saja pusat pertahanan Sidanti. Kalau kita menang, menanglah kita. Kalau kita hancur segeralah kita binasa daripada menunggu tanpa batas seperti sekarang ini.”

“Kita menunggu Ki Argapati sembuh,” desis yang lain.

“Ya, aku tahu. Tetapi kapan Ki Argapati itu akan sembuh?”

“Tanpa Ki Argapati, siapakah yang akan berhadapan dengan Ki Tambak Wedi?”

“Meskipun ia bersenjata petir dan berperisai gunung sekalipun namun tenaganya pasti terbatas juga. Kita lawan orang tua itu bersama-sama. Maka ia pun pada saatnya akan mati.”

“Demikianlah kalau kita, seluruh pasukan itu, bertempur melawan Ki Tambak Wedi seorang diri. Tetapi ternyata kita berperang melawan sejumlah orang yang seimbang dengan jumlah orang di pasukan kita.”

Lawannya berbicara terdiam sejenak. Namun sepasang mata nya memancarkan kejemuannya yang hampir tidak tertanggungkan.

Malam ini mereka dihadapkan lagi pada sepasukan orang-orang Sidanti yang mengepung padesan tempat pemusatan pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Seperti di saat-saat yang lewat, beberapa obor terpancang beberapa patok dari desa, melengkung, di hadapan mulut gerbang. Satu-satu obor yang lain agaknya melingkar di seputar padesan itu pula.

Yang sibuk dibicarakan saat itu adalah pasukan berkuda yang terpaksa masuk kembali ke dalam regol. Beberapa orang telah menghadap Samekta, Wrahasta, dan beberapa orang pemimpin yang lain.

“Tidak seorang pun tahu, siapakah orang itu,” berkata pemimpin pasukan berkuda itu.

Samekta mengerutkan keningnya.

“Seorang dari kami, telah dikenai oleh Ki Tambak Wedi, kami tidak sempat membawanya kembali. Mungkin besok siang, aku akan mengambilnya.”

Wrahasta menggeram. Katanya, “Kenapa kau percaya kepada orang itu?”

“Kata-katanya meyakinkan. Dan sebenarnya bahwa kami tidak akan dapat berbuat terlampau banyak bila kami benar-benar berhadapan dengan Ki Tambak Wedi. Dalam jarak yang cukup jauh, seorang kawan kami telah gugur, dan seekor kuda kami mati pula terkena lemparan besi itu.”

Wrahasta terdiam. Tetapi ia masih saja menggeram menahan kemarahan.

Tetapi para pemimpin pasukan Pengawal Tanah Perdikan Menoreh, tidak dapat menyalahkan pemimpin pasukan berkuda itu. Ternyata bahwa salah seorang dari mereka memang telah gugur, dan seekor kuda telah mati.

Beberapa orang dari anggauta pasukan berkuda itu pun mengatakan bahwa mereka tidak dapat melihat, betapa cepatnya semua itu terjadi. Yang mereka ketahui kemudian, korban-korban itu telah jatuh.

“Dengan demikian,” berkata Samekta kemudian, “apakah Ki Tambak Wedi masih juga memperhitungkan lagi ceritera tentang orang-orang bercambuk di dalam pasukan berkuda itu?”

Wrahasta menundukkan wajahnya. Tetapi ia menggeram, “Kita tidak perlu menggantungkan diri kita kepada siapa pun.”

“Bukan itu maksudku,” jawab Samekta. “Selama ini agaknya Ki Tambak Wedi memperhitungkan gerakan pasukan berkuda itu. Mungkin pengaruh dari gerakan itulah yang menunda kenapa Ki Tambak Wedi masih belum berbuat sesuatu selain mempengaruhi kebulatan tekad kami dengan obor-obor itu hampir di setiap malam. Namun kini agaknya ia telah yakin. Ia memerlukan mengetahui, siapakah sebenarnya yang berada di dalam pasukan berkuda itu.”

Wrahasta mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Ternyata cambuk-cambuk itu telah memanggil Ki Tambak Wedi. Bukan orang-orang bercambuk itu.”

“Tetapi orang bercambuk itu pun telah datang. Kami mengharap besok mereka akan memasuki padesan ini.”

“Apa yang dapat kita harapkan dari mereka?”

“Setidak-tidaknya pengobatan atas Ki Argapati.”

Wrahasta menggelengkan kepalanya, “Tidak banyak gunanya. Orang bercambuk itu tidak dapat membuat Ki Argapati sembuh dalam waktu satu malam. Bagaimana kalau besok atau lusa Ki Tambak Wedi menyarang?”

“Tetapi usaha itu harus dilakukan,” sahut Samekta.

Wrahasta tidak menjawab lagi. Tetapi wajahnya sama sekali tidak menunjukkan kesan yang baik buat orang orang bercambuk itu. Bahkan kemudian ia berkata, “Ki Argapati harus segera tahu. Aku akan menghadap.”

“Baiklah,” jawab Samekta, “sampaikan laporan ini. Atau bawa sajalah pemimpin pasukan berkuda itu.”

Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. “Akan aku bawa anak itu.”

Wrahasta pun kemudian pergi bersama pemimpin pasukan berkuda menghadap Ki Argapati, sedangkan Samekta pergi ke regol desa, menemui para peronda. Samekta memperingatkan mereka, agar mereka menjadi semakin berhati-hati. Agaknya dalam waktu yang singkat, keadaan akan menjadi semakin panas. Semua senjata harus dipersiapkan. Jebakan-jebakan dan senjata-senjata jarak jauh. Alat-alat pelontar lembing dan busur-busur.

Sementara itu Ki Tambak Wedi duduk di antara para pemimpin pasukannya. Sidanti, Argajaya, dan dua orang dukun-dukun yang selalu beserta dengan mereka, Ki Wasi dan Ki Muni, yang tidak saja pandai mengobati luka-luka, tetapi mereka pun membawa senjata di lambung mereka. Mereka agaknya siap pula untuk bertempur. Ki Wasi membawa sepasang trisula bertangkai pendek, sedang Ki Muni bersenjata sebilah pedang yang lengkung. Pedang yang didapatnya dari seorang perantau asing yang mengembara. Suatu ketika Ki Muni pernah berguru kepadanya tentang ilmu obat-obatan dan bahkan tentang olah kanuragan. Pedang itu diterimanya dari gurunya itu, meskipun ia belum berhasil mempelajari ilmunya dengan sempurna. Itulah sebabnya maka pedang itu dianggapnya sebagai pedang yang keramat.

“Tak ada duanya di seluruh daerah Pajang dan bahkan seluruh kerajaan Demak lama,” katanya dengan bangga. “Pedang ini datang dari suatu negara yang sangat jauh. Negara di seberang lautan. Lautan air dan lautan pasir.”

Ki Tambak Wedi selalu mengumpat di dalam hatinya apabila ia mendengarnya. Sebagai seorang yang jauh menyimpan pengalaman dan pengetahuan, maka sudah tentu ia terlampau muak mendengar kebanggaan yang berlebih-lebihan itu. Di pesisir terutama, ia pernah melihat pedang serupa itu lebih dari segerobag. Orang-orang asing kadang-kadang menukarkan senjata-senjata serupa itu dengan senjata-senjata orang Demak. Sekedar untuk kenang-kenangan.

Tetapi Ki Tambak Wedi tidak pernah ingin mempersoalkannya. Apalagi kini, ia mempunyai masalah yang cukup penting untuk dibicarakan.

“Apakah Guru tidak dapat mengenalnya?” bertanya Sidanti.

“Jarak itu tidak terlampau dekat. Apalagi di malam hari. Aku seolah-olah hanya melihat sesosok bayangan yang kehitam-hitaman.”

“Bukankah Guru mendengar suaranya? Suara itu mungkin pernah guru dengar sebelumnya.”

Ki Tambak Wedi menggelengkan kepalanya, katanya, “Suara itu adalah suara yang parau meskipun bernada tinggi.”

Sidanti mengerutkan keningnya. Namun kemudian Argajaya bertanya, “Lalu bagaimana dengan yang dua orang itu?”

“Tak ada gambaran sama sekali. Orang-orang yang dibuatnya pingsan hanya dapat melihatnya sebagai bayangan yang hitam.”

“Ya, Kiai. Mungkin tidak ada petunjuk-petunjuk yang dapat dipakai sebagai landasan untuk menyebut keduanya. Tetapi jumlah mereka menimbulkan kecurigaanku.”

“Kenapa dengan jumlah itu?” bertanya Sidanti.

“Seorang guru dan dua orang murid.”

Ki Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam. Katanya perlahan-lahan seperti kepada diri sendiri, “Aku memang sudah menduga meskipun pada saat orang-orang berkuda itu melarikan diri, aku masih mendengar ledakan-ledakan cambuk di antara mereka.”

“Apakah maksud Guru mengatakan bahwa orang-orang bercambuk itu ada di antara pasukan berkuda, dan yang dua orang itu orang lain lagi?” bertanya Sidanti.

Ki Tambak Wedi menggeleng, “Tidak begitu. Namun aku belum menemukan keyakinan. Tetapi aku condong pada pikiran itu. Bahwa yang menghentikan pasukan berkuda itu adalah gurunya dan yang dua orang itu adalah murid-muridnya yang sama gilanya dengan gurunya.”

Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak segera berkata apa pun. Angan-angannya baru dipenuhi oleh berbagai macam dugaan dan pertimbangan.

Yang tidak segera mengerti pembicaraan itu adalah Ki Wasi dan Ki Muni. Sejenak kemudian mereka mengerutkan keningnya.

Ki Muni, yang tidak dapat menahan hati lagi, segera bertanya, “Siapakah yang kalian bicarakan itu?”

Ki Tambak Wedi menjadi ragu-ragu sejenak. Mula-mula ia ingin berkata terus terang. Tetapi apabila ceritera tentang orang-orang bercambuk itu meluas, dan seolah-olah Ki Tambak Wedi sendiri sudah membenarkan, maka hal itu pasti akan mempengaruhi keberanian orang-orangnya. Karena itu, maka kemudian ia menjawab, “Mereka pasti orang-orang yang ingin mengail ikan di air yang sedang keruh.”

“Tetapi menilik ceritera Kiai, seolah-olah mereka adalah orang-orang yang harus disegani.”

“Aku tidak dapat mengenal mereka dengan jelas. Dan apa yang terjadi itu pun bukan ukuran yang sebenarnya. Pada suatu ketika aku ingin bertemu langsung dengan mereka, untuk mengetahui apakah aku pantas menundukkan kepala, atau semuanya itu hanya sekedar sebuah permainan yang licik dari Argapati.”

Meskipun jawaban itu tidak memberinya kepuasan, tetapi ia tidak mendesak lagi. Namun ia bergumam seperti kepada diri sendiri, “Apakah kita akan menunggu sampai Argapati sembuh?”

“Apakah Argapati itu tidak jadi mati?” Sidanti memotong.

Ki Muni membelalakkan matanya. Sindiran itu sangat menyakitkan hatinya. Seolah-olah Sidanti mengejeknya, bahwa perhitungannya sama sekali tidak sesuai dengan kenyataan.

“Siapa yang melihat bahwa Argapati masih hidup?” ia membantah. “Mungkin Argapati memang sudah mati. Tetapi karena orang-orang Menoreh yang berpihak kepadanya cukup licik, sehingga mereka dapat melindungi rahasia itu serapat-rapatnya.”

“Kita tidak boleh mimpi. Kita harus berani menghadapi kenyataan.”

“Siapa yang mengingkari kenyataan?” Ki Muni menjadi tegang, dan bahkan hampir-hampir ia berteriak seandainya Ki Tambak Wedi tidak menengahi, “Kenapa kita ribut? Ada atau tidak ada Argapati, kita tidak boleh cemas. Argapati hanya seorang diri. Sejauh-jauh yang dapat dilakukan tentu sangat terbatas. Orang kedua adalah Pandan Wangi. Sedang yang lainnya, sama sekali tidak banyak berarti.”

“Apakah Ki Tambak Wedi telah melupakan ceritera Ki Peda Sura tentang dirinya?”

Ki Tambak Wedi tidak segera menyahut. Terlintas dalam kepalanya, kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi, apabila ia menunda waktu terlampau lama. Tetapi untuk bergerak sekarang, ia tidak dapat membuat perbandingan yang setepat-tepatnya. Tidak seorang pun dari petugas sandinya yang tahu pasti tentang keadaan Ki Argapati. Tidak seorang pun yang dapat mengatakan, siapakah sebenarnya orang-orang bercambuk di dalam lingkungan pasukan berkuda itu dan siapa pula yang telah berkelahi melawan Ki Peda Sura. Tetapi kesimpulan Ki Tambak Wedi, yang paling mungkin adalah permainan Argapati, sedang orang-orang bercambuk yang sebenarnya justru bukan yang berada dalam pasukan berkuda itu.

Tetapi sebelum Ki Tambak Wedi menjawab, Sidanti telah mendahului, “Kenapa kita tidak berbuat sekarang juga, Guru?”

“Nah,” tiba-tiba Ki Muni memotong, “bukankah kau juga membenarkan pendapatku? Apalagi yang kita tunggu?”

“Omong kosong,” wajah Sidanti pun menjadi merah. “Aku selalu berpendirian demikian. Sama sekali bukan membenarkan pendapatmu.”

“Kau terlampau sombong, Anak Muda. Kenapa kau tidak mau mengakui, bahwa sebenarnya akulah yang pertama-tama berpendapat demikian.”

“Tidak,” tiba-tiba Sidanti menggeram.

Namun segera gurunya berkata, “Kejemuan telah membuat kalian menjadi gila. Aku tahu, bahwa bukan hanya kalian berdua saja yang berpendapat demikian, tetapi kita seluruhnya menghendakinya.”

Sidanti menggeretakkan giginya. Sedang Ki Muni kemudian berjalan hilir-mudik sambil bergeramang tidak menentu.

“Kalau memang begitu,” Argajaya-lah yang berkata, “Kenapa kita menunggu lebih lama lagi? Bukankah sekarang kita sudah berdiri di ambang pintu.”

“Itu tidak mungkin,” sahut Ki Tambak Wedi, “Kita tidak bersiap untuk melakukan penyerangan. Kekuatan kita hanya kita siapkan untuk melakukan pengepungan seperti biasa. Beberapa bagian untuk menjebak apabila pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang masih setia kepada Argapati itu berusaha menolong pasukan berkudanya. Tetapi semua rencana itu telah rusak. Dan kita tidak dapat merubah rencana itu dengan tiba-tiba. Sebab yang kita hadapi adalah kekuatan. Kekuatan yang masih menjadi teka-teki. Dalam peperangan kita harus mempunyai perhitungan yang pasti. Bukan sekedar untung-untungan.”

Argajaya mengedarkan pandangan matanya ke sekelilingnya. Kemudian perlahan-lahan ia berkata, “Kita tidak boleh menunggu sampai orang-orang kita diterkam oleh kejemuan yang tidak terkendali.”

Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Sejenak ia merenung. Dan sejenak kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Agaknya sesuatu telah berkembang di kepalanya.

Tiba-tiba orang tua itu berkata, “Baik. Baik. Aku akan melakukannya sekarang.”

“Apa, Guru?” bertanya Sidanti dengan serta-merta.

“Kita akan menyerang.”

“Sekarang?”

“Ya sekarang.”

Kini Sidanti, Argajaya, Ki Wasi, dan Ki Muni-lah yang menjadi heran atas keputusan yang tiba-tiba itu. Bahkan menurut Ki Tambak Wedi sendiri, pasukanmya tidak bersiap untuk melakukannya. Namun tiba-tiba orang tua itu berubah pendirian.

“Apakah hal itu dilakukan sekedar melepaskan kejengkelannya saja,” pertanyaan itu mengganggu pikiran Sidanti. “Jika demikian kita akan terlibat dalam suatu perbuatan yang dapat membahayakan kita sendiri.”

Tetapi Sidanti tidak segera menyatakan pikirannya itu. Dipandanginya saja gurunya yang kemudian menengadahkan kepalanya. Silir angin malam telah menggerakkan juntai rambutnya yang sudah keputih-putihan di bawah ikat kepalanya.

Dengan nada yang berat ia berkata, “Sidanti kita akan menyerang malam ini.”

Wajah Sidanti menjadi tegang.

“Bukankah kau ingin berbuat demikian seperti orang-orang lain menginginkannya pula?”

Dengan dada berdebar-debar Sidanti menjawab, “Tidak, Guru, kalau itu hanya sekedar menuruti perasaan tanpa perhitungan.”

“Bagus,” sahut gurunya. “Tetapi marilah kita membuat perhitungan yang lain.”

Sidanti mengerutkan keningnya.

“Kalau kita menyerang malam ini, mungkin kita akan dapat memancing keterangan tentang kekuatan yang ada di dalam lindungan pering ori itu. Yang penting, apakah orang-orang yang aneh, yang aku jumpai pada saat aku mencegat orang-orang berkuda itu, akan hadir juga. Aku kira sampai saat ini mereka berada di luar benteng ori.”

“Tetapi apakah kekuatan kita siap untuk menghadapinya?”

“Kenapa tidak? Kita sumbat mulut desa itu keempatnya. Kita tidak bersungguh-sungguh untuk merebutnya malam ini. Apakah kau mengerti?”

Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tahu maksud gurunya. Gerakan ini adalah sekedar pameran kekuatan dan memancing keterangan tentang orang-orang bercambuk itu.

Argajaya yang dapat menangkap juga maksud Ki Tambak Wedi itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Namun ia masih tetap ragu-ragu, apakah mereka akan dapat berhasil.

“Permainan Kiai mengandung bahaya yang cukup besar,” desis Argajaya.

“Memang. Tetapi seandainya mereka benar-benar keluar dari benteng mereka itu pun, kita akan menghancurkannya. Karena itu kita harus siap menunggui setiap mulut desa itu di empat penjuru. Sebagian terbesar akan datang dari sebelah kiri.”

Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Kita akan mundur pada saat kita yakin bahwa keterangan yang kita perlukan sudah kita dapatkan.”

Sekali lagi Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baiklah kita coba. Tetapi setiap pemimpin kelompok harus tahu benar rencana ini supaya mereka tidak membuat kesalahan.”

“Tentu,” sahut Ki Tambak Wedi. “Sekarang kumpulkan mereka.”

“Baiklah,” sahut Argajaya, yang kemudian bersama-sama dengan Sidanti memanggil semua pemimpin kelompok di dalam pasukannya.

Mereka mendapat petunjuk-petunjuk dengan singkat, apa saja yang harus mereka lakukan. Mendekati desa itu, dan menyerang dengan senjata-senjata jarak jauh. Menjaga setiap regol, dan apabila para pengawal keluar juga, perintah Ki Tambak Wedi adalah, menghancurkan mereka.

“Tetapi kita tidak akan merebut kedudukan mereka sekarang.”

“Kenapa?” potong Ki Muni, “Apabila mungkin, hal itu baik juga kita lakukan. Kita rebut pemusatan pasukan mereka dan kita akan mengerti, apakah Argapati memang masih hidup atau sudah mati.”

“Tidak mungkin dalam keadaan kita saat ini. Kita tidak cukup banyak membawa senjata untuk kepentingan itu. Kita harus dapat melawan para pengawal yang bersarang di atas ranting pering ori, dengan alat-alat pelempar lembing dan bahkan pelempar batu itu.”

“Kalau kita mendekat, mereka akan menyerang kita dengan cara yang sama.”

Ki Tambak Wedi menjadi jengkel mendengar kata-kata Ki Muni itu, tetapi ia masih mencoba menahannya. Dan dicobanya untuk memberikan penjelasan, “Ki Muni, serangan-serangan yang demikian memang sebagian ditujukan keluar regol. Tetapi ujung-ujung lembing, panah dan batu-batu itu terutama diarahkan ke mulut regol. Begitu kita membuka regol, dan pasukan kita berusaha menerobos masuk, maka terjadilah hujan lembing, panah dan batu di seberang pintu itu.”

Ki Muni mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Nah, sekarang bersiaplah. Kita akan segera mulai. Tetapi ingat, aku akan memberikan tanda, agar kita dapat bersama-sama menarik diri. Sidanti dan Argajaya selain mengawasi pasukan ini, juga berusaha melihat, apakah orang-orang gila itu mendekati medan. Apabila mereka benar-benar datang, kedua anak-anak gila itu adalah lawan kalian. Serahkan yang tua kepadaku. Kita harus menyelesaikan mereka saat ini juga. Kita akan mendapat bantuan dari beberapa orang di dalam pasukan kita. Antara lain Ki Wasi dan Ki Muni. Sudah tentu kita akan membinasakannya. Sesudah itu, maka kita tidak akan berteka-teki lagi.”

Sidanti dan Argajaya mengangguk-anggukkan kepala mereka. Sedang Ki Wasi yang tidak mengerti apa yang dikatakan oleh Ki Tambak Wedi itu bertanya, “Siapakah yang Kiai maksudkan dengan mereka itu?”

“Kita sedang ingin melihat, apakah mereka benar-benar orang-orang yang disebut orang-orang bercambuk itu.”

Ki Wasi mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia bergumam, “Aku dapat mengerti cara yang Kiai tempuh. Mudah-mudahan kita berhasil. Kita akan segera sampai pada babak seterusnya dari peperangan ini. Semakin cepat kita selesai pasti akan semakin baik.”

“Kenapa?” bertanya Ki Muni. “Lalu kau akan diangkat menjadi senapati? Atau dukun pribadi Sidanti?”

“Ah,” Ki Wasi berdesah, “bukan itu. Semakin cepat, maka korban akan menjadi semakin sedikit. Kekejaman-kekejaman yang terjadi akan segera berakhir, dan ketakutan pun tidak akan berkepanjangan.”

“He?” Ki Muni menarik keningnya, kemudian terdengar ia tertawa, “Kau benar-benar seorang pengabdi kemanusiaan yang paling baik Ki Wasi, tetapi tanpa kekejaman dan kekerasan kita tidak akan berarti apa-apa lagi. Tidak ada lagi orang yang sakit parah yang memerlukan pertolonganmu dan pertolonganku.”

“Pikiranmu telah benar-benar terbalik,” sahut Ki Wasi, yang terpotong oleh kata-kata Ki Tambak Wedi, “Sudahlah, apa pun titik pandangan kalian. Sekarang kita siapkan diri kita masing-masing. Untuk membuat kegaduhan di pihak mereka, lontarkan obor-obor itu kepada mereka. Kalau mungkin ke sarang-sarang pasukan yang berada di ranting-ranting pering ori itu, bahkan apabila mungkin kita bakar saja regol desa itu.”


Ki Wasi mengerutkan keningnya. Sejenak dipandanginya Ki Tambak Wedi, dan sejenak kemudian Ki Muni. Tetapi ia tidak lagi mengucapkan sepatah kata pun.

Sementara itu, Sidanti dan Argajaya yang menjadi muak mendengar setiap kata-kata Ki Muni telah mempersiapkan diri. Pesan-pesan terakhir telah diberikannya dan para pemimpin kelompok pun telah memahami apa yang harus mereka lakukan.

“Kita menghangatkan suasana. Kita tidak boleh terlampau lama tertidur. Serangan kali ini akan mematangkan sikap kita dan akan segera membawa kita ke pertempuran yang sebenarnya,” berkata Sidanti kepada para pemimpin kelompok itu. Kemudian, “Sekarang kembalilah kepada orang-orang kalian masing-masing. Kita akan segera mulai.”

Para pemimpin kelompok itu pun segera, menyampaikan perintah itu kepada kelompok masing-masing. Berbagai tanggapan terbayang di wajah mereka. Apalagi mereka yang datang ke Tanah ini dengan berbagai macam pamrih pribadi.

“Ki Tambak Wedi ternyata bukan seorang yang cukup cakap memimpin peperangan,” salah seorang berdesis. “Kenapa kita harus menunda lagi seandainya hari ini kita dapat memasuki padesan itu?”

“Korban terlampau banyak,” jawab yang lain, “Kita tidak bersiap sepenuhnya untuk melakukan itu.”

“Kalau kita tidak bersiap kenapa hal ini kita lakukan?”

“Sudah dikatakan, Ki Tambak Wedi ingin mengetahui perbandingan kekuatan yang sebenarnya di antara kedua pasukan yang berhadapan ini.”

“Orang tua itu terlampau banyak pertimbangan. Apa salahnya kita memasuki sarang lawan itu meskipun terlampau banyak korban? Semakin banyak korban akan menjadi semakin baik bagi kita. Kekayaan yang tersimpan di dalamnya akan kita bagi, menjadi bagian-bagian yang lebih sedikit.”

“Ah,” yang lain berdesah, sedang orang yang pertama tersenyum aneh. Senyum yang mempunyai berbagai macam arti.

Sejenak kemudian Ki Tambak Wedi telah bersiap. Dengan dada tengadah ia berdiri memandangi pintu regol di kejauhan. Lampu minyak yang redup tergantung pada teritis regol yang tertutup itu, meskipun ada satu dua orang yang berjaga-jaga di luar.

“Kita lakukan sekarang,” geram Ki Tambak Wedi. Kepada Sidanti dan Argajaya ia berkata, “Jangan lengah. Awasi seluruh medan, kalau kelinci-kelinci itu tampak hadir. Hanya kalianlah yang tahu, apakah mereka ikut campur atau tidak.”

Sejenak kemudian Ki Tambak Wedi itu pun melontarkan tanda, bahwa pasukannya harus bergerak. Tiga orang telah melontarkan panah berapi bersama-sama.

Penjaga di muka regol desa melihat api itu pula. Dengan dada berdebar-debar mereka memandang api yang seolah-olah terbang ke kebiruan langit. Ketika api itu meluncur dan jatuh di atas tanah persawahan yang kering, maka sadarlah mereka, bahwa sesuatu akan terjadi.

“Kita harus memberikan laporan.”

Kawannya tidak segera menjawab. Tetapi tiba-tiba matanya terbelalak ketika ia melihat obor-obor telah mulai bergerak. “Lihat, mereka mulai maju mendekat.”

Yang lain pun menjadi tegang pula. Katanya, “Cepat. laporkan gerakan itu. Aku akan mengawasinya.”

Kawannya tidak menjawab lagi. Segera ia menyelinap masuk kedalam regol dan lari menghambur menemui pimpinannya.

“Apakah kau tidak sedang bermimpi?” bertanya pemimpinnya.

“Aku berkata sebenarnya.”

Pemimpinnya pun segera meloncat dan berlari keluar regol. Yang dilihatnya kemudian seakan-akan menghentikan jantungnya. Barisan obor yang bergerak semakin lama semakin dekat. Jauh lebih banyak dari yang biasa dilihatnya. Karena sebenarnyalah bahwa Ki Tambak Wedi telah memerintahkan semua obor, obor-obor cadangan yang disediakan untuk menyambung obor-obor yang telah kehabisan minyak, dan semuanya, harus dinyalakan.

“Cepat, sampaikan kepada Ki Samekta dan Wrahasta.”

Seorang penghubung segera berlari menemui Samekta, sedang pemimpin pengawal yang sedang bertugas itu berdiri dengan tangan gemetar di luar regol. Tanpa sesadarnya tangannya telah meraba hulu pedangnya.

Sejenak kemudian Samekta sendiri telah berdiri di muka pintu regol bersama Wrahasta dan beberapa pemimpin pengawal yang lain. Dengan wajah yang tegang ia mengawasi gerakan sepasukan obor yang merayap mendekati pertahanannya.

“Siapkan semua pasukan,” perintahnya. “Semua laki-laki yang masih mungkin memegang senjata harus bersiap pula. Agaknya mereka memusatkan serangan mereka ke regol ini. Karena itu, berikan beberapa kelompok kecil sebagai pengawas saja di regol-regol yang lain. Tetapi mereka harus berhati-hati. Jangan sampai mereka terjebak. Regol-regol harus tetap tertutup rapat. Tidak seorang pun dari pasukan pengawal yang dibenarkan keluar dari lingkungan ini. Lawan agaknya cukup banyak. Kalau kita terpancing keluar, maka kita akan dihancurkan seluruhnya tanpa dapat berbuat apa pun.” Samekta berhenti sejenak, kemudian, “Semua pengawal yang melayani alat-alat pelontar senjata jarak jauh harus bersiap di tempatnya. Kalau mereka mencoba memecah pintu regol, maka semua kekuatan yang ada harus dikerahkan. Mereka harus dihancurkan sebanyak-banyaknya begitu mereka berdesak-desakan masuk. Para pengawal harus menjaga sisa dari mereka yang dapat lolos dari patukan senjata-senjata jarak jauh itu.”

Semua orang yang mendengar perintah itu menganggukkan kepala mereka. Meskipun tidak sepatah kata yang keluar dari mulut, namun mereka telah menyatakan kesediaan mereka di dalam hati. Justru mereka yang ragu-ragu selama ini menjadi mantap kembali. Apalagi anak-anak muda yang hampir saja diterkam oleh kejemuan, maka kedatangan lawan mereka itu seolah-olah telah memberikan udara baru bagi mereka.

Sejenak kemudian maka para pemimpin kelompok telah siap untuk menjalankan tugas masing-masing. Sebelum mereka meninggalkan regol, mereka masih mendengar Samekta berpesan, “Belum perlu membunyikan tanda apa pun. Masih ada waktu untuk mencapai segala sudut desa ini. Khusus untuk Ki Kerti, kita akan mengirim kabar dengan panah sendaren.”

Wrahasta yang berdiri di samping Samekta mengerutkan dahinya. Setelah para pemimpin kelompok itu pergi ke kelompoknya masing-masing, serta menyiapkan diri untuk melakukan perintah Samekta, maka kini masih ada satu soal yang menyangkut di hati pemimpin pasukan pengawal itu.

Dengan ragu-ragu Wrahasta berdesis, “Apakah yang akan kita katakan kepada Ki Argapati yang sedang terluka itu?”

Samekta tidak segera menjawab. Tetapi tampak kebimbangan yang dalam membayang di wajahnya. Kalau hal ini diberitahukan kepada Ki Argapati, maka Samekta yang sudah mengenal watak Kepala Daerah Perdikannya itu, pasti tidak akan dapat mencegahnya lagi, apabila Ki Argapati itu sendiri akan turun ke medan perang. Tetapi apabila Ki Argapati itu tidak diberitahukannya, maka apabila ia gagal mempertahankan desa ini, segala kesalahan pasti akan ditimpakannya kepadanya. Ki Argapati pasti tidak akan dapat memaafkannya, kenapa ia tidak menyampaikan persoalan yang penting sekali ini kepada Kepala Tanah Perdikan.

Dengan demikian, maka pemimpin pengawal itu telah diamuk oleh keragu-raguan yang tidak segera dapat dipecahkannya.

“Bagaimana pendapatmu, Wrahasta?”

Wrahasta menggelengkan kepalanya, “Aku tidak tahu, apakah yang sebaiknya kita lakukan. Aku merasa bahwa apa pun yang kita lakukan adalah salah.”

“Masalah ini tidak kita persoalkan sebelumnya. Kini kita langsung menghadapi persoalan yang tidak dapat dipertimbangkan terlampau lama.”

Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika ia memandang obor-obor yang masih saja bergerak maju, seperti sejuta kunang yang sedang merayap di atas padang ilalang, ia menarik nafas panjang-panjang. Katanya, “Mereka menjadi semakin dekat.”

Tanpa sesadarnya Samekta berpaling. Ditatapnya pering ori yang kehitam-hitaman di dalam gelapnya malam. Tetapi ia tahu, bahwa di belakang carangnya yang rimbun itu, tersembunyi para pengawal dengan alat-alat pelontar lembing, busur-busur yang besar dan bahkan pelontar batu-batu.

“Kita tidak dapat berdiam di sini untuk seterusnya,” desis Wrahasta. “Kita harus berada di dalam regol, dan pintu regol itu akan kita tutup dan kita selarak kuat-kuat.”

Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya, kita akan segera masuk. Tetapi bagaimana dengan Ki Argapati.”

Wrahasta termenung sejenak. Tetapi ia kemudian menggelengkan kepalanya, “Kesalahan kita adalah, kita menunggu sampai serangan itu benar-benar datang. Selama ini kita seakan-akan dibius oleh dugaan, bahwa Ki Tambak Wedi tidak akan melakukan serangan itu segera dalam gelar yang serupa itu.”

Samekta mengerutkan keningnya. Katanya, “Gelar yang dipakainya kini pun agaknya masih kurang menguntungkan. Kalau aku, maka gelar yang lebih baik akan aku pergunakan.”

Wrahasta tidak menjawab. Dipandanginya saja obor-obor yang semakin lama menjadi semakin dekat itu.

“Kita berbicara dengan Angger Pandan Wangi,” tiba-tiba Samekta bergumam. “Kita akan mendapat bahan tentang Ki Gede Menoreh. Kita akan dapat mempertimbangkannya, apakah kita akan melaporkannya atau tidak.”

“Ya, kita menemui gadis itu. Tetapi waktu kita tidak terlalu banyak.”

Samekta dan Wrahasta pun segera masuk ke dalam sambil berkata kepada para penjaga, “Pintu regol ini pun harus segera ditutup. Kalian pun harus masuk pula. Tidak seorang pun boleh di luar regol.”

“Baik,” jawab pemimpin pengawal yang sedang bertugas, “pada saatnya kami pun akan segera masuk.”

Samekta dan Wrahasta dengan tergesa-gesa segera berusaha menemui Pandan Wangi. Mereka tidak dapat menunda lagi karena obor-obor di luar lingkungan pering ori telah menjadi semakin dekat.

“Bagaimana dengan Ki Argapati?” bertanya Samekta.

“Ayah telah menjadi semakin baik. Setelah obatnya diperbaharui maka Ayah menjadi semakin ringan. Beberapa kali ia bangun dan bahkan berjalan-jalan beberapa langkah di seputar biliknya.”

Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia tidak dapat memperpanjang waktu lagi. Apa pun yang akan mereka lakukan terhadap Ki Argapati, namun Pandan Wangi sendiri harus mengetahuinya apa yang telah terjadi di luar regol padesan ini. Karena itu, maka Samekta itu pun kemudian berceritera tentang obor-obor yang telah mulai bergerak mendekati regol.

Wajah Pandan Wangi segera menjadi tegang dan kemerahan. Sejenak ia terdiam. Kemudian terdengar ia menggeram, “Kakang Sidanti telah benar-benar lupa diri. Lalu, “Baiklah, aku akan pergi ke regol desa.”

“Bukan itu yang penting Pandan Wangi. Tetapi bagaimana dengan Ki Argapati.”

Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Wajahnya yang tegang menjadi semakin tegang. Sejenak kemudian ia berkata, “Biarlah ayah beristirahat. Kalau keadaan menjadi terlampau parah, kita akan memberitahutkannya. Kalau tidak, kita tidak perlu membuatnya gelisah.”

Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Pertimbangan Pandan Wangi itu cukup bijaksana. Karena itu, maka katanya, “Beritahukan para pengawal itu Pandan Wangi, agar mereka tidak membuat kesalahan.”

“Baiklah, aku akan melarang mereka untuk menyampaikan semua berita tentang lawan kepada Ayah,” sahut Pandan Wangi.

Setelah semua pengawal rumah itu dipesannya, maka Pandan Wangi pun kemudian minta diri kepada ayahnya.

“Apakah kau harus pergi, Wangi.”

“Sebentar, Ayah. Aku ingin melihat keadaan sejenak.”

“Apakah kau mendapat firasat bahwa sesuatu telah terjadi?”

Dada Pandan Wangi berdesir. Tetapi ia menjawab, “Tidak, Ayah. Tidak ada apa-apa, selain suatu keinginan yang wajar untuk keluar sejenak dan melihat keadaan para pengawal.”

Ki Argapati mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menjawab, “Pergilah, tetapi jangan terlampau lama.”

“Terima kasih, Ayah. Aku ingin menemui para pemimpin pengawal di tempat mereka.”

Sejenak kemudian Pandan Wangi itu pun telah menghambur ke halaman menemui Samekta dan Wrahasta. Mereka kemudian bersama-sama pergi ke regol desa yang kini telah tertutup rapat-rapat.

Pemimpin penjaga yang berada di depan pintu regol di bagian dalam segera melaporkan kepada Samekta bahwa lawan telah berada beberapa langkah saja di depan regol itu.

“Aku akan melihatnya,” desis Samekta.

Maka pemimpin pengawal Tanah Perdikan itu pun segera pergi ke samping regol diikuti oleh Wrahasta dan Pandan Wangi. Dengan sebuah tangga pendek mereka memanjat ke atas, dan di atas sebuah anjang-anjang bambu mereka dapat melihat gerakan pasukan Sidanti yang menjadi semakin dekat.

“Semua bersiap,” Samekta memberikan aba-aba.

Maka semua orang pun bersiap di tempat masing-masing. Semua alat pelontar, baik yang di tempatkan di atas carang-carang ori, maupun yang berada di balik-balik dinding halaman, semua telah tertuju ke mulut regol yang kini masih tertutup rapat. Sedang sebagian yang ada di sisi regol, mengarah ke mulut bagian luar dari regol itu.

Di belakang alat-alat pelontar itu, pasukan pengawal tanah perdikan sudah siap dengan senjata masing-masing. Sebagian berada di balik dinding-dinding batu, namun ada di antara mereka yang duduk di atas cabang-cabang pohon dengan busur di tangan mereka.

Pandan Wangi dan Wrahasta pun telah berada di atas anjang-anjang bambu itu pula. Sekali-sekali terdengar mereka menggeram. Wajah Pandan Wangi menjadi merah seperti terbakar. Kedua tangannya telah hinggap di hulu sepasang pedangnya.

Sejenak kemudian maka pasukan Sidanti pun telah berada di depan mulut regol menebar dalam gelar yang tidak terlampau luas. Beberapa orang yang berdiri di paling depan tampak seolah-olah seekor harimau yang sedang merunduk mangsanya, perlahan-lahan mereka maju, namun pasti.

Dada Samekta menjadi berdebar-debar. Ia masih belum dapat melihat, siapakah yang berdiri di pusat paruh pasukan lawannya.

Beberapa langkah dari pintu regol pasukan lawan itu berhenti. Kemudian seseorang yang berwajah keras seperti batu-batu padas, berkumis dan berjanggut, berhidung lengkung seperti paruh burung betet, maju ke depan. Itulah Ki Tambak Wedi, pemimpin dari seluruh pasukan lawan yang kini berada di mulut regol.

Sejenak kemudian orang tua itu terhenti. Dipandanginya pintu regol yang tertutup rapat-rapat. Kemudian lampu yang masih menyala di luar. Lalu dilayangkannya pandangan matanya ke kegelapan di samping regol.

Seandainya bukan Ki Tambak Wedi, dan seandainya matanya tidak setajam mata burung hantu, ia tidak akan melihat apa pun di balik carang ori dalam kegelapan itu. Tetapi agaknya Ki Tambak Wedi tidak dapat dikelabuhi lagi. Sambil menunjuk ke arah para pemimpin pengawal Tanah Perdikan Menoreh ia berkata, “He, siapakah yang memegang pimpinan kali ini?”

Dada Samekta berdesir. Namun ia tidak yakin bahwa Ki Tambak Wedi dapat melihatnya dengan jelas.

“He, siapa yang memegang pimpinan?”

Debar di dada Samekta masih belum mereda. Ia bukan seorang yang merasa dirinya kurang bernilai untuk memimpin pasukan pengawal tanah perdikan. Sebagai seorang yang telah memiliki pengalaman yang berpuluh tahun, ia yakin, bahwa ia mampu memegang pimpinan dalam keadaan yang bagaimanapun juga.

Tetapi ketika ia berhadapan dengan Ki Tambak Wedi, terasa sesuatu bergetar di dalam dadanya.

Namun agaknya bukan hanya Samekta sendiri yang dihinggapi oleh perasaan yang aneh. Setiap pengawal yang berada di atas cabang-cabang pering ori, yang melihat orang tua itu berdiri dengan kaki merenggang di luar regol yang tertutup rapat itu, hati mereka pun berdesir. Serasa mereka melihat hantu yang datang dari lereng Gunung Merapi, siap untuk menyebarkan maut. Apalagi ketika mereka melihat di tangan hantu tua itu tergenggam sebuah nenggala yang mengerikan.

“He, apakah kalian tuli?” teriak Ki Tambak Wedi, “atau bisu, atau mati ketakutan?”

Samekta menggeram. Ia tidak dapat berdiam diri untuk seterusnya. Karena itu, ia melangkah setapak maju sambil menggeretakkan giginya, seakan-akan mencari sandaran kekuatan untuk menjawab pertanyaan Ki Tambak Wedi itu.

Tetapi terasa darahnya tiba-tiba saja berhenti mengalir. Bukan saja Samekta, namun juga Wrahasta, Pandan Wangi, dan bahkan semua orang yang kemudian mendengar suara tertawa perlahan-lahan. Dalam kegelapan mereka kemudian melihat sebuah bayangan yang meloncat dari belakang rimbunnya carang ori di sisi regol yang lain ke atas bubungan atap. Kemudian bayangan itu berhenti tepat di tengah-tengah bubungan regol itu.

Hampir tidak percaya setiap pengawal tanah perdikan menyaksikan bayangan yang berdiri dengan teguhnya sambil menggenggam sebuah tombak pendek.

Di sela-sela detak jantumg para pemimpin dan para pengawal, mereka mendengar bayangan itu berkata, “Sudah tentu, akulah yang memimpin pasukanku, Ki Tambak Wedi.”

Sejenak suasana dicengkam oleh kesenyapan yang menegangkan. Semua mata kini hinggap pada bayangan yang berdiri di bubungan atap dengan tombak pendek di tangannya.

Seperti orang yang mengigau terdengar suara Pandan Wangi lambat, “Ayah. Kenapa ayah berada di situ?”

Samekta yang masih belum dapat menenangkan dirinya berpaling. Dengan telapak tangannya ia menekan dadanya sambil berdesis, “Agaknya Ki Argapati mengetahui apa yang telah terjadi.”

“Tetapi,” gumam Wrahasta, “bagaimana dengan lukanya itu?”

Tidak seorang pun yang dapat menjawab semua pertanyaan itu, yang terdengar kemudian adalah suara Ki Tambak Wedi, “He, kau Argapati. Apakah luka-lukamu sudah sembuh? Ternyata kau benar-benar seorang yang mempunyai nyawa rangkap, atau kau menyimpan seorang dukun yang tidak ada duanya di muka bumi?”

Terdengar Ki Argapati tertawa perlahan-lahan. Jawabnya, “Tidak ada yang mustahil terjadi di muka bumi ini apabila Tuhan berkenan, Tambak Wedi. Aku masih mendapat kurnia umur beberapa waktu lagi. Apa pun caranya, namun aku telah mendapat kesembuhan daripada-Nya.”

Ki Tambak Wedi menggeram. Tetapi kehadiran Ki Argapati itu ternyata telah mempengaruhinya. Bukan saja dirinya sendiri, tetapi Sidanti, Argajaya, Ki Wasi dan apalagi Ki Muni, menjadi membatu di tempatnya. Seolah-olah mereka melihat sesosok hantu yang berdiri di atas bubungan atap regol.

Para pengawal Tanah Perdikan Menoreh pun sangat terpengaruh pula oleh kehadiran Kepala Tanah Perdikannya itu. Apabila semula mereka menjadi kecut melihat Ki Tambak Wedi yang berdiri tegak dengan nenggala di tangannya di muka regol desa itu sambil memanggil-manggil pimpinan pasukan pengawal, maka dada mereka kini serasa tersiram embun. Sehingga kecemasan, keragu-raguan apalagi ketakutan telah terusir. Di samping Ki Argapati, semua anggauta pasukan pengawal, bahkan setiap laki-laki yang dengan suka rela telah menyatakan diri ikut berperang, tidak lagi akan mengenal takut, meskipun ujung senjata lawan akan membelah dada mereka.

“Ki Argapati,” terdengar suara Ki Tambak Wedi, “apabila benar kau telah berhasil mengatasi lukamu, maka sebaiknya kau membuat pertimbangan-pertimbangan yang wajar untuk selanjutnya. Apakah kau tidak dapat berbuat lain daripada tindakan bodoh seperti yang kau lakukan kali ini? Apa artinya beberapa buah desa kecil yang kau duduki sekarang? Kalau kita mengepungmu siang dan malam, maka kalian akan mati kelaparan. Tetapi kami masih dapat berpikir bening, bahwa orang-orang yang terperosok ke dalam kedunguan karena kesetiaannya yang mati kepadamu itulah, maka kami masih tetap memberi kesempatan kepada kalian untuk merampas bahan makanan dari desa-desa di sekitar sarangmu ini. Karena itu, apakah kau tidak pernah berpikir untuk mengakhiri tindakan yang bodoh ini? Aku menjamin bahwa kau akan tetap diperlakukan dengan baik dan dihormati. Kami tidak akan melakukan tindakan apa pun terhadap orang-orang yang kini tetap setia kepadamu. Sehingga dengan demikian, penyelesaian akan segera dapat dicapai.”

Ki Argapati tidak segera menjawab. Tetapi ia tertawa.

“Kenapa kau tertawa?”

“Kalau bukan kau yang mengatakannya, Ki Tambak Wedi, mungkin aku akan percaya. Tetapi karena kau yang mengucapkannya, maka ceriteramu itu tidak lebih dari kata-kata banyolan dalam pertunjukan tari topeng.”

Jawaban itu telah membakar dada Ki Tambak Wedi. Tetapi ia masih berusaha menguasai perasaannya. “Kalau begitu, Ki Argapati, apakah aku harus mempergunakan kekerasan?”

“Kenapa kau bertanya kepadaku?”

Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baiklah,” geramnya. Orang tua itu pun kemudian mengangkat tangannya. Digerakkannya tangan itu melingkar sekali, kemudian diayunkannya tangannya maju ke depan.

Sesaat kemudian maka obor-obor pun mulai bergerak pula perlahan-lahan. Yang memimpin pasukan itu adalah Ki Wasi dan Ki Muni. Sidanti dan Argajaya, meskipun ikut di dalam pasukan itu, tetapi mereka tidak berdiri di ujung barisan. Kecuali mereka tidak merasa perlu untuk menampakkan diri, mereka masih mempunyai tugas untuk mengawasi seandainya orang-orang yang sedang mereka cari itu benar-benar hadir di dalam peperangan.

Ki Argapati yang melihat obor-obor itu telah mulai bergerak, menarik nafas dalam. Sesaat kemudian ia berpaling, seakan-akan ingin melihat apakah orang-orangnya telah siap pula menyambut kedatangan lawan.

“Kita tidak akan menunggu lagi bukan, Ki Argapati?” bertanya Ki Tambak Wedi. Lalu, “Kecuali apabila kau merubah pendirianmu.”

“Memang,” jawab Ki Argapati, “kita tidak perlu menunggu siapa pun. Kita akan segera mulai.”

Ki Tambak Wedi tidak menjawab. Tetapi ia pun kemudian melangkah surut menyongsong pasukannya yang bergerak semakin maju.

Ki Argapati pun kemudian meninggalkan tempatnya pula. Tetapi ia tidak kembali ke tempat darimana ia meloncat ke bubungan atap regol itu. Tetapi ia kemudian pergi mendapatkan Samekta, Wrahasta, Pandan Wangi, dan para pemimpin yang lain.

“Apakah kalian telah siap?” bertanya Ki Argapati.

“Maaf Ki Gede. Bukan maksud kami meninggalkan Ki Gede. Tetapi kami tidak sampai hati mengganggu Ki Gede yang masih belum sehat benar.”

“Aku tahu maksudmu. Karena itu, kita tidak perlu mempersoalkannya lagi.”

“Tetapi dari mana Ayah mengetahui hal ini?” bertanya Pandan Wangi.

“Aku menaruh curiga atas kepergianmu yang tiba-tiba. Kemudian aku keluar halaman dan bertanya kepada orang-orang yang sibuk hilir-mudik di sepanjang jalan.”

Pandan Wangi menarik nafas. Yang dipesannya hanyalah para pengawal yang menjaga rumah itu, tetapi sudah tentu ia tidak akan dapat berpesan kepada setiap orang.

“Sekarang,” berkata Ki Argapati, “kita akan mulai. Kita tidak boleh kehilangan kesempatan untuk melawan kali ini, dan mempertahankan tempat ini. Kalau kita terusir dari tempat ini, maka kehancuran sudah berada di ambang pintu.”

Samekta menganggukkan kepalanya. Kemudian diberikannya isyarat kepada setiap kelompok. Beberapa penghubung telah tersebar, membawa perintah pemimpin pasukan pengawal itu.

Namun sementara itu, Pandan Wangi terkejut ketika ia melihat ayahnya menyeringai sambil memegangi dadanya. Dengan cemas ia mendekat dan bertanya terbata-bata, “Kenapa dengan luka itu, Ayah?”

“Tidak apa-apa.”

“Seharusnya Ayah masih beristirahat. Dan kami memang ingin mempersilahkan Ayah beristirahat.”

“Aku harus ada di sini Pandan Wangi,” jawab ayahnya, “meskipun aku belum sehat benar.” Orang tua itu berhenti sejenak. Diedarkannya pandangan matanya ke sekitarnya. Ketika tidak dilihatnya orang lain kecuali Samekta dan Wrahasta, yang berada di dekatnya, maka ia berkata lirih, “Aku harus ada di peperangan ini meskipun aku belum cukup kuat untuk bertempur. Aku tidak dapat membiarkan para pengawal menjadi ketakutan melihat Ki Tambak Wedi. Kehadiranku akan memperbesar hati mereka dan memperkuat perlawanan mereka.” Ki Argapati berhenti sejenak. Sekali lagi ia menyeringai menahan sakit yang mulai menyentuh lukanya kembali.

Pandan Wangi, Samekta, dan Wrahasta menjadi cemas melihat keadaan Ki Argapati. Namun di dalam hati mereka menjadi semakin menundukkan kepala mereka. Ki Gede Menoreh sama sekali tidak menghiraukan keadaannya sendiri. Tetapi ia lebih memelihara ketahanan hati para pengawal. Sebab ia yakin, bahwa kehadirannya akan sangat berpengaruh pada perasaan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh.

Meskipun demikian, tetapi Ki Argapati tidak akan dapat dibiarkan menjadi korban, selama hal itu masih dapat dihindarinya.

“Pandan Wangi,” berkata Ki Argapati, “sebentar lagi kedua pasukan yang berhadapan ini akan berbenturan. Aku akan turun. Aku akan menunggu di bawah, di dalam regol. Kalau Ki Tambak Wedi berkeras akan memecahkan regol itu, dan memasuki padesan ini, apa boleh buat. Tetapi sudah tentu aku tidak dapat bertempur sendiri. Aku memerlukan beberapa orang kawan untuk menghadapi Ki Tambak Wedi.”

“Aku akan berkelahi di samping Ayah,” jawab Pandan Wangi.

Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya, “Baik, Wangi. Tetapi sekedar dengan kau, kita masih belum akan dapat mengatasinya.”

“Kita buat sekelompok kecil pengawal pilihan buat melawannya, Ayah.”

“Kita harus segera mempersiapkan. Aku melihat Ki Wasi dan Ki Muni di barisan lawan. Adalah tugasmu Samekta dan Wrahasta, meskipun aku perlu memperingatkan, bahwa kalian masing-masing tidak akan dapat melawan seorang lawan seorang.”

“Ya, Ki Gede,” sahut keduanya hampir bersamaan.

“Mudah-mudahan mereka tidak akan memasuki desa ini. Aku melihat gelar mereka kurang lengkap untuk melawan alat-alat pelontar yang telah siap di depan regol itu.”

“Mudah-mudahan, Ki Gede.”


“Baiklah, aku akan turun bersama Pandan Wangi. Awasi keadaan dan kaulah yang akan memberikan perintah-perintah berikutnya. Aku telah cukup berusaha. Ki Tambak Wedi harus membuat pertimbangan-pertimbangan baru setelah ia melihat aku. Demikian juga orang-orangnya. Aku berusaha sejauh-jauh dapat aku lakukan, membuat kesan bahwa lukaku sudah tidak berbahaya lagi.”

“Silahkan, Ki Gede,” sahut Wrahasta, “kami akan berusaha sejauh mungkin.”

Ki Argapati dan Pandan Wangi pun segera turun dari tempatnya. Mereka mengambil tempat di pinggir jalan beberapa puluh langkah dari regol, di belakang para pengawal yang telah siap dengan alat-alat pelontar dan busur-busur.

Sejenak kemudian pasukan Ki Tambak Wedi pun menjadi semakin dekat. Obor-obor mereka menjadi semakin jelas menerangi wajah-wajah yang tegang. Ketika kemudian Ki Tambak Wedi memberikan isyarat dengan tangannya dan disambut oleh setiap pemimpin di dalam pasukannya, maka kemudian terdengar mereka bersorak gegap gempita. Langkah mereka menjadi semakin cepat dan obor mereka pun terangkat tinggi-tinggi sambil mengacung-acungkan senjata pula.

Mereka yang berperisai segera mengambil tempat di depan untuk melindungi lontaran-lontaran senjata jarak jauh. Kemudian diikuti oleh mereka yang bersenjatakan pedang dan tombak.

Samekta menjadi berdebar-debar melihat arus pasukan Ki Tambak Wedi. Pasukan itu memusatkan serangannya pada regol desa, dan sedikit menebar sebelah-menyebelah sebagai sayap pasukannya. Agaknya mereka merasa bahwa mereka tidak akan dapat menerobos masuk lewat pagar pering ori. Satu-satunya jalan bagi mereka adalah regol-regol desa.

Ketika pasukan itu telah berada dalam jarak jangkau alat-alat pelontar lembing, maka Samekta segera melepaskan perintah. Sejenak kemudian, maka dari sela-sela carang-carang ori itu meluncurlah berpuluh-puluh lembing menghujani pasukan Ki Tambak Wedi.

Ki Tambak Wedi memang sudah menduga, bahwa mereka pada saatnya harus melawan senjata-senjata itu. Karena itu, maka mereka yang membawa perisai segera mengambil tempat dan berusaha menangkis serangan-serangan itu. Tetapi lembing itu meluncur terlampau keras, sehingga kadang-kadang beberapa orang yang kurang kuat, tergetar dan terdorong surut beberapa langkah ketika perisai-perisai mereka membentur lembing yang meluncur dengan derasnya.

Tetapi arus pasukan itu ternyata cukup deras. Meskipun satu-satu korban berjatuhan, namun mereka sama sekali tidak dapat ditahan lagi. Apalagi ketika pasukan panah Ki Tambak Wedi telah mengambil tempatnya dan membalas serangan-serangan itu dengan anak-anak panah mereka. Meskipun para pengawal berperisai carang ori yang rimbun, namun satu dua di antara anak-anak panah itu berhasil menembus dan melukai para pengawal.

“Pecah pintu itu,” teriak Ki Tambak Wedi yang memimpin langsung pasukannya.

Beberapa orang kemudian berlari-lari semakin dekat ke arah pintu regol. Bersama-sama mereka berusaha memecah pintu itu. Mereka mendorong sekuat-kuat tenaga mereka bersama-sama. Sementara kawan-kawan mereka melindungi mereka dengan serangan anak-anak panah kepada para pengawal.

Tetapi pintu regol itu adalah pintu yang sangat kuat, sehinga usaha itu pun tidak segera dapat berhasil.

“Cepat, pecahkan pintu,” perintah Ki Tambak Wedi.

Ki Wasi dan Ki Muni yang telah berdiri di muka pintu, itu menggelengkan kepalanya, “Terlampau sulit,” katanya, “pintu ini terlampau kuat.”

Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Sementara itu anak-anak panah meluncur terus dari kedua belah pihak. Bahkan kemudian beberapa orang telah mulai melontarkan obor mereka ke dalam pagar rum pun bambu ori.

“Bakar regol itu,” teriak Ki Tambak Wedi kemudian.

Ki Wasi mengerutkan keningnya. Namun perintah itu telah menjalar dari setiap mulut, “Bakar, bakar.”

Beberapa orang yang berusaha memecahkan pintu itu pun segera meloncat surut. Yang kemudian melangkah maju adalah mereka yang membawa obor di tangan mereka. Sambil berteriak-teriak mereka melemparkan obor-obor mereka ke pintu regol. Minyak yang ada di dalam obor-obor itu pun kemudian tumpah dan mengalir membasahi tlundak pintu. Sedang obor-obor itu pun saling membakar satu sama lain.

Dengan cepatnya maka api pun segera berkobar. Yang mula-mula terbakar adalah bumbung-bumbung bambu tangkai obor yang telah basah oleh minyak. Namun kemudian tlundak pintu yang sudah diperciki oleh minyak itu pun mulai terbakar pula. Sedikit demi sedikit, api merambat tanpa dicegah sama sekali.

Para pengawal yang melihat api mulai menjilat regol mereka segera bergerak. Tetapi Ki Gede Menoreh mencegah mereka sambil berkata, “Jangan mendekat. Kalian akan terpancing. Kalau kalian berusaha memadamkan api itu, maka kalian tidak akan dapat melihat api itu padam, karena leher kalian akan terpenggal.”

Para pengawal pun segera mengurungkan niatnya. Sekali-sekali mereka memandang Samekta dan Wrahasta di tempatnya. Tetapi agaknya mereka pun sependapat dengan Ki Gede Menoreh meskipun mereka belum membicarakannya. Ternyata bahwa Samekta pun sama sekali tidak memberikan perintah apa pun.

Sejenak kemudian maka api pun segera berkobar semakin tinggi. Pintu regol itu sedikit demi sedikit termakan oleh api yang melonjak sampai ke bubungan. Dan sejenak kemudian maka regol desa itu telah menjadi seonggok api yang berkobar-kobar seolah-olah akan menjilat langit.

Cahaya merah yang seram telah memancar ke sekitar. Onggokan api itu menyentuh wajah-wajah yang tegang di dalam dan di luar regol. Pasukan kedua belah pihak seolah-olah membatu di tempat masing-masing.

Namun Samekta dan Wrahasta beserta beberapa orang pengawal yang bertengger di atas anjang-anjang dengan alat-alat pelontar mereka, sebelah-menyebelah regol itu, tidak dapat menahan panas api itu lagi. Mereka terpaksa beringsut dan menjauh.

“Panggil Samekta,” perintah Ki Gede.

Seorang pengawal pun kemudian menemui Samekta yang basah oleh keringatnya yang seakan-akan terperas dari dalam tubuhnya.

Dengan tergesa-gesa ia pergi menghadap Ki Argapati.

“Pimpinan pasukanmu dari tempat ini. Aku akan mendampingimu,” berkata Ki Argapati.

“Tetapi apakah Ki Gede tidak beristirahat saja dahulu.”

Ki Argapati menggeleng. Justru nyala api itu seakan-akan telah menyingkirkan segala perasaan sakitnya. Bagaimanapun juga, maka ia harus menyiapkan diri, dalam keadaannya itu, untuk mempertahankan pemusatan pasukannya.

Samekta dan Wrahasta pun kemudian berdiri sebelah menyebelah Ki Argapati dan Pandan Wangi. Di tangan mereka telah tergenggam senjata masing-masing yang telanjang.

Sekilas Samekta melihat para pengawal yang kepanasan berdiri berlindung di balik pagar-pagar batu. Namun mereka tetap berada di tempat. Mereka tidak mau meninggalkan alat-alat pelontar lembing dan busur besar mereka. Apabila api itu nanti mereda, dan pasukan lawan akan menerobos masuk, maka adalah menjadi kuwajiban mereka untuk menahan arus itu. Apabila mereka gagal mengurangi derasnya arus lawan, maka para pengawal yang telah siap menunggu, setengah lingkaran di dalam regol itu pun pasti akan pecah, seperti pecahnya bendungan oleh banjir bandang. Karena itu, maka mereka merasa bertanggung jawab untuk menahan mereka sekuat-kuat tenaga.

Selama api itu masih berkobar, maka tidak akan ada seorang pun yang dapat melampauinya. Baik memasuki maupun keluar dari desa ini. Karena itu, selama api masih berkobar, mereka di kedua pihak hanya dapat menunggu. Sekali-sekali masih juga ada lontaran-lontaran lembing dari para pengawal di sebelah-menyebelah regol, namun jarak mereka menjadi terlampau jauh karena mereka tidak tahan lagi terhadap panasnya api.

“Jangan terpancing keluar,” desis Ki Argapati.

“Aku sudah mengeluarkan perintah itu,” sahut Samekta.

“Bagus. Apabila kita terpancing keluar dan menghalangi setiap alat pelontar itu, maka kita akan dibinasakan.”

“Ya,” Samekta mengangguk. Tetapi tatapan matanya tidak berkisar dari api yang seolah-olah menari-nari dalam buaian angin yang silir.

Sejenak kemudian, api pun mulai mereda. Karena itu, maka setiap orang di dalam regol segera mempersiapkan diri. Mereka harus mempergunakan setiap kekuatan untuk menahan arus pasukan Tambak Wedi. Mereka harus mengurangi jumlah mereka sebanyak-banyaknya.

Namun baik Ki Argapati, maupun Samekta dan para pemimpin yang lain tidak mengerti, bahwa Ki Tambak Wedi pun telah mengeluarkan perintah agar pasukannya pun jangan melampaui regol yang sedang terbakar itu.

“Terlampau berbahaya. Kita akan terlampau banyak memberikan korban, karena kita tidak mempersiapkan peralatan untuk itu.”

Ki Muni mengerutkan dahinya. Tetapi ia tidak membantah. Dalam keadaan serupa itu, Ki Tambak Wedi pasti tidak akan dapat diajaknya untuk bergurau. Orang tua itu pasti akan segera menjadi muak mendengar ia membual.

Tetapi meskipun demikian, ia bertanya, “Lalu apakah yang akan kita lakukan sesudah api itu padam?”

“Kita mengharap Argapati membawa pasukannya keluar.”

Ki Muni mengerutkan keningnya. Tetapi ia terdiam sambil mengawasi api yang semakin susut.

Ketika mereka telah dapat memandang melangkahi nyala api yang sudah menjadi semakin kecil, maka dalam keremangan cahaya kemerah-merahan, dalam jarak beberapa puluh langkah di luar dan di dalam regol, kedua pasukan itu saling dapat melihat, siapakah yang berdiri memegang pimpinan.

Ki Tambak Wedi menggeram ketika ia melihat samara-samar Ki Argapati berdiri tegak di samping puterinya yang telah menggenggam sepasang pedangnya. Kemudian pemimpin pasukan pengawal, Samekta dan Wrahasta.

“Tidak seorang pun yang dapat dibanggakan di dalam pasukan Argapati itu selain ia sendiri,” tanpa sesadarnya Ki Tambak Wedi menggeram.

“Nah, kenapa kita tidak akan memasuki regol?”

Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Kemudian dengan agak keras ia menyahut, “Kita bukan orang-orang yang paling bodoh di medan peperangan. Sudah aku katakan, korban akan terlampau banyak. Aku yakin bahwa aku akan dapat hidup, tetapi belum tentu dengan kau.”

Wajah Ki Muni yang kemerah-merahan karena sentuhan sinar api, menjadi semakin merah membara. Seandainya yang berkata demikian itu bukan Ki Tambak Wedi, maka ia pasti tidak akan membiarkan dirinya terhina. Tetapi terhadap Ki Tambak Wedi ia harus berpikir untuk kesekian kalinya sebelum ia berbuat sesuatu.

Karena itu, maka yang terdengar adalah gemeretak giginya. Namun ia tidak menjawab lagi. Kini matanya yang tajam memandang api yang semakin lama semakin surut, dan lamat-lamat dilihatnya pula Argapati berdiri tegak dengan tombok pendeknya di samping puterinya yang cantik Pandan Wangi. Namun Pandan Wangi itu seakan-akan sama sekali bukan seorang gadis lagi. Dengan sepasang pedang di tangannya, Pandan Wangi itu bagaikan bunga pandan yang dikitari oleh seonggok duri-duri yang tajam.

Di samping ayah beranak itu, berdirilah para pemimpin pasukan pengawal Tanah Perdikan. Hampir semuanya sudah dikenal oleh Ki Muni, Samekta, Wrahasta, dan yang lain lagi. Mereka bukannya orang-orang yang berhati seringkih batang ilalang. Tetapi mereka adalah orang-orang yang berpendirian teguh.

Ki Argapati yang berdiri di dalam regol pun melihat, siapa yang berada di pasukan lawan. Ia melihat pula betapa Ki Tambak Wedi dengan tegang memandang api yang semakin surut. Di sebelah-menyebelah berdiri kedua orang yang dikenalnya dengan baik pula, Ki Wasi dan Ki Muni.

Sebagai seorang yang memiliki pengamatan yang tajam, maka Ki Argapati melihat, bahwa agaknya Ki Tambak Wedi sama sekali tidak berhasrat untuk memasuki pedesan itu setelah api mereda. Karena itu, maka ia menjadi ragu-ragu di dalam hati, apakah sebenarnya yang akan dilakukan oleh iblis dari lereng Gunung Merapi itu.

Meskipun demikian Ki Argapati tidak dapat lengah. Ia harus tetap berada dalam kesiagaan yang tertinggi. Mungkin Ki Tambak Wedi sengaja membuat gelar yang meragukan lawannya, tetapi kemudian dengan tiba-tiba memukul tanpa ampun.

Bahwa Sidanti dan Argajaya tidak tampak di dalam pasukan itu pun membuatnya agak bercuriga. Sehingga perlahan-lahan ia bertanya kepada Samekta, “Bagaimana dengan regol-regol samping yang lain.”

“Aku telah menempatkan pengawasan yang cukup Ki Gede. Kalau terjadi sesuatu di sana, mereka pasti akan memberikan isyarat.”

Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya, “Aku tidak melihat Sidanti dan Argajaya di ujung barisan mereka.”

“Mungkin mereka masing-masing memimpin sayap pasukan itu.”

Ki Argapati mengangguk-angukkan kepalanya. Tetapi terasa hatinya menjadi terlampau pedih. Jauh lebih pedih dari luka badaniah di dadanya. Adiknya sendiri ternyata telah melawannya pula. Bahkan anak yang sejak kecil dipeliharanya, Betapapun ia menghadapi kenyataan yang paling pahit. Kini, seperti memelihara anak-anak harimau, ia harus berhadapan sebagai lawan, setelah harimau itu menjadi besar dan kuat.

Sementara itu, agak jauh dari nyala api regol yang telah susut, tiga orang berdiri termangu-mangu di tempatnya. Seakan-akan tanpa berkedip mereka memandangi keadaan yang sedang berkembang di sebelah menyebelah regol yang sedang dimakan api itu.

Dengan tiba-tiba saja salah seorang dari mereka berkata, “Apalagi yang kita tunggu?”

Seorang tua yang ada di antara mereka berpaling. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Apa yang akan kau lakukan?”

“Guru,” sahut orang yang pertama, seorang anak muda yang gemuk, “buat apa Guru memanggil aku dan berlari-lari kemari? Aku kira lebih baik berbaring di gubug itu daripada berdiri di sini tanpa berbuat sesuatu.”

Gurunya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian jawabnya, “Kita melihat keadaan. Kalau kita tergesa-gesa berbuat sesuatu, mungkin kita akan melakukan kesalahan. Karena itu, kita harus memperhitungkan setiap kemungkinan yang dapat terjadi. Apakah tindakan kita itu menguntungkan atau justru sebaliknya.”

“Tetapi sebentar lagi api itu akan padam. Pasukan Tambak Wedi akan segera menghambur masuk ke dalam desa itu dan memecahkan pertahanan Argapati. Betapapun juga Ki Argapati masih dalam keadaan luka. Sudah tentu ia tidak akan dapat berhadapan dengan Ki Tambak Wedi.”

“Tambak Wedi bukan iblis Gupala,” jawab orang tua itu, “ia adalah manusia biasa seperti kita. Ujung lembing yang dilontarkan dari alat-alat pelontar itu, apabila mengenainya, akan menyobek kulitnya pula. Meskipun ia mempunyai beberapa kelebihan dari orang kebanyakan karena ia mesu diri, namun pada suatu batas tertentu, ia pun akan dapat dilumpuhkan.”

“Meskipun demikian, Guru,” sahut Gupala, “ia mempunyai pasukan pula. Pasukannyalah yang akan dijadikannya perisai dari serangan-serangan lembing dan anak panah.”

“Kau benar. Tetapi aku kira Tambak Wedi bukan seorang yang terlampau bodoh untuk mengorbankan terlampau banyak orang-orangnya. Aku tidak melihat persiapan yang cukup untuk memasuki regol itu.” Orang tua itu berhenti sejenak, lalu, “Seandainya demikian, Tambak Wedi masih memerlukan waktu. Seandainya api itu padam, maka Tambak Wedi masih harus menunggu lagi. Orang-orangnya tidak akan dapat berjalan di atas bara sementara alat-alat pelontar dari dalam regol menyerang mereka seperti hujan. Kalau memang itu yang dikehendakinya aku tidak tahu.”

Gupala menarik keningnya. Ia tidak berani membantah lagi. Betapapun hatinya bergolak, namun ia berdiri saja dengan gelisahnya. Sekali-sekali dirabanya cambuknya yang melingkar di lambung. Namun kemudian ditimang-timangnya sehelai pedang yang didapatkannya dari lawannya.

“Seandainya Ki Tambak Wedi memang merencanakan untuk masuk ke dalam lingkungan bambu ori itu, maka pasukannya pasti dilengkapi dengan perisai jauh lebih banyak dari yang ada sekarang.”

Gupala mengangguk-anggukkan kepalanya. Sedang anak muda yang seorang lagi berdiri saja seolah-olah membeku. Namun hatinya dicengkam oleh kecemasan dan kegelisahan. Meskipun ia tidak berkata sepatah kata pun, namun sebenarnya perasaannya tidak jauh berbeda dengan adik seperguruannya. Tetapi ia masih dapat menahan diri tanpa menyatakan perasaannya itu.

Sejenak mereka bertiga terdiam sambil menahan nafas. Api yang menelan regol desa itu sudah menjadi semakin surut. Namun belum ada tanda-tanda, bahwa Ki Tambak Wedi akan menyerang memasuki pusat pertahanan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu.

“Aku hampir pasti bahwa Ki Tambak Wedi tidak akan memasuki regol,” berkata orang tua itu tiba-tiba.

Kedua anak-anak muda yang berdiri di sisinya menganggukkan kepala mereka. Mereka pun tidak melihat tanda-tanda itu. Namun mereka tidak menyahut.

Dalam pada itu, baik orang-orang di dalam pasukan Ki Tambak Wedi maupun Ki Argapati, dengan susah payah menahan diri masing-masing untuk tidak terdorong oleh perasaan mereka. Tangan-tangan mereka telah gemetar dan dada mereka pun telah bergelora. Tetapi masing-masing tidak akan dapat melanggar perintah dari pemimpin tertinggi mereka, bahwa masing-masing tidak boleh melangkahi regol yang kini telah menjadi bara.

Kedua belah pihak berdiri termangu-mangu menunggu perkembangan keadaan. Ki Tambak Wedi mengharap para pengawal itu terpancing keluar. Apabila demikian, maka mereka akan dapat dibinasakan, karena kekuatan Ki Tambak Wedi tidak akan berkurang karena serangan-serangan alat-alat pelontar yang cukup berbahaya itu.

Sedangkan Ki Argapati mengharap pasukan Ki Tambak Wedi itu memasuki pertahanannya. Selama mereka meloncat-loncat menghindari bara yang akan menyengat kaki mereka, maka alat-alat pelontar lembing, busur-busur dan bahkan bandil-bandil besar akan dapat mengurangi kekuatan lawan.

Tetapi hingga api menjadi semakin surut, dan bahkan hampir padam kedua belah pihak sama sekali tidak bergerak. Mereka berdiri di tempat masing-masing dalam kesiagaan penuh.

Sekali-kali terdengar beberapa dari mereka menggeram. Tangan-tangan mereka menjadi gemetar dan kaki-kaki mereka seakan-akan tidak dapat mereka tahankan lagi untuk meloncat menyergap lawan yang telah berada di depan hidung mereka.

“Argapati,” tiba-tiba terdengar suara Ki Tambak Wedi melengking. “Kenapa kau tidak berbuat sesuatu pada saat kami membakar regol pertahananmu? Apakah regol itu memang sudah tidak kau perlukan lagi atau kau sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk mencegahnya?”

Yang terdengar adalah geram Wrahasta dan para pengawal yang lain. Namun Ki Argapati sendiri tersenyum sambil menjawab keras-keras, “Masuklah Ki Tambak Wedi. Pintu kami telah terbuka. Apa yang kau tunggu lagi? Bukankah kau ingin merebut kedudukan kami yang terakhir ini? Ayolah, jangan segan-segan kalau kau memang merasa cukup mampu.”

“Persetan!” jawab Ki Tambak Wedi. “Kau sangka aku tidak dapat merebutnya dalam sekejap?”

“Kenapa tidak kau lakukan? Apakah kau belum mempersiapkan perisai yang cukup untuk menerobos pasukan pelontar lembing kami? Atau kau merasa bahwa sampai orangmu yang terakhir pasti akan terhenti di regol yang telah menjadi abu itu?”

Ki Tambak Wedi menggeram. Kemudian terdengar ia berteriak, “He. Apakah lukamu masih belum sembuh benar?”

“Kenapa kau bertanya tentang lukaku? Ki Tambak Wedi, aku sudah siap menyambutmu. Marilah, aku persilahkan kalian masuk.”

Ki Tambak Wedi tidak segera menyahut. Namun dicobanya untuk melihat wajah-wajah di sekitar Ki Argapati pada sisa-sisa cahaya api yang telah memusnahkan regol desa itu. Tetapi ia tidak menemukan orang yang dicarinya.

Karena itu, setelah ia yakin, bahwa yang dicarinya tidak ada, maka ia tidak merasa perlu untuk berada di tempat itu terlampau lama. Ia telah memberikan kejutan yang pasti akan berpengaruh pada para pengawal. Karena itu, maka orang tua itu pun kemudian berkata lantang, “Tidak Argapati. Kali ini aku tidak akan singgah di desa yang sunyi dan mati ini. Aku hanya ingin menunjukkan kepadamu bahwa kami adalah orang-orang yang mempunyai rasa perikemanusiaan yang tebal. Kami datang sekedar memberi kau peringatan. Tetapi kalau kau masih juga berlaku bodoh, maka aku tidak akan memaafkanmu lagi. Karena itu, dengarlah Argapati. Malam ini aku merasa perlu untuk mengasihani kau dan orang-orangmu yang tidak tahu-menahu alasan apakah yang kau pegang sampai saat ini, sehingga kau masih tetap berkepala batu. Tetapi aku tidak akan berbuat demikian untuk seterusnya. Aku akan mengepung tempat ini rapat-rapat dalam dua hari dua malam. Kalau kau tidak berubah pendirianmu, maka pada hari yang ketiga, bukan saja regolmu yang kami bakar, tetapi kami akan membakar seluruh rum pun pering ori ini. Memang sulit untuk membakar rum pun bambu yang masih berdiri. Tetapi kami yakin bahwa kami mampu melakukannya. Seterusnya, desa yang sunyi dan mati ini akan menjadi kuburan yang luas bagi kalian yang dungu.”

Wrahasta, yang darahnya masih terlampau cepat mendidih, tidak dapat bersikap terlampau tenang seperti Ki Argapati. Tetapi ketika ia bergerak maju, tangan Ki Argapati menggamitnya. Dengan wajah yang tegang Wrahasta memandang Ki Argapati yang masih saja tersenyum. Ia tidak mengerti kenapa hinaan itu ditanggapinya acuh tak acuh saja.

“Tenanglah,” desis Ki Argapati. Kemudian kepada Ki Tambak Wedi ia berkata, “Apa pun yang kau katakan, Ki Tambak Wedi. Tetapi kami tahu apakah yang sebenarnya telah menahanmu. Meskipun demikian, terserahlah kepadamu. Kalau kau ingin kembali dahulu, mempersiapkan dirimu, silahkanlah. Aku akan menunggu. Sehari, dua hari, atau hari yang ketiga seperti yang kau katakan.”

Ki Tambak Wedi menggeram. Tetapi ia mempunyai cukup pengalaman, sehingga ia tidak mudah lagi dibakar oleh perasaannya, seperti juga Ki Argapati. Karena itu, maka jawabnya, “Baiklah. Aku akan kembali. Di hari ketiga, aku akan datang. Mudah-mudahan kau sudah sembuh. Sehingga kau tidak akan mengecewakan aku.”

Ki Argapati tidak menjawab. Dengan tajamnya diawasinya segala macam gerak gerik iblis dari lereng Gunung Merapi itu. Namun agaknya Ki Tambak Wedi benar-benar menarik pasukannya. Selangkah demi selangkah mereka mundur. Semakin lama semakin jauh dari mulut lorong yang sudah tidak beregol lagi.

Sementara itu Ki Muni mendekatinya sambil berkata, “Kenapa kita harus menunggu tiga hari lagi? Itu sikap yang sangat bodoh.”

Ki Tambak Wedi tidak segera menjawab. Justru kepalanya tertunduk seolah-olah sedang menghitung langkah kakinya. Namun agaknya ia sedang berpikir tentang pasukannya dan pasukan Argapati. Dengan cermat ia mencoba menilai keseimbangan kedua pasukan itu.

“Ki Tambak Wedi,” Ki Muni yang masih mengikutinya bertanya lagi, “kenapa kita menunggu tiga hari lagi? Telah di dayung jaring dilepaskan. Belum tentu kalau kelak akan menetas.”

Ki Tambak Wedi berpaling, tetapi ia tidak segera menjawab.

“Bukankah semudah meremas ranti?” berkata Ki Muni pula. “Sekarang kita melepaskannya dan memberitahukan untuk datang lagi pada hari yang ketiga. O, alangkah bodohnya. Kita sendirilah yang meminta kepada mereka untuk menggali lubang kubur kita.”

“Cukup!” tiba-tiba Ki Tambak Wedi menggeram. “Aku kira kau mampu berpikir Ki Muni, ternyata kau lebih bodoh dari orang-orang Menoreh itu. Apa kau sangka aku sudah gila, dengan melakukan kebodohan itu? Aku tidak akan menunggu sampai tiga hari seperti yang aku katakan. Hanya kerbaulah yang menyerahkan hidungnya untuk dicocok,”

“Jadi?”

“Aku akan segera mempersiapkan pasukan. Begitu aku siap, aku akan kembali. Besok atau selambat-lambatnya lusa. Tetapi sebelum hari ketiga. Aku harap Argapati benar-benar bodoh sehingga menunggu sampai hari yang aku katakan.”

Ki Muni mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil bergumam, “O, akulah yang bodoh.”

“Tetapi,” tiba-tiba Ki Wasi memotong, “itu bukan kebodohan. Ki Argapati adalah seorang laki-laki yang jujur. Ia tidak pernah bertindak licik. Karena itu, maka orang seperti Ki Argapati terlampau mudah ditipu dan dijebak.”

Ki Tambak Wedi tertegun sejenak, sementara Ki Wasi melanjutkan, “Seperti saat-saat yang telah ditentukan di bawah Pucang Kembar.”

“Itu bukan suatu kelicikan,” bantah Ki Tambak Wedi, “dalam peperangan kita dapat bersiasat. Kita tidak harus bertempur seorang lawan seorang sampai orang yang terakhir. Itu terlampau bodoh. Dalam peperangan kita dapat saja membunuh siapa saja dalam barisan lawan. Mungkin aku akan membunuh seorang pengawal yang tidak berarti, atau Pandan Wangi harus berkelahi perpasangan melawan Ki Peda Sura. Apakah itu licik? Pengecut dan tidak jantan? Soal pribadi adalah lain dengan soal peperangan. Di peperangan tidak ada pantangan untuk membuat siasat dengan cara apa pun.”

Ki Wasi tidak menyahut. Ia takut kalau kemudian dapat menimbulkan salah paham. Karena itu, maka ia pun berdiam diri sambil melangkah menjauhi regol yang kini telah menjadi abu.

Beberapa langkah kemudian, Sidanti dan Argajaya telah menunggu. Tanpa ditanya lagi Sidanti segera berkata, “Aku tidak melihat seorang pun mendekati medan.”

Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku kira semua itu adalah sekedar permainan Ki Argapati saja dengan membuat beberapa orang bercambuk untuk mengecilkan hati kami. Kini aku yakin, tidak ada orang bercambuk di tlatah Menoreh. Orang yang menghentikan pasukan berkuda dan yang berhasil menghindari gelang-gelang besiku pasti Ki Argapati yang menyamar menjadi orang yang tidak dikenal.”

Sidanti tidak menyahut. Tanpa sesadarnya ia berpaling ke arah Ki Argajaya. Tetapi Ki Argajaya pun tidak mengucapkan sepatah kata pun.

“Nah, kalau begitu,” berkata Ki Tambak Wedi, “kita sudah pasti. Kita akan menghancurkan mereka di dalam sarangnya. Begitu kita sampai di induk kademangan, kita harus segera menyiapkan diri. Kita akan segera kembali dengan kelengkapan yang matang untuk memasuki pertahanan mereka, menembus jaring-jaring alat-alat pelontar yang mereka pasang di sebelah-menyebelah pintu masuk.”


Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menyahut.

“Sekarang kita kembali. Tidak ada waktu untuk beristirahat lagi. Sejak malam ini kita harus mempersiapkan semua alat-alat yang pasti akan kita perlukan. Kalau mungkin besok malam kita pergi, atau selambat-lambatnya lusa. Kita akan memilih saat yang sebaik-baiknya.”

Tidak ada seorang pun lagi yang menjawab. Semua berjalan dengan kepala tunduk sambil menahan kecewa di hati masing-masing. Apalagi beberapa yang sudah membayangkan, kemungkinan memecah pertahanan itu, dan menemukan harta benda yang tidak ternilai harganya, yang dikumpulkan oleh orang-orang Menoreh yang sedang mengungsi.

Sementara itu, Gupala, Gupita, dan gurunya masih berdiri saja di tempatnya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya gurunya berkata, “Bukankah dugaan kita tepat. Ki Tambak Wedi tidak akan memasuki regol itu malam ini. Tetapi dengan demikian ia sudah mendapat gambaran tentang kekuatan kedua belah pihak. Menurut perhitungan Ki Tambak Wedi. Ki Argapati sudah mengerahkan semua kekuatannya di hadapan regol yang terbakar itu. Agaknya usahanya itu berhasil, dan dengan demikian, Ki Tambak Wedi tinggal menghitung orang-orangnya, apakah ia merasa mampu untuk memecah pertahanan lawannya itu.”

Gupala dan Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Tetapi kita tidak tahu, kapan Tambak Wedi akan kembali,” gumam Gupita kemudian.

“Pasti secepatnya,” jawab gurunya. “Tetapi kita memang tidak tahu, kapankah secepatnya itu.”

Gupala yang sejak tadi berdiam diri saja sambil mengawasi bara yang sudah hampir padam, tiba-tiba menguap. Katanya, “Aku benar-benar sudah mengantuk. Perang gagal itu membuat aku serasa sakit dada. Untunglah aku tidak ada di antara mereka. Kalau aku ada di antara mereka mungkin aku sudah pingsan.”

“Nah, bukankah kau sudah mengaku sendiri?” sahut gurunya. “Itulah sebabnya, aku kurang memberimu kesempatan. Kau mudah sekali menjadi pingsan. Apalagi kalau kau melihat bukan sekedar perang gagal.”

“Apa itu guru?” bertanya Gupala.

“Yang lain. Tentu yang bukan sejenis peperangan. Puteri Kepala Tanah Perdikan itu barangkali.”

Sekali lagi Gupala menguap. Diusap-usapnya keningnya sambil berkata, “Gadis itu pasti dipingit.”

Gurunya tidak menyahut, tetapi ia tersenyum. Dipandanginya wajah muridnya yang gemuk itu. Namun agaknya Gupala tidak banyak menaruh perhatian.

“Gadis itu membawa sepasang pedang,” desis Gupita.

Gupala berpaling. “Kenapa dengan sepasang pedang?”

“Kalau gadis itu dipingit di dalam bilik buat apa kira-kira sepasang pedang itu?”

Gupala mengerinyitkan alisnya. Namun kemudian ia tersenyum sambil menjawab, “Ya. Gadis itu tentu tidak dipingit.”

Gupita pun tertawa pula. Sekilas terbayang wajah gadis itu.

“Lalu, apakah yang akan kita kerjakan sekarang?” tiba-tiba saja Gupala bertanya.

“Kembali,” jawab gurunya.

Gupala menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya, “Lebih baik tidur di rumah daripada digigit nyamuk di sini.”

“Tetapi di rumah kita tidak dapat melihat regol desa itu terbakar,” sahut Gupita.

“Aku juga dapat membakar regol,” jawab Gupala.

Gupita tidak menjawab lagi. Gurunya ternyata telah melangkah meninggalkan tempat itu, kembali ke gubug mereka. Kedua muridnya itu pun kemudian mengikutinya pula.

Sementara itu, yang berada di dalam lingkaran pering ori, ternyata dicengkam oleh kekecewaan pula. Mereka mengharap Ki Tambak Wedi memasuki desanya, kemudian pasukannya akan dihujani dengan alat-alat pelontar lembing dan busur-busur besar yang telah mereka persiapkan. Tetapi ternyata pasukan Ki Tambak Wedi itu ditarik mundur.

Tetapi dalam pada itu, ketika Ki Tambak Wedi dan pasukannya telah hilang di dalam kegelapan, terasa dada Ki Argapati seakan-akan retak. Terasa pedih dan nyeri menyayat sampai ke pusat jantung, sehingga sejenak ia memejamkan matanya sambil berdesis. Kedua tangannya memegang dadanya yang sakit itu setelah menyerahkan tombaknya kepada puterinya.

“Ayah, kenapa Ayah?”

“Dadaku,” sahut Ayahnya perlahan-lahan sekali. Dengan sekuat tenaga Ki Argapati bertahan supaya tidak menimbulkan kesan yang kurang baik pada orang-orangnya.

“Bagaimana dengan luka Ayah.”

Ki Argapati menggeleng. Katanya, “Aku akan beristirahat supaya pada saatnya aku dapat menghadapi Tambak Wedi.”

Dengan gelisah Pandan Wangi kemudian mengikuti ayahnya yang berjalan lambat sekali kembali ke rumah tempat ia menumpang. Tetapi Ki Argapati tidak mau menimbulkan kesan, bahwa ia tidak mampu untuk berjalan sendiri sampai ke rumah itu. Apabila demikian, maka anak buahnya pasti akan bertanya, “Lalu, apakah ia dapat bertempur melawan Ki Tambak Wedi?”

Betapapun dadanya dihentak oleh pedih dan nyeri, namun ia berusaha berjalan sendiri, meskipun perlahan-lahan. Tetapi Ki Argapati itu terkejut ketika tangannya terasa menjadi hangat. Ketika ia memandangi telapak tangannya, maka jantungnya berdesir. Ia melihat sepercik warna merah di telapak tangannya itu.

“Hem,” ia menarik nafas dalam-dalam, “agaknya luka ini berdarah lagi.”

Namun meskipun demikian, Ki Argapati tidak mengatakannya kepada siapa pun juga. Dengan sekuat tenaganya ia bertahan untuk tetap berjalan sendiri sampai ke dalam biliknya.

Wrahasta dan Samekta yang mengikutinya, masuk pula ke dalam bilik itu. Tetapi belum lagi mereka duduk, Ki Argapati telah berkata, “Awasilah orang-orangmu. Jangan kau tinggalkan mereka sekejap pun. Salah seorang dari kalian harus ada di antara mereka.” Ki Argapati itu diam sejenak. Kemudian tiba-tiba saja ia bertanya, “Dimana Kerti sekarang?”

“Ia berada bersama pasukan yang melindungi para pengungsi.”

Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak berkata apa pun lagi.

“Ki Gede,” berkata Samekta, “aku minta diri. Kalau Ki Gede memerlukan sesuatu, aku harap Ki Gede memanggil.”

“Baik,” jawab Ki Gede singkat.

Maka sejenak kemudian Samekta dan Wrahasta pun minta diri, kembali ke tempat para pemimpin pasukannya berkumpul.

Sepeninggal Samekta, Wrahasta dan para pemimpin yang mengikutinya, Ki Argapati segera merebahkan dirinya di pembaringannya. Sambil menyeringai ia berkata, “Pandan Wangi. Tolonglah, ambilkan semangkuk air panas. Aku akan melihat lukaku. Mungkin luka ini akan kambuh lagi. Karena itu, sebelumnya aku akan membersihkannya dan memberinya obat yang baru.

Pandan Wangi pun segera berlari ke belakang. Meskipun ia membawa sepasang pedang, namun ia sama sekali tidak canggung melakukan perintah ayahnya. Sejenak kemudian, maka gadis itu pun telah membantu ayahnya membuka baju dan kemudian membersihkan luka-lukanya yang ternyata memang mulai berdarah lagi meskipun tidak terlampau banyak.

Dengan hati-hati Ki Argapati membersihkan luka itu, kemudian menaburinya dengan obat yang baru.

Sejenak, luka itu justru terasa seolah-olah terbakar. Namun kemudian perasaan itu pun semakin susut. Akhirnya, ia merasa bahwa luka-lukanya akan menjadi segera baik kembali. Meskipun demikian Ki Argapati tidak mau bangkit lagi dari pembaringannya.

Pandan Wangi lah yang kemudian menjadi penghubung antara ayahnya dan Samekta apabila diperlukan. Tetapi sebagian terbesar waktunya, dipergunakannya untuk menunggui ayahnya. Melayaninya dan membantunya apabila diperlukan.

Demikianlah setiap pihak mempunyai persoalannya sendiri-sendiri. Ki Tambak Wedi dengan persiapannya untuk merebut pemusatan pasukan Argapati. Gembala tua dengan dua orang muridnya yang menghitung-hitung waktu, kapan mereka harus mulai turun di medan terbuka. Sedang Ki Argapati masih sibuk dengan luka-lukanya, meskipun ia sama sekali tidak mengabaikan pertahanannya.

Namun di samping pihak-pihak itu, tanpa diketahui oleh mereka, seorang anak muda bersama dua orang yang lain telah memasuki tlatah Menoreh dengan diam-diam.

Dengan ragu-ragu mereka berjalan melalui desa-desa kecil dan pedukuhan yang agak besar di daerah Tanah Perdikan Menoreh.

Namun suasananya telah membuat mereka menjadi ragu-ragu. Desa demi desa yang telah mereka lalui, membayangkan suasana yang suram. Kecemasan dan ketakutan mewarnai kehidupan penghuni-penghuninya, sehingga sangat sulit bagi mereka untuk mendapatkan keterangan tentang Tanah Perdikan yang besar ini.

“Paman,” berkata anak muda itu, “aku tidak mengerti, kenapa suasana daerah ini menjadi sangat asing?”

Kedua pengikutnya mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya, Ngger,” jawab salah seorang dari mereka. “Aku bercuriga.”

“Agaknya kedatangan Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya ke tanah ini telah membuat suasana menjadi tegang,”

“Apakah Tanah Perdikan ini sedang mengadakan persiapan untuk suatu tindakan balasan terhadap Pajang?”

Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Kita akan terjerumus ke dalam suatu pusaran yang tidak menentu. Apabila benar Argapati akan membela anaknya dan berhadapan dengan Pajang, maka kita akan berdiri di atas persimpangan jalan yang sulit. Kita tidak akan dapat berpihak kepada Pajang, tetapi juga tidak kepada Menoreh,”

Kedua pengikutnya itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Tetapi aku ingin bertemu lebih dahulu dengan Kiai Gringsing dan kedua muridnya.”

“Apakah Angger pasti bahwa mereka ada di sini?”

“Hampir pasti.”

Kedua pengikutnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu salah seorang dari mereka berkata, “Tetapi, kemana kita harus mencari mereka di Tanah seluas ini?”

“Aku ingin tahu, apakah yang sudah terjadi di atas Tanah ini.”

“Ya, seharusnya kita tahu, di mana kita berada dan dalam keadaan bagaimana.”

Anak muda itu tidak menjawab. Namun kemudian mereka pun meneruskan perjalanan mereka, dan berusaha mendengar apa yang telah terjadi.

Betapapun sulitnya, namun akhirnya mereka mengetahui, apakah yang sebenarnya terjadi di atas Tanah Perdikan ini, bahwa anak laki-laki Ki Argapati telah melawan ayahnya sendiri.

“Hampir tidak masuk akal,” desis anak muda itu, “agaknya Argapati begitu setianya terhadap Pajang, sehingga ia bersedia mengorbankan anak laki-lakinya sendiri.”

Kedua pengikutnya tidak menjawab, tetapi mereka mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Aku tidak mengerti, apakah yang telah mendorong Argapati untuk mengambil sikap itu.”

“Mungkin Argapati tidak ingin melihat Tanahnya berbenturan dengan Pajang. Menurut perhitungannya, maka Menoreh pasti akan hancur Betapapun besarnya tanah perdikan ini. Argapati tidak akan berani melihat mayat yang akan berhamburan di segala sudut tanah perdikannya yang kaya ini.”

Anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi kemudian ia bergumam, “Atau karena Argapati tidak berani melihat, ia sendiri akan tergeser dari kedudukannya. Kalau ia melawan Pajang, maka atas wewenang yang ada sekarang, Pajang dapat mencabut hak yang telah diterima oleh Argapati dari raja-raja sebelumnya, atau hak yang diberikan oleh Pajang sendiri.”

Kedua pengikutnya tidak menjawab.

“Aku harus mendapat lebih banyak keterangan mengenai tanah ini. Tetapi aku harus bertemu dengan Kiai Gringsing, Agung Sedayu, dan Swandaru.”

“Kita harus mencari mereka. Kita harus menjelajahi Tanah ini dari ujung sampai ke ujung.”

Anak muda itu tersenyum. Katanya, “Kau agaknya sama sekali tidak berminat.”

“Bukan, bukan begitu maksudku, Ngger. Tetapi aku sekedar memperingatkan, bahwa pekerjaan ini bukanlah pekerjaan yang ringan.”

Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Aku akan menghindarkan diri dari kemungkinan terlibat dalam persoalan di tanah perdikan ini untuk sementara, sampai aku dapat meyakinkan diri bahwa ada perlunya aku mencampurinya. Karena itu, maka kita harus mempersiapkan diri untuk tinggal di Tanah ini sebagai apa pun juga. Kita akan mencari tempat yang tersendiri, membuat tempat tinggal yang sederhana dan sambil menunggu keadaan di tanah ini menjadi tenang, aku akan mencari Kiai Gringsing.”

Kedua pengikutnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka sudah mengenal betul anak muda itu, sehingga mereka tidak dapat berbuat lain daripada mengiakannya.

Dengan demikian, maka ketiganya pun segera mencari tempat yang baik untuk membuat gubug, sekedar melindungkan diri dari panas dan embun. Namun mereka juga tidak mau tinggal di tempat yang terlalu dekat dengan padesan, yang dapat menumbuhkan banyak persoalan pada diri mereka. Mereka lebih senang tinggal di pinggir hutan yang tidak terlampau lebat. Mereka sadar, bahwa setiap saat seekor binatang yang buas akan lewat di dekat gubug mereka. Tetapi mereka, apalagi bersama-sama, seorang demi seorang pun sama sekali tidak akan gentar. Mereka dengan senjata masing-masing akan dapat melawan harimau atau jenis binatang yang lain. Sedang seandainya ada sekawanan anjing hutan yang berjumlah ratusan sehingga mereka tidak akan mampu mengusirnya, maka mereka akan dapat memanjat batang-batang pohon dengan tangkasnya.

Dari tempat itulah, mereka akan mencari seseorang yang mereka sebut bernama Kiai Gringsing, Agung Sedayu, dan Swandaru Geni, yang menurut pendengaran mereka berada di tlatah Menoreh.

Sementara itu di sebuah gubug yang lain, seorang gembala tua duduk melingkari perapian berdama dua orang murid-muridnya. Mereka hampir tidak sabar menunggu ujung malam yang terasa terlampau panjang.

“Tidurlah kalian,” berkata orang tua itu. Tetapi kedua muridnya menggeleng. Anak yang gemuk sambil mengusap matanya berkata, “Sebentar lagi, Guru.”

Karena itu, maka mereka bertiga tidak beranjak dari tempatnya. Mereka duduk sambil memeluk lututnya. Sekali-sekali anak muda yang gemuk itu masih saja menguap sambil mengusap-usap matanya. Tetapi ia masih juga duduk di tempatnya.

“Tidurlah, Gupala,” berkata gurunya sekali lagi.

Gupala menggelengkan kepalanya. Tetapi ia bangkit berdiri. Dengan malasnya ia berjalan ke kebun di samping gubugnya. Di cabutnya beberapa batang pohon ketela. Meskipun masih belum cukup besar, namun ubinya dibawa juga dan dimasukkannya ke dalam bara api perapiannya.

“Tiba-tiba saja aku menjadi lapar,” desisnya.

Anak muda yang seorang lagi, menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berkata, “Kau masih juga sempat merasakan lapar.”

Gupala tidak menyahut, namun tangannya sibuk dengan menimbuni ubinya dengan abu yang panas.

Dengan demikian maka mereka pun terlempar dalam kesenyapan, Gupita duduk diam sambil memandangi api yang masih menyala di beberapa bagian. Kemudian dipandanginya abu yang teronggok di atas bara, tempat timbunan ubi Gupala.

Namun kedua anak-anak muda itu terkejut ketika mereka melihat guru mereka memiringkan kepalanya. Kemudaan menundukkan wajahnya. Tetapi dengan demikian kedua muridnya mengerti, bahwa gurunya sedang memperhatikan sesuatu.

Kedua anak-anak muda itu pun kemudian memusatkan pendengaran mereka seperti yang dilakukan oleh gurunya. Dan sebenarnyalah mereka mendengar desir langkah kaki semakin lama semakin mendekat.

Dengan isyarat gurunya memberitahukan kepada kedua muridnya supaya bersiaga. Mungkin mereka akan menghadapi kemungkinan yang tidak terduga-duga sebelumnya.

Ternyata langkah kaki itu pun semakin lama menjadi semakin dekat. Namun, gembala tua itu seakan-akan sama sekali tidak mengacuhkannya. Kedua muridnya pun masih duduk di tempatnya. Tetapi di bawah kain panjang, tangan-tangan mereka meraba-raba senjata yang melingkar di bawah baju mereka, meskipun mereka menancapkan golok di samping tempat duduk masing-masing. Golok yang mereka dapatkan dari lawan-lawan mereka yang menjadi pingsan ketika mereka berkelahi.

Langkah kaki itu menjadi semakin dekat. Dekat sekali. Ternyata bahwa langkah kaki itu sudah cukup memberitahukan, bahwa yang datang itu pun bukan orang kebanyakan.

Seperti yang telah mereka perhitungkan, maka tiba-tiba sesosok bayangan muncul dari dalam gerumbul-gerumbul liar di halaman itu. Dengan sebuah tombak pendek tertunduk seorang anak muda berjalan mendekati mereka sambil berkata, “Jangan berbuat sesuatu. Aku tidak bermaksud jahat.”

Dalam keremangan api yang kemerah-merahan ketiganya serentak berpaling. Mereka melihat seorang anak muda yang berdiri di paling depan, kemudian dua orang lain di belakangnya.

Laki-laki tua di samping perapian itu mengerutkan keningnya. Meskipun hanya lamat-lamat, namun ia dapat melihat wajah anak muda itu, sehingga dengan serta-merta ia terloncat berdiri sambil berdesis, “Angger Mas Ngabehi Loring Pasar. Benarkah?”

Anak muda itu tertegun. Cahaya api yang suram itu telah menjadi semakin suram, sehingga untuk sejenak ia berdiri saja termangu-mangu. Namun sejenak kemudian anak muda itu berkata, “Kiai, kaukah itu, Kiai?”

Orang tua itu tidak segera menjawab. Kedua muridnya pun kini telah berdiri pula dengan tegangnya. Bahkan anak muda yang gemuk, yang sedang menunggui ubinya, telah menyambar tangkai golok di sampingnya. Namun mereka pun kemudian berdiri dengan tegangnya memandangi anak muda yang bersenjatakan sebuah tombak pendek. Pada tangkai tombak itu berjuntai seutas tali yang berwarna kuning keemasan.

“He,” tiba-tiba Gupala berteriak, “jadi Tuan telah mendapatkan tali semacam itu lagi?”

Gurunya berpaling sambil mengerutkan alisnya. Ternyata perhatian Gupala pertama justru kepada tali yang berwarna keemasan itu.

“Terlalu kau,” gumam Gupita,

Tapi Gupala tidak memperhatikannya. Beberapa langkah ia maju. Dengan wajah berseri-seri ia berkata, “Tuan agaknya sengaja menyusul kami. Taliku yang berwarna emas itu ketinggalan pada tangkai pedangku yang terbuat dari gading. Sekarang Tuan akan memberikannya lagi kepadaku bukan?”

Wajah anak muda yang bersenjata tombak itu pun menjadi berseri-seri pula. Dengan nada yang tinggi ia berkata, “He, ternyata aku menemukan kalian di sini.”

“Marilah,” berkata gembala tua itu, “kami persilahkan kalian duduk di sini saja. Gubug kami tidak akan dapat memuat kita bersama-sama.”

“Terima kasih. Aku lebih senang duduk menghangatkan badan di samping perapian itu.”

“Marilah,” sahut orang tua itu.

Anak muda itu memberi isyarat kepada kedua kawannya untuk mendekat. Mereka pun kemudian bersama-sama duduk, melingkar di tepi perapian yang justru telah hampir padam. Namun Gupita kemudian menaburkan seonggok ranting-ranting kecil ke atasnya, sehingga api pun segera berkobar kembali.

“He,” teriak Gupala, “ubiku akan menjadi abu.”

Gupita tidak menyahut. Tetapi ia pun duduk di dekat perapian itu juga, sementara Gupala sibuk menyingkirkan ubi bakarnya.

“Kenapa Angger berada di tempat ini?” bertanya gembala tua itu kemudian kepada Mas Ngabehi Loring Pasar.

“Aku sengaja mencari kalian.”

“Dari manakah Angger tahu, bahwa kami berada di sini?”

“Aku telah singgah ke Sangkal Putung.”

“Maksudku, dari mana angger tahu, bahwa aku tinggal di halaman ini bersama kedua anak-anak yang bengal ini,”

“O, itu hanya suatu kebetulan, Kiai. Hampir semalam suntuk aku berjalan mengitari Tanah Perdikan ini setelah aku melihat kedua pasukan ayah dan anak itu saling berhadapan di muka regol pertahanan Argapati. Karena pertempuran itu urung, maka aku telah berjalan kemana saja tanpa tujuan, sampai aku melihat perapian ini.”

Gembala tua itu mengerutkan keningnya. Sesaat dipandanginya wajah kawan-kawan Mas Ngabehi Loring Pasar. Dua orang yang agaknya cukup dapat dipercaya untuk mengawasi anak muda itu melawat ke daerah yang sedang kemelut dibakar oleh api pertentangan di antara lingkungan sendiri.

Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya ketika Mas Ngabehi Loring Pasar dan yang juga bernama Sutawijaya itu memperkenalkan, “Kiai, yang tinggi berkumis tipis itu adalah Paman Hanggapati, sedang yang agak pendek itu Paman Dipasanga.”

“Kami memperkenalkan diri kami, Ngger,” berkata gembala tua itu kemudian, “kedua anak-anak ini adalah anak-anak angkatku, Gupala dan Gupita.”

“He?” Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar itu mengerutkan keningnya. “Permainan apa lagi yang sedang Kiai lakukan?”

“Kenapa?” bertanya orang tua itu.

“Bagaimana dengan nama-nama itu?”

“Demikianlah nama-nama yang kami pergunakan di atas Tanah Menoreh ini.”

Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil tersenyum ia berkata, “Jadi Kiai mengajari murid Kiai berdua ini untuk bermain sembunyi-sembunyian seperti yang sering Kiai lakukan sendiri?”

“Ah,” gembala tua itu berdesah, namun kemudian ia tersenyum sambil menunjuk ke arah kandang di samping gubugnya. “Kami adalah peternak yang miskin. Atau lebih tepat kami adalah gembala-gembala kambing itu.”

“Ya, ya. Aku percaya. Suatu ketika Kiai adalah seorang gembala, lain kali seorang dukun dan kemudian seorang senapati di peperangan. Lalu apa lagi di hari-hari mendatang, Kiai?”

Gembala tua itu tertawa. Bahkan kedua muridnya pun tertawa pula. Apalagi ketika mereka mendengar Sutawijaya berkata, “Agaknya kedua murid-murid Kiai itu pun berbakat.”

“Tuan juga,” tiba-tiba Gupala menyahut, “siapakah yang pernah mempergunakan nama Sutajiya di Prambanan?”

Sutawijaya mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tertawa sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Kalian masih ingat?” bertanya Sutawijaya.

“Argajaya ada di sini,” sahut Gupita, “dan ia berpihak kepada Sidanti.”

“Aku sudah mendengar,” jawab Sutawijaya. “Peristiwa di Tanah ini telah membuat aku menjadi agak bingung. Karena itu aku mencari Kiai yang menurut pendengaranku berada di Menoreh pula. Agaknya Kiai telah berada di sini lebih lama daripadaku, sehingga Kiai akan dapat memberikan lebih banyak petunjuk kepadaku.”

“Tidak terlampau banyak, Ngger. Aku hanya tahu, Argapati tidak dapat memenuhi keinginan anaknya untuk melawan Pajang. Agaknya Argajaya yang sudah terlibat dalam persoalan Sidanti, merasa terjepit. Namun akhirnya ia memutuskan untuk berpihak kepada Sidanti yang bersama-sama telah langsung menentang kekuasaan Pajang di Tambak Wedi. Mereka sudah tidak dapat ingkar lagi karena mereka dengan sengaja telah melawan Angger Untara, sebagai seorang Senapati dari Pajang.”

“Ya, ya. Aku sudah mendengar.”

“Nah, begitulah menurut pendengaran kami, apa yang terjadi di atas tanah perdikan ini.”

Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. “Lalu, apakah yang telah Kiai lakukan di sini?”

Yang menjawab adalah Gupala, “Menggembala kambing. Berlari-lari untuk bersembunyi dan mengintip perselisihan ini dari kejauhan.”

“Ah,” gurunya berdesah. Tetapi kemudian mereka tersenyum bersama-sama.

“Ya, itulah yang telah kami kerjakan di sini, Ngger.”

Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak kemudian tampaklah keningnya berkerut-merut. Kemudian ia bertanya, “Apakah Kiai akan berpihak?”

Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Ditatapnya wajah Sutawijaya yang menjadi bersungguh-sungguh. Karena itu, orang tua itu pun menyadari bahwa Sutawijaya benar-benar ingin tahu pendiriannya. Sehingga dengan demikian maka gembala tua itu pun menjawab, “Ya, Ngger. Kami sudah memutuskan untuk berpihak.”

Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. “Aku sudah menduga, kepada siapa Kiai akan berpihak.”

“Memang tidak sukar untuk menebak. Kami juga tidak dapat melihat kekasaran dan ketamakan menguasai Tanah ini. Lebih daripada itu aku dapat mengerti pendirian Argapati. Itulah soalnya.”

“Agaknya Argapati lebih sayang kepada jabatannya dari pada anak laki-laki tunggalnya.”

Gembala tua itu mengerutkan keningnya. “Maksud Angger?”

“Menurut perhitungan wajar, apa pun yang akan terjadi, Argapati pasti akan melindungi anak laki-lakinya dan adiknya. Tetapi Argapati berbuat sebaliknya. Justru ia bertempur melawan keduanya.”

Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya, begitulah keadaannya. Tetapi aku kira keadaan ini tidak dimulai dari persoalan Sidanti dan Argajaya.” Orang tua itu berhenti sejenak. Lalu, “Apakah pada saat ada perang tanding di bawah Pucang Kembar, Angger sudah berada di Tanah ini?”

Sutawijaya mengerutkan keningnya. “Perang tanding yang mana yang Kiai maksud?”

“Antara Argapati dan Ki Tambak Wedi?”

Sutawijaya menggelengkan kepalanya. “Tidak. Aku tidak tahu. Memang mungkin aku belum ada di Tanah ini.”

“Perang tanding itu telah menimbulkan persoalan bagi kami. Sudah tentu sebabnya bukan sekedar apakah Argapati akan berpihak kepada Sidanti atau bukan, karena agaknya soal itu adalah soal lama bagi keduanya.”

Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Hampir di luar sadarnya ia berdesis, “Kesetiaan Argapati yang berlebih-lebihan kepada Pajang akan menyulitkan kedudukanku.”


“He?” hampir bersamaan gembala tua dan murid-muridnya bergeser maju.

Sutawijaya mengerutkan keningnya. Ia menyadari bahwa ia telah terdorong untuk mengucapkannya. Tetapi ia tidak menyesal. Keadaannya sendiri memang telah semakin meningkat pula, meskipun tidak menimbulkan benturan-benturan seperti yang terjadi di Menoreh kini.

“Angger Sutawijaya,” berkata gembala tua itu, “kenapa Argapati itu akan dapat menyulitkan kedudukan Angger? Seharusnya Angger berterima kasih kepadanya, bahwa ia telah meletakkan tugas di atas segala-galanya, bahkan di atas kepentingan anaknya sendiri.”

Sutawijaya tidak segera menjawab. Sekilas dipandanginya kedua kawan-kawannya yang duduk tepekur memandangi api di perapian yang sudah menjadi semakin pudar pula.

Dan tiba-tiba saja Sutawijaya berdesis, “Aku memang mempunyai persoalan dengan Pajang,” anak muda itu berhenti sebentar karena hampir bersamaan Hanggapati dan Dipasanga mengangkat wajahnya.

“Mereka adalah kawan-kawan baikku, Paman,” berkata Sutawijaya kepada kedua kawannya itu. “Aku tidak perlu bercuriga kepada mereka, meskipun seandainya pendirian mereka tidak sejalan dengan pendirianku. Mereka adalah orang-orang jantan dan tidak dengan mudah dapat berkhianat.”

Gembala tua itu menarik nafas dalam-dalam, sedang kedua muridnya pun saling berpandangan sejenak.

“Maaf,” berkata Sutawijaya kemudian kepada ketiga guru dan murid itu, “demikianlah pendirianku. Dan aku lebih senang berkata terus terang daripada menyimpan-nya di dalam dada.”

“Itu suatu sikap yang terpuji,” sahut gembala tua itu.

“Terima kasih. Suatu kehormatan bagiku. Kiai ingin mendengar persoalanku?”

Gembala tua itu menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba ia merasa canggung menghadapi Sutawijaya kali ini, tidak seperti beberapa waktu yang lampau. Namun ia menjawab, “Apabila Angger tidak berkeberatan.”

“Baiklah,” Sutawijaya berhenti sejenak mengamati kedua murid gembala tua itu. Lalu, “Ayahanda telah meninggalkan istana Pajang.”

“He?” ketiganya terperanjat.

“Siapa yang Angger maksud?” bertanya gembala tua itu.

“Bukan Ayahanda Hadiwijaya yang sekarang telah bergelar Sultan. Tetapi Ayahanda Ki Gede Pemanahan.”

Tiba-tiba wajah gembala tua itu menjadi tegang. Hampir tidak percaya ia kepada pendengarannya sendiri. Tanpa sesadarnya ditatapnya wajah kedua kawan Sutawijaya itu berganti-ganti.

“Benarkah begitu?” ia berdesis.

Berbareng keduanya mengangguk.

“Dimana sekarang Ayahanda Ki Gede Pemanahan?” bertanya gembala tua itu.

“Ayahanda telah kembali ke Sela, setelah meletakkan semua jabatan Istana.”

“Aneh, Ngger. Itu aneh sekali. Bagaimana mungkin hal itu dapat terjadi? Aku rasa-rasanya seperti orang bermimpi. Atau aku berhadapan dengan orang lain?”

“Tidak, Kiai. Kiai tidak bermimpi dan Kiai benar-benar berhadapan dengan Sutawijaya. Namun aku tidak tahu lagi, apakah gelarku sudah dicabut oleh Ayahanda Sultan Pajang, karena aku mengikuti ayah kembali ke Sela.”

Gembala tua itu tidak segera menyahut. Tetapi wajahnya yang tegang menjadi semakin tegang. Sekali dipandanginya wajah-wajah muridnya. Dan murid-muridnya itu pun terheran-heran pula mendengar keterangan Sutawijaya.

Ternyata, keadaan memang berkembang terlampau cerpat di mana-mana. Tidak saja di Tanah Perdikan Menoreh, tetapi juga di Pajang. Berita tentang lolosnya Ki Gede Pemanahan dari Pajang, belum terdengar dari atas Tanah perbukitan ini. Tetapi sebentar lagi Ki Tambak Wedi pasti akan mendengarnya pula. Orang-orangnya sebagian adalah orang-orang liar yang berkeliaran di mana saja. Mungkin di antara mereka ada yang mempunyai kawan-kawannya di Pajang atau di daerah-daerah lain yang berdekatan dengan Pajang. Betapa Pajang berusaha menyimpan rahasia ini, seandainya kepergian Ki Gede Pemanahan dianggap sebagai suatu rahasia, namun seluruh negeri pada saatnya pasti akan mendengarnya juga.

Dan sejenak kemudian dengan nada datar gembala tua itu bertanya, “Kenapa Ayahanda Ki Gede Pemanahan meninggalkan istana, Ngger? Apakah Ki Gede Pemanahan merasa bahwa segala tugasnya sudah selesai untuk kemudian menarik diri dan menyepi di Sela, ataukah ada sebab-sebab lain?”

“Kira-kira begitulah Kiai. Ayah merasa menjadi semakin tua. Tetapi ada juga sebab-sebab lain yang mendorongnya untuk semakin cepat meninggalkan Ayahanda Sultan Hadiwijaya.”

Gembala tua itu tidak menjawab. Ditatapnya mata Sutawijaya tajam-tajam. Namun sorot matanya itulah yang memancarkan seribu pertanyaan di dalam dadanya.

“Kiai,” berkata Sutawijaya, “kenapa Kiai tidak bertanya, apakah sebab-sebab yang mendorong Ayahanda Ki Gede Pemanahan untuk meletakkan jabatannya sebagai Panglima Wira Tamtama?”

“Angger sudah tahu, bahwa pertanyaan itu ada di dalam dadaku.”

Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya, aku sudah tahu. Sebab-sebab itu mungkin akan mentertawakan sekali.” Ia berhenti sebentar, lalu, “Begini Kiai. Mungkin Kiai sudah mendengar bahwa mereka yang berhasil membunuh Arya Penangsang adalah Ki Gede Pemanahan dan Ki Penjawi.”

“Bukankah Angger Sutawijaya yang melakukannya?”

“Aku hanya sekedar alat. Tetapi boleh juga dikatakan demikian. Namun secara resmi dilaporkan, bahwa yang telah membunuh Arya Penangsang adalah Ki Gede Pemanahan dan Ki Penjawi.”

“Juga suatu cara untuk mendapatkan kedua bagian Tanah yang disanggupkan. Pati dan Alas Mentaok.”

“Dugaan Kiai tepat. Sebab kalau aku yang membunuh Arya Penangsang, semua hadiah akan dibatalkan. Karena aku adalah putera angkat Sultan Hadiwijaya sendiri.”

“Ya.”

“Nah, ternyata bumi Pati sudah lama diserahkan. Begitu Arya Penangsang gugur, begitu bumi Pati diserahkan.”

Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali-sekali dengan sudut matanya ia mencoba melihat wajah kedua muridnya. Dan gembala tua itu melihat wajah-wajah itu menjadi tegang.

“Tetapi,” Sutawijaya meneruskan, “tidak demikian halnya dengan Alas Mentaok. Pati yang sudah terbuka dan sudah menjadi semakin ramai segera dapat mulai digarap, tetapi Mentaok yang masih berupa hutan belukar, masih harus menunggu. Menunggu tanpa batas. Dengan demikian maka Mentaok pasti akan menjadi semakin jauh ketinggalan dari Pati.”

Sejenak Gupala dan Gupita saling berpandangan. Sedang gurunya yang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun ketiganya tidak mengucapkan sepatah kata pun, namun Sutawijaya seakan-akan tanggap atas perasaan ketiganya, sehingga ia meneruskannya, “Memang, tampaknya tidak lebih dari perasaan iri hati. Bukankah begitu, Kiai?”

Gembala tua itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan hati-hati ia berkata, “Angger Sutawijaya. Memang tanggapan yang demikian itu mungkin sekali. Tetapi apakah masih ada alasan lain yang mendorong Ki Gede Pemanahan meninggalkan Pajang? Sebab menurut hematku, kalau hanya sekedar Tanah Mentaok maka Ki Gede Pemanahan pasti tidak akan mengambil keputusan itu.”

“Kiai,” berkata Sutawijaya, “ayahanda memandang soal itu bukan sekedar dari persoalan Tanah Mentaok itu sendiri. Tetapi dengan demikian Sultan Hadiwijaya telah ingkar. Ingkar janji. Sebagai seorang Raja, maka ingkar janji adalah pantangan yang harus dijauhi.”

Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih bertanya, “Angger. Apakah tidak mungkin, bahwa Sultan Hadiwijaya menganggap bahwa bukan saja Tanah Mentaok yang kelak akan jatuh ke tangan Angger, meskipun lewat Ki Gede Pemanahan, karena tidak ada orang lain yang pasti akan menerimanya. Tetapi bahkan seluruh Pajang akan jatuh ke tangan Angger Sutawijaya.”

“Apakah aku harus menutup mata dari suatu kenyataan bahwa di istana ada Adimas Pangeran Benawa?”

“Apakah ada tanda-tanda bahwa tahta kelak akan diwarisi oleh Pangeran itu?”

“Pertanyaan Kiai agak aneh.”

Orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia berdiam diri. Sehingga dengan demikian keadaan menjadi hening. Hanya desah nafas mereka sajalah yang terdengar di sela-sela desir angin malam.

Gupala dan Gupita menundukkan kepala mereka memandangi api yang hampir padam. Sekali-sekali Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebenarnya ia tidak dapat mengerti, kenapa Ki Gede Pemanahan meninggalkan Pajang, apabila masalahnya hanya sekedar masalah Tanah Mentaok. Meskipun ia mencoba meyakinkan kata-kata Sutawijaya, bahwa masalahnya bukan Tanah Mentaok itu sendiri, tetapi bahwa sultan telah ingkar itulah yang telah membuat Ki Gede Pemanahan menjadi kecewa.

Dalam keheningan itu terdengar Sutawijaya bertanya, “Bagaimanakah tanggapan Kiai mengenai masalah ini?”

Gembala tua itu mengangguk-angguk. “Aku memerlukan waktu, Ngger. Aku kira Angger Sutawijaya juga tidak tergesa-gesa. Mungkin aku akan terpaksa menyelesaikan masalah tanah perdikan ini dahulu, baru aku dapat mencoba memberikan pertimbanganku.”

Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya. Agaknya Kiai sudah terlanjur terlibat di dalam persoalan ini. Tetapi persoalan Tanah ini mau tidak mau harus menjadi perhitunganku juga. Alas Mentaok akan berada di tengah-tengah, di antara Pajang dengan Untara di Jati Anom di sebelah Timur, dan kesetiaan Argapati di sebelah Barat.”

“Ah,” gembala tua itu berdesah, “Angger terlampau cepat mengambil kesimpulan itu. Aku kira Ki Gede Pemanahan sendiri pun tidak akan dengan tergesa-gesa mengambil kesimpulan yang demikian.”

“Tetapi bukankah sudah jelas.”

“Lalu, apakah maksud Angger, Tanah ini harus jatuh ke tangan orang-orang yang menentang kekuasaan Pajang? Sidanti dan Argajaya misalnya?”

Sutawijaya tidak segera menjawab.

“Kalau demikian, maka Angger sudah terdorong ke dalam suatu sikap yang mementingkan diri sendiri. Angger tidak melihat apa yang telah terjadi di atas Tanah ini.”

Sutawijaya mengerutkan keningnya. Katanya, “Bukan maksudku demikian, Kiai. Aku tahu sifat-sifat Sidanti, Argajaya, dan gurunya Ki Tambak Wedi. Mereka sama sekali tidak dapat dibawa berbincang dan bertindak untuk kepentingan bersama karena justru mereka mementingkan diri mereka sendiri. Namun sudah tentu bahwa aku juga tidak dapat berdiam diri, apabila Tanah ini terlampau setia berpihak kepada Pajang dan menghalang-halangi perkembangan Tanah Mentaok kelak apabila sudah diserahkan kepada Ayahanda Ki Gede Pemanahan?”

Tiba-tiba gembala tua itu tersenyum. Katanya, “Ternyata kau masih terlampau muda, Ngger. Apakah demikian juga pendirian Ayahanda Ki Gede Pemanahan?”

Sutawijaya menggelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu benar, Kiai. Tetapi kepergian ayah ke Sela bukan berarti bahwa ayah telah melepaskan tuntutannya atas Tanah Mentaok. Kepergian ayah adalah suatu usaha untuk mempercepat penyerahan itu.”

“Ya. Kemudian Ayahanda Ki Gede Pemanahan akan membuka Mentaok untuk menjadi suatu pedukuhan. Tentu saja dengan harapan bahwa kelak akan menjadi sebuah kota yang ramai. Melampaui Tanah Perdikan Menoreh dan melampaui Mangir. Bukankah begitu?”

Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Baiklah, Ngger. Aku akan mencoba memberikan pendapatku lain kali. Tetapi bagiku adalah merupakan suatu keharusan untuk membantu Argapati melepaskan diri dari kesulitan ini. Sidanti bukanlah seorang yang pantas untuk menjadi besar. Ia dalam sikapnya tidak sekedar menentang Sultan Hadiwijaya. Tetapi ia menentang kekuasaan yang lebih tinggi dari kekuasaannya, justru karena ia sendiri ingin berkuasa.”

“Terserahlah, Kiai. Tetapi setidak-tidaknya Menoreh tidak mempersulit kedudukanku kelak.”

“Aku akan mencoba menyampaikannya kepada Argapati. Tetapi, apakah terbayang di dalam angan-angan Angger Sutawijaya bahwa suatu ketika akan timbul masalah antara Mentaok dan Pajang?”

Sutawijaya tidak segera dapat menjawab. Pertanyaan itu membuatnya berdebar-debar. Sehingga dengan demikian untuk sejenak ia berdiam diri.

Kembali kesepian mencengkam suasana. Angin yang sejuk mengusap dahi-dahi yang dibasahi oleh keringat, Betapapun dinginnya malam. Api perapian di hadapan mereka telah menjadi semakin pudar. Bayangan merah yang samar-samar memulas wajah-wajah yang tegang.

Dengan sebuah tongkat kecil Gupala mengais abu yang masih membara. Tetapi ia tidak bergeser dari tempatnya. Sekilas dipandanginya wajah Gupita yang menahan senyum. Ternyata ubi yang dibenamkannya di dalam abu itu telah menjadi arang.

“Kiai,” kemudian terdengar suara Sutawijaya, “aku tidak mengharapkan pertentangan antara Mentaok dan Pajang kelak. Sama sekali tidak. Ayahanda Ki Gede Pemanahan maupun Ayahanda Sultan Hadiwijaya pun pasti tidak.”

Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Sokurlah.”

“Pertentangan itu tidak ada gunanya. Kecuali …………”

“Kecuali, kecuali apa, Kiai?”

“Ah,” gembala tua itu berdesah. “Tidak. Tidak ada kecualinya. Pertentangan dalam bentuk apa pun tidak menguntungkan.”

Sutawijaya menggigit bibirnya. Tetapi ia tidak dapat memaksa gembala tua itu untuk berbicara. Karena itu, maka anak muda itu hanya sekedar mengangguk-anggukkan kepalanya saja.

Yang mula-mula berbicara adalah gembala tua itu, “Demikianlah, Ngger. Angger telah mengetahui apa yang kira-kira akan aku kerjakan. Sesudah Menoreh ini selesai, maka aku akan mencoba bertemu dengan Ayahanda Ki Gede Pemanahan.”

“Tentu ayah akan menjadi senang sekali. Beberapa kali ayah bertanya tentang Kiai. Setiap kali ayah bertanya tentang bentuk dan gambaran tubuh Kiai. Dan setiap kali ayah selalu mengangguk-anggukkan kepalanya.”

“Apakah Ayahanda tidak berkata apa pun tentang aku?”

Sutawijaya menggeleng. “Tidak terucapkan. Tetapi aku melihat ayah berbicara di dalam hatinya tentang seorang dukun tua, seorang senapati, seorang pengembara dan seorang gembala.”

Gembala tua itu tersenyum. Di angguk-anggukkannya kepalanya. Tetapi ia tidak segera menyahut.

Sementara itu, di langit telah membayang warna-warna merah. Satu-satu bintang yang bergayutan tenggelam dalam kebiruan wajahnya.

Gupita dan Gupala yang telah merasa terlampau lelah, selama mereka duduk saja mendengarkan pembicaraan gurunya, melihat fajar yang sebentar lagi akan pecah.

“Kiai,” berkata Sutawijaya kemudian, “baiklah aku kembali sebelum terang. Aku harus mencari jalan yang sepi, supaya kehadiranku di sini tidak diketahui orang, atau justru menambah persoalan.”

“Kemana Angger akan kembali?”

“Aku membuat sebuah gubug di pinggir hutan di ujung Tanah Perdikan ini.”

“Tinggallah di sini, Ngger. Kita bersama-sama adalah orang-orang yang tidak mempunyai tempat tinggal di tanah perdikan ini.”

Sutawijaya tidak segera menyahut. Dipandanginya wajah kedua kawan-kawannya. Tetapi kedua kawannya itu pun tidak memberikan tanggapan apapun.

“Apakah Angger meninggalkan sesuatu di gubug Angger itu?”

Sutawijaya menggelengkan kepalanya. “Tidak Kiai.”

“Kalau begitu tinggallah di sini. Di sini ada beberapa ekor kambing yang dapat mengawani Angger. Apabila nanti matahari naik, maka kami bertiga akan segera meninggalkan tempat ini. Yang paling memberati hati kami adalah kambing-kambing itu. Nah, apabila Angger bersedia memeliharanya, tinggallah di sini untuk beberapa hari.”

“Akan kemanakah Kiai bertiga?”

“Kami akan menemui Ki Argapati. Kami sudah tidak dapat menunda-nunda waktu lagi. Menurut perhitunganku, Ki Tambak Wedi pasti akan segera kembali setelah ia menjajagi kekuatan lawannya.”

“Ya. Dan Kiai akan ikut serta secara langsung?”

“Ya.”

Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Meskipun tidak terucapkan, namun terbaca di wajahnya, bahwa ia kurang sependapat dengan sikap itu.

“Anak muda ini sedang dibakar oleh suatu cita-cita,” berkata gembala tua itu di dalam hatinya. “Ia ingin melihat Alas Mentaok menjadi suatu kota yang besar. Tetapi ia tidak mengerti apa yang telah terjadi sebenarnya di atas tanah perdikan ini. Agaknya Angger Sutawijaya lebih senang melihat keduanya menjadi lemah agar seterusnya tidak mengganggu perkembangan Mentaok di masa-masa mendatang. Tetapi aku mengharap pendirian itu akan segera berubah. Keinginannya melihat sebuah kota yang baru yang dapat menyamai Pajang dan melampaui Pati, terlampau membakar darah mudanya. Mudah-mudahan keinginan itu akan segera mengendap sehingga ia dapat melihat masa depannya dengan wajar. Meskipun Sultan Hadiwijaya bukanlah seseorang yang pantas dianggap mampu mengendalikan suatu pemerintahan negara yang besar.”

Gembala tua itu menarik nafas dalam-dalam. Namun tanpa sesadarnya telah melintas di dalam angan-angannya kenangan tentang dirinya sendiri. Dirinya sendiri bukan sebagai seorang dukun miskin di dukuh Pakuwon, bukan sebagai seorang pengembara yang menyusuri jalan-jalan sempit, bukan sebagai seorang guru yang berusaha keras menurunkan ilmunya sebagai suatu peninggalan dari perguruannya terhadap kedua muridnya, bukan pula sebagai seorang gembala di atas tanah perdikan yang sedang dibakar oleh kemelutnya api perselisihan di antara mereka sendiri. Tetapi dirinya di masa mudanya.

“Hem,” orang tua itu berdesah. Lamat-lamat ia mendengar suara jauh di dasar hatinya, “Memang Sultan Hadiwijaya tidak akan dapat dipertahankan untuk seterusnya. Tetapi tidak pantas apabila aku tampil lagi di gelanggang pemerintahan dalam keadaan seperti ini. Aku sudah memutuskan semua jalur-jalur yang menuju ke arah itu, dan aku telah menempatkan diriku pada tempat yang sekarang ini.”

Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan tiba-tiba saja ia menengadahkan wajahnya sambil berkata, “Hampir pagi.”

Tanpa sesadarnya kedua orang muridnya pun mengangkat kepalanya memandangi cahaya yang memerah di Timur. Kemudian dipandanginya wajah gurunya yang suram. Namun mereka berdua sama sekali tidak mengucapkan sepatah kata pun.

“Angger Sutawijaya,” berkata gembala tua itu, “silahkan tinggal di sini. Daerah ini cukup sepi dan hampir tidak pernah diinjak orang. Dekat tempat ini mengalir sebuah sungai yang meskipun kecil, tetapi airnya bening dan mencukupi kebutuhan.”

Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Baiklah, Kiai, aku akan tinggal di sini. Aku akan memelihara kambing-kambing itu, karena aku pun dapat menggembala dan menyabit rumput. Tetapi sebaiknya Kiai tidak usah menghitung, berapa ekor kambing yang Kiai tinggalkan, sebab apabila Kiai kembali kelak, jumlah itu pasti sudah berkurang.”

“Kenapa?”

“Kadang-kadang kami disentuh pula oleh keinginan untuk memanggangnya,” jawab Sutawijaya sambil tersenyum.

“Silahkan, Ngger. Aku tidak berkeberatan.”

“Kebetulan sekali,” gumam Sutawijaya, yang kemudian berkata kepada kedua kawan-kawannya, “kita tinggal di sini.”

Sementara itu, gembala tua itu pun segera minta diri untuk pergi ke sungai lebih dahulu. Sebelum berangkat ia harus mempersiapkan dirinya. Gembala tua itu bersama dua orang muridnya, tidak akan dapat mengirakan berapa lama ia akan tinggal bersama pasukan Argapati.

Di sepanjang jalan ke sungai, gembala tua itu selalu digelisahkan oleh perasaan sendiri. Apakah yang sebaiknya dikatakan kepada Argapati tentang dirinya. Apakah ia harus berterus-terang ataukah ia masih harus berselimut sejauh-jauh mungkin.

“Kedua murid-muridnya itu tidak mengenal aku,” desisnya, “tetapi mungkin Argapati dapat menebak, siapakah aku ini. Argapati pasti sudah mengenal guru, seorang yang bersenjata cambuk. Dan Argapati mungkin akan dapat mengingat hari-hari itu, semasa aku masih muda. Namun ia pasti belum mengerti, siapakah aku sebenarnya.”

Keragu-raguan itu selalu membayanginya selama ia berendam diri di dalam sungai, kemudian setelah ia berpakaian, menyelesaikan kewajibannya dan kemudian melangkah kembali ke gubugnya.

Di jalan setapak dari sungai itu ia bertemu dengan Gupala yang dengan bersungut-sungut berkata kepadanya, “Ubiku menjadi arang.”

Gembala itu tersenyum. Jawabnya, “Masih ada ubi yang lain.”

“Semuanya telah aku masukkan ke dalam api.”

“Masih melekat, pada batangnya. Bukankah kau dapat mencabut lagi?”

Gupala tertawa. Kemudian ia berlari menghambur ke sungai.

Beberapa langkah lagi orang tua itu bertemu dengan Gupita. Agaknya perhatiannya lain dari adik seperguruannya. Dengan sungguh-sungguh ia bertanya, “Sikap Sutawijaya agak aneh, Guru. Apakah ia ingin melihat Pajang runtuh?”

“Tidak. Tidak begitu, Gupita. Yang menjadi tujuan Angger Sutawijaya bukan itu. Yang penting baginya adalah, Mentaok menjadi besar. Kalau Mentaok justru akan menjadi besar karena Pajang, maka pasti tidak akan ada pertentangan antara Pajang dan Mentaok.”

Gupita menundukkan wajahnya. Tampak sesuatu bergolak di dalam hatinya, sehingga seakan-akan di luar sadamya ia bergumam, “Akhirnya kita sampai pada sifat manusia itu sendiri, Guru.”

“Bagaimana?” bertanya gurunya.

“Mereka selalu memburu kepentingan diri sendiri. Mereka menempatkan kepentingan sendiri di atas kepentingan yang lain. Seperti apa yang dilakukan oleh Sultan Hadiwijaya dengan menyingkirkan Arya Penangsang. Arya Penangsang sendiri dan sekarang Sutawijaya. Sebelum kemelut api yang membakar tanah ini padam, kita sudah melihat sepercik api di hutan Mentaok. Di sini telah terjadi geseran kepentingan, dan kelak di Mentaok akan terjadi pula.”

“Kita belum pantas untuk mencemaskannya sekarang. Mudah-mudahan hal itu tidak terjadi.”

“Mudah-mudahan, Guru,” jawab Gupita. “Tetapi seperti yang pernah Guru ceriterakan, bahwa api yang membakar seluruh Pajang dan Jipang sebenarnya adalah percikan api yang menyala di dalam dada orang-orang yang mementingkan diri sendiri. Kenapa Sultan Hadiwijaya dengan tergesa-gesa mengambil keputusan untuk menghancurkan Jipang?”

Orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya, pamrih pribadi.”

“Bukankah Guru pernah berceritera tentang dua orang gadis di Gunung Danaraja, yang melayani Kangjeng Ratu Kalinyamat yang bertapa telanjang dan bertirai rambutnya sendiri saja.”

“Kau dapat melihat Gupita, bahwa pergulatan pamrih pribadi dari orang-orang yang kebetulan memegang kekuasaan, akan berakibat jauh sekali. Yang terlibat bukan sekedar orang-orang itu sendiri, tetapi mereka akan menyeret setiap orang di dalam lingkungan kekuasaannya.”

“Seperti yang kita lihat di Menoreh kini, Guru, bukankah begitu?”

“Ya.”

“Dan kita akan terseret pula di dalamnya.”

Orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya. Kita akan terjun ke dalamnya. Sudah tentu dengan kepentingan kita juga. Gupala mempunyai kepentingan atas Tanahnya sendiri, supaya tidak selalu terancam oleh bahaya yang dapat datang dari Barat, apabila Tanah ini dikuasai Sidanti dan berhasrat untuk maju ke Timur, melawan Pajang. Dan kau?”

“Aku tidak mempunyai kepentingan apa-apa.”

Gurunya mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tersenyum. “Gadis itu? Bukankah kau menjadi hampir gila ketika gadis itu dibawa Sidanti ke Tambak Wedi? Bukankah kau ingin hidup tenteram tanpa dibayangi lagi oleh hantu yang setiap saat dapat mengganggu ketenteraman hidup itu kelak sesudah kalian berkeluarga?”

Gupita menundukkan kepalanya.

“Aku pun mempunyai pamrih. Meskipun tidak sejelas Angger Sutawijaya, Sultan Hadiwijaya, dan yang lain lagi. Aku berkepentingan agar Argapati tidak melepaskan haknya.”

Gupita masih menundukkan kepalanya.

“Sudahlah. Pergilah ke sungai dan bersiaplah. Kita akan pergi ke pusat pertahanan Argapati. Kita akan langsung melibatkan diri kita masing-masing.”

Gupita tidak menjawab, tetapi ia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Ketika gurunya kemudian meneruskan langkahnya kembali ke gubugnya, maka Gupita pun berjalan pula ke sungai. Namun kepalanya masih juga tertunduk dalam-dalam.

Kedua anak-anak muda itu, setelah selesai bersiap dan berkemas, segera kembali duduk bersama-sama dengan gurunya, Sutawijaya dan kawan-kawannya. Agaknya gurunya telah minta diri kepada Sutawijaya untuk segera pergi menemui Argapati seperti yang telah dijanjikan.

“Aku mengharap bahwa api di atas bukit ini segera padam, Ngger,” berkata orang tua itu. “Apabila mungkin tanpa korban yang berarti. Tetapi menilik sikap-sikap yang mutlak di kedua belah pihak, agaknya salah satu memang harus menjadi korban.”

“Sudah tentu, Kiai tidak ingin bahwa tempat Kiai berpihaklah yang akan menjadi korban itu,” berkata Sutawijaya.

“Sudah tentu, Ngger. Kalau aku melepaskannya untuk dikorbankan aku tidak akan berpihak kepadanya. Setidak-tidaknya aku tidak akan mencampurinya. Tetapi aku sudah berkeputusan. Tanah perdikan ini akan lebih berarti apabila Argapati sendirilah yang memegangnya. Tentu saja tidak sempurna. Namun adalah jauh lebih baik daripada apabila Sidanti yang menguasainya. Lebih baik bagi rakyat tanah perdikan ini sendiri. Lebih baik bagi daerah-daerah tetangganya dan sudah tentu akan lebih baik bagi Mentaok yang haru akan berkembang.”

Sutawijaya mengerutkan keningnya.

“Sudah tentu Mentaok kelak tidak akan sekedar menjadi tanah perdikan. Aku tidak tahu apakah rencana Sultan Hadiwijaya tentang tahta, karena memang ada Pangeran Benawa di istana Pajang sekarang. Tetapi seandainya Pajang akan temurun kepada Pangeran yang lemah hati itu, Angger akan melihat Mentaok menjadi sebuah kadipaten yang besar.”


Sutawijaya tidak menyahut. Tetapi ia merenungkan kata-kata orang tua itu. Agaknya ia dapat mengerti jalan pikirannya, sehingga tanpa sesadarnya ia mengangguk-anggukkan kepalanya.

Sementara itu matahari telah meloncat ke punggung bukit. Sinarnya yang masih kemerah-merahan terserak-serak di atas pepohonan di hutan-hutan rindang.

“Aku masih mempunyai beberapa ontong jagung, Ngger,” berkata gembala tua itu. “Aku sendiri dan kedua anak-anak ini tidak biasa makan terlampau pagi. Apabila nanti Angger memerlukannya, kami persilahkan untuk mempergunakannya. Di belakang dan di samping rumah ini Angger dapat menemukan batang-batang ubi kayu yang telah cukup besar meskipun belum masanya. Tetapi satu dua, Angger akan dapat memetik ubinya.”

“Baiklah, Kiai. Aku akan tinggal di rumah ini. Selebihnya aku akan mencoba menilai semua keterangan Kiai. Mudah-mudahain dapat menumbuhkan harapan bagiku dan bagi Mentaok. Dan mudah-mudahan pula Mentaok benar-benar akan diserahkan.”

Orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Kami akan minta diri, Ngger. Baik-baiklah di tempat ini. Aku menitipkan semua yang ada di halaman ini.”

“Yang ada hanya beberapa ekor kambing itu,” Gupala memotong.

“Ya, beberapa ekor kambing itu,” sambung gembala tua itu.

Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baiklah. Aku usahakan menjaga dan menggembalakannya seperti kalian menggembala. Tetapi sekali lagi aku minta, jangan kalian hitung jumlah kambing-kambing itu.”

Orang tua itu tersenyum. “Aku tidak pernah mengerti dengan pasti jumlah kambing-kambingku.”

“Sokurlah,” desis Sutawijaya.

Sejenak kemudian, maka gembala tua itu pun segera meninggalkan gubugnya diikuti oleh kedua muridnya. Namun sebelum mereka berangkat, Gupala sempat mendekati Sutawijaya sambil berkata, “Juntai kuning itu sama sekali tidak berarti bagi tuan. Sebaiknya tuan berikan saja kepadaku.”

“He,” jawab Sutawijaya, “bukankah kau pernah menerimanya dari padaku?”

“Tertinggal di hulu pedangku.”

“Kalian tidak membawa senjata?”

“Bukan pedang.”

“Lalu buat apa tali ini bagimu?”

“Kalung.”

Sutawijaya tersenyum. Tetapi dilepasnya juga tali kekuning-kuningan yang berjuntai di tangkai tombak pendeknya. Sambil menyerahkannya ia berkata, “Kalau kelak aku membawanya lagi, aku sudah tidak akan memberikannya kepadamu.”

Gupala tersenyum. Katanya, “Terima kasih.” Dan di lingkarkannya tali yang berwarna kuning keemasan itu di lehernya, berjuntai sampai ke lambungnya. Kemudian ujungnya dikaitkannya pada ikat pinggangnya.

“Kalau aku Bima, aku akan memakai kalung seekor ulat welang sebesar betis.”

“Kau selalu mengada-ngada,” desis Gupita.

Gupala tersenyum, kemudian ia minta diri sambil berkata, “Tinggallah Tuan di sini. Kalau suatu hari Tuan menyembelih kambing, jangan yang berwarna putih mulus.”

Ketika matahari merambat semakin tinggi, ketiganya telah berada di perjalanan menyusuri pinggir hutan yang tipis. Mereka harus mencari jalan, agar mereka tidak menjumpai rintangan apa pun di perjalanan. Mereka harus menghindari pula kemungkinan, petugas-petugas sandi yang disebar oleh Sidanti dapat menemuinya, sehingga keadaan akan berkembang ke arah yang lain dari yang telah mereka perhitungkan.

Namun yang masih menjadi masalah bagi gembala tua itu adalah dirinya sendiri. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata di dalam hatinya, “Aku akan berusaha sejauh-jauhnya untuk menyatakan diriku seperti sekarang ini. Entahlah, apa saja tanggapan Argapati terhadapku nanti. Tetapi Tanah ini harus di selamatkan. Mudah-mudahan kehadiran kami akan dapat membantu Ki Argapati.”

Dengan hati-hati mereka melangkah terus. Menyusup dari antara pepohonan yang satu ke yang lain, menyusur pinggir hutan, dan kemudian lewat di tengah-tengah pategalan yang tidak digarap.

Semakin dekat ketiganya ke pusat pertahanan Argapati, hati mereka menjadi semakin berdebar-debar. Apalagi Gupita. Ia merasa, bahwa persoalan yang timbul antara dirinya dan Wrahasta tanpa diketahui sebab-sebabnya, agaknya akan berkepanjangan.

“Anak muda yang bertubuh raksasa itu telah mengancam aku,” katanya di dalam hati, “aku tidak boleh kembali ke padukuhan itu.” Gupita menarik nafas. Namun kemudian ia berkata seterusnya di dalam hatinya itu. “Tetapi aku tidak dapat tinggal di luar. Aku harus ikut masuk bersama guru dan Adi Gupala.”

Akhirnya Gupita itu pun membulatkan tekadnya. Apa pun yang akan terjadi atas dirinya. “Aku sama sekali tidak mempunyai maksud-maksud yang tidak baik,” katanya pula di dalam hatinya. “Meskipun mungkin benar kata guru, bahwa apa yang kita lakukan ini terdorong oleh pamrih-pamrih pribadi, namun aku tidak akan membuat orang lain mengalami kesulitan. Justru dalam kepentingan yang bersamaan pula kita bekerja bersama-sama.”

Yang sama sekali seakan-akan tidak mempunyai persoalan adalah justru Gupala. Ia melangkah dengan mantap dan ketetapan di dalam hati. Sidanti harus dihancurkan. Selama Sidanti masih ada, ia pasti akan selalu mengancam ketenteraman kademangannya. Dan bahkan mungkin akan mengancam ketenteraman hidup keluarganya.

Sekilas-kilas diingatnya kata-katanya kepada adiknya pada saat ia akan berangkat, “Aku akan membunuhnya.” Dan diingatnya pula kata-katanya selagi ia menenteramkan hati adiknya, “Laki-laki itu terlampau rendah hati. Ia tidak akan berkata, ‘Aku akan kembali dengan membawa kepala Sidanti.’ Tidak. Tetapi ia hanya sekedar berkata, ‘Mudah-mudahan aku akan kembali dengan selamat.’”

Gupala tersenyum sendiri. Sekarang mereka telah berada dekat sekali dengan medan pertempuran itu. Apabila Ki Argapati tidak berkeberatan, maka ia akan segera ikut terjun di dalam peperangan.

Anak yang gemuk itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Rasa-rasanya telah rindu melihat dan mengalami benturan senjata.

“Hem, aku tidak membawa pedang berhulu gading itu,” desahnya di dalam hati, “aku harus berkelahi dengan cambuk. Tetapi cambuk ini tidak dapat langsung menyobek dada lawan dan menumpahkan darahnya. Cambuk ini hanya dapat menumbuhkan luka-luka kecil dan membuat lawan-lawanku menyeringai menahan sakit. Sejauh-jauh yang dapat aku lakukan adalah mematahkan tulang lawan, tetapi bagiku sebenarnya lebih mantap mengayunkan pedang daripada sekedar cambuk kuda.” Gupala mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam, “Itulah ciri guru. Ia tidak senang membunuh lawannya sekaligus apabila tidak terlampau mendesak. Dan demikian pulalah watak jenis senjatanya.”

Ketika matahari telah merambat semakin tinggi, sampai ke ujung pepohonan, maka gembala tua bersama kedua muridnya sudah menjadi semakin dekat. Kini mereka berada beberapa puluh langkah saja dari bekas regol yang telah terbakar. Mereka berjalan membungkuk-bungkuk di antara batang-batang ilalang. Semakin lama semakin dekat.

Dari kejauhan mereka melihat beberapa orang sedang sibuk membuat regol darurat. Mereka menanam lurus melandingan sebesar betis setinggi regol yang telah terbakar. Ujungnya diruncingkan dan diikat berjajar tiga lapis. Kemudian di tengah-tengah diberinya sebuah pintu lereg yang besar dan kuat, sekuat pintu regol mereka yang telah terbakar.

“Regol darurat itu tidak akan mudah terbakar semudah regol yang lama,” desis Gupala.

“Ya, kayu-kayunya kayu basah dan regol itu tidak memakai atap dan dinding papan yang kering,” sahut Gupita.

Sementara itu gurunya masih saja merenung memandangi orang-orang yang sedang bekerja dengan sepenuh hati.

“Apakah kita akan memasuki padesan itu sekarang?” bertanya Gupala.

Gurunya berpaling ke arah Gupita, seolah-olah ia minta pertimbangan dari anak muda itu.

Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berdesis, “Aku tidak menyebut waktu. Pagi atau siang atau sore.”

“Marilah kita masuk,” berkata gurunya, “aku ingin segera melihat luka Ki Argapati yang sebenarnya.”

Gupita mengangguk pula. “Marilah. Aku kira tidak akan ada kesulitan lagi bagi Guru dan Adi Gupala.”

Gupala mengerutkan keningnya. “Lalu bagaimana dengan kau sendiri?”

“Mudah-mudahan anak muda yang bertubuh raksasa itu tidak membuat persoalan lagi.”

Gupala mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi ia tidak berbicara lagi.

Mereka bertiga pun kemudian berjalan perlahan-lahan namun dengan penuh kewaspadaan mendekati regol darurat yang sedang dibuat itu. Semakin lama semakin dekat.

“Mereka telah melihat kita,” desis gembala tua itu.

“Ya,” sahut Gupita, “mudah-mudahan bukan Wrahasta yang memimpin pekerjaan itu.”

Sejenak kemudian mereka melihat lima orang keluar dari regol yang sedang mereka buat, berjalan menyongsong ketiga orang gembala itu.

“Siapakah kalian?” bertanya salah seorang dari kelima orang itu ketika mereka menjadi semakin dekat.

Gupita-lah yang melangkah maju sambil menjawab, “Aku Gupita. Aku yang kemarin telah datang ke padukuhan ini.”

“Oh,” sahut orang itu, “kaukah yang berusaha mengobati Ki Argapati?”

“Ya, ayahku inilah.”

Pengawal itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Diamat-amatinya ketiga orang gembala itu berganti-ganti. Kemudian kepada salah seorang dari mereka ia berkata, “Sampaikan kepada Ki Samekta, bahwa dukun itu telah datang.”

Ketika orang itu melangkah ke regol yang sedang mereka buat itu, orang yang pertama berkata, “Kita menunggu di sini.”

Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mengerti, kenapa para pengawal menjadi sangat berhati-hati. Bagi para pengawal Tanah Perdikan Menoreh, keadaan memang terasa terlampau gawat, sehingga setiap persoalan harus ditanggapinya dengan sangat berhati-hati.

Sejenak kemudian, mereka melihat seseorang keluar dari padukuhan itu diantar oleh pengawal yang tadi memberitahukan kehadiran gembala tua itu beserta kedua anak-anak muridnya. Orang itu ternyata adalah Samekta.

“Itulah, Ki Samekta telah datang.”

Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun masih saja digelisahkan tentang dirinya sendiri apabila nanti ia harus bertemu dengan Argapati.

“Kalau tidak hari ini, juga besok atau lusa aku akan bertemu. Sudah tentu aku tidak akan menunggunya sampai Argapati mati, baik oleh lukanya maupun di dalam peperangan,” berkata gembala tua itu di dalam hatinya.

Samekta yang menjadi semakin dekat itu pun menganggukkan kepalanya. Sementara itu gembala tua itu pun mengangguk hormat.

“Ternyata Kiai benar-benar datang hari ini,” berkata Samekta. “Kami memang mengharap sekali kedatanganmu. Sebelum kau melihat lukanya, kau telah mampu mengobatinya, apalagi apabila kau melihat sendiri luka itu.”

“Mudah-mudahan,” jawab gembala tua itu sambil membungkukkan punggungnya, “aku akan sekedar berusaha. Mudah-mudahan usaha itu dapat berhasil.”

“Marilah, Kiai. Aku kira Ki Argapati pun telah menunggu pula.”

“Terima kasih.”

“Anakmu yang seorang itu telah aku kenal. Karena itu, kedatanganmu tidak perlu melampaui pemeriksaan yang sulit.”

“Terima kasih. Adalah menjadi pekerjaanku untuk mengobati setiap luka. Luka siapa pun juga oleh apa pun juga.”

Samekta mengerutkan keningnya. Namun kemudian dianggukkannya kepalanya sambil berkata, “Ya. Ya. Adalah menjadi kuwajiban seorang dukun untuk mengobati orang-orang yang terluka. Marilah.”

Gembala tua itu pun kemudian melangkah mengikuti Samekta. Di belakang, kedua anaknya berjalan dengan kepala menunduk. Di belakang keduanya, para pengawal melangkah dengan tegapnya, mengikuti iring-iringan kecil itu.

Ketika mereka menjadi semakin dekat dengan regol yang sedang dikerjakan itu, hati Gupita menjadi berdebar-debar. Seorang anak muda yang bertubuh raksasa berdiri di tengah jalan sambil bertolak pinggang.

“Orang itukah dukun yang dikatakan akan mencoba mengobati luka Ki Argapati?” bertanya anak muda yang bertubuh raksasa itu.

Samekta menganggukkan kepalanya, “Ya. Inilah orangnya.”

Wrahasta mengerutkan keningnya. Tetapi sorot matanya serasa membakar jantung Gupita. Ia merasa bahwa anak muda yang bertubuh raksasa itu selalu mengawasinya.

“Kami akan membawanya langsung menghadap Ki Gede Menoreh.”

“Apakah kau sudah yakin Paman Samekta?”

Samekta heran mendengar pertanyaan itu, justru di hadapan orang yang berkepentingan. Namun demikian ia menjawab, “Ya, aku sudah yakin.”

“Baiklah. Mudah-mudahan ia berhasil,” gumam Wrahasta.

Samekta berhenti sejenak. Dipandanginya wajah Wrahasta yang agaknya menjadi acuh tidak acuh. Namun sejenak kemudian, Samekta pun meneruskan langkahnya diikuti oleh gembala tua itu, dan kemudian di belakangnya adalah kedua murid-muridnya.

Ketika Gupita melangkah tepat di depan Wrahasta, terdengar anak yang bertubuh raksasa itu menggeram, “Kau akan menyesal bahwa kau telah mengabaikan pesanku. Kehadiranmu di sini sama sekali tidak kami kehendaki.”

Gupita mengerutkan dahinya. Namun ia tidak menjawab sepatah kata pun. Diayunkannya kakinya melangkah mengikuti gurunya dan adik seperguruannya. Meskipun demikian, kata-kata Wrahasta itu terasa sebagai sebuah ancaman baginya.

Gembala tua itu diantar oleh Samekta langsung menuju ke tempat Ki Argapati. Semakin dekat dengan rumah yang di tempatinya, hati gembala tua itu menjadi semakin berdebar-debar.

Sejenak kemudian mereka telah memasuki halaman. Sebelum mereka masuk ke rumah, maka Samekta-lah yang mendahuluinya, menyampaikan berita itu kepada Ki Gede, bahwa dukun tua beserta anak-anaknya itu telah datang.

Namun ketika Samekta itu keluar dari rumah itu, ia berkata, “Sayang, Ki Argapati sedang tidur. Apakah aku harus membangunkannya?”

“O jangan. Biarlah Ki Argapati tidur sebanyak-banyaknya. Itu akan sangat bermanfaat bagi luka-lukanya yang parah.”

“Kalau begitu, silahkan kalian menunggu di pendapa.”

Ketiga orang itu pun kemudian dibawa naik ke pendapa. Bersama Samekta mereka duduk di atas sehelai tikar pandan yang putih. Sambil menunggu Ki Argapati, maka gembala tua itu bercakap-cakap tentang luka itu dengan Ki Samekta.

Sementara itu pintu yang memisahkan pendapa dan pringgitan berderit. Kemudian muncullah seorang gadis dengan sepasang pedang di lambungnya. Tetapi kali ini ia tidak menggenggam hulu pedangnya, atau kendali seekor kuda yang tegar, atau sebuah busur dan anak panah. Yang kali ini dipegangnya adalah beberapa buah mangkuk di dalam nampan kayu.

Ternyata gadis itu tidak hanya sigap mempemainkan sepasang pedangnya, namun ia pandai juga melayani tamu dengan menghidangkan minum dan makanan.

Gupala yang berpaling ketika ia mendengar pintu bergerit, memandang gadis itu dengan tanpa berkedip. Bahkan dengan mulut ternganga ia mengikuti segala gerak-geriknya. Langkahnya, kemudian dengan hati-hati berjongkok untuk meletakkan mangkuk itu satu demi satu. Kemudian surut selangkah, berdiri perlahan-lahan dan akhirnya hilang kembali di balik pintu.

Demikian gadis itu hilang ditelan pintu, maka Gupala pun menarik nafas dalam-dalam. Gadis itu sangat berkesan di hatinya. Langkahnya lembut sebagai seorang gadis dengan nampan kayu di tangan. Tetapi agaknya cukup meyakinkan di medan peperangan.

Tanpa sesadarnya Gupala berpaling memandang wajah Gupita. Anak muda yang gemuk itu mengumpat-umpat di dalam hatinya ketika ia melihat Gupita tersenyum kepadanya.

Ketika kemudian Samekta sedang asyik bercakap-cakap dengan gurunya, Gupala bergeser mendekati Gupita. Dengan berbisik-bisik ia bertanya, “He, itukah gadis yang kau katakan bertempur melawan Ki Peda Sura?”

Gupita menggeleng. “Bukan.”

Gupala mengerutkan keningnya. Kemudian katanya perlahan-lahan hampir berdesis, “Bukankah gadis itu puteri Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang bernama Pandan Wangi?”

Sekali lagi Gupita menggelengkan kepalanya. “Bukan.”

Gupala menarik nafas dalam-dalam. Dan tiba-tiba ia berkata, “Gadis itu membawa sepasang pedang.”

“Ada beberapa puluh gadis di Tanah Perdikan ini yang membawa sepasang pedang, karena Pandan Wangi memang membuat sepasukan pengawal yang terdiri dari gadis-gadis dan perempuan-perempuan muda. Semuanya membawa pedang rangkap.”

Gupala menggigit bibirnya. Tetapi ia tidak berbicara lagi. Meskipun demikian, berbagai pertanyaan bergelut di hatinya. Namun ketika terlihat olehnya Gupita tersenyum-senyum, maka ia berbisik, “Apakah kau berkata sebenarnya?”

“Tentu, aku berkata sebenarnya. Kalau kau ingin melihat, nanti aku bawa kau kepada pasukan berpedang rangkap itu.”

Sekali lagi Gupala terdiam. Dengan dada yang berdebar-debar ia berharap agar gadis yang berpedang rangkap itu keluar lagi dari pringgitan. Tetapi daun pintu itu sama sekali tidak bergerak.

Akhirnya Gupala menjadi jemu menunggu. Perhatiannya kini ditujukan kepada percakapan antara gurunya dan Ki Samekta yang agaknya sangat menarik.

“Semalam agaknya luka itu kambuh kembali,” berkata Samekta.

“Seharusnya Ki Gede banyak beristirahat,”

“Ya, Ki Gede menyadarinya. Tetapi keadaan sangat mendesak. Seandainya Ki Gede tidak muncul malam itu, aku tidak tahu, apa saja yang akan dilakukan oleh Ki Tambak Wedi.”

Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Nah, kalau kau mampu menolongnya, tolonglah. Kalau Ki Gede dapat segera sembuh, maka kami akan tetap berpengharapan untuk dapat merebut tanah ini. Tanpa Ki Gede, kami di sini tidak akan berarti apa-apa bagi Ki Tambak Wedi, Sidanti, Argajaya, dan Ki Peda Sura yang pasti akan segera sembuh pula.” Ki Samekta tiba-tiba berhenti sejenak, lalu tiba-tiba, “He, bukankah anakmu itu mampu bertempur melawan Ki Peda Sura bersama Angger Pandan Wangi?”

Gembala tua itu mengangguk. “Ya, ia hanya sekedar membantu. Agaknya Angger Pandan Wangi memang seorang gadis pilih tanding.”

Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Angger Pandan Wangi sudah menceriterakan semuanya. Kita memang tidak dapat menyangsikannya. Dalam bentrokan karena salah paham antara anakmu yang bernama Gupita itu melawan Angger Wrahasta, ternyata anakmu cukup berjiwa besar dan menunjukkan kemampuan yang luar biasa.”

Gembala tua itu tidak segera menyahut. Dipandanginya wajah Gupita sejenak, kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, “Hanya suatu kebetulan,”

“Tidak. Bukan suatu kebetulan. Karena anakmu sudah mulai, maka aku akan minta ijin kepadamu, agar anakmu kau perbolehkan ikut serta di dalam peperangan yang tengah membakar Tanah Perdikan ini. Hanya satu orang yang dapat kami banggakan di dalam lingkungan kami. Hanya Angger Pandan Wangi. Lalu siapakah yang harus bertempur melawan Angger Sidanti, Argajaya dan Ki Peda Sura?”

“Jangan dinilai terlampau tinggi. Mereka hanya sekedar gembala-gembala yang tidak berarti. Namun bukan berarti bahwa kami tidak bersedia untuk ikut melibatkan diri kami, meskipun kami tidak berkepentingan secara langsung.”

Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Ya, kalian sama sekali memang tidak berkepentingan, karena aku yakin bahwa kalian memang bukan orang-orang Menoreh.”

Gembala tua itu mengerutkan keningnya. Dan ia mendengar Samekta berkata seterusnya, “Kalau kalian memang orang-orang Menoreh, maka kalian pasti merasa bahwa kalian akan berkepentingan langsung untuk ikut serta menyelesaikan masalah ini.”

Sambil menganggukkan kepalanya orang tua itu berkata, “Demikianlah. Namun kami memang sudah terlanjur terlibat di dalamnya.”

Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Tetapi ia tidak segera berkata sesuatu. Dilemparkannya tatapan matanya jauh ke seberang halaman, menyentuh panasnya matahari yang menari-nari di dedaunan.

Sejenak kemudian, maka Samekta itu pun berkata, “Cobalah aku akan melihat, apakah Ki Gede sudah bangun.”

Sepeninggal Samekta, gembala tua itu menarik nafas. Kini sudah pasti baginya, bahwa ia dan kedua muridnya harus terjun di arena. Namun bagaimanakah bentuknya? Apakah memang sudah sampai saatnya Ki Tambak Wedi mengetahui kehadirannya?

Ketiganya berpaling ketika mereka mendengar pintu berderit. Sesaat kemudian Samekta telah berdiri di muka pintu itu sambil berkata, “Ki Gede telah bangun. Kalian ditunggu di dalam bilik.”

Gembala tua itu menganggukkan kepalanya. “Baiklah, kami akan segera datang.”

Ketiganya kemudian berdiri dan melangkahkan kakinya meskipun ragu-ragu. Mereka berjalan di belakang Samekta, memasuki pringgitan, kemudian langsung ke dalam. “Marilah, masuklah,” ajak Samekta.

Maka mereka pun kemudian masuk ke dalam sebuah bilik. Di dalam bilik itu Ki Argapati berbaring di atas pembaringannya ditunggui oleh anak gadisnya, Pandan Wangi.

Begitu mereka masuk, maka tiba-tiba tangan Gupala mencengkam lengan Gupita. Meskipun tidak menimbulkan kesan apa pun, tetapi Gupita berdesis, “He, sakit.”

“Ayo, tunjukkanlah kepadaku, di manakah pasukan gadis-gadis berpedang rangkap itu.”

Tetapi Gupita tidak menjawab. Ia hanya berdesis saja sambil mengibaskan lengannya yang dicengkam oleh Gupala. Namun Gupala tidak melepaskannya.

“Bukankah kau bilang bahwa gadis itu bukan Pandan Wangi? Bukankah kau berjanji untuk melihat pasukan gadis-gadis berpedang rangkap?”

“Ssst,” Gupita berbisik, “jangan ribut.”

“Tetapi kau belum menjawab.”

“Baiklah, aku mengatakan yang sebenarnya. Gadis itulah yang bernama Pandan Wangi.”

Gupala menarik nafas. Kemudian dilepaskannya tangan Gupita sambil berkata perlahan-lahan, “Sejak aku melihat aku sudah pasti, bahwa gadis itulah yang bernama Pandan Wangi.”

“He, jangan ribut. Lihat, gadis itu selalu memandangmu. Dan lihat, agaknya Ki Argapati akan berusaha bangkit.”

Gupala mengerutkan keningnya. Ia melihat Ki Argapati berusaha untuk bangkit dan bertahan dengan kedua belah tangannya.

“Jangan, Ki Gede,” gembala tua itu mencoba mencegah. “Silahkan Ki Gede berbaring saja.”

“Oh,” Ki Gede berdesah. “Maaf. Aku menerima kalian dengan cara yang barangkali kurang sopan.”

“Tetapi Ki Gede memang memerlukan berbaring.”

“Ya, sejak tadi malam lukaku terasa kambuh kembali.”

“Karena itu, Ki Gede harus banyak beristirahat.”

Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia mencoba memiringkan tubuhnya. Dengan tajamnya diamatinya gembala tua yang masih saja berdiri di samping Samekta.

“Kaukah ayah kedua anak-anak muda ini?”

“Ya, Ki Gede. Akulah.”

“Jadi, Kiai pulalah yang telah memberi aku obat sampai beberapa kali?”

“Dua kali,”

“Terima kasih, Kiai. Kedatangan Kiai memang aku harapkan sekali. Mudah-mudahan Kiai bersedia menolong aku.”

“Aku akan berusaha. Adalah kuwajibanku untuk menolong siapa saja.”

Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia terdiam, namun tampak di wajahnya bahwa ada sesuatu yang menyangkut di hatinya. Dipandanginya berganti-ganti gembala tua itu dan kedua murid-muridnya. Katanya kemudian, “Aku pernah melihat yang seorang itu di padukuhan ini, sedang yang lain di bawah Pucang Kembar. Bukankah mereka itu yang kau suruh memberikan obat kepadaku?”

“Ya, Ki Gede.”

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Agaknya ia memang menahan sesuatu di dalam dadanya. Namun akhirnya ia berkata, “Samekta, bawalah kedua anak-anak muda itu ke pendapa. Aku ingin berbicara dengan orang tua ini,”

Samekta mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak dapat membantah, sehingga karena itu ia menjawab, “Baiklah, Ki Gede.” Kemudian kepada Gupala dan Gupita ia berkata, “Marilah Anak-Anak Muda, kita kembali ke pendapa.”

Gupita menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Baik, Tuan.” Kepada Gupala ia berkata, “Marilah.”

Gupala menjadi kecewa. Ia lebih senang berada di dalam ruang itu meskipun ia harus berdiri saja sehari penuh. Tetapi ia pun harus melakukannya, mengikuti Samekta keluar dari ruangan itu.

Sepeninggal Samekta dan kedua anak-anak muda itu, maka Ki Argapati pun kemudian mempersilahkan gembala tua itu untuk duduk pada sebuah dingklik kayu.

..........bersambung ke Jilid 42

Tidak ada komentar:

Posting Komentar