Jumat, 05 Januari 2018

API di BUKIT MENOREH Jilid 44

API di BUKIT MENOREH

Karya S.H Mintardja



“CARILAH ALAT untuk mengangkat Ki Argapati,” desis orang tua itu. “Ia harus segera berada di dalam rumah. Aku harus mencuci lukanya dan memberikan obat baru lagi.”

Seorang dari antara mereka yang melingkarinya segera pergi mencari sebuah ekrak bambu. Dilambari dengan jerami kering, maka Ki Argapati pun kemudian dibaringkannya di atas ekrak itu dan diangkat oleh empat orang untuk segera dibawa ke pondoknya.

Ternyata obat yang sekedar untuk menolong sementara itu pun bermanfaat. Darah yang mengalir dari luka itu pun semakin lama menjadi semakin mampat.

Dengan tergesa-gesa Ki Argapati itu pun dibawa ke pondoknya. Di sampingnya, Pandan Wangi berjalan sambil menjinjing pedangnya, sehingga seseorang terpaksa memperingatkannya, “Sarungkan pedangmu, Pandan Wangi.”

“Oh,” pedang itu pun kemudian disarungkannya, tanpa sempat membersihkan dahulu debu yang melekat ketika pedang itu begitu saja diletakkan di tanah.

Ki Argapati masih belum sadarkan diri ketika perlahan-lahan ia dibaringkan di pembaringan. Dengan wajah yang tegang gembala tua itu menitikkan air ke bibirnya.

Ia menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat bibir yang pucat itu bergerak-gerak.

“Pandan Wangi,” berkata orang tua itu, “berilah aku air hangat. Air yang sudah mendidih, jangan didinginkan dengan campuran air tawar.”

Pandan Wangi pun mengangguk. Kemudian dengan tergesa-gesa ia pergi ke dapur. Adalah kebetulan sekali di dalam periuk masih terdapat sisa air masak. Tetapi karena air itu sudah dingin, maka Pandan Wangi dengan tergesa-gesa membuat api untuk menghangatkannya.

Dengan hati-hati gembala tua itu kemudian membersihkan luka Ki Argapati dengan air hangat itu. Kemudian diambilnya reramuan obat-obatan dari sebuah bumbung kecil yang selalu dibawanya. Beberapa macam reramuan dicampurnya menjadi satu. Kemudian dengan hati-hati reramuan itu ditaburkannya di atas luka.

Sejenak orang-orang di dalam ruangan itu memperhatikan wajah Ki Gede yang putih seperti kapas. Mereka melihat wajah itu menegang. Namun kemudian kesan itu pun lenyap pula. Kembali wajah itu menjadi beku.

Yang menegang adalah wajah gembala tua itu. Sejenak ia menahan nafasnya. Namun kemudian diraba-rabanya dada Ki Argapati, di sekitar luka-lukanya. Perlahan-lahan tangannya bergerak-gerak menyelusur otot-otot di sekitar leher, kemudian ke tengkuk.

“Aku minta yang kurang berkepentingan meninggalkan ruangan ini,” berkata gembala tua itu. “Udara menjadi terlampau panas, sehingga pengaruhnya tidak menguntungkan bagi Ki Argapati.”

Orang-orang itu pun segera meninggalkan ruangan itu. Yang tinggal kemudian adalah Pandan Wangi.

Dengan hati berdebar-debar ia melihat, bagaimana orang tua itu mencoba mengobati luka yang kambuh kembali itu. Setiap kali ia melihat gembala itu mengusap keringat di keningnya. Kemudian menekuni luka itu kembali.

Setelah air pembersih luka itu menjadi kering, maka luka itu pun kemudian diobatinya dengan obat yang lain lagi. Ditaburkannya obat itu dengan hati-hati.

berbaring sambil memejamkan matanya. Agaknya ia masih belum sadar dari pingsannya.

di atas luka itu, maka orang tua itu pun kemudian meramu obat yang lain di dalam mangkuk. Obat yang kemudian dengan hati-hati dan susah payah, diteteskan masuk ke dalam mulut Ki Argapati. Setetes demi setetes.

Pandan Wangi masih tegak berdiri di tempat dengan wajah yang semakin tegang. Dan tiba-tiba saja ia melangkah maju ketika ia melihat ayahnya bergerak.

“Jangan mengejutkannya,” desis gembala tua itu.

Pandan Wangi tertegun. Namun dahinya semakin berkerut-merut.

Sejenak kemudian kedua orang yang berada di dalam bilik itu berpaling ketika mereka mendengar langkah memasuki ruangan itu. Ternyata Samekta-lah yang datang dengan nafas terengah-engah.

“Bagaimana Kiai?” dengan serta-merta ia bertanya.

“Mudah-mudahan” jawab orang tua itu perlahan-lahan.

Samekta pun kemudian berdiri termangu-mangu. Tetapi ia tidak bertanya apa pun lagi. Kini ia melihat Ki Argapati telah menjadi tidak terlampau pucat. Perlahan-lahan Ki Argapati telah mulai bergerak-gerak.

Dengan hati-hati pula gembala tua itu mengangkat tangan Ki Argapati. Seandainya ia tidak luka di dadanya, maka tangan itu harus digerak-gerakkannya supaya pernafasannya menjadi segera lancar. Tetapi kali ini orang tua itu tidak dapat berbuat demikian, justru dada Ki Argapati sedang terluka.

Namun titik-titik obat yang diteteskan ke dalam mulut itu agaknya berpengaruh juga. Karena dengan demikian Ki Argapati telah mulai menyadari keadaanya.

Ketika Ki Argapati mulai membuka matanya, Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Hampir saja ia berlari memeluk ayahnya, seandainya ia tidak digamit oleh gembala tua itu.

“Jangan kau kejutkan dia,” desis gembala tua itu.

Pandan Wangi tertegun. Tetapi ia tidak dapat menahan perasaannya yang bergolak, sehingga terasa sesuatu menyekat tenggorokannya. Titik-titik air mata telah mengembun pula di matanya yang buram.

“Jangan menangis,” berkata Samekta perlahan-lahan, “kita berada di medan peperangan. Kau adalah seorang prajurit dengan sepasang pedang di lambungmu.”

Dengan susah payah Pandan Wangi menahan dirinya. Tetapi bagaimanapun juga ia adalah seorang gadis yang sedang menyaksikan ayahnya dalam keadaan yang gawat. Karena itu, maka ia tidak berhasil mencegah air matanya meleleh di pipinya. Namun demikian Pandan Wangi tidak terisak.

“Masa yang paling gawat telah lewat,” desis gembala tua itu ketika ia melihat Ki Argapati mencoba menarik nafas. Tetapi terasa betapa, sakit dadanya, sehingga wajahnya tampak menegang sejenak.

Tetapi Ki Argapati kini telah menyadari dirinya. Perlahan-lahan sekali kepalanya bergerak-gerak. Dan perlahan-lahan sekali ia berdesis, “Di mana aku sekarang?”

“Ki Gede berada di pondok.”

Ki Gede mengerutkan alisnya, “Di mana Pandan Wangi?”

“Ayah,” desis Pandan Wangi, “aku di sini.”

“Kemarilah, Ngger,” panggil gembala tua itu. Pandan Wangi pun segera mendekat dan berjongkok di samping pembaringan.

Dengan susah payah Ki Argapati mencoba menggerakkan tangannya membelai kepala puterinya. Perlahan-lahan terdengar Ki Gede bertanya, “Bagaimana dengan pertempuran itu?”

“Pasukan Ki Tambak Wedi telah menarik diri, Ayah,” jawab Pandan Wangi.

Ki Argapati mengerutkan keningnya. Dicobanya untuk mengingat-ingat apa yang terakhir dilihatnya.

Perlahan-lahan kepalanya terangguk-angguk. Katanya, “Ya. Mereka telah menarik diri. Apakah yang kita lakukan kemudian?”

“Membiarkan mereka meninggalkan pedukuhan ini,”

Ki Argapati masih mengangguk-angguk, dan sekali lagi ia bergumam, “Ya. Aku memang tidak dapat membawa kalian mengejar mereka, karena lukaku kambuh kembali.”

“Mereka meninggalkan pedukuhan ini dalam keadaan yang parah,” sambung Samekta.

Ki Argapati berdesis-desis perlahan-lahan, “Ya, ya.”

“Untuk sementara kita dapat menenangkan diri Ki Gede,” berkata gembala tua itu kemudian. “Aku kira Ki Tambak Wedi memerlukan waktu untuk menyembuhkan luka-luka pasukannya.”

“Ya, ya.”

“Nah, sekarang tenangkan hati Ki Gede. Beristirahatlah.”

Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian seisi ruangan itu berpaling ketika mereka mendengar langkah-langkah masuk.

Sejenak kemudian Kerti, Wrahasta, Dipasanga, dan Hanggapati telah memasuki ruangan itu.

“Kemarilah,” desis Ki Argapati.

Mereka pun segera mendekat.

“Bagaimana dengan kalian?”

“Baik, Ki Gede,” Wrahasta-lah yang menjawab. “Mereka telah terusir.”

“Apakah pekerjaan kalian telah selesai?”

“Sudah, Ki Gede. Medan telah sepi Beberapa petugas sedang mencoba menolong orang-orang yang terluka dari kedua belah pihak.”

Namun kening Wrahasta berkerut ketika Ki Gede bertanya, “Di mana Gupita dan Gupala?”

Wrahasta tidak segera menjawab. Dipandanginya setiap wajah yang ada di dalam ruangan itu. Kemudian ditatapnya pula kerut-merut di kening gembala tua itu.

“Apakah kau tidak melihatnya?” bertanya Ki Argapati kemudian.

Wrahasta menggelengkan kepalanya, “Tidak. Aku tidak melihatnya. Tetapi kenapa Ki Gede mencari kedua gembala itu?”

“Aku akan mengucapkan terima kasih kepada mereka dan kepada Ki Dipasanga dan Ki Hanggapati yang telah lebih dahulu ada di sini.”

Dada Wrahasta menjadi berdebar-debar. Dan jawabnya, “Ki Gede memang harus berterima kasih kepada Ki Dipasanga dan Ki Hanggapati. Mereka berdua telah berhasil menahan Sidanti dan Ki Argajaya. Tetapi apakah yang telah dilakukan oleh kedua gembala itu?”

“Keduanya telah bertempur,” jawab Argapati.

“Tidak hanya mereka berdua yang bertempur. Setiap orang ikut bertempur,” Wrahasta berhenti sejenak. Kemudian, “Sebaiknya dalam kesempatan yang lain Ki Gede mengucapkan terima kasih kepada semua orang yang berdiri di pihak kita tanpa membeda-bedakan.”

Ki Argapati mengerutkan keningnya. Kemudian ia menyeringai menahan pedih di dadanya.

“Wrahasta,” berkata Ki Argapati, “kau benar. Tetapi keduanya adalah orang lain. Bukan keluarga kita sendiri. Karena itu, seperti kepada Ki Hanggapati dan Ki Dipasanga, aku akan mengucapkan terima kasih yang khusus.”

“Itu terlampau berlebih-lebihan Ki Gede.”

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Namun ketika ia akan berbicara lagi terdengar gembala tua itu menahannya, “Sebaiknya Ki Gede beristirahat. Ki Gede memang dapat menyimpan ucapan terima kasih itu untuk lain kali. Sekarang sebaiknya Ki Gede memperhatikan keadaan Ki Gede ini lebih dahulu.”

Perlahan-lahan Ki Argapati berdesah.

“Kalau mungkin, sebaiknya Ki Gede tidur meskipun hanya sejenak. Ki Gede akan dapat beristirahat mutlak untuk sesaat.”

“Ya, ya,” jawab Ki Gede, “aku akan mencoba untuk tidur.” Ki Gede berhenti sejenak. Namun kemudian, “Tetapi sebaiknya setiap orang yang turun ke medan diteliti seorang demi seorang. Siapakah yang terluka, hilang atau gugur. Juga kedua gembala-gembala itu.”

Wajah Wrahasta menjadi tegang. Tetapi ia tidak segera menjawab.

“Kalau kau ketemu dengan anak-anak itu, panggillah mereka kemari,” berkata Ki Argapati seterusnya.

Bagaimanapun juga Wrahasta terpaksa menganggukkan kepalanya, “Ya, Ki Gede.”

“Sekarang aku akan mencoba beristirahat. Mudah-mudahan aku dapat meletakkan semua persoalan, sehingga aku dapat tidur meskipun hanya sekejap.”

Orang-orang di dalam bilik itu pun kemudian minta diri, dan mereka tinggalkan Ki Argapati terbaring ditunggui oleh puterinya, Pandan Wangi. Namun Pandan Wangi pun tidak terlampau lama tinggal di dalam bilik itu. Sejenak kemudian ia pun minta diri, meninggalkan ayahnya, agar ayahnya mendapat kesempatan untuk tidur barang sejenak.

Dari bilik ayahnya, Pandan Wangi langsung pergi ke belakang. Sebagaimana biasanya, ia selalu membantu mengerjakan pekerjaan dapur. Bahkan kadang-kadang mengambil air, memasak, serta menanak nasi.

Namun langkahnya tertegun ketika ia berjalan menuju ke pintu dapur. Dari celah-celah lubang pintu ia melihat dua orang anak-anak muda sedang duduk di bawah pohon jambu. Keduanya ternyata Gupita dan Gupala.

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Tanpa sesadarnya ia melangkah ke samping dan berdiri di bibir pintu. Karena tidak seorang pun berada di dalam ruangan yang menghadap langsung ke pintu dapur yang tembus ke halaman belakang itu, maka, ia merasa tidak terganggu.

Gupita dan Gupala yang tidak merasa bahwa sepasang mata sedang memandanginya, duduk saja seenaknya. Bahkan tiba-tiba Gupala meloncat berdiri. Dipandanginya sedompol jambu yang merah seperti soga.

“Hee, kau lihat itu?” desisnya.

“Ya.”

“Aku memerlukannya.”

“Seperti anak-anak. Kau pasti akan dimarahi oleh pemilik rumah ini.”

“Huh, dijaman peperangan ini tidak ada orang yang memikirkan hak milik atas sedompol jambu.”

Gupala tidak menunggu Gupita menyahut. Tiba-tiba diraihnya sebutir batu.

“Tetapi terlampau tinggi,” desisnya.

Gupita masih saja duduk di tempatnya, seolah-olah acuh tidak acuh saja atas kelakuan adik seperguruannya. Ia hanya berpaling ketika ia mendengar gemeresak batu yang dilontarkan oleh Gupala.

“Meleset,” desisnya.

“Huh,” sahut Gupita, “jambu itu tidak dapat berkisar dari tempat. Dan kau tidak dapat mengenainya. Bagaimana kalau yang kau lempar itu dapat menghindar.”

“Kalau jambu itu dapat menghindar, aku tidak akan melemparnya sekali lagi. Tetapi aku tantang ia supaya turun.”

Gupita tersenyum. Tetapi ia tidak beranjak dari tempatnya.

“Tolong, Kakang,” desis Gupala, “bukankah kau juara memanah di Sangkal Putung. Kau adalah pembidik yang paling baik di seluruh Pajang.”

“Ah, Bagaimana dengan bidikan gelang-gelang besi Ki Tambak Wedi?”

Gupala menggeleng, “Entahlah. Tetapi tolong, aku kepingin jambu itu.”

Akhirnya Gupita berdiri juga. Diambilnya sebutir batu, dan perlahan-lahan ditengadahkan wajahnya. Sementara Pandan Wangi memandanginya dengan berdebar-debar.

Sedompol jambu yang telah semerah soga itu itu tergantung pada sebuah cabang yang agak tinggi. Gupala sendiri telah gagal melemparnya dengan sebutir batu. Dan kini Gupita-lah yang akan mencobanya.

Pandan Wangi terpaku di tempatnya ketika ia melihat Gupita bergeser mencari arah, supaya batu yang dilemparkannya tidak jatuh di sembarangan tempat.

Ketika Gupita mulai menggerakkan tangannya, Pandan Wangi ikut menahan nafasnya. Bahkan tanpa sadarnya ia pun telah bergeser ke tengah pintu.

Batu yang meluncur dari tangan Gupita itu seolah-olah mempunyai mata. Dengan tepat batu itu mengenai tangkai sedompol jambu yang merah segar itu, sehingga sesaat kemudian telah menghambur berjatuhan.

Dengan tangkasnya Gupita dan Gupala menangkap masing-masing dua buah di kedua tangan.

“Bukan main,” tanpa dikehendakinya Pandan Wangi berdesis.

Namun ternyata suaranya itu dapat didengar oleh Gupita dan Gupala sehingga keduanya terkejut dan berpaling.

“Maaf,” berkata Gupita, “aku mengambil jambu tanpa minta ijin lebih dahulu.”

Pandan Wangi menjadi tersipu-sipu karenanya. Tetapi ia tidak dapat masuk kembali tanpa menjawab kata-kata itu.

“Tidak apa-apa. Aku mengagumi kecakapanmu membidik. Sekali lempar kau dapat mengenai sedompol jambu itu.”

“Itu belum apa-apa,” tiba-tiba saja Gupala menyahut, “Kakang Gupita dapat mengenai batu yang dilemparkan orang lain ke udara. Nah, apakah kau tidak percaya. Marilah kita coba.”

“Ah,” desis Gupita, “kau mengada-ada saja Gupala.”

“Jangan bertingkah. Ayo, kita bermain-main.”

Gupita mengerutkan keningmya. Gupala berbuat sekehendak sendiri dimana pun dan kapan pun, sehingga Pandan Wangi menjadi semakin terdiam karenanya.

Karena Pandan Wangi tidak segera menyahut, maka Gupala mendekatinya sambil mengulanginya, “Mari. Kau melemparkan batu ke udara dan Kakang Gupita akan dapat menyentuhnya dengan batu yang lain.”

“Tidak sekarang, Gupala,” berkata Gupita.

“Oh,” Gupala mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba ia menyadari keadaannya sehingga perlahan-lahan ia bergumam, “Maaf.” Namun kemudian dilanjutkannya, “Bagaimana dengan Ki Argapati?”

Pandan Wangi menarik nafas, jawabnya, “Ayah sudah berangsur baik. Obat ayahmu benar-benar membantunya.”

“Tentu,” sahut Gupala, “ayahku adalah seorang dukun yang tidak ada duanya. Ia dapat mengobati segala penyakit kecuali satu.”

“Sakit apa itu?” bertanya Pandan Wangi.

“Lapar,” jawab Gupala sambil tertawa.

“Hus,” desis Gupita.

“O, apakah kalian belum makan pagi?”

Gupala tertawa, ketika ia mendengar Gupita berkata, “Anak itu terlampau dikuasai oleh perutnya. Tetapi ia tidak akan mau kelaparan.”

“Tetapi seandainya kalian belum makan pagi, marilah.”

“Semua juga belum,” jawab Gupita. “Terima kasih. Nanti kami akan berada bersama-sama dengan pengawal yang lain.”

Gupala masih saja tertawa. Bahkan di sela-sela suara tertawanya ia berkata, “Bukan saja belum makan pagi, sejak kemarin aku belum makan malam.”

“Benar begitu?” desak Pandan Wangi.

“Jangan hiraukan. Terima kasih.”

“Marilah. Aku akan menjamu kalian berdua.”

“Terima kasih,” jawab Gupita. “Kami bukan orang-orang yang harus mendapat perlakukan khusus.”

“Jangan berpura-pura,” potong Gupala, “yang penting bagiku sama sekali bukan makan pagi atau sore atau malam. Tetapi aku berbangga bahwa aku akan menjadi tamu kehormatan puteri Kepala Tanah Perdikan Menoreh.”

“Ah,” Gupita berdesah dan Pandan Wangi menundukkan kepalanya. Tetapi tanpa dapat ditahannya lagi ia tersenyum.

Ia mendapat kesan tersendiri atas anak muda yang gemuk itu. Kesan yang berbeda dengan kakaknya, Gupita. Kakaknya nampak lebih bersunguh-sungguh menanggapi persoalan, meskipun kadang-kadang ia mau bergurau juga. Namun apabila gembala itu telah bermain dengan serulingnya, terasa bahwa hidup baginya bukan sekedar sebuah permainan. Terasa bahwa jangkauannya dan tanggapannya tentang masalah-masalah yang dihadapinya agak lebih dalam dan bersungguh-sungguh.

Tiba-tiba saja ia mendapat kegembiraan bersama kedua anak-anak muda itu. Selama ini ia merasa hidup di dalam kungkungan kemuraman. Ia tidak pernah melihat wajah-wajah yang gembira dan cerah seperti wajah anak muda yang gemuk itu. Wajah yang kekanak-kanakan.

“Sebenarnya Ayah pun menungu kalian,” berkata Pandan Wangi tanpa disadarinya, “tetapi kalian tidak datang ke biliknya bersama pemimpin-pemimpin pengawal yang lain.”

“Kami bukan pemimpin pengawal,” sahut Gupala, “kami tidak pantas untuk berada di dalam bilik itu bersama-sama dengan para pemimpin yang lain.”

“Ah, kau,” desis Pandan Wangi. “Tetapi kalian adalah tamu-tamu kami. Marilah. Ayah sekarang sedang tidur. Nanti kalau Ayah sudah bangun, kalian harus segera menghadap. Sekarang, marilah aku jamu kalian dengan makan.”

“Sekaligus makan malamku kemarin,” potong Gupala.

Pandan Wangi tersenyum pula. Senyumnya menjadi semakin cerah. Sudah agak lama ia tidak pernah tersenyum dan apalagi tertawa, karena keadaan di sekitarnya. Dan kini ia merasakan dorongan di dalam hatinya untuk tersenyum.

“Baik,” jawabnya, “makan pagi, malam, dan siang sama sekali.”

Gupala tertawa. Suara tertawanya lepas tidak tertahan-tahan meskipun tidak terlampau keras, sedang Gupita ikut tersenyum pula karenanya.

Agaknya Gupala memang tidak dapat meninggalkan kebiasaannya. Setiap kali ia selalu masuk ke dapur. Memungut apa saja yang dapat dimasukkan ke dalam mulutnya. Daging lembu, kambing, paha ayam dan bahkan apa saja. Secukil kelapa pun boleh juga.

“Marilah,” ajak Pandan Wangi pula.

“Jangan menolak rejeki,” katanya kepada Gupita, “sudah aku katakan, bahwa yang penting bukan makanan yang akan kami terima, tetapi kesempatan untuk menjadi seorang tamu.”

“Ah,” desah Pandan Wangi.

Gupita menarik nafas dalam-dalam, Sambil menggeleng-gelengkan ke-palanya, ia tidak dapat tinggal sendiri di halaman belakang. Karena itu ia pun melangkah masuk ke dalam dapur bersama Gupala mengikuti Pandan Wangi.

“Duduklah. Tetapi tempat ini agak kotor.”

“Akulah yang lebih kotor lagi.”

“Aku buatkan minum untuk kalian, kemudian makan pagi. Tetapi aku hanya dapat menghidangkan apa yang ada saja, karena bibi di rumah ini agaknya belum masak. Mungkin Bibi sedang mencuci pakaian atau keluar sebentar untuk sesuatu keperluan.”

“Terima kasih. Jangan merepotkan. Kami pun masih belum mandi. Kami akan minum saja. Nanti sesudah mandi, barulah kami akan makan,” jawab Gupita.

“Tetapi adikmu sudah sangat lapar.”

“Biarlah ia membiasakan diri menahan lapar dan haus. Tetapi ia pun harus mandi dulu. Membersihkan darah yang masih belum pampat benar.”

“Darah?” bertanya Pandan Wangi.

“Lihat, pundakku terluka meskipun tidak begitu dalam,” jawab Gupala sambil memperlihatkan noda-noda darah di bajunya yang kotor dan sobek.

“Tidakkah luka itu diobati?”

“Ayahku seorang dukun. Aku sudah dibekali dengan obat-obat yang dapat menolong luka-luka yang ringan seperti lukaku ini.”

Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil menyiapkan minuman kedua anak-anak muda itu ia berkata, “Sudah agak dingin. Tetapi cukuplah untuk menghangatkan perut.”

“Terima kasih.”

Pandan Wangi pun kemudian meletakkan mangkuk-mangkuk minuman itu di amben bambu. Air sere dengan gula kelapa. Bahkan disertai beberapa potong makanan.

“Terima kasih, terima kasih,” Gupala mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Aku ambilkan kalian makan kalau masih ada, meskipun sisa makan kemarin sore.”

“Kami akan mandi dahulu,” jawab Gupita, “biarlah kami makan bersama para pengawal yang lain. Minum dan makanan ini sudah lebih dari cukup.”

“Ya, jangan terlampau sibuk. Duduklah. Itulah yang penting,” sahut Gupala.

“Ah,” sekali lagi Pandan Wangi berdesah. Wajahnya menjadi ke merah-merahan seperti jambu yang menjelang tua.

Betapa inginnya Pandan Wangi duduk bersama mereka, berbicara dan bergurau, namun ia tidak dapat melakukannya. Sebagai seorang gadis, ia masih selalu dibayangi oleh perasaan malu. Karena itu, ditemuinya keduanya sambil mengerjakan pekerjaan apa saja. Membuat api, merebus air dan pekerjaan-pekerjaan dapur yang lain.

“Duduklah,” berkata Gupala, sehingga Gupita terpaksa menggamitnya.

“Kenapa?” Gupala malah bertanya. “Bukankah tidak apa-apa aku mempersilahkannya duduk?”

“Sst,” desis Gupita.

“Kenapa?”

Gupita menggeleng-gelengkan kepalanya, sedang wajah Pandan Wangi menjadi semakin merah, sehingga tangannya menjadi gemetar.

Namun dalam pada itu, terkilas di dalam kenangannya, masa-masa kecilnya. Terasa sepercik kesegaran menyusup ke dalam dadanya. Seperti pada masa kanak-kanak, kakaknya Sidanti, setiap kali berada di rumah, selalu membawanya bermain-main. Tertawa, bergurau, dan bahkan berkejar-kejaran.

“Betapa segarnya masa kanak-kanak itu,” katanya di dalam hati. Namun justru karena kenangan itu, maka wajahnya pun menjadi suram. Apalagi kini ia dihadapkan pada suatu kenyataan, bahwa kakaknya, Sidanti telah memusuhi ayahnya, dan bahkan telah membakar seluruh Tanah Perdikan ini menjadi abu.

Tetapi Pandan Wangi berusaha menyembunyikan perasaannya terhadap kedua anak-anak muda itu. Ia tidak mau menyeret mereka ke dalam kemuramannya. Keduanya adalah anak-anak muda yang gembira, apalagi yang gemuk itu, seakan-akan sama sekali tidak pernah mengalami kesulitan di dalam hidupnya, seperti di masa kanak-kanak.

Untuk mengurangi ketegangan di hatinya, Pandan Wangi yang sedang membersihkan paga bambu itu berkata, “Nanti kalau Ayah bangun, kalian harus segera menghadap. Ayah memerlukan kalian.”

Gupala menarik nafas, “Kau aneh. Kau belum mempersilahkan aku makan makananmu, kau sudah akan mengusir aku.”

Mau tidak mau Pandan Wangi harus tersenyum. Tetapi ia senang bahwa ia dapat tersenyum, bukan sekedar senyum yang dibuat-buat. “Maaf. Aku lupa mempersilahkan. Minumlah dan makanlah. Di dalam geledeg itu masih ada persediaan makanan. Kalau makanan itu habis, nanti biarlah aku tambah lagi.”

Gupala tertawa mendengarnya. “Terima kasih.”

“Terlalu kau,” gumam Gupita.

Tetapi Gupala tidak mempedulikannya. Ia mengambil tidak hanya sepotong makanan, tetapi dua sekaligus. Dengan sepenuh gairah, disuapkannya makanan itu ke dalam mulutnya.

Sikap itu justru terasa menyenangkan sekali. Kalau Gupala itu mempunyai pintu di dadanya, seakan-akan pintu terbuka, sehingga apa yang tersimpan di dalam dadanya, dapat dilihat tanpa selubung apa pun.

“Silahkan,” tanpa sesadarnya ia berkata, sehingga Gupala berpaling karenanya. Sambil tersenyum ia menyahut, “Ketahuan juga agaknya.”

Pandan Wangi pun tertawa. Tetapi suara tertawanya segera terputus, ketika ia melihat seseorang yang bertubuh raksasa berdiri di muka pintu.

Sejenak Pandan Wangi seakan-akan membeku di tempatnya. Sorot mata Wrahasta membayangkan hatinya yang kurang senang melihat keadaan di dalam dapur itu. Sekali-sekali Wrahasta memandangi kedua anak-anak muda itu berganti-ganti, kemudian memandangi Pandan Wangi dengan tajamnya.

Gupita yang melihat kehadirannya pun menjadi berdebar-debar. Anak yang bertubuh raksasa itu tidak begitu senang kepadanya. Karena itu untuk tidak menimbulkan hal-hal yang tidak dikehendaki, maka ia selalu menghindari benturan pandangan.

Tetapi Gupala mempunyai tanggapan lain. Ia belum begitu mengenal Wrahasta, meskipun ia sudah mendengar serba sedikit tentang raksasa itu, namun Gupala sama sekali tidak mempedulikannya. Karena itu maka tanpa mengacuhkan gelagat di wajah Wrahasta, Gupala berkata, “Ha, kau datang juga. Kemarilah. Makanan sudah tersedia.”

Wrahasta mengerutkan keningnya. Wajahnya tiba-tiba menegang. Ia sama sekali tidak senang melihat sikap dan tingkah laku Gupala, namun dengan demikian justru ia terdiam sesaat.

“Kemarilah, jangan malu-malu. Tidak ada orang lain. Adalah kebetulan bahwa di geledeg ada sisa makanan,” berkata Gupala selanjutnya.

“Gupala,” bisik Gupita, “jagalah dirimu sedikit.”

Gupala mengerutkan keningnya. Hampir saja ia menjawab peringatan Gupita kalau Gupita tidak mendahuluinya, “Jangan berteriak. Orang ini mempunyai beberapa kelainan.”

Gupala mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia mulai memperhatikan wajah itu. Wajah raksasa yang kaku.

“Agaknya ia tidak pernah tertawa.”

“Sst.”

Wrahasta kemudian melangkah masuk ke dalam dapur. Dipandanginya Pandan Wangi dengan tajamnya. Sejenak kemudian terdengar suaranya, “Apa kerja anak-anak ini di sini?”

Pandan Wangi masih selalu mencoba menahan dirinya. Karena itu maka jawabnya, “Mereka belum makan sejak kemarin. Aku kasihan kepada mereka, dan aku memberikan makanan untuk sekedar mengisi perut.”

“Hampir semua orang belum makan sejak kemarin malam. Baru sebagian kecil saja dari mereka yang sempat makan lebih dahulu. Pagi ini mereka masih juga belum makan. Aku baru melihat nasi diantar ke gardu-gardu dan ke tempat-tempat peristirahatan para pengawal. Dan di sini orang-orang asing ini mendapat perlakuan khusus yang berlebih-lebihan. Itu tidak adil. Biar saja mereka pergi ke tempat para pengawal untuk menerima makan mereka. Kenapa harus di sini?”

Dada Pandan Wangi menjadi berdebar-debar. Ia menyadari betapa penting kedudukan Wrahasta di kalangan para pengawal. Tetapi kata-kata itu sangat menyakitkan hatinya. Ia sudah terlanjur menerima keduanya sebagai tamunya. Tiba-tiba Wrahasta datang memaki-maki.

“Nah, biarkan mereka keluar,” sambung naksasa itu.


“Wrahasta,” berkata Pandan Wangi, “aku sengaja membawa mereka kemari, supaya aku tidak kehilangan mereka lagi. Bukankah kau mendengar juga, bahwa Ayah memanggil keduanya untuk menghadap?”

“Itu hanya sekedar sopan santun. Dan aku pun akan membawa mereka menghadap. Tetapi tidak di dapur seperti ini. Kalau Ki Gede sudah bangun, biarlah keduanya datang ke dalam biliknya.”

“Kalau aku ikat mereka di sini, mereka tidak akan pergi lagi, dan kita tidak usah mencarinya.”

“Nah, itulah kepandaian puteri Kepala Tanah Perdikan ini,” sahut Gupala. “Kalau kepada kami berdua ini disediakan makanan, minuman, apalagi ingkung ayam, maka sehari penuh kami tidak akan beranjak dari amben ini.”

Gupita menyarik nafas dalam-dalam, sedang Pandan Wangi menggigit bibirnya, sementara Gupala berkata terus, “Marilah Ki Sanak. Minuman hangat dan makanan yang agak wayu sedikit, justru membuat tubuh menjadi segar-bugar, meskipun belum mandi.”

Wajah Wrahasta justru menjadi semakin tegang. Dengan suara yang datar ia berkata, “Tetapi tidak sepantasnya kalian mendapat perlakuan yang khusus. Para pengawal Tanah ini pun tidak mendapat perlakuan seperti kalian, bahkan para pemimpinnya, Paman Samekta, Paman Kerti, dan aku sendiri.”

“Itulah bedanya,” jawab Gupala, “aku adalah seorang tamu di Tanah ini. Tamu memang harus mendapat perlakuan yang lain.”

“Hanya tamu yang tidak sopanlah yang tidak menurut ketentuan dari tuan rumahnya. Ayo, jangan banyak bicara. Aku adalah tuan rumah di atas Tanah Perdikan ini.”

“Wrahasta,” potong Pandan Wangi, “tidak seorang pun yang akan menyangkal. Tetapi siapakah aku ini? Siapakah Ki Argapati? Apakah mereka bukan tuan rumah? Aku telah mempersilahkan tamu-tamuku masuk sekedar ke dalam dapur. Aku minta kau mengerti. Bukankah karena Ayah dari keduanya itu, luka-luka Ayah tidak merenggut nyawanya?”

Sesaat Wrahasta terdiam. Ia memang tidak dapat menyangkal, bahwa demikianlah yang telah terjadi. Tetapi ia pun tidak dapat mengelak lagi dari api kecemburuannya yang semakin berkobar di dadanya. Perasaan yang demikian bagi anak-anak muda dapat menjadikan pendorong untuk berbuat sesuatu, namun dapat juga menjadi racun yang berbahaya.

Dan Wrahasta justru menjadi semakin bermata gelap. Dengan suara yang gemetar ia berkata, “Pandan Wangi. Persilahkan tamumu meninggalkan ruangan ini. Biarlah berada di ruang sebagai tamu yang terhormat, yang telah menyelamatkan nyawa Ki Gede. Biarlah Paman Samekta, Paman Kerti dan para pemimpin yang lain menemuinya. Bukan kau. Kau adalah seorang gadis. Apakah kau telah berlaku sepantasnya bagi seorang gadis?”

Dada Pandan Wangi berdesir mendengar kata-kata Wrahasta. Agaknya Wrahasta sudah tidak dapat menahan hati lagi, sehingga Pandan Wangi itu menjadi semakin meyakini latar belakang dari sikap anak muda yang bertubuh raksasa itu.

Namun justru dengan demikian, runtuhlah perasaan iba di hati gadis itu. Kemarahan yang telah merayapi jantungnya, tiba-tiba menjadi lilih. Pandan Wangi mengenal kemampuan Gupita dan menurut penilaiannya, tentu juga Gupala tidak akan jauh berbeda daripadanya.

Karena itu, maka perselisihan di antara mereka harus dihindari. Menilik sifat kedua anak-anak muda itu, maka Gupala mempunyai cara yang lain dalam menanggapi raksasa itu. Kalau Gupita masih selalu berusaha menahan dirinya, namun agaknya Gupala akan berbuat lain. Karena itu maka Pandan Wangi harus menjaga, agar di antara mereka tidak timbul salah paham.

Apabila demikian, maka Gupala pasti akan bertindak dengan sungguh-sungguh. Sudah barang tentu bahwa Wrahasta pasti tidak akan dapat melawannya. Dan kekalahan Wrahasta akan berakibat kurang baik bagi tanah perdikan ini.

Karena pertimbangan-pertimbangan itulah maka Pandan Wangi kemudian mengambil suatu sikap yang kurang dimengerti oleh Gupala, tetapi sama sekali tidak mengherankan Gupita.

“Baiklah,” berkata Pandan Wangi kemudian, “aku memang ingin mempersilahkan kalian duduk di ruang depan bersama ayah kalian, Paman Samekta, Paman Kerti dan yang lain-lain. Tentu saja setelah kalian makan makanan itu.”

Gupala tercenung sejenak. Dipandanginya wajah Pandan Wangi dan Wrahasta berganti-ganti.

“Oh,” Pandan Wangi berkata pula, “atau barangkali kalian akan mandi dahulu?”

Namun Gupala menggelengkan kepalanya. “Tidak. Aku tidak perlu mandi. Aku dapat makan tanpa mandi sepuluh hari sepuluh malam. Apalagi di peperangan.”

Dada Pandan Wangi berdesir. Ia merasa bahwa tamunya yang gemuk itu merasa tersinggung. Itulah yang dicemaskannya. Tetapi kalau anak itu tetap berada di dapur, maka perselisihan yang lebih tajam mungkin akan terjadi. Justru dengan Wrahasta.

“Maaf,” jawab Pandan Wangi kemudian, “di ruang depan telah tersedia makan dan minum. Sama sekali makan malam kemarin dan mungkin masih ada yang lain lagi.”

Gupala menarik nafas dalam-dalam. Tetapi tanpa disangka-sangka ia menjawab, “Yang penting bukan makanannya. Aku berbangga bahwa aku suatu ketika menjadi tamu puteri Kepala Tanah Perdikan Menoreh.”

Dada Pandan Wangi berdesir. Ternyata anak muda yang gemuk itu sama sekali tidak mengacuhkan celerat di wajah Wrahasta. Dan ketika Pandan Wangi menyambar sorot mata raksasa itu, hatinya menjadi kian berdebar-debar.

Namun tiba-tiba Gupita turun dari amben sambil berkata, “Terima kasih. Itulah yang kami harapkan. Di sini kami telah menerima makanan dan minuman, di ruang depan kami akan menerimanya untuk yang kedua kalinya. Baiklah kami akan pergi ke ruang depan supaya kami tidak kehabisan.”

Gupala mengerutkan keningnya. Tetapi sebelum ia berkata sesuatu, sekali lagi Gupita mendahului, “Kalau kau mau, makanan itu dapat kita bawa. Bukankah begitu?”

Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya, meskipun terasa menjadi kaku. “Apakah kalian memerlukannya?”

Namun Gupita menggeleng, “Terima kasih. Kami memang ingin mandi lebih dahulu.” Lalu kepada Gupala ia berkata, “Marilah.”

Sekali lagi Gupala menarik nafas dalam-dalam. Tetapi dengan malasnya ia pun berdri dan berkata, “Aku sebenarnya lebih senang duduk di sini. Kalau bukan yang mempersilahkan aku masuk itulah yang mempersilahkan aku keluar, aku akan tetap tinggal di dalam dapur.”

“Bukan maksudku mempersilahkan kau keluar,” sahut Pandan Wangi, “namun memang sepantasnya seorang tamu berada di ruang depan. Aku justru minta maaf bahwa aku telah mempersilahkan kalian duduk di dapur.”

“Kau tidak perlu memakai terlampau banyak alasan Pandan Wangi,” sahut Wrahasta tiba-tiba. “Sebaiknya kau memang berterus terang mengusir mereka. Apakah salahnya? Kau adalah puteri Ki Gede Menoreh. Jangankan menyuruh mereka keluar dari dapur ini. Bahkan kau dapat mengusirnya dari tlatah Menoreh.”

Sebersit warna merah membayang di wajah Gupala. Berbeda dengan Gupita, maka tiba-tiba ia bertolak pinggang.

Pandan Wangi menjadi bingung. Maksudnya adalah untuk mencegah perselisihan. Namun justru mereka seakan-akan mendapat jalan untuk berbantah.

“Sudahlah,” Pandan Wangi hampir berteriak, “kalian bukan anak-anak lagi. Di ruang dalam ayah sedang terbaring karena lukanya dan berusaha untuk beristirahat. Di sini kalian bertengkar tanpa ujung dan pangkal.”

Gupala masih akan menjawab karena ia melihat Wrahasta memandanginya dengan sorot mata kebencian. Tetapi ia tidak dapat membantah lagi ketika tangannya ditarik oleh Gupita.

“Kau mempunyai kebiasaan yang kurang baik, Gupala,” desis Gupita. “Kalau kau sedang lapar, maka nalarmu menjadi terlampau pendek.”

“Tidak. Ini bukan soal lapar.”

“Hus,” Gupita berdesis sambil menarik lengan adiknya, “marilah. Jangan membuat kesulitan. Kau di sini menjadi seorang tamu. Kau harus tunduk kepada tuan rumah. Dan kita memang dipersilahkan keluar dari dapur. Aku yakin bahwa Pandan Wangi tidak akan ingin menyakitkan hati kita.”

“Wangi. Anak yang kasar itulah yang memang harus mendapat pelajaran sekali-kali.” Gupala menggeram, tetapi ia sudah menjadi semakin jauh dari pintu dapur, “Kenapa anak itu tidak kau putar saja batang lehernya ketika kau mendapat kesempatan untuk berkelahi.”

“Ah, kau terlalu terburu nafsu, itulah yang selalu dicemaskan oleh Guru.”

Gupala mengumpat. Ketika ia berpaling dilihatnya Pandan Wangi juga meninggalkan dapur, justru keluar dari pintu belakang dan cepat melingkari sudut rumah, masuk ke pintu butulan samping.

Sebenarnya bahwa Pandan Wangi pun menghindari pertemuan seorang dengan seorang. Ia tidak mau tersudut dalam kesulitan. Karena itu ketika Gupala ditarik oleh Gupita keluar dari dapur, maka ia pun segera menyusulnya pula.

“Pandan Wangi,” panggil Wrahasta, “aku perlu dengan kau sebentar.”

Pandan Wangi tertegun sejenak. Sepercik keragu-raguan melonjak di hatinya. Apakah ia akan tetap tinggal di dapur bersama Wrahasta, atau tidak. Kalau ia tetap berada di dapur, maka ia pasti harus menjawab berbagai macam pertanyaan yang dapat membuatnya pening.

“Aku ingin berbicara dengan kau, Wangi,” berkata Wrahasta kemudian.

Terasa tengkuk Pandan Wangi meremang. Ia tidak dapat mengerti sendiri, kenapa ia tidak berani menyatakan perasaannya berterus terang. Bukan karena pertimbangan-pertimbangan tentang pertahanan Tanah Perdikan Menoreh saja, tetapi karena ia memang tidak akan sampai hati untuk mengatakannya. Ia tidak akan sampai hati melihat Wrahasta menjadi kecewa dan mungkin menjadi patah hati dan bermata gelap. Seandainya kedua anak-anak muda gembala kambing itulah yang menjadi sasaran, maka hal itu pasti akan menjadi bencana bagi dirinya sendiri karena Pandan Wangi telah dapat menjajagi imbangan kekuatan mereka.

Ketikta Wrahasta melangkah mendekatinya, tiba-tiba Pandan Wangi menengadahkan wajahnya, “Wrahasta, apa kau dengar ayah memanggil?”

Wrahasta tertegun.

“Dengarlah baik-baik.” Pandan Wangi memiringkan kepalanya, “o, aku harus segera menghadap.”

Wrahasta menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat Pandan Wangi menghambur keluar. Tetapi terasa hatinya berdesir. Ia sama sekali tidak mendengar suara Ki Argapati. Dan seandainya benar, bukan jalan itu yang akan dilalui Pandan Wangi. Gadis itu pasti akan masuk ke dalam lewat pintu masuk, bukan pintu keluar.

Tiba-tiba Wrahasta menyusul sampai ke pintu. Ia masih melihat Pandan Wangi berputar, kemudian hilang di balik sudut. Namun ia mengangguk-anggukkan kepalanya ketika ia melihat Gupala dan Gupita menjadi semakin jauh di halaman belakang. Agaknya mereka akan melalui butulan, pergi ke sungai kecil yang mengalir di pinggir padukuhan ini.

Namun hatinya menjadi semakin tidak tenteram. Anak muda itu seakan-akan menjadi semakin rapat bergaul dengan Pandan Wangi, dan agaknya Pandan Wangi pun menerima kehadiran mereka dengan hati terbuka. Apalagi agaknya anak yang gemuk itu mempunyai tanggapan yang lain kepadanya. Tidak seperti kakaknya agak lebih tenang.

“Sayang, Ki Argapati sedang membutuhkan ayah mereka. Kalau tidak, keduanya pasti sudah aku usir dengan paksa. Aku tidak senang melihat kehadiran mereka di padukuhan ini,” desis Wrahasta. “Tetapi untuk sementara aku tidak dapat berbuat apa-apa.”

Pandan Wangi yang kemudian masuk kembali ke dalam rumah itu lewat butulan samping, langsung pergi ke bilik ayahnya. Dengan hati-hati ia memasukinya dan kemudian duduk di atas sebuah dingklik kayu di sudut ruangan.

Perlahan-lahan ia menarik nafas dalam-dalam. Terasa debar jantungnya menjadi semakin cepat.

“Bagaimana aku harus menghindarinya?” pertanyaan itu selalu mengganggunya. Namun Pandan Wangi memasa, bahwa pada suatu saat ia harus mengambil suatu sikap. Ia tidak akan dapat untuk seterusnya menghindar dan menghindar. Karena ia menyadarinya, bahwa bukanlah suatu penyelesaian. Pada saatnya ia harus menjawab, “Ya” atau, “Tidak.”

Selama ini, meskipun hanya setitik, agaknya Wrahasta selalu berpengharapan. Sehingga apabila kelak pada saatnya ia mendengar jawaban yang lain, maka hatinya pasti akan patah. Akibatnya akan dapat terungkap dalam berbagai-bagai bentuk.

Karena itu Pandan Wangi menjadi semakin bingung. Sekali-sekali dipandanginya wajah ayahnya yang pucat, kemudian dilemparkannya tatapan matanya ke sudut bilik, ke atas sebuah ajuk-ajuk lampu minyak. Warna yang kehitam-hitaman membayang di dinding di sebelah ajuk-ajuk itu. Di malam hari, apabila lampu menyala, maka asapnya selalu menyentuh dinding itu.

Pandan Wangi tidak menyadari, berapa lama ia duduk di tempat itu. Ia seakan-akan tersadar ketika ia mendengar desah napas ayahnya.

Dengan serta-merta Pandan Wangi berdiri. Dihampirinya pembaringan ayahnya perlahan-lahan.

“Wangi,” desis ayahnya.

“Ya, Ayah.”

“Apakah sejak tadi kau berada di sini?”

“Tidak Ayah. Aku sudah pergi ke dapur dan ke luar.”

“O,” Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya perlahan-lahan, “di manakah orang-orang yang lain?”

“Di luar, Ayah. Mereka pun sedang beristirahat di serambi depan. Bahkan mungkin paman-paman sedang tidur pula.”

“Kedua prajurit itu?”

“Juga di luar.”

“Dan kedua gembala muda itu?”

“Mereka berada di belakang, Ayah. Apakah Ayah akan memanggilnya?”

Tetapi Ki Argapati menggelengkan kepalanya, “Tidak sekarang, Wangi. Aku masih ingin beristirahat. Tetapi badanku sudah terasa jauh lebih baik.” Ki Argaparti berhenti sejenak, “Beritahukan kepada pamanmu Samekta. Aku memerlukannya dan para pemimpin yang lain. Aku ingin berbicara nanti sesudah senja.”

“Baik, Ayah.” Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Ia ingin menanyakan apakah ayahnya ingin makan. Tetapi ia cemas, kalau-kalau Wrahasta masih berada di dapur.

Namun demikian, ia terpaksa mengesampingkan kecemasannya itu dan bertanya kepada ayahnya, “Apakah Ayah ingin makan?”

Ki Argapati menggelengkan kepalanya, “Tidak, Wangi. Tetapi berilah aku minum.”

Pandan Wangi pun kemudian mendekatkan mangkuk minuman ke mulut ayahnya yang berusaha mengangkat kepalanya.

“Terima kasih,” desis ayahnya kemudian. “Sekarang temuilah pamanmu Samekta. Kita harus membicarakan kelanjutan dari peperangan ini supaya kita tidak terlambat. Aku kira saat ini Tambak Wedi dan Sidanti pun sedang memikirkan suatu cara untuk menebus kekalahannya hari ini.”

Sebenarnyalah bahwa Tambak Wedi yang sedang dilanda oleh kemarahan, kekecewaan, keragu-raguan, dan segala macam perasaan yang bercampur baur, lagi duduk bersama Sidanti, Argajaya, Ki Peda Sura, dan beberapa orang pemimpin pasukannya yang lain. Setiap kali orang tua itu menggeram, menghentak-hentakkan tangannya dan kadang-kadang berteriak tanpa sebab.

Sidanti adalah salah seorang yang paling kecewa karena pasukannya harus ditarik mundur. Tetapi di hadapan gurunya yang sedang marah itu, Sidanti sama sekali tidak berkata apa pun. Ia mengenal tabiat guru dan sekaligus ayahnya itu dengan baik, selama ia berada di padepokan Tambak Wedi. Dalam keadaan yang demikian, tidak seorang pun yang berani membantahnya.

“Kita telah salah menilai,” geramnya. “Ternyata di dalam lingkungan setan itu terdapat orang-orang yang tidak pernah kita perhitungkan.”

Sidanti menundukkan kepalanya, sedang Argajaya mengangguk-angguk.

“Ki Peda Sura,” tiba-tiba Tambak Wedi bertanya, “kenapa kau menghindari lawanmu?”

“Aku tidak mau mati,” jawab Ki Peda Sura.

“Gila. Apakah kau sudah mcnjadi seorang pengecut. Di peperangan, mati adalah akibat yang wajar. Tetapi aku memang tidak ingin kau mati. Aku ingin kau membunuh musuhmu.”

“Aku telah membunuh dan melukai lebih dari sepuluh orang. Kalau aku tidak menghindari orang berkumis lebat itu, akulah yang mati dan dengan demikian aku tidak dapat membunuh lagi. Orang berkumis itu pun sebenarnya tidak begitu mengecutkan hati. Tetapi ia bekerja bersama beberapa orang. Kerja sama yang sangat baik, sehingga aku menghindarinya.”

Ki Tambak Wedi sama sekali tidak menghiraukannya. Ia tidak pernah menaruh perhatian terhadap seseorang yang berkumis. Ada seribu orang berkumis di dalam pasukan Ki Argapati.

“Kita tidak boleh menunggu Argapati sembuh dan dapat maju ke peperangan lagi,” berkata Ki Tambak Wedi. “Kita harus cepat-cepat menyusun kekuatan. Tanpa Ki Muni dan Ki Wasi. Ternyata mereka hanya mampu berbicara saja, berteriak-teriak. Tetapi mereka sama sekali tidak berarti apa-apa di peperangan.”

“Ki Wasi terbunuh oleh orangnya sendiri,” desis Argajaya.

“Itu lebih baik daripada ia berkhianat,” jawab Ki Tambak Wedi. “Nah, kalian harus segera mempersiapkan diri. Seluruh pasukan harus segera dapat digerakkan kembali dalam waktu yang sangat dekat.”

Argajaya menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya ragu-ragu, “Tidak mungkin terlampau cepat Ki Tambak Wedi. Pasukan kita telah terpukul cukup parah. Aku kira kita memerlukan waktu dua tiga hari untuk menyusun pasukan itu kembali. Kalau benar Kakang Argapati tidak dapat bertahan, dan terjatuh di peperangan, itu berarti bahwa lukanya memang terlampau parah. Kalau tidak, ia pasti mampu tetap berdiri sampai tidak seorang lawan pun yang melihatnya. Karena itu, maka aku kira, dalam waktu dua tiga hari ini, Kakang Argapati pasti masih belum akan dapat bangun.”

“Tiga hari adalah batas terakhir,” jawab Ki Tambak Wedi. Lalu kepada Ki Peda Sura, “Bagaimana dengan orang-orangmu?”

“Kenapa dengan mereka?”

“Aku memerlukan beberapa orang terkuat lagi dari orang-orangmu untuk melawan setan-setan yang sekarang ada di Menoreh ini. Kau harus menyusun kelompok-kelompok kecil dari orang-orangmu yang terkuat.”

“Kenapa hanya orang-orangku? Di sini ada orang-orang lain yang cukup kuat pula.”

“Tetapi kau adalah gerombolan yang terbesar dan terpercaya. Aku lebih percaya kepadamu daripada orang-orang lain.”

Ki Peda Sura menggeleng-gelengkan kepalanya, “Berat. Terlampau berat menghadapi orang-orang Argapati.”

“Lalu bagaimana maksudmu?”

“Aku lebih baik menarik diri.”

“Gila. Kau gila. Dalam keadaan serupa ini kau menarik diri? Itu juga suatu pengkhianatan.”

“Lawan-lawanmu ternyata terlampau sulit untuk dikalahkan.”

“Tetapi Argapati sendiri sudah hampir mati.”

“Seperti saat-saat lampau, ia akan tiba-tiba muncul lagi di peperangan.”

“Mungkin, tetapi ia tidak akan dapat bertempur sepenuh tenaganya.”

“Tetapi aku lebih baik membawa orang-orangku merampok daripada harus berperang melawan Ki Argapati.”

“Gila. Itu tidak mungkin.”

“Kenapa tidak? Aku bukan orangmu yang harus tunduk kepadamu.”

“Tetapi kita sudah membuat perjanjian.”

“Aku ingin membatalkan perjanjian.”

“Gila, kau gila Peda Sura. Kau tidak dapat membatalkan perjanjian itu. Itu adalah suatu pengkhianatan. Dan kau harus menyadari, hukuman dari seorang pengkhianat.”

“Apa?” tiba-tiba Ki Peda Sura tersenyum, “Kau akan menghukum aku? Kau sangka aku semacam katak yang begitu saja dapat kau injak-injak?”

“Tapi aku mampu membunuhmu.”

“Mungkin aku akan mati, tetapi separo dari anak buahmu pasti akan mati juga. Orang-orangku yang tersisa akan dapat memanggil beberapa orang yang dapat membakar tanahmu menjadi abu. Kami meskipun tanpa aku, dapat menjelajahi ujung tanahmu ini sampai ke ujung yang lain, membunuh setiap orang dan merampas semua milik mereka, selagi kau berkelahi melawan Argapati.”

“Baik,” tiba-tiba Sidanti tidak dapat menahan hati, “marilah kita bertempur sampai sampyuh. Biarlah kita binasa semuanya. Apakah kau kira kau dapat menakut-nakuti kami?”

“Apakah begitu yang kau kehendaki, Sidanti?” jawab Ki Peda Sura.

Hampir saja Sidanti meloncat menerkam orang itu. Tetapi Ki Tambak Wedi berhasil menahannya. “Duduklah yang baik, Sidanti.”

Sadanti menggeram, tetapi ia duduk kembali di tempatnya. Ternyata betapa kemarahan membakar dada gurunya, orang tua itu masih dapat lebih menahan hati daripadanya sendiri.

Peda Sura masih duduk tenang-tenang saja di tempatnya. Bahkan ketika Sidanti telah duduk kembali ia berkata, “Kenapa tidak kau biarkan saja anak itu mati?”

“Jangan membakar hatinya lagi,” bentak Ki Tambak Wedi. “Kita ternyata adalah orang-orang yang paling bodoh di dunia. Kita bercita-cita setinggi langit, tetapi kita tidak pernah setia kepada cita-cita itu sendiri. Masalah-masalah yang tidak berarti kadang-kadang selalu kita anggap lebih penting dan lebih berharga untuk dipersoalkan.”

Sidanti hanya dapat menundukkan kepalanya untuk menyembunyikan sorot matanya yang membara.

Dalam pada itu Argajaya masih mematung di tempatnya. Kadang-kadang ia mengerutkan keningnya, kadang-kadang mengangguk-anggukkan kepalanya, namun kadang-kadang ia mengeretakkan giginya.

Ki Peda Sura seolah-olah sama sekali tidak memperhatikan orang-orang yang berada di sekitarnya. Namun ternyata orang-orangnyalah yang telah mempersiapkan diri mereka diam-diam.

“Ki Peda Sura,” berkata Ki Tambak Wedi kemudian, “marilah kita persoalkan masalah yang sedang kita garap sekarang. Kita sudah tidak dapat berhenti di tengah-tengah jalan. Kita harus berjalan terus. Memang kau dapat memeras kami dalam saat-saat seperti ini. Tetapi seperti kau, kami pun dapat berbuat dengan sikap putus asa. Kalau kita membenturkan diri kita satu sama lain, maka akulah yang pasti akan tetap hidup. Harapan terbesar Sidanti dan Argajaya pun akan tetap hidup pula. Kematian orang lain dapat kami ke sampingkan, apabila kami telah kehilangan arah perjuangan kami. Tetapi tidak demikian dengan kami. Aku, Sidanti, Argajaya, dan anak-anak muda, bahkan setiap laki-laki di atas Bukit Menoreh ini akan tetap berjuang untuk mencapai suatu cita-cita yang telah kita pahatkan di dalam hati.”

“Cita-cita itu adalah cita-cita kalian. Bukan cita-cita kami.”

“Benar, tetapi bukankah di dalam perjanjian itu telah tersebutkan bahwa kau akan mendapat banyak manfaat dari kemenangan ini? Dan bukankah manfaat itu juga suatu cita-cita bagimu?”

“Terlampau berat. Sama sekali tidak seimbang dengan korban yang harus aku berikan.”

“Tetapi itu lebih baik daripada kau tumpas di sini bersama-sama dengan kami. Katakanlah seperti yang kau ramalkan, separo dari kami. Kemudian kami menyerah, dan Sidanti akan diterima kembali oleh ayahnya. Sementara itu, kami akan menumpas sisa-sisa orang-orangmu di sarangmu.”

“Gila. Kalian jangan mencoba menakut-nakuti dan memperbodoh kami.”

“Dan kau jangan mencoba berkhianat.”

“Aku akan bekerja terus buat kau, tetapi selain yang tersebut dalam perjanjian, aku memerlukan tanahmu di bagian selatan membujur ke timur sampai ke kali Praga.”

“Gila,” sekali lagi Sidanti meloncat berdiri, bahkan kali ini bersama-sama dengan Argajaya. Dengan suara yang bergetar Argajaya berkata, “Kau akan memeras kami dengan cara yang licik itu, Peda Sura?”

Peda Sura mengerutkan keningnya. Ia tidak dapat duduk tenang-tenang saja, karena agaknya Sidanti dan Argajaya menjadi benar-benar marah mendengar tuntutannya itu.

“Ya, aku memang memerlukan tanah itu.”

Mata Sidanti telah menjadi semerah darah. Namun Ki Tambak Wedi berkata, “Duduklah. Duduklah. Kita tidak boleh menjadi gila oleh kekalahan kecil yang baru saja terjadi.”

Sidanti dan Argajaya masih saja berdiri di tempatnya.

“Dudukkah,” sekali lagi terdengar suara Ki Tambak Wedi.

Sidanti dan Argajaya menggeram, tetapi mereka duduk kembali di tempatnya.

“Permintaanmu telah membuat kami merasa tersinggung Ki Peda Sura,” berkata Ki Tambak Wedi.

“Terserahlah menurut penilaianmu. Tetapi kami tidak akan dapat membiarkan orang-orang kami mati terbunuh di sini tanpa imbalan yang cukup.”

“Apakah kau telah merencanakan untuk memperluas daerah perampasanmu sampai ke Mangir, Pliridan dan bahkan langsung ke seberang Hutan Mentaok?”

Ki Peda Sura tidak segera menjawab. Tetapi kepalanya terangguk-angguk kecil.

“Begitu?” desak Ki Tambak Wedi.

“Ya,” akhirnya Ki Peda Sura menjawab.

“Kau gila. Kau sangka Ki Ageng Mangir itu anak kecil yang dapat kau takut-takuti.”

“Persetan.”

“Dan kau sangka kau dapat melawan Daruka dan orang-orangnya dari Alas Mentaok?”

“Persetan pula dengan kelinci-kelinci kecil di Alas Mentaok itu.”

“Bagus. Kalau sudah kau pertimbangkan masak-masak, kau tentu akan tetap pada pendirianmu.”

“Tentu. Dan itu akan lebih baik buat kau. Kau akan mendapat seluruh Tanah Perdikan ini, selain seleret tanah di pasisir sampai ke Kali Praga itu.”

Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya, “Baiklah. Aku sependapat.”

“Guru,” Sidanti tiba-tiba memotong.


“Jangan gelisah Sidanti. Kita tidak mempunyai pilihan lain dalam keadaan serupa ini. Kita harus memenangkan peperangan ini.”

“Tetapi ……….” sambung Argajaya.

“Itu adalah keputusanku.”

Sidanti dan Argajaya terdiam. Namun serasa mereka menyimpan segumpal bara di dalam dada mereka.

“Jadi, kau terima syaratku, Tambak Wedi,” berkata Ki Peda Sura sambil menyipitkan matanya.

“Ya, aku terima syarat itu.”

Ki Peda Sura mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tersenyum sambil memandang wajah Sidanti dan Argajaya berganti-ganti. Wajah-wajah yang seolah-olah telah terbakar.

“Aku percaya kepadamu, Ki Tambak Wedi,” berkata Ki Peda Sura. “Kita adalah orang laki-laki yang meletakkan nilai diri pada kata-kata dan perbuatan. Dan kau adalah salah seorang yang mempunyai nama yang menggemparkan, tidak saja di sebelah Selatan bumi Pajang, tetapi kau telah benar-benar mampu mengguncang pimpinan pemerintahan. Karena itu, kau tidak akan menelan ludah yang telah titik di atas tanah.”

“Ya. Aku pertaruhkan namaku atas janjiku.”

“Terimu kasih,” sahut Ki Peda Sura, “biarlah aku menyiapkan orang-orangku untuk peperangan yang lebih besar dan waktu yang tidak terbatas.”

“Ya, lakukanlah. Aku memerlukan setiap orang di dalam pasukanku. Secepat mungkin. Aku tidak dapat menunggu sampai terlambat. Apalagi sampai orang-orang Pajang semakin banyak berdatangan.”

Ki Peda Sura tertawa. Kemudian ia pun berdiri meninggalkan ruangan itu, diikuti oleh beberapa orang yang lain.

Begitu Ki Peda Sura keluar dari pintu, Sidanti dan Argajaya tidak dapat bersabar lagi. Hampir bersamaan mereka bertanya, “Kenapa Guru memenuhi permintaan itu?”

Tetapi Ki Tambak Wedi tersenyum. Jawabnya, “Apakah kau kira aku akan memenuhinya kelak.”

“Tetapi Kiai telah mempertaruhkan nama Kiai.”

“O, kau sangka namaku adalah nama yang bersih seputih kapas? Biarlah. Namaku adalah nama yang memang aku korbankan untuk kepentingan kalian, untuk kepentingan Tanah Perdikan ini.” Ki Tambak Wedi berhenti sejenak, lalu, “Setelah kita selesai dengan Argapati, maka kita akan segera menyelesaikan tikus-tikus yang hanya akan meringkihkan kita saja.”

Sidanti tidak menyahut. Tetapi kepalanya tertunduk. Ia tidak begitu senang mempergunakan cara itu. Cara seorang pengecut.

“Jangan terlampau terikat oleh kejantanan dalam hubungan dengan orang-orang seperti Ki Peda Sura,” berkata Ki Tambak Wedi kemudian. “Orang itu terlampau licik. Dan kita pun harus licik pula menghadapinya.”

Sidanti menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menyahut lagi. Juga Argajaya tidak berkata sepatah kata pun lagi.

“Beristirahatlah kalian. Sebentar lagi kalian harus bekerja keras. Menghimpun semua kekuatan yang ada. Kalian harus segera mendapat tenaga baru dari ujung sampai ke ujung Tanah Perdikan ini yang kira-kira dapat kita pergunakan. Kita harus mendapatkan kekuatan sedikit-dikitnya sebanyak yang telah kita pergunakan.”

“Hampir setiap orang telah berada di dalam barisan,” jawab Argajaya.

“Kita masih menyimpan banyak tenaga. Kalian belum memanggil orang-orang yang berada di lereng-lereng Bukit Menoreh dan di pesisir Selatan.”

“Aku sangsi, apakah mereka sependirian dengan kita. Samekta pasti telah sampai ke sana pula. Dan sebagian dari mereka pasti telah terpengaruh olehnya.”

“Kita jelajahi Tanah Perdikan ini.”

“Baiklah,” jawab Argajaya, “aku akan mencobanya. Aku memerlukan waktu sehari. Kemudian sehari lagi untuk menghimpun setiap kekuatan yang telah terkumpul.”

“Di hari ketiga kita telah siap untuk menggempur pedukuhan yang dibentengi dengan pring ori itu,” geram Ki Tambak Wedi, lalu, “semakin cepat selesai, pasti akan semakin baik. Di pihak Argapati pun jumlah pasukannya pasti sudah berkurang. Dan mereka tidak akan berkesempatan untuk mendapatkannya lagi dari luar pagar itu.”

“Mudah-mudahan,” desis Argajaya.

“Kita harus yakin,” sahut Ki Tambak Wedi. “Nah, aku pun akan beristirahat pula. Kalian harus melakukan tugas kalian sebaik-baiknya tanpa menunggu perintah lagi. Ingat, jagalah perasaan kalian, sehingga tidak menimbulkan persoalan yang dapat mengganggu kekuatan kita.”

Sidanti dan Argajaya mengangguk-anggukkan kepala mereka. Dan sejenak kemudian mereka pun segera pergi meninggalkan ruangan itu.

Ketika Ki Tambak Wedi tinggal duduk seorang diri, maka tampaklah ia merenung. Ia menjadi sangat kecewa atas kekalahan yang baru saja dialaminya. Orang-orang yang tidak diperhitungkan ternyata tiba-tiba saja telah muncul di peperangan. Dan justru orang-orang itu adalah orang-orang yang ikut menentukan.

“Secepatnya Argapati harus terbunuh. Secepatnya.”

Iblis lereng Merapi itu menggeretakkan giginya. Ia pun kemudian berdiri dan meninggalkan ruangan itu. Seperti orang yang kurang yakin, maka ia pun melihat orang-orangnya yang masih mampu untuk bertempur di waktu-waktu yang dekat.

“Jangan berkecil hati. Kesalahan yang terjadi adalah kesalahan kecil dalam penempatan pimpinan. Kesalahan itu adalah kesalahan yang memang sulit untuk dihindari. Tetapi kita sekarang telah mengetahui kekuatan lawan dengan pasti. Mereka mempergunakan orang-orang yang datang dari luar Tanah ini. Karena itu, kita harus menghancurkan mereka, merebut tanah ini dari kekuasaan orang gila pangkat dan derajat, sehingga melupakan kepentingan seluruh rakyat Tanah Perdikan Menoreh.”

Orang-orang di dalam pasukan Ki Tambak Wedi itu pun mengangguk-anggukkan kepala mereka. Meskipun sebagian dari mereka menjadi ragu-ragu, namun setiap kali mereka memantapkan pendirian mereka, “Sidanti adalah anak Argapati, dan Argajaya adalah adiknya. Mereka bersama-sama telah melawannya. Apalagi aku. Bukan sanak bukan kadangnya. Kalau Argapati tidak mempunyai kesalahan yang besar, maka keduanya pasti tidak akan sampai pada perlawanan antara hidup dan mati seperti ini.”

Dengan demikian, maka mereka pun telah menentapkan diri mereka sendiri dalam pilihannya, tanpa mengerti arti yang sesungguhnya. Apakah sebenarnya yang sedang mereka lakukan itu.

Pada saat Sidanti, Argajaya dan pembantu-pembantunya sedang sibuk mempersiapkan orang-orang mereka, memberikan pengharapan dan beberapa macam janji-janji, dan Ki Peda Sura yang sedang tertawa-tawa di antara anak buahnya, maka pada saat itu pula Ki Argapati sedang berbaring di pembaringannya, dikerumuni oleh para pemimpin pasukannya.

Mereka berpaling ketika mereka melihat seorang gadis yang memasang lampu di ajuk-ajuk di sudut ruangan.

“Duduklah pula di sini, Pandan Wangi,” desis ayahnya.

Pandan Wangi pun kemudian melangkah mendekat dan duduk di pembaringan ayahnya pula.

“Kita akan berbicara tentang peperangan,” berkata ayahnya. Dan Pandan Wangi pun mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Kemarilah, mendekatlah semua,” berkata Ki Argapati kepada para pemimpin itu.

Mereka pun kemudian menarik dingklik-dingklik kayu mereka mendekati pembaringan Ki Argapati. Mereka adalah gembala tua yang telah mengobati Ki Argapati, kedua orang pengawal Sutawijaya, Hanggapati dan Dipasanga, kemudian Samekta, Kerti, dan Wrahasta.

Tetapi Ki Argapati masih mencari-cari di antara mereka. Sehingga kemudian ia bertanya, “Dimana kedua anak-anak itu?”

Wrahasta mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menjawab. Dipandanginya wajah Pandan Wangi yang menjadi gelisah karenanya. Hampir saja ia mengatakan tentang keduanya, namun ketika dilihatnya alis Wrahasta yang berkerut, maka ia pun mengurungkan niatnya. “Biar orang lain sajalah yang menjawabnya,” katanya di dalam hati.

“Dimana?” ulang Ki Argapati.

“Mereka berada di halaman, Ki Gede,” jawab gurunya.

“Suruhlah mereka masuk.”

“Sudahlah, Ki Gede, biarlah mereka berada di halaman. Mereka hanya akan memenuhi ruangan ini saja. Biarlah aku nanti menyampaikan kepada mereka setiap keputusan.”

“Tetapi aku belum bertemu dengan mereka sejak pertempuran berakhir.”

“Mereka baik-baik saja, Ki Gede. Hanya Gupala tersentuh senjata Ki Muni yang tajamnya memang bukan main. Itulah yang telah membakar perasaannya, sehingga ia kehilangan kendali.”

“Tidak, bukan karena kehilangan kendali,” jawab Ki Argapati. “Adalah wajar sekali, di setiap peperangan, pada suatu saat terpaksa membasahi senjata dengan darah lawan. Justru aku akan mengucapkan terima kasih kepada mereka.”

“Akan aku sampaikan kepada mereka, Ki Gede,” berkata gembala tua itu.

Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sama sekali tidak menaruh suatu kecurigaan apa pun tentang kedua anak-anak muda itu. Ki Argapati yang masih harus tetap berbaring itu sama sekali tidak mengerti, perasaan apa yang sebenarnya sedang bergolak di dada puterinya, di dada Wrahasta, dan pengamatan gembala tua itu atas kedua anak-anaknya. Gembala itu sudah mendengar ceritera tentang kedua anak-anaknya, sikap Wrahasta dan hubungan-hubungan lain yang memungkinkan persoalan-persoalan yang tidak menyenangkan. Karena itu, sebagai orang tua yang mencoba untuk menghindari persoalan-persoalan yang tidak perlu, maka ia sudah berusaha, membatasi kedua anak-anaknya.

“Baiklah,” berkata Ki Argapati kemudian, “kalau mereka lebih senang menunggu di luar. Aku kira yang ada di dalam ruangan ini sudah cukup lengkap untuk mewakili setiap orang di dalam pasukan kita.”

“Begitulah,” jawab gembala tua itu.

Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia merenung, dan sejenak kemudian ia berkata, “Sayang, lukaku menjadi kambuh. Padahal kita sudah tersudut dalam suatu keadaan yang harus cepat kita tanggapi.”

Mereka yang mendengar, mengangguk-anggukkan kepala tanpa mereka sadari. Karena apa yang dikatakan oleh Ki Argapati itu adalah yang mereka katakan di dalam hati masing-masing.

“Kalau kita terlambat, maka Tambak Wedi akan datang lagi bersama pasukannya yang lebih kuat.”

“Ya, Ki Gede,” jawab Samekta, “mungkin Ki Tambak Wedi menjadi mata gelap dan berbuat semakin jauh menyesatkan orang-orang dari Tanah Perdikan ini. Hubungan dengan orang-orang semacam Ki Peda Sura, sebenarnya sama sekali tidak menguntungkan bagi Tanah ini.”

“Tentu. Dan tidak mustahil apabila Ki Tambak Wedi akan terdorong semakin jauh lagi dalam hubungan itu.”

“Dengan demikian kita harus menanggapinya secepat-cepatnya.”

“Jadi bagaimana pendapatmu, Samekta?”

Samekta tidak segera menjawab. Tanpa disadarinya ia berpaling, memandangi wajah gembala tua yang sedang berkerut-merut.

“Ki Gede,” berkata Samekta kemudian, “meskipun bukan orang Menoreh, tetapi mereka yang sudah membantu kita, agaknya akan dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan yang baik meskipun tidak mengikat.”

“Tentu, tentu,” sahut Ki Argapati. “Nah, bagaimana pertimbangan kalian?”

Hanggapati, Dipasanga, dan gembala tua itu merenung sejenak. Yang mula-mula berbicara adalah gembala tua itu, “Kalau aku diperkenankan memberikan pertimbangan, Ki Gede, maka sebaiknya kita tidak menunggu saja di dalam lingkungan pring ori ini. Sebelum mereka menyadari apa yang terjadi setelah peperangan ini, sebaiknya kita menyusul mereka, masuk kembali ke induk Tanah Perdikan ini.”

Ki argapati mengerutkan keningnya. Namun ia melihat setiap orang mengangguk-anggukkan kepalanya. Bahkan Wrahasta menyambung, “Ya Ki, Gede. Itu adalah jalan yang paling dekat untuk mengambil kembali Tanah ini dari tangan mereka. Saat-saat ini mereka pasti sedang menyusun kekuatan mereka kembali. Aku kira apabila kita menyusul mereka, mereka pasti akan terperanjat. Sedang induk Tanah Perdikan itu justru tidak mempunyai pagar pring ori serapat ini.”

Ki Argapati masih belum menjawab. Tampaklah wajahnya yang suram itu menegang. Kemudian perlahan-lahan terdengar ia berdesis, “Tetapi aku masih belum dapat bangkit dari pembaringan ini.”

Setiap orang di dalam ruangan itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka mengerti, betapa Ki Argapati sedang dikungkung oleh luka yang parah di dadanya itu. Selain daripada itu, mereka pun mengerti pula, bahwa Ki Gede telah memperingatkan, siapakah di antara mereka yang sanggup untuk melawan Ki Tambak Wedi?

Karena itu, maka ruangan itu menjadi hening sejenak.

“Tetapi,” Ki Argapati pun kemudian berbicara pula perlahan-lahan, “kita memang tidak dapat menunggu lagi. Soalnya sekarang, bagaimana kita harus melawan iblis yang paling licik itu.”

Gembala tua yang ada di dalam bilik itu pun menarik nafas dalam-dalam. Kini ia telah sampai pada suatu batas tertentu, di mana ia tidak akan dapat bergurau lagi. Kalau ia kali ini harus menyatakan cirinya, maka ia pun harus menyelesaikannya sekaligus. Karena itu, maka ia pun tidak segera menemukan suatu sikap yang mantap untuk segera menyanggupi untuk melawan Ki Tambak Wedi.

Hanggapati dan Dipasanga pun hanya dapat mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka berdua tidak akan dapat menyatakan diri mereka untuk bersama-sama melawan Ki Tambak Wedi, karena mereka berdua pun tidak yakin, bahwa Ki Tambak Wedi dapat mereka tundukkan.

Dengan demikian maka sekali lagi mereka yang ada di dalam ruangan itu terdiam sejenak.

“Ki Gede,” Samekta-lah kemudian yang memecahkan kediaman mereka, “kalau Ki Tambak Wedi sempat menyiapkan pasukannya dan bahkan mungkin menghimpun orang-orang yang masih bertebaran di desa-desa kecil di atas Tanah Perdikan ini, entah dengan cara apa pun yang akan ditempuhnya, maka kita akan menghadapi kesulitan.”

“Ya, aku mengerti Samekta,” jawab Ki Argapati, “pendapat itu adalah pendapat yang paling baik saat ini. Tetapi yang membuat kita bertanya-tanya, siapakah lawan Ki Tambak Wedi. Hanya itu.”

Samekta menarik nafas dalam-dalam. Tanpa sesadarnya ia memandangi wajah gembala tua yang duduk sambil mengangguk-angguk kecil.

“Apakah ia mampu,” desis Samekta di dalam hatinya, “di dalam peperangan ini ternyata ia dapat mengusir Ki Peda Sura yang tingkat ilmunya tidak terlampau jauh dibawah Ki Tambak Wedi. Tetapi apakah ia bersedia dan mampu untuk berhadapan dengan Ki Tambak Wedi sendiri, meskipun seandainya diperlukan satu atau dua orang untuk membantunya.”

Dalam keragu-raguan itu Wrahasta berkata, “Ki Gede. Kita memang tidak mempunyai pilihan lain. Karena itu, bagaimanakah seandainya kita menyusun suatu kelompok kecil dari orang-orang pilihan untuk menghadapi Ki Tambak Wedi?”

Ki Argapati mengangguk-angguk, “Memang mungkin dilakukan, Wrahasta. Nah, bagaimana menurut pertimbanganmu.”

“Mungkin dua tiga orang yang akan memimpin kelompok kecil itu. Ki Hanggapati, Ki Dipasanga, dan salah seorang dari kami, maksudku, Paman Samekta, Paman Kerti, atau aku.”

Ki Argapati masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Lalu bagaimana pertimbanganmu mengenai Sidanti dan Argajaya?”

“Kita dapat membuat kelompok-kelompok serupa. Pandan Wangi didampingi oleh salah seorang dari kami, dan yang lain bersama-sama melawan yang seorang dari mereka.”

Gembala tua yang duduk terangguk-angguk itu pun masih juga terangguk-angguk. Ia merasakan keanehan sikap Wrahasta ini. Di dalam susunannya sama sekali tidak disinggung-singgung Gupala dan Gupita, juga dirinya sendiri. Tetapi gembala tua itu masih juga berdiam diri.

“Wrahasta,” berkata Ki Argapati itu, “pada dasarnya, pikiran itu adalah pikiran yang sebaik-baiknya. Kita harus mengambil jalan itu untuk melawan para pemimpin di dalam pasukan Ki Tambak Wedi. Hanya mungkin kau masih melupakan beberapa orang yang ada di antara kita. Dukun tua ini, dan kedua anak-anaknya.”

Wrahasta mengerutkan keningnya. Dipandanginya gembala tua itu. Kemudian katanya, “Kita akan berterima kasih kalau ia bersedia membantu kita Ki Gede. Kita masih mempunyai seorang lawan. Ki Peda Sura. Biarlah mereka bersama-sama melawan Ki Peda Sura.”

Argapati mengerutkan keningnya. Katanya, “Wrahasta, bukankah kau tahu, bahwa gembala tua itu seorang diri dapat mengalahkan Ki Peda Sura, dan salah seorang anaknya bersama-sama dengan Pandan Wangi mampu melukainya? Kau dapat mengambil kesimpulan, kemungkinan yang dapat mereka lakukan untuk peperangan ini.”

“Itu adalah pertimbangan yang bijaksana,” sahut Kerti, “Ki Sanak ini memiliki kemampuan di atas kita. Setidak-tidaknya ia mampu melawan Ki Peda Sura. Nah, bagaimana kalau pikiran Wrahasta itu mendapat perubahan sedikit. Maksudku, biarlah dukun tua ini menempatkan diri bersama satu dua orang untuk melawan Ki Tambak Wedi.”

Dada Wrahasta menjadi berdebar-debar. Sebenarnya ia mengakui, bahwa memang kemungkinan itulah yang paling baik. Tetapi dengan demikian, kedudukan gembala itu akan menjadi semakin kuat, sehingga kedua anak-anaknya pun menjadi semakin mantap pula berada di lingkungan Tanah Perdikan ini. Padahal bagi Wrahasta, kedua anak-anak gembala itu merupakan duri yang serasa selalu menyengat dagingnya.

Hampir saja Wrahasta berteriak menolak pendapat Kerti itu. Namun ternyata ia tidak dapat mencari alasan yang lebih baik lagi. Karena itu, maka tanpa mengucapkan jawaban ia menundukkan kepalanya untuk menyembunyikan kesan di wajahnya.

Yang terdengar adalah suara Ki Argapati lambat, “Pendapatmu tepat Kerti. Tetapi biarlah aku bertanya kepadanya, karena ia seorang tamu bagi kita di sini, apakah ia bersedia melakukannya. Seandainya ia bersedia, maka aku percaya, bahwa ia tidak memerlukan orang lain untuk melawan Ki Tambak Wedi.”

Kerti mengerutkan keningnya. Kemudian mengangguk perlahan. Dipandanginya wajah gembala tua yang masih menunduk itu. Kemudian wajah Ki Argapati yang pucat. Ketika terpandang olehnya wajah Wrahasta, maka orang tua itu melihat sepercik kekecewaan membayang di sorot matanya.

Tetapi Wrahasta tidak dapat mencegah pertimbangan Ki Argapati itu. Karena ia tidak akan dapat membuat kemungkinan yang lebih baik daripada itu.

Ruangan itu menjadi hening sejenak. Mereka seakan-akan menunggu sikap gembala tua yang masih tetap berdiam diri itu.

“Bagaimana pendapat Ki Sanak?” bertanya Ki Argapati. “Kau sudah mendengar apa yang seharusnya aku katakan kepadamu.”

Gembala tua itu menarik nafas dalam-dalam.

“Tidak ada kemungkinan lain yang lebih baik daripada itu. Kami sudah tidak dapat melihat kekuatan di atas bukit ini yang mampu untuk melakukannya.”

Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Berbagai pertimbangan telah memenuhi dadanya. Namun akhirnya ia sampai pada kepentingan yang lebih dekat pada diri sendiri.

“Aku seharusnya tidak melibatkan diri terlampau jauh di dalam persoalan ini,” katanya di dalam hati. “Tetapi apabila aku melepaskan kemungkinan kali ini, maka akibatnya akan menjadi sangat jauh. Memang tidak ada orang yang dapat di tempatkan di ujung pasukan untuk melawan Ki Tambak Wedi. Kalau aku tidak bersedia melakukannya kali ini, maka sudah pasti, bahwa perjuangan Ki Argapati tidak akan segera berhasil. Bahkan mungkin pada suatu ketika Ki Tambak Wedi akan berhasil menguasai seluruh daerah perbekalan pasukan pengawal ini, sehingga lambat atau cepat, Menoreh akan jatuh ke tangannya pula. Akibatnya tidak hanya akan berpengaruh di atas tanah ini, tetapi pasti akan sampai ke seberang Kali Praga. Apalagi Alas Mentaok yang akan tumbuh. Mangir, Pliridan, dan akan sampai pula ke sebelah Alas Mentaok dan Alas Tambak Baya.”

Gembala tua itu menarik nafas. Bahkan terbayang di kepalanya, Ki Tambak Wedi akan terus melawat ke Timur, ke Pajang dan daerah di sekitarnya. Apalagi agaknya Pajang baru disaput oleh awan yang suram, sepeninggal Ki Gede Pemanahan.

“Bagaimana Kiai?” bertanya Ki Argapati kemudian karena gembala tua itu masih belum menjawab.

Perlahan-lahan orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia pun bertanya, “Tetapi apakah kalian percaya kepadaku bahwa aku akan dapat melawan Ki Tambak Wedi.”

Ki Argapati yang sedang terluka itu tersenyum. Katanya, “Betapa kami dapat menduga akhir dari pertempuran itu? Namun menurut perhitunganku, maka kau akan dapat melakukannya. Bagaimanapun kau mencoba merendahkan dirimu, tetapi kami tidak akan salah memandang kemampuan yang ada padamu, Kiai.”

“Hem,” gembala tua itu menarik nafas. Sekilas disambarnya wajah Wrahasta yang tegang.

“Kami sangat mengharap bantuanmu, Ki Sanak,” berkata Ki Argapati. “Mungkin kau mentertawakan aku, bahwa dalam penyelesaian Tanah ini aku harus mencari bantuan kepada orang lain.” Ki Argapati berhenti sejenak, kemudian, “Tetapi Tanah ini berada dalam keadaan darurat. Kami harus melawan kekuatan yang membahayakan. Dan kami tahu, bahwa kau dan anak-anakmu pun mempunyai tujuan serupa.”

Gembala tua itu tidak segera menjawab. Ia masih dicengkam oleh kebimbangan.

“Kami, seluruh tanah perdikan ini menunggu keputusanmu,” desis Ki Argapati.

Wrahasta mengerutkan keningnya. Ia tidak sependapat dengan Ki Argapati, yang seolah-olah menggantungkan nasib tanah perdikan ini kepada orang tua itu.

“Apakah yang dapat dilakukannya tanpa kami? Tanpa seluruh pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan para pemimpinnya?”

Namun dadanya berdesir ketika ia mendengar justru orang tua itu yang mengucapkannya. Katanya, “apakah artinya aku seorang diri, Ki Gede? Kekuatan Menoreh terletak pada para pengawalnya. Kalau aku kemudian ikut serta di dalamnya, aku hanyalah setitik air di dalam lautan.”

Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Wrahasta yang tegang itu menundukkan kepalanya, seolah-olah orang tua itu melihat isi dadanya dan telah menyebutkannya.

Namun dengan demikian, Wrahasta melihat suatu kelebihan pada orang tua itu. Orang tua yang oleh orang-orang Menoreh sendiri telah dianggap sebagai satu-satunya penolong yang dapat melepaskan tanah ini dari bencana, ternyata orang itu sendiri tidak melepaskan pengakuan, bahwa sebenarnya kekuatan terbesar adalah terletak pada orang-orang Menoreh sendiri.

“Kiai,” berkata Ki Gede, “kau memang seorang yang aneh. Tetapi baiklah aku bertanya sekali lagi, apakah kau bersedia bekerja bersama kami mengalahkan kekelaman maksud Ki Tambak Wedi untuk menguasai Tanah ini?”

Gembala tua itu termenung. Namun kemudian perlahan-lahan kepalanya bergerak-gerak. Sambil mengangguk-angguk kecil ia berkata, “Baiklah, Ki Gede. Lepas dari masalah Tanah Perdikan Menoreh, aku memang mempunyai persoalan dengan orang itu.”

Ki Gede mengerutkan keningnya. Tanpa sesadarnya ia bertanya, “Persoalan apakah yang telah melibat kalian?”

Gembala itu menggelengkan kepalanya, “Persoalan yang langsung dan bahkan terlampau pribadi.”

Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya, persoalan yang terlampau pribadi.” Ia berhenti sejenak, kemudian, “Adalah kebetulan sekali. Kebetulan bagi tanah perdikan ini, bahwa kau berada di sini dengan persoalanmu itu, sehingga kau akan terlibat dalam pertentangan di antara keluarga Menoreh.”

Gembala itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Nah,” berkata Ki Argapati, “masalah yang lain tidak akan terlampau sulit. Gembala tua ini akan langsung berhadapan dengan iblis dari lereng Gunung Merapi itu. Aku percaya kepadanya dan aku sama sekali tidak meragukan kemenangan yang bakal datang.”

Beberapa orang di dalam ruangan itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Pandan Wangi menunggu keputusan ayahnya dengan hati yang berdebar-debar. Dan ia melihat, bahwa pembicaraan itu agaknya sudah akan segera selesai.

Namun sekilas Pandan Wangi melihat juga wajah Wrahasta yang menegang. Dan Pandan Wangi menjadi berdebar-debar karenanya. Apabila pada suatu ketika Wrahasta tidak dapat mengekang dirinya lagi, maka akibatnya tidak akan menyenangkannya, dan bahkan tidak akan menyenangkan bagi tanah perdikan ini.

“Setiap unsur di dalam pasukan ini memang menentukan,” desis Pandan Wangi di dalam hatinya. “Apabila salah satu dari unsur-unsur ini tanggal, maka akibatnya akan membuat kita menyesak untuk waktu yang lama. Agaknya kekuatan yang ada di dalam pasukan ini terlampau terbatas, sehingga kita memerlukan seluruhanya. Tidak boleh ada satu pun yang tinggal.”

Dalam pada itu Pandan Wangi mendengar gembala tua itu berkata, “Aku berterima kasih atas kepercayaan ini, Ki Gede. Selanjutnya marilah kita bersama-sama berdoa, mudah-mudahan kita berhasil kali ini.”

“Ya, kita akan bersama-sama berdoa,” sahut Ki Argapati. “Kita merasa bahwa kita berada di pihak yang benar.” Ki Argapati itu berhenti sejenak, kemudian, “Kita harus segera menentukan, kapan kita akan berangkat. Aku akan ikut dalam pasukan itu.”

“Ki Gede,” setiap orang terperanjat mendengar keinginan itu. “Ki Gede masih belum sehat sama sekali.”

“Tetapi aku adalah Kepala Tanah Perdikan ini. Dalam peperangan yang menentukan, aku tidak boleh duduk bertopang dagu.”

“Ki Gede tidak sedang bertopang dagu,” desis gembala tua itu. “Sedang duduk saja Ki Gede masih terlampau sulit. Bagaimana Ki Gede dapat bertopang dagu sambil berbaring?”

“Hem,” Ki Gede menarik nafas. Katanya kemudian, “Tetapi aku ingin memimpin penyerangan itu. Aku ingin ikut memasuki induk tanah perdikan itu bersama pasukanku.”

“Bagaimana hal itu dapat dilakukan, Ki Gede?” bertanya Samekta.

“Samekta,” berkata Ki Gede, “kau harus menyiapkan sekelompok kecil pengawal yang dapat kau percaya. Aku akan pergi bersama mereka dengan sebuah tandu. Aku harus memimpin sendiri peperangan ini. Sementara aku mempercayakan perlawanan langsung atas Ki Tambak Wedi kepada dukun tua ini.”


“Ayah,” desis Pandan Wangi, “sebaiknya Ayah tinggal di sini. Kami yang berangkat ke medan, akan selalu mencoba berbuat sebaik-baiknya. Kami mengharap bahwa salah seorang dari kami akan dapat menghadap Ayah untuk melaporkan bahwa kami telah merebut kembali padukuhan induk itu.”

Tetapi Ki Argapati menggeleng, “Tidak. Aku adalah seorang prajurit bagi tanah perdikan, sehingga aku harus berada di medan.”

Gembala tua itu mengerutkan keningnya. Katanya, “Ki Gede akan mengganggu tugas yang telah dipercayakan kepadaku. Aku harus memperhatikan nenggala Ki Tambak Wedi di satu pihak, di lain pihak aku harus memperhatikan obat yang harus aku sediakan buat Ki Gede.”

Ki Argapati mengusap keringat di keningnya. Katanya, “Tidak. Di peperangan aku tidak memerlukan apa pun juga. Entahlah setelah peperangan itu selesai.”

Gembala tua itu menarik nafas dalam-dalam. Agaknya niat Ki Argapati sudah tidak dapat dihalanginya lagi. Sehingga, karena itu maka katanya, “Ki Gede, memang suatu kebahagiaan bagi seorang prajurit dalam keadaan perang seperti ini, apabila ia berkesempatan untuk memimpin pasukannya langsung di medan perang. Karena itu, apabila Ki Gede memang ingin berada di medan, dan itu sudah menjadi suatu keputusan, kami tidak akan dapat mencegahnya. Namun kita tidak boleh meninggalkan kewaspadaan. Karena itu, aku ingin mengusulkan, apabila Ki Gede benar-benar akan berada di peperangan, maka pengawalan terhadap Ki Gede harus sempurna. Menurut pendapatku tidak ada orang yang paling tepat untuk memimpin pengawalan itu selain Angger Pandan Wangi.”

Pandan Wangi mengangkat wajahnya. Dipandanginya wajah gembala tua itu sejenak, kemudian kepalanya itu pun tertunduk lagi. Ia dapat mengerti pikiran gembala tua itu, dan ia sendiri sama sekali tidak berkeberatan untuk selalu berada, di samping ayahnya. Memang tidak ada orang yang dapat dipercayanya lebih dari dirinya sendiri.

Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya, aku mengerti dan aku sama sekali tidak berkeberatan. Aku minta kecuali Pandan Wangi, Samekta harus juga selalu berada di dekatku. Kau akan menjadi saluran pimpinanku atas pasukanku.”

Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baiklah, Ki Gede.”

“Nah, selanjutnya terserahlah kepadamu, siapakah yang akan kau bawa di dalam kelompok kecil di sekitarku.”

“Baik, Ki Gede,” jawab Samekta.

“Selanjutnya, kita harus segera bersiap sejak sekarang. Kita akan datang ke induk tanah perdikan itu di malam hari, supaya perasaanku tidak terpengaruh oleh keadaan di sekitar rumah itu, setidaknya masih ada satu dua orang di sekitar padukuhan itu yang aku kenal baik sebelumnya.” Ki Gede berhenti sejenak, lalu, “Siapkan susunan barisanmu Samekta. Besok malam kita akan menyusul orang-orang Ki Tambak Wedi. Tempatkan kedua anak-anak muda yang bernama Gupala dan Gupita itu sebagai lawan Ki Peda Sura. Kalau mereka segera berhasil, maka mereka akan segera dapat membantu Ki Hanggapati dan Ki Dipasanga yang masih harus berhadapan dengan lawan-lawannya yang lama.”

Dengan serta-merta gembala tua itu mengangkat dadanya. Tetapi ia hanya menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia mengharap biarlah kedua muridnya itulah yang berhadapan dengan Sidanti dan Argajaya. Tetapi apabila demikian yang dikehendaki oleh Ki Gede, ia tidak akan dapat merubahnya. Perintah itu sudah terucapkan, sehingga apabila ia berusaha untuk merubahnya, maka mungkin sekali perasaan kedua pengawal Sutawijaya itu akan tersinggung karenanya.

Maka gembala tua itu pun kemudian menundukkan kepalanya kembali sambil mengangguk-angguk kecil. Tetapi ia tidak berkata apa pun lagi. Agaknya pembicaraan itu memang sudah selesai. Mereka hanya tinggal melaksanakannya. Dan mudah-mudahan pelaksanaannya dapat sesuai dengan rencana itu.

Dalam pada itu terdengar Ki Gede Menoreh berkata kepada Samekta, “Kau harus menjaga rapat-rapat, agar rencana ini tidak terdengar oleh lawan. Setiap pengawal harus ikut bertanggung jawab, bahwa kita akan berhasil masuk ke induk tanah perdikan. Tetapi kau tidak perlu memberitahukan sekarang, kapan kita akan berangkat. Kau wajib mempersiapkan mereka, tanpa mereka ketahui waktu yang telah kita pilih. Sebab siapa tahu, di antara mereka ada orang-orang yang akan berkhianat.”

Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, “Baik, Ki Gede.”

“Nah, aku kira pembicaraan sudah selesai. Kalian akan melakukan tugas kalian masing-masing. Ingat, rahasia ini harus dipegang teguh apabila kita ingin berhasil.” Ki Argapati berhenti sejenak, kemudian, “Dan sebaiknya kau mengirimkan beberapa orang petugas sandi. Kita harus tahu, bahwa mereka tidak akan mendahului kita. Seandainya rencana waktu yang kita tentukan bersamaan, kita harus segera mengambil keputusan.”

“Baik, Ki Gede. Beberapa orang akan berusaha menghubungi orang-orang yang masih setia kepada Tanah ini, yang mungkin dapat memberikan keterangan.”

“Setidak-tidaknya para petugas dapat mengawasi gerakan mereka, apalagi apabila mereka akan menyerang padukuhan ini.”

“Ya, Ki Gede.”

“Baklah. Aku kira pembicaraan ini memang telah selesai.”

Samekta, Kerti, dan Wrahasta segera keluar dari ruangan itu. Kemudian disusul oleh Hanggapati dan Dipasanga. Yang terakhir adalah gembala tua itu setelah melihat luka-luka Ki Argapati.

“Mudah-mudahan obatku menolong,” katanya.

“Aku menjadi semakin baik,” sahut Ki Argapati.

“Beristirahatlah sebanyak-banyaknya. Waktu kita hanya tinggal malam ini dan sehari besok. Di malam berikutnya kita sudah berada di peperangan.”

Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya, Kiai. Aku akan tidur semalam suntuk dan apabila mungkin ditambah dengan sehari besok.”

Gembala itu tersenyum. Katanya, “Tetapi apabila Ki Gede tidak bangun pada saat kami berangkat, Ki Gede akan kami tinggalkan di padukuhan ini.”

Ki Gede Menoreh tertawa, “Aku akan bangun pada saatnya.”

Gembala itu pun kemudian meninggalkan ruangan itu pula. Sehingga di dalam bilik itu tinggallah Ki Argapati ditunggui oleh puterinya, Pandan Wangi.

“Kalau kau ingin beristirahat, tinggalkan aku sendiri, Wangi,” berkata ayahnya.

Pandan Wangi memandang wajah ayahnya yang pucat, meskipun sudah tidak mencemaskannya seperti pada saat ayahnya keluar dari peperangan dalam keadaan pingsan.

“Ayah memang terlalu keras hati,” desis Pandan Wangi. “Dalam keadaan demikian, masih juga ia ingin berada di medan.”

“Kalau kau ingin tidur, tidurlah Wangi,” ulang ayahnya.

“Apakah Ayah tidak memerlukan sesuatu?”

“Sediakan minumku saja.”

“Baik, Ayah.”

Pandan Wangi pun kemudian meletakkan minum ayahnya di atas dingklik kayu dekat di pembaringannya. Kemudian ia pun keluar dan bilik ayahnya.

Tetapi ternyata Pandan Wangi tidak segera pergi tidur ke biliknya. Tanpa disengajanya, ia telah berjalan ke ruang depan. Ia tertegun ketika ia melihat beberapa orang masih duduk sambil berbincang. Mereka adalah Hanggapati, Dipasanga, dan gembala tua itu.

“Apakah Ki Argapati memerlukan kami, Ngger?” bertanya gembala tua itu.

“Tidak, Kiai, Ayah akan beristirahat.”

“O, sebaiknya kau pun beristirahat pula,” sahut Ki Hanggapati.

“Ya, aku pun ingin tidur,” Pandan Wangi menjawab. “Aku hanya sekedar menengok, apakah Paman-paman tidak juga ingin beristirahat?”

“Sebentar lagi kami pun akan tidur,” jawab Dipasanga.

Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. “Silahkan, Paman. Aku akan beristirahat dulu.”

Pandan Wangi pun kemudian masuk ke ruang dalam. Tetapi serasa ada yang memaksanya untuk tidak segera masuk ke dalam biliknya. Kakinya seakan-akan telah membawanya ke belakang dan tanpa sesadarnya, gadis itu telah membuka pintu butulan. Tetapi ia tidak melihat sesuatu. Sepi. Sepi sekali.

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam.

Terasa angin yang silir telah menyentuh tubuhnya, membelai rambutnya yang kusut. Tiba-tiba terasa tubuhnya menjadi segar. Sekali lagi ia menarik nafas dalam-dalam.

“Alangkah segarnya udara di atas Tanah ini,” desisnya, “tanah yang harus dipertahankan sampai kemungkinan yang terakhir.”

Pandan Wangi pun kemudian melangkah surut. Kemudian menutup pintu kembali sambil berdesah. Dan tiba-tiba saja ia pun menguap.

Dengan langkah satu-satu dan kepala tunduk, Pandan Wangi pergi ke biliknya. Kini terbayang di dunia angan-angan, pertempuran yang dahsyat di induk tanah perdikan ini. Padukuhan besar yang beberapa saat yang lampau terpaksa dilepaskan karena tekanan pasukan Ki Tambak Wedi yang tidak tertahankan pada saat ayahnya sedang berperang tanding, di bawah Pucang Kembar.

“Kami harus merebut Tanah itu kembali, dan seluruh tanah perdikan ini.”

Pandan Wangi pun kemudian masuk ke dalam biliknya. Perlahan ia meletakkan dirinya di pembaringan tanpa melepaskan sepasang pedang di lambungnya.

Demikian lelah gadis itu, sehingga sejenak kemudian ia pun telah tertidur nyenyak. Jarang sekali ia dapat tidur senyenyak itu sejak kemelutnya api pertengkaran di antara keluarga di atas Bukit Menoreh ini. Setiap kali ia selalu diganggu oleh berbagai macam kepedihan perasaan dan kecemasan tentang masa depan Tanah ini. Namun kini Pandan Wangi serasa mendapatkan suatu kepastian, bahwa ayahnya pada suatu saat akan dapat mengembalikan keutuhan Tanah ini meskipun harus melalui banyak sekali rintangan dan kesulitan.

Dalam pada itu dua orang anak-anak muda sedang duduk bersandar sebatang pohon rambutan di halaman belakang. Meskipun mereka sudah terkantuk-kantuk, namun mereka masih juga berbicara dengan suara yang parau. “Kenapa ia hanya sekedar membuka pintu kemudian masuk lagi?” bertanya Gupala.

“Bertanyalah kepadanya,” jawab Gupita.

Gupala tersenyum. Katanya, “Mungkin gadis itu mencari aku. Tetapi karena ia tidak melihat seseorang karena kita terlindung oleh kehitaman bayang-bayang, maka ia segera masuk kembali.”

“Ya.”

“He? Begitukah kira-kira?”

“Ya.”

“Persetan, kau tidur?”

Gupita mengusap matanya. Sebenarnya ia lebih suka tidur dari pada berbincang tanpa ujung dan pangkal.

“Pembicaraan pasti sudah selesai. Mari kita mencari Guru. Mungkin kita akan mendapat tugas baru.”

“Sebentar. Aku masih menunggu kalau-kalau gadis itu membuka pintu itu kembali.”

“Kau sudah menjadi gila. Terserahlah kau. Aku tidak tahan gigitan nyamuk yang tidak terhitung jumlahnya,” desis Gupita.

“Huh, apa katamu seandainya kau menjadi seorang prajurit? Mungkin pada suatu saat kau harus mengendap mengintai musuh tanah yang berawa-rawa? Mungkin tidak hanya sehari dua hari, tetapi berpekan-pekan, bahkan berbulan-bulan?”

“Tetapi sekarang kita tidak sedang mengintai musuh. Kau mengintai menurut seleramu sendiri.”

Gupala tertawa. Jawabnya, “Baiklah. Kau menjadi pemarah sekarang. Marilah kita mendapatkan Guru di ruang depan. Mungkin Guru sudah menanti kita pula.”

Gupita tidak menjawab. Tertatih-tatih ia berdiri sambil mengibaskan pakaiannya yang kotor oleh debu. Kemudian mereka pun berjalan di antara pepohonan di kebun menuju ke ruang depan.

Tetapi langkah mereka tertegun, ketika mereka melihat Guru mereka sedang turun dari tangga pendapa, seorang diri.

“Guru,” desis Gupala.

Gurunnya berpaling. Kemudian katanya, “Marilah kita beristirahat. Kita akan segera mendapat pekerjaan yang penting besok malam.”

“Dimana kita akan tidur?”

“Di gardu.”

“Di regol desa? Apakah kira-kira kita dapat tidur di sana?”

“Kita tidak akan pergi ke regol desa. Di sana terlampau, banyak orang. Kita akan berbicara saja sepanjang malam,” jawab orang tua itu. “Kita akan pergi ke regol di perapatan sebelah. Kita akan menumpang tidur. Di situ hanya ada dua orang penjaga, karena tempat itu bukan tempat yang dianggap penting.”

Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepala mereka. Sementara itu kaki mereka pun melangkah menyusur jalan desa, menuju ke gardu di perapatan.

Kedua peronda di gardu itu dengan senang hati menerima mereka bertiga. Dengan demikian maka mereka mendapat kawan di malam yang terlampau sepi itu, meskipun, ketiganya hanya sekedar datang untuk tidur.

“Tidurlah,” berkata peronda itu, “aku akan menjaga kalian. Kalau ada nyamuk yang akan menggigit kalian, biarlah aku bunuh sekali.”

Yang mendengar kata-kata itu pun tertawa. Tetapi Gupala tidak mempedulikannya. Langsung saja ia membaringkan dirinya di atas jajaran bambu apus tanpa galar. Meskipun demikian, terasa tubuhnya menjadi nyaman di sejuknya angin yang silir.

“Apakah aku harus berdendang pula,” bertanya salah seorang peronda.

“Jangan,” jawab Gupala antara sadar dan tidak, “suaramu seperti gerobag di jalan yang berbatu-batu.”

Peronda itu pun tertawa, dan Gupala berdesis, “Jangam ribut. Aku akan tidur. Besok aku harus bangun pagi-pagi, sebelum matahari terbit, supaya aku tidak kamanungsan.”

Peronda-peronda itu masih saja tertawa, tetapi mereka tidak menjawab lagi. Dibiarkannya mereka bertiga berbaring bersama-sama. Kemudian mereka tidak mengusiknya lagi ketika ketiga orang itu mendekur. Tidur.

Sementara itu Samekta, Kerti, dan Wrahasta masih sibuk menghubungi para pemimpin kelompok pasukan Pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Mereka mengatur segala sesuatu yang perlu. Mempersiapkan mereka dengan segala perlengkapan dan senjata.

“Kalian harus dapat mengatur anak buah kalian,” berkata Samekta. “Sebagian dari mereka harus mendapat kesempatan beristirahat. Berganti-ganti sehingga mereka akan mendapat tenaga baru apabila setiap saat diperlukan.”

Para pemimpin kelompok itu pun mengangguk-anggukkan kepala mereka.

“Nah, kalian pun harus beristirahat pula,” berkata Kerti. “Sebentar lagi kami juga akan beristirahat. Namun setiap saat kita harus siap untuk bertempur.”

Para pemimpin tertinggi pasukan pengawal itu pun kemudian berpencar. Mereka mendapat bagian tersendiri agar tugas mereka segera selesai, karena mereka pun memerlukan waktu untuk sekedar beristirahat.

Padukuhan itu pun kemudian semakin lama menjadi semakin sepi. Hanya para peronda dan para petugas sajalah yang masih tetap di tempatnya. Sekali-sekali mereka berdua atau bertiga, berjalan mengelilingi padukuhan mereka, singgah dari gardu ke gardu dan dari perondan ke perondan yang lain.

Ketika fajar memerah di ujung Timur, para pemimpin pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah terbangun dan langsung membenahi diri mereka. Kemudian seperti biasanya mereka memencar mengelilingi padukuhan yang diputari oleh pring ori itu.

Para prajurit dan para pemimpin kelompok pun telah terbangun pula. Demikian juga gembala tua yang tidur di gardu perondan di perapatan.

“Aku akan pergi ke parit,” desis gembala tua itu.

“Aku juga, Guru,” berkata Gupita.

“Marilah. Bagaimana dengan Gupala?”

Gupala menggeliat. Namun ia berkata, “Aku juga. Tetapi pergilah dahulu. Aku akan segera menyusul.”

Ketika guru dan kakak seperguruannya pergi meninggalkan mereka, maka Gupala melingkar lagi di gardu perondan itu dan tanpa disadarinya, ia telah tertidur lagi.

Gupala tidak melihat ketika Wrahasta datang ke gardu itu bersama dua orang pengawal.

“He, siapa yang masih tidur itu?” ia bertanya kepada kedua peronda yang berdiri di muka gardu.

“Gupala,” jawab salah seorang dari mereka.

Wrahasta mengerutkan keningnya. Ia tidak begitu suka kepada anak yang gemuk itu seperti juga kepada kakaknya. Bahkan anak yang gemuk ini agak lebih banyak bicara. Karena itu untuk melepaskan perasaannya, tiba-tiba ia memukul lantai gardu, itu sambil berteriak, “He, siapa yang masih tidur di tengah hari ini?”

Gupala benar-benar terkejut. Meskipun lamat-lamat ia telah mendengar pembicaraan Wrahasta dan kedua peronda di gardu itu, dan dengan sengaja ia tetap berselimut kain panjangnya, namun ia tidak mengira bahwa Wrahasta akan membentaknya begitu keras sambil memukul gardu itu sehingga berderak-derak.

Meskipun demikian, Gupala tidak cepat-cepat bangkit dan meloncat turun. Bahkan sekali lagi ia menggeliat sambil bertanya, “Siapa yang berteriak-teriak di pagi buta ini, he?”

“Bangun anak malas. Cepat! Semua orang telah sibuk dengan berbagai macam pekerjaan, dan kau masih saja tidur mendekur. Kau kira gardu ini disediakan untuk pemalas seperti kau.”

Perlahan-lahan Gupala bangkit. Ditatapnya wajah Wrahasta yang tegang. Namun kemudian anak yang gemuk itu menguap. Katanya, “Semalam aku bangun sampai lewat tengah malam. Sekarang aku masih terlampau kantuk.”

“Setiap orang di sini bangun sampai lewat tengah malam. Bahkan aku hampir tidak tidur semalam suntuk. Kau orang asing di sini, dan kau tidak dapat bermalas-malasan saja. Kau harus mengikuti arus kesibukan yang ada di padukuhan ini.”

“Eh, bukankah aku seorang tamu?” bertanya Gupala.

“Kau bukan seorang tamu yang kami harapkan di sini.”

“Bohong! Ki Argapati memerlukan ayahku dan kami berdua bersama Kakang Gupita. Kami berdua telah membantu kalian di dalam peperangan. Apakah dengan demikian, kau menganggap kami sebagai pemalas yang hanya dapat mengurangi rangsum nasi para pengawal tanah perdikan ini?”

Dada Wrahasta berdesir mendengar jawaban itu. Memang telah ternyata bahwa anak yang gemuk inilah yang telah membunuh Ki Muni, dan bahkan anak yang gemuk ini telah terlukai pula. Karena itu, sejenak Wrahasta terbungkam. Namun ketika terkilas di dadanya, perhubungan yang semakin baik antara kedua anak-anak muda itu dengan Pandan Wangi, maka hatinya telah mulai memanas lagi.

“Aku yang telah berbuat apa saja untuk Tanah ini,” katanya di dalam hati. “Apakah aku akan di desak oleh pendatang yang baru saja hadir di tanah perdikan ini?”

Karena itu, maka kemarahannya pun tumbuh kembali. Katanya, “Apa pun yang telah kau lakukan, aku adalah salah seorang pemimpin pengawal yang mempunyai wewenang untuk memerintah setiap orang di dalam lingkungan pedukuhan ini. Di dalam keadaan perang ini setiap orang harus tunduk kepada perintahku sebagai salah seorang pemimpin.”

Gupala mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Baiklah. Aku akan bangun. Bukankah perintahmu kali ini agar aku bangun?”

Kemarahan Wrahasta hampir tidak tertahankan lagi. Apalagi ketika ia melihat Gupala beringsut setapak demi setapak menepi dari gardu perondan. Anak yang gemuk itu serasa acuh tak acuh saja terhadapnya, betapa ia membentak-bentak dan berteriak-teriak.

Para pengawal yang menyaksikan percakapan itu menjadi berdebar-debar. Wrahasta agaknya benar-benar menjadi marah, dan anak yang gemuk itu pun berbuat sekehendak hatinya. Namun para pengawal itu pun menyadari, bahwa sebenarnya Gupala telah dengan sengaja berbuat demikian. Ia pasti merasa tersinggung dan bahkan marah karena bentakan-bentakan Wrahasta. Para pengawal itu pun menjadi heran, bahwa Wrahasta seakan-akan telah menjadi marah tanpa sebab. Mereka tidak mengetahui, bahwa sebab yang sebenamya telah lama tersembunyi di dalam dada anak muda yang bertubuh raksasa itu.

Wrahasta yang dadanya seakan-akan membara itu berteriak, “Kalau kau tidak senang di sini, pergilah. Ki Argapati hanya memerlukan gembala tua itu. Bukan kau dan bukan kakakmu yang cengeng itu.”

“Tidak,” Gupala menggeleng. “Aku dan Kakang Gupita juga diperlukan. Setiap orang diperlukan.”

“Tetapi tanpa kau kami masih akan tetap dapat berbuat apa saja,” Wrahasta menjadi semakin marah.

Gupala menarik nafas dalam-dalam. Ada perbedaan di antara kedua anak-anak muda yang mengaku diri mereka gembala itu. Seandainya yang dibentak-bentak itu Gupita, mungkin ia akan segera menghindar dan pergi menyusul gurunya ke parit di pinggir padukuhan. Tetapi Gupala tidak berbuat demikian. Ia mempunyai sifat yang agak berbeda, Betapapun gurunya berusaha melunakkannya.

Gupala yang telah mencoba menahan diri itu akhirnya tidak dapat melawan hentakan perasaannya. Wajahnya pun telah mulai semburat merah.

Dengan nada yang tinggi ia bertanya, “Apakah sebenarnya maksudmu, Wrahasta?”

Wrahasta yang sedang marah itu pun menjadi semakin marah melihat sikap Gupala yang seakan-akan sengaja menentangnya. Apalagi di hadapan beberapa orang pengawal tanah perdikan. Menurut penilaiannya, ketika ia memaksa Gupita berkelahi melawannya, gembala itu tidak dapat mengalahkannya. Apalagi yang ada kini adalah adiknya yang gemuk itu.

Karena itu, maka dengan suara mengguntur ia menjawab, “Aku ingin sekali-sekali memukul kepalamu, agar kau tidak terlalu sombong di atas Tanah ini. Apa kau sangka Tanah ini memberi tempat kepada orang-orang yang merasa dirinya terlampau diperlukan seperti kau?”

“Aku tidak mengerti,” sahut Gupala. “Aku kira aku tidak pernah menyombongkan diriku. Aku berbuat wajar seperti apa yang sebaiknya aku lakukan. Kalau aku menurut anggapanmu terlambat bangun kemudian kau nilai sebagai suatu kesombongan, alangkah dangkalnya penilaianmu atas seseorang. Dengan demikian maka kaulah yang dapat disebut anak muda yang sombong.”

Wrahasta menggeram. Ia tidak dapat mengekang diri lagi. Karena itu maka selangkah ia maju sambil menunjuk wajah Gupala, “Kau harus minta maaf kepadaku. Kemudian berjanji tidak akan mendekati setiap pimpinan Tanah ini, agar aku tidak menjadi muak. Kalau kau ingin tinggal di sini bersama ayahmu yang memang diperlukan oleh Ki Gede, kau harus berada di regol depan bersama para pengawal yang lain. Kau tidak lebih dari mereka. Kau tidak dapat memanjakan dirimu. Makanmu harus sama seperti mereka, pelayanan terhadapmu harus sama pula.”

“E,” Gupala mengangguk-anggukkan kepalanya, “kau benar-benar seorang pemimpin yang sangat teliti. Apakah kau tidak mempunyai urusan lain kecuali mengurusi orang tidur dan makan?”

“Persetan!” Wrahasta kian menjadi panas. Serasa segumpal bara tersimpan di dalam dadanya. “Gupala,” katanya kemudian, “aku benar-benar ingin memukul mulutmu.”

“Mulutku masih cukup berharga buatku. Karena itu, jangan kau lakukan supaya aku tidak berusaha membalas.”

Wrahasta sudah tidak dapat menahan diri lagi. Tiba-tiba ia meloncat sambil menampar mulut Gupala. Tetapi Gupala benar-benar tidak mau tersentuh tangan Wrahasta. Karena itu, maka ia pun menghindarinya dengan memiringkan mukanya tanpa bergeser dari tempatnya.

Sikap Gupala membuat Wrahasta semakin kehilangan kendali. Dengan serta-merta ia menyerang anak muda yang gemuk itu. Tetapi Gupala kini telah siap untuk menghadapi kemungkinan.

Berbeda dengan Gupita, Gupala sama sekali tidak bermaksud untuk mengalah. Bahkan ia berkata di dalam hatinya, “Anak ini sekali-sekali harus diberi pelajaran menghargai orang lain.”

Karena itu, maka Gupala pun kemudian tidak mengekang dirinya lagi. Ketika Wrahasta menyerangnya dengan sebuah pukulan yang keras, maka Gupala pun memiringkan kepalanya. Dengan suatu sentakan ia menarik tangan Wrahasta lewat di atas pundaknya. Berbareng dengan lontaran kekuatannya sendiri, maka Wrahasta pun terseret dan terpelanting jatuh.

Para pengawal terkejut melihat hal itu. Semuanya itu terjadi begitu cepatnya dan tiba-tiba. Karena itu maka sejenak mereka hanya saling memandang. Namun kemudian salah seorang dari mereka segera menyadari keadaan. Karena itu maka ia pun berdesis, “Aku akan memberitahukannya kepada Ki Samekta. Kalau kau mampu lerailah. Kalau tidak, carilah gembala tua, ayah anak muda yang gemuk itu, agar ia berusaha menahan anaknya.”

Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya, “Aku tidak akan dapat melerainya. Mungkin kepalaku sendiri akan terkilir.”

Yang lain tidak menjawab. Tetapi ia pun segera meloncat berlari-lari mencari Samekta, sedang yang seorang lagi pergi mencari gembala tua yang oleh salah seorang peronda di gardu itu diberitahu bahwa gembala tua itu sedang pergi ke parit.

Sementara itu, sambil menyeringai Wrahasta meloncat berdiri. Ia tidak menyangka, bahwa anak yang gemuk itu demikian tangkas dan cepat.

Namun hal itu telah membuat Wrahasta seakan-akan menjadi gila. Ia sama sekali tidak dapat lagi membuat pertimbangan-pertimbangan apa pun, sehingga ia telah bertekad untuk benar-benar berkelahi.

Terdengar anak muda yang bertubuh raksasa itu menggeram. Kemudian meloncat menerkam lawannya. Gupala yang melihat serangan yang semakin garang itu pun terpaksa harus mengimbanginya. Dengan tangkasnya ia menghindar, dan bahkan kemudian ia pun telah menyerang pula. Meskipun tubuh Wrahasta jauh lebih besar dari Gupala, namun Gupala adalah seorang yang memiliki kekuatan yang cukup besar. Sehingga dalam benturan tenaga yang terjadi, Wrahasta telah terdorong beberapa langkah surut.

Sejenak Wrahasta menjadi heran. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa anak yang gemuk itu mampu menyamai kekuatannya, bahkan melebihinya.

“Ini hanyalah suatu kebetulan,” katanya di dalam hati. “Ia berada dalam keadaan yang lebih baik. Tetapi kalau aku sempat membenturkan seluruh kekuatanku, ia pasti akan menjadi lumat.”

Dengan demikian, maka Wrahasta pun telah menyiapkan dirinya. Kemudian dengan segenap kekuatannya ia menyerang kembali. Sebuah ayuman yang dahsyat telah mengarah ke kening Gupala.


Namun betapa anehnya sifat Gupala, tetapi ia masih juga sempat membuat pertimbangan-pertimbangan. Apalagi setelah ia melihat Wrahasta benar telah kehilangan akal dalam tingkat permulaan dari perkelahian itu. Dengan demikian, maka Gupala justru menjadi agak tenang, karena Wrahasta memanglah bukan lawannya. Kalau ia mau maka ia akan segera dapat mengalahkannya dan bahkan apa pun yang akan dilakukannya.

Tetapi kali ini ia tidak akan berbuat lebih jauh dari memberi sedikit pelajaran kepada Wrahasta. Karena itu, maka ia pun kemudian telah menyerang Wrahasta semakin cepat, tetapi tidak cukup berbahaya.

Serangan Gupala seakan-akan datang dari segenap penjuru. Dengan lincahnya anak yang gemuk itu berloncatan. Tangannya menyambar-nyambar seakan-akan berpuluh-puluh pasang tangan bergerak bersama-sama.

Ternyata bahwa Wrahasta menjadi bingung karenanya. Ia sama sekali tidak berdaya untuk menangkis atau menghindari sentuhan-sentuhan tangan Gupala. Meskipun Gupala tidak bermaksud melumpuhkan lawannya, namun terasa pukulan-pukulan itu semakin lama menjadi semakin sakit. Sekali-sekali Gupala memukul pundak Wrahasta, kemudian tanpa dapat mengelak, Wrahasta terdorong oleh kaki Gupala yang mengenai lambungnya. Demikian Wrahasta berusaha tegak kembali, Gupala telah berhasil menangkap tangan Wrahasta dan menariknya dengan hentakan yang keras berbareng dengan tangannya menampar dagu.

Betapapun juga Wrahasta mencoba mengerahkan segenap kemampuannya, namun ia sama sekali tidak berdaya menghadapi lawannya yang gemuk namun cukup lincah itu. Beradu tenaga pun ternyata Wrahasta yang bertubuh raksasa itu tidak dapat mengatasi lawannya.

Dalam kebingungan dan kegugupannya, Wrahasta tidak dapat berpikir lain kecuali mencabut pedangnya. Namun demikian tangannya meraba hulu senjatanya itu, seperti tatit Gupala meloncat menangkap pergelangan tangannya, kemudian diputarnya ke belakang sambil berdesis, “Jangan bodoh. Kalau kau mengambil pedangmu, berarti kau akan membunuh diri. Kau lihat, bahwa aku pun berpedang? Dan kau harus menyadari bahwa aku dapat bergerak lebih cepat daripadamu. Karena itu, kalau kita berkelahi dengan pedang, maka kau tidak akan dapat ikut dalam peperangan yang akan datang.”

Tetapi Wrahasta yang keras kepala itu menyeringai sambil menggeram, “Persetan! Kau tidak akan mampu melawan pedangku. Kaulah yang harus aku bunuh.”

Tangkapan tangan Gupala itu menjadi semakin keras, dan Wrahasta merasa semakin sakit karenanya. Karena itu Betapapun ia menahan diri, tetapi raksasa itu terpaksa berdesis menahan sakit.

“Kau sudah gila,” Gupala pun menggeram. “Jangan main-main dengan pedang kalau kau tidak yakin bahwa kau akan menang.”

“Aku tidak takut mati seandainya kau mampu membunuh aku.”

Seperti dugaan gurunya, Gupala memang bukan seorang yang cukup sabar. Karena itu, maka didorongnya tangan Wrahasta yang terpilin itu, sehingga raksasa itu terhuyung-huyung. Hampir saja ia jatuh terjerembab. Namun ia berhasil menguasai keseimbangan dan berdiri tegak di atas sepasang kakinya yang renggang.

Dikibas-kibaskannya tangannya sambil menggeram, “Kita bertempur sampai mati.”

“Bukan salahku,” sahut Gupala. Kemudian kepada peronda yang melihat dengan kaki gemetar ia berkata, “Kalian menjadi saksi. Aku telah dipaksa untuk melawannya.”

Tetapi para peronda itu sama sekali tidak menjawab. Bahkan mereka menjadi semakin pucat dan gemetar.

Wrahasta yang sudah bermata gelap itu pun tiba-tiba mencabut pedangnya yang besar dan panjang Kemudian berkata dalam nada yang dalam dan datar, “Ayo, cabut senjatamu.”

Tiba-tiba saja Gupala menjadi ragu-ragu. Sekilas dipandanginya peronda yang gemetar. Kemudian ditatapnya wajah Wrahasta yang membara. Namun sementara ia masih ragu-ragu, ia mendengar langkah beberapa orang berlari-lari mendekat. Ketika ia berpaling, dilihatnya beberapa orang pengawal datang beramai-ramai. Mereka agaknya mendengar dari pengawal yang berusaha memberitahukan peristiwa itu kepada Samekta.

Dengan demikian Gupala menjadi semakin ragu-ragu. Terngiang ditelinganya kata-kata gurunya, bahwa orang tua itu tidak dapat melepaskannya sendiri. Karena itu pula maka setiap kali Gupita-lah yang mendapat kesempatan.

“Seandainya Gupita yang mengalami hal ini, apakah yang akan dilakukan?” pertanyaan itu timbul di dalam hatinya.

Beberapa orang pengawal segera memutari kedua orang yang sedang berhadapan itu. Dan mereka pun segera menjadi berdebar-debar karenanya. Wrahasta telah menggenggam senjata di tangannya, namun Gupala masih nampak berdiri termangu-mangu.

“Cepat!” teriak Wrahasta. “Cepat cabut senjatamu!”

Gupala menarik nafas dalam-dalam. Diedarkannya pandangan matanya berkeliling, ke arah wajah-wajah yang tegang di sekitarnya.

“Cepat!” sekali lagi ia mendengar Wrahasta berteriak. “Aku akan mulai. Terserah kepadamu, apakah kau akan melawan dengan pedangmu atau tidak. Aku benar-benar akan membunuhmu.”

Gupala menjadi semakin berdebar-debar ketika ia melihat Wrahasta melangkah maju. Sudah tentu ia tidak akan dengan begitu saja menyerahkan lehernya. Apalagi kepada raksasa yang dianggapnya terlampau bodoh itu.

Gupala melangkah surut ketika Wrahasta sudah mulai memutar pedangnya. Dengan nada yang dalam ia bertanya, “Apakah kau sudah benar-benar gila, Wrahasta?”

“Persetan!” mata Wrahasta menjadi semakin membara.

Dalam ketegangan yang memuncak itulah, Samekta datang tergesa-gesa bersama Kerti. Langsung disibakkannya orang-orang yang berada di sekitar Wrahasta dan Gupala yang sedang berhadapan itu. Dengan lantang Samekta berteriak, “He, apakah kalian sudah menjadi gila semua?”

Keduanya serentak berpaling. Mereka melihat wajah Samekta yang merah menahan gelora di dalam perasaannya. Dengan tangan gemetar ia menunjuk kedua orang itu berganti-ganti, “Beginilah jalan yang paling baik bagi kalian?”

“Ia menghina aku,” sahut Wrahasta. “Anak gila itu sama sekali tidak menghiraukan lagi ketetapan yang ada di atas tanah perdikan ini. Bagaimanapun juga aku adalah salah seorang pemimpin di sini. Dan ia adalah seorang pendatang.”

“Apa yang telah dilakukannya?”

“Ia tidak menghiraukan perintahku.”

Samekta mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba saja ia bertanya, “Apakah perintahmu itu?”

“Aku tidak boleh makan di dapur,” sahut Gupala dengan serta-merta.

“Aku tidak bertanya kepadamu,” bentak Samekta yang sedang marah itu.

Terasa sesuatu melonjak di dada Gupala. Orang ini pun telah menyakitkan hatinya pula. Namun ia masih mencoba menahan diri.

Agaknya Samekta pun telah benar-benar menjadi marah. Sebagai pimpinan tertua ia merasa tersinggung sekali atas peristiwa itu. Selagi seluruh kekuatan dihimpun untuk menghadapi puncak pertentangan di Tanah Perdikan Menoreh, maka telah terjadi perselisihan di dalam kandang sendiri.

“Wrahasta,” berkata Samekta, “aku minta, setiap diri kita masing-masing harus mencoba menyingkirkan persoalan-persoalan yang tidak menguntungkan bagi Tanah ini. Kalau kita masing-masing masih saja membiarkan perasaan kita berbicara, maka kita tidak akan mampu menyelesaikan persoalan-persoalan yang jauh lebih besar dari persoalan-persoalan sehari-hari, persoalan tetek-bengek yang sama sekali tidak berarti.”

Wrahasta yang masih dibakar oleh perasaannya, dan apalagi ketidak-mampuannya melawan Gupala, masih belum dapat menahan dirinya sehingga ia menjawab, “Jadi, kau menyalahkan aku?”

Samekta mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Aku menyalahkan kalian berdua. Apa pun alasannya tetapi kalian telah berkelahi, sedang kalian tahu, bahwa kita sedang berada di ambang pintu perang yang akan menentukan keadaan kita.”

“Tetapi apakah dengan demikian aku harus membiarkan orang asing menginjak-injak semua ketetapan dan ketentuan yang berlaku di atas tanah perdikan ini?” teriak Wrahasta.

Samekta yang marah menjadi semakin marah. Namun sebelum ia berteriak pula, terdengar suara Kerti, “Sebaiknya kita yang mencoba memadamkan pertentangan ini jangan terlibat dalam pertentangan baru.” Lalu kepada Wrahasta ia bertanya, “Wrahasta, cobalah kau menuai persoalan yang baru saja terjadi. Apakah sudah sepatutnya kalian bertempur apalagi dengan pedang di tangan? Apakah sebenarnya sumber persoalannya?”

“Aku tidak dapat dihina.” jawab Wrahasta.

“Kalau kalian telah terlibat di dalam pertengkaran, maka sudah tentu masing-masing merasa terhina. Tetapi apabila kalian sempat, cobalah melihat, apakah yang menyebabkan pertentangan dan pertengkaran itu? Dengan demikian maka persoalannya akan dapat diletakkan pada tempat yang sewajarnya dan pada saat yang lebih tepat.”

Wrahasta tidak segera menjawab. Dahinya menjadi berkerut-merut.

“Sudah tentu bahwa kalian tidak sedang mempertengkarkan Ki Tambak Wedi atau Sidanti. Sudah tentu kalian tidak sedang mempertahankan kebenaran Argajaya, bahwa ia telah memihak orang lain dan memusuhi kakaknya sendiri. Nah, sekarang lihat kepada diri sendiri apakah yang kalian pertentangkan? Tentang makan pagi, atau tentang bangun yang terlampau siang atau tentang pelayanan yang berbeda dan yang dapat dianggap pelayanan yang khusus? Begitu? Dan masalah-masalah serupa itu telah membuat kalian mempertaruhkan nyawa kalian yang akan menjadí jauh lebih berharga apabila nyawa-nyawa itu kalian pertaruhkan di medan peperangan?”

Wrahasta masih tetap diam. Namun kata-kata Kerti itu berhasil menyentuh hatinya. Tanpa sesadarnya ia mencoba menelusur, sebab-sebab kemarahannya. Namun tiba-tiba ia menggeretakkan giginya, meskipun kepalanya masih tertunduk. Ternyata Wrahasta tidak berani melihat sebab yang sebenarnya dari semua peristiwa itu. Meskipun sekilas melintas pula di kepalanya, perkelahiannya dengan Gupita dan kini dengan Gupala.

Dalam pada itu, ketika semua wajah menjadi tegang, dengan tergesa-gesa Gupita dan gurunya menerobos ke dalam lingkaran yang mengelilingi Wrahasta dan Gupala. Dengan sorot mata yang tajam gembala tua itu memandangi wajah Gupala yang kemudian menunduk dalam-dalam.

“Gupala,” terdengar ia berdesis, “apakah yang telah kau lakukan?”

Gupala tidak menyahut. Tetapi yang terdengar adalah suara Kerti, “Tidak ada apa-apa, Kiai. Semuanya sudah selesai.” Lalu kepada kedua anak-anak muda yang berada di dalam lingkaran, “Bukankah begitu?”

Keduanya tidak menjawab. Dan Kerti berkata lagi untuk mengendorkan suasana yang tegang, “Nah, bukankan mereka diam? Seperti gadis yang ditawari lamaran jejaka, kalau ia diam, berarti ya.”

Gembala tua itu menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Syukurlah kalau semuanya sudah selesai. Aku mendengar bahwa Gupala telah berkelahi dengan Angger Wrahasta selagi aku berada di parit. Terpaksa aku dengan tergesa-gesa kemari.”

“Nah, masalah ini tidak usah kita perbincangkan lagi,” lalu Kerti berkata kepada para pengawal yang berkerumun, “Semua kembali ke tempat kalian.”

Maka kerumunan orang-orang Menoreh itu pun kemudian menipis, semakin lama semakin habis. Wrahasta pun kemudian meninggalkan tempat itu pergi ke regol induk sambil bersungut-sungut.

Samekta dan Kerti masih berdiri di tempatnya. Sejenak mereka memandangi gembala tua beserta kedua anaknya yang kemudian duduk di gardu itu kembali.

“Wrahasta tidak dapat mengendalikan perasaannya,” desis Samekta.

“Dan kau pun juga. Hampir saja,” sahut Kerti.

Samekta menarik nafas. “Ya. Aku menjadi sangat kecewa atas peristiwa ini. Sudah tentu Wrahasta telah dibakar oleh perasaan cemburu itu. Dan agaknya anak muda yang gemuk ini tabiatnya agak berbeda dari kakaknya. Mungkin ia masih terlampau muda untuk menanggulangi keadaan sebaik-baiknya.”

Kerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Gembala tua itu pun agaknya sedang menasehati anaknya.”

Keduanya pun kemudian mendekat ke gardu. Beberapa langkah dari gardu itu Samekta berhenti sambil berkata, “Maaf, Kiai. Mudah-mudahan hal yang serupa tidak terjadi lagi.”

“Ya, aku pun minta maaf. Anakku yang seorang ini memang agak bengal.”

Samekta dan Kerti pun kemudian meninggalkan gembala tua itu bersama kedua anaknya untuk menemui Wrahasta. Mereka mengharap bahwa Wrahasta tidak menjadi semakin gila karenanya.

Kedua orang itu menemukan Wrahasta sedang berdiri di muka regol memandang jauh ke dalam rimbunnya batang lalang yang tumbuh semakin liar di luar padukuhan itu.

Kerti menarik nafas dalam-dalam. Ia menyadari bahwa hati Wrahasta pasti lagi sakit. Ia merasa semakin jauh dari harapan yang sudah lama diletakkannya kepada gadis puteri Kepala Tanah Perdikannya. Kehadiran kedua gembala muda itu telah merusak segenap impiannya, sehingga karena itu, maka pertimbangannya telah menjadi sumbang.

Samekta dan Kerti tidak segera menyapanya. Tetapi keduanya berhenti beberapa langkah di belakang anak muda yang bertubuh raksasa itu.

Keduanya mengerutkan keningnya ketika mereka melihat Wrahasta berpaling. Dengan tajamnya anak muda itu memandang kedua pemimpin Menoreh itu.

“Apa yang kita tunggu lagi?” tiba-tiba anak muda itu berkata lantang. “Apakah yang kita tunggu? Sekarang dan nanti petang tidak ada bedanya lagi bagi kita. Justru sekarang kita akan mendapat waktu untuk mengejutkan mereka, selagi mereka belum bersiaga.”

“Sabarlah, Anak Muda,” jawab Kerti. “Nanti petang pun mereka pasti belum mengetahui, bahwa kitalah yang akan datang menjenguk mereka.”

“Tetapi kemungkinan itu pasti ada.”

“Kalau kita tidak mengatakannya kepada siapa pun, maka kemungkinan itu akan sangat dibatasi,” jawab Kerti.

Wrahasta mengerutkan keningnya, kemudian menarik nafas dalam-dalam.

“Aku sudah tidak sabar lagi. Aku tidak betah lagi tinggal di dalam lingkaran pring ori yang sempit ini.”

“Semuanya bersikap serupa. Kami pun sudah tidak tahan lagi tinggal berjejal-jejal di padukuhan yang miskin ini. Makan tidak teratur dan bahkan kadang-kadang tidak memenuhi keinginan dan selera kita masing-masing. Tetapi bagaimanapun juga kita harus mematangkan perhitungan di setiap gerakan, supaya kita tidak akan menyesal lagi kelak.”

Wrahasta tidak menjawab. Tetapi kembali ia memandang ke kejauhan. Seakan-akan ia ingin melihat langsung ke padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh yang sedang dibakar oleh api pertengkaran di antara keluarga sendiri.

Tiba-tiba raksasa itu menggeram, “Hidup matiku untuk Tanah ini.”

Samekta dan Kerti saling berpandangan sejenak. Kemudian mereka seperti berjanji menarik nafas dalam-dalam.

“Beristirahatlah, Ngger,” desis Kerti.

“Tidak ada waktu untuk bermalas-malasan di atas tanah ini. Aku akan menghubungi setiap pemimpin kelompok, agar mereka menyiapkan diri mereka sebaik-baiknya.”

“Tetapi perintah penyerangan petang nanti belum dapat dijatuhkan.”

“Aku tahu, aku tahu.”

Wrahasta tidak menunggu jawaban lagi. Ia pun segera melangkah pergi meninggalkan Samekta dan Kerti termangu-mangu di tempatnya.

Beberapa orang yang berada di gardu di samping regol itu pun melihat, betapa Wrahasta bersikap kaku dengan wajah yang berkerut-merut. Mereka pun mengerti apa yang baru saja terjadi atas anak muda yang bertubuh raksasa itu, meskipun mereka tidak mendengar dengan jelas percakapan raksasa yang sedang kecewa itu dengan Samekta dan Kerti.

“Sayang bahwa pertengkaran itu telah terjadi,” desis salah seorang dari para peronda itu.

“Wrahasta kurang dapat mengendalikan diri,” jawab yang lain.

Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kalau mereka tidak tahu benar apa yang terjadi di gardu itu, maka mereka pun akan dibakar pula oleh kekecewaan terhadap anak gembala yang gemuk itu. Tetapi mereka telah mendengar pula, bahwa dengan tiba-tiba seakan-akan tanpa sebab Wrahasta menjadi marah, sehingga keduanya bertengkar. Apalagi anak gembala yang gemuk itu telah menunjukkan kemampuannya di dalam peperangan. Banyak orang yang melihat, bagaimana ia membunuh Ki Muni setelah Ki Muni itu melukainya. Kemudian bagaimana ia bertempur di antara hiruk-pikuk peperangan dan menjatuhkan banyak korban pada lawan.

Sementara itu Samekta dan Kerti pun kemudian pergi ke rumah yang mereka pergunakan sebagai pusat pimpinan pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Ketika mereka memasuki halaman rumah itu terdengar Samekta berdesis, “Mudah-mudahan Wrahasta dapat melihat kepentingan yang lebih besar dari kepentingannya sendiri.”

“Aku masih tetap percaya kepadanya,” sahut Kerti.

Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab lagi.

Bagi para pemimpin Menoreh, hari terasa terlampau lamban bergerak. Matahari mengambang dengan malasnya, seakan-akan tidak bergerak dari tempatnya. Setiap kali Samekta dan Kerti dengan gelisah melangkah ke luar, memandang ke langit dan berjalan hilir-mudik.

“Aku akan tidur,” berkata Samekta. “Aku akan melupakan waktu yang menjemukan ini.”

“Tidurlah. Kemudian bergantian.”

“Tetapi aku kurang biasa tidur di siang hari.”

“Berbaringlah.”

Samekta pun mencoba untuk tidur. Ia merasa telah disiksa oleh waktu. Sementara Kerti pun kemudian pergi ke gardu di sebelah regol di jalan induk padukuhan itu.

Ketika gembala tua itu pergi ke pondok yang dipakai oleh Ki Argapati untuk melihat perkembangan kesehatannya, maka mawanti-wanti ia berpesan kepada Gupala, “Kau jangan berbuat bodoh lagi. Jagalah dirimu. Kita masih diperlukan.”

Gupala mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Pergilah ke gardu induk. Ingat, jangan berbuat sesuatu yang dapat menyulitkan keadaan. Kehancuran Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya menjadi kepentingan kita pula. Sadarilah.”

Gupala masih mengangguk-anggukkan kepalanya, meskipun ia berkata di dalam hatinya, “Asal anak itu tidak menginjak kepalaku. Kalau hal itu dilakukannya, apa boleh buat.” Tetapi bagaimanapun juga. Gupala menyadari, bahwa ia pun berkepentingan juga atas orang-orang yang telah disebut oleh gurunya itu.

Berdua bersama Gupita, Gupala pun pergi ke gardu induk di regol padukuhan. Sambil menundukkan kepalanya, Gupala mencoba menilai keadaan yang sedang dihadapinya.

Anak muda yang gemuk itu tiba-tiba saja menarik nafas sambil berdesah. Adalah kebetulan sekali bahwa Ki Argapati pun sedang berusaha membinasakan Ki Tambak Wedi. Kalau ia bersama kakak seperguruannya dan gurunya bertiga saja, mustahil mereka dapat menghancurkan iblis itu.

“Kita saling memanfaatkan,” desisnya. “Ki Argapati memerlukan kami, dan kami memerlukan pasukan. Betapa dahsyatnya ilmu Guru, tetapi sudah tentu ia tidak akan dapat melawan seluruh pasukan Ki Tambak Wedi. Dan ternyata Ki Argapati sudah menyediakan pasukan itu buat kami.”

Tanpa sesadarnya Gupala mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini terasa olehnya, memang sama sekali tidak menguntungkan bertengkar dengan orang-orang Menoreh dalam keadaan serupa ini. Tetapi ia tidak tahu, kenapa Wrahasta tiba-tiba saja telah membentak-bentaknya. “Orang itu agaknya memang seorang pemarah,” desisnya, “atau seseorang yang menaruh prasangka terlampau tajam di dalam hatinya. Mungkin ia menyangka bahwa kami adalah orang-orang serupa dengan Ki Peda Sura, yang mendapat janji-janji dari Ki Argapati.”

Gupala mengangguk-anggukkan kepalanya, “Mungkin ia berpendapat demikian. Mungkin.”

Tetapi Gupala tidak bertanya kepada Gupita. Sekilas anak muda yang gemuk itu memandang wajah kakak seperguruannya, tetapi Gupita berjalan sambil menundukkan kepalanya.

“Kakang Gupita pernah mengalami perlakuan serupa,” desisnya di dalam hati.

Ketika keduanya sampai di gardu di dekat regol, mereka melihat beberapa orang sedang berkerumun. Tiba-tiba terasa sesuatu bergetar di dalam dada anak-anak muda itu. Apalagi Gupala. Katanya di dalam hati, “Apakah Wrahasta berada di situ pula?”

Tetapi ternyata Wrahasta tidak ada. Mereka menyambut kedatangan keduanya dengan ramah. Bahkan salah seorang dari mereka, yang pernah mengenal bahwa anak yang gemuk itu senang berkelakar, bertanya, “He, lain kali kalau kau ingin tidur sampai tengah hari, tidurlah di sini. Di belakang gardu, sehingga tidak ada orang yang melihatmu.”

Gupita dan Gupala mengerutkan keningnya. Namun kemudian mereka tersenyum. Sapa itu telah memberikan kesan kepada mereka, bahwa anak-anak muda dari tanah perdikan ini tidak mudah diseret oleh perasaan tanpa pertimbangan. Mereka tidak dengan serta-merta berpihak kepada Wrahasta, apa pun yang sebenarnya telah terjadi.

“Terima kasih,” sahut Gupala, “lain kali. Tetapi apabila tiba-tiba saja kepalaku dipenggal oleh Ki Tambak Wedi, maka aku tidak akan dapat tidur lagi di padukuhan ini.”

Anak-anak di dalam gardu itu tertawa. Salah seorang dari mereka bertanya, “Apakah kau ingin begitu?”

Gupala menggeleng, “Tentu tidak. Apalagi aku masih ingin makan jenang jagung.”

Anak-anak muda di dalam gardu itu tertawa semakin keras. Salah seorang dari mereka tiba-tiba saja meloncat mendekati Gupala, dan langsung membimbingnya.

“Mari, aku tunjukkan di mana kau harus tidur.”

Gupala tidak menolak. Ia mengikuti saja kemana ia dibawa.

“He, menepi,” berkata anak muda yang menarik tangan Gupala itu. “Tidurlah melekat dinding itu. Kami akan duduk berjajar melindungimu.”

Gupala tertawa. Beberapa orang telah menyibak. Salah seorang berkata, “Nah, tidurlah di situ.”

Tetapi tiba-tiba Gupala mengerutkan keningnya, “He, daun bekas bungkus apa saja itu?”

“Makan pagi kami.”

“Kalian sudah makan pagi?”

“Baru saja.”

“Celakalah kita,” berkata Gupala kepada Gupita, “di gardu di simpang empat itu makanan belum datang. Ketika kami sampai kemari makan sudah lampau.”

“Hus,” desis Gupita. Tetapi anak-anak muda yang mendengarnya tertawa semakin riuh. Salah seorang dari mereka tiba-tiba saja berlari ke belakang gardu itu. Sejenak kemudian ia kembali sambil membawa dua bungkus nasi, “Ini kami masih menyediakan buat kalian.”

Gupita tersenyum kecut, tetapi Gupala menjawab, “Nah, terima kasih. Tetapi mana buat Kakang Gupita?”

“Bukankah itu dua bungkus?”

“O, aku kira ini buat aku sendiri.”

“Macammu,” desis Gupita. Tetapi ia menerima juga sambil tertawa ketika Gupala memberinya sebungkus, “Marilah kita makan, Kakang. Kita tidak perlu malu. Kalau perut kita ingin berisi juga.”

Gupita masih saja tersenyum-senyum. Tetapi ia tidak dapat berbuat seperti Gupala, yang langsung membuka bungkusannya dan makan sendiri di antara anak-anak muda yang terbawa berkepanjangan. Gupita terpaksa menepi dan duduk di sisi gardu itu sambil membuka bungkusannya.

Demikianlah anak-anak muda itu mengisi waktunya sambil berkelakar Tetapi mereka sama sekali tidak melepaskan kewaspadaan. Di muka regol dua orang penjaga tetap di tempatnya mengawasi keadaan. Setiap kali petugas-petugas sandi datang dan pergi dengan keterangannya msasing-masing yang langsung disampaikannya kepada Kerti.

Lewat tengah hari Wrahasta datang ke gardu itu pula. Ketika ia melihat kedua anak-anak muda itu berada di sana juga, ia mengerutkan keningnya. Namun kemudian acuh tidak acuh ia meninggalkan gardu itu. Sejenak ia singgah ke regol. Dipadanginya batang-batang ilalang yang terbentang di hadapannya. Tanpa sesadarnya ia berdesis, “Kalau peperangan ini selesai, maka ilalang itu pun harus dibabat.”

Para penjaga regol, yang mendengar desis itu berpaling. Namun mereka tidak menyahut. Mereka melihat Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian menekan dadanya dengan sebelah telapak tangannya. Tetapi raksasa itu tidak berkata sepatah kata pun lagi. Bahkan dengan tergesa-gesa ia pergi meninggalkan regol itu menuju ke tempat pimpinan pasukan pengawal.

Semakin condong matahari ke Barat, maka padukuhan itu menjadi semakin sibuk. Samekta yang tidurnya ternyata tidak juga dapat dirubah di siang hari, telah memanggil setiap pemimpin kelompok. Meskipun ia belum mengatakan sesuatu, namun para pemimpin kelompok itu telah merasa, bahwa pasti akan ada sesuatu yang penting.

Beberapa orang pemimpin kelompok duduk sambil berbincang di halaman, yang lain di tangga pendapa sambil membelai senjata masing-masing. Sedang yang lain lagi berada bersama para pengawal yang sedang bertugas di regol halaman.

Samekta, Kerti, dan Wrahasta masih berada di pringgitan. Mereka sedang memperbincangkan kemungkinan untuk memberitahukan rencana penyerangan itu kepada para pemimpin kelompok.

“Sebaiknya kedua prajurit dan gembala tua itu hadir di antara kita,” desis Samekta.

Kerti mengangguk-anggukkan kepalanya, “Aku sependapat. Bagaimana kau, Wrahasta.”

Wrahasta terperanjat. Ternyata ia tidak mendengar pertanyaan itu dengan baik, sehingga ia bertanya, “Bagaimana Paman?”

Kerti mengerutkan keningnya. Namun ia mengulangi, “Sebaiknya kedua prajurit dan gembala tua itu ada di antara kita sekarang, selagi kita menyampaikan persoalan rencana penyerangan ini kepada para pengawal.”

“O,” Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya, “baik. Aku sependapat.” Namun Wrahasta itu pun kemudian menundukkan kepalanya kembali. Sesuatu agaknya telah mengganggu angan-angannya. Dan orang-orang tua itu pun segera memahami.

“Aku akan menyuruh seorang penghubung memanggilnya,” desis Samekta.


“Tetapi,” Wrahasta memotong, “pimpinan Tanah Perdikan ini masih belum lengkap. Masih ada seorang lagi yang justru terpenting di antara kita.”

“Siapa? Ki Argapati?”

“Tidak. Sudah jelas bagi kita, Ki Argapati sedang sakit. Kalau ia memaksa diri untuk ikut ke medan perang sebenarnya malahan akan menambah pekerjaan kita saja.”

“Lalu siapakah yang kau maksud?”

“Yang mewakilinya. Satu-satunya keluarganya yang masih setia kepada tanah perdikan ini.”

“Pandan Wangi maksudmu?” bertanya Kerti.

“Ya.”

Kedua orang tua-tua itu menarik nafas dalam-dalam, “Kalau Ki Argapati tidak berkeberatan, baik juga kiranya ia hadir,” gumam Samekta kemudian.

“Baiklah aku sendiri akan memanggil mereka,” berkata Wrahasta kemudian.

“Jangan,” Kerti memotong, “biarlah anak-anak saja yang pergi. Kau tetap di sini. Banyak masalah yang harus kita percakapkan sebelumnya.”

Wrahasta mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian mengangguk sambil berkata. “Terserahlah kepada Paman kalau aku memang diperlukan di sini.”

“Baiklah kau tinggal di sini,” berkata Samekta pula, “aku akan menyuruh para pengawal yang ada di halaman.”

“Siapakah yang akan Paman suruh?”

Samekta tertegun sejenak. Namun kemudian ia menarik nafas sambil menjawab, “Salah seorang dari para pengawal di halaman.”

Wrahasta tidak menjawab. Tetapi ia pun berdiri juga dan berjalan di belakang Samekta keluar pringgitan.

Ketika ternyata Samekta menyuruh seorang pengawal tanah perdikan untuk menemui Ki Hanggapati dan Dipasanga serta gembala tua itu, maka Wrahasta pun kemudian masuk pula ke dalam pringgitan. Ia telah mendengar juga, penghubung itu harus mencoba menemui Pandan Wangi, apakah ia dapat hadir dalam pembicaraan ini.”

Ternyata mereka tidak perlu menunggu terlampau lama. Setiap orang menyadari, bahwa waktu pada saat-saat yang demikian itu, menjadi sangat berharga. Dan ternyata bahwa Ki Argapati pun telah melepaskan Pandan Wangi untuk ikut mendengar pembicaraan para pemimpin itu.

“Waktunya telah hampir tiba,” desis Samekta di hadapan mereka, “sebentar lagi matahari akan turun dengan cepat.”

Belum seorang pun yang menyahut.

“Petugas sandi yang terakhir datang melaporkan, bahwa tidak ada tanda-tanda yang khusus dapat dilihatnya di padukuhan induk, meskipun orang itu tidak berhasil mendekat. Tetapi kesibukan yang dilihatnya tidak meningkat. Peronda yang nganglang pun tidak bertambah, dan pemusatan itu pun tidak dapat mengatakan, bahwa mereka telah menyiapkan diri seperti kita, dengan diam-diam.”

“Ada perbedaan,” potong Kerti. “mereka tidak dapat melihat kita begitu jelas seperti kita melihat mereka, karena padukuhan ini dikelilingi oleh pring ori.”

“Ya, tetapi padukuhan ini jauh lebih sempit dari padukuhan induk,” sahut Samekta.

“Tetapi kita akan datang dengan gelar. Kita akan datang dari depan beradu dada,” geram Wrahasta.

“Ya,” sahut Samektla, “justru karena itu kita harus benar-benar siap lahir dan batin.”

Para pemimpin itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Apakah kita sudah siap memberitahukan rencana ini?” bertanya Samekta.

Sejenak mereka saling berpandangan.

“Bagaimanakah pendapat kalian?”

Hanggapati beringsut sejengkal. Katanya, “Kita sudah dikejar waktu. Aku kira saatnya sudah tepat. Kita tidak akan terlambat dengan persiapan kita, dan kesempatan bagi petugas sandi lawan pun sudah dapat dibatasi.”

Yang mendengar kata-kata Hanggapati itu pun mengangguk-anggukkan kepala mereka. Memang sudah datang waktunya. Dan waktu itu kini serasa mudah berkejaran setelah sekian lama mereka menunggu dengan gelisah.

“Baiklah,” berkata Samekta. “Apakah ada pikiran lain?”

Tidak ada seorang pun yang berbicara. “Jika demikian, aku akan segera menemui para pemimpin kelompok untuk mempersiapkan diri mereka dengan segera. Sebentar lagi, apabila matahari telah terbenam, kita akan segera berangkat.”

Orang-orang yang ada di ruangan itu mengangguk-anggukkan kepala mereka.

“Aku akan menemui para pemimpin di pendapa rumah sebelah,” berkata Samekta.

Maka sebentar kemudian, Samekta telah duduk di hadapan para pemimpin kelompok yang sebentar lagi harus menyusun barisan yang akan pergi ke induk padukuhan. Induk dari Tanah Perdikan Menoreh yang beberapa saat yang lampau telah diambil oleh Sidanti beserta gurunya.

Pada saat Samekta sedang sibuk berbicara tentang rencananya, maka Pandan Wangi yang ikut mendengarkan dengan sepenuh minat, terkejut ketika seseorang menggamitnya.

Ketika gadis itu berpaling, dilihatnya dekat di belakangnya duduk Wrahasta yang justru beringsut maju.

“Maaf, Pandan Wangi,” bisiknya, “aku sudah tidak mempunyai waktu lagi.”

“Ah,” desah Pandan Wangi, “besok atau lusa kita masih akan bertemu.”

Wrahasta menggelengkan kepalanya, “Belum tentu, Pandan Wangi. Siapa tahu aku akan mati malam nanti.”

“Jangan berkata begitu.”

“Kalau hal itu harus terjadi, pasti akan terjadi.”

“Tetapi kita tidak mengharapkan. Aku dan kau mengharap bahwa kita akan bertemu besok, lusa, dan seterusnya.”

“Hanya sekedar bertemu?”

Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi kepalanya tertunduk dalam-dalam. Sesaat-sesaat ia mendengar keterangan Samekta kepada para pemimpin kelompok, namun suaranya kadang-kadang hilang di dalam gemerisik gejolak di hatinya.

“Kau tinggal menjawab sepatah kata,” desak Wrahasta. “Atau kau dapat mempergunakan isyarat. Kau dapat mengangguk atau menggelengkan kepalamu.”

Pandan Wangi masih menunduk.

“Wangi.”

Pandan Wangi sama sekali tidak menjawab dan tidak menggerakkan kepalanya.

Wrahasta menarik nafas dalam-dalam. Desisnya, “Perang malam nanti adalah perang yang dahsyat. Kita akan berjuang mati-matian untuk merebut padukuhan induk itu. Kita tidak akan meninggalkan medan selagi kita masih hidup. Namun agaknya Sidanti dan Ki Tambak Wedi pun akan bertekad serupa. Mereka tidak akan meninggalkan padukuhan yang telah mereka rebut. Karena itu perang yang akan terjadi adalah perang antara hidup dan mati.”

Pandan Wangi masih tetap berdiam diri.

“Dengan demikian, Pandan Wangi, aku tidak tahu, apakah aku masih akan dapat melihat kau lagi.”

Wajah Pandan Wangi yang tunduk menjadi semakin menunduk. Hatinya serasa tergores oleh perasaan iba. Ia sama sekali tidak bermimpi untuk menganggapi perasaan Wrahasta terhadapnya. Tetapi ia tidak sampai hati untuk menggelengkan kepalanya mendengar kata-kata anak muda yang mendekati keputus-asaan itu.

“Bagaimana, Wangi?”

Dada Pandan Wangi menjadi pepat. Tenggorokannya serasa tersumbat dan pelupuk matanya menjadi panas. Hampir saja ia lupa bahwa ia sedang duduk di hadapan para pemimpin kelompok pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Hampir saja ia lupa kini membawa sepasang pedang di lambungnya.

Betapa ia bersusah payah menahan perasaannya sebagai seorang gadis di antara hiruk-pikuk pembicaraan mengenai perang.

Pandan Wangi tersentak ketika ia mendengar suara gemuruh, “Kami bersedia untuk mati demi Tanah ini. Demi Tanah ini.”

Pandan Wangi mengangkat wajahnya. Ia melihat beberapa orang mengepalkan tinjunya.

Namun kembali dadanya serasa retak ketika ia mendengar desis, “Aku pun bersedia mati demi Tanah ini.” Kemudian, “Dan demi kau, Wangi.”

“Oh,” Pandan Wangi mengeluh. Ditekannya telapak tangannya di dadanya.

“Jawablah Wangi, sebelum aku mati.”

Pandan Wangi tidak dapat menahan iba hatinya. Ia tidak dapat bertahan untuk tetap membatu. Karena itu, hatinya yang luluh telah menggerakkan kepalanya. Hampir saja sebuah anggukan kecil. Namun tiba-tiba anggukan kepala itu urung ketika ia mendengar Samekta berkata lantang, “Nah, kembalilah ke pasukanmu. Cepat. Siapkan mereka. Malam ini kita akan merebut kembali padukuhan induk lambang pusat pemerintahan Menoreh, Tanah Perdikan Menoreh.”

Terdengar sejenak hiruk-pikuk di antara para pemimpin kelompok itu. Semuanya ingin menyatakan kesediaan mereka untuk merebut padukuhan induk itu. Namun dengan demikian suara mereka tidak terdengar satu demi satu.

Meskipun demikian Samekta menanggapinya, “Terima kasih. Terima kasih atas kesediaan kalian. Sekarang, pertemuan ini aku bubarkan.”

Hampir serentak orang-orang yang berada di pendapa itu berdiri. Pandan Wangi pun berdiri pula bersama para pemimpin yang lain. Dalam pada itu, para pemimpin kelompok itu pun segera menghambur turun dari pendapa untuk dengan tergesa-gesa kembali ke kelompok masing-masing. Namun dalam pada itu Samekta pun telah mengeluarkan perintah, tidak boleh seorang pun keluar dari padukuhan ini, supaya rencana ini tidak sampai terdengar oleh orang-orang yang tidak berkepentingan, dan bahkan oleh petugas sandi Ki Tambak Wedi. Bahkan Ki Samekta telah memerintahkan untuk mencegah kemungkinan segala macam tanda dan isyarat yang dapat dilontarkan.

Dalam hiruk-pikuk itu Wrahasta telah kehilangan kesempatannya pula untuk dapat berbicara dengan Pandan Wangi. Kerti, Hanggapati, Dipasanga pun kemudian berbicara di antara mereka. Dan Pandan Wangi ikut pula di dalam pembicaraan itu. Sedang Wrahasta yang sedang berdiri dalam kekecewaan itu berpaling ketika Samekta berkata kepadanya, “Kita pun harus berbagi.”

Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Kita harus bekerja bersama dalam pimpinan seluruh pasukan. Aku akan berada di tengah. Kerti di sayap kiri dan kau berada di sayap kanan.”

“Bagaimana dengan orang-orang yang datang dari luar lingkungan kita itu?”

“Kita tidak dapat menyerahkan pimpinan kepada mereka, biarlah mereka berada di dalam barisan, tetapi supaya pimpinan gelar dapat berlangsung dengan baik, kitalah yang akan memegangnya. Kita akan dapat bekerja bersama dengan cara dan kebiasaan kita seperti yang diajarkan oleh Ki Argapati. Orang lain itu mungkin mempunyai cara dan kebiasaan yang berbeda.”

Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Siapakah yang akan pergi bersamaku?” bertanya Wrahasta.

“Salah satu dari Ki Hanggapati atau Ki Dipasanga.”

“Lalu bagaimana dengan gembala tua itu.”

“Tugasnya menemui Ki Tambak Wedi. Dimana pun Ki Tambak Wedi berada.”

“Lalu kedua anak-anak gila itu?”

“Mereka pun harus mencari Ki Peda Sura.”

Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekilas ia melihat Pandan Wangi yang berbicara dengan Kerti. Wrahasta tahu benar, bahwa Kerti adalah orang terdekat dari Pandan Wangi sesudah ayahnya. Pada saat-saat Tanah Perdikan Menoreh tidak sedang dilanda api pertentangan, Kerti selalu pergi mengantar gadis itu berburu di hutan perburuan. Untunglah bahwa umur Kerti sudah berada di seputar setengah abad, sehingga tidak menumbuhkan perasaan apa pun di hati raksasa itu. Tetapi tiba-tiba saja datang anak-anak muda yang telah menggelisahkannya.

Wrahasta menarik nafas dalam-dalam. Ia telah kehilangan kesempatan untuk mendengar jawaban Pandan Wangi. Kalau pasukan ini telah mulai tersusun, dan kemudian bergerak, maka ia tidak akan dapat berbicara dan mendengar apa pun lagi dari Pandan Wangi.

Tetapi Wrahasta sama sekali tidak ingkar dari kuwajibannya. Betapa hatinya dicengkam oleh kekecewaan tentang dirinya sendiri, namun sebagai seorang pemimpin pengawal ia tetap menengadahkan dadanya. Ia sadar, bahwa terutama anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh selalu memperhatikannya. Kalau ia kehilangan gairah perjuangannya, maka anak-anak muda itu pun akan kehilangan kemantapannya pula. Dan Wrahasta tidak mau menjadi penyebab, apalagi menjadi penentu, dari kekalahan pasukan Pengawal Tanah Perdikan Menoreh, hanya sekedar karena ia tenggelam di dalam kepahitan perasaan secara pribadi.

Dan Samekta pun kemudian berkata, “Nah, marilah, kita mulai menyusun barisan. Pada saat matahari terbenam, kita keluar dari regol padukuhan ini, langsung menuju ke padukuhan induk dari tanah perdikan ini.”

Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Samekta pun kemudian memberitahukannya kepada Kerti dan Pandan Wangi.

“Angger akan berada bersama Ki Gede,” berkata Kerti.

“Baik, Paman, dan aku akan segera menyampaikannya kepada ayah.”

Sepercik harapan tumbuh di dada Wrahasta, apabila ia dapat pergi bersama Pandan Wangi. Tetapi sekali lagi ia menjadi kecewa ketika gembala tua itu berkata, “Aku pun akan pergi menghadap Ki Gede. Sebelum kita berangkat. Ki Gede harus mendapat pengobatan yang baik. Dan bahwa harus disediakan persedaan obat di perjalanan, apabila tiba-tiba saja Ki Gede memerlukan.” Orang itu berhenti sejenak, lalu katanya kepada Pandan Wangi, “Tetapi Angger harus selalu ingat, dan setiap kali memperingatkan, bahwa Ki Gede harus tetap di atas tandunya. Ki Gede tidak boleh dibakar oleh perasaannya sehingga melupakan luka-lukanya yang masih belum sembuh benar.”

“Baik, Kiai,” jawab Pandan Wangi.

“Nah, marilah kita pergi bersama-sama.”

Ketika Pandan Wangi minta diri kepada para pemimpin yang hadir di pendapa itu, ia melihat mata Wrahasta yang redup. Terasa dada gadis itu berdesir, dan kepalanya pun tertunduk karenanya.

Pandan Wangi mengangkat wajahnya ketika Samekta berkata, “Kami sudah mulai menyusun barisan kami. Pada saatnya kami akan menghadap dan memberitahukan bahwa kami akan segera berangkat.”

“Baik, Paman. Aku akan menyampaikannya kepada ayah.”

Maka Pandan Wangi pun kemudian meninggalkan pertemuan itu bersama gembala tua, yang sedang merawat Ki Argapati.

Dengan cermat gembala tua itu kemudian memeriksa luka-luka di dada Argapati kemudian membubuhinya obat yang baru sebelum mereka berangkat ke medan perang. Sementara Pandan Wangi menceriterakan tentang para pengawal yang dengan setia akan ikut di dalam barisan merebut kembali kekuasaan atas padukuhan induk sebagai lambang kekuasaan atas Tanah Perdikan Menoreh.

Setelah selesai dengan perawatannya atas luka Ki Argapati, maka gembala tua itu pun minta diri, untuk menemui kedua anak-anaknya yang harus diberitahu pula, apakah tugas mereka di dalam peperangan yang akan datang.

“Mudah-mudahan mereka berhasil, Kiai,” berkata Ki Argapati. “Anak-anakmu masih sangat muda. Yang gemuk itu agaknya lebih bebas menggerakkan senjatanya daripada kakaknya.”

Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ki Argapati pasti sudah mendengar laporan tentang kedua gembala itu. Memang Gupala lebih memberi kesempatan perasaan berbicara. Juga di medan perang, sehingga ia pasti menelan korban jauh lebih banyak dari Gupita. Orang yang tidak menyaksikan cara mereka bertempur akan menganggap bahwa Gupala mempunyai beberapa kelebihan dari Gupita. Kelebihan itu adalah, Gupala hampir tidak pernah ragu-ragu membelah dada lawan.

Tetapi Gupita mempunyai pembawaan yang lain. Ragu-ragu dan bimbang. Bahkan kadang-kadang ia membayangkan hal-hal yang dapat mengurungkan niatnya untuk membinasakan lawannya.

“Di medan yang hiruk-pikuk, keragu-raguannya itu dapat membahayakan jiwanya,” berkata orang tua itu di dalam hati, “tetapi bukan seharusnya ia membunuh lawannya seperti menebas batang-batang ilalang.”

Gembala tua itu menemukan Gupala dan Gupita duduk di atas setumpuk jerami di dekat gardu bersama beberapa orang anak-anak muda. Agaknya mereka pun sedang menunggu penjelasan untuk diri mereka masing-masing.

“Itu ayah datang,” desis Gupita. “Aku harus menemuinya. Mungkin aku harus mengikutinya.”

“Ya, mungkin kau harus mengikuti ayahmu mengambil seekor atau dua ekor kambing. Setelah kita merebut kembali padukuhan induk itu, kita akan bersembunyi,” berkata salah seorang dari mereka.

“Kenapa?”

“Daging panggang.”

“Uh,” Gupala bersungut-sungut, “kau sangka di padukuhan induk itu kekurangan kambing, bahkan sapi atau kerbau? Aku justru akan mengambil lima atau sepuluh ekor kambing. Aku akan menjadi seorang gembala yang kaya.”

“Aku tangkap kau. Bukankah aku pengawal tanah perdikan ini.”

“Tetapi kau tidak akan dapat melihat.”

Anak muda itu tidak sempat menjawab, karena Gupala segera menutup kedua telinganya sambil berlari-lari mendapatkan gurunya. Gupita yang tersenyum melihatnya masih mendengar anak-anak muda itu tertawa dan salah seorang berteriak, “Pengecut. Jangan lari.”

Meskipun Gupala mendengarnya, tetapi ia tidak berpaling. Tangannya masih menyumbat kedua telinganya meskipun tidak terlampau rapat.

“Apa saja yang kalian bicarakan?” bertanya gembala tua itu sambil mengerutkan keningnya.

Gupala menggeleng, “Tidak apa-apa. Sekedar berkelakar.”

Gurunya mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara, itu Gupita pun telah berdiri di samping anak muda yang gemuk itu.

“Sebentar lagi kita akan berangkat,” desis gurunya.

“Ya, aku sudah mendengar,” sahut Gupita. “Anak-anak muda itu telah mendapat penjelasan dari para pemimpin kelompok masing-masing. Kini mereka telah bersiap. Sebentar lagi mereka harus berkumpul di kelompok masing-masing.”

“Ya, begitulah. Kalian pun harus segera menyiapkan diri pula. Tidak ada waktu lagi untuk bermalas-malas.”

Kedua anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Kita tidak akan berada di dalam barisan. Kita mendapat keleluasaan untuk menemukan lawan-lawan kita. Seperti juga Ki Hanggapati dan Ki Dipasanga.”

Kedua anak-anak muda itu mengangguk-angguk.

“Kau berdua harus mencari Ki Peda Sura,” berkata gembala tua itu kemudian, “sedang Ki Hanggapati dan Ki Dipasanga harus berhadapan sekali lagi dengan Sidanti dan Argajaya. Karena keduanya mempunyai kemampuan yang hampir seimbang, maka keduanya dapat bertukar tempat, siapa saja yang dapat mereka temui.”

Gupita dan Gupala menundukkan kepalanya. Terbayang di wajah mereka kekecewaan bahwa mereka tidak mendapat kesempatan untuk bertemu dengan Sidanti atau Argajaya.

“Kau tidak dapat memilih,” berkata orang tua itu, “kau tinggal menerima perintah. Di sini kekuasaan tertinggi berada di tangan Ki Argapati. Dari siapa pun pendapat itu, namun apabila Ki Argapati telah mengiakan, maka keputusan itu sudah menjadi keputusannya.”

Gupita menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia menjawab, “Baiklah. Aku akan melakukannya.” Gupita berhenti sejenak, kemudian, “Lalu bagaimana dengan Guru?”

“Aku harus menghadapi Ki Tambak Wedi,” jawab gurunya. “Sebenarnyalah aku memang berkepentingan. Selama Ki Tambak Wedi itu masih berkesempatan untuk mengganggu, ia akan tetap mengganggu kalian. Seandainya Sidanti sudah tidak ada lagi, ia pasti akan mencari orang lain yang dapat diprgunakannya untuk memuaskan hatinya. Kini tanpa kita duga-duga sebelumnya, kita mendapatkan sepasukan pengawal yang dapat membantu kita, yang menurut sudut pandangan Ki Argapati beruntunglah ia mendapat bantuan kita. Dengan demikian, kita sudah saling membantu.”

Gupala mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Namun ia berdesah, “Tetapi kami semua sama sekali tidak mempunyai kepentingan apa pun dengan Ki Peda Sura.”

“Kepentingan itu akan saling berkait. Apabila kita sudah berada dalam satu kesatuan, kita harus memandang seutuhnya. Jangan sepotong-sepotong seperti itu.”

Gupala menarik nafas dalam-dalam. Sekilas dipandanginya wajah kakak seperguruannya. Namun Gupita masih saja mengangguk-angguk kecil.

“Nah, bersiaplah. Kita tidak akan selalu bersama-sama di peperangan. Tetapi ingat, kalian harus berhati-hati melawan Ki Peda Sura. Orang itu tidak kalah licik dari orang-orang mereka yang lain. Mungkin kau berdua harus menghadapinya bersama-sama sekelompok anak buahnya. Apabila demikian, kau harus masuk ke dalam garis pertahanan pasukan Menoreh, supaya kau mendapat perlindungan dari orang-orang yang tidak dapat kau lawan satu demi satu. Mereka pasti akan dihadang oleh para pengawal, sedang kau dapat menempatkan dirimu kembali melawan Ki Peda Sura.”

Gupita yang masih mengangguk-anggukkan kepalanya bertanya, “Apakah kami masih harus bersenjata pedang?”

Gurunya menggeleng. “Tidak. Kita sudah menyatakan diri kita di dalam peperangan ini. Meskipun bagi kalian jenis senjata apa pun tidak akan terlampau berpengaruh, namun yang mana yang dapat memberi kemantapan kepada kalian, pergunakanlah.”

Gupala mengangkat alisnya, “Aku akan mempergunakan keduanya.”

Gupita mengerutkan keningnya. Sekilas dipandanginya wajah adik seperguruannya itu, kemudaan ditatapnya wajah gurunya yang tersenyum. Orang tua itu berkata, “Tidak selalu senjata rangkap itu menguntungkan. Pandan Wangi memang memiliki kemampuan khusus mempergunakan sepasang pedangnya. Ki Peda Sura pun mempergunakan sepasang bindi, meskipun kadang-kadang ia mempergunakan jenis-jenis senjata yang lain.”

“Aku akan memegang cambuk di tangan kanan dan pedang di tangan kiri,” berkata Gupala.

“Asal salah satu di antaranya justru tidak akan mengganggu.”

Gupala menggeleng, “Aku sudah berlatih mempergunakan keduanya.”

Gurunya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia percaya bahwa Gupala selalu mencoba-coba mempergunakan apa saja.

“Terserahlah kepadamu. Tetapi kalian harus tetap berhati-hati melawan orang itu. Ia dapat berbuat apa saja.”

Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya, “Kami akan selalu mengingat-ingat hal itu,” desis Gupita kemudian, lalu, “tetapi di mana kami harus berada di dalam lingkungan seluruh pasukan.”

“Kau berada di induk pasukan bersama aku. Tetapi di peperangan, kau harus mencari lawanmu,” jawab gurunya. “Ingat, Ki Peda Sura tidak segan-segan melarikan diri dan bersembunyi di dalam hiruk-pikuk peperangan. Memang sulit untuk mencari seseorang yang dengan sengaja bersembunyi di dalam keributan yang demikian.”

Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Kalau kalian berhasil menguasainya, usahakan jangan sampai orang itu berhasil melarikan dirinya.”

“Baik, Guru,” jawab kedua anak-anak muda itu hampir bersamaan.

“Ki Peda Sura akan menjadi hantu yang mengerikan bagi tanah ini apabila ia berhasil melepaskan dirinya. Apalagi apabila Ki Argapati masih belum sembuh benar dan belum dapat langsung memimpin pemerintahan di Tanah Perdikan ini.”

Kedua anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepala mereka.

“Nah, sekarang bersiaplah sambil menunggu perintah lebih lanjut.”

“Baik, Guru,” jawab mereka bersamaan.

Keduanya pun kemudian kembali ke tempat mereka semula. Sambil bersungut-sungut Gupala berkata, “Nah, kalian dengar. Ayahku marah-marah ketika ia mendengar teriakan kalian. Disangkanya aku benar-benar sudah menjadi pengecut dan lari.”

Kawan-kawannya tertawa. Salah seorang dari mereka berkata, “Tampangmu memang tampang seorang pengecut.”

Gupala memberengut, namun kemudian ia tertawa.

Sejenak kemudian maka beberapa orang petugas telah membagikan makan bagi setiap orang yang akan ikut pergi ke medan perang. Bagaimanapun juga, mereka harus membekali diri masing-masing dengan kemungkinan yang sejauh-jauhnya.

“He,” berkata salah seorang yang bertubuh kurus, “nikmatilah makan ini sebaik-baiknya. Siapa tahu, bahwa nasi yang kita makan ini adalah butiran-butiran nasi yang terakhir kita kenyam.”

“Hus,” desis kawannya, “mimpi apakah kau tadi malam?”

“Tidak. Aku tidak bermimpi,” jawabnya.

Demikianlah maka para pengawal itu pun kemudian sibuk dengan makan masing-masing. Gupala dan Gupita pun makan pula bersama dengan mereka.

Beberapa saat setelah mereka makan, maka terdengarlah kemudian aba-aba dari beberapa orang pemimpin kelompok. Mereka sengaja tidak mempergunakan tanda-tanda yang biasa diperdengarkan untuk kepentingan serupa, supaya tanda-tanda itu tidak ditangkap oleh orang-orang yang tidak berkepentingan, apalagi petugas-petugas sandi lawan.”

Aba-aba itu pun segera merambat dan setiap orang menyebar ke seluruh padukuhan. Meskipun tanpa tanda apa pun juga, namun tidak seorang pun yang kelampauan.

Demikianlah maka Menoreh telah menyiapkan barisannya. Sementara matahari menjadi semakin dalam bersembunyi di balik bukit.

Para pemimpin Menoreh pun kemudian sibuk menyiapkan pasukan mereka. Pasukan yang telah dibekali oleh pengertian yang mantap, untuk apa mereka pergi berperang.

........bersambung ke Jilid 45

Tidak ada komentar:

Posting Komentar