Jumat, 26 Januari 2018

API di BUKIT MENOREH Jilid 71

API di BUKIT MENOREH

Karya S.H Mintardja


PANDAN WANGI yang juga mendengar rencana Rudita itu menjadi gelisah. Tetapi ia berterima kasih di dalam hati, bahwa anak-anak muda yang lain seakan-akan tidak berkeberatan atas keputusan yang telah diambil oleh Rudita itu, sehingga dengan demikian tidak timbul persoalan yang tegang di antara mereka.

Dalam pada itu Prastawa pun bertanya pula kepada Pandan Wangi karena Pandan Wangi belum sempat menjawab, “Jadi kemana kita, Pandan Wangi?”

“Jangan bertanya lagi,” bentak Rudita, “aku sudah menjawab.”

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun berkata, “Rudita. Aku ingin pergi ke hutan yang liar itu. Bukankah kita kemarin malam sudah membicarakannya.”

“Aku tidak sependapat. Kita berburu di hutan perburuan.”

“Memang ada dua macam daerah perburuan. Mereka yang berjiwa jantan akan memilih hutan yang liar itu, tetapi bagi yang berjiwa betina akan memilih hutan perburuan itu. Anehnya bahwa aku memilih hutan yang liar itu, bukan karena aku seorang gadis yang berjiwa jantan, tetapi hutan itu menyimpan binatang jauh lebih banyak dari hutan perburuan.”

“Tidak Aku tidak mau pergi ke hutan yang liar itu, yang dikatakan masih dihuni oleh berbagai jenis harimau, ular, dan serangga-serangga berbisa.”

“Sayang, bahwa kami akan pergi ke hutan itu. Ayah sudah membekali aku dengan obat pemunah racun. Dengan demikian berarti bahwa aku diperkenankannya memasuki hutan liar itu.”

“Aku juga,” tiba-tiba saja Swandaru menyahut, “Guru telah memberikan sejenis obat pemunah racun. Jika salah seorang dari kita kena racun, maka obat itu dapat ditaburkan di luka yang terkena racun itu. Namun ada pula sejenis obat yang dapat kita minum.”

Rudita memandang Swandaru sejenak. Anak yang gemuk itu semakin lama semakin menjemukan baginya. Karena itu maka jawabnya, “Jika kau sudah membawa obat itu dan akan pergi berburu ke hutan liar itu, pergilah. Ajaklah siapa saja yang ingin pergi. Tetapi rombongan ini akan berhenti di hutan perburuan itu. Keputusan ini tidak dapat diganggu gugat.”

Swandaru yang gemuk itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan seperti acuh tidak acuh saja ia berkata, “Baiklah. Jika demikian, siapakah yang akan ikut aku pergi berburu ke hutan liar itu? Menurut Rudita, rombongan kecil ini akan berhenti di hutan perburuan, sedang yang ingin ikut bersama aku, diberinya kesempatan.”

Sejenak mereka saling berpandangan. Tiba-tiba saja Agung Sedayu berdesis, “Aku pergi bersama Swandaru.”

“Itu urusanmu. Memang sebaiknya kalian berdua tidak pergi bersama kami.”

Tetapi tiba-tiba Prastawa pun berkata, “Aku pergi bersama Swandaru. Hutan perburuan tidak memberi kepuasan lagi bagi kita yang sudah terlalu sering berburu di dalamnya. Karena itu, mumpung kita berada di dalam suatu rombongan yang kuat, kita pergi berburu di hutan liar.”

Belum lagi Prastawa selesai berbicara, maka Pandan Wangi telah berkata pula, “Aku pun ikut bersama mereka yang pergi ke hutan liar itu.”

Keringat dingin membasahi tubuh Rudita seperti disiram dengan air. Wajahnya menjadi tegang dan dadanya bagaikan bergetar. Dipandanginya Pandan Wangi dan Prastawa berganti-ganti. Dengan suara yang bergetar ia bertanya, “Jadi kalian tidak lagi menuruti keputusan yang aku ambil?”

Pandan Wangi menahan kudanya sehingga Rudita berada di sisinya. “Bukan begitu Rudita,” katanya, “tetapi kadang-kadang kita ingin sesuatu yang lain dari kebiasaan kita. Dengan demikian kita akan mendapatkan kesegaran baru di dalam perburuan ini. Jika setiap kali kita berburu di hutan perburuan, baik yang ada di tepi Kali Praga maupun yang berada di daerah Selatan dari Tanah Perdikan ini, maupun yang di ujung Utara di lereng pegunungan itu, kita tidak akan mendapatkan apa-apa lagi selain jenis binatang yang selalu kita buru. Tetapi di hutan yang liar itu kita akan bertemu dengan jenis-jenis binatang yang lain. Kita tidak saja berburu kijang atau menjangan, tetapi kita akan bertemu dengan seekor harimau. Mungkin seekor kijang dari jenis yang lain, yang berbintik-bintik di punggungnya, atau seekor menjangan yang berleher agak panjang. Tetapi mungkin juga kita bertemu dengan binatang-binatang yang berbahaya yang dapat menambah pengalaman hidup kita. Anjing liar, babi hutan, atau sejenis ular pohon berwarna coklat.”

Terasa bulu-bulu tengkuk Rudita meremang.

“Nah, bagaimana dengan kau?” bertanya Prastawa. “Ternyata kami semuanya ikut dengan Swandaru ke hutan liar itu. Apakah kau akan memasuki hutan perburuan itu sendiri?”

Rudita tidak segera menjawab. Tampaklah matanya menjadi redup dan bahkan basah.

“Jika kau tidak berkeberatan,” berkata Pandan Wangi kemudian, “ikutlah dengan kami.”

Rudita memang tidak mempunyai pilihan lain. Karena itu maka dengan suara parau ia berkata, “Kalian telah berbuat kesalahan karena kalian tidak menurut aku. Tetapi apa boleh buat, jika aku memang harus pergi bersama kalian. Tetapi jangan merasa bahwa kalian dapat merubah keputusanku. Keputusanku tetap seperti yang aku katakan. Meskipun kita berburu di hutan liar, tetapi hasil yang kita peroleh akan aku berikan sebagai hadiah buat Pandan Wangi.”

“Terima kasih,” sahut Pandan Wangi, “aku akan berusaha membantumu.”

“He,” Rudita membelalakkan matanya.

Sambil tersenyum Pandan Wangi berkata, “Sudahlah. Keputusan kita sudah pasti, kita pergi ke hutan liar itu.”

Rudita memandang Pandan Wangi dengan heran, namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak mengerti sifat dan sikap orang-orang yang pergi bersamanya berburu. Seakan-akan mereka tidak dapat ditertibkan. Mereka seakan-akan berbicara menurut kehendak dan keinginan mereka masing-masing, bahkan kadang-kadang dengan tajam memotong keputusannya.

“Kenapa aku tidak membawa pengawal dari rumahku,” berkata Rudita di dalam hati. “Orang-orang di Tanah Perdikan Menoreh bukannya orang yang baik seperti orang-orangku di rumah. Mereka mengerti apa yang harus mereka lakukan. Mereka tidak selalu membantah dan bahkan kadang-kadang menentukan sikap menurut kehendak sendiri.”

Tetapi Rudita yang sudah berada di antara orang-orang yang menurut pendapatnya bersikap aneh itu, tidak dapat berbuat lain. Bahkan menurut pendapatnya, Pandan Wangi sendiri pun ternyata bersikap aneh. Ia sama sekali tidak bersikap sebagai seorang gadis, karena ia sama sekali tidak melonjak kegirangan dan berterima kasih ketika ia berkata bahwa ia akan, memberikan hadiah dari hasil perburuan itu.

“Gila sekali,” katanya di dalam hati, “ia justru berkata bahwa ia akan berusaha membantu.”

Tetapi Rudita tidak berkata lebih banyak lagi. Iring-iringan itu sudah berbelok di sebelah hutan perdu. Sebentar lagi mereka akan melintas di sebelah hutan perburuan dan langsung pergi ke hutan yang masih liar dan pepat.

Namun sebenarnya yang disebut hutan yang masih liar itu tidak seliar Alas Mentaok. Isinya pun tidak seberbahaya Alas Mentaok, karena selain binatang buas Alas Mentaok juga menyimpan jenis-jenis serangga yang beracun, bahkan jenis semut pemakan daging. Di samping bahaya-bahaya yang terdapat di hutan-hutan yang liar itu, Mentaok juga menyimpan bahaya yang khusus, yaitu perampok dan yang terakhir orang-orang yang berusaha untuk memisahkan Mataram dari dunia peradaban yang lain. Dan bagi Agung Sedayu dan Swandaru yang sudah beberapa kali menyeberangi Alas Mentaok itu, bahaya-bahaya serupa itu sudah terlalu sering dihadapinya.

Meskipun demikian, mereka tidak boleh lengah. Meskipun mereka sudah beberapa kali berhasil dengan selamat melintas hutan yang lebih dahsyat dari hutan yang dihadapi itu, namun memang mungkin sekali di hutan yang tidak selebat Mentaok itu, mereka akan bertemu dengan bahaya yang sebenarnya.

Demikianlah, sejenak kemudian mereka telah sampai di daerah hutan perburuan. Hutan yang tampaknya menjadi bersih dan terpelihara. Namun di dalam hutan perburuan itu memang masih juga terdapat beberapa jenis binatang. Bahkan satu dua masih ada juga harimau yang berkeliaran. Tetapi binatang buas itu lebih senang hidup di hutan yang masih liar, karena di hutan itu yang diburu pun masih cukup banyak.

Rudita yang masih saja berada di belakang Pandan Wangi menjadi berdebar-debar. Sedang di hutan perburuan pun ia kadang-kadang menjadi cemas dan ketakutan. Apalagi apabila mereka harus memasuki hutan yang liar itu.

Berbeda dengan Rudita, tampak wajah Pandan Wangi menjadi cerah, seperti juga Prastawa. Kesempatan semacam itu jarang sekali mereka dapatkan. Jika mereka tidak bersama Agung Sedayu dan Swandaru, maka mungkin mereka tidak akan diperkenankan oleh Ki Gede Menoreh. Namun karena Ki Gede percaya, kepada kedua anak-anak muda itu, maka bersama Pandan Wangi dan Prastawa, mereka dianggap cukup memiliki kemampuan untuk menghadapi liarnya hutan itu, karena Ki Gede pun mengetahui dengan pasti, bahwa Agung Sedayu dan Swandaru sering kali melewati daerah Alas Mentaok yang buas.

Daerah hutan perburuan dan hutan yang liar itu dipisahkan oleh sebuah lapangan rumput dan perdu yang tidak begitu luas. Karena itu, memang kadang-kadang binatang dari kedua daerah itu saling menyeberang. Namun hutan perburuan yang bersih memang bukan merupakan lapangan hidup yang menarik bagi berbagai jenis binatang.

“Itulah hutan itu,” Pandan Wangi hampir berteriak ketika mereka berada di sebelah hutan perburuan.

Agung Sedayu dan Swandaru memandang hutan itu dengan saksama. Pepohonan yang liar berserakan di sela-sela gerumbul-gerumbul yang cepat. Sulur-sulur kayu dan dedaunan merambat tumbuh berbelitan di antara pepohonan yang roboh melintang, bersandar pada pohon-pohon raksasa.

Dada Rudita bergetar melihat liarnya hutan itu. Sama sekali tidak ada lorong yang licin dan bersih melintas masuk ke dalamnya, selain sebuah lubang yang mirip dengan goa yang gelap. Kadang-kadang memang ada satu dua orang memasuki hutan itu untuk mencari kayu bakar dan barangkali lebah tawon gula. Tetapi mereka hanya memasuki hutan itu beberapa langkah saja dan tidak berani menusuk langsung ke jantung hutan itu.

Itulah bedanya dengan Alas Mentaok. Betapa lebatnya Alas Mentaok, namun di dalamnya terdapat semacam jalur yang meskipun jarang sekali dilalui orang, namun di jalur itu seakan-akan hutan menjadi agak mudah dikuasai. Tetapi di hutan yang liar ini sama sekali tidak ada jalur jalan.

“Apakah kita dapat masuk sambil membawa kuda-kuda kita?” bertanya Prastawa.

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Di lebatnya Alas Mentaok, mereka masih dapat melintas dengan mengendarai seekor kuda. Tetapi di hutan itu, kuda hanya akan menambah kesulitan saja.

“Kita tinggalkan kuda kita di luar,” berkata Swandaru.

“Jadi bagaimana dengan kita?” bertanya Rudita.

Swandaru memandang anak muda yang menjadi cemas itu. Kemudian dipandanginya Pandan Wangi yang diharapkannya memberikan jawaban, agar tidak menumbuhkan salah paham.

“Tentu kita akan meninggalkan kuda dan perlengkapan kita di luar. Kita pun akan berkemah di luar. Setiap kali kita memasuki hutan ini dengan busur dan anak panah. Nyanggong di pepohonan atau mengikuti jejak binatang buruan. Jika kita lelah, kita akan kembali ke luar dan beristirahat. Memang lebih baik kita berkemah di tengah-tengah. Tetapi terlalu sulit untuk masuk ke dalamnya sambil membawa kuda dan perbekalan.”

“Aku tidak mengerti. Jadi apakah kita tidak berburu sekarang dan kemudian kembali?” bertanya Rudita.

“Kita akan berada di sini tiga hari tiga malam.”

“Tiga hari tiga malam?” wajah Rudita menjadi tegang. “Tidak mungkin.”

“Kenapa?”

“Aku harus kembali kepada ayah dan ibu.”

Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak segera menyahut.

“Aku tidak pernah bepergian sampai sekian lamanya,” Rudita melanjutkan.

“Rudita,” berkata Pandan Wangi, “kita sebenarnya tidak berada di tempat yang jauh. Kita masih tetap berada di atas Tanah Perdikan Menoreh. Sebagaimana kau lihat, sebelum tengah hari kita sudah sampai di sini. Jika kita ingin kembali di dalam sekejap saja seakan-akan kita sudah berada di rumah. Seandainya dalam waktu tiga hari ini kau tidak kerasan tinggal di hutan, kau dapat pulang balik setiap saat kau kehendaki.”

Rudita mengerutkan keningnya, lalu, “Kalian tidak mengatakan bahwa kalian akan tinggal di sini tiga hari tiga malam.”

“Kami memang tidak merencanakan berapa lama kami akan tinggal di sini. Jika besok kami sudah ingin pulang, kami akan pulang. Jika kau ingin mendahului, kami persilahkan kau mendahului dan jika kau masih akan kembali lagi ke mari, kembalilah ke mari. Kenapa kita harus memikirkannya dengan kening yang berkerut-merut. Mungkin besok justru ayah datang pula ke tempat ini. Ayah dahulu juga sering berburu. Tetapi sejak kakinya menjadi agak cacat, ia seakan-akan menghentikan kegemarannya itu.”

Rudita mengangguk-anggukkan kepalanya. Penjelasan Pandan Wangi itu agak menenteramkan kegelisahannya. Sebenarnyalah tempat ini tidak begitu jauh dari padukuhan yang berserakan di Tanah Perdikan Menoreh.

“Sekarang,” berkata Pandan Wangi kemudian, “kita akan beristirahat dahulu sambil mencari tempat yang paling baik untuk berkemah. Tempat yang paling aman dari gangguan binatang berbisa.”

Demikianlah, mereka pun segera meloncat turun dari kuda masing-masing. Para pengiring dan orang-orang yang membawa perlengkapan rombongan kecil itu pun segera mempersiapkan tempat yang kemudian mereka pilih untuk meletakkan semua perbekalan dan alat-alat berburu mereka.

“Kita beristirahat di sini,” berkata Pandan Wangi sambil mengikat kudanya pada sebatang pohon.

Yang lain pun mengikat kuda masing-masing pula. Sambil bertolak pinggang Prastawa memandang hutan yang terbentang di hadapannya. Hutan yang lebat dan liar. Namun tampak kegembiraan membayang di wajahnya. Seperti Pandan Wangi, ia pun sebenarnya sudah jemu berburu di hutan perburuan yang tidak begitu banyak lagi menyimpan binatang buruan.

“Tetapi belum pasti, bahwa di hutan ini kau akan mendapatkan seekor binatang pun,” Agung Sedayu tiba-tiba berdesis.

Prastawa berpaling. Sambil tersenyum ia berkata, “Ya. Memang mungkin. Tentu lebih sulit berburu di daerah yang lebat ini.

“Tidak selebat yang kita duga,” sahut Apung Sedayu. “Jika kita sudah berada di dalam, maka kita akan mendapatkan jalan untuk mengejar binatang buruan. Alas Mentaok yang lebat itu pun dapat disusupi. Bukan lewat jalur jalan yang sudah ada. Tetapi lewat di antara pepohonan yang padat. Bahkan di Alas Mentaok, ada sekelompok orang yang sempat bermain hantu-hantuan.”

Prastawa mengerutkan keningnya, “Hantu-hantuan?”

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Ya. Tetapi baiklah kita melupakannya. Meskipun demikian kita harus selalu ingat pesan Ki Gede, bahwa di daerah yang berdekatan dengan Kali Praga, kita tidak hanya harus berhati-hati terhadap binatang buas dan serangga-serangga berbisa, tetapi juga terhadap orang-orang yang tidak kita kenal.”

Prastawa mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Kadang-kadang para peronda memang menjumpai beberapa orang bersenjata. Dan kadang-kadang mereka memang menghilang di pinggir Kali Praga, menyusup ke dalam hutan perburuan itu atau hutan yang liar ini. Mungkin mereka sadar, bahwa tidak banyak tempat untuk bersembunyi di hutan perburuan itu.”

Agung sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya, dan Prastawa pun melanjutkan, “Kadang-kadang di lapangan pasir sampai ke tepian itu memang terdapat jejak beberapa ekor kuda memasuki hutan perdu. Tentu mereka telah berada di daerah Tanah Perdikan Menoreh dan menghilang tidak tentu kemana.”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan tiba-tiba saja ia berkata, “Aku ingin menerobos hutan ini sampai ke pinggir Kali Praga.”

“Itu menarik sekali,” sahut Prastawa, “kita bukan saja berburu binatang. Tetapi kita sama sekali melihat apa yang bersembunyi di balik hutan ini.”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak dipandanginya wajah Swandaru yang sedang memandanginya pula. Dan tampaklah anak muda yang gemuk itu tersenyum. Perlahan-lahan ia mendekatinya sambil berkata, “Jika kita ingin melihat di balik hutan ini, kita tidak perlu menyusup lewat belukar yang lebat, dan barangkali berduri. Kita dapat melingkar lewat sepanjang tepian, dan kita akan sampai ke pinggir Kali Praga.”

“Ah,” desah Prastawa, “itu namanya bukan berburu binatang. Dengan demikian kita tidak akan mendapat seekor pun.”

“Seekor bulus barangkali?” sahut Swandaru.

Suara tertawa Prastawa tidak dapat ditahankannya, sehingga Pandan Wangi dan orang-orang yang lain terkejut dan berpaling kepadanya.

“Hus,” desis Swandaru, “suaramu mengganggu harimau yang sedang tidur nyenyak di hutan itu.”

Prastawa menutup mulutnya dengan telapak tangannya. Namun ia tidak dapat segera berhenti.

Rudita yang mendengar Prastawa tertawa menyentak itu pun segera mendekatinya dan bertanya, “Ada apa?”

Prastawa menggelengkan kepalanya sambil menjawab, “Tidak ada apa-apa.”

“Apa yang kau tertawakan?”

“Bukan apa-apa,” jawab Prastawa pula.

“Tentu tidak. Tentu ada yang kau tertawakan.”

“Aku hanya tertawa. Tetapi tidak mentertawakan siapa pun juga.”

“Bohong!” tiba-tiba Rudita membentak sehingga Prastawa benar-benar terkejut. Sambil mengerutkan keningnya di pandanginya Rudita dengan tajamnya. Katanya, “Kau membentak aku?”

“Kau tidak mengatakan, siapa atau apa yang kau tertawakan. Kau sudah menghina aku. Seandainya kau mentertawakan seseorang, kau dapat menyebut namanya. Jika kau mentertawakan apa pun, kau dapat mengatakannya. Tetapi kau ingkar. Itu menyakitkan hati.”

Prastawa masih berdiri dengan tegangnya. Kini ia sudah tidak tertawa lagi. Tetapi justru keningnya menjadi berkerut-merut

Pandan Wangi yang melihatnya segera mendekatinya. Hatinya menjadi berdebar-debar. Ia sadar, bahwa Prastawa masih terlalu muda untuk setiap kali mengalah dan bahkan kadang-kadang selalu berusaha menyenangkan hati Rudita. Sejak semula Pandan Wangi sudah menduga, bahwa pada suatu saat ia akan menjadi jemu.

Tetapi perselisihan tidak boleh terjadi. Keduanya adalah saudaranya. Prastawa adalah saudara dekatnya, saudara sepupu dari aliran darah ayahnya, sedang Rudita adalah saudaranya meskipun sudah agak jauh, dari aliran darah ibunya.

Karena itu, maka sambil mendekati Rudita ia berkata, “Jangan hiraukan Prastawa. Ia masih seperti kanak-kanak saja. Ia tertawa tanpa sebab, dan bahkan kadang-kadang ia masih juga menangis tanpa diketahui alasannya.”

Rudita memandang Prastawa dengan tajamnya. Kemudian Swandaru dan Agung Sedayu. Tetapi kedua anak muda ini mencoba menghindari tatapan matanya. Agung Sedayu tidak ingin melihat mata yang baginya mempunyai sorot yang aneh, sedang Swandaru bahkan hampir tidak dapat menahan tertawanya melihat wajah Rudita yang mempunyai kesan tersendiri itu.

“Marilah kita menyiapkan perkemahan kita,” berkata Pandan Wangi kepada Rudita, “kita akan beristirahat sejenak, kemudian kita akan melihat-melihat ke dalam hutan itu, sekaligus membawa senjata kita.”

Rudita termangu-mangu sejenak. Namun ia pun segera mengikuti Pandan Wangi, pergi ke tempat para pengiringnya mengatur perkemahan mereka.

“Nah, di sini kita akan beristirahat,” berkata Pandan Wangi kemudian, “jika kita lelah berburu, kita akan kembali ke tempat ini. Berbaring sejenak, dan barangkali makan atau minum. Kedua orang pengawal akan berada di sini, menyediakan keperluan kita seluruhnya.”

“Jadi berapa orang yang akan ikut berburu?”

“Selain kita, mereka ada lima orang.”

Rudita termangu-mangu. Dipandanginya tempat yang sedang dibersihkan itu sejenak. Lalu, “Kita akan tidur di sini di malam hari?”

“Kita akan berburu. Jika kita lelah, baru kita akan tidur di sini.”

“Tentu tidak di malam hari,”

“Ya, di malam hari. Tetapi tidak di tengah-tengah hutan itu. Kita mencoba mengintai buruan kita. Hanya di pinggirnya saja.”

Rudita termangu-mangu sejenak. Tanpa disadarinya bulu-bulu tengkuknya telah meremang. Namun ia mencoba menahan kecemasan dan ketakutan itu di dalam hati. Ia tidak mau mengeluh justru orang lain tampaknya bergembira. Dan lebih-lebih lagi, ia tidak mau disebut sebagai seorang penakut di antara anak-anak muda yang hampir sebayanya.

Namun ia tidak dapat mengingkari dirinya sendiri. Bagaimana pun juga, terasa jantungnya berdebaran.

Dalam pada itu, Swandaru, Agung Sedayu, dan Prastawa telah bertekad untuk melintasi hutan ini sampai ke seberang, sampai ke tepian Kali Praga. Tetapi mereka memilih jalan menerobos hutan itu daripada menyusur pasir tepian, karena mereka memang ingin melihat isi hutan yang lebat itu.

“Apakah kau akan ikut?” bertanya Prastawa kepada Pandan Wangi setelah ia mengatakan rencananya.

“Tidak,” Rudita-lah yang menjawab.

Prastawa memandang Rudita sejenak. Namun ia hanya menarik nafas dalam-dalam. Ditahannya semua perasaan yang menyesak dadanya. Sebenarnyalah Rudita semakin lama semakin menjemukan baginya.

“Rudita,” berkata Pandan Wangi kemudian, “bukankah kita memang sengaja pergi berburu? Karena itu, sebaiknya kita memasuki hutan. Jika ketiga anak-anak muda itu ingin menyeberangi hutan ini sampai ke pinggir Kali Praga, aku kira memang tidak ada salahnya. Sebagian besar binatang buruan tentu berada di tepi seberang yang dekat dengan air. Karena itu, mau tidak mau kita harus pergi ke sana.”

“Tentu tidak. Itu hanya suatu cara untuk memaksaku pergi. Aku tidak mau.”

“Baiklah. Jika kau tidak mau, tinggallah di sini bersama kedua pengawal yang akan menunggui kuda-kuda kita dan menyediakan keperluan kita.”

“Jadi aku harus menyediakan keperluan kalian?”

“Bukan kau, kedua pengawal itu.”

Rudita memandang Pandan Wangi dengan mata yang murung. Dengan nada yang dalam ia berkata, “Jadi kalian tidak mau mengurungkan niat kalian meskipun aku tidak pergi?”

“Tentu saja bahwa kami akan pergi, dengan atau tidak dengan kau.”

“O, seharusnya kalian mengurungkan niat itu karena aku tidak pergi. Tetapi kalian sama sekali tidak menghiraukan aku. Bahkan kalian akan membiarkan aku berada di antara pengawal-pengawal yang akan menyediakan keperluan kalian.”

“Jadi bagaimana? Kalau kau tidak akan pergi baiklah kau tinggal di sini. Jika kau akan pergi, marilah kita pergi bersama-sama.”

Rudita memandang Pandan Wangi sejenak, lalu, “Kalian benar-benar tidak mengerti. Jika aku berkata tidak ikut, seharusnya rencana itu dibatalkan. Tetapi ternyata kalian masih juga akan pergi.”

“Kami akan tetap pergi. Kau memang boleh memilih. Pergi bersama kami menyeberangi hutan ini bersama lima orang pengiring, atau tinggal di sini dengan dua orang yang lain. Kami tidak akan memaksamu.”

“Kenapa aku harus memilih.”

“Aku tidak mengerti maksudmu.”

“Biasanya aku tidak memilih. Tetapi menentukan. Dan kalian sama sekali tidak mendengarkan aku.”

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia memandang wajah Prastawa, Swandaru, dan Agung Sedayu tampak betapa kesalnya mereka. Swandaru yang hampir tidak dapat menahan diri justru melangkahkan kakinya perlahan-lahan menjauh. Dipandanginya ujung pepohonan yang menjulang tinggi ke langit.






Ia terkejut ketika ia mendengar kudanya meringkik. Kemudian beberapa ekor kuda yang lain. Agung Sedayu, Pandan Wangi, dan Prastawa pun segera tertarik kepada kuda-kuda yang menjadi gelisah itu.

“Marilah kita masuk,” tiba-tiba saja Prastawa mengajak, “tentu kuda-kuda itu mencium bau binatang buas.”

“Ya,” desis Swandaru, “mungkin ada seekor harimau.”

“Mungkin seekor harimau. Angin bertiup dari Utara. Harimau itu ada di arah Utara. Mungkin harimau itu sama sekali belum mengetahui bahwa ada seekor kuda atau lebih di luar hutan ini. Namun ringkik kuda itu agaknya telah memanggilnya,” berkata Agung Sedayu.

“Jadi bagaimana dengan kita?” bertanya Prastawa.

“Aku sependapat. Kita mencarinya.”

“Atau harimau itulah yang akan keluar dari hutan ini mencari kuda.”

Agung Sedayu menjadi ragu-ragu sejenak. Jika mereka meninggalkan kuda-kuda mereka, sedang kedua pengawal itu sedang sibuk menyiapkan keperluan rombongan kecil itu mungkin sekali mereka akan lengah.

Karena itu, maka katanya kemudian, “Marilah kita memasuki hutan ini. Seandainya harimau itu sedang tidur, biarlah kita membangunkannya. Tetapi sudah tentu bahwa tidak hanya dua orang saja yang akan kita tinggalkan di sini menunggui kuda dan menyiapkan keperluan kita semuanya.”

“Jadi bagaimana?”

“Sebaiknya empat orang tinggal di sini, dan tiga orang yang lain bersama kita. Jika harimau itu tidak kita jumpai dan tiba-tiba saja berusaha menerkam kuda-kuda itu, biarlah ada beberapa orang yang melawannya. Kita tidak dapat mengorbankan seekor kuda pun bagi mereka.”

“Ya,” sahut Pandan Wangi, “kita akan pergi bertiga. Kalian berempat tinggal di sini. Jika nanti malam kita pergi memasuki hutan ini pula, kalian akan pergi bergantian.”

Pandan Wangi pun kemudian menunjuk empat orang yang tetap tinggal di luar. Menyiapkan keperluan rombongan kecil itu dan melindungi kuda-kuda mereka dari sergapan harimau.

“Ikatlah kuda-kuda itu di tempat yang agak jauh dari pepohonan hutan, agar kalian dapat melihat seandainya seekor harimau sedang merunduknya, atau bahkan sedang merunduk untuk menyergap kalian,” berkata Pandan Wangi. “Aku akan segera masuk.”

Demikianlah, maka mereka pun menyingkirkan kuda-kuda itu dan mengikatnya pada pepohonan agak jauh dari hutan. Keempat orang yang ditinggalkan oleh Pandan Wangi dan kawan-kawannya pun kemudian mempersiapkan diri mereka. Selain busur dan anak panah, mereka juga menyediakan tombak-tombak pendek.

“Anak muda yang seorang itu agaknya tidak seberani yang lain,” desis salah seorang dari mereka.

“Ya, memang Rudita mempunyai sifat yang berbeda, Sebenarnyalah Rudita masih tetap ragu-ragu. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain daripada ikut bersama Pandan Wangi memasuki hutan yang liar itu, karena ternyata Pandan Wangi dan anak-anak muda yang lain bersama tiga orang pengiringnya benar-benar akan berburu di dalam hutan itu.”

Namun rasa-rasanya Rudita hampir menangis karena sikap dan tingkah laku mereka. Sebenarnya ia ingin Pandan Wangi berbuat sesuatu seperti yang diinginkannya. Tetapi ternyata ia sama sekali tidak menghiraukannya lagi.

“Sebenarnya ia harus mengerti dengan sendirinya, bahwa aku ingin kami semuanya tinggal di luar hutan ini. Seharusnya ia mengerti bahwa ia harus mengurungkan niatnya dan mencegah anak-anak itu pergi ke dalam hutan. Tetapi ia tidak berbuat demikian,” keluh Rudita di dalam hatinya.

Karena itu, maka ia pun dengan hati yang berat dan dibayangi oleh kecemasan berjalan di belakang Pandan Wangi. Sedang di belakangnya lagi masih ada dua orang yang lain, Agung Sedayu dan Swandaru selain para pengiring. Dan di paling depan Prastawa berjalan dengan dada tengadah.

Dengan susah payah mereka menembus gerumbul-gerumbul liar dan kadang-kadang gerumbul-gerumbul berduri, menyusup di bawah batang-batang pohon yang roboh, silang melintang di bawah sulur-sulur kayu yang lebat dan ranting-ranting yang berpatahan.

Swandaru dan Agung Sedayu yang berjalan di belakang Rudita memandangi lebatnya hutan itu sambil mengerutkan keningnya. Ternyata hutan yang liar di daerah Menoreh ini juga lebat pepat, meskipun tidak seluas dan segarang Alas Mentaok. Namun daerah yang banyak mengandung air, tetumbuhan hutan ini rasa-rasanya menjadi sangat subur.

Gemeresak dedaunan dan ranting yang perpatahan oleh kaki-kaki serombongan kecil itu telah mengejutkan burung-burung yang bertengger di atas dahan kayu. Beberapa ekor burung berterbangan sambil mencicit menyusup dedaunan dan hilang di balik lebatnya hutan. Sedang yang lain meloncat ke dahan yang lebih tinggi lagi untuk menghindarkan diri dari bahaya yang mungkin sedang mengintai.

Rudita terkejut bukan buatan ketika ia mendengar seekor kera yang berteriak keras-keras karena ia melihat kehadiran mahluk yang jarang sekali dilihatnya, disahut oleh beberapa ekor kera yang lain yang sedang bergayutan di pepohonan.

“Itu dia,” teriak Rudita, “banyak sekali, dan alangkah besarnya. Hampir sebesar kita.”

Pandan Wangi berpaling. Dianggukkannya kepalanya sambil berkata, “Diam sajalah. Mereka tidak akan berbuat apa-apa, jika kita juga tidak berbuat apa-apa.”

Rudita mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian berdiam diri saja meskipun hatinya menjadi berdebar-debar. Beberapa ekor kera rasa-rasanya telah mengikuti mereka yang sedang berjalan di dalam lebatnya hutan itu.

Dalam pada itu selagi mareka berjalan perlahan-lahan maju, tiba-tiba saja Agung Sedayu berdesis, “Sayang sekali.”

“Kenapa?” Prastawa yang ada dipaling depanlah yang bertanya.

“Harimau itu tidak ada di sekitar tempat ini.”

“Kenapa?”

“Jika ada seekor harimau di tempat ini, tentu tidak akan ada kera yang berani bergayutan.”

“Ya,” Pandan Wangi-lah yang menyahut, “tentu tidak ada seekor harimau di tempat ini.”

“Tetapi kenapa kuda-kuda itu meringkik dan agaknya menjadi ketakutan?” bertanya Prastawa.

“Mungkin kuda-kuda itu memang mencium bau seekor harimau, tetapi harimau itu sendiri masih berada di tempat yang agak jauh, yang justru tidak tercium dari tempat ini.”

Prastawa mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun demikian, ia masih berharap untuk dapat bertemu dengan seekor binatang buruan. Bukan sekedar seekor binatang buruan yang kecil, tetapi ia mengharap dapat bertemu dengan seekor harimau.

Untuk beberapa lamanya mereka sama sekali tidak berbicara. Mereka berjalan dengan hati-hati menyusup dedaunan. Sedang Rudita yang semakin lama menjadi semakin ketakutan, hampir tidak mengucapkan sepatah kata pun juga.

Namun sejenak kemudian, perhatian mereka yang sedang berburu itu tertarik oleh arus beberapa ekor burung yang berterbangan ke satu arah. Burung-burung kecil dan burung-burung yang lebih besar. Dan sejenak kemudian disusul oleh. beberapa ekor kera yang berloncatan seperti sedang berkejar-kejaran.

Sejenak anak-anak muda yang sedang berburu itu memperhatikan keadaan itu. Beberapa ekor kera yang seolah-olah sedang mengikuti mereka pun sudah tidak kelihatan lagi.

Prastawa yang ada di paling depan itu pun berhenti. Anak muda itu adalah anak muda yang berani. Tetapi ia belum menguasai kemampuan berburu sebaik-baiknya. Itulah sebabnya ia ragu-ragu, meskipun firasatnya mengatakan sesuatu kepadanya.

Agung Sedayu-lah yang kemudian berkata, “Siapkan senjata kalian.”

“Ya, kita harus berpencar,” desis Swandaru.

Rudita yang ketakutan tiba-tiba bergeser mendekati Pandan Wangi sambil berkata, “Kenapa kita harus berpencar? Dan kenapa kita harus menyiapkan senjata?”

Ternyata Pandan Wangi dapat menanggapi suasana seperti anak-anak muda yang lain. Maka katanya, “Tentu ada binatang buas yang sedang bergerak. Jika tidak, binatang-binatang kecil itu tidak akan berlarian.”

“Harimau maksudmu?”

“Mungkin.”

“Suara ringkik kuda yang keras itu agaknya telah menarik perhatiannya,” desis Agung Sedayu.

“Bagus sekali,” sahut Prastawa dengan serta-merta.

Anak-anak muda itu pun mulai menebar. Agung Sedayu bergeser menjauh diikuti oleh Swandaru yang pergi ke arah yang sama tetapi dengan jarak beberapa langkah, sementara Prastawa telah maju pula beberapa langkah.

“Tunggu,” desis Rudita, ketika Pandan Wangi mulai bergerak pula.

“Sst, kita berpencar,” desis Pandan Wangi.

“Aku bersamamu,” sahut Rudita.

“Bergeraklah sedikit dengan jarak yang tidak terlampau dekat. Kita maju bersama-sama.”

“Tidak, aku pergi bersamamu.”

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Prastawa dan kedua murid Kiai Gringsing yang termangu-mangu.

“Mereka menunggu kami,” berkata Pandan Wangi kemudian.

“Aku bersamamu.”

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Apa boleh buat. Berjalanlah perlahan-lahan dan hati-hati. Tetapi di belakangku.”

Rudita bergeser beberapa beberapa langkah. Ketika Pandan Wangi maju masuk hutan itu lebih dalam lagi bersama anak-anak muda yang lain dalam garis lurus yang berjarak beberapa langkah, Rudita mengikutinya di belakang. Ketika ia melihat senjata yang siap di tangan masing-masing, maka hatinya menjadi gemetar. Ia membawa juga busur dan anak panah seperti yang lain. Tetapi tangannya yang memegang busur itu pun gemetar.

Sekali-sekali Agung Sedayu memandanginya. Sempat juga ia mengenang masa kecilnya. Ketika oleh kemanjaannya ia dijerumuskan ke dalam ikatan ketakutan yang membuat dunianya menjadi gelap.

“Tetapi sejak aku masih diikat oleh ketakutan, aku sudah belajar tata bela diri dan mempergunakan senjata,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya. Namun rasa-rasanya ayah Rudita pun seorang yang memiliki ilmu sehingga mungkin Rudita pun sudah mulai diajarinya pula.

“Ia harus mengalami benturan perasaan yang dahsyat untuk dapat merubahnya menjadi seorang yang lain,” berkata Agung Sedaya. Namun meskipun kadang-kadang ia malu kepada dirinya sendiri. Agung Sedayu masih juga dapat melihat perbedaan yang besar antara dirinya sendiri pada saat itu dengan Rudita. Ia sama sekali bukan seorang anak muda yang sombong, dan bukan pula anak muda yang seakan-akan merasa berkuasa atas orang lain, karena saat itu ia sudah menjadi seorang piatu. Ia hidup di dalam suasana yang berbeda dengan cara hidup Rudita kini, sehingga sikap anak muda yang manja ini kadang-kadang memang menjengkelkan, bukan sebaliknya.

Dan kini ia terpaksa menahan senyumnya melihat Rudita yang dengan wajah pucat merunduk di belakang Pandan Wangi.

Demikianlah mereka bergerak semakin lama semakin dalam. Para pengiring mereka pun ikut menebar di antara keempat anak-anak muda itu beserta Rudita di belakang Pandan Wangi.

Tetapi mereka lambat sekali maju karena pepohonan perdu yang lebat di bawah pepohonan yang besar di hutan itu. Apalagi mereka memang harus berhati-hati, karena bukan saja harimau yang buas yang harus mereka hadapi, tetapi juga binatang-binatang kecil yang berbisa.

Dalam pada itu, beberapa ekor burung masih berterbangan di antara dahan-dahan kayu, dan masih pula ada beberapa ekor kera yang sambil berteriak-teriak berloncatan di pepohonan.

Agung Sedayu yang berada di ujung dari kelompok yang sedang maju di dalam garis lurus itu sudah menyiapkan anak panah pada busurnya. Ia mengharap bahwa kemampuan bidiknya masih tetap utuh. Beberapa langkah daripadanya adalah Swandaru yang sudah siap pula. Kemudian agak di belakangnya seorang pengiring. Kemudian Pandan Wangi dan Rudita. Di sebelahnya adalah Prastawa, dan di ujung yang lain adalah kedua pengiring pula yang seperti yang lain juga sudah siap dengan senjata mereka.

Sejenak Agung Sedayu yang berpandangan tajam itu melihat sebuah gerumbul yang bergerak. Dengan sigapnya ia meloncat maju. Ketika sesuatu tersembul dari gerumbul itu, anak panahnya telah siap untuk meluncur.

Tetapi anak panah itu masih tetap pada busurnya. Dibiarkannya seekor binatang berlari kebingungan. Binatang itu tidak berani berani kembali ke tengah hutan, namun tidak pula dapat terus. Sejenak binatang itu meloncat masuk ke dalam gerumbul yang lain, kemudian berlari menghindar.

Agung Sedayu menarik nafas. Ia sadar, bahwa ia memang bukan seorang pemburu yang baik. Kadang-kadang ia masih juga diganggu oleh keragu-raguan untuk membunuh meskipun hanya seekor anak kijang.

“Kau biarkan kijang itu lari?” desis Swandaru.

Agung Sedayu tidak menjawab. Katanya di dalam hati, “Seandainya bukan seekor kijang yang masih muda. Ia dengan ketakutan ingin melepaskan diri dari kejaran binatang buas, alangkah malang nasibnya jika ia berpapasan dengan manusia yang ternyata tidak kalah buasnya dari binatang yang paling buas itu. Karena justru manusialah yang telah membunuhnya.”

Swandaru melihat keragu-raguan di mata Agung Sedayu, sehingga ia berkata, “Penyakitmu sudah kambuh lagi, Kakang. Bukan saatnya untuk ragu-ragu di saat kita sedang berburu.”

Agung Sedayu tidak menjawab. Kijang yang masih sangat muda itu sudah hilang. Namun di balik belukar yang lebat itu, mungkin sekali akan mereka temukan seekor harimau yang buas.

Demikianlah mereka melangkah maju lagi. Setapak demi setapak. Sedang angin bertiup ke arah yang berlawanan. Sehingga mereka berharap bahwa hidung harimau itu tidak lebih dahulu mencium bau orang-orang yang mencoba memburunya.

Sejenak kemudian, maka terasa hutan itu menjadi sepi. Sepi sekali. Tidak terdengar teriakan kera di pepohonan, dan tidak terdengar pula kicau burung di udara.

Orang-orang yang sedang berburu itu menjadi semakin tegang. Ternyata bahwa mereka akan segera berhadapan dengan binatang buas di hutan liar itu.

Karena itu, maka anak panah mereka telah siap dipasang pada busurnya, siap untuk dilepaskan.

Tetapi beberapa saat lamanya mereka tidak melihat sesuatu yang bergerak di dalam gerumbul. Setiap kali mereka hanya melihat seekor kupu yang tidak menyadari bahaya yang ada di hutan itu.

Namun tiba-tiba Agung Sedayu tertegun sejenak. Hampir berbareng dengan Swandaru ia berkata, “Aku mencium bau yang lain.”

Pandan Wangi pun menganggukkan kepalanya sambil berdesis, “Ya. Bau ini tentu bukan bau seekor harimau.”

“Aku tidak mencium bau apa pun,” berkata Prastawa.

“Cobalah perhatikan. Ada yang lain.”

Orang-orang yang sedang berburu itu pun kemudian berhenti sejenak. Seorang pengiring yang sudah berpengalaman berkata, “Berhati-hatilah. Bau ini sudah memberi peringatan kepada kita.”

“Ya, ya. Aku mencium bau itu.”

“Bau apakah yang sudah kalian cium?” bertanya Rudita. Wajahnya menjadi semakin pucat. “Aku tidak mencium bau apa pun juga.”

“Bau yang wengur ini,” berkata pengiring itu.

“Ya, tetapi bau apa?”

Sebelum orang itu menjawab, Agung Sedayu berkata sambil menunjuk kekejauhan, “Kau lihat ujung pohon itu?”

“Nah,” berkata pengiring itu, “kini sudah pasti. Bukan seekor harimau yang kita hadapi.”

Pandan Wangi pun menjadi tegang. Jarang sekali terjadi, bahwa di dalam hutan mereka akan berpapasan dengan kejadian itu.

“Apa, kenapa dengan ujung pepohonan itu,” Rudita bergeser semakin mendekati Pandan Wangi.

“Bagaimana dengan kita?” bertanya Pandan Wangi kemudian kepada pengiring itu, tanpa menghiraukan Rudita.

“Terserahlah kepada kita. Apakah kita akan memburunya juga, atau kita akan mengambil jalan lain dan menjauh seperti binatang-binatang buruan yang lain.”

“Marilah, kita lihat,” berkata Prastawa.

“Jangan terburu-buru,” berkata pengiring itu, “lebih baik bertemu dengan seekor harimau daripada kita mendekatinya.”

“Apa yang kalian lihat, apa?” desak Rudita.

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ujung pepohonan itu bagaikan ditiup angin pusaran. Apakah kau benar-benar tidak mengerti, apakah yang ada di sana.”

Rudita memandang ujung pohon itu. Katanya, “Maksudmu pohon yang besar itu?”

“Ya.”

“Bukan setiap pepohonan.”

“Ya, maksudku pohon yang besar itu.”

Rudita menggelengkan kepalanya. Katanya, “Aku tidak mengerti.”

Pandan Wangi memandang Agung Sedayu dan Swandaru berganti-ganti. Kemudian pengiring yang menyertainya itu.

“Katakan,” desak Rudita.

Sekali lagi Pandan Wangi memandang pengiringnya, seakan-akan menyuruhnya mengatakan tentang ujung pohon yang bergerak-gerak itu.

“Itu adalah bahaya yang paling besar di dalam hutan ini bagi binatang-binatang yang ada di dalamnya. Lebih berbahaya dari seekor harimau yang sedang lapar.”

“Aku sudah mendengar kalian mengatakannya. Tetapi apa?”

“Seekor ular naga.”

“Ular naga,” dada Rudita bagaikan berhenti bergetar, “ular naga. Jadi apakah benar ada seekor ular naga?”

“Maksudku seekor ular yang besar sekali. Orang-orang yang pernah menyaksikannya menyebutnya ular naga. Di telinganya terdapat semacam sumping kebesaran, dan bagi sejenis ular, terdapat taji di bagian ekornya.”

“O, apakah ular naga itu berkaki juga?”

Pengiring itu menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Tidak. Ular naga biasanya tidak berkaki.”

“Tetapi kenapa ujung pohon itu seperti ditiup angin pusaran?”

“Ular itu sedang lapar.”

“Ya, tetapi kenapa ujung pohon itu?”

“Ular yang lapar membelitkan ujung ekornya pada sebatang dahan yang besar di pohon itu, kemudian kepalanya sajalah yang terayun-ayun di sekitar pohon itu. Setiap mahluk yang lewat di jarak jangkaunya, tentu akan disambarnya dan langsung ditelannya. Juga seekor kijang dan bahkan seekor harimau. Tetapi sudah barang tentu, jika yang disambarnya seekor harimau maka tentu akan terjadi pergulatan yang sengit, karena seekor harimau tidak akan menyerah begitu saja. Bahkan dapat terjadi, jika pohon itu berada di tepi Kali Praga, ular itu akan menyambar seekor buaya yang sedang berjemur. Namun yang terjadi adalah pergulatan yang sengit antara ular itu dengan seekor buaya yang kuat.”

Terasa bulu-bulu tengkuk Rudita meremang, terbayang di matanya seekor naga raksasa yang buas sedang terayun-ayun di pohon itu sambil membelitkan ekornya. Kepalanya merupakan alat yang sangat berbahaya untuk menyambar mangsanya. Jika seekor harimau dapat disambarnya meskipun kemudian harus bergulat dengan sengit, apa yang dapat dilakukan oleh seseorang?

Karena itu, maka Rudita menjadi semakin ketakutan. Setiap kali ia memandang ujung pohon yang bergerak-gerak itu. Namun kemudian ia tidak dapat menahan perasaannya lagi sehingga katanya kepada Pandan Wangi, “Apakah kita tidak sebaiknya kembali saja?”

“Kita maju beberapa langkah lagi. Mungkin kita tidak akan mendapat kesempatan melihat seekor ular raksasa yang lapar mencari makan di tengah-tengah hutan yang lebat seperti ini.”

“Tetapi kenapa ular itu tiba-tiba saja menjadi lapar ketika kita mendekatinya?”

“Tentu tidak. Ular menjadi lapar untuk waktu yang panjang. Adalah kebetulan bahwa pada saat kita memasuki hutan ini, ular itu mulai mencari mangsanya. Tetapi tentu ular itu sudah cukup lama menahan lapar. Memang mungkin ringkik kuda yang keras itu menambah seleranya sehingga tiba-tiba saja ia berniat untuk menyambarnya. Tetapi kuda itu tidak akan melalui daerah berbahaya itu. Binatang-binatang yang lain pun biasanya menjauhinya.”

“Kenapa justru kita mendekat?”

“Kita bukan binatang yang tersesat ke daerah jangkau kepala ular yang lapar itu. Tetapi kita dengan sadar mendekatinya, sehingga kita dapat memperhitungkan jarak sebaik-baiknya.”

“Tetapi apakah gunanya kita mendekat?”

“Aku ingin melihat,” lalu Pandan Wangi memandang anak-anak muda yang lain sambil bertanya, “Bagaimana dengan kalian?”

“Aku juga belum pernah melihat, bagaimana seekor ular yang lapar mencari mangsanya,” sahut Prastawa.

“Tetapi itu berbahaya sekali,” gumam Rudita.

“Asal kita berhati-hati, kita tidak akan terjebak ke dalam mulutnya,” berkata Swandaru kemudian, “karena itu, kita harus mampu memperhitungkan setiap kemungkinan. Memang mungkin luar itu menyelusur turun sedikit, sehingga jarak jangkaunya bertambah lebar, tetapi tentu terbatas, karena panjang tubuhnya juga terbatas.”

Rudita tidak dapat memaksa kawan-kawannya berburu untuk kembali. Betapa pun ia dibelit oleh perasaan takut, namun ia terpaksa ikut maju juga mendekati sebatang pohon yang sedang diguncang oleh ular yang kelaparan itu.

“Jangan mendekat lagi,” desis Rudita.

“Sst, ular itu mempunyai telinga. Jika ia mendengar suaramu, maka perhatiannya akan tertuju sepenuhnya ke mari.”

“Dan mempunyai hidung,” desis Swandaru, “ia akan dapat mencium bau manusia.”

Rudita sama sekali tidak berani membuka mulutnya. Ia menjadi semakin lama semakin ketakutan, sehingga karena itu ia bahkan sekali-sekali berpegangan pada baju Pandan Wangi.

“Sst,” Pandan Wangi kadang-kadang merasa geli juga, sehingga sekali-sekali tangan Rudita itu pun dikibaskannya.

Agung Sedayu yang melihat, betapa Rudita dicengkam oleh ketakutan menjadi kasihan karenanya. Ia sendiri pernah merasakan betapa sakitnya perasaan takut itu menyiksa dirinya.






Namun ia tidak dapat menolongnya. Ketakutan yang demikian tidak dapat ditolong dengan mengawaninya.

Dalam pada itu, mereka menjadi semakin lama semakin dekat dengan pohon yang diguncang oleh ular raksasa itu. Bau yang wengur semakin lama semakin terasa menusuk hidung, sedang daerah di sekitar tempat itu menjadi semakin sepi. Tidak ada sehelai daun pun yang bergerak oleh sentuhan binatang hutan selain di sekitar pohon yang bagaikan dipermainkan oleh angin pusaran itu.

“O,” Rudita menjadi gemetar ketika ia melihat sesuatu yang bergerak-gerak pada pohon itu. Ternyata seperti yang lain, ia mulai dapat melihat tubuh ular yang tersangkut pada dahan pohon itu. Ular yang ternyata benar-benar ular raksasa.

Prastawa yang juga melihat ular itu, hampir saja meloncat maju didorong oleh keinginannya yang meluap melihat seluruh tubuh ular itu. Untunglah pengiring yang berpengalaman itu sempat menggamitnya dan memberikan isyarat agar ia menjadi berhati-hati.

“Kita belum melihat kepalanya,” bisik orang itu, “kita belum tahu pasti panjang ular itu.”

Prastawa mengangguk-anggukkan kepalanya.

Sejenak sekelompok orang-orang yang ingin melihat ular raksasa itu berdiri membeku. Mereka masih belum tahu pasti berapa jauh jarak jangkau kepala ular raksasa itu.

“Tinggallah kalian di sini,” berkata pengiring yang sudah banyak mengetahui seluk-beluk hutan itu, “aku akan mencoba melihat, sampai di mana jauh jangkau kepala ular itu.”

“Hati-hatilah,” desis Pandan Wangi.

“Aku akan pergi bersamanya,” berkata Agung Sedayu.

“Aku juga,” berkata Swandaru.

“Tinggallah di sini,” sahut Agung Sedayu, “jika terlalu banyak orang yang pergi, ular itu akan segera mengetahui kehadiran kita.”

Swandaru mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun mengangguk-anggukkan kepalanya.

Pengiring itu pun kemudian bergeser maju diikuti oleh Agung Sedayu. Mereka dengan hati-hati menyusup sebuah gerumbul kecil yang tidak begitu rimbun. Namun karena mereka masih belum dapat melihat kepala ular itu, maka mereka pun bergeser beberapa langkah lagi, dan berlindung di balik sebatang pohon.

“Firasatku mengatakan bahwa ular itu sudah mencium bau manusia.”

“Kita, maksudmu?”

“Ya, lihatlah gerak tubuhnya.”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Kita mendekat lagi.”

Orang itu menganggukkan kepalanya. Namun ketika ia melangkah maju, maka Agung Sedayu pun segera menyambarnya.

Untunglah bahwa Agung Sedayu sempat melakukannya. Ketika orang itu berguling karena tarikan tangan Agung Sedayu, ia masih sempat melihat sesuatu bergerak digerumbul beberapa langkah di hadapannya.

Dengan tubuh yang gemetar orang itu meloncat berdiri dan bersama dengan Agung Sedayu melangkah surut ke belakang.

“Aku tidak mengira, bahwa kepala ular itu sudah begitu dekat,” berkata orang itu.

Agung Sedayu tidak menjawab. Ia melihat kepala itu mulai bergerak-gerak. Agaknya ular itu tidak saja ingin menunggu, tetapi ia berusaha untuk dapat mencapai mangsanya yang belum dapat ditangkapnya itu.

Sejenak keduanya berdiri termangu-mangu di balik sebatang pohon yang besar, meskipun mereka sadar, bahwa mereka tidak akan dapat bersembunyi apabila ular itu berusaha untuk maju.

Tetapi agaknya kepala ular raksasa itu masih, saja terayun-ayun, meskipun kini agaknya lebih tertuju kepada kedua orang yang berusaha bersembunyi itu.

Agung Sedayu dan pengiring itu masih saja berdiri diam di tempatnya. Mereka sedang terpukau oleh kekaguman atas ular yang besar itu. Kepalanya yang sebesar kepala kerbau itu tampak kehitam-hitaman mengkilap seperti dilumuri minyak. Seperti ceritera yang pernah mereka dengar, bahwa sebenarnyalah pada telinga ular itu seakan-akan terlukis sebuah jamang berwarna kemerah-merahan. Matanya yang tajam bagaikan memancarkan cahaya yang kekuning-kuningan.

“Mengerikan sekali,” desis pengiring itu.

“Ya, mengerikan sekali,” sahut Agung Sedayu, “ular itu tentu sangat berbahaya. Bukan saja bagi binatang-binatang hutan tetapi juga bagi seseorang yang kebetulan masuk ke dalam hutan ini. Tentu ular itu tidak selamanya bergayutan di pohon itu. Apabila ia sudah kenyang, ia akan pergi sehingga datang saatnya ia kelaparan lagi dan melakukan perbuatan yang serupa. Mungkin di tengah hutan ini, tetapi mungkin di tempat lain yang sering dikunjungi orang.”

“Jika kepalaku disambarnya,” berkata pengiring itu, “maka aku tidak akan sempat berteriak. Tubuhku akan segera dilumatkan dengan belitan yang kuat, sehingga dengan tulang-tulang yang remuk dengan mudahnya aku akan ditelan.”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia terpaksa melangkah surut sambil berkata, “Ular itu agaknya akan menyerang kita.”

“Ya. Ular itu akan menyerang. Marilah kita pergi.”

Agung Sedayu menjadi ragu-ragu. Apakah ular yang berbahaya itu akan ditinggalkan begitu saja.

Dalam keragu-raguan itu tiba-tiba Agung Sedayu terkejut karena ia mendengar suara Rudita, “Jangan maju lagi. Jangan.”

“Gila,” geram Agung Sedayu, “kenapa anak itu dibawa ke mari?”

Sebenarnyalah bahwa beberapa orang yang ditinggalkan oleh Agung Sedayu itu tidak sabar lagi menunggu. Apalagi Swandaru dan Pandan Wangi disentuh pula oleh perasaan cemas apabila sesuatu telah terjadi atas Agung Sedayu dan seorang pengiringnya.

“Jangan maju lagi,” desis Agung Sedayu.

Pandan Wangi menjadi termangu-mangu, sedang Rudita yang kemudian melihat juga kepala yang terayun-ayun itu menjadi gemetar seperti orang yang sedang kedinginan.

“Hati-hatilah, Kakang,” Swandaru tiba-tiba berteriak.

Agung Sedayu dan pengiring itu meloncat menjauh. Agaknya ular raksasa itu telah berusaha menjangkau kedua mangsanya itu. Namun karena ekornya masih harus berpegangan pada dahan kayu yang besar, maka ia masih belum berhasil mencapai mahluk yang masih agak asing baginya.

Ternyata percakapan itu membuat ular raksasa itu semakin marah. Kepala yang mengerikan itu terayun-ayun semakin keras, sehingga batang pohon tempat ekornya berpegangan menjadi semakin keras bergetar.

Tetapi bukan itu saja, ternyata ular itu pun berusaha semakin menjulur ke bawah. Ternyata ia berusaha mengendorkan belitan ekornya, agar kepalanya menjadi semakin panjang menjangkau mangsanya.

Tetapi kemarahan ular raksasa itu telah mengguncang dahan pohon tempatnya bergantung semakin keras. Semakin lama semakin keras, sehingga pada suatu saat, dahan itu tidak mampu lagi menahan ayunan tubuh yang seakan-akan menjadi semakin berat.

Yang terdengar kemudian adalah dahan itu mulai retak. Sejalan dengan itu, maka kepala ular itu pun menjadi semakin rendah, dan semakin dekat menjangkau Agung Sedayu dan pengiringnya.

“Kakang, dahan itu patah,” teriak Swandaru.

Dengan gerak naluriah, maka Agung Sedayu pun menjauh. Tetapi dengan gerak naluriah pula, Agung Sedayu, Swandaru, Pandan Wangi dan para pengiringnya telah menarik anak panah pada busurnya. Hampir berbareng dengan derak dahan yang patah itu, beberapa anak panah telah meluncur ke arah kepala ular raksasa itu.

Namun ternyata bahwa kepala ular yang bergerak itu tidak terlalu mudah dikenainya. Anak panah yang meluncur dari busurnya itu tidak sempat mengenai sasarannya, kecuali anak panah Agung Sedayu, meskipun tidak tepat, karena anak panah itu menembus leher.

Luka di leher ular itu, membuat ular raksasa itu menjadi seakan-akan gila. Tiba-tiba saja ular itu melonjak dan dahan yang patah itu pun berderak jatuh di tanah.

Kesakitan yang amat samgat pada lehernya, dan tubuhnya yang justru tertindih dahan yang besar itu, membuatnya semakin gila.

Ular itu bergulung-gulung seperti pusaran air. Dengan berdesis mengerikan ular itu berusaha melemparkan dahan yang besar yang menindih tubuhnya. Namun kesakitan pada lehernya bagaikan tersentuh bara besi baja.

Demikianlah, untuk beberapa saat lamanya ular raksasa itu seakan-akan bergulat dengan dirinya sendiri. Namun dengan kemarahan yang luar biasa tiba-tiba kepalanya yang mengkilap itu tegak, dengan mulut ternganga.

Ular itu bagaikan menyemburkan api dari dalam mulutnya.

Rudita benar-benar sudah kehilangan keberaniannya sama sekali. Tubuhnya menggigil seperti terbenam di dalam air embun. Bahkan ketika kawan-kawannya bergeser surut, ia sudah tidak mampu lagi mengangkat kakinya.

“Rudita,” teriak Pandan Wangi.

“O,” Rudita mencoba melangkah. Tetapi kakinya terantuk sepotong akar yang menyilang di depannya. Tiba-tiba saja ia justru terjatuh tertelungkup.

Pada saat itulah ular raksasa yang bagaikan gila itu menjulurkan kepalanya. Tiba-tiba saja ia melihat sesuatu yang bergerak-gerak. Dan itu adalah Rudita yang sedang berusaha bangun.

“Rudita,” sekali lagi Pandan Wangi berteriak.

Tetapi kepala ular itu mulai bergerak, lidahnya mencuat seperti ujung api yang akan membakar tubuh Rudita yang lemah.

Sekejap semua orang yang menyaksikannya dicengkam oleh perasaan tegang. Mata ular yang membara dan taringnya yang tajam, membuat setiap jantung bagaikan berhenti berdenyut.

Namun tidak seorang pun yang menghendaki Rudita akan ditelan oleh ular yang sedang kesakitan itu. Karena itu, maka sekali lagi beberapa orang telah melepaskah anak panah. Tetapi anak panah itu tidak tepat mengenai sasarannya. Satu dua daripadanya berhasil mengenai leher ular itu dan menyusup di antara sisiknya yang bagaikan perisai besi.

“Rudita,” Pandan Wangi benar-benar menjadi cemas.

Pada saat yang paling berbahaya itu, tidak ada jalan lain kecuali mencoba mengusir ular itu dengan anak panah yang dilontarkan bagaikan hujan.

Tetapi ular itu benar-benar sudah gila. Ia sama sekali tidak menjadi surut meskipun ada beberapa anak panah yang bergayutan pada sisiknya.

Tidak ada lagi harapan yang masih tersisa di hati Rudita. Ia sempat melihat kepala ular itu merunduk menghampirinya dengan mulut menganga, lidah yang belah dan taring yang tajam.

Namun pada saat itu, Agung Sedayu masih melakukan usaha terakhir. Dengan cepatnya ia menyambar tombak pendek seorang pengiring yang sedang termangu-mangu. Dengan kemampuan bidiknya, ia melontarkan tombak itu selagi ular itu tidak sedang bergejolak seperti wajah air yang sedang mendidih.

Ternyata usaha Agung Sedayu yang terakhir itu berhasil. Pada saatnya, tombak pendek itu meluncur tepat mengenai sebelah mata ular yang marah itu.

Sekali terdengar ular itu berdesis keras sekali sambil menarik kepalanya cepat-cepat. Kemudian, sekali lagi ular itu bergumul dengan dirinya sendiri. Dengan tenaga raksasanya ia berusaha melepaskan diri dari cengkaman kesakitan. Tetapi ia tidak berhasil melepaskan diri dari ujung tombak dan beberapa anak panah yang mengenainya.

Dalam keadaan itulah, maka sekali lagi Agung Sedayu menyerang dengan anak panahnya. Tetapi ia tidak berhasil mengenainya. Anak panahnya justru meloncat mengenai tubuh ular yang sedang mengamuk itu.

Ketika ular itu sekali lagi menengadahkan kepalanya yang sudah mulai dilumuri darah dari luka-lukanya dan terutama dari sebelah matanya, Swandaru sudah sempat menarik Rudita dan menyeretnya menjauhi ular itu.

Tetapi betapa garangnya ular raksasa itu, namun akhirnya lambat laun ia kehilangan tenaganya. Darahnya yang mencucur dari lukanya, dan ujung tombak yang justru semakin dalam menancap di kepalanya, mulai menyentuh otaknya.

Akhirnya, badai yang berkecamuk itu menjadi semakin lama semakin reda. Perlahan-lahan namun pasti, maka akhirnya ular raksasa itu kehilangan segenap tenaganya dan bahkan kemudian kehilangan hidupnya. Tombak Agung Sedayu yang justru menjadi semakin dalam menghunjam di kepalanya, telah menghabisi nyawanya.

Ular raksasa itu pun akhirnya telah mati dengan meninggalkan bekas yang sangat mengerikan. Dahan-dahan yang berpatahan. Bahkan pepohonan yang tidak begitu besar pun telah roboh karenanya.

Sejenak Agung Sedayu, Swandaru, Pandan Wangi, dan Prastawa dan para pengiringnya berdiri termangu-mangu, sementara Rudita masih saja menggigil ketakutan.

Tetapi ternyata bau darah yang khusus dari darah ular raksasa itu telah mengundang penghuni rimba itu yang lain. Dari kejauhan terdengar seekor harimau mengaum dengan dahsyatnya.

“Itulah dia,” tiba-tiba saja Prastawa berdesis.

“O,” suara Rudita gemetar hampir tidak terdengar, “apa lagi yang akan datang?”

“Tentu seekor harimau yang mencium bau darah ini,” jawab Prastawa, “bahkan mungkin tidak hanya seekor.”

“O,” Rudita menjadi semakin pucat.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata hutan di tepi Kali Praga ini isinya tidak kalah dahsyatnya dari Alas Mentaok, karena di Alas Mentaok yang paling berbahaya bukan saja binatangnya, tetapi perampok dan penyamunnya.

Sejenak Agung Sedayu dan kawan-kawannya menjadi termangu-mangu. Di hadapan mereka adalah hutan yang menjadi porak poranda karena amukan ular yang menjadi gila itu. Sedang lamat-lamat mereka telah mendengar seekor harimau mengaum di kejauhan.

Karena itulah maka mereka masih tetap berdiri di tempatnya. Mereka telah siap menghadapi setiap kemungkinan. Meskipun ada dua ekor harimau yang berdatangan sekaligus, mereka tidak akan gentar.

Tetapi suara harimau itu tidak terdengar lagi. Mungkin harimau yang mencium bau darah seekor ular, sama sekali tidak tertarik untuk mendekatinya,

Sejenak mereka masih menunggu. Tetapi karena mereka tidak mendengar apa pun lagi, maka Agung Sedayu pun berkata, “Harimau itu tidak datang ke mari.”

“Benar begitu?” bertanya Rudita dengan serta-merta.

“Aku kira begitu.”

“Jawablah yang baik. Jangan sekedar mengira. Aku memerlukan kepastian,” suaranya masih bergetar.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun agar anak itu tidak selalu ribut, maka ia pun menjawab, “Aku pasti. Harimau itu tidak akan datang ke mari.”

Rudita memandang Agung Sedayu sejenak. Namun katanya, “Tentu kau hanya ingin menenteramkan hatiku. Jawablah yang sebenarnya. Jawablah.”

Agung Sedayu menjadi bingung. Sejenak ia termangu-mangu memandang Pandan Wangi, seolah-olah ia ingin mendapat pertolongannya untuk menjawab pertanyaan Rudita yang kacau itu.

“Rudita,” ternyata Pandan Wangi dapat menanggapi tatapan mata Agung Sedayu itu sehingga didekatinya Rudita, “memang harimau itu tidak akan datang ke mari.”

“Aku tahu, kalian hanya sekedar menenteramkan hatiku. Tetapi bagaimana sebenarnya? Apakah harimau itu datang ke mari nanti?”

“Tidak. Aku yakin tidak.”

“Jangan membohongi aku.”

“Baiklah,” berkata Pandan Wangi, “menurut perhitungan kami, harimau itu tidak akan datang. Tetapi seandainya ia datang juga, kami sudah siap menghadapinya.”

“Katakan dengan pasti. Kalian selalu mempermainkan aku.”

“Rudita,” Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam, “sudahlah. Jangan kau pikirkan harimau itu. Ia mempunyai kaki. Terserah ke mana ia akan pergi.”

Rudita memandang Pandan Wangi sejenak, lalu, “Kau tidak menjawab sebaik-baiknya. Kenapa kalian bersikap demikian terhadapku?”

Ternyata Prastawa tidak dapat menahan hatinya sehingga ia menyahut, “Biarlah harimau itu datang. Aku akan menunggunya. Dan memang kedatangannya itu sangat aku harapkan.”

“Kau gila,” teriak Rudita, “kau ingin harimau itu datang kemari dan menerkam aku seperti yang hampir saja terjadi dengan ular raksasa itu?”

“Tentu tidak,” jawab Prastawa, “aku akan membunuhnya. Atau kau sendiri harus membunuhnya.”

Rudita memandang Prastawa dengan wajah yang tegang. Tetapi sebelum ia berkata sesuatu, maka terdengar suara Swandaru melengking, “He, ikut aku. Cepat.”

Semua orang memandang kepadanya. Dan sekali lagi Swandaru berkata, “Cepat, ikut aku.”

Tanpa menunggu lagi ia berjalan tergesa-gesa mendekati kepala ular raksasa yang telah mati itu.

Orang-orang lain yang tidak begitu mengerti maksudnya itu pun mengikutinya. Rudita yang ketakutan terpaksa melangkah juga dengan kaki gemetar mendekati ular raksasa itu.

Ketika Swandaru sudah berada beberapa langkah dari ular itu, maka ia pun berhenti. Dilihatnya darah yang berceceran, sedang tombak pendek yang mengenai mata ular itu masih menancap di tempatnya.

“Mengerikan,” katanya, “jika ular ini harus bergumul dengan seekor harimau, maka harimau itu tentu akan dapat diremukkan tulang-belulangnya.”

“Aku belum pernah mendengar ceritera, bahwa di dalam hutan ini ada seekor ular raksasa sebesar ini,” berkata pengiring Pandan Wangi, “karena itu, sebenarnya aku agak takut juga menghadapinya. Untunglah Anakmas Agung Sedayu memiliki kemampuan bidik yang luar biasa, sehingga anak panahnya yang pertama yang mengenai leher ular itu, membuatnya kehilangan ketenangannya. Dan lontaran tombak yang tepat itu ternyata telah memaksa ular itu menyerah untuk selama-lamanya.”

“Suatu kebetulan,” jawab Agung Sedayu.

“Bukan suatu kebetulan,” sahut Swandaru, “Kakang Agung Sedayu dapat membidik dan mengenai seekor burung yang sedang terbang. Aku pernah melihatnya, meskipun tidak setiap saat ia mau memamerkannya.”

“Mana mungkin,” tiba-tiba saja Rudita menyahut, “tidak ada seorang pun yang mampu mengenai seekor burung yang sedang terbang.”

Prastawa berpaling kepadanya. Tetapi ia hanya menarik nafas dalam-dalam.

Tidak ada seorang pun yang menjawab. Tetapi Swandaru-lah yang berkata kemudian, “Rudita. Ternyata keinginanmu terkabul.”

“Apa?” jawab Rudita.

“Hasil buruan kita yang pertama akan kau jadikan hadiah yang akan kau berikan kepada Pandan Wangi. Nah ternyata hasil buruan kita yang pertama adalah seekor ular naga raksasa. Tentu kau masih tetap pada pendirianmu, bahwa setiap hasil kita bersama adalah hakmu dan akan kau berikan sebagai hadiah kepadanya.”

Rudita tidak segera menyahut. Dipandanginya wajah Swandaru yang bulat itu dengan tatapan mata yang mengandung kebimbangan. Namun kemudian katanya, “Apakah ular ini baik juga aku berikan sebagai hadiah?”

Swandaru-lah yang justru terkejut mendengar pertanyaan itu. Namun ia menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Ya. tentu. Kau tahu bahwa kulit ular raksasa ini mempunyai nilai yang besar.”

Rudita mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Baiklah. Kulit ular ini akan aku hadiahkan kepadamu Pandan Wangi.”

“Ah,” wajah Pandan Wangi menegang sejenak. Sikap Rudita benar-benar merupakan sebuah lelucon yang menjemukan. Namun demikian Pandan Wangi menjawab, “Terima kasih Rudita. Aku akan membawanya pulang. Kulit ular itu tentu menjadi bahan tontonan. Jarang sekali kita melihat ular sebesar itu.”

“Jadi kau mau juga menerimanya?”

“Tentu, aku sangat berterima kasih. Aku lebih senang menerima kulit ular itu dari pada seekor kijang atau menjangan.”

“Aku senang sekali, bahwa kau mau menerimanya. Mudah-mudahan dapat menjadi kenang-kenangan sepanjang hidupmu.”

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia memandang Swandaru dengan sudut matanya, dilihatnya anak muda itu berpaling memandang kekejauhan, sedang Agung Sedayu sudah membelakanginya. Prastawa menarik nafas dalam-dalam sambi1 terbatuk-batuk.

“Anak ini benar-benar cengeng,” berkata Pandan Wangi di dalam hatinya, “bukan saja di dalam sikap, tetapi ia benar-benar cengeng di dalam segala hal.”

Hampir saja Pandan Wangi tertawa tanpa dapat ditahan lagi ketika tiba-tiba saja ia mendengar Rudita bertanya, “Tetapi bagaimana kita mendapatkan kulit ular itu?”

“Serahkan kepada para pengiring,” jawab Pandan Wangi, “mereka akan dapat mengulitinya. Mereka sudah sering menguliti seekor ular yang besar sekalipun. Tetapi tidak sebesar ular yang terbunuh ini.”

Rudita mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara Pandan Wangi bertanya kepada ketiga pengiringnya, “Kalian dapat menguliti ular itu?”

Mereka mengangguk sambil menjawab, “Tentu.”

“Kulitilah. Kita bawa kulitnya pulang.”

Salah seorang dari mereka menjawab, “Bagaimana dengan dagingnya?”

“Kita tidak memerlukannya. Biarlah dagingnya menjadi mangsa binatang hutan.”

Ketiga pengiringnya mengangguk-anggukkan kepala. Salah seorang berkata, “Baiklah kita mengulitinya sekarang.”

“Lakukanlah,” berkata Pandan Wangi, “kami akan beristirahat.”

“Jadi kita akan keluar dari hutan ini?” bertanya Rudita dengan serta merta.

“Tidak, kami akan beristirahat di sini.”

“O, di sini?” Rudita menjadi kecewa.

Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi ia kemudian berkata kepada anak-anak muda yang lain, “Kita beristirahat di sini untuk menunggu mereka menguliti ular ini.”

“Tentu memerlukan waktu yang lama,” jawab Prastawa, lalu ia pun bertanya, “apakah tidak sebaiknya kita berbuat sesuatu yang lain?”

“Tidak,” jawab Pandan Wangi, “kita menunggu mereka agar jika ada sejenis binatang yang lain datang ke tempat ini, mereka tidak menemui kesulitan.”

Prastawa mengangguk-anggukkan kepalanya Tetapi sebenarnya ia lebih senang menerobos masuk ke dalam jantung hutan yang liar itu daripada duduk beristirahat tanpa berbuat sesuatu.

Namun seperti yang dikatakan oleh Pandan Wangi, orang-orang yang sedang sibuk menguliti ular itu memang tidak dapat ditinggalkannya.

Dengan demikian maka mereka pun hanya sekedar beringsut dari tempatnya melihat-lihat bekas belukar yang rusak karana amukan ular raksasa itu. Dahan yang patah dan justru telah menimpa tubuh ular itu sendiri. Meskipun akhirnya ular itu dapat melepaskan diri dari himpitan dahan itu, namun luka-lukanya, apalagi sebatang tombak yang menancap tepat di matanya, dan bekas tindihan kayu itulah yang membuatnya kemudian tidak berhasil melepaskan diri dari maut.

Namun demikian, ternyata Prastawa, Agung Sedayu, dan Swandaru bergeser beberapa langkah menjauhi tempat itu tanpa mereka sadari. Mereka melangkah satu-satu sambil melihat-lihat semak-semak yang hancur, pepohonan yang roboh dan dahan-dahan yang patah.






“Apa yang terdapat di dalam lebatnya hutan itu?” tiba-tiba saja Prastawa bertanya.

“Bermacam-macam,” jawab Swandaru, “di antaranya seperti sudah kita lihat, ular raksasa ini, dan yang sudah kita dengar suaranya, beberapa ekor harimau.”

“Itu kurang menarik bagi kita,” Agung Sedayu-lah yang menyahut. “Mungkin ada penghuni yang belum pernah kita lihat. Itulah yang penting, seperti yang dikatakan oleh orang-orang Menoreh.”

“Orang-orang bersenjata?” bertanya Prastawa.

Agung Sedayu menganggukkan kepalanya.

“Jika demikian, kita harus menembus hutan ini sampai ke tepian Kali Praga. Mungkin di bagian itulah kita akan dapat menemukan, setidak-tidaknya bekasnya sebagai bahan untuk melihat keseluruhan yang pernah terjadi di daerah ini.”

Sekali lagi Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang ia ingin benar melihat kemungkinan yang ada dari orang-orang yang tidak dikenal itu. Pengalamannya mengatakan, bahwa sebenarnya Mataram yang sedang tumbuh itu pasti sudah dikepung. Tentu orang-orang yang tidak senang melihat perkembangan Mataram itu mempunyai perhitungan yang luas, karena perkembangan Mataram tidak hanya datang dari satu arah. Dari segala penjuru orang berdatangan dan membuat Mataram menjadi semakin besar.

“Tetapi,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya, “karena daerah di sekitar Mataram mempunyai kemungkinan yang berbeda dipandang dari bermacam-macam segi, maka orang-orang yang tidak senang melihat perkembangan Mataram itu pun tentu memperhitungkannya. Perhatian mereka yang terutama tentu terarah pada perbatasan yang tidak nyata di antara pusat pemerintahan Pajang dan Mataram. Sedang di perbatasan dengan daerah-daerah lain yang juga termasuk daerah Pajang, tentu tidak akan banyak mendapat perhatian mereka.”

Namun itu bukan berarti bahwa Mataram dapat mengabaikan daerah di sekitarnya. Karena orang-orang itu dapat menimbulkan kesan tersendiri di perbatasan Mataram yang sedang tumbuh ini. Seperti kesan yang mereka usahakan, bahwa orang-orang Mataram telah mengacaukan Jati Anom maka mereka pun tentu akan dapat membuat kesan yang lain di perbatasan antara Mataram yang sedang tumbuh itu dengan daerah di sekitarnya.

Dan tiba-tiba saja Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Orang-orang yang tidak dikenal itu akan dapat menumbuhkan kesan, bahwa mereka adalah orang-orang Menoreh yang tidak senang melihat Mataram tumbuh, sehingga dengan demikian akan timbul permusuhan antara Mataram yang sedang tumbuh itu dengan Menoreh yang sebenarnya tidak tahu menahu persoalannya.

“Mungkin Ki Argapati sudah memperhitungkannya, sehingga ia merasa perlu untuk mengirimkan peronda-peronda khusus di sepanjang Kali Praga. Peronda-peronda khusus itu tentu bertugas untuk mencegah kesan yang ditimbulkan oleh orang-orang yang tidak dikenal itu, bahwa seolah-olah mereka adalah orang-orang Menoreh,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.

Dalam pada itu, maka Prastawa yang kemudian menjadi termangu-mangu itu pun bertanya, “Jadi apakah kita akan pergi menembus hutan ini sekarang?”

“Kita menunggu mereka yang sedang menguliti ular itu. Kita akan pergi bersama-sama,” jawab Agung Sedayu.

“Tetapi,” Prastawa menjadi ragu-ragu.

“Tetapi apa?” bertanya Swandaru.

“Anak cengeng itu semakin lama terasa semakin mengganggu saja,” sahut Prastawa.

Swandaru tersenyum. Katanya, “Semula aku menjadi muak melihatnya, bahkan rasa-rasanya ada sesuatu yang membuat aku membencinya. Terus terang, aku tidak senang pada sikapnya yang seakan-akan terlampau cemburu meskipun hubungannya dengan Pandan Wangi tidak jelas. Namun akhirnya aku tidak lagi merasa demikian. Aku justru menjadi kasihan kepadanya.”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku pun merasa kasihan. Aku tahu betapa tersiksanya dikejar oleh perasaan takut. Apalagi mereka yang tidak mau menyadari bahwa dirinya telah dicengkam oleh ketakutan.”

Prastawa mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Memang ada juga perasaan itu di dalam hatiku. Tetapi bahwa ia sama sekali tidak mau menyadari keadaan dirinya itulah yang kadang-kadang hampir membuat aku kehilangan kekang atas diri sendiri. Sikapnya yang memerintah dan berkuasa itulah yang sangat menjemukan.”

“Ia adalah anak yang terlalu manja. Ia merasa bahwa dunia ini berkisar di seputarnya, dan ia adalah pusat dari segala-galanya,” berkata Agung Sedayu.

“Aku juga anak manja waktu itu,” berkata Prastawa kemudian, “aku juga menganggap dunia ini berputar untuk kepentinganku. Tetapi aku tidak menjadi begitu dungu seperti Rudita.”

“Itulah kelebihanmu,” jawab Swandaru.

“Ah,” Prastawa pun berdesah. Sekilas teringat di kepalanya, bagaimana ia berhadapan dengan Agung Sedayu sebagai lawan. Agung Sedayu pun masih seorang anak muda. Namun sikapnya telah menunjukkan kemasakan jiwa meskipun belum seutuhnya.

Prastawa menarik nafas dalam-dalam. Di luar kehendaknya bahwa tiba-tiba ia pun teringat kepada seorang gadis yang waktu itu datang juga ke Menoreh. Gadis yang memiliki pedang di lambung seperti Pandan Wangi. Dan gadis yang demikian memang sangat menarik perhatian.

“Tetapi gadis itu adalah bakal isteri Agung Sedayu,” berkata Prastawa di dalam hatinya.

Prastawa menarik nafas dalam-dalam. Tidak seorang pun yang mengetahui, apakah yang terbersit di dalam hatinya. Tidak seorang pun yang melihat, seperti apa yang tampak oleh mata hati anak yang masih sangat muda itu. Sebenarnyalah bahwa wajah dan sikap Sekar Mirah yang pernah dilihatnya mempunyai sesuatu yang sangat menarik hatinya. Tetapi karena ia mengetahuinya bahwa Sekar Mirah itu adalah bakal isteri Agung Sedayu dan adik Swandaru, maka ia tidak dapat menyebut namanya, apalagi memujinya di hadapan anak-anak muda itu.

“Aku tidak dapat berbuat begitu bodoh seperti Rudita. Meskipun ia tahu, bahwa Pandan Wangi sudah dilamar oleh Swandaru namun ia masih saja bersikap demikian dungunya. Untunglah, bahwa Swandaru yang biasanya berbuat apa saja tanpa dipikirkan masak-masak, kali ini dapat mengerti sifat dan watak Rudita,” berkata Prastawa di dalam hatinya.

Dalam pada itu, para pengiring Pandan Wangi masih saja sibuk menguliti ular raksasa yang sudah terbunuh itu. Ternyata bahwa pekerjaan itu tidak dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat, sedang Pandan Wangi tidak sampai hati meninggalkan mereka di dalam kesibukan itu. Apabila tiba-tiba saja datang binatang buas yang berbahaya, maka mereka tidak akan mempunyai banyak kesempatan untuk membela diri.

“Apakah kita akan menunggui mereka sampai selesai?” bertanya Rudita yang masih saja selalu berada dekat Pandan Wangi.

“Ya. Kita akan menunggui mereka sampai selesai.”

“Jika sampai malam hari mereka masih belum selesai, apakah kita juga akan berada di sini sampai malai hari?”

“Tentu, kita akan menunggui mereka sampai kapan pun.”

“Ah,” desah Rudita, “kita harus keluar dan hutan ini. Aku tidak mau berada di tempat ini sampai malam hari. Nyamuknya terlampau banyak. Semutnya amat buas dan barangkali ada ular-ular kecil yang justru berbisa. Tidak seperti ular raksasa itu. Meskipun ujudnya begitu besar, tetapi ular semacam itu, sejenis ular sawah tentu tidak berbisa. Aku tidak begitu takut kepada ular sawah betapa pun besarnya, tetapi terhadap ular yang kecil aku justru menjadi cemas, karena kita tidak dapat berhadapan langsung. Tahu-tahu kaki kita digigitnya dan kita tidak mendapat kesempatan untuk melawan.”

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat mengerti bahwa Prastawa pada suatu saat hampir saja tidak dapat menahan diri. Kini ketika ular raksasa itu sudah dikuliti, maka dapat saja ia mengatakan bahwa ia lebih takut kepada ular-ular kecil yang berbisa daripada ular raksasa itu.

Tetapi Pandan Wangi harus menahan perasaannya. Rudita adalah tamu keluarganya. Ia adalah saudara dari saluran darah ibunya yang sudah tidak ada lagi, sehingga karena itu, ia adalah orang yang paling berkepentingan. Untunglah bahwa ayahnya cukup berjiwa besar. Meskipun ibunya pernah mengecewakan ayahnya, namun ayahnya dapat menerima setiap orang yang masih ada sangkut pautnya dengan ibunya seperti tidak pernah terjadi sesuatu. Ayahnya menerima mereka dengan baik, karena ayahnya mengerti, bahwa mereka tidak tahu-menahu tentang dosa yang ditanggungkan oleh ibunya justru sebelum dirinya dilahirkan.

“Pandan Wangi,” berkata Rudita kemudian, “apakah sebabnya justru kita harus menunggui orang ini?”

“Tentu kita tidak akan sampai hati meninggalkan mereka bekerja di sini,” sahut Pandan Wangi.

“Biarlah Agung Sedayu dan Swandaru menunggui mereka bersama Prastawa. Kita dapat keluar dari hutan ini dan beristirahat di perkemahan yang sudah disiapkan itu. Di sana ada juga beberapa orang pengiring dan barang kali mereka sudah menyiapkan bekal kita dan memasaknya.”

“Apakah kita berdua akan keluar dari hutan ini tanpa menunggu yang lain?”

“Aku tidak memerlukan mereka,” jawab Rudita, “sebaiknya kita keluar.”

Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih bertanya, “Jadi bagaimana dengan Prastawa dan kedua anak-anak muda Sangkal Putung itu?”

“Biar saja mereka berbuat sekehendak hati mereka. Aku ingin keluar.”

Pandan Wangi termangu-mangu sejenak. Dipandanginya lebatnya hutan di sekitamya. Lalu katanya, “Kau masih tetap menggenggam anak panahmu. Baiklah. Kita keluar berdua. Tetapi siapkan senjata.”

“Kenapa?”

“Kau mendengar aum harimau itu? Ia tentu mencium bau darah, sehingga mungkin sekali satu atau dua ekor di antara mereka telah berada di sekitar kita saat ini.”

Wajah Rudita tiba-tiba berubah. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Apakah benar begitu?”

“Mungkin sekali.”

“Jangan sekedar mungkin. Apakah benar ada harimau di sekitar kita.”

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Sekali lagi ia terlibat dalam pembicaraan yang sulit dengan Rudita. Seperti yang pernah terjadi, maka ia tidak akan dapat lagi menjawab dengan baik. Jika ia menjawab ya, maka ia tentu disangka sekedar menakut-nakuti. Tetapi kalau ia menjawab tidak, maka anak itu tentu tidak percaya karena hatinya sudah dicengkam oleh ketakutan. Karena itu, maka akhirnya Pandan Wangi menjawab, “Aku tidak tahu. Hutan ini terlampau lebat, sehingga aku tidak dapat melihat, apa yang tersembunyi di balik dedaunan dan pepohonan. Mungkin harimau itu ada, mungkin pula tidak. Tanpa dapat menyebutkan kepastian apa pun.”

Rudita memandang Pandan Wangi dengan tatapan mata yang aneh. Tetapi bagaimana pun juga ia merasa, bahwa Pandan Wangi tidak mau menjawab pertanyaannya dengan baik. Itulah sebabnya hatinya menjadi semakin kecut. Hampir saja ia menangis dan bahkan berteriak. Tetapi ia masih tetap berusaha untuk bertahan. Seandainya di dalam keadaan serupa itu ia ada di antara ayah dan ibunya, maka ia pasti sudah memekik dan berteriak keras-keras tanpa menghiraukan perasaan ayah dan ibunya.

Pandan Wangi akhirnya menjadi iba juga melihat keadaan Rudita. Sebenarnyalah anak itu memang pantas untuk dikasihani. Hidupnya dan hari depannya adalah suatu masa yang sangat suram jika tidak terjadi perubahan yang mantap pada anak itu. Umurnya yang sudah menginjak dewasa tidak berkembang sejalan dengan sifat, watak, dan kematangan jiwanya.

Sejenak Pandan Wangi masih berdiam diri, sedang Rudita berusaha untuk menahan perasaannya yang bergejolak. Kini ia harus melihat kenyataan bahwa di luar rumahnya, orang lain tidak dapat diperlakukannya seperti ibunya, ayahnya, dan pelayan-pelayan di rumahnya. Di luar rumah setiap orang mempunyai sikap sendiri, kepentingan sendiri, dan tindakannya didasarkan kepada suatu keyakinan mereka masing-masing.

Karena itulah maka hati Rudita menjadi kuncup. Kini ia merasa terlampau kecil di antara anak-anak muda yang lain. Yang ternyata memiliki kemampuan untuk berbuat sesuatu, setidak-tidaknya untuk diri mereka masing-masing.

Dalam pada itu, Pandan Wangi yang menjadi semakin iba itu pun berkata, “Rudita, bagaimana dengan kita sekarang?”

Rudita memandang Pandan Wangi sejenak. Lalu, “Terserah kepadamu, Pandan Wangi.”

Pandan Wangi mendekatinya. Katanya seperti kepada anak-anak yamg sedang merajuk, “Kita tetap di sini Rudita. Kita menunggu Kakang Agung Sedayu, Swandaru, dan Prastawa.”

Rudita mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Baiklah. Tetapi bagaimana jika sampai malam hari?”

“Kita tetap di sini. Kita membuat perapian di malam hari agar kita tidak diganggu oleh binatang buas.”

“Apakah binatang buas takut perapian?”

“Mereka tidak mau mendekati api di malam hari.”

Rudita mengangguk-anggukkan kepalanya. Ditatapnya wajah Pandan Wangi sejenak seperti anak-anak yang memelas menatap wajah ibunya yang marah.

“Sudahlah. Jangan takut. Sebentar lagi kita akan mempunyai banyak kawan berbincang. Kakang Agung Sedayu dan yang lain tidak akan pergi terlalu jauh.”

Sekali lagi Rudita mengangguk.

Pandan Wangi pun kemudian duduk di atas akar sebatang kayu yang besar sambil memperhatikan pengiringnya yang sedang sibuk menguliti ular raksasa itu. Salah seorang dari mereka sudah cukup berpengalaman. Tetapi yang pernah dilakukan adalah menguliti ular yang belum sebesar ular yang terbunuh itu.

Dalam pada itu, sejenak kemudian seperti yang dikatakan oleh Pandan Wangi, maka Agung Sedayu, Swandaru, dan Prastawa pun telah kembali ke tempat itu. Mereka pun segera duduk beristirahat sambil melihat bagaimana ular raksasa itu sedang dikupas.






Ternyata bahwa ketiga orang pengiring Pandan Wangi itu dapat menyelesaikan pekerjaannya tidak sampai malam hari. Dengan demikian maka mereka masih sempat keluar dari hutan itu, dan pergi ke perkemahan mereka.

Rudita hampir tidak dapat lagi berjalan menembus gerumbul liar di hutan itu, karena badannya yang sangat lelah dan lapar. Tetapi ia mencoba untuk menahannya tanpa mengatakan kepada orang lain, meskipun Pandan Wangi sudah menduganya.

Ketika mereka kemudian sampai ke perkemahan mereka di luar hutan itu, maka Rudita pun langsung merebahkan dirinya pada sebuah tikar yang memang sudah dibentangkan. Rasa-rasanya nafasnya sudah hampir putus di perjalanan ketika mereka harus meloncati batang-batang kayu yang rebah dan merunduk di bawah sulur-sulur kayu.

Bagaimana pun juga namun Rudita tetap bertahan untuk tidak menangis, meskipun matanya terasa menjadi sangat panas. Dan ia sama sekali tidak mengerti, kenapa di dalam keadaan seperti itu, Agung Sedayu, Swandaru, Prastawa, dan bahkan Pandan Wangi yang seorang gadis, masih juga dapat sekali-sekali tertawa berkepanjangan.

“Kita memerlukan air,” berkata Pandan Wangi tiba-tiba.

“Ada sebuah mata air kecil di dekat tempat ini,” berkata seorang pengiringnya yang tinggal di kemah mereka. “Aku sudah menemukannya ketika aku sedang mencari kayu bakar dan juga mencari air. Bahkan ada sebuah saluran yang membuang luapan air dari sebuah sendang kecil pada mata air itu.”

“Di mana?” bertanya Pandan Wangi. “Mumpung belum gelap.”

“Pergilah ke pohon besar yang tampak dari sini itu. Di bawah pohon itu terdapat sebuah mata air.”

Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil membenahi pedangnya ia menyandang busur dan endong anak panahnya.

“Aku akan pergi ke mata air itu sebentar.”

Tiba-tiba Rudita yang sedang berbaring itu bangkit sambil berkata, “Aku ikut bersamamu Pandan Wangi.”

“Ah,” desis Pandan Wangi, “kau nanti pergi bersama-sama dengan anak-anak muda yang lain. Aku akan pergi sendiri lebih dahulu.”

“Tidak. Aku pergi bersamamu.”

“Itu tidak mungkin. Jika kau seorang bayi dan aku ibumu, maka kau dapat aku bawa. Tetapi sekarang ini dalam keadaan ini tentu tidak.”

Rudita menjadi kecewa, tetapi ia tidak dapat memaksanya, karena ia pun kemudian menyadari keberatan Pandan Wangi. Sehingga karena itu dengan lemahnya ia berbaring kembali di atas tikar itu. Namun hatinya justru menjadi semakin pahit. Tentu tidak akan ada yang menghiraukannya selama Pandan Wangi tidak ada. Dan tentu orang-orang yang ada itu justru akan menyakiti hatinya dengan sikap mereka yang sengaja dibuat-buat.

Tetapi ketika ia melihat Pandan Wangi berjalan sendiri sekali lagi bangkit dan bertanya, “Pandan Wangi. Apakah kau akan pergi sendiri dalam keadaan yang berbahaya ini?”

Langkah Pandan Wangi tertegun. Ia berpaling sejenak. Dipandanginya wajah Rudita yang cemas. Kemudian sambil tersenyum ia berkata, “Bukankah belik itu hanya beberapa puluh langkah saja dari tempat ini? Hanya di bawah pohon yang besar itu?”

“Tetapi sebentar lagi hari akan menjadi gelap,” sahut Rudita,

“Itu lebih baik.”

Rudita tidak menyahut lagi. Dengan hati yang kecut ia pun berbaring kembali. Sekilas dilihatnya anak-anak muda yang lain berdiri dalam satu lingkaran memandanginya.

“Mereka tentu membicarakan aku,” berkata Rudita di dalam hatinya, “mereka menjadi iri melihat Pandan Wangi selalu bersamaku. Terutama anak yang gemuk itu. Tetapi aku tidak peduli.”

Dan Rudita pun kemudian benar-benar mencoba untuk tidak mempedulikan Agung Sedayu, Swandaru, dan Prastawa yang memang sedang bercakap-cakap. Tetapi mereka sama sekali tidak mempercakapkan Rudita. Mereka bahkan sedang memperhatikan Pandan Wangi yang pergi sendiri.

“Jangan kalian susul aku sebelum aku kembali,” berkata Pandan Wangi kepada ketiga anak-anak muda itu.

Swandaru hanya tertawa saja. Prastawa-lah yang menyahut, “Tetapi jangan tidur di belik itu. Kami pun ingin segera membersihkan diri.”

Pandan Wangi tidak menjawab. Ia berjalan terus melewati beberapa gerumbul perdu, dan hilang di balik rimbunnya dedaunan.

Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu, Swandaru, dan Prastawa pun duduk pula di antara beberapa orang pengiring yang ingin juga beristirahat, sementara mereka yang tidak ikut berburu ular raksasa, dengan asyiknya mengamat-amati kulit ular yang dibawa oleh kawan-kawan mereka sambil bertanya tidak henti-hentinya tentang perburuan yang mendebarkan itu.

Namun tiba-tiba mereka yang sedang beristirahat itu pun terkejut ketika di kejauhan terdengar aum seekor harimau. Hampir di luar sadarnya mereka berloncatan berdiri, sementara Rudita pun bangkit pula dengan tergesa-gesa. Dengan cemas ia berlari mendekati Agung Sedayu sambil bergumam dengan suara gemetar, “Harimau, apakah itu suara harimau?”

Agung Sedayu mengangguk sambil menjawab, “Ya. Itu suara harimau.”

“Apakah harimau itu akan datang kemari?”

Agung Sedayu yang sudah mengenal serba sedikit tabiat dan sifat Rudita menjawab dengan tegas, “Tidak. Harimau itu tidak menghadap kemari.”

“Darimana kau tahu?”

“Dari getaran suaranya. Harimau itu mengaum sambil membelakangi kita. Aku tahu pasti. Jika harimau itu menghadap kita dan mencium bau kita, suaranya akan berbeda.”

Jawaban yang seakan-akan pasti dan yakin itu telah berhasil membuat Rudita diam, meskipun masih ada keragu-raguan di dalam hatinya. Namun Rudita sudah tidak bertanya lagi, meskipun ia masih saja tetap berdiri di dekat Agung Sedayu.

Swandaru dan Prastawa yang mendengar jawaban Agung Sedayu itu terpaksa menahan senyum mereka sambil membelakangi Rudita. Namun mereka menjadi heran juga bahwa Agung Sedayu sendiri sama sekali tidak tertawa karena jawabannya itu.

Tetapi sebenarnyalah, bahwa ketiga anak-anak muda itu juga menjadi cemas. Mereka sama sekali tidak dapat memperhitungkan, ke mana harimau itu akan pergi. Meskipun Agung Sedayu seolah-olah menjawab dengan yakin, tetapi sebenarnya ia pun menjadi cemas karena aum harimau itu.

“Pandan Wangi tentu mendengarnya juga,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya, “dan tentu ia akan menyiapkan dirinya menghadapi setiap kemungkinan.”

Lebih dari Agung Sedayu, adalah Swandaru. Tetapi ia tidak dapat melanggar pesan Pandan Wangi, agar tidak seorang pun yang mendekatinya. Dan sudah barang tentu Swandaru pun tidak akan mendekatinya selagi Pandan Wangi berada di belik itu. Tetapi bagaimana jika seekor harimau sedang merunduk di belakang gadis yang sedang membersihkan diri itu dan meletakkan senjatanya di tepi belik?

Beberapa lamanya mereka berdiri termangu-mangu. Mereka tidak mendengar suara apa pun lagi, sehingga langit menjadi samar-samar.

Ketika mereka mulai menjadi cemas karena Pandan Wangi masih belum tampak, maka Rudita pun mulai kebingungan. Tetapi ia ragu-ragu untuk bertanya kepada anak-anak muda yang lain.

Namun akhirnya ia tidak dapat menekan perasaannya lagi dan berkata, “Kenapa kalian tidak menengok Pandan Wangi?”

“O,” Prastawa berpaling kepadanya, “kami tidak boleh mendekati belik itu sebelum ia datang.”

“Tetapi bagaimana jika terjadi sesuatu atasnya?”

Sebelum Prastawa menjawab, Agung Sedayu menda-huluinya, “Kami juga sedang berpikir, apakah yang dapat kami lakukan.”

“Pergilah. Lihatlah Pandan Wangi.”

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab agar ia tidak mengucapkan kata-kata yang menyakitkan hati di luar sadarnya.

Tetapi mereka tidak perlu cemas terlalu lama. Sejenak kemudian mereka melihat Pandan Wangi berjalan di sela-sela gerumbul liar di pinggir hutan itu.

“Kau terlalu lama, Pandan Wangi,” Rudita-lah yang mula-mula berteriak sebelum Pandan Wangi mendekat.

Pandan Wangi tidak segera menjawab. Baru setelah ia dekat ia berkata, “Aku tidak segera dapat membersihkan diri. Aum harimau itu agaknya tidak begitu jauh dari belik itu.”

Rudita mengerutkan keningnya. Dipandanginya Pandan Wangi sejenak, kemudian Agung Sedayu, Swandaru, dan Prastawa berganti-ganti.

“Pandan Wangi,” berkata Rudita kemudian, “harimau itu tidak akan datang ke mari.”

“Dari mana kau tahu?” bertanya Pandan Wangi.

“Ia tidak menghadap ke arah kita. Ia membelakangi kita.”

“Ya, darimana kau tahu?”

“Dari getaran suaranya. Jika ia menghadap kemari, getar suaranya tentu akan berbeda.”

Pandan Wangi termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian mengangguk-angguk sambil berkata, “Mungkin. Mungkin kau dapat menangkap perbedaan itu. Tetapi aku tidak. Mudah-mudahan harimau itu benar-benar tidak akan datang kemari. Maksudku, jika ia tidak menghadap kemari, mudah-mudahan ia berjalan langsung maju sehingga justru akan menjadi semakin jauh dari tempat ini.”

Prastawa hampir tidak dapat menahan tertawanya. Karena itu maka tiba-tiba saja ia berkata, “Marilah, kita pergi ke belik itu bersama-sama.”

Ternyata, Swandaru yang sudah lebih dahulu melangkah menjauh menyahut, “Marilah. Mumpung belum terlampau malam.”

“Malam masih belum mulai,” berkata Agung Sedayu.

“Sudah. Lihat, dilangit sudah ada bintang.”

“O ya. Malam memang sudah mulai. Marilah kita pergi ke belik.”

“Nah,” sahut Pandan Wangi kemudian, “bawalah Rudita serta.”

“Tidak. Aku tidak akan mandi,” jawab Rudita.

“O, kenapa?”

“Sudah terlampau malam. Aku biasa mandi dengan air panas di rumah.”

Anak-anak muda itu saling berpandangan sejenak. Sambil menarik nafas dalam-dalam Prastawa berkata, “Baiklah, jika demikian kami akan pergi bertiga. Kemudian para pengiring pun akan bergantian pergi ke belik itu sesudah kami.”

Pandan Wangi hanya dapat menggigit bibirnya. Katanya kemudian, “Jika kau tidak akan pergi bersama mereka, baiklah, duduk sajalah di tikar itu.”

“Apakah kau akan pergi lagi Pandan Wangi?” bertanya Rudita.

“Tidak, aku tidak akan pergi.”

Demikianlah maka Rudita dan Pandan Wangi itu pun kemudian duduk di atas tikar sambil menghirup minuman hangat yang sudah disediakan oleh para pengiringnya. Bahkan kemudian bekal makanan yang mereka bawa. Jadah yang dipanasi di atas bara dan jenang alot yang manis.

“Pandan Wangi,” bertanya Rudita tiba-tiba, “kenapa kau bersikap terlampau baik terhadap ketiga anak-anak bengal itu?”

Pandan Wangi memandang anak muda itu sejenak, lalu jawabnya, “Kita harus baik terhadap siapa pun juga. Apalagi kepada tamu-tamu kita. Kita harus menghormatinya apa pun yang sebenarnya ada di dalam hati.”

“Jadi apakah sebenarnya kau membenci mereka, sehingga sikapmu itu hanya berpura-pura?”

“Ah, pertanyaanmu aneh. Marilah kita berbicara tentang hal lain. Lihat, hutan itu seperti hilang ditelan gelap.”

“Mengerikan sekali. Tetapi bukankah di sini ada banyak orang?”

“Ya. Para pengiring lengkap ada di sini.”

Rudita menarik nafas dalam-dalam. Lalu, “Tetapi bagaimanakah sebenarnya tanggapanmu terhadap Swandaru? Bukankah Swandaru itu melamarmu?”

Meskipun bagi Pandan Wangi, Rudita tidak lebih dari seorang anak kecil meskipun ujudnya besar, namun sepercik warna merah telah membayang di pipinya. Hanya karena keremangan malam yang baru saja menyelubungi Tanah Perdikan Menoreh, maka warna itu tidak tampak oleh Rudita.

Apalagi ketika Rudita itu kemudian mendesak, “Bagaimana, Pandan Wangi?”

Karena gadis itu mendapatkan kesulitan untuk menjawab maka katanya kemudian, “Terserah kepada ayah. Bukankah aku seorang gadis? Ayahlah yang wajar menentukan siapakah jodohku kelak.”

“Benar begitu?” bertanya Rudita dengan serta merta.

“Kenapa?” Pandan Wangi ganti bertanya.

“Bagaimana jika ayahku menjumpai ayahmu, dan ayahmu lebih setuju dengan pendapat ayahku daripada Ki Demang di Sangkal Putung itu.”

“Ah, itu tidak mungkin,” jawab Pandan Wangi yang sama sekali tidak menyangka bahwa Rudita akan berkata demikian.

“Tetapi bukankah Paman Argapati yang akan menentukan hari depanmu.”

“Sudahlah, kita berbicara tentang yang lain. Kita harus berhati-hati selama kita berada di sini. Mungkin binatang buas itu sedang merunduk kita. Jika kita diterkamnya maka kita tidak akan dapat berbicara lagi tentang ayah kita masing-masing.”

“Apakah ada seekor harimau di sini?”

“Aku tidak tahu,” jawab Pandan Wangi tegas, agar tidak menimbulkan persoalan yang berkepanjangan.

Rudita menarik nafas dalam-dalam. Bahkan kemudian ia berdesah, “Aku akan berbaring. Apakah api perapian itu akan dipadamkan sesudah nasi masak?”

“Tidak, api itu akan diperbesar,” jawab Pandan Wangi begitu saja terloncat dari bibirnya. Ternyata bahwa pertanyaan Rudita yang seolah-olah seperti pertanyaan kanak-kanak itu menjadi persoalan di hati Pandan Wangi, karena mungkin sekali Rudita akan menyampaikannya kepada orang tuanya.

Karena itu untuk beberapa lamanya. Pandan Wangi merenungi pertanyaan-pertanyaan Rudita itu. Ia sudah terlanjur mengatakan bahwa segala sesuatunya tergantung kepada ayahnya. Jika kemudian ayah dan ibu Rudita salah menafsirkan keterangan Rudita, akibatnya akan dapat berkepanjangan. Seandainya ayahnya tetap pada pendiriannya, karena pembicaraan dengan Ki Demang Sangkal Putung sudah dilakukan, maka tentu ada sesuatu yang akan tetap terasa mengganggu hubungan antara ayahnya dan ayah Rudita, apalagi Rudita adalah, saudaranya dari saluran darah ibunya yang sudah agak jauh.

“Tentu ayah Rudita cukup bijaksana,” berkata Pandan Wangi di dalam hatinya.

Dalam pada itu nasi pun segera masak. Aum harimau justru terdengar semakin jauh di tengah-tengah hutan yang liar itu sehingga orang-orang yang mendengarnya menarik nafas dalam-dalam. Mereka tidak perlu memperhatikannya lagi, meskipun mereka tidak boleh lengah, karena dapat saja terjadi seekor harimau yang lain tiba-tiba saja menerkam kuda mereka yang terikat.

“Tetapi biasanya kuda mempunyai naluri yang tajam jika ada bahaya yang mendekat. Mereka akan berteriak dengan ribut,” berkata salah seorang pengiring itu kepada kawannya.

Sejenak kemudian maka Agung Sedayu, Swandaru, dan Prastawa pun telah kembali ke perkemahan. Badan mereka terasa menjadi segar. Karena itulah, maka terasa betapa mereka menjadi lapar ketika tercium bau nasi yang hangat.

Tetapi mereka tidak segera makan. Para pengiring itulah yang kemudian pergi ke belik untuk mandi, sedang anak-anak muda itu dengan penuh kewaspadaan mengawasi keadaan di sekitar mereka.

Dengan beberapa potong kayu Prastawa membuat perapian yang sudah tidak dipergunakan lagi untuk memasak itu semakin besar. Nyala api yang merah melonjak semakin lama semakin tinggi, sedang dedaunan yang merunduk diatasnya bagaikan menggeliat kepanasan.

Cahaya merah itu membuat pepohonan dan batang perdu menjadi sewarna bara. Angin yang semilir telah mengguncang lidah api itu, sehingga bayangan dedaunan bagaikan bergerak-gerak.

Sejenak Rudita memandangi bayangan yang ikut berguncang perlahan-lahan. Semakin lama rasa-rasanya bagaikan raksasa yang sedang menari-nari mengelilinginya diiring oleh irama suara cengkerik dan bilalang. Bahkan kemudian suara anjing hutan yang menyalak di kejauhan, namun yang segera terbungkam oleh aum seekor harimau.

“O,” Rudita tiba-tiba menelungkup sambil menyembunyikan wajahnya di balik kedua telapak tangannya.

Pandan Wangi hanya dapat menarik nafas dalam-dalam, sedang Prastawa bergeser setapak mendekatinya. Tetapi Swandaru menggamitnya sambil berkata perlahan-lahan sekali, “Biarkan saja. Aku menjadi semakin kasihan kepadanya. Mudah-mudahan ia dapat segera menenangkan hatinya.”

“Sebaiknya ia segera tidur,” sahut Agung Sedayu berbisik, “dengan demikian ia akan dapat melepaskan dirinya dari siksaan ketakutan.”

Prastawa mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya Rudita yang masih saja menelungkup. Sambil bergeser kembali ia berkata, “Aku pun kasihan sekali kepadanya.”

Pandan Wangi tidak begitu mendengar kata-kata mereka yang sedang berbisik-bisik. Tetapi seakan-akan ia dapat mengerti maksud mereka itu.

Demikianlah, tidak seorang pun yang mengganggu Rudita yang sedang menelungkup. Mereka bahkan berharap anak muda itu segera dapat tertidur nyenyak.

Ketika mereka sudah berkumpul lagi dengan para pengiring yang bergantian mandi, maka mereka pun kemudian mulai makan dengan lahapnya. Rudita ternyata tidak mau bangun lagi. Ia menggelengkan kepalanya ketika Pandan Wangi mengajaknya makan.

“Biarlah ia tidur,” desis Agung Sedayu sekali lagi.

Setelah mereka makan sekenyang-kenyangnya, barulah mereka menempatkan diri masing-masing di tempat yang mereka pilih sebagai pembaringan. Ternyata mereka tidak cukup banyak membawa tikar, sehingga sebagian dari mereka harus menimbun rerumputan kering di pinggir perapian itu.

Beberapa orang bertugas untuk berjaga-jaga sampai menjelang tengah malam. Kemudian kelompok yang lain akan berganti bertugas. Sedang kelompok terakhir adalah Agung Sedayu, Swandaru dan Prastawa,

Kelompok pertama yang terdiri dari separo daripada para pengiring itu pun kemudian duduk di pinggir perapian. Sambil memanasi telapak tangan mereka di udara malam yang dingin mereka masih saja membicarakan tentang ular naga yang berhasil mereka bunuh.

Ternyata sejenak kemudian, perkemahan itu menjadi sepi. Mereka yang akan berganti bertugas, segera berusaha untuk tidur. Sedang Pandan Wangi yang tidak termasuk dalam kelompok-kelompok yang akan berjaga-jaga, merasa dirinya menjadi pemomong Rudita secara khusus, sehingga justru karena itu ia tidak dapat meninggalkannya, meskipun anak itu pernah berbicara kepadanya tentang lamaran seorang anak muda.

Setiap kali Pandan Wangi yang berbaring tidak jauh dari Rudita itu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Setiap kali ia harus melihat apakah Rudita masih tetap dalam keadaannya.

Namun akhirnya, karena Pandan Wangi sendiri pun merasa letih, maka akhirnya ia pun tertidur juga.

Ketika malam menjadi semakin malam, maka para penjaga yang bertugas pun mulai mengisi waktunya untuk melawan kantuk. Mereka tidak lagi berkumpul duduk di sekitar perapian. Tetapi dua di antara mereka berjalan mengelilingi perkemahan itu dan melihat-lihat keadaan kuda mereka.

Ternyata bahwa di bagian pertama dari malam itu tidak terjadi sesuatu. Tanpa membangunkan orang-orang lain, maka kelompok petugas pertama telah membangunkan kelompok kedua dan menyerahkan tugas mereka kepada kelompok berikutnya.

Seperti kelompok pertama, maka setiap kali dua orang dari para petugas itu berjalan-jalan berkeliling perkemahan. Selain untuk mengawasi keadaan, sebenarnya mereka memang berusaha untuk melawan kantuk yang hampir tidak tertahankan, justru karena terasa udara sangat segar di malam hari.

Namun agaknya para peronda itu tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan. Kuda-kuda mereka sama sekali tidak terganggu, dan yang sedang tidur pun masih tetap tidur dengan nyenyaknya.

Dalam pada itu sebenarnyalah bahwa para petugas, tidak mengetahui bahwa beberapa pasang mata sedang mengawasi mereka. Bukan mata harimau yang garang, bukan pula sepasang mata ular naga yang liar. Tetapi beberapa pasang mata manusia.

Ketika para petugas itu sedang bercakap-cakap setelah dua orang di antara mereka baru saja berkeliling, ternyata beberapa orang telah merayap mendekati perkemahan itu.

“Tentu mereka yang sedang kita cari,” desis salah seorang dari mereka.

“Mudah-mudahan,” sahut yang lain, seorang anak muda. Tetapi agaknya ialah yang memimpin kelompok yang sedang merunduk mendekati perkemahan itu.

Demikianlah mereka merayap semakin lama menjadi semakin dekat. Dengan isyarat anak muda yang memimpin kelompok itu pun kemudian memberikan perintah, agar anak buahnya segera memencar.

Dengan diam-diam, maka beberapa orang itu pun memencar mengepung perkemahan itu. Semakin lama kepungan itu pun rasa-rasanya menjadi semakin sempit.

Dalam pada itu, para petugas yang sedang meronda malam itu sama sekali tidak menduga, bahwa di sekitar perkemahan itu ternyata telah bertebaran beberapa orang yang tidak mereka kenal. Setelah mereka tidak merasa kantuk, maka mereka justru duduk saja mengitari perapian yang masih menyala karena setiap kali para petugas telah melemparkan potongan-potongan kayu bakar ke dalamnya.

“Rasa-rasanya malam terlampau sepi,” desis salah seorang peronda.

“Ya, malam memang terlalu sepi. Rasa-rasanya kita tidak sedang berada di pinggir hutan liar.”

“Harimau itu tentu sudah mendapatkan mangsanya sehingga karena itu tidak lagi berteriak-teriak.”

“Apakah hanya ada seekor harimau di hutan yang lebat itu?”

“Tentu tidak. Tetapi semuanya sudah kenyang, dan semuanya tidak mengaum.”

Kawan-kawannya tertawa. Sebenarnya mereka pun masih mendengar auman harimau. Tetapi jauh sekali sehingga mereka tidak perlu menghiraukannya. Namun demikian, ternyata bahwa para penjaga itu, selain menyandang pedang di lambung, mereka mempersiapkan busur dan anak panah, jika pada suatu saat mereka perlukan. Tetapi bukan saja untuk melawan harimau, karena dimalam hari pun kadang-kadang mereka melihat seekor kijang berlari-lari apabila seekor harimau lewat dekat persembunyiannya.

Tetapi malam itu, tidak ada seekor binatang pun yang mendekati perkemahan mereka. Sedang orang-orang yang berusaha mendekat itu, ternyata cukup berhati-hati, sehingga langkah mereka tidak segera didengar oleh para penjaga itu. Apalagi mereka yang sedang tidur dengan nyenyaknya.

Sejenak para peronda itu masih saja duduk di sekitar perapian. Baru ketika kantuk mulai meraba mata mereka lagi, dua orang di antara mereka berdiri dan berjalan mengelilingi perkemahan itu.

Namun mereka masih belum menyadari bahwa ada beberapa orang yang sedang mengepung mereka. Karena itu, maka kedua orang itu pun kemudian kembali lagi ke tepi perapian dan duduk pula di antara mereka.

Dalam pada itu, orang-orang yang sedang mengepung itu pun merayap semakin maju. Beberapa orang terpenting berada di tempat yang terpencar. Semakin lama semakin dekat, sehingga anak muda yang memimpin mereka itu pun sempat memperhatikan kuda yang tertambat.

“Hitung, berapa ekor kuda yang ada,” desisnya perlahan-lahan sehingga kawannya berbicara pun hampir tidak mendengarnya.

“Banyak,” sahut kawannya, “kira-kira sepuluh ekor.”

Anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Setiap kali ia mengerutkan keningnya memperhatikan para peronda. Jika dua orang di antara para peronda itu berdiri dan berjalan melingkar, maka orang-orang yang mengepung itu pun seakan-akan membeku di tempatnya, bahkan menarik nafas pun rasa-rasanya tidak mereka lakukan. Karena itulah maka para peronda itu tidak segera dapat mengetahui kehadiran mereka yang masih bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul liar itu.

Namun ternyata, bahwa kuda-kuda yang tertambat itulah yang lebih dahulu mengetahui kehadiran orang-orang itu. Salah seekor dari kuda-kuda itu pun tiba-tiba meringkik keras-keras dengan gelisahnya disusul oleh beberapa ekor yang lain.

Dan ringkik kuda itu telah mengejutkan orang-orang yang sedang bertugas maupun yang sedang tidur nyenyak. Karena itulah maka mereka pun segera terbangun pula.

Dengan tangkasnya para peronda itu pun segera mempersiapkan senjata sambil berpencar menatap ke segala arah membelakangi api. Demikian juga mereka yang sedang tertidur pun bangkit dan duduk sambil meraba senjata masing-masing sambil menunggu apakah yang terjadi sebenarnya.

Namun secepat itu pula pemimpin kelompok yang mengepung itu pun memberikan isyarat kepada anak buahnya dengan suatu suitan nyaring. Secepat para pengiring itu bersiap dan orang-orang yang tertidur itu bangun, maka perkemahan itu sudah terkepung rapat. Di dalam keremangan cahaya api yang kemerah-merahan, mereka melihat bayangan-bayangan hitam di sela-sela dedaunan dengan senjata telanjang di tangan.

“Jangan berbuat sesuatu yang dapat mempercepat kematian kalian,” desis anak muda yang memimpin kelompok itu.

Para peronda menjadi termangu-mangu. Ternyata jumlah orang-orang yang mengepung perkemahan itu cukup banyak.

“Lepaskan senjata kalian,” berkata suara itu pula.

Dalam pada itu, Agung Sedayu, Swandaru, Pandan Wangi, dan Prastawa pun telah terbangun pula. Tetapi mereka masih tetap berada di tempat masing-masing. Meskipun demikian tangan mereka sudah menggenggam tangkai senjata masing-masing.

“Kalian harus menyerah sebelum kami mengambil sikap yang lebih kasar,” berkata anak muda yang memimpin orang-orang yang telah mengepung perkemahan.

Para peronda menjadi ragu-ragu. Mereka sadar bahwa Pandan Wangi yang mereka anggap sebagai pemimpin mereka telah terbangun, sehingga mereka hanya menunggu perintah daripadanya. Jika Pandan Wangi memerintahkan untuk bertempur, maka apa pun yang terjadi mereka akan bertahan mati-matian.

“Cepat, lakukan perintah kami. Letakkan senjata kalian.”

Tetapi para peronda masih ragu-ragu karena Pandan Wangi masih belum mengucapkan perintah apa pun.

Dalam pada itu Rudita yang sudah terbangun pula segera menyadari apa yang terjadi. Ia lah yang mula-mula bangkit berdiri memandang keadaan di sekelilingnya.

“Jangan berbuat sesuatu yang dapat memaksa kami melepaskan senjata,” terdengar lagi suara anak muda yang memimpin orang-orang yang telah mengepung perkemahan itu.

Rudita pun kemudian melihat bayangan kehitaman di antara dedaunan. Bahkan samar-samar ia melihat beberapa buah senjata yang berkilat-kilat.

Tiba-tiba ketakutan yang sangat telah menerkam jantungnya, seperti ketika ia melihat ular naga yang hampir saja menelannya. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia berkata, “Aku tidak apa-apa. Aku tidak berbuat apa-apa. Aku tidak bersenjata dan aku menyerah.”

“Tidak,” Prastawa-lah yang tidak dapat menahan hatinya setelah ia meyakini keadaan, bahwa sebenarnyalah sekelompok orang-orang yang tidak dikenalnya telah mengepung perkemahan itu. “Kami bukan cucurut yang dapat ditakut-takuti dengan senjata.”

Suasana yang tegang itu menjadi bertambah tegang.

“Kau tidak akan berdaya,” jawab suara pemimpin kelompok itu dengan tenang, “kami bukan sekedar menakut-nakuti. Tetapi jika perlu kami pun dapat bertindak keras dan kasar.”

“Kami adalah laki-laki seperti kalian,” sahut Prastawa.

“Tidak,” tidak tiba-tiba Rudita berteriak, “kau memang bodoh sekali. Kita memang harus menyerah. Bukankah itu lebih baik.” Lalu dengan suara yang gemetar, “Aku menyerah. Jangan kalian sakiti aku. Aku tidak tahu apa-apa.”

“Pengecut,” bentak Prastawa, “menyerahlah jika kau ingin menyerah.”

Sebelum Rudita menyahut, maka yang terdengar adalah suara Agung Sedayu, “Siapakah sebenarnya kalian, dan apakah kepentingan kalian dengan kami?”

Tidak segera terdengar jawaban, Sedang Agung Sedayu pun kemudian telah berdiri pula membelakangi api menghadap kepada orang-orang yang mengepungnya, disusul oleh Swandaru yang berdiri pula di sampingnya.

Pemimpin kelompok orang-orang yang mengepung perkemahan itu melihat dua bayangan hitam di depan perapian. Tetapi mereka tidak melihat wajah kedua orang itu justru karena mereka menjadi silau oleh nyala api yang kemerah-merahan itu.

“Lepaskan senjata kalian,” suara itu terdengar lagi.

Agung Sedayu mencoba memperhatikan beberapa bayangan di sela-sela dedaunan, tetapi ia pun tidak dapat melihat mereka dengan jelas, karena mereka tidak berdiri cukup dekat.

“Sebaiknya berterus teranglah,” berkata Agung Sedayu, “dengan demikian kita menjadi pasti, apakah yang akan kita lakukan.”

“Kami akan berbicara setelah kalian melemparkan senjata kalian.”

“Cepat!” Rudita pun ikut membentak. “Jangan terlalu sombong. Apakah sulitnya melemparkan senjata dari tangan, tetapi kemudian kita selamat? Bukankah kita memang tidak berhasrat untuk pergi berperang?”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia sama sekali tidak menanggapi kata-kata Rudita. Sekali lagi ia berkata lantang, “Sebut namamu atau gelarmu atau apa pun yang dapat memberikan ciri atau sebutan bagimu.”

“Sekali lagi aku mengulangi, lemparkan senjata kalian. Baru kita berbicara. Dan kalian akan segera mengenal aku.”

Tiba-tiba Swandaru menggeram, “Kami tidak akan melemparkan senjata kami. Itu adalah keputusan kami. Terserah, apa yang akan kalian lakukan. Kalian tidak bersedia untuk berbicara dalam kedudukan yang sama. Itu suatu penghinaan. Karena itu, kami akan mempertahankan harga diri kami.”

Sejenak tidak terdengar jawaban. Bayangan di antara semak-semak itu masih berdiri ditempatnya, sedang senjata mereka seakan-akan telah siap untuk menerkam. Orang-orang yang mengepung perkemahan itu tinggal menunggu perintah dari pimpinan mereka untuk meloncat maju menyerang orang-orang yang tidak bersedia melemparkan senjata mereka.

Dalam pada itu, Rudita yang semakin ketakutan berteriak dengan suara serak, “Gila! Gila! Lemparkan senjata-senjata itu. Cepat! Jika tidak, kita semua akan binasa sekedar karena kesombonganmu.”

Swandaru yang berusaha untuk menyabarkan dirinya, menggeretakkan giginya. Tetapi ia mencoba tidak menghiraukan lagi anak yang menggigil ketakutan itu. Ketika kemudian ia menebarkan tatapan matanya, maka dilihatnya para pengiring Pandan Wangi pun telah siap menghadapi segala kemungkinan. Bahkan Pandan Wangi pun kemudian bangkit berdiri dan berkata dengan nada tinggi, “Jangan mencoba menundukkan hati kami. Kami berada di daerah kami sendiri. Kalianlah yang harus menyerah dan kalian terpaksa kami bawa menghadap ayah, Kepala Tanah Perdikan Menoreh karena kalian telah melanggar hak atas daerah kami.”

Masih belum ada jawaban.

“He, siapakah kalian?” Prastawa-lah yang berteriak kemudian.

“Gila, kalian semua sudah gila,” potong Rudita, “kenapa kalian berniat untuk berkelahi. Bukankah kita hanya akan sekedar berburu.”

Tetapi hati Rudita yang dicengkam oleh ketakutan yang menjadi semakin kuncup karena tidak seorang pun yang menghiraukannya.

Bahkan Pandan Wangi yang kemudian maju beberapa langkah sambil menggenggam hulu pedangnya yang masih ada di dalam sarungnya berkata, “Kalian jangan mencoba bukan saja menghinakan kami, tetapi kalian telah mencoba pula menghinakan kekuasaan yang ada di atas Tanah Perdikan ini. Apa pun juga yang akan terjadi, kamilah yang akan memaksa kalian menyerah, bukan sebaliknya.”

Masih tidak ada jawaban, sehingga dengan demikian Pandan Wangi dan orang-orang yang ada di dalam kepungan itu menjadi ragu-ragu.

Yang terdengar kemudian adalah suara Agung Sedayu, “Kenapa kalian diam saja? Jika kalian ingin bertindak kasar, lakukanlah. Tetapi jika kalian ingin berbicara, kami akan berbicara dengan senjata di tangan seperti kalian.”

Tiba-tiba pemimpin dari orang-orang yang mengepung perkemahan itu melangkah maju. Di dalam kegelapan tampaklah seorang yang berperawakan sedang sambil membawa sebatang tombak pendek. Tetapi tombak itu kini berdiri tegak di bahu kanannya.

“Maafkan kami,” itulah yang pertama-tama diucapkannya setelah beberapa saat ia berdiam diri.

Semua orang yang menyaksikannya menjadi termangu-mangu. Bukan saja di pihak Pandan Wangi dan kawan-kawannya, tetapi orang-orang yang sedang mengepung perkemahan itu pun menjadi heran.






“Bukan maksud kami mengejutkan kalian,” berkata orang yang membawa tombak pendek itu.

Agung Sedayu yang membelakangi api mengerutkan keningnya. Kemudian dilihatnya orang yang melangkah itu semakin dekat, sehingga cahaya api yang kemerah-merahan mulai menjangkaunya.

“Apakah kalian mengenal aku?” bertanya orang itu.

Sejenak tidak terdengar jawaban. Namun kemudian hampir berbareng terdengar suara Agung Sedayu dan Swandaru, “Raden Sutawijaya.”

Orang itu tertawa. Ia melangkah semakin dekat lagi. Katanya, “Aku pun tidak segera mengenal kalian, karena kalian membelakangi api, sehingga yang tampak hanyalah wajah-wajah yang hitam. Tetapi suara seorang gadis dan apalagi ketika ia menyebut dirinya dan menghubungkan dengan kekuasaan Tanah Perdikan Menoreh, maka aku pun yakin bahwa tubuh yang gemuk di dalam bayangan api itu adalah Swandaru Geni. Meskipun yang tampak hanyalah bayang-bayang yang hitam, tetapi tidak ada bayang-bayang yang bulat dan begitu gagahnya selain putera dari Sangkal Putung.”

“Ah,” Swandaru berdesah, “aku tidak menyangka bahwa Raden ada di sini.”

“Aku ingin minta maaf kepada Pandan Wangi, bahwa aku sudah berada di daerah Tanah Perdikan Menoreh.”

Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Kini Raden Sutawijaya berada hanya beberapa langkah saja di hadapan dirinya.

“Tetapi apakah yang Raden kehendaki di Tanah Perdikan ini?”

“Kami sedang mencari sekelompok orang-orang yang tidak kami kenal. Mereka telah menyeberangi sungai Praga dan hilang di dalam hutan ini.”

“Apakah Raden menduga bahwa mereka orang-orang Menoreh?”

“Tidak. Bukan maksudku. Aku sama sekali tidak menduga demikian.”

Pandan Wangi adalah putera Kepala Tanah Perdikan Menoreh, sehingga ia pun menyadari hak dan wewenangnya. Karena itu, maka ia pun kemudian bertanya, “Apakah Raden tidak dapat menempuh cara lain daripada memasuki daerah ini tanpa setahu ayah atau orang-orang yang berwenang di atas Tanah Perdikan ini.”

Pertanyaan itu ternyata telah mengejutkan Raden Sutawijaya. Karena untuk sesaat ia berdiam diri. Ia mengerti, bahwa orang yang berkuasa di atas Tanah ini tentu tersinggung karena kehadirannya tanpa memberitahukan atau minta ijin lebih dahulu. Apalagi ketika Pandan Wangi berkata, “Raden, sebenarnyalah bahwa kami pun sedang berusaha menangkap orang-orang bersenjata yang tidak kami kehendaki berkeliaran di daerah kami.”

Raden Sutawijaya tidak segera menjawab. Dipandanginya Pandan Wangi yang berdiri tegak di dalam cahaya api yang kemerah-merahan.

Namun Raden Sutawijaya tidak dapat ingkar. Katanya kemudian, “Pandan Wangi. Baiklah aku minta maaf atas hal ini. Tetapi baiklah kau mendengar alasanku. Aku sedang mencari sekelompok orang-orang bersenjata. Mereka baru saja membuat sesuatu yang merugikan Mataram. Ketika mereka menyeberang Kali Praga, kami masih mengejar mereka. Tetapi malam segera turun sehingga kami tidak berhasil menangkapnya. Meskipun demikian kami tidak berhenti. Kami maju terus menembus hutan liar ini. Adalah kebetulan sekali kami melihat perapian di sini, sehingga kami menyangka bahwa kalian adalah orang yang sedang kami cari.”

“Seharusnya Tuan berhenti di seberang Kali Praga,” sahut Pandan Wangi, “jika Tuan tidak menduga bahwa mereka orang-orang Menoreh, maka Raden tidak akan mengejarnya sampai ke seberang. Raden harus mempercayakannya kepada kami, kepada orang-orang Menoreh.”

“Kami tidak mempunyai waktu lagi,” jawab Sutawijaya.

“Tentu waktu masih cukup panjang. Raden harus menyerahkan kepada kami untuk menangkapnya. Raden dengan sepasukan pengawal tidak dapat dibenarkan berada di daerah Tanah Perdikan Menoreh tanpa ijin kami. Bukan karena Raden sudah mengejutkan kami sehingga kami menjadi jengkel karenanya. Tetapi seharusnyalah bahwa Raden mengetahui hal itu.”

“Ya, ya,” jawab Sutawijaya, “sudah aku akui. Dan aku sudah minta maaf.”

“Tidak kepadaku, karena bukan akulah Kepala Tanah Perdikan Menoreh.”

Sepercik ketegangan tampak di wajah Raden Sutawijaya. Karena itu ia tidak segera menjawab. Ditatapnya saja Pandan Wangi berganti-ganti dengan Agung Sedayu dan Swandaru.

Kedua anak muda murid Kiai Gringsing itu menjadi bingung. Ia sebenarnya tidak ingin terjadi ketegangan itu. Tetapi mereka pun dapat mengerti bahwa Pandan Wangi merasa tersinggung karena orang lain telah memasuki wilayahnya tanpa ijin.

Sutawijaya termangu-mangu sejenak. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Baiklah aku minta maaf kepada Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi bukankah aku dapat minta kepadamu untuk mewakilinya?”

Pandan Wangi-lah yang kemudian termangu-mangu. Sejenak ia berpaling kepada Swandaru, seakan-akan minta pertimbangannya. Tetapi anak muda yang gemuk itu tidak sedang memandang ke arah Pandan Wangi.

Raden Sutawijaya menunggu dengan hati yang berdebar-debar. Ia sedang berdiri di antara dua kepentingan. Yang sebelah, adalah harga dirinya, sedang yang lain adalah hubungan antara Tanah Mataram yang sedang tumbuh dengan Tanah Perdikan Menoreh.

Ternyata bahwa kepentingan Mataram-lah yang paling utama bagi Sutawijaya. Ia tidak mau merusak hubungan antara daerah yang sedang dibuka dengan daerah di sekitarnya. Bahwa ia sudah menyeberang Kali Praga di malam hari, adalah karena terdorong oleh keinginannya menangkap orang-orang yang tidak dikenal yang setiap kali selalu mengganggu pertumbuhan Mataram.

Sejenak mereka dikuasai oleh ketegangan. Semua orang memandang kepada Pandan Wangi untuk menunggui jawabannya

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Baiklah, Raden. Aku akan menyampaikannya. Terserahlah tanggapan ayah terhadap hal ini.”

Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Dan ia pun bertanya, “Apakah maksudmu, Pandan Wangi.”

“Jika ayah menghendaki Raden datang sendiri kepadanya, terserahlah kepada ayah. Mungkin Raden segera akan kembali ke Mataram. Namun jika ayah menghendaki, kami dapat mengirimkan utusan untuk menyampaikan keputusan ayah kepada Raden.”

Raden Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya, Katanya, “Baiklah. Aku mengerti bahwa kalian benar-benar merasa tersinggung. Tetapi jika kau menyampaikan persoalan ini kepada Ki Gede Menoreh, aku berharap agar dapat kau sampaikan dengan lengkap. Salam permintaan maaf, juga alasanku kenapa aku dengan terpaksa sekali menyeberangi sungai itu di malam hari. Aku sama sekali tidak ingin melanggar hak atas Tanah Perdikan ini, tetapi semata-mata karena terdorong oleh keinginan untuk menangkap mereka. Kami sudah dibakar oleh kemarahan yang tidak terkendali lagi, sehingga kami telah melanggar batas Tanah Perdikan Menoreh.”

“Baiklah, Raden. Aku akan menyampaikannya kepada ayah dengan lengkap.”

“Mudah-mudahan Ki Gede Menoreh dapat mengerti, dan tidak usah mengirimkan utusan mencari aku ke Mataram dan memanggil aku. Karena mungkin sekali aku tidak sedang berada di Mataram. Sebagai Putera Sultan Pajang aku kadang-kadang mendapat tugas khusus juga, tugas untuk melihat-lihat daerah Pajang yang tersebar luas di atas Tanah ini. Dari pasisir Utara sampai pasisir Selatan. Dari ujung Timur sampai ke ujung Barat. Dan untuk itu kadang-kadang aku memerlukan waktu yang panjang.”

Pandan Wangi tercenung sejenak. Sedang Agung Sedayu dan Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Mereka sadar, bahwa Sutawijaya masih ingin juga menunjukkan kekuasaannya, kekuasaan yang memang ada padanya sebagai putera angkat Sultan Pajang yang sebelum meninggalkan istana, bagaikan puteranya sendiri.

Dan kekuasaan Pajang itu sampai saat terakhir masih diakui meliputi daerah yang luas, termasuk Tanah Perdikan Menoreh.

Karena itulah maka Pandan Wangi tidak segera menjawabnya. Pengakuan atas Pajang, dan pengakuan atas kekuasaan para pemimpin di Pajang masih dihormatinya, seperti ayahnya juga masih tetap menghormatinya.

Agung Sedayu yang menyadari bahwa Pandan Wangi berada di dalam kesulitan perasaan berusaha menolongnya. Katanya mengalihkan pembicaraan, “Jika demikian, silahkanlah, Raden. Marilah kita berbicara seenaknya sambil duduk mengelilingi perapian ini. Mungkin pembantu kami dapat merebus air dan memanasi jadah ketan dengan memanggangnya di atas bara. Kita akan dapat berbicara tentang orang-orang bersenjata yang tidak dikenal itu. Dan tentu pembicaraan akan menjadi sangat menarik.”

“Terima kasih,” jawab Sutawijaya

Pandan Wangi pun kemudian sambil mencoba menenangkan hatinya berkata, “Baiklah, silahkan Raden duduk.”

Raden Sutawijaya pun kemudian memberikan isyarat kepada orang-orangnya. Mereka pun kemudian bermunculan dari balik gerumbul. Dan ternyata bahwa mereka pun tidak begitu banyak. Tidak lebih dari lima belas orang.

Namun ternyata bahwa anak buah Raden Sutawijaya itu cukup berhati-hati. Meskipun mereka kemudian duduk pula di perkemahan itu, namun mereka tetap terpencar. Masing-masing berkelompok antara empat atau lima orang.

Tetapi Agung Sedayu dan Swandaru menaruh kepercayaan sepenuhnya bahwa Raden Sutawijaya tentu tidak akan berbuat sesuatu dengan cara yang tidak terpuji. Karena itulah maka mereka sama sekali tidak mencurigainya. Mereka sama sekali tidak menaruh banyak perhatian terhadap anak buahnya yang duduk di dalam gerombol-gerombol yang terpisah.

Tetapi ternyata bahwa Prastawa yang kurang mengenal Raden Sutawijaya berpendirian lain. Karena itulah maka ia duduk memisahkan diri dari mereka yang kemudian mengelilingi perapian. Ternyata Prastawa lebih senang duduk bersama para pengiring yang tidak sedang sibuk menyiapkan minuman dan makanan yang dapat menghangatkan mereka di malam hari.

Dalam pada itu Rudita menjadi kebingungan. Ia kurang mengerti, kenapa suasana tiba-tiba saja berubah. Ia menjadi heran kenapa orang-orang yang mengepung mereka itu segera menjadi lunak.

“Agaknya mereka sudah berkenalan sebelumnya,” katanya di dalam hati.

Dan ternyata bahwa pembicaraan mereka yang duduk di perapian itu pun menjadi lancar.

Dalam pada itu, Rudita yang masih termangu-mangu itu dan yang kemudian duduk di atas tikar di arah belakang Pandan Wangi mencoba memperhatikan pembicaraan mereka. Setiap kali ia mendengar nama anak muda yang bersenjata tombak pendek itu disebut-sebut sebagai Raden Sutawijaya. Dan nama itu memang pernah didengarnya. Hanya didengarnya.

“Ia menyebut dirinya sebagai putera Sultan Pajang. Apakah Raden Sutawijaya itulah yang dimaksud sebagai putera angkat Sultan Pajang seperti yang sering aku dengar?” ia bertanya kepada diri sendiri.

Akhirnya Rudita itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dari pembicaraan yang didengarnya tentang orang-orang bersenjata yang membuat Mataram menjadi kisruh, ia yakin bahwa orang itulah yang dimaksudkannya.

Karena itu maka tiba-tiba saja ia bergeser maju. Ketika ia sudah duduk di sebelah Pandan Wangi, maka ia pun berkata, “Raden Sutawijaya. Ternyata Raden Sutawijaya adalah orang yang selama ini baru aku dengar namanya lewat ceritera-ceritera. Kedatangan Raden sangat mengejutkan kami dan agaknya perbawa Raden telah membuat aku ketakutan. Tetapi sebenarnyalah bahwa kami tidak akan berani berbuat apa pun terhadap Raden, Putera Sultan Pajang.”

Sutawijaya berpaling. Dilihatnya Rudita dengan herannya. Apalagi ketika dilihatnya anak muda itu tertawa-tawa sambil meremas-remas tangannya sendiri.

“Raden,” berkata Rudita kemudian, “aku minta maaf akan kelancangan kawan-kawanku, juga Pandan Wangi. Meskipun agaknya mereka sudah mengenal Raden, dan barangkali bahkan sudah mengetahui kedudukan Raden, namun mereka tentu belum tahu, betapa tinggi sebenarnya kedudukan Raden itu. Sebenarnya kami sama sekali tidak pantas duduk bersama-sama dengan Raden seakan-akan kami mempunyai kedudukan yang sama dengan Raden.”

Sutawijaya mengerutkan keningnya. Sejenak dipandanginya Agung Sedayu yang menarik nafas dalam-dalam. Kemudian Swandaru yang justru termangu-mangu.

Ketika Rudita masih akan berbicara lagi, Pandan Wangi telah menggamitnya, sehingga niat itu diurungkannya. Namun wajah Pandan Wangi menjadi kemerah-merahan ketika Rudita justru bertanya kepada Pandan Wangi, “Kenapa?”

“Sst,” Pandan Wangi berdesis.

“Bukankah kau menggamit aku? Kenapa?”

Sutawijaya terpaksa menahan senyumnya. Dalam sekilas ia dapat mengenal sifat anak muda itu. Anak muda itu pulalah yang menjadi ketakutan ketika ia mengepung perkemahan itu. Dan anak muda ini pula yang justru ingin agar kawan-kawannya melepaskan senjatanya. Namun dengan demikian, maka Rudita tidak menjadi persoalan lagi bagi Raden Sutawijaya. Ia tahu ada sedikit kekurangan pada anak muda itu. Mungkin pengalaman atau mungkin tuntunan di dalam keluarganya yang tidak banyak memperkenalkan anak muda itu dengan sifat dunia yang keras.

Dalam pada itu Pandan Wangi masih dikejar oleh kebingungan karena Rudita masih saja bertanya kepadanya, “Kenapa kau menggamit aku he? Apakah ada sesuatu yang akan kau katakan?”

Pandan Wangi menggelengkan kepalanya. Katanya, “Tidak. Tidak ada yang akan aku katakan.”

“Tetapi kau menggamit aku.”

“Tidak sengaja. Aku hanya menyentuhmu karena aku bergeser sedikit.”

“O,” Rudita mengangguk-angguk, “kau membuat aku kehilangan kata-kataku. Aku masih ingin berbicara dengan Raden Sutawijaya, tetapi aku lupa kata-kata yang sudah ada di ujung lidah.”

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam.

Dan tiba-tiba saja Rudita berkata pula, “Ha, sekarang aku ingat. Aku ingin berkata tentang diri kita kepada Raden Sutawijaya.” Lalu sambil menghadap kepada Raden Sutawijaya ia berkata, “Raden, tentu kami tidak akan dapat menghalang-halangi apa yang akan Raden katakan. Sama sekali tidak dapat. Pandan Wangi terlampau berbangga diri karena jabatan ayahnya. Tetapi dibandingkan dengan Raden, maka jabatan ayahnya sama sekali tidak berarti. Apalagi anak-anak Sangkal Putung itu. Mereka tidak lebih dari anak seorang Demang kecil.”

Raden Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kata-nya, “Kami sudah lama berkenalan. Di antara kami tidak ada lagi persoalan jabatan atau pangkat. Kami berkenalan seperti anak-anak muda berkawan satu sama lain.”

“O. Tentu karena Raden berjiwa besar. Tetapi kamilah yang harus menyadari keadaan kami. Kekecilan diri kami. Adalah sikap deksura yang tidak dapat dimaafkan, jika kami tidak menyadari keadaan kami masing-masing.”

“Terima kasih,” lalu kepada Rudita ia bertanya, “siapa namamu?”

“Rudita.”

“Terima kasih, Rudita. Kau adalah anak muda yang tahu diri. Tetapi biarlah kami bersikap seperti yang kami lakukan. Aku lebih senang berbicara dengan bebas dalam sikap yang bebas.”

“O, betapa besar jiwa Raden. Dan karena itulah kami merasa lebih kecil lagi. Seharusnya anak-anak Sangkal Putung itu bergeser mundur dan duduk bersila di atas tanah sambil menundukkan kepalanya.”

Raden Sutawijaya akhirnya menjadi jemu juga melayani. Karena itu katanya, “Terima kasih. Sebaiknya kau tidur, Anak Manis. Hari sudah terlampau malam.”

Swandaru-lah yang kemudian hampir tidak dapat menahan tertawanya. Tetapi dengan susah payah dan sambil memalingkan kepalanya, ia berhasil menyembunyikan perasaannya.

Rudita pun kemudian terdiam. Tetapi ia tidak mengerti sikap Raden Sutawijaya. Apakah kata-katanya itu sebenarnya dimaksudkan seperti yang diucapkan, atau ia mempunyai maksud lain. Karena itu maka Rudita itu pun menjadi termangu-mangu. Namun demikian, maka ia pun terdiam karenanya.

Dalam pada itu, Prastawa yang duduk di antara para pengiringnya lamat-lamat mendengar juga percakapan antara Rudita dan Raden Sutawijaya. Rasa-rasanya ia ingin meloncat membungkam mulut Rudita. Tetapi dengan menahan diri ia terpaksa tetap duduk di tempatnya.

Meskipun demikian, ia masih saja tetap mengawasi kelompok-kelompok orang-orang Mataram yang duduk terpencar. Namun semakin lama kecurigaannya itu pun menjadi semakin tipis.

Sementara itu, Sutawijaya sudah terlibat lagi dalam pembicaraan yang lancar dengan Agung Sedayu, Swandaru, dan Pandan Wangi. Mereka masih saja membicarakan orang-orang bersenjata yang tidak mereka kenal.

“Raden,” berkata Agung Sedayu, “jika demikian, maka sebenarnya Mataram telah terkepung.”

“Ya. Mataram memang sudah dikepung oleh orang-orang yang tidak kita kenal itu. Sejak hantu-hantuan itu dapat kita ketahui rahasianya, maka mereka telah mengambil cara yang lebih kasar. Aku sudah mendengar laporan yang terperinci dari Ki Lurah Branjangan tentang kekacauan yang timbul di Jati Anom. Sebenarnyalah bahwa kami harus mengucapkan terima kasih kepada Kiai Gringsing dan murid-muridnya beserta Ki Sumangkar.”

“Ah. Itu sudah menjadi kuwajiban kami.”

“Juga kepada Ki Ranadana dan para prajurit Pajang di Jati Anom. Tetapi kami belum sempat melakukannya.”

“Kita semuanya berkepentingan.”

“Juga semua bantuan yang telah kalian berikan kepada kami selama ini.”

“Ah, kami tidak berbuat apa-apa,” jawab Agung Sedayu.

Namun Swandaru berkata, “Raden, bukan maksud kami untuk menunjukkan jasa kami kepada Raden dan Mataram. Tetapi agaknya perlu Raden ketahui, bahwa jalan masuk ke Mataram dari arah Timur seakan-akan benar-benar telah tertutup.”

“Ya, kami sudah mengetahui bahwa gangguan meningkat di bagian Timur Alas Mentaok, bahkan di Alas Tambak Baya.”

“Ya. Kami menemukan seseorang yang menyebut dirinya panembahan tidak bernama.”

Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya.

“Kami terpaksa bertempur melawan orang itu bersama anak buahnya.”

“Ya, ya. Aku juga sudah mendengar laporan tentang mereka. Aku juga sudah mendengar, siapakah yang telah berhasil menyingkirkan orang yang menyebut dirinya panembahan tidak bernama itu.”

“Bukan maksud kami untuk menyatakan diri kami.”

“Aku mengerti. Kau tentu sekedar memberikan peringatan bahwa hal itu telah terjadi.”

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Tentu pengawal-pengawal dari Mataram itulah yang menyampaikan laporan mengenai panembahan tidak bernama itu.

“Semuanya itu membuat aku yakin, bahwa ada kekuatan yang sebenarnya berbahaya bagi Mataram, sehingga kami tidak dapat menunggu saja,” berkata Sutawijaya kemudian. “Dan itu pulalah sebabnya yang mendorong aku memberanikan diri menyeberangi Kali Praga. Dan untuk itu aku sudah minta maaf.”

“Raden tidak perlu minta maaf,” tiba-tiba saja Rudita, telah menyela, “Menoreh adalah bagian dari Pajang. Dan Raden adalah Putera Sultan Pajang. Apa pun yang akan Raden lakukan, tidak ada seorang pun yang dapat mencegahnya.”

Raden Sutawijaya berpaling. Dipandanginya Rudita sejenak, lalu kepalanya pun terangguk-angguk, “Ya, ya. Aku, memang dapat berbuat begitu meskipun itu tidak bijaksana.”

“Kebijaksanaan Raden yang melimpah-limpah itulah yang membuat Raden benar-benar seorang besar yang berjiwa besar.”

“Terima kasih,” sahut Raden Sutawijaya. Lalu katanya kepada Swandaru, “Sebenarnyalah bahwa kami di Mataram, sedang diprihatinkan oleh persoalan-persoalan yang seakan-akan tidak henti-hentinya itu.”

Swandaru mengangguk-angguk pula. Katanya, “Mudah-mudahan Raden segera menemukan jalan yang paling baik untuk menyelesaikannya.”

Sutawijaya tidak segera menyahut. Dipandanginya api yang menyala semakin besar karena beberapa potong kayu yang dilemparkan ke dalamnya. Sepercik bunga api meloncat ke udara dan hilang dibawa angin yang bertiup ke Utara.

“Raden dapat menemui Ki Gede Menoreh,” berkata Agung Sedayu tiba-tiba.

Sutawijaya mengerutkan keningnya. Bahkan Pandan Wangi pun memandang anak muda itu dengan dahi yang berkerut-merut.

“Maksudmu?” bertanya Raden Sutawijaya.

Namun sebelum Agung Sedayu menjawab, Rudita sudah mendahului, “Kau jangan mencampuri persoalan Tanah Perdikan Menoreh. Pandan Wangi sudah menyadari kekeliruannya. Raden Sutawijaya adalah Putera Sultan Pajang. Buat apa ia menemui Ki Gede Menoreh? Jika Raden Sutawijaya memerlukan, ialah yang akan memanggil Ki Gede menghadap. Baik di Mataram maupun di Pajang. Bukan sebaliknya.”

Agung Sedayu hanya memandangnya sekilas. Namun ia berbicara terus, seakan-akan tidak ada seorang pun yang berbicara, “Raden. Jika Raden berhasil mengadakan semacam persetujuan dan semayan untuk bersama-sama menjaga perbatasan masing-masing, maka gerak orang-orang itu akan menjadi sangat terbatas. Apalagi apabila dapat disusun semacam pasukan pengawal gabungan. Baik dengan Tanah Perdikan Menoreh, maupun dengan Kademangan Mangir.”

Raden Sutawijaya merenung sejenak. Pendapat itu memang sangat menarik. Agaknya memang tidak akan terdapat kesulitan dengan Tanah Perdikan Menoreh jika ia benar-benar menemui Ki Argapati. Tetapi yang masih menjadi pertanyaan bagi Raden Sutawijaya adalah Mangir dan bagian Timur Alas Tambak Baya. Daerah Cupu Watu adalah daerah yang kurang dikenalnya. Kemudian Kademangan Prambanan yang kadang-kadang mempunyai sikap yang kurang dimengertinya justru karena daerah itu jarang sekali dijamahnya. Kemudian jika Swandaru mempunyai pengaruh yang cukup terhadap ayahnya dan kademangannya, maka Sangkal Putung dapat diharapkannya. Namun di bawah bayangan kaki Gunung Merapi terletak daerah Jati Anom, daerah yang menjadi pusat kekuasaan senapati di daerah Selatan ini, Untara.

“Tetapi untuk membinasakan orang-orang yang sengaja mengeruhkan suasana itu, Jati Anom dapat dibawa bekerja bersama,” berkata Sutawijaya di dalam hatinya. Meskipun demikian ia tidak ingkar bahwa sebenarnya ada beberapa orang perwira Pajang yang langsung atau tidak langsung, berjalan sejajar dengan orang-orang yang menghalangi pertumbuhan Mataram.

“Tidak mustahil bahwa otak dari gerakan yang gila itu sebenarnya justru ada di Pajang,” desis Sutawijaya di dalam hatinya pula.

Dalam pada itu, Agung Sedayu masih menunggu jawaban anak muda yang memiliki kelebihan dari orang-orang kebanyakan itu. Sejenak Sutawijaya masih merenung. Lalu jawabnya kemudian, “Pendapatmu baik sekali. Tetapi apakah orang-orang yang berkuasa di sekitar Mataram dapat mengerti maksud itu. Aku yakin, tidak ada persoalan lagi bagi Menoreh. Tetapi aku tidak tahu, apakah Ki Demang di Mangir tidak justru menjadi marah-marah kepadaku seakan-akan aku sudah memerintahnya.”

“Tetapi hal itu dapat dicoba.”

“Ya. Memang dapat dicoba. Dan aku akan menyampaikannya kepada Ayahanda Ki Gede Pemanahan.” Raden Sutawijaya berhenti sejenak, lalu, “Tetapi sebelum dengan resmi aku menemui Ki Gede Menoreh, aku minta agar Pandan Wangi menyampaikan persoalan ini, dan terlebih lagi untuk waktu yang terlampau pendek ini. Bagaimana jika kita mulai saja dengan kerja sama itu sekarang?”

“Maksud Raden?”

“Aku sedang mengejar orang-orang yang tidak aku ketahui dari mana asalnya itu. Mereka menyeberangi sungai dan hilang di dalam hutan ini.”

“Kapan?” bertanya Swandaru.

“Belum lama.”

“Sesudah malam?

“Ya, sesudah malam.”

Tetapi Pandan Wangi menggelengkan kepalanya sambil menjawab, “Sulit sekali untuk menemukan mereka. Bukannya kami tidak bersedia. Tetapi untuk mencari mereka di tengah-tengah hutan liar itu di malam hari, adalah pekerjaan yang sangat sulit.”

................bersambung ke Jilid 72

Tidak ada komentar:

Posting Komentar