Jumat, 12 Januari 2018

API di BUKIT MENOREH Jilid 56

API di BUKIT MENOREH

Karya S.H Mintardja



KEDUA orang kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tiba-tiba salah seorang dari mereka bertanya, “Apakah benar orang tua itu ayahmu?”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya, “Ya, kenapa?” jawabnya.

“Wajahmu sama sekali tidak mempunyai persamaan dengan orang tua itu. Apakah kau anak tirinya?”

“Bukan, aku memang anaknya.”

“Saudaramu, yang bernama Sangkan itu pun tidak mirip sama sekali dengan ayahmu, dan dengan kau sendiri.”

Agung Sedayu tersenyum. Jawabnya, “Kalau ia tidak segemuk itu, kalian akan segera melihat persamaan itu. Tetapi ia menjadi sangat gemuk, sehingga kehilangan bentuk.”

Kedua orang yang mengawaninya itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka mencoba membayangkan wajah Swandaru apabila ia tidak menjadi segemuk itu.

“Mungkin, mungkin,” yang seorang berdesis.

“Apa yang mungkin?” bertanya kawannya.

“Kalau anak muda itu tidak terlampau gemuk. mungkin ia mirip dengan kakaknya dan ayahnya.”

“Tetapi,” bertanya yang lain, “kenapa adikmu dapat segemuk itu, tetapi kau tidak?”

“Anak itu lahir di musim hujan, dan aku lahir di musim kemarau,” jawab Agung Sedayu sambil tersenyum.

Kedua orang itu pun tersenyum pula. Sekilas mereka melupakan kecemasan yang selama ini telah mencengkam seluruh isi barak, dan orang-orang yang masih bersembunyi di sekitar tempat itu.

Sejenak kemudian mereka saling berdiam diri. Mereka melangkahkan kaki mereka dengan ayunan yang teratur, justru karena mereka sedang tenggelam dalam angan-angan masing-masing.

Kadang-kadang terlintas di kepala kedua orang yang mengawani Agung Sedayu itu, ketakutan dan kecemasan yang selama ini selalu menghantui seisi barak dan bahkan para pengawas. Anak muda itu, bersama adik dan ayahnya, ternyata telah melahirkan suasana yang baru bagi mereka, meskipun mereka masih belum tahu pasti, apakah yang akan terjadi selanjutnya tanpa orang yang kekar, yang kekurus-kurusan dan orang-orang lain yang selama ini memegang sebagian besar peranan di dalam lingkungan mereka.

“Orang-orang ini akan segera menggantikan mereka,” berkata kedua orang itu di dalam hatinya, “dan kami semuanya masih belum mengetahui, apakah keadaan akan menjadi lebih baik atau bahkan sebaliknya?”

Sambil merenungi angan-angan masing-masing, maka mereka pun kemudian menjadi semakin dekat dengan barak yang sebagian telah dipergunakan sebagai dapur.

“Kita sudah hampir sampai,” desis Agung Sedayu.

“Ya. Tetapi bagaimana kalau kedua orang itu sudah menjadi pulih kembali dan melarikan diri?”

“Kita akan mencegah mereka.”

“Kalau mereka melawan?”

“Kita akan menangkap mereka.”

Kedua kawan Agung Sedayu itu tidak menyahut. Tetapi mereka merasa ngeri apabila mereka pun harus berkelahi menangkap kedua orang yang selama ini mereka takuti. Terlebih-lebih lagi orang yang tinggi dan kekar itu, meskipun ternyata bahwa orang yang kekurus-kurusan itu mempunyai peranan yang lebih penting dari orang yang tinggi kekar itu. Ketika mereka memasuki pintu barak itu, mereka masih melihat perempuan dan anak-anak duduk diam di tempatnya. Seakan-akan mereka sama sekali tidak berani beranjak dari tempat mereka. Dengan wajah yang tegang dan dibayangi oleh ketakutan, mereka memandang ketiga orang yang memasuki barak mereka itu.

Sejenak, Agung Sedayu dan kedua kawannya berdiri saja di muka pintu nemandangi seisi barak. Namun sejenak kemudian, maka Agung Sedayu pun berkata, “Kami bertiga datang untuk menemani kalian di barak ini, supaya kalian tidak terlampau ketakutan. Kami akan mencoba menjaga kalian dari segala macam kemungkinan yang tidak kita kehendaki bersama-sama.”

Beberapa orang perempuan saling berpandangan. Tetapi sorot mata mereka masih tetap membayangkan keragu-raguan dan kebimbangan.

“Ya,” sahut salah seorang kawan Agung Sedayu, “kami akan berada di tempat ini untuk beberapa saat. Bukankah kalian tidak berkeberatan?”

Sekali lagi perempuan-perempuan yang ada di dalam barak itu saling berpandangan. Tetapi mereka masih tetap berdiam diri. Namun demikian, karena kedua kawan Agung Sedayu itu telah mereka kenal dengan baik sebelumnya, maka kedatangan mereka benar-benar telah mengurangi perasaan takut yang mencengkam.

Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu pun berkata kepada kedua kawannya, “Tinggallah kalian di sini. Aku akan melihat, apakah kedua orang itu masih ada di tempatnya?”

Agung Sedayu tidak menunggu jawaban kawan-kawannya. Ia pun segera melangkah masuk lewat pintu butulan sampai ke dapur. Kemudian seperti petunjuk yang sudah diberikan oleh Kiai Gringsing, ia pergi ke pintu yang masih diselarak.

Di muka pintu. itu Agung Sedayu berhenti sejenak. Dengan seksama ia mencoba mendengarkan tarikan nafas dari dalamnya, sedang ia sendiri berusaha untuk menahan nafasnya sebaik-baiknya.

“Mereka masih ada di dalam,” desis Agung Sedayu di dalam hatinya.

Namun demikian Agung Sedayu menjadi curiga, karena ia mendengar suara gemerisik dan derak bambu yang patah.

“Apakah yang mereka lakukan?” bertanya Agung Sedayu kepada dirinya sendiri.

Kecurigaan Agung Sedayu pun bertambah-tambah pula, karena suara itu semakin lama justru menjadi semakin keras, sejalan dengan tarikan nafas yang semakin memburu.

Agung Sedayu menjadi ragu-ragu sejenak. Ia tidak mendapat lubang yang cukup besar untuk mengintip apa saja yang telah mereka lakukan di dalam bilik yang sempit itu.

Karena Agung Sedayu tidak ingin menduga-duga saja untuk selanjutnya, maka Agung Sedayu pun dengan hati-hati mendekati selarak pintu butulan. Perlahan-lahan pula ia mengangkat selarak itu. Kemudian menyentak ia mendorong pintu butulan itu ke samping, sehingga pintu itu pun terbuka.

Dada Agung Sedayu berdesir. Ia melihat orang yang tinggi kekar itu, betapapun lemahnya masih mencoba untuk membuka dinding bilik yang tidak terlampau kuat itu.

Betapa terkejut mereka berdua ketika mereka menyadari, bahwa pintu yang diselarak itu kini sudah terbuka, dan seorang anak muda berdiri di muka pintu itu sambil menyaksikan apa yang telah mereka lakukan.

Sejenak Agung Sedayu berdiri tegang memandang orang yang tinggi kekar, yang masih mencoba membuka dinding. Namun tanpa sesadarnya ia pun kemudian melangkah maju mendekatinya sambil berkata, “Apakah kau masih berusaha untuk lari?”

Tanpa diduga-duga, orang yang tinggi kekar itu mengerahkan segenap tenaga yang masih tersisa padanya. Dengan serta-merta ia berdiri dan menyerang Agung Sedayu.

Agung Sedayu yang mengerti benar, bahwa orang itu sebenarnya sudah terlampau lemah, sama sekali tidak melawan. Ia hanya mengelakkan dirinya. Selangkah ia bergeser ke samping sambil memutar tubuhnya.

Ternyata, karena serangannya sama sekali tidak menyentuh anak muda itu, orang yang kekar itu terdorong oleh sisa kekuatannya sendiri, yang sudah dihentakkan sejauh-jauh dapat dilakukan. Sehingga dengan demikian, ia terhuyung-huyung dan dengan kerasnya jatuh terjerembab. Kepalanya membentur tiang barak itu, yang untung, terbuat dari bambu, sehingga tidak begitu menyakitinya.

Namun demikian, sisa tenaga orang itu seakan-akan benar-benar telah terkuras habis. Dengan demikian, maka orang yang tinggi kekar itu sama sekali tidak lagi menyimpan tenaga yang cukup dapat membawanya bangkit.

Agung Sedayu menarik nafas menyaksikan orang itu terbaring diam. Namun dari sorot matanya, Agung Sedayu masih dapat membaca apa yang tergores di hatinya. Agaknya orang itu cukup keras kepala.

“Kau berbaring saja di situ?” bertanya Agung Sedayu kepada orang yang tinggi kekar.

Orang itu menggeram, sekilas dipandanginya kawannya yang masih juga terlampau lemah, berbaring di tengah-tengah ruangan.

“Seandainya kau berbasil membuka dinding ruangan ini, apa yang akan kau lakukan?” bertanya Agung Sedayu pula.

Orang itu masih tidak menjawab.

“Apakah kau akan lari? Seandainya kau dapat melarikan dirimu, bagaimana dengan kawanmu yang sudah sangat lemah ini?”

Sekali lagi orang yang tinggi kekar itu menggeram. Tetapi ia masih belum dapat bangkit. Dipandanginya saja Agung Sedayu dengan sorot mata yang semakin menyala.

“Kau telah melakukan sesuatu yang ternyata merugikan dirimu sendiri,” berkata Agung Sedayu. Lalu, “Usahamu untuk melarikan diri, telah menumbuhkan suatu keinginan padaku untuk mengikatmu pada tiang barak ini.”

“Gila!” tiba-tiba orang itu membentak.

“Kalau kemudian kekuatanmu pulih kembali, dan kau memaksa untuk lari, maka tiang barak yang tidak begitu kuat ini akan terseret dan atap ini akan runtuh menimpa kau dan kawanmu itu.”

“Gila, kau benar-benar anak gila! Aku tidak mau, aku tidak mau!”

“Tentu kau tidak mau. Tetapi seperti kawanmu yang lemah sekali itu pun pasti tidak mau apabila adikku bertanya kepadanya, apakah ia mau dipukuli dengan cambuk? Juga pemimpin pengawas itu akan membiarkan dirinya terluka di punggung? Tentu tidak. Tetapi kita kadang-kadang memang harus menerima perlakuan yang tidak sesuai dengan keinginan kita sendiri. Bukankah begitu?”

“Persetan!”

“Tetapi, terpaksa sekali. Terpaksa sekali, aku berbuat demikian.”

Wajah orang yang tinggi kekar itu tiba-tiba menyala. Ia masih berusaha untuk bangkit. Tetapi tubuhnya memang sudah terlampau lemah, sehingga ia harus berpegangan pada dinding.

“Kau jangan berbuat gila!” orang itu masih mencoba berteriak.

“Tidak. Aku berbuat demikian, karena kau sama sekali tidak mau menunjukkan sikap bersahabat. Kau masih juga ingin melarikan diri.”

Wajah orang itu kini berubah menjadi liar. Sejenak ia memandang berkeliling. Kemudian dengan tiba-tiba saja ia meloncat dan mencoba berlari menerobos pintu.

Agung Sedayu tidak segera mengejarnya. Ia tahu bahwa orang itu tidak mempunyai tenaga yang cukup untuk melarikan diri dari bilik itu. Dengan demikian, maka dengan tenang Agung Sedayu melangkah ke luar pintu ruangan itu.

Ia menarik nafas ketika ia melihat orang yang tinggi kekar itu terjerembab di muka perapian. Untunglah bahwa api memang sudah padam, sehingga tangannya yang terperosok ke dalamnya tidak terbakar karenanya, meskipun abunya masih cukup panas.

“Sudah aku katakan,” berkata Agung Sedayu, “kau masih terlampau lemah. Dan kau tidak akan dapat ingkar dari perlakuan yang harus kau jalani. Marilah, aku tolong kau kembali ke ruang kecil itu.”

“Tidak, tidak!”

Tetapi Agung Sedayu tidak menghiraukannya lagi. Diangkatnya orang itu untuk berdiri dan dipapahnya kembali ke dalam bilik sempit dan pengap itu.

Meskipun orang itu masih berusaha melawan, bahkan mencoba mencekik Agung Sedayu yang memapahnya, namun Agung Sedayu tidak menghiraukannya. Dengan mudahnya ia mengibaskan tangan orang itu sambil berkata, “Jangan berbuat demikian, nanti aku banting kau.”

Orang itu menggeram. Namun ia memang tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Tulang-tulangnya serasa sudah terlepas dari tubuhnya, dan otot-ototnya menjadi tidak bertenaga.

Karena itu, ia tidak dapat berbuat lain kecuali menurut saja, dibawa oleh Agung Sedayu ke dalam bilik yang sempit itu.

“Tunggulah di sini sebentar, aku akan mencari seutas tali.”

“Gila!” ia menggeram.

Agung Sedayu tidak menyahut. Ia melangkah keluar meninggalkan orang itu duduk bersandar di dinding. Namun Agung Sedayu tidak lupa menyelarak pintu itu rapat-rapat.

Ketika ia masuk ke ruang sebelah, ia masih tetap melihat orang-orang yang kecemasan. Bahkan kedua kawannya pun tampaknya masih juga ragu-ragu menghadapi keadaan.

Ketika keduanya melihat Agung Sedayu, maka dengan serta-merta keduanya bertanya hampir berbareng, “Sudah?”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya, “Apa yang sudah?” ia bertanya.

“Apakah kita sudah selesai dan dapat kembali ke barak kita sendiri?” bertanya salah seorang dari mereka.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Agaknya orang-orang di tempat ini benar-benar telah dicengkam oleh ketakutan dan kecemasan. Namun jawabnya kemudian, “Kita tidak sekedar melihat orang-orang yang ada di sebelah dapur itu. Kita harus menungguinya. Jadi, tugas kita masih panjang.”

“Di sini?”

“Apa salahnya? Bukankah kita memang harus melindungi perempuan dan anak-anak? Bukankah perempuan yang ada di barak ini dan anak-anaknya adalah isteri kalian dan anak-anak kalian?”

“Aku belum beristeri,” berkata salah seorang dari keduanya.

“Aku juga belum,” jawab Agung Sedayu, “tetapi adalah kuwajiban kita melindungi perempuan dan anak-anak.”


Kedua kawannya itu saling berpandangan. Dan mereka mendengar Agung Sedayu meneruskan, “Seharusnya kita berbuat sesuatu yang dapat memberikan ketenteraman di hati perempuan dan anak-anak di sini. Bukan sebaliknya.”

Kedua orang itu tidak menyahut. Mereka menundukkan kepala mereka. Tetapi mereka tidak dapat mengusir begitu saja perasaan takut dan cemas yang seakan-akan sudah bersarang di dalam hati mereka. Namun demikian, mereka mengerti apa yang dikatakan oleh Agung Sedayu. Mereka memang tidak boleh menambah ketakutan dan kecemasan di dalam barak ini.

“Duduklah di situ,” berkata Agung Sedayu kemudian, “kawani perempuan dan anak-anak yang ketakutan. Kalian harus yakin bahwa untuk sementara pasti tidak akan terjadi apa-apa. Dan dalam waktu yang sementara itu, para pengawas sudah akan dapat membuat hubungan dengan induk pasukan mereka. Kalian tidak akan ditakut-takuti lagi.”

Kedua orang itu memandang Agung Sedayu sejenak. Salah seorang dari keduanya mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, “Ya. Mudah-mudahan.”

“Aku yakin. Kalian pun harus yakin.”

Keduanya mengangguk-angguk pula. Namun salah seorang dari mereka kemudian bertanya, “Sekarang kau mau ke mana?”

“Tidak ke mana-mana. Aku memerlukan seutas tali.”

“Untuk apa?”

“Untuk mengikat pintu,” jawab Agung Sedayu sambil melangkahkan kakinya ke luar barak.

Di halaman, Agung Sedayu mendapatkan beberapa potong tali dari bambu bekas pengikat kayu. Tetapi ketika ia mengambil tali itu, terasa tali itu terlampau keras.

“Tali-tali ini akan melukai tangannya,” katanya kepada diri sendiri. Karena itu, maka Agung Sedayu pun tidak mau mempergunakannya, ia mencari tali yang lebih lunak lagi. Tali dari sabut.

Akhirnya ia menemukannya di sudut barak itu. Mungkin tali itu bekas tali pengikat barang-barang dan alat-alat untuk dapur. Meskipun tali itu bukan dari sabut, tetapi dari lulup kayu, namun tali itu cukup lunak untuk mengikat orang yang keras kepala itu.

Agung Sedayu pun kemudian membawa tali itu masuk ke dalam bilik kecil di sebelah dapur. Orang yang tinggi kekar itu telah merangkak dan bergeser dari tempatnya. Ia masih berusaha melepas tali-tali dinding. Tetapi ia masih belum berhasil ketika Agung Sedayu masuk ke dalam bilik itu.

“Tidak. Aku tidak mau!” orang itu tiba-tiba berteriak ketika ia melihat Agung Sedayu membawa seutas tali.

“Jangan melawan,” berkata Agung Sedayu, “kalau kau melawan, tanganmu mungkin akan terluka. Tetapi kalau kau diam, maka tidak akan menumbuhkan gangguan apa pun padamu.”

“Aku bukan seekor kerbau yang membiarkan hidungnya dicocok dengan tali keluh. Tidak. Aku tidak mau.”

“Apakah kau ingin aku melubangi hidungmu seperti seekor kerbau?”

“Tidak, tidak!”

“Kalau begitu, serahkan tanganmu. Aku akan mengikatnya pada tiang ini.”

Mata orang itu menjadi merah menyala. Tetapi ia akhirnya harus menyadari, bahwa tenaganya benar-benar sudah tidak dapat dipergunakannya lagi.

Meskipun demikian, ia masih meronta juga ketika Agung Sedayu kemudian mengikat tangannya.

“Maaf. Kalau tidak, kau pasti akan berusaha melarikan dirimu. Aku terpaksa berbuat demikian, karena aku tidak akan dapat terus-menerus menunggui kau di dalam bilik yang pengap ini.”

“Gila!” orang itu berteriak. “Kau sangka aku kerasan tinggal di dalam bilik ini?”

“Untuk sementara. Lebih baik kau melepaskan segala pikiran dan angan-angan untuk keluar dalam waktu dekat. Dengan demikian kau akan dapat tidur nyenyak.”

“Persetan!” orang itu menggeram. Tetapi ia tidak dapat melawan, ketika Agung Sedayu kemudian mengikat orang itu pada tiang bambu Petung yang besar.

Sejenak, Agung Sedayu memandangi seorang lagi yang berbaring dengan lemahnya. Luka-lukanya membujur lintang di tubuhnya. Pakaiannya yang sudah terkoyak-koyak sama sekali tidak lagi dapat menutupi dada dan lengannya yang sobek. Darah yang beku seakan-akan telah membalut seluruh permukaan kulitnya.

“Guru masih belum mengobatinya,” desis Agung Sedayu di dalam hati. Tetapi Agung Sedayu tahu benar alasan gurunya, kenapa ia masih membiarkan saja orang itu.

Dengan demikian, maka Agung Sedayu pun dengan tenang meninggalkan kedua orang itu. Yang seorang sudah diikatnya erat-erat, dan tidak akan dapat lolos lagi, sedang yang seorang masih terlampau lemah untuk meninggalkan tempatnya.

Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu pun keluar dari tempat itu dan kembali kepada kedua orang kawan-kawannya yang masih duduk di tempatnya. Keduanya duduk dengan tegangnya, tetapi keduanya tidak bercakap-cakap sama sekali.

Baru ketika mereka melihat Agung Sedayu, salah seorang bertanya, “Bagaimana dengan kita?”

“Kita akan duduk-duduk di sini untuk beberapa lama. Bukankah kita tidak mempunyai pekerjaan apa pun hari ini?”

“Apa yang akan kita kerjakan hari ini?”

“Tidak apa-apa. Kita duduk-duduk di sini. Kalau kita lapar, di dapur ada nasi cukup banyak.”

“Nasi?”

“Ya, nasi. Apakah kalian tidak melihat? Kita mengharap bahwa mereka yang bertugas untuk menyediakan makan akan segera kembali dan dapat membungkus nasi seperti biasanya. Kalau tidak, kita akan kelaparan hari ini.”

Kedua orang itu tidak menyahut.

“Kalau mereka menyadari keadaan, maka seorang demi seorang pasti akan segera datang.”

Kedua kawannya masih tetap berdiam diri.

“Marilah, kita duduk di serambi depan. Di sini udaranya terlampau panas.”

Keduanya sama sekali tidak menjawab. Tetapi ketika Agung Sedayu melangkah keluar, keduanya mengikutinya di belakang.

Ketika Agung Sedayu sudah hilang di balik pintu, tanpa sesadamya, beberapa orang di dalam barak itu menarik nafas dalam-dalam. Mereka merasa seolah-olah tekanan yang menyesak di dalam dada mereka sudah mulai mengendor, meskipun mereka masih tetap dicengkam oleh ketakutan dan kecemasan.

Di serambi depan, Agung Sedayu duduk bersandar dinding sambil menjelujurkan kakinya. Desisnya, “Desir angin membuat aku mengantuk.”

“Jangan tidur,” tiba-tiba seorang kawannya menyahut.

“Kenapa?”

Sejenak ia terdiam, namun kemudian ia menggelengkan kepalanya sambil menjawab, “Tidak apa-apa.”

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Bangunkanlah kalau aku tertidur. Semalam suntuk aku hampir tidak memejamkan mata sama sekali.”

Keduanya tampak ragu-ragu. Tetapi mereka pun menganggukkan kepalanya.

Agaknya Agung Ssdayu yang kemudian memejamkan matanya itu, dapat menimbulkan kesan tersendiri. Anak muda itu sama sekali tidak terpengaruh oleh ketakutan dan kecemasan. Bahkan begitu mudahnya ia memejamkan mata meskipun barangkali tidak segera jatuh tertidur.

Sementara itu, Kiai Gringsing yang telah selesai mengubur dukun yang terbunuh itu pun terpaksa mengantarkan kembali beberapa orang yang pergi bersamanya dari barak. Sedang Swandaru ditinggalkannya mengawani para pengawas yang masih belum sembuh dari kelelahan dan kesakitan.

“Tidak akan ada apa-apa untuk sementara,” berkata Kiai Gringsing kepada para pengawas dan Agung Sedayu. “Tetapi kalau terjadi sesuatu, panggil aku dengan tengara, kentongan, atau apa saja.”

“Baiklah,” jawab pemimpin pengawas yang masih berbaring di amben bambu di dalam gardunya.

Kiai Gringsing pun kemudian bersama-sama dengan beberapa orang berjalan kembali ke barak. Tetapi Kiai Gringsing sengaja menempuh jalan melingkar. Katanya, “Kalau ada di antara mereka yang bersembunyi melihat kita berjalan dari gardu pengawas, mudah-mudahan mereka mengerti, bahwa keadaan telah berangsur baik.”

Kawan-kawannya yang berjalan bersamanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Salah seorang dari mereka menjawab, “Tetapi apakah mereka akan melihat kita?”

“Mudah-mudahan. Mereka akan keluar dari persembunyian mereka, setelah sekian lama duduk di bawah gerumbul-gerumbul yang lebat dan di atas tanah yang lembab. Barangkali mereka menjadi jemu digigit nyamuk dan semut merah. Tetapi karena mereka masih belum berani keluar dari pinggir hutan, mereka pasti hanya mengintip saja.”

Orang-orang yang berjalan bersama Kiai Gringsing itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

Sebenarnyalah bahwa memang satu dua orang yang sedang bersembunyi melihat Kiai Gringsing berjalan bersama beberapa orang menuju ke barak mereka. Dengan ragu-ragu mereka mengikuti saja dengan tatapan mata yang suram. Sekali-kali mereka berdesah, dan mereka yang bersembunyi dua tiga orang bersama-sama, saling berpandangan sejenak. Tetapi mereka masih tetap saja berdiam diri.

Ternyata Kiai Gringsing membawa mereka berjalan lewat bekas arena perkelahian. Dengan tengkuk yang meremang, orang-orang itu melihat pengawas yang berkumis itu masih terbujur di tempatnya,

“Tidak ada seorang pun yang dapat menyentuhnya hari ini,” berkata Kiai Gringsing. “Mudah-mudahan besok kita dapat menguburkannya.”

Orang-orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Nah, bukankah kalian sudah melihat, bahwa tidak akan ada apa-apa lagi untuk sementara?”

“Tetapi. Tetapi,” salah seorang dari mereka menjawab, “bagaimana dengan orang yang tinggi kekar, dan orang yang kekurus-kurusan itu?”

“Mereka ada di dapur. Mereka sudah menjadi jinak,” jawab Kiai Gringsing. “Apakah kalian akan bertemu dengan mereka?”

Tetapi agaknya orang-orang itu sama sekali tidak berniat untuk bertemu dengan kedua orang itu. Apalagi membantu mengawasi mereka. Bagi mereka memang lebih baik ikut dengan orang tua itu menguburkan mayat yang sudah pasti tidak akan dapat berbuat apa-apa.

“Siapakah yang kemudian pergi mengawani anak muda itu?” mereka pun bertanya di dalam hati, karena Kiai Gringsing memang sudah memberitahukan sebelumnya, bahwa beberapa orang nanti akan diajak oleh seorang anaknya menunggui kedua orang itu.

Namun demikian, perlahan-lahan Kiai Gringsing berhasil menumbuhkan ketenangan di hati orang-orang yang ketakutan itu. Meskipun untuk beberapa saat lamanya, mereka pasti masih selalu dipengaruhi oleh perasaan takut dan ngeri.

Sejenak kemudian, mereka pun melintasi sebuah tempat terbuka yang agak panjang. Tempat yang sudah bersih dari pepohonan hutan, yang sedianya akan dipergunakan menjadi tanah pekarangan. Tetapi karena orang-orang di tempat itu selalu dibayangi oleh ketakutan, maka rencana itu masih belum dapat dilakukan.

Apalagi saat itu, daerah yang terbuka itu benar-benar seperti kuburan. Sepi. Tidak ada sesosok tubuh pun yang tampak melintas, selain Kiai Gringsing dan orang-orang yang mengikutinya. Beberapa buah rumah yang sudah jadi pun seakan-akan seperti cungkup-cungkup yang sepi.

Namun di belakang mereka, beberapa orang yang bersembunyi di pinggir-pinggir hutan pun segera mengikuti. Bahkan beberapa orang berlari-lari dan menggabungkan diri pada iring-iringan kecil itu, sehingga tampaknya semakin lama menjadi semakin panjang.

Perasaan mereka menjadi semakin tenang, ketika mereka sudah berada di barak. Mereka segera duduk di tempat masing-masing dengan nafas yang tertahan-tahan. Beberapa orang kemudian menarik nafas dalam-dalam dan mengucapkan sukur di dalam hati, bahwa mereka tidak ikut serta menjadi korban pertentangan yang tiba-tiba saja terjadi.

“Nah,” bertanya Kiai Gringsing, “siapakah di antara kalian yang mendapat tugas di dapur hari ini?”

Beberapa orang saling berpandangan.

“Siapa? Sayang bahan-bahan yang telah masak di dapur. Dan bukankah kita hari ini memerlukan makan pula?”

Beberapa orang mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Marilah,” ajak Kiai Gringsing, “kita pergi ke dapur. Yang bertugas kami harapkan untuk melakukan tugasnya seperti biasa. Semua persoalan yang terjadi, anggaplah sudah selesai untuk sementara.”

Meskipun masih belum ada yang menyahut, tetapi Kiai Gringsing sudah melihat kesanggupan pada beberapa wajah di antara mereka. Karena itu katanya kemudian, “Marilah, siapa yang akan membantu menyelesaikan makan kita, ikutlah aku. Yang lain kami harap tinggal di sini sambil menunggu rangsum yang nanti akan segera kami kirimkan, meskipun seandainya hanya sekedar nasi dengan garam atau dengan sambal kelapa.”

Kiai Gringsing menunggu sesaat. Kemudian ia pun melangkah keluar barak itu. Beberapa orang pun kemudian bergeser dari tempatnya. Ketika seseorang berdiri, maka beberapa orang yang lain pun telah berdiri pula dan mengikuti langkah Kiai Gringsing pergi ke barak yang lain. Mereka sebagian adalah orang-orang yang memang bertugas di dapur hari ini, yang seharusnya dibantu oleh beberapa orang perempuan.

Jalan setapak yang menghubungkan kedua barak itu yang biasanya di siang hari sering dilalui orang-orang yang pergi hilir-mudik, masih juga terlampau sepi. Tidak ada seorang pun yang berani berjalan sendiri, meskipun suasana sudah menjadi semakin tenang.

Di serambi depan barak yang lain, Agung Sedayu masih saja duduk bersandar dinding sambil menjelujurkan kakinya. Bahkan sekilas ia terlena oleh kelelahan. Sedang kedua kawannya yang duduk di sampingnya, seakan-akan sedang menungguinya. Menunggui anak-anak yang baru saja dapat tertidur setelah bermain-main sehari penuh.

Agung Sedayu terperanjat ketika salah seorang kawannya itu tiba-tiba menggamitnya sambil berkata, “He, lihat. Mereka sudah datang?”

“Siapa?” bertanya Agung Sedayu.

Namun setelah menggosok matanya yang kemerah-merahan, ia pun segera melihat bahwa yang datang adalah gurunya bersama beberapa orang yang lain.

“Kenapa mereka kemari?” desis kawan Agung Sedayu yang lain.

Agung Sedayu menggelengkan kepalanya, “Entahlah. Tetapi mereka tampaknya sudah berhasil mengatasi ketakutan mereka. Lihatlah, wajah-wajah mereka sudah menjadi bening.”

Kedua kawan Agung Sedayu itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

Sejenak kemudian, Kiai Gringsing pun sudah ada di serambi itu pula. Sambil tersenyum ia berkata, “Inilah beberapa orang yang akan membantu menyelenggarakan rangsum kita hari ini. Apakah ada beberapa orang perempuan yang siap membantu pula?”

“Aku belum menanyakannya. Tetapi kalau dapur itu sudah dipanasi oleh perapian, aku rasa mereka pun akan segera melakukannya,” jawab Agung Sedayu.

“Baiklah. Silahkanlah. Kami akan tetap tinggal di sini menunggu lauk masak. Apa pun wujudnya.”

Beberapa orang pun kemudian pergi ke dapur. Mereka membenahi beberapa macam alat yang masih berserakan. Beberapa orang perempuan kemudian telah berani bangkit dari tempatnya dan masuk dengan ragu-ragu ke dalam dapur. Dengan hati yang berdebar-debar mereka memandang dinding pintu yang diselarak oleh Agung Sedayu. Kepada laki-laki yang ada di dalam dapur itu, mereka berdesis lambat sekali, “Jangan membuka pintu itu.”

“Kenapa?”

“Di situlah kedua orang itu bersembunyi.”

“O, bukankah mereka tidak bersembunyi? Orang tua dan anaknya itu sudah mengetahuinya, bahwa mereka ada di dalam.”

Perempuan itu tidak menyahut. Mereka hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Tetapi tatapan mata mereka, masih membayangkan kecemasan.

Seorang laki-laki yang ingin disebut lebih berani dari kawan-kawannya melangkah mendekati pintu yang diselarak itu. Tetapi ia tidak berbuat apa-apa. Bahkan kemudian ia pun bertanya kepada seorang perempuan, “Kenapa diselarak dari luar?”

Perempuan itu menggelengkan kepalanya. Namun perempuan yang lain berdesis, “Aku mendengar mereka bertengkar.”

“Siapa?”

“Anak muda itu. Tetapi aku tidak tahu apa yang dipertengkarkan. Dari dalam barak, suara mereka tidak jelas terdengar.”

Laki-laki itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi ia mendekati pintu, seolah-olah ingin meyakinkan apakah pintu itu benar-benar tidak dapat lagi dibuka dari dalam. Kemudian berlagak seperti seorang yang menyaksikan kerja bawahannya, ia mengangguk-angguk sambil berdesis lambat, “Baik. Baik. Selarak itu sudah mapan. Aku kira, mereka tidak akan dapat membuka lagi dari dalam.”

Dengan demikian maka orang-orang yang bekerja di dapur itu merasa semakin tenang. Di dalam bilik tertutup itu sama sekali tidak terdengar suara apa pun. Agaknya orang-orang yang ada di dalam sama sekali sudah tidak mampu berbuat apa-apa lagi.

Karena itu, maka sebentar kemudian bau masakan sudah mulai memenuhi dapur. Perlahan-lahan oleh kesibukan masing-masing, mereka hampir melupakan peristiwa yang sudah mencengkam jantung mereka. Kini mereka disibukkan oleh air yang sudah mendidih, santan yang harus dituang, kemudian dedaunan yang sedang direbus, sedang yang lain menyiapkan daun pisang untuk membungkus nasi yang akan dibagikan sebagai rangsum orang-orang yang ada di barak dan para pengawas.

Kiai Gringsing dan Agung Sedayu yang masih duduk di serambi depan, merasa bahwa usaha mereka sudah sebagian berhasil. Perempuan-perempuan di dalam barak itu pun sudah tidak lagi dibayangi oleh wajah-wajah yang gelap, penuh ketakutan dan kecemasan.

“Aku akan kembali ke gardu pengawas,” desis Kiai Gringsing.

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya, “Baiklah. Aku akan menunggui barak ini. Menunggu nasi masak.”

“Kalau nasi masak jangan lupa, bawa rangsum kami ke gardu itu,” sahut Kiai Gringsing.

“Baiklah.”

“Tetapi, aku ingin melihat orang-orang itu sejenak.”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Sekarang?” ia bertanya.

Kiai Gringsing merenung sejenak. Namun kemudian ia menganggukkan kepalanya, “Ya. Aku akan melihatnya sejenak sekarang.”

“Aku telah mengikatnya. Mereka selalu berusaha melarikan diri dengan membuka dinding,” desis Agung Sedayu perlahan-lahan sekali.

“Keduanya?”

“Orang yang tinggi kekar. Yang seorang masih terlampau lemah.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun sejenak kemudian ia pun bangkit dan berkata, “Aku akan melihatnya sekarang.”

Agung Sedayu kemudian bangkit pula dan mengikutinya. Beberapa orang memandangi keduanya dengan sorot mata yang memancarkan berbagai macam pertanyaan. Tetapi pertanyaan-pertanyaan itu tidak terucapkan.

Diiringi oleh agung Sedayu, maka Kiai Gringsing segera masuk ke dalam dapur. Ia menjadi ragu-ragu ketika ia melihat orang-orang di dalam dapur itu sedang sibuk. Kalau terjadi sesuatu, maka hal itu pasti akan mengganggu. Karena itu, Kiai Gringsing tidak langsung masuk ke dalam bilik yang tertutup itu. Bersama Agung Sedayu ia berputar-putar sejenak di dalam dapur, melihat-lihat berbagai macam masakan yang sedang dipanasi. Namun kemudian mereka berdua sampai pada dinding yang memisahkan bilik kecil itu.

Sejenak mereka berdua berdiri sambil berdiam diri. Namun sejenak kemudian, tampak kening Kiai Gringsing menjadi berkerut. Perlahan-lahan ia berbisik kepada Agung Sedayu, “Kau menangkap sesuatu yang tidak wajar di dalam bilik kecil itu?”

Agung Sedayu tidak segera menyahut.

“Kau mendengar sesuatu di dalam?” bertanya Kiai Gringsing.

Agung Sedayu menggeleng, “Tidak.”

“Justru tidak itulah, aku menjadi curiga.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya, “Ya,” katanya di dalam hati, “aku justru tidak mendengar sesuatu. Tarikan nafas pun tidak.”

Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Kepalanya terangguk-angguk kecil. Namun ia tidak berkata apa pun juga. Meskipun demikian wajahnya tampak menjadi tegang.

“Apakah kita melihat sekarang?” bertanya Agung Sedayu.

“Tunggu. Justru ada sesuatu yang kurang wajar, aku tidak ingin membuka pintu ini. Aku tidak mau mengganggu kerja yang sudah mulai lancar.”

“Lalu?”

“Marilah kita melihatnya dari luar.”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia pun kemudian mengikuti gurunya melangkah keluar dapur dan kemudian turun ke halaman. Dengan tanpa menarik perhatian mereka segera melingkar lewat di sebelah barak itu langsung pergi ke belakang, ke bagian luar dari bilik kecil di sebelah dapur.

Belum lagi mereka sampai, mereka telah melihat sesuatu yang tidak pada tempatnya. Sebuah dinding di sudut bilik itu ternyata telah terbuka.

“Guru,” desis Agung Sedayu.

“Marilah kita lihat,” sahut gurunya sebelum Agung Sedayu selesai berbicara.

Keduanya pun kemudian dengan tergesa-gesa mendekati dinding yang ternyata sudah terbuka itu.

Sejenak mereka berdiri termangu-mangu di muka dinding yang terbuka itu. Namun telah merayap di dalam hati mereka, bahwa yang tidak mereka harapkan itu sudah terjadi. Orang-orang yang mereka anggap sudah tidak akan dapat melarikan diri itu, ternyata berhasil membuka dinding bambu.

“Marilah kita melihatnya,” desis Kiai Gringsing.

Agung Sedayu menganggukkan kepalanya.

Perlahan-lahan, Kiai Gringsing mendekati lubang sudut dinding itu. Perlahan-lahan pula ia berjongkok dan membuka dinding itu semakin lebar. Setelah ia yakin tidak ada bahaya apa pun, maka ia pun segera menyuruk masuk ke dalamnya dengan hati-hati.

Agung Sedayu yang masih berdiri di luar menjadi termangu-mangu. Namun sejenak kemudian, ia mendapat isyarat dari gurunya, agar ia pun masuk pula ke dalamnya.

Seperti gurunya, Agung Sedayu pun menyuruk pula masuk. Tetapi begitu ia berdiri di dalam bilik itu, matanya tiba-tiba terbelalak.

Dilihatnya orang yang tinggi kekar, yang diikatnya dengan tampar lulup itu, ternyata telah tidak bernyawa lagi. Sedang orang yang kekurus-kurusan, yang di anggapnya masih terlampau lemah, telah tidak ada di dalam bilik yang pengap itu.

Terasa dada Agung Sedayu bergetar dahsyat sekali. Ia merasa bahwa ia sudah salah hitung. Ternyata bahwa ia kali ini tidak berbuat tepat atas kedua orang itu.

Tetapi ketika Agung Sedayu akan membuka mulutnya, gurunya berdesis sambil meletakkan jari telunjuknya di muka bibirnya. Kemudian ia berbisik, “Hati-hatilah. Jangan merusak suasana. Orang-orang di dapur itu sudah mulai tenang. Kalau mereka tahu apa yang terjadi di sini, mereka akan segera menjadi gelisah dan ketakutan.”

Agung Sedayu menganggukkan kepalanya. Karena itu, maka ia pun bertanya perlahan-lahan sekali, “Kenapa orang itu mati, Guru?”

Kiai Gringsing tidak segera menyahut. Didekatinya orang yang tinggi kekar, yang ternyata memang sudah tidak bernyawa lagi itu.

“Ia mati lemas,” berkata gurunya, “pernafasannya agaknya telah tersumbat.”

“Maksud Guru, apakah karena ia terikat, maka ia tidak dapat melepaskan diri dari kemungkinan pernafasannya terganggu itu?”

Gurunya menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Ia masih sempat menggelengkan kepalanya. Tetapi pasti sudah terjadi sesuatu. Orang yang kekurus-kurusaan itu ternyata telah pergi.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya.

“Bagaimana pendapatmu tentang orang itu?”

“Menurut dugaanku, ia masih terlampau lemah, Guru.”

“Apakah yang telah diperbuatnya ketika kau mengikat orang ini?”

“Tidak apa-apa. Ia berbaring saja. Aku kira ia sama sekali sudah tidak sempat berbuat apa-apa.”

“Itulah kelebihannya. Dengan demikian, maka kita memang telah salah hitung. Aku pun menyangka bahwa ia masih terlampau lemah. Tetapi kini aku berpikir lain. Ia sengaja membuat dirinya demikian, sehingga menumbuhkan kesan, bahwa ia masih terlampau lemah dan tidak mampu berbuat apa-apa.”

“Jadi?”

“Ia sudah berhasil mengelabuhi kita. Orang itu telah melarikan diri.”

“Tetapi bagaimana dengan orang ini? Kenapa ia tidak berusaha melepaskan ikatannya dan membawanya pergi? Bukankah orang ini justru masih lebih kuat dari padanya?”


“Begitulah tampaknya. Tetapi aku kira, orang yang kekurus-kurusan itu menganggap peran orang ini sudah selesai, ia tidak memerlukannya lagi, sehingga karena itu, maka orang ini telah dibunuhnya. Kau telah membantunya dengan mengikat tangan dan kakinya.”

“Aku tidak sengaja.”

“Ya. Kau memang tidak sengaja. Kau memang tidak bersalah. Tetapi hal itu telah dipergunakannya sebaik-baiknya. Ia tinggal menutup lubang pernafasannya saja, sehingga kawannya itu akan mati lemas.”

Agung Sedayu menggeretakkan giginya. Desisnya, “Aku akan mencarinya sampai ketemu.”

Tetapi gurunya menggelengkan kepalanya, “Jangan kau. Kau masih terlampau muda untuk menjelajahi hutan ini.”

“Meskipun ia berhasil keluar dan tempat ini, tetapi ia pasti belum begitu jauh.”

“Mungkin, tetapi kita tidak tahu dengan pasti, isi dari hutan belantara di sekitar tempat ini.”

“Jadi, apakah kita akan membiarkan orang itu pergi?”

“Aku akan mencarinya. Tetapi seandainya tidak aku ketemukan, apa boleh buat. Namun itu berarti bahwa kita harus lebih berhati-hati, dan kita harus lebih cepat lagi menghubungi Ki Gede Pemanahan.”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Para pengawas itu akan menjadi segera baik kembali. Mereka akan pergi bertiga menemui Ki Gede Pemanahan atau puteranya. Biarlah pemimpin pengawal dan kita bertiga di sini mengambil alih untuk sementara tugas-tugas itu.”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Nah, biarlah aku mencarinya sekarang. Namun meskipun aku menemukannya itu bukan berarti, bahwa kita dapat melepaskan kewaspadaan. Ternyata daerah ini benar-benar telah dikelilingi oleh suatu kelompok yang belum kita ketahui dengan pasti, maksud dan tujuannya.”

Agung Sedayu menganggukkan kepalanya.

“Mudah-mudahan aku dapat menemukan orang itu. Aku kira ia memang belum terlampau jauh dari tempat ini. Tetapi aku masih harus mencari arah yang tepat untuk menemukannya.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Sejenak ia berdiam diri. Namun angan-angannya melambung ke segenap penjuru. Terbayang di rongga matanya, orang yang lemah itu berjalan tertatih-tatih menyuruk di antara semak-semak yang rimbun. Namun usaha untuk melarikan diri itu benar telah menyakitkan hatinya.

“Guru,” berkata Agung Sedayu kemudian, “apakah aku diperkenankan ikut mencari orang itu?”

Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Kau tinggal di sini. Orang-orang itu harus tetap tenang. Kalau mereka dihinggapi lagi oleh ketakutan, maka mereka hanya akan menyusahkan saja. Usahakan agar mereka tetap bekerja di dapur, dan agar makan dapat dikirim ke barak dan gardu pengawas.”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Aku akan pergi sekarang. Kalau ada kesempatan, beritahu adikmu, supaya ia tidak menunggu. Beritahukan kepadanya apa yang sudah terjadi. Para pengawas memang perlu mengetahui, tetapi orang lain tidak. Maksudku, tidak sekarang. Mungkin nanti atau kapan saja, mereka pun perlu mengetahuinya.”

“Ya, Guru.”

“Kembalilah ke dapur. Kau harus berlaku seperti orang-orang kebanyakan untuk sementara, meskipun mereka sudah melihat kelebihanmu.”

“Ya, Guru.

“Hati-hatilah, aku akan pergi.”

“Tetapi, apakah guru tidak makan lebih dahulu? Aku kira semuanya sudah masak.”

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tersenyum. Ditepuknya bahu Agung Sedayu sambil berkata, “Ah, kenapa kau bertanya begitu? Kalau orang-orang di dapur itulah yang bertanya kepadaku, itu sama sekali tidak aneh. Tetapi sekarang kau yang bertanya tentang makan itu. Apakah aku belum pernah mengatakan kepadamu bahwa aku pernah berpuasa sampai enam bulan penuh dan hanya sekedar makan seadanya di sore hari? Kalau aku berbicara tentang nasi masak, lauk–pauk, dan rangsum barangkali kau tahu maksudnya.”

Agung Sedayu menundukkan kepalanya. Wajahnya menjadi kemerah-merahan. Ternyata kadang-kadang ia masih salah menangkap maksud gurunya. Sambil mengangguk-angguk keeil ia berdesis, “Ya, agaknya Guru ingin membuat kesan bahwa semuanya sudah tenang, dan membelokkan perhatian orang-orang ini.”

Sekali lagi Kiai Gringsing menepuk pundak Agung Sedayu. Kemudian ia berkata pula, “Sudahlah. Tungguilah mereka. Ikutlah dengan mereka, apa yang sebaiknya mereka lakukan. Aku akan mencoba mencari jejak orang yang hilang ini. Yang sebenarnya berbahaya bukan orang yang aku cari itu sendiri, tetapi apa yang akan dikerjakannya kemudian.”

“Baik, Guru.”

“Sekarang, marilah kita keluar dari tempat ini. Jangan kau sentuh dahulu mayat itu, supaya tidak menumbuhkan kekacauan di ruang sebelah. Biarlah ia di tempatnya. Nanti apabila kita sudah mendapatkan waktu yang tepat, baiklah kita selenggarakan sebagaimana seharusnya.”

Agung Sedayu hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Ia pun kemudian mengikutinya, ketika gurunya keluar dari bilik yang sempit itu.

Sejenak kemudian, Kiai Gringsing sudah mulai melihat-lihat jejak yang barangkali dapat menunjukkan, kemana orang yang kekurus-kurusan itu pergi.

Ternyata rerumputan liar di sekitar barak itu telah menolongnya. Orang yang kekurus-kurusan itu sama sekali tidak sempat menghapus jejaknya. Rerumputan yang patah oleh injakan kakinya segera dapat dilihat oleh Kiai Gringsing.

“Agung Sedayu,” katanya, “untuk sementara aku dapat menemukan jejaknya. Aku akan mencoba mengikutinya. Tetapi apabila ia sempat masuk ke hutan, maka pencaharian itu akan menjadi semakin sulit. Meskipun begitu, aku akan mencoba mencarinya sehari ini. Kalau aku gagal hari ini, aku akan menghentikannya.”

“Baiklah, Guru. Aku akan berada di tengah-tengah mereka yang sedang bekerja di dapur itu.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia pun melangkahkan kakinya, mengikuti jejak orang yang kekurus-kurusan.

Dari jejak itu Kiai Gringsing dapat menduga bahwa orang itu pasti masih terlampau lemah. Kadang ia melihat bekas kaki yang diseret di atas rerumputan.

“Mudah-mudahan orang itu masih belum terlampau jauh,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya. Namun sudah jelas baginya, bahwa jejak itu menuju langsung ke dalam hutan belukar yang masih belum digarap.

Kiai Gringsing pun kemudian berhenti sejenak ketika ia sudah sampai di tempat yang liar, rerumputan alang-alang, dan gerumbul-gerumbul perdu yang lebat. Ditatapnya daerah di sekelilingnya dengan seksama, kemudian dipandanginya hutan yang lebat, beberapa ratus langkah lagi di hadapannya.

“Orang itu pasti masuk ke sana,” desisnya. Tetapi gerumbul-gerumbul liar, pohon-pohon perdu, dan bahkan batu-batu besar, akan dapat menjadi tempat persembunyian yang baik.

Tetapi Kiai Gringsing masih belum kehilangan jejak. Semakin tinggi batang-batang ilalang, semakin jelas jejak itu pergi ke mana.

Sesekali Kiai Gringsing melihat jejak itu masuk ke dalam gerumbul. Tetapi ia masih dapat menemukan jejak kelanjutannya, sehingga Kiai Gringsing masih berjalan mengikutinya. Dan bahkan semakin jelas, bahwa orang itu telah masuk ke dalam hutan.

Kiai Gringsing tidak dapat menganggap tugas itu dapat dikerjakan sambil lalu saja. Mungkin orang yang kekurus-kurusan itu sendiri memang sudah tidak berbahaya, tetapi apa yang berada di dalam hutan yang lebat itu merupakan suatu rahasia baginya. Rahasia yang tidak mudah dapat dipecahkannya. Seolah-olah ia harus berjalan dan meraba-raba di dalam gelap yang pekat.

Tetapi Kiai Gringsing tidak mengurungkan niatnya, ia tetap ingin mengikuti jejak orang yang kekurus-kurusan itu. Ia ingin lebih hanyak tahu tentang keadaan yang sebenarnya, di sekitar daerah pembukaan hutan ini.

Persoalan yang selama ini menarik perhatiannya adalah ketakutan orang-orang di dalam barak dan bahkan para pengawas terhadap hantu-hantu. Kemudian peristiwa yang timbul berturut-turut di saat-saat terakhir. Namun dalam pada itu, bagi Kiai Gringsing tidak lagi dapat memisah-misahkan, hantu-hantu yang menakutkan itu dengan tindakan-tindakan, perbuatan-perbuatan orang-orang yang terpaksa mengorbankan dirinya.

Demikianlah, maka dengan penuh kewaspadaan, Kiai Gringsing bergerak maju mengikuti jejak kaki di atas rerumputan. Semakin lama semakin dekat dengan hutan yang lebat.

“Apakah orang kekurus-kurusan, yang telah terluka itu, tidak takut memasuki hutan yang liar itu?” bertanya Kiai Gringsing kepada diri sendiri, “dalam keadaan itu, maka ia pasti tidak akan dapat berbuat apa-apa seandainya ada seekor harimau lapar yang menjumpainya.”

Tetapi ternyata orang itu telah memilih bersembunyi ke dalam hutan yang lebat itu. Agaknya menurut perhitungannya, ia lebih baik bertemu, dan kalau perlu membuat perhitungan dengan biatang buas daripada dengan manusia, jenisnya sendiri.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya di dalam hati, “Memang pada suatu saat, seseorang lebih merasa dirinya aman hidup di tempat yang terasing dari manusia lainnya, meskipun ada kemungkinan ia harus berhadapan dengan seekor binatang buas. Pada suatu saat, memang manusia menjadi mahluk yang lebih menakutkan bagi manusia lainnya dari segala jenis makhluk yang lain, termasuk binatang yang paling buas sekalipun. Demikian juga agaknya bagi orang yang kekurus-kurusan itu. Manusia saat ini adalah mahluk yang paling ditakutinya. Apalagi manusia-manusia tertentu yang memang ingin menangkapnya.”

Kiai Gringsing pun kemudian tertegun sejenak, ketika ia telah sampai di tempat yang mulai rimbun. Beberapa batang pohon yang dikelilingi oleh semak-semak yang dapat bertebaran di sana-sini, di antara batang-batang ilalang setinggi dada.

Dengan demikian Kiai Gringsing menjadi semakin berhati-hati. Setiap saat ia memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Bukan saja binatang buas, tetapi mungkin bahaya-bahaya yang lain telah mengancamnya pula.

Sampai di tempat yang mulai rimbun itu, Kiai Gringsing masih belum kehilangan jejak. Ia masih melihat bekas kaki yang menuju langsung masuk ke dalam hutan yang lebat. Bahkan di beberapa tempat, ia melihat orang yang diikutinya itu beristirahat. Bekas-bekas rerumputan yang berpatahan menimbulkan dugaan padanya, bahwa orang yang kekurus-kurusan itu telah benar-benar kelelahan dan duduk di atas rerumputan liar, atau bahkan berbaring sama sekali. Sehingga dengan demikian, Kiai Gringsing memperhitungkan bahwa orang itu masih belum terlampau jauh di hadapannya. Bahkan, mungkin ia telah hampir dapat menyusulnya.

Dengan demikian, Kiai Gringsing menjadi semakin berhati-hati. Banyak kemungkinan yang dihadapinya di balik rimbunnya dedaunan dan lebatnya pepohonan.

Langkah Kiai Gringsing pun menjadi semakin perlahan-lahan. Ia mencoba mempergunakan segenap inderanya untuk memperhatikan setiap bunyi apapun. Desir dedaunan yang disentuh angin, atau derik ranting-ranting yang patah.

Dada Kiai Gringsing berdesir ketika tiba-tiba saja ia mendengar suara burung kedasih di kejauhan. Suara burung kedasih seperti yang pernah didengarnya di tempat kerjanya. Di tempat Kiai Gringsing dan kedua muridnya membuka hutan. Tetapi kali ini Kiai Gringsing menangkap irama yang berbeda dari suara burung kedasih yang pernah didengarnya. Kali ini suara burung itu terdengar semakin lamban dan tidak terus seperti yang pernah didengarnya.

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia mengerti bahwa suara burung itu, bukanlah suara burung yang sewajarnya. Ia mencoba menarik hubungan antara suara burung yang yang sering didengarnya dengan suara burung yang kini sedang melengking hampir tidak putus-putusnya dalam irama yang berbeda.

Perlahan-lahan Kiai Gringsing itu melangkah terus. Ia kini ingin melihat, siapa atau apakah yang telah menimbulkan bunyi itu. Apakah benar-benar seekor burung kedasih, atau sama sekali bukan seekor burung.

Dengan dada yang berdebar-debar Kiai Gringsing berusaha untuk tidak mengejutkan sumber bunyi itu. Ia harus menjaga langkahnya baik-baik. Bukan saja langkahnya, tetapi juga pernafasannya.

Sekali lagi Kiai Gringsing tertegun. Di kejauhan ia mendengar pula suara burung kedasih. Mirip dengan suara yang masih saja bergema di antara pepohonan hutan. Bahkan seolah-olah suara burung itu menjadi saling sahut-menyahut.

“Akhirnya menjadi semakin jelas,” desisnya, “usaha membuka hutan ini memang menghadapi tantangan yang berat. Ternyata ada suatu kekuatan yang tersusun rapi dan luas, yang membayangi usaha perluasan Tanah Mataram.”

Namun Kiai Gringsing tidak dapat membayangkan apakah usaha untuk merintangi perluasan Tanah Mataram ini hanya terbatas di daerah ini saja, atau tersebar di seluruh medan kerja dari rencana pembukaan hutan Mentaok ini?

Dalam pada itu, Kiai Gringsing pun menjadi semakin dekat dengan sumber bunyi yang menyerupai suara burung kedasih itu, sehingga suara itu menjadi semakin jelas karenanya. Sedang di kejauhan masih juga terdengar bunyi yang lain, yang seolah-olah sedang menjawab keluhan yang memelas dari suara burung yang semakin dekat ini.

“Suatu cara yang baik,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya, “isyarat yang tidak mudah diketahui oleh orang lain.”

Dengan demikian Kiai Gringsing kini mempunyai dua petunjuk untuk melangkah maju. Bekas-bekas kaki yang menjadi semakin samar karena semak-semak yang menjadi rimbun dan pepohonan kian lebat, dan suara burung kedasih itu. Tetapi Kiai Gringsing masih juga belum yakin, bahwa ada hubungan yang erat antara suara burung itu dengan orang yang kekurus-kurusan yang telah melarikan diri setelah membunuh kawannya, orang yang tinggi kekar, yang sedang diikat oleh Agung Sedayu.

Karena itu, maka Kiai Gringsing masih harus melihat dan membuktikan apakah sebenarnya yang sedang dihadapinya.

Demikianlah, perlahan-lahan ia bergerak maju. Semakin lama semakin dekat. Suara burung kedasih itu kini seakan-akan sudah berada di depan hidungnya.

Dalam pada itu suara burung kedasih yang lain pun, rasa-rasanya menjadi semakin dekat pula. Seakan-akan kedua bunyi itu sedang berusaha saling mendekati.

Dengan menahan nafasnya, Kiai Gringsing menyusup ke dalam semak-semak. Kini ia sudah berada di dalam hutan yang semakin lebat. Suara itu sudah terlampau dekat daripadanya.

Kiai Gringsing tertegun sejenak. Dadanya berdesir ketika ia menyibakkan dedaunan yang rimbun. Kini ia melihat dengan sepasang matanya, bahwa suara burung kedasih itu sama sekali bukan suara seekor burung. Di balik sebatang kayu yang besar, ia melihat dengan jelas seseorang bersandar dengan lemahnya. Dengan nafas yang terengah-engah ia tengah menirukan suara burung kedasih yang seakan-akan sedang mengeluh. Dan orang itu adalah orang yang kekurus-kurusan yang badannya dipenuhi oleh luka-luka bekas ujung cambuk Swandaru.

Kiai Gringsing menggeleng-gelengkan kepalanya. Ternyata orang itu bukannya orang yang dengan mudah menyerah pada keadaan. Meskipun tubuhnya sudah terlampau lelah, namun ia masih juga berusaha untuk melarikan diri dan menghubungi kawan-kawannya.

Dengan demikian maka Kiai Gringsing tidak segera bertindak sesuatu. Ia justru berusaha bersembunyi. Ia ingin melihat apa yang akan segera terjadi. Ia mengharap seseorang, yang menyambut dengan suara burung kedasih itu pula, akan datang ke tempat itu, untuk menolong kawannya yang terluka ini.

Karena itu, maka Kiai Gringsing pun dengan hati-hati sekali berusaha pula untuk mendapat tempat yang mapan, yang dengan agak mudah dapat mengintip orang yang kini sedang bersandar dengan lemahnya pada sebatang pohon besar.

Dengan dada yang berdebar-debar, Kiai Gringsing pun menunggu. Seperti orang yang kekurus-kurusan itu, maka terasa waktu berjalan dengan lambatnya. Dengan gelisah, setiap kali orang itu menirukan suara burung kedasih, yang selalu disahut oleh suara yang lain, yang terdengar semakin lama menjadi semakin dekat.

“Mudah-mudahan aku dapat menemukan mereka,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya. “Kalau seseorang datang, aku berharap bahwa orang itu akan mampu memberikan banyak keterangan tentang ligkungannya, yang merupakan rahasia bagi orang-orang yang sedang membuka hutan ini. Tetapi aku sama sekali masih belum dapat menilai, berapa banyak dan berapa tinggi kemampuan mereka.”

Kiai Gringsing menjadi semakin berhati-hati, ketika ia mendengar suara burung kedasih itu semakin dekat. Semakin lama semakin dekat. Bahkan Kiai Gringsing kemudian hampir tidak dapat menarik nafas lagi ketika tiba-tiba saja ia melihat seseorang muncul dari balik semak-semak.

Kiai Gringsing terkejut melihat orang itu. Orang itu adalah dukun yang pernah didatanginya. Dukun yang mengaku dirinya mampu berhubungan dengan hantu-hantu di Alas Mentaok.

Sejenak Kiai Gringsing terpesona. Agaknya memang ada suatu kumpulan orang-orang yang telah menyusun dirinya dalam suatu ikatan yang rapi. Masih mempunyai tugasnya sendiri di tempat yang sudah mereka bagi sebaik-baiknya. Di lingkungan pengawas, di lingkungan pendatang dan bahkan dukun itu yang menampung persoalan-persoalan yang tidak dapat dipecahkan oleh orang-orang di dalam lingkungan masing-masing.

Dengan penuh minat Kiai Gringsing memperhatikan, apa yang akan terjadi di hadapannya. Karena itu, maka ia pun berusaha untuk tidak menumbuhkan bunyi apa pun yang akan dapat mengganggu pertemuan itu.

“Hem,” dukun itu menarik nafas dalam-dalam, “ternyata kau tidak mampu menyelesaikan tugasmu dengan baik.”

Orang yang kekurus-kurusan itu menyahut, “Maaf. Bukan aku tidak mampu. Tetapi kali ini kita berhadapan dengan orang-orang gila yang harus diperhitungkan.”

“Kenapa kau?” bertanya dukun itu.

“Aku tidak dapat melawan senjata anak muda yang gemuk itu. Anak Truna Podang.”

“Anak yang menurut keterangan, bernama Sangkan itu?”

“Ya. Tetapi aku kemudian pasti, bahwa itu bukan namanya. Seperti Truna Podang itu pun pasti bukan namanya pula.”

Dukun itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Apakah kau sudah berusaha sebaik-baiknya?”

“Tentu. Bahkan semua orang di antara kami sudah bergerak saat itu.”

“Dan kalian tetap tidak berhasil?” Orang yang terluka itu menggelengkan kepalanya, “Aku lemah sekali.”

“Di mana kawan-kawanmu sekarang?”

“Semuanya sudah terbunuh.”

“Semuanya? Juga pengawas itu?”

“Ya.”

“Gila! Bukankah kalian mempunyai jenis senjata yang tidak dimiliki oleh orang lain? Bukankah kalian telah dibekali dengan senjata-senjata beracun?”

“Ya. Tetapi kami tidak mampu melawannya. Dan ternyata racun itu bukan tidak terlawan. Kami sudah mempergunakan segala macam cara. Tetapi kami tidak berhasil melawan Truna Podang beserta kedua anak-anaknya.”

Dukun itu mengerutkan keningnya. Dipandanginya orang yang kekurus-kurusan itu dengan saksama seolah-olah ia ingin menyakinkan apakah kata-kata yang diucapkannya itu benar.

Sejenak kemudian, ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia melihat luka yang silang-melintang di tubuh orang yang kekurus-kurusan itu.

“Untunglah bahwa kau masih hidup,” desis dukun yang bernama Ki Damar itu. “Apakah semua kawan-kawanmu sudah mati.”

“Ya. Semua sudah mati.”

Dukun itu menggeram., “Dan kau pun luka-luka parah. Agaknya kau pun hampir mati pula.”

“Ya. Kalau aku dibiarkan begini untuk tiga hari, barangkali aku memang akan mati. Tetapi kalau kau mengobati aku, aku akan berusaha untuk bertahan.”

Kiai Damar mengangguk-anggukkan kepalanya, “Baiklah. Aku akan mengobatimu. Mungkin kita masih mempunyai kesempatan untuk berbuat sesuatu.”

“Aku masih melihat kemungkinan itu. Terutama apabila Truna Podang dan kedua anaknya dapat disingkirkan.”

Kiai Damar mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Baiklah. Aku sendiri akan menemuinya. Aku sendiri akan membunuhnya dengan cara apa pun. Tetapi aku kira, kia tidak perlu lagi mempergunakan cara yang berbelit-belit. Kalau pada suatu saat ia bekerja di tanah garapannya, kita temui saja orang itu. Kita langsung membunuhnya. Menusuk perutnya dengan pedang. Begitu?”

“Tetapi tidak semudah itu. Ia mampu berkelahi. Kedua anak-anaknya adalah anak-anak muda yang berbahaya. Aku tidak tahu, apakah ayahnya juga berbahaya.”

“Aku tidak akan sendiri. Aku akan datang dengan dua atau tiga orang, sehingga aku yakin bahwa aku akan dapat membunuhnya.”

“Terserahlah. Sekarang, aku memerlukan pertolongan.”

“Baiklah aku akan membawamu ke gubugku.”

“Tetapi, aku sudah tidak mampu lagi berjalan sendiri.”

“Apakah aku harus mendukungmu?”

“Tidak perlu. Tetapi kau harus membantu aku berjalan.”

“Baiklah, beruntunglah kau bahwa aku tidak memutuskan untuk membunuhmu saja daripada kau menambah tugas tanpa arti.”

“Jangan menganggap aku tidak berarti lagi. Aku dapat banyak memberikan bahan kepadamu, tentang Truna Podang dan kedua anak-anaknya.”

“Baiklah. Marilah, aku akan memapahmu.” Demikianlah, maka Kiai Damar pun segera berusaha menolong orang yang kekurus-kurusan itu dan memapahnya berjalan perlahan-lahan.

Dalam pada itu Kiai Gringsing yang menunggui keduanya menjadi termangu-mangu. Ia tidak segera dapat menentukan apakah yang sebaiknya dilakukannya. Namun kemudian ia memutuskan untuk membiarkan saja keduanya pergi. Ia masih memerlukannya, untuk mengetahui hubungan yang lebih luas lagi dari mereka itu. Kiai Gringsing memperhitungkan, bahwa Kiai Damar pasti akan menghubungi kawan-kawannya yang lain. Dengan demikian, Kiai Gringsing mengharap bahwa ia pada suatu saat akan dapat menemukan sebagian besar dari anggauta kelompok dari orang-orang yang selama ini selalu membayangi kerja orang-orang yang sedang membuka hutan itu.

Dengan demikian maka Kiai Gringsing masih saja tetap di dalam persembunyiannya. Bahkan ia masih juga mencoba menahan desah nafasnya agar tidak didengar oleh kedua orang itu.

Dari tempatnya Kiai Gringsing melihat keduanya berjalan tertatih-tatih menembus gerumbul-gerumbul yang lebat, menyusup di antara pepohonan dan semak-semak berduri.

Namun Kiai Gringsing itu pun berkata di dalam hatinya, “Tetapi apakah mereka pasti pergi ke rumah Kiai Damar yang dahulu? Yang pernah aku datangi?”

Karena itu, maka timbullah keinginan Kiai Gringsing untuk melihat dan mengikuti ke mana mereka itu pergi.

Demikianlah maka dengan hati-hati Kiai Gringsing mencoba untuk mengikutinya. Dari jarak yang agak jauh Kiai Gringsing dengan hati-hati menyusup pula di antara pepohonan dan meloncat dari sebatang pohon yang besar ke batang yang lain, mengikuti kedua orang yang berjalan perlahan-lahan.

“Orang itu termasuk orang yang kuat,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya. Ia memang pernah menjajagi kekuatan Kiai Damar di satu malam, selagi ia datang kepadanya untuk mendapatkan obat untuk Swandaru, yang bahkan bersamaan dengan beberapa orang pengawal Tanah Mataram. Dalam keadaan yang tidak menentu dan penuh dengan keragu-raguan Kiai Damar sama sekali tidak dapat berbuat banyak. Tetapi apabila mereka harus bertempur dalam kesiagaan penuh dan beradu dada, maka Kiai Damar pasti akan dapat berbuat lebih banyak lagi.

Beberapa saat lamanya, Kiai Gringsing mengikuti keduanya. Dan akhirnya ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Keduanya memang pergi ke gubug Kiai Damar. Gubug yang terpencil di pinggir hutan yang lebat, di antara batu-batu besar yang berserakan.

“Orang itu pasti mempunyai suatu cita-cita,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya. “Kalau tidak, ia pasti tidak akan mau menyepikan diri di tempat ini. Di tempat yang terasing dan bahkan berbahaya. Sewaktu-waktu ia akan berhadapan dengan binatang buas yang tersesat sampai ke gubugnya.”

Setelah Kiai Gringsing yakin bahwa kedua orang itu benar-benar berada di dalam gubug itu, maka iapun segera beringsut menjauh.

“Rumah ini pasti akan menjadi pusat pertemuan,” katanya di dalam hati. “Orang-orang lain dari lingkungan mereka, apabila masih ada, pasti akan datang. Setidak-tidaknya malam nanti aku harus melihat, apa yang sedang mereka bicarakan. Tetapi untuk bertindak terlampau tergesa-gesa agaknya memang sangat berbahaya sekali. Karena itu aku harus membuat perhitungan-perhitungan yang sebaik-baiknya menghadapi keadaan ini.”

Kadang-kadang memang timbul niat di hati Kiai Gringsing untuk berusaha menangkap keduanya sama sekali. Tetapi niat itu dapat dicegahnya sendiri oleh perhitungan-perhitungan yang lebih masak.

“Aku tidak perlu bersusah payah setiap kali datang mengintip rumah ini,” katanya di dalam hati. “Mereka akan mencari aku di tempat kerjaku.”

Namun dengan demikian Kiai Gringsing harus menjadi lebih berhati-bati. Setiap saat ia dapat diserang oleh Kiai Damar bersama pembantu-pembantunya, yang disebutnya dua atau tiga orang, sedang orang yang kekurus-kurusan itu telah dapat memberikan gambaran kekuatan Swandaru dan Agung Sedayu. Orang yang kekurus-kurusan itu tentu dapat mengatakan bahwa Swandaru telah dapat mengalahkan orang yang tinggi kekar, yang justru kini terbunuh di dalam bilik sempit itu, setelah ia menolong orang yang kekurus-kurusan itu, dan orang yang kekurus-kurusan itu sendiri. Kemudian Agung Sedayu telah berhasil mengalahkan pula pengawas berkumis yang ternyata adalah anggauta dari kumpulan mereka pula.


Tanpa sesadarnya Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya, sementara ia sudah menjadi semakin jauh dari gubug Kiai Damar. Dengan demikian maka langkahnya pun menjadi semakin cepat pula, menyusup di antara gerumbul-gerumbul liar. Ia telah memilih jalan di antara pepohonan dan perdu seperti pada saat ia datang.

Ketika ia sampai di dapur, ternyata orang-orang di dapur telah selesai dengan kerja mereka. Mereka telah membagikan rangsum menurut jumlah yang biasa mereka buat. Agung Sedayu-lah yang mengawal mereka, yang mengirimkan rangsum ke barak yang lain, dan ke gardu pengawas.

Ketika ia melihat gurunya datang, segera ia mendapatkannya.

“Bagaimana, Guru?” bisiknya.

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Katanya, “Orang itu, orang yang mati di bilik sebelah, harus segera kita kuburkan.”

“Bagaimana dengan orang yang kekurus-kurusan itu?”

“Kita menghadapi suatu lingkungan yang sama sekali tidak mengenal belas perikemanusiaan. Mereka yang tidak dapat dipergunakan lagi, biasanya memang dibunuhnya, seperti orang yang tinggi kekar itu, meskipun orang itu pula yang menolong orang yang kekurus-kurusan itu berjalan.”

“Kenapa tidak sebaliknya? Kenapa bukan orang yang tinggi kekar itulah yang membunuh orang yang kekurus-kurusan selagi ia tidak berdaya?”

“Agaknya orang yang kekurus-kurusan itu mempunyai kedudukan yang lebih tinggi. Bukankah kau melihat sikapnya terhadap orang yang tinggi kekar itu?”

Agung Sedayu menganggukkan kepalanya.

“Nantilah aku ceriterakan. Sekarang, masuklah ke dalam bilik itu lewat belakang. Lepaskan talinya dan kita akan mengatakan bahwa ia mati karena luka-lukanya, sedang kawannya yang lain telah pergi. Aku mengharap bahwa hal itu tidak menimbulkan persoalan baru bagi orang di barak ini.”

Meskipun demikian, agaknya hal itu telah menimbulkan kejutan pula bagi orang-orang di barak itu. Mereka untuk beberapa saat telah dicengkam kembali oleh ketakutan dan kecemasan. Tetapi Kiai Gringsing telah berhasil mengatasinya dengan berbagai macam cara.

“Sebaiknya orang itu memang pergi saja. Ia sudah tidak dapat menempatkan diri di antara kita,” berkata Kiai Gringsing kepada mereka. “Kalau orang yang kekurus-kurusan itu masih ada di sini, maka ia masih saja dapat menumbuhkan persoalan-persoalan yang tidak kita inginkan.”

Orang-orang di barak itu mengangguk-angguk.

“Karena itu,” berkata Kiai Gringsing, “lupakan saja orang itu.”

“Apakah ia tidak mendendam?” bertanya salah seorang dari orang-orang di dalam barak itu.

“Tetapi ia tidak akan dapat berbuat apa-apa. Ia hanya seorang diri. Kita di sini terdiri dari banyak orang. Kenapa kita mesti mencemaskannya? Selama ini kita memang tidak pernah berbuat apa-apa selain ketakutan. Bukankah begitu?”

Orang-orang di barak itu mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Kemudian, beberapa orang laki-laki yang masih ada di tempat itu, bersama Agung Sedayu dan Kiai Gringsing telah menguburkan mayat itu agak jauh dari barak mereka.

Ketika malam kemudian datang, barak-barak di pinggir hutan itu agaknya telah dicengkam oleh ketakutan yang sangat. Meskipun Kiai Gringsing telah berusaha untuk menjelaskan, bahwa malam itu pasti tidak akan terjadi sesuatu.

Namun, hati yang telah dicengkam oleh ketakutan dan kecemasan itu, sama sekali tidak berdaya untuk menghalaukannya.

Karena itu, maka Kiai Gringsing berusaha untuk tinggal bersama dengan orang-orang yang ketakutan itu, agar mereka menjadi agak tenang. Bahkan para pengawaslah yang dibawanya ke dalam barak, bersama-sama menjadi suatu kelompok yang sedikit dapat memberikan ketenangan. Sedang Agung Sedayu dan Swandaru berada di barak yang lain, bersama perempuan dan anak-anak.

Namun Kiai Gringsing telah sempat memberitahukan apa yang didengarnya dari Kiai Damar kepada kedua muridnya, bahwa mereka memang sedang terancam. Terutama apabila mereka sedang berada di lapangan kerja mereka.

“Kami akan menunggu,” desis Swandaru. “Besok kita akan pergi ke tempat kerja itu.”

“Kita harus berhati-hati, Swandaru,” berkata gurunya. Lalu, “Biarlah besok kita perbincangkan. Malam ini kita akan beristirakat sebaik-baiknya.”

Kedua anak-anaknya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi hal itu tetap menjadi beban pikiran mereka hampir semalam suntuk. Dan Swandaru masih juga sempat berkata kepada Agung Sedayu, “Sudah cukup lama kita berada di sini. Sebaiknya kita segera menyelesaikan masalah ini. Memang kalau perlu dengan kekerasan dan tidak usah dengan segala macam tirai yang membosankan ini.”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebenarnya ia pun telah jemu pula dengan permainan yang mereka lakukan di tempat sepi yang terpencil ini. Baginya sebenarnya akan lebih senang tinggal di Kademangan Sangkal Putung. Daerah itu pasti menjadi bertambah ramai setelah keadaan bertambah baik.

Namun tiba-tiba dadanya berdesir tajam. Sekilas terbayang kakaknya, Untara, bersama pasukannya yang bersiaga penuh berada di Jati Anom justru menghadap ke Mataram, tanah yang sedang dibuka ini.

“Apakah salah paham antara Pajang dan Mataram akan semakin berlarut-larut?” pertanyaan itu tumbuh di dalam hatinya.

“Apakah orang-orang yang berjiwa besar seperti Ki Gede Pemanahan dan Sultan Pajang itu tidak dapat menemukan jalan keluar dari kesalah-pahaman ini?”

Tetapi Agung Sedayu sama sekali tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Betapapun besarnya jiwa seseorang, apabila kepentingan-kepentingan puncak masing-masing sudah saling berbenturan, maka mereka akan kembali kepada sifat manusiawi yang berpijak pada kepentingan sendiri.

“Apa yang kau renungkan?” bertanya Swandaru tiba-tiba.

Agung Sedayu terkejut. Diangguk-anggukkannya kepalanya. Tetapi ia tidak segera menjawab.

“Kau melamun?”

“Aku mengantuk.”

“Aku tidak percaya. Matamu masih bening, dan tatapan matamu melambung ke dunia yang lain.”

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Kita harus tidur sekarang.”

“Kau belum menjawab. Bagaimana pendapatmu tentang keadaan ini? Apakah kita akan berlarut-larut menghadapi masalah yang menjemukan ini? Kalau aku menjadi guru, aku akan datang ke rumah orang yang menyebut dirinya bernama Kiai Damar itu. Aku tangkap saja orang itu dan aku bawa menghadap Ki Gede Pemanahan. Terserah apa yang akan dilakukan olehnya atas Kiai Damar, dan kita akan segera dapat kembali ke Sangkal Putung supaya ayah dan ibu segera dapat berbuat sesuatu.”

“Berbuat apa?” bertanya Agung Sedayu. Swandaru mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menjawab, “Tidak. Tidak berbuat apa-apa.”

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Bukankah kau ingin ayah dan ibumu segera pergi ke Menoreh?” Swandaru tidak menjawab.

“Kenapa kau diam saja? Atau barangkali tidak begitu?”

“Ah kau,” desis Swandaru kemudian, “agaknya memang lebih baik kalau kita tidur. Bukankah kau sudah mengantuk?”

Agung Sedayu menggeleng, “Tidak. Mataku masih bening dan tatapan mataku melambung ke dunia yang lain.

“Ah kau,” sahut Swandaru. Tetapi ia pun kemudian menjatuhkan dirinya dan tidur melingkar di bawah kain panjangnya.

Agung Sedayu tersenyum. Ia masih juga berkata “Sst, apakah kau sedang menyiapkan sebuah mimpi?”

“Aku tidak mendengar.”

“Apa yang tidak kau dengar.”

“Pertanyaanmu.”

“Tetapi kau dapat menjawab dengan tepat.”

Swandaru tidak menyahut lagi. Ia menutup kupingnya dengan ujung jari telunjuknya.

Agung Sedayu pun kemudian terdiam pula. Dipandanginya ruangan yang luas di barak itu. Semua orang sudah berbaring diam di tempatnya masing-masing, meskipun ada juga di antara mereka yang tidak dapat tidur sama sekali karena ketakutan. Anak-anak kecil dipeluk oleh ibunya dengan dada yang berdebar-debar. Bahkan ada seorang ibu yang menitikkan air mata di kening anaknya.

“Kenapa aku membawamu ke neraka ini,” katanya di dalam hati. Tetapi ia tidak mempunyai pilihan lain. Suaminya sama sekali tidak mempunyai harapan apa pun di tempatnya yang lama. Kini mereka mencoba mengadu nasib, ikut serta membuka hutan untuk mendapatkan lapangan pekerjaan baru sebagai seorang petani.

Agung Sedayu mengerutkan keningnya ketika ia mendengar suara ayam jantan berkokok bersahutan. Tengah malam telah lewat. Dan ia sama sekali tidak dapat memejamkan matanya, sementara ayam-ayam jantan yang dipelihara oleh orang-orang yang membuka hutan itu masih saja berkokok tidak henti-hentinya.

Ketika malam menjadi semakin hening, pikiran Agung Sedayu merantau semakin jauh. Dicobanya membayangkan apa yang dapat terjadi di daerah ini dan apa yang bakal terjadi atas dirinya sendiri.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat Swandaru melingkar diam di tempatnya. Tetapi ternyata menurut tarikan nafasnya anak yang gemuk itu masih juga belum tidur, sehingga Agung Sedayu tersenyum melihatnya. Katanya perlahan-lahan, “Kau akan menjadi pening, justru karena kau berpura-pura tidur.”

Swandaru sama sekali tidak menyahut. Dan Agung Sedayu pun kemudian tertawa lirih, “Perutmu akan menjadi semakin besar, kalau kau tidur dengan cara itu.”

Swandaru masih diam. Ia sama sekali tidak bergerak. Bahkan ia memejamkan matanya semakin rapat.

Agung Sedayu masih juga duduk di sisinya. Sekali lagi ia menyapu ruangan itu dengan tatapan matanya. Dan ruangan itu menjadi kian hening karenanya.

Namun tiba-tiba Agung Sedayu itu terkejut. Lamat-lamat ia mendengar derap kaki kuda. Semakin lama semakin dekat, sehingga hatinya pun menjadi berdebar-debar karenanya.

Agaknya Swandaru pun mendengarnya pula. Perlahan-lahan ia menelentang dan mendengarkan bunyi telapak kaki kuda itu dengan saksama.

“Derap kaki kuda,” desisnya.

Agung Sedayu menganggukkan kepalanya.

Ketika Swandaru bangkit, maka Agung Sedayu pun memberikan isyarat kepadanya, agar ia tidak mengejutkan orang-orang yang sedang tidur nyenyak.

“Siapakah mereka itu?” bisik Swandaru. Agung Sedayu menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Aku tidak mengerti.”

Swandaru pun kemudian terdiam. Dengan dada yang berdebar-debar ia mendengarkan derap yang semakin lama semakin dekat itu.

Ternyata bahwa bunyi derap kaki-kaki kuda itu telah membangunkan beberapa orang di dalam barak itu. Dengan wajah ketakutan mereka bangkit perlahan-lahan dan duduk dengan tubuh gemetar.

Agung Sedayu dan Swandaru masih belum beranjak dari tempatnya. Derap kaki kuda itu memang mendebarkan jantung. Tetapi kedua anak muda itu tidak segera dapat berbuat apa-apa. Ia melihat ketakutan yang mencekap barak ini.

“Bagaimana dengan kita?” bertanya Swandaru berbisik.

“Maksudmu?”

“Apakah kita akan melihat, siapakah yang berkuda itu?”

“Kita menunggu di sini. Lihat, orang-orang itu menjadi ketakutan. Kalau kita pergi, mereka akan kehilangan ketenangan sama sekali. Apalagi kita masih belum tahu, siapakah yang datang itu? Kita harus berhati-hati di daerah yang asing ini.”

“Kau memang terlampau berhati-hati, Kakang.”

“Bukankah guru berpesan begitu?”

Swandaru tidak menyahut. Tetapi dirabanya senjatanya yang melilit di lambungnya. Kakinya sudah gatal-gatal untuk meloncat, melihat siapakah yang berkuda jauh lewat tengah malam itu?

Sejenak mereka mendengar derap kuda itu berhenti. Namun sejenak kemudian mereka telah mendengarnya lagi. Bukan saja derap kaki-kaki kuda, tetapi kini mereka telah mendengar suara gemerincing yang menyentuh bulu-bulu roma mereka.

“Suara itu,” desis Swandaru.

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Suara itu adalah suara yang telah mereka kenal, suara hantu.

“Aku akan melihat,” desis Swandaru.

“Jangan,” sahut Agung Sedayu. “Biarlah guru mengambil sikap menanggapi keadaan ini.”

“Kau selalu ragu-ragu, Kakang.”

“Kita harus mempunyai perhitungan. Bukan sekedar menuruti perasaan. Aku pun ingin untuk segera melihat. Tetapi kita tidak tahu, apakah yang sebenarnya kita hadapi. Apalagi kita tidak akan dapat begitu saja meninggalkan orang-orang di dalam barak ini menjadi semakin ketakutan.”

Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia menggerutu di dalam hatinya. Meskipun demikian ia tetap duduk di tempatnya.

Suara derap kaki kuda dan suara gemerincing itu semakin lama menjadi semakin jelas. Dengan demikian maka orang-orang di dalam barak itu hampir semuanya terbangun karenanya, kecuali anak-anak. Mereka menjadi cemas dan ketakutan. Tubuh mereka menggigil seperti kedinginan.

Sesekali Swandaru berpaling memandang kakak seperguruannya. Seolah-olah ia ingin bertanya, apakah mereka akan tetap diam saja?

Agaknya Agung Sedayu dapat merasakan gejolak hati Swandaru. Sehingga ia pun berbisik, “Kita tetap di sini. Kalau ada sesuatu yang langsung mengganggu barak ini, kita harus berbuat sesuatu. Tetapi kita tidak terjun ke medan yang tidak kita kenal, kecuali apabila tidak ada jalan lain.”

Swandaru tidak menyahut. Tetapi ia justru bersandar dinding sambil memejamkan matanya. Seolah-olah ia tidak mengacuhkan lagi suara gemerincing yang semakin dekat.

Setelah mengelilingi barak itu dua kali, maka suara gemerincing itu pun kemudian menjauh. Semakin lama semakin jauh.

Beberapa orang menarik nafas dalam-dalam sambil mengusap dada mereka. Seorang perempuan muda menitikkan air matanya sambil memeluk anaknya.

Tetapi Swandaru menggeretakkan giginya sambil menggeram, “Kalau kita tidak berbuat apa-apa, maka hal ini akan terjadi terus menerus untuk selanjutnya. Kita akan kehilangan kesempatan untuk mencari penyelesaian.”

“Kita harus yakin dan mengetahui dengan pasti, apa yang sedang kita hadapi.”

“Dengan duduk diam di sini?”

Agung Sedayu menarik nafas. Katanya, “Bukan begitu. Tetapi kita dapat berbicara dahulu dengan guru.”

Swandaru tidak menyahut. Dipandanginya nyala api pelita yang bergetar disentuh angin.

“Kemana suara itu pergi?” desis Swandaru.

“Aku kira kuda yang bergemerincing itu pergi ke barak sebelah.”

“Guru pasti akan mendengar juga.”

“Ya, guru dan para pengawas yang ada di sana akan mengambil kesimpulan.”

Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya, meskipun ia sama sekali kecewa bahwa ia tidak dapat berbuat apa-apa.

Dalam pada itu, benarlah dugaan Agung Sedayu. Derap kaki-kaki kuda yang diikuti oleh suara gemerincing itu memang menuju ke barak yang lain. Semakin lama semakin dekat dan kemudian mengelilinginya pula seperti di barak yang ditunggui oleh Agung Sedayu dan Swandaru.

Kiai Gringsing yang ternyata masih juga belum tidur, terkejut pula mendengar suara itu. Sejenak ia mengangkat wajahnya dengan tatapan mata yang tegang. Namun kemudian ia mengangguk-angguk sambil berkata di dalam hati, “Suatu kumpulan dari orang-orang yang keras kepala dan teratur baik. Mereka bergerak demikian cepatnya, sehingga malam ini mereka sudah dapat berbuat sesuatu.”

Seperti orang-orang perempuan dan anak-anak serta orang-orang yang ada di barak sebelah, maka barak itu pun segera dicengkam pula oleh ketakutan yang sangat, setelah orang-orang di barak itu terbangun.

Sejenak mereka saling memandang. Kemudian mereka menjadi pucat dan gemetar. Bahkan para pengawas yang ada di dalam barak itu pun menjadi gelisah pula. Terlebih-lebih orang-orang yang hanya mendapat tempat di serambi yang terbuka. Mereka sama sekali tidak berani mengangkat kepala mereka. Mereka justru menutupi diri mereka dengan selimut.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Keadaan itu memang harus dirubah. Orang itu tidak boleh terlampau mudah dicengkam oleh ketakutan.

Tetapi suasana itu sudah berlangsung untuk waktu yang lama. Setiap saat mereka selalu dibayangi oleh ketakutan dan kecemasan, sehingga tanpa mereka sadari, bayangan serupa itu lambat laun seakan-akan telah terpahat di dalam dada mereka.

Dan kini, selagi mereka baru saja dicengkam oleh ketakutan sepanjang hari, mereka telah mendengar suara itu kembali. Suara yang selama ini telah membuat orang-orang di dalam barak itu kehilangan akal.

Kiai Gringsing masih saja berada di tempatnya. Diperhatikannya saja suara itu dengan saksama. Semakin lama semakin dekat.

“Tentu bukan orang kebanyakan,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya. “Orang yang kekurus-kurusan itu pasti sudah memberitahukan tingkat kemampuan Swandaru dan Agung Sedayu. Kini mereka masih juga berani mendekati tempat ini. Mereka pasti yakin, setidak-tidaknya mereka dapat melawan Agung Sedayu dan Swandaru bersama-sama.”

Kiai Gringsing menjadi berdebar-debar karenanya. Kalau Swandaru dan Agung Sedayu tidak dapat menahan dirinya, maka pasti akan terjadi sesuatu yang tidak dinginkannya. Apalagi apabila teringat oleh Kiai Gringsing, bahwa orang-orang itu adalah orang-orang yang bermain-main dengan racun. Racun yang tajam sekalipun mereka pergunakan. Bahkan berupa serbuk seperti yang telah mengenai diri sendiri.

“Kami di sini harus mempersiapkan diri untuk menghadapi perang yang mengerikan melawan orang-orang itu. Melawan racun yang kejam, di tangan orang-orang yang kejam,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya.

Dalam kegelisahannya itu tiba-tiba ia bergeser dan berdesis, “Aku akan melihatnya.”

“Jangan gila,” sahut pemimpin penjaga yang terluka di punggungnya.

“Kenapa?”

“Kita sedang menghadapi suatu lingkungan kelompok orang-orang gila yang sengaja membuat keributan. Sekarang kau akan menyeret hantu-hantu ke dalam persoalan kita di sini.”

“Kau menganggap bahwa orang-orang yang membuat onar itu tidak ada bubungannya dengan suara gemerincing itu?”

“Tentu tidak,” jawab pemimpin pengawas itu. “Aku tidak ingin melibatkan hantu-hantu itu di dalam keadaan yang sulit ini.”

“Kita harus membatasi diri,” berkata Wanakerti kemudian.

“Jadi, kalian menganggap bahwa kita sedang berada di hadapan dua lingkungan yang berbeda? Orang-orang yang bermain-main dengan racun itu dan yang lain, hantu-hantu?”

Para pengawas itu tidak segera menyahut. Tetapi dada mereka menjadi semakin berdebar-debar karena suara gemerincing yang semakin dekat.

“Dengarlah, Ki Wanakerti,” desis Kiai Gringsing, “kita jangan terlampau tergoncang pada kepercayaan kita selama ini. Kepercayaan yang membuat kita selalu dibayangi oleh ketakutan. Kalau benar hantu-hantu itu memusuhi kita atau lebih jelas lagi, kalau memang ada hantu-hantu itu, maka mereka pasti sudah berbuat lebih banyak dari hanya sekedar menakut-nakuti kita dengan suara gemerincing di kejauhan. Apalagi apabila kuda-kuda semberani itu benar-benar kuda hantu-hantu yang berkuasa di Alas Mentaok, kita pasti tidak akan mendengar derap kakinya, karena kuda-kuda itu pasti tidak menyentuh tanah. Tetapi apakah kita pernah mendengar gemerincing itu di atas atap barak kita?”

“Kami pernah mendengar suara berdesing di atas barak kita di saat-saat tertentu.”

“Suara apa?”

“Kami tidak tahu. Suara berdesing yang melingkar-lingkar.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Memang ia harus bersabar dan perlahan-lahan. Ketakutan yang sudah terlampau lama mencengkam mereka, tidak akan segera dapat dihapus begitu saja.

“Marilah kita besok membuatnya,” berkata Kiai Gringsing.

“Membuat apa?”

“Suara berdesing yang melingkar-lingkar itu.”

Wajah para pengawas itu menjadi tegang. Dan Kiai Gringsing meneruskan, “Sudahlah. Aku akan keluar sebentar. Aku tidak akan mengganggu hantu-hantu itu. Tetapi aku akan melihat anak-anakku. Mereka adalah anak-anak bengal, justru aku ingin agar anak-anakku tidak mengganggu hantu-hantu itu.”

Para pengawas itu saling berpandangan sejenak. Dan Kiai Gringsing berkata pula, “Aku tidak mau membiarkan anak-anakku kesiku atau kena kutuk. Apakah kalian, tidak berkeberatan?”

Sejenak mereka saling berpandangan.

Kiai Gringsing membiarkan mereka bepikir sejenak. Namun ia melihat keragu-raguan yang memancar di hati para pengawas itu. Agaknya mereka sama sekali belum dapat melepaskan diri dari ketakutan yang selama ini mencengkam daerah yang sedang dibuka ini.

“Aku tidak dapat membiarkan anak-anakku itu,” desak Kiai Gringsing.

Akhirnya pemimpin pengawas itu mengangguk. Katanya, “Terserahlah kepadamu. Kau termasuk orang baru di sini. Kami adalah orang-orang yang sudah sekian lama dan mengalami banyak masalah yang kadang-kadang tidak masuk akal.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya, aku mengerti,” katanya. “Aku hanya sekedar menengok anak-anakku.”

Para pengawas kemudian hanya memandangi saja ketika Kiai Gringsing keluar dari pintu barak, masuk kegelapan malam. Orang-orang yang ada di dalam barak menahan nafas mereka ketika mereka melihat orang tua yang mereka kenal bernama Truna Podang itu meninggalkan barak. Sedang orang-orang yang ada di serambi sama sekali sudah tidak melihatnya lagi, karena mereka sama sekali tidak berani mengangkat wajah-wajah mereka.

Ketika Kiai Gringsing menjejakkan kakinya di halaman barak itu, ia mengerutkan keningnya. Ternyata suara derap kaki kuda itu sudah menjauh.

Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Aku terlambat kali ini. Tetapi aku berharap, mereka akan segera datang lagi.”

Namun Kiai Gringsing meneruskan langkahnya pergi ke barak sebelah. Ia benar-benar ingin melihat apakah Agung Sedayu dan Swandaru masih tetap berada di tempatnya.

Ketika ia sampai ke pintu barak, dilihatnya suasana di barak itu pun tidak ada bedanya dengan barak yang ditinggalkannya. Tetapi di barak ini, pintunya tidak terbuka selebar pintu baraknya, dan di serambi luar tidak terlampau banyak orang-orang yang sedang tidur. Hanya laki-laki yang sudah kurang kuat bekerja di lapangan, yang mendapat tugas membantu mengurus dapurlah yang berada di serambi. Mereka berbaring sambil menutup seluruh tubuh mereka yang menggigil dengan kain panjang. Agaknya mereka pun telah dicengkam oleh ketakutan pula.

“Di manakah anak-anak itu?” desis Kiai Gringsing. Perlahan-lahan ia mendorong pintu lereg ke samping. Hati-hati sekali, agar tidak mengejutkan orang-orang yang sedang ketakutan itu.

Tetapi suara berderit yang lambat itu justru telah mendebarkan hati Agung Sedayu dan Swandaru yang ada di dalam barak itu. Tanpa berjanji mereka serentak berdiri. Perlahan-lahan mereka bergeser mendekati pintu itu sambil meraba hulu senjata masing-masing.

Tetapi langkah mereka segera terhenti ketika mereka mendengar suara berdesis, “Agung Sedayu, Swandaru, apakah kalian ada di dalam?”

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Desisnya, “Jantungku sudah berdetak semakin cepat. Aku kira aku akan mendapat kesempatan malam ini.”

“Ah kau,” desis Agung Sedayu.

Sejenak kemudian mereka melihat gurunya menjengukkan kepalanya. Ketika dilihatnya Agung Sedayu dan Swandaru masih berdiri melekat dinding, Kiai Gringsing segera bertanya kepada mereka, “Kenapa kalian?”

“Aku kira hantu itu datang kemari. Aku sudah ingin sekali berkenalan.”

“Kau tidak mengejarnya?”

Swandaru mengerutkan keningnya. Dipandanginya wajah kakak seperguruannya sejenak. Lalu, “Kakang Agung Sedayu mencegahnya. Kalau tidak, aku memang sudah akan mengejarnya.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Marilah kita duduk. Aku akan berbicara sedikit.”

Mereka pun kemudian duduk di serambi, di sisi pintu.

Beberapa orang yang ada di dalam dan di luar barak, mencoba mengintip ketiga orang itu dari sela-sela kain selimutnya. Tetapi karena ketiga orang itu tampaknya duduk dengan tenang, maka mereka mulai berani menarik selimut mereka dan perlahan-lahan mengangkat kepala. Seolah-olah mereka ingin membuktikan, apakah yang mereka lihat itu benar-benar Truna Podang bersama dua anaknya atau hanya sekedar bayangan hantu saja?

Kiai Gringsing yang duduk bersama Agung Sedayu dan Swandaru menyadari akan hal itu. Tetapi mereka seolah-olah tidak memperhatikannya sama sekali. Mereka memang sengaja membuat kesan, bahwa mereka dapat berbicara dengan tenang meskipun hantu-hantu itu baru saja lewat.

“Jadi kau memang ingin mengejar hantu itu?” bertanya Kiai Gringsing.

“Ya. Aku berkeyakinan bahwa yang naik kuda dengan suara gemerincing itu sama sekali bukan hantu. Tetapi mereka adalah orang-orang yang dengan sengaja ingin membuat suasana di daerah ini menjadi buram.”

“Ya. Tetapi kita harus masih membuktikan.”

“Karena itu aku ingin menangkap satu atau dua hantu.”

Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, ”Hal serupa inilah yang memang harus aku peringatkan. Jadilah pengalaman Swandaru, supaya kau tidak terlibat dalam kesulitan.”

Swandaru mengerutkan keningnya, “Aku tidak mengerti maksud, Guru. Apakah Guru membenarkan sikapku untuk menangkap atau justru sebaliknya?”

Gurunya masih tersenyum. Jawabnya, “Jangan berkecil hati. Tetapi aku ingin memberimu peringatan. Lain kali, pikirkanlah setiap tindakan lebih masak lagi. Untunglah bahwa di sini ada kakakmu, sehingga ia dapat mencegahmu.”

“O,” Swandaru berpaling ke arah Agung Sedayu, “jadinya aku yang salah. Aku kira, Guru membenarkan sikapku. Hampir saja aku menunjuk hidung Kakang Agung Sedayu sambil mencibir.”

Kiai Gringsing tertawa karenanya. Katanya, “Begitulah kira-kira.”

“Jadi bagaimana seharusnya yang kami lakukan, Guru?” bertanya Swandaru kemudian.


“Dengarlah. Sekarang aku berkata sebenarnya. Orang-orang yang kita hadapi adalah orang-orang yang memiliki kemampuan bermain-main dengan racun. Kalau benar dugaan kita, bahwa yang kita sangka hantu itu sama sekali bukan hantu, tetapi sebagian dari mereka, maka kita akan berhadapan dengan segala jenis senjata racun itu. Padahal kita sama sekali belum siap melakukannya sekarang. Apakah kau mengerti?”

Swandaru mengerutkan keningnya semakin tinggi. Namun kemudian ia mengangguk-angguk. Sedang gurunya berkata terus, “Karena itu kita harus segera mempersiapkan diri kita, karena memang mereka ingin membunuh kita apabila kita sudah ada di lapangan kerja itu.”

Kedua murid Kiai Gringsing itu pun mengangguk-anggukkan kepala mereka. Kini mereka menyadari, betapa berbahayanya bertindak tergesa-gesa terhadap orang-orang yang tidak begitu mereka kenal, tetapi sudah mereka ketahui, bahwa orang-orang itu telah mempergunakan racun untuk membinasakan lawan.

“Nah, sudahlah,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “hari sudah hampir pagi. Kalau kalian masih sempat, ada waktu sedikit buat beristirahat. Aku kira kalian memang perlu beristirahat.”

Tanpa disadari, kedua murid Kiai Gringsing itu pun memandang warna kehitaman di halaman yang sudah mulai dibayangi oleh warna merah.

“Aku akan kembali,” berkata Kiai Gringsing kemudian.

“Baiklah, Guru,” berkata Agung Sedayu, “kami menyadari kedudukan kami sekarang.”

“Ya. Perhitungkan setiap tindakan. Kau mengerti, Swandaru?”

“Ya, Guru.”

“Sudahlah, beristirahatlah. Waktu tinggal sempit sekali, sebelum fajar menyingsing. Aku kira di hari yang akan datang ini, tidak akan ada seorang pun yang akan pergi bekerja.”

“Tetapi bagaimana dengan mayat pengawas itu, Guru?”

“Nanti akan kita lihat.”

Kiai Gringsing pun kemudian meninggalkan barak itu. Sementara Agung Sedayu dan Swandaru kemudian mencoba membaringkan dirinya di atas anyaman daun kelapa, di serambi barak itu. Agaknya Swandaru masih dapat mempergunakan kesempatan itu, sehingga sekilas ia masih dapat tertidur. Sedang Agung Sedayu hanyalah sekedar lupa diri untuk sesaat. Tetapi hampir setiap bunyi masih tetap didengarnya. Demikian pula bunyi ayam jantan di ujung pagi.

Orang-orang di kedua barak itu, masih ragu-ragu untuk keluar dari barak masing-masing oleh ketakutan yang telah mencengkam hati mereka. Tetapi Agung Sedayu dan Swandaru di barak yang satu dan Kiai Gringsing di barak yang lain, mendahului mereka pergi ke pakiwan dan membersihkan dirinya. Karena itu, maka mereka pun ragu-ragu, satu dua di antara mereka pun segera mengikutinya, meskipun mereka menunggu hari menjadi terang.

Ternyata dugaan Kiai Gringsing tepat, bahwa tidak ada seorang pun yang mempunyai minat untuk pergi bekerja pada hari itu. Bahkan para pengawas pun masih tetap ragu-ragu.

Wanakerti dan kedua kawannya sudah menjadi semakin sehat. Bahkan pemimpin mereka yang terluka itu pun sudah menjadi berangsur baik.

“Kenapa tiba-tiba kalian telah diterkam oleh ketakutan itu kembali?” bertanya Kiai Gringsing kepada mereka. “Bukankah kalian mengerti, bahwa orang yang berkumis itu telah berhasil menggelitik hati kalian, para pengawas? Tetapi ketika terdengar lagi suara gemerincing itu, kalian benar-benar kehabisan akal.”

Para pengawas itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Di siang hari mereka merasa, seakan-akan mereka benar-benar telah menyadari kekeliruan mereka, bahwa mereka telah terjerumus ke dalam ketakutan yang tidak pada tempatnya. Tetapi apabila malam tiba, terasa bulu tengkuk mereka masih juga berdiri. Mereka justru masih mempercayai bahwa suara gemerincing itu adalah suara hantu.

“Agaknya kita tidak akan bekerja hari ini,” berkata Kiai Gringsing, “tetapi aku masih mempunyai kerja khusus yang harus aku lakukan.”

“Apa?”

“Mengubur mayat itu, apabila sudah memungkinkan. Para pengawas itu mengangguk-anggukkan kepala mereka.

Wanakerti menyahut, “Ya. Agaknya kita memang tidak akan bekerja hari ini. Tetapi kerja yang satu itu pun agaknya telah menimbulkan kesibukan yang menarik di hari ini.”

Kiai Gringsing pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Kita akan segera pergi ke tempat itu, apabila matahari sudah naik setinggi ujung pepohonan.”

Demikianlah, ketika matahari menjadi semakin tinggi, Kiai Gringsing telah memanggil kedua muridnya yang akan dibawanya pergi melihat mayat pengawas berkumis itu. Beberapa orang yang sedikit mempunyai keberanian, serta para pengawas yang tidak terluka, ikut serta bersama Kiai Gringsing pergi ke tempat mayat itu.

“Yang lain, kami harap melakukan tugas kalian dengan baik seperti biasanya,” berkata Kiai Gringsing. “Yang bekerja di dapur diharap menyiapkan makan seperti biasa, sedang yang lain dipersilahkan ikut membantu.”

Demikianlah, maka Kiai Gringsing pun kemudian pergi melihat mayat yang kemarin mereka tinggalkan. Para pengawas dan beberapa orang pergi mengiringkannya sambil membawa alat untuk menguburkan mayat itu.

Tetapi langkah Kiai Gringsing pun tertegun. Wajahnya menjadi tegang. Dan ia pun kemudian berhenti sambil menebarkan pandangan matanya berkeliling.

“Apa, Guru?” bertanya Agung Sedayu perlahan-lahan.

“Bukankah mayat itu kemarin terletak di sini?” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Ya. Kemarin mayat itu ada di sini. Bukan begitu?” ia pun bertanya pula kepada Swandaru.

“Ya. Di sini. Betul di sini,” desis Swandaru. Sebelum mereka membicarakan hal itu lebih lanjut.

Wanakerti telah menggamit Truna Podang sambil bertanya, “He, apakah aku keliru? Bukankah kemarin mayat itu tergolek di samping batang perdu yang kering itu?”

“Ya,” jawab Kiai Gringsing, ”batang perdu itu kering oleh serbuk racun yang barangkali tertabur sampai ke akarnya. Dan mayat itu memang tergolek beberapa langkah di dekatnya.”

“Mayat itu hilang,” desis Wanakerti.

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi wajahnya masih tetap menegang.

Tangan Kiai Gringsing segera menangkap lengan Swandaru ketika anak muda itu hampir saja melangkah mendekati bekas tempat mayat itu.

Swandaru tertegun karenanya. Dipandanginya wajah gurunya yang tampak bersungguh-sungguh. Sambil menarik tangan Swandaru gurunya berkata, “Jangan tergesa-gesa, Swandaru. Aku masih belum yakin, apakah racun yang bertaburan di sekitar tempat itu sudah tidak berbahaya lagi.”

Swandaru mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, “Ya. Hampir aku tidak teringat lagi. Tetapi, karena mayat itu sudah tidak ada lagi, aku kira pasti sudah ada seseorang yang merabanya.”

Kiai Gringsing tidak segera menjawab. Diamatinya tempat itu dengan saksama. Dan tiba-tiba saja ia melangkah maju sambil berdesis, “Mudah-mudahan aku berhasil. Lihat, seekor kadal.”

“Kenapa dengan kadal itu?” bertanya kedua murid-nya hampir berbareng.

“Ia masih tetap hidup meskipun ia berada di dalam daerah yang berbahaya. Aku kira, usahaku untuk mempercepat lenyapnya bisa racun itu berhasil, meskipun seandainya tidak seluruhnya.”

Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Wanakerti dan para pengawas pun telah berdiri di samping mereka sambil memperhatikan percakapan itu pula.

“Tetapi,” bertanya Wanakerti, “sudah barang tentu, mayat itu di ambil semalam. Apakah yang mengambil mayat itu sama sekali tidak akan terpengaruh oleh racun, meskipun seandainya binatang buas?”

“Tentu racun itu masih ada pengaruhnya, meskipun seandainya binatang buas yang mengambilnya. Tetapi…..” kata-kata Kiai Gringsing terhenti.

Wanakerti, para pengawas dan orang-orang yang mendengar kata-kata Kiai Gringsing yang tidak selesai itu tiba-tiba mengerutkan kening mereka, beberapa orang tergetar hatinya. Apalagi ketika mereka mendengar Wanakerti menegaskan, ”Tetapi kau maksud bukan manusia dan bukan pula binatang buas?”

“Ah,” Kiai Gringsing menyahut dengan serta-merta, “hantu, begitu?”

Wanakerti memandang wajah Kiai Gringsing dengan sorot mata yang aneh, sedang Kiai Gringsing berkata selanjutnya, “Sama sekali tidak. Hantu-hantu tidak memerlukannya.”

“Jadi siapakah maksudmu?”

“Kawan-kawannya.”

“Kawan-kawan orang berkumis itu?”

“Ya. Mereka yang terdiri dari satu lingkungan dengan orang berkumis itu. Dengan orang yang tinggi kekar yang meninggal di barak dan orang yang kekurus-kurusan.”

“Jadi, siapakah yang mengambil? Orang yang kekurus-kurusan itu?”

Kiai Gringsing menggeleng, “Bukan. Tetapi bukankah semalam kita mendengar derap kaki kuda?”

“Ah,” hampir bersamaan beberapa orang berdesah.

“Jadi kalian tetap menyangka bahwa mereka itu hantu yang naik kuda semberani?”

Tidak seorang pun yang menyahut.

“Kita dapat mencurigainya,” berkata Kiai Gringsing kemudian. “Memang mungkin sekali orang berkuda semalam.”

Para pengawas itu masih tetap berdiam diri.

“Baiklah, aku akan melihat, kemana kira-kira mayat itu pergi,” berkata Kiai Gringsing kemudian. “Tunggulah kalian di sini. Aku akan mendekat.”

Kedua muridnya menjadi tegang sesaat. Tetapi kemudian mereka dapat menenangkan hati mereka, karena mereka percaya bahwa gurunya pasti sudah membuat perhitungan yang sebaik-baiknya.

Para pengawal dan orang-orang yang ikut serta ke tempat itu pun menjadi berdebar-debar melihat Kiai Gringsing berjalan dengan hati-hati mendekati bekas tempat mayat itu terbaring.

Dengan seksama ia memperhatikan tempat itu. Sejenak kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Seolah-olah ia menemukan sesuatu. Bahkan kemudian Kiai Gringsing itu mengikuti beberapa langkah menjauhi tempat itu.

Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, Kiai Gringsing mengamati rerumputan di sekitarnya. Ketika ia sudah berada di luar daerah yang disangkanya masih mempunyai pengaruh karena racun, ia pun memanggil kedua muridnya dan para pengawas.

“Lihatlah,” berkata Kiai Gringsing kepada mereka, “kalian dapat melihat bekas kaki kuda.”

Kedua muridnya dan para pengawas itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Dan yang di sini adalah bekas sesuatu yang diseret begitu saja. Bekas rerumputan dan batang-batang perdu yang roboh menunjukkan, bahwa benda yang diseret itu cukup berat.”

“Maksud Guru, mayat itu?” bertanya Agung Sedayu.

“Demikianlah agaknya. Mereka mengerti bahwa racun pada tubuh mayat itu berbahaya. Karena itu mereka tidak membawanya, tetapi mereka menjeratnya, kemudian menyeretnya.”

Bulu-bulu kuduk mereka yang mendengar keterangan itu meremang. Ternyata orang-orang yang termasuk di dalam kelompok itu adalah orang-orang yang hampir tidak berperasaan.

“Kenapa mereka memerlukan mayat itu?” bertanya Agung Sedayu pula.

Kiai Gringsing merenung sejenak. Kemudian jawabnya, “Aku tidak tahu pasti. Tetapi agaknya mereka akan menyelidiki hasil pekerjaan racun-racun pada tubuh seseorang. Tetapi apabila mereka kurang teliti, maka mereka tidak akan memperhitungkan cairan yang sudah aku berikan itu.

Para pengawas itu mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Dan mereka mendengar Kiai Gringsing berkata, “Nah, apakah kalian masih menyangka bahwa suara gemerincing itu suara hantu?”

Para pengawas itu masih ragu-ragu. Meskipun menurut pertimbangan nalar mereka, mereka memastikan bahwa mereka tidak berhadapan dengan hantu, namun mereka masih juga tetap ragu-ragu.

“Apa pun yang kita hadapi,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “adalah kekuatan yang tidak dapat dianggap ringan.”

Para pengawas dan murid-murid Kiai Gringsing tidak menyahut. Mereka dapat membayangkan apa yang dikatakan oleh Kiai Gringsing itu. Sekelompok orang yang berani, tangguh dan dapat melakukan tindakan apa pun juga, meskipun bertentangan dengan perikemanusiaan. Karena itu, maka mereka pun harus sangat berhati-hati.

“Tidak ada yang dapat kita lakukan di sini sekarang,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “marilah kita kembali ke barak.”

“Tetapi bagaimana dengan orang itu?” bertanya Wanakerti.

“Siapa?”

“Yang mayatnya hilang itu.”

“Ia sudah berada di antara kawan-kawannya. Biarlah, kita tidak akan dapat berbuat apa-apa.”

Para pengawas itu pun kemudian hanya dapat mengangguk-anggukkan kepala mereka. Berbagai macam persoalan telah bergulat di dalam hati. Mereka harus berdiri di antara kebimbangan perasaan dan tugas-tugas mereka sebagai seorang pengawas.

“Kita akan membicarakannya nanti,” berkata Kiai Gringsing kemudian.

Mereka, orang-orang yang ada di tempat itu, yang berniat untuk mengubur orang berkumis itu, segera diikuti Kiai Gringsing dan para pengawas kembali ke barak.

“Laporan itu harus segera sampai,” berkata Kiai Gringsing kemudian.

“Ya,” Wanakerti menyahut, “Ki Gede Pemanahan harus segera tahu, apakah yang sebenarnya telah terjadi.”

“Hanya ada satu jalan,” berkata pemimpin pengawas yang terluka, “kita mengirimkan orang untuk menghadap.”

Sejenak mereka berdiam diri. Bagaimanapun juga, di dalam hati para pengawas masih juga berkecamuk bayangan-bayangan yang mengerikan. Kadang-kadang masih juga tumbuh pertanyaan, “Kalau kita tidak berhadapan dengan hantu-hantu, lalu siapakah atau apakah yang pernah tampak sebagai jerangkong yang mengerikan naik seekor kuda yang bercahaya itu?”

Tetapi para pengawas itu tidak mengucapkan pertanyaan itu.

Namun ternyata pertanyaan yang serupa bergolak di setiap dada orang-orang yang ada di dalam barak. Bagi mereka, hantu hampir merupakan suatu keyakinan yang tidak dapat dibantah lagi. Karena itu, mereka masih selalu dibayangi oleh gambaran-gambaran jerangkong, kemamang, dan hantu-hantu yang wujudnya mengerikan. Tetapi hampir merupakan keyakinan pula bagi mereka, bahwa di belakang mereka adalah hantu-hantu yang bermartabat tinggi, gendruwo dan prayangan, didampingi oleh peri yang cantik-cantik.

“Ki Sanak,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “aku memang merasa wajib untuk membantu para pekerja, segera mendapatkan ketenangan. Karena itu, biarlah kami akan mencobanya.”

“Apa yang akan kalian lakukan?”

“Kalau kalian bersedia melakukannya, kalian memang harus pergi menemui Ki Gede Pemanahan atau puteranya. Laporkan apa yang terjadi di sini. Seluruhnya, jangan ada yang terlampaui. Sementara aku akan menyingkir, tetapi apabila perlu kami akan segera datang.”

“Kemana?” bertanya pemimpin pengawas itu.

“Agaknya aku dan kedua anak-anakkulah yang menjadi pusat perhatian mereka. Pada saat kami menempati rumah yang kosong itu, mereka sudah mulai menyerang kami. Mereka telah memasukkan ular-ular berbisa ke dalam rumah itu, kemudian mereka membakarnya ketika mereka sadar, bahwa ular-ular itu tidak berhasil membinasakan kami.”

Para pengawas itu menjadi tegang.

“Bagi kami sebenarnya sudah jelas, bahwa kami tidak melawan hantu. Yang belum jelas, siapakah lawan kami sebenarnya dan maksud mereka mengganggu kita di sini?”

Para pengawas masih belum menjawab.

“Nah, apakah kalian sependapat?”

“Lalu bagaimanakah dengan orang-orang di dalam barak ini?”

“Biarlah, untuk sementara, biarlah mereka berada di dalam keadaan itu. Supaya mereka tidak menjadi sasaran pula seperti kami bertiga, dan mungkin sebentar lagi kalian, para pengawas.”

Pemimpin pengawas itu mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia berkata, “Itu adalah tugas kami. Besok para pengawas akan pergi ke Mataram, menghadap Raden Sutawijaya. Biarlah aku di sini mengawani orang-orang di dalam barak ini. Dan kalian bertiga dapat membuat rencana yang kalian anggap baik. Aku percaya kepada kalian.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Adalah aneh sekali, bahwa selama ini kami seolah-olah telah terbius. Kami tidak pernah gentar dan takut mati menghadapi perampok yang betapapun garangnya. Tetapi kenapa tiba-tiba kami menjadi ketakutan apabila kami mendengar gemerincing di malam hari atau derap kaki kuda dan jerangkong yang berkeliaran di pinggir hutan?”

“Mudah-mudahan kalian menemukan pribadi kalian kembali sebagai pengawas.”

“Baik, baik. Kami akan mencoba. Sudah cukup lama kami dibayangi oleh perasaan yang tidak dapat kami pahami sendiri. Ternyata orang berkumis yang ada di antara kami itu telah berhasil melumpuhkan kami tanpa merampas senjata-senjata kami.”

“Nah, agaknya kita akan dapat bekerja bersama,” berkata Kiai Gringsing kemudian. “kami akan berada di tempat kerja kami. Kami harap orang-orang di dalam barak ini beristirahat dahulu sampai persoalan ini menjadi semakin jelas, atau menunggu keputusan Raden Sutawijaya, agar tidak jatuh korban yang tidak berarti.”

Para pengawas menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Tetapi bagaimana kalian sendiri? Apakah kalian sanggup mengatasi setiap kesulitan hanya bertiga?”

“Mudah-mudahan”

“Aku percaya kepada kalian. Truna Podang sekarang bukan Truna Podang pada saat ia datang. Kalau anak-anakmu yang kadang-kadang lupa memanggilmu guru itu mampu berbuat demikian, maka aku yakin, ayahnya pun dapat berbuat lebih banyak lagi.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mengharap bahwa ia akan segera berhasil membangunkan para pengawas yang seolah-olah sedang terbius oleh perasaan takut dan cemas, meskipun mereka bukan penakut. Tetapi, mereka merasa bahwa mereka tidak akan berdaya sama sekali untuk melawan hantu-hantu. Itulah sebabnya maka lambat laun, mereka hanya dapat menyembunyikan diri mereka, apabila mereka mendengar suara-suara aneh di sekitar mereka, atau bentuk-bentuk yang agak membingungkan tanpa menyelidikinya lebih teliti lagi.

Demikianlah, maka Kiai Gringsing dan pemimpin pengawas itu kemudian berpendapat, bahwa mereka harus segera melakukan sesuatu. Para pengawas yang lain pun tidak merasa berkeberatan apabila mereka harus segera pergi ke Mataram menghadap Raden Sutawijaya.

“Kami sudah sehat kembali,” berkata Wanakerti.

“Kami akan pergi besok,” sahut yang lain.

“Bagus,” jawab pemimpinnya, “kalian adalah pengawal Tanah Mataram yang baru dibuka. Jangan takut menghadapi bahaya apa pun juga.”

“Kami akan melakukannya. Dan kami menyadari setiap kemungkinan yang dapat terjadi. Di siang hari kami tidak akan bertemu dengan hantu-hantu, tetapi kami sadar bahwa di balik pepohonan itu memang banyak sekali terdapat rahasia yang belum dapat kami pecahkan. Namun demikian, itu adalah kemungkinan-kemungkinan yang memang harus kami atasi.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Hampir di luar sadarnya ia berkata, “Kalian telah berada di tempat kalian kembali, setelah kalian sekian lamanya hanyut di dalam arus yang tidak menentu.”

“Ya. Kami mengucapkan terima kasih. Kehadiran kalian di sini banyak memberikan manfaat kepada kami dan kepada tanah ini. Mudah-mudahan Ki Gede Pemanahan dan puteranya akan dapat mengerti, apa yang telah kalian lakukan di sini.”

Kiai Gringsing tersenyum. “Itu tidak perlu.”

Dalam pada itu, maka baik Kiai Gringsing maupun para pengawas berusaha untuk membiarkan orang-orang yang ada di dalam barak itu di dalam keadaannya untuk sementara. Untuk sedikit memberikan ketenangan kepada mereka, maka mereka harus menjalankan tugas mereka sehari-hari, kecuali pergi ke hutan, menebang, dan membuka hutan.

Di pagi hari berikutnya, orang-orang di barak itu menjadi heran melihat Kiai Gringsing dan kedua anak-anaknya mempersiapkan alat-alat mereka, sehingga salah seorang dari mereka bertanya. ”Kemanakah kau sepagi ini?”

“Aku akan mulai bekerja lagi. Sudah cukup agaknya aku dan anak-anakku beristirahat.”

“Tetapi, bagaimana dengan kami?”

Pemimpin pengawas yang mendengar percakapan itu menyahut, “Biarlah kalian beristirahat dahulu. Orang itu tidak dapat dicegah lagi. Semua akan menjadi tanggung jawabnya sendiri.”

Orang di barak itu saling berpandangan sejenak. Namun kemudian mereka pun mengangguk-anggukkan kepala mereka. Beberapa orang pun bergumam, “Orang itu adalah orang yang aneh. Tetapi mereka seakan-akan tidak dapat diatur.”

Tetapi mereka tidak mengatakannya kepada para pengawas. Mereka merasa tidak berhak untuk ikut mencampurinya apabila para pengawas memang sudah mengijinkannya.

Demikianlah, maka Kiai Gringsing dan kedua muridnya pun segera meninggalkan barak itu menuju ke tempat kerja mereka. Kiai Gringsing memang sadar sepenuhnya, bahwa bahaya agaknya telah menunggunya bersama kedua anaknya itu. Tetapi ia harus melakukannya apabila ia ingin mengetahui latar belakang dari semua yang pernah terjadi itu.

“Mudah-mudahan para pengawas akan sampai ke hadapan Ki Gede Pemanahan atau puteranya, Raden Sutawijaya. Mudah-mudahan mereka tidak terhenti di jalan dan menjadi korban pula dari keganasan orang-orang yang masih menjadi rahasia itu.

Di tengah perjalanannya menuju ke tempat kerjanya, Kiai Gringsing masih juga mempersiapkan kedua muridnya untuk menghadapi setiap kemungkinan. Apalagi apabila mereka harus berhadapan dengan racun seperti yang pernah terjadi dengan Swandaru. Karena itu, maka diberinya kedua muridnya itu masing-masing sebutir obat reramuan yang akan dapat sedikit memberi perlindungan kepada tubuh mereka.

“Makanlah,” berkata Kiai Gringsing, “mudah-mudahan kalian akan dapat bertahan apabila kalian terkena racun. Setidak-tidaknya akan membantu daya tahan tubuh kalian sendiri. Obat itu akan langsung berpengaruh atas darah kalian. Tetapi kalian jangan terkejut, bahwa untuk beberapa lama tubuh kalian akan merasa panas, dan barangkali sedikit pening. Tetapi itu tidak berbahaya. Perasaan-perasaan itu akan hilang kemudian dan obat dari sejenis racun itu pula akan dapat sedikit memberikan perlindungan kepada kalian untuk beberapa lama, apabila kalian benar-benar harus bergulat melawan racun. Menurut penyelidikanku, racun yang dipergunakan di sini pada umumnya adalah racun ular.”

Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka pun kemudian menelan obat yang diberikan oleh gurunya itu.

“Kita tidak tahu, apakah orang-orang itu akan bertindak cepat seperti yang mereka lakukan kemarin malam. Kita sama sekali tidak menyangka, bahwa malam itu juga, mereka sudah sempat membuat suara gemerincing itu sambil mengambil mayat kawan-kawannya sekaligus. Agaknya mereka memang tidak ingin menunda-nunda waktu lagi. Dengan demikian, maka persoalan kita pun agaknya tidak akan tertunda pula.”

Swandaru mengangguk-angguk sambil berkata, “Kenapa kita tidak melawan mereka dengan racun pula, Guru. Misalnya, kita membuat ujung senjata kita beracun, sehingga tiap sentuhan akan dapat membunuh mereka.”

Gurunya tidak segera menjawab. Dipandanginya wajah Swandaru sejenak dengan tatapan mata yang suram. Pertanyaan itu agaknya telah menggetarkan dadanya.

Namun sejenak kemudian ia menjawab, “Swandaru. Bukahkah pada suatu ketika, kita ingin mengalahkan lawan kita tanpa membunuhnya, meskipun untuk melumpuhkannya kita harus melukainya? Kalau senjata kita beracun, kemungkinan itu hampir tidak ada sama sekali. Kalau kita sudah mencabut senjata, itu berarti kita akan melakukan permusuhan, berhasil atau tidak berhasil, tetapi niat itu sudah ada.” Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu, “Apalagi jenis senjata kita bukanlah jenis senjata yang mempunyai wrangka. Kalau senjata kita beracun maka senjata itu akan berbahaya bagi diri kita sendiri.”

Swandaru menjadi berdebar-debar mendengar jawaban itu. Ia merasa bahwa pertanyaannya tidak begitu menyenangkan gurunya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia kemudian berkata, “Aku mengerti, Guru.”

Mereka pun kemudian tidak berbicara lagi sampai ke tempat tujuan. Mereka melihat batang-batang pohon masih silang melintang seperti saat terakhir mereka datang beberapa hari yang lalu.

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya tanpa sesadarnya. Dan ia masih berbisik sekali lagi, “Hati-hatilah.”

Kedua muridnya tidak menjawab. Tetapi mereka telah menyiapkan diri mereka untuk menghadapi setiap kemungkinan.

“Marilah kita mulai,” berkata gurunya kemudian.

Ketiga orang itu pun kemudian mengambil beberapa jenis alat-alat mereka yang mereka simpan di bawah sebatang pohon. Alat-alat yang berat, yang tidak setiap hari mereka bawa kembali ke barak.

Sebentar kemudian maka ketiganya telah mulai dengan kerja mereka. Memotong pepohonan yang sudah ditebang oleh pendatang sebelumnya, tetapi yang tidak sempat menyelesaikan kerja itu, karena mereka terusir oleh perasaan takut.

Ketika matahari menjadi semakin tinggi di langit, maka mereka pun segera menjadi basah oleh keringat yang seakan-akan mengembun dari seluruh wajah kulit mereka. Sesekali mereka berhenti sejenak untuk mengusap keringat yang mengalir di kening.

Tetapi setelah sekian lama mereka terlibat dalam persoalan yang memusingkan, kini terasa, betapa segarnya bekerja di alam terbuka, di bawah sinar matahari yang belum terlampau panas, dan angin yang berhembus dari Selatan. Dikejauhan terdengar burung-burung liar berkicau, seakan-akan ikut memuji langit yang cerah dibayangi oleh mega putih yang bergerak didorong oleh angin yang lembut.


Agung Sedayu mengerutkan keningnya ketika ia melihat gurunya bekerja dengan tekunnya, seakan-akan pekerjaan itu harus selesai sehari ini. Sedang Swandaru yang gemuk itu sesekali menggeliat sambil menekan lambungnya.

Tetapi tiba-tiba saja, hampir berbareng mereka mengangkat kepala ketika dari dalam hutan yang lebat, terdengar suara burung kedasih.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tanpa berpaling kepada murid-muridnya ia berkata, “Seperti yang kita duga, mereka bekerja cepat dan tidak mensia-siakan waktu.”

Swandaru menyahut, “Baik sekali, Guru. Pekerjaan kita pun akan segera selesai.” Ia terdiam sejenak, lalu “Aku akan berteriak. Bukankah suara burung kedasih yang menjemukan itu akan terdiam apabila ia terkejut.”

“Biar sajalah. Kalau ia lelah, ia akan terdiam dengan sendirinya. Tetapi kita tidak boleh mengabaikan isyarat itu. Aku kira ia mengisyaratkan bahwa hari ini kita telah berada di lapangan kerja kita ini.”

Swandaru menggeliat sambil menepuk punggungnya sendiri. Katanya, “Aku lebih senang berkelahi daripada terbungkuk-bungkuk memotong kayu. Punggungku menjadi sakit.”

“Kau terlampau gemuk,” desis Agung Sedayu. Lalu, “Tetapi bukankah kerja ini masih lebih baik dari mencangkul di sawah? Di sawah kita harus lebih dalam membungkukkan badan kita.”

Swandaru mengangguk-angguk. “Ya. Tetapi di sawah aku tidak diganggu oleh suara burung kedasih yang menjemukan itu.”

“Bekerjalah,” potong Kiai Gringsing. “Kita pura-purta tidak tahu tentang suara burung itu.”

Ketiganya pun kemudian melanjutkan kerja mereka, memotong pepohonan yang silang melintang.

Dalam pada itu, tiga ekor kuda sedang berlari dengan kencangnya di jalan setapak di tengah-tengah hutan. Mereka adalah Wanakerti dan kawan-kawannya. Ketika mereka merasa bahwa tubuh mereka telah menjadi baik dan pulih kembali, mereka merasa wajib untuk segera melaporkan semua peristiwa yang terjadi di daerah pengawasan mereka kepada Ki Gede Pemanahan atau puteranya, Raden Sutawijaya.

Dengan pedang di lambung mereka berpacu secepat-cepatnya.

Bagaimanapun juga, namun hati mereka tergetar ketika mereka menjadi semakin dalam menyusup ke dalam hutan, lewat jalan yang sempit dan kotor, karena jarang sekali dilalui orang. Sesekali kuda-kuda mereka harus meloncati pepohonan yang roboh melintang di jalan, kemudian menyusup di bawah cabang-cabang dan sulur kayu yang terjuntai di atas lorong sempit itu.

Tetapi para pengawas itu pun telah bertekad, apa pun yang akan terjadi, mereka harus melakukan tugas mereka sebaik-baiknya.

Demikianlah maka derap kaki-kaki kuda itu pun bergema di antara kekayuan. Gemeretak di atas tanah berbatu padas.

Wanakerti mengerutkan keningnya ketika ia mendengar derap kaki kuda yang lain. Bukan gema dari kaki-kaki kuda mereka sendiri, kepada kawannya yang berpacu di belakangnya ia bertanya, “Apakah kau mendengar derap kaki kuda yang lain, bukan gema suara kaki-kaki kuda kita sendiri?”

Orang itu mencoba mempertajam pendengarannya Dan ia pun kemudian menjawab, “Ya, aku mendengar.”

Sejenak kemudian mereka pun saling berdiam diri. Tetapi mereka mencoba untuk mengetahui dengan pasti, dari arah manakah suara derap kaki-kaki kuda itn.

“Di belakang kita,” desis orang yang paling belakang.

Wanakerti menganggukkan kepalanya. “Ya, di belakang kita. Agaknya memang ada orang yang mengejar kita.”

Kedua kawannva tidak segera menyahut. Mereka hanya mengangguk-anggukkan kepala mereka. Tetapi ketika mereka berpaling, rimbunnya dedaunan masih saja menghalangi pandangan mata mereka sehingga mereka tidak melihat lagi jalur jalan yang baru saja mereka lalui.

“Apakah kita akan berhenti ?” bertanya salah seorang dari kawan Wanakarti itu.

“Kenapa?”

“Kita melihat siapakah yang mengejar kita itu.”

Wanakerti tidak segera menjawab. Tanpa sesadarnya ia meraba senjatanya. Namun kemudian ia berkata, “Kita berjalan terus. Kalau mereka berhasil mengejar dan mengganggu kita, kita akan melawan. Tetapi kalau tidak, lebih baik kita berjalan terus. Bukan karena kita takut menghadapi siapa pun, tetapi lebih baik bagi kita apabila kita dapat mencapai Mataram dan melaporkan keadaan di daerah pengawasan kita.”

Kawan-kawannya tidak menyahut lagi. Mereka justru memacu kuda mereka semakin cepat. Tanpa menghiraukan apa pun lagi, mereka berusaha secepat-cepatnya dapat menyampaikan laporan mereka tentang daerah pengawasan mereka.

Derap kuda yang mengejar mereka pun menjadi semakin cepat pula. Agaknya mereka berusaha untuk dapat menyusul ketiga pengawas yang mendahului itu.

“Banyak sekali,” tiba-tiba Wanakerti bergumam seperti kepada diri sendiri, ”lebih dari lima ekor kuda.”

“Ya. Lebih dari lima ekor kuda.”

“Pasti bukan kawan-kawan kita. Ternyata mereka juga mempunyai persiapan yang baik sekali.”

Tidak ada yang menjawab. Mereka kini berpacu pada jalur jalan yang agak lurus dan panjang. Karena itu, ketika mereka berpaling, mereka dapat melihat dari sela-sela dedaunan yang mencuat ke tengah lorong sempit itu, beberapa ekor kuda berpacu di belakang mereka.

“Orang-oang yang tidak kita kenal,” berkata pengawas yang paling belakang. “Memang lebih dari lima orang.”

“Kita tidak melayaninya. Kalau kita gagal sampai ke tujuan, maka Ki Gede Pemanahan tidak akan segera mengetahui apa yang sudah terjadi.

Demikianiah maka Wanakerti dan kedua kawannya berusaha mempercepat derap kuda mereka. Mereka benar-benar tidak ingin bertempur melawan orang-orang yang tidak dikenal yang mengejar di belakang mereka. Tetapi mereka merasa wajib untuk segera menghadap para pemimpin tertinggi dari Tanah Mataram yang sedang dibuka ini.

Tetapi agaknya orang-orang yang mengejar mereka itu pun tidak ingin melepaskan ketiga pengawas itu. Mereka pun berusaha untuk dapat mengejar buruan mereka. Karena itu, mereka pun telah melecut kuda mereka agar berlari lebih cepat lagi.

Ternyata bahwa orang-orang yang tidak dikenal itu lebih berpengalaman. Kuda-kuda mereka pun agaknya lebih mengenal jalan-jalan yang sempit dan sulit itu. Karena itu, maka jarak mereka pun semakin lama menjadi semakin dekat.

Meskipun demikian Wanakerti dan kawan-kawannya masih tetap berusaha. Jarak yang ada itu harus dimanfaatkan sebaik-baiknya.

“Mereka akan mengejar kita sebelum kita keluar dari hutan ini,” desis seorang kawannya. Lalu, “Pergi dahulu. Aku, akan mencoba menghambat mereka.”

“Jangan gila,” sahut Wanakerti.

“Ya. Kami berdua,” berkata yang lain. “Salah seorang dari kita harus sampai ke tempat tujuan.”

“Kalian akan membunuh diri. Mereka tidak memerlukan waktu yang lama untuk membunuh kalian, kemudian mengejar aku pula. Kalian akan dilempar dengan pisau beracun. Kemudian mereka sama sekali tidak perlu berhenti menunggui mayat kalian.”

“Tentu tidak semudah itu. Kami akan mencoba menahan mereka meskipun hanya beberapa saat saja. Kau akan mendapat kesempatan itu.”

“Tidak. Aku tidak sependapat. Kita berpacu terus. Kedua kawannya tidak menyahut lagi. Yang paling belakang menyadari sepenuhnya, bahwa jarak mereka menjadi semakin pendek. Tetapi kalau kuda mereka tidak terganggu, untuk menutup jarak yang pendek itu memang memerlukan waktu.

Dengan demikian maka kedua kelompok itu masih saja berpacu beriringan. Orang-orang yang mengejar para pengawas itu pun kemudian berteriak-teriak seperti anak-anak yang sedang mengejar tupai. Mereka mengharap agar dengan demikian, perasaan para pengawas itu terpengaruh karenanya.

Tetapi Wanakerti berkata kepada kedua kawan-kawannya. “Jangan hiraukan. Kita akan dapat mencapai gardu peronda yang pertama.

“Berapa orang peronda yang ada di sana?”

“Aku tidak tahu. Tetapi jumlah kita akan bertambah. Aku dapat ikut menahan mereka, sedang salah seorang dari kita akan meneruskan perjalanan.”

Kedua kawannya mengangguk-anggukkan kepala mereka. Karena itu, mereka pun berpacu semakin cepat.

Beberapa saat kemudian, maka lorong yang sempit itu nampaknya menjadi semakin lapang. Dedaunan dan sulur-sulur kayu tidak lagi banyak yang bergayutan di atas jalan itu. Dengan demikian, para pengawas itu merasa, bahwa sebentar lagi mereka akan segera keluar dari dalam hutan. Tetapi mereka masih harus melintasi sebuah hutan perdu dan lapangan rumput yang agak luas di pinggir hutan yang tebal ini.

Demikianlah, maka kuda-kuda itu pun berpacu semakin cepat, karena jalan yang menjadi semakin lapang. Sejenak kemudian, hutan menjadi semakin tipis, sehingga di hadapan mereka kini terbentang sebuah hutan rindang. Padang perdu yang liar berserakan di antara batang-batang ilalang setinggi dada.

“Sebentar lagi kita tkan sampai ke gardu pengawas yang pertama di daerah yang baru dipersiapkan untuk dibuka itu,” desis Wanakerti. “Mudah-mudahan di sana terdapat cukup banyak orang untuk melawan orang-orang yang mengejar kita itu.”

Kawan-kawannya tidak menyahut. Mereka hanya mengangguk-anggukkan kepala mereka sambil melecut kuda-kuda mereka.

Ternyata orang-orang yang tidak dikenal, yang berusaha mengejar mereka pun berpacu semakin cepat pula. Mereka masih saja berteriak-teriak seperti sedang mengejar tupai. Bahkan ada di antara mereka yang sudah mengacu-acukan senjata mereka. Pedang yang mengkilap. Namun dengan demikian justru Wanakerti menjadi agak tenang. Katanya di dalam hati ketika ia melihat kilatan pedang itu, “Agaknya pedang itu tidak beracun.”

Beberapa saat kemudian, mereka pun telah melintasi padang perdu yang seakan-akan ditaburi oleh gerumbul-gerumbul liar. Dan kini mereka justru berpacu di padang ilalang yang lebat. Sedang di hadapan mereka terdapat hutan rindang lagi. Hutan yang tidak begitu lebat, yang kini sedang dipersiapkan untuk dibuka pula.

Dengan hati yang berdebar-debar mereka berpacu terus. Di ujung lorong yang memasuki hutan yang rindang itu terdapat sebuah gardu pengawas.

Agaknya orang-orang yang. mengejar mereka mengetahui juga bahwa para pengawas itu ingin mencapai gardu di pinggir padang rumput itu. Sehingga karena itu, mereka pun berusaha semakin keras untuk mengejar buruannya.

Tetapi agaknya para pengawas itu pun memiliki kemampuan yang cukup untuk menguasai kuda-kuda mereka. Karena itu, maka mereka pun tidak segera dapat disusul oleh orang-orang yang tidak dikenal, yang mengejar mereka sambil mengacu-acukan senjata.

“Di depan kita itulah gardu pengawas itu,” teriak Wanakerti tanpa sesadarnya.

“Ya” sahut kawan-kawannya hampir berbareng.

“Mereka pasti sudah mendengar derap kaki kuda kita,“ desis Wanakerti.

Kedua kawannya tidak menjawab.

Tetapi Wanakerti menjadi berdebar-debar. Kalau mereka sudah mendengar derap kaki-kaki kuda itu, maka mereka pasti akan turun ke lorong ini. Tetapi Wanakerti dan kawannya tidak melihat seorang pun di hadapan mereka.

“Kenapa gardu itu sepi?” desis salah seorang.

Wanakerti tidak menyahut. Tetapi ia berpacu semakin cepat, secepat dapat dilakukan oleh kudanya.

Sejenak kemudian mereka sudah menjadi semakin dekat. Sekejap lagi mereka akan sampai ke depan gardu itu. Mereka sudah melihat sebuah kentongan yang tergantung di depan. Tetapi mereka sama sekali belum melihat seorang pun.

Dengan demikian maka Wanakerti menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi ia tidak sempat menduga-duga karena sejenak kemudian mereka sudah berada di depan gardu itu.

Tetapi alangkah kecewa hati para pengawas itu. Ternyata gardu itu memang kosong. Sama sekali kosong. Menilik sarang laba-laba yang bergayutan di sana-sini, maka gardu itu pasti sudah beberapa hari tidak dipergunakan.

“Gardu ini kosong,” teriak salah seorang dari ketiga pengawas itu.

Wajah Wanakerti pun tiba-tiba menjadi tegang. Penunggang kuda yang mengejar mereka menjadi semakin dekat pula. Karena itu ia harus segera mengambil suatu sikap.

“Kita berlari terus,” perintahnya kepada kedua kawan-kawannya. ”Jangan membantah dahulu. Kita berpikir sambil berjalan.”

Ketiganya pun kemudian berpacu pula. Tetapi jarak mereka kini menjadi semakin dekat dari pengejarannya.

“Kau, salah seorang dari kalian, ambil jalan simpang. Hati-hati. Kami berdua akan memancing mereka terus,” berkata Wanakerti.

“Kaulah yang mengambil jalan simpang. Kau yang mengetahui semua persoalan dengan gamblang. Biarlah kami berdua yang melawan mereka.”

“Jalankan perintahku. Aku mendapat kekuasaan dari pemimpin kita untuk memimpin perjalanan ini. Cepat.”

Keduanya saling berpandangan. Tetapi Wanakerti berteriak sambil menunjuk orang yang bermata tajam, ”Kaulah yang mengambil jalan simpang. Di depan kita ada tikungan. Lakukan perintah ini.”

Orang yang bermata tajam itu tidak dapat membantah lagi. Karena itu, maka ia pun segera mempersiapkan diri untuk mengambil simpangan di sebelah tikungan.

Ketika kuda-kuda itu berbelok, maka sekali lagi Wanakerti berkata, “Sekarang. Lakukan. Hati-hatilah.”

Orang yang bermata tajam itu pun kemudian menarik kendali kudanya kekanan, sehingga dengan serta-merta kudanya pun berbelok pula kekanan, menyusup gerumbul-gerumbul yang rimbun di pinggir hutan yang rindang itu. Tetapi orang itu tidak berpacu terus. Untuk tidak menarik perhatian, maka ia pun segera menghentikan kudanya dan bersembunyi di balik gerumbul yang lebat.

Ternyata perhatian orang-orang yang mengejar mereka itu, tetap terpancang pada Wanakerti dan seorang kawannya yang berpacu terus. Mereka tidak segera memperhatikan bahwa salah seorang dari ketiganya telah berbelok dan bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul yang lebat.

Demikian orang-orang yang mengejarnya itu lewat, maka orang bermata tajam itu segera memacu kudanya pula, justru menyeberangi lorong sempit itu beberapa langkah dari tempatnya berbelok meninggalkan lorong itu.

Ternyata beberapa saat kemudian, orang-orang yang mengejar Wanakerti pun menyadari, bahwa seorang dari buruannya telah hilang.

Sejenak kemudian mereka masih mencoba meyakinkan apakah yang berpacu di depan mereka itu tinggal dua orang. Namun sejenak kemudian seseorang yang agaknya menjadi pemimpin mereka berteriak, “Yang dua di antara kalian kembali. Cari yang seorang. Ia pasti hilang di tikungan. Jangan sampai lolos dari tanganmu berdua.”

Dua orang yang berkuda di paling belakang segera menarik kendali kuda mereka. Dengan tergesa-gesa mereka pun kemudian berbalik ke tikungan, sedang tiga orang yang lain mengejar Wanakerti dan seorang kawannya.

Ketika dua orang yang berbalik itu sampai di tikungan, mereka menjadi termangu-mangu sejenak. Mereka tidak segera menemukan jejak. Kemanakah yang seorang itu berlari?

“Pasti belum terlampau jauh.”

“Ya. Tetapi ke mana?”

Keduanya pun kemudian meloncat turun. Dengan teliti mereka mencoba mengamati bekas-bekas telapak kaki kuda yang bertebaran di lorong sempit itu.

Tiba-tiba saja seorang dari mereka menemukan bekas kaki kuda yang berbelok masuk ke gerumbul di antara batang-batang ilalang. Dengan serta-merta ia berkata “Lihat. Bekas kaki kuda ini.”

Yang seorang pun segera mendekatinva. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Ya, ia berbelok kemari.”

“Keduanya pun segera berlari kekuda masing-masing. Dengan tergesa-gesa mereka berlompatan naik. dan sejenak kemudian merekapun mencoba mengikuti bekas kaki kuda yang masuk ke dalam rimbunnya batang ilalang yang liar, sehingga mereka tidak begitu sulit untuk menemukan jejak itu selanjutnya.

Tetapi mereka terhenti sejenak karena bekas-bekas kaki itu menjadi kabur ketika jejak itu masuk ke dalam gerumbul. Mereka memerlukan waktu sejenak untuk menemukan, dari mana bekas kaki itu keluar lagi.

“Cepat, kita ikuti. Kita jangan kehilangan lagi.” Sambil mengumpat-umpat mereka berhasil mengikuti jejak itu, melingkari beberapa buah rumpun perdu, kemudian justru menyilang kembali jalan sempit yang sudah dilaluinya.

“Cerdik sekali,” desis yang seorang dari mereka, “ia mencoba menghilangkan jejak.”

“Tetapi kita bukan anak kecil yang dapat dikelabuinya. Kalau ia berhasil menghapus jejaknya, maka barulah kita akan kehilangan pengamatan.”

Yang lain tidak menyahut. Tetapi mereka kini berpacu di antara batang ilalang. Mereka tidak lagi melalui jalan sempit yang sering dilalui orang meskipun jarang sekali. Tetapi kini mereka benar-benar melintas padang yang liar.

“Jurusan ini sama sekali tidak menguntungkannya,” berkata salah seorang dari mereka. ”Orang itu akan terjerumus kedalam rawa-rawa.”

“Itu akan mempermudah pekerjaan kita. Kita tinggal membenamkannya saja. Kita ikat sebuah batu di lehernya. Kemudian kita lemparkan orang itu ke dalam lumpur. Ia akan terbenam perlahan-lahan.”

“Tidak pada lehernya. Pada kakinya. Mungkin akan lebih menyenangkan baginya. Akan diperlukan waktu dua hari sebelum kepalanya terbenam sama sekali.

Kawannya tidak menyahut. Tetapi mereka berpacu semakin cepat. Mereka sama sekali tidak kehilangan jejak yang diikutinya Seperti sengaja memberikan petunjuk bagi orang yang mengejarnya, bekas-bekas kaki kuda dan rerumputan yang tersibak, telah menuntun kedua orang itu semakin lama menjadi semakin mendekati buruannya.

Dalam pada itu, Wanakerti masih berpacu secepat-cepatnya. Tetapi ia menyadari bahwa ia tidak akan dapat lepas dari orang-orang yang mengejarnya. Gardu pengawas berikutnya masih agak jauh, sedang orang-orang yang mengejarnya menjadi semakin dekat.

“Agaknya kita akan bertempur,” berkata Wanakerti kepada kawannya yang tinggal seorang.

“Ya. Tetapi mereka pun tinggal tiga orang, Yang lain telah kembali berusaha mengejar kawan kita yang berbelok di tikungan.”

“Mudah-mudahan ia dapat lolos dan menyampaikan laporan kepada para pemimpin di Mataram tentang daerah kerja kita.”

Kawannya tidak menyahut. Dilecutnya kudanya, dan kuda itu pun seakan-akan telah melonjak dan terbang di atas jalan yang sempit.

Tetapi seperti yang diperhitungkan oleh Wanakerti, jarak yang sudah dekat itu pun menjadi semakin dekat. Yang tiga orang itu pun masih juga berteriak-teriak sambil mengacungkan pedangnya.

“Pedang itu agaknya tidak beracun,” desis Wanakerti.

“Darimana kau tahu?”

“Senjata beracun biasanya tidak mengkilap, tetapi buram dan hitam kemerah-merahanan seperti karat.”

“Mudah-mudahan,” desis kawannya. Lalu, “Apakah kita tidak sebaiknya berhenti saja?”

“Kita harus berusaha sampai sejauh-jauh dapat kita lakukan. Semakin dekat dengan gardu pengawas yang kedua akan menjadi semakin baik. Apalagi kalau kita dapat mencapai gardu itu.”

“Terlampau sulit. Kuda-kuda kita kalah berpengalaman.”

“Apa boleh buat,” desis Wanakerti pula.

Namun demikian mereka masih berpacu terus, sehingga pada suatu saat, kuda-kuda yang mengejar mereka itu menjadi semakin dekat.

“Kita mencari tempat yang agak lapang desis Wanakerti.

“Kita akan bertempur sekarang?”

“Tidak ada jalan lain. Kita akan bertempur di atas punggung kuda.”

“Aku bekas pasukan berkuda dari Demak,” sahut kawannya.

“Kau lupa akulah juara watangan bagi para pengawal tanah ini, kecuali para pemimpin.”

Kedua orang itu pun kemudian memencar ke daerah yang agak luas. Di atas batang ilalang setinggi dada, mereka mempersiapkan diri, menyongsong lawan mereka yang mengejarnya.

“He, kalian akan menyerah?” teriak salah seorang dari mereka yang mengejarnya.

Wanakerti tidak menjawab. Tetapi ia mencabut pedangnya. Kudanya kini sudah berputar menghadap ke arah ketiga penunggang kuda yang sudah semakin dekat.

Dengan isyarat Wanakerti pun kemudian memerintahkan kepada kawannya untuk menyerang bersama-sama dari jurusan yang berbeda selagi ketiga penunggang kuda itu masih belum mapan.

Sejenak kemudian maka kedua ekor kuda itu bagaikan melompat dan menyerang. Ternyata Wanakerti dan kawannya benar-benar mempunyai pengalaman yang baik untuk bertempur di atas punggung kuda.

Tetapi ternyata pula bahwa lawan mereka pun cukup mampu untuk mengelakkan serangan itu. Bahkan sambil mengumpat-umpat pemimpin mereka berteriak, “Bunuh saja tikus-tikus sombong itu. Kalau kalian menyerah, kalian akan selamat.”

Wanakerti seolah-olah sudah tidak sempat lagi untuk mengucapkan sepatah kata pun. Ia sama sekali tidak menghiraukan apa saja yang dikatakan oleh lawannya. Namun pedangnya sajalah yang berputar seperti baling-baling.

Sejenak kemudian maka Wanakerti dan kawannya telah terlibat dalam perkelahian sengit. Meskipun Wanakerti dan kawannya mempunyai pengalaman yang cukup, tetapi mereka harus melayani tiga orang. Karena itu, Wanakerti tidak membiarkan salah seorang dari mereka dikerubut dua. Dengan demikian maka perkelahian itu akan segera selesai. Yang dikerubut itu pasti akan segera dapat dikalahkan, sehingga kesempatan untuk mengalahkan yang lain pun menjadi semakin besar.

Karena itu, maka Wanakerti bertempur seperti sepasang elang yang menyambar silang-menyilang. Sejenak ia melayani seorang lawannya. Namun kemudian kudanya melonjak dan menyambar lawannya yang lain. Demikian pula kawannya, bekas seorang prajurit berkuda. Dengan garangnya ia menyerang sambil memutar pedangnya. Kemudian berputar menjauh.

Meskipun demikian, mereka harus mengakui, bahwa ketiga lawannya adalah orang-orang yang tangguh. Orang-orang yang berpengalaman bertempur di atas punggung kuda pula.

Sekilas Wanakerti teringat kepada seorang kawannya yang telah terbunuh oleh racunnya sendiri. Orang berkumis yang sebenarnya sekedar menyusupkan diri di dalam lingkungan para pengawas itu. Ternyata orang itu mampu melawan tiga orang pengawas sekaligus.

“Waktu itu, hatiku telah dibakar oleh kekecilan arti diri sendiri,” berkata Wanakerti kepada dirinya. “Tetapi sekarang aku tidak.”

Meskipun demikian, ternyata Wanakerti dan kawannya segera merasa, bahwa untuk melawan ketiga orang itu adalah pekerjaan yang terlampau berat bagi mereka.

Tetapi Wanakerti dan kawannya sama sekali tidak berputus asa. Dengan sekuat-kuat tenaga mereka bertempur. Bahkan bagi Wanakerti, pertempuran itu hanya sekedar berarti mengikat ketiga orang itu. Kalau kemudian ia dan kawannya itu gugur, itu adalah kemungkinan yang sudah diperhitungkan sejak ia memasuki lingkungan pengawal Tanah Mataram yang baru dibuka ini. Di dalam menjalankan tugas, kemungkinan itu pasti ada.

Yang diharapkan olehnya satu-satunya adalah, agar kawannya yang seorang lagi mampu melepaskan dirinya dan berhasil menghadap para pemimpin di Mataram. Sukurlah kalau dapat langsung menghadap Mas Ngabehi Loring Pasar.

Dengan demikian maka Wanakerti dan kawannya itu pun justru menjadi tenang. Bencana yang tertinggi, mati, sama sekali tidak menakutkan lagi bagi mereka berdua. Sehingga dengan demikian keduanya mampu bertempur sambil berpikir. Mereka tidak saja menumpahkan segenap kemampuan, tetapi juga mereka mempergunakan otak mereka, bagaimana mereka dapat bertahan sejauh-jauh dapat mereka lakukan.

Maka, semakin lama perkelahian itu pun menjadi semakin seru. Wanakerti dan kawannya ternyata dapat bekerja bersama sebaik-baiknya. Mereka seolah-olah menjelajahi padang ilalang itu dengan kuda mereka yang berlari-lari melingkari menyilang dan kadang-kadang mereka bertempur beradu punggung.

“Selan alas!“ pemimpin orang-orang yang mengejar Wanakerti itu mengumpat. “Kalian ternyata sangat licik. Kalian tidak bertempur secara jantan.”

“Apakah ukuran kejantanan itu?” bertanya Wanakerti.

“Berkelahi beradu dada. Tidak berlari-lari dan berputar-putar.”

“Bertempur beradu dada seorang lawan seorang, atau berapa saja jumlah yang ada ?”

“Persetan. Aku tidak peduli.”

“Kalian atau kamilah yang tidak jantan?”

“Kalian memang harus mampus.”

“Kenapa?” bertanya kawan Wanakerti sambil menyambar dengan pedangnya. Ketika lawannya mengelakkan pedang itu, terdengar kedua senjata itu beradu.

“Kalian, para pengawas memang harus mati.”

“Apa salah kami?”

Mereka tidak menjawab lagi. Tetapi mereka menekan kedua pengawas itu semakin berat. Kadang-kadang mereka memang mencoba memisahkan Wanakerti dari kawannya. Mereka akan membinasakan keduanya seorang demi seorang. Tetapi hal itu disadari oleh kedua pengawas itu, sehingga mereka selalu berusaha, agar perkelahian itu tidak dapat diurai menjadi dua lingkaran pertempuran.

Namun, terasa tenaga kedua pengawas itu menjadi semakin susut setelah mereka mengerahkan segenap kemampuan mereka untuk tetap bertahan.

........bersambung ke Jilid 57

Tidak ada komentar:

Posting Komentar