Jumat, 05 Januari 2018

API di BUKIT MENOREH Jilid 53

API di BUKIT MENOREH

Karya S.H Mintardja


SEJENAK kemudian terdengar suara gemerasak di dedaunan tepat di atas jalan sempit yang gelap, menurun dan jatuh di tanah.

Kiai Gringsing mendapat kesan bahwa para peronda itu terkejut karenanya. Serentak kuda-kuda mereka berhenti.

“Apakah kalian juga mendengar suara gemerasak itu?” bertanya salah seorang yang agaknya menjadi pemimpinnya.

“Ya,” sahut yang lain.

“Apakah menurut dugaan kalian?”

“Di atas jalan ini banyak terdapat dedaunan dan ranting-ranting yang kering.”

“Mungkin buah-buahan yang dibawa oleh burung-burung malam.”

“Apakah kalian tidak memperhitungkan kemungkinan yang lain.”

“Hantu atau jin barangkali?”

“Ya.”

“Apakah mereka sempat mengganggu kami dengan cara itu? Hanya anak-anak yang dapat ditakut-takutinya dengan cara demikian. Tetapi sudah tentu bukan kita. Kalau hantu-hantu itu mempunyai sedikit pengetahuan tentang manusia, mereka pasti akan mempergunakan cara yang lebih ngeri untuk menakut-nakuti kita sekarang ini.”

Kawan-kawannya tidak menjawab. Agaknya mereka sependapat dengan pendapat kawannya itu, sehingga tanpa menghiraukan apa pun lagi mereka meneruskan perjalanan.

Sepeninggal mereka, Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia menjadi berbesar hati, bahwa tidak semua orang menjadi ketakutan di dalam keadaan yang tidak berketentuan ini.

Tetapi agaknya Kiai Gringsing masih belum puas. Ia ingin berbuat sesuatu sehingga para peronda itu menjadi semakin mantap. Mereka harus meyakini, bahwa mereka benar-benar tidak mudah menjadi ketakutan.

Bagi mereka yang sudah dicengkam oleh kepercayaan yang mendalam kepada hantu dan jin, maka setiap gejala yang paling kecil pun pasti sudah menggoncangkan dada mereka. Tetapi para peronda ini tidak.

Sejenak kemudian, maka Kiai Gringsing pun telah menyusup pula di antara gerumbul liar, mendahului para peronda yang memang sengaja maju perlahan-lahan.

“Sebenarnya sekali-sekali aku ingin melihat, bagaimanakah bentuk hantu-hantu itu,” berkata salah seorang dari mereka.

“Aku pernah melihat,” jawab yang lain, “tetapi aku kurang yakin bahwa itulah yang dimaksud dengan hantu.”

“Apa yang kau lihat?”

“Seperti seekor kelinci,”

“He, sekecil kelinci?”

“Ya. Tetapi bercahaya seperti puluhan kunang-kunang.”

Kawan-kawannya tidak segera menjawab. Namun kemudian terdengar salah seorang dari mereka tertawa, “Itu bukan hantu,” katanya.

“Apa menurut pendapatmu?”

“Kelinci, memang kelinci. Tetapi oleh cahaya apa pun yang ada waktu itu, tampaknya bulu-bulunya yang mengkilap seakan-akan bercahaya.”

“Aku juga menduga demikian. Tetapi sesaat kemudian aku mendengar suara tertawa lirih. Lalu hilang.”

“Kapan kau lihat dan kau dengar semuanya itu?”

“Ketika aku menjadi pengawas di ujung Selatan dari penebangan hutan ini.”

“Kau dan para pengawas yang lain menjadi ketakutan?”

“Sebagian. Tetapi yang paling parah justru daerah ini. Karena itu Ki Gede Pemanahan berniat untuk mengganti para pengawas di daerah ini.”

“Ya. Aku juga mendengar.”

Tetapi pembicaraan mereka segera terputus. Dengan tiba-tiba saja para peronda itu berhenti. Dengan mata terbelalak mereka melihat sebuah bayangan yang bergantungan pada sebuah cabang pohon yang rendah. Sebuah bayangan hitam seperti seekor kera raksasa sedang berayun-ayun.

“Apakah kalian melihat sesuatu?” bertanya salah seorang dari mereka.

“Ya, sebuah bayangan hitam berayun pada sebatang dahan.”

“Bagus. Agaknya kita benar-benar dijemput oleh hantu dari Kerajaan Kajiman Mataram.”

Tidak seorang pun yang menjawab. Namun betapa pun juga dada mereka menjadi berdebar-debar.

“Aku akan menemuinya,” berkata pemimpin rombongan itu.

Maka ia pun segera menyentuh kendali kudanya, sehingga kuda itu berderap maju. Tetapi langkahnya segera berhenti. Kuda itu pun agaknya menjadi terkejut, sehingga sambil meringkik kuda itu melonjak dan berdiri dengan kedua kaki belakangnya. Untunglah bahwa penunggangnya adalah seseorang yang telah menguasainya, sehingga kuda itu pun segera dapat ditenangkannya.

Kawan-kawannya yang lain pun segera menyusul di belakangnya. Mereka pun kemudian berhenti beberapa langkah dari bayangan hitam yang masih saja terayun-ayun.

“He, apakah kau yang disebut hantu?” bertanya pemimpin rombongan itu.

Bayangan itu sama sekali tidak menjawab.

“He, apakah kau dapat mendengar dan dapat berbicara seperti manusia. Kalau kau hantu, apakah maksudmu?”

Bayangan itu masih tetap berdiam diri sambil berayun-ayun seenaknya.

Pemimpin peronda itu menarik nafas dalam-dalam. Bagaimana ia harus berbicara dengan hantu-hantu.

“Menurut pendengaranku,” berkata salah seorang dari para peronda itu, “hantu-hantu dapat berbicara seperti manusia. Ternyata orang-orang yang kesurupan dapat juga berbicara. Nah, sekarang apakah hantu yang satu ini mau berbicara atau tidak?”

Tetapi bayangan itu masih tetap diam.

“Mungkin hantu-hantu hanya dapat berbicara apabila ia merasuk ke dalam tubuh seseorang,” berkata yang lain.

“Aku bersedia,” seorang peronda yang masih muda menyahut, “kalau hantu itu akan meminjam tubuhku untuk dapat berbicara, aku tidak berkeberatan. Tetapi jangan dirusakkan. Aku masih memerlukannya.”

“Hus,” desis yang lain.

Namun bayangan itu masih tetap berdiam diri, sambil masih saja terayun-ayun di dalam kegelapan.

“Bukan hantu,” desis salah seorang dari peronda itu dengan tiba-tiba, “aku kira seekor kera raksasa. Marilah, kita tangkap saja.”

“Tunggu,” berkata pemimpin peronda itu. Meskipun demikian ia sendiri maju beberapa langkah di atas punggung kudanya. Namun tiba-tiba ia mencabut pedangnya. Katanya, “Ayo, jawablah pertanyaanku. Apakah kau termasuk dalam jenis hantu yang akan mengganggu perjalanan kami?”

Bayangan itu tidak menyahut. Tetapi tiba-tiba ia meluncur jatuh di tanah.

Sekali lagi kuda pemimpin, rombongan itu terkejut. Namun penunggangnya masih berhasil menenangkannya.

Kini para peronda itu melihat selingkar bayangan hitam yang tergolek di tanah, seperti seonggok padas. Namun dengan demikian mereka mulai percaya, bahwa mereka memang berhadapan dengan hantu.

“Apa yang harus kita lakukan?” desis salah seorang dari mereka.

“Apakah kita perlu memanggil Kiai Damar? Mungkin ia dapat berbicara dengan hantu ini.”

Tetapi tidak seorang pun di antara para peronda itu yang menanggapinya. Semuanya sedang ditegangkan oleh seonggok bayangan hitam yang terletak di tanah. Di dalam kegelapan malam, tampaklah bayangan itu bergerak-gerak seolah-olah tarikan nafas.

Karena tidak ada yang menjawab, maka peronda itu mengulanginya, “Apakah aku harus memanggil Kiai Damar?”

Belum lagi ada yang, menjawab, maka tiba-tiba bayangan hitam itu melenting tinggi. Kemudian jatuh melingkar pula di tanah seperti semula.

“Tidak ada gunanya memanggil Kiai Damar,” berkata pemimpin peronda itu.

“Mungkin Kiai Damar mampu berbicara dengan cara yang tidak kita ketahui.”

Pemimpin peronda itu merenung sejenak. Lalu, “Baiklah. Kalau hantu ini bersedia menunggu.”

“Marilah kita kepung, jangan sampai hantu itu lolos sebelum Kiai Damar datang kemari.”

Pemimpin peronda itu tidak menjawab. Ia berpaling ketika salah seorang dari mereka segera meninggalkan tempat itu kembali ke pondok Kiai Damar.

“Kawani anak itu,” desis pemimpin peronda kepada seorang peronda yang lain.

Maka dua ekor kuda telah berjalan secepat-cepat dapat dilakukan kembali ke pondok Kiai Damar.

Ketika mereka sampai di muka pintu, maka pintu itu sudah tertutup rapat. Karena itu, maka salah seorang dari mereka segera mengetok sambil memanggil, “Kiai, Kiai Damar.”

Agaknya Kiai Damar yang baru saja menutup pintu masih belum tidur. Dengan suara yang parau itu bertanya, “Siapa di luar?”

“Aku, para peronda.”

“He? Baru saja ada beberapa orang peronda datang kemari.”

“Itulah kami.”

“Kenapa kalian kembali?”

“Ada sesuatu yang penting, Kiai.”

“Apa?”

“Kami telah bertemu dengan hantu-hantu itu.”

“He?” Kiai Damar terkejut sehingga dengan serta-merta ia meloncat dan membuka pintu. Di dalam kegelapan ia melihat dua orang peronda yang sedang turun dari kuda mereka.

“Apakah Ki Sanak mengatakan bahwa Ki Sanak telah bertemu dengan hantu?”

“Ya. Kami telah bertemu dengan sesosok hantu.”

“Itu tidak mungkin. Tidak mungkin.”

“Kenapa tidak mungkin, Kiai? Daerah ini adalah daerah yang angker. Hampir setiap orang di daerah ini berbicara tentang hantu. Bahkan Kiai Damar sendiri berbicara pula tentang hantu. Nah, kami telah dicegat oleh sesosok hantu. Tetapi kami tidak dapat mengajaknya berbicara. Karena itu kami segera kembali kepada Kiai. Kami ingin mengajak Kiai bersama kami untuk mencoba berbicara. Bukankah Kiai mempunyai cara tersendiri untuk dapat berbicara dengan hantu-hantu itu?”

“Tetapi itu tidak mungkin. Kalian tidak akan bertemu dengan hantu yang mana pun juga. Mereka telah berjanji untuk tidak mengganggu kalian.”

“Tetapi kami benar-benar telah bertemu dengan salah satu dari mereka.”

“Apakah bentuknya?”

“Seperti seonggok sampah atau katakanlah sebongkah batu yang lunak, semula hantu itu berayun-ayun pada sebatang pohon, kemudian menjatuhkan diri melingkar di tanah.”

Wajah Ki Damar menjadi tegang. Namun mulutnya masih berkata, “Tidak mungkin. Tidak mungkin.”

“Kenapa tidak mungkin? Kalau Kiai tidak percaya, marilah kita lihat. Kedatanganku memang bermaksud untuk mengajak Kiai serta dengan kami.”

Sejenak Kiai Damar berdiri termangu-mangu. Namun kemudian ia menggeram, “Aku akan melihatnya.”

“Marilah. Kita naik berdua.”

Kiai Damar pun kemudian segera meloncat naik ke punggung kuda bersama seorang peronda. Tanpa menutup pintu rumahnya, maka mereka pun segera pergi ke tempat hantu yang telah mengganggu para peronda itu.

Sementara itu, para peronda pun menjadi ragu-ragu. Benda hitam itu masih saja teronggok diam. Di dalam gelap malam, para peronda itu tidak dapat melihat dengan jelas, apakah sebenarnya yang sedang dihadapinya. Sedang untuk lebih mendekat lagi mereka pun ragu-ragu.

“He, hantu,” pemimpin peronda itu hampir berteriak, “kenapa kau diam saja? Apakah kau memang tidak mempunyai mulut?”

Onggokan benda hitam itu sama sekali tidak menjawab. Sekali lagi benda itu melenting. Namun kemudian diam.

Perlahan-lahan pemimpin peronda itu turun dari kudanya, diikuti oleh yang lain.

“Kepung benda ini,” katanya, “jangan sampai lolos sampai Kiai Damar datang. Ia akan dapat berbicara dengan hantu ini.”

Kawan-kawannya pun kemudian bergerak mengitari benda itu setelah mereka menambatkan kuda-kuda mereka. Namun langkah mereka tertegun ketika benda hitam itu pun berguling menjauhi, seakan-akan benda itu menyadari bahwa para peronda itu sedang bergerak mengepungnya.

Pemimpin peronda itu mengerutkan keningnya. Namun ia tetap pada pendiriannya, “Cepat. Jangan biarkan lari.”

Kawan-kawannya pun berloncatan lebih cepat lagi, berusaha untuk mengepung benda hitam yang mereka anggap hantu itu.

Namun tiba-tiba mereka terkejut. Ternyata benda itu dengan tanpa diduga telah menyerang salah seorang dari mereka yang berusaha mengepungnya. Meskipun benda itu nampaknya hampir tidak bergerak, tetapi sebutir batu telah mengenai dada salah seorang peronda sehingga ia menyeringai kesakitan.

“Kenapa?”

“Dadaku.”

Ternyata serangan itu telah membuat para peronda menjadi lebih berhati-hati. Meskipun akibatnya tidak berbahaya, namun serangan itu merupakan peringatan kepada para peronda, bahwa hantu itu dapat berbuat sesuatu atas mereka. Hantu itu bukan sekedar seonggok sampah yang mati.

Dengan demikian, maka setiap orang kini telah menggenggam senjata masing-masing. Meskipun demikian, mereka sama sekali tidak ingin mengurungkan niatnya, mengepung benda yang mengandung rahasia itu.

Namun mereka kini melangkah dengan penuh kewaspadaan. Senjata mereka telah siap untuk menghadapi setiap kemungkinan.

Tetapi agaknya bayangan hitam itu tidak pula tinggal diam. Sekali-sekali benda itu berguling menjauh. Kemudian berhenti diam. Bahkan sekali-sekali melenting dan kembali jatuh di tanah.

Dalam ketegangan itulah kemudian terdengar derap kaki-kaki kuda mendekat. Serentak para peronda itu berpaling. Mereka pasti bahwa yang datang itu adalah para peronda yang telah menemui Kiai Damar.

Ternyata dugaan mereka tidak salah. Sejenak kemudian kedua ekor kuda itu pun telah semakin dekat, dan kemudian berhenti di tempat kawan-kawannya menambatkan kudanya.

Karena peronda itu tidak segera melihat kawan-kawannya yang sudah bergeser dari tempatnya, maka salah seorang dari keduanya pun berkata lantang, “He, di manakah kalian? Aku datang bersama Kiai Damar.”

“Di sini,” jawab salah seorang peronda yang sedang berusaha mengepung bayangan hitam itu.

Kedua peronda yang mengajak Kiai Damar itu pun segera berloncatan dari kuda-kuda mereka bersama Kiai Damar. Dengan tergesa-gesa mereka berlari-lari mendekat ke arah suara itu.

“Apa yang kalian lihat?” bertanya Kiai Damar. Tetapi alangkah kagetnya para peronda itu. Ketika mereka sedang sibuk menunggu kedatangan Kiai Damar, dan serentak berpaling ke arah langkah kakinya, maka mereka tidak sempat memperhatikan bayangan hitam itu lagi. Mereka tidak melihat bayangan itu menggelinding dan hilang di dalam gerumbul. Yang mereka ketahui kemudian, hantu itu tiba-tiba telah hilang di dalam kegelapan malam.

“Apa yang kalian lihat?” bertanya Kiai Damar.

“Di situ. Kami melihat sesuatu di kegelapan ini.”

“Ya di mana,” desak Kiai Damar yang sudah berdiri di antara para peronda yang sudah memegang senjata di tangan mereka.

Para peronda itu saling berpandangan. Sejenak mereka tidak dapat menjawab pertanyaan Kiai Damar. Tetapi kini mata mereka melekat pada kegelapan malam, di mana mereka melihat bayangan hitam itu yang terakhir.

“Di mana?” sekali lagi Kiai Damar mendesak.

Salah seorang dari peronda itu menunjuk dengan ujung pedangnya, “Di situ. Di situlah aku melihat yang terakhir kali. Kemudian hilang tidak berbekas.”

“Omong kosong,” teriak Kiai Damar.

“Kiai,” berkata pemimpin peronda itu, “Kiai jangan menuduh bahwa kami telah berbohong. Kami memang melihat sesuatu di dalam kegelapan ini. Tidak begitu jelas memang. Tetapi menurut pengamatan kami, kami telah melihat seonggok benda yang kehitam-hitaman.”

“Kalian telah bermimpi.”

“Kami tidak akan dapat mimpi bersama-sama dan serupa.”

“Tetapi aku tidak percaya.”

“Kenapa Kiai tidak percaya?”

“Hari ini tidak akan ada hantu, yang mana pun juga.”

“Tetapi kami sudah melihatnya.”

Kiai Damar tercenung sejenak. Tiba-tiba saja terasa bulu-bulu tengkuknya meremang. Sudah sekian lama ia tinggal di dalam hutan yang gelap dan terasing. Namun baru saat itulah ia benar-benar telah dipengaruhi oleh ceritera tentang hantu yang lain. Hantu yang seolah-olah bukan kelompok hantu-hantu yang sudah dikenalnya.

“Ki Sanak,” berkata Kiai Damar, “aku mengenal hantu di daerah Mataram ini dengan baik. Dari tingkat yang paling rendah, bekasakan, tetekan, ilu-ilu, banaspati, sampai hantu yang paling tinggi martabatnya, jin, setan, peri, prayangan,” Kiai Damar berhenti sejenak. Lalu, “di antara mereka, tidak ada jenis hantu yang ujudnya seperti seonggok batu padas yang lunak kehitam-hitaman.”

“Tetapi Kiai, bukankah hantu itu dapat merubah ujudnya sesuai dengan kehendak mereka pada suatu saat?”

“Tetapi pada dasarnya mereka telah memiliki bentuk yang tetap.”

Salah seorang peronda yang masih muda berkata, “Kalau begitu, mungkin kita telah berjumpa dengan hantu dari daerah lain. Dari Pajang misalnya. Atau dari Kali Praga atau dari Gunung Merapi.”

“Jangan mengigau,” bentak Kiai Damar yang tampaknya menjadi tegang.

Dalam pada itu, selagi mereka sedang sibuk menjajagi jenis hantu yang mereka lihat, tiba-tiba mereka mendengar gemeresak daun yang terguncang. Kemudian disusul oleh sebuah bunyi yang tidak dapat mereka mengerti, tidak begitu jauh dari tempat mereka berdiri.

Para peronda itu seolah-olah membeku di tempatnya. Namun senjata-senjata mereka sajalah yang kemudian bergetar di dalam genggaman.

Tetapi Kiai Damar agaknya tidak tinggal diam. Tiba-tiba saja ia melenting meloncat ke arah suara itu.

Para peronda saling berpandangan sejenak. Dada mereka menjadi berdebar-debar dan nafas mereka pun tertahan-tahan. Mereka hanya dapat memandang dengan tanpa berkedip Kiai Damar yang dengan lincahnya menyusup ke dalam gelap, dan kemudian hilang ditelan oleh tumbuh-tumbuhan liar yang rimbun.

Sejenak para peronda itu tidak mendengar sesuatu. Karena itu mereka menjadi cemas, apakah kira-kira yang akan terjadi dengan Kiai Damar yang sedang berusaha untuk mengejar hantu yang agaknya asing baginya.

Namun ternyata bahwa Kiai Damar pun termasuk orang yang luar biasa. Para peronda itu tidak dapat mengetahui, ke mana ia pergi. Karena itu, maka mereka pun tidak dapat mengikutinya untuk melihat, apakah yang telah dilakukannya.

Dalam pada itu, Kiai Damar pun dengan kemampuan yang ada padanya, berloncatan di antara semak-semak dan gerumbul-gerumbul liar, menuju ke arah bunyi yang tidak dimengertinya.

Beberapa saat kemudian langkahnya pun terhenti ketika ia mendengar sesuatu beberapa langkah daripadanya. Ia sudah menduga, bahwa ia telah sampai ke tempat yang ditujunya. Karena itu maka dengan hati-hati ia berdiri tegak, sambil memperhatikan keadaan di sekitarnya dengan segenap inderanya.

“Tak ada gunanya kau bersembunyi,” desisnya, “aku tahu, kau berada di balik pohon cangkring.”

Sejenak tidak terdengar jawaban. Karena itu maka Kiai Damar mengulanginya, “Jangan bersembunyi di balik pohon cangkring. Aku mungkin akan membuat pertimbangan yang wajar kalau kau menampakkan dirimu.”

Tetapi tidak seorang pun yang datang. Sedang suara tarikan nafas itu masih didengarnya. Dari balik pohon cangkring.

Akhirnya Kiai Damar kehilangan kesabaran. Ia-lah yang kemudian melangkah dengan hati-hati mendekati pohon cangkring yang rimbun. Tetapi ia tertegun sejenak. Ia tiba-tiba saja telah kehilangan suara yang memberinya petunjuk, bahwa ada seseorang yang bersembunyi di sekitarnya. Apalagi setelah ia sampai di sebelah pohon cangkring, ia tidak melihat seseorang. Tarikan nafas yang didengarnya itu pun seakan-akan telah lenyap.

“He, Jangan lari.”

Tidak ada jawaban. Tetapi kini ia mendengar suara nafas itu di belakang gerumbul yang lain.

Kemarahan yang semakin lama semakin memanasi dadanya, telah membuat Kiai Damar semakin tidak bersabar. Dengan loncatan yang cepat ia melingkari gerumbul yang kelam. Namun sekali lagi ia tidak menemukan sesuatu. Tidak ada suara tarikan nafas, tidak ada seseorang, dan tidak ada apa-apa.

“Jangan bersembunyi, jangan bersembunyi!” suaranya lantang.

Tetapi tidak ada jawaban apa pun. Di kejauhan, para peronda dapat menangkap suara Kiai Damar. Tetapi mereka tidak berhasrat sama sekali untuk mendekat. Mereka menganggap bahwa yang sedang terlibat kini adalah orang yang mengerti dan tahu kedudukan lawannya. Yaitu hantu-hantu.


Kiai Damar sendiri, tiba-tiba saja telah terkejut ketika suara nafas itu terdengar dekat sekali di belakangnya. Dengan serta-merta ia meloncat, membalikkan tubuhnya dan siap menghadapi segala kemungkinan.

Darahnya tersirap ketika ia melihat sebuah bayangan hitam teronggok di tanah. Segera ia mengerti, bahwa inilah yang di maksud oleh para peronda. Hantu ini pulalah yang agaknya telah mengganggunya.

“He, kaukah yang telah mengganggu para peronda itu?” Kiai Damar bertanya lantang.

Benda yang hitam teronggok di tanah itu sama sekali tidak menjawab. Namun jelas bagi Kiai Damar, bahwa benda hitam itu bernafas seperti manusia. Betapa pun lirihnya, namun Kiai Damar dapat mendengar desah yang teratur.

“He, kenapa kau diam saja?” desak Kiai Damar. Namun tiba-tiba ia terdiam. Para peronda itu menganggapnya sebagai seseorang yang mampu berbicara dengan hantu-hantu. Namun tiba-tiba kini ia berhadapan dengan sesuatu yang tidak dapat diajaknya berbicara.

Terngiang kata-kata salah seorang dari para peronda itu. “Kalau begitu mungkin kita telah berjumpa dengan hantu dari daerah lain. Dari Pajang misalnya atau dari Kali Praga atau dari Gunung Merapi.”

Tiba-tiba tanpa sesadarnya ia bertanya, “He, apakah kau hantu dari daerah lain? Bukan dari Alas Mentaok?”

Kiai Damar terkejut ketika ia mendengar suara menggeram. Ternyata seonggok benda itu telah mengeluarkan semacam bunyi yang asing.

“Benar he? Kau datang dari luar Alas Mentaok?”

Sekali lagi benda itu menggeram.

“Kalau kau mengerti aku, dengar pertanyaanku. Kalau ya, kau menggeram. Kalau tidak, kau diam saja,” Kiai Damar berhenti sejenak. Lalu, “Kau datang dari Kali Praga?”

Benda itu diam saja.

“Dari Gunung Sepikul?” Benda itu masih diam saja.

“Dari Pesisir?”

Benda itu diam saja.

“Dari Gunung Merapi?”

Ternyata benda itu menggeram, sehingga Kiai Damar dapat mengambil kesimpulan bahwa hantu itu datang dari Gunung Merapi.

“Apa maksudmu datang, kemari he?”

Tidak ada jawaban. Tapi benda itu hanya menggeram saja.

“Persetan,” desis Kiai Damar, “pergilah. Jangan mengganggu daerah ini. Daerah ini adalah daerah Hutan Mentaok. Kau tidak boleh berada di sini.”

Tetapi tidak ada jawaban apa pun juga.

“Pergi. Kau harus pergi.”

Benda itu diam saja.

Kiai Damar menjadi marah sekali. Tiba-tiba ia menarik keris pusakanya. Sambil maju selangkah ia berkata, “Tidak ada makhluk yang dapat menahan kekuasaan keris ini. Kau pun tidak, meskipun kau dapat membuat dirimu menjadi lebih halus dari wadag yang kau perlihatkan.”

Selangkah demi selangkah Kiai Damar maju mendekati benda yang kehitam-hitaman, yang menyebut dirinya hantu dari Gunung Merapi itu. Namun benda itu sama sekali tidak bergerak, seolah-olah memang menunggu Kiai Damar mendekatinya.

“Aku masih memberimu kesempatan,” desis Kiai Damar, “kalau kau tidak segera pergi, aku akan membelah tubuhmu dengan pusaka ini.”

Seonggok benda hitam itu masih tetap berdiam diri. Namun di dalam kegelapan malam, Kiai Damar yang menjadi semakin dekat melihat bahwa benda itu telah mulai bergerak-gerak.

Dengan demikian, maka Kiai Damar pun menjadi semakin hati-hati. Keris di tangannya telah bergetar. Keris itu adalah keris pusaka yang bagi Kiai Damar, memberikan kemantapan apabila ia sedang berhadapan dengan bahaya yang paling besar.

Demikianlah, maka pada suatu saat Kiai Damar telah benar-benar kehilangan kesabarannya. Karena itu, maka ia pun segera meloncat semakin dekat sambil mengacukan senjatanya.

Tetapi benda yang hitam itu pun kemudian berguling menjauhinya, secepat ia meloncat maju.

“Jangan lari. Kau sudah kehilangan semua kesempatan,” berkata Kiai Damar sambil mengejar benda itu.

Namun tiba-tiba benda yang kehitam-hitaman itu melenting. Dengan cepatnya benda itulah yang mendahului menyerang dengan garangnya. Dalam kegelapan malam Kiai Damar melihat, seakan-akan sebuah sayap yang mengembang. Namun, kemudian meluncur seperti sebatang kayu.

Kiai Damar tidak menyangka bahwa benda itu akan menyerang begitu cepatnya. Karena itu, maka ia tidak mempunyai kesempatan untuk menghindar ketika pinggulnya tersentuh tubuh hantu itu.

Beberapa langkah Kiai Damar terdorong surut. Dengan susah payah ia mencoba menjaga keseimbangannya. Namun dorongan yang keras itu telah membuatnya jatuh di atas lututnya.

Dengan marahnya Kiai Damar menggeram. Secepat kilat ia meloncat berdiri. Tetapi sekali lagi ia terkejut. Dengan sayap yang mengembang, hantu itu telah menyerangnya kembali. Kali ini justru lebih dahsyat, sehingga sekali lagi Kiai Damar terpelanting jatuh di tanah.

Dengan susah payah ia berusaha untuk tetap menggenggam senjatanya. Satu-satunya kekuatan yang dibanggakannya saat itu adalah kerisnya. Namun keris itu terjatuh juga di tanah. Karena itu, secepatnya ia berguling ke arah kerisnya yang tidak begitu jauh dari padanya,

Ketika keris itu sudah tergenggam di tangannya kembali, maka ia pun segera berusaha untuk bangkit berdiri. Meskipun lambung dan pergelangan tangannya masih terasa sakit, namun ia pun segera berhasil berdiri tegak di atas tanah.

Tetapi dadanya menjadi semakin berdebar-debar. Ia tidak melihat lagi lawannya. Bahkan ia tidak mendengar suara apa pun yang dapat memberinya petunjuk, kemana bayangan hitam itu pergi.

“Setan licik,” teriaknya.

Namun sejenak kemudian, Kiai Damar menjadi ragu-ragu. Betapa gelapnya malam, tetapi ternyata inderanya yang cukup tajam dapat menangkap sesuatu yang mencurigakannya. Sentuhan hantu itu pun terasa aneh pula padanya. Sentuhan itu tidak bedanya dengan sentuhan wadag manusia biasa.

“Sama sekali bukan hantu,” geramnya, “tentu seseorang yang mencoba untuk membuat onar.”

Namun Kiai Damar menjadi ragu-ragu lagi. Desisnya, “Tetapi siapa. Siapa yang mempunyai kemampuan begitu tinggi?”

Kiai Damar yang mengaku dirinya mempunyai hubungan yang akrab dengan hantu-hantu itu menjadi ragu-ragu. Namun kehadiran makhluk itu, apakah ia hantu apakah ia manusia telah membuatnya ragu-ragu.

Selagi ia berdiri termangu-mangu itulah, ia mendengar suara berbisik, “Jangan bingung, Kiai Damar. Apakah kau ingin melihat kenyataanku?”

“He, kau dapat berbicara?”

“Ya, aku memang dapat berbicara.”

“Ayo, jangan lari. Kalau kau memang ingin berhadapan dengan Kiai Damar.”

“Baiklah. Aku memang ingin berhadapan dengan Kiai Damar yang selama ini merasa dirinya bersahabat dengan hantu-hantu. Tetapi kau benar, bahwa aku datang dari luar Alas Mentaok. Aku datang dari Gunung Merapi.”

Kiai Damar menggeram. Tetapi ia menjadi berdebar-debar ketika ia melihat sesosok tubuh yang pendek berjalan timpang mendekatinya, “Inilah aku dalam ujudku yang sebenarnya,” berkata makhluk pendek dan timpang itu.

“Hem,” desis Kiai Damar, “kau berbentuk seperti manusia juga. Tetapi kenapa kau berkerudung kain?”

“Ini adalah kelengkapanku.”

“Bohong. Kau masih akan mengelabuhi aku. Ayo, tunjukkan bentukmu yang wajar.”

“Inilah bentukku.”

Kiai Damar mengerutkan keningnya. Suara yang tinggi melengking, membuat telinganya menjadi sakit.

“Apakah sebenarnya maksudmu mengganggu aku?” bertanya Kiai Damar.

“Tidak apa-apa. Tetapi aku memang sedang mengemban tugas.”

“Omong kosong.”

“Kiai Damar,” berkata makhluk itu, “bukankah namamu Kiai Damar yang merasa dirimu mampu berbicara dan mempersoalkan nasib hutan Mentaok ini dengan Kerajaan Mataram Kajiman? Nah, ketahuilah. Aku adalah Kiai Dandang Wesi. Dahulu di masa kecilnya, aku adalah pemomong Raden Sutawijaya yang kini bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar. Tetapi umurku tidak mengijinkan aku untuk selalu melayaninya. Pada suatu saat, aku merasa bahwa ajal telah sampai. Itulah sebabnya, aku mohon ijin kepadanya untuk bertapa di kaki Gunung Merapi. Akhirnya aku menemukan bentukku yang sekarang,” makhluk itu berhenti sejenak. Lalu, “Dan kini aku mendapat tugas untuk menemui Raja Mataram Kajiman. Pesan yang aku bawa dari Sri Maharaja Bantar Bumi, Raja Kajiman di Gunung Merapi, yang sebenarnya adalah muridku, agar Raja di Alas Mentaok, tidak mengganggu usaha momonganku, Mas Ngabehi Loring Pasar, membuka hutan ini untuk dijadikan sebuah negeri bagi manusia wadag. Siapa saja yang berani menghalanginya, maka persoalannya akan berkepanjangan, karena aku dan muridku, Sri Maharaja Bantar Bumi tidak akan tinggal diam.”

Kata-kata hantu yang menyebut dirinya bernama Dandang Wesi itu telah menggetarkan dada Kiai Damar. Sesaat ia meragukannya, namun sesaat kemudian jantungnya menjadi berdebar-debar. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa pada suatu saat ia akan berhadapan dengan Kerajaan Hantu yang lain, yang mengaku Kerajaan Hantu di Gunung Merapi dan dipimpin oleh seorang Raja pula.

Karena Kiai Damar terpaku saja di tempatnya tanpa menjawab, maka Dandang Wesi itu berkata, “Nah, kebetulan saja kita bertemu. Kalau kau masih ingin berkelahi, marilah aku layani sejenak. Sebab aku harus segera menghadap Perabu Talangsari dari Kerajaan Mataram yang masih sederhana. Kerajaan Mataram ini masih saja seperti Kerajaan Mataram lama berabad-abad yang lampau. Cara berpikir mereka pun masih dipengaruhi oleh cara berpikir yang sederhana. Nah, dengan makhluk yang demikian itulah kau berhubungan. Berbeda dengan Kerajaan yang tumbuh di Gunung Merapi saat ini, yang dipimpin oleh Sri Maharaja Bantar Bumi. Kalau suatu ketika kau berkesempatan marilah melihat-lihat kerajaan yang baru berkembang itu, sejalan perkembangan Tanah Mataram baru ini.”

Kiai Damar menjadi semakin bingung. Apalagi ketika hantu yang menyebut dirinya bernama Dandang Wesi itu bertanya, “He, Kiai Damar. Kalau kau memang benar mampu berhubungan dengan Raja Mataram Kajiman, coba sebutkan bagaimanakah bentuk Prabu Talangsari? Bentuk sewajarnya, dan bentuk yang disukainya?”

Kiai Damar seolah-olah terbungkam. Ia berdiri dengan mata terbelalak. Namun demikian kerisnya masih digenggamnya erat-erat.

“Aku hormat kepadamu, meskipun seorang pembohong,” berkata Dandang Wesi, “kau termasuk seseorang yang berani, seperti para peronda itu. Sekarang, aku akan meneruskan perjalananku ke pusat kota. Mudah-mudahan Perabu Talangsari dapat menerima kehadiranku dan mendengarkan nasehat dan pesan Sri Maharaja Bantar Bumi, supaya Kerajaan Mataram ini tidak menyesal.”

“Tetapi, tetapi ….,” berkata Kiai Damar dengan suara bergetar, “apakah kau akan menanyakan tentang aku?”

“Kenapa?”

“Aku memang belum pernah menghadap Perabu Talangsari. Tetapi senapati-senapatinya lah yang selama ini berhubungan dengan aku.”

“Aku tidak akan berbicara tentang kau. Terlampau kecil namamu untuk dibicarakan di hadapan Raja-raja. Yang akan aku sebut namanya adalah Ki Gede Pemanahan dan Sutawijaya.” Kiai Dandang Wesi berhenti sejenak, “Adalah pikiran yang bodoh sekali, seperti yang pernah kau katakan, bahwa pohon-pohon besar itu adalah bangunan-bangunan yang penting bagi kerajaan. Itu adalah pikiran beberapa abad yang lalu. Tetapi semuanya sekarang sudah lain. Inilah yang akan aku beritahukan kepada Perabu Talangsari.”

Kiai Damar tidak menyahut.

“He, kenapa kau diam saja?” tiba-tiba hantu pendek itu membentak.

Kiai Damar tergagap karenanya.

“Kau sudah menghina aku,” tiba-tiba saja hantu pendek dan timpang itu menjadi sangat marah. Lalu, “Kau tidak percaya kepadaku? Kepada semua ceritaku? Terkutuklah kau.”

Sebelum Kiai Damar menjawab, tiba-tiba hantu pendek itu telah menyerangnya.

Kiai Damar sama sekali tidak menyangka bahwa hal itu akan terjadi. Karena itu, ia tidak dapat berbuat apa-apa ketika dadanya seakan-akan retak karenanya.

Dengan kerasnya ia terpelanting dan jatuh terlentang. Namun kali ini kerisnya masih tetap berada di genggamannya.

Sejenak ia menyeringai kesakitan. Namun kemudian ia mencoba untuk berdiri sambil menggenggam keris pusakanya. Tertatih-tatih ia berusaha. Dan akhirnya ia berhasil tegak di atas kedua kakinya.

Tetapi hantu pendek itu sudah lenyap. Yang terdengar hanyalah suaranya di antara desau angin. “Maaf, Kiai Damar. Aku tidak sempat berurusan dengan kau. Selamat malam. Aku akan segera menemui Perabu Talangsari.”

Kiai Damar menggeram. Tetapi hatinya benar-benar dicengkam oleh keragu-raguan yang dahsyat. Kadang-kadang ia menjadi ngeri. Namun kadang-kadang ia menghentak-hentakkan kakinya dan menggeretakkan giginya.

“Persetan,” ia menggeram. Namun bersamaan dengan itu, bulu-bulu ditengkuknya serasa meremang.

Sejenak kemudian, dengan penuh kebimbangan ia melangkahkan kakinya. Ditemuinya para peronda yang menungguinya dengan cemas.

Ketika mereka melihat Kiai Damar datang sambil menggenggam kerisnya, para peronda itu bertanya, “Apa yang sudah terjadi, Kiai? Kami mendengar lamat-lamat kalian berbicara. Tetapi kami tidak mendengar dan tidak mengerti pembicaraan itu.”

“Aku sudah berhasil mengajaknya berbicara,” berkata Kiai Damar, “bahasanya memang agak lain, karena hantu itu datang dari Gunung Merapi.”

“O.”

“Tetapi semuanya sudah selesai. Semuanya sudah berakhir. Hantu itu tidak akan mengganggu lagi.”

“Jadi, apakah hubungannya dengan hantu-hantu alas Mentaok.”

Kiai Damar menarik nafas, “Aku tetap pada pendirianku. Sebaiknya Ki Gede Pemanahan menunda dahulu usahanya untuk memperluas Tanah Mataram yang baru ini.”

“Begitu?”

“Ya. Selanjutnya, biarlah aku yang menyelesaikan.”

Tetapi sekali lagi seluruh bulu-bulu di tubuh Kiai Damar meremang ketika ia mendengar suara tertawa lamat-lamat, seolah-olah sedang mentertawakan kata-katanya.

“Sudahlah. Kembalilah menghadap Ki Gede Pemanahan,” berkata Kiai Damar kemudian, “aku akan kembali ke pondokku.”

“Apakah kami harus mengantar dengan kuda?”

“Tidak, aku akan berjalan kaki.”

Para peronda itu pun kemudian minta diri, dan Kiai Damar pun berjalan kembali ke pondoknya dengan jantung yang berdebar-debar. Kerisnya masih saja tetap di dalam genggaman. Ia tidak berani menyarungkannya, apabila setiap saat ia bertemu dengan hantu pula.

Namun demikian, di sepanjang langkahnya kembali ke pondoknya, pikirannya selalu dipengaruhi oleh prayangan yang menyebut dirinya Kiai Dandang Wesi yang dahulu semasa hidupnya sebagai manusia, adalah pemomong Sutawijaya selagi masih kanak-kanak.

“Ia tentu orang yang sakti, yang di dalam olah tapanya telah mrayang dengan badan wadagnya,” desis Kiai Damar, “sehingga meskipun ia dapat berbentuk lembut, namun sentuhan wadag manusianya masih terasa di dalam serangan-serangannya yang seakan-akan hanya bermain-main saja itu.”

Dada Kiai Damar menjadi berdebar-debar. Bahkan tanpa sesadarnya ia berkata, “Jika hantu Gunung Merapi itu benar-benar ikut campur, maka semua rencana Panembahan Jati Srana akan gagal. Dan yang akan terjadi adalah benturan antara dua kelompok hantu dari Kerajaan Hantu yang besar. Alas Mentaok dan Gunung Merapi.”

Kiai Damar menjadi termangu-mangu. Ia sendiri tidak tahu, betapa ia menjadi bingung dan cemas. Keragu-raguan yang dahsyat telah melanda dadanya, memecahkan rencana-rencananya sendiri. Apa yang dikatakannya tentang hantu-hantu di Alas Mentaok kini tiba-tiba menjadi masalah baginya. Masalah yang mencemaskannya.

Sementara itu, Kiai Gringsing berjalan tersuruk-suruk mendekati gubug Kiai Damar. Ketika ia menengadahkan wajahnya, ia menjadi gelisah, karena pertanda bintang-bintang di langit mengatakan kepadanya, bahwa malam telah melampaui pertengahannya.

“Mudah-mudahan Agung Sedayu tidak mengambil suatu tindakan apa pun di barak,” katanya di dalam hati. “Aku masih belum berhasil bertemu dengan Kiai Damar.”

Kiai Gringsing pun kemudian mengendap semakin dekat di balik gubug Kiai Damar. Namun ketika dilihatnya gubug itu masih kosong, maka ia pun segera meloncat ke depan. Dengan kepala tunduk ia duduk bersila di muka pintu gubug yang masih terbuka.

Kiai Damar yang berjalan sambil merenung, tiba-tiba terlonjak melihat sesosok tubuh yang kehitam-hitaman duduk di muka pintu gubugnya. Hampir saja ia menyerang dengan keris yang masih digenggamnya. Namun ketika ia melihat bayangan itu mengacu-acukan tangannya sambil memohon, “Ampun Kiai, ampun. Aku orang baik,” maka Kiai Damar pun mengurungkan niatnya.

“Siapa kau he?” bentak Kiai Damar.

“Ampun, Kiai. Aku datang dari barak para penebang hutan.”

“Oh, apa maksudmu?”

“Aku akan menghadap Kiai. Anakku sakit, Kiai.”

“Kenapa?”

“Aku tidak tahu. Tetapi menurut seorang dukun yang tinggal di sebelah barak kami, anak itu keracunan.”

“Kenapa kau kemari?”

“Dukun itu menyuruhku datang kemari. Menurut dukun itu, selain keracunan anakku mendapat gejala penyakit yang lain.”

“Apalagi kata dukun itu?”

“Aku disuruh membawa sebungkus obat kepada Kiai.”

“Lihat. Bawa obat itu kemari.”

Kiai Damar yang masih berdebar-debar itu pun kemudian melangkah memasuki gubugnya. Sebuah lampu minyak yang terayun-ayun oleh angin malam yang lemah menerangi ruangan yang sempit itu.

Kiai Gringsing pun kemudian dengan ragu-ragu memasuki ruangan itu pula sambil membawa sebungkus obat yang didapatnya dari dukun yang tinggal di sebelah baraknya.

Nafas Kiai Damar masih belum berjalan wajar. Sekali-sekali ia masih menarik nafas panjang-panjang untuk menenteramkan hati.

Setelah menyarungkan kerisnya, maka Kiai Damar pun berkata, “Kenapa kau datang di malam larut begini?”

“Aku terlampau cemas Kiai, anakku sakit.”

Kiai Damar pun kemudian menerima sebungkus obat yang diserahkan oleh Kiai Gringsing. Diamat-amatinya obat itu. Lalu katanya, “Kau bawa anak itu kemari?”

“Tidak Kiai, anak itu ternyata terlampau lemah.”

Kiai Damar mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya, “Menurut pengamatanku, kau terlampau berani, bahkan agak sombong sedikit. Kau telah berani menebas, hutan larangan. Hutan yang telah beberapa kali dibuka, tetapi selalu ditinggalkan oleh orang-orang yang berusaha membukanya. Betul begitu?”

“Ya. Ya, Kiai. Dari mana Kiai tahu?”

“Aku melihat,” jawab Kiai Damar sambil mempermainkan kuku ibu jarinya.

“Kiai melihat di kuku ibu jari itu?”

“Anakmu benar-benar telah diterkam hantu. Kau kira anakmu kena apa, he?”

“Aku menyangka anakku itu digigit ular atau binatang-binatang beracun lainnya.”

“Tidak. Anakmu benar-benar telah diterkam hantu. Untunglah saat itu ada orang lain yang dijadikan korbannya. Kalau tidak, pasti anakmu lah yang akan binasa.”

“Kiai tahu bahwa ada orang lain?”

“Ya. Orang lain inilah yang telah diperas darahnya. Kau melihat juga?”

“Ya. Ya, Kiai. Kami melihat seseorang yang terluka. parah.”

“Suatu keuntungan bagimu. Bagi anakmu. Kalau tidak ada korban itu, anakmu lah korbannya.”

“Tetapi tidak seorang pun yang merasa kehilangan atas korban itu. Tidak ada sebuah keluarga pun yang mencarinya.”

Wajah Kiai Damar menjadi tegang sejenak, namun ia berkata, “Anak itu anak bengal dan jahat. Ia sudah melarikan diri dari orang tuanya. Ia datang seorang diri di daerah ini dan mencoba mengadu untung dengan membuka tanah baru. Tetapi orang itu pun terlampau sombong. Melebihi kesombonganmu. Jadilah ini pelajaran bagimu.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Nah, bawalah obat ini kembali kepada anakmu. Aku akan memberinya mantra dan mohon maaf kepada hantu yang telah merasa terganggu. Tetapi ingat, kau harus mengurungkan niatmu membuka tanah itu.”

Dada Kiai Gringsing berdesir. Yang terpenting bagi Kiai Damar agaknya mengurungkan niat untuk membuka hutan lebih banyak lagi. Kepada para peronda dan kepada orang-orang lain dalam setiap kesempatan ia pasti berusaha mencegah meluasnya pembukaan hutan.

“He, apakah kau mengerti?” tiba-tiba Kiai Damar membentak.

“Ya. Ya, Kiai. Aku mengerti.”

“Bawalah obat ini. Ulaskan pada luka anakmu itu. Mudah-mudahan ia menjadi segera sembuh. Tetapi jangan diulangi kesalahan yang pernah dilakukannya bersamamu. Ketahuilah, bahwa setiap jengkal tanah akan dipertahankan oleh para lelembut di daerah Alas Mentaok ini.”

“Ya. Ya, Kiai. Aku akan menghindari kemungkinan yang lebih jelek bagi anak-anakku.”

“He, berapakah anak-anakmu itu?”

“Dua, Kiai. Yang seorang adalah yang sekarang sedang sakit.”

“Baiklah. Pergilah,” Kiai Damar berhenti sejenak, “tetapi kau memang termasuk seorang pemberani. Mau berani datang kemari di larut malam begini.”

“Terpaksa sekali, Kiai, terpaksa sekali.”

“Pergilah.”

Kiai Gringsing pun segera meninggalkan gubug itu setelah beberapa kali mengucapkan terima kasih. Tersuruk-suruk ia berjalan di dalam kegelapan malam. Setelah melampaui beberapa patok jalan setapak dan gerumbul-gerumbul yang liar, Kiai Gringsing mulai merasa seseorang mengawasinya. Tetapi ia tidak menghiraukannya. Ia berjalan terus, meskipun ia masih mempunyai beberapa rencana.

Dadanya menjadi berdebar-debar ketika ia sadar, tidak hanya seorang sajalah yang mengawasinya. Pasti lebih.

Sebagai seorang perantau, maka dengan hati-hati ia mencoba mengamat-amati jalan yang dilaluinya. Kemudian dikenalnya beberapa batang pohon dengan baik. Beberapa macam tanda pengenal yang khusus dan tanda-tanda bintang di langit.

Demikianlah, ketika menurut pengenalan perasaannya ia sudah terlepas dari pengawasan, maka ia pun segera menyusup di balik gerumbul-gerumbul yang lebat. Dengan ketajaman pengamatannya maka ia pun segera melingkar kembali mendekati gubug Kiai Damar. Dengan sangat hati-hati ia berusaha mendekatinya dari belakang. Setiap langkah Kiai Gringsing selalu memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang ada di sekitarnya. Namun ia berhasil melepaskan diri dari setiap pengamatan, sehingga ia dapat mendekati gubug itu kembali.

Kiai Gringsing menahan nafasnya ketika ia mendengar suara dari dalam gubug itu, “Aku menunggunya lama sekali, Kiai.”

“Apakah ia sudah lama datang?”

“Sudah terlalu lama.”

“Aku tidak ada di tempat.”

“Apakah Kiai pergi?”

“Ya. Dengan para peronda. Agaknya orang itu menunggu aku di muka gubug ini, karena ketika aku kembali, orang itu sudah duduk bersila di depan pintu yang terbuka.”

“Hampir saja aku kehilangan kesabaran, dan meninggalkan tempat pengawasan itu,” berkata yang lain.

“Untung, kau tidak datang kemari. Kalau kau datang, orang itu pasti bertanya-tanya, siapakah yang telah datang ke tempat ini pula, atau kaulah yang akan disangkanya bernama Kiai Damar, maksudku dukun sakti yang akan ditemuinya, karena ia belum pernah mengenal aku dan barangkali juga belum mengenal namaku kecuali orang-orang di barak itu telah memberitahukannya.”

“Ya,” suara yang lain lagi, “aku pun hampir mendatanginya kemari.”

“Apakah kemudian orang itu menumbuhkan kecurigaan kalian?”

“Tidak. Ternyata tidak.”

Kiai Gringsing yang mendengarkan di balik dinding menarik nafas lega. Sesaat ia masih tetap berada di tempatnya. Menurut pengamatannya, di dalam gubug itu ada lebih dari tiga orang selain Kiai Damar sendiri.

Sejenak kemudian ia mendengar suara Kiai Damar perlahan-lahan, “Tetapi aku telah menjumpai persoalan baru sesaat sebelum aku menemui orang tua itu.”

“Apa, Kiai?”

“Sebenarnya aku sendiri masih ragu-ragu. Tetapi biarlah aku ceriterakan saja apa yang aku lihat.”

Orang-orang yang lain pun bergeser maju, “Apakah ada sesuatu yang penting terjadi?”

“Ya,” jawab Kiai Damar yang kemudian menceriterakan apa yang dilihatnya bersama para peronda itu, dan yang kemudian telah melibatnya dalam perkelahian.

“Nah, aku sendiri tidak mengerti bagaimana kita harus menanggapi keadaan itu.”

Sejenak tidak terdengar sesuatu. Namun kemudian salah seorang bertanya, “Apakah Kiai menganggap bahwa yang telah Kiai temui benar-benar prayangan dari Gunung Merapi?”

“Itulah yang meragukan aku. Tetapi untuk menolak kepercayaan itu pun agaknya terlampau berat.”

Ruangan itu kembali menjadi sepi. Yang terdengar hanyalah desah nafas yang bersahut-sahutan


“Sudahlah,” berkata Kiai Damar, “sebaiknya kita menunggu perkembangan keadaan. Rencana kita sementara ini berjalan terus.”

“Baiklah. Kita masih harus menunggu bukti-bukti mendatang dari makhluk yang menyebut dirinya bernama Kiai Dandang Wesi itu.”

Belum lagi mereka selesai berbicara, tiba-tiba mereka terkejut. Serentak mereka meraba senjata masing-masing ketika mereka mendengar suara tertawa dalam nada yang tinggi meskipun lamat-lamat seperti yang sudah pernah didengar oleh Kiai Damar, seolah-olah suara itu sedang mentertawakan pembicaraan mereka.

“Suara itulah yang pernah aku dengar,” desis Kiai Damar.

“Marilah kita cari,” ajak seorang dari mereka.

Kiai Damar termenung sejenak lalu, “Tidak ada gunanya. Hantu itu pasti sudah pergi atau menghindarkan diri dari tangkapan mata wadag kita. Biarlah ia pergi, sementara kita harus semakin berhati-hati.”

Kawan-kawan Kiai Damar itu pun menjadi termangu-mangu sejenak. Sebenarnya mereka pun ragu-ragu, apakah mereka akan dapat menemukan sumber suara itu apabila mereka mencarinya. Karena itu, maka mereka pun mengangguk-anggukkan kepalanya, dan salah seorang berkata, “Soalnya akan bertambah sulit. Tetapi yang aneh adalah justru adanya Kerajaan Mataram Kajiman. Kita yang tinggal di sini dan banyak mengetahui mengenai Alas Mentaok dengan segala isinya, belum pernah mendengar nama Prabu Talangsari.”

Kiai Damar tidak menjawab. Tetapi wajahnya menjadi tegang.

Dalam pada itu Kiai Gringsing berjalan dengan sangat tergesa-gesa kembali ke barak. Ternyata tengah malam telah lama lampau. Seandainya Agung Sedayu tidak sabar menunggu, maka keadaan di barak itu pasti akan segera berubah.

Sebenarnyalah bahwa Agung Sedayu hampir tidak dapat menahan hati lagi. Dengan gelisahnya ia menunggu. Ketika tengah malam lewat, dan gurunya belum juga datang, maka dengan dada berdebar-debar ia bangkit dan duduk di samping Swandaru.

“Guru belum datang?” desis Swandaru yang ternyata belum tidur juga.

Agung Sedayu menggeleng, “Belum. Aku menjadi gelisah. Guru berpesan, apabila lewat tengah malam guru tidak datang, maka aku harus berbuat sesuatu.”

“Sekarang?”

“Semakin cepat, semakin baik.”

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kemudian katanya, “Aku ikut bersama Kakang. Bukankah Kakang akan mencari Ki Gede Pemanahan dan melaporkan apa yang telah terjadi?”

Agung Sedayu mengangguk. Namun kemudian ia berkata, “Tetapi kau masih terlampau lemah.”

“Tidak. Aku sudah hampir pulih kembali. Obat yang diberikan oleh guru terlampau baik, meskipun masih juga terasa kelemahan pada sendi-sendi.”

“Tinggallah kau di sini.”

“Tidak, Kakang, aku akan ikut serta.”

“Hus,” desis Agung Sedayu, “jangan terlampau keras.”

“Kalau aku tinggal di sini,” berkata Swandaru kemudian, “mungkin aku tidak akan dapat mengendalikan diri. Mungkin aku berbuat sesuatu atas orang-orang dungu itu.”

Agung Sedayu menjadi bimbang. Tetapi setiap saat agaknya menjadi sangat berharga. Kalau gurunya benar-benar mengalami kesulitan, maka ia segera memerlukan seseorang yang dapat membantunya. Orang itu tidak lain adalah Ki Gede Pemanahan.

Namun kemudian ia berdesis, “Aku akan menunggu, sejenak. Aku akan menengoknya di halaman. Kalau jelas bahwa guru tidak datang, sebentar lagi aku akan pergi. Kalau kau sudah merasa baik, kita akan pergi bersama-sama.”

“Sekarang, apa yang akan Kakang lakukan?”

“Turun ke halaman.”

“Terus pergi?”

“Tidak. Kalau aku pergi, aku akan memberitahukan kepadamu.”

Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Kau harus tetap berbaring. Aku akan pergi ke luar. Kalau ada yang melihatku dan bertanya, aku akan menjawab bahwa kau haus.”

Swandaru mengangguk-angguk pula.

Agung Sedayu pun kemudian perlahan-lahan berjalan di antara orang-orang yang sudah tidur nyenyak. Didorongnya pintu barak itu dengan hati-hati. Sejenak dilemparkan pandangan matanya ke luar. Ke dalam kegelapan malam. Tanpa sesadarnya ia meraba lambungnya. Ketika terasa tangkai cambuk di bawah bajunya, maka ia pun menarik nafas dalam-dalam. Di dalam hati ia berkata, “Kalau terpaksa, apa boleh buat.”

Dengan hati-hati pula ia kemudian melangkahkan kakinya ke luar. Tetapi langkahnya tertegun ketika ia mendengar seseorang bertanya, “He, mau kemana?”

Agung Sedayu berpaling. Dilihatnya orang yang bertubuh kekar itu kini ternyata berbaring di luar pintu.

“Adikku yang sakit memerlukan air. Ia sangat haus.”

“Ah gila kau. Apakah kau tidak tahu bahwa itu sangat berbahaya bagimu dan bagi adikmu yang sedang sakit itu?”

“Tetapi ia haus sekali.”

“Kemana kau akan mencari air?”

“Ke sumur.”

“Oh, kau memang anak yang tidak tahu diri. Apakah kau tidak takut ditelan hantu yang kadang-kadang berkeliaran di malam hari?”

“Kalau hantu itu lewat, kita akan mengetahuinya,” jawab Agung Sedayu.

“Darimana kau tahu?”

“Suara gemerincing itu.”

“Bodoh. Bodoh. Kau adalah anak dungu yang sombong. Tidak semua hantu memakai kelinting dan menumbuhkan suara gemerincing. Kau mendengar ceritera orang yang kurus itu? Di bawah pohon belimbing dilihatnya bayangan yang menakutkan.”

“Ya. Ya.”

“Nah, kembalilah saja ke tempatmu.”

“Tetapi, bagaimana kalau adikku itu mati. Ia kehausan sekali. Nanti ayah akan marah kepadaku.”

“Tunggu saja sampai ayahmu datang. Bukankah ia sudah mencari obat?”

“Maksudku, kalau adikku itu mati sebelum ayah datang.”

“Jadi bagaimana maksudmu?”

“Aku akan mengambil air.”

“O, kau memang anak gila. Terserahlah kepadamu kalau kau berani menanggung akibat bagimu sendiri dan bagi seluruh isi barak ini.”

“Apakah hubungannya dengan isi barak ini?”

“Hantu-hantu yang marah pasti akan mengutuk kita semua seolah-olah kita tidak dapat mencegah kesalahan-kesalahan yang kita lakukan sendiri di sini.”

“Tetapi apakah hantu-hantu itu pemarah? Apakah salah kita kalau kita sekedar mengambil air di malam hari?”

Wajah orang yang bertubuh kekar itu menjadi merah. Matanya memancarkan sorot yang aneh. Ditatapnya Agung Sedayu dengan pandangan yang tajam, seolah-olah ingin menembus isi jantungnya.

“Kau memang anak yang keras kepala. Sejak kau datang bersama ayahmu kami sudah mengira, bahwa kau dan keluargamu itu adalah orang-orang bodoh yang sombong, yang tidak mau mendengarkan nasehat orang lain.”

Agung Sedayu masih berdiri tegak di tempatnya. Namun dengan demikian ia menjadi semakin bernafsu untuk pergi ke luar. Usaha orang itu untuk mencegah dan menakut-nakutinya telah menumbuhkan berbagai pertanyaan di hati Agung Sedayu.

“Tetapi,” berkata Agung Sedayu, “adikku sudah terlampau haus. Kalau aku bertemu dengan hantu itu, biarlah aku menyembahnya. Mungkin hantu itu pun akan beriba hati dan membiarkan aku lepas dari kemarahannya.”

“Persetan,” bentak orang yang bertubuh kekar itu. Namun ternyata pembicaraan itu telah membangunkan beberapa orang yang tidur di sekitarnya. Di sekitar orang yang bertubuh kekar itu.

“Ada apa?” bertanya salah seorang dari mereka.

“Anak gila itu akan pergi ke sumur,” jawab orang kekar ini.

“Di malam begini?”

“Aku mencoba mencegahnya. Tetapi ia keras kepala.”

“Adikku sakit keras. Ia merasa haus sekali. Meskipun hanya setitik air, ia ingin minum air sumur.”

“Kenapa kita ributkan anak itu?” bertanya seorang yang sudah ubanan. “Biar saja apa yang akan terjadi atasnya. Kita sudah mencoba memberinya peringatan bahkan sudah mencoba mencegahnya. Tetapi kalau ia memang keras kepala, itu tanggung jawabnya sendiri.”

“Jangan hiraukan anak itu,” berkata yang lain, “apa pun yang akan dikerjakannya. Adiknya sudah kualat dan sakit begitu parah. Kalau peringatan itu masih belum disadarinya, biarlah akibat apa saja yang akan menimpanya kelak.”

Beberapa orang yang mengangkat kepalanya, segera kembali melingkar sambil berkerudung kain.

“Tidak!” tiba-tiba orang yang kekar itu membentak, sehingga mereka yang sudah ingin kembali tidur itu terbangun pula. “Kutukan hantu-hantu itu tidak akan hanya sekedar menimpa ketiga ayah beranak ini. Tetapi kita pun akan mengalami akibatnya pula.”

“Kenapa kita?”

“Mereka menganggap kita sebagai suatu kesatuan. Bukan seorang demi seorang. Karena itu kesalahan seseorang akan dapat menimpa kepada kita seluruhnya, apabila mereka menjatuhkan kutukan.”

“Tetapi,” Agung Sedayu memotong, “apa salahnya kalau aku hanya sekedar ingin mengambil air? Bukankah hal itu wajar sekali dan tidak akan mengganggu apa pun?”

“Bodoh, kau. Bodoh sekali. Bagaimana kalau sumur itu bagi mereka terletak dekat dengan pembaringan? Kau tentu akan mengejutkan mereka. Kalau anak-anak mereka terbangun dan menangis, kau akan dicekiknya.”

Agung Sedayu telah hampir kehilangan segenap kesabarannya, sehingga hampir di luar sadarnya ia menyahut, “Kalau mereka memang akan berbuat sewenang-wenang, apa boleh buat. Biarlah aku dicekik.”

Jawaban itu benar-benar telah mengejutkan. Bukan saja orang yang tinggi kekar itu, tetapi juga orang-orang lain yang mendengarnya. Seorang yang bertubuh pendek tiba-tiba bangkit dan duduk sambil meraba-raba matanya. Katanya, “Jangan berkata begitu, anak muda. Itu tidak baik.”

“Aku sangat memerlukan air sekarang,” berkata Agung Sedayu kemudian. Dan tanpa menghiraukan siapa pun lagi, Agung Sedayu pun segera melangkahkan kakinya.

Tetapi ia terpaksa berhenti ketika orang yang tinggi kekar itu pun meloncat dan berdiri dua langkah saja di hadapannya.

“Kau sangat menyakitkan hati kami di sini,” berkata orang yang kekar itu. “Sebenarnya aku pun tidak akan peduli lagi, apakah kau akan mati karena kesombonganmu. Tetapi kata-katamu yang menusuk perasaan kami itu harus kau tebus.”

Agung Sedayu masih tetap sadar, betapa kejengkelan serasa menghentak-hentak dadanya. Karena itu, maka ia pun mundur selangkah.

“Aku tidak bermaksud demikian,” katanya.

“Diam, diam. Kalau kau berani menjawab sekali lagi, aku tampar mulutmu.”

Agung Sedayu benar-benar tidak menjawab. Sementara itu beberapa orang telah bangkit pula dan mencoba menyabarkan orang yang tinggi kekar itu, “Sudahlah. Kau terlampau membencinya, sehingga setiap kali kau marah kepadanya. Sekarang jangan, jangan hiraukan lagi anak bengal itu. Biarlah ia menerima akibat langsung dari kebengalannya.”

“Tetapi ia menghina kami.”

“Bukan maksudnya. Anak itu sedang bingung karena adiknya yang sakit itu.”

Orang yang tinggi kekar itu menggeretakkan giginya. Geramnya, “Kau masih bernasib baik. Pada suatu, saat aku tidak akan bersedia menyabarkan diri. Ingat, kau harus tahu bahwa di seluruh daerah ini, tidak ada seorang pun yang berani melawan kehendakku. Semua orang-orang ini tidak. Para petugas pun tidak.”

Agung Sedayu tidak menyahut. Kata-kata itu selalu diulang-ulanginya.

“Sudahlah, pergilah,” berkata seseorang kepada Agung Sedayu, “kalau kau masih berdiri saja di situ, mungkin mulutmu benar-benar akan berdarah dan membengkak. Aku pernah menyaksikan hal yang serupa pada seorang anak muda yang sombong seperti kau. Tetapi akhirnya anak itu hampir mati ketakutan.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tetapi ia sudah berniat untuk keluar dari barak itu, sehingga ketika orang-orang itu melihatnya berjalan juga keluar, mereka menggeleng-gelengkan kepala. Salah seorang bergumam, “Anak yang keras hati.”

Orang yang tinggi kekar itu menggeram. Kalau saja tidak terhalang oleh beberapa orang, ia sudah meloncat dan menerkam Agung Sedayu.

Agung Sedayu yang kemudian turun ke halaman barak itu tidak berpaling lagi. Ia tidak mau kehilangan kesempatan itu, sehingga dengan tergesa-gesa ia pun kemudian menghilang di dalam gelap.

Ketika hiruk-pikuk di dalam barak sudah tidak terdengar lagi, barulah Agung Sedayu menyadari keadaan dirinya. Ia kini berdiri di dalam gelapnya malam. Bagaimana pun juga terasa bulu-bulunya meremang.

Namun, anak muda itu kemudian menghentakkan tangannya sambil menggeram, “Manusia adalah makhluk terkasih dari Yang Maha Kuasa. Tidak ada makhluk yang akan dapat mengganggunya, selagi manusia itu sendiri tidak memisahkan diri dari Tuhannya.”

Agung Sedayu pun kemudian seolah-olah mendapatkan kekuatan dan keberanian yang baru. Perlahan-lahan ia berjalan di dalam gelapnya malam. Ditatapnya jalur jalan yang membujur seakan-akan menghunjam ke dalam kelam. Dari sana gurunya nanti akan datang, apabila tidak ada kesulitan di jalan.

“Tengah malam telah lewat,” desis Agung Sedayu. “Kalau guru tidak segera datang, aku harus menghadap Ki Gede Pemanahan.”

Tetapi Agung Sedayu belum tahu dengan pasti, jalan yang paling dekat menuju ke pusat tanah yang sudah dibuka ini.

“Tetapi aku sudah mendapat ancar-ancarnya,” ia bergumam pula.

Tanpa sesadarnya Agung Sedayu berjalan semakin lama semakin jauh. Tetapi ketika ia berpaling, ia masih melihat cahaya lampu yang kemerah-merahan menyusup dari celah-celah dinding.

“Swandaru akan ikut serta, apabila aku pergi ke tempat Ki Gede Pemanahan,” desis Agung Sedayu.

Namun selagi Agung Sedayu berjalan selangkah demi selangkah menyongsong gurunya, yang sama sekali masih belum tampak, meskipun tengah malam telah agak jauh lalu, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara yang aneh dari balik gerumbul. Dengan serta-merta Agung Sedayu mempersiapkan dirinya meskipun ia belum bersikap.

Dadanya berdesir tajam sekali ketika kemudian ia mendengar suara gemerincing. Pikirannya segera lari kepada pengenalannya atas suara itu, seperti yang pernah didengarnya di sekitar barak beberapa malam yang lalu.

“Hantu itu,” desisnya.

Tetapi segera ia mengenal dirinya sendiri sebagai makhluk terkasih dari Yang Maha Kuasa. Yang lebih kuasa dari hantu-hantu yang mana pun juga. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia berdiri tegak dengan kaki renggang, seolah-olah ia sedang menghadapi lawan yang menantangnya berperang tanding. Sedang tangan kanannya telah melekat pada tangkai cambuknya yang membelit di lambung di bawah bajunya.

Namun dada Agung Sedayu menjadi berdebar-debar, bahkan tangannya menjadi gemetar ketika ia melihat sesosok tubuh yang tinggi, tinggi sekali. Hampir dua kali lipat tubuhnya sendiri. Di ujung tubuh yang tinggi kehitam-hitaman itu, menjenguk sebuah tengkorak yang mengerikan. Di seputar matanya yang hitam menjorok ke dalam, tampak cahaya yang berkeredipan.

Tanpa sesadarnya, Agung Sedayu melangkah surut. Ia adalah seorang anak muda yang di masa kecilnya dikungkung oleh perasaan takut. Takut kepada apa pun juga. Di jalan menuju ke Sangkal Putung, ia hampir menjadi pingsan ketika teringat olehnya Hantu Bermata Satu yang menurut pendengarannya menunggui pohon randu alas di tikungan.

Setelah ia berhasil memecahkan tali yang mengikat perasaannya itu, kini tiba-tiba ia telah bertemu dengan hantu. Hantu yang ditakuti oleh sekian banyak orang.

Hampir saja Agung Sedayu dicengkam kembali oleh perasaan takutnya. Namun sekali lagi ia menghentakkan perasaannya. Diam-diam ia berdoa di dalam hatinya. Suatu keyakinan yang kuat kini telah tumbuh di hatinya, keyakinan yang belum dipunyainya pada saat ia berhadapan dengan hantu Bermata Satu pada pohon randu alas itu.

Karena itu, Agung Sedayu kini tidak lari dan juga tidak pingsan. Ia percaya kalau ia akan mendapat kekuatan untuk melawan hantu itu. Lahiriah, yang dapat diberikan oleh wadagnya dan kekuatan yang tersembunyi di dalam dirinya pasti akan terungkat karena Yang Maha Kuasa pasti membenarkan perlawanannya.

Tiba-tiba Agung Sedayu itu menggeram. Ketika hantu yang tinggi itu melangkah maju, terayun-ayun seperti sebatang pohon jambe. Agung Sedayu melangkah maju.

Justru karena itu, maka langkah hantu itu pun terhenti. Ia agaknya menjadi heran melihat Agung Sedayu yang seolah-olah tidak menjadi takut sama sekali.

Bahkan Agung Sedayu yang telah mapan itu kemudian bertanya meskipun suaranya gemetar, “Kaulah yang disebut hantu?”

Hantu itu tidak segera menjawab. Agaknya ia masih berdiri terheran-heran.

“He, apakah hantu-hantu dapat berbicara?” desak Agung Sedayu.

Agung Sedayu terkejut ketika ia mendengar jawaban melengking, “He, anak muda. Kau mempunyai keberanian yang luar biasa.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ternyata hantu-hantu berbicara dengan perutnya, karena tidak ada lagi mulut dan bibirnya.

“Anak muda,” suaranya melengking-lengking, “aku masih akan memaafkan engkau, kalau engkau merubah kelakuanmu dan minta maaf kepadaku.”

“Apa salahku?” bertanya Agung Sedayu.

“Kau terlampau sombong meskipun kau pemberani. Tetapi kau amat dungu.”

Agung Sedayu menjadi heran. Hantu-hantu itu menganggapnya terlampau sombong dan dungu seperti orang yang kekar dan orang yang kekurus-kurusan itu.

“Apakah kau menganggap aku terlampau sombong apabila aku mencemaskan nasib ayahku yang sedang mencari obat untuk adikku yang sakit?”

“Ayahmu juga terlampau sombong. Aku sudah memperingatkan kalian dengan cara yang paling baik. Adikmu yang sakit itu.”

Agung Sedayu terdiam sejenak. Sekilas dikenangnya adiknya yang sedang terbaring di barak. Tetapi sakit Swandaru itu sebenarnya sudah jauh berkurang. Bahkan sudah hampir tidak berpengaruh lagi. Sebentar lagi kekuatannya pun pasti akan segera pulih kembali.

“He. Apakah kau mendengar?” bertanya hantu itu. Suaranya menjadi semakin tinggi.

“Ya. Aku mendengar,” jawab Agung Sedayu, “tetapi kenapa kalian berbuat demikian? Apakah kami telah merugikan kalian?”

“Kau memang benar-benar dungu. Hutan ini adalah hutan kami. Kalian sama sekali tidak sopan. Kalian telah merusak kerajaan kami.”

“Hutan ini terlampau lebat dan luas. Kenapa kita harus saling berebutan?”

“Kalianlah yang datang kemudian.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dicobanya untuk melihat hantu itu sebaik-baiknya. Namun malam terlampau gelap, apalagi bayangan dedaunan dan gerumbul-gerumbul yang membuat malam semakin kelam.

“Berjanjilah,” desis hantu itu, “berjanjilah bahwa kau akan mengurungkan niatmu.”

“Aku adalah sebagian kecil saja dari mereka yang membuka hutan. Kalau kalian, hantu-hantu memang berkeberatan, sebaiknya kalian menemui Ki Gede Pemanahan dan Mas Ngabehi Loring Pasar. Kepada keduanya itulah kalian harus berbicara.”

“Tentu, raja kami akan berbicara kepada mereka.”

Agung Sedayu masih akan menjawab lagi, tetapi ia terperanjat ketika tiba-tiba saja ia mendengar suara tertawa. Bukan saja Agung Sedayu, hantu itu pun ternyata dapat terkejut juga.

Sejenak keduanya, Agung Sedayu dan hantu yang tinggi itu berdiri mematung. Mereka serentak berpaling ketika mereka mendengar suara gemerasak, kemudian terdengar sesuatu terjatuh di tanah.

Agung Sedayu menjadi semakin berdebar-debar. Apakah kawan hantu-hantu itu berdatangan dan akan bersama-sama mengeroyoknya? Dengan demikian maka tangannya pun segera meraba tangkai cambuknya. Kalau ia terpaksa mempergunakannya, ia mengharap bahwa senjatanya itu akan dapat membantunya.

Tetapi sekali lagi Agung Sedayu dan bahkan hantu yang tinggi itu terperanjat. Tiba-tiba saja mereka mendengar suara tertawa itu kembali. Ketika mereka berpaling, tanpa mereka ketahui darimana datangnya, mereka melihat seonggok benda yang kehitam-hitaman di dalam kelamnya malam dan bayang-bayang dedaunan.

“Ih, ih,” suaranya terdengar aneh sekali, “aku sudah bertemu dengan rajamu, Raja Kerajaan Mataram Kajiman. Aku baru saja menghadap Prabu Talangsari. Kau dengar he, jerangkong yang bodoh?”

Hantu yang tinggi itu berdiri terheran-heran. Sejenak ia tidak dapat berbuat apa-apa. Bahkan setapak ia melangkah surut.

“Kau jangan mengucapkan nama raja Mataram yang bergelar Perabu Talangsari dengan sekendak hatimu,” benda yang kehitam-hitaman yang teronggok di tanah itu berkata seterusnya, “aku adalah Kiai Dandang Wesi, pemomong Sutawijaya yang telah mrayang dan menjadi hulubalang kerajaan hantu di Gunung Merapi. Aku telah menemui Sri Perabu Talangsari. Bertanyalah kepada senapati-senapatimu he, jerangkong yang bodoh. Kau adalah hantu yang rendah derajadmu meskipun bentukmu menakutkan bagi anak-anak.”

Hantu yang tinggi itu untuk sejenak berdiam diri. Namun kemudian selangkah demi selangkah ia mundur.

“Pergilah,” bentak benda hitam yang teronggok di tanah.

Hantu yang tinggi itu berhenti sejenak. Namun tiba-tiba ia mengaduh. Sebuah benda telah mengenainya. Tepat pada perutnya yang mengeluarkan suara.

“Kalau kau tidak pergi,” berkata benda yang teronggok itu, “kau akan mendapat bentuk yang lain dari bentukmu yang sekarang. Dan kau akan menjadi hantu yang paling rendah derajadmu. Endeg pangamun-amun yang setiap siang dijemur di panas matahari yang terik, atau sebangsa klitik yang akan dipakai sebagai alas tempat duduk Perabu Talangsari.”

Hantu yang tinggi itu semakin lama semakin menjauhi benda itu. Ketika sebagian tubuhnya telah tertutup oleh gerumbul, maka tiba-tiba saja kepalanya terayun dan hilang di dalam gelapnya malam. Yang terdengar kemudian adalah gemerisik daun-daun yang tersibak.

Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Jantungnya seakan-akan berdentang semakin keras. Tiba-tiba saja ia dihadapkan pada dua jenis hantu yang bermusuhan.

Namun ketika ia berpaling, darahnya tersirap. Hantu yang seakan-akan tidak mempunyai bentuk itu telah lenyap pula tanpa bekas.

Sejenak Agung Sedayu berdiri termangu-mangu. Digosok-gosoknya matanya, seakan-akan ia tidak percaya pada penglihatannya. Bahkan ia pun kemudian berdesis, “Bukankah aku tidak bermimpi?”

Beberapa saat Agung Sedayu berdiri di tempatnya. Teka-teki yang di hadapinya ternyata terlampau sulit untuk dipecahkannya.

“Aku akan mengatakannya kepada guru. Mungkin guru pernah melihat jenis-jenis hantu serupa itu,” Agung Sedayu berkata kepada diri sendiri.

Namun, dengan demikian ia pun segera teringat kepada gurunya. Tengah malam telah jauh lampau. Tetapi Kiai Gringsing masih juga belum kembali.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun pertemuannya dengan hantu-hantu itu justru membuatnya menjadi semakin tatag. Karena itu maka ia pun melanjutkan langkahnya menyusuri jalan sempit yang akan dilalui oleh gurunya.

Dalam keremangan malam, sekali lagi langkahnya terhenti. Ia melihat bayangan kehitam-hitaman di jalan yang dilaluinya itu pula. Semakin lama menjadi semakin dekat.

Sekali lagi Agung Sedayu bersiaga. Kini ia merasa benar-benar telah berada di sebuah dunia yang asing. Dunia hantu-hantu. Seakan-akan ia berada di tengah-tengah masyarakat hantu yang mengerikan.

Tetapi Agung Sedayu tidak lari. Ia berdiri tegak dengan ketabahan hati, menunggu bayangan yang kehitam-hitaman itu menjadi semakin dekat pula.

Namun Agung Sedayu itu kemudian menarik nafas panjang. Panjang sekali. Semakin dekat bayangan itu, semakin jelas baginya, bahwa bayangan itu adalah sesosok tubuh seseorang yang berjalan perlahan ke arahnya. Dan Agung Sedayu pun segera mengenal pula bahwa orang itu adalah gurunya, Kiai Gringsing.

“Guru,” desis Agung Sedayu.

“Kenapa kau berada di sini?” bertanya Kiai Gringsing.

Agung Sedayu tidak segera menjawab. Ditatapnya Kiai Gringsing tajam-tajam seperti hendak meyakinkan dirinya, bahwa ia benar-benar berhadapan dengan gurunya.

“Apakah yang aku hadapi ini bukan sesosok hantu yang menyamar sebagai Guru?” pertanyaan itu tiba-tiba saja melonjak di hatinya.

Namun wajahnya kemudian menjadi kemerah-merahan ketika ia mendengar gurunya seakan-akan dapat menebak isi hatinya, “Agung Sedayu, kenapa kau memandangku begitu? Apakah kau ragu-ragu bahwa aku benar-benar gurumu? Cobalah, raba tubuhku. Menurut pendengaranku, tubuh hantu terlampau dingin.”


Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ketika ia mendengar gurunya tertawa, ia pun tertawa pula.

“Aku menjadi sangat cemas,” berkata Agung Sedayu kemudian, “tengah malam telah jauh lewat.”

“Ya. Aku harus menunggu Kiai Damar, dukun itu. Ternyata ia sedang pergi dari rumahnya.”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tiba-tiba ia bertanya, “Apakah guru lama menunggu?”

“Ya, cukup lama.”

“Apakah Guru pasti bahwa Kiai Damar yang guru katakan itu akan kembali malam ini juga?”

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tersenyum, “Tentu tidak.”

“Bagaimana kalau ia tidak kembali?”

“Tentu aku tidak akan menunggu sampai besok,” jawab gurunya. “Sebenarnya aku pun sudah mulai gelisah, ketika bintang Gubug Penceng tepat di atas ujung Selatan Bumi.”

“Aku sudah berniat untuk menghadap Ki Gede Pemanahan. Tetapi untunglah, aku belum berangkat.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu katanya, “Bagaimana dengan adikmu?”

“Ia menjadi semakin baik. Kalau aku akan menghadap Ki Gede Pemanahan, ia akan serta.”

“Aku kira ia memang sudah berangsur sembuh, meskipun kekuatannya belum pulih kembali.”

“Sayang,” berkata Agung Sedayu tiba-tiba, “Guru tidak datang lebih cepat.”

“Kenapa?”

“Aku terpaksa bertengkar dengan orang yang tinggi kekar itu.”

“Kau apakan orang itu?”

“Aku tidak berbuat apa-apa,” sahut Agung Sedayu yang kemudian menceriterakan pertengkarannya dengan orang yang kekar itu.

“Bagus. Memang sebaiknya kau tidak berbuat apa-apa.” Namun Kiai Gringsing kemudian berpikir, “Tetapi bagaimana dengan Swandaru yang kau tinggalkan itu?”

“Maksud, Guru?”

“Apakah anak itu tidak menjadi sasaran kemarahan mereka?”

“Tetapi Swandaru sudah sembuh.”

“Itulah yang aku cemaskan. Ia tidak akan dapat menahan hati sejauh yang dapat kau lakukan.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Lalu, “Tetapi orang-orang lain bersikap baik. Mereka akan melerainya.”

Ketika Kiai Gringsing kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Agung Sedayu berkata, “Selain itu, aku masih mempunyai ceritera yang barangkali menarik juga buat Guru.”

“Apa?”

“Hantu-hantu yang saling bertengkar.”

“He?”

Dan sekali lagi Agung Sedayu berceritera. Kali ini tentang hantu Alas Mentaok dan hantu Gunung Merapi.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Kita sebaiknya berbicara sambil berjalan.”

Keduanya pun kemudian berjalan kembali ke barak mereka. Di sepanjang jalan Agung Sedayu tidak habis-habisnya berceritera tentang hantu yang tinggi, hitam dan berkepala tengkorak, yang oleh hantu Gunung Merapi yang hampir tidak berbentuk itu disebutnya jerangkong.

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Kalau begitu persoalannya akan menjadi semakin panjang. Agaknya ada pertentangan antara Alas Mentaok yang disebut sebagai suatu kerajaan, melawan Gunung Merapi yang juga menyebut dirinya suatu kerajaan.”

“Ya.”

“Kalau begitu, kita menjadi berbesar hati. Bukankah hantu-hantu dari Gunung Merapi berpihak kepada kita? Maksudku kepada mereka yang membuka hutan ini?”

“Ya. Begitulah agaknya.”

“Itulah yang harus kita katakan kepada setiap orang agar mereka menjadi agak berani.”

Ketika mereka sampai di barak, mereka melihat di serambi, orang-orang yang tidur dengan nyenyaknya. Sekelompok-sekelompok. Dengan demikian, maka Kiai Gringsing dan Agung Sedayu pun berjalan sambil berjingkat, agar tidak mengejutkan mereka. Tetapi mereka terpaksa membangunkan beberapa orang karena pintu yang tidak terbuka cukup lebar. Ketika tangan Kiai Gringsing mendorong pintu itu, maka meloncatlah derit yang panjang.

“He, kau baru pulang?” bertanya seseorang.

Kiai Gringsing berpaling. Dilihatnya seorang tua mengangkat kepalanya.

“Ya, aku baru pulang,” desis Kiai Gringsing perlahan-lahan.

Ternyata orang-orang lain yang terbangun tidak bertanya apa pun lagi, sehingga Kiai Gringsing pun kemudian langsung menemui Swandaru yang masih terbaring di tempatnya.

Di dalam cahaya lampu minyak yang remang-remang Kiai Gringsing dan Agung Sedayu melihat Swandaru berbaring diam di tempatnya, seolah-olah sedang tidur dengan nyenyaknya.

Namun beberapa langkah lagi mereka mendekat, wajah Kiai Gringsing menjadi tegang. Dengan tergesa-gesa ia meloncat dan langsung berjongkok di samping muridnya yang sedang sakit itu.

“Swandaru, Swandaru,” desas Kiai Gringsing perlahan-lahan. Tetapi Swandaru tidak menyahut.

“Guru, kenapa anak itu?” Agung Sedayu pun menjadi tegang pula.

Dengan tangan gemetar Kiai Gringsing meraba kening, dahi dan kemudian perut Swandaru.

“Wajahnya menjadi pucat sekali Guru, dan bibirnya menjadi kebiru-biruan.”

Setitik keringat mengembun di dahi Kiai Gringsing, meskipun ia tidak menjadi gugup.

Tanpa disengaja Kiai Gringsing melihat sebuah mangkuk yang terletak di samping Swandaru. Dengan serta-merta mangkuk itu pun diambilnya. Di amat-amatinya isi mangkuk yang sudah hampir habis sama sekali itu. Namun beberapa titik air di dalamnya telah cukup bagi Kiai Gringsing untuk mengetahui, cairan apakah yang ada di dalamnya.

“Lindungi aku dari orang-orang itu, apabila ada di antara mereka yang terbangun dan sengaja melihat apa yang aku kerjakan,” bisik Kiai Gringsing.

Agung Sedayu pun segera beringsut mendekati gurunya.

Dari kantong ikat pinggangnya Kiai Gringsing mengambil sebuah bumbung kecil. Dari dalam bumbung kecil itu Kiai Gringsing menaburkan seberkas serbuk yang berwarna kehitam-hitaman.

Dengan wajah yang tegang Agung Sedayu melihat ke dalam mangkuk itu. Beberapa tetes cairan itu pun kemudian mengepulkan asap meskipun hampir tidak terlihat. Kemudian warna yang kehitam-hitaman dari serbuk itu pun segera berubah menjadi hitam pekat. Titik-titik warna merah terdapat di beberapa bagian dari dinding mangkuk yang masih basah itu.

“Racun lagi,” desis Kiai Gringsing, “meskipun lemah, tetapi cukup berbahaya bagi Swandaru yang kekuatannya belum pulih kembali. Carilah air. Jangan dengan mangkuk atau bumbung. Carilah dengan daun pisang.”

Agung Sedayu pun dengan tergesa-gesa bangkit dan melangkah keluar. Ia tidak menghiraukan lagi ketika orang yang tinggi kekar itu bertanya pula kepadanya, “He, akan kemana lagi kau anak gila?”

Agung Sedayu tidak menyahut. Sejenak kemudian ia pun telah hilang di balik tabir gelapnya malam.

Dengan daun pisang ia membawa setakir kecil air sumur. Seperti pada saat ia keluar, ia pun sama sekali tidak menghiraukan sapa orang yang tinggi besar itu, selain mengangguk-anggukkan kepalanya.

Tetapi ketika ia menyerahkan air di dalam takir daun pisang itu. Ia mendengar pintu bergerit. Ketika ia berpaling, dilihatnya orang yang tinggi kekar itu berdiri berpegangan pada uger-uger pintu.

“Temui orang itu. Usahakan agar ia tidak mendekat,” desis Kiai Gringsing yang memasukkan serbuk yang lain ke dalam takir daun pisang yang berisi air itu.

Agung Sedayu pun berdiri. Perlahan-lahan ia mendekati orang yang tinggi besar itu sambil berkata, “Aku tergesa-gesa. Adikku haus sekali.”

“Kenapa kau terlampau lama?” bertanya orang itu, “aku kira kau mati diterkam hantu.”

“Hampir saja.”

“Kenapa hampir? Kau memang anak gila. Adikmu benar-benar hampir mati kehausan. Untunglah seseorang telah memberinya minum, sehingga ia dapat tidur dengan nyenyaknya.”

“Terima kasih. Siapakah yang telah memberinya minum?”

“Aku tidak tahu. Seseorang di antara sekian banyak orang.”

“Orang yang kekurusan itu.”

Orang itu menggeleng, “Bukan, orang itu tidur di luar. Lihat, ia ada di serambi.”

“Lalu siapa? Kami akan mengucapkan terima kasih. Adikku sudah menjadi segar.”

Orang itu menggeleng sekali lagi, “Aku tidak tahu.”

Sementara itu, Kiai Gringsing telah menuangkan air yang sudah diberinya obat itu ke mulut Swandaru. Perlahan-lahan, setitik demi setitik air itu masuk ke dalam kerongkongannya.

“Untunglah tidak terlambat,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya, “agaknya di barak ini ada seorang yang mengerti benar tentang racun. Racun yang lemah ini agaknya tepat sekali dipergunakannya untuk membunuh Swandaru yang sedang sakit tanpa kecurigaan dan tanpa menumbuhkan tanda-tanda yang jelas di tubuhnya.”

Namun tanpa sesadarnya Kiai Gringsing menggeram, “Keterlaluan.”

Sebuah perasaan yang aneh telah melonjak di dalam dada Kiai Gringsing. Betapa perasaannya lapang seluas lautan, tetapi usaha yang dilakukan sudah usaha pembunuhan atas muridnya, sehingga darahnya menjadi panas karenanya.

Namun orang tua itu masih berusaha menahan diri. Ia tidak boleh hanyut dalam arus perasaannya, kalau ia tidak mau gagal sama sekali.

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya ketika ia melihat Swandaru menggeliat. Kemudian perlahan-lahan membuka matanya dan tiba-tiba saja ia berusaha bangkit.

“Jangan bangkit.”

Swandaru tidak dapat menjawab. Tetapi sesuatu telah dimuntahkannya dari mulutnya. Cairan yang berwarna hitam kemerah-merahan.

“Tenanglah,” desis gurunya.

Swandaru memandang gurunya dengan mata yang buram.

Tetapi Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menjadi semakin tenang, ia yakin bahwa Swandaru akan dapat disembuhkannya.

“Kau sudah minum minuman yang keliru, Swandaru,” berkata gurunya. “Dari mana kau dapatkan cairan itu?”

“Orang yang kekurus-kurusan itu,” desis Swandaru.

“Kenapa kau minum juga?”

“Katanya Kakang Agung Sedayu sedang mencari air untukku karena aku terlampau haus. Maka diberinya aku air itu sebelum Kakang Agung Sedayu datang. Katanya ia kasihan kepadaku.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya, “Racun. Yang kau minum itu adalah racun yang lemah, tetapi cukup berbahaya bagimu yang masih belum pulih benar. Untunglah aku cepat datang.”

Wajah Swandaru menjadi tegang. Tetapi ia masih mendengar gurunya berkata, “Jangan mengambil sikap sesuatu. Kita harus berhati-hati menghadapi seluruh jaringan itu.”

“Jaringan apa Guru?” bertanya Swandaru.

“Kau akan mendengar pada saatnya.”

Swandaru tidak bertanya lagi. Dicobanya untuk mengatur pernafasannya yang masih sesak. Kemudian memejamkan matanya agar ia mendapatkan ketenangan yang setinggi-tingginya. Kini gurunya sudah menungguinya, sehingga ia tidak perlu lagi mencemaskan apa pun juga.

“Bagaimana dengan adikmu itu?” bertanya orang yang tinggi kekar kepada Agung Sedayu.

“Ia sedang tidur.”

“Jangan ganggu anak itu. Ia benar-benar sedang sakit. Aku menyesal telah menahanmu ketika kau akan mencari air. Aku kira kau hanya berpura-pura saja.”

“Ya.”

“Mudah-mudahan setelah ia terbangun besok, ia sudah sembuh benar.”

“Mudah-mudahan,” desis Agung Sedayu.

Orang yang tinggi kekar itu pun kemudian meninggalkan Agung Sedayu dan kembali ke tempatnya di luar barak. Orang yang tinggi itu lebih senang tidur di serambi.

“Udara di dalam terlampau panas,” katanya.

Agung Sedayu tidak menyahut.

Ketika orang itu telah berada di luar pintu, Agung Sedayu segera mendapatkan gurunya. Dari Kiai Gringsing ia mendengar, bahwa perbuatan orang-orang itu sudah keterlaluan. Mereka sudah berusaha melakukan pembunuhan sengaja atau tidak sengaja atas Swandaru.

“Ada dua kemungkinan,” berkata Kiai Gringsing, “pembunuhan itu dilakukan atau pelumpuhan atas Swandaru seandainya tidak berakibat mati, dimaksud agar kami menghentikan kerja kami, atau karena orang-orang itu benar-benar ketakutan agar kami tidak menyebabkan mereka dan semua orang di barak ini menderita.”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Besok,” berkata Kiai Gringsing, “ceriterakan kepada setiap orang apa yang kau lihat. Katakan dengan selengkap-lengkapnya, bahwa ada hantu yang menyebut dirinya Kiai Dandang Wesi dari Gunung Merapi. Dari Kerajaan Kajiman di Gunung Merapi.”

“Apakah dengan demikian, orang-orang di barak ini tidak akan menjadi semakin ketakutan?”

“Kita akan dapat membumbuinya. Hantu-hantu dari Gunung Merapi berada di pihak Raden Sutawijaya. Bukankah hantu itu berkata bahwa ia pernah menjadi pemomong Raden Sutawijaya sebelum mrayang dan mendapatkan bentuknya yang sekarang?”

“Ya.”

“Nah, Kiai Dandang Wesi dan pasukannya pasti akan berpihak kepada Raden Sutawijaya. Kau dapat menambahkannya pula, bahwa hantu-hantu di segala sudut bumi pasti akan membenarkan sikap Raden Sutawijaya, karena tanah dan laut yang kasat mata wadag oleh manusia ini memang diperuntukkan bagi manusia.”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.

Demikiankah, maka sisa malam yang tinggal menyangkut di ujung pohon nyiur itu pun dipergunakan sebaik-baiknya oleh Kiai Gringsing dan Agung Sedayu. Mereka segera berbaring berdesak-desakan sebelah-menyebelah Swandaru, yang kini menjadi lemah kembali.

“Kau akan segera pulih,” bisik gurunya.

“Lalu, bagaimana dengan obat yang Guru bawa ke dukun sakti itu?”

“Masih ada padaku. Itu, aku taruh di bawah kakimu. Tetapi sebaiknya aku mempergunakan obatku sendiri. Di sini banyak orang yang tidak dapat dipercaya lagi.”

Swandaru tidak bertanya lagi. Agung Sedayu yang berbaring sambil memejamkan matanya, mencoba untuk tidur. Tetapi ia tidak berhasil. Namun demikian ia sudah mencoba beristirahat meskipun hanya sejenak.

Ketika cahaya yang kemerah-merahan membayang di langit, maka burung-burung liar pun mulai berkicau dengan riuhnya. Mereka sama sekali tidak menghiraukannya, bahwa di alas Mentaok telah terjadi benturan antara dua kekuatan lelembut yang dahsyat. Dari alas Mentaok sendiri dan dari Gunung Merapi.

Dalam pada itu, begitu Agung Sedayu keluar dari barak, ia pun segera berceritera tentang kedua jenis hantu yang dijumpainya. Yang satu tinggi berkerudung hitam dan berkepala tengkorak, sedang yang satu hampir tidak berbentuk sama sekali.

“Apakah mereka bertengkar?” bertanya salah seorang.

“Ya, ternyata hantu yang tinggi itu menjadi ketakutan dan melarikan diri.”

“Bohong,” orang yang tinggi kekar itu membantah, “bukan karena ketakutan. Tetapi hantu itu pasti belum mendapat perintah, apa yang sebaiknya dilakukan menghadapi hantu-hantu dari daerah asing seperti yang kau katakan itu.”

“Kenapa hantu dari gunung Merapi itu tidak ditangkapnya saja dan dibawa menghadap Raja Kajiman di Alas Mentaok ini?”

“Belum ada perintah. Mungkin tingkat kerajaan telah mengadakan suatu pembicaraan yang belum diketahui oleh tingkat bawahan seperti jerangkong yang tinggi itu.”

“Mungkin, tetapi menilik wibawa dari keduanya, hantu dari Gunung Merapi yang bernama Kiai Dandang Wesi dan dahulu bekas pemomong Raden Sutawijaya itulah yang agaknya lebih tinggi.”

Wajah orang yang tinggi kekar itu menjadi tegang. Ditatapnya wajah Agung Sedayu dengan tajamnya.

Namun Agung Sedayu sama sekali tidak mempedulikannya. Ia berpura-pura tidak mengerti perasaan apakah yang tersembul di hati orang itu. Karena itu, maka ia pun berceritera terus.

“Cukup. Cukup!” potong orang yang tinggi itu, “Jangan membual di sini. Kau menambah perasaan kami menjadi kisruh. Kami akan menjadi semakin ketakutan, seolah-olah kami berada di daerah yang paling gawat. Di ajang peperangan yang dahsyat antara dua kerajaan hantu.”

Agung Sedayu terdiam sejenak. Ternyata orang itu cukup cerdik, sehingga ia justru mempergunakan keadaan itu untuk menambah kecemasan dan ketakutan.

“Nah, kalian dengar,” berkata orang yang tinggi itu kepada orang yang mengerumuninya, “daerah ini memang merupakan daerah yang paling gawat. Aku sudah tidak kuat lagi. Aku akan meyakinkan untuk beberapa hari saja sebelum aku mengambil keputusan. Kalau keadaan menjadi kian memburuk, aku lebih baik kembali ke asalku. Makan atau tidak makan. Meskipun di sini kami akan mendapat tanah yang subur dan loh jinawi tetapi kalau perasaan kami selalu dikejar oleh ketakutan dan kecemasan, maka kami tidak akan dapat merasa tenteram. Karena itu, kami, aku dan keluargaku, akan segera menentukan sikap.”

Beberapa orang yang mendengar itu pun menjadi pucat. Kalau orang yang tinggi kekar itu saja tidak berani tinggal di sini, apalagi orang-orang yang lain.

Namun tiba-tiba Agung Sedayu menjawab, “Tidak. Itu suatu sikap yang tergesa-gesa. Dengar, hantu dari Gunung Merapi itu adalah pemomong Raden Sutawijaya. Sudah tentu ia akan berpihak kepada Raden Sutawijaya dan Ki Gede Pemanahan. Nah, bukankah kehadiran kita di sini ini adalah karena keinginan kita untuk bersama-sama dengan Ki Gede Pemanahan dan Raden Sutawijaya membuka hutan ini dan bersama-sama menjadikan suatu daerah yang ramai dan makmur? Bahkan menurut pendengaranku, hantu-hantu dari daerah-daerah lain pun pasti akan berpihak kepada hantu-hantu dari Gunung Merapi. Kalian harus mendengar, Kiai Dandang Wesi mempunyai pasukan segelar sepapan. Kiai Dandang Wesi menganggap bahwa semua yang kasat mata wadag manusia, adalah hak manusia. Termasuk Alas Mentaok.”

“Bohong. Bohong!” teriak orang yang bertubuh kekar itu. Lalu, “Jika demikian maka adikmu tidak akan sakit dan barangkali hari ini adikmu sudah mampus atau lumpuh atau apa pun karena kesalahanmu yang kau lakukan semalam.”

“Ia tertidur nyenyak.”

“Coba lihatlah dengan saksama. Ia pasti kena kutuk karena kesalahanmu. Untunglah bahwa kutuk itu mengenai adikmu sendiri. Bukan orang lain.”

“Sama sekali tidak. Adikku tidak apa-apa.”

“Lihat, lihatlah sekarang. Kenapa ia belum juga bangun?”

Agung Sedayu menjadi ragu-ragu sejenak. Namun semua orang berpaling ketika mereka mendengar suara dari depan pintu, “Aku sudah bangun. Tubuhku merasa betapa segarnya.”

Orang yang tinggi kekar itu terkejut bukan buatan ketika ia melihat Swandaru berdiri di depan pintu bersama Kiai Gringsing. Meskipun masih pucat namun Swandaru sudah dapat tersenyum dan berkata, “Sejak aku minum air pemberian Paman, aku merasa bahwa aku menjadi sehat kembali.”

Orang yang tinggi kekar itu menjadi tegang. Sementara Agung Sedayu memandanginya dengan penuh kewaspadaan. Kalau saja orang itu tiba-tiba menjadi kehilangan akal, maka ia akan dapat menjadi berbahaya.

“He, apakah kau tidak dikutuk oleh hantu-hantu,” teriak orang kekurus-kurusan.

Swandaru yang menyebut dirinya anak Kiai Gringsing itu menyahut, “Mungkin. Tetapi aku semalam telah bermimpi aneh.”

“Apa mimpimu, he?” geram orang yang kekar itu.

“Aku seakan-akan berada di daerah yang sangat asing. Daerah yang belum pernah aku lihat. Seakan-akan aku berada di dalam taman istana yang sangat indah. Aku begitu gembira sehingga aku tidak pernah berpikir, siapakah pemilik istana itu. Ketika aku melihat seekor kelinci yang berwarna keemasan, tiba-tiba aku ingin menangkapnya. Tetapi ketika aku mengejarnya, tiba-tiba aku menjadi lumpuh.”

“Jelas, itu sudah jelas,” teriak orang yang kekar. Lalu, “Jangan berpura-pura lagi. Istana itu adalah istana Mataram. Kau menjadi lumpuh karena kau dikutuk oleh pemilik istana ini.”

“Ya. Akhirnya aku melihat. Seorang yang bertubuh tinggi, besar kehitam-hitaman dengan janggut yang panjang. Tangannya menggenggam sebuah keris.”

“Kau pasti akan dibunuhnya.”

“Ya. Aku memang akan dibunuhnya. Orang itu tidak berbaju dan mengenakan pakaian pada abad-abad yang lampau, seperti aku melihat pakaian gambar-gambar yang terpahat pada dinding-dinding candi. Dan orang itu menyebut dirinya bernama Prabu Talangsari.”

Semua orang tiba-tiba telah terpaku mendengarkannya.

“Tiba-tiba aku terbangun.”

“Itu suatu pertanda. Perabu Talangsari itu pasti Raja Mataram Kajiman,” orang yang kekurusan menyahut. “Camkanlah mimpi itu.”

“Ya. Ketika aku terbangun aku menjadi sangat haus. Itulah sebabnya kakakku keluar sejenak untuk mengambil air. Tetapi ternyata kakakku pergi terlampau lama, sehingga aku mendapat air dari Paman yang tinggi kekar itu.”

“Persetan,” geram orang itu.

“Lalu, aku tertidur lagi. Aneh sekali. Aku bermimpi pula. Mimpiku adalah kelanjutan dari mimpiku yang pertama.”

“Bagaimanakah mimpi itu?”

“Apakah kalian masih bersedia mendengarkannya? Lihat, matahari semakin tinggi. Nanti kalian terlambat pergi ke tanah garapan masing-masing.”

Hampir berbareng orang-orang yang berkerumun itu menengadahkan wajah mereka. Mereka melihat matahari yang memang sudah menanjak naik semakin tinggi, di balik dedaunan.

Tetapi tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata, “Sebentar saja. Cepat, katakan kelanjutan mimpimu.”

“Ya, kami masih mempunyai waktu sebentar.”

“Katakan cepat,” bentak orang yang tinggi kekar, “mungkin itu suatu isyarat bagimu, agar kau tidak menjadi semakin sombong.”

“Baiklah,” berkata Swandaru. “Ketika aku mulai dengan mimpiku yang kedua…….,” kata-katanya terputus karena orang kekurus-kurusan membentak, “Langsung sebut saja mimpimu.”

Swandaru mengerutkan keningnya, “Baiklah. Aku akan segera saja mengatakan isi mimpiku itu, supaya tidak berkepanjangan.”

“Sebut saja, sebut langsung. Kau terlampau banyak memberikan pengantar,” berkata orang yang kekar. Tetapi yang lain memotong, “Biarkan ia berbicara. Kau memutus kata-katanya.”

“Sst, diam. Kenapa ribut?” desis yang lain.

“Baiklah. Baiklah. Mimpiku itu tidak panjang lagi,” berkata Swandaru selanjutnya. “Ketika orang yang mengenakan pakaian dari abad-abad yang lampau dan menyebut dirinya Prabu Talangsari itu akan membunuhku, datanglah seorang yang lain. Seorang yang mengenakan pakaian keemasan, berkilat-kilat dengan menaiki seekor kuda bersayap seperti burung rajawali raksasa.”

“Kuda semberani,” desis orang-orang yang mendengarkan mimpi itu.

“Ya. Lalu, apa kerja orang itu?”

“Mereka pun kemudian berunding. Keduanya ternyata adalah raja dari kerajaan yang besar. Prabu Talangsari dan yang lain, raja dari Gunung Merapi.”

“Apa yang mereka rundingkan?”

“Aku tidak tahu. Tetapi ketika raja yang berpakaian berkilauan seperti matahari itu pergi, aku dilepaskannya. Dan bahkan Prabu Talangsari berkata, “Ambillah kelinci itu. Aku tidak memerlukan lagi.” Dan aneh. Aku pun sembuhlah dari kelumpuhan itu. Maka mulailah kemudian aku berburu kelinci.”

“Apakah kau dapatkan kelinci yang berwarna keemasan itu?

“Ya. Akhirnya aku dapatkan juga. Tidak ada siapa pun lagi yang menggangguku.”

Beberapa orang saling berpandangan sejenak. Agung Sedayu pun mula-mula ikut merenungkan mimpi adiknya yang aneh itu. Namun kemudian ia tersenyum di dalam hati, karena ia yakin bahwa mimpi itu adalah sebuah dongeng yang telah dibuat oleh gurunya.

Karena itu tiba-tiba saja ia bertanya, “Apakah raja dari Gunung Merapi yang naik kuda itu sendiri?”

Swandaru mengerutkan keningnya. Lalu jawabnya, “Sendiri. Ya, ia sendiri.”

“Tentu mimpi itu daradasih. Benar-benar terjadi seperti apa yang terbayang di dalam mimpi. Aku telah bertemu dengan hantu mrayangan yang menyebut dirinya bernama Kiai Dandang Wesi.”

Tetapi orang-orang yang berada di sekitar tempat itu pun terkejut ketika orang yang kekurus-kurusan itu berkata, “Bohong! Semuanya bohong!”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Katanya, “Aku tidak bohong. Dan aku kira adikku juga tidak bohong. He, dari mana ia mendapat nama Prabu Talangsari? Apakah ia sekedar mengarangkan sebuah nama? Baik. Memang mungkin ia mengarang. Tetapi apabila ada suara-suara dari orang lain yang juga menyebut-nyebut nama itu, apakah mungkin mereka juga mengarangkan nama yang kebetulan sama?”

“Kami di sini belum pernah mendengar nama itu.”

Adalah tiba-tiba saja ketika yang berbicara kemudian adalah Kiai Gringsing, “Jadi, nama itu sama sekali tidak dikenal di sini?”

“Tidak,” jawab yang kekurus-kurusan.

“Tetapi tadi ada di antara kalian yang memastikan bahwa orang yang bertubuh tinggi besar dan mengenakan pakaian dari abad-abad yang lalu itu adalah raja Mataram Kajiman.”

Tidak seorang pun yang menjawab. Sehingga Kiai Gringsing bertanya pula kepada orang yang kekurus-kurusan, “Jadi kau yakin bahwa nama itu sekedar sebuah nama di dalam mimpi dan tidak berarti sama sekali?”

Setiap orang pun kemudian berpaling memandang wajah orang yang kekurus-kurusan itu. Namun sejenak orang itu tidak menjawab dan bahkan wajahnya menjadi ragu-ragu.


“Mudah-mudahan memang tidak ada nama Prabu Talangsari.”

“Kau pasti hanya sekedar mendengar ceritera dari kakakmu yang sudah menceriterakan pertemuannya dengan hantu-hantu,” teriak orang yang kekar.

“Nah, bukankah begitu dugaanmu,” potong Agung Sedayu, “tetapi ketika aku pergi, adikku belum menceriterakan hal itu kepadaku. Dan sejak aku pulang, adikku sama sekali belum bangun dari tidurnya yang nyenyak.”

“Jangan ributkan soal mimpi,” tiba-tiba Kiai Gringsing memotong. “Sekarang hari sudah terlampau siang. Lihat, orang-orang lain sudah mulai pergi mengambil rangsumnya.”

Semua orang berpaling ke arah gardu pengawas di kejauhan. Mereka melihat orang-orang yang tidak ikut berkerumun telah siap untuk pergi. Karena itu, maka mereka pun dengan tergesa-gesa berlari-larian menyiapkan alat-alat masing-masing.

Tetapi orang yang tinggi kekar dan orang yang kekurus-kurusan masih berdiri di tempatnya sambil memandang Kiai Gringsing beserta kedua anak-anaknya dengan tatapan mata yang tajam.

“Sekarang kau menambah keonaran lagi dengan bualan-bualanmu,” desis orang yang tinggi kekar.

“Bukan begitu, bukan maksudku. Tetapi, apakah kalian benar-benar tidak percaya bahwa Prabu Talangsari itu ada?”

“Tidak,” sahut yang tinggi kekar itu.

Tetapi orang yang kekurus-kurusan itu mulai nampak ragu-ragu. Apalagi setelah Kiai Gringsing berkata, “Aku mempercayainya seperti kata Kiai Damar, dukun sakti itu, bahwa hantu-hantu memang mempunyai kelebihan dari manusia. Tentu termasuk Kiai Dandang Wesi dari Gunung Merapi dan apalagi Perabu Talangsari sendiri.”

Orang yang kekurus-kurusan itu tampak menjadi semakin ragu-ragu. Sejenak ia memandang orang yang bertubuh kekar, dan sejenak kemudian dilemparkannya tatapan matanya jauh ke dalam lebatnya hutan yang sedang digarap oleh para pendatang itu.

“Semula kalau aku boleh berterus-terang, aku memang ragu-ragu terhadap hantu-hantu di Alas Mentaok ini. Tetapi setelah aku mengalami sendiri, dan anakku menjadi sakit dan sembuh secara ajaib sebelum obat dari dukun sakti itu dimakannya, aku kini telah mempercayainya.”

“Persetan dengan hantu-hantu,” tiba-tiba orang yang kekar itu menggeram.

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Katanya, “He, bagaimana dengan hantu-hantu itu? Bukankah kau yang mengajari aku untuk memahami keadaan hutan ini beserta segala isinya termasuk hantu-hantu itu?”

“Ya. Ya. Maksudku, persetan dengan kalian yang bodoh dan sombong. Sekarang kalian merasa sebagai orang-orang yang paling mengenal hantu-hantu,” orang yang kekar itu memotong, “tetapi sebenarnya kalian adalah orang-orang yang paling dungu. Sebenarnya kalian tidak usah berbicara panjang lebar tentang hantu dari mana pun juga. Itu adalah suatu gagasan atau lamunan yang ngayawara. Kalau kau dan anak-anakmu menghentikan usaha untuk membuka hutan itu, menjorok masuk ke dalam seperti yang kau lakukan, maka kau akan selamat.”

“Dengarlah,” berkata Kiai Gringsing, “rencana hantu-hantu Alas Mentaok itu sudah diketahui oleh Kiai Dandang Wesi. Kau percaya? Sekarang mereka berusaha mendorong aku dan kedua anak-anakku untuk meninggalkan pekerjaan dan tanah garapan itu, tetapi seterusnya, mereka akan berusaha mengusir setiap orang di sini. Menakut-nakuti, membuat mereka sakit dan pingsan tanpa sebab, kecemasan dan kekisruhan, agar perlahan-lahan kita di sini sedikit demi sedikit mengurungkan niat kita untuk membuka hutan ini.”

“Gila, itu pikiran gila.”

“Apakah kau tidak percaya.”

“Omong kosong.”

“Mungkin. Kiai Dandang Wesi memang hanya omong kosong. Mudah-mudahan ia sekedar omong kosong. Tetapi akankah ia berkata begitu, he?” bertanya Kiai Gringsing kepada Agung Sedayu.

Agung Sedayu tergagap. Tetapi ia pun segera dapat menanggapinya, “Ya, Kiai Dandang Wesi memang berkata begitu. Tetapi Kiai Dandang Wesi sudah berbicara dengan Prabu Talangsari. Aku tidak tahu, apakah hasil pembicaraan itu.”

“Tetapi seandainya Kiai Dandang Wesi itu benar-benar hantu waskita yang datang dari Gunung Merapi, ia pasti mengenal hantu-hantu Alas Mentaok yang sebenarnya,” tiba-tiba orang yang kekurus-kurusan menyahut.

“Ia kenal akan hal itu. Tentu ia kenal.”

“Bohong.”

“Dari mana kau tahu. Adakah kau menganggap Kiai Dandang Wesi itu berbohong, atau ceritera tentang Dandang Wesi itulah yang kau anggap berbohong, atau Kiai Dandang Wesi sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat sesuatu?”

Orang yang kekurus-kurusan itu pun menjadi ragu-ragu pula. Sejenak ia berdiam diri. Namun yang menyahut kemudian adalah orang yang kekar, “Kita harus meyakinkan dahulu ceritera itu.”

“Memang, kita harus meyakinkannya. Tetapi bahwa Kiai Dandang Wesi mempunyai kemampuan untuk mengenal dunianya, maksudku dunia hantu, aku kira tidak dapat disangsikan lagi. Menurut anakku, ketika jerangkong yang telah bertemu dengan Kiai Dandang Wesi itu pergi, maka hantu yang tidak berbentuk, pemomong Raden Sutawijaya yang mrayang itu berkata, ’Aku menangkap getaran yang aneh pada jerangkong itu. Aku menangkap getar jalur-jalur darah dalam tubuhnya serta terasa arus nafas. Itu tidak mungkin ada di dalam diri hantu-hantu yang mana pun juga, meskipun dari tingkat yang paling rendah sekali pun sampai Prabu Talangsari sendiri. Meskipun ada hantu yang memilih bentuk seperti manusia sekali pun, namun pasti tidak akan ada getar jalur-jalur darah dan arus nafas di dalam tubuhnya yang bukan wadag manusia’.”

Orang yang kekurus-kurusan itu menjadi tegang sejenak. Namun sambil menghentakkan kakinya ia berkata, “Persetan. Persetan dengan semuanya itu.”

Sebelum seorang pun sempat menjawab, maka dengan tergesa-gesa ia pergi meninggalkan Kiai Gringsing sambil bergumam, “Aku akan pergi ke pekerjaanku. Semua orang sudah berangkat.”

“Kami bertiga tidak akan berangkat hari ini,” berkata Kiai Gringsing.

“Kenapa?” yang bertanya adalah orang yang tinggi besar itu.

“Anakku belum sehat benar.”

“Jadi, setelah anakmu sembuh. Kau akan tetap meneruskan usaha itu?”

“Ya,” jawab Kiai Gringsing.

“Kau sampai hati mengorbankan anakmu.”

“Kenapa?”

“Anakmu akan sakit dan kalau peringatan itu kau abaikan, anakmu, salah seorang dari keduanya akan mati atau bahkan kedua-duanya.”

Orang yang kekar itu terperanjat ketika justru anak yang sakit itu yang menjawab, “Ternyata aku telah sembuh setelah aku bermimpi. Aku jadi yakin, bahwa di dunia mereka pun kini sedang terjadi masalah. Kesimpulanku, aku tidak perlu cemas.”

“Gila. Kalian memang orang-orang gila.”

“Tidak. Justru kami adalah orang-orang yang menyadari keadaan yang sebenarnya. Tanpa orang lain, biarlah aku katakan kepadamu, mungkin kau memiliki kelebihan dari orang-orang yang ada di dalam barak ini, bahwa di sini ada tiga golongan yang perlu diperhatikan.”

“Apa?”

“Hantu-hantu Alas Mentaok yang sebenarnya, hantu-hantu dari Gunung Merapi, dan makhluk lain yang diragukan oleh Kiai Dandang Wesi, yang berbentuk seperti hantu jerangkong, tetapi memiliki jalur-jalur darah dan arus nafas.”

Orang yang kekar itu menjadi tegang. Sejenak ditatapnya wajah-wajah dari ketiga ayah beranak itu. Kemudian sambil menggeram ia melangkah pergi, “Kalian telah mengigau.”

“Tunggu,” panggil Swandaru.

Ketika orang itu berhenti dan berpaling, Swandaru berkata sambil tersenyum, “Terima kasih atas air yang Paman berikan itu. Tubuhku menjadi segar dan rasa-rasanya sakitku menjadi sembuh sama sekali.”

“Persetan,” orang itu pun kemudian melangkah semakin cepat.

Sepeninggal orang-orang itu, Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, “Mudah-mudahan kita akan segera dapat memecahkan teka-teki yang rumit ini.”

“Apakah yang Guru maksud dengan teka-teki itu?”

“Keadaan di sekitar tempat ini. Di samping negeri yang kian hari kian menjadi ramai, maka orang-orang yang memperluas tanah garapan masih saja diganggu oleh persoalan-persoalan yang cukup menegangkan ini.”

“Hantu-hantu maksud Guru?”

“Ya.”

Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil memandang orang yang tinggi kekar itu sampai hilang di gardu pengawas Agung Sedayu berkata, “Kedua orang itu memang aneh.”

“Sekarang beristirahatlah. Kita akan terlibat dalam permainan yang mengasyikkan ini.”

Agung Sedayu dan Swandaru pun kemudian masuk kembali ke dalam barak. Beberapa orang yang karena beberapa hal berhalangan pergi ke tempat pekerjaan masing-masing, masih juga berada di barak itu.”

Seorang laki-laki yang kakinya terluka karena kapaknya sendiri, duduk sambil mengusap lukanya. Sekali-sekali ia menyeringai menahan sakit. Sudah sepekan ia duduk saja merenungi lukanya tanpa dapat membantu kawan-kawannya bekerja di pinggir hutan.

“Apakah anakmu sudah benar-benar sembuh?” orang itu dengan hampir berteriak bertanya kepada Kiai Gringsing.

Kiai Gringsing berpaling kepadanya, kepada orang yang terluka itu yang duduk di sudut barak. “Ya, begitulah.”

“Kau memang beruntung sekali. Dari manakah kau mendapatkan obatnya?”

“Kebetulan saja. Tetapi aku juga mendapat obat dari Kiai Damar. Dukun sakti yang memiliki kemampuan berhubungan dengan hantu.”

“Apakah kau tidak berkeberatan memberi obat aku sedikit, agar lukaku ini segera sembuh?”

“Obat itu bukan obat luka.”

“Aku tahu, tetapi mungkin kakiku ini juga kena kutuk dari hantu-hantu. Mungkin ketika aku bekerja di tanah yang sedang dibuka itu, aku telah mengganggu mereka, sehingga aku telah dihukumnya. Dengan obat dari Kiai Damar itu, mungkin aku akan dimaafkan.”

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Ternyata jalan pikiran orang-orang di tempat ini sudah tidak wajar lagi. Mereka terlampau dipengaruhi oleh adanya hantu-hantu yang berkuasa di Alas Mentaok. Semua persoalan telah dikaitkannya dengan hantu-hantu, kemungkinan bahwa mereka telah mengganggu keluarga hantu-hantu dan bermacam-macam soal yang berpusar pada hantu-hantu itu.

“Ki Sanak,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “apakah Ki Sanak mau aku obati? Bukan obat dari Kiai Damar?”

“O, segala macam obat sudah aku coba, tetapi sampai sepekan lukanya justru membengkak.”

“Obat yang Ki Sanak pergunakan agaknya belum cocok. Kalau Ki Sanak setuju, aku akan mencoba mengobatinya.”

“Berilah aku obat Kiai Damar itu.”

“Sayang, aku sudah dipesan, bahwa obat itu tidak boleh dipergunakan oleh orang lain. Obat itu adalah obat yang khusus, yang bagi orang lain justru dapat berakibat sebaliknya.”

Orang itu mengerutkan keningnya. Katanya, “Jadi maksudmu, aku tidak dapat mengobati lukaku dengan obat itu?”

“Bukan aku tidak memperbolehkan, tetapi Kiai Damar-lah yang berpesan demikian.”

Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Karena itu kalau Ki Sanak bersedia, aku mempunyai sejenis obat untuk luka-luka.”

“Apa? Bubukan babakan mlandingan atau sawang angga-angga?”

Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya.

“Apa? Semua obat sudah aku coba.”

“Endapan kicikan.”

“Minyak kelapa dengan empon-empon.”

“Ya. Segala macam empon-empon, potong tipis-tipis, kemudian aku jemur sampai kering. Barulah aku panasi dengan minyak. Kemudian aku jemur lagi hingga kering. Barulah aku tumbuk halus-halus.”

Orang itu mengangguk-angguk. “Baiklah. Aku belum mencobanya.”

“Tunggulah, aku ambil obat itu.”

Kiai Gringsing pun kemudian mengambil sejenis serbuk seperti yang dikatakannya. Kemudian ditaburkannya obat itu pada luka yang sedang mulai membengkak.

“Uh, panas sekali. Apakah ini kicikan seperti yang kau katakan.”

“Ya.”

“Kenapa panas dan pedih?”

“Tentu. Tetapi nanti akan menjadi baik.”

Orang itu menyeringai menahan sakit sambil memegang pangkal pahanya. “Sakit sekali,” desisnya.

Kiai Gringsing tidak menghiraukannya. Kemudian dibiarkannya luka itu tetap terbuka. Katanya, “Biarlah luka itu terbuka sejenak.”

Sejak itu sakit lukanya menjadi berangsur berkurang. Sehingga akhirnya terasa seakan-akan luka itu sudah sembuh.

“Terima kasih,” katanya.

“Dengar,” berkata Kiai Gringsing, “sama sekali bukan karena hantu-hantu. Hantu-hantu sebenarnya sama sekali tidak menghiraukan kita. Hutan itu hutan kita. Kalau ada persoalan, tentu persoalan yang lain.”

Orang itu memandang Kiai Gringsing dengan tatapan mata yang aneh, meskipun ia tidak bertanya sesuatu. Bahkan Kiai Gringsing-lah kemudian yang berbicara pula, “Hantu-hantu itu ternyata mempunyai persoalannya sendiri. Hantu-hantu yang bernama Kiai Dandang Wesi dari Gunung Merapi telah melibatkan diri di dalam setiap persoalan di Alas Mentaok ini.”

Orang itu mengerutkan keningnya. Kemudian ia berdesis, “Aku menjadi bingung.”

Kiai Gringsing tersenyum. Tiba-tiba ia bertanya, “Bagaimana dengan lukamu?”

“Sudah tidak pedih lagi. Bahkan seakan-akan telah menjadi sembuh sama sekali.”

“Biarlah lukamu terbuka. Nanti sore, aku akan memberimu obat setelah luka itu kau bersihkan. Setiap kali pasti akan terasa pedih untuk beberapa saat. Namun kemudian akan menjadi dingin seperti sekarang.”

Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Beristirahatlah.”

Kiai Gringsing pun kemudian kembali ke tempatnya. Swandaru yang masih belum sehat benar, telah berbaring untuk memulihkan kekuatannya. Sedang Agung Sedayu pun kemudian pergi ke gardu pengawas untuk melaporkan bahwa mereka tidak pergi ke pekerjaan mereka hari ini.

“Kenapa?” bertanya salah seorang pengawas.

“Adikku masih belum sembuh benar.”

Pengawas itu mengerutkan keningnya. Tetapi yang bertanya kemudian adalah Wanakerti, “Apakah kalian memutuskan untuk menghentikan usaha kalian?”

“Tidak,” jawab Agung Sedayu. “Kami akan bekerja terus. Kalau kesehatan adikku telah pulih kembali, maka kami akan meneruskan kerja kami.”

Wanakerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Baiklah. Sekarang, bawalah rangsum kalian bertiga.”

Agung Sedayu pun kemudian kembali ke barak sambil membawa rangsum untuk mereka bertiga.

Dalam pada itu, selagi di tempat-tempat yang sedang digarap dan dibuka selalu diributkan, oleh masalah hantu-hantu, Ki Gede Pemanahan dan Raden Sutawijaya tidak henti-hentinya berusaha agar Tanah Mataram menjadi kian ramai. Di tempat-tempat yang sudah mulai padat, dibuatnya pusat-pusat kegiatan yang menyangkut kehidupan orang banyak. Didirikannya pasar dan banjar-banjar. Hubungan yang semakin banyak dengan daerah-daerah di sekitarnya.

Namun demikian keprihatinan mereka atas gangguan dari persoalan-persoalan yang masih merupakan rahasia bagi Mataram masih belum teratasi. Bagaimanapun juga Raden Sutawijaya berusaha, tetapi sama sekali belum pernah ditemuinya apa yang disebut oleh beberapa orang dan bahkan beberapa petugasnya, sebagai hantu-hantu yang menakutkan.

Apalagi di hari-hari terakhir telah berkembang ceritera tentang hantu yang hampir tidak berbentuk. Ketika beberapa orang peronda menjumpai seonggok benda yang kehitam-hitaman pada saat mereka kembali dari rumah Kiai Damar.

“Para pekerja yang membuka hutan, di daerah Utara berceritera pula tentang hantu serupa itu,” berkata seorang pengawal.

“Apa katanya?”

“Kini telah berkembang ceritera tentang hantu yang datang dari Gunung Merapi. Salah satu dari mereka menyebut dirinya bernama Kiai Dandang Wesi.”

Pengawal yang lain pun mendengarkannya dengan penuh minat. Ceritera tentang hantu memang selamanya menarik bagi mereka, apalagi mereka yang akan bertugas di daerah-daerah yang sedang dibuka.

Tetapi, ternyata ceritera tentang hantu itu tidak menghambat perkembangan Tanah Mataram secara keseluruhan. Memang di beberapa tempat, penebangan hutan benar-benar telah terhenti, karena mereka yang membuka hutan menjadi ketakutan. Di beberapa tempat yang lain pun menjadi sangat mundur. Beberapa orang telah memilih tinggal di tempat yang sudah ramai, meskipun hanya sekedar menjual tenaga, karena mereka tidak mempunyai lagi tanah garapan. Sedang beberapa keluarga yang lain telah kembali ke tempat asal mereka.

Meskipun sebagian dari rencana Ki Gede Pemanahan masih tetap dapat dilakukan, terutama usahanya menyusun suatu tempat yang akan dijadikannya pusat pemerintahan dari daerah yang baru dibuka ini, namun terhambatnya perluasan tanah garapan yang akan menjadi lumbung bahan mentah itu membuatnya berprihatin.

“Kita harus dapat memecahkan rahasia ini,” berkata Raden Sutawijaya, “selama rahasia ini masih merupakan teka-teki, maka Tanah Mataram masih belum dapat disebut tenteram.”

“Memang masih banyak tantangan yang harus kita hadapi,” sahut Ki Gede Pemanahan. “Hubunganmu dengan Ayahanda Baginda Sultan di Pajang masih juga belum dapat disebut pulih kembali, kini kita di sini sudah menjumpai bermacam-macam persoalan.”

“Ya, Ayah. Tetapi kita akan berjalan terus.”

“Tentu Sutawijaya. Pati sudah pantas disebut sebuah Kadipaten. Tetapi apa yang pantas kita katakan tentang Tanah Mataram, Tanah Perdikan, Kadipaten atau sebuah Kademangan kecil?”

“Kita sedang berusaha, Ayah. Dan Ayahanda Sultan Pajang memang tidak mau memberikan sebutan atau kedudukan yang pasti bagi Mataram, seperti di daerah-daerah pesisir Utara.”

Ki Gede Pemanahan menarik nafas dalam-dalam. “Karena itu kita harus membentuk diri sendiri. Apa pun yang akan dikatakan oleh Sultan Pajang atas kita.”

Raden Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tanpa sesadarnya ia berkata, “Apakah Ayah tidak berkeberatan terhadap usaha Untara untuk menyusun suatu kekuatan di Jati Anom?”

“Kenapa aku berkeberatan? Jati Anom adalah tlatah Pajang, Untara adalah seorang Senapati Pajang. Apakah salahnya?”

“Tetapi kekuatan itu seolah-olah telah dihadapkan kepada kita di Mataram.”

“Seandainya demikian, itu adalah suatu sikap berhati-hati.”

“Tetapi, kenapa tidak terhadap Pati?”

Ki Gede Pemanahan mengerutkan keningnya. Diangguk-anggukkannya kepalanya. Sebenarnya ia menyimpan perasaan seperti yang terbersit di hati puteranya. Namun Ki Gede Pemanahan masih menyimpannya. Ia tidak mau tergesa-gesa mengambil suatu kesimpulan dari sikap Pajang.

“Sutawijaya sebenarnya adalah putera angkat yang tidak ubahnya dengan puteranya sendiri,” berkata Ki Gede Pemanahan di dalam hati, “namun keragu-raguan Sultan Pajang membuat Mataram harus bersikap.”

“Sutawijaya,” berkata Ki Gede Pemanahan kemudian, “cobalah kau sisihkan perasaan itu sejenak. Pusatkan perhatianmu pada pembangunan daerah ini. Kalau kita terlampau berprasangka, maka hambatan dari perkembangan Tanah Mataram ini akan timbul dari diri kita sendiri.”

Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi angan-angannya masih saja dibayangi oleh berbagai macam pertanyaan tentang kedua anak-anak muda yang ditemuinya di Menoreh. Sehingga ia selalu bertanya kepada diri sendiri, “Bagaimanakah sikap Agung Sedayu dan Swandaru? Apakah mereka berpihak juga kepada Untara dan menjadikan Sangkal Putung suatu pusat kekuatan di Jati Anom dan Sangkal Putung, maka pasukan Pajang akan membayangi Mataram dari dua arah. Jati Anom akan dapat langsung menyusur lereng Gunung Merapi dan turun dari arah Utara, sedang kekuatan yang datang dari Sangkal Putung akan langsung datang dari arah Timur. Sedangkan kita di sini sama sekali tidak tahu, bagaimanakah sikap Menoreh yang ada di sebelah Barat dan Mangir yang ada di sebelah Selatan?”

Meskipun demikian, Sutawijaya sama sekali tidak menjadi berkecil hati. Ia memang bertekad untuk membuat Alas Mentaok ini menjadi sebuah negeri yang ramai.

Namun dalam pada itu, selagi masalah-masalah yang bersangkut paut dengan pihak-pihak di luar Tanah Mataram masih harus dipecahkan, timbullah masalah-masalah yang harus diatasi di dalam tubuh ini. Kekisruhan yang ditimbulkan oleh berita tentang adanya hantu-hantu yang mengganggu pembukaan hutan hampir di segala arah. Bahkan ada kelompok-kelompok yang telah menghentikan usahanya untuk memperluas Tanah Mataram dengan tanah garapan baru, karena mereka tidak tahan lagi menghadapi gangguan hantu-hantu yang agaknya menjadi semakin marah.

Tetapi di saat-saat terakhir timbullah berita tentang hantu dari Gunung Merapi itu.

Seorang pemimpin pengawal Tanah yang baru dibuka itu menemui Raden Sutawijaya dan berkata, “Hantu dari Gunung Merapi itu menyebut dirinya bernama Dandang Wesi. Ia mengaku sebagai pemomong Raden Sutawijaya di masa kecil yang kemudian bertapa dan mrayang dengan raganya. Tetapi kemudian ia mendapatkan bentuknya yang baru di dalam dunianya yang baru.”

Raden Sutawijaya menjadi bingung. Ia tidak pernah merasa mempunyai seorang pemomong yang bernama Kiai Dandang Wesi, sehingga karena itu sejenak ia tidak memberikan tanggapan apa-apa.

“Apakah Raden sudah melupakannya karena sudah bertahun yang lampau?”

Sutawijaya menggeleng, “Tidak. Aku masih ingat. Tetapi aku sudah tidak dapat mengingat lagi wajahnya.”

“Sekarang Kiai Dandang Wesi benar-benar sudah tidak berbentuk. Hanya seperti seonggok daging yang berwarna kehitam-hitaman. Namun justru mengerikan sekali. Bahkan menurut ceritera, bentuk yang demikian itu masih juga mampu menyerang dari jarak yang jauh.”

“Aku ingin menemuinya pada suatu kesempatan,” sahut Sutawijaya. “Kalau salah seorang dari kalian bertemu, katakanlah aku ingin berbicara.”

“Baiklah. Agaknya hantu yang bernama Kiai Dandang Wesi itu mempunyai sifat yang agak berbeda dengan hantu-hantu dari Alas Mentaok ini sendiri. Tetapi mungkin karena hantu-hantu yang selama ini menakut-nakuti itu adalah hantu-hantu dari tataran yang paling rendah, sehingga sifat-sifat mereka pun sangat memuakkan. Tetapi Kiai Dandang Wesi bersikap lain. Ada semacam wibawa yang memancar dari tubuhnya yang tidak berbentuk itu.”

Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia berdesis, “Mudah-mudahan hantu yang tidak berbentuk itu dapat diajak bicara.”

“Sulit. Hanya orang-orang tertentu sajalah yang dapat berbicara. Di antaranya Kiai Damar.”

“Tidak,” tiba-tiba seorang pengawal yang lain memotong. “Ada orang yang pernah bertemu dan langsung dapat berbicara dengan hantu itu.”

Sutawijaya tiba-tiba tersenyum. Katanya, “Memang berita tentang hantu kadang-kadang menumbuhkan bermacam-macam tafsiran. Tetapi yang sampai padaku hingga saat ini selalu menumbuhkan pertanyaan di dalam hatiku, apakah mereka yang berceritera itu benar-benar pernah melihatnya. Seseorang mengatakan, bahwa kawannya pernah melihatnya. Tetapi ketika kawannya yang disebutkan itu aku panggil, ia mengatakan bahwa ia mendengar dari kawannya yang lain. Sampai saat ini aku belum pernah menyaksikan sendiri apa pun dan bagaimana pun juga bentuk dan bahkan suaranya.”

Para pengawal saling berpandangan sejenak. Namun mereka yakin bahwa hantu-hantu yang dimaksudkan memang ada. Seseorang memberanikan diri berkata, “Aku pernah melihatnya.”

Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya. Kau memang pernah mengatakan, bahwa kau sendiri pernah melihatnya. Bukan sekedar kata orang. Tetapi kau tidak berhasil membawa aku melihat hantu itu.”

Pengawal itu terdiam.

“Kita harus segera dapat memecahkan masalahnya,” tiba-tiba Sutawijaya menggeram.

Dalam pada itu, keadaan Swandaru sudah menjadi berangsur baik. Kekuatannya sudah hampir pulih kembali sehingga ia sudah tidak memerlukan bantuan apa pun lagi dari Agung Sedayu atau gurunya.

Dengan demikian, maka Kiai Gringsing beserta kedua muridnya itu pun telah siap kembali untuk melakukan pekerjaan mereka, menebas hutan di bagian yang justru dijauhi oleh orang-orang lain.

“Apakah kau akan meneruskan kerjamu membersihkan daerah yang wingit itu?” bertanya seseorang kepada Kiai Gringsing.

Kiai Gringsing menganggukkan kepalanya. Jawabnya, “Ya. Daerah itulah yang telah diserahkan kepadaku dan anak-anakku. Karena itu, kami harus bekerja kembali di tempat itu.”

“Selama ini kau mendapat pengalaman yang pahit. Anakmu hampir saja menjadi korban. Apakah kau tidak berpikir untuk mengurungkan saja niat itu?”

“Apakah aku akan mendapat bagian tanah yang lain?”


“Tentu. Kalau kau mengurungkan niatmu, kau dapat menggabungkan diri ke dalam salah satu kelompok yang sudah ada. Tentu saja dengan persetujuan para petugas di hutan ini. Tetapi aku kira mereka dapat mengerti kesulitan yang kau alami.” Orang itu berhenti sejenak, lalu, “Tidak ada orang yang mau menerima bagian itu, meskipun sudah mulai dikerjakan. Mereka yang sudah menebang pepohonan di bagian itu, telah meninggalkannya meskipun mereka telah membuang banyak tenaga.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Aku tidak dapat melangkah surut. Aku sudah tidak dapat kembali lagi ke asalku karena semua hak milikku telah aku jual.”

“Kau tidak perlu kembali ke asalmu. Kau dapat menggabungkan diri dengan kelompok lain. Atau, kau dapat pergi ke tempat yang sudah menjadi ramai. Kau dapat mencari pekerjaan lain di sana.”

Tetapi Kiai Gringsing menggeleng, “Aku akan tetap mengerjakan tanah itu. Aku yakin bahwa pada suatu saat, aku dan anak-anakku tidak akan diganggu lagi. Kami akan segera berkenalan. Dan kami akan mengatakan bahwa niat kami adalah baik.”

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kau memang keras hati. Tetapi terserahlah, semua itu tergantung kepadamu sendiri. Aku sudah mencoba untuk memberimu peringatan. Orang yang tinggi itu pun akan memperingatkan kau. Ia merasa bertanggung jawab atas kita sekalian di sini.”

“Siapakah sebenarnya orang itu?”

“Seperti juga aku, kau dan orang-orang lain. Orang itu pun seorang pendatang. Tetapi karena ia mempunyai beberapa kelebihan dari kita masing-masing di sini, maka tanpa persetujuan resmi, seakan-akan ia menjadi pemimpin kita di sini.”

“Ya. Aku pun merasakannya. Dan orang itu pun sudah bertindak sebagai seorang pemimpin. Kalau negeri ini menjadi ramai, maka ia akan dapat menjadi bebahu dari pedukuhan-pedukuhan yang akan terbentuk.”

“Ya.”

“Dan yang kekurus-kurusan itu?” bertanya Kiai Gringsing pula.

“Orang itu termasuk orang yang cerdik. Ia mempunyai banyak akal dan pendapat. Karena itu, ia segera mendapat tempat yang baik di samping orang yang tinggi kekar itu.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Ia sudah mengerti bahwa orang yang tinggi kekar itu mempunyai beberapa kelebihan dan orang yang kekurus-kurusan itu adalah orang yang cerdik meskipun licik. Tetapi dari orang-orang yang sudah lama berada di tempat itu, ia sama sekali tidak berhasil mendapat keterangan lebih banyak daripada itu.

“Aku harus mendapatkan sumber yang lain untuk mengetahui latar belakang dari perbuatan-perbuatan mereka yang aneh itu,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya.

Sementara itu, Swandaru sudah benar-benar pulih kembali. Kepada para petugas Kiai Gringsing berkata, “Besok aku akan melanjutkan kerja yang selama ini terhenti, bersama dengan anak-anakku.”

“Apakah anakmu yang sakit itu sudah benar-benar sehat?” bertanya Wanakerti.

“Sudah, Tuan. Ia sudah pulih kembali.”

Wanakerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia bertanya, “Apakah kau tidak mempunyai pikiran lain?”

“Maksud, Tuan?”

“Misalnya, mencari tanah garapan baru yang tidak berbahaya bagimu dan anak-anakmu.”

Kiai Gringsing menarik nafas. Jawabnya, “Aku akan berhati-hati, Tuan. Aku dan anak-anakku sudah mulai. Sebaiknya kami melanjutkannya.”

“Bagaimana dengan sakit anakmu?”

“Ia sudah sembuh.”

“Bukan itu. Tetapi apakah kau sudah memikirkan sebab dari penyakit anakmu itu?”

“Seandainya benar anakku telah dikutuk oleh hantu-hantu, maka kini ia pasti sudah mendapat pengampunan, ternyata bahwa ia telah sembuh.”

“Tetapi kalau kau mengulangi kesalahanmu yang lama?”

“Aku tidak yakin, bahwa hal itulah yang dianggap sebagai suatu kesalahan.”

Wanakerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia pun berkata, “Terserahlah kepadamu.”

Para petugas yang lain pun telah berusaha mencegah Kiai Gringsing agar ia memilih tanah garapan yang baru. Salah seorang dari mereka berkata, “Apakah kami tidak dipersalahkan orang, kalau terjadi sesuatu atas kalian?”

“Kenapa?” bertanya Kiai Gringsing.

“Tanah itu adalah tanah yang wingit. Seolah-olah kami memang telah menjerumuskan kalian ke tempat itu.”

Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya, “Tidak. Itu adalah tanggung jawab kami sendiri.”

“Tetapi bagi mereka yang tidak mengetahui persoalan ini pasti akan menyangka bahwa kami adalah orang-orang yang tidak berperikemanusiaan. Kami pasti dipersalahkan, seandainya kami tidak dianggap menjerumuskan kalian, kenapa kami tidak mencegahnya?”

“Terima kasih. Tetapi justru karena semuanya itulah Tuan, maka tanah itu sangat menarik bagi kami. Kami akan mengerjakannya dengan sebaik-baiknya, apa pun akibatnya.”

Para petugas itu hanya saling berpandangan sejenak. Tetapi masih ada di antara mereka yang merasa menyesal, bahwa mereka telah menempatkan orang tua itu bersama kedua anaknya di tempat yang paling wingit.

Tetapi Kiai Gringsing masih berkata, “Tuan, seandainya masih ada gangguan-gangguan atas kami yang bekerja di daerah ini, maka kami sekarang sudah mempunyai kawan yang mempunyai kekuasaan yang serupa dengan mereka.”

“Siapa?”

“Mereka yang datang dari Gunung Merapi itu. Salah satu dari mereka bernama Kiai Dandang Wesi.”

Para petugas itu mengerutkan keningnya, kemudian hampir bersamaan mereka mengangguk-anggukkan kepala mereka.

“Kami sudah mendengar pula ceritera tentang Kiai Dandang Wesi. Tetapi kami masih belum dapat meyakinkan seperti kami meyakini adanya hantu-hantu dari Alas Mentaok ini sendiri.”

“Aku sendiri pernah melihat,” sahut Agung Sedayu, “Kiai Dandang Wesi ada di pihak kami. Menurut Kiai Dandang Wesi, semua yang kasat mata manusia, memang diperuntukkan bagi manusia wadag seperti kita, karena kita memang tidak tahu dan tidak melihat mereka, sehingga karena itu, yang adil, merekalah yang menyesuaikan diri mereka. Bukan kita.”

Para penjaga itu mengangguk-angguk. Wanakerti-lah yang kemudian berkata, “Kalau kau memang sudah yakin, terserahlah. Kami berdoa, mudah-mudahan kalian tidak mendapat gangguan apa pun juga.”

“Terima kasih.”

Demikianlah, maka Kiai Gringsing dan kedua muridnya pun segera mulai mengerjakan tanah garapan mereka kembali. Setelah sekian lama mereka tinggalkan, maka alang-alang yang sudah dibersihkannya tampak mulai tumbuh kembali di beberapa bagian.

“Kemarilah,” desis Kiai Gringsing kepada kedua muridnya.

Kedua muridnya pun segera mendekat.

“Kalian memang harus berhati-hati. Kita tidak tahu pasti, siapakah sebenarnya yang kita hadapi. Bukan karena kita menolak suatu kepercayaan tentang hantu-hantu yang mungkin ada, tetapi kita pun harus memperhitungkan kenyataan yang selama ini terjadi atas kita.”

“Maksud Guru?”

“Ternyata kita berada di dalam lingkungan orang-orang yang mengerti benar tentang racun. Agaknya di sini racun merupakan senjata yang paling baik untuk segala macam tujuan, Swandaru yang pernah mengalaminya. Ketika seseorang di sini mendekapnya dengan ketakutan, dan seolah-olah orang itu terluka parah, agaknya orang itu sudah menyentuh tubuh Swandaru dengan duri-duri beracun.”

“Ya, bagaimanakah sebenarnya dengan orang itu? Dan kemanakah ia pergi? Apakah benar-benar ia hilang seperti yang kita sangka?”

“Orang itu sama sekali tidak apa-apa. Tidak terluka dan tidak ketakutan. Itu adalah suatu cara agar ia dapat menyentuh salah seorang dari kita.”

“Lalu?”

“Ia pun tidak hilang dibawa hantu yang mana pun juga. Orang itu telah pergi sendiri selagi kita sibuk mencari sumber bunyi yang telah mengejutkan kita itu.”

Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Tetapi darah itu?” bertanya Swandaru.

“Aku sudah meyakinkannya, bahwa yang serupa dengan darah itu sama sekali bukan darah.”

Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan kepala mereka.

“Kemudian, kita singgah ke rumah dukun itu. Ia mengerti tentang racun dengan baik. Obat yang diberikannya dan yang kemudian aku bawa kepada dukun yang lain yang ternyata bernama Kiai Damar, memang obat pemunah racun.” Kiai Gringsing terdiam sejenak, lalu, “Dan ternyata pula orang-orang yang memahami tentang racun. Air yang diberikan kepada Swandaru ketika kau tinggalkan, ternyata berisi racun yang telah diperhitungkan dengan tepat.”

Kedua murid-muridnya masih mengangguk-anggukkan kepala.

“Jadi, hati-hatilah. Jangan mudah dijebak lagi dengan cara apa pun. Aku yakin bahwa semua itu sama sekali bukan perbuatan hantu-hantu.”

“Tetapi bagaimana dengan suara gemerincing di malam hari itu?”

“Kita masih harus meyakinkan. Tetapi setiap orang dapat berbuat serupa itu.”

“Dan sinar yang berkeredipan?” bertanya Agung Sedayu.

“Memang masih banyak hal-hal yang harus kita ketahui, Agung Sedayu. Seandainya benar ada hantu di Alas Mentaok, namun ada juga orang-orang yang telah memanfaatkannya untuk kepentingan diri mereka sendiri.”

“Apakah tujuan mereka, Guru?”

Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya, “Aku tidak tahu dengan pasti. Kita masih berhadapan dengan rahasia yang besar seperti rahasia yang tersimpan di dalam Alas Mentaok ini sendiri.”

Demikianlah, maka Kiai Gringsing dan kedua muridnya bekerja dengan hati-hati. Mereka menyadari bahwa di sekitar mereka terdapat beberapa orang yang sedang bermain-main dengan segala macam cara. Dan yang paling berbahaya adalah racun.

Karena itulah, maka diam-diam Kiai Gringsing telah membuat obat-obat yang dapat menahan serangan racun untuk sementara. Kedua muridnya itu pun telah diberinya butiran-butiran itu untuk selalu dibawa kemana mereka pergi. Kalau mereka merasa diri mereka tersentuh racun itu tidak berkembang di dalam tubuhnya, mereka harus makan obat itu, sebutir.

Di hari yang pertama, Kiai Gringsing dan kedua muridnya hanyalah sekedar melihat-lihat tanah garapan yang telah ditinggalkan untuk beberapa lama. Namun justru mereka menjadi semakin bernafsu untuk melakukan kerja itu, agar mereka dapat membuktikan, bahwa tanah ini memang dapat dibuka untuk dijadikan tanah garapan.

Namun kerja yang dimulainya kembali itu telah membuat beberapa orang menjadi tidak senang karenanya. Terutama orang yang tinggi kekar dan yang kekurus-kurusan.

Ketika Kiai Gringsing dan kedua anak-anaknya kembali dari tanah garapannya, maka orang yang tinggi itu mendapatkannya sambil bertolak pinggang, “Kau memang ingin membuat keributan di sini, he?”

“Kenapa?” bertanya Kiai Gringsing.

“Kau mulai lagi kerja itu meskipun semua pihak sudah mencoba mencegahnya. Bahkan para petugas.”

“Aku sudah memberikan alasanku. Dan para petugas itu akhirnya menyerahkan segala tanggung jawab kepadaku.”

“Tetapi itu tidak mungkin. Kau di sini tidak berdiri sendiri. Kau merupakan bagian dari kami semua yang ada di sini.”

“Berilah kami kesempatan. Kami akan mencoba untuk melakukan kerja yang mungkin akan bermanfaat bagi kita. Kalau aku berhasil maka tanah garapan yang terbuka akan menjadi semakin luas. Kelompok-kelompok dapat membagi diri untuk mengerjakan tanah yang lebih luas.”

“Gila. Aku tidak setuju dengan pikiran itu. Sudah aku katakan berapa puluh kali, bahwa akibat yang timbul dari sifatmu yang keras kepala itu akan menimpa kita semua.”

“Aku akan mempertanggung jawabkan sendiri. Biar sajalah seandainya anakku atau aku sendiri menjadi banten. Tetapi aku benar-benar berniat baik,” suara Kiai Gringsing menurun. “Sebenarnya kalian pun jangan takut. Kiai Dandang Wesi selalu akan berada di pihak kita. Aku sudah bertemu dengan hantu yang bernama Kiai Dandang Wesi itu.”

“Bohong!”

“Percayalah. Ia akan menjaga aku di tempat kerjaku itu. Tanah garapan itu sekarang sama sekali sudah tidak wingit lagi, justru karena ada penghuninya yang baru.”

“Persetan. Tetapi kalau terjadi bencana atas kita sekalian, kaulah yang akan menjadi sasaran kemarahan orang-orang yang berada di dalam barak ini.”

Kiai Gringsing tidak menjawab. Tetapi ancaman itu pasti bukan sekedar main-main. Orang-orang yang tinggi itu pasti akan berusaha menghasut orang-orang di dalam barak ini agar mereka berbuat sesuatu terhadap mereka.

Kiai Gringsing hanya dapat memandangi saja ketika orang yang tinggi kekar itu meninggalkannya, sambil bersungut-sungut.

“Apakah pada suatu saat kita akan berbuat sesuatu atasnya?” bertanya Swandaru yang hampir kehilangan kesabaran.

“Biar sajalah. Kita akan melihat, apa saja yang akan dilakukannya.”

Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tampak dari sorot matanya bahwa kebencian yang dalam terhadap orang yang tinggi itu hampir-hampir sudah tidak tertahankan lagi.

Ketika pinggiran hutan itu menjadi kelam, maka orang-orang yang tinggal di dalam barak itu pun sudah menempati tempatnya masing-masing. Selain badan yang lelah, mereka juga selalu dibayangi oleh ketakutan dan kecemasan.

Seseorang yang masih muda berbaring beberapa jengkal dari Swandaru yang masih duduk bersandar dinding. Sekali-sekali ia mengerutkan keningnya, kalau angan-angannya menyentuh orang yang tinggi kekar itu.

“Apakah kalian sama sekali tidak mengenal takut dan cemas,” tiba-tiba orang yang masih muda itu bertanya.

Swandaru berpaling ke arahnya. Tetapi ia tidak segera menyahut. Ditatapnya wajah gurunya sejenak, seolah-olah ia ingin mendapat pertimbangan daripadanya.

Tetapi ternyata Kiai Gringsing tidak sedang memperhatikannya. Orang tua itu duduk pula sambil memejamkan matanya di samping Agung Sedayu yang sedang memijit-mijit kakinya.

“Begitu?” orang itu mendesak.

Swandaru yang agak bingung itu menggelengkan kepalanya, “Tentu tidak. Kami juga mengenal takut.”

“Tetapi kenapa kalian teruskan pekerjaan itu?”

“Kami mempunyai pelindung, hantu dari Gunung Merapi itu.”

Orang itu terdiam sejenak. Dipandanginya anyaman ilalang yang mengatapi barak bambu itu.

“Kau sendiri?” Swandaru yang bertanya.

Orang itu menggeleng, “Isteri dan seorang anakku berada di barak yang lain. Tempat menampung perempuan dan anak-anak itu.”

Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Aku dahulu membayangkan, bahwa aku akan mendapat sebidang tanah garapan yang hijau. Sebuah rumah yang mungil, dengan pekarangan yang ditanami dengan pohon buah-buahan. Dibatasi oleh sebuah pagar batu setinggi dada. Regol yang rendah dan berdaun pintu,” gumam orang itu.

“Pada saatnya akan kau dapatkan.”

“Ya. Tetapi kapan? Kami bekerja di dalam kelompok-kelompok. Hasil yang kami dapatkan sebenarnya terlampau kecil bagi kami sekelompok.”

“Tetapi kelompok itu akan mengerjakan tanah garapan yang lain, sehingga kalian akan mendapatkan bagian yang lain pula.”

“Tetapi kami selalu dibayangi oleh ketakutan.”

“Kelompok-kelompok itu bukan sekedar untuk mengatasi ketakutan. Bukankah kalian tidak akan dapat bekerja sendiri-sendiri menghadapi tantangan hutan yang begitu lebat? Pohon-pohon yang tinggi dan besar. Gerumbul-gerumbul yang penuh dengan tanaman-tanaman menjalar dan berduri?”

Orang itu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak berkata sesuatu. Matanya kembali menatap atap yang terbuat dari anyaman ilalang.

Swandaru pun kemudian terdiam. Ia melihat kekecewaan membayang di wajah orang yang berbaring itu.

“Kenyataan yang dihadapinya, jauh dari gambaran yang diangan-angankannya sebelumnya,” desis Swandaru di dalam hatinya.

Dan tiba-tiba saja ia ingin mendapat beberapa keterangan lagi, sehingga Swandaru itu bertanya, “Apakah sejak kau datang ke tempat ini, orang-orang di sini juga sudah dibayangi oleh ketakutan?”

Tetapi yang menjawab adalah orang lain yang berbaring di sampingnya, “Tidak. Tidak seperti sekarang ini.”

Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya, sedang Kiai Gringsing yang memejamkan matanya pun kemudian terbelalak sambil mengerutkan keningnya. Namun sejenak kemudian mata itu pun telah terpejam pula.

“Bagaimanakah keadaan di daerah ini dahulu?” bertanya Swandaru pula.

“Kami bekerja dengan tenang. Daerah yang sudah dapat dijadikan pedukuhan itu pun menjadi kian ramai. Namun pada suatu saat mulailah wabah itu.”

“Wabah?”

“Wabah ketakutan. Perlahan-lahan tetapi pasti telah mencengkam kami seluruhnya. Mereka yang memasuki daerah yang semakin dalam harus menarik diri dan mengurungkan niatnya, sehingga apa yang kami kerjakan kini sangat terbatas. Sebagian orang-orang yang bekerja di sini telah pergi. Ada yang semakin memenuhi tempat-tempat yang telah ramai itu, tetapi ada juga yang sama sekali mengurungkan niatnya untuk tinggal di daerah Tanah Mataram ini.”

Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia sudah tidak bertanya lagi. Ruangan di dalam barak itu semakin lama menjadi semakin sepi. Sebagian dari mereka yang berbaring di dalamnya sudah tertidur dengan nyenyaknya, sedang sebagian yang lain menyelimuti dirinya dengan kainnya sampai menutup kepalanya.

Swandaru dan Agung Sedayu pun kemudian berbaring pula, sedang Kiai Gringsing tidur sambil duduk bersandar dinding tepat di sudut barak.

Beberapa orang yang belum tertidur berpaling serentak ketika mereka mendengar seseorang mendehem di muka pintu. Ternyata orang yang bertubuh kekar itulah yang baru melangkahi tlundak pintu. Sejenak ia menebarkan tatapan matanya berkeliling. Kemudian ia pun berbaring pula di depan pintu yang masih separo terbuka.

Agung Sedayu, Swandaru, dan gurunya melihat juga orang itu masuk ruangan. Sejenak mereka saling berpandangan. Namun mereka pun kemudian tidak menghiraukannya lagi.

Demikianlah maka malam pun menjadi semakin malam. Sebagian besar dari mereka yang berbaring di dalam barak itu telah tertidur. Beberapa orang bahkan telah mendengkur, seolah-olah mereka sama sekali tidak sedang diganggu oleh kecemasan dan ketakutan.

Di luar barak, suara cengkerik masih terdengar berderik berkepanjangan sahut menyahut. Angin malam yang dingin berhembus di sela-sela dedaunan yang basah oleh embun.

Agung Sedayu dan Swandaru pun telah memejamkan matanya. Antara sadar dan tidak sadar mereka masih mendengar sekali-sekali suara burung tuhu di kejauhan.

Tetapi selagi keheningan malam mencengkam barak yang sudah mulai lelap itu, beberapa orang telah dikejutkan oleh suara yang aneh. Seperti suara bayi yang merengek, namun kemudian berubah seperti suara kucing yang melolong-lolong. Semakin lama semakin keras mendekati barak yang dengan tiba-tiba telah dicengkam oleh ketakutan yang dahsyat.

Semua orang yang ada di dalam dan apalagi di serambi barak, telah menutup telinga mereka dengan telapak tangan. Menutup seluruh tubuh dengan selimut mereka.

Tetapi berbeda dengan mereka itu, Kiai Gringsing justru mencoba mendengarkan suara itu dengan saksama. Agung Sedayu dan Swandaru pun telah terbangun dan sadar sepenuhnya atas apa yang didengarnya. Tetapi ketika mereka akan bangkit, Kiai Gringsing memberikan isyarat agar mereka tetap berbaring di tempatnya.

Suara itu semakin lama menjadi semakin jelas terdengar. Namun pada suatu saat, sumber bunyi itu sudah tidak menjadi semakin dekat, tetapi justru berputar-putar mengelilingi barak itu.

Belum lagi ketakutan yang mencengkam itu mereda, seisi barak itu telah dikejutkan oleh suara beberapa benda yang jatuh di atas atap barak itu, yang kemudian berguling jatuh di tanah di sekitarnya. Agaknya barak itu telah dilempari dengan batu meskipun tidak terlampau besar. Bahkan batu-batu yang terjatuh di anyaman ilalang yang kurang kuat, telah menembus atap dan jatuh ke dalam barak.

Tiga buah batu telah jatuh ke dalam barak menimpa orang yang sedang berbaring ketakutan. Untunglah batu-batu itu tidak terlampau besar, sehingga meskipun terasa juga sakit, namun sama sekali tidak berbahaya.

Kiai Gringsing hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Orang yang bertubuh, kekar itu berbaring di depan pintu. Seandainya tidak, ia akan, dapat berbuat sesuatu.

Lemparan-lemparan batu itu merupakan sesuatu yang baru bagi barak itu. Biasanya seisi barak itu hanya ditakutkan oleh bunyi yang asing bagi mereka. Satu dua orang memang pernah melihat bentuk dan ujud yang mengerikan di dalam gelap. Tetapi belum pernah terjadi, barak mereka dilempari dengan batu-batu.

Sejenak kemudian maka suara yang mengitari barak itu pun menjadi semakin lama semakin jauh. Di saat-saat terakhir suara itu telah berubah lagi menjadi bunyi-bunyi yang belum pernah didengar. Tinggi melengking-lengking kemudian turun merendah dan akhirnya hilang sama sekali.

Beberapa saat lamanya tidak seorang pun yang berani bergerak. Yang berkerudung kain panjang, masih tetap berkerudung kain. Yang menutup telinganya dengan telapak tangannya, masih juga menutup telinganya. Bahkan yang tertimpa batu pun sama sekali tidak berani beringsut dari tempatnya. Meskipun terasa juga sakit, namun menyeringai pun mereka tidak berani.

Baru, ketika orang-orang di dalam barak itu yakin, bahwa suara itu sudah lenyap, mereka berani beringsut sedikit untuk menarik nafas dalam-dalam.

Yang pertama-tama bangkit perlahan-lahan adalah orang yang tinggi kekar itu. Ditebarkannya pandangan matanya ke sekelilingnya. Ketika ia melihat Kiai Gringsing bersandar dinding ia mengerutkan keningnya, “Sejak tadi kau bersandar dinding?”

Kiai Gringsing mengangguk, “Ya, sejak tadi.”

Orang yang tinggi kekar itu memandangnya dengan, kerut kening yang tegang. Dengan sorot mata yang aneh ia pun kemudian berdiri dan berjalan selangkah demi selangkah mendekati Kiai Gringsing.

“Kenapa kau tetap duduk saja di tempatmu? Kau sudah menghina hantu-hantu itu. Itulah agaknya mereka menjadi marah dan melempari barak ini dengan batu?”

“Kenapa aku telah menghina mereka?”

“Kau terlampau sombong. Kau bersikap menantang.”

“Tidak. Aku sama sekali tidak bersikap menantang. Kau melihat sendiri, bahwa sejak sore aku tidur sambil bersandar dinding karena tikar kami telah dipenuhi oleh kedua anak-anakku.”

“Kenapa kau pertahankan sikap itu?”

“Bukan maksudku. Ketika aku terbangun karena suara-suara itu, aku menjadi seakan-akan membeku. Aku tidak dapat menggerakkan ujung jariku, apalagi tubuhku. Sebenarnya aku ingin menjatuhkan diri di antara anak-anakku. Tetapi aku tidak dapat bergerak sama sekali.”

Orang yang tinggi kekar itu mengerutkan keningnya. Dilihatnya beberapa orang telah bangkit dan duduk di tempat masing-masing. Orang yang terkena batu pun telah berani mengusap bagian tubuh mereka yang masih terasa sakit. Bahkan salah seorang dari mereka, telah terkena kepalanya.

“O, kita sudah berbuat banyak sekali kesalahan,” terdengar suara di muka pintu. Ketika orang-orang yang ada di dalam barak itu berpaling, dilihatnya orang yang kekurus-kurusan itu berdiri gemetar.

“Di mana kau selama ini?” bertanya salah seorang.

“Aku hampir mati membeku.”

“Di mana kau, he?” orang yang tinggi kekar itu membentak.

“Aku berada di luar. Aku tidak dapat menahan lagi untuk membuang air. Tetapi di halaman yang terlindung itu, aku menjadi seperti orang lumpuh. Aku terduduk tanpa dapat bergerak sama sekali.”

“Lalu?”

“Aku melihat hantu itu lewat.”

“O,” hampir bersamaan beberapa orang berdesis.

“Benar-benar mengerikan. Kali ini yang lewat tidak hanya sesosok hantu, tetapi tiga.”

“Tiga?” serentak terdengar beberapa pertanyaan.

“Ya, tiga.”

“Dalam bentuk apa saja?”

“Yang sesosok tinggi. Yang dua tidak begitu tinggi. Hampir setinggi manusia biasa. Tetapi aku tidak berani menatap wajah mereka yang mengerikan itu. Merah dan bergigi panjang. Selebihnya aku tidak tahu. Tetapi yang pasti salah seorang dari mereka berambut ular dan yang satu lagi berkepala tengkorak.”

“Mengerikan sekali.”

“Aku hampir pingsan karenanya. Hantu itu lewat beberapa langkah di dekatku. Satu di antara mereka berhenti. Tetapi kemudian aku ditinggalkannya.”

........bersambung ke Jilid 54

Tidak ada komentar:

Posting Komentar