Minggu, 17 Desember 2017

API di BUKIT MENOREH Jilid 13

API di BUKIT MENOREH

Karya S.H Mintardja

JILID 13


TETAPI yang terdengar adalah suara tertawa lemah. Suara itu melontar dari balik sebatang pohon yang besar. Hampir bersamaan muncullah sebuah bayangan hitam, berjalan beberapa langkah mendekati mereka.

“Hem, kalian telah terbenam dalam kepentingan kalian masing-masing sehingga kalian tidak sempat memperhatikan saat-saat yang paling berbahaya dalam hidup seseorang.”

Agung Sedayu tersentak. Tiba-tiba dari mulutnya terdengar la berdesis, “Kiai Gringsing.”

Kiai Gringsing tidak menjawab. la berjalan terus ke arah orang yang terbaring itu. Dengan cekatan ia memijit-mijit beberapa bagian dari sisi luka itu, kemudian mengambil sebungkus ramu-ramuan obat-obatan dari dalam bajunya.

Terdengar orang itu berdesis, kemudian mengerang semakin keras.

“Memang agak pedih,” berkata Kiai Gringsing, “mudah-mudahan akan dapat menolongmu,” berkata Kiai Gringsing sambil mengusap luka itu dengan ramuan obatnya.

Kemudian kepada Agung Sedayu ia berkata, “Bawalah orang ini ke tepi hutan. Carilah air untuknya, dan bawalah ke banjar desa bersama orang-orang lain yang terluka.”

“Kiai,” potong Sumangkar, “apakah artinya ini?”

Kiai Gringsing berpaling. Dipandanginya wajah Sumangkar dalam kesamaran gelap malam.

“Biarlah aku mencoba menolong jiwanya. Aku adalah seorang dukun. Aku tidak dapat melihat seseorang yang berjuang melawan maut tanpa berbuat apa-apa. Sedang kalian masih saja bertengkar tanpa ujung pangkal. Sehingga aku tidak tahan lagi bersembunyi sambil mendengar keluhan ini.”

“Lalu, maksud Kiai seterusnya.”

“Biarlah Agung Sedayu kembali ke Sangkal Putung. Akulah yang akan mengambil alih tugasnya,” sahut Kiai Gringsing.

Mendengar jawaban Kiai Gringsing itu wajah Sumangkar menjadi merah padam. Ia tahu benar arti kata-kata itu. Dan ia tahu, akibat dari kata-kata itu pula. Karena itu sesaat ia terbungkam. Bukan saja Sumangkar yang terkejut, tetapi juga Agung Sedayu terkejut. Dengan ragu-ragu ia berkata, “Kiai, apakah Kakang Untara akan membenarkan?”

“Kakangmu tidak akan berbuat apa-apa. Baginya, siapa saja yang melakukan perintahnya tidak ada bedanya.”

Sedayu masih ragu-ragu. la masih saja berdiri di tempatnya. Sehingga Kiai Gringsing berkata pula, “Selagi masih ada kesempatan, maka setiap jiwa yang terancam maut harus mendapat pertolongan. Adalah wajib kita berusaha, namun apabila ditentukan lain, kita manusia tidak dapat melawan kehendak-Nya.”

Tetapi Agung Sedayu masih ragu-ragu. Dan karena Agung Sedayu ragu-ragu Kiai Gringsing berkata, “Agung Sedayu, pergilah. Bukankah kau masih dapat mengenal jalan kembali. Tempat ini masih belum terlampau dalam-dalam. Kau dapat mengikuti jejak prajurit Jipang dalam-dalam arah yang berlawanan.”

“Tetapi perintah itu.”

“Serahkan kepadaku. Kakakmu adalah seorang Senapati yang cerdik. Aku tahu benar, kenapa yang diperihtahkannya adalah kau. Bukan orang lain. Padahal Untara tahu, siapakah Adi Sumangkar itu. Kakakmu pasti mempunyai perhitungan sendiri. Ia pasti, bahwa aku tidak akan melepaskan kau sendiri dalam tingkat sekarang. Sebab kakakmu segan untuk langsung meminta aku melakukan pekerjaan ini.”

Terasa sesuatu bergetar di dada Agung Sedayu. Ternyata bukan dirinya sendirilah sasaran dari perintah kakaknya. “Hem,” Sedayu menarik nafas dalam-dalam.

Terdengarlah pula Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Bahkan seakan-akan orang tua itu mengeluh.

“Sekarang pergilah,” perintah Kiai Gringsing.

Agung Sedayu tidak dapat menghindar lagi. Perintah kakaknya baginya sama beratnya dengan perintah gurunya. Namun bahwa gurunya akan mengambil alih tugasnya, telah membesarkan hatinya.

Perlahan-lahan Agung Sedayu menyarungkan pedangnya. Dan perIahan-lahan pula ia berjongkok di samping gurunya. Dengan hati-hati, orang yang terluka itu dipapahnya pada kedua tangannya.

“Berat?” bertanya Kiai Gringsing.

“Cukup berat,” sahut Agung Sedayu.

“Hati-hatilah. Kalau kau telah memberinya minum maka orang itu akan dapat kau papah pada lambungnya. Mungkin ia dapat menggantungkan dirinya pada pundakmu. Kalau tidak, kau masih harus mengangkatnya sampai ke banjar desa.”

Agung Sedayu mengangguk, jawabnya, “Baik Kiai.”

Ketika Agung Sedayu kemudian berputar dan melangkah, terdengar Sumangkar menggeram. “Kiai, ternyata senapati Pajang itu tidak berkata sejujur hatinya.”

“Kenapa?” sahut Kiai Gringsing.

Agung Sedayu yang mendengar perkataan Sumangkar itu berhenti sambil berpaling. Tetapi Kiai Gringsing berkata, “Berjalan terus Sedayu. Jangan menunggu orang itu mati.”

Sedayu mengangguk. Ia melangkah kembali meninggalkan gurunya dan Sumangkar masuk ke dalam gelapnya malam yang semakin kejam.

Orang di tangannya itu masih mengerang. Bahkan terdengar ia berbisik, “Akan kau bawa kemana aku, Kisanak.”

“Mencari air,” sahut Agung Sedayu.

Orang itu terdiam. Namun perasaannya bergolak tidak menentu. Ia tidak tahu, apakah yang telah mendorong prajurit Pajang itu menyelamatkannya. Karena itu, maka rasa heran dan haru berkecamuk di dalam dadanya.

“Kisanak,” desisnya lirih, “bukankah bagimu lebih mudah menusukkan pedangmu ke ulu hatiku dari pada membawa aku mecari air?”

Agung Sedayu tidak menjawab. Dalam keadaan demikian Agung Sedayu sama sekali tidak teringat lagi batas antara prajurit Pajang dan prajurit Jipang. Namun perasaan kemanusiaannyalah yang telah mendesak semua persoalan yang pernah ada antara dirinya, sebagai seorang yang berada dalam barisan Pajang dan orang itu prajurit Jipang.

Sepeninggal Agung Sedayu, Kiai Gringsing berdiri berhadapan dengan Sumangkar yang masih membawa tubuh Macan Kepatihan di pundaknya. Keduanya berdiri tegak dalam jarak beberapa langkah saja.

“Kiai,” berkata Sumangkar, “kalau benar Angger Untara akan mengusahakan pengampunan kenapa Untara masih dikungkung oleh perasaan curiga.”

“Kenapa?” bertanya Kiai Gringsing.

“Ternyata Untara masih mengirim seseorang untuk mengikuti aku. Bukankah dengan demikian, pengampunan yang dikatakan itu tidak lebih dari satu jebakan saja bagi Jipang.”

“Adi Sumangkar,” berkata Kiai Gringsing, “kita yang selama ini berdiri pada pihak yang bermusuhan, sudah tentu tidak dapat melenyapkan kecurigaan hati kita masing-masing dalam sekejap. Sudah tentu bukan hanya Angger Untara yang bercuriga, bukankah kau bercuriga pula? Bukankah kau bercuriga bahwa perkataan Untara itu hanya sekedar sebuah pancingan.

“Kalau tidak,” sahut Sumangkar, “ia tidak akan mengirim seseorang untuk mengikuti aku.”

“Tetapi sebelum kau temukan Agung Sedayu di sini, kecurigaan telah ada di hatimu. Bukankah kau katakan bahwa kau sudah menyangka bahwa seseorang akan mengikuti jejakmu? Bukankah itu juga semacam perasaan curiga? Nah, kita sama-sama curiga. Lebih baik tidak usah aku ingkari. Tetapi kecurigaan kami didasari atas kemauan yang baik. Siapa yang menyerah, akan mendapat pergampunan meskipun tidak mutlak seperti kata-kata Angger Untara. Yang tidak mau menyerah itulah yang akan dimusnahkan. Karena itu Angger Agung Sedayu harus tahu, jalan yang dapat ditempuh untuk menghancurkan mereka yang membangkang perintah.”

Sumangkar masih saja berdiri seperti patung. Namun hatinya berkata seperti apa yang dikatakan oleh Kiai Gringsing itu pula, “Kita yang selama ini berdiri pada pihak yang bermusuhan, sudah tentu tidak dapat melenyapkan kecurigaan hati kita masing-masing dalam sekejap.”

Tetapi Sumangkar masih ingin menghindarkan diri dari jebakan yang mungkin dibuat oleh Untara, katanya, “Kiai, apakah tidak mungkin bahwa setelah Angger Untara mengetahui perkemahan orang-orang Jipang, maka dengan serta merta dihancurkannya, tanpa menunggu pernyataan mereka yang berhasrat untuk benar-benar mencari jalan kembali?”

“Kecurigaan itu beralasan,” sahut Kiai Gringsing. “Seperti juga Angger Untara bercuriga. Jangan-jangan Sumangkar hanya ingin mempengaruhi perasaan orang-orang Pajang untuk mendapat kesempatan melepaskan bersama anak buah Tohpati. Apakah kami dapat mengetahui dengan pasti, bahwa apa yang dikatakan oleh Sumangkar untuk kembali setelah menguburkan mayat Tohpati dan bersedia menerima segala macam hukuman sebagai janji yang pasti ditepati?”

“Apakah kalian orang-orang Pajang tidak percaya kepadaku, Kiai?”

“Perasaan kami serupa. Seperti kau tidak percaya bahwa kami yang benar-benar bertekad untuk menyelesaikan persoalan ini sebaik-baiknya. Bahkan kau berprasangka, seolah-olah kami akan menjebakmu dan orang-orang Jipang yang lain.”

Sumangkar terdiam sejenak. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berpikir. Kemudian terdengar ia berkata, “Lalu, apakah yang akan kau lakukan kini, Kiai?”

“Meneruskan pekerjaan Agung Sedayu.”

“Memata-matai aku?”

“Ya.”

“Bagaimana kalau aku menolak.”

“Adi Sumangkar. Kalau aku orang yang taat pada kewajibanku, maka aku harus menjawab seperti Agung Sedayu. Apa pun yang akan terjadi. Tetapi untuk menghindari hal-hal yang saling tidak kita inginkan, maka aku dapat menjawab lain. Sebenarnya bagi Kiai Gringsing, sama sekali tidak perlu, apakah Sumangkar sedang lewat, apakah ada bekas-bekas anak buah Angger Tohpati, atau petunjuk-petunjuk yang lain. Bagi Kiai Gringsingi mencari perkemahanmu tidaklah sesulit mencari kutu di kepala.”

“Hem,” Sumangkar menggeram, disadarinya kini dengan siapa ia berhadapan. Kiai Gringsing ternyata telah mengucapkan tekadnya. Dalam pada itu kadang-kadang tumbuh lagi niatnya untuk membunuh dengan meminjam tangan Kiai Gringsing, barangkali saat-saat yang sedemikian ini dapat dimanfaatkannya. Kalau ia mencoba mengusir Kiai Gringsing, maka ada kemungkinan mereka terlibat dalam perkelahian. Tetapi Sumangkar hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Ia telah menyanggupi, melakukan pesan terakhir Macan Kepatihan. Mengubur mayatnya baik-baik.

Kata-kata Kiai Gringsing itu pun cukup tegas baginya, dan ia percaya bahwa Kiai Gringsing mampu melakukannya, mencari perkemahannya tanpa petunjuk-petunjuk apapun. Karena itu maka akhirnya Sumangkar berkata, “Baiklah Kiai. Silahkan Kiai melakukan pekerjaan Kiai Gringsing. Aku percaya, bahwa Kiai akan berhasil.”

“Terima kasih,” sahut Kiai Gringsing. “Tetapi aku harap kau tidak berprasangka. Angger Untara benar-benar berkemauan baik untuk menyelesaikan persoalan sisa-sisa anak buah Tohpati dengan menghindarkan pertumpahan darah sejauh mungkin. Seperti yang dikatakannya, bahwa Panglima Wira Tamtama sendiri memberinya saran itu.”

“Ya. Ya. Kiai. Aku akan berjalan terus membawa mayat Angger Macan Kepatihan di antara anak buahnya. Mungkin mayat ini dan pesan-pesannya di saat terakhir akan bermanfaat bagi penyelesaian itu. Aku akan mengakui kekuranganku, bahwa aku tidak dapat menghalang-halangi Kiai.”

“Marilah kita menganggap bahwa kita saat ini tidak bertemu. Aku akan mencari jalan sendiri, sehingga apabila aku menemukan perkemahammu, bukanlah karena kesalahan Sumangkar, yang seakan-akan telah menuntun musuhnya menemukan perkemahan sendiri.”

“Baik Kiai. Kini aku akan pergi.”

Kiai Gringsing mengangguk. “Silahkan,” jawabnya.

Sumangkar pun kemudian berputar, meneruskan langkahnya, menyusup ke dalam gerumbul dan menghilang di dalam kelamnya malam. Sambil membawa mayat Raden Tohpati, Sumangkar berjalan cepat-cepat untuk segera sampai ke perkemahannya. Betapa hatinya menolak maksud Kiai Gringsing untuk melihat perkemahannya dan mengetahui segala seluk-beluknya, namun ia tidak mampu menghalang-halanginya. Sebenarnya Sumangkar ingin sampai saat-saat terakhir, meskipun dirinya sendiri kemudian akan menyerahkan dirinya bersama dengan orang-orang yang sependirian, namun ia tidak akan membiarkan orang-orang yang selama ini bersama-sama berdiri pada suatu pihak mengalami bencana yang mengerikan. Yang seolah-olah karena kesalahannya. Bahkan akan dapat dituduh, karena pengkhianatannya, maka mereka akan dimusnahkan.

“Tetapi Kiai Gringsing memiliki beberapa kelebihan,” desisnya.

Karena itu dicobanya untuk menenangkan perasaannya. Ia mencoba untuk berlaku seperti apa yang dikatakan oleh Kiai Gringsing, seolah-olah mereka tidak pernah bertemu di dalam hutan, seolah-olah Kiai Gringsing mencari jalan sendiri. Dan apabila Kiai Gringsing itu sampai di perkemahan juga, itu adalah karena kecakapannya sendiri.

Dalam kesibukan angan-angan, akhirnya Sumangkar menjadi semakin dekat dengan perkemahannya. Beberapa langkah lagi ia menyibak gerumbul terakhir dan beberapa langkah lagi, orang tua itu telah sampai di halaman yang kotor dari perkemahan yang sangat sederhana.

Seorang penjaga dengan tangkasnya meloncat, dan pedangnya langsung diangkatnya setinggi dada sambil membentak, “Berhenti! Siapa kau?”

Sumangkar berhenti. Dengan sareh ia menjawab, “Sumangkar.”

“O,” gumam orang itu. Namun tiba-tiba terdengar suaranya menghentak, “Dari mana kau?”

Sumangkar tidak segera menjawab. Ia berjalan semakin dekat. Dan tiba-tiba penjaga itu berkata, “He. apakah kau baru saja berburu? Apakah yang kau dapatkan itu?”

Sumangkar tidak menjawab. Ia berjalan terus semakin dekat.

“Apa he? Apakah orang yang lain berhasil mendapatkat buruan itu, dan kau harus memasaknya?”

“Tutup mulutmu!” bentak Sumangkar. Tiba-tiba saja dadanya dirayapi oleh kemuakan yang sangat mendengar pertanyaan yang manyakitkan hatinya. Yang di pundaknya itu adalah mayat murid kakak seperguruannya, pamimpin tertinggi prajurit Jipang sepeninggal patih Mantahun.

Penjaga itu terkejut mendengar bentakan itu. Sesaat ia diam mematung, namun kemudian tumbuhlah marahnya. Juru masak itu berani membentak-bentaknya. Baru saja ia kembali dari peperangan yang hampir menghancur lumatkan pasukannya. Baru saja ia menegang nyawanya. Belum lagi ia sempat beristirahat, ia sudah mendapat tugas untuk berada di sudut-sudut penjagaan yang diperkuat bersama-sama beberapa orang lain yang sama sekali tidak mengalami cidera. Tiba-tiba juru masak itu membentak-bentaknya. Karena itu, maka dengan kasar ia menjawab, “He, Sumangkar. Apakah kau tidak dapat menjaga mulutmu he?”

Sumangkar tidak menjawab. Ia berjalan menyusur sisi halaman perkemahan itu, tidak melewati tempat prajurit itu berjaga-jaga. Tetapi prajurit yang marah itu mengejarnya dan sekali lagi membentaknya, “He, tikus tua. Mintalah maaf supaya mulutmu tidak aku remas.”

Tetapi orang tua itu berpaling pun tidak. Ia berjalam terus. Ia ingin segera sampai ke pusat perkemahan dan menyerahkan tubuh Macan Kapatihan kepada pimpinan yang masih ada. Namun prajurit yang marah itu mengejarnya terus.

“Berhenti!” teriaknya. “Kalau tidak aku sobek punggungmu dengan pedangku.”

Sumangkar berhenti. Sambil memutar tubuhnya ia berkata, “Apakah sebenarnya yang kau kehendaki? Buruanku ini?”

“Keduanya. Buruanmu dan mulutmu.”

Sumangkar yang hatinya sedang gelap itu tiba-tiba menjadi bertambah gelap. Dalam keadaan yang serupa itu, tiba-tiba tanpa disangka-sangka, tanpa ancang-ancang, terasa sesuatu menyengat mulut prajurit itu. Demikian kerasnya sehingga prajurit itu terlempar beberapa langkah ke samping. Terdengar tubuhnya terbanting di tanah dan terdengar ia mengeluh pendek.

Dalam pada itu terdengar suara Sumangkar parau, “Mulutmulah yang harus kau jaga.”

Prajurit yang terbanting itu merangkak-rangkak bangun. Mulutnya yang berdarah, menghamburkan kata-kata kotor. Setelah ia memungut pedangnya yang terlepas dari tangannya, ia berdiri tegak sambil berkata, “Sumangkar. Apakah kau sudah menjadi gila. Sekararg aku benar-benar akan membunuhmu.”

Sebelum Sumangkar menjawab, prajurit yang marah itu telah meloncat beberapa langkah maju sambil langsung menusukkan pedangnya menghunjam ke arah jantung Sumangkar. Namun sekali lagi prajurit itu terkejut. Sumangkar itu seakan-akan lenyap dari tempatnya. Dan tiba-tiba sekali lagi kepalanya terasa pening. Sekali lagi ia terdorong beberapa langkah dan jatuh terbanting di tarah.

Kini terasa matanya berkunang-kunang. Hampir-hampir ia kehilangan kesadaran. Kepalanya terasa hampir pecah dan nafasnya hampir terputus di kerongkongan.

Prajurit itu mengerang. Dicobanya untuk mengatasi segala macam perasaan sakitnya. Ketika ia dengan susah payah berhasil bangkit dan duduk di atas tanah, maka yang dilihatnya bayangan Sumangkar menghilang di dalam gelap.

“Gila,” umpatnya, “orang itu telah menjadi gila.”

Tertatih-tatih prajurit itu berdiri Sekali lagi ia memungut pedangnya yang terlepas. Kepalanya yang pening dan sakit itu masih mampu melontarkan berbagai pertanyaan tentang juru masak yang dianggapnya sudah menjadi gila. Juru masak yang malas itu tiba-tiba menjadi garang. Segarang babi hutan jantan.

Prajurit itu tak habis heran. Kenapa Sumangkar yang malas itu dapat berubah menjadi seorang yang mampu melakukan perbuatan di luar dugaannya, bahkan melampaui segala kacepatan gerak yang pernah dilihatnya, pada pemimpinnya yang disegani, Macan Kepatihan sekalipun.

Meskipun demikian, prajurit yang masih dibakar oleh kemarahan itu sama sekali tidak puas mengalami perlakuan itu. Mungkin adalah kebetulan saja Sumangkar mampu berbuat demikian. Ia benar-benar ingin membuktikannya. Karena itu kemudian dengan langkah yang gontai ia berjalan kembali ke sudut penjagaannya minta ijin kepada kawan-kawannya untuk mencari Sumangkar ke dapur.

“Kenapa kau?” bertanya seorang kawannya ketika in melihat prajurit itu berjalan tertatih-tatih.

“Tidak apa-apa,” jawabnya.

“Di mana orang tua itu. Bukankah yang kau kejar tadi Sumangkar? Apakah ia mencoba menyembunyikan sesuatu?”

“Aku ingin melihatnya ke dapur.”

Kawan-kawannya tertawa. Mereka menyangka bahwa prajurit ingin mendapat sebagian dari hasil buruan orang tua itu.

Dalam pada itu Sumangkar berjalan terus. Sekali ia membelok dan menyusur jalan sempit menuju ke kemah Macan Kepatihan. Ia mengharap bahwa para pemimpin yang masih ada, berada di tempat itu.

Semakin dekat Sumangkar dengan pintu kemah hatinya menjadi semakin berdebar-debar. Sekali-sekali terbayang di wajahnya, senapati Jipang yang dipanggulnya itu bertempur sampai tltik darahnya yang terakhir untuk melindungi anak buahnya, kemudian terbajang pula senapati muda dari Pajang yang berkata kepadanya bahwa ia akan mengusahakan pengampunan untuk mereka yang dengan kemauan sendiri karena kesadaran, menyerah kepada pasukan-pasukan Pajang di Sangkal Putung.

“Kedua-duanya adalah anak-anak muda yang perkasa,” katanya di dalam hati. “Keduanya memiliki sifat-sifat yang mengagumkan. Tetapi ternyata dalam olah kaprajuritan senapati muda dari Pajang itu dapat melampaui Angger Tohpati. Bukan saja ketrampilan bermain pedang, namun ternyata senapati muda Pajang itu cukup cerdas dan bijaksana. Seandainya apa yang dikatakannya benar, pengampunan meskipun tidak mutlak, maka anak muda itu adalah anak muda yang terpuji.”

Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Untara telah mengijinkannya membawa mayat Macan Kepatihan untuk dikuburkannya. Tetapi kemudian terdengar ia bergumam. “Mudah-mudahan ini bukan sekedar suatu jebakan saja. Ternyata Angger Untara benar-benar mengirim orang untuk mengikuti aku.” Namun terdengar kembali jawaban dari dasar hatinya. “Bukankah Kiai Gringsing dapat melakukannya meskipun tidak mengikuti bekas kaki atau jejak siapapun?”

Dalam pada itu langkah Sumangkar menjadi semakin dekat dengan pintu perkemahan Macan kepatihan. Sekali lagi ia bertemu dengan seorang penjaga. Ketika penjaga itu melihatnya segera ia menyapanya, “Siapa?”

“Aku, Sumangkar.”

“O, kau mau kemana?”

“Di mana Angger Sanakeling?”

“Kau dapat rusa untuknya?”

“Ya,” sahut Sumangkar pendek.

“Di dalam kemah itu. Mereka menunggu Raden Tohpati.”

Sumangkar mengangguk. Kemudian ia meneruskan langkahnya. Namun baru beberapa langkah ia mendengar prajurit itu bertanya dengan nada yang aneh, “He, Sumangkar. Siapakah itu?”

Sumangkar berhenti sejenak. Kemudian jawabnya, “Inilah yang sedang mereka tunggu.”

“He?” tiba-tiba prajurit itu gemetar. Mulutnya serasa terbungkam dan dengan lemahnya ia tersandar pada sebatang pohon di samping kemah Macan Kepatihan itu.

Sumangkar melihat betapa besar pengaruh hilangnya Macan Kepatihan atas para prajurit Jipang. Mereka seakan-akan kehilangan kekuatannya. Meskipun Macan Kepatihan seorang saja tidak akan mampu berbuat apa-apa tanpa prajuritnya dan para pejuang lain, namun pengaruh dan wibawanya seakan-akan telah mencengkam segenap hati anak buahnya.

Sumangkar tidak berkata apa-apa lagi kepada prajurit itu. Sambil menundukkan kepalanya ia berjalan terus ketika ia sampai di muka pintu, ia tertegun sejenak. Dilihatnya cahaya obor memancar lewat pintu yang masih terbuka sedikit jatuh di atas tanah yang kotor lembab.

Dengan ragu-ragu Sumangkar mendekat. Disentuhnya pintu itu dengan tongkatnya. Dan tiba-tiba ia mendengar suara dari dalam pintu itu menyentak, “Kakang tohpati.”

Sanakeling terlonjak ketika dilihatnya sebatang tongkat baja putih menyentuh pintu. Dengan sebuah loncatan ia telah mencapai pintu diikuti oleh beberapa orang lain. Tetapi ketika ia melihat, siapa yang berdiri di muka pintu dan apa yang dibawanya, maka serasa darahnya membeku. Dengan suara yang serak parau ia berkata, “Paman Sumangkar, apakah itu Kakang Tohpati?”

Sumangkar mengangguk. Tetapi ia tidak mengucapkan kata-kata. Ketika ia melangkahi tlundak pintu semua orang yang berdiri di dalamnya, menyibak. Mereka pun terdiam seperti Sumangkar. Dengan mata terbelalak dan hati melonjak-lonjak mereka melihat Sumangkar meletakkan tubuh itu di atas sebuah amben bambu. Terdengar suaranya berderit seolah-olah sebuah goresan yang tajam berderit di jantung mereka.

Sesaat mereka berdiri tegak seperti patung. Semua mata tertancap kepada tubuh yang terbujur diam. Pakaiannya masih berwarna darah karena lukanya yang arang kranjang. Sedang di tubuh Sumangkar pun darah itu meleleh membasahi pakaian orang tua itu pula.

Ruangan itu menjadi sunyi senyap. Tak seorang pun yang bergerak. Hanya hati merekalah yang bergelora, melonjak-lonjak menggapai langit seperti sebuah nyala api yang membakar gunung.

Yang terdengar kemudian adalah desir angin yang menggerakkan dedaunan. Sekali-kali kilat memancar di langit, disusul oleh suara guruh bersahut-sahutan. Perlahan-lahan, namun semakin lama semakin keras.

Tetapi ruangan itu masih tetap sepi.

Hati mereka seakan-akan pecah ketika mereka mendengar Sumangkar berkata sambil menunjuk tubuh Tohpati itu dengan tongkatnya, “Inilah orang yang kalian tunggu.”

Yang pertama-tama bergerak adalah Sanakeling. Selangkah ia maju mendekati tubuh yang terbujur itu. Sambil menggigit bibirnya ia menunduk mengamat-amati mayat yang sudah membeku dingin. Sanakeling menarik nafas dalam-dalam. Luka itu luka arang kranjang.

Tiba-tiba orang kedua sesudah Macan Kepatihan itu menggeram seakan-akan ingin melontarkan tekanan yang menghimpit dadanya.

“Raden Tohpati terbunuh dengan luka arang kranjang karena ingin menyelamatkan kita.” desah Sanakeling. Wajahnya yang ditimpa oleh sinar obor yang nyalanya bergerak-gerak disentuh angin tampak menjadi tegang dan buas. Seperti seekor serigala yang kehilangan anaknya, Sanakeling itu menggeretakkan giginya sambil menghentakkan kakinya di tanah.

Kembali ruangan itu tenggelam dalam kesenyapan. Hanya nafas-nafas mereka yang bekejaran terdengar seperti desah angin di luar, yang menggetarkan dedaunan dan ranting-ranting.

Sekali-kali kilat memancar di langit dan kembali suara guruh terdengar bersahut-sahutan. Namun kemudian sunyi kembali.

Tetapi tanpa sepengetahuan mereka, di luar gubug yang satu itu, semakin lama semakin banyak orang-orang Jipang berkumpul. Mereka mendengar dari prajurit yang melihat Sumangkar membawa mayat Tohpati memasuki gubug itu. Berjejal-jejal mereka ingin menyaksikan apakah yang dikatakan oleh kawannya itu benar.

Sumangkar, Sanakeling dan orang-orang yang berada di dalam gubug itu terkejut ketika mereka mendengar pintu berderak karena desakan orang-orang di luar. Ketika mereka berpaling, mereka melihat wajah-wajah yang kaku tegang.

Sanakeling yang dibakar oleh luapan kemarahannya itu memandang mereka dengan mata yang menyala. Seakan-akan dari matanya memancar dendam tiada taranya. Seakan-akan dari matanya itu memancar tuntutan atas kesetiaan orang-orang Jipang kepada pemimpinya itu.

Sumangkar melihat mata yang menyala itu. Sumangkar menangkap apa yang terbersit dari pancaran itu. Karena itu ia menjadi berdebar-debar. Ia belum sempat menyampaikan pesan terakhir Macan Kepatihan kepada Sanakeling, kepada Alap-alap Jalatunda, kepada pemimipin-pemimpin Jipang yang lain. Kini tiba-tiba pemimpin-pemimpin Jipang yang marah itu akan langsung berhadapan dengan para prajurit yang pasti akan mudah sekali terbakar hatinya. Dalam keadaan yang sedemikian, maka mereka dapat melakukan kebuasan dan kebiadaban yang mengerikan. Apalagi kini Macan kepatihan sudah tidak ada lagi. Tidak ada lagi yang dapat mencegah mereka melakukah apa saja yang mereka kehendaki. Apa saja yang mereka lakukan, apalagi untuk mengungkapkan kemarahan kebencian, dendam, bahkan untuk mengucapkan kegembiraan hati mereka, mereka dapat melakukan hal-hal yang tidak wajar. Sepeninggal Arya Jipang, sepeninggal Patih Mantahun, maka sebagian besar para prajurit Jipang telah kehilangan pegangan. Seandainya pada saat-saat yang demikian itu tidak ada Macan Kepatihan, maka mereka akan dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang sangat liar, sebab mereka sudah kehilangan tujuan. Namun kemungkinan yang lain, bahwa sebagian besar dari mereka justru akan meletakkan senjata mereka, apabila mereka mendapat kesempatan dan jaminan bahwa kepada mereka tidak akan diperlakukan di luar batas-batas ketentuan yang ada.

Dan kini Macan Kepatihan itu sudah tidak ada. Kemungkinan yang demikian itu pasti akan berlaku lagi. Sebagian dari mereka pasti akan melepaskan dendam mereka, kebencian mereka dan perbuatan-perbuatan lain yang tanpa terkendali. Namun sebagian dari mereka justru akan meletakkan senjata, apabila mereka mendengar jaminan yang telah diucapkan oleh Untara, senapati Pajang yang langsung mendapat kekuasaan dari Panglima Wira Tamtama.

Kini tinggal bagaimana cara menyampaikan kepada sebagian besar para prajurit Jipang itu. Kalau Sanakeling yang berbicara kepada mereka, maka pasti yang akan dikobarkannya adalah dendam dan benci. Akan dibakarnya hati para prajurit itu. Dan hati mereka pun segera akan terbakar. Mereka akan bertebaran ke segala penjuru dengan bara di dada mereka. Dan mereka dapat berbuat apa saja di sepanjang perjalanan mereka. Mereka dapat menakut-nakuti rakyat padesan. Bahkan mereka akan dapat melakukan berbagai perkosaan atas sendi-sendi kemanusian.

Karena itu Sumangkar harus bertindak cepat. Mendahului Sanakeling yang menjadi buas, karena melihat Macan Kepatihan yang terbunuh dengan luka arang kranjang.

Tatapi selagi Sumangkar sedang menimbang-nimbang, maka yang terdengar dahulu adalah suara Sanakeling, “He, para prajurit Jipang yang berani. Kini kalian dapat melihat, betapa biadabnya orang-orang. Pajang Pemimpinmu terbunuh dengan luka arang kranjang.”

Dada Sumangkar berdesir mendengar kata-kata itu. Kata-kata itu adalah permulaan dari cara Sanakeling membakar hati mereka. Dada Sumangkar itu semakin bergelora ketika sekilas ia melihat mata yang menyala pada setiap wajah para prajurit Jipang. Dalam sinar obor yang kemerah-merahan, maka dilihatnya mata mereka seakan-akan melampaui panas api obor itu.

Kali ini Sumangkar tidak mau terlambat lagi. Karena itu maka segera ia menyahut, “Ya. Lihatlah. Angger Macan Kepatihan telah meninggalkan kita. Macan Kepatihan yang garang ini telah bertempur untuk melindungi kalian, sehingga nyawanya sendiri telah dikorbankan.”

Semua orang yang berdiri di samping mayat yang terbujur itu diam. Dan mereka mendengar kata-kata Sumangkar itu dengan hati yang penuh haru.

Namun Sumangkar masih melihat bara di wajah-wajah mereka. Bara yang justru menjadi semakin panas.

Tetapi Sumangkar berkata terus, “Nah. Apakah yang akan kalian lakukan sebagai balas budi yang tiada taranya itu?”

Sanakeling sendiri menatap wajah Sumangkar dengan gelora yang hampir menghimpit jalan pernafasannya. Yang pertama-tama berteriak adalah Sanakeling sendiri, “Pembalasan!”

Tiba-tiba terdengar suara gemuruh di luar gubug itu. “Ya. Pembalasan. Pembalasan. Nyawa dengan nyawa. Darah dengan darah.”

Sumangkar meredupkan matanya. Ia melihat tekad yang menggelora. Namun di antara suara yang bergemuruh itu, terdengar jantungnya sendiri berdentangan melampaui gemuruh suara orang-orang di luar gubug itu.

“Bagus!” teriak Sumangkar. “Bagus. kalian harus melakukan pembalasan.” Sumangkar berhenti sesaat. Lalu diteruskannya, “Apakah kalian masih memiliki kesetiaan kepada pemimpin-pemimpinmu ini?”

Para prajurit Jipang itu serentak menjawab, “Tentu. Kami masih memiliki kesetiaan yang utuh.”

Sumangkar memandang berkeliling. Sanakeling, A1ap-alap Jalatunda, orang-orang yang berdiri di dalam dan di luar gubug itu. Dengan hati-hati ia berbicara terus, “He, orang-orang Jipang. Aku menunggu saat Angger Tohpati menghembuskan nafasnya yang penghabisan. Aku menunggu saat-saat Raden Tohpati mengucapkan pesan-pesannya yang terakhir. Nah, apakah kalian ingin mendengar pesan yang terakhir itu?”

“Ya. Kami ingin mendengar,” sahut mereka serentak.

Sumangkar terdiam sesaat. Ia menjadi ragu-ragu. Apakah sudah tiba saatnya menyampaikan pesan terakhir itu? Apakah dengan demikian, maka tidak akan menimbulkan salah paham pada para pemimpin Jipang yang masih ada?

Namun Sumangkar berjalan terus meskipun ia harus berhati-hati sekali. Katanya, “Pesan itu amat sulit kita lakukan.”

“Biar apa pun yang harus kami lakukan, kami tidak akan gentar,” sahut mereka serentak.

“Terlalu berat,” seakan-akan Sumangkar bergumam kapada sendiri.

“Jangan memperkecil arti kami yang ada di sini, Paman,” berkata Sanakeling dengan mata menyala. “Apakah kau sangka kami tidak mempunyai cukup keberanian untuk melakukannya?”

“Memang,” sahut Sumangkar, “kesetiaan hanya dapat diwujudkan dengan perbuatan. Bukan sekedar kata-kata dan janji. Namun apa yang harus kita lakukan seakan-akan berada di luar jangkauan kita semua. Bahkan selama ini belum pernah terpikirkan, bahwa kita akan melakukannya.”

“Ya, apakah menyerang jantung kota Pajang? Apakah kami harus berusaha membunuh Adiwijaya? Atau kami harus membalas dendam atas kematian Arya Penangsang dengan berusaha membunuh Ngabehi Loring Pasar meskipun secara diam-diam. Atau Untara, Widura? Apa? Apa yang harus kami lakukan?” teriak Alap-alap Jalatunda.


Sumangkar menggeleng. Selangkah ia maju dengan tongkat baja putihnya terayun-ayun. Cahaya yang berkilat-kilat memantul dari tongkatnya itu berwarna kemerah-merahan, seperti sinar obor yang dengan lincahnya menari di ujung-ujung bumbung dan jlupak.

“Kalian lihat tongkat ini?” berkata Sumangkar kepada orang-orang Jipang.

“Ya. Kami lihat. Itu adalah ciri kebesaran Macan Kepatihan.”

“Kalian salah,” sahut Sumangkar, “ini bukan tongkat Angger Tohpati.”

Semuanya terdiam mendengar kata-kata itu. Serentak mereka memandangi tongkat itu tajam-tajam. Akhirnya mereka menemukan perbedaan itu. Mereka mengenal tongkat Macan Kepatihan baik-baik seperti ia mengenal orangnya, tongkat ini agak lebih kecil dari tongkat Raden Tohpati. Karena itu timbullah keheranan di dalam hati mereka. Apakah Sumangkar juga mempunyai tongkat baja putih berkepala tengkorak yang kekuning-kuningan seperti Macan Kepatihan? Apakah ia memilikinya juga?

Tiba-tiba mereka tersadar, bahwa mereka berhadapan dengan juru masak yang malas. Mereka sama sekali bukan berhadapan dengan seorang pemimpin mereka. Namun meskipun demikian, mereka menunggu dengan tidak sabar. Apakah yang akan dikatakannya tentang pasan terakhir itu.

Tetapi mereka pun menjadi heran, kenapa Sanakeling, Alap-alap Jalatunda, tiba-tiba saja memberi kesempatan kepada orang tua itu untuk seakan-akan memimpin pertemuan yang tidak sengaja mereka adakan itu?

Dalam kebimbangan dan keheranan itulah maka Sumangkar akan sampai pada tingkat terakhir dari permainannya. Sebelum ia mengatakan pesan Tohpati, ia harus cukup mempunyai wibawa atas orang Jipang itu. Setidak-tidaknya setingkat dengan wibawa yang dimiliki oleh Sanakeling.

Karena itu, Sumangkar itu maju beberapa langkah. Kini ia berdiri di muka pintu keluar. Ia melihat orang-orang Jipang yang berdiri berdesak-desakan, bahkan ada di antara mereka yang membawa obor-obor di tangan; sedang ke dalam ia melihat Sanakeling, Alap-alap Jalatunda dan beberapa pemimpin yang lain berdiri tegang kaku seperti patung. Namun, baik wajah-wajah orang-orang Jipang maupun para pemimpinnya membayangkan ketidak-sabaran, mereka menunggu kata-kata Sumangkar tentang pesan terakhir Macan Kepatihan.

Terdengar Sumangkar kemudian berkata, “Nah, jadi adakah kalian lihat bahwa tongkat ini bukan tongkat Angger Tohpati?, “

“Ya kami lihat,” sahut mereka. Namun Sanakeling, Alapalap Jalatunda dan para pemimpin yang lain tampak seolah-olah berdiri saja membeku. Meskipun sebagian dari mereka mengerti bahwa sebenarnya Sumangkar bukanlah sekedar juru masak namun tongkat baja putih itu benar-benar mengejutkan mereka. Mereka sama sekali belum pernah melihat, bahwa Sumangkar pun memiliki tongkat semacam itu. Apalagi Sanakeling yang jarang sekali berada di pusat pemerintahan Jipang, dan jarang sekali bertemu dengan Sumangkar, meskipun ia tahu bahwa Sumangkar adalah seorang sakti yang berada di dalam lingkungan istana kepatihan. Tetapi sampai pecahnya Jipang, Sanakeling dan Sumangkar berada di medan yang berbeda.

“Itulah yang menyedihkan aku,” berkata Sumangkar. “Aku tidak berhasil membawa tongkat Angger Macan Kepatihan kembali. Aku tidak dapat mengambilnya dari medan setelah Angger Macan Kepatihan terbunuh.” Sumangkar berhenti sesaat. Kemudian katanya melanjutkan, “Tongkat ini adalah tongkatku.”

Sumangkar melihat berpasang-pasang mata terbelalak karenanya. Apalagi ketika mereka mendengar kata-kata Sumangkar seterusnya, “Aku adalah paman guru dari Angger Macan Kepatihan. Nah, itulah aku. Dan itulah sebabnya maka Angger Macan Kepatihan mempercayakan pesannya kepadaku, sebab aku adalah saudara seperguruan Patih Mantahun.”

Gubug itu menjadi sunyi senyap di dalam dan di luarnya. Sesepi tanah pekuburan, orang-orang yang berdiri tegak di halaman dan di dalam gubug itu seperti tonggak-tonggak batang kamboja yang membeku.

Pengakuan Sumangkar terdengar oleh sebagian besar dari mereka seperti suara guruh yang meledak di langit. Orang-orang Jipang itu benar-benar terkejut. Sumangkar, yang mereka kenal sebagal seorang juru masak yang malas, ternyata adalah seorang yang sakti. Saudara seperguruan Patih Mantahun.

Tetapi beberapa orang sudah tidak terkejut lagi. Sanakeling juga tidak terkejut. Siapa pun Sumangkar itu, bagi Sanakeling tidak ada bedanya. Sebab ia sudah tahu sebelumnya, bahwa Sumangkar adalah seorang yang sakti.

Kecuali Sanakeling dan beberapa pemimpin yang lain, di antara para prajurit Jipang yang berkumpul di luar pintu itu, terdapat Bajang, juru masak kawan sepekerjaan Sumangkar. Sambil senyum ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Kepada orang yang berdiri di sampingnya ia berkata, “Aku sudah tahu lebih dahulu dari kalian semuanya.”

Kawannya mengerinyitkan alisnya sambil bertanya, “Darimana kau tahu ?”

“Apakah kau sudah bertemu dengan Tundun?”

“Belum.”

“Anak itu belum berceritera kepadamu tentang Ki Tambak Wedi dan Sidanti yang datang ke perkemahan ini ketika kalian sedang pergi berperang?”

“Aku belum bertemu dengan Tundun. Bagaimana ia bisa berceritera kepadaku?”

“Mungkin Ki Lurah Sanakeling pun belum sempat mendengar laporan Tundun,” berkata Bajang. “Tambak Wedi yang mengerikan itu datang bersama muridnya Sidanti. Kalau tidak ada juru masak yang malas itu, entahlah apa yang terjadi. Kami bertempur bersama-sama dengan semua orang yang ada di sini. Tetapi melawan muridnya, Sidanti pun kami tidak mampu. Apalagi Ki Tambak Wedi.”

“Dan Sumangkar mengalahkannya?”

“Ya, Sumangkar telah mengusirnya.”

Orang yang mendengar ceritera itu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Pantas. Pantas,” gumamnya.

Ketika mereka kemudian memandangi pintu gubug itu, kembali mereka melihat Sumangkar berdiri tegak seperti batu karang pinggir pantai. Tiba-tiba mereka melihat seolah-olah orang yang berdiri itu bukan lagi seorang juru masak yang mereka kenal sehari-hari.

Wajah Sumangkar kini seolah-olah memancarkan kewibawaan yang mengejutkan hati mereka. Tongkat baja putih itu benar-benar mirip tongkat Tohpati. Dan tongkat itu adalah milik Sumangkar.

Dalam pada itu terdengar Sumangkar meneruskan, “Meskipun aku tidak berhasil membawa tongkat Angger Tohpati, namun aku telah memiliki tongkat yang serupa. Tongkat yang akan mampu melakukan apa saja seperti yang dapat dilakukan oleh tongkat Angger Macan Kepatihan.

Semua orang masih terdiam. Namun mereka mulai dirayapi oleh kepercayaan bahwa sebenarnya Sumangkar mampu berbuat seperti Macan Kepatihan.

Namun Sanakeling yang mendengar kata-kata itu mengerutkan dahinya. Ia belum tahu pasti arah kata-kata Sumangkar seterusnya. Tetapi sebagai orang kedua sesudah Tohpati, Sanakeling merasa berhak untuk memimpin prajurit-prajurit Jipang itu sepeninggal Macan kepatihan, sehingga dadanya mulai berdebar-debar melihat Sumangkar mengangkat tongkat baja putihnya.

“Apakah Sumangkar akan langsung mengambil alih pimpinan dari Raden Tohpati,” berkata Sanakeling di dalam hatinya.

Dan terdengarlah Sumangkar berkata terus, “Nah, sekarang apakah kalian dapat mempercayai kata-kataku?”

Kembali mereka terlempar dalam kesepian. Sesaat tak seorang pun yang menyahut, sehingga Sumangkar menjadi ragu-ragu. Kalau mereka tidak percaya, maka untuk menekankan pesan-pesan Tohpati, apakah ia perlu menunjukkan beberapa macam permainan sehingga ia tidak lagi dianggap hanya sekedar omong kosong?

Tetapi tiba-tiba terdengar di belakang seseorang berteriak, “Aku telah melihat sendiri Ki Sumangkar mengalahkan Ki Tambak Wedi.”

Semua orang berpaling ke arah suara itu. Tetapi mereka tidak segera melihat siapakah yang telah berteriak-teriak itu. Namun kemudian terdengar kembali orang itu berkata, “Kami yang tinggal di perkemahan pada saat kalian berperang telah melihat sendiri apa yang dilakukan oleh Ki Sumangkar.”

Beberapa orang segera mengenal bahwa suara itu adalah suara Bajang, seorang juru masak yang masih muda, kawan Sumangkar. Beberapa orang menjadi justru bercuriga, apakah Bajang tidak sekedar mengangkat nama kawan sepekerjaannya. Namun tiba-tiba dari beberapa sudut terdengar orang-orang lain menyambut. “Ya kami pun menyaksikan. Kami telah menyaksikan sendiri.”

Sumangkar kemudian memandang berkeliling. Dan sekali lagi ia berkata, “Siapakah yang dapat mempercayai kata-kataku?”

Tiba-tiba menggeloralah jawaban, “Kami percaya, kami percaya.”

Sanakeling masih berdiri di tempatnya dengan wajah yang tegang. Seharusnya dirinyalah yang wajib berdiri di hadapan para prajurit Jipang itu sebagai penggganti Macan Kepatihan. Tiba-tiba tanpa disadarinya, orang lain telah mendahului. Meskipun demikian, ia masih mampu menahan dirinya. Mungkin Sumangkar akan menguntungkannya. Mampu membakar hati para prajurit itu, untuk dibawanya membalas sakit hatinya atas hilangnya pemimpin yang mereka segani.

“Terima kasih,” berkata Sumangkar kemudian. “Kalau demikian kalau kalian percaya akan kata-kataku, maka biarlah aku menyampaikan pesan terakhir Angger Tohpati. Namun seperti kataku tadi, pesan itu terlampau berat bagi kita sekalian. Sebab pesan itu sama sekali berada di luar angan-angan kita selama ini.”

Sekali lagi terdengar para prajurit Jipang itu berteriak, “Kami akan melakukan apa saja yang dipesankan oleh Raden Tohpati. Biar masuk ke dalam api sekalipun, kami akan mematuhinya.”

Sumangkar mengerutkan keningnya. Katanya seperti kepada diri sendiri, namun karena diucapkannya keras-keras, maka semua orang mendengarnya, “Aku kurang yakin, apakah kami mampu melakukannya.”

Orang-orang Jipang menjadi hampir tidak sabar lagi. Karena itu mereka berteriak-teriak, “Kami bersumpah, kami bersumpah.”

Sanakeling pun menjadi tidak sabar pula. Beberapa langkah ia maju mendekati Sumangkar sambil berkata, “Berkatalah, jangan melingkar-lingkar. Apakah pesan terakhir itu. Kami akan melakukannya. Aku adalah pemimpin laskar Jipang sepeninggal Macan Kepatihan. Dan aku sanggup untuk memimpin pasukan ini berbuat apa saja. Meskipun aku harus membakar istana Pajang sekalipun dan merampas permaisurinya.”

Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Sahutnya, “Baik. Baik. Akan segera aku katakan.” Namun di dalam hati Sumangkar bergumam, “Kalau kau mampu Sanakeling, kau tidak akan berkeliaran di dalam hutan seperti sekarang. Apalagi kau, sedang Arya Penangsang dan Patih Mantahun pun tidak mampu melawan Ki Gede Pemanahan, Penjawi, dan anak muda Ngabehi Loring Pasar, di samping Adiwijaja sendiri.”

Tetapi kemudian yang dikatakan adalah pesan terakhir Macan Kepatihan. Sambil melangkah maju, Sumangkar menengadahkan wajahnya. Gubug itu kemudian menjadi sunyi senyap. Yang terdengar hanyalah deru nafas orang-orang Jipang itu memburu lewat lubang-lubang hidung mereka yang mengembang. Mereka ingin mendengar kata demi kata, pesan dari pemimpin mereka yang mereka segani.

“Dengarlah,” berkata Sumangkar, “sudah aku katakan bahwa pesan itu terlampau berat bagi kami, sebab pesan itu berbunyi,” Sumangkar berhenti sesaat. Ditatapnya setiap wajah yang seolah-olah menyalakan tekad di dalam dada mereka. Sesaat kemudian Sumangkar meneruskan, dan kata-katanya terdengar seperti suara guntur dan guruh bersama-sama, beruntun susul-menyusul.

“Pada saat nafas Angger Tohpati telah satu-satu meluncur, ia berkata ’Kematianku adalah akhir daripada bencana yang menimpa rakjat Demak. Aku adalah sisa terakhir dari Senapati yang mendapat kepercayaan para prajurit Jipang. Sepeninggalku aku mengharap bahwa mereka akan membuat perhitungan-perhitungan. Bukankah begitu paman Sumangkar?’ Kemudian diteruskannya pada kesempatan lain di mana nafasnya menjadi semakin lemah, berkata Macam Kepatihan itu, ’Mudah-mudahan kematianku menjadi pertanda bahwa tak ada gunanya perselisihan ini akan berlangsung terus.’” Dan Sumangkar itu pun berhenti sesaat. Dengan tajamnya ia memandangi orang-orang yang berdiri di sekitarnya.

Setiap orang yang mendengar kata-kata Sumangkar itu, darahnya seakan-akan berhenti mengalir. Pesan itu sama sekali bukan pesan untuk membunuh Untara, Widura atau Adiwijaya sekali. Bukan perintah untuk membakar istana Pajang dan melakukan serangkaian pembunuhan sebagai pembalasan. Tetapi pesan itu seolah-olah pesan yang sama sekali bertentangan dengan dugaan mereka.

Suasana yang sepi bertambah sepi. Mulut-mulut yang meskipun ternganga namun serasa terbungkam. Hati-hati yang membara seolah-olah meledak justru karena tersiram air dengan tiba-tiba. Tetapi mereka semua benar-benar tenggelam dalam perasaan yang aneh. Bingung dan kehilangan dasar tanggapan seterusnya.

Sumangkar membiarkan suasana itu berlangsung beberapa lama. Dibiarkannya setiap orang berada dalam pergolakan perasaan. Dibiarkannya mereka sampai pada kesimpulan masing-masing apabila mereka telah menemukan keseimbangan dan sempat mempertimbangkan.

Namun suasana yang sepi itu tiba-tiba dipecahkan oleh teriakan Sanakeling melengking menghentak setiap jantung. “Paman Sumangkar. Apakah arti daripada pesan itu. Apakah dengan demikian Kakang Macan Kepatihan mengharap kita semua bertekuk lutut di bawah kaki Untara? He?”

Sumangkar tidak terkejut mendengar pertanyaan itu. Ia sudah menduga sebelumnya, bahkan hampir pasti, bahwa Sanakeling adalah orang yang pertama menolak pesan itu. Karena itu dengan tenang ia menjawab, “Ya Ngger. Demikianlah kira-kira pesan itu. Namun agaknya pertimbangan Angger Macan Kepatihan telah cukup masak untuk mengucapkan pesan-pesan itu.”

“Jadi haruskah kami merangkak-rangkak di bawah kaki Untara seperti anjing kudisan?” teriak Sanakeling.

“Kata-kata itu terlampau tajam.”

“Tidak. Kata-kata itu tepat seperti yang akan terjadi apabila kita menuruti pesan itu. Dan kita akan dijerat leher kita, diseret di sepanjang jalan antara Sangkal Putung dan Pajang. Dipertontonkan kepada setiap orang sebelum kita digantung di alun-alun Pajang. Berderet-deret seperti jemuran yang tidak kering-keringnya.”

Sumangkar mendengar kata-kata itu diucapkan dengan penuh nafsu. Bahkan Sumangkar pun kemudian melihat wajah-wajah yang seakan-akan membeku di hadapannya, mulai menegang. Kata-kata Sanakeling agaknya telah menggugah hati mereka. Menggugah hati keprajuritan mereka.

Karena itu segera Sumangkar berkata, “Angger Sanakeling benar. Tetapi tidak tepat sebab aku belum mengatakan rangkaian dari pesan itu. Pesan itu diucapkan oleh Angger Tohpati di hadapan Untara yang menungguinya pula pada saat-saat terakhir. Menungguinya tidak seperti dua orang yang sedang bermusuhan. Agaknya mereka di saat-saat terakhir itu telah mengenangkan masa-masa lampau. Masa-masa Demak masih diikat oleh tali persatuan yang erat. Keduanya adalah sahabat yang baik dari dua daerah Kadipaten. Angger Macan Kepatihan dari Kadipaten Jipang dan Angger Untara dari Kadipaten Pajang. Pertentangan antara Jipang dan Pajang telah mempertentangkan mereka pula. Namun kebesaran jiwa dari keduanya telah menemukan kembali persahabatan itu di saat-saat Angger Macan Kepatihan menghadapi maut. Meskipun maut itu beralatkan tangan Untara sendiri.”

Kembali mereka diterkam oleh kesenyapan. Terasa setiap kata, baik yang diucapkan oleh Sumangkar maupun yang diucapkan Sanakeling benar belaka. Meskipun makna dari keduanya berlainan bahkan bertentangan. Karena itu, setiap jantung yang berdegup di dalam dada menjadi bingung siapakah yang akan dianut? Sumangkar melihat hari depan yang tenang, hari depan yang damai. Mereka tidak akan lagi berlari-larian sepanjang hutan. Mereka tidak perlu lagi selalu dikejar-kejar oleh kegelisahan. Mereka akan dapat hidup seperti manusia biasa. Meskipun mungkin sebulan dua bulan mereka tidak dapat bebas berbuat karena hukuman yang akan diterimamja. Namun setelah itu, tidak ada lagi persoalan yang selalu menghantuinya siang dan malam. Seluruh negeri akan menjadi aman. Pasar-pasar akan kembali mengumandang, dan di malam hari kembali akan terdengar tembang. Seruling gembala di padang-padang dan anak-anak bermain di halaman. Orang-orang tua akan menikmati bunyi burung perkutut dengan tenang.

Tetapi gambaran-gambaran yang damai dan tenteram itu tiba-tiba telah digoyahkan oleh pendirian Sanakeling. Pendirian seorang prajurit yang tidak dapat ditundukkan oleh peristiwa-peristiwa yang bagaimanapun dahsyatnya. Mereka akan menjadi orang tangkapan dan diarak sebagai tawanan apabila mereka menyerah. Hilanglah kejantanan mereka, dan harga diri mereka akan terkorbankan. Lebih baik mengorbankan nyawa daripada harga diri bagi seorang prajurit sejati. Apabila mereka harus berlari-lari ke hutan, bersembunyi di antara semak-semak dan gerumbul, di antara padang-padang dan lereng-lereng gunung, adalah akibat dari perjuangan mereka. Akibat dari keteguhan hati seorang prajurit yang tidak miyur.

Demikianlah setiap wajah kemudian memancarkan kebimbangan hati yang tiada ujung pangkal. Keduanya benar bagi mereka. Keduanya mapan, dan keduanya wajib diturut. Pesan terakhir pemimpin mereka yang mereka segani lewat paman gurunya yang perkasa, dan yang lain adalah pendapat senapati yang seharusnya langsung memimpin mereka sepeninggal Macan Kepatihan.

Dalam kebimbangan itu terdengar kemudian suara Sanakeling seperti membelah langit, “Paman Sumangkar. Aku adalah seorang prajurit. Prajurit hanya mengenal dua arti dalam perjuangannya. Menang atau mati. Selain itu, adalah nista sekali untuk di jalani. Apalagi menyerahkan dan di bawah injakan kaki lawan. Apakah paman Sumangkar ini telah bukan lagi seorang prajurit yang baik?”

Sumangkar memandangi wajah Sanakeling sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian jawabnya, “Aku hanya menyampaikan pesan terakhir Angger Macan Kepatihan.” Kemudian kepada para prajurit Jipang Sumangkar berkata, “Pesan itu adalah pesan Macan Kepatihan yang sampai saat terakhir telah mengorbankan jiwa raganya sebagai seorang prajurit jantan. Sebagai seorang pemimpin sejati ia telah berusaha melindungi kalian. Nah, katakanlah, apakah ia seorang prajurit yang baik atau bukan, Hai, orang-orang Jipang. Sebutlah pemimpinmu itu, apakah ia seorang prajurit yang baik atau bukan? Ayo, katakanlah, apakah Macan Kepatihan seorang prajurit yang baik atau seorang pengecut?”

Terdengarlah jawaban menggemuruh, “Ia adalah seorang prajurit yang baik. Seorang laki-laki jantan. Seorang senapati yang tiada taranya.”

“Bagus,” sahut Sumangkar. “Pesan itu keluar dari mulutnya. Keluar dari mulut seorang senapati jantan, keluar dari mulut seorang prajurit yang baik.”

“Bohong!” potong sanakeling dengan nada yang tinggi. “Senapati yang baik, prajurit jantan tidak akan mengeluarkan perintah serupa itu. Itu pasti akal-akalmu sendiri, Paman Sumangkar. Itu pasti caramu untuk melepaskan kejemuanmu sendiri.”

Sumangkar mengerutkan keningnya. Dan ia mendengar Sanakeling berbicara terus, “Aku tidak percaya kalau Kakang Tohpati telah mengeluarkan pesan itu.”

Sumangkar tidak mau kahilangan kesempatan. Karena itu segera ia menyahut, “Itulah bedanya. Seorang yang berjiwa besar dan orang lain yang tidak dapat mengikuti kebesaran jiwanya. Kalian dapat berpikir untuk terlalu mementingkan diri sendiri. Kalian dapat berpijak pada harga diri yang berlebih-lebihan. Harga diri seorang prajurit yang pantang menyerah. Tetapi itu adalah pikiran yang sempit. Prajurit tidak akan menyerah apabila ia berjuang untuk suatu cita-cita yang tegas, suatu cita-cita yang diyakini kebenarannya. Tetapi apakah kalian berbuat demikian? Apakah kalian yakin, bahwa kalian telah berjuang dalam suatu pengabdian sebagai seorang prajurit. Coba katakan, apakah yang kalian capai dengan peperangan yang tiada ujung dan pangkal ini?”

“Kau telah berputus asa, paman Sumangkar,” teriak Sanakeling. “Kau telah kehilangan akal. Perjuangan Arya Penangsang adalah perjuangan atas hak dan waris atas tahta. Ini adalah perjuangan jantan. Perjuangan yang luhur.”

“Bukankah perjuangan itu telah berpijak atas kepentingan diri? Warisan atas tahta-tahta. Bukan perjuangan atas dasar yang luas bagi seluruh rakyat Demak untuk meningkatkan kesejahteraan hidup mereka? Perjuangan itu adalah perjuangan yang sempit. Warisan memang dapat membuat sanak dan kadang sendiri saling bertengkar. Tetapi jangan rakyat dikorbankan dalam pertengkaran itu. Bagi rakyat yang penting bukan siapa ahli waris yang paling berhak atas tahta. Tetapi bagi rakyat, siapakah yang paling baik bagi mereka, yang paling banyak berpikir dan berbuat untuk mereka. Tidak untuk sendiri. Tidak untuk seorang atau beberapa orang pemimpin. Tidak untuk Arya Penangsang atau Adiwijaya. Tidak. Tetapi bagi rakyat, siapakah paling langsung berbuat banyak untuk kepentingan mereka, ialah yang paling berhak atas pimpinan negara. Orang itulah ahli waris yang sah atas tahta.”

Kata-kata Sumangkar itu mencengkam setiap hati. Namun kata-kata Sanakeling telah membakar setiap jantung dan mendidihkan darah yang mengalir di dalam jaringan-jaringan urat darah. Keduanya beralasan dan keduanya dapat mereka mengerti. Karena itulah maka setiap orang menjadi semakin bimbang, siapakah di antara mereka yang harus mereka turuti.

Mendengar penjelasan Sumangkar, Sanakeling menggeram marah. Kemudian kepada prajurit-prajurit Jipang ia berteriak, “Akulah pemimpin kalian sepeninggal Macan Kepatihan. Semua perintahku sama nilainya dengan perintah Kakang Tohpati.”

Semua mata kemudian berpaling ke arahnya. Sanakeling itu pun kini telah berdiri di ambang pintu di samping Sumangkar. Wajahnya yang keras dan penuh ditandai oleh dendam dan kebencian telah menyala seperti nyala api neraka. Tetapi Sumangkar masih tetap tenang. Ia tidak menyahut dan memotong kata-kata Sanakeling. Dibiarkannya Sanakeling berbicara pula, “Kita telah kehilangan pemimpin kita. Sekarang orang tua ini menganjurkan kita merangkak di bawah kaki Untara. Tidak! Dengar perintahku, Kobarkan dendam di segala penjuru. Setiap orang Jipang harus mendengar bahwa Macan Kepatihan mati dengan luka arang kranjang karena kebiadaban orang-orang Pajang seperti pada saat Plasa Ireng terbunuh dengan dada dan punggung terbelah. Macan Kepatihan itu sama nilainya dengan seribu orang Pajang dan setiap nyawa di antara kita bernilai seratus orang Pajang. Timbulkan kengerian di mana-mana. Setiap orang Pajang bertanggung jawab atas kematian Macan Kepatihan, sehingga kepada mereka dendam kita dapat kita tumpahkan.”

Bulu-bulu kuduk Sumangkar meremang mendengar perintah itu. Perintah itu telah diduganya akan terjadi seandainya orang-orang Jipang itu tidak mendapat keseimbangan. Perintah itu berarti pembunuhan yang semena-mena atas semua orang yang akan ditemui oleh Sanakeling. Semua orang Pajang diperlakukan sama. Karena itu maka segera ia berkata, “Bagus. Apabila Angger Sanakeling bertekad demikian. Aku tidak akan menghalang-halangi, sebab aku tidak mempunyai pendirian tersendiri.”

Sanakeling yang segera akan memotong kata-kata Sumangkar tertegun mendengarnya. Karena itu niatnya diurungkan. Terasa bahwa Sumangkar telah mundur setapak dari pendiriannya.

Dan terdengar kata-kata Sumangkar itu, “Apa yang aku katakan hanyalah sekedar pesan. Pesan Angger Tohpati yang telah terbunuh karena melindungi nyawa kita. Seandainya Macan Kepatihan itu tidak mengorbankan nyawanya, maka kitalah yang akan mati terlebih dahulu. Dan kitalah yang akan mengucapkan pesan-pesan itu kepada orang terakhir yang kita temui. Dan dalam pesan-pesan yang terakhir itulah sebenarnya kita akan menunjukkan nilai dan kebesaran jiwa kita. Namun apabila kini dikehendaki lain oleh seseorang yang berwenang, aku akan menundukkan kepala. Memenuhi perintah yang akan dijatuhkan. Tetapi kita pun akan segera mendengar perintah yang serupa keluar dari mulut Untara. Bahkan mungkin dari mulut Ki Gede Pemanahan atau Adiwijaya sendiri. Perintah itu akan berbunyi serupa, ’Bunuhlah setiap orang Jipang siapa pun sebab mereka semuanya turut bertanggung jawab atas kerusuhan-kerusuhan yang terjadi’. Dan orang-orang Pajang akan melakukan perintah itu sebaik-baiknya. Apalagi mereka, yang sanak kadangnya akan menjadi korban perintah Angger Sanakeling. Malah mereka akan dapat mengamuk seperti orang mabuk. Anak-anak kita, isteri, ayah bunda dan saudara-saudara kita yang sekarang selalu berada di dalam kegelisahan karena mereka menunggu kita pulang ke rumah. Namun yang sampai sekarang mereka masih dibiarkan hidup dan menetap di rumah-rumah mereka sendiri. Tetapi apabila kita melakukan perintah Angger Sanakeling itu, akan dapat berarti menekan mereka ke dalam lembah kehancuran. Bukan orang-orang Pajang saja, tetapi orang-orang Jipang. Semua akan musnah. Dan rakyat Demak akan menjadi punah. Hancur lebur. Bunuh membunuh tiada habis-habisnya. Demak akan lenyap dibakar oleh dendam yang tiada akan dapat dipadamkan lagi.”

Terdengar gigi Sanakeling menggeretak mendengar kata-kata itu. Tetapi ia tidak segera dapat menyahut. Kata-kata itu meresap ke dalam dadanya seperti meresapnya berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus ujung jarum ke dalam jantungnya. Tetapi ia dapat mengerti dan mengakui bahwa hal yang sedemikian itu mungkin terjadi.

Kembali gubuk dan sekitarnya itu ditelan oleh kesenyapan. Dalam keheningan itu maka orang-orang Jipang sempat berpikir. Menimbang yang baik dan yang buruk. Menilai makna dari setiap kata kedua orang pemimpin yang telah membingungkan hati mereka.

Kembali mereka berdiri di persimpangan jalan. Mereka dapat mengerti sepenuhnya kata-kata Sumangkar, namun mereka sependapat pula dengan Sanakeling bahwa mereka harus mempertahankan harga diri mereka sebagai seorang prajurit. Tetapi mereka pun menjadi ngeri ketika mereka mendengar uraian Sumangkar yang terakhir setelah darah mereka dibakar oleh perintah Sanakeling. Semula perintah itu telah menggelegak di dalam dada mereka. Semua orang Pajang harus dimusnahkan. Tetapi bagaimana kalau berlaku pula perintah yang serupa yang dikatakan Sumangkar. Bagaimana dengan anak-anak, isteri, dan sanak kadang mereka yang tidak tahu-menahu tentang perbuatan mereka?

Perlahan-lahan maka setiap orang telah terdorong dalam satu pilihan di antara keduanya. Tetapi sayang, bahwa tidak semua dada berisi jantung dan hati yang serupa. Tanpa diketahui, maka pendirian orang-orang Jipang itu terbelah seperti pendirian pemimpinnya. Sebagian dari mereka terdorong ke dalam pendirian Sumangkar, dan sebagian lagi terseret oleh api kemarahan Sanakeling.

Namun dalam pada itu, ketika mereka sedang dilanda oleh arus kebimbangan, terdengarlah suara tertawa di belakang mereka, di belakang orang-orang Jipang itu. Suara tertawa yang tinggi melengking menyakitkan telinga mereka yang mendengarnya.

Seperti digerakkan oleh tenaga ajaib, serentak mereka semuanya yang berada di tempat itu berpaling. Mereka serentak mencari sumber suara itu. Namun mereka tidak segera dapat melihat. Tabir yang hitam pekat seakan-akan telah menyekat pandangan mata mereka.

Sementara itu, suara tertawa itu masih terdengar. Bahkan semakin lama semakin keras.

Sanakeling yang mendengar pula suara tertawa itu mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia menjadi muak, dan tiba-tiba pula ia berteriak keras-keras, “Cukup! Jangan membuat jantungku pecah. Siapakah yang tertawa itu?”

Suara tertawa itu masih terdengar. Namun kini menjadi semakin perlahan-lahan. Di antara derai tertawa itu terdengar jawaban, “Aku angger Sanakeling.”

“Aku siapa?” teriak Sanakeling. “Setiap orang menyebut dirinya dengan sebutan serupa. Aku.”

Suara tertawa itu kemudian berhenti. Tetapi mereka tidak segera mendengar jawaban. Sejenak mereka menunggu, dan terasa malam yang sepi menjadi semakin sepi.

“Siapa kau, he?” sapa Sanakeling semakin keras. “Siapa yang telah berani memasuki perkemahan prajurit Jipang? Apakah sudah jemu melihat matahari besok pagi?”

“Jangan lekas marah,” jawaban itu semakin mengejutkn. Terdengar Suara itu kini sudah menjadi semakin dekat. Namun gelap malam masih melindunginya, sehingga belum seorang pun yang dapat melihatnya. Tetapi orang-orang Jipang itu merasa, Sanakeling dan Sumangkar merasa, bahwa orang itu pasti dapat melihat mereka dengan jelas karena cahaya-cahaya obor di dekat mereka.

Tetapi orang itu tidak, berusaha bersembunyi terlalu lama.

Sesaat kemudian orang-orang Jipang itu menjadi tegang ketika mereka melihat bayangan yang bergerak-gerak di bawah pepohonan. Bayangan yang semakin lama menjadi semakin jelas. Ketika kemudian cahaya obor yang lemah dapat mencapainya, maka terbersitlah hati setiap orang yang melihatnya. Orang itu adalah seorang tua, bermata tajam dan berhidung lengkung seperti paruh burung hantu.

Beberapa orang yang telah mengenalnya mendjadi berdebar-debar karenanya. Sementara itu terdengar Sumangkar berdesis, “Ki Tambak Wedi.”

Orang yang datang itu adalah Ki Tambak Wedi. Ketika ia telah bendiri beberapa langkah dari para prajurit Jipang yang berkerumun itu, kembali orang tua itu tertawa. Tetapi suara tertawanya kini tidak lagi terlalu keras.

Sanakeling yang mendengar Sumangkar menyebut namanya mengerutkan keningnya. Inikah orang yang bernama Ki Tambak Wedi, guru Sidanti? Tiba-tiba dada Sanakeling itu bergolak. Tanpa dikehendakinya sendiri terdengar Sanakeling itu berteriak, “He, adakah kau yang disebut orang Ki Tambak Wedi dari lereng Gunung Merapi?”

Orang itu menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Ya. Mereka yang sudi menyebut namaku, demikianlah.”

Sanakeling mengerutkan keningnya. Tiba-tiba wajahnya menjadi semakin tegang dan kembali tanpa dikehendakinya sendiri tangannya meraba hulu pedangnya.

“Apakah maksudmu datang kemari?” bertanya Sanakeling itu pula.

Ki Tambak Wedi tersenyum. Wajahnya yang keras itu menjadi kemerah-merahan oleh sinar obor yang mengusapnya. Jawabnya, “Aku tidak akan berbuat apa-apa Ngger. Jangan berprasangka. Aku hanya ingin sekedar mendengarkan, apakah yang akan dikatakan oleh pepunden para prajurit Jipang.”

Sanakeling mengerutkan keningnya. “Pepunden?” ulangnya.

“Ya. Bukankah Adi Sumangkar itu seorang pepunden bagi para prajurit Jipang?”

“Siapa yang mengatakannya?”

“Adi Sumangkar sendiri.”

“Bohong!” teriak Sanakeling.

Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Kini ia tidak saja berhadapan dengan Sanakeling yang ternyata berbeda pendirian dengan dirinya. Namun tiba-tiba datang Ki Tambak Wedi yang licik itu. Dengan sebutannya yang pertama-tama diucapkan, segera Sumangkar tahu maksud kedatangan hantu lereng Merapi itu. Dan lebih celaka lagi tanggapan yang pertama-tama diucapkan oleh Sanakeling adalah sangat menguntungkan hantu itu. Meskipun demikian Sumangkar tidak segera menyahut. Dicobanya untuk menilai keadaan dengan seksama. Namun ia belum menemukan pertimbangan yang tepat, sebab ia belum tahu tanggapan para prajurit Jipang itu, atas pendiriannya dan pendirian Sanakeling.

Mendengar teriakan Sanakeling yang serta merta itu, Ki Tambak Wedi tersenyum. Kemudian katanya lebih lanjut, “Ah. Jangan menyia-nyiakan orang tua itu Angger. Bukankah Ki Sumangkar itu adik seperguruan Patih Mantahun. Bukankah Adi Sumangkar itu paman guru dari pemimpinmu yang kau segani, Macan Kepatihan?”

“Aku hormati Patih Mantahun yang sakti itu. Aku hormati Kakang Raden Tohpati yang perkasa. Tetapi Paman Sumangkar dalam kedudukannya adalah seorang juru masak. Tidak lebih dan tidak kurang.”

Terasa dada Sumangkar berdesir. Apalagi ketika ia mendengar jawaban Ki Tambak Wedi, “Tetapi ia mendapat pesan langsung dari Angger Tohpati. Angger Tohpati yang perkasa itu berpesan kepada Adi Sumangkar agar membawa segenap anak buahnya untuk menyerahkan dirinya, tanpa syarat.”

“Bohong! Bohong!” teriak Sanakeling. “Aku didak percaya.”

“Kenapa kau tidak percaya? Bukankah Adi Sumangkar adalah satu-satunya orang dari antara kalian yang menunggui saat-saat terakhir dari Raden Tohpati, selain Untara, Widura, dan orang-orang Pajang. Sudah tentu Adi Sumangkar berkata dengan jujur. Pasti bukan karena bujukan Untara atau janji-janji daripadanya untuk Adi Sumangkar pribadi.”

Sekali lagi dada Sumangkar berdesir. Kali ini lebih keras. Kata-kata Ki Tambak Wedi yang seakan-akan memihaknya itu adalah suatu pancingan yang berbahaya. Berbahaya baginya dan berbahaya bagi pesan Tohpati itu sendiri.

Ternyata kecemasannya itu beralasan. Dengan serta merta Sanakeling menegakkan lehernya. Ia mencoba memandangi Ki Tambak Wedi dengan saksama. Namun kemudian Sanakeling itu pun berpaling kepada Sumangkar. Matanya kini seakan-akan menyala memancarkan kemarahan hatinya. Dengan suara yang keras parau ia berkata, “He, Paman Sumangkar, kenapa kau sempat menunggui saat-sat terakhir Kakang Macan Kepatihan?”


Sumangkar tidak segera menjawab. Ditatapnya mata Sanakeling yang menyala itu, langsung ke pusatnya. Seakan-akan Sumangkar ingin menjajagi betapa panasnya nyala yang memancar dari padanya.

Tiba-tiba Sanakeling itu melemparkan pandangan matanya. Terasa betapa dalam perbawa orang itu. Juru masak yang malas. Namun ketika disadarinya, bahwa matanya yang menghujam ke wajah Sumangkar itu tergeser, timbullah kegelisahan yang sangat di dalam dadanya. Sehingga untuk menutupinya maka Sanakeling itu berteriak keras-keras, kepada orang-orang Jipang, “He, orang-orang Jipang, apakah kau percaya bahwa Paman Sumangkar mendapat pesan itu dari Kakang Tohpati? Apakah bukan karena Paman Sumangkar sebenarnya berpihak kepada Pajang dan ditanam dalam perkemahan kita?”

Kembali suana menjadi sepi. Sepi sesepi kuburan. Namun di dalam setiap dada bergolak berbagai macam tanggapan.

Untuk memuaskan hatinya maka Sanakeling berkata terus, “Itulah, sebabnya, maka setiap serangan yang kita lancarkan pasti sudah diketahui oleh orang-orang Sangkal Putung. Bahkan tidak mustahil bahwa orang tua inilah yang telah, memperlemah tekad perjuangan yang menyala di dalam setiap dada anak-anak Jipang.” Kemudian kepada Sumangkar ia berkata, “Nah Paman Sumangkar, katakanlah kepadaku kenapa kau dapat mendekati Kakang Macan Kepatihan pada saat-saat terakhirnya? Kenapa kau tidak dikeroyok seperti rampogan macan di alun-alun, sehingga betapa saktinya kau, maka kau pun pasti akan terbunuh pula dengan luka arang kranjang. Tetapi kau malahan dapat membawa mayat Kakang Tohpati itu kemari dan mempergunakannya untuk mempengaruhi tekad anak-anak Jipang yang telah membaja di dalam dada mereka? He?”

Pertanyaan itu memang sulit untuk dijawab. Pertanyaan itu memang memerlukan pembuktian. Tetapi tak ada seorang saksi pun yang melihat, bahwa apa yang dikatakan itu bukanlah suatu ceritera yang telah dikarangnya sendiri. Bukan suatu mimpi yang didapatnya pada saat-saat ia tertidur di siang hari. Tetapi semuanya adalah sebenarnya demikian.

Karena Sumangkar tidak segera dapat mendjawab, maka terdengar Ki Tambak Wedi berkata, “Bagaimana Adi Sumangkar? Angger Sanakeling telah mengajukan beberapa pertanyaan. Kenapa tidak segera dapat kau jawab? Apakah pertanyaan itu tepat seperti yang terjadi sebenarnya?”

Sumangkar menggeretakkan giginya. Pertanyaan Ki Tambak Wedi itu lebih mendorongnya ke sudut yang sangat sulit. Namun Sumangkar masih berdiri tegak dengan tenangnya. Betapa hatinya bergelora namun ia sama sekali tidak goreh di tempatnya, seolah-olah sepasang kakinya telah jauh menghunjam seperti akar yang kukuh berpegangan pada batu karang yang teguh. Dan sikapnya itulah yang telah menyelamatkan wibawanya atas orang-orang Jipang.

Namun yang terdengar kemudian adalah suara Sanakeling yang gelisah, “He, bagaimana Paman Sumangkar? Apakah kau masih akan ingkar lagi?”

Tiba-tiba Sanakeling itu menggeram ketika ia melihat Sumangkar tersenyum. Orang tua itu seakan-akan sama sekali tidak menjadi cemas dan takut. Bahkan ia masih sempat tersenyum.

Di antara senyumnya terdengar Sumangkar berkata, “Baiklah aku mencoba menjelaskan apa yang telah terjadi.” Sumangkar berhenti sesaat. Dicarinya kata-kata yang sebaik-baiknya. Karena ia tidak segera menemukan, maka yang pertama-tama dikatakan adalah, “Namun sebelumnya, biarlah aku mengucapkan selamat datang kepada Kakang Tambak Wedi yang bijaksana.”

Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Tetapi hatinya mengumpat melihat ketenangan Sumangkar.

Kemudian berkata Sumangkar, “Aku akan menolak segala tuduhan bahwa seolah-olah aku adalah orang yang diselipkan di antara kalian orang-orang Jipang oleh Pajang. Sayang, bahwa tidak banyak yang mengenal siapakah Sumangkar? Sebenarnya Angger Sanakeling pun tidak. Sebab kami, aku dan Angger Sanakeling selalu berada di medan yang berbeda. Tetapi kalau ada yang telah mengenal Sumangkar baik-baik, bertanyalah kepada mereka siapakah yang telah menyelamatkan tanda-tanda kebesaran Jipang? Rontek, tunggul, dan umbul-umbul bahkan panji-panji kebesaran? Semuanya itu telah kalian bawa hari ini ke medan peperangan. Kalian telah menjadi berbesar hati dan bertambah berani, karena di atas gelar perang berkibar segala macam tanda-tanda kebesaran itu. Nah, katakanlah siapakah yang paling banyak berbuat untuk Jipang pada saat Jipang runtuh. Pada saat Arya Jipang terbunuh dan kemudian Patih Mantahun? Semuanya pada saat itu hanya dapat bercerai berai, semuanya hanya dapat mengungsikan diri sendiri. Nah, Angger Sanakeling, apakah yang dapat kau lakukan saat itu? Timbanglah apa yang dilakukan oleh Sumangkar yang tua ini.”

Kembali mereka terlempar ke dalam cengkaman kesenyapan. Kembali orang-orang Jipang terseret ke dalam pertentangan tanggapan atas pemimpin mereka.

Kini Sanakeling-lah yang terbungkam. Semuanya itu memang benar telah terjadi. Namun di antara kesepian, itu menyelusuplah suara tertawa Ki Tambak Wedi. Katanya, “Ini adalah suatu ceritera yang telah terjadi atas seorang Sumangkar. Betapa besar jasa-jasanya atas Jipang, namun akhirnya dikhianatinya para prajurit yang telah mengorbankan hampir segala miliknya itu.”

Dada Sumangkar seolah-olah tertimpa Gunung Merapi yang runtuh saat itu. Terasa betapa licik dan licin lidah iblis yang bernama Tambak Wedi. Namun betapa jantungnya menjadi gemetar, tetapi Sumangkar tidak mau kehilangan kejernihan pikiran. Ia berhadapan tidak saja dengan seorang yang sakti; tetapi juga seorang yang lidahnya mengandung bisa.

Kata-kata Tambak Wedi itu ternyata telah menolong Sanakeling untuk menjawab pertanyaan Sumangkar. Katanya, “Nah, Paman Sumangkar. Apa yang terjadi terdahulu bukanlah ukuran dari apa yang terjadi sekarang. Suatu saat Sumangkar adalah seorang pahlawan, namun di saat ini Sumangkar adalah seorang pengkhianat.”

Alangkah panas hati Sanakeling ketika ia masih melihat Sumangkar tersenyum. “Benar Ngger,” sahut Sumangkar. Namun jantungnya serasa akan meledak. Hanya karena hatinya yang mengendap, maka ia masih dapat bertahan dalam ketenangan.

“Kau Benar. Apa yang terjadi terdahulu bukanlah ukuran dari apa yang terjadi sekarang. Kalau dahulu setiap hidung dari para prajurit Jipang menghormati Macan Kepatihan, sekarang Macan Kepatihan tidak lebih dari sesosok mayat. Kalau dahulu Sanakeling berjuang untuk suatu tujuan, kini Sanakeling tidak lebih dari seorang prajurit yang dalam keputus-asaannya berbuat di luar batas perikemanusiaan. Betapapun kabur dan sempitnya tujuan perjuangan itu dahulu, namun masih juga ada kemungkinan untuk mencapainya. Tetapi sekarang yang terjadi, tidak lebih dari menjajakan dendam di mana-mana.”

“Cukup!” teriak Sanakeling penuh kemarahan. Wajahnya yang merah menjadi semakin marah. Matanya yang liar menjadi semakin liar. Hampir saja ia meloncat dan menerkam wajah Sumangkar. Tetapi ketika kemudian terpandang olehnya sebatang tongkat baja putih berkepala tengkorak kekuning-kuningan, maka ia tertegun diam. Hanya giginya sajalah yang terdengar gemeretak.

Dalam pada itu Sumangkar masih saja tersenyum dan berkata, kali ini kepada orang-orang Jipang, “Nah, timbanglah di hatimu. Kalian telah mendengar apa yang aku katakan dan apa yang dikatakan oleh Sanakeling. Aku tidak menyalahkannya, pendiriannya adalah pendirian seorang prajurit yang tertempa dalam perjuangan yang berat. Tetapi pendirian itu bukanlah satu-satunya pendirian yang terbentang di hadapan kita. Taraf perjuangan kalian kini telah sampai pada suatu titik yang berbeda dengan pada saat kalian baru mulai.”

Tetapi kata-kata Sumangkar terputus oleh kata-kata Ki Tambak Wedi di antara derai tertawanya. “Bagus. Kau memang benar-benar licik Adi. Kau mampu, memutar balikkan keadaan dan, memutar balikkan penilaian atas sesuatu persoalan. Aku bukan orang Jipang. Aku sejak semula adalah penghuni lereng Merapi. Sejak Demak berkuasa, aku seakan-akan terlepas dari kekuasaan itu. Apalagi sekarang. Namun aku menaruh hormat pada perjuangan Angger Sanakeling. Aku kecewa melihat seorang Sumangkar dengan mudahnya mengingkari dan mengkhianati perjuangan yang telah dirintis, bahkan dikorbani dengan nyawa dari orang-orang sebesar Adipati Jipang sendiri, Patih Mantahun, dan yang terakhir adalah Angger Macan Kepatihan.”

Ki Tambak Wedi belum selesai dengan kata-katanya. Namun Sumangkar kini yang memotongnya. “Ki Tambak Wedi adalah penghuni lereng Merapi sejak semula. Karena itu Ki Tambak Wedi tidak banyak mengetahui apa yang terjadi di Jipang, di Pajang dan di perkemahan ini. Karena itu, apa yang dikatakan adalah semata-mata suatu cara untuk melumpuhkan kita. Dengar, apakah kata-katanya bukan sekedar usaha untuk memecah pendirian kita? Antara aku dan Angger Sanakeling. Ternyata usahanya hampir terjadi seperti pada saat ia membakar hati Tundun dan kawan-kawannya di perkemahan ini siang tadi. Usaha itu pun hampir berhasil. Untunglah Sumangkar masih mampu mengusirnya. Sekarang kau kembali lagi dengan bisa di mulutmu. Sayang Ki Tambak Wedi.”

Kata-kata Sumagkar benar-benar menikam jantung Tambak Wedi. Kini ialah yang dibakar oleh kata-kata itu sehingga darahnya tersirap sampai ke kepala. Dengan serta merta ia menyawab lantang, “Kau bena-benar licik. Tetapi kau di sini berdiri seorang diri. Kalau Angger Sanakeling bersedia aku ingin berdiri di pihaknya. Mungkin tak seorang pun dari kalian yang mampu melawan Sumangkar. Tetapi bagi Tambak Wedi, Sumangkar bukan seorang yang menyilaukan.”

Sanakeling yang hatinya telah terbakar lebih dahulu tidak dapat menimbang lagi mana yang buruk, mana yang baik. Hatinya telah dibutakan oleh ketamakannya atas pimpinan sepeninggal Macan Kepatihan, atas harga dirinya sebagai seorang prajurit pilihan, atas dendam yang membara di dadanya. Itulah sebabnya tiba-tiba ia berteriak, “Jangan banyak bicara setan tua. Ayo, selama darah prajurit masih mengalir di dalam dada kalian, kalian akan tetap dalam pendirian kalian yang telah kalian letakkan sejak semula. Kini apabila kalian masih tetap dalam sumpah kalian sebagai prajurit Jipang, dengar perintahku. Tangkap orangg tua ini!”

Teriakan Sanakeling itu menggelegar menembus gelap pekatnya hutan, memukul pepohonan dan bergema berulang-ulang. Susul menyusul seperti gelombang yang menghentak-hentak pantai.

Sumangkar yang mendengar perintah itu tiba-tiba mundur selangkah. Tanpa sesadarnya ia membelai tongkat baja putihnya. Bahkan tiba-tiba pula ia berkata lantang, “Ayo! Inilah Sumangkar. Siapa yang ingin menangkap Sumangkar, tangkaplah! Aku sudah tua. Sudah banyak yang aku alami dan sudah banyak yang aku lakukan. Tetapi kalau masih ada sepercik sinar di dalam hatimu, hati seorang manusia yang berdiri di atas kemanusiaannya, dengarlah kata-kataku. Mungkin kata-kataku terakhir. Kalau aku tidak sempat melakukan, kuburkanlah mayat Angger Macan Kepatihan baik-baik. Ia adalah seorang yang berhati jantan, tetapi ia adalah seorang yang berhati lembut, selembut hati seorang ibu. Pada saat terakhirnya, ia berkorban untuk kalian, namun ia juga memikirkan hari-hari depan kalian. Hari-hari yang masih panjang, buat anak cucu kalian dan hari yang masih panjang buat Demak. Ayo! Sekarang aku sudah bersiap. Siapa yang pertama-tama? Sanakeling atau Tambak Wedi?”

Suara Sumangkar yang tua itu pun terasa seakan-akan menusuk langsung ke setiap dada. Orang-orang Jipang yang mendengar suaranya seakan-akan darahnya menyadi beku. Mereka melihat orang tua itu menggenggam tongkatnya erat-erat, siap untuk terayun dengan derasnya.

Tetapi bukan hanya suara Sumangkar itu yang mempengaruhi hati setiap orang Jipang, makna dari kata-kata itu pun telah menyentuh hati sebagian mereka pula.

Namun Sanakeling telah bena-benar bermata gelap. Dengan serta merta ia menarik pedangnya. Dan sekali lagi suaranya menggelegar memenuhi hutan. “Ayo, tangkap orang tua ini. Orang tua yang telah mengkhianati perjuangan kalian. Bahkan sampai hati untuk merendahkan diri mencium kaki orang-orang Pajang.”

Tiba-tiba orang-orang Jipang yang berdiri di muka gubug itu pun seakan-akan bergetar. Beberapa orang menjadi saling berdesakan. Dan beberapa di antara mereka pun tiba-tiba menarik pedangnya pula sambil berteriak menyambut perintah Sanakeling. “Kita telah siap Ki Lurah. Kita siap menangkap orang tua itu.”

Sumangkar memandang orang-orang Jipang itu dengan sudut matanya. Ia melihat beberapa orang bena-benar telah mengacungkan pedang-pedang mereka. Dan karena itulah maka hatinya bena-benar menyadi gelisah. Bukan karena ia takut mati. Tetapi apakah ia sampai hati urtuk menebaskan tongkatnya kepada orang-orang yang tidak menyadari apa yang akan dilakukannya itu? Karena itu ketika ia melihat beberapa orang di antara mereka berdesakan maju, maka kegelisahannya menyadi semakin menyekat hati.

Apalagi ketika di kejauhan terdengar suara Tambak Wedi, “Bagus. Kalian telah bertindak tepat. Kalau tidak ada di antara kalian yang dapat melakukannya, maka aku bersedia menolong kalian menangkap orang tua itu.”

Sumangkar berdesis. Kemarahannya kini telah memuncak pula. Tetapi kepada Ki Tambak Wedi. Bukan kepada orang-orang Jipang itu. Sehingga ketika ia melihat Sanakeling maju selangkah maka Sumangkar itu mundur setapak.

“Jangan mencoba lagi!” bentak Sanakeling.

Sumangkar menggeram. Namun tiba-tiba, sekali lagi ia terkejut. Kini ia melihat orang-orang Jipang itu seakan-akan terbagi. Beberapa orang yang telah menarik senjata mereka, seakan telah berkumpul di bagian depan dari orang-orang Jipang yang berkerumun itu. Tetapi sebagian yang lain masih tetap berdiri tegak di tempat mereka. Bahkan kemudian terjadilah suatu hal yang tidak terduga-duga. Tiba-tiba di antara mereka yang masih berdiri di tempatnya itu terdengar sebuah teriakan nyaring. “Jangan sentuh orang tua itu. Kami berdiri di pihaknya.”

Setiap orang berpaling ke arah suara itu. Sanakeling dan Sumangkar pun berpaling pula. Sebelum mereka melihat siapa yang berteriak itu, terdengar orang lain menyambut, “Kami berada di pihak Ki Sumangkar.”

Tanpa disangka-sangka pula, suara itu segera menjalar kesegala arah. Dengan suara yang melengking-lengking terdengar orang-orang Jipang itu berteriak-teriak, “Kami berada di pihak Ki Sumangkar.”

Setiap darah akan tersirap ketika mereka kemudian melihat senjata berkilauan. Kini bukan saja orang-orang yang berdiri di pihak Sanakeling menarik senjata-senjata mereka. Namun orang-orang yang berdiri di pihak Sumangkar pun telah menggenggam senjata-senjata mereka yang telanjang.

Yang paling nyaring dari antara mereka adalah suara Tundun, yang pada siang harinya hampir berusaha membunuh Sumangkar. Kini dengan sepenuh hati ia berteriak meskipun tangannya masih agak sakit. “Ki Sumangkar telah menyelamatkan kami siang tadi dari keganasan Ki Tambak Wedi. Aku telah dihidupinya meskipun aku berusaha untuk membunuhnya. Ternyata Ki Sumangkar adalah orang yang sebaik-baiknya dan sesakti-saktinya dalam perkemahan ini.”

“Tutup mulutmu!” bentak seorang yang lain, yang berdiri di pihak Sanakeling. “Kalau kau ingin mati bersamanya, ayo, matilah kau lebih dahulu.”

“Bagus,” teriak Tundun. “Siapa kau?”

Tundun melihat seseorang meloncat dari antara orang-orang Jipang yang memihak Sanakeling. Tetapi Tundun pun segera meloncat menyongsongnya. Bahkan bukan saja Tundun. Tetapi seorang yang bertubuh kecil dan bernama Bajang datang pula mendekatinya. Meskipun lukanya belum sembuh benar.

“Hem,” Bajang itu menggeram, “serahkan orang ini kepadaku. Aku setiap hari hanya mendapat pekerjaan memotong leher binatang-binatang. Kini aku akan mencoba memotong leher orang.”

Namun kawan-kawan orang itu pun segera berloncatan pula. Mereka tidak akan melepaskan orang itu bertempur seorang diri. Dengan demikian maka kedua belah pihak telah berhadapan dalam kelompok dan pihak masing-masing.

Melihat peristiwa itu, alangkah sakitnya hati Sumangkar. Alangkah pedihnya. Karena itu ketika kedua belah pihak telah siap untuk bertempur, terdengarlah Sumangkar itu berteriak, “Berhenti! Berhenti! Apakah kalian, sudah menjadi gila? Bukankah kalian sedang berhadapan dengan kawan sendiri, yang selama ini telah bersama-sama menanggung segala macam derita dan kesulitan? Bukankah kalian selama ini telah terumbang-ambing dalam biduk yang sama. Tenggelam bersama dan mengambang bersama. Bila badai menempuh biduk itu, kalian bersama-sama dibuai dengan dahsyatnya, namun bila angin silir, kalian bersama-sama dibelai oleh kesegaran. Kini kalian telah siap berhadapan dengan senjata telanjang. Apakah kalian benar-benar telah menjadi gila?”

Orang-orang Jipang itu pun tertegun diam. Masing-masing seakan-akan telah dipukau oleh suatu pesona mendengar kata-kata itu. Bahkan Sanakeling pun hanya berdiri saja mematung untuk sesaat. Tetapi ketika kemudian Sanakeling menyadari, bahwa sebagian dari orang-orang Jipang itu tidak mematuhi perintahnya, maka kembali darahnya bergelora dibakar oleh kemarahan yang meluap-luap.

Sanakeling merasa bahwa sebagian dari laskar Jipang itu telah terpengaruh oleh Sumangkar untuk berkhianat kepadanya. Ya. Kepadanya. Kepada Sanakeling. Sehingga dengan nyaringnya ia berkata, “He. Siapa yang berpihak kepada Sumangkar adalah pengkhianat. Orang-orang itu harus dibinasakan pula bersama Sumangkar.”

Tetapi Sumangkar menyahut, “Dengarlah olehmu sekalian. Apa pun yang kau dengar, baik dari mulutku, maupun dari mulut Angger Sanakeling adalah demi keselamatan kalian. Pesan Angger Tohpati berisi petunjuk supaya kalian dapat menemukan kedamaian hati dan kemungkinan yang terang di hari depan. Sedang perintah Angger Sanakeling mengandung makna, supaya kalian tetap dalam kejantanan jiwa seorang prajurit. Kalau kalian kemudian bertempur satu sama lain, maka kedua pesan itu sama sekali tak berarti. Kalian akan musnah, bukan sebagai prajurit-prajurit yang sedang mempertahankan harga diri seperti yang dimaksud oleh Angger Sanakeling. Bukan dalam kebesaran jiwa Jipang yang berjuang sampai tetes darah terakhir. Tetapi sebagai prajurit yang saling bunuh-membunuh berebut kebenaran, yang tidak berpangkal dan berujung. Juga kalian tidak akan dapat memenuhi pesan Angger Tohpati yang kalian segani, sebab kalian tidak akan sempat menemukan kedamaian hati dan hari depan yang baik. Kalian akan mati karena pedang kawan sendiri, dan kalian akan mati tertimbun bangkai sesama.”

Kembali orang-orang Jipang itu mematung. Sanakeling yang sudah meluap itu pun kembali mematung pula.

Namun sayang, bahwa di antara mereka, berdiri seorang Tambak Wedi yang selalu meniup-niupkan bisa dari mulutnya. Ketika ia melihat keragu-raguan di antara mereka, kembali ia tertawa dan berkata, “Alangkah liciknya cara Sumangkar yang perkasa itu menyelamatkan diri. Bagi seorang prajurit, kebenaran adalah mutlak. Tidak pandang siapakah yang berdiri di hadapannya. Jangankan kawan seperjuangan. Bahkan sanak kadang, ayah kandung sendiri, kalau ia berkhianat, maka pedang kita akan menusuk ulu hatinya. Lebih baik berkawan sepuluh duapuluh orang yang setia daripada seratus dua ratus pengkhianat. Itulah pilihan Angger Sanakeling.”

“Tepat,” teriak Sanakeling, “tepat seperti kata-kata Ki Tambak Wedi. Ayo jangan ragu-ragu. Pedang kalian telah tertarik dari sarungnya.”

“Yang kalian anggap pengkhianat adalah Sumangkar,” teriak Sumangkar. “Kalau ada yang berpihak kepadaku adalah karena mereka terpengaruh kata-kataku. Nah, ayo. Kalau kalian ingin bertindak, bertindaklah terhadap Sumangkar. Kepada para prajurit Jipang yang mendengarkan pesan-pesan Tohpati lewat mulutku, aku minta kalian tidak perlu membela Sumangkar. Biarlah Sumangkar mati memeluk kewajiban yang dibebankan oleh pemimpinnya pada saat-saat terakhir, menyampaikan pesan itu kepada kalian. Lepaskan Sumangkar dan kalian dapat meninggalkan tempat ini menempuh jalan yang kalian kehendaki itu. Sekarang ayo, siapa yang akan membunuh Sumangkar?”

Sanakeling menggeram. Namun ia masih belum beranjak dari tempatnya. Ia tahu benar siapakah Sumangkar itu. Ia mengharap semua prajurit Jipang bersama-sama menangkapnya. Betapapun saktinya Sumangkar, namun ia pasti tidak akan dapat melawan semua orang yang berada di tempat itu. Tetapi tiba-tiba orang-orang Jipang itu terbelah. Hampir terbelah dua, yang masing-masing akan dapat bertempur dengan pemimpin saja mampu menangkap Sumangkar. Ketika ia berpaling dilihatnya Alap-alap Jalatunda. Anak muda itu berdiri dengan tegangnya. Namun wajahnya tidak meyakinkan Sanakeling, kepada siapa ia akan berpihak. Sedang beberapa orang yang lain pun sangat meragukannya.

Demikianlah maka setiap wajah kini dicengkam oleh keragu-raguan. Meskipun pedang Sanakeling telah bergetar namun kakinya sama sekali belum bergerak.

Dalam keragu-raguan itu terdengar kembali suara Ki Tambak Wedi, “Kenapa kau ragu-ragu Angger Sanakeling? Setidak-tidaknya yang sependapat dengan pendirianmu adalah separo. Serahkan mereka menyelesaikan pendirian masng-masing. Jangan hiraukan alasan-alasan cengeng yang keluar dan mulut Sumangkar. Sekarang Angger Sanakeling dapat menangkap dan sekaligus menghukum mati Sumangkar itu. Kalau Angger tidak sanggup karena kesaktian Sumangkar, biarlah Tambak Wedi membantumu.”

Mata Sanakeling yang liar menjadi bertambah liar. Tawaran itu menggembirakannya, sehingga ia menjawab, “Terima kasih Ki Tambak Wedi. Orang ini memang perlu mendapat sedikit peringatan. Peringatan atas kelicikannya membawa sebagian dari kita untuk berkhianat.”

“Tambak Wedi,” potong Sumangkar. “Kau bukanlah seorang dari antara kami. Tetapi mulutmu yang berbisa itu seakan-akan menentukan apa yang harus kita lakukan. Kau telah berhasil menghancurkan pasukan Jipang tanpa membawa seorang prajuritpun. Sehingga dengan demikian kau berhak mengenakan tanda jasa yang setingi-tingginya dari Pajang.”

Sekali lagi Tambak Wedi menggeram. Sumangkar masih mampu menangkis usahanya yang terakhir. Sesaat ia kehilangan kesempatan untuk mendororong Sanakeling bertindak lebih jauh. Apalagi ketika kemudian ia melihat Sanakeling menjadi ragu-ragu. Karena itu maka ia langsung sampai pada tujuannnya, katanya, “Hem. Sekali lagi kau menunjukkan kelicikanmu Sumangkar. Baiklah aku berterus terang. Muridku telah di sisihkan oleh Untara setelah ia gagal berusaha membunuh senapati Pajang yang sombong itu. Ia hanya berhasil melukainya dengan parah. Tetapi Untara itu dapat sembuh dari sakitnya. Kini muridku datang untuk menawarkan diri kepada Angger Sanakeling. Bekerja bersama. Mungkin kita belum menemukan titik persamaan pendirian. Namun hal itu dapat dibicarakan kemudian.”

Darah Sanakeling tersirap mendengar tawaran itu. Alangkah baiknya. Selagi ia kehilangan seorang pemimpin yang kuat, tiba-tiba ia akan mendapat kawan dalam meneruskan perjuangan, meskipun perjuangan itu tidak lebih dari menyebarkan dendam di mana-mana.

Maka dalam kegelapan pikiran, tawaran Ki Tambak Wedi itu bagi Sanakeling bagaikan sepercik sinar yang langsung menyorot hatinya. Apalagi pada saat itu Sanakeling tidak sempat untuk banyak membuat pertimbangan. Yang menyumbat otaknya adalah pengkhianatan Sumangkar dan beberapa orang prajurit kepadanya. Karena itu maka teriaknya, “Bagus! Tawaran itu bagus sekali Kiai. Mungkin kita dapat menemukan titik-titik persamaan yang dapat kita pakai sebagai dasar perjuangan bersama untuk membinasakan Untara. Nah, sekarang orang tua inilah yang harus kita binasakan lebih dahulu.”

Ki Tambak Wedi tertawa. Katanya, “Namun dalam beberapa hal aku sependapat dengan Adi Sumangkar. Para prajurit Jipang ini tidak perlu saling membunuh. Mereka kini hanya diwajibkan untuk menonton pertunjukan yang pasti akan mengasyikkan kalian.”

Para prajurit Jipang itu masih tegak dengan senjata di tangan masing-masing. Wajah-wajah mereka masih dicengkam oleh ketegangan dan ujung senjata-senjata mereka masih bergetaran.

“Nah, Adi Sumangkar. Apakah kau sudah bersedia untuk mati?”

Sumangkar mengerutkan keningnya. Betapa umurnya yang telah melampaui pertengahan abad itu, telah membantunya untuk melihat jauh ke dalam hati orang-orang yang berada di sekitarnya. Sanakeling, Tambak Wedi, dan para prajurit yang kebingungan itu. Juga kata-kata Tambak Wedi itu baginya sama sekali tidak diucapkan dengan jujur. Karena itu maka jawabnya, “Kakang Tambak Wedi, Sumangkar sudah siap sejak semula. Namun sekali lagi aku ingin berpesan. Bagi mereka yang ingin memenuhi pesan Angger Tohpati lewat mulutku. Janganlah nonton seperti nonton adu ayam. Kalian berada dalam bahaya. Selama aku masih hidup, mungkin Ki Tambak Wedi dan beberapa orang terpenting dari pasukan ini masih memerlukan menangkap dan membunuhku. Tetapi sepeninggalku, maka akan datang giliran buat kalian. Apa yang akan dapat kalian lakukan apabila Sanakeling dan Tambak Wedi ikut serta dalam barisan yang ingin membinasakan kalian? Nah, karena itu, sebelum aku binasa, aku masih akan dapat mengikat perhatian Tambak Wedi dan Sanakeling. Karena itu, berusahalah meninggalkan tempat ini. Pergilah langsung ke Sangkal Putung. Katakan apa yang kalian lihat di sini. Katakan bahwa kalian mendengar pesan Tohpati dari mulut Sumangkar, yang barangkali pada saat-saat itu telah terbunuh di sini. Jangan ragu-ragu. Pesan itu telah didengar pula oleh Untara dan Untara telah mengucapkan jaminan untuk kalian. Sebagai seorang senapati yang berhati jantan, pasti ia tidak akan ingkar. Aku mengharap orang yang bernama Kiai Gringsing akan membantu kalian apabila Angger Untara melupakan janjinya. Aku percaya kepada orang itu. Aku percaya kepada muridnya yang bernama Agung Sedayu, adik Untara. Mereka adalah manusia-manusia yang baik bagi kemanusiaan. Jangan mencoba bertempur di sini. Tak akan ada gunanya. Nah, apakah kalian dengar?”

“Sebuah jebakan yang manis,” teriak Ki Tambak Wedi. “Kalian benar-benar akan menjadi seperti ikan masuk ke dalam wuwu. Kalian, akan masuk Sangkal Putung dengan mudahnya. Tetapi demikian senjata-senjata kalian dikumpulkan, maka tangan kalian akan segera terikat. Kalian, akan menjadi bandan seumur hidup kalian atau bahkan akan diseret sepanjang jalan dalam hukuman picis. Betapa nyamannya kulit kalian akan disobek segores demi segores, dan dipercikan air asam pada luka-luka itu.”

Namun Sumangkar sempat menyahut, “Adalah suatu khayalan yang mengerikan. Kalau aku hanya sekedar ingin membunuh kalian, para prajurit Jipang, aku tidak akan bersusah payah mempertahankan pendirian ini dengan berperisai nyawa. Aku akan dapat berbuat dengan mudahnya, meneteskan beberapa tetes getah racun ke dalam masakanku, maka kalian akan binasa bersama-sama. Tetapi aku tidak berbuat demikian. Kalian bukan anak-anak yang bodoh. Kalian kini sudah cukup dewasa untuk berpikir dan berbuat. Nah, silahkanlah. Jangan terlalu lama.” Kemudian kepada Ki Tambak Wedi, Sumangkar berkata, “Ayo. Kau sudah mulai menjemukan bagiku. Berbuatlah sesuatu. Jangan selalu berbicara saja dengan mulutmu yang berbisa. Memang mungkin mulutmu itu lebih tajam dari senjatamu. Tetapi tongkat baja putih, ciri perguruan Kedung Jati ini akan dapat menutup mulutmu itu untuk selama-lamanya.”

Tambak Wedi menggeram, Kemarahannya telah benar-benar membakar dadanya. Tiba-tiba di atas kepala orang-orang Jipang itu terdengar suara berdesing. Seperti desing anak panah raksasa yang meluncur dengan cepatnya. Orang-orang Jipang itu terkejut. Serentak mereka menengadahkan wajah-wajah mereka. Tetapi mereka tidak melihat sesuatu.

Namun Sumangkar adalah lain dari mereka. Sumangkar mempunyai beberapa kelebihan dari para prajurit itu. Betapa lemahnya cahaya obor di sekitarnya, namun matanya yang tajam masih dapat menangkap seleret benda yang berlari kencang, sekencang tatit, menyambarnya. Tetapi Sumangkar adalah murid kedua dari perguruan Kedung Jati. Itulah sebabnya, maka ia mampu bergerak menyamai kecepatan benda yang meluncur itu. Dengan lincahnya ia bergeser surut setapak, dan dalam pada itu tongkatnya menyambar sebuah benda yang meluncur ke arah kepalanya. Sesaat kemudian terdengarlah sebuah benturan yang dahsyat. Kedua benda itu beradu. Demikian dahsyatnya sehingga suaranya berdentang memekakkan telinga, sedang dari benturan itu memercik bunga-bunga api yang gemerlapan.

Tetapi Sumangkar tidak sekedar memukul benda itu. Demikian tangkas gerak tongkatnya, sehingga benda itu terpukul ke samping. Untunglah Sanakeling bukan sekedar patung batu. Orang itu mampu menangkap keadaan. Ketika ia melihat Sumangkar memukul benda itu ke arahnya, ia telah menyiapkan pedangnya. Tetapi demikian pedangnya berhasil menangkis benda yang terpantul ke arahnya itu, maka tergetarlah tangannya dan pedangnya pun terlontar jatuh.

Sanakeling itu sesaat terpaku diam di tempatnya. Terasa tangannya menjadi pedih, tetapi terasa dadanya seakan-akan menyala dibakar oleh kemarahannya yang meluap-luap.

Ketegangan dan kesenyapan memuncak di sekitar gubug itu. Semua orang seperti terbungkam mulutnya oleh tangan-tangan iblis yang mengerikan. Darah mereka bahkan terasa seolah-olah berhenti mengalir.

Namun, selain Sanakeling yang dadanya seolah-olah menyala maka Ki Tambak Wedi yang ternyata kini telah berdiri di atas sebongkah batu padas itu pun mengumpat sejadi-jadinya. Sumangkar, juru masak yang malas itu telah berhasil menghindarkan serangan pertamanya. Dengan serangan yang dilontarkannya dari dalam gelap, ia ingin sekaligus membunuh Sumangkar dengan gelang-gelang besinya. Tetapi ternyata murid kedua dari perguruan Kedung Jati itu benar-benar tangkas. Dan ternyata pula tongkat baja putih itu- pun bukan sekedar senjata biasa. Tongkat itu mampu menahan arus yang dahsyat dan kekuatan Ki Tambak Wedi lewat gelang-gelang besinya. Bahkan serangan itu hampir saja mengenai Sanakeling pula. Meskipun kemudian Sanakeling berhasil pula menangkis pantulan besi itu, namun senjatanya terlepas dari tangannya. Dengan demikian dapat diduga, betapa dahsyatnya kekuatan Ki Tambak Wedi, dan betapa dahsyatnya kekuatan Sumangkar serta tongkat baja putihnya.

Semua yang terjadi itu hampir tak masuk di akal para prajurit Jipang yang melihat peristiwa itu dengan mata yang terbelalak. Mereka selama ini sepeninggal Adipati Jipang dan Patih Mantahun, tidak mengenal orang sakti selain Macan Kepatihan. Bahkan mereka menyangka bahwa tak ada seorang pun yang akan mengalahkan pemimpinnya itu.Tetapi ternyata Raden Tohpati itu terbunuh. Selama ini mereka menyangka, bahwa apabila tidak dikirim Ki Gede Pemanahan, atau Mas Ngabehi Loring Pasar, maka Tohpati tidak akan dapat dibinasakan. Tetapi mereka terpaksa melihat kenyataan, bahwa Untara telah berhasil membunuhnya. Dan kini di antara mereka sendiri, mereka dapat melihat kemampuan dan kesaktian yang melampaui kemampuan dan kesaktian Macan Kepatihan. Juru masak yang malas itu ternyata adalah seorang yang telah memukau jantung mereka.

Peristiwa ini sekaligus telah mengetok hati para prajurit Jipang itu, bahwa kesaktian itu tersimpan di mana-mana. Kadang-kadang di tempat-tempat yang sama sekali tak terduga-duga. Yang dikagumi masih ada yang melampauinya, dan yang melampaui itu pun bukanlah seorang yang tak terkalahkan.

Beberapa orang yang berotak cair segera dapat mengambil pelajaran dari peristiwa ini. Tak seorang pun yang dapat menyebut dirinya tak terkalahkan. Tak seorang pun yang akan dapat dianggap sebagai seorang yang maha sakti. Seperti apa yang telah terjadi atas Jipang yang merasa diri mereka tak terkalahkan, setidak-tidaknya mereka menganggap bahwa pemimpin-pemimpin mereka adalah orang-orang yang tak terkalahkan, maka akhirnya Jipang terpaksa jatuh tersungkur, terbenam dalam kehancuran yang dahsyat, sehingga sulitlah untuk dapat bangkit kembali. Arya Jipang yang disangka tak akan dapat terbunuh kalau tidak oleh senjata pusakanya sendiri itu pun akhirnya terbunuh juga, hanya oleh seorang anak muda yang sama sekali tak pernah disebut namanya. Apalagi dalam deretan nama para sakti.

Anak muda yang bernama Mas Ngabehi Loring Pasar yang juga disebut Sutawijaya itu ternyata mendapat cara untuk menggoreskan keris Arya Penangsang sendiri, yang disebutnya Setan Kober, pada ususnya yang telah mencuat keluar dari luka di lambungnya. Luka karena tusukan tombak Kiai Plered di dalam genggaman anak muda yang bernama Sutawijaya itu.

Bagi mereka yang berotak cair, melihat semua peristiwa itu dengan debar di dalam dadanya. Mereka seolah-olah melihat semuanya itu terjadi kembali. Juga tidak masuk di akalnya. Namun semua peristiwa itu telah menuntun mereka untuk mengenangkan, bahwa ada kekuasaan di luar kekuasaan manusia. Kalau kekuasaan itu akan berlaku, berlakulah. Di mana dan kapan saja. Semua yang tidak mungkin, akan terjadi pula. Bahkan yang tak masuk akal sekalipun. Kekuasaan itu adalah kekuasaan yang akan menggilas semua ketamakan, kesombongan, dan kebanggaan manusia atas dirinya sendiri.

Tetapi tidak semua orang melihat sinar yang betapapun terangnya. Seseorang yang berdiri di dalam gelap sekalipun. Kadang-kadang mereka lebih senang tenggelam dalam dunianya yang gelap, yang akan dapat melindunginya untuk berbuat apa saja sekehendak hatinya.

Prajurit-prajurit Jipang itu pun tetap terbagi dalam pendirian yang berbeda. Mereka masih tetap berpijak pada sikap masing-masing. Sebagian dari mereka berkata di dalam hatinya, “Alangkah dahsyatnya Ki Sumangkar. Ia mampu melawan serangan yang datang dengan tiba-tiba, serangan yang licik itu.” Namun orang-orang yang lain berkata di dalam hatinya, “Alangkah dahsyatnya lontaran tangan Ki Tambak Wedi. Dengan bermain-main gelang itu, hampir-hampir Sumangkar dapat dibunuhnya. Apalagi kalau ia nanti bersungguh-sungguh menyerang Sumangkar untuk membunuhnya.”

Di antara mereka, yang tak beringsut dari pendiriannya, dan bahkan menjadi semakin berkobar di dalam dadanya adalah Sanakeling. Bahwa pedangnya lepas dari tangannya, adalah suatu peristiwa yang sangat memalukan. Sumangkar dapat menahan gelang-gelang yang langsung meluncur dari tangan Ki Tambak Wedi, sedang pedangnya terloncat dari genggamannya hanya karena pantulan benda itu.


Sejenak kemudian kesenyapan itu dipecahkan oleh suara Ki Tambak Wedi, “Gila kau Sumangkar. Tetapi jangan kau sangka bahwa kau akan dapat melepaskan diri dari tangan Ki Tambak Wedi.” Kemudian kepada Sanakeling ia berkata, “Biarkan para prajurit Jipang membuat keputusan sendiri di antara mereka. Namun marilah, sumber dari pengkhianatan itu kita lenyapkan.”

Sumangkar sama sekali tidak menyahut. Perlahan-lahan tangannya membelai senjatanya, seolah-olah ia berkata, “Marilah kita berbuat sesuatu untuk yang terakhir kalinya.”

Tetapi ternyata Sumangkar tidak berdiri sendiri. Ketika Para prajurit yang berpihak kepadanya melihat, bahwa Sumangkar telah bersiap untuk menyongsong segala kemungkinan, maka orang-orang Jipang yang berpihak kepadanya pun bersiap pula.

Ki Tambak Wedi yang seakan-akan dadanya meledak karena goncangan kemarahannya, kemudian berteriak nyaring untuk menekan keberanian orang-orang Jipang yang berpihak kepada Sumangkar. “He Sumangkar, di tanganmu tergenggam ciri perguruan Kedung Jati. Sebuah tongkat baja putih yang terkenal. Tetapi perguruan di kaki Gunung Merapi mempunyai cirinya sendiri. Bukan sekedar gelang-gelang permainan kanak-kanak, tetapi kau sudah cukup mengenal ciri itu. Marilah kita lihat, manakah yang lebih sempurna, ciri Kedung Jati dan ciri Lereng Merapi.”

Semua orang berpaling ke arah Ki Tambak Wedi berdiri. Dan semua orang melihat orang tua itu berdiri di atas segumpal batu padas dengan sebuah senjata yang dahsyat di tangan. Sebuah Nenggala yang runcing pada ujung dan pangkalnya. Sebuah Nenggala yang berbentuk dua ekor ular yang saling mem belit berlawanan arah. Lidah-lidah ular itu terjulur dalam bentuk tempaan ujung tombak. Mengerikan. Itu adalah tanda dan senjata yang terpercaya dari perguruan Tambak Wedi. Dan senjata itu kini telah ditarik dari selubung dan wrangkanya.

Sumangkar pun melihat senjata itu pula dalam keremangan cahaya obor yang kemerah-merahan. Terasa debar jantungnya bertambah cepat. Tambak Wedi memang terkenal sebagai seorang yang sangat sakti seakan-akan mampu menangkap angin. Namun perguruan Kedung Jati pernah pula terkenal, seolah-olah mampu menyimpan nyawa rangkap di dalam tubuhnya. Kini mereka berha-dapan dengan ciri kebesaran perguruan masing-masing. Ciri yang tersimpan rapat-rapat dan jarang-jarang dipergunakan apabila keadaan tidak sangat gawat bagi mereka masing-masing.

Namun Sumangkar benar-benar sudah pasrah diri. Ia tidak melihat kemungkinan lain daripada mati. Melawan Ki Tambak Wedi seorang diri, ia pasti tidak akan dapat mengalahkannya. Apalagi Ki Tambak Wedi masih juga bergabung dengan orang-orang seperti Sanakeling dan mungkin para pemimpin Jipang yang lain. Meskipun mereka agaknya ragu-ragu, namun apabila Sanakeling telah bertindak bersama-sama Tambak Wedi, maka sebagian dari mereka pun akan berbuat pula serupa.

Sumangkar menggeram perlahan-lahan. Ia pernah bertempur melawan Tambak Wedi. Tetapi waktu itu ia tidak mempergunakan senjatanya, dan Tambak Wedi pun hanya sekedar mempergunakan gelang-gelang untuk melindungi tangannya. Tetapi kini, keduanya telah bersiap dengan senjata masing-masing.

Sanakeling yang masih berdiri di hadapan Sumangkar hampir-hampir tak dapat lagi menahan dirinya. Kemarahannya telah membakar darahnya sampai ke ubun-ubun. Tetapi ia tidak segera berbuat sesuatu. Ia tidak dapat melangkah mengambil senjatanya sebab dengan demikian Sumangkar dapat menyerangnya dengan tiba-tiba dan memukul tengkuknya dengan tongkat baja itu. Karena itu maka satu-satunya kemungkinan baginya adalah menunggu Tambak Wedi bertindak lebih dabulu.

Sumangkar pun tidak mau memulai perkelahian itu. Apabila setapak ia maju mendekati Sanakeling dan mengabaikan Tambak Wedi, maka pasti akan terbang lagi gelang-gelang serupa menyambarnya. Karena itu maka perhatiannya justru sebagian besar tertuju ke arah Ki Tambak Wedi daripada Sanakeling yang berdiri beberapa langkah saja daripadanya.

Beberapa orang lain, menurut pertimbangan Sumangkar tidak akan memulai pula. Mereka masih berdiri dalam keragu-raguan. Sebagian dari mereka pasti hanya akan menunggu perkembangan keadaan. Siapa yang menang itulah yang akan menentukan, kepada siapa ia akan berpihak.

Tetapi agaknya Tambak Wedi-lah yang akan memulai memecahkan sikap-sikap itu. Ternyata dengan tangannya ia meloncat turun dan berjalan menyibak orang-orang Jipang ke arah Sumangkar berdiri. Ternyata Tambak Wedi itu pun memperhitungkan semua kemungkinan yang dihadapinya. Ia menjinjing senjatanya di tangan kiri, dan menggenggam gelang-gelang di tangan kanan siap dilontarkan apabila pada saat ia berjalan mendekat itu Sumangkar mulai menyerang Sanakeling yang tidak bersenjata.

Setiap langkah Ki Tambak Wedi terasa seakan-akan derap seorang raksasa yang berjalan di dalam dada setiap orang yang menyaksikannya. Setiap langkah telah meningkatkan ketegangan menjadi semakin memuncak, seakan-akan sebuah tanggul yang telah penuh dengan air. Setiap saat akan pecah. Setiap saat banjir akan dapat melanda dengan dahsyatnya.

Sumangkar memandang langkah Tambak Wedi itu tanpa berkedip. Semakin dekat hantu Lereng Gunung Merapi itu, semakin erat ia menggenggam tongkat baja putihnya. Sekali-sekali dipandanginya beberapa orang Jipang yang berdiri saling berhadapan seperti dua gelar perang yang siap berbenturan. Sesaat hatinya menjadi sedih. Ia dapat membayangkan bahwa apabila perkelahian itu terjadi, maka akan tumpaslah segenap pasukan itu. Sumangkar dapat menduga bahwa para prajurit itu seakan-akan benar-benar terbelah di tengah. Masing-masing pihak yang semula tercampur-baur itu, kini benar-benar telah bersibak menurut pilihan masing-masing. Dan Tambak Wedi, yang garang itu berjalan di tengah-tengah, di garis pemisah antara kedua pihak yang berselisih pendapat itu.

Namun dada setiap orang yang berdiri di tempat itu benar-benar akan pecah oleh peristiwa yang menyongsong kemudian. Peristiwa yang benar-benar telah meledak tanpa dapat mereka mengerti. Ketika semua orang sedang dipukau oleh ketegangan langkah Ki Tambak Wedi, tiba-tiba mereka mendengar suara tertawa pula. Tidak sekeras suara Ki Tambak Wedi. Namun suara itu telah menarik segenap perhatian dari semua orang yang berada di tempat itu. Termasuk Ki Tambak Wedi sendiri. Dan yang lebih menggemparkan dada mereka adalah pada saat semua orang melihat sebuah bayangan berdiri di atas sebongkah batu padas, tempat Ki Tambak Wedi tadi berdiri, dengan sebuah Nenggala di tangannya. Nenggala ciri kebesaran perguruan Tambak Wedi yang telah ditarik dari selubung dan wrangkanya.

Betapa terkejut orang-orang yang melihat bayangan itu, tidak seorang pun yang menyamai Ki Tambak Wedi sendiri. Dalam kegelapan ia melihat seolah-olah seseorang dari perguruan Tambak Wedi berdiri di atas sebongkah batu padas dengan gagahnya. Bahkan seperti ia melihat sendiri berdiri di situ, seperti pada saat ia melemparkan gelang-gelang besinya ke arah Sumangkar.

Selain Tambak Wedi, Sumangkar pun terkejut bukan buatan. Ia tidak dapat melihat dengan jelas siapakah yang berdiri agak jauh di belakang orang-orang Jipang yang sudah siap saling membunuh sesama mereka. Ia tidak dapat mengatakan, bahwa Ki Tambak Wedi yang baru saja melontarkan gelang besinya meloncat kembali ke atas batu padas itu, sebab Ki Tambak Wedi kini masih tegak berdiri di antara kedua belah pihak orang-orang Jipang yang berbeda pendapat. Namun menilik senjata yang dibawanya, berujung runcing di pangkal dan ujungnya, ternyata pula dari cara orang itu memegang tangkainya, tepat di tengah-tengah, maka orang itu mirip benar dengan Ki Tambak Wedi sendiri.

Terdengar kemudian Ki Tambak Wedi menggeram. Dengan lantang ia berkata, “He, setan manakah kau ini? Dari mana mendapat senjata yang mirip dengan senjata Tambak Wedi?”

Ketika orang itu menjawab, maka dada Sumangkar dan Ki Tambak Wedi berdesir seperti tersentuh ujung senjata itu sendiri. Berkata orang itu, “Kenapa kau heran Ki Tambak Wedi. Apakah hanya Tambak Wedi yang memiliki jenis senjata macam ini?”

Dalam keremangan cahaya obor yang lemah, tampaklah wajah Sumangkar sekan-akan menjadi terang. Perlahan-lahan ketegangan di wajahnya terurai, dan perlahan-lahan pula tampak bibirnya tersenyum. Katanya, “Selamat malam Kiai Gringsing. Aku tidak menyangka bahwa Kiai akan datang secepat ini. Tetapi senjata di tanganmu benar-benar mengejutkan kami. Dalam gelap kami tidak segera mengenal Kiai, tetapi suara Kiai tidak dapat mengelabui kami lagi.”

Kiai Gringsing tertawa. Orang itu sebenarnya adalah Kiai Gringsing. Namun Ki Tambak Wedi-lah yang mengumpat, “Setan tua. Kenapa kau coba menandingi jenis senjata Tambak Wedi. Betapa saktinya Kiai Gringsing, namun senjata ciri perguruan Tambak Wedi jauh lebih berpengalaman mempergunakannya dan jenis senjatanya pun akan jauh lebih bernilai dari senjata-senjata serupa di seluruh kulit bumi.”

Kiai Gringsing masih tertawa, dijawabnya, “Apakah kau sudah tidak dapat mengenali jenis-jenis senjata perguruanmu sendiri Kiai? Senjata ini pun adalah senjata ciri kebesaran perguruan Tambak Wedi. Bukan sekedar senjata buatan pandai besi, apalagi buatan almarhum pande besi Sendang Gabus. Sama sekali bukan. Apakah kau tidak segera mengenal pamor ujung senjata ini? Sungguh dahsyat menurut penilaianku sebab senjata Lereng Merapi memang dahsyat, sedahsyat orangnya.”

“Gila!” seru Ki Tambak Wedi sekeras petir. “Jangan membual. Ayo katakan, kenapa kau di sini?”

“Jangan marah Kiai” sahut Kiai Gringsing. “Apakah kau tidak ingin tahu dari mana aku mendapatkan senjata ini?”

“Tidak,” jawab Ki Tambak Wedi. “Aku sudah tahu, itu pasti senjata Sidanti yang tertinggal di Sangkal Putung.”

Kiai Gringsing tertawa semakin keras. Kemudian katanya, “Nah tepat. Kau belum melupakan senjata ini. Tetapi adalah aneh sekali bahwa senjata ciri kebesaran suatu perguruan sampai tertinggal di suatu tampat, kenapa Kiai?”

“Jangan banyak bicara, ayo katakan, apa maumu?”

“Kenapa yang bertanya kepadaku bukan Adi Sumangkar, atau Angger Sanakeling? Kenapa yang bertanya justru Ki Tambak Wedi dari perguruan Lereng Merapi? Menurut hematku, tempat ini adalah perkemahan prajurit Jipang, bukan perkemahan laskar Tambak Wedi dan Sidanti yang telah memberontak terhadap pimpinannya itu?”

“Tutup mulutmu!”

“Sulit Kiai. Aku memang senang berkicau seperti burung yang bebas di dahan-dahan. Tak seorang pun mampu melarang. Kau juga tidak.”

Tambak Wedi yang sedang marah itu pun menjadi bertambah marah. Wajahnya yang membara itu pun bertambah merah.

Tetapi Kiai Gringsing berkata terus, “Ki Tambak Wedi, bukankah kau sedang sibuk mencari kawan untuk melawan Untara? Di sini kau menemukan beberapa orang yang dapat kau peralat untuk keperluan itu. Itulah sebabnya aku datang. Aku adalah utusan Angger Untara, langsung untuk menyaksikan sendiri siapakah di antara orang-orang Jipang yang menyadari keadaannya, menyadari masa depannya dan masa depan Demak. Aku adalah utusan senopati yang mendapat kekuasaan langsung dari Panglima Wira Tamtama di Pajang. Karena itu maka kata-kata yang aku ucapkan adalah kata-kata Panglima Wira Tamtama itu sendiri Ki Gede Pemanahan, bahwa Pajang yang akan membuat penilaian yang seadil-adilnya bagi mereka yang menyadari keadaannya sesuai dengan pesan terakhir Angger Macan Kepatihan, senopati besar yang selama ini kau banggakan.”

Ki Tambak Wedi tidak dapat menahan dirinya lagi. Tiba-tiba tangan kanannya bergetar, dan dari tangan itu meluncurlah sebuah benda langsung mengarah ke dada Kiai Gringsing. Sepotong besi yang dibentuk seperti sebuah gelang yang besar.

Tetapi Kiai Gringsing itu pun tidak sedang berbicara sambil bermimpi. Ia sudah menduga bahwa Ki Tambak Wedi akan langsung menyerangnya dengan jenis senjatanya itu. Karena itu, dengan lincahnya ia merendahkan dirinya menghindari sambaran gelang-gelang besi itu.

Betapa bulu-bulu kuduk orang-orang Jipang itu kemudian menjadi tegak ketika mereka mendengar bunyi gemerasak dari gelang-gelang besi yang tidak mengenai sasarannya, tetapi langsung memukul dahan-dahan dan ranting-ranting kayu. Suaranya seperti arus prahara yang mematahkan cabang-cabang pepohonan hutan.

Tetapi suara gemeresak yang dahsyat sedahsyat suara prahara itu bagi Ki Tambak Wedi, seolah-olah mengamuk di dalam dadanya sendiri. Kemarahannya yang meluap-luap serasa telah menghanguskan jantungnya. Namun ia tidak segera dapat berbuat apa-apa. Bahkan dilihatnya Kiai Gringsing tertawa sambil berkata, “Huh, hampi-hampir dadaku pecah karenanya. Kalau aku memegang senjata ciri perguruan Kiai Gringsing, maka aku akan menggenggam senjata perguruan Ki Tambak Wedi sendiri. Aku tidak yakin apakah senjata ini cukup kuat untuk menangkis. Adi Sumangkar berani melakukannya karena ia yakin akan kekuatan senjatanya. Sebab senjata itu adalah senjatanya sendiri.”

“Jangan banyak cakap,” potong Ki Tambak Wedi. “Aku kira kita sudah sampai waktunya untuk menyelesaikan persoalan kita yang selama ini terperam di dalam hati.”

“Aku tidak berkeberatan,” sahut Kiai Gringsing dengan tenang. “Adalah menjadi kewajibanku untuk melayanimu. Memang sebaiknya kau mengurus persoalanmu sendiri, persoalanmu dengan Kiai Gringsing misalnya, daripada kamu mengurus soal orang lain. Biarkan Adi Sumangkar dan Angger Sanakeling menyelesaikan persoalan mereka, sementara itu, marilah kita tinggalkan tempat ini, kita selesaikan persoalan kita sendiri.”

Keringat dingin telah mengalir membasahi seluruh tubuh Ki Tambak Wedi yang garang itu. Betapa ia mengumpat di dalam hatinya. Ternyata sekali lagi Kiai Gringsing telah menghalang-halanginya. Dengan suara parau penuh kemarahan ia berkata, “Kiai Gringsing. Kalau kau ingin membuat perhitungan dengan Ki Tambak Wedi, tunggulah aku di sisi hutan ini. Setelah aku menyelesaikan urusanku di sini, maka aku akan segera datang.”

“Apakah kepentinganmu di sini itu? Kau adalah orang asing di sini, seperti aku. Kalau kau berhak turut campur di sini, maka aku akan turut campur pula.”

“Setan!” geram Ki Tambak Wedi, “Kau selalu menggangguku.”

“Kau juga selalu mengganggu orang lain.”

“Sekarang menjadi jelas bagiku,” berkata Tambak Wedi itu keras-keras, “Ternyata Sumangkar dan Kiai Gringsing telah sependapat untuk bersama-sama menjerumuskan Jipang ke dalam bencana.”

“Jangan mengigau. Kalau kami, Pajang, benar-benar ingin menghancurkan laskar Jipang, sekarang adalah saatnya. Aku bisa membawa seluruh kekuatan Pajang itu kemari. Mengepung kalian dan menumpas kalian habis-habisan.”

Darah Sanakeling tersirap mendengar kata-kata itu. Benar-benar suatu penghinaan bagi pasukan Jipang. Bukan saja Sanakeling, tetapi terasa sesuatu berdesir pula di dalam dada Sumangkar. Namun Kiai Gringsing itu berkata terus, “Tetapi penjelasan yang demikian adalah penjelasan yang kurang bijaksana. Korban dari pihak Pajang pun pasti tidak akan terhitung lagi, bahkan mungkin separo dari kami tidak akan pernah dapat meninggalkan hutan ini. Dalam penjelasan yang demikian itu, maka dendam akan tertanam dalam-dalam di hati kita masing-masing, sehingga setiap saat akan terungkapkan kembali. Tetapi Ki Gede Pemanahan akan mencoba mencari jalan yang lebih baik. Kecuali bagi mereka yang membangkang. Mereka akan benar-benar dihancurkan, hancur dalam arti lahir dan batinnya.”

Tiba-tiba kata-kata terpotong oleh ledakan hati Sanakeling yang sudah tak tertahankan lagi. Katanya berteriak, “Jangan berkicau seperti orang gila. Jangan kau sangka, kami orang-orang Jipang adalah kelinci-kelinci yang tidak berdaya. Ayo, kerahkan seluruh prajurit Wira Tamtama Pajang. Datangkan orang yang bernama Ki Gede Pemanahan, Ki Penjawi, Juru Martani, Ngabehi Loring Pasar, bahkan Karebet itu sendiri.”

“Tidak Ngger,” sahut Kiai Gringsing. Nada suaranya masih setenang semula. “Itu hanyalah sekedar gambaran yang dahsyat dan mengerikan. Sebaiknya semuanya itu tidak usah terjadi. Aku hormati pendirian Angger Raden Tohpati dan Adi Sumangkar.”

Yang terdengar kemudian adalah gemeretak gigi Sanakeling dan geram Ki Tambak Wedi. Namun mereka berdua masih tegak di tempatnya. Dalam keadaan yang demikian itulah maka ketegangan menjadi semakin memuncak.

Perdebatan itu seolah-olah justru memperkuat pendirian setiap orang di dalam pasukan yang terbagi itu. Karena itu maka mereka menjadi semakin kukuh atas pilihan masing-masing.

Dalam pada itu Sumangkar sempat membuat penilaian atas keadaan itu. Seandainya saat ini ia mulai, maka keadaan Sanakeling sudah sedemikian lemahnya. Ki Tambak Wedi pasti sudah tidak akan membantu Sanakeling lagi, karena kehadiran Kiai Gringsing. Namun ketika orang tua itu berpaling, melihat orang-orang Jipang di halaman gubug itu berdiri dengan tegangnya, maka hatinya berdesir. Ia tidak akan sampai hati melihat mereka saling berkelahi, saling membunuh setelah mereka sehari penuh berperang bersama-sama di bawah kibaran satu panji-panji. Karena itu Sumangkar kini masih saja berdiri dalam keragu-raguan.

Tak seorang pun yang segera dapat mengambil keputusan, apakah yang sebaiknya dilakukan. Sanakeling pun tidak. Ia adalah seorang prajurit yang biasa membuat penilaian atas kawan dan lawan. Kali ini pun demikian pula. Ia menyadari bahwa dengan kehadiran Kiai Gringsing, maka ia tidak akan segera berhasil menangkap apalagi membinasakan Sumangkar.

Dalam pada itu, Sumangkar ternyata jauh lebih mengendap dari Sanakeling. Mencoba membuat pemecahan sementara atas persoalan yang dihadapinya. Karena ia tidak sampai hati melihat benturan di antara mereka yang selama ini telah bersama-sama hidup dalam satu lingkungan, maka katanya, “Angger Sanakeling. Kalau pendirian kita sudah tidak dapat bertemu, maka baiklah kita memilih jalan kita masing-masing. Dengan demikian, kita akan menghindari pertumpahan darah di antara kita. Seterusnya, biarlah kita serahkan pada perkembangan keadaan.

Sanakeling menggeram mendengar kata-kata Sumangkar itu. Ia mengerti benar maksudnya. Meskipun dengan demikian ia tidak harus bertempur melawan orang tua itu; namun hatinya sakit bukan kepalang. Sebenarnya ia ingin menangkap Sumangkar; menyumbat mulutnya dengan tangkai pedang; dan memukul kepalanya dengan tongkatnya itu sendiri. Tetapi ia menyadarinya; bahwa hal itu tak akan dapat dilakukannya. Apalagi setelah setan tua yang menamakan dirinya Kiai Gringsing yang menurut pengamatan Sanakeling, sikap dan tanggapan Ki Tambak Wedi dan Sumangkar telah meyakinkannya tentang orang itu, hadir pula di tempat itu.

Karena itu, sesaat Sanakeling menjadi ragu-ragu. Ki Tambak Wedi pun tidak berkata sesuatu. Hantu Lereng Merapi itu pun sedang sibuk mempertimbangkan keadaan. Namun kehadiran Kiai Gringsing benar-benar telah merusak rencananya.

Maka satu-satunya kemungkinan yang saat itu paling baik adalah menerima tawaran Sumangkar. Meskipun hal itu berarti kekuatan orang-orang Jipang itu kira-kira tinggal separo, namun yang separo itu masih tetap utuh. Kalau mereka bertempur pada saat itu, maka yang separo itu pun telah jauh berkurang lagi.

Sanakeling yang saat itu merasa memegang pimpinan atas orang-orang Jipang itu segera berkata lantang memecah kesenyapan. “He orang-orang Jipang yang setia. Kali ini aku terpaksa tidak dapat menangkap dan mernbunuh pengkhianat ini. Aku akan memberinya waktu beberapa minggu. Kalau ia beserta beberapa pengikutnya tidak segera menyadari keadaannya, maka dosanya akan kami persamakam dengan orang-orang Pajang. Setiap kali kita bertemu, di mana dan kapan saja, maka mereka pasti akan kami penggal kepala mereka itu.”

Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Ia menyadari bahwa di samping dendam yang telah ada, maka Sanakeling pasti akan menyebarkan bibit-bibit dendam yang baru. Dan bibit-bibit yang demikian itu pasti akan cepat tumbuh dan berkembang. Jauh lebih cepat dari setiap bibit kebaikan dan kebajikan. Seperti bibit alang-alang, maka bibit dendam itu segera menjadi rimbun, sedang bibit kebajikan akan tumbuh dan berkembang sangat lambat seperti pohon anggrek. Namun apabila keduanya kelak berbunga, maka alangkah indahnya bunga anggrek itu dan alangkah tidak berharga bunga rumput alang-alang. Setiap orang akan menghindarinya dan apabila tak ada jalan lain, maka bunga rumput alang-alang akan terinjak-injak kaki.

Tetapi ia tidak mencegah saat itu. Kalau ia mempergunakan kekerasan maka korbannya akan terlampau banyak. Ia mengharap bahwa orang-orang yang berpihak kepada Sanakeling pun kelak akan menyadari dirinya, dan datang kepadanya dengan penyesalan dan kesadaran.

Demikianlah Sumangkar kemudian melihat Sanakeling melangkah dan membungkuk mengambil pedangnya. Sesaat kemudian dipandanginya para pemimpin Jipang yang lain. Sesaat mereka menjadi ragu-ragu, namun kemudian terdengar Sanakeling berkata kepada mereka, “Akulah kini pemimpinmu. Siapa yang setia pada sumpahnya sebagai seorang prajurit, ikutlah aku. Aku perintahkan kepadamu sekalian, ikuti aku dan para prajurit yang sadar akan harga dirinya.”

Sumangkar sama sekali tidak memotong kata-kata Sanakeling. Dibiarkannya para pemimpin itu memilih pihak. Namun sesaat mereka masih tetap berdiri di tempat mereka masing-masing.

Sanakeling menggeretakkan giginya melihat keragu-raguan itu. Dengan kerasnya ia berteriak, “Ikuti aku!”

Tiba-tiba dari antara para pemimpin itu terdengar Alap-alap Jalatunda bertanya, “Ke mana?”

Sanakeling terdiam sesaat. Ia menjadi bingung ke mana? Ya, kemana ia akan pergi? Tetapi menurut perhitungannya, memang seharusnya mereka meninggalkan tempat itu. Tempat itu telah diketahui oleh Kiai Gringsing yang nyata-nyata memihak kepada Pajang bahkan utusan senapati muda yang bernama Untara. Tampat itu telah dikenal baik-baik segala sudut-sudutnya oleh Sumangkar yang menurut penilaian Sanakeling telah berkhianat. Tetapi ke mana?

Dalam kebimbangan itu terdengar Ki Tambak Wedi berkata dengan suara parau penuh kebencian. “Mari Ngger. Kita pergi bersama-sama. Padepokan Tambak Wedi akan cukup luas menampung kalian. Jangan cemas, bahwa kekuatan kalian benkurang. Kekuatan kalian segera akan pulih kembali setelah Tambak Wedi dan Sidanti berbuat sesuatu.”

Kata-kata Tambak Wedi yang diucapkan pada saat Sanakeling sedang diliputi oleh kebimbangan itu, merupakan satu-satunya kemungkinan baginya. Karena itu tanpa berpikir panjang segera ia menyahut, “Baik. Aku akan pergi bersama Kiai.” kemudian kepada para pemimpin Jipang ia berkata, “Tinggallah bersama pengkhianat ini siapa yang akan berkhianat.”

Sanakeling itu kemudian tidak berkata sepatah kata pun lagi. Segera ia melampui tlundak pintu dan berjalan ke arah Ki Tambak Wedi di antara kedua laskarnya yang terbelah. Dengan langkah yang tetap ia berjalan seperti seorang senapati yang berangkat ke medan perang.

Ki Tambak Wedi pun kemudian berjalan pula di samping Sanakeling itu. Sekali-sekali ia berpaling melihat orang-orang yang akan pergi mengikutinya.

Sesaat para prajurit itu tidak ada yang bergerak dari tempatnya. Masing-masing dicengkam oleh perasaan yang sangat aneh. Tiba-tiba terasa betapa beratnya berpisah di antara mereka setelah bertahun-tahun mereka berada dalam satu lingkungan, dan setelah sekian lama mereka mengalami nasib yang bersama pula. Ketika mereka meninggalkan Jipang, masuk ke dalam hutan belukar dan berjalan dari satu tempat ke tempat yang lain, bertempur, merampok, dan bahkan berbuat seribu macam kejahatan, mereka seolah-olah merasa bahwa tak akan ada kekuatan satu pun yang memisahkan mereka kecuali maut. Namun perpisahan itu kini terjadi. Pendirian mereka ternyata pecah di jalan.

Yang pertama-tama bergerak adalah Alap-alap Jalatunda. Betapa keragu-raguan mencengkam dadanya, namun ia tidak dapat datang ke Sangkal Putung dan menyerahkan dirinya kepada Agung Sedayu.

Meskipun secara pribadi ia belum pernah mengenal anak muda itu, tetapi pertemuannya yang pertama di Macanan di sekitar tikungan Randu Alas dan kemudian dalam pertempuran di sebelah barat Sangkal Putung, telah membentuk dendam yang dalam di dalam hati Alap-alap yang masih muda, semuda Agung Sedayu itu sendiri. Kekeliruannya menilai Agung Sedayu telah rmembakar dadanya, sehingga seakan-akan ia berjanji kepada dirinya sendiri, bahwa pada suatu ketika ia harus menemukan kekuatan yang akan dapat melampaui kekuatan Agung Sedayu.

Tetapi kepada Sidanti, Alap-alap Jalatunda pun sama sekali tidak menaruh hormat. Bahkan betapa kebencian menyala di dalam dadanya, sejak ia mendengar cara Sidanti membunuh Plasa Ireng. Bagaimanapun juga, terasa kebuasan Sidanti atas Plasa Ireng saat itu seolah-olah telah menggores kulitnya sendiri. Kini ia harus datang kepada anak muda yang telah dengan kejamnya membunuh salah seorang kepercayaan prajurit Jipang.

Tetapi ia tidak punya pilihan lain. Kedua-duanya tidak menyenangkan. Kedua-duanya bagi Alap-alap Jalatunda mempunyai keberatannya masing-masing. Tetapi Sidanti masih lebih asing lagi baginya. Karena itu, maka dipilihnya berpihak kepada Sanakeling yang akan membawanya ke padepokan Tambak Wedi. Menurut tangkapan perasaannya, di sana para prajurit Jipang ini akan bergabung dengan orang-orang Ki Tambak Wedi, atau semacam laskar yang akan dibentuknya. Tetapi apabila kedua pasukan itu kemudian digabungkan, siapakah pemimpin tertinggi dari pasukan itu? Sanakeling atau Sidanti?

Menurut penilaian Alap-alap Jalatunda, Sidanti dan Sanakeling memiliki kekuatan yang seimbang. Keduanya setingkat di bawah Macan Kepatihan dan hanya sedikit sekali di atas Plasa Ireng. Namun di dalam lingkungan yang baru itu kemudian ada Ki Tambak Wedi yang langsung turut campur ke dalam lingkungan kelaskaran. Bukan sekedar seorang juru masak seperti Sumangkar.

Demikianlah, dalam keragu-raguan itu Alap-alap Jalatunda berjalan terus. Namun langkahnya tidak setetap Sanakeling. Sekali-sekali Alap-alap Jalatunda itu menundukkan wajahnya, dan sekali-sekali terbayang masa-masa yang pernah dialaminya, selama ia menjadi prajurit Jipang. Belum lama ia diterima sebagai wira tamtama khusus dari Jipang. Tiba-tiba Jipang pecah, dan ia harus ikut serta bersama pasukannya menghilang dari kota, masuk-keluar hutan dan desa-desa, turun-naik jurang dan lereng-lereng pegunungan. Kini ia akan terdampar ke lereng Gunung Merapi, ke padepokan Ki Tambak Wedi yang masih asing baginya. Bekerja bersama dengan seorang anak muda yang bernama Sidanti.

“Hem,” Alap-alap Jalatunda menarik nafas.

Namun ketika orang-orang yang masih berdiri termangu-mangu melihat Alap-alap itu berjalan mengikuti Sanakeling maka mereka yang sejak semula berketetapan hati untuk tetap dalam petualangan sambil berbangga diri sekedar karena mereka mempertahankan harga diri menurut penilaian yang sempit, segera mengikutinya. Beberapa orang pemimpin segera berloncatan sambil berpaling, memandang dengan penuh kebencian kepada kawan-kawan mereka yang masih tegak di tempatnya. Para prajurit pun segera melangkah pula di belakang pemimpin-pemimpin mereka. Beberapa orang prajurit yang mempunyai simpanan-simpanan berharga di dalam kemah-kemah mereka, segera berloncatan singgah kedalam kemah, mengambil yang mereka rasa perlu untuk dibawa. Tetapi sebagian dari mereka sama sekali tidak lagi menghiraukan beberapa lembar kain yang tertinggal di dalam kemah-kemah mereka, asal senjata-senjata mereka telah di tangan.

Lembaran-lembaran kain dan baju akan mereka dapatkan di sepanjang jalan yang akan mereka Ialui. Setiap rumah pasti akan membuka pintu lebar-lebar bagi mereka. Setiap rumah akan menyediakan apa yang mereka perlukan. Makan, minum bahkan pakaian.

Tetapi apa yang mereka sediakan itu sama sekali bukan karena mereka pendukung-pendukung yang setia dari orang-orang Jipang itu, bukan mereka serahkan dengan ikhlas. namun karena di hadapan hidung mereka berkilat-kilat ujung-ujung pedang dan tombak.

Tetapi bagi orang-orang yang sedang berpetualang itu, sama sekali tak ada bedanya. Apakah semunya itu diserahkan dengan ikhlas, atau tidak, namun apa yang mereka terima akan dapat mereka pergunakan sebaik-baiknya.

Maka sesaat kemudian, orang-orang Jipang itu seolah-olah mengalir meninggalkan halaman yang kotor dari gubug pimpinan perkemahan itu. Semakin lama semakin panjang. Di ujung barisan berjalan Sanakeling dan Ki Tambak Wedi seperti sepasang pahlawan yang sedang diarak menuju ke medan perang. Kemudian di belakangnya berjalan Alap-alap Jalatunda yang dikejar-kejar oleh kebimbangan. Kemudian beberapa pemimpin yang lain dan para prajurit yang merasa dirinya seolah-olah pejuang-pejuang yang segan berkhianat atas perjuangannya. Tetapi mereka sama sekali tidak berpijak pada dunia kenyataan yang sedang mereka hadapi serta perkembangan keadaan di sekitar tempat mereka bersembunyi.

Akhirnya orang-orang Jipang itu semakin lama menjadi semakin sedikit. Separo dari mereka telah meninggalkan mereka di tengah-tengah hutan yang gelap pekat. Yang tampak kemudian hanyalah sinar-sinar obor di kejauhan di antara kepadatan pohon-pohon raksasa dan gerumbul-gerumbul perdu.

Ketika obor-obor itu telah hilang di balik dedaunan, serta debar jantung setiap orang yang tinggal di tempat itu telah merada, maka berkatalah Sumangkar kepada orang-orang Jipang yang masih tinggal, “Tenangkan hati kalian. Aku dapat merasakan, peristiwa merupakan suatu goncangan yang dahsyat di dalam setiap dada kalian masing-masing. Baik yang pergi maupun yang ditinggalkan. Tetapi penilaian kita jelas telah bersimpangan. Karena itu adalah baik kita berpisah jalan daripada kemudian kita akan menemui kesulitan-kesulitan yang terus-menerus.”

Sumangkar terdiam sesaat. Ketika diawasinya setiap wajah para pemimpin yang masih tinggal, Sumangkar masih melihat keragu-raguan membayang di wajah-wajah mereka.

Tetapi keragu-raguan di dalam setiap dada para pemimpin Jipang itu adalah wajar. Baru saja mereka terlibat dalam perang gelar yang dahsyat, dengan korban yang cukup banyak di kedua belah pihak. Apakah mereka akan segera dapat menghilangkan segala kesan dari permusuhan mereka itu? Apakah benar orang-orang Pajang tidak mendedamnya dan kemudian mengikat mereka di belakang kereta yang dipacu secepat angin? Benarkah mereka akan dihadapkan pada suatu penilaian yang tidak dipengaruhi oleh demdam dan benci?

Dalam pada itu terdengar Sumangkar berkata, “Marilah kita mencoba menenteramkan hati kita. Marilah kita tidak berprasangka. Aku mendengar berita pengampunan itu dari Angger Untara sendiri pada saat Angger Macan Kepatihan menghembuskan nafas terakhir. Aku harap Kiai Gringsing menjadi saksi atas kata-kata yang keluar dari mulut senapati Pajang yang dipercaya oleh Ki Gede Pemanahan, yang justru pesan itu datang dari ki Gede Pemanahan sendiri.”

Namun Sumangkar masih melihat wajah-wajah yang penuh kebimbangan. Bagaimanapun juga mereka adalah prajurit-prajurit yang senjata-senjata mereka telah pernah dibasahi oleh darah orang-orang Pajang. Bagaimanapun juga hati mereka sendiri selalu berkata kepada mereka, bahwa permusuhan itu pernah terjadi dengan dahsyatnya.

Sumangkar yang merasa tidak segera dapat memberi keyakinan yang pasti kepada para pemimpin Jipang itu kemudian berkata, “Malam ini aku akan pergi ke Sangkal Putung bersama Kiai Gringsing untuk mendapatkan jaminan, bahwa segala sesuatu akan berlangsung dengan baik.”

Para pemimpin Jipang dan pada prajurit itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka sependapat dengan Sumangkar bahwa salah seorang dari mereka harus menemukan jalan yang datar sebelum semuanya berlangsung, supaya mereka tidak menyesal kelak apabila ada persoalan-persoalan yang tumbuh tanpa mereka kehendaki.

“Apakah kalian sependapat?” bertanya Sumangkar.

“Baik Kiai,” sahut salah seorang dari mereka. “Kami sependapat, bahwa Kiai akan mencari jalan yang sebaik-baiknya bagi kami semuanya. Kami percaya kepada Kiai.”

“Terima kasih,” berkata Sumangkar dengan dada berdebar-debar. Ia terharu bahwa dalam saat yang pendek ia berhasil mendapatkan kepercayaan dari orang-orang Jipang itu. Selama ini sebagian besar dari mereka mengenal Sumangkar tidak lebih dari seorang juru masak yang tua yang hampir-hampir tidak mampu lagi melakukan tugasnya, bahkan ada yang menyangkanya sebagai seorang juru masak yang malas.

Namun sebelum Sumangkar itu berangkat meninggalkan perkemahan itu, maka ia berpesan, “Tetapi meskipun kalian mengharap bahwa kalian akan meninggalkan petualangan yang dipenuhi dengan noda-noda darah dan air mata di antara rakyat yang tidak berdosa, namun kalian masih berhak untuk mempertahankan diri kalian dalam saat-saat yang pendek ini. Kalian masih akan menghadapi kemungkinan yang tidak kalian duga-duga. Sepeninggalku jangan lengah. Isilah setiap gardu-gardu peronda. Kalian harus mampu menyelamatkan diri menghadapi setiap bahaya. Apabila bahaya itu sangat besar dan jauh dari kemampuan daya tahan kalian, maka kalian dapat menyelamatkan diri kalian di antara gelapnya malam. Aku pasti sudah kembali sebelum fajar.”


Para pemimpin Jipang yang tinggal itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka merasa bahwa malam ini justru bahaya dapat datang dari setiap penjuru. Apabila Untara ingkar janji, apalagi bahwa pernyataannya itu hanya sekedar pancingan saja, maka malam itu juga, selambat-lambatnya besok pagi-pagi, mereka pasti akan dilanda oleh arus yang dahsyat dari laskar Pajang. Untara pasti tidak akan menunggu mereka datang menyerahkan diri, supaya ia mendapat alasan untuk berbuat menurut seleranya. Tak ada seorang pun yang akan mencoba mencari jawab, atas sebab-sebab dari kematian seseorang yang sedang berperang. Orang-orang Pajang dapat membunuh lawannya seperti menebas hutan alang-alang. Tetapi apabila orang-orang Jipang itu datang menyerah, maka persoalannya akan berbeda. Tanpa janji pengampunanpun, maka perlakuan atas orang-orang yang sudah menyerah akan berbeda dari mereka yang ditemukan dalam medan, selagi pedang masih terhunus dan tali busur masih merentang.

Sedang dari sisi lain, mereka masih harus memperhatikan kemarahan Sanakeling atas mereka. Sanakeling adalah seorang prajurit yang seakan-akan tidak bekerja dengan otaknya. Ia kurang mampu berpikir dan memperhitungkan masalah-masalah di luar masalah-masalah keprajuritan. Itulah sebabnya ia tidak dapat diajak untuk berbicara dalam masalah-masalah yang lain. Kemungkinan-kemungkinan yang dapat ditempuh. Penyelesaian yang tidak usah mempergunakan tajam senjata. Persoalan manusia dan kemanusiaan. Ia tidak dapat mendengar tangis seorang isteri yang kehilangan suaminya di medan peperangan. Baginya adalah hina bagi seorang prajurit yang tertegun hanya karena tangis seorang bayi yang terlepas dari pelukan ibunya yang ketakutan mendengar dentang senjata beradu.

Tetapi para prajurit Jipang yang tinggal itu percaya kepada Sumangkar. Percaya kepada harapan yang dijanjikan. Karena itu, maka mereka akan melakukan segala perintahnya.

Sebelum Sumangkar itu meninggalkan mereka, maka ia masih memerlukan berpesan kepada orang-orang Jipang itu, “Peliharalah jenazah Angger Tohpati sebaik-baiknya. Besok apabila aku telah kembali di antara kalian, maka akan kita selenggarakan pemakamannya.”

“Baik Kiai,” jawab salah seorang dari mereka.

“Terima kasih,” sekali lagi Sumangkar menjadi terharu.

Apabila kemudian malam bertambah malam, maka Sumangkar dan Kiai Gringsing berjalan dengan tergesa-gesa meninggalkan perkemahan itu menuju ke Sangkal Putung. Mereka mengharap bahwa mereka akan segera menemukan cara yang sebaik-baiknya untuk menyelesaikan masalah orang-orang Jipang yang ingin meninggalkan cara bidup yang selama ini ditempuhnya.

Pada saat-saat orang-orang Jipang disibukkan oleh pertentangan pendirian, maka pada saat itu orang-orang Pajang disibukkan oleh mereka yang terluka di medan pertempuran. Orang yang terluka itu baik kawan maupun lawan, telah diangkut ke Banjar Desa Sangkal Putung. Pengawasan atas orang-orang yang luka itu dilakukan oleh Untara dan Widura sendiri. Mereka melihat wajah-wajah yang dendam pada anak buah mereka sendiri. Mereka yang kehilangan saudaranya, yang berada bersama-sama dalam lingkungan keprajuritan Pajang, dan mereka yang merasa, betapa korban berjatuhan di -kalangan sendiri.

Orang-orang yang demikian kadang-kadang sering kehilangan kesabaran dan pengamatan diri, sehingga terhadap lawan yang terluka, maka mereka akan dapat melakukan hal-hal di luar dugaan para pemimpin laskar Pajang.

Bahkan Hudaya, orang yang sudah cukup mengendap itu pun seakan-akan telah kehilangan kesadaran diri, menghadapi orang-orang Jipang. Karena itu, dengan bijaksana Untara telah membawa orang-orang yang demikian itu dahulu ke Sangkal Putung untuk beristirahat. Tewasnya Citra Gati telah membuat suatu goncangan yang dahsyat di dalam hati sahabatnya itu, sehingga dendam di dalam hatinya seakan-akan menyala membakar seluruh nadinya. Bagi Hudaja yang terluka dan kehilangan sahabat yang paling dekat itu, tidak ada angan-angan lain di dalam benaknya kecuali membinasakan semua orang Jipang.

Karena itulah maka kali ini Untara dan Widura menjadi sangat prihatin melihat suasana di dalam pasukannya. Pada pertempuran-pertempuran yang lalu, korban di pihaknya tidak terlampau berat seperti apa yang baru saja terjadi, sehingga hati anak buahnya tidak sepanas pada saat itu. Pertempuran gelar yang sempurna dan tata peperangan yang masing-masing dikendalikan oleh senapati-senapati yang matang, telah menjadikan pertempuran kali ini menjadi suatu pertempuran yang tak akan pernah mereka lupakan. Baik oleh orang-orang Jipang, maupun orang-orang Pajang.

Untara dan Widura sendirilah yang kemudian menunggui orang-orang yang terluka di banjar desa. Di satu gandok tampak orang-orang Pajang terbaring dengan darah yang memerahi tubuh dan pakaian mereka, sedang di gandok yang lain terbaring orang-orang Jipang yang masin mungkin ditolong hidupnya, merintih menahan pedih yang membakar dirinya.

Namun terhadap para juru penolong, Untara dan Widura tidak dapat berbuat banyak. Betapa mereka bekerja demi perikemanusiaan. Namun menghadapi pihak-pihak yang terluka itu, mereka lebih dahulu memerlukan menolong kawan mereka sendiri, orang-orang Pajang. Baru kemudian mereka menjamah tubuh-tubuh yang terbaring sambil menahan pedih dari pihak lawan. Orang-orang Jipang.

Beberapa prajurit yang bertugas berjaga-jaga di halaman pendapa memandangi orang-orang Jipang itu dengan benci. Bahkan ada di antara mereka yang tidak dapat mengerti, buat apa mereka mencoba mengobati luka-luka orang-orang Jipang itu? Mungkin salah seorang dari mereka, atau bahkan mungkin semuanya dari mereka itu, telah membunuh atau melukai orang-orang Pajang. Mungkin mereka itu pulalah yang telah menembus tubuh-tubuh orang Pajang yang kini terbaring di sisi yang lain itu, dengan senjata-senjata mereka.

Tetapi pemimpin mereka, beserta beberapa orang yang masih dapat menguasai perasaan mereka, di antara orang-orang Pajang dan orang-orang Sangkal Putung, masih mencoba berbuat dalam batas-batas perikemanusiaan. Perang itu sendiri, sebagai suatu cara terakhir untuk menyelesaikan perbedaan pendirian, tidak boleh terperosok dalam perbuatan-perbuatan yang menodai perikemanusiaan dalam kemungkinan yang sejauh-jauhnya dapat dilakukan. Bahkan apabila mungkin perang itu sendiri harus dihindarkan. Sebab betapa orang yang berhati bening mencoba berbuat sebaik-baiknya di dalam perang, namun perang sendiri hampir sama artinya dengan maut, kekerasan dan kebencian serta menaburkan benih dendam di mana-mana.

Ketika mereka, orang-orang Pajang itu sedang sibuk di pendapa banjar desa, maka para penjaga dikejutkan oleh sebuah bayangan yang berjalan tertatih-tatih mendekati halaman. Para penjaga di regol halaman yang melihat bayangan itu segera menyapanya, “He, siapa?”

“Aku,” terdengar sebuah jawaban.

Bayangan itu semakin lama semakin dekat menyusur pinggiran alun-alun di muka banjar desa. Dan semakin dekat, semakin jelas pulalah bagi para penjaga itu, bahwa bayangan itu bukanlah bayangan seorang saja, tetapi bayangan itu adalah bayangan seorang yang sedang memapah orang lain di sisinya.

Sekali lagi terdengar sapa dari para penjaga, “Siapa?”

“Agung Sedayu,” jawab bayangan itu.

“O,” guman penjaga itu. Namun tiba-tiba ia bertanya pula, “Siapa yang terluka?”

Agung Sedayu, yang datang dengan seorang yang ditemuinya di dalam hutan, tidak dapat menjawab. Orang yang dipapahnya itu setelah mendapat seteguk air, meskipun air dari sebuah parit, menjadi agak segar dan mampu berjalan sambil bergantung pundak Agung Sedayu. Dan orang itu belum dikenal siapa namanya. Karena itu maka Agung Sedayu menjawab, “Aku belum mengenal namanya.”

“He?” penjaga itu terkejut, “Kenapa belum kau kenal namanya?”

Agung Sedayu tidak segera menjawab. Perlahan-lahan ia berjalan terus sambil membantu orang yang terluka itu.

“Panggil aku Supa,” desis orang itu, perlahan-lahan.

“O,” gumam Agung Sedayu.

Namun kemudian ia berkata, “Nama apa pun yang akan aku sebutkan, kesannya bagi mereka akan sama saja. Mereka pasti belum mengenal nama itu.”

Orang yang terluka menjadi berdebar-debar. Apakah orang-orang Pajang akan menerima kehadirannya di antara mereka?

Tetapi orang Jipang itu tidak menyatakan kecemasannnya. Bahkan kemudian ia menjadi pasrah. Kalau ia mati, maka kematian itu adalah wajar. Seandainya salah seorang prajurit Pajang kemudian menyambutnya dengan tusukan tombak di lambungnya, maka ia tidak akan merasa kehilangan lagi. Nyawanya yang sekarang seakan-akan bukan miliknya, tetapi milik Agung Sedayu. Seandainya Agung Sedayu tidak membawanya, maka ia pun akan mati oleh anjing-anjing liar sebelum ia menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Bulu kuduk orang Jipang itu terasa berdiri. Alangkah mengerikan. Selagi ia masih hidup, beberapa ekor anjing hutan berpesta dengan dagingnya. Tetapi kalau ia mati dengan tombak menghujam di dadanya, maka ia akan mati sebagai seorang prajurit.

Agung Sedayu yang kini berdiri beberapa langkah saja dari para penjaga itu berhenti. Salah seorang dari penjaga itu bertanya, “Benarkah kau Adi Sedayu?”

“Lihatlah dengan seksama,” sahut Agung Sedayu.

“Yang terluka itu?”

Agung Sedayu tidak mau menjawab dengan berbelit-belit. Maka katanya, “Namanya Supa, orang Jipang.”

Orang di regol halaman itu serentak mengulangi kata-kata Agung Sedayu, “Orang Jipang?”

“Ya, aku temukan orang ini terluka di dalam hutan. Untunglah aku masih sempat menolongnya dan memberinya air, sehingga kemungkinan untuk hidup baginya menjadi semakin besar.”

Para prajurit Pajang dan beberapa anak muda Sangkal Putung justru terdiam. Mereka dicekam oleh perasaan heran tiada taranya. Mereka melihat, betapa Agung Sedayu masih sempat memapah orang Jipang dari hutan sampai ke halaman ini. Bukankah itu suatu pekerjaan sulit?

Tiba-tiba dari antara beberapa orang yang berjaga-jaga di regol halaman itu terdengar salah seorang berkata, “Hem, Kakang Sedayu, buat apa kau bawa monyet itu ke mari?”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Suara itu dikenalnya benar. Apalagi ketika ia melihat seorang yang bertubuh gemuk bulat melangkah maju dari antara orang-orang yang kemudian berkerumun di depan regol. Namun betapa kecewa hati Agung Sedayu mendengar pertanyaannya. Ia tidak akan menyesal, bahkan sama sekali tidak mempengaruhi perasaannya apabila pertanyaan itu meluncur dari orang lain. Bukan anak muda yang gemuk bulat dan bernama Swandaru Geni itu.

“Kakang,” berkata Swandaru seterusnya, “buat apa kau bawa orang sakit-sakitan itu. Lihat, di sini telah terkapar berpuluh-puluh orang semacam itu. Seandainya bukan Paman Widura dan Kakang Untara yang menunggui mereka langsung, maka mereka itu sama sekali tak akan berguna bagi kami. Apalagi bagi rakyat Sangkal Putung. Coba, siapakah yang memberi mereka makan? Beras siapakah? Sedang mereka telah mencoba menghancurkan Sangkal Putung ini?”

Agung Sedayu menarik napas. Swandaru adalah pemimpin dari segenap anak-anak muda Sangkal Putung. Kalau ia tetap pada pendiriannya, bahwa tidak pantas untuk membawa orang Jipang yang terluka itu, maka akan sulitlah baginya untuk menghadapinya. Semua anak-anak muda pasti akan sependirian dengan Swandaru, dan menolak orang Jipang itu. Bahkan mungkin mereka akan melakukan perbuatan-perbuatan di luar kehendak mereka sendiri.

Karena itu, Agung Sedayu harus segera menemukan jalan, sehingga Swandaru dapat di atasinya. Maka dengan serta merta Agung Sedayu menjawab, “Adi Swandaru, apa yang aku lakukan ini adalah atas perintah guru kita, Kiai Gringsing.”

Kini Swandaru-lah yang mengerutkan keningnya. Tampaklah wajahnya menjadi tegang. Cahaya obor di kejauhan membuat wajah itu menjadi merah, semerah bara.

Tapi Swandaru tidak dapat berbuat lain kecuali menghempaskan nafasnya. Betapa hatinya menggelegak, namun jawaban Agung Sedayu telah menutup setiap kemungkinan baginya untuk berbuat sesuatu. Sebab apa yang dilakukan oleh Agung Sedayu adalah karena perintah gurunya.

“Hem,” desah anak muda yang gemuk bulat itu. Tetapi ia tidak berkata sepatah katapun. Bahkan kemudian ia segera menyelinap kembali ke dalam kerumunan orang-orang di regol, seakan-akan ingin membenamkan kemarahannya ke dalam linkungan orang banyak.

Tetapi demikian Swandaru menghilang, maka tampaklah seseorang dengan tergesa-gesa menyibak orang-orang yang berdiri di regol itu sambil berkata, “Mana orang Jipang itu?”

Agung Sedayu terkejut mendengar kata-kata itu. Dari antara orang yang berdiri itu sekali lagi ia melihat seseorang melangkah maju.

“Hem,” katanya, “rupa-rupanya kau membawa oleh-oleh buat kami.”

Agung Sedayu sekali lagi mengerutkan keningnya. Sebelum ia sempat menjawab orang itu berkata pula, “Di dalam banjar desa banyak juga orang-orang Jipang yang bergelimpangan menunggu maut mencekik mereka. Tetapi orang-orang itu ditunggui langsung oleh Untara dan Widura. Nah, sekarang ada orang lain yang kau bawa kemari. Jangan kau bawa masuk ke pendapa. Serahkan orang itu kedaku. Aku ingin mendapat ganti Kakang Citra Gati yang gugur di pertempuran.”

“Akan kau apakan orang ini Paman Hudaya?” bertanya Agung Sedayu.

“Aku ingin mencincangnya,” sahut Hudaya.

Agung Sedayu merasa orang yang menggantung di pundaknya itu menggeliat perlahan-lahan, tetapi ia segera menggamitnya.

“Paman,” berkata Agung Sedayu, “aku membawa orang ini atas perintah Kiai Gringsing.”

“Persetan dengan Kiai Gringsing! Aku tidak berkepentingan dengan Kiai Gringsing,” berkata Hudaya tegas. “Aku inginkan orang itu.”

Agung Sedayu tidak segera dapat menjawab kata-kata Hudaya itu. Terasa bahwa keadaan Hudaya yang terluka itu tidak wajar. Ia sedang diliputi oleh suasana tegang, hilangnya sahabatnya Citra Gati serta dirinya sendiri yang terluka. Karena itu maka hati Hudaya itu pun sedang dibalut oleh dendam yang pekat.

Tetapi sama sekali tidak terlintas di dalam otak Sgung Sedayu untuk menyerahkan orang yang dibawanya itu. Ia membawanya dengan harapan untuk menolong jiwanya, apalagi kemudian telah diperkuat oleh perintah gurunya. Sedangkan apabila orang itu sampai ke tangan kakaknya atau pamannya, maka masih mungkin orang itu di selamatkan dari kemarahan para prajurit Pajang.

Ketika Agung Sedayu sedang berpikir terdengar kembali suara Hudaya, “Ayo, serahkan kepada kami.”

“Paman,” berkata Agung Sedayu hati-hati. “Aku memang akan menyerahkan orang ini, tetapi setelah Paman Widura mengetahuinya. Bukankah pimpinan pasukan Pajang di sini adalah paman Widura.”

Hudaya menggeram. Namun kemudian ia menjawab, “Kakang Widura adalah pimpinan prajurit Pajang dalam hubungan resmi. Tetapi aku kehendaki orang itu justru sebelum diketahui oleh Kakang Widura, sehingga orang itu belum menjadi seorang tawanan.”

Agung Sedayu menjadi ragu-ragu. Apakah yang harus dilakukannya supaya orang itu dapat dilihat oleh pamannya? Apakah ia akan memaksa berjalan terus memasuki halaman banjar desa? Apakah ia harus berteriak-teriak memanggil?

Belum lagi ia menemukan jawabnya, Hudaya telah melangkah maju. Terdengar suara tertawanya yang mengerikan. Suara itu seolah-olah bukan suara Hudaya yang selama ini dikenalnya. Ya, tiba-tiba Agung Sedayu ingat, apa yang telah pernah dilakukan oleh Sidanti. Ia mendengar dari beberapa orang yang menyaksikan, bahkan Hudaya pun pernah berkata kepadanya, bagaimana Sidanti membunuh Plasa Ireng. Menikamnya bertubi-tubi, membelah punggungnya dengan goresan-goresan yang dalam, berdiri di atas mayat itu sambil menepuk dada.

Bulu-bulu Agung Sedayu serentak berdiri. Mengerikan. Kini ia melihat seolah-olah Sidanti itu datang kembali sambil tertawa.

“Serahkan kepadaku supaya aku tidak mendendammu pula,” berkata Hudaya. Tetapi nada suaranya benar-benar mengerikan seperti suara hantu dari dalam kubur.

Namun tiba-tiba bersama dengan itu, merayap pulalah perasaan benci Agung Sedayu kepada Sidanti, kepada sikapnya, kepada perbuatannya. Kini ia melihat Hudaya itu bersikap dan berbuat seperti apa yang pernah dilakukan oleh Sidanti. Karena itu tiba-tiba Agung Sedayu melangkah surut selangkah. Terdengar ia berkata tegas, “Paman Hudaya, Aku tidak akan menyerahkan orang ini kepada siapa pun juga. Tidak kepada paman Hudaya dan tidak kepada orang lain. Aku hanya akan menyerahkan kepada Paman Widura. Kalau Paman Widura akan membunuhnya itu adalah haknya, apabila ternyata menurut Paman Widura, tidakan itu adalah tindakan yang seadil-adilnya. Tetapi pasti tidak dalam keadaan yang serupa ini. Tidak dalam keadaan tidak berdaya.”

Hudaya pun kemudian tertawa pula. Jawabnya, “Kau bukan seorang prajurit. Kau tidak tau apakah yang sebaik-baiknya dilakukan oleh seorang prajurit. Sebelum orang ini sampai pada orang yang berwenang menentukan hukuman atasnya, maka yang berlaku asalah hukuman perang. Setiap prajurit berhak melakukannya. Aku pun berhak. Orang ini dapat aku perlakukan menurut kehendakku. Tempat ini dapat dianggap sebagai medan. Prajurit yang terbunuh di medan perang, nasibnya tidak dipersoalkan lagi.”

“Tidak paman,” sahut Agung Sedayu. “Kita tidak berada di dalam medan lagi. Kita sudah di belakang garis perang.”

“Jangan membantah,” bentak Hudaya yang sudah bermata gelap. Selangkah ia maju lagi sambil berkata, “Kau tahu tentang peperangan. Aku adalah orang tertua sepeninggal Citra Gati. Kalau tidak ada Widura, maka akulah yang berhak memegang atas prajurit Pajang di sini.”

“Tetapi Paman Widura sekarang ada di sini.”

“Ia berada di dalam halaman, sedang kita berada di luar halaman banjar desa. Jangan menjawab lagi, supaya kau tidak aku cincang pula seperti orang Jipang itu.”

“Terdengar Agung Sedayu menggeram. Namun hatinya menjadi semakin keras ketika ia mendengar orang Jipang itu berbisik, “Serahkan saja. Biarlah aku dibunuhnya, supaya kau selamat.”

“Tidak,” geram Agung Sedayu. Kemudian kepada Hudaya ia berkata, “Paman Hudaya, ternyata Paman Hudaya sekarang tidak seperti Paman Hudaya yang aku kenal pertama-tama aku datang. Bahkan tidak seperti Paman Hudaya lusa. Paman Hudaya sekarang ini adalah seorang yang sama sekali berbeda.”

“Tutut mulutmu,” potong Hudaya. “Lepaskan orang itu. Biarkan ia terbaring di tanah. Aku ingin mencincangnya. Kau dengar?”

“Aku dengar,” sahut Agung Sedayu, “Tetapi aku tidak akan melakukannya.”

“He,” mata Hudaya terbelalak. Sinar obor yang lemah seakan-akan telah membakar mata, sehingga memancar kemerah-merahan. “Kau berani membantah perintahku?”

“Kau tidak berhak memberikan perintah itu.”

“Kalau tidak ada Widura, Hudaya adalah orang tertua kau dengar.”

“Aku bukan prajurit Pajang. Aku tidak terkena keharusan untuk mematuhi perintah siapa pun di sini. Kalau aku patuh terhadap Paman Widura, ia adalah pamanku. Dan kalau aku menurut perintah Kakang Untara, karena ia adalah kakakku. Kau bukan pamanku dan bukan ayahku. Kau tidak berhak memberikan perintah itu. Sedangkan orang lain yang berhak memberikan perintah kepadaku adalah Kiai Gringsing, guruku. Dan perintah itu berbunyi, “Selamatkan orang ini.”

Mata Hudaya menyala mendengar jawaban Agung Sedayu. Apalagi ketika Agung Sedayu menegaskan, “Bukankah begitu Paman. Bukankah Paman sendiri tadi mengatakan bahwa aku bukan seorang prajurit.”

Terdengar gigi Hudaya gemeretak. Tiba-tiba Hudaya yang telah menjadi sangat marah itu berkata pula, “Di medan perang kekuasaan berada di tangan prajurit. Setiap orang harus tunduk pada perintah. Kau pun harus tunduk meskipun kau bukan seorang prajurit.”

Agung Sedayu benar-benar menjadi gelisah. Ia tidak akan menyerahkan orang ini, tetapi ia juga tidak ingin berbenturan di antara kawan sendiri. Karena itu Agung Sedayu mencoba untuk mencari cara yang sebaik-baiknya untuk ia yakin, bahwa apabila terpaksa ia harus menarik pedangnya, ia akan dapat membiarkan Hudaya terjatuh sendiri karena kepayahan. Ia dapat membiarkan dirinya diserang tanpa membalas dengan serangan. Kemampuannya akan memungkinkan berbuat demikian sampai Hudaya berhenti sendiri karena kehabisan nafas. Apalagi orang ini telah terluka. Namun dengan demikian akan tertanam bibit kebencian dan dendam di antara sesama mereka.Tetapi terasa juga betapa hatinya meronta. Perbuatan itu adalah perbuatan anak-anak. Tetapi ia harus menemukan cara.

Ketika sekali lagi ia memandangi wajah Hudaya, terasa hatinya berdesir. Wajahnya memang wajah yang gelap dan keras sejak ia melihatnya yang pertama. Tetapi wajah itu tidak pernah tampak seliar kali ini.

Tiba-tiba kembali Agung Sedayu teringat kepada Sindati. Kekerasan dan keliaran yang menyala di wajahnya, bahkan setiap saat. Anak muda itu benar-benar anak muda yang kasar dan liar. Hudaya bukanlah orang yang demikian. Kali ini ia menjadi kasar dan liar karena sebuah kejutan perasaan yang telah menggoncangkan hatinya.

Namun dengan kenangannya atas Sidanti, Agung Sedayu menemukan suatu cara untuk menahan arus kemarahan Hudaya. Ketika ia melihat Hudaya maju selangkah, Agung Sedayu kemudian berkata, “Paman Hudaya, apakah Paman benar-benar tidak dapat mencegah diri?”

“Diam!” bentaknya. “Serahkan orang itu!”

“Apakah Paman akan mencincangnya?”

“Ya, aku akan mencincangnya.”

“Baiklah,” sahut Sedayu.

Terasa orang yang menggantung di pundaknya berdesis, perlahan-lahan ia berbisik ke telinga Agung Sedayu. “Tolong, bunuh aku dahulu. Kau dapat menusuk lambungku dengan pedangmu, supaya aku segera terbunuh sebelum aku merasakan siksaan yang mengerikan.”

“Mudah-mudahan itu tidak terjadi,” sahut Agung Sedayu.

“Apa yang kau katakan?” bertanya Hudaya.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba ia menyahut, “Orang yang bernama Supa ini bertanya, apakah orang inikah yang bernama Sidanti?”

“Setan. Apakah aku akan kau samakan dengan iblis kecil itu? Aku bernama Hudaya. Sama sekali bukan Sidanti. Apakah persamaannya antara Hudaya dan Sidanti, he? Jangan membuat aku bertambah marah.”

“Maaf Paman, ia hanya bertanya.”

“Kenapa kau yang memintakan maaf untuk orang Jipang itu?”

“Maaf Paman, maksudku, pertanyaan itu tidak terlampau salah.”

Sekali lagi mata Hudaya terbelalak. Sekali lagi ia membentak, “Kenapa? Aku bukan Sidanti, tahu!”

“Maksudku,” sahut Agung Sedayu, “Pertanyaan orang ini masuk akal. Sidanti pernah mencincang Plasa Ireng di medan perang setelah ia berhasil membunuh dengan pedangnya. Sekarang orang ini mendengar keinginan yang sama dengan apa yang pernah dilakukan oleh Sidanti itu. Mencincang lawannya. Namun Sidanti mencincang lawan yang telah dibunuhnya sendiri dengan pedangnya di medan perang dan orang itu pada saat hidupnya adalah senopati pengapit di sayap kiri lawan, sedang orang ini adalah seorang prajurit kecil yang tak berarti. Juga tidak terbunuh di medan perang oleh tangan Paman Hudaya sendiri.”

“Cukup!” terdengar suara Hudaya melengking memecah sepi malam, menggeletar memenuhi lapangan dan halaman banjar desa. Betapa suara itu telah mengejutkan hampir setiap orang yang berdiri di regol halaman, maupun di dalam halaman.

Namun Agung Sedayu tidak terkejut. Ia memang mengharap Hudaya marah dan berteriak. Ia mengharap orang-orang yang berada di dalam banjar akan mendengar teriakan itu. Kecuali itu Agung Sedayu masih mempunyai harapan lain. Mudah-mudahan Hudaya menyadari keadaannya.

Ternyata harapan Agung Sedayu kedua-duanya berhasil. Teriakan Hudaya itu telah didengar oleh Untara dan Widura, sehingga dengan tergesa-gesa keduanya turun ke halaman. Tetapi yang lebih penting bagi Agung Sedayu adalah ketika kemudian ia melihat Hudaya itu menundukkan wajahnya. Setelah ia melepaskan tekanan yang menghimpit dadanya dengan sebuah teriakan yang menggelegar, tiba-tiba seakan-akan dadanya menjadi jernih. Tiba-tiba ia teringat pula apa yang pernah dilakukan oleh Sidanti. Alangkah mengerikan. Ia pernah mengutuk habis-habisan di dalam hatinya ketika ia melihat Sidanti membelah punggung Plasa Ireng, kemudian berdiri di atas mayatnya sambil sesumbar. Ia merasa ngeri sendiri. Alangkah buasnya anak itu. Seakan-akan ia telah kehilangan segenap kemanusiaannya. Tiba-tiba dalam kegelapan pikiran hampir-hampir saja ia melakukannya pula. Hampir-hampir saja ia mencincang orang seperti apa yang dilakukan oleh Sidanti itu.

Terasa suatu desir yang tajam menggores jantung Hudaya. Hatinya pun menjadi pedih karenanya, melampaui pedihnya lukanya yang ditimbulkan oleh senjata Sanakeling.

Supa, orang Jipang yang menggantung di pundak Agung Sedayu melihat pula perubahan sikap Hudaya. Bahkan ia melihat Hudaya itu kemudian melangkah mundur. Tetapi Supa itu sama sekali tidak tahu apakah yang bergolak di dalam hati Hudaya.

Ketika Untara dan Widura hadir di tempat itu, Hudaya telah mundur beberapa langkah lagi. Bahkan ia kini telah berdiri di antara para penjaga yang merubungnya.

“Siapakah yang berteriak?”

Agung Sedayu menjadi ragu-ragu untuk menjawab. Apabila ia menyebut nama Hudaya, apakah hati orang itu tidak tersinggung kerenanya? Namun ternyata Hudaya tidak mengingkari keadaannya. Maka katanya, “Aku yang berteriak.”

“Kenapa?” bertanya Widura.

Hudaya menarik nafas. Kemudian jawabnya, “Hampir aku khilaf. Aku akan membunuh orang Jipang yang datang bersama Angger Agung Sedayu. Untunglah Angger Agung Sedayu tidak memberikannya.”

Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Peristiwa itu sendiri ternyata segera dapat di atasi. Tetapi bagaimana dengan janji Untara yang pernah diucapkan pada saat Tohpati meninggal. Untara, atas nama Panglima Wira Tamtama menjanjikan pengampunan bagi mereka yang menyerah. Tanggapan itu sama sekali kurang menyenangkan bagi prajurit. Seperti sikap Hudaya itu adalah suatu gambaran perasaan para prajurit Pajang. Amatlah sulit untuk melenyapkan permusuhan dalam waktu yang pendek. Apalagi pada saat-saat terakhir, korban telah berjatuhan dari kedua belah pihak, sehingga peristiwa itu seakan-akan telah membakar dendam di hati mereka.

Ternyata bukan saja Widura yang menjadi berdebar-debar karenanya. Jawaban Hudaya langsung menyentuh hati Untara pula. Hudaya adalah seorang yang telah cukup mengendap. Seorang yang memiliki pandangan yang cukup luas dan jauh. Tetapi menghadapi orang-orang Jipang dadanya seakan-akan meluap. Apalagi orang-orang lain.

Meskipun demikian Untara masih tetap dalam pendiriannya. Pendirian itu adalah pendirian Panglima Wira Tamtama. Karena itu ia mengharap bahwa ia akan dapat memenuhinya. Namun haruslah diketemukan cara yang sebaik-baiknya, sehingga tidak terjadi peristiwa yang tidak dikehendaki. Orang-orang yang sesat itu datang kembali, namun kawan-kawan sendiri menjadi sakit hati karenanya. Apalagi ada di antara mereka yang hatinya menjadi patah dan kehilangan gairah perjuangan.

Selagi Widura dan Untara masih berdiam diri karena angan-angan mereka, terdengar Hudaya berkata, “Maafkan aku Kakang Widura. Mudah-mudahan aku untuk seterusnya dapat mengekang diri sendiri.”

Widura mengangguk. Jawabnya, “Kau ternyata sedang mengalami goncangan perasaan Hudaya. Beristirahatlah. Mudah-mudahan kau akan mendapat ketentraman hati. Juga agar lukamu tidak menjadi semakin parah karenanya.”

Hudaya mengangguk dalam-dalam. Kemudian sambil melangkah surut ia menjawab, “Baiklah. Mudah-mudahan lukaku segera dapat sembuh. Tetapi sejak tadi aku belum melihat Ki Tanu Metir yang biasanya dapat mengobati luka-luka dengan baik.”

“Ia akan segera kembali, Paman.” sahut Untara.

Hudaya tidak menjawab. Sejenak kemudian ia telah menghilang di antara beberapa penjaga yang berdiri berjejalan dengan beberapa orang prajurit dan anak-anak Sangkal Putung yang ingin melihat peristiwa itu.

Hudaya yang kemudian masuk ke dalam halaman banjar desa langsung pergi ke gandok kanan. Di antara beberapa orang yang terluka ia membaringkan dirinya. Namun angan-angannya terbang jauh menelusuri awan di langit yang tinggi. Beberapa perasaan hilir mudik di kepalanya. Sekali ia bersyukur bahwa ia telah dibebaskan dari suatu perbuatan yang buas dan liar. Namun sekali-sekali timbulah sesalnya. Kenapa orang Jipang tadi tidak saja ditikamnya sampai mati tanpa minta ijin lebih dahulu dari Agung Sedayu. Kenapa ia tidak berusaha melepaskan dendamnya atas kematian orang-orang Pajang, bahkan sahabatnya terdekat Citra Gati? Apakah orang-orang Jipang itu juga mengenal cara yang serupa atas orang-orang Pajang yang terluka? Tidak. Orang-orang Pajang yang terluka tidak pernah mengalami perawatan apapun. Apalagi perawatan, bahkan mereka sama sekali tidak dipedulikannya. Apalagi ada kesempatan, orang Jipang pasti akan berebut tidak untuk menolongnya, tetapi untuk mencincangnya.

Namun setiap kali, ia sadar atas kekhilafannya. Setiap kali ia teringat kepada Sidanti, setiap kali ia berterima kasih kepada Agung Sedayu.

Sepeninggal Hudaya, sejenak di luar regol halaman banjar desa itu menjadi senyap. Masing-masing mencoba melihat keadaan menurut pengamatan masing-masing. Beberapa orang prajurit benar-benar menyesal, kenapa mereka tidak mendapat kesempatan untuk ikut serta mencincang orang Jipang itu. Namun beberapa orang lain menyadari keadaan mereka yang sesaat tumbuh di dalam dada Hudaya.

Sejenak kemudian terdengarlah Untara bertanya, “Siapa orang yang kau bawa itu Sedayu?”

“Supa, orang Jipang,” sahut Agung Sedayu.

“Kenapa orang itu kau bawa kemari?” bertanya Untara pula.

Agung Sedayu heran mendengar pertanyaan kakaknya. Tetapi ia menjawab pula, “Aku menemukannya terluka di dalam hutan ketika aku sedang mencoba mencari jejak Paman Sumangkar.”

Untara mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia berkata, “Kau tidak menjalankan perintahku. Kau harus mengikuti jejak Paman Sumangkar sampai kau menemukan tempat orang-orang Jipang berkemah. Sekarang kau kembali membawa orang yang terluka itu. Bukankah dengan demikian berarti kau melanggar perintahku?”

..........bersambung ke Jilid 14

Tidak ada komentar:

Posting Komentar