Senin, 18 Desember 2017

API di BUKIT MENOREH Jilid 20

API di BUKIT MENOREH

Karya S.H Mintardja

JILID 20



AKHIRNYA dari tempat yang terlindung itu Kiai Gringsing melihat dua orang mendekatinya.

“Benarkah kau, Kiai?”

“Ya, aku datang bersama dengan Anakmas Swandaru dan Agung Sedayu.”

“Oh, di mana mereka sekarang?”

“Itu, di situ. Kami tidak ingin mengejutkan kalian. Kalau kalian melihat kami berempat, maka kalian akan terkejut dan mungkin berbuat sesuatu di luar perhitungan kami.”

Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dalam pada itu Swandaru yang tidak sabar telah keluar dari persembunyiannya diikuti oleh Sutawijaya dan Agung Sedayu.

“Seluruh kademangan menunggu kalian,” kata penjaga itu. “Kita telah menjadi bingung.”

“Apakah mereka mencemaskan nasib kami?” bertanya Swandaru. “Dan karena itu ibu menangis?”

“Bukan saja karena itu,” jawab penjaga, “kami menghadapi soal yang lain.”

Dada Swanadru berdesir mendengar jawaban penjaga itu. Karena itu dengan serta-merta ia bertanya, “Apakah ada soal lain yang penting?”

“Ya,” sahut penjaga itu.

“Apa?”

Penjaga itu menjadi ragu-ragu sejenak. Pendapa Kademangan itu itu tinggal beberapa puluh langkah lagi. Di sana duduk para pemimpin Kademangan Sangkal Putung dan para pemimpin prajurit Pajang yang akan dapat memberi penjelasan sebaik-baiknya kepada anak itu. Karena itu maka prajurit itu menjawab, “Biarlah Ki Demang sendiri memberi penjelasan. Ki Demang berada di pringgitan.”

Swandaru tidak dapat menahan diri lagi. Tanpa menjawab sepatah kata pun ia segera meloncat dan berjalan tergesa-gesa ke pendapa. Di belakangnya berjalan Agung Sedayu dan Sutawijaya bersama Kiai Gringsing.

Di pendapa Swandaru melihat beberapa orang prajurit Pajang masih juga duduk dalam beberapa gerombol. Di sana-sini mereka agaknya sedang memperbincangkan sesuatu yang cukup penting. Tetapi kesan yang didapat oleh Swandaru adalah bahwa tidak ada penyerbuan yang gawat telah terjadi. Kalau demikian, soal apakah yang penting itu.

Dengan langkah yang panjang anak-anak muda itu bersama Kiai Gringsing itu masuk kedalam pringgitan. Beberapa orang yang melihatnya menyapa pendek, dan mereka pun menyapa pendek pula.

Ketika pintu pringgitan terbuka, maka setiap orang yang duduk melingkar di sekeliling sebuah pelita minyak kelapa, berpaling memandang ke arah pintu. Hampir bersamaan mereka melihat Swandaru melangkah masuk dan hampir bersamaan pula mereka berdesis, “Kau, Swandaru?”

Swandaru tertegun. Ia melihat beberapa orang pemimpin kademangan dan prajurit Pajang lengkap. Karena itu dadanya menjadi berdebar-debar.

“Masuklah,” terdengar Untara mempersilakannya.

Swandaru tersadar dari kegelisahannya yang mencekam dadanya. Ia pun kemudian melangkah dan meletakkan busurnya di sisi pintu. Tetapi pedangnya masih juga menggantung di lambungnya. Agung Sedayu dan Sutawijaya pun kemudian meletakkan busur-busur mereka dan berjalan di belakang Swandaru duduk di dalam lingkungan para pemimpin itu.

“Hem,” Ki Demang Sangkal Putung berdesah. Ditatapnya wajah anaknya yang gemuk bulat itu dalam pandangan yang aneh, setelah dipersilahkannya pula Kiai Gringsing duduk di antara mereka.

“Kau pergi ke Mentaok?” bertanya Ki Demang.

“Ya, Ayah, bersama dengan Putranda Panglima Wira Tamtama. Mas Ngabaehi Loring Pasar.”

“Oh,” Ki Demang pun menganggukkan kepalanya. Ia tidak dapat langsung marah kepada anaknya yang gemuk itu karena kehadiran Sutawijaya.

Untara pun harus menahan kejengkelannya pula akan kepergian adiknya tanpa seijinnya.

Tetapi mereka tidak berani menegurnya, menegur Swandaru dan Agung Sedayu, sebab di ruangan itu hadir juga putera Ki Gede Pemanahan. Yang dapat mereka lakukan hanyalah berdesah di dalam dada masing-masing, sambil sekali-sekali memandangi wajah ketiga anak-anak muda itu berganti-ganti. Tetapi kedatangan mereka bersama-sama dengan Kiai Gringsing yang selama ini seakan-akan menghilang menimbulkan teka-teki pula di dalam hati mereka. Apakah Kiai Gringsing pergi juga bersama mereka? Ataukah memang Kiai Gringsing yang telah membawa ketiga anak-anak muda itu untuk bertamasya ke Alas Mentaok?

“Sepeninggalmu Swandaru, kademangan ini menjadi geger,” berkata Ki Demang penuh tekanan.

Swandaru mengangkat wajahnya. Tetapi ia tidak segera bertanya. Ia mengharap ayahnya menceriterakan apa yang telah terjadi.

Dan ayahnya itu berkata pula, “Kami, seluruh isi kademangan, termasuk para prajurit dari Pajang menjadi bingung. Bingung dan cemas, sebab kami tidak tahu kemana kalian pergi. Kami hanya mendengar bahwa kalian akan pergi ke Alas Mentaok. Dan kami mengerti bagaimana buasnya alas itu.”

Swandaru menundukkan kepalanya. Di dalam hati ia berkata, “Kalau hanya aku sajalah yang dicemaskannya, maka sebenarnya kademangan ini tak perlu menjadi gelisah.” Tetapi kata-kata itu tidak terlontar lewat bibirnya.

Sutawijaya yang merasa telah membawa kedua anak-anak muda itu pun menundukkan kepalanya. Kini baru terasa olehnya akibat dari keterlanjurannya. Dengan demikian ia dapat membayangkan, bahwa ayahnya Ki Gede Pemanahan pun pasti akan marah pula kepadanya. Tetapi semuanya telah terlanjur. Semuanya telah terjadi. Meki pun di dalam hati kecilnya ia berkata, “Bukankah kami telah cukup dewasa. Adalah tidak sepantasnya kami harus selalu berada di dalam pengawasan seperti kanak-kanak supaya kamu tidak terperosok ke dalam kubangan.”

Tetapi pula pada mereka yang baru datang, bahwa sebenarnya yang telah terjadi bukanlah sekedar kecemasan mengenai kepergian mereka. Tetapi pasti telah terjadi pula sesuatu di kademangan ini sepeninggal mereka. Kecemasan atas kepergian anak-anak muda itu pasti tidak akan menimbulkan penjagaan yang semakin ketat seperti kini.

Karena itu maka Swandaru kemudian bertanya kepada ayahnya, “Ayah, apakah hanya karena kepergianku itu ayah telah memperkuat penjagaan di halaman ini dan di sudut-sudut padesan?”

Ki Demang mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Tentu tidak. Apakah kau dengar tangis ibumu?”

Swandaru mengangguk. “Ya, Ayah.”

“Kau sangka ibumu menangisimu?”

Swandaru tidak menjawab. Tetapi hantinya bergumam, “Tidak.”

“Dengarlah Swandaru. Sudah dua malam ini ibumu menangis tanpa berhenti di malam hari. Hanya di siang hari agaknya ia dapat sekedar menahan diri.”

Debar di dada Swandaru menjadi semakin cepat berderak, seakan-akan ia tidak sabar lagi menunggu ayahnya berkata. Dengan tatapan mata yang tegang ia memandangi wajah ayahnya itu.

Tiba-tiba orang tua itu berpaling kepada Kiai Gringsing yang duduk terpekur ambil menggerak-gerakkan jari-jarinya. Seakan-akan Ki Demang itu pun berkata pula kepadanya, kenapa ia selama ini tidak pula berada di kademangan?

“Kiai,” berkata Ki Demang itu kemudian, “isteriku telah kehilangan miliknya yang paling disayanginya.”

Ki Tanu Metir mengangkat wajahnya. Tetapi ia tidak dapat segera mengucapkan sesuatu.

“Ya, tetapi apa yang hilang itu, Ayah?” desak Swandaru yang kehabisan kesabaran. Apakah perhiasan ibu, emas, intan berlian, atau apa?”

Ki Demang menggeleng. “Yang hilang itu adalah adikmu, Swandaru.”

“He,” Swandaru berjingkat dari duduknya sehingga bergeser selangkah maju. Tetapi bukan saja Swandaru, Agung Sedayu pun tidak kalah terkejut. Bahkan Sutawijaya dan Kiai Gringsing pula.

Dengan terbata-bata Swandaru berkata, “Mirah, jadi Sekar Mirah yang ayah maksud?”

Ayahnya mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya, Sekar Mirah telah hilang sejak kemarin.”

“Bagaimana maka Sekar Mirah itu dapat hilang Ki Demang?” bertanya Agung Sedayu terpatah-patah.

“Ya bagaimana?” sahut Ki Demang. “Ia hilang begitu saja. Hilang dari kademangan ini. Aku pun bertanya seperti itu, kenapa Sekar Mirah dapat hilang?”

Kiai Gringsing masih juga berdiam diri. Ia tahu benar betapa perasaan Ki Demang menjadi gelap, sehingga dengan demikian maka orang itu akan mudah menjadi marah.

“Nah, sekarang aku bertanya kepadamu, Swandaru,” berkata Ki Demang itu, “apa yang kau dapat dengan perjalananmu itu? Kalau kau ada di rumah, mungkin keadaan akan berbeda.”

Yang terdengar adalah Swandaru menggeretakkan giginya. Dengan gemetar ia kemudian bertanya, “Apakah tak seorang pun yang tahu, dengan siapa Sekar Mirah pergi? Apakah ia sengaja pergi dengan suka-rela, apakah seseorang telah menculiknya?”

“Pertanyaanmu itu gila sekali. Apakah kau sangka adikmu itu sebinal kau ini? Kenapa kau dapat berpikir bahwa adikmu itu dengan suka-rela meninggalkan kademangan? Kau sangka adikmu sudah tergila-gila pada Sidanti dan pergi mencarinya?”

Tetapi dada Swandaru pun sudah sesak pula, sehingga ia menjawab, “Habis, bagaimana aku harus menanggapi persoalan ini? Beri aku jalan untuk berbuat sesuatu ayah. Malam ini juga aku akan berbuat.”

Wajah Ki Demang pun menjadi kian tegang. Hampir berteriak ia berkata, “Terlambat. Terlambat. Apa artinya kepergianmu selama ini?”

Swandaru tidak menjawab. Tetapi ia mengepalkan tinjunya.

“Tak ada yang kau dapatkan. Tetapi kalau kau mati juga di perjalanan maka ibumu akan mati membeku, tahu? Sekarang adikmu telah hilang. Hilang masuk ke dalam lingkungan yang tidak mudah dapat disusupi.”

“Ya, kemana. Kemana ia pergi.”

“Seseorang melihat, bahwa pada pagi-pagi hari ketika adikmu pergi ke warung, tiba-tiba ia diterkam oleh seorang laki-laki. Bukan seorang laki-laki kademangan ini. Tetapi orang yang melihat itu telah mengenalnya. Namanya Sidanti.”

“Sidanti. Sidanti. Jadi, adikku dibawa oleh Sidanti?” teriak Swandaru.

“Ya. Orang yang melihatnya itu pun hampir saja mati ketakutan. Tetapi Sidanti tidak berbuat sesuatu atasnya. Bahkan anak itu berkata, “Katakan kepada ayahnya, bahwa akulah yang telah membawa Sekar Mirah.”

Terdengar gigi Swandaru berderak. Justru dengan demikian maka sejenak ia terbungkam. yang terdengar hanyalah dengus nafasnya yang berkejaran lewat lubang-lubang hidungnya.

Untara, Widura, dan Kiai Gringsing sejenak hanya dapat mendengarkanaya. Persoalan itu hampir merupakan persoalan keluarga, sehingga mereka tidak segera dapat turut campur. Sedang Sutawijaya pun menjadi seakan-akan terbungkam. Ia menyadari kesalahannya, bahwa ia telah membawa Swandaru pergi. Tetapi apakah apabila Swandaru ada di rumah, hal itu dapat dihindari? Tiba-tiba Sutawijaya teringat kepada Argajaya. Apakah ada hubungannya dengan dendam yang telah ditanamnya di dalam dada orang itu? Dada Sutawijaya pun menjadi berdebar-debar pula.

Tetapi Agung Sedayu mempunyai sikap yang lain, Meskipun ia bukan salah seorang keluarga Ki Demang Sangkal Putung, tetapi ia pun merasa kehilangan pula. Sehingga tiba-tiba ia pun berkata lancing, “Tak ada lingkungan yang tidak dapat disusupi. Tak ada dinding yang tidak dapat dipecahkan.” Agung Sedayu itu pun kemudian berpaling kepada kakaknya. “Kakang Untara. Aku akan kembali ke Jati Anom. Dari sana aku akan memanjat lereng Merapi untuk menemukan Sekar Mirah kembali.”

Kini barulah Untara dapat turut berbicara. “Seharusnya memang demikian, Agung Sedayu. Tetapi di lereng Merapi itu tidak hanya terdapat Sidanti seorang diri.”

“Di Sangkal Putung tidak hanya terdapat Sekar Mirah sendiri. Tidak hanya terdapat Ki Demang sendiri. Tetapi Sidanti dapat mengambil Sekar Mirah. Apakah aku tidak dapat melakukan hal yang sebaliknya?” sahut Agung Sedayu tidak kalah lantangnya dengan suara Swandaru.

Tetapi Sutawijaya yang merasa, bahwa ia telah terlibat pula dalam persoalan itu karena ia telah membawa kedua anak-anak muda itu, berkata pula, “Aku ikut serta. Kita pergi bertiga. Kita masuki padepokan Tambak Wedi. Kita bakar segenap isinya setelah kita membebaskan puteri Ki Demang itu.”

Semua orang yang mendengar suara Sutawijaya itu berpaling kepadanya. Mereka segera melihat wajah anak muda itu berwarna kemerah-merahan menahan perasaannya. Bahkan tangannya pun telah dikepalkannya dan diketuk-ketuknya pahanya dengan tinjunya itu.

Tetapi terdengar kemudian Untara menjawab, “Sayang Adi Sutawijaya. Ayahanda berpesan kepadaku, bahwa adi Sutawijaya harus segera kembali ke Pajang. Demikian Adi datang ke Sangkal Putung ini, maka secepat mungkin Adi harus menyusul ayahanda supaya ayahanda tidak terlampau cemas dan Gusti Adiwijaya pun tidak terlampau lama menanti-nanti kedatangan Adimas.”

Wajah Sutawijaya yang tegang itu menjadi berkerut-merut. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Jadi ayah sudah kembali ke Pajang?”

“Ya. Sebagaimana Adimas lihat. Di sini ayahanda sudah tidak ada lagi. Hanya beberapa orang prajurit pilihan berkuda telah ditinggalkannya untuk membawa Adi kembali.”

Sutawijaya terhenyak dalam kekecewaan. Namun tiba-tiba ia berkata, “Baik. Baik, aku akan kembali bersama prajurit pengawal itu. Tetapi biarlah aku turut menyelesaikan masalah ini dahulu. Hilangnya Sekar Mirah merupakan tantangan yang harus dijawab. Bukan sekedar direnungkan dan ditangisi.”

Untara menganggukkan kepalanya. Bahkan dada Ki Demang Sangkal Putung pun menjadi berdebar-debar pula karenanya.

“Adi Sutawijaya benar. Tetapi kita tidak boleh kehilangan kesadaran dalam berbuat. Kita tahu benar siapakah Sidanti, siapakah Ki Tambak Wedi. Dan siapakah yang berada bersama-sama dengan mereka di dalam sarangnya. Bagi Adimas, gambaran padepokan itu masih terlampau kabur. Kita belum tahu pasti kekuatan mereka. Bahkan bagi kita masih jauh lebih jelas melihat kekuatan Tohpati daripada kekuatan Tambak Wedi.”

Sutawijaya mengerutkan keningnya. Naluri keprajuritannya kini membenarkan pendapat Untara itu mengatasi nafsu mudanya. Kembali ia mengangguk-angguk. Tetapi kemudian ia pun terdiam.

Tetapi dalam pada itu terdengar Agung Sedayu berkata, “Kakang Untara, kita tidak dapat membiarkan Sekar Mirah terlampau lama di sarang Sidanti. Itu terlampau berbahaya baginya. Bagi seorang gadis.”

“Kita berangkat sekarang,” potong Swandarau. “Sidanti mampu mengambil Sekar Mirah di Sangkal Putung. Kenapa kita tidak mampu mengambilnya?”

“Ada bedanya Adi Swandaru. Di sini Sekar Mirah bebas tanpa pengawasan. Sehingga karena itulah maka di pagi-pagi itu Sidanti berhasil menunggunya di pinggir jalan di tempat yang terlindung.Tetapi sudah tentu tidak demikian bagi Sekar Mirah di padepokan Tambak Wedi. Di sana ia pasti terkurung di tempat yang selalu mendapat pengawasan.

“Kalau begitu kita serbu padepokan itu dengan kekuatan segelar sepapan. Semua anak-anak Sangkal Putung siap melakukannya demi kehormatan kami, nama kademangan ini. Sekar Mirah bukan saja adik kandungku, tetapi Sekar Mirah merupakan kembang dari kesucian kami, kesucian nama keluarga kami. Setiap noda yang melekat padanya, adalah noda yang tercoreng di wajah kami. Di wajah Kademangan Sangkal Putung.”

Mendengar kata-kata itu tiba-tiba Ki Demang pun menjadi bertambah tegang. Ia pun sadar apa yang dapat terjadi atas gadisnya itu. Karena itu maka tiba-tiba orang tua itu pun berkata, “Kita akan menyusulnya ke lereng Merapi. Setiap laki-laki akan turut serta merebut anak itu kembali.”

Untara menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia adalah seorang senopati. Ia tidak dapat berbuat menurut nafsu yang menyala-nyala. Ia tidak dapat berbuat hanya berdasarkan perasaan, tidak berdasarkan perhitungan. Karena itu ia berkata, “Benar Ki Demang. Kita akan segera menyusul Sekar Mirah ke padepokan Ki tambak Wedi. Tetapi kita tidak boleh terjerumus dalam kesalahan karena penglihatan kita tertutup oleh kemarahan yang meluap-luap. Dan itulah yang dikehendaki oleh Sidanti dan Ki Tambak Wedi, sehingga kita akan kehilangan kejernihan pikiran.”

“Kita sudah cukup lama berpikir. Bagi Sangkal Putung tidak akan ada jalan lain daripada menerobos masuk ke dalam sarang orang gila itu,” sahut Swandaru, yang disambung oleh Agung Sedayu, “Hilangnya Sekar Mirah, adalah tantangan dan penghinaan bagi kami yang berada di kademangan ini pula. Bukankah dengan demikian Sidanti ingin mengatakan bahwa tak ada laki-laki di kademangan ini? Tak ada seorang pun yang mampu melindungi gadis itu?”

Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tahu bahwa perasaan adiknya itu pun sedang terbakar. Ia tahu perasaan yang tersimpan di dada anak muda itu terhadap Sekar Mirah, sehingga dengan demikian maka hatinya pun menjadi gelap. Anak yang biasanya selalu mempergunakan berbagai macam pertimbangan dalam setiap tindakan, bahkan lebih mirip dengan sifat yang selalu ragu-ragu, kini tiba-tiba tidak lagi dapat membuat pertimbangan-pertimbangan sama sekali.

Tetapi menghadapi wajah-wajah yang tegang, hati-hati yang tegang dan pikiran-pikiran yang gelap, Untara menjadi cemas.

Apalagi ketika Ki Demang sendiri berkata, “Swandaru, kita siapkan orang-orang kita besok. Kita segera menyusul adikmu.”

Untara benar-benar kehilangan cara untuk mencegahnya. Tetapi ia tahu benar bahaya yang dapat terjadi. Bahaya bagi pasukan Sangkal Putung. Sudah tentu bahwa pasukannya sendiri tidak akan dapat membiarkan orang-orang Sangkal Putung itu bertindak. Tetapi dengan cara yang demikian itu, maka ia akan berbuat suatu kesalahan bagi seorang senopati. Bertindak dengan tergesa-gesa ebelum tahu benar imbangan kekuatan yang ada. Sebab bukan mustahil bahwa di padepokan Ki Tambak Wedi telah tersusun kekuatan yang sangat rapi. Bukan pula mustahil bahwa Ki Tambak Wedi telah membuat rencana tertentu. Masuk ke dalam kademangan ini selagi kademangan ini menjadi kosong. Itulah sebabnya ia harus membuat perhitungan-perhitungan yang lebih masak menghadapi hantu lereng Merapi itu.

Untara menjadi semakin bingung menghadapi orang-orang yang telah dibakar oleh perasaannya itu. Swandaru yang mendapat perintah ayahnya itu segera menyahut, “Baik, Ayah. Malam ini juga aku akan mempersiapkan anak-anak muda Sangkal Putung.”

Untara menjadi bertambah gelisah. Tiba-tiba tanpa disadarinya ditatapnya wajah pamannya, Widura, kemudian Kiai Gringsing yang masih saja berdiam diri seakan-akan minta pertimbangan, bagaimana mengatasi persoalan yang sedang dihadapinya.

Kiai Gringsing yang selama itu hanya berdiam diri sambil mendengarkan persoalan yang terjadi di Sangkal Putung itu pun mengangkat wajahnya. Perlahan-lahan tetapi jelas ia berkata, “Memang, kita harus segera menemukan kembali Angger Sekar Mirah.”

Untara menarik alisnya tinggi-tinggi. Tetapi dibiarkannya Kiai Gringsing berkata seterusnya, “Kita tidak akan sampai hati membiarkannya terlampau lama di tangan Angger Sidanti.”

Swandaru pun dengan serta-merta menyambung, “Nah. Bukankah begitu, Kiai. Kita harus segera menemukan Sekar Mirah.”

“Secepatnya,” sahut Kiai Gringsing.

“Ya, secepatnya,” Agung Sedayu memotong. “Sekarang kita harus segera mempersiapkan diri.”

“Tetapi ingat. Kita harus menyelamatkannya. Karena itu secepatnya, namun tidak boleh kehilangan maksudnya, menyelamatkannya.”

Swandaru dan Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun yang bertanya adalah Ki Demang Sangkal Putung, “Maksud Kiai?”

“Kita harus menyadari bahwa Sekar Mirah kini berada di tangan Sidanti.”

Ki Demang menjadi semakin tidak mengerti. Karena itu ia berkata, “Ya, kita menjadi bingung karena Sekar Mirah berada di tangan anak gila itu.”

“Nah, karena itu kita harus memperhitungkan gadis itu. Gadis yang harus kita selamatkan. Kita tidak boleh terbakar oleh nafsu dan kemarahan tanpa menghiraukan titik bidik yang sebenarnya. Kita hanya memperhitungkan kekuatan pasukan yang mungkin akan mampu memecahkan pertahanan padepokan Ki Tambak Wedi dan kemudian menjadikannya karang abang. Tetapi kita lupa bahwa Sekar Mirah berada di sana, di dalam kekuasaan orang-orang itu, di dalam pertahanan yang ingin kita pecahkan.” Kiai Gringsing berhenti sejenak. Dilihatnya sorot pandangan mata yang keheran-heranan di sekitarnya. Ki Demang, Swandaru, Agung Sedayu, dan beberapa orang Sangkal Putung yang lain.

“Ki Demang,” berkata Kiai Gringsing seterusnya, “Sidanti dan Ki Tambak Wedi adalah orang-orang yang dapat berbuat hal-hal yang tidak dapat kita duga sebelumnya. Kalau kita dengan serta-merta memecahkan pertahanan mereka, maka dengan demikian kita hanya menuruti nafsu sendiri. Kita telah kehilangan tujuan kita, menyelamatkan Sekar Mirah. Sebab apabila pertahanan mereka tidak dapat melindungi padepokan mereka, maka nyawa Sekar Mirah menjadi terancam. Mereka akan melepaskan kemarahan mereka pada Sekar Mirah. Mungkin dengan sengaja mereka membuat kita menjadi ngeri. Dengan alat gadis itu mereka membalas kekalahan mereka. Membalas sakit hati mereka. Nah, bayangkanlah, apa yang akan dapat terjadi dengan Sekar Mirah?”

Ki Demang yang hampir-hampir tidak dapat mengekang dirinya itu tiba-tiba menyadari keadaannya dan keadaan puterinya itu. Dengan demikian maka terasa dadanya menjadi kian pepat, bahkan hampir-hampir meledak.

Sedang Swandaru dan Agung Sedayu dapat mendengar keterangan Kiai Gringsing itu dengan baik. Kata demi kata. Dengan demikian berbenturanlah perasaan mereka dengan pengertian mereka yang mereka dengar dari Kiai Gringsing itu.

Sejenak suasana di pringgitan itu dicengkam oleh kesepian. Kesepian yang seakan-akan membakar jantung.

Tiba-tiba terdengar suara Ki Demang menyobek, “Lalu, apakah yang harus kita lakukan, Kiai? Apakah kita akan membiarkan saja semuanya itu terjadi tanpa berbuat sesuatu? Pendapat Kiai memang benar. Memang dapat diterima oleh nalar. Tetapi apabila kita hanya berpangku tangan, apakah Sekar Mirah itu akan dilepaskan atau akan dapat melepaskan dirinya sendiri? Atau kita harus menunggu sampai Sidanti dan orang-orang liar di padepokan itu sudah puas dengan segala macam perbuatannya atas gadis itu dan melemparkannya ke luar sarang mereka, atau membunuhnya?”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi orang tua itu tidak kehilangan ketenangannya. Dengan sareh ia berkata, “Tentu tidak, Ki Demang. Kita pasti harus berusaha. Tetapi usaha kita itulah yang harus kita pertimbangkan masak-masak. Kita dapat menangkap ikannya tanpa mengeruhkan airnya, bahkan membinasakan ikan itu sendiri.”

Ki Demang terdiam sejenak. Tetapi hatinya masih juga bergolak. Seakan-akan ia akan segera meloncat saat itu juga ke padepokan Tambak Wedi di lereng Merapi. Dalam pada itu terdengar Untara berkata, “Kita harus mempunyai persiapan yang baik untuk merebut kembali Sekar Mirah. Bukan saja merebut Sekar Mirah, tetapi sekaligus membinasakan orang-orang Jipang yang tidak mau mempergunakan kesempatan yang baik, yang telah aku berikan kepada mereka.”

“Ah,” desah Ki Demang, “aku akan membantu membinasakan Sanakeling dengan segenap kekuatannya. Tetapi rencana itu jangan menghambat usahaku membebaskan anak itu. Kalian jangan berpihak pada kepentingan kalian sendiri. Jangan berpihak pada pandangan searah. Mungkin bagi kalian tidak ada bedanya, apakah kita akan menyerang Sanakeling, Sidanti, dan Tambak Wedi itu sekarang, atau besok, atau lusa, asal kalian yakin kekuatan kita sudah cukup, kita menyerang. Kita hancurkan mereka. Tetapi aku tidak dapat berbuat demikian. Aku harus segera membebaskan anakku sebelum terjadi sesuatu atasnya.”

Untara hanya dapat menarik nafas dalam-dalam mendengar jawaban Ki Demang Sangkal Putung yang lebih banyak dipengaruhi oleh perasaan seorang ayah daripada seorang demang yang menghadapi lawan di peperangan. Demikian juga agaknya Swandaru dan Agung Sedayu. Bahkan segenap orang-orang Sangkal Putung. Bukan saja orang-orang Sangkal Putung, sebagian prajurit-prajurit Pajang sendiri merasa apa yang dilakukan oleh Sidanti itu merupakan penghinaan dan tantangan yang harus segera mendapat pelayanan sewajarnya.

Yang menjawab kemudian adalah Kiai Gringsing. “Ki Demang benar. Kita tidak dapat membuat pertimbangan dari segi yang timpang. Kita tidak boleh memberatkan kepentingan Angger Untara sebagai seorang Senopati Pajang. Tetapi kita pun tidak boleh hanya menuruti perasaan sendiri. Harga diri yang berlebih-lebihan sebagai laki-laki pilihan. Harga diri yang terbakar karena penghinaan itu. Dengan demikian, maka kalian sudah kehilangan sasaran yang sebenarnya. Angger Untara terlalu memberatkan tugasnya sebagai seorang senopati, sedang Ki Demang terlalu dibebani oleh nilai-nilai kejantanan yang sedang terhina. Namun kedua-duanya tidak akan menguntungkan Sekar Mirah. Terlalu cepat maupun terlalu lambat.”

“Ki Tanu Metir,” sahut Ki Demang, “Mirah adalah seorang gadis yang berada di antara laki-laki yang buas. Apakah yang dapat terjadi padanya?”

“Bermacam-macam,” sahut Kiai Gringsing.

“Nah, bukankah Kiai menyadari kemungkinan yang bermacam-macam itu?” bertanya Ki Demang.

“Ya, bermacam-macam. Di antaranya mencincang Sekar Mirah dan mengikat mayatnya di pintu gerbang yang akan kita lalui dengan pasukan segelar sepapan.”

“He,” mata Ki Demang terbeliak. Namun kemudian wajah yang menyala itu tertunduk lesu. Jawaban Kiai Gringsing tepat mengenai sasarannya. Kemungkinan itu pun memang dapat terjadi seperti kemungkinan-kemungkinan yang lain.

“Tetapi, lalu bagaimana?” terdengar suara Ki Demang menurun.

Kini kembali pringgitan itu terdampar pada kesenyapan yang tegang. Masing-masing sibuk dengan pikiran sendiri-sendiri. Apakah kira-kira yang dapat mereka lakukan untuk membebaskan kembali Sekar Mirah dari tangan Sidanti?

Swandaru dan Agung Sedayu menjadi kian gelisah, seakan-akan mereka itu duduk di atas bara. Terdengar gigi mereka gemeretak dan nafas mereka saling memburu. Di sisi mereka, Sutawijaya duduk tepekur. Kepalanya menjadi pening. Sebenarnya banyak hal yang ingin dikatakannya, tetapi ia harus kembali ke Pajang. Tidak mungkin baginya untuk menolak perintah ayahnya lagi. Karena itu betapa kecewanya, betapa ia menyesal telah mengajak kedua anak-anak muda itu. dan kini ia dikecewakan pula karena ia tidak mendapat kesempatan untuk ikut serta merebut kembali Sekar Mirah. Bukan karena Sekar Mirah adalah seorang gadis yang cantik, tetapi Sutawijaya pun merasa tersinggung pula atas perbuatan Sidanti itu.

Dalam pada itu terdengar suara Ki Demang bernada rendah, “Apakah aku akan membiarkan secercah noda melekat pada kademangan ini karena keluargaku? Apakah aku harus membiarkan Sekar Mirah menjadi korban karena persoalan yang seharusnya dipikul oleh kekuatan jantan di kademangan ini? Oh, persoalan itu akan menjadi saling mengait. Seperti senjata Sidanti yang mengerikan itun nenggala berujung rangkap. Dengan ujung dan pangkalnya, ia mampu membuat kita luka rangkap sekali gerak.”


“Itulah yang sebenarnya kita hadapi, Ki Demang,” sahut Ki Tanu Metir. “Dengan demikian kita harus berhati-hati menghadapinya. Kita tidak boleh tergesa-gesa tanpa memperhitungkan setiap kemungkinan. Namun yang pertama-tama harus kita perhatikan adalah keselamatan Sekar Mirah. Kalau kita berhasil membebaskan Sekar Mirah dengan selamat, maka kedua-duanya telah dapat kami jawab sekaligus, seperti kita juga menggerakkan senjata yang tajam di kedua ujungnya.”

“Ya, demikianlah,” gumam Ki Demang. “Tetapi, bagaimana? Pertimbangan dan pertimbangan saja tidak akan banyak bermanfaat.”

“Memang tidak bermanfaat. Tetapi perbuatan tanpa pertimbangan pun akan sama saja jeleknya.”

“Baiklah, Kiai,” berkata Ki Demang, “sekarang bagaimana pertimbangan Kiai?”

Kiai Gringsing menegakkan punggungnya. Seakan-akan punggung itu menjadi sangat pegal. Kemudian orang itu pun menarik nafasnya dalam-dalam.

Kepada Untara Kiai Gringsing itu pun bertanya, “Angger Untara, apakah ada kekuatan yang cukup kini di Sangkal Putung?”

Untara memandang wajah orang tua itu dengan penuh pertanyaan. Senopati di tempat itu adalah dirinya. Tetapi agaknya Kiai Gringsing mampu pula membuat perhitungan-perhitungan menurut tata keprajuritan.

Namun Untara tahu benar, bahwa Kiai Gringsing memang bukan orang kebanyakan, sehingga dengan demikian ia merasa tidak berkeberatan untuk menjawab. “Tidak terlampau cukup Kiai. Sebagian dari prajurit Pajang sedang mengawal orang-orang Jipang yang telah menyerah bersama Ki Gede Pemanahan. Mereka sampai saat ini belum kembali. Bahkan menurut Ki Gede Pemanahan, akan datang pula sepasukan prajurit yang lain, yang harus pergi bersama aku ke Jati Anom untuk menyelesaikan persoalan Sanakeling dan Sidanti.”

“Bagus,” berkata Kiai Gringsing. “Jadi akan datang pasukan baru yang segar, sedang yang lain tetap berada di Sangkal Putung ini bersama Angger Widura?”

“Demikianlah seharusnya menurut perhitungan Ki Gede Pemanahan. Sebab Ki Tambak Wedi dapat dengan tiba-tiba saja berada di sekitar tempat ini selagi kita berada di Jati Anom.”

Kini Kiai Gringsing itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ditatapnya satu demi satu anak-anak muda yang sedang dilanda oleh arus kemarahan yang hampir tak tertahankan. Tetapi Kiai Gringsing sendiri tidak segera menemukan jalan, bagaimanakah sebaiknya yang harus dilakukan.

Dalam keheningan yang kemudian mencengkam pringgitan itu terdengar beberapa kali Swandaru berdesah. Sekali-sekali ia menggeser duduknya dengan gelisah.

Tetapi yang lebih dulu bertanya adalah Agung Sedayu, “Lalu bagaimana Kiai? Apakah yang harus kita kerjakan?”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Kita harus berpikir dengan kepala yang dingin. Kita harus mampu mempertimbangkan tanpa diburu oleh nafsu supaya perimbangan kita menjadi jernih.”

“Ya, lalu bagaimana pertimbangan yang jernih itu?” sahut Swandaru. “Apakah kita harus pergi segelar sepapan ke Jati Anom ataukah kita harus menunggu saja?”

Adalah sangat sulit untuk menenangkan hati anak-anak muda itu. Karenanya maka Kiai Gringsing pun harus segera berbuat sesuatu untuk memecahkan ketegangan hati mereka. Kalau ketegangan yang telah memuncak itu tidak dapat tersalur secara wajar, maka mereka pasti akan berbuat sesuatu yang justru menguntungkan Sidanti. Bukan mustahil kalau Ki Tambak Wedi telah menyusun rencana sebaik-baiknya untuk menjebak mereka. Rencana penculikan itu pun mungkin adalah hasil dari perasan otak hantu tua itu. Karena itu maka yang harus dilakukannya adalah terlampau rumit.

Meskipun demikian, Kiai Gringsing itu harus menemukan suatu pemecahan. Pemecahan yang tidak membahayakan Sekar Mirah, tidak merugikan Untara sebagai senopati yang mempunyai tanggung jawab yang besar. Bukan hanya sekedar soal Sekar Mirah saja, tetapi persoalan yang jauh lebih luas lagi, namun tidak pula menahan arus kemarahan anak-anak muda itu, Swandaru dan Agung Sedayu. Karena itu maka orang tua itu pun berkata, “Swandaru, marilah kita lihat persoalan ini dari beberapa kemungkinan. Di antaranya adalah, bahwa Ki Tambak Wedi telah mempergunakan Sekar Mirah sebagai perisai.”

“Tidak, Kiai,” sahut Swandaru, “Sidanti benar-benar memerlukan Sekar Mirah sebagai kelanjutan hubungan mereka di kademangan ini dahulu. Dengan demikian maka sangat besar kemungkinannya bahwa Sekar Mirah akan tetap hidup. Tetapi akibat-akibat lain daripada itulah yang harus kami cegah.”

“Mungkin juga, tetapi ada juga kemungkinan yang lain. Kalau Sidanti harus lari meninggalkan padepokannya karena serbuan pasukan Sangkal Putung dan Pajang, maka Sidanti tidak akan sempat membawa gadis itu. Nah, daripada ia kehilangan Sekar Mirah, maka lebih baik baginya apabila Sekar Mirah itu dibinasakannya sama sekali. Itulah yang harus kita hindari.”

“Oh,” Swandaru memegang kepalanya dengan kedua tangannya, “soal itu akan selalu kembali dan melingkar-lingkar. Tetapi kita tidak dapat membiarkannya dengan berbantah tanpa berbuat sesuatu di sini.”

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Muridnya itu agak terlampau berani menjawab setiap kata-katanya. Tetapi Kiai Gringsing yang sudah lanjut itu dapat mengerti, apakah sebabnya maka Swandaru dan Agung Sedayu itu seakan-akan menjadi kehilangan pengamatan diri.

Maka jawab orang tua itu kemudian, “Karena itu Swandaru. Coba dengarlah, aku akan memberikan beberapa cara yang mungkin dapat ditempuh.” Kiai Gringsing berhenti sejenak. Kepada Untara ia berkata, “Angger. Senapati di daerah ini adalah Angger Untara. Meskipun demikian perkenankanlah saya mengusulkan beberapa cara yang mungkin dapat ditempuh.”

“Silahkanlah, Kiai,” sahut Untara.

“Apakah pasukan yang sekarang mengawal orang-orang Jipang ke Pajang itu akan segera kembali dan bahkan bersama-sama dengan pasukan yang baru untuk Angger Untara?”

“Demikianlah menurut Ki Gede Pemanahan.”

“Bagus. Kalau yang berkata demikian adalah Ki Gede Pemanahan maka pasti akan terjadi,” sejenak Kiai Gringsing itu berhenti, kemudian diteruskannya, “Kalau demikian, maka sebaiknya Angger Untara menunggu kedatangan pasukan itu di sini.”

“Kenapa harus menunggu Kiai,” potong Agung Sedayu, “bagaimana kalau pasukan itu tidak segera datang?”

“Kita tinggal akan menemukan Sekar Mirah yang telah menjadi klaras. Menjadi daun yang telah kering tanpa arti,” sambung Swandaru.

“Tunggu dulu,” sahut Kiai Gringsing, “bukan maksudku bahwa kita hanya menunggu saja sampai pasukan itu datang. Kita harus memperhitungkan, bahwa di belakang Sidanti dan Sanakeling itu berdiri Ki Tambak Wedi,” Kiai Gringsing itu terdiam sejenak. Tampaklah kerut-merut menjadi semakin dalam di dahinya. Kemudian ia berkata pula, “Kita harus bersiap menghadapi setiap kemungkinan. Agal atau pun halus. Karena itu pasukan Angger Untara itu sangat kami perlukan. Namun sementara itu kita tidak akan tinggal diam. Kita harus berusaha mendekati padepokan Ki Tambak Wedi dengan diam-diam. Nah, tugas itu dapat diserahkan kepadaku.”

“Bersama aku,” hampir bersamaan Agung Sedayu dan Swandaru berteriak.

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya, “Baik, baik,” katanya, “kami bertiga pergi mendahului pasukan Pajang. Tetapi pesanku Sangkal Putung jangan dikosongkan. Sangkal Putung harus tetap dijaga dengan kekuatan yang cukup. Ini adalah tugas Angger Widura. Mudah-mudahan kita dapat memecah perhatian Ki Tambak Wedi, seperti Ki Tambak Wedi berhasil membuat kepala kita menjadi pening. Mudah-mudahan perhatian KI Tambak Wedi tertarik pada pasukan Untara yang segera akan mendekati padepokan mereka. Sementara itu kami bertiga mendapat kesempatan untuk mendekat. Mudah-mudahan kita akan dapat melihat setidak-tidaknya mendengar nasib Sekar Mirah.”

Pringgitan itu kini terdiam, seakan-akan ingin mencernakan kata-kata Kiai Gringsing itu. Beberapa orang saling berpandangan untuk mendapatkan pertimbangan, meskipun hanya lewat sorot mata masing-masing.

Ki Demang Sangkal Putung mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berdesah. Tetapi ia tidak berkata sesuatu.

Yang mula-mula berbicara adalah Widura, yang selama ini lebih mendengarkan daripada menyatakan pendapatnya, katanya, “Apakah menurut pertimbangan Kiai, Ki Tambak Wedi masih akan kembali lagi ke kademangan ini? Apakah Ki Tambak Wedi mempunyai kepentingan yang sama seperti Tohpati terhadap Sangkal Putung?”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya, jawabnya, “Aku kira demikian. Ki Tambak Wedi tidak akan dapat menyediakan makan yang cukup untuk waktu yang panjang kepada Sanakeling dan anak buahnya. Mereka pada suatu saat pasti memerlukan lumbung yang dapat disadap untuk kepentingan makan mereka.”

“Apakah tidak ada daerah yang lebih dekat dari Sangkal Putung, Kiai. Misalnya Jati Anom.”

“Tentu mungkin. Tetapi kenapa Tohpati memilih kademangan ini daripada kademangan-kademangan lain? Pasti Tohpati itu pun mempunyai alasan yang telah memaksanya berbuat demikian. Bukan mustahil bahwa Ki Tambak Wedi pun mempunya pilihan yang sama. Sebab menurut penilaian oang-orang di luar kademangan ini, di Sangkal Putung tersimpan kekayaan yang berlipat ganda dibandingkan dengan kademangan-kademangan yang lain, sehingga pengorbanan yang diberikan untuk merebut kademangan ini tidak akan sia-sia.”

Ki Demang Sangkal Putung mengangguk-angguk. Di dalam hati kecilnya terbersit pula secercah kebanggaan atas pujian itu, tetapi kebanggaan itu benar-benar harus ditebus dengan sangat mahal. Bahkan kini anak gadisnya harus direbutnya dari tangan orang-orang yang memuakkan itu.

Widura pun mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Seperti Ki Demang ia merasa, bahwa Sangkal Putung menelan tebusan yang mahal. Tetapi Widura adalah seorang prajurit. Seorang prajurit yang bukan saja harus mempertahankan lumbung-lumbung yang akan dapat memberi makan kepada lawan, tetapi prajurit memang harus melindingi hak dan milik rakyat. Bukan sebaliknya. Karena itu, seandainya Sangkal Putung itu tak ada apa-apa pun, adalah kuwajiban setiap prajurit Pajang untuk menjaga dan melindunginya dari pihak-pihak yang dapat menelan daerah itu, memperkosa hak dan kemanusiaan.

Yang bertanya kemudian adalah Swandaru, “Nah, apakah kita akan berangkat sekarang?”

“Jangan tergesa-gesa dan kehilangan perhitungan,” jawab gurunya. “Beristirahatlah. Besok kita berangkat setelah kita membuat persiapan-persiapan secukupnya.”

“Kenapa besok, guru?” sahut Agung Sedayu. “Waktu yang sekejap sangat berguna bagi kita. Yang sekejap itu akan dapat meluluhkan segenap masa depan bagi Sekar Mirah. Yang sekejap itu akan bernilai seumur hidupnya.”

“Itu kalau kita dapat memanfaatkan waktu yang sekejap itu,” sahut Kiai Gringsing. “Tetapi kalau kita gagal sama sekali karena kita ditelan oleh nafsu, maka bagi kita bukan saja kehilangan waktu yang sekejap, tetapi kita akan kehilangan semuanya. Sekarang sebaiknya kita beristirahat. Kita dapat menilai pembicaraan ini. Mungkin kita akan menemukan pikiran-pikiran yang ternyata lebih bernilai dari pikiran-pikiran yang kita temukan dengan tergesa-gesa dalam pertemuan ini. Pertemuan yang lebih banyak dipengaruhi oleh nafsu kemarahan, kecemasan dan ketergesa-gesaan daripada perhitungan yang cermat. Apalagi perhitungan yang bersasaran luas. Hubungan yang bersangkut-paut dengan sikap Pajang terhadap Sanakeling dan Sidanti dan sikap Sangkal Putung atas hilangnya Sekar Mirah. Kita masing-masing tidak dapat memandang dari satu segi. Sebab kedua-duanya memiliki nilainya sendiri-sendiri yang tak dapat saling dipisahkan.”

Ki Demang Sangkal Putung menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba untuk dapat mengerti keterangan itu. Keterangan Ki Tanu Metir. Ketika ia memandang Untara, maka anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata Ki Tanu Metir benar-benar berpandangan cukup luas, mencakup segenap kepentingan yang dihadapi. Untuk mendapatkan Sekar Mirah bukan berarti dapat merusak segenap rencana sikap yang harus ditempuh oleh para prajurit Pajang. Sekar Mirah bagi Pajang hanya merupakan salah satu soal dari seribu macam soal yang harus di atasi. Meskipun demikian Untara tidak akan dapat mengabaikannya. Apalagi Untara menyadari, bahwa adiknya, Agung Sedayu dan Swandaru benar-benar terbakar oleh peristiwa hilangnya Sekar Mirah.

Demikianlah maka akhirnya pertemuan itu pun dibubarkan. Swandaru segera pergi ke bilik ibunya. Ditemuinya ibunya masih juga menangis ditunggui oleh beberapa orang perempuan. Ketika dilihatnya Swandaru masuk ke dalam biliknya maka tiba-tiba tangisnya mengeras. Seakan-akan diteriakkan kepedihan hatinya sepuas-puasnya.

“Oh, anakku Ngger, kemana kau pergi selama ini? Sepeninggalmu ternyata adikmu hilang dicuri orang. Apakah kau akan membiarkannya saja? Apakah kau tidak akan berusaha untuk mengambilnya kembali? Swandaru, kalau adikmu tidak dapat diketemukan, o, lebih baik aku mati saja sama sekali.”

Dada Swandaru seakan-akan terbelah mendengar tangis ibunya. Dengan dada yang sesak ia berjongkok di samping pembaringan ibunya. Perlahan-lahan ia berkata, “Ibu, aku berjanji bahwa aku akan mengambil Sekar Mirah kembali bersama kakang Agung Sedayu dan guru Kiai Gringsing. Aku tidak akan kembali sebelum aku membawa anak itu menghadap ibu.”

Mendengar janji anaknya, tangis ibunya bahkan seakan-akan meledak. Namun di antara suara tangisnya terdengar ia berkata, “Tidak sia-sia aku melahirkanmu Swandaru. Kau adalah anak laki-laki yang harus dapat aku banggakan. Ayahmu menjadi semakin tua. Kaulah yempat kami bergantung. Juga kali ini.”

Terasa dada Swandaru itu seolah-olah menggelegak. Hampir-hampir ia kembali kehilangan pengamatan diri. Hampir-hampir ia meloncat dan berteriak, bahwa malam ini juga ia akan berangkat ke lereng Merapi. Tetapi kemudian kesadarannya berhasil mengekangnya. Ia tidak dapat memaksa gurunya berangkat sekarang. Ia pun tidak akan dapat berangkat sendiri masuk ke dalam sarang hantu Merapi itu. Karena itu, maka betapa dadanya menjadi sesak, namun ia harus bersabar sampai gurunya bersedia membawanya pergi.

Bilik itu pun kemudian sepi. Yang terdengar hanyalah isak tangis Nyai Demang yang sedang kehilangan anak gadisnya. Hilang diseret masuk ke dalam sarang yang penuh dengan serigala yang sedang kelaparan.

Ternyata sisa malam itu sama sekali tidak bermanfaat apa pun bagi pemimpin-pemimpin Sangkal Putung dan prajurit-prajurit Pajang di Sangkal Putung. Mereka tidak berhasil menemukan pikiran-pikiran baru, meskipun mereka sama sekali tidak dapat memejamkan mata mereka. Dengan demikian mereka tidak juga dapat beristirahat.

Malam itu, di padepokan Ki Tambak Wedi, Sidanti duduk menunggui Sekar Mirah. Sekali-sekali terdengar isak gadis itu memecah kesenyapan. Namun kemudian yang terdengar adalah gemeretak giginya beradu. Tetapi betapa kemarahan memuncak di dalam dada Sekar Mirah, namun ia sama sekali tidak dapat berbuat sesuatu.

Tiba-tiba Sekar Mirah terkejut ketika ia mendengar suara Sidanti. Meskipun suara itu hanya perlahan-lahan, namun sudah cukup untuk menghentak dadanya. “Mirah.”

Sekar Mirah berpaling. Dilihatnya mata Sidanti yang memerah liar seperti mata binatang buas yang ingin menerkam mangsanya.

“Kau sekarang berada di padepokanku. Di padepokan guruku. Kanapa agaknya kau tidak merasa senang di sini?”

Sekar Mirah tidak menjawab. Tetapi sorot matanya mamancarkan kebencian yang tiada taranya.

“Kau tidak usah mengingkari, bahwa perasaan kita pernah bertaut. Betapapun orang lain menyebut aku sebagai seorang yang paling kotor di muka bumi ini, tetapi aku memiliki kesetiaan. Apakah kau juga memilikinya? Kau yang dikatakan orang sebagai sekar lati Kademangan Sangkal Putung itu?”

Sekar Mirah masih berdiam diri.

“Aku tidak akan dapat melupakannya Mirah. Aku sadar bahwa kedatangan setan kecil yang bernama Agung Sedayu itu telah mengganggu hubungan kita. Aku sadar pula, bukan saja hubungan kita telah diganggunya, tetapi namaku di mata orang-orang Sangkal Putung telah direbutnya. Anak itu berhasil memenangkan perlombaan memanah di alun-alun di muka Banjar Desa Sangkal Putung. Bahkan sebelumnya, kedatangannya untuk menyelamatkan Sangkal Putung telah mendesak kebanggaanku sebagai anak muda yang paling jantan di kademangan itu.” Sidanti berhenti sejenak. Ditatapnya wajah Sekar Mirah. Tetapi wajah itu seakan-akan menyala karena kemarahan yang membara di dalam dadanya.

“Mirah,” Sidanti meneruskan, “itulah sebabnya maka dendamku kepadanya bertimbun-timbun sampai ke langit. Apalagi pada saat terakhir ini datang pamanku dari Menoreh. Adalah kebetulan sekali bahwa paman yang bernama Argajaya itu bertemu dengan tiga anak-anak muda si perjalanan. Aku tahu pasti bahwa kedua dari anak-anak muda itu pasti Agung Sedayu dan Swandaru. Mereka telah menghinakan Paman Argajaya itu pula. Sehingga kemarahanku tidak dapat lagi aku tahankan. Itulah sebab-sebab yang telah mendorongku mengambil kau dari Sangkal Putung.”

“Pengecut!” tiba-tiba Sekar Mirah itu berteriak sehingga Sidanti terkejut karenanya. “Kau tidak berani berhadapan dengan sikap jantan dengan Kakang Agung Sedayu dan Kakang Swandaru yang pernah kau tampar pipinya beberapa kali itu, karena mereka kini telah menemukan guru yang dapat menyaingi gurumu. Sekarang kau hanya berani mengambil aku, seorang gadis yang lemah.”

Sidanti mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tertawa. “Mirah, dengan mengambil kau dari Sangkal Putung aku akan mendapatkan beberapa kemenangan sekaligus. Bukankah dengan demikian adalah pertanda bahwa Sidanti mempunyai banyak kelebihan dari orang-orang Sangkal Putung. Kalau tidak, bagaimana mungkin aku dapat masuk ke dalam kademangan itu dan mengambilmu? Alangkah ringkihnya pertahanan kademangan itu sekarang sepeninggalku. Seorang gadis, puteri Demang Sangkal Putung masih juga sempat dilarikan orang.”

“Tutup mulutmu!” potong Sekar Mirah beras-keras.

Kembali Sidanti terkejut, tetapi kembali ia tertawa. Bahkan ia berkata, “Bukankah cara ini merupakan cara yang paling baik untuk menantang salah seorang daripada kedua anak muda itu. Agung Sedayu atau Swandaru. Apabila mereka benar-benar jantan, maka mereka pasti akan mengambilmu kemari. Tetapi ternyata mereka tidak lebih dari betina-betina pengecut. Sudah lebih dari sehari semalam kau berada di padepokan ini, tak seorang pun datang menyusulmu. Apa yang disebut pasukan Sangkal Putung dan prajurit-prajurit Pajang itu pun sama sekali tidak berbuat sesuatu untuk membelamu.”

“Kau mengigau,” jawab Sekar Mirah. “Kau mengambil kesempatan pada saat Kakang Agung Sedayu dan Kakang Swandaru tidak ada di kademangan. Kau hanya berani berbuat demikian selagi mereka tidak ada. Apakah dengan demikian kau merasa bahwa kau telah berbuat secara jantan. Bukankah kau sendiri betina pengecut tiada taranya?”

“Oh,” Sidanti mengernyitkan keningnya, “jadi apakah saat ini Agung Sedayu dan Swandaru tidak ada di rumah? Aku sama sekali tidak mengetahuinya. Bahkan aku mengharap, bahwa aku akan dapat bertemu dengan mereka. Bertempur melawan keduanya di sarang mereka sendiri.”

“Bohong!” potong Sekar Mirah. “Kau sendiri mengatakan, bahwa pamanmu secara kebetulan bertemu dengan kedua anak-anak muda dari Sangkal Putung itu. Di mana mereka bertemu? Mereka sama sekali tidak bertemu di Sangkal Putung.”

Sidanti terkejut mendengar jawaban Sekar Mirah. Ia tidak menduga sama sekali bahwa gadis itu ternyata cukup cerdas menanggapi persoalan-persoalan yang dihadapinya. Tak diduganya bahwa ia mampu mempertentangkan kata-katanya yang dianggapnya berlawanan.

Tetapi sejenak kemudia Sidanti itu pun berhasil menguasai perasaannya kembali. Dengan demikian maka ia menjadi tenang, dan bahkan kembali tertawa. Katanya, “Mirah, aku tidak menyangka bahwa kau memiliki otak yang cerdas. Aku sangka kau hanya mampu mengingat macam-macam bumbu di dapur untuk bermacam-macam jenis masakan. Namun agaknya kau mampu juga menangkap tentangan-tentangan yang ada di sepanjang ceriteraku. Bagus. Baiklah aku berkata sebenarnya, bahwa memang Paman Argajaya bertemu dengan Agung Sedayu dan Swandaru di Prambanan. Tetapi, kemudian paman itu sudah berjalan sampai di padepokan Ki Tambak Wedi ini. Menurut perhitungan, maka jarak antara Prambanan kemari dan Prambanan ke Sangkal Putung tidak terlampau banyak terpaut. Sehingga dengan demikian maka Agung Sedayu dan Swandaru pasti sudah ada di kademangan pada saat aku mengambilmu.”

“Bohong! Kau bohong! Kalau kau katakan, bahwa kau ingin bertemu dengan mereka, maka kau pasti sudah berdusta. Bukankah aku mempunyai ayah? Kalau kau jantan dan berkesopanan kau akan datang kepada ayah. Minta aku untuk kau bawa kemari. Kalau ayah tidak boleh, maka kau tantang ia berkelahi dalam perang tanding. Kalau ayah tidak bersedia melakukan sendiri, ayah dapat menunjuk orang lain. Kakang Untara misalnya atau Paman Widura yang pada saat itu berada di kademangan.”

Sidanti itu mengerutkan keningnya, namun kemudian ia menjawab, “Perbuatanku ini pun aku tujukan pula kepada mereka berdua. Apakah gunanya prajurit-prajurit Pajang itu berada di Sangkal Putung? Mereka hanya mampu menghabiskan beras rakyat Sangkal Putung tanpa dapat berbuat sesuatu. Kau, anak Demang Sangkal Putung, yang member para prajurit itu makan pagi, siang, dan malam, hilang tanpa seorang pun yang mencarinya?”

Terdengar gigi Sekar Mirah gemeretak. Kemarahannya benar-benar telah mendidihkan segenap urat darahnya. Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu. Hanya wajahnyalah yang menjadi merah menyala dan matanya bagaikan berlapis darah.

“Mirah,” tiba-tiba suara Sidanti menjadi lunak, “kau tidak usah marah. Marilah kita kenang kembali masa-masa di mana kita selalu bersama-sama. Bukankah kau sering memijit pundakku apabila tanganku kelelahan dalam peperangan? Bukankah kau juga yang membalut lenganku yang terluka ketika aku berkelahi melawan Tohpati? Mirah. Aku tahu bahwa kau tidak dapat melupakan aku seperti aku tidak dapat melupakan kau.”

“Diam!” teriak Sekar Mirah. Tetapi Sidanti tertawa. Bahkan kemudian ia pun berdiri sambil menggeliat.

“Padepokan ini adalah padepokan guruku. Guruku tidak berputra dan berputri. Akulah muridnya dan aku pulalah anaknya. Aku mempunyai kekuasaan di sini seperti kekuasaan Ki Tambak Wedi sendiri. Nah, renungkan kata-kataku. Aku sengaja membawamu untuk banyak kepentingan. Memancing orang-orang Sangkal Putung untuk masuk ke dalam perangkapku, termasuk orang-orang Pajang. Dan apabila kau tetap berkeras kepala, maka aku akan mendapatkan kau dengan tidak ada rasa hormat sama sekali. Aku dapat berbuat apa saja.”

Dada Sekar Mirah hampir meledak karenanya. Tetapi sebelum ia menjawab, maka Sidanti itu pun telah melangkah pergi meninggalkannya seorang diri.

“Tinggallah di situ sampai ada perubahan keadaan yang akan membawamu ke luar,” kata-kata itu terlontar dari sisi pintu yang sesaat kemudian telah didorong dan terbanting keras. Kembali Sekar Mirah tersekat dalam bilik tertutup. Kembali ia melihat dinding-dinding yang membatasi ruangan itu, seperti memisahkannya dari dunia yang membatasi ruangan itu. Tiba-tiba ia merasa terdampar ke dalam sebuah dunia yang asing. Dunia yang sempit yang dipenuhi oleh perasaan benci, dendam, muak, dan bahkan putus asa.

Dada Sekar Mirah itu pun semakin lama menjadi semakin sesak. Nafasnya seakan-akan tersumbat di kerongkongannya. Sejenak kemudian ia terhenyak dalam perasaan yang tidak menentu. Namun tiba-tiba ia pun berteriak sedemikian kerasnya sambil menjatuhkan dirinya telungkup ke atas sebuah amben bambu.

Sekar Mirah itu kini sama sekali tidak dapat menahan tangisnya yang meledak-ledak tanpa dapat dikendalikan.

Tetapi betapa kerasnya ia menangis, ia masih mendengar tiba-tiba pintu bilik itu pun terbuka kembali. Ia melihat Sidanti dengan tergesa-gesa meloncat masuk sambil berteriak pula, “Kenapa kau, Sekar Mirah?”

Oleh pertanyaan itu justru tangis Sekar Mirah terhenti. Diangkatnya kepalanya dan dipandanginya anak muda itu dengan sorot mata semerah nyala api. “Pergi! Pergi kau pengecut! Kau hanya berani berbuat atas seorang gadis. Kalau kau jantan, ayo, tantang Agung Sedayu untuk berperang tanding!”

Sidanti menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia menjadi berlega hati ketika ia melihat Sekar Mirah masih sanggup mengangkat wajahnya dan mengumpatnya.

“Kau mengejutkan aku Mirah, bahkan guruku pun terkejut, sehingga disuruhnya aku menengokmu.”

“Aku tidak memerlukan kau.”

“Baik-baik. Kini kau tidak memerlukan aku. Tetapi suatu ketika kau akan merasa sepi. Dan kau akan menganggap aku adalah satu-satunya temanmu yang paling baik di sini.”

“Enyah, enyah kau dari sini!”

“Alangkah kerasnya hatimu Mirah. Tetapi hati yang keras itu pun pasti akan lekas dapat aku patahkan.”

“Hanya mautlah yang dapat mematahkan hatiku,” bentak Sekar Mirah.

Mendengar jawaban itu hati Sidanti Berdesir. Disadarinya bahwa gadis yang berdiri di hadapannya itu adalah puteri Demang Sangkal Putung dan adik seorang anak muda yang bernama Swandaru Geni. Betapa keras hati ayah dan kakanya, maka hati gadis ini pun pasti tidak jauh terpaut daripada mereka.

Namun justru karena itulah, maka hasrat di dalam hati Sidanti untuk menaklukkannya pun menjadi semakin besar. Semakin keras sikap Sekar Mirah, maka semakin besar nyala api di dalam dada Sidanti. Sebagai seorang laki-laki yang kuat dan kasar, maka Sidanti merasa bahwa kesanggupan yang ada di dalam dirinya pasti mratani. Juga untuk menundukkan gadis ini.

Sejenak kemudian maka kembali Sidanti tersenyum. Sambil melangkah ke pintu ia berkata, “Baiklah Mirah. Aku menyadari bahwa yang aku hadapi kali ini adalah seorang gadis yang garang. Karena itu aku harus berhati-hati. Bukan saja berhati-hati, tetapi aku harus bersabar hati.”

Sekar Mirah kini tidak mau menjerit lagi. Ia tahu bahwa jeritnya pasti akan mengundang Sidanti itu masuk kembali ke dalam biliknya, apabila anak muda itu belum terlampau jauh.

“Lebih baik aku mati daripada di jamah oleh iblis itu,” desis Sekar Mirah di dalam hatinya. Tiba-tiba tangannya meraba ikat pinggangnya. Ia menjadi berlega hati ketika tangannya menyentuh sebuah benda yang kecil. Patremnya masih terselip diikat pinggangnya.Ternyata kemarin Sidanti tidak mengetahuinya, pada saat membawanya ke lereng ini dalam keadaan pingsan.


“Kalau ia mendekat, maka patrem ini akan membunuhnya atau membunuh diriku sendiri.”

Tetapi terasa bilik itu menjadi semakin sempit. Ketika kembali malam mencekam lereng Gunung Merapi, maka kembali bilik kecil itu menjadi gelap. Tetapi hati Sekar Mirah jauh melampaui gelapnya malam yang paling pekat sekalipun.

Ketika Sekar Mirah mendengar pintu bergerit cepat-cepat ia bergeser menjauh. Tangannya segera melekat pada tangkai patremnya yang kecil. Tetapi patrem itu akan dapat mencapai jantungnya apabila ditusukkannya tepat di dada.

Tetapi yang masuk adalah seorang yang bertubuh kecil. Dengan nanar ia memandangi seisi bilik itu. Ketika terlihat olehnya Sekar Mirah berdiri di sudut bersandar dinding, maka tampaklah seleret giginya yang kemerah-merahan oleh sinar pelita yang dibawanya.

“Heh, heh, heh,” terdengar orang kecil itu tertawa, “aku mendapat tugas untuk memasang lampu ini Sekar Mirah. Jangan takut.”

Sekar Mirah tidak menyahut. Ia menjadi ngeri melihat wajah itu. Kecil tapi liar.

Ketika orang yang bertubuh kecil itu telah meninggalkan biliknya, maka kepedihan di dalam dada Sekar Mirah menjadi semakin menyekat dadanya. Kini biliknya tidak lagi menjadi gelap. Sebuah pelita yang kecil telah terpancang di dinding. Tetapi justru sinar yang samar-samar itu telah menjadikan Sekar Mirah bertambah ngeri.

“Oh,” desahnya, “kenapa aku terlempar ke dalam sarang hantu-hantu semacam ini.” Namun ketika terasa dadanya mendesak air matanya menetes, ditahannya hatinya. Ia harus tetap dapat menguasai dirinya. Ia harus tetap melihat dan mendengar keadaan di sekitarnya.

“Aku tidak boleh tenggelam,” desahnya.

Pada saat yang bersamaan, Kiai Gringsing dan Agung Sedayu menunggu di depan pendapa Kademangan Sangkal Putung dengan gelisah. Keberangkatan mereka tertunda karena perkembangan keadaan di Sangkal Putung. Hari itu datang seorang pesuruh dari Pajang yang mengabarkan bahwa pasukan Pajang sedang di perjalanan. Pasukan yang akan diberikan kepada Untara untuk menghadapi hantu di lereng Merapi bersama Sanakeling dan pasukannya. Tetapi ternyata sampai lewat senja pasukan itu belum juga datang.

“Kenapa kita harus menunggu Kiai?” bertanya Agung Sedayu.

“Maksudku, aku akan dapat melihat pasukan itu lebih dahulu. Kemudian apabila kita dapat melihat kekuatan Tambak Wedi, maka segera kita akan dapat membuat perbandingan.”

“Ah. Apakah kita perlu menunggu lebih lama lagi?” bertanya Swandaru pula. Biarlah kita berangkat. Hari telah menjadi gelap. Kita telah kehilangan waktu lagi satu hari.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Baiklah kita segera berangkat. Lebih baik kita berangkat lebih dahulu.”

Kiai Gringsing itu pun segera menemui Untara dan Widura. Diberitahukannya kepada Senapati itu bahwa ia tidak dapat menunggu lebih lama lagi.

“Kalau keberangkatan kami tertunda, Ngger, maka akibatnya pasti kurang baik bagi adikmu, Ki Demang dan Swandaru. Apalagi kalau kedatangan kami di lereng Merapi ternyata terlambat, maka kesalahan pasti akan ditimpakan kepadaku dan Angger.”

Untara dan Widura saling berpandangan sejenak. Tetapi Untara masih mencoba menahannya, “Aku kira pasukan itu pasti datang hari ini Kiai. Kiai akan segera dapat melihat kekuatan itu dan langsung dapat menilainya. Perjalanan Kiai kemudian akan mendapat dua nilai sekaligus. Melihat keadaan Sekar Mirah dan memperbandingkan kekuatan kita dan kekuatan Tambak Wedi.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Sudut pandangan itu akan bermanfaat bagi Untara sebagai seorang Senapati. Tetapi ia tidak sampai hati untuk membiarkan kedua murid-muridnya menjadi tegang, Ketegangan itu akan berbahaya bagi anak-anak muda. Mereka akan dapat kehilangan pertimbangan dan bertindak di luar perhitungan oleh desakan perasaan mudanya.

Karena itu sejenak Kiai Gringsing menjadi bimbang. Menurut pendapatnya, selisih waktu yang beberapa saat pasti tidak akan banyak pengaruhnya. Kalau Agung Sedayu dan Swandaru dapat menunggunya lagi, maka prajurit Pajang itu pasti akan datang, Namun perasaan kedua anak muda itu agaknya telah mencengkam mereka, sehingga nalar mereka tidak lagi dapat bekerja dengan baik.

“Angger Untara,” berkata Kiai Gringsing itu kemudian, “sebenarnya aku dapat mengerti perhitungan Angger. Tetapi adik Angger itu benar-benar telah menjadi waringuten. Demikian pula Swandaru. Kalau kami tidak segera berangkat, aku menjadi cemas bahwa mereka akan pergi lebih dahulu tanpa aku. Nah, apabila demikian keselamatan mereka pasti terancam.”

Untara menarik nafas dalam-dalam. Demikian juga Widura. Tetapi agaknya Widura yang telah lebih tua dari Untara itu lebih dapat merasakan perasaan kedua anak-anak muda itu. Karena itu maka katanya, “Untara, biarlah mereka berangkat. Tetapi Kiai Gringsing pasti akan dapat mengatur perjalanan mereka, sehingga mereka akan dapat melihat kekuatanmu nanti di Jati Anom. Yang penting bagi mereka adalah segera berangkat meninggalkan Sangkal Putung. Mereka hanya ingin segera berbuat sesuatu.”

Akhirnya Untara tidak dapat menahan Kiai Gringsing lebih lama lagi, kalau dengan demikian akan berbahaya bagi adiknya dan Swandaru. Meskipun demikian mereka sempat juga membicarakan cara-cara yang terbaik untuk menyelesaikan tugas mereka.

“Kalau malam ini pasukan itu telah datang, Kiai,” berkata Untara, “dalam waktu yang singkat aku pasti sudah berada di Jati Anom. Kiai dapat melihat kekuatan itu di sana. Aku akan memasang rontek dan umbul-umbul untuk sedikit memberi sentuhan pada perasaan orang-orang Jipang. Mudah-mudahan mereka segera akan terpengaruh, sehingga mereka pun akan menjadi berkecil hati.”

“Bagus, Ngger,” sahut Kiai Gringsing, “berilah tanda-tanda. Kebesaran pasukanmu akan memperkecil daya tahan orang-orang Jipang. Dengan demikian, maka pekerjaanku mencari Sekar Mirah pun akan menjadi lebih mudah. Mudah-mudahan perhatian mereka terpecah. Mudah-mudahan mereka tidak menjadi gila dan berbuat liar di luar batas-batas perikemanusiaan atas Sekar Mirah.”

“Baiklah, Kiai,” berkata Untara kemudian, “mudah-mudahan Kiai besok sempat menghubungi aku di Jati Anom untuk segala keperluan.”

Kiai Gringsing pun segera mengabarkan kepada Agung Sedayu dan Swandaru, bahwa mereka dapat berangkat segera. Agung Sedayu dan Swandaru pun dengan tergesa-gesa minta diri kepada Untara, Widura dan Ki Demang berdua. Sekali lagi Swandaru berjanji kepada ibunya bahwa ia akan membawa Sekar Mirah kembali bersama guru dan saudara seperguruannya. Sedang ibunya melepas anak itu seperti melepasnya masuk ke dalam api peperangan. Orang tua mereka sadar, bahwa apa yang mereka lakukan adalah lebih berbahaya daripada menghadapi lawan di dalam garis perang.

Sesaat kemudian maka mereka bertiga, Kiai Gringsing, Agung Sedayu, dan Swandaru pun segera berangkat meninggalkan induk Kademangan. Langkah mereka tampaknya tergesa-gesa seakan-akan sesuatu telah menunggu mereka di luar sana. Namun mereka hampir-hampir tidak mengucapkan sepatah kata pun.

Yang terdengar hanyalah gemerisik langkah mereka. Kadang-kadang angin yang agak kencang bertiup menggerakkan dedaunan. Dan malam pun menjadi semakin lama semakin pekat, meskiupn di langit bintang bertabur seperti biji padi di sawah.

Tetapi tiba-tiba langkah mereka itu pun tertegun. Di kejauhan mereka melihat dua tiga buah obor berjalan ke arah Kademangan Sangkal Putung.

Sejenak mereka bertanya-tanya di dalam hati. Namun kemudian terdengar Kiai Gringsing bergumam, “Aku kira mereka itulah pasukan yang datang dari Pajang.”

“Mungkin,” sahut Agung Sedayu.

“Apakah kita akan menunggu?” bertanya Kiai Gringsing pula.

“Tidak,” jawab Swandaru, “apakah gunanya?”

“Dengan pasukan itu kita akan lebih banyak dapat berbuat.”

“Menyerang padepokan Ki Tambak Wedi?” bertanya Swandaru, “Bukankah itu akan sangat berbahaya bagi Sekar Mirah? Seperti tadi Kiai mengatakannya.”

“Tidak, Swandaru. Tetapi pasukan itu dapat menarik perhatian setiap orang di dalam padepokan itu, sehingga perhatian mereka terbagi. Mereka tidak saja terikat untuk mengawasi Sekar Mirah di dalam ruang yang menahannya.”

“Pasukan itu dapat datang kemudian,” berkata Agung Sedayu, “Lebih baik kita berusaha memasuki padepokan itu. Apabila kemudian pasukan kakang Untara datang maka keadaan kita akan menjadi lebih baik. Kalau terjadi sesuatu dengan Sekar Mirah karena pasukan kakang Untara, kita dapat mengawasinya, dan mudah-mudahan dapat membebaskannya.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Perasaan anak-anak muda yang sedang terbakar memang kadang-kadang kurang mempunyai nilai pemikiran. Tetapi Kiai Gringsing tidak membantah. Seperti seorang yang memancing ikan. Sekali-kali talinya diulurnya, Namun sekali-sekali ditariknya pula.

“Baiklah, Ngger. Kita tidak menunggu. Tetapi aku ingin melihat jumlah pasukan itu.”

“Apakah gunanya?”

“Kita akan membuat perbandingan.”

“Itu adalah pekerjaan Kakang Untara,” sahut Swandaru. “Itu adalah pekerjaan petugas sandi dari Pajang. Tugas kita adalah melepaskan Sekar Mirah.”

Sekali lagi Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam, “Baiklah,” katanya dalam nada yang rendah. Meskipun demikian Kiai Gringsing itu sudah dapat menduga dengan pasti bahwa segera Untara sudah berada di Jati Anom.

Tetapi tiba-tiba Kiai Gringsing itu pun tertegun. Dengan nada yang datar ia berkata, “Apakah mereka itu benar-benar pasukan dari Pajang yang akan diperbantukan kepada Angger Untara?”

Agung Sedayu dan Swandaru pun mengerutkan keningnya, Dengan serta merta mereka bertanya, “Lalu siapakah mereka itu, Kiai?”

Kembali terdengar suara Kiai Gringsing, “Bagaimana kalau mereka itu orang-orang Sanakeling atau orang-orang Sidanti atau bahkan bersama-sama?”

Kedua anak muda itu tertegun. Terasa denyut jantung mereka menjadi lebih cepat.

“Apakah mungkin demikian?” desis Agung Sedayu.

“Kenapa tidak?” sahut Kiai Gringsing. “Mereka tahu bahwa sebagian dari prajurit Pajang sedang pergi mengantarkan orang-orang Jipang bersama Ki Gede Pemanahan. Bukankah saat ini adalah waktu yang tepat untuk menyerang Sangkal Putung?”

“Kalau demikian, maka para penjaga dan para peronda pasti akan mengetahuinya dan akan segera memberi tanda kepada Kakang Untara. Mungkin dengan panah sendaren, panah api atau kentongan.”

“Benar. Namun dengan demikian mereka akan menjadi terlampau tergesa-gesa. Persiapan, mereka pasti kurang matang.”

“Lalu, maksud Guru?” bertanya Swandaru.

“Kita tunggu sejenak. Kita tidak akan menjumpai mereka, siapa pun mereka itu. Kalau mereka pasukan yang datang dari Pajang, maka kita tinggal saja mereka pergi tanpa menyapanya supaya langkah kita tidak tertunda lagi. Tetapi kalau mereka orang-orang Sanakeling, maka kita wajib mengabari Untara supaya korban kita tidak bertambah-tambah.”

“Bagaimana kita akan mengabarinya? Kita tidak membawa tanda apapun.”

“Serahkan kepadaku,” sahut Kiai Gringsing. “Meskipun aku sudah bertambah tua, tetapi aku masih juga seorang pelari yang cukup baik.”

Agung Sedayu dan Swandaru terdiam. Bahkan mereka menjadi canggung akan pertanyaan mereka sendiri. Yang berdiri di hadapan mereka itu adalah Kiai Gringsing. Guru mereka. Kenapa mereka masih juga bertanya berbagai macam hal seperti sedang mengujinya. Namun yang mendorong mereka sebenarnya adalah kegelisahan mereka atas keselamatan Sekar Mirah. Karena itu mereka segera ingin dapat berbuat sesuatu. Apa saja yang segera dapat dilakukan.

Tetapi kini mereka tidak berkata apa pun lagi. Mereka mengikuti saja ketika guru mereka yang tua itu bersembunyi di balik rimbunnya dedaunan di sudut pategalan.

“Jangan membuat suara apapun. Kalau mereka orang-orang Pajang, dan melihat kehadiran kita maka mau tidak mau kita harus menyambutnya. Bahkan mungkin kita terpaksa kembali ke kademangan. Sedang apabila mereka orang-orang Sanakeling, tinggallah di sini. Jangan sampai kalian terpaksa lari karena mereka beramai-ramai menyerang kalian. Biarlah aku saja yang memberitahukan kehadiran mereka itu kepada Angger Untara.”

Agung Sedayu dan Swandaru tidak menjawab. Namun mereka pun segera berlindung di balik dedaunan. Obor-obor itu kini sudah menjadi semakin dekat.

Namun tiba-tiba dada mereka berdesir. Mereka melihat remang-remang sebuah pasukan yang kuat, hampir sekuat pasukan Widura di Sangkal Putung. Ternyata barisan itu adalah prajurit-prajurit dari Pajang. Sebagian adalah prajurit-prajurit Widura yang kembali ke induk pasukannya setelah mengantarkan orang-orang Jipang, sedang sebagian lagi adalah prajurit-prajurit yang baru yang akan diserahkan kepada Untara untuk langsung dipimpinnya, memecahkan pertahanan padepokan Ki Tambak Wedi.

Tetapi Agung Sedayu dan Swandaru hanya dapat menahan nafasnya. Mereka tidak mau terlihat oleh orang-orang di dalam pasukan itu, supaya mereka tidak usah menampakkan dirinya dan terpaksa kembali lagi ke kademangan untuk ikut serta dalam upacara penyambutan. Bagi mereka adalah lebih baik meneruskan perjalanan ke Jati Anom daripada kembali ke Sangkal Putung.

Ketika pasukan itu telah lewat, maka barulah mereka meloncat ke luar dari persembunyian mereka.

“Sebuah pasukan yang kuat dan meyakinkan,” gumam Kiai Gringsing.

“Tetapi pasukan itu adalah suatu gabungan dengan pasukan Paman Widura,” sahut Agung Sedayu.

“Ya. Tetapi menilik derap langkah mereka, maka aku benar-benar yakin bahwa mereka akan dapat mengatasi keadaan.”

Ketiganya kemudian mengangguk-anggukkan kepala mereka. Tanpa sesadar mereka, mereka berdiri saja di tengah jalan mengagumi iring-iringan yang sudah menjadi semakin jauh.

Perlahan-lahan terdengar Kiai Gringsing bergumam, “Mudah-mudahan semuanya akan segera selesai. Mudah-mudahan besok mereka sudah berada di Jati Anom. Nah, pekerjaan kita akan menjadi lebih mantap.”

Seperti orang terbangun dari tidurnya, maka Agung Sedayu dan Swandaru itu pun berkata hampir bersamaan, “Marilah Kiai, kita berjalam terus.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Marilah.”

Kembali mereka meneruskan langkah mereka. Namun tiba-tiba Agung Sedayu berkata, “Kita memilih jalan yang mana, Kiai?”

“Kita jalan Timur. Bukankah jalan itu lebih pendek dari jalan yang Angger pilih dahulu? Bukankah Angger memilih jalan Kali Asat. Sekarang kita memilih jalan yang lain. Aku tidak berani lewat ujung Bulak Dawa. Di pohon randu alas itu ada Gendruwo Bermata Satu. Bukankah begitu?”

Betapa kisruhnya perasaan Agung Sedayu tentang hilangnya Sekar Mirah, namun sempat juga ia bergumam, “Ah. Itu sudah lama terjadi, Kiai. Dan di bulak itu pula aku bertemu dengan seorang penari topeng yang kehilangan niaganya.”

Kiai Gringsing tertawa kecil, namun Swandaru hanya dapat bersungut-sungut saja. Ia tidak tahu ujung pangkal dari pembicaraan itu.

Demikianlah, maka mereka pun segera berjalan semakn cepat menembus gelapnya malam. Ditelusurinya pematang-pematang sawah dan tegalan. Mereka menempuh jalan yang sedekat-dekatnya yang dapat mereka lalui.

Ternyata Kiai Gringsing telah mengenal segala lekuk dan sudut daerah itu. Bahkan pematang-pematang sawah pun dikenalnya dengan baik. Mereka berjalan dari satu desa ke desa yang lain. Sehingga kemudian mereka pun sampai ke sebuah hutan yang tidak terlampau lebat. Hampir tengah malam maka mereka sampai ke suatu pedukuhan kecil. Mereka datang dari arah Timur lewat sebuah simpang tiga.

“Nah,” berkata Kiai Gringsing, “apakah kalian berdua mengenal tempat ini?”

Agung Sedayu dan Swandaru bersama-sama menggelengkan kepalanya. Dan hampir bersamaan pula mereka menjawab, “Tidak, Kiai.”

“Aneh. Apalagi Angger Agung Sedayu. Sebelum pecah peperangan antara Pajang dan Jipang apakah Angger berdua belum juga pernah kemari?”

“Belum, Kiai,” jawab mereka hampir bersamaan pula.

“Aku tidak percaya,” sahut Kiai Gringsing, “terutama Angger Agung Sedayu.”

Agung Sedayu menjadi heran. Kenapa Kiai Gringsing itu tidak mempercayainya. Ia sejak kecil memang jarang sekali pergi menjelajahi daerah-daerah kecil dan pedukuhan-pedukuhan kecil. Meskipun agaknya padukuhan ini tidak terlampau jauh dari Jati Anom.

“Entahlah, Kiai,” berkata Agung Sedayu kemudian. “Mungkin aku memang pernah datang ke padukuhan ini pada masa kecilku. Tetapi di malam hari begini aku tidak dapat mengenalnya lagi.”

“Angger ingat simpang tiga itu?”

Agung Sedayu mencoba mengingat-ingat.

“Lihatlah jalan ini, Ngger.”

Tiba-tiba Agung Sedayu mengangkat alisnya.

“Jalan ini adalah jalan ke Macanan. Apakah Angger ingat sekarang? Simpang tiga itu adalah simpangan yang membawa kita ke Sagkal Putung lewat dua jalan. Ke Barat kita akan melewati Kali Asat, sedang ke Timur adalah jalan yang kita lewati tadi.”

Agung Sedayu pun kemudian seakan-akan bertemu dengan seorang kenalan lamanya. Kini ia ingat dengan jelas pedukuhan itu. Ya, ia pernah mengenalnya. Tidak hanya satu kali.

“Jalan ini jalan ke Macanan, Kiai?”

“Bukankah begitu, dan jalan ini akan sampai ke Tangkil.”

“Simpang tiga itu adalah simpang tiga yang menuju ke Kali Asat?”

“Nah, kenalilah.”

“Oh,” Agung Sedayu mencoba memandangi jalan yang membujur di hadapannya. Sebuah kelokan kecil yang memasuki padukuhan kecil itu. Tiba-tiba ia berkata, “Bukankah jalan ini menuju ke rumah dukun tua di dukuh Pakuwon?”

Kiai Gringsing tertawa, “Ya, begitulah.”

“Siapakah dukun tua itu,” bertanya Swandaru yang mendengarkan pembicaraan itu dengan wajah berkerut-merut.

“Kau kenal juga orang itu, Adi Swandaru.”

“He,” wajah Swandaru yang gemuk itu menjadi aneh.

“Namanya Ki Tanu Mtetir.”

“Oh,” Swandaru menarik nafas, “jadi di Dukuh Pakuwon inikah rumah Kiai?”

“Ya. Di sinilah rumahku.”

“Lalu bagaimana dengan rumah itu saat Kiai tinggalkan selama ini?”

“Aku pernah mengunjunginya sebelum aku menetap di Sangkal Putung. Aku titipkan rumah itu kepada seorang tetangga yang baik, yang mau memelihara rumah tua dan halaman yang kotor itu.”

Kedua muridnya itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Semula rumah dan halaman itu tidak menimbulkan persoalan di hati Agung Sedayu. Tetapi tiba-tiba kini tumbuhlah pertanyaan di dalam dadanya. Apakah benar Ki Tanu Metir itu memang seorang dukun yang sejak masa kanak-kanaknya berasal dari padukuhan yang kecil itu?

Pertanyaan itu demikian mendesaknya sehingga Agung Sedayu tidak dapat menahannya lagi dan meloncatlah pertanyaannya, “Kiai, apakah Kiai memang sejak kecil berdiam di padukuhan ini?”

Kiai Gringsing memandangi wajah Agung Sedayu. Tetapi sesaat kemudian dilemparkannya pandangan matanya menyelusur jalan yang membujur di hadapannya. Dengan nada rendah ia berkata, “Ya, Ngger. Sejak kecil aku berada di padukuhan ini.”

Tetapi jawaban itu sama sekali tidak meyakinkan Agung Sedayu. Jawaban itu terlampau datar menyentuh hatinya, sehingga tanpa sesadarnya ia berkata, “Ah, aku berpendapat lain, Kiai.”

Sekali lagi Kiai Gringsing memandangi wajah muridnya itu. Tetapi tiba-tiba ia berkata, “Marilah kita berjalan lebih cepat lagi. Kita masih belum sampai ke Tangkil.”

Yang segera menyahut adalah Swandaru, “Marilah Kiai.” Agung Sedayu tidak berkata-kata lagi. Ia tahu bahwa Swandaru menjadi kesal mendengar pembicaraan yang tidak diketahuinya. Karena itu, maka ketika langkah-langkah mereka menjadi semaki panjang dan cepat, mereka tidak lagi bercakap-cakap. Mereka melangkah di dalam malam yang gelap, berjalan di atas jalan berbatu-batu. Tetapi jalan itu kini kering. Tidak digenangi air yang seolah-olah ditumpahkan dari langit, seperti pada saat Agung Sedayu datang berkuda ke padukuhan ini bersama kakaknya Untara, yang pada saat itu sedang terluka.

Bukan saja jalan ini yang kini menjadi jauh berbeda dengan saat-saat ia melewatinya dahulu, tetapi hatinya pun kini sama sekali tidak lagi dicengkam oleh ketakutan dan kecemasan. Ia tidak lagi hampir pingsan melihat tonggak yang tegak di pinggir jalan disambar oleh sinar tatit. Dan ia tidak lagi menjadi lemas melihat sebuah bambu yang menyilang di tengah jalan. Seandainya ia kini bertemu dengan apa yang ditemuinya saat ia berjalan dengan kakaknya, maka hatinya justru akan menjadi gembira. Apalagi kalau yang ditemuinya di jalan ini adalah Sidanti.

Tetapi jalan yang ditempuhnya itu amatlah lengang. Tak seorang pun yang mereka jumpai di perjalanan. Bahkan rumah-rumah di padukuhan kecil itu pun tampaknya gelap dan tidak berpenghuni. Hanya kadang-kadang saja terdengar lamat-lamat rengek anak-anak yang kepanasan oleh udara yang kering. Namun sejenak kemudian suara itu pun terputus. Buru-buru ibunya menyumbatkan air susu ke dalam mulut anaknya.

Mereka yang berjalan di malam yang kelam itu pun merasakan betapa daerah ini tertekan oleh suatu keadaan yang tidak menyenangkan. Dan Agung Sedayu pun menyadari, apalagi setelah Tohpati meninggal, maka laskar Jipang pasti akan menjadi semakin garang berkeliaran di daerah ini.

Dalam kekelaman malam itu Kiai Gringsing dan kedua muridnya berjalan semakin cepat. Ternyata jalan yang mereka tempuh bukanlah jalan yang dahulu dilewati Agung Sedayu bersama Untara. Jalani ini adalah jalan nyidat, langsung dari Dukuh Pakuwon ke Jati Anom. Bahkan kadang-kadang mereka harus meloncati parit-parit dan menyeberangi sungai. Menerobos pategalan dan sawah-sawah menyusup lewat padesan-padesan kecil. Padesan kecil yang sepi.

Akhirnya mereka pun menjadi semakin dekat. Tetapi mereka baru semakin dekat dengan Jati Anom. Mereka masih balum mendaki lereng Merapi mencari padepokan orang yang bernama Ki Tambak Wedi. Padepokan itu masih jauh di arah Barat.

Ketika mereka sampai di jalan yang cukup lebar, maka segera Agung Sedayu mengataui bahwa mereka telah berada di Sendang Gabus. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia adalah anak Jati Anom sejak kecil, tetapi ternyata Kiai Gringsing lebih banyak mengenal lekuk-lekuk padesan di sekitar tempat kelahirannya.

Tetapi Agung Sedayu kemudian tergagap ketika ia mendengar Kiai Gringsing bertanya, “Nah, kita sudah sampai di Sendang Gabus. Apakah kita akan pergi ke Jati Anom, ataukah kita mempunyai tujuan lain?” Agung Sedayu tidak dapat segera menjawab. Seharusnya ialah yang mengajukan pertanyaan itu. Bukan gurunya.

Ternyata Kiai Gringsing pun berkata seterusnya, “Angger berdua. Sudah tentu kita tidak akan dapat langsung masuk ke padepokan Tambak Wedi malam ini. Kita masih belum mengenal jalan-jalan di daerah itu dengan baik. Kita masih harus mendengar apakah yang ada di padepokan itu. Sudah tentu bahwa Ki Tambak Wedi menyadari keadaan mereka setelah mereka dengan dada terbuka menentang kekuasaan Pajang. Kalau Di Tambak Wedi tidak mempunyai kekuatan yang cukup, maka ia tidak akan berani berbuat demikian. Sehingga dengan demikian, maka sudah pasti bahwa padepokan itu akan dibentengi oleh kekuatan yang dapat mereka percayai. Karena itu, maka kita hrus mencari tempat peristirahatan. Tempat yang baik sebagai pancadan menuju ke padepokan Tambak Wedi itu.”

Agung Sedaya dan Swandaru tidak segera menjawab. Baru sekarang mereka menyadari, bahwa apa yang mereka lakukan itu adalah suatu pekerjaan yang berbahaya. Meskipun mereka sama sekali tidak takut menghadapi bahaya, namun sudah tentu bahwa mereka menginginkan pekerjaan mereka berhasil. Sedang apa yang mereka hadapi kini adalah suatu daerah yang masih gelap bagi mereka. Suatu daerah yang seolah-olah berada di belakang tabir yang tak tertembus oleh penglihatan.

Dalam pada itu terdengar Kiai Gringsing berkata pula, “Bagaimanakah pendapat kalian?”

Agung Sedayu dan Swandaru tidak tahu, bagaimana mereka harus menjawab pertanyaan itu. Tetapi terasa oleh mereka, bahwa sebenarnya mereka telah dibakar oleh kemarahan yang hampir tak terkendali.

“Jadi,” berkata orang tua itu, “apa yang akan kita lakukan sekarang? Bukankah aku hanya menuruti kehendak kalian?” Agung Sedayu dan Swandaru masih juga terbungkam. “Nah,” berkata orang tua itu kemudian, “Jadikanlah kali ini pelajaran buat kalian. Kalian ternyata masih terlampau mudah dibakar oleh persaan tanpa mempertimbangkan nalar. Aku telah membawa kalian ke kaki Gunung Merapi seperti yang kalian kehendaki. Agaknya sampai di tempat ini kalian masih belum tahu apa yang akan kalian lakukan. Seandainya kalian berdua pergi tanpa aku, apakah kalian akan langsung mendaki kaki Gunung Merapi dan masuk ke dalam padepokan Tambak Wedi?”

Agung Sedayu dan Swandaru masih belum dapat menjawab. Namun kini mereka menjadi semakin menyadari keadaan. Ketika sekali lagi Kiai Gringsing menasehati mereka, maka perasaan mereka pun segera tersentuh. Berkatalah orang tua itu, “Tetapi apa yang terjadi ini merupakan suatu pelajaran yang berharga bagi kalian.”

Kini sejenak mereka terdiam. Langkah mereka terdengar berdesah di antara daun-daun kering yang menyentuh tubuh-tubuh mereka yang basah oleh keringat.

Jati Anom kini sudah berada di hadapan hidung mereka. “Kita berhenti di Jati Anom” berkata Kiai Gringsing. “Bukankah ada rumahmu di Jati Anom” katanya kemudian kepada Agung Sedayu.

“Ya Kiai,” sahut Agung Sedayu, “tetapi rumah itu agaknya telah kosong. Hanya seorang perempuan tua dan anaknya yang masih kecil sajalah yang menungguinya, pada saat kami tinggalkan.”

“Kita hanya menumpang tidur,” berkata Kiai Gringsing pula. Segera mereka pun menuju ke rumah Agung Sedayu. Dalam malam yang semakin dalam maka jalan-jalan di padukuhan itu pun telah benar-benar sepi. Namun kesepian padukuhan itu agaknya terasa berlebih-lebihan. Hampir tak terlihat nyala pelita dari rumah-rumah di tepi-tepi jalan. Bahkan regol-regol halaman pun tertutup rapat-rapat. Tak ada peronda di gardu-gardu ronda seperti di padesan-padesan kecil yang telah dilaluinya.

Tetapi mereka pun segera memaklumi. Daerah ini adalah daerah yang tidak terlampau jauh dari padepokan di Lereng Merapi itu. Adalah mungkin sekali bahwa orang-orang Jipang di lereng Merapi itu berkeliaran sampai ke padukuhan ini pula. Bahkan mungkin Alap-alap Jalatunda telah mempergunakan daerahnya yang lama untuk mencari apa saja yang diinginkannya. Dengan cara-cara yang lama pula. Merampok dan menyamun.


Meskipun malam menjadi semakin pekat, tetapi Agung Sedayu mengenal daerah itu dengan baik. Setiap lorong dan tikungan dikenalnya seperti mengenali halaman rumah sendiri.

Akhirnya mereka pun sampai ke depan sebuah regol pada halaman yang luas. Tetapi halaman yang luas itu tampaknya gelap bukan main. Tidak ada pelita tersangkut di halaman, bahkan tak ada sorot yang menerobos dari sela-sela dinding rumah itu.

Mereka bertiga, Kiai Gringsing, Agung Sedayu dan Swandaru berhenti sejenak. Perlahan-lahan terdengar Agung Sedayu berkata, “Inilah rumahku, Kiai.”

Kiai Gringsing tersenyum. Jawabnya, “Aku sudah mengetahuinya, Ngger.”

“He?” Agung Sedayu terkejut. “Jadi Kiai sudah mengetahui bahwa ini adalah rumahku?”

“Tentu.”

“Darimana Kiai mengetahuinya?”

“Seperti ayahmu pernah mengenal ponkokku yang jelek di Dukuh Pakuwon, maka aku pun pernah juga datang ke rumah ini.”

“Oh,” Agung Sedayu menarik nafas dalam. Tetapi lebih-lebih ia terkejut ketika Kiai Gringsing berkata, “Aku pernah pula mengunjungi rumah ini bersama Angger Untara.”

“Kakang Untara?”

“Ya, Angger Untara yang terluka itu harus bersembunyi. Tetapi untuk keselamatannya sebagai seorang senapati, maka ia harus benar-benar tidak diketahui tempatnya. Sekali-sekali kami harus berpindah tempat. Dalam kesempatan itu kami pernah bersembunyi pula di rumah ini.”

“Oh,” Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun yang terdengar adalah pertanyaan Swandaru, “Tetapi apakah halamanmu ini sengaja kau jadikan rumah hantu?”

“Kenapa?” sahut Agung Sedayu.

“Tercium olehku bau bunga kantil. Terbayang juga pohonnya yang besar rimbun. Tetapi gelapnya bukan main.”

Agung Sedayu tersenyum. Tiba-tiba terkenanglah masa kanak-kanaknya. Ia sama sekali tidak berani bermain-main di bawah pohon kantil itu, meskipun di sudut halaman rumahnya sendiri. Tetapi kini ia mendapat kesan yang lain.

Ketika kemudian angin malam berhembus agak kencang, terdengarlah benda berjatuhan. Tidak hanya satu dua, tetapi lima, enam, sepuluh.

“Apakah itu?” bertanya Swandaru.

“Apakah kira-kira?”

Swandaru menggeleng. “Aku tidak tahu.”

Agung Sedayu tersenyum. “Di halaman itu terdapat pula sebatang pohon kemiri. Agaknya pohon kemiri itu sedang berbuah. Buahnya yang sudah tua akan berjatuhan ditiup angin.

“Hem,” desah Swandaru, “rumahmu memang rumah hantu.”

“Apakah kau takut hantu?” bertanya Kiai Gringsing.

“Aku hanya takut kepada hantu di bekas perkemahan orang-orang Jipang itu” sahut Swandaru.

Kiai Gringsing tertawa kecil. Sedang Agung Sedayu pun kemudian mempersilahkan mereka masuk.

Terdengar sebuah gerit pintu regol itu terbuka, dan ketiganya pun kemudian hilang ditelan oleh gelap malam di balik regol halaman itu.

Halaman itu memang gelap bukan main. Pohon-pohon yang besar tumbuh di sebelah menyebelah. Meskipun demikian Agung Sedayu masih mengenal halamannya dengan baik. Dengan langkah yang tetap ia berjalan lewat sisi rumahnya langsung ke belakang, ke tempat penunggu rumahnya itu berdiam.

“Mudah-mudahan ia masih berada di sana,” desisnya.

“Ketika aku datang bersama Angger Untara, perempuan itu masih di sana,” berkata Kiai Gringsing.

Dan ternyata di sebuah bilik kecil di belakang rumah itu masih mereka lihat sebuah pelita yang menyala. Agung Sedayu pun menarik nafas bergumam, “Ha itulah ia. Ternyata perempuan itu masih di sana.”

Perlahan-lahan Agung Sedayu mengetuk pintu bilik itu. Dan dari dalam rumah itu pun terdengar suara menyapa, “Siapa?”

“Aku. Sedayu.”

“Oh, Angger Sedayu? Apakah Angger datang bersama Angger Untara?”

“Tidak, Bibi. Aku bersama dua orang kawanku.”

Yang terdengar kemudian adalah langkah kaki perempuan itu perlahan-lahan. Terdengar sebuah gerit kecil dan pintu itu pun terbuka.

“Angger Agung Sedayu,” desis perempuan itu.

“Ya, Bibi.”

“Marilah. Marilah masuk dahulu,” berkata perempuan itu terbata-bata. Tetapi hal itu mula-mula sama sekali tidak tnenarik perhatian Agung Sedayu. Disangkanya perempuan yang sudah lama tidak melihatnya itu hanya sekedar terkejut melihat kehadiran yang tiba-tiba jauh di tengah malam.

Tetapi ketika mereka bertiga melangkah masuk, dengan tergesa-gesa pintu itu pun ditutupnya sambil bergumam, “Setiap sorot lampu yang meloncat ke luar, akan dapat memanggil orang-orang itu untuk datang.”

“Siapa?” bertanya Agung Sedayu yang mulai menjadi curiga.

Sejak perempuan itu memandangi ketiga orang yang kini duduk di atas sebuah amben bambu. Di amben itu pula, anaknya, seorang anak laki-laki, tidur mendengkur.

Bilik itu pun kemudian menjadi sepi. Yang terdengar hanyalah tarikan nafas-nafas mereka, dan dengkur anak yang sedang tidur dengan nyenyaknya itu.

Wajah perempuan itu tiba-tiba menjadi tegang. Ia telah mengenal Agung Sedayu sejak masa kana-kanak. Ia mengenal Agung Sedayu sebagai seorang anak laki-laki yang manja, yang tidak berani beranjak dari sisi ibunya. Karena itu maka sejenak perempuan itu menjadi ragu-ragu. Bahkan kemudian ia bertanya, “Angger, apakah Angger datang hanya bertiga di malam begini?”

“Ya, Bibi. Aku datang bertiga dari Sangkal Putung. Tetapi siapa yang sering datang kemari?”

“Angger,” bisik orang itu seakan-akan takut didengar oleh dedaunan di luar dinding biliknya, “sebaiknya Angger Agung Sedayu menjauhi tempat ini.”

“Ya, kenapa?” Agung Sedayu menjadi tidak sabar. Kembali perempuan tua itu menjadi ragu-ragu. Ditatapnya Agung Sedayu dan kedua temannya berganti-ganti.

Akhirnya Agung Sedayu dapat memaklumi perasaan perampuan itu. Dengan sungguh-sungguh ia berkata untuk meyakinkan pepempuan itu, “Bibi. Katakanlah. Sekarang barangkali aku tidak akan pingsan mendengar nama siapa pun yang akan Bibi sebutkan. Mungkin Bibi masih menganggapku seperti Agung Sedayu yang dahulu, yang sambil menangis mengikuti Kakang Untara meninggalkan Jati Anom di malam yang gelap di bawah hujan yang lebat. Tetapi sekarang tidak, Bibi. Bukan karena aku menjadi seorang yang sakti, tetapi aku sekarang mempunyai seorang teman yang tidak akan dapat dilukai oleh tajamnya senjata.” Sambil menunjuk kepada Swandaru ia berkata, “Lihatlah temanku yang gemuk ini. Ia akan mampu melindungi rumah ini.”

Perempuan tua itu memandangi Swandaru dengan sorot mata yang diwarnai oleh kebimbangan hatinya. Namun sekali lagi Agung Sedayu meyakinkannya, “Bibi, namanya adalah Swandaru. Swandaru Geni. Tangannya dapat menjadi sepanas bara dan sorot matanya apabila ia sedang marah dapat menyala seperti semburan api.”

“Uh,” Swandaru berdesah. Tetapi ia tidak memotong kata-kata Agung Sedayu.

Perempuan itu akhirnya dapat meyakini kata-kata Agung Sedayu. Wajah Swandaru yang bulat itu dapat melenyapkan keragu-raguannya, sehingga perlahan sekali ia berkata, “Angger Agung Sedayu. Daerah ini sekarang terlalu sering didatangi oleh orang-orang dari lereng Merapi. Bahkan rumah ini pernah dimasukinya dan diaduk-aduk seluruh isinya. Sambil memaki-maki mereka bertanya dengan kasar, apakah ini rumah Untara dan Agung Sedayu. Angger Agung Sedayu, aku ternyata tidak dapat ingkar. Mereka tahu benar bahwa rumah ini adalah rumah Angger berdua. Kalau nanti Angger masuk ke ruang dalam, maka Angger akan melihat, bahwa perabot rumah ini telah menjadi rusak.”

Dada Agung Sedayu menggelegak mendengar kata-kata perempuan tua itu. Hatinya baru saja dibakar oleh peristiwa hilangnya Sekar Mirah, sehingga di malam yang gelap ini ia merayapi jalan-jalan kecil, pematang-pematang, dan kadang-kadang lumpur sawah untuk mendekati lereng Merapi, tempat Ki Tambak Wedi membuat sarangnya. Dan kini ia mendengar rumahnya diobrak-abrik orang.

Dengan gemetar Agung Sedayu kemudian bertanya, “Bibi siapakah yang berani masuk ke rumah ini dengan kasar?”

“Orang-orang dari lereng Merapi, Ngger. Mereka sengaja meninggalkan pesan untuk membuat Angger dan Angger Untara marah.”

“Apa kata mereka?”

“Mereka menyebut nama-nama mereka dengan Sidanti, Sanakeling, Argajaya, Alap-alap Jalatunda, dan beberapa orang lain.”

Nama-nama itu telah menyengat hati Agung Sedayu demikian dahsyatnya sehingga anak muda itu terlonjak berdiri. Dengan suara yang bergetar Agung Sedayu bertanya, “Kapan, kapan Bibi? Kapan mereka itu datang kemari?”

“Kemarin, Ngger. Baru kemarin. Dan hampir setiap hari ada saja orang-orang mereka yang berkeliaran. Siang dan malam.”

Kemarahan Agung Sedayu kini memuncak. Bukan saja Agung Sedayu, tetapi Swandaru pun tiba-tiba telah terbakar pula. Dengan lantang ia berkata, “Mari kita cari orang-orang itu.”

“Mari,” sahut Agung Sedayu, “mudah-mudahan kita dapat bertemu.”

Namun dalam pada itu terdengar Kiai Gringsing bertanya, “Kemana kita harus mencari mereka itu, Ngger? Mengelilingi padukuhan ini, atau mendaki lereng Merapi?”

Agung Sedayu dan Swandaru terdiam.

“Kalau kita mengelilingi padukuhan ini, semalam suntuk, bahkan ditambah lima hari lima malam, tetapi kebetulan mereka tidak datang kemari, maka kita pasti tidak akan dapat bertemu. Sedang apabila kita naik ke lereng Merapi, maka pertanyaan yang serupa seperti tadi, tentang benteng yang mengelilingi padepokan itu, akan berulang kembali.”

Swandaru dan Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepala mereka, Kembali mereka terpaksa menyadari ketergesa-gesaan mereka. Namun meskipun demikian Agung Sedayu masih juga menemukan sebab, supaya mereka dapat bertemu dengan orang-orang lareng Merapi itu. Dengan serta-merta ia berkata, “Bibi, bukalah pintunya.”

Perempuan tua itu memandang Agung Sedayu dengan ragu-ragu. Tetapi Agung Sedayu berkata sekali lagi, “Bukalah pintu. Biarlah sorot lampumu meloncat ke luar. Biarlah orang-orang itu melihatnya apabila ia berada di padukuhan ini. Biarlah mereka datang kemari. Kami ingin bertemu dengan mereka.”

“Tetapi, Ngger……….,” sahut perempuan itu cemas.

“Jangan cemas, Bibi. Kami bertiga membawa senjata di lambung kami. Aku bukan Agung Sedayu beberapa bulan yang lampau.”

Tetapi perempuan tua itu masih juga ragu-ragu sehingga sekali lagi Agung Sedayu berkata, “Bukalah bibi. Bukalah.” Bahkan kemudian Agung Sedayu berkata, “Apakah di rumah ini ada lampu yang lain? Kalau ada pasanglah di luar rumah, aku ingin melihat sekali lagi mereka masuk ke halaman rumahku.”

Kiai Gringsing menggelengkan kepala melihat anak-anak muda yang sedang marah itu. Tetapi ia dapat mengerti, betapa darah muda yang sedang bergolak itu melampaui bergolaknya ombak lautan yang paling dahsyat.

Meskipun demikian Kiai Gringsing merasa perlu untuk memperingatkannya. “Angger Agung Sedayu. Apakah perlunya kalian memanggil orang-orang Merapi itu sekarang.”

Agung Sedayu menjadi heran mendengar pertanyaan gurunya. Dengan pandangan mata yang aneh ia menjawab, “Guru, apakah masih belum jelas, bahwa mereka telah menghina aku beberapa kali? Hilangnya Sekar Mirah dan kini rumahku diobrak-abriknya.

“Benar, Ngger. Angger pasti merasa terhina. Tetapi apakah dengan perbuatan itu Angger akan mendapat keuntungan, justru dalam usaha Angger menebus kekalahan yang pernah terjadi.”

“Aku belum pernah dikalahkannya, Kiai,” sahut Agung Sedayu, sedang Swandaru menyelanya, “Kapan kami mengalami kekalahan sejak ia meninggalkan Sangkal Putung?”

“Kekalahan itu telah membawa Angger berdua kemari. Hilangnya Sekar Mirah.”

“Itu bukan kekalahan, Kiai. Itu adalah kecurangan,” sahut Swandaru.

“Ya, ya. Demikianlah,” berkata Kiai Gringsing memperbaiki istilahnya.

“Kenapa usaha itu akan dapat mengganggu, Kiai?”

“Dengan demikian mereka akan mengetahui bahwa Angger telah berada di sini. Selebihnya mereka akan dapat membawa orang-orangnya kemari, mengepung tempat ini dan menangkap kita bertiga. Kalau kita berhasil lolos misalnya, maka penjagaan atas diri Sekar Mirah akan menjadi semakin ketat.”

“Ah,” terdengar kedua anak muda itu mengeluh, “lalu apa yang dapat kami lakukan, Kiai. Segala perbuatan tidak dapat dibenarkan. Apakah keperluan kita ini kemari?” bertanya Swandaru.

“Kita mencari Sekar Mirah,” sahut Kiai Gringsing. “karena itu, tahanlah perasaan kalian. Jangan menimbulkan sesuatu yang dapat mengganggu usaha itu.”

Swandaru menggeretakkan giginya, sedang Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.

Sekarang tidurlah. Beristirahatlah dengan baik. Kecuali kalau malam ini mereka datang dan kita tidak mempunyai waktu untuk menyingkir, maka kita harus berkelahi. Tetapi kalau tidak, kita harus mempergunakan saat ini sebaik-baiknya untuk beristirahat. Waktu kita hanya sedikit, sedang pekerjaan yang kita hadapi adalah pekerjaan yang cukup berat.”

Kembali terdengar gemeretak gigi Swandaru. Tetapi anak-anak muda itu tidak membantah.

“Nyai” berkata Kiai Gringsing, “dimanakah kami dapat beristirahat sejenak untuk menghabiskan malam ini?

Perempuan penunggu rumah Agung Sedayu menjadi agak bingung mendengar pertanyaan itu. Sejenak dipadanginya wajah Agung Sedayu, seakan-akan ingin bertanya kepadanya, dimana mereka akan beristirahat.

Agung Sedayu pun kemudian menangkap maksud perempuan tua itu, sehingga dengan ragu-ragu ia bertanya, “Bagaimana ruang dalam?”

“Ruang dalam itu telah menjadi morat-marit, Ngger. Tetapi kalau saja kalian bersedia membentangkan tikar di lantai.”

“O, itu sudah cukup,” sahut Kiai Gringsing. “Sehelai tikar sudah cukup baik untuk kami.”

Agung Sedayu dan Swandaru, tidak menyahut lagi. Mereka pun kemudian mengikuti perempuan itu masuk ke ruang dalam dengan sehelai tikar dan sebuah pelita kecil.

Demikian mereka melangkah masuk, demikian dada mereka menjadi seolah-olah berguncang. Mereka melihat perabot rumah mereka menjadi rusak. Bahkan beberapa bagian dari dinding sentong tengah pun, menjadi rusak. Pembaringan, gelodok-gelodok dan paga-paga, menjadi potongan-potongan kayu yang berserakan.

“Hem,” Agung Sedayu menggeretakkan giginya.

“Aku belum mengumpulkannya,” desis perempuan tua itu. “Aku ingin salah seorang dari kalian berdua, kau atau Angger Untara, melihatnya bahwa rumah ini telah menjadi berantakan.”

“Ya,” sahut Agung Sedayu singkat. Dan tiba-tiba ia ingat akan bibinya yang tinggal di Banyu Asri. Mungkin sekali bibinya pun akan dapat menjadi sasaran kekasaran orang-orang Sanakeling. Maka dengan serta-merta ia bertanya, “Bibi, bagaimana dengan bibi di Banyu Asri?”

“Bibimu tiba-tiba telah hilang, Ngger.”

“He? Apakah bibi diambil pula oleh orang-orang dari lereng Gunung Merapi itu?”

“Tidak, Ngger. Mungkin bibimu mengetahui pula kemungkinan itu. Beruntunglah bahwa bibimu sempat mengungsi. Tak seorang pun diberitahukannya, kemana ia pergi. Tetapi rumahnya pun menjadi sasaran kemarahan orang-orang itu seperti rumah ini.”

“Hem,” Agung Sedayu menggeram. “Untunglah bibi mempunyai ketajaman firasat. Sebagai isteri seorang prajurit ia harus sigap bertindak sendiri.”

Dalam pada itu, maka mereka pun kemudian membentangkan tikar di tengah-tengah ruangan. Sejenak kemudian mereka pun telah membaringkan diri, sementara perempuan penunggu rumah itu merebus air. Tidak didapur, tetapi di dalam biliknya. Meskipun di dalam rumah itu kini ada Agung Sedayu dan kedua orang teman-temannya, namun perempuan tua itu masih juga berusaha supaya apinya tidak menarik perhatian orang di luar halaman rumah. Bahkan ia menjadi cemas, kalau orang-orang itu akan menangkap Agung Sedayu dan teman-temannya.

Belum lagi ketiga orang itu sempat memejamkan mata mereka, maka lamat-lamat telah terdengar kokok ayam jantan bersahut-sahutan. Semakin lama semakin riuh. Sedang di ujung Timur warna-warna merah telah tersembul dari balik cakrawala.

Tetapi ketiga orang yang berada di ruang dalam itu telah hampir dua malam sama sekali tidak memejamkan mata mereka. Karena itu, meskipun kemudian fajar memerah, namun karena lelah dan kantuk, maka ketiganya pun kemudian tertidur juga.

Meskipun demikian, meskipun di dalam tidur mereka tidak dapat melenyapkan perasaan mereka. Perasaan marah, cemas, dan ragu-ragu, sehingga tidur mereka pun sama sekali tidak dapat nyenyak.

Maka ketika matahari kemudian menjenguk di atas dedaunan di Timur, maka mereka pun telah terbangun.

Agung Sedayu dan Swandaru sendiri tidak tahu, apakah sebabnya mereka tergesa-gesa mandi dan kemudian duduk dengan gelisah menghadapi air hangat.

“Kiai belum mandi?” bertanya Swandaru kepada Kiai Gringsing yang masih duduk berkerudung kain gringsingnya yang sudah semakin lungset.

“Kenapa tergesa-gesa?” bertanya Kiai Gringsing. Swandaru terdiam. Tetapi Agung Sedayu-lah yang menjawab, “Kita akan dapat segera berbuat sesuatu Kiai.”

Kiai Gringsing tersenyum. Perlahan-lahan ia berdiri sambil menggeliat. Kemudian melangkah ke luar, ke perigi.

Sementara itu matahari telah merayap semakin tinggi di kaki langit. Di kejauhan terdengar burung-burung liar bernyanyi bersahut-sahutan. Sekali-sekali gerit senggot timba yang ditarik oleh Kiai Gringsing seolah-olah menjerit-jerit di antara kicau burung yang melengking-lengking.

Tetapi tiba-tiba tangan Kiai Gringsing yang sedang menarik senggot timba itu pun tertegun. Ia mendengar langkah kaki tergesa-gesa di balik dinding belakang halaman rumah Agung Sedayu. Telinganya yang tajam segera dapat menduga bahwa langkah itu adalah langkah yang kurang wajar.

Ketika ia sedang memperhatikan langkah itu dengan saksama, maka didengarnya perempuan tua penunggu rumah Agung Sedayu mendekatinya untuk mengambil air ke sumur itu.

Tetapi langkah yang tergesa-gesa itu disusul oleh langkah yang lain. Bahkan tidak hanya seorang, tetapi dua, tiga orang. Sebelum Kiai Gringsing bertanya maka perempuan tua itu telah berkata, “Kiai, ada beberapa orang di antara anak-anak muda yang tidak betah tinggal di rumahnya. Mereka lebih senang dengan tergesa-gesa pergi ke sawah atau ke ladang. Tidur sehari penuh di antara tanaman-tanamannya. Mereka takut, apabila orang-orang dari lereng Merapi itu turun dan memaksa mereka untuk berbuat sesuatu. Kadang-kadang mengambil milik orang lain untuk kepentingan orang-orang dari lereng Merapi itu. Bukan saja bahan makanan, tetapi juga perhiasan.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian orang tua itu pun bertanya, “Bagaimana kalau mereka tidak mau Nyai?”

“Ah,” sahut perempuan tua itu, “tak seorang pun yang dapat menolak. Itulah sebabnya mereka lebih baik menghindar. Baru nanti malam mereka kembali kerumah masing-masing. Bahkan ada juga yang lebih baik tidur di gubug-gubug di ladang mereka.”

Kembali Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Sedang di luar halaman masih juga terdengar beberapa orang melangkah menjauh.

Tetapi tiba-tiba Kiai Gringsing dan perempuan tua itu terkejut. Ternyata anak-anak muda itu tidak saja pergi dengan tergesa-gesa meninggalkan desa mereka, tetapi kini mereka yang terlambat pergi harus bersembunyi dengan segera. Seseorang dengan wajah yang tegang, tersembul dari balik dinding halaman yang agak lebih tinggi dari tubuhnya sendiri, dan dengan nafas terengah-engah memanjat masuk ke dalam halaman.

“Nyai,” desis pemuda itu, “aku terpaksa masuk ke halaman ini. Aku mengharap Nyai tidak berkeberatan.”

Perempuan tua itu tiba-tiba menjadi pucat. Dengan terbata-bata ia bertanya, “Kenapa Angger masuk kemari? Apakah Angger tidak berusaha melarikan diri saja seperti kawan-kawan Angger yang lain?”

“Aku tidak sempat, Nyai. Aku baru saja memberitahukan kepada kawan-kawan untuk segera pergi. Tetapi agaknya aku sendiri tidak mendapat waktu. Beberapa orang dari lereng Merapi telah memasuki desa ini.”

“Oh,” perempuan tua itu menjadi semakin kecut, “bagaimanakah kalau mereka menemukan Angger di sini?”

“Aku akan bersembunyi, Nyai. Aku akan bersembunyi di atas kandang, atau di bawah timbunan kaju.”

“Kenapa Angger mesti bersembunyi?” bertanya Kiai Gringsing. “Apakah mereka berbahaya bagi Angger?”

“Tidak, Kiai,” sahut anak muda itu yang tiba-tiba menjadi heran melihat kehadiran orang yang belum pernah dikenalnya. “Siapakah kau?”

“Aku adalah saudara laki-laki dari perempuan ini,” sahut Kiai Gringsing. Namun ia menjadi ragu-ragu sendiri. Ia belum tahu siapakah perempuan itu sesungguhnya, tetapi ia berkata terus, “Tetapi jangan hiraukan siapa aku. Sekarang bagaimana dengan orang-orang dari lereng Merapi itu? Apakah mereka akan menangkap Angger?”

“Kalau mereka tahu ada seorang anak muda di sini, pasti mereka akan memasuki halaman ini. Mereka akan membujuk supaya kami ikut serta dengan mereka, kalau kita berkeberatan kadang-kadang mereka menakut-nakuti dan mengancam. Bahkan mungkin kita akan dibawanya untuk berbuat sesuatu yang tidak kita kehendaki. Kita harus menunjukkan di mana mereka dapat menemukan berbagai macam barang-barang berharga dan bahan-bahan makanan.”

“Bagaimana kalau Angger tidak mau?”

“Nah apabila demikian, maka barulah mereka berbahaya bagi kami,” sahut anak muda itu. “Tetapi waktuku tinggal sedikit. Aku telah melihat mereka memasuki desa ini. Biarlah aku bersembunyi, Nyai.”

“Berapa orangkah mereka itu?” bertanya Kiai Gringsing.

“Enam atau tujuh orang. Mungkin ada yang lain lewat jalan lain.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya di dalam hati, “Mudah-mudahan bukan Ki Tambak Wedi sendiri bersama Sidanti dan Argajaya.” Namun kepada anak muda itu ia berkata, “jangan tergesa-gesa bersembunyi. Dua orang menunggumu di ruang dalam rumah ini.”

Anak muda itu terkejut mendengar kata-kata Kiai Gringsing. Bahkan wajahnya yang tegang menjadi bertambah tegang. Dengan tergagap ia bertanya, “Siapakah Kiai ini sebenarnya?”

“Sudah aku katakan,” sahut Kiai Gringsing, “jangan hiraukan aku. Marilah, masuklah ke dalam rumah ini. Ada dua orang yang sedang menunggumu.”

“Tetapi…….,” katanya terputus, dan keragu-raguan mulai melanda perasaannya.

Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Apakah kau sangka aku salah seorang dari mereka itu? Bukan, Ngger. Aku bukan salah seorang dari mereka.”

Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia menjawab, “Kalau demikian, aku tidak ada waktu lagi. Aku harus bersembunyi. Saat ini mereka pasti sudah berjalan-jalan di jalan-jalan padesan kami. Suatu ketika ia akan melihat halaman demi halaman. Dan aku harus tidak mereka lihat di sini. Bahkan Kiai pun sebaiknya masuk ke dalam rumah. Tetapi siapakah kedua orang yang menunggu aku di dalam rumah? Kalau mereka itu anak-anak muda, sebaiknya mereka bersembunyi juga supaya mereka tidak terpaksa melakukan hal-hal yang tidak mereka kehendaki sendiri.”

“Jangan tergesa-gesa, Ngger. Nanti baiklah kau bersembunyi. Tetapi marilah masuk dahulu. Orang-orang dari lereng Merapi itu pasti memerlukan waktu yang lama untuk melihat setiap halaman sebelum ia sampai ke halaman ini. Bahkan mungkin sekali mereka tidak akan masuk kerumah ini.”

“Memang,” sahut anak muda itu, “kemungkinan itu memang dapat terjadi, tetapi kemungkinan yang lain pun dapat pula terjadi. Satu dari dua. Kalau yang satu itu terjadi, maka celakalah aku.”

“Rumah ini sudah dihancurkan, Ngger. Perabot-perabotnya sudah porak-poranda tidak keruan. Apakah mereka masih mungkin datang kemari?”

“Kemungkinan itu selalu ada.”

“Tetapi masuklah sejenak. Di dalam rumah ini ada dua orang anak muda. Yang seorang mungkin Angger telah mengenalnya. Namanya Agung Sedayu.”

“Agung Sedayu?” anak muda itu mengulangi. “Agung Sedayu yang mempunyai rumah ini?”

“Ya,” sahut Kiai Gringsing.

“O, kasihan anak itu. Ia harus segera tahu bahaya yang dapat mengancamnya. Tetapi ia akan dapat membeku mendengar kemungkinan yang dapat terjadi atasnya.”

“Tidak, Ngger. Ia tidak akan menjadi gentar mendengar apapun yang dapat terjadi atasnya, Karena itu marilah, beritahukan kepadanya apa yang dapat terjadi.”

Anak muda itu menjadi bimbang sejenak. Tiba-tiba ia berkata, “Marilah Kiai, cepat-cepat. Waktu kita tidak terlampau banyak.” Kepada perempuan tua penunggu rumah itu anak muda itu berkata, “Nyai, aku minta ijin untuk bertemu dengan Agung Sedayu sejenak supaya aku dapat memberitahukannya, bahwa ia pun harus bersembunyi pula.”

“Silahkan, Ngger.”

Kiai Gringsing yang belum jadi mandi itu pun kembali masuk ke dalam rumah bersama anak muda itu. Demikan ia memasuki pintu belakang masuk ke ruang dalam, maka dadanya pun menjadi berdebar-debar. Ia melihat bahwa Agung Sedayu benar-benar duduk di dalam rumah itu menghadapi semangkuk air hangat bersama seorang kawannya.

“Adi Sedayu,” sapa anak muda itu.

Agung Sedayu berpaling. Ia terperanjat ketika dilihatnya Kiai Gringsing masuk ke rumah itu bersama seorang anak muda. Tetapi kemudian terdengar ia menyapa sambil berdiri tergopoh-gopoh, “Kakang Wuranta.”

Pertemuan itu adalah pertemuan yang tidak terduga-duga. Keduanya pun kemudian duduk di samping Swandaru yang kemudian di perkenalkannya kepada anak muda yang bernama Wuranta itu.


“Kemarilah,” berkata anak muda yang disangkanya bernama Sidanti.

Wuranta melangkah perlahan-lahan. Dadanya diamuk oleh kecemasan dan keragu-raguan. Namun akhirnya ia membulatkan tekadnya bahwa ia akan berbuat sebaik-baiknya seperti yang dipesankan oleh Ki Tanu Metir.

“Siapakah kau anak muda?” bertanya orang yang disangkanya Sidanti itu.

Keringat dingin telah mengalir membasahi punggung Wuranta. Perlahan-lahan ia menjawab, “Namaku Wuranta, Tuan.”

“Nama yang baik,” desis orang yang bertanya itu. “Sebaiknya kau mengenal aku pula. Namaku Sidanti.”

“O,” Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya, “aku telah pernah mendengar nama Tuan. Apakah Tuan yang membawa tombak pendek itu bernama Argajaya?”

Sidanti tertawa, “Darimana kau mengenal kami?”

“Kawan-kawanku mengatakan kepadaku, Tuan.”

“O,” desis Sidanti, “aku memang pernah bertemu dengan beberapa anak-anak muda dari Jati Anom. Sayang di antara kita belum ada sentuhan perasaan yang dapat mempererat hubungan kita. Sebagian dari anak-anak muda Jati Anom sengaja menghindari apabila kami datang ke kademangan ini untuk memperkenalkan diri.”

“Ya, Tuan. Kami, anak-anak Jati Anom kadang-kadang menjadi takut kepada Tuan-tuan.”

“Kenapa takut?” bertanya Sidanti.

“Justru karena kami belum mengenal Tuan.”

Sidanti tertawa. “Alasanmu bagus sekali. Kita terperosok ke dalam suatu lingkaran yang tak berpangkal dan berujung. Kalian takut berkenalan dengan kami, karena itu kalian selalu menghindari kami. Ada pun sebabnya kalian takut karena kalian belum mengenal kami. Begitu?”

Wuranta tersenyum pula. Senyum yang dipaksakannya. Tetapi kini ia telah mencoba melakukan pekerjaannya. Berkali-kali ia berpaling ke belakang dengan gelisahnya. Ia mengharap Sidanti akan bertanya tentang sikapnya itu.

Ternyata harapannya itu berlaku. Dengan dahi yang berkerut-kerut, Sidanti bertanya, “Apakah kau sedang menunggu seseorang?”

“Tidak, Tuan,” sahut Wuranta. “Tetapi seseorang tadi mengejarku. Hampir aku bersembunyi di halaman sebelah seandainya Tuan tidak memanggilku.”

“Siapa yang mengejarmu?” bertanya Sidanti dengan serta merta. “Dan kenapa kau dikejar orang?”

“Ah, soalnya agak memalukan, Tuan.”

“Kenapa?”

“Hanya sebilah keris”

“Bagaimana dengan sebilah keris?” Argajaya tidak dapat bersabar.

“Aku mendapatkan sebilah keris di sebuah rumah yang aku sangka kosong, Tuan. Tiba-tiba dari belakang datang seorang anak muda penghuni rumah itu. Penghuni yang sebenarnya telah lama sekali menghilang.”

“Siapa?”

“Agung Sedayu, Tuan.”

“He,” terasa darah Sidanti tersirap, “kau berkata bahwa Agung Sedayu berada di rumahnya?”

“Ya, Tuan. Agung Sedayu adalah lawan berkelahi sejak kami masih kanak-kanak.”

Wajah Sidanti tiba-tiba menjadi merah. Dengan mata yangmenyala ia bertanya, “Wuranta, mari tunjukkan di mana Agung Sedayu sekarang?”

“Di rumahnya, Tuan. Baru saja aku dikejarnya.”

“Apakah kau tidak berani melawan Agung Sedayu?”

“Aku tidak bersenjata, Tuan.”

“Kalau kau bersenjata?”

Wuranta terdiam sejenak. Dipandanginya Sidanti dengan wajah bertanya-tanya.

Tiba-tiba Sidanti tertawa. Katanya, “Mungkin kau memang tidak akan dapat melawannya. Agung Sedayu tumbuh terlampau cepat. Tetapi serahkan ia kepadaku.”

“Siapakah anak muda itu?” bertanya Argajaya. “Agung Sedayu?”

“Ya.”

“Yang aku jumpai di Prambanan?”

“Nah, itulah, Paman. Agung Sedayu.”

Dada Argajaya pun berdesir. Ia mengenal tiga anak-anak muda di Prambanan. Tetapi Agung Sedayu itu bukanlah anak muda yang berkelahi melawannya.

“Apakah mereka juga bertiga?” bertanya Argajaya.

Wuranta mengerutkan keningnya. Kenapa Argajaya itu dapat menebak bahwa Agung Sedayu datang bertiga? Tetapi maksud Argajaya adalah tiga anak-anak muda, Agung Sedayu, Swandaru, dan seorang lagi yang mengaku bernama Sutajia.

Untunglah bahwa Wuranta segera ingat pesan Ki Tanu Metir, bahwa Agung Sedayu datang seorang diri ke rumahnya. Maka jawabnya, “Sendiri Tuan. Agung Sedayu hanya seorang diri menurut penglihatanku, Tetapi entahlah aku tidak tahu apakah ia datang bersama kawan-kawannya.”

“Beruntunglah kalau aku dapat bertemu dengan setan itu,” desis Argajaya. “Sidanti,” katanya kepada kemenakannya, “serahkan anak itu kepadaku.”

Sidanti tersenyum. Jawabnya, “Jangan seperti berebut durian runtuh, Paman. Aku ingin menangkapnya hidup-hidup. Membawanya kembali ke padepokan dan mempertemukannya dengan Sekar Mirah. Tetapi tidak dalam keadaan yang wajar. Aku ingin supaya Sekar Mirah melihat, Agung Sedayu akan aku ikat seperti anjing. Aku pukuli sampai Sekar Mirah mau menerima aku sebagai suaminya.”

“Kau terlampau mementingkan dirimu sendiri Sidanti. Kau tidak mengingat bahwa kita berada dalam keadaan perang melawan Pajang. Persoalan-persoalan pribadi akan dapat mengganggu bagi persoalan-persoalan yang lebih penting.”

Sidanti masih saja tersenyum. Tetapi kini ia tidak dapat menjawab kata-kata pamannya. Kepada Wuranta ia berkata, “Ayo bawa aku kepadanya. Kalau kau berhasil menunjukkan di mana Agung Sedayu berada, maka kau akan mendapat keris yang kau kehendaki dan bukan itu saja. Mungkin kau mempunyai beberapa permintaan.”

“Baik, Tuan,” sahut Wuranta. “Marilah, sebelum anak itu lari.”

Mereka pun kemudian berjalan beriringan dengan tergesa-gesa. Wuranta berjalan di paling depan dengan tegapnya. Sekali-kali ia meloncat berlari-lari seakan-akan ia benar-benar segera ingin melihat Agung Sedayu itu tertangkap.

Di belakangnya, Sidanti dan Argajaya berjalan sambil memperhatikan Wuranta. Sambil tersenyum Sidanti berkata lirih, “Lagaknya anak itu. Seakan-akan ia sendirilah yang akan menangkap Agung Sedayu. Ternyata ia lari pontang-panting ketika dikejarnya.”

Argajaya tidak menjawab. Tetapi dendamnya kepada Sutajia masih belum dapat dilupakannya, kalau nanti ia benar-benar bertemu dengan Agung Sedayu maka sekali lagi ia ingin minta kepada Sidanti agar menyerahkan anak muda itu kepadanya, sebagai pelepas dendamnya. Namun tiba-tiba di kepalanya melontar sebuah pertanyaan, “Bagaimanakah kalau Sutajia itu kini bersama Agung Sedayu itu pula?”

Tanpa disengajanya ia berpaling. Di belakang berjalan empat orang prajurit dengan senjata di lambungnya. Tetapi bagi Argajaya, empat orang prajurit itu sama sekali tidak banyak berarti apabila mereka benar-benar bertemu dengan ketiga anak-anak muda yang ditemuinya di Prambanan.

Semakin dekat mereka dengan regol halaman rumah Agung Sedayu, maka hati mereka pun menjadi semakin berdebar-debar. Wuranta menjadi cemas, apakah Agung Sedayu benar-benar akan berhasil melepaskan dirinya, sedang Sidanti dan Argajaya menjai cemas kalau anak itu telah meninggalkan rumahnya.

Sampai di muka regol halaman, Wuranta berhenti. Ia menjadi ragu-ragu. Dalam keragu-raguan itu terdengar Sidanti bertanya, “Kenapa berhenti?”

“Aku akan memanggilnya, Tuan.”

“Tak usah. Kita masuki saja rumahnya.”

“Bagaimana kalau Agung Sedayu membawa beberapa orang kawan?”

Sidanti tersenyum, katanya, “Aku pun membawa beberapa orang kawan pula.”

Tetapi Argajaya-lah yang menyahut, “Panggil anak itu keluar. Kita lebih baik tidak menampakkan diri. Kita akan lebih mudah menangkapnya apabila kita telah melihat orangnya.”

Sidanti tidak membantah. Pendapat itu baik juga agaknya. Karena itu maka katanya kepada Wuranta, “Bagaimana caramu untuk memanggilnya. Apakah ia akan keluar juga?”

“Tunggulah, Tuan. Aku akan membuat ia marah.”

Sidanti tersenyum. Katanya, “Lakukanlah.”

Wuranta itu pun kemudian berdiri di tengah-tengah regol halaman rumah Agung Sedayu. Tetapi sebelum berteriak, sekali lagi berpaling kepada Sidanti sambil berkata, “Tetapi Tuan jangan melepaskan aku sendiri. Aku akan dibunuhnya nanti.”

“Penakut,” geram Sidanti. “Aku di sini. Jangan takut.”

Beberapa orang dibelakan Sidanti hampir tak dapat menahan tertawa mereka melihat sikap Wuranta. Sedang Argajaya dengan garangnya berkata, “Lekas, jangan membuang waktu.”

Wuranta memandangi rumah itu lagi. Dilihatnya pintu depan rumah Agung Sedayu tertutup. Tetapi ia mengharap bahwa Agung Sedaya dan kawan-kawannya telah melihatnya dair balik dinding. Sekali lagi ia berpaling kepada Sidanti, dan dilihatnya mata anak muda itu hampir saja meloncat dari pelupuknya.

Wuranta itu pun kemudian menengadahkan wajahnya. Dengan lantang ia berteriak, “He, Agung Sedayu. Kenapa kau bersembunyi? Hampir mati kepayahan aku menunggumu di prapatan. Ayo kalau kau benar-benar jantan.”

Tidak segera terdengar jawaban dari dalam rumah itu. Sidanti dan Argajaya menjadi gelisah. Mereka masih berdiri di balik dinding halaman, sehingga mereka tidak melihat ke dalam halaman.

“Agung Sedayu!” teriak Wuranta kemudian. “He, Agung Sedayu! Kenapa kau tidak mengejarku terus? Aku menunggumu di prapatan.”

Masih belum terdengar jawaban, dan Wuranta berteriak lagi, “He, kalau kau tidak berani keluar, jangan sebut dirimu Agung Sedayu. Jangan sebut dirimu putera Ki Sadewa dan jangan sebut dirimu adik Untara. Ayo, keluarlah!”

Dada Sidanti tiba-tiba berdesir, sedang jantung Argajaya terasa berderak ketika mereka mendengar suara dari dalam halaman. “Wuranta, jangan terlampau sombong. Halaman ini cukup luas untuk mengadu liatnya kulit, kerasnya tulang. Jangan lari. Marilah kita jajagi, siapakah yang jantan di antara kita.”

Tiba-tiba Wuranta tertawa menyakitkan hati. Dengan nada yang tinggi ia berkata, “O, kau agaknya ingin menjebak aku he? Ayo, keluarlah dari regol halaman rumahmu. Kalau kita berkelahi di dalam halaman, maka mungkin kau menyimpan kawan di dalam rumahmu yang jelek itu. Ayo, keluarlah!”

“Kaukah yang akan menjebak aku? Apakah kau sudah mendapat kawan baru sehingga kau kembali lagi ke halaman ini? Ha, jangan ingkar. Aku melihat kau sekali-sekali berpaling. Siapakah kawanmu, he?”

“Persetan! Aku bukan pengecut. Ayo, kemarilah!” sahut Wuranta.

Namun dada Sidanti-lah yang tidak tahan lagi. Seakan-akan dada itu akan bengkah. Ia bukan pengecut yang hanya berani bersembunyi, kemudian menyerang lawanya dalam kelengahan. Karena itu, maka terdengar giginya gemeretak menahan diri.

Ternyata Argajaya pun hampir-hampir tidak dapat menguasai perasaannya lagi. Dengan parau ia menggeram, “Jangan bermain sembunyi-sembunyian. Ayolah Sidanti, kita selesaikan tikus itu.”

Sidanti tidak menunggu ajakan berikutnya. Cepat ia meloncat dari balik diding regol hampir bersamaan dengan Argajaya. “Agung Sedayu!” teriak Sidanti. “Kita bertemu kembali. Apakah kau memang mencari aku.”

“O,” sahut Agung Sedayu, “kaukah itu Sidanti? Dan yang satu itu bukankah pamanmu yang bernama Argajaya? Apakah kau datang bersama gurumu Ki Tambak Wedi?”

Kata-kata itu terasa seperti bara api menyentuh telinga Sidanti. Dengan gigi gemeretak ia menjawab, “Agung Sedayu. Jangan merasa dirimu jantan sendiri. Aku bersedia untuk sekali lagi melakukan perang tanding dengan jujur. Ayo, turunlah. Kita berhadapan sebagai laki-laki.”

Terdengar Agung Sedayu tertawa. Nadanya menyakitkan hati. Katanya, “Wuranta, itukah minta-srayamu?”

“Jangan hanya berbicara!” sahut Wuranta. “Sekarang kau sudah berhadapan dengan lawanmu.”

“Pengecut! Agaknya kau hanya berani bersembunyi di balik punggungnya.”

“Jangan menghina Wuranta! Aku terpengaruh oleh keadaan, karena aku berada di dalam rumahmu tanpa ijinmu,” Jawab Wuranta.

Sidanti hampir tidak sabar lagi mendengar percakapan yang tidak ada ujung pangkalnya, sekali lagi ia membentak, “Sedayu, ayo, kita mulai!”

Agung Sedayu terdiam. Tampaklah wajahnya menjadi tegang. Keringat dingin mengalir dari keningnya. Ia mendapat pesan dari gurunya, untuk kepentingan yang lebih besar, ia harus menghindari perkelahian kali ini. Ia harus masuk kedalam rumahnya dan lari bersama-sama lewat pintu belakang dan meloncati dinding halaman belakan. Tetapi ketika ia melihat Sidanti telah berdiri di hadapannya. Tiba-tiba darahnya menggelegak. Hampir-hampir ia tidak dapat mengingat lagi, apa yang harus dilakukan seandainya gurunya tidak berbisik dari balik dinding, “Tinggalkan mereka. Cepat, kita lari sebelum rencana ini bubrah.”

Agung Sedayu masih diam mematung. Bahkan tangan Swandaru pun menjadi gemetar. Dengan penuh kekecewaan ia berkata, “Guru, kenapa mereka tidak kita bantai sekarang? Bukankah guru dan kami berdua mampu melakukannya? Wuranta itu tidak lagi perlu mencari jalan untuk masuk kedalam padepokan Tambak Wedi.”

“Kau tidak ingin adikmu kembali? Dan apakah kau ingin melihat Jati Anom menjadi karang abang?”

Swandaru terdiam. Yang terdengar kemudian adalah suara Sidanti, “Turunlah atau aku akan naik ke rumahmu?”

“Cepat Agung Sedayu!” perintah gurunya dari balik dinding. “Katakan kepadanya, suatu ketika kau akan menerimanya menjadi tamumu.”

Mulut Agung Sedayu serasa terbungkam. Namun ketika Kiai Gringsing berkata, “Agung Sedayu, taati perintah gurumu,” maka Agung Sedayu itu pun tidak dapat menolak lagi. Ketika ia melihat Sidanti maju setapak maka ia pun berteriak, “Sidanti kali ini aku berkeberatan menerimamu. Tetapi lain kali aku harap kau sudi berkunjung ke rumahku lagi.”

Agung Sedayu tidak menunggu jawaban Sidanti. Hatinya sendiri berguncang dahsyat sekali karena ia harus meninggalkan lawan bebuyutan itu.

Melihat Agung Sedayu meloncat dan hilang di balik pintu, Sidanti terkejut bukan kepalang. Sama sekali tidak disangkanya bahwa begitu cepat Agung Sedayu meniggalkannya dengan tergesa-gesa. Ia mengharap bahwa Agung Sedayu menerima tantangannya dan berkelahi di halaman. Namun tiba-tiba Agung Sedayu berlari seperti tikus melihat kucing.

Justru karena itu maka sejenak ia berdiri diam seperti patung. Argajaya terkejut pula. Sifat anak itu sama sekali berubah dari sifat Agung Sedayu yang ditemuinya di Prambanan, yang melihat ujung senjata dengan tengadah. Apalagi anak muda yang bernama Sutajia. Tetapi adalah mengherankan kalau kali ini tanpa malu-malu Agung Sedayu itu meloncat berlari sipat kuping.

Sejenak kemudian Sidanti menyadari keadaanya. Menyentak ia berkata, “Setan itu harus aku tangkap.”

Tetapi ketika Sidanti meloncat terdengar Wuranta berkata, “Tuan. Tunggulah.”

Sidanti tertegun. Diawasinya wajah anak muda Jati Anom itu dengan heran.

“Tuan, siapa tahu di dalam rumah itu ada beberapa orang yang telah siap menjebak Tuan.”

Sidanti ragu-ragu sesaat. Tetapi kemudian ia bertanya, “Bukankah kau berkata bahwa Agung Sedayu hanya seorang diri saja.”

“Itu menurut penglihatanku, Tuan. Tetapi siapa tahu, bahwa sepuluh atau dua puluh orang telah siap menanti Tuan.”

Argajaya ternyata tidak sabar menunggu mereka berbincang. Ia tanpa berkata sepatah kata pun segera meloncat mendahului. Sidanti berlari melintasi halaman rumah Agung Sedayu. Sidanti pun segera menyusul sambil berkata, “Kalau kau takut, tinggallah di luar. Kalau ia tidak sendiri, maka mereka pasti sudah beramai-ramai mengejarmu tadi.”

Wuranta tidak menjawab lagi. Ia mengharap bahwa waktu yang diusahakannya telah cukup panjang bagi Agung Sedayu dan kedua kawannya.

Dalam pada itu Argajaya telah naik ke pendapa disusul oleh Sidanti. Dengan kasarnya ia mendorong pintu sambil berteriak, “He pengecut! Di manakah kejantananmu? Pilihlah di antara kami, siapakah yang akan kau jadikan lawanmu.”

Suara Argajaya itu berderak memukul dinding-dinding rumah yang kosong. Sama sekali ia tidak mendengar jawaban. Meskipun demikian ia tidak dapat masuk dengan tanpa bersiaga menghadapi setiap kemungkinan yang dapat terjadi. Peringatan Wuranta ternyata mempengaruhinya juga.

“Ayo, keluarlah. Siapa yang berada di rumah ini?”

Masih tak ada jawaban. Sidanti pun kini telah berada di dalam rumah itu. Tangannya telah melekat dihulu pedangnya. Bahkan orang-orangnya yang berada di belakangnya telah menggenggam senjata masing-masing. Sedang tombak pendek Argajaya pun telah siap bergerak apabila terjadi sesuatu dengan tiba-tiba.

“Agung Sedayu,” terdengar Sidanti memanggil-manggil.

Masih tidak ada jawaban.

Dengan marahnya Sidanti pun segera menendang pintu-pintu dan perabot rumah yang memang telah porak-poranda. Suaranya berderak-derak tak keruan. Orang-orangnya pun menirukan saja apa yang diperbuat oleh Sidanti itu.

Tiba-tiba terdengar Sidanti berkata, “Kita cari ke belakang.”

Mereka pun kemudian berlari kehalaman belakang. Wuranta pun ikut pula deng mereka, bahkan seperti mereka juga Wuranta ikut menendang-nendang beberapa macam barang.

“Sedayu!” teriak Sidanti.

Sepi. Tak seorang pun yang menyahut.

“Agung Sedayu, pengecut!”

Suara itu saja yang melontar menyentuh dedaunan. Seolah-olah memenuhi seluruh pedukukan Jati Anom.

“Gila,” geram Sidanti, “apakah aku akan kehilangan dia?”

Tiba-tiba Sidanti itu melihat sesuatu yang bergerak-gerak di dalam bilik belakang. Cepat ia meloncat mendekati. Dengan gerak seperti kilat pedangnya telah tergenggam di dalam tangannya. Kali ini ia tidak membawa pusakanya, nenggala.

“Keluar!” teriaknya. “Ayo keluar! Apakah kau Agung Sedayu?”

Yang terdengar kemudian adalah suara tangis kanak-kanak yang meledak. Dengan penuh ketakutan seorang perempuan dengan anak laki-laki yang masih kecil terbongkok-bongkok keluar dari bilik kecil itu.

“O, gila kau,” bentak Sidanti. “Di mana Agung Sedayu, he?”

“Agung Sedayu lari, Tuan,” sahut perempuan itu.

“Suruh anak itu diam!” teriak Argajaya sambil menunjuk kepala anak itu dengan ujung tombaknya.

“Cup, Ngger,” desis perempuan itu sambil menggigil. Didekapnya anak itu di dadanya.

“Suruh anak itu diam!” bentak Argajaya pula.

Perempuan itu menjadi semakin ketakutan. Dengan gemetar ia mencoba manahan tangis anaknya, “Cup diam ya Ngger.” Tetapi anak itu masih juga menangis.

“Di mana Sedayu?” sekali lagi Sidanti membentak.

“Lari, Tuan. Ia lari meloncat pagar dinding itu.”

“Kau berkata sebenarnya? Apakah anak itu tidak kau sembunyikan?”

“Tidak, Tuan. Tuan dapat mencari di seluruh halaman ini.”

“Kalau aku ketemukan dia, aku penggal kepalamu.”

Perempuan itu tidak menjawab, tetapi ia menggigil ketakutan.

“Ayo, tunjukkan di mana ia bersembunyi!” perintah Argajaya.

Tiba-tiba Wuranta maju selangkah sambil berkata, “Maaf Tuan-tuan, perempuan ini adalah bibiku. Memang ia menjadi pembantu dan penunggu rumah Agung Sedayu sejak ayahnya masih hidup. Karena petunjuknya pula aku ingin mengambil keris hari ini, tetapi tiba-tiba saja Agung Sedayu itu datang.”

Argajaya dan Sidanti serentak berpaling memandangi Wuranta. Dan Wuranta mencoba meyakinkan, “Ia berada di pihakku, Tuan. Ia tidak akan menyembunyikan Agung Sedayu.”

Sidanti dan Argajaya menjadi ragu-ragu sejenak. Ditatapnya wajah Wuranta dan perempuan itu berganti-ganti. Kemudian berkata Sidanti, “Apakah kau berkata sebenarnya?”

“Buat apa aku membohong, Tuan. Bibi inilah yang mengatakan bahwa Untara telah menyimpan sebuah pusaka berbentuk keris di dalam rumah ini. Tetapi ketika aku mencoba mencarinya, aku masih belum menemukannya. Malahan hari ini Agung Sedayu yang datang tanpa disangka-sangka telah mengejarku.”

Sidanti dan Argajaya mengerutkan keningnya. Tetapi mereka tidak segera berbuat sesuatu.

Ketika mereka masih saja berdiri diam, maka tiba-tiba bertanyalah Wuranta kepada perempuan tua itu, “Bibi, kemana Agung Sedayu melarikan dirinya? Ke samping atau ke belakang?”

“Ke belakang, Ngger,” sahut perempuan itu ragu-ragu.

“Apakah Tuan masih akan mengejarnya?” bertanya Wuranta.

Sidanti dan Argajaya tiba-tiba tersadar. Tanpa berkata sepatah kata pun segera mereka berlari dan dengan tangkasnya mereka meloncat dinding di bagian belakang. Wuranta pun tidak ketinggalan pula. Ternyata ia pun cukup tangkas untuk meloncat dinding itu tanpa kesulitan.

Tetapi mereka sudah tidak menemukan seseorang di belakang dinding itu. Meskipun demikian mereka masih mencoba mencarinya ke sekitar halaman rumah Agung Sedayu, bahkan sampai ke halaman rumah tetangga-tetangganya. NAmun mereka sudah tidak menemukan Agung Sedayu.

“Sayang,” desis Wuranta.

“Apa yang sayang?” bertanya Sidanti.

“Monyet itu.”

“Huh,” Argajaya mencibirkan bibirnya. “Apa yang dapat kau lakukan seandainya kami menemukannya? Kau hanya mampu lari terbirit-birit seperti anjing kena cambuk.”

Terasa dada Wuranta berdesir. Sesaat darahnya bergolak, namun sesaat kemudian ia tersenyum kecut. Tetapi ia tidak menjawab sepatah katapun. Meskipun demikian, terasa alangkah menyakitkan kata-kata Argajaya itu. Ia tahu, bahwa orang-orang dari lereng Merapi adalah orang-orang yang pilih tanding. Bahkan anak muda yang bernama Sidanti itu memiliki kemampuan bertempur yang hampir di luar kemampuan prajurit biasa. Argajaya itu adalah pemimpin yang agaknya disegani juga. Tetapi untuk mendengarkan hinaan dari mereka terasa telinganya menjadi sakit juga.

Meskipun demikian Wuranta harus menahan diri. Ia sedang melakukan tugas yang sangat berat. Karena itu ia harus dapat mengorbankan perasaannya dan bahkan harga dirinya. “Pekerjaan yang tidak menyenangkan,” ia berdesah di dalam hantinya.

Namun sedikit banyak terasa olehnya, bahwa orang-orang lereng Merapi sampai saat itu tidak mencurigainya. Pekerjaannya kini tinggallah mencari kepercayaan yang lebih besar dan berusaha untuk turut serta ke sarang mereka.

Setelah mereka tidak dapat menemukan jejak Agung Sedayu, maka Sidanti kemudian berkata, “Apakah yang harus kita lakukan kini, Paman?”

Argajaya tidak segera menjawab. Diawasinya wajah Wuranta yang kemudian berpaling. Ia tidak mau berpandangan mata dengan paman Sidanti yang kasar itu supaya ia tetap dapat menahan diri dalam tugasnya.

“Bertanyalah kepada pengecut itu,” jawab Argajaya, “apa saja yang ingin dilakukan di kampung halamannya ini.”

Sidanti mengerutkan keningnya. Baginya pamannya memang terlampau kasar menghadapi orang-orang yang sedang dipancing untuk berpihak kepada mereka.

“Baiklah,” akhirnya Sidanti itu menjawab, dan kepada Wuranta ia bertanya, “Wuranta, apakah yang sebaiknya kita lakukan. Apakah ada yang menarik di kademangan ini untuk dikunjungi?”

Wuranta menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu arti pertanyaan itu. Sidanti dan Argajaya ingin menemukan sesuatu yang mungkin berharga bagi mereka.

Tetapi Wuranta pura-pura tidak mengerti maksud Sidanti. Karena itu ia bertanya, “Apakah maksud Tuan?”

Sidanti tersenyum. Kemudian katanya, “Apakah kau tahu, di mana kami mendapat sesuatu yang dapat disumbangkan untuk perjuangan kami melawan ketamakan orang-orang Pajang? Pusaka misalnya atau perhiasan untuk menambah bekal?”

“Di rumah Agung Sedayu ada pusaka, Tuan, tetapi beberapa hari aku sudah mencarinya, namun belum juga ketemu.”

“Bodoh kau!” bentak Argajaya. “Apakah kau tahu, di mana ada orang-orang kaya di kademangan ini?”

“O,” desis Wuranta. Sekali lagi telinganya menjadi pedih. “Tetapi Tuan, rumah-rumah itu telah pernah Tuan kunjungi.”

Mata Argajaya terbelalak karenanya. Hampir ia mengumpat sejadi-jadinya. Tetapi Sidanti-lah yang mendahului sambil tertawa, “Baik. Memang barangkali kau benar. Hampir setiap rumah yang cukup menarik telah kami kunjungi. Lalu barangkali kau mempunyai pertimbangan lain?”

Wuranta menggelengkan kepalanya.

“Selain harta benda apakah yang dapat kau sumbangkan?” bertanya Sidanti.

“Apakah maksud Tuan?”

Sidanti tidak meneruskan kata-katanya. Tetapi sambil tersenyum ia berkata, “Ah, hari telah siang. Apakah kita sudah cukup, Paman?”

“Lalu anak ini?” berkata Argajaya sambil menunjuk kepada Wuranta.

Sebelum Sidanti menjawab Wuranta telah mendahului, “Apakah Tuan akan segera kembali naik ke lereng Merapi? Aku menjadi takut Tuan apabila nanti Agung Sedayu datang kembali.”

Sidanti tersenyum melihat Wuranta yang kecemasan itu, katanya, “Lalu? Apa yang kau kehendaki?”

Wuranta tidak segera menjawab. Ditatapnya wajah kedua pemimpin dari lereng Merapi itu berganti-ganti. Namun agaknya Argajaya tidak begitu senang melihat sikapnya. Maka katanya, “Kenapa kau bertanya kepadanya? Biarkan saja, apa yang akan dilakukannya.”

........bersambung ke Jilid 21

Tidak ada komentar:

Posting Komentar