Senin, 18 Desember 2017

API di BUKIT MENOREH Jilid 18

API di BUKIT MENOREH

Karya S.H Mintardja

JILID 18


PRAJURIT yang agak kecil dan bahkan semua orang terperanjat melihat orang itu. Orang itu pun ternyata prajurit Pajang pula.

“Kenapa kau?” bertanya prajurit yang bertubuh kecil.

“Kenapa kau berada di situ pula,” jawab prajurit yang ditanya.

Dan mereka pun terdiam. Namun kembali mereka terkejut ketika mereka tiba-tiba mendengar suara tertawa dari kegelapan.

Ternyata suara tertawa itu telah memecahkan ketegangan yang semakin memuncak. Ketika anak-anak muda Sembojan, Tlaga Kembar, dan anak-anak muda induk Kademangan Prambanan melihat, bahwa di kedua belah pihak berdiri beberapa orang prajurit Pajang, maka mereka pun menjadi berdebar-debar.

Dan kini seperti disentakkan oleh sebuah tenaga, maka semua kepala berpaling ke arah suara tertawa itu. Namun suara tertawa itu sendiri segera terputus.

Yang terdengar kemudian adalah suara gamelan di pendapa banjar desa. Suara gamelan dalam irama yang semkain panas dan orang-orang tua pun menjadi semakin gila. Mereka telah melupakan ketuaan mereka. Namun orang-orang di halaman itu, tidak saja laki-laki, tetapi perempuan-perempuan, beranggapan bahwa orang-orang laki-laki yang jantan, harus berani turun ke gelanggang tayub. Bahkan ada di antara isteri-isteri mereka sendiri akan menjadi malu bahwa laki-lakinya, suaminya, tidak berani menggandeng seorang ledek. Dan perempuan-perempuan yang demikian, telah ikut membantu suaminya terjerumus ke dalam daerah yang semakin kelam. Tetapi dengan demikian, semakin gila seorang suami, maka kesempatan bagi perempuan-perempuan pun semakin menjadi semakin luas. Sebab suaminya semakin sering berada di luar rumah, meskipun ada juga di antara mereka, di antara isteri-isteri itu, yang hanya dapat menangis dan menekan dadanya apabila suaminya menjadi kambuh. Tuak dan beraneka perbuatan terkutuk. Tetapi dalam keadaan yang demikian, banyak pula perempuan yang tenggelam dalam daerah yang suram. Dan celakalah anak-anak mereka. Sebab orang-orang tua yang demikian tidak akan sempat memperdulikan anak-anaknya. Seperti anak-anak muda dari Sembojan dan Tlaga Kembar saat itu. Tak seorang pun yang berada di pendapa itu menaruh perhatian.

Suara tertawa di kegelapan itu benar-benar telah membakar hati para prajurit yang sedang marah, dan terutama kedua orang tamu dari Menoreh. Bahkan sejenak kemudian terdengar tamu yang seorang lagi. Agaknya pimpinan rombongan itu berkata dalam nada yang marah, “Mana orang itu, he?”

Anak-anak Sembojan mengerutkan keningnya. Kini mereka tidak dapat tertawa-tawa lagi, sebab ada beberapa orang prajurit pula yang berdiri di pihak Tlaga Kembar.

Tetapi kedua orang tamu dari Menoreh yang lain tidak segera menjawab pertanyaan itu, bahkan mereka berkata, “Aku mendengar seorang yang gila tertawa di kegelapan itu.”

“Ya,” sahut prajurit yang kecil.

Bahkan prajurit yang memihak anak-anak muda Tlaga Kembar pun menyahut, “Anak setan. Siapa dia?”

Prajurit-prajurit itu, baik yang berpihak kepada anak-anak muda Sembojan maupun Tlaga Kembar, tiba-tiba bersama-sama melangkah mendekati arah suara tertawa itu. Di belakang mereka, berjalan kedua tamu dari Menoreh, bahkan kawan-kawannya yang seorang lagi ikut pula di belakangnya. Anak-anak muda Sembojan dan anak-anak muda Tlaga Kembar pun beringsut dari tempat masing-masing. Kini anak-anak muda Tlaga Kembar tidak perlu berusaha melarikan dirinya. Agaknya ada pula beberapa orang prajurit yang memihak kepada mereka. Meskipun anak-anak muda Tlaga Kembar segera mengenal prajurit itu, prajurit yang sering datang kepada mereka dan mendapat bermacam-macam kesenangan dari anak-anak Tlaga Kembar itu. Namun selain daripada itu, agaknya anak-anak induk kademangan pun akan menilai mereka lebih baik dari anak-anak Sembojan. Dengan demikian setidak-tidaknya anak-anak muda induk kademangan akan dapat membesarkan hati mereka.

Haspada dan Trapsila pun melangkah pula ke arah suara tertawa di kegelapan. Terdengar kemudian Haspada berdesis, “Apakah mereka anak-anak muda dari Sangkal Putung itu?”

“Mungkin,” sahut salah seorang dari keempat kawannya.

“Kasihan, anak itu tidak tahu, apakah sebenarnya yang terjadi di halaman ini. Mereka melihat peristiwa yang memalukan ini seolah-olah melihat lelucon yang pantas ditertawakan, meskipun sebenarnya peristiwa ini memang mentertawakan.”

“Siapakah mereka?” bertanya Trapsila.

“Anak-anak Sangkal Putung.”

“Sangkal Putung?” ulang Trapsila.

“Ya. Kademangan lain.” jawab Haspada pendek.

Trapsila mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tiba-tiba ia menahan nafasnya ketika dilihatnya para prajurit Pajang itu menarik tiga orang anak-anak muda dari kegelapan. Dua orang di antaranya bertubuh sedang, sedang yang satunya bertubuh gemuk agak pendek.

“Merekalah itu,” desis Haspada. “Kasihan.” Namun Haspada tidak dapat berbuat apa-apa, seandainya ia tidak ingin bertengkar dengan para prajurit itu.

Terdengar di antara pekik gamelan yang menggila suara prajurit Pajang yang lantang, “Siapa kalian he?”

Prajurit itu menggenggam baju Sutawijaya sambil mengguncang-guncangnya. Sutawijaya sama sekali tidak melawan. Dijawabnya pertanyaan itu perlahan-lahan, “Namaku Sutajia, Tuan.”

Prajurit itu memandangi kedua kawan Sutawijaya, yang keduanya pun berada di tangan prajurit-prajurit Pajang yang lain.

“Siapakah kedua kawanmu itu, dan dari manakah kalian?”

“Kami datang dari Sangkal Putung, Tuan. Keduanya adalah adik-adik sepupu.”

Mendengar jawaban itu prajurit-prajurit Pajang itu menegerutkan keningnya. Mereka telah mendengar apa yang terjadi di Sangkal Putung. Dan mereka tahu siapakah yang berada di kademangan itu, meskipun perkembangan yang terakhir belum didengarnya.

“Apakah kalian tidak berbohong?” bertanya prajurit yang lain sambil mengguncang lengan Agung Sedayu.

“Tidak, Tuan,” jawab Agung Sedayu. “Sebenarnya kami datang dari Sangkal Putung.”

“Kalau benar kata kawan-kawanmu,” berkata prajurit yang lain lagi, yang menangkap Swandaru, “jawab pertanyaanku. Apakah di Sangkal Putung ada beberapa orang prajurit Pajang?”

“Tidak hanya beberapa, Tuan,” Sahut Swandaru, “tetapi segelar sepapan.”

Prajurit-prajurit itu mengerutkan keningnya. Memang di Sangkal Putung terdapat tidak hanya beberapa orang, tetapi lebih dari seperangkat prajurit, meskipun belum segelar sepapan dalam bentuk yang besar.

“Kalau benar-benar kau dari Sangkal Putung,” bertanya prajurit yang menangkap Sutawijaya sambil mengguncangnya, “katakan, siapa pemimpinnya?”

“Banyak, Tuan,” sahut Sutawijaya. Namun ia menjadi berdebar-debar melihat sikap Swandaru. Anak gemuk itu masih saja tersenyum-senyum.

“Sebutkan salah seorang daripada mereka!” bentak prajurit itu.

Sutawijaya menahan nafas sejenak. Namun kemudian terlontar dari bibirnya, “Sidanti. Salah seorang daripadanya bernama Sidanti.”

Prajurit itu tanpa sesadarnya berpaling kepada ketiga tamu dari Menoreh. Terdengar salah seorang dari para tamu itu berkata, “Kau benar. Salah seorang dari pemimpin prajurit Pajang di Sangkal Putung bernama Sidanti. Tetapi kenapa kalian sampai kemari, dan kenapa kalian mentertawakan kami?”

“Yang pertama, Tuan,” jawab Sutaijaya, “kami datang kemari hanya terdorong oleh keinginan saja. Kami ingin melihat-lihat kademangan-kademangan lain, selain Sangkal Putung. Dan kini kami telah melihat Kademangan Prambanan.”

“Ya. Tetapi kenapa kalian tertawa, he?” bentak prajurit yang bertubuh raksasa. Agaknya pening kepalanya telah berkurang.

“Kami melihat keanehan di sini.”

“Apa yang aneh?”

Sutawijaya ragu-ragu sejenak, tetapi kemudian ia menjawab

“Di Sangkal Putung, aku tidak pernah melihat prajurit bertengkar sesamanya. Aku tidak pernah melihat anak-anak muda saling berkelahi, dan beberapa orang prajurit berada di pihak yang berlawanan.”

Jawaban itu sederhana sekali. Tidak berbelit-belit dan tidak terlalu sukar dimengerti. Kesan yang tersirat dari kata-kata itu adalah anak muda itu menjawab dengan jujur. Tetapi jawaban itu seperti bara yang menyentuh hati prajurit-prajurit Pajang di Prambanan. Karena itu, maka alangkah panasnya wajah dan telinga mereka.

Dengan serta-merta, prajurit yang menggenggam baju Sutawijaya itu mengguncang-guncang lebih keras lagi, dan tanpa disangka-sangka tangannya yang lain terayun ke wajah anak muda itu, sehingga terdengar Sutawijaya mengaduh. Kemudian merengek-rengek. Katanya, “Ampun, Tuan. Ampun. Aku berkata sebenarnya. Aku tidak berbohong, Tuan.”

Kembali Sutawijaya terdiam ketika tangan itu sekali lagi menampar pipinya.

Agung Sedayu dan Swandaru menjadi bingung. Apakah yang harus dilakukan. Tetapi tiba-tiba Swandaru tersenyum di dalam hati melihat Sutawijaya itu beriba-iba sambil merintih. Katanya, “Ampun, Tuan. Ampun.”

Tetapi prajurit yang marah itu menjadi semakin marah, geramnya, “Mulutmulah tang mentertawakan kami dan mulutmu ini pulalah yang menghina kami.”

“Ampun, Tuan,” rintih Sutawijaya. “Aku berkata sebenarnya. Prajurit-prajurit di Sangkal Putung bertempur melawan sisa-sisa laskar Arya Penangsang yang menjadi liar. Kalau mereka satu sama lain berkelahi di pihak-pihak anak muda yang saling bertentangan, maka sisa-sisa laskar Arya Penangsang itu pasti akan segera menguasai Sangkal Putung. Di Sangkal putung, justeru para prajurit menjadi pemisah seandainya sekali dua kali ada anak-anak muda yang berselisih. Mereka tidak berpihak pada salah satu daripada mereka. Tetapi mereka bertindak adil.”

Kembali kata-kata Sutawijaya terputus oleh sebuah tamparan di mulutnya. Kini prajurit itu tidak lagi memegangi bajunya, bahkan tangannya yang lain pun menampar mulut itu pula. Sutawijaya terhuyung-huyung beberapa langkah surut, kemudian terjatuh beberapa langkah di muka Swandaru.

Prajurit agaknya tidak puas melihat Sutawijaya terjatuh. Ia ingin melihat anak itu pingsan. Tetapi ketika ia melangkah maju, ia tertegun ketika ia mendengar Haspada berkata, “Paman. Anak itu terlampau jujur. Ia berkata seperti apa yang dipikirkannya. Ia melihat keanehan menurut pikirannya dan hal itu dikatakannya. Ia pernah melihat sikap prajurit Pajang di Sangkal Putung yang lain dari prajurit Pajang di sini, dan itu dikatakannya pula tanpa maskud apa-apa.”

“Tutup mulutmu!” bentak prajurit-prajurit itu.

“Paman harus bersikap adil,” kini Trapsila-lah yang menjawab. “Paman, jangan bertindak karena Paman mampu berbuat demikian. Bukankah apa yang dikatakan itu sebenarnya telah terjadi? Bentrokan di antara anak-anak muda muda di Prambanan semakin menjadi-jadi karena Paman ini menyediakan diri untuk berpihak, sehingga anak-anak muda semakin berani. Berani dalam arti yang sangat mengecewakan. Berani dalam pengertian yang sangat memalukan.”

“Diam! Apakah aku juga harus menampar mulutmu?”

“Jangan membentak-bentak,” Sahut Trapsila. Anak muda itu sama sekali tidak menjadi takut. Bahkan tiba-tiba dari antara anak-anak muda di halaman itu tampak beberapa orang bergerak maju. Haspada dan keempat kawan-kawannya, kawan-kawan Trapsila yang lain dan beberapa anak induk kademangan yang berpendirian lain dari kawan-kawa mereka yang seakan-akan telah menjadi gila.

“Sikap itu harus diakhiri,” geram Haspada.

Keadaan menjadi tegang. Semakin lama semakin tegang. Prajurit-prajurit itu menjadi marah bukan buatan melihat sikap Haspada, Trapsila, dan beberapa anak-anak muda yang lain. Sedang anak-anak Sembojan, anak-anak Tlaga Kembar berdiri ternganga-nganga. Mereka bahkan menjadi sangat cemas melihat perkembangan keadaan. Tetapi sekali lagi ketegangan itu dipecahkan oleh suara tertawa. Kali ini Swandaru-lah yang tidak dapat menahan dirinya. Namun tiba-tiba ia terperanjat ketika terasa salah seorang tamu dari Menoreh itu mencengkam tengkuknya.

Tamu dari Menoreh itu pun tidak lagi dapat menahan kemarahannya. Demikian kuatnya ia menarik Swandaru, sehingga anak yang gemuk itu hampir terpelanting jatuh. Kini tamu itulah yang mengguncang-guncangnya sambil menggeram, “Kenapa kau tertawa, he? Kenapa?”

“Jangan terlampau keras,” desis Swandaru. “Kalau terlampau keras kau mengguncang-guncang tubuhku, maka aku akan merasa sakit.”

Desis itu benar-benar mengejutkan, seolah-olah menghentak dada tamu-tamu dari Menoreh itu, bahkan semua orang yang mendengarnya. Sutawijaya dan Agung Sedayu pun menarik nafas dalam-dalam. Swandaru ternyata tidak terlampau sabar untuk bermain-main.

Tetapi tangan tamu dari Menoreh itu masih mencengkam tengkuk Swandaru. Bahkan semakin keras. Terdengar ia berkata kasar, “Aku tidak hanya akan mengguncang-guncangmu. Tetapi aku mampu mematahkan lehermu.”

“Jangan. Jangan” desis Swandaru pula.

Kembali dada orang dari Menoreh itu terhentak. Ternyata anak muda ini bersikap lain dari yang terdahulu. Anak ini sama sekali tidak merintih dan tidak minta ampun. Namun dengan demikian sikap Swandaru itu menyebabkan tamu-tamu dari Menoreh itu menjadi semakin marah.

“He, anak Sangkal Putung,” orang itu menggeram pula. “Jangan kau sangka bahwa leluconmu itu baik bagimu dan kawan-kawanmu.”

“Jangan terlampau kasar,” berkata Swandaru. “Sidanti tidak pernah berbuat sekasar kalian.”

Terasa dada orang-orang Menoreh itu berdesir. Tetapi kemarahan mereka telah membakar dada sehingga orang yang mencengkeram tengkuk Swandaru itu menjawab, “Aku akan dapat menjelaskan kepadanya, kenapa aku mematahkan tengkukmu.”

Yang segera menyahut kata-kata itu adalah Sutawijaya. “Ampun, Tuan. Ampunkan adik kami yang bodoh itu.”

“Tutup mulutmu!” bentak prajurit yang berdiri di muka Sutawijaya. “Kau pun segera akan mengalami perlakuan yang serupa.”

Tetapi sikap Swandaru ternyata berbeda. Katanya, “Kalau kakak sepupuku minta ampun adalah sudah sepantasnya, sebab ia berhadapan dengan prajurit Pajang. Tetapi apakah kau di sini mempunyai wewenang sesuatu?”

Pertanyaan itu benar-benar telah menghantam dada orang-orang Menoreh itu seperti runtuhnya gunung Merapi yang menimpa jantungnya. Pertanyaan itu adalah penghinaan yang luar biasa bagi mereka, sehingga tanpa sesadarnya, orang itu telah menampar pula pipi Swandaru yang gembung sambil memekik, “Ulangi, coba ulangi lagi!”

Swandaru berdesis pendek. Tamparan tangan itu terasa pedih menyengat pipinya. Tetapi ia tidak mengulangi lagi kata-katanya. Orang Menoreh itu pun memekik-mekik pula. “Ayo, katakan sekali lagi!”

Agung Sedayu pernah mengalami perlakuan yang terlalu kasar dari Sidanti. Bahkan Sidanti itu pernah hampir membinasakan kakaknya, sehingga kebenciannya kepada Sidanti seolah-olah melimpah kepada orang-orang Menoreh yang belum dikenalnya itu. Demikian pula agaknya Swandaru. Tetapi ternyata Agung Sedayu masih lebih mampu mengendalikan perasaannya sehingga ia dapat bersikap lebih menyesuaikan dirinya dengan sikap Sutawijaya daripada membiarkan perasaannya berbicara.

Karena Swandaru tidak mau mengulangi kata-katanya, maka kemarahan orang dari Menoreh itu tidak meningkat lagi. Namun demikian tangannya masih juga gemetar dan dadanya berdentang-dentang tak menentu. Dari sela-sela bibirnya yang bergetar ia berkata, “Kata-katamu tidak akan dapat dibiarkan. Kau harus menyesal karena mulutmu itu.”

Terdengar salah seorang prajurit menyahut. “Ya. Anak yang gemuk itu ternyata harus mendapat peringatan khusus.”

Hiruk-pikuk yang semakin meningkat itu ternyata akhirnya mendapat perhatian pula dari beberapa orang yang berada di pendapa. Seorang yang bertubuh tinggi kurus datang mendekati mereka sambil bertanya. “Apa yang kalian ributkan?”

“Ada tiga anak-anak gila di sini,” sahut tamu-tamu dari Menoreh itu.

“Hem,” tiba-tiba saja salah seorang pemimpin prajurit Pajang yang tadi duduk di pendapa telah berada di halaman itu pula. Dengan suara yang berat ia bertanya, “Apakah yang telah dilakukannya?”

“Anak-anak itu telah menghina kami, menghina para prajurit dan menghina Kademangan Prambanan dalam keseluruhan.”

“Tidak,” yang terdengar adalah suara Haspada. “Tidak, Paman. Aku ingin Paman mengadakan penelitian.”

Prajurit itu pun agaknya telah dimabukkan oleh semangkuk tuak, sehingga otaknya sudah tidak terlampau baik. Meskipun demikian jawaban Haspada telah memberinya pertimbangan pula. Karena itu maka katanya, “Apakah kau melihat persoalan yang terjadi Haspada?”

“Ya, Paman, aku melihat.”

“Bawa mereka bertiga ke pendapa.”

Para prajurit tidak menunggu perintah itu diulangi. Ketiga anak-anak muda dari Sangkal Putung itu segera diseret ke pendapa banjar desa, seperti tiga orang penjahat. Beberapa orang yang berada di pendapa itu terkejut. Sejenak mereka terganggu dari kegembiraan mereka. Tetapi mereka kemudian terpaksa membiarkan tayub itu berhenti sesaat.

Karena Sutawijaya dan kedua kawan-kawannya kini telah dibawa ke pendapa maka hampir semua orang yang berada di halaman itu dapat melihatnya. Ketiga anak-anak muda itu harus duduk bersila di pendapa berhadapan dengan pemimpin prajurit yang memerintahkan membawa mereka itu naik.

Yang wajahnya paling gelap di antara mereka bertiga adalah Swandaru. Ia merasa malu juga didudukkan di pendapa itu seperti seorang tertuduh yang telah berbuat kejahatan. Karena itu, maka ia tidak ingin bermain-main lebih lama lagi. Ketika prajurit itu memandangnya, maka Swandaru sama sekali tidak menunjukkan wajahnya. Bahkan kini ia mengumpat-umpat di dalam hatinya. Permainan itu akhirnya sama sekali tidak menarik baginya.

Apalagi ketika kemudian Swandaru menyadari, bahwa mereka bertiga benar-benar seperti orang-orang yang sedang diadili. Maka wajahnya pun menjadi merah padam. Sutawijaya yang melihat wajah yang gembung itu menjadi merah padam, tersenyum di dalam hatinya. Wajah Swandaru memang tampak menggelikan sekali.

Di sekeliling mereka bertiga segera berkumpul Ki Demang Prambanan, Jagabaya yang tinggi kurus, dua orang pimpinan prajurit Pajang di Prambanan, ketiga tamu-tamu dari Menoreh, beberapa orang pemimpin Kademangan yang lain. Dan prajurit-prajurit Pajang tiba-tiba melingkari mereka itu seolah-olah menjaga jangan sampai ketiga anak-anak itu lari. Namun di dalam kerumunan orang-orang itu tampak pula Haspada dan Trapsila.

Yang mula-mula bertanya adalah pemimpin prajurit yang memerintahkan mereka dibawa naik ke pendapa itu. Katanya, “Apakah benar kalian telah menghina Prambanan, para prajurit Pajang, dan tamu-tamu dari Menoreh?”

Sebelum Sutawijaya menjawab, maka Swandaru telah mendahuluinya. “Kami tidak sengaja berbuat demikian. Tetapi orang-orang dari Menoreh dan para prajurit itulah yang merasa terhina.”

Prajurit itu terkejut mendengar jawaban itu. Orang-orang yang berada di sekitar tempat itu pun terkejut pula. Jawaban itu agaknya terlampau berani.

Tetapi Swandaru ternyata masih belum selesai dengan jawabannya, sehingga orang-orang yang berada di sekitarnya menjadi semakin terkejut pula. Beberapa orang justru terdiam ternganga-nganga dan beberapa orang yang lain menjadi cemas. Haspada dan Trapsila pun menjadi sangat cemas pula. Bagi mereka sebaiknya bukan anak muda yang gemuk itulah yang menjawab pertanyaan-pertanyaan prajurit itu.

Tetapi Sutawijaya pun kemudian membiarkan Swandaru berbicara. Ia pun akhirnya menjadi jemu pula pada permainan itu. Agung Sedayu ketika berpaling kepada Sutawijaya segera menyadari, bahwa permainan mereka sebagian telah selesai, dan mereka membiarkan Swandaru itu berbicara terus. Katanya, “Kami tadi hanya mengatakan bahwa kami melihat keanehan di Prambanan. Apakah kalian tidak melihat apa yang terjadi? Tentu, tentu kalian tidak melihat sebab kalian sedang menari tayub.”

Jawaban itu benar-benar tidak terduga. Semua orang terpaku di tempatnya seperti patung. Dan suara Swandaru masih terdengar terus, “Kalian memang tidak sempat melihat apa yang terjadi di halaman, di luar pendapa ini. Kalian sudah tentu tidak melihat bahwa anak-anak muda hampir saja berkelahi di antara mereka kalau saja tidak ada anak muda yang bernama Hapsada dan Trapsila itu. Tetapi aneh, bahwa beberapa orang prajurit justru mendorong terjadinya perkelahian di antara mereka. Sebagian memihak anak-anak Sembojan yang lain memihak anak-anak Tlaga Kembar. Bukankah itu aneh? Kami mengatakan, bahwa di Sangkal Putung para prajurit Pajang justru menjadi penengah seandainya ada perselisihan. Tetapi di sini tidak, apalagi perselisihan karena soal yang memalukan. Dan tamu-tamu dari Menoreh itu marah karena kami membenarkan anggapan Kakang Haspada dan Kakang Trapsila, bahwa persoalan yang dipertengkarkan adalah persoalan yang memalukan.”

Kata-kata Swandaru terputus. Orang-orang yang berada di sekitarnya terkejut pula ketika mereka melihat tangan prajurit itu terayun ke mulut Swandaru. Tetapi Swandaru yang melihat tangan itu terayun menegangkan pipinya. Meskipun demikian ketika tangan prajurit itu menyentuhnya, terasa juga pipinya disengat oleh rasa pedih. Tetapi ketika salah seorang tamu dari Menoreh beringsut maju dan berkata, “Biarlah aku yang meremas mulutnya,” maka Swandaru dengan beraninya menjawab, “Kau jangan turut campur. Tangan prajurit itu sudah cukup sakit. Tetapi ia mempunyai tanggung jawab di sini. Apakah tanggung jawabnya itu dipergunakan sewajarnya atau tidak, itu merupakan persoalan tersendiri. Tetapi kau tidak mempunyai wewenang apa-apa di sini.”

Kembali kemarahan orang Menoreh itu memuncak. Dengan serta-merta tangannya pun terayun ke pipi Swandaru. Tetapi Swandaru tidak membiarkan sekali lagi pipinya ditampar. Maka dengan tangkasnya ia menarik kepalanya sedikit ke belakang, sehingga tangan yang terayun itu meluncur di muka wajahnya.

Apa yang terjadi itu benar-benar di luar dugaan. Para prajurit, para tamu dari Menoreh, para pemimpin Kademangan Prambanan, Hapsada, Trapsila, dan anak-anak muda yang melihatnya, sejenak tertegun. Gerak Swandaru bukanlah gerak yang sulit. Gerakan itu sangat sederhana. Menarik kepala ke belakang beberapa cengkang. Tetapi apa yang dilakukan itu telah memberikan kesan yang lain daripada apa yang mereka lihat sebelumnya. Apalagi ketika Swandaru kemudian berkata, “Jangan terlampau kasar. Aku dapat mengatakannya kepada Sidanti. Sidanti pasti akan marah melihat kau berbuat curang. Sidanti akan menghargai sikap jantan.”

Kemarahan tamu itu telah memuncak sampai ke ujung ubun-ubunnya. Karena itu maka terdengar ia berteriak, “Apa maksudmu?”

Haspada dan Trapsila melihat apa yang dilakukan oleh Swandaru. Mereka menjadi kagum akan keberaniannya. Tetapi mereka menjadi cemas, apakah anak yang gemuk itu mampu berbuat sesuatu? Menurut pandangan Haspada, Trapsila, dan bahkan hampir setiap anak-anak muda Prambanan telah mendengarnya pula, bahwa tamu-tamu dari Menoreh itu adalah orang-orang yang pilih tanding. Mereka adalah pengawal-pengawal tanah perdikan yang tangguh. Menurut pendengaran mereka, tamu-tamu itu tidak ubahnya sebagai seorang prajurit. Bahkan sebagai pengawal tanah perdikan, mereka mempunyai kemampuan perseorangan yang dapat dibanggakan. Itulah sebabnya maka mereka menjadi cemas. Tetapi mereka pun menyesal atas sikap Swandaru yang bagi mereka, terlalu kurang berhati-hati. Apabila mereka terlibat dalam persoalan perseorangan, maka tak akan ada pihak-pihak yang dapat mencampurinya.

Dan apa yang dicemaskannya itu ternyata terjadi. Dengan lantang tamu dari Menoreh itu berkata, “Apakah yang kau maksudkan dengan sikap jantan? Apakah kau menghendaki perang tanding?”

Tetapi kembali jawaban Swandaru mengejutkan mereka, katanya. “Kalau itu yang paling baik bagimu, akan baik juga bagiku.”

Darah tamu dari Menoreh itu kini telah benar-benar mendidih. Karena itu dengan serta-merta ia meloncat berdiri sambil berteriak, “Ayo, bersiaplah. Kita masing-masing berbuat secara jantan seperti yang kau kehendaki.”

Sebelum Swandaru menjawab, terdengar suara Haspada, “Tidak pada tempatnya. Anak muda dari Sangkal Putung itu tidak tahu apa yang sedang dihadapinya.”

“Bohong!” teriak orang itu. “Ia sadar akan kata-katanya. Tetapi seandainya tidak, siapakah yang akan mewakili? Rupa-rupanya tamu itu telah tidak lagi dapat mengendalikan perasaannya.

Trapsila itu bergeser setapak. Tetapi Swandaru telah lebih dahulu berdiri. Tidak meloncat dan bersikap garang. Dengan tangannya ia bertelekan lutut, kemudian tubuhnya yang gemuk itu pun ditegakkannya.

“Jangan diteruskan,” cegah Trapsila. Apalagi ketika ia melihat Swandaru itu berdiri. Dan di sisinya Haspada menyahut. “Apakah permainan yang demikian dapat dilakukan di hadapan kita sekarang ini? Apakah tak ada seorang pun yang akan mencegahnya? Seandainya terjadi sesuatu atas anak muda dari Sangkal Putung ini, maka Prambanan yang sepanjang sejarahnya tidak pernah mempunyai persoalan apapun, apalagi yang bersifat kurang baik dengan kademangan itu, kini telah membuka lembaran yang hitam di antara kita.”

Tetapi kali ini yang menyahut adalah Swandaru. “Terima kasih atas perhatian kalian. Namun biarlah aku mencoba melayaninya. Seandainya aku terpaksa babak belur dan berwajah biru bengap, biarlah menjadi pelajaran bagiku. Tetapi dengan demikian, apabila Sidanti mendengarnya, ia tidak akan marah lagi. Sebab kami berhadapan dalam kesempatan yang serupa.”

“Jangan banyak bicara!” bentak tamu itu.

Perlahan-lahan Swandaru melangkah ke tengah-tengah pendapa. “Di sini cukup luas,” katanya. Sikapnya benar-benar membakar hati tamu dari Menoreh itu. Tetapi mau tidak mau tamu itu pun melangkah pula ke tengah-tengah pendapa.

Namun kepalanya hampir meledak ketika ia mendengar Swandaru berpaling kepada para penabuh yang masih duduk di belakang gamelannya. “Aku minta gending yang tidak kalah hangatnya dengan gending tayub.”




“Gila,” desis Sutawijaya. Agung Sedayu pun menjadi sangat cemas. Mereka belum tahu, sampai di mana tingkat kemampuan para tamu itu, sehingga apabila Swandaru terlalu banyak bergurau, maka kemungkinan wajahnya biru bengap dan bengkak-bengkak akan menjadi lebih besar.

Tetapi yang terdengar kemudian sama sekali bukan gending yang hangat, sehangat gending tayub, namun lawannya itulah yang berteriak lantang. “Kau benar-benar tidak tahu diri. Kau benar-benar anak yang terlampau dungu. Coba perhatikan, dengan siapa kau berhadapan. Aku adalah salah seorang pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Apakah kau masih akan menghina lagi?”

Swandaru mengerutkan keningnya. Dipandanginya wajah pengawal itu dengan tajamnya. Namun kemudian ia menjawab, “Aku adalah pengawal Kademangan Sangkal Putung.”

Jawaban itu benar-benar seperti api yang menyentuh minyak. Pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu kini sudah tidak mampu lagi menahan kemarahannya, sehingga dengan serta-merta ia meloncat maju sambil berteriak, “Mulutmulah yang harus disobek lebih dahulu.”

Swandaru melihat gerak itu. Cukup cepat. Ia melihat tangan orang itu terjulur ke wajahnya. Karena itu, maka secepatnya pula ia mencoba mengelak.

Serangan itu ternyata menyentuh pun tidak. Tetapi Swandaru pun menyadari, bahwa serangan itu sama sekali bukanlah serangan yang sebenarnya. Serangan itu datang dengan serta-merta tanpa perhitungan karena kemarahan yang tak terkendali. Namun kemenangan pertama yang telah dimiliki oleh Swandaru. Ia dapat membuat lawannya menjadi sedemikian marahnya, sehingga hampir kehilangan ketenangannya. Dan ia harus memanfaatkan kemenangan itu sebaik-baiknya. Ia harus memelihara kemarahan lawannya, supaya ia mendapat kesempatan lebih baik daripadanya.

Ketika serangan itu gagal, maka terdengar ia menggeram. Ia merasa aneh, bahwa anak yang gemuk itu mampu menghindari serangannya, yang meskipun bukan serangan yang didasari dengan segenap kemampuannya, namun serangan itu cukup cepat bagi seorang yang bertubuh gemuk dan bertelekkan kedua lututnya apabila ia akan berdiri dari duduknya.

Bukan saja lawan Swandaru yang terkejut melihat cara Swandaru menghindarkan diri. Ternyata beberapa orang yang duduk di sekitar pendapa mulai tertarik melihat perkelahian yang telah dimulai itu. Haspada dan Trapsila kini terpaksa menimbang-nimbang. Apakah benar-benar anak yang gemuk itu adalah anak yang terlampau dungu?

Yang terjadi seterusnya benar-benar telah mencengangkan, bukan saja anak-anak muda Sembojan, anak-anak muda Tlaga Kembar, anak-anak induk kademangan dan anak-anak padukuhan yang lain, bukan saja Haspada, Trapsila dan para pemimpin Kademangan Prambanan, tetapi para prajurit, para tamu dan setiap orang yang melihat menjadi heran. Ternyata Swandaru sama sekali bukan anak yang terlampau dungu. Bahkan sifat-sifat Swandaru segera tampak pula di dalam perkelahian itu. Sifat yang aneh-aneh. Apalagi Swandaru sengaja membangkitkan kemarahan lawannya. Sehingga tata geraknya pun menjadi sangat menjengkelkan bagi lawannya.

Lawannya yang menjadi semakin marah dan marah, akhirnya tidak lagi mempunyai pertimbangan apa pun. Kini ia telah mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya untuk menghajar lawannya yang gemuk itu. Serangannya segera meningkat menjadi semakin garang, segarang angin pusaran.

Swandaru melihat tata gerak lawannya yang meningkat. Kini ia tidak lagi dapat berkelahi sambil bermain-main. Ia pun harus segera bersiap menghadapi setiap kemungkinan yang bakal ditemuinya dalam perkelahian itu.

Dan apa yang terjadi kemudian seolah-olah telah membangunkan semua orang yang berada di pendapa dan halaman banjar desa itu dari sebuah mimpi. Yang mereka lihat sama sekali bukanlah tamu dari bukit Menoreh itu menghajar Swandaru, tetapi ternyata perkelahian itu adalah suatu perkelahian yang sengit. Betapa orang mengagumi pengawal tanah perdikan Menoreh, namun lawannya kali ini adalah murid Ki Tanu Metir. Dengan demikian, maka tidaklah banyak yang dapat dilakukan oleh pengawal itu. Bahkan semakin lama, menjadi semakin jelas, bahwa Swandaru mampu berkelahi lebih baik dari lawannya.

Haspada dan Trapsila sejenak saling berpandangan. Mulut mereka bahkan seakan-akan terbungkam. Kini disadarinya, bahwa anak-anak Sangkal Putung telah berusaha mengatakan apa yang terjadi di Prambanan itu sebagai suatu kepincangan.

Kedua anak itu merasa, betapa dadanya menjadi berdebar-debar. Dahulu, pada masa kakek-kakek mereka memegang pimpinan di kademangan ini, maka Prambanan termasuk kademangan yang tangguh, yang gigih melawan kejahatan. Tetapi tiba-tiba kini Prambanan hampir-hampir ditelan oleh malapetaka karena tingkah laku anak-anak mudanya sendiri.

Di tengah-tengah pendapa itu Swandaru masih bekelahi dengan serunya. Tetapi tubuhnya hampir tidak dilumasi oleh keringat, karena ternyata ia tidak perlu bekerja terlampau keras. Meskipun demikian, meskipun Swandaru itu termasuk anak yang lebih senang menurut pertimbangan sendiri, namun kali ini ia tidak mau menyakiti hati para tamu itu. Ia tidak berjuang sekuat-kuat tenaganya untuk segera menjatuhkan lawannya. Tetapi ia membiarkan lawannya menjadi lelah sendiri.

Haspada dan Trapsila yang tidak dapat lagi menahan perasaannya tiba-tiba beringsut mendekati Sutawijaya. Orang-orang di sekitarnya sama sekali tidak memperhatikannya. Perhatian mereka terpaku pada perkelahian itu, apalagi para tamu dan para prajurit Pajang yang tercengang-cengang.

“Kisanak,” Haspada manggamit Sutawijaya. “Kisanak sengaja mengelabui kami.”

Sutawijaya berpaling. Pernyataan itu agak membingungkannya. Tetapi ia menjawab juga, “Bukan maksud kami Kisanak. Kami sama sekali tidak pernah membayangkan bahwa kami akan menjumpai peristiwa serupa ini. Kami sudah menjaga agar kami tidak terlibat dalam persoalan yang sama sekali tidak kami kehendaki.”

“Tetapi Kisanak sengaja mentertawakan prajurit yang memihak anak-anak muda yang saling bertentangan itu. Bukankah dengan demikian kalian telah sengaja ikut campur dalam persoalan itu.”

“Ki sanak benar,” sahut Sutawijaya. “Namun yang ingin kami campuri bukan persolan anak-anak muda Prambanan, tetapi adalah persoalan para prajurit Pajang itu.”

“He,” Haspada dan Trapsila mengerutkan kening mereka. Terdengar Trapsila bertanya, “Apakah kepentingan kalian dengan para prajurit itu?”

Sutawijaya tergagap. Ia ternyata agak terlampau jauh menjawab pertanyaan anak-anak muda Prambanan itu. Karena itu maka dengan terbata-bata ia menjawab, “Maksud kami, kami sama sekali tidak sependapat melihat sikap para prajurit itu.”

Kedua anak muda Prambanan itu terdiam. Namun mereka terkejut ketika melihat Agung Sedayu beringsut maju. Sutawijaya pun terkejut pula, tetapi ia menyadari keadaan sehingga dibiarkannya Agung Sedayu bertindak apabila dianggapnya perlu.

Dalam pada itu tamu yang seorang telah bergerak-gerak pula. Ternyata dadanya serasa menyimpan bara ketika ia melihat kawannya tidak segera dapat memenangkan perkelahian itu. Bahkan semakin lama agaknya menjadi semakin sulit. Karena itu, maka tanpa disengajanya ia beringsut pula maju.

“Apakah adikmu yang seorang itu juga mampu membela dirinya seperti adikmu yang gemuk itu?” bertanya Trapsila.

“Mudah-mudahan,” Sahut Sutawijaya. “Ia pun pernah berlatih sehari dua hari,” jawab Sutawijaya.

“Siapakah sebenarnya kalian,” bertanya Haspada tiba-tiba.

Sutawijaya terdiam sesaat. Dipandanginya wajah Haspada, namun kemudian ia menjawab, “Seperti yang dikatakan adikku yang gemuk itu. Kami adalah pengawal-pengawal Kademangan Sangkal Putung.”

“Kami bangga melihat pengawal-pengawal kademangan seperti kalian,” sahut Haspada. “Meskipun demikian timbul pula kecurigaan kami. Ternyata kalian suka merendahkan diri, bahkan terlampau berlebih-lebihan.”

“Sangkal Putung kini ada dalam bahaya,” sahut Sutawijaya. “Kami setiap kali harus bertempur melawan sisa-sisa laskar Arya Penangsang bersama para prajurit Pajang di sana. Mereka pulalah yang telah mendidik kami dan melatih kami dalam olah kanuragan.”

Haspada dan Trapsila terdiam. Jawaban itu dapat diterima oleh akalnya. Kini perhatian mereka tertarik pada tamu yang seorang lagi. Agaknya ia sudah tidak dapat menahan dirinya. Bahkan kemudian dengan serta merta ia berdiri sambil berkata, “Serahkan kelinci gemuk itu kepadaku.”

Tetapi ternyata kawannya pun tidak mau melihat kenyataan. Harga dirinya pasti akan tersinggung seandainya ia tidak dapat memenangkan perkelahian itu. Apalagi ia menyadari, bahwa anak-anak muda Prambanan, terutama anak-anak Sembojan menganggap mereka itu orang-orang yang luar biasa, melampaui ketangkasan dan ketangguhan prajurit-prajurit dari Pajang. Namun ternyata setelah ia memeras tenaganya, ia masih belum mampu mengalahkan lawannya yang gemuk hampir bulat itu.

Meskipun demikian kawannya yang seorang itu benar-benar tidak dapat bersabar lagi. Sekali lagi ia berteriak, “Tinggalkan lawanmu, biarlah aku patahkan lehernya itu.”

“Jangan ganggu aku,” sahut kawannya yang sedang berkelahi itu dengan nafas tersengal-sengal.

Kawannya itu pun terdiam sejenak. Namun nafasnya tidak kalah derasnya dengan nafas kawannya yang sedang berkelahi itu. Terengah-engah. Bahkan kadang-kadang terputus-putus.

Akhirnya, tamu yang satu itu pun tidak dapat mengendalikan dirinya ketika ia melihat kawannya yang berkelahi itu terdorong beberapa langkah surut, bahkan hampir terjatuh ke lantai. Terhuyung-huyung kawannya itu mencoba menguasai keseimbangannya, yang dengan susah payah berhasil. Tetapi hampir setiap orang, Betapapun tipisnya ilmunya, dapat melihat, bahwa anak Sangkal Putung yang gemuk itu sengaja membiarkan lawannya berhasil menguasai diri. Ia tidak melakukan serangan selama kawannya itu tertatih-tatih. Bahkan seperti seorang yang berdiri menonton keheran-heranan.

“Minggir!” teriak tamu yang seorang itu, “biarlah aku selesaikan urusan ini.”

“Aku masih sanggup,” sahut temannya.

Tiba-tiba Swandaru berkata, “Jangan berebut. Silahkan keduanya bersama-sama.”

Darah tamu-tamu dari Menoreh itu mendidih. Sorot matanya menjadi merah menyala.

“Apakah kau sudah gila?” terdengar suaranya gemetar.

Tetapi Swandaru masih saja tersenyum.

“Aku hanya ingin kalian tidak berkelahi sendiri karena berebut dahulu,” jawab anak yang gemuk itu.

Dada lawannya serasa hampir-hampir pecah. Sikap Swandaru telah membakar segenap perasaannya. Bahkan keduanya hampir-hampir lupa diri dan bersama-sama menyerang Swandaru yang telah menghina mereka.

Agung Sedayu menarik nafas. Betapapun kuatnya Swandaru, tetapi untuk melawan mereka berdua, agaknya akan terlampau berat. Seandainya terjadi demikian, maka Swandaru pasti akan mengerahkan segenap tenaganya dan adalah mungkin bahwa ia akan lupa diri dan melepaskan serangan-serangan yang langsung membahayakan jiwa lawannya. Karena itu, maka tiba-tiba ia pun berdri. Perlahan-lahan ia melangkah maju sambil berkata, “Aku akan mencoba membantu adikku membuat keseimbangan. Apakah kita akan bermain-main berpasangan ataukah kita akan berhadapan seorang lawan seorang?”

Kembali pendapa itu dicengkam oleh ketegangan. Mereka melihat anak Sangkal Putung yang seorang itu pun bersedia melayani tamu-tamu mereka dari Menoreh. Sikap dan kata-kata anak muda ini agak berbeda dengan sikap dan kata-kata anak muda yang gemuk, yang agaknya senang berkelakar. Anak muda yang kedua ini agaknya lebih pendiam dan banyak di antara mereka segera menyadari, bahwa anak muda pendiam itu agaknya lebih matang dari anak yang gemuk bulat itu.

Kedua tamu dari Menoreh itu pun melihat pula sikap itu. Kini mereka tidak melihat seorang anak muda yang dungu dan bodoh. Tetapi langkah dan kata-kata Agung Sedayu benar-benar telah mempengaruhi hati mereka. Karena itu sejenak mereka saling berpandangan. Dan tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata, “Hem, apakah keinginanmu berdua? Apakah kalian akan memperlihatkan kepandaian kalian seorang-seorang ataukah kalian ingin menunjukan kerapihan kalian dalam pertempuran berpasangan?”

“Kamilah yang bertanya,” sahut Swandaru.

Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Mereka tidak segera menjawab. Namun segera mereka menyadari, bahwa setidak-tidaknya orang yang satu ini pun tidak akan kalah dari anak muda yang gemuk itu.

Tiba-tiba mereka terkejut ketika mereka mendengar seseorang berkata, “Aku ingin melihat kalian berkelahi berpasangan.”

Semua orang berpaling ke arah suara itu. Mereka mengerutkan kening mereka, ketika mereka melihat tamu yang seorang lagi duduk bersila sambil membelai kumisnya yang tidak begitu lebat. Dengan tersenyum ia mengulangi kata-katanya, “Berkelahilah berpasangan.”

Agaknya orang itu mempunyai pengaruh yang kuat atas kedua kawannya. Ia adalah pemimpin rombongan kecil yang datang dari seberang Hutan Mentaok itu.

Kembali kedua kawan-kawannya saling berpandangan. Namun tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata, “Baik. Kita bertempur berpasangan.”

Agung Sedayu tidak menyukai istilah yang dipakai oleh kedua tamu itu, tetapi ia tidak dapat menyahut. Perlahan-lahan ia berjalan mendekati Swandaru. Kemudian katanya, “Kita bermain berpasangan.”

Swandaru tersenyum. Dipandanginya kedua lawannya yang kini telah berada di hadapan mereka. Bahkan mereka telah bersiap pula untuk menghadapi kedua saudara seperguruan itu.

Agung Sedayu dan Swandaru sudah tidak berminat lagi untuk menanyakan sesuatu. Karena itu, maka mereka pun berdiam diri sambil menunggu.

“Apakah kalian tidak akan menyesal,” bertanya salah seorang dari mereka, “mungkin wajah kalian akan tidak dapat dikenal besok karena bengkak-bengkak dan babak belur. Beruntunglah kalian seandainya tidak ada bagian dari tubuh kalian yang patah.”

Agung Sedayu menjawab dengan segan, “Mudah-mudahan aku selamat.”

Kedua lawannya mengerutkan keningnya. Jawaban itu terlampau pendek. Namun disadarinya, bahwa mereka akan berkelahi, tidak harus berbicara berkepanjangan. Karena itu, maka berkata salah seorang dari mereka, “Bersiaplah, kita akan mulai.”

“Marilah,” sahut Swandaru pendek.

Keduanya pun kini tidak lagi berbicara. Segera mereka bersiap seperti dua pasang penari yang bersiap untuk mulai dengan pertunjukannya.

Namun kini Agung Sedayu dan Swandaru terkejut pula seperti orang-orang lain yang berada di pendapa dan di halaman banjar desa itu. Bahkan Sutawijaya pun terkejut pula, sehingga ditengadahkannya wajahnya memandangi tamu dari Menoreh yang seorang lagi, yang kini masih duduk bersila sambil membelai kumisnya. Dengan tenangnya orang itu berkata, “He, apakah para penabuh gamelan tidak dapat mengiringi pertunjukan ini dengan gending yang serasi?”

Keempat orang yang telah bersiap untuk berkelahi itu pun justeru tertegun, sementara Sutawijaya berbisik di dalam hatinya, “Orang ini agak berbeda dari kedua teman-temannya.”

Sikap tamu yang seorang ini memang jauh berbeda dengan dengan kedua kawan-kawannya. Sikapnya tenang dan meyakinkan. Orang itu tidak mudah menjadi gelisah dan gugup. Bahkan sambil tersenyum-senyum ia melihat keadaan seperti benar-benar sedang melihat tayub.

Ketika kedua kawannya masih termangu-mangu di tengah-tengah pendapa itu, kembali ia berkata, “He, kenapa kalian berdiri saja di situ seperti patung. Lekas, kalau kalian mau berkelahi, berkelahilah, kalau kalian mau menari, menarilah. Lihatlah halaman di sekeliling pendapa dan di pendapa ini. Para penonton telah menunggu-nunggu apa yang akan terjadi. Biarlah mereka tidak terlalu lama kecewa. Kalau salah satu pihak akan babak belur, biarlah itu segera terjadi. Wajah-wajah yang biru bengap dan bengkak-bengkak pasti akan menarik sekali. Ayo, para penabuh, apakah kalian tidak sanggup mengiringi tarian maut ini dengan gending-gending yang gila. Ayo.”

Kedua orang tamu dari Menoreh itu pun tergagap. Mereka menyadari keadaannya. Karena itu kembali mereka bersiap menghadapi kedua anak-anak muda Sangkal Putung. Tetapi para penabuh gamelan masih saja duduk membeku. mereka sama sekali tidak bergerak untuk mengikuti perkelahian itu dengan iringan gending apapun.

Tetapi kedua pasang lawan itu pun tidak menunggu. para tamu dari Menoreh segera mulai dengan serangan-serangannya. Dan kedua saudara seperguruan itu pun segera mulai melayaninya.

Perkelahian itu kini meningkat menjadi semakin seru. Kedua tamu dari Menoreh yang sedikit banyak telah melihat ketangkasan Swandaru tidak mau bermain-main lagi. Mereka tidak dapat lagi mempunyai anggapan yang lain daripada, bahwa kedua anak-anak muda itu sebenarnya terlampau kuat bagi mereka.

Sejak perkelahian itu mulai, maka mereka yang cukup mengerti akan segera dapat melihat bahwa kedua pasangan itu sama sekali tidak berimbang. Agung Sedayu dan Swandaru memang terlampau kuat untuk kedua lawannya. Meskipun demikian, mereka masih mencoba menyesuaikan diri mereka. Kemenangan mereka tidak terlalu menonjol, meskipun bagi orang yang dapat mengertinya cukup meyakinkan.

Tamu yang seorang, yang sampai saat itu masih duduk di pinggir pendapa di antara para pemimpin Kademangan Prambanan dan para prajurit, melihat perkelahian itu dengan wajah yang kerut-merut. Betapa hatinya sebenarnya menjadi bergolak dan bergelora. Sebenarnya hatinya sama sekali tidaklah setenang wajahnya. Ia yakin bahwa kedua kawan-kawannya sama sekali tidak akan dapat mengimbangi kedua anak-anak muda Sangkal Putung, tetapi disimpannya perasaan itu di dalam dadanya. Yang tampak di wajahnya adalah sebuah senyuman dan bahkan kadang-kadang terdengar ia tertawa kecil.

“Hem, alangkah tangkasnya anak-anak muda Sangkal Putung itu,” desisnya.

Para pemimpin Prambanan dan para prajurit berpaling ke arahnya. Dan ia berkata terus, “Kawan-kawanku itu sama sekali tidak akan mampu mengimbangi mereka. Kalau benar mereka pengawal Sangkal Putung, alangkah kuatnya kademangan itu. Tetapi dengan demikian aku pun menjadi ikut berbangga. Bukankah salah seorang prajurit Pajang di Sangkal Putung itu kemanakanku, Sidanti. Pastilah anak itulah yang telah melatihnya menjadi pengawal yang baik.”

Yang mendengarkan kata-katanya itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya tanpa mereka kehendaki. Sedang mata mereka kini kembali melihat perkelahian itu. Semakin lama semakin seru. Kedua orang dari Menoreh itu telah memeras segenap kemampuan yang ada pada mereka, dan Agung Sedayu beserta Swandaru pun berusaha melayani sebaik-baiknya.

Tetapi di mata tamu yang seorang itu, perkelahian itu sama sekali tidak menarik hatinya. Sebab ia tahu kedua anak-anak muda dari Sangkal Putung itu pun tidak berkelahi sepenuh kekuatannya. Para prajurit pun menyadari keadaan itu. Mereka pun mengerti apa yang terjadi di pendapa, sehingga mereka pun menjadi terheran-heran. Anak-anak muda Sangkal Putung ternyata adalah anak-anak muda yang tangguh melampaui dugaan mereka.

Tiba-tiba tamu yang seorang itu pun berteriak, “Menjemukan! Menjemukan! Permainan ini sama sekali tidak menarik.”

Tetapi perkelahian itu masih saja berlangsung. Mereka berempat seakan-akan tidak mendengar teriakan itu. Sehingga orang itu mengulangi sekali lagi, “Berhenti! Berhenti! Perkelahian kalian menjemukan.”

Tiba-tiba perkelahian itu pun mengendor. Akhirnya mereka berloncatan mundur, sehingga perkelahian itu berhenti.

“Kenapa?” Teriak salah seorang tamu itu. “Kami belum menyelesaikan pekerjaan kami. Kami segera akan membuat kedua anak-anak ini menjadi biru bengkak.”

Kawannya yang masih saja duduk itu tertawa. Katanya, “Jangan membual. Apakah kau sangka bahwa kami tidak tahu yang sebenarnya terjadi? Kalian berdua tidak akan dapat memenangkan itu. Kalau ada di antara kalian yang biru bengap, maka yang biru bengap adalah kalian berdua itu sendiri. Bukan anak-anak muda Sangkal Putung itu. Mereka masih belum menggunakan segenap kekuatan mereka, sedang kalian telah hampir mati kelelahan. Dengan demikian kami belum dapat menjajaki sampai di mana puncak kemampuan mereka.”

Kedua kawannya itu tidak menjawab. Mereka tidak akan dapat mengingkari, bahwa sebenarnyalah demikian.

“Aku bangga melihat keterampilan anak-anak Sangkal Putung itu,” desis orang yang masih duduk itu. Namun nadanya agak berbeda dengan nada kawannya yang terdahulu. Wajahnya pun kini tidak lagi secerah semula. Bagaimanapun ia menyembunyikan perasaannya, namun akhirnya tampak pula, betapa ia merendam kemarahan di dalam dadanya.

Orang itu pun tiba-tiba berdiri. Sekali ia mengangguk kepada Ki Demang Prambanan, kemudian kepada kedua pemimpin prajurit Pajang di Sangkal Putung.

Agung Sedayu dan Swandaru masih berdiri di tengah-tengah pendapa itu. Tetapi kini dada mereka pun berdebaran. Mereka melihat perbedaan yang seorang ini dengan kedua kawan-kawannya yang lain.

Tamu yang seorang itu pun segera melangkah mendekaiti Agung Sedayu dan Swandaru. Betapa hatinya bergelora, dan betapa api menyala membakar jantungnya, namun wajahnya masih juga tersenyum dan dari sela-sela bibirnya terdengar ia berkata, “Aku mengagumi kalian. Bukankah kalian bukan saja pengawal Kademangan Sangkal Putung yang mendapat tuntunan dari para prajurit Pajang, tetapi kalian ini juga saudara seperguruan?”

Agung Sedayu dan Swandaru mengerutkan keningnya. Orang itu mampu menebak dengan tepat. Namun kedua anak-anak muda itu pun tahu pula, bahwa orang itu pasti telah membaca unsur-unsur gerak yang dipergunakan, meskipun Agung Sedayu memiliki unsur-unsur gerak jauh lebih kaya dari Swandaru, namun dalam pokok-pokoknya keduanya pasti mempunyai banyak persamaan.

“Apakah aku salah?” bertanya tamu itu.

Agung Sedayu menggeleng sambil menjawab, “Tidak.Tuan benar.”

Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya pula, “Kalian masih cukup muda. Sedang ilmu kalian telah melampaui kedua kawan-kawanku itu. Bahkan aku tidak berhasil mengetahui betapa tinggi puncak ilmu kalian dalam perkelahian kalian dengan kedua kawan-kawanku. Kelak apabila kalian menjadi semakin sempurna dalam olah kanuragan jaya kawijayan, maka kalian berdua akan menjadi seperti sepasang elang dari satu sarang.”

Agung Sedayu dan Swandaru tidak menjawab. Namun debar jantung mereka tidak mereda. Orang ini pasti menyimpan ilmu yang jauh berbeda dengan kedua kawan-kawannya itu.

“Nah,” katanya, “apakah kakakmu yang seorang itu juga seperguruan pula?”

Agung Sedayu dan Swandaru bersama-sama menggelengkan kepalanya. Tetapi hanya Agung Sedayu-lah yang menjawab, “Tidak.”

Orang itu berpaling ke arah Sutawijaya. Agung Sedayu dan Swandaru pun memandanginya. Namun Sutawijaya masih saja duduk di tempatnya meskipun sekali-sekali tampak ia mengangkat kepalanya dan mencoba memperhatikan setiap pembicaraan.

Ia tidak pula dapat berdiam diri. Melihat sikap dan langkah orang itu Sutawijaya pun menjadi cemas. Meskipun belum dapat dipastikan namun orang ini pasti menyimpan banyak kelebihan dari kedua kawannya. Tetapi ia tidak segera berbuat sesuatu. Ditunggunya perkembangan keadaan lebih lanjut.

Sejenak kemudian maka tamu dari Menoreh itu pun bertanya lagi, “Apakah kalian berdua puas dengan kemenangan kalian atas kedua kawan-kawanku?”

Yang menjawab adalah Agung Sedayu, “Bukan suatu kemenangan.”

Orang itu mengerutkan keningnya. Kemudian ia menjawab, “Aku menganggapnya sebagai suatu kemenangan.”

“Kami masih dalam permainan. Belum ada kepastian siapakah di antara kami yang akan menang,” sahut Swandaru.

Orang itu mengerutkan keningnya kembali. Wajahnya kini tidak seterang semula. Senyumnya tidak lagi menghiasi bibirnya. Dalam nada yang dalam ia berkata, “Jangan menghina. Kalian sudah pasti bahwa kalian akan menang apabila perkelahian itu diteruskan. Tetapi dengan kemenangan itu kalian jangan terlampau cepat berbangga.”

Agung Sedayu dan Swandaru terkejut mendengar jawaban itu. Ternyata yang seorang ini mempunyai harga diri yang terlampau tinggi. Meskipun demikian Agung Sedayu berkata, “Jangan menyangka demikian. Tak ada maksud kami menyombongkan diri kami. Bahkan tak ada maksud kami terlibat dalam perkelahian dengan dalih apapun. Tetapi kami malam ini tersudut dalam kemungkinan ini. Kemungkinan yang tidak dapat kami hindari.”

“Omong kosong!” orang itu hampir berteriak. “Kalian sengaja membuat keributan di halaman dengan menghina para prajurit dan kedua kawan-kawanku.”

Agung Sedayu dan Swandaru sejenak saling berpandangan. Kemudian mereka pun memandangi wajah Sutawijaya pula, seakan-akan mereka ingin mendapat pertimbangan. Namun wajah Sutawijaya itu tidak berbicara apa pun bagi mereka berdua. Mereka hanya melihat wajah itu berkerut-kerut.

Sejenak kemudian mereka mendengar orang itu berbicara lagi, “Kalian datang dari Sangkal Putung dengan sengaja ingin mempertunjukkan kelebihan-kelebihanmu di sini. Tetapi jangan kau sangka bahwa Sidanti akan berbangga mendengar tingkah lakumu itu. Kalau ia mendengar, maka kau pasti akan dicekiknya sampai mati. Sayang ia tidak melihat kau berbuat seperti ini. Tetapi karena akulah yang melihat bahwa kau telah menghina kedua kawan-kawanku, maka akulah yang akan mewakilinya. Ia pasti akan berterima kasih kepadaku apabila kelak aku mengatakan kepadanya, bahwa tiga orang-orangnya dari Sangkal Putung aku patahkan tangan-tangannya karena kesalahan mereka sendiri.”

Dada kedua anak-anak muda dari Sangkal Putung itu berdesir. Agung Sedayu menggigit bibirnya untuk menahan gelora di dalam dadanya, ia masih mencoba untuk menguasai keseimbangan perasaannya. Karena itu ia masih belum segera menjawab. Tetapi telinga Swandaru ternyata telah terlampau panas. Dengan serta-merta ia menjawab, “Kau sombong seperti Sidanti.”

Jawaban yang pendek itu benar-benar telah menggoncangkan segenap pertimbangan tamu itu. Wajah tamu dari Menoreh itu segera menjadi gelap. Dan orang-orang yang melihatnya pun menjadi semakin tegang. Yang mereka dengar kemudian adalah orang itu berkata, “Hem, aku ingin kalian bertiga maju bersama-sama supaya perkelahian yang terjadi tidak menjemukan seperti perkelahian yang baru saja berlangsung. Ternyata bukan saja tanganmu yang akan aku patahkan, tetapi juga mulutmu. Ayo, bawa saudaramu yang seorang itu ke arena kalau ia mampu.”




Tetapi Sutawijaya ternyata tidak menunggu Agung Sedayu atau Swandaru memanggilnya. Ia kini telah berdiri. Seperti tamu tadi ia mengangguk hormat kepada para tamu yang lain dan dengan perlahan-lahan maju ke tengah-tengah pendapa. Ia tertegun ketika salah seorang pemimpin prajurit berdesis. Tetapi prajurit itu tidak berkata sesuatu.

Prajurit itu adalah prajurit yang seorang lagi, bukan pemimpin prajurit yang memberikan perintah untuk menangkapnya. Karena prajurit itu kemudian sama sekali tidak mengucapkan kata-kata, maka Sutawijaya pun meneruskan langkahnya ke tengah-tengah pendapa.

Tamu dari Menoreh yang menantang mereka berkelahi bersama, memandanginya dengan mata yang menyala. Meskipun demikian orang itu masih mencoba tersenyum sambil berkata, “Hei. Kalian masih sangat muda.”

“Ya,” sahut Sutawijaya, “kami masih cukup muda.”

“Bagus,” desis orang itu. “Tetapi kenapa kalian senang mencari persoalan dengan orang lain. Kenapa kalian senang mencampuri urusan yang bukan urusanmu?”

“Kami tidak sengaja,” sahut Sutawijaya. “kami tidak sengaja membuat persoalan dan mencampuri urusan orang lain. Tetapi kami juga tidak biasa melihat keanehan-keanehan terjadi?”

“Apa yang aneh menurut pertimbanganmu?” bentak orang itu.

“Banyak sekali.”

“Sebut satu di antaranya.”

“Di antaranya adalah, bahwa kau terlampau merasa dirimu penting dan merasa kau mempunyai wewenang yang berlebih-lebihan. Itu pun akibat dari sesuatu keanehan. Ternyata kau adalah tamu yang terlampau manja di sini.”

“Diam!” tamu itu pun berteriak sehingga hampir setiap orang terkejut karenanya. Dengan luapan kemarahan ia membentak-bentak. “Kau tidak berwenang apa pun berbuat demikian. Itu adalah perbuatan yang menyakitkan hati.”

“Aku tidak peduli,” sahut Sutawijaya dengan tatag. Kini ia tidak lagi berusaha menghindari apapun. “Tetapi aku tidak senang melihat sikap dan perbuatan yang demikian.”

“Siapkan diri kalian,” teriak orang itu tiba-tiba. “Kita akan segera mulai. Majulah bertiga bersama-sama.”

“Tidak,” sahut Sutawijaya. “Kami bukan pengecut yang hanya berani berkelahi bersama-sama. Kalau kau berkelahi sendiri, aku pun akan berkelahi sendiri.”

Darah orang itu telah benar-benar mendidih sampai ke kepala. Sikap Sutawijaya yang tatag berani itu benar-benar telah sangat mengganggunya. Anak yang masih terlampau muda itu seakan-akan merasa dirinya sangat yakin sehingga orang itu berteriak, “Jangan berbangga karena kawan-kawanmu dapat menang dari kedua kawan-kawanku. Tetapi jangan mimpi bahwa kalian dapat mengalahkan aku. Aku adalah adik Kepala Daerah Perdikan Menoreh. Aku adalah paman Sidanti itu.”

“Pantas,” sahut Sutawijaya tegas.

“Apa?” teriaknya pula.

“Pantas. Benar kata adikku, kau sombong seperti Sidanti.”

Sekali lagi dada orang itu serasa akan meledak. Sekali lagi ia berkata lantang, “Kita akan mulai. Kalau kau akan berkelahi seorang diri, dan kau menjadi korban kesombonganmu adalah bukan salahku. Semua orang akan menjadi saksi.”

“Baik,” sahut Sutawijaya, yang kemudian berkata kepada Agung Sedayu dan Swandaru, “Minggirlah. Biarlah orang ini dapat menakar diri.”

Orang itu hampir tidak dapat mengekang dirinya lagi. Hampir-hampir ia meloncat menerkam Sutawijaya. Tetapi untunglah bahwa orang-orang yang duduk di tepi pendapa itu telah mempengaruhinya pula.

Agung Sedayu dan Swandaru pun menjadi kecewa. Mereka masing-masing ingin pula mendapat kesempatan untuk melawan orang itu, tetapi karena mereka mengetahui siapakah Sutawijaya itu, maka mereka pun tidak membantahnya.

Tetapi di pinggir pendapa itu, pemimpin prajurit yang seorang itu pun tampak menjadi sangat gelisah. Prajurit itu seakan-akan ingin berbuat sesuatu, tetapi ia menjadi ragu-ragu. Kini ia melihat kedua kawan masing-masing pihak telah melangkah menepi dan ia melihat kemarahan telah membara pada wajah keduanya. Apalagi kemudian ia mendengar tamu dari Menoreh itu berteriak, “Kita bukan anak-anak tanggung, yang hanya suka berkelahi. Tetapi kita masing-masing menyadari akibat daripadanya.”

Sutawijaya menyadari kata-kata itu. Para prajurit dan para pemimpin Kademangan Prambanan pun menyadarnya pula. Mereka mendengar Sutawijaya menjawab, “Aku tidak takut menghadapi akibat yang paling parah sekalipun.”

“Bagus,” sahut orang itu. “Kau akan dapat mati di arena ini.”

Perkataan itu telah menegangkan setiap hati yang mendengarnya. Beberapa orang menjadi ngeri dan perempuan-perempuan pun menjadi lebih baik menyingkir jauh-jauh.

Tetapi sebelum mereka mulai, maka tiba-tiba pemimpin prajurit yang gelisah itu pun meloncat berdiri. Dengan tegangnya ia berkata, “Aku tidak ingin melihat pertumpahan darah di kademangan ini. Kau bukan orang Prambanan, kau pun bukan. Apakah sebabnya kalian akan berkelahi di pendapa Banjar Desa Prambanan? Bahkan sampai mati? Tidak. Aku adalah pamimpin Prajurit Pajang di Prambanan. Aku mengemban tugas di sini. Dan aku melarang kalian berkelahi.”

Wajah tamu dari Menoreh itu pun menjadi semakin menyala mendengarnya. Tiba-tiba ia memutar tubuhnya sambil menjawab kasar, “Akulah yang akan berkelahi, bukan kau?”

“Aku mempunyai wewenang di sini. Aku penguasa yang mendapat tugas langsung dari pimpinan prajurit Wira Tamtama, dan bertanggung jawab kepada senapati di daerah lereng Merapi, Untara.”

Orang itu terdiam. Tetapi dada Agung Sedayu berdesir mendengar kata-kata itu. Ternyata daerah ini adalah masih merupakan daerah yang menjadi tanggung jawab kakaknya, Untara. Tetapi prajurit itu sama sekali belum mengenalnya, bahwa ia adalah adik Untara. Apalagi dirinya, bahkan ternyata terhadap Sutawijaya pun orang itu belum mengenalnya.

Tetapi tamu itu berteriak, “Apa peduliku. Bahkan seandainya Untara di sini, aku tidak akan takut. Aku akan tetap dalam pendirianku. Berkelahi sampai mati di sini.”

“Aku tidak berkepentingan apakah kau akan mati atau tidak. Tetapi tidak di sisni. Tidak di Prambanan.”

Terdengar gigi tamu itu gemeretak. Demikian kemarahan menanjak sampai ke ubun-ubun sehingga sejenak justru ia terdiam. Beberapa orang menjadi heran melihat sikap pemimpin prajurit itu, bahkan kawannya, pemimpin prajurit yang lain pun menjadi heran melihat sikap kawannya itu. Dengan tidak sesadarnya ia berteriak, “Biarkan Kakang. Biarkan saja apa yang akan terjadi. Biarkan saja anak-anak Sangkal Putung itu dicekik sampai mampus. Mereka telah menghina kami di sini, menghina tamu-tamu itu dan menghina anak-anak muda Prambanan.”

“Aku tidak mau melihat daerah ini menjadi ajang pertentangan dari orang-orang di luar kademangan. Seolah-olah Prambanan adalah daerah yang paling jelek dari seluruh wilayah Pajang. Siapa yang akan berkelahi bahkan sampai mati, pergi saja ke Prambanan. Di sana perkelahian akan mendapat kehormatan dan dapat dilangsungkan di pendapa banjar desa. Begitu?”

“Tetapi kita tidak bersalah. Para tamu itu pun tidak.”

“Aku tidak tahu siapa yang bersalah. Itu adalah urusan mereka pula. Kalau mereka ingin menyelesaikan dengan pertumpahan darah, itu terserah. Mereka adalah laki-laki jantan. Tetapi tidak di sisni. Tidak di pendapa banjar desa ini.”

“Aku tidak berkeberatan,” bantah pemimpin itu.

“Akulah yang memegang seluruh pimpinan di sini,” sahut yang lain. “Akulah yang mendapat tanggung jawab tertinggi di sini. Kecuali kalau Bapak Demang berpendapat lain.”

Di antara para penonton di pendapa itu kemudian berdiri seorang yang masih cukup muda. Ternyata ialah Demang Prambanan. Demang yang menurut ukuran umurnya masih terlampau muda. Dengan wajah yang tegang ia kemudian berkata dari tempanya berdiri, “Aku sependapat dengan kau, Kakang. Aku tidak ingin melihat pendapa ini menjadi ajang perkelahian yang tidak aku mengerti ujung pangkalnya.”

“Nah, kalian dengar,” sahut prajurit itu, kemudian kepada tamu-tamunya dari Menoreh dan kepada Sutawijaya ia berkata, “Hentikan perkelahian!”

“Tidak!” sahut tamu dari Menoreh. “Tidak ada alasan untuk mengurungkan perkelahian. Perkelahian ini hanya dianggap selesai setelah aku mematahkan lehernya.”

“Kau dengar perintahku!” tiba-tiba prajurit itu pun berteriak. “Aku mempunyai kekuasaaan di sini, dan aku mempunyai alat-alat kekuasaan itu. Apakah kau akan melawan segenap prajurit yang berada di wilayah ini?”

Wajah tamu itu pun kini menjadi semakin membara. Tetapi ia terdiam sesaat. Agaknya pemimpin prajurit itu benar-benar akan bertindak apabila ia membantah perintahnya. Namun sama sekali ia tidak rela melepaskan lawannya. Karena itu maka ia pun menyahut tidak kalah lantangnya. “Baik. Baik. Kalian merasa diri kalian orang-orang yang luar biasa karena kalian menjadi prajurit Pajang pula, bahkan prajurit yang mempunyai pengaruh yang cukup.”

Jawaban itu agaknya berpengaruh juga di hati pemimpin prajurit itu. Tetapi ia telah terlanjur mengucapkan larangannya, sehingga karena itu ia tidak akan mungkin mencabutnya kembali. Bahkan sekali lagi ia menegaskan, “Di Prambanan akulah yang mendapat kekuasaan. Bukan Sidanti.”

“Tetapi Sidanti kelak akan dapat menggantungmu di alun-alun Pajang.”

“Ia bukan Panglima Wira Tamtama, dan bukan pula senapati di daerah ini.”

“Persetan! Tetapi ia berpengaruh.”

“Aku tidak peduli. Tetapi kalian tidak boleh mengotori daerah ini dengan darah yang tidak ada gunanya tertumpah.”

Terdengar gigi tamu itu gemeretak. Tiba-tiba ia berpaling kepada Sutawijaya dan berkata, “Kita gagal mempergunakan tempat ini. Tetapi kalau kau jantan, perkelahian ini tidak akan urung. Kita akan bertemu besok pagi-pagi di tepi kali Opak di ujung Selatan dari kademangan ini. Kademangan yang dikuasai oleh orang-orang cengeng macam pemimpin prajurit Pajang dan Demang itu. Kau setuju?”

Sutawijaya mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia di hadapkan pada persoalan yang tidak dikehendakinya sama sekali. Tetapi darah mudanya tidak dapat melawan perasaannya sehingga dengan tegas ia menjawab, “Di mana pun bukan soal bagiku.”

“Bagus!” teriak tamu itu. “Besok pada saat matahari terbit, aku telah menunggumu di sebelah barat perbukitan Baka. Aku akan membawa senjataku, sebuah pusaka berbentuk tombak pendek. Kalau kau mempunyai senjata bawalah. Kalau tidak carilah pinjaman kemana kau suka. Aku telah bertekad, bahwa salah satu di antara dada kita harus berlubang oleh senjata.”

Sekali lagi dada Sutawijaya berdesir. Agaknya orang itu telah benar-benar kehilangan keseimbangan berpikir. Kemarahannya telah mencapai puncak tertinggi, sehingga baginya tidak akan ada pemecahan lain dari pada maut.

“Hem,” Sutawijaya menggeram. Tetapi ia tidak sempat menjawab. Ia melihat tamu itu berputar dan berjalan tergesa-gesa meninggalkannya. Kedua kawannya pun segera mengikutinya di belakang.

Pemimpin prajurit itu berdiri saja termangu-mangu. Ia mendengar tantangan itu, dan ia pun mendengar jawabannya pula. Karena itu hatinya pun menjadi berdebar-debar. Tetapi ia kini tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Mereka akan berkelahi di luar daerah Kademangan Prambanan. Meskipun demikian, ia akan mampu memberi mereka peringatan, apabila mungkin mengurungkan perkelahian itu.

Tetapi prajurit-prajurit yang lain, termasuk seorang pemimpinnya mempunyai tanggapan yang berbeda. Mereka telah dikecewakan oleh sikap pemimpinnya itu. Mereka ingin melihat anak-anak muda Sangkal Putung itu menjadi biru bengap. Bahkan mungkin tangannya atau kakinya akan patah dan cacat untuk seterusnya. Tetapi peristiwa itu tidak terjadi. Namun kemudian mereka mendengar persetujuan mereka, sehingga tanpa sesadarnya beberapa orang dari mereka berkata, “Baik. Kita menunggu sampai besok. Kita masih mendapat kesempatan untuk menonton perkelahian yang menarik itu.”

Pemimpinnya yang seorang itu berpaling ke arah kawan-kawannya. Tetapi kawan-kawannya itu pun tertawa dengan nada yang aneh. Seakan-akan mereka sengaja mentertawakan sikapnya. Dengan demikian dada pemimpin itu berdesir. Seandainya benar-benar tamu dari Menoreh itu tidak menghormati sikapnya, apakah kawan-kawannya para prajurit itu akan bersedia untuk melakukan perintahnya? Mengusir tamu-tamu dari Menoreh itu meninggalkan Prambanan? Ia sendiri yakin, bahwa seorang diri ia tidak dapat mengalahkan tamu yang seorang itu, adik Kepala Daerah Perdikan Menoreh. Apalagi bertiga. Tetapi ia mengharap beberapa anak-anak muda Prambanan yang masih menyadari kedudukannya akan membantunya, meskipun lebih banyak dari mereka yang lebih senang berbuat seperti orang-orang gila.

Peristiwa itu tiba-tiba telah mendorong pemimpin prajurit Pajang itu menyadari kesalahannya selama ini. Selama ini seolah-olah dibiarkannya Prambanan menjadi sebuah hutan belantara. Tidak ada peraturan yang pasti dapat menjamin ketetapan adat dan tingkah laku di kademangan ini, sehingga seolah-olah sama sekali tidak dirasakannya adanya ketenangan. Terutama di kalangan anak-anak mudanya. Ki Demang Prambanan sendiri seakan-akan sama sekali tidak mempunyai wibawa apapun. Ia hanya bertindak sesuka hatinya sendiri. Bahkan kadang-kadang hanyut di dalam arus kegilaan anak-anak muda. Demang Prambanan sendiri adalah demang yang masih cukup muda, dan itulah sebabnya, maka kadang-kadang ia masih berpikiran kurang dewasa. Beruntunglah kali ini Ki Demang Prambanan itu sependapat dengan pendirian pemimpin prajurit itu, sehingga keputusannya untuk menentang perkelahian itu menjadi lebih kuat.

Pemimpin prajurit itu melihat satu-satu para penonton di halaman sekeliling pendapa itu pergi meninggalkan halaman banjar desa. Wajah-wajah mereka seakan-akan memancarkan kekecewaan hati mereka, bahwa pemimpin prajurit itu telah mencegah suatu tontonan yang pasti akan lebih mengasikkan daripada sabung ayam jantan. Yang akan bersabung di pendapa itu bukan sekedar ayam jantan, tetapi adalah dua orang laki-laki jantan. Satu dari Bukit Menoreh, yang lain dari Sangkal Putung. Tetapi tontonan itu menjadi urung. Namun hati mereka terhibur pula, ketika mereka mengetahui tontonan itu sebenarnya hanya tertunda sampai esok pagi di tepi kali Opak di ujung kademangan, sebelah barat pegunungan Baka.

Tamu-tamu, para pemimpin Kademangan Prambanan di pendapa, dan para prajurit meninggalkan pendapa itu pula. Mereka sama sekali tidak menyapa pemimpin prajurit yang masih berdiri tegak di tempatnya dan bahkan Demang Prambanan yang masih tegak pula. Mereka pergi dengan langkah yang tersendat-sendat seakan-akan ada yang mereka tinggalkan di pendapa itu. Sekali-kali mereka berpaling, dan mereka melihat wajah Sutawijaya yang memancarkan ketetapan hatinya, tanpa perasaan was-was sama sekali meskipun esok pagi ia harus berhadapan dengan tamu yang mereka segani.

“Wajah anak muda itu pun seakan-akan mawa cahya,” tiba-tiba salah seorang berdesis. Tetapi tak seorang pun yang menyahut.Orang yang berbicara itu pun terdiam pula.

Sejenak kemudian maka pendapa itu pun menjadi sepi. Bahkan halaman banjar desa itu pun telah menjadi senyap. Satu dua orang masih tampak berjalan mondar-mandir. Tetapi mereka pun segera pergi. Yang masih tinggal di halaman adalah dua orang perabot Kademangan Prambanan, Ki Jagabaya yang kurus tinggi beserta adiknya. Mereka menunggu demangnya dan mereka nanti akan bersama-sama kembali ke rumah masing-masing yang berdekatan.

Di pendapa itu kini berdiri termangu-mangu pemimpin prajurit Pajang yang seorang, Ki Demang, Sutawijaya, Agung Sedayu, dan Swandaru. Tetapi di sudut pendapa itu masih duduk beberapa anak-anak muda, di antaranya adalah Haspada dan Trapsila.

Prajurit itu memandangi anak-anak muda itu dengan sorot mata yang mengandung teka-teki. Seolah-olah pemuda-pemuda itu ingin melihat apa saja yang akan dilakukannya. Tetapi pemimpin prajurit itu telah mengenal dengan baik siapakah mereka itu. Haspasa, Trapsila, dan kawan-kawannya adalah anak-anak muda yang mempunyai tabiat yang berbeda dengan anak-anak muda pada umumnya. Namun justru karena itu, maka mereka hampir-hampir tak pernah mendapat perhatiannya. Tetapi kini anak-anak muda itulah yang tinggal mengawaninya.

Tiba-tiba prajurit itu seakan-akan bergumam kepada diri sendiri, “Apakah yang kau tunggu?”

Anak-anak muda itu pun terkejut mendengar pernyataan itu. Sesaat mereka saling berpandangan seakan-akan saling bertanya, “Ya, apakah yang kami tunggu?”

Karena anak-anak muda itu tidak segera menjawab, maka prajurit itu pun menyambung kata-katanya, kali ini agak mengejutkan Haspada dan kawan-kawannya, “Aku mengucapkan terimakasih atas sikapmu. Kau sudah membantu membuat keseimbangan pada saat-saat yang tidak menyenangkan. Mungkin selama ini kita tidak saling bertemu dalam perbuatan karena kesalahanku. Tetapi dalam keadaan yang penting, kalian dapat membantu aku.”

Haspada dan Trapsila tersenyum. Hampir bersamaan keduanya menjawab, “Mudah-mudahan.”

“Terimakasih,” sahut prajurit itu yang kemudian berpaling kepada Sutawijaya dan kedua kawannya. “Bagaimana dengan kalian?”

“Kami akan kembali ke pondokan kami,” sahut Sutawijaya. “Besok aku akan datang ke tempat yang telah kami setujui.”

Prajurit itu mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Kalau kau mau mendengar kata-kataku, jangan datang. Lawanmu adalah orang yang luar biasa. Hanya dengan tombak pendeknya itu ia seorang diri mampu berburu harimau. Bahkan banyak perbuatan-perbuatan aneh yang telah dilakukannya di sini hanya dalam waktu yang sangat singkat. Mungkin sengaja ia memperlihatkan kemampuannya untuk mendapat perlakuan yang baik di sini.”

“Ya. Tamu itu terlampau manja. Tetapi aku tidak dapat ingkar janji.”

“Aku mencoba memperingatkan kalian. Ia adalah adik Kepala Daerah Perdikan Menoreh. Namanya Argajaya, sedang kakaknya bernama Argapati.”

Sutawijaya mengerutkan keningnya. Prajurit itu pasti tidak hanya sekedar menakut-nakutinya. Meskipun mungkin apa yang dikatakan itu agak berlebih-lebihan, tetapi sebagian besar daripadanya pasti sebenarnya terjadi.

Tetapi Sutawijaya adalah seorang anak muda yang punjuling-apapak. Anak muda itu mempunyai banyak kelebihan dari anak-anak muda sebayanya. Karena itu ia sama sekali tidak gentar mendengar keterangan prajurit itu. Bahkan timbullah hasratnya untuk menilai kekuatan orang kedua dari Bukit Menoreh. Darah muda yang mengalir di dalam tubuhnya ternyata sangat mempengaruhi keputusannya.

Terdengar prajurit itu kemudian berkata pula, “Apakah kalian dapat mengerti keteranganku? Aku bermaksud baik. Meskipun Argajaya bukan Argapati, tetapi setidak-tidaknya ia memiliki kekuatan yang dapat dibanggakan.”

Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, “Terimakasih. Tetapi sayang, aku sudah berjanji untuk menemuinya besok pagi.”

“Kau dapat membatalkannya. Mungkin kau perlu minta maaf kepadanya, atau kau segera meninggalkan kademangan ini kembali ke Sangkal Putung. Argajaya adalah seorang yang sakti. Mungkin ia mampu menyamai Untara, Senapati Pajang di daerah di sekitar Gunung Merapi.”

Sutawijaya mengerutkan keningnya. Untara adalah seorang yang tanggon. Untara pulalah yang telah mampu membunuh Tohpati. Tetapi ia pun pernah maju berperang, bahkan langsung melawan Arya Penangsang. Meskipun ia tidak pasti, bahwa ia akan dapat memenangkan pertempuran besok, namun bukanlah wataknya untuk meminta maaf dan belas kasihan, atau lari dengan diam-diam meninggalkan janji jantan.

“Aku adalah Sutawijaya,” katanya di dalam hati. “Alangkah aib namaku dan nama ayahku kalau aku tinggal gelanggang colong playu. Aku harus memenuhi janji itu.”

Dan prajurit itu bertanya lagi, “Bagaimana? Aku sayang melihat kemudaanmu. Menilik kedua adik-adikmu, maka kalian masih akan jauh berkembang. Mungkin lima atau sepuluh tahun lagi kau akan berjumpa kembali dengan Argajaya. Dan kau akan menebus malumu kali ini.”

“Terimakasih,” Sutawijaya mengulangi. “Aku terpaksa menemuinya besok.”

Prajurit itu menarik nafas. Ketika ia berpaling dilihatnya Haspada dan Trapsila pun menjadi tegang pula. Tetapi mereka berdua tidak berkata sepatah kata pun.

Hanya demang yang masih muda itulah yang kemudian mencoba menasehati pula. “Dengarkan nasehat itu. Tak seorang pun yang mengenal kalian, sehingga nama kalian tidak akan tercemar karenanya. Berbeda akibatnya jika nama kalian adalah nama yang telah mengumandang setidak-tidaknya di sekitar daerah ini. Maka kalian pasti akan mempertahankan harga diri kalian masing-masing. Tetapi kalian akan lebih sayang pada nyawa kalian daripada nama kalian yang belum dikenal itu.”

Dada Sutawijaya berdesir. Hampir ia lupa dan meneriakkan namanya, Sutawijaya putra Panglima Wira Tamtama dan yang telah berhasil membenamkan tombaknya di perut Arya Penangsang. Untunglah ia menyadari keadaannya, sehingga maksudnya itu pun diurungkannya.

Meskipun demikian ia menjawab sekali lagi, “Terimakasih atas segala nasehat itu. Kami bertiga menyadari bahwa nasehat-nasehat itu bermaksud baik untuk kepentingan keselamatan kami. Tetapi biarlah kami mencoba mengadu untung. Kami sebenarnya memang memerlukan banyak pengalaman untuk kepentingan kademangan kami.”

“Tetapi apabila terjadi sesuatu dengan salah seorang dari kalian, jangan mendendam pada Kademangan Prambanan. Kami sama sekali tidak tahu-menahu dan tidak campur tangan dengan persoalan kalian besok. Prambanan dan Sangkal Putung adalah kademangan yang selama ini belum pernah mempunyai persoalan apapun,” berkata demang itu pula.

“Baik Ki Demang,” sahut Sutawijaya. “Kami dapat mengerti sepenuhnya maksud Ki Demang. Dan kami pun tidak akan menyangkutkan orang lain dalam persoalan ini.”

Prajurit itu dan Ki Demang Prambanan pun mengangguk-anggukkan kepala. Sesaat mereka saling berpandangan, kemudian berkatalah Ki Demang Prambanan, “Terserahlah kepada kalian. Tetapi kemana malam ini kalian akan bermalam?”

“Kami akan kembali ke tempat kami menumpang malam ini. Kami berada di rumah Paman Astra.”

Kedua orang itu pun mengangguk-anggukan kepalanya. Kemudian pemimpin prajurit itu pun berkata, “Kembalilah ke rumah Kakang Astra. Pikirkanlah sekali lagi apa yang akan kalian hadapi besok. Kalau kalian merubah pendirian kalian, kami akan ikut bersenang hati. Kalian dapat meninggalkan kademangan ini tanpa gangguan. Aku kira tamu-tamu itu tidak akan mengejarmu.”

“Baik, aku akan mencoba berpikir sekali lagi,” sahut Sutawijaya.

“Selamat malam,” desis prajurit itu.

“Terima kasih,” sahut Sutawijaya.

Prajurit itu, Ki Demang, dan Ki Jagabaya beserta adiknya dan kedua perabot desa yang lain, yang sudah mengunggu di halaman itu pun kemudian pergi meninggalkan banjar desa pula. Haspada, Trapsila, dan kawan-kawannya pun kemudian berdiri dan berkata, “Kisanak. Kami sependapat dengan pemimpin prajurit dan Ki Demang. Meskipun kami telah melihat betapa kalian telah mengejutkan kami, tetapi bermain-main dengan tamu yang seorang itu adalah sangat berbahaya.”

“Terimakasih Kisanak. Aku akan mencoba memikirkan sekali lagi,” jawab Sutawijaya pula. Tetapi hatinya sama sekali tidak bergerak untuk merubah keputusannya. Ia akan menemui orang itu besok di sebelah Bukit Baka.”

Banjar desa itu pun kini menjadi semakin sepi. Para penabuh gamelan pun telah tidak ada yang tinggal lagi. Karena itu maka Sutawijaya dan kawan-kawannya segera meninggalkan tempat itu pula, kembali ke rumah Astra.

Di sepanjang jalan tidak banyak kata-kata yang mereka ucapkan. Dengan langkah yang panjang mereka menyuusuri jalan-jalan di Kademangan Prambanan. Sesudah mereka melintasi sebuah bulak pendek, maka mereka melihat beberapa orang anak-anak muda berkumpul bergerombol di pinggir jalan.

“Itulah mereka,” gumam Sutawijaya. “Apakah mereka masih akan membuat onar lagi? Kali ini kita harus bersikap lain seandainya mereka berbuat sesuatu. Apalagi kalau di antara mereka terdapat tamu-tamu dari Menoreh itu.”

Agung Sedayu dan Swandaru menjawab hampir bersamaan, “Baik.” Dan Swandaru meneruskan, “Aku menjadi muak melihat sikap mereka. Beruntunglah kademangan ini masih juga menyimpan anak-anak muda seperti Haspada dan Trapsila.”

“Mudah-mudahan mereka akan segera mendapatkan tempatnya kembali,” gumam Agung Sedayu. “Aku menjadi heran, kenapa anak-anak muda seperti mereka itu justru menjadi terasing di sini.”

Kini mereka terdiam. Jarak mereka menjadi semakin dekat. Anak-anak muda yang berdiri di pinggir jalan itu pun agaknya memperhatikan mereka pula.

Tetapi Sutawijaya, Agung Sedayu, dan Swandaru menjadi heran ketika mereka kemudian melihat anak-anak muda itu menundukkan kepala. Bahkan satu dua yang masih sempat, menghindar dan berlindung di balik-balik pagar halaman. Agaknya mereka menjadi malu melihat Sutawijaya dan kedua kawannya. Apalagi anak-anak muda yang pada sore harinya telah mencoba menghinannya.

Sutawijaya, Agung Sedayu, dan Swandaru berjalan terus. Berpaling pun tidak. Mereka tidak mau membuat persoalan dengan mereka, atau sengaja membuat mereka malu.

Ketika kemudian mereka menengadahkan wajah mereka, mereka melihat bintang Gubuk Penceng telah jauh condong ke arah barat. Tanpa sesadarnya Agung Sedayu bekata, “Kita sudah hampir sampai ke ujung fajar.”

Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Gumamnya, “Waktuku tinggal sedikit. Pada saat fajar menyingsing aku harus sudah berada di sebelah barat Pegunungan Baka. Aku kira kita tidak akan pergi sendiri. Aku kira banyak anak-anak muda yang ingin melihat perkelahian itu.”

“Ya,” sahut Agung Sedayu

“Terpaksa,” desis Sutawijaya, “aku tidak dapat menghindarinya.”




Kedua kawannya tidak menjawab, dan Sutawijaya berkata terus, “Tetapi aku ingin singgah meskipun hanya sebentar di rumah Paman Astra. Sukurlah kalau Paman Astra telah menyediakan minuman hangat. Aku sangat haus.”

“Aku juga,” sahut Swandaru tiba-tiba. “Aku agaknya terlalu lama menari tayub di pendapa, meskipun tanpa diiringi gamelan.”

Kedua kawannya tersenyum. Tetapi kemudian terdiam. Hanya desir kaki-kaki mereka di atas tanah yang kering terdengar mengusik sepi malam. Di kejauhan suara burung hantu terdengar seperti sedang memanggil-manggil.

Ketika kemudian mereka memasuki halaman rumah Astra maka mereka bertiga itu pun terkejut. Dengan terbungkuk-bungkuk Astra menyambut mereka sambil berkata, “Mari, Ngger. Mari silakan masuk ke rumah paman yang jelek ini.”

Sutawijaya mengerutkan keningnya. Sikap orang tua itu tiba-tiba berubah. Tetapi sebelum ia bertanya, apakah sebabnya, Astra telah berkata, “Aku sudah mendengar apa yang telah Angger lakukan di pendapa dari kedua anakku. Sungguh luar biasa. Angger telah mengejutkan seluruh anak-anak muda Prambanan. Bahkan anak-anak yang paling disegani pun tidak akan dapat menyamai angger sekalian. Angger Haspada dari Sembojan, Angger Trapsila dari Tlaga Kembar, menurut anak-anakku, mereka tidak akan dapat menyamai angger-angger ini. Apalagi aku mendengar bahwa Angger Sutajia akan bertanding pagi nanti di sebelah Bukit Baka.”

Ketiga anak muda itu tersenyum. Tanpa disengaja Sutawijaya bertanya, “Di manakah kedua putera Paman itu?”

“Mereka bersembunyi, ngger. Mereka merasa malu.”

“Mudah-mudahan masih ada rasa malu pada anak Paman. Dengan demikian Paman masih mempunyai harapan, bahwa putera-putera Paman akan menjadi sadar, bahwa apa yang mereka lakukan bukanlah sikap mereka yang sewajarnya. Mereka telah terbius oleh suatu keadaan yang tidak dapat mereka mengerti sendiri.”

“Ya, ya, Ngger. Mudah-mudahan,” berkata orang tua itu. “Tetapi, marilah masuk. Marilah bibimu telah menyediakan sekedar minuman hangat.”

“Terimakasih, Paman.”

Tergesa-gesa Astra masuk ke dalam rumahnya diikuti oleh Sutawijaya, Agung Sedayu, dan Swandaru. Wajah Swandaru yang bulat itu tampak tersenyum-senyum sambil berbisik lirih, “Hem. Minuman hangat dan jadah panggang.”

“Sst,” desis Agung Sedayu. Namun mereka bertiga pun tersenyum.

Di sebuah amben besar mereka duduk melingkari mangkuk-mangkuk berisi minuman hangat, dan tepat sekali seperti tebakan Swandaru, jadah panggang dan potongan-potongan jenang dodol.

Dengan lahapnya mereka menikmati suguhan itu. Sekali-kali diselingi oleh suara mereka sahut menyahut. Namun Astra itu pun menjadi semakin heran, bahwa tak ada kesan apa pun di wajah anak muda yang menyebut dirinya bernama Sutajia itu. Dari anak-anaknya ia mendengar bahwa anak-anak muda itu besok akan berperang tanding melawan tamu yang memimpin rombongan dari Bukit Menoreh, bahkan adik Kepala Tanah Perdikan Menoreh sendiri. Tetapi orang tua itu tidak berani bertanya tentang pertempuran besok, betapa pun inginnya untuk mengetahui.

Selagi mereka sibuk mengunyah jadah dan jenang dodol serta menghirup hangatnya minuman, tiba-tiba pintu rumah itu diketuk orang. Dari sela-sela pintu yang tidak tertutup rapat, mereka dikejutkan oleh hadirnya pemimpin prajurit Pajang yang telah mencoba mencegah Sutawijaya berkelahi besok.

“Marilah, Tuan, marilah,” Astra menjadi tergopoh-gopoh mempersilakan duduk di amben itu pula.

Sutawijaya dan kedua kawannya segera berdiri pula sambil mengangguk hormat.

Prajurit itu pun kemudian duduk di antara mereka. Astra segera menyuguhkan semangkuk air hangat dan segumpal gula kelapa kepada tamunya yang tidak disangka-sangkanya. Sambil terbungkuk-bungkuk ia bertanya, “Tuan, kedatangan Tuan benar-benar mengejutkan hatiku. Apakah ada sesuatu yang Tuan anggap penting untuk datang berkunjung ke rumah yang jelek ini?”

Pemimpin prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tidak segera menjawab, tetapi ditatapnya wajah Sutawijaya dan kedua kawannya berganti-ganti.

Namun dalam sekejap itu Sutawijaya dan kedua kawannya pun segera dapat melihat, betapa besar pengaruh para prajurit Pajang di Prambanan. Mereka ditakuti oleh setiap orang dan dengan demikian, maka mempunyai kekuasaan yang cukup bersar.

Agung Sedayu dan Swandaru pun melihat sikap Astra dan sikap prajurit itu. Hubungan mereka agak berbeda dengan sikap setiap prajurit di Sangkal Putung. Hubungan antara para prajurit dan penduduk Sangkal Putung tampak jauh lebih akrab. Kekuasaan Widura pun sama sekali hanya terbatas pada segi-segi keprajuritan untuk menghadapi kekuatan Tohpati pada waktu itu. Demang Sangkal Putung sama sekali tidak merasa terganggu oleh kekuasaan yang diemban oleh pimpinan Wira Tamtama itu, bahkan keduanya saling isi-mengisi dengan serasi. Agaknya berbeda dengan kedudukan Demang dan penduduk Prambanan di mata para prajurit yang bertugas di tempat ini.

“Semuanya telah menyimpang dari kewajaran,” desis Sutawijaya di dalam hatinya. Ia tahu benar sikap ayahnya, Panglima Wira Tamtama. Namun kadang-kadang tidak semua prajurit merupakan cermin dari sikap Panglimanya.

“Astra,” kemudian terdengar pemimpin prajurit itu berkata. “Aku datang kemari untuk menemui ketiga tamu-tamumu anak-anak muda dari Sangkal Putung ini.”

“O,” sahut Astra sambil membungkuk-bungkuk. “Silahkan, Tuan, silahkan.”

Pemimpin prajurit itu menarik nafas. Kemudian kepada Sutawijaya ia berkata, “Aku tidak dapat melupakan persetujuanmu dengan tamu-tamu dari Menoreh itu. Begitu aku mencoba berbaring untuk beristirahat, segera aku menjadi cemas. Bahkan semakin lama menjadi semakin cemas. Aku tidak tahu, kenapa aku berperasaan demikian. Aku sudah mencoba berpikir, bahwa kau bukan sanak bukan kadangku. Seandainya kau mengalami bencana pun, aku tidak akan kehilangan. Tetapi aku tidak dapat berbuat demikian, sehingga aku terpaksa menemuimu.”

Sutawijaya mengerutkan keningnya. Agung Sedayu dan Swandaru pun menjadi heran pula atas sikap prajurit itu. Apakah yang telah mendorongnya berbuat demikian?

Tetapi prajurut itu kemudian mengaku sendiri, alasan-alasan yang telah mempengaruhi perasaannya selama ini. Katanya, “Mungkin aku terdorong oleh perasaan bersalah. Selama ini aku tidak dapat melakukan tugasku sesuai dengan garis-garis yang telah diberikan oleh senapati daerah lereng Merapi, Untara. Bukankah Untara sekarang berada di sekitar Sangkal Putung? Mungkin aku cemas apabila terjadi sesuatu dengan kalian di Prambanan, dan berita itu sampai ke telinga Ki Untara, seolah-olah aku tidak berbuat apa-apa di sini.”

Kembali Sutawijaya mengerutkan keningnya. Tanpa dikehendakinya, ia berpaling ke arah Agung Sedayu dan Swandaru. Namun kemudian ia menjawab, “Tuan, itu adalah tanggung jawabku sendiri. Kedua kawan-kawanku dan paman Astra menjadi saksi, bahwa Tuan telah berusaha sebaik-baiknya dan sejauh-jauhnya. Tetapi aku ternyata telah mengabaikannya. Salahkulah apabila terjadi sesuatu esok pagi.”

Prajurit itu terdiam. Direnunginya wajah Sutawijaya, seolah-olah ingin dilihatnya isi hatinya. Wajah anak muda itu agaknya terlampau tenang menghadapi perkelahian yang berbahaya.

Sejenak mereka saling berdiam diri. Lewat pintu yang separo terbuka, berhembus angin yang silir menggerak-gerakan nyala pelita di atas bancik yang tersangkut pada tiang.

Tiba-tiba mereka tersadar, bahwa mereka tidak usah menunggu terlalu lama. Di kejauhan mereka mendengar suara ayam jantan berkokok. Kemudian disahut oleh yang lain, dan suara kokok ayam itu seolah-olah menjalar dari satu kandang ke kandang yang lain. Bahkan ayam-ayam jantan yang bertengger di pepohonan pun menyahut pula dengan suara nyaring.

“Hampir fajar,” desis prajurit itu. “Kesempatan terakhir bagi kalian.”

“Maaf, Tuan,” desis Sutawijaya. “Aku tidak dapat melepaskan janji itu. Betapa rendah martabatku, dan betapa kecil namaku seperti disebut oleh Ki Demang Sangkal Putung, tetapi aku harus menjunjung harga diriku dan harga diri keluargaku.”

Prajurit itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Terjadilah di luar lingkungan kekuasaanku. Terjadilah di luar tanggung jawabku. Kalian yang mendengar ini menjadi saksi, bahwa aku telah berusaha untuk membatalkan perkelahian ini.”

“Semuanya akan menjadi saksi,” sahut Sutawijaya. Tetapi darah mudanya telah mendorongnya berkata, “Tetapi Tuan belum mencoba cara lain.”

Prajurit itu mengerutkan dahinya. Katanya, “Cara apakah yang kau maksud?”

“Mungkin Tuan dapat menghubungi Argajaya, dan minta kepadanya untuk membatalkan maksudnya. Minta kepadanya untuk meninggalkan kademangan ini seperti yang Tuan kehendaki atas kami.”

Wajah prajurit itu menjadi tegang. Dipandanginya wajah Sutawijaya dengan tajamnya. Bahkan Agung Sedayu pun terkejut pula mendengar perkataan Sutawijaya. Hanya Swandaru-lah yang tersenyum-senyum di dalam hati. Baginya perkataan Sutawijaya itu masih terlampau berhati-hati. Namun bagi Agung Sedayu, apa yang diucapkannya itu sebenarnya tidak perlu. Apalagi ketika Agung Sedayu melihat wajah prajurit yang menjadi tegang itu.

Tetapi meskipun demikian, meskipun Sutawijaya melihat juga kerut-merut di wajah prajurit itu, ia sama sekali tidak menyesal. Disadarinya benar-benar apa yang diucapkannya, sehingga karena itu ia sama sekali tidak terkejut ketika prajurit itu berkata, “Anak muda, aku hanya mencoba menjaga keselamatanmu. Jangan menjadi sombong dan jangan menyangka bahwa aku akan menjadi ketakutan seandainya kau mengancam akan melaporkan setiap kesalahan yang pernah aku lakukan di sini, meskipun apabila masih ada kesempatan aku akan mencoba untuk memperbaikinya. Mungkin kau mempunyai perhitungan tersendiri, bahwa seandainya terjadi sesuatu atas dirimu, maka kesalahanku bukan saja karena aku membiarkan itu terjadi, tetapi apa yang pernah aku lakukan akan diusutnya pula. Namun itu bukan berarti bahwa aku akan menundukkan kepalaku di bawah pengaruhmu. Aku bermaksud baik, tetapi jangan mencoba memeras dan memperalat aku. Aku akan dapat bersikap sebaliknya.”

Swandaru mengerutkan keningnya mendengar jawaban itu, sedang dada Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Apalagi Astra yang tidak tahu ujung pangkal pembicaraan mereka menjadi sangat ketakutan. Namun wajah Sutawijaya sendiri sama sekali tidak berubah. Dengan tenang ia berkata, “Maafkan, Tuan. Maksudku hanya ingin mengatakan. Bahwa apabila benar-benar Tuan ingin bersikap baik sebagai seorang prajurit, maka aku mengharap Tuan bersikap adil. Kalau Tuan menawarkan kebaikan hati kepada kami, maka apakah salahnya hal yang serupa Tuan berikan pula kepada tamu-tamu dari Menoreh itu.”

“Apakah benar kata kawan-kawanku bahwa kau telah menghina kami, para prajurit Pajang di Prambanan?”

“Tidak, Tuan,” sahut Sutawijaya cepat-cepat. Tetapi ia masih tetap tenang. “Sekali lagi aku minta maaf. Aku menyadari maksud Tuan. Tetapi aku menyadari juga bahwa sikap Tuan tidak adil terhadap kami dan para tamu itu. Mungkin karena mereka datang dengan tanda-tanda kebesaran mereka sebagai seorang adik dari kepala tanah perdikan yang besar, sedang kami datang sebagai anak-anak gembala yang lusuh. Tetapi jangan salah paham Tuan. Kami hanya ingin mengatakan, bahwa kami sudah terlanjur menganggap bahwa kami tidak kurang selapis pun dari tamu-tamu dari Bukit Menoreh itu. Itulah sebabnya kami berusaha untuk menjumpainya nanti di sebelah Bukit Baka.”

“Terserahlah kepadamu. Kau sudah mulai menyombongkan dirimu sebelum kau berbuat sesuatu.”

“Aku hanya mencoba membesarkan hatiku sendiri Tuan. Aku menyadari, bahwa setiap orang menganggap bahwa lebih baik bagiku untuk menghindari perkelahian besok selain mereka yang ingin melihat dadaku berlubang oleh ujung tombak. Tuan memang bermaksud baik, dan karenanya sekali lagi aku mengucapkan terima kasih. Tetapi sikap Tuan itu telah memperkecil hatiku. Maaf, Tuan. Aku harap Tuan mengerti supaya aku tidak menggigil pada saat aku melihat ujung tombaknya. Namun tak ada niatku untuk lari dari janji yang telah aku ucapkan.”

Wajah pemimpin prajurit Wira Tamtama di Prambanan itu masih juga tegang. Tetapi ia merasa aneh mendengar kata-kata anak muda dari Sangkal Putung itu. Ia merasa tersinggung karenanya, tetapi ia merasakan kebenarannya pula. Bahkan ia merasa hormat kepada anak yang melihat kenyataan yang telah berlaku di Prambanan ini. Sehingga dengan demikian ia menjadi ragu-ragu apakah benar ia hanya berhadapan dengan seorang anak gembala yang karena keadaan telah menjadi pengawal kademangannya?

Dalam pada itu maka prajurit itu pun menjadi ragu-ragu. Dengan demikian, maka ruangan itu pun menjadi sunyi kembali. Yang terdengar kemudian adalah kokok ayam jantan yang menjadi semakin ramai di segenap sudut desa.

“Hampir fajar,” tiba-tiba Sutawijaya berdesis.

Dalam keragu-raguannya tiba-tiba prajurit itu berkata, “Kau belum sempat beristirahat menghadapi saat yang berbahaya bagimu.”

“Aku sudah cukup beristirahat di sini. Aku sudah minum minuman hangat dan makan pagi, jadah panggang dan jenang manis.”

Prajurit itu tidak menjawab. Sejenak ia termenung. Kemudian terdengar ia berkata, “Aku akan melihat apa yang terjadi. Aku kira di sebelah Barat Bukit Baka pagi ini akan menjadi sangat ramai dikunjungi orang. Mereka ingin melihat punggungmu dipatahkan, atau dadamu menjadi berlubang. Tetapi aku tidak bertanggung jawab.”

“Mudah-mudahan terjadi sebaliknya. Punggung tamu itulah yang akan aku patahkan dan dadanyalah yang akan berlobang.”

“Kau terlalu sombong.”

“Tidak, Tuan,” sahut Sutawijaya. “Sudah aku katakan, aku hanya ingin membesarkan hatiku sendiri.”

Prajurit itu memandangi wajah Sutawijaya dengan saksama. Tiba-tiba ia sadar, bahwa wajah itu sama sekali bukan wajah seorang gembala atau anak padesan Sangkal Putung. Tetapi ia tidak tahu, bagaimana ia harus mengatakannya.

Tiba-tiba ia berkata, “Apakah kau memerlukan senjata? Lawanmu akan mempergunakan sebuah pusakanya yang berbahaya. Sebatang tombak pendek. Kalau kau perlukan, kau dapat memakai pedangku.”

“Terima kasih,” sahut Sutawijaya. “Aku mempunyai senjataku sendiri.”

Dada prajurit itu berdesir, tetapi ia berdiam diri.

Ketika suara ayam jantan menjadi semakin ramai, maka berkatalah Sutawijaya, “Aku tidak ingin terlambat. Lebih baik aku datang lebih dahulu. Aku akan berangkat segera.”

“Angger,” Astra yang sejak tadi berdiam diri tiba-tiba berkata, “apakah Angger tidak dapat mengurungkan perkelahian itu? Aku telah mendengar pula dari anak-anakku bahwa Angger akan melakukan perang tanding pagi ini.”

Sutawijaya tersenyum. Jawabnya, “Sayang, Paman. Doakan saja aku selamat.”

Sutawijaya pun segera minta diri untuk memenuhi janjinya pergi ke sebelah Barat Bukit Baka di tepi Sungai Opak.

Wajah Astra yang tua itu pun kemudian memancarkan perasaan cemasnya. Sorot matanya menjadi suram dan gelisah. Bahkan pemimpin prajurit itu pun tertegun-tegun dicengkam oleh perasaan tak menentu.

Namun terdengar Sutawijaya berkata tegas, “Aku akan berangkat.” Kepada Agung Sedayu dan Swandaru ia berkata, “Marilah. Aku tidak mempunyai waktu lagi.”

Agung Sedayu dan Swandaru tidak menjawab. Segera mereka turun dari amben bambu yang besar itu dan mengipas-ngipaskan kain mereka.

Prajurit itu pun tiba-tiba berkata, “Aku akan pergi bersama kalian.”

“Terima kasih,” sahut Sutawijaya yang kemudian sekali lagi minta diri kepada Astra. “Kami akan berangkat, Paman.”

Astra melepas mereka dengan hati yang gelisah dan cemas. Ia sendiri tidak mengerti, kenapa ia mencemaskan nasib anak-anak muda yang baik itu. Meskipun anak-anak muda itu baru saja dikenalnya. Namun dalam tutur kata dan sikapnya, serta apa yang didengarnya dari kedua anaknya, maka hatinya telah tertarik kepada mereka.

Tetapi Astra tidak dapat berbuat apa-apa. Ia hanya dapat memandangi langkah-langkah yang tetap dari ketiga anak-anak muda itu bersama pemimpin prajurit Pajang di Prambanan, meninggalkan halaman rumahnya.

Ketika Sutawijaya berbelok lewat sebuah pematang, maka prajurit itu pun berkata, “Kita menempuh jalan ini. Jalan ini adalah jalan yang paling dekat.”

Sutawijaya menjadi ragu-ragu sejenak. Dipandanginya wajah kedua kawannya seolah-olah ingin mendapat pertimbangan dari padanya. Tetapi kedua kawannya itu sama sekali tidak berbuat sesuatu bahkan sorot mata mereka pun sama sekali tidak menunjukkan sesuatu sikap. Karena itu, maka Sutawijaya-lah yang harus bersikap. Katanya, “Aku harus lewat jalan ini, Tuan.”

“Kau harus memutari ladang. Baru kau akan sampai ke jalan yang sempit. Di ujung lain dari pematang itu, kau akan sampai ke jalan kecil, dan jalan kecil itu adalah simpangan dari jalan yang besar ini.”

Kembali Sutawijaya menjadi ragu-ragu. Tetapi ia harus melewati batang gayam tempat mereka menyangkutkan senjata-senjata mereka. Karena itu maka jawabnya, “Jalan inilah yang aku kenal pada saat aku datang, Tuan. Karena itu aku akan menempuh jalan ini pula.”

“Aku mengenal setiap sudut Kademangan Prambanan seperti aku mengenal rumahku sendiri.”

Sutawijaya akhirnya tidak mempunyai alasan lain dari pada alasan yang sebenarnya, sehingga ia tidak lagi dapat menghindar. Maka katanya, “Aku harus lewat di bawah pohon gayam di sebelah ladang ini, Tuan.”

Pemimpin prajurit itu menjadi heran, sehingga dengan serta merta ia bertanya, “Kenapa kau harus lewat di bawah pohon gayam?”

Sutawijaya benar-benar sudah tidak ada kesempatan untuk menyembunyikan keadaannya. Maka jawabnya, “Senjata kami, kami simpan di pohon itu, Tuan.”

“Senjata?” kembali prajurit itu terkejut. Ia telah mendengar Sutawijaya berkata bahwa ia akan mempergunakan senjatanya sendiri, tetapi ketika ia mendengar bahwa senjata itu tersimpan di pohon gayam, maka ia masih juga terperanjat.

“Ya, Tuan. Kami telah menyembunyikan senjata-senjata kami di atas dahan yang rimbun.”

Prajurit itu tidak menyahut, namun raut mukanya menjadi berkerut-kerut. Ditatapnya ketiga anak-anak muda itu berganti-ganti. Sutawijaya dengan wajah yang pasti dan teguh, sedang anak yang kedua berwajah tenang. Namun dalam ketenangan itulah tersembunyi relung yang dalam. Seperti wajah air, semakin tenang semakin dalamlah dasarnya. Anak muda yang ketiga, yang gemuk, adalah anak muda yang berwajah terang, tetapi membayangkan kekerasan tekadnya.

“Hem,” desah prajurit itu di dalam hatinya. “Siapakah sebenarnya anak-anak ini. Kenapa baru sekarang aku dapat mengenali wajah-wajah mereka dengan baik justru di dalam keremang-remangan. Kenapa aku tidak melihatnya tadi di banjar desa yang terang benderang?”

Prajurit itu kini tidak membantah lagi. Diikutinya saja ketiga anak-anak muda itu di belakangnya. Ketika mereka sampai di bawah pohon gayam, maka segera mereka pun berhenti. Sejenak mereka tegak berdiri sambil berpandang-pandangan. Namun yang pertama-tama berkata adalah Swandaru, “Hem, aku lagikah yang harus memanjat?”

Mau tidak mau Sutawijaya dan Agung Sedayu tersenyum. Sebelum keduanya menjawab, maka Swandaru telah menyingsingkan lengan bajunya dan menyangkutkan kain panjangnya. “Tak ada pilihan lain,” gumamnya.

“Jangan menggerutu,” sahut Agung Sedayu. “Aku pun akan memanjat pula.”

“Kalau aku tahu di mana senjata-senjata itu disangkutkan, maka aku pun bersedia untuk memanjat pula. Tetapi aku tidak tahu, apalagi hari masih gelap,” berkata Sutawijaya.

“Huh,” desis Swandaru. “Alasan yang sempurna.”

Sutawijaya tertawa. Dibiarkannya kedua kawan-kawannya memanjat ke atas. Namun terdengar ia berpesan, “Berhati-hatilah. Hari masih terlalu gelap.”

Tetapi Swandaru dan Agung Sedayu kemudian berhasil mengambil seluruh senjata-senjata mereka. Sebatang tombak, dua batang pedang, tiga buah busur beserta endong panahnya.

Pemimpin prajurit itu terkejut melihat kelengkapan mereka. Sehingga dengan serta merta ia berkata, “Bukan main. Kelengkapan kalian telah menambah teka-teki di dalam kepalaku. Siapakah sebenarnya kalian?”

“Sudah aku katakan,” sahut Sutawijaya, “kami adalah pengawal Kademangan Sangkal Putung.”

Prajurit itu pun terdiam. Tetapi teka-teki di dadanya justru menjadi semakin membayang di wajahnya. Sekali-kali nampak mulutnya berkumat-kumit. Tetapi tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya.

Ketika ketiga anak-anak muda itu sudah siap dengan senjata masing-masing, maka berkatalah Sutawijaya, “Marilah. Kami sudah siap.”

Prajurit itu menjadi semakin bimbang akan penglihatan matanya. Sutawijaya kini tidak lagi kelihatan seperti seorang gembala. Dibenahinya pakaiannya dan dibetulkannya lipatan ikat kepalanya. Tampaklah betapa anak itu memiliki beberapa kelebihan di dalam dirinya. Sedang kedua anak-anak muda yang lain pun berbuat pula serupa. Di lambung mereka kini tergantung sehelai pedang, dan di punggung mereka tersangkut sebuah busur. Sedang pada ikat pinggang mereka, tersangkut pula sebuah endong dengan anak-anak panah di dalamnya.

Nafas prajurit itu tiba-tiba menjadi semakin cepat mengalir. Tetapi ia tidak bertanya sesuatu.

“Marilah,” sekali lagi Sutawijaya mengajak kedua kawan-kawannya dan prajurit itu. “Tetapi sebaiknya kita tidak melewati jalan. Apakah ada jalan lain yang lebih sepi dari jalan itu?”

Prajurit itu kini telah benar-benar terpesona melihat ketiga anak-anak muda itu, sehingga kata-kata Sutawijaya itu telah memukaunya pula. Tanpa sesadarnya prajurit itu menjawab, “Ada, kita dapat memintas, lewat pematang di sepanjang parit kecil ini.”

“Bagus,” sahut Sutawijaya. “Hari telah menjadi semakin terang. Aku tidak mau lagi berpapasan terlalu banyak orang. Mudah-mudahan aku tidak terlambat. Silahkan tuan berjalan di depan.”

Sekali lagi prajurit itu melakukan permintaan Sutawijaya tanpa disadarinya. Segera ia meloncat dan berjalan di paling depan, memintas pematang di sepanjang parit, menyusur ke sebelah Barat Bukit Baka.

Kini warna semburat merah di langit sebelah Timur sudah menjadi semakin nyata. Satu-satu bintang-bintang yang bergayutan di udara seakan-akan lenyap ditelan cahaya fajar yang segera pecah. Ujung-ujung pepohonan telah mulai nampak berkilat-kilat oleh cahaya pagi yang terpantul dari butir-butir embun yang mengantung di ujung dedaunan.

Sutawijaya dan kawan-kawannya pun segera mempercepat langkah mereka. Prajurit yang berjalan di depan itu pun digamitnya sambil berkata, “Aku agaknya akan terlambat.”

“Tidak,” sahut prajurit itu. “Matahari sedang terbit.”

“Saat inilah yang dijanjikan. Pada saat matahari terbit Argajaya menanti aku di sebelah Barat Gunung Baka.”

“Seandainya kau terlambat, maka saat kelambatanmu tidak ada sepemakan sirih.”

“Aku berharap dapat datang lebih dahulu sebelum Argajaya. Apalagi apabila kemudian ada orang-orang lain yang mencoba menonton sabungan ini.”

“Pasti. Aku dapat menduga bahwa hampir setiap laki-laki di Prambanan akan hadir melihat perkelahianmu nanti.”

Sutawijaya terdiam. Tetapi ia melangkah lebih cepat lagi.

Akhirnya ujung Gunung Baka itu pun menjadi semakin dekat. Di antara semak-semak ilalang tampaklah batu-batu padas yang menjorok seolah-olah ingin menggapai langit. Tetapi Bukit Baka bukan pegunungan yang cukup tinggi. Meskipun demikian, namun bukit itu tampak garang dalam keremangan cahaya fajar.

“Kita harus meloncat ke jalan. Parit ini akan menyilang jalan ke Gunung Baka.”

“Apakah ada jalan ke pegunungan itu? Bukankah pegunungan itu seakan-akan pegunungan yang tidak pernah disentuh kaki?”

“Tidak,” sahut prajurit itu. “Banyak orang yang mencoba mendaki ke puncak itu.”

“Apa yang dicarinya?”

“Bermacam-macam kepercayaan telah dicengkam penduduk di sekitar tempat ini tentang gunung kecil itu.”

Sutawijaya mengerutkan dahinya. Tiba-tiba ia berkata, “Kita turun ke Kali Opak. Adalah lebih baik bagiku menyusur tepian sungai dari pada berjalan lewat jalan itu. Mudah-mudahan tak banyak orang di sana.”

Prajurit itu tidak menyahut. Tetapi ia pun segera membelok ke Barat. Meloncat-loncat di antara puntuk-puntuk padas. Kini mereka sudah meninggalkan tanah persawahan. Mereka telah sampai di padang ilalang yang jarang. Di sana-sini berserak-serakan batu-batu padas yang kelabu.

Sesaat kemudian mereka telah sampai di pinggir tebing Sungai Opak. Tebing yang tidak begitu tinggi, sehingga mereka tidak mengalami kesukaran untuk meloncat turun.

Kini mereka berempat berjalan di sepanjang pasir tepi Sungai Opak. Mereka berjalan dengan langkah yang panjang ke Selatan. Janji itu mengatakan, bahwa mereka akan bertemu di pinggir Kali Opak di sebelah Barat Pegunungan Baka.

Sutawijaya terkejut ketika ia melihat beberapa orang berkerumun di kejauhan. Dengan serta merta ia berkata, “Apakah kira-kira tempat itu yang disebut oleh Argajaya.”

“Tak ada seseorang yang tahu pasti, manakah yang dikehendaki oleh Argajaya. Tetapi pasti di sepanjang tepian ini. Tempat orang berkerumun itu adalah tepat di sebelah Barat ujung Gunung Baka.”

“Mungkin di sana Argajaya menunggu. Ternyata aku datang terlambat.”

Prajurit itu tidak menyahut. Mereka berjalan semakin cepat. Sebelum mereka mendekat, berkatalah Sutawijaya kepada Swandaru, “Sekali lagi aku minta tolong. Bawalah busurku. Aku hanya akan mempergunakan tombakku.”

Swandaru menarik nafas. Katanya, “Baiklah. Apakah busurmu tidak sama sekali kau berikan aku Kakang Agung Sedayu.”

Sutawijaya tersenyum. Tetapi wajahnya kini menjadi bersungguh-sungguh. Ia tidak lagi dapat bergurau ketika di hadapannya telah menunggu sekelompok orang yang ingin melihat dirinya berkelahi antara hidup dan mati.

Swandaru melihat kesungguhan wajah Sutawijaya itu meskipun sambil tersenyum. Karena itu, maka Swandaru tidak mau bersenda lagi. Wajahnya pun menjadi bersungguh-sungguh pula ketika kemudian ia menerima busur dan endong anak panah Sutawijaya.




Mereka berempat kini berjalan semakin cepat. Namun tak sepatah kata pun yang terucap. Masing-masing terbenam dalam angan-angannya sendiri.

Tiba-tiba orang-orang yang berkelompok itu pun mulai bergerak-gerak seperti sarang semut yang tersentuh tangan. Agaknya seseorang telah melihat kedatangan mereka, dan berita itu pun telah menjalar ke segenap telingga, sehingga semua orang di dalam kelompok itu pun berpaling dan memandangi Sutawijaya dan kawan-kawannya.

Sutawijaya menarik nafas. Sekali ia menengadahkan wajahnya. Seleret sinar memancar di langit yang jernih. Dari balik Gunung Baka sinar matahari seolah-olah meluncur menghujam ke segenap penjuru.

“Hem,” guman Sutawijaya, “matahari telah memanjat naik.”

“Belum secengkang,” sahut prajurit itu.

Sutawijaya terdiam. Dengan wajah yang tegang ia berjalan selangkah mendekati kelompok yang tiba-tiba menebar seakan-akan memberikan jalan.

Langkah Sutawijaya pun menjadi tetap. Tanpa ragu-ragu ia berjalan masuk ke dalam kerumunan orang-orang Prambanan. Dengan sorot mata yang tajam ia memandang berkeliling. Setiap pasang mata yang terbentur dengan sorot mata anak muda itu, tiba-tiba terpaksa jatuh menunduk memandangi pasir tepian. Sorot mata anak muda itu ternyata terlampau tajam bagi mereka.

Tetapi Sutawijaya belum melihat orang yang menantangnya. Meskipun hampir seluruh wajah di baris terdepan telah dipandanginya, tetapi wajah Argajaya belum tampak berada di tempat itu. Karena itu maka tanpa disadarinya ia bergumam, “Di manakah tamu yang terhormat itu?”

Sutawijaya berpaling ketika ia mendengar jawaban di belakangnya, “Belum datang, Kisanak.”

Sutawijaya melihat Haspada telah berada di tempat itu pula. Di sampingnya berdiri Trapsila dan beberapa orang kawan-kawannya. Di sisi yang lain dilihatnya anak-anak muda saling bergerombol. Satu dua Sutawijaya masih dapat mengenal. Di sebelah Selatan adalah gerombolan anak-anak Sembojan, sedang di sisi Utara adalah anak-anak Tlaga Kembar. Anak-anak induk kademangan bertebaran hampir di segenap sudut, sedang anak-anak dari padesan-padesan kecil pun berkumpul di antara mereka. Orang-orang tua berdiri agak ke belakang. Tetapi agaknya mereka pun ingin melihat apa yang akan terjadi.

“Apakah Argajaya memilih tempat yang lain?” bertanya Sutawijaya tanpa ditujukan kepada seorang pun.

Tak ada jawaban. Tetapi wajah-wajah orang yang mengitarinya seakan-akan membantah kata-katanya itu. Seakan-akan mereka ingin berkata, “Ini adalah batas Kademangan Prambanan. Ini adalah tepian Kali Opak di sebelah Barat Gunung Baka.”

Tetapi tak seorang pun yang mengatakannya. Mereka seakan-akan terbungkam dan bahkan terpesona melihat anak muda yang berdiri di tengah-tengah mereka. Anak muda itu seakan-akan bukan anak muda yang dilihatnya kemarin. Juga kedua kawan-kawannya itu seakan-akan sama sekali bukan anak muda yang berkelahi di pendapa. Dengan pedang di lambung dan busur menyilang di punggung tampaknya mereka menjadi gagah, segagah prajurit-prajurit Pajang.

“Apakah pemimpin prajurit Pajang yang datang bersama-sama dengan mereka itulah yang meminjami mereka senjata?” Pertanyaan itu tumbuh di setiap dada mereka yang berdiri berkerumun itu.

Namun yang terdengar adalah suara Sutawijaya, “Aku akan menunggu Argajaya.”

Sutawijaya berkata tidak terlampau keras. Namun terdengar menyusup dalam-dalam ke dalam telinga orang-orang yang mengerumuninya. Suara yang terlontar dari bibir anak muda itu terasa mengandung perbawa yang tajam.

Tetapi ternyata Sutawijaya tidak perlu menunggu terlampau lama. Kembali orang-orang di dalam kelompok itu bergerak-gerak. Semua kepala berpaling ke satu arah. Ketika Sutawijaya, Agung Sedayu, dan Swandaru mengikuti pandangan mereka, terasa dada mereka berdesir. Di sepanjang jalan kecil yang menembus padang ilalang, tampak beberapa orang berjalan beriringan. Debu yang tipis tampak berhamburan terlontar dari tanah yang kering oleh sentuhan kaki-kaki mereka.

Di paling depan berjalan seorang yang bertubuh tegap kekar. Dengan kepala tengadah ia melangkah menjinjing sebatang tombak pendek, sependek tombak Sutawijaya. Orang itu adalah Argajaya. Di belakangnya berjalan kedua orang kawannya, kemudian pemimpin prajurit yang satu lagi dan beberapa orang prajurit Pajang. Bahkan tampak di antara mereka Ki Demang Prambanan, Ki Jagabaya yang kurus dan beberapa orang perabot desa yang lain.

Tanpa disengajanya Sutawijaya berpaling ke arah pemimpin prajurit yang seorang yang datang bersamanya. Tampaklah wajahnya menjadi tegang, lebih tegang dari wajah Sutawijaya. Ia melihat para prajurit bawahannya seakan-akan telah berpihak kepada tamu yang sombong itu. Dengan demikian, maka seakan-akan ia telah kehilangan kewibawaan bagi para prajuritnya. Bahkan Ki Demang Prambanan yang semalam membenarkan sikapnya, kini agaknya telah berganti pendirian. Seakan-akan apa yang dikatakan semalam hanyalah suatu mimpi yang kecut. Sekarang ia ingin bersikap lain. Besok adalah soal besok. Sikapnya baru akan dipikirkannya besok juga.

Tetapi pemimpin prajurit itu menjadi agak tenang ketika ia melihat Haspada, Trapsila, dan beberapa kawan-kawannya berada di tempat itu pula. Kalau ia harus memberikan keputusan, sedang para prajuritnya tidak dapat dikendalikannya lagi, maka ia akan memerlukan bantuan anak-anak muda Prambanan itu. Bahkan mungkin ia memerlukan anak-anak Sangkal Putung ini. Ya, anak-anak Sangkal Putung ini mungkin akan bersedia membantunya.

Kini iring-iringan itu sudah semakin dekat. Ketika wajah mereka menjadi kian jelas, maka tampaklah bibir Argajaya dihias oleh senyum yang cerah.

Sejenak orang-orang yang telah menanti di pinggir Kali Opak itu terpesona melihat kehadiran Argajaya bersama orang-orang yang mengiringinya, seakan-akan kehadiran seorang pemimpin bersama dengan anak buahnya, sehingga mereka itu pun kemudian terdiam seperti orang-orang tersentuh kaki.

Yang mula-mula terdengar adalah suara Aryajaya menggelegar, “He, agaknya kau telah datang lebih dahulu anak muda. Ternyata kau benar-benar anak jantan. Aku sangka kau semalam telah melarikan diri meninggalkan Prambanan kembali ke rumahmu, bersembunyi di balik selendang ibumu.”

Alangkah menyakitkan hati. Tetapi Sutawijaya tidak menjawab. Ditungguinya sampai Argajaya semakin dekat.

Sejenak kemudian mereka telah melintasi rumput-rumput kering di tebing, kemudian berloncatan turun ke tepian. Para pengikutnya pun segera berloncatan pula. Dan tanpa mereka sadari, mereka telah membuat suatu kelompok yang seakan-akan terpisah dari kelompok yang lebih dahulu datang. Bahkan di antara mereka tampak satu dua anak-anak muda Sembojan dan anak-anak muda Tlaga Kembar yang semalam saling mengejar dan berkelahi. Ternyata pendapat mereka kini telah terbelah silang menyilang. Anak-anak Sembojan dan anak-anak Tlaga Kembar sebagian telah datang lebih dahulu bersama Haspada dan Trapsila.

Sejenak kemudian kembali terdengar suara Argajaya, “Bagaimanapun juga aku merasa kagum akan kejantananmu. Meskipun kalian menyadari apa yang kalian hadapi, tetapi kalian tidak melarikan diri. Sidanti akan bergembira mendengar berita ini. Aku harap ia akan mendengarnya kelak. Dari salah seorang di antara kalian atau dari aku sendiri.”

Sutawijaya masih berdiam diri. Ia tegak seperti tonggak. Sedang Agung Sedayu dan Swandaru berdiri beberapa langkah di belakangnya.

Ketika Argajaya menjadi semakin dekat. Dilihatnya kini bahwa di tangan Sutawijaya tergenggam sebatang tombak pendek pula. Ia telah melihat tombak itu sejak ia masih berada di atas tebing. Tetapi baru kini ia melihat ujung dari tombak yang pendek itu. Tanpa disadarinya dipandanginya ujung tombaknya sendiri. Tombaknya adalah tombak pusaka. Tetapi dalam sekilas itu ia dapat melihat, bahwa tombak anak muda itu pun bukan kebanyakan tombak.

Apalagi kemudian ia melihat Agung Sedayu dan Swandaru yang berdiri tidak jauh dari Sutawijaya itu. Di lambungnya tergantung pedang, dan di punggungnya menyilang busur.

Hati Argajaya menjadi berdebar-debar. Busur itu semuanya berjumlah tiga buah. Pasti milik ketiga anak itu.

Meskipun demikian ia bertanya, “He, dari mana kau mendapat pinjaman senjata anak muda?”

Sutawijaya mengerutkan keningnya. Namun ia menjawab, “Senjataku sendiri. Apakah senjatamu itu senjata pinjaman?”

Argajaya terkejut mendengar pertanyaan itu. Tiba-tiba sorot matanya menjadi tajam dan dengan nada yang berat ia menjawab, “Pertanyaanmu terlampau tajam anak muda. Semalam, ketika aku meninggalkan pendapa banjar desa, hatiku telah sedikit mereda. Aku menganggap bahwa kalian adalah anak-anak yang patut dikasihani. Meskipun kali ini aku datang dengan senjata di tangan, tetapi aku telah menjadi lilih. Aku tidak ingin membunuh seperti semalam. Aku hanya ingin memberimu sekedar peringatan, bahwa kau telah berbuat kesalahan. Tetapi itu mungkin karena kau sama sekali belum mengenal kami. Aku mengharap perkenalan pagi ini akan memberimu kesadaran. Kalau kau dan kedua kawan-kawanmu bersedia minta maaf kepadaku, maka kalian aku anggap tidak bersalah.”

“Terima kasih, Argajaya,” sahut Sutawijaya. Namun kata-kata selanjutnya sangat mengejutkan, “Aku sudah menduga bahwa kau bukan seorang yang terlampau jahat. Kau hanya seorang pemarah yang tidak dapat mengendalikan diri. Tetapi ingat, sikap yang demikian adalah berbahaya. Berbahaya bagi orang-orang di sekitarmu dan berbahaya bagi dirimu sendiri. Seperti kau, maka aku pun kini sebenarnya sudah kehilangan gairah untuk berkelahi. Dan aku pun akan bersedia memberimu maaf seandainya kau memerluknnya.”

Darah Argajaya yang cepat mendidih itu pun tiba-tiba bergejolak sampai kepalanya. Tombaknya pun menjadi gemetar dan wajahnya menjadi merah membara. Tiba-tiba ia berpaling kepada Ki Demang sambil berkata, “Kau dengar Ki Demang, apa yang dikatakannya? Apakah salahku apabila aku benar-benar membunuhnya?”

Ki Demang tidak segera menyahut. Dilihatnya setiap wajah menjadi tegang. Wajah para prajurit pun menjadi tegang pula. Bahkan pemimpin prajurit yang datang bersama Sutawijaya pun tidak dapat mengerti, kenapa tiba-tiba sikap anak muda itu menjadi semakin keras dan semakin tajam.

“Apa katamu, he Ki Demang?”

Demang Prambanan terkejut. Tergagap ia menjawab, “Ya, ya, salahnya. Salahnya sendiri. Aku telah mendengar kata-katanya yang tidak sopan itu.”

“Nah,” tiba-tiba pemimpin prajurit yang lain, yang datang bersama Argajaya menyambung, “apa kataku. Ia telah menghina Prambanan dalam keseluruhan.”

Argajaya itu pun kemudian mengangkat wajahnya. Sambil memandang berkeliling ia berkata, “Lihatlah, betapa anak muda dari Sangkal Putung itu telah mencoba membunuh dirinya sendiri. Kalian menjadi saksi, bahwa aku bersedia memaafkannya, apabila ia dengan baik dan penuh penyesalan minta kepadaku. Tetapi kalian telah mendengar jawabnya.”

Terdengar suara bergumam di belakang mereka. Salah seorang yang telah setengah baya berkata lirih, “He, anak yang keras kepala. Kenapa kesempatan itu dilewatkannya.”

Yang terdengar kemudian adalah suara Argajaya pula, “Sekarang adalah terserah kepadaku. Bagaimanapun aku akan menyelesaikan persoalan ini.”

Kembali setiap mulut menjadi terbungkam. Namun setiap jantung berdetak semakin keras. Sebagian dari mereka menyesali anak muda dari sangkal putung itu. Kesempatan yang diberikan oleh Argajaya akan dapat menyelamatkan mereka. Tetapi kesempatan itu tidak dipergunakannya.

Argajaya itu pun kemudian maju beberapa langkah mendekati Sutawijaya yang berdiri tegak seperti patung. Wajahnya yang merah membara itu pun kemudian tersenyum, meskipun terasa betapa senyum itu hambar. Katanya, “Hem, kau memang anak muda yang keras hati. Kau ingin tahu dari mana aku mendapat senjata? Senjata ini adalah pusaka dari Menoreh. Kau ingin tahu namanya? Namanya Kiai Petit. Apalagi? Bertanyalah sebelum kau kehilangan kesempatan.”

“Tidak,” jawab Sutawijaya singkat.

“Nah, sekarang katakan kepadaku, siapakah yang memberimu senjata?” bertanya Argajaya. Tetapi matanya berkisar memandangi pemimpin prajurit yang datang bersama Sutawijaya. Dada prajurit itu berdesir. Ia merasa, bahwa Argajaya berprasangka kepadanya, dengan demikian, apabila pekerjaan Argajaya atas Sutawijaya selesai, maka hubungannya dengan tamu itu pasti tidak akan baik. Bahkan mungkin anak buahnya sendiri pun akan bersikap tidak baik pula kepadanya.

Tetapi ia menarik nafas dalam-dalam ketika ia mendengar jawaban Sutawijaya, “Setiap laki-laki Sangkal Putung pasti bersenjata. Sebab laki-laki Sangkal Putung adalah pengawal-pengawal kademangannya menghadapi sisa-sisa laskar Arya Penangsang.”

Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan sekali lagi ia melihat ujung tombak Sutawijaya. Tombak itu bukan tombak kebanyakan.

“Bagus,” sahut Argajaya. “Mungkin kau pernah mendapat ilmu dari Sidanti. Mungkin dari para prajurit yang lain. Tetapi ternyata kau menjadi terlampau sombong. Sekarang tentukan sikapmu yang terakhir.

“Aku menunggu kau minta maaf kepadaku dan berjanji untuk bertingkah laku baik dan sopan,” jawab Sutawijaya.

Jawaban itu telah menutup setiap kemungkinan untuk mengurungkan perkelahian. Argajaya benar-benar menjadi gemetar. Matanya menyala seperti bara. Terdengar giginya gemeretak. Dan dengan suara gemetar ia berkata, “Bersiaplah. Kau telah membakar kemarahanku kembali setelah aku bersedia memaafkanmu.”

“Kau juga telah membuat aku marah,” sahut Sutawijaya lantang.

Argajaya sudah tidak dapat mengendalikan dirinya lagi. Selangkah ia maju, dan tombaknya pun kini telah terangkat setinggi dada.

Namun Sutawijaya telah bersiap pula. Sekali ia berpaling kepada Agung Sedayu dan Swandaru. Kedua kawannya itu pun berdiri dengan tegangnya. Namun ketika Sutawijaya telah hampir mulai, mereka melangkah menjauhi satu sama lain, sekan-akan mereka ingin melihat perkelahian itu dari arah yang berbeda.

Argajaya dan Sutawijaya kini telah berdiri berhadap-hadapan. Tombak-tombak mereka telah mulai bergetar karena getar jantung mereka yang menjadi semakin cepat. Tetapi agaknya mereka masih saling menanti agar lawan-lawannyalah yang mulai menggerakkan senjatanya.

Matahari kini telah merayap naik semakin tinggi. Warna-warna merah di langit telah menjadi semakin bening. Lamat-lamat terdengar burung-burung liar menyambut pagi. Sama sekali tidak dihiraukannya ujung-ujung tombak yang telah siap berbicara di pinggir Sungai Opak.

Sutawijaya-lah yang kemudian sekali lagi memancing kemarahan lawannya supaya kehilangan pengekangan diri. Ia mengharap bahwa lawannyalah yang akan menyerangnya lebih dahulu. Karena itu maka katanya, “Argajaya. Ternyata kau tidak mendengarkan kata-kataku. Karena itu, maka aku tidak akan dapat memberimu ampun lagi, meskipun kau paman Sidanti. Aku ingi memberitahukan pula kepada Sidanti, bahwa sikap yang demikian seperti yang kau lakukan, adalah sikap yang tercela. Apalagi kau ingin membuat daerah ini menjadi semakin parah dengan segala macam kemaksiatan itu.”

Ternyata Sutawijaya berhasil. Ia tidak sempat menyelesaikan kalimatnya. Dengan garangnya Argajaya meloncat sambil menggerakkan tombaknya langsung mematuk dada Sutawijaya.

Semua orang yang melihat gerakan itu terkejut. Mereka yang sedang berdebar-debar mendengar kata-kata Sutawijaya yang tajam itu dengan serta-merta telah melihat Argajaya meloncat secepat kilat. Namun Sutawijaya telah benar-benar siap menanggapi setiap serangan. Juga serangan Argajaya ini pun telah diperhitungkannya. Dengan demikian, maka dengan tangkasnya pula ia menarik tubuhnya selangkah ke samping. Dengan merendahkan dirinya sedikit, Sutawijaya-lah yang kini mencoba menusuk lambung lawannya.

Argajaya terkejut melihat sambutan itu. Menilik tata geraknya, maka Argajaya menyadari, bahwa lawannya bukanlah sekedar seorang anak muda yang pernah belajar bermain tombak pada seorang prajurit saja, meskipun prajurit itu bernama Sidanti. Karena itu, maka sikap Sutawijaya itu merupakan peringatan baginya, untuk bersikap lebih hati-hati dan waspada.

Sambil menggeliat, Argajaya menghindarkan dirinya. Dengan tombaknya ia menangkis serangan Sutawijaya. Dengan demikian maka kedua tombak itu pun bersentuhan. Namun dari sentuhan itu terasa betapa kekuatan masing-masing seakan-akan telah menjalari tangan-tangan lawannya.

Argajaya terkejut ketika terasa tangannya tergetar. Sentuhan itu bukanlah suatu benturan yang keras. Namun sentuhan itu telah cukup menggetarkan tangannya. Karena itu, maka kemarahannya pun menjadi semakin memuncak. Agaknya di tempat ini ia akan bertemu dengan seorang lawan yang tangguh di luar dugaannya.

Sutawijaya pun merasakan sentuhan itu. Ia pun merasakan betapa kekuatan tangan Argajaya mengguncang tangannya. Tetapi tiba-tiba Sutawijaya tersenyum di dalam hatinya. Ternyata Argajaya bukanlah orang yang perlu ditakuti. Ia merasa bahwa setidak-tidaknya ia mempunyai kesempatan yang sama dengan lawannya.

Demikianlah maka perkelahian itu semakin lama menjadi semakin seru. Argajaya benar-benar tidak hanya menakut-nakuti namanya saja. Tetapi tandangnya benar-benar ngedab-edabi. Seperti rajawali di langit ia menyambar-nyambar lawannya, kemudian tombaknya mematuk-matuk seperti anak panah yang meluncur dari segenap penjuru. Orang-orang Prambanan yang telah mengaguminya menjadi semakin kagum. Mereka tidak menyangka, bahwa sampai sedemikian dahsyatnya tata gerak tamunya yang perkasa itu. Tetapi ketika mereka telah menyaksikannya sendiri, maka kekaguman mereka menjadi kian bertambah-tambah. Para prajurit pun menjadi kagum pula. Mereka telah sering melihat peperangan yang dahsyat. Bahkan mereka pun pernah melihat beberapa orang yang luar biasa berkelahi. Namun mereka masih juga menarik nafas dalam-dalam ketika mereka melihat betapa Argajaya menggerakkan tombaknya.

Tetapi lebih daripada itu, di samping kekaguman mereka yang menggetarkan dada mereka, maka lebih-lebih lagi anak muda dari Sangkal Putung itu. Para prajurit itu pun berdiri dengan dada berdebar-debar melihat tandang Sutawijaya. Tanpa mereka sangka-sangka dengan lincahnya anak muda itu dapat mengimbangi tata gerak Argajaya yang garang. Sehingga semakin seru perkelahian itu, maka semakin keraslah degup jantung mereka. Dan semakin keraslah dentang pertanyaan di dalam kepalanya, “siapakah sebenarnya anak-anak muda itu?”

Pemimpin prajurit yang seorang, yang datang bersama-sama dengan Sutawijaya pun menjadi heran bukan buatan. Tetapi tanpa disadarinya sendiri seolah-olah ia berdiri di pihak Sutawijaya. Karena itu, tanpa disadarinya pula, merayaplah perasaan bangga membakar hatinya. Tanpa disadarinya ia mengarap agar Sutawijaya mampu mempertahankan dirinya, setidak-tidaknya menyelamatkan diri sendiri. Adalah di luar sadarnya, bahwa ia pun kemudian tidak menyenangi sikap tamunya yang merasa dirinya melampaui segala-galanya itu. Argajaya ternyata bukan orang yang luar biasa. Kini ia dihadapkan pada seorang anak muda dan anak muda itu ternyata mampu mengimbanginya.

Bukan saja prajurit yang seorang itu yang menjadi tegang. Prajurit-prajurit yang lain pun menjadi tegang pula. Ki Demang Prambanan dan anak-anak muda kademangan itu, Haspada dan Trapsila melihat perkelahian itu dengan tanpa berkedip. Dadanya serasa dihinggapi perasaan yang aneh. Sutawijaya telah benar-benar mempesona mereka.

Demikanlah setiap orang yang melihat perkelahian itu telah dicengkam pula oleh suatu perasaan yang tidak mereka mengerti sendiri. Wajah-wajah mereka semakin lama menjadi semakin tegang, ketika tombak-tombak di arena perkelahian itu pun menjadi semakin cepat berputar.

Adalah suatu kebetulan bahwa Argajaya pun seorang yang menguasai senjatanya yang berbentuk tombak itu, seperti yang dipergunakan oleh Sutawijaya pula. Kedua tombak itu seolah-olah menari-nari berloncat-loncatan, bersentuhan dan bahkan berbenturan satu dengan yang lain. Kedua pasang tangan yang menggerakkannya adalah pasangan-pasangan tangan yang benar-benar cekatan dalam olah senjata.

Argajaya sama sekali tidak menyangka, bahwa ia akan bertemu dengan anak muda seperti yang sedang dilawannya itu. Hampir-hampir ia tidak dapat mempercayainya bahwa ujung tombaknya sama-sekali tidak berdaya menyentuh tubuh lawannya. Bahkan sekali-sekali tubuhnya sendiri hampir-hampir tersobek oleh senjata lawannya. Dengan demikian, maka kemarahannya pun setiap saat menjadi kian berkobar di dalam dadanya. Namun Betapapun ia berusaha, tetapi kemungkinan dari akhir perkelahian itu tidak ditentukannya sendiri. Akhir dari perkelahian itu adalah tergantung pada kedua belah pihak. Adalah sudah sewajarnya apabila masing-masing pihak ingin segera memenangkannya dalam keadaan serupa itu. Apalagi Argajaya. Tetapi lawannya bukan sekedar menerima nasib yang ditentukan olehnya. Bahkan lawannya pun mempunyai kemungkinan yang sama besarnya dari pada dirinya sendiri.

Pasir tepian itu pun kemudian menjadi seolah-olah diaduk dengan bajak. Bekas-bekas kaki mereka telah membuat sebuah arena yang luas. Keduanya berloncatan menghindar dan menyerang. Berputar dan berguling-guling di pasir. Dengan demikian, maka pakaian-pakaian mereka menjadi kotornya. Pakaian yang basah karena keringat itu, kemudian dilekati oleh pasir yang lembut.

Orang-orang Prambanan benar-benar seperti dicengkam oleh suatu perasaan yang dahsyat. Perkelahian itu adalah perkelahian yang belum pernah mereka saksikan. Perkelahian antara dua orang yang perkasa. Jangankan orang-orang Prambanan bahkan para prajurit-prajurit Pajang pun menjadi kagum melihat tata gerak mereka.

Argajaya yang marah itu pun berjuang semakin dahsyat. Berbagai perasaan telah mendorongnya untuk memenangkan perkelahian itu. Ia adalah seorang tamu yang dihormati, yang telah menunjukkan beberapa kelebihan yang mengherankan orang-orang Prambanan dan prajurit-prajurit Pajang di Prambanan. Dengan tombaknya itu ia mampu membunuh seekor harimau yang besar dan garang. Sedang kini yang dihadapinya hanyalah seorang anak muda Sangkal Putung. Perasaan malu telah menggelitik hatinya. Sudah sekian lama ia berkelahi, tetapi belum tampak suatu tanda bahwa ia mampu menguasai keadaan.

Tetapi ia tidak menyadari siapakah yang berdiri sebagai lawannya. Sutawijaya yang setelah berkelahi beberapa lama, segera dapat mengerti sampai di mana kemampuan Argajaya. Meskipun perkelahian itu masih berlangsung dengan serunya, seakan-akan dua tenaga raksasa yang sedang beradu, namun kembali Sutawijaya tersenyum di dalam hati. Ia kini tahu benar bagaimana ia harus menghadapi Argajaya. Di dalam hatinya Sutawijaya itu bergumam, “Belum melampaui Sidanti.”

Meskipun demikan Sutawijaya tidak berusaha secepatnya memenangkan perkelahian itu. Kekecewaannya atas keadaan yang telah disaksikannya di kademangan ini telah memaksanya berbuat sesuatu. Ia ingin menguasai perhatian orang-orang Prambanan atasnya, supaya mempunyai wibawa yang cukup untuk dapat berbuat sesuatu.

Sebagai sorang putra dari Panglima Wira Tamtama Pajang, maka keadaan di Prambanan telah benar-benar menyinggung perasaan Sutawijaya. Sikap para prajurit dan sikap anak-anak mudanya. Karena itu selagi ia berada di Prambanan maka apa yang dapat dilakukan untuk membantu tugas ayahnya, akan dilakukan. Ia ingin mempergunakan caranya sendiri untuk itu. Cara seorang anak muda pula.

Orang-orang yang berdiri di seputar arena perkelahian itu masih melihat perkelahian itu berlangsung dengan sengitnya. Mereka masih melihat keduanya meloncat-loncat dan berputar-putar. Menyerang dan menghindar. Mereka masih melihat kedua batang tombak itu saling berbenturan dan mematuk-matuk dengan dahsyatnya.

Sekali-kali terdengar Argajaya menggeram. Dengan garangnya ia menerkam dada Sutawijaya dengan ujung tombaknya. Tetapi setiap kali tombaknya selalu berputar dari arahnya. Ternyata tombak Sutawijaya sangat lincah. Lebih lincah dari tombak Argajaya.

Demikianlah ketika perkelahian itu telah berlangsung beberapa lama, maka sampailah Sutawijaya pada rencananya untuk mempengaruhi orang-orang Prambanan. Argajaya telah mendapat kehormatan yang luar biasa karena orang-orang Prambanan telah melihat ketrampilannya bermain dengan senjatanya. Menurut mereka, Argajaya dapat berburu harimau hanya dengan tombak pendek itu. Tetapi kini Sutawijaya tidak ingin berburu harimau, tetapi dengan tombak pendeknya itu ia ingin menjatuhkan Argajaya di hadapan orang-orang Prambanan yang mengaguminya. Ia harus membuat para prajurit itu menilai dirinya, supaya para prajurit itu kemudian mendengarkan kata-katanya seperti mereka mendengarkan kata-kata Argajaya.

Matahari yang melambung di langit kini sudah menjadi semakin tinggi. Sinarnya menjadi semakin cerah dan panas. Angin yang bertiup dari Selatan menggerak-gerakkan daun ilalang dan mengusap wajah-wajah yang tegang di pinggir Kali Opak.

Wajah-wajah yang tegang itu menjadi semakin tegang. Tiba-tiba mereka melihat betapa tata gerak Sutawijaya menjadi semakin lincah. Tombaknya menjadi semakin cepat bergetar, berputar dan mematuk dari segenap arah. Sepasang tangan anak muda itu seakan-akan telah berubah menjadi berpuluh-puluh pasang tangan dengan berpuluh-puluh tombak di dalam genggaman.

Argajaya terkejut pula melihat perubahan itu. Untuk meyakinkan dirinya, Argajaya terpaksa meloncat surut. Tetapi ia tidak berhasil memisahkan dirinya dari lawannya yang masih muda itu. Beberapa kali ia ingin melihat lawannya dan mencoba menilai keadaan. Tetapi beberapa kali pula lawannya selalu membawanya dalam keadaan yang sulit.

Kemarahan Argajaya pun menjadi semakin memuncak pula sejalan dengan meningkatnya tata gerak Sutawijaya. Bahkan kemudian anak muda itu menjadi agak membingungkannya. Sekali-kalli ia terpaksa meloncat jauh-jauh untuk menghindarkan diri dari kebingungan. Namun demikian ia terlepas, demikian lawannya telah siap memaksanya menjadi sibuk dan bingung kembali.

Sejenak Argajaya masih belum berhasil mengerti, apakah yang sebenarnya dihadapi. Namun semakin lama, maka orang itu pun menjadi semakin menyadari keadaannya. Tetapi dengan demikan ia dihadapkan pada pertentangan di dalam dirinya sendiri. Ia tidak mau melihat kenyataan itu. Ia tidak mau mengerti apa yang sudah mulai dilihatnya. Dengan penuh kemarahan ia mendesak setiap perasaan di dalam dadanya yang mengatakan lawannya adalah anak muda yang pilih tanding.

“Anak setan itu harus mampus,” geramnya di dalam hati. Ia mencoba membutakan dirinya dari kenyataan yang dihadapinya. Meskipun setiap kali ia terdesak mundur dan bahkan beberapa kali ia harus jatuh berguling-guling di atas pasir tepian untuk menghindari kejaran ujung tombak lawannya, namun ia masih juga sesumbar di dalam hatinya, “Kubunuh anak setan ini apabila ia tidak mau mohon maaf kepadaku.”

Sutawijaya kini benar-benar sudah sampai pada puncak permainannya. Ia harus meyakinkan kemenangannya kepada orang-orang Prambanan dan para prajurit Pajang yang melihat pertempuran itu. Ia tidak sekedar mendapat kesempatan karena kelengahan Argajaya. Tetapi setiap orang harus yakin bahwa memang anak muda yang menyebut dirinya pengawal Sangkal Putung itu melampaui ketangkasan dan keperwiraan lawannya.

Meskipun demikian Sutawijaya masih sadar, bahwa ia tidak sepatutnya menciderai lawannya. Ia ingin manunjukkan sikap yang baik. Namun ia mempunyai pula maksud yang lain. Karena itu maka ia harus menundukkan Argajaya dalam keadaan hidup.

Dalam kemarahannya Argajaya menjadi semakin garang. Tandangnya menjadi semakin keras dan kasar. Tetapi dengan demikian maka ketenangannya pun menjadi semakin kabur. Bahkan yang tampak kemudian hanyalah nafsunya yang menggelepar di dalam dadanya. Tetapi kemampuannya sama sekali tidak dapat mengimbanginya.

Sutawijaya yang menjadi semakin yakin dalam menilai lawannya, menjadi semakin matap. Dengan suatu gerakan yang tiba-tiba ia berhasil mengejutkan Argajaya, sehingga orang itu meloncat surut. Tetapi dengan tangkasnya anak muda itu memburu, tombaknya berputar membingungkan. Namun tiba-tiba tombak itu mematuk lambung.

Sekali lagi Argajaya terkejut. Namun ia masih mempunyai kesempatan untuk menangkis serangan itu. Dengan tombaknya ia berusaha memukul tombak Sutawijaya. Tetapi tombak Sutawijaya itu tiba-tiba bergetar dan berputar menghindari tombak Argajaya sehingga kedua tombak itu sama sekali tidak bersentuhan.

Dalam keadaan yang demikain, Sutawijaya mempunyai kesempatan yang baik, selagi Argajaya sedang dalam batas keseimbangan. Gerakannya yang tidak dapat diperhitungkan oleh Argajaya telah mendorong orang itu sehingga ia tidak dapat menguasai keseimbangannya lagi. Dengan susah payah, Argajaya meloncat supaya ia tidak jatuh. Tatapi dalam keadaan itu, kembali serangan Sutawijaya melandanya.




Kali ini serangan itu benar-benar telah membingungkan Argajaya. Ia tidak mampu lagi menghindar. Dengan demikian maka kesempatan satu-satunya baginya adalah menangkis serangan itu. Tetapi dalam pada itu keseimbangannya sudah hampir-hampir tidak lagi dapat dikuasainya.

Demikianlah Argajaya yang garang itu kini benar-benar dalam keadaan yang sulit. Tombak Sutawijaya yang menyergapnya seakan-akan telah hampir menghunjam di dadanya.

Tetapi Argajaya tidak mau dadanya dilubangi dengan ujung tombak anak yang menyebut dirinya pengawal Sangkal Putung itu. Dengan kekuatannya yang disalurkannya pada tangannya ia memukul tombak Sutawijaya. Namun dalam pada itu dibiarkannya dirinya terjatuh untuk segera berguling-guling menjauhi lawannya. Tetapi Sutawijaya tidak melepaskan kesempatan ini. Dengan sekuat tenaga pula ia membenturkan tombaknya pada tombak lawannya. Ia tidak lagi berusaha menusuk dada, tetapi ia berusaha melawan pukulan tombak Argajaya.

Maka terjadi benturan yang keras di antara keduanya. Tetapi keadaan Sutawijaya jauh lebih baik dari lawannya, sehingga karena itu, maka Sutawijaya mempunyai kesempatan lebih banyak untuk mengerahkan kekuatannya.

Demikian, maka terjadilah hal yang tidak tersangka-sangka bagi orang-orang yang mengerumuni perkelahian itu. Apalagi bagi mereka yang membabi buta mengagumi Argajaya yang perkasa itu. Dengan dada yang berdebar-debar dan darah yang seakan-akan membeku mereka melihat tombak Argajaya terlontar dari tangannya dan terjatuh beberapa langkah daripadanya.

Argajaya sendiri terkejut bukan buatan. Tetapi tangannya yang nyeri itu sama sekali sudah tidak mampu untuk menahan senjatanya. Dengan kemarahan yang memuncak sampai ke ubun-ubun ia menggeram keras. Beberapa kali ia berguling menjauhi lawannya, kemudian seperti singgat ia melenting dengan lincahnya. Namun kembali ia terkejut bukan kepalang. Kembali dadanya berguncang seperti tertimpa reruntuhan Candi Jonggrang yang megah itu ketika tiba-tiba, tepat pada saat kakinya berjejak di atas tanah, terasa ujung tombak Sutawijaya menyentuh bajunya, tepat di lambungnya. Dengan suara perlahan-lahan namun penuh tekanan terdengar suara anak muda itu, “Sayang. Tombakmu kau lempar tuan.”

Argajaya berdiri tegak seperti patung. Ujung tombak Sutawijaya kini tidak sekedar menyentuhnya, tetapi ujung tombak itu kini tertekan pada lambungnya. Betapapun kemarahan membakar jantungnya, namun Argajaya terpaksa tidak berbuat sesuatu. Ia berdiri saja dengan mata yang menyala.

Bukan saya Argajaya yang berdiri tegak seperti patung di tengah-tengah arena perkelahian itu. Orang-orang yang menyaksikan perkelahian dengan jantung yang tegang itu pun seakan-akan merasa ujung tombak itu melekat di lambung masing-masing, sehingga tak seorang pun di antara mereka yang berani menggerakkan tubuhnya. Bahkan nafas mereka pun menjadi tersendat-sendat dan dada mereka pun menjadi sesak.

Tombak itu masih melekat di lambung Argajaya. Ujung tombak itu sama sekali tidak bergetar. Tangan yang menggengamnya adalah tangan yang yakin akan kemampuannya.

Arena yang hiruk-pikuk oleh perkelahian itu, kini menjadi sunyi tegang. Wajah-wajah yang membeku, tubuh-tubuh yang kaku dan nafas yang tersengal-sengal tampak di seputar Argajaya dan Sutawijaya yang masih belum berkisar dari tempatnya.

Yang terdengar memecah kesepian itu adalah suara Sutawijaya, “Bagaimana, Tuan?”

“Bunuh aku,” suara itu bergetar di antara bibir Argajaya yang dibakar oleh kemarahannya. Wajahnya yang membara kini bagaikan menyala.

“Hem,” Sutawijaya menarik nafas, “Kau benar-benar berhati jantan. Tetapi aku bukan pengecut yang membunuh lawan tanpa senjata.”

“Bunuh, jangan menghina.”

“Tidak. Aku hanya akan membunuhmu selagi senjatamu masih di tangan.”

Argajaya tidak menjawab. Kemarahannya hampir meledakkan dadanya. Tetapi ujung tombak itu masih melekat di lambungnya.

Tiba-tiba semua semua orang yang berdiri di sekitar keduanya terkejut. Agung Sedayu dan Swandaru pun terkejut ketika mereka mendengar Sutawijaya berkata, “Kalau kau masih berani, ambil senjatamu. Aku akan membunuhmu apabila kau masih berani melawan aku.”

Bukan main panas hati Argajaya, seakan-akan hati itu kini berpijar. Terdengar ia menggeram. Namun sekali lagi telinganya mendengar Sutawijaya berkata, “Ambil tombakmu, supaya aku dapat membunuhmu. Kalau kau tidak berani maka pergilah. Kembali ke ibumu dan sembunyi di belakang selendangnya.”

Argajaya tidak dapat lagi menahan hatinya. Tiba-tiba kakinya terayun memukul tombak Sutawijaya. Namun Sutawijaya sudah bersiaga. Diangkatnya tombaknya, sehingga ujung kaki itu sama sekali tidak menyentuh senjatanya. Sambil tersenyum ia meloncat mundur dan berkata lantang, “Bagus. Kau ternyata bukan seorang pengecut. Aku beri kesempatan kau memungut senjata itu. Kita berhadapan dengan senjata masing-masing di tangan.”

“Kau akan menyesal anak iblis!” geram Argajaya.

Sutawijaya masih tersenyum. Ia berdiri tegak sambil menunjuk tombak Argajaya, “Ambil. Ambilah. Aku tidak akan menusuk punggungmu selagi kau membungkuk memungut tombak itu.”

“Kau benar-benar akan menyesal. Ingat, aku tidak akan memberi kau kesempatan. Aku benar-benar akan membelah dadamu.”

Sutawijaya tertawa. Selangkah ia mundur, sambil berkata, “Ambilah. Ambilah jangan ragu-ragu. Ada dua kesempatan yang aku berikan kepadamu kini. Mengambil senjata itu untuk melawan dan kemudian mati, atau berjongkok minta ampun kepadaku. Pengawal Kademangan Sangkal Putung.”

Kata-kata itu serasa merontokkan jantung Argajaya. Sekali ia meloncat dengan lincahnya dan tombaknya kini telah digenggamnya kembali.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, Argajaya pun telah mulai perkelahian itu kembali. Tombaknya kembali berputar dan mematuk-matuk lawannya. Tandangnya yang dilambari kemarahan yang memuncak tanpa terkendali benar-benar mengerikan. Tetapi justru karena itu, maka perhitungannya pun menjadi semakin kabur. Tanggapannya atas lawannya yang masih muda menjadi kabur pula.

Sutawijaya melayaninya dengan tenang. Semakin garang lawannya maka ia pun menjadi semakin tenang. Ia semakin banyak melihat kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh Argajaya, justru karena kemarahan itu.

Orang-orang yang menyaksikan perkelahian itu benar-benar dicengkam oleh ketegangan yang memuncak pula. Beberapa orang menjadi kabur menilai perkelahian itu. Beberapa orang menjadi bingung dan beberapa orang menjadi gelisah. Terutama para prajurit Pajang di Prambanan.

Kemenangan bagi Sutawijaya berarti penghinaan pula bagi mereka itu. Apalagi kemudian Argajaya terbunuh, maka mungkin sekali mereka pun akan mendapat bencana. Ketika terpandang olehnya pemimpinnya yang datang bersama-sama dengan anak muda yang berkelahi itu, maka dada mereka berdesir. Apakah kira-kira yang akan dilakukannya? Para prajurit itu merasa, bahwa sedikit banyak mereka telah menentang atau mengabaikan pemimpinnya itu.

Tetapi yang mereka cemaskan itu pun mendekati kenyataan. Argajaya kembali terdesak. Orang yang garang itu hampir-hampir tidak mendapat kesempatan untuk berbuat apapun.

Sekali lagi orang-orang yang mengerumuni arena itu menahan nafas ketika mereka melihat Argajaya terdesak jauh ke belakang. Orang itu terpaksa meloncat-loncat dan terus-menerus menghindar mundur. Sedang Sutawijaya pun nampaknya menjadi garang dan berbahaya.

Akhirnya sekali lagi mereka melihat sebuah serangan Sutawijaya membadai. Argajaya yang menjadi semakin lemah kehilangan setiap kesempatan untuk menghindar. Maka terulanglah apa yang pernah terjadi. Tombak Sutawijaya memukul tangkai tombak Argajaya, sehingga tombak pendek itu sekali lagi terlepas dari tangannya.

Dengan gerak naluriah Argajaya meloncat mundur. Tetapi kali ini Sutawijaya tidak mengejarnya. Kali ini Sutawijaya tidak menekankan ujung tombaknya ke dada lawannya. Dibiarkannya lawannya berdiri tegak dengan nafas terengah-engah.

Sutawijaya memandanginya dengah wajah terangkat. Dengan nada suara yang tinggi ia bertanya, “He, kenapa tombakmu kau lepaskan lagi, Tuan?”

Argajaya tidak menjawab.

Sutawijaya yang telah menjadi cukup hangat hatinya ti bertanya, “Apakah kau mencoba menyelamatkan dirimu dengan cara pengecut itu?”

Terdengar gigi Argajaya gemeretak.

“Kau tahu aku tidak akan membunuh orang yang tidak bersenjata. Karena itu ketika aku hampir berhasil membunuhmu kau lepaskan senjatamu,” desis Sutawijaya

Argajaya menggeram karena marah. Terasa seakan-akan di dalam dadanya berpijar segumpal bara. Tetapi ia tidak dapat menumpahkan kemarahannya.

“Ambil senjatamu kalau kau laki-laki,” desis Sutawijaya.

Tetapi harga diri Argajaya menyentak di dalam hatinya.

Katanya kasar, “Ternyata kau pun pengecut. Kau tidak berani melihat darah. Kalau kau jantan, bunuh aku tanpa memejamkan mata.”

Sutawijaya mengerutkan keningnya. Darah mudanya tersentuh. Tetapi kemudian ia tertawa sambil berkata, “Kau benar-benar berani. Kalau demikian, apakah kau tidak sengaja melepaskan tombakmu?”

Pertanyaan itu tidak kalah tajamnya menusuk jantungnya. Sekali lagi ia menggeram. Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu. Dengan demikian, maka alangkah sakit hatinya. Lebih baik dadanya segera ditembus senjata dari pada menerima penghinaan itu.

Tetapi Sutawijaya sama sekali tidak ingin membunuhnya. Sekali lagi ia akan meyakinkan sikap lawannya. Katanya, “Aku beri kau kesempatan sekali lagi. Ambil tombakmu.”

“Tidak!” sahut Argajaya tegas. “Aku akan mati bersama harga diriku,” ambungnya.

“Apakah kau akan minta maaf ?” bertanya Sutawijaya.

“Tidak. Aku tidak akan minta maaf. Aku masih menunggu kau minta maaf kepadaku. Dan aku akan memaafkanmu. Kalau tidak maka sikapku tidak akan berubah. Matilah yang merubah pendirianku itu.”

“Bagus. Kau adalah seorang yang berani dan sombong,” sahut Sutawijaya. “Tetapi sayang. Aku tidak akan membunuhmu. Sudah aku katakan, aku tidak dapat membunuh orang yang tidak bersenjata.”

“Pengecut. Kau tidak berani melihat darah musuhmu. Apalagi darahmu sendiri. Setetes darah dari tubuhmu, akan menjadikan kau mati ketakutan.”

“Untunglah, kau tidak berhasil meneteskan darahku,” sahut Sutawijaya pula.

Kembali Argajaya menggeram. Darahnya serasa mendidih dan kepalanya seakan-akan menyala.

“Aku beri kesempatan kau untuk lain kali. Kau dapat mengambil senjatamu dan pergi meninggalkan Prambanan.”

“Sekehendakku. Aku bukan bawahanmu, bukan budakmu. Kalau kau tidak senang melihat aku di sini, bunuhlah aku, aku tidak takut. Tetapi jangan mencoba memerintah.”

Sutawijaya mengerutkan keningnya. Orang itu benar-benar keras kepala. Dengan wajah yang bersungguh-sungguh Sutawijaya berkata, “Kau harus pergi meninggalkan Prambanan.”

“Jangan kau ulangi, anak setan! Itu urusanku.”

“Baik. Apabila kau tidak akan pergi terserah kepadamu. Ternyata kau tidak mempunyai rasa harga diri seperti yang kau ucapkan. Kau sama sekali tidak malu melihat berpasang-pasang mata menyaksikan kekalahanmu.”

Kata-kata Sutawijaya itu terasa jauh lebih pedih menusuk jantungnya dari ujung tombak. Karena itu, maka terdengar gemeretak gigi Argajaya mengeras. Namun ia masih juga berdiri tak bergerak.

“Nah, apakah kau akan tetap tinggal di sini?” bertanya Sutawijaya.

“Itu urusanku, tahu!” bentak Argajaya. “Jangan kau tanyakan lagi. Aku akan tetap tinggal di sini atau aku akan pergi adalah sepenuhnya tergantung padaku. Kalau kau tidak senang melihatnya, kau dapat membunuh aku. Ancaman apa pun yang kau ucapkan sama sekali tidak bernilai bagiku.”

Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba menguasai perasaannya yang mulai bergetar. Aragajaya memang seorang yang keras hati.

Ketegangan perasaan orang-orang yang menyaksikan sikap keduanya pun menjadi bertambah-tambah. Mereka menjadi heran melihat kenapa Sutawijaya masih tetap bersabar tidak membunuh lawannya yang keras kepala itu, tetapi sebagian dari mereka menjadi semakin kagum melihat keberanian Argajaya. Meskipun tangannya tidak lagi menggenggam senjata tapi ia sama sekali tidak takut.

Para prajurit yang datang bersama Argajaya kemudian dijalari pula oleh kekerasan hati seperti orang yang dikaguminya itu. Mereka pun tiba-tiba menjadi semakin benci melihat Sutawijaya yang masih menggenggam tombak. Bahkan ada beberapa orang di antara mereka yang tanpa sesadarnya bergeser beberapa langkah maju. Seperti juga kedua kawan Argajaya yang tidak dapat membiarkan pimpinannya dalam keadaan yang sulit itu.

Namun Agung Sedayu dan Swandaru pun melihat pula gelagat itu. Juga tanpa disadari mereka bergerak selangkah maju. Bahkan kemudian mereka berdua kini berdiri di dalam lingkaran orang-orang Prambanan di sekeliling arena.

Keduanya telah menumbuhkan kebimbangan pula pada orang-orang Argajaya itu. Mereka merasa bahwa mereka berdua tidak akan dapat mengalahkan kedua anak-anak Sangkal Putung itu. Tetapi mereka melihat bahwa para prajurit agaknya ada di pihaknya. Namun pemimpin prajurit yang datang bersama lawan Argajaya itu agaknya berpendirian lain.

Suasana di tepian Kali Opak itu menjadi semakin sepi dan semakin tegang. Setiap dada bergolak karenanya. Anak-anak muda yang melihat peristiwa itu pun mempunyai tanggapan yang berbeda. Haspada dan Trapsila beserta beberapa orang kawan-kawannya melihat sikap Sutawijaya dengan penuh kekaguman dan keheranan. Anak itu pasti bukan sekedar seorang pengawal dari sebuah kademangan.

Tetapi para prajurit yang semakin muak melihat sikap Sutawijaya pun menjadi semakin panas. Terdengar beberapa orang berdesis menahan perasaan mereka. Satu dua di antaranya mereka, tanpa dikehendaki sendiri, telah meraba hulu pedangnya. Tetapi ketika terpandang oleh mereka itu busur-busur di tangan Agung Sedayu dan Swandaru, maka mereka masih harus mencoba mengekang perasaan mereka.

Pemimpin prajurit yang datang bersama Sutawijaya pun melihat keadaan itu. Ia melihat beberapa orang prajurit menjadi marah atas kemenangan Sutawijaya, apalagi kedua kawan Argajaya. Mereka akan dapat menemukan titik persamaan kepentingan untuk bersama-sama menentang Sutawijaya dan kedua kawannya. Sepuluh orang prajurit dan tiga orang tamu itu pasti akan mempu melawan Sutawijaya dan kedua kawannya. Lalu bagaimana denga dirinya? Tiba-tiba pemimpin prajurit itu melihat Haspada dan Trapsila dan beberapa anak-anak muda pun melangkah maju. Mereka melihat wajah-wajah anak-anak muda itu menjadi tegang pula setegang wajah-wajah prajurit Pajang yang berdiri di sisi yang lain.

“Apakah perkelahian ini harus diikuti oleh pertempuran yang akan berakibat terlampau parah?” desis prajurit itu dalam hatinya. “Bagaimanakah aku nanti harus mempertanggung jawabkan peristiwa ini seandainya Ki Untara kelak mendengarnya?”

Pemimpin prajurit itu menjadi bimbang. Namun ia tidak segera menemukan cara untuk mengatasi kesulitan itu.

Dalam pada itu terdengar suara Sutawijaya, “Jadi kau tidak mau memenuhi permintaanku?”

“Tidak!” sahut Argajaya tegas.

“Tetapi sebaiknya kau pergi dari tempat ini dan menemui Sidanti. Aku ingin mengetahui, apakah kira-kira yang akan dilakukan oleh kemenakanmu yang tidak kalah sombongnya daripadamu itu. Mungkin ia akan malu mendengar kekalahan pamannya dari seorang pengawal Sangkal Putung, meskipun kau sendiri tidak mengenal malu. Atau barangkali kau akan dibunuhnya karena kau telah menyuramkan namanya. Tetapi mungkin pula Sidanti akan, menjadi marah melihat kekalahanmu. Kalau demikian, maka ia akan berhadapan dengan aku.”

“Tutup mulutmu!” potong Argajaya. “Jangan menghina anak muda itu pula.”

“Tak ada kata-kata lain untuk memberi gelar kepadamu dan kemanakanmu itu kecuali orang-orang yang sombong, tetapi tidak bernilai.”

“Diam!” teriak Argajaya.

“Kalau kau marah, ambil tombakmu. Mari kita bertempur. Kalau kau tidak berani mengambil tombakmu, diam dan dengarkan kata-kataku. Itu adalah urusanku sendiri, apakah aku akan berbicara terus, apakah aku akan berhenti. Itu adalah tergantung kepadaku. Tetapi kelebihanku darimu adalah, aku masih mengenggam tombakku.”

Kepala Argajaya serasa akan meledak karenanya. Hampir-hampir ia meloncat memungut tombaknya, tetapi harga dirinya telah mencegahnya. Ia telah mendapat kesempatan satu kali untuk memungut tombak itu. Karena itu ia tidak akan mengulanginya. Tetapi ia tidak mau mengakui kemenangan lawannya meskipun akibatnya dadanya akan dibelah dengan ujung tombak. Karena itu, maka yang dapat dilakukan hanyalah menggeram dan menggeretakkan giginya. Sedang Sulawijaya dengan acuh tak acuh masih saja membuatnya marah dan malu.

Sutawijaya mengharap bahwa dengan demikian Argajaya akan pergi meninggalkan Prambanan. Ia tidak memikirkan akibat apa yang dapat terjadi. Bahkan sengaja ia membuat Argajaya kelak membakar kemarahan Sidanti pula.

Tetapi ia masih saja melihat Argajaya berdiri tegak. Ia masih melihat Argajaya tidak bergeser dari tempatnya.

“Kau tidak juga mau pergi?” bertanya Sutawijaya.

“Semauku,” jawab Argajaya pendek.

“Baik. Kalau demikian dengarkan terus kata-kataku. Mungkin kau memang senang mendengarkannya.”

“Cukup!” semua orang terkejut mendengar kata-kata itu. Ketika mereka berpaling dilihatnya pemimpin prajurit yang seorang, yang datang bersama-sama dengan Argajaya dan Ki Demang Prambanan. Dengan garang ia kemudian berkata, “Kau membuat onar di Prambanan. Sepatutnya kau kami tangkap. Kami prajurit Pajang mendapat tugas untuk menjaga keamanan daerah ini, di samping pemuda-pemuda Prambanan sendiri. Meskipun kau menang atas tamu kita, tetapi kau tidak akan dapat menghadapi kami semuanya.”

“Aku tidak kalah!” teriak Argajaya.

“Benar,” sahut pemimpin prajurit itu. “Apalagi Ki Argajaya belum mengakui kemenanganmu. Karena itu menyerahlah.”

Kening Sutawijaya berdesir. Kemarahannya tiba-tiba melonjak membakar jantungnya. Tetapi yang terdengar adalah suara pemimpin prajurit yang datang bersamanya. “Jangan berbuat sesuatu. Kita telah berjanji untuk menjadi saksi dalam perkelahian ini. Biarlah yang berkepentingan menentukan sendiri siapakah yang menang dan kalah secara jantan.”

“Tetapi ia menghina seorang prajurit Pajang dari Sangkal Puiung pula. Sidanti. Dengan demikian ia menghina segenap prajurit Wira Tamtama.”

Prajurit yang datang bersama dengan Sutawijaya terdiam sejenak. Tetapi kemudian ia menjawab, “Ia tidak ingin menghina Wira Tamtama. Itu hanyalah sekedar luapan kemarahannya karena Argajaya berkeras kepala.”

“Bohong! Aku tetap akan menangkapnya.”

“Akulah pemimpin prajurit di sini,” jawab pemimpin prajurit itu tegas-tegas. “Aku memerintahkan kalian tinggal diam.”

“Pengecut!” bantah pemimpin yang lain. “Lihat para prajurit telah bersiap. Kalau kau tak mau turut dengan kami melakuan tugas ini, kami tidak bertanggung jawab. Aku juga dapat menyusun laporan tentang dirimu. Bahwa kau telah mengingkari tugasmu karena kau ketakutan melihat anak setan itu.”

Prajurit itu pun menjadi marah. Tiba-tiba ia meloncat maju sambil berkata lantang, “Dengar perintahku. Kalian tetap di tempat kalian!”

“Tidak! Kami akan menangkap anak muda itu.”

“Kalau kalian berkeras kepala, aku berada di pihaknya. Aku berada di pihak anak muda itu. Kalian memang harus dihukum karena kalian tidak patuh atas perintahku. Atas nama pimpinan Wira Tamtama di Pajang, khususnya senapati untuk daerah ini, aku berkata, jangan berpihak. Tetapi kalau kalian, memaksa, maka aku akan bertindak demi kekuasaan di tanganku dan tanggung jawabku.”

“Jangan mengigau tentang kekuasaan,” bantah pemimpin yang lain. “Kau ternyata menyalah-gunakan kekuasaan itu. Kau tunduk kepada kehendak kami, atau minggir, supaya kau tidak tergilas oleh sikap kami demi keamanan daerah ini.”

Sutawijaya yang mendengar pertengkaran itu menjadi kecewa, marah, dan cemas. Ternyata para prajurit Pajang di Prambanan telah benar-benar kehilangan kepatuhan dan ketaatannya kepada pimpinannya karena keadaan yang selama ini seolah-olah tidak terkekang sama sekali. Kini ia melihat pertentangan itu mencapai puncaknya. Bahkan agaknya bukan saja para prajurit Pajang, namun anak-anak mudanya pun agaknya telah berbeda pendirian dan sikap. Mereka yang selama ini ikut serta dalam perbuatan-perbuatan yang aneh-aneh bersama para prajurit itu, pasti akan berpihak kepada mereka. Tetapi anak-anak muda yang lain sudah barang tentu akan berdiri berseberangan dengan mereka.

Kini Sulawijaya harus berpikir. Kalau ia terseret oleh arus perasaannya, maka ia akan melihat dua pihak bertempur di pinggir Kali Opak ini. Pasti bukan sekedar berkelahi sampai banak belur, dengan wajah merah biru bengap. Tetapi dalam keadaan seperti kini, maka kemungkinannya pasti akan lebih jauh. Bahkan mungkin akan jatuh korban pula karenanya.

Ia terkejut ketika ia mendengar sekali lagi pemimpin prajurit itu mengancamnya. “Menyerahlah. Aku bersama Ki Demang Prambanan mengemban pimpinan di Kademangan ini.”

“Tidak!” prajurit yang satu itulah yang membantah. “Kau telah memberontak atas pimpinanmu.”

Tetapi agaknya kata-kata itu tidak dihiraukannya. Bahkan pemimpin prajurit yang datang bersama dengan Argajaya dan Ki Demang Prambanan itu dengan serta-merta menarik pedangnya. Dada Sutawijaya berdesir ketika ia melihat para prajurit pun menarik pedang masing-masing. Hatinya menjadi semakin cemas ketika tiba-tiba pemimpin prajurit yang datang bersamanya pun menarik pedangnya pula. Apalagi kemudian Sutawijaya melihat Haspada, Trapsila, dan beberapa yang lain berloncatan pula ke arena. Terdengar Haspada menggeram, “Kami, anak-anak Prambanan yang setia pada pengabdian kami telah menjadi muak melihat tingkah laku kalian di sini. Kini ada alasan bagi kami untuk berbuat sesuatu. Kalian lelah menolak perintah pimpinan kalian, sehingga dengan demikian kalian tidak ada bedanya dengan laskar Arya Penangsang yang melawan perintah itu.”

Darah para prajurit itu pun menjadi semakin panas karenanya. Mereka pun segera berloncatan maju dengan senjata di tangan masing-masing. Tetapi mereka tertegun ketika tiba-tiba mereka melihat ujung-ujung panah seakan-akan mengarah ke titik-titik mata mereka. Terdengar Agung Sedayu menggeram, “Aku mampu melepaskan anak panah ini dalam sekejap dan melepaskan anak panah yang kedua dalam sekejap berikutnya. Jumlah anak panahku masih melampaui jumlah kalian. Apalagi bersama anak panah adikku itu.”

Kata-kata Agung Sedayu itu bergetar di dalam setiap dada para, prajurit Pajang yang sudah siap menerkam Sutawijaya. Mereka semua kini berdiri tegak bagaikan patung. Tangan Agung Sedayu yang menggenggam busur dan pangkal anak panah itu tampaknya benar-benar meyakinkan.

Untuk menekankan kata-katanya Agung Sedayu berkata, “Aku adalah seorang pemburu. Aku dapat memanah kijang yang sedang berlari kencang. Apalagi kalian yang berdiri mematung.”

Setiap dada para prajurit itu pun menjadi semakin bergelora. Kemarahan telah bergolak di dalam dada itu, tetapi mereka masih juga harus berpikir akibatnya apabila anak panah itu terlepas dari busurnya. Apalagi kemudian Swandaru pun telah memasang anak panahnya pula pada busurnya, sedang busur yang lain bersilang di punggungnya. Katanya, “Aku bukan pemanah sebaik kakakku itu. Tetapi sambil memejamkan mata aku akan dapat mengenai salah seorang daripada kalian.”

Beberapa orang prajurit menggeram. Namun mereka terdiam sambil mengerutkan leher mereka ketika tiba-tiba Swandaru membentak sambil melangkah maju. “Apakah kalian tidak percaya? Baiklah aku mencoba.”

Ketika Swandaru kemudian menarik busurnya, maka para prajurit itu pun semakin berkerut. Adalah terlampau dekat untuk mencoba menangkis anak panah yang sedang meluncur. Bahkan Sutawijaya pun mengerutkan keningnya melihat sikap Swandaru. Tetapi tiba-tiba Swandaru tertawa sambil berkata, “Tidak, aku tidak akan mendahului. Lebih baik aku menunggu kalian bergerak. Dengan demikian maka bukan salah kami apabila kalian semuanya akan terbunuh di dalam arena ini. Untara pun pasti tidak akan menyalahkan kami, dan Sidanti pasti akan kehilangan kesombongannya apabila pamannya pun terbunuh pula.”

Agung Sedayu menggigit bibirnya. Adik seperguruannya itu masih juga bergurau dalam keadaan serupa itu.

Kini sejenak mereka saling berdiam diri. Para prajurit, Argajaya dan kedua kawannya, Sutawijaya, Agung Sedayu, Swandaru dan anak-anak muda Prambanan, serta Ki Demang, berdiri saja seolah-olah membeku.

Yang kemudian memecah kesepian adalah suara Sutawijaya. “Kami telah terdorong ke dalam suatu keadaan yang tidak kami kehendaki. Tetapi kalianlah yang lelah menyeret kami. Karena itu maka kami tidak bertanggung jawab, apa pun yang akan terjadi. Juga apabila di sini akan jatuh korban kemudian. Sekarang aku masih tetap ingin melihat Argajaya pergi dari tempat ini. Aku tidak pcduli apakah kemudian ia akan kembali membawa anak muda yang bernama Sidanti.”

Mata Argajaya itu pun menjadi semakin menyala. Sekali lagi ia menggeram, “Persetan!”

“Aku tidak akan membunuhmu Argajaya,” berkata Sutawijaya. “Kalau kau tidak mau pergi, baiklah. Kau dapat berbuat sekehendakmu. Tetapi aku pun akan dapat berbuat sekehendakku. Aku dapat membunuhmu, namun itu sama sekali tidak akan aku lakukan karena kau tidak bersenjata. Tetapi aku mempunyai cara yang lain untuk menghukummu. Aku akan melukaimu atau membuatmu cacat seumur hidupmu.”

Kini tubuh Argajaya itu pun menggigil karena kemarahan yang tidak dapat disalurkannya. Terdengar gemeretak giginya, dan matanya seakan-akan menyalakan api kemarahannya itu. Tetapi ia tidak beranjak dari tempatnya.

Sutawijaya akhirnya kehilangan kesabarannya. Tiba-tiba ia meloncat maju. Terdengar beberapa orang menahan kejutan jantungnya. Argajaya tidak sempat menghindar ketika tangkai tombak Sutawijaya terjulur ke arah pelipisnya. Gerak itu sama sekali tidak diduganya.

........bersambung ke Jilid 19

Tidak ada komentar:

Posting Komentar