Minggu, 17 Desember 2017

API di BUKIT MENOREH Jilid 14

API di BUKIT MENOREH

Karya S.H Mintardja

JILID 14

DADA Agung Sedayu berdesir mendengar pertanyaan itu. Baru kini disadari bahwa ia telah melanggar perintah kakaknya. Tetapi menurut pendapatnya, pertanggungan jawab atas peristiwa itu ada pada gurunya. Karena itu maka jawabnya, “Aku telah mencoba melakukan perintah itu Kakang. Tetapi guruku, Kiai Gringsing menyuruh aku kembali membawa orang ini. Kiai Gringsing sendirilah yang akan mengambil alih tugas yang harus aku lakukan itu.”

Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia tersenyum di dalam hati. Perhitungannya ternyata tepat seperti yang dikehendaki. Kiai Gringsing tidak akan melepaskan Agung Sedayu sendiri melakukan tugas yang sangat berbahaya itu. Namun meskipun demikian kini terasa betapa bulu tengkuknya berdiri. Seandainya. Ya seandainya Kiai Gringsing membiarkan Agung Sedayu itu berjalan menyusur hutan yang belum dikenalnya pada waktu itu? Alangkah berbahayanya. Kalau adiknya waktu itu mengalami bencana, maka ialah yang telah membunuh adiknya itu.

Tetapi adiknya kini telah kembali dengan selamat. Bahkan membawa seorang Jipang yang terluka. Agaknya Tuhan benar-benar telah melindungi anak itu.

Meskipun demikian wajahnya sama sekali tidak mengesankan kegembiraan hatinya itu. Dengan kerut-kerut pada keningnya, Untara berkata, “Apakah kau yakin bahwa Kiai Gringsing dapat melakukan tugas itu?”

Pertanyaan ini pun mengherankannya. Untara telah lebih lama bergaul dengan Kiai Gringsing daripada dirinya. Menurut pendapatnya, Untara pasti lebih banyak mengenal orang itu, orang yang bernama Ki Tanu Metir, yang telah melindunginya di dukuh Pakuwon.

Dengan demikian, maka Agung Sedayu tidak menjawab pertanyaan kakaknya, bahkan ia bertanya pula, “Bukankah Kakang Untara telah mengenal Kiai Gringsing dengan baik?”

“Aku bertanya kepadamu,” potong Untara, “kaulah yang seharusnya melakukan tugas itu. Kalau kau menyerahkan tanggung jawab itu kepada orang lain, maka kau harus yakin bahwa orang itu akan dapat melakukan tugas yang seharusnya kau lakukan.”

Agung Sedayu masih belum tahu maksud pertanyaan kakaknya. Seharusnya pertanyaan yang demikian tidak perlu diucapkan. Namun ia tidak berani berdebat dengan kakaknya, sehingga kemudian dijawabnya pertanyaan itu perlahan-lahan, “Ya. Aku yakin.”

“Bagus, kalau demikian maka kita akan menunggu hasilnya,” berkata Untara itu pula, “tetapi siapakah yang kau bawa itu? Orang Jipang?”

“Ya.”

“Terluka?”

“Ya.”

“Parah?”

“Agak parah.”

Untara terdiam sejenak. Diedarkannya pandangan matanya berkeliling, seakan-akan ingin mengetahui gejolak perasaan para prajurit yang berdiri mengitarinya. Bukan saja atas orang Jipang yang terluka ini, tetapi orang-orang Jipang yang mungkin bakal datang, apabila seruannya dapat dimengerti oleh orang-orang Jipang itu. Namun Untara tidak berkata apa-apa tentang perasaannya yang dipenuhi oleh berbagai macam persoalan, kecemasan dan keragu-raguan. Sebagai seorang pemimpin ia harus bersikap, tidak terombang-ambing oleh keadaan yang setiap saat dapat berubah, meskipun sikap seorang pemimpin bukanlah sikap yang mati, yang tidak dapat disesuaikan lagi dengan perkembangan keadaan.

Malam semakin lama menjadi semakin dalam. Bintang-bintang bertebaran dari satu sisi ke sisi yang lain, melingkupi seluruh langit yang luas, bergayutan berangkai-rangkai.

Dalam keheningan malam yang dingin itu, terdengar suara Untara bergetar, “Agung Sedayu. Bawa orang itu masuk ke banjar desa. Satukan dengan orang-orang Jipang yang sudah lebih dahulu terbaring di sana.”

“Baik Kakang,” sahut Agung Sedayu.

Ketika Agung Sedayu kemudian melangkah maju, beberapa orang yang berdiri di regol segera menyibak. Namun wajah-wajah mereka tampak tegang. Sebagian dari mereka memandang orang Jipang itu dengan sorot mata penuh kebencian. Namun yang lain, melihat Agung Sedayu dan orang Jipang itu lewat dengan pandangan mata yang kosong.

Sejenak kemudian regol halaman banjar desa itu menjadi sepi. Sepeninggal Agung Sedayu, para prajurit dan anak-anak muda Sangkal Putung satu demi satu berjalan meninggalkan regol, selain mereka yang bertugas. Hampir semua di antara mereka, sama sekali tidak menyatakan pendapatnya tentang orang Jipang yang baru itu. Orang Jipang yang kehadirannya agak berbeda dari orang-orang Jipang yang mereka temukan di medan peperangan.

Para petugas yang merawat orang-orang yang terluka pun kini sudah tidak terlampau sibuk lagi. Beberapa di antara mereka tinggal melayani orang-orang yang terluka parah. Bahkan ada di antara mereka yang menjadi panas dan mengigau tentang berbagai macam persoalan. Ada yang merintih perlahan-lahan, namun ada pula yang berteriak sepuas-puasnya.

Suasana di banjar desa itu benar-benar menjadi suram. Beberapa orang yang lukanya tidak terlampau parah segera minta ijin untuk pergi saja ke kademangan, berkumpul dengan para prajurit yang berada di sana. Suasana di kademangan jauh lebih baik dari suasana di banjar desa. Bahkan di antara mereka yang masih merasa lapar, dapat merayap ke dapur mencari makanan yang masih banyak tersedia.

Ternyata Swandaru pun telah pergi ke kademangan. Langsung dibongkarnya tenong lauk pauk di dapur untuk mencari daging lembu goreng, sisa lauk pauk makan malam mereka.

Namun dalam pada itu, kembali para penjaga di banjar desa dikejutkan oleh kehadiran seorang yang membawa tongkat baja putih bersama-sama dengan dukun tua yang bernama Ki Tanu Metir.

Beberapa orang penjaga segera mengenal, bahwa orang yang membawa tongkat baja putih itu adalah orang yang telah membawa mayat Macan Kepatihan. Karena itu segera mereka mengetahui, bahwa orang itu adalah orang Jipang. Dengan demikian maka segera para penjaga itu menghentikannya dan bertanya, “Akan pergi ke mana kau?”

Sumangkar terkejut mendengar sapa yang keras itu. Segera, ia berpaling kepada Ki Tanu Metir, seakan-akan minta supaya Ki Tanu Metir-lah yang menjawab pertanyaan itu.

Ki Tanu Metir yang juga disebut Kiai Gringsing segera menjawab, “Akulah yang membawanya.”

“Bukankah orang ini orang Jipang?” bertanya penjaga itu.

“Ya. Orang ini orang Jipang.”

Sejenak para penjaga menjadi ragu-ragu. Mereka saling berpandangan. Namun tampaklah bahwa mereka tidak segera dapat menentukan sikap.

Dalam pada itu berkatalah Ki Tanu Metir, “Jangan cemas atas kehadirannya, aku yang akan bertanggung jawab.”

Namun wajah para penjaga itu masih saja diliputi oleh kebimbangan, sehingga Ki Tanu Metir terpaksa berkata kepada mereka, “Kalau kalian ragu-ragu, sampaikanlah kepada Angger Untara atau Angger Widura, bahwa Ki Sumangkar ingin bertemu dengan mereka.”

Itu adalah pendapat yang paling baik bagi para penjaga yang sedang bimbang. Salah seorang dari mereka segera pergi menemui Untara dan Widura, untuk menyampaikan pesan Ki Tanu Metir tentang orang Jipang itu.

“Bawa mereka kemari,” berkata Untara kepada penjaga itu.

Sejenak kemudian, Ki Tanu Metir dan Ki Sumangkar pun segera dibawa kepada Untara dan Widura, di ruang dalam Banjar Desa Sangkal Putung.

Di ruang itulah kemudian terjadi pembicaraan yang mendalam tentang segala kemungkinan yang dapat terjadi atas janji pengampunan yang disampaikan oleh Untara kepada orang-orang Jipang. Sumangkar telah mencoba menanyakan kepada Untara, sampai berapa jauh kemungkinan pengampunan itu dapat diberikan.

“Menurut Panglima Wira Tamtama,” berkata Untara, “pengampunan itu bersifat umum. Namun sudah tentu, bahwa kalian akan tetap berada dalam pengawasan. Tetapi apa yang akan kalian alami, adalah perlakuan dari para pemimpin Pajang yang menjunjung tinggi peradaban.”

Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian orang tua itu pun bertanya, “Apakah jaminan yang dapat diberikan oleh Angger Untara untuk memperkuat kepercayaan kami?”

Untara berpikir sejenak. Namun kemudian ia menggeleng. “Tidak ada jaminan yang dapat aku berikan. Tetapi aku berjanji, bahwa semua itu akan dilakukan sesuai dengan ucapan Ki Ageng Pemanahan.”

Sumangkar mengerutkan keningnya. la tidak mendapatkan jaminan apa-apa dari Untara. Memang sebenarnyalah bahwa tidak akan ada jaminan yang dapat diberikan. Tetapi begitu saja mempercayainya, rasa-rasanya berat juga bagi Sumangkar.

Sejenak ruangan itu menjadi sepi. Nyala lampu jlupak yang melekat di dinding seakan-akan menggapai-gapai kepanasan. Sekali-kali terdengar di kejauhan suara burung hantu mengetuk-ngetuk hati.

Dalam keheningan itu terasa betapa jauh jarak yang harus mereka pertautkan dari kedua belah pihak. Permusuhan yang setiap hari semakin meningkat. Kebencian, dendam dan berbagai macam perasaan yang telah mendorong kedua belah pihak menjadi semakin jauh.

Tetapi Sumangkar tidak dapat menolak kenyataan yang dihadapinya. Pajang semakin lama menjadi semakin kokoh, sedang sisa-sisa prajurit Jipang semakin lama menjadi semakin terpecah belah. Kekuatan mereka kini telah, berbanding berlipat ganda. Dalam keadaan yang demikian, apakah yang dapat dilakukan olehnya? Apa yang dijanjikan oleh Untara itu adalah selapis lebih baik daripada mereka datang menyerahkan diri, meskipun akibatnya hampir tidak ada bedanya. Namun dengan janji itu, mereka pasti akan mendapat perlakuan yang lebih baik dalam batas-batas yang memungkinkan.

Karena itu, tidak ada kemungkinan lain bagi Sumangkar untuk menerima tawaran Untara itu sebagai satu-satunya kemungkinan yang paling baik. Sumangkar yakin, bahwa apabila kesempatan itu tidak dipergunakan, akan datanglah saatnya Untara mengambil sikap tegas seperti yang dikatakannya. Apabila prajurit Jipang di daerah Utara dan di pedalaman telah ditarik menjadi satu, pada saat-saat terakhir perjuangan Macan Kepatihan, maka daerah-daerah lain itu pun akan menjadi aman. Prajurit Pajang akan dapat memusatkan diri pula di daerah Selatan ini. Untara akan mendapat prajurit lebih banyak dari yang sekarang berada di Sangkal Putung. Dengan demikian maka tingkat terakhir dari usaha Untara melenyapkan sisa-sisa prajurit Jipang akan segera berhasil.

Sumangkar menyadari pula, bahwa ia tidak akan dapat mengajukan bermacam-macam syarat. Sebab keseimbangan mereka benar-benar telah goyah. Sehingga baginya, tinggal ada satu pilihan di antara dua. “Menerima, yang berarti menyerah dalam kesempatan yang terbuka” atau, “menolak, yang berakibat hancur menjadi debu.” Kehancuran itu bukan saja akan dialami oleh orang Jipang, namun korban di pihak Pajang pun bertambah pula. Sedang akibatnya sama sekali tidak menguntungkan kedua belah pihak. Yang terjadi adalah pembunuhan, kekerasan dan kekejaman. Dan apa yang akan terjadi itu sama sekali tidak dapat dilupakan oleh orang-orang Pajang.

Demikianlah maka Sumangkar tidak dapat berkata lain dari pada menerima tawaran Untara. Dengan demikian maka segera mereka mulai membicarakan pelaksanaan dari penyerahan itu. Dalam hal ini Sumangkar pun tidak dapat terlampau banyak mengajukan pendapatnya. Sebagian dari pembicaraan itu datang dari pihak Untara, sebagai sesuatu yang harus diterima oleh Sumangkar. Namun di dalam hati Untara, masih saja selalu dirayapi oleh kecemasan tentang anak buahnya sendiri. Apakah mereka dapat menerima sikapnya itu dengan ikhlas?

Dalam pada itu maka Untara menyadari sepenuhnya betapa beratnya tugas yang akan dilakukannya. la telah pula mendengar sikap Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda beserta sebagian orang-orang Jipang yang menyingkir ke Lereng Merapi. Mengikuti hantu yang bernama Ki Tambak Wedi. Di sana mereka akan bertemu dalam kepentingan yang bersamaan, melawan Untara dan menolak kekuasaannya. Sikap itu berarti melawan terhadap kekuasaan Pajang. Maka Ki Tambak Wedi dan segala pengikutnya kemudian dapat dianggap sebagai suatu pemberontakan, di samping Sanakeling dan pengikutnya yang masih ada.

Semuanya itu harus masuk di dalam hitungannya. Karena itu apa bila persoalan Sumangkar dan sebagian dari orang-orang Jipang, yang memenuhi panggilannya ini sudah selesai, maka Untara akan segera menghadapi tugas baru: Ki Tambak Wedi.

Malam itu tak ada persoalan yang menghambat pembicaraan di antara mereka. Untara tidak berbuat sewenang-wenang karena kemenangannya, sedang Sumangkar tidak banyak menuntut hal-hal yang tidak mungkin bagi orang-orangnya. Masing-masing rnencoba menempatkan dirinya pada sikap yang sebaik-baiknya tanpa meninggalkan tugas yang harus diselesaikan. Sehingga dengan demikian, maka pembicaraan itu pun segera berakhir.

“Apabila tidak ada syarat-syarat yang harus aku lakukan lagi Ngger,” berkata Sumangkar kemudian, “maka ijinkanlah aku meninggalkan banjar desa ini. Kami bersama-sama akan memasuki tempat yang telah Angger tentukan tanpa bersenjata. Senjata-senjata kami akan sudah kami kumpulkan di tempat yang Angger kehendaki. Kami percaya kepada Angger Untara, bahwa nasib kami berada di dalam lindungan Angger. Angger pasti tidak akan khilaf seandainya ada anak buah Angger yang tidak dapat melihat kenyataan seperti yang Angger kehendaki, sehingga akan timbul kemungkinan-kemungkinan yang tidak kami inginkan.”

“Aku berjanji Paman,” sahut Untara. “Aku akan mencoba sejauh-jauhnya, bahwa tidak akan ada perlakuan di luar kehendakku.”

“Namun ada satu hal yang tidak dapat aku lakukan di saat-saat yang Angger kehendaki itu. Tongkat baja putih ini tidak akan dapat aku kumpulkan bersama dengan senjata-senjata orang-orang Jipang itu. Aku tidak akan sampai hati melihatnya. Senjata ini adalah senjata ciri kebesaran perguruanku.”

Untara mengerutkan keningnya. Sesaat ia berdiam diri, namun kemudian ia berkata, “Jadi apakah Paman menghendaki suatu perkecualian?”

Sumangkar mengangguk, “Ya, Ngger.”

“Paman akan tetap menggenggam senjata itu?” bertanya Untara. “Apakah masih ada keragu-raguan di dalam hati Paman terhadap maksud baik itu?”

Sumangkar menggeleng, “Tidak Ngger. Aku tidak berprasangka. Dan aku tidak ingin tetap memegang senjata itu.” Sumangkar berhenti sejenak, kemudian dengan nada yang dalam ia berkata, “Aku ingin menyerahkannya lebih dahulu Ngger, supaya senjataku itu tidak teronggok dalam satu kumpulan dengan senjata-senjata yang lain. Senjata para prajurit Jipang itu.”

“Maksud Paman?” Untara menegaskan.

“Senjata ini akan aku tinggalkan di sini sekarang Ngger. Kalau Angger atau salah seorang dari anak buah Angger sempat memungut senjata Tohpati, maka alangkah baiknya kalau kedua senjata itu disimpan bersama. Atau kalau Angger tidak ingin melihatnya setiap saat, maka sebaiknya senjata itu dilarung saja ke laut.”

Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Terasa juga sesuatu berdesir di dalam dadanya. Terasa betapa beratnya orang tua itu akan melepaskan senjatanya. Sudah tentu ia tidak akan dapat melihat senjata ciri kebesaran perguruannya itu tergolek di antara puluhan senjata yang berserakan. Karena itu, maka dengan penuh pengertian Untara berkata, “Paman, biarlah aku mencoba menyimpan senjata itu. Aku akan menyimpannya sebagai suatu senjata pusaka yang berharga. Ketahuilah bahwa senjata Kakang Tohpati itu sekarang ada di dalam simpananku pula.”

Orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian tampak betapa muram sinar matanya ketika ia mengamat-amati senjatanya. Senjata yang diterima dari gurunya dahulu bersama Patih Mantahun. Kini senjata itu harus terpisah darinya. Tetapi ia tidak dapat mengingkarinya. Ia yakin bahwa apa yang dilakukan sekarang ini mempunyai nilai-nilai kemanusiaan yang berharga bagi orang-orang Jipang, sehingga pengorbanannya itu pasti akan bermanfaat bagi mereka.

Kemudian dengan parau. Sumangkar berkata, “Aku akan menyerahkannya sekarang.”

Untara mengangguk sambil menjawab, “Baik paman.”

Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Apabila darahnya masih sepanas darah di waktu mudanya, maka mati bersama dengan hilangnya senjata itu pasti akan dilakukan. Tetapi kini ia telah menjadi tua. Bukan ketuaannya itulah yang telah menyeretnya ke dalam keputus-asaan. Tetapi dengan umurnya yang sudah semakin banyak, Sumangkar makin menyadari nilai-nilai nyawa seseorang dibandingkan dengan nilai benda-benda yang dikeramatkannya. Di belakangnya berpuluh-puluh jiwa akan dapat dibebaskannya dari ketakutan, kecemasan dan hidup tanpa arti. Mereka akan terlepas pula dari kesempatan-kesempatan yang akan menjerumuskan mereka semakin dalam ke lingkungan yang sebenarnya harus disirik. Kebiadaban, kekasaran, kekejaman dan tindakan-tindakan sejenis.

Malam itu Sumangkar meninggalkan Sangkal Putung seorang diri tanpa tongkat baja putihnya. Betapa berat hatinya, namun semuanya itu telah bulat dikehendakinya. Ia ingin melihat kehidupan yang damai dan tenteram di seluruh daerah Demak lama.

Untara dan Widura yang masih tinggal bersama Kiai Gringsing di pendapa setelah orang tua itu mengantar Sumangkar sampai di luar regol masih juga berbincang sebentar. Widura yang mengetahui serba sedikit tentang Sidanti, telah menyampaikan pendapatnya pula. Sidanti adalah seorang anak kepala daerah perdikan yang cukup luas di lereng perbukitan Menoreh. Di sebelah Barat hutan Mentaok.

Untara segera menyadari keterangan itu. Senapati muda itu dapat menangkap maksud Widura. Dengan keterangan itu Widura ingin memperingatkan Untara, bahwa mungkin ia akan berhadapan dengan tugas baru yang cukup berat. Bahkan mungkin tidak kalah beratnya dengan tugas yang sedang diembannya kini.

Sejenak ruangan itu menjadi sunyi. Masing-masing sibuk dengan angan-angan sendiri. Kiai Gringsing duduk sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, seolah-olah ia sedang menikmati suatu cerita yang mengasyikkan. Untara sibuk meraba-raba janggutnya yang belum sempat dipotongnya. Janggut yang terlampau jarang untuk dipelihara, sehingga lebih baik baginya untuk dipotongnya licin-licin. Sedang Widura duduk sambil terpekur, seolah-olah lagi menghitung jari-jari di tangannya.

Di luar ruangan itu, di pendapa banjar desa, masih terdengar rintih kesakitan. Beberapa orang di antara mereka terdengar mengeluh tak habis-habisnya karena pedih-pedih lukanya.

Tiba-tiba Kiai Gringsing tersadar. Naluri dukunnya tiba-tiba menjalari dadanya. Dengan serta-merta ia beringsut sambil berkata, “Ah. Aku mohon diri sejenak Ngger. Barangkali lebih baik bagiku mengobati orang-orang yang terluka itu daripada duduk di sini.”

Untara mengangguk sambil menjawab, “Baik Kiai. Tetapi nanti aku mengharap Kiai apabila sempat secepatnya datang kembali ke ruang ini.”

“Ya. Ya,” sahut Kiai Gringsing sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. “Segera aku datang kembali.”

Sepeninggal Kiai Gringsing Untara dan Widura berbincang kembali tentang pelaksanaan penerimaan orang-orang Jipang. Untara tahu benar, bahwa orang-orang mereka, yang langsung berhadapan dan bertempur melawan orang-orang Jipang itu, sangat sulit untuk melepaskan perasaan permusuham yang sudah tertanam dalam-dalam di hati mereka.

Karena itu tiba-tiba Untara berkata, “Paman Widura, aku akan mengirim utusan ke Pajang. Aku akan minta beberapa orang prajurit langsung di bawah pimpinan perwira-perwira tertinggi wira tamtama untuk menerima langsung orang Jipang itu. Dengan demikian maka aku mengharap, tidak akan terjadi sesuatu yang tidak kita kehendaki bersama. Mungkin Ki Gede Pemanahan sendiri berkenan menerima orang-orang yang sadar itu kembali. Mungkin Ki Penjawi atau Mas Ngabehi Loring Pasar. Meskipun anak itu masih terlampau muda, namun ternyata ia telah mengejutkan hampir seluruh prajurit Pajang dan Jipang. Setelah ia berhasil melawan Arya Penangsang.”

Widura mengerutkan keningnya. Ia adalah senapati yang bertanggung jawab di Sangkal Putung. Apakah tugas untuk menerima orang-orang Jipang itu harus dilepaskannya? Karena itu sejenak ia berdiam diri.

Untara melihat sikap Widura dengan penuh pengertian. Karena itu ia berkata, “Paman, hal ini sama sekali bukan karena aku tidak percaya kepada para prajurit yang ada di Sangkal Putung, tetapi sekedar mancegah perasaan-perasaan yang kurang terkendali menghadapi peristiwa yang sulit ini.”

Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Betapapun, maka ia tidak dapat membantah, seandainya Untara menjatuhkan perintah sebagai seorang senapati atasannya. Karena itu maka katanya, “Terserah kepadamu Untara. Kita bersama-sama menghendaki segalanya menjadi baik.”

Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia masih juga berkata, “Aku mengharap Paman dapat mengerti.”

“Ya. Aku dapat mengerti.”

Kembali mereka terdiam sejenak. Di kejauhan terdengar ayam jantan berkokok bersahutan. Lamat-lamat menggema di malam yang gelap suara kentongan dara muluk di gardu peronda, yang kemudian sahut-menyahut dari ujung ke ujung kademangan.

Sejenak kemudian Untara itu pun berkata, “Aku kira semuanya sudah dapat direncanakan dengan tertib Paman. Besok pagi-pagi utusanku akan berangkat ke Pajang.”

Widura mengangguk, katanya, “Baik. Aku harap tak akan ada kesulitan lagi.”

Untara dan Widura itu pun kemudian meninggalkan ruangan itu. Kembali mereka berjalan berkeliling di antara orang yang terluka. Sebagian dari mereka telah dapat memejamkan mata mereka, namun sebagian yang lain masih terbaring dengan geli-sahnya. Ki Tanu Metir pun ternyata telah sibuk pula, mencoba meringankan penderitaan mereka yang terluka parah. Dengan segenap pengetahuan dan kemampuannya ia bekerja.

Ketika malam menjadi semakin dalam, maka Untara dan Widura yang tidak kalah lelahnya, bahkan mungkin melampaui setiap orang yang berada di banjar desa itu pun mencoba beristirahat pula. Juga Agung Sedayu telah berbaring di antara para prajurit Pajang yang melepaskan lelah mereka. Ada yang tidak sempat membersihkan dirinya. Begitu mereka selesai makan dan minum, begitu mereka merebahkan diri mereka, masih dalam pakaian tempur mereka. Namun ada juga yang sempat membersihkan diri, berganti pakaian, menyisir rambut kemudian duduk sambil bercakap-cakap dengan beberapa kawan-kawan yang lain.

Namun malam berjalan menurut iramanya sendiri. Ajeg seperti malam-malam yang lampau.

Ketika fajar pecah, maka cerahlah padukuhan Sangkal Putung. Para pengungsi telah merayap kembali ke rumah masing-masing. Beberapa anak-anak muda Sangkal Putung dengan bangga mengatakan bahwa Sangkal Putung untuk seterusnya telah menjadi jauh lebih aman. Tohpati telah terbunuh.

Riuhlah berita itu mengumandang di segenap sudut Kademangan Sangkal Putung. Riuh pulalah orang menyebut-nyebut nama Untara. Ternyata pula kemudian bahwa yang dapat membunuh Tohpati adalah Untara. Bukan orang lain.

Tetapi tak seorang pun yang memperhatikan, ketika dua ekor kuda meluncur seperti anak panah meninggalkan kademangan itu. Mereka adalah utusan Untara untuk menyampaikan pesannya kepada Ki Ageng Pemanahan mengenai kebijaksanaan terakhir yang ditempuhnya, namun juga mengenai seorang prajurit yang bernama Sidanti dan gurunya Ki Tambak Wedi.

Di samping kematian Tohpati yang menjadi pembicaraan segenap penduduk Sangkal Putung, bagi para prajurit Pajang dan anak-anak muda Sangkal Putung, ada pula bahan pembicaraan yang tidak kalah hangatnya. Yaitu tentang orang-orang Jipang. Baik orang-orang Jipang yang terluka, maupun orang-orang lain yang akan menyerah. Para prajurit itu sibuk berbincang tentang janji pengampunan yang diberikan oleh Untara.

Beberapa orang prajurit menanggapi janji pengampunan itu dengan wajah yang tegang. Salah seorang dari mereka berkata, “Aku tidak mengerti, kenapa Ki Untara melontarkan janji itu. Ki Untara sendiri ikut dalam peperangan yang terakhir bahkan ia telah membunuh Macan kepatihan. Apakah hal ini tidak merendahkan harga dirinya?”

“Aku juga tidak mengerti,” sahut yang lain. “Kalau janji itu keluar dari orang yang tidak pernah melihat sendiri ajang peperangan maka hal itu mungkin sekali karena ia tidak tahu betapa banyaknya korban dan betapa panasnya hati. Tetapi Untara adalah seorang perwira Wira Tamtama yang langsung menangani peperangan. la sendiri pernah hangus dibakar oleh api peperangan. Bahkan nyawanya hampir tak dapat di selamatkan meskipun akibat tusukan senjata Sidanti.”

“Untara benar-benar seperti seorang senapati yang mendem cubung,” desis yang lain. “Aku tak dapat menerima sikapnya. Apabila kelak orang-orang Jipang itu benar-benar datang, maka aku akan membunuh mereka.”

Percakapan itu berhenti ketika mereka melihat Agung Sedayu datang kepada mereka. Meskipun tidak sengaja, namun ternyata Agung Sedayu telah memutuskan pembicaraan tentang orang-orang Jipang.

“Apakah kalian telah melihat Adi Swandaru?” bertanya Agung Sedayu.

Para prajurit itu menggeleng, “Belum, kami belum melihatnya,” sahut salah seorang dari mereka.

“Mungkin ia belum datang ke mari,” berkata yang lain. “Semalam putera Ki Demang itu pulang ke kademangan.”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Biarlah aku mencarinya ke kademangan.”

Agung Sedayu pun segera pergi ke kademangan. Ia ingin bertemu dengan Swandaru untuk menyampaikan pesan Untara. Untara ingin memperbincangkan masalah orang-orang Jipang dengan para pemimpin Sangkal Putung. Supaya tidak terjadi salah paham, maka yang pertama-pertama dikehendaki oleh Untara dan Widura adalah Ki Demang Sangkal Putung dan Swandaru Geni. Apabila keduanya dapat mengerti pendirian itu, maka diharap bahwa seluruh penduduk Sangkal Putung pun akan menerima kehadiran orang-orang Jipang itu sebagai suatu kewajaran. Sebab orang-orang Jipang itu tidak akan terlalu lama berada di Sangkal Putung. Mereka segera akan di bawa ke Pajang. Untuk seterusnya diserahkan kepada kebijaksanaan para pemimpin Pajang.

Namun tidak mudah untuk menjelaskan pendirian itu kepada Ki Demang Sangkal Putung dan Swandaru Geni. Ketika Agung Sedayu itu datang dengan orang Jipang yang terluka, maka dengan serta-merta Swandaru telah mengemukakan pendiriannya. Menolak kehadiran orang itu, apabila Agung Sedayu tidak mengatakannya bahwa apa yang dilakukan itu atas perintah Kiai Gringsing. Tetapi terhadap keputusan untuk mengampuni orang-orang Jipang yang jumlahnya tidak hanya satu atau dua, bahkan tidak hanya sepuluh atau dua puluh, maka untuk meyakinkannya, sehingga anak muda itu dapat menerima pendirian Untara, bukanlah pekerjaan yang mudah.

Meskipun demikian, maka Untara dan Widura harus mencobanya. Kalau mereka gagal, maka harus ditempuh cara yang lain. Cara yang tidak bertentangan dengan keputusan bersama dengan Sumangkar, namun tidak melukai hati rakyat Sangkal Putung yang selama ini telah membantu prajurit Pajang dengan gigihnya.

Ketika Agung Sedayu sampai di Sangkal Putung, maka yang pertama-pertama menemuinya di muka regol adalah Sekar Mirah. Gadis yang berwajah riang itu menyambutnya sambil tersenyum. Baru sehari kemarin mereka tidak bertemu, tetapi rasa-rasanya telah berhari-hari bahkan berminggu-minggu.

“Kau tidak segera datang ke kademangan, Kakang,” berkata Sekar Mirah.

“Aku masih terlalu sibuk, Mirah”

“Semalam Kakang Swandaru telah dapat tidur mendengkur di rumah. Apakah kau tidak dapat datang bersama Kakang Swandaru?”

“Adi Swandaru pergi tanpa mengajakku. Aku kira adi Swandaru pun masih berada di banjar bersama anak-anak muda yang lain.”

“Ah,” desah Sekar Mirah, “kau mengada-ada.”

Agung Sedayu tersenyum. Ia tidak menjawab lagi. Langsung ia berjalan ke pendapa, menemui Ki Demang Sangkal Putung.

“Apakah Ki Demang ada di rumah?” bertanya Agung Sedayu.

“Kenapa kau cari ayah?”

“Aku memerlukannya atas pesan Kakang Untara.”

“Kenapa kau tidak mencari aku?”

“Ah,” Agung sedayu menarik nafas, “aku juga mencarimu, Mirah. Tetapi aku juga ingin menyampaikan pesan Kakang Untara.”

Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Tiba-tiba berkata, “Kenapa kakakmu itu tidak saja datang sendiri kemari? Kalau kakakmu semalam datang kemari selagi kademangan ini masih dipenuhi oleh para pengungsi, maka aku kira kademangan ini akan runtuh karena pujian yang akan diterimanya. Betapa rakyat Sangkal Putung berterima kasih kepadanya, karena Kakang Untara telah berhasil membunuh Macan Kepatihan.”

Agung sedayu tidak segera menjawab. Tetapi dahinya tampak berkerut.

“Kakang Sedayu,” berkata Sekar Mirah, “biarlah kakakmu itu datang sendiri kemari. Biarlah ia menerima kehormatan yang layak karena jasanya.”


“Penghormatan apa yang kau maksud? Apakah orang-orang Sangkal Putung akan berbaris sambil meneriakkan terima kasih mereka di hadapan Kakang Untara?”

Sekar Mirah tersenyum mendengar pertanyaan itu. Tetapi ia menjawab, “Kalau Kakang Untara datang tadi malam maka hal yang demikian itu pasti akan terjadi. Semua orang pasti akan memberikan salam sebagai pernyataan terima kasih mereka. Satu demi satu. Bahkan mereka yang tidak sempat mendapat sambutan tangan, pasti akan puas dengan menyentuh bagian-bagian tubuh Untara. Bahkan ujung kainnya sekalipun.”

“Ah, terlampau berlebih-lebihan,” sahut Agung Sedayu.

“Rakyat Sangkal putung adalah rakyat yang mengenal rasa terima kasih. Apakah Kakang Agung Sedayu tidak ingat lagi, ketika Kakang Agung Sedayu baru saja datang di kademangan ini? Ketika Kakang Sedayu pergi ke warung di ujung desa? Bukankah hampir setiap orang laki-laki datang memberi Kakang salam sebagai pernyataan terima kasih mereka?”

Agung sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya,” namun nada suaranya terlampau dalam. Terkenang olehnya, betapa ia menjadi cemas dan ketakutan ketika Sidanti datang mengancamnya. Betapa ia menjadi hampir pingsan karenanya.

“Nah,” berkata Sekar Mirah, “sekarang Kakang Agung Sedayu sebaiknya memanggil Kakang Untara. Kami harus mengadakan upacara kemenangan.”

“Tetapi tidak dalam waktu yang singkat ini. Kini Kakang Untara masih menghadapi tugas yang cukup berat.”

“Bukankah Macan Kepatihan telah mati?”

“Macan Kepatihan memang telah mati. Tetapi masih banyak persoalan yang harus dihadapi. Yang mati adalah seorang saja dari sekian banyak pemimpin prajurit Jipang.”

Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Katanya, “Jadi, maksud Kakang, bahwa suatu ketika di Sangkal Putung masih mungkin ada pertempuran lagi?”

Agung sedayu menganggukkan kepadanya.

“Oh,” wajah Sekar Mirah menjadi buram. “Aku kira kita semua telah bebas dari segala bentuk peperangan.”

“Tetapi bahaya yang sebenarnya telah menjadi jauh lebih kecil dari masa-masa yang lalu. Namun Kakang Untara kini menghadapi persoalan yang lain, yang apabila kurang hati-hati, akan dapat berkembang pula menjadi semakin besar.”

“Soal apakah itu?”

“Sidanti.”

Terasa bulu-bulu tengkuk Sekar Mirah menjadi tegak. Nama itu benar-benar mencemaskannya. Jauh lebih menakutkan dari Macan Kepatihan. Sebab disadarinya, bahwa Sidanti berkepentingan langsung dengan dirinya. Karena itu, maka wajah gadis itu pun menjadi bertambah buram. “Apakah Sidanti cukup berbahaya? Bukankah ia hanya seorang diri?”

Sedayu menyesal, bahwa ia telah menyebut nama itu. Dengan demikian ia telah membuat hati Sekar Mirah menjadi cemas. Karena itu maka dijawabnya untuk menenteramkan hati gadis itu, “Jangan cemas. Sidanti hanya seorang diri. Di Sangkal Putung, ada beberapa orang yang sanggup melawannya. Kakang Untara, paman Widura dan kini kakakmu Swandaru pun tidak lagi dapat ditamparnya tanpa perlawanan.”

Dahi Sekar Mirah masih berkerut, katanya, “Tetapi aku dengar guru Sidanti adalah seorang hantu yang sakti.”

“Jangan kau cemaskan pula” sahut Sedayu, “guru kakakmu pun melampaui kesaktian hantu.”

Sekar Mirah terdiam. Tetapi wajahnya masih juga memancarkan kecemasan hatinya.

“Sekarang, di mana ayahmu?” bertanya Agung Sedayu.

“Di dalam. Apakah Kakang Sedayu akan menemuinya?”

“Ya,” sahut Sedayu

“Aku tidak mau memanggilkan untukmu.”

“Kenapa?”

“Tidak apa-apa. Tetapi carilah sendiri.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Sekali ini Kakang Untara mempunyai keperluan yang penting. Aku agak tergesa-gesa.”

“Urusanku adalah menyediakan makanan buat kalian. Kalau kau tergesa-gesa mau makan, makanlah. Aku sudah sedia.”

“Tolong, panggil ayahmu.”

“Kakang Sedayu setiap kali pasti hanya akan memberikan beberapa perintah. Sesudah itu pergi lagi. Kau tidak pernah menyediakan waktu untuk beristirahat untuk berjalan-jalan menikmati senja di kademangan ini atau melihat-lihat sawah yang hijau.”

“Masa ini adalah masa berprihatin, Mirah. Kalau semuanya telah lampau, maka aku pasti akan berjalan-jalan melihat isi kademangan ini atau pergi ke sawah, tidak saja untuk melihat-lihat, tetapi aku pandai pula membajak dan menyebar bibit.”

“Omong kosong,” sahut Sekar Mirah. “Dalam keadaan yang serupa, Sidanti dapat menyisihkan waktunya untuk itu.”

Terasa dada Agung Sedayu berdesir. Wajahnya pun tiba-tiba berubah. Dan tiba-tiba pula ia menjawab, “Itulah bedanya. Beda antara Agung Sedayu dan Sidanti. Mungkin Sidanti dapat menemanimu berjalan-jalan di sepanjang pematang dalam keadaan yang bagaimanapun juga. Tetapi Agung Sedayu tidak.”

Sekar Mirah terkejut mendengar jawaban itu. Terasa bahwa kata-katanya telah terdorong terlampau jauh. Karena itu maka katanya, “Maksudku, bahwa apabila diperlukan waktu itu dapat diluangkan. Kalau aku menyebut Sidanti, karena Sidanti ternyata dapat juga menyediakan waktu untuk itu.”

“Mudah-mudahan lain kali aku juga bisa,” sahut Sedayu. “Tetapi di mana ayahmu? Aku tergesa-gesa. Mungkin Sidanti tidak pernah berbuat seperti aku, sebab ia acuh tak acuh saja mengenai perkembangan dan kemajuan keadaan di Sangkal Putung.”

Wajah Sekar Mirah menjadi merah. Ia tidak menjawab pertanyaan Agung Sedayu. Tetapi dengan tergesa-gesa ia melangkah pergi. Tidak masuk ke dalam rumahnya, tetapi justru keluar regol halaman.

Agung Sedayu sedianya tidak dapat berkata sesuatu. Namun kemudian ia mencoba memanggil, “Mirah. Mirah.”

Sekar Mirah berpaling. Tetapi ia tidak berhenti. Agung Sedayu hanya mendengar gadis itu berkata, “Aku akan pergi ke warung di ujung desa.”

“Bagaimana dengan Ki Demang ?”

“Masuklah,” jawabnya. “Katakanlah sendiri kepadanya.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Gadis itu memang terlampau manja. Sambil menggelengkan kepalanya Agung Sedayu berdesis, “Terlalu anak itu.”

Namun tiba-tiba Agung Sedayu terkejut ketika ia mendengar suara tertawa berderai. Ketika ia berpaling, dilihatnya Swandaru berdiri bertolak pinggang di samping pendapa.

Sekali lagi Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.

“Kenapa dengan anak itu?” bertanya Swandaru.

“Tidak apa-apa,” sahut Agung Sedayu.

Tetapi suara tertawa Swandaru menjadi semakin keras. Katanya, “Kau marah kepadanya?”

“Terlalu adikmu itu,” desah Agung Sedayu.

“Begitulah tabiatnya. Jangan kaget,” sahut Swandaru.

Agung Sedayu tidak menyahut kata-kata itu, tetapi ia bertanya, “Dimana Ki Demang?”

“Di dalam, bukankah Sekar Mirah juga menjawab begitu?”

“Ya,” sahut Agung Sedayu, “aku ingin bertemu.”

“Marilah.”

Keduanya kemudian menaiki pendapa dan masuk ke pringgitan. Pringgitan itu sama sekali masih seperti malam kemarin ketika ia tidur di situ bersama paman dan kakaknya. Sejenak kemudian Ki Demang pun segera keluar dari ruang dalam. Sambil

tersenyum orang tua itu duduk di samping Agung Sedayu.

“Apakah Angger Untara belum sempat kembali ke kademangan?” bertanya Ki Demang.

“Belum hari ini, Ki Demang,” jawab Sedayu. “Mungkin besok atau lusa.”

Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bertanya pula, “Apakah masih ada hal yang penting di banjar desa?”

“Orang-orang Jipang yang terluka itu Ki Demang.”

“Hem,” Demang Sangkal Putung itu menarik nafas dalam-dalam. “Angger Untara memang mencari kesulitan dengan orang-orang Jipang itu. Seperti bujang mencari momongan. Kenapa tidak dibiarkannya saja orang-orang Jipang itu? Biarlah kawan-kawannya sendiri yang memelihara mereka. Dengan demikian pekerjaan Angger Untara tidak menjadi bertambah-tambah. Kini Angger Untara harus mengawasi sendiri orang-orang Jipang itu supaya mereka tidak mengkhianati kita. Tetapi juga supaya mereka tidak dibunuh oleh prajurit Pajang sendiri.”

Sebelum Agung Sedayu menjawab, Swandaru berkata, “Kalau bukan orang Pajang, orang Sangkal Putung-lah yang akan membunuh mereka.”

Sedayu terkejut mendengar jawaban Ki Demang Sangkal Putung, apalagi Swandaru. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa ia akan mendengar jawaban serupa itu. Dahulu pada saat ia pertama-tama menginjakkan kakinya di kademangan ini, maka yang mula-mula ditemuinya adalah Ki Demang itu. Dari mulut Ki Demang ia mendengar, betapa orang tua itu mengutuk perang dan segala macam akibatnya. Kini tiba-tiba sikapnya menjadi terlampau keras menghadapi lawan.

Tetapi Agung Sedayu mencoba untuk mengerti dan memahami jawaban itu. Selama ini Sangkal Putung benar-benar mengalami tekanan yang luar biasa kerasnya dari orang Jipang. Hampir setiap hari orang-orang Sangkal Putung selalu diburu oleh kecemasan, ketakutan dan kegelisahan. Setiap hari orang-orang Sangkal Putung selalu dibakar oleh kemarahan yang menyala-nyala di dalam dada mereka. Setiap anak muda Sangkal Putung setiap hari selalu bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan, bahkan kemungkinan yang paling pahit sekalipun.

Ki Demang Sangkal Putung adalah seorang Demang yang dekat sekali dengan hati rakyatnya. Setiap hari ia mendengar apa yang mereka percakapkan. Setiap hari Ki Demang ikut merasakan apakah yang mereka cemaskan. Itulah sebabnya, maka semuanya itu telah merubah sedikit demi sedikit tanggapan Ki Demang Sangkal Putung atas kekerasan yang dihadapinya. Setiap hari ia selalu didorong untuk menyadari bahwa untuk menyelamatkan Sangkal Putung dari kekerasan orang-orang Jipang, maka Sangkal Putung perlu mempergunakan kekuatan dan kekerasan.

Sehingga akhirnya, Ki Demang itu terdorong semakin jauh ke dalam sikapnya yang sekarang. Betapa ia setiap hari menjadi semakin membenci orang-orang Jipang, sumber dari segala macam kegelisahan, kecemasan dan ketakutan.

Tetapi Agung Sedayu tidak boleh hanyut pula ke dalam sikap yang demikian. Ia sejak semula sependapat dengan sikap kakaknya. Sudah tentu mereka tidak akan dapat membiarkan orang-orang Jipang yang terluka terbaring di padang-padang rumput atau di pategalan yang kering sampai mereka mati dengan sendirinya. Perbuatan yang demikian adalah perbuatan yang melanggar perikemanusiaan. Sejak ia berada di Sangkal Putung, para prajurit Pajang selalu bersikap jantan terhadap lawan-lawan mereka yang terluka. Namun kali ini agaknya telah menjadi jauh berbeda. Korban yang cukup banyak di pihak Pajang sendiri, telah mendorong orang-orang Pajang untuk menjadi bertambah membenci dan mendendam.

Apalagi anak-anak muda dan orang-orang Sangkal Putung. Mereka setiap saat merasa terancam nyawa dan miliknya.

Meskipun demikian Agung Sedayu tidak berani menyampaikan persoalan itu kepada Ki Demang. “Biarlah Kakang Untara sendiri yang mengatakannya,” katanya dalam hati. Sehingga yang terloncat dari bibirnya adalah, “Ki Demang, Kakang Untara kini tidak dapat meninggalkan banjar desa. Mungkin sampai besok atau lusa. Tetapi Kakang Untara sangat ingin bertemu dengan Ki Demang. Apakah Ki Demang dapat pergi ke banjar desa?”

Ki Demang Sangkal Putung mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan itu. Namun ia menyadari, bahwa meskipun bagi Sangkal Putung ia adalah seorang pemimpin tertinggi, tetapi Untara adalah seorang senapati dari Pajang, yang bahkan mempunyai kedudukan lebih tinggi dari Widura, penguasa Pajang di daerah Sangkal Putung. Dalam keadaan seperti saat itu, di mana Sangkal Putung diliputi oleh suasana perang, maka kedudukan penguasa prajurit adalah melampui kekuasaan demang itu sendiri.

Karena itu, maka permintaan Untara itu sebenarnya adalah perintah baginya, bahwa ia harus datang ke banjar desa.

Ki Demang itu pun kemudian menjawab, “Baiklah Ngger. Aku akan segera datang ke banjar desa, setelah aku menyelesaikan pekerjaanku di sini. Tetapi apakah kira-kira keperluan Angger Untara memanggil aku?”

Agung sedayu ragu-ragu sesaat. Tetapi ia tidak berani mendahului kakaknya. Maka jawabnya, “Aku kurang tahu, Paman. Tetapi menurut pesan Kakang Untara, Ki Demang dan Adi Swandaru diharap menemuinya di banjar desa.

“Baiklah,” sahut Ki Demang kemudian, “aku akan segera pergi, setelah aku menyelesaikan beberapa pekerjaan di sini.”

Agung Sedayu pun kemudian mohon diri mendahului bersama Swandaru Geni. Mereka bersama ingin juga bertemu dengan guru mereka. Mungkin ada rencana yang harus mereka lakukan hari itu.

Di halaman mereka bertemu dengan Sekar Mirah. Gadis itu sama sekali tidak pergi ke warung. Sehingga karena itu maka Agung sedayu berkata, “Mirah, ternyata kau tidak pergi ke warung.”

Sekar Mirah mencibirkan bibirnya. Jawabnya, “Tidak. Aku memang tidak ke warung.”

“Tetapi kau bilang, bahwa kau akan pergi ke warung.”

“Tak ada kawan yang mengantarkan aku,” jawabnya.

Swandaru tertawa sampai tubuhnya terguncang-guncang. Katanya, “Sebaiknya kau berterus terang Mirah. Bukankah kau ingin Kakang Agung Sedayu mengantarkanmu.”

“Siapa bilang? Siapa bilang?” sahut Sekar Mirah cepat-cepat.

Swandaru masih tertawa, katanya seterusnya, “Itu pun kau belum berterus terang. Seharusnya kau berkata kepada Kakang Agung Sedayu untuk mengantarkanmu berjalan-jalan. Tidak ke warung atau ke mana saja.”

“Bohong! Bohong!” teriak Sekar Mirah.

Swandaru tertawa puas. Tetapi Agung Sedayu berdesis, “Kau selalu mengada-ada Adi Swandaru.”

Tapi Swandaru itu pun kemudian terpekik kecil ketika Sekar Mirah mencubit lengannya.

“Awas kau Kakang Swandaru. Aku tidak mau menyisihkan brutu ayam untukmu lagi.”

“Oh,” Swandaru itu pun tiba-tiba seperti teringat sesuatu. Ditariknya lengan Agung Sedayu dengan tergesa-gesa. “Mari ikut aku.”

“Kemana?” bertanya Agung Sedayu.

Swandaru tidak menjawab, tetapi ditariknya saja tangan Agung Sedayu.

“Mau kemana kalian?” bertanya Sekar Mirah.

Swandaru tidak juga menjawab. Bahkan ditariknya Agung Sedayu semakin cepat.

“Kemana?” sekali lagi Agung Sedayu bertanya.

Namun Swandaru masih saja berdiam diri. Tetapi Agung Sedayu kemudian mengerti dengan sendirinya maksud Swandaru itu. Mereka berdua ternyata hilang di balik pintu dapur.

“Kau pasti belum makan. Nah, daripada kau menunggu rangsum dikirim ke banjar desa, ayo, aku pun belum makan.”

Agung Sedayu menjadi tersipu-sipu ketika ia melihat ibu Swandaru, Nyai Demang Sangkal Putung. “Marilah Ngger, makanlah,” ia mempersilahkan.

“Jangan malu-malu,” desis Swandaru yang segera membuka tenong. “Di mana brutu ayamku?”

Yang datang kemudian sambil berlari-lari adalah Sekar Mirah. Masih di pintu ia berteriak, “Jangan ditunjukkan.”

Tetapi Sekar Mirah menjadi kecewa, sebab Swandaru telah menggenggam sepotong brutu goreng.

“Setan,” desah Sekar Mirah. “Kau tahu juga tempatnya.”

Swandaru tidak menjawab. Tetapi tangannya telah memegang semangkuk nasi. Dituangkannya seirus sayur ke dalamnya dan dengan lahapnya ia mulai mengunyah sesuap demi sesuap.

Tetapi Agung Sedayu tidak dapat berbuat seperti Swandaru yang berada di rumah sendiri. Ia masih saja duduk sambil mengawasi saudara seperguruannya itu makan. Alangkah enaknya. Karena itulah maka tubuh Swandaru dapat menjadi gemuk bulat seperti telur raksasa.

“Silahkan Ngger,” ibu Swandaru mempersilahkan. “Mirah,” katanya kepada anak gadisnya, “kenapa kau tidak segera mempersilahkan Kakangmu Agung Sedayu makan. Ambillah mangkok dan layanilah.”

Sambil bersungut-sungut Sekar Mirah melakukan perintah ibunya. Namun dengan sengaja dituangkannya sayur lombok banyak-banyak ke dalam mangkuk Agung Sedayu. Sehingga ketika Agung Sedayu mulai mengunyah peluhnya segera mengalir dari segenap Iubang-lubang kulitnya. “Terlalu benar Sekar Mirah,” katanya di dalam hati. Tetapi ia tidak mengucapkan sepatah katapun.

Ketika Swandaru melihat Agung Sedayu kepedasan, maka kembali suara tertawanya berderai memenuhi dapur. “Minumlah. Di tlundak itu ada kendi,” katanya.

Agung Sedayu mengangguk. Tetapi ia tidak segera berdiri.

Demikianlah setelah mereka selesai makan, segera berdiri pergi ke banjar desa. Ternyata Swandaru tidak terlalu lama menunggu ayahnya. Sejenak kemudian Ki Demang pun segera datang pula.

Dipersilahkannya mereka berdua memasuki ruangan dalam. Di dalam ruangan itu telah duduk menunggu Untara, Widura, Ki Tanu Metir dan kemudian duduk pula bersama mereka, Agung Sedayu.

Sesaat Untara menjadi ragu-ragu untuk mengatakan maksudnya. Apakah waktunya sudah tepat, apabila Ki Demang itu diajaknya berbincang-bincang mengenai orang-orang Jipang? Tetapi Untara tidak mempunyai waktu terlampau lama. Lima hari sejak pembicaraannya dengan Sumangkar, segalanya harus sudah terlaksana. Semakin cepat bagi Untara sebenamya semakin baik. Juga bagi Sumangkar, semakin cepat semakin baik. Apabila Sumangkar harus menunggu terlampau lama, maka segala kemungkinan dapat terjadi. Mungkin beberapa bagian dari orang-orangnya berubah pendirian, mungkin mereka akan mengalami kekurangan makan dan mungkin Sanakeling dengan orang-orang Ki Tambak Wedi yang mendendam akan datang menghancurkan mereka.

Karena itu, maka dengan sangat hati-hati akhirnya Untara menyampaikan maksudnya pula.

Ki Demang Sangkal Putung mendengarkan setiap kata-kata Untara dengan penuh perhatian. Sekali-sekali ia mengangguk-anggukkan kepalanya, namum di saat lain wajahnya tampak berkerut-kerut. Swandaru yang duduk di samping ayahnya tiba-tiba menjadi gelisah.

“Jalan itu, bagiku adalah jalan yang sebaik-baiknya, Ki Demang,” berkata Untara itu kemudian, “kecuali sejalan dengan pesan Ki Ageng Pemanahan, maka cara itu adalah cara yang paling hemat bagi kami. Korban akan dapat dibatasi, dan tugas kita pun akan segera selesai.”

Yang pertama-tama menjawab adalah Swandaru. “Kakang Untara, bukankah laskar Jipang itu telah terpecah-belah? Apalagi sepeninggal Macan Kepatihan, tidak ada orang yang dapat mengantikan kedudukannya. Bukankah dengan demikian kita akan lebih mudah menghancurkannya dengan kekerasan? Mula-mula kita hancurkan laskar Jipang yang bersembunyi di dalam hutan, kemudian kita datangi padepokan Ki Tambak Wedi.”

Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan sareh ia menjawab, “Swandaru, kenapa mesti dengan kekerasan?”

“Kita berada di pihak yang kuat Kakang,” sahut Swandaru, “kenapa kita mesti menerima persetujuan itu? Dengan mengorbankan beberapa kemungkinan yang akan dapat mengangkat nama Kakang Untara sendiri sebagai seorang senapati? Dengan menerima persetujuan itu, seolah-olah kita tidak cukup mampu untuk menghancurkan sisa-sisa laskar Jipang itu dengan kekerasan.”

“Ya,” Untara mengulangi, “kenapa mesti dengan kekerasan? Adi Swandaru, yang penting bagi Pajang adalah penyelesaian atas peristiwa antara Jipang dan Pajang. Apabila peristiwa ini dapat diselesaikan dengan tanpa pertumpahan darah maka kenapa kita mesti mempergunakan kekerasan?”

“Jadi apakah kita harus menyerah saja terhadap orang-orang Jipang itu?” bertanya Swandaru. “Dengan demikian kita akan menghindarkan pertumpahan darah.”

Untara menggigit bibirnya. Dengan cepat Ki Demang Sangkal Putung berkata, “Maksudnya Ngger, maksud Swandaru, kalau perlu kita harus berani mempergunakan kekerasan. Bukankah korban telah banyak yang jatuh? Di saat-saat terakhir, ketika kita seakan-akan tinggal menginjak kekuatan mereka di bawah telapak kaki kita, kita menerima mereka dengan kedua belah tangan, seolah-olah kita harus melupakan saja apa yang telah pernah terjadi?”

“Bukan begitu Ki Demang,” sahut Untara. Sekilas ia memandangi wajah pamannya. Namun Widura menundukkan kepalanya, seolah-olah sengaja ia menghindari tatapan mata Untara.

“Kita tidak membebaskan mereka dari segenap tanggung jawab,” kata Untara kemudian, “tetapi kita menerima orang-orang Jipang yang akan menyerah. Kita tidak membuat persetujuan apapun, kecuali menerima penyerahan orang-orang Jipang itu. Kita tidak membuat jaminan apa pun kepada mereka, kecuali janji untuk memperlakukan mereka seperti seharusnya bagi prajurit-prajurit lawan yang menyerah.”

“Mereka tidak pernah berpikir sedemikian baik, Ngger,” berkata Ki Demang. “Coba, apakah yang telah mereka lakukan pada saat pertentangan ini meledak? Tanpa disangka-sangka, maka Sunan Prawata terbunuh. Kemudian Pangeran Hadiri. Bahkan Adipati Adiwijaya sendiri hampir-hampir terbunuh pula. Sesudah itu ratusan korban berjatuhan.”

“Itulah bedanya, Ki Demang,” sahut Untara. “Itulah bedanya. Orang-orang itu berbuat tanpa pengekangan diri, seolah-olah mereka dapat melakukan apa saja sekehendak hatinya. Kita adalah orang-orang yang beradab. Kita merasa bahwa perbuatan kita harus kita pertanggungjawabkan. Tidak saja terhadap sesama manusia, tetapi juga kepada Sumber kekuatan kita. Tuhan Yang Maha Esa.

“Namun demikian Ki Demang. Mereka yang tidak mau menyerahkan dirinya dalam kesempatan ini seperti Sanakeling, Alap-alap Jalatunda dan beberapa bagian dari laskarnya, maka mereka pasti akan kita hancurkan. Hancur dalam pengertian yang sebenar-benarnya.”

Ki Demang Sangkal Putung tidak menjawab. Ketika Untara melihat wajahnya, Ki Demang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Mudah-mudahan Ki Demang dapat mengerti,” berkata Untara di dalam hatinya. Namun yang bertanya kemudian adalah Swandaru. “Lalu bagaimana sikap kita terhadap mereka yang menyerah? Apakah mereka kita biarkan saja kembali ke tempat mereka, atau kita biarkan sekehendak hati mereka, apa pun yang akan mereka lakukan?”

“Tentu tidak, Swandaru,” sahut Untara. “Mereka berada dalam pengawasan. Jasmaniah dan rohaniah.”

Sejenak ruangan itu menjadi sepi. Masing-masing mencoba memandang persoalan itu menurut segi dan kepentingan masing-masing. Namun terasa bahwa sebagian besar dari pendirian Untara dapat dimengerti oleh Ki Demang Sangkal Putung.

Meskipun demikian, masih terdengar Swandaru berdesis, “Kita terlampau baik hati. Mereka suatu ketika akan menelan kita kembali.”

“Para perwira Wira Tamtama akan memperhitungkan persoalan itu Swandaru,” sahut Untara. “Mudah-mudahan hal itu tidak akan sempat terjadi.”

Kembali mereka yang duduk di ruangan itu terdiam. Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya tanpa berkata sepatah katapun. Sekali-sekali orang tua itu memandang wajah Widura, namun pemimpin prajurit Pajang di Sangkal Putung itu masih menundukkan kepalanya. Berbagai persoalan berkecamuk di dalam kepalanya. Meskipun kemudian ia sependapat dengan Untara, bahwa apa yang dilakukan itu setidak-tidaknya akan mengurangi pekerjaannya, namun telah terbayang di dalam angan-angannya, suatu pekerjaan baru yang tidak kalah pentingnya. Ki Tambak wedi, Sidanti, Sanakeling dan laskarnya.

Kemudian, ketika tidak ada persoalan yang dibicarakan lagi mengenai dasar-dasar penyerahan orang-orang Jipang itu, maka sampailah mereka pada perjalan pelaksanaan dari penyerahan. Meskipun Ki Demang pada dasarnya dapat mengerti pikiran Untara, namun bagaimanapun juga ia masih dihinggapi oleh berbagai keragu-raguan. Karena itu maka ia berkata, “Angger Untara. Aku tidak berkeberatan Sangkal Putung menjadi tempat menerima orang-orang Jipang itu, tetapi tidak di induk Kademangan. Aku tidak dapat membayangkan, apakah rakyatku akan dapat menahan luapan perasaannya melihat orang-orang Jipang yang mereka anggap sumber dari segala macam bencana. Karena itu, aku minta agar Angger menerima orang-orang Jipang itu tidak di induk Kademangan ini. Aku menyediakan sabuah desa kecil. Benda, yang barangkali tepat untuk melakukan penerimaan orang-orang Jipang itu.”

Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali ia mengheIa nafas dalam-dalam. Namun ia pun dapat mengerti keberatan Ki Demang Sangkal Putung. Bagaimanapun juga, Ki Demang masih dibayangi oleh kecemasannya menghadapi orang-orang Jipang. Mungkin Ki Demng masih mencemaskannya, apabila orang-orang Jipang itu tiba-tiba mengamuk di induk Kademangan.

Karena itu maka segera Untara menjawab, “Terima kasih Paman Demang. Di mana pun juga, maka pelaksanaan itu dapat dilakukan. Namun aku masih ingin mengajukan parmintaan lain. Aku ingin meminjam satu atau dua buah rumah untuk menampung orang-orang Jipang itu sebelum mereka dibawa ke Pajang.”

Ki Demang mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya, “Baiklah Ngger. Aku akan menyediakan. Di Benda hanya ada beberapa rumah yang agak besar. Dalam saat-saat penyerahan itu, penduduk Benda akan aku singkirkan ke Kademangan ini lebih dahulu.”

Kembali Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Terima kasih Ki Demang. Kita tinggal menunggu pelaksanaan dari hari penyerahan itu. Mudah-mudahan dapat berjalan dengan lancar dan orang-orang Jipang itu menyadari keadaannya dengan jujur.”

Sejak hari maka berita tentang penyerahan orang-orang Jipang itu segera tersebar di seluruh Kademangan. Sebagian besar dari orang-orang Sangkal Putung kecewa mendengar sikap Untara yang menerima orang-orang Jipang itu. Kenapa Untara tidak mengerahkan saja segenap kekuatan di Sangkal Putung untuk menghancur-lumatkan mereka di sarang mereka? Tetapi tidak seorang pun yang berani mempersoalkannya dengan terang-terangan. Mereka hanya memperbincangkannya di gardu-gardu dan di perempatan-perempatan jalan apabila mereka duduk di sore hari menjelangg senja. Apalagi ketika mereka mendengar, bahwa Demng mereka, dan pimpinan laskar Sangkal Putung, Swandaru Geni, telah menyetujuinya pula.

Demikianlah dari hari ke hari, rakyat Sangkal Putung menjadi semakin tegang. Mereka masih belum dapat melupakan. bagaimana Sanakeling mendekati induk Kademangan meraka, dan bagaimana orang-orang Jipang itu setiap hari membuat hati mereka menjadi cemas. Sehingga tanpa disengaja, semakin dekat dengan hari penyerahan itu maka setiap anak muda di Sangkal Putung telah mempersiapkan dirinya pula, seperti apabila mereka harus menghadapi sergapan Macan Kepatihan beberapa waktu yang lalu. Hampir setiap anak muda tidak melepaskan pedang dari lambung mereka. Hampir setiap malam gardu-gardu menjadi kian penuh.

Dan lima hari itu adalah hari-hari yang tegang.

Dalam pada itu Kiai Gringsing telah mendatangi Sumangkar di dalam sarangnya sebagai utusan Untara untuk menjelaskan pelaksanaan daripada penyerahan itu. Sementara itu utusan Untara ke Pajang pun telah kembali pula ke Sangkal Putung.

“Bagaimana dengan pesanku?” bertanya Untara.

“Telah diterima langsung oleh Ki Ageng Pemanahan,” sahut utusannya.

“Apa perintahnya?”

“Tak ada perintah. Beliau sependapat dengan pesan Ki Untara.”

“Bagus.”


Di malam menjelang hari penyerahan, Sangkal Putung benar-benar menjadi tegang. Untara juga tidak melengahkan diri. Ia masih juga menyiapkan pasukannya di sisi yang berhadapan dengan desa Benda. Bahkan beberapa gardu di ujung desa kecil itu pun telah diisi dengan beberapa prajurit pilihan dan penghubung-penghubung berkuda. Bahkan tanda-tanda bahaya pun telah siap pula, apabila terjadi sesuatu yang tidak diharapkan. Namun anak-anak muda Sangkal Putung-lah yang membuat persiapan yang luar hiasa. Mereka berada di sisi prajurit Pajang yang berada pada garis yang berhadapan dengan desa Benda.

Malam itu Untara tampak sibuk pula mengawasi keadaan dibantu oleh Widura, Agung Sedayu, dan beberapa orang lainnya. Hudaya yang masih belum sembuh dari lukanya, tampaknya kurang gairah menghadapi keadaan. Tetapi ia adalah seorang prajurit yang patuh sehingga setelah kejutan perasaannya mereda, maka apa pun yang diperintahkan kepadanya, dilakukannya dengan sebaik-baiknya.

“Jadi kau sengaja menunggu sampai besok?” bertanya Widura kepada Untara.

“Ya. Aku tidak memberitahukannya kepada siapa pun juga kecuali kepada Paman. Kiai Gringsing pun tidak, apalagi Ki Demang Sangkal Putung dan Agung Sedayu.”

Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia tersenyum sambil berkata, “Kau akan membuat sebuah lelucon yang baik Untara.”

Malam menjelang hari yang ditentukan semuanya telah dipersiapkan dengan baik. Besok orang-orang Jipang di bawah pimpinan Sumangkar akan memasuki desa Benda tanpa bersenjata. Mereka akan meletakkan senjata mereka di luar desa itu. dan prajurit Pajang-lah kemudian yang akan mengambil senjata-senjata itu.

Besok pada tengah hari, tepat ketika matahari mencapai puncaknya, maka beberapa orang dari prajurit Pajang akan memungut senjata-senjata itu dan Untara beserta Widura diikuti oleh beberapa orang prajurit yang lain akan memasuki Benda pula, menerima orang-orang Jipang itu. Seterusnya, orang-orang Jipang akan di tempatkan di rumah-rumah yang telah disediakn di bawah pengawasan yang kuat dari para prajurit Pajang. Mengawasi supaya orang-orang Jipang itu tidak ingkar, tetapi juga mengawasi agar keamanan mereka tidak terganggu.

Seterusnya maka orang-orang Jipang itu akan dibawa ke Pajang sebagai tawanan yang akan diadili oleh para penjabat di Pajang.

Ternyata malam itu, bukan saja Sangkal Putung yang mengalami ketegangan. Perkemahan Sumangkar pun dicengkam oleh ketegangan yang memuncak. Beberapa orang menjadi ragu-ragu kembali. Apakah besok, setelah mereka menyerahkan senjata mereka, orang-orang Pajang tidak akan mencincang mereka satu demi satu? Apakah besok benar-benar orang Pajang memegang janjinya, membawa mereka ke Pajang dan mengadili mereka dengan baik menurut ketentuan yang seharusnya berlaku? Apakah mereka kemudian tanpa persoalan tidak saja digantung, di sepanjang jalan-jalan kota dan dipertontonkan kepada rakyat Pajang, sebagai orang-orang yang telah berkhianat terhadap Demak, terhadap keturunan Sultan Trenggana.

Dengam sareh dan telaten Sumangkar mencoba memberi mereka beberapa petunjuk hal-hal yang dapat meringankan beban perasaan mereka.

“Kalian harus menyadari, bahwa apa yang telah kalian lakukan selama ini sama sekali tidak akan berarti. Kalian hanyalah merupakan orang-orang yang berputus asa, karena kalian telah kehilangan kemungkinan yang paling lemah sekalipun untuk mendapatkan kemenangan. Kemenangan dalam arti mencapai tujuan. Bukan kemenangan-kemenangan kecil, merampas harta kekayaan di pedesan, mengusir beberapa orang yang mencoba menentang kalian atau perbuatan-perbuatan tak berarti lainnya.

“Namun yang paling penting, kalian harus menyadari, bahwa apa yang telah kalian lakukan sejak semula adalah salah. Kalian mencoba menentang kekuasaan Demak. Ini tidak benar. Dan ini adalah sumber bencana yang menimpa kalian.”

Beberapa orana menjadi semakin yakin akan kebenaran sikap mereka. Namun beberapa orang masih juga ragu-ragu.

“Ingat,” berkata Sumangkar, “kalian tidak boleh menyesal atau menyerah karena kalian telah merasa gagal. Maka itu, seterusnya kalian masih tetap merasa bahwa pendirian kalian itu benar. Tidak! Yang harus kalian sadari adalah apa yang kalian lakukan, apa yang kalian cita-citakan, itulah yang salah. Sehingga apabila kalian mendapatkan kemenangan dalam peperangan ini, maka kalian tidak berada di dalam kebenaran dan kalian pun masih harus tetap menyadari, bahwa kalian bersalah. Apalagi dalam keadaan kalian sekarang ini.

“Apabila kalian menang, maka yang kalian anggap kebenaran adalah kekuasaan kalian. Kekuasaan yang kalian dapatkan dari kemenangan itu. Bukan hakekat dari kebenaran. Sebab kalian telah menumbangkan kekuasaan Demak yang tersalur menurut ketentuan kepada Pajang, sepeninggal saudara-saudaranya.”

Beberapa orang mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka bertambah yakin dan mantap akan keputusan mereka. Setelah sekian lama mereka terjerumus dalam pertentangan yang panjang karena ketamakan mereka akan kekuasaan. Maka seakan-akan kini mereka menemukan jalan kembali, meskipun akibat dari kesalahan itu masih harus dipertanggungjawabkan. Namun mereka akan mendapatkan batas waktu yang tertentu. Mungkin mereka harus melakukan kerja paksa yang keras beberapa tahun lamanya, mungkin mereka akan di sisihkan ke tempat-tempat yang masih harus dibuka. Tetapi keluarga mereka tidak lagi merupakan keluarga buruan yang disirik oleh masyrakat karena suaminya melakukan perlawanan terhadap pemerintahan.

Namun masih terasa di dalam perkemahan itu, ketegangan yang seakan-akan hampir meledak. Beberapa orang benar-benar menjadi bimbang. Mereka menyesal, kenapa mereka tidak ikut saja bersama-sama dengan Sanakeling dan Ki Tambak Wedi. Apalagi ketika mereka menyadari bahwa Sumangkar hanyalah seorang juru masak yang malas. Satu dua kali Sumangkar membuat mereka menjadi heran, orang tua itu mampu menangkis serangan gelang-gelang Ki Tambak Wedi. Tetapi apakah itu bukan hanya sekedar kebetulan? Dan apakah cerita tentang Sumangkar yang berhasil mengusir Tambak Wedi tidak hanya sekedar cerita di dalam mimpi Tundun dan Bajang, yang sengaja dibuat-buat untuk meyakinkan mereka.

Dalam keragu-raguan itu, tiba-tiba timbullah keinginan mereka untuk membuktikannya. Apakah benar-benar Sumangkar dapat mempertanggungjawabkan mereka nanti, apakah Sumangkar itu hanya sekedar seorang yang hanya mampu membual, atau bahkan Sumangkar adalah orang yang sengaja dipasang oleh orang Pajang di dalam lingkungan mereka.

Demikianlah tiba-tiba dua orang di antara mereka segera memasuki gubug pimpinan yang kini di tempati oleh Sumangkar. Dengan wajah yang bengis salah seorang dari kedua orang itu membentak, “Sumangkar, sebelum terjadi penyembelihan besar-besaran besok, maka beruntunglah hahwa aku menyadari kesalahan yang kau lakukan. Kau besok akan membawa kami ke dalam neraka yang paling mengerikan. Dan kau pasti akan puas melihat mayat-mayat kami tergantung di pohon-pohon atau bahkan di jalan-jalan dalam kota Pajang. Nah, sekarang kau sebagai sumber dari bencana ini harus bertanggung jawab. Kau harus mengurungkan penyerahan yang akan terjadi besok. Kau harus minta maaf di hadapan kami semua, dan kau pula yang harus mempersatukan kami kembali dengam Kakang Sanakeling, Alap-alap Jalatunda dan bahkan dengan Ki Tambak Wedi.”

Sumangkar memandangi kedua orang itu dengan wajah yang muram. Seperti wajah seora ayah yang melihat kabengalan anak-anaknya. Dengan sareh ia berkata, “Jangan salah mengerti. Kalau besok terjadi penyembelihan besar-besaran di antara kita, maka akulah orang yang pertama-tama akan disembelih.”

Orang yang lain tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban itu. Katanya, “Sekarang kalimat itu dapat kau ucapkan. Tetapi besok ketika kami telah diikat dan meninggalkan senjata kami, maka kau akan memberi perintah kepada kami satu demi satu untuk maju ke tiang gantungan. Atau untuk menundukkan kepala-kepala kami di atas landasan sepotong kayu atau tunggak pepohonan. Kapak-kapak orang Pajang atau pedang-pedang mereka besok akan menebas leher kami sehingga kepala kami akan terpotong dari tubuh kami.”

“Sebuah gambaran yang mengerikan,” desis Sumangkar.

“Bukankah demikian yang selalu dilakukan oleh orang-orang Pajang? Apakah kau balum pernah mendengar, bagaimana tubuh Plasa Ireng pada saat matinya? Tubuh itu tergores pedang lintang melintang. Hampir tak ada bedanya dengan tubuh yang dicincang-cincang. Dan bukankah kau sendiri yang membawa tubuh Raden Tohpati yang terluka arang kranjang?”

“Kau tahu siapakah yang mencincang Plasa Ireng?”

“Pasti,” sahut salah seorang daripadanya. “Orang Pajang.”

“Namanya?” Bertanya Sumangkar pula.

“Sidanti.”

“Kau tahu, siapakah Sidanti itu?”

Tiba-tiba kedua orang itu terdiam.

“Nah, apakah kalian ingin bersama-sama dengan Sanakeling bergabung dengan Sidanti, supaya kalian menjadi semakin pandai mencincang?”

Kedua orang itu masih terdiam.

“Pertimbangkanlah baik-baik,” berkata Sumangkar, “kalau kau percaya kepadaku. Aku melihat dengan mata kepala sendiri, orang-orang Pajang memelihara baik-baik orang-orang kita yang terluka di peperangan. Apakah kita sendiri sempat berbuat demikian terhadap kawan-kawan sendiri, apalagi lawan kita?”

Kedua orang itu semakin terdiam. Tetapi mereka masih belum melepaskan keragu-raguan mereka. Namun dengan penuh kesabaran Sumangkar mencoba menjelaskan kalimat demi kalimat. Gambaran demi gambaran, sehingga kedua orang itu pun kemudian menundukkan kepala-kepala mereka sambil bergumam, “Aku dapat mengerti Kiai, tetapi aku masih tetap dicengkam oleh keraguan itu.”

“Mudah-mudahan aku akan dapat menjadi jaminan. Kalau besok orang-orang Pajang mengingkari janjinya, maka aku akan berbuat apa saja yang dapat aku lakukan.”

Wajah kedua orang itu masih tetap memancarkan keragu-raguannya. Sehingga Sumangkar berkata, “Mungkin kau curiga kepadaku. Mungkin kau menyangka aku adalah orang Pajang yang menyusup ke dalam Laskar Jipang. Kalau demikian, aku tidak perlu ribut-ribut menyelenggarakan penyerahan. Aku Dapat membunuh kalian malam tadi, atau malam nanti dengan memberi kesempatan prajunit Pajang menyergap perkemahan ini. Tetapi itu tidak terjadi.”

Kedua orang Jipang itu masih saja terbungkam. Dan Sumangkar pun berkata terus seperti orang ayah menasehati anak-anaknya. “Memang permusuhan selalu menumbuhkan prasangka di kedua belah pihak. Meskipun kedua belah pihak ingin menghentikannya dengan jujur, namun pertimbangan-pertimbangan yang timbul kemudian kadang-kadang amat meragukan. Masing-masing mencurigai pihak yang lain. Malam ini aku kira bukan saja kalian berdua yang menjadi ragu-ragu. Aku kira beberapa orang Pajang pun menjadi ragu-ragu. Pasti ada di antara mereka yang menyangka bahwa apa yang kita lakukan tidak lebih dari suatu cara untuk memasuki Sangkal Putung dengan cara yang licik. Kita besok pasti akan dijemput dengan pasukan segelar sepapan lengkap dengan segala macam bentuk senjata. Apabila demikian, kalian jangan terkejut. Itu bukanlah sikap yang bermusuhan. Namun itu adalah suatu sikap curiga. Permusuhan yang telah tumbuh ini, tidak akan segera hilang tanpa bekas. Setiap persoalan yang kecil yang timbul di antara kalian dan orang Pajang kelak, pasti segera akan mengungkat kembali permusuhan ini. Kalau ada salah seorang saja dari orang-orang Jipang yang berbuat curang, maka segera kebencian orang Pajang yang akan bertambah. Sebaliknya kalau ada seorang Pajang yang berbuat sewenang-wenang atas kalian, maka kalian pasti akan berkata bahwa orang Pajang telah mengingkari janjinya dan berbuat sewenang-wenang. Sehingga dengan demikian, keinginan-keinginan yang jujur akan tenggelam dalam noda-noda yang kelam. Namun yakinlah, yakinlah pada tujuan yang baik. Yakinlah bahwa kalian telah kembali, bukan saja dalam bentuk duniawi, bukan saja dalam bentuk jasmaniah, tetapi yang penting adalah nilai-nilai rohaniah. Apa pun yang kalian alami secara badaniah, maka apabila kalian hayati dengan kesadaran atas nilai-nilai rohaniah, maka kalian akan menemukan ketenteraman, kalian akan menemukan hiburan dari nilai-nilai rohaniah itu. Sebenarnyalah bahwa dalam bertaubat, kalian akan mendapat pengampunan. Meskipun tangan kalian telah berlumuran darah tetapi pintu pengampunan tertingi tidak pernah akan ditutup apabila kita bersungguh-sungguh mohon kepada Tuhan untuk mendapatkannya. Bersungguh-sungguh, tekad dan perbuatan.”

Kedua prajurit itu semakin tertunduk. Kata-kata itu menyusup ke dalam hati mereka, sehingga mereka menjadi yakin atas tujuan penyerahan mereka besok. Salah seorang dari kedua prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya sambil bergumam, “Terima kasih Kiai.” Dan di dalam hatinya ia berkata, “Alangkah benarnya kata-kata Kiai Sumangkar. Apa yang akan aku alami secara badaniah pasti tidak akan banyak berarti dibandingkan dengan nilai-nilai rohaniahnya.”

Ketika kedua orang itu kemudian kembali ke gubugnya, gubug yang hanya tinggal semalam itu didiami, mereka segera tidur mendekur. Mereka sudah tidak menjadi gelisah lagi, karena keragu-raguan mereka, sebab mereka telah menemukan hakekat dari penyerahan mereka kepada orang-orang Pajang. Bukan secara badaniah, tetapi secara rohaniah, mereka menyongsong suatu kehidupan baru. Hati mereka yang pepat kelam, kini seakan-akan telah terbuka. Dari celah-celahnya seakan-akan mereka berdua dapat melihat, apa yang telah pernah terjadi dan apa yang akan dilakukannya.

Sumangkar sendiri kemudian mencoba berbaring di pembaringannya. Tetapi tidak seperti kedua orang Jipang yang baru datang kepadanya, yang segera dapat tidur mendekur karena perasaannya telah tidak terganggu lagi oleh berbagai kegelisahan.

Tetapi Sumangkar adalah orang yang bertangguhg jawab akan terselenggaranya penyerahan besok.

Meskipun demikian, apa yang dikatakannya kepada kedua peajurit itu telah sedikit menenteramkan hatinya sendiri pula. Kata-kata dan nasehat itu sebagian telah menjernihkan kesadarannya, sehingga Sumangkar sendiri menjadi semakin yakin akan kebenaran sikapnya.

Ketika angin malam manembus lubang-lubang dinding gubugnya, terdengar di kejauhan jerit anjing-anjing liar berebut mangsa. Tiba-tiba tanpa disengaja, kenangannya meluncur kepada Sanakeling, Alap-alap Jalatunda dan kawan-kawannya. Sumangkar menarik nafas dalam-dalam sambil bergumam lirih, “Kasihan Sanakeling. Seperti anjing-anjing liar itu, mereka bersama-sama berangkat dari satu sarang, bersama-sama mengejar mangsanya, bersama-sama menyerang dan membinasakan. Tetapi kemudian mereka saling membunuh di antara sesama apabila mereka sudah berebut hasil buruannya itu.”

Dan suara anjing-anjing liar itu semakin lama menjadi semakin riuh, sehingga Sumangkar menjadi semakin tidak mungkin lagi dapat memejamkan matanya.

Orang tua itu pun kemudian bangkit dari pembaringannya, berjalan ke luar dan mengitari halaman. Ia masih melihat beberapa orang prajurit berjaga-jaga untuk yang terakhir kalinya di sudut-sudut perkemahan.

Sekali-sekali Sumangkar mendekati mereka sambil berkata, “Besok kau akan bebas dari pekerjaan semacam ini.”

Orang itu menganggukkan kepalanya. Perlahan-lahan mereka menjawab, “Kiai, rasa-rasanya kami akan memasuki sebuah goa yang maha gelap.”

“Kenapa?” bertanya Sumangkar.

“Kami tidak tahu, apa yang berada di dalamnya. Apakah kami akan sampai ke dalam istana yang indah ataukah kami akan terjerumus kedalam neraka yang paling laknat.”

Sumangkar mengangguk-angukkan kepalanya. Ia dapat mengerti sepenuhnya kata-kata itu. Bahkan secara jujur hatinya sendiri kadang-kadang berkata demikian juga. Tetapi ia percaya kepada Untara, percaya kepada Kiai Gringsing dan percaya kepada kewibawaan Widura atas anak buahnya, sehingga besok tidak akan terjadi hal-hal yang dapat mengganggu pelaksanaan penyerahan yang menjadi tanggung jawabnya. Sebaliknya ia mengharap bahwa orang-orang Jipang sendiri akan dapat membantu terlaksananya penyerahan itu dengan sebaik-baiknya.

Akhirnya Sumangkar itu pun menjawab, “Jangan ragu-ragu Ngger. Mudah-mudahan pilihan kita ini benar. Telah sekian lama kita terjerumus dalam kesalahan.”

“Tetapi ketika kita sedang mulai, bukankah Kiai turut pula beserta kita?”

“Karena itulah, maka marilah kita mengucap sukur Ngger. Mengucap sukur bahwa akal kita dapat berkembang. Seperti anak-anak yang dengan serta merta menggenggam bara, maka kemudian anak-anak itu dapat mengerti bahwa ternyata ia telah berbuat suatu kesalahan. Demikian pula aku Ngger. Mudah-mudahan demikian pula kalian menemukannya seperti aku menemukan kesadaran itu.”

Para penjaga itu pun mengangguk-angukkan kepala mereka. Dan Sumangkar pun kemudian berjalan meninggalkan orang itu, berjalan dari satu sudut ke sudut yang lain, sehingga kemudian ia menjadi penat. Akhirnya ia berbaring tidak di dalam gubugnya, tetapi di samping gardu di ujung halaman perkemahannya. Sesaat kemudian angin yang silir telah membelainya, seperti tangan seorang ibu membelai anaknya tersayang. Sumangkar yang tua itu kemudian tertidur dengan nyenyaknya. Besok ia akan melakukan kewajiban yang berat dan berbahaya.

Ketika ayam jantan berkokok di pagi-pagi buta, orang-orang di Sangkal Putung telah menjadi sibuk. Beberapa orang bergegas-gegas pergi ke kademangan. Seakan-akan pergi mengungsi. Mereka cemas mendengar banyak desas-desus yang bersimpang-siur, seolah-olah orang-orang Jipang yang ingin menyerahkan diri itu hanya sekedar suatu cara untuk mengelabuhi kesiap-siagaan orang-orang Sangkal Putung.

Anak-anak muda Sangkal Putung telah siap menyandang senjata masing-masing, sedang para prajurit Pajang pun telah bersiaga sepenuhnya. Hari ini adalah hari yang sangat tegang bagi Sangkal Putung. Seperti hari-hari di mana Tohpati akan datang menyergap kampung halaman mereka.

“Seandainya orang-orang Jipang itu benar-benar menyerah sekalipun, siapa yang harus memberi mereka makan? Kami juga, orang-orang Sangkal Putung,” gerutu salah seorang anak muda Sangkal Putung.

Tetapi ia terkejut ketika didengarnya jawaban sareh. “Memberi makan mereka adalah jauh lebih baik daripada kampung halaman ini dijarah-rayah. Lumbung-lumbung padi dibakar dan rumah-rumah dijadikan karang abang. Bukankah begitu?”

Ketika anak-anak muda itu berpaling dilihatnya Agung Sedayu berdiri di belakang mereka. Dengan serta merta mereka segera mengangguk sambil membetulkan kata-katanya. “Ya. Ya Tuan. Memang lebih baik demikian. Lumbung-lumbung padi kami agaknya masih cukup sampai musim menuai yang akan datang.”

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Bukankah dengan penyelesaian yang bagaimanapun bentuknya asal tidak mengorbankan hak-hak sendiri, jauh lebih baik daripada harus bertempur dan berjaga-jaga setiap hari? Sawah-sawah yang bera selama ini karena gangguan keamanan segera dapat ditanami. Saluran-saluran air dapat segera diperbaiki. Bukan begitu?”

“Ya, ya tentu Tuan. Tentu,” sahut mereka tergagap.

Sekali lagi Agung Sedayu tersenyum sambil berjalan ke dalam halaman banjar desa. Namun sepeninggal Agung Sedayu anak-anak muda sangkal putung itu memberengut sambil berkata, “Anak itu bukan anak Sangkal Putung.”

“Aku membenarkan kata-katanya.”

Tetapi seorang yang lebih dewasa daripada anak-anak itu berkata, “Aku membenarkan kata-katanya.”

Anak-anak muda itu memandangi kawannya sambil bertanya, “Kenapa kau membenarkannya?”

“Apakah kau tahu yang dikatakan oleh Agung Sedayu?” bertanya kawannya yang yang lebih dewasa berpikir itu.

“Tentu.”

“Coba katakan maksud kata-katanya.”

“Bukankah ia mengatakan bahwa lumbung-lumbung kami masih penuh dengan padi dan sawah-sawah kami masih dapat ditanami? Tetapi apakah kami tidak memerlukannya sendiri? Berapa banyak beras yang sudah kami berikan kepada orang-orang Pajang yang berada di sini, sekarang ditambah lagi dengan orang-orang Jipang yang selama ini membuat bencana di kampung halaman kami.”

Kawannya itu tertawa. Katanya, “Ternyata kau tidak mendengarkannya, tetapi kau sudah tergesa-gesa mengangguk dalam-dalam sambil membenarkan kata-kata Agung Sedayu itu.”

“Kenapa?” bertanya anak muda itu sambil tersipu-sipu.

“Dengarkan, aku akan mencoba mengulangi,” berkata kawannya. “Agung Sedayu itu berkata bahwa lebih baik memberi makan orang-orang Jipang itu daripada tidak sempat menanami sawah dan ladang. Bukankah sawah-sawah dan ladang kita banyak yang bera tidak dapat ditanami karena kita ketakutan? Sawah-sawah kita yang jauh dari induk desa ini dan ladang-ladang kita di ujung-ujung desa terpencil? Saluran-saluran air menjadi kering, karena kita tidak sempat memperbaikinya. Nah, kalau kita sudah tidak berkelahi lagi, maka semua itu akan dapat kita lakukan dengan baik. Hasilnya, dibandingkan dengan beras yang akan kita berikan untuk memberi orang-orang Jipang itu makan, masih cukup banyak. Bukankah begitu?”

Anak muda itu merenung. Sekali-sekali mengangguk-angguk, namun kemudian ia tidak mau kalah. “Tetapi berapa nilai dari kawan-kawan kami yang terbunuh di peperangan?”

“Itu adalah banten. Tawur bagi kesejahteraan kampung halaman.”

Anak muda itu terdiam. Kawan-kawannya yang lain pun terdiam pula. Ada sedikit pengertian di otaknya, namun hatinya tetap meronta. Sehingga sulitlah bagi anak muda itu untuk mendamaikan hati dan otaknya sendiri.

Tetapi mereka tidak bercakap-cakap lagi. Semakin pagi semakin banyak anak-anak muda yang berdatangan di banjar desa. Mereka telah bersiaga sepenuhnya menghadapi setiap kemungkinan.

Prajurit-prajurit Pajang pun telah bersiaga pula. Mereka benar-benar dalam kesiap-siagaan tertinggi. Bahkan Widura telah memerintahkan untuk menyiapkan rontek di Banjar desa. Umbul-umbul dan panji-panji pun dipersiapkannya pula. Pusat pimpinan prajurit Pajang kini dengan serta merta telah berpindah dari kademangan ke banjar desa.

Ki Demang sendiri tidak mengerti kenapa demikian. Kenapa tiba-tiba rontek dan segala macam tanda kebesaran telah dipasang di banjar desa. Bahkan kemudian Widura memberikan perintah kepada prajuritnya untuk bersiap di alun-alun di hadapan banjar desa itu, tidak di halaman banjar desa.

Beberapa orang menjadi heran. Kenapa halaman banjar desa itu sengaja dikosongkan? Juga anak-anak muda Sangkal Putung diminta untuk berkumpul di luar halaman Banjar desa.

“Kenapa kita harus keluar dari banjar desa?” bertanya salah seorang kepada sesama mereka.

Kawannya menggelengkan kepalanya. “Entahlah.”

“Bukankah banjar desa itu kita punya?”

“Ya. Tetapi Ki Demang sendiri tidak berbuat apa-apa. Swandaru pun berdiam diri saja.”

Mereka pun terdiam pula. Tetapi pertanyaan itu melingkar-lingkar di kepalanya.

Apalagi ketika kemudian mereka melihat beberapa prajurit Pajang berkuda, berpacu sepanjang jalan kademangan mereka seperti mengejar hantu. Anak-anak muda itu menjadi semakin heran.

Ketika matahari telah menjenguk dari punggung bukit, maka Kademangan Sangkal Putung itu pun menjadi cerah. Ujung-ujung rontek, umbul-umbul dan panji-panji seakan-akan menjadi kian cemerlang dipanasi oleh sinar matahari pagi. Dalam belaian angin yang lembut panji-panji dan umbul-umbul itu bergetar perlahan-lahan, seperti anak-anak yang melambaikan tangannya menyambut kedatangan ibunya.

Banjar Desa Sangkal Putung, pagi itu benar-benar memancarkan kesegaran dan kebesaran meskipun terbatas dalam kademangan yang kecil namun subur dan makmur itu.

Bahkan kemudian beberapa orang bertanya-tanya, “Apakah di sini nanti Untara akan menerima orang-orang Jipang di Benda tengah hari nanti?”

“Tidak,” jawab yang lain. “Ki Demang telah menentukan, bahwa Untara akan menerima orang-orang Jipang di Benda, tengah hari nanti.”

“Lalu untuk apa banjar desa di rengga-rengga dengan segala macam rontek dan umbul-umbul?”

Kawannya mengeleng. Perlahan-lahan ia menggeser mendekati seorang prajurit Pajang yang berdiri di alun-alun itu pula. “Untuk apa rontek dan umbul-umbul bahkan panji-panji itu?”

Prajurit Pajang itu menggelengkan kepalanya sambil menjawab, “Aku tidak tahu.”

“Apakah itu suatu kehormatan bagi orang-orang Jipang?”

Mata prajurit itu terbelalak, katanya, “Pasti tidak. Kami sendiri tidak pernah mendapat sambutan dengan tanda-tanda kebesaran itu. Apalagi orang-orang Jipang yang sudah sekarat.”

Anak muda itu menganguk-anggukkan kepalanya. Katanya di dalam hati, “Prajurit Pajang sendiri agaknya tidak senang melihat penyerahan orang-orang Jipang itu. Mungkin mereka lebih senang membinasakannya di medan-medan peperangan.”

Tetapi ternyata kemudian Untara sendiri tidak dapat merahasiakan teka-teki itu kepada para pemimpin kelompoknya. Beberapa orang dipanggilnya, dan diberitahukan kepada mereka apa yang harus dilakukan. Beberapa orang di antaranya menarik nafas dalam-dalam. “Oh,” katanya di dalam hati. “Aku sudah berdebar-debar.”

Untara tersenyum melihat sikap beberapa orang pembantu-pembantu Widura itu. Katanya, “Kalian tidak usah berdebar-debar. Aku ingin mengejutkan Ki Demang Sangkal Putung.”

“Bukan saja Ki Demang,” sahut Hudaya. “Aku juga terkejut. Tetapi apakah maksud Angger Untara hanya supaya Ki Demang terkejut?”

“Ya.”

“Tidak ada maksud lain?”

“Maksud lain tidak terkandung dalam persoalan yang kau dengar ini.”

Hudaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bertanya kembali, “Ya. Dalam hal tidak diberitahukan, mungkin Angger Untara hanya akan membuatnya terkejut. Tetapi maksud kedatangannya kemari?”

“Tentu,” jawab Untara, “kau telah dapat merabanya sendiri.”

Hudaya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak berkata apa pun lagi.

“Beberapa orang telah aku perintahkan untuk menyongsongnya dan membawanya ke banjar desa ini,” berkata Untara pula. “Menurut ketentuan mereka akan datang pagi-pagi.”

“Mereka berangkat tengah malam,” sela Widura.

“Ya, mereka berangkat tengah malam,” sahut Untara.

Sesaat mereka kemudian terdiam. Beberapa orang masih juga mengangguk-anggukkan kepala mereka. Hari ini akan menjadi hari yang penting bagi Sangkal Putung. Bahkan hari yang tak akan dapat dilupakan oleh anak-anak mudanya. Peristiwa demi peristiwa akan berpuncak di hari ini. Namun apa yang terjadi masih juga menjadi pertanyaan bagi anak-anak muda Sangkal Putung dan bahkan para prajurit Pajang sendiri.

Dalam pada itu, lima orang penghubung telah mendapat perintah khusus dari Untara dan Widura untuk menjemput tamu yang akan datang. Tamu yang akan mendapat penyambutan yang khusus, yang akan mengejutkan hati setiap orang di Sangkal Putung dan prajurit-prajurit Pajang di Sangkal Putung pula.

Tetapi yang tidak mereka perhitungkan, bahwa pada saat ini, hantu lereng Merapi yang mereka takuti, ternyata membuat perhitungan tersendiri. Ternyata Ki Tambak Wedi mendengar pula bahwa hari ini, Untara akan menerima Sumangkar dengan orang-orangnya yang menyerahkan diri.

Sesaat setelah ia mendengar berita itu, beberapa hari yang lalu, orang tua itu tersenyum di dalam hatinya. Dipanggilnya Sidanti dan Sanakeling. Sambil memilin-milin kumisnya ia berkata, “Nah, apa rencana kalian menghadapi hari yang ditentukan itu?”

Dengan serta-merta Sanakeling menjawab, “Kita hancurkan Sumangkar dan orang-orangnya.”

Ki Tambak Wedi tertawa. Katanya, “Jangan terlampau bernafsu hendak memusnahkan kawan-kawan itu sendiri dengan tanganmu. Belum lagi dapat dipastikan kita akan dapat memenangkan pertempuran itu, meskipun sebagian besar dari para pemimpin Jipang berada di sini. Tetapi Sumangkar dan mungkin Kiai Gringsing akan dapat mengganggu rencana ini.”

Sanakeling mengerutkan keningnya. Kemudian dengan tenangnya ia berkata, “Lalu apa yang sebaiknya kita kerjakan Kiai?”

Ki Tambak Wedi tersenyum. Hidungnya yang melengkung tampak bergerak-gerak. Dijawabnya, “Kita hancurkan mereka dengan meminjam tangan orang lain.”

Sanakeling mengerutkan keningnya. Gumamnya, “Bagaimana mungkin?”


Orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya muridnya yang bernama Sidanti sambil bertanya, “Apa rencanamu?”

Sidanti menggeleng, “Aku belum memikirkannya guru.”

“Alangkah bodohnya kalian,” berkata orang tua itu. “Kita akan mendapat kesempatan yang baik sekali menghadapi saat penyerahan itu. Penyerahan itu akan terjadi di tengah hari. Kita harus mengingat-ingat saat itu.”

“Ya. Tengah hari. Tetapi bagaimana dengan meminjam tangan orang lain itu?” desak Sanakeling.

Tambak Wedi terdiam sesaat. Kemudian katanya, “Percayalah bahwa tidak semua orang Pajang sendiri ikhlas menerima penyerahan itu. Sebagian dari mereka pasti masih mendendamnya dan ingin menghancurkan orang-orang Jipang di medan-medan perang tanpa ada persoalan lagi. Mereka pasti ingin melihat orang-orang Jipang itu musnah. Nah, marilah kita pergunakan keadaan itu.”

Sanakeling dan Sidanti mendengarkan setiap kata Ki Tambak Wedi dengan penuh minat.

“Menjelang saat penyerahan itu, kita pengaruhi perasaan yang tersimpan di dalam dada orang-orang Pajang yang mendendam mereka.”

“Bagaimana?” Sanakeling menjadi tidak bersabar.

“Kita membawa beberapa orang prajurit pilihan,” berkata Ki Tambak Wedi lebih lanjut. “Pada saat orang-orang Pajang dan orang-orang Sangkal Putung menerima orang-orang Jipang yang menyerah, kita menyelusup masuk ke kademangan itu. Kita bakar beberapa rumah penduduk dan beberapa lumbung padi. Kita jarah saja isinya dan kita binasakan setiap orang yang kita jumpai. Nah, bagaimanakah kira-kira sikap orang-orang Pajang dan orang-orang Sangkal Putung terhadap orang-orang Jipang yang menyerah itu yang justru sudah tidak bersenjata?”

Mata Sidanti tiba-tiba menjadi berkilat-kilat. Rencana itu terdengar amat manis di telinganya. Tetapi Sanakeling tidak segera menanggapinya, bahkan tampak kerut-kerut dahinya.

“Bagaimana Sanakeling?” Bertanya Ki Tambak Wedi.

“Dengan demikian,” sahut Sanakeling, “orang-orang Pajang akan menjadi sangat marah. Kemarahan yang memang telah terpendam di dadanya pasti segera akan meluap, seperti minyak tersentuh api. Mereka tidak akan sempat berpikir, kepada orang-orang Jipang yang mana mereka akan melepaskan kemarahan itu. Dan orang-orang Jipang yang menyerah itulah yang akan memikul akibat dari perbuatan kita.”

“Bukankah sudah aku katakan, bahwa kita telah meminjam tangan orang lain untuk membinasakan para pengkhianat itu.”

Sanakeling menarik nafas dalam-dalam. Orang-orang Jipang itu adalah kawan sepenanggungan pada saat-saat yang lampau. Karena itu meskipun ia sendiri bernafsu untuk menghancurkannya, namun keadaan yang dibayangkan oleh Ki Tambak Wedi benar-benar tidak adil. Orang-orang Jipang yang tidak bersenjata itu akan menjadi lembu bantaian tanpa perlawanan.

Karena Sanakeling tidak segera menjawab, maka kembali Ki Tambak Wedi mengulangi, “Bagaimana Sanakeling, bukankah dengan demikian kita dapat memusnahkan orang-orang Jipang itu tanpa mengotori tangan kita dengan darahnya.”

Sanakeling menggeleng lemah. Jawabnya sama sekali tidak disangka-sangka oleh Ki Tambak Wedi. Katanya, “Aku kurang sependapat Kiai.”

Tambak Wedi mengerutkan keningnya, perlahan-lahan ia bertanya, “Kenapa? Apakah kau belum juga bersedia melepaskan mereka yang jelas telah memusuhinya?”

Sanakeling terdiam kembali. Sesaat ia berpikir. Baru kemudian ia menjawab, “Betapa dendam membakar jantungku Kiai, tetapi aku tidak dapat melihat bekas kawan-kawanku itu mati disembelih tanpa dapat berbuat sesuatu.”

Wajah Ki Tambak Wedi menjadi semakin berkerut-kerut. Katanya, “Lalu apa maksudmu sebenarnya?”

“Kiai,” berkata Sanakeling kemudian. Tiba-tiba wajahnya pun menjadi tegang. Ia telah menemukan suatu cara yang baik untuk membuat keributan di Sangkal Putung. Katanya, “Kalau kita berbuat sesuatu sesudah penyerahan itu berlangsung, maka kemungkinan yang lain daripada pembantaian besar-besaran adalah sikap yang tenang dan otak yang dingin dari pimpinan orang-orang Pajang itu. Untara dan Widura pasti mampu membuat perhitungan berdasarkan laporan Kiai Gringsing, bahwa apa yang terjadi adalah benar-benar karena sikap pihak lain dari orang-orang Jipang. Sehingga apabila demikian, maka orang-orang Pajang dan Sangkal Putung tidak akan sempat berbuat sesuatu. Tetapi bagaimana kalau keributan itu kita lakukan sebelum penyerahan itu berlangsung?”

“Untara dan Widura akan dapat menilai seperti itu pula Sanakeling,” sahut Ki Tambak Wedi.

“Tetapi orang-orang Jipang belum berkumpul dalam satu penampungan yang langsung ditunggui oleh Untara dan Widura yang mempunyai pengaruh yang cukup besar pada para prajurit Pajang. Kalau prajurit Jipang itu masih belum berada di Sangkal Putung dan apabila kemudian mereka masih menyandang senjata mereka, maka tanggapan orang-orang Pajang dan Sangkal Putung pasti akan berbeda. Mereka tidak melihat kambing-kambing yang sudah tertutup di dalam kandang, tetapi mereka melihat serigala yang buas di luar rumah mereka. Aku mengharap bahwa orang-orang Pajang dan orang-orang Sangkal Putung akan bersikap lain. Kemarahan yang timbul di dalam dada mereka pun akan terungkapkan dalam bentuk yang berbeda. Mudah-mudahan mereka menganggap bahwa apa yang telah dilihat oleh Kiai Gringsing itu hanyalah sebuah tipuan yang licik.–

“Lebih daripada itu Kiai, kau lebih senang melihat kedua belah pihak bertempur di dalam arena. Orang-orang Jipang akan terbunuh sebagai prajurit di medan perang, sedang orang-orang Pajang pun pasti akan berkurang. Orang-orang yang merasa diingkari itu akan mengamuk dalam keputus-asaan mereka.”

Ki Tambak Wedi menjadi tegang sesaat, tetapi kemudian meledaklah suara tertawanya. Seperti suara hantu yang melihat mayat baru terbujur di pekuburan.

“Bagus. Bagus,” katanya di antara derai tertawanya.

Demikian keras suara tertawa Ki Tambak Wedi sehingga tubuhnya terguncnag-guncang. Sambil menepuk bahu Sanakeling maka orang tua itu berkata, “Sidanti, kau dapat berguru kepada Sanakeling tentang kelicikan dan akal.”

Sidanti pun tertawa pula. Ia menjadi semakin bergembira mendengar rencana itu. Maka katanya, “Keduanya akan bertempur sehingga keduanya akan hancur. Kita akan datang nanti pada saatnya, mendapatkan Sangkal Putung tanpa kesulitan.”

“Kita pasti akan menjumpai kesulitan baru Sidanti,” berkata Ki Tambak Wedi.

“Kesulitan apa Kiai?”

“Mengubur orang-orang Jipang yang berkhianat itu dan dan orang-orang Pajang.”

Kembali mereka bertiga tertawa. Rencana itu benar-benar dapat menggembirakan hati mereka.

“Nah Sanakeling,” bertanya Ki Tambak Wedi kemudian, “bagaimana rencana selanjutnya?”

“Aku belum berpikir sampai pada pelaksanaannya,” sahut Sanakeling.

Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia berpikir dan kemudian berkata, “Kita harus menemukan saat yang tepat. Kita harus mulai menyerang Sangkal Putung dari arah yang berbeda dengan arah kedatangan para penghianat itu. Selagi mereka dalam perjalanan, kita akan membuat keributan. Kita mengharap para prajurit Pajang dan Sangkal Putung marah dan menyangka bahwa penyerahan itu hanyalah sekedar akal licik. Nah, kedatangan orang-orang Jipang yang berkhianat itu akan disambut hangat oleh orang-orang Pajang. Dalam keadaan yang demikian seandainya Untara dan Widura dapat membuat perhitungan yang tepat terhadap keadaan yang sebenarnya, namun akan sangat sulitlah baginya menguasai luapan perasaan anak buahnya.”

“Demikianlah,” sahut Sanakeling. “Sedang orang-orang Jipang yang akan menyerah itu masih menggenggam senjata mereka masing-masing.”

Kembali mereka tertawa sepuas-puas mereka. Seakan-akan rencana mereka itu telah berlangsung dengan baiknya. Seakan-akan mereka telah melihat mayat orang Jipang dan orang-orang Pajang berserak-serakan tindih menindih di hadapan mereka.

“Kita harus sudah siap sejak pagi-pagi benar di arah yang berlawanan,” berkata Ki Tambak kemudian. “Tidak usah terlampau banyak. Kita harus dapat menyusup masuk meskipun hanya ke desa-desa kecil, bukan desa induknya. Kalau matahari telah naik seperempat hari, maka kita harus segera mulai.”

“Apakah kita tidak datang dengan seluruh kekuatan guru?” bertanya Sidanti.

“Tidak Sidanti,” sahut Ki Tambak Wedi. “Kita hanya sekedar membuat kesan bahwa ada serangan dari arah lain sehingga kita pun harus segera dapat menghilang. Kalau tidak, maka akan timbul peperangan segi tiga. Dalam keadaan yang demikian maka Pajang dan Sangkal Putung-lah yang terkuat.

Mendengar penjelasan itu, alis Sidanti berkerut. Sejenak ia diam berpikir. Kemudian katanya dalam nada datar, “Masih pula terjadi orang-orang Jipang yang berpendirian lain itu menyadari kekeliruannya, tetapi dapat pula terjadi bahwa orang-orang Jipang itu menggabungkan dirinya dengan orang-orang Pajang.”

Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya, tetapi kemudian ia tertawa. “Kau benar Sidanti. Memang perhitungan ini dapat meleset. Karena itu, kita mengambil jalan yang sebaik-baiknya. Yang kemungkin-kemungkinannya tidak terlampau jelek bagi kita. Seandainya usaha kita itu tidak dihiraukan sekalipun kita tidak akan mengalami kerugian apapun.”

Sanakeling tiba-tiba memotong, “Mudah-mudahan usaha kita berhasil. Kita mempengaruhi perasaan orang-orang Pajang, kemarahan yang memang masih tersimpan di dalam dada mereka. Kesan yang harus kita buat adalah bahwa Sumangkar ternyata tidak jujur. Ia bersedia menyerahkan diri hanya sebagai suatu usaha untuk membuat orang-orang Pajang lengah.”

“Bagus,” sahut Tambak Wedi. “Ambil orangmu lima puluh saja. Namun yang paling baik dari semuanya. Pagi-pagi benar kita harus sudah berada di sebelah Timur Sangkal Putung. Mungkin kita harus menyusup seorang demi seorang. Sekelompok dari orang-orangmu, mungkin kau pimpin sendiri Sanakeling, harus menguasai salah sebuah gardu peronda. Kemudian kau harus segera membunyikan tanda bahaya seperti orang-orang Pajang membunyikannya. Sementara itu, kita yang lain, membakar satu dua rumah atau lumbung. Apabila orang-orang Pajang kemudian berdatangan. Secepatnya kita harus melarikan diri. Ke Utara, menerobos sawah yang sempit dan masuk ke dalam desa-desa yang terpencar. Di belakang desa-desa itu kita akan menemukan sebuah tegalan. Jangan sampai terkepung di dalamnya. Kita harus mencapai semak-semak bambu liar di sebelah Utara tegalan itu. Kemudian kita akan bebas dari kejaran mereka.”

Ki Tambak Wedi kini sekali lagi tertawa terbahak-bahak. Sanakeling dan Sindati pun mengangguk-anggukkan kepala mereka. Rencana itu adalah rencana yang baik, sedang bahayanya tidak terlampau besar. Sementara orang-orang Pajang mengejar mereka, dari arah Barat, Sumangkar membawa orang-orangnya mendekati Pajang. Mudah-mudahan beberapa penjaga dan pengawal dari orang-orang Pajang melihat mereka, kemudian membuat laporan kepada Untara dan Widura, bahwa induk pasukan Jipang datang dari barat.

Sanakeling dan Sindati itu pun kemudian tersenyum. Terbayang di dalam rongga mata mereka, pasukan Pajang dan Sangkal Putung yang marah menyongsong orang-orang Jipang itu dengan pedang terhunus, sedang orang-oran Jipang itu pasti akan terkejut dan menyangka orang-orang Pajang mengingkari janji, menerima penyerahan mereka. Namun yang mereka lihat adalah pedang ligan dan ujung-ujung tombak telanjang.

Demikianlah pada malam menjelang hari yang ditentukan, Sanakeling, Sidanti, dan orang-orang Jipang pilihan sebanyak lima puluh orang telah siap untuk melakukan tugas mereka. Tugas yang cukup berat namun yang menurut penilaian mereka tidak begitu berbahaya meskipun seandainya mereka gagal.

Orang-orang Jipang itu menjadi semakin berbesar hati ketika Ki Tambak Wedi telah menyatakan diri untuk pergi bersama ke lima puluh orang itu.

“Aku ingin melihat apa yang terjadi,” berkata Tambak Wedi. “Dan aku harus mengamat-amati kalian apabila kalian bertemu dengan orang yang bernama Kiai Gringsing.”

Sanakeling yang mendengar nama itu disebut-sebut tiba-tiba berkata, “Kiai, apakah Kiai Gringsing yang melihat perpecahan di antara kita tidak akan menggagalkan rencana ini.”

“Tidak ada waktu baginya untuk membuat penilaian atas peristiwa ini. Meskipun ia mungkin telah menceritakannya kepada Untara dan Widura, namun gambaran mereka pasti tidak akan terlampau jelas menghadapi peristiwa yang tiba-tiba ini.”

Sanakeling tidak bertanya lagi. Namun debar jantungnya terasa menjadi semakin cepat. Waktu yang ditunggu-tunggunya seakan-akan merambat terlampau malas.

Sebelum malam terlampau dalam, mereka telah meninggalkan padepokan Ki Tambak Wedi. Berjalan memintas sekelompok demi sekelompok menuju ke Sangkal Putung. Jarak yang mereka tempuh kini tidak sekedar beberapa bulak, tetapi perjalanan mereka memerlukan waktu lebih dari setengah malam. Mereka menuruni lereng Merapi dan secepatnja menuju Sangkal Putung lalu melingkar dari arah Timur. Mereka mengharap, bahwa mereka akan sampai ke tempat tujuan tidak terlampau jauh lewat tengah malam. Setelah beristirahat sejenak, mereka harus mulai menyiapkan diri. Apabila fajar nanti pecah, mereka harus sudah menyusup ke dalam lingkungan Kademangan Sangkal Putung yang kaya raya. Satu dua rumah yang tidak berarti serta lumbung-lumbung kecil telah cukup untuk meluapkan kemarahan orang-orang Pajang dan Sangkal Putung.

Di sepanjang jalan, mereka hampir tidak mempercakapkan sesuatu. Paling depan berjalan Ki Tambak Wedi dengan menengadahkan kapalanya, seakan-akan sibuk menghitung bintang yang bergayutan di langit. Di belakangnya berjalan Sidanti dengan senjata ciri perguruan Tambak Wedi di tangannya. Senjata yang baru diterimanya dari gurunya, sebagai ganti senjatanya yang tertinggal di Sangkal Putung. Meskipun demikian, karena selama ini ia selalu mempergunakan pedang, maka di lambungnya pun tergantung sebilah pedang panjang. Kini Sidanti telah membiasakan diri bertempur dengan senjata rangkap. Di tangan kanannya sebilah pedang dan tangan kirinya senjata yang mengerikan.

Di samping Sidanti, Sanakeling berjalan sambil menundukkan kepalanya. Ia masih mereka-reka apa yang sebaiknya dilakukan apabila orang-orang Jipang yang dianggapnya berkhianat itu telah musnah. Setelah beberapa lama ia tinggal di padepokan Ki Tambak Wedi, terasa bahwa kekuasaan Ki Tambak Wedi atas dirinya, dan atas anak buahnya justru melampaui kekuasaan Tohpati. Apa yang dikatakan harus terjadi, meskipun kadang-kadang orang tua itu mau juga mempertimbangkan pendapatnya, apabila terasa manfaatnya. Tetapi banyak hal-hal yang harus ditelannya saja tanpa mendengar pertimbangannya tentang bermacam-macam persoalan meskipun sampai kini masih terbatas pada persoalan-persoalan kecil.

Seakan-akan bagi Ki Tambak Wedi, sudah seharusnya dan sudah semestinya memperlakukan Sanakeling seperti Sidanti. Bahkan dalam beberapa hal Sidanti masih dianggapnya lebih penting dari padanya.

Sanakeling menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia masih ingin bertahan dalam keadaannya kini, sampai ia yakin benar-benar apa yang sebaiknya dilakukan.

Di belakang Sanakeling berjalan Alap-alap Jalatunda. Alap-alap yang masih terlampau muda untuk kehilangan masa depannya. Masa depan yang masih cukup panjang baginya. Namun masa depan itu seakan-akan telah tertutup rapat oleh kabut yang hitam kelam. Sejak ia terperosok dalam kehidupan petualangan itu, ia sendiri seolah-olah sudah tidak mempunyai gairah untuk hidup dalam keadaan yang lebih baik. Seolah-olah ia sudah mantap hidup dalam dunianya yang kotor seperti sekarang. Namun hal itu disebabkan karena ia sendiri tidak pernah mendengar berita, pemberitahuan atau semacam itu tentang dunia yang lebih baik baginya. Tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat ditempuhnya. Ketika sekali ia mendengar beberapa hal yang cukup menarik perhatiannya, ia tidak sempat mencernakannya. Pertentangan kata-kata antara Sanakeling dan Sumangkar, kemudian kehadiran Ki Tambak Wedi dan Kiai Gringsing, sebenarnya menyentuh hatinya. Tetapi kesempatan yang kecil itu telah dikaburkan oleh perasaan harga diri, kejantanan dan keinginan untuk lepas bebas tanpa ikatan seperti burung alap-alap di udara. Namun seandainya, ya seandainya berita tentang keselamatan rohaniah itu didengarnya berulang kali, maka ia akan dapat menemukannya.

Kini, mereka dalam kelompok-kelompok kecil dari lima sampai sepuluh orang berjalan dalam jarak yang tidak begitu jauh. Mereka semua yang berjumlah lima puluh orang itu berjalan seperti hantu yang menyebarkan bala dan bencana. Mereka mengharap untuk segera bersiap di sebelah Timur Sangkal Putung. Setelah beristirahat sejenak, selagi masih cukup waktu, mereka segera akan memasuki padesan-padesan kecil di bagian Timur kademangan itu. Mereka sudah tentu tidak akan melewati jalan-jalan induk, supaya mereka tidak segera diketahui oleh para peronda. Namun Sanakeling sendiri harus dapat menguasai salah sebuah gardu, untuk kemudian setelah mereka memasuki desa itu, membunyikan tanda bahaya justru sebagai tanda bagi orang-orangnya untuk mulai dengan tugas mereka. Membakar dan membinasakan apa saja yang mereka jumpai.

Tugas itu seolah-olah terpateri di dalam setiap kepala orang-orang Jipang itu. Sekali-kali mereka tersenyum sendiri. Mereka sudah membayangkan peristiwa yang mengerikan akan terjadi berikutnya. Tetapi ada pula yang menjadi ragu-ragu. Satu dua di antara mereka, merasa kurang mapan apabila kawan-kawannya yang berbeda pendirian itu akan terbinasakan. Namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa.

Perjalanan itu sendiri berlangsung tanpa gangguan apapun. Lewat sedikit tengah malam mereka benar-benar telah sampai di sebelah Timur Sangkal Putung dan segera mereka bertebaran di tegalan sambil duduk beristirahat, menunggui saat-saat yang sebaik-baiknya untuk melakukan gerakan. Mereka tidak boleh terlambat, tetapi mereka tidak boleh pula terlampau cepat, agar orang-orang Pajang dan Sangkal Putung tidak sempat dan tidak punya waktu untuk mengurai peristiwa itu dan menemukan jawaban yang tepat tentang keadaan sebenarnya.

Di tegalan itu sebagian dari mereka masih juga sempat bertiduran di atas rumput-rumput kering. Mereka sama sekali tidak menghiraukan embun yang membasahi pakaian mereka. Setelah berjalan sekian lama, mereka benar-benar ingin beristirahat.

Sisa-sisa malam itu pun merayap perlahan-lahan. Bintang-bintang di langit berkisar dari tempatnya lambat sekali, seperti anak-anak yang malas berjongkok pagi-pagi di halaman. Segan untuk bangkit dan berjalan.

Tetapi Betapapun lambatnya, akhirnya mereka mendengar di kejauhan ayam jantan berkokok bersahutan. Di ujung Timur segera membayang semburat warna-warna merah.

Ki Tambak Wedi bangkit dan berdiri tegak, bertolak pinggang. Perlahan-lahan ia berkata kepada Sanakeling, “Hari ini adalah permulaan dari sebuah perjuangan yang berat. Kalau orang-orang Jipang yang berkhianat itu berhasil dihancurkan, maka kita akan langsung berhadapan dengan Pajang untuk seterusnya. Nah, kita harus memperkuat diri. Sidanti sedang menghimpun orang-orang di sekitar padepokan Tambak Wedi. Sebab Tambak Wedi memiliki pengaruh melampaui pengaruh Pajang sendiri di lereng Gunung Merapi.”

Sanakeling tidak menjawab. Tetapi ia pun berdiri pula. Ditatapnya wajah langit di sebelah timur. Kemudian ditebarkan pandangan matanya berkeliling, beredar di antara orang-orangnya yang bertebaran. Timbul pertanyaan di dalam hatinya, “Manakah yang lebih penting dalam pekerjaan ini. Ki Tambak Wedi berdua dengan Sidanti atau Sanakeling dengan anak buahnya?”

Tetapi dibiarkannya pertanyaan itu tidak berjawab.

Ketika warna-warna merah di langit menjadi semakin terang, maka berkatalah Ki Tambak Wedi kepada Sanakeling, “Saatnya hampir tiba Sanakeling. Siapkan orang-orangmu.”

Sanakeling mengangguk. Kemudian ia berjalan di antara anak buahnya sambil berkata, “Kita segera melakukan pekerjaan kita. Bersiaplah.”

Dengan malasnya orang-orangnya bangkit. Satu dua segera berdiri sambil membenahi pakaiannya. Menguatkan ikat pinggang mereka, tempat pedang-pedang mereka bergayutan. Namun ada juga satu dua yang masih saja duduk sambil menguap.

“Kembali dalam kelompok-kelompok yang sudah ditentukan,” perintah Sanakeling.

Orang-orang Jipang itu pun segera berkumpul di antara mereka menurut ketentuan yang telah mereka buat. Kelompok-kelompok kecil yang akan segera menyusup ke Sangkal Putung.

Tetapi tiba-tiba mereka terkejut ketika di kejauhan terdengar derap beberapa ekor kuda laju seperti anak panah. Semakin lama menjadi semakin dekat. Namun karena sisa-sisa gelap malam. mereka tidak segera melihat siapakah yang berkuda di pagi-pagi buta itu.

Ki tambak Wedi, Sanakeling dan Sidanti serentak menengadahkan wajah mereka. Dengan penuh perhatian mereka mendengarkan derap kuda yang semakin lama menjadi semakin dekat.

“Tidak terlampau banyak,” gumam Ki Tambak Wedi.

“Ya,” sahut Sidanti. “Tidak sampai sepuluh ekor.”

“Lima atau enam,” desis Sanakeling.

Ki tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Dugaan Sanakeling mendekati kebenaran. Aku menyangka seperti hitungan Sanakeling itu pula.”

Sesaat mereka terdiam. Suara derap itu semakin dekat.

“Siapakah mereka guru?” Bertanya Sidanti.

“Tentu aku tidak tahu,” Jawab ki Tambak Wedi.

“Tetapi aku kira mereka adalah orang-orang Pajang.”

“Apakah yang akan mereka lakukan?”

“Tidak tahu, apa kau sangka orang-orang Pajang mengatakan kepadaku apa yang akan dilakukan?” Sahut Tambak Wedi jengkel.

Sidanti terdiam. Namun getar di dadanya menjadi kian cepat dan keras seperti suara derap kuda yang semakin cepat dan keras menghentak telinganya.

Karena itu tiba-tiba ia berkata, “Kalau benar orang-orang itu orang Pajang, biarlah aku mencoba mencegatnya. Mereka harus dibinasakan sebelum kami membakar rumah-rumah orang Sangkal Putung.”

“Jangan,” Potong Ki Tambak Wedi. “Hal itu akan dapat mengganggu pekerjaan kita. Kalau mereka peronda-peronda keliling, maka kelambatan mereka akan menimbulkan kecurigaan. Mungkin kawan-kawannya akan mencari dan penjagaan akan menjadi bertambah kuat. Biarlah mereka lewat.”

“Bukankah pembunuhan itu akan berakibat sama seperti apabila kita membakar rumah-rumah mereka?”

“Apakah kalau kita membakar rumah-rumah mereka dan kemudian bertempur melawan mereka, mereka tidak akan mengenal kita?”

“Itulah sebabnya, kalian harus segera melarikan diri sebelum terjadi pertempuran. Supaya mereka tidak sempat mengenal kita. Seandainya terpaksa mereka mengenal, mereka tidak cukup punya waktu untuk memperbincangkan. Kiai Gringsing tidak mempunyai kesempatan untuk sesorah dan mengatakan bahwa Sanakeling dan Sumangkar mempunyai pendirian yang berbeda. Mereka pasti menyangka, bahwa semuanya telah direncanakan oleh orang-orang Jipang. Sebagian pura-pura menyerah, sebagian menye-rang ketika orang-orang Pajang sedang lengah. Yang pura-pura menyerah itu pun kemudian pasti akan menyerang pula.”

“Selisih waktu itu tidak seberapa.”

“Yang tidak seberapa itu penting dalam peperangan. Tetapi selisih waktu itu cukup panjang. Ingat, sekarang hari masih gelap. Kita harus mulai dengan gerakan kita masuk ke padesan. Kita masih harus bersembunyi, kemudian Sanakeling merebut salah sebuah gardu, dan kita mendengar tanda bahaya. Pada saat itu, kita membakar rumah-rumah itu. Baru sejenak kemudian datang orang-orang Pajang dan kita lari. Mereka mengejar kita beberapa lama, sampai kita menghilang di rumpun-rum pun bambu liar itu, saat itu harus sudah mendekati tengah hari. Saat itu kita mengharap orang-orang Jipang sudah di perjalanan dan dekat ke desa Benda. Kau tahu akibatnya, Untara tidak sempat berpikir dan mengendalikan anak buahnya. Kalau cukup waktu baginya, maka ia akan datang menjemput orang-orang Jipang itu setelah ia menenangkan anak buahnya atas jaminan Kiai Gringsing.”

Sidanti tidak menjawab. Tetapi ia mematuhi perintah gurunya. seperti juga Sanakeling harus mematuhinya.

“Perintahkan orang-orangmu bersembunyi,” berkata Ki Tambak Wedi kepada Sanakeling.

Sanakeling pun segera melakukan perintah itu. Orang-orangnya pun segera diperintahkan berlindung di balik dedaunan. Bahkan beberapa orang dengan enaknya berbaring-baring di atas rerumputan.

Kata mereka di dalam hati, “Dalam gelap ini, mereka pasti tidak akan melihat kami, asalkan kami tidak bergerak-gerak.”

Sesaat kemudian derap kuda itu pun telah dekat benar. Mereka segera melihat samar-samar di jalan di pinggir tegalan itu, berpacu lima ekor kuda. Orang-orang berkuda itu sama sekali tidak menghiraukan apa yang sedang terjadi di tegalan itu. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa lima puluh pasang mata memandangi mereka dengan nyala kebencian di dalam hati mereka.

Ketika kuda itu telah lewat, segera Sidanti berdiri sambil bergumam, “Salah seorang adalah Sonya. Ingin aku mematahkan lehernya dan menyobek mulutnya. Ia adalah salah seorang penghubung yang dekat dengan paman Widura.”

Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia berkata perlahan-lahan seperti kepada diri sendiri, “Mereka tidak sedang meronda.”

Sidanti memandang gurunya dengan tajamnya. Katanya, “Ya, mereka agaknya tidak sedang meronda. Kalau guru tidak mencegah, mereka dapat kami tangkap dan kami paksa untuk mengatakan, untuk apa mereka berpacu di pagi-pagi buta ini.”

Ki Tambak Wedi tidak menjawab. Pendapat itu baik juga, tetapi sudah terlanjur. Kelima orang berkuda itu sudah terlampau jauh.

Karena itu kemudian Ki Tambak Wedi itu berkata, “Sekarang siapkan diri masing-masing, kita mulai bergerak. Kita harus masuk ke desa terdekat sebelum matahari naik. Jaga supaya tidak seorang pun melihat kita masing-masing. Bersembunyilah di dalam rumpun-rum pun bambu atau di tengah-tengah kebun-kebun yang luas, di antara tanaman-tanaman liar yang rimbun, jangan tergesa-gesa berbuat sesuatu sebelum kalian mendengar tanda bahaya, supaya kalian dapat berbuat serentak.”

Orang-orang Jipang itu pun segera berkelompok-kelompok. Mereka telah siap melakukan tugas mereka sebaik-baiknya.

Sesaat kemudian maka mereka telah berada di jalan yang dilewati oleh Sonya dan keempat kawannya. Orang-orang itu pun memandangi ke segala arah, kalau-kalau ada sesuatu yang akan mengganggu tugas mereka. Tetapi yang mereka lihat adalah sisa-sisa malam yang hitam. Meskipun di langit sudah membayang warna-warna merah, namun warna-warna yang kelam masih mentabiri pandangan mata mereka.

Ki Tambak Wedi yang juga sudah berdiri di tengah jalan berkata, “Kita mendekati Sangkal Putung lewat jalan ini. Tetapi kemudian apabila kita sudah mendekati desa di ujung bulak itu, kita akan berpencaran. Kita akan mencari jalan kita sendiri-sendiri untuk memasuki desa itu. Ingat segala perintah yang sudah kau dengar baserta segala petunjuknya. Siapa yang menyalahi perintah itu akan menerima hukumannya”

Yang mendengar kata-kata Ki tambak Wedi itu mengerutkan keningnya. Tohpati tidak pernah memberi mereka ancaman seperti Ki Tambak Wedi. Namun mereka tidak sempat untuk memikirkannya. Sebab Ki Tambak Wedi kemudian berkata, “Kita akan segera berangkat.”

Ki Tambak Wedi itu pun kemudian segera berjalan mendahului orang-orangnya. Di sampingnya berjalan Sidanti. Sanakeling berjalan bersama dengan kelompoknya yang terdiri dari enam orang. Mereka harus langsung menuju ke gardu di ujung jalan yang memasuki desa di hadapan mereka, setelah kawan-kawannya berbasil menyusup ke dalam desa itu. Begitu tiba-tiba supaya orang-orang di gardu itu tidak sempat memukul tanda bahaya. Orang-orangnyalah yang nanti setelah datang saatnya harus membunyikan tanda itu. Sedang para peronda di dalam gardu itu harus dimusnahkan.

Orang-orang yang lain, berjalan dalam kelompoknya masing-masing, lima atau enam orang. Di antaranya adalah kelompok yang dipimpin langsung oleh Alap-alap Jalatunda.

Ki Tambak Wedi dan orang-orang Jipang itu pun kemudian berjalan mendekati Sangkal Putung. Sesaat kemudian mereka telah berada di tengah-tengah bulak persawahan. Tetapi karena hari malam cukup gelap, mereka tidak takut seandainya ada orang-orang Sangkal Putung yang melihat mereka. Baru setelah nanti mereka mendekati desa yang terbentang di hadapan mereka, maka mereka akan berpencaran dan sambil merunduk-runduk berjalan di antara batang-batang jagung di sawah mendekati desa itu.


Demikianlah tanpa berbicara sepatah kata pun mereka berjalan. Di ujung depan adalah Ki Tambak Wedi sendiri, sedang di ujung belakang adalah Sanakeling dan kelima kawan-kawannya.

Langit yang merah menjadi semakin merah. Ketika Ki Tambak Wedi menengadahkan wajahnya, ternyata fajar telah hampir pecah. Karena itu maka ia bergumam, “Kita hampir terlambat. Percepat perjalanan yang pendek ini.”

Perintah itu meloncat dari kelompok ke kelompok di belakangnya, sehingga akhirnya sampai juga ke telinga Sanakeling. Sehingga iring-iringan itu pun kemudian maju lebih cepat dari sebelumnya.

Tetapi tiba-tiba salah seorang di dalam kelompok Sanakeling dengan serta merta menggamitnya sambil berkata, “Kakang Sanakeling. Lihatlah, di belakang kita ada obor berjalan searah dengan perjalanan kita.”

Sanakeling pun segera berpaling. Dan seperti yang dikatakan oleh orangnya itu, di belakang mereka tampak beberapa buah obor yang berjalan menuju ke Sangkal Putung pula. Karena itu, maka langkahnya tertegun. Sambil bertolak pinggang ia berkata, “Siapakah mereka itu?”

Tak seorang pun yang menyahut.

“Hanya empat buah obor,” desisnya kemudian.

“Ya, empat buah obor,” sahut salah seorang anak buah.

“Tetapi tidak berarti bahwa yang berjalan itu hanya empat orang,” berkata Sanakeling kemudian.

“Ya,” sahut kawan-kawannya hampir serentak.

“Beritahukan Ki Tambak Wedi,” berkata Sanakeling kemudian. la menjadi heran sendiri terhadap dirinya. Tanpa dikehendakinya ia telah menempatkan diri di bawah pimpinan orang tua itu. Kini ia tidak dapat mengambil keputusan sendiri, meskipun ialah sebenarnya pemimpin dari orang-orang Jipang itu.

Orang yang diperintahkan itu pun segera berlari-lari mendahului kawan-kawannya. Ketika kawan-kawannya itu bertanya maka dijawabnya, “Ki Tambak Wedi harus tahu, di belakang kami ada obor.”

Serentak orang-orang itu pun berpaling. Dan segera mereka pun melihat pula obor-obor itu. Hanya empat buah.

Ketika Ki Tambak Wedi mendengar laporan itu, maka segera ia pun berhenti. Bahkan kemudian ia berjalan kembali, menemui Sanakeling yang berada di ujung belakang. Katanya, “Sejak kapan kalian melihat obor-obor itu?”

“Baru saja Kiai.”

Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Gumamnya, “Mereka pasti baru saja muncul dari balik tikungan. Ya, di sebelah itu ada tikungan. Di sebelah timur tegalan tempat kita beristirahat.”

Yang mendengar kata-kata itu pun mengangguk-anggukkan kepala mereka. Iring-iringan itu pun kini telah berhenti. Bahkan beberapa orang telah berjalan kembali dan berdiri di sekitar Ki Tambak Wedi dan Sanakeling.

Tiba-tiba Ki Tambak Wedi itu berkata, “Obor itu terlampau tinggi dan terlampau cepat bagi orang yang berjalan kaki.”

“Ya,” sahut Sanakeling serta merta. Katanya pula, “Empat orang itu pasti berkuda, tetapi perlahan-lahan, sehingga derapnya belum kita dengar.”

Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Bahkan kemudian mereka melihat keempat obor itu berhenti, meskipun masih juga bergerak-gerak tetapi tidak maju lagi ke arah mereka.

Terdengar Ki Tambak Wedi menggeram. Apalagi ternyata kemudian bahwa langit telah menjadi semakin cerah. Obor-obor itu terasa sangat mengganggu perasaan orang tua itu.

Tetapi Ki Tambak Wedi tidak segera dapat mengambil suatu sikap. Orang-orang yang membawa obor itu telah menimbulkan persoalan baru yang tidak disangka-sangka. Apabila mereka bersembunyi di balik-balik pematang, mungkin orang-orang itu tidak akan melihat mereka, tetapi dengan demikian hari akan menjadi semakin terang. Mereka akan menemukan banyak kesulitan untuk menerobos masuk ke dalam padesan tanpa diketahui.

Orang-orang Jipang yang berdiri mengerumuni Ki Tambak Wedi itu pun menjadi gelisah pula. Mereka menunggu apa yang harus mereka lakukan menghadapi keadaan yang tiba-tiba itu.

Sekali Ki Tambak Wedi berpaling, melihat bayangan padesan di ujung bulak itu yang semakin lama menjadi semakin jelas, sejalan dengan hatinya yang semakin gelisah.

Tiba-tiba orang tua itu menggeram, katanya, “Kita belum tahu berapa jumlah mereka kecuali yang membawa obor itu.”

Sanakeling mengangguk-anggukkan kepalanya, gumamnya, “Kita dihadapkan pada keadaan yang sulit.”

Dada Sanakeling berdesir mendengar kata-kata itu, sehingga akalnya yang terlampau pendek menjadi bingung menghadapi keadaan. Dengan serta merta ia melanjutkan, “Apakah Kiai segera dapat menemukan cara yang sebaik-baiknya tanpa kebingungan.”

Ki Tambak Wedi menggeram. Tetapi segera ia berusaha menahan perasaaannya. Keadaan yang dihadapi benar-benar sulit.

Kini obor-obor itu mulai bergerak lagi maju mendekati Sangkal Putung. Tetapi sejenak kemudian, maka obor-obor itu pun dipadamkan.

Kembali Tambak Wedi menggeram. Kini mereka telah dapat melihat ujung-ujung kaki sendiri di atas tanah yang kehitam-hitaman. Sedang di langit cahaya yang terang menjadi semakin terang.

“Gila,” Ki Tambak Wedi itu mengumpat. Tiba-tiba ia berteriak, “Kita masuk ke Sangkal Putung dengan tiba-tiba. Tidak dengan sembunyi-sembunyi. Kita langsung menyerang gardu peronda. Biarlah mereka membunyikan tanda bahaya. Yang lain membakar rumah. Dengan demikian kita tidak lagi tergesa-gesa meskipun kemudian hari menjadi terang. Sekarang kita bersembunyi. Cepat, aku sudah mendengar derap kuda. Terlampau banyak, tidak hanya lima atau enam ekor. Kalau jumlah mereka tidak melampaui jumlah kita, kita akan menyergapnya. Orang-orang itu pasti orang Pajang yang datang, langsung dari kota untuk menyaksikan penyerahan orang-orang Jipang. Sonya dan kawan-kawannya tadi pasti menyongsong orang itu. Kita akan melihat siapakah yang menjadi wakil penglima Wira Tamtama. Bahkan seandainya Pemanahan sendiri datang, aku akan melawannya. la bagiku sama sekali tidak berarti. Sedang di dalam pasukan kita kini ada senapati-senapati terpilih. Sanakeling, Alap-alap Jalatunda, dan Sidanti di samping pemimpin-pemimpin kelompok dan para prajurit terpilih. Pajang tidak akan membawa senapati sebanyak itu. Nah, sekarang cepat bersembunyi di balik-balik pematang. Kalau tiba saatnya aku akan memberikan tanda. Kalau kalian mendengar tanda, maka berarti kalian harus menyerang orang-orang Pajang itu. Jangan ada yang sempat lolos.”

Orang-orang Jipang itu mendengar perintah Ki Tambak Wedi dengan jelas. Sebagai prajurit, perintah itu pun segera dapat mereka mengerti. Dengan demikian, maka segera mereka menghambur terjun ke dalam sawah-sawah dan parit-parit untuk bersembunyi di balik tanam-tanaman jagung dan di balik pematang-pematang.

Tetapi derap kuda yang mendatang ternyata terlampau cepat. Dari dalam gelap yang semakin menipis mereka melihat serombongan orang-orang berkuda, meskipun tidak berpacu, tetapi cukup cepat mendekati Sangkal Putung. Seandainya fajar tidak segera pecah di Timur, maka orang berkuda itu tidak akan dapat melihat beberapa orang yang terakhir dari orang-orang Jipang itu meloncat masuk ke dalam rimbunnya batang-batang jagung muda. Tetapi hari menjadi semakin terang. Meskipun jarak mereka belum terlampau dekat, namun orang-orang berkuda itu sempat melihat apa yang terjadi di tengah-tengah bulak itu.

Seorang yang berada di ujung segera mengangkat tangannya. Serentak mereka yang berada di dalam iring-iringan orang berkuda itu memperlambat jalan kuda mereka. Tetapi sesaat kemudian mereka telah tidak melihat apa-apa lagi. Di tengah-tengah bulak itu telah menjadi sepi. Namun kesan yang mereka peroleh adalah, ada sesuatu yang mencurigakan. Mereka melihat beberapa orang yang terakhir dari kelima puluh orang Jipang itu bersembunyi.

Tetapi seorang yang sudah setengah umur, yang berada di atas punggung kuda yang kehitam-hitaman berkata dengan tenang, “Kita berjalan terus.”

Orang yang di ujung barisan itu mengangguk tanpa menjawab sepatah katapun. Kembali kuda itu berjalan agak cepat.

Orang setengah umur yang berada di belakang orang di ujung barisan itu berkata pula, “Di mana penghubung yang dikirim Untara?”

Sonya dan keempat kawannya segera mendesak maju, mendekati orang setengah umur itu.

“Pergilah lebih dahulu berdua. Sampaikan kepada Untara bahwa sebentar lagi aku akan memasuki Sangkal Putung.”

Sonya mengangguk dalam-dalam. Kemudian bersama seorang kawannya ia berpacu mendahului rombongan itu.

Ki Tambak Wedi yang bersembunyi di dalam rimbunnya batang-batang jagung muda melihat dua ekor kuda mendahului kawan-kawannya. Kembali ia menjadi bimbang. Apakah yang akan dilakukan atas kedua orang berkuda itu? Apakah kedua orang itu telah melihat kehadiran mereka, kemudian melaporkan kepada Untara dan Widura?

Dalam sekejap Ki Tambak Wedi yang mengintip dari balik tanggul parit membuat perhitungan. Ketika ia yakin bahwa orang berkuda yang sudah nampak semakin jelas dari balik tanggul parit itu, tidak lebih dari duapuluh lima orang, tiba-tiba ia berdiri tegak. Kepalanya ternyata masih melampui tinggi batang-batang jagung itu, sehingga dengan demikian Ki Tambak Wedi menjadi yakin, bahwa yang dihadapinya hanya separo dari kekuatannya. Karena itu tiba-tiba ia berteriak, “Hentikan kedua orang Itu.”

Sonya dan seorang temannya terkejut bukan kepalang. Ketika tiba-tiba mereka melihat sebuah kepala muncul dari dalam batang-batang jagung muda. Tetapi jarak mereka telah terlampau dekat sehingga tidak ada kesempatan lagi untuk menghindar.

Belum lagi mereka dapat menguasai keadaan, tiba-tiba beberapa orang lagi berloncatan dari balik batang-batang jagung, dari balik pematang dan tanggul-tanggul parit.

Sesaat Sonya dan kawannya menjadi bingung. Tetapi sesaat kemudian Sonya berbisik, “Kembali dan laporkan, aku akan terus melaporkannya ke Sangkal Putung.”

Sonya tidak menunggu Iebih lama lagi. Segera ia menarik kekang kudanya, menyentuh perut kuda itu dengan tumitnya dan kemudian kuda itu meloncat dengan garangnya, berpacu lagi ke Sangkal Putung.

Beberapa orang Jipang telah hampir mencapai jalan tempat kuda itu berlari. Tetapi kuda itu berjalan terlampau cepat, sehingga Ki Tambak Wedi yang berdiri tegak di pinggir parit induk yang agak lebar berteriak, “Cepat! Jangan seperti keong yang malas.”

Orang-orang Jipang itu berloncatan. Sidanti yang menyimpan kebencian di dalam dadanya pun berusaha secepatnya sampai ke jalan. Tetapi Sonya pun berusaha untuk mendahului orang-orang yang mencegatnya.

Tak seorang pun yang menghiraukan kawan Sonya yang memacu kudanya kembali ke iring-iringan yang sudah semakin dekat. Yang penting bagi mereka adalah, Sonya tidak boleh lolos, supaya orang-orang Sangkal Putung tidak segera mengetahui apa yang telah terjadi. Tetapi Sonya pun tidak mau jalannya terhenti. la harus dapat melampaui orang-orang itu, apa pun yang terjadi atas dirinya. Karena itu ia sama sekali tidak menghiraukan ketika beberapa ujung pedang seakan-akan menyongsongnya. Tetapi ia mengharap bahwa kudanya mampu meloncat melampaui kecepatan loncatan orang-orang yang kini sudah berada di sisi parit di tepi jalan.

Tetapi Sonya terlambat sekejap. Ketika kudanya melampaui orang-orang Jipang itu, salah seorang dari mereka telah sempat meloncat sampai ke tepi jalan. Dengan garangnya orang itu berteriak sambil mengayunkan pedangnya ke arah lambung Sonya. Sonya melihat ujung pedang yang menyambarnya. la adalah seorang penghubung yang terlatih, sehingga dengan demikian ia pun adalah seorang penunggang kuda yang baik. Dengan sigapnya ia menjatuhkan dirinya dan bergayut di punggung kudanya pada sisi yang lain dari arah pedang itu. Usahanya itu pun ternyata menolongnya pula, namun tidak seluruhnya. Pedang itu masih juga sempat menyobek pahanya sehingga sebuah luka jang panjang tergores melintang. Sonya mengaduh pendek. Namun kudanya berlari terus.

“Gila!” teriak Ki Tambak Wedi dengan marahnya ketika ia melihat bahwa Sonya itu tidak dapat dihentikannya. Dengan serta merta ia mengambil selingkar gelang besi dari dalam bajunya siap untuk dilemparkannya ke arah kuda Sonya. Tetapi tiba-tiba ia terkejut ketika ia mendengar suara dari dalam iring-iringan itu. Tenang namun penuh wibawa, “Bukankah kau ini yang bernama Ki tambak Wedi, seorang sakti yang namanya ditakuti oleh seluruh rakyat di lereng Gunung Merapi?”

Suara itu sesaat mempengaruhi kepala Ki Tambak Wedi. Tetapi ia tidak mau kehilangan Sonya, karena itu maka segera ia teringat kembali kepada suatu keharusan membinasakan penghubung itu. Dengan gigi gemeretak didorong oleh kemarahan yang meluap-luap, Ki tambak Wedi melemparkan sebuah gelang-gelang besinya mengejar laju kuda Sonya. Namun waktu yang sekejap, pada saat Ki Tambak Wedi dikejutkan oleh sebuah panggilan atas namanya, ternyata telah menolong penghubung itu. Sekali lagi ia berhasil melepaskan diri dari kebinasaan akibat gelang-gelang besi itu. Meskipun gelang-gelang tidak dapat dihindari sepenuhnya, namun sentuhannya sudah tidak terlampau berbahaya baginya. Meskipun demikian, ketika gelang-gelang itu menyinggung bahunya, terasa nafasnya seolah-olah tersumbat. Pedih di pahanya dan sakit yang menyengat di bahunya, hampir-hampir telah membunuhnya. Kalau ia terpelanting dari kudanya yang seakan-akan sedang terbang, maka akan tamatlah ceritera tentang dirinya.

Beruntunglah bahwa Sonya masih tetap sadar. Betapa nafasnya sesak dan batapa kakinya serasa disayat-sayat, namun ia tetap berada di punggung kuda yang berpacu seperti dikejar hantu.

Ki Tambak Wedi mengumpat tak habis-habisnya. Sidanti yang terlambat pun menghentakkan kakinya berkali-kali, sedang Sanakeling menggerem seperti kerasukan setan. Namun Sonya telah semakin jauh.

Yang menjadi semakin dekat adalah iring-iringan orang-orang berkuda itu. Kini benar-benar telah terlampau dekat. Tetapi iring-iringan itu pun telah berhenti. Mereka tidak dapat terus melampaui orang-orang Jipang yang kini seluruhnya telah berdiri berderat-deret di tengah dan di tepi-tepi jalan.

“Kepung mereka!” perintah Ki Tambak Wedi. Perintah itu tidak perlu diulangi. Orang-orang Jipang itu segera bertebaran mengepung orang-orang yang berada di atas punggung kuda itu.

Sekilas Ki Tambak Wedi dapat melihat, bahwa orang-orang itu benar-benar tidak lebih dari duapuluh lima orang. Namun meskipun demikian hati orang tua itu agak menjadi berdebar-debar juga. Mereka adalah prajurit-prajurit Wira Tamtama dari Pajang.

Ki Tambak Wedi yang benar-benar telah dibakar oleh kemarahannya itu tiba-tiba berkata lantang, “He orang-orang Pajang yang bernasib jelek. Karena seorang daripada kalian telah lolos dari tangan kami, maka kami akan dapat membayangkan akibatnya. Orang itu pasti akan menyampaikan kehadiran kami kepada Untara. Karena itu, maka kami harus berbuat secepat-cepatnya. Serahkan senjata dan kuda kalian, kami tidak akan mengganggu lagi.”

“Maaf Ki Tambak Wedi,” sahut seorang setengah umur di antara yang lain. “Kami masih memerlukan senjata dan kuda-kuda kami.”

Orang yang berbicara itu pun kemudian mendesak maju, mendorong kudanya untuk tampil di paling depan.

Sementara itu hari telah benar-benar menjadi terang. Matahari telah memancar dari balik punggung bukit. Meskipun kabut pagi masih agak tebal, namun semua wajah kini telah menjadi semakin jelas.

Wajah orang berkuda yang kini berada di paling depan itu pun kemudian menjadi jelas pula oleh Ki Tambak Wedi. Meskipun ia telah menyebut nama orang itu, dan sedikit banyak menduga bahwa orang itu akan datang di Sangkal Putung, namun kebenaran dari dugaannya itu masih juga mengejutkannya. Sehingga tanpa sesadarnya ia berkata, “Kau datang juga?”

“Ya,” sahut orang setengah umur itu. “Peristiwa penyerahan sebagian besar orang-orang Jipang itu adalah peristiwa besar bagi Pajang. Karena itu aku memerlukan menghadirinya. Mudah-mudahan setelah peristiwa ini, Pajang akan menjadi aman tenteram dari segala gangguan.”

Ki Tambak Wedi tertawa pendek. Nadanya benar-benar menyakitkan hati, katanya, “Ternyata kau kini seperti seekor ikan di dalam wuwu. Betapa besar namamu, namun nyawamu tidak juga seliat nyawa demit. Kau sangka bahwa kau tidak dapat mati seperti ceritera tentang perguruan Kedung Jati yang mampu menyimpan nyawa rangkap, hai anak Sela.”

“Aku tidak percaya ceritera itu,” sahut orang berkuda itu karena itu. “Maka aku pun tidak mengatakan demikian tentang diriku.”

“Persetan!” teriak Ki Tambak Wedi. “Sayang aku tidak mengenalmu sejak tadi karena kabut yang tebal dan karena kau tertutup oleh orang-orangmu yang berkuda sebagai perisaimu.”

“Aku mengenalmu sejak aku mendengar suaramu. Kau masih saja berteriak-teriak seperti dahulu dan kau masih juga bermain-main dengan gelang-gelang itu.”

Ki Tambak Wedi menggeram sekali lagi. Kemudian katanya sambil mengancam, “Jangan melawan. Orang-orangmu hanya kurang dari separo orang-orangku. Betapa saktinya kau, namun kau tidak akan dapat berbuat apa-apa. Serahkan senjata dan kudamu. Kau akan selamat.”

Orang itu tersenyum. Jawabnya, “Ki Tambak Wedi, kau belum pernah menjadi seorang prajurit. Mungkin nilai sebatang tombak atau sehelai pedang bagimu, tidaklah begitu besar seperti kami para prajurit menilainya.”

“Betapa besar nilai senjatamu, namun nyawamu pasti lebih bernilai dari padanya.”

Kembali orang itu tertawa. Bahkan semakin keras. Jawabnya, “Jangan berpura-pura tidak tahu bahwa aku dan orang-orangku tidak akan menerima permintaan itu. Bahkan aku ingin tahu, kenapa kau menghalang-halangi penyerahan ini?”

“Itu bukan urusanku. Itu adalah urusan orang-orang Jipang dan orang-orang Pajang. Sekarang yang penting bagiku menyerahlah.”

“Kenapa kau terlalu tergesa-gesa? Marilah kita berbicara. Mungkin ada hal-hal yang dapat kau mengerti atau sebaliknya, yang selama ini terasa bersimpang siur. Misalnya tentang muridmu, Sidanti. Kenapa ia terlampau tergesa-gesa untuk menjadi Iurah Wira Tamtama? Kalau ia tekun, pasti ia akan sampai ke jabatan itu.”

“Hem, kau licik. Kau mencoba memperpanjang waktu, supaya kau sempat menunggu Untara dan Widura yang akan datang menolongmu.”

Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil tersenyum ia berkata, “Kau memang cerdas Ki tambak Wedi. Tetapi jangan kau sangka bahwa jumlah yang sedikit ini tidak akan mampu melawan orang-orangmu. Meskipun jumlah orang-orangmu lebih dari dua kali lipat dari orang-orangku, tetapi kami berada di atas punggung-punggung kuda. Kaki-kaki kuda kami akan merupakan senjata tersendiri yang akan dapat menginjak orang-orangmu menjadi lumat.”

“Hanya anak-anak kecil yang mempercayai kata-katamu itu,” sahut Ki Tambak Wedi. Tetapi Tambak Wedi menjadi mual mendengarnya.

“Ki Tambak Wedi,” berkata orang itu. “Untuk yang terakhir kalinya aku memperingatkanmu. Aku adalah pengemban tugas negara, Kalau kau menghalang-halangi aku dan prajurit-prajurit Wira Tamtama ini, maka berarti bahwa kau telah memberontak terhadap Pajang.”

“Aku tidak memerlukan peringatan itu. Sekali lagi kau harus tahu, Tambak Wedi bukan anak-anak. Tambak Wedi menyadari apa yang terjadi. Bahkan Tambak Wedi telah bertekad, Pajang harus dimusnahkan.”

Orang yang berada di atas punggung kuda itu mengerutkan keningnya. Perkataan ki Tambak Wedi itu benar-benar menyinggung perasaannya. Meskipun demikian ia masih berkata tenang, “Kalau demikian, kenapa kau memisahkan diri dari Patih Mantahun, dan bahkan menyerahkan Sidanti ke dalam lingkungan keprajuritan Pajang?”

“Persetan! Aku sangka orang-orang Pajang jujur menghadapi kawan sendiri. Tetapi ternyata tidak.”

“Itu hanyalah anggapanmu ki Tambak Wedi. Kau sendiri tidak turut berbuat sesuatu. Bahkan muridmu itu pun kemudian berkhianat atas nasehatmu.”

“Bukankah sudah pasti bahwa dengan demikian tidak ada kata-kata lain untuk memberi julukan kepadaku, kepada Ki Tambak Wedi? Aku memang hendak mbalela. Apa katamu? Sekarang menyerahlah.”

Orang di atas punggung kuda itu tidak lagi dapat menahan kemarahannya. Meskipun demikian ia tidak menjadi kehilangan keseimbangan. Sekali dilayangkan pandangan matanya, beredar di sekelilingnya. Diawasinya setiap orang di dalam barisannya dan setiap orang yang berdiri mengepung orang-orangnya.

“Yakinkan dirimu,” berkata Ki Tambak Wedi, “bahwa kau harus menyerah.”

Orang itu tidak menjawab. Tetapi ia berkata kepada salah seorang di dalam barisannya, “Jebeng, kau lihat anak muda itu? Umurnya lebih tua dari padamu. la adalah murid Ki Tambak Wedi. Anak itulah yang bernama Sidanti, yang ingin dengan tangannya membunuh Tohpati dan kemudian mencoba membunuh Untara. Meskipun ia tidak sesakti Arya Penangsang, tetapi kepalanya ternyata lebih dingin daripada Adipati Jipang.”

Seorang anak muda menggerakkan kudanya mendekati orang setengah umur itu. Di tangannya digenggamnya sebatang tombak pendek, berjuntai seutas tali berwarna kuning emas.

Semua mata kini terarah kepada anak muda itu. Dengan sebuah senyum yang menggores di bibirnya ia berkata, “Dari mana ayah tahu kalau anak muda itu yang bernama Sidanti?”

Orang tua setengah umur itu menjawab, “Senjatanya telah mengatakan kepada kita. Nenggala di tangan kirinya itu adalah ciri perguruan lereng Merapi. Bukankah begitu Ki Tambak Wedi?”

Tambak Wedi tidak menjawab. Namun terdengar ia menggeram. Matanya sama sekali tidak lepas dari ujung tombak di tangan anak muda yang kini telah berada di samping orang setengah umur yang ternyata adalah ayahya.

Tiba-tiba Ki Tambak Wedi berpaling ketika ia mendengar ayah anak muda itu berkata, “Ki Tambak Wedi, tombak itu sama sekali bukan Kyai Plered yang terkenal. Kali ini kami sama sekali tidak membawa pusaka keramat itu. Yang dibawa oleh anak ini adalah sebuah tombak lain, meskipun juga sebuah tombak pusaka hadiah Adipati Pajang. Namanya mungkin belum pernah kau dengar, ‘Kiai Pasir Sewukir’.”

Sekali lagi Ki Tambak Wedi menggeram. Bahkan kini ia berkata, “Aku tidak peduli apakah yang dibawanya Kiai Plered atau bukan. Meskipun seandainya yang dibawanya itu Tombak Kiai Plered pun, bagiku tidak berarti apa-apa. Sekarang menyerahlah. Jangan memperpanjang waktu. Kalau habis sabarku, maka aku tidak akan memberimu kesempatan lagi.”

Orang di atas punggung kuda itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian sekali lagi dipandanginya setiap wajah dari para prajurit Jipang. Beberapa orang telah dikenalnya dengan baik. Karena itu kemudian disapanya orang yang berdiri di sisi Sidanti, “He, Sanakeling. Kau juga berada di sini?”

Betapa besar hati orang itu, dan betapa kebenciannya membakar dadanya terhadap orang-orang Pajang, namun perbawa orang itu telah menundukkan kepalanya.

Sikap itu sama sekali tidak menyenangkan Ki Tambak Wedi, sehingga terdengar ia membentak, “Sanakeling, apakah arti orang itu bagi panglima prajurit Jipang?”

Sanakeling menyadari kedudukannya. Pertanyaan Ki Tambak Wedi telah benar-banar mengungkat kejantanannya, sehingga kemudian ia mejawab lantang, “Bukan Kiai. Orang itu tidak berarti apa-apa bagiku.”

Tiba-tiba terdengar anak muda yang menggenggam tombak berjuntai kuning itu tertawa. Kataya, “Paman Sanakeling. Apakah paman lupa terhadap kami. Aku dan ayah?”

Sanakeling menggeram. Tetapi kembali ia dicengkam oleh wibawa ayah dan anak yang berada di atas punggung kuda itu.

Yang menjawab kemudian adalah Sidanti, “Kita berhadapan sebagai lawan. Jangan mencoba mengungkat perasaan yang dapat melemahkan lawan. Seorang yang berhati jantan tidak akan berbuat selicik itu.”

Anak muda di atas punggung kuda itu mengerutkan keningnya. Sekilas ditatapnya wajah ayahnya. Tetapi wajah orang tua itu sama sekali tidak membuat kesan apa pun atas kata-kata Sidanti, bahkan sambil tersenyum ia berkata, “Murid Ki Tambak Wedi ternyata mempunyai kesamaan dengan gurunya. Adatnya agak terlampau keras di samping nafsunya yang melonjak-lonjak sehingga hampir-hampir Untara dikorbankannya.”

“Aku meyesal bahwa Untara itu tidak mati,” Sahut Sidanti.

Sekali lagi anak muda di punggung kuda itu mengerutkan keningnya, namun ayahnya masih setenang itu menjawab, “Bagaimana kalau kau mendapat kesempatan sekali lagi?”

Sidanti heran mendengar pertanyaan itu. la tidak mengerti sama sekali, apakah maksudnya. Namun orang itu menjelaskan, “Maksudku, sebentar lagi Untara pasti akan datang. Bukankah kau akan dapat berhadapan sekali lagj?”

Sidanti menggeram. Terasa dadanya bergelora dan kemarahannya segera membakar ubun-ubunnya. Apalagi ketika ia mendengar anak muda yang membawa tombak itu tertawa.

“Persetan dengan Untara!” teriak Sidanti, “ayo siapa namamu dan siapa anak muda yang sombong itu. Mungkin kau belum mengenal Sidanti.”

Sanakeling tiba-tiba berpaling. Dipandanginya wajah Sidanti, Sanakeling hampir tidak percaya bahwa Sidanti benar-benar belum mengenal orang itu ayah beranak. Sehingga tanpa dikehendakinya ia berdesis, “Adi Sidanti, apakah kau belum pernah melihatnya?”

Sidanti terkejut mendengar pertayaan itu. la adalah bekas prajurit Pajang. Namun selama tugasnya yang pendek ia belum pernah bertemu dengan kedua orang itu, seperti ia belum begitu mengenal Untara sebelumnya.

Namun Sidanti tidak terlampau lama berteka-teki. la mendengar gurunya menjawab pertanyaanya, meskipun ternyata jawaban itu benar-benar mengejutkannya. “Apakah kau belum pernah mengenal mereka selama kau menjadi prajurit, Sidanti? Kalau belum, itu adalah pertanda kelicikan orang-orang yang berada di atasmu. Mereka dengan sengaja menjauhkan kau dari pimpinan-pimpinan yang lebih tinggi supaya mereka tidak melihat kelebihanmu daripada mereka. Bukankah dengan sengaja Widura menyembuyikan kau di padesan dan menugaskan kau selama ini jauh dari pusat pemerintahan Pajang, meskipun kemampuanmu setingkat dengan senapati besar dari Jipang yang bernama Tohpati dan bergelar Macan kepatihan?”

Sekali lagi Sidanti mencoha mengingat-ingat, siapakah kedua orang ayah beranak itu. Mungkin ia merasa pernah melihat perwira Wira Tamtama itu. Tetapi apakah pedulinya sekarang, selagi keadaannya telah menjadi semakin jauh dari kemungkinan-kemungkinan lain daripada menghadapi setiap orang Pajang sebagai lawan.

Orang yang berkuda itu kemudian menyahut, “Bukan salah Widura dan bukan pula salah Sidanti. Tidak selalu setiap prajurit pernah melihat dan mengenal wajah prajurit yang lain. Mungkin namaku perhah didengarnya dan nama anakku ini. Tetapi wajahku dan wajah anakku ini mungkin pula belum.”

Sidanti memandang laki-laki setengah umur di atas punggung kuda itu tanpa berkedip. Dicobanya untuk mengingat-ingat satu demi satu perwira Wira Tamtama yang dikenalnya. Akhirnya, lambat laun, ingatan Sidanti menyentuh sebuah wajah yang pernah dikenalnya. Tetapi wajah itu terlampau besar bagi orang yang berkuda di hadapannya itu. Ketika ia melihatnya beberapa bulan yang lampau, orang itu berada dalam satu barisan yang lengkap disertai dengan segala macam tanda-tanda kebesaran. Orang itu memakai pakaian kebesarannya pula. Sedang kini, Iaki-laki itu mengenakan pakaian keprajuritan, tanpa tanda-tanda kebesaran selain ciri seorang perwira dari Wira Tamtama.

Dada Sidanti menjadi berdebar-debar karenanya. Namun akhirnya ia dapat menguasai dirinya ketika ia melihat sikap gurunya. Guruya sama sekali tidak menjadi cemas menghadapi Iaki-laki berkuda itu, bahkan seandainya kenangannya itu benar, ia pun harus bersikap seperti gurunya pula.

Yang terdengar adalah suara Ki Tambak Wedi, “Sidanti, kalau kau belum mengenal sekalipun bukanlah soal bagimu. Justru lebih baik apabila kau belum tahu siapa yang kau hadapi supaya hatimu tidak terpengaruh. Tugasmu sekarang adalah ambil tombak yang bernama Kiai Pasir Sewukir dari tangan anak sombong itu. Jangan hiraukan apa yang pernah dilakukan dahulu. Jangan menjadi silau, sebab ia tidak membunuh Arya Penangsang dengan jujur, tetapi ia mempergunakan kuda betina untuk membuat kuda Arya Penangsang tidak dapat dikendalikan. Dengan demikian, kesempatan bertempur Arya Penangsang sangat terganggu oleh kudanya yang bernama Gagak Rimang, karena kuda itu melihat kuda betina Loring Pasar.”


Kini dada Sidanti benar-benar bergelora. Anak muda itulah yang bergelar Ngabehi Loring Pasar, yang sebelumnya lebih terkenal bernama Sutawijaya. Kalau demikian siapakah laki-laki itu? Ayah Sutawijaya adalah Ki Gede Pemanahan, sedang ayah angkatnya adalah Adipati Pajang sendiri. Kalau demikian benar dugaannya, laki-laki itu adalah Ki Gede Pemanahan yang pernah dilihatnya dalam kelengkapan kebesaran seorang Panglima Wira Tamtama.

Sidanti yang tiba-tiba terpaku itu mendengar gurunya berkata, “Nah Sidanti, jangan cemas. Kau sekarang tidak berada di atas punggung kuda seperti Gagak Rimang. Kau dapat mempercayakan setiap langkah pada kakimu sendiri.”

Anak muda itu, yang sebenarya Sutawijaya, mengerutkan keningnya. Kata-kata Ki tambak Wedi itu benar-benar menyakitkan hatinya, seolah-olah ia telah membunuh Arya Penangsang dengan curang. Tetapi sebelum ia menjawab, terdengar ayahnya, yang tidak lain adalah Ki Gede Pemanahan menjawab, “Jebeng, jangan hiraukan kata-kata orang tua itu. la ingin membesarkan hati muridnya. Apa yang terjadi atas Arya Jipang itu, biarlah ditafsirkan menurut kehendaknya. Sekarang hadapilah murid Ki Tambak Wedi. Ia tidak dapat bertahan diri terhadap Macan kepatihan. Ia pernah mencoba bertempur melawannya, seorang lawan seorang, namun Widura terpaksa membantunya sebelum kepalanya dipecahkan oleh tongkat Baja Putih berkepala tengkorak itu. Kemudian ia tidak berani melawan Untara wajah berhadapan dengan wajah. Ia menusuknya dari belakang. Bahkan melawan adik Untara yang bernama Agung Sedayu pun, Sidanti berbuat curang. Dalam perkelahian tanpa senjata, anak muda yang gagah perkasa itu terpaksa memungut sepotong kayu untuk mempersenjatai diri.”

“Cukup!” Potong Ki Tambak Wedi dengan marahnya. Ternyata semua yang terjadi di Sangkal Putung telah dilaporkan kepada Panglima Wira Tamtama ini. “Apakah dengan demikian kau tidak sedang mencoba membesarkan hati anakmu itu pula? Anak yang kau bangga-banggakan telah membunuh Arya Penangsang.”

Ki Ageng Pemanahan tertawa. Tetapi sebelum ia menjawab terdengar Ki Tambak Wedi itu berteriak, “Kenapa kalian melihat saja seperti menonton tayub?”

Para prajurit Jipang terkejut mendengar teriakan itu. Sejenak mereka belum dapat menanggapi maksudnya. Baru sesaat kemudian mereka menyadari kata-kata Ki Tambak Wedi yang diterus-kanya, “Ayo, kalau kalian mampu membinasakan orang yang bernama Pemanahan yang merupakan otak dari kematian Arya Penangsang, dan anaknya yang hanya dipakainya sebagai alat saja dalam usaha pembunuhan yang keji itu, maka dendam kalian akan terbalaskan. Kedua orang ini beserta Penjawi dan Ki Juru Mertani-lah biang keladi dari pembunuhan yang tidak jantan. Mereka menunggu saat Arya Penangsang menyeberang sungai. Sebelum Adipati Jipang mencapai tebing, maka orang Pajang telah menghujaninya dengan anak panah atas Arya Penangsang beserta kudanya Gagak Rimang. Apalagi Sutawijaya telah membuat Gagak Rimang gila dengan kuda betinanya.”

Sutawijaya tidak dapat menahan diri lagi mendengar kata-kata Ki Tambak Wedi, tetapi ayahya menggamitnya. Sehingga dengan dada sesak ia terpaksa masih saja tetap berdiam diri di atas punggung kudanya. Namun ujung tombaknya yang bernama Kiai Pasir Sewukir telah bergetar.

Ketika Ki Tambak Wedi terdiam, barulah Pemanahan menjawab, “Apakah masih ada yang ingin kau katakan Ki Tambak Wedi, mungkin kesempatan ini adalah kesempatanmu yang terakhir untuk melepaskan dendam dan kebencianmu, karena kegagalan-kegagalan yang dilakukan oleh muridmu. Tetapi sadarilah bahwa bukan hanya Pemanahan, bukan haya Ki Juru Mertani, bukan hanya Penjawi dan beberapa orang saja yang melihat peperangan yang menentukan, tetapi seluruh prajurit Pajang dan Jipang yang saat itu berada dalam pertempuran, melihat apa yang terjadi. Kalau Tohpati masih hidup, kau akan dapat bertanya kepadanya. Bagaimana dengan Sanakeling dan, he, apakah anak muda yang bermata setajam mata burung alap-alap itu yang bernama Alap-alap Jalatunda?”

“Persetan!” teriak Ki Tambak Wedi. “Kau benar-benar licik. Kau hanya memperpanjang waktu saja. Ayo, para prajurit Jipang, mulailah. Kesempatan yang aku berikan telah disia-siakan oleh Panglima yang merasa dirinya pilih tanding ini.”

Orang-orang Jipang yang mengepung para prajurit Wira Tamtama Pajang, yang langsung dipimpin oleh panglimanya sendiri itu mulai bergerak. Beberapa orang segera meloncati parit-parit dan mengayun-ayunkan senjata mereka. Tetapi bagaimanapun juga gerak orang-orang Jipang itu masih belum mantap. Sanakeling sendiri masih dicengkam oleh keragu-raguan dan debar jantungnya yang tidak menentu. Orang yang berada di punggung kuda ayah beranak itu terlampau besar baginya. Mungkin tidak bagi Ki Tambak Wedi yang sama sekali tidak terikat dalam hubungn keprajuritan. Apabila Macan Kepatihan masih ada, mungkin Tohpati itu pun akan menghadapi mereka dengan tatag. Tetapi baginya, bagi Sanakeling, pekerjaan itu benar-benar merupakan pekerjaan yang terlampau berat.

Bukan saja Sanakeling, tetapi Alap Alap Jalatunda dan kawan-kawannya mempunyai sikap serupa. Ki Gede Pemanahan adalah seorang panglima yang namanya menggema tidak saja di seluruh Pajang dan Jipang. Bahkan merata ke seluruh daerah Demak.

Ki Tambak Wedi itu pun melihat keragu-raguan dalam setiap gerak orang-orang Jipang. Mereka bergeser, tetapi tidak mendekati para prajurit Pajang, sehingga orang tua itu kemudian berteriak, “He, apa yang kalian tunggu. Dengar perintahku. Bunuh semua orang-orang Pajang secepatnya sebelum Untara datang memancung leher kalian atau menggantung kalian di alun-alun Pajang.

Perintah itu ternyata telah membangunkan orang-orang Jipang. Mereka benar-benar dihadapkan pada suatu keharusan untuk melawan. Kalau tidak, maka mereka akan mengalami akibat yang sangat pahit.

Apalagi ketika Ki Tambak Wedi berteriak, “Rencana kita tidak akan dapat berjalan seperti yang kita harapkan sepenuhnya. Kegagalan itu disebabkan karena orang-orang Pajang ini. Ayo, jadikanlah mereka tebusan dari kegagalan itu. Meskipun kita tetap mengharap orang-rang Pajang di Sangkal Putung menjadi gila dan berbuat seperti yang kita inginkan.”

Kini orang-orang Jipang menjadi semakin mantap. Sementara itu kuda-kuda orang Pajang pun telah bergerak-gerak. Beberapa orang mendorong kudanya maju dan yang lain menghadap ke arah yang berlawanan. Musuh mereka berada di muka dan di belakang. Tempat itu sama sekali tidak menguntungkan bagi pertempuran di atas punggung kuda.

Ki Gede Pemanahan memperhatikan keadaan itu sesaat. Karena itu ia harus mendapat daerah yang cukup luas, supaya mendapat kesempatan yang lebih baik. Orang-orang Jipang yang berdiri di atas tanah akan menjadi lebih lincah karena daerah yang sempit.

Di kiri-kanan jalan itu adalah tanah persawahan yang sedang ditumbuhi oleh batang-batang jagung muda. Tanahnya tidak begitu basah, karena tanaman itu tidak memerlukan air yang tergenang. Karena itu, maka terdengar Panglima Wira Tamtama itu langsung memberi aba, “He para prajurit Pajang. Kita terpaksa minta maaf kepada orang-orang Sangkal Putung. Kita akan meminjam tanah mereka untuk berlatih perang-perangan di atas punggung kuda.”

Ki Tambak Wedi menggeram mendengar aba-aba itu. Cepat ia berteriak, “Cegah mereka. Jangan diberi kesempatan meninggalkan jalan sempit ini, supaya mereka segera tertumpas di dalamya.”

Tetapi teriakan itu hampir-hampir tidak berarti. Kuda-kuda para prajurit Pajang telah mendesak mereKa. Dengan senjata di tangan para penunggang kuda itu mencoba mendapatkan jalan bagi kuda mereka. Beberapa ekor kuda telah berhasil meloncat parit yang sempit. Tetapi karena kejutan-kejutan orang-orang Jipang, ada juga kuda yang gagal, sehingga kuda itu tergelincir masuk ke dalam parit. Namun dengan tangkasnya para penunggangnya meloncat turun dan melawan orang-orang Jipang yang menyerangnya di atas tanah.

Pemanahan mengerutkan keningnya melihat orang-orangnya yang gagal itu. Tetapi mengharap bahwa mereka akan dapat bertahan dan menyelamatkan diri mereka masing-masing. Meskipun demikian, Ki Gede Pemanahan segera berseru, “Jangan lepaskan kuda-kuda itu.”

Memang beberapa orang yang terjatuh itu masih berusaha untuk meloncat kembali ke atas punggung-pungung kuda mereka yang telah berhasil merangkak keluar dari dalam parit. Tetapi orang-orang Jipang selalu mencoba menghalang-halangi.

Peperangan pun segera berkobar. Orang-orang Jipang mulai menyerang dengan sengitnya. Tetapi para prajurit Pajang yang sempat meninggalkan jalan yang sempit itu segera membuat arena menjadi semakin luas. Mereka terpaksa tidak menghiraukan lagi batang-batang jagung muda. Kaki-kaki kuda mereka dengan garangnya telah merambas batang-batang jagung itu, sehingga sesaat kemudian sawah itu telah hampir menjadi gundul.

“Setan!” teriak Ki Tambak Wedi yang menjadi semakin cemas melihat perkembangan keadaan. Ternyata para prajurit berkuda dari Pajang itu cukup tangkas melawan orang-orang Jipang yang jumlahnya dua kali lipat dari jumlah mereka. Bahkan beberapa orang yang terjatuh dari kudanya, telah berhasil meloncat kembali ke atas punggung-punggung kuda. Sedangkan mereka yang tidak berhasil, tidak juga menjadi cemas melihat perkembangan keadaan karena kawan-kawan mereka hampir selalu membantu mereka, dan mengusahakan kesempatan supaya mereka berhasil meloncat ke punggung kuda masing-masing.

Para prajurit Pajang kini bertebaran di sawah-sawah. Mereka bertempur seperti burung rajawali. Sekali mereka memacu kudanya melingkar, namun sejenak kemudian seperti seekor burung yang menukik dari langit, meyambar lawan-lawannya dengan garangnya.

Sidanti menjadi semakin marah melihat perkembangan keadaan. Dengan demikian ia tidak akan berhasil mengikat seorang lawan di arena. Ia harus dengan penuh kewaspadaan memperhatikan setiap derap kuda yang menyambarnya.

Sanakeling pun mengumpat tak habis-habisnya. Selagi ia sedang mencoba bersama seorang kawannya menekan seorang prajurit Pajang yang kehilangan kudanya, maka setiap kali kuda yang lain datang menyerangnya. Bahkan hampir menginjaknya apabila ia tidak cukup cepat menghindar. Sehingga dengan demikian pertempuran itu menjadi pertempuran yang cukup kalut bagi kedua belah pihak.

Arena pertempuran itu pun menjadi semakin lama semakin luas. Kuda-kuda para prajurit Pajang berlari melingkar-lingkar dengan garangnya. Setiap prajurit di atas punggung kuda itu telah me-mutar pedangnya dan menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Tetapi yang dihadapi adalah prajurit-prajurit pula. Dengan tangkasnya orang-orang Jipang melawam para prajurit berkuda itu. Tetapi ternyata ketika orang-orang Pajang berhasil memperluas lingkaran pertempuran maka keadaan mereka menjadi lebih menguntungkan.

Ki Tambak Wedi hanya sesaat sempat mengamati pertempuran itu. Segera ia menggenggam kedua gelang-gelang besi di kedua belah tangannya untuk melawan panglima Wira Tamtama yang perkasa itu.

Ki Gede Pemanahan pun menyadari, bahwa ia kini berhadapan dengan seorang yang memiliki kemampuan luar biasa. Orang yang pernah menjadi sahabat Patih Mantahun dan orang kedua dari perguruan Kedung Jati, yang bernama Sumangkar. Tetapi Ki Tambak Wedi ternyata tidak setia. Ditinggalkannya Jipang menjelang kehancurannya. Bahkan kemudian muridnya muncul menjadi seorang prajurit Wira Tamtama di bawah pimpinan Widura.

Untuk melawan senjata Ki Tambak Wedi yang aneh itu, Ki Gede Pemanahan tidak mempergunakan pedangnya. Ia ingin melawan hantu itu pada jarak yang sependek gelang-gelang besi itu. Karena itu ketika Ki Tambak Wedi mulai meloncat menyerangnya, maka di tangan panglima Wira Tamtama itu tergenggam sebilah keris. Keris yang seolah-olah bercahaya kebiru-biruan, berlekuk sebelas dan berbentuk seekor Naga, Naga Kemala.

Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya melihat keris itu. Sesaat ia terhenyak surut. Ditatapnya keris itu tajam-tajam. Ia terkejut ketika ia mendengar Ki Gede Pemanahan tertawa sambil berkata, “Kau memperhatikan kerisku ini Ki Tambak Wedi. Sama sekali bukan Kiai Nagasasra. Meskipun dapurnya mirip, namum kerisku ini adalah Kiai Naga Kemala. Masih selapis lebih rendah dari Kiai Nagasasra, yang kini telah berada di Kadipaten Pajang bersama pusaka-pusaka Demak yang lain.”

Ki Tambak Wedi itu menggeram. Sahutnya, “Persetan dengan Naga Kemala. Meskipun yang kau genggam itu Kiai Nagasasra sekalipun aku tidak akan gentar. Bahkan di kedua belah tanganmu tergenggam pusaka-pusaka Demak yang lain, Kiai Sabuk lnten, Kiai Sengkelat dan apa saja.”

Ki Gede Pemanahan tidak menyahut. Didorongnya kudanya maju dan dengan sigapnya ia menggerakkan senjatanya. Ki Tambak Wedi mundur selangkah, tetapi tiba-tiba ia meloncat secepat kilat menghantam mata kaki Ki Gede Pemanahan. Tetapi Ki Gede Pemanahan telah bersiap menghadapi setiap kemungkinan, sehingga karena itu, maka dengan sigapnya pula ia mampu menghindarkan mata kaki itu. Sebuah sentuhan dari gelang-gelang besi Ki Tambak Wedi pasti akan mampu memecahkan tulang-tulangnya.

Tetapi Ki Tambak Wedi tidak membiarkannya. Sekali lagi ia meloncat menyerang dengan garangnya. Namun sekali lagi Ki Gede Pemanahan mampu menghindarinya pula.

Bahkan kemudian ia tidak membiarkan dirinya selalu menghindar dan menghindar. Sejenak kemudian ditariknya kendali kudanya dan kuda itu pun meringkik dan meloncat. Sekali kuda itu berputar, kemudian menerjang Ki Tambak Wedi yang berdiri tegak di atas tanah dengan sepasang kakinya yang kokoh kuat.

Dengan mengumpat-umpat orang tua yang menghantui Lereng Merapi itu meloncat menghindari kaki-kaki kuda Ki Gede Pemanahan. Bahkan semakin lama ialah yang harus semakin sering menghindarkan diri, karena kuda itu dengan lincahnya meloncat berputar kemudian berlari menyambarnya. Keris di tangan panglima Wira Tamtama itu sekali-sekali berada di tangan kanannya, namun kemudian telah berpindah di tangan kiri, seolah-olah berloncatan dari satu tangan ke tangan yang lain. Betapa kakinya menghentak-hentak, apabila kudanya berlari terlampau jauh, namun kemudian tangannyalah yang terayun-ayun apabila kudanya menyambar Ki Tambak Wedi.

Pertempuran antara keduanya semakin lama mejadi semakin sengit. Ternyata serangan-serangan Ki Tambak Wedi pun semakin lama mejadi semakin berbahaya pula. Apabjla ia gagal menyerang tubuh lawannya, maka ia berusaha mengenai tubuh kudanya. Apabila kuda itu dapat dirobohkan, maka pekerjaanya tidak akan sedemikian sulitnya.

Di sudut lain, Sidanti bertempur dengan gigi gemeretak. Dilihatnya anak muda yang bernama Mas Ngabehi Loring Pasar, meyambutnya dengan sebuah senyum yang menyakitkan hati. Tombak di tangan anak muda itu memang mendebarkan jantungnya meskipun ia tahu bahwa tombak itu bukanlah tombak yang bernama Kiai Pleret. Menurut pendengaranya Kiai Pleret itu berlandean panjang, sedang yang dibawa oleh anak muda itu berlandean agak pendek.

Hati Sidanti menjadi semakin panas ketika ia mendengar anak muda itu berkata kepada seorang prajurit Pajang, “Lindungi aku dari panyerang-penyerang yang curang. Aku ingin melawan murid Ki Tambak Wedi ini dengan cara yang adil. Aku tidak mau dituduh membuat lawanku gila karena aku memakai kuda yang tegar dan lincah, seperti orang-orang Jipang menganggap aku berbuat curang terhadap Adipati Jipang, meskipun anak muda yang bernama Sidanti ini sama sekali tidak dapat disejajarkan dengan Paman Arya Penangsang yang perkasa itu.”

“Gila!” Teriak Sidanti. “Jangan terlampau sombong. Kaulah yang ternyata menjadi gila karena orang menganggapmu dapat mengalahkan Adipati Jipang yang lengah, sehingga kerisnya sendiri menggores ususnya. Kalau tidak, maka perutmulah yang akan disobeknya dengan pusakanya, Kiai Setan Kober.”

Mas Ngabehi Loring Pasar, yang juga disebut Sutawijaya tertawa. Jawabnya, “Marilah kita lihat, apakah kau akan mati dengan senjatamu sendiri atau karena tombakku Kiai Pasir Sewukir.”

Hati Sidanti menjadi semakin panas ketika tiba-tiba Sutawijaya meloncat dari punggung kudanya. Kini anak yang masih sangat muda itu menghadapinya dengan kakinya di tanah.

Sidanti menggeram seperti seekor harimau lapar melihat seekor kijang. Matanya merah memancarkan kemarahan dan kebencian. Sikap Sutawijaya itu dirasakannya sebagai penghinaan terhadapnya.

Dengan gigi yang gemeretak Sidanti menggeram, “Kau benar-benar anak yang sombong. Meskipun dadamu berlapis baja, tetapi kau akan luluh karena kesombonganmu itu sendiri.”

Sutawijaya yang berdiri di hadapannya menjawab, “Aku hanya ingin berbuat adil supaya kelak tidak lagi ada tafsiran yang aneh-aneh. Kalah atau menang, kita berada dalam keadaan yang seimbang.”

Dengan marahnya Sidanti menyahut, “Setelah aku melihat tampangmu, maka aku semakin yakin, bahwa bukan kau yang sebenarnya membunuh Arya Penangsang. Tetapi adalah karena perbuatan kalian ayah beranak yang curang dan licik itulah yang menyebabkan gugurnya Adipati yang berani itu.”

“ltulah sebabnya aku sekarang berbuat dengan hati-hati supaya kelak tidak ada orang yang berkata bahwa Sidanti dibunuh dengan licik. Sidanti mati karena terinjak kaki-kaki kuda, atau cerita lain yang nadanya serupa dengan itu. Serupa dengan nada lagu dari kidung kematian Arya Penangsang.”

Sekali lagi Sidanti menggeram. Kemarahannya telah sampai ke atas ubun-ubunnya. Dengan gigi gemeretak ia meloncat sambil menggerakkan pedangnya langsung menyambar dada Sutawijaya. Sutawijaya ternyata telah cukup bersiaga. Selangkah ia meloncat surut. Namun dengan tiba-tiba pula tombaknya terjulur lurus mematuk lambung Sidanti.

Sidanti terkejut melihat ujung tombak yang demikian cepatnya menyambarnya. Hampir-hampir perutnya tersobek pada loncatan pertama. Terdengar ia mengumpat sekali, dan dengan cepatnya pula ia menghindar ke samping.

Sutawijaya tersenyum. Katanya, “Jangan mengumpat-umpat. Lebih baik kau memperhatikan ujung tombakku supaya perutmu tidak terbelah.”

“Kau benar-benar anak yang sombong,” teriak Sidanti. Tetapi kata-katanya seolah-olah patah di tengah. Tiba-tiba sekali lagi ia terkejut. Tombak Sutawijaya seolah-olah mengejarnya dan kembali mematuk lambungnya.

“Gila!” teriaknya tanpa sesadarnya. Sekali lagi ia harus meloncat ke samping. Ia belum mendapat kesempatan untuk mempergunakan pasangan senjatanya. Serangan Sutawijaya benar-benar mengejutkannya. Bahkan kecepatan bergerak anak muda itu sama sekali di luar dugaannya.

Sekali lagi Sutawijaya tersenyum. Dibiarkannya Sidanti memperbaiki kedudukannya. Kini kedua senjatanya bersilang seakan sebuah perisai yang tidak akan dapat ditembus oleh senjata macam apapun.

Sutawijaya melihat sikap itu. Ia menyadari bahwa Sidanti telah benar-benar berada dalam kesiap-siagaan yang tertinggi. Kini ia tidak dapat sekedar menyerangnya dengan kejutan-kejutan. Kini segenap geraknya harus diperhitungkan benar-benar.

........bersambung ke Jilid 15

Tidak ada komentar:

Posting Komentar