Sabtu, 30 Desember 2017

API di BUKIT MENOREH Jilid 30

API di BUKIT MENOREH

Karya S.H Mintardja

JILID 30



KETIKA SUMANGKAR menghentakkan tangkai parang itu, maka yang kemudian berada di dalam genggamannya hanyalah tinggal tangkainya saja. Ternyata parang itu patah. Kekuatan Sumangkar dan jepitan batang kayu yang ditebasnya ternyata melampaui kekuatan parang pembelah kayu itu.

“Ah,” sekali terdengar Sekar Mirah berdesah.

“Patah ..ngger ,” Sumangkar berkata lirih, “aku tidak sengaja mematahkannya.”

Sekar Mirah masih saja berdiri tegak mematung. Ia sedang terpukau oleh penglihatannya yang dianggapnya tidak masuk akal.

“Kekuatan apakah yang tersimpan di dalam tubuh orang tua ini ?” katanya di dalam hati.

Dan ia mendengar Sumangkar berkata, “Kalau parang ini tidak patah ngger, aku akan memotong kayu itu. Tetapi parang ini telah patah.”

Sekar Mirah tidak menjawab. Ia masih berdiri membeku.

“Apakah kau heran?” bertanya Sumangkar.

Tanpa sesadarnya Sekar Mirah menganggukkan kepalanya.

“Tidak mengherankan sama sekali ,” berkata Sumangkar kemudian, “kau pun akan dapat melakukannya Mirah.”

“He,” alis Sekar Mirah terangkat, sekali lagi ia tidak percaya kepada inderanya. Apakah benar ia mendengar Sumangkar berkata, “Kau pun akan dapat .melakukannya Mirah.”

Dan Sumangkar itu berkata seterusnya, “Aku tidak berbohong. Kalau kau ingin dapat berbuat demikian, maka kau pun akan dapat melakukannya.”

“Apakah Kiai bergurau?” desis Sekar Mirah kemudian.

Sumangkar tersenyum. Jawabnya, “Tidak ngger, aku tidak bergurau. Apakah kau sangka bahwa- sejak lahir aku dapat melakukan hal yang demikian itu? Apakah kau sangka bahwa sejak kanak-kanak Kiai Gringsing mampu melecutkan cambuknya seperti ledakan guntur di langit? Apakah kau sangka bahwa Ki Tambak Wedi mampu memecahkan dada lawannya hanya dengan lemparan gelang-gelang besi atau Ki Gede Pemanahan mampu memecah regol Kadipaten Jipang dengan sehelai keris yang kecil saja, kerisnya yang bernama Kiai Naga Kumala sejak mereka lahir?”

Sekali lagi Sekar Mirah berdiri mematung. Terasa sesuatu bergetar di dalam dadanya.

“Nah, bagaimanakah perasaanmu? Heran atau curiga bahwa aku dan orang-orang tua seperti aku ini telah kerasukan setan? Tidak Mirah. Kami tidak mencari kekuatan tenaga jasmaniah dan tenaga tersimpan di dalam diri kami masing-masing ini dengan bantuan setan-setan. Tidak. Dengan demikian kita telah menentang sumber kekuatan itu sendiri. Meskipun ada juga orang yang mencarinya dalam dunia yang hitam, tetapi betapa besar tenaga yang dapat dilahirkan oleh kekuatan hitam, namun Yang Maha Kuat, Yang Maha Kuasa, adalah sumber dari semua yang ada. Juga sumber dari kekuatan yang kasat mata dan yang tidak kasat mata. Karena itu jangan menyangka bahwa kami harus mencari kekuatan semacam ini kemana-mana. Sebab pada dasarnya kekuatan itu telah ada di dalam diri kami masing-masing. Soalnya, apakah kita mampu mengungkapkannya atau tidak .

Sekar Mirah masih berdiri di tempatnya. Bahkan tanpa berkedip ditatapnya wajah Ki Sumangkar. Dan ia mendengar orang tua itu meneruskannya, “Sekar Mirah. Kita tinggal memohon kepada Sumber Kekuatan di dalam diri, kepada Yang Maha Tinggi, apakah kita diperkenankan mempelajari kekuatan di dalam diri kita, kemudian mengenalnya dan mengungkapkannya.” Sekali Iagi Ki Sumangkar itu berhenti berbicara. Dilihatnya Sekar Mirah dengan penuh minat mendengarkannya.

“Karena itu, “berkata Sumangkar pula, “kita tidak perlu mencari apa pun di luar Sumbernya. Kita tidak perlu mencari kekuatan di lereng-lereng gunung, di gua-gua yang singup, di samping batu-batu yang besar atau di bawah pohon-pohon yang rimbun dan angker. Tidak. Sebab Sumber dari segala Hidup dan Kekuatan itu seolah-olah mata air yang mengalir ke segenap penjuru. Ke segenap saluran. Dan kita adalah salah satu dari saluran yang diciptakannya pula. Dengan demikian apabila kita membuka bendungan, segera aliran itu akan membasahi diri kita. Soalnya, apakah kita mampu membuka bendungan itu cukup lebar. Dan untuk melakukannya, untuk mendapatkan aliran yang cukup, kita harus berusaha dan memohon. Berusaha dan memohon. Berusaha sebagai kenyataan kesungguhan dari permohonan itu. Dan itu tidak perlu dilakukan di tempat-tempat yang angker. Kita dapat melakukannya di sembarang tempat. Bahkan di tengah-tengah pasar sekalipun asal kita mampu memusatkan kehendak dan setiap getaran di dalam diri, untuk melakukannya.” Sekali lagi Sumangkar berhenti. Seakan-akan ia ingin mengetahui, apakah Sekar Mirah dapat menangkap dan mengendapkan kata-katanya. Sejenak kemudian Sumangkar itu berkata pula. “Tetapi ngger, kadang-kadang kita memang memerlukan tempat yang sepi dan tersendiri. Bukan karena kita memerlukan bantuan kekuatan-kekuatan yang ada dalam kesepian dan kesendirian, bukan karena kita tidak percaya bahwa Sumber kita cukup kuat, sehingga kita mencari sumber yang lain meskipun sumber itu dialiri oleh kekuatan hitam, tidak. Kalau kita menyepi dan menyendiri itu adalah sekedar usaha supaya pemusatan pikiran dan seluruh kehendak dapat menjadi bulat dan bersungguh-sungguh menghadap kepada Sumber Hidup kita untuk memohon agar kita diperkenankan mengungkapkan kekuatan-kekuatan yang ada di dalam diri kita atas kurnia-Nya. Sudah tentu, dengan janji di dalam diri, bahwa tujuan daripadanya pun tidak menyimpang dari jalan yang ditunjukkannya.”

Perlahan-lahan Sumangkar melihat Sekar Mirah mengangguk-anggukkan kepalanya. Agaknya meskipun ia tidak seluruhnya dapat mengerti keterangan Sumangkar itu, namun ia dapat merasakan dan menghayatinya. Meskipun dari sorot matanya, Sumangkar masih melihat keragu-raguan.

“Apakah kau ragu-ragu ngger ?” orang tua itu bertanya. “Mungkin kau bertanya di dalam hati, seandainya demikian, kenapa kekuatan-kekuatan itu sering berbenturan?”

Sekar Mirah tidak menjawab. Tetapi sebagian terbesar dari dugaan Ki Sumangkar itu benar. Ia memang menyimpan pertanyaan itu di dalam hatinya.

“Sekar Mirah,” berkata Sumangkar itu pula, “seandainya kita bersama-sama memiliki pengertian yang sama dan penilaian yang sama tentang kebenaran, maka kita pasti tidak akan bertengkar satu sama lain kecuali dengan orang-orang yang sengaja mengambil kekuatan dari dunia yang hitam. Tetapi kenyataan yang terjadi, kita yang merasa diri kita bersama-sama mencari kekuatan dari Sumber hidup kita, masih juga berbenturan. Itulah kekurangan manusia. Betapapun manusia merasa dirinya mumpuni, tetapi manusia tidak akan dapat mengenal kebenaran yang mutlak. Rahasia kebenaran ini tidak akan dapat dikuasai oleh manusia yang manapun, selagi ia masih terikat dengan hidup duniawinya. Adalah picik sekali, apabila seseorang menganggap dirinya benar mutlak dan orang lain salah mutlak Tetapi sekali lagi kita dihadapkan pada kekurangan manusia, kebodohan, kekerdilan dan kesombongannya. Meskipun disadarinya juga bahwa tidak dapat digayuhnya kebenaran yang mutlak, namun selalu saja kita saling menyalahkan orang lain dan menggenggam kebenaran menurut penilaian diri.”

Wajah Sekar Mirah menjadi semakin tegang. Ia mencoba mengerti arti kata-kata Sumangkar. Namun tidak seluruhnya dapat dicernakannya. Meskipun demikian, ia dapat menjajagi maksud Ki Sumangkar.

“Nah Mirah,” berkata Sumangkar itu kemudian, “aku terlampau banyak berbicara. Aku bukan orang yang bersih dalam hidupku. Aku adalah seseorang yang baru saja mendapat pengampunan karena aku ikut melawan kekuasaan Pajang karena kebodohan dan kesombonganku.” Orang tua itu berhenti sejenak, tetapi dari sorot matanya terpancar perasaan yang aneh. Namun tidak terucapkan. Sebenarnya bahwa di dalam dada Sumangkar tersimpan pula perasaan yang tidak dapat lepas daripadanya, bahwa orang-orang Pajang pun seperti juga dengan dirinya, bodoh dan sombong. Sehingga benturan di antara saudara, Pajang dan Jipang dapat terjadi.

Tetapi Sumangkar itu menggelengkan kepalanya. Katanya di dalam hati, “Mudah-mudahan kata Ki Gede Pemanahan itu benar, bahwa ia bertempur tidak karena perasaan benci. Ia bertempur karena cintanya kepada sesama, kepada orang-orang Pajang dan Jipang, kepada rakyat Demak seluruhnya. Agar mereka terlepas dari kekuasaan yang tidak sewajarnya. Tetapi bagaimanapun juga Ki Gede Pemanahan itu masih juga tidak dapat melepaskan diri dari hidup duniawinya.”

Sumangkar itu terkejut ketika tiba-tiba saja ia mendengar suara Sekar Mirah bertanya kepadanya, “Kiai, apakah Kiai berkata sebenarnya bahwa aku pun dapat melakukan seperti yang Kiai lakukan itu?”

Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Kemudian jawabnya, “Ya, ya ngger. Kau akan dapat berbuat seperti itu apabila kau berkeinginan dengan sungguh-sungguh.”

“Tentu Kiai, aku berkeinginan sungguh-sungguh. Apakah aku dapat belajar untuk itu?”

Sumangkar tersenyum, jawabnya, “Apakah kau ingin belajar?”

“Ya Kiai. Aku ingin. Aku tidak mau menjadi seseorang yang hanya dapat menggantungkan diriku sendiri kepada orang lain. Kepada ayah dan kepada kakang Swandaru. Kalau aku dapat berdiri sendiri, setidak-tidaknya menjaga diriku sendiri, maka aku akan senang sekali.”

“Ya ngger. Tetapi sebelumnya kau harus mengetahuinya, bahwa sebelum sampai ke tingkatan itu, kau harus bekerja keras. Belajar dan berlatih. Kau akan masuk ke dalam cara hidup yang berbeda dengan yang selama ini kau jalani. Kau tidak akan lagi tenggelam dalam kesibukan di dapur, meskipun itu tidak akan dapat kau tinggalkan sebagai seorang gadis. Betapapun juga, kau tetap seorang gadis yang harus melakukan pekerjaan dari seorang gadis dan kelak seorang ibu. Tetapi sebagian waktumu akan kau pergunakan untuk belajar dan berlatih. Kau akan menjadi lelah dan bermandikan keringat. Kau akan kehilangan banyak waktu untuk bermain-main dengan gadis-gadis sebayamu. Kau akan kehilangan waktu untuk membuat permainan Nini Towong, untuk melihat siwur yang melonjak-lonjak, karena kau sendirilah yang harus melonjak-lonjak.”

“Ya Kiai. Tentu aku sanggup melakukannya. Aku sudah semakin besar, dan aku sudah tidak pantas lagi ikut bermain Nini Towong. Bahkan permainan apa pun lainnya.”

Sumangkar terdiam sejenak. Dipandanginya wajah gadis itu. Lalu katanya, “Tetapi kau adalah seorang gadis ngger. Kau tidak dapat mengambil keputusan sendiri seperti kakakmu Swandaru. Kau harus minta ijin kepada ayah dan ibumu.”

“Ah, itu tidak perlu Kiai. Aku sudah cukup dewasa untuk menentukan jalanku sendiri.”

Sekar Mirah menjadi kecewa ketika ia melihat Sumangkar menggelengkan kepalanya. “Ini bukan sekedar bermain-main ngger. Kau harus menjalani cara hidup yang jauh berbeda. Dan untuk itu ayah dan ibumu harus tahu dan mengijinkannya.”

“Tidak perlu Kiai. Tidak perlu. Bagaimana seandainya ayah dan ibu tidak mengijinkannya.”

“Kalau ayah dan ibumu tidak mengijinkannya, kau pun harus mundur.”

“Tidak. Tidak. Aku tidak mau mundur. Aku harus berjalan terus seperti yang aku inginkan.”

“Ini adalah ujianmu yang pertama Sekar Mirah. Untuk menjadi seorang murid yang baik, kau harus menunjukkan sikap yang baik. Aku pun akan mencoba memilih murid yang baik, yang patuh kepada guru dan orang tuanya. Apabila terhadap guru dan orang tuanya sudah tidak ada kepatuhan, maka apakah ia kelak akan dapat mematuhi segala macam nasehat dan petunjuk dari guru dan orang tua itu, apabila kita telah berpisah? Katakan misalnya, apabila aku yang tua ini dan ayah bundamu telah tiada ?”

“Oh,” Sekar Mirah berdesah perlahan sekali. Sumangkar tidak segera melanjutkan kata-katanya. Dilihatnya Sekar Mirah menundukkan kepalanya. Kata-kata Sumangkar itu ternyata tepat menyentuh dinding-dinding hatinya. Karena itu, maka untuk sesaat mulutnya seakan-akan terbungkam.

“Nah, Sekar Mirah,” kemudian Ki Sumangkar berkata perlahan-lahan, “cobalah berbicara dengan ayah dan ibu. Kalau kau mampu menjelaskan keinginanmu dan perasaanmu, maka aku kira mereka tidak akan berkeberatan. Tetapi ingat, sebagai seorang anak kau harus patuh terhadap orang tua. Itu adalah pernyataan terima kasihmu kepada mereka yang telah melahirkan, mengasuh dan membesarkan kau. Kau mengerti?”

“Ya Kiai,” sahut Sekar Mirah lambat sekali, suaranya seakan-akan bergetar di dalam kerongkongannya saja. “Aku akan minta ijin kepada ayah dan ibu.”

“Kalau kau dapatkan ijin itu Mirah, maka kita akan segera mulai, sebelum aku menjadi semakin keriput dan tidak mampu lagi berbuat apa-apa. Kakakmu Swandaru selalu memilih tempat di samping Gunung Gowok untuk berlatih. Tempat itu cukup luas dan sepi. Hampir tidak menarik perhatian dan terlindung pula.”

“Ya Kiai. Sekarang juga aku akan menemui ayah dan ibu.”

“Hati-hati. Jangan memaksa dan menyakiti hatinya. Bagi Sangkal Putung masih belum lazim seorang gadis mempelajari ilmu bela diri. Karena itulah maka kau pasti akan menghadapi banyak kesulitan. Tetapi apabila ayah dan ibumu mengijinkannya, maka kesulitan itu satu-satu akan kau langkahi.”

“Ya Kiai.”

“Sekarang cobalah minta ijin ayah dan ibumu. Mudah-mudahan mereka mengerti, bahwa kau selalu terancam bahaya. Kalau kau sedikit banyak mampu menjaga dirimu sendiri, maka ayah dan ibumu tidak selalu gelisah apabila kau tidak berada di sisi mereka.”

“Baiklah Kiai,” sahut Sekar Mirah, “aku akan berkata kepada ayah dan ibu. Mudah-mudahan aku diijinkan.”

Gadis itu pun segera meninggalkan Ki Sumangkar mencari ayah dan ibunya. Kedua orang tuanya itu terkejut melihat sikapnya yang tampak gelisah dan tergesa-gesa.

“Apakah yang terjadi ?”

“Aku ingin mengatakan sesuatu yang penting kepada ayah dan ibu bersama-sama,” Sekar Mirah berkata dengan serta merta tanpa kata-kata pendahuluan.

“Apakah yang penting itu?”

“Tentang diriku. Bukankah aku sudah besar.”

Kedua orang tuanya mengerutkan alisnya. Mereka menduga-duga maksud perkataan anaknya. Yang mula-mula tergetar di dada mereka adalah, Sekar Mirah merasa dirinya seorang gadis dewasa dalam hubungannya dengan Agung Sedayu.

“Bukankah begitu ayah. Bukankah aku sudah cukup dewasa.”

Ayahnya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kalau kau sudah dewasa, lalu apakah maksudmu Mirah, kau adalah seorang gadis. Meskipun kau sudah dewasa, kau tetap seorang gadis.”

Dada Sekar Mirah berdesir mendengar jawaban ayahnya. Terbata-bata ia berkata, “Justru aku seorang gadis ayah.”

“Oh,” ayahnya menjadi heran mendengar jawabnya, “kenapa justru seorang gadis. Seorang gadis harus bersikap sopan dan halus. Kau tidak boleh berbuat sekehendak hatimu Mirah, Betapapun perasaanmu dicengkam oleh suatu keinginan.”

“Apakah sebenarnya perbedaan seorang gadis dan seorang anak laki-laki ? Ayah, aku memerlukannya. Hidupku selama ini selalu diancam oleh bahaya.”

“Maksudmu Sidanti?”

“Ya, ayah. Aku harus mendapat ketenteraman, Karena itulah aku akan melakukannya.”

“Apa pun yang terjadi atas dirimu Mirah. Tetapi itu tidak pantas. Kau tidak dapat berbuat sehendak hatimu, menuruti perasaanmu. Kau seorang gadis. Ingat, kau seorang gadis. Aku sudah selalu memperingatkan kau, bahwa ada perbedaan menurut tata kesopanan antara seorang gadis dan seorang anak laki-laki. Tata kesopanan itu sampai saat ini masih kita junjung tinggi. Kalau kau kemudian kehilangan sifat-sifatmu sebagai seorang gadis, maka alangkah cemarnya namamu dan nama keluargamu. Kau menjadi gadis yang tidak berharga lagi.”

“Ayah,” potong Sekar Mirah, “kenapa dengan demikian aku menjadi tidak berharga, bahkan mencemarkan nama ayah dan ibu, bahkan seluruh keluarga? Tidak ayah, bahkan sebaliknya, Aku akan mengangkat nama keluarga. Lebih daripada Itu, aku tidak akan selalu menggantungkan nasibku kepada ayah, ibu dan kakang Swandaru Geni.”

“Tetapi caramu, Mirah. Caramu, yang tidak aku setujui. Kau adalah seorang gadis. Sekali lagi, kau adalah seorang gadis. Kau mempunyai sifat kodrati yang berbeda dengan seorang anak laki-laki. Kau mempunyai kedudukan yang telah diatur dalam adat dan kebiasaan. Kau harus tunduk Mirah.”

“Oh, terlalu. Itu terlalu sekali ayah.” tiba-tiba Sekar Mirah tidak dapat mengendalikan perasaannya. Air matanya mulai meleleh di pipinya.

“Mirah,” terdengar suara ibu Sekar Mirah sareh, “ingatlah Mirah, meskipun kau hanya anak seorang Demang, tetapi kau harus tetap menjaga namamu Aku tidak menolak pilihanmu itu Mirah, tetapi lebih baik kau diam. Lebih baik kau tidak berbuat sesuatu lebih dahulu.”

“Bagaimana hal itu dapat terjadi ibu, kalau aku hanya berdiam diri. Tidak. Aku harus berbuat sesuatu. Aku harus berbuat supaya itu dapat terjadi.”

“Tidak Mirah,” Ki Demang Sangkal Putung pun kemudian menjadi semakin keras. “Kau tidak boleh berbuat apa-apa. Kau harus menunggu. Kalau benar Agung Sedayu dan kau telah bersepakat untuk hidup bersama, biarlah ia datang kepadaku, bersama dengan kakaknya atau pamannya. Ia harus menyatakan keinginannya lebih dahulu. Baru kau berbuat sesuatu. Sebelum itu, aku melarang kau berbuat apa pun untuk kepentingan itu.”

Hampir-hampir Sekar Mirah memekik mendengar kata-kata ayahnya Sejenak ia berusaha menahan gelora di dadanya. Kedua tangannya menutup wajahnya yang menjadi kemerah-merahan.

Ibunya terkejut melihat tanggapan yang tiba-tiba terjadi pada anaknya. Seolah-olah kata-kata ayahnya telah langsung memukul perasaannya, sehingga anak itu merasa terguncang karenanya. Karena itu, maka runtuhlah ibanya. Sebagai seorang ibu, maka perasaannya menjadi lebih cepat cair daripada ayahnya. Perlahan-lahan Nyi Demang bergeser mendekatinya dan membelai rambutnya. Katanya sareh, “Tenangkan hatimu Mirah.”

Tetapi Sekar Mirah tidak mengucapkan sepatah katapun. Gadis itu masih menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

“Kami bermaksud baik Mirah,” berkata ibunya pula, “bukan maksud kami melarangmu.” Sekar Mirah masih berdiam diri.

Yang terdengar adalah suara ayahnya berat, “Aku terpaksa, Mirah. Aku terpaksa berbuat demikian untuk kepentinganmu dan kepentingan keluargaku. Siapa pun angger Agung Sedayu, seandainya ia putera Sultan sekalipun, ia harus tahu menempatkan dirinya sebagai seorang laki-laki.”

Kedua suami isteri itu terkejut bukan buatan ketika mereka melihat Sekar Mirah itu tiba-tiba meloncat. Dengan sekuat-kuat tenaganya dicubitnya lengan ayahnya. Tidak hanya sekali, tetapi berkali-kali. Hampir berteriak gadis itu berkata, “Ayah berbicara sekehendak ayah saja. Aku tidak tahu apa yang ayah katakan.”

“Mirah, Mirah,” ayahnya mengaduh, “jangan Mirah. Tetapi kenapa kau sebenarnya ?”

Ibunya yang duduk dengan mulut ternganga tidak dapat berbuat apa-apa, seolah-olah ia menjadi beku di tempatnya.

“Mirah, kenapa kau ?” Ayahnya pun kemudian hampir berteriak pula kesakitan. “Dengarlah aku. Tenanglah. Jangan mengamuk begitu.”

“Ayah berbicara sekehendak sendiri, menurut kesenangan ayah saja. Aku sama sekali tidak berbicara tentang Agung Sedayu. Apa peduliku atas anak muda itu Aku berbicara tentang diriku sendiri. Tentang Sekar Mirah. Tidak tentang orang lain.”

Ki Demang Sangkal Putung suami isteri menjadi bingung. Mereka saling berpandangan sejenak. Ketika Sekar Mirah kemudian menjadi tenang dan duduk sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam Ki Demang bertanya, “Aku tidak mengerti Mirah. Aku tidak mengerti sikapmu kali ini.

“Aku juga tidak mengerti apa yang ayah katakan.”

“Mirah,” ayahnya mengerutkan keningnya, “bukankah kau mengatakan bahwa kau kini sudah dewasa ?”

“Ya, dan apakah hubungannya antara kedewasaanku dengan Agung Sedayu?”

Sekali lagi Ki Demang Sangkal Putung menjadi terdiam. Sekali lagi kedua suami isteri itu saling memandang dengan sorot mata yang memancarkan seribu macam pertanyaan yang bergetar di dalam dada mereka.

“Ayah,” tiba-tiba suara Sekar Mirah menjadi renyah dan tiba-tiba saja gadis itu tidak menangis lagi. “Aku tidak berbicara tentang orang Iain. Aku berbicara tentang diriku sendiri.”

Ayahnya masih belum menjawab.

“Aku ingin dapat melindungi diriku sendiri ayah. Setiap waktu aku terancam bahaya, aku ingin dapat menyelamatkan diriku sendiri. Setidak-tidaknya aku dapat memperpanjang waktu sebelum aku mendapatkan pertolongan.”

Ayahnya masih tetap berdiam diri.

“Aku sudah menemui Ki Sumangkar.”

Ayah dan ibunya mengerutkan keningnya.

“Ayah dan ibu jangan cemas, aku tidak akan ngunggah-unggahi untuk melamar Ki Sumangkar.”

“Ah,” ayahnya berdesah.

“Ki Sumangkar telah menyatakan kesanggupannya untuk menuntun aku dalam tata bela diri. Asal ayah dan ibu mengijinkan.”

Ki Demang suami isteri menarik nafas dalam-dalam.

“Ki Sumangkar pun telah berjanji untuk melakukannya di tempat yang terasing. Seperti yang sering dilakukan oleh kakang Swandaru, di dekat Gunung Gowok.”

“Oh,” sekali lagi ayahnya berdesah, “kau membuat kepalaku hampir terlepas Mirah. Kau membuat aku dan ibumu menjadi sangat bingung.”

“Salah ayah dan ibu sendiri. Aku belum selesai berbicara, ayah dan ibu seolah-olah telah tahu persoalannya. Aku pun ternyata keliru menangkap kata-kata ayah dan ibu.”

“Kau tidak mengatakannya tentang itu, tentang ilmu tata bela diri.”

“Aku kira ayah telah mengerti maksudku, atau mendengar ketika aku berbicara dengan Ki Sumangkar, sehingga dengan tergesa-gesa ayah melarang.”

Ki Demang menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kau memang selalu membuat kepalaku menjadi pening, sejak Sidanti ada di halaman ini. Kemudian kehadiran angger Agung Sedayu. Lalu kau hilang, dan sekarang kau membuat aku hampir kehilangan akal.”

“Nah, bukankah sekarang ayah tahu persoalannya ? Mudahnya, aku akan berguru kepada Ki Sumangkar. Meskipun aku seorang gadis. Tetapi hal ini akan dapat dirahasiakan. Tidak ada orang lain yang mengetahuinya. Setidaknya, orang yang mengetahuinya sangat terbatas.” Sekar Mirah berhenti sebentar, lalu, “Boleh ayah. Boleh bukan?”

“Hem,” ayahnya menggigit bibirnya, “kau aneh Mirah. Sebenarnya hal yang kau sebut itu pun tidak biasa dilakukan oleh gadis-gadis.”

Wajah Sekar Mirah yang sudah mulai cerah, kini menjadi suram kembali. Dipandanginya wajah ayahnya yang tampaknya masih disaput oleh kebingungan dan keragu-raguan. Seperti anak-anak yang dihadapkan pada teka-teki yang sangat sulit, kedua suami isteri itu duduk tanpa berkisar sejengkalpun. Kadang-kadang mereka saling berpandangan dan kadang-kadang ibu Sekar Mirah itu memandangi wajah puterinya dengan mulut ternganga. Sedang Ki Demang pun selalu bertanya-tanya di dalam dirinya, “Apakah sebenarnya kemauan anak ini ?”

Sejenak kemudian mereka mendengar suara Sekar Mirah, “Jadi bagaimana ayah, boleh bukan? Aku akan dapat banyak berbuat untuk diriku sendiri, untuk keluarga, bahkan untuk Sangkal Putung. Bukankah dengan demikian aku tidak akan merendahkan namaku dan nama keluargaku. Meskipun hal ini masih belum biasa terjadi, tetapi bukankah tidak menjadi pantangan seperti orang gadis yang melamar laki-laki bakal suaminya?”

“Ah,” sekali lagi Ki Demang berdesah.

“Boleh bukan ayah ?”

Ki Demang Sangkal Putung yang masih saja ragu-ragu dan bingung itu akhirnya tidak dapat lagi mengelakkan desakan Sekar Mirah yang mengalir seperti bendungan pecah. Sehingga akhir ia berkata, “Baiklah Mirah. Aku tidak berkeberatan. Tetapi jaga dirimu baik-baik. Sekali lagi aku peringatkan, kau seorang gadis. Kau harus tetap dapat menjaga dirimu sebagai seorang gadis. Meskipun seandainya kemudian kau berhasil memperoleh ilmu tata bela diri yang baik, tetapi kau tidak boleh melupakan dirimu sendiri. Kau harus tetap memegang adat kesopanan dalam tindak tanduk, tingkah laku dan tutur kata. Aku tidak akan berbangga melihat kau, sebagai seorang gadis, meskipun kau memiliki kecakapan seperti laki-laki dalam tata bela diri, tetapi lalu bersikap seperti laki. Apalagi apabila kau menjadi sombong dan setiap saat ingin mencari saluran untuk menunjukkan kelebihanmu.”

“Itulah ayah, aku telah mengatakan, bahwa aku telah dewasa, telah cukup mengerti untuk membuat pertimbangan-pertimbangan tentang baik dan buruk. Dewasa tidak saja dalam pengertian bentuk jasmaniah, tetapi juga dewasa dalam berpikir dan berbuat.”

“Kata-katamu seperti kata-kata orang dewasa yang sebenarnya. Baiklah Mirah. Tetapi ingat selalu pesan ayah dan ibu. Kau tetap seorang gadis, meskipun kau mampu menangkap angin.”

“Tentu ayah, aku tidak akan berubah menjadi laki-laki. Aku tetap seorang gadis.”

“Maksudku dengan tingkah laku seorang gadis. Dengan sikap dan sifat seorang gadis. Kau mengerti ?”

“Tentu ayah. Aku mengerti,” sahut Sekar Mirah dengan serta merta. Lalu, “Sekarang aku akan menemui Ki Sumangkar, Ayah. Aku akan berkata kepadanya bahwa ayah tidak berkeberatan.”

“Tunggu Mirah. Aku masih belum selesai.”

“Apa lagi ayah ? Aku sudah cukup. Aku akan menyampaikannya kepada Ki Sumangkar.”

“Tunggu Mirah,” potong ayahnya. Tetapi Sekar Mirah telah meloncat. berdiri. Ketika beberapa langkah ia berlari, ia mendengar ayahnya berkata, “Itu pertanda bahwa kau masih belum dewasa Mirah.”

Sekar Mirah tertegun di muka pintu. Perlahan-lahan ia memutar diri menghadap kepada ayahnya. Dan ia mendengar ayahnya berkata, “Kau sebenarnya masih terlampau kanak-kanak. Kau masih belum dapat mengendapkan perasaanmu dan berbuat dengan tenang. Kau masih selalu dikuasai oleh perasaanmu yang melonjak-lonjak itu Mirah.”

Dada Sekar Mirah menjadi berdebar-debar.

“Tetapi baiklah. Kau ingat-ingat saja pesan ayah dan ibu dan bahkan kata-katamu sendiri, bahwa kau telah mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.”

“Ya ayah,” sahut Sekar Mirah.

“Pergilah. Hati-hati.”

“Terimakasih ayah.” Sekar Mirah itu pun kemudian melangkah keluar. Tetapi ia tidak berlari-lari lagi. Langkahnya dibuatnya menjadi perlahan-lahan namun mantap. Ia ingin menjadi seseorang yang benar-benar telah dewasa, tindak tanduk dan cara berpikir.

Sumangkar bergembira pula mendengar keputusan ayah dan ibu Sekar Mirah. Sambil tersenyum ia berkata, “Aku pun akan menemui ayah dan ibumu ngger. Aku harus berbicara dengan mereka supaya kelak tidak ada persoalan yang dapat mengejutkannya.”

“Silahkan Kiai,” jawab Sekar Mirah,” tetapi cepatlah. Aku tidak sabar lagi. Aku merasa bahwa diriku seakan-akan telah mampu berbuat apa saja.”

“Jangan tergesa-gesa. Kau memerlukan waktu. Tidak hanya sehari dua hari. Tetapi setahun dua tahun.”

“Berapa pun waktu yang diperlukan, tetapi bukankah lebih cepat lebih baik ?”

Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya Sumangkar tertawa, “Baiklah. Tetapi aku harus bertemu dengan ayah dan ibumu dahulu.” Ternyata Sumangkar melakukan apa yang dikatakannya. Ia memerlukan secara khusus menemui Ki Demang Sangkal Putung suami isteri. Bahkan Widura diberitahukannya pula.

“Kami tidak berkeberatan,” berkata ayah dan ibu Sekar Mirah. Tetapi kami menuntut agar Sekar Mirah tidak kehilangan sifat-sifat kegadisannya dan kelak sifat-sifat keibuannya.”

“Aku akan mencobanya,” sahut Sumangkar.

“Mudah-mudahan paman berhasil,” sela Widura, “sebab Sekar Mirah kelak akan berhubungan dengan seorang laki-laki sebagai suami isteri. Kadang-kadang di dalam hubungan keluarga sering terjadi persoalan-persoalan kecil yang harus dipecahkan. Kalau Sekar Mirah kehilangan sifat keibuannya, maka tidak mustahil akan terjadi pertempuran kecil-kecilan di dalam lingkungan keluarga itu. Kalau keduanya kemudian lupa diri, akibatnya akan berbahaya.”

Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat mengerti sikap Widura, karena mau tidak mau pemimpin pasukan Pajang di Sangkal Putung itu kelak akan berkepentingan. Sumangkar bukannya tidak tahu hubungan yang ada antara Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Sebagai paman Agung Sedayu, Widura ingin mendapat gambaran yang baik bagi kemenakannya kelak. Karena itu, Sekar Mirah yang apabila tidak ada perubahan sikap dari kedua anak muda itu, akan menjadi menantu kemenakannya, diharapkannya akan menjadi seorang isteri yang baik, seorang ibu yang dapat mengerti tentang kedudukannya sebagai seorang ibu. Widura tahu benar sifat-sifat Agung Sedayu. Sifat yang lebih banyak dipengaruhi oleh sifat-sifat kanak-kanak yang dekat dengan ibunya.

“Angger Widura,” berkata Sumangkar kemudian, “aku akan berusaha sejauh mungkin, bahwa ilmu tata bela diri yang akan dipelajarinya tidak menghilangkan sifat-sifat keibuannya. Angger benar, bahwa apabila seorang gadis telah kehilangan sifat-sifatnya, maka ia tidak akan dapat menjadi ibu yang baik kelak. Padahal hari depan dari Kademangan ini dan dari seluruh Pajang, terletak di tangan angkatan yang bakal datang. Dan angkatan yang bakal datang itu akan lahir dari ibu-ibu.”

“Tepat,” sahut Widura, “kalau ibu-ibu tidak lagi dapat berbuat seperti seorang ibu, maka apakah yang akan terjadi pada masa-masa mendatang? Bagaimanakah dengan anak-anak yang bakal dilahirkan? Meskipun tidak seluruhnya akan dibebankan pada pertanggungan jawab seorang ibu, tetapi orang yang terdekat dari kanak-kanak di masa kecilnya adalah ibu. Ibulah yang pertama-tama meletakkan dasar kejiwaan pada kanak-kanak itu.”

Ki Demang Sangkal Putung mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menjadi agak berlega hail karena ternyata Sumangkar dapat mengerti maksudnya, bahkan Widura pun telah menambah penjelasan sesuai dengan keinginannya.

“Mudah-mudahan Sekar Mirah tidak melepaskan diri dari tanggungjawab itu. Kelak, kalau ia menjadi seorang ibu, ia tidak hanya sekedar menjadi seorang ibu tanpa menghiraukan keibuannya. Apa pun yang dapat dilakukan di luar dinding halaman rumahnya, tetapi yang terpenting adalah rumah itu bagi seorang ibu. Kita tidak akan dapat berbicara tentang angkatan mendatang tanpa berbicara tentang orang tua-tua yang mengisi angkatan kini. Kita tidak dapat berbicara tentang Sidanti tanpa berbicara tentang angkatan sebelumnya, Argapati, isterinya dan Ki Tambak Wedi. Dan kita tidak akan dapat berbicara tentang angkatan mendatang tanpa berbicara tenang anak-anak muda kini. Semakin tipis perhatian kita terhadap angkatan mendatang karena kesibukan kita dengan persoalan kita sendiri, maka semakin suramlah masa-masa mendatang itu,” gumam Widura seolah-olah ditujukan kepada diri sendiri. Dan tiba-tiba saja mendesak di dadanya kerinduannya kepada keluarganya. Apakah ia termasuk orang-orang yang tidak bertanggungjawab kepada masa datang karena tidak sempat mendidik anak-anaknya? Dalam melakukan kewajibannya sebagai seorang prajurit, maka ia lebih banyak berada di luar rumahnya.

“Tetapi aku percaya kepada isteriku,” desis Widura di dalam hatinya. “Isteriku mengerti akan tugasku. Ia telah menempatkan dirinya benar-benar sebagai seorang isteri prajurit. Ia telah menyisihkan segala macam kesenangan diri, meskipun isteriku masih terhitung belum terlampau jauh dari masa-masa mudanya.”

Widura menarik nafas dalam-dalam. Tetapi tidak semua isteri dari mereka yang tidak sempat berada di lingkungan keluarganya berbuat baik. Isteri-isteri yang terlampau sering ditinggalkan oleh suaminya, karena tugas-tugasnya, dan kemudian isteri-istri itu tenggelam dalam kesibukan sendiri, maka anak-anak yang lahir dari keadaan yang demikian itu kadang-kadang kehilangan pengamatan. Dan anak-anak itu akan melakukan apa saja yang disenanginya. Baik atau buruk.

Demikianlah, maka Ki Demang Sangkal Putung telah mempercayakan Sekar Mirah kepada Sumangkar. Ki Demang Sangkal Putung suami isteri mengharap, bahwa Sumangkar akan benar-benar berhasil membuat anaknya menjadi seorang gadis yang mempunyai kecakapan yang baik untuk membela dirinya, tetapi tanpa melepaskan diri dari suasana kegadisannya.

Ternyata kepercayaan ini menjadi terlampau berat bagi Sumangkar. Apalagi pada dasarnya Sekar Mirah adalah seorang gadis yang terlampau manja, terlampau menghargai dirinya sendiri melampaui orang Iain. Namun dengan sabar dan tekun Sumangkar menuntunnya.


Seperti yang dilakukan oleh Kiai Gringsing, Sumangkar setiap kali membawa Sekar Mirah ke Gunung Gowok yang kecil. Di samping puntuk itulah Sekar Mirah mulai menekuni ilmu yang diberikan oleh Sumangkar. Karena Sekar Mirah sama sekali belum mengenal ilmu semacam itu, maka Ki Sumangkar terpaksa menuntunnya dari permulaan sekali.

Tetapi Sekar Mirah benar-benar seorang gadis yang mentakjubkan. Tekadnya yang bulat telah banyak membantunya. Apa pun yang harus dilakukan, dilakukannya dengan baik tanpa menghiraukan keadaan dirinya. Gadis itu seolah-olah tidak mengenal lelah. Tenaganya ternyata cukup kuat. Yang terpenting dari segalanya adalah kemauannya yang menyala-nyala.

Ia tidak mau untuk seterusnya selalu dihantui saja oleh Sidanti. Ia tidak mau bahwa pada suatu ketika ia akan diculik dan disembunyikan. Bahkan mungkin Sidanti yang telah kehilangan akal akan menjadi buas. Tidak saja menculik dan menyembunyikan, tetapi ia tidak mau membiarkan Sekar Mirah hilang lagi dari tangannya.

Itulah yang mendorong Sekar Mirah keras tanpa mengenal lelah. Kapan saja gurunya menyuruhnya. Dan apa saja yang harus dilakukannya. Hasratnya yang sangat besar telah membuatnya menjadi seorang murid yang sangat patuh. Seorang murid yang dengan tekun dan sebaik-baiknya melakukan perintah gurunya. Tetapi yang paling menarik bagi Sekar Mirah adalah latihan-latihan jasmaniah. Ia tidak begitu tertarik kepada nasehat-nasehat gurunya, meskipun tampaknya gadis itu mendengarkan dengan baik segala petuah Sumangkar.

Tetapi Sumangkar yang tua itupun cukup tajam menangkap sikap muridnya. Karena itu ia tidak pernah mempergunakan waktu-waktu yang khusus untuk memberikan petunjuk kepada Sekar Mirah tentang jalan hidup yang harus ditempuhnya. Sebab jika demikian, maka Sekar Mirah menjadi gelisah. Ia ingin gurunya segera selesai dengan petunjuk-petunjuknya. Ia tergesa-gesa untuk segera mulai dengan latihan-latihan jasmaniah dan petunjuk-petunjuk tentang latihannya.

Sumangkar menyelipkan nasehat-nasehatnya justru pada saat Sekar Mirah sedang dibakar oleh gairah latihannya. Setiap kali, tidak jemu-jemunya. Setiap kali Sumangkar mempergunakan waktu-waktu yang sebaik-baiknya untuk kepentingan hari depan Sekar Mirah itu sendiri. Sumangkar tahu, bahwa kemauan yang keras dari gadis itu, selain karena sifatnya yang memang keras, juga karena dendam yang membakar dadanya. Dendam dan kecemasan, bahwa Sidanti akan datang lagi untuk mengambilnya. Tetapi bukan saja itu, bukan saja dendam dan kecemasan. Sekar Mirah juga diamuk oleh perasaan kecewanya terhadap Agung Sedayu. Agung Sedayu, orang yang telah berhasil menangkap hatinya, tetapi tidak bersikap seperti yang dikehendakinya. Ia ingin kelak menunjukkan kepada Agung Sedayu, bahwa meskipun ia bukan seorang laki-laki, tetapi ia akan dapat lebih bersikap jantan daripada Agung Sedayu yang seolah-olah selalu dibayangi oleh keragu-raguan dan kebimbangan.

Agung Sedayu yang diharapkannya itu ternyata tidak memberi kepuasan sikap kepadanya. Kepergiannya sama sekali tidak membayangkan tekadnya yang membaja untuk menangkap Sidanti, hidup atau mati. Bahkan yang diucapkannya adalah, “Mudah-mudahan aku selamat Mirah.”

“O ,” Sekar Mirah setiap kali berdesis, “kalau kau hanya ingin selamat Sedayu, baiklah kau tinggal di dapur, menanak atau mengupas kulit melinjo. Tetapi tidak bagi laki-laki jantan. Ia tidak hanya sekedar berbuat supaya selamat. Tetapi seorang laki-laki harus berteriak lantang sambil mengangkat pedangnya tinggi-tinggi. “Gunung akan aku runtuhkan, dan laut akan aku keringkan.” Tetapi Agung Sedayu tidak berkata demikian. Tidak.” Sekar Mirah kian kecewa karena angan-angannya sendiri, lalu, “Biarlah aku lah kelak yang akan berkata kepadanya : Akulah yang akan membawa kepala Sidanti kepadamu, kakang.”

Semula, Sumangkar yang tua itu memang dirambati oleh kecemasan melihat dendam yang membara di hati Sekar Mirah. Ternyata latihan-latihan dan hasratnya telah didorong oleh perasaannya itu. Tetapi Sumangkar akhirnya menemukan juga cara, setidak-tidaknya untuk mengurangi api dendam yang telah mendidihkan darah gadis Sangkal Putung itu. Betapapun lambatnya.

Sementara itu, tiga sosok tubuh yang berjalan tertatih-tatih berada di dalam padatnya hutan Mentaok. Semakin lama semakin jauh. Wajah-wajah mereka yang tegang membayangkan dendam yang menyala di dalam dada mereka.

Mereka adalah Ki Tambak Wedi, Argajaya, dan Sidanti. Langkah mereka terasa terlampau berat, dan sekali-sekali Sidanti bergumam di dalam mulutnya, “Kenapa kita tidak bertemu dengan orang-orang gila yang sering menyamun di hutan ini ?”

“Untuk apa kau mencari mereka?” bertanya gurunya.

“Aku ingin melepaskan perasaan yang menekan dan hampir memecahkan dadaku.”

“Kau ingin membunuh, asal membunuh saja?

“Supaya aku tidak mati karena dadaku sendiri yang seolah-olah mencekik jalan pernafasanku.”

Gurunya tidak menjawab. Mereka masih berjalan maju perlahan-lahan karena jalan yang mereka lalui adalah hutan yang padat, yang dipenuhi oleh bermacam-macam tumbuh-tumbuhan yang paling besar hingga yang paling kecil. Yang merambat dan berduri yang roboh malang melintang.

“Perjalanan ini telah benar-benar menyiksaku guru,” desis Sidanti itu kemudian.

“Aku sudah berkata kepadamu, bahwa perjalanan yang kita lakukan sama sekali bukan perjalanan yang akan memberi harapan bagi kita. Bukankah aku pernah mengatakan, apakah tidak lebih baik berbuat sesuatu, tanpa mengganggu ayahmu Argapati.”

“Bukan, bukan itu maksudku guru,” cepat-cepat Sidanti membantah. “Aku justru menjadi tersiksa karena perjalanan yang sepi. Aku tidak mendapat kesempatan untuk melepaskan perasaanku yang menyesak ini.”

Gurunya tidak menyahut. Dipandanginya kemladean yang menyangkut di cabang-cabang pepohonan. Kemladean yang menjadi semakin rimbun, tetapi batang-batang yang ditempelinya menjadi semakin keras.

Tiba-tiba Ki Tambak Wedi berdesis, “Bagaimana luka di pundakmu?”

“Sudah sembuh sama sekali guru. Bekasnya sudah hampir hilang sama sekali.”

Kemudian mereka terdiam. Argajaya sama sekali tidak bernafsu untuk ikut berbicara. Ia berjalan saja sambil menundukkan kepalanya. Tetapi meskipun demikian, hatinya tidak juga dapat melupakan dendam yang menyala. Kekalahannya yang terjadi berturut-turut benar-benar telah membuatnya mendendam sampai ke ujung ubun-ubun.

Tetapi mereka adalah laki-laki yang luar biasa. Laki-laki yang memiliki banyak kelebihan dari laki-laki Iain. Karena itu, maka Betapapun lebatnya hutan Mentaok, namun mereka sama sekali tidak gentar. Bahkan Sidanti menjadi terlampau kecewa karena perjalanan itu dirasanya terlampau sepi dan menjemukan. Ia akan menjadi senang sekali seandainya mereka bertemu dengan sekelompok penyamun.

Namun mereka tidak menjumpainya.

Meskipun Ki Tambak Wedi dan Argajaya tidak berkata sesuatu, tetapi mereka menjadi heran pula, bahwa bulan ini serasa terlampau sepi. Biasanya, meskipun hanya sekali dua kali, mereka pasti bertemu dengan gerombolan-gerombolan penyamun yang selalu mengganggu di perjalanan.

Tetapi kali ini, sejak mereka memasuki hutan Tambak Baya serasa hutan-hutan ini menjadi sesepi tanah pekuburan.

“Kemanakah orang-orang yang biasanya berkeliaran di hutan-hutan ini? Daruka misalnya? Apakah mereka telah mati semuanya saling berkelahi di antara mereka?” desis Ki Tambak Wedi di dalam hatinya. Tetapi pertanyaan itu tidak dapat dicari jawabnya. Penyamun-penyamun yang paling kecil pun sama sekali tidak mereka jumpai pula di perjalanan itu.

Namun sejenak kemudian angan-angan Ki Tambak Wedi sudah tidak lagi terikat kepada hutan yang sedang dilaluinya. Berbeda dengan Sidanti, yang menyimpan harapan di dalam dirinya. Semakin dekat dengan kampung halamannya, ia menjadi semakin segar. Tetapi kening Ki Tambak Wedi tampak semakin berkerut-merut. Banyak sekali persoalan yang bergulat di dalam dirinya. Keragu-raguan, cemas, gelisah dan ketidaktentuan. Setiap kali teringat olehnya nama Argapati, maka setiap kali dadanya berdesir.

“Kita akan segera keluar dari hutan ini guru,” gumam Sidanti kemudian.

Seperti orang yang tersedar dari mimpi yang mencemaskan, Ki Tambak Wedi menyahut, “Ya, ya. Kita akan segera keluar dari hutan ini.”

“Kita akan segera dapat melepaskan diri dari siksaan dendam yang mencengkam dada kita,” Argajaya yang tidak banyak berbicara di sepanjang perjalanan itu menyambung.

Ki Tambak Wedi tidak menjawab. Tetapi wajahnya dilukisi oleh kebimbangan hatinya yang semakin dalam.

“Bukan demikian Kiai ?” bertanya Argajaya.

“Ya, ya, demikianlah hendaknya.”

“Apakah Kiai masih juga ragu-ragu”

Ki Tambak Wedi tidak segera menjawab.

“Aku mengenal kakang Argapati luar dan dalamnya. Aku adalah adiknya. Kakang Argapati adalah seorang yang percaya kepada diri sendiri. Orang yang memiliki pengamatan yang tajam terhadap persoalan yang dihadapinya. Kalau Sidanti kelak mengatakan apa yang telah terjadi, dan Kiai membenarkannya, maka aku tidak akan ragu-ragu. Sidanti adalah putera satu-satunya bagi kakang Argapati. Ada seorang saudaranya, tetapi ia adalah seorang gadis. Dan kebanggaan kakang Argapati pasti tertumpah kepada Sidanti. Itulah sebabnya maka Sidanti diserahkannya kepada Kiai, karena kakang Argapati merasa bahwa Kiai lebih banyak menyimpan kemungkinan bagi Sidanti di hari depannya.”

Ki Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam. Matanya yang tajam setajam mata burung hantu itu tiba-tiba meredup. Orang tua itu tidak berpaling ke arah Argajaya dan muridnya. Tetapi matanya menatap kekejauhan, menembus sela-sela dedaunan yang rimbun. Dan hatinyalah yang menyahut tanpa diucapkannya. “Tidak. Kau tidak tahu Argapati seluruhnya, meskipun kau adiknya.”

Argajaya heran melihat sikap Ki Tambak Wedi. Kalau Argapati telah menyerahkan Sidanti ke dalam tangannya, berarti Argapati mempunyai kepercayaan yang besar kepadanya. Dari hal itu terjadi karena Argapati pasti sudah mengenal Ki Tambak Wedi dengan baik dan sebaliknya. Tetapi agaknya Ki Tambak Wedi kini sedang dicengkam oleh kebimbangan.

“Mungkin Ki Tambak Wedi merasa bahwa ia telah gagal membentuk Sidanti menjadi seorang yang berpangkat di dalam tata keprajuritan Pajang,” berkata Argajaya di dalam hatinya, “tetapi hal itu sangat tergantung kepada banyak hal. Tidak dapat disalahkan kepada Ki Tambak Wedi sepenuhnya.”

Sejenak mereka kemudian saling berdiam diri. Kadang-kadang mereka diganggu oleh suara binatang-binatang hutan yang meraung dikejauhan. Tetapi sebagian besar dari mereka, binatang-binatang buas itu, keluar dari sarang mereka di malam hari.

Dalam keheningan itu terdengar Sidanti bergumam. “Kalau kita sudah keluar dari hutan ini, maka kita akan berjalan lebih cepat. Tetapi sebelum kita masuk ke Menoreh, kita harus menjadi orang-orang yang pantas berjalan di tanah perdikan ayahku itu.”

“Kau akan mencari pakaian di sepanjang jalan?” bertanya Argajaya.

“Ya, tidak hanya untuk aku sendiri, tetapi untuk guru dan paman juga.”

Argajaya tidak menyahut lagi sedang gurunya pun masih berdiam diri. Dengan pakaian mereka yang kumal itu ternyata mereka tidak terlampau banyak menarik perhatian orang. Hanya karena mereka membawa senjata yang agak tidak lazim dibawa oleh orang-orang padesan sajalah yang kadang-kadang membuat beberapa orang mengawasi mereka sampai beberapa langkah. Orang-orang padesan, hampir setiap orang, memang selalu membawa golok. Bukan saja senjata untuk menghadapi binatang-binatang buas yang memang sering datang ke sawah dan ladang mereka, tetapi juga untuk memotong dan menebas kayu. Golok atau parang itu selalu terselip di pinggang mereka di dalam wrangka yang sederhana.

Tetapi ketiga orang ini membawa senjata-senjata yang lain. Pedang, tombak pendek dan senjata yang disembunyikan di dalam selongsong kain putih.

Beberapa orang dapat mencoba menjawab pertanyaan yang bergelut di dalam dada mereka tentang ketiga orang itu. Mereka adalah pemburu-pemburu binatang hutan. Tetapi yang lain mencurigai mereka sebagai orang-orang jahat yang berkeliaran mencari sasaran yang baik.

Tetapi apabila mereka telah sampai di kampung halaman sendiri, maka pakaian yang kumal dan bernoda darah itu akan justru menjadi pembicaraan. Mungkin mereka membuat tanggapan-tanggapan kehendak mereka sendiri. Mungkin mereka mengagumi, tetapi mungkin mencurigai.

Perjalanan seterusnya di dalam hutan itu hampir tidak menjumpai persoalan-persoalan yang berarti. Mereka hanya menjumpai rintangan-rintangan alam yang ketat dan padat. Tetapi mereka tidak bertemu dengan penyamun atau perampok-perampok kecil. Tetapi justru membuat mereka menjadi heran.

Akhirnya mereka itu pun keluar dari hutan itu. Harapan Sidanti untuk bertemu dengan seseorang atau segerombolan penyamun tidak terpenuhi sampai pohon yang terakhir mereka lampaui. Sidanti tidak mendapat tempat untuk menumpahkan kemarahan yang terendam di dalam dada bersama dendam dan kebencian.

“Sidanti,” berkata gurunya ketika mereka telah berada sebuah lapangan perdu. “Aku tidak ingin mengecewakan kau. Tetapi aku juga tidak ingin perjalanan ini terganggu. Kau jangan mencari-cari persoalan saja di sepanjang jalan. Kau dapat berbuat sesuka hatimu di hutan Mentaok terhadap gerombolan penyamun dan perampok. Tetapi kau tidak dapat berbuat demikian dengan orang-orang lain yang akan kau jumpai di perjalanan ini. Kita akan segera menginjak padesan dan pedukuhan. Beberapa Kademangan dan sudah ada yang mengenal kau, atau angger Argajaya sebagai putera dan adik Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Kala kau berbuat sesuka hatimu yang akan dapat menyakitkan hati mereka, maka berita itu akan segera tersebar sampai kepada orang Menoreh, mungkin akan sampai pula kepada keluargamu. Kepada ayahmu, Argapati.”

Sidanti mengerutkan keningnya. Tetapi ia menjawab, “Aku masih memerlukan pakaian tiga pengadeg guru. Buat aku, paman Argajaya, dan guru.”

Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Pendapat ini memang ada benarnya. Ia tidak akan dapat masuk ke tlatah Menoreh dengan keadaannya. Karena itu maka ia tidak segera dapat menjawab.

“Bagaimana guru?”

Ki Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam, Tetapi persoalan itu telah memukul dadanya seperti tangan-tangan yang keras dan kuat. Seorang yang mempunyai nama yang menakutkan di lereng Gunung Merapi terpaksa melakukan perampasan yang tidak berarti sekedar untuk berganti pakaian. Perbuatan itu tidak ubahnya dengan perbuatan pencuri-pencuri ayam yang takut kelaparan Tetapi keadaannya memang memerlukannya.

“Apakah tidak ada jalan lain Sidanti?”

“Membeli ? Atau menukarkan senjata kita?” sahut Sidanti yang hampir-hampir tenggelam dalam arus perasaannya.

“Hem,” Ki Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam. Hampir-hampir ia membentak anak muda yang kasar itu. Tetapi ia sadar, bahwa Sidanti sedang dicengkam oleh kekecewaan yang bertubi-tubi. Karena itu maka anak itu akan dapat menjadi semakin berputus asa apabila ia ikut pula menyakitkan hatinya.

Sesaat kemudian orang tua itu bertanya, “Lalu cara apakah yang akan kau lakukan Sidanti, seperti caramu yang pernah kau perbuat untuk mendapatkan bajumu itu?”

“Aku akan berbuat baik guru, tetapi kalau orang itu menentang maksudku, maka aku akan berbuat dengan kekerasan.”

“Hem,” sekali lagi Ki Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam.

“Aku tidak melihat cara lain,” gumam Sidanti.

Ki Tambak Wedi tidak menyahut lagi. Akhirnya ia tidak lagi mau memikirkannya. Kepalanya sendiri sudah cukup pening memikirkan apa yang akan terjadi nanti sesudah ia bertemu dengan Argapati. Pertemuan yang menggetarkan jantungnya. Banyak persoalan-persoalan yang terpendam di dalam dadanya. Tetapi apakah dengan kegagalan Sidanti ini, ia tidak akan menjadi semakin terdesak kedalam keadaan yang paling menyakitkan hati?

Mereka kemudian berjalan sambil berdiam diri. Masing-masing menyelusuri angan-angan sendiri. Tetapi ada kesamaan di antara mereka, kecewa, dendam, benci, dan kecemasan menghadapi masa datang.

Di sepanjang jalan, Sidanti mencoba untuk menemukan rumah yang mungkin dapat dimasukinya. Rumah yang di dalamnya tersimpan pakaian yang diperlukan. Tetapi agaknya rumah yang bertebaran di padukuhan-padukuhan dan padesan-padesan kecil yang dilampauinya, tidak Lebih dari rumah-rumah petani yang kekurangan.

“Gila,” gumamnya, lalu, “apakah tidak ada seorang pun yang cukup mampu untuk menyimpan tiga pengadeg pakaian?”

Gurunya dan pamannya tidak menyahut. Betapapun juga perasaan mereka masih terlampau berat untuk melakukan perampasan yang hina itu.

“Aku sudah tidak peduli lagi,” geram Sidanti, “tetapi aku harus masuk ke tanah ayahku sebagai putera Kepala Daerah Tanah Perdikan Menoreh.”

Tetapi di sepanjang perjalanan mereka, mereka benar-benar tidak menjumpainya. Padesan demi padesan, sehingga mereka telah menjadi semakin dekat dengan tlatah Menoreh.

“Gila,” Sidanti menjadi semakin jengkel. “Di depan kita terbentang hutan rindang. Hutan perburuan dari keluarga kita. Kalau aku belum mendapatkan pakaian, bagaimanakah kalau aku bertemu dengan keluarga Menoreh di perburuan itu.”

“Kalau demikian, tidak apa-apa,” sahut Argajaya, “adalah kebetulan sekali. Mereka akan dapat mengerti keadaan kita yang sebenarnya. Merekalah yang harus mencari pakaian untuk kita sebelum orang-orang Menoreh melihat kita. Kita masuk ke Tanah Perdikan kita sebagai seorang anggota keluarga kakang Argapati.”

“Tetapi apa kata ayah tentang kita?”

“Tidak apa-apa. Justru kakang Argapati akan mengerti yang sebenarnya telah terjadi dan mempercepat tindakan yang akan diambilnya.”

Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih juga heran melihat gurunya berwajah semakin muram. Gurunya sama sekali tidak membayangkan harapan bahwa setelah mereka sampai di Menoreh maka mereka akan menemukan suatu kekuatan untuk melepaskan dendam yang membara di pusar jantung mereka. Bahkan semakin dekat dengan Pegunungan Menoreh, maka ia me jadi semakin diam dan penuh dengan kebimbangan.

Ternyata teka-teki itu telah menggelisahkan hati Sidanti pula. Namun Sidanti tidak akan dapat memaksa gurunya untuk mengatakan. Ia masih tetap menyangka bahwa gurunya merasa cemas tentang nasibnya, karena ternyata ia tidak dapat maju dalam keprajuritan Pajang, bahkan kini ia tersingkir sebagai buruan.

Satu-satu padesan telah mereka lampaui. Akhirnya mereka sampai ke hutan yang tidak begitu lebat. Hutan yang sengaja dipelihara untuk menjadi tempat berburu keluarga Kepala Tanah Perdikan Menoreh.

Sidanti mengenal daerah ini sebaik-baiknya. Ia sendiri sering melakukan perburuan di hutan ini dahulu, ketika ia masih terlampau muda, sebelum ia mengikuti gurunya ke padepokan Tambak Wedi. Meskipun itu telah bertahun-tahun lampau tetapi seolah-olah baru kemaren terjadi. Derap kaki-kaki kudanya dan beberapa orang pengiringnya memecah kesunyian hutan ini. Beberapa ujung panah berterbangan mengejar binatang-binatang buruan yang berlari ketakutan.

“Hem,” Sidanti menarik nafas dalam-dalam. “Itu telah terjadi beberapa tahun yang lampau. Paman masih muda dan cekatan. Aku masih terlampau muda,” katanya di dalam batin.

Sidanti menggigit bibirnya seperti kenangan yang menggigit jantungnya. “Menyenangkan sekali,” desisnya.

Namun kemudian Sidanti meninggalkan tanah perdikan ini. Meninggalkan ayahnya, tanah kelahiran dan kawan-kawan bermain lebih dari sepuluh tahun yang lampau.

Seolah-olah terngiang kembali pesan ayahnya ketika ia telah siap berangkat bersama gurunya ke padepokan Tambak Wedi, “Sidanti, kau adalah harapan masa depan dari Tanah Perdikan ini. Kau harus mampu membawa dirimu. Kau harus menurut segala petunjuk dan perintah gurumu, supaya kau tidak tersesat jalan.”

“Ah,” Sidanti mengeluh. Apa yang sudah terjadi atas dirinya? Siapakah yang bersalah? Sidanti sendiri, atau gurunya, atau kedua-duanya?

Sidanti tidak berani mencari jawab. Digeleng-gelengkannya kepalanya untuk mengusir kenangan yang mengejar-ngejarnya. Ia ingin berdiri di atas kenyataannya. Dan ia akan melangkah ke depan dari keadaan yang ada kini. Ia tidak dapat berangan-angan dan tidak dapat melangkah surut ke beberapa tahun yang lampau. Tidak. Ia harus maju, seperti majunya waktu.

Sidanti tersadar ketika ia mendengar Argajaya berkata, “Kita harus bermalam di jalan semalam lagi, Kiai.”

Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. “Mungkin ngger. Tetapi kalau kita ingin berjalan tanpa diketahui orang, justru di malam hari.”

Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Ya Kiai, di malam hari kita dapat berjalan dengan aman, tanpa diketahui oleh siapa pun juga. Sebelum fajar kita akan sudah sampai di rumah kakang Argapati.”

Tetapi tiba-tiba Sidanti itu memotong, “Tetapi aku tidak ingin masuk ke halaman rumah ayahku dengan keadaan serupa ini. Aku harus pantas menjadi seorang anak yang tidak memalukan orang tua. Mungkin para peronda melihat kita, dan mereka akan berbicara kepada orang-orang lain. Tidak sampai sehari semalam seluruh tanah perdikan akan berkata, “Sidanti datang ke rumahnya kembali sebagai seorang pengemis yang paling malang.” Tidak, aku tidak mau.”

“Lalu apa yang akan kau lakukan? Merampas pakaian di tanah sendiri?”

“Aku dapat menyamar. Menutup mukaku dengan ikat kepala supaya aku tidak dikenal orang.”

“Mungkin karena kau sudah lama tidak berada di tanah ini. Tetapi bagaimana dengan aku?”

“Paman tidak perlu ikut. Biarlah aku lakukan sendiri.”

“Kau memang keras kepala Sidanti.” desis gurunya. Sidanti tidak menyahut. Tetapi gurunya menangkap sorot matanya. Ia tidak akan mengurungkan niatnya yang seolah-olah telah bulat, mencari pakaian yang baik untuk mereka bertiga.

“Bukan main anak ini,” desah Argajaya di dalam hatinya. Mereka telah berada di tlatah tanah sendiri. Bagaimana mungkin mereka dapat melakukannya. Apabila kemudian diketahui, bahwa yang melakukan itu adalah Sidanti, putera Argapati Kepala Tanah Perdikan Menoreh, lalu dimana Argapati harus menyembunyikan wajahnya.

Tetapi Sidanti benar-benar tidak mau mundur.

Ketika matahari menjadi semakin dalam terbenam di balik cakrawala, mereka telah sampai di ujung hutan itu. Sejenak lagi mereka akan keluar dan sampai ke padesan tlatah Menoreh. Padesan yang subur, yang di antara penghuninya ada beberapa orang yang cukup memberi kesempatan kepada Sidanti melakukan niatnya.

“Anak ini tidak dapat dicegah lagi,” desis Argajaya, “mudah-mudahan anak ini tidak melakukannya di rumah Kiai Sentol. Orang itu mengenal baik-baik siapakah aku. Aku sering singgah di rumahnya jika aku pergi berburu. Bahkan kakang Argapati pun tinggal di rumah itu pula untuk beristirahat setiap kali ia pergi berburu.”

“Kita berjalan terus guru,” desis Sidanti. Ia sudah tidak lagi banyak membuat pertimbangan-pertimbangan. Apalagi gurunya tidak sampai hati untuk menyakiti perasaan murid satu-satunya itu, sehingga dibiarkannya saja muridnya itu untuk menentukan sikapnya. “Semakin malam semakin baik. Aku akan mendapatkan pakaian itu. Siapa yang mencoba menentang, harus aku selesaikan.”

“Pakaian itu akan dikenal orang Sidanti. Bahwa pakaian itu milik seseorang. Apalagi kalau orang itu mencarinya dan orang Iain mengatakan bahwa pakaian itu dipakai oleh Sidanti, pamannya, dan gurunya,” desis Ki Tambak Wedi.

“Kita berjalan di malam hari. Sebelum pagi kita harus sudah sampai di rumah. Dan kita akan segera mengganti pakaian yang kita rampas itu, untuk dibakar.”

Ki Tambak Wedi hanya dapat menggeleng-gelengkan kepala mendengar jawaban muridnya. Sidanti memang keras kepala. Ia benar-benar tidak mau masuk ke halaman rumahnya dengan pakaian yang tidak pantas. Harga dirinya telah memaksanya untuk berkeras kepala, meskipun cara yang akan ditempuhnya dapat justru berakibat sebaliknya. Tetapi gurunya tidak akan dapat mencegahnya. Karena itu, maka sekali lagi Tambak Wedi membiarkannya saja berbuat sesuka hatinya, seperti yang dikehendakinya. Sikap Ki Tambak Wedi yang demikian, yang berulang kali telah dilakukan, untuk menanggapi persoalan-persoalan yang kecil maupun yang besar yang dilakukan oleh Sidanti, ternyata menjadi pendorong bagi anak itu untuk menjadi semakin keras kepala.

Sejenak kemudian mereka terdiam. Hanya langkah-langkah mereka sajalah yang terdengar gemerisik di atas tanah berbatu-batu. Sekali-sekali angin malam yang dingin berhembus mengusap tubuh-tubuh mereka yang berkeringat.

“Daerah ini masih belum banyak berubah sejak saat terakhir aku menjenguk keluargaku beberapa tahun yang lalu,” desis Sidanti kemudian untuk menghilangkan ketegangan yang mencekam jantungnya.

“Ya,” sahut pamannya, “belum banyak perubahan. Jalan ini masih juga berdebu. Padesan yang kita lalui adalah padesan seperti lima tahun yang lalu.”

Sidanti mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia bergumam , “He, bukankah di ujung padesan ini ada sebuah rumah joglo yang besar dan baik?”

Dada Argajaya berdesir. Rumah joglo di ujung padesan ini adalah rumah Ki Sentol.

“Bukankah begitu paman? Rumah itu cukup besar dan cukup bersih, sehingga isinya pun aku kira cukup banyak. He, bukankah kita pernah singgah di rumah itu pada saat-saat kita berburu dahulu?”

“Selalu Sidanti. Ayahmu selalu singgah di rumah itu apabila pergi berburu. Bahkan sekali-sekali bermalam pula di situ. Aku selalu singgah pula di rumah itu.”

Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba pula ia berdesis, “Aku akan mencari pakaian di rumah itu.”


“Sidanti,” dengan serta merta pamannya memotong, “jangan.”

“Kenapa?”

“Rumah itu selalu didatangi oleh keluarga ayahmu. Rumah itu seolah-olah telah menjadi pesanggrahan bagi keluarga kita apabila kita pergi berburu di hutan perburuan itu. Kau jangan menyakiti hatinya. Ia akan dapat menyampaikannya kepada kakang Argapati. Dan kau pasti tahu, bahwa kakang Argapati tidak senang kepada perbuatan-perbuatan yang demikian.”

“Tetapi orang itu tidak akan tahu siapa aku.”

“Jangan. Meskipun orang itu tidak tahu siapa kau karena kau dapat menutup wajahmu dengan ikat kepalamu misalnya atau dengan apapun, tetapi seandainya perbuatanmu itu tidak dapat diketahui orang meskipun lambat laun, maka kau pasti akan menyesal.”

“Bagaimana akan dapat diketahui paman? Sudahlah, jangan menjadi cemas. Aku tidak akan merampok apa pun kecuali tiga pengadeg pakaian. Sesudah itu, kita akan berjalan di malam hari. Kita masuk ke halaman rumah untuk menemui ayah sebagai orang-orang yang pantas menyebut dirinya keluarganya. Keluarga Kepala Tanah Perdikan Menoreh.”

“Terserah kepadamu Sidanti. Tetapi jangan di rumah itu.”

“Aku tidak ingin kehilangan kesempatan kali ini, paman. Kalau aku melepaskannya, mungkin untuk waktu yang lama aku tidak akan menemukan rumah sebaik itu. Semakin dekat dengan rumahku, maka aku akan menjadi kian sulit. Orang-orang di situ akan menjadi semakin besar kemungkinannya untuk mengenal aku.”

Argajaya menarik nafas dalam? Anak ini memang keras kepala.

“Sidanti, kalau kau hanya ingin tiga pengadeg pakaian saja maka aku kira kau tidak perlu masuk ke rumah joglo di ujung padesan itu. Rumah-rumah di desa ini cukup baik dan kemungkinan kau menemukan pakaian itu cukup besar.”

“Tetapi pakaian-pakaian kumal seperti yang kita pakai ini. Tidak. Aku harus mendapat pakaian yang pantas dipakai oleh seorang putera Kepala Tanah Perdikan, pamannya, dan gurunya.”

“Terserahlah kepadamu. Aku tidak akan ikut serta.”

“Akan aku lakukan sendiri. Paman dan guru sebaiknya menunggu saja di tempat yang terlindung. Aku yakin orang itu tidak akan mengenal aku.”

Argajaya menggeleng-gelengkan kepalanya. Anak ini memang anak bengal. Sejak kanak-kanak.

Rupanya Sidanti benar-benar akan melakukan maksudnya. Ketika mereka telah sampai di dekat rumah ujung jalan, yang terpancang di tengah-tengah halaman yang luas, ia berhenti. Kemudian dilepaskannya ikat kepalanya untuk menutupi wajahnya. Perlahan-lahan ia berdesis, “Tunggulah aku di luar desa ini paman. Aku akan membawa pakaian untuk paman dan guru. Aku akan masuk ke rumah ini untuk mencarinya.”

“Sidanti,” nada suara gurunya terlampau datar dan dalam. Sesuatu agaknya telah terlampau memberati hatinya. “Aku kira kau tidak hanya sekedar ingin masuk ke rumahmu sebagai seorang putera Argapati yang besar itu. Tetapi hatimu juga telah dikoyak oleh dendam yang tidak dapat kau tahankan lagi. Tetapi Sidanti. Aku pesan kepadamu, jangan berbuat-terlampau kasar. Tanah ini, adalah tanah ayahmu. Tanahmu sendiri. Dan kau telah sampai hati untuk menodainya. Kau telah terlampau mementingkan dirimu sendiri. Sidanti, jangan sampai kau terdorong oleh dendam di dalam dadamu sehingga kau kehilangan pengamatan diri dan berbuat sesuatu yang semakin menambah parah luka di dalam hati kita, supaya aku tidak kehilangan kesabaran dan bertindak sendiri atasmu yang keras kepala itu.”

Dada Sidanti berdentang mendengar ancaman gurunya itu. Sejenak wajahnya memerah seperti soga. Tetapi wajah itu kemudian menjadi pucat dan berkeringat. Ia sadar, bahwa gurunya telah hampir kehabisan kesabaran. Karena itu maka ia tidak berani membantahnya. Ia kenal benar sifat gurunya. Apabila ia kehilangan pengamatan diri, maka ia pasti benar-benar akan bertindak.

Karena Sidanti tidak segera menjawab, Ki Tambak Wedi menggeram, “Kau mengerti Sidanti?”

“Ya guru,” sahut anak muda itu.

Ki Tambak Wedi kemudian tidak berbicara lagi. Langkahnya menjadi semakin cepat, diikuti oleh Argajaya. Mereka seolah-olah tidak menghiraukan lagi, apa yang akan dilakukan oleh Sidanti.

Sidanti masih berdebar-debar mengingat kata-kata gurunya. Tetapi ia merasa, bahwa gurunya masih memberinya kesempatan. Karena itu, maka ia tidak mengikuti gurunya keluar dari desa. Ia tetap pada niatnya untuk mendapatkan pakaian, supaya ia pantas masuk ke dalam rumah ayahnya, Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang besar dan kaya.

Sidanti kemudian berdiri termangu-mangu di muka regol halaman yang luas itu. Sejenak ia masih melihat bayangan gurunya dan pamannya berjalan menjauh. Tetapi bayangan itu kemudian seolah-olah lenyap ditelan gelap.

“Mereka akan menunggu aku di luar desa ini,” gumam Sidanti.

Ketika kedua bayangan itu telah hilang, maka terasa dada Sidanti menjadi lapang. Seolah-olah ia sudah tidak terikat lagi kepada kedua orang itu. Kini ia merasa bebas untuk berbuat sesuai dengan kehendaknya.

Sejenak ia berdiri tegak memandangi pintu regol halaman yang tertutup. Terasa dadanya diganggu oleh debar jantungnya yang menjadi semakin cepat. Tetapi sejenak kemudian ia sudah berhasil menguasai perasaannya.

Perlahan-lahan ia melangkah maju. Kini tubuhnya menjadi kemerah-merahan oleh sinar oncor yang terpasang di regol halaman. Namun terasa halaman itu terlampau sepi. Ia tidak melihat seorang pun yang berjalan di halaman. Sepi.

Dengan tangannya Sidanti menyentuh pintu regol. Ternyata pintu regol itu tidak dipalang dari dalam. Dengan hati-hati pintu itu didorongnya. Dan dengan hati-hati pula ia melangkah masuk.

Halaman rumah itu benar-benar sepi. Yang terdengar hanyalah gemerisik angin yang membelai dedaunan.

Sidanti merasa aneh. Ia adalah seorang yang hampir tidak pernah diganggu oleh perasaan takut. Tetapi kali ini merasakan sesuatu yang lain di dalam dirinya. Ia merasa seolah-olah diintai oleh sepasang mata yang selalu mengikutinya di dalam gelapnya malam.

“Aku diganggu oleh perasaanku,” katanya di dalam hati, “ini adalah akibat dari pesan guru dan keragu-raguan paman. Rumah ini adalah rumah Ki Sentol. Rumah seseorang yang telah mengenal keluargaku dengan baik. Tetapi kalau aku lampaui rumah ini, maka belum tentu aku akan menjumpai rumah seperti ini. Rumah yang menyimpan pakaian yang pantas untuk kami bertiga.”

Sidanti masih berdiri tegak di tempatnya. Kini ia menjadi ragu-ragu. Justru karena itu, maka perasaannya menjadi semakin mengganggunya. Seolah-olah di balik kegelapan itu benar-benar memancar sepasang mata yang tajam sedang mengawasinya.

“Gila,” geram Sidanti, “aku tidak takut. Biar seisi desa ini keluar dari rumahnya, mengeroyok aku bersama-sama, aku tidak akan takut.” Terdengar anak muda itu menggeretakkan giginya. Tetapi ia mendengar suara di dalam dirinya. “Ya, kau akan mampu membunuh semua laki-laki seisi desa ini. Tetapi kalau masih ada yang hidup seorang saja di antara mereka. Dan mengenal bahwa kau adalah Sidanti, putera Kepala Tanah Perdikan ini, maka apakah kira-kira kata orang tentang dirimu, tentang Sidanti putera Ki Gede Menoreh yang perkasa, yang disegani oleh rakyatnya?”

Sidanti menggelengkan kepalanya. Ia mencoba mengusir perasaan yang membelit jantungnya. Ia ingin membebaskan dirinya dari kegelisahan dan kebimbangan.

“Aku harus dapat melakukannya. Aku bukan laki-laki cengeng. Aku hanya memerlukan pakaian itu. Tidak yang lain-lain.”

Sekali lagi Sidanti menggeretakkan giginya. Tiba-tiba ia melangkah. Tetapi tidak mendekati pendapa yang remang-remang oleh cahaya pelita yang redup. Dengan tergesa-gesa ia meloncat ke tempat yang gelap terlindung oleh dedaunan.

“Setan,” ia menggeram, “kenapa aku bersembunyi. Aku harus naik ke pendapa. Mengetuk pintu dan berkata terus terang. Aku membutuhkan tiga pengadeg pakaian yang baik. Itu saja. Sidanti mencoba mengatur detak jantungnya. Disapunya halaman itu dengan sorot matanya. Ia tidak melihat sesuatu. Ya, matanya tidak melihat sesuatu. Tetapi perasaannya selalu memperingatkan kepadanya, bahwa sepasang mata sedang mengintainya.

“Siapa? Siapa?” giginya sekali Iagi bergemeretak.

Darahnya tersirap ketika tiba-tiba ia dikejutkan oleh ringkik kuda dikejauhan. Di dalam kandang, di belakang rumah.

“Gila,” ia menggeram pula, “suara kuda itu mengejutkan aku. Kalau sekali lagi ia meringkik, aku patahkan lehernya.” Tiba-tiba debar di dadanya semakin keras memukul dinding jantungnya. “Apakah Ki Sentol atau seseorang anggota keluarganya sedang berada di kandang kuda itu?”

“Tidak. Aku harus datang sebagai laki-laki. Aku harus mengetuk pintu dan berkata berterus terang.”

Sidanti kemudian membulatkan tekadnya. Ia tidak akan gentar menghadapi apapun. Dengan langkah yang berat ia berjalan ke pendapa. Tetapi meskipun demikian, ia seolah-olah merasa bahwa seseorang sedang memandangnya. Firasat itu biasanya tidak terlampau jauh menyimpang.

Dan sebenarnyalah bahwa sepasang mata yang tajam sedang memandanginya dari ujung gandok rumah itu, dari tempat yang gelap.

Sepasang mata itu melihat bayangan yang mencurigakan masuk, ke dalam halaman. Meskipun tidak begitu jelas, tetapi mata itu melihat bahwa bayangan yang masuk regol itu menutup wajahnya dengan ikat kepalanya. Cahaya lampu yang redup di regol itu dan sinar yang lemah yang meloncat dari pendapa, sedikit dapat membantunya.

Adalah kebetulan sekali bahwa karena udara yang sesak ia berada di luar gandok rumah itu untuk mengisap sejuknya nafas malam di antara dedaunan yang bergoyang disentuh angin yang silir. Ketika ia melihat sesosok tubuh muncul dari balik pintu regol halaman, maka segera ia meloncat dengan lincahnya ke tempat yang terlindung. Apalagi ketika ia melihat orang yang masuk ke halaman itu terlampau mencurigakan.

Dengan tajamnya ia mengikuti segala gerak Sidanti. Ia melihat Sidanti berdiri termangu-mangu. Ia melihat Sidanti meloncat ke tempat yang gelap. Kemudian ia melihat Sidanti berjalan lambat ke pendapa.

“Siapakah yang ingin berbuat gila itu?” pertanyaan itu tumbuh di dalam hatinya.

Sejenak ia masih berdiri mematung. Tetapi ia sama sekali tidak melepaskan Sidanti dengan pandangan matanya yang bulat tajam.

Tanpa disengajanya tangannya meraba lambungnya. Kiri dan kanan. Sepasang pedang yang tipis tergantung di kedua belah sisi. Sepasang pedang yang hampir tidak pernah terlepas daripadanya, meskipun ia sedang tidur sekali pun jika tidak di rumahnya sendiri.

Dan malam ini ia tidak berada di rumahnya sendiri, ia adalah tamu Ki Sentol, pemilik rumah itu. Ia mendapat tempat di gandok bersama tiga orang temannya. Tetapi ia sendiri, berada di biliknya. Ketiga kawannya berada di bilik yang lain, sehingga saat itu ia sendiri pulalah yang perada di luar gandok.

Kini ia melihat Sidanti itu berdiri di depan tangga pendapa. Ia melihat di lambung Sidanti itu pun tergantung sebilah pedang. Tetapi ia tidak dapat melihat wajah yang tersembunyi di balik ikat kepalanya.

“Apakah aku harus menunggu orang itu naik ke pendapa dan masuk ke dalam pringgitan, atau berbuat apa saja?” katanya di dalam hati.

Sejenak ia menjadi ragu-ragu. Tetapi akhirnya ia berdesis lambat, “Aku harus mencegah sebelum ia naik. Lebih baik aku selesaikan saja orang itu sendiri. Mudah-mudahan aku tidak memerlukan kawan untuk menangkapnya dan menyerahkannya Kepada Ki Sentol nanti untuk diselesaikan.”

Tetapi ternyata orang yang bermata bulat tajam itu masih ragu-ragu. Apakah orang ini orang Ki Sentol sendiri?

“Mustahil,” gumamnya, “sikapnya dan tutup di wajahnya itu meyakinkan, bahwa orang itu bermaksud jahat.”

Akhirnya orang itu membulatkan hatinya. Ia harus menahan orang yang memakai tutup di wajahnya itu. Karena itu, maka segera ia membenahi pakaiannya. Disingsingkannya lengan bajunya, kain panjangnya dan dikuatkannya ikat pinggangnya.

“Aku harus mendapat gambaran tentang kemampuan orang itu,” katanya di dalam hati.

Maka diambilnya sebutir batu kerikil sebesar biji rambutan. Dengan kerikil itu ia ingin mengetahui, siapakah yang akan dilawannya.

Ketika ia sudah mendapatkan kerikil itu, maka segera ia meloncat dari kegelapan. Dengan teguhnya ia berdiri di alas kedua kakinya yang merenggang. Ia mengharap bahwa orang yang bertutup di wajahnya itu mendengar langkahnya.

Ternyata harapannya tidak sia-sia. Sidanti yang mendengar langkah halus itu segera meloncat, memutar tubuhnya dan menghadap ke arah suara itu. Darahnya tersirap ketika ia melihat sesosok bayangan berada di kegelapan.

Sebelum ia sempat berbuat sesuatu, matanya yang tajam telah menangkap sebutir benda yang terbang dengan kecepatan yang luar biasa menyambar dadanya.

Tetapi Sidanti adalah murid satu-satunya dari perguruan Tambak Wedi. Sehingga kali ini pun ia sama sekali tidak mengecewakan.

Betapa pun cepat terbang sebutir batu kerikil itu, namun ternyata Sidanti mampu bergerak lebih cepat. Ia menarik sebelah kakinya, dan dengan gerak yang tidak terlampau banyak, ia memiringkan tubuhnya. Kerikil itu terbang senyari dari dadanya.

“Betapa tangkasnya,” berkata orang yang melemparnya di dalam hatinya. Namun dengan demikian ia menyadari, dengan siapa ia berhadapan. Orang yang menutup wajahnya dengan ikat kepala itu ternyata seorang yang tangkas, setangkas kijang.

Tetapi orang itu tidak gentar. Ketangkasan Sidanti merupakan peringatan baginya, bahwa ia harus berhati-hati.

Sidanti, yang berhasil membebaskan dirinya dari sambaran batu kerikil, sejenak menjadi bingung. Bukan karena ia menjadi cemas atau takut. Tetapi ia merasa bahwa seseorang melihatnya dan langsung menyerangnya. Orang itu tidak memberinya banyak kesempatan. Dengan hadirnya orang itu, maka rencananya menjadi bubrah. Gambaran di dalam otaknya adalah dengan sekali bentak Ki Sentol akan menjadi ketakutan dan tidak banyak persoalan lagi yang dikemukakan, langsung akan diberikannya tiga pengadeg pakaian. Tetapi ternyata orang itu, yang berdiri di dalam keremangan malam telah menyerangnya?

Sidanti menjadi ragu-ragu. Ia mencemaskan dirinya bukan karena takut menghadapi sepasang pedang. Tetapi, bagaimanakah kalau dirinya kemudian dikenal.

Dadanya menjadi semakin berdebar-debar ketika ia melihat bayangan yang membawa sepasang pedang di kedua lambungnya itu berjalan perlahan-lahan mendekatinya.

Sidanti, seorang yang memiliki pengalaman yang cukup, segera dapat mengetahui, bahwa orang yang berjalan itu memiliki kepercayaan yang kuat kepada dirinya sendiri. Langkahnya yang tetap dan pandangannya yang lurus ke depan. Tetapi jarak mereka masih belum terlampau dekat. Karena itu, Sidanti masih belum dapat melihat bayangan itu dengan jelas.

Tetapi Sidanti tidak dapat berpikir terlampau lama. Ia semakin di desak oleh kecemasan di dalam dirinya. Ia sama sekali tidak takut menghadapi orang itu betapa tinggi ilmunya, yang paling dicemaskannya adalah apabila kemudian dirinya dapat dikenali sebagai Sidanti, putera Kepala Tanah Perdikan Menoreh.

Karena itu, maka ia harus segera mengambil keputusan. Ia harus segera berbuat sesuatu.

Ternyata sikap bayangan dalam kegelapan yang masih melangkah satu-satu mendekatinya itu benar-benar telah membakar dadanya. Kegelisahan yang bercampur-baur dengan darah mudanya, melihat seseorang yang terlampau yakin kepada kekuatan sendiri, ternyata segera menyala memanasi jantungnya. Meskipun demikian ia masih ingat pesan gurunya yang tajam dengan ancaman. Karena itu, maka ia masih berusaha mengekang dirinya. Namun kegelisahan yang paling tajam menghunjam di dadanya adalah kegelisahan tentang dirinya. Bahwa ia adalah Putera Kepala Tanah Perdikan Menoreh.

“Hem,” desisnya kemudian, “aku harus menutup mulutnya. Orang itu harus diam dan tidak usah turut campur dalam persoalan ini. Orang-orang di rumah ini harus tidak tahu siapa aku. Kalau orang ini mendapat kesempatan terlampau banyak ia akan dapat mengganggu rencanaku.”

Sidanti yang kebingungan itu kemudian mengambil keputusan yang dirasanya paling aman. Meskipun ia masih mengingat pesan gurunya namun ia perlu membuat orang ini diam, meskipun tidak membunuhnya.

“Aku harus membuatnya pingsan untuk waktu yang cukup lama.”

Dengan keputusan itu, maka Sidanti tidak lagi menunggunya di halaman rumah itu. Selagi orang itu belum masuk ke dalam cahaya lampu yang lemah di halaman, Sidanti segera meloncat menyongsongnya.

“Mumpung masih berada di kegelapan. Aku mengharap, ia tidak dapat mengenali sama sekali siapa aku.”

Ternyata orang itu terkejut melihat sikap orang yang bertutup wajahnya itu. Ia tidak menyangka bahwa orang akan menyerangnya. Karena itu, maka langkahnya terhenti.

Tetapi serangan Sidanti datang terlampau cepat, sehingga kesempatan bayangan yang berpedang sepasang itu sangat kecil. Serangan yang tidak terduga-duga dan gerak yang terlampau cepat, membuatnya agak bingung. Karena itu, maka satu-satunya yang dapat dilakukannya adalah menghindari jauh-jauh supaya ia mendapat waktu untuk mengatur perlawanannya.

Dengan demikian maka orang itu menjadi semakin masuk kembali ke dalam kegelapan. Loncatannya yang lincah dan cepat, telah melemparkannya ke dalam bayangan yang kelam.

Tetapi Sidanti ternyata tidak ingin memberinya kesempatan. Tanpa berkata sepatah kata pun serangannya datang beruntun. Ia ingin menjatuhkan orang itu, membuatnya pingsan dan meninggalkannya di dalam gelap. Ia ingin mendapat kesempatan untuk masuk ke dalam rumah Ki Sentol dan segera meninggalkannya.

Serangan Sidanti yang datang membadai itu telah mendorong lawannya semakin dalam. Orang itu berloncatan kian kemari untuk menghindari serangan-serangan Sidanti. Tetapi ternyata geraknya cukup cepat dan cekatan sehingga beberapa saat kemudian, ia telah menemukan keseimbangan perlawanannya.

“Setan,” geram Sidanti. Ia sama sekali tidak menduga bahwa ia akan bertemu dengan seseorang yang dapat menghindari serangan-angannya yang datang beruntun. Ternyata orang ini memiliki ilmu yang cukup untuk melawannya.

Dengan demikian Sidanti menjadi semakin gelisah. Kalau ia tidak segera dapat menguasai lawannya, maka akibatnya akan sangat menyulitkannya. Apabila datang orang-orang lain, menyaksikan perkelahian itu, apalagi kemudian mengenalnya, maka ia akan kehilangan namanya. Bahkan mungkin ayahnya pun akan terlampau marah kepadanya. Juga gurunya sendiri, Ki Tambak Wedi.

“Aku harus segera berhasil,” desisnya.

Tetapi perkelahian itu menjadi semakin seru. Orang itu benar-benar dapat mengimbangi ketangkasan dan kecepatan bergerak Sidanti.

Dalam kegelapan malam, dan dalam kegelapan pikiran, Sidanti tidak sempat memperhatikan wajah orang itu. Ia merasakan sesuatu yang agak aneh pada lawannya. Tenaganya tidak terlampau kuat, tetapi kecepatannya melampaui kecepatan sambaran burung sikatan. Dalam perkelahian yang segera menjadi semakin sengit, Sidanti belum dapat mengenali ilmu yang dipakai oleh lawannya. Tetapi segera ia mendapat kesimpulan, bahwa orang ini sama sekali bukan murid Ki Tanu Metir. Bukan Agung Sedayu, apalagi Swandaru, yang mempunyai ciri tubuh yang khusus dan akan langsung dapat dikenalinya.

Sekali-kali Sidanti ingin juga melihat wajah lawannya. Tetapi dalam gerakan-akan yang cepat, apalagi di dalam kelamnya malam dan terlindung oleh dedaunan, maka wajah itu tidak segera jelas baginya.

Semakin lama perkelahian itu berlangsung, dada Sidanti menjadi semakin dicengkam oleh kegelisahannya. Bahkan kadang-kadang tumbuh samar-samar sifat-sifatnya yang keras. Sekali-kali berdenyut di nadinya keinginan untuk membunuh saja lawannya itu. Dengan demikian ia akan segera dapat menyelesaikan pekerjaannya. Tetapi setiap kali ia selalu teringat kepada pesan gurunya. Pesan yang disertai dengan ancaman yang tajam.

Karena itu, maka di samping bertahan terhadap serangan-angan lawannya yang cepat, Sidanti harus juga bertahan terhadap perasaan sendiri. Ia harus berusaha untuk tetap sadar, bahwa gurunya tidak ingin persoalan ini melibatkan dirinya ke dalam keadaan yang semakin parah. Itulah sebabnya, maka ia harus berhati-hati. Berbuat tanpa kehilangan keseimbangan.”

Namun ternyata lawannya bukan lawan yang dapat dianggapnya ringan. Sidanti sama sekali tidak menyangka, bahwa di daerah ini dijumpainya seseorang yang memiliki kecakapan tata bela diri setinggi itu. Kegelisahan yang membakar dada Sidanti semakin lama menjadi semakin panas. Kadang-kadang terasa di dalam hatinya, penyesalan atas keterlanjuran. Kini ia terlibat dalam keadaan yang sulit. Kalau ia kehilangan pengamatan diri, maka mungkin ia akan melakukan perbuatan yang membuat gurunya sangat marah kepadanya.

Sementara itu perkelahian mereka menjadi semakin seru. Ternyata orang yang berpedang rangkap itu benar-benar lincah. Langkahnya ringan dan cekatan. Serangan-serangannya berbahaya, langsung menuju ke bagian tubuh Sidanti yang berbahaya.

“Bukan main,” Sidanti berdesah di dalam dadanya, “seandainya guru tidak berpesan wanti-wanti.”

Namun seandainya demikian, maka Sidanti pasti tidak akan dapat juga menyelesaikan perkelahian itu dengan segera. Meskipun seandainya Sidanti mengerahkan segenap tenaganya, tanpa mencemaskan nasib lawannya sekalipun, maka Sidanti pasti akan memerlukan waktu yang lama.

Sekali-sekali timbul juga niatnya untuk bertanya, siapakah orang yang telah mengganggu rencananya itu. Tetapi ia takut, bahwa suaranya akan dapat dikenal, sehingga lawannya itu dapat mengetahuinya, bahwa ia adalah putera Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi tanpa bertanya kepada lawannya itu, ia selalu diganggu saja oleh pertanyaan di dalam dadanya. “Siapakah orang ini, siapakah orang ini?”

“Tetapi,” gumam Sidanti kemudian di dalam hati, “seandainya aku bertanya, orang itu pun pasti tidak akan menyebut dirinya.”

Dengan demikian, Sidanti sudah tidak ingin lagi bertanya atau mengucapkan sepatah kata pun. Ia takut kalau justru dengan demikian orang itu dapat mengenalnya.

Yang dilakukan kemudian adalah mendesak lawannya sekuat kemampuannya. Ia harus dapat menguasainya, menjatuhkannya dan membuatnya pingsan.

Tetapi lawannya ternyata tidak menyerahkan dirinya begitu saja. Semakin sengit datangnya serangan-angan Sidanti, maka perlawanan orang itu pun menjadi semakin gigih.

Ternyata, bukan Sidanti sajalah yang diganggu oleh pertanyaan tentang lawannya. Orang yang berpedang rangkap itu pun ternyata bertanya-tanya juga di dalam hatinya, siapakah orang yang wajahnya ditutup dengan ikat kepala itu? Orang itu pun sama sekali tidak menyangka, bahwa rumah ini akan didatangi oleh seseorang yang memiliki ilmu berkelahi yang demikian tinggi. Bahkan setelah mereka berkelahi beberapa lama, orang itu mengakui di dalam hatinya, bahwa apabila perkelahian itu berlangsung lama, ia merasa, bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan lawannya yang wajahnya tertutup oleh ikat kepalanya.

“Tetapi aku belum tahu, apakah ia juga seorang ahli bermain pedang,” desisnya di dalam hati.

Namun sampai sekian lama, mereka berdua masih belum menarik pedang mereka dari wrangkanya.

Sidanti merasa bahwa pedang di tangannya akan sangat berbahaya. Kalau ia kehilangan pengamatan diri atau akan terulang lagikah nasib Plasa Ireng dan Alap-alap Jalatunda. Tetapi apabila demikian, kali ini gurunya pasti tidak akan memaafkannya lagi.

Tetapi akhirnya Sidanti tidak dapat mengelak lagi. Ia terkejut ketika ia melihat lawannya tiba-tiba saja telah menggenggam sepasang pedangnya di kedua tangannya. Geraknya terlampau cepat, hampir tidak dapat dilihat oleh mata.

Dada Sidanti berdesir. Ia sadar bahwa lawannya adalah seorang yang cakap mempergunakan senjatanya.

Ketika sejenak mereka terhenti, Sidanti mencoba untuk mengamati wajah lawannya. Tetapi sekali lagi ia terperanjat. Sebelum ia sempat memandang wajah itu, matanya telah melekat di ujung pedang lawannya. Ujung pedang yang bergerak seperti tatit di udara menyambar pundaknya.

Dengan dada yang berdebar-debar Sidanti meloncat menghindari sambaran senjata itu. Tetapi ternyata serangan itu tidak terhenti sampai sekian. Ujung pedang lawannya itu pun segera mengejarnya. Hampir berbareng kedua mata pedang itu mematuk kedua pundaknya.

Berkali-kali Sidanti harus berloncatan menghindar sebelum akhirnya ia memutuskan, bahwa ia pun harus mempergunakan pedangnya.

Demikianlah sesaat kemudian keduanya telah menggenggam senjata di tangan masing-masing. Sidanti dengan pedang tunggal, sedang lawannya mempergunakan sepasang pedangnya yang tipis.

Dengan demikian maka perkelahian itu pun menjadi semakin lama semakin seru. Keduanya mampu bergerak secepat kilat yang menyambar-nyambar. Keduanya lincah dan cekatan.


Dalam pada itu, perhatian Sidanti terhadap lawannya semakin lama menjadi semakin besar. Ia melihat beberapa kelainan pada lawannya itu. Lawannya hampir tidak pernah membentur serangan. Sidanti menyadari bahwa kekuatan lawannya tidak sebesar kekuatannya. Tetapi lebih dari pada itu. Betapa pun mereka terlibat dalam perkelahian yang sengit, namun gerak lawannya yang cepat cekatan itu mengandung suatu unsur yang tidak dimengertinya. Membingungkan, tetapi ia melihat seolah-olah lawannya itu berubah menjadi seorang penari yang mampu menggerakkan berpasang-pasang pedang bersama-sama.

Sidanti adalah seorang anak muda yang berpengalaman, ia pernah berkelahi melawan orang-orang dengan bermacam-macam watak dan kebiasaan. Ia pernah berkelahi melawan Plasa Ireng yang tangguh tanggon seperti seekor badak. Ia pernah berkelahi melawan Alap-alap yang kasar tetapi trengginas, dengan senjatanya yang menyambar-nyambar seperti angin pusaran melilit tubuhnya. Ia pernah berkelahi melawan Agung Sedayu yang lincah cekatan. Geraknya cepat dan membingungkan. Dan ia pernah pula berkelahi dengan orang lain, bahkan dengan Tohpati dan Untara.

Tetapi ia belum pernah melawan seseorang seperti yang dilawannya kini. Orang-orang yang pernah berkelahi dengannya, menang atau kalah, dengan sifat pembawaan dan ilmunya masing-masing, namun di antara mereka ada beberapa persamaan. Mereka adalah orang-orang kuat dan tangguh. Mereka mempergunakan kecepatan dan kekuatan. Mereka dengan tegas melawan serangan-serangan yang dilancarkannya, bahkan kadang-kadang sengaja membenturkan senjata-senjata mereka.

Namun orang ini mempunyai sifat dan watak yang jauh berbeda. Geraknya hampir tidak menunjukkan sifat-sifat kekerasan meskipun cepatnya seperti tatit menyambar di langit. Gerak tangannya tampaknya lembut selembut tangan penari. Kakinya yang lincah melontar-lontarkan tubuhnya seringan kapas, dalam gerak yang luwes. Tiba-tiba Sidanti menggeram di dalam dadanya, “Ia seorang perempuan dalam pakaian laki-laki.”

Tetapi Sidanti tidak bertanya sepatah kata pun. Namun tanggapannya terhadap lawannya telah membuatnya bertambah gelisah. Semakin ia yakin bahwa lawannya adalah seorang perempuan, maka dadanya menjadi semakin berdebar.

“Aku tidak segera dapat mengalahkan perempuan ini,” ia menggeram di dalam dadanya. “Ada juga perempuan yang garang seperti orang ini. Tetapi meskipun ia dapat memutar gunung, namun ia tidak akan dapat melepaskan diri dari tangan Sidanti. Aku harus menguasainya, membuatnya kehilangan kesadaran, kemudian melakukan rencanaku sebaik-baiknya.”

Dengan demikian Sidanti menjadi semakin bernafsu. Geraknya menjadi semakin cepat. Ia masih tetap sadar, bahwa ia tidak akan membuat dirinya menjadi semakin parah dengan membunuh orang di halaman rumah Ki Sentol, di halaman Tanah Perdikannya sendiri, atas orang yang belum dikenalnya.

Tetapi ternyata ilmu pedang perempuan itu sangat baik. Kedua senjata itu seakan-akan digerakkan oleh satu kekuatan dalam keserasian yang sempurna. Hampir-hampir Sidanti tidak mendapat kesempatan sama sekali untuk melawannya. Tetapi Sidanti memiliki beberapa kelebihan. Sidanti merasa bahwa kekuatannya lebih besar dari kekuatan lawannya, sehingga justru setiap kali ia tidak berusaha menghindar atau memukul senjata lawannya ke samping untuk menghapuskan kekuatan ayunannya, tetapi Sidanti sengaja melawan dalam benturan yang mantap.

Setiap kali ia merasakan bahwa tenaga lawannya tidak dapat mengimbangi tenaganya. Setiap kali senjata lawannya terdorong beberapa jengkal. Tetapi ternyata lawannya menyadari pula keadaannya, sehingga karena itu, setiap kali terjadi benturan, maka lawannya tidak bertahan pada kekuatannya. Tetapi ia selalu berusaha memunahkan tenaga lawannya dengan perlawanan tenaganya yang liat, kemudian melepaskannya ke samping.

Dengan cara itulah, maka beberapa kali Sidanti gagal untuk melontarkan senjata lawannya. Betapa pun besar tenaganya, tetapi ia tidak dapat melepaskan sepasang senjata lawannya itu dari sepasang tangannya.

“Perempuan ini benar keras kepala,” desah Sidanti di dalam hatinya.

Namun setiap kali ia masih harus berjuang melawan perasaan sendiri. Setiap kali hatinya menyala memanaskan darahnya, setiap kali ia teringat kepada pesan gurunya.

“Tetapi siapakah sebenarnya perempuan ini?” desah Sidanti di dalam hatinya. “Adalah sangat mengherankan bahwa seorang perempuan di daerah ini mampu melawan aku sampai sekian lama. Meskipun aku yakin bahwa ilmunya masih berada selapis di bawah ilmuku, tetapi tidaklah mudah untuk mengalahkannya tanpa melukainya. Kalau aku tidak mengingat pesan guru, maka aku kira aku akan dapat lebih cepat melakukannya, meskipun dengan susah payah. Tetapi apakah ia hanya seorang diri?”

Sidanti semakin lama menjadi semakin cemas tentang dirinya. Bukan tentang hidup dan matinya, tetapi justru ia cemas apabila dirinya kemudian akan dapat dikenal sebagai Sidanti, Putera Argapati.

“Ah,” sekali lagi ia berdesah, “kalau ia masih tetap berkeras kepala, apa boleh buat. Aku kira guru sudah tidak melihat lagi apa yang aku kerjakan. Aku tidak dapat selamanya hanya berusaha mempertahankan diri dan menyerang tempat-tempat yang sama sekali tidak berbahaya. Suatu saat aku harus mengarahkan ujung pedangku ke arah jantungnya.”

Perkelahian itu kemudian berlangsung semakin sengit. Ternyata Sidanti harus mengagumi kelincahan perempuan itu. Lincah dan cekatan seperti anak rusa yang bermain-main di rerumputan.

Sidanti yang telah bekerja memeras segala macam kemampuannya pun masih belum dapat menguasai lawan itu sepenuhnya. Apalagi apabila tiba-tiba datang satu dua orang seperti perempuan itu.

Namun bagaimana pun juga Sidanti tidak akan meninggalkan arena.

Sementara itu Ki Tambak Wedi dan Argajaya berdiri termangu-mangu di ujung desa menunggu Sidanti. Tetapi untuk sekian lamanya anak itu tidak muncul-muncul dari mulut lorong padesan.

“Apa saja yang dilakukan oleh anak gila itu,” desis Ki Tambak Wedi.

“Ia keras kepala sejak kanak-anak,” sahut Argajaya.

“Anak itu sudah terlampau lama. Apakah yang telah terjadi?”

Argajaya tidak segera menjawab. Tetapi ia pun diganggu pula oleh kegelisahan. Seperti Ki Tambak Wedi, ia pun menganggap bahwa Sidanti sudah cukup lama mereka tinggalkan. Kalau ia segera mengetuk pintu, masuk, dan dengan lancar menerima tiga pengadeg pakaian, maka waktu yang dipergunakannya telah cukup lama.

Tiba-tiba Ki Tambak Wedi itu pun bergumam, “Aku tidak dapat melepaskan anak itu tanpa pengawasan. Aku akan melihatnya apa saja yang sudah dikerjakan. Mudah-mudahan ia tidak berbuat sesuatu yang dapat mencemarkan namanya dan nama ayahnya, Argapati yang bergelar Ki Gede Menoreh.”

“Aku juga mencemaskannya. Anak itu memang anak bengal sejak kanak-anak.”

Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Kemudian ia berkata, “Aku akan kembali ke rumah Ki Sentol.”

“Aku ikut bersama Kiai.”

“Terserahlah kepadamu, Ngger.”

“Aku juga ingin melihat apa yang terjadi.”

“Marilah.”

Keduanya segera melangkah kembali. Tetapi mereka tidak ingin dilihat orang. Mereka segera menyusup ke dalam gelapnya bayangan dedaunan yang rimbun di dalam kelamnya malam.

Perlahan-lahan mereka merayap semakin dekat dengan halaman rumah di ujung lorong padesan itu. Dari kejauhan mereka tidak melihat sesuatu yang mencurigakan. Mereka tidak melihat kesibukan apa pun. Mereka tidak melihat orang-orang di dalam rumah itu terbangun, membuat kegaduhan sehingga Sidanti harus bertindak kasar.

“Halaman itu tampaknya sepi saja, Kiai,” gumam Argajaya.

Ki Tambak Wedi tidak segera menjawab. Ternyata telinganya jauh lebih tajam dari telinga Argajaya. Meskipun ia masih belum melihat sesuatu tetapi ia mendengar gemerincingnya senjata beradu.

“Kita harus mendekat, Ngger,” desis Ki Tambak Wedi, “ada sesuatu yang tidak wajar.”

“Apakah Kiai melihat sesuatu?”

Keduanya pun kemudian melangkah semakin dekat. Kini halaman rumah itu tampak semakin jelas Tetapi halaman itu masih juga tampak sepi. Tidak ada keributan dan tidak ada kegaduhan.

Namun tiba-tiba Argajaya mengangkat wajahnya. Katanya, “Aku mendengar sesuatu, Kiai.”

“Apakah baru sekarang Angger mendengarnya?”

“Tidak. Tetapi aku kurang memperhatikannya. Aku sangka bunyi itu bukan seperti yang aku dengar sekarang.”

“Apakah yang Angger dengar sekarang?”

“Perkelahian. Senjata beradu. Tetapi tidak terlampau sering. Aku menduga bahwa salah seorang dari mereka merasa bahwa kekuatan mereka tidak seimbang. Tetapi orang yang merasa lebih lemah itu pasti memiliki kelebihan lain.”

“Pendengaran Angger cukup baik. Aku sependapat. Dan salah seorang dari kedua orang yang berkelahi itu pasti Sidanti.”

Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. “Aku pun berpendapat demikian,” desisnya.

“Hem,” Ki Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam, “Sidanti memang terlampau sulit untuk dikendalikan. Kalau ia membuat sedikit saja kesalahan di sini, maka akibatnya akan menjadi terlampau berat baginya. Ayahnya pasti akan menjadi sangat marah.”

“Mudah-mudahan ia belum dikenal sebagai Sidanti.”

“Marilah kita mendekat, Ngger. Aturlah langkah dan nalarmu supaya tidak mengganggu perkelahian itu. Aku ingin melihat siapakah yang sedang berkelahi melawan Angger Sidanti itu.”

Argajaya mengerti maksud Ki Tambak Wedi. Ia harus berhati-hati supaya tidak mengejutkan orang-orang yang sedang berkelahi. Sebab dengan demikian, maka akibatnya akan sangat mengganggu dan mungkin sama sekali tidak mereka kehendaki. Apalagi Argajaya adalah orang yang banyak dikenal di padesan itu, apalagi oleh Ki Sentol sendiri.

“Aku tidak menyangka bahwa di daerah ini ada seseorang yang mampu bertahan terhadap Sidanti sedemikian lama,” bisik Ki Tambak Wedi. “Namun justru karena itu, kita harus segera mendekat, supaya seandainya Sidanti kehilangan pengamatan diri, kita sempat mencegahnya.”

“Aku, seorang dari Tanah Perdikan ini pun heran, bahwa di padesan ini ada seseorang yang mampu berkelahi melawan Sidanti.”

Keduanya terdiam. Mereka menjadi semakin dekat, dengan halaman rumah Ki Sentol. Dentang senjata beradu itu pun menjadi semakin keras. Semakin sering. Tetapi telinga-telinga yang cukup terlatih akan segera mengerti, bahwa salah seorang dari kedua orang yang bertempur itu pasti selalu menghindari benturan-benturan kekuatan. Dengan demikian maka benturan-benturan itu tidak beradu terlampau keras dan terlampau sering. Bunyi benturan itu pun menjadi tidak terlampau keras.

Telinga Ki Tambak Wedi yang tajam setajam pandangan matanya, segera menuntunnya kemana ia harus pergi. Mereka tidak memasuki halaman itu lewat regol yang telah terbuka. Tetapi mereka mencari tempat yang gelap di bawah rimbunnya dedaunan, untuk meloncati pagar batu yang tidak terlampau tinggi, masuk ke dalam halaman. Ketika mereka sudah berada di halaman, maka langkah mereka pun menjadi semakin berhati-hati. Mereka merayap setapak demi setapak maju, sehingga akhirnya mereka dapat melihat di dalam kegelapan dua bayangan yang sedang berkelahi.

Sekilas, mereka berdua segera mengetahui, bahwa yang seorang dari mereka adalah Sidanti. Keadaannya ternyata lebih baik dari keadaan lawannya. Namun adalah mengherankan, bahwa lawannya mampu bertahan sekian lamanya.

Sejenak kedua orang itu terpaku di tempatnya. Dengan tajamnya mereka memandangi perkelahian yang tengah berlangsung di dalam gelapnya malam. Kilatan cahaya langit di kejauhan yang sudah tidak berdaya, tampak menari-nari pada mata-mata pedang yang sedang bergerak-gerak dengan cepatnya. Namun mereka yang sedang berkelahi itu sendiri, hampir tidak dapat dilihat bentuknya.

Ternyata perkelahian itu semakin menarik perhatian Ki Tambak Wedi dan Argajaya. Perlahan-lahan tetapi pasti mereka dapat mengenali orang yang sedang berkelahi melawan Sidanti.

Meskipun mereka masih bertempur, di tempat yang kelam, namun kedua orang yang mengintai mereka, dapat mengenal mereka masing-masing dari tata geraknya. Apalagi Ki Tambak Wedi yang mempunyai beberapa kelebihan dari orang lain. Kecuali ia segera dapat mengenal Sidanti yang mempergunakan ilmu dari Tambak Wedi dengan baiknya, maka ia pun segera mengenal ilmu lawan Sidanti itu.

“Angger,” perlahan Ki Tambak Wedi berdesis. “perkelahian yang menarik. Meskipun mereka telah hampir sampai pada penggunaan puncak ilmu yang mereka miliki, namun perkelahian itu sama sekali tidak terjadi dengan banyak keributan. Orang-orang yang tidur di dalam rumah itu pun tidak terbangun karenanya.”

“Ya, Kiai,” jawab Argajaya.

“Tetapi ada yang lebih menarik daripada itu,” berkata Ki Tambak Wedi selanjutnya.

Argajaya berpaling. Di dalam gelap malam ia mencoba menangkap maksud kata-kata yang tersirat di wajah orang tua itu. Tetapi ia tidak berhasil.

“Apakah yang lebih menarik itu, Kiai.”

“Lawan Sidanti.”

“Ya. Aku pun tertarik pula kepadanya. Bukankah ia seorang gadis?”

Ki Tambak Wedi mengangguk, “Ya, ia memang seorang gadis. Tetapi itu pun kurang menarik bagiku. Yang paling menarik adalah bagaimana caranya melawan Sidanti.”

Argajaya mengerutkan keningnya. “Bagaimana menurut pertimbangan Kiai?”

“Seharusnya kau tidak bertanya demikian, Ngger. Kau pasti sudah mengenalinya. Tata gerak itu adalah tata gerak yang sudah seharusnya kau kenal. Cabang perguruan itu pun pasti akan menunjukkan, setidak-tidaknya membatasi persoalannya.”

Argajaya menahan nafasnya. Ia memang sudah menduga siapakah gadis yang sedang berkelahi itu. Ia mengenalnya menilik tata geraknya. Tetapi bukan itu saja. Ia mengenal gadis itu dengan baik. Tetapi ia tidak menyangka bahwa gadis itu mempunyai kecakapan yang hampir sejajar dengan Sidanti.

“Bukankah ilmu itu ilmu cabang perguruan Menoreh? Aku kira kau mengenal, bahwa ilmu itu adalah ilmu Argapati yang bergelar Ki Gede Menoreh. Bukankah Angger sendiri sebagian terpercik oleh ilmu dari cabang perguruan itu meskipun Angger tidak bersaudara seperguruan dengan kakak Angger, Argapati?”

“Kami seperguruan Kiai, tetapi jarak yang membatasi kami cukup jauh.”

Ki Tambak Wedi menggeleng, “Tidak. Kalian bukan seperguruan. Angger memang pernah mendapat ilmu itu, tetapi yang terbesar tersimpan pada diri Angger bukan perguruan yang sama dengan perguruan Argapati.”

Argajaya menganggukkan kepalanya.

“Tetapi gadis itu adalah seorang gadis yang menyimpan ilmu dari cabang perguruan Menoreh. Kau lihat bukan?”

“Ya, Kiai. Aku mengenalnya seperti aku mengenal Sidanti. Tatapi dalam pakaian laki-laki aku semula agak kabur karenanya. Tetapi kini aku sudah yakin, bahwa aku tidak akan salah lagi.”

Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya, “Luar biasa. Ilmu yang dimilikinya belum matang benar. Seharusnya ia bukan lawan yang terlampau berat bagi Sidanti. Mungkin Sidanti sudah mengenal bahwa lawannya seorang gadis.”

“Sidanti harus mengenalnya. Tetapi pakaian laki-lakinya apalagi mereka berkelahi di dalam gelap itulah yang menyebabkan Sidanti tidak segera mengetahui dengan siapa ia sedang berkelahi. Tetapi ternyata Kakang Argapati telah membuat suatu teka-teki. Aku tidak pernah melihat anak itu berlatih sama sekali. Tetapi tiba-tiba aku melihatnya ia sudah berada dalam tataran yang demikian tinggi. Aku melihatnya sehari-hari sebagai seorang gadis pendiam dan pemalu. Tetapi dalam pakaian laki-laki ternyata ia cukup garang.”

“Kau mengenal gadis itu, Ngger, bukan hanya sekedar mengenal tata geraknya?”

“Tentu,” kata-kata Argajaya terputus karena mereka mendengar suara yang lain dari suara perkelahian itu. Karena itu maka segera mereka terdiam. Mereka menjadi semakin berhati-hati dan mencoba untuk menangkap apa saja yang terjadi.

Tiba-tiba dada mereka bergetar. Mereka melihat tiga orang berloncatan dari belakang gandok. Mereka segera berlari ke depan dan berhenti sejenak sambil menebarkan pandangan mata mereka.

“Di sana, aku sudah mendengar gemerincing senjata,” salah seorang dari mereka berkata lantang.

Ketiganya segera menghadap ke arah suara yang mereka dengar. Suara gemerincing senjata. Gemerincingnya pedang Sidanti yang beradu dengan sepasang senjata lawannya.

Ternyata Sidanti juga mendengar suara itu. Terasa betapa dadanya bergelora. Sesaat ia menjadi bingung. Apakah yang akan dilakukannya? Melawan mereka dan membunuh mereka satu per satu? Kalau ia tidak ragu-ragu, dan tidak tertahan oleh pesan gurunya, lawannya itu pun telah binasa. Ia ingin mengalahkannya dan sekedar membuatnya pingsan tanpa menggores kulitnya dengan ujung pedangnya. Tetapi justru dengan demikian keadaannya menjadi semakin sulit.

Kehadiran ketiga orang itu telah mencemaskan hati Ki Tambak Wedi pula. Kalau Sidanti menjadi bingung, maka ia pasti akan berbuat di luar perhitungan. Mungkin ia menjadi mata gelap. Ia akan berusaha untuk membinasakan lawan-lawannya tanpa pertimbangan lain, asal mereka tidak dapat mengenalnya. Tidak dapat mengetahui bahwa yang menutupi wajahnya dengan ikat kepala itu adalah Sidanti, putera Argapati.

Ternyata Argajaya pun berpikir demikian pula. Tetapi ia menjadi lebih cemas lagi, karena ia yakin bahwa ia mengerti benar, siapakah gadis lawan Sidanti itu.

“Kiai,” Argajaya itu kemudian berdesis, “perkelahian itu harus dicegah.”

“Ya,” sahut Ki Tambak Wedi, “aku akan membuat mereka kehilangan lawannya. Aku akan mengambil dan menyingkirkan Sidanti.”

“Mereka akan mengejar.”

“Aku terpaksa menghilangkan kesadaran mereka untuk sementara. Hanya sekedar memberi kesempatan Sidanti melarikan diri.”

“Tetapi gadis itu?”

“Oh, siapakah gadis itu. Angger belum mengatakannya.”

“Pandan Wangi.”

“Pandan Wangi,” ulang Ki Tambak Wedi sambil mengerutkan keningnya, “Pandan Wangi kau bilang?”

“Ya.”

Dada Ki Tambak Wedi berdesir. Sejenak ia termangu-mangu. Nama itu telah mengejutkannya. Meskipun ia tidak begitu mengenal anak itu seperti ia mengenal Sidanti, tetapi Pandan Wangi adalah gadis yang dikenalnya dengan baik di masa kanak-anaknya. Tetapi karena sudah bertahun-tahun ia tidak bertemu, apalagi kini ia mengenakan pakaian laki-laki, maka ia menjadi lupa kepadanya.

“Bukankah Kiai pernah mengenalnya dahulu.”

“Ya, ya. Aku pernah mengenalnya. Tetapi sudah bertahun-tahun yang lalu. Aku sudah lama sekali tidak mengunjungi Argapati itulah sebabnya aku melihat ilmu Argapati ada padanya.”

“Lalu, apakah yang akan kita lakukan sekarang.”

Ki Tambak Wedi terdiam sejenak. Ia melihat ketiga orang yang berlari-lari itu sudah berada di samping tempat perkelahian antara Sidanti dan gadis yang bernama Pandan Wangi itu.

“Aku menjadi agak bingung. Tetapi sebaiknya perkelahian yang lebih seru harus dicegah.” Ki Tambak Wedi berhenti sejenak, lalu, “Tetapi apakah Sidanti mengenal gadis itu?”

“Melihat perkelahian itu, aku kira Sidanti belum mengenalnya. Apalagi kini,” Argajaya menjadi tegang, “lihat Kiai, Sidanti hampir menjadi mata gelap.”

Ketika Ki Tambak Wedi memandang perkelahian itu, ternyata ia melihat tekanan Sidanti menjadi semakin dahsyat. Ia tampaknya telah kehilangan segala pengamatan diri karena ia kehilangan akal. Ia tidak menemukan cara yang sebaik-baiknya untuk menghindar dan karena kecemasannya bahwa dirinya akan dikenal. Dengan demikian, maka ia tidak dapat mengekang dirinya lagi. Ia harus melawan dan berusaha menutup mulut orang-orang itu bagaimana pun caranya. Memang ada juga terbersit pikiran di kepalanya untuk melarikan diri. Tetapi setiap kali kakinya akan melontarkan dirinya menghindari perkelahian itu, perasaan harga dirinya telah mengekangnya, sehingga setiap kali ia menjadi ragu-ragu. Akhirnya ia tidak mendapat kesempatan lagi, ketika ketiga orang yang baru datang itu mengepungnya.

“Jangan diberi kesempatan untuk melarikan diri,” berkata salah seorang dari mereka, “kita harus tahu, siapakah orang ini.”

Sidanti hanya dapat menggeretakkan giginya. Ia selalu saja dibayangi oleh kecemasan tentang dirinya sendiri. Ia tidak berani mengucapkan kata-kata supaya suaranya tidak dikenal.

Ketika ketiga orang itu sudah menarik senjata masing-masing, maka Sidanti tidak akan dapat berbuat lain. Melawan, kalau terpaksa, ya kalau terpaksa apa boleh buat. Pedangnya akan membuat penyelesaian.

Tetapi ketika ketiga orang itu sudah mulai menggerakkan pedangnya, tiba-tiba mereka mendengar suara tertawa di belakang gerumbul yang rimbun. Tanpa berjanji mereka berloncatan menjauhi lawan-lawannya untuk mendapat kesempatan berpaling. Meskipun pedang-pedang mereka siap untuk bergetar, tetapi mereka memerlukan juga menunggu, siapakah yang akan ke luar dari dalam rimbunnya gerumbul itu?

Yang kemudian muncul di dalam kegelapan itu adalah dua bayangan sosok tubuh yang hitam. Mereka tidak segera dapat mengenal. Namun sejenak kemudian salah seorang dari kedua orang itu berkata sambil tertawa, “Cukup Sidanti. Permainan yang menyenangkan.”

Sidanti terkejut bukan buatan. Ia mengenal suara itu, suara pamannya, Argajaya. Tetapi pamannya telah menyebut namanya, sedang ia sendiri mati-matian menyembunyikan dirinya dari pengenalan orang-orang itu.

Tetapi bukan saja Sidanti yang terkejut bukan kepalang, ternyata lawannya yang bernama Pandan Wangi itu pun terperanjat bukan main, sehingga seolah-olah darahnya berhenti mengalir.

“Paman, Pamankah ini?” bertanya suara wanita itu.

“Ya, aku pamanmu, Pandan Wangi.”

“Pandan Wangi,” hampir-hampir Sidanti berteriak, tetapi suaranya tertahan di dadanya. Tetapi dengan demikian ia menjadi seolah-olah membeku di tempatnya. Nama itu benar-benar telah mengejutkannya. Tetapi ketika ia mendapat kesempatan untuk memandangi wajah lawannya, maka ia merasakan sesuatu bergetar di dalam dirinya. Wajah itu masih belum jelas baginya. Tetapi karena gadis lawannya itu berdiri diam, maka kesempatan untuk mengenalinya menjadi semakin luas.

Kedua bayangan yang ternyata Argajaya dan Ki Tambak Wedi itu sudah menjadi semakin dekat. Dan terdengar lagi Argajaya berkata, “Aku telah melihat dengan senang hati kalian bermain-main. Jangan marah Pandan Wangi. Sidanti sengaja ingin melihat, apakah kau sudah cukup baik menguasai ilmu pedang rangkap dari Perguruan Menoreh itu.”

Kedua orang yang baru saja bertempur itu terpukau diam-diam mereka tidak segera mengerti, apakah yang sebenarnya mereka hadapi. Mereka hanya berdiri saja memandangi langkah Argajaya dan Ki Tambak Wedi mendekati mereka.

“Pandan Wangi,” berkata Argajaya kemudian, “Sidanti telah terlampau lama, bahkan bertahun-tahun tidak bertemu dengan kau karena kakakmu itu sedang menuntut ilmu di padepokan Tambak Wedi. Ketika kakakmu menjejakkan kakinya di Tanah Perdikan ini, untuk pertama kali setelah bertahun-tahun tidak melihatnya, maka yang pertama-tama ditemuinya adalah kau dalam pakaianmu yang aneh itu. Sehingga timbullah niatnya untuk mengganggumu.”

Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Ketika ia berpaling memandangi wajah orang yang baru saja berkelahi melawannya, ia masih melihat wajah itu bertutup ikat kepala.

“Bukalah penyamaranmu, Sidanti,” berkata Argajaya, “bukankah kau tidak perlu lagi memakainya? Kau sudah cukup mengganggu adikmu dengan cara itu. Sekarang bukalah. Kau sudah terlampau lama membuat adikmu berdebar-debar.”

Sidanti masih belum tahu benar, apakah yang sebenarnya dimaksud oleh paman dan gurunya. Tetapi ia tidak dapat membantah lagi. Dengan ragu-ragu dibukanya tutup wajahnya.

“Nah, bukankah ia seorang anak muda yang bernama Sidanti, putera Kakang Argapati?” desis Argajaya sambil tertawa. “Apakah kau sudah tidak dapat mengenal wajah kakakmu lagi, Pandan Wangi? Aneh. Sidanti tidak banyak mengalami perubahan. Sedang kau, yang sedang tumbuh dalam masa-masa yang paling cepat, tidak dapat mengelabui kakakmu, walau pun kau memakai pakaian yang aneh itu pula.”

“Tetapi,” tergagap Pandan Wangi berkata, “tetapi dari mana paman tahu kalau aku berada di sini?”

“Bukankah kau sering berada di tempat ini?”

Pandan Wangi menjadi ragu-ragu. Tetapi Argajaya pun menjadi berdebar-debar. Pertanyaan yang aneh-aneh dapat membuatnya bingung untuk mencari jawab.

“Tetapi,” Pandan Wangi masih ingin bertanya lagi, tetapi Argajaya mendahului, “Lihatlah baik-baik. Itu adalah kakakmu Sidanti.”

Pandan Wangi berpaling sekali lagi memandangi wajah Sidanti yang kini sudah tidak tertutup lagi. Meskipun sudah lama mereka tidak bertemu, tetapi garis wajah itu sama-sama dapat dikenalinya.

“Marilah kita pergi ke halaman. Cahaya lampu itu akan segera memperkenalkan kalian.”

Argajaya segera membimbing Pandan Wangi berjalan mendahului yang lain pergi ke halaman. Kepada kedua orang pengawal Pandan Wangi yang juga sudah dikenalnya, Argajaya berkata, “Marilah ikut aku.”

Mereka tidak membantah lagi. Mereka segera berjalan ke halaman depan rumah Ki Sentol yang cukup luas.


Yang tinggal di dalam kegelapan adalah Sidanti dan Ki Tambak Wedi. Ketika jarak mereka menjadi semakin jauh dengan Argajaya dan orang-orang Menoreh yang lain, maka Ki Tambak Wedi berbisik, “Tidak ada cara lain. Lebih baik kau berpura-pura mencoba adikmu untuk melihat ilmunya, atau sengaja mengganggunya.”

Sidanti menarik nafas dalam-dalam. Kini ia menjadi jelas maksud paman dan gurunya. Namun meskipun demikian ia berkata, “Tetapi pertanyaan-pertanyaan Pandan Wangi akan membingungkan aku, Guru, seperti yang ditanyakannya kepada Paman Argajaya, kenapa kita mengetahui bahwa Pandan Wangi ada di sini.”

Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Kemudian ia bertanya, “Di mana kau temui anak itu?”

“Ia menghampiri aku di halaman ini ketika aku akan naik ke pendapa. Tetapi karena aku takut dikenal di dalam cahaya lampu minyak di pendapa, akulah yang menyerangnya di dalam gelap.”

“Di mana ia berada, atau dari mana ia datang.”

“Dari arah gandok.”

“Tiga orang pengawalnya datang dari belakang gandok itu pula. Kalau begitu mereka pasti di tempatkan di gandok itu sebagai tamu. Nah, katakan bahwa kau telah mengintainya dari luar gandok.”

“Tetapi kenapa aku masuk ke halaman ini dan sampai ke gandok itu.”

“Bukankah tempat ini seakan-akan menjadi pesanggrahan keluargamu. Katakan, kau memang sedang melihat-lihat apakah ada salah seorang anggauta keluargamu yang sedang berada di sini.”

Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya, meskipun hatinya masih berdebar-debar. Ternyata gadis itu adalah adiknya. Adiknya sendiri. Tetapi sudah sekian lama ia tidak bertemu, sejak yang terakhir ia mengunjungi kampung halamannya. Apalagi dalam pakaian laki-laki di dalam kegelapan pula.

“Aneh,” desisnya tiba-tiba, “ia mampu berkelahi.”

“Kau tidak mengenal ilmu itu?”

“Tidak.”

“Ilmu ayahmu. Ilmu Argapati. Memang ayahmu tidak mau membimbingmu, dan menyerahkannya kepadaku.”

“Kenapa, Guru?” bertanya Sidanti.

Pertanyaan itu telah memukul jantung Ki Tambak Wedi. Ia menyesal bahwa ia telah terlanjur mengatakan sesuatu yang tersimpan di dalam hatinya. “Seharusnya aku tidak mengatakannya,” desisnya di dalam hati.

“Kenapa, Guru, kenapa ayah tidak mau mengajari aku, tetapi ayah justru mengajari Pandan Wangi, seorang gadis?”

Dada Ki Tambak Wedi menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi ia harus menjawab. Katanya, “Itu adalah cara ayahmu untuk memperkaya ilmu Perguruan Menoreh. Ayahmu merasa bahwa aku mempunyai kemampuan yang seimbang. Maka dititipkannya kau kepadaku, dan diturunkannya ilmunya kepada Pandan Wangi. Bukankah dengan demikian kau dan Pandan Wangi akan mampu bersama-sama menyusun ilmu yang lengkap dan mengagumkan kelak?”

Sidanti mengerutkan keningnya. Memang hal yang demikian itu mungkin saja terjadi, tetapi masih juga kurang dapat dipahami. Kenapa ayahnya menempuh cara itu untuk memperkaya ilmu Perguruan Menoreh? Kenapa ayahnya, Argapati tidak saja bersama-sama dengan Ki Tambak Wedi menyusun suatu ilmu yang mencakup berbagai macam unsur dari kedua cabang perguruan yang memiliki nama yang cukup besar itu? Apabila demikian, dan mereka dapat menemukan unsur-unsur yang dapat dipadukan dalam suatu bentuk yang baru, maka ilmu itu akan menggemparkan seluruh Demak.

Tetapi kenapa yang ditempuh oleh ayahnya adalah jalan yang terlampau jauh? Menyerahkannya kepada Ki Tambak Wedi dan menurunkan ilmunya kepada Pandan Wangi, adik perempuannya, kemudian baru dicari kemungkinan untuk memadukan kedua ilmu itu?

Pertanyaan-pertanyaan itu meronta-ronta di dalam dadanya. Tetapi ketika ia ingin menyatakannya, didengarnya Ki Tambak Wedi berkata, “Marilah kita pergi ke halaman itu. Lihat, mereka telah menunggu kita.”

Sidanti berpaling. Di dalam keremangan cahaya lampu di halaman ia melihat pamannya, Pandan Wangi dan pengawal-pengawalnya berdiri tegak. Mereka agaknya memang sedang menunggunya.

Sidanti mengikuti saja di belakangnya ketika gurunya melangkah ke halaman. Namun ia berdesis, “Aku pasti akan dibingungkan oleh pertanyaan-pertanyaan Pandan Wangi. Bahkan mungkin apabila orang-orang lain di dalam rumah ini terbangun.”

“Kau harus cepat berpikir. Carilah jawaban yang paling mungkin. Kadang-kadang kau harus berusaha memotong pertanyaan mereka. Dan kita seharusnya tidak terlampau lama tinggal di rumah ini. Malam ini juga kita akan meneruskan perjalanan.”

“Tetapi bagaimana dengan pakaian kita, Kiai. Pakaian kita terlampau lusuh dan kotor.”

“Jangan hiraukan. Kau dapat membuat ceritera-ceritera lucu tentang hutan Mentaok. Demikian pula tentang luka di pundakmu yang sudah hampir sembuh sama sekali itu.”

Dada Sidanti menjadi semakin berdebar-debar ketika ia menjadi semakin dekat dengan orang-orang Menoreh yang telah agak lama ditinggalkannya.

Namun kemudian cahaya lampu telah menolongnya untuk mengenali wajah gadis yang telah mampu melawannya itu. Meskipun anak itu telah tumbuh dengan suburnya, serta berpakaian laki-laki namun Sidanti telah mulai dapat mengenalnya. Anak itu memang Pandan Wangi.

Tetapi ternyata Pandan Wangi-lah yang lebih dahulu menegurnya. Hampir berteriak ia memanggil, “Kakang Sidanti, bukankah kau benar-benar Kakang Sidanti?”

Sidanti menganggukkan kepalanya. Tetapi suaranya tersendat di kerongkongan, sehingga jawabnya terlampau pendek, “Ya.”

Pandan Wangi tertegun sejenak. Tetapi semakin, dekat semakin jelas baginya, bahwa orang yang semula menutup wajahnya dengan ikat kepalanya itu adalah Sidanti.

Sidanti yang telah menyarungkan pedangnya itu mendekatinya dengan penuh kebimbangan.

Pandan Wangi yang kemudian yakin bahwa orang itu adalah kakaknya berkata pula, “Kau mengganggu aku, Kakang. Aku hampir berteriak-teriak memanggil Paman Kerti untuk menangkapmu.”

Sidanti mendekati adiknya dengan dada yang berdebar-debar, tetapi ia memaksa bibirnya untuk tersenyum, “Aku senang melihat kau marah,” katanya. Namun sikapnya masih juga canggung.

“Tetapi kau telah menyakiti tanganku.”

“Kenapa dengan tanganmu?”

“Tidak apa-apa, tetapi untuk mempertahankan pedangku, tanganku terasa terlampau nyeri. Kau bersungguh-sungguh berusaha melepaskan genggaman pedangku.”

Terdengar Argajaya tertawa. Katanya, “Kakakmu hampir tidak percaya bahwa kau benar-benar mampu berkelahi. Aku yang hampir setiap hari melihat kau bermain-main dakon dan jirak, tidak tahu sama sekali, bahwa kau mampu bermain-main dengan pedang. Ayahmu benar-benar aneh, Wangi. Aku menjadi pening memikirkannya. Kapan saja kau menyisihkan waktumu untuk berlatih?”

Pandan Wangi menundukkan kepalanya. Ia adalah seorang gadis yang baru mekar. Pujian pamannya telah membuat wajahnya menjadi kemerah-merahan.

“Tetapi sarungkanlah sepasang pedangmu itu,” berkata Argajaya kemudian.

“Oh,” Pandan Wangi baru sadar, bahwa ia masih menggenggam sepasang pedangnya.

“Orang yang wajahnya bertutup ikat kepala itu kini sudah tidak akan berani lagi menyerangmu, karena di sini ada Kerti dan kedua kawannya.”

Wajah Pandan Wangi menjadi semakin kemerah-merahan. Tanpa sesadarnya ia berpaling kepada pengawalnya, seorang yang sudah setengah tua, yang bernama Kerti.

“Aku tidak menyangka,” Kerti itu berkata, “bahwa aku akan berjumpa dengan Angger Sidanti di sini, dan aku juga tidak bermimpi menyaksikan Angger Pandan Wangi mampu bertempur setangkas itu. Aku, pemomongnya dihadapkan pada suatu kenyataan yang mengejutkan.”

“Ah, kau juga mengganggu aku, Paman.”

“Benar Angger Sidanti. Adikmu, Angger Pandan Wangi memang luar biasa. Aku memang pernah melihat Angger Pandan Wangi berlatih, tetapi tidak berlatih bermain pedang. Angger Pandan Wangi selalu berlatih memanah. Dan malam ini aku mengantarkannya untuk berburu nanti lewat lengah malam. Tetapi tanpa aku duga, bahwa aku akan bertemu dengan Angger Sidanti dan sekaligus melihat kedua bersaudara ini memamerkan ilmunya masing-masing.”

“Aku tidak ingin memamerkan kecakapan itu, Paman,” potong Pandan Wangi.

“Ya, ya. Maksudku, aku melihat Angger berdua adalah anak-anak muda yang luar biasa. Lebih-lebih Angger Sidanti. Bukan main. Meskipun agaknya Angger tidak bersungguh-sungguh, tetapi aku menjadi ngeri karenanya.”

Sidanti tersenyum, meskipun senyumnya masih juga hambar, ia memang sudah mengenal Kerti sebagai seorang yang meskipun sudah setengah umur, tetapi masih juga senang bergurau dan jenaka. Dan orang itu masih berkata lagi, “Ketika aku melihat Angger bertempur melawan Angger Pandan Wangi, aku menjadi ragu-ragu untuk berbuat sesuatu. Aku dan kedua kawanku ini sebenarnya harus mengawal Angger Pandan Wangi, tetapi ternyata kamilah yang dikawal olehnya, karena kami tidak berani ikut campur melawan Angger Sidanti.”

“Ah,” hampir bersamaan Sidanti dan Pandan Wangi berdesah.

“Sekarang,” Kerti itu berkata, “kita akan membangunkan Ki Sentol. Aku ingin memperkenalkannya dengan Angger Sidanti.”

“Aku sudah mengenalnya.”

“O, tetapi Angger Sidanti yang dahulu. Bukan Angger Sidanti yang sekarang.”

“Terima kasih, Paman Kerti, tetapi aku segera ingin menghadap ayah.”

“He,” Kerti itu mengerutkan keningnya, “jadi Angger mampir di halaman ini hanya sekedar ingin mengganggu Angger Pandan Wangi?”

Sidanti menjadi ragu-ragu sejenak. Ketika ia berpaling kepada gurunya kemudian kepada pamannya, ia tidak segera mendapat kesan apa pun dari kedua orang itu, sementara Kerti telah menyambung kata-katanya, “Kau memang senang bergurau sejak kanak-anak, Ngger. Marilah singgah ke rumah ini. Ki Sentol akan sangat bergembira melihat Angger.”

Sidanti masih belum dapat menyahut.

“Ki Sentol akan menjadi kagum mendengar ceritera tentang Angger Sidanti, dan Angger Pandan Wangi.”

Sidanti masih juga diam. Tetapi Argajaya-lah yang menyahut. “Terima kasih Kerti. Kami sekarang tidak sedang bertamasya mengantarkan Sidanti berburu. Tetapi kami membawa seorang tamu yang akan bertemu dengan Kakang Argapati.”

“Siapa?”

“Ki Tambak Wedi, guru Sidanti.”

“Oh, yang mana?”

“Kenapa, kau bertanya?” sahut Argajaya, “Kami hanya bertiga. Kau mengenal aku dan Sidanti.”

“Oh,” tiba-tiba Kerti menganggukkan kepalanya dalam-dalam kepada Ki Tambak Wedi. Sekilas dilihatnya wajah orang tua dari lereng Gunung Merapi itu. Terasa sebuah desir yang lembut menggores dadanya. Mata yang tajam setajam mata burung hantu di dalam kegelapan, hidung yang mancung, kumis yang hitam dan garis-garis wajah yang tegas tergores di sisi matanya yang seolah-olah menyala.

Namun segera ia berkata, “Kalau demikian, aku memang harus membangunkan Ki Sentol. Seharusnya aku sudah tahu, bahwa yang datang sekarang adalah Angger Sidanti bersama gurunya. Aku yang sudah terlampau lama berada di Menoreh, seharusnya sudah mengetahui bahwa guru Angger Sidanti berada di sini.” Kerti berhenti sejenak, lalu kepada Ki Tambak Wedi ia berkata, “Maafkan aku, Kiai. Aku adalah seorang yang tidak tahu diri. Tetapi agaknya aku memang belum pernah melihat Kiai di Menoreh, meskipun agaknya Kiai sering berkunjung kepada Ki Gede Menoreh.”

Tiba-tiba wajah Ki Tambak Wedi menjadi tegang. Tetapi hanya sesaat. Sesaat kemudian ia telah berhasil menguasai dirinya. Bahkan ia telah dapat memaksa bibirnya untuk tersenyum, “Ya. Aku memang jarang sekali datang ke Menoreh. Argapati-lah yang sering berkunjung kepadaku, atau Angger Argajaya.”

Kerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak melihat dada Ki Tambak Wedi yang bergetar justru karena pertanyaannya. Ki Tambak Wedi seolah-olah dihadapkan kepada suatu pertanyaan yang menggores dinding jantungnya, menumbuhkan luka yang tidak akan dapat sembuh seumurnya. “Ya, kenapa aku seolah-olah tidak berani lagi datang ke Menoreh? Bukan hanya sekarang, tetapi bertahun-tahun yang lalu. Sejak Sidanti masih seorang kanak-anak.”

Tetapi kini Ki Tambak Wedi ingin menyembunyikan deburan perasaannya itu. Sekali lagi ia memaksa bibirnya tersenyum dan berkata, “Nah, karena itulah maka aku segera ingin bertemu dengan Ki Gede Menoreh. Sebaiknya kalian tidak usah bersusah payah membangunkan pemilik rumah ini.”

“Itu aneh. Aneh sekali, Kiai,” sahut Kerti, “marilah, Ki Sentol sudah seperti keluarga sendiri. Apalagi hari sudah jauh malam.”

“Kami sengaja berjalan malam hari,” desis Argajaya.

“Kenapa?”

“Kami baru saja menempuh perjalanan yang jauh. Sidanti perlu memperluas pengalaman dengan sebuah perjalanan hampir mengelilingi seluruh daerah Demak lama. Dalam pakaian yang kusut ini, perjalanan kami menjadi lancar. Kini, akhir dari perjalanan itu adalah menghadap Kakang Argapati.”

“Apakah Paman ikut dalam perjalanan itu?” bertanya Pandan Wangi tiba-tiba.

“Tentu. Aku pun ingin memperluas pengalaman.”

“Begitu cepat.”

“Kenapa?” Argajaya mengerutkan keningnya.

“Berapa lamakah Paman meninggalkan Menoreh?”

Argajaya terdiam sejenak. Pertanyaan itu memaksanya untuk berpikir. Tetapi segera ia menjawab, “Bukankah aku sudah cukup lama pergi? Aku mempergunakan waktuku sebaik-baiknya. Begitu aku sampai di Tambak Wedi, Sidanti sudah siap untuk memulai dengan perjalanannya.”

Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan tiba-tiba saja ia bertanya, “Di manakah kedua orang yang pergi bersama Paman dari Menoreh itu?”

Dada Argajaya berdesir mendengar pertanyaan itu. Dan sekali lagi ia harus berbohong. “Orang-orang itu masih berada di Tambak Wedi. Mereka tidak ikut dalam perjalanan kami.”

Ternyata Pandan Wangi hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Ia sama sekali tidak berprasangka apa-apa. Ia sama sekali tidak membayangkan bahwa di padepokan Tambak Wedi telah terjadi pertempuran yang sengit. Pandan Wangi sama sekali tidak membayangkan bahwa kedua orang itu telah menjadi korban kelicikan Ki Tambak Wedi, yang mengorbankan orang-orang lain untuk keselamatannya. Kedua orang itu ternyata terbunuh dalam peperangan yang kisruh di Tambak Wedi melawan prajurit-prajurit Pajang.

Argajaya, yang memang tidak ingin mendengar berbagai pertanyaan yang mungkin tidak dapat dijawabnya, segera berkata, “Nah, aku kira keperluan kami sudah cukup. Kami akan meneruskan perjalanan. Bukankah begitu, Kiai?”

“Ya, ya Ngger. Kita akan meneruskan perjalanan.”

“Tetapi itu aneh sekali. Kalian telah berada di halaman rumah ini. Tetapi kenapa kalian tidak singgah, meskipun hanya sepenginang.”

“Terima kasih, Kerti,” jawab Argajaya, “sampaikan salamku kepada Ki Sentol. Lain kali aku akan datang dalam keadaan yang lebih baik. Ki Sentol pasti akan heran melihat pakaianku yang jelek dan kotor ini.”

Sebelum Kerti menjawab, tanpa disangka Pandan Wangi bertanya, “Apakah Paman dan Kakang Sidanti sama sekali tidak membawa ganti pakaian?”

Argajaya mengerutkan keningnya. Pertanyaan yang tidak berarti itu justru membingungkannya. Namun dalam kebingungannya ia mendengar Ki Tambak Wedi menjawab sambil tertawa itu, “Tidak lazim, Ngger. Tidak lazim kita membawa pakaian dalam perantauan. Kalau kita sedang pergi bertamasya atau berburu seperti Angger ini, maka kita wajib membawa ganti pakaian. Tetapi perjalanan kami mempunyai bentuk yang lain.”

Sekali lagi Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi ia tidak mempunyai prasangka apa pun terhadap jawaban itu.

“Sekarang, kami minta diri,” berkata Argajaya. Tetapi belum lagi mereka beranjak dari tempatnya, tiba-tiba pintu rumah Ki Sentol terbuka. Ternyata mereka yang berada di rumah itu telah terbangun karena percakapan di halaman. Apalagi suara Kerti yang agak lebih keras dari suara orang-orang lain.

Ketika sepercik sinar meloncat ke luar dari sela-sela pintu yang terbuka, terdengar Argajaya berdesah. Untuk seterusnya apakah ia dapat meninggalkan halaman rumah itu tanpa singgah lebih dahulu meskipun hanya sebentar? Tetapi yang sebentar itu mungkin akan dapat membuat kepalanya pening. Jawaban-jawaban yang salah akan dapat membuat orang-orang itu semakin banyak bertanya.

“Siapa di halaman?” terdengar suara orang tua itu dalam nada yang tinggi.

Sebelum orang lain menjawab, yang pertama-tama terdengar adalah suara Kerti melengking, “He, Ki Sentol. Di sini hadir seorang tamu yang akan menyenangkan hatimu.”

“Siapa?”

Terdengar Argajaya mengeluh pendek. Dan ia mendengar Kerti menjawab, “Kemarilah, dan kau akan melihatnya.”

Mereka kemudian melihat seorang laki-laki tua berjalan perlahan-lahan mendekat melintasi pendapa. Perlahan-lahan pula ia turun sambil memandang dengan tajamnya. Dilihatnya beberapa orang berdiri di halaman rumahnya, di muka pendapa. Ia segera dapat mengenal salah seorang yang berteriak memanggilnya, Kerti. Tetapi yang lain masih, belum jelas baginya.”

Semakin dekat dengan orang-orang yang berdiri di halaman itu, maka Ki Sentol menjadi semakin jelas melihat mereka. Yang kemudian dikenalinya adalah Pandan Wangi yang berpakaian laki-laki. Anak itu memang selalu mengenakan pakaian itu apabila ia pergi berburu. Yang dua orang lagi adalah pengawal Pandan Wangi di samping Kerti. Tetapi siapakah yang lain?

“Ki Sentol,” berkata Kerti kemudian, “Ki Argajaya datang berkunjung.”

“He” orang tua itu terkejut, “benarkah?”

“Kemarilah.”

Kini langkah Ki Sentol menjadi tergesa-gesa. Ketika ia menjadi semakin dekat, maka segera dikenalnya wajah itu, Argajaya.

Namun Ki Sentol merasa heran dengan penglihatannya sendiri. Ia melihat perbedaan pada adik Kepala Tanah Perdikan itu. Tetapi ia tidak tahu, apakah yang lain itu.

Agaknya Kerti melihat sorot mata keheranan dari Ki Sentol. Segera ia tanggap, dan berkata, “Kau heran melihat pakaian Ki Argajaya?”

Ki Sentol sejenak tidak bergerak dan tidak mengucapkan kata-kata. Dipandanginya saja Argajaya tajam-tajam. Lalu sejenak kemudian baru ia berkata, “Ya. Di situlah perbedaannya. Aku melihat sesuatu yang aneh padamu, Ngger. Ternyata pakaianmu. Pakaianmu sama sekali bukan pakaian seorang adik dari Ki Gede Menoreh. Kusut, kumal dan bahkan ada beberapa bagian yang telah sobek.”

Argajaya memaksa dirinya untuk tertawa. Katanya, “Itu tidak penting. Yang penting bagiku adalah segera menghadap Kakang Argapati.”

“He? Kau bergurau. Marilah, maaf, aku lupa mempersilahkan. Tetapi siapakah yang lain?”

“Apakah Ki Sentol telah benar-benar lupa dengan anak muda ini?”

“Siapa?”

“Sidanti.”

“He,” orang tua itu terperanjat. Selangkah ia maju. Dicengkamnya kedua pundak anak muda itu, lalu diguncang-guncangnya. “Bukan main. Kau Angger Sidanti yang dahulu sering berkunjung ke tempat ini juga?”

“Ya, Kiai,” sahut Sidanti, “meskipun ada beberapa macam perubahan kecil, tetapi aku masih mengenal rumah ini.”

, “Bagus, bagus. Marilah singgah dahulu. Aku menjamu kalian.” Tetapi orang tua itu terperanjat ketika ia melihat tamu-tamunya menggeleng, “Terima kasih. Kami harus meneruskan perjalanan.”

Sejenak Ki Sentol berdiri saja dengan mulut ternganga. Ia tidak mengerti, kenapa Argajaya tidak bersedia singgah ke rumahnya, sehingga kemudian terloncat pertanyaannya, “Lalu apakah maksud Angger datang kemari di malam-malam begini kalau Angger tidak bersedia singgah ke rumah?”

“Kami hanya kebetulan saja lewat, Kiai.”

“Tetapi Angger sudah masuk ke halaman rumah ini.”

“Maaf, Kiai. Sidanti-lah yang mula-mula masuk ke halaman. Ia hanya ingin sekedar melihat apakah ada keluarganya yang sedang bermalam di sini dalam perburuannya. Ternyata ia melihat adiknya dan tiba-tiba saja timbul keinginan padanya untuk mengganggu Pandan Wangi.”

Ki Sentol menjadi semakin bingung. Dan ia mendengar Argajaya itu berkata seterusnya, “Kami sebenarnya sedang dalam sebuah perjalanan. Kami merantau mengelilingi daerah yang luas untuk menambah pengalaman. Karena itu, kami tidak dapat singgah di sini. Kecuali pakaian kami yang tidak pantas karena perantauan itu, kami juga membawa seorang tamu yang ingin segera bertemu dengan Kakang Argapati.”

“Siapa?”

“Ki Tambak Wedi, guru Sidanti.”

“Oh,” Ki Sentol mengerutkan keningnya, “kalau begitu kalian harus singgah. Harus!” Lalu orang tua itu membungkuk hormat kepada Ki Tambak Wedi, “Maafkan Kiai, aku tidak tahu sebelumnya. Marilah, singgahlah sebentar saja ke rumah ini.”

“Terima kasih,” jawab Ki Tambak Wedi, “pakaian kami tidak pantas sama sekali untuk singgah ke rumah Ki Sentol. Lain kali kami akan datang lagi. Kalau kami singgah malam ini, maka besok pagi kami tidak akan berani meneruskan perjalanan di daerah kelahiran Sidanti ini. Berbeda dengan tempat-tempat lain, tempat di mana orang-orang tidak mengenal kami, maka pakaian kami memperlancar perjalanan kami.”

“Oh,” Ki Sentol mengangguk-anggukkan kepalanya, “kalau itu yang Kiai pikirkan, mungkin juga Angger Argajaya dan Angger Sidanti jangan cemas. Besok kalian akan meninggalkan rumah ini dengan pakaian yang pantas. Bukankah kalian keluarga terdekat dari Ki Gede Menoreh.”

Sejenak Ki Tambak Wedi terdiam. Tawaran itu sudah pasti akan sangat menggembirakan Sidanti. Tetapi ia mendengar Argajaya menjawab, “Terima kasih, Kiai. Itu sama sekali tidak perlu. Kami akan berjalan di malam hari.”

“Tidak. Tidak. Tidak boleh jadi. Kalian harus singgah dan besok kalian akan pergi dengan pakaian yang pantas.”

Argajaya menarik nafas dalam. Ketika dipandangnya wajah Sidanti, maka dilihatnya anak muda itu menganggukkan kepalanya.

“Hem,” desis Argajaya di dalam hatinya, “anak ini telah kehilangan harga dirinya. Bukankah tidak pantas sama sekali kalau aku dan Sidanti terang-terangan menerima pemberian dari Ki Sentol.”

Namun dalam pada itu, Sidanti berkata di dalam hatinya, “Ah, kenapa Paman telah tidak menghiraukan lagi harga dirinya, sehingga Paman tidak memerlukan pakaian yang lebih baik untuk memasuki halaman rumah ayah?”

Tetapi mereka tidak sempat lagi menolak ketika kemudian Ki Sentol langsung memegangi tangan Sidanti dan ditariknya anak muda itu sambil berkata, “Aku harus memaksa kalian. Kalau perlu dengan kekerasan. Kalian harus singgah di rumahku malam ini. Besok kalian boleh pergi. Jangan takut berjalan di siang hari karena aku akan menyediakan pakaian yang paling baik untuk kalian.” Lalu kepada Ki Tambak Wedi ia berkata, “Marilah Kiai, marilah singgah di rumah yang jelek ini.” Dan kepada yang lain Ki Sentol berkata, “Marilah, marilah Angger Argajaya dan kau Pandan Wangi, marilah menemui kakakmu yang aneh ini.

Argajaya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia berjalan pula naik ke pendapa dan kemudian hilang di dalam rumah Ki Sentol bersama yang lain.

Betapapun juga, pertemuan itu merupakan saat yang penuh ketegangan bagi Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya. Setiap kali mereka harus menciptakan jawaban-jawaban atas pertanyaan yang kadang-kadang membuat mereka pening. Mereka harus sangat berhati-hati. Apalagi terhadap Pandan Wangi. Pertanyaan-pertanyaannya yang sederhana sering membuat Ki Tambak Wedi, Argajaya, dan Sidanti menjadi bingung. Untunglah bahwa Ki Tambak Wedi dan Argajaya ternyata memiliki kecakapan untuk menyusun ceritera khayal yang cukup baik dan menarik.

Ketegangan itu akhirnya diakhiri dengan permintaan Argajaya untuk pergi ke perigi. “Aku akan mandi dahulu, Kiai. Supaya tubuhku yang kotor ini, tidak mengotori lantai rumah ini.”

“Ah,” Ki Sentol berdesah, “baiklah, Ngger.” Lalu orang itu tiba-tiba berteriak memanggil isterinya. Katanya, “Sediakan tiga pengadeg pakaian yang paling baik untuk tamu-tamuku.”


Sekali lagi dada Argajaya berdesir. Katanya, “Terima kasih, Kiai. Kalau aku tidak dapat menolak, maka lain kali aku akan menukarnya dengan pakaian yang serupa.”

“Jangan pikirkan itu, Ngger. Jangan kau pikirkan.”

Dan ternyata bahwa malam itu mereka telah mendapat pakaian yang baik dan pantas kecuali makan dan minum. Sidanti menjadi agak berlega hati. Besok ia akan dapat masuk ke halaman rumahnya dengan wajah tengadah.

Malam itu Pandan Wangi tidak jadi pergi berburu setelah lewat tengah malam. Bahkan ia pun kemudian pergi tidur, supaya besok ia dapat bangun pagi-pagi dan ikut mengantar kakaknya pulang ke rumahnya.

Malam itu, meskipun mendapat tempat yang baik, Ki Tambak Wedi tidak dapat memejamkan matanya. Kenangannya terbang ke masa silamnya yang jauh. Masa silam yang tidak dapat terhapus dari kenangannya. Apalagi apabila teraba olehnya bekas luka di bahu dan sebuah goresan di dadanya. Maka seakan-akan terbayang kembali perkelahian antara hidup dan mati, yang pernah terjadi antara dirinya dan Argapati yang bergelar Ki Gede Menoreh.

Ki Tambak Wedi terloncat berdiri. Dihentakkannya kakinya untuk mengusir kenangan yang seolah-olah mengungkat kembali kepahitan hidup yang pernah dialaminya dan yang membekas di hatinya untuk sepanjang umurnya. Tetapi orang tua itu pun kemudian dengan lesu menjatuhkan dirinya duduk di atas pembaringanmya. Ditundukkannya kepalanya dalam-dalam. Kemudian ia berdesis, “Kenapa aku tidak berhasil melupakannya?”

Semakin keras ia berusaha bahkan tampak semakin jelas di dalam angan-angannya, apa yang pernah terjadi.

“Hem,” Ki Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dibaringkannya tubuhnya. Tetapi tidak lama kemudian ia mendengar ayam jantan berkokok bersahutan untuk yang ketiga kalinya.

“Hampir pagi,” desisnya. Orang tua itu seakan-akan tidak sabar lagi menunggu matahari melonjak dari cakrawala. Terasa betapa malam bertambah panjang.

Namun akhirnya sinar pagi yang cerah memancar di langit. Burung-burung liar berkicau bersahutan, seolah-olah berlomba memujikan kidung yang manis, bahwa mereka masih sempat menikmati hari baru dalam kurnia kasih yang mulus. Ki Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam, seolah-olah ia ingin menghirup udara pagi sebanyak-banyaknya setelah semalam-malaman nafasnya disesakkan oleh kenangan yang pahit. Dengan wajah tengadah kini ia berdiri di belakang rumah Ki Sentol dalam panasnya matahari pagi. Dipandanginya berkas-berkas sinar yang menyusup di sela-sela dedaunan, keputih-putihan seperti awan yang berwarna cerah.

Pagi itu Ki Tambak Wedi, Argajaya dan Sidanti sudah tidak dapat ditahan lagi. Ketika Ki Tambak Wedi, Argajaya, dan Sidanti selesai berkemas, maka segera mereka minta diri untuk meneruskan perjalanan. Bagaimanapun juga Ki Sentol mencoba menahan mereka, namun mereka terpaksa meninggalkan rumah itu. Sidanti segera ingin sampai ke rumahnya, melihat semuanya yang telah cukup lama ditinggalkannya. Bahkan Pandan Wangi pun memutuskan untuk ikut pulang bersama dengan kakaknya. Ia tidak meneruskan rencananya, berburu di hutan peliharaan.

Ketika matahari memanjat langit semakin tinggi, serombongan orang-orang yang baru saja meninggalkan rumah Ki Sentol itu telah ke luar dari padukuhan. Mereka kini berjalan di jalan persawahan yang sempit, berurutan. Sekali-sekali mereka berpaling memandangi sekumpulan kuntul yang berterbangan, dalam warnanya yang putih, seperti kapas yang bergumpal-gumpal terbang dihanyutkan angin yang kencang.

Tidak banyak yang mereka percakapkan dalam perjalanan itu. Sidanti dan Argajaya masih selalu menghindari pertanyaan-pertanyaan Pandan Wangi yang kadang-kadang sukar untuk menemukan jawabnya, sehingga Pandan Wangi itu menjadi heran. Kakaknya, Sidanti beberapa tahun lampau bukanlah seorang pendiam. Bahkan pamannya itu pun seakan-akan bukan pamannya beberapa waktu yang lalu, yang pergi membawa dua orang pengawal ke sebelah Timur Gunung Merapi. Pamannya sekarang tiba-tiba saja berubah menjadi seorang pendiam dan kadang-kadang menjadi gugup.

Tetapi Pandan Wangi tidak berprasangka apa-apa. Ia hanya menganggap bahwa perjalanan yang lama telah membuat mereka menjadi terlampau lelah. Karena itu ia berusaha untuk menyesuaikan dirinya. Ia pun tidak terlampau banyak bertanya, meskipun di dalam dadanya tertahan keinginan tahu yang besar, apa sajakah yang telah mereka lihat dan mereka dengar, apalagi yang mereka dapatkan di sepanjang perjalanan mereka.

Tetapi yang paling diam di antara mereka adalah Ki Tambak Wedi. Ia berjalan di paling depan dengan kepala tunduk. Hanya kadang-kadang saja ia mengangkat wajahnya dan memandang berkeliling, memandang daun padi yang hijau, air yang mengalir di parit yang menggenangi sawah sejauh mata memandang. Burung kuntul yang putih berterbangan berkelompok, berputar-putar untuk kemudian pecah seolah-olah rontok jatuh ke dalam air. Satu-satu hinggap pada kaki-kakinya yang panjang untuk mencari makanan mereka di dalam air.

Semakin dekat dengan rumah Sidanti, wajah Ki Tambak Wedi tampak menjadi semakin tegang. Perjalanan itu pun menjadi semakin senyap. Hanya langkah kaki-kaki mereka sajalah yang terdengar gemerisik pada daun-daun rumput liar yang kering.

Dalam ketegangan itu mereka sama sekali tidak menyadari, telah berapa lama mereka berjalan. Mereka tidak menyadari bahwa matahari telah condong ke barat. Panas yang menyengat tubuh mereka, sama sekali tidak terasa. Bahkan keringat yang membasahi tubuh mereka pun hampir-hampir tidak pernah mereka usap. Debu yang kotor yang berterbangan oleh kaki-kaki mereka, telah hinggap di tubuh dan pakaian mereka.

Mereka menjadi semakin berdebar-debar ketika di kejauhan, di seberang bulak yang panjang di kaki Pegunungan Menoreh tampak rumah Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu. Di muka rumah itu terbentang sebuah halaman yang luas. Kemudian, di luar sepasang regol halaman, masih didapatinya sebuah lapangan yang cukup luas. Alun-alun Menoreh. Meskipun tidak seluas alun-alun Pajang, bahkan belum mencapai separuhnya, tetapi rumah Sidanti itu tampak benar-benar sebuah rumah seorang Kepala Tanah Perdikan yang besar.

Tanpa disengaja, Ki Tambak Wedi berpaling. Ketika Sidanti melihat wajah orang tua itu, hatinya ikut berdebar-debar pula. Wajah itu memancarkan kesan yang mendebarkan hatinya. Tetapi sekali lagi ia menekankan anggapannya, bahwa Ki Tambak Wedi menjadi jemu karena dirinya, karena kegagalan yang pernah dialami.

“Seharusnya kecemasan guru tidak boleh berlebih-lebihan,” berkata Sidanti di dalam hatinya. Tetapi ia tidak dapat mengatakannya kepada gurunya, Ki Tambak Wedi.

Dengan demikian maka mereka masih saja terbenam dalam kediaman. Masing-masing sibuk dengan angan-angan sendiri. Namun semakin dekat mereka dengan rumah Argapati yang bergelar Ki Gede Menoreh, maka hati mereka pun menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi karena langkah-langkah mereka, maka rumah itu pun menjadi semakin dekat, sejalan dengan matahari yang menggantung di langit semakin mendekati punggung-punggung bukit di sebelah Barat.

Tiba-tiba dalam kediaman itu Kerti bergumam, “Kita sudah hampir sampai.”

Argajaya berpaling. Dilihatnya wajah Kerti yang cerah, seolah-olah tidak pernah ada persoalan apa pun di dalam benaknya.

“He,” berkata Kerti lebih lanjut kepada seorang kawannya, “Pergilah mendahului. Beritahukan kepada Ki Gede, bahwa akan datang tamu dari Padepokan Tambak Wedi.”

“Ah,” desis Ki Tambak Wedi tanpa berpaling, “tidak perlu. Nanti Argapati akan melihatnya sendiri.”

“Biarlah, Kiai. Biarlah orang-orang di rumah itu tidak terkejut. Dan biarlah mereka siap untuk menyambut kedatangan Kiai di daerah bukit Menoreh ini.”

Ki Tambak Wedi tidak menyahut. Ketika ia melihat seseorang berlari-lari kecil mendahului perjalannya, ia seolah-olah menjadi acuh tidak acuh saja.

Pandan Wangi sendiri kemudian berjalan saja di dalam kediamannya. Ia tidak mengerti apa yang harus dilakukannya. Ia menjadi bingung dan canggung menghadapi kakak dan pamannya yang seakan-akan selalu mengelakkan pembicaraan.

“Apakah sikapku menjemukan mereka?” ia selalu bertanya-tanya di dalam hati. Dengan demikian maka Pandan Wangi yang ragu-ragu menghadapi kakak dan pamannya itu pun menjadi selalu terdiam pula.

Namun kini mereka telah berada beberapa puluh langkah saja dari alun-alun Menoreh. Sejenak lagi mereka akan memasuki lapangan rumput itu dan beberapa puluh langkah pula mereka akan sampai ke regol halaman rumah Sidanti yang besar dan berhalaman luas.

Ki Tambak Wedi menjadi semakin berdebar-debar ketika tiba-tiba ia melihat beberapa orang ke luar dari regol halaman rumah yang berdiri tegak di hadapannya, di seberang alun-alun. Dan debar di dadanya semakin keras ketika di antara orang-orang itu berdiri seorang laki-laki yang hampir sebaya dengan umurnya. Bertubuh tinggi tegap berdada bidang. Wajahnya yang keras memancarkan kekerasan hatinya pula. Sedang sorot matanya yang tajam melukiskan ketajaman pikirannya.

Orang yang bertubuh tinggi tegap itu berdiri sambil mengerutkan keningnya. Rambutnya yang sudah berseling putih beberapa helai, tampak selembar-selembar dibelai angin. Ikat kepalanya yang dikenakan dengan tergesa-gesa tidak menutup keseluruhan rambutnya yang panjang, yang disanggulkannya dengan tergesa-gesa pula. Adalah menjadi kebiasaannya untuk membiarkan rambutnya terurai apabila ia sedang beristirahat di rumahnya. Dibiarkannya dadanya yang bidang itu bertelanjang. Bulu-bulu dadanya yang lebat tumbuh dengan suburnya. Sehelai kain panjang disangkutkannya di pundaknya. Dan dikenakannya sebuah celana hitam sepanjang betisnya. Sebuah sisir yang lengkung tersangkut pada rambutnya yang tebal dan lebat.

Ketika ia mendengar bahwa ada tamu yang akan datang, maka segera ia berkemas. Dikenakannya dengan tergesa-gesa bajunya dan disanggulkannya rambutnya. Ikat kepalanya yang selalu disangkutkan di lehernya, segera dikenakannya pula. Dan dengan sigapnya ia melangkah ke luar rumahnya dan terus ke halaman.

Sekali-kali tangannya diangkatnya untuk memilin kumisnya yang lebat.

Orang itu adalah Argapati yang bergelar Ki Gede Menoreh.

Argapati memandangi serombongan orang-orang yang berjalan di alun-alun dengan tajamnya. Segera ia dapat mengenalinya satu-satu. Namun wajahnya segera berubah ketika ia melihat orang tua yang berjalan di samping Sidanti, Ki Tambak Wedi.

Tetapi perubahan wajahnya itu sama sekali tidak membekas ketika kemudian orang yang bertubuh tinggi tegap itu tersenyum. Dengan tenangnya ia melangkah maju, menyongsong tamunya. Meskipun tamunya masih belum dekat benar, terdengar Argapati menyapanya dengan suara yang berat, “Ha, agaknya burung prenjak yang manis telah menuntunmu kemari, Paguhan, eh, maksudku Ki Tambak Wedi.”

Tampak kening Ki Tambak Wedi berkerut. Namun kemudian ia tersenyum pula sambil menjawab, “Aku ternyata salah jalan, Argapati. Aku sama sekali tidak ingin datang mengunjungimu.”

Keduanya tertawa. Ketika jarak mereka menjadi semakin dekat, segera keduanya mengulurkan kedua tangan mereka masing-masing, menggenggam lengan dan mengguncang-guncangnya.

“Kau memang awet muda, Argapati,” desis Ki Tambak Wedi.

Argapati tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, “Aku selalu jejamu, Tambak Wedi. Tetapi meskipun demikian rambutku sudah diwarnai oleh rambut putih.”

Pertemuan itu nampaknya begitu akrab dan menyenangkan. Sidanti yang masih berdiri di samping gurunya menjadi heran. Kenapa selama di perjalanan gurunya tampak terlampau muram dan cemas. Semakin dekat dengan rumah ayahnya, gurunya menjadi semakin pendiam. Ternyata sambutan ayahnya pun sama sekali tidak membayangkan peristiwa apa pun yang dapat mengeruhkan pertemuan itu.

“Apakah mungkin ayah akan marah kepada guru nanti apabila ia mendengar tentang keadaanku?” pertanyaan itu bergelut di dalam dada Sidanti. Namun ia tidak, dapat menemukan jawabnya.

Dalam pada itu, ayahnya segera menegurnya pula dengan ramah, menegur pamannya Argajaya dan adiknya Pandan Wangi. Dan sejenak kemudian maka Argapati telah mempersilahkan tamu-tamunya memasuki halaman rumahnya dan naik ke pendapa yang luas.

Ternyata kesan yang didapat oleh Sidanti dalam pertemuan itu, sama sekali bertentangan dengan kegelisahan dan kediaman gurunya di sepanjang jalan. Namun meskipun demikian gurunya sama sekali masih belum menyinggung tentang sebab-sebab Sidanti terpaksa pulang kembali ke Menoreh. Selama ini gurunya masih mengatakannya bahwa kedatangan ini adalah sekedar kerinduan yang tidak tertahankan untuk melihat kampung halaman, justru ketika Argajaya mengunjungi Tambak Wedi.

Namun tiba-tiba Pandan Wangi memotong, “Tetapi bukankah Paman mengatakan bahwa Paman, Kakang Sidanti, dan Ki Tambak Wedi baru saja mengadakan perjalanan yang panjang, dan kali ini sekedar singgah saja?”

Argajaya mengerutkan keningnya. Tetapi ia kemudian tertawa, “Kau salah Pandan Wangi. Kami memang baru saja mengadakan perjalanan. Tiba-tiba kami dihinggapi oleh keinginan yang tak tertahankan untuk melihat kampung halaman. Begitulah.”

Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sama sekali memang tidak berprasangka. Ia percaya bahwa mereka sedang dalam perjalanan dan dibakar oleh kerinduan kepada kampung halaman, sehingga mereka memerlukan singgah meskipun hanya sebentar langsung sebelum mereka kembali ke Tambak Wedi. Ternyata dari pakaian yang mereka pergunakan pada saat mereka berada di rumah Ki Sentol.

“Tetapi mereka datang dari arah Hutan Mentaok. Bukankah Tambak Wedi terletak jauh di seberang Hutan Mentaok?” sebuah pertanyaan tiba-tiba saja menyentuh hatinya. Namun pertanyaan itu dijawabnya sendiri, “Itu tidak penting. Dari mana pun mereka datang mereka dapat mengambil arah itu.”

Argajaya menjadi berlega hati ketika ia melihat Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia terperanjat ketika ia mendengar Argapati bertanya, “Apakah kalian sedang dalam perjalanan yang jauh?”

Sejenak Argajaya tidak menyahut. Dipandanginya wajah Ki Tambak Wedi dengan sorot mata yang memancarkan kecemasan hati. Seolah-olah ia ingin mendapat pertimbangan, bagaimana harus menjawab pertanyaan itu.

Ki Tambak Wedi melihat kecemasan yang membayang di wajah Argajaya. Karena itu maka ia pun segera memutar otaknya. Ia harus dapat menjawab pertanyaan itu tanpa menimbulkan kecurigaan. Maka katanya, “Ya, Argapati. Kami memang sedang dalam perjalanan. Kami sedang melihat-lihat betapa luasnya tanah ini. Kami daki gunung-gunung yang tinggi dan kami turuni jurang-jurang yang dalam. Sidanti memerlukan pengalaman itu.”

Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. “Bagus,” katanya kemudian. “Bagus. Pengalaman adalah guru yang baik. Kau memang memerlukannya Sidanti. Kau memerlukan pengalaman yang banyak sekali sebelum kau menjadi seorang prajurit yang baik. Tetapi dengan demikian apakah kau tidak meninggalkan tugasmu sebagai seorang prajurit Pajang.”

Sidanti menjadi berdebar-debar. Ternyata pertanyaan ayahnya menjadi berkepanjangan. Dan kali ini ia menjadi benar-benar kebingungan untuk mencari jawab.

Sekali lagi Ki Tambak Wedi harus menjawab pertanyaan itu. “Akulah yang minta ijin untuknya, Argapati. Aku melihat Sidanti masih terlampau hijau. Meskipun ia mempunyai beberapa kelebihan dari kawan-kawannya prajurit, tetapi ternyata bahwa pengalamannya tidak banyak bedanya dengan prajurit-prajurit yang lain, yang harus menunggu perintah untuk berbuat sesuatu. Karena itu Sidanti memerlukan keseimbangan. Kelebihannya dalam tata bela diri harus diimbangi dengan kecepatan berpikir dan bertindak. Dengan demikian maka barulah ia dapat disebut seorang prajurit yang baik. Tidak hanya sekedar mampu menjalankan tugas yang diperintahkan kepadanya oleh atasannya, tetapi ia mampu menentukan sikap menghadapi keadaan yang tiba-tiba.”

“Bagus, bagus,” Argapati mengangguk-angguk lebih cepat lagi. “Kau memang seorang anak yang baik, yang mempunyai hari depan yang baik pula. Di bawah asuhan seorang yang tepat, kau akan menjadi seorang yang tidak ada duanya di seluruh Pajang. Tetapi bagaimana dengan keadaan Sangkal Putung? Apakah daerah itu telah memungkinkan untuk ditinggalkannya?”

“Sangkal Putung telah menjadi baik kembali. Sepeninggal Tohpati, maka tidak ada lagi kekuatan yang dapat mengganggu.”

“Oh, jadi benar Angger Tohpati telah dapat dipatahkan.”

“Ia terbunuh di dalam peperangan.”

“Siapakah yang membunuhnya?”

Ki Tambak Wedi menjadi ragu-ragu sejenak. Namun ia kemudian berkata, “Angger Untara.”

“Ah,” Argapati berdesah, “aku kira kau akan menyebut nama Sidanti, Paguhan.”

“Sidanti telah mengalaminya juga bertempur melawan Tohpati. Tidak hanya sekali, tetapi beberapa kali.”

“Apakah ia masih belum dapat mengalahkannya?”

“Aku tidak dapat mengatakan demikian Argapati, tetapi mereka belum pernah mendapat kesempatan perang tanding yang tidak terganggu oleh hiruk pikuk pertempuran. Juga Angger Widura tidak dapat mengalahkan Tohpati dalam perang yang demikian. Kesempatan untuk itu memang terlampau sempit. Baru ketika Senapati muda yang bernama Untara itu berhadapan langsung dengan Tohpati, kesempatan itu didapatkannya.”

Argapati sekali lagi mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya, “Aku tidak menyesal bahwa kau masih belum mengalahkan Tohpati, Sidanti. Apalagi kemudian yang berhasil membunuh Angger Tohpati adalah Angger Untara sendiri. Seandainya Tohpati terbunuh oleh orang lain, maka kau harus malu, bahwa bukan kau yang telah melakukannya.”

Sidanti sendiri hanya dapat menundukkan kepalanya. Debar dadanya menjadi semakin mengguncang jantungnya. Ia merasa seolah-olah sedang bergantung pada sebuah ranting yang kering.

Tetapi seperti Pandan Wangi, Argapati pun sama sekali tidak berprasangka sama sekali, bahwa baik Ki Tambak Wedi, Argajaya, dan Sidanti telah terdorong semakin jauh ke dalam ceritera-ceritera yang mereka khayalkan bersama.

Untuk menutupi kebohongan yang pernah mereka katakan sebelumnya, maka untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan Argapati dan Pandan Wangi, mereka harus membuat kebohongan-kebohongan baru, semakin lama semakin banyak dan semakin banyak.

Hanya karena kecepatan mereka berpikir, maka seolah-olah ceritera mereka itu benar-benar hidup. Meskipun mereka tidak berjanji lebih dahulu, dan tidak menyiapkan kerangka ceritera yang harus mereka katakan, namun mereka berusaha untuk saling menyesuaikan diri. Meskipun demikian, mereka terpaksa menjadi semakin gelisah. Pertanyaan-pertanyaan Argapati menjadi semakin sulit untuk mereka jawab.

Sidanti sendiri semakin lama menjadi semakin diam. Tidak banyak yang dapat dikatakannya tentang perjalanannya mengelilingi daerah Demak lama. Bahkan ia berdoa, agar ayahnya tidak bertanya tentang daerah-daerah yang belum pernah dilihatnya.

“He, Sidanti,” tegur Argapati, “kenapa kau diam saja. Apakah Ki Tambak Wedi telah merubahmu menjadi seorang pendiam? Ayo, ceriterakanlah apa yang pernah kau alami. Aku akan menjadi bangga mendengar ceriteramu. Kau pasti pernah bertempur dengan serombongan penjahat, segerombolan perampok atau sekelompok orang-orang yang menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan diri, kemudian memeras orang-orang yang menjadi reh-rehannya. Kau pasti telah banyak berbuat selain menghadapi orang-orang Jipang yang agaknya sulit untuk mengerti keadaan yang sebenarnya telah dihadapkan di muka hidung mereka.”

Keringat dingin mengalir di segenap lubang-lubang kulit Sidanti. Wajahnya menjadi tegang, dan kerongkongan menjadi pepat. Untunglah bahwa gurunya membantunya. Berkata Ki Tambak Wedi, “Anak itu terlampau lelah. Pengalaman yang pertama ini agaknya terlampau berat baginya. Argapati, suruhlah anak itu tidur atau beristirahat atau apa pun. Besok pagi ia akan dapat berceritera seperti seekor burung yang segar disinari matahari pagi.”

Argapati tertawa. Dipandanginya wajah Sidanti yang tunduk. Katanya, “Ya, barangkali kau terlampau payah, Sidanti. Meskipun kau jauh lebih muda dari gurumu, tetapi jalan pernafasanmu dan otot bebayumu masih belum mendapatkan latihan yang mantap, sehingga kau terlampau cepat menjadi lelah.”

Mendengar kata-kata Argapati itu, Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Ia merasa seolah-olah Argapati menyindirnya, bahwa ia kurang berhasil menuntun anak muda itu. Tetapi ia mendengar Argapati itu meneruskan, “Betapapun baiknya latihan-latihan yang telah kau jalani, tetapi perjalanan yang pertama apalagi dalam jarak yang demikian jauh, memang merupakan latihan yang terlampau berat buat kau. Seharusnya kau mengalami perjalanan-perjalanan yang lebih ringan. Tetapi agaknya memang sudah menjadi adat gurumu.” Argapati berhenti sejenak, lalu kepada Ki Tambak Wedi ia berkata, “Bukankah begitu Paguhan? Kau tidak pernah telaten mengurusi persoalan-persoalan kecil. Kau ingin cepat langsung pada persoalan yang kau ingini. Tanpa banyak pendahuluan dan pengantar.”

Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Namun ia tersenyum, “Mungkin begitu, Argapati. Aku sendiri sulit untuk menilai diri. Tetapi aku memang tidak telaten berjalan dengan langkah kecil-kecil. Aku ingin meloncat sejauh jangkauanku.”

Argapati tertawa pula, “Kau masih belum berubah.” Lalu kepada Sidanti ia berkata, “Beristirahatlah. Besok kau akan dijamu oleh anak-anak muda yang paling terkemuka di Tanah Perdikan ini. Para pemimpin Pengawal Tanah ini. Kau pasti akan mendapat seribu macam pertanyaan. Mungkin ada yang menyenangkan hatimu, tetapi pasti ada pula pertanyaan-pertanyaan yang menjemukan bagimu. Setiap orang tertarik pada persoalan yang berbeda-beda. Ada yang ingin supaya kau berceritera tentang perkelahian-perkelahian yang pernah kau alami, ada yang ingin mendengar apakah kau bertemu dengan gadis-gadis cantik di perjalananmu, atau kau pernah melihat apa saja yang tidak ada di Menoreh, atau kau menjumpai jenis makanan yang paling enak yang pernah dibuat orang. Nah, malam ini persiapkan saja semua jawabannya.”

Sidanti yang tunduk itu menganggukkan kepalanya, “Ya, Ayah. Aku akan mencoba.”

“Bagus,” kemudian kepada Pandan Wangi ia berkata, “bawalah kakakmu untuk beristirahat. Sediakan gandok Kulon untuknya dan gurunya.”

“Ya, Ayah,” sahut Pandan Wangi sambil berdiri. Kemudian ia melangkah pergi memanggil pelayannya untuk membersihkan, gandok Kulon.

Ketika kemudian Sidanti meninggalkan pertemuan itu, maka serasa ia terlepas dari sebuah kungkungan yang menyekat nafasnya. Begitu ia menginjakkan kakinya di halaman, begitu ia menarik nafas dalam-dalam. Terasa betapa sejuknya udara tanah kelahiran. Terasa betapa nyamannya silir angin di kampung halaman.

Sidanti berhenti sejenak ketika ia sampai ke depan pintu gandok. Dipalingkannya wajahnya. Ditebarkannya pandangan matanya ke sekelilingnya, hingga pada hijaunya pepohonan.

Tetapi tiba-tiba dadanya berdesir. Rumah ini, rumah ayahnya, terasa begitu asing baginya. Meskipun sudah lama ia tidak pulang kembali ke rumah ini, tetapi rumah ini adalah rumah ayahnya. Rumahnya sendiri.

Persoalan yang mereka bicarakan di pendapa itu telah melemparkannya pada suatu keadaan yang tidak disangka-sangkanya. Bayangan dan angan-angannya tentang rumah ini sama sekali berbeda dengan apa yang dijumpainya. Di sepanjang jalan ia berharap, bahwa begitu ayahnya mendengar tentang keadaannya, maka segera berbunyi tengara untuk menyiapkan pasukan di seluruh Tanah Perdikan yang besar ini.

Tetapi ketika ia sudah sampai di Menoreh, sudah berhadapan dengan ayahnya Argapati yang bergelar Ki Gede Menoreh, maka ia telah terlempar ke dalam suatu keadaan yang tidak menyenangkannya sama sekali. Ia sama sekali tidak mengerti kenapa pembicaraan mereka berkisar ke dalam suatu khayalan yang menjemukan.

“Benar-benar gila,” gumamnya di dalam hatinya, “peristiwa di rumah Ki Sentol telah menyeret aku ke dalam keadaan yang sangat jelek. Apakah guru dan paman akan terus menerus bertahan pada keterangannya. Apakah kami akan terus menerus berbohong tanpa ujung dan pangkal? Semakin jauh kami terlibat dalam kebohongan yang gila itu, keadaan kami pasti akan semakin sulit. Mungkin ayah pun akan tersinggung pula apabila ia kelak terdampar pada suatu kenyataan tentang keadaanku, guru dan paman Argajaya yang sebenarnya.” Sidanti menggeretakkan giginya. “Kami harus berterus terang. Kami harus berterus terang supaya aku tidak disiksa oleh kebohongan itu.”

Sidanti masih saja berdiri di depan pintu gandok Kulon. Ia masih saja dicengkam oleh kegelisahan yang sangat. Peristiwa yang terjadi di rumah Ki Sentol benar-benar telah membuatnya sangat sulit. Pertanyaan-pertanyaan Pandan Wangi telah mulai mendorong pamannya untuk membuat ceritera khayal. Lalu gurunya dan dirinya sendiri.

“Gila, gila,” ia menggeram.

Tetapi Sidanti itu terkejut ketika ia mendengar suara halus di belakangnya, “Marilah, Kakang. Bilikmu telah kami siapkan. Kau dan gurumu akan tidur di gandok malam ini. Mungkin juga Paman Argajaya. Tetapi agaknya paman akan segera pulang setelah sekian lama meninggalkan bibi dan adik-adik di rumah dalam kecemasan.”

Sidanti menarik nafas dalam-dalam. Ketika terpandang wajah adiknya, tiba-tiba saja ia teringat kepada Sekar Mirah. Gadis Sangkal Putung yang telah merusak segala rencananya, segala cita-citanya dan segala-galanya.

Tetapi ia melihat perbedaan pada kedua gadis itu. Sekar Mirah adalah gadis yang dibakar oleh gairah hidup yang menyala-nyala di dalam dadanya. Meskipun Sekar Mirah tidak mampu menggenggam pedang seperti adiknya, Pandan Wangi. Tetapi Sekar Mirah mempunyai beberapa kelebihan dari adiknya ini. Adalah kebetulan bahwa Pandan Wangi adalah puteri Argapati. Mungkin tanpa dikehendaki oleh gadis itu sendiri, ayahnya telah mengajarinya dalam ilmu tata beladiri. Menurunkan ilmu dari cabang perguruan Menoreh.

“Tidak. Aku melihat bahwa darah ayah mengalir pada tubuh Pandan Wangi. Ia cukup lincah, cukup cekatan dan cerdas untuk menghadapi keadaan yang tiba-tiba,” katanya di dalam hati.

Pandan Wangi yang masih saja berdiri di dalam gandok menjadi termangu-mangu. Ia menjadi heran kenapa kakaknya memandanginya seperti belum pernah melihatnya, sehingga wajahnya pun kemudian ditundukkannya.

“Pandan Wangi masih saja seorang gadis pemalu,” berkata Sidanti pula di dalam hatinya.

........bersambung ke Jilid 31

Tidak ada komentar:

Posting Komentar