Senin, 18 Desember 2017

API di BUKIT MENOREH Jilid 19

API di BUKIT MENOREH

Karya S.H Mintardja

JILID 19


KARENA itu, maka kepala Argajaja terdorong ke belakang. Sentuhan tangkai tombak Sutawijaya memang tidak begitu keras, sehingga Argajaya pun tidak sampai kehilangan keseimbangan. Tetapi tangkai tombak Sutawijaya itu pun telah membuat luka pada pelipis Argajaya, sehingga luka itu rnoneteskan darah.

Terdengar tiba-tiba Argajaya mengumpat kasar. Dengan tiba-tiba ia menyerang kembali Sutawijaya. Namun Sutawijaya telah bersiaga dan dalam waktu yang singkat, ia segera dapat menguasai lawannya. Apalagi kini Argajaya tidak lagi bersenjata.

“Bunuh aku anak setan” teriak Argajaya

“Tidak, aku akan membuatmu cacat sewnur hidup. Tangkai tombakku akan dapat mematuk kedua belah matamu, dan kau akan menjadi buta karenanya. Nah, apakah yang dapat kau lakukan tanpa sepasang matamu. Aku tidak akan mempergunakan ujung tombakku, sebab setiap goresan dapat berakibat maut.”

Ancaman itu benar-benar mengerikan. Tiba-tiba Argajaya meloncat mundur. Ternyata Sutawijaya membiarkannya. Ia sama sekali tidak mengejarnya”

Terdengar kemudian Argajaya menggeram. Suaranya menggeletar melontarkan kemarahan yang pepat di dalam dadanya, “Aku akan pergi anak demit. Tetapi jangan kau sangka bahwa aku takut menghadapi kau. Bukan berarti aku lagi dari kematian. Tetapi kau ternyata bengis melampaui iblis. Aku akan menunggumu di Sangkal Putung kalau kau benar-benar anak Sangkal Putung. Aku akan mencari kesempatan untuk melakukan perang tanding sekali lagi di hadapan para pemimpin prajurit Pajang di Sangkal Patung. Perang tanding sampai salah seorang di antara kita mati”

“Pergi,” teriak Sutawijaya, “jangan mengigau. Kau dan Sidanti boleh maju bersama-sama ke dalam arena.”

“Mulutmulah yang pertama-tama harus dipecahkan” geram Argajaya dengan suara yang tajam.

“Lakukanlah kalau kau mampu melakukan.” sahut Sutawijaya. “Tetapi ada pesanku padamu. Kalau kau mencari Sidanti, jangan kau cari ia di Sangkal Putung. Anak gila itu kini berada di padepokan gurunya. Carilah ia kesana, dan kau akan menemukannya. Katakanlah kepadanya, bahwa luka di pelipismu adalah luka yang dibuat sebagai pertanda, bahwa kau telah berkelahi dengan seorang pengawal dari Sangkal Putung.”

Dada Argajaya bergetar mendengar kata-kata itu. Sejenak ia terpaku saja di tempatnya. Diulanginya pendengarannya itu di dalam hatinya, “Sidanti sudah tidak berada di Sangkal Putung lagi”

Tetapi kemudian ia menggeram. Dengan marahnya ia menjawab, “Bohong. Ternyata kau bukan orang Sangkal Putung. Sidanti adalah orang pang penting di Kademangan itu. Ia adalah sapu kawat. Tanpa Sidanti, Sangkalu Putung tidak akan berarti sebagai suatu pertahanan untuk mempertahankan lumbung makan.”

Terdengar suara tertawa Sutawijaya, disusul oleh gelak Swandaru seakan-akan melengking, sehingga hampir setiap mata berpaling kepadanya. Yang terdengar kemudian adalah jawaban Sutawijaya, “Kau memang sedang mengigau. Kapan kau datang untuk terakhir kalinya ke Sangkal Putung? Jangankan kau yang datang dari pegunungan Menoreh di seberang hutan Mentaok, sedangkan orang-orang di Prambanan, bahkan para prajurit di Pram­banan ini pun belum tahu apa yang sebenarnya terjadi di Sangkal Putung. Alangkah jeleknya jaring-jaring perhubungan antara para prajurit Pajang yang tersebar dimana-mana ini.”

Bukan saja Argajaya, tetapi para prajurit pun menjadi berdebar-debar mendengarkan kata-kata itu.

Kembali Sutawijaya meneruskan kata-katanya, “Tetapi kalau kau tidak percaya, cobalah datang ke Sangkal Putung. Setiap hidung pasti akan mentertawakan kedatanganmu, seperti mereka mentertawakan Sidanti. Sidanti sama sekali tidak berarti apa-apa bagi Kademangam itu.”

Tiba-tiba terdengar pemimpin prajurit yang datang bersama Argajaya memotong kata-katanya, “Maksudmu kehadiran para pra­jurit Wira Tamtama di Sangkal Putung tidak berarti apa-apa bagi Kademangan itu serta penduduknya?”

“Siapa yang berkata demikian?” bantah Sutawijaya yang aku katakan adalah Sidanti. Sidanti, Kau dengar”

Telinga prajurit itu menjadi panas. Tetapi ia masih melihat anak panah yang sudah melekat pada tali busurnya di tangan Agung Sedayu dan Swandaru. Meskipun demikian ia berkata, “Bukankah Sidanti itu seorang prajurit Wira Tamtama yang ditempatkan di Pajang?”

“Ya” sahut Sutawijaya pendek.

“Nah, jadi bukankah demikian kau telah menghina prajurit Wira Tanttama?”

“Tidak. Aku hanya mengatakan bahwa Sidanti tidak berada di Sangkal Pusung. Ia berada di tempat gurunya,” kemudian Sutawijaya itu pun berpaling kepada Argajaya, “Sekarang pergilah, Pergi kepada Sidanti. Bertanyalah kepadanya tentang pengawal Sangkal Putung seperti yang kau lihat kini kepada Sidanti. Ia kenal kami bertiga dengan baik.”

Argajaya tidak menjawab. Tetapi ia belum beranjak dari tempatnya.

“Jadi kau ingin aku melakukan kehendakku atasmu. Membuatmu cacat seumur hidupmu?”

Kembali terdengar Argajaya menggeram.

“Kesempatan yang aku berikan hampir sampai pada batasnya” sambung Sutawijaya, “ternyata aku mempunyai alat yang lebih baik daripada tangkai tombakku.” Ketika Sutawijaya kemudian berpaling memandanqi ujung-ujung anak panah Agung Sedayu, maka berdesirlah setiap dada. Apakah anak muda itu akan menyuruh adiknya itu untuk melepaskan anak-panahnya mengarah ke mata Argajaya.

Argajaya pun melihat ujung anak panah itu. Dengan demikian maka gelora di dalam dadanya semakin menyala. Dendam, benci dan muak bercampur-baur di dalam hatinya. Dengan suara bergetar ia melepaskan perasaannya itu katanya, “Aku ingin bertemu sekali lagi. Aku akan mendengarkan pesanmu kali ini. Aku akan pergi keguru Sidanti di lereng Merapi. Daripadanya aku akan mendengar keadaan anak muda itu. Mudah-mudahan kita akan dapat bertemu kembali. Kau benar-benar akan menyesal kelak, bahwa kau tidak membunuhku saat ini.”

“Pergilah. Terima kasih bahwa kau mau mendengarkan pesanku. Pesan seorang pengawal Kademangan Sangkal Putung. Jangan lupa, sebut kami satu persatu di hadapan Sidanti. Aku, adikku yang bertubuh sedang dan berwajah tampan seperti topeng Panji, yang satu gemuk bulat seperti kelapa. Kau telah mengenal nama-nama kami. Karena itu, maka ……..”

“Cukup! Kau menjadi besar kepala karenanya. Tetapi akan datang saatnya, kepalamu itu aku penggal kelak.”

Argajaya tidak menunggu jawaban Sutawijaya. Segera ia memutar tubuhnya dan melangkah meninggalkan arena dengan tergesa-gesa. Tetapi ia tertegun ketika ia mendengar Sutawijaya berkata, “Tunggu. Kau kelupaan tombakmu. Kalau tombakmu itu memang sebuah pusakan sipat kandel dari Tanah Perdikan Menoreh, bawalah. Mungkin akan berguna bagimu.”

Mata Argajaya menjadi merah, semerah darah. Giginya gemeretak dan tubuhnya bergetar. Tetapi ia melangkah cepat-cepat ke arah tombaknya yang tergolek di atas pasir tepian.

“Anggaplah tombak itu sebuah kenang-kenangan daripadaku,” barkata Sutawijaya.

Argajaya berpaling pun tidak. Ia berjalan cepat-cepat meninggalkan tempat itu. meskipun demikian, meskipun ia meninggalkan lawannya, namun sebenarnya di dalam hati Sutawijaya mengakui kejantanan lawannya itu. Sikapnya yang pantang menyerah dalam keyakinannya, meskipun ujung tombak telah melekat di lambungnya. Tetapi orang yang demikian, pasti benar-benar akan melakukan kata-katanya yang diucapkan sebagai janji untuk melepaskan dendamnya kelak apabila ada kesempatan.

Semua mata memandang langkah Argajaya yang tergesa-gesa itu, yang kemudian disusul oleh kedua pengiringnya dari Mentaok. Kesan keberanian dan keteguhan hatinya masih terasa di dalam hati orang-orang yang berdiri di tepian itu. Bahkan Agung Sedayu bergumam di dalam hatinya, “Seperti Sidanti. Keras hati. Namun nalarnya kadang-kadang terdesak jauh ke belakang, sehingga orang itu kurang memikirkan akibat dari perbuatannya.”

Belum lagi Argajaya itu jauh, terdengar prajurit yang datang bersamanya menggeram, “Perbuatanmu tidak dapat lagi dimaafkan. Kalau kelak Sidanti itu benar-benar datang kemari, maka kami adalah saksi yang akan dapat mengatakan apa yang sebenarnya telah terjadi.”

“Sidanti tidak akan datang kemari,” jawab Sutawijaya.

“Apakah kau pasti?” bertanya prajurit itu.

“Sidanti tidak lagi berada di Sangkal Putung.”

“Bohong! Salah seorang dari kami akan menghadap ke Sangkal Putung. Ki Untara harus mendengar bahwa pimpinan kami di sini telah berbuat kesalahan dengan membiarkan kalian membuat onar di Kademangan Prambanan. Kalian bersama pimpinan kami itu harus ditangkap.”

Pemimpin prajurit yang datang bersama Sutawijaya itu pun segera memotong, “Kalianlah yang telah memberontak. Aku masih tetap pimpinan di sini. Aku pun dapat mengatakan apa yang telah terjadi dan orang-orang yang berdiri di sini yang semalam melihat apa yang terjadi di banjar desa akan menjadi saksi.”

“Baik. Kita lihat, siapakah yang akan dipercaya oleh pimpinan kita di Sangkal Putung.”

Tiba-tiba Sutawijaya itu pun tertawa. Katanya, “Kalian terlalu percaya bahwa Sidanti akan dapat memberimu perlindungan. Tetapi sudah aku katakan, kami tidak takut kepada Sidanti. Kami tidak takut pula seandainya Ki Untara mempercayai kata-katamu. Bahkan kami tidak akan takut seandainya Panglima Wira Tamtama sendiri datang kemari.”

Para prajurit itu pun terkejut mendengar kata-kata itu. Prajurit yang berpihak kepadanya pun terkejut. Sejenak ia terbungkam sambil memandangi anak muda yang masih menggenggam tombak di tangannya itu.

Sutawijaya melihat wajah-wajah yang menjadi semakin tegang. Tetapi ia masih saja tertawa dan berkata, “Aku berkata sebenarnya. Tidak ada seorang pun yang akan dapat berbuat sesuatu atas kami. Tetapi sebaliknya, kami akan dapat mengatakan apa yang telah terjadi di sini kepada siapa pun yang akan datang kemari. Ki Untara, Ki Penjawi, Ki Juru Mertani, atau Ki Gede Pemanahan sendiri.”

Yang mendengarkan kata-kata itu menjadi semakin tidak mengerti. Bahkan para prajurit yang berpihak kepada Argajaya menganggap bahwa anak muda itu sebenarnya anak yang tidak tahu adat. Karena itu maka pemimpinnya pun berkata, “Nah, semua orang telah mendengar kata-katamu. Kau benar-benar telah menghina Wira Tamtama. Sedang pemimpin kami yang bertanggung jawab di sini masih saja diam mematung.”

Pemimpin prajurit yang datang bersama Sutawijaya itu pun menjadi heran mendengar kata-kata Sutawijaya. Kata-kata itu sendiri telah dapat digolongkan pada suatu tindakan yang kurang pada tempatnya. Kata-kata itu sebenarnya memang menyangkut nama Wira Tamtama dan apalagi panglimanya. Karena itu, maka sejenak ia terdiam. Dicobanya untuk mencernakan apa yang telah dilihatnya dan apa yang telah didengarnya.

“Aku sama sekali tidak menghinanya. Aku justru mempercayai mereka, para pemimpin Wira Tamtama. Baik yang berada di Prambanan, baik yang berada di Sangkal Putung maupun yang berada di Pajang. Aku memang tidak takut seandainya mereka datang bersama-sama kemari, sebab mereka pasti dapat membedakan mana yang baik dan mana yang salah,” berkata Sutawijaya.

Pemimpin prajurit yang datang bersamanya tiba-tiba menganggukkan kepalanya. Katanya, “Benar, kau benar anak muda. Orang yang yakin akan kebenarannya tidak perlu takut menghadapi apapun, apalagi mereka yang tegak pada keadilan. Aku pun percaya bahwa para pemimpin itu akan mempertahankan keadilan yang selurus-lurusnya.”

“Persetan!” sahut pemimpin yang lain. “Kalian adalah orang-orang yang memang pandai berbicara. Tetapi marilah kita lihat apakah yang akan terjadi kelak.” Kemudian kepada kawan-kawannya ia berkata, “Marilah kita tinggalkan tempat ini.”

“Tunggu,” cegah Sutawijaya. “Persoalan kalian belum selesai. Dengan demikian, maka di Prambanan kini masih ada dua pimpinan prajurit yang merasa masing-masing berkuasa. Pimpinan yang sebenarnya dan pimpinan bayangan.”

“Akulah yang memegang pimpinan sekarang. Semua prajurit di Prambanan tunduk kepadaku.”

“Tidak!” sahut yang datang bersama Sutawijaya. “Aku tetap pimpinan di sini. Siapa yang tidak tunduk pada perintahku, kepadanya akan dapat dikenakan hukuman.”

“Omong koaong! Jangan hiraukan. Mari kita pergi.”

Tetapi ketika mereka sudah mulai bergerak untuk meninggalkan tempat itu, kembali mereka tertegun karena Sutawijaya berkata, “Aku hanya mengakui pimpinan yang seorang, yang datang bersamaku. Bukan karena ia membenarkan sikapku, tetapi karena ialah yang menerima kekuasaan dalam jabatan itu. Setiap pelanggaran atas perintahnya, berarti pemberontakan yang akan ditindak.”

Wajah pemimpin prajurit yang lain menjadi merah menyala. Dengan kasarnya ia berkata, “Apakah hakmu berkata demikian, he anak Sangkal Putung. Prambanan bukan bawahan Sangkal Putung, meskipun kebetulan pemimpin kami berada di sana. Tetapi kami hanya bertanggung jawab kepada Ki Untara. Kalau kau tidak mau mengakui kami, kami tidak berkeberatan. Tetapi sebenarnya bahwa kami ingin menangkap kalian dan mengikat di halaman banjar desa.”

Prajurit itu tidak berpaling ketika Sutawijaya berkata, “Tunggu.”

Beberapa prajurit yang lain pun segera mengikutinya. Tetapi langkah mereka pun tertegun-tegun. Agaknya mereka sedang membicarakan sesuatu. Sekali tampak mereka berpaling ketika anak-anak muda yang datang bersama mereka pun telah bergerak pula. Hanya Ki Demang-lah yang masih saja berdiri mematung.

Tetapi mereka pun terkejut ketika para prajurit itu berhenti dan tiba-tiba saja mereka berlari berpencaran kembali mengelilingi arena dari arah yang berbeda-beda.

Yang terjadi itu berlangsung terlampau cepat. Sutawijaya tegak di tengah-tengah arena itu dengan hati yang berdebar-debar, sedang Agung Sedayu sejenak menjadi seakan-akan membeku. Mereka menyadari apa yang akan dilakukan oleh para prajurit itu, tetapi mereka tidak segera menemukan cara untuk mengatasinya.

“Aku tidak menyangka bahwa mereka segila itu,” desah Sutawijaya di dalam hatinya.

Sejenak kemudian terdengar pemimpin prajurit yang seorang, yang datang bersama Argajaya berteriak, “Demi tegaknya tanggung jawab para prajurit Pajang di Prambanan, marilah kita tangkap anak setan itu. He, para pemuda Prambanan, jangan tidur, kau pun telah mendapat penghinaan dari orang itu.”

Tiba-tiba para pemudanya pun bergerak. Semula mereka berdesak-desakan saja, namun kemudian sebagian dari mereka segera memencar setelah mereka menyadari maksud gerakan para prajurit itu. Dengan demikian mereka menghindarkan diri mereka sejauh-jauh mungkin dari anak panah Agung Sedayu dan Swandaru, karena mereka terpencar-pencar. Para prajurit itu mengharap, bahwa mereka dapat membuat gerakan-gerakan yang dapat membingungkan Agung Sedayu dan Swandaru. Agung Sedayu dan Swandaru pasti tidak akan mungkin lagi memanah mereka dalam sekejap dan melepaskan anak panah yang kedua sekejap kemudian, atau dengan mata terpejam mengarah kepada sekelompok orang.

Sutawijaya, Agung Sedayu, Swandaru, pemimpin prajurit yang lain, dan beberapa orang kini terkepung oleh sebuah lingkaran yang terdiri dari para prajurit Pajang di Prambanan beserta beberapa anak-anak muda. Anak-anak muda itu bergerak saja seperti kena pesona, karena hubungan mereka yang rapat dengan para prajurit itu. Ki Demang pun tiba-tiba bergerak pula bersama dengan mereka.

“Jangan berbuat sesuatu yang tidak akan ada gunanya,” ancam pemimpin prajurit itu. “Kalian telah terkepung. Meskipun kalian bertiga seorang-seorang menang dari orang-orang Menoreh, tetapi jangan mimpi untuk dapat melawan kami semuanya ini.”

“Kalian benar-benar gila!” teriak pemimpin prajurit yang berada di dekat Sutawijaya. “Uraikan kepungan ini!”

“Tidak!”

“Demi kekuasaan Wira Tamtama yang berada di tanganku.”

“Tidak! Menyerahlah!”

Gigi pemimpin prajurit itu pun gemeretak. Kini pedangnya tergenggam erat di tangannya. Sedang para prajurit di luar lingkaran itu pun telah menggenggam senjata masing-masing pula.

Suasana segera meningkat semakin tegang. Orang-orang tua yang berdiri di dalam kepungan menjadi ketakutan dan gemetar. Tetapi pemimpin prajurit yang memimpin pengepungan itu berkata, “Siapa yang tidak turut dan tidak ingin melibatkan dirinya, segera keluar dari kepungan ini, kecuali empat orang yang akan kami tangkap.”

Beberapa orang kemudian tersuruk-suruk berjalan ke luar lingkaran dengan tubuh yang menggigil karena ketakutan. Satu-satu mereka menghilang ke belakang kepungan, sehingga orang-orang yang berada di dalam itu pun susut dengan cepatnya.

Tetapi ternyata tidak semua orang berlari ke luar lingkaran. Ketika tidak seorang pun lagi yang bergerak, maka tampaklah dengan jelas, siapa-siapa yang kini berdiri berseberangan. Yang masih tinggal di dalam lingkaran itu, ternyata bukan saja Sutawijaya, Agung Sedayu, Swandaru, dan pemimpin prajurit yang seorang, tetapi di dalam lingkaran itu berdiri Haspada, Trapsila, dan beberapa pemuda yang lain. Meskipun mereka tidak bersenjata panjang, tetapi mereka dapat menduga, bahwa sesuatu akan terjadi. Ternyata di dalam baju mereka terselip sebilah keris. Ketika keadaan meningkat menjadi semakin tegang, meka hulu-hulu keris itu pun telah tersembul dari dalam baju-baju mereka.

Dada Sutawijaya menjadi semakin berdebar-debar melihat peristiwa itu. Apakah benar-benar akan terjadi pertumpahan darah di tepian Kali Opak itu?

Tiba-tiba udara digetarkan oleh suara tertawa berkepanjangan. Ketika semua berpaling kea rah suara itu, mereka melihat Swandaru masih saja tertawa sambil mamandang pemimpin prajurit yang berdiri di lingkaran, siap dengan senjata di tangan.

“Hem,” berkata Swandaru, “kalau kalian bersungguh-sungguh, maka sudah barang tentu bahwa kami tidak akan mempergunakan anak panah ini. Sebenarnya kami tidak senang berkelahi dengan anak panah. Kalau aku berhasil membinasakan lawan dengan anak panah, aku sama sekali tidak mendapat kepuasan karenanya. Aku lebih senang membelah dada lawanku dengan pedangku ini.”

Swandaru kemudian dengan tenangnya meletakkan busurnya, melepaskan busur Sutawijaya di punggungnya, dan seolah-olah sedang melepaskan pakaiannya untuk mandi saja, anak yang gemuk bulat itu melepas tali-tali endong anak panahnya.

Para prajurit Pajang, beberapa anak-anak muda yang berdiri mengepungnya dan bahkan anak-anak muda yang berada di dalam kepungan, menjadi heran melihat ketenangan sikapnya. Orang-orang yang berdiri mengancamnya dengan senjata di tangan itu seakan-akan sama sekali tidak mempengaruhinya. Namun ketenangan Swandaru itu telah membuat para prajurit Pajang bertanya-tanya di dalam hati dan membuat anak-anak muda Prambanan menjadi gelisah.

Dengan tenang pula tangan kanannya kemudian menarik hulu pedangnya yang terbuat dari gading dan kini berjuntai seutas tali yang kekuning-kuningan. Ketika pedang itu kemudian menjadi telanjang, maka tampaklah pedang itu adalah sebilah pedang yang panjang.

Dengan nada yang tinggi Swandaru itu pun berkata, “Apakah kita benar-benar akan berkelahi?”

Sutawijaya dan Agung Sedayu melihat sikap itu dengan cemas, apalagi ketika kemudian mereka melihat wajah-wajah para prajurit Pajang itu pun menjadi semakin tegang.

Tanpa berjanji maka Agung Sedayu dan Sutawijaya itu pun saling berpandangan. Seakan-akan mereka saling bertanya, apakah yang sebaiknya mereka lakukan. Ternyata yang merayap di dalam hati mereka serupa. Mereka mencemasakan keadaan di sekitarnya. Bukan karena mereka cemas tentang nasib mereka masing-masing, tetapi mereka mencemaskan nasib anak-anak muda Prambanan. kalau terjadi perkelahian di pinggir Kali Opak ini maka korban yang paling banyak adalah anak-anak muda itu. Sebagian dari mereka sama sekali tidak bersenjata. Tetapi terbakar oleh darah mudanya, maka mereka akan menjadi mabuk keberanian tanpa perhitungan. Dalam perkelahian yang demikian, maka kemungkinan jatuhnya korban adalah besar sekali. Mereka sendiri pasti tidak akan dapat menjamin, bahwa senjata-senjata mereka tidak akan menyentuh tubuh lawan.

Sebelum menemukan sesuatu cara yang sebaik-baiknya mereka mendengar pemimpin prajurit yang melingkari mereka itu berkata, “Ternyata kalian benar-benar melawan perintah kami. Bahkan ada beberapa anak-anak Prambanan sendiri yang mencoba menentang kami pula. Aku memberi kesempatan terakhir kepada anak-anak muda Prambanan. Haspada, Trapsila dan kawan-kawannya. Tinggalkan orang-orang itu, supaya kami dapat segera menagkapnya tanpa membuat korban anak-anak muda Prambanan sendiri.”

Haspada memandang wajah prajurit itu dengan sorot mata yang menyala. Tiba-tiba ia menjawab, “Aku sudah jemu melihat tingkah lakumu. Bagi Prambanan sebenarnya lebih baik apabila kalian pergi saja. Mungkin kami memerlukan perlindungan dari para prajurit Pajang, tetapi bukan prajurit semacam kalian.”

Kemarahan prajurit-prajurit Pajang itu kini telah memuncak. Segera mereka bergerak maju, sehingga lingkaran itu pun menjadi semakin sempit.

Sutawijaya masih belum bergeser dari tempatnya, sedang Agung Sedayu masih menggenggam anak panah pada busurnya. Hati mereka pun menjadi semakin cemas melihat perkembangan keadaan. Tetapi mereka menyadari, bahwa mereka tidak dapat untuk sekedar mencemaskannya saja tanpa berbuat sesuatu.

Ketika lingkaran itu menjadi semakin menyempit, maka anak-anak muda Prambanan di dalam lingkaran itu pun segera bersiap pula. Di tangan mereka kini tergenggam keris masing-masing. Dengan wajah tengadah mereka menghadapi para prajurit yang menggenggam pedang di tangannya. Sedang pemimpin prajurit yang berpihak pada Sutawijaya pun berdiri dengan mata menyala. Sambil mengacung-acungkan pedangnya ia berkata, “Apa pun yang kalian lakukan, maka kalian tidak akan dapat mengingkari pertanggungan jawab.”

“Justru karena aku tidak mengingkari pertanggungan jawabku maka aku berbuat, menangkap kalian, mengikat di halaman banjar desa, minta maaf kepada tamu-tamu kami dan kemudian menyerahkan kalian kepada Ki Sidanti atau Ki Untara.”

Tiba-tiba kembali terdengar suara tertawa menggeletar. Kali ini Sutawijaya-lah yang tertawa. Suara tertawanya itu pun telah menarik perhatian pula, sehingga segenap mata seakan-akan tertumpah padanya.

“Apakah kira-kira yang akan kau katakan kepada Ki Untara?” terdengar Sutawijaya itu bertanya. Ia ingin mencoba untuk mengurungkan perkelahian itu. Tak ada jalan yang dapat ditempuhnya selain yang sedang dicobanya itu. Tetapi kalau gagal, maka ia tidak tahu, apakah akibatnya. Terasa sejak lama, sejak ia bertempur melawan Argajaya, penyesalan merayapi hatinya. Apalagi kini, pertentangan itu seakan-akan semakin menjadi-jadi.

Prajurit yang memimpin pengepungan itu menjawab kasar, “Aku akan melaporkan apa yang pernah kalian lakukan di sini.”

“Apakah Ki Untara dapat mempercayaimu?”

“Ada berpuluh-puluh saksi di sini. Ki Demang Prambanan ini pun akan dapat menjadi saksi pula.”

Kembali Sutawijaya tertawa. Katanya, “Lalu apakah yang akan dilakukan oleh Untara itu kira-kira?”

“Kalian akan diserahkan kepada kami. Dan kami akan mencincang kalian di halaman banjar desa.”

“Kalau kau berani mencincang anak itu,” berkata Sutawijaya sambil menunjuk Agung Sedayu, “maka leher kalianlah taruhannya.”

Prajurit itu mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia berkata hampir berteriak, “Pengecut, kalian mencoba mencari jalan untuk menyelamatkan diri.”

“Tidak. Kalau kau tidak percaya, pergilah ke Sangkal Putung. Bukan saja Untara berada di sana kini. Tetapi Panglima Wira Tamtama pun berada di sana pula. Kalau kalian ingin memanggilnya, maka aku akan menunggu mereka itu di sini. Untara dan Panglima Wira Tamtama itu.”

Sebelum mereka menjawab, kini tertawa Swandaru-lah yang terdengar memenuhi udara. “He,” katanya, “apakah kau akan mengatakan bahwa Agung Sedayu itu tak akan dihukum oleh Untara.”

Agung Sedayu berpaling ke arah adik seperguruannya. Tetapi ia pun tahu maksud Sutawijaya. Agaknya adi seperguruannya yang tidak begitu senang menggunakan otaknya, karena ia lebih senang mempergunakan perasaannya, kini menyadari keadaan yang gawat itu. Sehingga dengan demikian maka baik Sutawijaya maupun Agung Sedayu tersenyum karenanya.

“Apakah kau tidak ingin berkelahi?” terdengar Sutawijaya bertanya kepadanya.

“Sebenarnya. Tetapi agaknya Tuan akan menutup kesempatan itu dengan cara Tuan.”

“He,” teriak pemimpin prajurit yang mengepungnya, “jangan membuat cara yang aneh-aneh untuk menyelamatkan diri.”

“Kalau Untara datang, maka kami akan selamat. Apakah tadi kau dengar anak muda yang gemuk itu berkata?” bertanya Sutawijaya, “Anak yang berwajah tampan seperti Panji itu adalah adik Untara. Ya, ia adik senapati yang namanya selalu kau sebut-sebut.”

Kata-kata Sutawijaya itu terdengar menggelegar seperti guntur yang meledak di atas kepala mereka. Sejenak mereka terdiam seperti kena pukau yang tajam. Semua mata memandangi Agung Sedayu yang menjadi tersipu-sipu karenanya.

Meskipun demikian pemimpin prajurit yang mengepungnya tidak segera mempercayainya. Dengan ragu-ragu kini ia berkata, “Kau mendapatkan suatu cara yang baik sekali. Memang kami tidak akan berani berbuat sesuatu atas adik Ki Untara, seandainya adiknya benar-benar berada di sini. Tetapi setiap orang dapat menyebut dirinya adik Ki Untara. Bukan saja adik Ki Untara, setiap orang dapat menyebut dirinya adik Panglima Wira Tamtama atau menyebut dirinya putera Ki Gede Pemanahan.”

Suara prajurit itu terputus ketika terdengar meledak suara tertawa Swandaru Geni. Anak itu benar-benar tertawa terkekeh-kekeh sehingga tubuhnya yang bulat terguncang-guncang.

Namun Sutawijaya-lah yang menyahut, “Memang kami tidak akan dapat membuktikannya bahwa anak muda itu adik Ki Untara. Tetapi jangan mencoba memancing pertengkaran. Kalau anak muda itu mengayunkan pedangnya, maka dalam gerakan yang pertama, lima dari kalian pasti sudah terbunuh olehnya. Apalagi anak-anak muda Prambanan yang tidak bersenjata atau yang bersenjata terlampau pendek. Untuk melawan kalian, semua orang yang mencoba mengepung kami, maka Agung Sedayu sendiri akan dapat menyelesaikannya. Apakah kalian tidak percaya?”

Tampaknya wajah-wajah di sekitarnya menjadi bimbang. Beberapa anak muda menjadi pucat dan beberapa yang lain saling berpandangan.

“Persetan!” teriak prajurit itu, “Cara yang sudah lapuk untuk menakut-nakuti lawan. Sekarang kalau kalian ingin perlakuan yang lebih baik, menyerahlah. Aku tidak akan percaya apakah yang akan kalian katakan tentang diri kalian.”

Sutawijaya menarik alisnya. Memang sulitlah untuk membuktikan diri mereka di hadapan orang-orang itu. Tetapi apabila ia tidak berhasil, maka mereka benar-benar akan menyerang dan perkelahian pun akan terjadi. Meskipun beberapa orang prajurit dan anak-anak muda Prambanan itu sama sekali tidak akan menitikkan keringatnya, apalagi dibantu oleh beberapa anak-anak muda Prambanan sendiri justru yang paling kuat di antara mereka, namun setiap korban yang jatuh pasti akan membuatnya menyesal.

Dalam keragu-raguannya itu tiba-tiba terdengar pemimpin prajurit yang mengepungnya berteriak sekali lagi, “Ayo menyerahlah meskipun kau mengaku anak dewa dari langit, atau anak iblis dari dasar bumi.”

“Tidak terlampau jauh,” Sahut Swandaru sambil tertawa, “tebakanmu yang pertama tepat.”

Pemimpin prajurit itu memandanginya sambil menunjuk Sutawijaya, “Apakah ia anak dewa dari langit.”

“Yang pertama.”

Prajurit itu terdiam. Tiba-tiba ia bertanya, “Yang mana?”

“Putra Ki Gede Pemanahan.”

Kembali udara di pinggir kali Opak itu menggeletar oleh jawaban Swandaru itu. Kembali orang-orang yang berdiri di tempat itu diam mematung. Kini pusat perhatian mereka adalah anak muda yang menggenggam tombak di tangannya, yang telah berhasil mengalahkan Argajaya dengan tidak mengalami kesulitan.


Namun kemudian pemimpin prajurit itu berteriak kembali, meskipun terasa bahwa dadanya diamuk oleh kebimbangan, “Nah. Aku menjadi semakin tidak yakin akan kebenaran kata-kata kalian. Mula-mula salah seorang dari kalian dinamakan adik Ki Untara, kemudian kini yang lain disebut putera Ki Gede Pemanahan. Nah, yang seorang itu, yang gemuk, akan kalian namakan apalagi. Apakah anak yang gemuk itu akan disebut sebagai Putera Sultan Hadiwijaya?”

Swandaru tertawa semakin keras mendengar kata-kata itu. Sehingga beberapa titik air matanya membasahi pipinya yang gembung. Sutawijaya dan Agung Sedayu pun terpaksa tersenyum melihat tingkah lakunya.

Haspada, Trapsila, beberapa anak-anak muda yang berada di dalam lingkaran, beserta pemimpin prajurit yang datang bersamanya, benar-benar membeku melihat tingkah laku ketiga anak-anak muda itu. Sebutan-sebutan yang mereka ucapkan telah mempengaruhi sikap mereka. Tanpa mereka kehendaki, maka tiba-tiba mereka kini semakin memperhatikan wajah-wajah dari ketiga anak-anak muda yang menyebut dirinya Pengawal Kademangan Sangkal Putung.

Wajah Agung Sedayu yang mantap dan tenang. Wajah Sutawijaya yang tajam berwibawa dan wajah gemuk bulat namun memancarkan keteguhan tekad. Ketiganya sudah pasti bukan anak-anak gembala yang kebetulan menjadi seorang pengawal kademangannya.

Tetapi meskipun ragu-ragu, namun pemimpin prajurit yang mengepungnya mencoba untuk tidak terpengaruh kata-kata itu.

Baginya setiap hidung akan dapat mengucapkan sebutan-sebutan itu. Dengan demikian, maka apabila ia terpengaruh olehnya, berarti kegagalan pula baginya.

Namun prajurit itu pun tidak lagi dapat bertindak segarang semula. Di dalam hati kecilnya tersimpan pula pengakuan, bahwa anak-anak muda itu pasti bukan anak kebanyakan. Tetapi apabila mereka benar-benar adik Untara, apalagi putera Ki Gede Pemanahan, apakah pula kerjanya menyelusuri hutan sampai ke Kademangan Prambanan tanpa pengawalan seorang prajurit pun.

Tetapi kini prajurit itulah yang terkejut, ketika Swandaru membentaknya, “He, apakah kau tidak percaya?”

“Tidak,” sahutnya dengan serta merta.

Swandaru menggeleng-gelengkan kepalanya, “Bagaimana Tuan. Apakah kita berkelahi saja.”

“Jangan,” cegah Sutawijaya. Ia kini tinggal mempunyai satu cara untuk mencoba meyakinkan dirinya. Sejenak ia terdiam. Dipandanginya wajah pemimpin prajurit yang datang bersamanya. Tiba-tiba ia berkata, “Kemarilah. Lihat landean tombak pendekku ini. Bukankah kau pandai membaca?”

Prajurit yang dipanggil oleh Sutawijaya itu memandanginya dengan penuh pertanyaan. Ia sama sekali tidak tahu maksud anak muda itu.

“Kemarilah,” panggil Sutawijaya, “mendekatlah.”

Yang terdengar adalah suara pemimpin prajurit yang mengepungnya, “Jangan banyak tingkah. Menyerahlah.”

Tetapi Sutawijaya seakan-akan sama sekali tidak mendengarkannya. Sekali lagi ia berkata, “Kemarilah. Lihat landean tombakku ini.”

Seperti kena pesona pemimpin prajurit yang memihak kepada Sutawijaya itu pun berjalan mendekatinya.

“Kau pandai membaca bukan?” bertanya Sutawijaya.

Prajurit itu menganggukkan kepalanya.

Pada landean itu ternyata tercoreng beberapa huruf yang dipahatkan agak dalam. Sambil menunjuk kepada huruf-huruf itu Sutawijaya berkata, “Baca. Bacalah huruf-huruf ini.”

Prajurit itu masih belum tahu maksud Sutawijaya. Tetapi ia membacanya juga. Diamatinya huruf-huruf yang berjejer-jejer membentuk kata-kata itu. Pa-nglegena, sa-wulu-layar, sa-nglegena, wa-suku dan ka-wulu-layar. “Pasir Sawukir,” gumam prajurit itu.

“Apakah kau pernah mendengar nama itu?” bertanya Sutawijaya.

Prajurit itu menggeleng. Dan pemimpin yang lain berteriak, “He. Apakah kau sedang bermain gila-gilaan?”

“Kau juga belum pernah mendengar nama itu?” bertanya Sutawijaya kepada prajurit di luar lingkaran.

“Nama itu sama sekali tak berarti bagi kami.”

“Baik,” sahut Sutawijaya. Diputarnya landean tombaknya. Di sisi yang lain ternyata tertera beberapa huruf pula. Sambil menunjuk huruf yang tertera itu, maka Sutawijaya berkata, “Sekarang bacalah huruf-huruf ini. Huruf-huruf ini akan menyebut sebuah nama. Nama itu adalah namaku. Kalian dapat percaya atau tidak. Tetapi itu adalah namaku. Seandainya kalian tidak percaya, dan kalian tetap dalam pendirian kalian, maka kalian pagi ini juga pasti akan menjadi bangkai. Burung-burung gagak pasti akan kekucah di pinggir Kali Opak ini. Nama yang akan dibaca oleh pemimpin kalian ini adalah usahaku yang terakhir untuk mencegah perkelahian.”

Kata-kata Sutawijaya itu menyusup ke dalam setiap dada seperti tajamnya tombak yang menyusup ke jantung mereka. Beberapa anak muda menjadi cemas dan ketakutan. Beberapa yang lain setapak demi setapak surut ke belakang.

Tetapi para prajurit yang mengepungnya masih saja tegak di tempatnya. Meskipun ke ragu-raguan semakin besar melanda jantungnya, tetapi mereka masih belum dapat mempercayai sesuatu.

Pemimpin prajurit yang berdiri di samping Sutawijaya itu mengamat-amati huruf demi huruf. Beberapa kali ia mencoba membacanya di dalam hatinya. Nama itu pernah didengarnya. Ya, nama itu telah pernah menggemparkan dada setiap prajurit Pajang. Karena itu, tiba-tiba keringat dingin mengalir melalui segenap lubang-lubang kulitnya. Sejenak ia diam mematung. Diawasinya huruf-huruf itu, dan kemudian diucapkannya nama itu kembali di dalam hatinya.

“Jadi………,” kata-katanya serasa terhenti di kerongkongan.

“Baca,” minta Sutawijaya.

Prajurit itu memandang wajah Sutawijaya. Tiba-tiba prajurit itu melihat seakan-akan wajah itu memancarkan sinar yang menyilaukan. Dengan serta-merta ia menundukkan kepalanya sambil berkata gemetar, “Ampun, Tuan. Ampun. Aku tidak mengenal Tuan sebelumnya. Kalau benar Tuan yang datang di sini, maka sepantasnyalah Tuan yang menghukum kami.”

Orang-orang yang berdiri di sekelilingnya menjadi heran dan terperanjat. Kenapa tiba-tiba pemimpin prajurit itu menjadi pucat pasi seperti mayat.

Pemimpin prajurit yang sedang mengepungnya melihat peristiwa itu dengan dada yang berdebar-debar. Tetapi tanpa disadarinya ia berteriak, “He, kenapa kau menjadi takut seperti melihat hantu. Apakah pada landean tombak itu tertera nama hantu-hantu, atau penjaga hutan dan lereng Merapi? Atau sebuah nama perguruan yang menakutkan, atau sebuah gerombolan penjahat yang mengerikan?”

Tetapi prajurit yang sedang gemetar itu seakan-akan tidak mendengarnya. Ia masih saja berkata, “Tuan. Kami sama sekali tidak mengetahui, dengan siapa kami berhadapan. Kalau kami mengenal Tuan sebelumnya, maka kami tidak akan bersikap seperti ini. Juga kawan-kawan kami dan pasti juga tamu-tamu kami akan bersikap lain. Apalagi anak-anak muda Prambanan ini.”

“He, siapa dia?” teriak beberapa orang prajurit yang tidak sabar menunggu. Sebut namanya, supaya kami segera bersikap.”

Yang terdengar justru suara tertawa Swandaru. Meskipun ia berusaha untuk menahannya, tetapi suara itu meluncur juga dari sela-sela bibirnya.

Agung Sedayu memandanginya dengan kerut-merut di dahinya. Kali ini mereka tidak sedang bergurau. Kalau bukti terakhir ini tidak juga dipercaya, berarti darah akan mengalir di pinggir Kali Opak ini.

Tetapi suara tertawa Swandaru itu segera dapat dihentikannya, seakan-akan ditelannya kembali, meskipun perutnya terasa sakit.

Prajurit-prajurit yang mengepung mereka itu kini sudah menjadi tidak bersabar lagi. Hampir bersamaan mereka berteriak, “Sebut, sebutlah namanya. Apakah kalian sedang bermain-main untuk menakut-nakuti kami. Kalau benar nama itu menggetarkan hatimu. Sebutlah.”

Sutawijaya mengangkat dagunya. Dipandanginya orang-orang di sekelilingnya. Wajah-wajah yang tegang dan penuh pertanyaan. Haspada, Trapsila dan kawan-kawannya seakan-akan membeku di tempatnya. Namun pancaran wajahnya terasa menjadi terlampau tegang.

“Bacalah,” desis Sutawijaya kemudian.

Pemimpin prajurit itu memandanginya dengan ragu-ragu. Tetapi sekali lagi Sutawijaya berkata, “Bacalah.”

Dengan suara bergetar maka prajurit itu pun membaca nama itu, “Sutawijaya yang bergelar Ngabehi Loring Pasar.”

Suara prajurit yang gemetar itu terdengar seperti ledakan Gunung Merapi di telinga orang-orang yang berdiri di sekitarnya. Baik yang berdiri di dalam lingkaran, maupun yang berada di luar kepungan. Sejenak mereka dicengkam oleh suasana yang aneh, sehingga tak seorang pun yang segera dapat menentukan sikapnya. Prajurit yang pemimpin pengepungan itu pun berdiri dengan mulut menganga. Pedang yang di tangannya itu tiba-tiba menjadi bergetar dan hampir-hampir jatuh dari genggamannya.

Sekali lagi dicobanya untuk menatap wajah anak muda yang menggenggam tombak itu. Kemudian beralih kepada anak muda yang disebutnya adik Untara, seterusnya kepada anak muda yang gemuk bulat yang seakan-akan selalu tertawa dalam segala keadaan.

Sutawijaya melihat ketegangan dalam setiap hati. Ia ingin mempergunakan kesempatan itu untuk meyakinkan orang-orang Prambanan tentang dirinya. Bukan karena ia ingin bersombong diri, tetapi dengan demikian ia mengharap para prajurit dan orang-orang Prambanan mengurungkan niatnya untuk menangkapnya. Dengan demikian maka perkelahian pun akan terhindar, dan pertumpahan darah pun dapat disingkiri.

Dengan wajah tengadah anak muda itu pun berkata, “Nah, siapa yang tidak percaya pada tulisan itu? Aku tidak berkeberatan seandainya masih ada yang berkata, bahwa setiap orang dapat saja menulis apa saja pada landean tombaknya. Dapat saja menulis dirinya dengan sebutan aneh-aneh. Mungkin kalian dapat berkata bahwa setiap orang dapat menulis namanya dan menyebutnya sebagai putera Dewa Brahma seperti tersebut di dalam dongeng-dongeng. Atau dapat menyebut dirinya sebagai titisan Wishnu seperti Kresna atau Kekasih Syiwa. Tetapi aku masih mempunyai satu bukti lagi yang akan meyakinkan kalian apabila kalian kehendaki. Aku adalah Sutawijaya putera Ki Gede Pemanahan. Akulah yang pernah membenamkan ujung tombakku ke lambung Arya Penangsang, meskipun tombak itu bukan tombak yang aku pergunakan sekarang. Tombak itu adalah tombak pusaka sipat kandel Kadipaten Pajang, yang bernama Kiai Pleret, dan berlandean panjang, jauh lebih panjang dari tombakku ini. Meskipun demikian, meskipun aku kali ini tidak membawa Kiai Pleret, tetapi apabila kalian tetap dalam pendirian kalian ingin menangkap Sutawijaya, maka sebelum kalian sempat menyentuh pakaianku, maka kalian pasti telah menjadi mayat. Apalagi kalau kedua kawan-kawanku itu ikut serta. Pedangnya tidak kalah dahsyatnya dari sepuluh pasang pedang di dalam genggaman tangan kalian. Aku berkata sebenarnya bahwa yang seorang itu adalah adik Untara. Ya, adik Kakang Untara, senapati yang mendapat kepercayaan di seluruh daerah di seputar Gunung Merapi. Sedang yang seorang lagi, yang gemuk itu adalah putera Ki Demang Sangkal Putung, pemimpin anak-anak muda pengawal Kademangan Sangkal Putung. Apalagi seperti yang kalian lihat di sini berdiri pemimpin prajurit Pajang di Prambanan yang syah dan di sini berdiri pula beberapa anak muda yang masih dapat berpikir jernih. Yang masih sempat melihat keruntuhan yang dengan perlahan-lahan menerkam kademangan kalian. Keruntuhan pribadi satu-satu dari kalian adalah pertanda yang paling jelas bahwa kademangan ini kini telah berada di pinggir jurang kehancuran,” Sutawijaya berhenti sejenak. Dipandanginya setiap wajah yang ada di sekitarnya. Wajah-wajah anak-anak muda yang berada di dalam lingkaran dan wajah-wajah yang sedang mengepungnya rapat-rapat, juga wajah-wajah yang berada di luar kepungan. Pada wajah-wajah itu Sutawijaya dapat membaca bahwa kata-katanya telah bergolak di setiap dada.

Pinggir Kali Opak itu kini dicengkam oleh kesenyapan. Tak seorang pun yang mengucapkan kata-kata. Mulut mereka terbuka, tetapi serasa kerongkongan mereka tersumbat oleh sebuah perasaan yang aneh.

Sejenak kemudian kembali Sutawijaya berkata, “Nah, sekarang apa yang akan kalian lakukan? Apakah kalian percaya kepada kata-kataku ataukah kalian masih saja menganggap bahwa aku hanya sekedar menakut-nakuti?”

Tak ada jawaban.

Dan Sutawijaya pun berkata pula, “Meskipun aku baru semalam melihat wajah Kademangan kalian, tetapi aku sudah mendapat gambaran yang jelas, apa yang sebenarnya terjadi di sini. Kemunduran watak dan tabiat, kehilangan pegangan karena mabuk kemenangan-kemenangan kecil yang sebenarnya tidak berarti apa-apa, dan yang terpenting kemudian, pengingkaran atas nilai-nilai kebaktian kalian kepada sumber hidup kalian. Kemaksiatan bukan saja pelanggaran atas nilai-nilai hidup duniawi, tetapi lebih-lebih daripada itu, kemaksiatan adalah jalan yang menuju kepada Bebendu Abadi. Mungkin bagi mereka yang memegang pedang di tangan, dapat menghindari setiap tanggung jawab duniawi dengan kekuasaan yang terpancar dari tajam pedangnya. Tetapi apakah pedang itu akan bermanfaat untuk melawan pengadilan tertinggi, pengadilan dari Sumber Hidup kalian?”

Orang-orang yang berdiri di tepian Kali Opak itu benar-benar seperti cengkerik terinjak kaki. Diam membeku.

Namun tiba-tiba mereka seperti tersentak bangun ketika Sutawijaya berkata, “Ayo, siapa yang akan menangkap Sutawijaya?”

Prajurit-prajurit yang berdiri memagari Sutawijaya dan kawan-kawannya itu pun tiba-tiba terlempar pada kesadaran mereka tentang diri mereka.

Kata-kata Sutawijaya itu seakan-akan ujung-ujung tombak yang menghujani beribu kali ke pusat jantung mereka. Pedih dan nyeri. Tubuh mereka itu pun kemudian bergetaran. Meskipun ada juga perasaan ingkar atas segala tuduhan yang tidak langsung ditimpakan kepada diri mereka, tetapi ketika terpandang wajah Sutawijaya itu, maka wajah-wajah mereka pun tertunduk lesu. Bahkan kemudian terbayang di rongga mata mereka, Panglima Wira Tamtama yang mereka segani, akan datang sendiri menghakimi mereka. Menunjuk ke wajah-wajah mereka sambil menjatuhkan hukuman yang paling berat.

Demang Prambanan pun berdiri dengan pucatnya. Lututnya beradu seperti orang melihat hantu. Dadanya serasa diguncang-guncang oleh perasaan yang mengerikan. Seakan-akan ia sedang berada di dalam dunia mimpi yang menakutkan.

Orang-orang yang berdiri di pinggir kali Opak itu kini serasa di kejar oleh perasaan bersalah dan ketakutan. Para prajurit yang mengepung Sutawijaya itu pun merasa betapa mereka menyesal atas kelakuan mereka. Kenapa ia harus berhadapan dengan putera Ki Gede Pemanahan tanpa mereka ketahui.

Kini ternyata mereka telah mengancam putera panglimanya. Bukan saja karena anak muda itu putera Panglima Wira Tamtama, tetapi anak muda itu adalah putera angkat yang kinasih dari Adipati Pajang sendiri.

Dengan demikian maka setiap orang di pinggir sungai Opak itu kini justru terbungkam. Yang memecah kesenyapan adalah suara Sutawijaya kembali, “Bagaimana? Apakah kalian masih tetap pada pendirian kalian?”

Tiba-tiba pemimpin prajurit yang mengepungnya itu melangkah selangkah maju. Tubuhnya yang gemetar hampir-hampir tidak dapat lagi berdiri tegak di atas kedua kakinya. Ketika ia kemudian membungkukkan badannya maka pedangnya pun terjatuh dari tangannya, katanya maka, “Aku dan kawan-kawanku memohon seribu ampun”

“Apakah kau masih ragu-ragu?” bertanya Sutawijaya lantang.

“Tidak. Tidak, Tuan,” sahut prajurit itu dengan serta merta.

“Kau melihat aku berkelahi melawan Argajaya?”

“Ya, Tuan.”

“Ketahuilah, bahwa dengan dua tiga unsur gerak aku dapat membunuhnya. Tetapi aku masih menghormatinya dan membiarkan ia melawan sampai beberapa saat. Meskipun demikian aku tidak akan membunuhnya. Bukan karena ia paman Sidanti, sebab Sidanti itu pun sama sekali tidak berarti bagiku.” Sutawijaya itu berhenti sejenak. Dipandanginya para prajurit yang menundukkan kepalanya dengan lutut gemetar, “Ketahuilah,” katanya kemudian, “Sidanti kini memang sudah tidak berada di Sangkal Putung lagi. Sidanti telah melarikan dirinya karena ia melawan kepada pimpinannya. Sidanti telah mencoba membunuh Kakang Untara untuk dapat menggantikannya. Tetapi Untara tidak terbunuh, sehingga dengan demikian Sidanti harus melarikan diri. Anak muda yang bernama Sidanti dan dibangga-banggakan itu sama sekali tidak mampu melawan anak muda yang berdiri di sini itu. Adik Kakang Untara. Karena itu, seandainya datang tiga Sidanti di pinggir Kali Opak saat ini, maka kami bertiga tidak akan menjadi cemas sama sekali, apalagi tiga orang Argajaya yang sombong itu.”

Prajurit-prajurit Pajang itu masih berdiri dengan wajah yang tertunduk. Tak seorang pun kini yang berani mengangkat wajahnya memandangi wajah putera Ki Gede Pemanahan itu.

Dalam pada itu Ki Demang Prambanan yang masih muda itu berkata dengan nada yang datar gemetar, “Tuan, kami benar-benar tidak tahu siapakah Tuan. Bukan kebiasaan kami tidak menghormati tamu-tamu, tetapi hanya karena kami tidak tahu, maka mungkin sikap kami, orang-orang kademangan ini, tidak berkenan di hati Tuan. Terhadap Argajaya itu pun kami bersikap hormat pula, meskipun kami tahu, betapa orang itu sangat memuakkan karena kesombongannya. Apalagi terhadap Tuan apabila kami tahu sebelumnya.”

Sutawijaya mengerutkan keningnya mendengar kata-kata Ki Demang Prambanan itu. Sedang Ki Demang itu berkata pula, “Karena itu, Tuan, aku mengharap Tuan sudi bermalam di Kademangan kami. Kami akan menjamu Tuan dengan kemeriahan dua tiga kali lipat dari jamuan yang pernah kami adakan untuk Argajaya.”

Sutawijaya memandangi wajah Demang itu dengan tajamnya. Tetapi anak muda itu tidak segera menjawab.

Ki Demang itu masih juga berkata, “Kami akan mengadakan pertunjukan menurut kesenangan Tuan tiga hari tiga malam dan akan menjamu Tuan menurut kehendak Tuan. Kami akan menyembelih lembu dan kambing sebagai tanda hormat kami atas kesudian Tuan hadir di Kademangan ini.”

Ketika terpandang oleh Sutawijaya wajah Swandaru, maka Sutawijaya itu pun segera mengetahui, bahwa di dalam dada anak muda itu pun bergejolak perasaan seperti yang bergolak di dalam dadanya sendiri. Tetapi ketika ia memandangi wajah Agung Sedayu, maka sukarlah baginya untuk menjajagi perasaan anak muda itu. Wajahnya hampir tidak berubah. Kesannya tenang dan dalam.

Tetapi dalam ketenangan itu, sebenarnya bergelombanglah perasaan di dalam hatinya. Bahkan tiba-tiba ia menjadi kecewa melihat wajah Ki Demang Prambanan itu. Kecewa akan sikapnya yang miyur, tanpa berpegangan kepada suatu sikap yang terpuji. Baru saja mereka melihat, bagaimanakah sikapnya terhadap Argajaya, kini mereka melihat sikap yang tiba-tiba berubah. Tetapi Agung Sedayu berusaha untuk menekan perasaannya. Ia tidak mau merusak suasana yang sudah hampir mereda.

“Marilah, Tuan,” berkata Ki Demang, yang kemudian kepada para prajurit dan orang-orangnya ia berkata, “Marilah kita sambut tamu-tamu kita ini dengan kegembiraan di hati. Tidak terpaksa karena sopan santun saja seperti kita menyambut Argajaya kemarin. Tetapi kali ini kita akan merayakannya dengan ikhlas. Bahwa kademangan kita telah mendapat kesempatan dikunjungi oleh priyagung dari Pajang.”

Belum lagi Ki Demang itu selesai, terdengar Sutawijaya berkata, “Terima kasih Ki Demang. Kami bukan orang-orang yang dapat dimabukkan oleh sambutan-sambutan dan kemeriahan lahiriah. Kami bukan Argajaya. Mungkin ada beberapa perbedaan di antara kami dan Argajaya itu.” Sutawijaya berhenti sejenak. Dilihatnya wajah Ki Demang yang pucat menjadi semakin pucat. Apalagi ketika sejenak kemudian Sutawijaya berkata, “Jangan mencoba mencuci tanganmu dengan darah lembu dan kambing yang akan kau sembelih. Tak ada gunanya Ki Demang. Yang dapat mencuci namamu yang agaknya selama ini menjadi buram adalah sebuah pengakuan. Pengakuan atas kesalahan-kesalahan yang pernah kau lakukan. Dengan janji di dalam hati bahwa kesalahan itu tidak akan terulang kembali.”

Mulut Ki Demang kini benar-benar terbungkam. Seluruh tubuhnya telah basah karena keringat dingin yang mengalir seperti terperas dari dalam tubuhnya. Dengan lutut yang beradu ia mencoba untuk dapat tegak berdiri.

Ki Demang itu hampir terjatuh ketika ia terkejut mendengar Sutawijaya membentaknya, “Bagaimana Ki Demang. Apakah kau dengar kata-kataku?”

“Ya, ya, Tuan. Aku mendengar.”

“Dan Mengerti pula?”

“Ya, aku mengerti, Tuan.”

“Apa?”

Jantung Ki Demang Prambanan itu serasa dihentak-hentak oleh guruh yang meledak di dalam dadanya. Hampir-hampir ia menjadi pingsan karena ketakutan.

“Apa yang kau ketahui he Ki Demang?”

Ki Demang tidak segera dapat menjawab. Mulutnya benar-benar serasa tersumbat.

“Kenapa kau diam, he? Kau sangka aku bermain-main?” desak Sutawijaya agak keras. “Aku tidak bermain-main Ki Demang. Aku juga tidak menakut-nakuti kalian. Aku akan dapat membuktikannya apa yang aku katakan. Bukan karena aku putera Panglima Wira Tamtama. Tetapi seandainya bukan, maka aku sanggup menghadapi kalian dengan ujung tombakku ini, kau dengar?”

“Ya, ya, Tuan,” suara Ki Demang hampir tidak kedengaran.

“Apakah kau menyesal?”

“Ya, Tuan.”

Sutawijaya menarik nafas. Ia tahu, bahwa Ki Demang itu memang sudah tidak mungkin lagi diajaknya berbicara. Tetapi dengan demikian, maka semua kata-katanya besok atau lusa pasti akan dipertimbangkannya. Karena itu maka katanya, “Aku malam nanti tidak akan bermalam lagi di Kademangan ini. Aku sudah tahu gambaran yang pasti tentang Kademangan ini. Beruntunglah bahwa di sini masih ada seorang prajurit yang menyadari kesalahannya pada saat-saat terakhir. Kepadanya aku percayakan prajurit-prajurit yang lain. Apabila masih juga terjadi, mereka menentang perintah pemimpinnya yang syah, yang diangkat dan bertanggung jawab kepada Kakang Untara, maka mereka akan ditindak seperti orang-orang yang sampai saat ini masih membangkang di bawah pimpinan Sanakeling. Sedang Kademangan Prambanan harus merasa berterima kasih bahwa mereka masih memiliki anak-anak muda seperti Haspada, Trapsila dan beberapa orang yang lain. Merekalah yang seterusnya harus tampil ke depan, membimbing kawan-kawannya. Mungkin satu dua ada juga yang tidak ingin melepaskan cara hidupnya kini. Berkeliaran, berbuat aneh-aneh dan tidak menghiraukan lagi adat dan tata-cara. Adalah menjadi tugas anak-anak muda sendirilah untuk menghentikannya. Bahkan orang-orang tua yang memberi banyak contoh-contoh yang sesat itu pun harus dihentikan. Sekarang juga. Jangan menunggu sampai gunung Merapi meledak dan menimbuni daerah ini dengan pasir dan batu.”

Ketika Sutawijaya terdiam, maka tak ada suara yang berderik, selain gemericik air Kali Opak dan desir angin di dedaunan. Semaunya terdiam beku. Wajah-wajah yang menunduk dan hati yang pepat dan kecut. Ternyata mereka berhadapan dengan seorang anak muda yang luar biasa. Tidak saja menggerakkan tombaknya, tetapi juga menggerakkan lidahnya.

Kesepian itu kemudian terpecahkan ketika Sutawijaya tiba-tiba berkata, “Aku akan pergi.”

Kata-kata itu pun sangat mengejutkan. Semua wajah yang tunduk itu terangkat, dan semua mata memandang kepadanya. Tetapi ia berkata sekali lagi, “Aku akan pergi. Marilah Agung Sedayu dan Swandaru. Kita lanjutkan perjalanan kita.”

“Tuan,” pemimpin prajurit itu berusaha untuk mencegahnya, “Sebaiknya Tuan bermalam di sini. Bukan maksud kami untuk mencoba menyenang-nyenangkan hati tuan karena kesalahan-kesalahan kami, dengan harapan supaya Tuan sudi memaafkannya, tetapi sebenarnyalah kami ingin Tuan bermalam di sini untuk memberikan beberapa petunjuk yang mungkin akan sangat penting bagi kami.”

“Cukup,” sahut Sutawijaya. “Aku sudah cukup banyak berbicara. Mungkin besok atau lusa atau seminggu dua minggu lagi ada orang lain yang berkepentingan datang kemari. Mungkin kawan-kawanmu para prajurit yang berada di sini harus ditarik dan diganti oleh yang lain, mungkin keputusan-keputusan lain yang akan diambil oleh kakang Untara, tetapi mungkin kalian masih akan dibiarkannya saja seperti sekarang, karena kesibukannya yang terlampau banyak. Aku tidak tahu. Itu bukan urusanku. Tetapi aku mempunyai kepentingan sendiri dan aku akan pergi.”

“Tuan,” potong prajurit itu, tetapi Sutawijaya seperti tidak mendengarnya. Bahkan ia berkata kepada Swandaru, “Berikan busurku itu.”

Swandaru pun kemudian memungut busur itu dan memberikannya sambil bertanya, “Apakah kita akan meneruskan perjalanan kita?”

“Ya,” sahut Sutawijaya

Swandaru tidak bertanya lagi. Yang berbicara kemudian adalah Sutawijaya kedapa Haspada dan Trapsila, “Selamat kepada kalian. Mudah-mudahan kalian akan tampil kembali dalam kepemimpinan anak-anak muda. Jangan patah hati. Kalau perlu kalian dapat berlaku agak keras. Bukankah kalian mempunyai bekal yang cukup untuk melakukannya?”

“Mudah-mudahan kami dapat melakukannya, Tuan,” jawab mereka hampir bersamaan.

“Bagus. Sekarang aku akan meninggalkan kademangan ini. Aku mengharap di saat lain aku akan kembali mengunjungi daerah ini. Bukankah menurut cerita yang pernah aku dengar, kademangan ini pernah mendapat seorang demang yang sangat baik? Cobalah ulangi nama yang baik itu. Jauhkan segala macam kericuhan dan kemaksiatan.”

Orang-orang yang berdiri di pinggir Kali Opak itu kemudian hanya dapat melihat ketiga anak-anak muda itu berjalan dengan langkah yang tetap meninggalkan pinggiran Kali Opak, menyeberang ke arah Barat.

Beberapa lama mereka tegak bagaikan sekelompok patung di tepian sungai Opak. Dengan hati yang berdebar-debar mereka melihat ketiganya menyeberang sungai yang tidak begitu dalam, namun cukup lebar. Kaki-kai mereka menyentuh air yang mengalir, membuat gejolak kecil. Namun gejolak yang terjadi di dalam dada orang-orang Prambanan itu terasa betapa besarnya melanda dinding-dinding jantung mereka.

Ketika ketiga anak-anak muda itu meloncat tebing di sisi seberang dan menghilang di balik rimbunnya alang-alang, maka kini berpasang-pasang mata berpaling memandangi pemimpin prajurit yang berdiri di dalam lingkaran bersama beberapa anak-anak muda Prambanan. Prajurit yang masih mendapat kepercayaan dan putera Panglima Wira Tamtama untuk memimpin Kademangan Prambanan. Betapa dada para prajurit yang lain menjadi semakin berdebar-debar. Prajurit yang seorang itu dapat berbuat menurut kehendaknya. Iaakan dapat melepaskan dendaamnya kepada mereka. Bahkan dapat berbuat diluar dugaan. Juga kepada Ki Demang Prambanan dengan batuan anak-anak muda yang tegak di sekitarnya.


Tetapi prajurit itu berkata seperti bukan kehendaknya sendiri, “Kalau terjadi kesalahan pada kita dimasa-masa lalu, marilah kita sadari bersama, bahwa kesalahan itu adalah kesalahan kita ber­sama. Bukan saja kesalahanku. bukan saja kesalahanmu. Tetapi kesalahan kita seluruh isi Kademangan. Kehadiran anak muda, Putera Ki Gede Pemanahan itu ternyata telah membawa kesadaran baru di dalam hati kita. Kita tidak usah mempersoalkan apakah mereka itu benar-benar anak-anak muda seperti yang mereka katakan, yang seorang pudera Ki Gede Pemanahan, yang seorang adik Ki Untara dan yang seorang putera Ki Demang Sangkal Putung. Tetapi ternyata apa yang mereka lakukan dan mereka katakan membawa nafas baru didalam kehidupan Kademangan kita. Aku tidak akan merasa bangga atas kepercayaan yang diberikan kepadaku, juga tidak akan mempergunakan kekuasaan itu untuk berbuat menurut perasaanku. Tetapi marilah kita berjanji, bahwa Kademangan ini harus menjadi Kademangan yang baik seperti masa-masa lalu. Bukaukah Kademangan Prambanan pernah menjadi Kademangan yang disegani dan dihormati karena seorang Demang yang baik dimasa lalu? Dimasa pemerintahan masih berada di Demak. Nah, kita harus kembali ke jaman itu. Jaman yang baik.”

Tak terdengar jawaban, tetapi wajah-wajah yang tumungkul membayangkan kesadaran yang merayapi hati masing-masing. Semua orang memang telah berbuat kesalahan. Mereka tidak akan dapat melempar-lemparkan kesalahan satu kepada yang lain. Mereka bersama-sama telah berbuat dalam satu keadaan yong membuat Prambanan memiliki wajah seperti wajahnya kini. Tercoreng-moreng dan ­berbelang-bonteng. Kuwajiban mereka adalah membersihkan coreng-moreng dan belang bonteng itu. Tidak ada waktu untuk berbantah dan bertengkar mencari sebab kesalahan, sebab dengan demikian mereka hanya akan membuang-buang waktu dan terjerumus ke dalam kesalahan-kesalahan baru yang akan menyeret mereka ke dalam lembah perpecahan dan kehancuran.

Setiap orang yang berdiri di tepian Kah Opak itupun seakan-akan telah berjanji di dalam hati masing-masing, bahwa mereka untuk seterusnya akan memperbaiki kesalahan yang pernah mereka lakukan. Keadaan yang mereka hadapi pagi itu seakan-akan cermin yang besar yang dihadapkan kewajah-wajah mereka, untuk melihat cacat yang bertebaran. Dan cacat itu harus mereka hilangkan.

Ketika kemudian orang-orang Prambanan itu kembali ke Kademangan mereka dengan penuh penyesalan atau keadaan Kademangan mereka disaat-saat lampau, sehingga hanyak menyebabkan kemunduran di segala bidang kehidupan, maka pada saat itu Sutawijaya, Agung Sedayu dan Swandaru telah menyusup kedalam hutan ilalang dan perdu. Sejenak kemudian mereka membelok ke kanan untuk mencari jalan kecil yang menuju ke padesan di sebelah timur Hutan Tambak Baya.

Swandaru yang tidak dapat lagi menahan hatinya tiba-tiba bertanya , “Kakang, eh, tuan, kenapa tuan telah membuat lelucon itu di Kademangan Prambanan, Kenapa tuan tidak berbuat sesuatu atas Argajaya yang sombong?”

Sutawijaya tersenyum. Jawabnya, “Kalau aku melukai apalagi membunuh Argajaya, maka kesan yang didapat oleh orang-oran Prambanan akan lain sekali. Mereka menganggap kita orang-orang biasa saja yang berbuat seperti juga Argajaya berbuat. Tetapi dengan demikian maka tindakan kita akan berkesan di hati mereka. Mudah-mudahan mereka dapat mengerti dan menyadari keadaan mereka sendiri.”

Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia bertanya, “Tetapi apakah Argajaya itu tidak berbahaya bagi tian?”

“Mudah-mudahan tidak. Apabila kelak ia mengetahui siapa aku, Agung Sedayu dan kau, maka ia akan bersikap lain.”

“Tetapi tuan,” Agung Sedayu bertanya pula, “setelah Argajaya itu bertemu dengan Sidanti, maka apakah justru tidak membakar dendam masing-masing. Apa yang dialami oleh Argajaya dan apa yang dialami oleh Sidanti pasti akan pengaruh mempengaruhi, masing-masing akan saling memperkuat dendam didalam hati mereka, sebab mereka masing-masing pernah berkelahi dengan tuan dan menga­lami kekalahan yang mutlak.”

Sutawijaya terdiam sejenak. Kini ia tidak tersenyum lagi. Pertanyaan itu memang masuk diakalnya Tetapi ia menjawab, “Itu adalah akibat dan pertanggungan-jawab. Biarlah, apabila kelak aku harus berhadapan dengan salah seorang dari mereka atau bahkan kedua-duanya.”

“Dan guru Sidanrti itu?”

“Biarlah ayah menyelesaikannya. Kalau mereka mencari kalian, biarlah gurumu menemuinya”

Agung Sedalu dan Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi, di dalam hati mereka berkata, “Bagaimana kalau kebetulan pada saat-saat seperti ini kami bertemu dengan Ki Tambak Wedi itu”

Angan-angan itu pun terputus oleh sebuah kejutan di belakang mereka. Terdengar seseorang terbatuk-batuk dan ketika mereka berpaling, mereka melihat dedaunan yang tersibak.

Oleh angan-angan mereka tentang Ki Tambak Wedi, maka kejutan itu telah melontarkan mereka selangkah surut dan dengan serta-merta tangan-tangan mereka telah meraba hulu pedang mereka masing-masing.

Ketika daun itu tersibak sepenuhnya, dan mereka melihat siapa yang datang itu, maka darah mereka yang serasa telah membeku terasa kembali mengalir. Bahkan serasa setetes embun menitik pada hati mereka yang sedang dibakar oleh kegelisahan.

Orang yang datang itu tersenyum melihat ketiga anak-anak muda itu terkejut. Sambil tersenyum ia berkata, “Apakah aku menge­jutkan kalian?”

Agung Sedayu dan Swandaru Geni menarik nafas dalam-dalam, tetapi Surtawijaya masih saja memandanginya dengan penuh pertanyaan meskipun wajahnya tidak lagi menjadi terlampau tegang.

“Ya guru” sahut Agung Sedayu, “kedatangan guru benar-benar telah mengejutkan kami, justru kami sedang berbicara tentang Ki Tambak Wedi. “

Orang itu adalah Ki Tanu Metir. Sambil tersenyum ia berkata, “Aku sudah berusaha untuk tidak mengejutkan kalian. Aku sudafi lebih dahulu terbatuk-batuk”

Agung Sedayu dan Swandaru tersenyum.

Dalam pada itu Sutawijaya masih berdiri keheran-heranan. Orang yang datang itu belum begitu dikenalnya. Serasa ia pernah melihatnya sepintas tetapi di mana? Ataukah memang belum pernah ditemuinya orang ini? Namun menilik sebutan yang diucapkan oleh Agung Sedayu maka Sutawijaya pun segera dapat mengenalinya. Orang itu pasti guru Agung Sedayu dan Swandaru. Karena itu, maka ketika orang tua itu memandangnya Sutawijaya mengangguk hormat sambil berkata, “Maafkan Kiai, mungkin aku belum begitu mengenal Kiai sehingga aku tidak segera mengerti dengan siapa aku berhadapan.”

“Ya, ya. Angger memang belum mengenal aku dengan baik.”

“Bukankah Kiai guru Agung Sedayu dan Swandaru?”

“Ya, begitulah.”

Sekali lagi Sutawijaya menganggukkan kepalanya sambil berkata, “Kiai Gringsing.”

“Demikianlah orang yang sudi menyebut aku. Ada pula yang memanggilku Ki Tanu Metir.”

Tiba-tiba suara Swandaru memotong pembicaraan mereka diseling suara tertawanya, “Kiai, kalau demikian maka aku tahu sekarang.”

Semua orang berpaling kepadanya. Tampaklah wajah Sutawijaya menjadi berkerut-merut, “Apa yang kau ketahui?”

Swandaru yang gemuk itu masih saja tertawa, sehingga tubuhnya terguncang-guncang.

“Apa yang kau ketahui?” bertanya Kiai Gringsing pula.

“Nah, aku tahu sekarang. Kenapa kita hampir menjadi gila pada waktu kita berada di bekas perkemahan Tohpati. Api perapian dan lincak bambu itu, pasti Kiai yang membuat dan memasangnya.”

Kiai Gringsing, Sutawijaya dan Agung Sedayu pun kemudian tertawa pula.

“Ya,” sahut Agung Sedayu, “pasti Kiai-lah yang telah membingungkan kami.”

Kiai Gringsing tidak menjawab. Tetapi ia masih saja tertawa.

“Kami menjadi ketakutan dan hampir mengurungkan niat kami,” berkata Sutawijaya.

Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya. Katanya, “Tidak. Ternyata kalian tidak menjadi takut, tetapi kalian menjadi marah dan mengamuk.”

Ketiga anak-anak muda itu masih saja tertawa.

“Kalian agaknya memang tidak mengenal takut,” berkata Kiai Gringsing pula, “Aku melihat apa yang terjadi di Kademangan Prambanan semalam, dan pagi tadi di pinggir Kali Opak.”

Ketiga anak-anak muda itu dengan tiba-tiba berhenti tertawa. Mereka menjadi heran, bagaimana mungkin Kiai Gringsing dapat melihat apa yang terjadi pagi tadi. Tentang semalam, kemungkinan itu memang cukup banyak, tetapi pagi tadi, hampir setiap wajah di sekitar arena itu telah dilihatnya. Tetapi mereka sama sekali tidak melihat wajah Kiai Gringsing itu.

Agaknya Kiai Gringsing mengerti gejolak perasaan anak-anak muda itu. Maka katanya, “Aku melihat apa yang terjadi di pinggir Kali Opak itu dari atas tebing. Aku berdiri di belakang semak-semak yang tidak terlampau rimbun. Namun karena agaknya kalian baru sibuk dengan Argajaya, maka kalian tidak melihat aku.”

Ketiga anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Jadi Kiai melihat kami berkelahi?” bertanya Sutawijaya.

“Menurut penglihatanku yang berkelahi hanyalah seorang saja, Anakmas Sutawijaya,” sahut Kiai Gringsing.

Sutawijaya tersenyum, “Ya Kiai. Meskipun kedua murid-murid Kiai itu pun sudah hampir pula berkelahi.”

“Aku kagum melihat sikap dan kesabaran Anakmas. Ternyata Anakmas berhasil menghindari pertumpahan darah. Aku tidak mendengar apa yang kalian percakapkan. Tetapi menilik sikap dan tingkah laku kalian dan orang-orang Prambanan, aku tahu bahwa Anakmas berhasil mencegah perkelahian itu dengan huruf-huruf yang tertera pada landean tombak Anakmas. Apakah pada landean itu tertulis nama Anakmas yang sebenarnya?”

“Ah,” desah Sutawijaya, “begitulah, Kiai.”

“Jarang-jarang anak muda yang dapat mengendalikan perasaannya seperti Anakmas. Aku melihat bagaimana Swandaru dan Agung Sedayu menarik tali busurnya. Aku menjadi berdebar-debar karenanya.”

“Ah, aku hanya menakut-nakuti mereka saja guru,” sahut Swandaru sambil tersenyum.

“Bagus,” jawab Kiai Gringsing. “Kalau demikian kalian telah berbuat sebaik-baiknya. Tetapi ternyata kalian kurang menyadari bahaya yang akan dapat timbul karenanya. Apakah kalian kini masih juga akan pergi ke alas Mentaok?”

Sejenak anak-anak muda itu saling berpandangan. Pertanyaan itu terdengar aneh di telinganya. Namun yang menjawab kemudian adalah Sutawijaya, “Ya, Kiai. Kami akan terus ke hutan Mentaok.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Anakmas. Apakah tidak sebaiknya Anakmas kembali saja ke Sangkal Putung?”

“Kenapa?” bertanya Sutawijaya.

“Jalan ke Mentaok terlampau sulit, Ngger,” jawab Kiai Gringsing.

“Tidak apa Kiai. Kami telah mendengar pula sebelumnya.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk pula. Tetapi wajahnya sama sekali tidak sejalan dengan anggukkan kepalanya. Katanya, “Anakmas. Mungkin Anakmas sudah bersedia untuk menempuh jalan yang bagaimanapun sulitnya. Mungkin Anakmas sudah bertekad akan mengatasi segala macam bahaya yang akan Angger jumpai di perjalanan. Tetapi bahaya sebenarnya bagi kalian bertiga tidak terletak di perjalanan Angger bertiga.”

Sutawijaya mengerutkan keningnya. Ia kurang dapat mengerti kata-kata Kiai Gringsing itu, sehingga sejenak ia tidak menyahut. Karena Sutawijaya tidak segera menyahut, maka Kiai Gringsing itu pun meneruskannya, “Mungkin di perjalanan ke Mentaok itu Angger tidak akan menjumpai kesulitan apa-apa. Mungkin satu dua Angger bertemu dengan penyamun atau perampok, tetapi mereka sama sekali tidak berarti bagi kalian bertiga. Tetapi dengan peristiwa yang telah terjadi di Prambanan itu, maka bahaya yang sebenarnya akan dapat terjadi di Sangkal Putung.”

Ketiga anak-anak muda itu pun saling berpandangan. Keterangan Kiai Gringsing itu masih belum begitu jelas bagi mereka, sehingga Sutawijaya pun bertanya, “Kenapa Kiai, kenapa Sangkal Putung terancam bahaya?”

“Angger,” jawab Kiai Gringsing, “Argajaya yang telah Angger kalahkan di hadapan orang-orang Prambanan itu sudah tentu mendendam di hatinya. Bukankah Argajaya itu seorang utusan dari Kepala Tanah Perdikan yang bernama Argapati, dan Argapati itu ayah Sidanti? Nah. Argajaya pasti akan bertemu dengan Sidanti. Mereka berdua menyimpan dendam di dalam hati masing-masing kepada Angger dan juga kepada Agung Sedayu dan Swandaru. Nah, apakah kira-kira yang akan terjadi apabila mereka masing-masing bertemu dan berbicara tentang tiga orang anak muda Sangkal Putung seperti kalian?”

Sutawijaya pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Agung Sedayu dan Swandaru pun mulai mengerti, apakah yang dimaksud oleh gurunya.

“Kiai,” berkata Sutawijaya, “meskipun mereka kemudian bertemu apakah kira-kira yang dapat mereka lakukan?”

“Banyak sekali, Ngger,” sahut Kiai Gringsing. “Salah satu kemungkinan yang dapat mereka lakukan adalah berusaha mencegat Angger bertiga, kelak jika Angger kembali dari Mentaok.”

Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Agung Sedayu dan Swandaru sejenak saling berpandangan. Kata-kata Kiai Gringsing itu masuk ke dalam akal mereka. Jarak antara Prambanan dan padukuhan Ki Tambak Wedi tidak melampaui jarak Prambanan dan alas Mentaok. Meskipun jaraknya terpaut, tetapi jalan ke alas Mentaok pasti akan lebih sulit. Apalagi apabila satu dua kali mereka akan bertemu dengan beberapa orang penyamun seperti yang dikatakan oleh Kiai Gringsing.

Tetapi yang menjawab kemudian adalah Sutawijaya, “Benar Kiai, hal itu memang dapat terjadi. Tetapi apabila kami telah memperhitungkannya, maka kami akan mencari jalan lain kelak. Kami akan menempuh jalan yang sama sekali tidak diduga-duga oleh Ki Tambak Wedi.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Memang, Angger akan dapat mencari jalan lain yang mungkin tidak diduga-duga oleh Ki Tambak Wedi. Tetapi jangan dikira, bahwa kemungkinan mencari jalan lain itu tidak diperhitungkan pula oleh Ki Tambak Wedi. Mungkin Ki Tambak Wedi tidak mencegat Angger di Prambanan, di hutan Tambak Baya atau di pedukuhan-pedukuhan lain seperti Cupu Watu atau Candi Sari, tetapi tanpa Angger duga-duga, Ki Tambak Wedi itu justru berada di muka hidung para peronda di Sangkal Putung, di sisi regol masuk ke dalam Kademangan itu.”

Sekali lagi Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika ia berpaling ke arah kedua kawannya, maka dilihatnya Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya pula.

“Memang,” katanya dalam hati, “kemungkinan itu dapat terjadi. Tetapi aku sudah menempuh separo jalan. Sayang sekali apabila aku terpaksa kembali sebelum aku melihat tanah Mentaok. Tanah yang kelak akan diterima oleh ayah dari Ramanda Adipati Pajang sebagai hadiah.”

Karena itu, maka Sutawijaya itu pun terdiam sejenak diamuk oleh kebimbangan. Ia dapat mengerti kata-kata Kiai Gringsing dan menyadari bahaya yang sedang mengancam. Tetapi ia tidak dapat melepaskan keinginannya untuk melihat hutan Mentaok.

Sejenak mereka saling berdiam diri. Agung Sedayu dan Swandaru pun menjadi berbimbang hati pula. Tetapi kepentingan mereka tentang tanah Mentaok tidak setajam Sutawijaya. Karena itu, maka mereka pun tidak sedemikian bernafsu untuk meneruskan perjalanan. Meskipun demikian, karena mereka telah berjanji sejak mereka berangkat untuk pergi bersama, maka Agung Sedayu dan Swandaru menunggu, apa yang akan dikatakan oleh Sutawijaya.

Kiai Gringsing melihat kebimbangan di dalam hati putera Panglima Wira Tamtama itu. Namun demikian, dibiarkannya anak muda itu membuat pertimbangan sendiri.

“Kiai,” berkata Sutawijaya itu kemudian, “aku sudah menempuh jarak ini. Bagaimanakah kalau aku meneruskan beberapa langkah lagi Kiai? Aku hanya ingin melihat sejenak, bagaimanakah ujudnya alas Mentaok itu. Tidak terlampau lama. Sekejap saja.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Begitu besar keinginan Sutawijaya untuk melihat tanah yang kelak akan dimilikinya.

Dengan demikian maka Kiai Gringsing pun menjadi ragu-ragu pula. Ia tidak sampai hati untuk mengecewakan putera Panglima Wira Tamtama itu. Tetapi ia tidak pula dapat membiarkan mereka mengalami bencana.

Namun yang dicemaskan oleh Kiai Gringsing bukan saja Sutawijaya dan kawan-kawannya, tetapi juga Sangkal Putung. Kalau Panglima Wira Tamtama hari ini atau besok kembali ke Pajang dengan membawa orang-orang Jipang, maka sebagian dari prajurit Pajang di Sangkal Putung pasti meninggalkan Kademangan itu untuk mengawal orang-orang Jipang ke Pajang. Ki Tambak Wedi yang licik, apabila dapat memperhitungkan dengan tepat keberangkatan Ki Gede Pemanahan, maka Sangkal Putung benar-benar berada dalam bahaya. Sepeninggal Ki Gede Pemanahan, maka Sangkal Putung hanya ditunggui oleh para prajurit di bawah Untara dan Widura. Tidak ada orang-orang lain yang akan dapat membantunya seandainya Ki Tambak Wedi benar-benar menyergap Kademangan itu. Sedangkan di dalam barisan Ki Tambak Wedi akan muncul orang-orang yang tangguh seperti Sidanti, Sanakeling, Alap-alap Jalatunda dan sudah tentu Argajaya yang menyimpan dendam pula di hatinya. Dalam keadaan demikian maka tenaga Agung Sedayu dan Swandaru pasti akan sangat berarti.

Dengan demikian maka yang dapat terjadi adalah beberapa kemungkinan. Ki Tambak Wedi, Argajaya dan Sidanti berusaha mencegat Sutawijaya, atau mereka mengerahkan laskarnya untuk menghantam Sangkal Putung. Kemungkinan yang lain, tetapi tidak terlampau mencemaskan adalah bahwa Ki Tambak Wedi nanti akan mencegat Ki Gede Pemanahan. Apabila demikian, maka kehadiran Sutawijaya pun pasti diperlukan.

Satu demi satu kemungkinan-kemungkinan itu pun diberitahukannya kepada Sutawijaya dan kedua kawan-kawannya. Ternyata mereka pun dapat mengerti arti dari bahaya itu. Meskipun demikian Sutawijaya masih juga berkata, “Baik Kiai, aku akan segera kembali. Aku harap ayah menungguku di Sangkal Putung. Aku hanya memerlukan waktu sedikit untuk mencapai alas Mentaok. Bukankah sebentar lagi kami akan memasuki alas Tambak Baya?”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Waktu yang Anakmas perlukan paling sedikit adalah dua hari dua malam. Sedang Argajaya malam nanti pasti sudah akan sampai ke Padepokan Ki Tambak Wedi. Ceriteranya pasti akan membakar kemarahan mereka sehingga seandainya mereka tidak bernafsu untuk berbuat sesuatu, atau rencana mereka masih berjarak beberapa waktu, maka mereka akan segera menentukan sikap. Mereka pasti segera akan mempercepat setiap rencana.”

“Aku akan berjalan siang dan malam, Kiai.”

“Tetapi dua malam itu tak akan dapat Angger percepat.”

Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Belum lagi kalau Angger bertemu dengan beberapa orang penyamun. Meskipun penyamun-penyamun di hutan Tambak Baya itu tidak berbahaya bagi Anakmas, namun setidak-tidaknya mereka akan menghambat rencana Anakmas. Kalau Anakmas bertemu dengan gerombolan Daruka, maka Angger akan memerlukan waktu yang cukup lama untuk menundukkannya. Bukan karena Daruka itu seorang yang sakti tiada taranya, tetapi karena gerombolannya terdiri dari orang-orang yang berpengalaman dan cukup banyak jumlahnya.”

Sutawijaya tidak menjawab. Tetapi kedip matanya menunjukkan kekecewaan hatinya. Ia pernah juga mendengar dari beberapa orang prajurit, nama Daruka. Tetapi semula ia sama sekali tidak memperhatikannya. Ternyata menurut Kiai Gringsing, Daruka itu akan dapat memperlambat perjalanannya.

Namun demikian Kiai Gringsing tidak sampai hati untuk mengecewakannya. Anak itu merasa bahwa alas Mentaok sudah berada di hadapan hidungnya. Karena itu maka katanya, “Baiklah Anakmas. Aku menjadi iba melihat mata Angger berkedip seperti anak-anak yang kecewa karena ibunya tidak membawa oleh-oleh dari pasar. Nah, kalau demikian, maka pergilah terus. Tetapi cepat. Secepat-cepatnya. Seperti yang Angger katakan, berjalan siang dan malam.”

Swandarulah yang kemudian mengerutkan alisnya. Desisnya, “Siang dan malam? Hem, kalian tidak perlu membawa tubuh sebesar tubuhku. Kalau ada salah seorang dari kalian bersedia membantu membawa perutku, aku tidak berkeberatan berjalan siang dan malam. Bahkan tanpa berhenti sekalipun.”

Mau tidak mau, yang mendengar kata-katanya itu terpaksa tersenyum. Yang menjawab adalah Agung Sedayu,”Kau akan menjadi langsing adi Swandaru. Kalau kau banyak berjalan, maka gembung perutmu akan berkurang.”

“Sebuah latihan yang baik,” berkata Ki Tanu Metir. “Nah, manfaatkan kesempatan ini apabila kalian benar-benar tidak ingin segera kembali ke Sangkal Putung. Mungkin kalian akan mempergunakan waktu lebih dari dua hari dua malam. Tetapi supaya kalian tidak memilih jalan yang salah, yang akan dapat memperpanjang waktu, atau kalian sengaja mencari jalan lain karena kenakalan kalian, maka biarlah aku pergi bersama kalian.”

“He,” wajah Sutawijaya dan kedua kawannya tiba-tiba menjadi cerah, “Kiai akan pergi bersama kami?”

“Hanya supaya kalian cepat kembali ke Sangkal Putung.”

“Kita tidak cemas lagi dicegat oleh Ki Tambak Wedi, sehingga kita tidak perlu mencari jalan lain,” berkata Swandaru.

“Akibatnya kita segera sampai ke Sangkal Putung,” sahut Kiai Gringsing.

“Kalau begitu kita dapat berbicara sambil berjalan,” gumam Agung Sedayu.

“Tak ada lagi yang dibicarakan,” berkata Kiai Gringsing, “ternyata kalian tidak mau kembali ke Sangkal Putung. Nah, marilah kita berangkat, supaya kita tidak terlampau lama di perjalanan.”

Maka segera mereka pun melangkahkan kaki-kaki mereka kembali. Kali ini mereka membawa seorang penunjuk jalan yang dapat diandalkan, Kiai Gringsing.

Dengan demikian maka perjalanan itu menjadi lebih cepat. Agaknya Kiai Gringsing telah cukup mengenal daerah yang akan mereka jalani.

Sebelum mereka memasuki hutan Tambak Baya, maka perjalanan mereka sama sekali tidak menemui kesulitan. Candi Sari, kemudian Cupu Watu dan ketika mereka melangkah ke barat lebih jauh lagi, maka terbentang di hadapan mereka sebuah hutan yang lebat. Tambak Baya.

Meskipun hutan ini tidak segarang Mentaok, tetapi Tambak Baya cukup menyeramkan. Pepohonan yang pepat seakan-akan berserakan di setiap jengkal tanah. Pohon-pohon perdu yang rimbun dan pepohonan yang merambat, bahkan yang berduri sekali.

Sejenak mereka berhenti di pinggir hutan itu. Ketika mereka menengadahkan wajah mereka, maka matahari telah tampak condong di arah barat. Cahayanya yang kemerah-merahan memencar menyoroti langit yang terbentang. Sehelai-sehelai mega yang putih mengalir beriringan.

Di belakang mereka terbentang padang rumput yang diseling oleh tanaman-tanaman perdu. Di ujung padang itu terdapat pategalan dan kemudian tanah persawahan yang cukup subur.

Tetapi mereka sama sekali tidak melihat seorang pun berada di tempat itu. Lengang dan terasa kesunyian mencekam dada mereka. Sehingga, tanpa sesadarnya Swandaru berdesis, “Alangkah lengangnya. Apakah tak pernah ada orang yang menggarap pategalan itu?”

“Tentu ada,” sahut Ki Tanu Metir, “Bagaimana mungkin tanaman-tanaman itu tumbuh teratur?”

“Tetapi tak seorang pun nampak,” berkata Swandaru pula.

“Mereka mengerjakan sawah dan ladang mereka di pagi hari. Mereka memerlukan kawan untuk pergi ke sawah dan ladang mereka. Di sini ada semacam warung sepekan sekali atau dua kali. Bukan saja tempat orang-orang menukarkan barang-barang keperluan sehari-hari, tetapi kadang-kadang ada pula orang-orang yang akan menyeberangi hutan ini memerlukan bekal di perjalanan. Bahkan di sini kadang-kadang ada beberapa orang pengantar yang menemani dan melindungi orang-orang yang ingin pergi ke daerah-daerah di seberang hutan ini. Mungkin ke Nglipura, mungkin ke Mangir.”

Anak-anak muda yang mendengarkan kata-kata itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Yang bertanya adalah Agung Sedayu, “Tetapi kenapa kali ini mereka tidak ada di tempat ini Kiai. Bagaimana seandainya saat ini ada orang yang akan menyeberangi hutan. Apakah tidak ada orang yang bersedia mengantarkannya?”

“Ada saat-saat tertentu bagi mereka yang akan menyeberangi hutan ini. Para pengantar hanya bersedia di hari-hari yang sudah mereka tentukan. Misalnya di hari Manis dan Pahing. Selain hari-hari itu mereka tidak berada di tempat ini. Mungkin mereka sedang di dalam perjalanan kembali setelah mengantarkan beberapa orang bersama-sama, tetapi mungkin pula mereka sedang beristirahat.”

“Bagaimana kalau ada keperluan yang tidak mungkin tertunda?” bertanya Swandaru.

“Tergantung kepada orang itu sendiri. Apakah mereka berani menanggung setiap kemungkinan bertemu dengan gerombolan penyamun di dalam hutan ini. Kalau mereka itu merasa diri mereka cukup kuat, maka mereka pun akan menyeberang tanpa pengawalan dan perlindungan orang lain.”

Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya pula, “Dengan demikian maka para pengawal itu pasti orang-orang yang cukup kuat untuk menghadapi setiap kejahatan yang dapat terjadi di hutan ini Kiai.”

“Demikianlah. Tetapi kadang-kadang para penjahat itu saling bantu-membantu. Kadang-kadang mereka bekerja bersama untuk suatu kepentingan. Tetapi kadang-kadang mereka saling bertempur di antara mereka berebut korban.”

Sutawijaya mendengarkan ceritera itu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bergumam, “Seperti kehidupan binatang-binatang yang menghuni hutan ini. Begitukah kira-kira Kiai?”

Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya. Kemudian agak ragu ia menjawab, “Ya. Begitulah kira-kira. Apabila mereka sedang mempunyai kepentingan yang sama, maka kadang-kadang kekuatan mereka benar-benar tak terlawan oleh para pengawal. Dalam keadaan yang demikian, maka kadang-kadang iring-iringan itu benar-benar menjadi korban para penyamun. Namun hal itu jarang terjadi. Kalau para pengawal tidak lagi mampu bertahan, maka orang-orang itu sendiri pasti akan ikut bertempur. Tetapi sekali dua kali, kemalangan memang dapat terjadi atas para pengawal dan orang-orang yang dikawalnya.”

Ketiga anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Ketika sekali lagi mereka menebarkan pandangan mata mereka di sekitar tempat itu, maka pinggiran hutan itu benar-benar sepi dan lengang.

“Apakah kita akan menyeberang sekarang?” terdengar Sutawijaya bertanya.

“Terserah kepada Anakmas,” sahut Kiai Gringsing, “Tetapi apabila kita benar-benar ingin berjalan siang dan malam, maka sebaiknya kita berjalan terus. Kita tidak perlu mencemaskan para penyamun, sebab kita tidak membawa barang-barang yang berharga kecuali leher-leher kita sendiri.”

Sutawijaya tersenyum, tetapi Swandaru mengerutkan dahinya.

“Apakah kalian tidak merasa lelah?”

Swandaru menjadi kecewa ketika Agung Sedayu menjawab, “Tidak. Aku tidak merasa lelah.”


“Ah,” Swandaru bertolak pinggang sambil mendesah. Kemudian anak yang gemuk itu menggeliat, katanya, “Hem, baiklah. Aku pun tidak lelah.”

Agung Sedayu, Sutawijaya dan Kiai Gringsing tersenyum.

“Salahmu,” berkata Agung Sedayu.

“Kenapa?” sahut Swandaru.

“Kau terlampau banyak makan.”

Swandaru memberengutkan wajahnya. Tetapi sebelum ia menjawab, terdengar Kiai Gringsing berkata,”Marilah kita berjalan terus. Mungkin kita terpaksa berhenti nanti sebelum kita terlampau dalam masuk ke hutan ini.”

Sejenak Sutawijaya, Agung Sedayu dan Swandaru saling berpandangan. Matahari telah menjadi semakin rendah. Apabila mereka memasuki hutan itu, maka segera mereka akan terhalang oleh gelap. Namun mereka sudah terlanjur berkata, bahwa mereka akan berjalan siang dan malam. Sehingga karena itu maka Sutawijaya menjawab, “Marilah Kiai. Kalau Kiai menghendaki kami berjalan terus.”

“Ya. Kita harus berjalan terus. Kalau tidak maka kita akan kehilangan waktu. Kira harus memperhitungkan keadaan Sangkal Putung pula. Bukan sekedar melihat keadaan diri kita sendiri.”

“Baiklah Kiai,” sahut Sutawijaya kemudian.

“Bagus,” gumam Kiai Gringsing, “kita baru mempergunakan waktu sebaik-baiknya.”

Maka mereka pun segera melangkah mendekati bibir hutan yang lebat. Sejenak mereka menjadi termangu-mangu, tetapi mereka melangkah terus.

Tiba-tiba, langkah mereka tertegun ketika mereka melihat rimbunnya daun bergerak-gerak di hadapan mereka. Dan mereka pun terkejut ketika tiba-tiba mereka melihat beberapa orang muncul dari balik dedaunan.

Tetapi dalam pada itu capat Kiai Gringsing berbisik, “Mereka adalah orang-orang yang sering mengawal para pedagang dan orang-orang lain yang berkepentingan menyeberangi hutan ini.”

Sutawijaya dan kedua kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepala mereka. Orang-orang yang baru muncul itu adalah orang-orang yang rata-rata bertubuh tegap kekar. Di lambung mereka tersangkut pedang dan beberapa di antaranya membawa pula pisau atau kapak.

Kiai Gringsing masih juga berbisik, “Senjata-senjata itu kecuali berguna untuk bertempur, juga berguna untuk merambas jalan yang pepat karena daun-daun perdu dan akar-akar yang merambat dan menutup jalan.”

Kembali ketiga anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepala mereka.

Sementara itu Kiai Gringsing masih berkata, “Mereka masuk hutan tiga hari yang lampau. Mungkin di hari Aditya Manis.”

“Sekarang hari apa?” bertanya Swandaru.

“Hanggara Jene.”

“He, Bintang Kuning.”

“Ya, Selasa Pon.”

Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara itu orang-orang yang muncul dari dalam hutan itu telah berdiri beberapa langkah di hadapan mereka. Namun ketika wajah-wajah mereka menjadi semakin jelas, nampaklah bahwa beberapa orang di antara mereka terluka. Titik-titik darah yang kering masih jelas pada pakaian mereka.

Seorang yang berkumis lebat dan tidak berbaju melangkah mendekati mereka. Dengan nada yang berat ia bertanya, “Apakah Ki Sanak anak menyeberangi hutan?”

Yang menjawab adalah Kiai Gringsing, “Ya Ki Sanak. Kami akan menyeberangi hutan.”

“Kemanakah kalian akan pergi?”

“Mentaok.”

“Mentaok? Ke alas Mentaok? Apakah keperluan kalian ke Mentaok?”

Kiai Gringsing berpaling ke arah Sutawijaya. Tetapi orang tua itu menjawab, “Kami akan pergi ke Nglipura, Ki Sanak. Ada keluargaku di sana.”

Orang yang berkumis lebat, yang agaknya pemimpin dari para pengawal itu berkata, “Kalian hanya berempat?”

“Ya.”

“Menilik persiapan dan senjata kalian, maka kalian merasa bahwa kalian cukup kuat untuk menyeberangi hutan ini tanpa pengawalan. Ternyata pula kalian memilih hari ini, bukan hari-hari yang telah kami tentukan. Kami tidak berkeberatan kalian menyeberang sendiri, tetapi kami wajib memperingatkan kalian. Kali ini gerombolan Daruka berada di hutan ini. Kami terpaksa berkelahi. Untunglah bukan seluruh kekuatan yang kita hadapi, sehingga kami sempat melepaskan diri bersama orang-orang yang kami antar. Tetapi di perjalanan kembali, kami terpaksa mencari jalan lain. Kami takut kalau gerombolan itu memperkuat diri, apalagi Daruka sendiri, akan menghadang kami pula.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Mudah-mudahan kalian menemukan jalan yang aman. Jangan kau telusuri jalan yang biasa kami lalui. Mungkin untuk sebulan kami tidak akan membawa orang menyeberang, kecuali kami mendapat tambahan kawan yang dapat kami percaya.”

Kiai Gringsing masih mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Terima kasih Ki Sanak. Kami akan mencari jalan lain. Mudah-mudahan kami selamat.”

“Apakah keperluan kalian tidak dapat ditunda seminggu dua minggu?”

“Kepentingan kami sangat mendesak.”

“Hati-hatilah,” pesan pemimpin pengawal itu.

“Terima kasih.”

Para pengawal itu pun kemudian meninggalkan mereka. Tampak jelas bahwa mereka baru saja menempuh perjalanan yang berat, dan jelas pula luka-luka silang-menyilang di tubuh mereka. Ada yang dalam, tetapi ada pula yang dangkal. Bahkan ada salah seorang dari mereka yang terluka agak parah di lengannya yang telah dibalut dengan sepotong kain.

Ketika orang-orang itu telah menjadi semakin jauh, berkata Kiai Gringsing, “Itulah isi hutan Tambak Baya. Juga hutan Mentaok mempunyai penghuni-penghuninya sendiri. Nah, apakah kita ingin melihat pula?”

Wajah Sutawijaya tiba-tiba menjadi tegang. Sambil menggeram ia berkata, “Itukah isi dari tanah yang akan diterima oleh ayah dari Ramanda Adipati Pajang? Beruntunglah paman Penjawi mendapat tanah Pati yang sudah jauh lebih baik dari tanah Mentaok. Kami masih harus membuka hutan yang lebat, dan mengusir penghuni-penghuninya yang banyak itu. Untunglah bahwa aku sempat menyaksikannya kini.”

Kiai Gringsing dan kedua muridnya terdiam. Mereka merasakan pula, betapa anak muda putera Panglima Wira Tamtama itu menjadi kecewa. Tanah Mentaok seakan-akan telah dimilikinya, sehingga sudah tentu Sutawijaya sama sekali tidak senang melihat penghuni-penghuni yang sama sekali tidak terhormat itu.

Dengan kesal anak muda itu kemudian menggeram, “Kiai, aku mempunyai tanggung jawab atas tanah itu meskipun belum secara resmi diserahkan kepada ayah. Aku harus mengusir setiap orang yang mengotori hutan Mentaok.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia menjawab, “Berapa bulan Angger memerlukan waktu untuk itu?”

Sutawijaya mengerutkan keningnya, “Ya,” desisnya, “aku memerlukan waktu untuk melakukannya.”

“Jangan kau lakukan kini. Apabila datang saatnya, bersama-sama dengan beberapa orang kawan, Angger pasti dapat mengusirnya.”

Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Nah, marilah kita lihat,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “Mungkin kita dapat bertemu sebuah contoh dari isi hutan itu.”

“Marilah,” sahut Sutawijaya.

“Mudah-mudahan kita dapat bertemu,” Swandaru pun bergumam pula.

Kiai Gringsing tersenyum. Ia tahu, bahwa Swandaru hanya ingin berbuat sesuatu.

Demikianlah mereka berjalan kembali. Kini mereka sudah memasuki hutan Tambak Baya. Namun demikian mereka masuk, maka cahayua matahari telah menjadi semakin pudar. Meskipun demikian mereka berjalan terus. Namun akhirnya malam yang semakin kelam pun turunlah. Pohon-pohon raksasa yang bertebaran itu pun menjadi semakin kabur.

“Malam terlampau gelap di hutan ini,” desis Swandaru.

“Ya, lebih gelap dari hutan tempat orang-orang Jipang membuat perkemahan,” sahut Agung Sedayu.

“Tentu,” berkata Kiai Gringsing, “Hutan ini jauh lebih lebar. Isinya pun jauh lebih garang. Apalagi hutan Mentaok. Selain yang dikatakan oleh para pengawal, maka isi hutan ini adalah binatang buas.”

Ketiga anak-anak muda itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi mereka tidak takut terhadap binatang buas maupun orang-orang jahat seperti yang dikatakan oleh para pengawal. Tetapi berjalan di dalam kelam serasa berjalan di daerah yang sama sekali tidak dikenalnya. Mereka seolah-olah hampir tak melihat apa pun selain hitam pekat. Bahkan kawan-kawan seperjalanan mereka sendiri pun hampir tidak dapat dilihatnya.

Tetapi telinga mereka adalah telinga yang cukup baik. Mereka dapat mengenal tempat-tempat kawan seperjalanan hanya karena pendengaran mereka.

Namun meskipun demikian, akhirnya Swandaru berkata, “Nafasku terasa sesak.”

Kiai Gringsing tertawa. “Kenapa?” ia bertanya.

“Gelapnya bukan main.”

“Ya, gelapnya bukan main,” sahut Sutawijaya.

“Jadi bagaimana?” bertanya Kiai Gringsing.

Tak seorang pun yang menjawab.

“Apakah kita akan berhenti dan tidak berjalan siang dan malam?”

Masih tidak terjawab.

“Baiklah. Kita berhenti,” berkata orang tua itu, “tetapi kita harus mendapatkan tempat yang baik. Kita akan membuat perapian.”

“Bagaimana kita mendapat kayu baka?” bertanya Swandaru.

“Di bawah kaki kita adalah setumpuk daun-daun kering. Kalau kita sudah menyalakannya, maka kita akan melihat, apakah kita akan dapat mencari kayu atau ranting-ranting perdu.”

Akhirnya mereka pun mengumpulkan daun-daun kering di bawah kaki mereka. Dengan batu titikan mereka membuat api, dan dengan agak susah, mereka pun berhasil menyalakan dedaunan yang sudah cukup kering.

Ketika api sudah menyala, maka segera mereka melihat ranting-ranting perdu yang dapat mereka tebas dan mereka lemparkan ke atas api.

Malam itu mereka beristirahat di sekitar perapian. Tak ada yang menarik. Meskipun Swandaru mengharap, mudah-mudahan orang-orang jahat itu mendekati mereka, tetapi tempat itu masih belum cukup dalam, sehingga semalam itu mereka benar-benar dapat beristirahat, meskipun bergantian mereka tetap bangun.

Pagi-pagi mereka sudah meneruskan perjalanan. Meskipun demikian, Swandaru masih juga berkata, “Aku sudah mulai lapar. Apakah di hutan ini tidak ada makanan?”

“Kau akan mendapatkannya,” berkata Kiai Gringsing, “Kau akan dapat mencari makan buat menambah besar perutmu.”

Ternyata yang dikatakan Kiai Gringsing itu pun benar pula.

Dengan panah-panah mereka, mereka berhasil pula mendapat makan pagi mereka.

Perjalanan mereka hari ini ternyata agak lebih berat dari hari-hari yang telah mereka lalui. Untunglah bahwa Kiai Gringsing berjalan beserta mereka, sehingga mereka tidak takut lagi akan tersesat. Meskipun demikian ketiga anak-anak muda itu kadang-kadang masih juga membuat tanda-tanda pengenal pada pepohonan yang besar, supaya apabila terpaksa mereka harus mencari jalan keluar, mereka tidak akan menemui kesukaran.

Gairah perjalanan hari itu didorong oleh perasaan kecewa pada Sutawijaya, karena tanah yang akan diterimanya itu ternyata telah dikotori oleh orang-orang jahat. Sedang Swandaru segera ingin bertemu dengan orang-orang jahat itu. Agung Sedayu tidak terlampau banyak dipengaruhi oleh gerombolan-gerombolan itu. Meskipun demikian, pengalaman-pengalaman itu pasti akan berguna baginya. Sehingga karena itu perjalanan ini pun sangat menarik hati. Ia akan mengenal tempat-tempat yang hampir belum pernah dijamahnya. Hutan yang lebat pepat, binatang-binatang yang buas dan alam yang keras. Agung Sedayu baru mengenalnya lewat ceritera-ceritera yang pernah didengarnya dari kakaknya, Untara, di masa kanak-kanaknya.

Ternyata Kiai Gringsing adalah seorang penunjuk jalan yang terlampau baik. Tanpa kesulitan yang berarti, mereka berjalan menembus hutan. Tetapi hutan itu sendiri telah merupakan penghalang yang banyak memperlambat dan menelan waktu. Oyot-oyot bebondotan dan tumbuh-tumbuhan merambat lainnya. Batang-batang kayu yang roboh yang malang-melintang dan semak-semak yang pepat padat.

Dalam pada itu terdengar Swandaru bertanya, “Apakah jalan ini pula yang sering dilalui oleh orang-orang yang menyeberangi hutan ini diantar oleh para pengawal?”

“Ya,” jawab Kiai Gringsing.

“Apakah tidak ada jalan lain yang lebih baik?”

“Jalan inilah yang paling tipis ditumbuhi oleh berbagai macam tetumbuhan. Telah beberapa kali aku menyeberangi hutan ini, sekali-sekali bersama-sama dengan para pengawal.”

Swandaru tidak bertanya lagi. Tetapi ia dapat membayangkan bahwa di tempat-tempat lain tetumbuhan pasti jauh lebih lebat dari tempat ini, tempat yang paling banyak dilalui orang.

Ketika mereka masuk semakin dalam ke tengah-tengah hutan Tambak Baya, maka berbisiklah Kiai Gringsing, “Kita hampir sampai.”

“Sampai di mana?” bertanya Agung Sedayu, “Apakah kita sudah sampai di alas Mentaok?”

“Bukan alas Mentaok,” sahut Kiai Gringsing. “Kita hampir sampai di tempat-tempat yang sering dipergunakan oleh para penyamun mencegat korbannya. Di sini ada beberapa gerombolan penyamun yang satu dengan yang lain saling bersaing. Hanya dalam waktu-waktu yang khusus sajalah mereka dapat menyatukan diri.”

“Siapakah yang paling kuat di antara mereka, Kiai?” bertanya Sutawijaya.

“Kekuatan mereka hampir seimbang. Kadang-kadang mereka menunggu lawan-lawan mereka itu lengah, dan menyerang mereka dengan tiba-tiba. Tetapi meskipun demikian, Daruka lah yang paling disegani.”

Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi anak muda itu tidak menjawab.

Belum lagi mereka maju terlampau jauh, maka mereka sampai di tempat yang agak lapang. Tidak terlampau banyak pohon-pohon perdu yang tumbuh dan akar-akar yang menyilang-lintang jalan. Tetapi Kiai Gringsing yang sudah penuh menyimpan pengalaman itu pun berkata,”Tempat ini adalah tempat yang paling baik untuk beristirahat, tetapi juga tempat yang paling berbahaya.”

“Kenapa?” bertanya Swandaru meskipun ia telah menduga apa yang dimaksud oleh gurunya.

“Banyak orang mempergunakan tempat ini untuk beristirahat. Tetapi tiba-tiba saja mereka disergap, sehingga akhirnya para pengawal selalu menjauhi tempat ini, dan membawa orang-orang yang dikawalnya beristirahat di tempat lain. Tetapi hampir tak ada gunanya. Hampir setiap kali para pengawal harus berkelahi. Tetapi apabila pengawalan cukup kuat, maka para penyamunlah yang membiarkannya lewat. Meskipun demikian, kadang-kadang para pengawal itu menyediakan semacam pajak bagi mereka. Ditinggalkannya beberapa macam barang, dan dengan demikian mereka tidak di ganggu.”

Ketiga anak-anak muda yang mendengarkannya itu mengangguk-anggukan kepalanya. Tetapi mereka tidak menjawab. Bahkan tiba-tiba saja mereka mempertajam pendengaran mereka, seakan-akan mereka mendengar desir di dedaunan yang kering.

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Namun sejenak kemudian wajahnya telah menjadi tenang kembali. Bahkan ia masih berkata terus, “Para penyamun itu datang tanpa disangka-sangka. Tiba-tiba saja mereka telah mengepung korban-korbannya.”

Sutawijaya lah yang kemudian bertanya, “Bagaimanakah kalau mereka yang tidak membawa sesuatu lewat hutan ini Kiai?”

“Biasanya mereka adalah para pedagang yang akan pergi ke Nglipura atau Mangir atau bahkan ada yang pergi ke Menoreh.”

“Jika demikian, apakah Argajaya itu lewat daerah ini pula?”

“Adalah suatu kemungkinan. Tetapi Argajaya pasti tidak akan memerlukan pengawalan.”

Mereka terdiam sejenak. Dalam kediaman itu mereka mendengar desir yang lembut, namun semakin jelas. Sejenak mereka saling berpandangan. Dengan isyarat, mereka segera mengerti, bahwa mereka kini telah terkepung. Tetapi dengan demikian justru Swandaru tampak bergembira.

Sejenak kemudian berkatalah Kiai Gringsing itu pula, “Tetapi para penyamun itu pasti akan dapat membedakan. Mereka yang lewat dengan barang-barang dagangan, dan mereka yang lewat dengan senjata di lambung.”

Tiba-tiba terdengar suara dari balik pepohonan, “Ya, kami dapat membedakan. Mereka yang lewat dengan senjata di lambung atau mereka yang pantas mendapat penghormatan karena memberi kami sekedar oleh-oleh.”

Sebenarnya mereka sama sekali tidak terkejut mendengar suara itu, tetapi Kiai Gringsing yang tua itu terlonjak kecil sambil berputar menghadap suara itu. “He, siapakah kalian?”

“Kau agaknya mengenal tempat ini terlampau baik kakek tua?” terdengar suara itu menyahut.

“Ya, aku sudah sering melewati tempati ini. Siapakah kau?”

“Aku sedang menunggu para pengawal yang telah melukai bebepapa orang-orangku. Aku ingin bertemu dengan mereka. Tetapi mereka tidak kunjung datang?”

“Tiga hari yang lalu?”

“Dua hari yang lalu.”

“Ya, dua hari yang lalu. Aku telah bertemu dengan mereka. Mereka mengatakan bahwa mereka bertempur dengan orang-orangmu. Ternyata mereka mencari jalan lain, sebab mereka sudah menyangka bahwa pemimpin gerombolan yang dikalahkannya itu pasti akan marah.”

“He, mereka sudah melewati tempat ini?”

“Jalan lain. Mereka sudah keluar dari hutan ini.”

“Gila!” teriak suara itu. Dan tiba-tiba meloncatlah sesosok tubuh dari balik sebatang pohon yang cukup besar. “Kau bilang mereka sudah keluar dari hutan ini?”

Yang meloncat dari balik pohon itu adalah seorang yang bertubuh tinggi, kekar, berdada bidang dan berkepala botak. Kumis serta janggutnya yang jarang-jarang tumbuh satu dua di sekitar bibirnya yang tebal. Di tangannya tergenggam sebilah pedang yang panjang.

Dengan kasarnya ia membentak kembali, “Kau bilang, para pengawal telah keluar dari hutan ini?”

Kiai Gringsing menganggukkan kepalanya. “Ya” sahutnya. “Kemarin sore aku bertemu dengan mereka.”

Terdengar orang itu menggeram.

“Dimanakah rumah-rumah mereka itu?” bertanya orang itu.

Kiai Gringsing menggeleng lemah, “Aku tidak tahu.”

“Bohong, kau pasti kawan mereka.”

Kiai Gringsing tidak segera menjawab. Ditatapnya wajah ketiga anak-anak muda yang berjalan bersamanya itu. Yang kemudian menjawab adalah Agung Sedayu, “Kami sama sekali tidak ada hubungan apa pun dengan mereka.”

“Bohong! He, apakan orang tua ini ayahmu? Yang mengajarmu untuk berbohong?”

“Kami bertemu di perjalanan,” sambung Sutawijaya.

“Kau pasti mendapat tugas dari mereka untuk memata-matai kami. Kamu mungkin anak-anak mereka, atau cucu mereka, atau kemanakan mereka.”

“Atau tetangga mereka. Atau orang lain sama sekali,” Swandaru yang gemuk itu memotong.

Orang yang botak itu membelalakkan matanya. Dengan pedangnya ia menuding wajah Swandaru. “Jangan bergurau. Aku sedang kehilangan buruan. Yang datang kini adalah kalian, maka kalian akan menjadi sasaran kemarahan kami.”

“Kami bukan pengawal dan kami bukan pedagang. Kami datang mencari buruan kami pula,” berkata Swandaru.

“Siapakah buruan kalian?”

“Apa saja. Kijang, menjangan, bahkan kancil pun kami mau pula.”

Swandaru terkejut sehingga kata-katanya terputus ketika orang yang botak itu meloncat dan langsung menyerang mulut Swandaru dengan tangan kirinya. Ternyata orang itu mampu bergerak sangat cepat. Beruntunglah bahwa Swandaru tidak terlampau lengah. Ketika ia melihat orang itu mengerinyitkan dahinya, dan melihat jari tangannya bergetar, maka Swandaru pun menyadari kemungkinan yang ternyatat benar-benar terjadi. Dengan lincahnya ia meloncat ke samping menghindari sambaran tangan orang yang botak itu sehingga serangan itu sama sekali tidak menyentuh tubuhnya.

Orang yang botak itu semakin membelalakkan matanya. Sama sekali tidak diduganya bahwa anak yang gemuk itu mampu menghindari serangannya, sehingga dengan demikian maka terdengar orang itu menggeram semakin keras.

Swandaru yang meloncat beberapa langkah ke samping, kini berdiri sambil membelai pipinya. Dengan kerut-merut di wajahnya ia berkata, “Ternyata kau pemarah. Tetapi jangan menyerang lawan tanpa memberi kesempatan lawan itu bersiaga.”

“Kau menghina aku.”

“Sama sekali tidak. Aku berkata sebenarnya.”

“Aku tidak peduli, tetapi kalian telah membuat aku marah. Kini aku mempunyai suatu cara untuk memeras keterangan kalian tentang para pengawal. Kalau kalian tidak bersedia memberitahukan kepada kami dimana rumah-rumah mereka, maka kalian akan terpaksa mengalami perlakuan yang tidak menyenangkan.”

“Kami tidak bersangkut paut dengan para pengawal itu, Ki Sanak,” Kiai Gringsing-lah yang kemudian menjawab. “Kami adalah pemburu yang hanya mengenal binatang-binatang buruan kami.”

“Omong kosong! Tak pernah ada pemburu masuk sampai begini dalam. Mereka biasanya selalu berada jauh di tepi-tepi hutan ini. Kau pasti orang-orang mereka. Meskipun kalian tidak bersedia membuka mulut sampai tubuh kalian lumat, namun kami pasti akan dapat menemukan rumah mereka. Kematian kalian itu pasti hanya akan sia-sia.”

Sutawijaya ahirnya tidak bersabar lagi. Selangkah ia maju dan berkata, “Jangan mengigau, Ki Sanak. Jangan menakut-nakuti kami dan jangan mencoba memeras keterangan kami. Sebutkan siapa namamu.”

Orang itu terkejut bukan buatan. Belum pernah ia melihat anak muda segarang anak yang memegang tombak pendek itu. Namun sejenak kemudian orang itu tertwa. Semakin lama semakin keras. Di sela-sela derai tertawanya itu ia berkata, “Tentu. Tentu kau berani bertolak pinggang di hadapanku, sebab kau belum tahu siapa aku. Nah, sebaiknya aku perkenalkan diriku supaya kalian menyadari, betapa kecil arti kalian bagiku, bagi raja hutan Tambak Baya dan Mentaok in. Namaku Daruka.”

Belum lagi orang itu berhenti tertawa, terdengar suara tertawa yang lain, sehingga dengan tiba-tiba suara orang itu pun justru terputus. Suara itu adalah suara tertawa Swandaru.

“Gila!” teriak Daruka. “Apakah kau mendengar namaku?”

“Jangan kau sangka bahwa hanya kau yang dapat tertawa sedemikian kerasnya,” Sahut Swandaru. “Nah, ketahuilah, namaku Swandaru Geni. Gegedug anak-anak muda di seluruh Kademangan Sangkal Putung. Kau pernah mendengar namaku?”

Mata Daruka itu seakan-akan menyala dibakar oleh kemarahannya. Ternyata anak muda yang gemuk itu sama sekali tidak takut mendengar namanya, bahkan seolah-olah ditanggapinya nama yang menakutkan itu sambil bergurau saja. Tetapi bukan saja anak yang gemuk itu. Ketika ia memandang berkeliling, maka anak muda yang memegang tombak itu pun sama sekali tidak menunjukkan kesan apa pun di wajahnya, sedang anak muda yang lain bahkan seolah-olah acuh tak acuh saja.

Kembali Daruka menggeram. Demikian kemarahannya membakar dadanya, maka terdengarlah ia bersuit nyaring. Sutawijaya, Agung Sedayu, Swandaru, dan Kiai Gringsing pun segera menyadari, bahwa Daruka sedang memanggil teman-temannya keluar dari persembunyiannya.

Dugaan Kiai Gringsing dan ketiga anak-anak muda dari Sangkal Putung itu ternyata benar. Sejenak kemudian mereka melihat beberapa orang berloncatan mendekat dari balik pepohonan. Di tangan mereka tergenggam berbagai macam senjata. Ada yang menggenggam pedang seperti pedang pada lazimnya, ada yang memegang kelewang yang besar, ada yang membawa canggah, bahkan ada yang membawa trisula, tombak bercabang tiga.

Tanpa perintah siapapun, maka anak-anak muda itu dengan sendirinya merenggang dan menghadap kesegala arah. Seakan-akan mereka telah mengatur diri menghadapi serangan dari segala penjuru.

Daruka menggeram melihat sikap anak-anak muda itu. Kini ia yakin bahwa ia berhadapan dengan anak-anak muda yang bukan sekedar pandai berburu kijang atau menjangan atau babi hutan. Tetapi mereka adalah anak-anak muda yang mampu menghadap bahaya seperti yang kini sedang mengepungnya.

“Ternyata kalian cukup menggembirakan kami,” bergumam Daruka. “Kami tidak kecewa lagi kehilangan buruan kami. Kalian pasti telah diminta sraya oleh para pengawal itu. Kalian pasti mendapat upah sengaja untuk menghadapi kami.”

Yang menyahut adalah Swandaru, “Ya. Kami telah mendapat upah dari mereka untuk membinasakan kalian.”

“Hus!” Agung Sedayu memotong.

Tetapi yang terdengar adalah suara Daruka lantang, “Nah apa kataku. Betapa kalian mencoba memutar balik keadaan, tetapi kami yakin, bahwa dengan menangkap kalian dan memeras darah kalian, kami pasti akan mendapat keterangan tentang para pengawal itu.”

Kiai Gringsing dan Sutawijaya hanya dapat menggeleng-gelengkan kepalanya. Swandaru ternyata hanya menuruti kesenangannya sendiri. Tetapi perbuatannya itu benar-benar telah membakar kemarahan kepala penyamun itu.

Bahkan Swandaru itu berkata tanpa berpaling, karena kebetulan ia tidak menghadap ke arah Daruka yang berdiri berhadapan dengan Agung Sedayu. “Sekarang menyerahlah, supaya hukuman kalian diperingan.”

“Setan!” Daruka itu menggeram. “Ternyata anak yang gemuk itu merasa seperti jantan sendiri. Daruka hanya menyerah kepada maut. Ayo, kalau mau menangkap kami, tangkaplah.”


Sutawijaya-lah yang kini menjawab dengan tergesa-gesa supaya tidak didahului oleh Swandaru. “Begini Ki Sanak. Sebenarnya kami tidak bersangkut-paut langsung dengan kalian, tetapi kami ingin bahwa tak seorang pun terganggu di dalam perjalanan. Baik di Hutan Tambak Baya, maupun di Hutan Mentaok.”

“O, ternyata kau mengigau pula. Jauh lebih sumbang dari igauan anak yang gemuk itu. Tambak Baya adalah kerajaanku. Aku tidak akan pernah meniggalkannya selagi aku masih hidup.”

“Dengarlah dahulu Ki Sanak,” berkata Sutawijaya. Kini ia berputar setengah menghadap ke arah Daruka. “Sebentar lagi Hutan Mentaok dan Tambak Baya akan menjadi sebuah negeri. Sebentar lagi akan berdatangan orang-orang yang akan membuka hutan ini. Nah, apakah katamu?.”

Daruka mengerutkan keningnya. Sejenak ia berpikir, tetapi kemudian ia berkata, “Oh, kau benar-benar seorang pemimpi. Aku tidak ingin mendengarkan igauanmu itu. Aku ingin mendengar kalian menunjukkan rumah beberapa orang pengawal yang telah melukai orang-orangku.”

“Kami adalah wakilnya,” teriak Swandaru.

Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia mendahului Daruka yang hampir berteriak pula. “Dengar kataku. Aku berkata sebenarnya. Tanah Mentaok dan Tambak Baya akan menjadi milik Ki Gede Pemanahan, Panglima Wira Tamtama di Pajang. Nah, apakah kekuatanmu dapat melampaui setidak-tidaknya menyamai kekuatan Wira Tamtama Pajang.”

Sekali lagi Daruka mengerutkan keningnya. Tetapi sekali lagi ia membentak, “Jawab pertanyaanku. Kalau kalian yang mewakilinya, maka nyawa kalianlah yang akan menjadi tebusannya.”

Kali ini Swandaru belum sempat menjawab, tetapi telah didahului oleh Sutawijaya, “Jangan mengancam. Kami telah siap untuk bertempur. Kami akan menghancurkan kalian sampai orang yang terakhir. Tetapi perkelahian bukanlah tujuan kami. Kalau kau mau mendengar, dengarkanlah. Kalian mempunyai kesempatan yang pertama di hutan Tambak Baya ini. Mulailah dengan membuka hutan ini sebelum banyak orang Iain berdatangan. Kalian akan dapat memilih tempat yang paling baik, yang paling subur dari segala tempat di hutan ini. Kelak, kalian pasti akan mendapat pengampunan akan segala macam kesalahan yang pernah kau lakukan di sini.”

“Setan alas!” potong Daruka, “macam apa kata-katamu itu?”

“Jangan membantah dahulu. Aku adalah prajurit Wira Tamtama yang datang merintis jalan. Apakah kau tidak percaya. Berapa orang yang datang bersamamu? Kami seorang-seorang akan bernilai sepuluh kali orang-orangmu bahkan lebih daripada itu. Kami bukan sekedar pengawal upahan untuk mengantar orang-orang yang akan menyeberangi hutan Tambak Baya.”

Ketika Swandaru mendengar Sutawijaya bersungguh-sungguh, maka ia kini tidak mau lagi memotong, meskipun ia menahan kegelian di dalam dirinya.

Tetapi seperti yang telah disangka, Daruka tidak akan mudah percaya. Bahkan kemudian ia pun bersiap dengan pedangnya. Sekali ia memandang berkeliling.

Sutawijaya menarik nafas. Tetapi ia mempunyai rencana yang baik dengan orang ini. Dengan orang terkuat di hutan Tambak Baya ini. Karena itu, maka katanya, “Daruka, aku mendengar, bahwa kau adalah orang yang terkuat di antara para penyamun di hutan ini. Karena itu, maka kau sebenarnya dapat membantu kami, para prajurit Wira Tamtama. Kau dapat menebus dosa ini dengan perbuatan yang menguntungkan dirimu dan menguntungkan kami. Aku akan menanggungmu, bahwa kau kelak akan mendapat kedudukan yang baik. Bahkan mungkin kau akan dapat menjadi seorang bekel.”

Agung Sedayu dan Swandaru mengerutkan keningnya mendengar kata-kata Sutawijaya. Tetapi lamat-lamat mereka dapat menerka maksud anak muda yang akan memiliki hutan Mentaok dan Tambak Baya itu. Apalagi Kiai Gringsing. Orang tua itu pun tersenyum di dalam hati sambil bergumam lirih, “Alangkah tajamnya otak putera Ki Gede Pemanahan ini,”

Tetapi agaknya Daruka sendiri merasa, bahwa Sutawijaya telah menghinanya. Sehingga karena itu maka sekali lagi ia menggeram sambil berkata, “Persetan ocehanmu. Apakah kau Panglima Wira Tamtama, apakah kau Adipati Pajang, aku tidak peduli. Aku adalah raja di sini. Semua harus tunduk kepada perintah dan kemauanku.”

“Kau mencoba menipuku. Bagaimana dengan gerombolan-gerombolan lain yang merasa dirinya raja pula di sini?

Wajah Daruka menjadi merah padam. Katanya, “Tak ada yang berani melawan Daruka. Semua gerombolan akan dapat aku binasakan satu demi satu kalau aku mau.”

Kenapa hal itu tidak kau lakukan? Ternyata kau tidak mampu berbuat demikian. Bahkan kadang-kadang anak buahmu sendiri dapat disergap dan dikalahkan.”

“Memang, mereka dapat berbuat demikian dengan licik. Tetapi Daruka belum pernah dengan sungguh-sungguh mencoba membinasakan mereka. Asal mereka tidak mengganggu secara langsung kerajaanku, maka aku tidak terlalu bernafsu membinasakan mereka. Orang-orangku masih aku perlukan untuk kepentingan lain.”

“Sekarang aku datang untuk menaklukkan kerajaanmu, atas nama Panglima Wira Tamtama di Pajaag,” sahut Sutawijaya.

Kesabaran Daruka kini telah sampai pada batasnya. Terdengar ia bersuit nyaring. Mendengar aba-aba itu beberapa orangnya segera mendesak maju dengan senjata-senjata mereka siap menembus tubuh lawannya.

Tetapi lawannya ternyata benar-benar di luar dugaan mereka. Dengan lincahnya Sutawijaya meloncat mendesak Agung Sedayu sambil berkata, “Serahkan orang ini kepadaku. Tolong, tundukkan orang-orangnya. Jangan kau binasakan mereka. Beri mereka kesempatan untuk hidup dan menyesali perbuatannya.

Segera Agung Sedayu dapat menangkap maksud itu. Swandaru yang gemuk dan hanya berbuat seenaknya sendiri itu pun dapat mengerti pula, sehingga betapa perasaannya sendiri melonjak-lonjak, namun ia mencoba mengekangnya.

Kiai Gringsing yang berada di antara anak-anak muda itu menjadi termangu-mangu. Tetapi terdengar Sutawijaya berkata”Kiai, apakah Kiai sudi bermain-main dengan kami?”

Kiai Gringsing tersenyum. Sementara itu ia melihat ketiga anak-anak muda dari Sangkal Putung itu sudah melibatkan diri dalam perkelahian melawan Daruka dan orang-orangnya. Sutawijaya sendirilah yang kini berhadapan dengan pemimpin gerombolan yang ditakuti oleh gerombolan-gerombolan Iain seisi hutan Tambak Baya dan Mentaok.

Demikianlah, maka segera terjadilah perkelahian yang riuh antara anak-anak muda dari Sangkal Putung bersama Kiai Gringsing, melawan gerombolan Daruka yang Iangsung dipimpin oleh kepala gerombolannya sendiri. Daruka, yang namanya menakutkan di segenap sudut Alas Mentaok dan Tambak Baya.

Tetapi kali ini yang dihadapinya bukan sekedar seorang pengawal dari padesan di ujung hutan. Tetapi yang dihadapinya adalah putera Panglima Wira Tamtama itu sendiri. Dengan demikian maka Daruka itu benar-benar terkejut. Hampir tidak kasat mata, maka tombak Sutawijaya telah memukul-mukul senjatanya.

“Gila,” geramnya. Meskipun anak muda itu membawa busur yang bersilang di punggungnya, serta endong panah di lambungnya, namun geraknya sama sekali tidak terganggu olehnya. Kelincahannya dan kecepatannya benar-benar mengagumkan kepala gerombolan yang garang itu.

Di sisi lain, Agung Sedayu telah memutar pedangnya pula, sedangkan di sisi yang lain lagi Swandaru berkelahi sambil tertawa. Kiai Gringsing yang tua itu pun tidak ketinggalan, tetapi karena ia tidak membawa pedang, maka ia berkelahi dengan tangannya.

Salah seorang gerombolan itu berteriak, “He, orang tua bangka. Apakah kau mau mati pula.”

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Tetapi begitu mulut orang itu terkatup, ia terkejut bukan buatan. Yang terasa olehnya adalah suatu dorongan yang keras. Hampir saja ia terlempar jatuh. Tetapi beruntuaglah ia segera mampu berpegangan sebatang perdu. Tetapi matanya tiba-tiba terbelalak ketika ia melihat senjatanya telah berpindah ke tangan orang tua itu.

“Terima kasih,” berkata Kiai Gringsing.

Swandaru tertawa melihat perbuatan gurunya. Katanya, “Kiai, tolong, ambilkan pula bagiku.”

“Hus!” kembali terdengar Agung Sedayu berdesis. Tetapi Swaudaru itu justru tertawa berkepanjangan.

Orang-orang Daruka itu pun kemudian berdesakan maju bersama-sama, sehingga Agung Sedayu, Swandaru, dan Kiai Gringsing harus bertempur melawan beberapa orang bersama-sama. Hanya Daruka sendirilah yang justru membentak-bentak ketika beberapa orang mencoba membantunya.

“Pergi!” teriaknya. “Aku ingin membunuh anak ini dengan tanganku sendiri, tanpa kau ganggu sama sekali. “Namun Daruka sendiri tidak meyakini kata-katanya Apalagi ketika tiba-tiba tangannya menjadi pedih. Hampir saja senjatanya terlepas dari tangannya. Beruntunglah ia bahwa ia masih mampu mempertahankannya.

Dalam pada itu Sutawijaya pun bergumam di dalam hatinya, “Pantaslah kalau orang ini ditakuti oleh gerombolan-gerombolan lain di hutan ini. Tandangnya cukup meyakinkan. Tetapi ia harus segera dapat dijinakkan. Aku harus memberi kesan kepadanya, bahwa apa yang dilakukan sama sekali tidak berarti bagiku.”

Dengan demikian, maka Sutawijaya pun segera memperketat serangannya. Bergulung-gulung seperti ombak menghantam tebing.

Adalah di luar dugaan Daruka, bahkan mimpi pun tidak, bahwa akan dijumpainya lawan setangkas anak muda itu. Bahkan belum pernah ia berkelahi dengan orang yang memiliki ketangkasan, kelincahan, dan keperkasaan seperti lawannya kini. Dengan demikian maka ia bergumam di dalam hatinya, “Mungkin benar apa yang dikatakannya, bahwa ia adalah seorang prajurit Pajang.”

Tetapi kini ia sudah tidak mendapat kesempatan untuk menghindar.

Ketika sekali ia sempat melihat orang-orangnya, maka ia pun terkejut bukan buatan. Duabelas orang-orangnya itu sama sekali tidak mampu mendesak ketiga orang lawannya. Orang yang tua itu pun masih juga mampu berkelahi melawan beberapa orang-orangnya sekaligus.

Sejenak kemudian Daruka itu pun menjadi bingung. Ia tidak dapat mundur. Tetapi ia tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa ia beserta anak buahnya itu pasti tidak akan mampu melawan ketiga anak-anak muda itu beserta seorang tua bangka.

Maka jalan satu-satunya yang dapat dipilihnya untuk menyelamatkan diri adalah lari. Lari meninggalkan arena pertempuran itu. Bagi Daruka, maka nilai-nilai harga diri sama sekali tidak akan diperhitungkan. Bahkan mengorbankan anak buahnya pun termasuk kebiasaan pula baginya.

Demikian pula kali ini. Ketika tekanan lawannya menjadi semakin ketat, maka Daruka itu pun telah mencoba mencari jalan yang mungkin akan dapat dilaluinya untuk menyelamatkan diri.

Tetapi Sutawijaya melihat gelagat itu, Baginya untuk menjatuhkan kepala gerombolan yang paling ditakuti itu ternyata tidak terlampau sulit. Dengan demikian, ketika Daruka itu telah bersiap-siap untuk lari terdengar Sutawijaya bergumam, “Ayo, akan lari ke manakah kau? Apakah seorang yang namanya menggelegar di seluruh hutan Tambak Baya dan Mentaok ini akan tinggal-glanggang colong-playu. Apakah kau tidak malu terhadap dirimu sendiri, Daruka.”

Terdengar Daruka menggeram. Katanya, “Aku tidak pernah meninggalkan arena sebelum lawanku menjadi mayat atau aku sendiri yang mati.”

Kembali mereka dikejutkan oleh suara Swandaru tertawa terputus-putus. Sambil menggerakkan pedangnya ia berkata, “He Daruka. Apakah kau mengigau? Aku percaya bahwa kau belum pernah meninggalkan gelanggang dalam keadaan hidup. Jadi apa yang selalu kau lakukan adalah melarikan diri setelah kau mati.”

“Setan!” terdengar Daruka menggeram. Bahkan kemudian orang itu pun mengumpat tak habis-habisnya. Namun justru suara tertawa Swandaru menjadi semakin keras. Lawan-lawannya sama sekali tidak mampu berbuat apa pun atasnya. Sambil tertawa dan berkelakar Swandaru telah membuat lawan-lawannya menjadi pening. Bahkan seorang dari antara mereka telah terluka.

Agung Sedayu terpaksa berkelahi melawan lima orang. Tetapi kelimanya pun tidak dapat mendesak anak muda itu, meskipun untuk melawannya, Agung Sedayu harus bekerja jauh lebih keras daripad Swandaru. Mungkin anak buah Daruka itu mencoba suatu cara untuk menjatuhkan lebih dahulu lawannya seorang demi seorang, untuk kemudian melenyapkan semuanya berturut-turut. Tetapi ternyata yang seorang itu pun tidak dapat dikalahkannya.

Sedang Kiai Gringsing yang tua itu pun harus berkelahi dengan beberapa orang pula. Dengan sekedar melayani dan mempertahankan dirinya, Kiai Gringsing sama sekali tidak banyak berbuat. Ia menunggu saja Sutawijaya mengalahkan lawannya, dan berbuat menurut rencananya.

Yang ditunggu Kiai Gringsing itu pasti segera akan terjadi. Sebab Daruka kini benar-benar kehilangan segala kesempatan. Apalagi kesempatan menyerang, kesempatan untuk mempertahankan dirinya pun telah hampir tidak dapat dilakukannya.

“Jangan lari,” gumam Sutawijaya ketika ia melihat Daruka selalu mencoba menarik diri.

“Aku bukan pengecut,” teriak Daruka

“Huh,” sahut Sutawijaya. “Jawabanmu lebih memalukan dari perbuatanmu. Apakah kau telah melupakan kata-katamu sendiri bahwa hanya mautlah yang dapat memaksamu untuk menyerah? Kenapa kau kini akan melarikan diri?”

“Setan tetekan!” mulut Daruka menghamburkan sumpah serapah tidak karuan. “Aku akan membunuhmu.”

Tetapi kata-katanya terputus. Tangkai tombak Sutawijaya tiba-tiba mengenai kepalanya yang botak, yang sama sekali tidak ditutupinya dengan ikat kepala.

Sekali lagi Daruka menyumpah-nyumpah semakin kotor. Namun sekali lagi kepalanya yang botak itu terpukul oleh tangkai tombak Sutawijaya.

“Aku baru mempergunakan tangkai tombakku,” berkata Sutawijaya. “Ayo, lebih baik menyerahlah. Aku tidak akan membunuhmu.”

Daruka membelalakkan matanya. Tetapi ia masih berkata, “Daruka hanya menyerah kepada maut.”

Kini bukan sekedar tangkai tombak Sutawijaya mengenai kepalanya, tetapi tiba-tiba pedang Daruka tergetar keras. Tangannya tiba-tiba terasa nyeri bukan buatan. Ketika ia mencoba memperbaiki genggamannya, sekali lagi pedangnya terasa tersentuh senjata lawannya. Kali ini ia sama sekali tidak dapat berbuat sesuatu. Pedangnya terlontar beberapa langkah daripadanya dan jatuh tergolek di tanah yang lembab.

Daruka kini berdiri dengan gemetar. Kemarahannya masih mencengkam dadanya, tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu. Ujung tombak Sutawijaya melekat di dadanya yang berbulu lebat.

“Apa katamu?” bertanya Sutawijaya.

Daruka menggeram. Tetapi ketika ujung tombak lawannya tertekan semakin keras, Daruka itu pun menyeringai.

“Apakah kau hanya menyerah terhadap maut?”

Daruka tidak menjawab. Sementara itu kawan-kawannya masih juga berkelahi. Namun ketika mereka melihat lurah mereka sudah tidak berdaya, maka hati mereka pun segera berkeriput.

Anak buah gerombolan itu belum pernah melihat lurahnya berdiri kaku tegang tanpa dapat berbuat apa-apa karena ujung senjata lawan yang melekat di tubuhnya. Apalagi ketika sambil tertawa Swandaru berkata, “Ayo, apa yang akan kalian lakukan. Lihat kepalamu telah menyerah.”

Dalam pada itu Sutawijaya pun berkata pula, “Ayo, lekas katakan apakah kau hanya menyerah terhadap maut?”

Daruka tidak juga segera menjawab. Tetapi ia menahan nafasnya ketika ujung tombak Sutawijaya menekan semakin keras.

“Kalau kau menyerah, maka perintahkan orang-orangmu berhenti melakukan perlawanan. Kalau tidak, maka satu persatu kalian akan aku penggal kepala kalian dan akan kutancapkan di ujung hutan ini sebagai pertanda bahwa Daruka kini sudah tidak menakutkan lagi.”

Terasa dada kepala penyamun yang menakutkan itu berdesir. Betapa tabah hatinya, namun ancaman itu mendirikan bulu kuduknya.

“Cepat!” bentak Sutawijaya. “Pilihlah. Menyerah atau mati. Kalau kau malu mengakui kekalahanmu, maka kau dapat memberi perintah saja kepada anak buahmu supaya menyerah.”

Daruka masih juga ragu-ragu. Namanya yang menakutkan selama ini telah menahannya untuk tidak segera melakukan perintah itu.

Namun tiba-tiba mereka terkejut ketika mereka mendengar sebuah pekik kesakitan. Ketika mereka berpaling, mereka melihat salah seorang yang berkelahi melawan Swandaru meloncat surut sambil memegangi lengannya yang berdarah.

“Nah,” berkata Sutawijaya, “lihat, seorang anak buahmu terluka. Apakah kau menunggu mereka terbunuh?”

Daruka itu masih ragu-ragu. Sekali dipandanginya wajah Sutawijaya dan sekali dilontarkannya pandangan matanya berkeliling kepada anak buahnya yang sedang berkelahi itu.

Tetapi sekali lagi terasa unung senjata Sutawijaya itu semakin menekan dadanya dan terdengar Sutawijaya membentak tidak sabar. “Cepat, atau kau benar ingin mati.”

“Tidak,” tiba-tiba Daruka itu menjawab terbata-bata.

“Cepat, perintahkan kepada orang-orangmu.”

“Baik. Baik,” berkata kepala gerombolan itu, yang kemudian berteriak dengan penuh kebimbangan, “Hentikan perlawanan!”

Beberapa orang Daruka yang sudah merasa, bahwa mereka tidak akan mampu melawan, tidak menunggu perintah itu terulang. Segera mereka berloncatan mundur menjauhi lawannya.

Agung Sedayu, Swandaru, dan Ki Tanu Metir pun segera menghentikan perkelahian pula. Mereka sama sekali tidak mengejar lawan-lawan mereka, dan membiarkannya berdiri termangu-mangu meskipun senjata mereka masih tetap di dalam genggaman.

“Nah,” berkata Sutawijaya, “sekarang jawablah pertanyaanku. Apakah kau menyerah atau tidak?”

Mulut Daruka kembali terbungkam. Hanya matanya sajalah yang berkeredipan seperti anak burung yang menunggu induknya.

“He, apa katamu?” bertanya Sutawijaya mengejut.

Daruka itu pun terperanjat sehingga terhenyak selangkah surut. Tetapi ujung tombak Sutawijaya masih mengikutinya.

“Jawab!” bentak Sutawijaya.

“Ya,” akhirnya Daruka menjawab penuh keragu-raguan.

“Kau ragu-ragu.”

“Ya.”

“He?”

“Oh, tidak,” Daruka itu tergagap.

“Sekarang katakan. Apakah kau menyerah atau tidak?”

“Ya, aku menyerah.”

“Nah. Ternyata harga dirimu masih kalah bernilai dari nyawamu. Apakah kau benar-benar menyerah?”

“Ya.”

“Aku dapat mempercayaimu?”

“Ya.”

Sutawijaya menarik nafas. Jawaban orang itu sama sekali tidak meyakinkannya. Memang kemungkinan yang paling dekat adalah, Daruka sekedar mencoba menyelamatkan dirinya. Tetapi meskipun demikian Sutawijaya ingin mencobanya. Katanya, “Daruka. Apakah kau benar orang yang paling ditakuti di hutan Tambak Baya dan Mentaok ini?”

Daruka kembali menjadi ragu-ragu. Tetapi ia menjawab, “Ya. Demikianlah kata orang.”

“Ketahuilah Daruka. Kau memang seharusnya dimusnahkan dari hutan ini. Tak ada cara yang lebih baik daripada membunuhmu dan memenggal lehermu untuk ditanjir di mulut hutan ini.”

“Tetapi,” wajah Daruka tiba-tiba menjadi pucat.

“Apakah yang lebih baik menurut pendapatmu?” bertanya Sutawijaya.

Daruka menjadi makin pucat.

“Apakah kau mempunyai cara yang lebih baik daripada ditanjir di mulut hutan untuk mengabarkan bahwa orang-orang yang ingin menyeberangi hutan ini tidak perlu takut lagi kepada Daruka?

“Tetapi, tetapi, bukankah aku udah menyerah?”

“Kau menyerah di hadapanku. Apabila aku pergi, maka tak ada lagi yang kau takuti.”

“Aku tidak akan ingkar. Aku menyerah.”

Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Namun kembali ia bergumam seperti kepada diri sendiri, “Mustahil. Mustahil orang semacam Daruka ini dapat dipercaya. Mulutnya baru dapat dipercaya apabila ia sudah tidak dapat berkata sepatah kata pun lagi.”

Tiba-tiba Daruka yang kekar itu menjadi gemetar. “Jangan kau bunuh aku. Aku kira tidak akan banyak gunanya. Bukan hanya aku sendiri perampok dan penyamun di hutan ini.”

“He,” bentak Sutawijaya, “kau ingin hidup karena bukan hanya kau endiri perampok di dalam hutan ini?”

Adalah menggelikan sekali tampaknya bahwa seorang yang bertubuh segagah Daruka dapat menjadi gemetar dan ketakutan. Wajahnya kini benar-benar menjadi seputih kapas. Sekali lagi ia merengek seperti kanak-kanak yang melihat bapanya menggenggam cemeti.

“Ampun, Tuan. Ampun.”

Sutawijaya memandanginya dengan tajamnya. Kemudian memandang beberapa anak buah Daruka. Aneh. Mereka pun menjadi gemetar dan ketakutan. Wajah-wajah mereka pun menjadi seputih kapas.

“Hem,” desah Sutawijaya, “aku sangka kalian tidak mengenal takut, meskipun berhadapan dengan maut.”

“Tuan,” berkata Daruka, “kami bukan seorang prajurit. Kami berkelahi sekedar untuk mendapat makan. Sedang prajurit bertempur untuk kewajiban. Karena itu, maka mungkin Tuan sebagai seorang prajurit tidak takut mati dalam kewajiban Tuan. Tetapi kami ingin bahwa kami tidak mati hanya karena kami sedang mencari sesuap nasi.”

Betapa tegang hati Sutawijaya, namun ia harus tertawa di dalam hati mendengar kata-kata Daruka.

“Karena itu, Tuan,” Daruka meneruskan, “kami mohon ampun.”

“Daruka,” sahut Sutawijaya, “mungkin kau sekarang menyadari bahwa seakan-akan tidaklah seimbang kesalahanmu dengan hukuman mati itu, karena kau hanya sekedar mencari makan untuk hidupmu. Tetapi bagaimana dengan para pengawal itu? bukankah mereka pun bekerja sekedar untuk mendapatkan upah yang berarti sekedar untuk mendapatkan sesuap nasi juga? Apakah sudah selayaknya bahwa kau berkeras hati untuk mencarinya dan kemudian membunuh mereka karena mereka telah melawan anak buahmu dan mengalahkannya?”

“Aku tidak akan membunuh mereka, Tuan. Tidak.”

“Untuk apa kau cari mereka?”

“Kami hanya akan mencari siapakah yang telah mencelakai orang-orangku.”

“Ya, untuk apa?” bentak Sutawijaya.

Orang yang botak itu menundukkan kepalanya.

“Daruka,” berkata Sutawijaya kemudian.

Daruka mengangkat wajahnya.

“Wajahmu seram. Tubuhmu pun cukup mengerikan. Kau memang pantas bernama Daruka, seorang yang menakutkan di hutan Tambak Baya dan Mentaok. Seorang yang paling ditakuti oleh gerombolan-gerombolan lain di alas ini.”

Daruka tidak menjawab. Ia tidak tahu, apakah maksud Sutawijaya sebenarnya.

“Apakah kau sudah benar-benar menyerah?”

“Ya, Tuan,” sahut Daruka serta-merta.

“Dan menyesal?”

“Ya, Tuan.”

“Daruka, dengarlah baik-baik,” berkata Sutawijaya bersungguh-sungguh. “Kau dengar bahwa sebentar lagi hutan ini akan dibuka menjadi sebuah negeri?”

“Ya, Tuan.”

“Nah, dengan demikian maka setiap kotoran yang ada di dalam hutan ini harus dibersihkan lebih dahulu. Panglima Wira Tamtama yang akan memiliki hutan ini tidak mau melihat orang-orang semacam kau ini tinggal di dalam hutan ini.”

“Aku akan pergi, Tuan.”

“He,” Sutawijaya membelalakkan matanya, “begitu mudahnya? Kau menyamun dan merampok. Setelah kau tertangkap begitu saja kau pergi? Tidak. Kau pun pasti akan menyamun dan merampok di tempat lain sebab kau tidak punya pekerjaan tertentu.”

“Tidak, Tuan. Aku akan mencoba mencari tanah pertanian dengan anak buahku. Aku akan hidup bercocok tanam bersama dengan mereka.”

“Sementara ini kau tidak akan dapat melakukannya. Kau adalah seorang yang biasa hidup dengan berkelahi,” jawab Sutawijaya. “Apalagi kau tertangkap saat kau melakukan perlawanan. Lain halnya kalau kau menyerah sebelum aku menarik pedang dari sarungnya.”

“Ampun, Tuan.”

“Kau harus dihukum.”

“Tetapi aku minta diampuni, Tuan. Aku masih belum ingin mati.”

“Orang-orang yang kau rampok dank au bunuh pun belum ingin mati.”

Daruka terdiam. Beberapa titik keringat dingin menetes pada pundaknya. Tubuh yang gemetar itu menjadi kian menggigil.

“Daruka,” berkata Sutawijaya seterusnya, “kau harus menerima hukuman. Kalau kau benar menyesal atas segala tingkah lakumu, maka kau harus dapat memenuhi beberapa syarat supaya kau tidak dihukum mati.”

Daruka mengangkat wajahnya. Tampaklah sebersit harapan di dalam wajahnya. “Apakah syarat itu, Tuan?”

“Tetapi jangan mencoba melepaskan diri dari tanganku dan tangan Wira Tamtama.”

“Tidak, Tuan.”

“Tidak aka nada gunanya. Aku akan selalu dapat mengawasimu dan menangkap kau setiap saat. Kau tidak dapat mengalahkan aku, apalagi para pemimpin Wira Tamtama lainnya.”

“Ya, Tuan.”

“Nah, dengarlah syarat itu. dalam waktu yang dekat, sebe lum hutan ini mulai dibuka, maka kau harus sudah menyelesaikan syarat itu. kau harus mampu menangkap semua orang yang menjadi penyamun dan perampok di dalam hutan ini. Kau dan orang-orangmu harus mampu menumpas semuanya. Tetapi ingat. Aku tidak memerintahkan kepadamu untuk menumpas orang-orangnya, tetapi perbuatannya. Apakah kau dapat mengerti? Hanya apabila perlu kau boleh mempergunakan pedangmu. Kau mengerti?”


Wajah Daruka yang telah memutih kapas itu kini mulai dialiri oleh darahnya kembali. Ditatapnya wajah Sutawijaya seakan-akan ia ingin mendengar ketegasan dari kata-katanya.

“Apakah yang harus kau lakukan?”

“Membinasakan setiap gerombolan yang ada di hutan ini.”

“Tetapi jangan berlaku seperti apa yang pernah kau lakukan. Ingat, alangkah ngerinya menghadapi maut. Kau sendiri telah melupakan kejantanan dan kesombonganmu ketika kau sudah mulai dijamah oleh bahaya maut itu.”

“Kau dengar kata-kataku?” bertanya Sutawijaya.

“Ya, Tuan. Aku mendengar,” jawab Daruka.

“Kau mengerti?”

Daruka termangu-mangu sebentar. Tiba-tiba ia mengangguk. “Ya, Tuan aku mengerti.”

Daruka mengerutkan keningnya.

“Kau merasa tidak seimbang bahwa kau harus mati karena sesuap nasi. Demikian pula orang-orang lain. Gerombolan-gerombolan yang lain. Tundukkan mereka, kalau mungkin tanpa pepati. Bawalah mereka memilih tanah yang paling baik di seluruh hutan Mentaok. Bukalah hutan itu, kalian akan mendapat hak untuk bertempat tinggal di sana kelak apabila tempat ini menjadi ramai. Kau mengerti?”

“Ya, aku mengerti,” sahut Daruka sambil mengangguk lemah. Ia tahu benar apa yang harus dilakukan. Mengalahkan gerombolan-gerombolan yang ada di hutan ini sejauh mungkin tanpa melukai kulit mereka. Apakah ia mampu berbuat seperti anak muda itu? tetapi Daruka tidak lagi bertanya.

“Nah, lakukan perintahku baik-baik. Dengan demikian kau telah menyelamatkan dirimu sendiri. Memberi harapan kepada kedamaian hatimu sendiri di masa-masa mendatang. Apakah apabila otot-ototmu telah menjadi rapuk dimakan umur, kau masih juga merasa orang yang paling ditakuti di hutan ini? Dan apakah kau masih merasa mampu mencari sesuap nasi dengan pedang di genggaman?”

“Ya, Tuan,” Daruka mengangguk-anggukkan kepalanya.

Mulai hari ini kau sudah dapat melakukan pekerjaanmu. Tetapi ingat, jangan mencoba melepaskan diri dari pengawasan Wira Tamtama. Kalau kau lancing kali ini, maka hukumanmu bukan sekedar dipancung di alun-alun, tetapi kau akan dirampog setelah kau diadu melawan harumau di alun-alun. Kalau kau juga tidak mati, maka kau akan dihukum picis. Kau dengar?”

Meskipun Daruka selama ini tidak pernah ngeri mendengar nama harimau, namun diadu dengan harimau di alun-alun untuk mengganti rampogan adalah tidak menyenangkan sama sekali. Apabila ia masih hidup maka hukuman picis telah menunggu. Adalah tidak menyenangkan mati di celah-celah gigi harimau atau mati tersayat-sayat dalam menjalani hukuman picis.

Karena itu maka ia tidak mempunyai pilihan lain dari bertempur melawan setiap gerombolan yang ada di hutan Tambak Baya dan Mentaok. Hampir setiap gerombolan telah dikenalnya dengan baik. Dan tak seorang pun yang perlu dicemaskannya apabila mereka berhadapan beradu dada.

“Nah, apakah kau sanggup melakukan?” bertanya Sutawijaya.

Daruka tersentak mendengar pertanyaan itu. dengan serta-merta ia menjawab, “Ya, Tuan. Aku sanggup.”

“Bagus,” berkata Sutawijaya pula. “Pergilah. Lakukan perintah ini. Tetapi kau jangan berbuat semena-mena dan menyalahgunakan perintahku. Aku tidak memerintahkan kepadamu untuk mengadakan pembantaian dan pembunuhan besar-besaran. Kalau mungkin selesaikan dengan pembicaraan. Kau dapat menceriterakan kepada mereka apa yang kau alami. Kau dapat memberitahukan bahwa sebentar lagi sepasukan Wira Tamtama akan menjelajah seluruh isi hutan ini.”

“Ya, ya aku mengerti, Tuan,” sahut Daruka.

“Kalau demikian, pergilah. Bawa orang-orangmu. Apakah orang-orangmu hanya sebanyak dua belas orang ini?”

“Tidak, Tuan. Aku mempunyai lebih dari duapuluh lima kawan. Aku mengharap mereka dapat mengerti apa yang harus aku lakukan. Dan aku harap mereka dapat membantuku.”

“Bagus,” desis Sutawijaya, “sekarang pergilah. Di Cupu watu, Nglipura, Mangir, Menoreh, tersebar prajurit-prajurit Wira Tamtama. Kalau kau ingkar, maka kau pasti akan menyesal.”

“Tidak, Tuan. Aku tidak akan ingkar. Berkelahi melawan gerombolan yang ada di hutan ini bagiku adalah jauh lebih ringan daripada berkelahi melawan Wira Tamtama seperti Tuan.”

Sutawijaya tersenyum di dalam hati. Kemudian sekali lagi ia berkata, “Pergilah. Kumpulkan orang-orangmu, dan mulailah melakukan pekerjaanmu itu.”

“Baik, Tuan. Kami, seluruh orang-orangku mengucapkan beribu terima kasih atas kesempatan yang Tuan berikan kepada kami.”

“Jaga kepercayaan ini baik-baik.”

“Ya, Tuan.”

Sejenak kemudian Daruka beserta orang-orangnya pun segera meninggalkan mereka. Satu-satu mereka menghilang ke dalam semak-semak. Satu dua di antara mereka masih juga berpaling memandangi wajah anak-anak muda itu. tetapi segera mereka membuang pandangan mata ketika mereka melihat Swandaru yang gemuk mencibirkan bibirnya.

“Mudah-mudahan usaha ini berhasil,” gumam Sutawijaya.

“Anakmas cukup cerdik,” sahut Kiai Gringsing. “Aku kira Daruka benar-benar ketakutan. Ia pasti akan melakukan perintah itu. mudah-mudahan ia berhasil. Nanti Anakmas akan membuka hutan ini dengan tenteram. Orang-orang yang berdatangan tidak lagi takut mendapat gangguan dari para penyamun dan perampok. Untuk membasmi mereka dengan cepat, alangkah sulitnya. Sekarang Anakmas mendapat alat yang sebaik-baiknya untuk melakukan pekerjaan itu. dan pasti hasilnya pun akan lebih baik daripada Anakmas mengerahkan sepasukan Wira Tamtama.”

Sutawijaya tersenyum. “Mudah-mudahan, Kiai,” katanya.

Swandaru yang masih berdiri di tempatnya menyahut, “Aku tidak dapat mempercayai mereka sepenuhnya. Kalau Daruka sendiri mungkin benar-benar telah jera, tetapi aku tidak yakin melihat wajah-wajah dari anak buahnya.”

Sutawijaya masih saja memandangi semak-semak di mana Daruka dan orang-orangnya menghilang. Sejenak ia terdiam. Tetapi yang menjawab perkataan Swandaru adalah Kiai Gringsing, “Tidak, Swandaru. Gerombolan perampok dan penyamun merasa jauh lebih takut kepada pimpinannya daripada prajurit yang mana pun juga. Seorang pemimpin perampok atau penyamun dapat saja menghukum mati anggotanya setiap saat dikehendaki. Tanpa banyak pertimbangan dan tanpa banyak pertanggungan jawab. Seorang yang dianggapnya berkhianat atau kurang baik melakukan pekerjaannya, akan dapat mengakibatkan kepalanya terlepas. Kalau kemudian ternyata bahwa tuduhan yang diberikan kepadanya itu keliru, maka pimpinannya cukup bergumam ‘Oh, ternyata keliru,’ tetapi yang mati itu tetap juga mati. Dengan demikian, maka setiap anggota perampok atau penyamun atau sebangsanya akan berusaha untuk mentaati dan menyenangkan hati pemimpinnya.”

Swandaru mengangguk-anggukan kepalanya. Apa yang ditemuinya kali ini benar-benar memberinya banyak pengalaman. Meskipun hanya berpapasan, tetapi ia melihat beberapa orang pengywal yang benar-benar telah mempertaruhkan nyawanya untuk melindungi orang lain meurut kesanggupannya. Mereka adalah orang-orang yang sebenarnya mempunyai tanggungjawab yang tinggi atas pekerjaan yang mereka pilih. Kemudian Swandaru itu melihat sebuah gerombolan perampok dan penyamun. Dengan demikian, maka ia telah mendapat sedikit gambaran apa yang sebenarnya tersimpan di gutan2 yang besar dan lebat seperti hutan Mentaok dan Tambak Baya ini.

Bagi Sutawijaya, apa yang dilihat itu pun telah memberikan petunjuk kepadanya, apakah yang kelak akan dihadapinya. Mungkin Daruka dapat melakukan sebagian dari tugasnya, tetapi mungkin uga ia akan menemui kegagalan. Seandainya Daruka benar-benar ingin melakukan tugasnya, maka yang dihadapinya bukan saja satu atau dua gerombolan, yang tidak begitu banyak mempunyai perbedaan kekuatan. Mungkin gerombolan yang lain dapat bergabung satu sama lain untuk bersama-sama mengadapi gerombolan Daruka atau bahkan memusnahkan gerombolan Daruka ini.

Sejenak mereka saling berdiam diri tenggelam dalam angan-angan masing-masing. Yang mula-mula memecah kesenyapan itu adalah Kiai Gringsing, “Bagaimana, Ngger. Apakah kita akan berjalan terus?”

“Kita sudah sampai di sini Kiai, apakah salahnya kalau kita berjalan terus?” jawab Sutawijaya.

“Kita tidak akan menemukan apa-apa lagi. Alas Mentaok hampir tak akan ada bedanya dengan hutan ini. Kita hanya dapat melihat pohon-pohon raksasa. Akar-akaran dan batang-batang yang merambat. Daun-daun yang mengandung racun yang sangat gatal, sejenis semut yang disebut semut Salaka, tetapi yang kini sudah hampir punah. Harimau yang garang dan kijang yang bertanduk panjang. Apa lagi?”

“Apakah sama sekali tidak ada daerah yang didiami orang Kiai?”

“Tentu saja tidak di tengah-tengah Alas Mentaok. Kalau Angger berjalan terus menembus sisi yang lain dari Alas Mentaok maka Angger akan sampai di daerah yang berpenduduk. Daerah Nglipura, Pliridan yang masih terlampau dekat dengan hutan ini, sebelum kita sampai di hutan Mentaok yang menjorok ke Selatan di daerah Beringan dan Pacetokan. Tetapi menurut pengelihatanku saat-saat terahir daerah ini sudah ditinggalkan oleh penduduknya karena gangguan para penjahat. Kemudian agak jauh ke Selatan Angger akan menemui daerah yang sudah agak ramai, Mangir.”

“Apakah daerah itu juga termasuk daerah Mentaok?”

Kiai Gringsing mengerutkan keninya. Tetapi kemudian ia menggeleng, “Aku tidak tahu, Ngger. Meskipun daerah itu dahulu juga termasuk daerah yang tunduk kepada Sultan Demak. Apakah daerah itu kemudian akan tunduk juga kepada Adipati Pajang untuk seterusnya termasuk tanah yang akan dihadiahkan kepada ayahanda Ki Gede Pemanahan, aku tidak tahu.”

Sutawijaya berpikir sejenak. Tiba-tiba ia berkata, “Aku ingin melihat daerah itu, Kiai.”

Kiai Gringsing menarik nafas. Katanya, “Angger memerlukan waktu yang lama. Apalagi kedatangan angger belum tentu akan mendapat sambutan yang baik. Kita belum tahu, bagaimana tanggapan Mangir atas Pajang dan atas Alas Mentaok.”

“Karena itu aku ingin menemuinya. Siapakan yang memerintah Mangir? Seorang Demang?”

“Mangir adalah sebuah Tanah Perdikan, Ngger. Seperti daerah-daerah di Bukit Menoreh. Perdikan yang dikukuhkan oleh pengakuan Sultan Trenggana.”

Sutawijaya mengerutkan keningnya. Tanah itu tanah perdikan. Tiba-tiba dadanya menjadi berdebar-debar. Di samping tanah yang akan diterimanya, terletak sebuah tanah perdikan yang sudah menjadi ramai. Apakah tanah itu mengakui kekuasaan Pajang atas penyerahan kekuasaan daerah itu kepada Ki Gede Pemanahan? Lalu bagaimanahkah sifat dan bentuk Tanah Mentaok kelak?

Kiai Gringsing yang tua itu seakan-akan dapat membaca perasaan Sutawijaya. Maka katanya, “Anakmas. Jangan terlampau pagi merisaukan tanah ini. Apakah Angger kini sedang dijalari oleh kecemasan tentang Mangir itu? Apakah tidak ada bahaya yang dapat datang dari tanah itu selagi Angger membuka Tanah Mentaok ini? Bukankah Angger berpikir tentang itu?”

“Ya Kiai.”

“Lupakanlah. Kita akan melihat perkembangan keadaan. Memang Mangir adalah tanah perdikan yang perllu mendapat perhatian, Tetapi tidak sekarang. Sekarang sebaiknya kita kembali ke Sangkal Putung.”

Sutawijaya menarik nafas. Mangir akan dapat menumbuhkan persoalan kelak. Kemudian dipalingkannya wajahnya kepada kedua kawan-kawannya yang perhatiannya agaknya tertarik kepada pohon-pohon raksasa dan jenis burung2 liar yang terbang hilir mudik dari dahan ke dahan.

“Bagaimana dengan kita?” bertanya Sutawijaya kepada kedua anak muda itu

Agung Sedayu dan Swandaru tidak segera menjawab. Bahkan sejenak mereka saling berpandangn. Tetapi keduanya ternyata saling berdiam diri.

Meskipun Swandaru merasa banyak mendapatkan pengalaman dalam perjalanan itu, dan meskipun sebenarnya ia masih ingin menjelajahin tempat-tempat yang selama ini belum pernah dilihatnya, namun ia ingat juga kepada kademangannya. Kademangan yang selama ini dipertahankannya dengan pengorbanan yang tidak kecil. Bahkan nyawa dari beberapa orang telah pula dikorbankan.

Sedang Agung Sedayu pun mempunyai pertimbangan-pertimbangan yang lain pula. Ia menjadi cemas, apakah kakaknya Untara membenarkannya. Kalau terjadi sesuatu atas Sangkal Putung dan para prajurit Pajang, bahkan atas kakaknya Untara dan pamannya Widura, maka ia tidak dapat melihatnya. Ia akan dapat dipersalahkan, bahwa ia telah meninggalkan kuwajibannya.

Tetapi mereka berdua tidak inin mendahului pendapat Sutawijaya. Mereka telah terlanjur berjanji ingin pergi bersamanya ke Alas Mentaok. Sehingga karena itu, maka dibiarkannya Sutawijaya itu sendiri menjawab pertanyaannya.

“Bagaimana, Ngger?” bertanya Kiai Gringsing kemudian. “Aku harap Angger mempertimbangkannya. Meskipun Angger sampai juga di Alas Mentaok, maka yang akan Angger lihat adalah serupa ini juga. Pohon-pohon besar dan rimbun, gerumbul-gerumbul perdu yang pepat. Pohon-pohon yang merambat, yang tidak berduri dan yang berduri. Batu-batu padas yang kotor dan jamur-jamur dari segala macam jenis. Kemladean dan beberapa macam anggrek. Angger tidak akan dapat melihat dengen jelas, manakah batas-batas yang memisahkan Alas Mentaok dan Alas Tambak Baya. Mungkin sebuah padang rumput yang sempit yang masuk dalam sebuah lekukan hutan ini dapat dianggap sebagai batas tersebut. Tetapi di dalam hutan, maka batas itu tidak akan nampak.”

Sutawijaya menjadi bimbang. Ia menyadari, betapa hangatnya keadaan Sangkal Putung kini. Apalagi apabila ayahnya telah pergi meniggalkan kademangan itu. Maka Sangkal Putung akan mengalami saat yang paling lemah tanpa adanya Agung Sedayu, Swandaru dan lebih-lebih Kiai Gringsing. Sedang apa yang akan dilihatnya pun tidak akan jauh berbeda dari apa yang dilihatnya sekarang. Beruntunglah bahwa ia telah bertemu dengan gerombolan terkuat dari Alas Mentaok, Daruka, yang dapat memberinya beberapa macam gambaran tentang Alas Mentaok yan liar. Liar wajah dan isinya.

Ketika Agung Sedayu dan Swandaru tidak juga menjawab, maka terdengar Sutawijaya itu berdesis, “Baiklah, Kiai. Aku telah puas melihat sebagian saja dari Alas Mentaok. Bagian yang bernama Tambak Baya. Aku mengerti, bahwa Sangkal Putung kini benar-benar dalam keadaan yang sulit apabila Ki Tambak Wedi mengambil kesempatan menyerangnya. Karena itu, baiklah kita kembali.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. “Bagus,” desisnya, “ternyata Angger cukup bijaksana. Sejak saat ini kita akan memerlukan waktu sedikitnya dua malam untuk mencapai Sangkal Putung kembali. Hari ini telah lebih dari separo kita lampaui untuk bermain-main dengan Daruka dan kawan-kawannya. Kita masih memerlukan waktu lagi unuk memberi kesempatan Swandaru memburu makan malamnya nanti.”

Swandaru menggigit bibirnya, sedang kedua kawannya tertawa perlahan-lahan.

“Kalau begitu,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “kita segera kembali ke Sangkal Putung. Jangan kita lalui kembali Kademangan Prambanan. Kita pasti akan terhambat pula sedikitnya satu malam. Kita tidak akan sampai hati menyakiti perasaan mereka apabila kita menolak permintaan mereka untuk bermalam di kademangan itu.”

“Baik, Kiai,” sahut Sutawijaya.

“Kita berusaha mencari jalan lain pula. Mungkin Argajaya membuat persiapan yang baik untuk menyambut kedatangan kita di Sangkal Putung. Karena itu, biarlah kita mencoba menghindarinya.”

“Kenapa tidak kita penggal saja lehernya, Kiai?” potong Swandaru.

“Leher yang melekat ditubuh Argajaya bukanlah leher ayam. Ia pasti akan mempertahankan lehernya. Bahkan tidak seorang diri. Mungkin bersama Sidanti, Sanakeling, Alap-alap Jalatunda dan bahkan mungkin pula Ki Tambak Wedi. Nah, kalau demikian apakah bukan lehermu yang meremang?”

Swandaru tersenyum. Kedua kawannya pun tersenyum pula.

“Nah, marilah. Kita harus mempergunakan waktu sebaik-baiknya. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu dengan Sangkal Putung.”

Tetapi dengan demikian, kata-kata Kiai Gringsing yang terakhir itu telah membuat jantung Swandaru menjadi berdebar-debar. Agung Sedayu pun merasa cemas pula. Apakah sebenarnya yang paling mencemaskan baginya? Agung Sedayu sendiri kadang-kadang menjadi ragu-ragu. Untara barangkali? Untara adalah kakaknya. Untara adalah seorang senapati. Seorang yang memimpin sepasukan prajurit yang kuat. Kenapa ia mesti mencemaskannya? Sangkal Putung barangkali? Kademangan itu? Agung Sedayu tiba-tiba menggelengkan kepalanya. Ia tidak mau menelusur lebih jauh, apakah sebabnya kecemasannya tentang Sangkal Putung menjadi kian memuncak.

Keempatnya kini telah berjalan kembali ke arah yang berlawanan dari jalan yang telh ditumpunya. Tiba-tiba saja mereka merasa bahwa merka telah terlampu lama meninggalkan Sangkal Putung. Sutawijaya pun merasa, bahwa ayahnya pasti tidak terlampau senang kepadanya karena kepergiannya yang tanpa pamit itu.

Demikianlah maka mereka berusaha tanpa berjanji, berjalan secepat-cepatnya untuk mencapai Sangkal Putung. Mereka paling sedikit masih memrlukan dua malam satu hari di perjalanan. Kalau saja tidak ada rintangan apapun, kalau saja mereka tidak berjumpa dengan orang-orang Prambanan yang akan meminta mereka untuk singgah, kalau saja mereka tidak bertemu dengan Argajaya dan Sidanti.

Sebagian dari harapan mereka itu pun terjadi. Mereka setelah bermalam satu malam, dapat melampaui Prambanan tanpa dilihat oleh seorang pun sehingga mereka tidak perlu singgah. Bahkan mereka berusaha untuk sampai ke Sangkal Putung hari itu juga meskipun larut malam atau bahkan sampai fajar. Seolah-olah mereka mendapat suatu firasat, bahwa memang terjadi sesuatu di Sangkal Putung.

Kiai Gringsing agaknya melihat kegelisahan di hati ketiga anak-anak muda itu. Maka untuk menenangkan mereka orang tua itu berkata, “Anakmas bertiga. Kenapa Anakmas menjadi sedemikian tergesa-gesa sperti dikejar hantu?”

Ketiga anak-anak muda itu terkejut mendengar kata-kata Kiai Gringsing. Sejenak mereka saling berdiam diri, tetapi sejenak kemudian mereka tersenyum.

“Bukankah Kiai ingin segera sampai ke kademangan itu? Kita harus berjalan siang dan malam.”

“Tetapi tidak seperti dikejar hantu. Aku melihat kalian berjalan meloncat-loncat. Perjalanan kita cukup jauh. Kalau anak mas berjalan seperti itu, maka kita pasti akan kelelahan sebelum kita sampai ke Sangkal Putung.”

Kembali anak-anak muda itu tersenyum. Yang menjawab kemudian adalah Swandaru, “Jadi apakah lebih baik kita berjalan perlahan-lahan? Mungkin aku akan mendapat banyak waktu untuk mendapatkan binatang buruan. Bahkan mungkin aku akan dapat membawa oleh-oleh buat ayah dan ibu di rumah.”

Kiai Gringsing tertawa. Katanya, “Tidak terlampau cepat, tetapi tidak terlalu lambat. Sedang.”

Ketiga anak-anak muda itu tidak menjawab lagi. Tetapi kini mereka tidak lagi meloncat-loncat seperti orang yang ketakutan.

Ketika malam datang, maka Sangkal Putung sudah tidak terlalu jauh lagi. Meskipun mereka masih berada di hutan yang tidak begitu lebat, namun mereka bertekad untuk berjalan terus.

“Bukankah kita sudah sampai di hutan tempat orang-orang Jipang dahulu berkemah?” gumam Agung Sedayu.

“Ya,” sahut Kiai Gringsing.

“Kalau begitu kita tidak usah bermalam lagi,” berkata Swandaru. “Kita berjalan terus, meskipun perutku terlampau kosong. Justru karena itu aku harus segera sampai di rumah. Mungkin masih ada sisa nasi di dapur.”

“Kalau tidak?” potong Sutawijaya.

“Aku akan berburu.”

“Di mana kau akan berburu?”

“Di kandang ayam,” jawab Swandaru.

Yang mendengar jawaban itu tertawa. Swandaru pun tertawa pula meskipun sekali-sekali ia harus menyerigai karena kakinya terantuk kayu atau batu-batu padas.

Tetapi mereka berempat benar-benar tidak ingin berhenti berjalan.

Kiai Gringsing membiarkan saja anak-anak muda itu mengambil sikap. Namun tampak juga, bahwa anak-anak muda itu telah mulai dirayapi oleh perasaan lelah. Meskipun demikian, tak seorang pun yang ingin berhenti di jalan. Sebelum fajar mereka harus sudah sampai di Sangkal Putung. Yang dapat mereka lakukan hanyalah memperlambat perjalanan untuk mengurangi kelelahan mereka. Tetapi tidak untuk berhenti.

Meskipun demikian, meskipun mereka berjalan malam hari, namun mereka tidak menempuh jalan yang terpendek. Mereka masih juga memperhitungkan Argajaya dan Sidanti. Argajaya itu dua hari yang lalu pasti sudah bertemu dengan Sidanti. Paman Sidanti itu pasti sudah banyak berceritera, dan Sidanti pun telah banyak bercerita pula. Karena itu, maka dendam mereka pasti akan berganda. Gurunya Ki Tambak Wedi pasti tidak pula akan tinggal diam. Karena itu, maka mereka harus menghindari kemungkinan itu, kemungkinan bertemu dengan Sidanti, meskipun Swandaru sama sekali tidak ingin melakukannya.

Ternyata sedikit lewat tengah malam mereka telah mendekati Kademangan Sangkal Putung. Mereka telah sampai di sebuah padang rumput yang tidak begitu luas. Karena itu mereka harus berjalan agak labih cepat. Sebab di padang rumput, maka bayangan mereka pasti akan lebih mudah dilihat oleh siapapun, meskipun mereka telah bergeser beberapa puluh langkah dari jalan yang terdekat.

Semakin dekat dengan mereka Kademangan Sangkal Putung, maka hati mereka pun menjadi berdebar-debar. Mereka tidak melihat sesuatu yang aneh dan mencurigakan. Mereka tidak melihat kelainan daripada biasanya. Kalau terjadi sesuatu atas Kademangan itu, maka mereka pasti melihat suatu perubahan apapun. Mereka masih melihat lampu-lampu yang sinarnya kadang-kadang meloncat dari celah-celah dinding rumah. Di mulut lorong mereka masih melihat sebuah pelita yang menyala.

Tiba-tiba Swandaru memperlambat jalannya sambil menarik nafas dalam-dalam. “Hem, ternyata Sangkal Putung tidak mengalami sesuatu.”

Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menjawab, “Begitulah agaknya.”

“Kalau begitu, sejak kini aku akan berjalan lambat-lambat. Bukankah kita tidak perlu tergesa-gesa.”

“Ah, kau”, sahut Agung Sedayu, “akulah kini yang tergesa-gesa. Bukankah kau masih ingin berburu?”

Swandaru tertawa. Tetapi tiba-tiba ia menguap. “Aku tidak terlalu lelah tetapi aku mengantuk.”

Namun mereka tidak lagi merasa gelisah. Apalagi ketika mereka sudah memasuki padesan. Namun agaknya Swandaru ingin mengejutkan orang-orang di kademangan, karena itu katanya, “Marilah kita tidak melalui jalan. Kita membuat kejutan bagi orang-orang kademangan.”

Kedua kawan-kawannya tidak membantah. Kiai Gringsing pun menuruti saja kemauan muridnya yang aneh itu. Tetapi ketika mereka memasuki halaman kademangan lewat belakang, mereka benar-benar terperanjat. Ternyata kademangan itu benar-benar tidak seperti biasanya. Bahkan lamat-lamat Swandaru mendengar tangis perempuan. Tangis ibunya.

Mereka berempat itu pun tertegun sejenak. Suara tangis yang lamat-lamat itu masih mereka dengar. Sejenak mereka saling berpandangan. Namun tak seorang pun yang tahu, apakah sebenarnya yang telah terjadi.

Menilik tanda-tanda yang mereka jumpai di sepanjang jalan, mereka sama sekali tidak melihat bekas-bekas keributan. Dari tempat mereka menyelinap di antara pepohonan sambil meloncat-loncat di antara dinding-dinding halaman, mereka melihat gardu-gardu peronda masih juga seperti biasanya. Memang mereka melihat kesiapsiagaan yang agak lebih ketat dari kebiasaan. Tetapi mereka menyangka bahwa keadaan sekedar meningkat menjadi lebih genting, tetapi belum terlambat.

Swandaru menjadi bertambah cemas ketika tangis itu tidak juga berkurang. Ibunya tidak pernah menangis karena hal-hal yang tidak terlampau penting. Betapapun ibunya sedang sakit, tetapi ia hanya berbaring diam. Hanya apabila ia sedang sakit gigi, maka ibunya itu menangis. Tetapi tangisnya tidak sekeras kali ini.

“Agaknya memang telah terjadi sesuatu,” bisik Swandaru.

Agung Sedayu mengangguk, “Ya.”

“Tetapi tidak ada tanda-tanda yang kita temui,” sahut Sutawijaya.

Mereka pun kemudian terdiam. Ketika mereka berpaling kepada Kiai Gringsing, orang tua itu pun sedang termenung.

“Bagaimana Kiai?”

Kiai Gringsing menggeleng, “Aku tidak tahu. Marilah kita lihat.”

“Sebenarnya aku ingin bermain-main. Aku ingin mengejutkan orang-orang kademangan. Diam-diam aku ingin tidur, sehingga besok pagi mereka pasti terkejut melihat kami di pendapa, atau di gandok wetan. Tetapi agaknya kita harus berbuat lain.”

“Agaknya kita tidak sedang menghadapi persoalan yang dapat dibawa untuk bergurau,” gumam Kiai Gringsing. “Marilah jangan terlampau lama.”

Ketiga anak-anak muda itu pun kemudian mengikuti langkah Kiai Gringsing. Mereka tidak lagi berkata apa pun. Kiai Gringsing benar-benar sedang berpikir. Kalau saja Kiai Gringsing menjadi gelisah, maka persoalan yang mereka hadapi pasti bukan sekedar persoalan yang ringan.

Memang sekali-kali Swandaru hanya menganggap bahwa ibunya pasti sedang sakit gigi. Sebab baik di setiap sudut penjagaan maupun di halaman itu sendiri mereka tidak melihat kekhususan yang mencolok. Tetapi anggapan itu tidak diyakininya sendiri. Setiap kali dadanya terasa berdesir, semakin lama menjadi semakin tajam.

Mereka berhenti ketika mereka melihat dua orang berjalan di bagian belakang halaman itu. Supaya tidak menimbulkan kegaduhan maka mereka pun berhenti dan menyelinap di balik pepohonan. Tetapi mereka tidak dapat berbuat begitu terlalu lama, sebab kedua orang itu ternyata menuju ke tempat yang agak terlindung. Pada saat itulah baru mereka mengetahui, bahwa di sudut yang gelap itu ternyata telah diadakan sebuah penjagaan.

Penjagaan di tempat itu tidak pernah ada sebelumnya. Penjagaan di bagian belakang ini berada di samping regol yang telah ditutup mati hanya malam hari apabila keadaan mengkhawatirkan. Sedang penjagaan yang biasa terdapat di tikungan, di gardu perondan. Sekarang di tempat itu ternyata ada sebuah penjagaan sehingga dengan demikian mereka dapat menduga sesuatu benar-benar telah terjadi.

Tiba-tiba Swandaru menjadi tidak bersabar lagi. Dengan terbata-bata ia berbisik, “Kiai, aku akan melihat apakah yang telah terjadi.”

“Tunggu,” cegah Kiai Gringsing. “Jangan mengejutkan para penjaga yang sedang dalam kesiapsiagaan penuh. Kalau mereka melihat kita berempat, maka meka pasti menyangka bahwa mereka menghadapi bahaya. Dengan demikian, maka kegaduhan pasti akan timbul. Karena itu, biarlah aku sendiri menemui mereka dan mengatakan bahwa kalian telah kembali.”

“Baik Kiai,” sahut Swandaru tidak sabar.

Kiai Gringsing pun kemudian melangkah maju. Perlahan-lahan dan hati-hati. Ternyata para penjaga itu pun belum melihatnya.

Untuk menghindari kesalah-pahaman, maka Kiai Grinsing itu pun terbatuk-batuk kecil. Sehingga dari tempat yang terlindung ia mendengar seseorang menyapanya, “He, siapakah itu?”

“Aku, Tanu Metir.”

“Oh,” terdengar seseorang berdesah. “Kenapa Kiai berada di situ?”

Kiai Grinsing tidak segera menjawab. Bahkan ia masih juga terbatuk-batuk.

........bersambung ke Jilid 20

Tidak ada komentar:

Posting Komentar