Senin, 18 Desember 2017

API di BUKIT MENOREH Jilid 16

API di BUKIT MENOREH

Karya S.H Mintardja

JILID 16




DALAM kegelisahannya, Ki Tambak Wedi itu kemudian berjalan mendekati desa Benda. Di sepanjang langkahnya, tak habis-habisnya ia mengumpat-umpat. “Akhirnya aku harus pergi juga ke desa itu. Lebih baik sejak semula aku kerjakan sendiri pekerjaan ini.”

Setelah meloncati beberapa buah parit dan menyibak beberapa macam tanaman di sawah-sawah, akhirnya Ki Tambak Wedi berdiri di luar dinding desa itu. Dari tempatnya berdiri Ki Tambak Wedi dapat melihat jalan yang membujur di tengah-tengah bulak memasuki desa kecil itu. Tetapi Ki Tambak Wedi tidak mau masuk desa lewat jalan yang dilihatnya. Lebih baik baginya untuk meloncati dinding batu desa itu.

Ketika Ki Tambak Wedi menjejakkan kakinya di dalam lingkungan dinding batu, orang tua itu menggeram. Api yang dilihatnya sudah menjadi semakin besar. Dengan hati-hati ia berjalan ke arah api itu. Tetapi, di sekitar api itu tampaknya terlampau sepi. Ia tidak melihat Sidanti, Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda. “Hem,” geramnya berulang kali. “Anak-anak gila itu pergi ke mana saja. Mereka sama sekali tidak mau memperhitungkan keadaan. Mereka menuruti saja perasaannya.”

Tiba-tiba Ki Tambak Wedi teringat, bahwa di desa itu pasti ada prajurit Pajang yang sedang mengawasi keadaan menjeIang saat penyerahan orang-orang Jipang. Gumamnya, “Hem, mungkin Sidanti sedang melihat-lihat, apakah di desa ini ada orang-orang Pajang. kalau benar diketemukannya beberapa orang prajurit, maka anak itu pasti sedang melepaskan kemarahannya.”

Sejenak Ki Tambak Wedi menjadi berbimbang hati. Tetapi kemudian kembali ia bergumam, “Biarlah aku melihatnya pula. Orang-orang Pajang pasti berada di ujung jalan itu.”

Akhirnya Ki Tambak Wedi pun segera dengan tergesa-gesa menyusup rimbunnya dedaunan, meloncati dinding-dinding halaman, pergi ke ujung jalan.

Dalam pada itu Wira Lele masih berpacu dengan kudanya. Beruntunglah ia bahwa ketika Ki Tambak Wedi berjalan mendekati jalan yang dilaluinya, ia telah lampau. Kalau hantu lereng Merapi itu melihatnya, maka sudah pasti bahwa tubuh Wira Lele akan terbanting dari punggung kudanya, karena Ki Tambak Wedi akan melempar dengan gelang-gelang besinya.

Kuda Swandaru adalah kuda yang cukup baik, sehingga lajunya benar-benar seperti anak panah meluncur dari busurnya. Ia harus segera menemui Untara, mengabarkan apa yang telah terjadi, sehingga rencana yang telah disusun rapi oleh pimpinannya itu tidak pecah berserakan.

Akhirnya Wira Lele melihat juga sebuah barisan yang berhenti di tengah-tengah bulak. Barisan itu adalah barisan Pajang dan anak-anak muda Sangkal Putung.

Ketika Untara melihat api yang menjilat ke udara, maka hatinya menjadi berdebar-debar. Dengan ragu-ragu ia berkata kepada Ki Gede Pemanahan, “Ki Gede, aku melihat ketidak-wajaran dari desa Benda itu.”

Ki Gede mengerutkan keningnya. Ketika ia berpaling, memandangi wajah Untara, dilihatnya pada wajah itu beberap titik keringat.

Kali ini Ki Gede benar-benar menjadi kecewa. Ternyata persiapan Untara masih belum terlampau masak, sehingga di saat-saat yang ditentukan masih juga terjadi peristiwa-peristiwa yang menegangkan dan bahkan mungkin dapat membahayakan.

Tetapi Ki Gede puas dengan persiapan pasukan Pajang dan anak-anak muda Sangkal Putung yang berbaris di belakangnya. Bahwa seandainya orang-orang Jipang itu berkhianat atas persetujuan yang telah dibuatnya, atau sengaja menjebak para prajurit Pajang, maka pasukan itu sudah benar-benar dalam kesiagaan tempur.

“Bagaimana pertimbanganmu Untara?” bertanya Ki Gede Pemanahan.

“Beberapa orang harus menyaksikan keadaan desa itu dari dekat.”

Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Di desa itu tak akan kau jumpai bahaya yang besar. Kalau orang-orang Jipang ingin menjebakmu di sana, maka tidak akan terjadi pembakaran itu.”

Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi bagaimanapun juga api itu telah mencemaskannya. Maka katanya, “Ya Ki Gede, demikianlah kiranya. Tetapi api itu sendiri dapat menimbulkan berbagai pertanyaan. Mungkin tanpa disengaja para penjaga telah membakar sebuah timbunan jerami atau alang-alang. Tetapi mungkin juga karena sebab-sebab lain.”

“Kita tidak mendengar tanda bahaya,” sela Widura yang berdiri di belakang Untara.

Ki Gede Pemanahan masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak panglima itu berdiam diri dan berpikir. Kemudian katanya, “Baik juga kau mengirimkan beberapa penghubung untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya.”

Untara mengangguk. Di belakang barisan itu ada tiga orang penghubung dengan kuda-kuda mereka yang siap untuk melakukan tugas itu.

Tetapi Untara itu kemudian tertegun diam. Dari kejauhan, mereka melihat seekor kuda muncul di tikungan, dari balik tanaman-tanaman jagung dan gerumbul jarak liar yang berserakan di pinggir-pinggir jalan. Kuda itu berpacu semakin dekat. Debu yang dilemparkan oleh kaki-kakinya mengepul tinggi ke udara.

“Siapa?” desis Ki Gede Pemanahan.

Untara tidak segera menyahut. Tetapi kemudian setelah orang berkuda itu menjadi semakin dekat ia menjawab, “Wira Lele, Ki Gede, pemimpin pengawas yang aku tempatkan di Benda.”

Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Wajahnya sama sekali tidak membayangkan kegelisahan dan kecemasan. Wajah Panglima Wira Tamtama itu selalu membayangkan ketenangan hatinya, sehingga orang-orang lain pun menjadi tenang pula karenanya.

Semakin lama Wira Lele itu pun menjadi semakin dekat, sementara itu wajah Untara dan Widura menjadi semakin tegang. Mereka merasa tidak sabar lagi menunggu kuda yang berlari kencang seperti angin itu.

Demikian Wira Lele sampai di hadapan mereka, maka segera Untara dan Widura menyongsongnya sambil bertanya, “Apa yang terjadi?”

Untara dan Widura menjadi semakin berdebar-debar ketika mereka melihat wajah Wira Lele yang pucat dan keringatnya yang membasahi seluruh tubuhnya.

“Apa yang terjadi?” Untara mengulangi pertanyaannya.

Dengan serta-merta Wira Lele itu turun dari kudanya, menganggukkan kepalanya dalam-dalam, kemudian menjawab, “Di Benda telah terjadi kebakaran.”

“Kenapa?” bertanya Widura singkat.

Sejenak Wira Lele menjadi ragu-ragu kembali. Apakah ia harus mengatakan seperti pesan Sutawijaya, atau ia harus mengatakan sebenarnya.

“Kenapa?” desak Widura.

“Oh,” Wira Lele tergagap. Akhirnya ia memutuskan untuk mengatakan keadaan yang sebenarnya. Dengan terbata-bata dan seolah-olah tidak berurutan, kata-katanya berebut dahulu meloncat dari mulutnya. “Beberapa gubug telah dibakar Sidanti.”

Mendengar kalimat yang pendek itu dada Untara dan Widura bergetar. Hampir bersamaan mereka mengulangi nama itu, “Sidanti?”

“Ya.”

Ki Gede Pemanahan pun melangkah maju sambil bertanya, “Apakah Sidanti memasuki desa kecil itu?”

Wira Lele menganggukkan kepalanya dalam-dalam ketika ia melihat Panglima itu bertanya kepadanya, “Ya tuan, Sidanti, Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda.”

“Bertiga?” bertanya Ki Gede Pemanahan.

“Ya Ki Gede, mereka bertiga.”

Sejenak Untara dan Widura saling berpandangan. Sekilas teringat olehnya Agung Sedayu, Swandaru dan Sutawijaya yang mendahului mereka. Apakah mereka tidak terjebak oleh Sidanti dan kedua kawan-kawannya. Bahkan tiada disengaja terloncat pertanyaan dari mulut Untara, “Bagaimana dengan anak-anak muda yang datang berkuda. Apakah kau bertemu dengan mereka?”

“Ya,” sahut Wira Lele. “Kini mereka saling berhadapan. Kuda yang aku pakai adalah kuda Angger Swandaru.”

Untara dan Widura memandangi kuda itu. Kuda itu memang kuda Swandaru.

“Kini mereka pasti sedang bertempur,” sambung Wira Lele.

“Tetapi kau lihat Sidanti hanya bertiga?” sela Widura.

“Ya.”

Widura menarik nafas. Sementara itu Untara berkata, “Mudah-mudahan anak-anak itu tidak mengalami kesulitan.”

“Kalau mereka benar-benar hanya bertiga,” tiba-tiba terdengar Ki Gede Pemanahan berkata. “Maka aku mengharap anak-anak itu akan dapat mengatasinya.” Ki Gede itu diam sesaat. Kemudian ia berpaling kepada Untara. “Apakah adikmu dapat melawan Sanakeling?”

Untara itu mengangguk. “Aku harap demikian Ki Gede. Mereka berdua pernah bertemu di garis perang, pada saat terakhir.”

“Kalau begitu, mereka tidak akan menemui kesulitan.” Ki Gede itu terdiam sesaat. Tetapi sejenak kemudian tampak wajahnya yang tenang itu berkerut. Tiba-tiba kata-katanya mengejutkan Untara, “Wira Lele, bukankah namamu Wira Lele?”

“Ya Ki Gede,” sahut Wira Lele sambil menganggukkan kepalanya.

“Kau benar-benar hanya melihat tiga orang dari mereka?”

“Ya Ki Gede. Hanya tiga orang. Di perjalanan kemari pun aku tidak melihat orang-orang lain.”

“Tetapi di antara mereka bertiga itu ada Sidanti,” gumam Ki Gede Pemanahan. “Kalau begitu,” katanya, “berikan kudamu kepadaku.”

“Ki Gede,” potong Untara, “apakah yang akan Ki Gede lakukan sekarang?”

“Sidanti adalah murid Tambak Wedi. Hantu itu mungkin berada di sana pula.”

“Ki Gede, aku dan paman Widura yang bertanggung jawab atas semua peristiwa ini. Karena itu, biarlah aku pergj mendahului.”

“Apakah kau dapat berbuat sesuatu kalau tiba-tiba muncul di arena perkelahian itu Ki Tambak Wedi?”

Untara terbungkam. Tetapi ia melangkah maju ketika ia melihat Ki Gede Pemanahan merenggut kendali kuda Wira Lele.

“Jangan Ki Gede,” minta Untara. “Ki Gede adalah Panglima Wira Tamtama. Keselamalan Ki Gede jauh lebih berharga dari keselamatan kita semuanya.”

“Ah,” desah Ki Gede yang tiba-tiba telah meloncat ke atas punggung kuda itu. “Aku sedang mencemaskan keselamatan anakku. Aku akan mendahului kalian, cepat susul aku. Kalau terjadi sesuatu bukanlah salahmu, tetapi salah anakku yang nakal itu.”

“Ki Gede,” Untara masih ingin mencegah, tetapi ia tidak tahu kata-kata apakah yang akan diucapkan.

“Aku menyadari maksudmu Untara,” sahut Ki Gede Pemanahan, “tetapi pada masa-masa mudaku, aku senakal anakku itu pula. Karena itu jangan cemaskan aku.”

Untara tidak dapat berbuat sesuatu lagi. Ia hanya dapat melihat Ki Gede memutar kudanya. Yang terdengar kemudian adalah kata-kata salah seorang perwira pengawalnya, “Ki Gede, apakah Ki Gede tidak menunggu kami?”

Ki Gede tersenyum, katanya, “Lindungilah panji-panji itu. Biarlah panji-panji itu tetap berkibar.”

Tak seorang pun sempat mencegahnya. Kuda itu segera meloncat dan berlari sekencang badai. Gemeretak di atas tanah berbatu-batu. Semakin lama semakin jauh.

Untara itu pun kemudian tersentak. Tiba-tiba mulutnya berteriak, “He, berikan kuda penghubung itu. Kenapa kalian diam saja sejak tadi?”

Para penghubung yang memegang kendali kuda di bagian belakang dari barisan itu terkejut mendengar teriakan Untara. Karena itu, maka dengan segera mereka meloncat naik ke punggung-pungung kuda dan membawa kuda-kuda mereka maju mendekati Untara.

“Berikan satu kepadaku,” teriak Untara itu pula.

Para penghubung itu sama sekali tidak tahu maksud Untara. Tetapi mereka pun segera berloncatan turun dan salah seorang dari pada mereka menyerahkan kendali kudanya kepada Untara.

“Kau akan pergi juga?” bertanya Widura.

“Ya.”

“Sendiri?”

Untara ragu-ragu sejenak. Sehingga Widura berkata pula, “Apakah aku akan menyertaimu?”

Untara menggeleng, “Tidak. Paman memimpin pasukan ini.” Untara berhenti sejenak kemudian dipandanginya beberapa orang perwira dan pengawal Ki Gede Pemanahan yang lain. Rupa-rupanya orang-orang itu pun tahu maksudnya, sehingga salah seorang dari mereka berkata, “Aku akan pergi bersamamu Adi Untara.”

“Marilah,” sahut Untara.

“Aku juga, bukankah ada tiga ekor kuda,” berkata seorang yang lain.

Maka sejenak kemudian mereka bertiga telah berada di punggung kuda. Dengan sentuhan pada lambung-lambung kuda itu, maka ketiganya meloncat dan berlari seperti dikejar hantu.

Tiga ekor kuda itu berpacu dengan cepatnya, berderak-derak di atas jalan yang menuju ke desa kecil di hadapan mereka, Benda.

Di desa Benda, pada saat itu sedang berlangsung suatu perkelahian yang semakin lama menjadi semakin seru. Sidanti yang melawan Sutawijaya benar-benar telah berusaha memeras segenap kemampuannya. Namun ia harus melihat kenyataan pula, bahwa Sutawijaya benar-benar memiliki kelincahan dan ketangguhan yang suIit ditandinginya.

Dengan senyum yang selalu membayang di bibirnya, Sutawijaya pun berusaha untuk menebus kekalahannya. Bahkan tiba-tiba lukanya itu seolah-olah menjadi terasa pedih kembali.

“Hem,” geramnya, “sedikitnya sebuah goresan di tubuhmu, Sidanti.”

Sidanti tidak menyahut. Tetapi bekerja lebih keras lagi. Ia sama sekali tidak dapat mengharapkan bantuan siapa pun juga dalam perkelahian ini, sebab kedua kawannya telah terlibat pula dalam perkelahian yang seru. Meskipun Alap-alap Jalatunda tidak mengalami tekanan yang berat, bahkan sekali-sekali ia berhasil mendesak Swandaru yang gemuk, namun belum menunjukkan suatu kepastian bahwa ia akan dapat mengalahkan lawannya. Kekuatan Swandaru ternyata benar-benar merupakan kekuatan raksasa.

Sedang Sanakeling, hampir tidak pernah mendapat kesempatan untuk menarik nafas. Ternyata Agung Sedayu cukup cepat menghadapinya. Keduanya adalah orang-orang pilihan dari pihak yang berlawanan, yang pernah bertemu di garis perang, sehingga dengan demikian, maka kini mereka telah berusaha sekuat-kuat tenaga masing-masing untuk segera menguasai lawannya.

Tiba-tiba Sanakeling, Agung Sedayu, Alap-alap Jalatunda dan Swandaru terkejut ketika mereka mendengar suara Sidanti mengumpat keras-keras, “Setan. Jangan berbangga dengan sentuhan senjatamu itu.”

Yang terdengar kemudian adalah suara tertawa Sutawijaya. Katanya, “Jangan mengumpat-umpat. Aku hanya menagih hutangmu, tidak lebih. Dan aku masih belum menuntut bunganya.”

“Mampus kau!” teriak Sidanti pula sambil menyerang Sutawijaya sejadi-jadinya. Wajahnya menjadi merah padam dan matanya seakan-akan menyala. Dari lengan kirinya menetes darah yang merah segar.

Agung Sedayu pun tersenyum pula melihat luka Sidanti, bahkan Swandaru dengan serta-merta berteriak pula, “He, apakah murid Ki Tambak Wedi itu dapat dilukai?”

“Tunggu, aku akan menjobek mulutmu Swandaru,” sahut Sidanti lantang.

Tetapi Swandaru menjawab pula, “Lenganmu sudah terluka. Apakah kau masih dapat menyombongkn dirimu lagi?”

Kata-kata Swandaru terputus. Ia masih akan berkata lagi, tetapi ketika ia baru saja membuka mulutnya, ujung pedang Alap-alap Jalatunda hampir saja masuk ke dalam mulutnya itu.

“Gila kau,” anak yang gemuk itu mengumpat. Dengan cepatnya ia meloncat mundur. Tetapi Alap-alap Jalatunda mengejarnya dan dengan pedangnya ia menyerang lambung.

Swandaru memutar tubuhnya setengah lingkaran. Ia tidak mau menghindar lagi. Dengan sekuat tenaganya, pedang Alap-alap Jalatunda itu ditangkisnya dengan pedangnya pula. Terdengar suara berdentang. Dari sentuhan kedua tajam pedang itu memercik bunga api. Namun sekali lagi terasa oleh Alap-alap Jalatunda, betapa kuatnya tangan Swandaru, meskipun Swandaru terpaksa mengakui pula kecepatan bergerak Alap-alap Jalatunda. Hampir saja lambungnya tersobek oleh pedangnya.

Sementara itu, Ki Tambak Wedi berjalan dengan tergesa-gesa menyusup rimbunnya dedaunan di kebun-kebun dan meloncati pagar-pagar halaman, menuju ke ujung desa itu. Ia menyangka bahwa di sana pasti ada gardu pengawas. “Mungkin Sidanti dan kawan-kawannya sedang berpesta,” gumamnya. “Tetapi itu adalah perbuatan yang bodoh. Meskipun seandainya mereka berhasil membunuh lima atau enam orang, tetapi mereka hampir-hampir tidak lagi dapat berpikir tentang kemungkinan-kemungkinan lain. Mungkin Sidanti demikian bernafsu dan mencincang korbannya. Mungkin Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda berbuat serupa.Tetapi kalau mareka tertangkap oleh orang-orang Pajang, maka mereka pasti akan mengalami perlakuan yang sama.”

Sambil bersungut-sungut Ki Tambak Wedi itu berjalan semakin cepat mendekati gardu perondan di ujung jalan.

Ketika Ki Tambak Wedi sudah menjadi semakin dekat, maka mulailah ia mendengar gemerincing senjata beradu, namun karena rimbunnya pepohonan dan dinding-dinding halaman, maka orang tua itu masih belum dapat melihat apa yang terjadi di gardu peronda itu.

“Hem,” gumamnya sambil melangkah lebih cepat, “siapakah yang berada di gardu itu sehingga Sidanti, Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda memerlukan waktu yang cukup lama untuk membinasakannya?”

Demikian ketika ia sampai di halaman terakhir, di tepi jalan di muka gardu itu, maka lewat di atas dinding halaman ia melihat beberapa buah kepala tersembul. Kepala yang bergerak-gerak bergeser dan kadang-kadang berputaran.

“ltulah mereka,” desisnya.

Tiba-tiba Ki Tambak Wedi itu menjadi semakin tergesa-gesa. Langkahnya menjadi semakin panjang, dan kemudian dengan serta merta ia menjengukkan kepalanya dari atas dinding itu.

Demikian kepalanya tersembul di atas dinding halaman, demikian darahnya serasa membeku. Ia melihat muridnya bertempur melawan Sutawijaya. Bukan itu saja, tetapi dari tubuh muridnya telah menetes darah. Di lingkaran yang lain, ia melihat Sanakeling bertempur melawan Agung Sedayu, dan Alap-alap Jalatunda melawan Swandaru Geni. Sedang di muka gardu ia masih melihat beberapa prajurit Pajang berdiri dengan mulut ternganga, seperti sedang menonton adu jago.

Tanpa disengaja Ki Tambak Wedi itu pun menggeram. Ketika ia sekali mengayunkan kakinya, maka kini ia telah duduk bertengger di atas dinding batu itu.

Anak-anak muda yang sedang bertempur itu terkejut. Seakan-akan tiba-tiba saja tanpa sangkan-paran mereka melihat seseorang duduk di atas dinding. Apalagi ketika mereka melihat wajah yang keras, hidung yang melengkung seperti paruh burung betet, dan kumis yang tebal, maka terasa dada mereka berdesir. Lebih-lebih Sutawijaya, Agung Sedayu dan Swandaru. Dengan segera mereka mengenal, bahwa orang itu adalah Ki Tambak Wedi.

“Hem,” kembali terdengar Ki Tambak Wedi menggeram, “ternyata kalian sedang bermain-main.”

“Ya, guru,” sahut Sidanti. Hatinya yang sudah mulai berkeriput tiba-tiba kini mekar kembali ketika ia melihat gurunya, “Aku ingin membawa mereka, setidak-tidaknya kepala mereka ke lereng Gunung Merapi.”

Meskipun debar jantung Sutawijaya belum mereda oleh kehadiran Ki Tambak Wedi, namun mendengar bualan Sidanti sempat juga ia tertawa. Katanya, “He, apakah kau ingin memenggal leherku?”

“Tentu,” sahut Sidanti lantang.

“Baik,” jawab Sutawijaya, “mari perkelahian ini kita lanjutkan. Gurumu menjadi saksi. Sutawijaya atau Sidanti yang hanya pandai membual tetapi tidak mampu mempermainkan senjatanya?”

Terdengar gigi Sidanti gemeretak. Tantangan itu benar-benar menyakitkan hatinya, tetapi ia menyadari keadaan yang dihadapi. Dengan demikian Sidanti itu terbungkam. Yang terdengar hanyalah gemeretak giginya.

Bukan saja Sidanti yang menjadi sakit hati mendengar tantangan itu, tetapi Ki Tambak Wedi pun menjadi marah pula. Dengan suara parau ia berkata, “Sutawijaya, bagaimanapun juga kau menyombongkan dirimu, tetapi ketahuilah, bahwa hari ini adalah hari akhir hidupmu.”

Terasa sesuatu berdesir di dalam dada Sutawijaya. Tetapi ia bukan seorang pengecut. Sekilas ia memandang kawan-kawannya yang masih saja bertempur. Namun wajah-wajah itu pun sama sekali tidak menunjukkan ketakutan. Agung Sedayu dan Swandaru menyadari keadaan yang di hadapinya pula. Kehadiran Ki Tambak Wedi berarti bahaya yang tak akan dapat mereka hindari. Tetapi mereka tidak akan bersimpuh dan menyembah mohon ampun di bawah kaki hantu lereng Merapi itu. Bahkan hati mereka bergetar ketika mereka mendengar Sutawijaya menjawab sambil tertawa, “Bagus Ki Tambak Wedi. Kau pasti akan mampu membunuh aku. Dan aku pun akan melawanmu dengan sikap jantan. Aku dan kawan-kawanku tidak akan lari meninggalkan gelanggang. Tetapi sebelum mati, aku minta kepadamu, untuk sedikit mendorong muridmu supaya ia pun dapat bersikap jantan. Nah Ki Tambak Wedi, apabila demikian, maka aku akan menyelesaikan perkelahian ini sebagai perkelahian di antara dua orang laki-laki. Bukan perkelahian anak-anak yang masih harus merengek-rengek minta pertolongan kepada ayah atau gurunya.”

Sekali lagi terdengar gigi Sidanti gemeretak. Ia benar-benar dihadapkan pada suatu keadaan yang sulit. Sebagai seorang laki-laki, maka ia tidak mungkin menghindari tantangan itu. Namun kenyataan mengatakan kepadanya, bahwa ia benar tidak mampu melawan Sutawijaya. Apalagi ketika Swandaru menyahut lantang, “Nah, sekarang baru akan tampak, siapakah yang jantan dan siapakah yang hanya berani menampar mulut orang yang pasti tak akan mampu melawan.”

“Tutup mulutmu!” bentak Sidanti. Kemarahannya seakan-akan hampir meledakkan dadanya.

Tetapi Swandaru tertawa. Meskipun suara tertawanya agak sumbang. Suara tertawa sebagai pelepas perasaannya. Sebab ia tahu benar, bahwa sebentar lagi apabila Ki Tambak Wedi itu meloncat turun dari atas dinding batu itu, maka nyawanya akan melayang.

Ki Tambak Wedi pun merasa dihadapkan pada suatu persoalan yang rumit. Tetapi ia pasti akan lebih menghargai nyawa muridnya dari pada sekedar harga diri. Karena itu, maka segera ia berkata, “Jangan mencoba menipu aku anak cengeng. Kau pasti mencoba menunggu orang-orang Pajang datang kemari. Tetapi aku tidak sebodoh itu. Apa pun yang akan kau katakan tentang muridku, tentang perguruanku, aku tidak peduli. Sebab umurmu tidak akan lebih dari sesilir bawang.”

Dada Sutawijaya berdesir mendengar jawaban Tambak Wedi itu. Bukan karena ia takut terbunuh, tetapi ia menghadapi keadaan yang menurut penilaiannya tidak adil. Demikian juga agaknya perasaan Agung Sedayu dan Swandaru Geni.

Tetapi sudah pasti mereka tidak dapat ingkar. Betapapun hatinya memberontak. Mereka ingin diberi kesempatan menyelesaikan perkelahian itu lebih dahulu. Tetapi apa boleh buat, Tambak Wedi bukanlah seorang yang sekedar akan menjadi saksi dari perkelahian itu, tetapi ia adalah salah satu dari musuh-musuhnya.

Ketika kemudian mereka melihat Ki Tambak Wedi itu meloncat turun, maka hampir bersamaan Sutawijaya, Agung Sedayu dan Swandaru Geni menggeram. Pada saat terakhir itu mereka mencoba berbuat sebaik-baiknya, mencoba menekan lawan dengan segenap kekuatan terakhir.

Swandaru dengan sepenuh tenaga menghantam lawannya dengan pedangnya yang berhulu gading. Ia tidak perduli, apakah musuhnya akan melawan serangannya itu dengan sebuah tangkisan atau akan menghindar. Tetapi ia seolah-olah menjadi bermata gelap. Seperti badai pedangnya melanda Alap-alap Jalatunda.

Alap-alap itu terkejut, justru pada saat yang sama sekali tak disangka-sangkanya. Ia menyangka Swandaru akan mencoba menyelamatkan dirinya dari Ki Tambak Wedi atau setidak-tidaknya perkelahiannya itu akan menjadi lemah karena putus asa. Namun ternyata bentuk keputus-asaan yang terungkap dalam diri Swandaru adalah berbeda dari yang dibayangkan oleh Alap-alap Jalatunda. Dalam keputus-asaan, Swandaru masih mencoba membinasakan lawannya, sama sekali bukan ingin melarikan diri sementara Ki Tambak Wedi akan membunuh Sutawijaya.

Karena itu, maka Alap-alap Jalatunda terpaksa melayani saat-saat terakhir dari perkelahian itu. Ketika ia mencoba menangkis serangan Swandaru, maka terasa tangannya menjadi nyeri. Hampir-hampir senjatanya itu terlepas. Untunglah bahwa dengan sisa kekuatan tangannya ia mampu mempertahankan senjatanya. Meskipun demikian, sementara nyeri tangannya masih menyengat-nyengat, Alap-alap itu terpaksa berloncatan surut menghindari serangan-serangan Swadaru berikutnya.

Demikian pula agaknya Agung Sedayu. Dengan sepenuh tenaga ia berjuang. Dipergunakannya saat-saat terakhir yang pendek untuk mencoba mendahului tangan Ki Tambak Wedi atas dirinya. Tetapi Sanakeling pun mampu menghindari setiap serangannya meskipun ia harus berloncatan surut dan mengumpat-umpat tak habis-habisnya.

Ki Tambak Wedi melihat kedua anak muda itu sambil menggeram. Tiba-tiba ia berkata dengan nada parau, “Hem, kalian telah mulai sekarat.” Kemudian kepada Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda, hantu lereng Merapi itu berkata, “Tahanlah musuh-musuhmu itu sesaat. Jangan sampai mereka melarikan diri. Yang pertama-tama akan aku bunuh adalah Sutawijaya, kemudian Agung Sedayu dan yang terakhir, anak yang gemuk itu, biarlah Sidanti yang menyelesaikan.” Tetapi kata-kata Ki Tambak Wedi itu terputus. Bahkan yang lain pun terkejut pula ketika tiba-tiba mereka mendengar Sidanti memekik kecil, sehingga semua perhatian telah terpukau karenanya.

Ki Tambak Wedi itu pun menjadi terkejut pula. Ia melihat darah yang merah mengalir dari dada Sidanti.

“Setan!” Sidanti itu mengumpat sambil meloncat jauh-jauh ke belakang. Tetapi Sutawijaya benar-benar seperti orang kesurupan. Ia tidak mempedulikannya lagi. Dengan cepatnya ia mengejar lawannya. Sekali lagi tombaknya terjulur, kali ini mengarah leher Sidanti yang sudah kehilangan keseimbangan. Saat-saat itu adalah saat yang sangat berbahaya bagi Sidanti. Seolah-olah ia telah kehilangan kesempatan untuk menyelamatkan dirinya. Meskipun demikian anak muda itu masih juga mampu menghindar dengan jalan satu-satunya. Dengan serta-merta ia menjatuhkan dirinya dan berguling ke samping.






Usaha itu hanya berguna sementara bagi Sidanti. Sebab Sutawijaya pun segera meloncat pula menerkam Sidanti yang masih berguling di tanah dengan tombaknya.

Darah Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda serasa berhenti melihat peristiwa itu. Mereka melihat tombak itu terangkat dan apabila kemudian tombak itu mematuk ke bawah, maka nyawa Sidanti pun pasti akan melayang.

Tetapi beruntunglah bagi Sidanti, bahwa saat itu gurunya berada di tempat itu pula. Sudah tentu Ki Tambak Wedi tidak akan membiarkan muridnya dibunuh di hadapan hidungnya. Karena itu segera ia meloncat seperti tatit menyambar di langit. Dengan sebuah sentuhan yang tergesa-gesa pada lambung Sutawijaya, maka anak muda itulah yang kemudian terlempar beberapa langkah. Yang terdengar kemudian adalah suara tubuh Sutawijaya itu terbanting jatuh.

Kini nafas Agung Sedayu dan Swandaru Geni-lah yang tertahan di kerongkongan. Mereka melihat Sutawijaya itu terbanting dan berguling beberapa kali. Namun alangkah kuatnya tubuh anak muda itu. Demikian ia berguling beberapa kali, maka segera ia meloncat bangkit. Tombaknya, Kiai Pasir Sewukir, masih dalam genggamannya.

Tetapi demikian ia berhasil berdiri, maka anak muda itu pun menyeringai menahan sakit pada lambung dan punggungnya.

“Tambak Wedi,” anak muda itu menggeram. Tampaklah kini matanya seakan-akan menyala karena kemarahannya. “Ternyata kau pengecut seperti muridmu. Aku sangka perguruan lereng Merapi adalah perguruan yang menempa kejantanan dan kejujuran. Tetapi ternyata kau telah mengajari muridmu dengan perbuatan yang licik.”

“Tutup mulutmu!” bentak Ki Tambak Wedi lebih, “baik kau mengucapkan pesan-pesanmu. Aku benar-benar akan membunuhmu kini.”

Gigi Sutawijaya gemeretak. Sejenak ia terpaku diam karena kemarahannya yang memuncak. Terasa detak jantungnya menjadi semakin keras memuku-mukul rongga dadanya. Tetapi Sutawijaya itu kemudian mengangkat wajahnya. Yang berderap itu bukanlah suara jantungnya saja, tetapi suara itu adalah derap kaki-kaki kuda, namun kuda itu masih terlampau jauh.

Bukan saja Sutawijaya yang mendengar derap suara kaki-kaki kuda di kejauhan, tetapi Ki Tambak Wedi dan semuanya yang ada di tempat itu pun mendengarnya pula.

“Gila,” Ki Tambak Wedi itu pun mengumpat. Sejenak ia menjadi bimbang.

Suara kaki-kaki kuda itu sekilas terasa memberi harapan bagi Sutawijaya dan kawan-kawannya, tetapi kening Sutawijaya itu pun kemudian berkerut. Katanya di dalam hati, “Hem, kenapa mereka datang berkuda? Derap kaki kuda itu hanya akan mempercepat kematianku. Seandainya mereka datang sambil berjalan kaki dapat mendekati tempat ini sebelum aku dicekiknya, maka aku masih dapat mengharap pertolongannya seperti Sidanti mendapat pertolongan gurunya.”

Tetapi yang terjadi adalah, mereka datang berkuda. Derap kaki-kaki kuda itu telah memberitahukan kehadiran mereka selagi mereka masih jauh. “Bukan saja mempercepat kematianku,” desis Sutawijaya pula di dalam hatinya, “tetapi itu pun akan sangat berhahaya bagi mereka sendiri. Seandainya Ki Tambak Wedi tidak sendiri dan orang-orang yang lain ini pun tidak sedang terikat oleh lawan masing-masing, maka mereka akan dengan mudahnya disergap dari balik-balik dinding halaman.”

Namun kata-kata di hati Sutawijaya itu pun terputus, geram ki Tambak Wedi, “Alangkah bodohnya orang-orang Pajang. Kehadiran mereka hanya mempercepat kematianmu. Sayang aku tidak mendapat kesempatan bermain-main dengan penunggang-penungang kuda yang bodoh itu.”

Sutawijaya tidak menjawab. Pikiran itu dapat dimengertinya. Ketika kemudian ia berpaling ke arah kedua kawannya, mereka pun telah berhenti berkelahi.

“Sidanti,” berkata Ki Tambak Wedi, “sebentar lagi beberapa orang dari Pajang akan datang. Aku kira bukan seluruh pasukan, mereka hanyalah orang-orang yang mendahului pasukan itu.”

“Wira Lele telah lepas dari tangan kami guru. Ia sempat memberitahukan peristiwa ini kepada orang-orang Pajang itu,” sahut Sidanti.

“Tidak apa,” berkata gurunya, “sekarang tinggalkan tempat ini cepat-cepat. Pilihlah arah yang tepat seperti yang kita rencanakan supaya kau tidak dilihat oleh orang-orang berkuda itu.”

Sidanti tidak segera menyahut. Terasa harga dirinya tersentuh. Tetapi terdengar gurunya membentak, “Cepat! Tinggalkan tempat ini, bersama Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda. Biarlah aku menyelesaikan ketiga-tiganya.”

Ketiganya tidak lagi menunggu Ki Tambak Wedi mengulangi. Derap kaki kuda itu sudah semakin dekat. Namun tiba-tiba derap itu berhenti.

Ki Tambak Wedi mengangkat wajahnya. Tetapi ia tidak lagi mendapat banyak kesempatan. Ia tidak iagi mempedulikan suara-suara kaki yang hilang itu. Sidanti dan kedua kawan-kawannya pun tidak. Ketiganya segera meloncat berlari meninggalkan tempat itu. Agung Sedayu dan Swandaru masih mencoba untuk mencegah mereka, tetapi ketika mereka melihat Ki Tambak Wedi menimang gelang-gelang besinya maka maksud itu pun diurungkannya. Usahanya pasti akan sia-sia dan mereka pasti hanya akan mati tanpa arti. Lebih baik bagi mereka untuk mempersiapkan diri melawan hantu lereng Merapi itu bersama-sama.

Derap kuda itu masih juga belum terdengar Iagi. Mereka sudah tidak begitu jauh. Tetapi mereka pasti berhenti. Kalau tidak, maka mereka pasti sudah tampak di tikungan sebelah.

“Aku tidak peduli lagi, apa yang akan kalian katakan,” geram Tambak Wedi. “Sekarang kalian akan aku bunuh dengan caraku. Kalau kuda-kuda itu tampak di tikungan, maka kalian akan menggelepar di tanah. Kalian tidak akan segera mati, tetapi kalian tidak akan dapat disembuhkan. Aku akan meremas tulang-tulang iga kalian.”

Ki Tambak Wedi itu pun maju selangkah mendekati Sutawijaya. Anak itulah yang paling dibencinya. Sesudah itu Agung Sedayu.

“Setidak-tidaknya kau,” desisnya.

Sutawidjaja itu pun melangkah surut. Ia melihat Agung Sedayu dan Swandaru justru neloncat mendekatinya. Senjata-senjata mereka telah siap terjulur lurus ke dada Tambak Wadi.

“Jangan terlampau banyak sekarat,” geramnya pula. “Aku menunggu kuda itu muncul di tikungan, supaya penunggangnya melihat bagaimana kalian bertiga mati.”

Tetapi kuda-kuda itu belum juga muncul. Bahkan suara derapnya pun belum terdengar. Agung Sedayu dan Swandaru agaknya tidak dapat bersabar lagi. Merekalah yang tiba-tiba mendahului menyerang Ki Tambak Wedi.

Namun bagi Ki Tambak Wedi, serangan-serangan itu tidak banyak berarti. Meskipun kemudian Sutawijaya ikut pula bertempur.

Dengan loncatan-loncatan pendek serta mempergunakan gelang-gelang besinya, Ki Tambak Wedi selalu berhasil menghindari dan menangkis serangan-serangan anak-anak muda itu.

“Gila, kenapa kuda-kuda itu tidak juga muncul. Kalau mereka meloncat turun, dan mencoba mendatangi tempat ini sambil bersembunyi, maka aku akan sangat kecewa. Sebab aku pasti akan membunuh kalian dengan tergesa-gesa. Tetapi apa boleh buat. Lebih baik aku berbuat cepat dari pada terlambat. Aku tidak akan menunggu kuda-kuda itu.”

Tetapi tiba-tiba kembali terdengar kuda berderap. Ki Tambak Wedi itu pun kemudian tersenyum. Katanya, “Ha, aku mempunyai kesempatan yang baik. Tunggu sampai kuda itu muncul di tikungan supaya mereka melihat kalian menggelepar kesakitan seperti ayam disembelih. Aku mengharap ayahmulah yang datang, Sutawijaya.”

Ketiga anak muda itu sama sekali tidak menjawab. Mereka memperketat serangan-serangan mereka. Meskipun mereka tahu, bahwa mereka sama sekali tidak berarti bagi Ki Tambak Wedi, namun mereka ingin mati sebagaimana seorang laki-laki mati di dalam peperangan. Bukan seperti seekor cucurut yang mati ketakutan melihat seekor kucing candramawa.

Tetapi Ki Tambak Wedi menjadi semakin bergembira melayani anak-anak muda itu, meskipun sebenarnya ia telah hampir sampai pada puncak permainannya. Ia hanya menunggu kuda-kuda itu muncut di tikungan. Kemudian dengan gerakan yang pasti tak akan dapat dihindari oleh ketiga anak-anak muda itu, Ki Tambak Wedi akan menyelesaikan pertempuran. Ia mengharap bahwa orang-orang berkuda itu masih sempat melihat ketiga anak-anak muda itu menjelang saat matinya dengan penuh penderitaan.

“Ha,” teriak Ki Tambak Wedi kemudian, “itulah mereka.”

Dada Sutawijaya, Agung Sedayu dan Swandaru berdesir. Kini mereka tinggal menunggu saat yang sama sekali tidak menyenangkan itu. Ki Tambak Wedi pasti akan melakukan seperti yang dikatakannya. Meremas tulang-tulang iga mereka.

Namun tiba-tiba sekali lagi mereka terkejut. Yang mereka dengar lebih jelas bukanlah langkah kuda-kuda itu, tetapi derap langkah orang berlari.

Sesaat gerak Ki Tambak Wedi terganggu. Tetapi segera ia mengetahui bahwa di antara mereka yang berkuda, pasti ada seseorang yang dengan bersembunyi-sembunyi mendekati perkelahian itu. Karena itu wajahnya menjadi tegang.

Tetapi apa yang akan dilakukan Ki Tambak Wedi, masih belum dapat mendahului langkah itu. Sebelum Ki Tambak Wedi berbuat sesuatu, maka tiba-tiba mereka melihat sebuah bayangan melayang hinggap di atas dinding halaman di sebelah yang lain dari arah kedatangan Ki Tambak Wedi.

Darah hantu lereng Merapi itu terasa seolah-olah berhenti mengalir dengan tiba-tiba. Ia tidak menyangka, bahwa salah seorang dari mereka mampu datang secepat itu. Dan ternyata yang bertengger di atas dinding halaman itu adalah Ki Gede Pemanahan.

Ki Tambak Wedi melihat, bahwa sekali lagi ia mengalami kegagalan. Otaknya yang telah dipenuhi oleh berbagai pengalaman segera mengatakan, bahwa tak akan ada gunanya lagi baginya berbuat sesuatu atas ketiga anak-anak muda itu. Ia menyesal bukan kepalang, bahwa ia menunggu kuda-kuda itu muncul di tikungan, sehingga ia terlambat karenanya. Ia tidak menyangka sama sekali, bahwa seseorang mampu bergerak secepat Ki Gede Pemanahan. Seandainya salah seorang yang berkuda itu tadi meloncat turun pada saat kuda-kuda itu berhenti, maka betapapun tinggi kemampuannya berlari, tetapi orang itu pasti belum sampai di tempat ini. Namun ternyata Ki Gede Pemanahan mampu melakukannya.

Karena itu, maka segera Ki Tambak Wedi merubah rencananya. Setapak la meloncat mundur, dan tiba-tiba ketika tangannya bergerak sebuah gelang telah lepas seperti anak panah meloncat dari busurnya.

Untunglah bahwa yang dibidiknya adalah Ki Gede Pemanahan, secepat gelang-gelang itu pula, Ki Gede Pemanahan menjatuhkan dirinya dari alas dinding itu. Seperti seekor kucing ia meloncat turun, dan secepatnya tegak di atas kedua kakinya yang kokoh kuat bagaikan sepasang tonggak baja. Sedang di tangan Ki Gede itu telah tergenggam pusakanya, Kiai Naga Kemala.

Terdengar Ki Tambak Wedi itu menggeram. Tiba-tiba di tangannya telah tergenggam pula sebuah gelang-gelang yang lain. Tetapi apa yang dilakukannya adalah di luar dugaan mereka yang melihatnya. Cepat seperti kilat, Ki Tambak Wedi meloncat surut, kemudian dengan kecepatan yang sama, ia meloncat lebih jauh lagi, melampaui dinding halaman dari arah ia datang.

Ki Gede Pernanahan segera berlari ke dinding itu pula. Tetapi ketika ia sudah bersiap untuk meloncat, tiba-tiba ia tertegun. Sekali dilayangkan pandangan matanya, tetapi regol halaman ternyata berada agak jauh daripadanya.

“Tidak ada gunanya,” desisnya.

“Ayah tidak mengejarnya?” dengan serta merta Sutawijaya bertanya.

“Sudah terlampau jauh,” sahut Ki Gede Pemanahan.

“Ayah tidak meloncati dinding itu?” berkata anaknya, “kalau ayah meloncat pula, maka setan itu pasti belum terlampau jauh.”

Ki Gede Pemanahan menggelengkan kepalanya sambil tersenyum, “Aku masih sayang akan dahiku. Kalau kepalaku muncul dari batik dinding maka sebuah gelang-gelang pasti akan menyambarnya. Aku tidak tahu, apakah aku dapat menghindarinya, karena arahnya belum aku ketahui dengan pasti.”

“O,” Sutawijaya menarik nafas sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya, itu akan dapat terjadi,” gumamnya. Kemudian katanya, “Untunglah bahwa lingkaran yang pertama tidak dilemparkan kepalaku. Kalau ia berbuat demikian, maka aku tidak lagi dapat melihat orang-orang Jipang yang menyerah itu.”

Ki Gede Pemanahan menggeleng, “Ia tidak akan berbuat demikiam selagi ia masih ingin melepaskan diri. Kalau ia membunuhmu dengan lingkaran itu, maka keris ini akan menancap di dadanya. Ia tidak akan sempat menghindar selagi ia berusaha melihat hasil gelang-gelangnya atasmu. Ki Tambak Wedi pun tahu pasti, bahwa aku dapat juga melemparkan kerisku ini ke arahnya. Karena itu ia mendahului aku sebelum aku sempat mengayunkan tanganku.”

Dalam pada itu, maka ketiga ekor kuda beserta para penunggangnya kini sudah menjadi semakin dekat. Demikian mereka menghentikan kuda-kuda mereka, demikian para penunggang itu berloncatan turun.

“Ternyata Ki Gede telah berada di tempat ini?” bertanya Untara sambil mengangguk dalam-dalam.

“Kenapa?” bertanya Ki Gede, “bukankah memang aku pergi lebih dahulu dari padamu?”

“Aku menjadi cemas ketika aku melihat seekor kuda di halaman di sebelah tikungan, di mulut lorong ini.”

“Itu memang kudaku.”

“Lalu, apakah kuda itu Ki Gede tinggalkan?”

“Ya. Aku mencoba untuk berhati-hati. Sebelum aku mendekati desa ini, kudaku telah aku perlambat dan kemudian aku turun dan menuntun kuda itu memasuki desa ini. Bahkan kuda itu kemudian aku tinggalkan di sana.”

Untara dan kedua perwira pengawal Ki Gede Pemanahan itu saling berpandangan. Mereka ternyata demikian tergesa-gesa sehingga mereka tidak sempat untuk memikirkan bahaya yang dapat bersembunyi di balik setiap helai daun di desa ini. Seandainya Sidanti membawa beberapa kawan yang Iain, maka mereka pasti sudah terjebak di atas punggung kuda mereka masing-masing.

Untara yang masih belum menghapus keringat di keningnya itu kemudian berkata, “Kami ternyata terlampau tergesa-gesa. Untunglah bahwa kami tidak mendapat serangan dari tempat-tempat berhenti sesaat, karena ketergesa-gesaan kami itu.” Untara berhenti sesaat, dipandanginya anak muda yang masih tegak di tempatnya masing-masing dengan senjata di tangan-tangan mereka. Kemudian katanya pula, “Untunglah bahwa Ki Gede telah sampai di tempat ini. Sekali lagi aku terlambat beberapa saat. Kami berhenti sejenak di ujung desa karena kami melihat kuda Swandaru yang Ki Gede pakai. Kami bertanya-tanya di dalam hati kami, namun kami tidak menemukan jawabnya. Akhirnya kami meneruskan perjalanan. Sampai di tikungan kami melihat apa jang terjadi di sini.”

“Kalau aku tidak mendahului kalian dan kalian tidak melihat kudaku sehingga kalian tidak berhenti, apakah yang kira-kira akan kalian lakukan?” bertanya Ki Gede Pemanahan.

Pertanyaan itu telah memukul dada Untara sehingga anak muda itu menundukkan kepalanya. “Ya, apakah yang akan aku lakukan seandainya aku justru datang lebih dahulu dari Ki Gede Pemanahan? Apakah aku akan melawan Ki Tambak Wedi?” Karena itulah maka Untara mendjawab lirih, “Tak ada yang dapat kami lakukan Ki Gede. Mungkin kami adalah korban yang berikutnya.”

Ki Gede tersenyum. Sambil menyarungkan kerisnya ia berkata, “Sudahlah, jangan kau pikirkan lagi Tambak Wedi itu. Semuanya sudah lalu.” Kemudian ki Gede itu berpaling kepada puteranya, “Sutawijaya, jadikanlah peristiwa ini peringatan bagimu. Jangan terlampau menuruti keinginan. Aku pun hampir terlambat. Untung aku mendengar Ki Tambak Wedi mengancam dengan marahnya, sehingga suaranya terdengar dari balik dinding-dinding halaman ini. Mula-mula aku memang tidak segera menemukan tempat ini. Dan aku datang tepat pada waktunya.”

Sutawijaya menundukkan kepalanya. Ia tidak menjawab sepatah katapun. Apalagi ketika kemudian terasa lambungnya menjadi sakit. Lambung yang terkena sentuhan Ki Tambak Wedi, sehingga ia terbanting jatuh pada saat ia hampir berhasiI membunuh Sidanti.

Ketika ia menyeringai menahan nyeri sambil meraba-raba lambungnya itu, Ki Gede Pemanahan memandanginya dengan cemas. “Kenapa lambungmu?” bertanya orang tua.

“Sakit,” sahut Sutawijaya.

“Ya kenapa?”

Sutawijaya ragu-ragu. Tetapi kemudian ia berkata, “Tak apa-apa. Mungkin sedikit terkilir.”

Tetapi jawaban itu tidak meyakinkan Ki Gede Pemanahan sehingga sekali lagi ia bertanya, “Kenapa lambung itu?”

Namun Sutawijaya yang nakal itu memandangi wajah Agung Sedayu dan Swandaru berganti-ganti sambil tersenyum kecut.

“Kenapa?” desak ayahnya.

Yang menjawab kemudian adalah Swandaru, “Putera Ki Gede telah terkena sentuhan Ki Tambak Wedi dan terbanting jatuh.”

Ki Gede Pemanahan mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia mendekati anaknya sambil bertanya, “Benarkah begitu?”

Sutawijaya mengangguk.

“Hem,” desis Ki Gede Pemanahan, “untunglah bahwa tulang-tulangmu tidak patah.”

“Ki Tambak Wedi terlampau tergesa-gesa,” sahut Sutawjaya. “Ia berada dalam jarak yang cukup jauh. Hampir tak masuk di akal, bahwa kemudian dengan satu kali loncatan, aku terpelanting.”

“Kenapa ia berbuat demikian. Bukankah ia akan membunuh kalian bertiga? Kenapa tidak langsung saja kau dicekiknya?”

“Ya. Tetapi saat itu ia sedang berusaha menyelamatkan Sidanti yang kehilangan kesempatan untuk mengelak, sedang Ki Tambak Wedi ingin membunuhku dengan cara yang dianggap sangat menyenangkan hatinya.”

Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Terbayang di dalam angan-angannya, bagaimana anaknya dan kedua kawannya bertempur. Namun ia mengucap syukur di dalam hatinya, bahwa ia datang tidak terlambat seperti Untara dan kedua kawan-kawannya, sehingga ia sempat menyelamatkan anaknya. Bukan saja suatu hal yang sangat memggembirakan dirinya sendiri, tetapi juga menghindarkannya dari murka Adipati Pajang. Sebab Sutawijaya itu telah diangkat sebagai putera Adipati Pajang, dan keselamatannya telah dititipkan kepadanya. Seandainya saat itu Sutawijaya mengalami cidera atau bahkan terbunuh oleh Ki Tambak Wedi, maka ia akan mengalami bencana dua kali lipat. Ia akan kehilangan anak laki-lakinya dan mungkin ia akan kehilangan jabatannya pula karena murka Adipati Pajang yang merasa kehilangan anaknya pula.

Dalam pada itu, maka sekali lagi terasa betapa kecewa hati Panglima Wira Tamtama itu atas hasil kerja Untara. Sangkal Putung yang disangkanya sudah tidak akan diganggu lagi oleh orang-orang Jipang seperti laporan yang disampaikan oleh Untara, ternyata masih menyimpan bahaya yang hampir saja menelan keselamatannya dan keselamatan anaknya.

Namun Ki Gede Pemanahan berusaha untuk menyimpan penyesalan itu di dalam hatinya. Bagaimanapun juga, ia masih mencoba mengerti bahwa Untara di hadapkan pada suatu keadaaan yang tidak dapat diperhitungkannya lebih dahulu. Unsur Ki Tambak Wedi agaknya adalah sumber dari kekacauan persiapan dan perhitungannya. Kalau tidak ada hantu lereng Merapi itu, maka Sangkal Putung benar-benar tidak akan terganggu lagi.

Kini yang mereka tunggu adalah parkembangan keadaan yang tumbuh pada orang-orang Jipang yang akan menyerah itu. Mereka pasti melihat api itu pula dan bagaimanakah tanggapan mereka atas api itu sama sekali tidak diketahui oleh Untara dan para prajurit Pajang yang lain.

Sementara itu Widura membawa pasukannya dengan tergesa-gesa ke desa kecil itu. Kalau terjadi sesuatu, maka ia pun ikut bertanggung jawab pula bersama dengan Untara. Karena itu maka ia ingin segera sampai dan melihat apa yang telah terjadi.

Dengan hati-hati pasukan itu pun kemudian memasuki desa Benda. Namun desa itu masih saja sepi seperti tidak terjadi apa-apa, kecuali api yang kini semakin lama menjadi semakin surut. Untunglah bahwa jarak dari rumah yang satu ke rumah yang lain cukup jauh sehingga api itu tidak menjalar ke rumah-rumah yang lain.

Widura menjadi berlega hati ketika kemudian dilihatnya di ujung lorong itu ki Gede Pemanahan, Untara, Sutawijaya dan yang lain-lain masih berdiri di muka gardu. Bahkan para penjaga pun masih juga tegak seperti patung.

Hati Widura menjadi semakin tenteram ketika dilihatnya orang-orang yang berdiri di ujung jalan itu memandangi pasukannya sambil tersenyum. Namun ketika ia menjadi semakin dekat, hatinya menjadi sedikit berdebar-debar kembali, karena dilihatnya ujung tombak Sutawijaya menjadi semburat merah oleh warna darah.

Widura itu pun kemudian menganggukkan kepalanya dalam-dalam sambil bertanya, “Apakah yang sudah terjadi ki Gede? Bukankah angger Sutawijaya, putera Ki Gede tidak mengalami cidera?”

“Itulah orangnya,” sahut Ki Gede sambil menunjuk puteranya. “Hampir saja ia mati dicekik hantu lereng Merapi.”

“Oh,” Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekilas ia mampu membayangkan bahwa agaknya kedatangan Ki Gede Pemanahan telah menyelamatkannya.

Kini Widura telah berada di Benda bersama seluruh pasukannya. Prajurit Pajang dan laskar Sangkal Putung. Karena itu, maka kewajibannya adalah menunggu perintah, apa yang harus dilakukannya menjelang kehadiran orang-orang Jipang yang akan menyerah. Kalau mereka mengingkari janji, maka yang akan terjadi adalah pertempuran. Bahkan mungkin mereka harus berlari-lari kembali ke induk kademangan apabila para pengawas melihat orang-orang Jipang mengambil jalan melingkar dan bermaksud langsung menusuk ke jantung kademangan. Tetapi meskipun demikian, maka pasukan cadangan yang ditinggalkan akan mampu menahan orang-orang Jipang itu sampai sebagian dari pasukan ini datang kembali. Tetapi apabila terjadi demikian, maka pasti tak akan ada ampun lagi bagi orang-orang Jipang itu.

Matahari yang merambat semakin tinggi kini telah hampir mencapai puncak langit. Beberapa saat lagi, maka saat yang dijanjikan akan tiba. Karena itu, maka seluruh pasukan itu pun berjaga-jaga. Beberapa orang pemimpin kelompok telah mengatur anak buah masing-masing dan menempatkan mereka terpisah-pisah. Di sawah-sawah yang tidak ditanami di hadapan desa Benda itulah nanti orang-orang Jipang berkumpuI. Mereka akan mengumpulkan senjata-senjata mereka dan membiarkan orang-orang Pajang mengambilnya. Itu adalah suatu upacara penyerahan yang telah disepakati.

Ki Gede Pemanahan, Untara dan para pemimpin prajurin Pajang dan Sangkal Putung kini berdiri berjajar di muka gardu di ujung lorong. Pandangan mereka seolah-olah melekat pada gerumbul-gerumbul di hadapan mereka.

Di hadapan mereka kini terbentang sebidang tanah persawahan yang seakan-akan hampir tidak pernah mendapat perawatan. Para petani menjadi agak ketakutan sejak orang-orang Jipang saling berkeliaran di sekitar desa itu. Apalagi tanah yang terbentang agak jauh dari padesan. Gerumbul-gerumbul liar dan ilalang telah tumbuh semakin tinggi. Tanah itu sama sekali telah tidak lagi digarap oleh pemiliknya. Dari balik-balik gerumbul-gerumbul itulah nanti akan datang orang-orang Jipang yang telah menyatakan diri menjerah bersama senjata-senjata mereka. Mereka akan menyeberangi padang rumput yang tidak terlampau luas dan berjalan lewat tanah persawahan yang kini telah menjadi liar itu.

Para pemimpin prajurit Pajang itu sekali-sekali menengadahkan wajah-wajah mereka memandangi matahari yang sudah semakin tegak di atas kepala. Matahari itu kini telah mencapai titik terlinggi tepat di puncak langit.

“Saatnya telah tiba,” gumam Ki Gede Pemanahan.

Hati Untara menjadi berdebar-debar. Mudah-mudahan tidak terjadi malapelaka bagi Sangkal Putung. Mudah-mudahan rencana ini dapat berjalan sesuai dengan rencana. Tiba-tiba ia menyesal atas ketergesa-gesaannya. Ia telah memberanikan diri menyatakan bahwa persoalan orang-orang Jipang segera akan selesai sepeninggal Macan Kepatihan. Bahkan ia telah memberanikan menyatakan bahwa Sangkal Putung kini telah aman tenteram dan mengharap kehadiran Ki Gede Pemanahan untuk menerima penyerahan sisa-sisa terakhir dari orang-orang Jipang itu. Sedang beberapa orang yang tidak sependapat dengan mereka yang menyerah itu, sama sekali tidak akan berarti apa-apa. Bahkan mereka akan dapat diabaikan untuk sementara.

Namun ternyata kehadiran Ki Gede Pemanahan telah disambut oleh Ki Tambak Wadi di tegal jagung. Bahkan kemudian putera ki Gede Pemanahan pun hampir-hampir menjadi korban pula.

Tetapi kini semuanya itu telah terjadi. Kalau sekali lagi terjadi sesuatu, maka kepercayaan Ki Gede Pemanahan kepadanya pasti akan surut terlampau jauh.

Dalam pada itu kembali terdengar Ki Gede Pemanalan berkata, “Bukankah matahari telah berada tepat di atas kepala.”

“Ya, Ki Gede,” sahut Untara ragu-ragu.

“Apakah saat ini yang telah mereka janjikan?”

“Ya, Ki Gede,” kembali terdengar suara Untara datar. Dalam pada itu kembali Untara teringat kepada Kiai Gringsing yang seakan-akan menghilang. Namun ia sama sekali tidak dapat menuntutnya untuk sesuatu kewajiban tertentu. Sebab Kiai Gringsing bukan prajurit Pajang dan bukan anak buahnya.

“Kita tunggu sejenak,” gumam Ki Gede Pemanahan. “Kalau sepemakan sirih mereka tidak nampak, maka aku akan langsung memberikan perintah lain.”

Meskipun Ki Gede Pemanahan bergumam sambil tersenyum, tetapi jelas bagi Untara, bahwa perasaan Ki Gede Pemanahan menjadi tidak begitu senang melihat peristiwa-peristiwa yang terjadi di Sangkal Putung itu. Peristiwa-peristiwa yang sejak kedatangannya telah menunjukkan bahwa Sangkal Putung tidak sebaik seperti laporan Untara.

Kini mereka berdiri dengan tegangnya, memandangi sawah yang ditumbuhi rumput-rumput liar dan batang-batang jarak yang menjadi lebat. Di belakang gerumbul-gerumbul itu dapat bersembunyi orang-orang Jipang. Bahkan mereka dapat bertebaran jauh dari Selatan ke Utara. Mungkin pula mereka menyusup ke Sangkal Putung lewat di belakang gerumbul-gerumbul itu langsung mendekati induk kademangan dan menyerang dari samping.

Hampir tak seorang pun yang bercakap-cakap. Mereka bersiaga sepenuhnya menghadapi setiap kemungkinan yang akan terjadi. Para prajurit Pajang dan laskar Sangkal Putung yang menebar itu pun memandangi gerumbul di hadapan mereka dengan mata yang hampir tidak berkedip.

Semakin lama dada Untara seakan-akan menjadi semakin bergolak. Dada itu akan dapat meledak apabila laskar Jipang tidak segera tampak. Apalagi Ki Gede Pemanahan segera akan menjatuhkan perintah lain. Perintah yang belum diketahui akan bagaimana bunyinya.

Dalam ketegangan itu, tiba-tiba mereka melihat sesuatu yang bergerak-gerak dari dalam gerumbul di hadapan mereka. Mereka melihat seseorang menyeruak batang-batang perdu dan kemudian muncul di atas rumput-rumput liar yang tumbuh subur di atas tanah persawahan yang tidak ditanami itu.

Untara melihat orang itu dengan dada berdebar-debar. Selangkah ia maju sambil bergumam, “Itukah mereka?”

“Hanya satu orang,” sahut Ki Gede Pemanahan.






Tapi ternyata yang kemudian menyeruak dari dalam gerumbul-gerumbul itu tidak hanya satu orang. Sesaat kemudian kembali mereka melihat seorang yang lain. Disusul orang yang ketiga dan keempat. Namun yang datang dari balik gerumbul itu sama sekali tidak seperti yang diharapkan oleh Untara dan para pemimpin Sangkal Putung. Mereka ternyata tidak lebih dari dua puluh orang.

“Hanya itu?” terdengar Ki Gede Pemanahan bertanya.

Untara tidak segera dapat menjawab. Tetapi keringat dinginnya telah melelehi di segenap permukaan kulitnya.

“Dua puluh atau dua puluh lima orang,,” berkata Ki Gede Pemanahan pula. “Dua puluh orang Jipang telah mampu menggerakkan Panglima Wira Tamtama untuk menyambut kedatangannya.”, “

Dada Untara kini benar-benar dipenuhi oleh kegelisahan yang melonjak-lonjak. Kalau yang datang hanya dua puluh lima orang itu, alangkah malunya. Ki Gede Pemanahan, Panglima Wira Tamtama itu pun pasti akan menjadi sangat marah kepadanya, seolah-olah duapuluh lima orang Jipang itu cukup bernilai untuk memaksa Ki Gede Pemanahan datang ke daerah terpencil ini.

Tetapi ketika kemudian mereka melihat dengan seksama maka mereka melihat sesuatu yang tidak begitu wajar pada orang-orang Jipang itu. Mereka melihat orang-orang Jipang itu memanggul sesuatu yang agaknya cukup berat.

“Apakah yang mereka bawa?” tanya Ki Gede bertanya kembali.

“Aku tidak tahu Ki Gede,”,” sahut Untara.

Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian matanya yang tajam melihat benda yang dipanggul oleh orang-orang Jipang itu. Terdengar ia bergumam, “Senjata. Mereka memanggul senjata di atas pundak-pundak mereka. Kau lihat ujung-ujung dari senjata-senjata itu? Mereka memanggul tidak hanya sepucuk senjata di atas pundak masing-masing, tetapi seikat senjata.

Hati Untara menjadi semakin tegang. Ia tidak tahu kenapa orang-orang Jipang itu memanggul senjata-senjata mereka yang telah mereka ikat menjadi dua puluh ikat dan mereka bawa mendahului orang-orang mereka. Untara tidak tahu, apakah yang seterusnya akan dilakukan oleh orang-orang Jipang itu. Dalam persetujuan mereka, sama sekali mereka tidak pernah menyatakan bahwa mereka bersedia berbuat demikian.

Namun Untara tidak dapat berbuat lain daripada menunggu orang-orang itu menjadi semakin dekat. Untara harus mendapat keterangan dari mereka, apakah yang seterusnya akan dilakukan oleh orang-orang Jipang itu.

Semakin lama orang-orang yang memanggul bongkokan senjata itu pun menjadi semakin dekat. Dengan demikian, maka semakin jelas pula tampak, bahwa senjata yang mereka bawa itu adalah segala macam jenis senjata. Tombak, pedang, bindi dan sebagainya.

Ketika orang-orang itu menjadi semakin dekat, maka Untara pun segera melihat, siapakah yang berdiri di paling depan dari orang-orang Jipang itu. Orang yang justru tidak membawa sesuatu. Tetapi ialah yang menentukan segala sesuatu atas orang-orang Jipang itu. Orang itu adalah Sumangkar.

Dengan kepala tunduk ia berjalan. Langkahnya satu-satu seperti orang kehilangan gairah untuk menghadapi hidupnya di masa-masa mendatang.

Melihat orang itu Ki Gede Pemanahan menarik keningnya tinggi. Tanpa dikehendakinya sendiri ia melangkah maju sambil berdesis, “Kakang Sumangkar.”

Sumangkar yang kemudian mengangkat wajahnya melihat Ki Gede Pemanahan itu berjalan ke arahnya, seolah-olah hendak menyongsongnya. Karena itu maka ia pun segera berhenti sambil membungkukkan badannya dalam-dalam.

“Kakangmu yang tidak berharga telah menghadap Ki Gede Pemanahan.”

Ki Gede Pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Sumangkar adalah lawan yang cukup tangguh sepeninggal Patih Mantahun. Ki Gede Pemanahan tahu benar kemampuan yang tersimpan pada orang tua itu. Tak ubahnya seperti kemampuan Patih Mantahun sendiri.

Dari Untara Ki Gede Pemanahan sudah mendengar bahwa Sumangkar kini berada bersama-sama dengan laskar Jipang yang dipimpin oleh Tohpati. Sumangkar-lah orang yang telah berusaha untuk menghentikan perlawanan sepeninggal Macan Kepatihan. Namun menitik perkembangan keadaan, maka Ki Gede Pemanahan memang harus berhati-hati. Apakah Sumangkar tidak sedang menjebaknya bersama-sama dengan Ki Tambak Wedi.

Ketika Sumangkar melihat Ki Gede Pemanahan, maka orang itu seakan-akan tidak merasa terkejut. Apakah ia menganggap bahwa kehadiran Ki Gede Pemanahan menyambutnya itu adalah sesuatu yang sewajarnya, atau memang ia sudah mendengar dari Ki Tambak Wedi?

Namun dalam keadaan yang bagaimanapun juga. Ki Gede Pemanahan harus menghadapinya dengan penuh kewaspadaan. Ia tidak akan kehilangan kewaspadaan hanya karena beberapa bongkok senjata yang dibawa oleh orang-orang Jipang itu.

Ki Gede Pemanahan itu pun kemudian berhenti beberapa langkah di muka Sumangkar. Untara dan Widura pun kemudian berdiri di kedua sisinya. Di belakang mereka berderet beberapa orang perwira pengawal Ki Gede Pemanahan.

Sejenak Ki Gede Pemanahan memandangi orang tua itu. Wajahnya yang suram dan matanya yang cekung menunjukkan bahwa orang itu telah mengalami keadaan yang tidak menyenangkan hatinya.

“Kau nampak kurus dan lekas bertambah tua Kakang Sumangkar,” sapa Ki Gede Pemanahan.

Sumangkar membungkuk hormat sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia menjawab, “Ya Ki Gede, aku bukan saja cepat menjadi tua, tetapi sebenarnya aku telah tua.”

Ki Gede tersenyum. Katanya pula, “Sebenarnya Kakang belum terlampau tua. Bukankah umur Kakang tidak terpaut banyak dengan umurku. Bahkan mungkin kita sebaya?”

“Ya, ya,” Sumangkar masih mengangguk-anggukkan kepalanya, “mungkin kita memang sebaya. Tetapi Ki Gede adalah Panglima Wira Tamtama. Ki Gede hidup dalam lingkungan yang baik sedang aku hidup di hutan-hutan seperti seekor ayam alas yang terbang dari satu sarang, hinggap ke sarang yang lain menghindari seekor musang yang selalu memburunya”

Ki Gede Pemanahan tertawa. “Apakah Kakang sudah jemu?”

Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Aku sendiri sebenarnya tidak pernah merasakan itu sebagai suatu keadaan yang menjemukan Ki Gede. Aku telah membiasakan diri hidup dalam kesulitan dan penderitaan sejak aku berguru di Kedung Jati bersama Kakang Mantahun. Juga ketika Kakang Mantahun menjadi Patih Jipang aku tidak menjadi seorang tumenggung atau senapati perang. Aku waktu itu adalah seorang abdi kepatihan.”

Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya, “Lalu apakah yang mendorong Kakang mengambil keputusan seperti ini?”

Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Sekali ia berpaling. Dilihatnya orang-orang Jipang yang memanggul senjata-senjata mereka, masih berdiri di belakangnya.

“Letakkanlah senjata-senjata itu,” berkata Sumangkar kepada orang-orang Jipang. Namun kemudian kepada Ki Gede Pemanahan ia berkata, “Bukankah demikian Ki Gede? Apakah senjata-senjata ini boleh kami letakkan di sini?”

Ki Gede berpikir sejenak, kemudian jawabnya, “Letakkanlah.”

Orang-orang Jipang itu segera meletakkan senjata-senjata yang terikat dalam ikatan-ikatan yang cukup besar.

“Itulah sebagian besar dari senjata-senjata kami, Ki Gede,” berkata Sumangkar kemudian kepada Untara ia berkata, “Kami telah melakukan sesuatu di luar persetujuan Angger Untara. Tetapi kami yakin, bahwa dengan demikian, kami telah menegaskan kami untuk menghentikan perlawanan kami.”

Untara tidak segera menjawab. Ditatapnya wajah Ki Gede Pemanahan sejenak. Seolah-olah ia menyerahkan segala persoalan kepada Panglima Wira Tamtama itu.

“Hanya inikah senjata-senjata kalian seluruhnya?” bertanya Ki Gede Pemanahan.

“Ini sebagian terbesar dari seluruh senjata-senjata kami Ki Gede,” sahut Sumangkar.

“Kenapa tidak seluruhnya?”

“Kami masih memerlukan beberapa pucuk senjata di tangan kami,” sahut Sumangkar.

“Kakang tidak percaya kepada kami?”

“Bukan Ki Gede, bukan,” jawab orang tua itu cepat-cepat. “Tetapi kami masih harus melindungi diri kami dari kebuasan serigala-serigala ke sarang kami sendiri.”

Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Namun tiba-tiba ia bertanya kembali, “Kakang, Kakang belum menjawab pertanyaanku. Apakah yang mendorong Kakang Sumangkar mengambil keputusan ini? Bukankah Kakang tidak pernah mengalami kejemuan dengan keadaan Kakang selama ini. Hidup di hutan-hutan dan menurut istilah Kakang sendiri, terbang dari satu sa-rang hinggap ke sarang yang lain menghindari musang yang memburunya?”

Sekali lagi Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan hati-hati ia menyahut, “Sebenarnya alasan itu tidak penting bagi Ki Gede. Apa pun yang mendorong kami untuk menyerahkan diri adalah persoalan kami. Namun meskipun demikian, secara pribadi aku akan menjawab, sebab Ki Gede sudah bertanya secara pribadi pula.”

“Benar,” potong Ki Gede, “tetapi Sumangkar dalam segala keadaan akan dapat menentukan sikap orang-orang Jipang itu. Bukankah kakang berkata bahwa kakang sendiri, kakang pribadi tidak pernah merasakan kejemuan karena keadaan itu? Apakah dengan demikian berarti bahwa Sumangkar menyerah hanya karena kawan-kawannya menyerah tanpa sesuatu keyakinan apapun? Atau bahkan dengan suatu keyakinan yang lain?”

Sumangkar menggelengkan kepalanya. Namun terasa hatinya berdesir mendengar pertanyaan Ki Gede Pemanahan itu. Dengan hati-hati pula ia menjawab, “Tidak Ki Gede. Aku cukup mempunyai keyakinan tentang sikap yang telah aku ambil ini. Dan sikap itu sama sekali tidak atas landasan kejemuan tentang diriku sendiri. Bukan karena aku sudah jemu hidup di-hutan-hutan dan selalu dikejar-kejar oleh Angger Untara dan Angger Widura, bukan karena aku sudah jemu karena digigit nyamuk sebesar kelingking di paya-paya. Tidak Ki Gede. Kalau demikian maka justru aku menyerah karena putus asa dan tanpa suatu keyakinan apa-apa, selain keputus-asaan itu. Tetapi aku datang bukan karena itu. Aku memang menyerah karena jemu. Tetapi aku jemu melihat peperangan. Jemu melihat pertumpahan darah yang tidak ada henti-hentinya tanpa ujung dan pangkal. Karena kejemuan itulah maka aku membawa beberapa orang Jipang untuk menyerahkan dirinya kepada Angger Untara. Ternyata di sini bukan saja ada Angger Untara, namun ada Ki Gede Pemanahan, Panglima Wira Tamtama.”

“Kalau benar demikian alangkah menyenangkan,” sahut Ki Gede Pemanahan. “Tetapi bagaimana dengan api yang telah membakar beberapa rumah ini? Dan bagaimanakah dengan orang orangmu di bulak jagung?”

“Pertanyaan Ki Gede adalah wajar,” berkata Sumangkar dalam nada yang datar. “Ki Gede pasti akan terpengaruh oleh api yang menyala di desa ini, seperti kami menjadi bertanya-tanya di dalam hati kami pula. Kenapa di desa Benda terjadi kebakaran? Tetapi Angger Untara dan Angger Widura tahu pasti bahwa Sanakeling tidak sependapat dengan penyerahan ini. Apalagi Sidanti, murid Ki Tambak Wedi. Karena itu maka mereka telah membuat keributan di desa kecil ini dan bahkan telah berhasil mencegat Ki Gede di bulak jagung. Tetapi Ki Gede harus dapat membedakan, bahwa yang melakukannya sama sekali bukanlah orang-orang Jipang yang telah berjanji untuk menyerah. Mereka adalah orang-orang Jipang yang berpihak kepada Sanakeling dan Ki Tambak Wedi.”

Tampaklah wajah Ki Gede Pemanahan berkerut-kerut. Wajah itu tiba-tiba menjadi tegang. Ketika ia berpaling kepada Untara dan kemudian kepada Widura, maka dilihatnya wajah kedua pemimpin Prajurit Pajang di Sangkal Putung itu pun menjadi tegang pula.

“Kakang Sumangkar,” berkata Ki Gede Pemanahan kemudian, “apakah Kakang Sumangkar atau setidak-tidaknya orang-orang Kakang tidak melakukan perbuatan itu?”

“Tidak Ki Gede, tidak,” jawab Sumangkar.

“Jangan berbohong, Kakang.”

“Kenapa aku berbohong? Sekarang Ki Gede dapat melihat, aku telah menepati janjiku. Datang ke desa kecil ini, bahkan tanpa senjata untuk meyakinkan kesungguhan kami di hadapan Ki Gede Pemanahan dan Angger Untara dan Widura. Sebab sebenarnya kami pun dapat mengerti, setelah terjadi peristiwa itu, maka para pemimpin Pajang akan dapat menjadi ragu-ragu.”

Tiba-tiba serentak mereka berpaling ketika dari belakang para pengawal Ki Gede Pemanahan terdengar seseorang berkata, “Aneh. Bukankah itu aneh sekali ayah?”

Yang berkata itu adalah Sutawijaya. Beberapa langkah ia mendesak maju sehingga kemudian ia berdiri di samping Untara, menghadap ke arah Sumangkar itu pula.

Dada Sumangkar berdesir melihat anak muda itu. Anak muda itulah yang telah berhasil menyobek perut Arya Penangsang sehingga ususnya mencuat keluar. Bulu-bulu Sumangkar tiba-tiba terasa meremang mengenang peperangan itu. Arya Penangsang benar-benar orang yang keras hati. Meskipun ususnya telah keluar itu telah disangkutkan pada keris di lambungnya.

Kini anak muda itu berdiri di mukanya dengan sebatang tombak pendek, bukan tombak berlandasan panjang seperti yang dipakainya bertempur melawan Arya Penangsang.

Sambil membungkukkan badannya Sumangkar berkata, “Kau Angger yang perkasa. Berbahagialah ayahanda mempunyai seorang putera seperti Angger, dan berbahagialah Adipati Pajang mempunyai prajurit setangkas Tuan.”

“Terima kasih Paman Sumangkar,” sahut Sutawijaya. Namun sekali lagi ia bertanya kepada ayahnya, “Apakah ayah merasakan keanehan itu?”

Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Ya, aku merasakan kejanggalan jawaban Kakang Sumangkar. Untara dan Widura pasti merasakannya pula.,” Kemudian kepada Sumangkar Ki Gede Pemanahan bertanya, “Nah, Kakang. Anakku pun merasakan suatu kejanggalan pada jawaban-jawaban yang Kakang ucapkan.”

Sumangkar menarik alisnya tinggi-tinggi, sehingga alis yang sudah mulai berwarna putih itu pun bergerak-gerak. Sekali dipandanginya Sutawijaya. Kemudian Untara dan Widura. Sekali-sekali ia berpaling memandangi beberapa bagian dari para prajurit Pajang yang dapat dilihatnya di bawah pohon-pohon yang rindang sepanjang dinding desa. Dan sekali-sekali ia berpaling juga kepada orang-orangnya yang berdiri tegang di samping ikatan-ikatan senjata yang mereka bawa. Matahari yang kini telah melampaui titik pusat itu sama sekali tidak terasa membakar tubuh-tubuh mereka dan memeras keringat mereka.

“Apakah yang terasa janggal itu Ki Gede?” bertanya Sumangkar.

“Kakang Sumangkar, jangan Kakang menganggap bahwa aku terlampau berprasangka,” berkata Ki Gede Pemanahan. “Di dalam peperangan segala macam siasat dan cara dapat terjadi. Mudah-mudahan Kakang Sumangkar tidak mempergunakan cara yang licik itu. Bahkan terbayang pun jangan pada angan-angan Kakang sumangkar.” Ki Gede Pemanahan berhenti sejenak, namun kemu-dian diteruskanya, “Tetapi Kakang, kenapa Kakang tidak terkejut dan heran melihat kehadiranku di sini? Apakah itu bukan hal yang aneh bagi Kakang? Apakah Kakang telah mengetahuinya lebih dulu?”

Sumangkar mengerutkan keningnya. Bahkan matanya kemudian menyorotkan berbagai macam pertanyaan. Bukan saja Ki Gede Pemanahan yang heran melihat sikap Sumangkar menilai kehadirannya, tetapi sumangkar pun heran mendengar pertanyaan Ki Gede Pemanahan itu.

“Ki Gede,” berkata Sumangkar kemudian, “adakah mengherankan, dan apakah seharusnya aku menjadi terkejut dan heran melihat seorang Senapati Agung, seorang Panglima Prajurit Wira Tamtama berada di garis peperangan? Kalau seorang prajurit berada di garis perang merupakan suatu keanehan, maka alangkah piciknya pengetahuanku kini tentang peperangan.”

Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar jawaban Sumangkar itu. Katanya, “Kau benar Kakang. Tetapi apakah sudah selayaknya, bahwa Panglima Wira Tamtama harus berada di garis perang pada saat-saat seperti ini? Kalau Kakang menganggap itu wajar, baiklah. Tetapi kenapa Kakang tidak terkejut medengar bahwa di desa ini telah terjadi kebakaran? Mungkin Kakang telah melihat asap yang mengepul tinggi dan api yang menjilat ke udara. Tetapi dari mana Kakang tahu bahwa yang melakukan pembakaran itu Sidanti, Sanakeling dan kawan-kawannya? Dari mana pula Kakang tahu, bahwa telah terjadi pencegatan di bulak jagung yang dilakukan oleh Ki Tambak Wedi? Maafkan Kakang, aku menjadi bercuriga mendengar semuanya itu. Aku menjadi berprasangka, bahwa semuanya telah diatur sebaik-baiknya. Suatu pembagian tugas yang rapi antara Ki Tambak Wedi dan Sumangkar.”

Sumangkar mendengarkan kata-kata itu dengan seksama. Baru kini ia justru menjadi terkejut. Tampak orang itu mengerutkan alisnya, kemudian wajahnya menegang sesaat. Tetapi ternyata hatinya telah benar-benar semeleh. Orang tua itu telah benar-benar meletakkan suatu tekad, bahwa ia sampai sedemikian jauh telah berbuat sebaik-baiknya dalam kemauan yang sebaik-baiknya pula. Karena itu maka sejenak kemudian ia menjadi tenang kembali.

“Pertanyaan Ki Gede Pemanahan adalah pertanyaan yang sewajarnya,” berkata Sumangkar itu kemudian. “Kecurigaan dan prasangka Ki Gede pun beralasan. Tetapi perkenankanlah aku mencoba menjelaskan”

“Ki Gede, ketika aku melihat api yang menyala di desa ini, aku menjadi bercuriga. Bukan saja aku sendiri, tetapi hampir seluruh orang-orang Jipang menjadi bimbang. Apakah sebenarnya yang telah terjadi. Apakah api itu suatu pertanda bahwa Pajang membatalkan perjanjian. Maksudku, Pajang membatalkan niatnya untuk menerima kami kembali? karena itulah maka aku mencoba untuk mengetahui apa yang telah terjadi. Ternyata dari balik gerumbul-gerumbul itu aku melihat Sidanti, Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda berlari-lari meninggalkan desa ini. Bukankah dengan demikian menjadi jelas, bahwa yang melakukan pembakaran ini pasti Sidanti dan orang-orangnya? Seterusnya aku menyangka, bahwa di belakang Sidanti pasti ada Tambak Wedi. Dan apakah dugaan itu meleset?”

“Tentang bulak jagung Ki Gede, memang aku telah mendengarnya lebih dahulu sebelum aku bertemu dengan Ki Gede.”

“Dari siapa Kakang mendengar?” bertanya Ki Gede Pemanahan

“Kiai Gringsing.”

Ki Gede Pemanahan mengerutkan keningnya. Nama itu masih asing baginya. Meskipun ia pernah mendengarnya sekali dua kali disebut-sebut oleh Untara, namun nama itu sama sekali tidak mendapat perhatian yang khusus dari padanya. Tetapi Untara, Widura apalagi Agung Sedayu dan Swandaru terkejut mendengar nama itu disebut oleh Sumangkar. Bahkan dengan serta merta Untara bertanya, “Apakah Kiai Gringsing sekarang berada di sana?”

“Ya,” sahut Sumangkar, “Kiai Gringsing berada di antara orang-orang Jipang yang akan menyerah.”

“Siapakah orang itu?” bertanya Ki Gede Pemanahan.

“Kiai Gringsing Ki Gede. Seorang dukun dari dukuh Pakuwon. Nama yang dipergunakannya sehari-hari adalah Ki Tanu Metir,” sahut Untara.

Wajah Ki Gede Pemanahan masih berkerut-kerut. Nama Tanu Metir itu pun tak dikenalnya. Tetapi adalah menarik perhatian bahwa orang yang bernama Ki Tanu Metir itu dapat berada di kedua belah pihak. Maka kembali ia bertanya, “Untara, apakah dukun yang bernama Ki Tanu Metir itu sering berada di Sangkal Putung dan sering berada di dalam laskar orang-orang Jipang?”

“Tidak Ki Gede,” jawab Untara. “Dukun tua itu selalu berada di Sangkal Putung. Dukun itu pulalah yang telah menyembuhkan lukaku sampai dua kali. Namun dalam persoalan ini, persoalan penyerahan orang-orang Jipang ini. Ki Tanu Metir-lah yang seolah-olah menjadi perantara. Aku minta orang tua itu membuka jalan antara orang-orang Jipang itu dan Sangkal Putung.”

“Apakah orang itu dapat dipercaya?” bertanya Pemanahan pula.

“Sepengetahuanku Ki Gede, dan menurut tanggapanku maka aku mempercayainya,” jawab Untara.

“Tetapi kenapa ia sekarang berada di sana?”

Untara tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Ia memang mencari orang tua itu sejak ia kembali dari bulak jagung, tetapi ia tidak sempat menemukannya. Ternyata Ki Tanu Metir itu telah berada di antara orang-orang Jipang.

“Ki Gede,” Sumangkar-lah yang kemudian menjawab pertanyaan Ki Gede Pemanahan itu, “Kiai Gringsing datang dengan membawa pertanyaan seperti yang tersimpan di dalam hati Ki Gede. Kiai Gringsing bertanya, kenapa kami telah berbuat curang, mencegat Ki Gede di bulak jagung. Namun kecurigaan Kiai Gringnsing dapat segera terhapus setelah ia melihat persiapan kami. Apalagi Kiai Gringsing sendiri melihat pertentangan pendapat antara aku dan Sanakeling pada saat kami menentukan sikap ini. Dengan demikian maka Kiai Gringsing segera memaklumi, bahwa pasti Ki Tambak Wedi-lah yang telah berbuat onar itu dengan maksud-maksud tertentu tanpa sepengetahuanku.”

Kembali wajah Ki Gede menjadi berkerut-kerut. Dicobanya untuk dapat mengerti penjelasan Sumangkar itu. Tetapi karena Ki Gede Pemanahan belum tahu benar tentang orang yang bernama Kiai Gringsing, maka kepada Untara ia bertanya, “Untara, bagaimanakah tanggapanmu tentang Kiai Gringsing itu? Apakah keterangan Sumangkar tentang orang yang bernama Kiai Gringsing itu dapat kau benarkan, setidak-tidaknya menurut anggapanmu hal itu dapat terjadi atasnya?”

Untara menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi ia harus mengatakan tanggapannya tentang Kiai Gringsing menurut penilaiannya. Maka jawabnya, “Menurut keadaan yang pernah aku saksikan Ki Gede, maka Kiai Gringsing itu memang mungkin dapat berbuat demikian.”

Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Kalau kau dapat menganggap bahwa Kiai Gringsing memang dapat berbuat demikian, dan apabila kau percaya kepada Kiai Gringsing, maka aku dapat mempercayai sebagian besar dari ceritera Kakang Sumangkar.”

Sumangkar menarik nafas dalam-dalam, seolah-olah ia kini telah di-bebaskan dari sebuah hukuman yang mengerikan.

Namun dalam pada itu kembali ia mendengar Ki Gede Pemanahan bertanya pula kepadanya, “Tetapi apakah kau benar-benar dapat melihat Sidanti dan Sanakeling berlari-lari dari gerumbul sejauh itu?”

“Tidak Ki Gede,” jawab Sumangkar. “Aku tidak melihat dari jarak itu. Tetapi aku menyelinap ke gerumbul-gerumbul yang lebih dekat di sebelah desa ini,” Sumangkar berhenti sejenak, kemudian dilanjutkannya, “Kiai Gringsing juga ikut serta melihatnya, dan Kiai Gringsing membenarkan penglihatanku bahwa orang yang berlari-lari dari desa ini adalah Sidanti.”

Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kepada Untara dan Widura ia bertanya, “Untara dan Widura yang memegang tanggung jawab sepenuhnya atas Sangkal Putung, bagaimana pertimbanganmu?”

Kembali dada Untara dan Widura dilanda oleh ke ragu-raguan. Tetapi kembali mereka berkata seperti kata hati mereka, “Ki Gede, kami dapat mempercayainya sampai sekian.”

Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya kepada Sumangkar, “Mana orang-orangmu yang lain? Apakah kau hanya akan menyerah dengan duapuluh lima orang ini?”

“Tidak Ki Gede,” sahut sumangkar. “Berdasarkan berbagai pertimbangan, menurut Kiai Gringsing, yang ternyata aku temui, yaitu kecurigaan para pemimpin Pajang atas diri kami, maka aku mengambil sikap seperti yang dikehendaki oleh Kiai Gringsing, untuk meyakinkan para pemimpin Pajang atas kehendak baik kami. Kami datang bersama-sama senjata-senjata kami. Sesudah itu, maka segera akan menyusul orang-orang kami apabila segala kesalahpahaman sudah di atasi.”

Sekali lagi Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia tertarik benar kepada orang yang menyebut dirinya Kiai Gringsing. Ia ingin bertemu dan berbincang tentang beberapa hal dengan orang itu. Apa yang didengarnya dari Sumangkar dan Untara seolah-olah telah memberikan kepadanya gambaran tentang seorang dukun tua yang memiliki beberapa kelebihan dalam menanggapi berbagai persoalan. Bahkan orang tua itu telah dengan cepat dapat mengambil sikap untuk menyelamatkan rencana penyerahan yang akan dilakukan oleh orang-orang Jipang.

“Kakang Sumangkar,” berkata Ki Gede Pemanahan itu pula. “Telah sampai saatnya Kakang membawa orang-orang Kakang itu kemari. Apakah Kiai Gringsing akan kembali ke Sangkal Putung bersama dengan orang-orang Jipang?.”

Sumangkar mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Aku tidak tahu Ki Gede. Aku tidak tahu apakah Kiai Gringsing akan bersama-sama dengan kami.”

“Baik. Kalau demikian, datanglah bersama laskarmu,” berkata Ki Gede Pemanahan.

“Terima kasih Ki Gede. Aku akan kembali menjemput mereka di belakang gerumbul-gerumbul itu. Mereka menunggu apakah mereka dapat datang tanpa kesulitan.”

“Kami telah berjanji,” berkata Ki Gede, “Kalau kalian tidak berbuat sesuatu, maka kami akan menepati janji itu.”

“Terima kasih Ki Gede,” sahut Sumangkar sambil membungkukkan badannya. “Kini perkenankanlah aku menjemput orang-orang kami.”

“Silahkan Kakang.”

Sumangkar itu pun kemudian melangkah beberapa langkah mundur. Ia masih melayangkan pandangan matanya beredar pada dinding-dinding halaman desa Benda yang kecil. Ia melihat ujung-ujung tombak dan pedang di balik dinding-dinding itu. Dan di sana-sini ia melihat prajurit Pajang bertebaran dalam kelompok kecil di luar dinding.”

Kemudian setelah ia memutar tubuhnya ia berkata kepada orang-orang Jipang yang masih berdiri di samping onggokan senjata yang mereka bawa, “Kalian tetap di sini. Aku akan menjemput kawan-kawan kalian.”

Orang-orang itu pun mengangguk sambil menyahut, “Baik, Kiai.”

Sumangkar pun segera berjalan tergesa-gesa meninggalkan orang-orangnya yang berdiri tegang kaku. Seolah-olah mereka jadi membeku. Tak seorang pun yang berani menggerakkan ujung jarinya sekalipun.

Orang-orang Sangkal Putung dan para prajurit Pajang memandangi orang-orang itu dengan sorot mata yang aneh. Bahkan salah seorang anak muda Sangkal Putung bergumam lirih, “Hem. Berapa orang anak-anak muda Sangkal Putung yang pernah dilukai oleh mereka, dan bahkan dibunuhnya.”

Kawannya yang berdiri di sampingnya berpaling. Perlahan-lahan ia mengangguk-anggukkan kepalanya, “Kenapa kita tidak menghancurkan mereka itu saja di sarang mereka?”

Kawannya yang lain menyahut, “Sungguh menyenangkan. Sesudah tangannya berlumuran darah kami, mereka datang untuk berjabat tangan dengan tangan-tangan kami. Dan kami pun harus menyambut uluran tangan berdarah itu. Huh.”

Anak-anak muda Sangkal Putung itu pun kemudian terdiam ketika mereka melihat seorang prajurit Pajang berjalan di belakang mereka. Kini mereka berdiri mematung di dalam pagar batu yang membatasi desa Benda. Mereka masih melihat Sumangkar itu pun hilang di balik gerumbul-gerumbul yang rimbun.

Ketika salah seorang dari mereka ingin berkata pula, maka ia pun terdiam ketika ia melihat Ki Gede Pemanahan melangkah maju mendekati orang-orang Jipang yang berdiri kaku di samping onggokan-onggokan senjata mereka.

“He,” berkata Ki Gede Pemanahan kepada salah seorang dari mereka, “Siapa namamu?”

Orang itu menjadi berdebar-debar. Tergagap ia menjawab, “Suradapa. Suradapa Ki Gede.”

Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya sambil mengulangi nama itu. “Suradapa. Nama itu bagus sekali,” orang Jipang itu menundukkan kepalanya.

“Apakah kau sudah beristeri?”

“Sudah Ki Gede.”

“Berapakah anakmu?”

“Waktu aku tinggalkan isteriku, anakku ada delapan Ki Gede,” orang itu berhenti sejenak, lalu meneruskan, “Sekarang mungkin anakku telah menjadi sepuluh”






“He?” Ki Gede terkejut, “Berapa lama kau meninggalkan isterimu. Apakah isterimu beranak kembar?”

“Tidak, Ki Gede.”

“Kenapa bertambah dengan dua sekaligus?”

“Isteriku sama-sama sedang mengandung tua pada saat aku pergi”

“Berapa isterimu?”

“Dua, Ki Gede.”

Ki Gede Pemanahan terseyum. Ditepuknya bahu orang Jipang itu sambil berkata, “Hem. Kau terlampau kurus untuk beristeri dua. Tetapi kau memang kaya akan anak. Tetapi kenapa kau menyerah?”

Orang itu menundukkan kepalanya. Ia mendapat kesulitan untuk menjawab pertanyaan itu. Ya, kenapa ia menyerah? Ia mendengar Sumangkar berkata, bahwa pertempuran-pertempuran yang akan terjadi kemudian hampir tak akan berarti apa-apa, selain kerusuhan, pembunuhan dan penaburan benih-benih dendam di mana-mana. Karena itu ia mencoba menirukan kata-kata Sumangkar. “Ki Gede,” tetapi ia tidak ingat kalimat-kalimat yang harus diucapkannya. Maka ia meneruskan, “Aku kepingin melihat anak-anakku dan kedua bayi yang belum pernah aku lihat.”

Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Apakah tanpa menyerahkan diri, kau tidak dapat melihat anak-anakmu itu.”

Orang itu menggeleng. “Tidak Ki Gede,” jawabnya, “Desa kami sudah dikuasai oleh prajurit Pajang.”

“Kalau demikian, apakah sesudah kau berhasil melihat anak-anakmu kau akan kembali melarikan diri memihak kenada Sanakeling dan Sidanti?”

“Tidak Ki Gede, tidak,” sahutnya cepat-cepat. “Aku akan tetap menyerah untuk seterusnya, sebab aku tidak ingin lagi berperang. Aku sudah jemu berkeliling dari satu tempat ke tempat yang lain, dari satu hutan ke hutan yang lain. Aku sudah jemu mengalami masa yang pahit itu. Makan dari hasil rampasan dan pemerasan.”

“Bagaimana kalau kau memenangkan peperangan ini?” tiba-tiba terdengar pertanyaan yang tidak disangka-sangkanya. Pertanyaan yang tidak tahu bagaimana ia harus menjawabnya. Karena itu maka orang Jipang itu menjadi pucat dan gemetar.

“Bagaimana kalau kau menangkan peperangan ini,” desak Ki Gede Pemanahan, “Apakah aku akan kau gantung, kau cincang atau kau angkat menjadi pepatih Jipang?”

Orang itu menjadi semakin pucat. Ia tidak tahu bagaimana ia menjawab. Keringatnya tiba-tiba semakin banyak membasahi tubuhnya, tetapi keringat yang dingin.

Beberapa orang anak muda Sangkal Putung mendengarkan percakapan itu dari sudut desa. Mereka sengaja memerlukan memperhatikan setiap patah kata yang diucapkan oleh Ki Gede Pemanahan dan jawaban yang diucapkan oleh orang-orang Jipang itu. Tetapi orang Jipang itu masih belum menjawab. Kepalanya semakin tunduk dalam-dalam dan dadanya serasa menjadi kian sesak.

“Suradapa,” berkata Ki Gede Pemanahan, “sebelum Adipati Jipang memenangkan perang ini, ia telah melakukan serangkaian pembunuhan-pembunuhan untuk menyingkirkan lawan-lawannya yang mungkin akan menjadi perintangnya menuju ke Singgasana Demak. Meskipun aku tahu, bahwa pengaruh pengikut-pengikutnya banyak mendorongnya melakukan perbuatan yang tidak terpuji itu. Nah, apakah kira-kira yang akan dilakukan kalau ia kemudian benar-benar menguasai Demak? Adipati Pajang pasti akan terbunuh. Aku, Ki Juru Mertani, Ki Penjawi, Ki Wila, Ki Wuragil dan para senapati prajurit. Bandingkan sikap Adipati Jipang itu dengan sikap Adipati Pajang. Mungkin Arya Penangsang sendiri tidak ingin berbuat demikian. Tetapi kekuasaan-kekuasaan yang ada di bawahnya itulah yang telah menjerumuskannya. Sekarang, Adipati Pajang bersikap lain. Ia tidak menaburkan dendam yang tersimpan di hati. Bahkan ia mencoba mencari jalan supaya pertentangan ini berakhir tanpa pertumpahan darah lebih banyak lagi. Apakah ini dapat kau mengerti dan kau rasakan?”

Orang itu masih menundukkan kepalanya. “Ya Ki Gede,” suaranya menjadi sesak parau.

“Yang lain bagaimana? Apakah kalian dapat juga mengerti perbedaan itu?”

“Ya Ki Gede,” hampir serentak mereka menjawab.

“Kalau begitu, tularkan pengertian itu kepada kawan-kawanmu. Kepada keluargamu, kepada siapa saja yang kau temui. Supaya mereka dapat menilai keadaan sebaik-baiknya. Tetapi ingat, bahwa ini bukan berarti melepaskan setiap hukuman bagi yang bersalah, tapi hukuman itu pasti akan berlandaskan pada dasar yang kuat dan adil.”

Orang Jipang itu dapat memahami sepenuhnya kata-kata Ki Gede Pemanahan. Ia pernah mendengar pula ucapan-ucapan seperti itu dari pemimpin-pemimpinnya. Ia tidak akan menyesal akan hukuman yang harus di jalani. Tetapi ia tahu pasti kapan hukumannya itu akan berakhir. Dan ia tahu pasti, bahwa menilik sikap dan perbuatan para pemimpin prajurit Pajang, maka setiap hukuman pasti akan dilakukan di atas dasar-dasar peri-kemanusiaan yang adil dan tidak melanggar pancaran sinar cinta kasih dari Tuhan yang Maha Besar.

“Ya Tuhan Maha Besar dan Maha Murah,” orang Jipang itu terkejut mendengar suara angan-angannya sendiri. Sudah terlampau lama ia tidak sempat mengucapkannya. Tiba-tiba kalimat itu diulang-ulangnya di dalam hati, “Tuhan Maha Besar dan Maha Murah” dan hatinya pun menjadi tenteram. Seandainya orang-orang Pajang ingkar janji, memotong kepala mereka seperti menebas ilalang karena mereka sudah tidak bersenjata, maka kini ia telah menemukan ke-damain abadi di dalam dirinya. “Tuhan Maha Besar dan Maha Murah.”

Orang Jipang itu mengangkat kepalanya ketika ia mendengar Ki Gede Pemanahan bertanya, “Kenapa kau tepekur? Apakah kau menyesal mendengar bahwa kau harus bertanggung jawab atas semua perbuatanmu berdasarkan hukum yang berlaku?”

Orang itu menggelengkan kepalanya. Ketika ia mengangkat wajahnya Ki Gede Pemanahan menjadi heran. Wajah itu telah menjadi berbeda benar dengan wajah sebelumnya. Dengan tatag dan teguh ia menjawab, “Tidak Ki Gede. Aku akan melakukan setiap hukuman. Hukuman kerja paksa atau pun kami sekeluarga harus menyingkir dari Demak untuk tinggal di daerah-daerah terpencil. Di hutan-hutan Mentaok atau di hutan-hutan sekitar Pati, Kami tidak akan selak meskipun kami akan dihukum mati.”

“He?,” berkata Ki Gede Pemanahan heran. “Sikapmu tiba-tiba berubah. Apakah yang terjadi di dalam dirimu?”

“Aku menemukan ketenangan di dalam menyebut nama Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, Tuhan Yang Maha Besar dan Maha Murah.”

Ki Gede Pemanahan menepuk bahu orang Jipang itu. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Kau telah menemukan sumber hidupmu kembali. Genggamlah kedamaian itu di dalam hatimu. Jangan terlepas kembali. Kalau kau mampu menuangkan kedamaian hatimu itu kepada kawan-kawanmu, maka kau akan mendapat kebahagiaan berlipat-lipat.”

“Ya Ki Gede, mudah-mudahan aku mampu melakukannya.”

Yang mendengar percakapan itu, Untara, Widura, bahkan orang-orang Jipang yang lain dan para pemimpin Pajang, menjadi terharu. Orang ini ternyata tidak saja memilih jalan yang dikehendaki oleh pimpinan prajurit Pajang untuk segera menyelesaikan persengketaan yang terjadi dan tersebar di mana-mana, tetapi ia telah menemukan dirinya sebagai manusia yang berada di antara manusia yang lain. Manusia yang merasa dirinya berada di dalam lingkungannya sendiri. Lingkungan yang berasal dari sumber yang sama.

Tetapi bukan saja mereka, orang-orang Jipang itu yang seakan menemukan ketetapan hati dalam kedamaian yang abadi apabila mereka dapat mempertahankan nama Tuhan Yang Maha Esa di dalam hatinya, namun tiba-tiba orang-orang Sangkal Putung yang tidak henti-hentinya mengumpat-umpat itu pun terhenti pula. Tiba-tiba pula mereka merasakan sesuatu bergetar di dalam hatinya.

“Apakah arti dari sikap ini,” desis mereka di dalam hati masing-masing. Tiba-tiba mereka menjadi malu sendiri. Seolah-olah merekalah yang kini mempertahankan supaya peperangan tetap berlangsung terus. Supaya pepati masih bertambah-tambah setiap hari. Namun tiba-tiba mereka dihadapkan pada suatu sikap yang jernih dari pemimpin tertinggi Wira Tamtama dan hadirnya sinar terang di dalam diri orang-orang Jipang itu.

Bukan sekedar menyerahkan diri karena tidak lagi mampu untuk melawan kekuatan Pajang yang setiap hari menekan mereka, tetapi kini mereka menemukan sumber yang lebih tinggi dari pada sikap yang mereka ambil. Hakekat dari penghentian perlawanan, bukan saja karena alasan-alasan lahiriah semata-mata.

Ki Gede Pemanahan tidak berbicara lagi. Ketika ia memandang ke arah gerumbul-gerumbul liar di hadapannya, maka dilihatnya sebuah barisan yang menyeruak keluar dari balik gerumbul jarak kepyar yang menjadi lebat. Barisan itu adalah barisan orang-orang Jipang.

Panglima Wira Tamtama itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia melihat bahwa mereka sudah tidak bersenjata lagi. Orang-orang Sangkal Putung dan para prajurit Pajang pun melihat pula, bahwa mereka datang dalam barisan yang teratur tanpa senjata di tangan. Dengan demikian, maka ketegangan yang menekan dada masing-masing tiba-tiba terasa mengendor. Terasa bahwa orang-orang Jipang itu sebenarnyalah berkehendak atas kebulatan tekad mereka, untuk menyerahkan diri. Bukan hanya sekedar permainan jebakan yang licik. Bahkan menurut persetujuan yang telah dibuat, mereka akan datang dengan senjata masih di tangan. Mereka baru akan mengumpulkan senjata itu di hadapan para pemimpin prajurit Pajang dan Sangkal Putung. Tetapi kini mereka datang dengan tangan hampa.

Untara berpaling ketika ia mendengar langkah di belakangnya. Ki Demang Sangkal Putung dan beberapa orang pemimpin laskar Sangkal Putung datang kepadanya. Didengarnya Ki Demang berbisik, “Mereka sudah tidak bersenjata.”

Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya perlahan-lahan, “Itu adalah sikap yang terpuji. Ternyata Kiai Gringsing memegang peranan pula atas sikap orang-orang Jipang itu.”

Sambil memandang barisan yang semakin lama menjadi semakin dekat Ki demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia tidak berbicara lagi. Wajah-wajah para pemimpin prajurit Pajang, para pemimpin laskar Sangkal Putung, bahkan semuanya yang berada di tempat itu, menjadi tegang. Mereka melihat derap langkah yang tetap dan tidak ragu-ragu.

Sebenarnya orang-orang Jipang itu pun kini tidak ragu-ragu lagi. Apalagi setelah mereka mendengar, bahwa Panglima Wira Tamtama sendiri telah hadir.

Ki Gede Pemanahan, Panglima Wira Tamtama itu memandangi barisan itu dengan hati yang berdebar-debar. Sekali-sekali ia berpaling memandangi wajah Untara yang tegang. Semula kepercayaan Ki Gede Pemanahan terhadap Untara seolah-olah jauh menjadi susut. Tetapi setelah ia melihat orang-orang Jipang dalam barisan itu, maka kepercayaannya tumbuh kembali. Dalam keadaan itu, maka Ki Gede Pemanahan segera dapat membuat perhitungan, bahwa Ki Tambak Wedi pasti akan menjadi musuh yang lebih berbahaya daripada Tohpati. Musuh yang bertindak terlampau cepat, mendahului semua perhitungan Untara dan Widura.

Pada saat-saat mereka melawan Macan Kepatihan, maka Untara dan Widura hampir tidak pernah salah hitung. Hampir setiap gerakan Macan Kepatihan itu dapat dipotong oleh Widura dan kemudian Untara. Namun Ki Tambak Wedi dapat bergerak menembus semua perhitungan para Senapati Pajang.

Barisan orang-orang Jipang itu pun menjadi semakin lama semakin dekat. Yang berdiri di ujung barisan itu adalah Sumangkar dan beberapa orang pemimpin yang lain. Pemimpin-pemimpin rendahan yang tidak bersedia ikut beserta Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda.

Beberapa puluh langkah dari Ki Gede Pemanahan yang dipayungi oleh bendera kebesarannya, bendera yang memberitahukan bahwa pada saat itu hadir Panglima Wira Tamtama, barisan itu berhenti. Di ujung belakang dari barisan itu masih ada beberapa orang yang membawa senjata di tangan mereka. Tetapi demikian mereka berhenti, maka segera senjata itu mereka kumpulkan bersama-sama.

Ketika Sumangkar kemudian melangkah maju mendekati Ki Gede Pemanahan, maka Panglima Wira Tamtama itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Peristiwa itu memang peristiwa yang penting bagi kedua belah pihak. Bagi orang-orang Jipang dan bagi Kadipaten Pajang. Dengan penyerahan itu, maka Pajang akan mendapat kesempatan untuk berbuat lain dari hanya bermain kejar-kejaran dengan sisa-sisa laskar Jipang itu.

Tetapi bagaimanapun juga, terasa pada para prajurit Pajang dan laskar Sangkal Putung, bahwa mereka masih merasakan sentuhan yang pahit di dalam hati mereka. Lawan yang sudah sejak beberapa lama, selalu bertemu dalam medan-medan peperangan, dengan senjata di tangan masing-masing, maka kini mereka melihat orang-orang itu mendekati mereka tanpa gangguan suatu apa. Namun dada orang-orang Jipang itu pun berdesir ketika mereka melihat kesiapsiagaan para prajurit Pajang dan laskar Sangkal Putung. Mereka melihat ujung-ujung senjata seperti ujung daun ilalang di padang rumput liar. Pada saat-saat lampau mereka pun pernah datang ke desa ini, tetapi juga dengan senjata di tangan. Tetapi kini mereka datang dengan tangan yang hampa. Kalau terjadi sedikit kesalahpahaman, dan para prajurit Pajang dan laskar Sangkal Putung itu menyerangnya, maka mereka seolah-olah akan menebas batang-batang pisang tanpa perlawanan yang berarti sama sekali.

Tetapi menilik sikap Panglima Wira Tamtama maka semuanya akan dapat berlangsung dengan sebaik-baiknya.

Demikian pulalah harapan Untara. Ia telah memberanikan diri mengharap kehadiran Ki Gede Pemanahan dengan pengharapan yang serupa itu. Semula ia ragu-ragu akan ketaatan para prajurit Pajang dan laskar Sangkal Putung terhadap keputusan yang diambilnya. Menerima orang-orang Jipang yang menyerahkan diri dengan beberapa bentuk pengampunan. Karena itu, apabila Ki Gede Pemanahan bersedia hadir, akibatnya pasti akan menguntungkan kedua belah pihak. Para prajurit Pajang, sudah tentu tidak akan berani melanggar keputusannya dan orang-orang Jipang pun akan terpengaruh oleh wibawa panglima itu. Dan kini ternyata semuanya itu telah terjadi.

Maka di pinggir desa kecil itu, telah terjadi saat-saat yang penting. Dengan kesungguhan Sumangkar menyatakan janji dan kata-kata penyerahan. Betapa berat perasaan orang tua itu. Namun kata-kata itu harus diucapkannya. Di hadapan Ki Gede Pemanahan, Untara dan Widura.

Ki Gede Pemanahan, Untara, Widura, Ki Demang Sangkal Putung, dan para pemimpin yang lain mendengarkan kata-kata Sumangkar itu dengan penuh minat. Setiap patah kata telah menunjukkan kesungguhan hati orang tua itu untuk benar-benar mengakhiri perlawanan.

“Ki Gede Pemanahan,” Sumangkar itu pun kemudian mengakhiri kata-katanya, “kami dengan ini menyatakan kesungguhan hati kami untuk menyerahkan diri tanpa syarat apa pun ke hadapan Ki Gede Pemanahan, ke hadapan senapati untuk daerah ini dan kepada pimpinan prajurit Pajang di sangkal Putung beserta para pemimpin kademangan. Kami tidak akan mengingkari kesalahan-kesalahan yang telah kami lakukan sehingga karenanya kami tidak akan menghindarkan diri dari setiap hukuman yang akan diletakkan di atas pundak kami.”

Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia telah mendengar dengan baik semua ucapan Sumangkar. Karena itu maka kemudian ia pun berkata, “Penyerahanmu kami terima. Semoga saat ini benar-benar dapat mengakhiri kerusuhan-kerusuhan yang terjadi. Tetapi sayang, bahwa penyerahan ini tidak sempurna. Masih ada beberapa orang dari kalian yang tidak bersedia berbuat seperti ini dan bahkan telah bekerja bersama dengan Ki Tambak Wedi. Tetapi itu bukan kesalahan kalian. Ketahuilah, bahwa terhadap mereka tidak ada pilihan lain kecuali dilenyapkan. Untuk seterusnya akan berlaku, semua persetujuan kalian dengan Senapati Pajang untuk daerah ini, Untara. Semoga Tuhan selalu menerangi hati kita semua. Hati kami, dan hatimu semua.”

Yang berbicara kemudian adalah Untara. Ia hanya menguraikan beberapa segi pelaksanaan. Orang-orang Jipang itu harus tinggal di Benda sebelum mereka dibawa ke Pajang bersama-sama dengan Ki Gede Pemanahan. Dalam pada itu tiba-tiba terdengar Sutawijaya bertanya, “He, Paman Sumangkar yang suka mengembara, bukankah jalan ini pula yang menuju ke Alas Mentaok?”

Semua yang mendengar pertanyaan Sutawijaya yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan persoalan yang sedang terjadi itu, menjadi heran. Dengan wajah bertanya-tanya mereka hampir serentak berpaling memandangnya.

Ki Gede Pemanahan pun heran pula mendengar pertanyaan itu, sehingga katanya, “Apakah kau sedang bermimpi Jebeng?”

“Tidak, Ayah,” sahut Sutawijaya. “Aku tiba-tiba saja ingin mengetahui, jalan ini akan menuju ke mana.”

“Apakah hubungannya dengan persoalan orang-orang Jipang yang menyerahkan diri dan Pamanmu Sumangkar?”

“Aku hanya ingin bertanya kepada Paman Sumangkar, karena Paman Sumangkar hampir selama ini selalu mengembara berkeliling. Mungkin Paman Sumangkar telah pernah menyelusur jalan ini terus ke Barat.”

Ki Gede Pemanahan menarik nafas panjang-panjang. Ia tahu pikiran apakah yang bergejolak di dalam dada anak itu, Sutawijaya pasti sedang berpikir tentang Alas Mentaok yang pernah dijanjikan oleh Adipati Pajang kepada dirinya, dan tanah Pati bagi kawan seperjuangannya melawan Adipati Jipang pada saat itu. Dan Sutawijaya pun pasti pernah mendengar janji itu, sehingga tiba-tiba saja ia menyebut tanah Alas Mentaok.

Dalam pada itu terdengar Sumangkar berkata, “Ya, Ngger. Jalan ini akan sampai ke Alas Mentaok, tetapi jalan terlampau sulit. Beberapa bagian hutan di sebelah Barat itu harus dilampaui. Meskipun hutan ini tidak terlampau lebat, tetapi hutan itu pun cukup luas. Sekali-sekali Angger akan sampai di pedukuhan-pedukuhan kecil yang terserak-serak. Tetapi tempat-tempat itu hampir tak berarti. Padukuhan kecil dan miskin. Padukuhan yang hampir tidak pernah bersangkut paut dengan pemerintahan karena letak dan keadaan penduduknya. Tetapi agak yang ke sebelah Barat, Angger akan menjumpai daerah yang subur. Daerah yang cukup mempunyai kedudukan di daerah Selatan, Prambanan. Di daerah itu pasti juga sudah dilindungi oleh sepasukan prajurit dari Pajang. Sayang aku tidak tahu, siapakah yang berada di sana. Ki Gede Pemanahan pasti mengetahuinya. Prambanan adalah kademangan yang hampir sekaya Sangkal Putung. Kalau Angger masuk lebih dalam lagi, maka Angger akan sampai ke hutan Tambak Baya, setelah melewati Candi Sari, Cupu Watu, dan beberapa pedukuhan kecil yang lain. Di sebelah Barat hutan Tambak Baya itulah nanti Angger akan menjumpai hutan belukar yang besar, Alas Mentaok.”

“Apakah belum ada pedukuhan sama sekali di sekitar hutan itu Paman?”

“Ada Ngger. Pliridan, Gumawang, Lipura dan hampir di ujung Selatan, dekat pantai lautan terdapat pula daerah yang sudah mulai subur dan ramai, Mangir.”

“Sutawijaya,” potong Ki Gede Pemanahan, “Untuk apa kau ketahui semuanya itu. Aku sendiri pernah menjelajahi hampir setiap sudut yang berada di dalam wilayah Demak. Aku pernah juga sampai ke tempat-tempat yang disebut-sebut oleh Kakang Sumangkar. Tetapi sekarang ini bukanlah saatnya untuk berbicara tentang Alas Mentaok.”

Sutawijaya terdiam mendengar kata-kata ayahnya. Ia menyadari bahwa ayahnya dan para pemimpin prajurit Pajang di Sangkal Putung kini sedang menghadapi tugas yang berat, sehingga pertanyaannya tentang Alas Mentaok pasti hanya akan mengganggu saja.

Setelah Sutawijaya tidak bertanya-tanya lagi, maka segala sesuatu segera mulai dipersiapkan. Untara segera mengatur tempat-tempat penampungan orang-orang Jipang itu, sedang Widura mempersiapkan para prajurit Pajang yang harus menjaga padesan kecil ini. Bukan saja menghadapi setiap orang yang mungkin dapat berubah pendirian selama mereka berada dalam penampungan, tetapi juga terhadap setiap usaha Sanakeling dan Sidanti, untuk mengacaukan keadaan. Adalah mungkin sekali mereka tiba-tiba datang dan membuat keributan. Menghasut orang-orang Jipang yang sudah menyerah atau mengancam mereka, sebab mereka kini sudah tidak bersenjata.

Ketika upacara penyerahan itu telah selesai, serta segala macam persiapan penampungan telah cukup, maka Ki Gede Pemanahan serta para pemimpin prajurit Pajang dan Sangkal Putung pun segera bersiap untuk kembali ke induk kademangan. Ki Gede Pemanahan sendiri telah memberikan beberapa pesan khusus bagi para prajurit Pajang yang bertugas menjaga desa terpencil itu. Bagaimana mereka harus menghadapi orang-orang Jipang yang sudah menyerah itu, dan bagaimana mereka harus menghadapi lawan yang masih tetap memandi senjata-senjata mereka apabila mereka benar-benar datang. Untuk kepentingan itu, maka di sekitar Desa Benda telah diletakkan beberapa pengawas yang harus dapat menilai setiap perkembangan keadaan dengan tepat.

Kepada Sumangkar, Ki Gede Pemanahan berpesan, “Kakang, kalian akan kami tinggalkan. Kakang adalah tetua orang-orang Jipang, Segala sesuatu harus selalu berada dalam pengawasan Kakang. Kakang-lah orang satu-satunya yang dapat langsung berhubungan dengan para prajurit Pajang yang sedang bertugas di tempat ini. Apa pun yang kurang serasi menurut penilaian Kakang, maka Kakang akan dapat memberitahukannya kepada para petugas.

“Baik Ki Gede. Kami akan mematuhi perintah itu,” sahut Sumangkar.

Namun ketika Ki Gede Pemanahan akan meninggalkan tempat itu, maka ia masih sempat bertanya kepada Sumangkar, “Di manakah orang yang menamakan diri Kiai Gringsing itu? Apakah ia tidak turut beserta kalian?”

Sumangkar menggeleng lemah, jawabnya, “Tidak Ki Gede. Orang yang menyebut dirinya Kiai Gringsing itu tidak bersama kami.”

“Apakah orang itu tidak ingin bertemu dengan aku?

Sumangkar tertegun sejenak. Namun kemudian ia menjawab, “Tidak Ki Gede. Ternyata Kiai Gringsing belum ingin bertemu dengan Ki Gede Pemanahan.”

Ki Gede Pemanahan mengerutkan keningnya. Ia menjadi semakin tertarik kepada nama itu. Kiai Gringsing yang sehari-hari disebut Ki Tanu Metir. Seorang dukun yang cakap mengobati berbagai macam penyakit.

“Baiklah,” berkata Ki Gede Pemanahan. “Lain kali aku mengharap untuk dapat bertemu dengan orang itu.”

“Pesan itu akan aku sampaikan Ki Gede,” sahut Sumangkar.

Dalam pada itu, semua persiapan pun telah selesai. Ki Gede Pemanahan dan para pemimpin beserta sebagian dari prajurit Pajang dan laskar Sangkal Putung akan kembali ke induk kademangan.

Tetapi Sutawijaya tiba-tiba menggamit Agung Sedayu dan Swandaru Geni. Katanya, “Kita tinggal di sini.”

“Kenapa?, “bertanya Agung Sedayu.

“Kita pergi ke Alas Mentaok.”

“Apakah yang menarik di Alas Mentaok itu?” bertanya Swandaru.

“Itulah yang ingin aku ketahui.”

“Apakah Tuan mempunyai kepentingan dengan hutan itu?” bertanya Agung Sedayu pula.

Sutawijaya memandang ayahnya dengan sudut matanya. Kemudian katanya perlahan-lahan, “Tanah itu akan dihadiahkan oleh Adipati Pajang kepada ayah. Aku ingin melihatnya, apakah tanah itu cukup baik untuk dibuka menjadi suatu pedukuhan. Mentaok akan dapat menjadi sebuah tanah perdikan.”

“Agung Sedayu mengangguk-anggukan kepalanya. Tetapi ia pernah mendengar bahwa Mentaok kini masih berupa hutan belantara.

“Aku ikut bersama Tuan,” tiba-tiba Swandaru menyela. Wajahnya yang bulat tampak berseri-seri gembira.

Tetapi wajah Agung Sedayu disaput oleh keragu-raguan hatinya. Sekali-sekali ia memandangi Sutawijaya, namun sesaat kemudian ditatapnya wajah kakaknya yang masih sibuk mengatur barisan bersama pamannya, Widura.

“Aku harus minta ijin Kakang Untara dan Paman Widura lebih dahulu,” berkata Agung Sedayu.

“Uh, kau seperti anak-anak saja,” potong Sutawijaya. “Bukankah kita sudah cukup dewasa? Kalau aku minta ijin pada ayah mungkin ayah akan melarangnya. Kau pun pasti akan dilarang pula. Karena itu maka kita tidak usah minta ijin.

“Mereka pasti akan mencari kita,” berkata Agung Sedayu.

“Biarkan saja mereka mencari kita,” sahut Sutawijaya. “Besok atau lusa, kalau kita kembali, maka mereka akan berhenti mencari.”

“Tetapi apakah Ki Gede akan tinggal beberapa lama di sini?” bertanya Agung Sedayu.

Mas Ngabehi Loring Pasar menggelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu. Kalau ayah tergesa-gesa kembali ke Pajang, biarlah ia mendahului.”

Agung Sedayu terdiam sejenak. Hatinya dicekam oleh keragu-raguan.

“Kenapa kau selalu ragu-ragu”?” bertanya Sutawijaya, “Jangan seperti anak kecil. Kau telah mampu berkelahi melawan Sanakeling yang menurut pengamatanku, apabila perkelahian berlangsung lebih lama lagi, kau akan memenangkan perkelahian itu. Kenapa kau selalu masih harus minta ijin kepada kakakmu?”

Agung Sedayu menggigit bibirnya. Tetapi adalah menjadi kebiasannya untuk berbuat demikian. Bahkan sampai saat ia telah mampu memecah dinding yang mencengkamnya dalam ketakutan, maka kebiasaan itu tidak segera dapat dilupakan.

“Jangan takut,” berkata Swandaru. “Aku pun tidak akan minta ijin kepada ayahku. “

Agung Sedayu masih berdiri dalam kebimbangan, sehingga Sutawijaya berkata, “Ayolah. Mau tidak mau kau harus pergi bersama kami.”

Agung Sedayu tidak dapat membantah lagi. Ia harus pergi ke Mentaok bersama Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar dan Swandaru Geni.

“Tetapi kita harus memberi tahukan kepada para penjaga,” gumam Agung Sedayu.

“Ah, bodoh kau,” berkata Sutawijaya. “Kalau mereka tahu dan mereka mengatakannya kepada ayah, maka aku tidak akan diperbolehkannya.”

“Setidak-tidaknya sepeninggalan Ki Gede Pemanahan dari desa ini”

Sutawijaya berpikir sejenak, kemudian katanya, “Baiklah nanti kita memberitahukannya kepada para penjaga.”

Agung Sedayu masih akan mengatakan sesuatu ketika ia mendengar Ki Gede Pemanahan memanggil, “Sutawijaya. Mari, kita kembali ke induk kademangan.”

Sutawijaya berpikir sejenak. Sekali-sekali dipandanginya wajah Agung Sedayu dan Swandaru Geni. Hampir-hampir ia kehilangan akal bagaimana ia akan dapat menyelinap meninggalkan barisan itu. Mendengar ajakan itu, Agung Sedayu menjadi senang. Mudah-mudahan Sutawijaya mengurungkan niatnya. Sama sekali bukan karena takut menghadapi bahaya di sepanjang jalan, tetapi dengan demikian kakaknya akan memarahinya.

Tiba-tiba Agung Sedayu kecewa ketika ia mendengar Sutawijaya menjawab, “Aku akan tinggal di sini sebentar ayah. Aku akan segera menyusul.”

Ki Gede Pemanahan memandanginya dengan penuh pertanyaan, bahkan orang tua itu menjadi curiga. Katanya, “Apalagi yang akan kau lakukan?”

Sutawijaya tertawa, jawabnya, “Aku hanya akan beristirahat sebentar ayah. Bukankah di sini sudah ada sepasukan prajurit Pajang? kalau terjadi sesuatu, maka mereka pasti akan dapat melindungi aku.”

“Tetapi jangan terlampau lama Sutawijaya,” berkata ayahnya. “Meskipun jarak induk Kademangan Sangkal Putung dan desa ini tidak terlampau jauh, namun di tengah-tengah bulak itu dapat bersembunyi segala macam bahaya.”






Sekilas terasa pula oleh Sutawijaya kekhawatiran ayahnya tentang dirinya di daerah yang ternyata masih diliputi oleh bahaya itu. Bahaya yang kini datang tidak saja dari orang-orang Jipang, tetapi lebih-lebih lagi adalah hantu lereng Merapi yang bernama Tambak Wedi. Namun Sutawijaya itu berpikir, “Tambak Wedi itu pasti sudah pergi jauh-jauh. Setidak-tidaknya hari ini ia tidak akan datang kembali kemari. Kalau besok ia datang, maka aku sudah berada di Alas Mentaok. Mudah-mudahan nanti apabila aku kembali aku tidak menemuinya dan hantu itu tidak mengetahui bahwa aku pergi ke Alas Mentaok.”

Sutawijaya itu terkejut ketika ia mendengar suara ayahnya kembali, “He, Sutawijaya, bagaimana? Jangan terlalu lama, kau dengar?”

“Ya, ya Ayah,” jawabnya tergagap. “Aku tidak akan lama di sini”

“Jangan memberi aku bermacam-macam pekerjaan lagi,” berkata Ki Gede Pemanahan pula. “Aku sudah terlalu letih.”

“Baik ayah,” sahut Sutawijaya.

Ki Gede Pemanahan itu pun kemudian bersama-sama dengan Untara, Widura dan para pemimpin Pajang dan Sangkal Putung yang lain pergi meninggalkan desa kecil itu. Mereka akan kembali ke induk kademangan, dan Ki Gede Pemanahan bermaksud bermalam di Sangkal Putung semalam, sambil menunggu persiapan orang-orang Jipang dan pasukan pengawal yang akan membawa mereka ke Pajang. Tetapi keadaan kini telah berkembang menjadi bertambah sulit. Ketika Untara mengetahui, bahwa Ki Tambak Wedi ternyata bergerak terlampau cepat, maka ia harus memperhitungkan keadaan. Baik yang akan pergi mengawal orang-orang Jipang bersama Ki Gede Pemanahan, maupun yang akan ditinggalkan di Sangkal Putung. Jangan sampai Ki Tambak Wedi dapat memanfaatkan keadaan itu. Keadaan di mana pasukan Pajang sedang terbagi. Ki Tambak Wedi yang cerdik itu akan dapat menghadang rombongan ke Pajang atau menusuk jantung Sangkal Putung yang sedang ditinggalkan oleh sebagian dari para pengawalnya mengantar orang-orang Jipang ke Pajang.

Karena itu semuanya, maka Untara harus berpikir lebih masak lagi.

Sutawijaya dan kedua kawan-kawan barunya itu memandangi pasukan yang berjalan meninggalkan desa Benda. Semakin lama semakin jauh. Sejalan dengan itu, maka hatinya pun menjadi semakin gembira pula. Katanya berbisik kepada Agung Sedayu dan Swandaru. “Nah, kita segera berangkat. Jangan menunggu matahari terlampau rendah. Mungkin kita harus bermalam beberapa malam di perjalanan.”

“Marilah,” terdengar Swandaru yang menyahut.

“Kau masih ragu-ragu,” bertanya Sutawijaya kepada Agung Sedayu.

“Aku tidak meragukan perjalanan yang akan kita lakukan, tetapi bagaimana Kakang Untara setelah mengetahuinya?”

“Aku yang bertanggung jawab,” potong Sutawijaya. “Kalau ia marah, biarlah ia marah kepadaku.”

Agung Sedayu tidak menjawab lagi. Ketika kemudian Sutawijaya berjalan kembali ke gardu di ujung desa, kedua anak muda murid Ki Tanu Metir itu mengikutinya di belakang.

“Apakah kita akan pergi berkuda atau berjalan kaki?” bertanya Swandaru.

“Mana yang lebih baik?,” Sutawijaya minta pertimbangan.

Mereka terdiam sejenak. Menilik jarak yang harus mereka tempuh, maka kuda akan membantu mereka, tetapi mengingat hutan-hutan yang mungkin terlampau sulit ditembus, maka lebih baik bagi mereka apabila mereka berjalan kaki. Sebab kuda-kuda mereka pasti hanya akan mengganggu di sepanjang perjalanan di hutan-hutan belukar itu.

Ketika kedua kawannya tidak menyahut, maka Sutawijaya itu pun akhirnya memutuskan, “Kita berjalan kaki. Mungkin kita akan memerlukan waktu seminggu. Tetapi kita pasti akan sampai. Tetapi apabila kita pergi berkuda, maka kita akan terhalang di hutan-hutan belukar atau kita akan melepaskan kuda-kuda kita. Mungkin kuda-kuda kita itu akan diterkam oleh binatang-binatang buas. Karena itu lebih baik kita berjalan kaki.”

“Baik,” sahut Swandaru Geni, “Kita berjalan kaki. Bagaimana kakang Agung Sedayu?”

Meskipun hatinya masih ragu-ragu, namun Agung Sedayu menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Baik. Kita berjalan kaki.”

“Nah, kita berangkat sekarang. Kita akan masuk ke hutan di hadapan desa Benda ini dan menyeberanginya. Kita harus keluar dari hutan itu sebelum senja.”

“Tidak mungkin,” potong Agung Sedayu, “Lihat, matahari telah terguling ke Barat. Meskipun hutan itu tidak begitu lebat, tetapi hutan itu cukup luas.”

“Ah, persetan,” gumam Sutawijaya kemudian, “Apakah kita akan menembus hutan itu senja nanti atau apakah kita akan berjalan di malam hari, kita tidak usah meributkannya. Marilah kita pergi.”

“Ingat, Tuan, kita sebaiknya memberitahukan kepergian ini kepada para penjaga, supaya Ki Gede Pemanahan, Ki Demang Sangkal Putung dan Kakang Untara mendapat gambaran, berapa hari kita akan kembali,” berkata Agung Sedayu kemudian.

Sutawijaya berpikir sejenak, kemudian ia pun mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baik,” katanya, “aku akan berkata kepada pemimpin pengawal.”

Sutawijaya itu pun kemudian pergi ke gardu penjaga. Kepada seorang prajurit Sutawijaya bertanya, “Siapa pemimpin pengawal di sini?”

“Kakang Sendawa, Tuan,” sahut penjaga itu. “Ia berada di rumah sebelah. Rumah itu dipakai sementara untuk memimpin pengawalan desa ini.”

Sutawijaya mengangguk-angguk. Namun, tiba-tiba ia berkata, “Katakan kepadanya, aku akan pergi ke Alas Mentaok.”

“He?” prajurit itu terkejut, sehingga matanya terbeliak.

Tetapi Sutawijaya pun menjadi heran pula melihat prajurit itu memandangnya dengan pandangan yang aneh, sehingga terloncat pertanyaan dari bibirnya, “Kenapa kau memandangku seperti melihat hantu?”

“Tuan,” bertanya prajurit itu, “apakah aku tidak salah dengar? Apakah benar Tuan akan pergi ke Alas Mentaok?”

“Ya, kenapa?” jawab Sutawijaya.

“Alas Mentaok itu terletak di sebelah Barat hutan Tambak Baya, Tuan.”

“Ya, aku sudah tahu. Aku akan berjalan terus ke Barat. Aku akan melewati Prambanan, Candi Sari, Cupu Watu dan hutan Tambak Baya. Kenapa?”

“Perjalanan yang tidak masuk dalam akalku. Tuan hanya bertiga?”

“Kenapa tidak masuk dalam akalmu? Jarak itu dapat kau ketahui, apakah kau pernah pergi ke sana?”

“Belum, Tuan, tetapi sebagai seorang prajurit aku pernah mendapat tugas ke Prambanan. Kakak Adi Sedayu itu pernah pula mendapat tugas di Prambanan.”

“Kau dapat juga sampai ke Prambanan, mengapa kau heran mendengar rencana perjalanan ini? Bukankah sesudah Prambanan jarak ke Alas Mentaok tidak lagi begitu jauh?”

“Justru daerah itu adalah daerah yang berbahaya, Tuan. Mungkin Tuan akan berjumpa dengan penyamun-penyamun yang sakti. Dan aku pergi ke Prambanan bersama dengan rombongan prajurit dalam jumlah yang cukup. Karena itu maka aku tidak kuwatir menjumpai bahaya-bahaya yang serupa. Tetapi apakah Tuan hanya akan bertiga saja?”

Sutawijaya tertawa. Ditepuknya bahu prajurit itu sambil berkata, “Katakan kepada Sendawa. Aku pergi ke Alas Mentaok.”

“Apakah Tuan tidak akan menjumpainya sendiri? Mungkin Kakang Sendawa dapat menceriterakan serba sedikit tentang hutan itu. Mungkin Kakang Sendawa pernah mendapat tugas mengunjungi daerah-daerah terpencil di seberang hutan Mentaok beberapa waktu yang lampau atas nama kekuasaan Pajang yang menerima limpahan kekuasaan Demak pada waktu itu. Daerah-daerah yang pernah dikunjungi adalah daerah-daerah Mangir dan Lipura.”

Sutawijaya menggelengkan kepalanya, “Tidak. Sendawa pasti hanya akan menakut-nakuti aku. Katakan saja, aku pergi bertiga dengan berjalan kaki. Mungkin kami akan melintasi hutan-hutan bebondotan yang sukar sekali dilalui seekor kuda.”

“Ya, Tuan benar. Kuda-kuda itu hampir tak berarti di hutan-hutan yang lebat.”

“Sudahlah,” berkata Sutawijaya. “Aku akan pergi.”

“Tetapi, Tuan,” bertanya prajurit itu, “Tuan tidak membawa bekal apa pun di perjalanan. Bagaimana Tuan akan mendapatkan makanan? Apakah Tuan mempunyai beberapa orang yang telah Tuan kenal di sepanjang jalan?”

Sutawijaya tertegun sejenak. Dipandanginya wajah-wajah Agung Sedayu dan Swandaru Geni. Tetapi kedua anak muda itu pun agaknya tidak tahu, bagaimana mendapatkan bekal di perjalanan. Sudah tentu mereka tidak dapat mencari bekal di desa Benda yang kosong itu. Yang ada hanyalah orang-orang Jipang dan para prajurit yang sedang bertugas. Mereka sama sekali tidak mempunyai persediaan makanan dari Sangkal Putung.

Tiba-tiba Sutawijaya itu bertanya, “Apakah di antara kalian ada yang membawa busur dan anak panah?”

Prajurit itu terdiam sejenak.

“Ada?” desak Sutawijaya.

Prajurit itu mencoba melihat beberapa orang kawan-kawannya yang mendengarkan percakapan itu dengan mulut ternganga.

Tiba-tiba Sutawijaya melihat beberapa buah busur di sudut gardu. Tanpa bertanya kepada siapa pun ia meloncat dan mengambil tiga daripadanya.

“He, Agung Sedayu dan Swandaru, apakah kalian dapat memanah?”

Yang menjawab adalah Swandaru Geni, “Kakang Agung Sedayu adalah pemanah terbaik dari seluruh penghuni Sangkal Putung, termasuk para prajurit Pajang.”

“Bagus,” Sutawijaya menjadi gembira. Diraihnya beberapa endong anak panah sambil berkata, “Aku pinjam busur-busur ini.”

Para prajurit yang berada di dalam gardu itu seolah-olah terpaku beku di tempatnya. Mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka hanya melihat Sutawijaya mengambil tiga buah busur dari lima persediaan busur di gardu itu, beserta tiga endong penuh dengan anak panah. Mereka kemudian melihat Sutawijaya meloncat keluar sambil membagikan ketiga busur itu kepada Agung Sedayu dan Swandaru Geni.

“Kalian tidak akan mendapat musuh lagi di sini. Biarlah senjata-senjata ini kami bawa ke Alas Mentaok,” berkata Sutawijaya kepada para prajurit Pajang itu.

Sebelum mendapat jawaban, maka Sutawijaya segera mengajak kedua kawannya itu berjalan meninggalkan desa Benda menuju ke arah Barat. Alas Mentaok.

Perjalanan itu bukanlah perjalanan yang ringan. Jalan yang harus mereka lewati adalah jalan yang sulit dan jauh.

“Dengan anak-anak panah ini kita akan mendapat bekal di sepanjang jalan,” gumam Sutawijaya.

“Apakah kita akan menyamun atau memeras sambil menakut-nakuti orang dengan anak panah,” bertanya Swandaru.

Sutawijaya tertawa terbahak-bahak sehingga tubuhnya berguncang-guncang. Agung Sedayu yang segera menangkap maksud Sutawijaya pun tersenyum.

“Kenapa?” bertanya Swandaru heran.

“Aku belum pernah menyamun orang,” berkata Sutawijaya di antara derai tertawanya. “Lebih baik kita menyamun kijang atau menjangan.”

“O,” Swandaru tersenyum sambil menundukkan kepalanya. Pipinya yang gembul itu pun menjadi kemerah-merahan. Ternyata ia tidak cepat menangkap maksud Sutawijaya dengan busur dan anak panah itu, yang akan menjadi alat berburu yang baik.

Sesaat kemudian ketiga anak-anak muda itu terdiam. Mereka berjalan dengan cepat ke arah Barat. Di belakang mereka pedesaan Benda seolah-olah berjalan mundur sedang gerumbul-gerumbul jarak yang liar di hadapan mereka pun menjadi semakin dekat. Di belakang semak-semak itu akan terbentang sebuah lapangan rumput yang tidak begitu lebar. Dan di seberang lapangan itu mereka akan mendapatkan sebuah hutan yang cukup luas, meskipun tidak terlampau lebat.

Di langit, matahari telah melewati titik puncaknya dan dengan perlahan-lahan turun ke cakrawala. Namun panasnya masih terasa seakan-akan membakar kulit.

Sutawijaya, Agung Sedayu, dan Swandaru berjalan tanpa berpaling lagi. Panas matahari telah memeras keringat mereka sehingga seluruh pakaian mereka menjadi basah. Kulit mereka yang menjadi semerah tembaga, menjadi berkilat-kilat karena keringat dan debu yang melekat.

Para prajurit di Benda pun kemudian menjadi gempar. Ceritera tentang Sutawijaya dan kedua anak muda yang telah mereka kenal dengan baik, yaitu Agung Sedayu dan Swandaru benar-benar menimbulkan berbagai pembicaraan. Ada yang menjadi cemas, ada yang menjadi heran dan ada yang menjadi kagum karenanya.

Sendawa yang kemudian diberi tahu pula tentang kepergian ketiga anak-anak muda itu terkejut sekali. Katanya, “Apakah kalian tidak mencoba mencegahnya?”

“Aku telah mencobanya,” jawab prajurit itu, “tetapi mereka tidak mendengarkan.”

“Alas Mentaok adalah hutan belukar yang luar biasa lebatnya. Binatang-binatang buas masih berkeliaran dan bahkan di sekitar hutan yang liar itu masih banyak didiami oleh penjahat-penjahat yang sebuas binatang-binatang di dalam hutan itu.”

“Aku sudah mengatakannya.”

Sendawa menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kemudian ia bergumam, “Mudah-mudahan mereka tidak memasuki hutan itu. Mudah-mudahan mereka berhenti setelah mereka melihat wajah Alas Mentaok.”

“Tetapi,” berkata prajurit itu, “bukankah menyeberangi hutan Tambak Baya itu pun cukup berbahaya?”

“Mungkin mereka akan mendapat beberapa orang kawan. Mudah-mudahan mereka menyeberang bersama-sama dengan rombongan-rombongan yang sering melewati hutan itu pula bersama-sama dengan beberapa orang pengawal. Dengan demikian, mereka akan terhindar dari banyak kesulitan.”

“Mudah-mudahan,” desis prajurit itu.

“Meskipun demikian, kita harus memberitahukannya kepada para pemimpin prajurit Pajang di Sangkal Putung. Bahkan kepada Ki Gede Pemanahan sendiri. Bukankah Raden Sutawijaya itu putera Ki Gede Pemanahan?”

“Ya. Demikian sebaiknya,” sahut prajurit itu.

“Nah, sekarang pergilah. Sampaikan laporan ini.”

Belum lagi prajurit itu pergi, mereka terkejut melihat seseorang memasuki rumah pimpinan itu. Ternyata orang itu adalah dukun tua yang selama ini tidak menampakkan diri. Orang itu adalah Ki Tanu Metir.

Dengan nada tinggi ia bertanya sambil tersenyum, “Aku dengar, ada di antara kalian yang akan pergi ke Alas Mentaok?”

“Tidak, Kiai,” sahut Sendawa. “Yang pergi ke Alas Mentaok adalah putera Ki Gede Pemanahan, Raden Sutawijaya.”

Ki Tenu Metir mengerutkan keningnya. Kemudian kembali ia bertanya, “Sendiri ?”

“Tidak,” jawab Sendawa pula. “Bersama dengan dua kawannya. Agung Sedayu dan Swandaru Geni.”

“He?” Ki Tanu Metir itu pun terkejut. Wajahnya yang tua itu menjadi semakin berkerut-merut. “Apakah kepentingan mereka dengan Alas Mentaok itu?”

“Kami tidak tahu Kiai,” sahut Sendawa. “Seorang prajurit telah mencoba mencegah mereka dengan memberikan gambaran-gambaran tentang perjalanan yang berbahaya itu. Tetapi mereka bertiga sama sekali tidak takut.”

Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Gumamnya, “Tentu tidak. Putera Ki Gede Pemanahan yang telah berhasil membinasakan Arya Penangsang itu tidak akan mengenal takut terhadap apapun.”

“Tetapi perjalanan itu sangat berbahaya.”

“Ya,” kembali dukun tua itu bergumam seolah-olah untuk dirinya sendiri, “perjalanan yang berbahaya.”

“Kami akan memberitahukannya kepada ki Gede Pemanahan Kiai. Bukankah sebaiknya demikian?”

“Bagus,” sahut Ki Tanu Metir. “Beritahukan kepada Ki Gede Pemanahan. Apakah mereka belum lama berangkat? dan apakah mereka berkuda?”

“Belum terlampau lama. Mereka tidak berkuda.”

“Apakah dengan berkuda anak-anak itu akan dapat dicapai sebelum mereka masuk ke dalam hutan?”

Sendawa mengerutkan keningnya. Dicobanya menghitung waktu yang sudah dipergunakan oleh Sutawijaya. Namun kemudian ia mengambil kesimpulan, “Mungkin mereka telah memasuki hutan itu Kiai. Mereka sudah meninggalkan padukuhan ini sesaat setelah pasukan Pajang kembali ke induk Kademangan Sangkal Putung. Tetapi agaknya para prajurit lebih senang memperbincangkannya lebih dahulu, baru memberitahukannya kepadaku.”

Tampaklah sejenak kecemasan membayang di wajah orang tua itu. Namun hanya sejenak. Kemudian kembali ia tersenyum, “Bagus. Secepatnya kalian beritahukan kepada Ki Gede Pemanahan. Anak-anak itu hanya berjalan kaki saja bukan?”

“Baik, Kiai,” sahut Sendawa. Kemudian kepada prajurit yang memberitahukannya, Sendawa berkata, “Laporkan kepada Ki Gede Pemanahan, atau kepada Ki Untara atau Ki Widura.”

“Baik,” jawab prajurit itu sambil menganggukkan kepalanya. Kemudian menghilang di belakang pintu rumah itu. Dengan tergesa-gesa ia pergi ke belakang gardu untuk mengambil seekor kuda. Para prajurit yang lain, yang melihat seorang kawannya berlari-lari mengambil seekor kuda segera mengetahuinya, bahwa prajurit itu harus melaporkan kepergian Raden Sutawijaya bersama dengan Agung Sedayu dan Swandaru kepada Ki Gede Pemanahan, Untara dan Ki Demang Sangkal Putung. Meskipun demikian, salah seorang dari mereka pun bertanya, “Apakah kau akan menyusul anak-anak muda itu atau akan pergi ke Sangkal Putung?”

“Aku hanya akan melapor,” sahut prajurit itu sambil meloncat ke atas punggung kuda. Sesaat kemudian maka kuda itu pun melontar berlari menyusul pasukan Pajang dan laskar Sangkal Putung yang kembali ke induk kademangan. Suara kakinya berderap di atas tanah berbatu-batu, mengejutkan para pengawal dan bahkan orang-orang Jipang yang sedang beristirahat di dalam rumah-rumah.

Di ujung lorong yang lain beberapa orang pengawal menghentikannya. Salah seorang dari mereka bertanya, “Kemana kau?”

“Menyusul Ki Gede Pemanahan.”

“Ada sesuatu yang penting?”

“Ya. Aku harus memberitahukan bahwa putera Ki Gede Pemanahan bersama Agung Sedayu dan Swandaru Geni tanpa setahu Ki Gede sendiri pergi ke Alas Mentaok.”

“Alas Mentaok?” beberapa mulut bersama-sama mengulanginya.

“Ya.”

“Mengapa?”

“Tak seorang pun di antara kami yang tahu. Apa perlunya maka putera Ki Gede itu pergi ke Mentaok.”

Para pengawal itu tidak bertanya lagi. Prajurit itu pun kembali memacu kudanya. Derap kakinya melemparkan kepulan debu yang putih ditimpa sinar matahari yang telah menjadi semakin condong ke Barat.

Dengan tergesa-gesa prajurit itu berusaha untuk dapat menyusul Ki Gede Pemanahan secepatnya. Ketika telah dilewatinya beberapa padukuhan kecil, maka kemudian dilihatnya ujung panji-panji. Tiba-tiba hatinya menjadi berdebar-debar. Apakah jawabnya nanti apabila Ki Gede itu bertanya kepadanya, mengapa puteranya itu tidak dicegahnya?

Akhirnya kuda itu menjadi semakin dekat. Beberapa orang di barisan yang paling belakang yang lebih dahulu mendengar derap kakinya, segera berpaling. Ketika mereka melihat seekor kuda berlari kencang, maka mereka pun menjadi terkejut.

“Apakah yang terjadi?” pertanyaan itu mengetuk setiap dada para prajurit Pajang dan laskar Sangkal Putung.

Untara dan Widura yang kemudian mendengar derap itu pula, menjadi berdebar-debar. Seperti setiap prajurit yang lain timbul pula pertanyaan di dalam dadanya, “Apakah yang telah terjadi?”

Dalam pada itu terdengar Ki Gede Pemanahan bertanya, “Siapakah yang berkuda itu?”

“Seorang prajurit pengawal yang kita tinggalkan di Benda, Ki Gede,” sahut Untara.

Ki Gede Pemanahan mengerutkan keningnya. Ketika orang berkuda itu menjadi semakin dekat, maka Ki Gede itu berkata, “Mungkin ia membawa persoalan yang segera perlu kau ketahui Untara.”

“Ya, Ki Gede,” sahut Untara yang kemudian melambaikan tangannya memanggil prajurit itu.

Kuda itu pun kemudian berlari mendahului barisan yang menjelujur di sepanjang jalan. Beberapa langkah dari Untara prajurit itu segera meloncat turun.

“Apakah ada sesuatu yang penting?” bertanya Untara.

“Penting bagi Ki Gede Pemanahan.” sahut prajurit itu.

Ki Gede yang mendengar jawaban itu segera bertanya, “Penting bagiku? Apakah itu?”

Prajurit itu menjadi ragu-ragu sejenak. Baru ketika Untara menyuruhnya mengatakan, ia berkata, “Ki Gede, Putera Ki Gede bersama Adi Agung Sedayu dan Adi Swandaru telah pergi meninggalkan Benda ke arah Barat. Menurut keterangannya, mereka bertiga akan pergi ke Alas Mentaok.”

“He?” bukan main terkejut Ki Gede Pemanahan, Untara, Widura dan orang-orang lain yang mendengarnya, sehingga sejenak justru mereka terdiam.

Barisan yang panjang itu pun kemudian berhenti dengan sendirinya. Mereka yang tidak mendengar laporan itu bertanya-tanya di dalam hati. Tetapi berita itu pun kemudian menjalar dari mulut ke mulut, dari ujung terdepan merambat sampai ke ujung belakang. Hampir semua orang menggeleng-gelengkan kepala mereka.

“Bukan main,” gumam salah seorang prajurit.

“Mereka adalah anak-anak muda yang berani,” sahut yang lain. “Tetapi apakah kepentingan mereka?”

Untara dan Widura pun berdiri terpaku. Mereka sejenak saling berpandangan, namun tak sepatah kata pun yang mereka katakan. Sesaat kemudian terdengar Ki Gede Pemanahan bertanya, “Apakah mereka sudah lama pergi? Dan apakah mereka berkuda?”

“Tidak, Ki Gede. Mereka berjalan kaki. Mereka berangkat sejenak setelah pasukan ini meninggalkan desa Benda.”

“Kenapa baru sekarang kau memberitahukan?” bertanya Ki Gede.

Prajurit itu terdiam. Ia tidak tahu bagaimana ia akan menjawab. Tetapi semuanya sudah terlanjur. Sejenak mereka saling berdiam diri. Ki Demang Sangkal Putung yang mendengar berita itu pun segera pergi ke ujung barisan. Namun ketika dilihatnya Untara, Widura dan beberapa orang yang lain terpaku diam, maka Ki Demang Sangkal Putung pun tidak bertanya apa-apa lagi.

“Hem,” Ki Gede Pemanahan kemudian menarik napas dalam-dalam. “Anak itu memang nakal.”

Tetapi kata-katanya tidak dilanjutkannya. Ki Gede itu mencoba membayangkan perjalanan yang akan dilalui oleh puteranya beserta Agung Sedayu dan Swandaru. Ki Gede Pemanahan meskipun hanya sekilas telah melihat, bagaimana Agung Sedayu dan Swandaru menggerakkan pedangnya.

Perjalanan ke Alas Mentaok bukanlah perjalanan yang menyenangkan seperti sebuah tamasya. Yang dihadapi di dalam perjalanan itu adalah alam yang keras dan mungkin juga para penjahat.

Tetapi Ki Gede Pemanahan tidak sempat memberi pesan apa pun kepada puteranya yang nakal itu.

Sebagai seorang senapati Perang, Panglima Wiratamtama, maka Ki Gede Pemanahan pun pernah mengunjungi daerah-daerah di seberang hutan Mentaok. Karena itu maka Ki Gede dapat membayangkan apakah yang akan ditemui puteranya di sepanjang jalan.

Ki Gede Pemanahan itu pun kini berdiri dalam kebimbangan. Perasaannya menjadi sangat berat untuk membiarkan puteranya dengan dua anak-anak muda itu tanpa berbuat sesuatu. Tetapi ia tidak melihat seorang pun yang dapat diperintahkannya menyusul mereka. Untara atau Widura bukanlah seorang yang akan dapat melindungi sutawijaya, sebab menurut penilaian Ki Gede Pemanahan, Untara tidak lebih cakap berolah pedang dan tombak daripada Sutawijaya sendiri.

Tetapi Ki Gede Pemanahan sendiri sudah tentu tidak akan dapat meninggalkan Pajang terlampau lama untuk menyusul puteranya. Belum pasti puteranya itu segera dapat diketemukan. Apabila anak-anak muda itu sudah masuk kedalam hutan, maka mencari seseorang di dalam hutan adalah sama sulitnya dengan mencarinya di dalam kota yang ramai. Bahkan mungkin di dalam kota masih sempat bertanya-tanya, siapakah di antara orang-orang kota yang pernah melihat orang yang ciri-cirinya dapat dikenal. Tetapi di dalam hutan, pepohonan justru menjadi tempat-tempat bersembunyi yang baik.

Ki Gede Pemanahan seolah-olah berdiri di persimpangan jalan antara kekhawatirannya tentang anaknya dan kewajibannya sebagai seorang Panglima. Saat ini Pajang masih sedang dalam pergolakan. Pajang masih mendapat penilaian daripada para adipati di sepanjang Pantai dan adipati di wilayah Demak lainnya bagian Timur. Apakah Pajang akan mampu berdiri tegak menggantikan Demak. Karena itu, maka Panglima Wira Tamtama selalu harus berada di tempatnya.

Dalam kebingungan itu Ki Gede Pemanahan berkata, “Marilah kita teruskan perjalanan ini. Biarlah kita pertimbangkan sesudah kita sampai di induk Kademangan Sangkal Putung.”

“Marilah Ki Gede,” sahut Untara, yang kemudian kepada prajurit yang membawa berita tentang kepergian Sutawijaya, Untara berkata, “Kembalilah ke tempatmu.”

Prajurit itu pun menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Baik.”

Ketika Ki Gede Pemanahan kemudian berjalan kembali diikuti oleh seluruh barisan, maka prajurit itu pun kembali ke Benda untuk meneruskan tugasnya.

Di sepanjang jalan Ki Gede Pemanahan hampir tidak berkata sepatah kata pun. Hatinya menjadi risau dan gelisah. Kedatangannya di Sangkal Putung ternyata menjadikannya bingung setelah beberapa kali ia menemui kekecewaan.Tetapi di sepanjang jalan itu pula ia menemukan keputusan. Sebagai seorang panglima, maka ia tidak dapat meninggalkan tugasnya. Ia harus segera kembali ke Pajang sesuai dengan rencana yang telah dibuatnya. Ia akan mengatakan apa yang terjadi sebenarnya dengan puteranya, Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar. Karena Sutawijaya itu telah diambil putera pula oleh Adipati Pajang, maka sudah tentu Adipati Pajang akan menanyakannya. Baru apabila ia mendapat perintah untuk mencari puteranya, ia akan berangkat dengan menanggalkan baju kebesarannya sebagai seorang panglima, sementara ia pergi.






Karena itu, maka ketika mereka telah sampai di Sangkal Putung, Ki Gede segera memberitahukan kepada Untara dan Widura bahwa ia tidak akan merubah rencana.

Dengan demikian, maka segera setelah mereka beristirahat di Banjar Desa Sangkal Putung, Ki Gede Pemanahan memanggil Untara, Widura, dan para perwira yang dibawanya dari Pajang.

“Kita besok harus kembali membawa orang-orang Jipang itu sesuai dengan rencana,” berkata Ki Gede Pemanahan kepada para pengawalnya.

“Ya, Ki Gede,” sahut salah seorang dari mereka.

“Tetapi kita harus mempertimbangkan keadaan. Bagaimana dengan pertimbanganmu, Untara. Apakah kau dapat menganggap cukup dengan membagi prajuritmu menjadi dua. Separo ikut aku mengawal orang-orang Jipang itu ke Pajang, dan yang separo tinggal di Sangkal Putung?”

“Bagi Sangkal Putung, separo dari prajurit-prajurit Pajang itu telah cukup untuk melindungi Kademangan ini. Tetapi yang aku cemaskan justru perjalanan Ki Gede. Apabila perjalanan Ki Gede bertemu dengan laskar Tambak Wedi dan Sanakeling, kita belum tahu pasti apakah orang-orang Jipang yang sudah menyerah ini tidak akan terlibat dalam pertempuran itu. Meskipun mereka tidak bersenjata, tetapi jumlah mereka cukup banyak untuk menentukan keadaan,” jawab Untara.

Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sependapat dengan Untara. Karena itu, maka katanya kemudian kepada perwira bawahannya yang dibawanya dari Pajang, “Dua di antara kalian malam ini kembali ke Pajang. Kalian harus melaporkan keadaan kami di sini. Tetapi ingat, jangan kau katakan apa pun tentang Sutawijaya. Aku sendiri yang akan menyampaikannya kepada Adipati Pajang. Kemudian mintalah kepada Adi Adipati supaya memberimu ijin membawa limapuluh prajurit berkuda Wira Tamtama untuk membantu pengawalan orang-orang Jipang itu. Dengan demikian kita terpaksa menunda saat kembali ini dengan semalam lagi.”

“Baik, Ki Gede,” sahut perwira itu. “Kedua orang di antara kami akan segera berangkat sebelum gelap.”

Demikianlah maka segera mereka menentukan dua orang di antara para pengawal itu untuk kembali ke Pajang. Sementara itu mereka telah mempergunakan waktu beristirahat sebaik-baiknya. Para prajurit yang lain pun segera bertebaran di tempat masing-masing. Di banjar desa dan yang lain ke kademangan dan rumah-rumah yang ditentukan.

Sementara itu Sutawijaya, Agung Sedayu, dan Swandaru, berjalan secepat-cepatnya menuju ke hutan yang semakin dekat di hadapan mereka. Sutawijaya masih merasa cemas kalau-kalau ayahnya datang menyusul mereka, sehingga apabila mereka telah berada di dalam hutan itu, maka kesempatan untuk menyembunyikan diri menjadi lebih besar.

Matahari yang merangkak di langit kini menjadi semakin rendah. Cahayanya tidak lagi terasa membakar kulit, tetapi karena mereka berjalan ke arah Barat, maka mereka pun kini menjadi silau.

“Di hutan itukah Tohpati dahulu menyembunyikan diri?” bertanya Sutawijaya.

“Ya,” jawab Agung Sedayu, “Agak ke tengah.”

“Apakah kau pernah melihatnya?”

“Belum,” sahut Agung Sedayu.

“Marilah kita lihat.”

“Marilah,” tiba-tiba Swandaru menyela, “aku juga ingin melihatnya.”

“Belum ada yang pernah melihat di antara kita,” berkata Agung Sedayu.

“Kita dapat mencarinya,” jawab Swandaru.

“Bukan pekerjaan yang mudah. Kita akan kehilangan waktu untuk suatu kerja yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan maksud kepergian kita.”

“Tidak apa,” potong Sutawijaya. “Kita memberikan waktu sejenak.”

Agung Sedayu tidak menjawab lagi. Kedua kawannya telah sependapat untuk pergi melihat-lihat bekas sarang orang-orang Jipang itu. Karena itu, maka ia harus tunduk dan mengikutinya.

Ketika mereka telah hampir sampai ke tepi hutan itu, maka segera Sutawijaya memperhatikan rerumputan di hadapan langkah kakinya. “Hati-hati,” seakan-akan ada yang dicarinya.

“Adakah yang tuan cari?” bertanya Swandaru.

“Ada,” sahut Sutawijaya.

“Apa?”

Sutawijaya tidak segera menjawab. Tetapi tiba-tiba ia tertawa, “Itulah.”

Agung Sedayu segera mengetahuinya, bahwa Sutawijaya sedang mencari jejak kaki orang-orang Jipang. Orang-orang Jipang yang pagi itu telah meninggalkan sarang mereka untuk menyerahkan diri mereka ke Sangkal Putung.

“Itulah salah satu tanda yang dapat kita ikuti,” berkata Sutawijaya sambil menunjuk ujung-ujung ilalang yang terpatah-patahkan oleh injakan kaki.

“Kita mengikuti arah itu. Berlawanan dengan arah yang mereka tempuh.”

Kedua kawan-kawannya tidak menjawab. Mereka berjalan saja di samping Sutawijaya. Sejenak lagi mereka akan sampai kehutan yang sejuk. Panas matahari tidak lagi menyentuh tubuh mereka karena daun pepohonan yang lebat dan rimbun.

Demikian mereka menginjakkan kaki-kaki mereka di batas hutan itu, maka Sutawijaya segera berkata, “Di sini kita mendapat petunjuk yang lebih jelas lagi. Lihat iring-iringan itu pasti telah melewati jalan ini pula. Ranting-ranting yang patah, dan dedaunan yang terinjak-injak itu akan menjadi penunjuk jalan yang baik. Marilah kita ikuti. Kita harus menemukan perkemahan itu sebelum senja.”

Tetapi ketika Agung Sedayu menengadahkan wajahnya, maka ia menggelengkan kepalanya sambil bergumam, “Matahari telah turun terlampau cepat. Aku tidak yakin bahwa kita akan sampai sebelum senja. Kalau kita dapat menentukan jalan memintas, maka kita akan dapat mencapainya. Tetapi aku kira jalan yang dilalui oleh orang-orang Jipang dalam rombongan yang besar ini adalah jalan yang paling mudah, bukan yang paling dekat.”

Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya, ia pun mempunyai perhitungan yang serupa, tetapi ia menjawab, “Marilah kita coba.”

Kembali mereka bertiga berjalan beriringan. Kali ini mereka berjalan di antara pepohonan yang belum terlampau pepat. Yang banyak mereka lintasi barulah gerumbul-gerumbul yang bertebaran di sana-sini. Satu dua mereka melintasi pohon-pohon yang cukup besar. Namun sejenak kemudian, hutan itu pun menjadi semakin pepat. Pepohonan menjadi semakin padat dan gerumbul-gerumbulnya pun menjadi semakin rapat. Bahkan di sana-sini mereka harus melewati rumpun-rum pun berduri.

Namun Sutawijaya yang berjalan di paling depan tidak kehilangan jejak. Semakin rimbun hutan itu, semakin jelaslah bekas-bekas rombongan orang-orang Jipang. Semakin banyak ranting-ranting yang patah dan mereka patahkan untuk memberi jalan kepada kawan-kawan mereka yang masih di belakang. Daun-daun yang menjorok ke dalam barisan dan duri-duri yang berada di depan rombongan itu telah disingkirkan.

Ketika Sutawijaya melihat sebuah tikungan yang lengkung dari bekas orang-orang Jipang itu, kemudian satu putaran lagi di hadapan mereka. Terdengar ia bergumam, “Ya, orang-orang jipang ini mengambil jalan yang paling mudah, bukan yang paling dekat. Seandainya kita tahu jalan memintas maka kita akan sampai ke tempat itu segera.”

“Ya,” sahut Agung Sedayu. “Tetapi dengan mengikuti jejak ini kita pasti akan sampai. Kalau kita memilih jalan sendiri bahkan mungkin kita sama sekali tidak akan menemukan perkemahan itu.”

“Ya, aku sependapat,” jawab Sutawijaya, “karena itu, mari kita percepat jalan kita.”

Langkah mereka pun menjadi semakin cepat dan panjang. Mereka ingin berlomba dengan waktu. Namun setiap kali terasa bahwa jalan mereka terlampau lambat. Meskipun mereka telah meloncat-loncat, berlari-lari kecil. Namun matahari serasa meluncur amat cepatnya ke atas cakrawala. Sinarnya yang kemudian menjadi kemerah-merahan tampak bergayutan di tepi-tepi awan yang bergerak di langit yang biru.

Tetapi matahari itu pun turun lebih rendah lagi. Hampir hilang ditelan punggung-punggung bukit. Sehingga hutan itu pun kini menjadi semakin kabur.

“Apakah perkemahan itu masih jauh?” bertanya Sutawijaya.

“Aku tidak tahu,” sahut Agung Sedayu, “Aku belum pernah sampai ke perkemahan itu.”

Sutawijaya terdiam. Kini ia menjadi semakin sukar untuk mengenal bekas-bekas yang telah di buat oleh rombongan orang-orang Jipang yang menyerah. Tetapi tiba-tiba Sutawijaya itu berteriak, “Ha, lihat. Ini adalah sebuah gardu peronda yang telah mereka buat.”

Agung Sedayu dan Swandaru segera melihat di belakang sebuah pohon yang cukup besar, tampak sebuah atap ilalang yang cukup untuk berteduh dua orang bersama-sama.

“Kita hampir sampai,” desis Sutawijaya.

Mereka pun terdiam. Dengan penuh perhatian mereka memandangi keadaan di sekeliling mereka. Ketika mereka maju lagi, maka segera mereka mengenal tempat itu. Tempat itu pasti tempat orang-orang Jipang berkemah. Sebuah halaman yang kotor dan di sana-sini mereka melihat batang-batang kayu yang telah tumbang. Karena itu maka tempat itu menjadi agak lebih terang dari tempat-tempat yang lain karena sisa-sisa sinar senja.

“Kita sudah sampai. Tetapi kita harus menemukan gubug-gubug mereka di sekitar tempat ini.”

“Sudah dekat sekali,” desis Swandaru, “Tidak ada seratus langkah kita akan sampai.”

“Belum pasti,” jawab Sutawijaya.

Kembali mereka terdiam. Hutan itu menjadi semakin suram. Sekali-sekali mereka terpaksa menggaruk-garuk tubuh mereka karena gigitan nyamuk yang berterbangan.

Dan kini langkah mereka terhenti. Kembali Sutawijaya berteriak, “Nah, itulah. Kau lihat?”

“Ya,” hampir bersamaan Agung Sedayu dan Swandaru menyahut.

Di dalam kesuraman senja, mereka melihat beberapa buah gubug berdiri berjajar-jajar. Udara terasa sangat lembab dan pengab. Tetapi gubug-gubug itu adalah gubug yang kecil-kecil.

“Kita melihat-lihat keadaannya,” berkata Sutawijaya. “Tetapi hati-hatilah. Siapa tahu, di dalam perkemahan itu masih ada beberapa orang yang berkeras kepala.”

“Marilah,” sahut Agung Sedayu dan Swandaru Geni. Mereka pun kemudian mencabut senjata-senjata mereka dan berjalan hati-hati mendekati gubug-gubug itu.

“Sepi,” bisik Sutawijaya.

“Sudah kosong,” sahut Swandaru.

“Terlampau sedikit,” berkata Sutawijaya kemudian. “Di sekitar tempat ini pasti masih ada perkemahan lagi.”

“Mungkin,” jawab Agung Sedayu.

“Tetapi biarlah. Hari telah gelap. Aku kira akan berbahayalah bagi kita apabila kita merayap-rayap di dalam gelap di tempat yang belum kita kenal. Tetapi menilik tempat-tempat penjagaan telah dikosongkan, maka perkemahan ini pun pasti telah kosong. Seandainya ada tempat-tempat lain di sekitar tempat ini pun pasti benar-benar telah menjadi kosong pula.”

“Ya,” desis Agung Sedayu dan Swandaru bersama-sama.

“Kita bermalam di sini,” berkata Sutawijaya. “Kita akan mendapat tempat untuk tidur.”

“Kita lihat dahulu di dalam gubug-gubug itu, apakah mungkin kita tidur di dalamnya?” berkata Swandaru.

“Marilah,” sahut Sutawijaya.

Maka dengan hati-hati ketiga anak-anak muda itu pun memilih satu di antara kemah-kemah yang kosong itu. Mereka pun kemudian melangkah ke pintunya.

“Siapa di dalam?” desis Sutawijaya, tetapi kemudian anak muda itu tertawa.

“Mengapa Tuan tertawa?” bertanya Swandaru.

“Aku merasa geli sendiri. Kenapa aku bertanya?”

“Kalau Tuan mendengar jawaban maka Tuan pasti akan lari,” berkata Swandaru.

“Kalau ada yang menjawab di dalam, maka ia akan aku sobek perutnya dengan tombak ini.”

“Bukankah gubug itu kosong,” berkata Swandaru

“Ya, kenapa ada jawaban?”

“Itulah. Kalau ada jawaban dari dalam gubug yang kosong dan gelap-kelam itu, maka pasti bukan jawaban yang keluar dari mulut orang-orang Jipang. Bukan pula keluar dari mulut orang manapun.”

Sekali lagi Sutawijaya tertawa. Katanya, “Ha. kau sudah mulai membayangkan, bahwa di dalam gubug itu akan kau temui sebuah kerangka yang akan menyambut kehadiranmu.”

Swandaru dan Agung Sedayu tertawa. Tanpa mereka sadari maka mereka pun memandang berkeliling. Gelap malam telah mulai menyelubungi hutan itu sehingga gubug-gubug di sekitar mereka kini hanya tampak sebagai onggokan bayangan-bayangan hitam. Tiba-tiba bulu kuduk Swandaru meremang.

“Ngeri,” desisnya.

“Kenapa?”

“Aku seolah-olah merasa berada di tengah-tengah kuburan. Bayangan-bayangan hitam itu seperti bayangan-bayangan cungkup yang bertebaran. Aku lebih baik merasa berada di tengah-tengah hutan yang lebat. Aku tidak takut diterkam macan.”

Kini Sutawijaya dan Agung Sedayu tidak dapat menahan tertawanya. Suara tertawa itu telah menggetarkan hutan yang sepi. Berkepanjangan, seolah-olah telah membangunkan dedaunan yang telah mulai tidur lelap.

Tetapi akhirnya Swandaru sendiri turut tertawa pula.

“Marilah kita masuk,” ajak Sutawijaya.

“Gelap,” sahut Swandaru.

“Tidak ada kerangka yang hidup di dalam gubug itu. Kalau ada kerangka itu pasti sudah menyambut kita di muka pintu ini,” sela Agung Sedayu.

Namun kembali bulu-bulu mereka meremang, bukan saja Swandaru. Ketika angin yang lemah berdesir menyentuh leher-leher mereka, maka tanpa mereka sengaja mereka menjadi semakin berhati-hati.

Di kejauhan ketiga anak-anak muda itu mendengar suara burung hantu memekik-mekik. Sedang malam pun menjadi semakin gelap pula. Tiba-tiba terdengar Sutawijaya berkata, “Siapa di antara kita yang membawa titikan? Kita sebaiknya membuat api.”

“Aku,” sahut Swandaru sambil mencari sesuatu di kantong bajunya. “Aku selalu membawa titikan. Setiap kali Sekar Mirah minta aku membuat api untuknya, apabila api di dapur padam dan beberapa orang pembantunya akan merebus air dan menanak nasi di pagi hari.”

“Ha,” seru Sutawijaya, “Buatlah api.”

“Apakah yang akan kita bakar? Kita belum mengumpulkan kayu atau sampah.”

“Sampah telah cukup terkumpul,” potong Agung Sedayu. Tiba-tiba tangannya meraih atap gubug yang terbuat daripada ilalang. Sekali tangan kirinya merenggut, maka segenggam ilalang telah didapatkannya.

“Hanya segenggam?” bertanya Swandaru.

“Kalau kurang, maka dua tiga buah gubug akan kita bakar,” sahut Agung Sedayu.

Ketiga anak-anak muda itu pun tertawa. Swandaru kemudian menyarungkan pedangnya dan dengan hati-hati membuat api dengan batu titikan dan emput lugut aren yang telah dihaluskan. Sekali dua kali akhirnya lugut aren itu pun membara.

“Hembuslah kuat-kuat di atas ilalang ini,” katanya kepada Agung Sedayu.

Maka kemudian mereka bertiga pun bergantian menghembus emput itu. Bara emput itu pun kemudian menjalar dan sejenak kemudian ilalang di dalam genggaman tangan Agung Sedayu itu pun mulai menyala.

“Cari yang lain, sebanyak-banyaknya,” berkata Agung Sedayu.

Sutawijaya dan Swandaru pun kemudian berebutan merenggut ilalang atap gubug dan meletakkannya di atas tanah. Dengan api di tangannnya Agung Sedayu pun kemudian membakar ilalang itu.

Mereka bertiga pun kemudian mencari sampah-sampah yang agak basah ditimbunkannya ke dalam api supaya perapian itu tidak lekas habis.

“Kalau ada kita beri kayu di atasnya,” gumam Sutawijaya, “supaya semalam suntuk api tidak padam.”

“Dari manakah kita mendapatkan kayu ?” bertanya Swandaru.

Agung Sedayu menebarkan pandangannya berkeliling. Karena api yang menyala di perapian itu, maka dilihatnya beberapa buah gubug berdiri bertebaran, seolah-olah betapa lelahnya. Sebagian dari mereka telah menjadi condong dan bahkan sebagian yang lain telah hampir roboh.

“Bukankah tiang-tiang gubug itu sebagian terbuat dari kayu dan sebagian yang lain dari bambu?” gumam Agung Sedayu.

Sutawijaya pun kemudian menyahut, “Bagus, kita robohkan salah satu daripadanya.”

Mereka bertiga pun kemudian meletakkan busur masing-masing dan Agung Sedayu pun menyarungkan pedangnya pula, sedang Sutawijaya menyandarkan tombaknya di dekat perapian itu. Setelah menyingsingkan lengan baju mereka, maka segera mereka pun bekerja. Mereka telah merobohkan sebuah gubug dan mengambil segenap kayu yang ada. Mereka melemparkan kayu-kayu itu ke atas perapian dan membiarkannya terbakar.

“Perapian ini akan tahan semalam suntuk,” gumam Sutawijaya.

“Ya, kita tidak akan kedinginan,” sahut Swandaru.

“Tetapi kita tidak akan dapat tidur bersama-sama,” berkata Sutawijaya kemudian. “Kita lebih baik tidur di samping perapian ini, tidak di dalam gubug meskipun kita tidak takut kepada kerangka-kerangka yang menunggui gubug-gubug itu. Atau mungkin banaspati atau semacam wedon. Tetapi di sini kita lebih aman. Kita dapat melihat keadaan di sekitar kita dalam jarak yang cukup.”

“Tetapi kita akan menjadi tontonan di sini,” sahut Swandaru, “Kalau ada orang yang bersembunyi di dalam gelap itu, maka mereka akan melihat kita dengan leluasa.”

“Tak ada orang di sekitar tempat ini,” jawab Sutawijaya

“Atau kita tidak terlampau dekat dengan api, supaya kita tidak terlampau jelas di lihat dari kegelapan.”

“Mungkin tetekan, peri atau prayangan yang mengintip kita,” berkata Agung Sedayu. “Kalau demikian, maka meskipun kita berada di dalam kegelapan pun mereka akan dapat melihat.”

“Huh. Kita bicarakan yang lain,” potong Swandaru, “Bukan tentang hantu-hantuan saja.”

Kedua kawan-kawannya tertawa. Swandaru pun kemudian tertawa pula.

“Hem,” desis Suiawijaya, “Alangkah nyamannya kalau kita mendapat daging kijang. Kita panggang di atas api.”

“Di sekitar tempat ini pasti ada kijang.”

“Kalian sering berburu?”

Agung Sedayu menggeleng, “Kakang Untara sering berburu, bahkan sejak kecil.”

“Kau tidak ikut?”

“Jarang sekali. Kalau ibu tahu, maka Kakang Untara pasti dimarahi.”

“He?” Sutawijaya menjadi heran, “Ibumu tidak mengijinkan?”

Agung Sedayu menggeleng, “Dahulu tidak.”

“Aku sering berburu juga bersama ayah. Tetapi mencari kijang lebih baik di siang hari. Malam hari kita jarang-jarang menemui binatang selain binatang buas yang sedang mencari makan.”

Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Anak itu tidak pernah pergi berburu selain berburu kambing di kandang rumahnya. Karena itu, ia sama sekali tidak tahu, bagaimanakah caranya harus memburu kijang.

Kini mereka terdiam sejenak. Mereka duduk memeluk lutut mereka. Namun senjata-senjata mereka tetap tergantung di lambung dan busur-busur mereka berada di sisi, sedang Sutawijaya memeluk tombak pendeknya sambil memandangi nyala api yang seakan-akan melonjak-lonjak.

Angin malam semakin lama menjadi semakin sejuk. Tetapi panas perapian telah menghangatkan tubuh mereka. Lidah api yang merah menggapai-gapai seperti sedang menari. Cahayanya yang melekat di dedaunan bergetaran meloncat dari lembar ke lembar yang lain.

Terkantuk-kantuk Swandaru menguap sambil bergumam, “Siapakah yang akan tidur lebih dahulu?”

“Kau sudah kantuk?” bertanya Agung Sedayu.

“Ya. Apakah aku dapat tidur lebih dahulu? Setelah tengah malam maka berganti aku yang jaga?”

“Pikiran yang bagus,” sahut Sutawijaya, “Tetapi bagaimana kalau kau kami tinggalkan di sini seorang diri? Ketika kau kemudian membuka mata di tengah malam, kau dikerumuni oleh kerangka-kerangka yang bangkit dari dalam tanah? Kau pasti tahu bahwa di sekitar perkemahan ini pasti ada kuburan. Kuburan orang-orang Jipang yang terbunuh di peperangan atau yang mati karena luka-lukanya?”

Swandaru mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ditebarkannya pandangannya berkeliling. Dilihatnya dari dalam gelap bayangan api yang kemerah-merahan seperti hantu yang sedang menari-nari, bahkan kemudian seperti serombongan hantu yang siap menerkamnya. Tetapi Swandaru bukan seorang penakut. Bahkan kemudian ia tertawa sambil berkata, “Lihat, itu mereka telah datang.”

Sutawijaya dan Agung Sedayu pun tertawa. Tanpa mereka kehendaki mereka memandang ke arah ujung jari Swandaru yang menunjuk bayangan api yang satu-satu jatuh ke dalam gelap. Tetapi tiba-tiba Sutawijaya mengerutkan keningnya. Ia melihat bayangan di tempat yang terlampau jauh. Bayangan yang terlampau terang dibandingkan dengan jarak antara perapiannya dan tempat itu. Apalagi pepohonan dan dedaunan yang menghalanginya, pasti akan menutup jauh lebih banyak dari apa yang dilihatnya. Karena itu, maka Sutawijaya itu pun tiba-tiba berdiri. Digenggamnya tombak pendeknya erat-erat.

“Apa yang Tuan lihat?” bertanya Swndaru.

“Kau lihat bayangan api di kejauhan itu?” bertanya Sutawijaya.

“Ya,” sahut Swandaru.

“Kau lihat keanehannya?” bertanya Sutawijaya pula.

Swandaru menjadi heran mendengar pertanyaan itu. Semula ia sama sekali tidak menaruh perhatian atas bayangan api itu. Namun ternyata bayangan itu semakin lama menjadi semakin besar. Di kejauhan itu kemudian tampaklah warna merah yang memancar bertebaran seperti pancaran api dari perapian mereka.

“Perapian,” desis Agung Sedayu.

Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia pun mengulanginya, “Perapian.”

“Ya,” sahut Sutawijaya, “Seseorang telah menyalakan perapian.”

“Siapa?” desis Swandaru kemudian.

Sutawijaya menggelengkan kepalanya, “Kita tidak tahu.”

Sejenak kemudian mereka terdiam. Namun hati mereka menjadi berdebar-debar. Ternyata bahwa di sekitar tempat itu, masih juga ada seseorang setidak-tidaknya, yang mungkin telah melihat mereka bertiga.

“Tetapi apa maksudnya membuat perapian itu?”

Pertanyaan itu timbul di dalam dada ketiga anak-anak muda itu.

“Siapkan senjata kalian,” berkata Sutawijaya, “Kita yang akan datang melihatnya. Kita tidak akan menunggu sampai seseorang datang kepada kita dengan maksud apa pun.”

“Marilah,” jawab Agung Sedayu dan Swandaru hampir bersamaan.

.........bersambung ke Jilid 17

Tidak ada komentar:

Posting Komentar